Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. II No. 2 September 2015
DIALEKTIKA KOMUNIKASI TENTANG HIV PADA ODHA DAN ADHA DI RUMAH CEMARA BANDUNG Febry Ramadanu1, Dasrun Hidayat2, Maya Retnasari3 Universitas BSI Bandung Email:
[email protected]
ABSTRACT This research aims to know how the dialectic communication PLWHA to build internal relations to CLWHA with the final results to make quality of live better CLWHA. Type of this research is qualitative, with the constructivist paradigm and case study. Data collected by the methods of observation, interview and documentation. The result showed that the disclosure HIV status PLWHA and CLWHA be a good beginning of the conversation should doing by parents for start the next approach phase. Give extra attention and enough affection a helping CLWHA to get a good quality of live. PLWHA and CLWHA using communication privacy management to manage its private information. Keywords: Communication, Internal relationship, Conffident
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengetahui bagaimana dialektika komunikasi ODHA dalam membangun hubungan internal kepada ADHA dengan tujuan akhir membuat kualitas hidup ADHA yang lebih baik. Jenis dari penelitian ini adalah kualitatif, dengan paradigma konstruktivis dan studi kasus. Data dikumpulkan dengan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Hasil menunjukan bahwa pengungkapan status HIV ODHA dan ADHA menjadi awal pembicaraan baik yang harus di lakukan oleh orang tua untuk memulai tahapan pendekatan selanjutnya. Memberikan perhatian yang ekstra dan kasih sayang yang cukup akan membantu ADHA mendapatkan kualitas hidup yang baik. ODHA dan ADHA menggunakan manajemen privasi komunikasi untuk mengelola informasi privat yang dimilikinya. Kata Kunci : komunikasi, hubungan internal, percaya diri
ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
81
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. II No. 2 September 2015
PENDAHULUAN Rasa percaya diri pada anak dengan HIV/AIDS (ADHA) sangat berbeda dengan anak yang tidak memilki status HIV. ADHA cenderung memiliki ketakutan dalam menjalani realita kehidupan, rasa cemas, depresi, hingga merasa takut dijauhi oleh lingkungannya. Ditambah dengan ketidak pahaman orang lain tentang virus HIV dapat menular kepada orang disekitarnya. Selain itu ADHA sering dianggap sebagai orang yang berperilaku menyimpang padahal status ADHA tersebut diwariskan dari orang tua nya yang juga memiliki status sebagai pengidap HIV atau orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Berbagai penilaian tentang ADHA secara tidak langsung mempengaruhi rasa percaya diri serta kualitas hidup anak. Rasa percaya diri pada ADHA akan sangat menentukan perjalanan hidup dan masa depan ADHA. Hal ini dikarenakan rasa percaya diri ADHA merupakan hal yang sangat penting untuk membangun karakter dan kepribadiannya, serta mengetahui potensi dan bakat yang dimilikinya. ADHA terinfeksi HIV umumnya terjadi secara vertikal dari ibu kepada anak. Membangun hubungan internal menjadi tantangan tersendiri bagi ibu untuk memberikan motivasi kepada ADHA, dikarenakan ibu yang juga berstatus sebagai ODHA berpengalaman dalam mengatasi menurunya rasa percaya diri. Mulai dari memberikan informasi kepada anak bahwa memiliki HIV bukanlah akhir dari segalanya, orang dengan HIV memiliki kesempatan hidup yang sama seperti orang lain pada umumnya. Orang dengan HIV masih bisa hidup secara normal dengan cara terapi meminum obat Antiretroviral (ARV). Obat memang tidak bisa menghilangkan virusnya secara keseluruhan namun obat ARV bisa menekan jumlah virus yang ada dalam tubuh sehingga tubuh tidak rentan oleh penyakit. Namun pada kenyataannya, obat saja tidak dapat memperbaiki perasaan anak, Dalam penelitian sebelumnya Muhaimin (2013) mengungkapkan bahwa dampak HIV dalam rumah tangga terhadap kualitas hidup anak
ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
remaja menunjukkan bahwa peluang resiko anak remaja berkualitas hidup kurang baik lebih besar hampir dua kali (1,85) pada rumah tangga dengan HIV/AIDS dibanding dengan anak dari rumah tangga tanpa HIV/AIDS. Hasil studi ini dapat disimpulkan bahwa keberadaan penderita HIV/AIDS dalam keluarga mempunyai dampak buruk yaitu menurunkan kualitas hidup anak remaja. Peluang risiko kualitas hidup menjadi kurang baik lebih besar 1,6 kali dibandingkan pada remaja dari keluarga tanpa HIV/AIDS. Peranan pengasuh sangat penting karena peluang risiko kualitas hidup kurang baik pada remaja ini meningkat menjadi 1,7 kali pada remaja yang mendapat pengasuhan kurang dan peluang risiko tersebut meningkat lagi menjadi 2,4 kali pada pengasuh dengan pendidikan SMP kebawah dan peluang risiko terbesar hampir tiga kali (2,8 kali) pada pengasuh laki-laki. hasil menyatakan bahwa adanya salah satu anggota keluarga yang terinfeksi HIV dalam rumah tangga berpengaruh negatif pada kualitas hidup anak pra-remaja Diperlukan peran orang tua dalam membangun rasa percaya diri ADHA melalui hubungan internal yang baik dan pendekatan interaksi yang persuasif. Tetapi situasi akan bertambah rumit ketika orang tua ADHA juga memiliki status sebagai ODHA. Fenomena ini yang mendasari peneliti mengangkatnya dalam kajian ilmiah. Terdapat keunikan dari kasus tersebut karena situasi yang sama terjadi di dalam satu keluarga. Untuk membangun rasa percaya diri ADHA, orang tua pengidap HIV atau ODHA perlu memberikan pengenalan dan pemahaman tentang HIV kepada anaknya yang berstatus ADHA. Hal ini penting agar ADHA tidak terkejut atau shock atas status yang dimilikinya. Pendekatan interaksi antara ODHA dan ADHA sangat membantu dalam menanamkan rasa percaya diri. Kondisi tersebut dapat dilakukan sejak dini dan memperhatikan tahapan-tahapan tumbuh kembang anak. Wiener (2011) ditemukan sebuah fakta yang bahwa sebagian besar
82
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. II No. 2 September 2015
perawat yang mengungkapkan diagnosis untuk anak, biasanya tanpa efek buruk, dan usia adalah prediktor yang paling signifikan untuk mengukur kesiapan ADHA menerima pengungkapan status HIV nya. Penelitian ini menyimpulkan kebanyakan dari orang tua ADHA setelah mengetahui diagnosis harus dijaga ketat kerahasiaannya, salah satu alasannya adalah ketakutan mereka bahwa stigma HIV akan memiliki dampak negatif pada anak-anak dan keluarga mereka. Penelitian ini dikaji dengan menggunakan metode kuantitatif dengan mengobservasi dan mewawancarai 99 orang tua dan anak-anak. Setelah pengungkapan status HIV kepada anak, orangtua harus tetap melakukan komunikasi mengenai HIV secara terusmenerus sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak. Hal ini akan membantu anak memperoleh informasi tentang HIV secara benar, juga membantu ADHA mengurangi kekhawatiran tentang penyakit yang dimilikinya. Membangun hubungan internal dengan ADHA melalui dialektika komunikasi yang baik dalam keluarga akan membuat ADHA merasa nyaman menceritakan masalah kesehariannya yang akan membantu orang tua dalam menanamkan rasa percaya diri yang baik pada ADHA. Karena orang tua pasti selalu ingin kehidupan anak lebih baik dari dirinya tak terkecuali dengan keluarga ODHA yang ingin melihat sang anak memiliki masa depan yang cerah, dengan harapan penyakit HIV anak bisa sembuh walau hal tersebut kecil kemungkinan. Terjadi ketakutan yang berlebihan dari masyarakat seperti memberikan reaksi negatif pada ODHA dan ADHA, kekhawatiran tersebut berupa stigma dan diskriminasi yang buruk. Bahkan tidak sedikit ODHA yang kehilangan pekerjaan dan dijauhi oleh lingkungannya. Kasus yang terjadi di Indonesia ialah di Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Anak yang mengidap HIV dipaksa keluar dari sekolahnya karena paksaan para wali murid. Para wali murid mengancam kepada pihak sekolah jika anak yang mengidap HIV tidak dikeluarkan dari ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
sekolah, maka anak-anak mereka yang akan keluar dari sekolah tersebut. Dari kasus ini kita bisa melihat stigma dan diskriminasi yang masih melekat di kalangan masyarakat luas. Ketakutan berlebih seperti ini muncul karna kurangnya pengetahuan masyarakat tentang virus HIV yang hanya bisa menularkan virusnya melalui jarum suntik yang digunakan secara bergantian dan hubungan badan dengan orang yang positif HIV. Berdasarkan dari kasus tersebut, masih banyak stigma yang muncul dalam masyarakat terhadap ODHA maupun ADHA. Takut sang anak dijauhi oleh teman-teman dan lingkungannya adalah salah satu alasan mengapa para orang tua takut untuk memberitahukan status anaknya yang memiliki status HIV. ADHA memiliki hak untuk mengetahui status HIV yang dimilikinya, akan sangat baik jika sang anak mengetahui statusnya sejak dini, hal tersebut memberikan kesempatan pada anak untuk memainkan peran aktif dalam perawatan dirinya sendiri. Misalnya meningkatkan kepatuhan anak terhadap pengobatan dengan rajin meminum obat ARV secara teratur. Menghindari kekhawatiran dan kecemasan yang terpendam melalui diskusi dengan orang tuanya. Hal yang paling penting adalah dengan memberitahukan ADHA tentang status HIV nya, orang tua sudah menghormati hak sang anak atas statusnya dengan harapan dapat menguatkan rasa percaya diri ADHA. Anak tidak dpt dikriminasi,percaya diri Dalam Penelitian Hasanah (2014) ini melihat gambaran pemaknaan subjektif konsep diri ODHA dan yang menerima label negatif dan diskriminasi dari lingkungan. Dengan menggunakan pendekatan kualitatiffenomenologis. Melakukan observasi dan wawancara mendalam dua orang ODHA menghasilkan kesimpulan bahwa konsep diri ODHA dan pelabelan negatif sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, ODHA juga mengalami berbagai bentuk diskriminasi sehingga membuat ODHA memiliki pikiran negatif terhadap diri sendiri
83
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. II No. 2 September 2015
mulai dari putus asa, depresi sampai keinginan untuk bunuh diri. Dari hasil penelitian tersebut bahwa konsep diri ODHA terbentuk melalui hasil interaksi sosial dengan lingkungan sekitarnya seperti istri, keluarga, teman dan orang lain. label negatif dan diskriminasi masih diterima ODHA dari lingkungan sekitarnya. Hasil dari penelitian tersebut akan dikembangkan dalam penelitian ini, dan akan difokuskan terhadap bagaimana membangun sebuah psikologi komunikasi antara Ibu dan anak yang samasama mengidap HIV. Dalam kasus penularan virus HIV dari orangtua kepada anak menjadi hal yang cukup serius mengingat resiko penularan vertikal dari orangtua kepada anak cukup besar, terutama dari ibu ke anak. Penularan biasanya terjadi ketika anak berada dalam kandungan, melalui pemberian ASI oleh ibu yang positif HIV ataupun dalam proses persalinan anak ketika kontak antara kulit dengan darah, hal tersebut bisa di kurangi resikonya dengan mempersingkat waktu persalinan melalui operasi caesar (sesar). Berdasarkan hasil pra-penelitian dengan salah satu konselor yang membidangi HIV/AIDS yaitu Rumah Cemara terdapat sekitar 300 ADHA di kota Bandung. Beberapa permasalahan diatas mendorong peneliti ingin mengetahui bagaimana proses dialektika komunikasi ODHA untuk membangun hubungan internal yang baik dengan ADHA. Dalam sudut pandang Public Relations, pentingnya membangun hub internal antara odha dan adha, hub internal dpat membantu tumbuh kembng termasuk rasa percaya diri anak. Hubungan internal merupakan istilah dari bidang ilmu PR sedangkan dalam kajian komunikasi antar pribadi dgunakan istilah relasi antar pribadi. Pentingnya memahami hubngan internal untuk membangun rasa percaya diri anak merupakan alasan artikel penelitian ini. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap dialektika komunikasi odha dan adha dalam membangn hubungan internal.
ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
KAJIAN LITERATUR Komunikasi Antarpribadi Komunikasi antarpribadi menurut Hidayat (2012) adalah komunikasi yang berlangsung secara tatap muka yang dilakukan oleh dua orang yang memungkinkan untuk mendapatkan efek dan feedback secara langsung. Komunikasi interpersonal bersifat psikologis, proses psikologis selalu mengakibatkan keterpengaruhan yang artinya komunikasi interpersonal mempunyai sifat yang persuasif kepada lawan bicaranya, hal ini dapat digunakan pada dialektika komunikasi ODHA dalam membangun hubungan internal yang baik dengan ADHA untuk menanamkan rasa percaya dirinya. Dalam komunikasi antarpribadi komunikan tidak hanya dapat menangkap pesan verbal dari komunikator melainkan juga bisa menangkap pesan non verbal karna proses komunikasi dilakukan secara langsung atau bertatap muka. Hubungan Internal Internal relations atau hubungan internal menurut Elvinaro (2013) adalah suatu kegiatan komunikasi untuk membina hubungan internal dalam suatu perusahaan, kelompok maupun dengan keluarga. Di dalam ranah keluarga hubungan internal perlu untuk dijaga agar komunikasi yang baik bisa terjalin antara orang-orang yang ada dalam suatu keluarga. Kegiatan tersebut bisa dilakukan dengan beberapa tujuan seperti melakukan pendekatan lebih dekat kepada anak agar orang tua mengetahui apa masalah yang sedang dihadapi oleh anak. Hubungan internal pun bisa menjadikan upaya tetap memelihara budaya komunikasi yang baik dalam keluarga yang sudah terbentuk sebelumnya, melalui budaya itu pula akan membentuk rasa memiliki dan rasa bertanggung jawab anggota keluarga dalam suatu keluarga. Tak terkecuali didalam keluarga ODHA yang perlu melakukan komunikasi untuk saling berbagi informasi tentang HIV, agar infromasi tentang HIV yang diterima adalah informasi yang benar untuk menghindari kesimpang siuran
84
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. II No. 2 September 2015
informasi yang akan membuat perawatan diri orang dengan HIV menjadi tidak maksimal. Peran Orang Tua Peran dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah perangkat tingkah yang diharapkan memiliki oleh orang yang berkedudukan di masyarakat. Menurut seorang antropolog Robert linton, teori peran menggambarkan interaksi sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai apa-apa saja yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan seharihari. Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Orang tua dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah orang yang telah melahirkan kita yaitu, ibu dan ayah. Orang yang telah mengasuh dan membimbing anaknya kearah yang baik. Contohnya adalah dengan memberikan contoh yang baik dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa peran orang tua adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang dituakan karena pengalamannya dalam kehidupannya atau orang yang mengajarkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk kehidupan anak-anaknya dimasa yang akan datang. Virus HIV Human Immunodeficiency Virus atau HIV tercatat oleh Yayasan Stritia merupakan jenis virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh manusia. Pada ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol). Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1. Stigma dan Diskriminasi Stigma atau cap buruk adalah tindakan memvonis seseorang buruk moral atau perilakunya sehingga mendapatkan penyakit tersebut. Orang-orang yang di stigma biasanya dianggap memalukan untuk alasan tertentu dan sebagai akibatnya mereka dipermalukan, dihindari, dikucilkan bahkan ditolak dan ditahan. Menurut Muhaimin (2013) faktor yang berhubungan dengan kurang diterimanya ODHA antara lain karena HIV/AIDS dihubungkan dengan perilaku menyimpang seperti seks sesama jenis, penggunaan obat terlarang, seks bebas serta HIV diakibatkan oleh kesalahan moral sehingga patut mendapatkan hukuman. Diskriminasi di definisikan UNAIDS sebagai tindakan yang disebabkan perbedaan, menghakimi orang berdasarkan status HIV mereka baik yang pasti atau yang diperkirakan. Diskriminasi dapat terjadi dalam bidang kesehatan, kerahasiaan, kebebasan, keamanan pribadi, perlakuan kejam, penghinaan atau perlakuan kasar, pekerjaan, pendidikan, keluarga, dan hak kepemilikan maupun hak untuk berkumpul.
85
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. II No. 2 September 2015
Teori Manajemen Privasi Komunikasi Teori manajemen privasi komunikasi atau communication privacy management theory (CPM) dalam buku Ardianto 2010 berakar pada asumsi-asumsi mengenai bagaimana seorang individu berpikir dan berkomunikasi sekaligus asumsi-asumsi mengenai sifat dasar manusia: (a) manusia adalah pembuat keputusan, (b) manusia adalah pembuat peraturan dan pengikut peraturan, (c) pilihan dan pembuat peraturan manusia didasarkan pada pertimbangan akan orang lain dan konsep diri. Teori ini merupakan teori dialektika, yang mendukung asumsi yang mirip dengan asumsi-asumsi yang mendasari teori dialektika relasional: (a) hidup berhubungan dicirikan oleeh perubahan, (b) kontradiksi adalah fakta mendasar pada hidup berhubungan. Teori manajemen privasi komunikasi mengajukan lima asumsi dasar. Pertama, informasi privat. Asumsi ini merujuk pada cara tradisional untuk berpikir mengenai pembukaan: ini merupakan pengungkapan informasi privat. Petronio melihat bahwa dengan memfokuskan pada isi pembukaan, memungkinkan kita untuk menguraikan konsep-konsep mengenai privasi dan keintiman serta mempelajari bagaimana mereka saling berhubungan. Intimacy (keintiman) adalah perasaan atau keadaan mengetahui ADHA secara mendalam, dalam cara-cara fisik, psikologi, emosional, dan perilaku karena orang ini penting dalam kehidupan ADHA itu sendiri. Informasi privat inilah yang digunakan ADHA dalam berkomunikasi dengan ibu maupun sebaliknya, untuk menceritakan apa yang ia rasakan dan menceritakan kesehariannya. Kedua, batasan privat, batasan privat bergantung pada metafora batasan untuk menjelaskan bahwa terdapat garis antara bersikap publik dan bersikap privat. Pada satu sisi, orang menyimpan informasi privat untuk diri mereka sendiri; dan pada lain sisi, orang membuka beberapa informan privat kepada orang lain di dalam relasi sosial.
ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan metode penelitian kualitatif. Alasan menggunakan metode penelitian kualitatif karena objek penelitian yang merupakan realitas sosial dipandang sebagai suatu gejala atau fenomena yang bersifat dinamis, holistik, kompleks dan penuh makna. Objek dalam penelitian kualitatif adalah objek alamiah, atau natural setting, sehingga metode penelitian ini sering disebut metode penelitian naturalistik, dimana peneliti menggambarkan objek penelitian secara apa adanya berdasarkan atas apa yang didapat melalui pengamatan fenomena, studi literatur, dan wawancara yang menempatkan peneliti sebagai instrumen penelitian. Studi yang digunakan dalam penelitian adalah studi kasus. Karena Studi kasus merupakan tipe pendekatan dalam penelitian yang menelaah satu kasus secara intensif, mendalam, mendetail dan, komprehensif. Studi kasus bisa dilakukan terhadap individu atau terhadap kelompok. Pada penelitian yang menggunakan metode ini, berbagai variable ditelaah dan ditelusuri, kemungkinan hubungan antar variabel yang ada. Sebuah studi kasus (case study) memberikan deskripsi tentang individu. Individu ini biasanya adalah orang, tapi biasa juga sebuah tempat seperti perusahaan, sekolah, dan lingkungan sekitar. Sebuah studi observasi naturalistik kadang juga disebut dengan studi kasus. Subjek penelitian adalah pihak-pihak yang disebut dengan informan dalam hal ini ialah meliputi ODHA dan ADHA dalam satu keluarga ODHA, dimana anak mengidap HIV yang diturunkan secara vertikal dari ibu nya. Peneliti akan mewawancarai ibu dan anak yang mengidap HIV, serta konselor sebaya yang membidangi masalah HIV pada anak dan pengasuhnya. Sementara objek penelitian dalam penelitian ini adalah dialektika komunikasi ODHA dalam membangun hubungan internal dengan ODHA, dengan tujuan untuk memberikan motivasi dan penanaman rasa percaya diri pada ADHA
86
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. II No. 2 September 2015
oleh orangtua yang juga memiliki status sebagai ODHA. Teknik pengumpulan data yang diambil oleh peneliti dalam penelitian ini, menggunakan dua teknik pengumpulan data, yaitu; 1) wawancara mendalam (intensive/depth interview) bersama narasumber yang yaitu seorang ibu yang mengidap HIV beserta anaknya yang juga mengidap HIV dikarenakan turunan dari ibunya. 2) Observasi Partisipan yang peneliti lakukan berupa hadir ditengah-tengah suasana keluarga ODHA dan ADHA ini kemudian penelitia mengamati keadaan dan suasana secara langsung. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah teknik analisis data di lapangan. Yaitu analisis data kualitatif, analisis data kualitatif dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Menurut Miles & Huberman (1984), aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. Tahap aktivitas dalam analisis data kualitatif yaitu; data reduction atau reduksi data yaitu merangkum, memilih halhal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan pola dan membuang yang tak perlu. Kemudian tahap selanjutnya adalah data display atau penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart.Miles & Huberman (1984) menyatakan bahwa yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan buktibukti kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya, tahap ini dinamakan conclusion drawing / verification. Lokasi penelitian dilakukan di dua tempat yaitu di lembaga yang membidangi
ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
HIV/AIDS yaitu Rumah Cemara, beralamat di Jl. Geger kalong girang no 52 bandung. Peneliti memilih lokasi tersebut karna keluarga ODHA mengikuti sebuah program untuk ADHA dan orang tua pengasuhnya yaitu Jagoan Bintang serta konselor sebaya yang juga bekerja di Rumah Cemara. PEMBAHASAN Analisa Tahapan Interaksi yang Dilakukan ODHA dalam mengenalkan HIV pada ADHA Pada bagian ini, peneliti akan lebih mengkaji tentang apa yang peneliti dapatkan selama terjun kelapangan, yang peneliti mulai sejak bulan mei 2016, dengan mengangkat masalah mengenai bagaimana dialektika komunikasi ODHA dalam membangun hubungan internal yang baik dengan ADHA. Pada bagian ini mengkhususkan pada tahapan interaksi yang dilakukan ODHA dalam mengenalkan HIV kepada ADHA. Diawali dengan melakukan observasi, lalu dilanjutkan wawancara dengan informan yang menurut peneliti merupakan sumber data untuk mengumpulkan data penelitian. Selanjutnya peneliti melakukan pengumpulan data dengan merekam melalui alat perekam untuk menampung semua hasil wawancara yang pernah dilakukan. Dari hasil wawancara diketahui bahwa umumnya ODHA takut untuk memulai tahapan interaksi kepada ADHA. Karna banyak ketakutan-ketakutan yang muncul untuk mengungkapkan status dirinya dan juga memberitahukan status anaknya. Beberapa alasan yang muncul seperti tidak tahu harus memulai pembicaraan darimana dan dengan cara apa memulainya, kapan waktu yang tepat untuk mulai memberitahukan statusnya adalah masalah yang umunnya muncul dilapangan. Hal ini juga dialami oleh N1 dalam memulai pembicaraan dengan N2. Setelah dua tahun anaknya mengikuti terapi meminum obat ARV, N1 baru memulai pembicaraan tentang HIV dengan N2, hal tersebut berani N1 ungkapkan karena anaknya yang mulai penasaran dengan
87
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. II No. 2 September 2015
mencari-cari tahu penyebab kenapa dirinya bisa mengidap HIV melalui media internet. N1 memulai pembicaraan tentang HIV dengan N2 ketika ia bertanya langsung kenapa ia bisa mengidap HIV? Lalu N1 menjawabnya dengan jujur, bahwa N2 tertular HIV dari dirinya, N1 mengungkapkan hal tersebut walau dengan berat hati, dan sampai saat ini anaknya bisa menerima hal tersebut. Sebelum mengetahui tentang statusnya, N2 hanya diberitahu untuk meminum obat ARV sebagai vitamin yang harus N2 minum setiap hari. Hal ini sama persis seperti apa yang dijelaskan Ardianto dalam teori manajemen privasi komunikasi tentang asumsi informasi privat, dimana asumsi ini merujuk pada cara tradisional untuk berpikir mengenai pembukaan, ini merupakan pengungkapan informasi privat. Dimana orang tua ODHA memulai dialektika komuniikasi diawali dengan pembukaan informasi privat tentang dirinya dan anaknya untuk memulai komunikasi yang baik ditahap selanjutnya dengan memfokuskan pada isi pembukaan, memungkinkan untuk menguraikan konsepkonsep mengenai privasi dan keintiman serta mempelajari bagaimana saling berhubungan dan membangun keintiman dengan anak secara mendalam, dalam cara-cara fisik, psikologi, emosional dan perilaku. Karena memperhatikan tumbuh kembang ADHA dirasa sangat penting untuk kehidupannya kelak nanti. Dimulai dari situlah awal pembicaraan N1 tentang HIV kepada N2, seiring berjalannya waktu N2 merasa semakin hari semakin baik karena N1 terus menjaga kedekatan dengan N2, dilanjutkan dengan memperhatikan tumbuh kembang N2, mengingatkannya untuk selalu meminum obat, dan selalu memberikan N2 semangat dalam keadaan apapun. Berdasarkan hal tersebut untuk memulai pembicaraan awal tentang HIV, ODHA harus mencari momentum yang sangat tepat untuk memulai pembicaraan dengan ADHA agar tahapan komunikasi yang dilakukan bisa berjalan dengan baik. setelah melakukan pembicaraan awal, ODHA ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
harus sesering mungkin menjalin komunikasi yang intens dengan ADHA, mengikuti tumbuh kembang ADHA, mulai dari menanyakan kesehariannya disekolah, mengingatkannya untuk meminum obat ARV, mendukung potensi dan apa yang ia sukai, salah satunya adalah mengenai hobinya. Seperti yang dilakukan N1 ketika melihat di media internet ada seseorang yang juga mengidap HIV tetapi orang tersebut tetap bisa berprestasi dalam bidang olahraga futsal, ia menjadikan pemain bola tersebut acuan bagi N2 untuk tetap semangat dalam menjalani hidup, karena kebetulan N2 pun mempunyai kegemaran yang sama dengan orang yang dicontohkan oleh N1. N1 menanamkan motivasi kepada N2 bahwa HIV bukan halangan yang besar untuk kita tetap berprestasi, kita masih bisa hidup sama seperti orang lain, yang membedakan hanya kita harus selalu meminum obat. N2 yang gemar bermain sepak bola, N1 memasukannya kedalam sekolah sepakbola (SSB) dekat rumahnya. Sampai saat ini N2 bisa menerima dengan baik keadaannya, ia tidak pernah memperlihatkan kebenciannya terhadap ibunya, walaupun status yang dimilikinya tersebut adalah diturunkan dari ibunya. Hal ini senada dengan apa yang jelaskan oleh Hidayat (2012) dalam komunikasi antarpribadi tentang self-acceptance atau menerima keadaan diri dimana selfacceptance akan menjadi obat bagi orang yang kurang percaya diri karena tahu bahwa setiap manusia punya strength dan weakness, itu juga berlaku untuk diri ADHA dimana ia menerima keadaan dirinya yang memiliki status HIV akan tetapi ia merasa kuat karena dirinya merasa sehat sama seperti orang lain. Self-acceptance akan membuatnya bersahabat baik dengan dirinya sendiri sehingga tidak perlu ekstra tenaga untuk “berperang” dengan diri sendiri karena merasa tidak pernah puas atas dirinya dan hidupnya. Masa awal ketika ODHA mengetahui bahwa dirinya mengidap HIV, merupakan masa yang sangat berat dan membuat ODHA
88
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. II No. 2 September 2015
menjadi depresi, muncul ketakutan-ketakutan yang tidak ia bayangkan sebelumnya seperti sakit sampai dengan kematian. seperti yang dirasakan oleh N1 ketika ia mengetahui bahwa dirinya mengidap HIV, ia merasa sangat depresi dengan keadaannya, apalagi ditambah ketika melihat keadaan anaknya yaitu N1 yang juga mengidap HIV yang berasal dari dirinya, Akan tetapi lambat laun ODHA bisa menerima keadaannya, karna ia merasa apa yang sudah menimpanya tidak bisa dirubah lagi. Walaupun ketika awal mengetahui diagnosis HIV merupakan masa yang sangat berat, sebaiknya jangan pernah memperlihatkan hal tersebut kepada anak, orang tua tetap harus terlihat kuat dan tegar agar rasa depresi tersebut tidak dirasakan juga oleh anak, yang nantinya akan menimbulkan efek buruk kepada anak seperti minder maupun tidak percaya diri. Hal tersebut dijelaskan oleh Petronio dalam dialektika manajemen dimana asumsi ini memfokuskan pada keteganganketegangan antara keinginan mengungkapkan informasi privat dan keinginan untuk menutupinya. N1 memilih untuk menutupi rasa depresi nya untuk menjaga agar anaknya tidak ikut merasakan depresi seperti apa yang ia rasakan. N1 selalu memberi motivasi dan support yang baik kepada anaknya, dan hingga saat ini anaknya memperlihatkan kondisi yang baik. ODHA akan merasa lebih baik ketika ia mendapatkan dukungan dari kelompok yang memiliki status yang sama dengan dirinya atau biasa disebut dengan kelompok dukungan sebaya. Serta melakukan konsultasi dengan dokter dan psikolog tentang keadaannya. Yang paling penting adalah keteraturan meminum obat ARV. Seperti yang dilakukan N1 dan N2. N2 sendiri tidak pernah mengeluh untuk meminum obat karena ia sadar akan keadaannya yang harus meminum obat setiap hari. Kesadaran ini timbul tidak lepas dari N1 sebagai ibunya yang terus memberikan pemahaman bahwa orang yang mengidap HIV/AIDS tetap bisa hidup layak sama dengan orang lain asalakan kita selalu meminum obat ARV. ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
Berdasarkan hasil wawancara dilapangan untuk memulai tahapan interaksi yang baik dengan ADHA, ODHA harus terlebih dahulu membuat mental dirinya kuat dan siap untuk menjalani hidup, dengan merasa bahwa dirinya baik ia akan mampu menularkan energi positif kepada, motivasi dan rasa percaya diri kepada anaknya. Setelah mental ODHA merasa baik selanjutnya ODHA melakukan komunikasi sesering mungkin untuk menularkan energi positif tersebut kepada ADHA. Selalu sempatkan waktu berdua dengan ADHA untuk membahas tentang HIV, karena komunikasi yang dilakukan hanya berdua akan efektif untuk membuat ADHA mau bercerita lebih dalam tentang dirinya. Tidak hanya itu ODHA harus memperhatikan waktu yang tepat untuk memulai melakukan pembicaraan ini dengan ADHA. Seperti yang dilakukan oleh N1 dengan anaknya ia melakukan komunikasi dengan anaknya dengan sesering mungkin dan menunggu waktu yang tepat untuk memulainya. Seperti yang dijelaskan dalam komunikasi antarpribadi tentang melakukan pembicaraan berdua saja akan menghasilkan komunikasi yang efektif karena keduanya mempunyai porsi yang sebagai pembicara dan pendengar. Serta komunikasi psikologi komunikasi dimana keterlibatan perasaan dan emosional dalam proses komunikasi akan membuat komunikasi tersebut dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh ODHA dan ADHA. Berdasarkan wawancara diatas N1 melakukan Komunikasi dengan anaknya dilakukan sesering mungkin, jika ada waktu yang tepat ia selalau berbicara pada anaknya tentang status HIV nya ini, terutama ketika ia sedang berdua dengan anaknya ia selalu mencoba untuk memberikan support untuk anaknya agar ia selalu merasa percaya diri dan yakin dengan hidup yang dijalaninya. beberapa orang dari keluarga juga ikut dilibatkan selama itu perlu, mengingat ODHA tidak selalu berada 24 jam bersama dengan ADHA. N1 sendiri biasanya melibatkan beberapa orang keluarganya dalam komunikasi ini seperti ibu, adik serta kakaknya.
89
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. II No. 2 September 2015
Pendekatan Interaksi antara ODHA dengan ADHA ODHA melakukan pendekatan interaksi kepada ADHA biasanya diawali dengan memberikan pemahaman tentang HIV yang benar, bagaimana menjaga dirinya agar tetap sehat, membangun kesadarannya untuk teratur meminum obat Antiretroviral (ARV) dan seterusnya, salah satu caranya melakukan komparatif atau perbandingan dengan orangorang yang tidak memiliki HIV dan ODHA, keduanya sama-sama bisa menjalankan keseharian yang sama secara normal mulai dari sekolah, bekerja, bahkan bermain. Tidak ada perbedaan yang sangat mencolok diantara keduanya, yang membedakan hanyalah ODHA harus meminum obat ARV setiap hari secara teratur. Sama hal nya seperti yang diterapkan oleh N1 kepada N2 ia memberikan contoh melalui berita yang ada di media online kepada anaknya, seorang pemain bola diluar negri yang juga mengidap HIV akan tetapi pemain tersebut bisa menjadi bintang, ia bisa meraih kesuksesan dan mendapatkan apa yang diinginkannya dengan bekerja keras, sama seperti orang lain yang tidak mengidap HIV. Hal ini yang juga diterapkan oleh N1 kepada anaknya. Berdasarkan hasil wawancara dengan N1 ia selalu mencoba memberikan motivasi pada anaknya dikala waktu nya pas dan memungkin. N1 pun tidak pernah menerapkan hal yang berbeda kepada anaknya, ia mendidik anaknya sama dengan orang lain, ia tidak pernah memanjakan anaknya hanya karena ia mengidap HIV. Karna N1 selalu menanamkan dia dan anaknya sama dengan keadaan orang lain yang juga bisa seperti biasa dan normal mulai dari bersekolah bermain bahkan mencapai prestasi yang membedakan hanya kita harus minum obat secara teratur. Motivasi yang dilakukan N1 kepada N2 sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Hidayat (2012) dalam komunikasi antarpribadi yang diartikan
ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
proses yang membangkitkan, mengarahkan, mempertahankan perilaku manusia untuk mencapai beberapa tujuan salah satunya adalah dorongan (driving force) yang dimaksudkan disini sebagai desakan yang alami untuk memuaskan kebutuhankebutuhan hidup dan merupakan kecenderungan untuk mempertahankan hidup. Pendekatan yang dilakukan oleh ODHA untuk membangun hubungan internal yang baik dengan ADHA melalui cara memberi pemahaman terlebih dahulu bagaimana orang berstatus HIV menjalani kehidupan yang baik. ODHA sebaiknya memberikan pembekalan tentang HIV sesering mungkin, dikala ada waktu yang tepat untuk melakukan pembicaraan, selalu mencoba memulai pembicaraan dengan ADHA, ketika sedang bercanda berdua ODHA menyelipkan tentang keseharian si ADHA seperti yang dilakukan oleh N1 kepada N2 ketika sedang bercanda berdua ia seringkali menyelipkan keseharian anaknya yang sering kali ada temen perempuannya main kerumah, ia sering kali memberi candaan kepada anaknya tersebut. N1 menerapkan komunikasi yang ia lakukan dengan anaknya bukan seperti dia keanaknya, ia seringkali melakukan komunikasi layaknya dengan temannya, curhat, menceritakan kesehariannya di kantor dan lain lain, ia tidak pernah menutupi apapun dari anaknya, ia selalu bersikap terbuka dan menceritakan semuanya dalam hal apapun. Cara yang dilakukan oleh N1 kepada N2 untuk melakukan pendekatan sesuai dengan yang disebutkan dalam psikologi komunikasi menurut Jalaluddin Rakhmat, yaitu dengan cara pendekatan yang melibatkan perasaan dan kedekatan emosional untuk mendapatkan sebuah komunikasi yang baik. Komunikasi itulah yang membuat hubungan mereka sangat dekat dan membuat nyaman N2 menceritakan setiap masalah yang dihadapinya maupun bercerita tentang
90
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. II No. 2 September 2015
kesehariannya. Hal ini tidak dapatkan dengan mudah, orang tua harus ekstra dalam memperhatikan tumbuh kembang anak, memberikan apa yang dia perlukan mulai dari motivasi, rasa percaya diri hingga kasih sayang yang cukup. N1 tidak pernah menutupi statusnya kepada orang-orang disekitarnya, ia seringkali bercerita kepada orang lain tentang statusnya, ia tidak pernah menutupinya. Namun hal ini berbeda dengan N2 ia merasa belum siap untuk teman-temannya mengetahui status yang ia miliki. Ia pun menganggap tidak penting teman-temannya untuk tahu statusnya, walaupun orang tua nya tidak melarang ia untuk bercerita, ia lebih memilih menutup informasi tentang statusnya. Berikut jawaban N1 dan N2 ketika ditanya siapa saja yang mengetahui status dari N2. Faktor-faktor yang terjadi pada kasus diatas bisa dijelaskan oleh Ardianto (2010) dalam communication privacy management theory atau teori manajemen privasi komunikasi yaitu tentang batasan privat dimana terdapat garis antara bersikap publik dan bersikap privat. Pada satu sisi ADHA menyimpan informasi privat untuk dirinya sendiri, dan pada sisi lain ODHA membuka beberapa informasi privat kepada orang lain di dalam relasi sosial. Selanjutnya tentang kontrol dan kepemilikan, ODHA dan ADHA merasa memiliki informasi privat mengenai diri mereka sendiri. Sebagai pemilik informasi, mereka harus dalam posisi untuk mengontrol siapa saja yang boleh mengakses informasi tentang statusnya. Lalu ada dialektika manajemen dimana ada keteganganketegangan tentang keinginan untuk mengungkapkan dan keinginan untuk menutupi statusnya. ADHA memilih untuk menutupi statusnya karena ia merasa lebih nyaman teman-temannya tidak mengetahui status yang dimilikinya. Pendekatan Interaksi yang Tepat dilakukan antara ODHA dengan ADHA
ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti temukan di lapangan, pendekatan interaksi yang dilakukan ODHA dalam berkomunikasi dengan ADHA adalah instrumen yang penting dalam membangun rasa percaya diri ADHA. Sejauh ini komunikasi yang dilakukan oleh N1 kepada N2 dirasa sudah cukup baik oleh keduanya. Akan tetapi masih ada ketakutan yang dirasakan oleh N1 terhadap N2, ia mengkhawatirkan jika ketika ia semakin dewasa makin banyak masalah yang akan dihadapi oleh anaknya, ia takut kondisi anaknya tidak akan sebaik seperti saat ini. Hal inilah yang mendasari ia untuk terus menjaga komunikasi dan kedekatan yang baik dengan anaknya, selalu mencoba memahami dan membangkitkan semangat ketika merasa anaknya memiliki masalah. Senada dengan itu N2 pun merasa dirinya sudah memiliki rasa percaya diri yang baik setelah sering kali melakukan komunikasi dengan N1. Hal tersebut dikarenakan proses komunikasi antarpribadi yang terjadi diantara keduanya dilakukan secara berkelanjutan. Komunikasi yang terjadi secara dialogis dimana arus balik antara N1 sebagai komunikator dengan N2 sebagai komunikan terjadi secara langsung sehingga keduanya saling mengerti tanggapan yang terjadi dalam proses komunikasi. Serta proses komunikasi interpersonal yang bersifat persuasif kepada lawan bicara akan membuat komunikasi tersebut berjalan dengan efektif. Sejauh ini N1 tidak merasakan masalah yang begitu berarti, ia tidak pernah merasa ada yang kurang dari anaknya, mulai dari pendidikan, ia merasa anaknya sanggup dalam menerima pelajaran disekolah, bahkan mampu berprestasi. Dari bidang olahraga pun ia menganggap anaknya sehat, anaknya mampu dalam berkegiatan sekolah sepak bola sehari-hari dan tidak pernah mengeluh tentang kesehatannya. Dan hal itulah yang selalu ia terapkan kepada anaknya, ia tidak pernah menganggap anaknya beda dari orang lain, bahkan ia tidak pernah memanjakan anaknya hanya karena anaknya mengidap HIV. Ia tidak pernah membeda-bedakan
91
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. II No. 2 September 2015
anaknya dari segi hal apapun, yang membedakan anaknya dari anak lain hanyalah ia harus meminum obat setiap hari, hal itulah seringkali ia tekankan kepada anaknya. Proses psikologi komunikasi yang berjalan dengan baik adalah faktor untuk menentukan komunikasinya, dimana N1 terlebih dahulu untuk memahami keadaan anaknya serta melibatkan perasaan dan emosional untuk melakukan komunikasi dengan anaknya. Sejauh ini N1 lebih banyak berperan untuk mengurus anaknya, suami nya kurang ikut berperan dalam mengurus N2, hal ini tidak terlepas karna ayah dari N2 memiliki status negatif dari HIV yang membuat tidak adanya keterlibatan emosional untuk mau memberikan perhatian yang lebih kepada anaknya, selama ini N1 bekerja lebih ekstra untuk memenuhi semua kebutuhan anaknya, mulai dari perhatian, kasih sayang hingga edukasi tentang HIV. Hal ini menjadi kendala yang membuat komunikasi diantara keluarga ODHA menjadi kurang efektif, seharusnya walaupun tidak memiliki status yang sama dengan istri dan anaknya, suami N1 ikut terlibat didalam mengasuh anaknya. Hal ini juga dibenarkan oleh K1 sebagai konselor. Memilih untuk untuk open status adalah pilihan yang dipilih oleh N1, ia merasa tidak masalah jika orang lain mengetahui statusnya, karena ia menganggap stigma itu lahir dari ketakutan-ketakutan diri kita sendiri. Hal ini berbeda dengan apa yang dirasakan oleh anaknya yaitu N2, ia lebih memilih untuk close status, teman-temannya tidak ada yang mengetahui jika ia mengidap HIV, ia merasa lebih nyaman untuk tidak memberitahukan statusnya kepada orang lain karena menurut nya orang lain tidak penting untuk mengetahui hal tersebut. K1 pun sebagai konselor membenarkan hal tersebut, untuk ADHA sebaiknya orang lain tidak perlu tahu tentang statusnya, yang penting ADHA dan keluarga dekatnya yang tahu tentang statusnya, untuk membuat dirinya berperan
ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
aktif dan bertanggung jawab dalam perawatan dirinya. Konselor khawatir temantemannya yang tidak mengerti informasi tentang HIV memberikan respon yang buruk kepada ADHA. ADHA memang sebaiknya bebas memilih kepada siapa ia memberikan informasi tentang statusnya hal tersebut menentukan kenyamanan ia berbicara. Jika sudah nyaman hal ini akan berdampak baik pada rasa percaya diri ADHA. Maka dari itu proses manajemen privasi komunikasi sangatlah penting untuk mengelola informasi privat yang dimiliki oleh ODHA dan ADHA sebagai pemilik dan mempunyai kuasa penuh atas kontrolnya kepada siapa saja yang boleh mengakses informasi privat nya. Pengungkapan status antara ODHA dan ADHA adalah hal penting untuk memulai tahapan pendekatan, karena sebelum ODHA melakukan tahap pengenalan tentang HIV kepada ADHA ia harus terlebih dahulu mengetahui statusnya, menjaga kedekatan ODHA dengan ADHA, pola asuh yang baik dan kasih sayang yang cukup dari orang tua serta dukungan penuh dari keluarga dekat akan terjadi dialektika komunikasi yang efektif antara ODHA dan ADHA yang nantinya akan memperbaiki kualitas hidup ADHA PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka peneliti menarik kesimpulan sebagai berikut : a. Tahapan interaksi ODHA dalam mengenalkan HIV kepada ADHA yang dimulai dengan mengungkapkan status dirinya sendiri dan ADHA menjadi langkah yang baik untuk memulai tahap pendekatan selanjutnya. Keberanian ODHA dalam mengungkapkan status adalah sebuah langkah yang maju, mengingat masih banyak para orang tua yang belum berani mengungkapkan status anaknya. Padahal ADHA sangat penting untuk mengetahui statusnya untuk ikut berperan dalam perawatan dirinya sendiri. Kesiapan ADHA menerima informasi tentang status HIV
92
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. II No. 2 September 2015
b.
c.
nya dan memilih waktu yang tepat untuk menyampaikannya pada ADHA menjadi faktor yang harus dipertimbangkan dengan baik. ODHA akan sulit membangun komunikasi yang baik jika ADHA sendiri tidak mengetahui apa yang sedang di hadapinya saat ini, maka dari itu pengungkapan status HIV ODHA dan ADHA menjadi kunci untuk membangun hubungan internal yang baik diantara keduanya. Pendekatan interaksi yang dilakukan ODHA dengan terlebih dahulu memahami karakter ADHA, memperhatikan tumbuh kembangnya, memberi kasih sayang yang cukup kepada ADHA merupakan pendekatan interaksi yang baik ODHA telah lakukan. Dan satu hal yang penting untuk melakukan komunikasi yang efektif dengan ADHA, ODHA harus selalu mendengarkan dengan baik apa yang disampaikan oleh ADHA. Melakukan komunikasi dengan mempertimbangkan waktu yang pas serta dilakukan hanya berdua saja akan membuat ADHA merasa nyaman menyampaikan tentang masalahnya. Memperhatikan pola asuh ADHA serta memotivasi ADHA untuk mengikutsertakannya kedalam kegiatan yang ADHA sukai dan sesuai dengan bakat ADHA merupakan langkah yang tepat dilakukan oleh orang tua ADHA. Hal tersebut tentunya dapat mengembangkan bakat yang ADHA dimiliki sehingga ia akan merasa lebih percaya diri yang nantinya akan memperbaiki kualitas hidup ADHA.
REFERENSI Ardianto, Elvinaro. (2010). Metode Penelitian Untuk Public Relations Kuantitatif dan Kualitatif. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.
Komprehensif. Bandung: Rekatama Media.
Simbiosa
Danim, Sudarwan. (2002). Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia Eriyanto. 2004. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: Lkis Hidayat, Dasrun. (2012). Komunikasi Antar Pribadi dan Medianya. Yogyakarta: Graha Ilmu. Morissan. (2013). Teori Komunikasi: Individu Hingga Massa. Jakarta: Kencana Prenamedia Group. M, Nursalam & Dian Kurniawati, Ninuk. (2007). Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Penerbit Salemba Medika Mulyana, Deddy. (2003). Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nurjaman, Kadar & Umam, Khaerul. (2012). Komunikasi & Public Relation. Bandung: CV Pustaka Setia Rakhmat, Jalaluddin. (2011). Komunikasi. Bandung: Rosdakarya.
Psikologi Remaja
Sugiyono. (2013). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta Yin, Robert K. (2012). Studi Kasus Desain dan Metode. Penerjemah: M. Djauzi Mudzakir. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Yayasan Spiritia. (2014). Saya Berhak Tahu dan Saya Berhak Mengungkapkan. Penerjemah: Yayasan Spiritia. Jakarta: Treat Asia.
Ardianto, Elvinaro. (2013). Handbook of Public Relations Pengantar ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
93
Jurnal Ilmu Komunikasi (J-IKA) Vol. II No. 2 September 2015
Toha Muhaimin, (2013). “Dampak HIV/AIDS Dalam Keluarga Pada Kualitas Hidup Anak”: Universitas Indonesia Wiener LS. (2011). “Factors Associated with Disclosure with Diagnosis to Children with HIV/AIDS” : National Cancer Institute Bethesda Maryland USA. Hasanah, Nur. (2014). “Konsep diri Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang Menerima Label Negatif dan Diskriminasi dari Lingkungan Sosial” : Universitas Brawijaya.
ISSN: 2355-0287 http://ejournal.bsi.ac.id/ejurnal/index.php/jkom
94