PELAKSANAAN PROSES PEMECAHAN HAK ATAS TANAH DI PPAT UNTUK MENDAPATKAN KEPASTIAN HUKUM
JURNAL ILMIAH Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta Oleh : Kukuh Cahyono 11100004
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA 2015
ABSTRAKSI
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui Bagaimanakah pelaksanaan proses pemecahan hak atas tanah di PPAT guna mendapatkan kepastian hukum serta apa yang menjadi hambatan dalam pelaksanaa proses pemecahan hak atas tanah di PPAT . Dalam hukum perdata yang tertuang didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Per) merupakan hukum yang diwariskan oleh pemerintahan kolonial dan bersinergi dengan itu dibuatlah Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 tahun 1960 kemudian diperkuat kembali dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah yang mengatur secara khusu mengenai agraria Indonesia, Dalam hal ini penulis mencoba untuk mengangkat mengenai proses pemecahan hak atas tanah di Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) guna mendapat kepastian hukum sesuai dengan realita yang ada dalam masyarakat. Disini penulis menggunakan metode penelitian deskriptif analisis, dengan menggunakan data sekunder, melalui literatur-literatur, karya tulis ilmiah dan perundangundangan yang berlaku yang kemudian dianalisis secara kualitatif. Dalam pelaksanaan proses pemecahan hak atas tanah terbagi menjadi dua prosedur yaitu pemecahan tanah akibat jual beli dan akibat warisan, yang penulis angkat dalam hal ini adalah pelaksanan proses pemecahan hak atas tanah akibat jual beli. Dalam perkembangannya pelaksanaan proses pemecahan hak atas tanah akibat jual beli ini bersifat prosedural dan sudah difasilitasi oleh pemerintah dengan pengisian formulir yang dilampiri syarat-syarat yang sudah ditentukan bagi para pihak yang akan melaksanakan proses pemecahan hak atas tanah, yang kemudian dari pengisian formulir tersebut akan dikeluarkan surat keputusan dari Badan Pertanahan Nasional mengenai pengukuran tanah yang akan dipecah berdasarkan Peraturan Mentri BPN No 3/1997 pasal 73 dan 74 tentang pengukuran tanah selanjutnya akan dibuat beberapa panitia yang bertugas mengukur tanah tersebut dan mempunyai kualifikasi masing-masing dan setelah proses pemecahan telah selesai selanjutnya para pihak wajib mendaftarkan tanah yeng sudah dalam bentuk pecahan tersebut kembali untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah. Dalam pendaftaran pemisahan bidang tanah surat ukur, buku tanah dan sertifikat yang lama tetap berlaku untuk bidang tanah semula setelah dikurangi bidang tanah yang dipisahkan dan pada nomor surat ukur dan nomor haknya ditambahkan kata “sisa” dengan tinta merah. Sedang dalam lampiran IX peraturan No 6/2008 menyebutkan bahwa waktu pemecahan bidang tanah adalah 15 (lima belas) hari kerja sejak berkas diterima lengkap oleh Badan Pertanahan. Tetapi dalam realitanya proses pemecahan hak atas tanah ini melebihi waktu yang telah ditentukan yakni 15 (lima belas) hari dikarenakan beberapa faktor eksternal dan internal dari para pihak pemohon itu sendiri, dari eksternal masalah yang dihadapi adalah Badan Pertanah itu sendiri yang terkadang kurang disiplin dalam menjalankan tugas-tugasnya dan kurangya SDA dari Badan Pertanahan tersebut, sedang masalah internal yaitu kurang lengkapnya berkas/lampiran sebagai syarat yang diminta dari Badan Pertanah sehingga hal ini menunda proses pelaksanaan tanah tersebut. Kata kunci : Pemecahan Tanah akibat jual beli, Kepastian Hukum, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Bagi kehidupan manusia tanah merupakan hal yang sangat penting, tanah tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia. Apalagi Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya termasuk perekonomiannya terutama masih bercorak Agraria, yang mayoritas penduduknya bercocok tanam dan mendapatkan hasil dari cocok tanam tersebut. Dalam masa sekarang ini, tanah disamping digunakan untuk pertanian juga untuk pembangunan, seperti : perkantoran , perumahan, dan sebagainya, sehingga pemanfaatan tanah sangat penting untuk membangun masyarakat adil dan makmur. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang tercnatum dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yang berbunyi : “Bumi, Air dan Kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kata “dikuasai” dalam kalimat tersebut bukanlah dimiliki tetapi pengertian yang memeberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya. b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai orang atas bumi, air dan ruang angkasa. c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antar orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Berdasarkan pada hak menguasai tersebut negara bertujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kekuasaan negara yang dimaksud meliputi semua tanah yang ada didalam wilayah Republik Indonesia, baik tanah-tanah yang tidak atau 1
belum maupun yang sudah di haki dengan ha-hak perorangan dalam UUPA disebut tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara, yang dalam Administrasi Pertanahan disingkat menjadi tanah-tanah negara dengan berpedoman pada tujuan tersebut diatas maka Negara dapat memberikan tanah yang sedemikian itu kepada seseorang atau Badan Hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya misalnya ; Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, dan sebagainya. Sebelum berlakunya UUPA Hukum Agraria Negara Republik Indonesia masih dalam kondisi peralihan peralihan dan bersifat sementara, hal ini dapat dilihat pada aturan Domein Verklaring 1870, peralihan Undang-Undang Pemerintah Penduduk Jepang No.1 UUD 1945, Konstitusi RIS, UUDS. “Tahapan Produk hukum unifikasi lahir peraturan yakni UUPA No. 5 Tahun 1960, PP No. 10 Tahun 1961 yang diperbarui dengan PP No. 24 Tahun 1997. Berdasarkan pada Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 dan PP No. 10 tahun 1961 yang telah diperbarui dengan PP No. 24 tahun 1997 sebagai dukungan peraturan pelaksanaan untuk peningkatan pembangunan nasional bidang keagrariaan dalam memberikan jaminan kepastian hukum hak atas tanah. Hal ini dilakukan dengan pendaftaran tanah yang mencakup analisis aspek-aspek seperti kondisi empirik perolehan hak atas tanah, peningkatan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik pada masyarakat, pelaksanaan hak tanggungan, perwujudan kepastian hukum, konsolidasi tanah dan lain-lain. Pendaftaran tanah didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah hal tersebut akan berakibat diberikannya surat tanda bukti atas tanah (sertifikat) kepada pemohon berlaku sebagai tanda bukti yang kuat terhadap hak 2
atas tanah yang dipegangnya itu dan menjamin kepastian hukum. Hal tersebut sesuai dengan tujuan dibentuknya UUPA yaitu meletakkan dasar-dasar untuk memberi kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat. Jadi dengan dilaksanakannya tujuan tersebut maka hal itu berarti sesuai dengan UUPA pasal 19 yang berbunyi untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh Wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah : pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi pengukuran, penetapan, dan pembukuan tanah ; pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut dan pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian kuat.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian diatas serta untuk memudahkan pemahaman terhadap masalah yang akan diteliti, maka penulis merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan proses pemecahan hak atas tanah di PPAT untuk mendapatkan kepastian hukum ? 2. Apa hambatan yang dapat terjadi dalam pelaksanaan proses pemecahan hak atas tanah di PPAT untuk mendapatkan kepastian hukum ?
C. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Hukum Jenis penelitian hukum yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum yuridis empiris yaitu penelitian tipe deskriptif. Deskripsi maksudnya, penelitian ini pada umumnya bertujuan mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat 3
dengan sumber data primer sebagai sumber utamnya dan data sekunder sebagai bahan pendukung
2. Sumber Data a. Data primer Data primer diperoleh mealui penelitian lapangan (field research). Penelitian lapangan yang dilakukan merupakan upaya memperoleh data primer berupa observasi, wawancara, dan keterangan atau informasi dari responden. b. Data sekunder Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) atau studi dokumentasi. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan teori-teori hukum dan doktrin hukum, asas-asas hukum, dan pemikiran konseptual serta penelitian pendahulu yang berkaitan dengan objek kajian penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, literatur dan karya tulis ilmiah lainnya. 1) Bahan Hukum Primer, meliputi ; a) Undang-Undang Dasar 1945 b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata c) Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960. d) Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. e) Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
4
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang terdiri atas tulisan, jurnal, makalah yang terkait dengan topik penelitian. 3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan atau petunjuk terhadap bahan hukum, primer dan sekunder, misalnya kamus, ensiklopedia, bahan dari media internet dan sebagainya. c. Metode Pengumpulan Data Guna mendapatkan data dalam penelitian ini dibutuhkan teknik pengumpulan data untuk mendapatkan data primer dan data sekunder yang keduanya akan dianalisis, teknik pengumpulan data yang akan diperoleh dalam penelitian ini adalah ; 1) Penelitian Lapangan Teknik pengumpulan data dengan cara observasi yakni mengadakan pengamatan secara langsung terhadap gejala-gejala yang diteliti dan mengadakan pencatatan secara sistematis, selain cara observasi juga dilakukan dengan cara wawancara. Wawancara dilakukan dengan responden, yakni pejabat pembuat akta tanah PPAT Farida Arianti, S.H. dan Kantor Badan Pertanahan Kota Surakarta berdasarkan pokok-pokok yang ditanyakan (interview guide) berdasarkan kerangka pertanyaan yang telah disusun dan disajikan responden untuk memperoleh data. 2) Studi Pustaka Data ini diperoleh dengan mempelajari buku-buku referensi, yakni berupa skripsi, disertasi, tesis dan hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, namun bahannya memilki relevansi dengan masalah yang penulis teliti yaitu
5
tentang pelaksanaan proses pemecahan hak atas tanah di PPAT untuk mendapatkan kepastian hukum akibat jual beli. d. Metode Analisis Data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan serta data hasil penelitian lapangan akan digunakan untuk memperkuat data hasil penelitian kepustakaan, selanjutnya akan dilakukan pengeditan data. Setelah pengeditan data selesai dilakukan, maka proses selanjutnya adalah pengolahan data dan selanjutnya akan dilakukan analisis data secara deskriptif-analisis-kualitatif, dan khusus terhadap data dalam dokumen-dokumen akan dilakukan kajian isi (content analysis).
D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Proses
Pemecahan Hak Atas Tanah Di (PPAT) Untuk
Mendapatkan Kepastian Hukum Akibat Jual Beli Dalam pelaksanaan proses pemecahan hak atas tanah di PPAT harus melalui beberapa prosedur yang harus dilewati terlebih dahulu sebagai syarat sahnya suatu pelaksanaan pemecahan tanah. Prosedur yang harus dilalui dalam proses pemecahan hak atas tanah di PPAT untuk mendapatkan kepastian hukum akibat jual beli adalah sebagai berikut : 1. Untuk prosedur pertama para pemohon harus mengisi Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani pemohon atau kuasanya diatas materai cukup (yang memuat : identitas diri, luas, letak dan penggunaan tanah yang dimohon,
6
pernyataan tanah tidak dalam sengketa, pernyataan tanah dikuasai secara fisik, alasan pemecahannya). 2. Untuk prosedur yang kedua pemohon mengisi Surat kuasa apabila dikuasakan, surat kuasa ini dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah di hadapan pihak pemohon dan orang yang diberi kuasa. 3. Prosedur yang ketiga melampirkan Foto copy identitas pemohon (KTP dan KK) dan kuasa apabila dikuasakan, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh PPAT. 4. Prosedur yang keempat, pemohon membawa Sertifikat asli sebagai alat untuk legal formalnya dan mengetahui tata letak bidang yang akan di pecah. 5. Prosedur yang kelima mengajukan Izin Perubahan Penggunaan Tanah, apabila terjadi perubahan penggunaan tanah. 6. Prosedur yang keenam melampirkan bukti SSP/PPh sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Badan Pertanahan. 7. Prosedur yang ketujuh mengisi Tapak kavling dari Kantor Pertanahan dan setelah tapak kavling keluar dalam bentuk Surat Keputusan yang berisi mengenai identitas pemohon, keterangan yang dimohon, kondisi tanah yang dimohon dan rekomendasi yang berdasarkan Peraturan daerah Nomor 1 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). 8. Prosedur yang kedelapan yaitu mengisi formulir ukur yang telah di sediakan oleh PPAT Setelah formulir di setujui maka akan dikeluarkan surat kuasa ukur dari Badan Pertanahan Kota yang selanjutnya akan melaksnakan pengukuran bidang tanah yang akan di pecah
7
Pengukuran Tanah: Pengukuran tanah dalam rangka pemecahan sertifikat diatur didalam Pasal 73 dan Pasal 74 Permen BPN No.3/1997 yang pada intinya mengatur sebagai berikut: Untuk melakukan pemisahan atas sertifikat yang melakukan pemisahan diperlukan pengukuran kembali bidang tanah yang bersangkutan dan pemeliharaan data fisik dan yuridis. Karena tanah yang dipecah memiliki status hukum yang sama dengan bidang tanah induknya. Instansi yang berwenang untuk Melakukan Pengukuran Tanah : a. Pengukuran suatu bidang tanah yang luasnya 10 Ha. sampai dengan 1000 Ha dilaksanakan oleh Kantor Wilayah; b. Pengukuran suatu bidang tanah yang luasnya lebih dari pada 1000 Ha. dilaksanakan oleh Badan Pertanahan Nasional. Hasil kedua pengukuran tersebut wajib dilaporkan kepada Kepala Kantor Pertanahan. Apabila diperlukan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi dapat memperbantukan petugas dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi atau Kantor Pertanahan lainnya dalam bentuk penugasan khusus maupun “task force” untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu. Tugas pemantauan dan pemberian bimbingan ini dipertanggungjawabkan oleh Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi kepada Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Deputi Bidang Pengukuran dan Pendaftaran Tanah. Berdasarkan penunjukan Deputi bidang Pengukuran dan Pendaftaran Tanah pengukuran bidang tanah yang luas atau yang banyak jumlah bidangnya dapat
8
dilaksanakan oleh pihak ketiga. Pelaksanaan pengukuran bidang tanah oleh pihak ketiga ini disupervisi dan hasilnya disahkan oleh Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah atau Deputi Bidang Pengukuran dan Pendaftaran Tanah sesuai kewenangannya. Permohonan untuk Mengajukan Pengukuran Tanah: Permohonan untuk melakukan pengukuran tanah di tujukan kepada Kepala Kantor Badan Pertanahan Pengukuran: Setelah petugas pengukuran menerima perintah pengukuran, maka segera melakukan persiapan sebagai berikut : 1. Memeriksa tersedianya sarana peta seperti peta pendaftaran atau peta dasar pendaftaran atau peta lainnya pada lokasi yang dimohon; 2. Merencanakan pengukuran di atas peta pendaftaran atau peta dasar pendaftaran atau peta-peta lainnya yang memenuhi syarat, apabila tanah yang dimohon belum mempunyai gambar situasi/surat ukur; 3. Dalam hal tidak terdapat peta pendaftaran atau peta dasar pendaftaran atau peta lain yang memenuhi syarat, maka segera disiapkan perencanaan pembuatan peta pendaftaran; 4. Memeriksa tersedianya titik dasar teknik disekitar bidang tanah yang dimohon; 5. Dalam hal tidak terdapat titik dasar teknik di sekitar bidang tanah yang akan diukur, meminta kepada pemohon untuk menyiapkan tugu titik dasar teknik minimal 2 (dua) buah dan bentuknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
9
6. Apabila kegiatan pengukuran bidang tanah diperlukan, mengadakan persiapanpersiapan, seperti menyiapkan formulir-formulir untuk pengukuran seperti gambar ukur, formulir pengukuran poligon; dll. Penetapan Batas Tanah: Sebelum pelaksanaan pengukuran bidang tanah, petugas ukur dari Kantor Pertanahan terlebih dahulu menetapkan batas-batas bidang tanah dan pemohon memasang tanda-tanda batas. Apabila pengukuran batas bidang tanah dilaksanakan oleh pihak ketiga, penetapan batas bidang tanah dilaksanakan oleh Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah atau petugas yang ditunjuknya. Penetapan batas dilakukan setelah pemberitahuan secara tertulis kepada pemohon pengukuran, dan kepada pemegang hak atas bidang yang berbatasan. Pemberitahuan ini dilakukan selambatlambatnya 10 (sepuluh) hari sebelum penetapan batas dilaksanakan. Setelah penetapan batas dan pemasangan tanda-tanda batas selesai dilaksanakan, maka dilakukan kegiatan pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah. Pengumpulan dan Penelitian Data Yuridis Bidang Tanah: Untuk keperluan penelitian data yuridis Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah menyerahkan alat-alat bukti yang ada dan daftar isian 201 yang sudah diisi sebagian dalam rangka penetapan batas bidang tanah kepada Panitia A. Setelah penelitian data yuridis selesai dilakukan, maka Panitia A menyerahkan daftar isian 201 yang sudah diisi kepada Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah yang selanjutnya menyiapkan pengumuman data fisik dan data yuridis. Penelitian Data Fisik oleh Tim A
10
Setelah pengumpulan dan penelitian data yuridis dilakukan oleh Kepada Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah kemudian data itu diajukan kepada Panitia A untuk diperiksa kembali dalam pendaftaran tanah secara Sporadik adalah sebagai berikut: 1. Meneliti data yuridis bidang tanah yang tidak dilengkapi dengan alat bukti tertulis mengenai pemilikan tanah secara lengkap; 2. Melakukan pemeriksaan lapangan untuk menentukan kebenaran alat bukti yang diajukan oleh pemohon pendaftaran tanah; 3. Mencatat sanggahan/keberatan dan hasil penyelesaiannya; 4. Membuat kesimpulan mengenai data yuridis bidang tanah yang bersangkutan; 5. Mengisi daftar isian 201. Untuk menilai kebenaran pernyataan pemohon dan keterangan saksi-saksi yang diajukan dalam pembuktian hak, Panitia A dapat : a. Mencari keterangan tambahan dari masyarakat yang berada di sekitar bidang tanah tersebut yang dapat digunakan untuk memperkuat kesaksian atau keterangan mengenai pembuktian kepemilikan tanah tersebut; b. Meminta keterangan tambahan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada huruf (a) yang diperkirakan dapat mengetahui riwayat kepemilikan bidang tanah tersebut dengan melihat usia dan lamanya bertempat tinggal di daerah tersebut. c. Melihat keadaan bidang tanah di lokasinya untuk mengetahui apakah yang bersangkutan secara fisik menguasai tanah tersebut atau digunakan pihak lain dengan seizin yang bersangkutan, dan selain itu dapat menilai bangunan dan
11
tanaman yang ada di atas bidang tanah yang dapat digunakan sebagai petunjuk untuk pembuktian kepemilikan seseorang atas bidang tanah tersebut. Hasil penelitian data yuridis oleh Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah dan atau Panitia A sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dicantumkan dalam Risalah Penelitian Data Yuridis dan Penetapan Batas (daftar isian 201). Pengumuman Data Fisik dan Data Yuridis: Kutipan data yuridis dan data fisik yang sudah dicantumkan dalam Risalah Penelitian Data Yuridis dan Penetapan Batas (daftar isian 201) oleh Panitia A dimasukkan dalam Daftar Data Yuridis dan Data Fisik Bidang Tanah (daftar isian 201C), yang merupakan daftar isian yang dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Untuk memberi kesempatan bagi yang berkepentingan mengajukan keberatan atas data fisik dan data yuridis mengenai bidang tanah yang dimohon pendaftarannya, maka Daftar Data Yuridis dan Data Fisik Bidang Tanah (daftar isian 201C) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan peta bidang tanah yang bersangkutan diumumkan dengan menggunakan daftar isian 201B di Kantor Pertanahan dan Kantor Kepala Desa/Kelurahan letak tanah selama 60 (enam puluh) hari. Dengan mempertimbangkan kemungkinan masalah pertanahan yang akan timbul Kepala Kantor Pertanahan dapat memutuskan bahwa pengumuman mengenai data fisik dan data yuridis mengenai tanah yang dimohon pendaftarannya dilaksanakan melalui sebuah harian umum setempat dan atau di lokasi tanah tersebut atas biaya pemohon.
12
Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis Setelah jangka waktu pengumuman sebagaimana berakhir, maka data fisik dan data yuridis tersebut disahkan oleh Kepala Kantor Pertanahan dengan Berita Acara Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis (daftar isian 202). Apabila pada waktu pengesahan data fisik dan data yuridis tersebut masih terdapat kekurang lengkapan data atau masih ada keberatan yang belum diselesaikan, maka pengesahan tersebut dilakukan dengan catatan mengenai hal-hal yang belum lengkap dan atau keberatan yang belum diselesaikan. Kepada
pihak
yang
mengajukan
keberatan
disampaikan
kepadanya
pemberitahuan tertulis agar segera mengajukan gugatan ke Pengadilan. Keberatankeberatan tersebut didaftar dengan menggunakan daftar isian 309. 9. Prosedur yang kesembilan adalah pengisian formulir pecah bidang yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan. Pada saat sebidang tanah yang dibeli dari tanah induk tersebut sudah dipecahkan, maka anda dengan pihak penjual dapat menandatangani AJB (Akta Jual Beli) di hadapan PPAT untuk keperluan pendaftarannya. Berdasarkan Lampiran II Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan (Perka BPN No. 1/2010), jangka waktu pemechan / pemisahan satu bidang tanah milik perorangan adalah 15 (lima belas) hari.
13
Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilyah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang pokok agraria No. 5 tahun 1960 pasal 19 ayat (2) Pendaftaran tersebut diatas meliputi ; a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah yang sudah di pecah; b. Pendaftaran hak atas tanah dan peralihan hak-hak tesebut; c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat; d. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan Masyarakat, keperluan lalu lintas sosial, ekonomis serta kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria. Ketentuan-ketentuan mengenai pendaftaran tanah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (PP 10/1961), tetapi dalam perkembangannya Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 ini kurang efektif dan belum mampu memberikan hasil yang memuaskan sehingga disempurnakan dan diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam hal pemisahan sertifikat untuk tiap bidang harus dibuatkan surat ukur, buku tanah dan sertipikat untuk menggantikan surat ukur, buku tanah dan sertipikat asalnya. Apabila tanah yang ingin dipisahkan tersebut dibebankan hak tanggungan, dan atau beban-beban lain yang terdaftar, maka pemecahan sertifikat tersebut baru boleh dilaksanakan setelah diperoleh persetujuan tertulis dari pemegang hak
14
tanggungan atau pihak lain yang berwenang menyetujui penghapusan beban yang bersangkutan. Dalam pendaftaran pemisahan bidang tanah surat ukur, buku tanah dan sertifikat yang lama tetap berlaku untuk bidang tanah semula setelah dikurangi bidang tanah yang dipisahkan dan pada nomor surat ukur dan nomor haknya ditambahkan kata “sisa” dengan tinta merah, sedangkan angka luas tanahnya dikurangi dengan luas bidang tanah yang dipisahkan. Pemecahan bidang tanah tidak boleh merugikan kepentingan kreditor yang mempunyai hak tanggungan atas tanah yang bersangkutan. Oleh kerena itu pemecahan tanah itu hanya boleh dilakukan setelah diperoleh persetujuan tertulis dari kreditor atau pihak lain yang berwenang menyetujui penghapusan beban lain yang bersangkutan sehingga beban yang bersangkutan tidak selalu harus dihapus. Dalam hal hak tersebut dibebani hak tanggungan, hak tanggungan yang bersangkutan tetap membebani bidang-bidang hasil pemecahan itu. Dalam hal tanah yang ingin dipecah adalah tanah pertanian, maka diwajibkan untuk memperhatikan ketentuan mengenai batas minimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jangka Waktu Pemisahan Sertifikat: Berdasarkan Lampiran IX Peraturan No.6/2008 menyebutkan bahwa paling lambat 15 (lima belas) hari kerja (diluar waktu yang diperlukan untuk melakukan pengukuran tanah) untuk Pemecahan sampai dengan 5 (lima) bidang tanah terhitung sejak berkas diterima lengkap oleh Kantor Pertanahan dan telah lunas pembayaran
15
yang ditetapkan peraturan perundang-undangan dengan catatan bahwa sertipikat bidang-bidang tanah yang akan dipecah tidak ada catatan (bersih).
B. Hambatan Yang Dapat Terjadi Dalam Pelaksanaan Proses Pemecahan Hak Atas Tanah Di PPAT Untuk Mendapatkan Kepastian Hukum Akibat Jual-Beli Dalam proses pemecahan hak atas tanah di Pejabat Pembuat Akta Tanah sering mengalami hambatan-hambatan yang terjadi yaitu ; 1. Hambatan dari Kantor Badan Pertanahan Nasional Hambatan yang ditemui dalam proses peralihan hak karena jual beli yaitu soal waktu pembuatan sertifikat yang dalam hal ini ada beberapa faktor yang mempengaruhi hal tersebut yaitu ; Persyaratan yang diajukan oleh pemohon tidak lengkap, pengisian akta jual beli yang dibuat oleh PPAT kurang lengkap atau terjadi kesalahan, terlambatnya Gambar Ukur sehingga proses berjalan tidak sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan,kurangnya tenaga ahli, kesibukan Kepala Kantor, kurangnya kedisiplinan pegawai, dan adanya patok yang belum terpasang. Upaya yang dilakukan dalam mengatasi hambatan yaitu menambah jumlah tenaga ahli, meningkatkan kualitas pegawai, dan mengadakan penyuluhan tentang pendaftaran peralihan hak. Proses peralihan hak karena jual beli merupakan salah satu upaya tertib administrasi dibidang pertanahan.
16
2. Hambatan dari kesiapan dari masyarakat sendiri dalam mempersiapkan berkas-berkas yang diperlukan. Dalam hal ini rata-rata pemohon/masyarakat lebih condong fokus kepada hasil tanpa melihat proses dan prosedur yang dilalui guna mencapai proses pemecahaan
tanah
ini,
sehingga
para
pemohon/masyarakat
kurang
mempersiapkan segala sesuatu (berkas-berkas) yang diperlukan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang kemudian memperlambat proses pemecahaan hak atas tanah itu sendiri. Berkas-berkas yang diperlukan terkadang kurang lengkap dan harus di cari terlebih dahulu di rumah dan ada yang lebih ekstem lagi ketika berkas ini hilang maka harus membuat dengan megajukan pembuatan terlebih dahulu ke kantor/instansi tujuan.
C. KESIMPULAN 1. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diberikan saran agar memberikan peluang kepada masyarakat atau publik yang berfungsi sebagai badan konsultan profesional, untuk membantu masyarakat yang mengalami kendala atau masalah dalam proses pengurusan sertifikat tanah, termasuk untuk peralihan hak karena jual beli. Badan konsultan ini, hanya membantu atau memperlancar proses bagi Badan Pertanahan dan masyarakat yang membutuhkan, Kantor Pertanahan diharapkan memberikan penjelasan dan pengarahan kepada masyarakat mengenai tatacara pengajuan permohonan peralihan hak karena jual beli, Kantor Pertanahan, diharapkan selalu hadir 17
dengan Sumber Daya Manusia yang lebih berkualitas, sistem manajemen yang baru, teknologi yang tinggi sehingga kemajuan dan perkembangan dapat dirasakan oleh masyarakat. 2. Apabila pengajuan permohonan pemecahan hak atas tanah atau yang lainnya, lebih efisien dari pemohon/masyarakat mempersiapkan berkas-berkas yang diperlukan sehingga ketika nanti terjadi atau mengetahui ada berkas yang kurang/hilang bias segera membuatnya terlebih dahulu guna melengkapi syarat-syarat pemecahaan hak atas tanah tersebut.
18
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku
A.P Parlindungan, 1991, Komentar Asas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung. A.P Parlindungan, 1999, Pendaftaran Jimah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung. Bambang Sunggono, 1998, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undangundang Pokok Agraria Lsi dan Pelaksanaanny,Djambatan, Jakarta.. Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, 2002, Metodologi Penelitia,Jakarta : PT Bumi Aksara. Efendi Perangin. 1966 Hukum Agraria di Indonesia, CV Garuda Pancasila. Jakarta. Iwan Sunindyo, Implementasi fungsi pendaftaran tanah pertama kali dalam mewujudkan kepastian hukum hak atas tanah di kabupaten Sukoharjo, 2013. Lexy J. Moeleong. 2000, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Bandung : PT. Remaja Roda Karya. Mudjiono, S.H, 1992, Hukum Agraria, Yogyakarta, Liberty Yogyakarta.Soedikno Mertokusumo, 1988, Hukum dan Politik Agraria, Karunika-Universitas Terbuka, Jakarta. Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press. Sutrisno Hadi,2000, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta.
19
B. Sumber Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960.
20