Artikel Asli
Hubungan Pajanan Alergen Terhadap Kejadian Alergi pada Anak Wistiani, Harsoyo Notoatmojo Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/ RSUP Dr. Kariadi, Semarang
Latar belakang. Penyakit alergi pada anak diperkirakan meningkat seiring dengan pola kehidupan yang berhubungan dengan pengaruh lingkungan, yaitu paparan alergen. Kadang-kadang paparan alergen tidak diketahui tetapi anak datang dengan manifestasi penyakit alergi. Identifikasi alergen yang memicu munculnya penyakit alergi merupakan hal yang penting dan dapat dijadikan salah satu strategi untuk preventif. Tujuan. Membuktikan hubungan paparan alergen terhadap timbulnya penyakit alergi pada anak. Metode. Penelitian observasional dengan desain belah lintang. Subyek adalah semua pasien anak berumur 2 tahun hingga 14 tahun dengan manifestasi alergi berupa dermatitis atopi, rinitis alergi, konjungtivitis alergi, dan asma. Subjek berasal dari Poliklinik Umum Anak, Paru Anak, Telinga-Hidung-Tenggorok, KulitKelamin, dan Mata RSUP Dr. Kariadi Semarang. Periode penelitian Agustus 2000 hingga Januari 2001. Orangtua subjek diminta mengisi kuesioner. Dilakukan uji tusuk kulit (skin prick test) untuk konfirmasi alergen berupa aeroalergen dan alergen makanan. Analisis statistik menggunakan chi-square. Hasil. Subyek 44 anak dengan alergi, terdiri dari 63,6% rinitis alergi, 25% asma, 34,1% dermatitis atopi, dan 2,3% konjungtivitis alergi. Rasio perempuan : laki-laki = 1,2:1. Uji tusuk kulit positif pada 45,5% kasus. Hasil aeroalergen berupa debu rumah (75,0%), mite culture (70,0%), human dander (70,0%), kecoa (65,0%), animal dander (25%), pollen (10%), fungi (5%). Alergen makanan berupa makanan laut (30,0%), telur (5%), dan 5% coklat. Terdapat hasil positif beberapa paparan alergen. Didapatkan paparan tanaman dalam rumah sebagai penyebab dermatitis atopi (p=0,008). Kasus asma 90,9% menunjukkan hasil uji tusuk kulit positif (p=0,001). Kesimpulan. Aeroalergen merupakan alergen yang paling banyak dijumpai pada anak dengan penyakit alergi. Sari Pediatri 2011;13(3):185-90. Kata kunci: alergen, penyakit alergi, anak.
Alamat korespondensi: Dr. Wistiani, SpA, MSiMed: Sub Bagian Alergi-Imunologi Bagian IKA FK UNDIP/RSUP dr Kariadi Semarang. no telp/fax: 024-8414296 Alamat: Jl. dr Sutomo 16 Semarang. Email:
[email protected]
Sari Pediatri, Vol. 13, No. 3, Oktober 2011
P
revalensi penyakit alergi dilaporkan meningkat, diperkirakan lebih dari 20% populasi di seluruh dunia menderita penyakit yang diperantarai oleh IgE, seperti asma, rinokonjungtivitis, dermatitis atopik atau eksema, dan anafilaksis. Untuk kasus asma, WHO memperkirakan terjadi pada 5%-15%
185
Wistiani dkk: Hubungan pajanan alergen terhadap kejadian alergi
Jumlah Kasus
populasi anak di seluruh dunia.1 Di Indonesia prevalensi penyakit alergi yang telah diteliti pada beberapa golongan masyarakat atau rumah sakit menunjukkan variasi, misalnya data dari Poliklinik Alergi-Imunologi Anak RSCM dari pasien anak yang menderita alergi, sekitar 2,4% berupa alergi susu sapi.2 Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan sel mast. Reaksi timbul akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan, disebut alergen.3 Paparan berulang oleh alergen spesifik akan mengakibatkan reaksi silang terhadap sel mast yang mempunyai ikatan dengan afinitas kuat pada IgE. Sel mast akan teraktivasi dengan melepaskan mediator terlarut seperti histamin untuk kemudian menuju target organ, menimbulkan gejala klinis sesuai dengan target organ tersebut. Penyakit tersebut berhubungan erat dengan faktor genetik dan lingkungan. Alergen dapat masuk ke dalam tubuh melalui beberapa cara seperti inhalasi, kontak langsung, saluran cerna, atau suntikan. Kondisi lingkungan yang semakin kompleks membuat jumlah alergen meningkat. Penelitian mengenai alergi pada anak di RSUP Dr. Kariadi masih sangat terbatas. Data dari catatan medik pasien rawat jalan poliklinik Alergi THT RSUP Dr. Kariadi dari Juli 1996-Juni 1999 menunjukkan jumlah kasus rata-rata 313 kasus per tahun dari 20.630 kasus THT, meliputi kasus anak hingga dewasa.4 Data dermatitis atopik pada tahun 1996-2000 menunjukkan angka tertinggi pada usia kurang dari 5 tahun (62,6%), dan pada kelompok umur 5-14 tahun 37,4%.5 Salah satu alat diagnostik alergi adalah dengan pemeriksaan uji tusuk kulit terhadap alergen dengan membuktikan reaksi wheal dan flare, suatu reaksi hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE yang spesifik terhadap alergen yang diuji. Hasil tes harus dihubungkan dengan riwayat klinis pasien.6
Metode Studi observasional analitik dengan desain belah lintang pada pasien anak yang menderita penyakit alergi di Poliklinik Rawat Jalan RSUP Dr. Kariadi Semarang. Penyakit alergi tersebut berupa asma, dermatitis atopi, rinitis alergi, dan konjungtivitis alergi, masing-masing diagnosis ditegakkan berdasarkan pada kriteria diagnosis sesuai dengan tiap Sub-divisi. Subjek terdiri dari populasi anak umur 2 tahun sampai dengan 14 tahun, berasal dari Poliklinik Umum Anak, Poliklinik Paru Anak, Poliklinik Kulit dan Kelamin, Poliklinik Telinga-HidungTenggorok, dan Poliklinik Mata. Orangtua subjek penelitian diberikan kuesioner yang meliputi keluhan, pajanan, dan riwayat keluarga, serta dilakukan uji tusuk kulit. Analisis data dilakukan menggunakan chi-square untuk mengetahui tingkat hubungan tiap variabel.
Hasil Subjek 44 pasien, terdiri dari 28 kasus rinitis alergi (63,6%), asma bronkial 11 kasus (25,0%), dermatitis atopik 18 kasus (40,9%), dan konjungtivitis alergi 1 kasus (2,3%). Dari 44 kasus alergi di dapat 24 kasus pada anak perempuan (54,5%) dan 20 anak laki-laki (45,5%). Tidak didapatkan perbedaan bermakna dari distribusi jenis kelamin. Karakteristik klinis pasien berdasarkan pada kelompok umur dan manifestasi kllinis tertera pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik klinis Jenis penyakit alergi Rinitis alergi Asma Dermatitis atopi Konjungtivitis alergi
16 14 12 10 8 6 4 2 0
Umur (tahun) 2-5
6-10
> 10
6 1 4 0
12 4 7 1
10 6 7 0
Laki-laki Perempuan
D. Atopik
R. Alergi
Asma
Konjugtivitis Alergi
Gambar 1. Distribusi manifestasi klinis berdasarkan jenis kelamin 186
Sari Pediatri, Vol. 13, No. 3, Oktober 2011
Wistiani dkk: Hubungan pajanan alergen terhadap kejadian alergi
Hasil uji tusuk kulit
Distribusi manifestasi klinis berdasarkan jenis kelamin tertera pada Gambar 1. Satu kasus konjungtivitis alergi adalah anak laki-laki. Keluhan dan manifestasi klinis tertera pada Tabel 2. Seorang anak dapat menderita lebih dari satu keluhan dan lebih dari satu manifestasi klinis. Berdasarkan anggota keluarga yang mempunyai riwayat alergi didapatkan riwayat anggota keluarga dengan alergi 13 subjek (29,5%) dan tidak didapatkan riwayat alergi pada keluarga 31 subjek (70,5%). Dari 13 subjek dengan riwayat anggota keluarga dengan alergi tersebut, 3 subjek (6,8%) berasal dari pihak ayah, dan 10 subjek (22,7%) berasal dari pihak ibu.
Dari 44 subjek yang dilakukan uji tusuk kulit, terdapat 20 kasus dengan uji tusuk kulit positif, sisanya 24 kasus dengan hasil uji negatif. Dua puluh kasus dengan uji yang positif, persentase terbanyak berturut-turut adalah 15 kasus terhadap debu rumah (75,0%), 14 kasus terhadap tungau (mite culture) (70,0%), 14 kasus terhadap human dander (70,0%), 13 kasus terhadap kecoa (65,0%), 6 kasus terhadap makanan laut (30,0%), masing-masing 1 kasus (5,0%) positif terhadap telur dan coklat, animal dander 5 kasus (25,0%), pollen 2 kasus (10%) dan mixed fungi 1 kasus (5%). Seorang pasien dapat bereaksi positif terhadap
Tabel 2. Distribusi keluhan Keluhan
Rinitis alergi (%) (n=28)
Asma (%) (n=11)
Dermatitis atopik (%) (n=15)
20,5 29,5 11,4
Bersin-bersin Ingus encer Hidung tersumbat Napas berbunyi Sesak Batuk Gatal-gatal pada tubuh Urtikaria Pitiriasis alba
22,7 22,7 2,3 9,1 20,5 4,6
Tabel 3. Pajanan dan manifestasi klinis Rinitis alergi
Pajanan Tanaman dalam rumah Binatang peliharaan di rumah Karpet
Asma
Dermatitis atopik
%
p
%
p
%
p
64,3 83,3 53,8
1,00 0,38 0,50
14,3 23,1
0,29 0,31 1,0
64,3 33,1 53,8
0,008 1,00 0,18
8 7 6 5 4 3 2 1 0
ASMA RINITIS ALERGI DERMATITIS ALERGI
AL
MA TE CO MI MA KE TU CA TD LU CO XE NG KL KA IZ D R E A A N A A T P U FU ND AN N OL ND DA DE N E L L E N G R AU EN BU R DE I T R RU MA H
ER GE
HU
DO
MA
N
G
DA
Gambar 2. Distribusi hasil uji tusuk kulit pada berbagai manifestasi klinis alergi
Sari Pediatri, Vol. 13, No. 3, Oktober 2011
187
Wistiani dkk: Hubungan pajanan alergen terhadap kejadian alergi
lebih dari satu jenis alergen. Di antara 28 kasus rinitis alergi, terdapat 11 kasus dengan hasil uji tusuk kulit positif (55,0%), x2 = 1,18 dan nilai p = 0,35. Pada 11 kasus asma, 10 kasus menunjukkan hasil uji tusuk kulit positif (50,0%), x2 = 12,22, dan nilai p = 0,001.
Pembahasan Insidens anak perempuan lebih tinggi dari anak laki-laki dengan perbandingan 1,2 : 1. Insidens anak perempuan yang lebih tinggi daripada anak laki-laki tampak pada kasus asma dan rinitis alergi, sedangkan pada kasus dermatitis sebaliknya. Sibbald7 menulis bahwa prevalensi asma pada anak atopik, lebih banyak pada anak laki-laki sementara itu pada dewasa biasanya non-atopik dan rasio antara perempuan dan laki-laki hampir sama atau perempuan lebih banyak dibanding pada laki-laki.7 Kasus alergi saluran pernapasan, anatomi saluran napas turut berperan dalam patogenesis dan prevalensi. Von Matius8 dalam teorinya menyebutkan bahwa anak laki-laki memiliki saluran napas yang lebih kecil dibandingkan ukuran paru. Proporsi anak perempuan yang lebih banyak untuk asma sesuai dengan hasil penelitian oleh Zainuddin9 pada populasi alergi di poliklinik THT RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang. Berbeda dengan penelitian Machmud DP dkk10 di Bandung yang melakukan uji tusuk kulit pada anak SD kelas I-VI dengan rinitis alergi mendapatkan anak lakilaki dua kali lebih banyak dibanding anak perempuan. Berdasarkan survei Kesehatan Mata Nasional tahun 1993 penyakit alergi mata belum termasuk dalam 10 penyakit mata utama, maka data mengenai insidens sulit didapatkan.11 Kami mendapatkan 1 kasus (2,3%) konjungtivitis alergi dengan klinis tidak khas, karena dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk klinis, dan dipicu oleh penyebab yang berbeda. Rinitis alergi merupakan penyakit kronis yang banyak dijumpai pada usia sekolah, 15% anak usia 6-7 tahun dan 40% anak 13-14 tahun.12 Ditinjau dari manifestasi klinis berdasarkan kelompok umur, insidens tertinggi rinitis alergi terdapat pada kelompok umur 6-10 tahun. Sesuai teori allergic march, bahwa terdapat pola hubungan berkesinambungan antara proses sensitisasi alergen dengan perkembangan dan perjalanan alamiah penyakit alergi, atau dihubungkan dengan paparan lingkungan. Untuk kasus dermatitis atopi insidens yang sama terdapat pada kelompok umur 6-10 tahun 188
dan kelompok umur >10 tahun yang lebih tinggi dibandingkan kelompok umur 2-5 tahun. Data tersebut berbeda dengan data tentang dermatitis alergi pada anak di RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun 19962000 menunjukkan angka kejadian tertinggi pada usia <5 tahun 62,6%, sedangkan pada kelompok umur 5-14 tahun 37,4%. Perbedaan hasil ini disebabkan oleh populasi subjek yang kurang, serta kriteria inklusi yang dibatasi untuk umur 2-14 tahun sehingga populasi kelompok <5 tahun yang diteliti menjadi terbatas. Untuk kasus asma, insidens tertinggi tampak pada kelompok umur >10 tahun, bila ditinjau dari kecenderungannya tampak peningkatan prevalensi pada kelompok umur yang makin besar. Pada kelompok umur yang lebih tua paparan terhadap alergen lingkungan makin meningkat dihubungkan dengan aktivitas luar rumah. Studi Huss dkk 13 mengukur pajanan alergen dalam rumah dengan risiko asma menyimpulkan bahwa tungau debu rumah (house dust mite) dan kecoa merupakan alergen yang bermakna untuk asma. Terdapat hubungan antara respons terhadap kuantitas (dosis) pajanan dengan kecenderungan hasil uji tusuk kulit yang positif terhadap alergen tersebut. Jadi indoor allergen yaitu tungau debu rumah dan kecoa sebagai faktor risiko asma, didukung oleh hasil penelitian kami pada uji tusuk kulit. Pada 11 kasus asma, tidak didapat kasus yang pada anamnesis memiliki binatang peliharaan, namun dari hasil uji tusuk kulit didapatkan hasil positif terhadap pajanan animal dander. Penelitian oleh Almqvist dkk14 pada anak sekolah mendapatkan hasil bahwa terdapat pajanan bulu kucing yang cukup tinggi di sekolah. Diduga bahwa alergen tersebar melalui udara yang berasal dari pakaian murid yang di rumahnya memelihara kucing dan mencemari pakaian anak lain yang tidak memelihara kucing. Alergen yang teridentifikasi pada asma adalah debu rumah, human dander dan mite culture, serta kecoa. Alergen lain adalah dog dander dan alergen makanan berupa coklat dan makanan laut. Indoor allergen banyak ditemui di sekeliling kita misalnya tungau debu rumah yang banyak terdapat pada karpet, atau tempat tidur (kasur, bantal). Peran indoor allergen sebagai pemicu asma tidak terlepas dari hubungan alergen dengan lingkungan, tidak sekedar dosis pajanan (kuantitatif ) atau lama pajanan.15 Studi oleh Phipatanakul dkk16 yang melakukan pengukuran sampel debu rumah mendapat hasil bahwa alergen tikus dan kecoa pada debu rumah Sari Pediatri, Vol. 13, No. 3, Oktober 2011
Wistiani dkk: Hubungan pajanan alergen terhadap kejadian alergi
merupakan alergen yang banyak ditemui. Pada penelitian kami ekstrak alergen tikus tidak diujikan karena tidak terdapat dalam paket uji tusuk kulit, jadi masih ada kemungkinan uji tusuk kulit yang positif tersebut berhubungan dengan alergen tikus. Kemungkinan tersebut harus dipertimbangkan karena lingkungan pada daerah tropis negara sedang berkembang menunjukkan higiene sanitasi yang masih kurang. Di samping aeroallergen terdapat alergen makanan pada kasus asma. Studi oleh Oehling17 melaporkan bahwa 8,5% dari 284 anak asma disebabkan oleh alergen makanan dan terbanyak sensitisasi terjadi pada tahun pertama kehidupan, dan telur diidentifikasi sebagai alergennya. Alergi makanan dibuktikan menjadi pemicu obstruksi bronkus pada 2%-8,5% anak dengan asma. Peran makanan dalam mencetuskan serangan asma belum diketahui dengan pasti, namun kewaspadaan diperlukan untuk tata laksana kasus. Pada kasus rinitis alergi, alergen positif adalah debu rumah, mite culture; human dander, kecoa dan alergen makanan laut. Kepustakaan menyebutkan bahwa prevalens tungau debu rumah berbeda pada tiap negara tergantung pada suhu dan tingkat kelembaban. Indoor allergen yang telah disebutkan berperan penting pada alergi respirasi, berhubungan erat dengan pola hidup. Rumah yang dihiasi karpet, tanaman dalam rumah, selimut berbulu, merupakan media bagi tungau debu rumah, dan binatang peliharaan dalam rumah. Protein lipocalin merupakan alergen pada sekresi binatang seperti air liur, sebum, atau urin yang kemudian mengkontaminasi bulu, serpihan kulit, hingga menyebar disekeliling rumah. Alergen dari kecoa berupa sekresi digestif kecoa (Bla g 1).18 Dikenal konsep hubungan antara asma dan rinitis alergi, dikenal sebagai united airway disease. Hubungan keduanya ditinjau dari pengamatan klinik, epidemiologi, hasil pengobatan dan anatomis. Keduanya memiliki faktor pencetus yang serupa, meski alergen pollen lebih banyak dijumpai pada rinitis alergi sementara faktor pencetus non-spesifik seperti udara kering, cuaca dingin banyak dijumpai pada asma. Pada penelitian kami didapatkan 3 anak dengan manifestasi asma disertai rinitis alergi, hasil aeroallergen berupa tungau debu rumah, kecoa, makanan berupa coklat, ikan laut. Enam puluh hingga 80% anak dengan asma alergi terhadap 1 atau lebih aeroallergen yang dibuktikan dengan uji tusuk kulit. Laporan sub-bagian Alergi-Imunologi IKA RS Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan aeroalergen terbanyak adalah tungau debu rumah (45%), Sari Pediatri, Vol. 13, No. 3, Oktober 2011
debu rumah (37%), serpihan binatang peliharaan kucing, anjing, ayam dan burung (26%), dan jamur (16%). Hal tersebut serupa dengan hasil penelitian kami dengan tambahan human dander. Untuk kasus dermatitis atopi, alergen yang teridentifikasi berupa debu rumah dan human dander, kecoa, mite culture, alergen dog dander, makanan laut, telur, maize pollen, mixed fungi, dan cat dander. Alergen hirup merupakan alergen yang turut berperan dalam dermatitis alergi. Tindak lanjut evaluasi perlu dilaksanakan mengingat kasus dengan dermatitis alergi dalam perjalanan selanjutnya dapat berkembang menjadi sensitivitas saluran pernapasan berupa rinitis alergi alergi atau asma. Tungau debu rumah banyak dijumpai di karpet, tempat tidur terutama dari kapuk. Dalam hubungannya dengan pajanan tanaman di dalam rumah yang signifikan untuk kasus dermatitis alergi, kemungkinan bahwa disamping terdapat dalam karpet atau tempat tidur, aerolergen seperti debu rumah, human dander, atau tungau juga diketemukan pada tanaman yang terdapat dalam rumah dan sekitarnya. Alergen tersebut tertahan dalam tanaman yang ada di dalam rumah. Studi oleh Scalabrin dkk19 menunjukkan hubungan antara sensitisasi tungau debu rumah dan jamur dengan dermatitis alergi derajat sedang hingga berat. Beberapa studi membuktikan bahwa kontak dengan aeroalergen berperan dalam eksaserbasi dermatitis atopi yang ditunjukkan dengan IgE dan IgG terhadap tungau debu rumah satu faktor pencetus masih merupakan perdebatan hingga kini. Senstitivitas terhadap alergen makanan yaitu makanan laut dan telur. Sebuah studi prospektif mengenai prevalensi hipersensitivitas terhadap makanan dengan mediator IgE pada dermatitis atopi menunjukkan sekurang-kurangnya sepertiga anak dengan dermatitis atopi derajat hingga berat mempunyai hipersensitivitas terhadap protein makanan. Prevalensi alergi makanan secara signifikan lebih tinggi dibandingkan populasi pada umumnya sehingga pemantauan terhadap alergen makanan harus dipertimbangkan pada anak dengan dermatitis atopi.
Kesimpulan Aeroalergen merupakan alergen terbanyak yang ditemui pada anak dengan penyakit alergi, yaitu tungau debu rumah, kecoa, atau pajanan tanaman yang terdapat di dalam rumah. Sebagian besar kasus mempunyai 189
Wistiani dkk: Hubungan pajanan alergen terhadap kejadian alergi
lebih dari satu sensitivitas terhadap alergen yang terdeteksi melalui uji tusuk kulit. Identifikasi alergen perlu dilakukan sebagai salah satu usaha pencegahan munculnya penyakit alergi. Disarankan membersihkan lingkungan dengan tujuan untuk mengurangi pajanan aeroalergen perlu diperhatikan pada anak yang rentan terhadap alergi.
Daftar pustaka 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
190
World Health Organization. Prevention of allergy and allergic asthma. Geneva: World Health Organization; 2003. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Alergi susu sapi. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2005. Baratawidjaja KG, Rengganis I, penyunting. Gambaran umum penyakit alergi. Dalam : Alergi Dasar. Edisi ke-1. Jakarta: Interna Publishing; 2009. Sarumpaet RD. Perbandingan efektivitas antara loratadine dan chlorpheniramine maleat terhadap kualitas hidup penderita rinitis alergi perennial. Laporan penelitian. Semarang, FK Undip, 2001. Kabulrachman. Penyakit kulit alergik: beberapa masalah dan usaha penanggulangan. Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Madya Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Semarang, 16 Juni 2001. Baratawidjaja KG, Rengganis I, penyunting. Diagnosis, penanganan dan pencegahan penyakit alergi. Dalam: Alergi Dasar. Edisi ke-1. Jakarta: Interna Publishing, 2009.h.7-30. Sibbald B. Familial inheritance of asthma and allergy. Dalam: Allergy and Allergic Diseases. Kay AB, penyunting. Malden: Blacwell Science; 1997.h.117784. vonMatius E. Asthma and wheezing bronchitis. Dalam: Annales Nestle, penyunting. Atopy in childhood. Switzerland: Nestlec Ltd.1999;57:39-46. Zainuddin H. Permasalahan sekitar rinitis alergika.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Naskah Lengkap KONAS XII PERHATI; Semarang; 28-30 Oktober 1999. Machmud DP, Madiapoera T, Sumarman I. Insidensi relative penderita rinitis alergika di dua SD daerah kumuh Kodya Bandung. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah PIT PERHATI. Bukittingi; 1993.h.823-43. Winarto. Penanganan konjungtivitis alergika. Dalam: Naskah Lengkap PIT PERDAMI cabang DI Yogyakarta; Yogyakarta; 27 Oktober 2001. Strachan D, Sibbald B, Weiland S. Worldwide variations in prevalence of symptoms of allergic rhinoconjunctivitis in children: the International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC). Pediatr Allergy Immunol 1997;8:161-76. Huss RNK, Adkinson Jr NF, Eggleston PA. House dust mite and cockroach exposure are strong risk factors for positive skin test responses in the CAMP. J Allergy Clin Immunol 2001;107:48-54. Almqvist C, Larsson PH, Egmar AC. School as a risk environment for children allergic to cats and a site for transfer of ca allergento homes. J Allergy Clin Immunol 1999;103:1012-7. Arshad SH. Does Exposure to indoor allergens contribute to the development of asthma and allergy?. Curr Allergy Astma Rep 2010;10:49-55. Phipatanakul W, Eggleston PA, Wright EC, Wood RS. The prevalence of mouse allergen in inner-city homes. J Allergy Clin Immunol 2000;106:1070-4 Baena-Cagnani CE, Teijiro A. Role of food allergy in asthma in childhood. Curr Opin Allergy Clin Immunol 2001;1:145-9. Eggleston PA, Bush RK. Environmental allergen avoidance: an overview. J Allergy Clin Immunol 2001;107:403-5. Scalabrin DMR, Bavbek S, Perzanowski MS, Wilson BB, Platts-Mills TAE, Wheatley LM. Use of specific IgE in assessing the relevance of fungal and dust mite allergens to atopic dermatitis: a comparison with asthmatic and non-asthmatic control subjects. J Allergy Clin Immunol 1999;104:1273-9.
Sari Pediatri, Vol. 13, No. 3, Oktober 2011