Dialog UU Listrik & Migas Pengantar- Dialog imajinatif ini adalah antara seorang journalist dengan seorang politisi/akademisi, khususnya menanggapi ditolaknya UU Listrik 20/2002 oleh Mahkamah Konstitusi baru-baru ini. Dialog ini mewakili pandangan pribadi (bukan pandangan resmi instansi atau lembaga), dan dimaksudkan sekedar untuk memperkaya wawasan dan meningkatkan mutu debat publik mengenai pengelolalan industri energi nasional, dengan topik UU Listrik dan Minyak & Gas Bumi. Tidak ada pretensi bahwa semua yang tersajikan dalam dialog ini mesti diterima sebagai yang paling benar. Komentar atau tanggapan terhadap script dialog ini silakan dialamatkan ke
[email protected]
*** P1: Bagaimana tanggapan Bapak terhadap keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) yang membatalkan UU Kelistrikan No. 20 Tahun 2002? J1: Cukup kaget. Kami tidak menduga bahwa pada akhirnya, UU 20/2002 itu akan ditolak oleh MK. Memang ada beberapa kesalahpahaman atau hal-hal yan belum jelas bagi sebagian masyarakat, namun kami tidak sampai pada pikiran bahwa keberatan tersebut akan berakhir dengan ditolaknya UU Listrik 20/2002 oleh MK. P2: Mengapa? J2: Dalam pandangan kami, UU Listrik tersebut telah meletakkan pilar yang sangat baik bagi pengelolaan industri kelistrikan nasional di masa depan, yang berbeda dengan yang terdapat dalam UU Kelistrikan sebelumnya (UU No. 15 Tahun 1985). Dalam UU yang baru itu (20/2002), terdapat pemisahan fungsi yang jelas antara peran Pemerintahan atau Pemegang Kuasa Usaha Kelistrikan (PKUK), fungsi pengaturan (Badan Pengatur) dan fungsi Pelaku Usaha (Bisnis Kelistrikan). Dalam Undang-Undang sebelumnya, hal-hal itu tidak didefinisikan dengan tegas. Bahkan, UU 15/1985 bertumpu terlalu besar pada sebuah BUMN yang merangkap menjalankan peran sebagai pelaku usaha dan Pemegang Kuasa Usaha Kelistrikan, dan sedikit banyak juga memegang peran pengaturan.
1
P3: Hal-hal yang Bapak baru sebutkan tidak disebut-sebut dalam alasan penolakan oleh MK tersebut. J3: Benar, padahal itu adalah pemahaman dasar yang penting sekali. Saya lanjutkan. UU Listrik 20/2002, selain mempertegas fungsi-fungsi pemerintahan, pengaturan dan pengusahaan, juga memberikan kesempatan kepada sektor swasta dan pemerintah daerah untuk berpartisipasi lebih luas dalam pembangunan sektor kelistrikan nasional. Keterlibatan swasta yang lebih besar itu kami yakin akan baik dampaknya bagi pengembangan industri kelistrikan nasional sendiri. Kami lihat UU Listrik 20/2002 juga memperkenalkan kompetisi (persaingan usaha) antara Badan-Usaha, termasuk PLN, yang bila dilakukan dengan fair dan transparent, akan meningkatkan efisiensi dari industri kelistrikan nasional secara keseluruhan. P4: Bagaimana dengan PLN sendiri, yang peranannya jadi berkurang? J4: Sebagai BUMN, PLN jelas masih memperoleh “privilege” yang sangat besar dalam UU Listrik 20/2002. Bagaimanapun, PLN adalah “incumbent” dengan penguasaan asset, teknologi, sumberdaya manusia yang masih sangat dominan untuk seluruh Indonesia yang begitu luas ini. Namun ingat, pembangunan kelistrikan nasional kita masih jauh dari tercapai, hal ini antara lain ditunjukkan dengan rasio elektrifikasi kita yang masih masih rendah (sekitar 60 persen). Keberadaan swasta dalam UU Listrik 20/2002 dimaksudkan justru untuk membantu pemerintah (dan kita semua) untuk mencapai target pelayanan kelistrikan yang akan terlalu lambat/sulit dicapai bila PLN hanya bekerja sendirian. Demikian pula dengan Pemerintah Daerah, yang di dalam UU Listrik 20/2002 bertanggungjawab dalam penyusunan RUKD (Rencana Umum Kelistrikan Daerah) akan membantu pencapaian tujuan pembangunan kelistrikan, yang lebih sesuai dengan kondisi dan sumberdaya yang berada di daerah. Kami yakin itu adalah semangat (spirit) dari UU Listrik 20/2002. P5: Pasal mengenai unbundling (pemecahan ranting usaha) menjadi alasan utama oleh pihak-pihak yang berkeberatan terhadap UU Listrik 20/2002 dan selanjutnya juga menjadi alasan bagi MK untuk menolak UU tersebut. Bagaimana Bapak melihat soal unbundling ini? J5: Mestinya kita melihat pengertian unbundling itu secara lebih luas dan dalam konteks pengelolaan sistem kelistrikan nasional itu secara keseluruhan (comprehensive).
2
Penolak (opponent) terhadap konsep unbundling menyatakan bahwa pemisahan usaha kelistrikan ke dalam ranting-ranting usaha itu menghasilkan “transaction cost” (biaya perpindahan antar-unit) yang tinggi dan yang pada akhirnya akan bermuara pada harga listrik yang tinggi di tingkat konsumen akhir. Mereka juga mengatakan bahwa konsep unbundling itu -kurang lebih- akan “mengerdilkan” keberadaan PLN, yang akan diisi oleh unsur-unsur swasta atau asing. Unbundling dituduhkan sebagai mempermudah jalan bagi perusahaan-perusahaan asing untuk masuk menguasasi industri kelistrikan nasional. Ada kekhawatiran yang sangat besar bahwa unsur “asing” akan menjajah kita melalui industri kelistrikan nasional yang “menguasai hajat hidup orang banyak” tersebut. Kita mesti lebih jernih dalam menanggapi konsep undbundling ini. Benar bahwa akan ada sejumlah perusahaan yang akan beroperasi pada ranting bisnis tertentu -pembangkitan misalnya- namun hal itu sebetulnya dimaksudkan untuk menciptakan kondisi kompetisi, yang diyakini akan menghasilkan efisiensi. Dengan kompetisi yang fair dan transparan, efisiensi dapat terjadi dalam setiap ranting usaha. Ingat pula bahwa keseluruhan sistem kelistrikan yang dikompetisikan itu, mulai dari pembangkitan hingga penjualan retail, akan dilengkapi dengan mekanisme open access dan pemanfaatan fasilitas bersama, untuk jaringan transmisi, misalnya. Bekerjanya sistem kompetisi juga akan diawasi oleh sebuah Badan Pengatur (BAPEPTAL: Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik). Hal-hal ini seharusnya telah menjelaskan bahwa kekhawatiran terhadap peningkatan ‘transaction cost’ itu tidak cukup beralasan. Sebaliknya, kompetisi yang fair dan akan membuat biaya operasi di setiap ranting menjadi lebih murah. Akan halnya PLN sendiri, tak berarti bahwa dengan berlakunya konsep unbundling, PLN tak boleh lagi menikmati keistimewaannya sebagai perusahaan (BUMN) kelistrikan yang beroperasi secara ter-integrasi vertikal (vertically integrated), bahkan juga secara horisontal seperti selama ini. Bedanya adalah, untuk setiap ranting usaha kelistrikan nantinya, secara vertikal maupun horisontal, PLN mungkin akan didampingi dengan Badan Usaha lain, yang akan menjadi kompetitornya. PLN tetap dapat terus mendominasi seluruh ranting usaha kelistrikan nasional, baik secara vertikal maupun horisontal, namun hanya apabila ia terbukti paling efisien dalam menjalankan bisnis di ranting usaha itu. P6: Nampaknya gagasan itu cukup ideal. Unsur swasta diberi peranan yang lebih besar dalam UU Listrik 20/2002, yang tak terlihat dalam UU 15/1985. Kenapa?
3
J6: Ya, dan sebetulnya kita masih jauh dari penerapan konsep pengelolaan sistem kelistrikan nasional menurut UU 20/2002 tersebut. Dalam konsep UU Listrik 20/2002, konsep kompetisi terbatas pun baru akan diterapkan di sistem JAMALI tahun 2007 nanti. Mestinya kita sekarang sibuk mempersiapkan sistem baru itu. Bahwa swasta diberikan tempat yang cukup besar dalam UU 20/2002 mestinya ditanggapi secara wajar. Keberhasilan pembangunan nasional selama ini telah meningkatkan kemampuan sektor swasta, atau kelompok yang juga adalah bagian dari masyarakat atau negara kita sendiri. Mengapa tidak memberi tempat bagi partisipasti pemerintah-swasta (public-private participation) yang lebih luas? Kami yakin pula bahwa kemampuan Pemerintah terbatas, kemampuan juga PLN terbatas untuk dapat melayani negeri yang sebesar dan berpenduduk banyak ini. P7: Bagaimana Bapak melihat dampak dari keputusan MK mengenai pembatalan UU Listrik 20/2002 tersebut? J7: Bagaimanapun juga, keputusan MK -sebagai produk hukum- harus kita hormati bersama. Sekarang marilah berpikir mengenai dampak dari keputusan MK tersebut, bagaimana meminimumkan efek negatipnya dan bagaimana mencari jalan keluar yang baik/efisien bagi persoalan ini. Dampak dari keputusan tersebut jelas pada merosotnya kepercayaan atau meningkatnya ketidakyakinan pada produk hukum di Tanah Air. Merosotnya kepercayaan ini membuat investor, yang baru saja mulai tergerak keinginannya untuk menanamkan modal mereka dalam pembangunan kelistrikan di Tanah Air, menjadi ragu kembali atau malah membatalkan niat mereka. Kita belum menghitung berapa potential losses dari merosotnya kepercayaan yang juga meningkatkan country risk ini. Secara politik, pembatalan keputusan MK tersebut tentu punya efek ketidakstabilan dan biaya yang cukup besar. UU tersebut telah disiapkan dengan berbagai kerja panjang yang melelahkan yang melibatkan banyak pihak, diskusi-diskusi yang alot, biaya yang mahal. DPR telah sampai pada keputusan untuk meloloskan UU tersebut, dan proses ke situ bukanlah tidak sulit. Berat sekali. Sekarang kita kembali mendapatkan UU Listrik 20/2002 itu ditolak MK. Kita kehilangan banyak waktu dan kerugian ekonomi/politik. Ini mahal harganya. P8: Kelihatannya pemerintah “sangat reaktif” dalam menanggap penolakan UU Listrik 20/2002 oleh MK tersebut. Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro memerintahkan jajarannya untuk segera menyiapkan draft
4
UU Listrik yang baru, bukan kembali ke UU 15/ 1985. Presiden Susilo Bambang Yudoyono juga segera menyetujui usulan Menteri ESDM tersebut? Kenapa kira-kira? J8: Jelas. Kami yakin pemerintah akan keberatan untuk menggunakan UU Listrik yang lama, UU No. 15/1985 itu kembali. Sebagai juga telah kami singgung sebelumnya, UU Listrik 15/1985 itu menempatkan pemerintah dalam posisi marginal, dalam kedudukan sub-ordinat terhadap PLN, yang di UU Listrik 15/1985 disebut sebagai Pemegang Kuasa Usaha Kelistrikan (PKUK). Kami memahami bahwa, dengan posisinya yang dicantumkan dalam UU Listrik 15/1985 itu, pemerintah memperoleh “kesulitan” untuk mengendalikan PLN, termasuk dalam penetapan program-program pembangunan kelistrikan nasional. Sebaliknya, PLN dapat “dengan sesukanya” merencanakan dan menjalankan sendiri program-program kelistrikannya (yang belum tentu identik dengan program pembangunan kelistrikan nasional yang dimaksudkan pemerintah) tanpa terlalu melakukan konsultasi yang “ketat” dengan pemerintah (dalam hal ini Departemen Energi & Sumberdaya Mineral cq. Direktorat Jenderal Kelistrikan & Pengembangan Energi). Hal itu nampak jelas, misalnya pada rencana investasi PLN, termasuk pinjaman luar negeri yang dilakukannya. Sebaliknya, bagaimana visi pemerintah mengenai pembangunan kelistrikan yang “berwawasan lingkungan” dan “memprioritaskan sumber-sumber energi setempat” tidak diakomodasi dengan baik dalam rencana kelistrikan versi PLN. Kami yakin, mengubah UU Listrik 15/1985 dengan UU 20/2002 itu inisiatifnya pada dasarnya berasal dari Pemerintah sendiri! P9: Okelah. UU Listrik 20/2002 pada kenyataannya telah ditolak oleh MK. Lalu bila kita kembali ke UU 15/ 1985, apakah itu akan memperbaiki keadaan atau menghilangkanhal hal-hal yang dikhawatirkan oleh “penentang” UU 20/2002? J9 : Tidak. Kembali ke UU Listrik 15/1985 tidak akan membuat kondisinya seperti semula ketika UU Listrik 15/1985 itu dipergunakan dulu. Kini telah ada beberapa UU yang membuat UU Listrik 15/1985 itu tidak bisa “efektif” diterapkan seperti halnya dulu. Ini yang barangkali kurang diperhitungkan oleh pihak-pihak yang menginginkan “status quo”. Sebut saja UU Otonomi Daerah (No. 22/1999) yang menghendaki peran daerah yang lebih besar dalam berbagai aspek, termasuk perencanaan (kelistrikan). UU Listrik 20/2002 telah mengakomodasi hal ini, namun tempatnya dalam UU Listrik 15/1985 yang “sentralistik” adalah tidak jelas.
5
UU lain yang akan menjadi “ganjalan” bagi penerapan kembali UU Listrik 15/1985 adalah UU No. 5 Tahun 1999 mengenai Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan UsahaTidak Sehat. UU No. 5/ 1999 ini sangat jelas menentang bentuk-bentuk monopoli atau dominasi yang berlebihan dari jenis usaha apapun. Segala jenis usaha yang “diberikan keistimewaan” untuk menerapkan praktek monopoli harus diatur dalam Peraturan Pemerintah dan akan diawasi terus menerus oleh KPPU (Komite Pengawas Persaingan Usaha). Akan tidak mudah bagi jenisjenis usaha di bidang kelistrikan untuk memperoleh Peraturan Pemerintah itu, kami duga. UU lainnya lagi adalah UU No. 19 Tahun 2003 mengenai BUMN, yang mengamanatkan BUMN fokus pada kegiatan penciptaan laba, menjadi pelaku usaha yang profesional, bukan sibuk dengan “menjalankan fungsi sosial.” Menjadi “Pemegang Kuasa Usaha Kelistrikan” jelas jauh dari tugas yang diminta oleh UU BUMN tersebut. Kita belum mempertibangkan pula UU Perlindungan Konsumen, UU Lingkungan, UU Kosntruksi dan perubahan lingkungan strategis dengan keberadaan kita di AFTA, APEC, WTO. P10: Bagaimana dengan pendapat bahwa UU Listrik 20/2002 bertentangan dengan UUD 45, khususnya pasal yang menyatakan bahwa industri yang menguasai hajat hidup orang banyak itu mesti dikuasai oleh negara? J10: Mari kita bandingkan UU Listrik 15/1985 dengan UU Listrik 20/2002. Ambil pasal mengenai pembagian peran Pemerintahan/Pemegang Kuasa Usaha Kelistrikan, Regulasi, dan Pelaku Usaha. Dalam UU Listrik 15/1985, PKUK adalah PLN (sebuah BUMN), pembuatan regulasi tidak tegas antara pemerintah dan PKUK (meskipun disebutkan pemerintah), sedangkan Pelaku Usaha utama adalah PLN, yang notabene adalah juga PKUK. Dalam UU Listrik 20/2002, yang semula dikenal sebagai Pemegang Kuasa Usaha Kelistrikan kini adalah Pemerintah (Departemen Energi & Sumberdaya Mineral), Pengaturan oleh Badan Pengatur (yang dipilih dari masyarakat oleh Pemerintah dan DPR) dan Pelaku Usahanya adalah PLN (yang dominan) ditambah unsur swasta. Ini mungkin penyederhanaan, untuk membuat ceritanya menjadi lebih mudah Di antara kedua UU tersebut, mana yang lebih baik menerjemahkan pengertian “dikuasai oleh negara?” Apakah dikuasai oleh BUMN itu identik dengan dikuasai oleh negara?
6
Tidakkah bertindaknya Pemerintah sebagai Pemegang Kuasa Usaha Kelistrikan itu lebih merepresentasikan penguasaan oleh negara daripada “penguasaan” itu dilakukan oleh BUMN? Demikian pula, dengan adanya Badan Pengatur (independen) yang dipilih langsung dari masyarakat itu tidakkah itu juga mencerminkan “penguasaan oleh negara?” P11: Bagaimana bila UU Minyak & Gas Bumi (UU 22/2001) itu juga ditolak oleh MK? J11: Setback-nya akan terlalu jauh. Kerugiannya akan terlalu besar. UU Migas 22/2001 sudah bergerak lebih dulu dan jauh lebih cepat dibandingkan UU Listrik 20/2002. BP MIGAS (Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas) telah lama bekerja, BPH MIGAS (Badan Pengatur Kegiatan Hilir Migas) juga sudah dibentuk dan mulai bekerja. Banyak Peraturan Pemerintah (seperti PP tentang Kegiatan Hulu dan PP tentang Kegiatan Hilir) telah diterbitkan; banyak investasi dan perjanjian yang mendasarkan diri pada UU Migas 22/2001 tersebut yang telah dibuat. Akan sangat mahal dan akan kita sesali lama sekali bila UU 22/2001 juga ditolak MK. Penolakan itu akan berdampak sangat negatip, akan menghancurkan “kredibilitas” kita sendiri, di mata investor asing maupun domestik. Kepercayaan kepada sistem hukum kita akan makin hancur, dan industri migas kita akan merana. P12: Apa kesamaan maupun perbedaan yang menonjol di antara UU Listrik 20/2002 dan UU Migas 22/2001? J12: Konsep pembentukan kedua UU yang ingin mengatur kedua jenis industri energi kita itu sebenarnya mirip. Pertama, mengembalikan Kuasa Usaha Kelistrikan atau Kuasa Usaha Pertambangan (the Holder of Mining Right) dalam kasus Minyak Gas Bumi ke tangan Pemerintah (bukan di tangan PLN atau Pertamina sebagai ditegaskan oleh UU Pertamina No. 8/1971). Kedua, membuat usaha Migas (khususnya di sektor hilir) terbuka bagi persaingan dengan memberi peluang kepada swasta untuk masuk menanamkan modalnya di situ. Selain men-deregulasi (meliberalisasi) sektor hilir, UU Migas juga secara tegas menekankan prioritas penggunaan gas bumi kita untuk penggunaan dalam negeri. Ini akan merangsang pembangunan industri hilir gas bumi di dalam negeri, tentu saja.
7
P13: Anda berbicara soal kompetisi, meningkatkan partisipasi swasta, yang berarti juga mengurangi dominasi BUMN. Apa itu penting dalam pengelolaan industri energi nasional kita? J13: Di industri migas, contohnya jelas kelihatan. Di sisi hulu, sudah ada usaha swasta nasional kita yang dapat memproduksi minyak mentah lebih banyak daripada yang dilakukan Pertamina. Ini bukti bahwa swasta nasional juga dapat melakukan bisnis di bidang teknologi tinggi dan capital intensive dengan cukup baik dan efisien, suatu atribut yang tak hanya dapat diberikan kepada BUMN. Ini sekaligus bukti bahwa BUMN yang menjadi “the Holder of Mining Right” (dulu) tidak merasa memiliki insentif kuat untuk melakukan bisnis produksi migasnya dengan baik; padahal itu adalah bisnis utama yang diembannya. Di sisi hilir, kita melihat PGN (yang juga sebuah BUMN) dapat menjadi pesaing yang “sehat” bagi Pertamina. PGN kini adalah “pemain” dominan di bidang tansportasi gas (transmisi) dan satu-satunya local distribution company untuk gas bumi di Tanah Air, dapat menyalurkan gas yang lebih banyak bagi kebutuhan dalam negeri, dan kondisi perusahaannya pun sehat. Mengapa tidak menumbuhkan PGN-PGN yang lain, bila itu memang sehat buat pengembangan industri migas nasional kita? Rencana liberalisi sektor hilir di Indonesia, telah mendapatkan tanggapan yang sangat positip dari calon-calon pelaku usaha swasta di Tanah Air. Ini menunjukkan bahwa swasta nasional pun siap untuk menyumbangkan darma baktinya dalam pembangunan industri migas nasional. Kami percaya bahwa keterlibatan swasta dan pengembangan kompetisi tersebut akan membawa manfaat yang lebih besar kepada masyarakat, berupa ketersediaan pelayanan energi yang makin banyak (meningkatkan energy accesibility) dengan harga yang lebih efisien. Pada akhirnya, pemerintah pun tidak harus menanggung beban untuk “terus menerus menyubsidi” konsumsi energi masyarakat. Ini indahnya kompetisi, kami yakin. P14: Beredar issue di masyarakat bahwa pembentukan UU Listrik 20/2002 dan UU Migas 22/2001 itu adalah atas desakan IMF/WB/ADB dan bahwa itu adalah bagian dari “skenario besar” mereka untuk menguasai industri energi kita. Komentar Bapak? J14: Saya tidak ingin memberikan komentar banyak soal ini. Sepanjang yang saya ketahui, di pemerintahan kita memiliki teman-teman “teknokrat” (birokrat yang menguasasi soal-soal teknis) yang tidak terlalu banyak, tapi
8
cukup untuk memahami dan mampu merumuskan sendiri keputusankeputusan bagi masalah-masalah yang kita hadapi. Termasuk dalam soal pengelolaan industri energi besar kita ini: kelistrikan dan migas. Temanteman itu mendapat training yang sangat baik dalam bidang keahlian mereka, barangkali setara atau malah lebih baik dibandingkan staf-staf IMF/WB/ADB sendiri. Dalam hal ini, rasanya kita tidak perlu memposisikan diri terus menerus sebagai “inferior” terhadap lembagalembaga multilateral itu (yang sesungguhnya kita pun memiliki share di dalamnya). Sebagai telah jelas disebutkan panjang lebar sebelumnya, ketidakpuasan terhadap pengelolaan industri energi melalui penerapan UU Listrik 15/1985 dan UU Pertamina No. 8/1971 itu sudah merupakan issue lama di kalangan teknokrat dan pemerhati industri energi kita. Telah lama pula mereka menyimpan konsep-konsep pengelolaan industri energi yang “lebih sehat” versi mereka itu di laci-laci meja kerja mereka. Kedatangan IMF sekedar mengingatkan mereka bahwa mereka harus segera mengeluarkan konsep-konsep yang telah lama ada di laci meja mereka itu. Itu saja peran IMF/WB/ADB itu, saya kira. P15: Terima kasih atas keterangan Bapak. J15: Rasanya keterangan tadi belumlah cukup. Memang dibutuhkan penjelasan yang lebih panjang untuk memahami konsep restrukturisasi yang ada dalam UU Listrik 20/2002 dan UU Migas 22/2001. Bagaimanapun, kita mesti melakukan REFORM dan tidak berhenti pada “status quo.” Tak banyak bukti yang menyatakan bahwa sistem yang telah kita terapkan itu (UU 15/1985 dan UU 8/1971) memuaskan semua pihak (termasuk Pemerintah), dan tak ada bukti pula bahwa pola pengelolaan yang kita terapkan dulu itu “memberikan kemakmuran sebesar-besarnya kepada rakyat.” Mengapa harus langsung menolak konsep REFORM yang sebetulnya mudah dipahami itu? Terima kasih kembali.
Hanan Nugroho, 20 Desember 2004
9