IDENTITAS KUTXT]RAL DAN TELEYISI LOKAL ( Studi Tentang Konstruksi dan Representasi Identitas Kultural dalam Tayangan Banyumas TY)
Tli NugnohoAdi ABSTRACT This research is descriptive research which aims to get an understanding about how
cultural identity of Banyumas society is represented in Banyumas TV local programs. Conducting in Focus Group Discussions with reception onalysis the research discovering the meanings which small groups of readers generate for media cultural texts, focusing on the audience'situadness'withininpmticular socio cultxral context. The methods inthis research are qualitative content analysis, indepth interviewing andfocus groups discussions. HovW analysed the data, the researclrcr can draw a conclusion that BMSW generally has not optimum in represented caltural identity at Banyumas society. Only a few programs particularly a comedy genre which apparently W to represent Banyumas cultural identrty. Through those cahural content programs BI6TV construct Banyumas cultural as contemlrorory, transpardnt, solvent, dinamic and open. This reflect Bayumas cultural characteristic which iconic the society 'cablaka'.Through reception analysis this resewch found that audience from different cultural background lws various reception. Culnral identity and social economic baekground dffirences become factors intluence cultwal rcception of the audience particularly upon the pragram which represented Banymas cultural identity. For Banyumas originwhichcharacteristic consider traditional the programs likc Kartun Banyumasan and Gudril Banyumasan hove succeed interpelate tlwt audience os the subjectwhich represent its cultural identity; meanwhile,for the audience which sre not origin Banywnas and the origin modern characteristic Banyumas, consider recepting and intrepeting the program critical through their own culturolframe. Keywords : Cukural ldentity, Local Tblevision, Representation
LATARBELAKA}IG
Maj alah Cakram Edisi 06/ 2003 ).
tarik, misalnya, karena adanya
Kehadiran televisi lokal dengan narna Banyumas TV (selanjutnya disebut BMST\ di Banyumas dalarn pemalraman di atas kemudian mendapatkan peran strategisnya. Televisi lokal ini akan berinteraksi dengan warga pemirsanya yaog terdiri dari berbagai identias emis kulttnal.
ditawarkan dengan kognisi warga
kehadirannya selalu berarti melakukan
Lahirnya sebuah televisi lokal membawa daya tarik tersendiri bagi masyarakat tempat televisi tersebut mengudara. Ada beberapa alasan mengapa televisi lokal memungkinkan memiliki daya
unsur kedekatan emosional setiap program yang masyarakat setempat. Namun karena televisi
lokal tetap juga harus bersaing dengan sekian banyak televisi swasta nasional maka
meskipun dilihat dari muatanyaadalah lokal akan tetapi kemasannya harus nasional (Mashuri, dalam sebuatr wa\ rancara dengan
96
Sebagaimana
sifat suatu
media,
interpelasi atau penyapaan dengan kfialayaknya (Althuser dalam Lapsley dan
Westlake, 1988:12). Media lalu membawakan sebuah /err yang tidak saja menyapa pemirsanya namun juga menempatkannya sebagai subjek tertentu.
Acta Diurna, Volume 5 No.2, September 2008
Dengan kata hnL si subjek (dalam hal ini pemirsa) dibentuk oleh sebuah text yarry dibawakan media; di sini kuasa yang dimiliki media terletak pada kemarnpuannya untuk'memposisikan' si subjek dengan cara tertentu sehingga representasi si subjek akan
menjadi refleksi atas realitas keseharian mergka. Bagaimana media ini menyapa pemirsa lalu berarti berkaitan dengan potifih representasi (Branston dan Stafford, 1996:78). Berkaitan dengan pentingnya posisi strategis kehadrat BMSWsebagai media televisi lokal dalam keragamao- etris dan kekayaan mas.ygakat Banyumas
kolt*l
ini memperoleh signifikansinya. Pokok-pokok persoalan inila-h penelitian
yang hendak dikdi dalam penelitian selanjutnya dapat dilihat dalam perumusan masalah berikut :Bagaimana konsepsi pelgelola media BMSW tentang identitas kultural Banyumas? Bagaimani identitas kultural masyarakat Banyumas -tqinci
ini
terepresentasikan dalam media televisi lokal BMSTW P enandakultural apa yang dipakai untuk mengkonstnrksi identitas -tutturat
Banytrmas dalaur prograrn acaftl BMSW terselut? Bagaimana resepsi (penerimaan) pemina terhadap tayangan-tayangan yang
merepresentasikan identitas kultural mereka?
KA.IIANTEORI Media dalam Pendekatan Kulturat Terdapat dua pendekatan dalam mengkaji komunikasi umumnya dan lrlrususnya kajian media: pertama, yang konvensional yang acapkali disebut
"eUagai pandangan transmisional. Kedua, yang munculnya sebenamya jatrh lebih aanUu dibanding pandangan transmisional rutmun tidak begitu populer yang disebut sebagai pandangan ritual (Carey, 2002:39).
Pandangan ritual komunikasi memfokuskan persoalan yang berbeda.
Misalny4 televisi tidak ditihat
pengirim
sebagai atau penggali informasi semata
Acta Diurna, Yolume 5 No.2, September 2009
tetapi lebih sebagai media yang menyajikan kepada masyarakat suatu situasi ai aUam sebenarnya tidak ada sesuatu yang -mana
baru yang dipelajari melainkan sel"atr pohet realitas dengan cara pandang yang
baru. Menonton televisi lalu menjadi reLual, tindalmn ritual, batrkan suatu tindakan yang dramatis sifatnya. Menonton televisi-bisa digambarkan sebagai tindakan drauratik di ryana seseoftrng turut bagian dalam suatu dunia yang penuh dengan kekuatanketuahn tertentu, meski penonton ifu hanya sebagai seorang pengamat. Konsepsi komunikasi ritual dengan demikian memandang komunikasi seb{ai dasar terbenfuknya persahabatan umat manusia; ia menghasilkan jalinan sosial yang meugikar manusia bersama-sama dan
mem-ungkinkan terjadinya kelompok
kehidupan. Masyarakat meqiadi ada karena adanya kekuatan-kekuatan yang meogikat yang berasal dari sirkulasi infonnasi yang dimiliki bersama dalam sebuah sistem organik. Inilah yang me4iadi pokok pikiran sekaligus melandasi konsepsi komunikasi ritual.
Media dan Identitas Kultural dalam Masyarakat Pluralis Kehadiran media massa dalam sebuatr masyarakat pluralis (etnis dan budaya) sesungguhnya memiliki peran yang amat strategis. Media mendapatkan amanat untuk tunrt serta membantu upaya apresiasi terhadap berbagai elemen kultural yang ada iAuq masyarakat sehingga tetap terja[ahh keutuhan dan persatuan bangsa. Ua ini tgn{ny.a berangkat dari asumsi yang diyakini bersama bahwa berbagai elemen bangsa yang berbeda kultural tersebut memang memiliki hak hidup bersama dalam konteks masyarakat demokratis modem.
Masyarakat yang pluralis sudah barang tenfu akan berunsur orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling UerteOa identitas kulturalnya. Identitas trutturat ai sini mengacu pada perasaan memiliki seseorang terhadap kebudayaan atau
97
i
kelompok etnik tertentu. Identitas kulturat di dalam proseryroses yaflg dihasilkan dari keanggotaan seseorang ke dalam kebudayaan tertentu; dan dalam
dibentuk
sebuah identitas kultural tersebut terkandung proses pembelajaran dan penerimaan berbagai tradisi, warisan, bahasa, agafrfi5 leluhur, seni, pola-pola
berpikir, dan struktur sosial sebuah kebudayaan. Di sinilah, orang lalu menginternalisasikan keyakinan-keyakinaru
nilai-nilai, dan norma-norma dari kebudayaannya dan mengidentifikasikan diri dengan kebudayaan sebagai bagian dari konsep diri mereka (Lusting dan Koester, 2003:140-141).
Menurut FErnando Delgado (dalarr LustingdanKoester,2003:145) beberapa aspek identitas kultural seseorang bisa 'dibangkitkan' (activated) tidak saja melalui pengalaman langsung melainkan juga melalui reportase (apa yang disajikan - pen ) media, misalnya melalui pengganrbaran artistik di mana di dalamnya terkandrmg tema-tema budaya tertentu; dengan pertunjukan-pertuqiukan musik yang diidentifikasikan dengan suatu kelompok kebudayaan tertentu; dan melalui berbagai pengalaman dengan orang-orang atau media-mediayanglain. Identitas kultural sesungguhnya juga multifaset. Dalam suatu keadaan tertentu,
kita kadangkala memitiki
banyak
komponen' yang membenttrk
identitas kultural kita. Misalnyq dalam waktu yang brsamaan, seseorang bisa melihat dirinya sebagai seorang murid, sebagai pekerja, sebagai teman, sebagai perempuan, oraog selatan, seorang anak, anggota gcreja Mefhodist, pengasuh analq dst. Pendeknya, terdapat berbagai faset yang membentuk identitas kultural kita (Lusting dan Koester, 2003:145). Berbagai identitas kultural yang ada dalam masyarakat ini secara alamiah akan saling terekspresikan dan salah satunya akan terepresentasikan dalam wacana media.
Media lalu menjadi ajang dalam 98
mengembangkan wacana identitas kultrral yang terkandung lewat muatan informasi
dan citraannya. Media menghadapi tantangan untuk tidak hanya mampu menyebarluaskan informasi kepada khalayak melainkan juga dapat menjadi sarana penumbuhan citra ( image building) (Pawito,2006:1).
PolitikRepresentasi
Menurut Eriyanto (2001:113), setidaknya terdapat dua hal penting berkaitan dengan representasi; pertama, bagaimana seseorang, kelompok, atau gagasan tersebut ditampilkan bila dikaitkan dengan realias yang ada; dalam arti apakah ditampilkan sesuai dengan fakta yang ada
atau cenderung diburukkan sehingga menimbulkan kesan meminggirkan atau hanya menampilkan sisi buruk seseorang atau kelompok tertentu dalam pemberiaan. Ke duo, bagaimana eksekusi penyaj ian obj ek tersebut dalam media Ekselarsi representasi
objek tersebut bisa mewujud dalam pemilihan kata, kalimaL aksentuasi dan penguatan dengan foto atau imaji macam apa yang akan dipakai untuk menampilkan seseorang, kelompok atau suatu gagasan dalam pemberitaan. Penjelasan mengenai representasi menurut Eriyanto atas
di
tampaknya lebih bersifat spesifik diterapkan dalam praktek pemberitaan suatu media. Hal akan berbeda nuansanya manakala konsep representasi dipahami sebagai sebuah politik penyajian realitas dalam
ini
sebuah media secara umum dan tidak
sekedar berkaitan dengan suatu isi pemberitaan. Selcarang kita simak pendapat John Fiske mengenai representasi. Menurut Fiske (1997 ;5) representasi merupakan sejumlah tindakan yang berhubungan dengan teknik kamera, pencahayaan, proses editing, musik dan suara tertentu yang mengolah simbolsimbol dan kode-kode konvensional ke dalam representasi dari realitas dan gagasan yang akan dinyatakannya. Apa yang dikemukakan oleh Fiske di
Acto Diwna, Yohtme 5 No.2, September 2008
sas memiliki kesamaan dengan pendapat Fairclough (l 995: l0a). Menurut Fairclough dalam sebuah analisis representasi terhadap
isi
media sebenarnya kita mencobi
menentukan apa yang dicakupkan atau tidatq yang eksplisit atau pun implisit, yang menjadiforeground atau pun back ground, dan yang menjadi tematik atau pun tidak serta menentukan kategori mana yang merupakan representasi sebuah peristiwa, karakter, situasi atau pun keadaan tirtentu. Sampai di sini pembahasan mengenai representasi mulai kelihatan batrwa menyoal representasi tampaknya pemang tidak bisa dilepaskan dengan konsepsi rcalitas itu sendiri sebagaimana pendapat Branston dan Stafford (1996:78) yang makin menajamkan pengertian mengenai representasi berikut ini. Mmwtrt merekA representasi bisa diartikan sebagai segenap tanda di dalam mana media menghadirkan kembali (re-present) sebuah peristiwa atau realitas. Namun demikian 'tealitas" yang tampak dalam citaan atau suara tersebut tidaklah semata-mata menghadirkan realitas sebagaimana adanya. Di dalamnya senantiasa akan ditemukan sebuatr konstruksi (a cowtrrction), atautak penmh ada 'jendela' realitas yang benarbenax transparan. Menunrt Branston dan
Stafford meskipun dalam praktek
representasi diandiikan senantiasa terjadi konstnrksi ftlmun konsepsi'representasi' tidak lalu bisa diterjematrkan setara dengan 'konstruksi';'representasi' bahkan bergerak lebih jauh karena mendekati pertanyaan tentang bagaimana sebuah kelompok atau berbagai kemungkinan hal-hal yang aAa ai luar media telah direpresentasikan oleh produk suatu media Pertanyaan tentang "bagaimana" itu lalu membawa implikasi politis yang lebih luas sebagai berikut: Pertama, representasi mengingatkan kita pada politik representasi. Suatu media membrikao kita citraan tertentu, yaifu suatu cara menggambarkan sebuah kelompok tertentu sehingga kita seakan sampai pada pengertian t€ntang bagaimana kelompok
Acta
Dimrq Yolutc 5 No.2, September
2008
tersebut mengalami dunianya, dan bagaimana kelompok tersebut bisa dipahami dan bahkan bagaimana mereka bisa diterima
oleh kelompok lainnya. Kedua, dalam praktek representasi suafu media besar memiliki kekuasaan untuk menghadirkan kembali suatu kelompok tertenfu, berulangulang, beberapa cihaan tertentq beberapa asumsi, dan kuasa unfuk meniadakan kelompok yang lain, dan karenanya menjadikan kelompok yang lain itu menjadi asing @ranston dan Stafford, 1996:7 8). Pendapat Branston dan Stafford mengenai representasi di atas bila dikaitkan dengan, misalnya, representasi suafu identitas ses€orang atau kelompok tertentu dalam suatu media tampaknya akan denganpendapat Stuart Hall. Menurut Hall (dalam Gillespie, 1995:11) dalam politik representasi: ,,It corrceives of representation as not merely expressive butformative of identities; and it conceives of dffirence not as unbridgeable sepwation b* as positional, conditiorwl
memiliki
and canjuncturql". Membandingkan konsepsi representasi menurut Hall dan Branston dan Stafford di atas bisa kita pahami bahwa keduanya sepakat representasi itu tidak sekedar proses penyajian kembali suatu objek di dalam sebuatr media naxnun lebih dari itu media ternyata juga menjalankan proses pembentukan suatu identitas tertentu atau suatu positioning tertentu terhadap objek yang dicifrakan dalam suatu media Konsepsi atau peta teoritik mengenai representasi dalam sebuah media akan lebih lengkap bila kita mencoba menukik lebih
dalam mengenai 'makna' yang lalu
dihadirkan melalui representasi. Menurut Sturken dan Cartwrigth, representasi tidak hanya diyakini senantiasa melekat pada konstruksi tetapi juga pada proses pemaknaannya sebagaimana teriermin dalam penjelasan dalam bukunya Prac tice
Looking bahwa
of
"Representasi merujuk pada penggunaan bahasa dan imaji rmtuk menciptakan makm tentang dunia sekitar
99
r
kita." (Shrken dan Cartwrigth, 2001 :66). Dari beberapa konsep mengenai representasi di atas, mulai kelihatan bahwa media - representasi - konstruksi - realitas dan makna temyata memiliki jalinan yang tak terpisatrkan. Demikian bisa kita simak dari pendefinisian mengenai representasi sebagaimana dikemukakan oleh O'Sullivan, Dutton dan Rayner (1998:71) yang meski
singkat namun bisa ,merangkumkan
:"
The pemahaman tentang representasi the embodies representation of concept theme that the media construet meanings abaout the world - they represent it, and in doing so, help audiences to make sense of it." ( Konsep representasi mencahtp tema dasar medio mengkorxtrulcsikan makna dunia ini---+nedia menompilkannya, dan
sekaligus membantu audiens untuk memahaminya). Sekarang kita menuju pada konsepsi representasi dalam kaitannya dengan identitas kultural khususnya yang terjadi di
media televisi. Dalam media televisi representasi suatu identitas kultural hadir dalam signifikansi imaji-imaji. Suatu paket acara tertentr, akan menarnpakkan imaji yang menandakan identitas kultural dalam kemasan pemilihan karakter pelakuny4 batrasanya, pakaiannya, setting dekorasinya dan seterusnyq dan tentunya keseluruhan tema yang memang dibawakan aeara tersebut. Seluruh imaji ini menandakan dan merayakan suatu nilai tertentq seperti nilai kelokalan atau justru global, asimilasi atau pluralistis, dst. lengkap dengan pemaknaart akan nilai baik dan buruh normal mauptm ketidak-normalan. Mengeksplorasi makna imaji - imaji adalah dengan menyadari bahwa imaj l-imaj i
tersebut diproduksi dalam dinamika
kekuasaan dan ideologi
(SturkendanCartlvright 2001 :66).'Gejalagejala' yang kemudian ditangkap dan dianggap sebagai realitas menrpakan salah satu bentuk operasionalisasi ideologi melalui media massa. Sebagaimana diformulasikan oleh Althusser (dalam
100
Stevenson,l995:37) produksi ideologi memiliki dua karakteri stik
: P ertamo,
kefrka
ideologi terikat pada sebuah analisis
institusional, hal ini tidak dapat dipahami sebagai pembalikan atau refleksi dari yang real. Ideologi dalam kaitan ini lebih dipalrami sebagai 'represent the imaginary relationship of individuals to their real condition of existence'; Kedua, ideologi tidak hanya merupakan hubungan simbolik dengan yang real, tapi juga mengubatr human beings menjadi subjek-subjek.
Ideologi membiarkan individu-individu
mengenali diri mereka sendiri sebagai'sel/ determining agents', padatnl kenyataannya subjek-zubjek tersebut dibentuk melalui mekanisme lineuistik dan psikis. Media massa menrang, termasuk salah satu dari apa
yang oleh Althusser (dalam
LapsleydanWestlake, 1988:8) disebut sebagai'Ideological State Apparatus'.
Mdia
massa adalah aparatus ideologi yang
bergerak dalam praktek-praktek sosial.
METODOLOGI
Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah analisis isi media kualitatif, wawancara mendalam dan focus gtoup discussions. Analisis isi kualitatif digunakan untuk memperolatr data kualitatif dari tayangan-tayangan BMSTV, sedangkan
wawancara mendalam dan diskusi kelompk (FGD) di$makan rmtuk menggali data kualitatif dari informan pengelola stasiun televisi juga dari informan yang b€rasal dari pemirsa. Menunrt Bryman (2001:336-337) metode FGD bermanfaat untuk memperoleh data b4gaimana individu sebagai bagian dari sebuah kelompok mendiskusikan sesuatu topik atau isu tsrtentu, jadi tidak sematamelihat infonnan sebagai individu. Data yang diperoleh dalam
FGD kemudian dianalisis
dengan
menggunakan analisis resepsi.
Validasi diupayakan dengan menggutrakan triangulasi data dan triangulasi teori. Triangulasi data Acta Diurna, Yolune 5 No.2, September 2008
diupayakau dengan menguji dan/atau mengkonfirmasi data satu dengan lainnya, dan tiangulasi teori dilahrkan dnegan membandingkan dar/atau mencocokkan teori-teori yang digunakan dengan temuan yangdiperoleh. DISKUSIHASIL BMSTY dalam Setting Kuhwal Banyumas
Data yang kita peroleh dalam penelitian ini memperlihatkan adanya fakta kelahiran televisi lokal BMSTV tidak diawali dengan pemetaan masalah sekitar media televisi lokal dalam setting kultural lokal Banytrmas yang mer{adi lCIme-base televisi ini. Selain rttr, kesan yang mrurcul adalah asumsi pengelola televisi lokal ini yaog menganggap televisi lokal sebagai potensi, aset kemungkinan atau peluang dalam mengembangkan bidang usaha Padahal dalam literatur mutakhir
komunikasi massa senantiasa diingatkan betapa media penyiaran tidak hanya semata lembaga bisnis melainkan sebuah institusi di
mana
di
dalamnya terdapat sumber
informasi yang signifikan yang digunalcn
oleh masyarakat sebagai dasar untuk pengambilan keputusan sehari-hari. Itulatr sebabnya media massa dalam sistem Amerika Serikat, misalnya, yang dikenal wbagu 'the Western Libertarian model, sering menjadi sasaran lfiitik karena terlalu mengedepankan kepentingan ekonomi dan alpa akan kewajibannya memasok tayangan informatif yang berkualitas yang diperlukan
publiknya (Coppen" d'HaenensdanSaeys, 2@ I dalam Manayang, 2003 :33).
Karena semangat yang pada mulanya, menjadi pendorong kelahiran
televisi lokal ini adalah untuk
mengembangkan bisnis penyiaran maka kelihatan sekali betapa perencanaan progrrun acaranya ---selain acara Warta Banyumas tentu saja -- masih berorientasi pada menjualjam tayang. Hal inilah nrpanya Acta Diwna, Yolume 5 No.2, September 2008
yang kemudian meqiadi titik awal adanya beberapa ketidaksesuaian antara apa yang disqiikan kepada pemirsa dengan apa yang sesungguhnya dibutuhkan pemirsa" Karena apa yang disuguhkan kepada pemirsa lalu bukan berdasarkan pada apa yang dikehendaki oleh pemirsanyi namun berdasarkan apa yang diinginkan oleh pengiklan atau pihak yang mensponsori suatu mata acara tertentu. Telaah terhadap tayangan BMSTV dengan fokus pada mualan identitas kultural Banyumasnya ini menemukan fakta masih banyaknya potensi budaya lokat yang rupanya luput dari perhatiao peogelola program dan terepresentasikan dalam
tayangan-tayangan Banyumas TV.
Sebabnya, adalah kembali pada persoala semula bahwa tayangan yang semata
menyajikan budaya lokal rupanya dianggap belum tentu'laku dijual'; atau dengan kata lain belum tentu bisa diterima oleh pemirsanya Padahal dari beberapa temuan yang diperoleh di lapangan, menunjukkan
betapa pemirsa yang tergolong asli Banyumas sangat mendambakan tayangatr
BMSTV yang sengaja mengaogkat keunikan dan kekayaan warisan seni brdaya
Banyumas.
Hal demikian rupatrya
me,nguatkan sinyalemen yang diangkat oleh
sementara pemerhati media televisi lokal bahwa sekalipun TV komersial lokal lebih
memiliki unsur kedekatan dengan masyarakat lokal (locality). namlm cma
mereka mangamati masalah,
mengangkatnya ke layar TV, mergemasaya, memperhitungkan rating dan iklannya, mengaturjam-jam Wang utamanya tetaplah sesuai dengan nafas TV komersial nasional, atau TV komersial mana pun di selunrh dunia (Gazali dkk. 2003 : 140). Meskipun pada keuyataanya secara umum BMSTV masih belum secara
maksimal menampilkan budaya lokal Banyumas namun setidaknya terdapat beberapatayangan yang dilihat dari mnatan
pesannya
relatif signifikan
dengan
representasi budaya Banyumas yakni pada
t0t
Strategi yang dipakai BMSTV
dan transparan. Idlah yang kemudian dikenal sebagai cablaka. Bila dalam
dengan pemanfaatan tayangan yang bersifat
masyarakat Jawa Tengah yang lain misalnya
komedi seperti Kortun Banytmasan atat Gudril Banyumasan sebagai sarana
dalam kultur Jawa Solo atau Jogia dikenal stata kebahasaan yang rumit, lain halnya dengan di Banyumas. Sifatrya yang egaliter menjadikan suasaoa percakapan menjadi demikian lugas. Inilah yang terganrbar hampir di dalam semtra setting adegan di serial Kartun Banyumasan. Selanjutrya dalam telaah penanda kultural yang lebih detil misalnya ditihat dari kostum yang dikenakan oleh para pemain dalam tayangan Gudril Bonyumasan maupnn Kartun Banyumasan, atau pada mata acara lain yang mengangkat tema Banyunas seperti Nagasari dsb. ditemukan adanya pemilihan kostum yang bagi para pengamat yang jeli akan dinilai ktrang merepresentasikan kekhasan budaya Banyumas. Pemilihan j arit misalny4 masih ditemui corak jarit yang jusbu mewakili kekhasanT'an7 Jogia atau Solo. Juga untuk model beskap atau pun blangkon-tyu Hal yang demikian bisa jadi karena faktor ketidaksengajaan' dari penggagas acaranya, karena kurang tatrunya mengenai corak atau ciri pakaian adat yang pakem Banyumasan. Namrm dalam perspektif yang lain, bisa ditafsirkaq adanya pencampuradukkan antara ikon penanda sub kultural yang satu dengan sub kultural yang lain dalam sebuah
rnata acara ge nre
dranakomedi.
promosi atau katakanlah upaya melestarikan unsur budaya Banyumas dalam hal ini dialek batrasa Banyumasannya ternyata cukup tepat. Disadmi atau tidak, oleh pengelola pro$am acara ini telah terjadi upaya konstruksi teks berdasarkan konvensi sosio kultural Banyumas. Walaupun hampir jatuh pda stere orype budayq rupanya penggagas program mempersepsi masyarakat
ini
Banyumas sebagai masyarakat yang menyukai suasana canda dan humor. Gaya tutur yang ekspresif dan transparan yang kemudian tergarrbar dalam satu ikon kata 'cablaka' memang zudah melekat dalam budaya Banyumas. Hal inilah yang tampaknya membuat tayangan ini cukup b€rhasil menarik minat pemirsa khususnya yangasliBanyumas.
Dalam literatur "etnography of communication" memang dikenal adanya enarn kategori yang membedakan satu budaya dengan budaya yang lain; dan kategori tersebut kesemuanya berkaitan dengan aspek kebahasaan (tlymes dalam Littlejobn 2A02:194). Bila kategori-kategori tersebut diterapkan dalam tampilan atau representasi budaya Banyumas yang ada dalam tayangan Kartun Banyumasan misalnya, tampak bahwa perggagas program ini, setidaknya, mencoba merrasuH€n unsur wrys of speeking-nya orang Banyumas dalam adegan-adegarmya. Hampir tiap pelaku dalam serial karhm Banyumasan ini lalu 'diwajibkan' untuk berbicara secara tngotot mingkem enggak etnpn papan'-demikian sutadara acara ini mengistilahkan, yang tidak lain adalah karakteristik bagaimana orang Banyumas kalau sedang berbicara. Sedangkan untuk kategori speech of situation, satu ciri yang membedakan tindakan komunikasi bergaya Banyumas adalah pada suasana canda yang begitu cair
102
format tayangan tertentu justru
mencenninkan karal
Bqwor
Acta Diurna, Volume 5 No.2, *ptember 2008
menegaskan bahwa sebagai bagian dari produk seni dan budaya, tayangan TV lokal bisa senantiasa menjadi ajang tempat keragaman, identitas, dan nilai budaya diproduksi dan dipertentangkan (Marcus dan Myers,l99l:ll). Dalam pemahaman
budaya global, media memang memungkinkan mempromosikan 'kombinasi' dan'pencampuan' dari berbagai
elemen kultural. pencampuran berbagai
saliag
citraaru antarUudayr, &" peqiajaryt berbagai unsur budaya initerjadi antara lain karena media mau tidak mau hu.-u--r. melayani orang-orang dengan mobilitas tinggi sehingga audiens media 6isa
berasal dari manipun
dia
berada
(Ahmed,l992:26). thfsiran seperti di atas akan lebih kuat manakala kita menelusuri kebiasaan yang dilalflkan oleh kelompok Sopsan yakni grup musik- lokal yang ditampilkan untuk memeriahkan acara iruT Banyumas ke 424 dalam acara Gudrit Banyumasan Sebagai salah satu gnrp musik lokal, Sapsan selama ini dikenal taeatif Oan tak jarang menyuguhkan lagu-lagu yang bercorak akulturis. Dari tiga albmt Sopsan yang telah dirilis selalu ada lagu:hgu bernafaskan irama Melayu bahkan irama Mandarin meski syairnya adalah syair guyonan menggunakan bahasa Jawa dialek
ry*nry
Banyumasan.
Gejala untuk merepresentasikan budaya Banyumas secara dinamis terbuka dan tidak kaku juga akan terlihat misalnya
dalam salah satu episode Oudiit
Banyumasan
yakni Gareng Gowe Ontran-
Ontran yang tiba-tiba saja memasuktcan
sequen adegan Togog ketika tengah memadu kasih dengan wanita idamannya di sebuah taman dengan backsound lagt India; padahal Togog dan kekasihnya itu dikemas dalam kostum lengkap puaakawan. Dari beberapa temuan di atas kita bisa menarik benang merah bahwa Banyumas yang hendak ditampilkan dalam televisi lokal ini adalah Banyumas yang senantiasa terbuka dan dinamis; dau
Acta Diurna, Volume 5 No.2, September 200g
kekuatan utama yang mencirilon kultrn Banyumasan-- dan itu yang diangkat oleh BMSTV--- adalah pada ekspresi bahasanya. Sementara dalam beberapakasus yang liita Idruh .ternyata kostum sebagai peoanOa kultural tidak terlalu ditekankan untuk mencirikan identitas Banyumas. Hal inilah gng dimaksudkan oleh Carlyle (dalam Dillistone 2002:60) bahwa tidak ada suatu apa pun yang tetap dan tidak berubah dalam sebuah simbol. Simbol dapat menjadi usang dan kuno. Dapat digantikan dengan apa yang
psryr delgan keadaan dan kondiii yang
berubatr. Pakaian sebagai salah reLua[ simbol, demikian menunrt Carlyle, hanyalatr :"lruh topelg, sebuah petunjuk tentaug j,ut-utu", tingka! status, peftman, tetapl bukan identifikasi dengan suatu bagiao dari pengadahakiki.
Kajion Teleyisi Lokal dalam perxpektif CulturalStudies Menurut Hall, media massa memang
memiliki kecenderungan untu[
mereproduksi interpretasi yang melayaoi kelompok kepentingan dari kelas penguasa, da1 qedia rnassa juga merupakan tempat
terjadinya pertiarungan ideologi.
ttitt
berpendapat bahwa ideologi dominan secara khusus bisa digarnbarkan sebagai ,preferred
reading' dalam teks media, namun ini tidak serta merta diadopsi oleh pembacanya
(MarrisdanThornham,lggg,57). Situisi sosial yang ada dalam diri pembacq penonton" pendengar meqiadi faktor yang mendorong mereka untuk menangtap makna secara berbeda-beda. yang dimal$ud dengan 'reading'di sini menurut Hall tidak
hanya merupakan kapasitas untuk
mengidentifikasi dan mer,-de code sejumlah tanda tertenfll melainkan juga kapasitas zubjektif untuk menempatkan tanda-tanda itu dalam hubungan kreatif antara diri pembaca itu sendiri dengan tanda-tanda yang lain; suatu di dalaurmana seseorang mengenali kesadaran dirinya
secara
total dalam lingkungannya
(MarrisdanThornharn" I 999
:
5
8).
IA3
=
==;E=
J
menegaskan bahwa sebagai bagian dari produk seni dan budaya tayangan-TV lokal bisa senantiasa menjadi ajang tempat keragaman, identitas, dan iritul Uuaiyu diproduksi dan dipertentangkan (Marcus Myers,199l:ll). Dalarn pemalraman .dan_
budaya global, media ^ memang peTyngkinkan mempromosikai 'kombinasi' dan,pencampuran' dari berbagai
elemen kultural. pencampuran berbaiai
citaarS salinSketerkaitan anta, budaya,
&o
per$ajqT frbagai unsur budaya initerjadi antara lain karena media mau tidak mau hur-lL melayani_ orang-orang dengan
mobilitas tinggi sehingga iudieos media 6isa
berasal dari manipun dia berada (Ahmed,l992:26). thfsirar seperti di atas akan tebih kuat manakala kita meneluswi kebiasaan
yang dilakukan oleh kelompok Sapsan misalnya, yakni grup musik- lokal yang
ditampilkan untuk memeriahkan acara fruf Banyumas ke 424 dalam acara Gudril Banyumasan Sebagai salah satu gnrp musik lokal, Sopsan selama ini dikenal t r&tif O* jarang- menyugtrhkan lagu-lagu yang 1ak bercorak akulturis. Dari tiga albui Sopran
yang telatr dirilis selalu ada lagu_1agu bernafaskan irama Melayu bahka; irama Mandmin meski syairnya adalah syair
guyonan menggunakan bahasa Jawa dialek Banyumasan.
Gejala untuk merepresentasikan budaya Banyumas secara dinamis terbuka dan tidak kaku juga akan terlihat misalnya
dalam salah satu episode Cuditt
B_anyumasan
yakni Gareng Gawe Ontran-
Ontran yang tiba-tiba
saja memasukkan
sequen adegan Togog ketika tengatr memadu
kasih dengan wanita idamannya di sebuah t _dengan backsound laga India; padahal Togog dan kekasihnya itu dikemas dalam kostum lengkap punalcawan. Dari beberapa temtran di atas kita bisa menarik benang merah bahwa Banyumas yang hendak ditampilkan dalam televisi lokal ini adalah Banyumas yang -dai
qT
senantiasa terbuka dan dinamis;
Acta Diurna, Volume 5 No.2, September 200g
kekuatan utama yang mencirikan kultur Banyumasan--- dan itu yang diangkat oleh BMSTV--- adalatrpada ekspresi bahasanya. Sementara dalam beberapa-kasus yaog tit lelaah ternyata kostum sebagai-penanaa kultural tidak terlalu ditekankan untuk mencirikan identitas Banyumas. Hal inilah yang dimaksudkan oleh Carlyle (dalam Dillistone 2002:60) bahwa tidak ada suatu apa pun yang tetap dan tidak berubatr dalam sebuah simbol. Simbol dapat menjadi usang dan kuno. Dapat digantikan aengan apa yang :esu-a, dengan keadaan dan liondiii y*g berubah. Pakaian sebagai salah ,eLua[ simbol, demikian menurui Carlyle, hanyalah plu"h topelg, sebuah petunjuk tentang iub.u,uq,. tingka! status, p€ftman, tetap'i bukan identifikasi deagan siratu Uagian daxi pengadahakiki.
Kajian Televisi Lokal dalam percpektif CulturalStudics Menurut Hall, media massa meurang
memiliki kecenderungan
untuk
mereproduksi interpretasi yang melayani kelompot kepentingan dari kelas penguasa, dan media massa juga merupa*o ti*put tedadinya pertarungan idiologi. Uatt berpendapat bahwa ideologi dominin secara hq* bisa digambarkan sebagai ,prefened reading'dalam teks medi4 namun ini tiOat serta merca diadopsi oleh pembacanya (MarrisdanThornham,lggg :i7). Situasi
sosial yang ada dalam
diri
pembaca,
penonton, pendengar menjadi fhktor yang
mendorong mereka untuk menangtal
makna secara berbeda-beda. yang dimakud dengan'reading, di sini menurufHail tidak
hanya merupakan kapasitas untuk
mengidentifikasi dan men-decode sej umlah tanda tertenfil melainlan juga kapasitas zubjektif untuk menempatkan- tanaa-tanaa itu dalam hubrmgan laeatif antara diri pembaca itu sendiri dengan tanda-tanda yang lain; suatu kemampuan A dahm nmna seseorang mengenali kesadaran dirinya
secara
total dalam Iingkungannya
(MarrisdanThornham,
t 999: 5
[). 103
!
ri
i{
!
:;.:=*==-:-'-
E G
'Dominant reading' dihasilkan oleh mereka yang situasi sosialnya sejalan dengan 'pefened reading'. Sementara'negotiated reoding' dihasilkan oleh mereka yang menilai'prefene d re ading' tidaksepenuhnya sejalan dan bisa diterapkan sesuai dengan sitnasi sosialnya. Sedangkan'oppositional reading' dibasilkan oleh mereka yang posisi
sosialnya menempatkan mereka
berseberangan dengan apa yang ditawarkan
dalam'preferred
reading'
(ManisdanThornham, I 999: 5 8).
Data-data yang digali dalam penelitian ini menuqiul*an adanya polapola pemaknaan kultural yang beragam dalam diri pemirsa terhadap teks, di rlatra latar belakang kultural yang mulivaset
dalam diri seseorang memiliki
kecederungan yang kuat memengaruhi pemaknaan terhadap teks tersebut. Bila dikaitkan dengan beberapa kategori konsep identitas kultrral yang menjadi perhatian penelitian ini maka bisa dilihat bagaimana pemirsa kemudian mendefinisikan teks itu mertrlrntt pe r speltif kultur al mereka s endir i. Tabel
I Kategori
Hal ini mengingatkan kita pada teori respon pembaca yang dikemtrkakan oleh Stanley Fish (dalam Littlejohn,2O02: 190). Menurut Fish makna itu terletak pada sisi pembaca dengan mekanisme yang kemudian dikenal sebagai teori respon pembaca. Teks menstimulasi pembaca aktif, namun dalam diri pembaca tersebut sudah terkandung makna, dan penafsiran lalu tidak bergantung padateksnya Dalam penafsiran, individu si pembaca itu tidaklah terlepas dari konteks komunitasaya. Menurut Fish pembaca adalah bagian dari sebuah komunitas penafsia suatu kelompok yang saling berinteraksi satu dengan lainnya yang kemudian mengftonstnrksikan realitas
serta makna-makna bersama
dan
menjadikannya dasar di dalam pembacaan mereka. Dalam model penafsiran seperti ini maka tidak ada makna objektif turggal dalam sebuah teks. Juga tidak ada yang disebut penafsiran yang benar. Segala sesuatu bergantung pada si pembaca. Teori respon pembaca inilah yang kemudian sangat berpenganrh dalam studi media.
Persepsi Kultural dan Definisinya
KATEGORI
KETERA}IGA}I
Respon Interpelasi
Gejala yang tampak
:
Peserta diskusi memberikan tanggapan terhadap sapaan teks yang bermuatan kultural Banyumas. Ada dua kecenderungan yang muncul: pertama partisipur merasa "teiengkuh" menjadi bagan dalam kulturyang
terepresentasikan (+) ; kedua,partisipan menjadi subjekyang di luar wacana kultural teks tersebut (- )
Definisi: Yang dimaksud respon interpelasi dalam konteks ini adalah tanggaPaa pemirsa terhadap tayangan yang merepresentasikan suatu ikon btrdaya t€rtentu, yang menunjukkan apakah pemirsa tersebut terbangkiftan atau tidak rasa identitas kulturalnya sejalan dengan'kultud yang terepresentasikan dalam tayangan tersebut. Resepsi ( Adopsi
Kode Program)
Gejala yang tampak : pernyataan peserta dalam diskusi yang mencemrinkan sebuah penilaian terhadap muatan yang terkandrmg dalam tayangan. Ada yang secara lugas sepakat dengan nilai-nilai yang ditawarkan oleh pembuat program, se,mentaratidak
dikit
104
Acta Diurna, Volume 5 No.2, &pember 2008
yang cenderung tidak sejalan dengan'isi' atau muatan yang dibawakan tayangan. Pernyataan tersebut tampaknya sudah menrpakan bentuk interpretasi dan tidak lagi sekedar tingkat pembacaan atau pemahaman. Dari beberapa pernyataan tersebut maka dikategorikan ke dalam tiga
posisi sebagai berikut: l.-Dominant (ataa thegemonfc) reading: pembaca sejalan dengan kodekode program (yang didalamnya terkandung nilai-nilai,sikap,keyakinan dan asumsi) dan secara penuh menerima makna yang disodorkan dan dikehendaki oleh si pembuat program. ZNegotiated reading: pembaca dalam batas-batas tertentu sejalan dengantode-kode program dan pada dasarnya menerima maknayang disodorkan oleh si pembuat program namun memodifikasikannya sedemikian rupa sehingga mencerminkan posisi dan minat-minat pribadinya. 3.Oppositianal ('counter hegemonic) readtng: pembaca tidak sejalan dengantode-kode program dan menolak makna atau pembacaaa yang disodorkan, dan kemudian menentukan frame altematif sendiri di dalam menginterpretasikan pesan/program.
Irnc{ Sienifikasi
Gejalayang taurpak:
Schgian peserta mencoba menangkap 'maksud' dari tayangan tersebut mencoba menangkap apa sesungguhnya yang hendak {!"g* pengertian disampaikan pembuat program dalam tayangao ini. Gejaia interpretasi teks dalam kosep'level signifikansi' ini ke'mudian didefinisikan sebagai: Pemalmasn pembaca teks terhadap program, apakatr teks tersebut dipahami sebagai semata teks denotatif ftumor) atau teks konotatif (pesan politik atau lainnya dalam kemasan satire)
fr*rcnsiKultural
Gejalayang tampak
:
Bebe,rapa peserta mencoba untuk menangkap ikon-ikon kultural Banyumas tertentu sebagai salah satu referensi untuk mengenal karakter orang Banyumas. Beberapa penanda kultural yang menonjol adalah dialek bahasa Banyumag gesture atau bahasatubuh ketika orang
berdialog. Gejala ini kerrudian didefinisikan sebegai
:
Pemalnaan pemirsa terhadap program tayangan dan menjadikannya sebagai salah satu referensi kultural urrtuk memahami budaya Banyumas
ffier
:,
d*aprimer diolah
rm}III.AIY Sebagai sebuah televisi lokal TV memiliki konsepsi bahwa ini beroperasi pada setting yang memiliki keunikan dan budaya lokal. Selain itq sebagai yaog mempertemukan antara ifrperekonomian Jawa bagian Barat dan
E5raao
h lrrcisi
Dhm4
Yolume 5 No.2, September 2008
Timur maka Banyumas memang mencirikan kondisi yang plural di mana masyarakatnya berasal dari berbagaidaerah. Hal inilahyang kemudian membuat media ini harus melakukan pilihan antam melayani pemirsa yang beragam kultural dengan pemirsa yang hanya masyarakat asli Banyumas. Narrun, karena dalam proses pembentukannya
media lokal
ini belum membekali diri 105
dengan kajian terhadap calon pemirsanya berkaitan dengan kebutuhan akan muatan lokal maka dalam beberapa hal masih terjadi ketidaksesuaian antara apa yang dikehendaki pemirsa dengan tayangan yang disaj ikan kepada mereka. Sebagai sebuah media televisi lokal
yang tengah mencoba untuk mencari sosoknya yang mapan, Banyumas TV pada
umumnya memang belum maksimal di dalam merepresentasikan unsur-unsur kekayaan budaya lokal. Hal ini dikarenakan keterbatasan dalam penyelenggaraan program acara lokal yang memang memrntut biaya produksi yang amat besar. Namun demikian, dalam beberapa mata acara yang ditayangkan melalui kerjasama dengan runatr produksi lokal, Banyumas TV tetap mencoba untuk bisa memberi ruang bagi representasi identitas kultural Banyumas; meski untuk ini baru sebatas pada genre
seperti serial Kartun Batyumasan atau gewe acara talk slnw acara komedi
bernuansa humor seperti Gudril Banyumasan. Melalui tayangan yang
lokal ini, Banytmas W mengkonstuksi budaya Banyumas sebagai budaya yang kontemporer, transparan, cair, dinamis dan terbuka. Hal ini sejalan dengan karakteristik budaya Banyumas yang dalam ikon batrasanya dikenal sebagai masyarakat berntransa kultural
Trangcablalw. Di dalam memberi ruang taurpilnya (representasi) identitas kuttural Banyumas dalanr tayangan, khususnya dalam genre mata acara komedi, bahasa atau dialek Jawa
Banyumasan menjadi satu kekuatan sekaligus penanda kultural yang dominan.
Banyumas yang terbuka sehingga tidak meniadakan mastrknya unsur penanda sub kultural lainflya dalam tayangarmya. Hasil yang diperoleh melalui kajian resepsi khalayak, penelitian ini menemukan kenyataan bahwa pemirsa dari berbagai latar belakang kultural memiliki penerimaan (resepsi) yang beragam khususnya terhadap tayangan yang merepresentasikan identitas kultural Banyumas. Perbedaan identitas kulfiral, dan latar belakang sosial ekonomi pemirsa menjadi faktor yarg sangat mewarnai resepsi kultural pemirm. Bagi pemirsa asli Banyumas yang karaktemya masih cenderung tradisional, tayangan seperti Kartun Banyumasan dan Gufuil Banyumasan telah berhasil menyapa (interpelasi) mereka dan menempatkan pemirsa tersebut sebagai subjek yang terwakili identias kulturalnya. Sedanglen bagi pemirsa yang bukan asli Banyumas dan juga pemirsa yang asli Banyumas namun berkarakter modern, cenderung meresepsi tayangan-tayangan tersebut secara lebih laitis dan me'maknai tayangan tersebut dalam kerangka kultural mereka sendiri. Sebagai salah satu tayangan yang mencoba melestarikan unsur budaya Banyumas, meskipun baru dalam aspek dialek bahasa Banyumasannya, tayangan seperti Kartun Banyumasan relatif bisa menarik minat pemirsa yang btrkan asli Banyumas trntuk masuk dan memahami karakter Banyumas. Dalam kadar tertentu, tayangan ini sudah bisa dikatakan sebagai salah satu referensi lultural bagi pemirsa yang btrkan asli Bayumas.
Sementara, dalam hal kostum sebagai salah
I}AT'TARPUSTAKA
tayangannya, ternyata bukan dijadikan penanda yang spesifik menampilkan cirikhas Banytrmas, karena tidak sedikit kostum yang dipakai justru menampilkan
A. Postmodernism and Islam. London: Routledge, 19E2. Branston, Gill danRoy Staford.The Media Student's Book New Yorlg N.Y.: Roudledge,1996. Bryman, Alan. Social Research Metlwds.
satu ikon kultural dalam tayangan-
kek*rasan sub kultur Jawa negarigung (Solo-
Jogia-nan). Hal ini justru menguatkan asumsi batrwa televisi lokal ini mencoba
menampilkan karakteristik budaya 106
Ahmed,
USA
:
Oxford University hess,
2001.
Acta Diurna, Volume 5 No.2,
@ember
2008
Caey, James'W. *A Cultural Approach to Cornmunication". Dalam Dennis Mc Quail ( ed.). Mc.Quail's Reader in Mass Communication Theory. London : SagePublicatioq 2002. Dillistone, F.W. The Power of Symbol Dqya Kehtatan Simbol. Ted. A.
Widyamartaya. Yogyakarta:
Kanisius,2002. Effendi Gazali dkk (ed.) Konstruksi Sosial Industri Penyiaran (Plus Acuan tentqng Penyiaran Publik dan
Komunitas. Jakarta: penerbit Departemen Ilmu Komunikasi FISIP
uI,2003.
Eriyanto. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yoryakarta
:
Lkis, 2001. Fiske, John. Tblevision Culture. London: Rotledge, 1997.
Fairclough, Noruran. Media Discourse. London:Arnold, 1995. Gillespie, Marie. Television, Ethnicity and Cultural Change. London danl.Iew Yok: Routledge, 1995.
Lapsley, Robert. dan Michael Westlake. Film Theory : An Introduction. Manchester: Manchester University Press,1988.
LittlejohrU Stephen W. Theories of Human C o mmuni c ati on.(7 ed.)U SA : Wadworth,2W2.
lvlarcuq George E. dan Fred. R Myers. *The
Traffic in Art and Culture
Introduction" Dalam
:
An
George E. Marcus dan Fred R. Myers @d.), The Trafrc in Culture:Refigurating Art
and Antopology.Berkeley: University of California Ptess, I 991 .
Marris, Paul dan Sue Thomham. Media Studies A Reader 2ed. Ednbxgh: Edinburgh University Press Ltd., t996. O'Shaughnessy, Michael dan Jane Stadler, Media and Society qn Introduction
(2ed.). New York: oxford
University,200z. O'Sullivan, Brian Dutton dan Philip Rayner.
Studying The Media:
an
Introduction, London: Arnol{ I 998. Pawito. "Media Massa dalanr Masyarakat
Pluralis". Sarasehon Nasional Etnisitas, Multulturolisme, dan Media Mossa, Surakarta, 28 November 2006, Program Studi Ilmu Komunikasi Pascasarjana Universitas Sebelas Maret (UNS).
Stevenson, Nick Understanding Media Culane. London : Sage Publication" 1995. SturkerU M. dan Lisa Cartwright Practices
of Looking, an Inlroduction to Yiswl
Culture. New York: Oxford
University Press, 200 I .
Lustig, Myron.W. dan Jolene Koester. Intercultural Competence : Interpersonal Communicatian across Cultures. USA : Allyn dan Bacon,2003. Manayang, Victor. "Penyiaran Sebagai Pers: Menyikapi UU Penyiaran dan KPI' . Dalam Effendi Gazali dkk (ed.)
Konstruksi Sosial Industri
Penyiaran (Plus Acuan tentang Penyiaran Publik dan Kotnunitas. Jakarta: penerbit Departemen Ilmu Komunikasi FISIP UI, 2003.
Acta Diurna, Volume 5 No.2, September 2008
ta7