Sumber: Buku 21 Tahun KFT: Memersiapkan Sinema Indonesia Masa Datang (1985)
Tantangan baru buat KFT Asrul Sani DUA PULUH SATU TAHUN YANG LALU, tatkala pada suatu sore, menjelang samar-samar muka persatuan karyawan Film dan Televisi didirikan oleh sekelompok kecil karyawan film dan televisi, di ruang belakang Gedung Pola, keadaan jauh berbeda dari sekarang. Tubuh orangorang film iimumnya lebih kurus dari sekarang dan mereka berkeliaran jalan kaki, atau paling tinggi naik beca atau bus, karena hampir tidak ada karya wan film yang memiliki mobil. Orangorang kurus ini setiap saat berada dalam keadaan tegang. Garis-garis pemisah antara golongan komunis dan anti-komunis makin jelas. Di masa itu tidak ada seminar-seminar dan istilah- istilali seperti diskusi panel, moderator dan sebagainya masih merupakan hal- hal yang baru sekarang dikenal. Tetapi pertukaran fikiran berlangsung dimana- mana dan halaman-halaman koran merupakan medan polemik yang hangat. Kala itu perfilman Indonesia berada dititiknya yang terendah. Laju inflasi yang tidak terkenda- likan membuat usaha membuat film hampir dapat diibaratkan dengan usaha seorang pedagang pa-ku. Dagangannya laku. Barang dapat dijual dengan harga menguntungkan. Tapi dalam ke-nyataannya setelah beberapa waktu berlangsung modal yang tersisa menjadi tidak lebih dari se-harga sebatang paku — yang dapat ia pakai jika ia ingin menggantung diri. Saya tidak ingat lagi berapa honorarium yang diterima seorang sutradara, pengarang skenario atau karyawan lainnya pada hal itu, tapi jika dibandingkan dengan harga yang berlaku diwaktu itu, maka jumlah itu sebetiilnya tidak lebih dari sekedar hiburan tambahan untuk kepuasan bathin yang menjadi tu-juan pokok dalam membuat film. Para produser dikala itu memang lebih mirip pada orang-orang kerasukan yang dijangkiti keasyikan yang tidak bisa disembuhkan dari pada pengusaha yang memiliki perhitungan matang dan menguasai gejo- lak pemasaran. Tapi kebanggaan atas film- film yang mereka buat adalah besar, karena film- film itu betul-betul merupakan milik mereka sendiri, dalam arti: masa itu pembuatan film berada dalam tangan orang film sendiri. Tidak ada booker yang berani mendiktekan pemain, adegan, bah-kan sudut pengambilan gambar seperti halnya sekarang ini. Jika ada orang yang harus dipuji atau dicela karena sebuah film, baik pemilihan cerita maupun teknik penyajiannya, maka pujian atau cercaan seratus persen milik mereka. Dalam festival film Indonesia yang diadakan kala itu, tidak terdapat kesulitan dalam memberikan penghargaan bagi juru-suara dan sebagainya, karena film Indonesia seluruhnya dikerjakan dalam negeri dan oleh karyawan-karyawan Indone sia sendiri. Alat-alat sederhana, dan laboratorium berada dibawah standard teknis. Efek-efek optik seperti dissolve atau fade out kadang kala masih dikerjakan dengan tangan, seperti orang mencu-ci sprei Kwalitas gambar buruk. Film- film yang dihasilkan betul-betul hitam putih, dengan peng-ertian, bebas sama sekali dari nuansa-nuansa yang membuat sebuah film hitam putih jadi begi-tu indah dan puitis — keindahan yang misainya dapat kila lihat pada film hitam-putih Ingmar Bergman. Dialog hanya bisa didengar dibioskopbioskop kelas satu, sedangkan dipedalaman yang tersisa hanya bunyi kebisingan yang menyakitkan telinga. Keadaan film Indonesia begitu parah hingga waktu itu dikalangan pembuat film telah muncul fikiran-fikiran untuk melengkapi film Indonesia dengan sub-titles supaya jalan cerita masih bisa
dimengerti penonton di daerah. Kegagalan dalam bidang reproduksi suara ini merupakan salah sa-tu pendorong bagi film Indonesia menjadi pendo-rong untuk mempergunakan sistem afterrecording dan meninggalkan praktek rekaman lang-sung. Dan begitu ia bebas dari "karangkeng" suara maka ia juga jadi bebas meninggalkan studio dan memanfaatkan latar-belakang kenyataan yang sebenarnya, suatu hal yang merupakan ke-majuan. Tapi karena ia didorong keluar studio tan pa motifasi yang jelas, maka kepindahan ini tidak menambah kadar realisme dalam film Indonesia. Sebaliknya, kebiasaan ini membuat film Indonesia lebih memboeankan dilihat dari sudut ni- lai visual. Tapi setidak-tidaknya satu hal bisa dia-tasi. Jika sebelumnya dalam film Indonesia tidak ada pintu yang bisa dibuka tanpa mengakibatkan "gempa" seluruh rumah, kini pintu sudah terasa sebagai pintu sebenarnya. Perjuangan film Indonesia masih berada pada ta-hap mengatasi tantangan teknis yang paling mendasar. Sementara itu ia disaingi tidak saja oleh film- film Amerika dan Eropa, tapi saingan' yang lebih berat datang dari film India dan film yang berasal dari semena njung Melayu (waktu itu belum ada Malaysia) yang disebut film me- layu. Ditengah-tengah film Asia Tenggara kwalitas film Indonesia dapat dibayangkan berdasar-kan sebuah percakapan kecil yang berlangsung antara almarhum Usmar Ismail dengan seorang produser Filipina. Produser Filipina itu ingin supaya Indonesia lebih banyak membeli film Filipina. Oleh karena itu wajarlah menurut pemikiran Usmar supaya Filipina juga membeli film Indone sia. Saya masih Lngat bagaimana menggigilnya Usmar mendengar jawab orang Filipina itu. la berkata: "Your films area below standard". Sementara itu pertentangan politik makin ta-jam. Karena kekuasaan hampir seluruhnya ter-pusat ditangan pemimpin besar revolusi, maka politik kehilangan gerak. Maka. sebagaimana wajarnya, di mana kebebasan berpolitik ditekan, maka politik beralih kebidang kebudayaan. Pertempuran yang berlangsung dibidang kesenian — pertempuran yang berdasarkan pendirian politik — kala itu lebih sengit disektor sastera, seni rupa dan film dari pada perdebatan dala m parlemen yang kala itu disebut DPR-GR dan sudah kehilangan fungsinya sebenarnya sebagai sebuah dewan perwakilan rakyat. Sebagai jawab atas ke- garangan LEKRA — lembaga kebudayaan yang Hiknaaai orang komunis — maka partai-partai lain seperti PNI dan NIT juga mendirikan lembaga- lembaga kebudayaan. PNI menamakan lembaga kebudayaannya Lembaga,Kebudayaan Nasio- nal disingkat LKN dan NU menamakan lembaga- nya Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia disingkat LESBUMI. Dunia film terpecah menjadi tiga kelompok: kelompok .komunis, ke- lompok anti-komunis yang dekat pada Lesbumi yang kala itu dipimpin oleh Usmar Ismail, Jama- ludin Malik dan Asrul Sani dan kelompok "nasi bungkus" yaitu kelompok yang bersedia ikut sia-pa saja asal disediakan nasi bungkus. Salah satu kekuatan komunis terletak pada pengaruh mereka ditingkat tinggi. Film "Impian Bukit Harap-an" yang disutradarai oleh Wahyu Sihombing yang sudah lolos sensor, tiba-tiba harus ditarik dari peredaran karena tulisan Sibarani dalam koran Bintang Timur, yang menuntut supaya film itu dibakar karena menghina kaum buruh sedangkan "buruh dan tani adalah soko guru revolusi". Film "Di Belakang Pagar Kawat Berduri" yang disutradarai oleh Asrul Sani yang juga sudah lolos sensor kemudian harus disensor kem-bali oleh Presiden dengan enam menteri kabinet berdasarkan tuduhan anti- revolusi dan anti- ma-nipol. Dalam bidang sastera mereka menyerang (isti- lahnya waktu itu adalah "mengganyang") penandatangan manifes kebudayaan (yang mereka se-but manikebu) dan humanisme universal. Dalam bidang seni rupa mereka mencoba membungkam pelukis-pelukis abstrak. Mereka berhasil menggolkan tuntutan supaya koran-koran yang boleh terbit hanya koran-koran yang berafuiasi dengan salam sebuah partai yang diakui. Dalam bidang film mereka berusaha supaya yang diajak berunding dalam soal film hanya organisasi yang berafuiasi dengan salah sebuah partai. Dengan demi-
kian PARFI yang dilahirkan dari perjuangan me- nentang dominasi film India dipojokkan dengan tuduhan, bahwa Parfi adalah organisasi "gurem" karena tidak berafuiasi dengan salah satu partai politik. Tapi Lesbumi memberikan jaminan se- hingga mereka tidak bisa menyingkirkan Parfi yang mula- mula mereka coba kuasai, tapi tidak berhasil. Mula- mula karyawan film atau sebagian karyawan fihn bergabung dalam Parfi, tapi Parfi terutama adalah organisasi artis. Sedangkan kepentingan karyawan film tidak selalu sejalan dengan artis. Pimpinannya peka sekali terhadap masalah politik dan hal- hal yang menimpa artis. Saya masih ingat bagaimana almarhum Suryo Sumanto, ketua Parfi mengucurkan air mata waktu orang melaporkan padanya bahwa artis-artis wanita tertentu telah menjadi wanita pang- gilan dan piaraan. Partai Komunis meneriakkan "politik adalah panglima" dan penguasaan politik terhadap dunia kesenian, setidak-tidaknya ya terhadap badan-badan yang bergerak dalam bidang kesenian hampir- hampir berhasil sudah. Sebagian seniman yang lugu mengira, bahwa jika me reka tidak menyerang orang Komunis, maka orang Komunis akan membiarkan mereka berka-rya. Tapi sebagian lagi berpendapat, bahwa satu-satunya cara untuk menyelamatkan dunia kesenian dari dominasi orang politik, ialah dengan jalan memasuki dunia politik itu sendiri. Para seniman harus keluar dari sarang mereka dan menjadi orang politik. Dalam suasana sepe'rti inilah KFT dilahirkan dua-puluh satu tahun yang lalu. Saya tidak ingat lagi siapa orang pertama yang saya ajak bicara dan saya mintakan bantuan tentang kemungki- nan mendirikan organisasi karyawan ini, apakah sdr. MD Alif atau sdr. Misbach. Yang saya ingat, salah seorang dari kedua saudara itu telah me-nyiapkan draft anggaran dasar KFT. Yang dijadikan model waktu itu, ialah organisasi juru-ka- mera Amerika American Society of Cinematographers disingkat ASC. ASC bukanlah sekedar organisasi juru-kamera sebagai pekerja, tapi ia adalah organisasi yang memberikan standard dan ukuran kwalifikasi dalam bidang kamera. Orang hanya bisa jadi anggota kalau diundang masuk oleh sejumlah anggota-anggota senior ASC setelah mengikuti prestasi orang tersebut dalam bidang sine-fotografi.' Mereka yang diterima jadi anggota berhak untuk mencantumkan huruf ASC dibelakang nama mereka. Ini berarti bahwa juru-kamera tersebut adalah seorang pro- fesional yang sudah terbukti ketrampilannya dan karena itu dapat diandalkan sebagai juru kamera sebuah film. Di masa itu film- film Hollywood atau boleh dikatakan semua film cerita yang di-buat di Amerika hanya mempergunakan juru-kamera atau pimpinan gotografi yang berhak me- nuMskan ASC dibelakang nama mereka. Waktu itu di Amerika sudah ada sekolah-sekolah film. Tapi ijazah sekolah ini tidak berarti apa-apa. Orang masuk sekolah-sekolah itu untuk meng-naaai ketrampilan supaya dapat menghasilkan prestasi yang baik. Prestasi inilah yang jadi ukuran. Kesenian dan olah-raga adalah dua bidang kehidupan di mana orang bisa muncul tan-pa harus memenuhi persyaratan formal yang di-tuntut oleh suatu sistem penghargaan berdasar-kan ijazah. Untuk menjadi rektor sebuah institut kesenian pemerintah orang mungkin memerlu-kan ijazah perguruan tinggi. Tapi seorang pelu-kls seperti Affandi adalah seorang tamatan SMP, yang karyanya dipelajari diteliti, dianalisa oleh sarjana yang punya ijazah. Itu yang diimpikan waktu KFT didirikan. KFT harus menjadi organisasi penyaring yang memberikan pengakuan kepada seorang karyawan yang barangkali memulai kariernya sebagai seorang tukang lampu, lalu berpindah menjadi tukang dorong dolly, lalu menjadi juru-fokus, jadi operator kamera dan ke- mudian berkat pengalamannya menjadi juru-kamera penuh — tanpa didukung oleh suatu pendi-dikan formal dan tanpa ijazah sebagai pelengkap. Sebagian besar karyawan film Indonesia adalah orang-orang seperti ini. Atas dasar itu bisalah ditegakkan standard profesionalisme.
Tapi sesuai dengan masa itu, gagasan mendirikan KFT ini tentu saja tidak lepas dari perjuang-an politik yang berlangsung dikala itu. LEKRA dibentengi oleh orang-orang komunis. Di sam-ping itu mereka memiliki SARBUFIS, sarikat Buruh Film dan sahdiwara yang mencakup pekerja-pekerja bioskop. Sebagian besar karyawan film yang kreatif adalah orang-orang yang menen-tang komunisme. Sehingga persyaratan: "profesionalisme" selalu mereka tentang karena mereka lemah dalam hal itu. Dalam KFT terhimpun sarat-sarat yang terutama mementingkan persyaratan profesional, sehingga dengan demikian sulitlah bagi mereka untuk memasuki KFT seca-ra besar-besaran. Dengan bubarnya PKI dan bergantinya iklim politik, maka tugas yang tinggal yang harus dipikul oleh KFT adalah untuk meningkatkan mu-tu karyawan dan menjaga standard profesionalisme dalam film. Memang inilah yang Hiiainikan oleh KFT selama dua puluh satu tahun, melalui penataran dan pendidikan, pemanfaatan hak untuk memberikan rekomendasi (yang disertai dengan pengukuhan-pengukuhan) dan memperke-tat disiplin organisasi yang disertai militansi yang tinggi sebagai warisan perjuangan masa ia didirikan. Selama ini ia lebih banyak bekerja ke dalam. Masa dua puluh satu tahun sudah berlalu. Di luar negeri sesuai dengan undang-undang seorang remaja yang berumur dua puluh satu tahun sudah dianggap dewasa. Jika ia seorang ga-dis dan ingin menikah orang tuanya sudah tidak bisa lagi menghalanginya. la sudah berhak untuk mengambil keputusan buat dirinya sendiri. Dan memang ini yang rfiinimiran oleh anggotaanggota KFT dalam kongres yang baru lalu. Dalam kongres itu diruntuhkanlah salah satu tiang penyangga KFT sebagai organisasi yang menjaga standard profesionalisme dalam film. Lembaga penyaring dalam KFT seperti lembaga pe-nyuluhan ditiadakan karena dianggap merupa-kan penghalang. Type produser juga sudah ber- ganti. Jika sebelumnya kebanyakan produser adalah orang-orang yang kerasukan oleh film, dan tidak begitu sadar akan perhitungan pasar dan sebagainya, type kebanyakan produser baru adalah pedagang-pedagang sejati. Mereka tidak memiliki latar belakang seperti yang dipiiliki produser-produser sebehimnya. Mereka diongko-»i oleh pemilik-pemilik modal yang sebelumnya mungkin bergerak dalam bidang tekstil dan kini ingin menanamkan modal dalam produksi film. Mereka tidak bicara tentang film baik, sebab yang mengongkosi mereka tidak perduli akan film baik. Yang penting adalah film yang laku dan menguntungkan. Jika sebelumnya orang politik berusaha supaya orang film tunduk pada di-ktum mereka bahwa "politik adalah panglima" maka sekarang pedagang memerlukan orang-orang yang tunduk pada prinsip film adalah ba-rang dagangan. Kenapa tidak — dimana- mana didunia ini hal ini berlaku dalam dunia film. Prinsip ini menghendaki orangorang yang bisa diatur dan yang bisa menyesuaikan diri. Laku tidaknya sebuah film bukan tergantung dari bu-ruk baiknya cerita tapi dari adegan-adegan yang bisa dijual — yang hams dimainkan oleh pe- main-pemain yang bersedia melakukan adegan apa saja, biarpun dilihat dari sudut permainan tidak memenuhi persyaratan minimum seorang pemain yang baik. Dan film itu hams dikerjakan oleh sutradara-sutradara yang tidak begitu menghiraukan prinsip-prinsip kekaryawanan dan tunduk akan persyaratan-persyaratan yang dilahirkan oleh pertimbangan-pertimbangan eko-nomi penguasaan oleh pedagang-pedagang film begitu rupa sehingga sebuah film bukan lagi me-rupakan hasil kerja sama seorang produser dan karyawan, tapi hasil tuntutan seorang booker atau beberapa orang bookers. Mereka sudah ma-suk ke dalam ruang editing dan menentukan a-degan-adegan yang mana yang boleh tinggal. Mereka
menulis skenario sendiri dan menyodor-kannya pada sutradara dengan syarat tidak boleh diperbaiki atau dirobah: shoot sebagaimana tertera dalam naskah. Hak "final cut" yang men-jadi hak karyawan — yaitu mengontrol film sam-pai ketitik penyelesaian di tiadakan. Sudah mulai banyak sutradara yang hanya diperbolehkan be-kerja sampai shooting selesai. Sedangkan finishing touch selanjutnya merupakan hak orang lain — umumnya editor yang terdapat di Hongkong dan karyawan asing yang mengisi musik sebagaimana maunya. Hak karyawan yang seka- li merupakan tanggung jawabnya sesuai dengan yang dicantumkan dalam job-description dengan demikian sudah menjadi semacam pegangan yang tidak ada arti lagi sama sekali. Dalam hal ini karyawan dihadapkan pada pilihan yang pahit: menolak dengan konsekwensi periuk nasi di-rumah tidak berasap, atau menerima dengan mengorbankan harga diri cita-cita dan segala ke-banggaan yang melekat pada pekerjaannya seba-gai karyawan. Dalam usaha untuk menegakkan disiplin dan menjaga standard profesionalisme KFT sudah melakukan tindakan-tindakan ke dalam. Tapi dalam keadaan sekarang tindakan ke dalam semata tanpa usaha untuk melakukan perlindungan ba-gi karyawan adalah hal yang tidak adil. Inilah tantangan baru bagi KFT. la memang didirikan untuk menegakkan dan meningkatkan standard profesionalisme, tapi dalam keadaan sekarang hal ini tidak lagi memadai. Para karyawan sudah mulai diperlakukan sebagai buruh oleh majikan yang menguasai segala-galanya; ia sudah diberbuat terasing dari etik pekerjaannya. Dan dalam hal ini ia berada di fihak yang lemah. Siapa yang lagi bisa melindungi dia kalau bukan organisa-sinya. Tantangan bagi KFT sekarang ini, setelah masa dua puluh satu tahun, ialah: apakah ia sanggup menggalang kekuatan seperti yang umum dilakukan oleh sarikat buruh, tanpa ber-henti menjadi organisasi yang bertujuan me ningkatkan keterampilan anggotanya: untuk me lindungi anggotanya dari kekuatan-kekuatan yang menganggap film sebagai barang dagang-an semata.