PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DINAMIKA BUDAYA KONSUMSI PINANG DALAM PEMBENTUKAN RUANG PUBLIK KOTA MANOKWARI Tesis Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Oleh: AGUSTINUS RIWI NUGROHO
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2016
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tesis
DINAMIKA BUDAYA KONSUMSI PINANG DALAM PEMBENTUKAN RUANG PUBLIK KOTA MANOKWARI
akartan 27 Juli2frl6.
Z//d,Ar"
i.
Dr. Alb. tsudi Susanto. S.J.
Dr. G. Budi Subanar. S.J.
Pembimbing I
Ketua Program Studi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tesis
DINAMIKA BUDAYA KONSUMSI PINANG DALAM PEMBENTUKAN RUANG PUBLIK KOTA MANOKWARI Oleh:
AGUSTINUS RIWI NUROHO
NIM:
136322003
:.
,:t:r:
Telah dipertah*nkan di dephn''Dewan Penguji Tesis dan dinyatakan'tdlah mem*nuhi syarat.
, Ketua
Tirn "Penguji
: Dr. Y. Tr.i,$ub,agiya,r
Sekretaris/Moderator: Dr. G. Budi SuMnar, S.J. Penguji
: 1. .Dr. FX.,Beslerfi.fi:Wardayn, S.J.
'
'':
'
2. Dr.Y. Tri Suba#d' 3. Dr. Alb. Budi Susanto, S.J.
Yogyakarta, 27 Juli20l6,
r Program Pascasarjana
upratikny
ill
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
buat o bapak sudiyono (†) & ibu tri lestari o adik awan sudamar (†)& rini sarasawati o made deiby, kak wulan & dik agung
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang bernama Agustinus Riwi Nugroho (NIM: 136322003) menyatakan bahwa Tesis berjudul
DINAMIKA
BUDAYA
KONSUMSI
PINANG
DALAM
PEMBENTUKAN RUANG PUBLIK KOTA MANOKWARI, merupakan hasil karya dan penelitian saya sendiri. Di dalam Tesis ini tidak terdapat karya peneliti lain yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi lain. Pemakaian, peminjaman/pengutipan dari karya peneliti lain di dalam Tesis ini saya pergunakan hanya untuk keperluan ilmiah sesuai dengan peraturan yang berlaku, sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 27 Juli 2016. Yang membuat pernyataan,
Agustinus Riwi Nugroho
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta: Nama
: Agustinus Riwi Nugroho
Nomor Mahasiswa
: 136322003
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: DINAMIKA BUDAYA KONSUMSI PINANG DALAM PEMBENTUKAN RUANG PUBLIK KOTA MANOKWARI
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk
pangkalan
data,
mendistribusikan
secara
terbatas,
dan
mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberi royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Yogyakarta Pada tanggal: 27 Juli 2016. Yang menyatakan,
Agustinus Riwi Nugroho
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang tak terhingga saya hunjukkan kepada Allah, karena dengan kehendak dan berkatNya yang berkelimpahan telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta. Kepada Romo Dr. Alb. Budi Susanto, S.J. saya menghaturkan banyak terima kasih, karena dengan kesabarannya telah bermurah hati mencermati, membimbing, mendorong, mengarahkan, dan dengan sentilannya dapat menanggap kegelisahan, keprihatinan, serta harapan berkaitan dengan situasi budaya mengkonsumsi pinang, ruang publik, dan modernitas di Papua pada umumnya, sehingga memacu terselesaikannya karya akademik berjudul Dinamika Budaya Konsumsi Pinang Dalam Pembentukan Ruang Publik Kota Manokwari ini. Terima kasih tak terhingga saya sampaikan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Sanata Dharma, Bapak Prof. Dr. A. Supratiknya, dan kepada para dosen yang telah menuntun studi saya di bawah pohon “Beringin Soekarno” tercinta. Kepada Ketua Program Studi Ilmu Religi dan Budaya, Romo Dr. G. Budi Subanar, S.J. yang selalu mengingatkan dan menanyakan kemajuan penulisan karya akademik, memberikan berbagai kemudahan serta fasilitas beasiswa studi dan penelitian, disampaikan salam hormat dan matur nuwun sanget. Ucapan terima kasih yang tak terhingga disampaikan pula kepada Bapak Dr. St. Sunardi dan Mbak Dr. Katrin Bandel yang telah bersedia membaca ulang penulisan karya ini. Terima kasihku untuk Mbak Desy yang baik hati, dengan ringan langkah telah setia menyampaikan info-info akademis mau pun mengingatkan pengumpulan tugas demi kelancaran proses studi kami. Bersama aliansi bonobo 2013 dan Kejar Jangkrik yang selalu memberi semangat, suwun dan tetap kompak. vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kepada Bupati Manokwari, Kepala Badan Kepegawaian Daerah, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Manokwari, serta Kepala SMA Negeri 1 Manokwari Bapak Drs. Lucas Wenno, atas kesempatan studi yang telah diberikan, saya menghaturkan terima kasih. Atas dukungan dan pencerahannya, kepada Pater Paul Tan dan Prof. Charlie D. Heatubun disampaikan banyak terima kasih. Buat dik Rini, dik Ri, kangmas Aris dan mbakyu Tutik matur nuwun untuk perhatian dan kasih sayangnya yang selalu membangkitkan semangat saya. Terima kasih tak terhingga buat keluarga, kawan, sahabat dan semua pihak yang telah membantu untuk terselesaikannya karya akademik ini. Berkah Dalem selalu.
Jogja, 27 Juli 2016. riwi nugroho
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Daftar Isi
HALAMAN JUDUL .....................................................................................................
i
HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................................... ii HALAMAN BERITA ACARA UJIAN ........................................................................ iii HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................................... iv PERNYATAAN ............................................................................................................ v PERSETUJUAN PUBLIKASI ...................................................................................... vi KATA PENGANTAR ................................................................................................... vii DAFTAR ISI .................................................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... xii LAMPIRAN PETA KOTA MANOKWARI ................................................................. xiii LAMPIRAN TABEL PENJUAL PINANG KOTA MANOKWARI ........................... xiv ABSTRAKSI ................................................................................................................. xv ABSTRACTION ........................................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 1. Latar Belakang .............................................................................................. 1 2. Tema Penelitian ............................................................................................. 7 3. Rumusan Masalah ......................................................................................... 7 4. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 8 5. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 9 6. Kajian Pustaka ............................................................................................... 11 7. Kajian Teori ................................................................................................... 17 8. Metode Penelitian .......................................................................................... 23 9. Sistimatika Penulisan .................................................................................... 31
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II
WACANA BUDAYA KONSUMSI PINANG ........................................... 34
1. Budaya Konsumsi Pinang ........................................................................... 34 1) Buah Pinang ............................................................................................ 34 2) Manfaat Mengkonsumsi Pinang .............................................................. 38 3) Budaya Mengkonsumsi Pinang di Indonesia .......................................... 39 4) Budaya Konsumsi Pinang di Papua ........................................................ 48 5) Wacana Mengkonsumsi Pinang dalam Masyarakat di Papua ................. 50 2. Ruang Publik Kota Manokwari Propinsi Papua Barat ........................... 51 1) Sejarah Kota Manokwari ......................................................................... 51 2) Ruang Publik Kota Manokwari ............................................................... 52 3) Perkembangan Kota Manokwari ............................................................. 55 3. Wacana Modernitas Sebuah Ruang Publik Kota ....................................... 58
BAB III KONSTELASI KOMODITAS DAN BUDAYA KONSUMSI PINANG DALAM IDEALISME MODERNITAS RUANG PUBLIK ......................................................................................... 62 1. Blusukan di Kota Manokwari .................................................................... 63 2. Konstelasi Budaya Konsumsi Pinang dengan Ruang Publik .................. 68 1) Kebijakan Aparat Pemerintah ................................................................. 68 2) Kapital Modal .......................................................................................... 71 a. Nilai Ekonomis Komoditi Pinang .................................................... 72 b. Budidaya Tanaman Pinang .............................................................. 76 c. Menejerial Mama-Mama Penjual Pinang ........................................ 78 3) Masyarakat Sipil (Civil Society)
............................................................. 83
4) Media Massa ............................................................................................. 87 3. Keberbedaan Idealisme dan Citra Kota Modern
.................................... 100
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV
DINAMIKA BUDAYA KONSUMSI PINANG SEBAGAI FAKTOR PEMBENTUK RUANG PUBLIK KOTA MANOKWARI ................................................................................ 106
1. Sepanjang Jalan Membaca Retorika .......................................................... 107 2. Budaya Konsumsi Pinang di Kota Manokwari ........................................ 109 1) Pasar Pinang sebagai Forum Publik ........................................................ 111 2) Budaya Konsumsi Pinang dalam Ruang Publik Tandingan .................... 113 3) Mobilitas Migran dan Okultisme Publik ................................................. 115 4) Budaya Konsumsi Pinang sebagai Tempat Pengucapan Ketiga ............... 123 3. Kontinuitas Operasi Strategi dan Taktik dalam Ruang Publik .............. 128 1) Strategi vis-à-vis Taktik .......................................................................... 129 2) Perlawanan terhadap Stigmatisasi Kebijakan Publik .............................. 132 3) Penjungkirbalikan Posisi Strategi dan Taktik ......................................... 139 4. Idealisme Certeau tentang Kota sebagai Ruang Publik Berkelanjutan ............................................................................................... 144
BAB V
PENUTUP ................................................................................................... 154 Kesimpulan ................................................................................................... 154
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 160 DAFTAR NARASUMBER ........................................................................................... 164 LAMPIRAN PERSURATAN ......................................................................................... 166
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.Papan larangan merokok dan makan menginang pada Lingkungan Sekolah .................................................................................................... 4 Gambar 2.Ember tempat membuang ludah pinang di Pasting Sanggeng ................. 5 Gambar 3.Tanaman pohon pinang di kebun masyarakat ......................................... 35 Gambar 4.Rangkaian buah Pinang siap panen ......................................................... 36 Gambar 5.Relief pada Candi Sukuh, tergambar pohon pinang . ............................... 40 Gambar 6.Sajian bahan konsumsi pinang dalam pertemuan / ritual adat .................. 44 Gambar 7. Pinang kering (gebe) merambah pasar tradisional di Manokwari. .......... 48 Gambar 8.Peta geografi Propinsi Papua Barat ......................................................... 53 Gambar 9.Lingkup penelitian, dalam 3 distrik; Manokwari Barat, Manokwari Selatan dan Manokwari Timur ................................................................ 53 Gambar 10.Jualan pinang di Jalan Sujarwo Condronegoro SH ................................ 65 Gambar 11.Pengecer pinang di Jalan Siliwangi, Pelabuhan Manokwari ................. 69 Gambar 12.Kepedulian ASPAP terhadap mama – mama penjual pinang ............... 70 Gambar 13 Lapak jual Pinang “atap biru”................................................................. 71 Gambar 14.Pinang kering (gebe) di pasar tradisional ............................................... 73 Gambar 15.Tanaman pohon pinang di Kampung Maripi........................................... 76 Gambar16.Mama Mama penjual Pinang buah di pelataran pasar Sanggeng Manokwari ................................................................................................ 81 Gambar17.VCD mop beredar di pasaran seantero Papua........................................... 92 Gambar18.Ngobrol bersama diselingi dengan mop-mop .......................................... 93 Gambar19.Obrolan Warung Pinang menjadi Acara Unggulan di RRI Manokwari .. 99 Gambar20.Bangunan-bangunan menjadi sasaran buangan ludah merah saat mengkonsumsi pinang .............................................................................. 101 Gambar21.Hadi Departement Store dan Swiss-Belhotel di Manokwari ................... 104 Gambar22.Potret jualan pinang ............................................................................... 121
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PETA KAWASAN PERKOTAAN KABUPATEN MANOKWARI TAHUN 2009
xiii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRAK Dinamika Budaya Konsumsi Pinang Dalam Pembentukan Ruang Publik Kota Manokwari Dinamika budaya konsumsi pinang dalam masyarakat Papua di Kota Manokwari Propinsi Papua Barat dihayati seiring dalam arus globalisasi yang bermuatan ragam konsep pola pikir, ideologi, dan wacana. Modernitas menjadi simpulan pola pikir dan gaya hidup, sehingga kultur mengkonsumsi pinang yang bertumbuh-kembang dari waktu ke waktu mendapat stigma kolot, jorok, serta tidak layak dalam perkembangan dunia dewasa ini. Mengkonsumsi pinang yang mengandung nilai serta makna persaudaraan telah menjadi sebuah identitas dan kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat Papua. Dalam kebersamaan, kultur ini memberi peluang besar untuk membangun ragam wacana sosial, ekonomi, mau pun politik, sehingga dapat mempengaruhi eskalasi aktivitas keseharian masyarakat setempat yang sarat dengan problematika kehidupan budaya, berbangsa, dan bernegara. Dengan stigma negatif dan kontra produktif yang melekat pada kultur ini serta seiring dengan tuntutan nilai-nilai modernitas yang ada di sisi lain budaya konsumsi pinang ternyata mampu menjadi media komunikasi antar individu mau pun kelompok masyarakat yang bersifat heterogen. Posisinya sebagai media komunikasi tersebut dalam pemikiran Homi K. Bhabha menjadi sebuah ‘ruang pembicaraan ketiga’ bagi subyek-subyek kontestan dengan berbagai latar belakang; seperti halnya suku bangsa dan budaya yang ada dalam suatu masyarakat sosial. Dalam ruang tersebut tidak ada lagi klaim tentang ‘ini ruang kami’ atau ‘itu ruang mereka’, melainkan menjadi ‘ini adalah ruang kita bersama’. Dalam pemikiran Michel de Certeau, masing-masing kontestan dengan beragam latar belaknag tersebut akan menerapkan strategi dan taktik guna memperoleh otoritas hegemoni. Karena secara kontinuitas akan terjadi perubahan struktur dan kondisi sosial kemasyarakatan, maka dalam kenyataannya tidak semua kontestan dapat mengklaim sebuah keberhasilan mutlak sebagai pemegang otoritas sosial. Dalam dinamika masyarakat terjadi proses interaksi sosial, terbangun wacana, subyektivikasi, serta karakterisasi pada masing-masing subyek, Mereka semua berkesempatan sama dalam berpartisipasi dengan konsensusnya untuk membentuk ruang publik Kota Manokwari di Propinsi Papua Barat. Kata Kunci: konsumsi pinang, ruang pembicaraan ketiga, strategi dan taktik, pembentukan ruang publik, Kota Manokwari.
xv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ABSTRACT The Dynamics of Areca Nuts Consumption Custom in the Public Spaces Forming Process of Manokwari City
The areca nuts (Areca catechu) consumption custom among Papuans in Manokwari City, West Papua Province, has been internalized in their daily life likewise the unstoppable globalization wave with its various mindset, ideologies, and discourses.Modernity became end-node of “brand-new” mindsets and lifestyles, so the areca nuts consumption custom that has grown for ages will be stigmatized as old fashioned style, disgusting, considered as eyesore, and inappropriate in this current age. However, this custom which promotes brotherhood values has become an identity and being a part of local wisdom for Papuans as well. It has given great opportunities to various social, economical, and even political discourse constructions that able to affect the daily life condition of locals that have been burdened by certain cultural and political problems. Despite the negative and contra-productive stigma that had been embedded to the areca nuts consumption custom alongside the demands required by modernity values, it turns out to be an effective media of communication among the Papuans and within their heterogenic communities as well. As media of communication, according to Homi K. Bhabha, this custom can be seen as “the third space of enunciation” for all of its contestants with many backgrounds; like various ethnical and cultural groups within the society. In that space, there are no such claims like “this is our space” or “that is their space”, but “this is a space for us all”. As Michael de Certeau has stated, each contestant with all of their own backgrounds would then apply a set of strategies and tactics to obtain an authorized hegemony. In the long run, the structure and condition of the society will be changeable, hence not all the contestants is able to claim absolute success as social authority holder. Within a growing and fluctuating community, there are social interactions, discourse constructions, and also each subject characterization. They all have equal opportunity to participate – by consensus – in creating the public spaces of Manokwari City, West Papua Province. Keywords: areca nuts consumption, the third space of enunciation, strategies and tactics, the forming of public spaces, Manokwari City.
xvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Tradisi mengkonsumsi pinang bagi masyarakat Papua telah dilakukan secara turun temurun dan merupakan kebiasaan dalam keseharian hidup dari generasi ke generasi hingga dewasa ini. Aktivitas keseharian yang memiliki nilai-nilai budaya dalam masyarakat setempat ini mendapat perhatian sekaligus mengandung
permasalahan
yang
mempengaruhi
aktivitas
keseharian
masyarakat publik. Kebiasaan mengkonsumsi pinang oleh sebagian masyarakat publik modern dianggap sebagai kebiasaan yang jorok dan kontra produktif dengan arus global. Banyak plakat pada ruang publik seperti di pusat perbelanjaan, rumah sakit, hotel, supermarket, gedung perkantoran, pasar, dan tempat publik lainnya bertuliskan: “Dilarang Makan Pinang di Area Ini!” namun kebiasan ini tetap hadir tanpa terakomodir permasalahannya. Salah satu ruang publik di Papua adalah Manokwari. Kota yang merupakan Ibu Kota Kabupaten dan Ibu Kota Propinsi Papua Barat ini dalam satu dasawarsa terakhir ini mengalami perubahan struktur dan pembangunan infrastruktur dengan pesat. Upaya peningkatan dan pengangkatan sumber daya manusia serta eksplorasi sumber daya alamnya menggerakkan dinamika
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ipoleksosbud yang berakibat pada peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan masyarakat yang sekaligus memicu permasalahan kehidupan publik. Komposisi penduduk Kota Manokwari1 yang terdiri atas masyarakat Asli Manokwari dari suku Sough, Karon, Hatam, Meyah dan Wamesa, ditambah dari migrasi neto2 warga Papua pendatang (Serui, Biak Numfor, Waropen dan Wondama) serta dari luar pulau Papua; seperti Bali, Jawa, Maluku, Sulawesi, Sumatra, Ternate, Timor, serta pulau-pulau lainnya. Kondisi multikultur ini tersebut berpotensi mempengaruhi dinamika aktivitas masyarakat dalam proses pembentukan ruang publik Kota Manokwari. Dalam sejarahnya pada tanggal 8 Nopember 1898 Manokwari menjadi Pusat Pemerintahan Hindia Belanda untuk mengawasi wilayah Irian Jaya Bagian Utara, oleh karenanya sejak masa pemerintahan kolonial terjadi mobilisasi penduduk serta transformasi beragam budaya pada ruang-ruang publik yang secara berangsur mempengaruhi aktivitas masyarakat setempat. Dinamika budaya3 konsumsi pinang dalam masyarakat Papua di Kota Manokwari dewasa ini berjalan seiring dengan arus globalisasi yang membawa ragam; ideologi, konsep berpikir, gaya hidup, wacana, serta teknologi yang mengharuskan hadir dalam berbagai praktek dialektika negosiasi-negosiasi dalam forum ruang publik yang mencairkan (liquidity) atmosfer keseharian 1
Pada 3 wilayah distrik: Manokwari Barat, Manokwari Selatan, dan Manokwari Timur. Perubahan penduduk karena perpindahan dan kedatangan penduduk ke suatu daerah (KBBI: 954). 3 Sumber: www.KamusBahasaIndonesia.org; sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah sukar diubah. 2
2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
hidup warga masyarakat di Kota Manokwari. Ruang publik bukan lagi bersifat homogeneous akan tetapi berkembang dalam heterogeneous yang kompleks dengan berbagai aspek kehidupan. Pemanfaatan ruang-ruang geometris Kota Manokwari oleh warga masyarakat pada umumnya menandai adanya suatu proses pembentukan ruang publik dengan identitas dan karakternya yang terjadi seiring dengan dinamika pengoperasian strategi dan taktik dari seluruh elemen masyarakat. Praktek kreatifitas dalam dialektika negosiasi dilakukan untuk menguasai (dominasi dan hegemoni) ruang publik sesuai imaji serta wacana masing-masing. Situasi ini dapat dipahami dengan menggunakan pemikiran Miller4: “We are in a crisis of belonging, a population crisis, of who, what, when, and where. More and more people feel as though they do not belong. More and more people are seeking to belong, and more and more people are not counted as belonging. Cultural Citizenship is concerned with the way this crisis is both registered and held …” Melalui proses dialektika-dialektika dalam ruang publik tandingan (the counter public sphere) dalam arus globlaisasi yang bebas dan dinamis yang menawarkan ragam harapan dan keprihatinan publik akan terjadi proses pembentukan sebuah ruang publik baru, hingga mengubah serta membentuk sebuah identitas subyek kewargaan budaya yang baru pula.
4
Tobby Miller. 2007. Cultural Citizenship: Cosmopolitanism, Konsumenism, and Television in a Neoliberal Age. Philadelphia: Temple University Press, hal.1.
3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dalam kajian ini penulis lebih fokus pada fenomena budaya konsumsi pinang warga masyarakat di Kota Manokwari Papua Barat. Ketertarikan ini berawal dari peristiwa pengoprasian strategi pada tindakan manipulatif dalam bentuk represif dan penyeragaman dari relasi kekuasaan dengan kehendak dan kekuasaannya
terhadap
subjek-subyek
masyarakat
(seperti
pedagang,
komunitas budaya, lembaga masyarakat), sehingga membatasi aktivitas dan kreasi warga dalam keseharian hidup masyarakat di Papua.
Gambar.1. Larangan makan pinang pada lingkungan sekolah.5
Di dalam ruang publik Kota Manokwari, hampir setiap waktu terlihat pemandangan orang atau sekelompok orang sedang menikmati buah pinang. Di tepian jalan, di pojok ruangan perkantoran, rumah sakit, pasar, pos-pos ronda atau pun di dalam kendaraan-kendaraan umum, di jalan-jalan raya, terutama 5
Sumber: Dokumen pribadi peneliti.
4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pada tikungan-tikungan dengan mudah terlihat berhamburan tilas-tilas aktivitas mengkonsumsi pinang berupa ludahan pinang.
Gambar 2. Sebuah ember tempat membuang ludah pinang di Pasting Sanggeng Manokwari.6
Dari anak-anak sampai dengan orang tua, pelajar, mahasiswa, pemuka/tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat sampai para pejabat di Papua, meyakini beragam manfaat dari mengkonsumsi pinang bagi kehidupan sosial, budaya maupun ketubuhan. Mengkonsumsi pinang menjadi identitas bermakna dalam relasi kebersamaan. Proses komunikasi dalam relasi tersebut memungkinkan terbangun beragam wacana yang terlahir dari pengalaman, pemikiran, gagasan dan ide individu maupun kelompok, yang memberi ruang terjadinya dinamika
6
Dokumen pribadi peneliti.
5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kontestasi ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya dalam pusaran ruang publik kehidupan masyarakat Manokwari Fenomena sosial budaya tersebut memasuki wilayah kontestasi politik dan ekonomi pasar yang memungkinkan terbangunnya ketegangan sosial maupun individual, membangkitkan resistensi dan sekaligus negosiasi dalam kehidupan publik.
Aparatur birokrasi, elit politik, pengusaha, kebijakan
pemerintah, paradigma pembangunan, ideologi dan gaya hidup (life style) mempersepsi kota dengan berbagai bentuk dan praktek kekuatan struktural. Ruang Kota menjadi arena untuk memperjuangkan asosiasi bebas: “Ethics, pleasure and invention – these are the values that underwrite a practice that tries to open up a space for ‘free association’.”7 yang menjadi terkekang oleh karena adanya kontestasi pasar dan kekuasaan, dimana dialektika dan negosiasi menjadi representasi masing-masing kontestan dalam upaya mencapai nilainilai etika, kesenangan/pemuasan dan penemuan dalam bidang sosial, ekonomi, budaya dan kekuasaan politik. Represi dan perlawanan menjadi indikator adanya pelanggaran etika sosial yang mengusik kemapanan identitas masyarakat yang berpotensi memunculkan perlawanan (resistensi) dari
masyarakat budaya
untuk
mempertahankan identitas budayanya sebagai filosofi yang bermakna dalam kehidupan sehari-hari (everyday life) dalam masyarakat sosial dan budaya. 7
Ben Highmore. 2006. Michel de Certeau Analysing Culture. Continuum International Publishing Group, New York, hal. 149.
6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kota Manokwari sebagai ruang publik menjadi arena kontestasi forum subyek-subyek
dengan
ketegangan-ketegangan
yang
disebabkan
oleh
pertarungan strategi ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang berhadapan dengan taktik dari masyarakat mau pun individu dengan kultur masing-masing.
Makna-makna yang terkandung dalam tradisi kehidupan
sehari-hari masyarakat di Papua terkikis oleh klaim modernitas yang diwakili oleh aparat pemerintah, kapitalis, media, gaya hidup masyarakat serta regulasiregulasi yang diterapkan untuk kehidupan publik.
2. Tema Penelitian Budaya konsumsi pinang menjadi sebuah ruang dialektika yang mampu menggerakkan dinamika sosial, ekonomi, budaya dan politik dalam pembentukan ruang publik Kota Manokwari.
3. Rumusan Masalah Mencermati permasalahan di atas, tertengarai adanya krisis dan ancaman terhadap warga budaya konsumen pinang. Mobilitas ekonomi, sosial, religi, budaya serta politik dengan beragam agenda memasuki ruang publik yang membaur dalam kehidupan masyarakat Kota Manokwari, selanjutnya secara perlahan (evolutif) berangsur mengalami perubahan menuju pembentukan
7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ruang publik tempat seluruh warga masyarakat Kota Manokwari beraktivitas dalam kehidupannya sehari-hari. Memahami budaya konsumsi pinang yang berhadapan dengan arus modernitas, sehingga masuk dalam ranah kontestasi dengan ragam gaya hidup, mobilitas penduduk, komoditas ekonomi, regulasi dan kebijakan-kebijakan publik di Kota Manokwari, memunculkan beberapa pertanyaan akademik serta publik yang hendak dipahami dan dijawabi melalui kajian budaya ini: 1) Wacana dan kebijakan publik seperti apakah yang muncul dari budaya konsumsi Pinang di Manokwari? 2) Bagaimanakah pendapat masyarakat terhadap budaya konsumsi pinang di Kota Manokwari? 3) Bagaimanakah aktivitas mengkonsumsi pinang mampu berperan dalam pembentukan ruang publik kota Manokwari?
4. Tujuan Penelitian Tujuan yang akan dicapai melalui kajian budaya tentang Dinamika Budaya Konsumsi Pinang dalam Pembentukan Ruang Publik Kota Manokwari ini adalah; 1) Mendeskripsikan wujud dan berkembangnya budaya konsumsi Pinang dalam kehidupan masyarakat di kota Manokwari.
8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2) Menganalisa wacana serta imaji tentang budaya konsumsi Pinang yang terbangun dalam masyarakat publik Kota Manokwari. 3) Menggunakan konsep pemikiran Michel de Certeau tentang strategi dan taktik pada ruang publik tandingan untuk dapat mengartikulasikan dinamika budaya konsumsi pinang yang turut serta menjadi faktor dalam pembentukan realitas ruang publik kota Manokwari di Propinsi Papua Barat.
5. Manfaat Penelitian Sebagai sebuah fenomena sosial dan budaya, mengkonsumsi pinang dalam masyarakat Papua dihayati dalam dinamika heterogeneous budaya. Dinamika budaya ini membangkitkan keingitahuan mengenai hal-hal yang terjadi di dalamnya. Fenomena ini menarik untuk diamati dan dikaji yang diharapkan ada upaya-upaya analisis lanjutan, pencerahan terhadap intuisi, ideide baru, konsep-konsep tentang ruang publik yang baru, informasi dan perspektif yang baru, serta kebijakan publik yang lebih akomodatif terhadap obyek budaya masyarakat Papua dimaksud. Melalui Kajian Budaya (cultural studies) ini diharapkan dapat mengartikulasikan dinamika budaya mengkonsumsi pinang yang berkonstelasi dengan aparatus pemerintah, kapital modal, masyarakat sipil, dan media massa pada ruang publik tandingan (the counter public sphere) yang dapat turut
9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menggerakkan eskalasi sosial, ekonomi, budaya dan politik, sehingga berperan dalam pembentukan ruang publik Kota Manokwari. Oleh karenanya kajian budaya yang menitik beratkan perhatian pada usaha pemahaman sekaligus mencari peluang pemanfaatan ruang publik Kota Manokwari ini diharapkan dapat: 1) Mendorong pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu kemanusiaan, bagi warga masyarakat heterogeneous budaya, agar dapat mengedepankan kebijakan budaya (cultural policy) yang dapat mengakomodir kebutuhan indigeneous budaya masyarakat setempat. 2) Membuka wacana pengetahuan (gnostic) akan adanya wandering of the semantics sebagai serangkaian pesan bermakna yang berhamburan dalam kesengkarutan perjalanan (trajectory) keseharian hidup masyarakat, sehingga mampu menjadikan subyek-subyek visioner
yang dapat
berpartisipasi sebagai creatoris ruang tak terbatas untuk mengakomodir bagi asosiasi bebas warga masyarakat. 3) Memberi kontribusi dalam perdebatan akademik tentang konsep strategi dan taktik yang ada dalam kontestasi kehidupan (pragmatis), yang sekaligus menjadi dasar untuk mengapresiasi dan penyusunan strategi kebijakan selanjutnya atas kegagalan maupun keberhasilan pembentukan ruang publik Kota Manokwari.
10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6. Kajian Pustaka Dewasa ini ruang publik semakin menjadi perhatian dari dunia internasional, pemerintahan negara-negara, pemerintah daerah, hingga unit-unit wilayah yang dekat dengan lapisan masyarakat yang sekaligus menjadi kebutuhan bagi masyarakat publik. Masyarakat membutuhkan ruang publik sebagai tempat beraktivitas, mengekspresikan diri, bekerja untuk mencari nafkah, rekreasi atau pun menjalin relasi sosial dengan sesamanya. Dalam sebuah tulisan yang bertopik Hidden-Order dan Hidden-Power pada Ruang Terbuka Publik, Studi Kasus: Lapangan Cikapundung Bandung, RR. Dhian Damajani8 memberikan simpulan penelitiannya di tahun 2007, bahwa: “Konfigurasi ruang secara alamiah akan berubah sesuai situasi dan kondisi yang ada. Ruang fisik tidak menjadi batasan untuk tetap dapat melakukan aktivitas. Dengan kata lain, ruang fisik dapat “berubah bentuk” sesuai dengan konteksnya. “Peristiwa” yang dikonstruksi oleh para aktor mempunyai posisi yang lebih utama dibandingkan dengan wujud spasialnya.”9 Studi kasus pada Lapangan Cikapundung Bandung di atas memberikan pemikiran adanya kemungkinan proses perubahan bentuk dari ruang publik
8
Pengajar Program Studi Arsitektur, Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung. 9 RR. Dhian Damajani. 2007. Jurnal Institut Teknologi Bandung (ITB). Hidden-Order dan Hidden-Power pada Ruang Terbuka Publik, Studi Kasus: Lapangan Cikapundung, Bandung . J. Vis. Art. Vol. 1 D. No. 3, hal. 334.
11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kota Manokwari yang dikarenakan oleh kebiasaan, tradisi, adat istiadat atau pun sebagai budaya mengkonsumsi pinang, karena eksistensinya akan mampu turut serta dalam proses pembentukan ruang publik Kota Manokwari. Karena berdasarkan kenyataan lapangan di atas yang walau pun tidak sejalan dengan konsep modernitas dengan suatu imaji kota bersih, rapi dan teratur; masyarakat konsumen pinang di sekitar Kota Manokwari pun dapat menjadi aktor yang dapat mengkonstruksi konfigurasi ruang publik Kota Manokwari yang baru. Cara berpikir tersebut membantu untuk menjelaskankan adanya suatu dinamika budaya konsumsi pinang yang selama ini dipandang menjadi biang berbagai permasalahan sosio-kultural di sekitar ruang publik Kota Manokwari, yang berkaitan dengan kompleksitas persoalan-persoalan latar belakang masyarakat, arus global, serta mobilisasi penduduk yang secara evolusi turut serta dalam proses pembentukan kota sebagai ruang publik berkelanjutan. Imaji ruang publik Kota Manokwari dalam hal ini tidak bisa terlepas dengan potret keseharian perjuangan mama-mama Papua yang berjualan pinang atau pun yang dengan berjejer menggelar karung-karung plastik untuk meletakkan barang-barang dagangan yang berupa hasil kebun di sepanjang pinggiran jalan mau pun teras pasar. Sedangkan para pedagang ‘pendatang’ berjualan dengan menempati kios/los yang lebih mapan. Keadaan yang digambarkan dalam Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, dalam topik
12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Siasat Rakyat di Garis Depan Global: Politik Ruang Pasar dan Pemekaran Daerah di Tanah Papua oleh I Ngurah Suryawan: “…mengeksplorasi kondisi pasar tradisional di Papua, khususnya di Pasar Sanggeng dan Wosi di Kota Manokwari, Papua Barat dan posisi mama-mama Papua dalam merebut akses berjualan di pasar tersebut. … ruang-ruang publik termasuk pasar dan daerah-daerah baru sebagai hasil dari pemekaran daerah menjadi arena baru perebutan kekuasaan ekonomi politik yang dimainkan oleh para elit-elit lokal dengan mengatasnamakan “rakyatnya” masing-masing, pemerintah Indonesia, para pendatang yang mengadu nasibnya di Tanah Papua, dan jejaring investasi global dalam berbagai bentuk dan “wajah-wajahnya” yang saling menipu untuk memanfaatkan peluang, keuntungan, dan 10 kekuasaannya.” Di tengah ekspansi kolonialisasi, pasar global, kapitalisasi dan birokrasi pemerintah yang berkuasa, budaya mengkonsumsi pinang tetap eksisten dalam proses interaksi dan komunikasi yang mampu membangun opini dan wacana publik. M. Sastrapratedja, Guru besar pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta memotret kembali ‘public sphere’ Kota Paris dan London dalam rentang waktu akhir abad 17 dan awal abad 18 yang sedang terjadi kembali pada lingkungan masyarakat kita pada saat sekarang: “… ruang publik itu mewujudkan gagasan mengenai komunitas warganegara, berkumpul bersama sebagai orang yang sederajat dalam suatu forum masyarakat sipil, berbeda
10
I Ngurah Suryawan. 2013. KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII, No. 1. Siasat Rakyat di Garis Depan Global: Politik Ruang Pasar dan Pemekaran Daerah di Tanah Papua. Salatiga: Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana, hal. 64-65.
13
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dari otoritas negara dan ruang privat keluarga. Forum itu membentuk opini publik melalui debat rasional.”11 Pemikiran di atas meyakinkan anggapan dasar penulis tentang dinamika budaya mengkonsumsi pinang, di mana komunitas warga masyarakat berkumpul dan berkomunikasi (share) sebagai orang yang sepengalaman dalam kehidupan, sehingga melahirkan harapan, pandangan, pendapat, ide-ide dan penilaian yang melalui aktivitas keseharian dalam semua bentuk relasi dengan yang lain (the other) untuk mewujudnyatakan idealism sebuah kota sebagai ruang publik bersama. Menggunakan pemikiran Mudji Sutrisno dalam tulisannya bertajuk Krisis Ruang Publik Kultural, potret ruang publik yang dinarasikan oleh Suryawan di atas dapat menghantar kepada pemikiran untuk mempertanyakan hadirnya fenomena modernitas, dalam arti rasionalitas ekonomi modern akan menggusur dan menggantikan konsep serta sistem ekonomi tradisional suatu masyarakat. Mudji Sutrisno menyorot: “… soal penghayatan ruang bersama yang bergeser dari makna kultural menjadi ekonomis serta apa yang berebut dan siapa yang memperebutkan ruang bersama itu; kekuatankekuatan manakah sehingga para pemilik awal yang semula aktif kini menjadi penonton pasif ? … Atau lebih tandas lagi, kini penonton-penonton itu sudah dijadikan obyek konsumsi 11
F. Budi Hardiman (ed.). 2010. Ruang Publik. Melacak Partisipasi Demokratis dari Polis sampai Cybercpace. Ruang Publik dan Ruang Privat dalam Tinjauan Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, hal. 271.
14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
atau sekedar konsumen karena ruang bersama di dominasi oleh pemodal?”12 Pada giliran selanjutnya, muncul regulasi-regulasi yang merupakan bahasa kebijakan, menuntut penyeragaman budaya pada ruang publik kota justru memperjelas hadirnya sikap diskriminatif dalam memberikan penilaian, stigma, dan justification terhadap indigenous budaya mengkonsumsi pinang dalam masyarakat Papua di Manokwari. Sikap dan kebijakan publik yang mengintervensi praktek budaya lokal – mengkonsumsi pinang – telah mengekang dan mempersempit ruang gerak asosiasi bebas warga konsumen buah pinang, sehingga mengancam keberlangsungan kultur dalam relasinya dengan kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Papua. Hal ini merupakan indikasi adanya persoalan kehidupan budaya yang diakibatkan dari kontestasi hegemoni dalam mobilitas sosial, ekonomi, budaya serta politik pada forum publik. Kesenjangan ekonomi, sosial politik dan budaya warga Papua telah menjadi bahan perbincangan serius; kesenjangan antara warga asli dan pendatang menjadi sebuah potret Papua yang memprihatinkan. Tim Jurnalis
12
Ibid. hal.282.
15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kompas13 melalui ekspedisi lapangan pada tahun 2007 memberikan laporannya: “… perekonomian rakyat Papua bisa dikatakan jalan di tempat. Di berbagai wilayah, mulai dari Teluk Bintuni hingga Merauke, memang terlihat ada kemajuan pembangunan fisik. Namun yang lebih berperan dalam pembangunan dan menikmati kemajuan itu adalah para pendatang, terutama mereka yang berasal dari Buton, Bugis, dan Makassar (Sulawesi), yang lebih dikenal dengan istilah BBM. Orang asli Papua, terutama mama-mama, pada umumnya hanya mampu berdagang seadanya, seperti menjual pinang-sirih, sayuran, dan ikan di sekitar pertokoan yang dimiliki pendatang.” Otoritas kampung sebagai ruang sosial tak terbatas telah mengalami pergeseran yang diakibatkan oleh adanya dominasi (hegemonisasi) kekuatan baru (modernitas). Suatu proses pergerseran otoritas sosial: “… the old regime no longer had the authority it had once commanded: consequently it could no longer hold fast against further changes.” (Buchanan. 2000:2) yang muncul dengan suatu perubahan otoritas kota sebagai ruang sosial terbatas, sehingga melahirkan suatu kampung dalam kota yang mempersempit ruang gerak praktek kultur masyarakat setempat. Kampung dalam kota merujuk pada suatu habitat kehidupan sosial yang khas, tempat membentuk pengalaman subjektif orang-orang dan kelembagaan yang ada di dalamnya. Habitat ini terbangun karena adanya mobilitas kaum 13
Fandri Yuniarti (ed). 2009. Ekspedisi Tanah Papua Laporan Jurnalistik Kompas. Terasing di Tanah Sendiri. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hal. xii.
16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
migran, yakni para pendatang yang mempersepsi dirinya sebagai pelaku-pelaku ekonomi pasar atau pun pegawai (abdi) keprajaan pada suatu ruang publik yang telah berdomisili masyarakat setempat dengan kultur kesehariannya. Keadaan ini menyuburkan dinamika kontestasi dalam ruang publik dengan ketidakteraturan dan ketegangan. Wacana-wacana kritis di atas menjadi alasan-alasan diperlukannya memperhatikan serta memberi tempat (akomodasi) bagi upaya-upaya pelestarian indigeneous budaya masyarakat yang merupakan bagian dari kearifan lokal dalam masyarakat Papua yang mengandung nilai dan makna dalam keseharian hidup mereka. Maka melalui kajian ini diharapkan akan dapat membantu mengartikulasikan sisi dinamika budaya mengkonsumsi pinang dalam proses pembentukan ruang publik Kota Manokwari.
7. Kajian Teori Untuk mengkaji topik di atas penulis mempergunakan konsep-konsep pemikiran (teori) kajian budaya dari Michel de Certeau (1984) yang berjudul The
Practice
of
Everyday
Life,
sebuah
karya
akademik
mengkombinasikan dengan praktek kehidupan sehari-hari.
yang
Dalam kaitan
dengan dinamika budaya mengkonsumsi pinang pada proses pembentukan ruang publik Kota Manokwari, penulis mengkorelasikan distingsi yang
17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dibangun oleh Certeau mengenai strategi-strategi kekuasaan dan taktik-taktik perlawanan yang terjadi dalam ruang publik tandingan. Pembentukan ruang publik kota selalu menghadirkan opini, wacana serta regulasi dari pemangku otoritas wilayah (rezim penentu) yang mempunyai otoritas dominan dalam keseharian hidup masyarakat setempat. Kebijakan publik yang terwujud dalam regulasi serta komitmen bersama, keduanya terangkai dalam sistem administrasi publik: “Administration is combined with a process of elimination in this place organized by "speculative" and classificatory operations. On the one hand, there is a differentiation and redistribution of the parts and functions of the city, as a result of inversions, displacements, accumulations, etc.; on the other there is a rejection of everything that is not capable of being dealt with in this way and so constitutes the "waste products" of a functionalist administration (abnormality, deviance, illness, death, etc.). To be sure, progress allows an increasing number of these waste products to be reintroduced into administrative circuits and transforms even deficiencies (in health, security, etc.) into ways of making the networks of order denser.”14
Reimagine
dalam
pemikiran
Michel
de
Certeau
untuk
proses
pembentukan sebuah ruang publik kota sarat dengan dinamika: “They move even the rigid and contrived territories of the medico-pedagogical institute in which retarded children find a place to play and dance their "spatial stories. These "trees of gestures" are in movement everywhere. Their forests walk 14
Michel de Certeau. 1984. The Practice of Everyday Life. University of California Press, Berkeley, hal. 94-95.
18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
through the streets. They transform the scene, but they cannot be fixed in a certain
place
by
images.”(Certeau.1984:102).
Subyek-subyek
hadir
mentransplantasi, membawa pergi retoris dan menggusur analitis, sehingga dalam kaitan dengan urbanisme hadir wandering of the semantics yang terproduksi oleh massa. Hal tersebut membuat beberapa bagian dari ruang publik menjadi hilang, distorsi, terpecah-belah, serta mengalihkan keteraturan gerak menjadi kesengkarutan. Keadaan tersebut justru memberi keuntungan kepada pihak yang mampu memainkan strategi dan taktik untuk menguasai keadaan ruang publik dalam rangka pencapaian suatu tujuan. Proses pergeseran (penyingkiran) pada ruang publik selalu dalam klasifikasi gerak sosial masyarakat yang bersifat spekulatif. Pembedaan dan pembagian-pembagian fungsi kota yang diakibatkan oleh pembalikan, perpindahan, dan akumulasi pergeseran-pergeseran akan mengusik eksistensi kultur suatu masyarakat yang telah mapan. Proses ini menjadi suatu resistensi yang disebabkan oleh pertemuan tindakan penekanan (represi) dan perlawanan terkait dengan eksistensi budaya mengkonsumsi pinang dalam keseharian masyarakat. Suatu proses yang memicu ketidak-nyamanan situasi sosial yang disebabkan oleh pelanggaran etika sosial. Dengan modus penyeragaman budaya untuk sebuah gaya hidup keseharian dengan konsep-konsep modernitas oleh subyek dominan terhadap subyek masyarakat yang masih dinilai (dianggap) kolot dan tidak modern, yang
19
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ditandai dengan regulasi dan wacana, maka akan terbentuk imaji ruang publik sebagaimana diinginkannya. Proses perjalanan situasi sejarah ini menurut Benedict Anderson merupakan “alur pertumbuhan yang mungkin dapat dinamai ‘sejarah komparatif’ yang pada gilirannya menuntun orang ke arah konsepsi yang sampai saat itu belum pernah didengar orang, ‘kemodernan’ yang diperlawanakan dengan ‘zaman kuno’ (antiquity), niscaya tak menguntungkan bagi yang disebut belakangan tadi.”15 Sebagaimana situasi sengkarut sebuah ruang publik kota yang digambarkan oleh Michel de Certeau: "The city," like a proper name, thus provides a way of conceiving and constructing space on the basis of a finite number
of
stable,
isolatable,
and
interconnected
properties.”
(Certeau.1984:94). Demikian pula dalam realitasnya di Kota Manokwari semua predikat dan fungsi yang beragam dapat berasosiasi atau pun justru memisahkan diri, sehingga kota sebagai ruang publik bersama menyajikan berbagai peristiwa dengan ketidakstabilan, diisolasi, properti yang masingmasing saling berhubungan serta memiliki beragam makna. Maka kota menjadi sebuah ruang pengucapan ketiga: “The intervention of The Third Space of enunciation, which makes the structure of meaning and reference an ambivalent process, destroys this mirror of representation in which cultural knowledge is customarily revealed as an integrated, open, 15
Benedict Anderson. 2001. Imagined Communities. Komunitas - Komunitas Terbayang. Yogyakarta: INSIST, hal. 102.
20
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
expanding code.”(Bhabha. 1994:54), sehingga ruang publik Kota Manokwari realitasnya menjadi sebuah tempat pertandingan (the counter public sphere) di antara otoritas-otoritas subyek peserta kontestasi. Ruang publik kota menjadi arena dengan ketegangan yang disebabkan adanya dinamika negosiasi dan perlawanan dari berbagai otoritas subyek. Beragam bentuk dan praktek kekuatan struktural; aparatur birokrasi, elit politik, pengusaha, warga masyarakat, serta hadirnya kebijakan pemerintah, paradigma pembangunan, ideologi dan dominasi gaya hidup di dalam masyarakat, berlomba mempersepsi kota sebagai ruang sosial tak terbatas Kontestasi dengan berbagai dialektika negosiasi pada ruang publik tandingan (the counter public sphere) tidak berhenti dengan penerapan strategi dan taktik, menurut Certeau dalam prosesnya sangat mungkin terjadi penjungkirbalikan posisi kontestan sebagai pemegang dominasi: “By contrast with a strategy (whose successive shapes introduce a certain play into this formal schema and whose link with a particular historical configuration of rationality should also be clarified), a tactic is a calculated action determined by the absence of a proper locus. No delimitation of an exteriority, then, provides it with the condition necessary for autonomy. The space of a tactic is the space of the other.”16 Oleh karenanya pemakai strategi sangat mungkin harus menerima kekalahan dan harus berganti menerapkan taktik.
16
Ibid. hal. 36-37.
21
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Strategi bermain dalam struktur resmi yang dilatarbelakangi rasionalisasi sejarah yang dapat diklarifikasi, sebaliknya taktik terlahir ditentukan oleh locus ruang lain yang berada di bawah otoritas pemakai strategi. Taktik bermain pada arena organisasi (management) kekuatan asing yang dominan. In short, a tactic is an art of the weak.17 Karena taktik terlahir sangat ditentukan oleh ketiadaan kekuasaan,
sedangkan
strategi
diselenggarakan
berdasarkan
postulat18
kekuasaan. Pembentukan sebuah ruang publik selalu terjadi dalam suatu proses interaksi sosial, dimana subyek-subyek saling membagi pengetahuan sehingga membentuk suatu karakter yang akan melahirkan idea dan pengetahuan tentang dunia sosial dengan ragam wujud, suasana, jenis serta ukuran ruang publik sebagai ruangan tak terbatas. Dalam hal tersebut, Certeau menguraikan konsep pemikirannya: “It would be legitimate to define the power of knowledge by this ability to transform the uncertainties of history into readable spaces. But it would be more correct to recognize in these "strategies" a specific type of knowledge, one sustained and determined by the power to provide oneself with one's own place. … It makes this knowledge possible and at the same time determines its characteristics. It produces itself in and through this knowledge.”19
17
Ibid. hal. 37. Postulat adalah asumsi yang menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu membuktikannya; anggapan dasar; aksioma. 19 Ibid. hal. 37. 18
22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tentang terbentuknya suatu ruang publik kota, pada buku The Practice of Everyday Life dalam sub judul Walking in The City, Certeau memberikan konsep pemikirannya dalam 3 (tiga) prasyarat operasional untuk terbentuknya sebuah kota yang ideal sebagai ruang publik; (1) Produksi ruang dengan cara mengorganisasi secara kompromis dalam pengelolaan fisik, mental dan situasi politik; (2) Sinkronisasi sistem dengan suatu keberanian untuk keluar dari kebiasaan dalam mengelola dan memanfaatakan peluang dari potensi resistensi; pembatasan taktik, penyimpangan dan reproduksi kekeruhan sejarah; 3) Menciptakan subjek universal yang anonim dalam sebuah kota, yang berupa atribut-atribut serta model politik.20
8. Metode Penelitian Pengkajian budaya yang mengambil topik Dinamika Budaya Konsumsi Pinang dalam Pembentukan Ruang Publik Kota Manokwari dilakukan pada lingkup kehidupan sehari-hari masyarakat di Kota Manokwari, secara lebih khusus membatasi pada kebiasaan (tradisi) mengkonsumsi pinang yang telah membudaya dalam keseharian masyarakat Papua. Budaya mengkonsumsi pinang tetap bertumbuh kembang dalam arus modernitas yang telah memasuki keseharian hidup daam masyarakat
20
Disarikan dari: Michel de Certeau. 1984. The Practice of Everyday Life. University of California Press, Berkeley. p.94.
23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Manokwari. Menurut Saukho dalam bukunya yang berjudul Doing Research in Cultural Studies, pertumbuhan suatu sebuah tradisi/budaya masyarakat yang berkembang dalam era globalisasi digambarkan pada posisi: “… between two currents in empirical research in cultural studies that were interested in either the microcosmos of individual experience or the macrocosmos of global, economic powerstructures (Saukko,1998).”21 Dalam perkembangan budaya tersebut akan menghadirkan berbagai pengalaman individu mau pun komunitas masyarakat setempat, masyarakat migran, atau masyarakat urban yang ada di Kota Manokwari Papua Barat. Untuk memperoleh data dan informasi lapangan dalam rangka penelitian dan pengkajian budaya mengkonsumsi pinang, penulis menggunakan teknik pendekatan dengan metodologi yang didasarkan dari pemikiran-pemikiran Michel de Certeau dalam bukunya The Practice of Everyday Life pada bagian VII (Walking in the City). Dengan metodologi ini bertujuan untuk mengartikulasikan wandering of the semantics22 (Certeau 1994:102); menemukan serta membaca strategies dan tactics yang dipergunakan oleh subyek-subyek pada lintasan yang tak teratur pada ruang publik masyarakat urban; untuk melakukan penyelidikan (eksplorasi) dan penggarapan (elaborasi) dari pengalaman-pengalaman hidup masyarakat dalam proses pembentukan
21
Paula Saukko. 2003. Doing Research in Cultural Studies. An Introduction to Classical and New Methodological Approaches. London. Thousand Oaks. New Delhi : SAGE Publications, hal. 5-6. 22 Istilah yang dipakai oleh Derrida. (Marges, 287, on metaphor.)
24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kota Manokwari sebagai ruang publik berkelanjutan. Dengan metode ini pejalan kaki/walker (peneliti: saya) bermaksud menemukan makna serta pesan yang simpang siur dari ruang publik (territorial) Kota Manokwari tempat warga masyarakat budaya konsumsi pinang masih hadir dengan eksistensinya. Metodologi tersebut mendapatkan sebuah apresiasi dari Highmore: “I want to show how the methodology of de Certeau is always also social. Explicating his work of cultural policy is a way of making vivid something that is already there in the historiography, in the contemporary ethnology.”23 Metodologi Walking in the City terinspirasi dari sebuah mitologi Yunani; tentang sosok heroik Icorus yang dipandang sebagai tokoh simbol yang memiliki keberanian dalam mengeksplorasi hal-hal yang baru, manusia dewa (bersayap) tukang intip yang dalam posisi terbangnya mampu mengamati obyek sesuai dengan tujuannya. Melalui metodologi
Walking in the City,
walker menjadi pengamat sekaligus peneliti dengan menggunakan teknik/cara untuk melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam ruang publik secara lebih detail dan menyeluruh – bahkan tanpa harus memilih pada suatu obyek dengan klasifikasi tertentu – pada yang tak teratur, kotor, tidak normatif atau pun perihal yang tidak pernah dianggap umum dan wajar oleh penilaian publik sekalipun. Dengan nongkrong, bertergur sapa, ikut ngobrol tanpa ujung pangkal dari topik ringan sampai yang serius, peneliti bisa mendengar, 23
Ben Highmore. 2006. Michel de Certeau Analysing Culture. Continuum International Publishing Group, New York, hal. 150.
25
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengiyakan, sambil memperhatikan berbagai kejadian sepanjang perjalanan (trajectory) dalam kerumunan orang, Dari setiap yang dipandang, didengar, tercium dan terasakan sepanjang perjalanan peneliti dalam keseharian hidup warga masyarakat Manokwari, penulis berkesempatan mendapatkan informasi dan pesan-pesan bermakna dapat untuk dijadikan bahan kajian karya tulis ini. Voyeurisme24 icorian menjadi sebuah karakter yang memiliki dorongan tidak terbatas, dengan secara diam-diam mengintip, mengamati dan memperhatikan secara seksama untuk memperoleh masukan berupa informasi dan data dari peristiwa-peristiwa pada ruang publik yang diamati, sehingga mendapatkan pemenuhan rasa puas atas kebutuhan dan keinginannya. Demikian pula dengan berjalan kaki (blusukan), akan menjadi subyek yang berkemungkinan menyerap beragam pesan dari kejadian-kejadian di sepanjang dan selebar (ruang) kota. Menurut Certeau, Walker dapat mendekat atau pun menjauh dari apa yang ada dan terjadi, bahkan dapat terlibat langsung atau pun hanya mengamati dari kejauhan seperti dewa: “An Icarus flying above these waters, he can ignore the devices of Daedalus in mobile and endless labyrinths far below. His elevation transfigures him into a voyeur. It puts him at a distance. It transforms the bewitching world by 24
Voyeurisme adalah sebuah kelainan jiwa, di dunia kedokteran dikenal sebagai istilah skopofilia. Ciri utama voyeurisme adalah adanya dorongan yang tidak terkendali untuk secara diam-diam mengintip atau melihat seseorang yang sedang telanjang, menanggalkan pakaian atau melakukan kegiatan seksual, yang berlainan jenis atau sejenis tergantung orientasi seksualnya.
26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
which one was "possessed" into a text that lies before one's eyes. It allows one to read it, to be a solar Eye, looking down like a god. The exaltation of a scopic and gnostic drive: the fiction of knowledge is related to this lust to be a viewpoint and nothing more.”25 Pejalan kaki dapat menempatkan diri dalam berbagai posisi yang memungkinkan untuk mendapatkan pengelihatan (visi) dan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Pesan-pesan tersebut akan bertransformasi dalam diri sehingga menjadikannya sebagai seorang visioner. On the 110th floor, a poster, sphinx-like, addresses an enigmatic message to the pedestrian who is for an instant transformed into a visionary: It's hard to be down when you're up. (Certeau.1984:92)26. Untuk mendapatkan informasi dan data yang sahih penulis hadir dan masuk dalam dinamika kehidupan warga masyarakat Numfor, Wondama serta warga asli Papua lainnya yang pada umumnya memiliki kebiasaan mengkonsumsi pinang buah mau pun pinang kering (gebe) di sekitar Kota Manokwari Papua Barat. Kebiasaan yang telah membudaya ini merupakan identitas simbolik yang memiliki makna dan kekuatan persaudaraan di antara mereka.
25 26
Ibid. hal. 92. Ibid. hal. 92.
27
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dengan nongkrong, bertergur sapa, ikut ngobrol tanpa ujung pangkal dari topik ringan sampai yang serius, peneliti bisa mendengar, mengiyakan, sambil memperhatikan berbagai kejadian sepanjang perjalanan (trajectory) dalam kerumunan orang, Dari setiap yang dipandang, didengar, tercium dan terasakan sepanjang perjalanan peneliti dalam keseharian hidup warga masyarakat Manokwar, penulis berkesempatan mendapatkan informasi dan pesan-pesan bermakna dapat untuk dijadikan bahan kajian karya tulis ini. Posisi peneliti menjadi pengamat (observator), pelaku yang terlibat dalam obrolan bersama mama-mama penjual pinang serentak mendapatkan informasi, pengetahuan, makna, serta pesan-pesan yang terkandung dalam ragam peristiwa, yang kemudian mewacanakannya27 melalui proses pencarian relasi kasualitas dari realita-realita yang ada. Dengan cara demikian, walker menjadi penonton dan pemerhati yang berkesempatan menyesuaikan dengan posisi dekat atau pun jauh dengan subyek serta obyek yang diamatinya dalam jarak seperlunya. Proses ini menjadi teknik mendapatkan visi dan pesan untuk dijadikan bahan kajian dan penyusunan karya tulis ini. Informasi dan data lapangan selanjutnya dipertajam dengan hasil dokumentasi visual dan wawancara lapangan terhadap berbagai pihak yang sependapat, berselisih, dan bahkan dengan pihak yang selalu berbeda dalam cara pandang maupun pun orientasi kemanfaatan dari kebiasaan mengkonsumsi 27
Kemampuan atau prosedur berpikir secara sistematis; kemampuan atau proses memberikan pertimbangan berdasarkan akal sehat. (KBBI: 1612).
28
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
buah pinang. Perihal tersebut terjadi dalam keseharian hidup warga masyarakat yang berkonstelasi dalam ranah operasional komoditas ekonomi perdagangan pinang pada locus ruang publik Kota Manokwari. Dengan segala keterbatasan, pejalan kaki tidak akan mampu secara penuh (totality) terlibat aktif dengan yang ditemuinya, namun yang bersangkutan mempunyai kesempatan menjadi seorang vision atau pun creator untuk situasi yang diidealkan pada masa selanjutnya. Karakter tersebut menjadi acuan dasar melakukan penelitian guna mendapatkan data-data lapangan untuk diklarifikasi dan analisa, sehingga menjadi sebuah pesan bermakna. Pesan bermakna tersebut menjadi dasar pembuatan sebuah teks cultural policy yang akan digunakan dalam membangun dan mengubah (menyihir) suatu ruang publik menjadi sebuah kota impian: “he ended by hoping for a 'nouveau monde' de l'Esprit".28 Upaya mendapatkan data dan informasi lapangan dalam penelitian kajian budaya ini dengan teknik wawancara, pemotretan visual, serta studi kepustakaan dengan pendekatan sebagai berikut; 1) Pendekatan Fenomenologis Pendekatan ini menurut Moleong dalam buku Metodologi Penelitian Kualitatif merupakan tradisi penelitian kualitatif yang “… berusaha 28
Peter Burke. 2002. The Art of Re-Interpretation Michel de Certeau. A Journal of Social and Political Theory, No. 100, History, Justice and Modernization, hal. 30.
29
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi tertentu. … Yang ditekankan oleh kaum fenomenologis ialah aspek subyektif dari pelaku orang.”29 Tradisi mengkonsumsi pinang dalam masyarakat tradisional Papua merupakan fenomena sosial-budaya yang sarat dengan makna dalam keseharian hidup masyarakat setempat. 2) Pendekatan Etnografis Pendekatan ini merupakan sebuah teknik peneliti dan pengamat dalam mempelajari kehidupan sosial dan budaya suatu masyarakat, yakni budaya mengkonsumsi pinang yang memiliki keterkaitan (konstelasi) dengan subyek-subyek yang ada pada ruang publik Kota Manokwari. Berkaitan dengan topik penelitian tentang dinamika budaya konsumsi pinang dalam proses pembentukan ruang publik Kota Manokwari, maka informasi dan data didapatkan pada: 1) Kelompok, lokasi dan responden/informan penelitian; a. Dewan Adat Masyarakat Manokwari b. Masyarakat publik Kota Manokwari. c. Penjual pinang di Kota Manokwari d. Masyarakat konsumen pinang di Kota Manokwari30. e. Pemerhati masyarakat Papua
29 30
Lexy J. Moleong. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, hal. 9. Pada lingkup 3 distrik: Manokwari Barat, Manokwari Timur dan Manokwari Selatan.
30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2) Penelitian Kepustakaan; a. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma b. Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Manokwari c. Artikel dan jurnal yang berkaitan dengan topik penelitian 3) Sumber-sumber data yang bersifat sekunder didapatkan dari; a. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Manokwari b. Dinas Perdagangan dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Kabupaten Manokwari c. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Manokwari d. Badan Pusat Statistik Kabupaten Manokwari e. Stasiun Regional RRI Manokwari. f. Distributor dan pelaku bisnis perdagangan rokok g. Website yang berkaitan dengan topik penelitian dan pengkajian.
9. Sistimatika Penulisan Hasil kajian melalui penelitian lapangan ini disusun dalam 5 (lima) bab. Bab I adalah Pendahuluan yang berisikan latar belakang, tema penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, pentingnya penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis serta metode penelitian.
31
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pada bab II akan mengurai tentang konteks wacana budaya konsumsi pinang di sekitar Kota Manokwari Propinsi Papua Barat. Sub bab pertama dipaparkan informasi tentang budaya konsumsi pinang di kepulauan Nusantara (Indonesia), sub bab kedua tentang keadaan umum ruang publik Kota Manokwari sebagai locus kajian budaya konsumsi pinang, dan pada sub ketiga membahas wacana modernitas sebagai latar kebijakan publik dari sudut pandang kebiasaan mengkonsumsi pinang pada ruang publik di Kota Manokwari. Dalam bab III akan dipaparkan perolehan data dan informasi dari lapangan penelitian; konstelasi budaya konsumsi pinang dengan ruang publik, imaji tentang konsumsi pinang dalam masyarakat asli dan pendatang di Papua, keberbedaan idealisme dan citra kota modern yang melahirkan kontestasi, konflik, kebijakan publik, serta dialektika negosiasi pada ruang publik Kota Manokwari. Pada bab IV akan diuraikan jawaban atas rumusan masalah berkaitan dengan ragam opini dan wacana publik tentang budaya mengkonsumsi pinang dalam keseharian masyarakat di Kota Manokwari. Melalui analisa, interpretasi dan refleksi, penulis berupaya mengartikulasikan fenomena budaya konsumsi pinang dalam masyarakat di Kota Manokwari dalam rentang tahun 2010 hingga tahun 2015 telah menjadi ruang pengucapan ketiga (the Third Space of
32
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
enunciation)31 sebagaimana digagas oleh Homi K. Bhabha yang menjadi unsur pembentuk realitas ruang publik Kota Manokwari di Propinsi Papua Barat. Pada bab ini juga berisikan tentang pokok-pokok pemikiran Certeau dalam The Practice of Everyday Life (1984) tentang dinamika negosiasi strategi dan taktik untuk mewujudkan kemapanan dan ranah operasional sebuah kota menjadi dasar analisa serta penjabarannya. Apresiasi dan pemikiran Ian Buchanan (2000): Michel de Certeau Cultural Theorist; Ben Highmore (2006): Michel de Certeau Analysing Culture serta tulisan pemikir akademik lainya. Bab kelima berisi kesimpulan dari seluruh hasil kajian budaya ini.
31
Homi. K. Bhabha. 2007. The Location of Culture. London and New York: Routledge, hal. 54.
33
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II WACANA BUDAYA KONSUMSI PINANG
Pada bab kedua ini akan mengurai tentang konteks wacana budaya konsumsi pinang di sekitar Kota Manokwari Propinsi Papua Barat. Sub bab pertama dipaparkan informasi tentang budaya konsumsi pinang di kepulauan Nusantara (Indonesia), sub bab kedua tentang keadaan umum ruang publik Kota Manokwari sebagai locus kajian budaya konsumsi pinang, dan pada sub ketiga membahas wacana modernitas sebagai latar kebijakan publik dari sudut pandang kebiasaan mengkonsumsi pinang pada ruang publik di Kota Manokwari.
1. Budaya Konsumsi Pinang 1) Buah Pinang1 Tumbuhan pinang tersebar dan dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat di kawasan Asia. Dalam Jurnal Phytotaxa, Prof. Charlie D. Heatubun2 mengurai persebaran beragam spesies tumbuhan pinang di Kepulauan New Guinea (Papua) dan Salomon yang berasal dari India dan China bagian Selatan melaui Malaysia: “The palm genus Areca Linnaeus (1753: 1189) is distributed from India and South China through Malesia to New Guinea and 1 2
Latin: areca catechu; Inggris: betel palm / betel nut tree. Guru Besar Fakultas Kehutanan, Universitas Negeri Papua (UNIPA) di Manokwari Papua Barat.
34
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
the Solomon Islands (Dransfield 1984, Dransfield et al. 2008), and contains approximately 50 species (Henderson 2009).”3 Pinang merupakan sepecies palma yang tumbuh di wilayah Pasifik, Asia dan Afrika bagian timur. Di berbagai wilayah Nusantara tanaman ini mempunyai beragam nama; Aceh: pineung, Batak Toba: pining, Sunda dan Jawa: jambe, Madura: penang, serta masih ada sebutan lain untuk daerah yang berbeda. Masa produktif tumbuhan ini setelah berumur 4 – 6 tahun, dan puncak produksi dicapai pada umur 10 – 15 tahun hingga usia 20 tahun. Buahnya dikatakan masak saat berubah dari warna hijau menjadi jingga atau merah.
Gambar 3. Tanaman pohon Pinang Keluarga Lazarus Fanghoy di Kampung Bouw Distrik Manokwari Barat.4
Tanaman dari keluarga (family) arecaceae ini berpotensi sebagai tanaman obat dan beragam manfaat dalam keseharian hidup masyararakat
3 4
Artikel pada Jurnal Phytotaxa 28. Published: 14 Sep. 2011. Magnolia Press. hlm.6. Sumber: Dokumen pribadi penulis.
35
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
penggunanya. Tumbuh pada segala jenis tanah, namun lebih cocok pada tanah yang banyak mengandung unsur hara yang tidak berbatu dan berkapur, pada ketinggiannya tanah antara 0 – 1.400 meter di atas permukaan laut (dpl), namun sangat ideal pada kisaran 0 – 700 meter dpl. Pertumbuhannya memerlukan cukup sinar matahari, tanpa genangan air, dan dengan suhu antara 200C – 300C. Maka tanaman ini lebih banyak terdapat di daerah pesisir pantai dari pada di pegunungan.
Gambar 4. Rangkaian buah Pinang yang siap dipanen.5
5
Sumber: https://www.google.co.id/search?q=buah+pinang. (7 Nopember 2015).
36
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Zat yang terkandung dalam buah pinang meliputi arecolidine, arecaidine, guvacoline, guracine dan beberapa senyawa lain, sedangkan bijinya memiliki kandungan alkaloida;6 seperti arekaina dan arekolina yang bersifat adiktif dan dapat merangsang (simultan) otak.7 Bijinya yang pahit, pedas dan hangat, mengandung alkaloid 0,3% – 0,6%. Kandungan arecolin dapat dimanfaatkan untuk obat cacing serta bahan obat penenang, maka bersifat memabukkan penggunanya.8 Selain itu juga mengandung retanin 15%, lemak 14% (palmitic, oleice, stearic, caproic, caprilic, laoric, myristic acid), kanji dan resin. Terlebih untuk bijinya yang masih segar terkandung alkaloid 50% lebih banyak dibandingkan dengan biji yang telah mengalami perlakuan. Buah pinang juga dapat dijadikan bahan industri sabun, penyamakan kulit, pasta gigi, pewarna, kosmetik, cat air, pernis, dan seratnya dapat dibuat kuas gambar atau kuas alis,9 sedangkan batang pohon ini dapat dipakai sebagai jembatan atau talang air, dan melalui proses penyulingan, daun pinang yang dicampur daun sirih akan dapat dihasilkan minyak untuk menyembuhkan gangguan radang tenggorokan dan pembuluh bronchial.
6
Istilah "alkaloid" berarti "mirip alkali", karena dianggap bersifat basa) pertama kali dipakai oleh Carl Friedrich Wilhelm Meissner (1819), seorang apoteker dari Halle (Jerman) untuk menyebut berbagai senyawa yang diperoleh dari ekstraksi tumbuhan yang bersifat basa (pada waktu itu sudah dikenal, misalnya, morfina, striknina, serta solanina). 7 www.deherba.com. Copyright 2015 PT Deherba Indonesia – Pakuan Hill, Livistona Blok C No. 18, Bogor 16137. (14-10-2015). 8 tanamandanobat.blogspot.co.id/2008/12/pinang.html. 2 Desember 2008. (14-10-2015). 9 James J. J. Carel Siahainenia. 2000. Potensi dan Prospek Pinang Sirih (Areca catechu) di Desa Rimba Jaya Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak Numfor. Manokwari: Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih. hlm.4.
37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2) Manfaat Mengkonsumsi Pinang Konsumsi pinang merupakan proses meramu pinang segar (masih hijau) mau pun kering (yang telah diiris dan dijemur), sirih, dan kapur yang kemudian dikunyah. Bagi masyarakat di Asia Selatan, Tenggara serta Asia Pasifik tradisi ini telah lama dilakukan. Pada umumnya aktivitas konsumsi pinang dilakukan secara bersama-sama, oleh semua kelompok usia (kecuali balita), wanita dan anak-anak, namun dalam beberapa etnis, dengan alasan ritual adat maka hanya dilakukan oleh orang dewasa saja. Karena bersifat stimulant, buah pinang dapat mempengaruhi proses metabolisme serta kejiwaan konsumernya. Materi herbal ini diidentifikasi mengandung stimulant narkotik ringan. Sirih pinang has been identified as ‘ein sehr mildes, narkotisch stimulierendes Genusmittel’ (a very mild, narcotic stimulant) (Lewin 1889:69).10
Efek stimulantnya antara lain si
konsumer lebih mudah mengobral kata-kata, kurang mampu mengendalikan diri dalam pemilihan kata. Saat seseorang mengunyah akan memperoleh sensasi menyenangkan, rasa pedas, panas, tajam, dan aromatik, sehingga terasa sedap di mulut. Jika mengkonsumsi dalam jumlah berlebihan akan merasakan ketidakseimbangan tubuh (Jawa: ngliyeng), bahkan bisa mabuk, tergantung pada ketahanan tubuh masing-masing. Reaksi lain adalah membuat percaya diri, membangkitkan 10
Henri J.M. Claessen and David S. Moyer (ed.). 1988. Verhandelingen van Het Koninklijk Istituut Voor Taal, Land – en Volkenkunde. 131. Time Past, Time Present, Time Future Perspectives on Indonesian Culture. Dordreht-Holland / Providence –USA:Foris Publications. p.168.
38
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
semangat dan lancar dalam melisankan /mengomongkan apa saja yang ada di dalam hati atau pikirannya, sehingga terkesan seperti orang mabuk yang sembarangan bicara.
3) Budaya Mengkonsumsi Pinang di Indonesia Tradisi mengkonsumsi pinang-sirih di Kepulauan Nusantara terbaca dalam pada relief Candi Sukuh11 yang dibangun sekitar tahun 1359 Saka (1437 Masehi), dengan jelas ditampilkan banyak pohon pinang sebagai latar belakang bangunan rumah-rumah, dan latar peristiwa pertemuan-pertemuan penting dan memiliki makna dalam keseharian hidup di masa itu. Secara khusus pada relief tersebut digambarkan tegak berdirinya pohon pinang yang mengayomi pertemuan sepasang mempelai (Sadewa dan Ni Padapa) yang pada akhirnya menjadi pasangan suami istri. Pohon pinang dihubungkan dengan peristiwa perkawinan antara kedua anak Bagawan Tambapetra dengan Sadewa (Sudamala) yang telah berhasil menyembuhkan kebutaan Bagawan tersebut. Dari Kidung Sudamala ZANG (bagian) IV pada ayatnya yang ke 19-21 diceriterakan; (19) Bagawan alon ujarre, lah nini hanakingwang, haturakena kang sdah mengko, kalih siro pada hanembah 11
Berada di Desa Berjo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, eks Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah.
39
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ring sang sudamala mangke. (20) Lah ngaturri sdah mangke, raden soka padap, semwerang nher hanapa mangko, hulih bagya punika sedah, katurring sira rahaden. (21) Raden sudamala linge, sawyanagapi sdah, lah hasuruda nini sunmangko, ring panembahanira tuwan, hisun hatarima manke. (22) Tambapetra lon ujarre, wus katanggapan sdah, lah ta lungguha ninyanakingngong, ring sandingngira rakanira, kalih halungguha raden.12
Gambar 5. Relief pada Candi Sukuh yang mengekspresikan pertemuan Sadewa alias Sudamala dengan Ni Padapa, anak dara Bagawan Tambrapetra. Pohon yang dilukis pada adegan ini adalah pohon pinang.13
Yang kemudian diterjemahkan sebagai berikut; (19) Begawan Tambapetra manis kata-katanya: “Anakanakku, persembahkanlah sirih itu kepada kakandamu.”
12
Bobin AB dan Husna (penyalin). Candi Sukuh dan Kidung Sudamala. Diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen. Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. hlm. 45. 13 Sumber: www.kompasiana.com/ www.teguhhariawan/ leitmotiv-panduan-membaca-relief552b20f5f17e610f74d623bf
40
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Maka mempersembahkan sirihlah kedua gadis itu kepada Raden Sudamala. (20) Pada waktu ni Soka dan ni Padapa mempersembahkan itu tampak agak malu kata-katanya:
“Selamat
datang
mengeluarkan
Pangeran,
hamba
persembahkan sirih kepada Tuan.” (21) Raden Sudamala berkata, sambil menerima sirih: “Nah, sudah kuterimalah sirih persembahan, silahkan mundur!” (22) Tambapetra berkata manis: “Kini sirih telah diterima. Nah pergi duduk di samping kakandamu, di situ berjajar dengan Rahaden Sadewa!”14 Memang tidak disinggung berkaitan dengan kata buah pinang, namun muncul kata sedah (sirih) – dalam relief tersebut terlihat jelas tegak berdiri 3 buah pohon pinang, dan bukannya pohon sirih – yang digunakan sebagai piranti (alat) untuk mengucapkan rasa terima kasih kepada Sudamala atas disembuhkannya Begawan Tambapetra. Ketulusan menghormati, menerima kehadiran, dan terima kasih kepada Sudamala yang dilakukan dengan cara mempersembahkan sedah (sirih) menjadi simbol dan memiliki makna kekeluargaan, persahabatan dan bahkan terima kasih itu diwujudkan dengan satu ikatan perkawinan15 antara kedua anak Tambapetra dengan Sudamala.
14
Ibid. hlm.90. Cerita di atas segaris dengan penyajian kakes (dalam sebuah piring yang berisi pinang, sirih, dan kapur) dalam adat budaya meminang bagi masyarakat Suku Biak di Papua. Ketika pihak laki-laki berkenan menikmati sajian kakes yang dibawa oleh pihak perempuan, berarti “sebagai tanda diterima dan tanda jadi” untuk melangsungkan pada jenjang perkawinan. 15
41
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Peristiwa pertemuan Sadewa alias Sudamala dengan Ni Padapa, anak dara Bagawan Tambrapetra di bawah pohon pinang, dapat dikaitkan dengan tahap persiapan menuju perkawinan,16 sebagaimana istilah meminang yang digunakan dalam masyarakat Nusantara. Menurut Roy E. Jordaan dan Anke Niehof dalam artikel Sirih Pinang and Symbolic Dualism in Indonesia,17 menjadi salah satu sumber dalam mendeskripsikan budaya konsumsi pinang dan pemaknaanya. Jurnal antropologis ini mengangkat beberapa kebiasaan penggunaan sirih dan pinang dalam keseharian masyarakat di Madura, Sulawesi, Sumba, Maluku dan beberapa wilayah Timur Nusantara lainnya. Dalam kehidupan masyarakat tradisional Malaysia, telah menjadi kesepakatan bersama bahwa kebiasaan mengkonsumsi pinang dengan menjamu daun sirih dan bahan-bahan lain merupakan bagian utama sebagai tahap pembuka sebelum melakukan musyawarah, maka hingga kini mengkonsumsi pinang tetap menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat Melayu: “… it is customary in Malay society that a serving of sirih leaves and other betel-chewing ingredients precedes any kind of deliberation, at it suggests the ideas of understanding and agreement (Panuti 1983:231)”18 dan
16
Bobin AB dan Husna (penyalin). Candi Sukuh dan Kidung Sudamala. Diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen. Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. hlm. 158. 17 Ibid. hlm.168. 18 Ibid. hlm.168.
42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tradisi tersebut hingga kini masih banyak ditemukan di wilayah Kepulauan Nusantara (Indonesia). Sejak kedatangan bangsa Portugis dan Belanda (abad 16) di kepulauan nusantara, mereka telah mengapresiasi dan menyadari peran dan manfaat tradisi mengkonsumsi pinang yang mampu membangkitkan dinamika keseharian hidup masyarakat koloninya: “Offering your guests the ingredients to make themselves a betel quid still belongs to the rules of hospitality in many rural areas in Indonesia. The Portuguese and the Dutch who came to the archipelago in the 16th century quickly perceived the great social importance of sirih chewing. As Rumphius observed in 1741, it was necessary for those who daily mixed with the native rulers to adopt the custom (Veenendaal 1985:88-82).”19
Rumphius melaporkan bahwa orang-orang yang kesehariannya berelasi dengan petinggi wilayah setempat dianjurkan untuk dapat menyesuaikan diri dengan budayanya, termasuk tradisi konsumsi pinang tersebut.20 Penyesuaian terhadap tradisi setempat bertujuan untuk mempermudah pendekatan dengan masyarakat
setempat,
dengan
harapan
maksud
dan
pesan-pesan
komunikasinya tersampaikan dan dipahami oleh masyarakat setempat. Sirih pinang menjadi sangat berperan dalam upaya menjalin hubungan kekerabatan
19 20
Ibid hlm.168. Ibid. hlm.168.
43
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“… sirih pinang also serves to mark specific kinship relationship …”21, yang sekaligus dapat menjadi medium untuk tujuan-tujuan tertentu. Roy E Jordan dan Anke Niehof mengurai tentang materi sirih pinang dan pelengkapnya menjadi sarana budaya yang memiliki makna serta nilai– nilai dalam kultur masyarakat Indonesia: “… how sirih pinang and its accecories are used to underscore basic cultural notions and important social distinctions throughout Indonesia. Our perspective will be that of sirih pinang as a symbolic construct or a vehicle of meaning.”22 Sirih dan pinang dalam budaya Nusantara mendapat apresiasi dan posisi bermakna dan berharga, karena bukan hanya sebagai materi untuk dikonsumsi tetapi juga mengandung filosofi, makna dan nilai-nilai budaya yang menjadi norma dasar untuk menata kehidupan masyarakat dalam kesehariannya.
Gambar 6. Serangkaian bahan-bahan konsumsi pinang, yang selalu dipersiapkan dalam pertemuan-pertemuan ritual adat siklus kehidupan masyarakat di sebagian besar wilayah Nusantara.23
21
Ibid. hlm.173. Ibid. hlm.169 23 Sumber:https://www.google.com/search?q=gambir+sirih+pinang. (6 Nopember 2015). 22
44
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Imaji menyeramkan sekaligus menakutkan berkaitan dengan pinang juga diungkapkan oleh Roy E Jordan dan Anke Niehof; In Couperus’s novel ‘De stille kracht’ (The silent force), for example, supposedly evil supernatural powers mysteriusly stain their victim with red phlegm while she taking a bath. In less dramatic sources, however, sirih spittle is cited for its healing powers, or it is used to smear upon ritual objects and offerings. The terrifying effect that sirih spittle has on the Dutch characters in Couperus’s novel could well be a projection of the colonials’ fear of Eastern magic.24 Rodolf Mrazek dalam buku Outward Appearances. Trend, Identitas, Kepentingan menuliskan bahwa ada banyak bagian dalam novel De stille kracht, “Kekuatan Yang Tersembunyi” (1900) karya Hindia Couperus yang memberi sugesti menakutkan. Tradisi konsumsi pinang memberi effect baca dengan hadirnya kekuatan misterius dan supranatural jahat dari ludah merah sirih pinang. Ludah merah pinang mampu memberi sugesti menakutkan, yang diperhitungkan oleh pihak kolonial Belanda. Dapat dipahami bahwa ada indikasi perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat pribumi kepada kolonial Belanda dengan menggunakan kekuatan tersembunyi yang dipahami sebagai a projection of the colonials’ fear of Eastern magic yang membuat perasaan takut bagi kolonial Belanda.
24
Ibid. hlm.168.
45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Keterkaitan pemaknaan cerita yang ditulis Roy E Jordan dan Anke Niehof dalam Sirih Pinang and Symbolic Dualism in Indonesia; to make a marriage proposal is popularly called meminang (a verb form derived from pinang) in Indonesian.25 Kata pinang sebagai kata benda dan meninang sebagai kata kerja, memberi arah adanya kesepahaman makna dari obyek material yang dibawa ke dalam suatu aktifitas yang membangkitkan dinamika siklus kehidupan manusia (perkawinan). Demikian pula dalam tradisi maupun keseharian masyarakat Numfor (Biak), masyarakat Windesi serta Wamesa (Teluk Wondama) yang ada di Manokwari Papua Barat, di dalam moment acara-acara yang berkaitan dengan adat budayanya akan selalu ada jamuan sirih pinang. Pinang menjadi satu simbol yang mempunyai makna dalam kehidupan sosial-kultur, sebab dengan menyajikan kakes (berupa sirih, pinang dan kapur)26 akan miliki dampak sosial serta makna persaudaraan pada diri setiap hadirin dalam kebersamaanya. Kakes diperuntukkan bagi setiap hadirin yang mengikuti pertemuan-pertemuan adat untuk merencanakan suatu pekerjaan atau meyelesaikan
masalah
bersama
yang
berkaitan
dengan
sosialita
kemasyarakatan; misalnya membangun rumah, penyelesaian suatu masalah
25
Ibid. hlm.169. Bahasa Biak Papua, sebagai sarana, yang berupa penyajian sirih, pinang, kapur bagi para hadirin yang ada dalam acara musyawarah adat, merencanakan suatu pekerjaan, atau pun perhelatan yang menyangkut sisi sosial kemasyarakatan. 26
46
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(perkara), mempersiapkan pesta perkawinan (meminang) atau pun siklus peristiwa kehidupan bersama lainnya. Pinang sirih menjadi sarana pembangkit semangat (spirit) etos kehidupan yang telah membudaya dengan beragam fungsi; misalnya untuk pemeliharaan
dan
kesehatan
gigi,
kakes
(makanan
kecil),
Wor
K’bor27(inisiasi), Yakyaker (antar mas kawin), Kinsor (magic) dan juga bahan kontak komunikasi.28 Mencermati Kidung Sudama serta beberapa adat budaya dalam masyarakat Nusantara di atas, perlu dipahami dan menjadi asumsi dasar bahwa meskipun sirih dan pinang yang dikonsumsi namun tetap saja akan disebut sirih pinang. Dua kata tersebut membentuk konsep yang tidak hanya menunjukkan materi sirih dan pinangnya, akan tetapi menjadi makna simbolis untuk falsafah dan nilai-nilai kehidupan; seperti bersamaan, kekeluargaan, serta wujud penghargaan terhadap subyek-subyek lain yang berkaitan dalam keseharian masyarakat penggunanya.
27
Upacara inisiasi bagi para pemuda yang telah lulus (berhasil) dari rumah bujang (rumsram) yang dilakukan selama berminggu-minggu dengan tarian, nyanyian, dan juga minum saguer (swansrai). 28 Diolah dari karya akademik James J. J. Carel Siahainenia. 2000. Potensi dan Prospek Pinang Sirih (Areca catechu) di Desa Rimba Jaya Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak Numfor. Manokwari: Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih. hlm.2.
47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4) Budaya Konsumsi Pinang di Papua Mengkonsumsi pinang dinimakti oleh hampir semua kalangan (umur, status, pekerjaan), menyatu padu dalam kehidupan sehari-hari. Kemana dan dimana pun berada mereka selalu ada (stock) sirih dan pinang. Ketersediaannya pun mudah diperoleh pada los-los atau lapak-lapak penjualan yang berada di pasar sentral, pasar tradisional, pinggiran jalan serta lorong-lorong pemukiman penduduk.
Gambar 7. Komoditi pinang kering (gebe) merambah pasar-pasar tradisional di Manokwari.29
Di Indonesia bagian Timur, terlebih pada masyarakat di wilayah pantai bagian utara pulau Papua; seperti Biak Numfor, Serui, serta masyarakat Teluk Wondama kebiasaan yang juga merupakan tradisi mengkonsumsi (mengunyah) pinang yang disebut panon beren (Windesi) atau sauw (Wamesa) serta an ropum dalam masyarakat etnis Biak Numfor di Manokwari ini masih tetap eksis dan menjadi keharusan untuk disajikan 29
Sumber: Dokumen pribadi penulis
48
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dalam pertemuan-pertemuan formal mau pun non formal. Mengkonsumsi pinang dan sirih secara bersama menjadi sarana utama untuk mengawali suatu pembicaraan yang dinilai penting dalam kehidupan bersama, sehingga tidak ikut mengkonsumsi pinang dapat dikatakan ‘tidak tahu adat’. Tetua adat selalu membawa dan menyediakan sirih, pinang, dan kapur dalam kesempatan-kesempatan bernuansa kelokalan adat budaya. Mereka saling menawarkan seperangkat bahan konsumsi pinang, dan orang akan dinilai beretika (tahu adat) jika sering menawarkannya. Ketika dua atau tiga orang berkumpul sangat mungkin akan terjadi aktivitas konsumsi pinang dan pemuntahan ludah merah yang disertai dengan sekedar ngemop30 sampai dengan pembicaraan yang serius. Seiring dengan mobilitas masyarakat asli Papua dan pendatang di Manokwari, lambat laun kebiasaan mengkonsumsi pinang merambah ke pedalaman. Sebagian masyarakat Pegunungan Arfak dan para pendatang di Manokwari tampak sudah ikut serta dan biasa mengkonsumsi pinang, hal tersebut terjadi seiring dengan proses relasi sosial dalam kehidupan seharihari. Mengkonsumsi pinang; sauw (Windesi), panon beren (Wamesa), an ropum (Biak Numfor) telah menjadi identitas kultur masyarakat Papua yang memiliki makna dan simbol kekeluargaan dan kesatuan masyarakat di 30
MOP adalah istilah dari Bahasa Belanda yang artinya lelucon. Dalam kehidupan masyarakat Papua merupakan cerita-cerita lucu dan candaan dalam pergaulan sehari-hari. bdk. Stand Up Comedy.
49
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Manokwar. Saat berkomunikasi (ngobrol) dengan teman atau kerabat sembari mengkonsumsi pinang, memungkinkan munculnya berbagai wacana sosialekonomi-politik berkaitan dengan pengalaman hidup individu maupun komunal. Obrolan-obrolan tersebut memberi ruang dan kemungkinan pergerakan eskalasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
5) Wacana Mengkonsumsi Pinang dalam Masyarakat di Papua
Tradisi mengkonsumsi pinang dalam masyarakat Windesi, Wamesa serta Biak Numfor di Papua telah berjalan turun-temurun dan diwariskan dari generasi ke generasi, karena bermanfaat bagi ketubuhan dan memiliki fungsi sosial dalam masyarakat maka eksistensinya bertahan hingga kini. Dalam pemikiran dan keyakinan penduduk asli Papua, semua bagian dari pohon pinang mempunyai manfaat, (misalnya untuk meningkatkan gairah seksual, mengobati luka kulit, menguatkan gigi dan gusi, obat cacing, melancarkan datang bulan (menstruasi), obat mimisan, sakit pinggang, mengecilkan rahim pasca melahirkan, obat rabun mata, dan telinga bernanah. Maka pohon pinang dengan semua bagiannya menjadi penting dalam keseharian hidup. Karena fungsi, manfaat beserta maknanya maka obyek material ini menjadi bernilai dalam sektor ekonomi, sisi sosial-budaya, mau pun sisi medis bagi kelangsungan hidup manusia.
50
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Ruang Publik Kota Manokwari Propinsi Papua Barat 1) Sejarah Kota Manokwari Pada hari Selasa tanggal 8 November 1898 terjadi peristiwa pembentukan pos pemerintahan pertama di Manokwari oleh Pemerintahan Hindia Belanda. Residen Ternate Dr. D. W. Horst atas nama Gubernur Jenderal Hindia Belanda melantik Tn. L.A. van Oosterzee menjadi Controleer Afdeling Noord New Guinea (Pengawas Wilayah Irian Jaya Bagian Utara). Tanggal tersebut akhirnya ditetapkan sebagai hari jadi Kota Manokwari melalui Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten Manokwari Nomor 16 Tahun 1995. Pada masa Pelita IV pemerintahan Orde Baru, untuk mempersiapkan pemekaran Wilayah Irian Jaya menjadi beberapa Propinsi, dengan alasan faktor kesejarahan serta tempat pertama masuknya Pekabaran Injil di Tanah Papua, Manokwari ditetapkan sebagai Pusat Pembantu Gubernur Irian Jaya Wilayah II yang meliputi Kabupaten Dati II
Manokwari-Sorong, Teluk
Cendrawasih dan Yapen Waropen. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 ditetapkan status Propinsi Irian Jaya Barat yang selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tertanggal 18 April
51
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2007 disebut Propinsi Papua Barat, yang memperoleh status Otonomi Khusus dengan Manokwari sebagai ibu kotanya.31 Bagi masyarakat Nasrani di Papua, Manokwari selalu adalah tonngak sejarah berkembangnya Agama Kristen di Tanah Papua, karena pada 5 Februari 1855 dua penginjil dari Jerman; Carl Wilhelm Ottow dan Johan Gottlob Geissler menjadi orang-orang yang pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Mansinam32 serta memulai karya penginjilannya di wilayah Papua. Oleh karenanya hingga saat ini sebagian masyarakat Nasrani33 tetap berjuang menuntut pengakuan publik dan yuridiksi untuk menetapkan Manokwari sebagai Kota Injil. 2) Ruang Publik Kota Manokwari Kota Manokwari sebagai Ibu Kota Provinsi Papua Barat sekaligus Ibu Kota Kabupaten Manokwari berada dalam sebaran 3 distrik (Manokwari Barat, Manokwari Selatan dan Manokwari Timur), dengan luas wilayah 934,15 km² (20,09% dari luas wilayah Kabupaten Manokwari).
31 32
33
Website Pemerintah Propinsi Papua Barat : www.papuabaratprov.go.id Pada jarak kurang lebih 3 kilo meter dari bibir Pantai Pasir Putih kota Manokwari.
Sumber Data: Manokwari Dalam Angka Tahun 2014; Kristen Protestan 64,46%, Katolik 5,12% , Islam 29,91%, Hindu 0,34% dan Budha 0,12%.
52
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 8. Peta geografis wilayah Propinsi Papua Barat
Batas penelitian
Gambar 9. Ruang pulik Kota Manokwari berada dalam sebaran 3 distrik; Manokwari Barat, Manokwari Selatan dan Manokwari Timur.34 34
Sumber: Dokumen pribadi penulis.
53
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Manokwari tahun 2014, pada Tahun 201335 Kota Manokwari berpenduduk 72.926 jiwa (14.986 KK).36 Pusat kota yang berada di wilayah Distrik Manokwari Barat berpenduduk 57.333 jiwa mempunyai kepadatan dan kesibukan paling tinggi dibanding 2 distrik lain yang berpenduduk 15.593 jiwa. Pusat perkantoran kabupaten dan propinsi semula terdapat di Distrik Manokwari Barat, namun seiring pengembangan infrastruktur pemerintahan Propinsi Papua Barat konsentrasinya melebar di wilayah Kelurahan Sowi dan Arfai. Akibatnya Distrik Manokwari Selatan semakin padat dan sibuk, walau pusat bisnis tetap berada di wilayah Distrik Manokwari Barat. Sejalan dengan berkembangnya Kota Manokwari sebagai Ibu Kota Kabupaten dan Propinsi Papua Barat, terjadi mobilitas Ipoleksosbud yang merubah kondisi Kota Manokwari. Oleh karenanya diperlukan perbaikan dan peningkatan sarana dan prasarana yang menunjang fasilitas publik. Bandara, pelabuhan, hotel, penginapan, kafe, dan restoran menjadi kebutuhan mendesak (urgent) untuk mengakomodir tuntutan situasi tersebut. Tuntutan kebutuhan serta pengembangan struktur dan infrastruktur mengundang naluri pengembang dan pebisnis dari luar Papua, mereka hadir dan ikut serta menanamkan modalnya. Kehadiran para spekulan dalam 35
Data dari papua.go.id pada tahun 1995 berpenduduk 59.260 jiwa, dan di tahun 2012 berdasarkan data dari BPS Kabupaten Manokwari berpenduduk 109.747 jiwa. 36 Sumber: Kabuapaten Manokwari dalam Angka 2014. BPS Kab.Manokwari. hlm. 06-27.
54
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berbagai sektor dalam ruang publik tersebut menimbulkan kompleksitas masalah kehidupan sosio-kultural warga masyarakat Kota Manokwari dan sekitarnya. Kota Manokwari menjadi sentra pasar (forum) pertemuan berbagai kepentingan: “…kesendirian berhenti, pasar pun mulai; dan di mana pasar mulai; mulai pulalah riuh rendah para aktor besar dan desau kerumunan lalat beracun”37 tempat belangsungnya kontestasi para pemangku kepentingan negara, pemodal, dan masyarakat sipil. Di balik tampilan infrastruktur (fisik) ruang publik kota Manokwari yang berkembang pesat, terlihat ketidakmapanan tumpukkan sampah, kesemrawutan arus lalu lintas, dan bongkar pasang proyek infrastruktur yang mengganggu kenyamanan mobilitas masyarakat, (atau bahkan) belum mampu mengakomodir kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
3) Perkembangan Kota Manokwari Manokwari sebagai kota bersejarah, dalam 117 tahun telah banyak memiliki peristiwa yang mengubah tampilan fisik dengan ragam aspek kehidupan sosial, politik, budaya dan juga perekonomiannya. Sekitar tahun 1960an hingga 1970an adalah masa transisi dari pendudukan
37
St. Sunardi. 2003. Opera Tanpa Kata. Yogyakarta: Buku Baik. hlm.3.
55
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Belanda ke operasi Tri Komando Rakyat (TRIKORA)38 dibawah Komando Presiden Soekarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia. Menyikapi operasi keamanan pasca pendudukan Belanda di Irian Barat, beberapa tokoh Papua39 mengadakan pertemuan yang melahirkan Organisasi Pemberontak Papua Merdeka (OPM). Pertemuan pada rumah keluarga Watofa (26-28 Juli 1965) di Sanggeng Manokwari yang dipimpin oleh Ferry Awom tersebut, bertujuan untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa Papua, dengan cara melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Antara tahun 1970an sampai 1990an digencarkan program transmigrasi dari Jawa, Sulawesi, Timor serta pulau-pulau lain, sehingga mempercepat mobilitas dan kepadatan populasi penduduk Manokwari, Bintuni, Oransbari, Warmare dan sekitarnya. Situasi masyarakat homogenitas berubah menjadi beragam (heterogen) dan latar belakang etnis, budaya dan permasalahan kehidupan (multicultural) warganya. Pada akhir Pelita II tahun 1979, Kabupaten Daerah Tingkat II Manokwari mendapat penghargaan tertinggi dari Pemerintah Pusat 38
Dikeluarkan oleh Presiden Soekarno di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961. Di rumah keluarga Watofa (Sanggeng Manokwari), yang dihadiri segenap komponen masyarakat Manokwari; Kepala Suku Arfak Lodwijk Mandacan, Barent Mandacan, John Jambuani (Kepala Kepolisian Papua), Benyamin Anari, Terianus Aronggear, Marani, Fred Ajoi dan Jimmy Wambru. Sumber: www.komnas.tpnpb.net. (Komando Nasional Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat). 39
56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berupa Pataka Parasamnya Purna Karya Nugraha40, sehingga pada Palita IV Kota Manokwari ditetapkan sebagai Pusat Pembantu Gubernur Wilayah II untuk Kabupaten Daerah Tingkat II Manokwari Sorong41, Teluk Cenderawasih dan Yapen Waropen. Dewasa ini Kota Manokwari berpenduduk dengan ragam etnis, agama, serta gaya hidup. Selain penduduk yang telah lama menetap, juga terjadi peningkatan penduduk baru (migrant). Kesemuanya mempersepsi ruang publik kota Manokwari sebagai ruang sosial tak terbatas dengan berbagai bentuk dan praktek kekuatan struktural aparatur birokrasi (ideological state apparatus), elit politik, kapital modal, kebijakan pemerintah, kebijakan publik, paradigma pembangunan, serta dominasi gaya hidup masyarakat sipil (civil society). Untuk memenuhi kebutuhan hidup diri sendiri, keluarga serta mendapatkan keuntungan ekonomis, bagi masyarakat urban pada umumnya mempunyai mata pencaharian sebagai penjual jasa, penjual makanan, pedagang, konsultan, ojek, sopir, karyawan/karyawati, therapis pijat refleksi, buruh bangunan dan sebagainya. 40
Anugerah atas pekerjaan yang baik atau sempurna untuk kepentingan semua orang. Ini merupakan tanda penghargaan kepada suatu pemerintah daerah yang telah menunjukkan hasil karya tertinggi pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun dalam rangka meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat. 41 bdk. Manokwari sebagai Pusat Gereja Katolik Keuskupan Manokwari sejak 15 November 1966, yang kemudian pada 14 Mei 1974 menjadi Keuskupan Manokwari Sorong yang berkantor di Kota Sorong.
57
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Keadaan tersebut semakin memenuhi kesibukan ruang publik yang memberikan harapan sekaligus meningkatkan beragam masalah publik. Sebagai konsekuensi, ruang publik Kota Manokwari semakin mewujud dalam ragam perbedaan ideologi politik, wacana dan opini, sebagai sebuah representasi sosial keseharian hidup warga masyarakat. Berkaitan dengan dunia bisnis pada sektor komoditi pinang, di sepanjang jalan dari Wosi hingga Maripi tampak ratusan lapak jual buah pinang,42 sedangkan untuk sektor komoditas pabrikan dikembangkan oleh kalangan kelas menengah ke atas – yang mewujud super market, mall, perhotelan, ruko, sentra-sentra pasar, dan jasa43 – hingga kini masih berada di sekitar Distrik Manokwari Barat; pelabuhan laut, Jalan Merdeka, Jalan Yos Sudarso, Jalan Trikora dan sepanjang jalan menuju Bandara Rendani. 3. Wacana Modernitas Sebuah Ruang Publik Kota Dalam serangkaian Peringatan Nasional Hari Habitat Dunia 2015, Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia menekankan perlu terciptanya ruang publik yang dapat dimiliki, diakses serta dimanfaatkan oleh masyarakat secara bebas. Ruang publik bertautan dengan
42
Data penelitian lapangan dari sekitar Jalan Drs. Essau Sesa Wosi sampai dengan Kampung Maripi ada 270 lapak penjual pinang. 43 Pasar Borobudur, Pasar Sanggeng dan Pasar Wosi.
58
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
manusia, ruang, serta dunia luas, maka harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan masyarakat dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, budaya, dan dapat diakses oleh masyarakat dengan berbagai kondisi fisik.44 Globalisasi yang sarat dengan konsep modernitas mempengaruhi imajinasi dan idealisme subyek-subyek masyarakat yang dalam sikap dan wacana muncul dalam beragam tuntutan kebutuhan individu dan kumunal dengan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta tanggapan-tanggapan dari pemerintah, kelompok masyarakat, organisasi masyarakat, warga budaya, serta warga masyarakat lainnya dalam suatu ruang publik kota. Imaji dan konsep-konsep modernitas menekan (merepresi) eksistensi budaya
mengkonsumsi
pinang
oleh
warga
masyarakat,
sehingga
memunculkan biunivocality yang mewujud praktek keseharian masyarakat, kebijakan publik dan dalam pergerakan ekonomi pasar. Banyak plakat-plakat larangan mengkonsumsi pinang, namun perdagangan komoditas pinang justru semakin melaju dalam ruang publik kota Manokwari. Peringatan ‘dilarang makan Pinang’ dan ‘jagalah kebersihan’ yang tertempel pada ruang publik dirancang-bangun berdasarkan konsep-konsep dan tuntutan modernitas. Kees van Dijk dan Jean Gelman Taylor dalam kata pengantar buku CLEANLINESS AND CULTURE Indonesian histories, Diolah dari MEDIAPAPUA.com. Kementrian PU Turut Berperan Dalam Upaya Pengembangan Ruang Publik. (17/10/2015). 44
59
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bertutur mengenai konsep berpikir tentang bersih dan kotor: “Perceptions of cleanliness and dirtiness have been used to describe, praise and denounce individuals and groups subscribing to different social, economic, religious or ethnic backgrounds.”45 Pemahaman tersebut berasumsi bahwa motto bersih itu indah atau pun putih itu suci yang sering kita dengar dan ucapkan belum tentu menjadi bermakna bagi warga masyarakat publik kota Manokwari mau pun masyarakat Papua pada umumnya. Kebijakan-kebijakan publik yang diwujudkan dalam ide, sikapm perilaku mau pun regulasi-regulasi atas dasar wacana misi suci untuk sebuah maksud pemberadaban serta mengangkat derajat kemanusiaan pada suatu masyarakat, menjadi kontra produktif ketika berhadapan dengan kultur masyarakat yang tetap mempertahankan tradisi mengkonsumsi pinang. Kebijakan publik, persepsi dan penilaian masyarakat modern yang terkait dengan konsep bersih menjadi berbeda sudut pandangnya dengan konsep yang dimiliki oleh warga budaya konsumer pinang: “… alienation of land, forced labour recruitment and migration, and the destruction of the local social structure and culture.”46 Hal ini menjadi berbeda dengan harapan yang terkandung dalam Tema Hari Habitat tahun 2015 yang merujuk pada isu-isu terkait dengan pembangunan pemukiman dan perkotaan, Public Spaces for All, Ruang Publik Untuk Semua, UN-Habitat dan warga masyarakat tentunya 45
Kees van Dijk dan Jean Gelman Taylor (ed.) 2011. Cleanliness and Culture Indonesian histories. Leiden: KITLV Press. p.vii. 46 Ibid. hlm.1-3.
60
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berharap bahwa ruang terbuka, jalan, jalur pedestrian (trotoar), pasar, taman bermain, serta fasilitas publik lainnya dapat menjadi suatu ruang dengan karakternya yang responsif, demokratis dan bermakna. Dengan pemahaman demikian, maka apa yang terjadi pada ruang publik Kota Manokwari menjadi berbeda – bahkan bertolak belakang – dengan harapan warga masyarakat dan UN-Habitat. Hal tersebut membangkitkan pertentangan persepsi pada forum publik kehidupan masyarakat di Kota Manokwari, keinginan untuk hidup secara intens harus berhadapan dengan situasi publik yang sarat dengan kontestasi dan resistensi ideologi, politik, sosial, dan ekonomi dan budaya; menjadikan semangat hidup dan kemerdekaan sebagian warga masyarakat menjadi pudar dan sulit menemukan kembali identitas diri dengan makna tradisinya. Bagi warga masyarakat budaya yang tidak memiliki kebiasaan serta tradisi mengkonsumsi pinang dan mempunyai konsep idealism untuk sebuah ruang publik kota modern, akan semakin menyudutkan dan mempersempit representasi sosial warga masyarakat yang mengkonsumsi pinang pada posisi yang kontra produktif dalam upaya mewujudkan imajinya tentang kota modern yang tertata rapi, bersih dan elegant.
61
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III KONSTELASI KOMODITAS DAN BUDAYA KONSUMSI PINANG DALAM IDEALISME MODERNITAS RUANG PUBLIK
Dalam bab ketiga ini akan dipaparkan perolehan data dan informasi dari lapangan penelitian; konstelasi budaya konsumsi pinang dengan ruang publik, imaji tentang konsumsi pinang dalam masyarakat asli dan pendatang di Papua, keberbedaan idealisme dan citra kota modern yang melahirkan kontestasi, konflik, kebijakan publik, serta dialektika negosiasi pada ruang publik Kota Manokwari. Informasi dan data lapangan selanjutnya dipertajam dengan pengambilan dokumentasi visual dan wawancara lapangan terhadap berbagai pihak yang sependapat, berselisih, dan bahkan dengan pihak yang selalu berbeda cara pandang maupun pun orientasi kemanfaatan dari kebiasaan mengkonsumsi buah pinang. Hal-hal tersebut terjadi dalam keseharian hidup warga masyarakat yang berkonstelasi di antara – dan juga di dalam – ranah operasional komoditas ekonomi perdagangan pinang serta konsumsi pinang sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan penghayatan hidup kultural warga masyarakat Papua. Kebiasaan mengkonsumsi pinang menjadi sebuah forum dalam keseharian hidup masyarakat di Papua pada umumnya. Forum tersebut menjadi tempat pengucapan ketiga, ruang publik khusus (terbatas) sebagai ajang berefleksi,
62
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengolah pengalaman hidup1 pribadi dan sosial yang dapat menumbuhkembangkan potensi-potensi fisik, mental, dan idealisme dalam konstelasinya dengan tugas dan fungsi apparatus negara (state), masyarakat
sipil (civil
society), kapital modal (capitalism) dan media publik. Elemen-elemen tersebut merupakan faktor pendorong eskalasi dinamika kultur dan kehidupan sosial pada lingkup relasional keseharian hidup warga masyarakat publik di Kota Manokwari. Aktivitas ini dengan mudah ditemukan pada setiap lorong pemukiman, gardu/pos ronda, teras toko, mau pun pada keramaian ruang publik lainnya. Bahkan di dalam kendaraan pribadi, kendaraan-kendaraan operasional (bahkan pada mobil ambulans), dan angkutan darat pada umum. Akibatnya banyak limbah pinang berceceran di dinding rumah, perkantoran, bangunan-bangunan publik, trotoar dan jalan raya, pos ronda, pasar, serta sudut-sudut ruang publik lainnya. 1. Blusukan di Kota Manokwari “Blusukan” bersama sebuah “Idealisme” Kota Manokwari adalah mengenang “tempo itu”. Mengamati sekitaran Pelabuhan Laut Jalan Siliwangi, menyusur ke Jalan Merdeka, Jalan Bandung, Jalan Jendral Sudirman, Jalan Yos Sudarso, Jalan Pegunungan Salju, Jalan Trikora Wosi, jalan ke arah Bandara
1
Memakai istilah Gunawan Mohamad yang menyebut sebagai “pasar” tempat mengolah pengalaman hidup. Sumber : St. Sunardi. 2003. Opera Tanpa Kata. hlm. 3.
63
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Rendani hingga Jalan Esau Sesa yang berdiri megah Hotel Neu Aston Manokwari. Di sekitar perjalanan tersebut dapat ditemukan
tempat-tempat
makan yang saat itu cukup bergensi; seperti Warung Makan Solo,
Bakso
Malang, Hawai Resto, Rumah Makan Sukasari yang kesemuanya banyak dikunjungi oleh para
pejabat, pengusaha (boss-boss),
pegawai negeri dan
kantoran, serta belasan bar tempat orang duduk-duduk bersantai dan berdendang diiringi dengan segala macam musik sambil menikmati rokok, soft drink mau pun minuman beralkohol. Pengamatan dan penelitian dimulai dari perempatan jalan pertemuan antara Jalan Palapa dan Jalan Ekonomi Reremi menuju Jembatan Sahara Manokwari. Di sekitar jalan tersebut telah bisa ditemukan sosok perempuan penjual pinang dan bensin pada lapak jualannya. Tampah sosok penjual pinang tersebut menyajikan (sesekali menata) tumpuk demi tumpuk pinang buah segar, pinang kering (gebe), bunga sirih, serta kapur di atas lapak pada pondok jualannya. Dengan alasan sebagai tonggak sejarah penginjilan
(evangelisasi) di
Papua, yang ditandai dengan gigihnya semangat perjuangan sebagian masyarakat Nasrani Manokwari untuk memproklamirkan identitas Manokwari sebagai Kota Injil, sekaligus pelarangan beredarnya minuman keras pada era kepemimpinan Bupati Drs. Dominggus Mandacan2, tempat-tempat bersantai di atas harus menurunkan papan namanya satu persatu. Namun hal itu bukan 2
Peraturan Daerah Kabupaten Manokwari Nomor 5 Tahun 2006, tertanggal 1 Desember 2006.
64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berarti tidak adanya lagi orang beribut karena mabuk di jalanan, pun tidak berarti bersihnya minuman keras beredar, sebab hingga saat ini masih banyak beredar minuman keras dalam berbagai jenis; seperti Cap Tikus (CT)3, yang bermerek,4 mau pun Milo5 hingga kampung pedalaman. Pada hari-hari selanjutnya penulis sebagai pengamat dan peneliti blusukan tak terarah, dimana saja menemui penjual pinang, penginang, masyarakat Papua, amber (pendatang dari luar Papua), serta orang-orang yang penulis anggap bersangkut paut dalam pragmatisme sekitar dunia pinang.
Gambar 10. Sebuah lapak jualan pinang di Jalan Sujarwo Condronegoro – Manokwari Barat.6
3
Minuman yang didatangkan dari Sulawesi Utara (Manado), terbuat melalui proses penyulingan dari buah pohon enau/aren. 4 Bir,Whisky, Jenever, Tiquela, Topi Miring, dan sejenisnya. 5 Istilah untuk penyebutan minuman beralkohol, buatan masyarakat lokal di sekitar Manokwari, dan atau Papua pada umumnya. Bahannya juga berasal dari buah pohon enau/aren. 6 Dokumen pribadi penulis.
65
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Selayaknya para penjual umumnya, tampak mereka berusaha mengurai senyum dengan wajah ceria sambil sesekali menata jualannya, berharap datangnya pembeli yang lebih banyak. Dengan penuh kesabaran sambil ngobrol tanpa ujung pangkal dengan beragam topik, sambil mengkonsumsi pinang mereka bersama teman/keluarga/pembeli mengisi waktu dengan bercengkerama menanti kedatangan pembeli. Sambil menapaki jalan, penulis memperhatikan dan mencoba menelaah dengan seksama bentuk dan wujud bangunan lapak-lapak penjualan pinang, perilaku penjual dalam menanggap pembeli maupun orang yang lewat di depannya, sarana pendukung jualan, perilaku membuang ludah pinang, serta respons orang yang melihatnya, warna-warni (atap, dinding, model) pondoknya, lingkungan tempat berjualan, serta wajah hotel, ruko, swalayan, café, resto, rumah makan yang di lingkupi lapak-lapak jual pinang dan penginangnya. Dari catatan lapangan selama 8 (delapan) hari pertama masa penelitian terhitung 1.554 lapak jualan pinang7 di Kota Manokwari dan sekitarnya8; terbentang dari Bandar Udara Rendani – Transito Wosi – Sowi – Maripi, dari Transito Wosi – Jalan Pahlawan – Sanggeng – Yapis – Arkuki – sekitar Jembatan Sahara – Kampung Bouw, dari perempatan Makalow (arah Jalan 7
Dengan modal belanja sekitar Rp. 50.000,00. s.d. Rp. 250.000,00./lapak (rata-rata Rp.150.000,00./lapak) 8 Pada 3 wilayah distrik; Manokwari Barat, Manokwari Timur, dan Manokwari Selatan. Angka ini berbeda dengan data yang diperoleh dari Dinas Perindustian, Perdagangan, Koperasi dan UMKM Kabupaten Manokwari tertanggal 31 Agustus 2015,berjumlah 723 penjual Pinang.
66
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gunung Salju) –
Manggoapi – Tugu Amban – sesepanjang
jalan depan
Universitas Negeri Papua (UNIPA) – Amban Pantai – Susweni, dan dari perempatan Makalow – Pertokoan Kota – Pelabuhan Laut – Kampung Ambon – Pasir Putih hingga Arowi. Asumsi titik awal perjalanan penelitian dari sekitar Pasar Sanggeng,9 penulis berjalan menuju beberapa tempat yang berjarak relatif jauh (sekitaran kota), untuk memperoleh data lapangan yang dilakukan pada rentang wilayah Rendani (5,7 km.), Arfai (14 km.), Maripi (16 km.), Amban (7 km.), Amban Pantai (9 km.), Pantai Pasir Putih (7 km.), Susweni (10 km.), dan Arowi (9,9 km.) dengan fasilitas berupa sebuah sepeda motor10 menuju area yang jarang rumah penghuni, penggalan hutan lebat. Sedangkan untuk dalam kota penulis cukup dengan berjalan kaki (blusukan). Seorang tokoh masyarakat asli Sidey Pantai Manokwari, Agustinus Moktis (55) dan Pater Anton Tromp (69),11 seorang misionaris Augustinian di Tanah Papua menjelaskan bahwa budaya ini dibawa ke kawasan Teluk Doreri dan daratan Manokwari12 oleh saudara-saudara dari suku Biak13. Mereka selalu
9
Pasar sentral di Kota Manokwari. Honda Astrea Grand Nomor Polisi DS 3423 DC, diparkir (atau dititipkan) di sekitar wilayah tersebut, kemudian berjalan kaki untuk bisa melihat suasana, kejadian, keseharian situasi sosial, budaya, ekonomi dari warga masyarakat Kota Manokwari; serta menemui responden, dan ngobrol bersama mereka untuk mendapatkan informasi/data sekitar budaya konsumsi pinang. 11 Misionaris Augustinian dari Belanda yang sekaligus pemerhati masyarakat sosial Papua, yang sudah berkarya puluhan tahun di Tanah Papua. 12 Manokwari berasal dari Bahasa Biak: mnukwar yang berarti kampung tua. 13 Suatu suku etnis di bagian utara Pulau Papua yang termasuk handal dalam menggunakan perahu untuk menjelajahi wilayah-wilayah pantai serta pedalaman di Wilayah Papua dan sekitarnya. 10
67
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
membawa dan mengkonsumsi buah pinang kemana saja pergi dan lambat laun kebiasaan ini diikuti oleh warga masyarakat di sekitar pantai dan dataran Pegunungan Arfak Manokwari. 2. Konstelasi Budaya Konsumsi Pinang dengan Ruang Publik Dari perjalanan blusukan dalam keseharian hidup warga masyarakat Kota Manokwari dan sekitarnya, penulis memperoleh pesan dan makna yang terkandung dari wandering of the semantic pada data dan fakta lapangan; dari obrolan di gardu atau pos ronda, tumpukan sampah yang berserakahan, kenyamanan dan kebersihan hotel dan perkantoran, kerumunan khalayak, serta pesan-pesan lain yang mencirikan warga pengkonsumsi buah pinang dalam konstelasinya dengan kebijakan pemerintah, pemodal, masyarakat sosial, dan media yang ada di Kota Manokwari. 1) Kebijakan Aparat Pemerintah Pemerintah Daerah setempat yang terepresentasikan melalui kebijakan struktural Kepala Bidang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dari Dinas Perdagangan Kabupaten Manokwari, Rosita Watofa menuturkan rasa prihatin terhadap kesenjangan dalam cara mengelola (management) jualan antara pedagang dari luar Papua dan asli Papua; Ia “melihat perkembangan dunia usaha sekarang ini, mereka14harus belajar”. Oleh karenanya ia bersama team dalam dua tahun terakhir ini (2014-2015) banyak menyisihkan
14
redaktur: para pedagang dari masyarakat asli Papua.
68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
waktu untuk mengadakan pembinaan kepada mama-mama penjual pinang; memberikan pemahaman, penyadaran serta pelatihan tentang ketrampilan praktis mengelola jualan pinang, karena dengan manajement kasih15 yang selama
ini
dilakukan
oleh
mama-mama
penjual
pinang
tanpa
memperhitungkan profit, jasa produksi dan distribusi, mama-mama dorang16 tidak akan mampu menyokong kebutuhan ekonomi rumah tangga. Menjadi sebuah pertanyaan yang mendalam; ‘mengapa mereka tetap saja bisa berjualan hingga saat ini?’ Memang mereka belum tentu akan mendapatkan profit yang dapat menyokong ekonomi rumah tangganya, namun dalam diri mereka mendapatkan suatu kepuasan (pleasure) dari sisi immaterial.
Gambar 11. Lapak jualan pengecer pinang seadanya di sepanjang Jalan Siliwangi, (depan) Pelabuhan Laut Manokwari.17 15
Manajement jualan yang berdasarkan persaudaraan, kekerabatan dan pertemanan yang tanpa memikirkan akibat untung rugi secara ekonomi dari suatu bidang usahanya. 16 Sebutan khas dialek Papua untuk menunjuk orang ketiga jamak; dia orang-orang (mereka). 17 Dokumen pribadi penulis.
69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Perhatian yang sama juga diberikan oleh Asosiasi Pengusaha Asli Papua (ASPAP) di Manokwari, yang peduli menumbuh-kebangkan potensi dan peranan masyarakat Asli Papua dalam budidaya, produksi, serta distribusi pinang sebagai salah satu usaha untuk memenuhi tuntutan kebutuhan konsumernya. ASPAP membantu mama-mama penjual pinang dengan membuat dan memperbarui pondok-pondok dan lapak jualan pinang dengan ‘atap biru’nya di sekitaran Kota Manokwari. Melalui program REVITALISASI PONDOK DAN MEJA JUALAN PENGUSAHA MIKRO dan KECIL (MAMA PAPUA) yang pada tahun 2014 telah merealisasikan bantuan perbaikan dan pembuatan lapak-lapak jualan pinang “atap biru”18 sebanyak 50 unit.
Gambar 12. Kepedulian dan perhatian ASPAP terhadap UMKM “mama – mama penjual pinang”.19
18 19
Bangunan lapak penjualan pinang dengan atap seng yang berwarna biru. Dokumen Pribadi Penulis
70
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 13. Satu dari 50 unit lapak jual Pinang “atap biru”, bantuan ASPAP Manokwari.20
Diungkapkan oleh Ibu Rosita Watofa, bahwa dalam relasi kultur sosial masyarakat Papua lebih mendasarkan budaya kasih, sehingga dengan manajerial dagang modern menjadi begitu asing dan tidak familier. Tata kelola dagang menjadi sebuah symbol modernitas yang berhadapan (vis-àvis) dengan kultur kehidupan mereka, karena “usaha21 bukan budaya mereka”.
2) Kapital Modal Pinang sebagai sebuah komoditas menggurita pada sendi-sendi perekonomian yang berpotensi menggerakkan dinamika – forum publik – kultur keseharian masyarakat Papua. Komoditas pinang berkonstelasi dengan 20 21
sistem
kapital
modal;
produksi,
distribusi,
serta
budaya
Dokumen pribadi penulis. Redaktur: dagang
71
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
konsumsinya. Oleh karena itu mobilitas budaya konsumsi pinang berada dalam ranah serta dinamika kehidupan sosial-ekonomi dan budaya pada ruang publik kota Manokwari. Penghayatan kultur memberi celah bagi pemilik modal (capital) untuk mengembangkan investasinya dengan profit yang menjanjikan. a.
Nilai Ekonomis Komoditi Pinang Pinang merupakan komoditi ekonomi yang dalam mobilitas pasar lokal mampu merambah lintas pasar regional, mendominasi pasar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat konsumennya di Papua. Dinas Perdagangan dan UMKM Kabupaten Manokwari berharap dengan komoditas ini akan mampu menyokong usaha mama-mama penjual pinang
dalam
usaha
memperkuat
ketahanan
ekonomi
dan
kesejahteraan rumah tangganya. Dengan asumsi perhitungan yang didasarkan pada jumlah modal serta jumlah penjual pinang di sekitar Kota Manokwari, komoditi pinang mempunyai omset sekitar Rp. 6.993.000.000,00/bulannya. Angka ini diperoleh dari perhitungan sebagai berikut: 1.554 (jumlah lapak penjual pinang) X Rp. 150.000,00.(rata-rata modal usaha)22 X 1 bulan (30 hari) = Rp. 6.993.000.000,00. /bulan, atau berkisar Rp. 22
Dari hasil perolehan data lapangan rata-rata modal jual mama-mama penjual pinang sekitar Rp. 150.000,00./lapak.
72
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
233.100.000,00./hari. Nilai ekonomis komoditi ini prospeknya menjanjikan bagi para pelaku dagang (pemodal) yang berkiprah di sekitar dinamika kehidupan warga yang memiliki budaya konsumsi pinang.
Gambar 14. Pinang kering (gebe) di Pasar Sanggeng Manokwari.23
Untuk memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar, pemilik modal besar memposisikan sebagai agent distributor dengan mendatangkan komoditi pinang buah dan kering dari luar wilayah Manokwari, seperti pinang buah dari Jayapura, dan pinang kering dari Padang Sumatra Barat, Surabaya, Makassar serta Ternate. Dalam siaran pagi hari Rabu (09/09/2015), pada Stasiun Televisi lokal Tasindo Manokwari memberikan ulasan singkat tentang 23
Dokumen pribadi penulis.
73
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terjadimya kenaikan harga untuk komoditi pinang kering dan pinang buah pada sejumlah pasar di Manokwari.
Seorang penjual pinang
kering (Mansyur) menjelaskan bahwa sejak September 2015 harga pinang kering telah mencapai Rp.90.000,00./kilo gramnya, sedangkan harga per karung yang sebelumnya berkisar Rp.4.800.000.00 melonjak hingga Rp.7.800.000,00. Kenaikan (sekitar Rp. 3.000.000,00./karung) ini menyesuaikan dengan harga distributor yang berasal dari Padang Sumatra Barat. Sedangkan untuk pinang buah telah mengalami kenaikan sebulan lebih dahulu dibandingkan kenaikan harga pinang kering. Menurut seorang penjual pinang buah (Solfince Romsumbre), sebelum terjadi kenaikan harga per karung sekitar Rp.200.000,00. - Rp.300.000,00 namun sekarang menjadi berkisar antara Rp.500.000,00 hingga Rp.600.000,00. Selain komoditi pinang, di Manokwari juga beredar minuman keras (beralkohol) dan rokok yang menempati posisi penting dalam daftar kebutuhan sebagian warga masyarakat, ketiganya memiliki nilai ekonomis. Pinang dan rokok merupakan komoditas legal, sedangkan minuman keras sekalipun dilarang oleh pemerintah daerah setempat hingga kini tidak dapat dibendung peredarannya. Perda pelarangan jual beli
miras
serta
peringatan
bahaya
merokok
tidak
mampu
74
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
membendung keikutsertaanya dalam dinamika sosial, ekonomi, dan budaya dalam warga masyarakat Manokwari. Sebagai bahan perbandingan kelajuan prospeksi komoditas pinang dan rokok di sekitaran Kota Manokwari. Dari penuturan pimpinan agent dan distributor rokok24 Ong King Sioe dari CV. Sinar Surya Mandiri (SSM) Manokwari, memberikan informasi dan perhitungan prospek kasar rata-rata nilai omset rokok pada setiap bulannya sekitar Rp.800.000.000,00./bulan25 untuk merek rokok Gudang Garam. Masih ada dua (2) distributor (untuk merek lain), yang jika dihitung berdasarkan nilai omset sama dengan CV. SSM, maka akan memperoleh angka sekitar Rp. 2.400.000.000,00./bulannya. Sedangkan untuk
komoditas
pinang
yang
beromset
sebesar
Rp.
6.993.000.000,00./bulan, atau mendekati 300% lebih tinggi dibanding nilai komoditas rokok. Oleh karena itu disamping memiliki fungsi guna dalam aspek kultur dan sosial, pinang juga mempunyai nilai komoditas cukup significant dalam sektor ekonomi bagi masyarakat di Papua.
24
1 dari 3 Agen dan Distributor Rokok di Manokwari Asumsi kasar: Rp. 800.000.000,00. x 3 agen distributor = Rp. 2.400.000.000,00. /bulan, sedangkan untuk omset komoditi pinang ada sekitar 1.554 lapak penjual pinang x Rp. 150.000,00. x (30 hari) = Rp. 6.993.000.000,00./bulan, atau berkisar Rp. 233.100.000,00./hari beredar di sekitar Kota Manokwari. 25
75
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
b.
Budidaya Tanaman Pinang Komoditi pinang mempunyai posisi yang sangat strategis dalam bagian dan upaya untuk meningkatkan perekonomian masyarakat dan kehidupan sosial budaya, serta prospeksi ekonomi pasar dalam ruang publik sekitar Kota Manokwari. Semakin tingginya permintaan pasar untuk komoditas buah pinang menjadi sebuah prospeksi yang telah direspon dengan kebangkitan daya ekonomi kreatif dari sebagian masyarakat yang telah ikut serta dalam meningkatkan kuantitas komoditi ini melalui penggalakan penanaman pohon pinang. Masyarakat berupaya melakukan swaproduksi, sehingga akan mampu memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar.
Gambar 15. Tanaman pohon pinang mengitari rumah seorang warga di Kampung Maripi – Distrik Manokwari Selatan.26
26
Dokumen pribadi penulis.
76
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dewasa ini tanaman pohon pinang masuk dalam kategori tanaman rumah tangga, dimana satu atau lebih anggota dalam suatu rumah tangga mengelola usaha perkebunan pohon pinang dengan tujuan untuk sebagian atau seluruh hasilnya dapat dijual, baik sebagai usaha milik sendiri, bagi hasil, atau milik orang lain dengan menerima upah, termasuk dalam hal ini adalah usaha jasa perkebunan. Berdasarkan hasil Sensus Pertanian Kabupaten Manokwari tahun 2013; tanaman ini mencapai 33,40% (sekitar 42.210 pohon)27 tumbuh di sekitar kota Manokwari dari keseluruhan budidaya tanaman Pinang yang ada di seantero Kabupaten Manokwari.28 Budidaya tanaman pohon pinang menempati pada peringkat ke-3 dari 5 jenis tanaman produksi yang sedang dibudidayakan di Kabupaten Manokwari. Kakao/Coklat : 4,68 juta pohon (konsentrasi di Distrik Ransiki dan Oransbari), Kelapa Sawit : 0,67 juta pohon (konsentrasi di Distrik Masni dan Prafi), Pinang : 0,13 juta / 126.378 pohon (konsentrasi di Distrik Ransiki dan Manokwari Barat), Kelapa :
27
Berdasarkan jenis tanaman yang diusahakan oleh sejumlah rumah tangga di Kab. Manokwari ada 2.294 KK (29 Distrik). 687 KK (ada di sekitar Kota Manokwari dalam 3 distrik), selebihnya ada 1.607 KK berada dalam 27 distrik lainnya. 28 126.378. pohon (0,13 juta), sebagian besar ditanam di Distrik Ransiki dan Distrik Manokwari Barat. Perincian 26,70% : 33.738 pohon belum produktif, 54,16% : 68.435 pohon sedang dalam masa produktif, 19,14% : 24.204 pohon sudah tidak produktif lagi.
77
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
0,08 juta pohon (di Distrik Sidey), dan Cengkeh : 0,02 juta pohon (di Distrik Ransiki).29 c.
Menejerial Mama-Mama Penjual Pinang Sekitar dua dasawarsa,30 mengikuti situasi dan perkembangan warga masyarakat Manokwari, dengan proses pertumbuhan dan perubahan sektor struktur, infrastruktur, mobilitas ekonomi serta migrasi, menjadikan penulis mempunyai kesempatan mendapatkan akses informasi tentang budaya mengkonsumsi pinang dari warga masyarakat setempat. Kesempatan tersebut memberi peluang untuk mendapatkan informasi, data-data, serta elemen yang terlibat dalam keseharian hidup warga masyarakat kota Manokwari. Mengkonsumsi buah pinang mempunyai fungsi dalam relasi sosial, budaya, medis (kesehatan dan pengobatan), serta menjadi sebuah bentuk seni pergaulan. Dengan makan pinang bersama dapat menjalin dan memelihara keakraban persaudaraan, sehingga akan lebih banyak mempunyai teman, menguatkan tali kasih persaudaraan dan bahkan akan
mempermudah
persengketaan,
29 30
dalam
perselisihan
upaya /
penyelesaian
kesalahpahaman,
kasus-kasus
karena
dengan
Diolah berdasarkan Publikasi Sensus Pertanian 2013, oleh BPS Kabupaten Manokwari Tahun 2014. Sejak pertengahan bulan April tahun 1997.
78
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menawarkan kakes31 akan lebih memudahkan terjadinya proses saling memaafkan sehingga terbangun semangat persaudaraan / kekerabatan kembali. Dahulu mengkonsumsi pinang dilakukan hanya oleh orang-orang tua yang sedang berkepentingan dalam ritual adat serta pertemun tetua adat, namun dewasa ini mengkonsumsi pinang telah dilakukan oleh masyarakat pada umumnya, bahkan juga oleh anak-anak kecil. Sebagaimana pengalaman seorang gadis kecil bernama Silfin (Kelas 5 Sekolah Dasar) dan temannya Oah Kumanireng (Kelas 4 Sekolah Dasar), yang sudah terbiasa ngobrol bersama teman-temanya sambil mengkonsumsi pinang; “Saya tiap hari makan pinang”. Oah mengaku bahwa “Makan pinang paling enak bersama teman-teman,”32 walau mamanya tidak mengijikan, Oah mengkonsumsi tak kurang dari 10 biji per harinya. Dalam potret keseharian di Papua, sangat mudah menemukan orang sedang membawa pinang buah/pinang kering, batang sirih serta kapur dalam saku, noken, atau tas (kresek) kemana sedang pergi dan berada. Dengan ‘bawaannya’ tersebut baginya akan mudah menjalin
31
Sebutan kakes, dipahami sebagai sajian dalam adat budaya orang Papua, berisikan pinang buah dan pinang kering (gebe), bunga sirih, dan kapur. Kakes menjadi simbol kesatuan yang menjadikan tali kasih persaudaraan menjadi semakin erat. 32 Sumber: Wawancara 23 Agustus 2015.
79
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
komunikasi dan merayakan kehidupan bersama dengan kaum kerabat, teman, mau pun orang lain yang baru saja dikenalnya. Menurut
Bapak
Pieter
Rante,33
komoditas
pinang
dalam
masyarakat Papua mempunyai posisi sangat penting dan strategis: “Pinang itu lebih kuat kedudukannya dibanding rokok. Orang lapar tidak mencari rokok, namun di sini banyak orang lapar justru mencari pinang untuk dimakan. … pinang bagi warga masyarakat di sini sama dengan makanan pokok. Rokok masih bisa ditahan, namun berbeda dengan pinang yang selalu harus segera ada.” Dengan mengkonsumsi pinang dapat memberi stamina bagi kesehatan tubuh agar bisa beraktivitas dalam keseharian. Hal tersebut diungkapkan oleh Mama Petronela Kawer (54); bahwa kebiasaan makan pinang telah dilakukannya sejak masih muda, dengan mengkonsumsi pinang akan mengembalikan stamina badan. Setelah bekerja seharian merasa capek dan keluar keringat banyak, sambil istirahat ia akan makan pinang untuk memperoleh tenaga dan kesegaran, sehingga bisa bekerja kembali.34 Material pinang menjadi komoditas andalan bagi agent distributor (kapital 33 34
modal),
yang
juga
memberi
kesempatan
bertumbuh
Kasubid Tata Ruang Bappeda Kabupaten Manokwari. Wawancara 15 September 2015. Sumber: Wawancara 23 Agustus 2015.
80
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kembangnya ekonomi kerakyatan bagi mama-mama Papua untuk menjadi pengecer pinang; seperti di pasar, di perkampungan, di loronglorong hunian, pinggir-pinggir jalan sepanjang kota, atau pun di sekitar tempat-tempat hunian yang diharapkan dapat menyokong ekonomi keluarga.
Gambar 16. Mama-mama penjual Pinang buah di pelataran depan deretan Warung Makan Pasar Sanggeng Manokwari.35
Keadaan tersebut ditandaskan juga oleh Aprila R.A. Wayar dalam tulisannya berjudul Menunggu Peran Perempuan dalam Mengentas Kemiskinan: “Dalam
konteks
Papua,
sebagian
besar
roda
perekonomian saat ini justru dipegang oleh para pendantang atau non-Papua. Sedangkan masyarakat Adat Papua banyak dijumpai di meja pinang. Para
35
Dokumen pribadi penulis.
81
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
penjualnya pun mayoritas perempuan, yang lazim disebut Mama-Mama Papua.”36 Dalam situasi tersebut masyarakat asli Papua mendapatkan keuntungan imbas (trickle down effect) ‘sedikit’ dari mobilitas sistem ekonomi pasar yang beroperasi pada ruang publik (kampung) mereka. Menurut Pater Anton Tromp, penjualnya hampir semua adalah ibuibu.37 Mereka memperoleh bahan dari kebun sendiri, atau membeli di Pasar Sanggeng dan Pasar Wosi, kemudian mengecerkannya di pondok-pondok jualan yang mereka buat. Tromp berpendapat bahwa; “menjadi kaya karena menjual pinang saya kira tidak”, karena mereka menjual Sirih Pinang tanpa memperhitungkan ongkos produksi dan jasanya, sehingga nilai ekonomisnya belum tentu bisa mencukupi kebutuhan keluarga. Materi buah pinang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat di Papua, oleh karenanya diperlukan ketersediaan (ready stock) agar tetap dalam keadaan stabil, tidak terjadi kekurangan atau kekosongan stock. Namun dalam kenyataan pasar beberapa kali terjadi terbatasan bahan, sehingga harus mengatasinya dengan mendatangkan pinang buah segar dari Sentani Jayapura. Keadaan ini akan menaikkan harga beli 36
I Ngurah Suryawan (ed.). 2011. NARASI SEJARAH SOSIAL PAPUA. Bangkit dan Memimpin Dirinya Sendiri. Malang: Intrans Publishing. hlm. 207. 37 Bagi masyarakat Papua, lebih familier dengan sebutan “mama mama”.
82
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
masyarakat konsumer. Tingginya permintaan menjadi sebuah indikator adanya kebutuhan pada hampir seluruh lini sektor ekonomi pasar (jalinan produksi, distribusi, dan konsumer) dari kota hingga ke pelosok-pelosok perkampungan. 3) Masyarakat Sipil (Civil Society) Potret keseharian Kota Manokwari hampir sama dengan kota-kota lain di Papua, pada ruang publik dengan mudah ditemukan pemandangan seseorang atau sekelompok orang sedang bercerita sambil mengkonsumsi pinang
dan meludah
di sembarang tempat. Situasi demikian disertai
teriakan, atau tertawa, bergantung dari yang sedang diomongkan. Mereka menjalin
komunikasi
untuk
membagi
pengalaman
hidup
dalam
kebersamaanya dengan keluarga, saudara, atau teman pada sebuah bingkai merayakan hidup melalui lokalitas kultur, yakni mengkonsumsi pinang. Buah pinang menjadi material utama untuk mengeratkan komunikasi, bahkan dalam keadaan marah dengan intensitas tinggi, dengan menawarkan pinang38 akan dapat mengubah suasana menjadi bersahabat kembali, sehingga penyelesaian suatu persengketaan akan ada dalam suasana persaudaraan (fraternity).
38
Siapa saja yang lebih dahulu berlaku bukan masalah, namun biasanya yang mendahului akan dianggap orang yang tahu adat.
83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Djimmy Papare (67), menjelaskan bahwa mengkonsumsi pinang merupakan budaya yang telah mengakar rumput dalam keseharian masyarakat Papua; “Konsumsi pinang itu memang budaya orang Papua, sebagai suatu budaya untuk kita saling mengenal satu saudara dengan saudara yang lain. Macam saya tinggal di pantai, saya harus mengenal saudara yang ada di gunung, menjalin relasi persudaraan dengan mereka, dengan cara makan pinang bersama. Jadi pinang itu merupakan sarana menjalin tali persaudaraan yang mengeratkan kami antara orang Papua dengan orang Papua lainnya. Karena tradisi kami lain dengan tradisi dengan orang yang di gunung. Kami orang yang di pantai biasanya suka bergaul dengan siapa saja.
Pinang
persahabatan.
merupakan Dengan
sarana
persaudaraan
bersama-sama
makan
dan
pinang
terjadilah pembicaraan, bersama berkelakar, walau tempat asalnya berjauhan, namun akan terjadi keakraban yang luar biasa. Begitu pula akan terjalin hubungan keluarga yg luar biasa.”39 Penjelasan Bapak Djimmy Papare tersebut, menjadi satu alasan bahwa posisi buah pinang begitu penting dan harus ada dalam keseharian hidup masyarakat asli Papua, bahkan saat ini kebiasaan tersebut telah merambah pada keseharian masyarakat pendatang yang berada di Papua.
39
Sumber: Wawancara 10 Agustus 2015.
84
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pinang merupakan sarana interaksi sosial paling berpengaruh dan merambah dalam kehidupan dari kalangan anak-anak sampai dengan orang tua, dari yang berstatus pelajar, mahasiswa hingga para pemuka / tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat sampai para pejabatnya. “Orang dari luar Papua akan lebih akrab dengan masyarakat asli Papua, ketika para pendatang itu bisa makan (mengkonsumsi) pinang bersama warga masyarakat asli Papua”, demikian ditandaskan oleh Bapak Edo Padwa.40 Wacana serupa juga disampaikan oleh Bapak Hendrik Dedaida (60)41 yang ditemui ketika sedang mengkonsumsi pinang sendirian di bawah tangga menuju lantai 2 Pasar Tingkat (Pasting) Sanggeng Manokwari. Seperti biasanya sebelum mencari ikan (melaut) ia akan mengkonsumsi pinang terlebih dahulu supaya ada semangat kerja. Manfaat serupa dirasakan oleh Ibu Rosella Awom (25) yang sejak TK sudah terbiasa mengkonsumsi pinang sebelum melakukan pekerjaannya. Menurutnya: “Pinang adalah makanan khas dari Papua yang turum temurun dari orang tua sampai anakanaknya. Kayak cemilan dan dapat menguatkan gigi, menghilangkan rasa haus, bisa bikin mabuk dan dapat membangkitkan rasa percaya diri yang tinggi.” Menurut Bapak Hendrik pinang merupakan sarana menjalin pergaulan, menghangatkan badan, namun bisa juga memabukkan. Pada saat 40
Seorang pejabat pemerintahan Provinsi Papua Barat. Ia mengisahkan bahwa sudah 10 tahunan mengkonsumsi pinang karena mengikuti kebiasaan istri yang berasal dari Wasior (Kabupten Teluk Wondama). 41
85
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengkonsumsi pinang, ia dapat bercerita pengalaman masa kecil hingga menjadi orang tua. Pada asat berkumpul bersama ia dapat memberi petuah/nasihat kepada anak-anaknya; “bagaimana kelakukan itu harus diubah, supaya semakin dewasa dan tidak perlu banyak ribut.”42 Dari uraian pengalaman di atas Bapak Hedrik memberi makna dari materi buah pinang yang berperan sebagai sarana untuk membangkitkan suasana intimitas keluarga, sehingga terbangun keakraban antar generasi dalam sebuah keluarga. Berkaitan dengan eksistensi kultur mengkonsumsi pinang, seorang Staf Distrik Manokwari Timur, Musa Rumbarar (40) dalam suasana keakrabanya sedang ngobrol dengan teman-teman43 sambil mengkonsumsi pinang ia mengungkapkan
rasa
optimis
dan
keyakinannya
bahwa
budaya
mengkonsumsi pinang di dalam proses perjalanan pada era modernitas ini, akan tetap eksis dan tidak akan hilang, bahkan masyarakat dari luar Papua saat ini telah mengenal dan ikut terbiasa mengkonsumsi pinang. Ia menegaskan bahwa; “Memang dalam kenyataannya pada saat ini nampak semakin banyak orang mengkonsumsi pinang jika dibandingkan dengan yang tidak mengkonsumsinya. Entah yang berambut keriting atau pun berambut lurus, banyak dari mereka sudah membiasakan diri mengkonsumsi
42
Sumber: Wawancara 11 September 2015. Ketika akan mewawancari responden ini, yang bersangkutan bersama 5 orang lainnya sedang berada di taman distrik, membicarakan tentang politik dan persiapan pilkada dan diselingi ceritacerita lucu dengan tertawa lepas. 43
86
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pinang.” Para pendatang yang telah tinggal (berdomisili) dan dekat dengan masyarakat Papua, lambat laun menyesuaikan diri dengan keadaan setempat, termasuk kebiasaan mengkonsumsi pinang. Dari paparan di atas menjadi semakin jelas, bahwa buah pinang pada posisi sentral untuk menjalin komunikasi dan mengeratkan relasi antar personal mau pun komunal, dan oleh karenanya mengkonsumsi pinang merupakan kebiasaan yang telah menyatu dalam dinamika keseharian warga masyarakat (civil society) Manokwari. 4) Media Massa Dalam masyarakat Papua, kultur ini hadir dalam perannya sebagai yang memediasi44 dengan lebih efektif komunikasi relasional antara individu dengan individu, individu dengan komunitas, atau pun komunitas dengan komunitas pada ruang publik terbatas mau pun tak terbatas. Mengkonsumsi pinang bersama dapat memperkuat relasi inklusif atau pun eksklusif, bergantung pada topik, tujuan, dan maksud dilakukan suatu komunikasi. Menurut Ibu Klaudia Kumanireng (50) dari Desa Maripi (Manokwari Selatan): “… dulu mengkonsumsi pinang hanya dilakukan oleh orangorang tua ketika membicarakan hal-hal yang serius; seperti tentang pembayaran mas kawin, penyelesaian masalah
44
Untuk menyatakan bahwa kata memediasi menjadi utama karena keperanannya dalam proses komunikasi antar individu, individu dan kelompok, atau pun kelompok dengan kelompok masyarakat.
87
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
keluarga, membangun kampung, keyakinan, kebersihan, dan semangat untuk merdeka.”45
Isi pembicaraan hanya untuk kalangan sendiri, sehingga tidak memperbolehkan sembarang orang mengikutinya. Ibu Klaudia juga menambahkan informasi tentang manfaat mengkonsumsi pinang bagi kebertubuhan dan dalam relasi dengan sesamanya; “… membicarakan soal makan pinang adalah merupakan tradisi semua orang, tradisi leluhur kami. Manfaatnya dari sisi kesehatan antara lain adalah untuk menghilangkan bau mulut dan menguatkan gigi. Saat makan pinang suasana kebersamaan akan menjadi seru dan ramai, karena disertai dengan banyak humor.” Mengkonsumsi pinang menjadi identik dengan mengobrol, karena mengkonsumsi pinang dilakukan secara bersama dan dibarengi suasana seru dan ramai obrolan. Dalam hal ini Anton Tromp berkomentar bahwa: “Mama-mama penjual sirih pinang yang begitu banyak itu lebih mendukung pada sisi budaya masyarakat. Kita punya budaya ngobrol. Hal ini dapat dilihat di berbagai tempattempat publik, seperti ruang tunggu, lobi hotel dan banyak tempat lainnya selalu ada saja orang berkerumun dan mengobrol sambil menikmati pinang.”
Lebih lanjut ia
berpendapat bahwa; “Kultur masyarakat kita memang berbeda dengan orang-orang barat ketika sedang bertemu satu dengan yang lain. Mereka akan membicarakan tentang
45
Sumber: Wawancara 23 Agustus 2015.
88
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sesuatu atau satu soal tertentu. Lain dengan kita46 sering ngobrol tanpa ada ujung pangkalnya, tanpa ada artinya … hanya mengisi waktu dan menikmati kebersamaan ... bicara apa saja.”
Berkaitan dengan posisi buah pinang dalam kultur masyarakat Papua, Tromp menyinggung: “…dulu di Bintuni menggunakan rokok,...berputar dan setiap orang yang hadir mengisapnya, begitu pula dengan sajian pinang yang harus diambil dan dikonsumsi oleh semua orang yang hadir dalam pertemuan sebagai tali ikat kekeluargaan.” Memahami hal tersebut Tromp memposisikan peranan pinang yang memiliki daya dinamisator yang mampu menggerakan mobilitas sosial dalam masyarakat.47 Budaya ngobrol menjadi patut diperhatikan untuk dicermati dalam konstelasinya dengan aktivitas mengkonsumsi pinang dalam keseharian masyarakat di Papua. Salah satu bentuk khas budaya ngobrol di Papua terwujud dalam sebuah budaya populer yang disebut mop. Budaya ini melekat dan menjadi sebuah kekuatan seimbang (power behind) dengan budaya mengkonsumsi pinang. Ungkapan “Epen Kah – Cupen Toh”48 menjadi sangat familier dalam keseharian masyarakat di Papua, bahkan istilah tersebut menjadi identik
46
Seorang Belanda yang telah menjadi Warga Negara Indonesia. Sumber: Wawancara 24 Agustus 2015. 48 Kependekkan dari kalimat pertanyaan: “Emangnya penting kah?” selanjutnya direspon dengan sebuah kalimat jawaban yang meyakinkan dari lawan bicaranya dengan “Cukup penting toh!”. “Epen 47
89
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan Papua. Bagi orang yang pernah tinggal atau pun berkunjung di Bumi Papua dengan mudah terbuka memori pikirannya seraya berimaji tentang mop,49 yakni obrolan lucu50 khas Papua.
Kental unsur hoax, namun
biasanya berkaitan atau dapat dihubung-rangkaikan dengan keadaan atau peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi. Diolah menjadi humor yang disajikan lewat ungkapan lisan dan laku gerak, dialek yang kental dan khas sebagaimana dialog keseharian suku-suku yang ada di Papua. Mop lekat dengan sebutan-sebutan person ala Papua: pace, mace, paitua, maitua, ade, kaka, napi, insos, kabor, awim, mansar, nayak, noge, serta masih banyak sebutan lainnya berdasarkan suku yang diceritakan. Budaya populer ini sangat dinikmati dan digemari oleh warga masyarakat di Papua pada saat ada moment-moment kebersamaan, sehingga menghangatkan suasana komunikasi. Pengekpresikannya selalu mengalir, satu orang bercerita dan yang lain memperhatikan dengan seksama, ikut mencermati atau merespons dengan gelak tawa atau pun hujatan (bercanda). Performance mop dilakukan secara
Kah - Cupen Toh” sebenarnya merupakan sebuah acara dari Stasiun MeraukeTV yang berkonten MOP, yakni cerita lucu dengan dialek bahasa khas keseharian masyarakat Papua. MOP sangat memasyarakat dalam kalangan bawah hingga menengah, bahkan dewasa ini menjadi folklore populer yang merupakan cerminan identitas masyarakat Papua. 49 Dalam sebuah Blog (farsijanaindonesiauntuksemua) Selasa, 31 Desember 2013 dalam judul “Papua sebagai primadona politik Indonesia 2013” dituliskan; MOP Papua sangat laku karena kekhasannya Papua. MOP Papua adalah cara melucu orang Papua. Dalam tekanan ketidakadilan yang sedang terjadi di tanah Papua, orang Papua masih tetap bisa melucu. Cara lelucon orang Papua disebut MOP Papua. Ini adalah karakteristik orang Papua.” 50 Lelucon, dagelan. Secara berkelakar/bergurau dan tidak sungguh-sungguh, sehingga menjadi “joke dari hoax”.
90
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bergantian (istilahnya: baku bayar), setelah seorang mengekspresikan mop, muncul sebuah tantangan “ayooooo siapa lagi mau bayar”, yang artinya siapa mau menandingi kelucuan mop sebelumnya. Menurut Lando Nega (19),51 mahasiswa asal Bintuni Papua Barat menuturkan; “Mop adalah lucu, obat stress dan selalu bikin tertawa.”52 Walau ia berada di Yogyakarta,53 saat kumpul bersama teman-temannya tetap suka ngemop. Sambil menikmati pinang di mulut akan semakin menambah lincah ngomong, mulut tambah baair.54 Seiring dengan perkembangan teknologi dewasa ini, telah banyak mop diupdate dalam account Facebook. Setiap hari dapat ditemukan paling tidak sebuah mop baru, bahkan banyak visualisasi mop yang ada dalam media elektronik (internet), atau diproduksi dalam kepingan VCD yang kemudian didistribusikan ke dalam pasar-pasar di seantero Papua. Sekarang publik dengan mudah mendapatkan akses untuk menikmati mop dengan melihat, mendengar, membaca dan turut mencoba menampilkan tanpa harus berada di Papua. Mop telah mampu melahirkan ‘imagined Papuan communities’ bagi para diaspora. 51
Mahasiswa Jurusan Sistem Informasi pada Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Wawancara 20/02/2016. 52 Ada kesamaan dengan pendapat dari Tesya Fakdawer (18) seorang mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. MOP adalah cerita yang dikarang untuk membuat orang tertawa dan bikin lucu. 53 Asrama Mahasiswa Bintuni Tambak Bayan 3 Babarsari. 54 “baair” dari kata berair, yang dimaknai sebagai mulut basah dengan ludah pinang sehingga dapat berbicara (ngomong) dengan lancar, seperti air mengalir. Preposisi “ber”, dalam dialek di sebagian wilayah Bagian Timur Indonesia sering diucapkan menjadi “ba”.
91
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 17. Budaya Populer yang terekspresikan dalam sebuah Obrolan mop saat ini telah diproduksi dan beredar dalam bentuk VCD-VCD yang beredar di pasar-pasar seantero Papua.55
Budaya populer ini selain menjadi hiburan juga sarat nilai-nilai pembelajaran (edukatif) bagi masyarakat yang mendengar dan mampu memahaminya. Pencerita/penampil dan pendengar/penikmat biasanya berada dalam satu tempat (entah duduk atau berdiri) sambil mengkonsumsi pinang dan memuntahkan ludah merah, akan semakin memperjelas imaji dan obsesi dari isi, makna, serta pesan yang terkandung dalam sebuah mop. Disajikan oleh seorang pencerita melalui ungkapan lisan atau pun gerak laku yang menghadirkan kelucuan dan kadang juga kekonyolan. Bagi yang cepat memahaminya akan segera menemukan pesan makna di dalamnya, sehingga dengan cepat merespons dengan tawa atau pun teriakan histeris. Dengan kepekaan daya tangkapnya, seorang pendengar dapat
55
Dokumen pribadi penulis.
92
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menikmati dengan daya rasa, menikmati seraya membangun imajinasi, fantasi atau bayangan ‘peristiwanya’ sekaligus mendapatkan pesan yang dimaksud oleh pencerita.
Gambar 18. Orang-orang muda ngobrol bareng diselingi dengan mop-mop, di seberang jalan Bank Papua Sanggeng Manokwari.56
Hanuri (62) warga Kota Yogyakarta, seorang pensiunan pegawai Telkom di Jayapura (1982-1995) menuturkan: “Mop itu adalah lelucon, stand up comedy yang kadang merupakan cerita bual-bual57. Orang-orang Papua paling pinter menyajikan MOP.” Sejauh penulis amati, dalam mop-mop terkandung daya satire yang kuat, bahkan kadang mempunyai kecenderungan rasialisme. Hal ini menjadi sebuah indikasi adanya motif-motif yang menginspirasi sebuah performance
56 57
Dokumen pribadi penulis. Hoax
93
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mop dengan pesan (massage) bermakna yang – kadang disengaja – untuk disampaikan kepada pihak-pihak lain. Berikut sebuah contoh dari sejumlah mop yang kadang terdengar dalam obrolan bersama;
Cara Makan Pinang Pace Serui bilang: "Kita di Serui cara makan Pinang tu, 3.2.1. Makan 3 pinang duluan, trus 2 sirih, baru 1 senduk kapur trakhir." Napi Biak bilang : "Di Biak tu tabale: 1-2-3, Satu daun siri duluan, baru makan 2 kapur tulis, 3 buah pinang terakhir." Pace Wamena tra mau kalah: "Di Wamena tu campuran, 2-1-3, makan 2 senduk kapur duluan, 1 jam kemudian makan sirih, 3 hari lagi baru makan pinang!" 2 Pace tadi tanya, "Kenapa lama sekali baru makan pinang?" Pace Wamena bilang; "tunggu mulut sembuh too..."58
Contoh di atas merupakan salah satu mop yang memunculkan 3 tokoh dari suku berbeda (Serui, Biak dan Wamena) di Bumi Papua. Humoran ini biasanya lebih mungkin sering dicerita-tampilkan oleh orang yang bukan berasal dari ke 3 suku tersebut. Pesannya secara logika sangat konyol dan tidak logis, sehingga kadang akan ditanggapi dengan celotehan “yang bener saja paceeeee” atau pun respon sejenisnya. Kekonyolan yang terkandung di dalamnya akan mampu membangun imaji yang kadang diskriminatif tentang 58
Sumber : https://www.ketawa.com/2009/05/6098-cara-makan-pinang.html (21/02/2016)
94
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
subyek dan suatu obyek tertentu, namun karena disampaikan dengan humor maka kesan tersebut menjadi abu-abu (discleaner), namun justru menghibur penikmatnya. Seorang George Prawar (25)59, memberikan imaji dan penjelasannya bahwa MOP adalah menipu orang banyak60. Kepintaran merangkai beberapa fakta sosial yang sungguh-sungguh terjadi dari suatu keadaan dengan keadaan lain dalam masyarakat sebagai materi performance sebuah mop, menjadikan seseorang diberi predikat tukang mop. Terlebih kepiawian tersebut ditunjang dengan gerak laku yang pas dan ujaran yang menyertakan kentalnya dialek khas dari bahasa suatu etnis tertentu. Si pencerita harus menguasai dialek suku yang sedang diceritakannya, karena kemampuan dalam – meniru dialek bahasa/logat, gerak laku – akan menjadi suatu variable yang sangat mendukung dalam membangkitkan rasa humor, sehingga orang akan berpikir
– membangun dan mengikuti fantasi –
sejenak, kemudian akan merespons secara tidak terduga; meyakininya, menolak pernyataan, atau tertawa terpingkal karena rasa humornya. Menurut Geogre, mengkonsumsi pinang dan mop bagi orang Papua merupakan
kesatuan
sarana
menjalin
keeratan
persahabatan
dan
persaudaraaan, karena dengan makan pinang bersama orang akan semakin mudah ngomong; melisankan isi hati, fantasi, dan membuka pikiran. 59
Pegawai pada Lembaga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Propinsi Papua Barat Karena isinya bukan hal yang sebenarnya, hanya perlu kepinteran dalam merangkai fakta yang satu dengan yang lain yang tidak mempunyai keterkaitan sebuah sebab akibat (kasualitas). 60
95
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Selain mop sebagai salah satu performance budaya populer Papua, di Kota Manokwari penulis juga menemukan acara Obrolan Warung Pinang dalam program siaran radio. Acara ini merupakan salah satu bentuk perhatian dan kepedulian apresiatif terhadap budaya mengkonsumsi pinang yang telah mampu menggerakkan dinamika ruang publik sosial masyarakat Manokwari. Program interaksi aktif tersebut dalam relasinya tanpa harus bertemu (face to face) seperti performance mop, akan tetapi melalui sebuah media lokal, yakni Stasiun Regional Radio Republik Indonesia (RRI). Seorang Ice Manusaway, wartawati senior yang telah mampu membangun sebuah ruang khusus bagi budaya konsumsi pinang (mengkonsumsi pinang) dalam masyarakat Papua. Baginya budaya tersebut merupakan salah satu variable yang telah turut serta dalam membentuk identitas serta karakter ruang publik Kota Manokwari. Reaksi tanggap dari kejeliannya menjadikan acara Obrolan Warung Pinang61 ini pada tahun 2016 genap berusia 14 tahun di bawah kendalinya. Sebagai orang lapangan, Ibu Ice62
sangat peka dan mampu menangkap gelagat dan geliat budaya
masyarakat, kejadian lapangan, keluhan masyarakat, serta keinginan pemerintah (state) untuk membangun Kota Manokwari agar lebih baik dari pada sebelumnya. 61
Sebagai wartawan lapangan ia dianggap mampu menampung aspirasi, kejadian dan persoalan dalam masyarakat sekitar Manokwari. Kemudian dia mengolah dan menyajikannya dalam siaran dengan bahasa sehari-hari, bahasa pasaran, bahasa kampung, sentilan jenaka (mop), dengan bahasa khas Papua sehingga dapat dimengerti oleh semua element masyarakat pendengar. 62 Sebutan keseharian di kantor mau pun di lingkup warga masyarakat
96
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dengan pengolahan materi atas wandering of the semantic dari kehidupan masyarakat sekitar Manokwari, melalui analisa sosial dan refleksi, kemudian mengakomodir potret dan peristiwa keseharian ke dalam dunia dan dinamika budaya mengkonsumsi pinang dengan segala kebiasaan yang menyertainya, disajikanlah acara Obrolan Warung Pinang.63 Sebuah program tempat mendudukkan berbagai kejadian, persoalan, dan aspirasi masyarakat yang kemudian dipancar luaskan64 melalui program siaran RRI Manokwari secara terjadwal hingga saat ini. Obrolan Warung Pinang disajikan dalam sebuah obrolan ringan, populer, santai, dengan bahasa pasaran dialek khas Papua, sehingga mudah ditangkap (dimengerti) oleh khalayak umum. Oleh karena itu walau kontennya padat dan penuh daya makna konstruktif, acara ini gampang dimengerti, diingat, dan selalu menjadi bahan refleksi dan introspeksi dalam perbincangan masyarakat. Walau pun disampaikan secara humor dan santai, namun sangat menghibur dan bernilai edukatif65 bagi seluruh lapisan masyarakat, dari pejabat negara, penyelenggara pemerintahan, politisi, businessman, atau pun masyarakat publik pada umumnya.
63
Melibatkan 2 s.d. 3 orang selama 30 menit. Yemima (Ice Manusaway:pengasuh), Philemon ( Patty Elwarin / “Elco”), yang kadang juga menghadirkan penyiar lain dengan nama pilihan masing-masing (seperti “Mas Broer” dll). 64 Melalui kontak telpon dapat melakukan interaktif antara masyarakat pendengar dengan penyaji acara. 65 Istilah dalam Bahasa Jawa: “sembrana pari kena”.
97
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Obrolan Warung Pinang66 merupakan acara unggulan Stasiun RRI Manokwari, sekaligus merupakan “chanal inspirasi”67 yang telah menjadi ruang tersendiri bagi segenap elemen masyarakat. Obrolan Warung Pinang menjadi medium dan corong penyampai kebijakan birokrat, perasaan masyarakat, dan pikiran masyarakat publik. Terjembataninya antara kebijakan publik pemerintah dengan aspirasi masyarakat melalui acara tersebut, memungkinkan terjadinya interaksi timbal balik untuk saling menyampaikan pesan (message), guna membangun suatu peri kehidupan publik agar semakin membaik dari pada waktu-waktu sebelumnya. Acara Obrolan Warung Pinang berkonten sangat populis, menyentuh realitas sosial, interaktif, konstruktif, dan mampu menyentil (bdk. Acara Sentilan Sentilun dalam program siaran Stasiun Televisi Swasta MetrotTV) semua pihak yang peduli maupun tidak peduli dengan kebutuan dan keadaan masyarakat. Konten acara ini mengobrolkan tentang keadaan struktur dan infrastruktur publik, seperti jalan raya, pasar, lampu lalu lintas jalan raya, selokan, sampah), kesemrawutan tata kota, perilaku pejabat publik, gangguan keamanan ketertiban masyarakat (kamtibmas), demontrasi/unjuk rasa, ketidakadilan, serta hal-hal lain yang bersinggungan dengan kepentingan bersama warga masyarakat Kota Manokwari dan sekitarnya.
66 67
Sumber : Kabupaten Manokwari dalam Angka 2014. BPS Kab. Manokwari. hlm. 88-89. canal / channel
98
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 19. Obrolan Warung Pinang menjadi Acara Unggulan, sebagai Chanal Inspirasi di RRI Manokwari68
Mengkonsumsi pinang secara bersama-sama,
dibarengi dengan
obrolan, mop-mop, serta adanya acara Obrolan Warung Pinang pada Stasiun RRI Manokwari berdaya konstruktif yang dapat memunculkan wacana serta membangkitkan imaji yang akan menggerakkan dinamika sosial pada ruang publik Kota Manokwari di Papua Barat.
68
Dokumen pribadi penulis.
99
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3. Keberbedaan Idealisme dan Citra Kota Modern Image dunia publik tentang suatu kota modern sebagaimana direpresentasikan dalam Wide Shot Top Five versi METROTV (05/11/2015) yang menghadirkan potret 5 (lima) kota mancanegara; Calgary (Kanada), Minneapolis (Minnesota USA), Kobe (Osaka Kyoto di Jepang), Wellington (New Zelland), dan Singapura yang memiliki suasana nyaman, indah, rapi, serta terkelolanya sampah dengan baik; akan menjadi begitu jauh berbeda dengan realita Kota Manokwari dengan tertumpuknya sampah di berbagai sudut ruang, kesengkarutan arus lalu lintas,
serta belum tertatanya
infrastruktur yang disertai akibat-akibat yang ditimbulkannya. Keadaan ini membuat warga masyarakat menjadi tidak dalam situasi yang nyaman. Realitas ini menjadi sebuah persimpangan di antara cara pandang dan orientasi subyek-subyek yang terlibat dalam ruang publiknya. Hamburan limbah konsumsi pinang menjadi indikasi keadaan yang kotor, jorok, tidak sehat; terhubungkan pada sisi kontra produktif dengan upaya menciptakan kondisi dan situasi kota yang bersih dan rapi. Limbah sisa aktivitas mengkonsumsi pinang membangunkan imaji negatif, menjadikan ruang publik
kotor, memperkeruh suasana hati serta
memperburuk pemandangan lingkungan ruang publik.
100
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 20. Dinding sebuah bangunan unit bank pelayanan di Pasar Sanggeng. Pemandangan biasa di Kota Manokwari, dari buangan ludah merah saat mengkonsumsi pinang69
Kultur dan gaya hidup masyarakat tersebut menyisakan akibat yang merisaukan, karena keadaan tersebut membangunkan wacana dari keberbedaan imaji tentang kota yang ideal versus realitas publik yang ada. Dituturkan oleh Ong King Sioe (53), pemilik CV. SSM di Manokwari: “… kalau itu saya kira sudah tradisi turun temurun ... maksudnya itu sudah turun temurun dari orang tua sampai sekarang, dimana anak-anak muda pun sudah mengkonsumsi pinang sirih. Sebenarnya itu kotor sekali, apalagi mereka makan sudah kunyah … buang sembarang, bahkan mereka sengaja, kita punya dinding, pintu aja … pagi sudah penuh dengan semburan pinang. Buat-buatnya tengah malam. Maunya ruang publik kota Manokwari bisa bersih namun keadaan begitu masih susah. …dibanding
69
Dokumen pribadi penulis.
101
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan
Singapura
seperti
bumi
dan
langit
perbedaanya. Di sana nyamuk saja tidak ada”.
70
Begitu pula seorang pelancong yang berasal dari Jawa, Handoko Widagdo71 yang sempat mengunjungi Manokwari. Dalam bloggernya ia menuliskan pengalamannya; “Upaya untuk meningkatkan kebersihan tertuang dalam plakat-plakat kecil bertuliskan “Dilarang Meludah Pinang Di Tempat ini”. Plakat-plakat kecil tersebut bisa kita temukan di dinding depan restoran, hotel, bank, pertokoan dan bangunan-bangunan pemerintah. Masyarakat Manokwari memang masih memiliki kebiasaan untuk mengunyah pinang. Warna bibir yang merah dan beberapa noktah hitam di giginya
membuat
menjadi
seksi.
senyum
Namun
laki-laki
ludah
Manokwari
pinang
menjadi
persoalan kebersihan yang harus ditangani.” Latar belakang pemikiran dan konsep modernitas pada diri seorang Handoko membuat suatu komparasi dalam kaitan dengan keadaan ruang publik di Manokwari. Ia mengidealiskan ruang publik seperti yang ia pikirkan; ‘berharap tidak adanya keadaan kotor’; Masyarakat Manokwari memang masih memiliki kebiasaan untuk mengunyah pinang. Tanpa ada
70
Sumber: Wawancara 18 September 2015. Sumber: BALTYRA.com. Kota Manokwari dan Ransiki. (20 Februari 2015). Pelancong ke berbagai penjuru dunia, berasal dari Purwodadi dan tinggal di Solo Jawa Tengah. Bekerja pada lembaga pemerhati pendidikan. (6 Nopember 2015). 71
102
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dalam pikirannya bahwa keadaan tersebut merupakan bagian imbas dari kultur masyarakat setempat. Ia berpandangan bahwa kebiasaan tersebut (seharusnya) tidak ada lagi di masa sekarang. Kultur masyarakat ini juga menimbulkan kerisauan banyak pihak, sebab kebiasaan ini dalam sisi modernitas mendapatkan penilaian sebagai kebiasaan jorok, serta kontra produktif dengan lifestyle di era modern ini. Maka budaya keseharian masyarakat Papua yang telah berlangsung secara turun-temurun ini justru dianggap menjadi biang masalah (kambing hitam) dalam progresivitas modern. Konsep tentang ruang publik modern, menjadi begitu berbeda (berseberangan)
dengan keadaan dan cara pandang dari sisi konsumer
pinang yang tak ingin ‘dicabut’ dari kultur keseharian hidup mereka. Seorang Imelda Nimbafu (41) menuturkan bahwa; “makan pinang merupakan suatu tradisi masyarakat untuk pergaulan, sehingga biasa dinikmati dalam suasana beramai-ramai. Kotor tidaknya pemandangan sangat bergantung dari kesadaran yang makan saja. Makan pinang harus tahu tempatnya dan jangan asal semprot sembarang di dinding.” Secara lebih khusus ia berpendapat beda dan berlawanan dengan imaji publik; “Banyaknya larangan mengkonsumsi pinang di berbagai tempat memang sangat mengecewakan, mereka tidak senang karena bukan kebiasaannya
103
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
saja. Soalnya pohon pinang di sini kecuali banyak di hutan juga banyak ditanam di pekarangan rumah-rumah.”72
Gambar 21. Hadi Departement Store dan Swiss-Belhotel Jalan Yos Sudarso Manokwari di siang hari.73
Memperhatikan beragam pendapat di atas menjadi petunjuk bahwa dalam ruang publik muncul serangkaian wacana sebagai representative Offentlichkeit
(perepresentasian/perwakilan
publik)
dan
literarische
Offentlichkeit (ruang publik dunia sastra/literer) yang terkonstruksi dari sekitar budaya mengkonsumsi pinang. Wacana tersebut berpotensi menjadi dinamisator aktivitas sosial, perekonomian, komunikasi, kebudayaan dan terkait pula dengan dunia medis dalam kehidupan warga masyarakat di Kota Manokwari dan sekitarnya. Kebiasaan turun-temurun yang tetap eksis dalam
72 73
Sumber: Wawancara 23 Agustus 2015. Dokumen pribadi penulis.
104
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kehidupan sehari-hari tersebut menjadi ciri, identitas, dan sebuah karakter sosial yang khas dalam masyarakat setempat hingga saat ini. Sajian kakes berupa pinang yang disertai sirih dan kapur menjadi cemilan lokalitas kultur dan perangkat (piranti) utama dalam pertemuanpertemuan formal adat budaya atau pun informal dalam keseharian masyarakat Papua. Sajian ini selalu (setia) mengiringi pembicaraan/obrolan bersama. Karena efek stimulantnya dapat memacu gairah psikologis si konsumer, sehingga seseorang akan semakin bertambah rasa percaya diri, sehingga membangkitkan gairah berkomunikasi dengan teman-temannya. Pikiran, permasalahan, cita-cita serta idealitas yang mengendap di alam bawah alam sadar (unconscious) akan membual (liquefy), terungkap dan terbahasa-lisankan dalam obrolan bersama.
105
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV DINAMIKA BUDAYA KONSUMSI PINANG SEBAGAI FAKTOR PEMBENTUK RUANG PUBLIK KOTA MANOKWARI
Pada bab keempat ini akan diuraikan jawaban atas rumusan masalah berkaitan dengan ragam opini dan wacana publik tentang budaya mengkonsumsi pinang dalam keseharian masyarakat di Kota Manokwari. Melalui analisa, interpretasi dan refleksi, penulis berupaya mengartikulasikan fenomena konsumsi pinang dalam masyarakat Manokwari dalam rentang tahun 2010 hingga tahun 2015 yang menjadi unsur pembentuk realitas ruang publik Kota Manokwari di Propinsi Papua Barat. Pada bab keempat ini akan diuraikan jawaban atas rumusan masalah berkaitan dengan ragam opini dan wacana publik tentang budaya mengkonsumsi pinang dalam keseharian masyarakat di Kota Manokwari. Melalui analisa, interpretasi dan refleksi, penulis berupaya mengartikulasikan fenomena konsumsi pinang yang menjadi unsur pembentuk realitas ruang publik Kota Manokwari di Propinsi Papua Barat. Sebagai landasan menganalisis serta menginterpretasi kajian budaya dengan topik dinamika negosiasi operasional strategi dan taktik pada ruang publik tandingan dalam mewujudkan kemapanan Kota Manokwari ini akan dipergunakan konsep-konsep pemikiran Michel de Certeau dari buku The
106
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Practice of Everyday Life (1984), Ian Buchanan (2000): Michel de Certeau Cultural Theorist; Ben Highmore (2006): Michel de Certeau Analysing Culture, serta karya akademik lain yang membicarakan tentang topik dimaksud. 1. Sepanjang Jalan Membaca Retorika Mata sebagai alat untuk melihat akan mampu menangkap berbagai peristiwa pada suatu ruang geografis, berbagai kejadian muncul sebagai bagian dari proses perubahan menuju terbentuknya wujud baru dari sebuah ruang kota yang texturology dapat diubah-ubah sesuai vision1 seorang pejalan kaki (walker). Banyak prestasi masa lalu akan dibuang begitu saja demi sebuah impian untuk masa yang akan datang. Berjalan kaki merupakan aktivitas paling mendasar untuk mengalami sebuah ruang, mengartikulasikan, mengorganisasi, serta memberi makna dari riuh gemuruhnya aktivitas kehidupan sehari-hari (the practice of everyday life) warga masyarakat dalam suatu ruang publik, karena dari suatu perjalanan seseorang akan dapat membaca berbagai peristiwa yang di dalamnya tersusun struktur retorika penting dan produktif. Certeau memaknai peran seorang pejalan kaki sebagai sebuah langkah awal serta pionir yang akan mampu mengubah dan membentuk dinamika sebuah kota menjadi ruang publik sesuai dengan visi dan utopianya.
1
Impian / bayangan (of a great future).
107
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Serangkaian aktivitas keseharian warga masyarakat di Kota Manokwari adalah merupakan representasi sosial subyek-subyek pada “lintasan-lintasan tak teratur” (indeterminate trajectories) pada sistem-sistem struktur dan infrastruktur publik yang beroperasi dengan mempergunakan strategi dan taktik sesuai dengan kepentingan dan tujuannya masing-masing. Dinamika budaya mengkonsumsi pinang dalam masyarakat Manokwari merupakan representasi kultur sosial yang mempunyai nilai, makna dan kekuatan serta ada keterkaitan dengan subyek liyan; seperti apparatus pemerintah, kapital modal/pengusaha, masyarakat sipil dan media, yang secara bersama dengan perannya masing-masing dalam mempengaruhi – mendukung atau pun kontra produktif – dalam keberperanannya dalam membentuk
dan
karakter
ruang
publik
Kota
Manokwari
secara
berkelanjutan, sebagaimana diisyaratkan oleh Pemerintah Kabupaten Manokwari dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Manokwari 2009-2029 yang secara teknis pelaksanaannya dikendalikan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Manokwari. Jalinan relasi pribadi atau pun sosial secara lebih intim atas dasar persaudaraan atau pun kekerabatan akan membentuk suatu komunitas, warga budaya, kelompok yang diperhitungkan sebagai sebuah komunitas terbayang (imagined communities) yang memiliki kekuatan dalam klasifikasi struktur ruang (spasial). Kekuatan tersebut menjadi sebuah potensi yang berpeluang untuk ikut serta dalam proses pembentukan sebuah ruang publik.
108
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kota Manokwari berpopulasi penduduk dengan sifat heterogen, maka proses
pembentukan
pengembaraan
makna
ruang
publiknya
(wandering
of
akan the
selalu semantic)2
sarat yang
dengan akan
mempengaruhi sistem, bentuk, karakter, dan identitas ruang publiknya. They are sentences that remain unpredictable within the space ordered by the organizing techniques of systems. (Certeau.1984:35)3
2. Budaya Konsumsi Pinang di Kota Manokwari Mengkonsumsi pinang dalam masyarakat Papua menjadi sebuah medium bagi aktivitas-aktivitas kultural (perayaan siklus peristiwa kehidupan), ekonomi, politik, serta sosialita keseharian masyarakat dari Wondama, Serui, Biak serta masyarakat pada umumnya yang ada di Kota Manokwari, tradisi dan kebiasaan ini menjadi memiliki posisi strategis pada hampir seluruh bidang geometris4 dan geografis5 di wilayah Papua. Pinang menjadi materi utama yang dipergunakan dalam forum-forum kultural, formal mau pun informal dalam keseharian hidup masyarakat pengkonsumsinya. Kebiasaan ini sebelum tahun 1990an tidak terlalu 2
Semantik (Bahasa Yunani: semantikos, memberikan tanda, penting, dari kata sema, tanda) adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari arti/makna yang terkandung pada suatu bahasa, kode, atau jenis representasi lain. Dengan kata lain, Semantik adalah pembelajaran tentang makna. 3 Michel de Certeau.1984.The Practice of Everyday Life. University of California Press:Berkeley, hal.34. 4 Berkaitan dengan penjelasan tentang sifat-sifat garis, sudut, bidang dan ruang. 5 Berkaitan dengan ilmu tentang permukaan bumi, iklim, penduduk, flora, fauna, serta hasil yang diperoleh dari bumi.
109
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mendapatkan perhatian dari masyarakat publik, namun seiring dengan mobilitas migrant dari luar Papua kebiasaan ini menjadi eksotis, menjadi satu daya tarik khas bagi para pendatang yang baru mengenalnya. Namun ketertarikan tersebut sekaligus juga menempelkan sebuah ciri-ciri negatif (stigmatisasi), sehingga terkesan kontra produktif dan tidak sesuai dengan konsep-konsep modernitas. Penilaian
demikian
tentunya
menyinggung
perasaan
warga
pengkonsumsi pinang yang sudah menjadikannya sebagai tradisi maupun kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibu Imelda Nimbafu: “Banyaknya larangan mengkonsumsi pinang di berbagai tempat memang sangat mengecewakan, mereka tidak senang karena bukan kebiasaannya saja.” Dilihat dari sisi administrasi publik pun, data kuantitas tanaman ini baru dapat diperoleh tahun 2014 pada Publikasi Sensus Pertanian 2013 (ST2013)6 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Manokwari Tahun 2014. Sebelum publikasi ST2013 tidak mudah untuk mendapatkan data kuantitatif dan prospeksi komoditas tanaman pinang di Kabupaten Manokwari. Dari ST2013 tersebut diperoleh informasi bahwa budidaya tanaman tersebut menempati peringkat ke-3 setelah tanaman Coklat (4,68 juta pohon) dan Kelapa Sawit (0,67 juta pohon), sedangkan Pinang: 0,13 6
Badan Pusat Statistik Kabupaten Manokwari Tahun 2014.
110
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
juta/126.378 pohon.7 Ini merupakan indikasi bahwa tanaman pinang mempunyai andil dalam ansambel8 besar pada tata kehidupan ekonomi, budaya, dan sosial dalam masyarakat Manokwari. 1) Pasar Pinang sebagai Forum Publik Aktivitas mengkonsumsi pinang menjadi ruang publik khusus yang menjadi medium forum bersama serta ruang demokrasi tempat orang merefleksikan serta mengolah pengalaman hidup, melakukan kegiatankegiatan kultural, sosial, dan politik, dalam relasi sosialitasnya untuk penyelenggaraan kehidupan selanjutnya. Karena bernilai ekonomis dan kemanfaatan sosialnya, pinang menjadi komoditas niaga yang memiliki prospek menjanjikan bagi sebagian warga Manokwari. Kultur mengkonsumsi pinang yang berkorelasi dengan keseharian masyarakat publik bukan lagi menjadi urusan komoditas ekonomi pasar dan pengkonsumsinya saja, melainkan telah menjadi: “… forum,…orang
melakukan
(Sunardi.2003:5)9
dalam
kegiatan-kegiatan keseharian
hidup
kultural
dan
politik”
masyarakat.
Praktek
mengkonsumsi pinang menjadi ruang berbicara (pembicaraan) ketiga; seperti ngobrol, obrolan warung pinang, mop, dll. yang dilakukan pada hampir semua ruang geometris di wilayah Kota Manokwari dan sekitarnya. 7
Diolah berdasarkan Publikasi Sensus Pertanian 2013, oleh BPS Kabupaten Manokwari Tahun 2014. Kelompok pemain bersama secara tetap. 9 St. Sunardi. 2003. Opera Tanpa Kata. Yogyakarta: Buku Baik, hal.5. 8
111
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Hal ini berpotensial menjadi media pembangkit dinamika konstelasi kehidupan masyarakat pruralis (multicultural), katalisator eskalasi politikkeamanan dalam keseharian masyarakat, serta mampu mendekonstruksi dan mengkonstruksi tata kehidupan berbangsa dan bernegara dalam masyarakat setempat. Pruralitas (multicultural) masyarakat ‘pasar pinang’ yang terdiri dari masyarakat Biak Numfor, Serui, Wondama, serta beberapa para pemdatang dari luar Papua di Kota Manokwari menyuburkan bertumbuh-kembangnya wandering of the semantic yang akan menjadi materi bangunan-bangunan wacana serta peristiwa baru pada wilayah publik: “…pasar dijadikan sebagai metafor bagi keadaan masyarakat kita sekarang dengan berbagai paradoksnya. “Pasar” ia jelaskan sedemikan rupa sehingga ia bukan hanya merupakan tempat jual beli, namun sudah menjadi kategori baru untuk mengolah pengalaman hidup manusia…”(Sunardi.2003:2-3)10 dari beragam budaya dan kepentingan yang mewujud dalam luntur/runtuhnya tata kehidupan sebelumnya, dan terbangunnya tata kehidupan selanjutnya, dengan kebijakan dan regulasi yang disertai dengan munculnya kelas-kelas masyarakat (strata) yang baru dengan spesialisasinya masing-masing.
10
Ibid. hal. 2-3.
112
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2) Budaya Konsumsi Pinang dalam Ruang Publik Tandingan Subyek-subyek dengan ragam kultur dalam aktivitas keseharian pada ruang publik Kota Manokwari berkaitan langsung atau pun tidak langsung akan menginterpretasikan budaya konsumsi pinang dengan beragam hasil makna dan pesan. Beragam makna yang beterbangan11 (wandering of the semantic) bertransformasi pada diri setiap subyek, menjadi pengetahuan yang mendasari dinamika negosiasi oleh subyek-subyek dari berbagai ragam kultur
dan
sistem
sosialnya,
yang
demi
kepentingan
aktor-aktor
kontestannya akan terjadi dialektika-dialektika yang berpotensi membangun (mengkonstruksi),
membangun
kembali
(merekonstruksi),
meluluh-
lantakkan (merusak) dan meruntuhkan (mendekonstruksi)12 bangunan imaji, yang akan melahirkan wacana baru tentang sebuah ruang publik dalam yang berkaitan dengan kultur mengkonsumsi pinang dalam masyarakat setempat. Masyarakat
publik
dengan
imaji
dan
wacananya
berpotensi
menggerakkan dinamika sosial, ekonomi, budaya dan politik masyarakat sipil (civil society), sehingga terbentuk relief monumental yang dihasilkan melalui pertarungan-pertarungan yang mewujud dalam identitas dan karakter ruang publik Kota Manokwari yang berkelanjutan.
11
Jawa: sliweran dan pating sliwer. Istilah yang dipakai oleh Derrida dalam ide menggugat; pandangan bahwa ada makna yang transparan dan hadir dengan sendirinya di luar “representasi”, serta oposisi konseptual yang hierarkis dalam filsafat, seperti tuturan/tulisan, realitas/penampakan, dan berargumen tentang “ketidak-dapat-ditentukannya” (undecidability) pasangan oposisi biner. (Sumber: Chris Barker (2014). Kamus Kajian Budaya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hlm.72.) 12
113
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ben Highmore dalam buku Michel de Certau Analysing Culture menyebut ruang-ruang operasional dialektika subyek-subyek tersebut sebagai ruang publik tandingan (counter public sphere). Ia terinspirasi konsep tersebut dari Oskar Negt dan Alexander Kluge13 yang menguraikan tentang wujud-wujud ruang publik tandingan: “The classical public sphere of newspapers, chancellories, parliaments, clubs, parties, associations rest on a quasiartisanal mode of production. By comparison, the industrialized public sphere of computers, the mass media, the media cartel, the combined public relations and legal departements of conglomerates and interest groups, and, finally, reality itself as a public sphere transformed by productions, represent a superior and more highly organized level of productions.(Kluge dan Negt.1972:2)”14
Membaca konteks Kota Manokwari dengan memakai konsep Kluge dan Negt tersebut dapat memposisikan media massa; seperti Obrolan Warung Pinang di Stasiun RRI Manokwari dan budaya populer mop, surat kabar, komunitas-komunitas warga, masyarakat-masyarakat adat, korporasi dan perniagaan adalah merupakan ruang publik tandingan tempat terjadinya dialektika negosiasi subyek-subyek yang berperan serta dalam membentuk locus Kota Manokwari menjadi sebuah ruang publik berkelanjutan.
13
Oskar Negt and Alexander Kluge, Public Sphere and Experience: Toward an Analysis of the Bourgeois and Proletarian Public Sphere, translated by Peter Labanyi, Jamie Owen Daniel and Assenka Oksiloff (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1993), p. 12 – first published in Germany in 1972.) 14 Ben Highmore. 2006. Michel de Certau Analysing Culture. “An Art of Diversion: Cultural Policy and the Counter Public Sphere”. Continuum International Publishing Group, New York, hal.163.
114
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3) Mobilitas Migran dan Okultisme Publik Seiring dengan Kota Manokwari dijadikan pusat struktur pemerintahan Propinsi Papua Barat, maka berakibat pada lajunya tingkat pertambahan penduduk dan pembangunan infrastruktur. Manokwari menjadi daya tarik bagi publik, dengan demikian juga berakibat pada semakin meluasnya ruang publik tandingan. Prof. Dr. La Pona dari Pusat Studi Kependudukan (PSK) Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura menguraikan bahwa: “Pertambahan penduduk di Tanah Papua …lebih banyak dipengaruhi oleh proses migrasi masuk (in migration) yaitu migran spontan dan transmigran. Sedangkan pertambahan penduduk Papua secara alami (natural increase) yang disebabkan selisih penduduk yang lahir (fertility rate) dibanding yang meninggal (mortality rate) sangat kurang berperan. Apabila program transmigran tidak lagi dikembangkan seperti jaman era Orde Baru (Orba) maka penambahan penduduk di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) lebih banyak dipengaruhi oleh migran spontan asal provinsi lainnya di Indonesia”15 Pertambahan penduduk di Papua yang lebih banyak dipengaruhi oleh migran spontan asal provinsi lain menciptakan tingkat kemajemukan (heterogenitas) berpotensi mempengaruhi perluasan ruang publik tandingan dan kondisi kehidupan masyarakat. Konsep-konsep modernitas yang dibawa bersama warga migran pada ruang publik tandingan menciptakan ketidaktentuan dan kekuatiran 15
Sumber: tabloidjubi “Transmigrasi dan Migrasi di Tanah Papua.” Dominggus Mampioper. 28 November 2012.
115
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
masyarakat setempat, sehingga merepresi dan menghantui psikososial warga masyarakat. Mobilitas dengan dinamikanya membangun rasa was-was, kuatir, bingung, curiga, frustrasi, sehingga tercipta okultisme publik yang mewujud dalam pertanyaan bersama dalam masyarakat; ‘nanti Kota Manokwari ini mau jadi seperti apa?’ Keadaan ini diakibatkan oleh kekuatan dominasi baru (hegemonisasi modernitas), sehingga suatu proses pembentukan ruang publik dengan identitas dan karakternya akan berjalan terus, sehingga “… the old regime no longer had the authority it had once commanded.” (Buchanan.2000:2)16 Perubahan ini menuntut masyarakat publik untuk lebih waspada dan jeli terhadap wandering of the semantic sehingga dapat menemukan (atau tidak menemukan sama sekali) pesan dari makna yang diperoleh, yang akan digunakan sebagai materi perencanaan dan aktvitas untuk mencapai idealisme kehidupan masing-masing. I Ngurah Suryawan, pengajar pada Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari dalam buku NARASI SEJARAH SOSIAL PAPUA. BANGKIT DAN MEMIMPIN DIRINYA SENDIRI menguraikan: “Penetrasi investasi modal berlangsung kencang di Manokwari. … Diantaranya yang terbesar adalah ivestasi Group Hady dengan Hadi Mall dan Hotel Swis-Bell (Group Choice yang memegang Hotel Mariot). Fulica Manokwari membangun Hotel Meridien di Kawasan Sowi Gunung (hotel bintang 4 pertama di Manokwari). Itu tentu 16
Ian Buchanan. 2000. Michel de Certeau Cultural Theorist. Nottingham Trent University, hal.2.
116
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
saja belum termasuk ratusan pedagang-pedagang dari Sulawesi, Jawa dan daerah lain di Indonesia yang mengadu peruntungan di Manokwari, Papua Barat. Maka tidaklah heran jika pasar-pasar tradisional dan pusatpusat keramaian di Papua Barat, di Kota Manokwari khususnya akan banyak ditemui pedagang-pedagang yang berasal dari Sulawesi dan Jawa.” 17
Pasca diterbitkannya Undang Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang pemebentukan Propinsi Irian Jaya Barat (dll.) pada era Presiden B.J. Habibie, seiring dengan terjadinya arus mobilitas migran maka komposisi masyarakat pememegang peranan pada sektor pasar tradisonal berindikasi terjadi ketidakseimbangan peran, masyarakat pendatang lebih dominan menguasai perniagaan pasar dibandingkan dengan masyarakat setempat. Kebanyakan masyarakat setempat menjual sayuran, buah-buahan lokal, ikan atau pun hasil bumi lain yang jumlahnya relatif sedikit, dengan menggelar dagangannya di emperan-emperan pasar atau pinggir-pinggir jalan yang beralaskan karung atau papan-papan seadanya. Potret pasar tradisional; Pasar Borobudur, Pasar Tingkat Sanggeng serta Pasar Wosi telah dapat menjadi indikator yang membahasakan adanya kompleksitas permasalahan dan pertumbuhan Kota Manokwari tentang adanya masyarakat yang telah mencapai kesejahteraan hidup, kecemburuan
17
I Ngurah Suryawan (ed). 2011. Narasi Sejarah Sosial Papua. Bangkit dan Memimpin Dirinya Sendiri. Malang: Intrans Publishing, hal. 223.
117
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sosial dan pula sentiment etnis yang berpotensi terjadinya persinggungan di antara subyek-subyek di Kota Manokwari sebagai ruang publik tandingan. Certeau melukiskan kecemasan publik yang diakibatkan oleh penetrasi dari mobilitas sosial dengan munculnya ketidakteraturan dan ketidakjelasan yang dianalogikan sebagai hantu: “The practices of consumption are the ghosts of the society that carries their name …” (Certeau. 1984:35)18 yang hadir bersamaan dengan arus globalisasi. Okultisme yang terpahami sebagai 'pengetahuan yang rahasia dan tersembunyi' telah menjadi hantu ‘jangan-jangan’ sehingga meresahkan kejiwaan publik (psikososial), sebagaimana imaji terror yang selalu mencemaskan dan tidak memberi perasaan nyaman bagi masyarakat setempat. Dalam kondisi ini dengan sangat mudah akan membangun wacanawacana racial politics pada ruang publik, sebagaimana diungkapkan oleh seorang Putra Papua, Socrates Sofyan Yoman: “Pernyataan yang berulang kali mendesingkan di telinga saya (penulis) ini adalah komitmen sebagai anak Papua untuk menjaga, memelihara, dan mempertahankannya. Ironisnya, orang–orang Papua tidak menyadari bahwa tanah sebagai hak kesulungan yang diberikan Tuhan sedang dijarah dengan alasan pembangunan nasional dan integrasi wilayah Indonesia.Tanah orang Papua dijarah dengan pembangunan pemukiman Transmigrasi tanpa membayar satu sen pun.Tanah ini dijarah dan diserahkan kepada 18
Ibid., hal.35.
118
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
orang–orang pendatang bukan pemilik Tanah Papua. Lihat saja di Manokwari, di Sorong, di Merauke, di Nabire, di Timika, di Jayapura (Arso: Keerom). Setelah dijarah tanahnya, orang Papua disingkirkan dari tanah mereka.”19 Ruang publik Kota Manokwari dan sekitarnya telah terhegemoni oleh otorita-otorita kekuasaan (rezim penentu), menjadi arena ‘lomba’ antara kesepahaman dan ketidaksepahaman konsep ideologi di antara apparatus publik (state), masyarakat sipil (civil society), masyarakat asli dan masyarakat pendatang, individu, kelompok etnis, yang semakin memperjelas dinamika pertarungan ekonomi, sosial, politik, dan budaya dalam keseharian hidup masyarakat. Pengoprasian strategi dengan berbagai tindakan manipulatif dalam bentuk represif serta upaya-upaya penyeragaman (uniformitas) atas realitas kultur masyarakat di Manokwari, yang dilakukan oleh otorita dominan dan termandatkan pada diri subjek apparatus pemerintah, pebisnis, komunitas, warga budaya, lembaga ilmiah yang memunculkan kebijakan publik (cultural policy); seperti dilarang makan pinang di area ini! akan semakin mempersempit atau justru menjajah20 sistem kultur kampung penginang 19
Socrates Sofyan Yoman. 2007. Pemusnahan Etnis Melanesia Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat. Yogyakarta: Galang Press, hal.175. 20 Bdk. Kolonialisme menjajah pikiran sebagai pelengkap penjajahan tubuh dan ia melepas kuasakekuasaan dalam masyarakat terjajah untuk mengubah pelbagai prioritas kultural mereka untuk sekali dan selamanya. Dalam proses tersebut, ia membantu menggeneralisasi konsep tentang Barat modern dari sebuah entitas geografis dan temporal ke sebuah kategori psikologis. Barat saat ini ada dimana-mana, di barat dan di luar Barat, dalam pelbagai struktur dan dalam sebuah pikiran (Nady 1993. hlm.xi). Sumber: Leela Gandi. 2007. Teori Poskolonial. Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Penerbit Qalam. Cet-3, hal. 21.
119
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebagai ruang tak terbatas yang sarat dengan filosofi dan makna kehidupan bagi masyarakat di Manokwari dan Papua pada umumnya. Kemapanan kultur kampung penginang berhadapan dengan idealisme kota modern yang perlahan menggeser dan mengambil alih fungsi-fungsi kultur setempat seraya memunculkan ‘kedai-kedai baru’ tempat orang-orang berkumpul dengan gaya hidup modern. Gaya hidup modern memaksa masyarakat setempat menjadi bergantung pada sistem ekonomi baru dalam jaringan yang lebih luas, sehingga masyarakat setempat perlu ambil nafas panjang guna menghimpun tenaga dan mencari kesempatan untuk beradaptasi dengan konsep dan pragmatisme kehidupan modernitas sebagai hal baru. Kebijakan publik (public policy) yang lahir dari struktur kekuasaan (pemerintah) dan kebijakan budaya (cultural policy) dari otoritas dominan (masyarakat pendatang) yang telah tertransplantasi konsep modernitas – dengan percaya diri mengklaim sebagai subyek yang sudah beradab dan modern – mempunyai potensi untuk mewujudnyatakan imaji kota modern. Padahal otoritas asing tersebut merongrong eksistensi kultur masyarakat setempat, sehingga tersisihkannya warga pengkonsumsi pinang pada ruang terbatas (sempit), dan bukan lagi sebagai ruang publik ‘kampungku’ yang hanya kita (eksklusif privat) yang tak terbatas. Kenyamanan ruang privat terusik, sehingga membangkitkan hasrat untuk melawan atau pun mengupayakan negosiasi supaya dapat terakomodir asosiasi bebasnya.
120
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 22. Potret jualan pinang di Jalan Yakonde Padang Bulan Atas, pasca Kongres Rakyat Papua III di Lapangan Zakeus Abepura Jayapura.21
Keberbedaan sikap dan perilaku dalam realitas kehidupan sosial di lapangan cenderung dibaca sebagai ‘perlawanan’ terhadap keadaan. Sikap cuek terhadap peringatan untuk tidak mengkonsumsi pinang, mempertegas untuk berlaku membuang limbah pinang di sembarang tempat, atau bahkan dengan sengaja mencoret-coretkan ludah pinang pada tembok-tembok rumah atau pun bangunan publik lainnya. Posisi struktur otoritas dominan telah mampu membangun imaji dan wacana-wacana rasional (logis) yang secara berangsur mampu membangun makna dan fungsi baru pada wilayah kultur masyarakat setempat ke ruang 21
Sumber Facebook: Forum Diskusi Komunikasi (Fordiskom) STFT Fajar Timur Abepura Jayapura. 20 Januari 2015.
121
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
publik politik (politische Offentlichkeit). Proses tersebut menggeser ruang assosiasi bebas masyarakat kultur, tempat berekspresi dengan kreatif dan merdeka dengan nilai-nilai kulturalnya. Kultur yang turun-temurun dari nenek moyang cenderung terepresi – bahkan mendapat penilaian rendah dan stigma negatif – dan tak diperhitungkan dalam bangunan imaji dan wacana baru (modernitas) pada ruang publik modern. Perbedaan kepentingan mewujud dalam resistensi sosial di antara aparatur pemerintah, elit politik, pengusaha, korporasi-korporasi dengan masyarakat kultur pengkonsumsi pinang yang disebabkan oleh perbedaan; konsep, paradigma, ideologi dan gaya hidup. Konsep modernitas pada subyek-subyek mempersepsi kampung sebagai “ruang privat tak terbatas” dan dikonstruk menjadi sebuah kota sebagai “ruang sosial yang banyak batasan”
dengan
aturan
dan
konsep-konsep
regulasi
yang
lebih
menitikberatkan suatu penyeragaman (uniformitas) untuk sebuah ide ruang publik. Terbangunlah ‘kampung-kampung dalam kota’ yang dilingkupi bentuk dan praktek-praktek kekuatan struktural dari otoritas dominan yang merupakan sebuah representasi kekuatan sosial pada ruang publik Kota Manokwari.
122
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4) Budaya Konsumsi Pinang sebagai Tempat Pengucapan Ketiga22 Mobilitas migrasi ke Manokwari menjadikan kebiasaan mengkonsumsi pinang semakin banyak dilakukan juga oleh warga pendatang (bukan Papua). Mereka ikut berbiasa mengkonsumsi pinang dan membaur dengan masyarakat setempat untuk beragam alasan. Sebagaimana diungkapkan oleh Musa Rumbarar: “… bahkan masyarakat dari luar Papua saat ini telah mengenal dan ikut terbiasa mengkonsumsi pinang.” Mereka menyesuaikan diri dengan warga setempat, menjalin relasi; dalam lembaga perkawinan, rekan kerja, relasi dagang, serta alasan lainnya, sehingga ada intimitas komunikasi (interaksi) secara lebih intensif untuk mengungkapkan hasil refleksi atas kehidupan masing-masing di dalam ‘kedai-kedai kopi Papua’. Dalam relasi antara masyarakat setempat dan pendatang akan terbangun kolaborasi
koloni
(struktur
sosial)
baru
dengan
segala
aktivitas
kesehariannya. Situasi tersebut terbangun seperti dicontohkan oleh Habermas dengan terbentuknya struktur sosial ruang publik Inggris Raya pasca Ratu Elizabeth I (sekitar abad 18): “Dominasi ‘kota’ semakin diperkuat oleh institusi-institusi baru yang, dengan semua ragamnya… mengambil alih fungsi-fungsi sosial yang sama: “… kedai kopi dan salon menjadi pusat kritik – awalnya hanya bersifat kesusteraan,
22
Istilah yang dipakai oleh Homi K. Bhabha, pada buku. Teori Poskolonial. Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Karya Leela Gandi. 1998. Yogyakarta: Penerbit Qalam, hal. viii.
123
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
namun kemudian menjadi politis juga – yang di dalamnya mulai lahir kelompok baru …”23
Tradisi mengkonsumsi pinang sebagai ‘ruang privat tak terbatas’ berfungsi menjadi kedai-kedai kopi atau salon-salon tempat seluruh pernyataan-pernyataan; seperti pengalaman diri, pengalaman sosial dan kritik keadaan serta menjadi bagian sistem kultur sosial dalam masyarakat di Papua. ‘Kedai-kedai kopi Papua’ telah diminati (dihadiri) oleh orang-orang yang tidak sekampung; seperti dari Bugis, Batak, Jawa, Timur, Minahasa dan sebagainya. “Orang dari luar Papua akan lebih akrab dengan masyarakat
asli
Papua, ketika para pendatang itu bisa makan
(mengkonsumsi) pinang bersama warga masyarakat asli Papua,” sebagaimana menjadi sebuah harapan dari Bapak Edo Padwa. Terbentuknya koloni baru menjadi sebuah wujud otorita komunitas masyarakat terbayang yang akan turut merubah dan membentuk struktur publik dan kultur masyarakat setempat. “Kampung Pinang” bukan lagi tempat keluarga saya saja, melainkan telah menjadi tempat mereka di rumah saya. Keadaan baru ini menjadikan ruang tempat kami berucap bertransformasi dalam format transkultural yang baru, yang oleh Homi K. Bhabha disebut sebagai “tempat pengucapan ketiga”,24 tempat bersama
23
Jurgen Habermas. 1989. (terj. Yudi Santoso) Ruang Publik. Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis. Yogyakarta: Kreasi Wacana, hal.49. 24 Leela Gandhi. 1998. Teori Poskolonial .Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Penerbit Qalam, hal. viii.
124
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan latar heterogen (multikultur) yang akan berpartisipatoris dalam pembentukan identitas, karakter, dan wujud ruang publik Kota Manokwari yang berkelanjutan Mengkonsumsi pinang bersama bukan hanya sebagai aktivitas fisik saja, namun di dalamnya sarat akan nilai serta makna persahabatan, persaudaraan, bahkan penyatuan antara dua pribadi atau lebih secara intensif dan intim. Tradisi mengkonsumsi pinang telah mampu memelihara dan memperkuat keharmonisan relasi antar personal mau pun komunal, karenanya mengkonsumsi pinang menjadi fasilitas dan medium untuk membangun sinergisitas yang akan memberi kemudahan dalam sistem pencapaian hasil/tujuan dari suatu kepentingan tertentu. Strategi yang sama diterapkan dalam kebijakan publik punggawa pemerintah Hindia Belanda untuk melakukan pendekatan kepada penduduk koloninya. Tempat pengucapan ketiga tetap menjadi bagian dalam counter public sphere,25 dimana identitas kultural warga budaya (pengkonsumsi pinang) setempat tetap berada dalam wilayah kontradiksi dan ambivalensi di antara otoritas pemerintahan (state), kapital modal, media, serta masyarakat sipil (civil society) dengan beragam kultur. Pengakuan (claim) akan sebuah “kemurnian” hierarki kultur masyarakat menjadi tidak dapat dipertahankan
25
Bdk. Pemikiran Ben Highmore dalam buku Michel de Certeau Analysing Culture (2006:164); While their examples are mostly focused on lesbian and gay culture as a counter public sphere, how they figure this is relevant (potentially) to all sorts of other counter public spheres. What makes a counter public both public and ‘counter’ is crucial to their theory.
125
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
lagi, karena telah mengalami suatu perubahan wujud dan sistemnya seiring dengan proses perkembangan ruang publik yang berada dalam arus globalisasi. Obrolan Warung Pinang dan mop memposisikan pinang sebagai medium dan dinamisator yang mendasari terjadinya komunikasi sosial dan budaya dalam keseharian hidup masyarakat di Papua. Komoditi tersebut juga mampu menjadi katalisator proses interaksi personal mau pun komunal pada ruang publik. Keduanya menjadi forum dan media komunikasi warga masyarakat dalam posisi strategisnya sebagai tempat pengucapan ketiga sekaligus berada dalam ruang publik tandingan (the counter public sphere). Tempat pengucapan ketiga pun semakin meluas dan terbuka untuk subyek-subyek baru, tradisi mengkonsumsi pinang sebagai medium dialektika yang ekslusif berubah menjadi inklusif dalam lingkup dan penerapannya untuk negosiasi praktek pengoprasian beragam kepentingan publik.
Dengan
demikian
lebih
banyak
membuka
kemungkinan
terbangunnya opini, wacana, upaya analisis, pencerahan intuisi, ide-ide baru, konsep baru, informasi baru, serta perspektif baru yang semakin mendekatkan kepada harapan dan idealisme masing-masing kontestan. Dalam inklusivitas yang toleran, akan semakin meringankan bebanbeban kehidupan sosial, memudahkan pencapaian harapan (kepentingan), bisa saling menerima dengan simpati (welcome), relasi mutualisma, dan bagi pemodal/pebisnis yang merupakan bagian dari kapital sosial modern, dengan
126
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
usaha mall, hotel, penyedia jasa dsb. akan berkemungkinan mendapatkan profit yang lebih. Lapangan terbuka, pasar, tempat berkumpul (nongkrong), lorong pemukiman dan jalan-jalan menjadi ruang publik yang mempunyai aksesbilitas dengan berbagai jaringan bisnis mau pun teknologi modern, mengubah ruang publik tradisional menjadi lebih banyak fungsi (multifungsi); seperti arena politik, perekonomian, interaksi sosial dan budaya. Penetrasi investasi modal berlangsung kencang di Manokwari. … Maka tidaklah heran jika pasar-pasar tradisional dan pusat-pusat keramaian di Papua Barat, di Kota Manokwari khususnya akan banyak ditemui pedagang-pedagang yang berasal dari Sulawesi dan Jawa. (Suryawan.2011:223)26 Mobilitas keseharian masyarakat mengentarai Kota Manokwari menjadi arena kontestasi guna mendapatkan pemenuhan keinginan ego dan idealism modernitas. Kontestasi tersebut semakin dinamis dengan diintensifkannya melalui program Pengembangan perkotaan utama di Kabupaten Manokwari sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) di Propinsi Papua Barat oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupten Manokwari. Program tersebut ditiik beratkan pada wilayah Distrik Manokwari Barat, Manokwari Timur, Manokwari Utara, dan Manokwari Selatan, dengan tujuan untuk mendorong dan mempersiapkan perkotaan Manokwari sebagai pusat pemerintahan, 26
Ibid., hal..223.
127
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
perdagangan, jasa serta mendorong pengembangan perkotaan Manokwari yang berfungsi untuk pelayanan fasilitas umum skala regional, dengan Distrik Manokwari Barat sebagai pusat wilayah pengembangannya,27 yang di dalamnya termasuk upaya peningkatan Bandara Nasional Rendani serta Pelabuhan Laut Manokwari. Pengembangan pusat perkotaan menjadikan tempat pengucapan ketiga di Kota Manokwari tidak pernah berhenti dan sepi ‘pengunjung’, proses pembentukan ruang publik dengan dinamikanya berlangsung pada trajectory yang tidak menentu secara berkesinambungan (kohoren) dan berkelanjutan (kontinuitas).
3. Kontinuitas Operasi Strategi dan Taktik dalam Ruang Publik Perubahan struktur pemerintahan dan penambahan infrastruktur pada ruang publik Kota Manokwari secara kasat mata dilakukuan sesegera setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2007 tertanggal 18 April 2007, yang juga menandai berdirinya Propinsi Irian Jaya Barat yang kemudian berubah nama menjadi Propinsi Papua Barat dengan status Otonomi Khusus.
27
Sumber: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Manokwari 2015. Tabel 6.1. Tahapan Pelaksanaan Pembangunan (Indikasi Program) Perwujudan Struktur Ruang Wilayah. Hal..2.
128
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Perubahan begitu mencolok, ruang publik yang nyaman, dengan rimbun dan kokohnya pohon-pohon tua, bangunan-bangunan masa pendudukan Belanda dan Jepang di sekitar jalan Jalan Brawijaya, Jalan Siliwangi, dan beberapa tempat lainnya membuat ruang publik dengan sebutan; Kota Injil, Kota Peradaban, Kota Buah dan Kota Ikan, dalam satu dasa warsa terakhir berubah wajah dan karakter ruang publiknya, namun masih pula meninggalkan jejak-jejak perjalanan sejarah masa lalu yang tetap menjadi kenangan yang terpatri di hati dan benak masyarakat Papua di masa lalu. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kibaran bendera Nederland (Belanda) di sekitar Kota Manokwari; banyak yang telah hilang dan darinya saat ini banyak hal baru yang tidak bisa dipungkiri kehadirannya. 1) Strategi vis-à-vis Taktik Berkurangnya ketentraman dan kenyamanan yang diikuti meningkatnya kriminalitas, persengketaan publik, dan kegerahan psikososial dalam ruang publik Kota Manokwari, menantang masyarakat untuk mau beradaptasi dengan keadaan baru yang dipengaruhi oleh globalisasi modernitas. Subyeksubyek masyarakat asli Papua (sebagai tuan tanah) representasi sosialnya semakin terbatasi oleh hadirnya dominasi rezim penentu, sehingga menjadi terusik posisi kenyamanannya. Subyek-subyek lambat laun terkonstruksi beragam sikap diri; beriringan, bersekongkol, menentang dan bahkan
129
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
melakukan operasional perlawanan secara terang-terangan / terbuka mau pun dengan taktik-taktik tertutup (under cover) terhadap rezim dominan. Operasionalitas
perlawanan
mewujud
dalam
dinamika
dialektik
negosiasi antar kontestan yang menggunakan strategi dan taktik untuk mencapai tujuannya. Ruang publik menjadi arena pertarungan strategi dan taktik. Certeau menjelaskan bahwa: “… a strategy the calculation (or manipulation) of power relationships that becomes possible as soon as a subject with will and power (a business, an army, a city, a scientific institution) can be isolated.”28 Sedangkan taktik adalah merupakan
“…
procedures that gain validity in relation to the pertinence they lend to time— to the circumstances which the precise instant of an intervention transforms into a favorable situation."29 Pengguna strategi (rezim penentu atau pun otoritas dominan) berkecenderungan memposisikan pengguna taktik sebagai target, musuh, atau pesaing. Asumsi konsep pemikiran de Certeau tersebut dapat menjadi pisau bedah sekaligus mencermati realitas keadaan Kota Manokwari, dimana terjadi akumulasi relasi publik yang beragam latar belakang dan kepentingan. Setiap subyek dituntut mempergunakan atau pun menghadapi strategi atau taktik untuk dapat mengembangkan asosiasi bebasnya pada
28 29
Ibid. hal.35-36. Ibid. hal.38.
130
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ruang-ruang negosiasi dalam upaya untuk mendapatkan memperoleh nilainilai etika, kesenangan/pemuasan atau pun penemuan baru (inovasi) pada aspek kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik pada ruang publik Kota Manokwari. Subyek-subyek rezim penentu memainkan strategi dalam konfigurasi struktur legal. Dengan strategi yang tepat otoritas-otoritas apparatus pemerintahan, birokrat, agen-agen kapital modal (penanam modal dan pengusaha), pedagang-pedagang kelas menengah ke atas, serta otoritas lain (dimungkinkan) akan mampu menghegemoni publik secara lebih luas dan dengan sesegera mungkin memperoleh pemenuhan tujuannya. Operasional taktik dilakukan oleh subyek di luar rezim penentu atau berada di dalam wilayah otoritas asing. Taktik dipahami sebagai siasat yang harus memperhitungkan posisinya dengan tepat, karena akan selalu berhadapan (vis-à-vis) dengan strategi yang otoritasnya terstruktur, legaln dan dapat diklarifikasi kesejarahannya. Dengan kata lain taktik adalah siasat untuk menghadapi strategi yang dipakai oleh otoritas asing untuk mendapatkan kemenangan (keberhasilan). Keduanya beroperasi dalam satu ruang, namun berbeda operasionalnya. Posisi ini dapat melekat seterusnya atau pun sebaliknya, namun keduanya tetap akan berpotensi dan berperan sebagai subyek (aktor-aktor), faktor pembentuk serta pengendali keadaan ruang publik kota Manokwari yang berkelanjutan.
131
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Antara warga masyarakat asli Papua dengan warga pendatang dari luar Papua mempunyai relasi yang bersifat eksterioritas, keduanya saling berhadapan atau bercampur dalam satu ruang publik Kota Manokwari, namun masing-masing tetap berasumsi bahwa yang dihadapi adalah obyek target sekaligus ancaman. Selain dari subyek diri, (the other) akan selalu merupakan pesaing, pelanggan, atau bahkan musuh yang sedang bersamasama dalam satu arena tanding (the counter public sphere). Akumulasi masalah dan konflik-konflik tersebut sering bermuara dalam gerakan-gerakan
masyarakat
Papua;
seperti
demonstrasi
menuntut
kemerdekaan bangsa Papua, yang dalam perspeksi hukum dikategorikan sebagai tindak makar terhadap pemerintahan yang sah, sehingga mereka harus berhadapan dengan alat-alat negara yang merupakan ideological state apparatus; inteljen, satuan polisi pamong praja, polisi (anti huru hara), atau pun angkatan bersenjata lainnya.
2) Perlawanan terhadap Stigmatisasi Kebijakan Publik Meminjam istilah ruang publik yang dipakai Jurgen Habermas, kegiatan (kultur) mengkonsumsi pinang merupakan perepresentasian /perwakilan publik (representative offentlichkeit) yang menjadi bagian dari aktivitas keseharian masyarakat di Papua. Melalui kebiasaan tersebut akan membuka cara orang berpikir, lebih gampang membahasakan isi pikiran seseorang sehingga dapat berpanjang lebar (nerocos) berbicara dari hal-hal
132
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang serius sampai dengan cerita ringan dan lucu. Mengkonsumsi pinang menjadi sebuah perepresentasian kelompok masyarakat kategori kultur yang berada dalam suatu wilayah ruang publik. Maka sentiment ketidaksenangan serta kebijakan publik yang melarang mengkonsumsi pinang pada sembarang tempat menjadi sebuah pembatasan terhadap sebuah kultur warga budaya, berakibat pada tidak leluasanya para penginang untuk kumpul-kumpul bareng (ngobrol) seraya berefleksi dan membagi pengalaman kehidupan individu mau pun sosialnya. Penginang terbatasi dan terdesak oleh dominasi publik yang mengatasnamakan upayaupaya untuk mewujudnyatakan kota modern yang bersih, rapi dan elegant. Walaupun
upaya
tersebut
selalu
mendapatkan
perlawanan
dan
ketidakpedulian dari masyarakat pengkonsumsi pinang yang tetap saja tidak menghiraukan kebijakan publik yang berupa larangan membuang limbah dan ludah pinang di beberapa ‘tempat modern’ yang ada plat-plat peringatan dimaksud. Stigmatisasi jorok, tidak bernilai, terbelakang, tidak modern, dan berbagai penilaian negatif, merupakan sebuah sikap pengingkaran terhadap realitas publik dengan akibat-akibat yang ditimbulkannya. Berhamburnya ludah pinang di berbagai tempat; pada tembok-tembok rumah, toko, perkantoran, bandara, sekolah, jalan raya serta tempat-tempat publik lainnya semakin meyakinkan meyakinkan stigmatisasi yang diberikan sebagai suatu
133
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kebiasaan yang dinilai tidak sesuai dengan idealism modernitas dan tuntutan sebuah ruang publik yang berkelanjutan. Sikap kontra opini terhadap fenomena mengkonsumsi pinang terungkap dari sebagian masyarakat pendatang serta orang-orang yang telah mempunyai konsep modern tentang sebuah kota, mereka menganggap bahwa aktivitas tersebut merupakan kebiasaan yang berdampak buruk, budaya terbelakang, jorok dan tidak elegant untuk sebuah kota di jaman modern dewasa ini. Penilaian ini semakin diyakinkan dengan banyaknya tanda larangan mengkonsumsi pinang yang dibuat oleh pihak pemerintah melalui kebijakan Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) atau pun unit-unit kerja, sebagai perpanjangan ideological state apparatus (ISA), pemerintah. Tuntutan-tuntutan masyarakat publik yang dipengaruhi oleh konsepkonsep modernitas memunculkan penilaian negatif tentang masyarakat Papua yang masih terbelakang, terasing, dan tertinggal jika dibanding dengan wilayah Indonesia lainnya. Penilaian-penilaian dan stigmatisasi tentang keadaan masyarakat Papua yang “seperti itu”, akan laku dijadikan alasan untuk mengeksploitasi proyek-proyek struktur dan infrastruktur. Tuntutan-tuntutan keadaan tersebut diproyeksikan dalam berbagai rencana program
pembangunan
yang
bersinergis
dengan
otoritas-otoritas
konglomerasi dari luar Papua yang kurang (tidak) paham dengan realitas kultur masyarakat Papua secara komprehensif.
134
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pertemuan ragam cara pandang, kepentingan, serta penilaian terhadap kultur lokal budaya mengkonsumsi pinang dalam masyarakat Manokwari atau pun masyarakat Papua pada umumnya, menumbuhkan “embrio pertarungan” pada ruang publik. Perbedaan konsep dan persepsi tentang sebuah ruang publik di antara ideological state apparatus (ISA) yang sarat ide-ide modernitas dengan warga masyarakat budaya mengkonsumsi pinang, menimbulkan sebuah permasalahan pragmatis ideologis dalam keseharian hidup masyarakat. Produk
regulasi
menitikberatkan
sebagai
kebijakan
penyeragaman
otoritas
(uniformitas)
publik dan
yang tanpa
hanya mampu
mengakomodir kepentingan kultur masyarakat, membuktikan adanya ketidak berpihakan dalam obyektivitas kebijakan publik. Oleh karenanya, keadaan yang diakibatkan oleh kebijakan publik yang terwujud dalam regulasi dari rezim penentu dan pemegang otoritas kekuasaan publik tersebut, direspons oleh masyarakat kultur dengan beragam bentuk perlawanan. Bentuk-bentuk ekspresi perlawanan pada ruang publik terwujud dalam perilaku-perilaku yang biasa-biasa saja hingga luar biasa; seperti meludahkan pinang di sembarang tempat, mencoret-coret tembok atau jalan raya (vandalistic), tindak pidana (criminal) umum, tindakan anarkis, sampai dengan demonstrasi-demonstrasi di lapangan yang selalu ada yang membawa serta menikmati pinang dengan kapur sirihnya.
135
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Perlawanan-perlawanan dalam ruang publik tersebut juga merupakan taktik untuk memperoleh kembali ruang assosiasi bebasnya, sehingga ‘masyarakat
pengkonsumsi
pinang’
bisa
merasakan
ruang
publik
‘kampung’nya sebagai forum bersama, ruang demokrasi tempat orang merefleksikan dan mengolah pengalaman hidup mereka kembali. Dari catatan Giard dalam kaitannya dengan ruang publik, Certeau mengisyaratkan adanya sebuah kondisi ruang yang tepat untuk dapat digunakan oleh masyarakat publik untuk melakukan aktivitas-aktivitas publiknya: “… that places in cities be set aside for speech making, that festivalsof orality and writing be created, that questions be opened to competition(for the production of texts or cassette recordings), that the circulation of recordings as a means of social exchange be developed, and so on. Similarly, the collection and archiving of oral patrimony should be stimulated, by associating with it what pertains to gestures and techniques of the body. (CS: 139 with Giard).”30 Dalam konteks Indonesia, idealisme de Certeau tersebut terbahasakan pula oleh seorang Remy Riverno. Kepeduliannya terhadap dibutuhkannya suatu ruang publik bagi masyarakat perkotaan di Indonesia, mengajak para punggawa pemerintah-pemerintah di wilayah Nusantara untuk mencontoh yang telah dilakukan oleh Ridwan Kamil untuk Kota Bandung dan Tri
30
Ibid. hal.161.
136
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Rismaharini untuk Kota Surabaya, Penyediaan Ruang Publik Untuk Mewujudkan Masyarakat yang Berkelanjutan. Ia menandaskan perlunya ruang
publik
untuk
kepentingan
bersama
sebagai
upaya
untuk
membangkitkan potensi-potensi yang ada dalam masyarakat secara berkelanjutan: “Berbagai sumber daya hanya dapat terwujud apabila antar manusia ada hubungan emosional dan merasa punya kepentingan bersama. Semua itu hanya dapat terjalin ketika kita sering bercengkrama di ruang publik. Penyediaan ruang publik yang memadai secara kuantitas dan kualitas akan mampu menciptakan masyarakat yang berkelanjutan, yaitu tempat orang bekerjasama untuk membuat sesuatu demi kepentingan bersama yang lebih berkelanjutan”.31
Hal ini tentunya menjadi begitu berbeda dengan proyek-proyek infrastruktur publik yang dihadirkan dari sebuah kebijakan aparatus pemerintah yang berkorporasi dengan konglomerasi (seperti pasar, tamantaman kota, tempat parkir, perkantoran, ruang tunggu terminal Bandar Udara atau pun Pelabuhan Laut) yang lebih bermuatan politik ekonomi (mementingkan profit), namun tak mampu (belum) mengakomodir tuntutan kebutuhan ruang publik bagi masyarakat kultural setempat. Dari
keberbedaan
cara
pandang
di
antara
pihak-pihak
yang
mengidealkan modernitas dengan realitas warga masyarakat kultur 31
www.kompasiana.com (30 Sept 2015).Penyediaan Ruang Publik Untuk Mewujudkan Masyarakat yang Berkelanjutan. (29 Nop 2015).
137
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pengkonsumsi pinang, terindikasi adanya resistensi yang diakibatkan oleh asumsi-asumsi kontra produksi. Menjadi produktif ketika subyek-subyek yang terlibat mampu memanfaatkan kesempatan sehingga terjadi relasi simbiosis mutualisme, dimana satu sama lain saling mendapatkan keuntungan dan kemanfaatan. Begitu pula akan menjadi kontra produksi ketika aktivitas-aktivitas masyarakat tersebut dibaca sebagai relasi simbiosis parasitisme, dimana satu dengan lain tidak saling mendukung dan justru saling mengganggu. Masyarakat yang mempunyai konsep idealis tentang sebuah kota sebagai ruang publik modern akan merasa terganggu melihat kota dengan hamburan sampah (limbah) pinang. Ketidakberpihakan subyek-subyek pada situasi ini akan menstigmatisasi sebagai kebiasaan yang mengganggu ketertiban umum, mempengaruhi tingkat keberuntungan dan kemanfaatan bagi mereka. Kultur setempat dianggap tidak menguntungkan untuk upaya menciptakan atmosfer kota yang bisa mendatangkan keuntungan finansial atau pun meraih ambisi penghargaan yang bergengsi, semisal adipura. Dari uraian di atas memberi alasan bahwa di balik adanya pengingkaran terhadap keadaan sekitar kultur mengkonsumsi pinang dalam masyarakat di sekitaran Kota Manokwari, terdapat kekuatan (power) di luar rezim penentu (otoritas dominan) yang justru berpotensi dan mampu berperan sebagai pengendali yang memiliki kekuatan membentuk ruang publik Kota Manokwari. Subyek-subyek hadir mentransplantasi, membawa pergi retoris
138
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan menggusur analitis, sehingga dalam kaitan dengan arus urbanisme hadir wandering of the semantics yang terproduksi oleh massa. Pengenyampingan yang terungkap melalui opini, wacana, serta stigmatisasi terhadap kultur konsumsi pinang masyarakat setempat masuk dalam ranah operasional kehidupan sosial, politik, ekonomi, serta budaya yang tertuang dalam kebijakan-kebijakan publik dan hasil-hasil proyek infrastruktur pada ruang publik, menjadi tidak terlalu memiliki nilai guna bagi kepentingan dan kehidupan publik.
3) Penjungkirbalikan Posisi Strategi dan Taktik Undang Undang No. 45 Tahun 1999, yang disusul dengan PP No 24 Tahun 2007 memantapkan status Propinsi Irian Jaya Barat (Papua Parat) dengan Ibu Kota di Manokwari. Proses pembangunan sumber daya manusia serta eksploitasi sumber daya alamnya merubah pemahaman, pengertian, pemanfaatan, dan pemaknaan ruang publik.32 Laju perubahan struktur dan infrastruktur semakin pesat. Dapat dipastikan bahwa infrastruktur tersebut sangat berguna bagi masyarakat pada umumnya, namun belum tentu menjadi bermakna, tepat 32
Sebagai landasan dan referensi penulis mempergunakan 3 jenis pemahaman tentang ruang publik: Offentlichkeit (bhs Jerman) menurut Jurgen Habermas yang diterjemahkan dalam Bahasa Inggris oleh Thomas Burger; 1) politische Offentlichkeit (ruang publik politik/politis), 2) literarische Offentlichkeit (ruang publik dunia sastra/literer), dan 3) representative Offentlichkeit (perepresentasian/perwakilan publik).Terjemahan Bahasa Indonesia oleh Yudi Santoso. 2007. Ruang Publik. Sebuah kajian Tentang Masyarakat Borjuis.Yogyakarta: Kreasi Wacana, hal. xi.
139
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
guna, tepat situasi dan terlebih karena tidak mampu memberi tempat (mengakomodir) kebutuhan bagi kehidupan kultur masyarakat setempat; maka ruang publik di dalam realitasnya terdapat warga yang berasosiasi (korporasi dan kooperasi) atau justru memisah-misahkan diri (terpecah belah), sehingga kota sebagai ruang publik akan menyajikan berbagai peristiwa atas dasar ketidakstabilan, diisolasi, atau keterkaitan properti yang memiliki harga dan makna menurut cara berpikirnya masing-masing. Artinya bahwa masyarakat pengkonsumsi pinang sebagai bagian dari kehidupan publik yang tak terpisahkan ternyata masih perlu diakomodir eksistensi kulturnya, diperhatikan dan diberi tempat untuk asosiasi bebasnya. “"The city,"like a proper name, thus provides a way of conceiving and constructing space on the basis of a finite number of stable, isolatable, and interconnected properties.”(Certeau.1984:94).33 Maka kota sebagai ruang publik tanding menjadi dalam situasi tegang yang disebabkan oleh adanya beragam dinamika negosiasi dan perlawanan dari berbagai otoritas subyek. Mereka berlomba mempersepsi kota sebagai ruang sosial tak terbatas dengan beragam bentuk dan praktek kekuatan struktural; aparatur birokrasi, elit politik, pengusaha, warga masyarakat, serta hadirnya kebijakan pemerintah, paradigma pembangunan, ideologi dan dominasi gaya hidup di dalam masyarakat. Namun hal ini justru memberi batas-batas yang
33
Ibid. hal. 94.
140
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mempersepit ruang gerak asosiasi bebas yang dimiliki masing-masing subyek terdampak. Kontestasi dengan berbagai dialektika negosiasi pada ruang publik tandingan (the counter public sphere), tidak berhenti dengan strategi dan taktik masing-masing pihak dengan keberhasilan (kemenangan) yang telah dicapai. Mencapai keberhasilan lebih mudah dari pada mempertahankan hasil yang telah dicapai, karena dalam proses selanjutnya sangat mungkin terjadi alih posisi (penjungkirbalikan) kontestan pemegang dominasi (rezim penentu). Pemakai strategi sebagai penguasa otoritas sangat mungkin harus “terbalik posisi”nya dan mendapatkan kekalahan sehingga (mungkin) harus berganti menerapkan taktik. Mobilitas sosial dan aktivitas keseharian masyarakat menjadi salah satu saluran dan arena kontestasi strategi dan taktik dalam memperjuangkan keinginan ego dan idealisme modernitas. Beragam bentuk relasi, motivasi dan tujuan yang ada dalam diri warga masyarakat yang terlibat dalam proses perkembangan dan pembentukan ruang publik, akan mengakibatkan munculnya ragam permasalahan sosial dalam kehidupan pribadi dan sosial warga masyarakat. Pemerintah bersama badan usaha, konglomerasi pribadi, kelompok, atau pun jaringan global lainnya dengan bermacam-macam desain (by design) menjalin relasi konspiratif untuk memanfaatkan investasi
141
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
modalnya beriringan dengan program-program pembangunan dalam rangka kepentingan publik, sekaligus tujuan ekonomis (profit). Aktivitas mengkonsumsi pinang adalah bagian dari aktivitas warga kultur masyarakat di Manokwari dan Papua pada umumnya, namun karena berkonstelasi dengan aktivitas keseharian masyarakat pendatang (imigran) pada ruang publik Kota Manokwari, maka tidak dapat lepas dengan beragam penilaian-penilaian (stigmatisasi) dari liyan (the other) yang hadir di sekitar kebiasaan tersebut. Perilaku keseharian mengkonsumsi pinang sebagai suatu aktivitas dalam kategori kultur, yang sekaligus telah lekat – tak terpisahkan – dalam keseharian hidup warga masyarakat di Papua pada umumnya, mampu menggerakkan dinamika konstelasi dalam ruang publik dan mewujud dalam gerakan yang bersifat frontal serta merepresif sisi psikososial masyarakat. Tindakan-tindakan kelompok masyarakat yang bersifat frontal; seperti unjuk rasa, pemalangan, pemalakan, mengabaikan ketertiban umum, demonstrasi, dan ketidakpedulian terhadap regulasi-regulasi serta nilai-nilai etika sosial dalam kehidupan bersama; aktivitas masyarakat yang destruktif dan vandalistis menjadi sebuah kekuatan seimbang (balance) antara strategi dan taktik dalam masyarakat.
142
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kebiasaan mengkonsumsi pinang yang sekaligus menjadi ruang berbicara ketiga (kedai-kedai kopi ala Papua) dalam masyarakat di Kota Manokwari adalah merupakan praktek kultur masyarakat yang dipandang asing atau pun eksotis bagi para migran (pendatang) yang belum memahami fungsi dan maknanya dengan benar. Oleh karena itu sudah seharusnya dapat diakomodir dalam ruang publik kota. Aktivitas kultur warga tersebut merupakan bentuk operasi khusus yang mampu memberi pengalaman mistis ruang dari "another spatiality”, dan justru bukan dinilai sebagai sebuah karakteristik yang buram dan gelap dalam mobilitas suatu kota. Semakin banyak orang mengkonsumsi pinang dengan tebaran limbah pinang sebagai pemandangan kota adalah merupakan bukti bahwa strategi dari otoritas dominan sebagai rezim penentu tidak selalu ‘menentukan’34 keadaan ruang publikte. Certeau menegaskan: “By contrast with a strategy (whose successive shapes introduce a certain play into this formal … a tactic is a calculated action determined by the absence of a proper locus.. The space of a tactic is the space of the other.”35 Akan tetapi sebaliknya
34
Bdk. Sebuah penelitian tentang permasalahan ruang publik Lapangan Cikapundung Bandung Jawa Barat yang dilakukan oleh RR. Dhian Damajani berkesimpulan bahwa; di balik tampilan fisik yang tak beraturan dan tak terkontrol, keseharian para pedagang di ruang publik ternyata berperan sebagai pengendali yang memiliki kekuasaan dalam mengatur berbagai aspek guna menjamin kesinambungan/keberlanjutannya. Namun pada sisi lain kondisi tersebut menunjukkan lemahnya peran State (Negara) dalam mengelola sistem-sistem perkotaan, terutama yang menyangkut kepentingan publik. Akibatnya, peran tersebut “diisi” oleh “lembaga-lembaga” non formal. (Sumber: Jurnal Institut Teknologi Bandung (ITB). Hidden-Order dan Hidden-Power pada Ruang Terbuka Publik, Studi Kasus: Lapangan Cikapundung, Bandung . J. Vis. Art. Vol. 1 D. No. 3, 2007. Hal. 345.) 35 Ibid. hal.36-37.
143
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
taktik yang terlahir ditentukan oleh lokus ruang lain (asing) dan berada di bawah otoritas pemakai strategi, tetap mempunyai kekuatan yang mempengaruhi pembentukan wujud, karakter, serta identitas ruang publik. Memang taktik bermain pada arena organisasi (management) kekuatan asing yang dominan, taktik terlahir ditentukan dalam ketiadaan (tanpa) kekuasaan, sedangkan strategi diselenggarakan berdasarkan postulat36 kekuasaan; “In short, a tactic is an art of the weak.”(Certeau:1984:36-37). Namun demikian taktik tetap memiliki kekuatan (tersimpan) serta berkesempatan menang dan isa berganti menerapkan strategi, sehingga bisa menjungkirbalikkan posisi otoritas dominan yang berkuasa. 4. Idealisme Certeau tentang Kota sebagai Ruang Publik Berkelanjutan Menurut Certeau, sebuah kota adalah merupakan relief monumental dari paroxysmal places yang terbentuk melalui pertarungan-pertarungan yang keras (hebat): “A city composed of paroxysmal places in monumental reliefs”(Certeau.1984:91). Membangun sebuah kota selalu melalui proses membentuk, dengan dinamika tekanan dan tantangan karena beragam keberbedaan konsep serta operasionalitas yang terjadi pada geometris suatu ruang publik.
36
Postulat: asumsi yang menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu membuktikannya; anggapan dasar; aksioma.
144
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dari catatan kasus-kasus yang sampai ke pengadilan pada 5 tahun terakhir ini; korupsi, penganiayaan, dan pencurian yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan serta kehidupan sosial masyarakat menjadi tantangan dan bagian terkait dalam proses membangun ruang publik kota yang baru dan lebih mapan, sebuah kota harapan dengan semangat (roh) yang baru; “he ended by hoping for a 'nouveau monde' de l'Esprit",37 sebagaimana idealisme de Certeau untuk sebuah kota di masa yang akan datang. Giard sebagai seorang yang dekat38 dengan Michel de Certeau menjelaskan tentang perhatian Certeau terhadap kemungkinan adanya ruangruang lain yang sebelumnya tidak diperhitungkan oleh publik, namun kemudian diperhitungkan sebagai ruang yang terbatas. Certeau mempunyai idealisme untuk hadir dan dibangunnya kota sebagai ruang publik yang komunikatif, dimana liyan (other) dan heterogenitas publik dapat diakomodir, sehingga dapat bertumbuh-kembangnya festival mendongeng dan karya tulis, kompetisi perdebatan yang diarsipkan, pendistribusian dokumen-dokumen sebagai sarana pengembangan komunikasi masyarakat, pengumpulan dan pengarsipan tradisi lisan, serta berkaitan dengan tari-tarian dan pengembangan seni gerak tubuh, sebagaimana Certeau pikirkan.
37
Peter Burke. 2002. The Art of Re-Interpretation Michel de Certeau. A Journal of Social and Political Theory, No. 100, History, Justice and Modernization. Hal.30. 38 Semacam sekretaris pribadi Michel de Certeau.
145
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dalam sudut pandangnya sebagai seorang sosialog, Michel de Certeau sangat memperhatikan dan peduli terhadap posisi migran yang selalu akan menjadi bagian dari dinamika warga setempat. Ia mengajak untuk selalu mau berpikiran positif (positif thinking) dan bersikap terbuka terhadap kehadirannya. Menurut Highmore dalam kaitan dengan masyarakat 'imigran', Certeau berpendapat bahwa mereka merupakan agen istimewa dalam kehidupan budaya: “menerima kehadiran imigran sebenarnya merupakan sikap terbuka dalam membentuk ruang bebas, sehingga mereka dapat mengungkapkan serta menghayati budaya mereka untuk dapat ditampilkan atau pun sebagai pengetahuan yang bisa ditawarkan kepada orang lain.”(bdk. Highmore. 2006:168)39 Namun demikian, kehadiran liyan dalam relasinya dengan masayarakat setempat merupakan proses kehidupan sosial yang tentunya akan mempunyai beragam konsekuensi. Proses tersebut tidak bisa dihindari secara mutlak, sehingga mau atau tidak mau akan tetap bersama dalam ragam perbedaan. Dalam posisi masing-masing akan menjadi unsur penting dalam membentuk ruang publik Kota Manokwari sebagai ruang publik berkelanjutan. Karena keduanya memiliki potensi yang perlu diperhatikan dan diakomodir pada setiap proses pengambilan kebijakan dan keputusan dari sebuah regulasi pada tataran struktur dan otoritas pengambil kebijakan atau pun rezim penentu.
39
Ibid. hal.158.
146
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Ruang publik menjadi perhatian penting bagi pihak otoritas pengambil kebijakan dalam kaitannya dengan perencanaan struktur dan bentuk kota; karena dalam setiap wilayah, negara, atau kota akan selalu dibutuhkan ruang publik dengan bentuk dan karakter berbeda-beda sesuai dengan latar belakang dan kultur warga masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan bentuk dan karakter suatu ruang publik agar sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan warga masyarakatnya, atas nama etika Michel de Certeau yang begitu peduli (consent) terhadap keadaan ruang publik,
merasa
bertanggung
jawab
kepada
orang
lain
untuk
mengartikulasikan beragam tuntutan etis masyarakat ke dalam suatu teks opini atau pun wacana agar dapat lebih jelas untuk dibaca (dimengerti dan dipahami) guna membantu perencanaan pembentukan sebuah kota sebagai ruang publik berkelanjutan. Dalam konteks pembentukan ruang publik Kota Manokwari, dengan pengartikulasikan berdasarkan konsep pemikiran dan perspeksi de Certeau sebagaimana diuraikan dalam buku The Practice of Everyday Life sub judul Walking in The City,40
maka dapat diinterpretasikan melalui 3 (tiga)
tingkatan operasional; Pada
tingkatan
pertama
adalah
memproduksi
ruang
dengan
mengorganisasi kondisi fisik, mental serta politik secara kompromis: 40
Michel de Certeau.1984.The Practice of Everyday Life.University of California Press: Berkeley,hal.94.
147
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“…rational organization must thus repress all the physical, mental and political pollutions that would compromise it.”41 Dengan pengertian rezim penentu (aparatus pemerintah) menerapkan manajement strategi pendekatan sekaligus menginvetaris permasalahan-permasalahan fisik (struktur dan infrastruktur publik), mental (segenap warga masyarakat: apparatus negara dan civil society), serta permasalahan politik yang dominan dalam keseharian masyarakat; seperti kesenjangan ekonomi dan tuntutan atas kemerdekaan bangsa Papua yang sering terjadi di Kota Manokwari. Dalam kenyataan lapangan, permasalahan-permasalahan sosial, politik, ekonomi dan budaya yang terjadi di antara para warga masyarakat asli Papua mau pun para pendatang, komunitas-komunitas warga atau pun para aparat pemerintah, selalu dibayangi perasaan okultisme dalam suasana politik yang tidak selalu kondusif. Padahal keberhasilan dalam mengelola konflik dan mengurai secara transparan akan okultisme akan menjadi terminal pemberangkatan selanjutnya menuju sebuah Kota Manokwari sebagai ruang publik baru yang berkelanjutan. Akan tetapi dibangun dan dibukanya kantor-kantor baru tempat struktur pemerintahan bekerja serta infrastruktur yang diperuntukkan bagi publik belum juga mampu mengakomodir the physical, mental and political pollutions sebagai bagian dari tuntutan dasar membangun sebuah kota. 41
Ibid. hal.94.
148
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pada tingkatan kedua adalah keberanian untuk keluar dari kebiasaan dan melakukan sinkronisasi sistem dengan mensatubahasakan (univocality) strategi untuk mengelola potensi resistensi, mempersempit gerak taktik, meminimalisir penyimpangan serta upaya mereproduksi kekeruhan sejarah. Kebijakan pelarangan mengkonsumsi pinang pada ruang publik bukan upaya
melakukan
sinkronisasi
sistem,
namun
merupakan
upaya
penyeragaman (uniformitas) untuk mengejawantahkan konsep-konsep dan nilai-nilai modernitas dalam rangka membangun kota sebagai ruang publik bersama. Pelanggaran hak asasi manusia, korupsi, tindak criminal dalam masyarakat menjadi batu sandungan sekaligus sebuah kegagalan strategi dalam
upaya
mensatubahasakan
(univocality)
keragaman
ideologi
masyarakat pada suatu ruang publik, sehingga menimbulkan penolakan atau perlawanan secara terbuka mau pun tertutup, bertumbuhkembangnya taktik, sekaligus tereproduksi kekeruhan sejarah (sosial) Papua. Ranah tingkatan kedua “… offered by traditions; univocal scientific strategies, made possible by the flattening out of all the data in a plane projection, must replace the tactics of users who take advantage of "opportunities" and who, through these trap-events, these lapses in visibility, reproduce the opacities of history …”42 sebagai operasional strategi yang saling berhadapan – vis-à-vis – seimbang dengan taktik sebagian masyarakat 42
Ibid. hal.94.
149
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sipil (civil society), sehingga mementahkan dan melunturkan tatanan, kebijakan, dan kewibawaan yang dibuat dan dibangun oleh dominasi kekuasaan; misalnya otoritas pemerintah, legislatif, atau pun sekuritas publik yang ada. Pada tingkatan ketiga (terakhir) adalah menciptakan subjek universal dan anonim pada sebuah kota yang berupa atribut model politik. Sejarah panjang selama 117 tahun pada tahun 2016 ini memungkinkan tereproduksinya kekeruhan sejarah (sosial) Papua. Manokwari selain dikenal sebagai Kota Injil, juga sebagai tempat lahirnya Organisasi Pemberontak Papua Merdeka (1965), namun kejelasan (terang benderang)
narasi
kesejarahan bangsa Papua hingga sampai saat ini masih banyak simpang siur dan keruh. Menurut Suryawan: “…betapa keringnya uraian perjuangan ‘pahlawan nasional’ dari Tanah Papua dalam buku-buku pelajaran sejarah (Aditjondro, 2000). Untuk pahlawan yang “pro Indonesia” saja sejarah “resmi” Indonesia seakan enggan memberikan ruang. Bahkan, ruang sejarah terhadap gerakan perlawanan terhadap nasionalisme Indonesia sangat tertutup.”43
43
Ibid. hal. v-vi.
150
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kekeruhan sejarah di atas menjadi senjata ampuh yang direproduksi untuk alasan strategi memperjuangkan
keamanan dan pengobaran semangat untuk
kemerdekaan
bangsa
Papua.
Pihak-pihak
yang
berkompenten ‘sering’ mereproduksi kekeruhan sejarah tersebut untuk menyatakan “status keadaan Papua”. Topik Dialog Jakarta - Papua selalu menjadi diskusi dan perdebatan yang tak kunjung selesai dari waktu ke waktu. Oleh karenanya tidak mengherankan jika tidak kurang dari 2 sampai 3 kali dalam setiap tahunnya ada demonstrasi menyatakan sikap dan pendapat untuk lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menjadi bangsa (dan negara) yang merdeka. Fenomena-fenomena terkait dengan resistensi sosial dan politik di Manokwari, banyaknya operasi taktik, banyaknya penyimpangan serta acap kali terreproduksi kekeruhan sejarah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Kota Manokwari dan Papua pada umumnya, telah menjadi sebuah atribut model politik; “to attribute to it, as to its political model”,44 yang menciptakan subjek universal dan anonim. Artinya dalam mobilitas struktur, infrastruktur serta keseharian masyarakat sipil (civil society), dengan fungsi serta keragaman ideologi, asosiasi, dengan ruang privatnya masing-masing subyek atau pun komunal yang terlibat, sangat mungkin
44
Bdk. Michel de Certeau. 1984. The Practice of Everyday Life. Walking in the City. An operational concept ?. University of California Press: Berkeley., hal.94.
151
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terjalin relasi (intimitas sosial) atau pun justru mengambil jarak dan menutup (memisahkan) diri dalam eksklusivitasnya. Ruang publik Kota Manokwari dibangun di atas kerawanan dan ketidakstabilan; politik, kamtibmas, kehidupan sosial dan kriminalitas yang bertumbuh kembang bersama dinamika kontestasi pasar (forum) dalam era modernitas, dimana program-program dari pemegang otoritas publik (rezim penentu), seperti pemerintah, lembaga swadaya masyarakat dan non-formal melakukan fungsi dan tugasnya. Mencermati
langkah-langkah
tingkatan
operasional
tentang
pembentukan sebuah kota sebagaimana Michel de Certeau konsepkan, serta memperhatikan keadaan lapangan sekitaran Kota Manokwari dalam 5 tahun terakhir ini, adalah masih jauh dari harapan untuk bisa memberikan apresiasi dan predikat terhadap Kota Manokwari sebagai sebuah ruang publik kota yang mapan dan mampu mengakomodir asosiasi bebas bagi warga masyarakatnya. Melalui pengalaman blusukan (walking in the city) pada ‘kedai-kedai’ Warung Pinang Papua, tempat masyarakat pengkonsumsi pinang berkumpul bersama dalam keseharian hidup masyarakat di Kota Manokwari. Forum tersebut menjadi tempat pengucapan ketiga, ruang publik khusus sebagai ajang berefleksi, mengolah pengalaman hidup pribadi maupun komunal, sehingga
152
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dapat menumbuh-kembangkan potensi-potensi fisik, mental, dan idealisme dalam konstelasinya dengan apparatus negara, masyarakat sipil, kapital modal dan media massa yang ada dalam lingkup ruang publik Kota Manokwari. Dari blusukan
pada lintasan-lintasan jalan (trajectory) ditemukan
praktek-praktek sosial, budaya, ekonomi, dan politik dari kehidupan sehari-hari, sehingga sangat berkemungkinan dapat melihat keseluruhan (holistis) secara sekaligus (panoptic) dari yang ada dan terjadi pada ruang geometris serta geografisnya; yakni hamburan makna (wandering of the semantic) yang ada di sekitar wilayah Kota Manokwari. Dengan pengalaman, pesan, serta makna, yang diperoleh dari blusukan tersebut dapat dijadikan bahan/materi untuk merencanakan dan mengkonstruksi totalitas imajiner (visions) untuk mewujudnyatakan kontinuitas pembentukan Kota Manokwari sebagai Ruang Publik.
153
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V PENUTUP
Mama Mama Papua penjual pinang yang duduk menanti dan meladeni para pembeli dari pagi hingga hampir larut malam telah mampu membantu dan membidani pengartikulasian endapan-endapat idealisme, nasionalisme, penderitaan, dan harapan yang ada dalam perasaan dan pikiran yang membeku atau dibekukan oleh karena kondisi geografis dan keadaan politis. Sekitar 1.554 lapak jualan pinang memenuhi ruang geometris sekitar Kota Manokwari, yang darinya lalu lalang warga penginang dalam jumlah ribuan orang. Mama Mama Papua dengan lapak-lapak pada pondok jualannya telah membantu memfasilitasi interaksi dan komunikasi bagi warga penginang yang darinya telah dan akan melahirkan sejumlah ragam wacana dan opini tentang membangun serta mewujudkan harapan melalui keseharian hidup mereka.
Kesimpulan Dinamika interaktif dalam komunikasi yang dilakukan oleh para penginang telah mampu membangun beragam wacana yang terlahir dari pengalaman, pemikiran, gagasan dan ide-ide individu maupun kelompok, sehingga memberi ruang untuk terjadinya dinamika (eskalasi) kontestasi
154
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ekonomi-budaya-sosial-politik dalam kehidupan masyarakat warga budaya, warga bangsa, dan warga negara dalam pusaran ruang publik Kota Manokwari. Aktivitas mengkonsumsi pinang telah menjadi suatu pasar (forum) publik yang mampu mencairkan kebekuan materi-materi yang berupa ideide, gagasan, harapan, semangat dan pilihan hidup; endapan-endapan yang terpendam sebagai social unconscious yang akan dapat diungkapkan (dibahasakan) dalam ruang publik sebagai ruang sosial tak terbatas; seperti ngobrol bersama teman-teman, obrolan warung pinang, atau pun mop yang merupakan budaya pop ala Papua. Simpanan-simpanan yang ada di bawah sadar tersebut akan dibawa ke dalam arena asosiasi bebas yang merupakan tempat berbicara ketiga, sehingga subyek-subyek warga masyarakat Papua di Manokwari melalui aktivitas mengkonsumsi pinang bersama akan lebih mudah berinteraksi, berkomunikasi serta mengartikulasikan hasil refleksi dan olahan atas pengalaman hidup, nilai-nilai dan makna yang mereka peroleh dari aktivitas kultural, sosial, dan politik, di dalam relasi sosialitasnya. Budaya konsumsi pinang menjadi ruang publik bersama tempat berbicara ketiga yang dapat mencairkan (liquefy) kebekuan relasi-relasi sosial; seperti kerja sama, korporasi, persahabatan, dan persaudaraan yang terkandung resistensi di antara subyek-subyek yang berada dalam ruang publik Kota Manokwari.
155
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dialektika komunikasi di antara warga masyarakat di Kota Manokwari yang terjadi dan menyatu dengan dinamika budaya konsumsi pinang, turut serta berperan dalam proses membentuk identitas dan karakterisasi subyeksubyek masyarakat di dalamnya, yang sekaligus secara evolutif berperan dalam proses pembentukan identitas, karakter, dan wujud Kota Manokwari sebagai ruang publik berkelanjutan. Ide-ide, gagasan, harapan, semangat dan pilihan hidup yang ada dalam setiap subyek yang diperoleh dari hamburan makna (wandering of the semantics) saat blusukan (walking in the city) pada lintasan-lintasan jalan (trajectory)
di
antara
warga
masyarakat
pengkonsumsi
pinang
mengkonstruksi perspektif totalitas imajiner (visions) tentang cikal bakal sebuah ruang publik kota di masa yang akan datang, yakni suatu proyeksi sebuah ruang publik kota yang lebih mapan dan maju – dua kali lipat atau berlipat-lipat – dari pada masa lalu (sebelumnya), dimana pada waktu-waktu sebelumnya merupakan lintasan-lintasan tak teratur
(indeterminate
trajectories) dengan banyak kesengkarutan dan kekuatiran (okultis) dan selanjutnya secara berangsur melalui pengelolaan problematika 1 akan tergantikan dengan hadirnya masa depan yang bisa menangani problematika masa lalu sehinga menjadi “ a 'nouveau monde' de l'Esprit".
1
Menurut Michel de Certeau ada 3 (tiga) tingkatan operasional pembentukan kota sebagai sebuah ruang publik.
156
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Untuk
mencapai
suatu
kemapanan
sebagaimana
de
Certeau
mengisyaratkan diperlukan 3 (tiga) langkah tingkatan operasional yang harus dipenuhi. Dengan asumsi yang menggunakan indikator syarat tersebut tentunya pada saat ini Kota Manokwari belum bisa dikategorikan sebagai ruang publik kota yang mapan. Kota Manokwari dari waktu ke waktu mengalami perubahan serta dinamika sosial, ekonomi, politik serta kebudayaannya. “… the old regime no longer had the authority it had once commanded” (Buchanan.2000:2). Bangunan perkantoran propinsi, hotel-hotel, mall, perumahan, ruko-ruko, penyedia jasa publik, serta infrastruktur lain merupakan tampilan baru yang semakin memperpadat ruang geometris “Kota Injil”. Pergeseran-pergeseran
posisi
struktur
dan
mobilitas
migrant
mengakibatkan bertumbuhkembangnya ‘kampung dalam kota’ atau pun ‘kota dalam kampung’, sehingga terbangun ruang-ruang publik tandingan (counter public sphere) bagi otoritas dominan (aparatus pemerintah dan korporasinya yang kooperatif) vis-à-vis warga budaya atau masyarakat sipil (civil society) yang mempunyai perbedaan dalam cara pandang (point of view), konsep, paradigma, serta wacananya tentang sebuah ruang publik. Vision menjadi sebuah panorama kota tentang sebuah ruang publik bersama dan berkelanjutan yang menjadi sebuah teori visual simulacrum, yakni suatu penggambaran kondisi sebuah ruang publik bersama yang pernah terlupakan atau yang sedang diideakan.
Seolah-olah kesibukan
157
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
praktik pengelolaan kota Manokwari oleh subyek-subyek rezim penentu dan / atau otoritas dominan yang selalu berusaha menghegemoni. Pengoperasian strategi dan taktik, kebijakan publik atas nama penyeragaman (uniformitas) keadaan publik; ‘dilarang makan pinang di tempat ini’ yang tidak memiliki penulis (yang bertanggung jawab)2 mau pun pembaca (dianggap tidak ada larangan), menjadi sebuah fragmen atau sandiwara publik dalam arus perubahan yang terjadi dari hari ke hari (practice of everyday life) yang tidak pernah kunjung selesai. Dengan demikian kultur masyarakat pengkonsumsi pinang dalam masyarakat di Kota Manokwari dengan segala eksistensinya tidak terpengaruh oleh kebijakan-kebijakan publik yang didominasi oleh masyarakat urban mau pun imigran dari luar Manokwari. Dengan seluruh eksistensinya, budaya konsumsi pinang yang telah merambah hampir seluruh ruang geometris Kota Manokwari, senyatanya mempunyai kuat kuasa patisipatoris dalam pembentukan ruang publik Kota Manokwari Papua Barat atas dasar pemikiran dan konsep-konsep tentang ruang publik dari para warga pengkonsumsi pinang. Oleh karena itu komparasi yang ada dalam pemikiran warga masyarakat dengan konsep modernitas (kota modern) selalu akan menghasilkan banyak ragam wacana
2
Tidak ada peraturan atau perundang-undangan yang legal (state), namun sebatas plakat-plakat (literarische Offentlichkeit) pada ruang publik yang dibuat berdasarkan kebijakan publik.
158
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
(polivocality) pada ruang publik politik, literer, mau pun perepresentasian publik dalam geografis Kota Manokwari. Polivocality menjadi sebuah indikasi adanya keberagaman konsep dan pemikiran pragmatis dalam budaya masing-masing subyek yang berada dalam proses evolusi sosial, karena dalam kenyataannya masing-masing pihak tidak dapat mempertahankan atau pun meleburkan diri secara total. Sebagaimana pendapat Bhabha,3 yakni bahwa klaim terhadap sebuah hierarki “kemurnian” menjadi tidak dapat dipertahankan lagi, karena identitas kultural selalu berada dalam wilayah kontradiksi dan ambivalensi. Maka dalam sentimental stigmatisasi budaya konsumsi pinang dan juga konsep-konsep modernitas pada benak kaum migrant yang berdomisili di Manokwari, tidak bisa mengklaim sebuah keberhasilan (kemenangan) mutlak, karena sebenarnya bukan tidak ada yang “berubah”, melainkan ada perpindahan-perpindahan otoritas beserta kewenangan yang bergulir secara terus menerus (kontinuitas), sejalan dengan dialektika negosiasi serta pergulatan strategi dan taktik pada ruang publik tandingan. Dinamika
interaksi
komunikasi,
konstruksi
wacana,
subyektifikasi/karakterisasi yang terjadi dalam keseharian hidup warga masyarakat
tetap
menjadi
bagian
melekat
tak
terpisahkan
dan
berpartisipatoris dalam proses pembentukan Ruang Publik Kota Manokwari.
3
Bdk.Leela Gandhi. 1998. Teori Poskolonial. Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Penerbit Qalam, hal.viii.
159
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Buku : Anderson, Benedict. 2001. Imagined Communities. Komunitas-Komunitas Terbayang, Yogyakarta : INSIST. Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Manokwari. 2014. Kabupaten Manokwari dalam Angka 2014. Manokwari: BPS Kab. Manokwari. Barker, Chris. 2014. Kamus Kajian Budaya. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Bhabha, Homi. K. 2007. The Location of Culture. London and New York: Routledge. Buchanan, Ian. 2000. Michel de Certeau Cultural Theorist. Nottingham Trent University. David S. Moyer, Henri J.M. Claessen and, (ed.). 1988. Verhandelingen van Het Koninklijk Instituut Voor Taal, Land – en Volkenkunde. 131. Time Past, Time Present, Time Future Perspectives on Indonesian Culture. Dordreht-Holland / Providence –USA: Foris Publications. de Certeau, Michel. 1984. The Practice of Everyday Life. University of California Press, Berkeley. Gandhi, Leela, 1998. Teori Poskolonial. Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Penerbit Qalam. Habermas, Jurgen. 1989. Ruang Publik. Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis. Yogyakarta: Kreasi Wacana. (terj.Yudi Santoso). Hardiman, F. Budi. (ed.). 2010. Ruang Publik. Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cybercpace. Yogyakarta: Kanisius Highmore, Ben. 2006. Michel de Certeau Analysing Culture. Continuum International Publishing Group, New York.
160
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Husna, dan Bobin AB (penyalin). Candi Sukuh dan Kidung Sudamala. Diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen. Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan R.I. (tanpa tahun) Jean Gelman Taylor, Kees van Dijk and, (ed.) 2011. Cleanlines and Culture Indonesian Histories. Leiden: KITLV Press Kluge, Oskar Negt and Alexander. 1993. Public Sphere and Experience: Toward an Analysis of the Bourgeois and Proletarian Public Sphere, translated by Peter Labanyi, Jamie Owen Daniel and Assenka Oksiloff. Minneapolis: University of Minnesota Press. p. 12 (first published in Germany in 1972.) Miller, Toby. 2007. Cultural Citizenship: Cosmopolitanism, Consumerism, and Television in a Neoliberal Age. Philadelphia: Temple University Press. Moleong, Lexy J. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Northold, Henk Schulte. (ed.). 1997. Outward Appearances. Dressing State and Society in Indonesia. Diterjemahkan oleh M. Imam Aziz. Yogyakarta: LKiS. Saukko, Paula. 2003. Doing Research in Cultural Studies. An Introduction to Classical and New Methodological Approaches. London. Thousand Oaks. New Delhi : SAGE Publications. Siahainenia, James J. J. Carel. 2000. Potensi dan Prospek Pinang Sirih (Areca catechu) di Desa Rimba Jaya Kecamatan Biak Timur Kabupaten Biak Numfor. Manokwari: Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih. Sunardi, St. (2003). Opera Tanpa Kata. Yogyakarta: Buku Baik. Suryawan, I Ngurah. 2013. Kritis, Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin, Vol. XXII, No. 1. Siasat Rakyat di Garis Depan Global: Politik Ruang Pasar dan Pemekaran Daerah di Tanah Papua. Salatiga: Program Pascasarjana Universitas Kristen Satya Wacana.
161
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Suryawan, I Ngurah (ed). 2011. Narasi Sejarah Sosial Papua. Bangkit dan Memimpin Dirinya Sendiri. Malang: Intrans Publishing. Yoman, Socrates Sofyan, 2007. Pemusnahan Etnis Melanesia Memecah Kebisuan Sejarah Kekerasan di Papua Barat. Yogyakarta: Galang Press. Yuniarti, Fandri. (ed). 2009. Ekspedisi Tanah Papua. Laporan Jurnalistik Kompas. Terasing di Tanah Sendiri. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Tesis dan Jurnal : Burke, Peter. 2002. The Art of Re-Interpretation Michel de Certeau. A Jurnal of Social and Political Theory. No. 100, History, Justice and Modemization. Damajani, RR. Dhian, 2007. Jurnal Institut Teknologi Bandung (ITB). Hidden-Order dan Hidden-Power pada Ruang Terbuka Publik, Studi Kasus: Lapangan Cikapundung, Bandung . J. Vis. Art. Vol. 1 D. No. 3. Heatubun, Charlie D, 2011. Jurnal Phytotaxa 28. Seven New Species 0f Areca ( Arecaceae). Published: Magnolia Press.
Situs : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Manokwari 2015. Tabel 6.1. Tahapan Pelaksanaan Pembangunan (Indikasi Program) Perwujudan Struktur Ruang Wilayah. BALTYRA.com. Kota Manokwari dan Ransiki. (20 Februari 2015). Pelancong ke berbagai penjuru dunia, berasal dari Purwodadi dan tinggal di Solo
162
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Jawa Tengah. Bekerja pada lembaga pemerhati pendidikan. (6 Nopember 2015) MEDIAPAPUA.com. (17/10/2015). Kementrian PU Turut Berperan Dalam Upaya Pengembangan Ruang Publik. Tabloidjubi (Papua). Tulisan Dominggus Mampioper.Transmigrasi dan Migrasi di Tanah Papua. (28 Nopember 2012). tanamandanobat.blogspot.co.id/2008/12/pinang.html. 2 Desember 2008. (1410-2015) Website Pemerintah Propinsi Papua Barat: www.papuabaratprov.go.id (14 Agustus 2015) www.deherba.com . Copyright 2015 PT Deherba Indonesia – Pakuan Hill, Livistona Blok C No. 18, Bogor 16137. (14-10-2015) www.komnas.tpnpb.net. (Komando Nasional Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat) www.kompasiana.com (30 Sept 2015).Penyediaan Ruang Publik Untuk Mewujudkan Masyarakat yang Berkelanjutan. (29 Nop 2015) www.kompasiana.com/www.teguhhariawan/leitmotiv-panduan-membacarelief-552b20f5f17e610f74d623bf www.google.co.id/search?q=buah+pinang. (7 Nopember 2015) www.google.com/search?q=dilarang+makan+pinang&client=firefoxbeta&rls=org.mozilla: (02 Nopember 2015) www.google.com/search?q=gambir+sirih+pinang. (6 Nopember 2015)
163
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR NARASUMBER
Narasumber Narasumber 1: Seorang tokoh masyarakat Asli Sidey Pantai Manokwari, Kepala Bagian Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Manokwari. (55 tahun) Narasumber 2: Seorang misionaris Augustinian asal Belanda, pemerhati masalah sosial dan budaya masyarakat Papua yang telah berpuluh-puluh tahun berkarya di Tanah Papua (69 tahun). Narasumber 3: Kepala Bidang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dari Dinas Perdagangan Kabupaten Manokwari. Narasumber 4: Seorang penjual pinang kering (gebe) di Pasar Tingkat Sanggeng Manokwari. Distrik Manokwari Barat. Narasumber 5: Seorang penjual pinang buah (basah) di Pasar Tingkat Sanggeng Manokwari. Distrik Manokwari Barat. Narasumber 6: Pimpinan agent dan distributor rokok dari CV.Sinar Surya Mandiri (SSM) Manokwari. Distrik Manokwari Barat. (53 tahun). Narasumber 8: Seorang gadis kecil Kelas 5 Sekolah Dasar dari Kampung Maripi Distrik Manokwari Selatan. Narasumber 9: Seorang gadis kecil Kelas 4 Sekolah Dasar r dari Kampung Maripi Distrik Manokwari Selatan. Narasumber 10:Kepala Sub Bagian Tata Ruang Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Manokwari. Narasumber 11:Seorang Mama Papua yang sudah sejak kecil mengkonsumsi pinang dari Distrik Manokwari Selatan (54 tahun). Narasumber 12:Seorang Tokoh Masyarakat, Anak seorang Pahlawan Nasional dari Papua, Pensiunan Pegawai Negeri Sipil (67 tahun). Narasumber 13:Seorang Staf Ahli Gubernur Papua Barat Bidang Ekonomi dan Keuangan. Propinsi Papua Barat (54 tahun). Narasumber 14:Seorang bapak yang kesehariannya sebagai seorang nelayan dari Bandung Bahari Manokwari (60 tahun).
164
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Narasumber 15:Seorang ibu rumah tangga yang mengkonsumsi pinang sejak sekolah di Taman Kanak-Kanak (25 tahun). Narasumber 16:Seorang Staf Kantor Distrik Manokwari Timur, dalam jabatan sebagai Staf Bidang Pemerintahan. (40 tahun). Narasumber 17:Seorang Mahasiswa Jurusan Sistem Informasi pada Universitas Mercu Buana Yogyakarta, berasal dari Kabupaten Teluk Bintuni Papua Barat. (19 tahun). Narasumber 18:Seorang warga Babarsari Yogyakarta, pensiunan pegawai Telkom di Jayapura (1982-1995). (62 tahun). Narasumber 19: Seorang pegawai pada Lembaga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Propinsi Papua Barat. (25 tahun). Narasumber 20: Seorang wartawati senior pada Stasiun Regional RRI Manokwari Papua Barat.
165
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LAMPIRAN PERSURATAN
166
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
167
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
168
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
169