Tahun Baru, Tantangan Lama Senin, 4 Januari 2016 | 6:07 http://id.beritasatu.com/tajuk/tahun-baru-tantangan-lama/136579
Menkeu: APBN 2016 lebih kredibel. Karikatur ID 4 Januari 2016
Kita memasuki tahun 2016 dengan tantangan lama. Kita masih menghadapi melambatnya pertumbuhan ekonomi global dan ekomomi domestik yang mengalami pelemahan daya beli masyarakat. Di level global, kompetisi antarnegara dalam perebutan pasar dan dana investasi kian sengit. Sedang di dalam negeri, kita masih berkutat dengan iklim investasi yang belum menarik, infrastruktur yang terbatas, birokrasi yang lamban, hukum yang tidak memberikan kepastian, korupsi yang merajalela, kondisi fiskal yang defisit, ekspor yang melorot, ancaman inflasi, dan rupiah yang melemah. Dalam situasi seperti itu, Indonesia harus bisa mendongkrak laju pertumbuhan ekonominya hingga di atas 6%, tidak sekadar 5,3% seperti asumsi APBN 2016. Hanya dengan laju pertumbuhan ekonomi minimal 6%, Indonesia bisa memangkas angka pengangguran terbuka dan kemiskinan absolut. Kita, di satu pihak, bangga dengan angka produk domestik bruto (PDB) sebesar US$ 850 miliar atau peringkat 16 dunia dan masuk G-20 atau 20 negara dengan PDB terbesar. Tapi, di pihak lain, kita berhadapan dengan berbagai angka makro ekonomi yang menempatkan kita di peringkat bawah dunia dengan PDB per kapita US$ 3.500. Pada Februari 2015, pengangguran terbuka Indonesia mencapai 7,45 juta atau 5,81% dari angkatan kerja. Sedang pada Maret 2015, penduduk miskin negeri ini sebesar 28,6 juta atau 11,22% dari total penduduk. Jika kriteria kemiskinan sedikit dinaikkan, penduduk miskin absolut langsung melonjak tajam. Ketika angka inflasi membengkak, angka kemiskinan juga ikut membengkak. 1
Ini semua disebabkan oleh puluhan juta penduduk yang masuk kategori near poor atau yang berada dekat garis kemiskinan. Jumlah mereka bisa mencapai 80-100 juta orang. Indonesia juga mengalami kesenjangan ekonomi yang serius seperti tercermin dari rasio Gini yang mencapai 0,43. Di negeri ini, bukan lagi 20% penduduk menguasai 80% asset nasional, melainkan 2% orang kaya menguasai lebih 50% kekayaan nasional. Jurang kesenjangan ekonomi sudah sangat melebar. Bila kesenjangan ekonomi kian lebar, situasi social akan seperti daun kering yang mudah disulut api cemburu dan amarah. Indonesia tidak boleh melupakan begitu saja Tragedi Mei 1998. Saat itu, kerusuhan sosial pecah akibat kesenjangan ekonomi yang terlalu besar. Sejak reformasi, pemerintah acap menggemakan pentingnya laju pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Pertumbuhan ekonomi harus berkualitas. Ukurannya bukan hanya pertumbuhan ekonomi, melainkan juga pemerataan pendapatan. Untuk bisa mewujudkan itu, pertumbuhan ekonomi tidak hanya di sector usaha yang padat modal dan teknologi seperti telekomunikasi dan keuangan, melainkan terutama di sektor usaha padat karya, yakni pertanian dan industri. Sekitar 30 juta keluarga yang saat ini masih menggantungkan hidup di sektor pertanian harus dialihkan ke sector industri. Pembangunan selama ini kurang memberikan perhatian terhadap dua sektor ini. Walaupun baru memberikan kontribusi sekitar 13% terhadap penyerapan tenaga kerja, pangsa industri terhadap PDB sekitar 25%. Seperti negara maju, negara dengan tingkat PDB per kapita di atas US$ 15.000, Indonesia harus mampu memacu pembangunan industry hingga kontribusi sektor ini terhadap tenaga kerja dan PDB di atas 35%. Sektor pertanian tetap penting dibangun demi ketahanan dan kedaulatan pangan. Namun, dengan luas lahan pertanian kurang dari 0,5 ha per keluarga, sektor pertanian tak bisa lagi menjadi andalan lapangan kerja yang menjanjikan kesejahteraan. Salah satu ciri negara maju adalah kemajuan sektor jasa. Sektor ini tidak hanya terbatas pada sektor keuangan dan telekomunikasi, melainkan juga jasa pendidikan, kesehatan, pariwisata, segala sektor usaha terkait jasa pariwisata --seperti perhotelan, restoran, transportasi, dan biro perjalanan--, jasa hiburan, gaya hidup, dan perdagangan. Kontribusi sektor jasa terhadap penyerapan tenaga kerja dan PDB di atas 50%. Namun, untuk mencapai level ini, kualitas manusia harus benar-benar bagus. Tenaga kerja tidak cukup hanya cerdas, melainkan juga terampil, dan memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik. Tahun ini, untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, APBN tidak hanya mencantumkan 2
indikator ekonomi makro, tapi juga target pembangunan, yakni penurunan angka pengangguran nasional dari 5,8% ke level 5,2%, penduduk miskin dari 11,2% ke level 9%, rasio Gini dari 0,43 ke 0,39, dan kenaikan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dari 68 ke 70,1 poin. Untuk mencapai target ini, APBN 2016 disusun dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3%, inflasi 4,7%, kurs Rp 13.900 per dolar AS, suku bunga SBN 5,5%, harga minyak mentah US$ 50 per barel, dan produksi minyak mentah 830.000 barel per hari, dan gas bumi 1.155.000 barel per hari. Kita menghargai target pembangunan yang ditetapkan pemerintah dalam APBN 2016. Dengan target ini, belanja APBN diharapkan lebih terarah, tepat sasaran, tepat waktu, dan tepat jumlah. Belanja modal yang biasanya menumpuk di kuartal terakhir diharapkan tidak terjadi lagi. Daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) yang sudah diserahkan sebelum tahun anggaran baru dan tender yang digelar sebelum akhir Desember memberikan optimisme bahwa berbagai proyek infrastruktur akan dikerjakan pada waktunya. Realisasi target pembangunan ini sangat tergantung pada tercapai-tidaknya asumsi ekonomi makro, pendapatan, dan kualitas belanja negara. Dalam tantangan ekonomi global dan domestik yang relatif masih tetap sama, asumsi pertumbuhan ekonomi 5,3% tidak mudah dicapai. Dana Moneter Internasional (IMF) pada akhir tahun lalu menurunkan perkiraan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2016 dari 5,5% ke 5,1%. Menstabilkan nilai rupiah pada level tertentu juga tidak gampang di saat perkembangan ekonomi AS dan global yang belum menentu. Tahun 2015 telah dilewati dengan realisasi pendapatan APBN sebesar Rp 1.491,5 triliun dan belanja APBN sebesar Rp 1.810,0 triliun. Ada defisit anggaran Rp 318,5 triliun atau 2,8% dari PDB. Di tengah keraguan, realisasi pendapatan negara 2015 mencapai Rp 1.491,5 triliun atau 84,7% dari target APBNP 2015 sebesar Rp 1.761,6 triliun. Realisasi pendapatan pajak mencapai Rp 1.235,8 triliun atau 83% dari target APBNP 2015. Dengan pengalaman ini, pemerintah optimistis, realisasi APBN 2016 akan lebih baik, antara lain berkat reformasi perpajakan dan pelaksanaan tax amnesty. Ada optimisme lain dari target pembangunan pada APBN 2016, yakni meningkatnya dana APBN, termasuk dana desa, yang ditransferkan ke daerah. Realisasi anggaran yang ditransfer ke daerah dan dana desa pada APBN 2015 mencapai Rp 623 triliun atau 93,7% dari pagu APBNP 2015 sebesar Rp 664,6 triliun. Tahun ini, dana desa dan dana yang ditransfer ke daerah naik signifikan. Pemerintah sebagai pemegang otoritas fiskal berperan besar dalam mencapai sasaran pembangunan. APBN harus berjalan seiring dengan kebijakan fiskal untuk menggerakkan perekonomian, memacu kemajuan sector 3
pertanian, industri, dan jasa. Hanya dengan itu, laju pertumbuhan ekonomi bisa didorong lebih kencang, minimal sesuai asumsi APBN 2016, yakni 5,3%. Untuk kondisi Indonesia dengan PDB per kapita yang hanya sebesar US$ 3.500 serta angka kemiskinan dan pengangguraan yang besar, laju pertumbuhan ekonomi harus bisa didongkrak di atas 6%. Untuk mencapai sasaran pembangunan pada APBN 2016, dukungan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pemegang otoritas di bidang keuangan dan Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter memainkan peran penting. OJK perlu mendorong sector keuangan untuk lebih inklusif, sedang BI perlu menjaga stabilitas rupiah sambil tetap mendorong penurunan suku bunga. BI rate 7,5% dinilai terlalu tinggi meski bank sentral AS sedang menaikkan suku bunga acuan. Kita memasuki tahun baru, 2016, dengan tantangan yang masih relatif sama. Tantangan ini akan semakin berat dihadapi jika birokrasi dan para penyelenggara negara masih tetap mempertahankan karakter dan perilaku buruk, yakni pola hidup koruptif, suka dilayani, miskin kreativitas, dan tidak mengutamakan kepentingan rakyat, bangsa, dan Negara. (*)
2016, Tahun Penuh Harapan Oleh Ryan Kiryanto | Senin, 4 Januari 2016 | 6:00 http://id.beritasatu.com/home/2016-tahun-penuh-harapan/136578
Ryan Kiryanto, Kepala Ekonom BNI
Judul tulisan ini rasanya tidak berlebihan jika kita mempertimbangkan berbagai faktor pendukung yang bakal menjadi stimulan dan insentif bagi kegiatan ekonomi Indonesia 4
tahun ini. Namun, kewaspadaan tetap harus dipelihara lantaran dinamika eksternal juga memberikan pengaruh yang cukup signifikan. Maklum, tantangan yang dihadapi ekonomi Indonesia selama 2015 lalu tidak terlepas dari dinamika perkembangan ekonomi dan keuangan global, yaitu melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, menurunnya harga komoditas, dan bergejolaknya pasar keuangan. Pertumbuhan ekonomi dunia melambat dipengaruhi oleh pemulihan ekonomi negara maju yang belum solid dan pertumbuhan ekonomi Negara berkembang yang cenderung menurun. Ekonomi Amerika Serikat (AS) tumbuh moderat ditopang oleh konsumsi dan membaiknya sector perumahan, sementara ekspansi manufaktur dan ekspor masih tertahan. Pemulihan ekonomi kawasan Eropa terutama didorong oleh perbaikan permintaan domestik, meskipun belum mampu meningkatkan inflasi yang masih rendah. Sementara itu, perekonomian Tiongkok terus melemah sejalan dengan rebalancing ekonominya dari investment driven menjadi consumption driven. Perlambatan ekonomi Tiongkok juga harus menjadi perhatian karena efeknya ke sektor perdagangan cukup signifikan. Reorientasi kebijakan ekonomi Tiongkok harus diwaspadai karena berdampak langsung pada kegiatan ekspor nasional. Diakui bahwa setiap perlambatan ekonomi Tiongkok sebesar 1% berpotensi menggerus pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,4%. Maklum, perlambatan ekonomi Tiongkok akan membuat harga komoditas dan energi menurun. Padahal, 60% dari ekspor nasional ialah produk yang berhubungan dengan energi dan komoditas. Implikasinya ekspor masih akan tetap lemah pada 2016 ini. Dengan gambaran tersebut, sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan bergantung kepada konsumsi rumah tangga (KRT) dan peningkatan investasi, ditopang oleh konsumsi pemerintah. Kebijakan yang Akomodatif Agresivitas pemerintah dalam merilis delapan paket kebijakan ekonomi telah merebut simpati public domestik dan asing. Penetapan pilihan tumpuan aktivitas ekonomi pada empat sektor prioritas, yakni energi, infrastruktur, pangan dan maritim adalah tepat
5
karena efek penggandanya yang besar dan luas bagi perekonomian. Investor lokal dan asing makin percaya bahwa arah gerak dan tata kelola kebijakan perekonomian nasional makin baik. Implementasi serangkaian paket kebijakan ekonomi yang dikawal langsung oleh Presiden Joko Widodo menjadi “garansi” bagi investor bahwa prospek investasi di Indonesia makin cerah. Perbaikan peringkat kemudahan berbisnis di 2016 ini dari 120 menjadi 109 menjadi konformasinya. Kini pemerintrah juga memiliki ruang fiskal yang makin lebar karena subsidi energi tidak ada lagi. Volume belanja pemerintah pun menembus rekor, yakni Rp 2.095 triliun. Hanya saja, ruang fiscal yang makin longgar itu akan optimal efeknya jika didukung oleh kebijakan moneter, ekonomi dan investasi yang akomodatif. Jika menilik dasar pertimbangan pengambilan keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17 Desember 2015 lalu yang memutuskan mempertahankan BI rate 7,50%, suku bunga deposit facility 5,50% dan lending facility pada level 8%, tampaknya mulai terlihat signal arah kebijakan BI yang lebih akomodatif di waktu-waktu mendatang. Diyakini, cepat atau lambat, kebijakan moneter BI akan lebih longgar, karena beberapa “persyaratan” hampir terpenuhi. Sebagai catatan, pada RDG BI terakhir di 2015 lalu, BI memandang ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter semakin terbuka dengan terjaganya stabilitas makroekonomi, khususnya inflasi akhir 2015 yang akan berada di bawah 3% dan defisit transaksi berjalan (DTB) yang akan berada pada kisaran 2% dari produk domestik bruto (PDB). Bank sentral juga mencermati perkembangan pasar keuangan global pascakenaikan FFR dan kondisi ekonomi domestik dalam jangka pendek ke depan. Tepat jika BI terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah dalam pengendalian inflasi, penguatan stimulus pertumbuhan, dan reformasi struktural, sehingga mampu menopang pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dengan stabilitas ekonomi makro dan sistem keuangan tetap terjaga. Sejauh ini perkembangan makroekonomi Indonesia sudah berjalan pada jalurnya. Sejalan dengan perlambatan ekonomi global, pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat di 2015. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan mencapai 4,75% (yoy), lebih rendah dari 5,02% (yoy) pada 2014.
6
Penurunan pertumbuhan ekonomi 2014 dan 2015 lalu bisa dipahami dengan mudah karena mengendurnya semua sumber-sumber pertumbuhan: konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, investasi, dan kegiatan ekspor-impor. Hal ini juga terkonfirmasi dari sisi regional yang menunjukkan perlambatan ekonomi terutama dialami daerah-daerah yang berbasis sumber daya alam. Daya Beli Masyarakat Pada 2016 ini, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meningkat pada kisaran 5,%- 5,6%. Sementara pemerintah mematok target 5,3%. Tim ekonomi BNI memproyeksikan pada kisaran 5,0- 5,5% sesuai skenario konservatifnya. Lembaga-lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) memproyeksikan pada kisaran 5,3%. Pertumbuhan ekonomi akan didorong oleh stimulus fiskal terutama untuk pembangunan proyek infrastruktur dan konsumsi yang diperkirakan masih tetap kuat. Sementara itu, investasi diharapkan meningkat seiring dengan implementasi paket kebijakan pemerintah yang mendorong investasi dan stabilitas makroekonomi yang semakin baik. Hanya saja, pemerintah tetap harus berupaya meningkatkan daya beli masyarakat melalui efektivitas stimulus fiskal yang punya peran penting dalam mendorong pertumbuhan. Penting pula bagi otoritas moneter untuk terus mengupayakan kestabilan nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya, sehingga dapat mendukung stabilitas makoekonomi dan penyesuaian ekonomi ke arah yang lebih sehat dan berkesinambungan. Dengan arah inflasi tahun 2016 ini yang melandai pada kisaran 4 ± 1%, maka sesungguhnya BI memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga acuan (BI rate). Tapi ini sebenarnya hanya soal waktu, karena BI harus memilih timing yang tepat untuk melakukannya. Stimulus dari kebijakan moneter diperlukan untuk menggairahkan kembali sektor riil melalui jalur intermediasi perbankan. Maklum, pertumbuhan kredit 2015 tercatat berkisar 11% (yoy), jauh lebih rendah dari pertumbuhan pada periode saat perekonomian berada dalam kondisi normal. Ke depan, sejalan dengan meningkatnya aktivitas ekonomi dan dampak pelonggaran kebijakan makroprudensial, serta penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) Primer oleh BI, pertumbuhan kredit diperkirakan akan terus meningkat menjadi 12-14% pada 2016.
7
Itulah sejumlah pertanda bahwa ke depan otoritas moneter cenderung makin akomodatif dalam menelurkan kebijakan melalui jalur suku bunga (BI rate) dan makroprudensialnya (bauran kebijakan) yang bertujuan untuk memperkuat stabilitas ekonomi seraya mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan sesuai harapan pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat umum. *** Ryan Kiryanto, Kepala Ekonom BNI
8