REFORMATIO IN PEIUS Written by PTUN SURABAYA Wednesday, 06 February 2013 07:42 -
REFORMATIO IN PEIUS
Oleh : Tri Cahya Indra Permana, SH, MH.
Pengertian Reformatio In Peius
Literatur Indonesia yang membahas mengenai permasalahan reformatio in peius belum banyak ditemukan karena selain asal-muasal asas ini dari negara-negara latin (seperti argentina yang terpengaruh hukum spanyol) yang jarang dirujuk oleh para Juris Indonesia, juga karena penggunaannya di Indonesia masih sangat jarang diterapkan dalam praktek peradilan. Bahkan kalau boleh jujur, penulis sendiri belum lama mendengar istilah ini.
Secara gramatikal reformatio in peius memiliki dua kata dasar yaitu reformatio yang berarti c hange atau perubahan, dan peius yang berarti worse atau lebih buruk, sehingga jika diartikan kata demi kata artinya adalah perubahan menjadi lebih buruk.
Di Indonesia, Reformatio in peius diartikan sebagai diktum putusan yang justru tidak menguntungkan Penggugat [1] . Dalam mengartikan reform atio in peius , buku II Mahkamah Agung tidak membedakan apakah yang dimaksud dengan diktum putusan adalah diktum putusan pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat banding atau kasasi, sehingga oleh karenanya dapat diartikan sebagai diktum putusan di segala tingkat peradilan.
1 / 11
REFORMATIO IN PEIUS Written by PTUN SURABAYA Wednesday, 06 February 2013 07:42 -
Pengertian yang agak berbeda justru yang diberikan oleh wikipedia yang mengartikan reformatio in peius sebagai a decision from a court of appeal is amanded to a worse one (terjemahan bebas dari penulis : putusan dari pengadilan tingkat banding yang semakin memberatkan pembanding) [2] . Sedangkan Oxford journals mendefinisikan reformatio in peius sebagai a person should not be placed in a worse position as a result of a filling appeal (seorang Pembanding seharusnya tidak ditempatkan pada posisi yang lebih buruk sebagai hasil dari mengajukan banding) [3] .
Dalam komunikasi saya melalui situs jejaring sosial di www.facebook.com dengan Dr. Adriaan Bedner, seorang Dosen di Van Vollenhoven Institute, Law Faculty of Leiden University Netherland, beliau mengartikan reformatio in peius sebagai berikut :
Reformatio in peius means that a citizen appeals against a decision - either at the instance which issued the decision, a special instance for administrative appeal or the administrative court - and that the outcome of the appeal puts him in a worse situation than he was before appealing. For instance, the decision is that he has to pay a retribution of 100 euros and then the appellate institution finds that he must pay 200 euros. This is not allowed in the Netherlands, unless it concerns an appeal to the authority that issued the original decision In criminal law 'reformatio in peius' is allowed. This means that if you are sentenced to 10 years and you appeal to the appellate court or the Supreme Court you can effectively be sentenced to more than ten years. So appealing in criminal law carries a risk.
Dari pengertian-pengertian tersebut maka dapat diketahui adanya perbedaan pengertian antara Reformatio in peius di Indonesia dengan belanda dan negara-negara latin sehingga dengan demikian akan terdapat pula perbedaan di dalam penerapan antara asas reformatio in peius di Indonesia dan Belanda serta negara-negara latin kecuali dalam perkara-perkara pidana tidak ada perbedaan didalam pengertian dan penerapannya.
Didalam perkara pidana putusan pengadilan sejak pengadilan tingkat pertama yang melebihi tuntutan jaksa, putusan tingkat banding dan kasasi yang semakin memperberat vonis pengadilan tingkat pertama diperbolehkan dan sudah sangat biasa dilakukan.
2 / 11
REFORMATIO IN PEIUS Written by PTUN SURABAYA Wednesday, 06 February 2013 07:42 -
Perbedaan pengertian tersebut diatas antara lain : di Indonesia, dalam sengketa perdata dan tata usaha negara, putusan pengadilan tingkat pertama dapat menjatuhkan putusan yang semakin memberatkan penggugat, sedangkan di Belanda dan negara-negara latin, reformatio in peius adalah putusan tingkat banding/kasasi dalam sengketa perdata dan tata usaha negara yang tidak membolehkan putusan yang semakin memberatkan pembanding/pemohon kasasi sehingga prinsipnya adalah prohibition of reformatio in peius (larangan penggunaan asas refor matio in peius ).
Jika digambarkan, maka perbandingan pengertian dan penerapan reformatio in peius adalah sebagai berikut :
No.
Indonesia
Belanda/negara-negara latin
1
Semua tingkat peradilan
Tingkat banding/kasasi
2
3 / 11
REFORMATIO IN PEIUS Written by PTUN SURABAYA Wednesday, 06 February 2013 07:42 -
Diperbolehkan
Dilarang (prohibition)
Jikalau di Indonesia, asas reformatio in peius diperbolehkan sejak pengadilan tingkat pertama, maka setidaknya ada asas yang secara universal mendasarinya yaitu bahwa Hakim haruslah menempatkan sesuatu hal (yang diperiksanya) sesuai dengan posisi yang seharusnya. Selanjutnya sebelum sampai pada pertanyaan bagaimana didalam penerapannya, yang perlu juga dikaji adalah bagaimana pengertian reformatio in peius tersebut diatas jika dikaitkan dengan asas hukum yang lain yaitu larangan ultra petita, putusan contra legem dan petitum ex aequo et bono.
Reformatio In Peius dan Larangan Ultra Petita
Ultra petita berarti putusan hakim yang melebihi tuntutan Penggugat atau memutus suatu hal yang tidak dituntut oleh Penggugat/Pemohon. Contoh putusan yang paling mahsyur mengenai larangan ultra petita adalah putusan Mahkamah Agung dalam kasus kedung ombo meskipun dianggap lebih mengendepankan kepastian hukum dibandingkan nilai keadilan. Mahkamah Konstitusi bahkan tidak segan-segan memutus perkara dengan ultra petita dengan munculnya norma-norma hukum baru melalui putusannya, meskipun kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 hanyalah sebatas negatif legislator dengan pertimbangan jika Mahkamah Konstitusi hanya memutuskan apa yang minta oleh pemohon saja dan permohonan tersebut dikabulkan, maka akan terjadi kekosongan hukum terhadap substansi pasal Undang-Undang yang dibatalkan jika tidak dimunculkan norma hukum baru.
4 / 11
REFORMATIO IN PEIUS Written by PTUN SURABAYA Wednesday, 06 February 2013 07:42 -
Dari pengertian ultra petita dan reformatio in peius tersebut diatas, maka diperoleh suatu perbedaan prinsip diantara keduanya yaitu jika ultra petita berarti putusan yang melebihi tuntutan atau memutus yang tidak dituntut berarti akan semakin menguntungkan Penggugat/Pemohon dan hal tersebut secara prinsip tidak diperbolehkan [4] , sedangkan reformatio in peius sebaliknya putusan yang akan semakin memberatkan Penggugat/Pemohon dan hal tersebut secara prinsip diperbolehkan.
Selanjutnya untuk menghindari terjadinya amar putusan pengadilan yang ultra petita, maka norma-norma hukum baru (yang progresif tentunya) yang sesungguhnya tidak dituntut oleh Penggugat atau Pemohon sebaiknya cukup dimuat didalam pertimbangan hukum saja, akan tetapi untuk amar putusan tetap mengikuti apa yang dituntut oleh Penggugat/Pemohon.
Terlepas bagaimana pelaksanaan asas larangan ultra petita dilapangan, memang sangat dipengaruhi oleh keyakinan dan ideologi Hakim dalam arti nilai apa yang akan lebih dikedepankan. Akan tetapi setidak-tidaknya Hakim harus mengetahui terlebih dahulu secara prinsip apa yang dimaksud dengan larangan ultra petita dan bagaimana kaitannya dengan reformatio in peius.
Reformatio In Peius, Contra Legem dan Ex Aequo Et Bono
Contra legem adalah putusan pengadilan yang mengesampingkan, tidak menggunakan sebagai dasar pertimbangan atau bahkan bertentangan dengan pasal Undang-Undang sepanjang pasal Undang-Undang tersebut tidak lagi sesuai dengan perkembangan dan rasa keadilan masyarakat [5] . menurut salah satu aliran pemikiran dalam filasat hukum yaitu aliran c ritical legal studies atau studi hukum kritis maka hukum tidak dapat dipisahkan dengan politik dan hukum tidaklah netral serta bebas nilai.
Dengan perkataan lain, dalam pandangan studi hukum kritis, hukum didalam pembuatan
5 / 11
REFORMATIO IN PEIUS Written by PTUN SURABAYA Wednesday, 06 February 2013 07:42 -
hingga pemberlakuannya selalu mengandung pemihakan-pemihakan sekalipun dalam liberal legal order dibentuk keyakinan akan kenetralan, obyektifitas, prediktabilitas dalam hukum [6] . Bahkan pembentukan hukum sering juga bersifat transaksional yang menimbulkan political corruption oleh karenanya sejak dilahirkan sudah mengandung cacat. Menurut Esmi Warassih , hukum sering disalahgunakan terutama untuk mempertahankan status quo dan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu [7] .
Apabila Hakim menemukan pasal-pasal yang demikian, maka dengan dikesampingkannya pasal-pasal tersebut bahkan putusan yang dijatuhkannya bertentangan dengan pasal-pasal tersebut demi terciptanya suatu keadilan, maka maka hakim telah bertindak contra legem, dan hal tersebut diperbolehkan. Prinsip bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup didalam masyarakat sebagaimana terdapat dibalik Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar bagi Hakim bertindak contra legem .
Kaitan contra legem dengan reformatio in peius adalah terletak pada ex aequo et bono yaitu para pihak yang bersengketa, baik Penggugat didalam gugatannya maupun Tergugat didalam jawabannya selalu memohon agar Hakim memberikan putusan yang seadil-adilnya. Putusan yang seadil-adilnya dapat berupa reformatio in peius dan dapat pula berupa contra legem.
Penerapan Reformatio In Peius Dalam Putusan Hakim
Buku II Mahkamah Agung mencontohkan putusan yang bersifat reformatio in peius adalah dalam kasus kepegawain Penggugat mohon agar Keputusan TUN yang digugat berupa
6 / 11
REFORMATIO IN PEIUS Written by PTUN SURABAYA Wednesday, 06 February 2013 07:42 -
penundaan kenaikan pangkat selama satu tahun (jenis hukuman disiplin sedang) dinyatakan batal atau tidak sah, tetapi oleh hakim dinyatakan dalam diktum putusannya keputusan TUN yang digugat dibatalkan dan diperintahkan kepada Tergugat agar menerbitkan keputusan TUN yang baru berupa pemberhentian tidak atas permohonan Penggugat, sebab fakta pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Penggugat terbukti jenis pelanggaran disiplin berat;
Penulis pun pernah menerapkan reformatio in peius di dalam kasus pertanahan meskipun tidak sampai pada diktum putusan (dikarenakan satu dan lain hal), akan tetapi didalam pertimbangan hukum sudah diterapkan. Kasusnya yang menjadi obyek gugatan adalah Sertipikat Hak Guna Bangunan yang diterbitkan oleh Tergugat pada tahun 1998 dengan jangka waktu 30 tahun dan akan berakhir pada tahun 2028. Kemudian sertipikat HGB tersebut digugat oleh seseorang yang mendasarkan pada sertipikat hak milik yang diterbitkan oleh Tergugat pada tahun 2007 karena diterbitkan pada obyek yang sama dengan HGB tersebut diatas.
Setelah diperiksa perkaranya di persidangan, ternyata yang terbukti menyalahi peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik, baik secara substansi maupun prosedur adalah penerbitan sertipikat hak milik Penggugat sehingga oleh karenanya dengan mendasarkan pada asas reformatio in peius, penulis berpendapat bahwa meskipun yang menjadi obyek gugatan adalah sertipikat HGB, namun pengadilan selain menolak gugatan Penggugat dapat pula memerintahkan Tergugat untuk membatalkan sertipikat hak milik penggugat. Tetapi setelah disepakati oleh hakim yang lain, cukup didalam pertimbangan hukum saja dan sifatnya hanya sebagai anjuran kepada Tergugat untuk membatalkan SHM Penggugat;
Dalam kasus yang lebih konkrit, PTUN Semarang pernah menjatuhkan amar putusan yang mendasarkan pada asas reformatio in peius dalam perkara Nomor 29/G/2010/PTUN.SMG tanggal 30 Agustus 2010 mengenai kepegawaian yang apabila kita perhatikan amar putusannya seolah-olah keluar dari “pakem” putusan PTUN yang selama ini ada.
Kasus posisinya Penggugat telah diberhentikan dengan hormat oleh Tergugat (Direksi PD BPR Bank Kredit Kecamatan Demak Kota Kabupaten Demak) dari jabatannya sebagai Kasi Pelayanan BPR Bank Kredit Kecamatan Demak Kota Kabupaten Demak. Setelah diperiksa pokok perkaranya, menurut Majelis Hakim, Penggugat seharusnya bukan diberhentikan dengan hormat melainkan diberhentikan tidak dengan hormat karena menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, pemberhentian dengan hormat hanya dapat dilakukan dalam hal Penggugat :
7 / 11
REFORMATIO IN PEIUS Written by PTUN SURABAYA Wednesday, 06 February 2013 07:42 -
1. Meninggal dunia; 2. Telah mencapai usia dan masa kerja untuk memperoleh pensiun; 3. Kesehatan tidak mengijinkan yang dibuktikan dengan surat keterangan tim penguji kesehatan; 4. Permintaan sendiri; atau 5. Pengurangan pegawai;
Dalam kasus tersebut Penggugat tidak memenuhi kriteria untuk diberhentikan dengan hormat sebagaimana disebutkan diatas melainkan telah terbukti melakukan tindakan yang dapat dikatagorikan sebagai praktek bank dalam bank, penyalahgunaan keuangan dan wewenang yang merugikan BPR Bank Kredit Kecamatan Kabupaten Demak baik secara materiil maupun immateriil. Selanjutnya PTUN Semarang telah menjatuhkan putusan yang amarnya sebagai berikut : 1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya; 2. Menyatakan batal Surat Keputusan Direksi Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan Demak Kota, Kabupaten Demak Nomor : 581/016/KEP.DIR/IV/2010 tanggal 12 April 2010 tentang Pemberhentian Dengan Hormat Tidak Atas Permintaan Sendiri Sebagai Pegawai Sdr. Penggugat (identitas dikaburkan) dari Pegawai Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan Demak Kota Kabupaten Demak; 3. Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Direksi Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan Demak Kota, Kabupaten Demak Nomor : 581/016/KEP.DIR/IV/2010 tanggal 12 April 2010 tentang Pemberhentian Dengan Hormat Tidak Atas Permintaan Sendiri Sebagai Pegawai Sdr. Penggugat (identitas dikaburkan) dari Pegawai Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan Demak Kota Kabupaten Demak; 4. Mewajibkan kepada Tergugat untuk menerbitkan surat keputusan baru yang berisi pemberhentian tidak dengan hormat Penggugat dari Pegawai Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan Demak Kota Kabupaten Demak; 5. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 95.000,(sembilan puluh lima ribu rupiah);
Mengapa amar putusan sebagaimana tersebut diatas seolah-olah sudah keluar dari “pakem” putusan PTUN yang selama ini ada, karena pada umumnya amar putusan yang menolak gugatan Penggugat langsung diikuti dengan menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara. Sedangkan amar putusan yang berisi pernyataan batal dan pencabutan surat keputusan yang digugatan sebaliknya hanya ada pada putusan yang mengabulkan gugatan penggugat.
8 / 11
REFORMATIO IN PEIUS Written by PTUN SURABAYA Wednesday, 06 February 2013 07:42 -
Namun demikian sebagaimana asas dari reformatio in peius dimana yang memungkinkan Hakim meluruskan tindakan Tergugat yang berakibat amar putusan justru semakin tidak menguntungkan Penggugat, maka obyek gugatan yang dianggap tidak tepat tersebut memang sudah seharusnya dibatalkan terlebih dahulu untuk kemudian dicabut dan diterbitkan surat keputusan yang baru yang isinya semakin tidak menguntungkan Penggugat sesuai dengan kesalahannya.
Dalam perkara perdata, bisa saja Penggugat yang menuntut ganti rugi kepada Tergugat, tetapi berdasarkan bukti-bukti yang diajukan, justru Penggugat yang dibebankan untuk membayar ganti rugi kepada Tergugat karena perbuatan melawan hukum justru sebenarnya dilakukan oleh Penggugat. Dalam kasus-kasus yang lain, misalnya dalam sengketa pajak, apabila Penggugat keberatan telah ditetapkan kewajiban pajak sebesar Rp. 1 Milyar oleh Direktorat Jenderal Pajak dan mengajukan gugatan di peradilan pajak, apabila fakta hukum menunjukan bahwa kewajiban pajak Penggugat yang sebenarnya bukan Rp. 1 Milyar tetapi Rp. 2 Milyar, maka menurut hemat penulis, Pengadilan Pajak dapat menerapkan reformatio in peius demi suatu keadilan yang hakiki.
Akhirnya kepada para Hakim saya ucapkan selamat mencoba menerapkan putusan reformati o in peius dalam kasus-kasus yang lain karena perkembangan hukum sangat berharap banyak dari para hakim yang progresif, dan sudah seharusnya hakim tidak terbelenggu oleh sekat-sekat formalitas sepanjang demi satu tujuan yaitu Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
DAFTAR PUSTAKA
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama, Semarang, 2005
FX. Adji Samekto, Justice Not For All, Kritik terhadap Hukum Modern dalam Perspektif Studi Hukum Kritis , Genta Press, Yogyakarta, 2008
9 / 11
REFORMATIO IN PEIUS Written by PTUN SURABAYA Wednesday, 06 February 2013 07:42 -
H.A. Mukhsin Asyrof, Asas-Asas Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum Oleh Hakim Dalam Proses Peradilan , Majalah Varia Peradilan, November 2006
Buku II Mahkamah Agung RI tentang pedoman teknis administrasi dan teknis peradilan tata usaha negara, 2009
www.wikipedia.com, Januari 2010
www.oxfordjournals.com, Januari 2010
[1] Buku II Mahkamah Agung RI tentang pedoman teknis administrasi dan teknis peradilan tata usaha negara, 2009, hlm 82 selanjutnya disebut buku II.
[2] Diunduh dan disarikan dari www.wikipedia.com, Januari 2010
10 / 11
REFORMATIO IN PEIUS Written by PTUN SURABAYA Wednesday, 06 February 2013 07:42 -
[3] Diunduh dan disarikan dari www.oxfordjournals.com, Januari 2010
[4] Putusan yang ultra petita juga menjadi salah atu alasan dapat diajukannya upaya hukum peninjauan kembali
[5] H.A. Mukhsin Asyrof, Loc cit, Hlm 85
[6] FX. Adji Samekto, Loc cit, Hlm. 91
[7] Esmi Warassih, Loc cit, Hlm 14
11 / 11