BUKU II
D es k r i p s i P e t a E k o r e g i o n L a u t I N D O N E S I A
Desk rip si P et a Ek o regio n Laut
k e r jas am a :
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP
KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL
INDONESIA
Deskripsi Peta Ekoregion Laut
I ND ON ESIA k e r j asama :
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP
KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL
Pertama kali diterbitkan dalam Bahasa Indonesia Pada tahun 2013 Oleh Deputi Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup Jl. D.I. Panjaitan Kav. 24 Kebon Nanas, Jakarta Timur 13410 Telepon/Fax : 021-‐85904930 Email:
[email protected] Website: www.menlh.go.id Kutipan yang benar: Kementerian Lingkungan Hidup. 2013. Deskripsi Peta Ekoregion Laut Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup, Deputi Tata Lingkungan. Jakarta. Indonesia. ISBN:
978-‐602-‐8773-‐10-‐2
ii
Kata Pengantar Syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya atas berkah dan rahmat-‐Nya penyusunan Peta dan Deskripsi Ekoregion Laut Indonesia dapat diselesaikan dengan baik. Buku ekoregion laut ini merupakan buku kedua sebagai lanjutan dari buku pertama tentang ekoregion pulau/kepulauan. Peta dan Deskripsi Ekoregion Laut Indonesia ini disusun untuk melaksanakan mandat dari Undang-‐undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 5, yang menyatakan bahwa perencanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dilaksanakan melalui tahapan Inventarisasi Lingkungan Hidup, Penetapan Wilayah Ekoregion, dan penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). Proses penyusunan Peta dan Deskripsi Ekoregion Laut Indonesia ini melibatkan lintas instansi terkait, para pakar di bidang kelautan baik dari perguruan tinggi maupun lembaga swadaya masyarakat melalui diskusi kelompok, pertemuan teknis maupun lokakarya. Berbagai perbedaan pendapat dari para pakar, nara sumber atau pihak lain, pada akhirnya dapat diakomodasi dalam suatu konsensus. Secara khusus kami sampaikan terima kasih kepada Badan Informasi Geospasial sebagai lembaga pemerintah yang mempunyai tugas dan fungsi penyelenggaraan informasi geospasial di tingkat nasional yang telah bekerjasama dan mendukung penuh dalam penyusunan . Tak lupa pula kami sampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesar-‐besarnya kepada seluruh unsur yang tergabung di dalam Tim Penyusun Peta dan Deskripsi Ekoregion Laut Indonesia yang telah dengan penuh dedikasi dan komitmen yang tinggi menyumbangkan tenaga dan pemikirannya demi terselesaikannya dokumen yang sangat bermanfaat ini. Sangat dimaklumi bahwa untuk menghasilkan ekoregion laut ini tentunya menghadapi berbagai keterbatasan, termasuk data dan informasi. Dengan demikian, langkah ke depan, hal utama yang perlu dilengkapi di 18 ekoregion laut adalah kelengkapan data dan informasinya secara terus menerus. Status deskripsi saat ini bisa dijadikan landasan kerjasama antar pihak untuk melengkapinya dengan berbagai riset, penelitian, atau pemantauan. Di sinilah sinergi antar pihak akan dibangun secara lebih jelas tema atau fokusnya sesuai dengan fungsi masing-‐masing pemangku kepentingan. Harapan kami semoga buku Peta dan Deskripsi Ekoregion Laut ini selain digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam penyusunan RPPLH, juga dapat bermanfaat bagi para pihak untuk memperkuat perencanaan dan penerapan pembangunan secara berkelanjutan.
Jakarta, Mei 2013 Deputi Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup
Imam Hendargo Abu Ismoyo
iii
Pelindung : Prof. Dr. Balthasar Kambuaya, MBA, Menteri Lingkungan Hidup Dr. Asep Karsidi, Kepala Badan Informasi Geospasial Pengarah : Drs. Imam Hendargo Abu Ismoyo, MA, Kementerian Lingkungan Hidup Dr. Priyadi Kardono, M.Sc, Badan Informasi Geospasial Penanggung Jawab : Ir. Wahyu Indraningsih, Kementerian Lingkungan Hidup Dr. Nurwadjedi, MSc, Badan Informasi Geospasial Tim Penyusun: Kementerian Lingkungan Hidup : Dra. Lien Rosalina, MM, Hendaryanto, ST, M.Si, Endah Tri Kurniawaty, ME, MPA, Farid Mohammad, M.Sc, Nurmala Eka Putri, S.Sos, MSi, Badan Informasi Geospasial : Dr. Gatot H. Pramono, Dheny Trie W.S., M.Sc, Yoniar Hufan Ramadhani, S. Kel, Kementerian Kelautan dan : Dr.-‐Ing.Widodo Pranowo, Dr. Ifan Ridlo Suhelmi, S.Si, Dr. Dini Purbani, Perikanan Dr. Hendra Yusran Siry, Ir. Mahdan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Pusat Penelitian Oseanografi) Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (Pusat Penelitian Geologi Kelautan ) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Perguruan Tinggi Conservation International
: Onny Nurrahman Marwayana, S.Si, : : : :
Ir. Yudi Darlan, M.Sc, Yani Permanawati, ST Dr. Agus Sudaryanto Dr. Malikusworo Hutomo (UI), Dr. Handoko Adi Susanto (IPB), Dr. Etty Riani (IPB) Ir. M. Khazali
Narasumber: Prof. Dr. Bobby Polii, Universitas Sam Ratulangi Dr. Budi Sulistiyo, Kementerian Kelautan dan Perikanan Budi Nugraha, S.Pi, MSi, Kementerian Kelautan dan Drs. Adi Rusmanto, MT, Badan Informasi Geospasial Perikanan Dr. Zainal Arifi, P20, LIPI Ir. Efrizal, M.Si Universitas Andalas Dra. Nurhayati, M.Sc, Badan Meteorologi Klimatologi dan Dr. Ir. I Wayan Arthana, M.Sc, Universitas Udayana Geofisika Dr. Imam Bachtiar, Universitas Mataram Drs. Dwi Santosa, M.Si, Dinas Hidrografi dan Oseanografi, TNI AL Dr. Ir. Indra Junaidi Zakaria, M.Si, Universitas Andalas Evi Lutfiati, S.Si, MM, Badan Meteorologi Klimatologi dan Prof. Dr. Jamaluddin Jompa, Universitas Hasanuddin Geofisika Prof. Dr. Ir. Janny Kusen, Universitas Sam Ratulangi Dr. Rer.nat Agus Setiawan, Kementerian Kelautan dan Joko Budi Utomo,ST, Badan Meteorologi Klimatologi dan Perikanan Geofisika Dr. Hamzah Latief, Institut Teknologi Bandung Lukita, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral Dr. Akhmad Riqqi, Institut Teknologi Bandung Dr. Muhammad Lukman, Universitas Hasanuddin Ir. Arlius, MS, Ph.D, Universitas Bung Hatta Ir. Nyoman Suryadiputra, Wetlands International Ir. Ambar Retno Wulan, Kementerian Kelautan dan Patra Rina Dewi, S.Si, Komunitas Siaga Tsunami Perikanan Rofi Alhanif,S.Pi, M.Sc, Kementerian Kelautan dan Agus Rusli, S.Pi, M.Si, Kementerian Lingkungan Hidup Perikanan Beny Bastiawan, S.Komp, M.Sc, Kementerian Lingkungan Drs. Saroso, M.Si Dinas Hidrografi dan Oseanografi, TNI AL Hidup Nusa Mashita, MT Dra. Irma Shita Arlyza, M.Si., Pusat Penelitian OseanografiLembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Editor : Dr. Hawis Maduppa, S.Pi, M.Si Desain Grafis dan lay out : Rahmat Nugroho Proboncono, Badan Informasi Geospasial
iv
Ringkasan Eksekutif
Deskripsi Peta Ekoregion Laut
I NDONESIA
P E TA
E K O R E G I O N
T H A I L A N D
SE
LA T
LAUT CINA SELATAN M
A
M
AL AK
EL-4
A L A
EL-3
Y S I A
M
S U MATE RA
EL-1
S
A
M
A
Y
I A
KALI MAN TAN
EL-5
SE
A
L
S
LA T
KA
RI
M
AT A
EL-6
U
D
LAUT JAWA
E
R
A
H
I N
JAWA
D
I A
EL-2
± 0
250
500
1.000 Km
EL-1 Samudera Hindia Barat Sumatera
EL-7 Laut Sulawesi
EL-2 Samudera Hindia – Selatan Jawa
EL-8 Selat Makassar
EL-3 Selat Malaka
EL-9 Perairan Bali Dan Nusa Tenggara
EL-4 Laut Natuna
EL-10 Teluk Tomini
EL-5 Selat Karimata
EL-11 Laut Halmahera
EL-6 Laut Jawa
EL-12 Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi
L A U T
I N D O N E S I A FILIPINA
S A EL-7
M
U
EL-11
LAUT SULAWESI
E
R
EL-16
LAUT HALMAHERA
EL-10
D
A
PA
FI
K
SE
LA TM
AK
AS
SA
R
LAUT MALUKU
SI
LAUT SERAM
S U LAW E S I
EL-14
EL-17
EL-12 PA P U A
EL-8
EL-15
LAUT ARU
EL-13 LAUT FLORES
EL-18 TIM
OR
LE
ST
LAUT ARAFURA
E
LAUT SAWU
EL-9 LAUT TIMOR
A U S T R A L I A
EL-13 Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi Dan Teluk Bone EL-14 Laut Seram Dan Teluk Bintuni EL-15 Laut Banda EL-16 Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua EL-17 Teluk Cendrawasih EL-18 Laut Arafura
PAPUA NEW GUINEA
LAUT BANDA
Menurut UU nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, ekoregion merupakan wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Ekoregion laut adalah wilayah perairan laut dengan komposisi spesies yang relatif homogen, yang jelas berbeda dari sistem yang berdekatan (Spalding et al., 2007). Faktor pembeda dalam mendefinisikan ekoregion bervariasi dari lokasi ke lokasi antara lain tingkat isolasi, upwelling, masukan nutrien, pengaruh air tawar, rezim suhu, morfostruktur, sedimen, arus, dan kompleksitas batimetri atau tipe pantai. Secara umum tujuan dari pewilayahan ekoregion laut Indonesia adalah sebagai dasar pertimbangan dalam penetapan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) agar sesuai dengan karakter wilayah ekoregion, termasuk karakteristik sumberdaya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal. Dengan dasar tersebut, diharapkan dapat dicapai keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam untuk mengoptimalkan produktivitas sumberdaya alam laut serta dicapai perlindungan lingkungan secara efektif, yang pada akhirnya dapat dicapai pembangunan yang berkelanjutan.
Tujuan dari pewilayahan ekoregion laut Indonesia adalah untuk memberikan arah dalam penetapan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) yang disesuaikan dengan karakter wilayah, sehingga dapat dicapai keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian dalam rangka mengoptimalkan produktivitas sumberdaya alam laut yang pada akhirnya dapat dicapai pembangunan yang berkelanjutan. Ekoregion merupakan salah satu asas dalam implementasi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Artinya bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan karakteristik sumberdaya alam, ekosistem, kondisi geografis, budaya masyarakat setempat, dan kearifan lokal. Penyusunan ekoregion laut melibatkan para pakar lintas keilmuan di bidang kelautan dan perikanan baik dari kementerian/lembaga pemerintah, perguruan tinggi maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM). Proses penyusunan ekoregion laut meliputi pengumpulan data, penentuan parameter, penyusunan hirarki, sintesis antar data, delineasi batas ekoregion, diskusi kelompok terfokus, visualisasi kartografis, dan penyusunan deskripsi. Penyusun tergabung dalam tim kerja yang melakukan kajian literatur, melakukan diskusi kelompok terfokus, dan mengkompilasi masukan dari para ahli. Masukan dari para ahli kelautan dan perikanan yang didapat pada saat diskusi kelompok terfokus digunakan untuk memperbaiki parameter dan delineasi ekoregion laut. Proses delineasi ekoregion laut dilakukan berdasarkan empat parameter utama yaitu: 1. 2. 3. 4.
Morfologi dasar laut: geomorfologi dan batimetri Oseanografi: arus laut, pasang surut, upwelling, suhu, salinitas, derajat keasaman, dan klorofil Keanekaragaman Hayati: mangrove, lamun, terumbu karang dan ikan Batas: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ekoregion laut dunia, Wilayah Pengelolaan Perikanan, dan toponimi laut
Setelah melalui 12 kali forum diskusi terfokus dan beberapa kali perbaikan, maka tersusunlah 18 ekoregion laut 2 di perairan Indonesia. Ekoregion Teluk Tomini merupakan ekoregion terkecil dengan luas 70.020 km , seangkan 2 ekoregion Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera memiliki area terluas (782.861 km ). Setiap ekoregion laut
viii
dideskipsikan dalam enam aspek yaitu geologi dan morfologi dasar laut, oseanografi, keanekaragaman hayati, pemanfaatan, kerawanan bencana, dan pencemaran. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18
Ekoregion Laut Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa Selat Malaka Laut Natuna
Selat Karimata Laut Jawa
Laut Sulawesi
Selat Makassar
Perairan Bali dan Nusa Tenggara Teluk Tomini
Luas [km2] 782.861 655.549 111.343 360.402 270.859 437.978 323.866 288.005 625.018
70.020
Laut Halmahera
451.955
Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi
169.160
Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi Laut Seram dan Teluk Bintuni Laut Banda
Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua Teluk Cendrawasih Laut Arafura
160.361 140.040 583.096
459.857 93.369
326.793
ix
x
Ekoregion Laut
Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera
Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa
Selat Malaka
No
1
2
3
Bagian dari Paparan Sunda
Zona subduksi Gumuk pasir parangtritis
Zona subduksi
Geologi dan Geomorfologi
laut dangkal yang lebih bersifat sebagai pesisir karena sangat dipengaruhi
sirkulasi arus dan massa air yang terbentuk oleh kondisi batimetri yang kontras, yakni oleh palung bernama Java Trench
sirkulasi arus dan massa air yang terbentuk karena kondisi batimetri yang kontras, yakni oleh palung terusan dari Java Trench Wyrtki Jet dan Coastally Trapped Kelvin Waves
Oseanografi
Mangrove karena sungai besar bermuara di selat malaka
Penyu (pangumbahan, alas purwo) Mangrove di cilacap (satu-satunya yang ada di selatan jawa) Terumbu karang endemik samudra hindia
Keragaman habitat pesisir laut tinggi. Habitat hiu mulut lebar,dugong atau duyung, penyu hijau, penyu belimbing, penyu sisik buaya muara
Keanekaragaman Hayati Potensi perikanan laut dalam Kondisi pemanfaatan : Udang = over exploited, kakap merah dan kerapu = over exploited kurisi, kuniran, swanggi, bloso dan gulamah = fully exploited, layur = moderate, Ikan pelagis kecil spesies banyar = over exploited tuna mata besar = over exploited Spesies madidihang = fully exploited Spesies cakalang = moderate Migas di Pantai Timur Aceh, wisata bahari di Pulau Weh, Pulau Simelue, Pulau Nias, dan Pulau Mentawai. Potensi perikanan laut dalam Kondisi pemanfaatan ikan : udang, lemuru, tuna mata besar, tuna sirip biru = over exploited kerapu merah, kuwe madidihang, albakora = fully exploited layur, layang, cumi-cumi, dan cakalang = moderate. deep sea water di Pelabuhan Ratu Energi terbarukan dari arus dan angin Wisata bahari di di Pantai Pangandaran dan Pantai Parang Teritis. Potensi migas Jalur pelayaran internasional
Pemanfaatan
Relatif aman dari tsunami
Rawan gempa dan tsunami
Rawan gempa dan tsunami
Kerawanan Bencana
Potensi pecemaran oleh kegiatan rumah tangga, pertanian/perkebunan dan
Potensi pencemaran oleh kegiatan pertanian, rumah tangga dan industri berpotensi untuk tercemari oleh logam berat, PAH dan POPs jika terjadi tumpahan minyak karena merupakan jalur kapal tanker yang membawa minyak mentah ke industri Pengolahan Minyak Pertamina di Cilacap.
Potensi pencemaran oleh kegiatan rumah tangga, pelabuhan,transportasi, pertanian/perkebunan dan industri, jalur kapal tanker Bahan pencemar : logam berat, persistent organic pollutants (POPs), poly aromatic hydrocarbon (PAH), Tributyltin (TBT), pestisida.
Pencemaran
xi
Ekoregion Laut
Laut Natuna
Selat Karimata
Laut Jawa
No
4
5
6
Paparan sunda yang dangkal
Bagian dari Paparan Sunda
Bagian dari Paparan Sunda
Geologi dan Geomorfologi
laut dangkal yang kondisi oseanografinya sangat dipengaruhi oleh pasang surut bertipe campuran cenderung diurnal di Laut
kondisi oseanografi yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut bertipe diurnal, yang secara geografis unik karena diapit oleh tipe campuran cenderung diurnal di Laut Jawa dan Laut Natuna
Keanekaragaman hayati dan endemisitas rendah Ekosistem mangrove yang kondisinya baik di pesisir pantai Kalimantan Selatan. Spesies langka Ikan Hiu
Hutan mangrove kondisi relativ baik di pesisir Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat Tempat peneluran penyu sisik di pulau tambelan
Tempat peneluran penyu sisik dan penyu hijau Terumbu karang keragaman tinggi untuk di Indonesia Barat
Burung-burung air migrasi Keragaman spesies lamun yang tinggi di Kepulauan Riau
oleh sifat daratan, yakni oleh banyaknya sungai yang bermuara di ekoregion tersebut
dipengaruhi oleh angin Monsun dan massa air dari Laut China Selatan fenomena fisik arus unik yang bernama NatunaOff-Shelf-Current dan arus eddy (arus memutar) yang membawa nutrien dari pesisir pantai terdekat ke arah laut sehingga ekoregion ini adalah sangat kaya akan ikan.
Keanekaragaman Hayati
Oseanografi
Kondisi pemanfaatan ikan : Udang , kerapu, kakap merah banyar,kembung,ikan terbang, layang = over exploited, Bloso, uniran = fully
potensi timah Kondisi pemanfaatan ikan : pelagis kecil = over dan fully exploited Pariwisata bahari BMKT (Benda Muatan Asal Kapal Tenggelam)
Potensi Migas Kondisi pemanfaatan ikan : udang, kurau = over exploited manyun,g banya, kembung, layang = fully exploited cumi-cumi = moderate
Kondisi pemanfaatan ikan : udang, ikan kurau ,manyung, kakap banyar ,kembung = over exploited kurisi ,kuniran, swanggi, gulamah, layang = fully exploited golok-golok, dan cakalang = moderate Pariwisata bahari (P.Bintan)
Pemanfaatan
Relatif aman dari tsunami Abrasi di pantai intens Potensi letusan gunung api di selat sunda
Relatif aman dari tsunami Ancaman utama adalah perubahan iklim dan kenaikan muka air laut (sea level
Relatif aman dari tsunami Ancaman utama adalah perubahan iklim dan kenaikan muka air laut (sea level rise).
Kerawanan Bencana
industri; maupun yang berasal dari laut seperti perkapalan, transportasi laut dan kegiatan migas. Bahan pencemar yang berpotensi untuk mencemari adalah bahan organik dan bahan anorganik. terdapat 4 (empat) titik sumber pencemar yang berasal dari kegiatan migas Jumlah total volume limbah yang masuk ke ekoregion ini adalah 394.418 m3 Potensi pencemaran oleh kegiatan migas, lalu lintas kapal tanker dan pelayaran internasional potensi bahan pencemar yang mungkin mencemari ekoregion ini adalah bahan organik dan anorganik, terutama PAHs, POPs dan logam berat. terdapat 3 (tiga) titik izin pembuangan limbah ke laut dari KLH berasal dari kegiatan migas, Jumlah total volume limbah yang masuk ke ekoregion ini adalah 114.957 m3 Potensi pencemaran oleh kegiatan rumah tangga, pelabuhan, transportasi, pertanian/perkebunan, aktivitas perkotaan, pertambangan, migas, dan lalu lintas kapal internasional Terdapat 1 (satu titik ) izin pembuangan limbah ke laut dari KLH berasal dari kegiatan migas Jumlah total volume limbah yang masuk ke ekoregion ini adalah 24.742 m3 Potensi pencemaran oleh dari kegiatan rumah tangga,pelabuhan,transportasi, pertambangan,pertanian/perkebu nan, perkotaan dan berbagai jenis industri terdapat 16 (enam belas) titik izin
Pencemaran
xii
Laut Sulawesi
Selat Makassar
Perairan Bali dan Nusa Tenggara
8
9
Ekoregion Laut
7
No
Zona subduksi memiliki satu cekungan (Cekungan Sulawesi) dan tiga parit (Parit Makassar Utara, Parit Sulawesi dan Parit Selat Makassar). Gunung Berapi Raksasa Bawah Laut sesar Palikoro yang berarah TenggaraBaratlaut dan terkenal sangat aktif sehingga seringkali menimbulkan gempa-gempa tektonik memiliki tiga cekungan (Cekungan Makasar Utara, Cekungan Makasar Selatan, dan Cekungan Spermonde) dan satu dataran (Dataran Doang Supermonde). Zona subduksi Terdapat enam cekungan (Cekungan Bali, Cekungan Flores,
Geologi dan Geomorfologi
terdapatnya beberapa pintu keluar bagi Arus Lintas Indonesia (Indonesian Through-Flow) seperti Selat
terdapatnya kondisi batimetri yang dalam yang terhubung dengan basin Sulawesi/Sangihe Talaud di bagian Utara, yang kemudian menyempit di Kanal Labani membentuk leher botol
terdapatnya perairan basin dalam (lebih dari 6.000 meter) yang dibatasi di bagian Timur oleh Kepulauan Sangihe Talaud yang terbentuk dari aktivitas tektonik
Jawa, dan juga monsun
Oseanografi
Daerah penting Paus (14 jenis paus) Terumbu karang tinggi Taman nasional dan kawasan konservasi
Terumbu karang Spermonde dan Kapoposang Ikan terbang Mangrove di bagian timur kalimantan
Karang di Berau dan Bunaken, penyu hijau terbesar di Asia Tenggara di Berau Ikan purba Latimeria Manadoensis
air tawar, dugong.
Keanekaragaman Hayati
Wisata bahari Kondisi pemanfaaan ikan udang sudah dimanfaatkan melebihi kapasitas (over exploited),
Kondisi pemanfaatan ikan adalah : udang = over exploited, kerapu kakap merah = moderate. ikan terbang , madidihang = over exploited. spesies tuna mata besar = fully exploited, cakalang = moderate. wisata bahari di Taka Bone Rate, serta air mineral laut dalam (deep sea water) di Makassar
Kondisi pemanfaatan ikan : manyung kakap kerapu dan kuwe layang cakalang = moderate. tuna mata besa = over exploited, madidihang = fully exploited
exploited), Kurisi, swanggi = moderate. BMKT (Perairan Terawang, Jepara, Cirebon), Sumsel, L.Jawa, Kep.Seribu.
Pemanfaatan
Rawan tsunami potensi bahaya letusan dari gunung api bawah laut yang
rawan terhadap tsunami di pantai bagian barat yang berhadapan dengan Kalimantan Timur.
Rawan Tsunami
Kerawanan Bencana
pencemaran yang berasal dari kegiatan pertanian, rumah tangga, pariwisata dan pertambangan Pencemaran limbah domestik (Bali, Lombok,
pencemaran yang berasal dari kegiatan rumah tangga, pelabuhan, perkebunan, aktivitas perkotaan dan industri Terdapat lima titik izin pembuangan limbah ke laut dari kegiatan migas dan satu titik pembuangan limbah daeri kegiatan pertambangan yang dikeluarkan oleh KLH Jumlah total volume limbah yang masuk ke ekoregion ini adalah 6.539.449 m3
Potensi pencemaran oleh kegiatan rumah tangga, industri lokal, akuakultur, timber, pariwisata, tambang batubara dan perkapalan. Abrasi pantai di kepulauan Sangihe Talaud
pembuangan limbah ke laut dari KLH yang berasal dari kegiatan energi dan migas, serta 1 titik izin pembuangan limbah ke laut dari KLH dari kegiatan industri kimia Jumlah total volume limbah yang masuk ke ekoregion ini adalah 115.071.199 m3
Pencemaran
xiii
Ekoregion Laut
Teluk Tomini
No
10
memiliki dua cekungan yaitu Cekungan Gorontalo dan satu cekungan yang tidak bernama (
Zona subduksi
Geologi dan Geomorfologi Cekungan Lombok, Cekungan Sumba, Cekungan Sawu, dan Cekungan Wetar) dan satu parit (Parit Lombok).
teluk yang besar dengan kedalaman yang beragam, dan dibagian tengah teluk terdapat aktivitas hidrotermal bawah laut
Lombok, Selat Ombai dan terusan Timor
Oseanografi
Biodiversitas endimik (karang, ikan) Potensi pemijahan ikan sidat
perairan paling luas
Keanekaragaman Hayati
Kondisi pemanfaatan ikan : udang sudah over exploited, ikan demersal seperti spesies kerapu (Cephalophodis boenack) dan kakap merah (Lutjanus bitaeniatus dan Lutjanus malabaricus) sudah fully exploited. Ikan pelagis kecil seperti
Ikan demersal seperti spesies kerapu (Cephalophodis boenack) dan kuwe (Caranx sexfasciatus yang sudah fully exploited, spesies layur (Trichiurus spp) masih taraf moderate. Ikan pelagis kecil seperti spesies lemuru (Sardinella lemuru) sudah over exploited, spesies layang Decapterus kuroides masih taraf moderate. Tingkat pemanfaatan ikan pelagis besar seperti tuna mata besar (Thunnus obesus) dan tuna sirip biru (Thunnus maccoyii) sudah over exploited, spesies madidihang (Thunnus albacares) dan albakora (Thunnus alalunga) sudah fully exploited, dan spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih taraf moderate. Untuk cumi-cumi masih (Loligo spp) dimanfaatkan dalam taraf normal (moderate).
Pemanfaatan
Gunung api Tsunami
Kerawanan Bencana masih aktif, yaitu Baruna Komba, Anak Komba, dan Ibu Komba.
Pembangunan di kawasan pesisir pantai Eksploitasi terumbu karang Ekploitasi perikanan tidak ramah lingkungan Sedimentasi besar karena ekploitasi sumber daya hutan diwilayah hulu
Timor) Berdasarkan izin pembuangan limbah ke laut di wilayah ini, terdapat satu titik sumber pencemar yang berasal dari kegiatan pertambangan yang berlokasi di Kabupaten Sumbawa Barat dan menghasilkan limbah dengan volume sebesar 36.750 m3/hari (KLH, 2009b).
Pencemaran
xiv
11
No
Laut Halmahera
Ekoregion Laut
Zona subduksi sebelah barat lima cekungan (Cekungan Morotai, Cekungan Khaterina, Cekungan Taliabu, Cekungan Mangale dan Cekungan Datan), dua plato (Plato Morotai Timur, dan Plato Waigea), dan tiga parit (Parit Sangihe, Parit Ternate, dan Parit Utara Morotai).
Geologi dan Geomorfologi
struktur Kepulauan Halmahera yang dapat menimbulkan Halmahera Eddy
Oseanografi
Biodiversitas endemic di selat lembeh (Pigmy sea horse) Padang lamun luas di selat Lembeh Kelompok Hiu Paus musiman di Teluk Kao Terumbu karang
Keanekaragaman Hayati spesies ikan terbang (Hirundichthys oxycephalus) dan layang (Decapterus kuroides) sudah fully exploited, dan spesies layang (Decapterus macarellus) masih moderate. Tingkat pemanfaatan Ikan pelagis besar seperti spesies tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah over exploited, spesies madidihang (Thunnus albacares) sudah fully exploited dan spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih taraf moderate. Wisata bahanri Pulau Togean Kondisi pemanfaatan ikan : Pemanfaatan sumberdaya perikanan di WPP 715 seperti udang sudah over exploited, ikan demersal spesies kerapu (Cephalophodis boenack) dan kakap merah (Lutjanus bitaeniatus dan Lutjanus malabaricus) sudah fully exploited. Kondisi di WPP 716 ikan demersal spesies manyung (Ariidae spp), kerapu (Cephalophodis boenack) dan kakap merah (Lutjanus bitaeniatus dan Lutjanus malabaricus), kuwe (Caranx sexfasciatus) masih taraf moderate. Ikan pelagis kecil di WPP 715 jenis ikan
Pemanfaatan
Gempa dan tsunami
Kerawanan Bencana
Sumber pencemar utama adalah dari kegiatan rumah tangga dan industri pertambangan, terutama pertambangan emas. Namun di lokasi tersebut juga terdapat kegiatan lainnya yakni kegiatan pertanian/perkebunan dan kegiatan perikanan tangkap. Blooming algae di Teluk Kao setiap tahun
Pencemaran
xv
Ekoregion Laut
Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi
No
12
Zona subduksi memiliki lima cekungan (Cekungan Banggai, Cekungan Sula,
Geologi dan Geomorfologi
struktur batimetri yang menyebabkan Arus Lintas Indonesia melewati ekoregion ini melalui salah satu pintu masuk (inlet)
Oseanografi
Biodiversitas endemic (Banggai Cardinal fish) Terumbu karang baik
Keanekaragaman Hayati terbang (Hirundichthys oxycephalus) dan layang (Decapterus kuroides) sudah fully exploited sedangkan layang spesies Decapterus macarellus masih moderate. Ikan pelagis kecil di WPP 716 antara lain layang (Decapterus kuroides dan Decapterus macarellus)masih moderate. Ikan pelagis besar di WPP 715 spesies tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah over exploited, spesies madidihang (Thunnus albacares) sudah fully exploited dan spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih moderate. Ikan pelagis besar di WPP 716 antara lain spesies tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah over exploited, madidihang (Thunnus albacares) (Katsuwonus pelamis) sudah fully exploited dan cakalang masih moderate. Migas di Halmahera timur, Pertambangan di pulau pulau kecil (nikel) BMKT di perairan tidore Potensi energy terbarukan (arus) selat Talibo dan Manguale Ikan pelagis kecil spesies layang (Decapterus macarellus dan Decapterus macrosoma) kondisi sudah fully exploited hingga taraf moderate. Ikan
Pemanfaatan
Gempa dan Tsunami
Kerawanan Bencana
Potensi pencemaran dari kegiatan pemukiman, industri, pertambangan Racun ikan (potassium) Pengeboman ikan
Pencemaran
xvi
Laut Seram dan Teluk Bintuni
13
14
Ekoregion Laut
Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi
No
Zona subduksi 2 cekungan, yaitu : Cekungan Salawati, dan
memiliki empat cekungan yaitu Cekungan Bone, Cekungan Buton, Cekungan Banda Selatan, dan Cekungan Tukang Besi.
Geologi dan Geomorfologi Cekungan Buru Utara, Cekungan Seram, dan Cekungan Wahai), satu dataran (Dataran Banggai Sula), satu paparan (Paparan Sula), dua punggungan (Punggungan Tampomas), serta dua parit (Parit Tala, dan Parit Buton).
Tipe pasut di ekoregion Laut Seram dan Teluk Bintuni ini adalah campuran cenderung semidiurnal.
massa air Samudera Pasifik yang dibawa oleh Arus Lintas Indonesia menuju pusat Laut Banda
bernama Terusan Lifamatola, massa air ke Laut Banda dari Samudra Pasifik
Oseanografi
Keanekaragaman hayati Terumbu karang di Raja Ampat=tertinggi di dunia
Keanekaragaman Hayati Terumbu Karang tinggi Wakatobi (atoll terpanjang di dunia) Takabonerate (atol terluas ketiga di dunia)
Keanekaragaman Hayati
Kondisi pemanfaatan ikan ; Udang sudah over exploited, Ikan demersal: Spesies kerapu (Cephalophodis
Kondisi pemanfaatan ikan Ikan pelagis kecil spesies layang (Decapterus macarellus dan Decapterus macrosoma) kondisi sudah fully exploited hingga taraf moderate. Ikan pelagis besar seperti spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih taraf moderate, spesies tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah over exploited,spesies madidihang sudah fully exploited, dan cumi-cumi (Loligo spp) masih taraf moderate. Pariwisata (wakatobi, Takabonerate)
pelagis besar seperti spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih taraf moderate, spesies tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah over exploited, spesies madidihang sudah fully exploited, dan cumi-cumi (Loligo spp) masih taraf moderate.
Pemanfaatan
Rawan Gempa dan Tsunami
Relatif aman terhadap tsunami
Kerawanan Bencana
Potensi pencemaran dari berbagai kegiatan baik di darat maupun di Teluk Bintuni seperti, eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi, industri kayu lapis
Potensi pencemaran berasaldari rumah tangga, pertanian, dan perkebunan, pertambangan nikel Ilegal Fishing Racun ikan (potassium) Pengeboman ikan
Pencemaran
xvii
Ekoregion Laut
Laut Banda
No
15
Zona subduksi memiliki struktur geologi berupa Busur Banda (Banda Arc).
Geologi dan Geomorfologi Cekungan Berau; 1 paparan, yaitu Paparan Sayang; 1 plato, yaitu Plato Wagea; dan 1 dataran yaitu Dataran Wagea.
Struktur batimetri tersebut menyebabkan terjadinya percampuran massa air yang mentransformasi karakteristik massa air Samudera Pasifik yang dibawa oleh Arus Lintas Indonesia menjadi Banda Sea Intermediate Water (BSIW) atau dikenal juga sebagai Indonesian Intermediate Water (IIW).
Oseanografi
habitat terumbu karang unik, perairan laut dalam dan air yang jernih, yang tidak terdapat di perairan lain di Indonesia. Pulaupulau karang kecil di Busur Banda Luar dan Busur Banda Besar merupakan karakteristik habitat di ekoregion ini.
Mangrove yang luas di T.Bintuni kawasan
Keanekaragaman Hayati boenack) dan kakap merah (Lutjanus bitaeniatus dan Lutjanus malabaricus) sudah fully exploited, Ikan pelagis kecil: Spesies ikan terbang (Hirundichthys oxycephalus) dan layang (Decapterus kuroides) sudah fully exploited sedangkan layang spesies (Decapterus macarellus) masih taraf moderate. Ikan pelagis besar: Spesies tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah over exploited, Spesies madidihang (Thunnus albacares) sudah fully exploited dan Spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih taraf moderate. Potensi migas (T.Bintuni Nikel (P.Gebe, Waigeo) Demersal=moderate, pelagis kecil=moderate, pelagis besar (mata besar)=over Kondisi pemanfaatan ikan: Ikan pelagis kecil spesies layang (Decapterus macarellus dan Decapterus macrosoma) kondisi sudah fully exploited hingga taraf moderate. Ikan pelagis besar : Spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih taraf moderate Spesies tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah over exploited Spesies madidihang
Pemanfaatan
Gempa dan Tsunami
Kerawanan Bencana
berasal dari kegiatan rumah tangga dan aktivitas perkapalan ijin pembuangan limbah (KLH, 2009c), disebutkan bahwa pada wilayah ini terdapat potensi pencemaran yang berasal dari kegiatan migas. Jumlah total volume limbah yang masuk ke ekoregion ini adalah 5.102 m3
serta perikanan (Brotoisworo, 1991). Berbagai industri migas dan timber telah dilaporkan beroperasi di Teluk Bintuni semenjak sebelum 1987. Lebih lanjut, berdasarkan data izin pembuangan limbah ke laut (KLH, 2009b) terdapat 7 (tujuh) titik sumber pencemar yang berasal dari kegiatan migas, yang berlokasi di Kabupaten Sorong dan Kabupaten Teluk Bintuni Jumlah total volume limbah yang masuk ke ekoregion ini adalah 304.433 m3
Pencemaran
xviii
Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua
Teluk Cendrawasih
17
Ekoregion Laut
16
No
memiliki satu cekungan, yaitu: Cekungan Waropen.
Zona subduksi
Zona subduksi memiliki satu cekungan, yaitu: Cekungan Ayu; dan satu parit, yaitu Parit Ayu.
Geologi dan Geomorfologi
massa airnya sangat dipengaruhi oleh massa air Samudera Pasifik Barat dengan kecerahan yang tinggi (lebih dari 30 meter)
fenomena arus Halmahera Eddy, yang terbentuk akibat struktur batimetri dan topografi Papua Utara hingga Kepulauan Halmahera
Oseanografi
Terdapat cetasean Hiu paus menjadikan Teluk Cenderawasih sebagai habitatnya. Hiu Paus ini menjadi ikon bagi wilayah ini. Merupakan habitat Hiu Paus (merupakan spesies endemik)
lokasi peneluran utama dan terbesar untuk spesies penyu belimbing (Dermochelys coreacea) di dunia. terdapat enam jenis kima dari delapan jenis kima di dunia,
Keanekaragaman Hayati
Kondisi pemanfaatan ikan : Udang sudah over exploited. Ikan demersal masih taraf moderate namun spesies tidak diketahui. Ikan pelagis kecil juga masih taraf moderate namunspesies tidak diketahui. Ikan pelagis besar antara lain spesies madidihang (Thunnus albacares) dan tuna mata besar (Thunnus
(Thunnus albacares) sudah fully exploited Spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih taraf moderate Cumi-cumi juga (Loligo spp) masih taraf moderate. Potensi sumberdaya yang tidak terbarukan adalah migas yang terdapat di Seram Timur. Kondisi pemanfaatan ikan : Udang sudah over exploited. Ikan demersal masih taraf moderate namun spesies tidak diketahui. Ikan pelagis kecil juga masih taraf moderatenamun spesies tidak diketahui. Ikan pelagis besar antara lain spesies madidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah over exploited sedangkan spesies cakalang masih taraf moderate.
Pemanfaatan
Gempa
Gempa dan Tsunami
Kerawanan Bencana
Potensi pencemar dari kegiatan pertanian, rumah tangga dan kehutanan
pencemaran Ekoregion Laut 16 dapat berasal dari Provinsi Papua Barat (Kabupaten Sorong dan Kabupaten Manowari) dan Provinsi Papua (Kabupaten Sarmi, Kabupaten Jayapura, dan Kabupaten Keerom). pertanian transportasi perairan laut penebangan hutan, pertambangan dan operasi pengolahan minyak bumi Ilegal Fishing Racun ikan (potassium) Pengeboman ikan
Pencemaran
xvii
Ekoregion Laut
Laut Arafura
No
18
terbentuk akibat tumbukan antara lempeng benua Australia yang bergerak ke arah utara dan lempeng Samudera Pasifik yang bergerak ke arah barat memiliki satu paparan, yaitu Paparan Sahul.
Geologi dan Geomorfologi
laut dangkal yang dipengaruhi oleh pesisir Papua Barat dan juga Samudera Pasifik dari arah Selat Torres
Oseanografi
Mangrove paling luas (Selatan Papua) Terdapat buaya muara dan cetasean Populasi dugong paling besar di L.Aru Populasi padang lamun di L.Aru Tempat peneluran dan mencari makan penyu hijau (L.Aru)
Keanekaragaman Hayati obesus) sudah over exploited sedangkan spesies cakalang masih taraf moderate. Jasa lingkungan: wisata bahari (T.Cenderawasih) Kondisi pemanfaatan ikan : Udang sudah fully exploited. Ikan demersal: Spesies manyung (Arius thalassinus), kurisi (Nemimterus spp), kuniran (Upeneus sulphureus), swanggi (Priacanthus tayenus), bloso (Saurida tumbil), gulamah (Nibea albiflora) dan kakap merah (Lutjanus bitaeniatus dan Lutjanus malabaricus) sudah over exploited. Spesies ikan lidah (Cynoglossus spp, Pleuronectus spp) sudah fully exploited. Ikan pelagis kecil masih taraf normal (moderate) namun spesies tidak diketahui. Pemanfaatan lain di Ekoregion Laut 18 adalah budidaya mutiara untuk perhiasan serta migas yang terdapat di sekitar Laut Arafura. Wilayah penangkapan udang terbesar (L.Arafura) Demersal=full exploited, pelagis kecil=moderate, pelagis besar=over Potensi migas
Pemanfaatan
Kerawanan Bencana
Ilegal Fishing Racun ikan (potassium) Pengeboman ikan
Pencemaran
Daftar Istilah Dan Singkatan Daftar Istilah Aliran genetik
Anemon Appendiks 1
Api-‐api
Atol
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Bakau
Bentang laut
Billfish
Merupakan transfer alel gen dari satu populasi ke populasi lainnya (juga dikenal sebagai migrasi gen). Migrasi ke dalam atau keluar suatu populasi dapat bertanggungjawab terhadap perubahan frekuensi alel (proporsi anggota yang membawa varian gen tertentu). Imigrasi juga dapat menyebabkan penambahan varian genetika baru ke dalam lungkang gen spesies atau populasi tertentu yang telah ada. Hewan dari tingkat takson Kelas Anthozoa yang sekilas terlihat seperti tumbuhan, tapi jika diamati lebih jauh, anemon laut merupakan jenis hewan. Bentuk tubuh anemon seperti bunga, sehingga juga disebut mawar laut. Lampiran 1 dari dokumen CITES ( Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Fauna and Flora) yang menunjukkan tingkat keterancaman tinggi bagi satu spesies. Konvensi ini merupakan upaya internasional melindungi spesies terancam punah melalui regulasi perdagangan individu spesies maupun bagian-‐bagiaannya. Konvensi mempunyai tiga apendiks yang memperlihatkan tingkat keterancaman spesies menuju kepunahan. Nama sekelompok tumbuhan bagian dari komunitas hutan mangrove, dari marga Avicennia, suku Acanthaceae. Api-‐api memiliki beberapa ciri yang merupakan bagian dari adaptasi pada lingkungan berlumpur dan bergaram di antaranya adalah akar napas serupa paku yang panjang dan rapat. Daun-‐daun dengan kelenjar garam di permukaan bawahnya. Biji api-‐api berkecambah tatkala buahnya belum gugur, masih melekat di rantingnya. Nama lain api-‐api di beberapa daerah di Indonesia di antaranya adalah mangi-‐mangi, sia-‐sia, boak, koak, marahu, pejapi, papi, nyapi dan lain-‐lain. Terumbu karang di tengah samudera yang terbentuk karena penurunan dasar pulau dan/atau kenaikan muka laut. Atol sering juga dinamakan terumbu karang cincin karena rangkaian pulau-‐pulau yang terbentuk dapat berupa bulatan yang di tengahnya ada goba (lagoon) yang dalam. Bahan yang karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, dan atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lainnya Sekelompok tumbuhan dari genus Rhizophora, famili Rhizophoraceae. Tumbuhan ini memiliki ciri-‐ciri yang menyolok berupa akar tunjang yang besar dan berkayu, pucuk yang tertutup daun penumpu yang meruncing, serta buah yang berkecambah serta berakar ketika masih di pohon (vivipar). Pohon bakau juga memiliki banyak nama lain seperti tancang, tanjang, tinjang, bangko, kawoka, wako, jangkar dan lain-‐lain. Lokasi atau wilayah laut yang mencerminkan karakteristik interaksi alam dan manusia. Bentang laut (seascape) bukan sekedar pemandangan dengan berbagai atribut fisiknya, tetapi tampilan visual berupa permukaan yang terlihat tersebut merupakan cerminan interaksi manusia dan alam yang kompleks dari waktu ke waktu. Atribut fisik dapat berupa pemandangan, kondisi alam dan warisan sejarah dengan nilai-‐nilai sosial dan ekonominya. Kelompok ikan yang termasuk ikan yang hidup di laut lepas (samudera) termasuk dalam Famili Istiophoridae dan Xiphiidae. Ada 3 spesies ikan kelompok ini: Ikan
xxi
Setuhuk Loreng (Tetrapturus audax), Ikan layar (Istiphorus orientalis) dan Ikan Todak (Xiphias gladius). Biota asosiasi Merupakan kelompok biota yang memiliki hubungan yang erat dan berinteraksi dengan hewan/tumbuhan inangnya maupun lingkungannya. Blooming plankton Meningkatnya jumlah konsentrasi phytoplankton secara berlebihan di suatu perairan disebabkan oleh meningkatnya konsentarsi zat hara di perairan. BOD (Biological Oxygen Salah satu parameter ukuran tingkat pencemar organik yang diukur dan Demand) menunjukkan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengurai bahan organik secara biologi di dalam air dalam satuan mg O 2/l. Burung Air Pesisir Merupakan burung yang telah beradaptasi dengan kehidupan lingkungan pesisir. Secara umum, burung laut hidup lebih lama, lebih lambat berkembang biak, dan memiliki jumlah anak lebih sedikit dibanding jenis burung lain. Kebanyakan spesies membuat sarang dalam koloni mereka. Beberapa koloni ada yang hanya terdiri dari belasan burung, namun ada juga yang sampai jutaan burung. Banyak spesies yang melakukan migrasi tahunan. Cekungan Merupakan cekungan di dasar laut yang bentuknya sama dengan danau di daratan. Cetacea(n) Kelompok mamalia laut Ordo Cetacea yang anggotanya paus dan lumba-‐lumba. Kedua kelompok hewan ini melahirkan dan menyusui anaknya. Citra (satelit) Kombinasi antara titik, garis, bidang, dan warna untuk menciptakan suatu imitasi dari suatu obyek–biasanya obyek fisik atau manusia. Citra bisa berwujud gambar (picture) dua dimensi, seperti lukisan, foto, dan berwujud tiga dimensi, seperti patung. COD (Chemical Oxygen Salah satu parameter pencemar organic yang biasa diukur dan menunjukkan Demand) jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi semua bahan organic di 3 dalam air dalam satuan mg/l atau g/m . Coelacanth (ikan) Nama ordo (bangsa) ikan yang diperkirakan sudah punah sejak akhir masa Cretaceous 65 juta tahun yang lalu dan ditemukan kembali untuk pertama kali di perairan Pulau Komoro, Afrika Timur pada tahun 1938. Ikan tersebut diberi nama ilmiah Latimeria chalumnae. Kemudian pada tahun 1998 ditemukan ikan sejenis di Pulau Manado Tua , Sulawesi Utara dan diberi nama ilmiah Latimeria menadoensis. Spesies ini oleh masyarakat dinamakan ikan raja laut. Cryptic spesies Spesies hewan laut yang sulit dilihat karena tinggal di celah-‐celah karang. Daerah Aliran Sungai (DAS) Suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-‐ anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (PP No. 26 tahun 2007 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional). Dampak besar Terjadinya perubahan negatif fungsi lingkungan dalam skala yang luas dan intensitas lama yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan. Adalah dasar laut yang luas setelah tebing benua, dan mengarah ke laut lepas, Dataran abisal merupakan bagian dari paparan benua, dengan kenampakan topografi yang sangat datar, dan kemungkinan kawasan ini merupakan tempat yang paling datar pada permukaan bumi. Topografi yang datar ini kadang-‐kadang di selingi dengan puncak-‐puncak gunung bawah laut yang tertimbun. DDE Senyawa turunan dari DDT akibat proses degradasi di lingkungan dan makhluk hidup. DDE bersifat sangat bioakumulatif dan persisten sehingga merupakan salah satu senyawa POPs yang paling sering ditemukan di jaringan tubuh makhluk hidup, bersifat karsinogen dan dilaporkan sebagai salah satu bahan pencemar yang bertanggung jawab dalam penurunan populasi burung. DDT Bahan kimia organik anthropogenik yang telah digunakan sebagai pestisida dalam
xxii
DO (Dissolved Oxygen) Duyung
Ekoregion Elver
EN (endangered) Erosi
Eksklusif Ekstensif Encrusting Endemik Endemisitas Evolusi
Feeding trail Fekunditas Fenotif (fenotipe) Foliose Gas Rumah Kaca (GRK)
pertanian maupun untuk membasmi vector nyamuk dalam penanggulangan penyakit malaria. Bahan kimia ini adalah karsinogenik dan digolongkan dalam kelompok senyawa POPs. Jumlah oksigen yang terlarut di dalam air. Atau dugong (Dugong dugon) adalah sejenis mamalia laut yang merupakan salah satu anggota kelompok Sirenia atau sapi laut yang masih bertahan hidup selain manatee. Duyung bukanlah ikan karena menyusui anaknya dan masih merupakan kerabat evolusi dari gajah. Duyung atau dugong adalah satu-‐satunya mamalia laut herbivora yang makan lamun. Duyung bisa mencapai usia hingga 70 tahun atau lebih, serta dengan angka kelahiran yang rendah yang mengancam populasinya karena ekploitasi dan kegiatan manusia lainnya. Wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Stadium tingkat kedewasaan ikan sidat dalam daur hidupnya yang dimulai dari telur, menetas menjadi larva leptocephalus, kemudian berkembang menjadi glass eel dan ikan muda yang disebut elver. Elver berkembang menjadi fase kuning (yellow eel), fase perak (silver dan sidat dewasa yang akan kembali ke laut untuk memijah. Tingkat keterancaman suatu biota yang dicantumkan dalam apendiks dokumen CITES. Peristiwa pengikisan padatan (sedimen, tanah, batuan, dan partikel lainnya) akibat gerakan/aliran angin, air atau es, karakteristik hujan, creep pada tanah dan material lain di bawah pengaruh gravitasi, atau oleh makhluk hidup semisal hewan yang membuat liang, dalam hal ini disebut bio-‐erosi. Khusus, spesial, terpisah dari yang lain. Menjangkau secara luas. Berbentuk seperti tatahan. Keberadaan hewan dan tumbuhan yang terbatas pada suatu lokasi atau wilayah. Sifat keberadaan hewan dan tumhuhan yang terbatas pada suatu lokasi atau wilayah. Perubahan pada sifat-‐sifat terwariskan suatu populasi organisme dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perubahan-‐perubahan ini disebabkan oleh kombinasi tiga proses utama: variasi, reproduksi, dan seleksi. Sifat-‐sifat yang menjadi dasar evolusi ini dibawa oleh gen yang diwariskan kepada keturunan suatu makhluk hidup dan menjadi bervariasi dalam suatu populasi. Ketika organisme bereproduksi, keturunannya akan mempunyai sifat-‐sifat yang baru. Sifat baru dapat diperoleh dari perubahan gen akibat mutasi ataupun transfer gen antar populasi dan antar spesies. Pada spesies yang bereproduksi secara seksual, kombinasi gen yang baru juga dihasilkan oleh rekombinasi genetika, yang dapat meningkatkan variasi antara organisme. Evolusi terjadi ketika perbedaan-‐ perbedaan terwariskan ini menjadi lebih umum atau langka dalam suatu populasi. Jejak jalur makan dugong yang memanjang di antara vegetasi lamun. Produktivitas reproduksi hewan (darat atau laut) yang ditentukan jumlah telur yang dilepaskan saat sekali memijah (ikan) atau spesies hewan laut lain yang dinyatakan dalam jumlah anak yang dilahirkan saat sekali melahirkan. Suatu karakteristik gen yang dapat diamati dari ciri morfologi atau kenampakan suatu organisme dimana karakteristik ini juga diatur oleh karakter genotipe dan lingkungan serta interaksi keduanya. (Bentuknya) menyerupai daun. Gas-‐gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-‐gas
xxiii
Gempa Genetic Drift
Genotip (genotipe) Gorgonian Gosong
Habitat HCHs (hexachlrocyclohexanes) Heavy metal
Ikan Demersal Ikan Indikator
Ikan Laut Dalam Ikan pelagis Imposex
Intrusi
xxiv
tersebut sebenarnya muncul secara alami, tetapi juga dapat ditimbulkan oleh akibat aktivitas manusia. Gas rumah kaca yang paling banyak adalah uap air yang mencapai atmosfer akibat penguapan air dari laut, danau dan sungai. Sedangkan gas rumah kaca yang terbesar kedua adalah karbondioksida yang timbul dari proses alami seperti letusan gunung api, hasil pernapasan makhluk hidup, pembakaran bahan organic, dsb. Beberapa gas rumah kaca lainnya diantaranya adalah metan, nitrogen oksida, dsb. Peristiwa alam berupa getaran atau gerakan bergelombang pada kulit bumi yg ditimbulkan oleh tenaga asal dalam. Perubahan frekuensi alel dari satu generasi ke generasi selanjutnya yang terjadi karena alel pada suatu keturunan merupakan sampel acak (random sample) dari orang tuanya; selain itu juga terjadi karena peranan probabilitas dalam penentuan apakah suatu individu akan bertahan hidup dan bereproduksi atau tidak. Istilah yang dipakai untuk menyatakan keadaan genetik dari suatu individu atau sekumpulan individu populasi. Merupakan jenis lamun yang berbentuk seperti kipas, memiliki nama lokal yaitu Akar Bahar. Merupakan bentukan daratan yang terkurung atau menjorok pada suatu perairan, biasanya terbentuk dari pasir, geluh, dan atau kerikil. Bentukan geografi ini terjadi akibat adanya aliran dangkal dan sempit sehingga memungkinkan pengendapan material ringan dan mengarah pada pendangkalan tubuh air. Gosong dapat terbentuk di laut maupun danau. Daerah muara dan perairan dangkal, seperti pantai-‐pantai di Laut Jawa, banyak memiliki gosong. Merupakan tempat hidup suatu organisme. Kelompok senyawa pencemar organik persisten (POPs) yang digunakan sebagai pestisida dalam pertanian/perkebunan, dan pembasmi kutu rambut pada hewan dan manusia. Logam yang dikategorikan sebagai bahan beracun. Tidak ada definisi yang baku mengenai heavy metal. Beberapa metal yang ringan dan metalloid adalah beracun sehingga disebut juga heavy metal. Tetapi beberapa heavy metal seperti emas adalah tidak beracun. Sebagian besar heavy metal mempunyai jumlah nomor atom yang tinggi, berat atom dan graffiti khusus lebih dari 5.0. Heavy metals termasuk di dalamnya adalah metalloid, metal transisi, metal dasar, lantanide dan aktinida. Ikan yang hidup di bagian dasar perairan. Merupakan spesies ikan di ekosistem terumbu karang yang menjadi indikator kondisi kesehatan terumbu karang di suatu tempat karena adanya keterkaitan khusus antara keduanya. Keterkaitan ini dapat terlihat dalam hubungan semakin banyak spesies ikan indikator, semakin baik kondisi terumbu karangnya. Merupakan spesies ikan yang hidup di laut dalam hingga kedalaman ratusan sampai ribuan meter. Ikan-‐ikan ini sangat bernilai karena dipercaya sangat bermanfaat bagi kebugaran tubuh karena mengandung hormon steroid. Merupakan spesies ikan yang hidup di zona pelagis laut, yaitu zona permukaan laut. Gangguan pada gastropoda atau siput laut yang disebabkan oleh pengaruh racun dari bahan pencemar tertentu, seperti tributyltin (TBT). Senyawa ini dapat menyebabkan maskulinisasi dimana pada siput laut betina berkembang organ kelamin jantan seperti penis dan vas deferens sehingga menyebabkan siput ini menjadi mandul atau terganggu proses reproduksinya. Intrusi Air Laut merupakan peristiwa masuknya air asin ke dalam aquifer dalam air tanah, peristiwa ini bisa terjadi oleh beberapa hal, antara lain penggunaan air
Invertebrata Karakteristik pantai Karsinogenik Kemosintesis Kerentanan KMA kelas I KMA kelas II
Kolonisasi laut Komunitas Konektivitas Koridor Langka Larva Lereng benua Longsor Mangrove Manta Massive Migrasi
Mintakat abisal Morfologi dasar laut Mushroom Mutagenik Mutasi Genetik
tanah yang berlebihan, perubahan fungsi lahan dan penebangan hutan bakau. Salah satu dampak negatif dari terjadinya intrusi air laut adalah menimbulkan perubahan kualitas air tanah, sehingga air tanah tidak dapat digunakan sebagai air baku. Merupakan semua organisme yang tidak memiliki susunan tulang belakang. Jati diri/cirri khas yang dimiliki di sepanjang daerah pasang surut antara pasang tertinggi dan surut terendah muka air laut Bahan kimia yang dapat mencetuskan terjadinya kanker pada makhluk hidup. Merupakan proses pembentukan suatu senyawa kimia (alami maupun tidak alami) dengan menggunakan atau memanfaatkan sumber energi kimiawi (senyawa kimia). Peka/mudah menghasilkan akibat yang tidak dapat diduga. Kriteria air yang dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut berdasarkan PP 82/2001. Kriteria air yang peruntukkannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, budidaya ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertamanan, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut berdasarkan PP 82/2001. Merupakan proses pembentukan kelompok-‐kelompok individu yang terjadi di wilayah perairan laut. Merupakan kumpulan dari beberapa populasi organisme yang menempati ruang dan waktu tertentu. Merupakan hubungan keterkaitan antara 2 organisme baik secara mikro (tingkat gen) maupun makro (tingkat individu). Mengacu pada jalur. Merupakan suatu kondisi dimana suatu spesies sudah jarang ditemukan secara alami di habitatnya Merupakan suatu fase pertumbuhan mahluk hidup sebelum menjadi juvenile (muda) dan mature (dewasa). Merupakan kelanjutan dari continental shelf dengan kemiringan antara 4 % sampai 6 %. Kedalaman lereng benua lebih dari 200 meter. Gugur dan meluncur ke bawah (tt tanah) Merupakan semua kelompok tumbuhan yang teradaptasi oleh lingkungan pesisir termasuk didalamnya bakau dan tumbuhan asosiasi lainnya. Merupakan spesies ikan pari terbesar dari famili Mobulidae. Ukuran panjang maksimal yang pernah ditemukan adalah 670 cm (22 kaki). Bersifat padat. Merupakan proses perpindahan suatu organisme atau kelompok organisme dari satu wilayah ke wilayah lain. Perpindahan ini dalam usaha mempertahankan kehidupannya, atau untuk mencari sumber cadangan makanan yang baru, atau untuk menghindari kelangkaan makanan yang mungkin terjadi karena datangnya musim dingin, atau karena overpopulasi. Mintakat dasar laut pada kedalaman antara 2000 – 5000 m; merupakan unit ekologis dasar laut paling luas. Gambaran dasar laut, umumnya berkaitan dengan proses-‐proses geologi dari pembentukan dan perkembangannya baik secara sendiri-‐sendiri maupun secara kelompok. (Bentuknya) menyerupai jamur. Bahan kimia yang dapat mengakibatkan terjadinya mutasi pada DNA. Merupakan proses yang terjadi pada bahan atau susunan materi genetik (DNA maupun RNA), baik pada taraf urutan gen (disebut mutasi titik) maupun pada
xxv
Nibung
Nipah
NT (nearthreatened) Pantai Paparan benua
Paparan Sunda
Paparan Sahul
Parit Pematang samudera Pemutihan karang
Persistent Organic Pollutants (POPs)
Pesisir
xxvi
taraf kromosom. Mutasi pada tingkat kromosomal biasanya disebut aberasi. Mutasi pada gen dapat mengarah pada munculnya alel baru dan menjadi dasar munculnya variasi-‐variasi baru pada spesies. Merupakan sejenis palma yang tumbuh di rawa-‐rawa Asia Tenggara, mulai dari Indocina hingga Kalimantan dengan nama latin Oncosperma tigillarium syn. O. filamentosum. Tumbuhan ini berupa pohon dengan bentuk khas palma. Batang dan daunnya terlindungi oleh duri keras panjang berwarna hitam. Daunnya tersusun majemuk menyirip tunggal (pinnatus) yang berkesan dekoratif. Merupakan sejenis palem (palma) yang tumbuh di lingkungan hutan atau daerah pasang-‐surut dekat tepi laut. Nama ilmiahnya adalah Nypa fruticans Wurmb, dan diketahui sebagai satu-‐satunya anggota marga Nypa. Tumbuhan ini merupakan satu-‐satunya jenis palma dari wilayah mangrove. Tumbuhan ini juga dikenal dengan banyak nama lain seperti daon, daonan, buyuk, bhunyok, bobo, boboro, palean, dan parenga. Di beberapa negara lain, tumbuhan ini dikenal dengan nama (dalam bahasa Inggris) Attap Palm (Singapura), Nipa Palm atau losa (Filipina), atau umumnya disebut Nypa palm. Tingkat keterancaman suatu biota yang dicantumkan dalam apendiks dokumen CITES. Daerah pasang surut antara pasang tertinggi dan surut terendah muka air laut. Mintakat dasar laut dari mulai batas surut terendah sampai pada batas dimana dasar laut menurun tajam (continental shelf). Lebar rata-‐rata Paparan Benua sekitar 80 km dan kedalaman sekitar 150 m. Kemiringannya biasanya cukup rendah, pada urutan 0,5 °. Adalah landas kontinen perpanjangan lempeng benua Eurasia di Asia Tenggara. Massa daratan utama antara lain Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Madura, Bali, dan pulau-‐pulau kecil di 2 sekitarnya. Area ini meliputi kawasan seluas 1,85 juta km . Kedalaman laut sebagian besar kurang dari 20 meter, dan hal ini mengakibatkan kuatnya erosi dasar laut akibat gelombang laut. Tebing curam bawah laut memisahkan Paparan Sunda dari kepulauan Filipina, Sulawesi, dan Kepulauan Sunda Kecil. Adalah bagian dari lempeng landas kontinen benua Sahul (benua Australia — Papua) yang terletak di lepas pantai utara Australia dan lautan selatan pulau Papua. Paparan Sahul membentang dari Australia utara, meliputi Laut Timor menyambung ke Timur di laut Arafura yang menyambung dengan Pulau Papua. Kepulauan Aru menonjol di atas paparan Sahul. Paparan Sahul juga mencakup Paparan Rowley yang terletak di sisi Samudera Hindia di Barat Laut Australia membentang hingga tanjung di barat laut Australia. Yaitu lembah yang dalam dan memanjang di dasar laut terjadi karena ingresi Punggungan yang terbentuk akibat tenaga tektonik vertikal di tengah samudera sehingga bentuknya memanjang. Peristiwa karang batu dimana zooxanthella lepas dari individu-‐individu polip inangnya dan koloni karang tersebut mati dan berwarna putih (coral bleaching). Peristiwa tersebut dapat terjadi karena suhui air laut atau turun melebihi tingkat toleransi karang batu, atau karena sedimentasi dan pengaruh air tawar dalam jumlah besar. Bahan pencemar kelompok senyawa organik yang mempunyai sifat tidak mudah terdegradasi (persisten), mudah terakumulasi dalam jaringan tubuh makhluk hidup, dan mempunyai daya racun yang tinggi terhadap makhluk hidup/ manusia. Diantara kelompok senyawa ini diantaranya adalan polychlorinated biphenyls (PCBs), pestisida organoklorin (DDT, HCHs, CHLs, dsb), dioxin, dsb. Merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-‐
Pigmy seahorse Plasma Nutfah
Plato Populasi Potensi tumbukan lempeng Rawan Red tide Relief Remote Sensing
Sedimentasi
Selective Breeding
Sensus Visual
Sero
sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-‐proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran Spesies ikan kuda laut berukuran kecil (Hippocampus denise) yang termasuk dalam Famili Syngnathidae. Ikan ini keberadaannya jarang dan dilaporkan ditemukan di Selat Lembeh dan perairan Raja Ampat. Merupakan substansi pembawa sifat keturunan yang dapat berupa organ utuh atau bagian dari tumbuhan atau hewan serta mikroorganisme. Plasma nutfah merupakan kekayaan alam yang sangat berharga bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung pembangunan nasional. Dataran tinggi yg luas dengan lembah dan bukit di sana-‐sini akibat pengikisan. Merupakan kumpulan dari beberapa individu dari beberapa spesies yang menempati ruang dan waktu tertentu. Kemampuan/kekuatan/kesanggupan/ daya yang mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan saat terjadi tumbukan lempeng. Mudah menimbulkan gangguan keamanan atau bahaya; gawat. Istilah umum yang digunakan untuk menyatakan blooming alga (meningkatnya konsentrasi mikroorganisme perairan) khususnya spesies tertentu dari dinoflagelata dimana blooming ini menyebabkan warna perairan nampak merah. Perbedaan ketinggian pada bagian permukaan bumi. Merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji yang memanfaatkan energi yang berasal dari gelombang elektromagnetik dan mewujudkan hasil perekaman tersebut dalam bentuk citra. Merupakan suatu proses pengendapan material yang ditransport oleh media air, angin, es, atau gletser di suatu cekungan. Delta yang terdapat di mulut-‐mulut sungai adalah hasil dan proses pengendapan material-‐material yang diangkut oleh air sungai, sedangkan bukit pasir (sand dunes) yang terdapat di gurun dan di tepi pantai adalah pengendapan dari material-‐material yang diangkut oleh angin. Merupakan proses penangkaran tumbuhan atau hewan untuk suatu sifat genetik tertentu melalui seleksi secara bertahap dan sistematik. Penangkaran selektif telah sangat lama diterapkan dan merupakan bagian dari program pemuliaan klasik. Beberapa cara seleksi yang digunakan antara lain seleksi individu/spesies, seleksi famili (baik dalam famili maupun antarfamili), atau kombinasi keduanya. Hingga kini selective breeding masih tetap diterapkan, baik sebagai awal pelaksanaan suatu program pemuliaan maupun sebagai tahap lanjutan dari suatu program bioteknologi sebagai cara untuk menguji kestabilan ekspresi gen yang direkayasa. Di Indonesia sendiri, pengembangan selektif ini telah diterapkan pada ikan nila yang digarap secara serius sejak tahun 2002. Merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengamati kelimpahan spesies (contoh: ikan) di suatu ekosistem dengan menggunakan pengamatan mata pada objek yang menjadi terget. Metode ini sangat sering dan umum digunakan untuk mengamati kelimpahan ikan di ekosistem terumbu karang dengan menggunakan alat selam (skuba). Merupakan salah satu alat tangkap ikan yang bersifat menetap dan berfungsi sebagai perangkap ikan dan biasanya dioperasikan di perairan pantai. Ikan yang telah masuk ke dalam kantong umumnya akan mengalami kesulitan u ntuk keluar lagi sehingga ikan tersebut akan mudah untuk ditangkap dengan cara mengangkat jaring kantong. Satu unit set net terdiri dari beberapa bagian yakni
xxvii
Sistematik Spesies
Sponges
Status genting Status kritis Suksesi
Taksonomi
Teratogenik Terestrial
Terumbu karang penghalang
xxviii
penaju (leader net), serambi (trap/play ground), ijeb-‐ijeb (entrance) dan kantong (bag/crib). Mengacu pada kondisi yang tersusun secara rapi, jelas dan terfokus. Merupakan suatu tingkat takson yang dipakai dalam taksonomi untuk menunjuk pada satu atau beberapa kelompok individu (populasi) yang serupa dan dapat saling membuahi satu sama lain di dalam kelompoknya (saling membagi gen) namun tidak dapat dengan anggota kelompok yang lain. Anggota-‐anggota dalam suatu spesies jika saling berkawin dapat menghasilkan keturunan yang fertil tanpa hambatan reproduktif. Dapat terjadi, sejumlah kelompok dalam suatu spesies tidak saling berkawin karena hambatan geografis namun bila dipertemukan dan dikawinkan dapat menghasilkan keturunan fertil. Dua spesies yang berbeda jika saling berkawin akan menghadapi masalah hambatan biologis; apabila menghasilkan keturunan yang sehat, keturunan ini biasanya steril/mandul. Merupakan hewan dari filum Porifera. Tubuh mereka terdiri dari jelly, terjepit di antara dua lapisan tipis sel. Sementara semua hewan memiliki sel terspesialisasi yang dapat berubah menjadi sel-‐sel khusus, spons yang unik memiliki beberapa sel-‐sel khusus yang dapat berubah menjadi jenis lain yang sering bermigrasi antara lapisan sel utama. Spons tidak memiliki saraf, pencernaan atau sistem peredaran darah. Sebaliknya, sebagian besar mengandalkan mempertahankan aliran air konstan melalui badan mereka untuk mendapatkan makanan dan oksigen dan untuk menghilangkan limbah. Bentuk tubuh mereka yang teradaptasi untuk memaksimalkan efisiensi dari aliran air. Status keterancaman suatu spesies yang tercantum dalam apendiks dokumen CITES yang berada pada status genting terancam kepunahan karena eksploitasi dan kegiatan manusia lainnya (near threatened). Status keterancaman suatu spesies yang tercantum dalam apendiks dokumen CITES yang berada pada status kritis terancam kepunahan karena eksploitasi dan kegiatan manusia lainnya (endangered). Merupakan suatu proses perubahan yang berlangsung satu arah secara teratur yang terjadi pada suatu komunitas biologis dalam jangka waktu tertentu hingga terbentuk komunitas baru yang berbeda dengan komunitas semula. Dengan perkataan lain. suksesi dapat diartikan sebagai perkembangan ekosistem tidak seimbang menuju ekosistem seimbang. Suksesi terjadi sebagai akibat modifikasi lingkungan fisik dalam komunitas atau ekosistem. Proses suksesi berakhir dengan sebuah ekosistem klimaks atau telah tercapai keadaan seimbang ( homeostasis). Merupakan cabang ilmu biologi yang mempelajari tentang penggolongan atau sistematika makhluk hidup. Sistem yang dipakai adalah penamaan dengan dua sebutan, yang dikenal sebagai tata nama binomial atau binomial nomenclature, yang diusulkan oleh Carl von Linne (Latin: Carolus Linnaeus), seorang naturalis berkebangsaan Swedia. Secara umum, taksonomi diartikan sebagai pengelompokan suatu hal berdasarkan hierarki (tingkatan) tertentu. Di mana taksonomi yang lebih tinggi bersifat lebih umum dan taksonomi yang lebih rendah bersifat lebih spesifik. Bahan kimia yang dapat mengakibatkan cacat bawaan pada embrio. Merupakan sifat yang terkait dengan tanah atau permukaan tanah (terra, tanah). Sebagai contoh, hewan terestrial adalah hewan-‐hewan yang biasa berkeliaran di atas tanah, seperti harimau, biawak dan lain-‐lain. Tumbuhan terestrial adalah tumbuhan yang hidup di permukaan tanah, seperti kebanyakan jenis tanaman serta pohon. Terumbu karang yang tumbuh di tengah laut yang dipisah dengan pulau oleh goba yang dalam (barrier reef).
Terumbu karang tepi Tributyltin (TBT)
Tsunami
Tutupan karang Upwelling
Vertebrata Vu (vulnerable) Walking shark
Zoanthiads
Zona subduksi
Terumbu karang yang tumbuh di tepi pulau (fringing reefs). Bahan kimia organic anthropogenic yang telah digunakan sebagai bahan aktif dalam cat antifouling pada kapal dan jarring akuakultur untuk mencegah timbulnya organism penempel, bersifat sangat beracun dan telah menimbulkan peristiwa pemandulan pada gastropoda di laut atau biasa disebut imposex, sehingga menggangu proses reproduksi. Gelombang laut pasang yang dahsyat dan berkecepatan tinggi yang terjadi karena gempa bumi, letusan gunung berapi, atau longsoran di dasar laut. Merupakan luasan area yang tertutup oleh berbagai jenis karang yang pada umumnya membentuk terumbu karang. Luasan tersebut biasanya dinyatakan dalam satuan persen. Merupakan suatu proses penaikan massa air laut dari bawah menuju kepermukaan laut yang menyebabkan terjadinya mekanisme pemupukan air laut secara alami karena zat-‐zat hara yang terendapkan di dasar laut naik dan menyebabkan akumulasi plankton pada bagian permukaan. Merupakan semua organisme yang memiliki susunan tulang belakang yang disebut dengan vertebra. Tingkat keterancaman suatu biota yang dicantumkan dalam apendiks dokumen CITES. Spesies ikan hiu berukuran kecil termasuk Famili Hemiscyllidae. Ikan ini penghuni perairan terumbu karang dan sebagaian besar waktunya berada di dasar perairan. Bentuknya yang khas dengan sirip dada yang relatif kecil dan gerakannya mirip berjalan di dasar perairan. Merupakan sebuah ordo dari kelompok Cnidaria yang secara umum dapat ditemukan di terumbu karang, laut dalam, dan di banyak lingkungan laut lainnya di penjuru dunia. Hewan ini terdapat dalam berbagai formasi kolonial yang berbeda dan dalam berbagai warna. Mereka dapat ditemukan sebagai polip individu, melekat pada stolon berdaging atau substrat yang dapat terbuat dari potongan-‐potongan kecil sedimen, pasir dan batu. Istilah “zoanthid” mengacu pada semua hewan dalam kelompok Zoantharia, dan tidak harus bingung dengan “Zoanthus”, yang merupakan salah satu genus dalam Zoantharia. Ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya terjadi subduksi.
xxix
Daftar Singkatan BOD BSIW
Biological Oxygen Demand Banda Sea Intermediate Water
B3 COD DDT DDE DCA DO GRK HCHs IIW
bahan berbahaya dan beracun Chemical Oxygen Demand Dichloro-‐diphenyl-‐trichloroethane Dichloro-‐diphenyl-‐dichloroethane Dead Coral with Algae Dissolved Oxygen Gas Rumah Kaca Hexachlrocyclohexanes Indonesian Intermediate Water
IUCN
World Conservation Union
KMA KLH POPs PAHs SST STD
Kriteria Mutu Air Kementerian Lingkungan Hidup Persistent Organic Pollutants Polycyclic Aromatic Hydrocarbons Sea Surface Temperature submarine tailing disposal
SIG
Sistem Informasi Geospasial
TSS TDS TNTC WHO ULCC VLCC WEPWP WPP EL CAL KKPD TCF TWP TNP SML TBT TNL TWAL
xxx
Total Suspended Solids Total Dissolved Solids Taman Nasional Teluk Cenderawasih World Health Organization Ultra Large Crude Carrier Very Large CrudeCarrie Western Equatorial Pacific Warm Pool Wilayah Pengelolaan Perikanan Ekoregion Laut Cagar Alam Laut Kawasan Konservasi Perairan Daerah Trillion Cubic Feet Taman Wisata Perairan Taman Nasional Perairan Suaka Margasatwa Laut Tributyltin Taman Nasional Laut Taman Wisata Alam Laut
Daftar Isi
Kata Pengantar ........................................................................................................................................................ iii Ringkasan Eksekutif ................................................................................................................................................. v Daftar Istilah Dan Singkatan ................................................................................................................................. xxi Daftar Isi ............................................................................................................................................................. xxxii Pendahuluan ............................................................................................................................................................ 1 Lingkungan Laut Indonesia .................................................................................................................................... 5 Penyusunan Ekoregion Laut ................................................................................................................................. 13 Ekoregion Laut 1 Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera .............................................................................. 23 Ekoregion Laut 2 Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa ................................................................................... 37 Ekoregion Laut 3 Selat Malaka ............................................................................................................................. 45 Ekoregion Laut 4 Laut Natuna ............................................................................................................................. 55 Ekoregion Laut 5 Selat Karimata .......................................................................................................................... 63 Ekoregion Laut 6 Laut Jawa .................................................................................................................................. 71 Ekoregion Laut 7 Laut Sulawesi ........................................................................................................................... 81 Ekoregion Laut 8 Selat Makassar .......................................................................................................................... 91 Ekoregion Laut 9 Perairan Bali dan Nusa Tenggara ............................................................................................. 99 Ekoregion Laut 10 Teluk Tomini ....................................................................................................................... 107 Ekoregion Laut 11 Laut Halmahera ................................................................................................................... 115 Ekoregion Laut 12 Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi ................................................................................... 123 xxxii
Ekoregion Laut 13 Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi dan Teluk Bone ........................................................ 131 Ekoregion Laut 14 Laut Seram dan Teluk Bintuni ............................................................................................. 139 Ekoregion Laut 15 (Laut Banda) ........................................................................................................................ 149 Ekoregion Laut 16 Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua ................................................................................ 157 Ekoregion Laut 17 Teluk Cendrawasih .............................................................................................................. 165 Ekoregion Laut 18 Laut Arafura ......................................................................................................................... 173 Penutup ................................................................................................................................................................ 179 Daftar Pustaka ..................................................................................................................................................... 181
xxxiii
Pendahuluan
Undang-‐undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengamanatkan bahwa penyelenggaraan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan melalui perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum. Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dimaksudkan untuk memadukan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup sebagai suatu kebijakan yang utuh, terpadu dan komperhensif yang selanjutnya menjadi acuan untuk pengendalian kerusakan lingkungan dan pencemaran serta arahan pemanfaatan sumberdaya alam. Tahapan yang dilakukan dalam perencanaan tersebut terdiri dari inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion, dan penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) dan selanjutnya diartikan sebagai perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah lingkungan hidup, dan upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu.
Proses inventarisasi, penetapan ekoregion dan penyusunan RPPLH
Berdasarkan hal di atas, maka penetapan ekoregion akan menghasilkan batas (boundary) sebagai satuan unit analisis yang menjadi dasar dan memiliki peran yang sangat penting dalam melaksanakan inventarisasi lingkungan hidup, menentukan daya dukung dan daya tampung lingkungan serta mengelola keterkaitan, interaksi, interdependensi dan dinamika pemanfaatan dan kondisi berbagai sumberdaya alam di wilayah ekoregion tersebut untuk menyusun RPPLH. Dalam UU nomor 32 tahun 2009, ekoregion didefinisikan sebagai wilayah geografis yang memiliki kesamaan ciri iklim, tanah, air, flora, dan fauna asli, serta pola interaksi manusia dengan alam yang menggambarkan integritas sistem alam dan lingkungan hidup. Disamping itu, ekoregion merupakan geografi ekosistem yang mempunyai pola susunan berbagai ekosistem dan proses di antara ekosistem tersebut yang terikat dalam suatu satuan geografis. Sesuai dengan definisi tersebut, maka penetapan batas ekoregion tidak berdasarkan pada batas wilayah administrasi. Terkait dengan wilayah laut, maka Spalding et al. (2007) mendefinisikan ekoregion laut sebagai wilayah perairan laut dengan komposisi spesies yang relatif homogen, yang jelas berbeda dari sistem yang berdekatan. Faktor pembeda dalam mendefinisikan ekoregion laut bervariasi dari lokasi ke lokasi termasuk tingkat isolasi, upwelling, masukan nutrien, pengaruh air tawar, rezim suhu, morfostruktur, sedimen, arus, dan kompleksitas batimetri atau tipe pantai.
2 |pendahuluan
Memperhatikan data dan informasi yang disajikan dalam Peta Negara Kesatuan Republik Indonesia Indonesia (NKRI) dari Badan Informasi Geospasial, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah 2 2 pulau 13.466, luas daratan 1.922.570 km dan luas perairan 6.376.744 km . Oleh karena itu, dalam penetapan wilayah ekoregion memperhatikan cakupan wilayah darat dan laut. Buku ekoregion laut ini merupakan seri kedua sebagai lanjutan dari buku pertama tentang ekoregion pulau. Penyusunan ekoregion laut ini merupakan hasil kerjasama Kementerian Lingkungan Hidup dengan Badan Informasi Geospasial dan didukung oleh para ahli kelautan dan perikanan dari kementerian/lembaga, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat. Penetapan ekoregion tersebut dilaksanakan oleh Menteri Lingkungan Hidup setelah berkoordinasi dengan intansi terkait. Penyusunan dokumen ini bertujuan agar ekoregion laut dapat digunakan sebagai: 1. Unit analisis dalam menetapkan daya dukung dan daya tampung lingkungan, 2. Dasar dalam memberikan arah untuk penetapan RPPLH dan merencanakan pembangunan yang disesuaikan dengan karakter wilayah, 3. Memperkuat kerjasama dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup yang mengandung persoalan pemanfaatan, pencadangan sumber daya alam maupun permasalahan lingkungan hidup yang sifatnya lintas batas administrasi, 4. Acuan untuk pengendalian dan pelestarian jasa ekosistem/lingkungan yang mempertimbangkan keterkaitan antar ekosistem yang satu dengan ekosistem yang lain dalam suatu ekoregion, sehingga dapat dicapai produktivitas optimal untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 3
ikan Badut di perairan Belitung (Foto : Yuniar Hufan-BIG)
Lingkungan Laut Indonesia
Secara geografis, Indonesia terletak pada posisi antara 6°08’ Lintang Utara dan 11°15’ Lintang Selatan, dan antara 94°45’ Bujur Timur dan 141°05’ Bujur Timur. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 13.466 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km, membentang dari Barat ke Timur sepanjang 5.120 2 km serta dari Utara ke Selatan sepanjang 1.760 km. Luas seluruh wilayah Indonesia sekitar 7,73 juta km , terdiri 2 2 2 dari 1,93 juta km wilayah dataran, 3,1 juta km perairan teritorial, dan 2,7 juta km Zona Economi Eksklusif (ZEE). Negara kepulauan Indonesia yang dikenal sebagai Nusantara terletak di antara dua samudera besar, yakni Samudera Hindia di tenggara hingga barat Nusantara, dan Samudera Pasifik di timurlaut hingga timur Nusantara. Sementara itu di utara Nusantara berbatasan dengan Laut China Selatan. Nusantara ini dilalui oleh garis khatulistiwa (ekuator) dan dipadu dengan kondisi batimetrinya yang kompleks, menjadikan fenomena interaksi laut dan atmosfer di Indonesia adalah sangat unik dan dinamis. Perbedaan tekanan permukaan laut yang besar dari Samudera Hindia dan Pasifik merupakan penggerak utama dari sirkulasi arus atau massa air di Laut Nusantara. Dinamika pasang surut (pasut) sangat dipengaruhi oleh periodisitas bulan, matahari dan efek rotasi bumi. Secara umum ada empat tipe pasut di Laut Nusantara, yakni pasang surut diurnal, semidiurnal, campuran cenderung diurnal, dan campuran cenderung semi diurnal. Sirkulasi arus atau massa air utama berasal dari Samudera Pasifik yang masuk ke Laut Nusantara melalui Selat Lifamatola, Laut Sulawesi dan Selat Makassar di Utara, dan keluar melalui Selat Lombok, Selat Ombai, Laut Sawu dan Laut Timor di Selatan (Gordon et al., 2010). Massa air Samudera Pasifik bagian utara disinyalir masuk ke Laut Nusantara setelah melewati Laut China Selatan dan Selat Karimata. Sirkulasi tersebut menjadikan wilayah ini menjadi sangat subur dengan banyaknya daerah upwelling dan kelimpahan klorofil yang tinggi. Kondisi batimetri Laut Nusantara secara umum digambarkan kedalam dua paparan besar yang terbentuk akibat tumbukan antara Lempeng Samudera Hindia-‐Australia dengan Lempeng Eurasia-‐Pasifik. Kedua paparan tersebut adalah Paparan Sunda dan Paparan Sahul. Paparan Sunda meliputi pulau-‐pulau seperti Sumatera, Kalimantan, Jawa yang dicirikan sebagai perairan yang dangkal dengan kedalaman kurang dari 200 m. Paparan Sahul sebagian besar merupakan wilayah timur Indonesia seperti Sulawesi, Ambon, dan Papua yang dicirikan dengan kedalaman lebih dari 200 m. Diantara dua paparan tersebut dijumpai palung-‐palung laut yang sangat dalam yaitu palung Laut Banda (sekitar 7.440 m) dan palung Laut Sulawesi (6.220 m). Kondisi ini berpadukan dengan kondisi geomorfologi pantai yang beragam memberikan berbagai potensi pemanfaatan maupun kerentanan pesisir. Kerentanan pesisir dapat diakibatkan oleh bencana geologi dan geodinamika, serta akibat variabilitas dan perubahan iklim-‐laut. Variabilitas dan perubahan iklim di Laut Nusantara banyak dipengaruhi oleh variasi periodik seperti Madden Julian Oscillation (MJO) dari Pusat Samudera Hindia dan El Nino Southern Oscillation (ENSO) dari Pusat Samudera Pasifik, variasi non periodik seperti Indian Ocean Dipole Mode (IOD), dan juga oleh sistem Monsun (Aldrian dan Susanto, 2003; Black et al., 2003; Wheeler dan McBride, 2005). Dengan berbagai kondisi lingkungan strategis seperti yang dipaparkan di atas, Indonesia dikaruniai keanekaragaman hayati laut yang tinggi serta sumberdaya pesisir dan lautan yang melimpah. Beberapa sumberdaya hayati laut yang penting diantaranya ekosistem terumbu karang, padang lamun, dan mangrove (Dahuri, 2003). Hutan mangrove adalah hutan khas yang hidup di sepanjang pantai atau estuari di daerah tropis yang dipengaruhi oleh
8 |lingkungan laut indonesia
pasut air laut. Istilah lain yang juga melengkapi definisi di atas adalah komunitas tumbuhan pantai tropis yang didominasi oleh pohon dan semak yang tumbuh pada perairan asin (Nontji, 2007). Jadi ekosistem mangrove adalah sistem hubungan timbal balik antara berbagai biota dan antara biota dan lingkungannya yang ada di suatu hutan mangrove tertentu. Bila dibandingkan dengan ekosistem hutan daratan, ekosistem mangrove memiliki produktifitas primer yang tinggi. Mangrove dapat memberikan kontribusi besar terhadap detritus organik yang sangat penting sebagai sumber energi bagi biota yang hidup di perairan sekitarnya. Mangrove juga merupakan habitat bagi fauna krustasea dan moluska. Dalam ekosistem mangrove ditemukan 80 spesies krustasea dan 65 spesies moluska yang hidup berasosiasi di dalamnya. Selain itu, berbagai jenis juvenil ikan, udang, kepiting, dan moluska tersebar di perairan mangrove. Spesies mangrove mengalami adaptasi terhadap lingkungan hidupnya yang ekstrim seperti kadar garam yang tinggi, suhu dan salinitas yang selalu berubah dan tempat substrat yang lembek dan anoksik. Untuk menghalangi penguapan yang tinggi, tumbuhan mangrove mempunyai daun yang tebal dan mempunyai kelenjar untuk mengatur keseimbangan kandungan garam dalam tubuhnya. Secara morfologis, adaptasi yang jelas adalah pada bentuk perakaran agar dapat menyangga batang tetap tegak dan juga dalam membantu pernafasan karena substratnya yang minim oksigen.
Hutan mangrove yang sekarang semakin menipis luasannya (foto : Rahmatia Susanti-‐BIG)
Saat ini luas mangrove Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta ha dengan lokasi dominan di pesisir timur Sumatera, pesisir Kalimantan, dan pesisir selatan Papua. Luasan tersebut mencakup 19% dari luas mangrove di dunia, melebihi luas mangrove Australia (10%) dan Brasil (7%) (KLH, 2008). Mangrove di Indonesia dikenal mempunyai keragaman jenis yang tinggi, seluruhnya tercatat sebanyak 89 jenis, dimana 35 jenis diantaranya berupa pohon (Nontji, 2007). Namun demikian, luasan mangrove Indonesia terus berkurang dari tahun ke tahun. Konversi mangrove menjadi lahan tambak terus meningkat sejak terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1998. Pembukaan pemukiman baru di wilayah pesisir dan pengambilan kayu mangrove juga memicu degradasi ekosistem mangrove di Indonesia. Kerusakan mangrove di pesisir utara sudah sangat parah terutama dikonversi menjadi tambak dan menghilangkan lebih dari 90% mangrove yang pernah ada (Tirtakusumah, 1994). Wilayah Laut Nusantara juga merupakan lintasan utama berbagai macam kapal laut, mulai dari kapal niaga, kapal tanker, kapal ikan, sampai dengan kapal perang yang berlayar baik melalui Selat Malaka maupun tiga Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Lebih dari 40% total barang dan komoditas perdagangan antar bangsa di dunia dengan nilai US$ 1.500 triliun/tahun diangkut oleh kapal-‐kapal niaga melalui laut Indonesia (Dahuri, 2003).
deskripsi peta ekoregion laut indonesia| 9
Lamun (seagrass) adalah tumbuhan tinggi yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di dalam laut. Tumbuhan ini mempunyai batang yang tumbuh mendatar dan terbenam di dasar perairan dan disebut rhizome atau rimpang. Lamun tumbuh subur terutama di daerah terbuka pasang surut dan perairan pantai atau goba yang dasarnya berupa lumpur, pasir, kerikil, dan patahan karang mati, dengan kedalaman sampai dengan 4 meter. Dalam perairan yang sangat jernih, beberapa jenis lamun bahkan ditemukan tumbuh sampai kedalaman 8 – 15 meter dan 40 meter (Den Hartog, 1970; dan Allen, 1993). Lamun dapat tumbuh menyebar luas di dasar perairan dan membentuk suatu padang. Padang lamun dapat ditumbuhi oleh hanya satu spesies yang disebut padang lamun monospesifik, atau ditumbuhi oleh lebih dari satu spesies yang disebut vegetasi campuran (mixed vegetation). Spesies lamun yang membentuk vegetasi monospesifik adalah Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halopila ovalis, Halodule pinifolia. H. uninervis, Cymodocea rotundata dan Thalassodendron ciliatum (Nienhuis et al., 1989; Kiswara et al., 2003). Vegetasi campuran terdiri dari dua sampai delapan spesies di wilayah yang sama.
Padang lamun dengan vegetasi campuran (atas) dan monospesifik (bawah) (Foto: Trismades)
Lokasi penelitian lamun dan keberadaannya di Indonesia (Kiswara et al., 2011)
Dari 20 jenis lamun yang dijumpai di perairan Asia Tenggara, paling sedikit 13 jenis lamun yang dijumpai di perairan di Indonesia (Soegiarto dan Polunin, 1981; Kiswara dan Hutomo, 1985; Kuriandewa et al., 2003). Padang lamun tersebar luas di perairan Indonesia mulai dari Pulau Weh sampai pantai utara Papua di Samudera Pasifik. Ekosistem padang lamun merupakan salah satu ekosistem pesisir yang mempunyai berbagai fungsi penting dalam menunjang produktivitas perairan di sekitarnya. Lamun memfiksasi karbon organik, dan sebagian besar memasuki rantai makanan langsung dikonsumsi oleh hewan-‐hewan herbivor maupun melalui proses dekomposisi sebagai serasah. Daun dan rimpang yang patah sebagian hanyut ke perairan sekitarnya dan didekomposisi oleh mikroorganisme. Proses dekomposisi menghasilkan materi yang
10 |lingkungan laut indonesia
Daun lamun yang ditumbuhi berbagai jasad renik (hal. 10) dan akar lamun yang menagkap sedimen (bawah) (foto: Program JSPS)
langsung dikonsumsi oleh pemakan serasah. Sedangkan serasah yang melayang di kolom air dimakan oleh hewan-‐hewan pemakan penyaring (filter feeder). Perkiraan jumlah materi lamun di Indonesia yang diekspor ke lingkungan sekitarnya hanya sebesar 10% (Nienhuis et al., 1989). Daun lamun yang lebat ditumbuhi oleh berbagai jasad renik yang menjadi makan berbagai hewan-‐hewan kecil dan ikan-‐ikan muda (juvenile). Padang lamun yang lebat dapat menangkap sedimen dari daratan dan mendepositkan di dasar perairan dan oleh akar lamun yang lebat sehingga perairan menjadi jernih, jadi berfungsi memelihara kualitas air. Di sisi lain, arus dan gelombang yang datang dari arah laut ditahan oleh daun lamun yang lebat sehingga melindungi pantai dari abrasi.
Terumbu karang adalah bangunan kapur bawah laut (CaCO2) yang dibentuk oleh jasad hidup seperti karang batu dan alga berkapur. Karang batu (hermatypic coral) merupakan penyumbang bangunan kapur yang utama, dan disumbang biota lainnya seperti algae berkapur (calcareous algae), moluska dan berbagai spesis ekhinodermata. Karang batu merupakan koloni ribuan hewan renik yang disebut polip. Hewan polip mempunyai simbion alga bersel satu yang disebut zooxanthellae dan berada di lapisan kulit dalam (endoderm). Zooxanthellae berperan penting dalam pembentukan kapur yang membangun terumbu. Terumbu karang merupakan lingkungan hidup yang unik, sangat indah dan merupakan ekosistem daerah tropis yang sangat kompleks serta mempunyai produktivitas yang tinggi seperti hutan hujan tropis. Terumbu karang mempunyai fungsi dan peran, baik secara biologis, ekologis dan ekonomis. Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan terumbu karang untuk menahan nutrien dalam sistem dan berperan sebagai kolam untuk menampung segala masukan dari luar. Ekosistem ini dihuni oleh berbagi biota laut dengan spesies yang paling beragam sehingga dianggap sebagai gudang keanekaragaman hayati laut. Berbagai biota tersebut banyak yang mempunyai nilai ekonomis penting seperti ikan, teripang, moluska dan rumput laut. Terumbu karang juga dapat berfungsi sebagai pelindung pantai dari ancaman erosi dan ombak besar, serta sebagai aset pariwisata bahari yang banyak menghasilkan devisa bagi negara.
Karang batu, polip dan zooxanthellae (IUCN, 1993)
deskripsi peta ekoregion laut indonesia| 11
Terumbu karang Indonesia meliputi 18% luasan dari terumbu karang dunia. Sampai saat ini telah diidentifkasi lebih dari 590 spesies karang yang berasal dari 82 genera (Veron, 2001). Pemantauan terumbu karang jangka panjang telah dilakukann oleh Puslitbang Oseanografi-‐ LIPI sejak tahun 1993 sampai dengan 2008 pada 78 wilayah dengan 985 titik di seluruh Indonesia. Berdasarkan pemantauan tersebut, pada akhir tahun 2008 terumbu karang Indonesia 5.48 % berada dalam kondisi sangat bagus, 25, 48% dalam kondisi bagus 37,06% dalam kondisi sedang dan 31,98% dalam kondisi buruk.
Sebaran spesies karang batu di Indonesia (modifikasi dari Suharsono, 2009)
Fungsi terumbu karang dalam pendukung kehidupan dan sebagai pelindung alami dari gelombang lautan (gambar: change.nature.org)
12 |lingkungan laut indonesia
Penyusunan Ekoregion Laut
Ekoregion laut disusun dalam beberapa tahapan yang melibatkan para pakar dari kementerian/lembaga pemerintah, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang folus pada isu pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Secara umum, penyusunan ekoregion laut ini dilakukan melalui proses pertemuan tim penyusun dan pertemuan pakar melalui diskusi kelompok terfokus. Pada prinsipnya fungsi dari tim penyusun ini adalah sebagai kelompok kerja yang bertugas terhadap segala sesuatu yang bersifat teknis, baik dari aspek pemetaan maupun dari aspek deskripsi. Tim penyusun didukung oleh kelompok kerja bidang Sistem Informasi Geografi untuk aspek pemetaan. Sedangkan para pakar bertugas memberi masukan, baik untuk aspek pemetaan maupun aspek deskripsi. Tahapan dalam penyusunan ekoregion laut adalah sebagai berikut: 1.
2.
3. 4.
5.
6.
7.
8.
Pengumpulan data: Data-‐data yang diperlukan dalam penyusunan ekoregion laut didapatkan dari beberapa kegiatan pengumpulan data dan hasil penelitian di perairan Indonesia. Pada tahap awal ini, semua data yang dimiliki oleh kementerian/lembaga, perguruan tinggi dan LSM dikumpulkan untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif terhadap lingkungan laut Indonesia. Penentuan parameter: Parameter ditetapkan dari hasil diskusi pakar dan literatur terkait penyusunan ekoregion laut di negara lain. Penyusunan parameter juga mempertimbangkan ketersediaan data. Data yang sudah terkumpul kemudian dipilah agar menjadi parameter yang digunakan dalam penyusunan ekoregion laut. Beberapa data yang kurang relevan atau kurang valid tidak digunakan sebagai parameter. Penyusunan hirarki: Parameter yang telah ditetapkan kemudian dikelompokkan dan disusun hirarkinya untuk menentukan urutan tingkat kepentingan suatu parameter terhadap parameter yang lain. Sintesis antar data: Pada tahap ini, data yang masih belum dalam format geospasial seperti gambar, tabel atau uraian tertulis diubah ke format geospasial. Sintesis atau overlay antar data geospasial kelautan dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geospasial (SIG). Hasil dari sintesis data digunakan untuk mengevaluasi parameter yang sudah disusun sebelumnya. Delineasi batas ekoregion: Delineasi batas suatu ekoregion dilakukan secara geospasial dengan memperhatikan parameter yang ada. Delineasi awal adalah pembagian perairan Indonesia menjadi tiga bagian besar berdasarkan morfologi dasar laut yaitu Paparan Sunda, Perairan Dalam dan Paparan Sahul. Berikutnya beberapa parameter lain digunakan untuk mendelineasi batas ekoregion yang lain. Diskusi kelompok terfokus: Hasil delineasi batas ekoregion kemudian dikonsultasikan ke para pakar kelautan dalam suatu diskusi kelompok terfokus. Tercatat sebanyak 12 rapat pembahasan dengan pakar dari kementerian/lembaga, perguruan tinggi dan LSM. Penyusunan ekoregion mendapat masukan juga dari pakar di daerah yaitu ahli kelautan di Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Hasil dari diskusi kelompok terfokus digunakan untuk mengevaluasi parameter dan batas ekoregion. Visualisasi kartografis: Pada tahapan ini disusun tampilan peta ekoregion laut. Selain itu, penomeran dan penamaan ekoregion juga ditentukan. Penomeran ekoregion disusun dari barat ke timur. Sedang penamaan ekoregion ditentukan berdasarkan toponimi atau nama perairan. Untuk perairan yang besar maka ditambah dengan posisi perairan relatif dengan pulau disekitarnya seperti ekoregion Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi. Penyusunan deskripsi: Setelah area dan batas ekoregion laut ditetapkan, deskripsi untuk setiap ekoregion disusun berdasarkan lima aspek yaitu geologi dan morfologi dasar laut, oseanografi, keanekaragaman hayati, pemanfaatan, kerawanan bencana, dan pencemaran.
16 |lingkungan laut indonesia
Tahapan dalam penyusunan ekoregion laut
Data yang digunakan dalam penyusunan ekoregion dikelompokan menjadi empat bagian yaitu: 1.
2.
3.
4.
Morfologi dasar laut: bentuk dari dasar laut merupakan salah satu hal penting dalam penentuan delineasi ekoregion laut. Morfologi dasar laut dapat dilihat dalam dua data: a. Geomorfologi: peta geomorfologi Indonesia (Verstappen, 2010) b. Batimetri: data Etopo-‐1 (Amante dan Eakins, 2009) Oseanografi: kondisi fisik kelautan setiap ekoregion dapat dilihat dari parameter: a. Arus laut: peta arus laut (Gordon, 2005) b. Pasang surut: peta pasang surut (Wyrtki, 1961) c. Upwelling: data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP 2010) d. Suhu: data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP 2012) e. Salinitas: data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP 2012) f. Derajat keasaman: data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP 2012) g. Klorofil: data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP 2012) h. Nutrien: data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP 2012) Keanekaragaman hayati: a. Mangrove b. Lamun c. Karang: data dari Veron et al. (2008 dan 2010) d. Ikan: data dari Allen (2000 dan 2008), Allen dan Adrim (2003), dan Allen dan Erdman (2012) Batas: a. Batas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI): peta Badan Informasi Geospasial (2012) b. Ekoregion laut dunia: peta Marine Ecoregion of the World (Spalding et al., 2007)
deskripsi peta ekoregion laut indonesia| 17
c. d.
Wilayah pengelolaan perikanan: peta Kementerian Kelautan dan Perikanan (2011) Toponimi laut: peta toponimi laut (International Hydrographic Organization) Parameter yang digunakan untuk mendelineasi ekoregion laut
No
Geologi & Morfologi
Parameter untuk delineasi Keanekaragam Oseanografi an hayati
Batas
3
Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa Selat Malaka
5
Selat Karimata
ü
ü
ü
Laut Jawa
ü
ü
Laut Sulawesi
ü
ü
-‐
ü
ü
Selat Makassar
ü
ü
ü
ü
Perairan Bali dan Nusa Tenggara
ü
ü
ü
ü
Teluk Tomini
ü
ü
ü
Laut Halmahera
-‐
ü
ü
ü
ü
Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi
ü
ü
ü
Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi
ü
ü
ü
-‐
Laut Seram dan Teluk Bintuni
ü
ü
ü
Laut Banda
ü
ü
ü
ü
ü
ü
ü
ü
Teluk Cendrawasih
ü
ü
ü
ü
ü
ü
-‐
1 2 4 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18
Ekoregion Laut
ü
ü
ü
ü
ü
ü
ü
ü
ü
ü
ü
ü
Laut Natuna
ü
ü
ü
ü -‐
Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua Laut Arafura
-‐
-‐ -‐
ü
Penyusunan ekoregion laut Indonesia juga memperhatikan beberapa klasifikasi perencanaan wilayah perairan yang ada di Indonesia, diantaranya Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) dan Marine Ecoregion of the World (MEOW). Perairan Indonesia dibagi dalam 11 WPP yang telah disahkan melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. Per.01/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Sementara itu, MEOW yang ditulis oleh Spalding et al. (2007) membagi wilayah Indonesia menjadi 12 ekoregion laut. Ekoregion laut Indonesia lebih memfokuskan wilayah laut Indonesia dari aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. No 1 2 3
Ekoregion laut
WPP Samudera Hindia Sebelah WPP 571, WPP Barat Sumatera 572 Samudera Hindia Sebelah WPP 572, WPP Selatan Jawa 573 Selat Malaka WPP 571, WPP
18 |lingkungan laut indonesia
Klasifikasi lain Ekoregion laut dunia Andaman and Nicobar islands, Andaman Sea Coral Coast, Malacca Strait, Southern Java, Western Sumatera Cocos-‐Keeling/Christmas island, Lesser Sunda, Southern Java Malacca Strait, Southern Java
4
Laut Natuna
5
Selat Karimata
7
Laut Sulawesi
9
Perairan Bali dan Nusa Tenggara
6
8
10 11 12 13 14 15 16 17
711
18
WPP 711
Laut Jawa
Selat Makassar
Teluk Tomini
Laut Halmahera Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi Laut Seram dan Teluk Bintuni Laut Banda
WPP 711, WPP 712 WPP 571, WPP 572, WPP 711, WPP 712, WPP 713 WPP 713, WPP 716 WPP 713
WPP 712, WPP 713, WPP 714, WPP 718, WPP573 WPP 715 WPP 715, WPP 716, WPP 717
WPP 714, WPP 715 WPP 713, WPP 714 WPP 715, WPP 717, WPP 718 WPP 714, WPP 715, WPP 718
Samudera Pasifik Sebelah WPP 717 Utara Papua Teluk Cendrawasih WPP 717 Laut Arafura
Malacca Strait, South China Sea Oceanic Islands, Sunda Shelf/Java Sea, Sulawesi Sea/Makassar Strait, Southern Java Malacca Strait, Sunda Shelf/Java Sea, Sulawesi Sea/Makassar Strait, Southern Java Lesser Sunda, Sulawesi Sea/Makassar Strait, Southern Java, Southern Java, Sunda Shelf/Java Sea
WPP 718
Eastern Philippines, Halmahera, Palawan/North Borneo, Sulawesi Sea/Makassar Strait Banda Sea, Lesser Sunda, Palawan/North Borneo, Sulawesi Sea/Makassar Strait Banda Sea, Bonaparte Coast, Exmouth to Broome, Lesser Sunda, Sulawesi Sea/Makassar Strait, Southern Java, Sunda Shelf/Java Sea Banda Sea, Northeast Sulawesi
Banda Sea, Eastern Philippines, Halmahera, Northeast Sulawesi, Papua, Sulawesi Sea/Makassar Strait, West Caroline Islands Banda Sea, Halmahera, Northeast Sulawesi Banda Sea, Lesser Sunda
Arafura Sea, Banda Sea, Halmahera, Papua, West Caroline Islands Amhem Coast o Gulf of Carpenteria, Arafura Sea, Banda Sea, Bonaparte Coast, Halmahera, Papua, Lesser Sunda Papua, West Caroline Islands Papua
Amhem Coast o Gulf of Carpenteria, Arafura Sea, Papua
Kawasan Ekoregion Laut yang memiliki kawasan Konservasi No
Kawasan konservasi
Ekoregion Laut
Kategori
Luas (ha)
1
EL 1
KKP, TWAL, TWP
1.348.269,89
4
EL 4
KKP
142.997,14
2 3 5 6 7 8 9
EL 2 EL 3 EL 5 EL 6 EL 7 EL 8 EL 9
CAL, KKLD, SML KKP
CAL, KKLD TNL, KKP, CAL, TWAL, SML, KKP KKP, TNL, TWAL, SML TWP
KKP, TWAL, TNP, TWP
98.480,25 68.178,46 92.701,66
238.986,05
1.361.314,00 50.000,00
4.101.599,31
deskripsi peta ekoregion laut indonesia| 19
No
Kategori
Luas (ha)
10
EL 10
KKP, TNL, TWAL, SML
365.065,00
13
EL 13
TWAL, TNL, KKLD,
29.136.057,31
11 12 14 15 16 17
Kawasan konservasi
Ekoregion Laut
18 1
EL 11
-‐
EL 12
TNL, TWAL
EL 14
KKP, SML, CAL, SAP
EL 15
TWAL, TWP
EL 16
KKP, SML, CAL
EL 17
TNL, KKLD,TWAL
EL 18
KKP, CAL, SAP
EL 1
KKP, TWAL, TWP
-‐
102.650,00
1.562.487,81 15.598,00 22.445,52
1.478.410,00 116.757,45
1.348.269,89
Kawasan Ekoregion Laut yang memiliki titik potensi sebaran limbah (sumber : Potensi Pencemar Kegiatan migas, energi, tambang) No
Ekoregion Laut
3
Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa Selat Malaka
5
Selat Karimata
1 2 4 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18
Laut Natuna Laut Jawa
Laut Sulawesi
Selat Makassar
Perairan Bali dan Nusa Tenggara Teluk Tomini
Laut Halmahera
Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi
Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi Laut Seram dan Teluk Bintuni Laut Banda
Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua Teluk Cendrawasih Laut Arafura
20 |lingkungan laut indonesia
Volume limbah (m3/hari)
-‐ -‐
394.418 114.957
24.742
115.071.199
-‐
6.539.449
36.750
-‐ -‐ -‐
1
304.433
5.102
-‐ -‐ -‐
T H A I L A N D
M
A
Y
I A
M
NANGGROE ACEH DARUSSALAM
A
L
S
A
EL-3
L A Y S I A
SUMATERA UTARA
KEPULAU
RIAU
S U MATE RA
EL-1
SUMATERA BARAT JAMBI
BENGKULU
SUMATERA SE
S A M
LA
U D E R A
EL-2
H I A
200
D
100
N
0
I
± 400 Km
Ekoregion Laut 1
Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera Ekoregion Laut 1 meliputi Samudera Hindia dan sebagian Selat Malaka di Provinsi Aceh. Ekoregion ini terletak di 2 Pantai Barat Sumatera dan Provinsi Aceh dengan luas sebesar 782.861 km . Ciri khas ekoregion ini adalah memiliki sirkulasi arus dan massa air yang terbentuk karena kondisi batimetri yang kontras, yakni oleh palung terusan dari Java Trench yang terhubung dengan Samudera Hindia bagian Barat dan perairan basin di pesisir Barat Sumatra. Terdapat fenomena unik propagasi Wyrtki Jet dan Coastally Trapped Kelvin Waves akibat pengaruh dari angin monsun Samudera Hindia. Hal ini sangat berhubungan erat dengan periodisitas upwelling dan downwelling pada ekoregion ini. Pada monsun Timur, angin Tenggara yang bergerak sejajar dengan Pantai Barat Sumatera akan menyebabkan fenomena upwelling. Pada monsun peralihan (Maret-‐Mei dan September-‐ November), gelombang Kelvin dari Samudera Hindia Timur yang dibangkitkan oleh angin Barat di khatulistiwa bergerak menumbuk bagian Barat Sumatera. Angin tersebut terpecah menuju ke Barat Daya (Teluk Benggala) dan menuju ke Tenggara menyusuri Pantai Barat Sumatera hingga ke Selatan Jawa dan Nusa Tenggara. Ekoregion Laut 1 berbatasan dengan dua ekoregion lain yaitu: a.
b.
Selat Malaka karena perbedaan batimetri. Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera memiliki rata-‐rata kedalaman lebih dari 200 m sedangkan Selat Malaka merupakan bagian dari Paparan Sunda dengan kedalaman kurang dari 200 meter; Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa karena perbedaan keanekaragaman hayati karang, pola temperatur dan salinitas perairan.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 23
GEOLOGI DAN MORFOLOGI DASAR LAUT Secara geologi, ekoregion Laut ini terbentuk sekitar 54 juta tahun silam (Hall, 2001). Morfologi dasar laut ekoregion ini terdiri dari paparan benua (continental shelf), lereng benua (continental slope), dan paparan laut dalam (Abyssal Plain) dengan kedalaman sampai dengan 5.500 m. Ekoregion ini merupakan bagian dari paparan Sunda. Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), ekoregion ini memiliki kemiringan o o o bervariasi dari kelas lereng miring (1-‐3 ), kelas lereng agak terjal (3-‐10 ), kelas lereng terjal (10-‐20 ), dan kelas o lereng curam (>20 ). Berdasarkan peta toponimi dasar laut, ekoregion ini memiliki 6 cekungan yaitu Cekungan Mergui-‐Sumatera, Cekungan Meulaboh, Cekungan Tanjung dewa, Cekungan Simeuleu, Cekungan Nias, dan Cekungan Mentawai. Parit yang terdapat di ekoregion ini adalah parit Sabang.
OSEANOGRAFI Kecepatan angin mencapai maksimum pada ekoregion laut ini ketika Monsun Timur dan Monsun Tenggara, dimana angin dari arah Samudera Hindia Tenggara bergerak ke arah barat laut. Pada Monsun Barat angin bergerak sebaliknya yakni menuju tenggara. Pada Monsun Peralihan II, pergerakan cenderung seperti pada periode Monsun Timur tetapi dengan intensitas kekuatan yang lebih rendah. Demikian juga dengan angin pada periode Monsun Peralihan I yang polanya cenderung sama dengan Monsun Barat (Wyrtki, 1961; Putri, 2005). Tipe pasang surut dari ekoregion ini umumnya bertipe campuran cenderung semidiurnal (Wyrtki, 1961). Arus di ujung atas Pantai Barat Sumatera pada bulan Januari sebagian bergerak ke arah barat laut ketika pasang surut berasosiasi dengan angin untuk membangkitkan arus. Namun, sebagian arus yang lainnya bergerak ke arah barat daya. Arus yang bergerak ke barat daya terus membelok ke selatan lalu ke timur. Sementara arus dari daerah lepas Pantai Barat Sumatera di selatan khatulistiwa bergerak ke timurlaut kemudian membelok ke timur. Sementara itu arus di dekat Pantai Barat Sumatera cenderung mengarah ke selatan menyusur pantai. Pola arus di dekat pantai ini mengikuti arah angin yang juga bertiup menyusuri pantai. Pada bulan Februari, pola arus yang terbentuk relatif sama dengan bulan Januari. Kecepatan arus juga melemah pada bulan Februari seiring dengan melemahnya angin di daerah tersebut. Saat Monsun Peralihan I, arus di ujung atas pantai barat Sumatera berbalik arah menuju tenggara (Mustikasari et al., 2010). Saat Monsun Timur, arus di pantai Barat Sumatera bergerak ke arah barat laut terus ke utara dan berbelok ke timur laut di ujung atas Pantai Barat Sumatera. Arus di dekat pantai cenderung bergerak meninggalkan pantai dan menuju utara. Variabilitas arus pada Musim Peralihan I terjadi pada kedalaman 16, 34, 88, 106, 160 dan 300 m. Secara umum arah arus dari Samudera Hindia sebelah timur bergerak menuju perairan Barat Sumatera (Arindi et al., 2010). Kejadian upwelling akibat divergensi massa air pada perairan barat Sumatera diduga hanya ditemukan pada Musim Peralihan I di posisi sekitar 10°LS 95°BT. Pusat upwelling berada di sekitar Pulau Enggano antara bulan Agustus dan Oktober. Upwelling di daerah ini merupakan kelanjutan dari daerah upwelling di Pantai Selatan Jawa yang bergerak ke Barat (Adi et al., 2004). Variasi komponen fisik di rentangan rerata tahunan massa air laut pada ekoregion ini di lapisan permukaan dilihat dari suhu (27 – 30°C), salinitas (32,4 -‐ 34,4 PSU), konsentrasi oksigen terlarut (4 – 7 ml/liter), dan pH (7,9 – 8,25) (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009). Kondisi nutrien dilihat dari konsentrasi fosfat (0,05 – 0,25 µmol/liter),
24 |ekoregion laut 1
konsentrasi silikat (0,25 – 10,0 µmol/liter), konsentrasi nitrat (0,5 – 8,0 µmol/liter), dan klorofil (0,05-‐15,0 µgram/liter) (Baumgart et al. 2005; Boyer et al., 2009).
KEANEKARAGAMAN HAYATI Karakteristik utama Ekoregion Laut 1 adalah memiliki tingkat keragaman habitat pesisir dan laut tinggi. Wilayah ini secara khusus juga diduga memiliki hubungan yang kuat dengan Kepulauan Nicobar dan Andaman. Selain itu, beberapa jenis karang Samudera Pasifik tercatat berasal dari kawasan Phuket di Thailand dan tidak ditemukan di tempat lain selain di Samudera Hindia. Keunikan taksonomi biota laut ekoregion ini terletak pada perannya sebagai perwakilan fauna Samudera Hindia yang tidak ditemukan di tempat lain di Indonesia (Huffard et al., 2012). Tegakan bakau di Pulau Siberut (Teluk Siberut) yang masuk dalam wilayah ekoregion ini merupakan tempat penting untuk pembesaran kepiting bakau (Scylla serrata) dan berfungsi sebagai daerah penyedia kepiting terbesar untuk pemasok di Padang, Sibolga dan Medan (Hutomo 2006, komunikasi pribadi,). Habitat padang lamun di ekoregion ini memiliki luasan yang sempit karena bentuk pantai yang curam dan pengaruh gelombang Samudera Hindia yang besar. Informasi habitat padang lamun di daerah ini masih perlu pengkajian lebih lanjut. Beberapa spesies yang telah diidentifikasi di ekoregion ini meliputi Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule pinifolia, Haloduel uninervis, dan Thalassia hemprichii (KLH, 2008). Keragaman karang di ekoregion ini mencapai 387 spesies dengan dua spesies karang yang endemik. Salah satu keunikan ekoregion ini adalah Teluk Sarabua (Siberut), sebuah teluk yang masuk jauh ke daratan dengan kumpulan karang yang unik dan memiliki habitat terbaik fauna Samudera Hindia yang ada di Indonesia (Wallace et al., 2001). Teluk Sarabua (Siberut) merupakan salah satu tempat bagi enam jenis penyu bertelur di ekoregion laut ini. Namun demikian, perilaku migrasi penyu setelah bertelur masih belum banyak diketahui. Pulau Weh dan pantai di dekat ujung Sumatera bagian utara merupakan tempat mencari makan Penyu Sisik yang bermigrasi dari Thailand. Oleh karena itu, diperlukan lebih banyak data untuk memastikan perilaku penyu di wilayah ini. Beberapa lokasi lainnya juga berpotensi sebagai lokasi tempat penyu bertelur seperti Pulau Banyak, Bengkaru, dan Simelue. Ironisnya, pengambilan telur penyu masih ekstensif dilakukan di daerah ini untuk mendukung penjualan lokal di Padang (Putra, 2005). Sekitar 85% jenis ikan karang yang ditemukan di Pulau Weh merupakan jenis yang sama dengan yang terdapat di Kepulauan Maladewa di tengah Samudera Hindia (Huffard et al., 2012). Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera nampaknya juga menjadi koridor migrasi untuk spesies paus besar dan secara keseluruhan berfungsi sebagai habitat penting bagi lumba-‐lumba dan paus oseanik. Terdamparnya Paus Biru memastikan keberadaan jenis ini di Sumatera bagian Barat, selain terdapat kemungkinan Paus sperma dan jenis lainnya juga melimpah di ekoregion ini (Salm dan Halim, 1984).
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 25
Berdasarkan data IUCN, ekoregion ini memiliki beberapa jenis organisme yang berstatus langka dan terancam punah seperti Megamouth shark atau hiu mulut lebar (Megachasma pelagicos) yang berstatus langka (White et al., 2004), dugong atau duyung (Dugong dugon) berstatus rentan, green turtle atau penyu hijau (Chelonia mydas) berstatus genting – Appendix I, penyu belimbing (Dermochelys coriacea) berstatus kritis, penyu sisik (Eretmochelys imbricata) berstatus kritis, dan buaya muara (Crocodylus porosus) berstatus rentan.
Megamouth shark atau hiu mulut lebar (Megachasma pelagicos) yang berstatus langka (White et al., 2004)
Ekoregion ini juga diperkirakan sebagai koridor aliran genetik (gene flow) yang penting untuk beberapa jenis biota laut Samudera Hindia dengan rentang jauh ke arah timur sampai ke Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Berdasarkan kajian genetik ikan pari, terdapat 6 garis keturunan yang sangat berbeda dari spesies Neotrygon kuhlii, yang dipengaruhi oleh habitat yang terpisah. Dari pohon filogeni, nenek moyang spesies ini cenderung berasal dari Pasifik Barat daripada wilayah segitiga karang (Arlyza and Borsa, 2010). Keberadaan clade yang berbeda dengan jumlah yang tinggi dari famili Tridacnidae (Kima) menunjukkan adanya gen yang tersembunyi dan karenanya kawasan ini merupakan kawasan unik yang perlu dipertimbangkan untuk upaya konservasi di Indonesia (DeBoer et al, 2008). Sumberdaya ikan laut dalam di Samudera Hindia yang terletak di Barat Sumatera dan Selatan Jawa tercatat sebanyak 599 spesies (415 spesies ikan, 68 udang/kepiting, dan 46 spesies cumi-‐ cumi).
26 |ekoregion laut 1
Enam Garis Keturunan dari jenis Neotrygon kuhlii yang dipengaruhi oleh habitat yang terpisah (Arlyza and Borsa, 2010).
Kawasan konservasi yang berada dalam ekoregion ini meliputi areas seluas 1.348.269,89 ha. Terdapat beberapa kawasan konservasi laut yaitu Taman Wisata Alam Laut (TWAL) dan Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD). TWAL merupakan kawasan konservasi laut dengan peringkat V pada IUCN (Protected landscape/seascape), sedangkan KKPD merupakan kawasan konservasi laut dengan peringkat VI pada IUCN (Protected Area area with sustainable use of natural resources). Kawasan konservasi tersebut adalah: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
TWAL Kepulauan Banyak di Kabupaten Singkil, Aceh TWAL Pulau Pieh di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat TWAL Pulau Weh di Kabupaten Kota Sabang, Aceh KKPD Jorongmaligi di Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat KKPD Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat KKPD Kabupaten Nias, Sumatera Utara KKPD Kabupaten Simuelue, Aceh KKPD P. Ujung, P. Tengah, P. Angsa, P. Kasiak, Sumatera Barat KKPD Pulau Penyu, Sumatera Barat KKPD Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
PEMANFAATAN Ekoregion laut 1 berada pada Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 572. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, potensi sumberdaya perikanan antara lain: ikan pelagis besar (164,8 ribu ton/tahun), pelagis kecil (315,9 ribu ton/tahun) dan demersal (68,9 ribu ton/tahun), udang penaid (4,8 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (8,4 ribu ton/tahun), lobster (0,6 ribu ton/tahun) dan cumi-‐cumi (1,7 ribu ton/tahun). Pada ekoregion laut ini, potensi sumberdaya terbarukan non ikan antara lain: (i) mangrove seluas 40.264 ha yang tersebar di sekitar Pulau Simelue, Mentawai, Nias Sipora dan Siberut, (ii) padang lamun seluas 6.290 ha tersebar di Pesisir Barat Aceh, Simelue, Nias, Mentawai, Siberut, (iii) terumbu karang memiliki luas sebesar 32.454 ha yang tersebar di beberapa kawasan ekoregion ini. Menurut Keputusan Menteri KP No. 45/2011 tersebut di atas, saat ini kondisi sumberdaya perikanan di Ekoregion Laut 1 dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Udang sudah over exploited, b. Ikan demersal seperti: 1 kakap merah dan kerapu over exploited 2 Spesies kurisi, kuniran, swanggi, bloso dan gulamah sudah fully exploited, 3 Spesies layur masih moderate, c. Ikan pelagis kecil spesies banyar over exploited d. Ikan pelagis besar:
1 spesies tuna mata besar sudah over exploited 2 Spesies madidihang sudah fully exploited 3 Spesies cakalang masih moderate
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 27
Selain itu, ekoregion ini memiliki potensi perikanan laut dalam seprti hasil ekspedisi baru-‐baru ini di Pulau Enggano, Simeulue, dan bagian barat Aceh. Di sekitar Pulau Enggano atau lokasi S1 ditemukan ikan pari jenis Plesiobatis sp.pada kedalaman 200-‐500 m, sedangkan kedalaman 500-‐750 m terdapat ikan jenis Setarches guentheri dan kedalaman 750-‐1000 m dijumpai ikan pari jenis Hexatrigon longirostra. Potensi udang laut didominasi oleh Aristeus virilis yang hidup pada kedalaman 350-‐970 m. Berbagai jenis ikan ekonomis penting di Pulau Enggano, Pari jenis Plesiobatis sp, Ikan Setarches guentheri, Pari Hexatrigon longirostra, Udang Aristeus virilis (peta: BRKP-‐ OFCF 2005)
28 |ekoregion laut 1
Distribusi perikanan laut dalam di perairan sekitar Pulau Enggano (gambar: BRKP-‐OFCF 2005)
Potensi perikanan laut dalam di selatan Pulau Enggano adalah spesies ikan Caelorinchus divergens di kedalaman 500-‐750 m. Di kedalaman 750-‐1000 m ditemukan spesies Ophidiidae sp.. Untuk udang jenis Heterocarpus sp. terdapat di kedalaman 260-‐950 m.
Distribusi perikanan laut dalam di Selatan Pulau Enggano (gambar: BRKP-‐ OFCF 2006)
Ikan Caelorinchus divergens
Ikan Ophidiidae sp.
Udang Heterocarpus sp.
Potensi perikanan laut dalam di Selatan Pulau Enggano atau perairan S2 (fotor: BRKP-‐OFCF 2005)
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 29
Potensi ikan laut dalam di sekitar Barat Laut Simeulue didominasi oleh jenis ikan Ostracoberyx dorygenis yang berada di kedalaman 200-‐500 m. Jenis udang didominasi oleh Aristeus virilis yang hidup pada kedalaman 350-‐ 970 m.
Distribusi perikanan laut dalam di sekitar Barat Simeulue (gambar: BRKP-‐OFCF 2005)
Jenis ikan Ostracoberyx dorygenis di sekitar Barat Simeulue (foto: BRKP-‐OFCF 2005) Potensi laut dalam di Barat Banda Aceh didominasi oleh jenis ikan Hoplostethus rubellopterus pada kedalaman 500-‐1000 m. Jenis udang didominasi oleh Aristeus virilis yang hidup pada kedalaman 350-‐970 m.
30 |ekoregion laut 1
Distribusi perikanan laut dalam di sekitar Barat Banda Aceh atau perairan S 5 ( gambar: BRKP-‐OFCF 2005)
Salah satu jenis ikan Hoplostethus rubellopterus di sekitar Barat Banda Aceh (foto: BRKP-‐OFCF 2005)
Potensi pemanfaatan lain di ekoregion laut 1 antara lain: a. b.
Potensi sumberdaya tidak terbarukan atau sumberdaya mineral yaitu migas di Pantai Timur Aceh, Bengkulu, endapan placer emas dan endapan placer pasir besi, BMKT di Pantai Timur Aceh, Bengkulu Potensi jasa lingkungan berupa wisata bahari di Pulau Weh, Pulau Simelue, Pulau Nias, dan Pulau Mentawai.
KERAWANAN BENCANA Pada umumnya pesisir barat Sumatera yang menghadap Samudera Hindia memiliki potensi tumbukan lempeng di sepanjang zona subduksi. Akibat adanya pertemuan Lempeng Samudera Hindia dengan Lempeng Eurasia mengakibatkan kerentanan yang tinggi terhadap gempa dan tsunami. Pantai utara Pulau Sumatera merupakan daerah yang sangat rawan terhadap tsunami karena adanya sesar aktif. Aktivitas tektonik perpanjangan zona subduksi barat Sumatera ke arah Laut Andaman dapat pula menjadi pembangkit gempa tektonik yang besar. Hal ini dapat menimbulkan tsunami di pantai Utara Pulau Sumatera. Kejadian tsunami besar yang melanda Banda Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 tidak terlepas dari kondisi geologi wilayah ini.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 31
Peta kerentanan bencana tsunami
Budiono et al. (2003) memetakan bahwa pada ekoregion ini termasuk pada kelas kerentanan tsunami tinggi. Kriteria pantai rawan tsunami dengan resiko tinggi adalah daerah yang pernah terjadi tsunami dan mencapai daratan, dengan tinggi gelombang berdiri lebih dari 6 meter serta menimbulkan kerusakan dan korban jiwa, memiliki morfologi pantai landai, berteluk, sempit, pantai halus tersusun dari endapan aluvial pantai berukuran sedang dan tidak terdapat vegetasi pelindung. Letak episentrum gempa bumi dekat dengan pantai, mekanisme patahan normal atau naik.
PENCEMARAN Ekoregion Laut 1 merupakan wilayah laut yang berpotensi untuk menerima pencemaran yang berasal dari kegiatan rumah tangga, pelabuhan, transportasi, pertanian/perkebunan dan industri melalui limpasan air DAS yang bermuara ke kawasan ini. Berdasarkan kegiatan tersebut, maka bahan pencemar yang mungkin mencemari kawasan ini adalah bahan organik dan bahan anorganik. Wilayah laut ini dapat memiliki nilai BOD dan COD yang tinggi, mengalami blooming plankton dan menjadi sumber karbon yang akan menyumbang gas rumah kaca (GRK). Berdasarkan kegiatan yang ada, maka jenis bahan anorganik dan organic yang dapat mencemari wilayah ini antara lain adalah bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti logam berat, persistent organic pollutants (POPs), poly aromatic hydrocarbon (PAH), Tributyltin (TBT), pestisida, dan sebagainya. Konsentrasi B3 yang ada di lokasi ini berpotensi untuk mengkontaminasi mahluk hidup yang ada di dalamnya, sehingga dapat menghasilkan sumberdaya perikanan yang tidak aman untuk dikonsumsi, bahkan dapat berpotensi untuk menurunkan populasi dan menurunkan keanekaragaman hayati. Sumber utama pencemar pada ekoregion laut 1 diduga berasal dari 2 (dua) teluk utama, yaitu Teluk Bayur dan Teluk Bungus. Di kawasan pantai ke dua teluk ini terdapat banyak kegiatan antropogenik yang berpotensi untuk menghasilkan bahan pencemar dalam jumlah yang tinggi yakni kegiatan pelabuhan dan berbagai aktivitas
32 |ekoregion laut 1
industri seperti tanker, perkapalan dan kontainer yang mengangkut batubara, semen dan minyak. Wilayah Teluk Bayur dan sekitarnya telah dilaporkan terjadi imposex pada Neogastropoda (Thais sp.) sebagai akibat terjadinya kontaminasi TBT yang berasal dari cat pelapis kapal (Riani et al., 1994). Selain itu, berbagai sungai telah secara signifikan menyumbang bahan organik dan anorganik ke perairan ini (Indrajati et al., 2007). Studi dari Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri menunjukkan adanya penurunan kualitas perairan pantai, diantaranya parameter TSS (Total Suspended Solids) telah melampaui nilai ambang baku mutu air laut (Indrajati et., 2007). Demikian juga, sebagian besar sungai yang bermuara ke pantai Kota Padang telah mengalami penurunan kualitas, seperti nilai TSS dan TDS (Total Dissolved Solids) melebihi 1000 ppm. Di muara Sungai Batang Kandis nilai parameter ini mencapai 5400 ppm pada tahun 2002 (Bapedalda Kota Padang 2003 dalam Indrajati et al., 2007). Nilai tersebut jauh dari nilai baku mutu air (1000 ppm). Masuknya unsur hara ke Teluk Bayur, khususnya pada musim penghujan, juga menyumbang nutrient dalam jumlah banyak, sehingga mengakibatkan tingginya kelimpahan fitoplankton.
Jalur pelayaran yang mengangkut minyak mentah ke Asia Timur (gambar: modifikasi dari Alino dan Gomez, 2001).
Sejumlah dinoflagelata ditemukan di kedua teluk tersebut, seperti Ceratium furca, C. focus, C. macroceros, C. massilensis, C. tripos, Dinophysis miles dan Protoperinidium conicum. Tingginya nutrien yang berasal dari kegiatan antropogenik tersebut juga berpotensi memunculkan terjadinya blooming plankton. Sumber pencemaran ekoregion ini juga dapat berasal dari kegiatan sekitar pantai di Aceh dan perairan Pulau Weh. Perairan di sekitar Pulau Weh (Kota Sabang) merupakan bagian dari pelayaran internasional karena letaknya yang strategis di ujung barat Selat Malaka. Kapal angkut penumpang dan barang khususnya kapal peti kemas dan kapal tanker raksasa jenis Very Large Crude Carrier (VLCC) dengan bobot mati 200.000 – 319.999 DWT dan Ultra Large Crude Carrier (ULCC) dengan bobot mati di atas 320.000 DWT melayari perairan ini setiap hari, dengan frekuensi lebih dari 250 kapal melintas setiap harinya dan lebih dari 25 kapal diantaranya adalah kapal-‐kapal tanker raksasa tersebut (Edyanto, 2008). Selain itu, wilayah ini juga merupakan jalur pelayaran tanker minyak disamping yang utama adalah Selat Malaka dan Laut China Selatan (Alino dan Gomez, 2001). Ekoregion ini juga mempunyai potensi dicemari oleh tumpahan minyak dari aktivitas kegiatan pelayaran tersebut (Morton dan Blackmore 2001), dan berpotensi untuk tercemar oleh logam berat, PAH dan POPs dalam jumlah yang juga tinggi.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 33
Alur utama pergerakan tanker minyak di Laut China Selatan dan Samudera Hindia (lebar panah menggambarkan perkiraan volume relatif) dan distribusi pencemaran minyak (lingkaran terisi menunjukkan sedikit pencemaran dan sebaliknya relatif banyak ditunjukkan oleh lingkaran kosong) (Morton dan Blackmore, 2001).
34 |ekoregion laut 1
Pantai Pelabuhan ratu (foto : Youniar Hufan-BIG)
L-3S
LAUT CINA SELATAN M A
EL-4
Y S
M AL
A
AT
L
EL
I
AK A
A
M
ATERA UTARA
A
L
A
Y
S
I A
KALIMANTA RIAU
KEPULAUAN-RIAU KALIMANTAN BARAT
SEL R KA AT
KALI MAN TAN KALIMANTAN TENGAH
ATA
JAMBI
IM
EL-5
SUMATERA BARAT
S U MATE RA BANGKA-BELITUNG
KALIMANTAN SEL BENGKULU
SUMATERA SELATAN
EL-1
EL-6
LAMPUNG
LAUT JAWA
DKI JAKARTA BANTEN JAWA BARAT JAWA TENGAH
JAWA
DIY
EL-2
S A M U D E R A H I N D I A
± 0
125
250
500 Km
JAWA TIMUR BALI
N
Ekoregion Laut 2
Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa Ekoregion Laut 2 meliputi Samudera Hindia di sebelah Selatan pada sebagian kecil Pulau Sumatera dan seluruh 2 bagian Pulau jawa. Ekoregion ini memiliki luas 655.549 km . Ciri khas ekoregion ini adalah memiliki sirkulasi arus dan massa air yang terbentuk oleh kondisi batimetri yang kontras, yakni oleh palung bernama Java Trench yang terhubung dengan Samudra Hindia bagian Tenggara. Ekoregion ini mendapatkan ekstensi fenomena unik dari pesisir Barat Sumatera berupa propagasi Wyrtki Jet dan Coastally Trapped Kelvin Waves. Kondisi memungkinkan terjadinya upwelling dan downwelling pada kawasan ini. Fenomena upwelling dibangkitkan oleh Monsun Timur pada saat angin Tenggara bergerak sejajar dengan Pantai Selatan Jawa. Perairan sekitar Banyuwangi adalah lokasi awal terbentuknya pusat upwelling sebelum kemudian propagasi zona upwelling meluas ke arah barat hingga menyusur Barat Sumatra. Pada monsun peralihan (Maret-‐Mei dan September-‐November), Coastally Trapped Downwelling Kelvin Waves menyusuri pesisir Barat Sumatra menuju ke Tenggara kemudian menyusuri pantai Selatan Jawa dan Nusa Tenggara. Ekoregion Laut 2 berbatasan dengan 3 ekoregion lain yaitu: a. Laut Jawa karena perbedaan batimetri. Ekoregion Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa berada pada kedalaman lebih dari 200 m, sedangkan ekoregion Laut Jawa berada pada bagian Paparan Sunda dengan kedalaman kurang dari 200 m, b. Perairan Bali dan Nusa Tenggara karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang dan pola temperatur permukaan, c. Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera karena perbedaan keanekaragaman hayati karang dan pola temperatur dan salinitas perairan.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 37
GEOLOGI DAN MORFOLOGI Ekoregion Laut 2 terbentuk sekitar 54 juta tahun silam (Hall, 2001). Morfologi dasar laut untuk ekoregion 2 terdiri paparan benua (continental shelf), lereng benua (continental slope), dan pematang samudera (sub marine ridge), dengan kedalaman sampai dengan 7.235 m. Ekoregion Laut 2 merupakan bagian dari Paparan Sunda. Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Suyono, 2009), hampir seluruh kawasan ini o o memiliki kemiringan yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-‐3 ), kelas lereng agak terjal (3-‐10 ), kelas lereng o o terjal (10-‐20 ), dan kelas lereng curam (>20 ). Berdasarkan peta toponimi dasar laut (Sulistyo dan Suyono, 2009), kawasan ini memiliki empat cekungan yaitu Cekungan Enggano, Cekungan Bengkulu, Cekungan Nusakambangan, dan Cekungan Nusabarong. Arus yang dibangkitkan oleh angin pada Monsun Barat di perairan pantai selatan Jawa bergerak ke arah timur. Sementara di lepas pantai selatan Jawa arus bergerak ke barat. Arus yang bergerak ke arah barat ini adalah arus ekuator selatan yang permanen sepanjang tahun. Saat Monsun Timur dan Musim Peralihan II, angin yang bertiup dari tenggara membangkitkan pergerakan arus menuju ke arah barat. Arus di sekitar pantai bergerak dengan arah menyusur pantai, sementara arus di lepas pantai bergerak ke arah barat daya. Tipe pasang surut di ekoregion ini bertipe campuran cenderung semidiurnal (Wyrtki, 1961). Pembentukan pusat upwelling terjadi pertama kali pada sekitar Juni di Selatan Jawa kemudian meluas areanya hingga mencapai Barat Sumatera pada Agustus (Susanto et al., 2001). Variasi komponen fisik di rentangan rerata tahunan dari massa air laut pada ekoregion terdiri dari suhu air laut (27 – 29°C); salinitas (32 -‐34 PSU); konsentrasi oksigen terlarut (4,0 – 4,7 ml/liter); dan pH (8,0 – 8,75) (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009). Kondisi sebaran nutrien di ekoregion ini adalah konsentrasi fosfat (0,25 – 0,35 µmol/liter), konsentrasi silikat (2,5 – 12,5 µmol/liter), konsentrasi nitrat (0,5 – 5,0 µmol/liter), dan klorofil (0,25 – 0,50 µgram/liter) (Baumgart et al., 2005; Boyer et al. 2009).
KEANEKARAGAMAN HAYATI Karakteristik utama Ekoregion Laut 2 adalah adanya keanekaragaman hayati ikan endemik di Samudera Hindia yang teradaptasi oleh kondisi geografi yang khas. Pantai Selatan Jawa merupakan tempat peneluran empat spesies penyu dari enam spesies yang ditemukan di Indonesia. Perairan di sekitar Selat Bali yang berdekatan dengan Alas Purwo juga merupakan habitat ikan pelagis penting yang menunjang salah satu kegiatan perikanan lemuru (Sardinella lemuru) yang paling produktif di Indonesia. Mangrove di Segara Anakan (Cilacap) merupakan satu-‐satunya hutan mangrove yang terluas di selatan Pulau Jawa yang masih tersisa. Kawasan Segara Anakan merupakan tempat persinggahan penting untuk burung-‐ burung yang bermigrasi (Putra, 2005). Mangrove ini kaya dengan keragaman jenis burung. Beberapa burung air pesisir merupakan jenis langka dan terancam punah, termasuk bangau bluwok (Mycteria cinerea) dan bangau tongtong (Leptoptilos javanicus) (Huffard et al., 2012). Komunitas karang di sebagian besar pantai di selatan Jawa dan selatan Sumatera mengalami hambatan pertumbuhan. Tingginya terpaan gelombang besar oseanik dan upwelling di sekitar Samudera Hindia menjadi faktor penghambat pertumbuhan
38 |ekoregion laut 2
karang di ekoregion ini. Di beberapa lokasi terdapat terumbu karang dengan tutupan rendah meskipun tidak mendapat gangguan manusia (Adrim, 2007). Hal ini sebenarnya tidak menjadi masalah, karena kondisi penutupan karang rendah belum tentu tidak sehat. Penutupan karang hidup rendah disebabkan oleh kondisi alami di suatu perairan tetap dikatakan sehat (Zamani dan Madduppa, 2011). Komunitas ikan karang di perairan Pulau Enggano memperlihatkan keragaman ikan indikator yang tinggi mencapai 30 spesies. Dari 30 spesies tersebut, tiga spesies merupakan spesies endemik yaitu Chaetodon guttatissimus, C. triangulum,dan C. falcula (Adrim 2007) .
Ikan endemik di Perairan Pulau Enggano: Chaetodon triangulum (kiri), C. f alcula (tengah) dan C. guttatissimus (kanan) (Masuda dan Allen, 1987; A llen, 2012)
Fam. MASTIGOTEUTHIDAE Mastigoteuthis cordiformis Depth 710 m ; ML 45 cm ; W 4.05 kg
Beberapa jenis sumberdaya perikanan laut dalam di perairan Samudera Hindia selatan Jawa. (foto: Suman, 2012)
CHAUNALIDAE Chaunax abei depth 500 m
PENAEIDAE Plesiopenaeus edwardsianus depth 814 m W 117gr CL 77.4 mm
Pantai Selatan Jawa merupakan tempat peneluran penyu yang luas. Jenis penyu yang biasa bertelur di tempat ini adalah penyu sisik, penyu hijau, penyu lekang, dan penyu belimbing. Penyu tersebut bertelur mulai dari Pangumbahan (Sukabumi), Sumamade (Meru Betiri) sampai di Alas Purwo (Banyuwangi). Ujung kawasan Plengkung di wilayah Alas Purwo merupakan tempat mencari makan bagi penyu belimbing pasifik saat ubur-‐ubur sedang melimpah. Data terakhir menunjukkan bahwa penyu hijau yang telah bertelur dari Taman Nasional Alas Purwo juga bermigrasi menyeberangi Samudera Hindia menuju pantai barat Australia. Perairan dalam di atas Mintakat abbysal yang berada pada tepi paparan benua potensial untuk pengembangan perikanan laut dalam. Keragaman yang tinggi dari beberapa spesies biota laut dalam (ikan, krustasea dan cumi) berpotensi sebagai sumber makanan laut sehat.
Dalam penelitian Borsa et al., (2012) menyebutkan perbedaan genetik ikan pari antara dua sub-‐spesies diduga kuat diantara tiga spesies yang diteliti. Salah satunya adalah spesies Neotrygon kuhlii yang menunjukkan pola peningkatan perbedaan genetik sejalan dengan peningkatan jarak wilayah pemisahnya. Selain itu, populasi ikan pari yang terpisah dengan jarak sejauh 3000 km berbeda secara genetik berdasarkan persamaan Weir and Cockerham’s (1984) θ ~ 0.375. Pada ekoregion ini terdapat tiga jenis kawasan konservasi, yaitu Cagar Alam Laut (CAL), Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD), dan Suaka Margasatwa Laut (SML). CAL termasuk kedalam peringkat IA/IB (Strict
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 39
Nature Reserve/Wilderness protection area), sedangkan SML termasuk kedalam peringkat IV (Habitat/Spesies Management Area). Kawasan konservasi tersebut adalah: 1.
CAL LeuwengSancang, Jawa Barat
2.
CAL PananjungPangandaran, Jawa Barat
3.
KKPD Ciamis,Jawa Barat
4.
KabupatenKaur, Bengkulu.
5.
Kabupaten Lampung Barat, Lampung
6.
Pangumbahan, KabupatenSukabumi, Jawa Barat
7.
SML Sindangkerta, Tasikmalaya, Jawa Barat
PEMANFAATAN Ekoregion laut 2 memiliki potensi perikanan laut dalam dan sumberdaya terbarukan non ikan seperti (i) mangrove seluas 14.933 ha, (ii) padang lamun seluas 5.855 ha yang tersebar di pesisir selatan Banten, Jabar dan Jatim, (iii) terumbu karang seluas 5.045 ha. Ekoregion laut 2 dan 9 berada pada WPP 573. Potensi sumberdaya perikanan di ekoregion laut ini antara lain ikan pelagis besar (201.400 ton/tahun), pelagis kecil (210.600 ton/tahun), demersal (66.200 ton/tahun), udang penaid (5.900 ton/tahun), ikan karang konsumsi (4.500 ton/tahun), lobster (1.000 ton/tahun) dan cumi-‐cumi (2.100 ton/tahun). Menurut Keputusan Menteri KP No. 45/2011, kondisi sumberdaya perikanan di ekoregion laut 2 yang sudah mengalami over exploited adalah udang, ikan pelagis kecil seperti lemuru (Sardinella lemuru), ikan pelagis besar seperti tuna mata besar (Thunnus obesus) dan tuna sirip biru (Thunnus maccoyii). Spesies ikan demersal seperti kerapu merah (Lutjanus malabaricus dan L. erythropteru) dan kuwe (Caranx sexfasciatus), serta ikan pelagis besar seperti madidihang (Thunnus albacares) dan albakora (Thunnus alalunga) sudah fully exploited. Kategori pemanfaatan moderate pada jenis ikan demersal seperti layur (Trichiurus lepturus), ikan pelagis kecil seperti layang (Decapterus kuroides), cumi-‐cumi, dan ikan pelagis besar seperti cakalang (Katsuwonus pelamis) masih moderate. Potensi perikanan laut dalam di lokasi Selatan Jawa didominasi ikan pari (Plesiobatis sp.) pada kedalaman 200-‐ 500 m. Spesies udang yang ditemukan adalah Heterocarpus sp. yang terdapat pada kedalaman 260-‐950 m.
40 |ekoregion laut 2
Distribusi perikanan laut dalam di perairan sekitar Luat Jawa Selatan atau J2 ( gambar: BRKP-‐OFCF 2005) Potensi sumberdaya tidak terbarukan atau sumberdaya mineral yang terdapat di ekoregion laut 2 berupa satu lokasi cekungan sedimen sudah dibor, satu lokasi mengandung thorium, satu lokasi area potensial distibusi endapan iron titanifferous, dan dua lokasi area potensial distibusi endapan placer emas. Potensi lainnya adalah air mineral laut dalam (deep sea water) yang terdapat di Pelabuhan Ratu dan digunakan untuk air minum melalui proses destilasi. Kawasan ini juga memiliki potensi jasa lingkungan berupa wisata bahari di Pantai Pangandaran dan Pantai Parang Teritis.
KERAWANAN BENCANA Berdasarkan aspek geologi, wilayah ini merupakan zona subduksi lempeng tektonik, sehingga rawan terhadap bencana gempa dan tsunami. Pada pesisir Pulau Sumatera dan Pantai Jawa bagian Barat yang berbatasan dengan Selat Sunda memiliki tingkat kerentanan yang tinggi terhadap tsunami. Hal ini disebabkan pantai tersebut memiliki kriteria terbuka dan berhadapan langsung dengan sumber gempa. Sepanjang Pantai Selatan Pulau Jawa dikategorikan memiliki kerentanan sedang terhadap tsunami. Pantai rawan tsunami dengan resiko sedang memiliki kriteria pernah terjadi tsunami dan mencapai daratan, dengan tinggi gelombang berdiri lebih dari 2-‐6 m serta menimbulkan kerusakan dan korban jiwa, memiliki morfologi pantai memanjang tanpa lekukan dan tingkat kekasaran pantai sedang. Letak episentrum gempa bumi agak jauh dengan pantai, mekanisme patahan normal atau naik (Budiono et al., 2003). Beberapa lokasi di sepanjang Pantai Selatan Jawa memiliki tipe pantai yang bertebing. Berdasarkan Peta Rawan Tsunami (Sulistyo dan Suyono, 2009), daerah rawan tsunami terdapat di pantai selatan Pulau Jawa, terutama pantai perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kondisi ini seperti pada daerah yang bermorfologi teluk antara lain di Teluk Pangandaran Jawa Barat, Teluk Penyu dan Segara Anakan di Cilacap, Jawa Tengah. Dampak tsunami paling besar terjadi di Segara Anakan karena memiliki relief yang datar pada morfologi dataran aluvial yang luas. Keberadaan Pulau Nusakambangan secara geografis menguntungkan Kota Cilacap karena menjadi barrier utama terhadap gelombang tinggi tsunami. Teluk Penyu ke arah timur juga memiliki kerawanan yang cukup tinggi karena topografi wilayahnya. Semakin ke arah timur hingga kerawanan
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 41
menurun karena adanya morfologi beting pantai tidak aktif atau inactive beach rigde di sepanjang pantainya hingga di perbatasan antara Jawa Tengah dan Daerah Istimiwa Yogyakarta (DIY) bagian barat. Pantai selatan DIY memiliki kerawanan tsunami cukup tinggi pada pantainya sehingga daerah belakang pantai yang bermorfologi swale. Pantai Selatan Jawa bagian timur yang rawan terhadap tsunami terutama pada teluk-‐teluk yang pantainya merupakan pocket beach dengan latar belakang berupa perbukitan berlereng terjal hingga curam. Pantai Pengambengan di bagian Selatan Jawa Timur dengan bentuk lahan berupa fluviovolcanic plain dan relief miring merupakan daerah yang rawan tsunami. Begitu pula yang terjadi di daerah ujung selatan paling timur pantai Jawa Timur yang memiliki lereng datar hingga miring rawan terhadap dampak tsunami.
PENCEMARAN Ekoregion Laut 2 merupakan wilayah laut yang berpotensi untuk menerima pencemaran yang berasal dari limpasan air yang berasal dari kegiatan di darat seperti pertanian, rumah tangga dan industri. Oleh karena itu kawasan ini berpotensi untuk tercemar oleh limbah yang mengandung bahan organik, bahan anorganik dan B3. Bahan tercemar ini masuk melalui limpasan beberapa sungai yang bermuara ke wilayah ini. Wilayah laut ini berpotensi untuk memiliki nilai BOD dan COD yang tinggi, yang pada akhirnya juga berpotensi untuk mengalami blooming plankton dan berpotensi untuk menjadi source carbon yang akan menyumbang GRK. Hal ini sesuai dengan hasil pemantauan parameter kualitas air terutama ditinjau dari kandungan bahan organiknya yang memperlihatkan nilai BOD, COD, DO dan TSS di beberapa DAS yang berada di atas ambang batas, baik menurut Kriteria Mutu Air (KMA) kelas I maupun II (KLH, 2009a). Sebagai contoh, Sungai Progo, Sungai Opak dan Sungai Serang yang bermuara pada laut di daerah Bantul dan Kulon Progo, serta Sungai Cintandui yang bermuara di Segara Anakan Cilacap miliki status tercemar berat (KLH, 2009a). Selain itu, perairan Segara Anakan yang terhubung dengan ekoregion ini juga telah terdeteksi mengandung berbagai bahan organik yang berasal dari kegiatan anthropogenik seperti rumah tangga, pertanian, akuakultur, industri dan perkapalan (Sudaryanto, 2001; Dsikowitzky et al., 2011). Lebih dari 50 jenis bahan organik antroropogenik ditemukan di berbagai macam sampel seperti air, sedimen dan terakumulasi pada organisme bentos dan ikan demersal yakni ikan yang hidup di dasar perairan (Dsikowitzky et al., 2011). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Riani et al. (2013, belum dipublikasikan) yang memperlihatkan adanya akumulasi logam berat pada organisme benthos. Di wilayah ini juga berpotensi untuk tercemar B3 jenis lain seperti POPs, PAH, dan pestisida. Limbah B3 yang masuk ke wilayah ini berpotensi untuk mengkontaminasi mahluk hidup yang ada di dalamnya, sehingga dapat menghasilkan sumberdaya perairan yang tidak aman untuk dikonsumsi, dapat menurunkan populasi, bahkan mengganggu kelestarian mahluk hidup yang ada di dalamnya. Kawasan ekoregion ini juga berpotensi dicemari oleh tumpahan minyak dari lalu lintas perkapalan (Morton dan Blackmore, 2001), terutama kapal tanker yang membawa minyak mentah ke industri Pengolahan Minyak Pertamina di Cilacap. Kondisi ini berpotensi untuk tercemari oleh logam berat, PAH dan POPs yang berasal baik dari ceceran maupun dari tumpahan minyak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dsikowitzky et al. (2011) di perairan Segara Anakan, terutama di Sungai Donan yang menunjukkan adanya dominasi bahan organik polisiklik aromatik hidrokarbon (PAHs), khususnya alkylated PAHs yang biasa terdapat di minyak mentah. Penelitian Riani et al. (2013 belum dipublikasikan) di Sungai Donan juga menunjukkan bahwa Sungai Donan juga telah tercemar oleh logam berat Hg, Pb dan Cd.
42 |ekoregion laut 2
Nelayan Tanjung Pinang Kep Riau (foto : Handoko)
T
±
H A I L A N
0
75
150
300 Km
D
M
NGGROE H DARUSSALAM
A
EL-3
L A Y S
EL-4
I A
SUMATERA UTARA
RIAU
KEPULAUAN-RIAU
S U MAT E RA S
EL-1
EL-5
A
SUMATERA BARAT
M U
JAMBI
D E R A
B
H I N
BENGKULU
SUMATERA SELATAN
D I A
Ekoregion Laut 3
Selat Malaka
Ekoregion Laut 3 meliputi perairan laut di sebelah Timur Pulau Sumatera. Ekoregion ini memiliki luas 111.343 2 km . Ciri khas ekoregion ini adalah laut dangkal yang lebih bersifat sebagai pesisir karena sangat dipengaruhi oleh sifat daratan, yakni oleh banyaknya sungai yang bermuara di ekoregion tersebut. Massa air dari sungai-‐ sungai di pesisir tersebut membawa nutrien, sedimen, salinitas rendah ataupun massa air dengan pH rendah yang berasal dari sungai lahan gambut. Kondisi fisik tersebut menyebabkan ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang di ekoregion ini dapat hidup dengan baik dan memiliki keanekaragaman hayati unik tertentu. Ekoregion Laut 3 berbatasan dengan 3 ekoregion lain yaitu: a. Laut Natuna karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang, b. Selat Karimata karena perbedaan sistem pasang surut. Ekoregion Selat Malaka memiliki sistem pasang surut semi diurnal sedangkan ekoregion Selat Karimata memiliki sistem pasang surut diurnal (Wyrtki, 1961), c. Samudera Hindia karena perbedaan batimetri. Selat Malaka merupakan bagian dari Paparan Sunda dengan kedalaman <200 m sedangkan Samudera Hindia Sebelah Barat Sumatera memiliki rata-‐rata kedalaman >200 m.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia |45
GEOLOGI DAN MORFOLOGI Secara geologi, ekoregion Laut 3 terbentuk sebelum 54 juta tahun silam (Hall, 2001). Morfologi dasar laut kawasan ini adalah paparan benua (continental shelf) dengan kedalaman sampai 258 m. Ekoregion Laut 3 merupakan bagian dari Paparan Sunda. Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), seluruh ekoregion laut ini memiliki o dominasi kemiringan kelas lereng miring (1-‐3 ) walaupun ada sebagian pesisir yang memiliki kelas lereng datar – o agak miring (0-‐1 ).
OSEANOGRAFI Pengaruh Monsun dari Asia sangat kental mewarnai ekoregion ini. Pada saat Angin Monsun Barat, angin dari arah Laut China Selatan berbelok ke arah tenggara membawa banyak hujan yang terjadi antara Bulan Desember hingga Januari. Hal ini mengakibatkan banyak volume air sungai yang bersalinitas rendah masuk ke ekoregion ini. Kondisi sebaliknya terjadi pada saat Angin Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Mustikasari et al., 2010). Tipe pasang surut di ekoregion ini sebagian besar bertipe semidiurnal. Hal ini sebagai pengaruh dari Teluk Benggala yakni di bagian utara selat hingga sebelum wilayah perairan Kepulauan Riau yang memiliki tipe campuran cenderung semidiurnal. Tipe campuran tersebut dimungkinkan terjadi di wilayah tersebut adalah persimpangan perbedaan tekanan muka laut dari arah Teluk Benggala, Selat Karimata dan Laut China Selatan yang melalui Laut Natuna. Sirkulasi arus di ekoregion ini secara umum lebih dipengaruhi oleh pasang surut. Arus terkuat terjadi pada saat menuju surut, dengan polanya yang sama dengan pada saat air surut terendah, sirkulasi masuk ke ekoregion ini sebagian besar berasal dari arah Teluk Benggala dan sebagian lagi dari arah Kepulauan Riau. Pada saat menuju pasang dan saat air pasang tertinggi, arus sebagian bergerak dari Selat Malaka menuju ke Teluk Benggala dan sebagian lagi bergerak ke arah Kepulauan Riau (Wyrtki, 1961; Pranowo dan Husrin, 2003; Mustikasari et al., 2010). Variasi komponen fisik di rentangan rerata tahunan dari massa air laut pada lapisan permukaan di ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Pranowo dan Husrin, 2003; Boyer et al., 2009) adalah suhu air laut (29,0 – 29,5°C), salinitas (30-‐ 32 PSU), konsentrasi oksigen terlarut (4,2 – 4,5 ml/liter), dan pH (6,5 – 8,5). Kondisi sebaran nutrien di ekoregion ini adalah konsentrasi fosfat (0,35 – 0,85 µmol/liter), konsentrasi silikat (2,5 – 25,0 µmol/liter), konsentrasi nitrat (2 – 10 µmol/liter), dan klorofil (0,05 – 0,50 µgram/liter) (Boyer et al. 2009). Salah satu wilayah yang unik di ekoregion ini adalah wilayah perairan Bintan sebagai tempat pariwisata memancing ikan di laut bagi turis terutama dari Malaysia dan Singapura hampir sepanjang tahun. Menurut Pranowo dan Husrin (2003), pola arus pasang surut secara umum menunjukkan bahwa arus di sebelah Selatan dari Perairan Bintan Timur lebih dinamis dibanding arus di sebelah Utara.
KEANEKARAGAMAN HAYATI Karakteristik utama Ekoregion Laut 3 adalah sebagai koridor konektivitas ekosistem dari Laut Andaman ke Laut Natuna/Laut Cina Selatan. Koridor ini memiliki habitat unik dan merupakan koridor potensial untuk penyebaran larva perairan pedalaman Indonesia dan Samudera Hindia bagian timur.
46 |ekoregion laut 3
Rawa payau dataran rendah di pantai timur Sumatera ditumbuhi oleh mangrove yang cukup lebat. Salah satu wilayah mangrove dan rawa payau yang penting berada di Taman Nasional Sembilang, Sumatera Selatan dengan luas sekitar 200.000 hektar, yang telah dikukuhkan sejak tahun 2003. Berbagai produk dari bakau yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat antara lain untuk bahan bangunan (Rhizopora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza), arang (Sonneratia sp., Avicennia sp.), bahan pembuatan kapal (Avicennia sp., Sonneratia sp), produk makanan dan minuman jus/sirup (Avicennia sp., Sonneratia sp.), dan madu. Fungsi tersebut termasuk sebagai plasma nutfah alami untuk obat-‐obatan, pelindung pesisir dari erosi gelombang dan intrusi air laut, serta penghasil ikan, udang dan kepiting. Di pantai timur dan utara Pulau Bintan ditemukan padang lamun yang luas (2.600 ha) dengan kerapatan dan keragaman spesies yang tinggi. Dari 13 spesies lamun di Indonesia, 10 spesies ditemukan di pesisir timur Pulau Bintan. Spesies lamun tersebut adalah Cymodocea rotundata, C. serrulata, Enhalus acoroides, Halophila spinulosa, Halophila ovalis, Halodule pinifolia, Syringodium isoetifolium, Thalassodendron ciliatum,dan Thalassia hemprichii. Spesies Thallassodendron ciliatum yang biasanya didapatkan di perairan timur Indonesia mempunyai tingkat pertumbuhan yang cukup bagus di ekoregion ini. Gambar di bawah memperlihatkan berbagai spesies lamun di pesisir timur Pulau Bintan. Selain pertumbuhannya yang cukup baik, padang lamun di Bintan ini dihuni oleh biota asosiasi yang cukup beragam dan menjadi salah satu daerah perikanan tradisional yang cukup produktif (Wothuyzen et al., 2008).
Pertumbuhan berbagai spesies lamun di padang lamun pesisir timur P. Bintan. (foto: Trismades)
Biota asosiasi padang lamun di Pesisir timur Pulau Bintan . (foto: Trismades)
deskripsi peta ekoregion laut indonesia |47
Padang lamun di Bintan ini, terutama di Desa Berakit dan Pengudang, juga menjadi habitat duyung (Dugong dugon). Beberapa kali binatang langka ini terperangkap di alat tangkap sero (kelong darat) penduduk (Wothuyzen et al., 2008).
Duyung di padang lamun Desa Berakit dan Pengudang, Pulau Bintan. (foto: Trismades) Sedimentasi sangat mempengaruhi sebagian besar habitat terumbu karang di kawasan ini, karena banyak sungai-‐sungai besar yang masuk ke Selat Malaka. Terumbu karang memiliki keragaman jenis yang relatif rendah, kecuali di beberapa lokasi seperti Batam, Bintan, Senayang dan Lingga. Persentase tutupan karang di Batam mencapai 60%, Bintan 55%, dan Senayang Lingga 62% (Sulistyo dan Triyono, 2009). Ekoregion ini diduga menjadi koridor migrasi dangkal yang penting untuk Cetacea (Putra, 2005), serta bagi beberapa vertebrata karismatik, seperti burung laut dan penyu. Sumatera bagian timur dan Selat Malaka merupakan salah satu tempat persinggahan yang penting bagi burung air yang bermigrasi, terutama dari suku Charadriidae dan Scolopacidae. Burung-‐burung tersebut melakukan migrasi tahunan dari lokasi bersarang mereka di belahan bumi utara melalui Asia Timur dan Australia menuju belahan bumi selatan. Berdasar data IUCN, beberapa burung ini merupakan jenis langka dan terancam punah, termasuk trinil-‐lumpur asia (Limnodromus semipalmatus), trinil nordmann (Tringa guttifer) berstatus genting, dan kuntul cina (Egretta eulophotes). Selat Malaka juga merupakan jalur migrasi penting yang digunakan oleh penyu sisik dan penyu hijau, yang beberapa diantaranya bergerak dari Kepulauan Upeh-‐Malaysia untuk mencari makan di Riau. Selat Malaka secara global sangat penting bagi sejumlah vertebrata pesisir. Buaya muara Crocodylus porosus (status IUCN: rentan) menghuni hutan bakau di Delta Banyuasin-‐Sungai Musi, Taman Nasional Sembilang, dan Selat Dumai. Reptil terbesar di dunia yang masih hidup ini, berbiak di kawasan bakau Muara Kampar, Riau. Ekoregion Selat Malaka merupakan habitat yang paling penting di dunia untuk bangau bluwok Mycteria cinerea, salah satu burung yang paling terancam punah di dunia. Selama tahun 1990-‐an total populasinya di seluruh dunia hanya mencapai 5.000-‐6.000 ekor, dimana lebih dari 90% di antaranya terdapat di hutan-‐hutan bakau di pesisir timur Sumatera dan di pantai utara dan selatan Jawa (Segara Anakan). Bangau bluwok dapat ditemukan secara eksklusif di hutan bakau Pantai Timur Jambi, Tanjung Koyan, Tanjung Selokan dan Semenanjung Banyuasin di Sumatera Selatan. Bangau tongtong Leptoptilos javanicus (Lesser Adjutant), yang berstatus rentan (IUCN) dan Chitra indica (status IUCN: kritis) bersarang di bakau yang ada di Selat Malaka, dengan sebagian besar populasinya dapat ditemukan di pantai timur Sumatera (Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Sumatera Utara), pantai utara Jawa (Delta S. Brantas dan Bengawan Solo) dan di pantai selatan Jawa (Segara Boneka).
48 |ekoregion laut 3
Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) di ekoregion ini meliputi: 1.
KKPD di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau .
2.
KKPD di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.
3.
KKPD di Kota Batam, Kepulauan Riau.
4.
KKPD di Senayang Lingga, Kepulauan Riau.
PEMANFAATAN Ekoregion laut 3 berada pada WPP 571. Merujuk Keputusan Menteri KP Nomor 45/2011, potensi sumberdaya perikanan antara lain sumberdaya ikan pelagis besar (27.700 ton/tahun), pelagis kecil (147.300 ton/tahun), demersal (82.400 ton/tahun), udang penaid (11.400 ton/tahun), ikan karang konsumsi (5.000 ribu ton/tahun), lobster (400 ton/tahun) dan cumi-‐cumi (1.900 ton/tahun). Potensi sumberdaya terbarukan non ikan meliputi: (i) mangrove dengan luas 3.641 ha tersebar di Pulau Natuna, Pulau Subi Besar dan Pulau Panjang, (ii) padang lamun luas 5.976 ha tersebar di pesisir Natuna, dan Pulau Subi, dan (iii) terumbu karang luas 37.775 ha yang tersebar di beberapa kawasan ekoregion ini. Berdasarkan Keputusan Menteri KP Nomor 45/2011 ditetapkan status pemanfaatan sumberdaya perikanan di Ekoregion Laut 3. Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang sudah over exploited termasuk udang, ikan demersal seperti Spesies kurau (Eleutheronema tetradactylum), manyung (Ariidae spp) dan kakap merah (Lutjanus bitaeniatus/Lutjanus malabaricus), dan ikan pelagis kecil seperti Spesies banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung (Rastrelliger brachysoma). Tingkat pemanfaatan yang sudah fully exploited pada ikan demersal seperti Spesies kurisi (Nemimterus spp), kuniran swanggi (Priacanthus tayenus), bloso (Saurida tumbil) dan gulamah (Nibea albiflora), ikan pelagis kecil seperti spesies layang (Decapterus macarellus, Decapterus macrosoma, Decapterus ruselli). Beberapa spesies lainnya dalam tingkat moderate pemanfaatannya seperti ikan pelagis kecil (golok-‐golok Chirocentrus dorab) dan ikan pelagis besar (cakalang Katsuwonus pelamis) sebagai berikut: Potensi sumberdaya tidak terbaharukan di ekoregion ini adalah sumberdaya mineral berupa satu cekungan migas yang masih berproduksi. Ekoregion ini juga mempunyai satu lokasi jalur granit di sekitar Kepulauan Riau hingga Singkep. Satu kawasan yang memiliki potensi endapan placer spekulatif yang mengandung mineral radioaktif berupa Thorium (Th) sampai 30m dibawah laut. Terdapat satu lokasi yang memiliki potensi endapan pasir berukuran gravel. Ekoregion ini juga memiliki potensi energi terbarukan dengan memanfaatkan arus dari Selat Batam sebagai pembangkit listrik.
KERAWANAN BENCANA Secara geologi, Ekoregion Laut 3 relatif aman terhadap bencana tsunami. Hal ini disebabkan wilayah ini bukan merupakan jalur subduksi lempeng benua. Karakteristik selat ini memiliki kedalaman yang relatif dangkal. Jenis kebencanaan yang banyak terjadi di wilayah ini bukan merupakan bencana alam seperti tsunami, namun kerentanan tinggi terhadap kebencanaan yang berasal dari faktor manusia atau bencana antropogenik. Karena merupakan lalu lintas kapal yang padat, wilayah ini rentan terhadap tumpahan minyak (Muarif, 2002), perompakan, dan konflik perbatasan (Djalal, 2006).
deskripsi peta ekoregion laut indonesia |49
PENCEMARAN Perairan Selat Malaka berpotensi menerima berbagai bahan pencemar, dan selanjutnya akan berakibat pada terjadinya degradasi lingkungan. Selat Malaka merupakan salah satu perairan yang dilaporkan mengalami degradasi (Chua et al. 2000). Sumber pencemaran yang dapat mencemari kawasan ini adalah kegiatan yang berasal baik dari darat seperti rumah tangga, pertanian/perkebunan dan industri; maupun yang berasal dari laut seperti perkapalan, transportasi laut dan kegiatan migas. Bahan pencemar yang berpotensi untuk mencemari adalah bahan organik dan bahan anorganik. Kondisi ini memungkinkan tingginya nilai BOD dan COD serta TSS, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya ledakan populasi plankton dan akan menyumbang terjadinya GRK ke atmosfir. Adanya potensi pencemaran B3 di lokasi ini juga akan memberikan potensi untuk terkontaminasinya mahluk hidup yang hidup di dalam wilayah perairan tersebut, sehingga berpotensi untuk menjadi ancaman terhadap kelestariannya, sekaligus dapat berakibat pada tidak amannya sumberdaya perairan yang terdapat di lokasi tersebut. Berbagai DAS yang bermuara ke timur Sumatera dan kepulauan Riau membawa berbagai limbah dari aktivitas di darat dan dapat menyumbang pencemaran di kawasan ini. Dari hasil pemantauan parameter kualitas air seperti BOD, COD, DO, TSS, nitrit, ammonia, total fosfor, fenol, parameter deterjen, fecal coli dan total coliform di Sungai Lawe Alas (Aceh), Batahan (Sumatera Utara), Sungai Kampar (Riau) dan Sungai Batanghari (Jambi) menunjukkan nilai di bawah ambang batas, baik menurut KMA kelas I maupun II (KLH, 2009a). Menurut KLH (2009a), sungai-‐sungai yang bermuara ke Selat Malaka memiliki status mutu air tercemar sedang sampai berat. Demikian juga sungai-‐sungai di Lhokseumawe, Deli, Belawan dan Asahan, juga sudah dilaporkan cukup tercemar (Chua et al., 2000). Sebagai contoh, kandungan beberapa logam berat seperti Hg, Pb, Cu dan Cd dalam air di beberapa lokasi tersebut telah melampaui nilai ambang batas baku mutu (Dahuri dan Pahlevi, 1996, dalam Chua et al., 2000). Logam berat adalah parameter pencemar yang biasa dilaporkan ada di Selat Malaka. Hal ini berhubungan dengan pelabuhan, penyulingan minyak, eksploitasi minyak lepas pantai dan transportasi (Amin, 2002; Nasution dan Siska, 2011, Chua et al., 2000). Konsentrasi tinggi dari tembaga, kadmium, kobalt, nikel, timah dan seng juga ditemukan di perairan lepas pantai selatan Singapura dan beberapa lokasi di Malaysia (Chua et al., 2000). Nilai BOD di pantai timur Sumatera Utara berkisar antara 3.3 – 56.6 mg/l, sedangkan nilai COD berkisar antara 10.8 – 766.1 mg/l (Chua et al., 2000). Kawasan ini juga menerima limbah yang berasal dari limpasan air sungai dari Malaysia dan Singapura. Perkiraan loading BOD dari pembuangan limbah domestik di wilayah pesisir Indonesia, Malaysia dan Singapura pada tahun 1998 mencapai 5014 ton/hari dan meningkat menjadi lebih dari 6000 ton perhari pada tahun 2000 (Chua et al., 2000). Beberapa bahan organik anthropogenik beracun, seperti POPs, PAH, TBT juga dilaporkan terdapat di perairan ini. Penggunaan bahan kimia pertanian yang tinggi setiap tahun di kawasan Pulau Sumatera, seperti insektisida (3780 ton), fungisida (110 ton), rodentisida (291 ton) dan herbisida (22 ton), maka pestisida organoklorin terdeteksi di lokasi tersebut, seperti pada sedimen dari muara Sungai Siak (Munawir, 1996; Sudaryanto et al., 2007) dan Sungai Asahan (Munawir, 2002; Sudaryanto et al., 2007). Demikian juga halnya dari sisi negara tetangga Malaysia, residu pestisida organoklorin khususnya DDE, DDT dan heptaklor umumnya terdeteksi dihampir semua sungai Semenanjung Malaysia (Abdullah et al., 1998 dalam Chua et al., 2000). Selain itu, TBT yang digunakan sebagai cat antifouling pada kapal dan jaring akuakultur terdeteksi relatif tinggi di sepanjang
50 |ekoregion laut 3
jalur pelayaran Selat Malaka (Hashimoto et al., 1998). Konsentrasi TBT yang tinggi juga umum ditemukan di sedimen, kerang dan ikan dari perairan yang berhubungan dengan aktivitas perkapalan, seperti Pelabuhan Belawan (Sudaryanto et al., 2003) dan di sepanjang sisi pantai barat Malaysia (Sudaryanto et al., 2004). Lebih lanjut, dampak dari pencemaran TBT ini telah menyebabkan kejadian imposex (pemandulan) di hewan gastropod di perairan Selat Malaka (Swennen et al., 1997). Hal ini mengindikasikan ancaman, tidak hanya terhadap keanekaragaman hayati tetapi juga keamanan pangan dan kesehatan manusia. Selat Malaka juga berfungsi sebagai jalur laut utama untuk kapal tanker dan kapal kargo yang menghubungkan antara Samudera Hindia dan Laut China Selatan (Alino dan Gomez, 2001). Jumlah pengangkutan minyak dengan tanker melewati selat ini diperkirakan mencapai lebih dari 3 juta barrel per hari (Alino dan Gomez, 2001). Karakter hidrografi selat yang sempit dan dangkal, terutama di bagian selatan, menyebabkan daerah ini sangat rentan terhadap kecelakaan kapal tanker yang dapat menyebabkan pencemaran oleh tumpahan minyak ke laut (Nedi et al. 2010). Dari tahun 1978-‐1994, telah dilaporkan terjadi sekitar 476 kecelakaan kapal di Selat Malaka yang menyebabkan tumpahan minyak (Chua et al., 2000). Sedangkan Tabel di bawah menunjukkan berbagai kecelakan kapal tanker yang terjadi di Selat Malaka dari sisi wilayah perairan Indonesia. Kecelakaan tersebut menimbulkan dampak pada lingkungan pesisir, produksi perikanan dan kehidupan nelayan di daerah-‐daerah. Kejadian tumpahan minyak di Ekoregion Laut Selat Malaka, 1975-‐2004 No Tahun Tahun 1. 1975 Selat Malaka 2. 1975 Selat Malaka 3. 1979 Lhokseumawe
Kejadian, Tipe/Volume Oill Spill Showa Maru tenggelam (1 juta barel solar) Tabrakan Isugawa Maru dan Silver Palace Golden Win bocor (1500 kl minyak tanah) Tabrakan MT Ocean Blessing dan MT Nagasaki Spirit (5000 barrel oil) Tanker Moersk bertabrakan KM Batamas Sentosa II tenggelam (MFO) Tanker MT. Kuala Berkah, tenggelam Jenis minyak LSWR MT. Pan Oil , tenggelam, CPO Orapin Global dan Evoikos, tabrakan
4. 5. 6.
1992 1993 1996
Selat Malaka Selat Malaka Natuna
7. 8. 9.
1996 1996 1997
Kepulauan Riau Belawan Kepulauan Riau
10. 11. 12. 13.
1997 1999 2000 2002
Kepulauan Riau Batam Batam Bengkalis, Riau
14. 15.
2004 1999
16. 17.
2004 2004
Selat Malaka Batam Tanjung Balai, Karimun Pekanbaru
18.
2004
Batu Ampar, Batam Kapal Motor, KM. Swadaya Lestari, limbah minyak
Pipa transfer minyak Caltex, bocor (minyak mentah) Mighty Serent II, tenggelam, limbah minyak MT Natuna Sea kandas (4000 ton minyak) TKG. Bumindo, tenggelam, MFO MV. Kamimasen Hyundai, Tongkang Cargo, tabrakan (minyak) Mighty Serent II, tenggelam, minyak Tanker, MT. Vista Mariner, tenggelam, minyak Tanker MT. Maulana, terbakar, minyak
Sumber: Kementerian Perhubungan dalam BOBLME (2011)
Seperti terlihat pada gambar di bawah ini, Ekoregion Laut 3 juga memiliki potensi pencemaran yang ditimbulkan dari kegiatan migas. Sekitar 21 perusahaan minyak dan gas beroperasi di wilayah pantai Pulau Sumatera yang menghadap ke Selat Malaka. Berdasarkan data izin pembuangan limbah ke laut yang ditunjukkan pada gambar di bawah (KLH, 2009b), terdapat 4 (empat) titik sumber pencemar yang berasal dari kegiatan migas dan berlokasi di Lhokseumawe dan Riau. Dan 1 (satu) sumber pencemaran yang berasal dari kegiatan industri kimia di Batam
deskripsi peta ekoregion laut indonesia |51
Sebaran Ladang dan Kilang Minyak, serta Gas di Indonesia.
Peta sumber potensi pencemar dari kegiatan industri yang dibuang ke laut (gambar : KLH, 2009b)
Sebagai akibat penurunan kualitas perairan, berbagai indikator menunjukkan bahwa terjadi penurunan stok ikan di Selat Malaka (Chua et al., 2000). Sehingga lebih banyak upaya diperlukan untuk menangkap ikan pelagis di Selat Malaka, atau nelayan berpindah kegiatan ke perairan lain. Selain itu, telah dilaporkan pula bahwa industri akuakultur dari kerang dan tiram, juga rentan terhadap kerusakan dari tumpahan minyak. Misalnya, industri akuakultur di Malaysia diperkirakan kehilangan RM 66,5 juta (US $ 26 juta) sebagai akibat dari tumpahan minyak di Johor (Tahir, 1996 dalam Chua et al., 2000).
52 |ekoregion laut 3
Terumbu karang di kawasan Selat Malaka (foto : Handoko)
± 0
75
150
300 Km
LAUT CINA SELATAN
EL-4 M A L A Y S I A
A
L
Y
S
KEPULAUAN-RIAU
KALIMANTAN BARA
EL-5 SEL R KA AT
MAT E RA
IM
AMBI
M
A
KALI MAN TAN
ATA
Ekoregion Laut 4
Laut Natuna
Ekoregion Laut 4 meliputi perairan laut dan gugus kepulauan di sebelah Barat laut Kalimantan dan memiliki luas 2 360.402 km . Ciri khas ekoregion ini adalah sangat dipengaruhi oleh angin monsun dan massa air dari Laut China Selatan. Kondisi variabilitas angin, dan perbedaan antara suhu permukaan laut dengan suhu udara diatasnya seringkali menimbulkan benih siklon tropis yang kemudian tumbuh besar ke arah lintang yang lebih tinggi. Terdapat fenomena fisik arus unik yang bernama Natuna-‐Off-‐Shelf-‐Current dan arus eddy (arus memutar) yang membawa nutrien dari pesisir pantai terdekat ke arah laut sehingga ekoregion ini adalah sangat kaya akan ikan. Ekoregion Laut 4 berbatasan dengan 2 ekoregion laut yaitu Selat Malaka dan Selat Karimata karena perbedaan keanekaragaman hayati dan perbedaan batimetri pada kedalaman 50 m.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 55
GEOLOGI DAN MORFOLOGI Secara geologi, Ekoregion Laut 4 terbentuk sebelum 54 juta tahun silam (Hall, 2001). Morfologi dasar laut untuk ekoregion 4 adalah paparan benua (continental slope) dengan kedalaman sampai dengan 1.879 m. Ekoregion ini merupakan bagian dari Paparan Sunda. Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Triyono, o 2009). Pada Kawasan ini kemiringan kelas lereng miring (1-‐3 ) mendominasi walaupun ada sebagian pesisir yang o memiliki kelas lereng datar – agak miring (0-‐1 ). Peta Karakteristik Pantai Pulau Senoa, salah satu pulau di Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau sebagai salah satu Pulau Terdepan NKRI (Sumber : Puslitbang Geologi Kelautan, KESDM, 2010) (kiri) Salah satu patok titik dasar (TD-‐032) yang terdapat di Pulau Subi Kecil (Gugusan Pulau Serasan) Kabupaten Natuna Propinsi Kepulauan Riau sebagai pulau terdepan berbatasan dengan Malaysia (gambar : Puslitbang Geologi Kelautan, KESDM, 2010) (kanan)
OSEANOGRAFI Ekoregion Laut Natuna sangat dipengaruhi oleh monsun. Pola sirkulasi arus sangat dominan pada Monsun Barat yang dibangkitkan oleh angin Timur Laut dari arah Laut China Selatan, dan juga kuat pada saat Monsun Timur dimana arus dibangkitkan oleh Angin Barat Daya menuju ke arah Laut China Selatan. Pada saat Monsun Peralihan, kekuatan angin berhembus lemah, arah angin tidak menentu yang menyebabkan pola sirkulasi lokal juga sangat kurang dari 60 cm/detik (Wyrtki 1961; Fang et al., 2002; Mustikasari et al., 2010). Pada Monsun Peralihan terdapat fenomena fisik arus unik yang bernama Natuna-‐Off-‐Shelf-‐Current yang merupakan perpanjangan dari arus Southern-‐China-‐Sea-‐Cyclonic-‐Eddy yang memutar balik ke arah Laut China Selatan di Laut Natuna, dengan arah putaran berlawanan arah jarum jam (Wyrtki, 1961; Xue et al., 2004).
56 |ekoregion laut 4
Laut Natuna memiliki tipe pasang surut campuran cenderung diurnal yang merupakan pengaruh dari Laut China Selatan (Wyrtki, 1961). Selanjutnya kopling antara atmosfer dengan laut adanya transpor pertukaran massa air antara perairan Indonesia dengan massa air Laut China Selatan yang melalui/di Laut Natuna. Perairan di ekoregion ini termasuk bukan area upwelling. Tetapi daerah ini disuplai oleh cukup nutrien melalui upwelling yang terjadi di sekitar Vietnam (Juni-‐Agustus) dan Pesisir Malaysia di Pulau Kalimantan bagian Utara (Maret-‐Mei) (Mustikasari et al., 2010). Secara umum kisaran komponen fisik dari massa air laut pada lapisan permukaan di ekoregion ini adalah suhu air laut cukup tinggi (27,5 – 29,5°C), salinitas (32,5-‐33,5 PSU), konsentrasi oksigen terlarut (4,0 – 4,6 ml/liter); pH (8,0 – 8,75) (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009). Di kawasan ini konsentrasi fosfat berkisar antara 0,05 – 0,35 µmol/liter; konsentrasi silikat 7,5 – 30,0 µmol/liter; konsentrasi nitrat 1,0 – 5,0 µmol/liter; dan klorofil 0,05 – 5,0 µgram/liter (Pranowo et al. 2012c; Boyer et al. 2009). Pada musim Monsun Timur, ekoregion ini mencapai suhu terendah diseluruh perairan Indonesia dengan kisaran 26 – 27°C. Pada saat Monsun Barat mencapai suhu tertinggi di seluruh perairan Indonesia dengan rerata suhu berkisar 29 – 30°C. Menurut Pranowo et al. (2012c), suhu rerata pada Monsun Barat di lapisan kedalaman 0-‐20 m (permukaan) berkisar 26,52 – 27,30°C, di lapisan 20-‐50 m berkisar antara 26,28-‐26,68°C, di lapisan 50-‐100 mberkisar antara 24,32-‐26,05°C; suhu rerata pada Monsun Peralihan I, di lapisan kedalaman permukaan berkisar antara 28,01 – 29,51°C, di lapisan 20-‐50 m berkisar antara 27,15-‐27,77°C, di lapisan 50-‐100 m 24,67-‐ 25,65°C. Selanjutnya suhu rerata pada Monsun Timur di lapisan permukaan berkisar antara 28,59 – 29,46°C, di lapisan 20-‐50 m berkisar antara 27,77-‐28,92°C, di lapisan 50-‐100 m berkisar antara 25,95-‐28,94 °C; suhu rerata pada Monsun Peralihan II, di lapisan kedalaman permukaan berkisar antara 28,65 – 29,11°C, di lapisan 20-‐50 m berkisar antara 28,53-‐28,81 °C, dan pada lapisan 50-‐100 m berkisar antara 26,30-‐26,44°C. Variabilitas salinitas menurut Pranowo et al. (2012c) adalah salinitas rerata pada Monsun Barat, di lapisan kedalaman permukaan berkisar antara 32,98 – 33,46 PSU, di lapisan 20-‐50 m berkisar antara 33,26 – 33,51 PSU, di lapisan 50-‐100 m berkisar antara 33,53 – 33,57 PSU; salinitas rerata pada Monsun Peralihan I, di lapisan kedalaman permukaan berkisar antara 33,58 – 33,83 PSU, di lapisan 20-‐50 m berkisar antara 33,54 – 33,85 PSU, di lapisan 50-‐100 m berkisar antara 33,85 – 34,04 PSU; salinitas rerata pada Monsun Timur, di lapisan kedalaman permukaan berkisar antara 32,87 – 33,35 PSU, di lapisan 20-‐50 m berkisar antara 33,12 – 33,33 PSU, di lapisan 50-‐100 mberkisar antara 33,74 – 33,87 PSU; salinitas rerata pada Monsun Peralihan II, di lapisan kedalaman permukaan berkisar antara 32,71 – 33,16 PSU, di lapisan 20-‐50 m berkisar antara 32,98 – 33,37 PSU, di lapisan 50-‐100 m berkisar antara 33,63 – 33,71 PSU.
KEANEKARAGAMAN HAYATI Karakter utama keanekaragaman hayati Ekoregion Laut 4 yang meliputi wilayah Laut Natuna dan Anambas adalah terumbu karang yang merupakan wakil dari habitat karang Indonesia di Laut Cina Selatan. Karang ini umumnya mengelilingi pulau-‐pulau kecil di Kepulauan Natuna dan Anambas. Selain terumbu karang juga terdapat mangrove, padang lamun dan sejumlah biota laut penting seperti napoleon dan penyu. Berdasarkan analisis penginderaan jauh dari citra satelit, luas mangrove di Natuna dan Anambas sebesar 2.208 ha (Suhendra, 2010). Mangrove tumbuh pada pulau-‐pulau utama dalam kondisi jumlah populasi yang sangat sedikit dan luasan habitat yang sempit. Sedikitnya populasi dan sempitnya habitat tersebut dikarenakan oleh pantai-‐pantainya yang terjal dan berbatu, tidak adanya sungai, serta substrat dasarnya karang dan berpasir putih. Keadaan pantai seperti ini bukanlah kawasan yang optimal untuk tempat hidup mangrove.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 57
Ekspedisi Anambas yang dilaksanakan pada tahun 2002 menemukan tiga spesies lamun (seagrass) di Kepulauan Natuna -‐ Anambas yang termasuk dalam dua famili yaitu Hydrocharitaceae dan Potamogetonaceae. Ketiga spesies tersebut adalah Halophila ovalis, Halodule pinifolia, dan Halodule uninervis. Lebih lanjut, di dalam ekspedisi tersebut juga diidentifikasi 74 spesies seaweed (macrophyte), yang terdiri dari 23 spesies alga merah (Rhodophyceae), 22 spesies alga coklat (Phaeophyceae), dan 29 spesies dari alga hijau (Chlorophyceae) (Liao, 2004). Berdasarkan analisis penginderaan jauh dari citra Satelit, luas padang lamun dan seaweed di Natuna dan Anambas adalah 5.352 ha (Suhendra, 2010). Tipe terumbu karang yang banyak ditemui adalah terumbu karang tepi (fringing reef), serta sedikit dari karang penghalang (barrier reef) dan karang atol (patch reef). Dominannya karang pantai karena ekoregion ini terdiri dari pulau-‐pulau kecil yang tidak memiliki sungai-‐sungai besar, seperti di Natuna dan Anambas. Bentuk karang yang dominan berjumlah 13 bentuk yang terdiri dari karang-‐karang meja, lunak, bercabang, foliase, mushroom, encrusting, masive, sponges, clam, zoanthiads, gorgonian, anemon, dan patahan karang. Karang tersebut terhampar di sepanjang pantai sekitar pesisir pulau-‐pulau, dan mencapai kedalaman laut yang tidak lebih dari 40 meter. Persen tutupan karang berkisar antara 25% -‐ 85%, dan rata-‐rata mencapai 40% -‐ 65% (P2O-‐LIPI, 2011). Dalam survei tersebut ditemukan sebanyak 55 genera, dengan spesies dominan adalah Porites cylindrica, Porites nigrescens, Porites rus, dan Montipora spumosa. Kepulauan Natuna -‐ Anambas hmemiliki luas terumbu karang seluas 92.788 ha berdasarkan analisis penginderaan jauh dari satelit (P2O-‐LIPI, 2011). Kajian cepat kondisi kelautan di perairan Anambas tahun 2012 mencatat 339 spesies karang keras (hard coral), dan 667 spesies ikan karang (Allen dan Erdmann, 2012). Perairan Natuna dan Anambas merupakan habitat dan jalur migrasi penting untuk penyu di Kawasan Laut Cina Selatan. Kepulauan Natuna -‐ Anambas sampai Pulau Tambelan dan Bangka-‐Belitung merupakan jalur migrasi lintas batas negara Penyu Hijau dari Pulau Redang, Malaysia (Ibrahim, 2005). Setidaknya di kawasan ini ditemukan 2 jenis penyu, yakni penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata). Sejumlah pantai peneluran penyu di Anambas diduga menjadi habitat penyu sisik yang sangat penting di Indonesia bagian barat. Ikan Napoleon (Cheilinus undulates) mudah ditemukan di ekoregion ini karena pada umumnya dibudidayakan masyarakat melalui pembesaran dalam karamba sekitar rumah. Upaya budidaya ikan Napoleon telah dilakukan sejak lama dan menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat di beberapa tempat.
58 |ekoregion laut 4
Migrasi lintas batas negara penyu hijau. (gambar: Ibrahim, 2005)
Ditemukan Ikan Pari Listrik dari jenis Temera hardwickiidi perairan Natuna sebagai catatan baru terhadap sebarannya di wilayah Indonesia (P2O LIPI, 2011). Selama ini ikan Pari Listrik tercatat ditemukan di wilayah Pasifik Barat hingga perairan semenanjung Malaysia dan utara Sabah. Penemuan di perairan Natuna membuktikan bahwa sebaran ikan ini mencapai perairan Natuna yang masih dipengaruhi oleh Laut Cina Selatan. Ditemukan juga sebuah jenis Himantura granulata (Ikan Pari Mangrove) yang selama ini hanya tercatat sebarannya berada di wilayah Indonesia Timur, mulai dari timur Kalimantan hingga Jawa.
Ikan Pari listrik, Temerahardwickii. (foto: P2O-‐LIPI 2012) (kanan atas) Ikan Pari Mangrove, Himantura granulata (P2O-‐LIPI 2012) (kanan bawah)
PEMANFAATAN Ekoregion laut 4 berada pada WPP 711. Potensi sumberdaya perikanan antara lain sumberdaya ikan pelagis besar (66,1 ribu ton/tahun), ikan pelagis kecil (621,5 ribu ton/tahun), ikan demersal (334,8 ribu ton/tahun), udang Penaid (11,9 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (21,6 ribu ton/tahun), lobster (0,4 ribu ton/tahun) dan cumi-‐cumi (2,7 ribu ton/tahun). Potensi sumberdaya terbarukan non ikan antara lain: mangrove dengan luas 3.640,52 ha di sekitar Pulau Natuna, Pulau Subi Besar dan Pulau Panjang, padang lamun seluas 5.976,09 ha di Pesisir Natuna, dan Subi, dan terumbu karang seluas 37.774,68 ha di beberapa kawasan ekoregion ini. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45/2011 kondisi sumberdaya perikanan di ekoregion laut 4 memiliki beberapa tingkat pemanfaatan. Sumberdaya perikanan yang sudah over exploited adalah udang, ikan demersal seperti Spesies kurau (Eleutheronema tetradactylum). Sumberdaya perikanan yang berkategori fully exploited adalah Spesies manyung (Ariidae spp) dan Spesies banyar (Rastrelliger kanagurta), kembung (Rastrelliger brachysoma), layang (Decapterus macrosoma dan Decapterus ruselli). Tingkat pemanfaatan moderate pada spesies cumi-‐cumi (Loligo spp). Potensi sumberdaya tidak terbarukan dari ekoregion ini adalah sumberdaya mineral berupa satu cekungan migas berproduksi, serta satu cekungan migas yang sudah ada penemuan. Potensi migas di ekoregion ini berupa cadangan minyak 14 juta barel dan gas 45 triliun feet cubic. Sebagian besar dari ekoregion ini memiliki potensi endapan pasir berukuran gravel. Potensi jasa lingkungan dari ekoregion ini adalah sebagai alur pelayaran internasional.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 59
KERAWANAN BENCANA Secara geologis, Laut Natuna terletak di luar pertemuan lempeng tektonik. Dengan karakteristik yang demikian maka ekoregion laut Natuna relatif terbebas dari bencana gempa dan tsunami. Ekoregion Laut 4 terdapat pulau-‐ pulau kecil seperti Kepulauan Natuna dan Kepulauan Anambas. Dengan karakteristik yang demikian, maka potensi bencana yang dihadapi bukan gempa ataupun tsunami, namun ancaman utama adalah perubahan iklim dan kenaikan muka air laut (sea level rise). Pulau-‐pulau kecil merupakan salah satu daerah yang paling rentan terhadap kenaikan muka laut (Mimura, 1999). Pelling dan Uitto (2001) juga mengemukakan beberapa karakteristik yang menjadi alasan mengapa suatu pulau-‐pulau kecil rentan, yaitu (1) ukuran kecil yang berimplikasi pada keterbatasan sumberdaya berbasis daratan, (2) insularity dan remoteness yang berimplikasi pada biaya transportasi yang mahal dan memerlukan waktu yang lebih lama, (3) masalah faktor lingkungan seperti ketersingkapan terhadap gangguan, (4) kapasitas mitigasi terhadap bencana yang terbatas, (5) faktor penduduk yang memiliki kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang rendah, tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan (6) faktor ekonomi seperti ketergantungan pada pembiayaan eksternal, pasar internal yang terbatas.
PENCEMARAN Ekoregion Laut Natuna merupakan wilayah laut yang berpotensi untuk menerima pencemaran yang terutama berasal dari kegiatan minyak dan gas. Ladang gas Natuna (D-‐Alpha) yang terletak 225 km di sebelah utara Pulau Natuna dengan total cadangan 222 TCF dan gas hidrokarbon yang bisa diperoleh sebesar 46 TCF adalah merupakan salah satu sumber terbesar di Asia. Sementara itu, Pulau Matak di Anambas, saat ini menjadi pangkalan eksplorasi minyak. Cadangan minyak bumi Natuna diperkirakan mencapai 14.386.470 barel. Selanjutnya, berdasarkan data izin pembuangan limbah ke laut (KLH, 2009b), terdapat 3 (tiga) titik sumber pencemar ke wilayah ini berasal dari kegiatan migas, yang berlokasi di Kab. Natuna. Total volume limbah yang 3 dihasilkan dari kegiatan ini diperkirakan sebesar 114.955,43 m /hari. Dari kegiatan tersebut, maka potensi bahan pencemar yang mungkin mencemari ekoregion ini adalah bahan organik dan anorganik, terutama PAHs, POPs dan logam berat. Selain itu, kawasan ini menjadi perlintasan yang penting bagi kapal-‐kapal perdagangan yang melintas di kawasan selatan Asia termasuk Jepang, Eropa, Amerika, Vietnam, Kamboja, Cina dan kapal-‐kapal asing lainnya yang melintasi perairan internasional menuju Selat Malaka. Karena itu, kawasan ini juga memiliki kerentanan terhadap pencemaran yang disebabkan oleh tumpahan minyak. Jumlah minyak mentah yang diangkut oleh kapal tanker melalui jalur distribusi minyak internasional ini diperkirakan mencapai > 3 juta barrel per hari (Alino dan Gomez, 2001). Kawasan ini juga berpotensi untuk dapat tercemar oleh senyawa TBT, sebagaimana diindikasikan oleh Hashimoto et al. (1998). Bila terjadi tumpahan minyak maka dapat mengakibatkan terganggu atau bahkan gagalnya kegiatan budidaya perikanan, seperti ikan, krustase tiram, dan sebagainya. Sedangkan pencemaran oleh TBT dapat mengakibatkan terjadinya gangguan reproduksi gastropod sebagai akibat terjadinya imposex seperti yang umum ditemukan di Selat Malaka dan Teluk Thailand yang padat aktivitas perkapalannya (Swennen et al., 1997).
60 |ekoregion laut 4
Terumbu karang diantara jalur perjalanan di wilayah Belitung (foto : Yoniar Hufan-BIG)
0
LAUT CINA SELATAN
±
62.5
125
250 Km
M A
EL-4
L A Y S I A
M
A
L
A
Y
S
I A
KEPULAUAN-RIAU
KALIMANTAN BAR
KALI MAN TAN
EL-5
L SE
JAMBI
R KA AT
BANGKA-BELITUNG
A AT
LU
IM
S U MAT E RA SUMATERA SELATAN
EL-6
LAMPUNG
EL-2
DKI JAKARTA BANTEN
JAWA JAWA BARAT
LAUT JAWA
Ekoregion Laut 5
Selat Karimata
Ekoregion Laut 5 meliputi perairan laut di antara Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan dengan luas 270.859 2 km . Ciri khas ekoregion ini adalah kondisi oseanografi yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut bertipe diurnal, yang secara geografis unik karena diapit oleh tipe campuran cenderung diurnal di Laut Jawa dan Laut Natuna. Selain itu Arus Monsun Indonesia (ARMONDO) juga masih berpengaruh disini. Ekoregion Laut 5 berbatasan dengan 3 ekoregion laut lain yaitu: a. Laut Natuna karena perbedaan keanekaragaman hayati dan batimetri pada kisaran kedalaman 50 m, b. Laut Jawa karena perbedaan sistem pasang surut. Ekoregion Selat Karimata mempunyai sistem pasang surut diurnal, sedangkan ekoregion Laut Jawa memiliki sistem pasang surut mixed tide prevailing diurnal, c. Selat Malaka karena perbedaan keanekaragaman hayati dan batimetri pada kisaran kedalaman 50 m.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 63
GEOLOGI DAN MORFOLOGI Secara geologi, ekoregion laut 5 terbentuk sebelum 54 juta tahun silam (Hall, 2001). Morfologi dasar laut ekoregion 5 adalah paparan benua (continental shelf) dengan kedalaman sampai 53 m. Ekoregion Laut 5 merupakan bagian dari Paparan Sunda. Berdasarkan peta kemiringan lereng dasar laut (Sulistyo dan Triyono, o 2009), kawasan ini didominasi dengan kemiringan kelas lereng miring (1-‐3 ) walaupun ada sebagian pesisir yang o memiliki kelas lereng datar – agak miring (0-‐1 ).
OSEANOGRAFI Angin yang bertiup diatas ekoregion ini adalah ekstensi dari angin yang berhembus di Ekoregion Laut Natuna. Pada saat Monsun Barat, angin bergerak ke tenggara, dan kondisi sebaliknya terjadi pada saat Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Putri, 2005). Menurut Adi et al. (2004), pola arus Monsun di Selat Karimata dan Laut Jawa adalah pada Monsun Barat di Selat Karimata, arus bergerak ke arah selatan memasuki Laut Jawa dan selanjutnya membelok ke arah timur. Arus di Laut Jawa pada Monsun Timur bergerak ke arah barat selanjutnya membelok ke utara memasuki Selat Karimata. Pada Monsun Peralihan arah arus tidak menentu, dan banyak terjadi Putaran arus (eddy). Umumnya pada Monsun Peralihan terdapat arus dari Selat Karimata yang mengalir ke Timur di lepas Pantai Jawa, dan juga terdapat arus mengalir ke Barat di lepas Pantai Barat Kalimantan. Pada tahun 1400 – 1900 terdapat banyak kecelakaan kapal akibat badai laut/gelombang tinggi yang menenggelamkan kapal-‐kapal dagang di sekitar ekoregion ini (Pranowo et al., 2012b). Kondisi oseanografi yang sangat dipengaruhi oleh pasang surut bertipe diurnal, secara geografis unik karena diapit oleh tipe campuran cenderung diurnal di Laut Jawa dan Laut Natuna (Wyrtki, 1961). Adapun variasi komponen fisik di rentangan rerata tahunan dari massa air laut pada lapisan permukaan di ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009) adalah suhu air laut cukup tinggi (27,5 – 29,0°C), salinitas (31,0-‐33,5 PSU), konsentrasi oksigen terlarut (4,1 – 4,3 ml/liter), dan pH (7,0 – 8,25). Untuk kondisi sebaran nutrien di ekoregion ini (Boyer et al., 2009) adalah konsentrasi fosfat berkisar antara 0,05 – 0,35 µmol/liter; konsentrasi silikat 2,5 – 30 µmol/liter; konsentrasi nitrat 2,5 – 10,0 µmol/liter; dan klorofil 0,05 – 5,0 µgram/liter.
KEANEKARAGAMAN HAYATI Karakteristik utama dari ekoregion ini adalah sebaran ekosistem mangrove yang besar yang terdapat di pesisir Sumatera Selatan dan pesisir Kalimantan Barat. Ekosistem mangrove di pesisir Sumatera Selatan yang menonjol meliputi Musi Banyuasin dan Ogan Komering Ilir dengan luas masing-‐masing 458,062.19 ha dan 429,811.55 ha (LPP Mangrove, 2004) serta tercatat 17 spesies mangrove sejati (true mangrove). Hutan mangrove dalam ekoregion ini merupakan habitat burung air maupun burung migran dan reptilia payau seperti biawak, buaya muara dan ular. Mangrove di pesisir Kalimantan Barat tumbuh subur di beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) seperti DAS Kapuas. Dinamika fisik perairan DAS sangat berpengaruh pada produktivitas dan kesehatan mangrove yang akhirnya
64 |ekoregion laut 5
Mangrove di Kalimantan Barat (Foto: M. Hutomo)
menyumbang produktivitas perairan Selat Karimata dan Laut Natuna yang merupakan bagian paling selatan dari Laut Cina Selatan. Komunitas mangrove di pesisir Kalimantan Barat ini memperlihatkan salah satu tipe mangrove di Indonesia dengan zonasi yang jelas. Sebagai contoh adalah hutan mangrove di Taman Nasional Gunung Palung (Ketapang) dengan luas 7000 ha yang merupakan hutan magrove terluas di Indonesia dengan zonasi yang jelas. Spesies Rhizophora sp. dan Bruguiera sp. di sisi daratannya dan spesies Sonneratia sp. dan Avicennia sp. di sisi lautnya. Di ekoregion ini ditemukan 9 (Sembilan) spesies lamun yang tersebar di Kepulauan Bangka-‐Belitung. Kesembilan spesies lamun tersebut adalah Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, H. spinulosa, Halodule pinifolia, H. uninervis, Syringodium isoetifolium, Thalassodendron ciliatum, dan Thalassia hemprichii. Padang lamun di Pulau Bangka merupakan habitat duyung yang terancam oleh manusia karena aktifitas penangkapan. Terumbu karang di ekoregion ini umumnya berkembang pada lereng zona subtidal yang landai dan dangkal, kurang dari kedalaman 10 m. Pada umumnya kondisinya kurang baik, kecuali di Pulau Belitung dan Pulau Karimata. Terumbu karang di lokasi yang menghadap ke laut lepas kondisinya lebih baik daripada yang berada di perairan dekat dengan daratan (Suharsono, 2007). Selat Nasik di Pulau Belitung merupakan salah satu lokasi terumbu karang terbaik dan telah dikembangkan menjadi Daerah Perlindungan Laut (DPL) berbasis masyarakat. Perairan di sekitar Pulau Karimata cukup jernih. Hal ini memungkinkan terumbu karang berkembang baik dengan persen tutupan karang berkisar antara 31,28-‐76,2%. Komunitas karang di Pulau Busung didominasi oleh koloni besar Acropora hyacinthus yang tumbuh sampai kedalaman 20 m (P2O-‐LIPI, 2002). Sementara itu, komunitas karang di Pulau Tanjung Barat didominasi oleh spesies non-‐Acropora, termasuk Diploastrea heliopora, dengan diameter 380 cm, dan karang lunak Sarcophyton spp. Pesisir Pulau Tambelan juga merupakan salah satu lokasi peneluran Penyu Sisik yang terbesar di Indonesia. Selain itu, pulau ini bersama Pulau Bangka dan Pulau Belitung merupakan jalur migrasi Penyu Hijau dari Malaysia.
Hutan mangrove yang masih asli, seperti di Cagar Alam Muara Kendawangan, dapat ditemui tegakan mangrove yang tingginya sampai mencapai 20 m. (foto: LPPMangrove, 2004c).
Tegakan Rhizophora apiculata pada hutan mangrove yang masih asli (gambar kiri; foto: LPP Mangrove, 2004c) dibanding tegakan spesies yang sama saat masih muda (gambar kanan; Foto: M. Hutomo)
Duyung yang diperjual belikan di lokasi pendaratan ikan di Bangka (Foto: M. Adrim).
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 65
Kawasan konservasi di Ekoregion Laut 5 terdapat dua jenis kawasan konservasi, yaitu KKPD dan CAL. Kawasan Konservasi Perairan Daerah antara lain KKPD Bengkayang, Kalimantan Barat; KKPD Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau; dan KKPD Senayang Lingga, Kepulauan Riau. Sedangkan kawasan CAL terdapat di Kepulauan Karimata, Kalimantan Barat.
PEMANFAATAN Ekoregion Laut 5 berada pada zona WPP 711. Potensi sumberdaya terbarukan non ikan antara lain: mangrove dengan luas 355.645,69 ha tersebar di sekitar Pesisir Barat Kalimantan, Pesisir Sumatera Selatan dan Pesisir Bangka-‐Belitung, lamun dengan luas 3.575,07 ha tersebar di Pesisir Natuna, dan Pulau Subi. Terumbu Karang dengan luas 10.558,52 ha tersebar di Ekoregion Laut 5. Untuk potensi sumberdaya tidak terbarukan, ekoregion ini mempunyai potensi sumberdaya energi berupa satu lokasi jalur granit sekitar Kepulauan Bangka dan Belitung, juga terdapat daerah spekulatif mengandung mineral radioaktif berupa Thorium (Th) sampai 30 m di bawah laut, satu lokasi area berpotensi endapan placer emas, serta sebagian besar berpotensi pasir dan gravel. Terdapat Benda Muatan Asal Kapal Tenggelam (BMKT) di Perairan Belitung Timur, Selat Karimata, Pulau Bangka dan Kalimantan Barat.
KERAWANAN BENCANA Selat Karimata merupakan perairan pedalaman di Indonesia. Selat ini relatif aman terhadap bencana tsunami dan gempa (Budiono et al., 2003). Berdasarkan aspek morfologi pantai disini terbentuk pantai yang landai atau datar. Karakteristik jenis pantai ini menurut Hantoro (2005) adalah pesisir datar hingga landai. Sedimentasi kuat terjadi di perairan bila di hulu mengalami erosi. Kompaksi sedimen diiringi penurunan permukaan tanah, sementara air tanah tawar sulit ditemukan. Kerentanan yang terjadi adalah kenaikan muka air laut dan perubahan iklim. Ancaman kenaikan muka air laut tidak hanya mengancam pulau-‐pulau kecil, namun juga terhadap wilayah dengan karakteristik pantai datar. Hal ini akan berakibat pada perubahan tutupan vegetasi.
PENCEMARAN Ekoregion Laut 5 berpotensi menerima pencemaran yang berasal dari kegiatan rumah tangga, pelabuhan, transportasi, pertanian/perkebunan, aktivitas perkotaan dan industri melalui limpasan air DAS yang bermuara ke kawasan ini. Selain itu, sebagai akibat proses geologi batuan, air tanah di dataran rendah delta pantai timur Sumatera juga dapat menjadi sumber pencemaran unsur-‐unsur tertentu (Winkel et al., 2008). Lebih lanjut, wilayah ini juga memiliki kerentanan terhadap pencemaran tumpahan minyak karena merupakan jalur distribusi minyak internasional, dengan jumlah pengangkutan sekitar 0,2 -‐ 1 juta barrel per hari (Alino dan Gomez, 2001). Ekoregion ini juga memiliki potensi pencemaran yang ditimbulkan dari kegiatan migas. Berdasarkan data izin pembuangan limbah ke laut (KLH, 2009b), terdapat satu titik sumber pencemar yang berasal dari kegiatan pertambangan yang berlokasi di Kabupaten Bangka Barat. Total volume limbah yang dihasilkan dari kegiatan ini 3 adalah sebesar 24.742 m /hari. Dari berbagai kegiatan tersebut, maka bahan pencemar organik dan anorganik berpotensi untuk mencemari kawasan ini. Dari hasil pengukuran parameter kualitas air seperti pH, BOD, COD, DO, TSS, nitrit, ammonia, total fosfor, fenol, fecal coli, dan total coliform di beberapa titik pantau DAS utama umumnya telah melebihi ambang batas KBM kelas I maupun kelas II (KLH, 2009a). Berdasarkan parameter tersebut, sungai-‐sungai, seperti Sungai Batanghari (Jambi), Sungai Musi (Sumatera Selatan), Sungai Baturusa (Bangka Belitung) dan Sungai Duriangkang (Kepulauan Riau) telah digolongkan mempunyai status tercemar sedang sampai berat (KLH, 2009a). Adanya
66 |ekoregion laut 5
input nutrien dari DAS yang telah tercemar, berpotensi untuk terjadinya ledakan populasi plankton dan menjadi source carbon yang dapat menyumbang terjadinya GRK. Selain itu, air tanah dari endapan termuda (Holocane) lapisan gambut dan lapisan sedimentasi alluvial di pantai timur Sumatera Selatan mempunyai konsentrasi As yang tinggi melebihi nilai pedoman WHO untuk air minum (> 10 mg/l) dengan nilai maksimum 65 µg/l (Winkel et al., 2008). Demikian juga dengan unsur-‐unsur logam lain seperti B, Mn, dan Se juga melebihi nilai pedoman WHO air minum (Winkel et al., 2008). Bahan anthropogenik organik B3 seperti POPs pestisida, terutama HCHs (hexachlrocyclohexanes) dan DDTs adalah umum dilaporkan di air dan sedimen muara sungai dan pantai di kawasan ini (lihat Sudaryanto et al., 2007). Hal ini dideteksi di lokasi seperti Kuala Tungkal (Jambi), Kuala Jambi (Jambi), dan Sungai Musi (Palembang). TBT juga ditemukan di sedimen dari Kuala Tungkal (Sudaryanto et al., 2005; Sudaryanto et al., 2007). Namun demikian, konsentrasi dari senyawa B3 ini masih lebih rendah dari beberapa wilayah pantai di Pulau Jawa, seperti Teluk Jakarta, Surabaya dan Cirebon (Sudaryanto et al., 2007). Senyawa POPs dan TBT di perairan ini berpotensi untuk mengkontaminasi makhluk hidup di dalamnya. Senyawa TBT dan POPs lain, seperti PCBs, DDT, CHLs, HCHs telah dilaporkan terdeteksi di kerang hijau (Perna viridis) di kawasan ini meskipun konsentrasinya juga lebih rendah bila dibanding biota yang sama di Teluk Jakarta, Surabaya dan Cirebon (Sudaryanto et al., 2005; Monirith et al., 2003). Bioakumulasi POPs di biota telah menjadi perhatian karena potensi daya racunnya, sehingga dapat menghasilkan sumberdaya perikanan yang tidak aman untuk dikonsumsi, bahkan dapat berpotensi untuk menurunkan populasi dan menurunkan keanekaragaman hayati.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 67
Mangrove di Selatan Jawa (foto : Youniar Hufan-BIG)
EL-4 A S I Y L A M A
KALIMANTAN TIMUR
LAUAN-RIAU KALIMANTAN BARAT
KALI MAN TAN
EL-5 IM ATA
BANGKA-BELITUNG
SE LA TM
R KA AT
AK
SEL
KALIMANTAN TENGAH
KALIMANTAN SELATAN
EL-8
A SELATAN
ATE RA
EL-6
LAMPUNG
EL-8 LAUT JAWA
DKI JAKARTA BANTEN JAWA BARAT JAWA TENGAH
JAWA
DIY
EL-2
BALI
NUSA TENGGARA
S A M U D E R A H I N D I A
±
0
100
200
JAWA TIMUR
400 Km
EL-9
Ekoregion Laut 6
Laut Jawa
Ekoregion Laut 6 meliputi perairan laut disebelah Utara Pulau Jawa dan sebelah Selatan Pulau Kalimantan 2 dengan luas 437.978 km . Ciri khas ekoregion ini adalah berupa laut dangkal yang kondisi oseanografinya sangat dipengaruhi oleh pasang surut bertipe campuran cenderung diurnal di Laut Jawa, dan juga monsun. Ekoregion Laut 6 memiliki batas dengan 4 ekoregion lain yaitu: a. Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa karena perbedaan batimetri. Ekoregion Laut Jawa pada bagian Paparan Sunda dengan kedalaman kurang dari 200 m, sedangkan ekoregion Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa berada pada Samudera Hindia, b. Selat Karimata karena perbedaan sistem pasang surut. Ekoregion Laut Jawa memiliki sistem pasang surut mixed tide prevailing diurnal, sedangkan ekoregion Selat Karimata mempunyai sistem pasang surut diurnal tide, c. Selat Makassar karena perbedaan batimetri. Ekoregion Laut Jawa berada pada bagian Paparan Sunda dengan kedalaman kurang dari 200 m, sedangkan ekoregion Selat Makassar berada pada kedalaman lebih dari 200 m, d. Perairan Bali dan Nusa Tenggara karena perbedaan batimetri. Ekoregion Laut Jawa berada pada bagian Paparan Sunda dengan kedalaman kurang dari 200 m, sedangkan ekoregion Perairan Bali dan Nusa Tenggara berada pada kedalaman lebih dari 200 m.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia |71
GEOLOGI DAN MORFOLOGI Secara geologi, ekoregion Laut 6 terbentuk sekitar 54 juta tahun silam (Hall, 2001). Morfologi dasar laut untuk ekoregion 6 adalah paparan benua (continental shelf), dengan kedalaman sampai 992 m. Ekoregion ini merupakan bagian dari Paparan Sunda. Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), ekoregion ini memiliki dominasi o kemiringan kelas lereng miring (1-‐3 ) walaupun ada sebagian pesisir yang memiliki kelas lereng agak terjal (3-‐ o 10 ). Berdasarkan peta toponimi dasar laut, ekoregion Laut 6 memiliki 2 dataran yaitu: Dataran Seribu dan Dataran Sunda; serta 1 cekungan, yaitu Cekungan Madura (Sulistyo dan Triyono, 2009).
OSEANOGRAFI Pada Ekoregion Laut 6, angin Monsun yang bertiup di atas Laut Jawa ini adalah angin bergerak dari arah barat dan barat laut menuju ke timur (Monsun Barat), angin dari timur dan tenggara bergerak menuju ke barat (Monsun Timur). Pada Monsun Peralihan pola angin tidak menentu dengan kekuatan kurang dari Angin Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Putri, 2005). Menurut Putri (2005) dan Mustikasari et al.(2010), pola sirkulasi arus akibat angin Monsun di Laut Jawa adalah pada Monsun Barat, arus bergerak dari Selat Karimata ke arah selatan dan selanjutnya membelok ke arah timur memasuki Laut Jawa. Arus pada Monsun Timur bergerak ke arah barat selanjutnya membelok ke utara memasuki Selat Karimata. Pada Monsun Peralihan, arah arus tidak beraturan, dan banyak terjadi putaran arus (eddy). Biasanya pada monsun ini di lepas Pantai Jawa arus mengalir ke timur sedangkan di lepas Pantai Kalimantan arus mengalir ke barat. Tipe pasang surut di Laut jawa adalah campuran cenderung diurnal (Wyrtki, 1961). Untuk arus permukaan akibat pasang surut, misalkan di Utara Jawa Tengah (Pranowo et al., 2003) secara umum pola arus pada kondisi pasut Perbani (neap tide condition) bergerak ke arah timur dari saat air menuju surut (ebb tide) hingga saat air tersurut (lowest water condition) dengan kecepatan maksimum 0,110 m/detik. Sebaliknya bergerak ke arah barat dari saat air menuju pasang (flood tide) hingga saat air tertinggi (highest water condition) dengan kecepatan maksimum 0,160 m/detik. Pola arus pasut pada kondisi pasut purnama (spring tide condition) menunjukkan bahwa arus bergerak ke arah timur dari saat air menuju surut hingga saat air tersurut dengan kecepatan maksimum 0,630 m/detik. Sebaliknya bergerak ke arah barat dari saat air menuju pasang hingga saat air tertinggi dengan kecepatan maksimum 0,400 m/detik. Apabila pengamatan difokuskan kepada area sekitar perairan Semarang dan sekitarnya, maka pola arus bergerak ke arah timur laut dari saat air menuju surut hingga saat air tersurut, dan sebaliknya bergerak ke arah barat daya dari saat menuju pasang hingga saat air tertinggi. Pola arus tersebut terjadi baik pada kondisi pasut Perbani maupun Purnama. Selat Sunda pernah mengalami suksesi secara besar-‐besaran. Ekosistem laut dan pesisirnya terpengaruh akibat meletusnya Gunung Krakatau pada 1883. Kejadian tersebut dimungkinkan memiliki keanekaragaman yang unik. Kecepatan arus maksimum di Selat Sunda terjadi pada Monsun Timur dan Monsun Barat (Brodjonegoro et al. 2004). Pola arus yang dibangkitkan oleh angin, menunjukkan bahwa arus umumnya bergerak dari Laut Jawa ke Samudera Hindia, kecuali pada Musim Barat arus bergerak masuk ke Laut Jawa. Kecepatan maksimum arus pada Monsun Timur terjadi pada bulan Juni. Saat air menjelang pasang, arus berbalik arah, yaitu dari Laut Jawa menuju Samudera Hindia. Saat air pasang, arus bergerak dari Samudera Hindia memasuki Laut Jawa (ke Timur dan Timur Laut). Saat air menjelang surut, arus bergerak dari Selat Sunda menuju Laut Jawa namun dengan kecepatan yang mulai melemah. Saat air surut, pola arus berbalik arah dari Laut Jawa menuju Selat Sunda.
72 |ekoregion laut 6
Adapun variasi komponen fisik di rentangan rerata tahunan dari massa air laut pada lapisan permukaan di ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Pranowo, 2002; Boyer et al., 2009) adalah suhu air laut pada ekoregion ini cukup tinggi dan mencapai kisaran 27 – 29°C; salinitas berkisar antara 31,75 PSU hingga 33 PSU; konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 4,15 – 4,30 ml/liter; dan pH berkisar antara 8,0 – 8,25. Untuk kondisi sebaran nutrien berdasarkan Pranowo et al. (2005) dan Boyer et al. (2009) adalah konsentrasi fosfat berkisar antara 0,15 – 0,40 µmol/liter; konsentrasi silikat 2,5 – 10,0 µmol/liter; konsentrasi nitrat 0,2 – 6,0 µmol/liter; klorofil 0,5 – 5,0 µgram/liter.
KEANEKARAGAMAN HAYATI Karakteristik utama ekoregion ini adalah kondisi habitat mangrove, lamun, dan karang yang telah mengalami banyak kerusakan. Pesisir timur Lampung banyak mengalami abrasi sejak tahun 90-‐an dan mangrove pantai utara Jawa hamper semuanya telah hilang. Pulau Sebesi yang berada di Selat Sunda memiliki luas area sekitar 2620 ha dengan panjang pantai 19.55 km, memiliki ekosistem perairan tropis yang terdiri dari ekosistem hutan bakau, lamun dan terumbu karang (Madduppa et al. 2005). Selain itu, banyak lahan tambak di pantai utara Jawa dan pantai timur Lampung yang tebengkalai akibat ditinggalkan pemiliknya. Ekosistem mangrove yang kondisinya masih terlihat baik terdapat di pesisir pantai Kalimantan Selatan. Hutan mangrove di pantai ini mempunyai zonasi yang jelas dari arah laut ke daratan berupa tegakan mangrove yang dapat mencapai tinggi 15 m. Lebih dari 90% mangrove di pantai utara Jawa telah hilang karena telah dialih fungsikan sebagai tambak, sawah dan pemukiman. Meskipun demikian, kawasan mangrove pantai utara Jawa merupakan rumah bagi sejumlah jenis burung yang terancam punah, seperti jenis Cikalang Christmas Fregata andrewsi (status: rentan – Appendix I), Pedendang kaki-‐sirip Heliopais personata (status: rentan), Bangau bluwok Mycteria cinerea (status: rentan – Appendix I), Bangau tongtong Leptoptilos javanicus (status: rentan). Jenis yang terakhir didata sebagai jenis dalam status rentan, umumnya bersarang di pohon bakau. Populasinya telah ditemukan di pantai Timur Sumatera (Sumatera Selatan, Jambi dan Riau), pantai Utara Jawa (Delta Sungai Brantas dan Bengawan Solo) dan pantai Selatan Jawa (Segara Anakan). Beberapa tempat di Jawa Tengah dan Jawa Timur memiliki hutan mangrove yang masih baik sebagai ekosistem alami dan hasil rehabilitasi. Padang lamun di wilayah ekoregion ini telah banyak mengalami kerusakan, sebagai contoh di Teluk Banten dan Pulau Pari di Kepulauan Seribu. Padang lamun Teluk Banten sebenarnya mempunyai arti sejarah penting dalam penamaan lamun. Lamun adalah nama lokal untuk “seagrass” yang diadopsi oleh Hutomo (1985) dalam disertasinya yang mempelajari aspek ekologi komunitas ikan di padang lamun. Salah satu spesies lamun (Syringodium isoetifolium) di padang lamun Teluk Banten ini dipanen untuk memberi makan duyung yang dipelihara di Sea World Indonesia. Di padang lamun Pulau Kangean didapatkan spesies Thalassodendron ciliatum dengan hamparan yang luas. Keberadaan spesies ini menunjukkan adanya keterkaitannya dengan komunitas lamun di perairan Indonesia bagian timur dimana spesies ini lazim didapatkan.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia |73
Terumbu karang di ekoregion ini merupakan terumbu karang marjinal yang terbentuk sejak akhir masa glasial dan merupakan terumbu karang unik yang telah beradaptasi terhadap sedimentasi tinggi. Terumbu karang di Taman Nasional Kepulauan Seribu, terutama yang menghadap Teluk Jakarta, merupakan contoh ekosistem terumbu karang yang sudah “kolaps” terutama karena dampak kegiatan manusia di daratan. Sedangkan pulau-‐pulau yang terletak di bagian utara terumbu karangnya masih bagus, terutama di zona inti dan zona perlindungan. Penelitian terbaru memperlihatkan ada gradasi dari kondisi ikan terumbu dari Teluk Jakarta sampai ke Kepulauan Seribu, semakin ke utara jumlah individu dan spesies ikan semakin bertambah (Madduppa et al. 2013). Kondisi terumbu karang juga akan mempengaruhi struktur komunitas ikan karena hubungan yang sangat erat antara keduanya (Madduppa et al. 2012). Terumbu karang yang masih relatif bagus juga terdapat di Kepulauan Karimun Jawa dan Kangean. Secara umum keanekaragaman hayati dan endemisitas rendah. Spesies langka Ikan Hiu air tawar, Gliphis sp, didapatkan di muara Sungai Sampit, Kalimantan Selatan. Spesies ini untuk pertama kali tercatat didapatkan di Indonesia oleh tim kerjasama Indonesia dan Australia. Sebelumnya genus ini tercatat didapatkan di Sabah dan Serawak.
Terumbu karang yang kondisinya masih bagus di P. Kayu Angin Genting (atas) dan P. Peteloran Timur, Kepulauan Seribu. (Foto: Siringoringo)
Hiu muara/air tawar yang didapatkan di muara Sungai Sampit. (foto: Fahmi & Adrim, 2009)
74 |ekoregion laut 6
Dugong masih didapatkan di Selat Sunda dan sekitarnya. Pulau-‐pulau di sekitar Krakatau merupakan laboratorium alam untuk mempelajari suksesi hayati bahari dan terestrial. Pulau-‐pulau di sekitar Gunung Krakatau merupakan laboratorium alam untuk mempelajari suksesi hayati bahari dan terestrial. Pulau Anak Krakatau dan Rakata merupakan lokasi alami untuk meneliti proses kolonisasi laut dan penyebaran larva. Situasi unik yang sangat ekstrim ini harus dijaga agar tidak terganggu. Ada dua marga, yaitu Periclemenes dan Tridacna memiliki clade yang sangat berbeda di Kepulauan Krakatau. Meskipun telah dilakukan survei di tempat lain, namun tidak ada populasi serupa yang ditemukan di tempat lain di kawasan segitiga karang (coral triangle). Namun demikian, perlu dipertimbangkan bahwa wilayah ini sangat jarang dilakukan pengambilan sampel, sehingga hasilnya lebih mencerminkan adanya bias pengambilan sampel dari pada kurangnya keragaman yang unik. Pada bulan Februari 2002 telah dibentuk Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi (DPLPS) berdasarkan kesepakatan masyarakat. DPLPS disahkan menurut Surat Keputusan Kepala Desa Tejang Pulau Sebesi Nomor 140/02/KD-‐TPS/16.01/I/2002 tentang Aturan Daerah Perlindungan Laut oleh oleh Kepala Desa serta disetujui oleh Ketua Badan Perwakilan Desa Tejang (Madduppa et al. 2005). Pada Ekoregion Laut 6 terdapat lima jenis kawasan konservasi, yaitu Taman Nasional Laut (TNL), Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD), Cagar Alam Laut (CAL), Taman Wisata Alam Laut (TWAL), dan Suaka Margasatwa Laut (SML). TNL tersebar di dua lokasi, yaitu TNL Karimun Jawa, Jawa Tengah dan TNL Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. TWAL terdapat di dua lokasi, yaitu TWAL Pulau Sangiang, Banten dan TWAL Pulau Biawak, Jawa Barat. Sedangkan KKPD terdapat di Pantai Ujungnegoro, Jawa Tengah, CAL terdapat di Pulau Anak Krakatau, Lampung, dan SML Pulau Rambut dan perairan Jakarta, DKI Jakarta.
PEMANFAATAN Ekoregion laut 6 berada pada WPP 712. Potensi sumberdaya perikanan antara lain: sumberdaya ikan pelagis besar (55,0 ribu ton/tahun) ikan pelagis kecil (380,0ribu ton/tahun), ikan demersal (375,2 ribu ton/tahun), udang Penaid ( 11,4 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (9,5 ribu ton/tahun), lobster (0,5 ribu ton/tahun) dan cumi-‐cumi (5,0 ribu ton/tahun. Menurut Keputusan Menteri KP No. 45/2011, untuk kondisi sumberdaya perikanan di ekoregion laut 6 adalah Udang sudah over exploited, Ikan demersal seperti spesies kerapu (Cephalophodis boenack) dan kakap merah (Lutjanus bitaeniatus dan Lutjanus malabaricus) sudah over exploited, spesies bloso (Saurida tumbil) dan kuniran (Upeneus sulphureus) sudah fully exploited), dan spesies kurisi (Nemimterus spp) dan swanggi (Priacanthus tayenus) masih taraf moderate. Pada Ikan pelagis kecil seperti spesies banyar (Rastrelliger kanagurta), kembung (Rastrelliger brachysoma), ikan terbang (Hirundichthys oxycephalus), layang (Decapterusmacrosoma dan Decapterusruselli) sudah over exploited. Potensi sumberdaya yang tidak terbarukan di ekoregion ini berupa potensi sumberdaya energi yang terdiri atas dua lokasi cekungan migas sudah dibor, empat lokasi cekungan migas berproduksi, empat lokasi migas berproduksi, satu lokasi mengandung logam berat rutile, satu lokasi mengandung logam berat zirconium, satu lokasi potensial distibusi endapan placer chromite dan magnetite, serta satu lokasi potensial distibusi endapan placer emas. Ekoregion ini juga memiliki potensi energi terbarukan dengan memanfaatkan arus dari Selat Sunda sebagai pembangkit listrik. Kandungan migas dapat ditemui di bagian utara Banten, Jawa Barat, utara Jawa Timur-‐
deskripsi peta ekoregion laut indonesia |75
Madura. BMKT tersebar di perairan Karawang, Jepara, Cirebon, Sumatra Selatan, Laut Jawa dan Kepulauan Seribu.
KERAWANAN BENCANA Ekoregion Laut 6 terletak pada paparan benua dengan kedalaman sekitar 60 m. Laut Jawa relatif aman terhadap bencana gempa dan tsunami karena terletak di bagian dalam wilayah Indonesia. Budiono et al. (2003) mengkelaskan Laut Jawa tidak rentan terhadap tsunami. Sebagaimana Selat Karimata, potensi bahaya terkait aspek kelautan adalah perubahan iklim dan kenaikan muka air laut. Berdasarkan analisis kerentanan lingkungan pesisir oleh Wibowo dan Supriatna (2011) maka seluruh Ibu Kota Provinsi yang terletak di Pantai Utara Pulau Jawa memiliki kerentanan lingkungan yang tinggi. Selain itu Ekoregion Laut 6 memiliki kerawanan bencana berupa potensi bahaya letusan dari Gunung Anak Krakatau yang masih aktif. Berbagai kondisi lingkungan seperti penurunan tanah, penggenangan akibat banjir dan banjir rob menjadi persoalan yang dihadapi kota-‐kota di pesisir Utara Pulau Jawa. Hal ini disebabkan oleh tekanan lingkungan yang terjadi di wilayah pesisir. Suhelmi et al. (2011) mengemukakan bahwa banjir rob semakin meluas seiring dengan kenaikan muka air laut dan akan diperparah dengan adanya fenomena amblesan tanah di kota pesisir Utara Pulau Jawa.
PENCEMARAN Ekoregion Laut 6 merupakan wilayah laut yang berpotensi menerima pencemaran lebih besar bahkan paling tercemar dibanding wilayah ekoregion laut lainnya. Hal ini disebabkan kedalam ekoregion laut bermuara lebih banyak sungai. Selain itu kawasan ini juga merupakan wilayah laut yang berhadapan langsung dengan pusat pemerintahan sekaligus pusat perekonomian Indonesia, serta berbagai kota besar Indonesia yang umumnya berada di wilayah utara Pulau Jawa. Limbah cair yang berasal dari kegiatan rumah tangga, pelabuhan, transportasi, pertambangan, pertanian/perkebunan, perkotaan dan berbagai jenis industri yang jumlahnya sangat banyak, melalui limpasan air sungai berpotensi mencemari ekoregion ini. Sungai-‐sungai yang tercemar yang bermuara diantaranya adalah Sungai Citarum yang tercemar berat hingga sangat berat (KLH, 2009a; Riani 2006), dan Sungai Ciliwung yang juga memiliki status mutu air tercemar berat (KLH, 2009a). 3
Berdasarkan data dari BPLHD Jakarta, 13 sungai yang bermuara ke teluk Jakarta membawa 14.000 m limbah 3 sampah rumah tangga setiap hari, atau sekitar setengah dari total sampah rumah tangga (28.435 m ) yang mencemari Laut Jawa. Sekitar 54 % sampah yang mencemari Teluk Jakarta adalah berupa plastik dan akan terus bertambah seiring dengan limpasan dari 13 sungai (Nagara et al., 2007). Selanjutnya Cordova (2008) menjelaskan bahwa pada limbah rumah tangga tersebut selain terdapat bahan organik yang mudah urai, pada limbah cairnya juga terdapat bahan pencemar yang masuk pada kategori B3. Limbah rumah tangga, effluen dari industri dan urban runoff dari kota-‐kota besar di utara Pulau Jawa akan terus memberi dampak ke perairan Laut Jawa. Hasil penelitian Riani et al. (2004) memperlihatkan bahwa Teluk Jakarta menerima beban pencemaran baik organik maupun anorganik yang sangat tinggi, sehingga telah jauh melewati kapasitas asimilasinya. Berdasarkan kegiatan tersebut di atas, maka bahan pencemar yang berpotensi untuk mencemari adalah berbagai jenis bahan organik dan bahan anorganik. Ekoregion Laut 6 merupakan wilayah laut yang menerima limbah dari kegiatan antropogenik dari kota-‐kota besar seperti DKI Jakarta, Surabaya, dan Semarang sehingga wilayah ini mempunyai potensi tercemar bahan organik sangat besar dibandingkan wilayah lainnya, yang ditunjukkan oleh nilai BOD dan COD yang tinggi, berpotensi untuk mengalami blooming plankton serta terjadinya red tide dan berpotensi untuk menyumbang gas rumah kaca dalam jumlah yang besar. Potensi
76 |ekoregion laut 6
terjadinya blooming plankton dan red tide juga cukup besar di Teluk Lampung, mengingat di lokasi ini terdapat banyak siste Dinophyceae di dasar perairan terutama yang mengandung banyak bahan organik dengan kedalaman lebih dari 10 m, selain itu di lokasi tersebut juga terdapat bahan organik yang tinggi, konsentrasi zat besi (Fe) dan silikat juga cukup tinggi (Riani, 2013 belum dipublikasikan). Jenis bahan anorganik yang dibawa oleh sungai-‐sungai yang bermuara dan mencemari wilayah ini umumnya berasal dari kegiatan pertanian dan industri di wilayah daratan, terutama di Pulau Jawa (Sudaryanto et al., 2007). Bahan anorganik dari kegiatan tersebut antara lain adalah bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti berbagai jenis logam berat yang akhirnya terakumulasi dalam berbagai biota yang hidup di dalamnya seperti pada berbagai jenis ikan dan kerang hijau (Cordova 2008, Riani 2009 dan 2010). Jenis logam berat yang dilaporkan mencemari dan mengkontaminasi di beberapa pantai di Ekoregion Laut Jawa, diantaranya adalah Hg, Pb, Cd (Cordova 2008, Riani 2004, 2005, 2009 dan 2010), Cr dan Sn (Riani 2004). Bahkan menurut Arifin et al. (2011), konsentrasi Pb dan Cu dalam sedimen di beberapa lokasi seperti di pantai Teluk Jakarta, Semarang dan Surabaya juga lebih tinggi daripada perairan lain di Manado, Buyat, Ambon dan Memberamo.
Konsentrasi Pb dan Cd di sedimen dari berbagai perairan kota pantai di Indonesia antara tahun 1980an-‐ 2000 (gambar: Arifin et al., 2008).
Bahan berbahaya dan beracun seperti tributyltin juga dilaporkan tinggi dalam sedimen, kerang dan ikan, terutama dari Teluk Jakarta dibandingkan dengan Kuala Tungkal dan Maros (Sudaryanto et al., 2007). Hasil pengamatan dari core sedimen menunjukkan bahwa PAHs telah menunjukkan peningkatan di Teluk Jakarta dimana konsentrasinya dalam rentang yang sama ditemukan di Teluk Tokyo, Jepang (Rinawati et al., 2012). Sumber pencemar dari kegiatan pertanian yang masuk ke wilayah ini antara lain adalah senyawa pestisida organoklorin terutama DDTs dan HCHs yang tinggi dalam air dan sedimen dibandingkan dengan kawasan lain di Indonesia (Sudaryanto et al., 2007). Sifat pestisida tersebut juga akumulatif, sehingga akan mudah terakumulasi dalam berbagai jenis biota air yang hidup di dalamnya. Sebagaimana gambar di bawah ini, terjadinya akumulasi B3 pada biota air ini bukan hanya terjadi di Teluk Jakarta, namun juga terjadi di berbagai wilayah seperti Cirebon, Teluk Hurun, Panimbang dan Kenjeran, yang mengakumulasi senyawa PCBs dan pestisida organoklorin lebih tinggi dibanding perairan lain di Indonesia (Sudaryanto et al., 2007).
Distribusi PCBs dan Organoklorin dalam Kerang dan Ikan di Beberapa Pantai di Indonesia (gambar: Sudaryanto et al., 2007).
deskripsi peta ekoregion laut indonesia |77
Selain kegiatan tersebut di atas, ekoregion ini juga memiliki potensi pencemaran yang ditimbulkan dari kegiatan energi dan migas. Berdasarkan data izin pembuangan limbah ke laut (KLH, 2009b), terdapat 16 (enam belas) titik sumber pencemar yang berasal dari kegiatan energi dan migas, yang berlokasi di Kabupaten Lampung Selatan (Lampung), Pesisir Utara Pulau Jawa, dan utara Madura, dengan total volume limbah sebesar 3 115.071.198,98 m /hari. Selain itu juga terdapat titik sumber pencemar lain berupa limbah cair yang berasal 3 dari 13 industri kimia dengan total volume limbah sebesar 2.298.410 m /hari dan 3 industri non kimia dengan 3 total volume limbah sebesar 320.156 m /hari. Disamping hal tersebut, di daerah hulu dan hilir ekoregion ini juga mempunyai daerah tangkapan air yang sangat terbatas sebagai akibat tingginya alih fungsi lahan hutan di daratan, terutama di hulu, sehingga mengakibatkan tingginya run-‐off sedimen. Di perairan Laut Jawa, sejumlah sedimen terbawa dan masuk ke perairan pantai, membawa nutrien yang mengakibatkan terjadinya pendangkalan di wilayah pesisir terutama yang mempunyai muara sungai dan mengakibatkan terjadinya pendangkalan perairan sehingga dapat mengancam ekosistem tersebut. Selain itu tingginya nutrien juga dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi. Beberapa dampak akibat pencemaran terutama di sekitar Pulau Jawa telah terjadi seperti penurunan dan hilangnya biodiversitas organisme bentik di Teluk Jakarta (van der Meij et al., 2009 dan Riani et al. 2004). Selain itu, menurut Arifin (2004) penurunan jumlah dan keanekaragaman hayati biota laut juga telah teramati di Teluk Jakarta, seperti jumlah tutupan dan koloni karang. Sedimentasi juga telah mengganggu kegiatan pariwisata, penangkapan ikan dan akuakultur. Keragaman ikan yang ditangkap dari jaring pantai juga telah mengalami penurunan dari 45 spesies di tahun 1974 ke hanya 20 spesies di tahun 2003. Hal yang sama juga terjadi dari hasil tangkapan menggunakan bottom trawl (Arifin, 2004).
Sebaran resiko kerusakan karang oleh f aktor sedimentasi di perairan Indonesia (gambar: Evans, 2000).
78 |ekoregion laut 6
Selain terjadi kehilangan keanekaragaman hayati, Teluk Jakarta yang mengalami pencemaran B3 telah mengakibatkan berbagai biota seperti ikan dan moluska mengalami kerusakan pada organ tubuhnya seperti insang, hati, limpa dan ginjalnya (Riani 2009 dan 2010), serta telah mengakibatkan terjadinya kecacatan pada kerang hijau (Riani dan Cordova, 2011). Akumulasi logam berat juga telah terjadi di Perairan Teluk Lampung, terutama logam berat Pb, namun demikian logam berat tersebut belum sampai mengakibatkan kerusakan pada organ tubuhnya (Riani, 2013 belum dipublikasikan).
Pesona ubur ubur di wilayah Pulau Kakaban, Derawan, Kalimantan Timur (foto : Yoniar Hufan-BIG)
T H A I L
±
F I L I P I N A A
87.5
175
350 Km
N
0
D
M A L A Y S I A
EL-7
LAUT SULAWESI
MAN TAN
N TIMUR
SULAWESI UTARA GORONTALO
LAUT MALUKU
SE L
AT M
AK
AS SA
R
EL-10
EL-11
MALUK
SULAWESI TENGAH
S U LAW E S I SULAWESI BARAT
EL-10
ATAN
EL-8
LAUT SERAM
MALUKU SULAWESI TENGGARA SULAWESI SELATAN
LAUT BAN
EL-13
EL-15
Ekoregion Laut 7
Laut Sulawesi
Ekoregion Laut 7 meliputi perairan laut di sebelah utara Pulau Sulawesi dan sebelah timur bagian utara Pulau 2 Kalimantan dengan luas 323.866 km . Ciri khas ekoregion ini adalah terdapatnya perairan basin dalam (lebih dari 6.000 meter) yang dibatasi di bagian timur oleh Kepulauan Sangihe Talaud yang terbentuk dari aktivitas tektonik. Hal tersebut mengakibatkan adanya aktivitas hidrotermal di kedalaman 600 hingga 900 m di perairan kepulauan tersebut. Arus Lintas Indonesia (Indonesian Through-‐Flow) dari Samudera Pasifik Barat melintasi basin ini sebelum memasuki Selat Makassar. Ekoregion Laut 7 berbatasan dengan dua ekoregion lain yaitu: a. Selat Makassar karena perbedaan pola arus, keanekaragaman hayati karang, dan salinitas perairan yang dilengkapi dengan referensi peta IHO, b. Laut Halmahera karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang yang disempurnakan dengan morfostruktur dasar laut yang mengikuti adanya subduksi lempeng.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia |81
GEOLOGI DAN MORFOLOGI Secara geologi, ekoregion Laut 7 terbentuk sekitar 14 juta hingga 5 juta tahun silam (Hall, 2001) dan merupakan bagian dari serpihan Wallacea. Morfologi dasar laut ekoregion ini berupa dataran abisal (abyssal plain) dan lereng benua (continental slope) dengan kedalaman hingga 6.187 m. Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), hampir seluruh Ekoregion Laut 7 o o memiliki kemiringan yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-‐3 ), kelas lereng agak terjal (3-‐10 ), kelas lereng o o terjal (10-‐20 ), dan kelas lereng curam (>20 ). Berdasarkan peta toponimi dasar laut (Sulistyo dan Triyono, 2009) Ekoregion Laut 7 memiliki satu cekungan (Cekungan Sulawesi) dan tiga parit (Parit Makassar Utara, Parit Sulawesi dan Parit Selat Makassar).
OSEANOGRAFI OSEANOGRAFI Pola angin monsun di ekoregion ini adalah angin bergerak dari arah barat laut menuju ke tenggara (Monsun Barat) yang asalnya hasil pembelokan angin dari Samudera Pasifik, angin tenggara dari Laut Arafura dan Laut Timor bergerak menuju ke barat laut. Pada Monsun Peralihan, pola angin tidak menentu dengan kekuatan kurang dari Angin Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Chang et al., 2004). Tipe pasang surut di ekoregion ini adalah campuran cenderung semidiurnal (Wyrtki, 1961; Brodjonegoro et al., 2004). Secara umum, pola arus permukaan di ekoregion ini berdasarkan pola Monsun, yaitu arus memasuki basin Sangihe Talaud dari Basin Sulu dan Selat Luzon yang kemudian memutar balik menuju ke timur kembali ke Samudera Pasifik pada Monsun Barat, demikian juga pada Monsun Timur. Pada Monsun Peralihan, arus memasuki ekoregion ini dari pintu Selat Luzon kemudian sebagian besar dibelokkan ke timur kembali ke Samudra Pasifik dan sebagian lagi dibelokkan ke barat laut hingga utara menuju Basin Sulu (Wyrtki, 1961; Brodjonegoro et al., 2004; Mustikasari et al., 2010). Secara khusus, salah satu kondisi oseanografi unik yang di ekoregion ini adalah terdapatnya Arus Lintas Indonesia (Indonesian Through-‐Flow) yang melintasi di kedalaman lebih dari 200 m membawa massa air dari Samudera Pasifik Barat menuju Selat Makassar yang semula dibawa oleh Arus Mindanao (Gordon et al., 2008; Susanto et al., 2010). Menurut Mustikasari et al. (2010), pada Monsun Barat (Desember-‐Februari) upwelling muncul di sekitar Kepulauan Talaud dengan intensitas kuat namun sempit areanya. Pada Monsun Peralihan I yang muncul adalah upwelling dominan lemah. Sedangkan pada Monsun Timur upwelling kuat muncul di Timur Kepulauan Talaud. Selain itu pada Monsun Peralihan II, upwelling intensitas lemah muncul di utara Sulawesi Utara tepatnya antara Tanjung Kandi sampai Teluk Amurang dan upwelling intensitas kuat masih muncul pula di Kepulauan Talaud. Adapun variasi komponen fisik di rentangan rerata tahunan dari massa air laut pada lapisan permukaan di ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009) adalah suhu air laut mencapai kisaran 27 – 29°C, salinitas berkisar antara 33,75 PSU hingga 34,25 PSU, konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 4,28 – 4,70 ml/liter; pH berkisar antara 7,65 – 8,25. Kondisi sebaran nutrien di ekoregion ini adalah konsentrasi fosfat berkisar antara 0,15 – 0,25 µmol/liter, konsentrasi silikat 4,5 – 15,0 µmol/liter, konsentrasi nitrat 1,5 – 4,0 µmol/liter, dan klorofil 0,5 – 5,0 µgram/liter (Boyer et al. 2009). Salah satu kondisi osenografi yang unik dari ekoregion ini adalah terbentuknya perairan Kepulauan Sangihe Talaud dari aktivitas tektonik sehingga banyak gunung api bawah laut di kedalaman 600 hingga 900 m. Hal
82 |ekoregion laut 7
tersebut ditunjukkan dengan adanya cerobong-‐cerobong yang menunjukkan aktivitas hidrotermal dan juga terdapat ekosistem organisme non-‐fotosintesis (ikan, udang, karang laut dalam, dan lain sebagainya) yang hidup dengan cara kemosintesis seperti terlihat (Wirasantosa et al., 2011).
Organisme yang hidup di cerobong hidrotermal
KEANEKARAGAMAN HAYATI Karakteristik utama ekoregion ini adalah keanekaragaman hayati laut yang tinggi. Ekoregion Laut Sulawesi merupakan bagian dari Sulu Sulawesi Marine Ecoregion, mencakup perairan Kepulauan Derawan di bagian barat sampai dengan Sanger Talaud dan Taman Nasional Bunaken di bagian timur. Wilayah ini juga merupakan jalur migrasi mamalia laut dari Samudera Pasifik ke Selat Makassar menuju Samudera Hindia. Terdapat 26 spesies mangrove ditemukan di Kabupaten Berau (Tanjung Batu, Delta Berau, sampai ke selatan di Biduk-‐biduk). Hutan mangrove dapat ditemukan di beberapa pulau, seperti Pulau Panjang, Rabu-‐rabu, Semama dan Maratua di bagian utara pesisir Berau, dan di Pulau Buaya-‐buaya di bagian selatan pesisir Berau. Secara keseluruhan luas mangrove di Berau sebesar 80.277 ha, terdiri dari spesies bakau (Rhizophora sp), api-‐api (Avicennia sp), nipah (Nypa fruticans), dan lain-‐lain. Nipah khususnya mendominasi di sepanjang Sungai Berau, sedangkan bakau dan api-‐api di Delta Berau dan di sepanjang pantai (Wiryawan et al, 2004). Di Sulawesi Utara ditemukan 17 spesies mangrove dari 9 Famili. Genus yang dominan ditemukan adalah Rhizophora, Bruguiera, dan Sonneratia. Mangrove terdapat di Taman Nasional Bunaken dengan luas total lebih dari 1.800 ha. Mangrove tersebut tersebar di Pulau Mantehage (1.435 ha), di sebagian Pulau Bunaken (76 ha), Pulau Manado Tua (7.7 ha), pulau Siladen dan Pulau Nain (7 ha). Selain itu pesisir bagian utara Molas – Wori terdapat hutan mangrove seluas 235 ha, dan di Pesisir Arakan Wawontulap seluas 933 ha. Desa Sapa dan Boyong Pante yang juga berada di bagian Utara Minahasa terdapat mangrove walaupun dalam jumlah spesies yang relatif sedikit (5 spesies) dan jenis dominan Sonneratia (Anonimous 2002).
deskripsi peta ekoregion laut indonesia |83
Padang lamun ditemukan tersebar di seluruh pesisir Berau dengan kondisi yang berbeda dengan rata-‐rata luas tutupan kurang dari 10 % sampai 80 %. Luas tutupan padang lamun yang rendah (<10 %) dapat dijumpai pada daerah-‐daerah yang banyak mendapat gangguan, seperti terbuka pada surut terendah. Luas tutupan tinggi (20 % -‐ 80 %) terdapat pada daerah yang selalu tergenang dan terlindung. Terdapat 8 spesies lamun yang ditemukan di pesisir Berau yaitu: Halodule univervis, H. pinifolia, Cyamodocea rotundata, Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovata dan Halophila ovalis (Turak, 2004). Padang lamun di Tanjung Merah, Toli-‐Toli dan Arakan-‐Wawontulap berada dalam kondisi bagus. Duyung masih ditemukan di padang lamun Arakan-‐Wawontulap dan Kepulauan Derawan. Keragaman ikan dan invertebrata di padang lamun Tanjung Merah juga cukup beragam. Komunitas karang di ekoregion ini mempunyai keanekaragaman hayati yang tinggi dengan berbagai tipe baik pada kondisi lereng yang landai maupun terjal seperti dinding. Terumbu karang terdapat di Taman Nasional Bunaken (380 spesies) dan Kepulauan Derawan (444 spesies, Erdmann, pers.comm). Survei ikan karang pada Oktober 2003 di Kepulauan Derawan menemukan 872 spesies yang terbagi dalam 272 genus dan 71 famili (Allen, 2003). Terumbu karang di pesisir Berau tersebar luas pada seluruh pulau dan gosong yang ada di bagian utara dan selatan. Gosong-‐gosong yang ada di bagian utara pesisir Berau adalah Gosong Mangkalasa, Gosong Masimbung, Gosong Buliulin, Gosong Pinaka, Gosong Tababinga, Gosong Lintang, Gosong Muaras dan Gosong Malalungun. Sedangkan gosong yang ada di bagian selatan adalah Gosong Besar/Sapitan, Gosong Dangalahan dan Gosong Paninsinan. Tipe terumbu karang di pesisir Berau terdiri dari karang tepi, karang penghalang dan atol. Beberapa atol ada yang telah terbentuk menjadi pulau dan ada yang terbentuk menjadi danau air asin. Atol yang ada di pesisir Berau hanya ada dibagian utara yaitu Pulau Kakaban, Pulau Maratua dan Gosong Muaras. Luas atol Kakaban adalah 19 km2, Atol Maratua 690 km2, Atol Muaras 288 km2 (Wiryawan et al., 2005). Penelitian dari Madduppa et al. (2012) menemukan total 159 spesies ikan berasal dari 30 famili yang diobservasi di daerah terumbu karang dan laguna di Pulau Maratua. Dari penelitian tersebut juga ditemukan bahwa jenis ikan terumbu lebih tinggi di daerah terumbu karang (121 spesies) dibandingkan dengan di daerah laguna (47 spesies). Ekoregion Laut Sulawesi kaya akan jenis organisme langka dan habitat unik seperti pesut Irrawaddy, paus sperma, paus pilot dan ikan coelacanth (Latimeria menadoensis) yang terancam punah dan penyebarannya sangat terbatas. Ikan coelacanth selain sebagai ikan purba juga sangat berharga karena menjadi mata rantai evolusi makhluk hidup dari air ke darat. Di Indonesia, ikan coelacanth hanya ditemukan di Teluk Manado (Sulawesi Utara). Di Manado Tua, ikan ini sering disebut sebagai ikan raja laut (king of the sea).
84 |ekoregion laut 7
Ikan Raja Laut, Latimeria menadoensis. tertangkap oleh nelayan, Octavianus Coan Kawalo, pada 21 Juli 2011, di Amurang, Minahasa, Sulawesi Utara. Foto diambil oleh Hentje Lumentut, jurnalis Manado Pos. (foto: www.dinofish.com)
Kawasan Laut Sulawesi sangat penting bagi banyak jenis Cetacean. Sebagai contoh paus sperma membesarkan anaknya di bagian utara Sulawesi. Menurut sejarah, di Selat Lembeh pernah terdapat kumpulan besar cetacean seperti manta dan Hiu Paus. Kepulauan Derawan dikenal sebagai lokasi peneluran penyu hijau terbesar di Asia Tenggara, pantai bagian utara Sulawesi memiliki sejumlah lokasi peneluran penyu hijau, sementara di Pulau Bira, Sambar lokasi bertelur penyu hijau dan penyu sisik. Sebaran Lokasi peneluran penyu hijau, Chelonia mydas. (gambar: Erdmann & Huffard, 2009)
Keberadaan gunung bawah laut di Sangir Talaud memperlihatkan keunikan habitat di ekoregion ini. Pada habitat sekitar kawah gunung bawah laut tersebut terdapat lingkungan yang cukup produktif karena adanya proses kemosintesis oleh aktivitas bakteri dan mikroganisme lainnya. Beberapa sumberdaya laut dalam di salah satu gunung bawah laut di pulau-‐pulau Sangihe-‐Talaud seperti pada gambar disamping ini. Terdapat empat kawasan konservasi di Ekoregion Laut 7, antara lain KKPD Berau, TWAL Pulau Sangalaki dan SML Pulau Semama di Kalimantan Timur serta TNL Bunaken di Sulawesi Utara.
PEMANFAATAN Ekoregion laut 7 berada pada WPP 716. Potensi sumberdaya perikanan antara lain ikan pelagis besar (70.1 ribu ton/tahun), pelagis kecil (230,9 ribu ton/tahun) dan demersal (24,7 ribu ton/tahun), udang penaid (1,1 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (6,5 ribu ton/tahun), lobster (0,2 ribu ton/tahun) dan cumi-‐cumi (0,2 ribu ton/tahun).
Kehidupan laut dalam di sekitar hidrotermal di wilayah Sangihe-‐Talaud.
Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45 Tahun 2011, kondisi sumberdaya perikanan di ekoregion laut 7 berdasarkan tingkat pemanfaatnnya adalah ikan demersal seperti spesies manyung (Ariidae spp), kakap merah (Lutjanus malabaricus dan L. erythropteru), kerapu (Cephalophodis boenack) dan kuwe (Caranx sexfasciatus) masih moderate. Pada ikan pelagis kecil seperti spesies layang (Decapterus kuroides dan Decapterus macarellus) masih moderate. Pada ikan pelagis besar seperti spesies tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah over exploited, spesies madidihang (Thunnus albacares) sudah fully exploited dan spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih moderate.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia |85
Ekoregion ini mempunyai potensi sumberdaya energi berupa satu cekungan migas berproduksi, satu lokasi potensial distribusi mineral endapan placer emas, satu lokasi potensial distribusi endapan placer chromite dan magnetite, serta tiga gunung api bawah laut. Hasil ekspedisi INDEX SATAL 2010 mengungkapkan potensi gunung api bawah laut di Sangihe Talaud memiliki aktivitas hidrotermal (Balitbang KP., 2010). Gunung api bawah laut tersebut adalah Kawio Barat. Aktivitas gunung api bawah laut tersebut mengeluarkan mineral, logam dan sulfida. Hasil ekspedisi juga menemukan ikan laut dalam dengan jenis ikan laut dalam yang dominan adalah Synagrops japonicus (Acropomatidae) pada kedalaman 475-‐700 m, udang famili Aristeidae dan cepalopoda jenis Histioteuthis celetaria pasifica (Histioteuthidae).
Jenis udang Aristeidae
Jenis ikan Synagrops japonicus (Acropomatidae)
Jenis cepalopods Histioteuthidae/Histioteuthis celetaria pasifica
Gunung api bawah laut Kawio Barat mengeluarkan semburan berwarna abu-‐abu yang mengandung mineral, logam dan sulfida., serta beberapa jenis potensi perikanan yang ditemukan (foto: Balitbang KKP dan NOAA 2010)
KERAWANAN BENCANA Ekoregion Laut 7 terletak di sebelah utara Pulau Sulawesi. Laut Sulawesi yang terletak di barat Lautan Pasifik disempadani dengan Kepulauan Sulu, Laut Sulu, Kepulauan Mindanao di Utara, rangkaian Kepulauan Sangihe di timur, Sulawesi di selatan dan Kalimantan Barat di barat. Laut ini terbentuk dari lembangan besar dengan kedalaman sehingga 6.200 m. Pesisir utara Pulau Sulawesi yang menghadap ke Laut Sulawesi memiliki kerentanan yang tinggi terhadap tsunami (Budiono et al. 2003). Hal ini disebabkan oleh struktur geologi wilayah tersebut yang berupa pertemuan lempeng, sesar dan pegunungan bawah laut. Pada ekspedisi INDEX SATAL yang diselenggarakan oleh P3SDLP Balitbang Kementerian Kelautan dan Perikanan dan NOAA pada tahun 2010 telah berhasil mengidentifikasi gunung berapi raksasa bawah laut Sulawesi dengan ketinggian lebih dari 10.000 kaki atau 3.000 meter.
86 |ekoregion laut 7
PENCEMARAN Ekoregion Laut 7 berpotensi menerima pencemaran yang berasal dari kegiatan rumah tangga, industri lokal, akuakultur, industri perkayuan, pariwisata, tambang batubara dan perkapalan. Berdasarkan kegiatan-‐kegiatan tersebut, bahan pencemar yang berpotensi mencemari kawasan ini adalah bahan pencemar organik dan anorganik. Bahan-‐bahan pencemar tersebut terutama berasal dari pusat utama daerah urban di sekitar perairan Laut Sulu (UNEP, 2005). Bahan-‐bahan pencemar masuk ke wilayah ini melalui sungai yang bermuara ke dalamnya sehingga berpotensi memiliki nilai BOD dan COD yang tinggi. Sebagian sungai yang bermuara ke kawasan ini telah tercemar, seperti Sungai Ongkag yang memiliki status mutu air tercemar ringan – berat (KLH, 2009a). Penelitian Booij et al. (2006) di Delta Berau, Kalimantan Timur, memperoleh hasil di lokasi ini terdapat banyak bahan pencemar organik, bahkan konsentrasi bahan organik perylene di sedimen mencapai 54-‐580 ng/g berat kering, sedangkan didalam kolom air konsentrasinya 1-‐680 pg/l. Tingginya bahan organik juga akan berpotensi terhadap terjadinya ledakan populasi plankton serta berpotensi untuk menyumbang GRK. Wilayah ini juga berpotensi untuk tercemar oleh bahan anorganik. Bahan tersebut masuk pada kategori bahan berbahaya dan beracun (B3) seperti logam berat, POPs, PAH, TBT, dan radioaktif. Pencemaran yang berasal dari bahan kimia industri, seperi PCBs dan pestisida pertanian DDT masih sangat rendah (Booij et al. 2006). Bahan pencemar tersebut berpotensi untuk mengkontaminasi mahluk hidup yang ada di dalamnya. Ekoregion Laut 7 merupakan wilayah laut yang berbatasan dengan Philipina dan Malaysia. Kawasan ini dapat dipengaruhi oleh berbagai aktivitas dari negara-‐negara tetangga tersebut. Sungai utama yang bermuara ke Laut Sulawesi diantaranya adalah Merotai, Balung dan Tawan, Sungai Mindanao (Rio Grade River), Sungai Kayan dan Berau (Kalimantan dan Sabah), serta Sungai Tundano, Polgar dan Buol dari Pulau Sulawesi. Sungai-‐sungai tersebut membawa bahan organik, sehingga memberikan dampak terhadap produktivitas perairan ekoregion ini yang juga relatif tinggi, karena sungai-‐sungai tersebut membawa nutrien dari aktivitas perkebunan sekala besar di Pulau Kalimantan dan industri dari Pulau Mindano. Pencemaran logam berat dari kegiatan industri dan urban di Teluk Batangas, yang merupakan daerah urban di Mindano, Pulau Visayan dapat mempengaruhi tingkat pencemaran di wilayah ini (MPP-‐EAS, 1998). Pencemaran yang ditimbulkan oleh aktivitas pertanian dari kawasan regional dapat dikatakan minor, mengingat di wilayah tersebut kegiatan pertaniannya relatif minim. Ekoregion ini merupakan jalur tanker minyak diantara Jepang dan wilayah Samudera Pasifik, Samudera Hindia, Asia Barat dan Eropa, sehingga mempunyai potensi untuk terjadinya tabrakan dan tumpahan minyak (MPP-‐ EAS, 1998). Kondisi tersebut dapat merugikan apabila sampai terjadi musibah tersebut, sehingga biota yang ada di dalamnya akan dapat terkontaminasi B3 seperti PAH, POPs, dan logam berat, sehingga dapat mengakibatkan biota-‐biota yang ada di dalamnya menjadi tidak aman untuk dikonsumsi. Selain itu adanya musibah tersebut juga akan sangat mengganggu atau bahkan membuat kegagalan pada kegiatan budidaya perikanan dan akan menurunkan produksi perikanan tangkap.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia |87
Terumbu Karang di perairan Kapoposan (foto: sumarjito)
± 0
EL-7
LAUT SULAWESI
KALIMANTAN TIMUR 65 130 260 Km
GORONTA
EL-10 AS
SA
R
KALI MANTAN
AK
TENGAH
SE
LA TM
SULAWESI TENGAH
S U LAW E S I SULAWESI BARAT
EL-8
KALIMANTAN SELATAN
SULAWESI TENGG SULAWESI SELATAN
EL-6
EL-13
UT JAWA
LAUT FLORES
BALI NUSA TENGGARA BARAT
NUSA TENGGARA TIM
Ekoregion Laut 8
Selat Makassar
Ekoregion 8 meliputi perairan laut diantara Pulau Kalimantan dan Pulau Sulawesi yang memiliki luas 288.005 2 km . Ciri khas ekoregion ini adalah terdapatnya kondisi batimetri yang dalam yang terhubung dengan basin Sulawesi/Sangihe Talaud di bagian utara, yang kemudian menyempit di Kanal Labani membentuk leher botol. Massa air dari Samudera Pasifik memasuki perairan Indonesia yang melalui selat ini sering dikenal sebagai Arus Lintas Indonesia (Indonesian Through-‐Flow). Ekoregion Laut 8 berbatasan dengan empat ekoregion lain yaitu: a. b. c. d.
Laut Jawa karena perbedaan batimetri. Ekoregion Laut Jawa pada bagian Paparan Sunda dengan kedalaman kurang dari 200 m, sedangkan ekoregion ini berada pada kedalaman lebih dari 200 m, Laut Sulawesi karena perbedaan pola arus, keanekaragaman hayati karang, dan salinitas perairan yang dilengkapi dengan referensi peta IHO, Perairan Bali dan Nusa Tenggara karena perbedaan pola arus dan batimetri yang dipertegas dengan morfostruktur dasar laut batas paparan, Laut Banda sebelah selatan Sulawesi dan Teluk Bone karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang dan karang.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia |91
GEOLOGI DAN MORFOLOGI Secara geologi, ekoregion Laut 8 terbentuk sekitar 48 juta hingga lima juta tahun silam (Hall, 2001) dan merupakan bagian dari serpihan Wallacea. Morfologi dasar laut ekoregion ini berupa paparan benua (continental shelf), lereng benua (continental slope) dan dataran abisal (abyssal plain), dengan kedalaman hingga 3.188 m. Berdasarkan peta kemiringan lereng dasar laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), ekoregion ini memiliki kemiringan o o o yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-‐3 ), kelas lereng agak terjal (3-‐10 ), kelas lereng terjal (10-‐20 ), dan o kelas lereng curam (>20 ). Berdasarkan Peta Toponimi Dasar Laut, ekoregion ini memiliki tiga cekungan (Cekungan Makasar Utara, Cekungan Makasar Selatan, dan Cekungan Spermonde) dan satu dataran (Dataran Doang Supermonde).
OSEANOGRAFI Pola angin monsun yang bertiup di atas ekoregion ini adalah angin bergerak dari arah barat laut menuju ke tenggara (Monsun Barat) yang berasal dari hasil pembelokan angin dari Samudera Pasifik, angin Tenggara dari Laut Arafura dan Laut Timor bergerak menuju ke barat laut (Monsun Timur). Pada periode Monsun Peralihan I dan II, pola angin tidak menentu dengan intensitas kurang dari Angin Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Mustikasari et al., 2010). Tipe pasang surut yang ada di ekoregion ini adalah campuran cenderung semidiurnal (Wyrtki, 1961; Mustikasari et al., 2010). Arus di Selat Makassar berasal dari Laut Jawa pada Monsun Barat dan arus berarah tidak menentu pada Monsun Peralihan I (Adi et al. 2004). Pada Monsun Timur arus meninggalkan Selat Makassar menuju Laut Jawa dan Laut Flores, sedangkan pada Monsun Peralihan II cenderung menuju ke Laut Flores saja. Menurut Mustikasari et al. (2010), upwelling terjadi di Selat Makassar pada saat Monsun Barat di pesisirtimur Kalimantan, yang kemudian berpindah ke tengah selat mendekati pesisir Mamuju-‐Majene di Sulawesi pada Monsun Peralihan. Kemudian area upwelling meluas melingkupi hampir sebagian selat pada Monsun Timur, dan pada Monsun Peralihan II, luasan upwelling hanya ada di sepanjang Pesisir Barat Sulawesi saja. Adapun variasi komponen fisik di rentang rerata tahunan dari massa air laut pada lapisan permukaan di ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009) adalah suhu air laut cukup tinggi dan mencapai kisaran 28 – 29°C, salinitas berkisar antara 32PSu dan 34 PSU, konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 4,30 – 4,55 ml/liter, dan pH berkisar antara 7,40 – 8,25. Kondisi sebaran nutrien berdasarkan Boyer et al. (2009) adalah konsentrasi fosfat berkisar antara 0,125 – 0,750 µmol/liter; konsentrasi silikat 2,5 – 17,5 µmol/liter; konsentrasi nitrat 1,0 – 8,5 µmol/liter; dan klorofil 0,05 – 0,50 µgram/liter. Salah satu ekosistem unik yang ada di ekoregion ini adalah ekosistem Delta Mahakam di Kalimantan Timur. Delta ini termasuk salah satu delta terdinamis saat ini yang mendapat perhatian dari kalangan ilmuwan internasional. Menurut Pranowo et al. (2012a) secara umum arus permukaan di Muara Pegah, Delta Mahakam, Kalimantan Timur pada Oktober adalah bergerak dominan dari barat yang berasal dari Selat Makassar menuju ke timur kemudian bertemu dengan arus dari barat dan dari utara yang menuju ke selatan. Kecepatan arus permukaan secara horisontal pada setiap 2 – 3 jam adalah berbeda dengan kisaran yang bervariasi. Kecepatan arus permukaan pada kondisi pasang purnama (spring tide) saat menuju surut (flood to ebb) berkisar 0,025 -‐2,7 m/detik, saat surut (ebb) 0,01 -‐ 1,2 m/detik, saat menuju pasang (ebb to flood) 0,025 – 0,44 m/detik, dan saat pasang (flood) 0,1 – 1,7 m/detik.
92 |ekoregion laut 8
Dinamika arus tersebut secara umum disebabkan oleh dinamika elevasi muka laut yang ada dan juga dipengaruhi oleh kondisi kedalaman lautnya. Terlihat arus dengan kekuatan dominan bergerak di area yang mempunyai kedalaman maksimum (± 35 m) hingga menyusur area slope kedalaman laut (± 15 m). Ketika arus bergerak menuju batimetri yang dangkal, terjadi gesekan terhadap dasar laut (bottom stress) yang cukup besar sehingga meredam kekuatan arus tersebut.
KEANEKARAGAMAN HAYATI Karakteristik utama Ekoregion Laut 8 adalah sebagai koridor penyebaran larva dan juga jalur migrasi mamalia laut yang melalui Arlindo dari Filipina ke selatan menuju Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tengara Timur. Ekoregion ini merupakan lokasi memijah bagi ikan terbang. Ekoregion ini juga kaya akan jenis organisme langka dan habitat unik (Huffard et al., 2012). Hutan mangrove yang tumbuh di Delta Mahakam cukup unik dengan anak-‐anak sungainya yang cukup banyak sehingga memberikan bentuk yang khas. Selain itu, mangrove juga tumbuh cukup baik di Teluk Balikpapan dan sepanjang pesisir bagian selatan Kalimantan Timur. Meskipun demikian, luasan hutan ini setiap tahun makin berkurang akibat alih fungsi hutan. Mangrove menyediakan tempat persinggahan dan mencari makan untuk burung-‐burung di sekitar wilayah Sulawesi Selatan, Mampie dan Bulukumba hingga Bintayung. Sebagai contoh, wilayah Bintayung merupakan lokasi penting tempat persinggahan terakhir bagi 28 jenis burung laut pesisir dan yang bermigrasi (Huffard et al., 2012). Mangrove di wilayah ini sangat unik karena sangat dekat dengan terumbu karang. Hal ini memungkinkan terjadinya hubungan antara darat dan laut. Fauna yang termasuk penghuni kawasan ini adalah buaya muara (Crocodylus porosus) di Malili, Sulawesi Selatan. Padang lamun di Kepulauan Spermonde banyak diteliti oleh peneliti Belanda dalam aspek dinamika hara di ekosistem ini. Green and Short (2003) mencatat delapan spesies lamun di Selat Makassar, yaitu Cymodocea rotundata, C. serrulata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule pinifolia, H. uninervis, Syringodium isoetifolium, dan Thalassia hemprichii. Namun baru-‐baru ini telah di deskripsi satu spesies baru lamun dari Kepulauan Spermonde, yaitu Halophila sulawesii (Supriadi, 2012). Terumbu karang terdapat di kawasan Kepulauan Spermonde dengan pulau-‐pulau kecilnya. Kondisi terumbu karang yang dekat dengan daratan kondisinya kurang baik dan akan membaik bila letaknya semakin jauh dari daratan dan permukiman penduduk. Berdasarkan penelitian disertasi Madduppa (2012), rekrutmen lokal ikan nemo (Amphiprion ocellaris) di terumbu karang Pulau Barranglompo dan Pulau Samalona sebesar 40-‐60% yang diuji berdasarkan teknik DNA mikrosalit. Hal ini berguna untuk menentukan luasan kawasan perlindungan laut. Dari berbagai hasil penelitian di Indonesia dari tahun 2004-‐2008, perairan Indonesia dihuni oleh 13 spesies ikan terbang. 11 dari 13 spesies didapatkan di ekoregion ini (Selat Makasar) dan Laut Flores. Sudah sejak lama Selat Makasar dikenal sebagai wilayah penangkapan ikan terbang terbesar di Indonesia. Penangkapan ini terutama untuk diambil telurnya. Jenis yang ditangkap dan diambil telurnya adalah Hirundichthys oxycephalus, yang oleh nelayan disebut Torani.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia |93
Distribusi jumlah spesies ikan terbang di perairan Indonesia. (gambar: Dirhamsyah et al., 2009)
Torani, Hirundichthys oxycephalus dan alat tangkapnya di Selat Makasar. (foto: Ali & Nessa, 2005)
Hasil penelitian genetik lain mengenai spesies udang paneid di wilayah Makassar dan Teluk Bone yang mencakup wilayah ekoregion ini menunjukkan bahwa terdapat empat kelompok utama berdasarkan marker CO-‐I mitokondria. Berdasarkan fenotif dan genotip udang penaeid, hasil penelitian ini menyarankan untuk menguji ulang karakter genetik dari individu udang paneid dari wilayah Sinjai karena memiliki karakteristik yang layak digunakan sebagai selective breeding. Individu dari udang paneid dari wilayah Sinjai, secara morfologi dan genetik memiliki kriteria yang hampir sama dengan udang tambak, sebagai contoh udang tambak yang berasal dari Tondra, Teluk Bone (Arlyza dan Marwayana, 2012: inpress).
94 |ekoregion laut 8
PEMANFAATAN Ekoregion laut 8 berada pada WPP 713. Potensi sumberdaya perikanan pada ekoregion ini meliputi ikan pelagis besar (193,6ribu ton/tahun), dan pelagis kecil (605, 4 ribu ton/tahun), ikan demersal (87,2 rbu ton/tahun), udang penaeid (4,8 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (34,1 ribu ton/tahun), lobster (0,7 ribu ton/tahun), cumi-‐cumi (3,9 ribu ton/tahun). Kepulauan Spermonde yang terletak di Selat Makassar menjadi salah satu lokasi untuk penangkapan ikan dan karang hias. Dari hasil penelitian mengungkapkan bahwa ikan Nemo (Amphiprion ocellaris) menjadi tangkapan utama untuk perdagangan ikan hias di Indonesia (Madduppa, 2012). Penelitian tersebut mendata lebih dari 25.000 spesimen yang diperdagangkan dari pengumpul Barranglompo untuk periode waktu tiga bulan (2005/2006) dan lebih dari 10.000 spesimen pada tahun 2008. Selain itu, anemon juga menjadi sasaran penangkapan. Sekitar 650 individu yang diambil pada tahun 2005 dan lebih dari 7.400 pada tahun 2008. Potensi sumberdaya terbarukan non ikan antara lain: (i) mangrove dengan luas 192.046 ha tersebar di sekitar pesisir timur Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan serta pesisir barat Sulawesi Selatan. (ii) padang lamun seluas 13.987 ha yang tersebar di pesisir timur Kalimantan dan pesisir barat Sulawesi serta (iii) terumbu karang mencakup luasan 196.235,94 ha yang tersebar di beberapa kawasan ekoregion ini. Menurut Keputusan Menteri KP No. 45/2011, tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan di Ekoregion Laut 8 adalah udang sudah over exploited, ikan demersal seperti spesies kerapu (Cephalophodis boenack) dan kakap merah (Lutjanus bitaeniatus dan Lutjanus malabaricus) masih taraf moderate. Ikan pelagis kecil seperti spesies ikan terbang (Hirundichthys oxycephalus) sudah over exploited. Ikan pelagis besar seperti spesies madidihang (Thunnus albacares) sudah over exploited, spesies tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah fully exploited, dan spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih taraf moderate. Potensi tidak terbarukan pada ekoregion ini antara lain sumberdaya mineral berupa satu cekungan migas yang belum dieksploitasi dan adanya BMKT yang berada di Selayar. Potensi jasa lingkungan ekoregion ini adalah wisata bahari di Taka Bone Rate, serta air mineral laut dalam (deep sea water) di Makassar yang digunakan untuk air minum melalui proses destilasi.
KERAWANAN BENCANA Berdasarkan peta rawan tsunami (Sulistyo dan Triyono, 2009), Teluk Palu yang berada di daerah pantai dan pesisir Pulau Sulawesi yang rawan terhadap tsunami berada di pantai bagian barat yang berhadapan dengan Kalimantan Timur. Pada Ekoregion Laut 8 terdapat sesar Palikoro yang berarah Tenggara-‐Baratlaut dan terkenal sangat aktif sehingga seringkali menimbulkan gempa-‐gempa tektonik. Selat Makassar ini menghubungkan antara Pesisir Barat Pulau Sulawesi dan Pesisir Timur Pulau Kalimantan. Menurut Budiono et al. (2003), ekoregion ini memiliki kerentanan rendah terhadap kejadian tsunami. Pulau Kalimantan tidak rentan kejadian gempa, namun terdapat potensi tsunami yang berasal dari kegempaan di bagian Pulau Sulawesi.
PENCEMARAN Ekoregion Laut 8 berpotensi untuk menerima pencemaran yang berasal dari kegiatan rumah tangga, pelabuhan, perkebunan, aktivitas perkotaan dan industri melalui limpasan air DAS yang bermuara ke kawasan ini. Berdasarkan kegiatan tersebut, maka bahan pencemar yang berpotensi untuk mencemari adalah bahan organik
deskripsi peta ekoregion laut indonesia |95
dan bahan anorganik. Hasil pemantauan DAS utama ditemukan bahwa Sungai Mahakam menunjukkan bahwa parameter pH, BOD, COD, DO, TSS, amonia, fenol, minyak dan lemak, fecal coli dan total coliform telah melampaui KMA kelas I atau II, dengan status mutu air tergolong tercemar berat (KLH, 2009a). Wilayah perairan ini juga berpotensi memiliki nilai BOD dan COD yang tinggi. Ledakan populasi plankton bisa terjadi dan menjadi source carbon yang dapat menyumbang terjadinya peningkatan GRK. Potensi pencemaran juga bisa ditimbulkan dari aktivitas trasportasi laut (sebagai jalur pengiriman minyak mentah), kegiatan migas dan pertambangan. Terdapat lima titik pembuangan limbah migas dan satu titik pembuangan limbah pertambangan ke kawasan ini (KLH, 2009b). Jenis bahan anorganik dan organik yang dapat mencemari wilayah ini antara lain adalah logam berat, POPs, PAHs, dan TBT. Publikasi mengenai pemantauan pencemaran laut di perairan ini masih jarang ditemukan. Dari data penelitian kandungan POPs di jaringan tubuh kerang hijau dari pantai Maros menunjukkan nilai total DDTs dan PCBs masih rendah bila dibandingkan dengan kerang di pantai dari Ekoregion Laut Jawa, seperti Teluk Jakarta, Panimbang, Cirebon dan Surabaya (Monirith et al., 2003). Demikian pula dengan TBT di kerang hijau dan sedimen dari pantai Maros, menunjukkan konsentrasi yang sangat rendah bila dibandingkan dengan jenis sampel yang sama dari Ekoregion Laut Selat Malaka dan Ekoregion Laut Jawa (Sudaryanto et al., 2005; 2007). Namun demikian, terakumulasinya senyawa POPs dan mungkin limbah B3 lain dibiota dari wilayah ini dapat menghasilkan sumberdaya perikanan yang tidak aman untuk dikonsumsi, bahkan dapat berpotensi untuk menurunkan populasi dan menurunkan keanekaragaman hayati.
96 |ekoregion laut 8
Spesies Nudibranch di wilayah Laut Sawu (foto : Yoniar Hufan-BIG)
EL-10
KALI MAN TAN
LAUT MALUKU
AS
SA R
EL-11
AT MA K SE L
N TENGAH
SULAWESI TENGAH
S U LAW E S I SULAWESI BARAT
EL-12
KALIMANTAN SELATAN
EL-8 EL-8
LAUT SERAM
MALUKU SULAWESI TENGGARA SULAWESI SELATAN LAUT BANDA
EL-15
EL-6 EL-13 LAUT FLORES BALI NUSA TENGGARA TIMUR
NUSA TENGGARA BARAT
LAUT SAWU
EL-2
EL-9
S A M U D E R A H I N D I A
± 0
100
200
400 Km
LAUT TIMOR
O R T I M
E S T L E
Ekoregion Laut 9
Perairan Bali dan Nusa Tenggara Ekoregion Laut 9 meliputi perairan laut di sebelah utara dan selatan Pulau Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara. 2 Ekoregion ini memiliki luas 625.018 km . Ciri khas ekoregion ini adalah terdapatnya beberapa pintu keluar bagi Arus Lintas Indonesia (Indonesian Through-‐Flow) seperti Selat Lombok, Selat Ombai dan terusan Timor. Arus ini membawa massa air dari Samudera Pasifik melintasi perairan Indonesia melalui Selat Makassar, Terusan Limafatola, Laut Banda dan Laut Aru. Ekoregion ini memiliki batas dengan lima ekoregion lain yaitu: a. b.
c. d. e.
Samudera Hindia sebelah selatan Jawa karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang dan pola temperatur permukaan, Laut Jawa karena perbedaan batimetri. Ekoregion Laut Jawa berada pada Paparan Sunda dengan kedalaman 200 m, sedangkan mayoritas di ekoregion Perairan Bali dan Nusa Tenggara pada kedalaman lebih dari 200 m (Samudera Hindia), Selat Makassar karena perbedaan pola arus dan batimetri yang dipertegas dengan morfostruktur dasar laut batas paparan, Laut Banda sebelah selatan Sulawesi dan Teluk Bone karena perbedaan biodiveritas ikan karang dan koral yang batasnya ditarik sesuai dengan morfostruktur patahan dan subduksi lempeng, Laut Banda karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang dan koral, pola arus, dan garis batas ditarik mengikuti morfostruktur patahan.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 99
GEOLOGI DAN MORFOLOGI Secara geologi, Ekoregion Laut 9 terbentuk sebelum 15 juta hingga 5 juta tahun silam (Hall, 2001) dan merupakan bagian dari serpihan Wallacea. Morfologi dasar laut untuk Ekoregion 9 berupa dataran abisal (abyssal plain), lereng benua (continental slope), pematang samudera (sub marine ridge), dengan kedalaman sampai dengan 7.247 m. Berdasarkan peta kemiringan lereng dasar laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), hampir seluruh Ekoregion Laut 9 o o memiliki kemiringan yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-‐3 ), kelas lereng agak terjal (3-‐10 ), kelas lereng o o terjal (10-‐20 ), dan kelas lereng curam (>20 ). Berdasarkan peta toponimi dasar laut (Sulistyo dan Triyono, 2009) Ekoregion Laut 9 memiliki enam cekungan (Cekungan Bali, Cekungan Flores, Cekungan Lombok, Cekungan Sumba, Cekungan Sawu, dan Cekungan Wetar) dan satu parit (Parit Lombok).
OSEANOGRAFI Secara umum, pola angin monsun di ekoregion ini adalah angin bergerak dari arah barat laut menuju ke tenggara, dan juga angin dari arah barat daya (Samudera Hindia Tenggara) yang membelok ke tenggara (Monsun Barat). Angin tenggara dari Laut Arafura dan Laut Timor bergerak menuju ke barat laut (Monsun Timur). Pada Monsun Peralihan, pola angin tidak menentu dengan intensitas lemah dibandingkan Angin Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Mustikasari et al., 2010). Tipe pasang surut di ekoregion ini adalah campuran cenderung semidiurnal (Wyrtki, 1961; Mustikasari et al., 2010). Secara umum pola sirkulasi arus permukaan di perairan bagian utara dari Pulau Bali dan Nusa Tenggara mengarah ke timur. Arus bergerak dengan arah kebalikan di selatan kepulauan. Selain arus permukaan tersebut, area ini dilalui oleh fenomena unik internasional yaitu Arus Lintas Indonesia (Indonesian Through Flow), yang membawa massa air dari Samudera Pasifik menuju ke Samudera Hindia Tenggara dan terjadi di kedalaman lebih dari 100 m hingga lapisan mendekati dasar perairan. Di samping itu, terdapat beberapa lokasi seperti Selat Lombok, Laut Flores, Selat Ombai, Laut Sawu dan Laut Timor yang berperan sebagai outlet dari massa air Samudera Pasifik yang menuju Samudera Hindia. Mustikasari et al. (2010) melaporkan upwelling terpantau di setiap monsun di ekoregion ini. Untuk Monsun Barat terjadi pada perairan sekitar Pulau Bali, upwelling dominan lemah ada di bagian utara, dan kuat di Selat Balung. Upwelling muncul dominan kuat di utara, barat dan selatan Pulau Lombok. Upwelling lemah sampai kuat terdapat di utara Pulau Sumbawa sampai Selat Sape. Upwelling dominan kuat juga muncul di utara Pulau Flores, Adonara, Siantar, Alor, Sumba, Timor. Upwelling lemah muncul di Laut Sawu dengan wilayah relatif luas hingga di Perairan sekitar Pulau Rote dan Pulau Sawu. Pada Monsun Peralihan I, upwelling terjadi di sekitar Bali dan Nusa Tenggara. Pada Musim Barat, banyak yang muncul di sebelah Selatan. Upwelling kuat muncul di Selatan Pulau Bali dengan area luas. Lalu muncul pula upwelling lemah sampai kuat di Barat dan Selatan Pulau Lombok, Pulau Sumbawa sampai Selat Sape, Selatan Pulau Flores, Sumba dan Timor. Upwelling dominan kuat muncul di utara dan selatan Pulau Adonara, Siantar dan Alor. Pada Monsun Timur, upwelling dominan kuat muncul di selatan Pulau Bali, selatan dan barat Pulau Lombok, selatan Pulau Sumbawa sampai Selat Sape. Upwelling kuat juga muncul di selatan Pulau Flores, Sumba, Sawu, Roti, Timor, Utara dan selatan Pulau Adonara, Siantar dan Alor.
100 |ekoregion laut 9
Pada Monsun Peralihan II, upwelling masih muncul dominan kuat dan luas di selatan Pulau Bali dan Lombok. Sementara upwelling lemah sampai kuat muncul di selatan Pulau Sumbawa, Selat Sopo, selatan Pulau Flores, utara dan selatan Pulau Andonara sampai Alor. Upwelling sangat lemah ditemukan di utara Pulau Timor. Adapun variasi komponen fisik di rerata rentang tahunan dari massa air laut pada lapisan permukaan di ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009) adalah suhu air laut cukup tinggi dan mencapai rata-‐rata 26,5 – 28,0°C, salinitas berkisar antara 33,0-‐34,5 PSU, konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 4,2 – 4,7 ml/liter, dan pH berkisar antara 8,0 – 8,25. Kondisi sebaran nutrien di ekoregion ini adalah konsentrasi fosfat berkisar antara 0,15 – 0,75 µmol/liter, konsentrasi silikat 2,50 – 22,50 µmol/liter, konsentrasi nitrat 1,0 – 9,0 µmol/liter, dan klorofil 0,05 – 0,50 µgram/liter (Boyer et al. 2009). Pada ekoregion ini terdapat beberapa lokasi yang mempunyai ekosistem laut dan pesisir yang unik, salah satunya Selat Bali yang berperan sebagai habitat ikan Sardinella lemuru. Selain itu terdapat Teluk Saleh yang berfungsi sebagai area asuhan ikan-‐ikan ekonomis, Laut Flores sebagai jalur migrasi cetacean dari Samudera Pasik menuju Samudera Hindia, dan Teluk Ekas yang secara periodik dihampiri oleh kelompok ikan paus (Purnomo et al., 2004; Brodjonegoro et al. 2004).
KEANEKARAGAMAN HAYATI Karakter utama keanekaragaman hayati Ekoregion Laut 9 adalah terumbu karang yang umumnya mengelilingi pulau-‐pulau di kawasan ini. Selain itu ekoregion ini merupakan koridor migrasi dan habitat paus. Hutan mangrove di kawasan ini tidak terlalu luas. Pada umumnya mangrove banyak tumbuh di habitat pasir dan pulau karang. Kondisi mangrove dari Pulau Bali kearah timur, kondisinya semakin berkurang yang disebabkan wilayahnya relatif kering dengan curah hujan yang rendah. Mangrove tumbuh di bagian Utara Pulau Timor. Di Pulau Bali, mangrove tumbuh di Bali bagian selatan (Teluk Benoa), kemudian di Bali Barat, dan di Pulau Lembongan. Di Pulau Lomboh, mangrove dijumpai di sekitar Sekotong dan pulau-‐pulau kecilnya. Informasi keberadaan padang lamun cukup minim. Berdasarkan pemantauan kondisi lamun di empat lokasi di Taman Nasional Komodo), lamun di lokasi ini didominasi oleh jenis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii dengan beberapa jenis lainnya, yaitu Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Halodule sp. dan Cymodocea sp (McKenzie et al., 2006 dalam De Iongh et al., 2009). Kemudian kondisi lamun yang ada di Bali selatan dijumpai ada tujuh spesies yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halophila ovalis, Halodule uninervis, Halodule pinifolia dan Syringodium isoetifolium dengan di dominansi oleh jenis Enhalus acoroides (Arthana, 2005). Ekoregion ini mempunyai terumbu karang yang cukup bagus kondisinya dengan keanekaragaman karang jamur (fungiid) menduduki peringkat 3 setelah Papua dan Laut Sulawesi. Sama seperti karang, keanekaragaman ikan karang juga menempati peringkat tiga dibawah laut Sulawesi dan Laut Banda, tetapi tingkat endemisitasnya menduduki peringkat 2 setelah Papua. Penelitian Wallace et al. (2001) mendapatkan hasil bahwa beberapa spesies karang genus Acropora, Acropora suharsonoi dan A. palmerae, diperkirakan menjadi spesies endemik di perairan ini dan perairan selatan Indonesia. Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa komposisi spesies di perairan ini mempunyai hubungan yang kuat dengan perairan dangkal Australia Barat. Kajian cepat kondisi kelautan Propinsi Bali tahun 2011 mencatat 406 spesies karang keras yang terdiri dari 54 genera. Dari 13 spesies belum terkonfirmasi namanya, dan setidaknya 1 spesies merupakan spesies baru Euphyllia sp. nov. Rata-‐rata tutupan karang hidup 28%, sedangkan karang mati rata-‐rata < 4%. Survei
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 101
menemukan terumbu karang Bali dalam pemulihan aktif dari pemutihan karang, perikanan yang merusak dan serangan bintang laut berduri yang sempat diperkirakan menghancurkan karang-‐karang tersebut mulai dari akhir 1990an hingga 2001. Perbandingan karang hidup dan mati adalah 7 banding 1 yang merupakan bukti kelentingan terumbu karang Bali (Mustika, et al., 2012). Kajian ini juga mencatat ikan karang sebanyak 977 spesies, terdiri dari 320 genus dan 88 famili. Jenis yang paling sering ditemui di karang Bali adalah ikan kakatua (Labridae), betok (Pomacentridae), betutu (Gobiidae), capungan (Apogonidae), kerapu (Serranidae), ikan kepekepe (Chaetodontidae), dan butane (Acanthuridae). Sebanyak 16 jenis ikan karang yang diduga endemik ditemukan di Bali dan ke arah timur ke pulau-‐pulau Nusa Tenggara. Dari hasil kajian ini juga ditemukan 13 spesies ikan baru atau yang belum terdeskripsikan. Dugong dapat ditemukan di kawasan ini. Keberadaan Dugong di Pulau Timor Barat diinformasikan saat operasi lapangan oleh PT. Jaya Acol Oceanarium yang berhasil menangkap 2 ekor Dugong di Teluk Kupang. Keberadaan Dugong di Pulau Rote telah dikonfirmasi sejak tahun 1997 dan kembali dikonfirmasi pada tahun 2004 melalui wawancara dengan penduduk setempat (De Iongh et al., 2006). Pada tahun 2007 terlihat oleh Suharsono (komunikasi pribadi) saat melakukan survei penyelaman. Informasi mutakhir disampaikan oleh Kuriandewa (komunikasi pribadi) yang melihat dugong di Pulau Rote sebelah utara berhadapan dengan Pulau Timor pada tahun 2010.
Jalur migrasi paus di perairan Maluku dan Nusa Tenggara. (gambar: Monk et al., 1997 dalam Wagey & Arifin 2008)
Laut Timor dan selat-‐selat yang berada di antara pulau-‐pulau di sekitar wilayah tersebut merupakan koridor migrasi utama mamalia besar dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Spesies mamalia besar tersebut adalah paus bongkok (Megaptera novaeangliae), paus sirip (Balaenoptera physalis), paus sei (Balaenoptera borealis), dan paus sperma (Physater catodon). Selain itu, terjadinya fenomena upwelling menjadikan perairan ini produktif sehingga dapat menyediakan makanan yang cukup untuk mendukung populasi mamalia besar ini. Laut Sawu diperkirakan merupakan lokasi mencari makan, pemijahan dan pembesaran anak (calving) dari Paus Sperma. Wilayah Kepulauan Alor-‐Solor merupakan salah satu habitat cetacea oseanik terpenting di Indonesia (Wagey & Arifin, 2008)
PEMANFAATAN Ekoregion laut 9 berada pada WPP 573. Potensi sumberdaya perikanan di kawasan tersebut antara lain ikan pelagis besar (201,4 ribu ton/tahun), pelagis kecil (210,6 ribu ton/tahun), demersal (66,2 ribu ton/tahun), udang penaid (5,9 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (4,5 ribu ton/tahun), lobster (1,0 ribu ton/tahun) dan cumi-‐ cumi (2,1 ribu ton/tahun). Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45 Tahun 2011, tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan di Ekoregion Laut 9 adalah udang sudah dimanfaatkan melebihi kapasitas (over exploited), Ikan demersal seperti spesies kerapu (Cephalophodis boenack) dan kuwe (Caranx sexfasciatus yang sudah fully
102 |ekoregion laut 9
exploited, spesies layur (Trichiurus spp) masih taraf moderate. Ikan pelagis kecil seperti spesies lemuru (Sardinella lemuru) sudah over exploited, spesies layang Decapterus kuroides masih taraf moderate. Tingkat pemanfaatan ikan pelagis besar seperti tuna mata besar (Thunnus obesus) dan tuna sirip biru (Thunnus maccoyii) sudah over exploited, spesies madidihang (Thunnus albacares) dan albakora (Thunnus alalunga) sudah fully exploited, dan spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih taraf moderate. Untuk cumi-‐cumi masih (Loligo spp) dimanfaatkan dalam taraf normal (moderate). Potensi sumberdaya tidak terbarukan atau sumberdaya mineral pada ekoregion ini antara lain terdiri dari satu cekungan sedimen berproduksi, dua cekungan sedimen sudah dieksploitasi, satu cekungan sedimen belum dieksploitasi, satu lokasilokasi area potensial distribusi endapan placer chromite dan magnetite. Potensi migas tersebar disekitar daerah utara Bali, Lombok Sumbawa, selatan Tanimbar, dan selatan Pulau Timor. Terdapat potensi hidrothermal yang berasal dari gunung api Baruna Komba yang berada sekitar 200 m dari permukaan laut (Sarmili et.al, 2003). Terdapat juga potensi Jasa lingkungan, wisata bahari di Bali dan Lombok dan potensi air mineral laut dalam (deep sea water) di Gondol, Jula, Dompu, Kupang yang digunakan untuk air minum melalui proses destilasi. Ekoregion ini juga memiliki potensi energi terbarukan dengan memanfaatkan arus dari Selat Bali, Selat Lombok, Selat Alas, Selat Flores sebagai pembangkit listrik.
KERAWANAN BENCANA Selatan Gugusan Pulau Bali hingga Nusa Tenggara berada pada zona pertemuan lempeng sehingga rentan terhadap gempa yang diikuti dengan tsunami (Budiono et al. 2003). Gempa juga sering melanda lokasi ini, baik pada Utara gugusan pulau maupun sebelah Selatan gugusan pulau. Potensi tsunami terjadi baik pada sisi Utara maupun Selatan gugusan pulau (Budiono et al. 2003). Selain itu ekoregion ini memiliki kerawanan bencana berupa potensi bahaya letusan dari gunung api bawah laut yang masih aktif, yaitu Baruna Komba, Anak Komba, dan Ibu Komba. Pulau-‐pulau Nusa Tenggara yang paling rawan tsunami berada di pulau-‐ pulau Nusa Tenggara Timur terutama Pulau Timor pantai timur yang berada di subduksi Lempeng Australia dan Lempeng Eurasia. Teluk Kupang termasuk daerah yang agak rawan tsunami meskipun posisinya relatif aman dengan adanya Pulau Semau di bagian baratnya. Pantai utara pulau-‐pulau Nusa Tenggara terutama Sumba dan Flores rawan terhadap tsunami akibat adanya sesar Flores dengan potensi seismisitas dan longsor dasar laut serta gejala aktivitas volkanisme bawah laut.
Salah satu karakter pantai yang ada di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur yang bersifat landai dan tebuka sehingga rawan terhadap bencana tsunami (foto : Puslitbang Geologi Kelautan, KESDM, 2013).
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 103
PENCEMARAN Ekoregion Laut 9 merupakan wilayah laut yang berpotensi untuk menerima pencemaran yang berasal dari kegiatan pertanian, rumah tangga, pariwisata dan pertambangan melalui limpasan air sungai yang bermuara ke kawasan ini. Berdasarkan kegiatan tersebut, maka bahan pencemar yang berpotensi untuk mencemari adalah bahan organik dan bahan anorganik. Ekoregion ini juga berpotensi tercemar bahan organik, sehingga berpotensi untuk memiliki nilai BOD dan COD yang tinggi, berpotensi untuk mengalami blooming plankton dan berpotensi untuk menjadi menyumbang terjadinya perubahan iklim. Hal ini sesuai dengan hasil survai Riani (2008) di Bali yang memperlihatkan BOD dan COD yang berada di luar ambang batas yang diperbolehkan untuk kehidupan biota laut.
Distribusi oil spill dari citra MODIS di Celah Timor, Agustus-‐ Oktober 2009 (gambar: Gaol, 2009)
Sebagian sungai yang bermuara ke wilayah ini telah tercemar baik oleh bahan organik maupun bahan anorganik, seperti Sungai Meninting yang memiliki status mutu air tercemar sedang – berat dan sungai Jangkok yang memiliki status mutu
air tercemar berat (KLH, 2009a). Menurut Falahudin et al. (2012), pencemaran oleh senyawa PAH dalam air dan sedimen di perairan Timor adalah cukup tinggi bila dibandingkan di beberapa perairan lain di Indonesia seperti Teluk Klabat dan perairan pantai Kalimantan Timur (Sangata dan Balikpapan). Selain itu, aktivitas pertambangan di Sumbawa yang mengalirkan limbah tailingnya (submarine tailing disposal) berpotensi menimbulkan pencemaran di perairan ini. Logam berat, terutama Cu adalah bahan pencemar utama di sekitar STD ini (Edinger, 2012). Berdasarkan izin pembuangan limbah ke laut di wilayah ini, terdapat satu titik sumber pencemar yang berasal dari kegiatan pertambangan yang berlokasi di Kabupaten Sumbawa Barat dan 3 menghasilkan limbah dengan volume sebesar 36.750 m /hari (KLH, 2009b). Di wilayah ini juga terdapat kegiatan pertambangan migas yang berada di perairan Australia, sehingga berpotensi menjadi sumber pencemaran. Sebagai contoh, oil spill akibat meledaknya anjungan minyak Montara (Australia) pada tanggal 21 Agustus 2009 menyebabkan pencemaran minyak ke perairan laut sekitarnya (Gaol, 2009). Berdasarkan citra MODIS seperti dalam gambar di bawah ini, pencemaran minyak ini sampai ke perairan 2 Indonesia dengan luas perairan yang tertutup oil spill diperkirakan sekitar 7000 km (Gaol, 2009). Sementara itu, dampak oil spill telah terlihat di perairan Indonesia seperti yang dilaporkan oleh para nelayan yang menemukan banyak ikan mati di laut (Gaol, 2009). Dampak negatif dari tumpahan minyak ini terhadap biota laut juga telah terlihat di perairan Celah Timor (Watson et al., 2009). Selain itu adanya musibah tersebut berpotensi terhadap terjadinya pencemaran berbagai senyawa PAH dan logam berat. .
104 |ekoregion laut 9
Sponge di perairan Teluk Tomini, kadang disebut “Salvador Dalli” (foto: Erick)
± 0
50
100
200 Km
LAUT SULAWESI
EL-7 SULAWESI UTARA AS
SA R
GORONTALO
SE LA TM
AK
EL-10 SULAWESI TENGAH
S U LAW E S I
ULAWESI BARAT
EL-12
SULAWESI TENGGARA SULAWESI SELATAN
LAUT MALUKU
EL-11
Ekoregion Laut 10
Teluk Tomini
Ekoregion Laut 10 meliputi perairan laut yang berbatasan perairan Laut Halmahera yang memiliki luas 70.020 2 km . Teluk Tomini adalah salah satu teluk terbesar di Indonesia yang dikelilingi oleh tiga Propinsi yaitu Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Tengah. Ciri khas dari ekoregion ini adalah termasuk teluk yang besar dengan kedalaman yang beragam, dan dibagian tengah teluk terdapat aktivitas hidrotermal bawah laut. Ekoregion Teluk Tomini merupakan salah satu teluk terbesar di Indonesia yang memiliki batas dengan ekoregion Laut Halmahera karena perbedaan keanekaragaman hayati ikang karang dan karang serta pola temperatur dan salinitas.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 107
GEOLOGI DAN MORFOLOGI Secara geologi, ekoregion Laut 10 ini terbentuk sekitar 6 juta tahun silam (Hall, 2001) dan merupakan bagian dari serpihan Wallacea. Morfologi dasar laut untuk ekoregion 10 terdiri dari dataran abisal (abyssal plain) dan lereng benua (continental slope), dengan kedalaman berkisar antara 0 sampai dengan 3.854 m. o
Ekoregion Laut 10 memiliki kemiringan dasar laut yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-‐3 ), kelas lereng o o o agak terjal (3-‐10 ), kelas lereng terjal (10-‐20 ), dan kelas lereng curam (>20 ) (Sulistyo dan Triyono, 2009). Berdasarkan peta toponimi dasar laut, ekoregion ini memiliki dua cekungan yaitu Cekungan Gorontalo dan satu cekungan yang tidak bernama (Sulistyo dan Triyono, 2009).
OSEANOGRAFI Pola angin Monsun yang bertiup di atas ekoregion ini adalah ekstensi dari angin yang bertiup di Ekoregion Perairan Bali dan Nusa Tenggara. Pergerakan angin Monsun tersebut adalah angin bergerak dari arah barat laut menuju ke tenggara (Monsun Barat) yang asalnya adalah hasil pembelokan angin dari Samudera Pasifik, angin tenggara dari Laut Arafura dan Laut Timor bergerak menuju ke barat laut (Monsun Timur). Sedangkan pada Monsun Peralihan pola angin tidak menentu dengan intensitas lemah dibandingkan Angin Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Putri, 2005). Tipe pasang surut di perairan Teluk Tomini adalah campuran cenderung semidiurnal, dengan tinggi rata-‐rata air pasang tertinggi adalah +2,50 m, air surut terendah -‐2,64 m, dengan tunggang maksimum sekitar 5,14 m (Wyrtki 1961; Purnomo et al. 2003). Menurut Purnomo et al. (2003), arus yang memasuki Teluk Tomini berasal dari Laut Maluku yang terletak di sebelah timur perairan Teluk Tomini. Pola arus menunjukkan bahwa arus bergerak keluar masuk Teluk Tomini sesuai dengan pola pasut yang ada. Saat air surut, arus bergerak dari arah Laut Maluku menuju perairan dalam Teluk, kecepatan arus maksimum di utara Tanjung Api dan Selat Wadea. Saat air menjelang pasang, arus dari arah Laut Maluku bergerak menguat memasuki perairan teluk, sebagian arus yang bergerak di sebelah utara perairan teluk bergabung dengan arus balik di selatan teluk yang mengarah keluar teluk dan memasuki Perairan Kepulauan Togean. Saat air pasang kekuatan arus melemah hampir di seluruh perairan teluk di sekitar Perairan Kepulauan Togean. Saat air menjelang surut arus bergerak keluar ke segala arah dan bergabung dengan arus dari perairan di sekitarnya yang lebih lemah dan bergerak keluar perairan teluk. Menurut Mustikasari et al. (2010), pada Monsun Barat upwelling intensitas lemah hingga kuat dan relatif luas muncul di Perairan Teluk Tomini bagian Utara dan Barat. Pada Monsun Peralihan I, di Teluk Tomini bagian Utara upwelling umumnya lemah. Pada Monsun Timur muncul upwelling dominan kuat dan luas dari utara Tanjung Pangkalsiang sampai Teluk Poso. Pada Monsun Peralihan II, upwelling intensitas kuat muncul di Teluk Tomini bagian Selatan antara Tanjung Pangkalsiang sampai Teluk Poso. Adapun variasi komponen fisik di rentang rerata tahunan dari massa air laut pada lapisan permukaan di ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009) adalah suhu air laut mencapai kisaran 29 – 30,5°C; salinitas berkisar antara 33-‐33,5 PSU; konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 4,6 – 4,8 ml/liter; dan pH berkisar antara 6,75 – 7,40. Kondisi sebaran nutrien di ekoregion ini adalah konsentrasi fosfat berkisar antara 0,15 – 0,25 µmol/liter; konsentrasi silikat 5 – 10 µmol/liter; konsentrasi nitrat 8 – 9 µmol/liter; dan klorofil 0,05 – 5,0 µgram/liter (Boyer et al. 2009).
108 |ekoregion laut 10
KEANEKARAGAMAN HAYATI Karakteristik utama Ekoregion Laut 10 adalah memiliki keragaman tinggi dan tingkat keendemikan yang penting karena keterisolasian yang cukup lama. Perairan teluk yang bersifat semi-‐tertutup merupakan kawasan yang unik karena mengalami isolasi geografis yang cukup lama. Pesisir utara yang unik dengan lansekap berhutan dan langsung terjal ke arah laut hingga kedalaman mencapai mintakat abisal (abyssal zone) sehingga tidak mempunyai paparan benua (continental shelf). Wilayah ini memiliki ekosistem pesisir yang lengkap yaitu ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Kondisi ekosistem mangrove di Kawasan Teluk Tomini Kabupaten Bolaang Mongondow, dalam kondisi yang masih baik, walaupun pada beberapa tempat terlihat adanya pembukaan lahan untuk tambak serta adanya bekas-‐bekas penebangan. Sebagian besar ekosistem mangrove di Pantai Selatan Bolaang Mongondow terdapat di daerah tepian pantai. Komunitas lamun (seagrass) cukup luas dengan kondisi bervariasi mulai kurang hingga baik. Jumlah spesies yang ditemukan berkisar 5 – 6 spesies. Dalam ekosistem mangrove dan ekosistm terumbu karang dijumpai terutama dua spesies yang memiliki toleransi besar di wilayah mangrove yaitu Cymodocea rotundata, dan Thallasia 2 hemprichii. Jumlah individu berkisar 553,3 – 845,6 individu/m dan berdasarkan tutupan kanopi dikategorikan baik (65% -‐ 80%).
Sponge dengan ukuran yang sangat besar di temui di wilayah Teluk Tomini dan ini merupakan spesies yang hanya ada satu-‐satunya di dunia dan hanya dapat di temui disini, beberapa kalangan menjulukinya sebagai “Salvador Dali” karena bentuknya yang menyerupai aliran lukisan dari Dali sendiri (foto: Koleksi Pribadi Erick)
Terumbu karang tumbuh cukup baik di Kepulauan Togean. Terumbu karang Teluk Tomini mempunyai keragaman karang genus Acropora yang paling tinggi di Indonesia. Terdapat 5 (lima) spesies Acropora di Indonesia yang tidak terdapat wilayah lain, dan dari 5 spesies tersebut dua spesies termasuk endemik di Teluk Tomini yaitu Acropora togeanensis dan A. suharsonii. Endemisitas dan isolasi genetik yang mengindikasikan (hipotesis) sebagai akibat proses pembentukan spesies (speciation). Hal ini terjadi karena isolasi serta peninggalan (relic) elemen fauna Tethys yang terjebak saat lengan-‐lengan Sulawesi bertumbukan sehingga membentuk teluk yang dalam dan terusan Laut Tethys hilang. Sejarah geologi yang kaya telah memberikan endemisitas dan keanekaragaman yang sangat tinggi untuk kawasan sekecil itu, termasuk berbagai jenis ikan dan stomatopoda yang berasosiasi dengan terumbu karang.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 109
Penelitian dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup dan Sumberdaya Alam Universitas Sam Ratulangi Manado bekerjasama dengan Pusat Pengelolaan Ekoregion Sumapapua (2007) menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di Kawasan Teluk Tomini Sulawesi Utara, daerah Kabupaten Bolaang Mongondow dalam kondisi “miskin-‐ cukup” didominasi oleh jenis karang batu Montipora, Acropora dan Diplostrea. Populasi karang dijumpai hingga pada topografi landai hingga drop dengan jarak pandang 10 – 25 m. Degradasi kondisi terumbu karang diakibatkan oleh akibat aktivitas manusia (penggunaan bahan peledak dan racun) maupun pengaruh alami. Pantai berpasir putih Bakiriang, Teluk Towari, Sulawesi Tengah sangat penting bagi kehidupan Burung Maleo, Macrocephalon maleo. Penyu Hijau (Chelonia mydas) berstatus genting – Appendix I dan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate) berstatus kritis bertelur di Kepulauan Togean. Jenis Isopora togianensis yang langka dapat ditemukan di wilayah ini dan di Teluk Cenderwasih. Terakhir, sejumlah Cetacea yang terancam punah juga diketahui mengunjungi perairan dalam di Teluk Tomini. Keragaman larva ikan sidat, Anguillidae, juga cukup tinggi dan termasuk yang tertinggi di samping Laut Sulawesi (Sugeha et al., 2008). Elver (ikan muda) sidat ini memasuki perairan tawar sungai Poso dan Danau Poso. Setelah dewasa di danau tersebut ikan ini kembali ke laut untuk memijah, dan Teluk Tomini diperkirakan sebagai salah satu daerah pemijahan ikan ini.
Burung maleo merupakan burung khas diwilayah Sulawesi Tengah terutama di teluk tomini.
Sebaran keragaman spesies sidat, Anguilla spp di perairan Indonesia. (gambar: Sugeha et al., 2008)
110 |ekoregion laut 10
Berdasar analisis struktur genetik Bayesian, sampel Neotrygon kuhlii yang berasal dari Teluk Tomoni dekat hubungannya dengan populasi yang berasal dari dua wilayah yang berbeda yaitu populasi dari Samudera Hindia dan Selat Bali / Laut Flores meskipun hubungan akhirnya terlihat lemah. Karena ukuran wilayahnya yang sempit, penetapan hubungan struktur genetik populasi di wilayah Teluk Tomini terhadap populasi di Samudera hindia (atau Selat Bali / Laut Flores) dapat dianggap hanya sebagai hubungan sementara. Secara umum, dasar perairan samudera yang berbeda dapat memperlihatkan populasi Neotrygon kuhlii yang berbeda secara genetik (Borsa et al., 2012). Terdapat dua kawasan konservasi di Ekoregion Laut 10, yaitu KKPD Desa Olele, Gorontalo dengan luas 2.460 ha dan Taman NasionalLaut Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah dengan luas sekitar 362.065 ha.
PEMANFAATAN Ekoregion 10 berada pada WPP 715. Potensi sumberdaya perikanan di kawasan tersebut antara lain ikan pelagis besar (106, 5 ribu ton/tahun), pelagis kecil (379,4 ribu ton/tahun) dan demersal (88,8 ribu ton/tahun), udang penaid (0,9 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (12,5 ribu ton/tahun), lobster (0,3 ribu ton/tahun) dan cumi-‐ cumi (7,1 ribu ton/tahun). Potensi sumberdaya non hayati meliputi: (i) mangrove tersebar di sekitar pesisir selatan Gorontalo, pesisir Kepulauan Togean dan pesisir Banggai dan Poso seluas 25.700,40 ha, (ii) padang lamun seluas 1.284,10 ha tersebar di pesisir selatan Teluk Tomini dan (iii) terumbu karang seluas 22.417,50 ha yang tersebar di beberapa kawasan ekoregion ini. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45/2011, tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan di ekoregion laut 10 meliputi beberapa kategori. Tingkat pemanfaatan udang sudah over exploited, ikan demersal seperti spesies kerapu (Cephalophodis boenack) dan kakap merah (Lutjanus bitaeniatus dan Lutjanus malabaricus) sudah fully exploited. Ikan pelagis kecil seperti spesies ikan terbang (Hirundichthys oxycephalus) dan layang (Decapterus kuroides) sudah fully exploited, dan spesies layang (Decapterus macarellus) masih moderate. Tingkat pemanfaatan Ikan pelagis besar seperti spesies tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah over exploited, spesies madidihang (Thunnus albacares) sudah fully exploited dan spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih taraf moderate. Potensi sumberdaya lainnya yang berada pada Ekoregion Laut 10 adalah: a. Potensi sumberdaya mineral berupa satu lokasi cekungan migas sudah ada penemuan, satu lokasi cekungan migasyang sudah di bor, satu lokasi cekungan migasyang belum dieksploitasi, satu lokasi lokasi potensial distribusi endapan placer emas, serta tiga gunung api bawah laut b. Potensi migas terdapat di Banggai, Sulawesi Tengah. c. Pemanfaatan yang dilakukan terhadap potensi tersebut adalah sebagai bahan bakar untuk berbagai jenis alat transportasi dan industri. d. Potensi jasa lingkungan yaitu wisata bahari di Pulau Togean.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 111
KERAWANAN BENCANA Teluk Tomini merupakan salah satu teluk terbesar di Indonesia, dengan luas perairan sekitar enam juta hektar, serta dikelilingi oleh tiga propinsi yaitu Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah. Teluk yang dilewati garis khatulistiwa ini berada pada posisi yang strategis sebagai jantung segitiga terumbu karang dunia atau heart of coral triangle, yang disepakati pada World Ocean Conference (WOC) dan Coral Triangle Initiatives (CTI) Summit pada Mei 2009 di Manado, Sulawesi Utara (SUSCLAM, 2010). Berdasarkan aspek kerentanan dan kebencanaan, wilayah Ekoregion Laut 10 memiliki kerentanan terhadap tsunami dan kegempaan (Jaya et al., 2001; Budiono et al. 2003). Hal ini harus diwaspadai karena wilayah ini terdapat kepulauan Togean yang memiliki potensi wisata bahari yang tinggi.
PENCEMARAN Ekoregion Laut Teluk Tomini memiliki potensi mendapat pencemaran dari kegiatan pemukiman, hotel, restoran, pelabuhan dan pariwisata. Berdasarkan keseluruhan sumber pencemar, pencemaran yang diakibatkan oleh kegiatan pariwisata relatif lebih kecil dibandingkan dengan pencemaran akibat aktivitas lainnya. Menurut Laapo et al. (2009) indeks pencemaran lingkungan perairan meningkat sekitar 21% selama musim puncak kunjungan turis di kawasan wisata gugus Pulau Togean. Walaupun status mutu air di sekitar perairan Pulau Togean masih terbilang baik, wilayah perairan tersebut memiliki potensi pencemaran yang meningkat apabila sumber pencemar tidak dikelola dengan seharusnya. Kawasan wisata lain yang berpotensi mengalami pencemaran adalah wilayah Pantai Wisata Bahari Bentenan dan Pantai Mangkid. Pada Pantai Wisata Bahari Bentenan terdapat konsentrasi deterjen dan pada pantai Mangkid yang bervegetasi mangrove terdapat kandungan colitinja yang tidak memenuhi syarat Kepmen LH 51 Tahun 2004. Sumber pencemar dari kegiatan pelabuhan berasal dari dua pelabuhan yang memiliki status mutu air berada dalam kondisi tercemar ringan (KLH, 2009c; 2010). Parameter fenol adalah yang umum ditemukan melebihi nilai ambang batas di perairan pelabuhan Teluk Tomini (KLH, 2009c; 2010). Sumber pencemar dari permukiman, hotel, dan restoran berpotensi mencemari sungai-‐sungai yang bermuara di Teluk Tomini, seperti sungai Bone dan Bolango. Kedua sungai tersebut memiliki status mutu air cemar sedang berdasarkan metode indeks pencemaran (Keputusan MENLH No. 115 tahun 2003) dengan menggunakan Kriteria Mutu Air Kelas I (PP 82/2001). Wilayah laut ini berpotensi memiliki nilai BOD dan COD yang tinggi, dan berpotensi untuk menyumbang GRK. Kegiatan pertanian dan perikanan, selain berpotensi untuk menghasilkan bahan pencemar organik, juga berpotensi untuk menghasilkan limbah B3 seperti pestisida dan logam berat. Pada prinsipnya jenis dan sumber bahan pencemar yang dihasilkan dari berbagai kegiatan di atas dapat mempengaruhi kualitas perairan di wilayah ini dan keberlanjutan sumberdaya terumbu karang yang dijadikan sebagai obyek wisata (Laapo et al., 2009).
112 |ekoregion laut 10
Pigmy Seahorse di Selat Lembeh, Bitung (foto: Davide Lopresti)
±
F I L I P I N A
0
75
150
300 Km
EL-11
EL-7 SULAWESI
LAUT HALMAHERA MALUKU UTARA
SULAWESI UTARA
LO
EL-10 LAUT MALUKU
ARA
EL-14 EL-12
LAUT SERAM MALUKU
PAP
Ekoregion Laut 11
Laut Halmahera
2
Ekoregion Laut 11 berbatasan dengan Samudera Pasifik di sebelah Utara Papua dan memiliki luas 451.955 km . Ciri khas ekoregion ini adalah struktur Kepulauan Halmahera yang dapat menimbulkan Halmahera Eddy, yang merupakan arus putar balik ke arah Barat dan kembali ke samudra Pasifik yang semula berasal dari arus susur tepian Papua utara yang menuju ke barat. Ekoregion Laut Halmahera bersebelahan dengan enam ekoregion lain yaitu: 1. Laut Sulawesi karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang yang disempurnakan dengan morfostruktur dasar laut yang mengikuti adanya subduksi lempeng, 2. Teluk Tomini karena perbedaan keanekaragaman hayati ikang karang dan terumbu karang serta pola temperatur dan salinitas, 3. Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang dan garis ditarik dengan morfostruktur patahan, 4. Laut Banda karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang, garis batas mengikuti morfostuktur patahan, 5. Laut Seram dan Teluk Bintuni karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang dan karang yang diperbaharui dengan studi detail tentang keanekaragaman hayati. 6. Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 115
GEOLOGI DAN MORFOLOGI Secara geologi, ekoregion laut 11 ini terbentuk sekitar 6 juta tahun silam (Hall, 2001) dan merupakan bagian dari serpihan Wallacea. Morfologi dasar laut untuk ekoregion ini berupa dataran abisal (abyssal plain) dan lereng benua (continental slope) dengan kedalaman berkisar antara 0 hingga 9.514 m. Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), hampir seluruh wilyah ini memiliki o o kemiringan yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-‐3 ), kelas lereng agak terjal (3-‐10 ), kelas lereng terjal o o (10-‐20 ), dan kelas lereng curam (>20 ). Berdasarkan peta toponimi dasar laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), ekoregion ini memiliki lima cekungan (Cekungan Morotai, Cekungan Khaterina, Cekungan Taliabu, Cekungan Mangale dan Cekungan Datan), dua plato (Plato Morotai Timur, dan Plato Waigea), dan tiga parit (Parit Sangihe, Parit Ternate, dan Parit Utara Morotai).
OSEANOGRAFI Pola angin Monsun di ekoregion ini memiliki pola yang sama dengan di ekoregion Teluk Tomini. Secara umum, angin bergerak dari arah barat laut menuju ke tenggara pada Monsun Barat sebagai hasil pembelokan angin dari Samudera Pasifik, dan angin tenggara bergerak menuju ke barat laut pada Monsun Timur. Pada Monsun Peralihan, pola angin tidak menentu dengan intensitas lebih lemah dibandingkan Angin Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Chang et al., 2004; Putri, 2005). Menurut Wyrtki (1961), tipe pasut di ekoregion ini adalah campuran cenderung semidiurnal. Ekoregion ini memiliki fenomena hidrodinamika yang unik bernama Halmahera Eddy. Arus eddy putar balik ke arah Barat, kemudian kembali ke Samudera Pasifik yang semula berasal dari arus susur tepian Papua utara yang menuju ke barat. Arus ini mulai terbentuk pada Monsun Peralihan I, kemudian intensitasnya menguat di sepanjang Monsun Timur, dan kemudian melemah hingga ketika melewati periode Monsun Peralihan II, dan menghilang ketika Monsun Barat. Arus eddy tersebut mengangkut nutrien dari pesisir utara Papua menuju Ekoregion Samudra Hindia Utara Papua. Menurut Mustikasari et al. (2010), pada Monsun Barat, upwelling intensitas kuat dan luas muncul di timur dan selatan Pulau Halmahera, yaitu tepatnya di Teluk Weda, Teluk Bull sampai sekitar Tanjung Perak. Pada Monsun Peralihan I, di sekitar Pulau Halmahera muncul upwelling di timur, yaitu sekitar Tanjung Perak dengan intensitas kuat dan luas. Sementara itu di Teluk Weda muncul upwelling dominan lemah dan cukup luas pada Monsun Timur. Kemunculan upwelling juga terdeteksi di timur laut Pulau Morotai, dan juga upwelling kuat terjadi di perairan antara Pulau Halmahera dan Pulau Waigeo. Pada Monsun Peralihan, upwelling dominan kuat dan relatif luas ada di selatan Kepulauan Obi sampai barat Pulau Halmahera. Adapun variasi komponen fisik di rentang rerata tahunan dari massa air laut pada lapisan permukaan di ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009) adalah suhu air laut mencapai kisaran 27 – 29°C; salinitas berkisar antara 33,0 dan 34,5 PSU; konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 4,3 – 4,7 ml/liter; dan pH berkisar antara 6,75 – 8,25. Mengacu pada Boyer et al. (2009), untuk kondisi sebaran nutrien di ekoregion ini adalah konsentrasi fosfat berkisar antara 0,15 – 1,0 µmol/liter; konsentrasi silikat 2,5 – 15,0 µmol/liter; konsentrasi nitrat 1 – 3 µmol/liter; dan klorofil 0,5 – 5,0 µgram/liter.
116 |ekoregion laut 11
KEANEKARAGAMAN HAYATI Karakter utama keanekaragaman hayati Ekoregion Laut 11 adalah terumbu karang dengan jumlah spesies yang termasuk tinggi di Indonesia. Beberapa karang yang besar terutama Pavona clavus dan Gardineroseris planulata dari family Agariciidae dengan umur sangat tua 1.000 tahun atau lebih ditemukan di kawasan ini (Turak and DeVantier, 2008). Adanya aliran arus di perairan dalam dapat mengurangi tekanan panas terhadap karang dari naiknya suhu air laut yang mungkin menyebabkan pemutihan massal (massal coral bleaching) selama perubahan iklim. Terdapat 468 (544) spesies karang keras yang terdiri dari 15 famili dan 54 genera (Turak and DeVantier, 2008). Hampir seluruh spesies karang di Bentang Laut Kepala Burung Papua terdapat di kawasan ini kecuali empat spesies. Terdapat kemiripan yang tinggi antara komposisi jenis karang di Halmahera dengan komposisi karang di kawasan bentang laut Kepala Burung dan bentang laut Laut Sulawesi. Namun demikian, terdapat beberapa perbedaan penting yang tampak antara ekoregion ini, yaitu pada komunitas karangnya. Halmahera menunjukkan tingkat ketidakmiripan dari sedang sampai tinggi dari kebanyakan ekoregion lainnya, terutama dari Sangihe-‐Talaud dan Raja Ampat. Teluk Kao di bagian utara tengah Halmahera adalah teluk unik yang luas dan nyaris tertutup pulau. Pertumbuhan terumbu karang di teluk ini minimal, namun demikian keanekaragaman hayati yang terlihat di sini dalam beberapa hal sangat unik dengan tingginya keragaman habitat yang dihasilkan dari kegiatan tektonik aktif (Huffard et al. 2012). Cincin pulau gunung berapi yang bermula dari Ternate sampai Makaian dan selat panjang yang membelah Bacan juga merupakan habitat unik di Halmahera. Pantai Utara Morotai di Indonesia juga unik karena menghadap ke lautan terbuka yang terkena hempasan gelombang besar Samudera Pasifik. Craterastrea leavis merupakan jenis karang di perairan dalam yang langka yang sementara ini hanya diketahui terdapat di Chagos dan Laut Merah, juga tercatat di ekoregion ini. Kombinasi hasil kajian cepat kelautan tahun 2005 dan 2008 mencatat spesies ikan karang di Halmahera Utara dan Morotai sebanyak 991 spesies, terdiri dari 77 famili dan 288 genera. Ikan dominan terdiri dari 3 genera yaitu Gobiidae, Pomacentridae dan Labridae. Kawasan penting lain di ekoregion ini adalah Selat Lembeh. Selat Lembeh dikenal sebagai habitat unik yang memiliki spesies langka seperti Pigmy Seahorse. Menurut sejarah, di Selat Lembeh pernah terdapat kumpulan besar Cetacean, manta dan Hiu Paus. Menurut Marsh et al. (2002) dan De Iongh (1997), Dugong juga dilaporkan terdapat di Halmahera. Sementara itu survei yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI menemukan dugong di Tobelo (Halmahera Utara) yang sering akrab bermain dengan anak-‐anak nelayan.
Pigmy seahorse, Hippocampus denise. Kiri: foto diambil oleh Novice di Vanuatu pada Januari 2006; Kanan: f oto diambil oleh Neville Coleman di Papua New Guinea berasosiasi dengan Gorgonian Sea-‐fan. (foto: underwater.com.au)
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 117
Anak-‐anak nelayan akrab bermain dan bercanda dengan Dugong di Tobelo, Halmahera Utara. (foto: dokumentasi P2O – LIPI)
PEMANFAATAN Ekoregion laut 11 berada di sebagian WPP 715 dan sebagian lagi WPP 716. Potensi sumberdaya perikanan di WPP 715 antara lain ikan pelagis besar (106, 5 ribu ton/tahun), pelagis kecil (379,4 ribu ton/tahun) dan demersal (88,8 ribu ton/tahun), udang penaid (0,9 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (12,5 ribu ton/tahun), lobster (0,3 ribu ton/tahun) dan cumi-‐cumi (7,1 ribu ton/tahun). Potensi sumberdaya perikanan antara lain ikan pelagis besar (70.1 ribu ton/tahun), pelagis kecil (230,9 ribu ton/tahun) dan demersal (24,7 ribu ton/tahun), udang penaid (1,1 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (6,5 ribu ton/tahun), lobster (0,2 ribu ton/tahun) dan cumi-‐cumi (0,2 ribu ton/tahun). Potensi sumberdaya non ikan pada ekoregion ini antara lain: (i) mangrove seluas 40.019,02 ha tersebar di sekitar pesisir Halmahera Selatan dan pesisir Pulau Obi, (ii) padang lamun seluas 5.597,12 ha tersebar di pesisir Pulau Halmahera dan Pulau Bacan dan (iii) terumbu karang dengan luas 35.712,38 ha. Ekoregion ini juga memiliki potensi budidaya mutiara yang tersebar di sekitar Pulau Seram. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45/2011, tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan di Ekoregion Laut 11 memiliki beberapa kategori. Pemanfaatan sumberdaya perikanan di WPP 715 seperti udang sudah over exploited, ikan demersal spesies kerapu (Cephalophodis boenack) dan kakap merah (Lutjanus bitaeniatus dan Lutjanus malabaricus) sudah fully exploited. Kondisi di WPP 716 ikan demersal spesies manyung (Ariidae spp), kerapu (Cephalophodis boenack) dan kakap merah (Lutjanus bitaeniatus dan Lutjanus malabaricus), kuwe (Caranx sexfasciatus) masih taraf moderate. Ikan pelagis kecil di WPP 715 jenis ikan terbang (Hirundichthys oxycephalus) dan layang (Decapterus kuroides) sudah fully exploited sedangkan layang spesies Decapterus macarellus masih moderate. Ikan pelagis kecil di WPP 716 antara lain layang (Decapterus kuroides dan Decapterus macarellus)masih moderate. Ikan pelagis besar di WPP 715 spesies tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah over exploited, spesies madidihang (Thunnus albacares) sudah fully exploited dan spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih moderate. Ikan pelagis besar di WPP 716 antara lain spesies tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah over exploited, madidihang (Thunnus albacares) (Katsuwonus pelamis) sudah fully exploited dan cakalang masih moderate. Potensi sumberdaya tidak terbaharukan di ekoregion ini adalah potensi migas yang terdapat disekitar Halmahera Timur dan nikel di pulau-‐pulau kecil. Ekoregion ini menyimpan BMKT yang terdapat di perairan
118 |ekoregion laut 11
Tidore yang telah dirubah menjadi tempat pariwisata dan edukasi.Potensi jasa lingkungan ekoregion ini adalah wisata bahari Pulau Bunaken. Ekoregion ini juga memiliki potensi energi terbarukan dengan memanfaatkan arus dari Selat Talibo-‐Manguale (Kepulauan Sula) sebagai pembangkit listrik .
KERAWANAN BENCANA Ekoregion Laut 11 terletak pada struktur geologi Busur Halmahera (Halmahera Arc). Berdasarkan Peta Rawan Tsunami (Sulistyo dan Triyono, 2009), ekoregion ini pada kondisi geologi tersebut banyak muncul gunung api, termasuk gunung api bawah laut yang dikenal dengan nama Ring of Fire. Ancaman kebencanaan yang ada di ekoregion ini adalah gempa dan tsunami karena berada pada jalur Ring of Fire dan sub-‐plate Banda. Selain itu pengaruh gerak dari perpanjangan Lempeng Pasifik. Budiono et al. (2003) dan Jaya et al. (2001) mengemukakan bahwa ekoregion ini memiliki kerentanan terhadap tsunami. Namun pada bagian luar Busur Halmahera yang tidak berhadapan dengan busur dan pertemuan tektonik memiliki kerentanan yang rendah sehingga memiliki lereng yang terjal dan curam di sebagian besar pantainya, maka sebagian besar daratan pulau-‐pulau ini relatif aman terhadap tsunami.
Busur Halmahera (Halmahera Arc)
Tetapi lain halnya untuk Maluku bagian utara, daerah yang rawan tsunami karena berdekatan dengan sumber tektonik gempa bawah laut di Laut Seram. Di Pulau Halmahera Maluku Utara, daerah rawan tsunami terdapat di daerah-‐daerah dengan morfologi teluk, seperti Teluk Kao dan Teluk Buli serta bagian barat Pulau Halmahera pada morfologi teluknya. Salah satu karakter pantai yang ada di Pulau Halmahera. Gambar diambil di daerah Batjan, Kab. Halmahera Selatan, Prov. Maluku Utara (foto : Puslitbang Geologi Kelautan, KESDM, 2013).
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 119
PENCEMARAN Ekoregion Laut 11 memiliki potensi dicemari oleh limpasan air yang berasal dari sungai yang bermuara pada ekoregion ini, antara lain dari Sungai Tabobo dan Sungai Lasolo di Pulau Halmahera. Menurut Kriteria Mutu Air kelas I dan II, kedua sungai tersebut memiliki status mutu air tercemar sedang hingga berat (KLH, 2009a). Sumber pencemar utama adalah dari kegiatan rumah tangga dan industri pertambangan, terutama pertambangan emas. Namun di lokasi tersebut juga terdapat kegiatan lainnya yakni kegiatan pertanian/perkebunan dan kegiatan perikanan tangkap. Berdasarkan kegiatan yang dilakukan di wilayah ini, maka bahan pencemar yang lebih berpotensi untuk mencemari adalah bahan pencemar yang masuk kedalam kategori B3, terutama logam berat. Namun demikian kawasan ini juga berpotensi untuk tercemar bahan organik. Oleh karena itu wilayah ini juga berpotensi untuk memiliki nilai BOD dan COD yang tinggi, sehingga akan menyumbang GRK. Di Pulau Halmahera terdapat tiga area pertambangan emas (Toguraci, Kencana dan Gesowong) dan beberapa pertambangan rakyat di sekitarnya yang menggunakan senyawa sianida dan merkuri untuk mengekstrak emas. Dalam hal ini pertambangan emas resmi pada umumnya akan menggunakan sianida sedangkan pertambangan emas rakyat dalam pelaksanaan prosesnya akan menggunakan Hg. Limbah kegiatan pertambangan ini berhubungan dengan Sungai Tabobo dan Sungai Kebobok yang bermuara di Teluk Kao. Meskipun hasil pemantauan kadar merkuri di air dan sedimen di Teluk Kao pada tahun 2006 masih rendah (Edward, 2008), namun konsentrasinya dalam sedimen di muara Sungai Tabobo sudah mendekati nilai ambang batas baku mutu (Edward, 2008). Hal ini menunjukkan terdapatnya potensi pencemaran merkuri (Hg) di perairan kawasan ini. Ekoregion Laut 11 juga mempunyai potensi dicemari oleh limbah yang berasal dari kegiatan pertambangan di Propinsi Sulawesi Utara. Dari tahun 1996-‐2004, Teluk Buyat yang berada di EL 11 telah menerima tailing melalui submarine tailing disposal (STD) dari kegiatan pertambangan emas (Lasut dan Yasuda, 2008). Hasil penelitian menunjukkan deposit emas dengan anomali As-‐Sb-‐Hg-‐Tl dari pertambangan ini mengandung kadar merkuri sebesar 6 ppm (Edinger et al, 2006). Kegiatan ini telah menimbulkan pencemaran logam berat terutama arsenik (As), antimony (Sb), merkuri (Hg), dan tallium (Tl) serta penyebaran tailing ke perairan dangkal (20 m) dan sampai sejauh 4 km dari titik buang STD (Edinger et al., 2006). Kondisi ini akan sangat membahayakan karena logam-‐logam berat tersebut bersifat toksik (Riani, 2012). Selanjutnya dikatakan bahwa logam berat bersifat teratogenik, mutagenik dan karsinogenik, sehingga logam-‐logam berat tersebut, terutama merkuri (Hg) harus sangat diwaspadai. Selain hal tersebut, pada pertambangan emas yang melakukan kegiatannya secara sianidasi, dari kegiatan tersebut juga berpotensi untuk menghasilkan bahan pencemar berupa sianida (Riani, 2012). Tanah yang terkontaminasi merkuri dari pertambangan rakyat, selanjutnya akan masuk ke dalam sungai atau terbawa oleh air hujan dan akan terdistribusikan dari daerah Kotabunan dan Teluk Totok ke perairan sekitar Teluk Buyat. Mengingat merkuri bersifat akumulatif dan dapat masuk ke dalam tubuh biota air dan manusia melalui berbagai cara (Riani, 2012), maka selanjutnya merkuri akan terakumulasi dalam biota dan menunjukkan pelipatgandaan kadarnya melalui rantai makanan di ekosistem Teluk Buyat (Lasut dan Yasuda, 2008). Kadar total merkuri di ikan kerapu juga telah melampaui batas toleransi yang diisyaratkan oleh WHO (500 µg/g berat basah, Lasut dan Yasuda, 2008). Pencemaran Teluk Buyat telah menjadi isu nasional sehubungan dengan klaim pemerintah dan masyarakat sekitar akibat dampak yang ditimbulkannya terhadap kesehatan manusia dan keanekaragaman hayati laut (Edinger, 2012).
120 |ekoregion laut 11
Spesies bintang laut di perairan Morowali, Sulawesi Tengah (foto : Yoniar Hufan-BIG)
±
LAUT SULAWESI
0
EL-7 SULAWESI UTARA GORONTALO
EL-10
62.5
125
250 Km
MALUKU UTAR
EL-11
LAUT MALUKU
AWESI TENGAH
T
S U LAW E S I
EL-12
LAUT SERAM MALUKU
SULAWESI TENGGARA
LATAN
LAUT BANDA
EL-15 EL-13
Ekoregion Laut 12
Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi Ekoregion Laut 12 meliputi Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi termasuk Teluk Tolo dan sebagian Laut Banda. 2 Ekoregion ini memiliki luas 160.361 km . Ciri khas ekoregion ini adalah memiliki struktur batimetri yang menyebabkan Arus Lintas Indonesia melewati ekoregion ini melalui salah satu pintu masuk (inlet) bernama Terusan Lifamatola, massa air ke Laut Banda dari Samudra Pasifik. Ekoregion Laut Banda berbatasan dengan 3 ekoregion lain yaitu: 1. Laut Halmahera karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang, garis batas mengikuti morfostuktur patahan, 2. Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi dan Teluk Bone karena perbedaan pola arus yang batasnya ditarik sesuai dengan morfostruktur patahan, 3. Ekoregion Laut Banda karena perbedaan pola arus.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 123
GEOLOGI DAN MORFOLOGI Ekoregion Laut 12 terbentuk sekitar 6 juta tahun silam (Hall, 2001) dan merupakan bagian dari serpihan Wallacea. Morfologi dasar laut untuk wilayah ini berupa dataran abisal (abyssal plain) dan lereng benua (continental slope) dengan kedalaman berkisar antara 0 hingga 9.514 m. Berdasarkan peta kemiringan lereng dasar laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), hampir seluruh Ekoregion Laut 12 o o memiliki kemiringan yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-‐3 ), kelas lereng agak terjal (3-‐10 ), kelas lereng o o terjal (10-‐20 ), dan kelas lereng curam (>20 ). Berdasarkan peta toponimi dasar laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), Ekoregion Laut 12 memiliki lima cekungan (Cekungan Banggai, Cekungan Sula, Cekungan Buru Utara, Cekungan Seram, dan Cekungan Wahai), satu dataran (Dataran Banggai Sula), satu paparan (Paparan Sula), dua punggungan (Punggungan Tampomas), serta dua parit (Parit Tala, dan Parit Buton).
OSEANOGRAFI Secara umum kondisi iklim pada wilayah ekoregion ini dipengaruhi oleh Angin Monsun yang bertiup dengan pola yang sama dengan di Ekoregion Teluk Tomini, Laut Halmahera, dan Laut Bali dan Nusa Tenggara. Angin bergerak dari arah barat laut menuju ke tenggara pada Monsun Barat, Angin Tenggara bergerak menuju ke barat daya pada Monsun Timur. Pada Monsun Peralihan pola angin tidak menentu dengan intensitas lebih lemah dibandingkan Angin Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Chang et al., 2004; Putri, 2005). Tipe pasang surut di ekoregion ini adalah campuran cenderung semidiurnal (Wyrtki 1961). Menurut Mustikasari et al. (2010) dan Pranowo (2012), ekoregion ini memiliki fenomena hidrodinamika yang unik akibat kompleksitas bentuk batimetri, berupa arus yang berputar (Eddy) yang searah jarum jam dengan intensitas tertinggi pada Monsun Barat. Sedangkan arus Eddy pada Monsun Timur pergerakannya melawan arah jarum jam, dengan intensitasnya sedikit lebih lemah dibandingkan pada Monsun Barat. Kondisi arus pada Monsun Peralihan I, memiliki pola arah tak menentu dengan intensitas yang lebih lemah dari yang terjadi di Monsun lainnya. Kondisi dinamika upwelling di ekoregion ini adalah pada Monsun Barat upwelling lemah hingaa kuat dan relatif luas muncul di Teluk Tolo hingga Timur Laut Pulau Butung dan Tanjung Pangkalang, Timur Pulau Peleng. Pada Monsun Peralihan I, upwelling umumnya lemah di Teluk Tolo dan upwelling intensitas kuat muncul antara Pulau Peleng dan Pulau Taliabu, dan antara Pulau Wowoni dan Pulau Butung. Pada Monsun Timur, upwelling dominan kuat muncul di Timur Pulau Wowoni sampai Tanjung Butung, juga ada di Selatan Pulau Butung dan Pulau Muna. Pada Monsun Peralihan, upwelling kuat masih muncul di timur antara Pulau Wowoni dan Butung, dan di Selatan Pulau Butung dan Kabaena (Mustikasari et al., 2010). Adapun variasi komponen fisik di rentang rerata tahunan dari massa air laut pada lapisan permukaan di ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009) adalah suhu air laut mencapai kisaran 28 – 29°C; salinitas berkisar antara 33,75-‐34,4 PSU; konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 4,3 – 4,7 ml/liter; dan pH berkisar antara 8,0 – 8,25. Mengacu pada Boyer et al. (2009), untuk kondisi sebaran nutrien di ekoregion ini adalah konsentrasi fosfat berkisar antara 0,15 – 0,40 µmol/liter; konsentrasi silikat 4 – 10 µmol/liter; konsentrasi nitrat 1,0 – 8,0 µmol/liter; dan klorofil 0,5 – 5,0 µgram/liter.
124 |ekoregion laut 12
KEANEKARAGAMAN HAYATI Karakteristik utama ekoregion laut ini adalah bentuk pantai yang kompleks dari Kepulauan Banggai, mempunyai gugusan karang yang luas yang disebut karang merpati. Wilayah ini juga dikenal dengan nama Sula Spur Area yang meliputi pesisir dan pulau-‐pulau kecil Sulawesi Tengah, Sula Spur, dan Kepulauan Banggai. Sebagai bagian dari kawasan segitiga karang, wilayah ini memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Wilayah ini juga berada pada jalur migrasi ikan tuna dan memiliki ekosistem tropis yang lengkap. Terdapat danau air asin dan teluk semi tertutup di Pulau Taliabu dengan dua spesies ikan yang endemik. Berdasarkan KLH (2008), habitat mangrove dapat dijumpai di pesisir barat dan selatan Pulau Taliabu. Habitat mangrove hanya terbatas di beberapa daerah bagian timur daratan Sulawesi dengan luasan yang kecil. Pesisir Banggai Kepulauan hampir seluruhnya terdapat ekosistem mangrove. Keberadaan ekosistem mangrove di pulau ini menjadi salah satu aspek yang mengindikasikan keberadaan burung endemik pada musim-‐musim tertentu di kawasan ini. Jenis mangrove yang tumbuh dan berkembang sangat bervariasi yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, dan Lumnitzera. Beberapa jenis lamun di perairan pantai Kabupaten Banggai Kepulauan yang dominan antara lain Thalassia hemprichi, Halophila ovalis, Cymodocea rotundata dan Enhalus acoroides. Lamun dari jenis Halophila lebih banyak dijumpai pada daerah rataan terumbu dengan substrat pasir halus sampai kasar dan pada kedalaman yang relatif dangkal. Pada daerah yang lebih dalam lebih banyak dijumpai jenis Cymodocea, Enhalus, dan Thalassia, dan pada daerah rataan tubir dan tubir dijumpai jenis Thalassodendron ciliatum, Enhalus acoroides, dan Thalassia hemprichi. Sedangkan biota yang berasosiasi dengan lamun yaitu jenis-‐jenis ikan tertentu, crustacea, molusca (Pinna, Lambis, Strombus), echinodermata (Holothuria dan Asteroidea) dan polychaeta (cacing) juga banyak ditemukan. Kepulauan Banggai terdiri dari beberapa pulau-‐pulau kecil yang memiliki terumbu karang yang sangat luas. Tipe terumbu yang ada memiliki kecenderungan yang sama di semua pulau yaitu atol, goba, dan fringing reef. Lebar dan dalam terumbu bervariasi antara pulau yang satu dan yang lain. Beberapa pulau memiliki rataan yang sangat luas jika dibandingkan dengan daratan. Penutupan Acropora di Banggai Kepulauan adalah 45.5% dan karang api 2.5%. Sementara Non-‐Acropora memiliki penutupan yang tertinggi di Pulau Burung dengan persentase sebesar 46.0%. Monsongan juga memiliki penutupan Non-‐Acropora yang cukup tinggi dengan persentase sebesar 37.0%. Secara keseluruhan, penutupan Non-‐Acropora di Banggai Kepulauan adalah 27.0 % karena jenis karang ini hanya menutupi sebanyak 17.0% kondisi karang di Mbato-‐mbato. Sementara jenis karang lunak tidak ditemukan. Hal ini mengindikasikan kondisi yang stabil dari suatu perairan dan tidak mengalami gangguan. Ikan Karang yang teridentifikasi di Banggai Kepulauan terdiri dari 33 famili dan 132 jenis. Jenis-‐ jenis ikan ini cukup beragam dan ikan indikator dari famili Chaetodontidae sering di jumpai di semua wilayah perairan. Salah satu spesies ikan hias endemik yang ada di Banggai Kepulauan adalah Banggai Cardinal Fish (Pteropogon kauderni). Morfologi ikan ini sangat menarik karena memiliki bentuk sirip dan ekor yang indah. Selain itu juga ikan ini memiliki tingkah laku yang unik dalam proses reproduksinya yaitu bertelur, menetas, dan memelihara anak-‐ anaknya di dalam mulut untuk sementara waktu. Banggai Cardinalfish
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 125
Hal lain yang juga menarik adalah ikan ini memiliki fekunditas yang rendah, penyebaran alami secara geografis yang terbatas (hanya di Banggai Kepulauan), dan memiliki kecenderungan untuk hidup secara berkelompok (mencapai 500 ekor). Sementara itu, Abalon (Haliotis sp) merupakan salah satu spesies tingkat tinggi dari gastropoda (moluska) yang juga terdapat di daerah Banggai kepulauan, khususnya Pulau Sonit sangat terkenal sebagai sentra penyedia abalon karena kualitasnya yang baik. Kawasan konservasi di Ekoregion Laut 12 adalah TWAL Teluk Lasolo, Sulawesi Tenggara dengan luas 81.800 ha.
PEMANFAATAN Ekoregion Laut 12 terletak WPP 714 yang juga merangkum Ekoregion Laut 13 dan 15. Potensi sumberdaya perikanan antara lain ikan pelagis besar (104,1 ribu ton/tahun), pelagis kecil (132,0 ribu ton/tahun) dan demersal (9,3 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (32,1 ribu ton/tahun), lobster (0,4 ribu ton/tahun) dan cumi-‐cumi (0,1 ribu ton/tahun). Potensi sumberdaya terbarukan non ikan antara lain: (i) mangrove seluas 53.554,02 ha tersebar di sekitar pesisir timur Sulawesi Tenggara, pesisir Banggai Kepulauan dan pesisir Sula, (ii) potensi padang lamun mencapai luas 5.458,88 hayang tersebar di gugusan Kepulauan Banggai dan pesisir barat Sulawesi Tengah, (iii) terumbu karang meliputi luasan 58.595,10 ha yang tersebar di beberapa wilayah di Ekoregion Laut 12. Menurut Keputusan Menteri KP No. 45/2011, tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan di Ekoregion Laut 12 memiliki beberapa kategori. Ikan pelagis kecil spesies layang (Decapterus macarellus dan Decapterus macrosoma) kondisi sudah fully exploited hingga taraf moderate. Ikan pelagis besar seperti spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih taraf moderate, spesies tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah over exploited, spesies madidihang sudah fully exploited, dan cumi-‐cumi (Loligo spp) masih taraf moderate.
KERAWANAN BENCANA Ekoregion Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi terbentuk karena adanya tumbukan intra mikrokontinen. Ekoregion ini memiliki kerentanan terhadap gempa dan tsunami (Jaya et al., 2001). Sedangkan untuk kelas kerentanan tsunami menurut Budiono et al. (2003), masuk ke dalam kelas kerentanan tinggi. Selain itu sepanjang Pesisir Teluk Tolo hingga Kendari, Kepulauan Banggai dan Kepulauan Sula memiliki kerentanan tinggi terhadap tsunami. Pantai Timur Pulau Sulawesi rawan tsunami akibat adanya zona subdaksi double-‐arc dengan dua orogenesa, yaitu Orogenesa Busur Sangihe dan Orogenesa Busur Halmahera. Pantai dan pesisir timur Pulau Sulawesi (Teluk Tolo) sebagian merupakan daerah rawan tsunami akibat aktivitas tektonik Sesar Sorong. Tetapi daerah pantai dan pesisir yang rawan tsunami tidak begitu luas dibandingkan dengan seluruh luasan pantai dan pesisir timur Pulau Sulawesi. Daerah yang rawan adalah pantai dan pesisir dengan relief datar hingga miring. Namun kebanyakan dari pantai dan pesisir timur Pulau Sulawesi berhadapan langsung dengan kaki perbukitan.
PENCEMARAN Ekoregion Laut 12 memiliki potensi mendapat pencemaran dari kegiatan pemukiman, industri, dan pelabuhan melalui limpasan air yang berasal dari sungai yang bermuara pada ekoregion tersebut. Sungai yang bermuara pada ekoregion ini, antara lain, Sungai Konaweha yang memiliki status mutu air tercemar sedang dan Sungai Lasolo dengan status mutu air tercemar sedang hingga berat (KLH, 2009a).
126 |ekoregion laut 12
Bahan pencemar yang berpotensi untuk mencemari wilayah ini adalah bahan pencemar organik dan bahan pencemar anorganik. Adanya potensi bahan pencemar organik maka wilayah ini merupakan wilayah laut yang juga berpotensi untuk memiliki nilai BOD dan COD yang tinggi, sehingga akan dapat menyumbang GRK ke atmosfir. Posisi ekoregion ini berdekatan dengan Pulau Buton di Ekoregion Laut 13 yang memiliki kegiatan pertambangan. Karena itu, wilayah perairan ini juga berpotensi mendapat pencemaran logam berat yang berasal dari kegiatan tersebut. Logam berat tersebut berpotensi mengancam kehidupan biota laut. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi perairan yang sudah ada di wilayah ini, mengingat sudah terdapat kegiatan industri dan pelabuhan yang limbahnya bermuara disini. Kegiatan yang ada di wilayah ini berpotensi untuk mendapatkan bahan pencemar B3 seperti logam berat, PAH, POPs, dan TBT. Oleh karenanya maka B3 yang ada di lokasi ini berpotensi untuk mengkontaminasi mahluk hidup yang ada di dalamnya, sehingga dapat mengakibatkan ketidak amanan sumberdaya perikanan untuk dikonsumsi. Selain itu bahan tersebut juga dapat berpotensi untuk menurunkan keanekaragaman hayati.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 127
Habitat lamun di perairan Laut Banda (foto: Hutomo)
± SULAWESI TENGAH
0
50
100
200 Km
S U LAW E S I
AWESI BARAT
EL-12 SULAWESI TENGGARA
ULAWESI SELATAN
EL-8
EL-13 NUSA TENGGARA TIMUR
EL-9
EL-15
O R T I M
Ekoregion Laut 13
Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi dan Teluk Bone Ekoregion Laut 13 meliputi sebagian Perairan Laut Banda sebelah Selatan Sulawesi dan Teluk Bone. Ekoregion 2 ini memiliki luas 171.019 km . Ciri khas ekoregion ini adalah adanya massa air Samudera Pasifik yang dibawa oleh Arus Lintas Indonesia menuju pusat Laut Banda. Massa air ini datang dari dua arah, yakni dari Selat Makassar yang membelok ke Timur melewati Laut Flores dan Laut Banda sebelah Selatan Sulawesi. Massa air yang lain datang dari arah dari Terusan Lifamatola yang melewati Ekoregion Laut Banda sebelah Timur Sulawesi. Ekoregion Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi berbatasan dengan empat ekoregion, yaitu: 1. 2. 3. 4.
Selat Makassar karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang dan karang, Perairan Bali dan Nusa Tenggara karena perbedaan kenaekaragaman hayati ikan karang dan karang yang batasnya ditarik sesuai dengan morfostruktur patahan dan subduksi lempeng, Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi karena perbedaan batimetri dan pola arus yang batasnya ditarik sesuai dengan morfostruktur subduksi lempeng, Laut Banda karena perbedaan pola arus yang batasnya ditarik sesuai dengan morfostruktur patahan.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 131
GEOLOGI DAN MORFOLOGI Secara geologi, ekoregion laut 13 terbentuk sekitar 5 juta tahun silam (Hall, 2001) dan merupakan bagian dari serpihan Wallacea. Morfologi dasar laut untuk Ekoregion Laut 12 berupa dataran abisal (abyssal plain) dan lereng benua (continental slope) dengan kedalaman berkisar antara 0 sampai dengan 3.700 m. Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), hampir seluruh ekoregion laut 13 o o memiliki kemiringan yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-‐3 ), kelas lereng agak terjal (3-‐10 ), kelas lereng o o terjal (10-‐20 ), dan kelas lereng curam (>20 ). Selain itu, berdasarkan peta toponimi dasar laut, ekoregion laut ini memiliki empat cekungan yaitu Cekungan Bone, Cekungan Buton, Cekungan Banda Selatan, dan Cekungan Tukang Besi.
OSEANOGRAFI Secara umum, angin monsun yang bertiup di atas ekoregion ini memiliki pola sama dengan angin yang bertiup di Ekoregion Teluk Tomini, Laut Halmahera, dan Laut Bali dan Nusa Tenggara. Angin bergerak dari arah barat laut menuju ke tenggara pada Monsun Barat, Angin Tenggara bergerak menuju ke barat daya pada Monsun Timur. Sedangkan pada Monsun Peralihan pola angin tidak menentu dengan intensitas lebih rendah dibandingkan Angin Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Chang et al., 2004; Putri, 2005). Tipe pasang surut di ekoregion ini adalah campuran cenderung semidiurnal (Wyrtki, 1961). Menurut Wyrtki (1961) dan Mustikasari et al. (2010), arus permukaan bergerak ke timur pada Monsun Barat, dan arus permukaan bergerak ke barat pada Monsun Timur dengan intensitas sedikit lebih lemah dibandingkan pada Monsun Barat. Pada Monsun Peralihan di bagian utara ekoregion ini yang lebih dekat dengan Sulawesi, arus bergerak ke Barat, sedangkan di bagian selatan dari ekoregion ini, yakni wilayah yang lebih dekat dengan Laut Flores, arus bergerak ke Timur. Intensitas arus ini lebih lemah dibandingkan yang terjadi pada Monsun Timur dan Monsun Barat. Ekoregion ini dilewati oleh massa air Samudera Pasifik yang dibawa oleh Arus Lintas Indonesia dari dua arah, yakni dari Selat Makassar yang membelok ke Timur melewati Laut Flores dan Laut Banda sebelah Selatan Sulawesi menuju ke pusat Laut Banda, dan dari arah dari Selat Lifamatola yang melewati Ekoregion Laut Banda sebelah Timur Sulawesi (Pranowo et al., 2006; Susanto et al., 2010). Adapun variasi komponen fisik di rentang rerata tahunan dari massa air laut di lapisan permukaan pada ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Wagey et al., 2004; Boyer et al., 2009) adalah suhu air laut pada ekoregion ini mencapai kisaran 27,5–29,0°C; salinitas berkisar antara 31,10-‐34,25 PSU; konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 4,2–4,5 ml/liter; dan pH berkisar antara 8–8,25. Kondisi sebaran nutrien di ekoregion ini adalah konsentrasi fosfat berkisar antara 0,05–0,30 µmol/liter; konsentrasi silikat 2,5–3,0 µmol/liter; konsentrasi nitrat 1,0–1,9 µmol/liter; dan klorofil 0,5–5,0 µgram/liter (Boyer et al. 2009). Teluk Bone dan Perairan Kepulauan Wakatobi merupakan ekosistem laut dan pesisir yang unik dan luas di ekoregion ini. Penjelasan mengenai kedua ekosistem tersebut yang didukung oleh kondisi hidrodinamika, adalah sebagai berikut:
Teluk Bone merupakan bagian dari Ekoregion Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi. Arus yang berasal dari bagian selatan Teluk (mulut) bergerak ke barat laut, sedangkan arus dari Pesisir Wulu bergerak menyusur Pantai Timur hingga Tanjung Tabako (Wagey et al, 2004). Arus ini kemudian berbelok ke barat menuju pantai barat sekitar Pesisir Muranti hingga kemudian bergabung dengan arus susur pantai barat yang bergerak dari bagian Selatan yaitu dari Teluk (sekitar Tanjung Lakalolo) menuju ke
132 |ekoregion laut 13
utara menyusur menuju Pesisir Karang-‐karangan dan Palopo. Sebagian arus yang bergerak dari Tanjung Tabako menyusuri sepanjang pesisir pantai timur dan pesisir utara, kemudian berbelok menuju barat daya ke arah Pesisir Palopo. Jika meninjau lebih detail di sekitar Tanjung Batikala dan Teluk Usu, arus susur pantai timur ketika sampai di Tanjung Batikala akan terbagi menjadi dua pola aliran. Pola utama akan berbelok ke barat laut menuju pesisir utara (antara pesisir Bubu dan Saluana), sedangkan pola aliran yang lain akan menyusuri Teluk Usu baru kemudian bergerak menyusuri pesisir Bubu untuk bergabung lagi dengan arus susur pantai utara. Saat air pasang, pola sirkulasi arus yang terjadi sama dengan yang terjadi pada saat air menjelang pasang. Saat air menjelang surut, arus bergerak meninggalkan bagian utara dari teluk menuju ke selatan, tetapi ada sedikit arus yang bergerak dari Pesisir Wulu lurus menuju ke pesisir barat. Secara lebih detail, sebagian arus yang meninggalkan Teluk Usu menyusur pesisir utara kemudian bergabung dengan arus yang meninggalkan Pesisir Palopo dan Karang-‐karangan, sedangkan sebagian lagi langsung bergerak ke barat daya. Arus-‐arus tersebut kemudian akan bertemu dengan pola arus yang bergerak ke barat yang meninggalkan sepanjang pesisir timur yang dimulai dari Teluk Usu hingga pesisir Susua. Sedangkan arus yang meninggalkan pesisir Labuandata hingga pesisir Wawo dan sekitarnya kembali bergerak menuju barat daya keluar dari mulut teluk. Saat air surut, arus bergerak meninggalkan pesisir timur menuju ke pesisir barat dari teluk, kemudian arus tersebut bergabung dengan arus susur pantai barat menuju ke utara yang bergerak dari Tanjung Lokoloko menuju Tanjung Jene yang kemudian menyusur menuju Pesisir Palopo. Arus dari pesisir timur yang kemudian menyusuri pesisir utara juga bergerak menuju pesisir Palopo. Berkaitan dengan upwelling, dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60 m hingga ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas (upwelling) terjadi pada jarak sekitar 2,7 km dari pantai timur, dari kedalaman sekitar 140 m menuju ke kedalaman 75 m dengan kekuatan yang sangat kecil. Peristiwa upwelling juga terjadi di atas basin kecil yang berjarak -‐3 sekitar satu kilometer dari pantai timur, dengan kecepatan arus vertikal ke atas sekitar 1x10 m/dt -‐3 hingga 3,5 x10 m/dt. Perairan Kepulauan Wakatobi. Sirkulasi arus permukaan pada saat surut dan menuju pasang adalah bergerak dari barat daya menuju ke timur laut, dan pola arus saat pasang menuju surut sebaliknya yakni dari timur laut menuju ke barat daya. Sedangkan untuk kondisi upwelling, kemunculannya diawali pada Bulan April, yang kemudian wilayahnya semakin meluas seiring dengan waktu. Luasan upwelling maksimum terjadi pada saat angin tenggara pada Monsun Timur yang kemudian perlahan mengalami pengurangan intensitas luasan saat menuju Monsun Barat (Mustikasari et al., 2010).
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 133
KEANEKARAGAMAN HAYATI Karakteristik utama Ekoregion Laut 8 adalah keanekaragaman hayati karang yang tertinggi di dunia. Terumbu karang di ekoregion ini dicirikan oleh tipe terumbu karang yang sangat beragam. Atol Taka Bone Rate merupakan atol terbesar ketiga di dunia. Atol Kaledupa yag terletak di Kepulauan Wakatobi merupakan atol yang terpanjang di dunia (48 km). Terumbu karang Kepulauan Wakatobi merupakan salah satu terumbu karang di Indonesia yang kaya akan spesies karang batunya. Terumbu karang Wakatobi memiliki luas wilayah 118.000 ha dengan keragaman 387 spesies karang yang termasuk dalam 68 genera dan 13 famili serta 942 spesies ikan (Turak, 2003; Suharsono, 2009). Terjadinya upwelling secara musiman di Laut Banda dan Flores yang membawa massa air dengan suhu rendah dari perairan dalam ke perairan dangkal memungkinkan terumbu karang dan ekosistem lainnya tahan terhadap dampak perubahan iklim.
Terumbu karang di wilayah perairan wakatobi (foto: Yoniar Hufan-‐BIG)
Rendahnya kepadatan populasi manusia dan kepercayaan umum untuk melakukan kegiatan perikanan pelagis (berlawanan dengan perikanan karang) membuatnya sebagai wilayah yang paling menarik dari sudut pandang peluang konservasi. Infrastruktur konservasi yang dimulai di Wakatobi dan Taka Bone Rate, menawarkan titik awal untuk kegiatan konservasi tambahan.
Perairan Kepulauan Wakatobi juga merupakan koridor migrasi Cetacea besar dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia. Perairan tersebut memiliki keragaman Cetacea yang tinggi, tercatat 11 spesies yang terdiri dari lima spesies paus dan enam spesies lumba-‐lumba. Taman Nasional Laut Wakatobi secara khusus telah mendapatkan dukungan mitra pemerintah daerah untuk menyelamatkan fauna pelagis dengan melindungi habitat koridor kritis untuk migrasi paus, lumba-‐lumba dan fauna laut berukuran besar lainnya seperti hiu, penyu, ikan Matahari (Mola Mola), tuna dan billfish (ikan predator berukuran besar). Kesuksesan taman nasional ini menawarkan suatu potensi ekonomi dalam bentuk kegiatan “Cetacean Watch Ventures” dan wisata mamalia laut. Populasi dugong (Sirenia) masih tercatat keberadaannya di beberapa lokasi, seperti Selayar, Buton dan Wakatobi. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam deskripsi keanekaragaman hayati Ekoregion Laut 1, Ekoregion Laut 2, dan Ekoregion 8, wilayah sampling penelitian genetik Ikan pari mencakup wilayah ekoregion ini sehingga hasil penelitiannya juga dapat dijadikan sebagai tambahan informasi dalam deskripsi ekoregion ini (Arlyza and Borsa, 2010; Arlyza dan Marwayana, 2012; Arlyza et al. 2013). Kawasan konservasi di Ekoregion Laut 13 meliputi: 1. 2.
KKPD Pulau Kayu Adi, Sulawesi Selatan KKPD Pulau Selayar, Sulawesi Selatan
134 |ekoregion laut 13
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara Taman Nasional Takabonerate, Sulawesi Selatan Taman Wisata Alam Laut Kepulauan Padamarang, Sulawesi Tenggara Taman Wisata Alam Laut Selat Tiworo, Sulawesi Tenggara Taman Wisata Alam Laut Kepulauan Padamaran KKPD Selat Tiworo KKPD Buton KKPD Luwuk Utara
PEMANFAATAN Sumberdaya perikanan pada ekoregion ini meliputi potensi sumberdaya ikan pelagis kecil sebesar 605.400 ton/tahun dan potensi sumberdaya ikan demersal sebesar 83.200 ton/tahun. Sumberdaya perikanan yang terdapat pada Laut Banda adalah ikan pelagis dengan potensi sebesar 132.000 ton/tahun. Bagian lain dari ekoregion ini, Laut Banda sebelah Selatan Sulawesi mengacu pada Keputusan 45/Men/2011 berada pada WPP 714, sama dengan Ekoregion Laut 13 dan 15. Potensi sumberdaya perikanan antara lain ikan pelagis besar (104,1 ribu ton/tahun), pelagis kecil (132,0 ribu ton/tahun) dan demersal (9,3 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (32,1 ribu ton/tahun), lobster (0,4 ribu ton/tahun) dan cumi-‐cumi (0,1 ribu ton/tahun). Potensi sumberdaya terbarukan non ikan antara lain: (i) mangrove seluas 89.092.15 ha tersebar di pesisir sekitar Teluk Bone, (ii) pesisir selatan Sulawesi Tenggara, pesisir Muna, Buton dan Wakatobi, (iii) padang lamun seluas 21.262.68 ha tersebar di pesisir barat Sulawesi Selatan, pesisir barat Kepulauan Selayar, pesisir timur Sulawesi Tenggara, pesisir timur Wakatobi dan (iv) terumbu karang di ekoregion ini mencakup luas 173.587.89 ha. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45/2011, tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan di Ekoregion Laut 13 berada pada beberapa kategori. Ikan pelagis kecil spesies layang (Decapterus macarellus dan Decapterus macrosoma) kondisi sudah fully exploited hingga taraf moderate. Ikan pelagis besar seperti spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih taraf moderate, spesies tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah over exploited,spesies madidihang sudah fully exploited, dan cumi-‐cumi (Loligo spp) masih taraf moderate. Potensi sumberdaya tidak terbarukan pada ekoregion ini berupa temuan tiga cekungan migas, namun belum dilakukan eksploitasi. Pemanfaatan migas yang telah dilakukan adalah di sekitar Teluk Bone.
KERAWANAN BENCANA Ekoregion Laut Banda sebelah Selatan Sulawesi yang terdiri dari Teluk Bone dan Laut Banda ini tergolong tidak rentan hingga kerentanan rendah terhadap gempa dan tsunami dibandingkan dengan Ekoregion Laut Banda sebelah Timur Sulawesi yang memiliki kerentanan tinggi (Budiono et al., 2003). Pada bagian dalam Teluk Bone tidak ada potensi gempa dan tsunami, sedangkan pada bagian luar teluk memiliki kelas kerentanan tsunami rendah.
PENCEMARAN Ekoregion Laut ini memiliki potensi mendapat pencemaran dari kegiatan rumah tangga, pertanian, dan perkebunan, yang dibawa melalui limpasan air yang berasal dari sungai yang bermuara ke wilayah ini.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 135
Berdasarkan kegiatan tersebut, maka bahan pencemar yang berpotensi untuk mencemari adalah bahan organik dan bahan anorganik. Wilayah laut ini berpotensi untuk memiliki nilai BOD dan COD yang tinggi, berpotensi untuk mengalami blooming plankton dan berpotensi untuk menjadi source carbon yang akan menyumbang GRK ke atmosfer. Menurut izin pembuangan limbah ke laut (KLH, 2009b), di wilayah ini terdapat satu titik lokasi pembuangan limbah di Sulawesi Selatan yang berasal dari aktivitas kegiatan migas. Pencemaran minyak yang dapat ditimbulkan oleh kegiatan migas tersebut berpotensi memberikan dampak negatif pada organisme permukaan (pelagis), maupun pada hewan bentik. Sumber pencemar lain pada berasal dari kegiatan pertambangan, khususnya pertambangan nikel, yang berada di Pulau Muna, Kabena, dan Buton di Sulawesi Tenggara. Oleh karena wilayah ini berpotensi untuk tercemar logam berat (Ahmad, 2009). Meskipun secara umum kadar logam berat dalam air laut relatif masih rendah, namun beberapa logam berat, khususnya Ni, di sedimen di temukan cukup tinggi (Ahmad, 2009). Adanya potensi pencemaran logam berat inidapat menjadi ancaman terhadap sumberdaya perikanan, yaitu terganggunya kehidupan biota serta dapat menurunkan produksi perikanan.
136 |ekoregion laut 13
Pesona alam nan memukau di wilayah Wayag , Raja Ampat (foto: Handoko)
EL-11 LAUT HALMAHERA
S A
M
U
D
UTARA
EL-16
EL-14
E
R
A
PA
PAPUA BARAT
EL-17 PAP UA
± 0
50
100
EL-15
EL-18
200 Km
LAUT
Ekoregion Laut 14
Laut Seram dan Teluk Bintuni Ekoregion Laut 14 meliputi Laut Seram, Samudera Pasifik, dan Laut Banda. Ekoregion ini memiliki luas 140.620 2 km . Ciri khas ekoregion ini adalah terdapatnya kawasan Raja Ampat yang menjadi salah satu pusat keanekaragaman hayati terumbu karang tertinggi di dunia. Ekoregion Laut Seram dan Teluk Bintuni memiliki batas dengan 4 ekoregion lain yaitu: 1. Ekoregion Laut Halmahera karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang dan karang yang diperbaharui dengan studi detail tentang keanekaragaman hayati, 2. Ekoregion Laut Banda karena perbedaan pola arus, keanekaragaman hayati ikan karang dan karang yang batasnya mengikuti morfostruktur subduksi lempeng, 3. Ekoregion Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua karena perbedaan batimetri, 4. Ekoregion Laut Arafura karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang dan karang yang mengikuti morfostruktur paparan.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 139
GEOLOGI DAN MORFOLOGI Ekoregion Laut 14 Laut Seram dan Teluk Bintuni terbentuk sekitar 3 juta tahun silam (Hall, 2001) dan merupakan bagian dari serpihan Wallacea. Morfologi dasar laut ekoregion berupa dataran abisal (abyssal plain) dan lereng benua (continental slope) dengan kedalaman berkisar antara 0 hingga 4.980 m.
Demarkasi sejarah antara fauna wilayah Indonesia dan Australia (George 1964)
Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), hampir seluruh wilayah ini o o memiliki kemiringan yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-‐3 ), kelas lereng agak terjal (3-‐10 ), kelas lereng o o terjal (10-‐20 ), dan kelas lereng curam (>20 ). Selain itu berdasarkan Peta Toponimi Dasar Laut ekoregion ini memiliki 2 cekungan, yaitu : Cekungan Salawati, dan Cekungan Berau; 1 paparan, yaitu Paparan Sayang; 1 plato, yaitu Plato Wagea; dan 1 dataran yaitu Dataran Wagea.
OSEANOGRAFI Secara Umum, angin monsun yang bertiup di atas ekoregion ini memiliki pola yang hampir sama dengan angin yang bertiup di Ekoregion Teluk Tomini, Laut Halmahera, dan Laut Bali dan Nusa Tenggara. Angin bergerak dari arah barat laut menuju ke tenggara pada Monsun Barat, dan Angin Tenggara bergerak menuju ke barat laut pada Monsun Timur. Pada Monsun Peralihan pola angin tidak menentu dengan intensitas lebih lemah dibandingkan dengan angin Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Wheeler dan McBride, 2005). Menurut Wyrtki (1961) dan Mustikasari et al. (2010), tipe pasut di ekoregion Laut Seram dan Teluk Bintuni ini adalah campuran cenderung semidiurnal. Menurut Adi et al. (2004), Mustikasari et al.(2010) dan Pranowo (2012), ekoregion ini memiliki fenomena hidrodinamika arus permukaan yang cenderung mengikuti angin monsun. Arus bergerak menuju tenggara pada Monsun Barat, dan arus bergerak ke barat laut pada Monsun Timur. Sedangkan kondisi arus pada Monsun Peralihan memiliki pola tak menentu dengan intensitas yang lebih lemah dibandingkan dengan yang terjadi pada monsun yang lain. Apabila ditinjau dari arus pasut, maka kondisi arus kuat terjadi pada saat air menuju pasang dimana arus bergerak dari Laut Halmahera ke Laut Seram dan Teluk Bintuni. Selain itu, arus kuat juga terjadi pada saat air menuju surut dimana arus bergerak dari Laut Seram dan Teluk Bintuni ke Laut Halmahera. Sedangkan pada saat air pasang tertinggi dan pasang terendah kondisi arus tidak menentu arahnya.
140 |ekoregion laut 14
Upwelling di ekoregion ini terjadi dengan intensitas kuat dan areanya luas pada Monsun Timur, kemudian mulai berkurang luasan dan melemah intensitasnya pada Monsun Peralihan II, dan semakin menghilang pada Monsun Barat (Mustikasari et al., 2010). Pada Monsun Peralihan I, pembentukan upwelling mulai terlihat kembali dengan intensitas yang masih sangat lemah. Wilayah pusat-‐pusat upwelling di ekoregion ini adalah di sekitar Kepala Burung Papua seperti di sekitar Raja Ampat dan dekat pintu masuk Teluk Bintuni. Adapun variasi komponen fisik di rentang rerata tahunan dari massa air laut lapisan permukaan pada ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009) adalah sebagai berikut; suhu air laut mencapai kisaran 26,5–29,5°C; salinitas berkisar antara 32,0 PSU hingga 34,4 PSU; konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 4,2–4,7 ml/liter; pH berkisar antara 8,2–8,25. Kondisi sebaran nutrien yang mengacu pada Boyer et al. (2009) adalah sebagai berikut; konsentrasi fosfat berkisar antara 0,15–0,40 µmol/liter; konsentrasi silikat 2,5–3,0 µmol/liter; konsentrasi nitrat 0,5–1,0 µmol/liter; dan klorofil 0,5–5,0 µgram/liter.
KEANEKARAGAMAN HAYATI Karakter utama keanekaragaman hayati Ekoregion Laut 14 adalah keanekaragaman terumbu karang yang tinggi di wilayah Laut Seram, Kepulauan Raja Ampat, Fak-‐Fak dan Kaimana serta ekosistem mangrove di wilayah Laut Bintuni yang luas. Selain itu juga terdapat beberapa biota laut endemik di ekoregion ini diantaranya yaitu hiu berjalan walking shark (Hemiscyllium freycineti). Mangrove di Teluk Bintuni merupakan salah satu yang terbesar di dunia, yaitu sekitar 300.000 ha di wilayah daratan dan sekitar 60.000 ha di wilayah pesisir hingga kedalaman 10 meter. Mangrove di daerah ini masih alami dan memiliki tekanan degradasi yang masih tergolong rendah. Berdasarkan Status Lingkungan Hidup Indonesia (2008), ekoregion ini memiliki 7 spesies padang lamun yaitu Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule pinifolia, Thalassodendron ciliatum, Thalassia hemprichii, dan Syringodium isoetifolium. Wilayah lamun ini sebagian besar terkonsentrasi di kepulauan Raja Ampat. Kajian cepat kondisi kelautan (marine rapid assessment) di Fak-‐Fak dan Kaimana tahun 2006 menemukan 471 spesies karang keras dengan rata-‐rata tutupan karang hidup sekitar 36.67%. Di Raja Ampat Ampat tercatat sebanyak 553 spesies karang keras dengan rata-‐rata tutupan karang hidup sekitar 31 % (Turak dan DeVantier, 2006). Terumbu karang Raja Ampat memiliki pola dan komposisi spesies yang membentuk struktur komunitas utamanya disebabkan oleh pengaruh oseanografi lokal-‐regional yang berbeda dan variasi keterpaparan dengan samudera (exposure to ocean swell). Faktor kunci lainnya dari tingginya keragaman spesies karang adalah kesesuaian habitat dan tipe substrat. Area yang sesuai bersubstrat keras, yang didukung oleh hempasan gelombang Samudera Pasifik dalam jangka waktu yang lama (long periode ocean swell of pacific ocean) pada bagian utara berdampak pada garis pantai yang unik merupakan faktor penyebab utama keragaman struktur komunitas dan komposisi spesies karang (DeVantier et al., 2009). Data terbaru jumlah spesies ikan karang di Raja Ampat serta Fak-‐Fak dan Kaimana tercatat masing-‐masing sebanyak 1.508 dan 1.023 spesies, terdiri dari 116 famili dan 484 genera (Allen dan Erdmann, 2013, komunikasi pribadi). Hal ini menunjukkan bahwa Raja Ampat tidak hanya memiliki keaneragaman jenis dan tipe spesies karang terbanyak, tetapi juga memiliki spesies ikan karang yang terbanyak pula di dunia.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 141
Allen dan Erdmann (2009) menyebutkan bahwa keragaman jenis ikan karang di kawasan Raja Ampat sangat mengagumkan. Data yang pernah ada dan tercatat hanya pada luasan yang relatif kecil kira-‐kira hanya seluas 2 50.000 km , yang meliputi pulau-‐pulau dan perairan yang mengelilinginya. Allen dan Erdmann (2009; 2012) mencatat bahwa terdapat sejumlah spesies-‐spesies ikan endemik yang ditemukan di Raja Ampat, Kepala Burung Papua, dan Fak-‐Fak/Kaimana. Sebagian dari spesies-‐spesies endemik dimaksud tidak hanya ditemukan pada ketiga wilayah tersebut, tetapi juga dijumpai pada wilayah lain, seperti Teluk Cendrawasih bahkan sampai ke Halmahera. Ikan-‐ikan endemik Raja Ampat menurut Allen dan Erdmann sebagai berikut: Ikan Endemik Raja Ampat dan region lainya di Kepala Burung Papua No
Famili
Spesies
Lokasi endemic
Lokasi perjumpaan selain Raja Ampat
1
Hemiscyllidae
Hemiscyllium freycineti
Raja Ampat
-‐
2
Bythidtidae
Diancistrus niger
Raja Ampat
-‐
3
Telmatherindae
Kalyptatherina helodes
Raja Ampat
-‐
4
Pseudochromidae
Manonichthys jamali
Kepala Burung
Fak-‐Fak/Kaimana
Pseudochromis ammeri
Raja Ampat
Halmahera
Pseudochromis erdmanni
Fak-‐Fak/Kaimana dan Raja Ampat
Fak-‐Fak/Kaimana, Halmahera, dan Lembeh
Pseudochromis jace
Kepala Burung
Fak-‐Fak/Kaimana
Pseudochromis matahari
Raja Ampat
Halmahera
Pseudochromis sp
Raja Ampat
-‐
5
Opistognathidae
Stalix sp
Kepala Burung
Fak-‐Fak/Kaimana
6
Apogonidae
Apogon oxygrammus
Kepala Burung
Teluk Cenderawasih
Apogon leptofasciatus
Raja Ampat
-‐
Apogonichthyoides erdmanni
Raja Ampat
-‐
Siphamia sp.
Raja Ampat
-‐
7
Malacanthidae
Hoaplolatilus erdmanni
Kepala Burung
Fak-‐Fak/Kaimana, Cendrawasih
8
Nemipteridae
Pentapodus numberii
Kepala Burung
Fak/Kaimana, Cendrawasih, Timur
9
Pomacentridae
Chromis Athena
Raja Ampat
-‐
10
Labridae
Paracheilinus nursalim
Kepala Burung
Fak-‐Fak/Kaimana
12
Eleotridae
Calumia papuaensis
Kepala Burung
Teluk Cenderawasih dan Fak-‐ Fak/Kaimana
13
Gobiidae
Eviota raja
Raja Ampat
Trimma habrum
Kepala Burung
Fak-‐Fak/Kaimana, Cendrawasih
Vanderhorstia wayag
Raja Ampat
-‐
Sumber: Allen dan Erdmann (2009; 2012)
142 |ekoregion laut 14
Teluk
Teluk Halmahera
Teluk
Melalui bentuk formasi 14 reefscapes yang dikembangkan oleh DeVantier et al. (2009) tercatat tingginya keragaman dan endemisme ikan karang di Raja Ampat, berdasarkan habitat terumbu karang dan keragaman jenisnya. Perairan Kepulauan Raja Ampat memiliki keragaman jenis hiu sebanyak 22 (dua puluh dua) spesies berdasarkan hasil inventarisasi keragaman jenis hiu yang dilakukan Allen dan Erdmann (2012). Di Raja Ampat spesies hiu yang masuk dalam daftar Red List IUCN untuk genting (endangered) adalah jenis hiu martil atau hammerhead (Sphyrna lewini dan Sphyrna mokarran), sedangkan ada empat jenis yang dianggap "vulnerable", yaitu gorango bintang atau whale shark (Rhincodon typus), tawny nurse shark (Nebrius ferrugineus), zebra shark (Stegastoma fasciatum) dan shortfin mako (Isurus oxyrhinchus). Adapun satu spesies hiu yang endemik Raja Ampat, yaitu Hemiscyllium freycineti atau hiu berjalan (Allen dan Erdmann, 2012), yang dianggap "near threatened”. Hampir semua jenis hiu memiliki nama lokal yang sama, yaitu Rumon. Keragaman jenis hiu di Raja Ampat dan status konservasinya berdasarkan IUCN Redlist No
Nama Lokal
Nama Inggris
Nama Ilmiah
Red List IUCN (2012)
CITES (2012)
1
Romun dan boten (Beser)
Blacktip reef Shark
Carcharhinus melanopterus
Belum dikaji
-‐
2
Wo Wol (Misool) dan Romun toren (Beser)
Silvertip shark
Carcharinus albimarginatus
Belum dikaji
-‐
3
Wo Wol (Misool)
Grey reef shark
Carcharinus amblyrhynchos
Belum dikaji
-‐
4
Wo Wol (Misool)
Bull shark
Carcharinus leucas
Belum dikaji
-‐
5
Wo Wol (Misool)
Blacktip shark
Carcharinus limbatus
Belum dikaji
-‐
6
Wo Wol (Misool)
Oceanic whitetip shark
Carcharinus longimanus
Belum dikaji
-‐
7
Wo Wol (Misool)
Spot-‐tail shark
Carcharinus sorrah
Belum dikaji
-‐
8
Wo Wol (Misool)
Tiger shark
Galeocerdo cuvier
NT(Near threatened)
-‐
9
Wo Wol (Misool)
Blue shark
Prionace glauca
NT(Near threatened)
-‐
10
Wo Wol (Misool) dan Barawan (Beser)
Whitetip reef shark
Triaenodon obesus
NT(Near threatened)
-‐
11
Wo Fananga (Misool) dan Mambarayup (Beser)
Scalloped hammerhead
Sphyrna lewini
EN (Endangered)
Appendix I
12
Wo Fananga (Misool) dan Mambarayup (Beser)
Great hammerhead
Sphyrna mokarran
EN (Endangered)
-‐
Wo Wol (Misool)
Pelagic thresher shark
VU (Vulnerable)
-‐
13
Romun
Alopias pelagicus
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 143
No
Nama Lokal
Nama Inggris
Nama Ilmiah
Red List IUCN (2012)
CITES (2012)
14
Wo Wol (Misool)
Shortfin mako
Isurus oxyrinchus
VU (Vulnerable)
-‐
15
Rukm twan , hiu bodoh, gorango bintang
Whale shark
Rhyncodon typus
VU (vulnerable)
Appendix II
16
Hiu katpet / bunga (Indonesia) dan Arwaem (Beser)
Tasseled wobbegongs
Eucrossorhinus dasypogon
NT (Near Threatened)
-‐
17
Hiu katpet / bunga (Indonesia) dan Arwaem (Beser)
Ornate wobbegong
Orectolobus ornatus
NT (Near Threatened)
-‐
18
Hiu bambu (Indonesia)
Brown-‐banded shark
Chiloscyllium punctatum
NT (Near Threatened)
-‐
19
Hiu pengasuh (Indonesia) dan Manukboten (Beser)
Tawny nurse shark
Nebrius ferrugineus
VU (Vulnerable)
-‐
20
Hiu zebra (Indonesia) dan Barawan (Beser)
Zebra shark
Stegostoma fasciatum
VU (Vulnerable)
-‐
21
Kalabia
Raja cat sharks
Atelomycterus sp.
Belum dikaji
-‐
22
Mandemor/ Kalabia
Epaulette atau
Hemiscyllium freycineti
NT (Near Threatened)
-‐
bamboo
‘‘Walking’’ sharks Sumber: Allen dan Erdmann (2012);
Ekoregion ini juga berfungsi sebagai kawasan perlindungan spesies-‐spesies endemik/unik. Kawasan konservasi yang ada di ekoregion ini antara lain Suaka Margasatwa Pulau Sabuda Tataruga Fakfak (5.000 Ha), KKPD Sorong distrik Abun (26.795,53 Ha), KKPD Raja Ampat (1.125.940 Ha), TWP Kepulauan Padaido ( 183.000 Ha), dan KKPD Kaimana (597.747 Ha). Pada tanggal 13 Oktober 2010, Bupati Raja Ampat menerbitkan Surat Edaran Bupati yang menyatakan bahwa Raja Ampat adalah kawasan konservasi atau suaka hiu, serta melarang eksploitasi ikan hiu, pari manta, penyu, dan duyung.
PEMANFAATAN Ekoregion laut 14 berada pada Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 715. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP.45/MEN/2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, potensi sumberdaya perikanan antara lain: ikan pelagis besar (106,5 ribu ton/tahun), pelagis kecil (379,4 ribu ton/tahun) dan demersal (88,8 ribu ton/tahun), udang penaid (0,9 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (12,5 ribu ton/tahun), lobster (0,3 ribu ton/tahun) dan cumi-‐ cumi (7,1 ribu ton/tahun). Potensi sumberdaya terbarukan non ikan pada ekoregion ini antara lain; (i) mangrove seluas 520.197,53 ha tersebar di sekitar pesisir Sorong, Raja Ampat, Bintuni dan Kaimana; (ii) padang lamun seluas 22.430,99 ha; dan
144 |ekoregion laut 14
(iii) terumbu karang dengan seluas 63.450,48 ha. Potensi sumberdaya tidak terbarukan di ekoregion ini berupa sumberdaya migas yang terdapat di Sorong. Menurut Keputusan Menteri KP No. 45/2011 tersebut di atas, saat ini kondisi sumberdaya perikanan di Ekoregion Laut 14 dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Udang sudah over exploited, b. Ikan demersal: Spesies kerapu (Cephalophodis boenack) dan kakap merah (Lutjanus bitaeniatus dan Lutjanus malabaricus) sudah fully exploited, c. Ikan pelagis kecil: Spesies ikan terbang (Hirundichthys oxycephalus) dan layang (Decapterus kuroides) sudah fully exploited sedangkan layang spesies (Decapterus macarellus) masih taraf moderate. d. Ikan pelagis besar: 1 Spesies tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah over exploited, 2 Spesies madidihang (Thunnus albacares) sudah fully exploited dan 3 Spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih taraf moderate.
KERAWANAN BENCANA Ekoregion Laut 14 berdasarkan Peta Rawan Tsunami (Sulistyo dam Triyono, 2009) sebagian besar pantai dan pesisir Pulau Papua rawan tsunami, terutama pantai bagian barat. Daerah rawan tsunami yang terpengaruh secara luas berada di pantai barat Pulau Papua bagian selatan dan bagian barat Kepala Burung Papua. Kerawanan ini akibat asosiasi posisi dengan Busur Banda yang merupakan pusat tektonisme. Hal ini diperkuat oleh adanya informasi tentang kerentanan gempa, baik vulkanik maupun tektonik yang kadang disertai dengan tsunami (Budiono et al., 2003).
PENCEMARAN Wilayah daratan Kabupaten Sorong dan Teluk Bintuni adalah wilayah yang kaya akan sumberdaya alam termasuk kehutanan, perikanan serta minyak dan gas bumi. Beberapa sungai yang bermuara pada ekoregion laut ini membawa massa air yang berpotensi sebagai sumber pencemar, baik bahan pencemar organik, maupun bahan pencemar anorganik. Kegiatan yang berpotensi mencemari ekoregion ini dapat ditimbulkan oleh berbagai kegiatan baik di darat maupun di Teluk Bintuni seperti, eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi, industri kayu lapis serta perikanan (Brotoisworo, 1991). Berbagai industri migas dan industri perkayuan telah dilaporkan beroperasi di Teluk Bintuni semenjak sebelum 1987. Lebih lanjut, berdasarkan data izin pembuangan limbah ke laut (KLH, 2009b) terdapat 7 (tujuh) titik sumber pencemar yang berasal dari kegiatan migas, yang berlokasi di Kabupaten Sorong dan Kabupaten Teluk Bintuni. Jumlah total volume limbah yang dihasilkan dari 3 kegiatan ini diperkirakan sekitar 304.433,99 m /hari. Berdasarkan kegiatan yang dilakukan di kawasan tersebut, maka wilayah ini berpotensi mempunyai nilai BOD dan COD yang tinggi. Kondisi tersebut juga diperkuat oleh hasil penelitian Brotoisworo (1991) yang memperlihatkan bahwa sungai-‐sungai yang bermuara keteluk Bintuni membawa massa air dengan konsentrasi sedimen yang tinggi sehingga menyebabkan perairan teluk menjadi keruh (Brotoisworo, 1991). Adanya kegiatan industri pertambangan dan kegiatan pembuangan limbah di lokasi ini juga akan menjadi ancaman tersendiri bagi kelestarian sumberdaya, mengingat bahan B3 dapat menyebabkan dampak negatif ke biota laut, sehingga akan mengancam keanekaragaman hayati perairan.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 145
Area konsesi timber, minyak dan gas di Teluk Bintuni (modifikasi dari Brotoisworo, 1991)
146 |ekoregion laut 14
S A
LAUT HALMAHERA
M
U
MALUKU UTARA
LAWESI UTARA
E
EL-16
LAUT MALUKU
EL-14
PAPUA BARAT
EL-17
LAUT SERAM
EL-12
D
PAP UA
MALUKU
LAUT BANDA
EL-15
-13
LAU
EL-18
EL-9 O R T I M
LAUT ARAFURA
±
MOR
0
E S T L E
75
150
300 Km
A U S T R A L I A
Ekoregion Laut 15 (Laut Banda) 2
Ekoregion Laut 15 meliputi Laut Banda dan Laut Timor. Ekoregion ini memiliki luas 583.096 km . Ciri khas ekoregion ini adalah struktur batimetri yang dibentuk oleh tumbukan yang sangat kompleks di kedalaman 500 – 1.500 m. Struktur batimetri tersebut menyebabkan terjadinya percampuran massa air yang mentransformasi karakteristik massa air Samudera Pasifik yang dibawa oleh Arus Lintas Indonesia menjadi Banda Sea Intermediate Water (BSIW) atau dikenal juga sebagai Indonesian Intermediate Water (IIW). Ekoregion Laut 15 memiliki batas dengan 6 ekoregion lain, yaitu: 1. Ekoregion Perairan Bali dan Nusa Tenggara karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang dan karang, pola arus, dan garis batas ditarik mengikuti morfostruktur patahan, 2. Ekoregion Laut Halmahera karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang, garis batas mengikuti morfostruktur patahan, 3. Ekoregion Laut Banda Sebelah Timur Sulawesi karena perbedaan pola arus, 4. Ekoregion Laut Banda Sebelah Selatan Sulawesi dan Teluk Bone karena perbedaan pola arus yang batasnya ditarik sesuai dengan morfostruktur patahan, 5. Ekoregion Laut Seram dan Teluk Bintuni karena perbedaan pola arus, keanekaragaman hayati ikan karang dan karang yang garisnya mengikuti morfostruktur subduksi lempeng, 6. Ekoregion Laut Arafura karena perbedaan pola arus, batimetri, keanekaragaman hayati ikan karang dan karang yang garisnya mengikuti morfostruktur paparan.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 149
GEOLOGI DAN MORFOLOGI Morfologi dasar laut di wilayah ekoregion ini mempunyai umur pembentukan ± dua juta hingga satu juta tahun silam yang merupakan bagian dari serpihan Wallacea. Morfologi dasar laut untuk ekoregion ini berupa dataran laut dalam dan lereng benua, dengan kedalaman antara 0 hingga 7.355 m.
OSEANOGRAFI Pada Ekoregion Laut Banda ini angin monsun memiliki pola hampir sama dengan angin yang bertiup di Ekoregion Teluk Tomini, Laut Halmahera, dan Laut Bali dan Nusa Tenggara. Angin bergerak dari arah barat laut menuju ke tenggara pada Monsun Barat, dan angin tenggara bergerak menuju ke barat laut pada Monsun Timur. Pada Monsun Peralihan pola angin tidak menentu dengan intensitas lebih lemah dibandingkan angin Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Wheeler dan McBride, 2005). Menurut Wyrtki (1961) dan Pranowo et al. (2011) tipe pasut di Ekoregion ini adalah campuran cenderung semi diurnal. Menurut Mustikasari et al. (2010) dan Pranowo (2012), ekoregion ini memiliki fenomena hidrodinamika yang unik yang diakibatkan oleh bentuk batimetri yang kompleks, berupa arus permukaan yang berputar (Eddy) yang searah jarum jam dengan intensitas tertinggi pada Monsun Barat. Sedangkan arus Eddy pada Monsun Timur pergerakannya melawan arah jarum jam dan intensitasnya sedikit lebih lemah dibandingkan di Monsun Barat. Sedangkan pada Monsun Peralihan I, kondisi pola arusnya memiliki pola tak menentu dengan intensitas yang lebih lemah dibandingkan pada monsun yang lain. Pada kedalaman 500 – 1.500 meter terdapat Arus Lintas Indonesia (Pranowo et al., 2006; Gordon et al., 2010), yang kemudian menyebabkan terjadinya percampuran massa air sehingga mentransformasi karakteristik massa air yang berasal dari Samudera Pasifik menjadi Banda Sea Intermediate Water (BSIW) atau dikenal juga sebagai Indonesian Intermediate Water (IIW) (Taley dan Sprintall, 2005). Laut Nusantara wilayah Timor yang meliputi Selat Ombai, Laut Sawu, Laut Timor, dan Laut Arafura memiliki fenomena upwelling di sepanjang tahun dan mengalami variabilitas temporal mengikuti pola monsun. Secara umum pada Monsun Barat, upwelling intensitas lemah terjadi pada Perairan Pantai Barat Kepulauan Tanimbar dan Pantai Barat Daya Irian Jaya dekat Kepulauan Aru. Selain itu ditemukan sedikit downwelling dengan intensitas lemah di utara Kepulauan Tanimbar dan barat laut Kepulauan Aru (Pranowo, 2012). Adapun variasi komponen fisik di rentang rerata tahunan dari massa air laut di lapisan permukaan pada ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Taley dan Sprintall, 2005; Boyer et al., 2009; Ramdhan & Tubalawony, 2010) adalah sebagai berikut; suhu air laut pada ekoregion ini mencapai kisaran 26 – 29°C; salinitas berkisar antara 33,75 PSU hingga 34,60 PSU; konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 4,2 – 4,8 ml/liter (pada kedalaman 500 meter dapat mencapai 2,5 ml/liter); dan pH berkisar antara 8,0 – 8,25. Kondisi sebaran nutrien di ekoregion adalah konsentrasi fosfat berkisar antara 2,5 – 9,75 µmol/liter; konsentrasi silikat 2,5 – 10,0 µmol/liter (pada kedalaman 500 meter dapat mencapai 70 µmol/liter); konsentrasi nitrat 1,2 – 3,0 µmol/liter; dan klorofil 5 -‐ 20 µgram/liter yang telah dinyatakan oleh (Taley dan Sprintall 2005; Boyer et al. 2009). Contoh kondisi hidro-‐oseanografi yang cukup terdata mengenai ekosistem laut di ekoregion ini adalah ekosistem pada Perairan Seram dan Kepulauan Tanimbar. Berikut adalah penjelasannya:
150 |ekoregion laut 15
Perairan Seram. Pada perairan ini terjadi pendangkalan lapisan termoklin sebagai salah satu indikasi upwelling terjadi pada Monsun Peralihan I dan pada Monsun Timur (Sapulete, 1996). Hal ini diperkuat oleh Tubalawony (2000) yang menyatakan bahwa daerah upwelling di perairan selatan Pulau Timor pada Monsun Timur diindikasikan dengan mendangkalnya lapisan termoklin pada kedalaman sekitar ̴75 meter. Kepulauan Tanimbar. Pola sebaran suhu air laut di selatan Kepulauan Lemola-‐Tanimbar pada permukaan kedalaman 0,25 m dan 50 m cenderung homogen (Ramdhan dan Tubalawony, 2010), suhu permukaan laut (0 m) berkisar antara 28,86–29,18°C dengan rata-‐rata 29,03±0,13°C, Suhu pada kedalaman 25 m antara 28,99–29,12°C dengan rata-‐rata 29,08±0,05°C. Sedangkan pada kedalaman 50 m suhu berkisar 28,50-‐29,07°C dengan rata-‐rata 28,86±0,21°C. Pada kedalaman 75 m dan 100 m, suhu perairan mengalami degradasi yang cukup besar dengan pola sebaran yang cukup bervariasi. Pada kedalaman 75 m, suhu perairan berkisar antara 25,52-‐26,75°C dengan rata-‐rata 26,40±0,50°C, sedangkan pada kedalaman 100 m suhu perairan berkisar 21,44-‐23,29°C dengan rata-‐rata 22,48±0,70°C. Secara horisontal, sebaran salinitas di permukaan perairan selatan Kepulauan Leti Moa Lakor (Lemola) -‐ Tanimbar selama pengamatan berkisar 33,46 – 33,97 PSU dengan kisaran 33,65±0,21 PSU.
KEANEKARAGAMAN HAYATI Karakteristik utama Ekoregion Laut 15 adalah banyaknya habitat terumbu karang unik, perairan laut dalam dan air yang jernih, yang tidak terdapat di perairan lain di Indonesia. Pulau-‐pulau karang kecil di Busur Banda Luar dan Busur Banda Besar merupakan karakteristik habitat di ekoregion ini. Keberadaan tiga ekosistem laut dangkal, mangrove; lamun; dan terumbu karang, yang berdampingan di Teluk Kotania (Seram Barat) juga spesifik dan merupakan laboratorium alam untuk mempelajari interaksi ketiga ekosistem ini. Laut Banda berada di persimpangan wilayah penyebaran fauna Indonesia dan Papua, dan tidak diragukan juga menyediakan koridor yang penting untuk migrasi berbagai biota laut. Laut Banda membentuk jalur migrasi dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia untuk banyak spesies hewan laut terancam punah, termasuk paus (Monk et al., 1997, dalam Wagey dan Arifin, 2008) dan dugong duyung di Kepulauan Lease (Haruku, Saparua Nusa Laut; De Iongh et al., 2009). Jenis lumba-‐lumba oseanik dan jenis paus termasuk paus sperma terdapat dalam jumlah yang sangat melimpah di Wakatobi dan di seluruh perairan dalam di ekoregion ini. Paus biru yang biasanya soliter, terlihat berkumpul di wilayah Ambon, Buru, Seram Barat, dan seluruhnya menghabiskan waktu sekitar tiga bulan dalam setahun di perairan Laut Banda. Paus biru yang ditemukan di Pulau Yamdena mungkin juga penting secara global. Sebaran tiga ekosistem di Teluk Kotania, Seram Barat: mangrove (merah), padang lamun (hijau), dan terumbu karang (biru) (gambar: Supriyadi dan Wouthuyzen et al., 2005)
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 151
Pulau Watubela merupakan tempat pemijshsn terbesar beberapa spesies ikan kerapu yang tersisa di Indonesia (spawning aggregating sites). Lokasi ini penting sebagai upaya perlindungan populasi ikan karang ekonomis tinggi. Ekoregion Laut Banda juga memiliki sejumlah lokasi penting untuk jenis reptil dan avifauna. Penyu bertelur dan mencari makan dalam jumlah besar di seluruh wilayah ekoregion ini. Penyu Belimbing Pasifik bertelur di pantai utara Pulau Seram dan mencari makan di Kepulauan Kei, sementara Penyu Hijau bertelur di Pulau Lucipara, Ambon, Banggais. Penyu Pipih yang biasanya ditemukan di Australia juga dapat dijumpai di Laut Banda. Pulau-‐pulau Moromaho, Lucipara dan Penyu sangat penting untuk burung laut, termasuk Dara laut jambul Sterna bergii. Busur Banda Dalam juga memiliki sejumlah koloni bersarang ular laut yang penting. Buaya muara yang dilindungi secara nasional juga dapat dijumpai di Laut Banda. Laut Banda dicirikan dengan perairan dalam dengan vulkano aktif yang menghasilkan jumlah terumbu karang oseanik yang terisolasi, gunung-‐gunung di bawah permukaan laut dan atol yang berasosiasi dengan lingkungan lagunal unik yang terbesar di Indonesia. Keseluruhan keragaman habitatnya sangat tinggi, mulai sepanjang garis pantai bagian selatan dan barat Sulawesi sampai laut terbuka dan perairan yang sangat dalam di mana sebagian besar kondisi ini tidak terwakili dengan baik di wilayah manapun di Indonesia. Mungkin simbol dari ekoregion ini adalah busur pulau-‐pulau oseanik vulkano aktif yang muncul dari kedalaman lebih dari 5.000 meter di bawah Laut Banda Timur. Keadaan tersebut dan perairan dangkal lainnya menonjolkan pengalaman pertukaran terbuka dari perairan di sekitar wilayah ini seperti Laut Sulawesi, dan keragaman habitat laut dalam dekat pantai di dalam jalur lintasan antar pulau. Beberapa bagian terdalam laut-‐laut di Indonesia dan mungkin di dunia dapat ditemukan di sini (kedalaman yang pernah dipetakan sampai sedalam 7.376 m pada 5ᵒ 36,82ʹ′ LS/ 130ᵒ 51,56‘ BT), dan kekayaan jenis laut dalamnya diyakini sangat tinggi. Data awal dari Ekspedisi Alpha Helix menunjukkan bahwa kumpulan fauna di Laut Banda termasuk tingginya endemisitas atau jenis-‐jenis yang tersembunyi (cryptic spesies), mungkin akibat isolasi selama masa menurunnya permukaan air laut. Sebagai contoh, ada 32 jenis holothurian (teripang) endemik yang dapat ditemukan di sini dan sejauh ini tidak ada di tempat lain. Dari data stomatopoda menunjukkan bahwa Busur Banda bagian selatan menjadi sangat penting sebagai batu loncatan yang menghubungkan antara pantai bagian selatan Papua dan Sulawesi bagian timur. Dugong dilaporkan keberadaannya di Kepulauan Lease, Saparua, Haruku dan Nusalaut. Survei udara yang dilaksanakan di tahun 1990 dan 1992 di Kepulauan Lease mengindikasikan bahwa populasi dugong di perairan ini diperkirakan antara 22 hingga 37 ekor (De Iongh et al., 1995). Tetapi Moss dan van der Wal (1998) memperkirakan bahwa jumlahnya tidak lebih dari 10 ekor lagi yang hidup di Kepuluan Lease. Perkiraan ini didasarkan pada observasi feeding tral dugong dan wawancara dengan warga setempat. Nelayan lokal juga menyebutkan bahwa dugong dijumpai di pesisir utara dan timur Pulau Seram. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam deskripsi keanekaragaman hayati Ekoregion Laut 1 wilayah sampling penelitian genetik Ikan Pari mencakup wilayah ekoregion ini sehingga hasil penelitiannya juga dapat dijadikan sebagai tambahan informasi dalam deskripsi ekoregion ini (Arlyza and Borsa, 2010; Borsa et al., 2012; Arlyza et al. 2013).
152 |ekoregion laut 15
Kawasan konservasi yang terdapat dalam ekoregion ini meliputi TWAL Pulau Kassa, Maluku; TWAL Pulau Marsegu, Maluku; TWAL Pulau Pombo, Maluku; dan TWP Laut Banda, Maluku.
PEMANFAATAN Ekoregion Laut 15 berada pada WPP 714 yang mengacu Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 45/Men/2011 meliputi Ekoregion Laut 12, 13 dan 15. Potensi sumberdaya perikanan antara lain ikan pelagis besar (104,1 ribu ton/tahun), pelagis kecil (132 ribu ton/tahun) dan demersal (9,3 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (32,1 ribu ton/tahun), lobster (0,4 ribu ton/tahun) dan cumi-‐cumi (0,1 ribu ton/tahun). Potensi sumberdaya non ikan antara lain; (i) mangrove seluas 65.155,03 ha tersebar di sekitar Pesisir Maluku Barat Daya dan Pesisir Seram, (ii) padang lamun seluas 35.429,45 ha tersebar di sebelah barat Pulau Buru, Seram Barat, Seram Timur, Kepulauan Kai dan Kepulauan Tanimbar, dan (iii) terumbu karang seluas 76.334,83 ha, (iv) potensi mutiara juga ditemukan di ekoregion ini yang berada di sekitar Pulau Seram. Kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan pada wilayah ini diketahui bahwa: a. Ikan pelagis kecil spesies layang (Decapterus macarellus dan Decapterus macrosoma) kondisi sudah fully exploited hingga taraf moderate. b. Ikan pelagis besar : 1 Spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih taraf moderate 2 Spesies tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah over exploited 3 Spesies madidihang (Thunnus albacares) sudah fully exploited 4 Spesies cakalang (Katsuwonus pelamis) masih taraf moderate 5 Cumi-‐cumi (Loligo spp) masih taraf moderate. Potensi sumberdaya yang tidak terbarukan adalah migas yang terdapat di Seram Timur.
KERAWANAN BENCANA Ekoregion Laut 15 memiliki struktur geologi yang kompleks. Hal tersebut terlihat dari adanya salah satu struktur geologi berupa Busur Banda (Banda Arc). Busur Banda ditandai dengan kepulauan yang memanjang meliputi Kepulauan Gorong, Kepulauan Watubela, Kepulauan Tayandu dan Kepulauan Tanimbar. Karakteristik geologi menjadikan pulau-‐pulau yang terbentuk merupakan pulau vulkanik (Hantoro, 2005) dan terletak pada struktur geologi yang kompleks, sehingga menurut Jaya et al. (2001) bahwa ancaman gempa dan tsunami merupakan ancaman terbesar yang terjadi di Ekoregion Laut 15. Budiono et al. (2003) mengelaskan Ekoregion Laut 15 ke dalam kerentanan tinggi kejadian tsunami.
PENCEMARAN Ekoregion Laut 15 memiliki potensi dicemari oleh limpasan air yang berasal dari sungai yang bermuara ke Laut Banda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Teluk Ambon merupakan wilayah yang paling tercemar di kawasan ini, dengan sumber pencemar utama berasal dari kegiatan rumah tangga dan aktivitas perkapalan. Berdasarkan kegiatan yang ada, maka ekoregion ini berpotensi untuk tercemar baik bahan organik, maupun bahan anorganik. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian di Laut Banda yang memperlihatkan bahwa salah satu masalah pencemaran yang ditemukan di Teluk Ambon adalah limbah plastik dan bahan organik (Evans et al., 1995; Uneputty dan Evans 1997). Adanya pencemaran bahan organik, maka dapat menyebabkan tingginya nilai BOD dan COD yang ada di wilayah Laut Banda ini. Selain itu, juga akan mempunyai potensi menyebabkan terjadinya blooming plankton, sekaligus akan menyumbang GRK ke atmosfir.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 153
Potensi pencemaran lainnya yang dapat terjadi adalah tercemarnya perairan oleh limbah B3. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian di lokasi ini yang memperlihatkan bahwa permasalahan pencemaran lain yang ditemukan di kawasan ini adalah pencemaran oleh senyawa TBT (yang digunakan untuk cat antifouling kapal) yang mengakibatkan peristiwa imposex (pemandulan) di biota siput laut (Evans et al., 1995), sebagaimana imposex yang terjadinya pada Thais sp di Pelabuhan Ratu dan Pelabuhan Teluk Bayur (Riani et al., 1994). Ekoregion Laut 15 juga mempunyai potensi terhadap terjadinya pencemaran akibat logam berat. Hal ini terbukti dari penelitian di lokasi ini yang memperlihatkan tingginya kadar Cd pada sedimen dan tingkat akumulasi pada biota laut di wilayah perairan Pulau Ambon (Rumahlatu, 2011). Apabila ditinjau berdasarkan ijin pembuangan limbah (KLH, 2009c), disebutkan bahwa pada wilayah ini terdapat potensi pencemaran yang berasal dari kegiatan migas. Pembuangan limbah migas tersebut berasal dari satu titik sumber pencemar yang berlokasi di Kabupaten Seram Timur, dengan total volume limbah sebesar 5.102 3 m /hari. Oleh karena itu wilayah ini mempunyai potensi yang tinggi terhadap terjadinya pencemaran B3 seperti logam berat, PAH dan POPs.
154 |ekoregion laut 15
Tukik dari penyu Belimbing (foto: Handoko)
±
EL-11
M
U
D
E
R
T HALMAHERA
EL-16
L-14
EL-17
PAPUA BARAT
A
PAP UA
EL-15 EL-18 LAUT ARU
PA
SI
PAPUA
150
FI
300 Km
K
N E W G U I N E A
S A
75
P A P U A
0
Ekoregion Laut 16
Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua Ekoregion Laut 16 meliputi seluruh perairan di sebelah Utara Pulau Papua kecuali Teluk Cenderawasih. 2 Ekoregion ini memiliki luas 459.857 km . Ciri khas ekoregion ini adalah memiliki fenomena arus Halmahera Eddy, yang terbentuk akibat struktur batimetri dan topografi Papua Utara hingga Kepulauan Halmahera, yakni arus putar balik ke arah Barat kemudian kembali ke Samudera Pasifik, yang semula berasal dari arus susur tepian Papua Utara yang menuju ke barat. Selain itu fenomena kolam air hangat yang terdapat Samudera Pasifik Barat juga berimbas pada ekoregion ini, dimana area ini adalah sangat disenangi oleh populasi ikan tuna. Ekoregion Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua berbatasan dengan 3 ekoregion lain yaitu: 1. Ekoregion Laut Halmahera karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang, 2. Ekoregion Teluk Cendrawasih karena perbedaan batimetri, keanekaragaman hayati karang dan pola temperatur dan salinitas permukaan air laut, 3. Ekoregion Laut Seram dan Teluk Bintuni karena perbedaan batimetri.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 157
GEOLOGI DAN MORFOLOGI Ekoregion Laut 16 terbentuk sekitar 9 juta tahun silam (Hall, 2001) dan merupakan bagian dari serpihan Wallacea. Morfologi dasar laut untuk Ekoregion Laut 16 berupa dataran abisal (abyssal plain) dan lereng benua (continental slope) dengan kedalaman berkisar antara 0 hingga 5.608 m. Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), hampir seluruh wilayah ini o o memiliki kemiringan yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-‐3 ), kelas lereng agak terjal (3-‐10 ), kelas lereng o o terjal (10-‐20 ), dan kelas lereng curam (>20 ). Selain itu berdasarkan Peta Toponimi Dasar Laut Ekoregion Laut 16 memiliki satu cekungan, yaitu: Cekungan Ayu; dan satu parit, yaitu Parit Ayu.
OSEANOGRAFI Secara umum, angin Monsun yang bertiup di atas Ekoregion Samudera Pasifik Utara Papua memiliki pola sebagai berikut: angin bergerak dari arah barat laut menuju ke tenggara pada Monsun Barat yang berasal dari hasil pembelokan angin dari pusat Samudera Pasifik yang kemudian bergerak ke timur menyusur utara Papua. Sebaliknya angin timur yang menyusur utara Papua akan bergerak menuju ke barat laut pada Monsun Timur. Sedangkan pada Monsun Peralihan, pola angin tidak menentu dengan intensitas lebih lemah dibandingkan angin pada Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Chang et al., 2004; Wheeler & McBride, 2005). Menurut Wyrtki (1961) tipe pasut di ekoregion ini adalah campuran cenderung semi diurnal. Pola arus permukaan secara umum adalah mengikuti pola angin yang berhembus pada ekoregion ini (Mustikasari et al. 2010). Jika arus permukaan ditinjau dari waktu pasang surut, maka pada saat kondisi air menuju surut arus permukaan cenderung bergerak dari arah barat (Samudera Pasifik) menuju ke timur memasuki perairan Indonesia. Pada saat air pasang tertinggi, maka arus dari utara Samudera Pasifik Barat bergerak menuju ke selatan yang kemudian ketika memasuki ekoregion ini terpecah menuju ke dua arah (timur dan barat) di atas Ekoregion Teluk Cenderawasih. Pada saat air menuju surut, maka arus datang dari dua arah (timur dan barat) kemudian melemah dan membelok ke selatan menuju Ekoregion Teluk Cenderawasih. Sedangkan pada saat air surut terendah, arus di ekoregion ini akan bergerak seluruhnya ke arah barat ( Samudera Pasifik). Kemunculan upwelling di ekoregion ini hanya terpantau pada Monsun Peralihan I yang luasannya terbentuk dimulai dari sebelah timur Tanjung Darwilis sampai utara Jayapura (Mustikasari et al., 2010). Pada ekoregion ini, terdapat fenomena unik bernama kolam air hangat (WEPWP = Western Equatorial Pacific Warm Pool) dengan karakteristik SST 28°C (Supangat et al., 2004). Di sepanjang Monsun Barat dan Monsun Peralihan I, WEPWP muncul di Belahan Bumi Selatan dan bergerak umumnya ke arah utara dimana pergerakannya berhubungan dengan pergerakan meridional dari matahari. Sementara itu, di sekitar ekuator bagian barat, SST menurun dari 28°C menjadi 27 -‐ 28°C pada Monsun Timur hingga Monsun Peralihan II, kemudian secara perlahan kisaran SST menjadi 26 -‐ 27°C ketika menuju ke Musim Barat. Fenomena ini belum diketahui secara lebih dalam lagi apakah penurunan suhu ini terkait dengan El Nino ataukah hanya transport zonal dari massa air dingin hasil upwelling yang terjadi di Perairan Pasifik Khatulistiwa Tengah yang kemudian terbawa ke ekoregion ini oleh Arus Khatulistiwa Selatan yang bergerak ke arah barat. Adapun variasi komponen fisik di rentang rerata tahunan dari massa air laut pada ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009) di lapisan permukaan adalah sebagai berikut; suhu air laut pada ekoregion ini mencapai kisaran 29 – 29,8°C; salinitas berkisar antara 32 PSU hingga 34,75 PSU; konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 4,1 – 4,85 ml/liter; pH berkisar antara 7,25 – 8,25.
158 |ekoregion laut 16
Berdasarkan Boyer et al. (2009), untuk kondisi sebaran nutrien di ekoregion ini adalah sebagai berikut; konsentrasi fosfat berkisar antara 0,15 – 0,98 µmol/liter; konsentrasi silikat 2,5 – 15,0 µmol/liter; konsentrasi nitrat 1 – 5 µmol/liter; klorofil 0,5 – 5,0 µgram/liter.
KEANEKARAGAMAN HAYATI Karakteristik utama ekoregion ini adalah sebagai lokasi peneluran utama dan terbesar untuk spesies penyu belimbing (Dermochelys coreacea) di dunia. Rata-‐rata penyu naik (bertelur) Distrik Abun sebanyak 3.000 ekor dengan jumlah tertinggi sebanyak 5.000 ekor. Selain itu, di ekoregion ini terdapat enam jenis kima dari delapan jenis kima di dunia, yaitu kima pasir (Tridacna hippopus), kima besar (Tridacna maxima), kima lubang (Tridacna derasa), kima raksasa (Tridacna gigas), dan kima sisik (Tridacna squamosa). Ekosistem mangrove sebagian besar yang ditemukan bukan merupakan mangrove sejati. Mangrove semu dan vegetasi pantai yang ditemukan meliputi jenis-‐jenis Nyamplung/Bintanggur (Calophyllum inophyllum), Pandan Laut (Pansdanus canavalia), Ketapang (Terminalia catappa), Batatas Laut (Ipomoea pescaprea), Waru Laut (Hibiscus tiliaceous), Putat Laut (Baringtonia asiatica), Bakung Laut (Crinumasiaticum) dan lain-‐lain. Ekosistem padang lamun juga hanya ditemukan di beberapa wilayah saja seperti di pantai Kampung Saubeba. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sorong menunjukkan jumlah jenis lamun yang ditemukan di wilayah utara Kabupaten Sorong sebanyak delapan jenis, yaitu Cymodocea serrulata, C. tricostata, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovalis, H. ovate, Syringodium filiforme, dan Thalassodendron ciliatum. Secara umum tidak terdapat ekosistem pesisir utama (terumbu karang, padang lamun dan mangrove) yang cukup luas secara signifikan di ekoregion ini. Terumbu karang dapat ditemukan dalam kondisi yang relatif luas di Pulau Dua (Distrik Sausapor) yang masuk dalam wilayah Kawasan Konservasi Perairan Distrik Abun. Namun kondisi terumbu karang relatif buruk dengan penutupan karang sebagian besar berupa pecahan karang (rubble) dan DCA (Dead Coral with Algae). Di kawasan pesisir utara Kabupaten Sorong terutama di daerah Distrik Abun, terdapat kurang lebih 55 jenis burung, 12 jenis mamalia yang teridentifikasi dan beberapa jenis reptil serta amphibi. Jenis reptil yang lazim dilihat adalah jenis penyu belimbing (Dermochelys coreacea), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmchelys imbricata), penyu lekang/sisik semu (Lepidochjelys olivace) dan beberapa jenis biawak serta ular. Jenis –jenis mamalia yang di jumpai babi hutan (Sus scrofa), rusa (Cervus timorensis), landak irian (Zaglossus bruijini), kanguru (Dendrolagus sp), kus-‐kus (Phalanger sp). Jenis burung yang banyak di jumpai antara lain, kakatua jambul kuning (Cacatua galerita), kakatua raja (Probosciger aterrimus), gagak hitam (Cassicus sp), elang laut dada putih (Heliastus leucogaster), elang bondoh (Heliastur indus), cenderawasih kuning kecil (Paradiseae minor), nuri merah kepala hitam (Lorius lorry), bayan (Eclectus roratus), kasuari (Casuarius sp), mambruk (Goura sp.), maleo irian (Megapodius sp), gagak (Schytropss sp.), julang (Rithyceros plicatus), cikukua (Philemon buceroides), jenis merpati (Ducula spp) dan lain-‐lain. Kawasan konservasi yang terdapat di ekoregion ini antara lain KKPD Abun/ Jamursba Medi, Papua Barat seluas 21.415,35 ha, SML Pantai Jamursba Medi, Papua Barat seluas 278,25 ha, dan CAL Pantai Sausapor, Papua Barat seluas 751,92 ha.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 159
PEMANFAATAN Ekoregion Laut 16 berada di WPP 717 meliputi Samudera Pasifik sebelah Utara Papua. Potensi sumberdaya perikanan antara lain ikan pelagis besar (105,2 ribu ton/tahun), dan pelagis kecil (153, 9 ribu ton/tahun), ikan demersal (30,2 ribu ton/tahun), udang penaeid (1,4 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (8 ribu ton/tahun), lobster (0,2 ribu ton/tahun) dan cumi-‐cumi (0,3 ribu ton/tahun). Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45/2011, kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan di Ekoregion Laut 16 sebagai berikut: a. b. c. d.
Udang sudah over exploited. Ikan demersal masih taraf moderate namun spesies tidak diketahui. Ikan pelagis kecil juga masih taraf moderatenamun spesies tidak diketahui. Ikan pelagis besar antara lain spesies madidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah over exploited sedangkan spesies cakalang masih taraf moderate.
Potensi sumberdaya terbarukan non ikan antara lain: (i) mangrove luas 4.252,40 ha tersebar di sekitar pesisir Utara Papua dan Papua Barat, (ii) lamun dengan luas 1.314,25 ha tersebar di pesisir Utara Papua dan Papua Barat dan (iii) terumbu karang meliputi luas 5.025,50 ha. Potensi sumberdaya yang tidak terbarukan adalah migas yang terdapat di Bintuni.
KERAWANAN BENCANA Ekoregion Laut 16 merupakan wilayah pertemuan lempeng antara Lempeng Pasifik dan Lempeng Eurasia. Dengan kondisi demikian maka gempa dan tsunami menjadi ancaman terhadap Ekoregion Laut 16. Berdasarkan Budiono et al. (2003), wilayah ini memiliki kerentanan yang tinggi terhadap gempa dan tsunami. Pantai utara Pulau Papua bagian barat yang memiliki relief agak datar yang luas menjadi daerah rawan tsunami gempa tektonis dari jalur pertemuan atau subduksi Lempeng Pasifik ( Pacific Plate) dengan Lempeng Australia.
PENCEMARAN Apabila ditinjau secara geografis maka potensi pencemaran Ekoregion Laut 16 dapat berasal dari Provinsi Papua Barat (Kabupaten Sorong dan Kabupaten Manowari) dan Provinsi Papua (Kabupaten Sarmi, Kabupaten Jayapura, dan Kabupaten Keerom). Berdasarkan Bapedalda Provinsi Papua Barat (2011), disebutkan bahwa sungai yang bermuara di wilayah ini adalah Sungai Maruni dan Wariori (di daerah Kabupaten Manokwari), dan Sungai Klabo di daerah Kabupaten Sorong. Kualitas perairan di muara yang berasal dari Sungai Maruni dan Wariori menunjukkan bahwa berdasarkan parameter fisik masih berada di bawah ambang batas baku mutu, parameter kimia yang melampaui baku mutu adalah kadar DO, BOD, nitrat, sulfida, Cu, Zn, dan Ni, sedangkan yang jauh melampaui adalah parameter biologi total yaitu coliform dan E. coli yang cukup tinggi. Begitu juga halnya dengan muara Sungai Klabo yang menunjukkan beberapa parameter kualitas air melebihi baku mutu, seperti parameter DO, total fosfat, dan nitrat, logam berat (Cr dan Cu), total coliform yang cukup tinggi. Oleh karena itu maka bahan pencemar baik organik, maupun anorganik di lokasi ini perlu diperhatikan dengan seksama.
160 |ekoregion laut 16
Apabila ditinjau dari potensi pencemaran yang berasal dari Provinsi Papua, maka tidak dapat dipisahkan dengan kondisi Danau Sentani dan sungai-‐sungai yang menghubungkan Danau Sentani yang kemudian bermuara di kawasan perairan EL16. Hasil penilaian Kualitas Air Sungai (KLH, 2009c) dan SLHD Provinsi Papua (Bapedalda Provinsi Papua, 2011) menunjukkan bahwa kawasan DAS Sentani berada pada status tercemar berat yang diindikasikan dari parameter BOD, COD, total coliform, dan E. coli yang melebihi batas baku mutu. Dengan demikian, berdasarkan penelitian yang disebutkan di atas, terlihat bahwa sumber pencemar kemungkinan besar berasal dari sumber pencemar domestik berupa polutan organik dan mikroba.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 161
S A M U D E R A PA SIF IK
BARAT
EL-16
EL-17 PAP UA PAPUA
EL-14
EL-15
EL-18
0
37.5 0
37.5
±
75
75
150 Km 150 Km
Ekoregion Laut 17
Teluk Cendrawasih Ekoregion Laut 17 meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan sebagian kecil perairan di Utara Papua. Ekoregion 2 ini memiliki luas 93.369 km . Ciri khas ekoregion ini adalah massa airnya sangat dipengaruhi oleh massa air Samudera Pasifik Barat dengan kecerahan yang tinggi (lebih dari 30 meter). Ekoregion Laut 17 merupakan habitat yang sangat mendukung berbagai biota lainnya seperti kerang raksasa yang masih hidup dan berumur ratusan tahun. Ekoregion Laut 17 memiliki batas dengan Ekoregion Samudera Pasifik Sebelah Utara Papua karena perbedaan batimetri, keanekaragaman hayati karang dan pola temperatur dan salinitas permukaan air laut.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 165
GEOLOGI DAN MORFOLOGI Ekoregion Laut 17 (Teluk Cendrawasih) terbentuk sekitar satu juta tahun silam (Hall, 2001) dan merupakan bagian dari serpihan Wallacea. Morfologi dasar laut untuk Ekoregion Laut 17 berupa dataran abisal (abyssal plain) dan lereng benua (continental slope) dengan kedalaman berkisar antara 0 hingga 4.550 m. Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), hampir seluruh Ekoregion Laut 17 o o memiliki kemiringan yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-‐3 ), kelas lereng agak terjal (3-‐10 ), kelas lereng o o terjal (10-‐20 ), dan kelas lereng curam (>20 ). Selain itu berdasarkan Peta Toponimi Dasar Laut Ekoregion Laut 17 memiliki satu cekungan, yaitu: Cekungan Waropen.
OSEANOGRAFI Secara umum, Angin Monsun yang bertiup di atas Ekoregion Teluk Cendrawasih ini sama dengan yang bertiup di atas Samudera Hindia Utara Papua. Angin monsun bergerak dari arah barat laut menuju ke tenggara pada Monsun Barat yang berasal dari hasil pembelokan angin dari pusat Samudera Pasifik yang kemudian bergerak ke Timur menyusur utara Papua. Sebaliknya Angin Timur yang menyusur utara Papua akan bergerak menuju ke barat laut pada Monsun Timur. Pada Monsun Peralihan, pola angin tidak menentu dengan intensitas lebih lemah dibandingkan angin pada Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Chang et al., 2004; Wheeler dan McBride, 2005). Tipe pasut di ekoregion ini adalah campuran cenderung semi diurnal (Wyrtki 1961). Pola arus permukaan secara umum mengikuti pola angin yang berhembus pada ekoregion ini (Mustikasari et al., 2010). Arus permukaan bergerak dari Ekoregion Samudera Pasifik sebelah Utara Papua masuk ke ekoregion ini pada saat kondisi air surut terendah dan kondisi air pasang tertinggi. Sedangkan pada saat kondisi air menuju pasang dan kondisi air menuju surut arus cenderung bergerak keluar dari teluk. Pada saat kondisi air menuju surut, arus permukaan cenderung bergerak dari arah barat (Samudera Pasifik) menuju ke timur memasuki perairan Indonesia. Pada saat air pasang tertinggi, arus dari utara Samudera Pasifik Barat bergerak menuju ke selatan yang kemudian ketika memasuki ekoregion ini terpecah menuju dua arah (timur dan barat) di atas Ekoregion Teluk Cendrawasih. Pada saat air menuju surut, arus datang dari dua arah (timur dan barat) kemudian melemah dan membelok ke selatan menuju ke Ekoregion Teluk Cendrawasih. Sedangkan pada saat air surut terendah, arus di ekoregion ini akan bergerak seluruhnya ke arah barat menuju Samudera Pasifik. Menurut Mustikasari et al. (2010), upwelling dominan kuat terjadi di barat Teluk Cendrawasih di sekitar Manokwari pada Monsun Barat. Upwelling lemah juga muncul di utara Pulau Biak hingga di utara Tanjung Darwilis pada Monsun Peralihan I. Selain itu, upwelling lemah juga terjadi di Teluk Cendrawasih, utara Pulau Biak, dan utara Pulau Yapen pada Monsun Timur. Upwelling lemah hingga kuat dan relatif luas muncul di perairan Cendrawasih di selatan Pulau Yapen dan antara Tanjung Darwilis dan Pulau Biak, serta timur laut Pulau Biak pada Monsun Peralihan II. Adapun variasi komponen fisik di rentang rerata tahunan dari massa air laut pada ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009) di lapisan permukaan antara lain; suhu air laut pada ekoregion ini berkisar antara 29 dan 29,9°C; salinitas berkisar antara 30 PSU dan 34 PSU; Konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 4,3 – 4,65 ml/liter; pH berkisar antara 6,7 – 8,25. Untuk kondisi sebaran nutrien di ekoregion ini; konsentrasi fosfat berkisar antara 0,1 – 0,5 µmol/liter; konsentrasi silikat 4 – 9,5 µmol/liter; konsentrasi nitrat 1 – 2 µmol/liter; klorofil 0,5 – 5,0 µgram/liter (Boyer et
166 |ekoregion laut 17
al. 2009). Kondisi massa air dengan tingkat kecerahan yang tinggi (lebih dari 30 meter) sangat mendukung kerang raksasa (Giant clam) dari spesies Tridacna gigas yang berumur ratusan tahun untuk tetap hidup di ekoregion ini (Ambariyanto, 2010).
KEANEKARAGAMAN HAYATI Karakteristik utama Ekoregion Laut 17 adalah terumbu karang dengan sejumlah biota laut endemik. Teluk Cenderawasih dapat dikatakan sebagai sistem semi tertutup sehingga menyebabkan tingkat keragaman biota endemiknya tinggi. Sebagian ekoregion ini berstatus sebagai Taman Nasional Teluk Cenderawasih (TNTC) dengan luas 1.453.500 ha, terbagi atas perairan/laut seluas 1.305.300 ha dan daratan 68.200 ha. Jenis lamun yang terdapat di Teluk Cenderawasih terdiri dari Thalassia sp., Enhalus sp., Cymodeca sp., Siringodium sp., dan Halopilla sp. Padang lamun memiliki fungsi untuk menahan bahan endapan organik dan anorganik sehingga membentuk suatu lingkungan yang dipenuhi bahan makanan yang cukup bagi sekian banyaknya fauna khususnya duyung (Dugong dugon). Kajian cepat kondisi kelautan Teluk Cenderawasih tahun 2006 mencatat karang keras sebanyak 469 spesies dengan 20 diantaranya sebagai spesies endemik. Genera dominan terdiri dari Porites, Acropora dan Montipora. Tutupan karang hidup rata-‐rata sekitar 27% dengan perbandingan karang hidup dan mati adalah 4 banding 1 (Turak and DeVantier, 2006). Kerusakan terumbu karang pada kawasan TNTC mencapai 30% yang sebagian besar disebabkan bintang laut berduri (Acanthaster planci) dan juga kegiatan penangkapan ikan yang merusak seperti penggunaan sianida dan bahan peledak. Berdasarkan sejumlah survei dari tahun 2006 sampai 2010 tercatat spesies ikan karang di Teluk Cenderawasih sebanyak 1.006 jenis (Allen dan Erdmann, 2013 – komunikasi pribadi). Stomatopoda tercatat sebanyak 37 spesies dimana 6 (enam) spesies dari jumlah tersebut belum dideskripsi dan 5 (lima) diantaranya bersifat endemik di Teluk Cendrawasih. Diperkirakan 4 – 8 spesies ikan, lebih dari 11 jenis karang keras, dan 1 – 4 jenis stomatopoda merupakan jenis endemik Teluk Cenderawasih. Selama survei ditemukan 32 ekor ikan Napoleon. Fakta tersebut sangat luar biasa dibandingkan daerah lain di Indonesia maupun Asia Tenggara. Hiu Paus menjadikan Teluk Cenderawasih sebagai habitatnya. Hiu Paus ini menjadi ikon bagi wilayah ini. Penampakan Hiu Paus konsisten terlihat di daerah ini, dan berasosiasi dengan bagan nelayan yang menargetkan ikan kecil (anchovy) yang menjadi salah satu target makanan Hiu Paus. Kelimpahan, komposisi umur dan kelamin, dinamika musiman, serta keberadaannya di Teluk Cenderawasih belum diketahui sehingga perlu banyak kajian lanjutan (Stewart 2011). Hiu Paus salah satu primadona di perairan Teluk Cenderawasih , menjadi salah satu objek wisata air yang menarik (foto: whale shark asianoise.com)
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 167
Pulau-‐pulau dan pantai dalam kawasan TNTC merupakan tempat bersarang dan tempat mencari makanan yang paling penting bagi berbagai jenis burung, antara lain junai mas (Chaloenas nicobarica), dara laut (Sterna sp.), camar laut (Sterna sp), burung gosong (Megapodius freicinet), elang laut dada putih (Haliaetus leucogaster), kum kum (Ducula bicolor), julang Papua (Rhyticeros plicatus), nuri bayam (Electus rotatus), kakatua, raja udang (Alcede pusilla), gagak hitam (Corpus orru), nuri kepala hitam (Lorius domicellus), kum kum pinon (Ducula pinon), angsa laut coklat (Sola leugaster), burung kasuari (Casuari sp) dan burung kuau (Argusianus argus). Khusus daratan lumpur sekitar Sungai Wosimi dan Pasir Sobei penting sebagai tempat mencari makan bagi berbagai burung termasuk burung-‐burung undan Australia (Pelicanus conspicillatus) yang ditemukan pada waktu-‐waktu tetentu selama melakukan migrasi dan kuntul (Egretta spp). Beberapa kegiatan pengamatan yang dilakukan di kawasan TNTC lebih banyak pada lingkungan kehidupan laut, sehingga diperlukan penelitian lebih banyak mengenai habitat dan fauna daratan yang terdapat di kawasan tersebut guna memperoleh data dan informasi yang lebih lengkap mengenai kawasan ini (Huffard et al, 2012). Di Kawasan TNTC ditemukan beberapa jenis reptil dan amfibi antara lain berberapa jenis ular, kadal, buaya, penyu dan katak. Di seluruh dunia terdapat 7 jenis penyu, 6 diantaranya terdapat di perairan Indonesia, sedangkan dalam kawasan TNTC terdapat 4 jenis penyu yakni, penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu hijau (Chelonia mydas), penyu lekang (Lephidochelys olivacea), dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea). Jenis reptil lain seperti biawak abu-‐abu (Varanus nebolosus), biawak coklat (Varanus timorensis), biawak Ambon (Varanus amboinensis), buaya muara (Crocodylus porosus), buaya air tawar (Crocodylus novaeguinea), kadal dan ular. Dari jenis amfiibi ditemukan katak pohon (Litoria infrafrenata ). Kawasan konservasi di Ekoregion Laut 17 antara lain TN Teluk Cendrawasih, KKPD Biak Numfor, Papua;dan TWP Padaido.
PEMANFAATAN Ekoregion Laut 17 berada pada WPP 717. Potensi sumberdaya perikanan antara lain ikan pelagis besar (105,2 ribu ton/tahun), dan pelagis kecil (153, 9 ribu ton/tahun), ikan demersal (30,2 rbu ton/tahun), udang penaeid (1,4 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (8,0 ribu ton/tahun), lobster (0,2 ribu ton/tahun), cumi-‐cumi (0,3 ribu ton/tahun). Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45/2011, kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan di Ekoregion Laut 17 sebagai berikut: a. b. c. d.
Udang sudah over exploited. Ikan demersal masih taraf moderate namun spesies tidak diketahui. Ikan pelagis kecil juga masih taraf moderate namunspesies tidak diketahui. Ikan pelagis besar antara lain spesies madidihang (Thunnus albacares) dan tuna mata besar (Thunnus obesus) sudah over exploited sedangkan spesies cakalang masih taraf moderate.
Potensi sumberdaya non ikan antara lain: (i) mangrove dengan luas 209.024,80 ha tersebar di sekitar pesisir Manokwari, Teluk Wondama, Nabire, Biak, Serui, Yapen dan Paniai, (ii) padang lamun dengan luas 8.106,29 ha tersebar di Pulau Serui, Pulau Biak, Pesisir Nabire dan Pesisir Teluk Wondama dan (iii) terumbu karang dengan luas 58.265,56 ha. Potensi sumberdaya tidak terbarukan di wilayah ekoregion ini antara lain potensi migas yang tersebar di sekitar Teluk Cendrawasih. Potensi jasa lingkungan, pengembangan wisata bahari yang berada di Teluk Cendrawasih diharapkan dapat meningkatkan perekonomian lokal dan devisa negara.
168 |ekoregion laut 17
KERAWANAN BENCANA Ekoregion Laut 17 terletak di bagian dalam dari Ekoregion 16. Dengan demikian maka karakteristik kerentanan dan ancaman bahaya yang dihadapi menyerupai dengan Ekoregion 16 yaitu gempa dan tsunami. Hal ini diperkuat berdasarkan pemetaan kerentanan tsunami yang dilakukan oleh Budiono et al. (2003), bahwa Ekoregion Laut 17 memiliki kerentanan yang tinggi terhadap gempa dan tsunami.
PENCEMARAN Potensi pencemaran yang utama di Ekoregion Laut 17 diduga berasal dari Sungai Membramo, karena pada dasarnya Sungai Membramo merupakan wilayah DAS terbesar di Provinsi Papua. Hal ini memungkinkan seluruh aktivitas masyarakat seperti pembuangan limbah dari kegiatan pertanian, rumah tangga dan kehutanan yang masuk ke dalam badan sungai-‐sungai Sungai Membramo, sehingga berpotensi untuk mencemari sungai baik bahan organik yang mudah urai maupun limbah B3 yang dapat membahayakan kehidupan yang ada dalam air dan sekaligus akan membahayakan kesehatan manusia. Penelitian mengenai potensi pencemaran di Sungai Membramo yang telah dilakukan antara lain mengenai kadar pestisida organoklorin oleh Munawir (2005) dan penelitian kualitas air berdasarkan parameter fisik dan kimia oleh Edward dan Marasabessy (2003). Penelitian kadar pestisida organoklorin yang dilakukan pada kolom air dan sedimen muara Sungai Membramo menunjukkan kadar yang rendah dan masih berada di bawah baku mutu. Begitu juga halnya dengan penelitian mengenai kadar kandungan logam berat seperti Pb, Cd, Cu, Zn dan Ni pada kolom kolom air dan sedimen muara Sungai Membramo menunjukkan kadar yang rendah dan masih berada di bawah nilai baku mutu yang diperbolehkan dalam perairan untuk mendukung kehidupan biota laut yang telah ditetapkan oleh KLH. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perairan di kawasan ini masih mendukung untuk kehidupan biota laut. Namun demikian mengingat sifat logam berat dan pestisida organoklorin bersifat akumulatif (Riani 2012), maka kadar yang sangat rendah sekalipun harus sudah menjadi perhatian yang cukup serius untuk dikelola sebaik mungkin, agar tidak membahayakan kehidupan biota dan tidak membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Penelitian pendukung lainnya mengenai perairan di Teluk Cendrawasih adalah penelitian yang dilakukan oleh Tarigan et al. (2003) mengenai kondisi fisik kimia di Perairan Teluk Cendrawasih. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kondisi fisik kimia di daerah Ekoregion Laut 17 masih berada di bawah ambang batas nilai baku mutu yang ditetapkan oleh KLH. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perairan masih mendukung untuk kehidupan biota laut. Namun demikian parameter-‐parameter yang hampir berada di batas baku mutu dan keberadaan B3 harus mendapat perhatian yang serius.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 169
PAPUA BARAT
EL-16
EL-17
4
N E W G U I N E A
PAP UA PAPUA
EL-15
P A P U A
LAUT ARU
EL-18
AUT ARAFURA
± 0
A U S T R A L I A
62.5
125
250 Km
Ekoregion Laut 18
Laut Arafura
2
Ekoregion Laut 18 meliputi perairan di barat daya Papua. Ekoregion ini memiliki luas 326.793 km . Ciri khas ekoregion ini adalah laut dangkal yang dipengaruhi oleh pesisir Papua Barat dan juga Samudera Pasifik dari arah Selat Torres. Ekoregion Laut 18 berbatasan dengan 2 ekoregion lain yaitu: a. b.
Ekoregion Laut Seram dan Teluk Bintuni karena perbedaan keanekaragaman hayati ikan karang dan karang yang mengikuti morfostruktur paparan, Ekoregion Laut Banda karena perbedaan pola arus, batimetri, keanekaragaman hayati ikan karang dan karang yang batasnya mengikuti morfostruktur paparan.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 173
GEOLOGI DAN MORFOLOGI Ekoregion Laut 18 terbentuk sekitar 54 juta tahun silam (Hall, 2001) dan merupakan bagian dari serpihan Wallacea. Morfologi dasar laut untuk Ekoregion Laut 18 berupa dataran abisal (abyssal plain) dan lereng benua (continental slope) dengan kedalaman berkisar antara 0 hingga 1.613 m. Berdasarkan Peta Kemiringan Lereng Dasar Laut (Sulistyo dan Triyono, 2009), hampir seluruh Ekoregion Laut 18 o o memiliki kemiringan yang bervariasi dari kelas lereng miring (1-‐3 ), kelas lereng agak terjal (3-‐10 ), kelas lereng o o terjal (10-‐20 ), dan kelas lereng curam (>20 ). Selain itu berdasarkan Peta Toponimi Dasar Laut Ekoregion Laut 18 memiliki satu paparan, yaitu Paparan Sahul.
OSEANOGRAFI Secara umum, Angin Monsun yang bertiup di atas Ekoregion Laut 18 berpola hampir sama dengan angin yang bertiup di Ekoregion Laut Banda. Angin bergerak dari arah barat laut menuju ke tenggara pada Monsun Barat, Angin Tenggara dari Laut Teluk Carpentaria dan Angin Timur dari Selat Torres bergerak menuju ke ekoregion ini pada Monsun Timur. Sedangkan pada Monsun Peralihan pola angin tidak menentu dengan intensitas lebih lemah dibandingkan Angin Monsun Barat dan Monsun Timur (Wyrtki, 1961; Chang et al., 2004; Wheeler & McBride, 2005). Kondisi hidrodinamika Laut Arafura tidak lepas dari kondisi laut sekitarnya, seperti Teluk Carpentaria dan Selat Torres, Australia. Menurut Pranowo dan Wirasantosa (2011), tipe pasut di Laut Arafura bertipe campuran cenderung semi diurnal (berdasarkan stasiun pengamatan pasut di Tanimbar dan Saumlaki), sedangkan di Teluk Carpentaria pasutnya bertipe campuran cenderung diurnal di bagian barat daya teluk (berdasarkan stasiun pasut di Groote Eylandt) dan bertipe diurnal di bagian tenggara teluk (berdasarkan stasiun pasut di Karumba). Tunggang pasang surut di Laut Arafura secara umum adalah 3,00 m, dengan tunggang maksimum hasil estimasi sekitar 4,69 m di selatan irian jaya. Arus dari barat (yakni dari Samudera Hindia Tenggara, Arus Selatan Jawa dan Laut Flores) bergerak menuju timur (Laut Timor dan Laut Sawu) searah dengan pergerakan Angin Tenggara (Pranowo, 2012). Arus sebagian dibelokkan ke utara dan timur laut (yakni menuju Laut Banda) akibat adanya gradien muka laut. Sementara arus dari barat laut yang bergerak dari Laut Halmahera menyusur pantai barat daya Papua kemudian memutar di Laut Arafura. Pergerakan arus tersebut menyebabkan banyak pertemuan arus yang diindikasikan dengan adanya kemunculan arus eddy secara random, yang polanya searah jarum jam, seperti terjadi di selatan Kepulauan Seram dan di tenggara Kepulauan Tanimbar. Arus eddy tersebut diduga dapat berperan sebagai pembawa klorofil dari daerah upwelling yang berproduktivitas primer tinggi menuju ke daerah lain yang dimungkinkan sebagai habitat ikan. Di wilayah Laut Arafura dan Timor (Selat Ombai, Laut Sawu, Laut Timor, Laut Arafura) memiliki fenomena upwelling di sepanjang tahun dan mengalami variabilitas temporal mengikuti pola monsun. Upwelling berintensitas lemah terjadi pada Monsun Barat di sepanjang perairan pantai Pulau Timor, perairan pantai barat Kepulauan Tanimbar, dan di pantai barat daya Irian Jaya dekat Kepulauan Aru (Pranowo, 2012). Ditemukan sedikit luasan downwelling intensitas lemah di ujung timur Pulau Timor, utara Kepulauan Tanimbar dan Barat Laut Kepulauan Aru. Pada masa transisi dari Monsun Barat ke Monsun Timur, area upwelling ada yang meluas di Selat Ombai dan Sawu, Laut Banda, perairan antara Kepulauan Tanimbar dan Kepulauan Aru. Pada Monsun Timur, upwelling juga terjadi di pantai utara Timor, sedangkan upwelling di Laut Timor meluas
174 |ekoregion laut 18
hingga Teluk Bonaparte di Australia dan Laut Arafura. Peningkatan intensitas kekuatan upwelling terjadi di selatan Kepala Burung, hingga barat Kepulauan Aru. Pada transisi dari Monsun Timur ke Monsun Barat, intensitas upwelling di selatan Kepala Burung Papua hingga barat Kepulauan Aru dan timur laut Kepulauan Tanimbar berkurang. Adapun variasi komponen fisik di rentang rerata tahunan dari massa air laut pada ekoregion ini (Wyrtki, 1961; Boyer et al., 2009) di lapisan permukaan adalah sebagai berikut: suhu air laut pada ekoregion ini mencapai o kisaran 26,5 – 28,5 C; salinitas berkisar antara 33 PSU hingga 35,15 PSU; konsentrasi oksigen terlarut berkisar antara 4,1 – 4,9 ml/liter; dan pH berkisar antara 8,15 – 8,25. Untuk kondisi sebaran nutrien di ekoregion ini, diturunkan dari Boyer et al. (2009), adalah sebagai berikut: konsentrasi fosfat berkisar antara 0,20 – 0,63 µmol/liter; konsentrasi silikat 2,5 – 9 µmol/liter; konsentrasi nitrat 1,0 – 3,0 µmol/liter; klorofil 0,5 – 5,0 µgram/liter.
KEANEKARAGAMAN HAYATI Karakteristik utama Ekoregion Laut 18 adalah mangrove yang tumbuh disepanjang pesisir. Keberadaan mangrove ini menjadi pendukung potensi perikanan di Laut Arafura. Ekoregion ini merupakan penghubung penting antara banyak populasi taksa laut Indonesia dan Australia. Region ini mungkin menjadi koridor untuk: 1) penyebaran larva antara wilayah-‐wilayah dengan keragaman tinggi di Papua bagian selatan dan Sulawesi, 2) Hiu Paus, 3) Penyu hijau, Penyu lekang, dan Penyu belimbing. Hamparan mangrove seluas 854.581 ha, tersebar di sekitar Kepulauan Aru, Boven Digul, Merauke dan Pulau Yos Sudarso. Tegakan bakau di sepanjang pantai selatan Papua seperti Rawa Biru merupakan paparan luas dengan jenis sangat beragam. Kawasan rawa dataran rendah yang sangat luas dan masih utuh ini menyediakan ruang untuk habitat dan migrasi alami berbagai jenis burung air dan burung migran, buaya muara maupun cetacean pesisir. Mangrove dan aliran sungai yang bermuara ke laut dari dataran Papua memberikan kesuburan bagi perairan sekitarnya sehingga merupakan wilayah penangkapan udang terpenting dan terbesar di Indonesia. Menurut Noor dan Silvius 1997, terdapat 16 lokasi ditemukannya burung pantai dan burung migran yang secara global penting. Hutan mangrove dan lahan basah di Papua merupakan salah satu habitat penting bagi kedua burung ini. Keberadaan terumbu karang di wilayah ini sangat sedikit dengan keanekaragaman karang yang rendah. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika jumlah spesies ikan karang juga rendah. Terumbu karang didapatkan di Kepulauan Aru dengan luasan yang terbatas sebesar 50.012 ha. Pertumbuhan karang di ekoregion ini diperkirakan tidak signifikan akibat tingginya masukan air tawar dan sedimen dari daratan Papua. Dengan kondisi ini sangat mungkin terdapat beberapa jenis terumbu karang yang telah beradaptasi dengan kondisi salinitas rendah di sepanjang daratan Papua atau di Laut Arafura yang dangkal. Padang lamun dengan luas sekitar 9.170 ha tersebar di Kepulauan Aru. Lamun ini merupakan habitat yang penting untuk tempat makan dugong dan penyu hijau. Kepulauan Aru merupakan wilayah penyebaran populasi dugong terbesar di Maluku (De Iongh et al. 1996). Menurut De Iongh et al. (2006), dalam survei lapangan ekologi dugong yang dilakukan pada tahun 1990 dan 1992 di Kepulauan Aru, ditemukan jejak makan dugong pada padang lamun yang mengindikasikan adanya rotasi makan yang intensif di padang Halodule uninervis di paparan pasang surut. Hasil wawancara dengan penduduk setempat menyebutkan adanya pola rotasi makan dugong yang berpola musiman bersamaan dengan periode musim. Pada saat survei, juga dijumpai dugong yang
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 175
sedang melakukan penyelaman sambil makan (typical grazing dives) atau istirahat di sekitar padang Halodule uninervis yang monospesifik. Semua padang lamun yang ada tanda-‐tanda “grazing track” dugong berada di sekitar mangrove dekat muara sungai (De Iongh, et al., 1995). Wilayah Kepulauan Aru dan Kai merupakan habitat yang penting untuk keenam jenis penyu yang ditemukan di Indonesia: penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricate), penyu tempayan (Caretta caretta), penyu lekang (Lepidochelys olivaceae), penyu pipih (Natator depresus) dan penyu belimbing Pasifik (Dermochelys coriaceas). Yamdena dan Tanimbar merupakan lokasi lain yang penting bagi penyu hijau dan penyu sisik. Indonesia mempunyai spesies buaya muara Crocodylus porosus. Salah satu habitat penting bagi spesies ini adalah hutan mangrove dan muara sungai. Di wilayah Papua, kedua habitat ini terletak di pesisir yang luas menghadap ke Laut Arafura. Kedua habitat ini juga merupakan habitat cetacean muara dan pesisir. Sebanyak 64 spesies burung laut telah diidentifikasi di Indonesia dan beberapa jenis tidak selalu terlihat secara reguler (Noor dan Silvius, 1997). Terdapat 14 spesies burung laut yang merupakan penghuni tetap (resident) tetapi sebaran wilayah perkembangbiakannya tidak banyak diketahui. Seperti di wilayah Indonesia lainnya, di Kepulauan Aru juga dilaporkan adanya penurunan populasi dugong. Habitat kehidupan dugong yang berada di pesisir perairan dangkal dan sifat reproduksi yang lambat, menyebabkan dugong rawan terhadap kepunahan. Hasil wawancara menyebutkan bahwa pada tahun 1989 sekitar 59 – 90 ekor dugong telah tertangkap, dan pada tahun 1990 hanya 29 – 36 ekor yang tertangkap. Penduduk desa juga mengetahui bahwa sebelum tahun 1989, dugong yang tertangkap jumlahnya lebih banyak. Hasil wawancara tersebut mengindikasikan telah terjadi penurunan populasi dugong di sekitar Kepulauan Aru. Kawasan konservasi pada Ekoregion Laut 18 antara lain KKPD Kaimana, Papua Barat dan TWP Aru Tenggara, Maluku.
PEMANFAATAN Ekoregion Laut 18 berada pada WPP 718. Potensi sumberdaya perikanan di ekoregion ini antara lain ikan pelagis besar (50.9 ribu ton/tahun), pelagis kecil (468.7 ribu ton/tahun) dan demersal (284,7 ribu ton/tahun), udang penaid (44,7 ribu ton/tahun), ikan karang konsumsi (3,1 ribu ton/tahun), lobster (0,1 ribu ton/tahun) dan cumi-‐cumi (3,4 ribu ton/tahun). Potensi sumberdaya terbarukan non ikan antara lain: (i) mangrove luas 4252,40 ha tersebar di sekitar pesisir utara Papua dan Papua Barat, (ii) lamun dengan luas 1314,25 ha tersebar di pesisir utara Papua dan Papua Barat dan (iii) terumbu karang di ekoregion meliputi luas 5025,50 ha. Potensi sumberdaya terbarukan non ikan antara lain: (i) mangrove dengan luas 854.581,39 ha tersebar di sekitar Kepulauan Aru, Boven Digul Merauke, dan Pulau Yos Sudarso, (ii) padang lamun dengan luas 9.170,12 ha tersebar di Pesisir Kepulauan Aru dan (iii) terumbu karang dengan luas 50012,83 ha tersebar di ekoregion ini. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 45/2011, kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanandi Ekoregion Laut 18 sebagai berikut:
176 |ekoregion laut 18
a. Udang sudah fully exploited. b. Ikan demersal: 1 Spesies manyung (Arius thalassinus), kurisi (Nemimterus spp), kuniran (Upeneus sulphureus), swanggi (Priacanthus tayenus), bloso (Saurida tumbil), gulamah (Nibea albiflora) dan kakap merah (Lutjanus bitaeniatus dan Lutjanus malabaricus) sudah over exploited. 2 Spesies ikan lidah (Cynoglossus spp, Pleuronectus spp) sudah fully exploited. c. Ikan pelagis kecil masih taraf normal (moderate) namun spesies tidak diketahui. Pemanfaatan lain di Ekoregion Laut 18 adalah budidaya mutiara untuk perhiasan serta migas yang terdapat di sekitar Laut Arafura.
KERAWANAN BENCANA Ekoregion Laut 18 terbentuk akibat tumbukan antara lempeng benua Australia yang bergerak ke arah utara dan lempeng Samudera Pasifik yang bergerak ke arah barat. Karakteristik Ekoregion Laut 18 dipengaruhi oleh tumbukan antar lempeng tersebut sehingga memiliki struktur geologi yang kompleks yang dapat ditunjukkan pada gambar dibawah ini. Meskipun pada wilayah daratan memiliki karakteristik potensi gempa, namun berdasarkan aspek potensi tsunami, wilayah ekoregion ini tidak memiliki potensi tsunami (Budiono et al., 2003). Namun demikian, Kepulauan Aru bagian barat memiliki kerentanan terhadap tsunami (Jaya et al., 2001). Jalur-‐jalur patahan tersebut berpotensi untuk menimbulkan gempa.
Peta Seismisitas Indonesia Periode 1973–2004 (BMKG)
Delineasi Patahan di Pulau Papua (Sabtaji, 2010).
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 177
PENCEMARAN Secara umum, informasi mengenai potensi pencemaran di Ekoregion Laut 18 masih minim. Namun adanya peningkatan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan ini merupakan salah satu faktor ancaman terhadap kondisi perairan. Apabila dibandingkan dengan kondisi perairan di daerah lainnya di Indonesia, maka ekoregion ini masih memiliki kondisi perairan yang alami. Kadar total pestisida organoklorin di kolom air dan sedimen di muara Sungai Digul dan Laut Arafuru masih tergolong rendah (berkisar antara 0,046 – 0,16 ppt pada kolom air dan 0,011 – 0,29 ppb pada sedimen) (Munawir, 2002). Kadar pestisida di perairan ini jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan perairan lain seperti perairan di sekitar Lampung, Teluk Jakarta, Kuala Tungkal, muara Sungai Siak dan muara Sungai Musi, dengan sumber pencemar yang berasal dari aktivitas pertanian (Munawir, 2002). Adanya aktifitas pertanian ini memungkinkan dihasilkannya limbah organik mudah urai misalnya yang berasal dari pupuk dan berasal dari sisa (limbah) yang dihasilkan mulai dari persiapan, proses produksi hingga panen. Selain bahan organik, pada limbah pertanian juga dapat dihasilkan B3, seperti pestisida yang keberadaanya walaupun kecil, namun perlu sangat diwaspadai. Selain itu, sumber pencemar yang masuk ke kawasan perairan antara lain berasal dari aktivitas transportasi perairan laut sekitar, limpasan dari air sungai dan sedimen, perkembangan aktivitas industri dan urban, perkembangan daerah rural (seperti penebangan hutan, pertambangan dan operasi pengolahan minyak bumi dan gas) (Morrison dan Delaney, 1996). Potensi pencemaran limpasan dari air sungai dan sedimen di Laut Arafura salah satunya berasal dari Sungai Otomona/Ajkwa. Sumber pencemar yang masuk ke aliran sungai tersebut berasal dari kegiatan penambangan emas di Tembagapura. Menurut Morisson dan Delaney (1996) kegiatan penambangan tersebut telah membawa material sedimen dalam jumlah besar (lebih dari 30 juta ton per tahun) ke Sungai Otomona/Ajkwa. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan mengingat dari kegiatan insdustri emas akan dihasilkan sianida dan B3 lainnya, serta dari kegiatan tambang rakyat umumnya akan dihasilkan B3 berupa merkuri serta jenis B3 lainnya. Potensi pencemaran lainnya berasal dari aktivitas kapal, karena Laut Arafura secara maritim berbatasan dengan negara Australia dan daerah tersebut merupakan daerah lintasan perkapalan yang penting (sebagai penghubung beberapa pelabuhan di Australia dengan pelabuhan-‐pelabuhan di Asia Tenggara, Timur dan Samudera Pasifik sebelah utara) sehingga potensi pencemaran mungkin terjadi pada jalur utama pelayaran tersebut (Morrison dan Delaney, 1996). Berbagai kegiatan tersebut diatas, maka EL 18 ini berpotensi terhadap terjadinya pencemaran B3, terutama PAH, POPs, dan logam berat yang semuanya dapat membahayakan baik biota yang hidup di dalamnya maupun kesehatan manusia yang mengkonsumsinya.
178 |ekoregion laut 18
Penutup
Karakter laut di Indonesia ternyata sangatlah beragam, baik dari aspek fisik, Keanekaragaman Hayati hayati, oseanografi, maupun morfologi dasar laut. Karakteristik laut Indonesia memiliki perbedaan antara laut bagian Barat serta Timur. Laut bagian Barat itu dangkal sedangkan Timur lebih dalam.
Demikian juga dengan potensi kekayaan laut Indonesia yang begitu besar hanya bisa dimanfaatkan saat pemerintah bisa mengenali karakteristik wilayah laut yang dimilikinya. Selain itu, tegaknya kedaulatan pemerintah atas laut menjadi bekal utama dalam pengembangan potensi kelautan Indonesia yang kaya akan sumberdaya alam. Berdasarkan penyusunan Peta dan Deskripsi Ekoregion Laut Nasional diketahui bahwa perlu pengkajian lebih spesifik serta verifikasi lapangan lebih mendalam tentang karakterisitik laut di Indonesia tersebut.
180 |penutup
Walking Shark fakfak by david doubilet-Conservation International
Daftar Pustaka Adi, TR., A. Supangat, N.S. Ningsih, W.S. Pranowo, D.N. Handiani, B. Hendrajana, dan P.A., Winarno. 2004. Variabilitas Iklim-‐Laut Perairan Indonesia dan Sekitarnya. Laporan Teknis Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non-‐Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Adrim, M. 2007. Komunitas ikan karang di perairan Pulau Enggano, Provinsi Bengkulu. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 33: 39-‐58. Ahmad, A. 2009. Tingkat Pencemaran Logam Berat dalam Air Laut dan Sedimen Di Perairan Pulau Muna, Kabaena, dan Buton Sulawesi Tenggara. Stasiun Penelitian Lapangan, Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI, Ternate 97712, Maluku Utara, Indonesia. Makara Sains 13(2): 117-‐124. Aldrian, E. dan D. Susanto. 2003. Identification of Three Dominant Rainfall Regions Within Indonesia And Their Relationship To Sea Surface Temperature, Int. J. Climat. 23:1435-‐1452. Alino, P.M. dan ED. Gomez. 2001. The Marine Ecosystems of South East Asia and the East Asian Seas. Report of th the 15 International Conference on the Environmental Management of Enclosed Coastal Seas: Asian Forum. 20 November 2001, Kobe, JAPAN. Allen, G.R. 2006. Reef fishes of The Papuan Bird’s Head Seascape. Report to Conservation International, hal. 25. Allen, G.R. 2008. Reef fishes of Halmahera. Report to Conservation International, hal. 16. Allen, G. R. dan M. V. Erdmann. 2009. Reef fishes of the Bird’s Head Peninsula, West Papua, Indonesia. Check List 5: 587–628. Allen, G.R. dan M.V. Erdmann. 2012. Reef fishes of the Anambas Islands. Report to Conservation International, hal. 18. Allen, G.R. dan M.V. Erdmann. 2012. Reef Fishes of The East Indies Volumes I-‐III. Tropical Reef Research and Conservation International Indonesia. Perth, Australia. Allen, G.R. dan M.V. Erdmann. 2013. Reef fishes of The Papuan Bird’s Head Seascape : refers to report in 2006. Report to Conservation International (tidak dipublikasikan) Amante, C. and BW Eakins. 2009. ETOPO1 1 Arc-‐Minute Global Relief Model: Procedures, Data Sources and Analysis. NOAA Technical Memorandum NESDIS NGDC-‐24, hal. 19. Ambariyanto. 2010. Kebijakan Pengelolaan Organisme Laut dilindungi: Kasus Kerang Raksasa, Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Diponegoro, hal.74 Amin, B. 2002. Distribusi Logam Berat Pb, Cu dan Zn pada Sedimen di Perairan Telaga Tujuh Karimun Kepulauan Riau. Jurnal Natur Indonesia 5(1): 9-‐16. Anonimous. 2002. Proposal Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Kabupaten Bolaang Arifin, Z. 2004. Local Millenium Ecosystem Assessment: Condition and Trend of the Greater Jakarta Bay Ecosystem. The Ministry of Environment, Republic of Indonesia, Jakarta, hal. 33. Arifin, Z., R. Puspitasari, N. Miyazaki. 2011. Heavy Metal Contamination in Indonesian Coastal Environment: A Historical Perspective. Coastal Marine Science 35(1): 227-‐233. Arindi, M.V., N.P. Purba, E. Rochima, WS. Pranowo. 2010. Dinamika Massa Air Perairan barat Sumatera. Prosiding Eksporinas 2011. hal.108-‐141.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 181
Arlyza, I.S. dan P. Borsa. 2010. Geographic structure of masked stingray in the indo-‐malay-‐papua archipelago. The International Meeting of Association for Tropical Biology and Conservation, “Tropical biodiversity: surviving the food, energy, and climate crisis” 19-‐23 July 2010, Denpasar. Arlyza, I.S. dan O.N. Marwayana. 2012. Eksplorasi udang penaeid di Selat Makassar dan Teluk Bone, Sulawesi Selatan: Diseminarkan di Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2012 Sekolah Tinggi Perikanan – Jakarta: Aplikasi Teknologi Terapan Untuk Mendukung Industrialisasi Perikanan Indonesia.(in press) Arthana, IW. 2005. Jenis dan Kerapatan Padang Lamun di Pantai Sanur Bali. Jurnal Lingkungan Hidup Bumi Lestari, 2. (5): 68-‐76. PPLH-‐Lemlit Unud Denpasar. Balitbang KKP (Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan). 2010. Eksplorasi Sangihe Talaud Index Satal 2010 Badan Riset Kelautan dan Perikanan – Overseas Fishery Cooperation Foundation (BRKP-‐OFCF). 2005. Laporan Kerjasama Riset Eksplorasi Sumberdaya Perikanan Laut Dalam Antara Jepang-‐Indonesia. Bapedalda Provinsi Papua Barat. 2011. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Papua Barat Tahun 2011. Papua Barat. Baumgart, A., T. Jennerjahn, WS. Pranowo. 2005. Nutrient distribution in the Indian Ocean off java and Sumatra, Indonesia, related to coastal upwelling. Proceed. SPICE/LOICZ/ATSEF/SEACORM (SLAS) Southeast Asia Coastal Governance and Management Forum: Science Meets Policy for Coastal Management and Capacity Building, Bali, 14th -‐ 16th November 2006 Bay of Bengal Large Marine Ecosystem (BOBLME). 2011. Country Report on Pollution in the BOBLME (Bay of Bengal Large Marine Ecosystem) – Indonesia. Black, E., J. Slingo, KR. Sperber. 2003. An Observational Study of the Relationship between Excessively Strong Short Rains in Coastal East Africa and Indian Ocean SST, Month. Weath. Rev., Vol. 31: 74-‐94. Booij, K., Z. Arifin, T. Purbonegoro. 2012. Perylene Dominates the Organic Contaminant Profile in the Berau Delta, East Kalimantan, Indonesia. Marine Pollution Bulletin 64: 1049–1054. Borsa et al, 2012 Boyer, TP., JI. Antonov, OK. Baranova, HE. Garcia, DR. Johnson, RA. Locarnini, Av. Mishonov, TD. O’Brien, D. Seidov, IV. Smolyar, MM. Zweng. 2009. World Ocean Database 2009. Levitus, S. (ed.), CD-‐ROM, National Oceanographic Data Center, Ocean Climate Laboratory, NOAA, hal. 217. Brodjonegoro, IS., WS. Pranowo, S. Husrin, R. Tisiana, B. Hendrajana, E. Widjanarko, H. Triwibowo, D. Conbul, TR. Adi, IM. Nasution, D. Purbani, G. Kusumah, Ahmad, UR. Kadarwati, H. Prihatno, AH. Purnomo, Taryono, N. Zahri, TH. Tjahyo, A. Hugroho, A. Azizi. 2004. Daya Dukung Kelautan dan Perikanan: Selat sunda, Teluk Tomini, Teluk Saleh, Teluk Ekas. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Brotoisworo, E. 1991. Problems of Enclosed Coastal Seas Development: The Bintuni Case, Irian Jaya, Indonesia. Marine Pollution Bulletin, 23:431-‐435. Budiono K. TA. Suprapto, NA. Kristanto, P. Raharjo, Y. Noviandi. 2003. Peta Wilayah Rawan Bencana Tsunami Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan. Bandung. Chang, C.-‐P., Z. Wang, J. Hu, T. Li. 2004. On the Relationship between Western Maritime Continent Monsoon Rainfall and ENSO during Northern Winter. J. Climate, 17: 665 – 672. Chua, T-‐E., IRL. Gorre, SA. Ross, SR. Bernad, B. Gervacio, MC. Ebarvia. 2000. The Malacca Strait. Marine Pollution Bulletin 41: 160-‐178. Cordova, MR. 2008. Kajian Limbah Domestik di Perumnas Bantar Kemang, Kota Bogor dan Pengaruhnya terhadap Sungai Ciliwung. Institut Pertanian Bogor. (Tidak Dipublikasikan).
182 |daftar pustaka
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta, Indonesia. De Iongh, HH., B. Wenno, E. Mellis. 1995. Seagrass distribution and seasonal biomass changes in relation to dugong grazing in the Maluku, East Indonesia. Aquatic Botany 50: 1 – 19. De Iongh, HH. 1996. Plant-‐herbivore interactions between dugongs and seagrass in a tropical small islands ecosystem (Thesis). De Iongh, HH. 1996. Current status of dugongs in Aru, E. Indonesia. In: The Aru Archipelago: Plants, Animals, People and Conservation. Publication No. 30 of the Netherlands Commission for International Nature Protection, H.P. Nooteboom. Hal. 75-‐86. De Iongh, HH. 1997. Current status of dugongs in Indonesia. In: The ecology of the Indo-‐nesian seas. Part II. The Ecology of Indonesia Series, Volume VIII by eds. Tomascik, T., Mali, A.J., Nontji, A., Moosa, M.K. De Iongh, HH., W. Kiswara, W. Kustiawan. 2006. Dugong grazing patterns and interaction with traditional conservation (Sasi Laut) Indonesia: a review. Journal of Natural and Life Sciences, 1 (1): 1-‐10. DeBoer, TS., MD. Subia, Ambariyanto, MV. Erdmann, K. Kovitvongsa, PH. Barber. 2008. Phylogeography and limited genetic connectivity inthe endangered boring giant clam across the coraltriangle. Conservation Biology. DOI: 10.1111/j.1523-‐1739.2008.00983.x. Den Hartog, C. 1970. The Seagrasses of The World. North Holland Publishing Co. Amsterdams. DeVantier L, Turak E, dan Allen G. 2009. Raja Ampat Planning Coral Reef Stratification: Reef-‐Scapes, Reef Babitas, dan Coral Communities of Raja Ampat, Bird’s Head Seascape, Papua Indonesia. Report to The Nature Conservancy-‐Unpublished. Dir. KKJI-‐Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Kajian Cepat Kondisi Taman Wisata Perarain Anambas. Kementerian Kelautan dan Perikanan, P2O-‐LIPI, Kabupaten Anambas & Conservation International Indonesia. Jakarta. (in-‐press) Dirhamsyah, SA., H. Ali, A. Susanto, S. Syahalitua, Made. 2009. Ikan terbang: Eksotis dan komersil, spesies yang perlu dilindungi. Pusat Penelitian Oseanografi-‐LIPI. Djalal, H. 2006. Persoalan Selat Malaka dan Singapura.Makalah pada seminar mengenai Selat Malaka yang diselenggarakan oleh Deputi Mensesneg Bidang Dukungan Kebijakan pada tanggal 13 Januari 2006 di kantor Sekretariat Negara RI, Jakarta. http://www.setneg.go.id. Dsikowitzky, L., I. Nordhaus, TC. Jennerjahn, P. Khrycheva, Y. Sivatharshan, E. Yuwono, J. Schwarzbauer. 2011. Anthropogenic Organic Contaminants in Water, Sediments and Benthic Organisms of the Mangrove-‐ Fringed Segara Anakan Lagoon, Java, Indonesia. Marine Pollution Bulletin 62: 851–862. Edinger, MD., P.R. Siregar, GM. Blackwood. 2006. Heavy Metal Concentrations in Shallow Marine Sediments Affected by Submarinetailing Disposal and Artisanal Gold Ming, Buyat-‐Ratatotok District, North Sulawesi, Indonesia. Environmental Geology, DOI 10.1007/s00254-‐006-‐0506-‐8. Edinger, MD. 2012. Gold Mining and Sub-‐marine tailing Disposal: Review and Case Study. Oceanography 25(2): 184-‐199. Edward dan MD. Marasabessy. 2003. Kondisi Oseanografi Teluk Cenderawasih, Irian Jaya ditinjau dari Kepentingan Perikanan. Marine Chimica Acta, 4(1): 1-‐4. Edward. 2008. Pengamatan Kadar Merkuri di Perairan Teluk Kao (Halmahera) dan Perairan Anggai (Pulau Obi), Maluku Utara. Makara Sains, 12 (2): 97-‐101. Edyanto, CBH. 2008. Penelitian Aspek Lingkungan Fisik Perairan Sekitar Pelabuhan Sabang. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, Vol. 10(2): 119-‐127.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 183
Erdmann MV. 2007. Stomatopod crustaceans of northern Papua. In: Marshall AJ and Beehler B (Eds) The Ecology of Papua. Hal. 499–502. Erdmann, M.V., dan C. Huffard. 2009. Defining Geographic Priorities for Marine Biodiversity Conservation in Indonesia. Preliminary Results: Workshop on Defining Gegraphic Priorities for Marine Biodiversity Conservation in Indonesia. Sanur, Bali, 16-‐17 Juli 2009. Erftemeijer, PAL dan GR. Allen. 1993. Fish Fauna of Seagrass Beds in South Sulawesi, Indonesia. Records of the Western Australian Museum, 16 (2): 269 – 277. Evans, SM., M. Dawson, J. Day, CLJ. Frid, ME. Gill, LA. Pattisina, J. Porter. 1995. Domestic Waste and TBT Pollution in Coastal Areas of Ambon Island (Eastern Indonesia). Marine Pollution Bulletin. 30(2): 109-‐115. Falahudin, D., K. Munawir, Z. Arifin, GA. Wagey. 2012. Distribution and Sources of Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) in Coastal Waters of thetimor Sea. Coastal Marine Science 35(1): 112-‐121. Fang, W., G. Fang, P. Shi, Q. Huang, Q. Xie. 2002. Seasonal structures of upper layer circulation in the southern South China Sea from in situ observations, J. Geophys. Res., 107: 30202, doi:10.1029/2002JC001343. Gaol, JL. 2009. Study Oil Spill di Celah Timor dari Sensor MODIS dan Dampaknya Terhadap Sumberdaya Hayati Laut. Poster Presentasi pada Seminar Nasional Pertemuan Ilmiah Tahunan VI 2009, ISOI 16-‐17 Nopember di IPB ICC, Bogor. George W. 1964. Biologist philosopher: a study of the life and writings of Alfred Russel Wallace. Abelard-‐ Schuman, London Green dan Short. 2003. World Atlas of Seagrass. University of California Press. Berkeley, USA. Gordon, A. L., 2005. Oceanography of the Indonesian Seas and their throughflow. Oceanography 18 (4): 14 – 27. Gordon, AL., RD. Susanto, A. Ffield, BA. Huber, WS. Pranowo, S. Wirasantosa. 2008. Makassar Strait throughflow, 2004 to 2006, Geophys. Res. Lett., 35, L24605, doi:10.1029/2008GL036372. Gordon, AL, J. Sprintall, HM. Van Aken, D. Susanto, S. Wijffels, R. Molcard, A. Field, WS. Pranowo, S. Wirasantosa. 2010. The Indonesian throughflow during 2004-‐2006 as observed by INSTANT program, J. Dynamics of Atmospheres and Oceans, 50:115-‐128, doi:10.1016/j.dynatmoce.2009.12.002 Hall R. 2001. Cenozoic reconstructions of SE Asia and the SW Pacific: Changing pattern of land and sea. In Metcalfe I, Smith JMB, Morwood M, Davidson ID. Faunal and Floral migration and evolution in SE Asia-‐ Australasia. AA Balkema (Swets and Zeitlinger Publishers). Lisse, 35-‐56 Hantoro. 2005. Pengaruh Karakteristik Laut dan Pantai Terhadap Perkembangan Kawasan Kota Pantai. Proceeding – Kerugian pada Bangunan dan Kawasan Akibat Kenaikan Muka Air Laut pada Kota-‐Kota Pantai di Indonesia Hashimoto, S., M. Watanabe, Y. Noda, T. Hayashi, Y. Kurita, Y. Takasu, A. Otsuki. 1998. Concentration and distribution of butyltin compounds in a heavy tanker route in the Strait of Malaccaand in Tokyo Bay. Marine Environmental Research 45: 169-‐177 Huffard, Cl., MV. Erdmann, T. Gunawan (Eds). 2012. Prioritas Geografi Keanekaragaman Hayati Laut untuk Pengembangan Kawasan Konservasi Perairan di Indonesia. Kementerian kelautan dan Perikanan dan Marine Protected Areas Governance. Jakarta, Indonesia. Ibrahim, K., 2005. Turtle tagging – radio tracking for determining transboundary movement (Power Point Presentation). Second UNEP-‐GEF Scientific Conference, 14-‐16 November 2005, Bangkok, Thailand. Indrajati, D., A. Suharsono, S. Suryadi, SD. Atmanto, BA. Wiyana. 2007. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS): Rencana Pembangunan Padang Bay City di Sumatera Barat. Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri.
184 |daftar pustaka
IUCN, 1993. Reef at Risk: A Programme of Action. Marine Areas Programme of IUCN – The World Conservation Union. Jaya et al., 2001 Kahn B. 2007. Marine Mammals of the Raja Ampat Islands: Visual and Acoustic Cetacean Survey & Training Program. Conservation International – Indonesia and APEX Environmental. Report to Conservation International – Indonesia, Raja Ampat Program. Kamus Terminologi Geologi Kelautan dan Pantai, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Bandung, http://aplikasi.mgi.esdm.go.id/kp/admin Karim AM, N. Tahir, FT. Sofinati, KA. Mohd, W. Hasim, EM. Herly. 2011. Pusat Pengelolaan Ekoregion-‐ Kementerian Lingkungan Hidup. Status Lingkungan Hidup Ekoregion Papua 2011. Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta Katili, JA dan P. Marks. 1963. Geologi. Departemen Urusan Research Nasional. Djakarta. Kementerian Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Surat Keputusan MENKP No. 45 Tahun 2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). 2008. Status Lingkungan Hidup Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta. Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH). 2009a. Laporan Pemantauan Kualitas Air Sungai 33 Propinsi di Indonesia. Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan, Kementerian N egara Lingkungan Hidup. Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH). 2009b. Peta Sebaran Ijin Pembuangan Limbah ke Laut dari Sektor Pertambangan, Energi dan Minyak di Ekoregion Laut Indonesia. Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH). 2009c. Press Release Kementerian Negara Lingkungan Hidup: Pengelolaan Teluk Tomini secara Terpadu dan Berkelanjutan, Manado, 13 Mei 2009. http://xa.yimg.com/kq/ groups/23081136/1898417260/name/Agreement, akses 9 April 2012. Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH). 2010. Pemantauan Kualitas Air Laut dan Danau 2010. Pusat Sarana Pengendalian Dampak Lingkungan (Pusarpedal), Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). 2009. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.01/Men/2009 Tentang Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Kiswara, W. dan M Hutomo. 1985. Seagrass, its habitat and geographical distribution. Oseana X (1): 21-‐30. Kiswara, W., T. Bouma, MV. Katwijk, I. Al Hakim. 2003. Preliminary study East Kalimantan Project A Cooperation Program Dutch-‐Indonesia 2003. Technical Report. Kiswara, W., HH. De Iongh, M. Hutomo, RA. Hanif. 2011. Dugong range status update country reports: Indonesia. Report on South East Asia regional meeting on dugongs and workshop on developing standardized analysis protocols for dugong questionaire survey project data for South East Asia Region. Lawas, Sarawak, Malaysia: 22-‐56. Kuriandewa, TE., W. Kiswara, M. Hutomo, S. Soemodihardjo. 2003. The seagrasses of Indonesia. In: Green, E.P., Short, F.T. (eds.). World Atlas of Seagrasses. University of California Press, Berkeley USA : 171-‐182. Laapo, A., A. Fahrudin, DG. Bengen, A. Damar. 2009. Pengaruh Aktivitas Wisata Bahari terhadap Kualitas Perairan Laut di Kawasan Wisata Gugus Pulau Togean. Ilmu Kelautan. 14 (4): 1-‐7. Lasut, MT. and Y. Yasuda. 2008. Accumulation of Mercury in Marine Biota of Buyat Bay, North Sulawesi, Indonesia. Coastal Marine Science 32(1): 33-‐38. Liao, LM. 2004. Macrobenthic marine algae and seagrass of the Anambas Expedition 2002. The Raffles Bulletin of Zoology, Supplement No. 11: 19 – 23. National University of Singapore.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 185
LPP Mangrove. 2004. Review Data and Information Indonesian Mangrove Ekosystem in the South China Sea: South Sumatera Province. Reversing Thailand. Environmental degradation Trends in the South China Sea and Gulf of Thailand Madduppa, HH., IS. Alhusna, N. Dahl-‐Tacconi, R. Sihombing, F. Setiawan, A. Gunawan, NA. Muzahar, H. Ohoiulun. 2005. Evaluasi Keefektifan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut Pulau Sebesi 2002-‐2004 dan rekomendasi-‐rekomendasi untuk meningkatkan pengelolaan. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), Badan Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut, Pulau Sebesi, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Madduppa, HH. 2012. Self-‐recruitment in anemonefish and the impact ornamental fishery in Spermonde Archipelago: implications for management and conservation. PhD Dissertation. Faculty of Biology and Chemistry. University of Bremen. Germany. Madduppa, HH., SCA. Ferse, U. Aktani, HW. Palm. 2012. Seasonal trends and fish-‐habitat associations around Pari Island, Indonesia: setting a baseline for environmental monitoring. Environ Biol Fish. DOI 10.1007/s10641-‐012-‐0012-‐7 Madduppa, HH., SB. Agus, AR. Farhan, D. Suhendra, B. Subhan. 2012. Fish biodiversity in coral reefs and lagoon at the Maratua Island, East Kalimantan. Biodiversitas 13: 145-‐150. Madduppa, HH., B. Subhan, E. Suparyani, AM. Siregar, D. Arafat, SA. Tarigan, Alimuddin, D. Khairudi, F. Rahmawati, A. Bramandito. 2013. Dynamics of fish diversity across an environmental gradient in the Seribu Islands reefs off Jakarta. Biodiversitas 14 (in press). Mangubhai S., MV. Erdmann, JR. Wilson, CL. Huffard, F. Ballamu, NI. HidayatI, C. Hitipeuw, ME. Lazuardi, Muhajir, D. Pada, G. Purba, C. Rotinsulu, L. Rumetna, K. Sumolang, W. Wen. 2012. Papuan Bird’s Head Seascape: Emerging threats and challenges in the global center of marine biodiversity. Marsh H, Eros C, Penrose H, dan Hugues J. 2002. The Dugong (Dugong dugon) Status Reports and Action Plans for Countries and Territories in its Range. IUCN, Gland. Masuda, H. and GR. Allen. 1987. The Sea Fishes of the World (Indo-‐Pacific Region). Published by YAMA-‐KEI Publisher Co. Ltd Tokyo, Japan. Mimura, N. 1999. Vulnerability of island countries in the South Pacific to sea level rise and climate change. Climate Research. 12:137-‐143. Monirith, I., D. Ueno, S. Takahashi, H. Nakata, A. Sudaryanto, A. Subramanian, S. Karuppiah, A. Ismail, M. Muchtar, G. Zheng, BJ. Richardson, M. Prudente, ND. Hue, TS. Tana, AV. Tkalin, S. Tanabe. 2003. Asia-‐ Pacific Mussel Watch: Monitoring Contamination Of Persistent Organochlorine Compounds in Coastal Waters of Asian Countries. Marine Pollution Bulletin 2003 46: 281-‐300. Morrison, RJ. and JR. Delaney. 1996. Marine Pollution in the Arafura Sea. Marine Pollution Bulletin, 32(4): 327-‐ 343. Morton, B. and G. Blackmore. 2001. South China Sea. Marine Pollution Bulletin, Vol. 42 (12): 1236-‐1263. Moss, S.M dan M. Van Der Wal. 1998. Rape and Run in Maluku: Exploitation of Living Marine Resources in Eastern Indonesia. Cakalele 9 (2) : 85-‐97. MPP-‐EAS. 1998. Marine Pollution Management in the Malacca Strait/Singapore Straits: Lessons Learned. GEF/UNDP/IMO Regional Programme for the Prevention and Management of Marine Pollution in the East Asian Seas. Quezon City, Philippines. Muarif. S. 2002. Analisis Indek Kepekaan Lingkungan Pesisir Selat Malaka di Wilayah Sumatera Utara Terhadap Tumpahan Minyak (Oil Spill). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
186 |daftar pustaka
Muhajir, Purwanto, S. Mangbhai, J. Wilson, R. Ardiwijaya. 2012. Pemantauan Pengamatan insidentil di kawasan Konservasi Perairan Daerah Kofiau dan Misool, Raj Ampat, Papua Barat, Indonesia 2006-‐2011. Munawir, K. 1996. Pemantauan Kadar Organoklorin di Perairan Muara Sungai Siak, Riau. Dalam: Inventarisasi dan Evaluasi Lingkungan Pesisir: Oseanografi, Geologi, Biologi dan Ekologi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hal. 147-‐152. Munawir, K. 2002. Kadar Pestisida Organoklorin Dalam Air dan Sedimen di Perairan Muara Sungai Digul dan Laut Arafura. Dalam: Pesisir dan Pantai VII (Penyunting: Nuchsin, R., Muchtar, M., Supangat, I., dan Sunarto). Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI. hal 41-‐48. Munawir, K. 2005. Kadar Pestisida Organoklorin Dalam Air dan Sedimen di Perairan Estuarin Mamberamo, Irian Jaya. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia, 38: 69-‐78. Mustika, PL., IMJ. Ratha, S. Purwanto (Eds). 2012. Kajian Cepat Kondisi Kelautan Propinsi Bali 2011. RAP Bulletin of Biological Assessment Vol. 64. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Bali, Balai Riset dan Observasi Kelautan Bali, Universitas Warmadewa dan Conservation International Indonesia. Denpasar. Mustikasari, E., LC. Dewi, WS. Pranowo, S. Makarim, SN. Amri, B. Priyono. 2010. Pemodelan Pola Arus Barotropik Musiman 3 Dimensi Untuk Mensimulasikan Fenomena Upwelling, Laporan Teknis, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Litbang Kelautan dan Perikanan. Nagara, AA., NA. Sasongko, OJ. Olakunle. 2007. Introduction to Java Sea. University of Stavanger. Nasution, S. dan M. Siska. 2011. Kandungan Logam Berat Timbal (Pb ) pada Sedimen dan Siput Strombus canarium di Perairan Pantai Pulau Bintan. Jurnal Ilmu Lingkungan 5(2): 82-‐93. Nedi S., B. Pramudya, E. Riani, Manuwoto. 2010. Karakteristik Lingkungan Perairan Selat Rupat. Journal of Environmental Science 4:25 -‐ 35 Nienhuis, PH., J. Coosen, W. Kiswara. 1989. Community structure and biomass distribution of seagrass and macrofauna in the Flores Sea, Indonesia. Neth. J. of Sea Res. 23(3): 197-‐214. Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Noor, YR. and MJ. Silvius. 1997. Shore bir ds in Indonesia. In: Tomasick, T., A.J. Mah, A, Nontji, M.K. Moosa 1997. The ecology of the Indonesian Seas Part II. The Ecology of Indonesia Series, Volume VIII. P2O-‐LIPI. 2011. Perairan Kepulauan Natuna. Ekspedisi Widya Nusantara. Pusat Penelitian Oseanografi-‐Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pelling M. and JI. Uitto. 2001. Small island developing states: natural disaster vulnerability and global change. Environmental Hazard 3: 49-‐63. Pranowo, WS. 2002. Model Numerik Sebaran Senyawa Nitrogen di Perairan Pantai Jepara. Tesis Magister Program Studi Studi Oseanografi dan Sains Atmosfer, Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Institut Teknologi Bandung. Pranowo, WS. and S. Husrin. 2003. Kondisi Oseanografi Perairan Pulau Bintan dalam Kondisi Ekosistem Pesisir Pulau Bintan. Safri, B., B. Sulistyo, A. Supangat. (eds.), Pusat Riset Wilayah Laut & Sumberdaya Nonhayati, BRKP, Departemen Kelautan & Perikanan. Pranowo, WS., NS. Ningsih, A. Supangat. 2003. Kajian Arus Pasut di Perairan Pantai Jepara. Prosiding Seminar Riptek Kelautan Nasional, Jakarta, 30-‐31 Juli 2003. Pranowo, WS., NS. Ningsih, A. Supangat. 2005. Modelling of Nitrogen Compound Distribution in Jepara Waters, Northern Coast of Central Java – Indonesia. Journal of JTM, Vol. 12 (2). Pranowo, WS. and BS. Realino. 2006. Sirkulasi Arus Vertikal di Selat Bali Pada Monsun Tenggara 2004. Prosiding Seminar Nasional Forum Perairan Umum Indonesia III. Palembang, 27 – 28 November 2006.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 187
Pranowo, WS., AR. Tisiana Dwi Kuswardhani, TL. Kepel, UR. Kadarwati, S. Makarim, S. Husrin. 2006. Ekspedisi INSTANT 2003-‐2005: Menguak Arus Lintas Indonesia, editors: Supangat, A., I. S. Brodjonegoro, A. G. Ilahude, I. Jaya, T. R. Adi., Pusat Riset Wilayah Laut & Sumberdaya Non-‐hayati. Badan Riset Kelautan & Perikanan. Departemen Kelautan & Perikanan. Pranowo, WS. and S. Wirasantosa. 2011. Tidal regims of Arafura and Timor Seas, Journal of Marine Research in Indonesia, 36:17-‐24. Pranowo, WS., S. Wirasantosa, SN. Amri, AA. Hutahaean, LC. Dewi, S. Makarim, RNA. Ati, HI. Ratnawati, dan J. Prihantono. 2011. Karakteristik Sumberdaya Laut Arafura dan Pesisir Baratdaya Papua. B. Sulistiyo (Ed.). Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pranowo, WS. 2012. Dinamika Upwelling dan Downwelling di Laut Arafura dan Timor. J. Widyariset, 15 :17-‐24. Pranowo, WS., RA. Adi, H. Permana, ND. Hananto. 2012a. Sirkulasi Arus Pasang Surut di Muara Pegah, Delta Mahakam, Kalimantan Timur, J. Segara, Vol. 8 No.1, p.53-‐63. Pranowo, WS., TR. Adi, S. Makarim, NN. Hasanah. 2012b. Marine & climate research contribution to the national program on climate change adaptation & mitigation, Proceed. The International Workshop on Climate Change Information Services in Supporting Mitigation & Adaptation to Cllimate Change in Transportation & Tourism, Jakarta, 15-‐16 May 2012, (in press). Pranowo, WS., CD. Puspita, RA. Adi, LC. Dewi. 2012c. Atlas Sumberdaya Laut dan Pesisir Natuna, draft versi 28 Desember 2012. B. Sulistiyo dan T.R. Adi (Eds.), Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Purnomo, AH., Taryono, NN. Wiyadnyana, B. Priono, Tj. Hartono, Z. Nasution, N. Aji., A. Azizi, H.E. Irianto, D. Nugroho, Suwarso, E. Sriyati, Irsan, S.B. Gegar, SP. Tonny Wagey, N. Radiarta, TH. Prihadi, Suryanto, WS. Pranowo, M. Situmorang, Sunoto, J. Ferianto, Aminul, PK. Yudi, Triyono, W. Erish, RS. Ifan, P. Roberto, Yulius, Ahmad, B. Hendrajana,H. Semeidi, S. Makarim, K. Gunardi, D. Purbani, E. Edward, IM. Nasution, UR. Kadarwati. 2003. Profil Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Teluk Tomini. Badan Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Cetakan pertama Oktober 2003. Pusat Studi Bencana Alam, 2000 Putra, KS. 2005. Brief overview of the turtle conservation in Indonesia. Paper prepared for World Bank Mission and Nordeco consultant as part of the WB/Marginal Fisheries Development Project in Indonesia, Mei 2005. Putri, MR. 2005. Study of Ocean Climate Variability (1959-‐2002) in the Eastern Indian Ocean, java Sea and Sunda Strait Using the HAMburg Shelf Ocean Model. Dissertation. University of Hamburg. Ramdhan, M. and S. Tubalawony. 2010. Karakteristik Oseanografi Fisik Perairan Selatan Keulauan Leti Moa Lakor (Lemola)-‐Tanimbar. J. Segara, 6:129-‐140. Riani E., A. Samosir, F. Yulianda. 1994. Imposex pada Neogastropoda (Thais sp) sebagai akibat Kontaminasi Tributyltin (Senyawa Sn) dari Cat Pelapis Kapal di Perairan Pantai Pelabuhan Ratu, Jawa Barat dan Pelabuhan Teluk Bayur, Padang. Riani, E, SH Sutjahjo, I. Firmansyah. 2004. Analisis Beban Pencemaran dan Kapasitas Asimilasi Teluk Jakarta. Kerjasama LPPM IPB dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tahun 2004. Riani, E. 2004. Melindungi Air Melindungi Kepunahan. Nuansa Biru. Seafood Ecolabelling. Edisi 4. Yayasan WWF Indonesia dan Yayasan Uli Peduli. Riani E. 2005. Pengaruh Pencemaran Logam Berat terhadap Cacat Bawaan pada Larva Diptera – Chironomidae: Dicrotendipes simpsoni.
188 |daftar pustaka
Riani E. 2006. Roadmap for The Integrated Citarum River Basin Management Program: Strategic Environmental assessment (SEA) for The Citarum Integrated Water Resources Management Roadmap and Environmental Impact Assesment (EIA) for the Proposed West Tarum Canal-‐Subproject. Riani E. 2008. Kualitas Lingkungan Perairan di Desa Bug-‐bug, Bali. Seminar Ilmiah Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Riani, E. 2009. Kerang Hijau (Perna viridis) Ukuran Kecil sebagai "Vacum Cleaner" Limbah Cair. . Jurnal Alami, Air, Lahan, Lingkungan dan Mitigasi Bencana. 14 (3): 24 – 30. Riani, E. 2010. Kontaminasi merkuri (Hg) dalam Organ Tubuh Ikan Petek (Leignathus equulus) di Perairan Ancol, Teluk Jakarta. Jurnal Teknologi Lingkungan. BPPT. Mei 2010. Vol 11 (2): 313-‐322. Riani, E. and MR. Cordova. 2011. Dampak Pencemaran Logam Berat terhadap Cacat Bawaan (Malformasi) pada Keturunan Kerang Hijau yang Dibudidaya di Perairan Muara Kamal, Teluk Jakarta. Seminar Nasional PPLH. Mengakrabi Paradigma dan Instrumen Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam UU No 32 tahun 2009. IICC – IPB, 20 Oktober 2011. Riani, E. 2012 Perubahan Iklim dan Kehidupan Biota Akuatik (Bioakumulasi Bahan Berbahaya dan Beracun dan Reproduksi). Penerbit IPB. Riani E, SBW. Ningsih, B. Kurniawan. 2013. Dampak Kualitas Perairan terhadap Moluska Endemik Polymesoda erosa di Perairan Donan, Cilacap Jawa Tengah. (Belum dipublikasikan) Riani, E. 2013. Kondisi Lingkungan Perairan Teluk Lampung. Belum dipublikasikan, Dept MSP, FPIK. IPB. Bogor. Rinawatia, T. Koikea, H. Koike, R. Kurumisawa, M. Ito, S. Sakurai, A. Togo, M. Saha, Z. Arifin, H. Takada. 2012. Distribution, Source Identification, and Historical Trends of Organic Micropollutants in Coastal Sediment in Jakarta Bay, Indonesia. Journal of Hazardous Materials: 208– 216. Rumahlatu, D. 2011. Konsentrasi Logam Berat Kadmium Pada Air, Sedimen dan Deadema setosum (Echinodermata, Echinoidea) di Perairan Pulau Ambon. Ilmu Kelautan 16 (2): 78-‐85. Sabtaji, A. 2010. Peta Tektonik Papua. http://agung-‐sabtaji.blogspot.com/2010/06/peta-‐tektonik-‐papua.html Salm, RV. and M. Halim. 1984. Conservation Data Atlas. Planning for the Survival of Indonesia’s seas and coasts, IUCN/WWF/PHPA. Jakarta. Sapulete, D. 1996. Sebaran vertikal temperatur dan salinitas dalam kaitannya dengan kemungkinan terjadinya “upwelling” di Teluk Piru, J. Perairan Maluku dan Sekitarnya 11: 139-‐148. Sarmili, L., P. Halbach, B. Pracejus, E. Rahders, S. Burhanuddin, D. Purbani, G. Kusumah, S. Makarim, J. Soesilo, J. Huatabart, SD. Djohor, A. Mubandi. 2003. A New Prospect in Hydrothermal Mineralisation of The Baruna Komba Submarine Volcano in Flores-‐Wetar Sea, East Indonesia. Prosiding International Seminar on Marine and Fisherieis 15-‐16 December 2003, hal 331-‐336. Soegiarto, A. dan NVC. Polunin. 1981. The marine environment of Indonesia. Bogor, Indonesia. International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources/World Wild Fund. Spalding, MD. HE. Fox, GR. Allen, N. Davidson, ZA. Ferdaña, M. Finlayson, BS. Halpern, MA. Jorge, A. Lombana, SA. Lourie, KD. Martin, E. McManus, J. Molnar, CA. Recchia, J. Robertson (2007) Marine ecoregions of the world: a bioregionalization of coastal and shelf areas. Bioscience 57 (7): 573–583. Stewart, BS. 2011. Workshop and Monitoring Training for Whale Sharks in Cendrawasih Bay National Park, West Papua 2–7 May 2011, Nabire, Papua. Hubbs SeaWorld Research Institute Technical Report 2011, 375: 1-‐27. Sudaryanto, A. 2001. Struktur Komunitas Makrozoobenthos dan Kondisi Fisiko Kimiawi Sedimen di Perairan Donan, Cilacap -‐ Jawa Tengah. Jurnal Teknologi Lingkungan. 2(2): 119-‐123.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 189
Sudaryanto, A., S. Takahashi, H. Iwata, S. Tanabe, A. Ismail. 2004. Contamination of Butyltin Compounds in Malaysian Marine Environments. Environmental Pollution 130: 347 – 358. Sudaryanto, A., S. Takahashi, H. Iwata, S. Tanabe, M. Muchtar, H. Razak. 2005. Organotin Residues and the Role of Anthropogenic Tin Sources in the Coastal Marine Environment of Indonesia. Marine Pollution Bulletin 50(2): 226-‐235. Sudaryanto, A., S. Takahashi, S. Tanabe. 2007. Persistent Toxic Substances in the Environment of Indonesia. Dalam: Developments in Environmental Science, 7: 587-‐627. Sugeha, HY., SR. Suharti, S. Wouthuyzen, K. Sumadhiharga. 2008. Biodiversity, Distribution and Abundance of the Tropical Anguillid Eels in the Indonesian Waters. Dalam Mar.Res.Indonesia, 33(2):129–137 Suharsono, 2007. Indonesia. In: UNEP, 2007. National Report on Coral Reefs in the Coastal Waters of the South China Sea. UNEP/GEF/SCS Technical Publication No. 11. Suharsono. 2009. Overview of the successful of coral reefs condition mangement in Indonesia. Paper presented at the symposium in the World Ocean Congress. Manado, Indonesia, 2009. Suhelmi IR, A. Fahrudin, F. Yulianda, INS Nuitja. 2011. Pemodelan Kerentanan Pesisir Kota Semarang Akibat Kenaikan Muka Air Laut. Makalah Seminar Pascasarjana IPB. Bogor. Suhendra, D. 2010. Profil Kepulauan Natuna – Anambas. Conservation International. Jakarta. Sulistyo B and Triyono. 2009. Atlas Kelautan dan Atmosfer. Balai Riset Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Stok Sumber Daya Ikan Demersal Laut Dalam Di Perairan Zeei Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa
Suman, Ali dan Nurdin, Erfind. 2012. Stok Sumber Daya Ikan Demersal Laut Dalam Di Perairan ZEEI Samudera Hindia Sebelah Selatan Jawa. Prosiding Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Manado, 30-‐31 Oktober 2012. 143-‐152 Supangat, A., TR. Adi, WS. Pranowo, NS. Ningsih. 2004. Predicting Movement of the Warm Pool, the Salinity Front, & the Convergence Zone in the Western & Central Part Equatorial Pacific Using a Coupled Hydrodynamical-‐Ecological Model. Proceeding of The Twelfth OMISAR Worshop on Ocean Models, Dalian, China. Supriyadi dan Wouthuyzen. 2005. Penilaian ekonomi Sumberdaya Mangrove di Teluk Kotania, Seram Barat, Provinsi Maluku. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia. 38: 1-‐21. Supriyadi. 2012. Stok dan Neraca Karbon Komunitas Lamun di Pulau Barrang Lompo Makassar. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Susanto, RD., G. Fang, I. Soesilo, Q. Zheng, F. Qiao, Z. Wei, B. Sulistyo. 2010. New surveys of a branch of the Indonesian Throughflow. Eos Trans. AGU 91(30): 261-‐263. Susanto, RD., AL. Gordon, Q. Zheng. 2001. Upwelling along the coasts of Java and Sumatra and its relation to ENSO. Geophys. Res. Lett., 28: 1599-‐1602. SUSCLAM [Tomini Bay Sustainable Coastal Livelihoods and Management]. 2010. Informasi Umum Wilayah Pesisir Teluk Tomini. http://www.database.teluktomini.org/tampil_info_umum.php Swennen, C., N. Guttamadakul, S. Ardseungnern, HR. Sing, BP. Mensink, CC. Hellers-‐Tjabbes. 1997. Imposex in Sublittoral and Littoral Gastropods from the Gulf of Thailand and Strait of Malacca. Environmental Technology 18: 1245-‐1254. Taley, LD, dan J. Sprintall. 2005. Deep Expression of Indonesian Throughflow: Indonesian Intermediate Water in the South Equatorial Current, Submitted to J. Geophys. Res. Revised March 1, 2005.
190 |daftar pustaka
Tarigan, Z., Edward, A. Rozak. 2003. Kandungan Logam Berat Pb, Cd, Cu, Zn dan Ni dalam Air Laut dan Sedimen di Muara Sungai Memberamo, Papua Dalam Kaitannya dengan Kepentingan Budidaya Perikanan. Makara Sains, 7(3): 119-‐127. Tirtakusumah, R. 1994. Pengelolaan Hutan Mangrove Jawa Barat dan beberapa pemikiran untuk tindak lanjut. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove, Jember, 3 – 6 Agustus 1994: 143-‐149. Tomascik, T., AJ. Mah, A. Nontji, MK. Moosa. (eds.). 1997. The Ecology of the Indonesian Seas. Part II. The Ecology of Indonesia Series, Volume VIII. Turak E. 2003. Coral Reef Surveys During TNC SEACMPA RAP of Wakatobi National Park, Southeast Sulawesi, Indonesia. The Nature Conservancy Report. Turak E. 2004. Coral Biodiversity and Reef Status: Derawan REA 2003. The Nature Conservancy Report. Turak, E and L. DeVantier. 2006. Biodiversity and Conservation priorities of reef-‐building corals in The Papuan Bird’s Head Seascape. Report to Conservation International. Turak, E and L. DeVantier. 2008. Biodiversity and Conservation priorities of reef-‐building corals in North Halmahera – Morotai. Report to Conservation International. Turak, E and L. DeVantier. 2012. Biodiversity and Conservation priorities of reef-‐building corals in Anambas Islands. Report to Conservation International. Tubalawony, 2000. Karakteristik Fisik-‐Kimia dan Klorofil-‐a Laut Timor. Disertasi. Institut Pertanian Bogor Undang-‐Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-‐ Pulau Kecil. UNEP. 2005. Sulu-‐Celebes (Sulawesi) Sea, GIWA Regional Assessment 56. University of Kalmar, Kalmar, Sweden. www.giwa.net/publications/r56.phtml. Uneputty, P. dan SM. Evans. 1997. The Impact of Plastic Debris on the Biota of Tidal Flats in Ambon Bay (Eastern Indonesia). Marine Environmental Research 44(3): 233-‐242. Van der Meij, SET. RG. Moolenbeek, BW. Hoeksema. 2009. Decline of the Jakarta Bay Molluscan Fauna Linked to Human Impact. Marine Pollution Bulletin 59: 101–107. Veron, JEN. 2001. Interpretation of the biogeographic classification. Report to the Nature Conservancy. Verstappen, HTH. 2010. Indonesian Landforms and Plate Tectonics. Jurnal Geologi Indonesia 5 (3): 197-‐207. Wagey, T., A. Suparman, WS. Pranowo, ARTD. Kuswardhani, AA Hutahaean, B. Hendrajana, G. Kusumah, E. Mustikasari, H. Priatno, H. Triwibowo, RN. Afiati, RA. Adi, S. Novita. 2004. Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone. Laporan Teknis. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non-‐Hayati, Badan Riset Kementerian dan Kelautan. Wagey, T. and Z. Arifin (Eds). 2008. Marine Biodiersity Review of the Arafura and Timor Seas. Published by the Ministry of Marine Affair and Fisheries and Indonesian Institute of Sciences. UNDL and CoML. Wallace, CC., C. Richard, Suharsono. 2001. Regional distribtuion pattern of acropora and their use in the conservation of coral reef in indonesia. J. Pesisir dan Lautan. PKSPL-‐IPB. 4 (1): 40-‐58. Watson, JEM., LN. Joseph, AWT. Watson. 2009. A Rapid Assessment of the Impacts of The Montara Oil Leak on Birds, Cetaceans and Marine Reptiles. Report Commissioned by the Department of the Environment, Water, Heritage and theArts (DEWHA). Final version completed October 23rd. Wheeler, MC. and JL. McBride. 2005. Australian-‐Indonesian Monsoon. Intraseasonal Variability in the Atmosphere-‐Ocean Climate System. W.K.M. Lau & D.E. Waliser (eds.) Praxis. Springer Berlin Heidelberg. hal 126-‐173.
deskripsi peta ekoregion laut indonesia | 191
White, WT., M. Fahmi, M. Adrim, K. Sumadhiharga. 2004. A juvenile megamouth shark Megachasma pelagios (Lamniformes, Megachasmidae) from Northern Sumatera, Indonesia. Raffles Bulletin of Zoolology, 52(2): 603–607. Wibowo, A. and Supriatna. 2011. Kerentanan Lingkungan Pantai Kota Pesisir di Indonesia. Winkel, L., M. Berg, C. Stengel, T. Rosenberg. 2008. Hydrogeological Survey Assessing Arsenic and Other Groundwater Contaminants in the Lowlands of Sumatra, Indonesia. Applied Geochemistry 23, 3019– 3028. Wirasantosa, S., B. Sulistiyo, Triyono (Eds). 2010. Eksplorasi Sangihe-‐Talaud: Index SATAL 2010. Kerjasama Penelitian Laut Dalam Indonesia-‐Amerika Serikat. Diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Wiryawan, B., M. Khazali, M. Knight (eds.). 2005. Menuju Kawasan Konservasi Laut Berau, Kalimantan Timur. Status sumberdaya pesisir dan proses pengembangannya. Program Bersama Kelautan Berau Mitra Pesisir/CRMP II USAID, WWF dan TNC. Jakarta. Wouthuyzen, S., TE. Kuriandewa, SP. Ginting, A. Fadlal. 2008. Riset untuk penyusunan rencana pengelolaan sumberdaya lamun dan ekosistem terkait di wilayah pesisir Bintan Timur, Riau Kepulauan. Anggaran Riset Kompetitif LIPI. Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters. NAGA REPORT 2. Xue, H., F. Chai, N. Pettigrew, D. Xu, M. Shi, and J. Xu. 2004. Kuroshio intrusion and the circulation in the South China Sea, J. Geophys. Res., 109, C02017, doi:10.1029/2002JC001724. Zamani, NP. And HH. Madduppa. 2011. A Standard Criteria for Assesing the Health of Coral Reefs: Implication for Management and Conservation. Journal of Indonesia Coral Reefs 1(2): 137-‐146.
192 |daftar pustaka
BUKU II
D es k r i p s i P e t a E k o r e g i o n L a u t I N D O N E S I A
Desk rip si P et a Ek o regio n Laut
k e r jas am a :
KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP
KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBERDAYA MINERAL
INDONESIA