Laporan Penelitian
Tasbih dan Banjir: Interpretasi, Adaptasi dan mitigasi Komunitas Beragama terhadap Bencana Banjir di Kota Pekalongan
Dilaporkan Oleh Maghfur
Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (P3M) STAIN Pekalongan Tahun 2015
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, kami, Maghfur, atas nama kejujuran akademik, dengan ini menyatakan bahwa penelitian ini adalah karya sendiri, bukan hasil plagiasi karya orang lain/skripsi/tesis/disertasi, dan bukan tema riset yang sedang diteliti atau diajukan ke lembaga donor. Sepanjang pengetahuan kami tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis/diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka kami bersedia mengembalikan menerima sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.
Pekalongan, Nopember 2015 Yang menyatakan, Peneliti,
Maghfur
ii
KATA PENGANTAR Kepada-Mu, ya Allah kami berserah diri. Berkat rahmat dan kemurahan-Mu, kami mengucapkan rasa syukur tiada tara, dengan ucapan alhamdulillah, penelitian yang yang berjudul ”Tasbih dan Banjir: Interpretasi, Adaptasi dan Mitigasi kaum Beragama terhadap Banjir di Kota Pekalongan” dapat selesai dengan baik. Kajian ini bertujuan untuk: (1). menganalisis interpretasi yang dilakukan oleh kaum beragama terhadap bencana banjir; (2). mengungkap upaya-upaya adaptasi yang dilakukan kaum beragama terhadap bencana banjir di kota Pekalongan; (3). mengesplorasi berbagai langkah mitigasi yang dilakukan kaum beragama terhadap bencana banjir di kota Pekalongan. Dengan demikian, ada tiga masalah utama yang berusaha dianalisis, yaitu interpretasi, adaptasi dan mitigasi yang dilakukan kaum beragama terhadap bencana banjir di kota Pekalongan. Pelaporan ini menyisakan beberapa persoalan, baik yang disadari maupun tidak. Peneliti menyadari bahwa hasil penelitian banyak kekurangan baik dari aspek proses-proses tahapan metodologis, analisis maupun dari sisi hasil penelitiannya. Atas kekurangan dan kelemahan tersebut, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Harapan kami ada kritik, saran, masukan dan perbaikan dari para ahli. Berkat bantuan berbagai pihak riset ini dapat dilakukan dan laporan pun dapat tersajikan dihadapan kalayak. Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih kepada Ketua STAIN Pekalongan dan Kepala P3M yang telah memberi kesempatan bagi peneliti untuk mengembangkan keilmuan, sebagai bahan pengayaan pembelajaran, teoritisasi realitas sosial keagamaan, serta penyelesaian problem sosial agama yang dihadapi umat, terutama terkait bencana banjir yang selalu mengancam masyarakat kota Pekalongan. Semoga laporan ini dapat memenuhi standar pelaporan kegiatan, keuangan dan yang paling utama tentu dari sisi akademis. Selamat membaca, kritik dan saran sangat kami harapkan sebagai bahan perbaikan. Pekalongan, Nopember 2015 Ketua Peneliti,
Maghfur
iii
ABSTRAK Kajian ini berusaha mengungkap dan menganalisis tiga masalah utama, yaitu (1). interpretasi kaum beragama terhadap bencana banjir; (2). adaptasi yang dilakukan kaum beragama terhadap bencana banjir; (3). mitigasi yang dilakukan kaum beragama terhadap bencana banjir di kota Pekalongan. Dengan fokus masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: Pertama, menganalisis interpretasi yang dilakaukan oleh kaum beragama terhadap bencana banjir; Kedua, mengungkap upaya-upaya adaptasi yang dilakukan kaum beragama terhadap bencana banjir di kota Pekalongan; Ketiga, mengesplorasi berbagai langkah mitigasi yang dilakukan kaum beragama terhadap bencana banjir di Kota Pekalongan. Riset kualitatif dengan tradisi fenomenologi ini menghasilkan temuan sebagai berikut: Pertama, banjir sebagai salah satu bentuk bencana ekologis merupakan fenomena alam yang memiliki banyak wajah. Ada yang menganggap penuh sebagai otoritas dan kehendak Allah, ada yang menilai sebagai akibat perbuatan manusia. Kedua, terkait dengan penyebab banjir, di samping karena otoritas Tuhan, sebagian informan juga menilai bencana disebabkan oleh ulah manusia, terutama terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Menurutnya penyebab banjir adalah: (1) terkait tata guna lahan; (2). system drainase yang buruk; (3). rendahnya kesadaran masyarakat. Ketiga, adaptasi yang dilakukan kaum beragama terhadap banjir meliputi: (1). meninggikan jalan lingkungan melalui bantuan pemerintah kota; (2). secara pribadi, setiap rumah tangga meninggikan fondasi rumah atau tanggul di teras rumah yang dapat menghalangi air masuk ke dalam rumah. (3) melalkukan swadaya mengurug atau menimbun genangan yang sulit untuk surut menggunakan tanah, terutama pada areal yang dipakai sebagai jalan. (4). membangun tanggul dari bambu yang diisi dengan tanah, di sepanjang tepi jalan yang membatasi areal jalan dengan area perkampungan. (5). pembuatan tanggul buatan dari bambu pada mulut saluran air bertujuan untuk menahan pasir agar tidak jatuh dan menahan pasir dari laut masuk ke dalam saluran ketika banjir pasang surut datang. Kegiatan ini merupakan kegiatan swadaya. (6). melakukan gotong royong rutin pembersihan saluran air dan perbaikan pintu air. Keempat, mitigasi yang dilakukan sebagian kaum beragama terkait bencana banjir adalah: (1). Menjaga kebersihan lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan dan rutin membersihkan selokan; (2). Diadakan kerja bakti untuk membersihkan saluran air supaya lancar; perlu adanya folder pada tempat-tempat yang tergenang air; (3). Melakukan penanaman kembali (Reboisasi), mengolah sampah menjadi barang yang dapat dimanfaatkan kembali; (4). Menggerakkan masa, sebelum peralihan musim, untuk penertiban lingkungan; (5). Mendesak Pemerintah membangun sistem antisipatif dan penanggulangan bajir.
iv
DAFTAR ISI Halaman Judul,_i Halaman Identitas dan Pengesahan,_ii Surat Pernyataan Keaslian_iii Kata Pengantar,_iv Abstrak,_v Daftar isi,_vii 1 1 3 3 3 4 6 8
BAB
: I
PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah B Rumusan Masalah C Tujuan Penelitian D Signifikansi Penelitian E Kerangka Teori F Literatur Review G Sistematika Penulisan
BAB
: II
BANJIR, PENYEBAB DAN PENANGGULANGANNYA A Pengertian dan Sumber Banjir B Daerah Rawan Banjir C Cara Menanggulangi Banjir D Pengendalian Banjir E Banjir, Kekeringan dan Longsor F Dampak Becana Banjir
13 15 16 18 18 20
BAB
: III
TASBIH: SIMBOL DAN PERILAKU BERAGAMA A Tasbih dalam Pusaran Simbol “Religion” B Agama sebagai Landasan Bertindak C Klasifikasi Keberagamaan di Indonesia D Agama dan Religiusitas sebagai Identitas Masyarakat
21 21 24 29 34
BAB
: IV
METODE PENELITIAN A Paradigma dan Pendekatan Penelitian B Fokus Penelitian C Proses Penelitian D Lokasi Penelitian E Sumber Data F Informan Penelitian G Teknik Pengumpulan Data H Analisis dan Interpretasi Data
37 37 38 38 38 39 39 41 42
BAB
: V
HASIL DAN PEMBAHASAN A Kota Pekalongan: Geografis dan Ekonomi Masyarakat B Kondisi Sosial Keagamaan Masyarakat C Daerah Rawan Banjir Kota Pekalongan D Interpretasi Terhadap Banajir E Mengapa Terjadi Banjir? F Penyebab Banjir
45 47 49 50 52 53
v
BAB
: VI
G Dampak dan Adaptasi terhadap Banjir H Strategi Penanggulangan Banjir I Mitigasi Bencana Banjir
56 58 60
PENUTUP A Kesimpulan B Rekomendasi
64 64 65
Daftar Pustaka Lampiran-lampiran: Instrumen Penelitian Transkrip Wawancara Open Koding Data SK Penelitian Kontrak Kerja Penelitian Surat Ijin Penelitian Surat Keterangan Sudah Selesai Penelitian Rancangan Anggaran Biaya (RAB) Penelitian Laporan Pertanggungjawaban Keuangan dan Dokumen Pendukungnya
vi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hasil penelitian yang dilakukan Hardoyo, dkk. (2014) terkait banjir di kawasan pesisir menafikan faktor perilaku beragama masyarakat sebagai variabel penting terjadinya bencana banjir.1 Hardoyo, dkk., (2014) lebih menyoroti aspek fisik, sosial dan ekonomi sebagai faktor determinan. Padahal, masalah banjir adalah persoalan multi aspek, yang dapat dilihat dari berbagai perspektif, termasuk perspektif agama. Seperti telah maklum, secara sosiologis, dalam masyarakat yang mengutamakan nilai agama, maka semangat, pemahaman dan perilaku agama menjadi acuan dalam setiap bertindak.2 Dengan demikian, tindakat-tindakan ekologis umat beragama tidak dapat dipisahkan dari sistem berpikir dan perilaku keagamaan seseorang. Bencana banjir, dalam masyarakat yang kental dengan nilai agama, seperti Pekalongan tidak lepas dari perilaku ekologis berbasis agama. Bencana banjir, sebagaimana bencana-bencana alam, pencemaran udara, krisis air, hingga tenggelamnya wilayah dan pulau-pulau kecil adalah di antara bukti nyata dampak dari perilaku manusia. Misalnya, kasus di wilayah pantai utara menarik untuk diamati terutama mengenai perkembangan naiknya permukaan air laut. Ratarata pertahun mengalami kenaikan satu meter. Daerah sekitar kecamatan Pekalongan Utara lima tahun lalu masih aman dari air pasang atau rob, kini setiap saat terancam genangan air laut. Belum lagi jika ada hujan, tak lama berselang, kawasan Pekalongan menjadi seperti danau buatan, banjir. Fenomena naiknya permukaan air laut jamak terjadi diberbagai wilayah, terutama di daerah pantai yang rendah, seperti tambak, sawah di daerah pasang surut, termasuk bagian kota yang rendah seperti Jakarta, Surabaya, Semarang dan Pekalongan. Kenaikan air laut menyebabkan dampak lanjutan, yaitu naiknya laju erosi pantai. Setiap kenaikan satu centimeter, sekali lagi dalam satu cm, garis pantai akan mundur satu meter. Artinya, setiap kenaikan permukaan laut 24 sampai 140 cm akan menyebabkan mundurnya garis pantai sejauh 24 sampai 140 meter. Kenyataan ini 1
Su Rito Hardoyo dkk., Aspek Sosial Genangan (ROB) di Kawasan Pesisir, (Yogyakarta: UGM Press, 2014). 2 Maghfur Ahmad, “Pendidikan Lingkungan Hidup dan Masa Depan Ekologi Manusia,” Jurnal Forum Tarbiyah, (Vol. 8 No. 1, Juni 2010).
1
sering menyebabkan banyak daerah, pantai wisata, sawah, tambak, jalan, bangunan di tepi pantai yang berada di dekat pantai akan mengalami krisis dan kerusakan yang amat parah. Ditinjau dari karakteristik geografis dan geologis wilayah, Indonesia adalah salah satu kawasan rawan bencana banjir. Sekitar 30% dari 500 sungai yang ada di Indonesia melintasi wilayah penduduk padat. Lebih dari 220 juta penduduk, sebagian adalah miskin dan tinggal di daerah rawan banjir. Pada umumnya bencana banjir tersebut terjadi di wilayah Indonesia bagian barat yang menerima curah hujan lebih tinggi dibandingkan dengan di bagian Timur.
Sumber : BMG Berdasarkan kondisi morfologis, penyebab banjir adalah karena relief bentang alam Indonesia yang sangat bervariasi dan banyaknya sungai yang mengalir diantaranya. Daerah rawan banjir tersebut diperburuk dengan penggundulan hutan atau perubahan tata-guna lahan yang tidak memperhatikan daerah resapan air. Perubahan tataguna lahan yang kemudian berakibat menimbulkan bencana banjir, dapat dibuktikan antara lain di daerah perkotaan sepanjang pantai terutama yang dialiri oleh sungai. Penebangan hutan secara tidak terkontrol juga menyebabkan peningkatan aliran air (run off) pemukiman yang tinggi dan tidak terkendali, sehingga menimbukan banjir bandang dan kerusakan lingkungan di daerah satuan wilayah sungai.
2
Kota Pekalongan secara geografis merupakan daerah rawan banjir. Pekalongan berada didaerah genangan air, baik ketika terjadi banjir maupun di saat tidak ahujan. Sebab itu, setiap musim hujan, banjir selalu memenuhi hari-hari warga Pekalongan. Jika tidak musim hujan, warga juga tetap mengalami banjir rob, air pasang. Dan banjir pada faktanya juga menjadi bencana yang sering terjadi dibandingkan dengan bencana yang lain. Data kebencanaan selama ini menempatkan bencana hidrometeorologi menempati urutan terbesar (53,3%) dar total kejadian bencana di Indonesia. Sedangkan bencana banjir adalah 34,1% dari total bencana hidrometeorologi. Kota Pekalongan menjadi salah satu tempat langganan bencana banjir. Atas dasar pemikiran di atas, peneliti menilai penting untuk mengungkap dan menganalisis interpterasi, adaptasi dan mitigasi bencana banjir di kalangan kaum beragama di kota Pekalongan.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan pemikiran di atas, maka pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana interpretasi kaum beragama terhadap bencana banjir? 2. Bagiaman adaptasi yang dilakukan kaum beragama terhadap bencana banjir di kota Pekalongan? 3. Bagaimana mitigasi yang dilakukan kaum beragama terhadap bencana banjir?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: Pertama, menganalisis interpretasi yang dilakaukan oleh kaum beragama terhadap bencana banjir; Kedua, mengungkap upaya-upaya adaptasi yang dilakukan kaum beragama terhadap bencana banjir di kota Pekalongan; Ketiga, mengesplorasi berbagai langkah mitigasi yang dilakukan kaum beragama terhadap bencana banjir di Kota Pekalongan.
D. Signifikansi Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk: Pertama, melengkapi pengetahuan masyarakat akademik terkait relasi perilaku keberagamaan umat dengan 3
perilaku ekologisnya, terutama terkait dengan penyebab, pencegah dan upaya adaptasi terhadap bencana banjir. Kedua, mengurangi resiko bencana yang ditimbulkan oleh bancana banjir, baik berupa kerusakan lingkungan, fasilitas publik, maupun korban jiwa. Ketiga, mengantisipiasi dan mencegah berjadi bencana melalui pendekatan dan perspektif agama.
E. Kerangka Teori Realitas bencana banjir tidak dapat lepas dari keyakinan, pemahaman dan perilaku umat manusia. Sebab itu, dalam konteks penelitian kualitatif ini, kerangka teori digunakan sebagai alat bantu untuk memahami realitas yang sedang diteliti. Dalam riset ini dikaji beberapa teori yang relevan, kemudian diturukan ke beberapa konsep, proposisi, indikator dan definisi operasional. Bencana banjir merupakan salah satu bentuk krisis lingkungan baik di tingkat global, nasional maupun lokal sangat terkait dengan sistem nilai dan keyakinan sebagai basis perilaku ekologis. Keyakinan di sini tidak dalam konteks dan berhenti pada tata relasi hamba dengan Tuhan-Nya, melainkan berfungsi sebagai ideologi. Ideologi sebagai argumen yang muncul dari pandangan dunia atau paradigma sosial yang digunakan sekelompok orang untuk menjustifikasi tindakannya. 3 Di satu sisi, ideologi diformulasi dan ditaati untuk mencapai tujuan, di sisi yang lain ia juga menjadi daya dobrak, pendorong, penguat gerakan, privelege dan tindakan-tindakan mereka.4 Dengan demikian, pemikiran dan tindakan ekologi ditentukan oleh keyakinan, nilai, ideologi yang dipegang oleh seorang. Dalam konteks krisis lingkungan, keyakinan, paradigma dan ideologi yang dianut oleh suatu kelompok berimplikasi bagi perilaku destruktif atas lingkungan. Pengelolaan lingkungan selama ini disetir oleh paradigma positivistik, ideologi kapitalisme dan developmentalisme. Dalam sistem kapitalisme, sumber daya alam memegang faktor penting dalam proses pembangunan. Teori ekonomi kapitalis menjelaskan bahwa sumberdaya alam, merupakan salah satu dari tiga faktor produksi yang utama, selain human resources (manusia) dan financial resources (dana). Mansour Fakih mensinyalir bahwa kapitalisme sebagai ideologi yang bertujuan melakukan pemupukan modal (capital accumulation) melalui proses3
Graham C. Kinloch, Ideology and Social Science, (Greenwoon Press, 1981), hlm. 78. John B. Tompson, Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia. Yogyakarta: IRCiSod, 2003), hlm. 127-128. 4
4
proses investasi, pada hakikatnya merupakan praktik yang mendorong terjadinya ekspansi dalam bentuk penguasaan pasar, pasokan bahan baku, dan tenaga kerja semurah mungkin.5 Sistem ekonomi „kolonial‟ ini dinilai merusak harmoni kehidupan.6 Cara pandang dan ideologi tersebut dinilai menjadi penyebab semakin rusaknya lingkungan. Botkin & Keller mengatakan kepercayaan sebagai kerangka dasar dalam melihat fenomena alam sangat berdampak pada aktivitas seseorang.7 Realitas ini menunjukkan selama ini ada landasan ideologi, problem keyakinan dan pemahaman manusia terhadap cara memandang dan memperlakukan sumber daya alam yang kurang tepat. Ideologi yang hingga detik ini menguasai panggung kehidupan global tetap pada wataknya yang secara ekonomi eksploitatif, secara politik dan budaya hegemonik.8 Ideologi inilah yang juga mempengaruhi cara pandangan, pemahaman dan perilaku konservasi lingkungan umat manusia. Dalam memahami realitas bencana banjir beserta faktor-faktor penyebabnya, peneliti akan menggunakan perangkat analisis teori hegemoni yang diperkenalkan oleh Antonio Gramsci. Teori hegemoni Gramsci berusaha mengungkap bahwa formasi sosial dan politik kapitalistik, eksploitatif dan menindas yang lebih mengedepankan sisi maskulinitas terbukti telah menyebabkan kerusakan lingkungan, bencana banjir, kekerangan dan kerusakan ekologis lainnya. Melalui analisis hegemoni, Gramsci mengkritik kecenderungan paradigma, pandangan, pemikiran, perilaku postivistik, mekanistik, dan reduksionistik yang sedang menggurita. Pandangan reduksionis-dualistik terbukti telah mengakibatkan krisis ekologi.9 Proses hegemoni terjadi apabila cara hidup, cara berpikir dan
5
Mansour Fakih, “Refleksi Gerakan Lingkungan” dalam pengantar Ton Dietz, Pengakuan Hak atas Sumberdaya Alam: Kontur Geografi Lingkungan Politik, (Jogyakarta: Insist Press, 2005), hlm. vii. 6 Vandana Shiva, “Reversing globalisation: what Ghandhi can teach us”, The Ecologist; (May/Jun 1999; 29; 3; ProQuuest Biology Journals), hlm. 224. 7 Daniel B. Botkin dan Edward A. Keller, Environmental Studies: The Earth as Living Planet, (Charles E. Marriel Publishing Company, Columbus, Ohio, 1982), hlm. 11; Baca juga kutipan Syamsul Arifin, ”Agama dan Masa Depn Ekologi Manusia” Ulumul Qur’an, (NO. 5 & 6 Vol. V Tahun 1994), hlm. 97. 8 Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist Press, 2011), hlm. 210. 9 Nur Sayyid Santoso Kristeva, Negara Marxis, hlm. 288.
5
pandangan pemikiran masyarakat umum telah meniru dan mengikuti cara berpikir kelompok yang mendominasi dan mengeksploitasi.10 Pilihan teori penelitian ini jatuh pada teori hegemoni karena Gramsci mengembangkankan arti penting ide sebagai faktor kunci yang menentukan perkembangan sejarah. Meminjam perangkat analisis hegemoni, peneliti berusaha menempatkan superstruktur ideologi menjadi bahan analisis untuk menjelaskan bagaimana proses terjadinya hegemoni terhadap alam sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan. Berbeda dengan marxisme yang melihat realitas sosial dari basis ekonomi, Gramsci melihat lebih luas dari sekedar persoalan ekonomi. Bagi Gramsci, setiap persoalan selalu melibatkan diri dalam bentuk civil right movement, women movement, gerakan masyarakat adat, gerakan cinta dan peduli lingkungan, dan sebagainya.11 Sementara, konservasi lingkungan dalam konteks perilaku keagamaan akan peneliti analisis melalui teori otoritas Weberian. Dalam pandangan Weber, sebuah ide, pemikiran, dan gagasan yang berasal dari dogma atau ajaran agama akan membentuk perilaku dan gerakan masyarakat.12 Atas dasar teori tersebut bencana banjir yang sering terjadi di lingkungan wilayah Pekalongan dapat dilihat sebagai hal yang terkait dengan keagamaan, sebagaimana pandangan Max Weber.
F. Literatur Review Penelitian tentang bencana banjir secara umum sudah pernah dilakukan oleh para peneliti. Kajian literatur ini penting agar tidak terjadi duplikasi. Melalui kajian literatur ini diharapkan dapat mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan terkait bencana banjir. Di samping itu, melalui review hasil penelitian yang sudah pernah dilakukan oleh para peneliti terdahulu, penelitian ini terhindar dari duplikasi, pengulangan, dan kesia-sian. Untuk itu, kajian penelitian terdahulu menjadi signifikan.
10
Mansour Fakih, Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 145. 11 Bagong Suyanto, “Teori hegemoni Antonio Gramsci” dalam Bagong Suyanto dan M. Khusna Amal (ed.), Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial, (Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2010), hlm. 39. 12 Max Weber, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 3-17.
6
Penelitian-penelitian yang dimaksud adalah sebagaimana kajian di bawah. Pertama, Agus Maryono, “Menangani Banjir, Kekeringan, dan Lingkungan”. Penelitian yang dipublikasikan oleh Gadjah Mada University Press mengungkap bahwa konsep integral ecohydraulics selama ini hanya diketahui oleh kalangan akademis saja. Menurutnya, konsep integral ecohydraulics perlu diketahui khalayak umum. Melalui cara ini, masyarakat yang selama ini menjadi pihak yang paling dirugikan dengan bencana banjir dapat dieliminir. Menurut Maryono, sampai sekarang memang belum ada bukti meyakinkan bahwa sebuah konsep untuk mengatasi kebanjiran atau kekeringan bisa meniadakan sama sekali penderitaan masyarakat. Konsep integral ecohydraulics yang sudah lazim dipraktikkan di negaranegara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Inggris dan Jepang ini, memadukan komponen-komponen ekologi dan fisik hidraulis, serta hidraulis dan morfologis dalam mengatasi kebanjiran atau kekeringan.13 Kedua, Robert J. Kooatie dan Sugiyanto, dalam “Banjir: beberapa Penyebab dan Metode pengendaliannya dalam perspektif lingkungan”
penelitian ini
mengekspos penyebab banjir, menawarkan berbagai macam teori dan metode pengendalian banjir dalam perspektif lingkungan. Bukan rahasia lagi, bahwa pengelolaan air yang baik sangat penting bagi kehidupan umat manusia. Air yang berlebihan menyebabkan banjir, kekurangan air menyebabkan kekeringan. Keduanya sangat merugikan umat manusia. Menurut Kodoatie dan Sugiyono, banjir menyebabkan kerusakan yang lebih parah dibandingkan dengan bencana alam lainnya. Kerugian dan kerusakan akibat banjir adalah sebesar dua pertiga dari semua bencana alam yang terjadi. Setiap tahun bencana banjir cenderung meningkat dengan korban lebih banyak serta kerugian yang meningkat.14 Ketiga, Pande Made Kutanegara, dkk., Membangun Masyarakat Indonesia Peduli Lingkungan. Menurut Kutanegara, kerusakan lingkungan hidup tidak lepas dari kegiatan atau aktivitas manusia. Kebakaran hutan, bencana banjir, erosi kekeringan, tanah longsor menjadi bagian dari krisis ekologis yang selama ini melanda umat manusia. Perilaku manusia yang merusak lingkungan biasanya terkait upaya pemenuhan kebutuhan hidup, seperti pemanfaatan air, penggunaan energi, 13
Agus Maryono, Menangani Banjir, Kekeringan, dan Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014). 14 Robert J. Kooatie dan Sugiyanto, Banjir: Beberapa Penyebab dan Metode Pengendaliannya dalam Perspektif Lingkungan, Yogyakarta: (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
7
bahan bakar dan seterusnya yang mengindahkan kebutuhan generasi yang akan datang. Riset ini mengungkap proses bagaimana kerusakan lingkungan terjadi, serta rendahnya indeks perilaku lingkungan masyarakat.15 Keempat, Su Rito Hardoyo, dkk., Aspek-aspek Banjir genangan (ROB) di Kawasan Pesisir.
Hasil penelitian ini mengungkap bahwa banjir rob akibat
perubakan iklim dan pemanasan global dinilai sebagai penyebab utama naiknya permukaan air laut (rob) yang berdampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat di kawasan pesisir. Bancana ini mengakibatkan kerusakan permukiman, infrastruktur wilayah, lahan tambak dan lain sebagianya. Hasil riset juga mengungkap kondisi sosial ekonomi masyarakat terdampak banjir rob, startegi adaptasi, pemetaan kerentanan, kesigapan masyarakat menghadapi banjir .16 Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang sudah ada. Dari sisi fokus masalah, penelitian yang akan dilakukan terkait isu relasi banjir dan agama, khususnya mengenai tafsir, adaptasi dan mitigasi bencana banjir yang dilakukan oleh kaum beragama. Dari sisi metode dan pendekatan, penelitian ini menggunakan tradisi riset fenomenologi. Sedangkan terkait lokasi riset, penelitian ini di fokuskan pada wilayah Pekalongan. Sementara subyek risetnya adalah kaum beragama, yaitu komunitas yang memiliki basis organisasi keagamaan yang jelas, seperti NU, Muhammadiyah, Masjid, Majlis Taklim dan seterusnya.
G. Sistematika Penulisan Pelaporan penelitian ini menggunakan alur dan sistem penulisan sebagai berikut: Pertama, bab pendahuluan, yang meliputi pembahasan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan signifikasi penelitian, kerangka teoritik, literatur review, metode penelitian dan sistematika penulisan. Kedua, berupa bab yang membahas konsep banjir dan segala hal yang terkait dengan banjir. Mulai dari definisi, jenis-jenis banjir, penyebab banjir, dampak banjir dan adaptasi yang dilakukan oleh korban banjir.
15
Pande Made Kutanegara, dkk., Membangun Masyarakat Indonesia Peduli Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014). 16 Su Rito Hardoyo, dkk., Aspek-aspek Banjir Genangan (ROB) di Kawasan Pesisir, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014).
8
Ketiga, berbicana tentang tasbih sebagai simbol keberagamaan umat. Pada bagian ini membahas tasbih sebagai simbol beragama, definisi, teori beragama dan keberagamaan umat yang ada di Indonesia. Keempat, membahas metode yang dipakai dalam penelitian ini. Bagian ini meliputi, paradigama dan pendekatan, jenis penelitian, lokasi penelitian, sumber data, subyek penelitian, teknik pengumpulan data, dan analisis data. Kelima, mengkaji temuan dan pembahasan penelitian. Bagian ini memuat tiga kajian utama, yaitu terkait interpretasi masyarakat beragama terkait banjir, adaptasi masyarakat beragama terhadap banjir serta mitigasi bencana banjir di kalangan umat beragama di Pekalongan. Keenam, berisi penutup, yang memuat kesimpulan dan rekomendasi.
9
BAB 2 BANJIR, PENYEBAB DAN PENANGGULANGANNYA
Banjir merupakan salah satu jenis bencana alam yang sering terjadi di daerah kawasan pesisir. Pekalongan yang menempati wilayah pesisir pantai utara, juga sering mengalami bencana banjir karena aspek lokasi geografis ini. Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penaggulangan bencana alam pesisir, makna bencana alam untuk wilayah pesisir adalah kejadian akibat peristiwa alam atau karena perbuatan orang yang menimbulkan perubahan sifat fisik dan/atau hayati pesisir, dan mengakibatkan korban jiwa, harta dan/atau kerusakan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.1 Banjir, baik karena hujan maupun faktor kenaikan air laut pada faktanya sering terjadi di daerah pesisir seperti kota Pekalongan. Di samping banjir, wilayah ini juga rawan terjadi tsunami, abrasi dan gelombang pasang, yang datangnya sulit diprediksi.2
A. Pengertian dan Sumber Banjir Banjir didefinisikan sebagai tergenangnya suatu tempat akibat meluapnya air yang melebihi kapasitas pembuangan air di suatu wilayah dan menimbulkan kerugian fisik, sosial dan ekonomi.3 Artinya, bahwa banjir adalah peristiwa atau keadaan terendamnya atau tergenangnya suatu areal daratan yang disebabkan oleh meningkatnya volume air yang berlebihan. Dengan demikian, banjir hanya terjadi ketika aliran air yang berlebihan merendam atau menggenangi daratan. Merujuk pada Ward (1978) dan Dewi (2007), Hardoyo dkk. (2014) mengatakan bahwa pengertian banjir adalah meluapnya air ke daratan dan mengakibatkan daratan tergenang atau tenggelam secara tidak normal. Menurutnya, banjir bisa terjadi ketika air sungai meluap ke areal sekitarnya ketika debit aliran airnya melebihi kapasitas tampung saluran air.4
1
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Alam, (Jakarta: Setnek, RI, 2017a). 2 Su Rito Hardoyo, dkk., Aspek Sosial Banjir Genangan (ROB) di Kawasan Pesisir, (Yogyakarta: UGM Press, 2014), hlm. 55 3 Promise Indonesia, Banjir dan Upaya Penanggulangannya, Jakarta: Pemerintah DKI, Usaid, Adpc, tt.), hlm. 3 4 Su Rito Hardoyo, dkk., Aspek Sosial Banjir Genangan (ROB) di Kawasan Pesisir, (Yogyakarta: UGM Press, 2014), hlm. 55
13
Berdasarkan
rumusan
Promise
Indonesia
(Program
for
Hydro-
Meteorological Risk Disaster Mitigation in Secondary Cities in Asia), banjir dapat dipilah menjadi beberapa jenis. Bencana banjir dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu lokasi sumber aliran permukaan dan mekanisme terjadinya banjir. Berdasarkan lokasi sumber aliran permukaan, banjir dapat dibagi menjadi dua, yaitu banjir aliran (bandang) dan banjir lokal. Banjir bandang adalah banjir yang diakibatkan oleh tingginya curah hujan di daerah hulu sungai. Sedangkan banjir lokal adalah banjir yang terjadi karena volume hujan setempat yang melebihi kapasitas pembuangan di suatu wilayah.5 Sedangkan, apabila ditinjau dari segi mekanisme terjadinya banjir, banjir dapat dipilah menjadi dua, yaitu regular flood dan irregular flood. Regular flood adalah banjir yang disebabkan oleh turunnya hujan. irregular flood adalah banjir yang diakibatkan oleh selain hujan, seperti tsunami, gelombang pasang, dan hancurnya bendungan. Regular flood sering terjadi di berbagai wilayah, terutama yang curah hujannya tinggi sementara daerahnya berada di dataran rendah. Berbeda dengan regular flood, irregular flood, terutama yang disebabkan oleh proses pasang air laut, gelombang pasang, tingginya aliran sungai dan kenaikan paras muka air laut hanya terjadi di kawasan pesisir, sebagaimana hasil riset Marfai dan King (2008).6 Dalam penjelasan di atas dikatakan bahwa banjir adalah genagan air yang tidak wajar. Karena adanya genangan air berarti ada sumber-sumber darinya air berasal. Menurut rumusan Promise Indonesia, sumber-sumber banjir adalah curah hujan tinggi, baik di suatu kawasan maupun di hulu sungai; luapan air sungai akibat tingginya curah hujan di hulu sungai; runtuhnya bendungan; naiknya air laut (pasang/rob); atau terjadinya gelombang tsunami. Selain itu, faktor kerentanan di suatu daerah juga akan mempengaruhi terjadinya banjir. Faktor kerentanan tersebut adalah sebagai berikut: prerediksi yang kurang akurat mengenai volume banjir; rendahnya kemampuan sistem pembuangan air; turunnya kapasitas sistem pembuangan air akibat rendahnya kemampuan
5
Promise Indonesia, Banjir dan Upaya Penanggulangannya, Jakarta: Pemerintah DKI, Usaid, Adpc, tt.), hlm. 3 6 Su Rito Hardoyo, dkk., Aspek Sosial Banjir Genangan (ROB) di Kawasan Pesisir, (Yogyakarta: UGM Press, 2014), hlm. 55
14
pemeliharaan dan operasional; deforestasi; turunnya permukaan tanah akibat turunnya muka air tanah; perubahan iklim yang diakibatkan oleh pemanasan global.7 Berdasarkan kriteria di atas, Pekalongan termasuk wilayah yang rawan banjir, baik karena geografi, tata guna lahan, sistem pengelolaan air maupun faktor perubahan iklim.
B. Daerah Rawan Banjir Daerah rawan banjir memiliki ciri ciri khas sebagai berikut: Pertama, daerah dengan topografi berupa cekungan dan/atau dataran landai, dimana elevasi tanah mendekati atau dibawah muka air laut. Kedua, daerah dataran banjir alami seperti rawa dan bantaran sungai. Ketiga, daerah Aliran Sungai (DAS) yang melampaui batas kritis, dengan ciri-ciri : tanah tandus, rasio debit maksimum terhadap debit minimum sangat besar (sungai sangat kering di saat kemarau dan sangat penuh disaat hujan). Keempat, daerah dengan curah/intensitas hujan sangat tinggi. Kelima, daerah dengan sistem saluran pembuangan air penuh dengan sampah. Keenam, daerah pantai yang rawan terhadap badai tropis. Ketujuh, daerah pantai yang rawan tsunami yang bisa diakibatkan oleh gempa tektonik dasar laut maupun gempa akibat gunung api aktif yang terletak didasar laut seperti krakatau.8 Kekerangan dan banjir secara bersamaan maupun terpisah menjadi pandangan public yang memilukan. Kekeringan dan hujan terjadi silih berganti. Dalam beberapa decade ini, kekerangan melanda di berbagai tempat di Indonesia. Akibatnya, jutaan hektar area pertanian di Jawa dan luar jawa terancam gagal panen. Padahal, ingat kita masih segar, bahwa musim hujan selalu memaksa orang untuk tergopoh-gopoh karena berjibaku ‘melawan’ banjir. Berdasarkan kaidah ilmu hidrologi dan keseimbangan daerah aliran sungai (DAS), banjir dan kekeringan merupakan suadara kembar yang kemunculannya datang susul menyusul. Faktor penyebab kekerangan sama persis seperti faktor penyebab banjir. Keduannya berprilaku linier-dependent, artinya semua faktor yang menyebabkan kekeringan akan bergulir mendorong terjadinya banjir. Semakin parah
7
Promise Indonesia, Banjir dan Upaya Penanggulangannya, Jakarta: Pemerintah DKI, Usaid, Adpc, tt.), hlm. 3 8 Promise Indonesia, Banjir dan Upaya Penanggulangannya, Jakarta: Pemerintah DKI, Usaid, Adpc, tt.), hlm. 2
15
kekeringan terjadi, semakin dahsyat pula banjir yang akan menyusul. Begitu juga sebaliknya.9 Faktor-faktor penyebab banjir
di antaranya, faktor iklim ekstrim, faktor
penurunan daya dukung DAS, faktor kesalahan perencanaan dan implementasi pengembangan kawasan, faktor kesalahan konsep drainase dan faktor sosio-hidraulik (kesalahan perilaku masyarakat terhadap komponen terhadap komponen hidrologihidraulik).
C. Cara Menanggulangi Banjir Secara umum, seluruh kejadian banjir disebabkan oleh rendahnya kemampuan retensi DAS yang bersangkutan, berkurangnya retensi sepanjang alur sungai, kurangnya area resapan di suatu kawasan dan water culture yang rendah. Berikut empat cara yang efektif untuk penyelesaian banjir. Pertama, mengadakan reboisasi secara missal di DAS, baik di area hutan maupun di area permukiman, baik di desa maupun di kota. Penghijauan ini tidak bisa ditunda-tunda, karena pengurangan hutan di berbagai tempat di tanah air sudah tidak bisa ditoleransi lagi. Perlu program nasional kampanye sop penebangan hutan. Jika tidak, bencana kekeringan musim kemarau, banjir musim hujan dan longsor akan semakin meraja lela. Ketiga bencana (kekeringan, banjir dan longsor) pada dasarnya penyebabnya sama, yaitu hancurnya ekologi DAS yang bersangkutan. Pada praktiknya upaya reboisasi yang dilakukan harus memperhatikan berbagai factor, seperti tekanan penduduk dan kebutuhan lahan.10 Kedua, mempertinggi retensi sungai sendiri terhadap banjir. Maksudnya bagaimana banjir itu bisa disebar sepanjang sungai dari hulu hingga hilir sehingga yang terjadi bukan banjir besar di suatu titik tertentu, melainkan banjir-banjir kecil yang mungkin terjadi di jepanjang alur sungai. Bahkan, sungai boleh meluap sedikit sepanjang sungai karena memang dibutuhkan oleh ekologi sungai untuk tetap eksis. Di samping itu, banjir kecil juga dibutuhkan dalam meningkatkan konservasi lingkungan air di hulu atau disepanjang sungai. Konsekuensi konsep meninggikan daerah retensi sepanjang alur sungai ini menghindari metode penanggulangan banjir 9
Agus Maryono, Menangani Banjir Kekeringan, dan Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2014), hlm. 1 10 Agus Maryono, Menangani Banjir Kekeringan, dan Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2014), hlm. 10.
16
dengan pembutan tanggul, sudetan, pelurusan, dan pengerasan, tebing karena caracara ini justru mengurangi kemampuan alur sungai untuk menahan air banjir di suatu tempat tertentu, terutama di bagian hilir karena air menjadi semakain cepat ke hilir. Cara retensi sepanjang alur dapat dilakukan dengan mengembangkan daerah-daerah sepanjang alur sungai untuk tempat parkir air sebelum mengalir ke hilir. Perlu dikaji dan dicari area yang memungkinkan untuk dikembangkan untuk menjadi polder alamiah penampung sementara banjir. Semakin banyak area parkir sepanjang alur suangi ini, semakin dapat mengurangi hanjir secara singnifikan. 11 Ketiga, meningkatkan jumlah kolam retensi di berbagai kawasan, baik di area perkebunan, pertanian, permukiman, perkantoran, perkotaan, dan pedesaan. Kolam konservasi ini perlu dibudayakan kepada semua lapisan masyarakat dan pemerintah, karena kolan konservasi dapat mencegah terjadinya banjir di bagian hilir secara signifikan. Kolam konservasi dapat dibuat dengan cara sederhana dengan mencari daerah yang relatif rendah, kemudian dikembangkan menjadi kolam konservasi. Atau setiap pembukaan perumahan baru diwajibkan membuat kolam konservasi, sehingga air hujan diperumahan tidak langsung dialirkan ke sunggai, namun dapat ditampung terlebih dahulu di kolam konservasi air sekaligus diserapkan ke tanah untuk konservasi sir tanah. Besarnya kolam konservasi dapat dihitung berdasarkan persentasie besarnya tanah yang digunakan untuk perumahan. Keempat, pembentukan karakter sosio hidraulik atau water culture. Sosio hidraulik adalah pendekatan penyelesaian masalah keairan, lingkungan dan banjir dengan membangun kesadaran sosial massal, bagaimana masyarakat berprilaku terhadap air. Jika perilaku terhadap air secara massal sudah benar penyelesaian masalah banjir dan masalah lingkungan yang terkait semakin mudah. Water culture dalam masalah banjir juga bisa diartikan dengan kesiapan masyarakat yang terkena banjir atau yang sering terkena banjir untuk menguasai cara-cara penyelamatan barang atau jiwa sehingga kerugian material dan jiwa bisa ditekan serendahrendahnya. 12
11
Agus Maryono, Menangani Banjir Kekeringan, dan Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2014), hlm. 11. 12 Agus Maryono, Menangani Banjir Kekeringan, dan Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2014), hlm. 11.
17
D. Pengendalian Banjir Pengendalian banjir merupakan bagian dari pengelolaan sumberdaya air yang lebih spesifik untuk mengontrol hujan dan banjir umumnya melalui dam-dam pengendali banjir, atau peningkatan sistem pembawa (sungai, drainase) dan pencegah hal yang berpotensi merusak dengan cara mengelola tataguna lahan dan daerah banjir (flood plains).13 Pada hakikatnya, pengendalian banjir merupakan sesuatu yang sangat kompleks. Mengingat kompleksitas tersebut, maka pengendalian banjir sudah semestinya melibatkan para ahli dari berbegai disiplin ilmu pengetahuan. Menurut Robert, dimensi rekayasanya melibatkan banyak disiplin ilmu teknik, seperti hidrologi, erosi DAS, teknik sungai, morphologi dan sedimentasi sungai, hidraulika, teknik sungai, sistem drainase sungai kota, bangunan air, rekayasa sistem pengendalian banjir. Lebih dari itu, pengendalian banjir sangat terkait aspek lainnya yang menyangkut masalah ekonomi, sosial, lingkungan, institusi, kelembagaan, budaya, hukum, bahkan agama. Sedangkan menurut Grigg (1996), sebagaimana dikutip oleh Robert, bahwa ada 4 strategi dasar untuk pengelolaan daerah banjir, yaitu: pertama, modifikasi kerentanan dan kerugian banjir (pengaturan zona atau pengaturan tata guna lahan); Kedua, modifikasi banjir yang terjadi (pengurangan) dengan bangunan pengontrol (waduk) atau normalisasi sungai; Ketiga, modifikasi dampak banjir dengan penggunaan teknik mitigasi seperti asuransi, penghindaran banjir (flood proofing); Keempat, pengaturan peningkatan kapasitas alam untuk dijaga kelestariannya seperti penghijauan.14
E. Banjir, Kekeringan dan Longsor Setiap awal musim penghujan, berbagai daerah di wilayah Indonesia dilanda banjir.
Daerah yang terkena banjir biasanya adalah wilayah dataran rendah.
Sementara daerah dataran tinggi seringkali mengalami bencana berupa tanah longsor. Bencana banjir dan longsor melengkapi bencana-bencana sebelumnya 13
Robert J. Pengendaliannya dalam hlm. 9 14 Robert J. Pengendaliannya dalam hlm. 185.
Kooatie dan Sugiyanto, Banjir: Beberapa Penyebab dan Metode Perspektif Lingkungan, Yogyakarta: (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Kooatie dan Sugiyanto, Banjir: Beberapa Penyebab dan Metode Perspektif Lingkungan, Yogyakarta: (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002),
18
berupa kekeringan. Ketiga sering kali tak dapat dipisahkan. Dalam kurun waktu satu tahun, kerugian akibat bencana alam di Indonesia tercatat Rp. 1,5 triliyun. Pada tahun 2001 misalnya, terjadi 33 kali banjir, 25 kali tanah longsor, 14 kali gempa bumi, 12 kali kebakaran (termasuk hutan), dan enam kali angin topan. Bencana tersebut telah menelan 692 jiwa.
15
Jika setiap tahunnya terjadi bencana dengan
kuantitas yang sama maka dapat dilihitung korban jiwa dalam 10-15 tahun, mencapai 6. 920 sampain10. 380 jiwa. Padahal faktanya, bencana alam dari waktu ke waktu cenderung mengalami peningkatan baik jumlah, kualitas maupun cakupan bencananya. Menurut Robert, penyebab banjir yang melanda di berbagai wilayah Indonesia disebabkan oleh degradasi secara tragis hutan tropis Indonesia. Setiap dua detik, hutan alam Indonesia seluas lapangan sepakbola hilang tak berbekas, gara-gara eksploitasi tak terkendali baik secara tersistem maupun penjarahan yang melewati daya dukungnya. Menurut hitungan berdasarkan data FAO, kerusakan hutan Indonesia sudah mencapai 1,3 juta hektar pertahun. Sementara World Bank mencatat kerusakan hutan tropis Indonesia sekitar 0,9 juta hektar pertahun. Namun kenyataan di lapangan, dari luas hutan Indonesia 142 juta hektar, kini tinggal kurang dari 96 juta hektar. 16 Kejadian banjir sangat bervariasi, namun nyatanya setiap musim hujan datang, hampir semua daerah mengalami banjir yang mengalami kerugian sangat signifikan. Menurut Robert, kerugian dan kerusakan akibat banjir adalah sebesar dua pertiga dari semua bencana alam yang terjadi. Setiap tahun tidak kurang 300 peristiwa banjir terjadi, menggenangi lebih 150. 000 hektar, merugikan lebih dari satu juta orang. 17
15
Robert J. Pengendaliannya dalam hlm. 12. 16 Robert J. Pengendaliannya dalam hlm. 12. 17 Robert J. Pengendaliannya dalam hlm. 12.
Kooatie dan Sugiyanto, Banjir: Beberapa Penyebab dan Metode Perspektif Lingkungan, Yogyakarta: (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Kooatie dan Sugiyanto, Banjir: Beberapa Penyebab dan Metode Perspektif Lingkungan, Yogyakarta: (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Kooatie dan Sugiyanto, Banjir: Beberapa Penyebab dan Metode Perspektif Lingkungan, Yogyakarta: (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002),
19
F. Dampak Bencana Banjir Dampak bencana akan terjadi pada beberapa aspek (sebagian besar di wilayah Indonesia bagian barat) dengan tingkat kerusakan berat pada aspek-aspek berikiut; (1). aspek Penduduk, antara lain berupa korban jiwa/meninggal, hanyut, tenggelam, luka-luka, korban hilang, pengungsian, berjangkitnya wabah dan penduduk terisolasi. (2). aspek Pemerintahan, antara lain berupa kerusakan atau hilangnya dokumen, arsip, peralatan dan perlengkapan kantor dan terganggunya jalannya pemerintahan. (3). aspek Ekonomi, antara lain berupa hilangnya mata pencaharian, tidak berfungsinya pasar tradisional, kerusak, hilangnya harta benda, ternak dan terganggunya perekonomian masyarakat. (4). aspek sarana/prasarana, antara lain berupa kerusakan rumah penduduk, jembatan, jalan, bangunan gedung perkantoran, fasilitas sosial dan fasilitas umum, instalasi listrik, air minum dan jaringan komunikasi. (5). aspek lingkungan, antara lain berupa kerusakan ekosistem, obyek wisata, persawahan/lahan pertanian, sumber air bersih dan kerusakan tanggul/jaringan irigasi.18 Dengan demikian, dampak banjir bukan hanya semata terkait ekonomi dan lingkungan, melainkan juga meliputi berbagai aspek, yaitu kependudukan, pemerintahan dan sarana prasarana. Di samping itu, hal yang paling pokok dan selama ini luput dari perhatian para ahli, bencana banjir ternyata juga sangat terkait dengan masalah sosial, budaya, dan juga dimensi agama dan keberagamaan.
18
Pelaksana Bakornas PB, Pedoman Penanggulangan Bencana Banjir, (Jakarta: Bakornas PB, 2017), hlm. 10.
20
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kota Pekalongan: Geografi dan Ekonomi Masyarakat Secara geografis kota Pekalongan terletak di jalur pantura. Posisi yang strategis ini tentu menguntungkan karena ia berada di tengah-tengah perlintasan jalur utara Pulau Jawa yang menghubungkan Kota Jakarta di sisi barat dan Surabaya di sisi timur. Dari sisi ekonomi hal ini mememungkinkan Kota Pekalongan terus berkembang. Dengan posisi geografis 6◦50‟42” - 6◦55‟44” Lintang Selatan dan 109◦37‟55” - 109◦42‟19” Bujur Timur dengan luas wilayah 45,25 km2 dimana semuanya merupakan daerah datar, tidak ada daerah dengan kemiringan yang curam. Adapun batas wilayahnya adalah Laut Jawa di sebelah utara, Kabupaten Pekalongan di sebelah barat dan selatan, Kabupaten Batang di sebelah timur dan di sebelah selatan. Jarak terjauh dari utara ke selatan 9 km dan dari barat ke timur 7 km.1 Kota Pekalongan menempati tanah seluas 4.525 ha. 32,80% merupakan tanah sawah dan 67,19% merupakan tanah kering. Dimana seluruh lahan sawah yang ada semuanya sudah teririgasi. Curah hujan di suatu daerah dipengaruhi oleh keadaan iklim, geografi dan pertemuan/perputaran arus udara. Rata – rata curah hujan di Kota pekalongan berkisar antara 40 mm – 285 mm per bulan, dengan jumlah hari hujan 120 hari. Keadaan suhu rata-rata di Kota Pekalongan dari tahun ke tahun tidak banyak berubah, berkisar antara 23,07 - 31,14◦C. Penduduk Kota Pekalongan pada tahun 2014 mencapai 267.574 jiwa yang terdiri atas 132.217 jiwa penduduk laki-laki dan 135.357 jiwa penduduk perempuan. Berdasarkan kondisi tersebut maka ada kecenderungan terjadinya pertumbuhan jumlah penduduk sekitar 0,99 % per tahun. Sedangkan tingkat kepadatan penduduknya mencapai 5.913 jiwa per kilometer persegi. Berdasarkan persebarannya, jumlah penduduk terbanyak berada di Kec. Pekalongan Barat dengan jumlah mencapai 83.628 jiwa yang terdiri atas 41.089 jiwa laki-laki dan 42.539 jiwa penduduk perempuan. Kemudian secara berurutan mengikuti adalah Kecamatan Pekalongan Utara sebanyak 71.499 jiwa, Kecamatan Pekalongan Timur sebanyak 62.317 jiwa dan Kec. Pekalongan Selatan sebanyak 50.130 jiwa. 1
Profil Kota Pekalongan, http/www.kotapekalonganco.id/
45
Sebagai daerah industri, kebanyakan penduduk Kota Pakalongan bekerja pada sektor industri pengolahan, kemudian sektor pertanian dan perikanan menyusul sebagai lapangan usaha nomor dua yang banyak digeluti penduduk Kota Pekalongan. Secara
proporsional
peningkatan
jumlah
penduduk
diikuti
dengan
peningkatan jumlah penduduk usia produktif, dengan demikian dapat dipastikan bahwa jumlah pencari kerja, angka pengangguran dan kebutuhan fasilitas-fasilitas yang berhubungan dengan pendidikan dan latihan kerja juga mengalami peningkatan. Selain itu hal yang cukup memprihatinkan adalah jumlah pengangguran yang semakin meningkat, sebagai akibat dari kurangnya angka perkembangan lapangan pekerjaan dan investasi. Hal ini tercermin pada masih tingginya jumlah pekerja di lapangan usaha di bidang pertanian, kehutanan, perkebunan dan perikanan, yaitu 2.508 orang. Konsentrasi mata pencarian penduduk pada sektor ini telah memberikan tekanan yang tinggi terhadap kelestarian alam, eksploitasi secara besar-besaran terhadap lahan maupun perairan laut telah terjadi dalam waktu beberapa tahun terakhir terjadi sebagai akibat dari ledakan jumlah pengangguran. Dewasa ini, petani kota Pekalongan dituntut untuk meningkatkan efisiensi dalam proses dan mutu produknya agar mampu menghadapi permasalahan menyempitnya lahan pertanian di samping tergenangnya beberapa area persawahan oleh rob air laut, hal ini merupakan tantangan yang mau tidak mau harus diatasi bersama sama di waktu mendatang. Meski
Pekalongan merupakan
kota
perdagangan
tidak
menjadikan
pemerintah kota Pekalongan menyurutkan perhatiannya pada bidang pertanian lahan pertanian yang ada di kota Pekalongan sebagaian besar di tanami tanaman padi, dengan luas area mencapai 2.469 ha . Dari luas lahan tanah tersebut di hasilakan 17.408 ton padi dan 9.292,17 ton beras, sementara di sektor kelautan, dimana sektor ini termasuk sektor andalan kota Pekalongan, perikanan laut menghasilkan jumlah tangkapan mencapai 21.328.165 ton, sementara jumlah kapal penangkap ikan 525 buah dan rumah tangga yang berusaha di bidang perikanan sebanyak 220 keluarga , terdapat 1 tempat pelelangan ikan (TPI) di kota Pekalongan, dimana TPI di maksud termasuk TPI terbesar di Indonesia, untuk itu perikanan darat dengan luas tambak 200 ha di hasilkan 57.72 ton ikan. Pada sektor perternakan, tercatat jumlah populasi sapi potong sebanyak 294 ekor dengan jumlah pemotong semester 1 tahun 2006 sebanyak 20353 ekor, 46
sedangkan sapi perah dalam waktu yang sama 275 ekor dengan jumlah produksi susu 224.565 liter, untuk jumlah populasi kambing dan domba masing masing 1.959 ekor dan 1.851 ekor. Isu flu burung yang melanda dunia peternakan unggas di Indonesia juga cukup berpengaruh terhadap perkembangan pertenakan unggas kota Pekalongan, hal ini bisa di lihat dari jumlah penurunanya jumlah hewan unggas yang ada di kota Pekalongan, sampai bulan Juni 2006 tercatat jumlah ayam buras adalah 193.259 ekor dan dari 5 peternak ayam petelur sebanyak 32.839 ekor dan jumlah peternak sebanyak 6 orang, Dengan jumlah peternak itik sebanyak 40 orang dan populasi itik mencapai 51.305 ekor, di hasilakn telur sebanyak 2.367.379 butir, Untuk mengenai wabah flu burung, Pemerintah kota Pekalongan dalam hal ini Dinas Pertanian, Perternakan dan kelautan telah melakukan langkah langkah pengelolahan diantaranya dengan melakukan sosialisasi tentang berbahaya dan upaya penaganan serta pencegahanpenyakit flu unggas, juga dengan melakukan faksinasi gratis bagi hewan unggas yang di miliki oleh warga kota Pekalongan.
B. Kondisi Sosial Keagamaan Masyarakat Jika dipandang dari sudut sosial, budaya dan agama, maka masyarakat Pekalongan berbeda dengan komunitas pesisir lainnya. Kehidupan masyarakat di Pekalongan sangat dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut masyarakat setempat. Secara sosio-kultural, ada beberapa foktor yang mempengaruhi perilaku masyarakat Pekalongan di antaranya adalah agama, pendidikan, budaya, politik, ekonomi, hukum, adat istiadat dan lain-lain. Persoalannya adalah faktor mana yang paling dominan pengaruhnya terhadap perilaku kehidupan masyarakat Pekalongan? Sebab, pada masing-masing komunitas, faktor-faktor pengaruh itu berbeda satu sama lain. Pada masyarakat perkotaan, dimensi ekonomi dan pendidikan sangat penting perannya bagi transformasi sosial masyarakat setempat. Pada komunitas desa dan tradisional, faktor yang paling berpengaruh adalah adat istiadat dan budaya setempat serta agama. Sementara bagi
47
kalangan santri, agama merupakan nilai yang paling dominan mempengaruhi kehidupan mereka.2 Jika dilihat melalui kategori di atas, secara umum masyarakat Pekalongan dapat dimasukkan sebagai komunitas desa dan santri sekaligus. Masyarakat Pekalongan sangat menjunjung tinggi tradisi, budaya, toleransi, dan semangat nilainilai kearifan lokal (local wisdom) lainya. Selogan sebagai kota BATIK, jika dibalik menjadi KITAB, merupakan ikon kota Pekalongan termasuk “Kota Santri”. Secara umum masyarakatnya juga sangat religius. Masjid megah sering kita temui di tengah-tengah kota dan desa. Ini menandakan masyarakat Pekalongan sangat peduli terhadap tempat ibadahnya. Belum lagi, jumlah mushalla yang tersebar di setiap gang dan sudut-sudut desa. Aktivitas keagamaan yang menjadi bagian rutinitas masyarakat semakin memperkokoh pandangan bahwa Pekalongan menjunjung nilainilai keagamaan. Dengan demikian, nilai-nilai agama bagi masyarakat Pekalongan memegang peranan penting dalam kehidupan dan proses perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat. Agama menjadi foktor yang paling menentukan dalam aktivitas seharihari masyarakat. Masalahnya, lalu di mana kontribusi agama dalam merespon dan penyelesaian bencana banjir yang sering terjadi di kota Pekalongan. Keberagamaan masyarakat Pekalongan secara umum masih berorientasi pada ibadah vertikal. Ada anggapan mayoritas warga, bahwa agama hanya persoalan ibadah mahdah, bagaimana mendekatkan diri kepada Allah melalui shalat, zikir, dan sebagainya. Ibadah haji berkali-kali dengan prosesi yang panjang dan mewah dapat disaksikan setiap musim haji. Acara-acara tradisi keagamaan hampir dapat kita jumpai setiap saat. Tahlilan, yasinan, manaqiban, berzanji, simduzzurar, dan seterunya menandakan makin maraknya ibadah yang dimaksud. Sementara persoalan lingkungan, banjir, limbah, sampah, erosi dan bencana ekologis lainnya seolah-olah bukan persoalan agama.
2
Moh Ali Aziz, ”Pendekatan Sosio-Kultural dalam Pemberdayaan Masyarakat”, dalam Rr. Suhartini at. al. (eds), Model-model Pemberdayaan Masyarakat, Jogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), hlm. 132.
48
C. Daerah Rawan Banjir di Kota Pekalongan Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara kepada beberapa informan bahwa daerah-daerah yang sering terjadi banjir atau rawan banjir meliputi beberapa kawasan. Pertama, daerah pantai. Secara umum wilayah pantai merupakan daerah rawan banjir karena secara geografis, pantai berada di daerah paling rendah dibanding daerah yang lain. Di samping itu, posisi pantai juga berada di paling ujung, menjadi pembatas antara daratan dan lautan. SW_1 mengatakan bahwa “daerah dekat pesisir pantai, seperti daerah panjang, pasir sari dan sekitarnya (SW_1)” adalah daerah yang paling rawan banjir. Daerah pantai di Kota Pekalongan meliputi Kecamatan Pekalongan Utara bagian paling utara, sepert keluarahan Kandang Panjang, Panjang Wetan, Panjang Baru, Pabean, Bandengan, Krapyak, dan Slamaran. Kedua, daerah kota dataran rendah. Wilayah kota yang memiliki empat kecamatan, terdapat beberapa keluarahan yang memiliki tingkat tinggi terhadap kerawanan banjir. Misalnya, Tirto, Medono, Landungsari, Jenggot dan Kradenan. Berikut penuturan SW_2: “Terdapat beberapa daerah yang rawan banjir di Kota Pekalongan beberapa daerah tersebut meliputi Kelurahan di Kecamatan Pekalongan Utara di antaranya Kandang Panjang, Panjang Wetan, dan Pabean. Sementara itu, di Kecamatan Pekalongan Barat di antaranya Kelurahan Medono, Tirto, dan Pasirsari. Beberapa Kelurahan rawan banjir di Kecamatan Pekalongan Timur diantaranya Klego, Sugihwaras, dan Ladungsari. Sementara Kelurahan di Kecamatan Pekalongan Selatan diantaranya Kraden, Jenggot, dan Kuripan Lor. (SW_2).” Kondisi banjir di kota Pekalongan tersebut seperti diungkap oleh SW_10. Menurutnya “Daerah yang sering terkena banjir yaitu daerah yang dekat dengan kawasan pantai seperti desa panjang, bandengan dan krapyak, selain itu daerah yang daerah yang datarannya agak rendah juga rawan terjadi banjir seperti di wilayah pabean, pasirsari dan kawasan sekitar tirto (SW_10).” Mengingat lokasi banjir yang sedemikian merata, maka masyarakat kota Pekalongan di daerah tersebut diharapkan selalu siaga. Berikut penjelasan SW_8. “Banjir sering melanda beberapa daerah di Pekalongan. Yang setiap tahunnya mengalami kebanjiran adalah panjang, pabean, jenggot, kradenan, kuripan lor,
49
landung sari, klego, tirto, medono. Daerah-daerah tersebut harus selalu siaga setiap musim penghujan. SW_8.”
Tabel 3 Wilayah Banjir Berkasarkan Kecamatan
No
Kecamatan
Kelurahan
1
Pekalongan Utara
Kandang Panjang, Panjang Wetan, Panjang Baru, Pabean, Krapyak, Dukuh, Slamaran
2
Pekalongan Timur
Klego, Sugihwaras, Landungsari
3
Pekalongan Barat
Medono, Tirto, Pasirsari, Kramatsari
4
Pekalongan Selatan
Kradenan, Jenggot, Kuripan Lor, Banyuurip, Pringlangu, Simbang Kulon
D. Interpretasi terhadap Banjir Banjir sebagai salah satu bentuk bencana ekologis merupakan fenomena alam yang memiliki banyak wajah. Sebab itu, para ahli dan masyarakat memiliki keragamaan mandangan terkait dengan bencana banjir tersebut. Menggunakan bahasa Judith Schlehe (2007), sebagaimana dirujuk Gazali (2012) bahwa pemaknaan seseorang terhadap bencana tidak bersifat tunggal, baik yang sama-sama mengalami bencana atau tidak. 3 Masyarakat beragama, seperti yang terjadi di Kota Pekalongan seringkali
menggunakan nalar agama sebagai acuan dalam memahami dan
menafsirkan setiap bencana. Hasil riset Homan (2003) yang dilakukan di Mesir dan Inggris menguatkan cara pandang masyarakat beragama terhadap bencana banjir. Masyarakat Mesir dan Inggris ketika tertimpa bencana menggunakan interpratsi keagamaan, walaupun dengan slaka yang berbeda-beda.
3
Hatim Gazali, “Interpretasi Pesantren atas Banjir”, dalam Agus Indiyanto dan Aqrom Kuswanjoyo, Agama, Budaya dan Bencana, (Bandung: Mizan, 2012), hlm. 95.
50
Temuan di Pekalongan menunjukkan hasil yang tidak berbeda. Dalam pemahaman kaum muslim yang ada di Pekalongan, banjir dapat dipahami sebagai bukti kekuasaan atas alam semesta. Pertembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak selamanya mampu membendung kekuasaan Allah. Banjir bagi sebagian orang Pekalongan adalah bukti otoritas Allah dalam mengatur alam semesta. Emad mengatakan: “kalau Allah berkehendak, tidak ada satu pun orang yang bisa menghalangi. Secanggih apapun teknologi untuk mencegah banjir, tidak ada artinya jika Allah berkehendak lain. Jadi, banjir yang dikirimkan Allah kepada umatnya, dalam batas yang paling pokok adalah bukti kekuasaan Allah. Ini prinsip pokok sebagai orang beriman”. Pandangan Emar persis argumen yang diungkapkan oleh Informan 4. Ia mengatakan: “banjir yang terjadi di kota Pekalongan karena kehendak Allah, karena jika Allah telah menghendaki maka akan terjadi. Walaupun saluran air sudah lancar, tidak tersumbat, jika Allah tetap menghendaki banjir, maka akan terjadi banjir. Dan juga karena ulah manusia yang membuang sampah sembarangan, yang menyebabkan saluran air menjadi tidak lancar (SW_4).” Pemahaman Emar dan SW_4 menunjukkan cara berpikir kaum muslimin yang mengedepankan aspek jabbariah dalam memahami fenimena dan kejidian alam. Jika ditelusuri lebih lanjut, maka cara berpikir ini hampir diikuti oleh sebagai umat Islam di Kota Pekalongan. Apa yang menjadi pemahaman Emar tentang bencana Banjir relevan dengan interpretasi Udin. Selaku aktivis NU, Udin merasakan bahwa banjir bagian dari cara Allah menunjukkan keperkasaannya di dapan makhluk-Nya. Pada suatu kesempatan Udin menjelaskan kejadian banjir yang sering melanda kota santri. “tiap hujan deras, kira-kira satu sampai dua jam, biasanya langsung diikuti oleh banjir. Sebetulnya kita sudah berusaha mengatasi dengan segenap kekuatan. Tapi apa daya. Kehendak Allah yang lebih pasti. Kalau Allah mau mengirim hujan yang pasti manusia tidak bisa berbuat banyak. Ada kekuatan Allah dalam setiap banjir yang melanda”. Argumen Emar dan Udin dapat dipahami dengan acuan teologis berupa ayatayat suci al-Qur‟an. Melalui pemahaman tektual, ayat al-Qur‟an jelas menyatakan: “Katakanlah, “siapakah yang dapat melindungi kamu dari (takdir) Allah jika Dia 51
menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmad untuk dirimu” (QS. AlAhzab: 17). Landasan di atas seringkali digunakan oleh orang-orang pekalongan dalam menafsirkan setiap bencana. Banjir, kerusakan lingkungan dan bahkan limbah yang diproduksi oleh penguasa batik, bagi sebagian orang Pekalongan juga dimaknai sebagai sunnatulllah, yang di dalamnya ada power yang maha kuasa.
E. Mengapa Terjadi Banjir? Dalam pandangan masyarakat Pekalongan, banjir pada dasarnya disebabkan beberapa faktor.
Dengan demikian, mengapa sering terjadi banjir di Kota
Pekalongan, tentu juga disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena hujan deras yang airnya tidak tertampung seketika. Banjir sebagai mana diketahui adalah meluapnya air di tempat yang bukan semestinya. Banjir terjadi di antaranya, “karena pada musim hujan dan rob di pantai meluap dan tersumbatnya saluran air karena membuang sampah sembarangan”. (SW_1). Di samping karena hujan, nyatanya juga banyak faktor yang mempengaruhi dan penyebabkan terjadinya banjir salah satunya. Misalnya “pendangkalan saluran air (drainase) dan tertutupnya permukaan sungai oleh tanaman enceng gondok. Sudah diketahui bahwa banyak sekali enceng gondok yang tumbuh subur pada permukaan sungai. Akibatnya sudah dapat dipastikan akan menyebabkan aliran sungai menjadi terhambat. Karena hal ini saat intensitas curah hujan yang tinggi sungai tidak dapat menampung air sehingga meluap ke permukaan warga.” (SW_2). Di samping hujan dan sistem pembuangan yang buruk, minimnya space untuk penyerapan air, tidak terawatnya gorong-gorong atau saluran air, naiknya air pasang, mendapat kiriman air dari daerah atas, yaitu wilayah Pekalongan Selatan juga dinilai oleh SW_3 sebagai faktor terjadinya bencana banjir. Lebih dari itu, data lapangan juga menemukan kenyataan pandangan yang berlainan dengan data di atas. Menurut informan, SW_4, “banjir yang terjadi di kota Pekalongan karena kehendak Allah, karena jika Allah telah menghendaki maka akan terjadi. Walaupun saluran air sudah lancar, tidak tersumbat, jika Allah tetap menghendaki banjir, maka akan terjadi banjir. Dan juga karena ulah manusia yang membuang sampah sembarangan, yang menyebabkan saluran air menjadi tidak lancar.” (SW_4). 52
Sedangkan menurut SW_7, “terjadinya banjir disebabkan meningkatnya air pasang (rob), permukaan tanah lebih rendah dari permukaan pantai, saluran air yang kurang terawat, banyak sampah yang tidak pada tempatnya, serta banyak sampah yang memyumbat saluran air.” Berdasarkan pandangan SW_7 maka dapat dipahami bahwa ada dua persoalan utama, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Dataran rendah dan air masang merupakan faktor alam. Dua kondisi ini dapat memicu banjir di Kota Pekalongan. Sedangkan penyebab lainnya, saluran air yang tidak terawat, sumbatan, buang sampah semaunya merupakan faktor perilaku manusia. “banyak orang yang membuang sampah kesungai sehingga air tersumbat dan meluap” seperti yang dikatakan SW_5. Terkait dengan manusia sebagai penyebab bencana banjir, SW_6 mengatakan: “Penyebab nya yaitu orang-orang yang tidak mau menjaga lingkungan nya sendiri membuang sampah di aliran sungai maupun didaerah yang dekat dengan pantai. Banyak penebangan secara liar didaerah dekat pantai padahal tanaman itu bisa menyerap air dan setidaknya bisa mencegah banjir.” (SW_6).
F. Penyebab Banjir Berdasarkan data di lapangan, penyebab bencana banjir di kota Pekalongan dapat diklasifikasi menjadi beberapa penyebab. Penyebab yang dimaksud adalah tata guna lahan yang managable, system drainase yang buruk, rendahnya kesadaran masyarakat dan seterusnya. Pertama, terkait tata guna lahan. Masalah utama di kota Pekalongan terkait dengan banjir adalah disebabkan perencanaan tata kota. Buruknya perencanaan pembangunan kota yang tidak mengindahkan keseimbangan alam dan lingkungan menjadi penyebab pokok terjadinya banjir. Dalam kurun sepuluh tahun terakhir, di bawah pemerintahan wali kota, Muhammad Basyir Ahmad, pemerintah seolah-olah mengejar pendapat dengan cara memberikan izin bagi pengembangan perumahan dan perhotelan. Pada masa itu, di berbagai kelurahan yang ada di kota Pekalongan muncul perumahan-perumahan baru. Kebijakan mempermudah izin pengembang perumahan dan perhotelan menjadi penyebab utama terjadinya banjir. Kebijakan inilah yang memicu munculnya banjir, karena lahan serapan air semakin berkurang. Dalam konteks ini ada persoalan strategis yang mestinya menjadi perhatian pemerintah. Permasalahan pokok dalam perkembangan kota 53
adalah munculnya gejala unmanaged growth dengan dampak yang sangat signifikan terhadap kelangsungan hidup umat manusia. Gejala pertemubuhan kota yang tidak terkendali (unmanaged growth) sudah nampak dengan akibatnya nyata hilanya lahan produktif pertanian. Lahan pertanian bukan hanya berfungsi sebagai „instrumen‟ menjamin kepastian ketahanan pangan, melainkan juga sebagai „tools‟ pengendalian air untuk mengeliminir banjir.4 Dalam konteks inilah, perencanaan pembangunan sangat penting untuk mengantisipasi terjadinya banjir. Tata kota yang managable, dengan mempertingkan masa depan serta melibatkan multi aspek menjadi kekuatan ampuh bagi sebuah kota agar tidak terkena banjir. Salah satu informan riset mengungkapkan bahwa ada intervensi pemerintah dalam mengelola sumber daya air. SW_14 mengatakan: “Sebenarnya permasalahan penyebab banjir bukanlah disebabkan oleh curah hujan yang tinggi, akan tetapi lebih mengarah ke faktor bagaimana masyarakat serta pemerintah mengendalikan debit air hujan yang turun menjelang musim penghujan, dimana sebagian besar penyebab banjir adalah sampah yang menumpuk di aliran air seperti sungai,selokan, dan juga kurangnya daerah resapan air yang telah berganti menjadi hunian mewah nan elegan di berbagai titik lokasi daerah resapan air di kota pekalongan, seperti daerah resapan air di panjang yang telah berubah menjadi perumahan citra garden.” (SW_14). Kedua, system drainase yang buruk. Sistem pembuangan air yang tidak lancar menjadi penyebab banjir melanda di kota Pekalongan. Berdasarkan temuan data lapangan, kesadaran masyarakat yang rendah terhadap lingkungan sekitarnya menjadikan gorong-gorong, saluran pembuangan air tida berjalan dengan baik. Sistem drainaseyang buruk tidak semata disebabkan kurangnya perawatan, melainkan juga sejak desain awal tidak ada rancangan tata guna lahan yang mempertimbangkan sirkulasi air yang baik. SW_21 mengatakan: “Banjir di kota Pekalongan disebabkan oleh pendangkalan sungai dan tertutupya permukaan sungai oleh tanaman enceng gondok yang menyebabkan arus sungai terhambat, akibatnya saat intensitas hujan tinggi sungai tidak bisa menampung air dan menyebabkan meluapnya air sungai ke 4
Hadi Sabari Yunus, Manajemen Kota Perspektif Spasial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015).
54
pemukiman warga. Selain itu karena perilaku masyarakat yang sering membuang sampah di aliran sungai maupun di sistem drainase yang menyebabkan tersumbatnya aliran air. Serta di beberapa daerah bisa disebabkankarena air rob sehingga menyebabkan air tergenang seperti di Pabean, Bandengan, Klego. (SW_21).” Secara terpisah, Informan lain juga memberi kondisi yang sama dengan informasi SW_21. SW_2 mengurai penyebab banjir yang menurutnya disebabkan oleh multi faktor. SW_2 mengatakan: “Banyak penyebab terjadinya bencana banjir, penyebab tersebut antara lain Sistem saluran air (drainase) yang buruk, di tambah lagi oleh tata ruang dan bangunan yang tidak mengindahkan faktor lingkungan, dan hal ini di perburuk oleh tidak adanya sistem pengelolahan banjir secara terpadu yang dapat diaplikasikan kedalam proyek pembuatan danau buatan.” SW_2. Data yang hampir sama juga di berikan SW_8. Ia mengatakan: “terjadinya banjir di Pekalongan karena pendangkalan saluran air (drainase). Ditambah sungai yang melewati daerah tersebut ditumbuhi subur oleh tanaman eceng gondok dan juga sampah. Sehingga ketika intensitas curah hujan tinggi ,sungai tidak bisa menampung air banyak akibatnya sungai meluap sampai ke desa-desa juga menggenangi jalan”. (SW_8). Dari data di atas menunjukkan sistem pembuangan dan alur jalan air tidak dikelala secara baik. Sungai-sungai dibiarkan ditumbuhi tanaman liar, seperti enceng gondok yang menyebabkan pendangkalan. Sungai yang dangkal mengakibatkan air tidak bisa mengalir dan daya tampung air menjadi kurang maksimal. Ketiga, rendahnya kesadaran masyarakat. Secara umum, informan memberikan informasi terkait rendahnya kesadaran masyarakat sebagai penyebab munculnya banjir. Mengingat, kota Pekalongan sebagai basis industri batik, maka perilaku pengusaha dan pengrajin batik dianggap sebagai faktor penting terjadinya bencana banjir. SW_1 mengatakan: “banjir dikarenakan pembuangan limbah industri pabrik yang belum memadai, pembuangan sampah yang masih sembarangan yang menyebabkan selokan air tersumbat.” (SW_1). Perilaku masyarakat terkait ekologi masih rendah. Mereka membuang sampah, industri batik dan limbah rumah tangga secara langsung. Perilaku buruk ini ternyata hampir sudah membudaya di kalangan masyarakat Pekalongan. Di samping budaya buruk terkait masalah ekologis, masyarakat Pekalongan juga kurang sadar terkait pendirian bangunan. Mereka hampir tidak pernah menjalankan mekanisme 55
perijinan yang semestinya. “Pendirian bangunan yang berizin maupun tidak berizin di bantaran sungai menyebabkan lebar sungai menyusut sehigga air sungai bertambah. Maka air sungai akan segera meluap ke pemukiman warga. Masyarakat membuang sampah ke sungai. Dan saluran air yang kurang terawat.” (SW_3). Secara dramatik, SW_6 mengilustrasikan betapa buruknya perilaku masyarakat terhadap lingkungannya. Menurut pandangan SW_6, bahwa bencana banjir disebabkan oleh “orang-orang yang tidak mau menjaga lingkungannya. sendiri membuang sampah di aliran sungai maupun didaerah yang dekat dengan pantai. Banyak penebangan secara liar di daerah dekat pantai padahal tanaman itu bisa menyerap air dan setidaknya bisa mencegah banjir.” (SW_6). Dari ungkapan SW_6, ada tiga penyebab utama. Pertama, terkaitnya rendahnya etos menjaga lingkungan. Kedua, perilaku buang sampah sembarang. Ketiga, maraknya penebangan pohon di sekitar pantai. Dari data-data di atas menunjukkan bahwa penyebab paling pokok terjadinya banjir adalah ulah manusia. Mereka berbuat sekehendak hatinya. Tidak mengindahkan keharmonitas relasi manusia dengan alam sekitar. Simpulan ini diperoleh melalui pandangan informan, yang berinisial SW_9. Menurutnya, “penyebab banjir adalah ulah manusia, seperti membuang sampah disaluran air dan minimnya daerah resapan air karena banyak sekali jalan yang beraspal. Dan selain itu, penyebab banjir adalah kehendak Allah yang tidak bisa kita cegah.” (SW_9). Artinya, dalam pemikiran SW_9, paling tidak ada dua dimensi terjadinya banjir. Dimensi kemanusiaan dan dimensi ketuhanan. Banjir disebabkan manusia, dan juga sebagai kehendak Allah.
G. Dampak dan Adaptasi terhadap Banjir Berdasarkan data di lapangan, banjir secara umum merugikan masyarakat, baik berupa kerusakan lingkungan, munculnya masalah kesehatan, aktivitas terganggu, mengancam pertanian dan perikanan, dan seterusnya. Hampir semua aspek kehidupan terganggu karena bencana banjir. SW_1 mengatakan banjir dapat mengakibatkan “penyakit diare yang menyerang anak-anak maupun orang dewasa, sulitnya mendapatkan air bersih, terjadi kemacetan, terhambatnya system pembelajaran disekolah dan terhambatnya aktifitas para warga.” SW_1.
56
Penyakit yang muncul muncul karena bencana banjir adalah penyakit kulit, diare, demam berdarah, gatal-gatal, muntaber dan seterusnya. Persoalan kesehatan ini lahir bermula dari lingkungan yang kotor. Banjir membawa sampah, menyebarkan virus, dan timbulnya krisis air bersih. Air sebagai mana kita ketahui merupakan kebutuhan dasar manusia. Setiap manusia tidak mungkin dapat lepas dari asupan air. Sedangkan air bersih yang dibutuhkan tidak tersedia dengan baik. Akhirnya, air yang tercemar, dan mengadung berbagai racun, virus dan penyakit digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup si korban banjir. Akibat selanjutnya, maka seseorang mengalami dan merasakan berbagai masalah kesehatan. Terkait problem ini SW_2 mengatakan: “Bermunculnya berbagai macam penyakit yang menjadi imbas dari bencana banjir yang terjadi seperti DBD, penyakit kulit, dsb. Lingkungan menjadi kotor akibat terbenamnya daratan oleh air banjir. Apalagi sampah yang tertinggal paska banjir mereda, hal ini tertu saja akan menjadi tempat berkembangbiaknya penyakit jika tidak dilakukan tindakan pembersihan.” SW_2. Dengan data ini, setiap ada banjir, maka dampak lanjutnya adalah masyarakat terkena berbagai macan penyakit. Penyakit-penyakit yang diderita masyarakat biasanya harus diobati, baik obat yang ringan hingga berat, sampai harus opname di rumah sakit. Mereka butuh dokter untuk mengobati penyakitnya. Berobat membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Korban banjir di samping „repot‟ dalam beraktivitas harian, ketika mereka sakit, ia juga berhenti bekerja. Dengan berhenti bekerja, korban banjir juga kehilangan beberapa kesempatan bekerja. Jadi, masalah banjir bukan berhenti pada persoalan areal yang tergenang air saja, melainkan juga terkait kesehatan, terputusnya kontrak kerja, membengkaknya pengeluaran ekonomi, hilangnya pundi-pundi keuangan. Mengenai dampak banjir, SW_9 mengungkap betapa besar kerugian yang didapatkan para petani. Ia menuturkan: “Dampak yang paling besar penyebab banjir adalah kerugian yang besar dilahan pertanian, karena lahan pertanian menjadi rusak akibat banjir. Ada juga dampak lain yaitu ; Jalanan menjadi rusak, wabah penyakit demam berdarah dan gatal-gatal.” (SW_9). Banjir-banjir besar yang terjadi di kota Pekalongan seringkali merusak lahan pertanian. Baik pertanian padi, maupun tani tambak, mereka mengalami hal yang sama. Menurut SW-9, akibat banjir para petani terancam gagal panen. Padi-padi 57
yang semestinya dapat dipanen karena terkena banjir menjadi rusak, patah, dan tergenang air. Kerusakan akibat banyir biasanya membuat hasil panen menurun, bahkan acapkali petani mengalami kegagalan total. Lahan pertanian yang biasanya berhasil mendapatkan panen sebanyak 10 ton, karena banjir bisa hanya mendapatkan 4 ton, ada kerugian sekita 6 ton. Begitu juga banjir yang mengenia areal pertambakan. Para petani tambak seringkali hanya mendapatkan sisa-sisa. Ikan yang ditaman kabur, menyebar keberbagai lahan milik orang lain, atau bahkan tidak jelas kemana arah dan keberadaan ikan. Biasanya, para petani tambak sudah mengantisipasi jika terjadi banjir, namun pada praktiknya rencana antisipatif tidak berjalan dengan mulus. Selalu saja ada kelemahan-kelemahan yang mengakitkan kerugian bagi petani tambak. Di samping, kerugian kesehatan dan pertanian, persoalan bencana banjir yang jelas mengakibatkan rusaknya infrastruktur. SW_10 mensinyalir buruknya fasilitas akibat banjir. Ia mengatakan: “Akibat dari bencana banjir tersebut, banyak jalanan yang rusak dan banyak rumah warga yang rubuh akibat terlali sering tergenang air banjir. Selain itu, pepohonan juga banyak yang tumbang dan mati karena terkena banjir rob dari laut dan karena banjir itu banyak pula orang yang terserang penyakit seperti gatal – gatal dan diare karena terlalu lama berada di air”. SW-10. Dari data yang disampiakn SW_10 menunjukkan kerugian pada aspek infrastruktur pembangunan. Sarana prasarana publik menjadi rusak, tidak dapat dipakai sehingga harus diperbaiki. Gambaran umum akibat banjir yang lebih lengkap namun tidak detail disampiakan oleh SW_22. Ia mengatakan bahwa banjir mengakibatkan “masyarakat yang terserang penyakit, jalan-jalan menjadi rusak, terputusnya jalan transportasi, rusaknya atau menghilangkan harta benda bahkan nyawa, mengakibatkan terjadinya pemadaman listrik, mencemari lingkungan sekitar, rusaknya area pertanian warga, dan terjadinya krisis air bersih. (WS_22).
H. Strategi Penanggulangan Banjir Masyarakat Pekalongan menanggani banjir secara berberda, tergantung jenis banjir. Banjir yang disebabkan genangan air karena kenaikan air laut (rob), antar perkampungan dan perumahan juga berlainan. Berikut adaptasi masyarakat 58
Pekalongan terhadap bencana banjir rob, sebagaimana hasil riset observasi yang dilakukan oleh Ritohardoyo (2014).5 Pada masyarakat kampung, strategi adaptasi terhadap banjir rob dilakukan dengan berbagai cara: Pertama, meninggikan jalan lingkungan melalui bantuan pemerintah kota; Kedua, secara pribadi, setiap rumah tangga meninggikan fondasi rumah atau tanggul di teras rumah yang dapat menghalangi air masuk ke dalam rumah. Biasanya, pola ini dilakukan sesuai dengan kemampuan financial masingmasing. Ketiga, melalkukan swadaya mengurug atau menimbun genangan yang sulit untuk surut menggunakan tanah, terutama pada areal yang dipakai sebagai jalan. Keempat, membangun tanggul dari bambu yang diisi dengan tanah, di sepanjang tepi jalan yang membatasi areal jalan dengan area perkampungan. Tanggul dibangun karena sudah jebol. Kegiatan ini merupakan kegiatan swadaya masyarakat yang dilakukan dengan meibatkan RW. Kelima, pembuatan tanggul buatan dari bambu pada mulut saluran air bertujuan untuk menahan pasir agar tidak jatuh dan menahan pasir dari laut masuk ke dalam saluran ketika banjir pasang surut datang. Kegiatan ini merupakan kegiatan swadaya. Keenam, melakukan gotong royong rutin pembersihan saluran air dan perbaikan pintu air. Sedangkan adaptasi terhadap banjir yang dilakukan oleh masyarakat di lingkungan kompleks perumahan adalah sebagai berikut: Pertama, meninggikan jalan lingkungan, baik mellaui cara swadaya amupun atas bantuan pemerintah kota Pekalongan; Kedua, meninggikan fandasi rumah yang dilaksanakan secara individual dan atau membuat tanggul di teras rumah yang menghalangi masuknya air ke dalam rumah; Ketiga, memperbaiki saluran air secara bersama-sama melalui swadaya, sehingga dapat berfungsi dengan baik ketika datang banjir rob. Keempat, mengoperasikan mesin sedot air (kecil) yang dibeli secara bersamasama melalui swadaya masyarakat untuk menyedot air yang dibuang ke saluran air di bagian area perumahan yang masih kosong. Masyarakat membeli mesin sedot dengan cara iuran per waga sebesar Rp. 5. 000, 00. Kelima, membangun polder dengan bantuan pemerintah kota. Warga mengajukan bantuan kepada pemerintah kota Pekalongan, serta memberikan kontribusi sebesar 10% dari total biaya pembangunan, berupa uang tunai, bahan bangunan, atau tenaga kerja). Keenam, 5
Su Ritohardoyo, dkk., “Strategi Adaptasi Masyarakat terhadap Banjir Rob di Pemukiman Pesisir Kota Pekalongan”, dalam Su Ritohardoyo, dkk, Aspek Sosial Banjir Genangan (Rob) di Kawasan Pesisir, (Yogyakarta: UGM Press, 2014), hlm. 83-85.
59
melakukan pengelolaan mandari terhadap polder di bawah pengawasan BKM Kelurahan Panjang Baru. Dampak banjir yang terjadi di kota Pekalongan merusak lahan tambak. Banjir dengan ketinggian sekitar 10-30 cm seringkali merusak tambak yang dimiliki para petani. Dalam situasi demikian, strategi adaptasi yang dilakukan para petani adalah sebagai berikut: Pertama, petani membuat saluran dari pipa pralon. Saluran ini menghubungkan tambak dengan laut. Jika air laut mengalami pasang, saluran ini otomatis tertutup, namun jika air surut maka saluran pipa terbuka secara otomatis. Kedua, petani tambak membuat jaring dengan tujuan agar ketika air mengalami pasang, meluap atau banjir, ikan tidak dapat pindah dari kolam. Teknik ini dilakukan oleh setiap pemilik, pengusaha atau buruh batik.6 Ketiga, petani tambak memperbaiki dan meninggikan tambak sehingga air tidak bisa melewati, atau menggeruk dasar tambak lebih dalam di banding dengan tambak-tambak umumnya. Keempat, petani atau kelompok paguyupan petani tambak menyusun dan mengajukan proposal bantuan dana yang akan digunakan untuk pembelitian benih baru pengganti ikan atau udang yang hancur akibat tambak tergenang air laut pasang. Kelima, petani tambak mencoba budi daya rumput di areal tambak karena dianggap tidak begitu banyak terpengaruh oleh kejadi banjir. Pola ini dilakukan sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan pengusahaan modal masing-masing petani. Keenam, beberapa petani tambak yang mengetahui jadwal puncak pasang air laut, melakukan pengambilan panen ikan lebih awal sebelum waktunya.
I. Mitigasi Bencana Banjir Pada dasarnya, mitigasi merupakan upaya mengeliminir terjadinya bencana sekaligus mengurangi munculnya korban akibat bencana banjir. Berdasarkan temuan dilapangan, masyarakat beragama kota Pekalongan telah melakukan berbagai upaya, namun mereka juga menyadari bahwa upaya ini tidak mudah. Terkait pencegahan bencana banjir, SW_2 mengakatan: ”Tentunya sangat sulit untuk mencegah bencana banjir agar tidak terjadi pada tahun ini, perlu 6
Su Ritohardoyo, dkk., “Strategi Adaptasi Masyarakat terhadap Banjir Rob di Pemukiman Pesisir Kota Pekalongan”, dalam Su Ritohardoyo, dkk, Aspek Sosial Banjir Genangan (Rob) di Kawasan Pesisir, (Yogyakarta: UGM Press, 2014), hlm. 89.
60
persiapan yang lama dan kesadaran penuh baik dari Pemerintah dan masyarakat. Namun secara pribadi tempat tinggal saya telah melakukan kerja bakti untuk membersihkan selokan air sebelum musim hujan dimulaio dan tidak membuang sampah disembarang tempat khususnya pada saluran air (drainase) karena dapat menyebabkan terhambatnya aliran air.” Berdasarkan informasi kaum beragama di atas, pada dasarnya mereka secara sudah juga mengupayakan agar tidak terjadi bencana. Upaya yang reka lakukan persis yang termuat dalam UU Nomor 24 Tahun 2007. Mitigasi adalah serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran
dan
peningkatan
kemampuan
menghadapi
ancaman
bencana.
Masyarakat Pekalongan telah mengeliminer agar bencana tidak terjadi, baik melalui usaha individual, kolektif maupun kelembagaan pemerintahan.
Berdasarkan siklus waktunya, penanganan bencana terdiri atas 4 tahapan sebagai berikut. Berikut mitigasi bencana banjir yang dilakukan oleh kaum beragama di Kota Pekalongan: 1. Menjaga kebersihan lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan dan rutin membersihkan selokan (SW_1). 2. Diadakan kerja bakti untuk membersihkan saluran air supaya lancar; perlu adanya folder pada tempat-tempat yang tergenang air (SW_4). 3. Melakukan penanaman kembali (Reboisasi), mengolah sampah menjadi barang yang dapat dimanfaatkan kembali (SW_5). 4. Menggerakkan masa, sebelum peralihan musim. Massa yang digerakkan akan mengadakan penertiban lingkungan. Dari sampah,sungai,saluran air. Kita akan memperhatikan. Kalo memungkinkan peluasan sungai kita akan meminta izin ke pemerintah setempat dan meminta bantuan. Selain itu juga mensosialisasikan kepada masyarakat akan agar tidak membuang sampah sembarangan (SW_8). 5. Mengajukan usulan kepada Pemerintah setempat agar menormalisasi sungai disetiap daerah yang sering
terjadi banjir dan untuk mensosialisasi kepada
masyarakat akan pentingnya membuang sampah pada tempatnya (SW_11). 6. Langkah kecil yang bias saya lakukan untuk mencegah terjadinya banjir, membersikan saluran air di sekitar rumah, agar tidak tersembat sampah. Dengan
61
saluran air yang berfungsi dengan baik akan meminimalisir terjadinya banjir (SW_13). 7. Tidak se-enaknya sendiri untuk penebangan hutan dan memberitahukan ke masyarakat sekitar untuk bersama sama melakukan reboisasi pada daerah yang rawan banjir terutama daerah yang dekat dengan pantai (SW_6). 8. Saya beserta seluruh pemuda di kampung saya khususnya sering melakukan krigan atau pun kerja bakti membersihkan aliran sungai dari sampah-sampah yang menumpuk dan juga dari tanaman-tanaman liar yang tumbuh di sungai ketika musim kemarau tiba serta membersihkan saluran-saluran air di selokan secara rutin agar air dapat mengalir sehingga tidak menggenang dan menyebabkan banjir. Dari kegiatan-kegiatan seperti itu bisa meminimalisir terjadinya banjir ketika musim penghujan datang, (SW_14). 9. Dimulai dari menjaga kebersihan lingkungan di tempat tinggal saya, mulai dari hal terkecil seperti membuang sampah pada tempatnya. Selain itu dalam organisasi yang saya ikuti juga sering mengadakan kegiatan untuk menanggulangi masalah banjir seperti bersih selokan, bersih sungai, membuat daerah resapan air, dan menyediakan tempat sampah agar warga tidak membuang sampah sembarangan. (SW_21). 10. Membuat lubang biopori dan membuat sumur resapan (SW_27). Berdasarkan mitigasi di atas, masyarakat Pekalongan sesungguhnya telah melakukan beragam acara untuk mencegah bencana banjir. Sebagaimana telah mafhum. Mitigasi merupakan tahap awal penanggulangan bencana alam untuk mengurangi dan memperkecil dampak bencana. Mitigasi adalah kegiatan sebelum bencana terjadi. Contoh kegiatannya antara lain membuat peta wilayah rawan bencana, pembuatan tanggul pencegah banjir, penanaman pohon bakau, penghijauan hutan, serta memberikan penyuluhan dan meningkatkan kesadaran masyarakat agar berprilaku bersih dan sehat. Kesiapsiagaan merupakan perencanaan terhadap cara merespons kejadian bencana banjir. Perencanaan dibuat berdasarkan bencana yang pernah terjadi dan bencana lain yang mungkin akan terjadi. Tujuannya adalah untuk meminimalkan korban jiwa dan kerusakan sarana-sarana pelayanan umum yang meliputi upaya mengurangi tingkat risiko, pengelolaan sumber-sumber daya masyarakat, serta pelatihan warga di wilayah rawan bencana banjir. 62
Respons merupakan upaya meminimalkan bahaya yang diakibatkan bencana. Tahap ini berlangsung sesaat setelah terjadi bencana. Rencana penanggulangan bencana dilaksanakan dengan fokus pada upaya pertolongan korban bencana dan antisipasi kerusakan yang terjadi akibat bencana. Pemulihan merupakan upaya mengembalikan kondisi masyarakat seperti semula. Pada tahap ini, fokus diarahkan pada penyediaan tempat tinggal sementara bagi korban serta membangun kembali saran dan prasarana yang rusak. Selain itu, dilakukan evaluasi terhadap langkah penanggulangan bencana yang dilakukan. Melalui empat kreiteria mitigasi di atas, upaya perencanaan yang sistematis dan pemulihan serta evaluasi merupakan bagian mitigasi yang masih perlu disempurnakan.
63
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulan sebagai berikut. Pertama, banjir sebagai salah satu bentuk bencana ekologis merupakan fenomena alam yang memiliki banyak wajah. Para ahli dan masyarakat Pekalongan memiliki keragaman pandangan terkait dengan bencana banjir tersebut. Temuan di Pekalongan menunjukkan hasil yang tidak berbeda. Dalam pemahaman kaum muslim yang ada di Pekalongan, banjir dapat dipahami sebagai bukti kekuasaan atas alam semesta. Kenyataannya, dinamika ilmu pengetahuan dan teknologi tidak selamanya mampu membendung kekuasaan Allah. Banjir bagi sebagian orang Pekalongan adalah bukti otoritas Allah dalam mengatur alam semesta. Namun demikian, juga ada yeng menganggap bahwa banjir sebagai buah dari perilaku manusia yang destruktif terhadap alam. Melalui landasan teologis, masyarakat beragama Pekalongan dalam menafsirkan setiap bencana selalui dikaitkan dengan kehendak dan kekuatan Allah. Kedua, terkait dengan penyebab banjir, disamping karena otoritas Tuhan, sebagian informan juga menilai bencana disebabkan oleh ulah manusia, terutama terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Menurutnya penyebab banjir adalah: (1) terkait tata guna lahan; (2). system drainase yang buruk; (3). rendahnya kesadaran masyarakat. Ketiga, terkait adaptasi yang dilakukan kaum beragama terhadap banjir strategi adaptasi yang dilakukan adalah dengan berbagai cara: (1). meninggikan jalan lingkungan melalui bantuan
pemerintah kota; (2). secara pribadi, setiap rumah
tangga meninggikan fondasi rumah atau tanggul di teras rumah yang dapat menghalangi air masuk ke dalam rumah. (3) melalkukan swadaya mengurug atau menimbun genangan yang sulit untuk surut menggunakan tanah, terutama pada areal yang dipakai sebagai jalan. (4). membangun tanggul dari bambu yang diisi dengan tanah, di sepanjang tepi jalan yang membatasi areal jalan dengan area perkampungan. (5). pembuatan tanggul buatan dari bambu pada mulut saluran air bertujuan untuk menahan pasir agar tidak jatuh dan menahan pasir dari laut masuk ke dalam saluran ketika banjir pasang surut datang. Kegiatan ini merupakan kegiatan swadaya. (6). melakukan gotong royong rutin pembersihan saluran air dan perbaikan pintu air. 64
Keempat, mitigasi yang dilakukan sebagian kaum beragama terkait bencana banjir adalah: (1). Menjaga kebersihan lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan dan rutin membersihkan selokan; (2). Diadakan kerja bakti untuk membersihkan saluran air supaya lancar; perlu adanya folder pada tempat-tempat yang tergenang air; (3). Melakukan penanaman kembali (Reboisasi), mengolah sampah menjadi barang yang dapat dimanfaatkan kembali; (4). Menggerakkan masa, sebelum peralihan musim. Massa yang digerakkan akan mengadakan penertiban lingkungan. Dari sampah,sungai,saluran air. Kita akan memperhatikan. Kalo memungkinkan peluasan sungai kita akan meminta izin ke pemerintah setempat dan meminta bantuan. Selain itu juga mensosialisasikan kepada masyarakat akan agar tidak membuang sampah sembarangan; (5). Mengajukan usulan kepada Pemerintah agar menormalisasi sungai disetiap daerah yang sering terjadi banjir dan untuk mensosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya membuang sampah pada tempatnya.
B. Rekomendasi Merujuk pada hasil penelitian di atas, maka rekomendari yang dapat disampaikan
adalah
sebagai
berikut:
Pertama,
kaum
beragama
perlu
mengembangkan horizon pemikiran dan perilaku keagamaan dalam konteks kekinian. Banjir, bukan semata persoalan teologis, melainkan juga masalah sains, budaya, tata nilai serta terkait dengan pertarungan ekonomi global. Kedua, pemerintah kota selaku pemegang otoritas tertinggi, perlu membangun perencanaan secara koprehensif dan parisipatif terkait persoalan banjir yang seringkali melanda wilayah kota Pekalongan. Rencana ini meliputi berbagai aspek
yang
melibatkan
semua
stakeholders,
dengan
mempertimbangkan
keseimbangan alam, futuristik dan berkesinambungan. Ketiga, perlunya membangun budaya ramah lingkungan. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Pekalongan, baik itu dalam aktivitas perbatikan, pertanian, pertambakan, maupun yang lain perlu menghitung biaya dan dampak ekologis sebagai pertimbang dalam segala hal. Budaya ramah lingkungan dijadikan nilai-nilai bagi masyarakat Pekalongan setiap bertindak.
65
Daftar Pustaka
A. Mukti Ali, Universalitas dan Pembangunan, (Bandung: IKIP Bandung, 1971). Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001). Afthonul Afif, Identitas Tionghoa Muslim Indonesia: Pergulatan Mencari Jati Diri, (Depok: Kepik, 2012). Agus Cremers, Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler, (Yogyakarta: Kanisius, 1995). Agus Maryono, Menangani Banjir Kekeringan, dan Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2014). Ajat Sudrajat, Din Al-Islam, (Yogyakarta: UPP UNY, 2000). Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 1998). Andito (ed.), Atas Nama Agama: Wacana Agama dalam Dialog ‘Bebas’ Konflik, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998). Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: Rosda Karya, 2002). Bagong Suyanto, “Teori hegemoni Antonio Gramsci” dalam Bagong Suyanto dan M. Khusna Amal (ed.), Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial, (Yogyakarta: Aditya Media Publishing, 2010). Bambang Budijanto, “Islam in Indonesia,” Transformation: An International Journal of Holistic Mission Studies, (20/4 Oktober 2003). Bruce B. Lawrence, Shattering the Myth: Islam Beyon Violence, terj: Harimukti bagoes Oka, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2004). Daniel B. Botkin dan Edward A. Keller, Environmental Studies: The Earth as Living Planet, (Charles E. Marriel Publishing Company, Columbus, Ohio, 1982). Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islam Solusi atas Problem-problem Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994). Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, (New York: The Free Press, 1965). Graham C. Kinloch, Ideology and Social Science, (Greenwoon Press, 1981). Hadi Sabari Yunus, Manajemen Kota Perspektif Spasial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015). Hatim Gazali, “Interpretasi Pesantren atas Banjir”, dalam Agus Indiyanto dan Aqrom Kuswanjoyo, Agama, Budaya dan Bencana, (Bandung: Mizan, 2012). John B. Tompson, Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia. Yogyakarta: IRCiSod, 2003).
Koentjaraningrat, Pokok-pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Press, 1990). Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, (Bandung: Mizan, 1997). M. Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). M. Sastrapratda, ”Agama dan Kepedulian Sosial” dalam Soetjipto Wirosadjono, Agama dan Pluralitas Bangsa, (Jakarta: P3M, 1991). M. Ulinnuha Khusnan, “Memotret Paradigma Keberagamaan Kaum Santri,” Dialog: Jurnal Penelitian dan Kajian Keagamaan, No. 68, Tahun XXXII, (Nopember 2009). Maghfur Ahmad, “Pendidikan Lingkungan Hidup dan Masa Depan Ekologi Manusia,” Jurnal Forum Tarbiyah, (Vol. 8 No. 1, Juni 2010).
Mansour Fakih, “Refleksi Gerakan Lingkungan” dalam pengantar Ton Dietz, Pengakuan Hak atas Sumberdaya Alam: Kontur Geografi Lingkungan Politik, (Jogyakarta: Insist Press, 2005). Mansour Fakih, Jalan Lain: Manifesto Intelektual Organik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011). Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Insist Press, 2011). Max Weber, Etika Protestan dan Spirit Kapitalisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006). Moh Ali Aziz, ”Pendekatan Sosio-Kultural dalam Pemberdayaan Masyarakat”, dalam Rr. Suhartini at. al. (eds), Model-model Pemberdayaan Masyarakat, Jogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005). Muhammad Damami, Makna Agama dalam Masyarakat Jawa, (Yogyakarta: LESFT, 2002). Muhammad Iqbal, The Recontruction of Religious Thougth in Islam, (London: Oxford University-Humprey Milford, 1934). Nico Syukur Dister O.F.M., Pengalaman dan Motivasi Beragama, (Yogyakarta: Kanisius, 1988). Nur Syam, Madzhab-Madzhab Antropologi, (Yogyakarta: Lkis, 2012). Pande Made Kutanegara, dkk., Membangun Masyarakat Indonesia Peduli Lingkungan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014). Paul Edward (edt.), The Encyclopedia of Philosophy (New York: Macmilan Publishing Co. Inc. & The Free Press, 1972), s.v. Religion. Pelaksana Bakornas PB, Pedoman Penanggulangan Bencana Banjir, (Jakarta: Bakornas PB, 2017). Profil Kota Pekalongan, http/www.kotapekalonganco.id/ Promise Indonesia, Banjir dan Upaya Penanggulangannya, Jakarta: Pemerintah DKI, Usaid, Adpc, tt.).
Robert J. Kooatie dan Sugiyanto, Banjir: Beberapa Penyebab dan Metode Pengendaliannya dalam Perspektif Lingkungan, Yogyakarta: (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002). Robert W. Crapps, Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1994) Sekretariat Negara Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Alam, (Jakarta: Setnek, RI, 2017a). Su Rito Hardoyo dkk., Aspek Sosial Genangan (ROB) di Kawasan Pesisir, (Yogyakarta: UGM Press, 2014). Su Ritohardoyo, dkk., “Strategi Adaptasi Masyarakat terhadap Banjir Rob di Pemukiman Pesisir Kota Pekalongan”, dalam Su Ritohardoyo, dkk, Aspek Sosial Banjir Genangan (Rob) di Kawasan Pesisir, (Yogyakarta: UGM Press, 2014). Sudhir Kakar, The Colors of Violence, Cultural Indentities, Religion and Conflict (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1996). Syamsul Arifin, ”Agama dan Masa Depn Ekologi Manusia” Ulumul Qur’an, (NO. 5 & 6 Vol. V Tahun 1994). Vandana Shiva, “Reversing globalisation: what Ghandhi can teach us”, The Ecologist; (May/Jun 1999; 29; 3; ProQuuest Biology Journals). Yusuf Qardhawi, Kaifa Nata’amalu Ma’a al-Qur’ani, (Kairo: dar al-Syuruq, 2000). Wawancara dengan beberapa Narasumber: No Nama Ormas Keagamaan 1 Muhammad IPNU Muhsin 2 Rina IPPNU Kholifitriana 3 Siti Aminati IPNU 4 M. Anugrah Itmamusyarqi Agus Jiwo 5 Isroi IPPNU 6 M. Mursalin Imam Masjid Walisongo 7 Ika Khikmayana IPPNU 8 Farkhan AlIPNU Mabrur 9 Miftahul Jannah IPPNU 10
Didik
Muhammadiyah
Alamat Desa Pucung RT 03/RW 1 Degayu Pekalongan Pekalongan Pekalongan Panjang Wetan Pekalongan Barat Buaran Pekalongan Hoscokroaminoto Pekalongan Poncol Gg. 2
11
Hasan
12 13 14 15 16 17
Ahmad Khusaini M. Taufik Putri Alfa Khairul Amar Imam Safalah Citra Lailiya Mardin Abdirrahman Saiful Huda Nurul Aini Kosim Farid Helmi Muhamad Riyan
18 19 20 21 22 23 24 25
Yasmin Dian Meilina Ali mahsum
26
Yunan Fahmi
Majelis Taklim alInayah GP Anshor IPNU IPPNU IPNU IPNU IPPNU
Pekalongan
Muhammadiyah IPPNU IPPNU Tokoh Masyarakat GP Ansor Al-Kahfi & Remaja Masjid IPPNU
Pekalongan Pekalongan Buaran Pekalongan Kandang Panjang Pekalongan Salam Manis Pekalongan Utara Pekalongan
IPNU
Kertoharjo Pekalongan Selatan Perum Limas Pekalongan
IPPNU
Pekalongan Panjang Wetan Pekalongan Pekalongan Soko, Duwet Buaran Pekalongan barat Panjang wetan