DETERMINAN SISA ANGGARAN DALAM APBD DI INDONESIA MELALUI SUDUT PANDANG PERILAKU BUDGETARY SLACK
DETERMINANT OF BUDGET SURPLUS IN INDONESIA PROVINCIAL BUDGET FROM BUDGETARY SLACK POINT OF VIEW
Abstract
This study aims at investigating the influence of behavior of budgetary slack which results in budget surplus at provincial governments budget (APBD) in Indonesia. The study was conducted on the entire provincial APBD during the years 2008 to 2012. Based on the results of the study, self interest behavior toward expenditure budget, myopic behavior, and dependence behavior on transfer have significant effect on budget surplus. While misappropriation of use behavior on deposits fund do not have significant effect on budget surplus. Those behaviors are motivated by self interest motive and to avoid uncertainty and inability to predict future budget. Avoiding uncertainty and inability to predict future budget indicates that provincial government is still using incremental budgeting. This research contribute to the literature of budgeting by the use of secondary data to enable a more objective investigation of the behavior of actors involved in the budgeting process to complement the results from primary data often used in the previous study.
Keywords: Budget surplus, Budgetary Slack, APBD, incremental budgeting
Abstrak
Penelitian ini membahas pengaruh perilaku budgetary slack terhadap sisa anggaran pada APBD pemerintah provinsi di seluruh Indonesia. Penelitian dilakukan pada APBD seluruh pemerintah provinsi di Indonesia selama tahun 2008 s.d. 2012. Berdasarkan hasil penelitian perilaku self interest terhadap anggaran belanja, perilaku myopic, dan perilaku ketergantungan terhadap transfer berpengaruh terhadap sisa anggaran. Sedangkan perilaku pemanfaatan dana simpanan untuk kepentingan pribadi berpengaruh tidak signifikan terhadap sisa anggaran. Perilaku-perilaku tersebut didorong oleh motivasi self interest dan menghindari ketidakpastian 1
dan ketidakmampuan dalam memprediksi anggaran di masa datang. Motif menghindari ketidakpastian dan ketidakmampuan memprediksi anggaran masa mendatang mengindikasikan bahwa pemerintah provinsi masih menggunakan metode incremental dalam penganggaran. Penelitian ini memberikan kontribusi ke literatur penganggaran melalui penggunaan data sekunder untuk meneliti secara lebih objektif perilaku para pihak yang terlibat dalam proses penganggaran sehingga dapat melengkapi hasil-hasil penelitian dari data primer yang sebelumnya digunakan pada penelitian-penelitian terdahulu.
Kata kunci: surplus anggaran, budgetary slack, APBD, penganggaran incremental
Pendahuluan Semenjak reformasi yang bergulir pada tahun 1998, pemerintah pusat giat mengeluarkan paket-paket kebijakan yang mendukung tujuan dari gerakan reformasi. Undangundang No. 17 Tahun 2003 menyatakan bahwa pemerintah pusat/daerah wajib menyusun laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut kemudian diaudit oleh BPK untuk diberikan opini sebagai jaminan informasi keuangan pemerintah (William et al, 2011). Laporan keuangan pemerintah daerah banyak dijadikan objek penelitian. Seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebagai indikator kemandirian daerah (Rahayu, 2005). Tingkat efektivitas belanja daerah khususnya belanja modal terhadap tingkat kemiskinan (Sumenge, 2013). Sisa anggaran (SILPA) sebagai efektivitas realisasi anggaran (Hadi, 2013). SILPA adalah sisa anggaran pada tahun yang lalu yang dapat dimasukan atau dijadikan sebagai salah satu komponen penerimaan yang dianggarkan pada tahun anggaran berikutnya. SILPA tersebut kemudian dapat dialokasikan untuk membiayai kegiatan pada tahun anggaran berikutnya. DJPK (2013a) menyatakan bahwa trend nilai SILPA di seluruh Indonesia selalu meningkat dari tahun 2009 hingga 2012, dengan kenaikan rata-rata sebesar 32% per tahun. Dampak positif dari SILPA adalah adanya timbal balik berupa jasa giro atau pendapatan bunga yang berasal dari jasa simpanan (DJPK, 2013a). Namun menurut DJPK (2013b) adanya SILPA memberikan dampak yang kurang baik terhadap pertumbuhan daerah. Dampaknya adalah porsi anggaran yang terkait dengan masyarakat makin mengecil dari porsi anggaran rata-rata sebesar 30% dari total nilai anggaran. Sedangkan dampak negatifnya adalah timbulnya perilaku oportunistik pada penyusunan anggaran (Sularso et.al, 2014). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Smith (2012) dan Large (1997), yang menyatakan bahwa dana sisa/simpanan dapat memicu agen
2
menggunakan dana tersebut untuk mengurangi beban kerja. Akibat yang ditimbulkan adalah kinerja agen menjadi tidak optimal. Penyebab timbulnya SILPA yang meningkat cukup signifikan menurut laporan DJPK (2013a), disebabkan oleh dua faktor. Faktor pertama adalah adanya peningkatan realisasi pendapatan pada beberapa daerah tertentu yang mempunyai sumber-sumber pendapatan asli daerah. Faktor kedua adalah adanya belanja yang tidak terserap di beberapa daerah yang merupakan daerah non penghasil. Paparan di atas dapat disimpulkan bahwa adanya varian belanja dan pendapatan pemerintah. Bradshaw (2007) menyatakan bahwa indikasi termudah untuk mendeteksi adanya budgetary slack adalah timbulnya varian dari realisasi belanja dan pendapatan dengan rencananya. Sehingga hasil penelitian DJPK (2013a) mengindikasikan bahwa terjadi budgetary slack pada pemerintah daerah di Indonesia yang mengakibatkan timbulnya sisa anggaran pada APBD. Budgetary slack mempunyai keterkaitan dengan konflik keagenan. Konflik keagenan muncul ketika principal menunjuk orang lain sebagai agen untuk melakukan jasa demi kepentingan principal (Jensen, 1976). Namun pada kenyataannya tidak dapat dihindari kalau agen juga mempunyai kepentingan sendiri yang bertolak belakang dengan keinginan agen. Eisenhardt (1989) menyebutkan ada beberapa hal yang dapat menyebabkan konflik keagenan yaitu, 1) Self interest, 2) Menghindari risiko, 3) Informasi asimetri. Bradshaw (2007) yang menyatakan bahwa budgetary slack kemungkinan besar terjadi ketika kinerja anggaran dijadikan sebagai indikator kinerja agar dapat dengan mudah mencapai target-target anggaran (Sawitri, 2014) Motif lainnya adalah motif untuk mengatasi ketidakpastian yang terjadi di masa datang (Hilton et. al, 2000). Hal tersebut dilakukan untuk menghindari resiko yang mungkin akan terjadi dari alokasi sumber daya serta untuk mendapatkan fleksibilitas anggaran. Sularso et.al (2014) menyatakan bahwa budgetary slack didorong oleh adanya peluang agen untuk memanfaatkan slack resources untuk mencapai keinginan pribadinya dengan segala cara bahkan cara ilegal sekalipun dengan menyembunyikan informasi dan penyalahgunaan wewenang. Bradshaw (2007) menyatakan bahwa indikasi terjadinya budgetary slack tidak hanya sebatas pada adanya varian realisasi belanja dan pendapatan. Bradshaw (2007) menyatakan bahwa perilaku menghindari risiko terhadap pengadaan aset tidak lancar dapat dijadikan indikator budgetary slack. Agen yang melakukan budgetary slack akan lebih cenderung merealisasikan pengadaan aset lancar dan menghindari pengaadaan aset tidak lancar karena 3
adanya perilaku myopic. Perilaku myopic adalah perilaku agen yang dimotivasi oleh ekspektasi keuntungan saat ini. Akibat yang ditimbulkan adalah kebijakan anggaran seperti belanja modal dan infrastruktur yang manfaatnya jangka panjang tidak menjadi prioritas utama. Indikator budgetary slack lainnya adalah adanya perilaku pemanfaatan untuk kepentingan pribadi dari adanya dana simpanan (Smith, 2012). Dana simpanan idealnya dialokasikan dengan optimal seperti yang dilakukan pada pemerintah Amerika Serikat dengan membentuk Budget Stabilization Fund (BSF). Namun Smith (2012) menyatakan bahwa dana simpanan cenderung digunakan untuk mengurangi beban kerja dengan menurunkan target pendapatan atau menghindari risiko dengan melebihkan target belanja. Munandar (2001) menyatakan bahwa perilaku ketergantungan terhadap dana transfer pemerintah pusat dapat juga dijadikan indikator terjadinya budgetary slack. Perilaku ketergantungan tersebut diakibatkan karena agen enggan mengambil risiko adanya belanja yang tidak dapat dilaksanakan, sehingga agen lebih dahulu menunggu besaran transfer yang ia dapat sebelum menyusun anggaran. Ketergantungan terhadap dana transfer dapat mengurangi SILPA karena seluruh transfer akan dipakai sepenuhnya untuk belanja anggaran. Penelitian ini menginvestigasi faktor-faktor atau determinan sisa anggaran pada APBD melalui sudut pandang perilaku dengan menggunakan data sekunder. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi penggunaan data sekunder sebagai pengukur indikasi terjadinya budgetary slack. Penggunaan data sekunder memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan data primer. Kelebihan data sekunder diantaranya, 1) mudah diakses, 2) dapat memberikan data perbandingan antar observasi, 3) membantu identifikasi masalah dan 4) dapat memperluas sampel yang diteliti.
Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis 1. Teori Akuntansi Perilaku Teori Akuntansi Perilaku berkembang seiring dengan kesadaran bahwa perilaku mempunyai pengaruh yang penting terhadap sistem akuntansi dan kinerja manajemen. Perilaku akuntansi dianggap memiliki pengaruh terhadap proses akuntansi termasuk kejadian ekonomi yang merupakan akibat dari perilaku (Ardiansyah, 2009). Hudayati (2002) menyatakan bahwa akuntansi perilaku mencoba melihat hubungan pengaruh perilaku terhadap desain sistem akuntansi serta hubungan sebaliknya. Jika dilihat dari sudut pandang teori keagenan, akuntansi perilaku didasarkan pada adanya informasi asimetri yang terjadi antara agen dan principal (Shield, 1993). Eisenhardt (1989) menyatakan bahwa teori keagenan dapat dijelaskan dengan tiga asumsi dasar sifat 4
manusia. Tiga asumsi tersebut antara lain 1) manusia cenderung mementingkan dirinya sendiri (self interest), 2) manusia memiliki keterbatasan dalam mempersepsikan masa mendatang (bounded rationality), 3) manusia cenderung menghindari risiko (risk averse).
2. Teori Anggaran Teori anggaran pertama kali diungkapkan oleh Wildavsky (1964) yang menyatakan bahwa anggaran bersifat incremental. Konsep incremental memandang anggaran sebagai proses yang berlangsung secara gradual. Namun teori anggaran saat ini berkembang seiring dengan dinamika penganggaran saat ini (LeLoup, 2002). Bozeman (1982) menyatakan bahwa konsep penganggaran incremental sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman saat itu. Beberapa penelitian mencoba memunculkan konsep penganggaran baru seperti Kamlet (1987) yang meneliti faktor bargaining. Seperti Meyers (1995) yang menaruh perhatian pada strategi keagenan dan perubahan perilaku pasca incremetalism.
3. APBD dan Budgetary Slack pada APBD Menurut Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 anggaran adalah pedoman tindakan yang akan dilaksanakan pemerintah meliputi rencana pendapatan, belanja, transfer dan pembiayaan yang diukur dalam satuan rupiah yang disusun menurut klasifikasi tertentu secara sistematis untuk satu periode. Menurut Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2005 proses penganggaran pada APBD dimulai dari usulan yang diberikan oleh pemerintah kepada DPRD untuk dibahas hingga mencapai hasil final. Sisa anggaran atau SILPA timbul karena adanya penerimaan yang lebih besar dari rencananya, realisasi belanja yang tidak mencapai target, termasuk penerimaan pembiayaan yang lebih besar dari pengeluarannya. SILPA adalah posisi akhir realisasi anggaran pemerintah setelah terjadinya proses pendapatan, belanja dan pembiayaan.
Pengembangan Hipotesis Menurut Isnadi (2010) perilaku budgetary slack terutama pada anggaran belanja pemerintah daerah didorong oleh tiga motivasi, yaitu motif self interest, motif ratcheting, dan self interest pihak lain. Self interest pada anggaran belanja membuat rencana anggaran menjadi lebih besar dari anggaran belanja normal. Karena agen memiliki motif oportunistik dari anggaran belanja yang ia rencanakan, seperti menginginkan tambahan penghasilan atau fleksibilitas dalam bekerja. 5
Motif self interest dapat terjadi pada pihak lain (Latifah, 2010). Pihak tersebut adalah rekanan dan principal atau dalam hal ini adalah DPRD. Hal tersebut dikarenakan DPRD dapat memberikan evaluasi penganggaran dan dapat memberikan masukan anggaran sedangkan rekanan mempunyai kepentingan proyek yang terdapat pada rencana anggaran. Self interest dapat dimotivasi oleh motif ratcheting, yaitu ketika agen ingin menjaga keberlangsungan alokasi anggaran belanja agar nilainya tidak lebih rendah dari rencana yang telah disusun. Agen akan melebihkan rencana anggaran belanja dengan harapan ketika rencana tersebut dipotong oleh principal nilainya tidak lebih kecil dari rencana anggaran yang telah disusun (Leone, 2002). Berdasarkan hal tersebut dapat dirumuskan hipotesis pertama yaitu : Hipotesis 1 : Perilaku self interest dalam anggaran belanja berpengaruh positif terhadap sisa anggaran
Bradshaw (2007) menyatakan bahwa perilaku menghindari risiko terhadap pengadaan aset tidak lancar dapat dijadikan indikator budgetary slack. Agen yang melakukan budgetary slack akan lebih cenderung merealisasikan pengadaan aset lancar dan menghindari pengaadaan aset tidak lancar karena adanya perilaku myopic. Perilaku myopic adalah perilaku agen yang dimotivasi oleh ekspektasi keuntungan saat ini. Akibat yang ditimbulkan adalah kebijakan anggaran seperti belanja modal dan infrastruktur yang manfaatnya jangka panjang tidak menjadi prioritas utama (Mizik, 2010). Jika merujuk penelitian Bradshaw (2007), perilaku myopic dalam anggaran pengadaan aset akan mengurangi realisasi pengadaan aset tidak lancar, mengingat nilai pengadaan aset tidak lancar nilainya jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai pengadaan aset lancar. Akibatnya adalah target realisasi belanja menjadi tidak tercapai dan menimbulkan adanya sisa anggaran. Berdasarkan hal tersebut dapat dirumuskan hipotesis kedua yaitu : Hipotesis 2 : Perilaku myopic dalam anggaran pengadaan aset berpengaruh positif terhadap sisa anggaran
Smith (2012) menyatakan bahwa adanya dana simpanan dapat menimbulkan motivasi self interest. Pada APBD dana simpanan timbul dari adanya SILPA pada tahun anggaran yang lalu. SILPA dapat digunakan sebagai, 1) dana untuk menutupi defisit anggaran pada tahun berikutnya, 2) Mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung yaitu belanja pegawai, belanja barang dan jasa, dan belanja modal, dan 3) Mendanai kewajiban lainnya sampai dengan akhir Tahun Anggaran belum diselesaikan.
6
Smith (2012) menyatakan bahwa dana simpanan cenderung digunakan untuk mengurangi beban kerja atau menghindari risiko. Agen akan memanfaatkan dana simpanan dengan menetapkan target pendapatan dibawah kemampuan agen sehingga tidak perlu bekerja keras mencapai target atau menetapkan target belanja di atas rencana belanja untuk memanfaatkan dana simpanan tanpa perencanaan yang matang. Akibat yang ditimbulkan dari adanya pemanfaatan dana simpanan untuk kepentingan pribadi adalah agen menetapkan target pendapatan dibawah kemampuan agen atau menetapkan target belanja di atas rencana belanja dengan segala motif yang telah diuraikan. Akibatnya adalah ketika realisasi pendapatan melebihi target dan realisasi belanja berada di bawah target akan menimbulkan sisa anggaran pada akhir periode anggaran. Berdasarkan hal tersebut dapat dirumuskan hipotesis ketiga yaitu : Hipotesis 3 : Perilaku self interest dalam pemanfaatan dana simpanan berpengaruh positif terhadap sisa anggaran
Perilaku ketergantungan juga termasuk pada perilaku budgetary slack. Perilaku ketergantungan menyebabkan agen enggan mengambil risiko adanya belanja yang tidak dapat dilaksanakan, sehingga agen lebih dahulu menunggu besaran transfer yang ia dapat sebelum menyusun anggaran (Munandar, 2001). Motivasi agen adalah menghindari risiko yang timbul dari rencana belanja. Motivasi lainnya adalah karena agen tidak ingin terbebani dengan target pendapatan untuk membiayai rencana belanja sehingga kinerjanya tidak optimal. Agen terlebih dahulu menunggu besaran transfer yang akan diberikan pemerintah pusat sebelum menetapkan rencana belanja. Munandar (2001) menyatakan bahwa motivasi menghindari risiko tersebut timbul karena adanya ketidakpastian serta ketidakmampuan agen memprediksi anggaran tahun berikutnya. Hal tersebut didukung oleh penelitian Bastian (2008) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2008 terdapat 11 dari 33 pemerintah provinsi yang telat mengesahkan APBD karena menunggu besaran dana transfer pemerintah pusat kepada daerah. Ketergantungan terhadap dana transfer akan mengakibatkan seluruh dana transfer diserap menjadi belanja pemerintah. Hal tersebut didukung oleh penelitian Affandy (2007) yang menyatakan bahwa belanja pemerintah daerah di Indonesia ditanggung oleh dana transfer pemerintah pusat, sedangkan sisanya didanai oleh pendapatan asli daerah. Dana transfer yang sepenuhnya diserap akan mengakibatkan SILPA menjadi berkurang karena tidak ada dana sisa yang berasal dari dana transfer. Berdasarkan hal tersebut dapat dirumuskan hipotesis keempat yaitu :
7
Hipotesis 4 : Perilaku ketergantungan terhadap dana transfer berpengaruh negatif terhadap sisa anggaran
Metode Penelitian Penelitian ini meneliti hubungan perilaku budgetary slack terhadap timbulnya sisa anggaran. Penelitian ini ingin memberikan kontribusi pada penggunaan data sekunder sebagai indikator terjadinya budgetary slack. Hal tersebut dikarenakan penelitian terdahulu mengenai SILPA lebih banyak menggunakan data primer sehingga sampel yang digunakan menjadi terbatas. Akibatnya adalah sulit untuk mengambil kesimpulan secara general. Variabel yang digunakan seperti terlihat pada Gambar 1. Model penelitian yang digunakan adalah model regresi berganda dengan menggunakan data panel dari seluruh propinsi (33 propinsi) di Indonesia pada periode antara tahun 2008 sampai dengan 2012. Pemilihan waktu tersebut dikarenakan data tahun 2013 s.d. 2014 masih sulit didapatkan terutama indikator ekonomi dan statistik. Pada periode penelitian kondisi ekonomi cukup dinamis, yaitu mengalami krisis ekonomi pada tahun 2008 dan tahun 2011. Pada periode penelitian juga berada dalam kepemimpinan yang sama sehingga tidak banyak regulasi yang berubah dan bertolak belakang.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Perilaku self interest dalam anggaran belanja
Perilaku myopic dalam anggaran pengadaan aset
H1 : Berpengaruh positif H2 : Berpengaruh positif Sisa Anggaran
Perilaku pemanfaatan dana simpanan untuk kepentingan pribadi Perilaku ketergantungan terhadap dana transfer
H3 : Berpengaruh positif H4 : Berpengaruh negatif
Inflasi Tingkat Pengangguran Tingkat Kemiskinan
Model regresi yang dibuat adalah sebagai berikut, sedangkan operasionalisasi variabel dapat dilihat pada Tabel 1. 8
LNSLPit = a0 + a1BLJit+ a2ASTit+ a3DSPit+ a4KTGit+ a5INFit+ a6PNGit + a7KMSit Keterangan : LNSLP
= Sisa anggaran (LN agar variabel sederhana)
BLJ
= Perilaku self interest dalam anggaran belanja
AST
= Perilaku myopic dalam anggaran pengadaan aset
DSP
= Perilaku self interest dalam pemanfaatan dana simpanan
KTG
= Perilaku ketergantungan terhadap dana transfer
INF
= Inflasi
PNG
= Tingkat pengangguran
KMS
= Tingkat kemiskinan
a0
= Intersep
a1, a2, a3, dst
= Koefisien regresi variabel bebas
i
= data propinsi ke-i
t
= data tahun ke-t
Tabel 1. Operasionalisasi Variabel No
Variabel
Operasionalisasi
Sumber Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK
1.
Sisa Anggaran
Nilai SILPA dalam Laporan Realisasi Anggaran (LRA)
2.
Perilaku self interest dalam anggaran belanja
Rasio antara capaian kinerja pemerintah dengan realisasi belanja
LHP BPK dan LAKIP
Rasio antara nilai aset lancar dengan aset tidak lancar
LHP BPK
Rasio antara SILPA tahun t-1 dengan rencana defisit pada tahun t
LHP BPK
Rasio antara DAU dengan total pendapatan daerah
LHP BPK
3.
4.
5.
Perilaku myopic dalam anggaran pengadaan aset Perilaku self interest dalam pemanfaatan dana simpanan Perilaku ketergantungan terhadap dana transfer
6.
Inflasi
7.
Tingkat Pengangguran
Nilai Inflasi dalam laporan Bappenas (2013) Tingkat pengangguran dalam laporan Bappenas (2013)
Bappenas Bappenas
9
No 8.
Variabel Tingkat Kemiskinan
Operasionalisasi Tingkat Kemiskinan dalam laporan Bappenas (2013)
Sumber Bappenas
Penggunaan data panel memberikan beberapa keuntungan namun juga memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan data panel adalah data yang tersebar cenderung tidak normal, terlebih pada penelitian sosial. Sebaran data yang tidak normal menurut Gujarati (2003) masih dapat diabaikan selama jumlah observasinya melebihi 30 observasi. Sedangkan keuntungan dari data panel adalah model regresi dapat lebih mendalami efek sosial dan ekonomi yang tidak dapat diperoleh dari model data yang lain. Keuntungan lainnya adalah derajat kebebasan menjadi lebih banyak karena data observasi meningkat ketika digabungkan antara time series dan cross section. Derajat kebebasan yang lebih banyak dapat menyebabkan varian koefisien variabel menjadi sempit sehingga nilai koefisien menjadi lebih stabil. Uji statistik akan dilakukan untuk melihat signifikansi dari model secara keseluruhan, secara parsial, dan berapa persen regresi mewakili penyebaran data variabel independen. Untuk menentukan apakah model regresi menggunakan common effects, fixed effects dan random effects, peneliti akan menggunakan tes redundant fixed effect, tes Haussman, dan tes Lagrange Multiplier. Uji statistik akan dilakukan setelah model regresi dipastikan memiliki parameter BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). Parameter BLUE didapatkan setelah model diuji dengan uji Multikolinearitas dan Heteroskedastisitas. Uji Autokorelasi tidak dilakukan karena hanya terjadi pada korelasi antar periode watu (time series).
Hasil dan Diskusi 1. Statistik Deskriptif SILPA mengalami penurunan pada tahun 2009 kemudian meningkat kembali hingga tahun 2012 dengan peningkatan rata-rata 52%. Nilai SILPA jauh melebihi deviasi pada SILPA provinsi Aceh, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur. Nilai silpa Aceh yang melebihi standar deviasi hanya terjadi pada tahun 2008 hingga 2009. Hal tersebut berkaitan dengan masa tugas Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias (BRR Aceh-Nias) yang berakhir pada tahun 2009. BRR Aceh-Nias mendapatkan dana rehabilitasi dari APBN melalui BRR dan APBD yang mendapatkan alokasi khusus rekonstruksi dari Pemerintah Pusat. Rasio perilaku self interest dalam anggaran belanja rata-rata sebesar 1,14. Hal tersebut menandakan bahwa sebagian besar pemerintah provinsi di Indonesia mempunyai persentase capaian kinerja lebih besar dibandingkan dengan realisasi belanja. Dari 165 observasi hanya 1
10
observasi yang realisasi belanjanya tidak mencapai rencana anggaran. Observasi tersebut adalah pemerintah provinsi Lampung pada tahun 2011. Rata-rata rasio perilaku myopic dalam anggaran pengadaan aset adalah sebesar 0.09. Hal tersebut menandakan bahwa kecenderungan pengadaan aset tidak lancar lebih besar jika dibandingkan dengan kecenderungan pengadaan aset lancar. Trend rasio perilaku myopic selalu meningkat selama tahun 2009 s.d. 2012. Pada perilaku pemanfaatan dana simpanan, rata-rata rasio adalah sebesar 1,03. Hal tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar pemerintah provinsi di Indonesia merencanakan defisit anggaran sebesar dengan SILPA pada tahun anggaran sebelumnya. Trend rasio antara tahun 2008 hingga 2012 mengalami peningkatan. Rata-rata rasio ketergantungan terhadap dana transfer pada tahun 2008 s.d. 2012 adalah sebesar 0,36. Hal tersebut menandakan bahwa sebagian besar pemerintah provinsi di Indonesia masih memiliki ketergantungan dari transfer pemerintah pusat sebesar 36% dari total anggaran pendapatannya.
2. Uji Korelasi Tabel 2. menunjukan bahwa tidak seluruh variabel independen mempunyai korelasi yang signifikan terhadap SILPA. Korelasi yang signifikan hanya terjadi pada variabel BLJ, AST, KTG, PNG dan MSK. Korelasi signifikan bernilai positif terjadi pada variabel BLJ, AST, dan PNG. Korelasi bernilai positif menunjukan bahwa jika makin besar nilai variabel-variabel tersebut, akan mengakibatkan nilai SILPA semakin meningkat. Korelasi signifikan yang bernilai negatif terdapat pada KTG dan MSK. Korelasi bernilai negatif menunjukan bahwa jika nilai ketiga variabel tersebut semakin meningkat akan mengakibatkan penurunan nilai SILPA.
Tabel 2. Uji Korelasi Pearson
SLP BLJ AST DSP KTG INF PNG MSK
SLP 1.0000 0.3608*** 0.1900*** 0.0794 -0.5292*** -0.0453 0.3867*** -0.2479***
BLJ
AST
DSP
KTG
INF
PNG
MSK
1.0000 0.2433*** -0.0366 -0.2331*** 0.2528*** 0.2261*** -0.3096***
1.0000 0.0709 -0.2324*** 0.1367* 0.0662 -0.2158***
1.0000 -0.0677 0.0206 0.0222 -0.0704
1.0000 0.2025*** 1.0000 -0.4016*** 0.0646 1.0000 0.2240*** 0.1501* -0.1447* 1.0000
* Korelasi signifikan pada alpha = 10% ** Korelasi signifikan pada alpha = 5% *** Korelasi signifikan pada alpha = 1%
11
3. Uji Model Berdasarkan uji Hausman dan uji Chow, model penelitian menunjukan bahwa model yang tepat adalah Fixed Effect. Kemudian berdasarkan nilai Variance Inflated Factor (VIF) diketahui terdapat masalah multikolinearitas pada variabel rasio perilaku self interest dalam anggaran belanja yaitu memiliki nilai 19,22 dari ambang nilai 10. Masalah tersebut diatasi dengan melakukan centering yaitu memindahkan data pada bagian tengah untuk mendapatkan data yang lebih stabil. Pada pengujian heteroskedastisitas, model diketahui memiliki masalah tersebut karena setelah uji Wald nilai prob>chi2 nilainya lebih kecil dari alpha (0,05). Adanya masalah heteroskedastisitas mengakibatkan adanya bias ketika ingin mengambil kesimpulan dari sebuah model. Masalah heteroskedastisitas kemudian dihilangkan dengan membobotkan data dengan robust standard error.
Tabel 3. Hasil Regresi LNSLPit = a0+ a1BLJit+ a2ASTit+ a3DSPit+ a4KTGit+ a5INFit+ a6PNGit + a7MSKit + eit SLP
EXPECTED SIGN + + + + +
BLJ AST DSP KTG INF PNG MSK CONST Wald Chi2 62.31 Prob>chi2 0.0000 R-sq 0.4742 *
COEF.
z
P>[z]
Ket
1.079 6.856 -0.019 -3.245 0.027 0.014 -0.035 26.95
2.80 5.36 -1.26 -7.50 1.96 0.56 -3.74 95.06
0.080 0.003 0.251 0.000 0.164 0.353 0.030 0.000
* *** ***
**
Observasi 165 Grup 33
signifikan pada alpha 10%
** signifikan pada alpha 5% ***signifikan pada alpha 1%
SLP: nilai SILPA; BLJ: perilaku self interest dalam anggaran belanja; AST: perilaku myopic dalam anggaran pengadaan aset; DSP: perilaku self interest dalam pemanfaatan dana simpanan ; KTG: perilaku ketergantungan terhadap dana transfer; INF: inflasi; PNG: tingkat pengangguran; MSK: tingkat kemiskinan
Pada tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai koefisien determinasi (R-sq) pada model tersebut sebesar 0.4742. Nilai R-sq menjelaskan bahwa garis regresi dapat mewakili 47.42% dari variasi 12
variabel dependen, sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain yang tidak dimasukan ke dalam model. Dari distribusi chi-square pada gambar dapat disimpulkan bahwa model tersebut signifikan yang ditunjukan dengan nilai Prob>Chi-square sebesar 0.0000. Dari tabel 3 dapat diketahui bahwa variabel yang signifikan adalah variabel perilaku self interest dalam anggaran belanja, variabel perilaku myopic dalam anggaran pengadaan aset dan variabel perilaku ketergantungan terhadap dana transfer. Variabel utama lainnya yaitu perilaku self interest dalam pemanfaatan dana simpanan tidak signifikan pada alpha sebesar 10%. Variabel kontrol yang terdapat dalam model yaitu variabel inflasi dan tingkat pengangguran tidak signifikan. Namun variabel tingkat kemiskinan berpengaruh signifikan terhadap SILPA pada alpha 5%.
Pembahasan hasil penelitian 1. Perilaku Self Interest Dalam Anggaran Belanja Hasil regresi menunjukan bahwa perilaku self interest dalam anggaran belanja berpengaruh positif signifikan terhadap sisa anggaran. Perilaku self interest dalam anggaran belanja adalah perilaku yang dilakukan agen dengan melebihkan rencana belanja lebih besar dari kemampuan penyerapan anggaran. Perilaku ini didorong oleh motivasi mengurangi risiko sehingga agen menjadi fleksibel dan lebih tenang dalam bekerja (Young, 1985). Motif kedua adalah ratcheting sehingga agen akan berusaha agar ketika usulan anggaran tersebut dipangkas, anggaran akhir tersebut masih cukup untuk mendanai seluruh rencana kegiatan agen pada tahun anggaran tersebut. Sedangkan motif ketiga adalah motivasi oportunistik. Akibatnya adalah agen memanfaatkan anggaran belanja untuk kepentingannya sendiri. Ketiga motif tersebut akan mengakibatkan agen melebihkan pos-pos anggaran yang pada akhir tahun anggaran tidak terealisasi seluruhnya. Akibat lainnya adalah proyek pengadaan yang nilainya lebih besar dari nilai wajar atau pengadaan barang atau jasa yang sebenarnya tidak perlu dilakukan (Pahnwar, 2014).
2. Perilaku Myopic Dalam Anggaran Pengadaan Aset Hasil regresi menunjukan bahwa perilaku myopic dalam anggaran pengadaan aset berpengaruh signifikan positif terhadap sisa anggaran. Perilaku myopic terjadi ketika agen menggunakan kebijakan jangka pendek untuk meningkatkan prestasi kinerjanya, namun di sisi lain merugikan organisasi atau dalam sektor publik merugikan kepentingan masyarakat dalam jangka panjang.
13
Meliala (2014) menyatakan bahwa banyak kebijakan pemerintah yang belum berorientasi jangka panjang. Banyak kebijakan ternyata tidak memperhatikan 1) daya saing industri, 2) lapangan kerja di masa datang, 3) pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, 4) dan pertumbuhan ekonomi dalam skala kecil seperti perdesaan. Penyebab pemerintah melakukan perilaku myopic adalah ketidakpastian dan kesulitan dalam memprediksi anggaran di masa datang, persiapan perencanaan dan penganggaran yang rumit dan cukup lama, dan dampak terhadap popularitas yang rendah. Niskanen (1968) mengasumsikan bahwa pemerintah cenderung memaksimalisasi anggaran untuk kepentingan pribadinya sebagai proksi atas kekuasaannya. Hal tersebut diistilahkan dengan model ketamakan politisi. Ketamakan tersebut diiringi oleh cara pandang jangka pendek atau myopic sehingga anggaran pemerintah dapat memberikan keuntungan pada saat ia berkuasa. Salah satu contoh perilaku myopic dalam anggaran pengadaan aset diungkapkan oleh Inspektorat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2014) yang mempermasalahkan banyaknya pengalihan belanja sosial yang awalnya dialokasikan untuk belanja fasilitas dan infrastruktur, namun ketika pelaksanaan diubah menjadi belanja bantuan sosial yang berbentuk tunai. Hal tersebut sangat disayangkan karena fasilitas dan infrastruktur akan memberikan manfaat dalam jangka panjang. Dialihkannya belanja sosial menjadi bantuan sosial tunai mengakibatkan realisasi belanja aset tidak lancar menjadi tidak tercapai sehingga mengakibatkan sisa anggaran.
3. Perilaku Self Interest Dalam Pemanfaatan Dana Simpanan Hasil regresi menunjukan bahwa perilaku self interest dalam pemanfaatan dana simpanan tidak berpengaruh terhadap sisa anggaran. Pengaruh yang tidak signifikan kemungkinan dikarenakan agen tidak menganggap sisa anggaran sebagai slack resources. Penelitian Asmara (2010) menyatakan bahwa SILPA tahun lalu ternyata tidak mempengaruhi alokasi plafon dan jenis belanja pada SKPD di provinsi Aceh. Penelitian Danayati (2014) juga menyatakan bahwa pemerintah daerah dianggap belum memperhatikan adanya dana SILPA sehingga dapat mempengaruhi rencana anggaran. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pemerintah menggunakan metode incremental ketika menyusun anggaran dengan menggunakan pos anggaran tahun lalu dan menaikan nilainya secara gradual. Jika rencana anggaran masih belum seimbang karena adanya SILPA, pemerintah
provinsi
seringkali
menganggarkan
pengeluaran
pembiayaan
untuk
menyeimbangkan anggaran. Untuk menyeimbangkan anggaran pemerintah provinsi 14
menganggarkan penyertaan modal pemda, dana bergulir atau pemberian pinjaman namun tidak direalisasikan sampai akhir tahun anggaran. Jones (1992) menyatakan bahwa alasan digunakannnya penganggaran incremental pada sebuah organisasi adalah karena mudah dilakukan atau agen berada dalam ketidakpastian, atau tidak mampu dalam memprediksi anggaran berikutnya. Jones (1992) juga menyatakan bahwa digunakannya penganggaran incremental karena agen ingin menghindari konflik atau risiko pekerjaan yang mungkin terjadi di masa datang. Hal tersebut dikarenakan agen berada dalam lingkungan yang tidak pasti, atau agen tidak mampu memprediksi anggaran berikutnya.
4. Perilaku Ketergantungan Terhadap Dana Transfer Hasil regresi menunjukan bahwa perilaku ketergantungan terhadap dana transfer berpengaruh negatif signifkan terhadap sisa anggaran. Adanya perilaku ketergantungan terhadap dana transfer didukung oleh penelitian Adi (2008) yang menyatakan bahwa perilaku tersebut terjadi pada pemerintah daerah kota dan kabupaten yang berada di pulau jawa. Bastian (2008) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2008 terdapat 11 dari 33 pemerintah provinsi telat mengesahkan APBD. Keterlambatan disebabkan pemerintah provinsi menunggu besaran transfer pemerintah pusat yang diumumkan pada bulan Juni sehingga proses penyusunan anggaran menjadi terlambat. Penyebabnya adalah terlambatnya pemerintah provinsi menyusun Kebijakan Umum APBD, karena menunggu terlebih dahulu besaran dana transfer yang akan diberikan pemerintah pusat.
Kesimpulan, Implikasi dan Keterbatasan Penelitian Berdasarkan hasil analisis, perilaku budgetary slack ternyata memiliki motif yang beragam. Motif yang sering muncul adalah motivasi self interest dan motivasi menghindari risiko ketidakpastian atau ketidakmampuan dalam memprediksi anggaran di masa datang. Motivasi self interest ternyata tidak hanya datang dari agen, namun juga dari pihak ketiga seperti rekanan dan DPRD. Penelitian ini ingin memberikan kontribusi penggunaan data sekunder untuk mengukur terjadinya perilaku budgetary slack agar hasil penelitian dapat digeneralisasi. Sesuai dengan penelitian Bradshaw (2007), penggunaan data sekunder sebaiknya digunakan sebatas untuk mengetahui indikasi perilaku budgetary slack. Sedangkan untuk memperoleh informasi yang lengkap tentang perilaku diperlukan pengamatan yang lebih lanjut. Sebagai contoh, perilaku myopic pada penelitian ini menggunakan pengukuran rasio antara aset lancar dan aset tidak lancar. Hal tersebut mengakibatkan perilaku tersebut baru 15
sebatas dilihat dari komposisi aset. Sedangkan perilaku myopic salah satunya dapat terjadi pada kebijakan dan belanja peningkatan kualitas aparatur pemerintah daerah. Perilaku myopic akan menyebabkan pemerintah tidak menganggarkan belanja anggaran pada peningkatan kualitas aparatur daerah melainkan lebih cenderung pada peningkatan kuantitas aparatur dan fasilitas pribadinya. Penelitian ini hanya mengambil sampel pemerintah provinsi dari seluruh pemerintah daerah di Indonesia yang juga terdapat pemerintahan kota dan kabupaten. Penelitian kemungkinan akan semakin memberikan gambaran utuh mengenai SILPA jika model pemerintahan kota dan kabupaten juga diikutsertakan dalam model. Kesimpulan mengenai SILPA mungkin akan berbeda tergantung jenis pemerintahannya. Operasionalisasi variabel dalam penelitian ini dapat dijadikan sebagai indikator awal terjadinya budgetary slack. Indikator tersebut diharapkan dapat menjadi peringatan awal akan terjadinya potensi budgetary slack dalam penganggaran pemerintah provinsi. Sebagai implikasi dari hasil penelitian ini, beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah perilaku tersebut antara lain : 1. Mengoptimalkan kegiatan Musrenbang yang selalu dilakukan sebelum menyusun rencana anggaran. Selama ini kegiatan Musrenbang masih sebatas kegiatan formalitas yang belum menyentuh substansi perencanaan penganggaran (Kadafi, 2012). 2. Mengoptimalkan fungsi dan peran Inspektorat Daerah (Insda) sebagai Satuan Pengawas Internal dengan memberikan keleluasaan dalam melakukan reviu terhadap anggaran pemerintah. Insda sebenarnya telah diberikan wewenang dalam mereviu rencana anggaran pemerintah daerah berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan no. 194/PMK.02/2013. Namun keterbatasan SDM serta keleluasaan yang terkait independensi masih menjadi hambatan agar Insda dapat berfungsi dengan optimal. 3. Mengoptimalkan pengawasan eksternal dari Badan Pemeriksa Keuangan maupun penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi. Untuk mengawasi pihak-pihak lain seperti rekanan dan DPRD yang mempunyai self interest dalam anggaran pemerintah. 4. Menerapkan penilaian kinerja berdasarkan inisiatif pemerintah terhadap kebijakan yang mempunyai efek jangka panjang. Selain itu pemerintah pusat sebaiknya memberikan insentif ataupun bantuan pada pemerintah daerah untuk mendorong kinerja pemerintah daerah khususnya inisiatif dalam mendorong perekonomian, pemberdayaan kualitas SDM, dan infrastruktur yang memerlukan proses multi years dan memberikan dampak jangka panjang terhadap peningkatan potensi daerah.
16
5. Menetapkan sanksi terhadap pemerintah provinsi yang terlambat menyusun KUA dan mengesahkan APBD. Selain itu sebaiknya pemerintah pusat memberikan insentif bagi pemerintah provinsi yang sanggup meningkatkan tingkat perekonomian daerah. Insentif dapat diberikan pada meningkatnya indikator perekonomian dengan threshold tertentu yang telah ditentukan.
Daftar Pustaka Affandy, Didied.,Rahayu, Sri., Ludigdo, Unti. (2007). Studi Fenomenologis Terhadap Proses Penyusunan Anggaran Daerah Bukti Empiris dari Satu Satuan Kerja Perangkat Daerah di Provinsi Jambi. Simposium Nasional Akuntansi X, Sulawesi Selatan, Makassar. Ardiansyah, Misnen. (2009). Perkembangan Penelitian Akuntansi Keperilakuan. SosioReligia, Vol. 8, No. 3, Mei 2009 Asmara, Jhon Andra. (2010). Analisis Perubahan Alokasi Belanja Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Jurnal Telaah & Riset Akuntansi. Vol 3. No. 2 Juli 2010. Hal 155-172 Bappenas. (2013). Kinerja Pembangunan 2004-2012. Jakarta Bastian, Indra. (2008). Keterlambatan APBD Dalam Analisis Siklus. Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 7, No. 2, September 2008, hlm. 115-130 Bradshaw, John., Khanna, Bhagwan., Hills, Joanne., and Hunt, Chris. (2007). Can Budgetary slack Still Prevail Within New Zealand's New Public Management. Working Paper no. 53 Victoria University of Wellington Chow C. W. (1983). The effect of Job Standard Tightness and Compensation Scheme on Performance: An Exploration in Linkages, The Accounting Review 58, p.106-136. Danayati, Mauli. (2014). Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Selisih Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) Terhadap Realisasi Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi. Universitas Gadjah Mada Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2013a). Laporan Monitoring dan Evaluasi Pembiayaan Daerah Yang Berasal dari Penerimaan SILPA. Jakarta Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2013b). Analisis Realisasi APBD Tahun Anggaran 2012. Jakarta Eisenhardt, Kathleen M. (1989). Agency Theory: An Assessment and Review. The Academy of Management Review, Vol. 14, No. 1, pp. 57-54
17
Gujarati, Damodar N. (2003). Basic Econometrics (4th edition). Mc Graw-Hill International Edition Hadi, Syamsul., Laksmi, Ratri Paramita. (2013). Pengaruh PAD, DAU, SILPA, Realisasi Anggaran dan Tanggal Penetapan Perda APBD Terhadap Anggaran Pembangunan Pada Pemerintah Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah - D.I. Yogyakarta Periode 2007-2010. Ekbisi, Vol VIII No. 1, Desember 2013, hal 35-46 Hudayati, Ataina. (2002). Perkembangan Penelitian Akuntansi Keperilakuan: Berbagai Teori dan Pendekatan yang Melandasi. JAAI Volume 6 No.2, Desember 2002 Isnadi., Rihardo, Ikhsan Budi. (2010). Perilaku Oportunistik Pejabat Eksekutif Dalam Penyusunan APBD. Ekuitas Vol. 14 No. 3 September 2010: 388-410 Jensen, Michael C., Meckling, William H. (1976). Theory of the Firm : Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics (JFE), Vol.3, No.4, 1976 Jones, Rowan., Pendlebury, Maurice. (1992). Public Sector Accounting. Third Edition, Pitman Publishing Kadafi, Muhammad. (2012). Permasalahan Keuangan Negara dan Daerah. Jurnal Eksis. Vol. 8 No. 2, Agustus 2012: 2168-2357 Large, Janelle. (1997). Participative budgeting and managers prospensity to create budgetary slack : an explanatory framework. University of Tasmania, Thesis, Unpublished Latifah, Nurul P. (2010). Adakah Perilaku Oportunistik Dalam Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik. Fokus Ekonomi, Vol. 5, No. 2, Desember 2010, 85-94. LeLoup, Lance T. (2002). Budget Theory for A New Century. Budget Theory in The Public Sector, pp 1-21, Westport, Connecticut, London. Leone, Andrew J., and Steve Rock. (2002). Empirical tests of budget ratcheting and its effect on managers’ discretionary accrual choices. Journal of Accounting and Economics 33.1: 43-67. Meliala, Janita S. (2014). Upaya Optimalisasi Penghematan Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) Agar Tepat Sasaran. Binus Business Review Vol 5 No. 1 Mei 2014: 333-343 Mizik, Natalie. (2010). The Theory and Practice of myopic Management. Journal of Marketing Research. Vol 47, No 4, pp594-611 Munandar, M. 2001. “Budgeting Perencanaan Kerja, Pengkoordinasian Kerja, Pengawasan Kerja, Edisi 1. BPFE,Yogyakarta Niskanen Jr., W.A.. 1968. The Peculiar Economics of Bureaucracy. American Economic Review.58(2), Mei: 239-305. 18
R.W. Hilton, et al. (2000). Cost Management: Strategies for Business Decisions. McGraw-Hill, New-York Rahayu, Retno Puji., Santosa, Purbayu Budi. (2005). Analisis Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhinya Dalam Upaya Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Kediri. Dinamika Pembangunan, Vol. 2, No. 1/ Juli 2005: 9-18 Republik Indonesia. (2003). Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Jakarta : Sekretariat Negara Smith, Daniel L., Rose, Shanna. (2012). Budget Slack, Institutions, and Transparency. Public Administrations Review, Volume 72, Issue 2 March/April 2012, pp 187-195 Sularso, Havid., Restianto, Yanuar E,. Istiqomah, Astari Elka. (2014). Determinan Perilaku Oportunistik Penyusunan Anggaran (Studi Pada Kabupaten/Kota di Jawa Tengah). SNA XVII Mataram Lombok, 24-27 Sept 2014. Sumenge, Ariel Sharon. (2013). Analisis Efektivitas dan Efisiensi Pelaksanaan Anggaran Belanja Badan Perencanaan Pembangunan Daerah(Bappeda) Minahasa Selatan. Jurnal EMBA, Vol. 1, No. 3 September 2013, Hal 74-81 Wildavsky, Aaron B. (1964). The Politics of the Budgetary Process. University of Michigan, Little, Brown. Witri. (2010). Analisis SILPA Pada Perhitungan APBD Kabupaten Manokwari Tahun 20072009. Tesis, Program Pascasarjana UGM, Yogyakarta (Tidak dipublikasikan). Young, S. Mark. (1985). Participative Budgeting: The Effects of Risk Aversion and Asymmetric Information on Budgetary slack. Journal of Accounting Research, Vol. 23 No. 2 Autumn 1985
19