76
DESKRIPSI TRADISI ENTAS-ENTAS, PRASWALA GARA, DAN PUJAN KAPAT MASYARAKAT TENGGER NGADISARI
Tradisi Entas-Entas Deskripsi Tradisi Entas-Entas Entas-Entas adalah sebuah prosesi upacara adat kematian masyarakat Tengger. Dalam tradisi Jawa biasa disamakan dengan acara nyewu (upacara seribu hari setelah kematian) meskipun pelaksanaannya tidak tepat di hari keseribu setelah kematian. Jika dalam tradisi masyarakat Hindu Bali dinamakan Ngaben (upacara pembakaran mayat). Hanya saja jika dalam masyarakat Bali yang dibakar adalah kerangka orang yang sudah meninggal, maka dalam tradisi masyarakat Tengger yang dibakar adalah petra, sebuah boneka yang dibuat dari kumpulan daun-daunan, ilalang dan bunga. Petra ini menjadi tempat bagi roh orang-orang yang sudah meninggal yang akan dientas. Entas-Entas berasal dari kata “entas”(dalam Bahasa Jawa), yang berarti “mengangkat” dalam Bahasa Indonesia. Upacara ini dilakukan untuk menyucikan atman (roh orang yang sudah meninggal), sebab roh itu datang suci maka kembali suci (“sukma sarira disucikan” menurut istilah mereka). Sebagaimana yang diceritakan Dukun Adat Desa Ngadisari Bapak Sutomo bahwa atman disucikan agar lepas dari karma (perbuatan) yang sudah dilakukan. Setiap orang selalu mendapat karmapala (buah dari perbuatan), sehingga harus diadakan upacara untuk ngilangi rereged sukere (menghilangkan kotoran) dan menyempurnakan kematian orang yang sudah meninggal agar lebih cepat mencapai nirwana (surga). Masyarakat Tengger meyakini bahwa balasan yang diterima orang yang sudah meninggal sesuai dengan perbuata n yang dilakukannya selama hidup di dunia. Namun sebagai keluarga yang masih hidup memiliki kewajiban untuk membantu leluhurnya (keluarga yang sudah meninggal) agar dapat mempercepat jalannya mencapai nirwana. Istilah mereka adalah “nyuwargaen” (“nyuwargakno” dalam Bahasa Jawa atau “membahagiakan” dalam Bahasa Indonesia) orang yang sudah meninggal. Masyarakat Tengger memiliki kepercayaan bahwa atman sebelum
77
dientas akan berkumpul di suatu tempat yang bernama “kutugan”13, terletak di bawah dekat pintu masuk ke kawasan laut pasir yang disebut Lawang Sari 14. Atman akan terus menunggu sampai ada keluarga yang melakukan upacara EntasEntas. Setelah diadakan upacara Entas-Entas maka roh leluhur dipercaya akan mendapatkan tempat yang baru, keluar dari daerah kutugan. Perjalanan mencapai nirwana tersebut digambarkan juga akan melewati lautan pasir dan penggambaran nirwana bagi mereka adalah kawah Gunung Bromo, sehingga kawah Bromo yang diyakini sebagai manifestasi dari padmasana, yang mereka sebut sebagai “pelinggih” (singgasana) dari Hyang Widhi ini menjadi tempat yang paling sakral dan diagungkan bagi Masyarakat Tengger. Waktu untuk melaksanakan upacara Entas-Entas tidak harus pas seribu hari setelah kematian, tapi tergantung kemampuan dari pihak keluarga yang aka n melaksanakannya. Biasanya pelaksanaan upacara Entas -Entas ini dilakukan bersama -sama dengan upacara yang lain, seperti upacara Praswala Gara (perkawinan), khitanan, upacara ruwatan, dll. Upacara ini termasuk upacara hajatan keluarga sehingga segala macam persiapan dilakukan oleh pihak yang punya hajat dibantu dengan para bethek,
yaitu orang-orang yang membantu
proses persiapan seperti sinoman dalam tradisi Jawa. Bethek ini biasanya terdiri dari keluarga dan tetangga dekat. Tempat pelaksanaan upacara Entas-Entas dapat dilakukan di mana saja, tidak ada ketentuan yang pasti, biasanya dilakukan sesuai dengan besar kecilnya acara yang digelar. Ada beberapa lingkup upacara Entas-Entas, yaitu: alit (kecil), sederhana dan radi ageng (agak besar), mereka tidak menyebut besar meskipun pada prakteknya biasanya berlangsung secara besar-besaran dengan adanya hiburan berupa tayub atau ludruk. Sedangkan untuk hiburan wayang tidak pernah dilakukan karena mereka masih meyakini kesakralan kawasan Tengger yang melarang dia dakannya acara wayang dalam bentuk apapun. Sebab hal itu akan meyebabkan terjadinya bencana jika dilanggar, karena kawasan Tengger dianggap sebagai tempat tinggal (kayangan) bagi para dewa-dewa yang biasa diceritakan 13
Masyarakat Tengger meyakini jika keluarga yang hidup belum melakukan upacara Entas-Entas, maka atman akan tetap menunggu di tempat tersebut. Jika Entas-Entas dilakukan lebih dari sekali, maka atman akan dapat berpindah ke beberapa tempat. 14 Lawang sari juga merupakan tempat sakral bagi masyarakat Tengger. Menurut keyakinan mereka tempat ini merupakan pintu masuk ke alam lain.
78
dalam dunia pewayangan. Upacara Entas-Entas dapat dilakukan di rumah sendiri atau menyewa Balai Desa jika membutuhkan tempat yang lebih luas. Prosesi Pelaksanaan Tradisi Entas-Entas Pelaksanaan upacara Entas-Entas secara umum dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: resik, saat pelaksanaan dan wayon. Resik (dilakukan pada satu hari sebelum hari Pelaksanaan) Resik berasal dari bahasa Jawa yang berarti “bersih”, yaitu upacara yang dilakukan sebagai persiapan sebelum pelaksanaan upacara Entas -Entas. Tujuan dari resik adalah untuk menyucikan roh yang akan dientas dan semua yang terlibat dalam upacara, baik yang punya hajat, keluarga, tempat makanan, tempat memasak maupun semua bahan-bahan yang dipakai dalam upacara agar terhindar dari gangguan roh-roh jahat. Biasanya dilakukan pada satu hari sebelum pelaksanaan. Tempat pelaksanaan resik adalah di tempat yang akan dipakai untuk pelaksanaan upacara Entas-Entas. Jenis-jenis tamping (sesajen) yang dipakai dalam upacara resik ini adalah: 1.
Gedang ayu. Berupa pisang dua tangkep (dua sisir) dengan jenis dan jumlah yang sama dan diberi jambe (pinang) dan kapur sirih. Jambe berwarna kuning, kapur berwarna putih dan gambir berwarna merah. Tiga warna ini melambangkan Tri Murti, sedangkan sirih melambangkan tempat.
2.
Ajang malang.
3.
Dandanan resik .
4.
Dandanan banyu/ andhek -andhek. Tamping ini terdiri dari telur dan gedang ayu (pisang dua sisir yang diberi kapur sirih).
5.
Dandanan masu.
6.
Gubahan klakah. Tamping ini terdiri dari: beras satu tempeh (semacam loyang yang terbuat dari anyaman bambu) sebanyak tiga kg, pisang dua tangkep (dua sisir), gubahan (berisi bunga kenikir, bunga tanalayu/ edelways dan daun putihan),
79
macam-macam kue (terdiri dari pipis, juadah, ketan dan wajik ), rokok, jambe ayu/ jambe suruh (pinang sirih), uang kertas sebanyak Rp 3.000,- dan kemenyan sebanyak dua bungkus. 7.
Mbedhudhuk . Tamping ini berisi kelapa satu butir, gula satu kg, beras satu kg, tumpeng, pisang, jambe ayu (pinang yang diberi kapur sirih), ayam panggang setengah matang, penganggo (pakaian), ketan dan telur satu butir. Makna dari tamping ini adalah: 1) Ayam melambangkan kendaraan para dewa. 2) Tumpeng melambangkan ketinggian ilmu atau tempat suci. 3) Pisang melambangkan kemakmuran. 4) Pakaian merupakan lambang dari pakaian para roh yang dientas.
8.
Nyuruh agung. Tamping ini terdiri dari kelapa, daun pisang, gula, daun sirih dan pinang.
9.
Dandanan banyu masu. Tamping ini terdiri dari pisang satu tangkep, tumpeng, ayam panggang, kue yang terdiri dari pipis (seperti kue nagasari tapi terbuat dari tepung jagung putih), juadah (seperti kue tetel tapi terbuat dari tepung jagung putih dan ketan), wajik yang terbuat dari beras ketan.
10. Kulak , terdiri dari potongan bambu satu ruas (bumbung) yang berisi beras dan lawe (uang sebanyak Rp 1.000,- yang dibungkus daun lontar dan diikat pakai tali sumbu). Maknanya sebagai uang saku dan bekal makanan bagi roh yang akan dientas. Sedangkan pada malam hari sebelum pelaksanaan, di rumah Wong Sepuh biasanya dilakukan pembuatan petra. Petra adalah boneka yang dibuat dari kumpulan alang-alang, daun, bunga yang dirangkai dengan cara tertentu, diikat dengan menggunakan tali branding. Fungsinya dalam upacara-upacara adat masyarakat Tengger adalah sebagai pelinggih atman / tempat yang digunakan untuk menempatkan arwah orang yang sudah meninggal yang diundang dalam acara tersebut. Dalam upacara Entas-Entas , petra digunakan sebagi pelinggih atman yang akan dientas.
80
Petra selalu digunakan dalam berbagai upacara adat yang mengundang roh para leluhur. Maksudnya adalah untuk menghormati mereka yang sudah meninggal sekaligus meminta do’a restu agar keluarga yang masih hidup tetap dalam keadaan bahagia dan sejahtera. Bentuk petra dalam berbagai upacara sama, kecuali petra yang digunakan dalam upacara Entas -Entas. Perbedaannya adalah petra dalam upacara Entas-En tas menggunakan daun pampung yang digunakan sebagai simbol tubuh bagian bawah. Selain itu ada semacam kesakralan daun pampung, dimana daun ini pohonnya hanya boleh ditanam oleh Wong Sepuh, pada hari tertentu dan menggunakan mantra tertentu dalam menanamnya . Di daerah penelitian hanya dijumpai beberapa pohon saja di tempat tertentu, yaitu: 1.
Daun pampung di daerah tegalan yang ditanam oleh Wong Sepuh Ngadisari Bapak Ponito (Pak Dul), berjumlah satu batang pohon.
2.
Daun pampung di daerah Guyangan, Cemoro La wang yang ditanam oleh Wong Sepuh pendahulu, berjumlah dua batang pohon.
3.
Daun pampung di dekat rumah penduduk (sebelah barat Hotel Cemara Indah), Dusun Cemoro Lawang yang ditanam oleh Wong Sepuh terdahulu, berjumlah satu batang pohon.
Bahan-bahan dalam pembuatan petra, adalah: 1.
Daun Nyangkuh , maknanya adalah agar nyangkuh (cocok), untuk melengkapi.
2.
Janur, maknanya adalah nur.
3.
Bunga kenikir, maknanya kencenge pikir (lurusnya pikiran).
4.
Alang-alang, maknanya ngalang-alangi sambi kala, maksudnya sebagai penghalang terhadap segala bahaya.
5.
Bambu petung, untuk sujen (mirip tusuk sate tapi ada pegangan di bagian bawah untuk menahan tusukan) , makna bambu petung adalah sebagai simbol dari tulang.
6.
Bambu tali/ pring tali/ tutus (branding), maknanya sebagai kancing/ penutup.
7.
Daun pampung (khusus digunakan pada petra untuk upacara Entas-Entas). Makna daun pampung adalah sebagai simbol dari bagian tubuh bagian bawah.
8.
Tana layu (edelweys), maknanya adalah mandape wahyu (turunnya wahyu).
81
Proses Pembuatan Petra 1. Daun nyangkuh sebanyak dua lembar untuk membungkus batang alang-alang, dimana batang alang-alang ini berjumlah 20 batang yang masing-masing dipotong sepanjang 20 cm. 2. Setelah itu pada bagian bawah daun dilipat dan diikat dengan tali branding. 3. Janur yang sudah dilubangi empat buah dilekatkan di bagian bawah menutupi lipatan daun nyangkuh dengan posisi lubang berada di bagian atas. Kemudian janur bagian bawah diikat dengan tali branding. Ikatan tali berada di bagian belakang janur. 4. Bunga edelweys dan kenikir dirangkai (masing-masing satu potong edelweys dan satu potong kenikir) sebanyak lima buah diikatkan dengan tali branding di atas janur. Posisi ikatan yaitu: satu pasang rangkaian bunga di atas sebelah tengah, kemudian dua rangkaian di bawahnya dan dua rangkain lagi di bawahnya diatur agak menyebar. Sehingga posisi rangkaian bunga paling atas berada di tengah-tengah. 5. Membuat lipatan dari daun nyangkuh sekitar satu sampai dua lembar, lipatan berbentuk persegi panjang. Bentuk lipatan terbagi menjadi dua bagian yang disatukan, kemudian diikat dengan tali branding di tengahnya. 6. Lipatan daun nyangkuh tadi ditusuk dengan sujen. Sujen ini ditusukkan pada rangkaian di poin nomor 4 di atas. 7. Maka jadilah petra yang biasa digunakan untuk bebagai upacara yang mengundang arwah leluhur. 8. Sedangkan untuk petra pada upacara Entas-Entas menggunakan rangkaian daun pampung dan bunga tana layu. Rangkaian tersebut terdiri dari 12 tangkai daun pampung dan empat batang bunga tanalayu yang dirangkai membentuk segiempat dan diikat dengan tali branding. 9. Tidak menggunakan lipatan daun nyangkuh tapi menggunakan rangkaian daun pampung dengan edelweys atau tana layu. Rangkaian bunga tanalayu (edelweys) dan daun pampung ditusuk dari bagian dalam sehingga bagian luar rangkaian daun tersebut berada di atas.
82
Hari Pelaksanaan Pada hari pelaksanaan upacara Entas-Entas , sebelum acara dimulai ada beberapa persiapan dan tamping yang harus disediakan, yaitu: 1.
Maron, berjumlah sebanyak roh yang akan dientas ditambah satu sebagai pekalan (tempat kala dari para roh yang dientas). Maron ini diisi dengan: rokok satu batang, uang sebanyak Rp 3.000,- atau besarnya tergantung keinginan yang punya hajat. Kemudian di dalam maron inilah petra dari roh yang akan dienta s didudukkan.
2.
Layah/ cobek, sebanyak maron yang digunakan, diisi dengan lauk pauk dan kue sebanyak tujuh macam atau berjumlah ganjil.
3.
Tumpeng berisi nasi, lauk ayam panggang setengah matang, pisang dan ketan satu pincuk (bungkusan daun pisang).
4.
Kebaseng, yaitu daun pisang yang berisi bunga merah dan putih.
5.
Kulak , berisi beras, lawe dan nama orang yang akan dientas.
6.
Gedang ayu.
7.
Tumpeng panca warna, berupa tumpeng kecil dari nasi yang diberi warna putih, merah, kuning, hijau dan hitam.
8.
Tumpeng pras.
9.
Ajang Malang.
10. Air prasen, air ini khusus diambil dari sumber Semanik, yaitu sumber air yang dianggap sebagai sumber air pertama di daerah tersebut. 11. Prapen, tempat untuk membakar kemenyan. 12. Genta, terbuat dari kuningan yang akan dibunyikan bersamaan saat membaca mantra Pangentas dalam prosesi upacara Entas-Entas. Tujuannya untuk mengusir roh jahat yang akan mengganggsu perjalanan roh yang dientas menuju nirwana. 13. Kotak alat, berisi gunting, benang dan jarum dua buah serta dupa. 14. Sayur satu kuali, dimaksudkan sebagai bekal dari roh yang akan dientas. 15. Jumput (cinde panca warna/ selendang), berasal dari sutra kuno yang memiliki lima warna dan dipakai oleh dukun saat pelaksanaan upacara EntasEntas.
83
16. Dandanan adang , yang ter diri dari: anglo, kuali satu buah dengan tutupnya (biasa disebut langkak ), maron dua buah, sendok sayur (eros), beras satu tompo (bakul nasi), sayur satu kuali, buah jarak kering yang telah dikupas dan ditusuk pakai bambu (seperti tusukan sate) jumlahnya tidak ditentukan, air sumber Semanik satu jurigen, kipas, sendok nasi (enthong) dan kukusan kecil (tanggi). Prosesi pelaksanaan Entas-Entas adalah sebagai berikut: 1. Mekakat, yang menandai pembukaan upacara Entas -Entas. Merupakan pembacaan mantra pembuka yang dibaca oleh dukun. 2. Setelah itu prosesi inti upacara Entas-Entas , dalam hal ini Dukun membacakan mantra khusus Entas-Entas yang bernama mantra Pembaron berisi delapan bab, yaitu: 1) Setaben (asal kata tabe). Tujuannya adalah untuk menghormati para roh leluhur/ atman yang datang, dapat berarti juga sebagai ucapan selamat datang. 2) Pangentase, dapat berarti penyempurnaan/ mengembalikan asal-usul. Tujuannya adalah sebagai penyucian awal sebelum dientas. 3) Tatasing karayunan, artinya tuntas/ tidak ada yang ke tinggalan. Tujuannya adalah atman diangkat dari alam maya ke alam kasuwargan (alam surga). 4) Pujo limbang, berasal dari kata pujo yang berarti pinujo (memuji) dan limbang berarti keutamaan, sehingga dapat diartikan memuji keutamaan. Tujuannya adalah menyucikan sukma sarira dan raga sarira (sukma dan raga). Dalam istilah bahasa Jawa asal liro soko bumi baliko marang bumi (asal dari bumi/ tanah kembali ke tanah, dengan kata lain diharapkan dapat kembali ke asal). 5) Lukat alit, berarti ngruwat
(menghilangkan sengkala) yang kecil.
Tujuannya adalah untuk menghilangkan tri molo (tiga sengkala), yaitu: lara raga (sakit badan), lara geng (sakit besar) dan lara wigeno (sakit batin). 6) Pujo susah, berarti memuji yang kesusahan. Tujuannya adalah saling mengikhlaskan antara yang meninggal dengan keluarga yang ditinggal,
84
agar yang meninggal dapat kembali ke asalnya. Menurut istilah dalam bahasa Jawa adalah sing mati lalio marang kang urip, sing urip lalio marang kang mati (yang mati melupakan yang hidup, yang hidup melupakan yang mati). 7) Pujo geni, berarti memuji Sang Hyang. Tujuannya adalah untuk melebur raga atman agar kembali ke asal-usulnya. Dimana unsur alam untuk penglebur adalah air dan api. 8) Pangruwatan, berarti meruwat (menghilangkan sengkala). Tujuannya adalah ngruwat kala (suasana) dan ngruwat kama salah (wiji/ benih yang salah) atau yang tidak berwujud, sedangkan yang berwujud sebagai manusia dinamakan kama sejati yang akan dientas. 3.
Setelah pembacaan mantra selesai, Dukun membakar ujung rambut petra , pekalan dan para pemangku roh. Tujuannya adalah untuk menandai bahwa mereka telah dientas.
4.
Dukun melubangi kain putih di atas para pemangku roh satu persatu, pekalan dan petra dengan jarum jahit, maksudnya adalah untuk mengeluarkan segala sengkala dari para leluhur yang dientas.
5.
Bebek putih nucuk , itik putih ini memakan beras yang ada di atas kepala para pemangku roh. Maksudnya adalah untuk menghilangkan dan membersihkan segala sengkala yang masih menempel agar para leluhur kembali kepada kesucian.
6.
Ayam putih nucuk, ayam putih ini memakan beras di atas kepala para pemangku roh. Tujuannya sama dengan bebek yaitu menghilangkan segala sengkala yang masih tersisa.
7.
Mbedhol, yaitu mengangkat petra dari maron. Maksudnya adalah mengakhiri upacara dan meletakkan petra kembali ke tempat undangan roh sebelum dibakar. Mengangkat petra ini harus berhati-hati, tidak boleh menggunakan tangan saja namun memakai kukusan (alat untuk menanak nasi jaman dulu), sebab petra tersebut berisi roh yang suci.
8.
Setelah itu Dukun membaca mantra di pintu masuk yang menandai berakhirnya upacara yang diikuti dengan pemecahan kelapa muda oleh Legen
85
(pembantu Dukun). Tujuannya adalah sebagai ungkapan syukur atas terlaksananya upacara Entas -Entas. 9.
Petra yang sudah selesai dalam upacara Entas-Entas tersebut kemudian dibawa ke tempat pedanyangan untuk dilakukan pembakaran. Petra ini dibawa oleh para keluarga dengan digendhong memakai selendang, sebab petra ini sangat sakral dan merupakan manifestasi dari leluhur yang telah tiada. Setelah sampai di pedanyangan, pakaian petra yang merupakan pakaian leluhur selama masih hidup dilepas dan petra dibakar oleh Wong Sepuh (pembantu Dukun) sampai habis menjadi abu. Tujuan pembakaran adalah agar roh para leluhur dapat segera mendapatkan tempat yang lebih baik.
A
B
Gambar 9 A.Petra digendhong dibawa ke pedanyangan dengan selendang ; B. Pembakaran petra di pedanyangan oleh Wong Sepuh
Wayon (penutupan hajatan pada waktu malam hari) Merupakan upacara penutupan sebagai akhir dari semua upacara yang telah dilakukan. Tujuan dari wayon adalah sebagai ucapan rasa syukur atas terselenggaranya upacara Entas-Entas dan diharapkan para leluhur yang diundang kembali ke asalnya serta tidak mengganggu keluarga yang masih hidup. Wayon dilaksanakan pada malam hari di hari pelaksanaan sekitar pukul 19.00 sampai 20.00 WIB di tempat pelaksanaan upacara Entas-Entas. Acara ini dipimpin ole h Wong Sepuh yang didampingi oleh yang punya hajat dan disaksikan oleh dukun dan para perangkat desa. Pada acara ini hanya Wong Sepuh dan yang punya hajat saja yang diwajibkan menggunakan pakaian adat, sedangkan Dukun dan lainnya hanya berpakaian biasa. Pelaksanaannya dilakukan dengan pembacaan mantra wayon
86
oleh Wong Sepuh di depan beberapa tamping yang berupa gedang ayu, suruh ayu dan kue selama 15 menit yang didahului dengan pembakaran kemenyan. Semua yang hadir hanya menyaksikan dengan diam dan mengawasi sambil sesekali menerangkan maksudnya dengan suara yang dipelankan dan mempersilahkan penulis untuk mengambil gambarnya secara dekat. Hanya para laki-laki yang berada dalam ruangan tempat acara wayon dilakukan, sedangkan para perempuan biasanya hanya berkumpul di dapur atau di ruangan yang lain.
Upacara Praswala Gara (Perkawinan) Praswala Gara berasal dari kata pras ( mengepras/memangkas), wala (lare/anak) dan gara (rabi/kawin). Yaitu suatu upacara perkawinan menurut adat masyarakat Tengger yang juga bertujuan untuk menghilangkan sengkala/ kesialan. Upacara perkawinan ini memiliki rangkaian urutan sebagai berikut: 1.
Upacara Temu Pengantin. Upacara temu pengantin ini memakai sarana/ pitrahan berupa: Pertama, berupa beras, gula dan pisang dijadikan satu tempat yang bernama pras sengkala yang intinya menghilangkan kala -kala dari mempelai laki-laki dan perempuan. Kedua, berupa gandik, batu panjang, beras, uang kepeng, daun beringin, air suci dicampur bunga, kue tetel dan telor. Makna dari macam-macam pitrahan tersebut adalah; 1) Gandik melambangkan perempuan. 2) Batu panjang melambangkan laki-laki. 3) Beras merupakan lambang kebutuhan orang hidup. 4) Uang kepeng memiliki arti bahwa suami harus bertanggung jawab untuk mencari kebutuhan istri. 5) Daun beringin merupakan lambang pengayoman, jadi seorang suami harus mengayomi istri dan seorang istri harus mengayomi suami. 6) Air suci merupakan lambang dari mempelai berdua, jadi mempelai lakilaki dan perempuan masih suci. 7) Tetel melambangkan kekeluargaan (rukun damai). 8) Telor melambangkan agar mempunyai keturunan yang baik.
87
Jadi secara umum upacara temu pengantin adalah mempersatukan antara mempelai laki-laki dan perempuan. Prosesi temu pengantin yang pertama adalah ibu dari mempelai putra disambut oleh ibu dari mempelai putri yang memberikan daun sirih dan kapur (suruh ayu). Setelah itu rombongan dipersilahkan masuk dan diadakan acara penerimaan berupa menginjak telor oleh mempelai putra dan pembersihan dengan air suci yang dilakukan oleh mempelai putri. Makna dari prosesi ini adalah bahwa kedua mempelai masih suci. Setelah itu semua rombongan dipersilahkan untuk duduk dan dilakukan acara pasrah pengantin. 2.
Pasrah Pengantin. Pasrah Pengantin adalah salah satu rangkaian dari temu pengantin masyarakat Tengger yang berupa serah terima pengantin dari keluarga mempelai putra kepada keluarga mempelai putri. Pihak mempelai putra diwakili oleh Legen, sedangkan pihak mempelai putri diwakili oleh orang yang biasanya juga mantan Legen, karena dialog yang harus dihafal cukup panjang. Dalam serah terima pengantin ini terjadi sebuah dialog yang terjadi antara kedua wakil dari masing-masing pengantin dengan menggunakan bahasa Jawa. Keduanya duduk saling berhadapan dengan disaksikan oleh keluarga kedua mempelai. Inti serah terima ini adalah menyerahkan pengantin putra kepada keluarga pengantin putri. Dialog yang terjadi dilakukan begitu cepat karena panjangnya dialog tersebut di beberapa daerah dialog tersebut dilagukan, sehingga membuat para hadirin lainnya tidak merasa jenuh dan menjadi daya tarik tersendiri. Dialog pasrah pengantin ini secara lengkap dapat dilihat pada lampiran 12.
3.
Upacara di Peturan Pengantin. Upacara ini dilakukan di peturan/ kamar pengantin dengan sarana berupa tumpeng, ayam dan macam-macam kue. Maksud upacara ini adalah saat masuk kamar pengantin agar kedua mempelai tidak diganggu oleh buta kala. Istilah mereka kaki kolo ngintip/ kaki ketika mengintip disuruh makan sesaji agar tidak mengganggu kedua pengantin.
88
4.
Upacara Walagara (Penyaksian/ dulitan). Upacara ini dilaksanakan setelah upacara di peturan pengantin. Sarana yang dibutuhkan adalah: tumpeng kecil empat biji, ayam panggang dua buah, kue secukupnya, bunga, air suci, gedang ayu dan setel sirih pinang, gambir dan kapur (saruh ayu dan jambe ayu). Inti upacara walagara adalah penyaksian bahwa kedua mempelai sudah sah menjadi suami istri dan memohon restu pada: angkasa, ibu pertiwi, pintu, soko guru (tiang rumah), dapur, orang tua kedua mempelai, saudara-saudara dan pada semua tamu yang hadir. Dulitan ini dilakukan dengan mendulitkan (menempelkan ujung daun sirih) yang telah dicelupkan pada air suci yang dicampur bunga ke tangan semua yang hadir, biasanya laki-laki didahulukan setelah itu yang perempuan. Air suci ini merupakan air dari sumber Semanik (sumber pertama, dimana waktu mengambilnya harus tanpa bicara sepatahpun di jalan, biasanya dilakukan pada waktu malam hari) oleh yang punya hajat. Selama proses dulitan ini dilakukan oleh mempelai putri, maka mempelai putra diharuskan memegang tempat air suci tanpa boleh melepaskan sedikitpun sampai dulitan ini selesai. Jika dilepas dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Perias pengantin biasanya yang memberi tahu dan mendampingi apapun yang harus dilakukan oleh kedua mempelai dala m prosesi acara tersebut.
5.
Banten Kayopan Agung. Banten Kayopan Agung merupakan salah satu rangkaian dari upacara perkawinan menurut adat masyarakat Tengger. Sarana yang dipakai secara lengkap dinamakan Dandanan Banten Kayopan Agung, yang terdiri dari: 1)
Tumpeng tujuh buah.
2)
Sirih dan jambe (pinang) secukupnya.
3)
Kue secukupnya.
4)
Tuwuhan, yang terdiri dari: pohon pisang dengan ontongnya (jantung pisang), daun beringin, tebu, bunga, pinang, janur, tangga janur dan kelapa muda (degan) yang semuanya dirangkai menjadi dandanan/ rangkaian yang disebut tuwuhan , yang melambangkan kemakmuran.
89
5)
Kelapa muda di luar janur bermakna jika manusia sudah makmur jangan lupa dengan yang masih ada di bawah.
6)
Kelapa muda yang dihias janur dan diberi lubang bulat bermakna kemakmuran itu harus dimulai dari nol.
7)
Anda buana (tangga dunia) melambangkan jalan menuju nirwana, jadi siapa pun bisa menuju nirwana dengan syarat betul- betul orang yang suci dan memiliki hati yang bening (ning), baik perbuatannya, jujur, dll. Pelaksanaan Banten ini adalah dengan duduk bersama antara kedua
mempelai dengan seluruh kelurga dipimpin oleh dukun di hadapan dandanan/rangkaian Banten Kayopan Agung. Setelah pembacaan mantra, Dukun memberikan beras dan tali Banten kepada semua yang hadir, yaitu beras satu jumput (satu ujung tangan dari Dukun) digenggamkan di tangan kanan untuk dimakan dan mengikatkan tali Banten yang terbuat dari tali sumbu, di pergelangan tangan kanan kepada semua keluarga yang mengikuti Banten. Pertama kali yang diberi adalah mempelai putra kemudian mempelai putri, orang tua dan dilanjutkan semua keluarga. Pada acara ini penulis juga ikut diberi beras dan tali banten, yang berarti ikut memberi restu dan dianggap sebagai keluarga oleh mereka, meskipun bukan masyarakat Tengger namun mereka telah menganggap seperti saudara. Hal ini diakui oleh Dukun Tengger mirip dengan pengikatan tali raki pada masyarakat India yang mengikat persaudaraan. Beras tersebut melambangkan panga n (makanan) dan tali Banten melambangkan sandang (pakaian). Makna dari rangkaian Banten Kayopan Agung adalah do’a dari orang tua kedua mempelai yang memohon kepada Tuhan YME atau pedanyangan tempat tinggal mempelai berdua agar mereka selalu diayomi dan dijauhkan dari mala petaka dan mohon diberi kemakmuran. Selanjutnya sesajen tersebut dihaturkan kepada Sang Hyang Widi Wasa atau Tuhan YME/ pedanyangan setempat.
90
A
B
Gambar 10. Salah satu prosesi dalam upacara Praswala Gara: A. Pengikatan Tali Banten (pada prosesi Banten Kayopan Agung); dan B. Bati (pada prosesi dulitan).
Upacara Pujan Kapat Pujan berasal dari kata “pamujaan”, maksudnya adalah memuja Sang Pencipta, dalam tradisi masyarakat Tengger berupa suatu upacara yang diselenggarakan sebagai upaya untuk membersihkan desa dari pengaruh roh-roh jahat dan menjauhkan dari segala mara bahaya. Dalam masyarakat Tengger, pujan dilakukan sebanyak lima kali dalam satu tahun pada bulan-bulan tertentu berdasarkan perhitungan kalender Tengger. Macam-macam pujan tersebut, yaitu: Pujan Karo, Pujan Kapat, Pujan Kapitu, Pujan Kawolu, Pujan Kesanga, dan Pujan Kasada. 1. Pujan Karo Pujan Karo dilaksanakan pada saat upacara Karo yang jatuh pada bulan kedua pada penanggalan Tengger. 2. Pujan Kapat Pujan ini jatuh pada tanggal tiga malam empat bulan Kapat yang dilaksanakan oleh semua masyarakat. Pelaksanaan pujan bertempat di rumah Petinggi/ Kepala Desa. Makna dari Pujan Kapat atau pamujaan pada bulan Kapat (ke -empat) adalah menghormati atau memberi upacara kepada: a. Dulur papat. b. Memberi upacara pada empat penjuru mata angin, yaitu: 1) Wetan/ timur lambang putih, dewanya Iswara. 2) Kidul/ selatan lambang merah, dewanya Brahma. 3) Kulon / barat lambang kuning, dewanya Mahadewa.
91
4) Lor/ utara lambang hitam, dewanya Wisnu. 3. Pujan Kapitu Pujan Kapitu jatuh pada panglong 13 tanggal 28 bulan Kanem. Pujan ini mempunyai beberapa acara: a. Mapak sasi Kapitu (menyongsong bulan ketujuh). Acara ini diikuti oleh semua masyarakat yang bertempat di rumah Petinggi/ Kepala Desa yang dipimpin oleh seorang Dukun. Makna dari mapak sasi kapitu adalah memohon kepada Tuhan YME agar di dalam bulan Kapitu/ selama bulan ketujuh, desa selalu diberi keselamatan/ tidak ada orang yang meninggal dalam satu bulan, sebab seorang Dukun tidak bisa memimpin upacara/ selamatan apapun karena masih menjalani puasa mutih (hanya memakan sesuatu yang putih/ tawar) selama satu bulan. b. Kapitu/ mengker sasi Kapitu . Mengker sasi Kapitu jatuh pada panglong Kapitu tanggal 15 bulan Kanem. Makna mengker Kapitu atau ngemong Kapitu adalah melaksanakan pati geni selama satu hari satu malam yang diikuti oleh Dukun dan sesepuh desa. Setelah mutih dan pati geni satu hari satu malam, kemudian diteruskan mutih selama satu bulan dimulai tanggal satu bulan Kapitu sampai dengan panglong 15 Kapitu dan ditutup dengan pati geni lagi satu hari satu malam pada panglong 15 atau tanggal 30 Kapitu, maknanya adalah mengurangi hawa nafsu. 4. Pujan Kawolu Pujan Kawolu jatuh pada tanggal satu, bulan Kawolu (pelaksanaan pujan pada malam tanggal satu). Maksudnya adalah memberi yadnya (korban) kepada alam semesta atau sak lumahe bumi sak kurepe langit. Yang dimaksud lumahe bumi adalah: bumi, air, hawa (udara) dan geni (api). Sedangkan yang dimaksud kurepe langit adalah: matahari, rembulan, bintang dan angkasa (langit). Oleh karena itu masyarakat mengadakan yadnya pada bulan Kawolu , sebab semua itu (yang berjumlah delapan) bermanfaat bagi kehidupan manusia.
92
5. Pujan Kesanga Pujan Kesanga jatuh pada panglong sanga (9) atau tanggal 24 bulan Kesanga yang diikuti oleh semua masyarakat desa, bertempat di rumah Petinggi/ Kepala Desa. Sajen-sajen yang dibutuhkan pada waktu pujan Kesanga adalah: 1)
Tombak dari bambu 9 biji, maknanya adalah untuk berjaga-jaga. Sedangkan yang dijaga adalah babagan hawa sanga (sembilan lubang pada diri manusia).
2)
Sapu dan cangkul, maknanya adalah sebagai alat untuk membersihkan.
3)
Ayam brumbun , maknanya adalah tetolak/ sebagai tolak balak.
Secara
keseluruhan
makna
Pujan
Kesanga
adalah
bersih
desa,
yaitu
membersihkan desa dari segala gangguan yang akan masuk ke desa/ manusia. 6. Pujan Kasada Pujan Kasada adalah pujan yang dilaksanakan pada akhir rangkaian upacara Kasada. Pujan ini jatuh pada tanggal 14 malam bulan Kasada yang diikuti oleh masyarakat desa masing-masing di kawasan Te ngger, bertempat di rumah Petinggi/ Kepala Desa. Maknanya adalah mengucapkan terima kasih kepada Tuhan YME atas terselenggaranya Yadnya Kasada dan memohon do’a agar desa-desa di Kawasan Tengger dijauhkan dari bencana dan malapetaka. Pujan yang dilakukan pada waktu penelitian ini jatuh pada bulan keempat tanggal 3 malam 4 menurut penanggalan kalender Tengger, yang biasanya disebut Pujan Kapat. Tujuannya untuk memohon keselamatan bagi seluruh desa beserta isinya dari segala bencana. Pelaksanaan Pujan Kapat berada di rumah Petinggi (Kepala Desa) dan di rumah Carik (Sekretaris Desa) antara pukul 19.00-22.00 WIB. Upacara ini dipimpin oleh Dukun Adat15 dan diikuti oleh para kerabat dukun ( Legen16 dan Wong Sepuh 17) beserta Kepala Desa dan para perangkatnya.
15
Dukun Adat Tengger diangkat melalui proses seleksi yang dilakukan sebelum uapacara Kasada dengan menjalani berbagai rangkaian tes menghafal mantra-mantra. Sebelum mengikuti tes seorang calon Dukun harus dipilih dan dicalonkan oleh warga masyarakat desanya. Masa jabatannya seumur hidup atau sampai merasa tidak sanggup melaksanakan tugas dapat mengundurkan diri. Dukun ini dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Legen dan Wong Sepuh (biasa disebut kerabat Dukun) 16 Legen adalah salah pembantu Dukun yang biasanya bertanggung jawab dalam persiapan dan pelaksanaan upacara perkawinan. Pemilihannya dilakukan oleh tokoh masyarakat desa sendiri. Masa jabatannya akan berakhir jika dia memiliki hajatan, misalnya mengadakan upacara EntasEntas atau Praswala Gara.
93
Sebelum pelaksanaan pujan dilakukan kegiatan yang disebut uwar/ mupu sekitar dua sampai tiga hari sebelum hari pujan yang dilakukan oleh Legen. Uwar (pengumuman/pemberitahuan) adalah suatu kegiatan berupa pemberitahuan pelaksanaan pujan kepada masyarakat Tengger dalam satu desa dari pintu ke pintu (door to door). Kemudian masyarakat yang diberi tahu tersebut biasanya menyumbangkan beras sekitar satu mangkok, ada juga yang berupa telur, uang (atau apa saja yang mereka punya) dititipkan kepada Legen yang datang berkunjung tersebut yang biasa disebut mupu 18. Hal ini sebagai wujud keikutsertaan mereka dalam acara Pujan Kapat yang akan dilaksanakan. Mengunjungi rumah warga satu persatu maka biasanya memakan waktu dua sampai tiga hari, sebab jika ada yang terlewat maka warga akan menyesal karena merasa tidak ikut ambil bagian dalam kegiatan tersebut meskipun dalam pelaksanaan hanya diwakili para perangkat desa dan dukun beserta kerabatnya. Kunjungan pemberitahuan dari para Legen tersebut merupakan suatu kehormatan bagi mere ka karena mereka dianggap ikut punya hajatan desa dalam pujan, rasa memiliki mereka terhadap kegiatan tersebut masih sangat tinggi. Hal ini tampak dari sambutan dari tiap rumah yang penulis singgahi bersama Legen tersebut. Seringkali mereka memaksa akan membuat minum
atau mengajak makan,
namun karena yang harus kami kunjungi masih banyak maka kami menolaknya dengan halus. Hanya di beberapa rumah kami minum dan makan makanan kecil sambil menunggu hujan agak reda. Hal ini wajar karena pelaksanaan pujan pada tanggal empat Januari 2006 tersebut masuk dalam musim penghujan, namun kondisi ini tidak menyurutkan semangat para Legen mengunjungi rumah para warganya. Warga masyarakat yang dikunjungipun tampak antusias, ramah, memperhatikan apa yang disampaikan oleh Legen dan cepat-cepat mengambil beras atau uang seadanya untuk dititipkan sebagai sumbangan acara tersebut, meskipun sumbangan itu tidak diwajibkan. Namun jika ditolak mereka akan
17
Wong Sepuh biasanya bertanggung jawab pada persiapan dan pelaksanaan upacara kematian. Pemilihannya dilakukan oleh tokoh masyarakat desa sendiri. Masa jabatannya tidak terbatas, selama masih sanggup melaksanakan.
18
Istilah mupu dan uwar seringkali disamakan maksudnya oleh masyarakat Tengger. Makna sebenarnya uwar adalah pemberitahuan pelaksanaan pujan oleh Legen, sedangkan mupu adalah pemberian bantuan masyarakat untuk pelaksanaan pujan, seperti: beras, telur, uang, dsb.
94
kecewa, sebagaimana yang diungkapkan oleh salah seorang Legen kepada penulis dengan bahasa campuran sebagai berikut: “Warga masyarakat kene rumangsa melok nduwe gawe acara Pujan Kapat iki, dadi tiap keluarga biasane nitipno beras, endhog utawa picis sa’anane nang Legen sing ngandhani. Saumpama ora ditrima yo kecewa. Lekne pujan-pujan liyane malah ana sing menehi pitik barang mbak. Yo masio abot digowo wae. Masyarakat kabeh rumangsa ikut memiliki acara iki”. “(Warga masyarakat di sini merasa ikut punya hajatan dalam Pujan Kapat ini, jadi tiap keluarga biasanya menitipkan beras, telur atau uang seadanya kepada legen yang datang memberitahu. Seumpama tidak diterima ya merasa kecewa. Kalau pujan-pujan lainnya malah ada yang ngasih ayam juga mbak. Ya meskipun berat tetap dibawa. Masyarakat semua merasa ikut memiliki acara ini)”. Sumber: Wawancara Desember, 2005.
Waktu berkunjung para Legen ini biasanya dilakukan pada sore hari sekitar pukul 15.30-19.30, sebab saat seperti itu para warga sudah tidak sibuk bekerja di ladang. Jika waktu berkunjung ada yang tidak ada di rumah biasanya akan diberitahu oleh tetangga terdekat. Sumbangan yang diberikan para warga tersebut dimasukkan dalam karung beras dan dibawa sendiri oleh Legen, jika sudah penuh segera diantar ke tempat Pak Petinggi (Kepala Desa) di krajan Ngadisari. Prosesi pelaksanaan Pujan Kapat pertama dilakukan di rumah Kepala Desa setelah itu di rumah Carik. Pujan dipimpin oleh Dukun yang diapit oleh Legen dan Wong Sepuh kemudian dibelakangnya adalah Kepala Desa dengan para perangkatnya. Pujan dilakukan di ruang tamu dengan duduk bersila di hadapan berbagai tamping yang telah disediakan dan menghadap ke arah selatan (arah Gunung Bromo). Pujan ini berlangsung dengan pembacaan mantra dari Dukun selama sekitar 30 menit. Kemudian setelah pembacaan mantra selesai dilanjutkan pembacaan mantra di dapur (tempat memasak) dan di tempat makanan. Setelah itu dilanjutkan pujan di rumah Carik dengan prosesi yang sama. Setelah itu biasanya dilanjutkan dengan sarasehan singkat secara informal untuk sekedar sharing informasi. Setelah selesai semuanya maka rangkaian Pujan Kapat selesai dan para peserta pujan tersebut dapat pulang ke rumah masing-masing.
95
A
B
Gambar 11 Prosesi Pujan Kapat: A. Di ruang tamu dan B. Di dapur
Ikhtisar Upacara Entas-Entas / upacara kematian dilakukan untuk menyucikan atman/ roh orang yang sudah meninggal, dilakukan oleh keluarga orang yang meninggal. Pelaksanaannya dapat dilakukan di rumah atau di Balai Desa, tergantung besar kecilnya acara. Ada tiga lingkup upacara Entas -Entas, yaitu alit (kecil), sederhana dan radi agen g (agak besar). Waktu pelaksanaan upacara tergantung kemampuan dari keluarga, di samping juga harus mengikuti perhitungan hari baik. Pelaksanaan upacara Entas-Entas dimulai dengan resik yang dilakukan satu hari sebelumnya yang bertujuan untuk menyucikan keluarga dan berbagai hal yang akan digunakan dalam upacara. Pada saat hari pelaksanaan, upacara Entas-Entas terdiri dari berbagai proses pembacaan mantra yang diteruskan dengan pembakaran petra (tempat atman / merupakan manifestasi dari keluarga yang sudah meninggal) yang dilakukan di pedanyangan. Selanjutnya pada malam hari dilakukan upacara penutupan yang disebut wayon. Upacara Praswala Gara atau upacara perkawinan menurut adat masyarakat Tengger dilakukan untuk menyatukan kedua mempelai, menjauhkan dari sengkala/ mara bahaya. Upacara ini wajib dilakukan oleh masyarakat Tengger, biasanya berlangsung di rumah mempelai putri. Rangkaian upacara tersebut adalah temu pengantin, pasarah pengantin, upacara di kamar pengantin, upacara dulitan/ penyaksian dan Banten Kayopan Agung. Upacara yang dilakukan di rumah mempelai putra biasanya agak berbeda, yaitu tanpa ada prosesi temu pengantin dan pasrah pengantin. Sedangkan untuk akad nikah yang berperan sebagai penghulu adalah Dukun Adat. Upacara Entas -Entas dan Praswala Gara
96
seringkali dilaksanakan jadi satu (dalam satu hari) dengan alasan efisiensi waktu, biaya dan tenaga. Upacara Pujan Kapat dilakukan untuk memohon keselamatan seluruh desa, dilakukan di rumah Kepala Desa dan Sekretaris Desa (Carik). Upacara dihadiri oleh Kepala Desa dan perangkat desa serta Dukun dan kerabat Dukun. Waktu pelaksanaan pada tanggal tiga malam empat, bulan Kapat (bulan ke-empat menurut perhitungan kalender Tengger), beberapa hari sebelumnya dilakukan uwar oleh Legen. Upacara dilakukan dengan pembacaan mantra yang dipimpin oleh Dukun menghadap ke selatan (Gunung Bromo) sebagai manifestasi dari padmasana. Setelah itu dilakukan sarasehan non formal secara singkat. Secara umun tradisi masyarakat Tengger dibagi menjadi dua, yaitu tradisi lingkup keluarga dan lingkup desa. Upacara Entas-Entas dan Praswala Gara merupakan tradisi lingkup keluarga, dimana pelaksananya adalah keluarga. Sedangkan Pujan Kapat merupakan tradisi lingkup desa yang pelaksananya adalah Kepala Desa beserta perangkatnya dan Dukun beserta kerabatnya. Upacara ini sudah ditentukan berdasarkan kalender Tengger dan harus dilaksanakan sesuai perhitungan yang telah ditetapkan. Pada upacara lingkup keluarga, jika ada orang yang akan punya hajat biasanya akan menghubungi Dukun atau Kepala Desa. Mereka yang akan berkoodinasi tentang acara tersebut. Ke pala Desa akan menentukan waktu pelaksanaan berdasarkan urutan warga yang mendaftar, disamping juga berdasarkan perhitungan hari baik. Perhitungan ini bisa dilakukan sendiri oleh yang punya hajat, minta bantuan Dukun, minta bantuan orang tua yang lebih mengerti atau langsung minta bantuan pada Kepala Desa. Sedangkan Dukun akan menjelaskan segala keperluan yang harus dipersiapkan. Jalur pengajuan tersebut dapat digambarkan seperti gambar 12.
97
Keluarga yang punya hajat
Penjelasan segala persiapan upacara
Pengajuan pelaksanaan
Dukun
Penetapan waktu pelaksanaan
Kepala Desa
Keterangan: : Garis pengajuan : Garis jawaban : Garis koordinasi Gambar 12. Jalur pengajuan upacara lingkup keluarga