BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1.
Profitabilitas
2.1.1. Pengertian Profitabilitas
Profitabilitas merupakan kemampuan suatu perusahaan untuk mendapatkan laba (keuntungan) dalam suatu periode tertentu. Pengertian yang sama disampaikan oleh Husnan (2001) bahwa Profitabilitas adalah kemampuan suatu perusahaan dalam menghasilkan keuntungan (profit) pada tingkat penjualan, aset, dan modal saham tertentu. Sedangkan Menurut Michelle & Megawati (2005) Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan menghasilkan laba (profit) yang akan menjadi dasar pembagian dividen perusahaan. Prolitabilitas
menggambarkan
kemampuan
badan
usaha
untuk menghasilkan
laba dengan menggunakan seluruh modal yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan pernyataan Shapiro (1991:731) “Profitability ratios measure managements objectiveness as indicated by return on sales, assets and owners equity.” Profitabilitas suatu perusahaan akan mempengaruhi kebijakan para investor atas investasi yag dilakukan. Kemampuan peurusahaan untuk menghasilkan laba akan dapat menarik para investor untuk menanamkan dananya guna memperluas usahanya, sebaliknya tingkat profitabilitas yang rendah akan menyebabkan para investor menarik dananya. Sedangkan bagi perusahaan itu sendiri profitabilitas dapat digunakan sebagai evaluasi atas efektivitas pengelolaan badan usaha tersebut. Menurut Brigham (1993:79) “Profitability is the net result of a large number of policies and decision. The ratio examined thus far reveal some interesting thing about the wry the firm operates, but the profitability ratio show the combined objects of liquidity, asset management, and debt management on operating mult.”
15
2 Profitabilitas perusahaan merupakan salah satu dasar penilaian kondisi suatu perusahaan, untuk itu dibutuhkan suatu alat analisis untuk bisa menilainya. Alat analisis yang dimaksud adalah rasio-rasio keuangan. Ratio profitabilitas mengukur efektifitas manajemen berdasarkan hasil pengembalian yang diperoleh dari penjualan dan investasi.
Profitabilitas juga mempunyai arti penting dalam usaha mempertahankan kelangsungan hidupnya dalam jangka panjang, karena profitabilitas menunjukkan apakah badan usaha tersebut mempunyai prospek yang baik di masa yang akan datang. Dengan demikian setiap badan usaha akan selalu berusaha meningkatkan profitabilitasnya, karena semakin tinggi tingkat profitabilitas suatu badan usaha maka kelangsungan hidup badan usaha tersebut akan lebih terjamin. Seperti diungkapkan oleh Giulio Battazzi, Angelo Secchi, and Federico Tamagni (July 2008) dalam jurnalnya yang berjudul “Productivity, Profitabilty, and Financial Performance” menyatakan bahwa A comparative analysis of two crucial dimensions of firms performance: profitability and productivity, and find independently from the particular sector of activity and from financial conditions, there seems to be weak market pressure and little behavioral inclination for the more efficient and more profitable firms to grow faster. 2.1.2. Rasio Profitabilitas Sebagai Alat Pengukuran Kinerja Keuangan
Penilaian profitabilitas adalah proses untuk menentukan seberapa baik aktivitas-aktivitas bisnis dilaksanakan untuk mencapai tujuan strategis, mengeliminasi pemborosan-pemborosan dan menyajikan informasi tepat waktu untuk melaksanakan penyempurnaan secara berkesinambungan (Supriyono. 1999). Ada beberapa pengukuran kinerja terhadap profitabilitas perusahaan dimana masingmasing pengukuran dihubungkan dengan volume penjualan, total aktiva dan modal sendiri.
3
Secara keseluruhan ketiga pengukuran ini akan memungkinkan seorang analis untuk mengevaluasi tingkat earning dalam hubungannya dengan volume penjualan jumlah aktiva dan investasi tertentu dari pemilik perusahaan. Profitabilitas keuangan perusahaan dideskripsikan dalam bentuk laporan laba-rugi yang merupakan bagian dari laporan keuangan korporasi, yang dapat digunakan oleh semua pihak yang berkepentingan untuk membuat keputusan ekonomi. Berdasarkan financial report yang diterbitkan perusahaan, selanjutnya dapat digali informasi mengenai posisi keuangan perusahaan, struktur permodalan, aliran kas, kinerja keuangan dan informasi lain yang mempunyai relevansi dengan laporan keuangan perusahaan. Profitabilitas keuangan perusahaan sudah tentu merupakan kinerja perusahaan yang ditinjau dari kondisi keuangan perusahaan. Profitabilitas keuangan perusahaan tercermin dari laporan keuangannya, oleh sebab itu untuk mengukur profitabilitas keuangan perusahaan diperlukan analisis terhadap laporan keuangannya. Menurut pendapat Shapiro (1991) yang menunjukkan bahwa profitabilitas sangat cocok untuk mengukur efektivitas manajemen dan pengevaluasian kinerja manajemen dalam menjalankan bisnis dan produktivitasnya dalam mengelola aset-aset perusahaan secara keseluruhan seperti yang nampak pada pengembalian yang dihasilkan oleh penjualan dan investasi, serta untuk mengevaluasi kinerja ekonomi dari bisnis. Secara umum profitabilitas merupakan pengukuran dari keseluruhan produktivitas dan kinerja perusahaan yang pada akhirnya akan menunjukkan efisiensi dan produktivitas perusahaan tersebut. Dwi Prastowo (2008)
menyatakan bahwa informasi kinerja perusahaan, terutama
profitabilitas diperlukan untuk menilai perubahan
potensial sumber daya ekonomi yang
4
mungkin dikendalikan di masa depan, sehingga dapat memprediksi kapasitas perusahaan dalam menghasilkan kas (dan setara kas) serta untuk merumuskan
efektifitas
perusahaan dalam
memanfaatkan tambahan sumber daya. Rasio profitabilitas merupakan rasio untuk menilai kemampuan perusahaan dan mencari keuntungan. Rasio ini juga memberikan ukuran tingkat efektifitas manajemen suatu perusahaan. Hal ini ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan dari penjualan dan pendapatan investasi. Intinya adalah penggunaan rasio ini menunjukkkan efisiensi perusahaan. Penggunaan rasio profitabilitas dapat dilakukan dengan menggunakan perbandingan antara berbagai komponen yang ada dilaporan keuangan neraca dan laporan laba rugi. Pengukuran dapat dilakukan untuk beberapa periode operasi. Tujuannya adalah agar terlihat perkembangan perusahaan dalam rentang waktu tertentu, baik penurunan atau kenaikan, sekaligus mencari penyebab perubahan tersebut. Hasil pengukuran tersebut dapat dijadikan alat evaluasi kinerja manajemen selama ini, apakah mereka telah bekerja secara efektif atau tidak. Jika berhasil mencapai target yang telah ditentukan mereka dikatakan telah berhasil mencapai target untuk periode atau beberapa periode, sebaliknya jika gagal atau tidak berhasil mencapai target yang telah ditentukan, ini akan menjadi pelajaran bagi manajemen untuk periode ke depan. Kegagalan ini harus diselidiki dimana letak kesalahan dan kelemahannya sehingga kejadian tersebut tidak terulang. Kegagalan atau keberhasilan dapat dijadikan sebagai bahan acuan untuk perencanaan laba ke depan, sekaligus kemungkinan untuk menggantikan manajemen yang baru terutama setelah manajemen lama mengalami kegagalan. Rasio Profitabilitas ini sering disebut sebagai salah satu alat ukur kinerja manajemen.
5
Sama halnya dengan rasio-rasio lain, rasio profitabilitas juga memiliki tujuan dan manfaat, tidak hanya bagi pihak pemilik usaha atau manajemen saja, tetapi juga bagi pihak diluar perusahaan, terutama pihak-pihak yang memiliki hubungan atau kepentingan dengan perusahaan. Tujuan penggunaan rasio profitabilitas bagi perusahaan, maupun bagi pihak luar perusahaan, yaitu; 1) Untuk mengukur atau menghitung laba yang diperoleh perusahaan dalam satu periode
tertentu; 2) Untuk menilai posisi laba perusahaan tahun sebelumnya dengan tahun sekarang; 3) Untuk menilai perkembangan laba dari waktu ke waktu; 4) Untuk menilai besarnya laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri; 5) Untuk mengukur produktivitas seluruh dana perusahaan yang digunakan baik modal
pinjaman maupun modal sendiri; 6) Untuk mengukur produktivitas dari seluruh dana perusahaan yang digunakan baik modal
sendiri; 7) Dan tujuan lainnya.
Sementara itu, manfaat yang diperoleh adalah untuk; Mengetahui besarnya tingkat laba yang diperoleh perusahaan dalam satu periode; 1) Mengetahui posisi laba perusahaan tahun sebelumnya dengan tahun sekarang; 2) Mengetahui perkembangan laba dari waktu ke waktu;
6 3) Mengetahui besarnya laba bersih sesudah pajak dengan modal sendiri; 4) Mengetahui produktivitas dari seluruh dana perusahaan yang digunakan baik modal
pinjaman maupun modal sendiri 5) Manfaat lainnya.
2.1.3. Jenis-jenis Rasio Profitabilitas
Sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, terdapat beberapa jenis rasio profitabilitas yang dapat digunakan. Masing-masing jenis rasio profitabilitas digunakan untuk menilai serta mengukur posisi keuangan perusahaan dalam suatu periode tertentu atau untuk beberapa periode. Penggunaan seluruh atau sebagian rasio profitabilitas tergantung dari kebijakan manajemen. Jelasnya, semakin lengkap jenis rasio yang digunakan semakin sempurna hasil yang akan dicapai. Artinya pengetahuan tentang kondisi dan posisi profitabilitas perusahaan dapat diketahui secara sempurna. Dalam prakteknya, menurut Kasmir (2008 : 199) jenis-jenis rasio profitabilitas yang dapat digunakan adalah : 1) Profit margin (profit margin on sales) 2) Return on Assets (ROA) 3) Return on equity (ROE) 4) Laba per lembar saham.
7
a.d.1
Profit Margin on Sales Profit margin on sales atau ratio profit margin atau margin laba atas penjualan merupakan
salah satu rasio yang digunakan untuk mengukur margin laba atas penjualan. Cara pengukuran rasio ini adalah dengan membandingkan laba bersih setelah pajak dengan penjualan bersih. Rasio ini dikenal juga dengan nama profit margin. Terdapat dua rumusan untuk mencari profit margin, yaitu sebagai berikut; 1) Untuk margin laba kotor dengan rumus:
Penjualan bersih – Harga pokok penjualan Profit margin =
---------------------------------------------------------------
(profit margin on sales)
Sales
Margin laba kotor menunjukkan laba yang relative terhadap perusahaan, dengan cara penjualan bersih dikurangi harga pokok penjualan. Rasio ini merupakan cara untuk penetapan harga pokok penjualan. 2) Untuk margin laba bersih dengan rumus :
Earning After Interest and Tax (EAIT) Net profit margin = (profit margin on sales)
--------------------------------------------------Sales
8
Margin laba bersih merupakan ukuran keuntungan dengan membandingkan antara laba setelah bunga dan pajak dibandingkan dengan penjualan. Rasio ini menunjukkan pendapatan bersih perusahaan penjualan. Baik Profit Margin on Sales maupun Net Profit Margin apabila rasio nya tinggi ini menunjukkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang tinggi pada tingkat penjualan tertentu, sebaliknya kalau rasionya rendah menandakan penjualan yang terlalu rendah untuk tingkat biaya tertentu, atau biaya yang terlalu tinggi untuk tingkat penjualan tertentu, atau kombinasi dari kedua hal tersebut. Rasio yang rendah bisa menunjukkan ketidakefisienan manajemen.
a.d.2. Hasil Pengembalian Assets (Return on Assets) Rasio ini adalah rasio keuntungan bersih setelah pajak terhadap jumlah asset secara keseluruhan. Rasio ini merupakan suatu ukuran untuk menilai seberapa besar tingkat pengembalian (%) dari asset yang dimiliki. Apabila rasio ini tinggi berarti menujukkan adanya efisiensi yang dilakukan oleh pihak manejemen. Hanafi dan Halim (2003) menyatakan bahwa rasio Return on Assets (ROA) mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih berdasarkan tingkat asset tertentu. Demikian juga Syamsudin (2004) mengatakan bahwa Return on Asset (ROA) merupakan pengukuran kemampuan perusahaan secara keseluruhan di dalam menghasilkan keuntungan dengan jumlah keseluruhan aktiva yang tersedia di dalam perusahaan, semakin tinggi rasio ini berarti semakin baik keadaan suatu perusahaan.
9
Return on Assets mengukur kemampuan perusahaan dalam memanfaatkan aktivanya untuk memperoleh laba. Menurut Dwi Prastowo (2008) rasio ini mengukur tingkat kembalian investasi yang telah dilakukan oleh perusahaan dengan menggunakan seluruh dana (aktiva) yang dimilikinya. Demikian juga menurut Robert C. Fink dan Ann Harrison (1999:72), menyebutkan bahwa : “ROA as the same income a company generates during normal operation dividend by its total assets. This calculation determines how well a company is using its assets to generate income.” Ukuran yang sering digunakan untuk menghitung Return on Assets (ROA) adalah : ROA = Laba Setelah Pajak X 100% Total Assets
a.d.3. Hasil Pengembalian Ekuitas (Return on Equity/ROE) Hasil pengembalian ekuitas atau return on equity atau rentabilitas modal sendiri merupakan rasio untuk mengukur lalu bersih sesudah pajak dengan modal sendiri. Rasio ini menunjukkan efisiensi penggunaan modal sendiri. Semakin tinggi rasio ini, semaki baik. Artinya posisi pemilik perusahaan semakin kuat, demikian pula sebaliknya. Rumus untuk mencari Return on Equity (ROE) dapat digunakan sebagai berikut: Earning After Interest and Tax Return on Equity (ROE) =
----------------------------------------Equity
Menurut Helfert (2000), Return on Equity (ROE) menjadi pusat perhatian para pemegang saham (stakeholders) karena berkaitan dengan modal saham yang diinvestasikan untuk dikelola
10
pihak manajemen. ROE memiliki arti penting untuk menilai kinerja keuangan perusahaan dalam memenuhi harapan pemegang saham. a.d.4. Laba Per Lembar Saham Biasa (Earning per Share of Common Stock) Rasio laba per lembar saham atau disebut juga rasio nilai buku merupakan rasio untuk mengukur keberhasilan manajemen dalam mencapai keuntungan bagi pemegang saham. Rasio yang rendah berarti manajemen belum berhasil untuk memuaskan pemegang saham, sebaliknya dengan rasio yang tinggi, kesejahteraan pemegang saham meningkat. Keuntungan bagi pemegang saham adalah jumlah keuntungan setelah dipotong pajak.Keuntungan yang tersedia bagi pemegang saham biasa adalah jumlah keuntungan dikurangi pajak, dividen, dan dikurangi hak-hak lain untuk pemegang saham prioritas.
Rumus untuk mencari laba per lembar saham biasa adalah sebagai berikut: Laba Saham Biasa Laba Per Lembar Saham =
----------------------------------Saham Biasa Yang Beredar
2.2.
Undang-Undang Perpajakan Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang paling dominan untuk mengisi pundi-pundi
APBN baik dalam rangka membiayai pengeluaran rutin maupun proyek. Untuk itu sangat dibutuhkan partisipasi aktif masyarakat untuk menjadi wajib pajak dalam rangka membayar pajak. Rochmat
11 Soemitro ( 1977 : 8 ) menyatakan bahwa “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus” nya digunakan untuk Public Saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai Public Investment”. Dari pengertian tersebut jelas bahwa yang membayar pajak adalah rakyat (masyarakat) itu sendiri. Pada defenisi yang lain disebutkan bahwa pajak ialah iuran rakyat berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada
kepada kas negara
mendapat jasa timbal
(kontraprestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Dari defenisi tersebut di atas, tersimul ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak yaitu : a)
Pajak dipungut berdasarkan /dengan ketentuan Undang-Undang serta aturan pelaksananya.
b)
Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra prestasi individual
oleh
Pemerintah. c)
Pajak dipungut oleh Negara (baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah).
d)
Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran Pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.
e)
Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgeter, yaitu mengatur. Sebagaimana disebutkan pada poin (a) ciri-ciri pajak dipungut berdasarkan dengan Ketentuan
Undang-Undang serta Aturan Pelaksananya yang artinya adalah bahwa pajak tersebut dipungut tidak semau Pemerintah saja melainkan memiliki dasar hukum yang kuat yang sudah setujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Undang-Undang Perpajakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
12 Perubahan dari Undang-Undang Perpajakan merupakan penyempurnaan Undang-Undang Perpajakan yangada dan merupakan bagian dari reformasi birokrasi yang ada di Departemen Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Pajak. Reformasi perpajakan yang terjadi di tubuh Direktorat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merupakan perubahan yang mendasar di segala aspek perpajakan termasuk reformasi UU Perpajakan sendiri. Reformasi pajak dilakukan agar sistem perpajakan dapat lebih efektif dan efisien, sejalan dengan perkembangan globalisasi yang menuntut daya saing tinggi dengan negara lain. Tentu saja dengan memperhatikan prinsip-prinsip perpajakan yang sehat seperti persamaan (equality), kesederhanaan (simplicity) dan keadilan (fairness), sehingga tidak hanya berdampak terhadap peningkatan kepasitas fiskal, melainkan terhadap perkembangan kondisi ekonomi makro. Perubahan ini juga dilakukan untuk merangsang investasi dan meningkatkan efisiensi perusahaan. Menurut Richard M. Bird yang menyatakan bahwa reformasi perpajakan di Indonesia sebagai langkah sistematis yang disusun melalui perencanaan yang baik. Dia menyatakan “As already mentioned, Indonesian experience shows that if comprehensive reform can indeed be implemented and easily successfully in a developing country.” Reformasi Undang-Undang Perpajakan telah dilakukan beberapa kali yang mana perubahan pertama dilakukan pada tahun 1983. Saat ini yang telah mengalami perubahan terakhir adalah : 1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, yang dirubah menjadi UU No 28 Tahun 2007 (perubahan ketiga). 2) Undang-Undang No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang dirubah menjadi UU No 36 Tahun 2008 (perubahan keempat).
13 3) Undang-Undang No 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang dirubah menjadi UU No 42 Tahun 2009 (perubahan ketiga) Isu penting dalam perubahan Undang-Undang No 6 Tahun 1983 adalah mengenai keseimbangan hak dan kewajiban antara wajib pajak dan aparatur perpajakan. Perbaikan dan penguatan kewenangan aparatur pajak agar tetap dapat berfungsi efektif namun tetap menjaga prinsip-prinsip akuntabilitas, proporsional, dan integritas. Adapun pokok-pokok perubahan mengenai Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, antara lain : 1) Ketentuan mengenai pengambilan, pengisian, penandatanganan dan penyampaian
Surat
Pemberitahuan (SPT) dapat dilakukan melalui media elektronik; 2) Batas akhir penyampaian SPT Tahunan PPh yang sebelumnya paling lambat tiga bulan diubah menjadi paling lambat empat bulan setelah akhir tahun pajak; 3) Sanksi administrasi berupa denda bagi wajib pajak yang dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya setelah dilakukan pemeriksaan tetapi belum dilakukan tindakan penyidikan, diturunkan dari 200% menjadi 150%; 4) Daluarsa penetapan pajak dan daluarsa penagihan dipersingkat dari sepuluh tahun menjadi lima tahun sejak berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak; 5) Dalam rangka mendorong wajib pajak mengungkapkan penghasilan yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh sebelum tahun 2007, wajib pajak diberi kesempatan untuk menyampaikan pembetulan dengan diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, dengan syarat pembetulan tersebut dilakukan pada tahun pertama berlakunya UU ini; dan
14 6) Paling lama satu tahun setelah berlakunya
UU ini, wajib pajak orang pribadi yang sukarela
mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak, kecuali terapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa SPT wajib pajak tidak benar atau lebih bayar. Perubahan yang kedua dilakukan pada Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) yakni UU Nomor 7 Tahun 1983 menjadi UU No 36 Tahun 2008 dimana perubahan pokoknya terletak pada : 1) Penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh). Penurunan tarif PPh ini mengimbangi tarif PPh yang berlaku di negara-negara tetangga yang relatif lebih rendah, meningkatkan daya saing di dalam negeri, mengurangi beban pajak dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak (WP). Penurunan ini antara lain : a.
Bagi wajib pajak orang pribadi, tarif tertinggi
diturunkan dari 35% menjadi 30% dan
menyederhanakan lapisan tarif dari 5 lapisan menjadi 4 lapisan, namun memperluas masingmasing lapisan penghasilan kena pajak (income bracket), yaitu lapisan tertinggi dari sebesar Rp. 200 juta menjadi Rp. 500 juta. b.
Bagi wajib pajak badan, tarif PPh yang semula terdiri dari 3 lapisan, yaitu 10%, 15%, dan 30% di tahun 2009 dan 25% tahun 2010. Penerapan tarif tunggal dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan prinsip kesederhanaan dan internasional best practise. Selain itu, bagi wajib pajak badan yang telah go public diberikan pengurangan tarif 5% dari tarif normal dengan kriteria paling sedikit 40% saham dimiliki oleh masyarakat. Insentif tersebut diharapkan dapat mendorong lebih banyak perusahaan yang masuk bursa sehingga akan meningkatkan good corporate governance dan mendorong pasar perusahaan.
modal
sebagai alternatif sumber pembiayaan bagi
15 c. Bagi UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal yang berlaku terhadap bagian peredaran bruto sampai dengan Rp. 4,8 Milyar. Pemberian insentif tersebut dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya kenyataannya memberikan kontribusi yang signifikan
UMKM yang pada
bagi perekonomian di Indonesia.
Pemberian insentif juga diharapkan dapat mendorong kepatuhan wajib pajak yang bergerak di UMKM. d. Bagi wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu, besarnya angsuran PPh Psl 25 diturunkan dari 2% menjadi 0,75% dari peredaran bruto. Penurunan tarif tersebut dimaksudkan untuk membantu likuiditas wajib pajak dengan pembayaran angsuran pajak yang lebih rendah serta memberikan kepastian dan kesederhanaan penghitungan PPh. e. Bagi wajib pajak pemberi jasa yang semula dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto menjadi 2% dari peredaran bruto. Perubahan tarif tersebut dimaksudkan untuk memberikan keseragaman pemotongan pajak yang sebelumnya ada yang didasarkan pada penghasilan bruto dan sebagian didasarkan pada penghasilan neto. Dengan metode ini, penerapan perpajakan diharapkan dapat lebih sederhana dan tarif relatif lebih rendah sehingga dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak. f. Bagi wajib pajak penerima deviden yang semula dikenai tarif PPh progresif dengan tarif tertinggi dengan 15%, menjadi tarif 10%. Penurunan tarif tersbeut dimaksudkan untuk mendorong perusahaan membagikan deviden kepada pemegang saham, mendorong tumbuhnya investasi di Indonesia karena dikenakan tarif lebih rendah dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. 2)
Pembebasan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi wajib pajak yang telah mempunyai NPWP fiskal sejak 2009 serta penghapusan pemungutan fiskal luar negeri pada tahun 2011. Pembayaran fiskal luar negeri adalah pembayaran pajak di muka bagi orang pribadi yang akan
16 bepergian ke luar negeri. Kebijakan penghapusan kewajiban pembayaran fiskal luar negeri bagi wajib pajak yang memiliki NPWP dimaksudkan untuk mendorong wajib pajak memiliki NPWP sehingga memperluas basis pajak. Diharapkan pada 2011 semua masyarakat yang wajib memiliki NPWP telah memiliki NPWP sehingga kewajiban pembayaran fiskal luar negeri layak dihapuskan. 3)
Peningkatan nilai Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk diri wajib pajak orang pribadi sebesar 20% dari Rp. 13.000.000,- menjadi Rp. 15.840.000,-, sedangkan untuk tanggungan istri dan keluarga ditingkatkan sebesar 10% dari Rp. 1.200.000,- menjadi Rp. 1.320.000,- dengan paling banyak 3 tanggungan setiap keluarga. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan PTKP dengan perkembangan ekonomi dan moneter serta mengangkat pengaturannya dari Peraturan Menteri Keuangan menjadi Undang-Undang.
4)
Penerapan tarif pemotongan/pemungutan PPh yang lebih tinggi bagi wajib pajak yang tidak memiliki NPWP : a. Pengenaan tarif 20% lebih tinggi dari tarif normal untuk wajib pajak non NPWP yang menerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 b. Pengenaan tarif 100% lebih tinggi dari tarif normal untuk wajib pajak non NPWP yang menerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23 c. Pengenaan tarif 100% lebih tinggi dari tarif normal untuk wajib pajak non NPWP yang menerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 22
5)
Perluasan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dimaksudkan bahwa Pemerintah memberikan fasilitas kepada masyarakat yang secara nyata ikut berpartisipasi dalam kepentingan sosial, dengan diperkenankannya biaya tersebut sebagai pengurang penghasilan bruto. Biaya tersebut adalah :
17 a. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional dan infrastruktur sosial b. Sumbangan dalam rangka fasilitas pendidikan, penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia c. Sumbangan dalam rangka pembinaan olah raga dan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia 6)
Piutang tak tertagih. Syarat untuk membiayakan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dipermudah.
7)
Pemupukan Dana Cadangan diperluas bagi badan usaha yang menyalurkan kredit.
8)
Pengecualian dari objek PPh antara lain : Sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan yang ditanamkan kembali paling lama dalam jangka waktu 4 tahun tidak dikenai pajak. Beasiswa yang diterima atau diperoleh oleh penerima beasiswa tidak dikenai pajak. Bantuan atau santunan yang diterima dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak dikenai pajak.
9)
Penegasan surplus Bank Indonesia sebagai objek pajak. Aturan ini dimaksudkan untuk memberikan penegasan terhadap penafsiran yang berbeda tentang surplus Bank Indonesia. Menurut UU No 7 Tahun 1983 tentang PPh, pengertian penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
wajib pajak dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan
demikian surplus Bank Indonesia adalah tambahan kemampuan ekonomis yang termasuk objek PPh yang diatur dalam UU PPh.
18 10) Peraturan perpajakan untuk industri pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara dan bidang usaha berbasis syariah, diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan UU No 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-Undang No 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, tarif pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan kena pajak baik untuk wajib pajak perseorangan maupun wajib pajak badan telah terjadi perubahan. Khusus untuk wajab pajak badan sebelumnya berlaku tarif progresif yaitu 10%, 15% dan 30% (Undang-Undang No 17 tahun 2000 Pasal 17 ayat (1b), sedangkan berdasarkan Pasal 17 ayat (1b) Undang-Undang No 36 tahun 2008 dikenakan tarif tunggal sebesar 28%. Kemudian dalam ayat 2a diatur lebih lanjut bahwa mulai tahun pajak 2010 tarif yang berlaku diturunkan lagi menjadi 25%
Perubahan yang terjadi dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan terutama dalam hal penurunan tarif merupakan stimulus bagi wajib pajak yang diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan kinerja keuangannya. Penurunan tarif dapat dijadikan alat stabilisasi keuangan bagi wajib pajak terlebih dimasa krisis sekarang ini. Michael P. Devereux dan Clemens Fuest (Sept, 2009) dalam jurnalnya yang berjudul “ Is Corporation Tax an Effective Automatic Stabiliser?” menyatakan bahwa “ While the decline of the tax rate in a recession would have a stabilizing effect compared to a strictly proportional tax if incomes were positive, it would have a destabilizing effect if incomes were negative. This does not mean that the tax has no stabilizing role, since changes to net income will typically still be smaller than changes to gross income. But its value as an automatic stabilizer is weaker than that of a proportional tax at the same rate.Relative to a proportional tax, this creates a procyclical effect. On average the tax rate falls in a recession, and rises in a boom.While the decline of the tax rate in a recession would have a stabilizing effect compared to a strictly proportional
19
tax if incomes were positive, it would have a destabilizing effect if incomes were negative. Sementara penurunan tarif pajak dalam resesi akan memiliki efek stabilisasi dibandingkan dengan pajak ketat proporsional jika pendapatan adalah positif, itu akan menyebabkan ketidakstabilan jika pendapatan adalah negatif. This does not mean that the tax has no stabilizing role, since changes to net income will typically still be smaller than changes to gross income. Ini tidak berarti bahwa pajak tidak memiliki peran stabilisasi, karena perubahan terhadap laba bersih biasanya akan masih lebih kecil dari perubahan pendapatan kotor. But its value as an automatic stabilizer is weaker than that of a proportional tax at the same rate. Tetapi nilainya sebagai penstabil otomatis lebih lemah dari pada pajak proporsional pada tingkat yang sama. Hal yang sama juga disampaikan oleh Nipoli Kamdar (Maret, 1997) dalam Atlantic Economic Journal yang berjudul “Corporate Income Tax Compliance” menyatakan bahwa “The rising corporate tax gap has focused attention on the loss in tax revenues due to corporate noncompliance. Moreover, it may be the case that reports of rising corporate noncompliance have an adverse influence on the compliance behavior of individuals. Various suggestions have been proffered as to how to reduce the corporate tax gap. It has been argued, for example, that a reduction in marginal tax rates may encourage compliance and, hence, increase tax revenues.”Kesenjangan Pajak yang meningkat telah menjadi focus perhatian atas hilangnya penerimaan pajak yang diakibatkan oleh ketidaktaatan perusahaan. Moreover, it may be the case that reports of rising corporate noncompliance have an adverse influence on the compliance behavior of individuals. Laporan ketidakpatuhan perusahaan meningkat memiliki pengaruh buruk terhadap perilaku kepatuhan individu. Various suggestions have been proffered as to how to reduce the corporate tax gap. Berbagai saran telah disodorkan sebagai cara untuk mengurangi kesenjangan pajak perusahaan. It has been argued, for example, that a reduction in marginal tax
20
rates may encourage compliance and, hence, increase tax revenues. Banyak yang berpendapat, bahwa pengurangan tarif pajak marjinal dapat mendorong kepatuhan dan, karenanya, meningkatkan pendapatan pajak. Undang-Undang PPh No 36 tahun 2008 berlaku efektif per 1 Januari 2009, dimana tarif PPh Badan menggunakan tarif tunggal 28% untuk tahun pajak 2009 (Pasal 17 ayat 1 huruf b) dan berubah menjadi 25% untuk tahun pajak 2010 (Pasal 17 ayat (2a)) Sesuai Pasal 31E ayat (1) menyatakan bahwa : Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp. 50.000.000.000,- (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas penghasilan kena pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000,- (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Perubahan yang terjadi pada Undang-Undang PPN/PPnBM menyebutkan perubahan tarif PPN cukup dilakukan dengan penerbitan Peraturan Menteri Keuangan. Namun kewenangan
tersebut
dicabut pada Undang-Undang PPN dan PPnBM yang baru disahkan DPR. Ketentuan sebelumnya, sesuai Undang-Undang No 18 tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM, menyebutkan perubahan tariff PPN cukup dilakukan dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan sedangkan untuk ketentuan yang baru, dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 42 Tahun 2009 menyebutkan, penetapan kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah dengan tarif PPnBM paling rendah 10% dan maksimal 200%, wajib melalui Peraturan Pemerintah, sedangkan untuk tarif PPN diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU No 42 Tahun 2009 menyebutkan, tarif PPN yang ditetapkan 10% dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% melalui penerbitan Peraturan Pemerintah. UU No 42 Tahun 2009 resmi berlaku sejak 01 April 2010.
21 Dengan adanya reformasi di bidang perpajakan disamping bertujuan untuk peningkatan penerimaan pajak, ada hal yang paling utama yang mau dicapai yakni meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Namun semua ini akan dapat tercapai apabila ada kemauan politik
dari para pengambil
keputusan di bidang perpajakan dan ekonomi di negeri ini. Seperti yang pernah dipaparkan oleh Michael Maiello (2007 : 57 ) dalam jurnalnya berjudul “With Taxes Firm Have Control Issues” menyatakan bahwa “You can’t ignore your own tax bills, but when you where trying to find profitable and growing companies withina sector, paying to much attention to taxes can really obscure analysis.” Ada beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan pengukuran kinerja keuangan yang dapat memberikan gambaran dalam rangka memperjelas kerangka berpikir
dalam penelitian ini.
Adapun beberapa penelitian tersebut antara lain : 1)
Ignatius Budimanto (2010) dalam penelitiannya mengenai Studi Komparatif Kinerja Keuangan Perusahaan Manufaktur Sebelum dan Sesudah Penerapan Sistem Adiministrasi Perpajakan Modern pada Industri manufaktur di Bali, menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan kinerja keuangan perusahaan yang diukur dengan analisa rasio Net Profit Margin (NPM), Return on Assets (ROA) dan Return on Equity (ROI).
2)
Ika (2005) melakukan penelitian pengaruh penerapan Undang-Undang Perpajakan No. 17 Tahun 2000 terhadap kinerja perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ. Kinerja perusahaan diukur dari tingkat current ratio, leverage ratio, gross profit margin, operating profit margin, total asset turnover, return on investment, dan return on equity. Hasil penelitian memberikan fakta bahwa secara umum terdapat perbaikan kinerja perusahaan pasca penerapan Undang-Undang Perpajakan No. 17 Tahun 2000.
3)
Erlita Dwi Kartika Sari (2010) dalam penelitiann yang berjudul “Pengaruh Reformasi Pajak 2008 terhadap Kinerja Keuangan pada Perusahaan Perbankan yang terdaftar di BEI.
22
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut, terdapat perbedaan yang signifikan antara CAR pada periode sebelum dan sesudahdiberlakukannya tarif pajak tahun 2008, tidak ada perbedaan yg signifikan antara RORA pada periode sebelum dan sesudah diberlakukannya tarif pajak tahun 2008,terdapat perbedaan yang signifikan antara NPM pada periode sebelum dan sesudah diberlakukannya tarif pajak tahun 2008 dan terdapat perbedaan yang signifikan antara ROA pada periode sebelum dan sesudah diberlakukannya tarif pajak tahun 2008.Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan perbankan. Sampel data penelitian ini terdiri 16 perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia di periode 2008, 2009 dengan pengambilan sampel melalui teknik Purposive Sampling. Datayang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder, yaitu data kuantitatif yangdiperoleh dari pojok BEI UNDIP. 4)
Made Sulastri (2009) dalam penelitiannya yang berjudul Perbandingan Kinerja Keuangan Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Perpajakan 1994 menyimpulkan bahwa hanya rasio gross profit margin,
return on investment, dan operating profit margin yang berbeda secara signifikan pada beberapa periode sebelum dan sesudah berlakunya undang-undang Perpajakan 1994, sedangkan rasio lainnya ternyata tidak berbeda secara signifikan. Dimensi waktu penelitian tahun 1993, 1994 (sebelum) tahun 1995 dan 1996 (sesudah) berlakunya undang-undang perpajakan 1994. Sample penelitian adalah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Effek Jakarta. Kinerja dalam penelitian ini diukur dengan rasio keuangan. Metode statistik yang dipergunakan untuk melakukan analisis data adalah non parametrik yaitu uji jenjang bertanda Wilcoxon. 5)
Eko Wijayanto (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Profitabilitas dan Nilai Pasar Perusahaan Manufaktur Yang Masuk Dalam Kelompok LQ-45 Sebelum dan Sesudah
23
Berlakunya Undang-Undang Perpajakan Tahun 2000 menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedanan yang siqnifikan dari rata-rata Return On Asset (ROI) dan Return On Equity (ROE) sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Perpajakan Tahun 2000. 6)
Radianto (2004) dalam penelitiannya yang berjudul “Effisiensi perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Jakara sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang Perpajakan Tahun 2000. Rasio efiseiensi yang digunakan meliputi Leverage multiplier, assets utilization, interest expense ratio, cost of funds, efficiency of salaries and employees, efficiency of assets and employees. Dimensi waktu yang digunakan adalah tiga tahun sebelum dengan tiga tahun sesudah diberlakukannya Undang-Undang Perpajakan Tahun 2000. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberlakuan Undang-Undang Perpajakan tahun 2000 secara umum belum dapat meningkatkan efisiensi perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Penelitian yang dilakukan oleh Radianto tersebut menyarankan untuk mengambil sampel kelompok industri selain perbankan atau seluruh perusahaan sektor industri yan terdaftar di Bursa Efek jakarta.
7)
Ewi ( 2006 ) dalam penelitiannya yang berjudul Perbedaan Tingkat Efisiensi Perusahaan Manufaktur Aneka Industri yang terdaftar di BEJ pada periode sebelum dan sesudah reformasi Undang-Undang Perpajakan Tahun 2000, menyimpulkan bahwa berdasarkan ROE dan ROA terdapat perbedaan tingkat efisiensi perusahaan manufkatur Aneka Industri yang terdaftar di BEJ pada periode sebelum dan sesudah reformasi Undang-Undang Perpajakan Tahun 2000.
8)
I Wayan Gede Arya Dhana (2010) dalam peneltiannya yang berjudul Perbedaan Kinerja Keuangan PT Sinar Harapan Bali sebelum dan Sesudah Akuisisi, menyimpulkan bahwa Kinerja keuangan PT Bank Sinar Harapan Bali sebelum dan sesudah akuisisi dilihat dari aspek rentabilitas (earning) yang diukur dengan rasio ROA, ROE BOPO dan NIM tidak berbeda signifikan, yang berarti akuisisi tidak meningkatkan efisiensi pada kinerja keuangan PT Bank Sinar Harapan Bali. Rata-rata rasio ROA dan
24 BOPO sesudah akuisisi menunjukkan perbaikan sedangkan rata-rata rasio ROE dan NIM menunjukkan penurunan. 9)
Devi Christiani Setiawan (2010) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan Dan Kinerja Saham sebelum dan sesudah seasoned equity offerings pada perusahaan manufaktur di BEI, menyimpulkan rata-rata kinerja keuangan perusahaan manufaktur dilihat dari indikator current ratio, debt to equity ratio dan return on assets tidak mengalami peningkatan secara nyata sesudah seasoned equity offerings.
10) Mungaran Adi K (2007) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis perbandingan kinerja keuangan BUMN sebelum dan sesudah privatisasi (studi kasus pada BUMN yang telah diprivatisasi) menyimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari tingkat kinerja BUMN sebelum dan sesudah privatisasi dengan indikator return on equity, return on investment, cash ratio, current ratio, collection period, perputaran persediaan, perputaran total assets, total modal sendiri terhaddap total assets. Hal ini disebabkan
oleh tujuan utama Pemerintah dalam melakukan
privatisasi saat ini adalah hanya untuk mengisi atau menutup defisit APBN, sehingga tujuan yang seharusnya dicapai yaitu perbaikan kinerja BUMN belum dapat tercapai. 11) Machfoedz (1999) melakukan penelitian mengenai pengaruh krisis moneter pada efisiensi perusahaan publik di Bursa Efek Jakarta (BEJ). Sampel perusahaan berjumlah 129 perusahaan yang dibagi menjadi empat sektor berdasarkan pengelompokan dalam buku direktori pasar modal. Pengukuran efisiensi menggunakan enam rasio keuangan yang digolongkan menjadi tiga rasio utama yaitu rasi likuiditas dan operasi (current ratioand inventory turnover), rasio solvabilitas (debt to equity ratio and leverage ratio), serta rasio profitabilitas (return on assets and return on equity). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa efisiensi perusahaan publik sebelum dan sesudah krisis menunjukkan perbedaan yang signifikan.
25 12) Asih Widajati (2006), membuat kajian terhadap kinerja keuangan sebelum dan sesudah merger dan akuisisi pada dunia perbankan dengan menggunakan rasio ROA dan ROE. Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui kondisi kinerja keuangan bank sebelum dan sesudah merger dan akuisisi. Hasil kajian ini
adalah kondisi kinerja keuangan bank pada saat sesudah merger
mengalami
peningkatan, ini artinya merger sebagai solusi untuk meningkatkan kinerja keuangan bank di Indonesia. Sedangkan setelah akusisi mengalami penurunan, ini artinya akuisisi bukan sebagai solusi untuk meningkatkan kinerja keuangan bank di Indonesia. 13) Richardo (2008), dengan judul “Cross-border Bank Acquisitions : Is there a Performance Effect ? Penelitian ini fokus pada dua tahun pertama pasca akuisisi yaitu menguji apakah pengakuisisi dapat meningkatkan efisiensi terhadap perusahaan yang diakusisi dalam jangka pendek. Kinerja bank diukur dengan menggunakan tiga rasio keuangan : Return on Asset (ROA), Return on Equity (ROE) dan Cost to Income Ratio dan empat komponen pendapatan dan biaya yaitu : Net Interest Margin, Non-Interest Income Overhead dan loan Provision. Penelitian ini menemukan bahwa kinerja bank yang diakuisisi relatif
tidak meningkat pada dua tahun pertama. Profitabilitas menjukkan
penurunan yang lebih disebabkan penurunan pada net interest margin dan peningkatan biaya overhead. Hasil penelitian ini bertentangan dengan yang dilakukan oleh Cornet dan Tehranian (1992) dimana menemukan peningkatan kembali setelah akusisi terhadap return on equity (ROE) dan arus kas. 14) Martin Feldstein and Lawrence H. Summers (August 2008)
dalam jurnalnya
yang berjudul
“Inflation and Taxation of Capital Income in The Corporate Sector” menyatakan bahwa “Although corporation deduct nominal interest payment that exceed real interest, the additional taxes that lenders pay slightly exceed the tax saving by corporate borrowers”. Meskipun perusahaan
26 mengurangkan jumlah biaya bunga yang dibayarkan atas biaya bunga yang sesungguhnya, tambahan pajak yang dibayarkan akan melebihi biaya bunga yan telah dikurangkan