INFO SOSIAL EKONOMI Vol. 2 No.2 (2001) pp. 97 – 101
DESENTRALISASI RETRIBUSI HUTAN WISATA SALAH SATU PENDAPATAN DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH Oleh : Karyono, Rachman Efendi dan Sabarudi 1)
RINGKASAN Desentralisasi fiskal adalah untuk merestrukturisasi hubungan antara pusat dan daerah, dari pola lama yang sentralistik ke pola baru yang desentralistik. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan sumber pendapatan asli daerah (PAD). Pengusahaan hutan wisata merupakan salah satu wajib pajak (PBB) dan wajib retribusi. Jumlah retribusi yang dipungut oleh Pemerintah Daerah Bogor misalnya, sebesar Rp. 29.068.800,- sedangkan PBB dari seluruh kawasan hutan produksi termasuk wana wisata Rp. 1,4 milyar (September 2001). Retribusi sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) selanjutnya digunakan untuk membiayai pelaksanaan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Kata kunci : Desentralisasi, retribusi, hutan wisata, PAD.
PENDAHULUAN Tujuan Otonomi Daerah (OTDA) dan Desentralisasi fiskal adalah untuk merestrukturisasi hubungan antara pusat dan daerah, dari pola lama yang amat sentralistis ke pola baru yang desentralistis, partisipatif dan demokratis. Sesuai dengan Undang-Undang No.5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, maka Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah. Tata cara pelaksanaan pemungutannya diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 174 tahun 1997. Wajib retribusi adalah orang pribadi atau badan usaha yang menurut peraturan perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi termasuk pemungutan atau pemotogan retribusi tertentu. Pengusahaan hutan wisata merupakan salah satu Wajib Pajak (PBB) dan wajib retribusi karena merupakan salah satu kawasan hutan produktif yang diusahakan sebagai tempat rekreasi yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Besarnya jumlah pungutan PBB dan retribusi dituangkan dalam Surat Keterangan Retribusi Daerah (SKRD) dan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (PBB). 1)
Staf Peneliti P3SE Kehutanan, Bogor.
97
I N F O
volume 2 no. 2 (2001)
Dalam rangka penyusunan Perda Pemerintah Kabupaten/Kota, senantiasa menonjolkan kepentingan Kabupaten/Kota, tanpa melihat apakah penetapan Perda tersebut, telah melampaui kewenangan Propinsi misalnya Perda Retribusi Wana Wisata Alam. Justifikasi atas Perda yang telah ditetapkan seperti itu, terkadang hanya menggunakan nalar dan cara pandang sempit dengan alasan untuk kepentingan rakyat dan kemakmuran suatu daerah. Kewenangan Pemerintah yang diserahkan kepada daerah dalam rangka desentralisasi retribusi wana wisata, harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut. Luas kawasan hutan wisata salah satu obyek pendapatan asli daerah yang disebut PBB dan pendapatan dari hasil penjualan karcis pada obyek dan daya tarik wisatapun merupakan bagian pendapatan daerah yang disebut retribusi tempat rekreasi. Dasar pengenaan dan tarif retribusi Dasar pengenaan retribusi adalah pemanfaatan, pembayaran dari jasa rekreasi berupa pemanfaatan tempat rekreasi hutan wisata. Besarnya tarif retribusi dari tempat rekreasi hutan wisata dibagi ke dalam tiga rayon, sehingga fungsi kawasan dan jenis pungutan/retribusi masuk seperti Tabel 1. Tabel 1. Besarnya Tarif Pungutan Masuk ke hutan wisata Jenis Pungutan/Retribusi a. Taman Wisata Pengunjung Kendaraan R 2 Kendaraan R 4 Kendaraan Air : - kapal motor s/d 40 PK - kapal motor 41-80 PK - kapal motor > 80 PK b. Taman Buru Pengunjung Kendaraan darat R2 Kendaraan darat R4 Kendaraan Air s/d 40 PK Kendaraan Air 41- 80 PK Kendaraan Air > 80 PK
Satuan
I
Tarif sekali masuk/Rayon (Rp) II
III
1 orang 1 buah 1 buah
1.000 1.000 2.000
750 750 1.500
500 500 1.000
1 buah 1 buah 1 buah
2.000 4.000 10.000
1.500 3.000 7.500
1.000 2.000 5.000
1 orang 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah
3.000 2.000 4.000 2.000 4.000 10.000
2.000 1.500 3.000 1.500 3.000 7.500
1.000 2.000 2.000 2.000 2.000 5.000
Sumber : Lampiran Keputusan Menhut No. 878/Kpts-II/1992.
TUJUAN Tujuan ditetapkannya pungutan retribusi adalah sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang digunakan untuk membiayai pelaksanaan Pemerintahan, Pembangunan dan Pelayanan Masyarakat.
98
Desentralisasi retribusi……..(Karyono, Rachman Effendi dan Subarudi)
POTENSI PENDAPATAN DAERAH SEKTOR HUTAN WISATA Kehutanan selain menghasilkan produk kayu, produk non kayu, juga menghasilkan jasa kehutanan melalui pengusahaan wana wisata. Pengusahaan wana wisata terutama di Jawa yang telah diusahakan oleh Perum Perhutani merupakan salah satu potensi pendapatan asli daerah dari jenis pungutan retibusi dan PBB. Untuk daerah Bogor misalnya, jumlah retibusi yang dipungut oleh Pemerintah Daerah setempat pada tahun terakhir ( s/d September 2001) sebesar Rp. 29.086.800,- sedangkan PBB dari seluruh kawasan hutan produksi termasuk wana wisata sebesar Rp. 1,4 milyar (Anonim, 2001). a. Lokasi dan luas Obyek wisata alam tersebar di beberapa daerah di Pulau Jawa yakni daerah Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur (Tabel 2). Tabel 2. Jumlah lokasi obyek wisata di daerah Jawa Daerah Propinsi
Jumlah lokasi
Luas (Ha)
46
2.234,88
Jawa Barat
Keterangan Tidak termasuk
Jawa Tengah
41
1.161,65
yang dikelola
Jawa Timur
42
1.440,90
oleh Ditjen PHPA
Jumlah
129
4.837,43
Sumber : Laporan Kemajuan Bidang Produksi Perum Perhutani.
b. Aspek Pendapatan Pemerintah Daerah. Aspek pendapatan Pemerintah/Daerah erat kaitannya dengan masalah perpajakan baik Pusat maupun Daerah, serta retribusi Daerah, khususnya yang berkaitan dengan kegiatan kepariwisataan baik langsung maupun tidak langsung. Beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hal tersebut antara lain Perda Tk II Kabupaten tentang Retribusi Daerah.
Tabel 3. Jumlah pengujung dan pendapatan obyek wisata alam di daerah Jawa Tahun 1993 1994 1995 1996 1997 1998* Pertumb
Pengunjung Jabar 1.513.802 1.639.444 1.731.689 1.666.860 1.686.922 1.156.234 2,8 %
Tajeng 939.899 776.370 777.728 971.780 837.943 857.460 (1,5%)
Pendapatan (x Rp.1000) Jatim 848.998 887.522 1.129.375 1.176.562 1.176.581 1.136.219 9,8 %
Jabr 1.169.818 1.328.276 1.465.643 1.896.170 2.046.503 2.203.671 15,3%
Jateng 253.448 250.469 223.829 207.737 242.933 287.395 1,3 %
Jatim 311.639 449.947 705.021 975.945 1.191.132 1.291.082 40,4 %
Total 1.734.905 2.068.692 2.638.792 3.079.852 3.480.568 3.782.148 19,1 %
Sumber : Perum Perhutani *) Outlayer data, tidak dimasukan perhitungan pertumbuhan.
99
I N F O
volume 2 no. 2 (2001)
Menurut statistik, pengunjung obyek wisata alam terus meningkat, sekalipun tingkat pertumbuhan masih lambat yaitu 3,0 % per tahun. Jumlah pengunjung merupakan sumber pendapatan usaha wana wisata yang berasal dari penjulanan karcis (retribusi masuk) yang pertumbuhannya meningkat sebesar 19,1 % per tahun (Tabel 3). Jika mengacu kepada Peraturan Daerah Tingkat II Kabupaten karena obyek wana wisata berada di Daerah, maka dari jumlah pendapatan kotor akan dikenakan retribusi daerah rata-rata 30 %, maka kontribusi pendapatan dari sektor retribusi diperkirakan sebagai berikut (Tabel 4). Tabel 4. Perkiraan kontribusi pendapatan dari retribusi wana wisata di Jawa, Tahun
Jumlah Pendapatan Kotor
Retribusi Perda rata-rata 30%
1993
1.734.905.000
520.471.500
1994
2.068.692.000
620.607.600
1995
2.638.792.000
791.637.600
1996
3.079.852.000
923.955.600
1997
3.480.568.000
1.044.170.400
1998
3.782.148.000
1.143.644.400
Sumber data : Perum Perhutani, data diolah.
Dari pendapapatan wana wisata sudah digulir 30 % sebagai sumber pendapatan asli Daerah (PAD) dan dari luas kawasan hutan wisata seperti di daerah Bogor misalnya dikenakan PBB. Untuk menentukan besarnya PBB yang harus dibayar oleh pengusahaan hutan wisata : Luas Objek Pajak x NJOP - NJOPTKP = NJOP untuk penghitungan PBB. NJKP (.... %) x NJOP untuk penghitungan PBB =PBB yang harus di bayar oleh pengusahaan wana wisata. c. Alur retribusi Dari retribusi sebesar 30 % pihak KPH menyetor setiap bulan kepada Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten/Kota sebagai pendapatan daereah. Tingkat KPH menerima laporan penghasilan seminggu sekali dari setiap ASPER sebagai pengawas pengelola dari kawasan obyek wisata. Alur retribusi tersebut seperti gambar 1 di bawah ini. Retribusi Obyek daya tarik wisata
ASPER
KPH
Kantor Pemda TK II
KANTOR UNIT DI TINGKAT I KANTOR DIREKSI PUSAT
Gambar 1. Alur retribusi dan pendapatan dari pengusahaan wana wisata
100
Desentralisasi retribusi……..(Karyono, Rachman Effendi dan Subarudi)
d. Konpensasi Peraturan dan perundangan bidang kepariwisataan Indonesia tidak mendorong penggairahan kepariwisataan, yang termaktub justru menyangkut sanksi, denda bahkan pidana, tak mengatur tentang keringanan atau pembebasan pajak bagi pengusaha yang membantu menggairahkan investor baru di sektor kepariwisataan. Konvensasi Pemda terhadap pengembangan obyek dan daya tarik wisata alam yang dipandang selama ini merupakan sumber pendapatan asli daerah yang bersumber dari retribusi dan pajak bumi dan bangunan, akan mendorong terhadap potensi pendapatan dan sekaligus terhadap kelestariannya.
KESIMPULAN Retribusi sektor wana wisata dipandang sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) oleh sebab itu dikenakan retribusi pungutan karicis untuk Pemda sebesar rata-rata 30 %. Konvensasi pihak Pemda terhadap pengembangan obyek wana wisata sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) perlu ada suatu justifikasi dan akuntabilitas yang mencerminkan desentralisasi, partisipatif dan demokratis. Upaya tersebut akan mendorong investor untuk berinvestasi dibidang pengusahaan wana wisata dan sekaligus akan membuka peluang kesempatan kerja dan berusaha yang pada giliran lainnya akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi Lokal, Global maupun Nasional.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1999. Peraturan Daerah Tingkat II Banyumas No. 1 tahun 1999, tentang Retribusi tempat rekreasi dan Olah Raga, Banyumas 2000. Anonim. 1999. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, tentang Kehutanan, Jakarta 1999. Anonim. 1990. Keputusan Menhut No. 442/Kptsw-II/1990 tentang Pengenaan Iuran dan Pungutan Usaha di hutan wisata, Taman Nasional, Tahura dan Taman Wisata Laut, Jakarta 1990. Anonim. 1989. Perda No. 9 Tahun 1989 tentang Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Wisata Baturaden, Banayumas 1989. Bambang Sudibyo. 2001. Resiko/Potensi Permasalahan Pelaksanaan OTDA dan Desentralisasi Fiskal, Seminar OTDA dan Peluang Usaha, LIPBI, Jakarta 2001.
101