DIKLATPIM POLA BARU: HARAPAN DAN TANTANGAN Oleh: Hindri Asmoko1 Kepemimpinan di sektor publik utamanya pada pemerintahan merupakan suatu hal yang krusial. Keberhasilan pemerintah dalam mewujudkan tujuan bernegara salah satunya ditentukan oleh kualitas pemimpin pemerintahan. Hal ini sudah terbukti dari pengalaman negara-negara di seluruh dunia. Kita bisa melihat kemajuan negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, Cina, India, dan negara lainnya yang mengalami kemajuan pesat berkat kepemimpinan yang ada di negara tersebut. Salah satu contohnya kita dapat melihat kemajuan yang luar biasa di Singapura pada saat dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Lee Kuan Yew. Oleh karena itu, pentingnya kepemimpinan di sektor pemerintahan ini tidak terbantahkan. Sering muncul pertanyaan bagaimana melahirkan pemimpin-pemimpin yang andal tersebut? Secara teoritis terdapat dua pendapat tentang pembentukan kepemimpinan. Pendapat pertama menyatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan. Aliran ini mendukung pendapat adanya bakat bawaan sejak lahir dari seorang pemimpin. Pendapat kedua menyatakan bahwa pemimpin itu dapat dibentuk. Aliran ini menjelaskan pemimpin bukan merupakan bakat bawaan tetapi dapat dibentuk melalui berbagai cara. Salah satu cara untuk pembentukan kemampuan kepemimpinan ini adalah melalui pendidikan dan pelatihan (diklat). Salah satu diklat pembentukan dan pengembangan kepemimpinan di pemerintah Indonesia baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah adalah pendidikan dan pelatihan kepemimpinan (diklatpim). Sesuai dengan Peraturan Kepala LAN Nomor 10, 11, 12, dan 13 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat I, II, III, dan IV, mulai tahun 2014 diklatpim tersebut menggunakan pendekatan atau pola yang baru. Tulisan ini bertujuan untuk menelaah diklatpim dengan pola baru tersebut. Telaah meliputi dua hal yaitu harapan yang ingin dicapai dan tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan diklatpim tersebut. Untuk lebih memperjelas pembahasan, sistematika penyajian tulisan ini meliputi tiga hal. Ketiga hal tersebut adalah pendahuluan, pembahasan, dan simpulan dan saran. Bagian Pendahuluan menjelaskan latar belakang adanya perubahan dalam diklatpim. Bagian Pembahasan menjelaskan dua hal yaitu harapan dan tantangan diklatpim pola baru. Bagian Simpulan dan Saran menjelaskan simpulan dan saran yang penulis kemukakan terkait dengan diklatpim pola baru tersebut.
Pendahuluan Diklat bagi pegawai negeri sipil secara garis besar dapat dikelompokkan dalam dua jenis diklat yaitu diklat prajabatan dan diklat dalam jabatan. Diklatpim merupakan bagian dari diklat dalam jabatan. Diklatpim ini dilaksanakan untuk mencapai persyaratan kompetensi kepemimpinan aparatur pemerintah yang sesuai dengan jenjang jabatan struktural (Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000). Lebih lanjut PP Nomor 101 tersebut menyebutkan diklatpim terdiri dari Diklatpim Tingkat IV, Tingkat III, Tingkat II, dan Tingkat I. Masing-masing jenis diklatpim tersebut diperuntukkan bagi jabatan struktural eselon IV, eselon III, eselon II, dan eselon I. 1
Penulis adalah Widyaiswara Madya pada Balai Diklat Kepemimpinan, Magelang
1
Mulai Tahun 2014, penyelenggaran diklatpim mengalami perubahan pola. Perubahan pola diklatpim diatur dalam Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN). Peraturan tersebut menjelaskan perubahan pola diklat dilakukan untuk lebih meningkatkan kualitas, efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan diklat. Terdapat beberapa alasan dilakukannya perubahan pola diklatpim (Bahan tayang pada Training of Facilitator Diklatpim, LAN, Tahun 2014). Alasan pertama dilakukan perubahan pola diklatpim adalah masih adanya kelemahan kurikulum. Beberapa kelemahan kurikulum diantaranya
Jumlah mata diklatpim pola lama terlalu banyak. Mata diklatpim banyak yang lebih menekankan pada aspek pengetahuan atau kognitif saja. Di samping itu, terdapat beberapa mata diklat yang muatan materinya sudah kurang update dengan perkembangan yang terjadi. Mata diklatpim pola lama lebih banyak menekankan pada aspek manajerial, sedangkan aspek kepemimpinan agak kurang. Kurangnya praktik kepemimpinan.
Alasan kedua dilakukan perubahan pola diklatpim adalah metode pembelajaran tidak berbasis pengalaman. Metode pembelajaran kurang menekankan pada aspek pengalaman lapangan atau di tempat kerja. Dengan kata lain, model pembelajaran masih lebih menekankan pada model klasikal. Alasan ketiga perubahan pola diklatpim adalah kurangnya pembentukan karakter dan integritas. Diklatpim pola lama masih kurang menonjolkan pada sisi pembentukan karakter dan integritas peserta.
Pembahasan Harapan Diklatpim merupakan pendidikan dan pelatihan yang ditujukan untuk meningkatkan kompetensi kepemimpinan para peserta diklat. Sebelum menguraikan lebih lanjut kompetensi kepemimpinan yang diharapkan dari diklatpim, terlebih dahulu akan diuraikan definisi kepemimpinan. Terdapat berbagai definisi kepemimpinan yang dilontarkan oleh para ahli. Studi kepustakaan Stogdill (1974) dalam Yulk (2010) menyimpulkan terdapat hampir sama banyaknya definisi tentang kepemimpinan dengan jumlah orang yang telah mencoba mendefinisikan konsep tersebut. Beberapa definisi kepemimpinan tersebut diantaranya, kepemimpinan adalah pengaruh antarpribadi, yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannenbaum, Weschler, dan Massarik, 1961). Katz dan Kahn (1978) menjelaskan kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada, dan berada di atas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan-pengarahan rutin organisasi. Hodgetts (2002) menyatakan kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang untuk mengarahkan upaya mereka ke arah pencapaian tujuan tertentu. Lebih lanjut Yulk (2010) menjelaskan kebanyakan definisi kepemimpinan mencerminkan asumsi bahwa kepemimpinan 2
menyangkut sebuah proses pengaruh sosial yang sengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur aktivitas dalam rangka mencapai tujuan. Selanjutnya kompetensi kepemimpinan apa yang diharapkan akan dibentuk dari diklatpim? Menurut Peraturan Kepala LAN Nomor 10, 11, 12, dan 13 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat I, II, III, dan IV, tujuan penyelenggaraan Diklatpim adalah membentuk kompetensi kepemimpinan para pejabat struktural eselon I, II, III, dan IV. Perbedaan kompetensi kepemimpinan diantara jenjang diklatpim tersebut adalah Diklatpim Tingkat I membentuk kompetensi kepemimpinan visioner, Diklatpim Tingkat II membentuk kompetensi kepemimpinan strategis, Diklatpim Tingkat III membentuk kompetensi kepemimpinan taktikal, dan Diklatpim Tingkat IV membentuk kompetensi kepemimpinan operasional. Kompetensi kepemimpinan yang dibentuk dalam diklatpim tersebut setidaknya meliputi dua hal utama yaitu 1. Kompetensi terkait penguatan mental kebangsaan dan integritas yaitu terbentuknya karakter dan sikap perilaku integritas sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kemampuan untuk menjunjung tinggi etika publik, taat pada nilai-nilai, norma, moralitas dan bertanggung jawab dalam memimpin instansi; 2. Kompetensi manajerial dan kepemimpinan diantaranya a. Mampu merumuskan visi dan misi organisasi dan menjabarkannya dalam program organisasi. b. Mampu merumuskan strategi kebijakan yang efektif untuk mewujudkan visi dan misi organisasi. c. Mampu melakukan kolaborasi secara internal dan eksternal dalam mengelola organisasi. d. Mampu melakukan inovasi. e. Mampu mengoptimalkan seluruh potensi sumber daya yang dimiliki. Inti dari kompetensi kepemimpinan dalam diklatpim tersebut adalah membentuk pemimpin perubahan (Bahan Ajar Training of Facilitator Diklatpim LAN Tahun 2014). Filosofi pemimpin perubahan ini diilhami oleh konsep kepemimpinan adaptif (adaptive leadership) yang dikembangkan oleh Ronald Heifetz (2009). Kebutuhan perlunya pemimpin adaptif karena adanya tantangan yang kompleks dan tidak cukupnya improvisasi operasional untuk menghadapi tantangan perubahan yang kompleks tersebut. Oleh karena itu, pemimpin perubahan yang akan dibentuk dalam diklatpim adalah pemimpin yang mampu melakukan adaptasi dengan perubahan yang terjadi di lingkungannya. Perubahan tersebut dilakukan dalam rangka mempertahankan organisasi dengan tingkat kinerja yang tinggi. Terdapat dua syarat yang harus melekat pada pemimpin perubahan. Pertama, seorang pemimpin perubahan harus mempunyai tujuan yang jelas. Pemimpin harus mampu merumuskan dengan jelas mau dibawa kemana organisasi yang dipimpinnya. Kejelasan tujuan akan dapat membimbing organisasi dan personal yang ada di dalamnya menuju arah yang pasti. Kejelasan tujuan juga akan diikuti dengan kejelasan area perubahan apa yang akan menjadi obyek dari perubahan tersebut. Area perubahan meliputi berbagai bidang diantaranya bidang organisasi, sumber daya manusia, tata kerja dan tata laksana, dan program. Perubahan di bidang organisasi 3
diantaranya perombakan struktur organisasi, rightsizing, downsizing, budaya kerja, dan lain-lain. Perubahan di bidang sumber daya manusia diantaranya carrier path, reward and punishment, renumerasi, placement, dan lain-lain. Perubahan di bidang tata kerja dan tata laksana antara lain sistem perngarsipan, sistem pengadaan barang, sistem pelaporan, sistem penganggaran, dan lainlain. Syarat kedua sebagai pemimpin perubahan adalah kemampuan mempengaruhi. Seorang pemimpin perubahan untuk mencapai tujuan organisasi tidak mungkin melakukannya sendirian. Ia pasti membutuhkan orang lain untuk bersama-sama menuju tujuan yang telah ditetapkan. Orang lain tersebut mungkin berasal dari dalam organisasi misalnya anak buah, atasan, atau rekan setingkat, mungkin juga berasal dari luar organisasi misalnya pelanggan, masyarakat, dan lain-lain. Terhadap perubahan yang akan dilakukan oleh seorang pemimpin perubahan, sikap orang lain terdapat dua kemungkinan. Pertama, orang lain setuju dengan perubahan tersebut dan mendukungnya. Kedua, orang lain tidak setuju dan menentangnya. Menghadapi dua sikap seperti ini, seorang pemimpin perubahan harus mampu menghadapinya. Kepada pihak yang setuju dan mendukung, mudah bagi pemimpin perubahan untuk mengarahkan dan memobilisasi. Menjadi tantangan bagi pemimpin perubahan menghadapi kelompok atau pihak yang tidak setuju dan menentangnya. Diperlukan kemampuan mempengaruhi yang kuat sehingga kelompok penentang ini kemudian berubah dari menentang menjadi mendukungnya. Mengapa perlu pemimpin perubahan pada sektor pemerintah? Pertama, adanya tantangan internal di dalam negeri yaitu belum baiknya pelayanan publik yang diberikan pemerintah dan banyaknya masalah di dalam negeri seperti tingginya tingkat kemiskinan, banyaknya pengangguran, rendahnya tingkat kecerdasan masyarakat, dan lain-lain. Kedua, tantangan eksternal atau dari luar negeri yaitu globalisasi dan pasar bebas. Menghadapi globalisasi dan pasar bebas tentunya pemerintah kita harus mempunyai daya saing yang tinggi. Jangan sampai kita hanya menjadi pasar bagi negara lain. Hal ini kalau tidak diantisipasi maka yang terjadi kita kalah saing dengan negaranegara lain. Dalam konteks Kementerian Keuangan, adanya pemimpin perubahan sudah selaras dengan perkembangan yang terjadi. Keselarasan ini paling tidak tercermin dari dua hal. Pertama, Kementerian Keuangan mempunyai visi menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi Indonesia yang inklusif di abad ke-21. Untuk mencapai visi tersebut tentunya dibutuhkan pemimpin yang selalu melakukan perubahan dan perbaikan secara berkesinambungan. Kedua, Kementerian Keuangan sebagai kementerian yang menjadi pelopor dalam reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi ditopang oleh tiga pilar utama. Ketiga pilar utama tersebut adalah penataan organisasi, penyempurnaan proses bisnis dan peningkatan manajemen sumber daya manusia (SDM). Tahun 2014, reformasi birokrasi tersebut dilanjutkan dengan Program Transformasi Kelembagaan. Terdapat lima tema utama yang akan diusung dalam transformasi kelembagaan. Tema utama tersebut meliputi pertama, memperkuat budaya akuntabilitas berorientasi outcome. Kedua, merevisi model operasional, merampingkan proses bisnis, mempercepat digitalisasi pada skala besar. Ketiga, membuat struktur organisasi lebih “fit-for-purpose” dan efektif. Keempat, menghargai kontribusi pegawai berprestasi dengan mengembangkan dan memberdayakan mereka untuk memperoleh dan membangun keahlian fungsional yang vital. Kelima, menjadi lebih proaktif dalam mempengaruhi stakeholder untuk menghasilkan terobosan nasional. (Media Keuangan 4
Volume IX No. 81, Mei 2014). Kelima tema besar transformasi kelembagaan tersebut tentunya membutuhkan pemimpin perubahan yang tidak cukup puas dengan capaian sekarang. Untuk membentuk pemimpin perubahan dalam diklatpim ini, model pembelajaran dirancang dengan sistem on/off campuss. On campuss maksudnya model pembelajaran klasikal dengan penekanan pada penguatan wawasan kebangsaan dan integritas serta pembekalan kemampuan teori manajerial dan kepemimpinan. Off campuss maksudnya model pembelajaran dengan pendekatan penerapan praktik kepemimpinan secara langsung di lapangan atau di tempat kerja para peserta diklat. Praktik lapangan dilakukan untuk mengasah kemampuan peserta dalam mengeksekusi rencana perubahan yang sudah disusun. Sistem on/off campuss dalam pembelajaran diklatpim ini meliputi lima tahap. Kelima tahapan tersebut adalah:
Tahap I: Diagnosa Kebutuhan Perubahan Organisasi. Pada tahap ini peserta on campuss dengan penekanan pembelajaran pada pengembangan wawasan kebangsaan dan integritas. Selain itu, peserta mulai melakukan diagnosa kebutuhan untuk perubahan di kantornya. Tahap II: Breakthrouh I (Taking Ownership). Tahap kedua, peserta off campuss yaitu kembali ke tempat kerjanya untuk memperdalam kebutuhan perubahan dan melakukan komunikasi dengan stakeholder. Pada tahap ini, peserta harus sudah dapat menentukan topik perubahan. Tahap III: Merancang Perubahan dan Membangun Tim. Tahap ketiga, peserta kembali on campuss. Pada tahap ini pembelajaran menekankan pada penyusunan proposal proyek perubahan. Tahap IV: Breakthrouh II (Leadership Labolatory). Tahap keempat, peserta kembali off campuss. Pada tahap ini, peserta mengimplementasikan proyek perubahan di tempat kerjanya. Keberhasilan peserta dalam diklat lebih banyak ditentukan pada tahap ini. Peserta harus mampu menyelesaikan proyek perubahan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada proposal proyek perubahan. Tahap V: Evaluasi. Tahap kelima, peserta on campus. Pada tahap ini, peserta mempresentasikan hasil yang telah dicapai selama implementasi proyek perubahan yang telah dilakukan pada Tahap IV. Peserta yang berhasil lulus adalah yang mampu mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam proposal proyek perubahannya.
Tantangan Untuk membentuk dan mengembangkan model pemimpin perubahan dalam diklatpim ini tentunya bukanlah proses yang mudah. Terdapat beberapa hal yang menjadi tantangan bagi penyelenggara diklat maupun instansi pengirim peserta diklat. Tantangan bagi penyelenggara diklat diantaranya adalah mengubah mind set para pengelola dan pengajar. Perubahan mind set dilakukan karena adanya model pembelajaran yang berbeda dibandingkan pola lama. Oleh karena itu, lembaga penyelenggara diklat harus memahamkan kepada seluruh pengelola diklat termasuk tenaga pengajar atas model pembelajaran diklatpim pola baru ini. Tantangan berikutnya bagi penyelenggara diklat terkait dengan ketersediaan anggaran diklat. Ketersediaan anggaran perlu mendapat perhatian karena biaya penyelenggaraan diklatpim 5
pola baru mengalami peningkatan hampir dua kali lipat dibanding pola lama. Peningkatan biaya yang cukup signifikan ini terutama disebabkan adanya dua kali off campuss. Oleh karena itu, Pembina diklat (LAN) perlu memikirkan kembali frekuensi off campuss. Off campuss bisa dikurangi frekuensinya dari dua kali menjadi satu kali selama diklat berlangsung. Tantangan lain bagi penyelenggara diklat adalah minimnya petunjuk teknis operasional penyelenggaraan diklat dengan sistem on/off campuss. Penyelenggara diklat harus mengembangkan sendiri model pembelajarannya terutama terkait dengan proyek perubahan dan mekanisme selama periode off campuss. Disamping itu, Pembina diklat seharusnya juga melengkapi penyelenggaraan diklatpim pola baru dengan petunjuk teknis operasional diklat. Tantangan bagi pengguna lulusan diklat adalah mengubah mind set pengguna lulusan terhadap diklatpim pola baru tersebut. Karena adanya praktik kepemimpinan di tempat kerja ada kemungkinan muncul anggapan diklatpim pola baru ini malah merepotkan. Hal ini menjadi tantangan bagi lembaga diklat untuk melakukan pendekatan agar pemahaman instansi pengirim peserta diklat justru merasa terbantu untuk melakukan perubahan dalam rangka peningkatan kinerja kantor mereka. Oleh karena itu, perlu kiranya pengelola diklat untuk meningkatkan koordinasi dengan institusi pengirim peserta diklat. Hal ini dilakukan agar terdapat kerjasama yang baik antara pengelola diklat, peserta diklat, dan kantor peserta diklat.
Simpulan dan Saran Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, penulis menyimpulkan secara konsep pola baru dalam penyelenggaraan diklatpim mampu mengembangkan kompetensi kepemimpinan terutama dalam membentuk pemimpin perubahan. Peserta akan membuktikan kemampuan melakukan perubahan dalam praktik langsung di kantornya. Selanjutnya, penulis menyarankan pertama, perlunya lembaga penyelenggara diklat untuk memahamkan kepada seluruh pengelola termasuk tenaga pengajar atas model pembelajaran diklatpim pola baru ini. Kedua, perlunya lembaga penyelenggara diklat untuk meningkatkan koordinasi dengan institusi pengirim peserta diklat agar terdapat kerjasama yang baik antara pengelola diklat, peserta diklat, dan kantor peserta diklat. Ketiga, perlu diupayakan efisiensi anggaran diklat. Pembina diklat perlu memodifikasi kembali model laboratorium kepemimpinan dalam diklatpim pola baru dengan cara mengurangi mengurangi frekuensi off campuss. Keempat, lembaga penyelenggara diklat perlu mengembangkan model pembelajaran diklat terutama terkait dengan proyek perubahan dan mekanisme selama periode off campuss. Selain itu, Pembina diklat seharusnya juga perlu melengkapi penyelenggaraan diklatpim pola baru dengan petunjuk teknis operasional diklat.
6
Referensi ___. 2014. Majalah Media Keuangan Volume IX No. 81, Mei 2014. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Bahan Ajar pada Training of Facilitator Diklatpim, Lembaga Administrasi Negara. 2014. Bahan Tayang pada Training of Facilitator Diklatpim, Lembaga Administrasi Negara. 2014. Heifetz, Ronald, Alexander Grashow, dan Marty Linski. 2009. The Practice of Adaptive Leadership Tools and Tactics for Changing Your Organization and The World. Harvard Business School Publishing, Massachusetts. Hodgetts dan Richard M. 2002. Modern Human Relations at Work, South-Western, Thomson Learning, Ohio. Yulk, Gary. 2010. Leadership in Organizations. Pearson Education, Inc., Upper Saddle River, New Jersey. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Kepala Lembaga Administrasi negara Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat I. Peraturan Kepala Lembaga Administrasi negara Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat II. Peraturan Kepala Lembaga Administrasi negara Nomor 12 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat III. Peraturan Kepala Lembaga Administrasi negara Nomor 13 Tahun 2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat IV.
7