Desentralisasi Fiskal dan Manajemen Ekonomi Makro Bobby Hamzar Rafinus *
I.
Pendahuluan
Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dimulai pada tahun 2001 merupakan tantangan baru dalam manajemen ekonomi makro Indonesia. Beberapa negara, seperti India, Brasil, Rusia, dan Cina, pernah menghadapi masalah stabilitas ekonomi makro yang pelik dan berkepanjangan akibat kurang tepat mengelola pelaksanaan desentralisasi fiskal. Salah satu akar permasalahan ini adalah perbedaan orientasi kebijakan ekonomi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.1 Pemerintah daerah lebih menghadapi masalah keterbatasan keuangan (financial constraints) daripada keterbatasan ekonomi (economic constraints) yang menjadi perhatian pemerintah pusat. Selain itu pemerintah daerah (Pemda) lebih menaruh perhatian pada masalah alokasi daripada stabilisasi, yang dianggap sebagai beban pemerintah pusat. Kekhawatiran Indonesia akan mengalami masalah ekonomi makro akibat pelaksanaan desentralisasi fiskal disampaikan IMF dalam proses penyusunan Letter of Intent pada akhir tahun 2000.2 Timbulnya kekhawatiran tersebut bisa jadi tidak terlepas dari hasil diskusi yang berlangsung pada Konperensi Desentralisasi Fiskal yang diadakan IMF pada akhir November 2000. Salah satu makalah mengenai desentralisasi fiskal di Indonesia3 yang disajikan dalam konperensi tersebut menyatakan bahwa dorongan pelaksanaan desentralisasi di Indonesia lebih karena keinginan masyarakat untuk mendapatkan otonomi atas sumber daya alam, politik, dan hukum di wilayahnya masing-masing. Dorongan ini berbeda dengan di banyak negara, khususnya negara maju, yaitu desentralisasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat memperoleh pelayanan umum yang lebih baik dari pemerintah. Dalam rangka mengantisipasi kekhawatiran IMF tersebut, pada bagian awal tulisan ini disampaikan deskripsi pengaruh desentralisasi fiskal terhadap manajemen ekonomi makro dan pengalaman pelaksanaan desentralisasi di Spanyol yang merupakan kompilasi gagasan beberapa tulisan ekonom IMF. Pada bagian selanjutnya akan diulas beberapa titik kemungkinan terjadinya gangguan ekonomi makro dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia. Di bagian akhir tulisan disampaikan beberapa gagasan guna mengupayakan pelaksanaan desentralisasi fiskal yang kondusif dengan langkahlangkah manajemen ekonomi makro.
*
Ir. Bobby Hamzar Rafinus, MIA adalah sfat Deputi Bidang Ekonomi Makro Bappenas-red A. Premchand, International Monetary Fund, Cetakan Keempat, Juli 1994. 2 Kompas, 9 Januari 2001. 3 Ehtisham Ahmad dan Ali Mansoor, IMF, November 2000 1
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc
# 1
II. Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Manajemen Ekonomi Makro 4 Secara umum perubahan kewenangan pengeluaran maupun penerimaan anggaran, sebagai akibat dari pelaksanaan desentralisasi fiskal, akan mempengaruhi kemampuan pemerintah pusat melakukan kebijakan ekonomi makro melalui anggaran negara. Berkurangnya kewenangan pemerintah pusat pada sejumlah pajak atau pengendalian atas sejumlah anggaran belanja akan banyak mengurangi ruang geraknya, seperti menaikkan pajak atau mengurangi belanja guna mengatasi melonjaknya permintaan dalam negeri. Kasus ini menjadi penting apabila kewenangan pemerintah pusat atas anggaran belanja hanya terbatas pada anggaran yang jumlahnya sudah pasti, seperti pembayaran bunga hutang dalam negeri dan pembayaran yang bersifat rutin lainnya. Jika demikian halnya maka desentralisasi keuangan akan menyebabkan operasi keuangan oleh pemerintah daerah akan memiliki efek ekonomi makro yang penting. Selanjutnya jika tidak diikuti dengan koordinasi maka dapat terjadi efek yang berlawanan dengan upaya pemerintah pusat menjaga stabilisasi. Anggaran belanja Pemda yang meningkat dapat mendorong permintaan domestik, dan mempengaruhi keseimbangan anggaran bila efek multiplier dari pengeluaran daerah jauh melebihi multiplier rata-rata pendapatannya. Sebagai contoh bila anggaran belanja Pemda terbatas jumlahnya karena sempitnya kewenangan yang dimilikinya untuk mengenakan pajak dan memperoleh pinjaman, maka perubahan komposisi belanja yang lebih banyak kepada pekerjaan umum dan subsidi akan mendorong permintaan total naik meskipun pemerintah pusat mencoba menahannya. Stabilitas ekonomi makro tidak hanya terpengaruh oleh tingkat desentralisasi namun juga tahapan pelaksanaan desentralisasi. Pola tahapan desentralisasi pada umumnya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor politik dan kelembagaan daripada ekonomi. Pada banyak negara, desentralisasi kewenangan pengeluaran lebih dulu dilaksanakan untuk mengakomodasi tekanan politik dan perlunya efisiensi. Pada beberapa negara yang sedang melakukan transisi ke perekonomian pasar (seperti negara-negara Eropa Timur) dan sedang mengalami kesulitan keuangan, pemerintah pusat umumnya mudah melimpahkan kewenangan pengeluaran tanpa kewenangan pendapatan yang mencukupi. Sebaliknya pada beberapa negara Amerika Latin, pengalihan anggaran pendapatan pemerintah pusat ke Pemda dilaksanakan seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang, sebelum kewenangan pengeluaran Pemda dirumuskan dengan jelas. Pola-pola tersebut tidak mendorong terjadinya disiplin anggaran. Ketidakseimbangan vertikal yang condong pada pemerintah pusat cenderung meningkatkan transfer pusat ke daerah, atau menutup defisit dan akumulasi hutang beberapa waktu kemudian. Namun bila ketidakseimbangan itu condong pada Pemda, maka cenderung mendorong pengeluaran yang berlebihan untuk fungsi yang menjadi bebannya, seperti kenaikan gaji yang berlebihan. Hal ini akan menyulitkan Pemda mengatur kembali anggarannya jika kemudian diberikan tambahan fungsi. Jadi sebaiknya disiplin fiskal pada semua tingkat pemerintahan diupayakan dengan menyamakan pendapatan dengan tanggung jawab pengeluaran terlebih dahulu. Keseimbangan vertikal ini tentunya perlu diikuti dengan rancangan mekanisme dana 4
Bagian ini bersumber dari tulisan Teresa Ter-Minassian, IMF Working Paper, 1997
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc
# 2
perimbangan untuk mengatasi ketidakseimbangan horisontal yang menjadi masalah umum di negara berkembang. Disain hubungan fiskal antartingkat pemerintahan hendaknya memperhitungkan kenyataan bahwa peningkatan desentralisasi kewenangan pengeluaran, baik karena pertimbangan efisiensi maupun politik, cenderung lebih cepat daripada tingkat devolusi5 kewenangan pendapatan yang konsisten dengan pembebanan pajak yang optimal. Pada umumnya atas dasar pertimbangan efisiensi dan administrasi, beberapa pajak besar tetap dikuasai pemerintah pusat, seperti PPh perusahaan, PPN, dan bea masuk dan impor. Sedangkan PPh perseorangan dan pajak tertentu, dapat dibagi antara pemerintah pusat dan Pemda. Bagi Pemda sudah semestinya diberikan pajak bumi dan bangunan. Namun demikian prinsip pembebanan pendapatan semacam ini tidak akan mengarah pada keseimbangan vertikal. Untuk itu diperlukan disain transfer antartingkat pemerintahan yang mengarah pula pada keseimbangan vertikal. Sistem transfer yang stabil dan transparan diperlukan untuk mencapai keseimbangan ini. Penyusunan sistem transfer bukanlah hal yang mudah karena harus memberikan insentif untuk pengumpulan pajak di satu sisi dan mendorong pembiayaan yang efektif di sisi lain. Mekanisme tranfer dan bagi hasil yang didasarkan pada formula memang dapat menjadi kendala bagi pemerintah pusat melakukan manajemen ekonomi makro yang aktif. Upaya meningkatkan tarif pajak dan memperbaiki administrasi pengumpulan pajak yang dimaksudkan untuk mengurangi defisit anggaran atau mengerem permintaan agregat yang berlebihan, secara otomatis akan meningkatkan bagian pendapatan Pemda. Hal ini dapat dihindari apabila ada mekanisme yang memungkinkan tambahan penerimaan pajak tersebut disimpan, misalnya dengan menetapkan tarif pajak yang tetap untuk bagi-hasil pajak kepada Pemda. Ada beberapa kemungkinan desentralisasi keuangan mencetuskan problem fiskal yang bersifat struktural, antara lain penugasan pengumpulan pajak-pajak besar pada Pemda, bagi hasil dari pajak-pajak besar, dan pembayaran hutang Pemda. Penjelasan tentang ketiga masalah tersebut sebagai berikut.6 1.
Penugasan Pengumpulan Pajak Berbasis Luas
Pada sejumlah negara, seperti Brasil, India, dan Rusia, pengumpulan pajak-pajak berbasis luas ditugaskan pada Pemda untuk selanjutnya digunakan sendiri. Di Brasil, pengumpulan PPN dilakukan oleh negara bagian. Sementara di India pajak penjualan dipungut oleh negara bagian. Pemerintah daerah di Rusia mengumpulkan pajak penghasilan perorangan dan beberapa cukai. Bila basis pajak yang diserahkan kepada pemerintah daerah adalah luas dan dinamis, sedangkan tanggung jawab pengeluaran pemerintah pusat tidak mudah ditekan 5
Devolusi adalah penyerahan kewenangan pengambilan keputusan, keuangan, dan manajemen kepada pemerintah daerah yang telah memiliki kemandirian di bidang politik. (Definisi ini dikutip dari Dennis Rondinelli dan kawan-kawan, Decentralization: What and Why ? World Bank, 1999.
6
Ulasan ini bersumber dari Vito Tanzi, IMF, 1995.
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc
# 3
(seperti pembayaran hutang, pembayaran gaji dan pensiun, dan pengadaan infrastruktur nasional), maka kesulitan ekonomi makro sering tidak terhindarkan. Brasil, India, dan Rusia telah mengalami kesulitan ekonomi makro karena penyerahan wewenang pajak yang tidak tepat kepada Pemda. Hal yang sama mungkin terjadi di Cina. Pemerintah pusat, di Brasil dan India, tidak dapat meningkatkan penerimaan pajak karena tidak lagi mengendalikan basis pajak yang penting. Pada situasi semacam ini, pemerintah pusat dipaksa bertumpu pada basis pajak yang kurang efisien dan kurang produktif. 2.
Bagi Hasil Basis Pajak
Di samping beberapa basis pajak yang sepenuhnya diserahkan kepada Pemda, ada juga basis pajak yang dibagi-hasilkan. Bentuk bagi hasil ini paling tidak ada dua macam. Tingkat pemerintahan yang berbeda dengan basis pajak yang sama, atau suatu tingkat pemerintahan mengumpulkan pajak dari basis tertentu dan berbagi pendapatannya dengan tingkat pemerintahan yang lain. Contoh yang pertama berlaku pada pajak penghasilan perorangan di Amerika Serikat. Pajak ini dipungut oleh pemerintah federal dan pemerintah negara bagian. Pemerintahan kota memungut sekian persen di atas tingkat pajak penghasilan negara bagian (piggy-back tax system). Bila dua tingkat pemerintahan memungut pajak dengan basis yang sama, masing-masing cenderung mempertahankan kebebasannya bertindak meskipun dengan meningkatkan ketergantungannya pada basis pajak tersebut sehingga membatasi tingkat pemerintahan yang lain mengenakan pajak pada basis tersebut. Pada tingkat Pemda, terbentuknya batas tarif pajak efektif pada basis pajak tertentu akan didorong oleh persaingan pajak dan mobilitas basis pajak. Tipe bagi-hasil pajak yang kedua lebih umum dikenal. Beberapa negara seperti Argentina, Brasil, Kolombia, Pakistan, dan Rusia menggunakan jenis ini. Pemerintah pusat di Argentina mengumpulkan pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, cukai, pajak perdagangan luar negeri, dan pajak bahan bakar minyak, pajak aset perorangan, dan pajak penghasilan perusahaan. Sebagian dari pajak ini, seperti pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, cukai, dan pajak aset dikenakan perlakuan bagi hasil dengan Pemda. Pada tahun 1993, pendapatan pemerintah pusat sebelum dibagikan mencapai 81 persen dari penerimaan pajak. Sesudah pembagian-hasil pendapatan dan transfer menjadi maka pendapatan pemerintah pusat berkurang menjadi 54 persen. Pengalaman Argentina mengajarkan potensi problem yang timbul dengan jenis bagi-hasil ini. Ketika ada kebutuhan untuk memperbaiki ketidakseimbangan ekonomi makro, pemerintah pusat Argentina melakukan pembaruan pajak-pajak besar dan reformasi administrasi. Kebijakan ini telah meningkatkan dengan tajam proporsi pajak terhadap PDB. Namun demikian peningkatan penerimaan pajak tidak mengurangi defisit anggaran karena harus dibagi dengan Pemda, yang segera menggunakan tambahan pendapatan ini. Kebijakan Pemda ini didasari pandangan bahwa stabilitas ekonomi merupakan barang publik tingkat nasional yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Selain itu pemerintah pusat Argentina telah mencoba mengurangi pengeluarannya melalui privatisasi, pengurangan pegawai, dan cara-cara lain. Namun C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc
# 4
pada waktu yang sama, sebagian karena peningkatan pendapatan, pemerintah daerah meningkatkan jumlah pegawai dan pengeluaran lainnya. Pada akhirnya sangat marjinal manfaat yang diperoleh dari upaya pemerintah tersebut. Rumusan bagi hasil pajak di Argentina telah menimbulkan dua dampak negatif yaitu memaksa pemerintah pusatnya bekerja keras untuk mengurangi defisit fiskal dan mengurangi efisiensi belanja negara. Rumusan bagi-hasil pajak meskipun hanya terbatas pada pajak tertentu juga mempunyai implikasi efisiensi yang penting pada sisi penerimaan. Pemerintah pusat yang merasa perlu untuk meningkatkan penerimaan pajaknya tapi juga harus membagi penerimaan tersebut dengan Pemda akan terdorong untuk lebih fokus pada pajak yang seluruhnya untuk pemerintah pusat. Hal ini akan mendistorsi struktur pajak, dan menyebabkan bobot pajak yang tidak dibagi menjadi lebih besar meskipun mungkin kurang efisien. Ada sisi lain dari masalah ini. Pemerintah pusat dalam situasi tersebut di atas akan cenderung memberikan pengecualian pembayaran pajak pada jenis pajak yang memberikan penerimaan kecil. Hal ini terjadi di Pakistan yang menyangkut pajak penjualan. Pemerintah pusat memiliki wewenang penuh atas jenis pajak ini, tapi harus mengalihkan 80 persen penerimaan pajak tersebut kepada pemerintah daerah. Hal yang sebaliknya mungkin saja terjadi bagi daerah yang harus menyerahkan sebagian besar penerimaan pajaknya kepada pemerintah pusat. Masalah ini terjadi di Cina dan beberapa provinsi di Argentina. Pada kasus ini hilangnya pendapatan sebagai masalah stabilisasi bergabung dengan masalah efisiensi. Problem yang timbul pada kasus ini akan kurang serius apabila bagi-hasil pajak ditetapkan pada seluruh penerimaan pajak daripada satu atau dua jenis pajak. 3.
Pinjaman Pemda
Ada banyak pengalaman berbagai negara dalam masalah pinjaman daerah. Sebagai contoh adalah Argentina. Semua tingkat pemerintahan disana dapat melakukan pinjaman dalam negeri maupun luar negeri. Pada tahun 1994, pemerintah provinsi di Argentina membiayai defisitnya dengan pinjaman luar negeri sekitar 0,7 persen PDB. Selain itu di di Brasil, dengan diijinkannya Pemda dapat melakukan pinjaman, maka sebagai akibatnya Sao Paulo dilaporkan mempunyai hutang sekitar USD 40 miliar.7 Beberapa Pemda di beberapa negara seperti Pakistan, Meksiko, dan Italia dilaporkan mengalami problem keuangan akibat pinjaman yang membengkak. Ada beberapa alasan timbulnya masalah yang rumit tersebut. Pada beberapa kasus, masalah ini terjadi karena tidak serasinya antara pembebanan pendapatan dengan pembebanan pengeluaran. Beberapa penyebab lain yang potensial: 1. Tidak adanya sistem manajemen anggaran belanja yang baik pada tingkat daerah guna memantau dan mencatat kewajiban dan komitmen hutang. 2. Kurangnya insentif bagi Pemda untuk tidak meminjam. Pinjaman sering memberikan manfaat segera bagi yang sedang berkuasa sementara biayanya dibayar oleh rejim berikutnya. 7
Sebagai perbandingan stok hutang luar negeri pemerintah Indonesia pada akhir tahun 2000 diperkirakan mencapai sekitar 65,6 miliar USD (sumber : World Bank. Managing Government Debt and its Risks, 2000)
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc
# 5
3. Adapula asumsi bahwa pemerintah pusat akhirnya yang akan membayar hutang. Sepanjang pinjaman tersebut kepada pemerintah dan Pemda tetap yakin pemerintah pusat akan turut campur, maka pelaksanaan anggaran akan longgar dan pinjaman akan berlebihan. 4. Kelemahan sistem anggaran Pemda dalam mempersiapkan proyeksi pendapatan dan pengeluaran. 5. Adanya berbagai peluang untuk mendapatkan pinjaman. Pinjaman dapat berasal dari pemerintah pusat, bank sentral, bank nasional maupun bank asing, bank daerah, lembaga pembiayaan, pasar modal, dana pensiun, dan lainnya. Sepanjang kemungkinan pinjaman ada dan keyakinan bahwa pemerintah pusat akan menghormati kewajiban hutang pemerintah daerah, serta ada pula insentif bagi Pemda untuk belanja lebih besar, maka desentralisasi tetap dapat mengakibatkan instabilitas.
III. Pelajaran dari Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Spanyol8 Desentralisasi di Spanyol didasarkan pada alasan politis yang berakar pada pengalaman sejarah. Spanyol terdiri dari wilayah-wilayah yang heterogen, baik dari segi budaya, bahasa, dan sejarahnya. Sepeninggal Jenderal Franco yang memerintah Spanyol secara otokratis selama 36 tahun (1939 – 1975), transisi kepada kehidupan demokratis yang damai hanya dapat dicapai dengan memberikan kewenangan politik pada beberapa wilayah. Atas dasar pertimbangan politik, maka dirancang proses desentralisasi yang bersifat asimetris. Ada dua asimetris yang menjadi ciri evolusi desentralisasi di Spanyol. Pertama adanya keragaman kewenangan fiskalantar daerah. Ada dua wilayah yang diijinkan tetap menjalankan perangkat fiskal setempat. Kedua wilayah ini dapat mengumpulkan pajak dan mengeluarkan beberapa peraturan tertentu serta wajib memberikan kontribusi kepada pemerintah pusat untuk biaya kegiatan pertahanan dan hubungan luar negeri. Wilayah-wilayah lain mendapatkan dana transfer dari pemerintah pusat dan kewenangan yang terbatas dalam pengumpulan pajak. Asimetri yang kedua pada sisi pengeluaran, yaitu diadakannya pembedaan pemberian otonomi penuh (selfgovernment) kepada suatu wilayah. Ada wilayah yang segera memperoleh otonomi penuh, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan, karena faktor historis disebut fast broad track (FBT). Sementara ada pula wilayah yang harus menunggu lima tahun untuk mencapai otonomi penuh disebut slow narrow track (SNT). Proses desentralisasi di Spanyol dilaksanakan secara tergesa-gesa karena tuntutan politik dari beberapa wilayah yang memiliki kekhasan sejarah nasional. Ada tiga wilayah yang pada tahun 1977 diprioritaskan untuk pelaksanaan desentralisasi administrasi. Pembedaan ketiga wilayah ini tidak menimbulkan masalah politik antarwilayah karena proses desentralisasi selanjutnya dilaksanakan secara bertahap, luwes, sukarela, dan umum. Status otonomi penuh (self-government) dapat dicapai oleh setiap wilayah apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. 8
Tulisan ini bersumber dari makalah Julio Vinuela,, IMF, 2000
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc
# 6
Hal menarik yang dapat dipelajari dari desentralisasi fiskal di Spanyol adalah meletakkan penyelesaian problem kewenangan pengeluaran lebih dahulu daripada problem kewenangan pendapatan. Desentralisasi pengeluaran dilakukan dalam tiga tahap, yaitu: 1. pengalihan kewenangan perumusan kebijakan dan fungsi pelaksanaan kepada tiap tingkat pemerintahan; 2. pengalihan kewenangan unit administrasi, termasuk pegawai dan aset sesuai dengan pembagian wewenang yang baru; dan 3. perhitungan sumber daya keuangan daerah sebagai dasar penetapan kewenangan pendapatan. Kejelasan dan konsensus tentang pelaksanaan ketiga tahapan ini penting untuk menghindari tumpang-tindih kebijakan antartingkat pemerintahan dan konflik antarwilayah, serta tercapainya transparansi dan akuntabilitas. Pelajaran lain yang menarik adalah pada upaya koordinasi ekonomi makro dan pinjaman daerah. Koordinasi kebijakan fiskal diperlukan untuk menjaga disiplin fiskal pada tingkat nasional dan menetralkan efek negatif dari gangguan eksternal. Pada waktu dimulainya desentralisasi fiskal, pemerintah Spanyol sedang berupaya mengurangi defisit anggaran hingga ketingkat yang aman dalam jangka panjang. Untuk itu dibentuk suatu dewan yang bertugas mengkoordinasikan kebijakan pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di samping dalam rangka menciptakan disiplin fiskal, pengendalian pinjaman Pemda dilaksanakan untuk menjaga tingkat solvency suatu wilayah guna mencegah perlunya bantuan keuangan dari wilayah lain. Selain itu dengan adanya pengendalian pinjaman memungkinkan Pemda memiliki acuan merencanakan kombinasi besarnya pendapatan dan pinjaman yang diperlukan. Penentuan besarnya pinjaman pemerintah daerah oleh pemerintah pusat dihitung atas dasar upaya menciptakan keseimbangan beban antargenerasi. Untuk mencapai sasaran tersebut, maka disusun aturan pinjaman daerah antara lain sebagai berikut: 1. Pemda dapat melakukan pinjaman jangka pendek hanya untuk tujuan pengelolaan kas. 2. Pinjaman jangka panjang hanya dapat digunakan untuk pembiayaan investasi. 3. Jumlah pembayaran hutang tidak boleh melebihi 25 persen dari pendapatan tahun anggaran berjalan. Sebagai hasil koordinasi pinjaman Pemda, maka defisit Pemda sebagai persentase PDB turun dari 1,1 persen tahun 1993 menjadi 0,2 persen tahun 1999.
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc
# 7
IV. Beberapa Masalah Desentralisasi Fiskal di Indonesia Sebagai negara yang baru memulai pelaksanaan desentralisasi fiskal, maka pengalaman negara lain merupakan informasi berharga yang perlu kita simak. Mengacu deskripsi pengalaman beberapa negara seperti yang diuraikan di atas, berikut ini disampaikan uraian beberapa masalah pelaksanaan desentralisasi fiskal yang mungkin timbul di Indonesia. Informasi yang digunakan dalam uraian ini terbatas hingga triwulan pertama tahun 2001, yang merupakan tahun pertama pelaksanaan desentralisasi fiskal.9 Pada awal pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia, Pemda belum diberikan kewenangan untuk mengumpulkan pajak yang berbasis luas. Pengumpulan pajak PPh, PPN, PBB, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, serta Cukai masih merupakan wewenang pemerintah pusat. Pemda kabupaten/kota, berdasarkan UU Nomor 34 tahun 2000, dapat mengadakan pajak baru dengan memenuhi kriteria tertentu. Sedangkan pemerintah provinsi sudah ditetapkan jenis pajaknya. Dari hasil pengumpulan pajak tersebut baru kemudian sebagian dibagikan kepada pemerintah daerah. Pembagian tersebut melalui penyediaan dana perimbangan yang penggunaaanya ditentukan oleh pemerintah daerah. Ada tiga komponen dana perimbangan yaitu dana alokasi umum (DAU), dana bagi hasil (DBH), dan dana alokasi khusus (DAK). Penyediaan DAU telah ditentukan sebesar 25 persen dari penerimaan dalam negeri. Sedangkan penyediaan DBH ditetapkan secara proporsional terhadap penerimaan pajak tertentu dan sumber daya alam. Rumusan porsi pemerintah pusat dan pemerintah daerah tersebut dapat dilihat pada tabel 1 terlampir. DAK dalam tahun anggaran 2001 berasal dari dana reboisasi. Untuk tahun 2001, sebagaimana diatur dalam UU nomor 35 tahun 2000 tentang APBN 2001, disediakan dana perimbangan sebesar Rp 81,7 triliun, dengan rincian sebagaimana pada tabel 2. Realisasi dana tersebut mungkin berbeda karena perkembangan ekonomi yang terjadi tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan, misalnya terhadap asumsi pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, harga minyak dan tingkat inflasi. Hal ini menunjukkan bahwa penyediaan dana perimbangan terkait langsung dengan hasil pelaksanaan manajemen ekonomi makro. Sebagai contoh tercapainya stabilitas ekonomi, seperti tercermin dari inflasi yang rendah, merupakan kondisi yang kondusif untuk meningkatnya penerimaan pajak, yang pada giliran selanjutnya menaikkan dana perimbangan. Dengan demikian perlu kiranya dipahami bahwa penciptaan stabilitas ekonomi merupakan tanggungjawab semua tingkat pemerintahan. Dengan kata lain pelaksanaan desentralisasi fiskal perlu diikuti dengan peningkatan peranserta pemerintah daerah dalam manajemen ekonomi makro. Mengenai bentuk peranserta tersebut dapat berangkat dari upaya bersama mengatasi tiga potensi penyebab gangguan manajemen ekonomi makro dari pelaksanaan desentralisasi fiskal sebagaimana telah dijelaskan pada uraian bagian II di atas. Masalah yang pertama, yaitu yang disebabkan oleh adanya pembagian kewenangan pengumpulan pajak berbasis luas, belum akan terjadi karena pemerintah pusat masih berwenang penuh dalam masalah tersebut. Masalah kedua, yaitu dari bagi 9
Dengan demikian disadari bahwa uraian ini akan sedikit dengan fakta pelaksanaan desentralisasi fiskal. Uraian yang disampaikan merupakan perkiraan masalah yang mungkin timbul sejauh peraturan yang ada.
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc
# 8
hasil pajak mungkin saja terjadi konflik dalam manajemen ekonomi makro khususnya dalam periode 2001-2004. Dalam periode ini pemerintah pusat akan berupaya meningkatkan penerimaan pajak sebagaimana tercantum dalam perkiraan penerimaan pajak dari 12,3 persen pada tahun 2001 menjadi 16,0 persen pada tahun 2004.10 Proyeksi penerimaan pajak ini disusun dengan asumsi tingkat inflasi yang menurun dari 6-8 persen menjadi 3-5 persen. Asumsi ini mengindikasikan perlunya pola penggunaan anggaran belanja yang tidak konsumtif dan lebih banyak berupa investasi guna mendukung peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Proyeksi Anggaran Negara
% PDB
24 20 16 12 8 4 0 2000
2001
2002
Pendapatan Negara
Dana Perimbangan
Belanja Pembangunan Pusat
Belanja Rutin Pusat
2003
Untuk itu penggunaan dana perimbangan dalam periode 2001-2004 perlu diarahkan pada kegiatan yang tidak bersifat mendorong peningkatan permintaan agregat berlebihan. Arahan ini menjadi penting karena porsi anggaran pembangunan pemerintah pusat cenderung menurun dalam periode tersebut.11 Sementara besarnya dana perimbangan akan sedikit meningkat sesuai dengan proyeksi penerimaan negara (lihat gambar Perkiraan Anggaran Negara).12 Pemantauan pelaksanaan operasi keuangan pemerintah daerah perlu dilakukan, karena dampaknya terhadap perekonomian cenderung meningkat. Pemantauan ini juga diperlukan dalam rangka mencegah berkembangnya masalah yang timbul dari pinjaman daerah, sebagai potensi masalah ketiga. Masalah ini tidak terlepas dari kondisi keuangan Pemda di Indonesia yang sangat tergantung kepada transfer dari pemerintah pusat. Pada tingkat provinsi, sekitar 50 persen penerimaan 10
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004. 11
Berdasarkan proyeksi APBN dalam Propenas 2000-2004, pengeluaran pembangunan akan menurun (dalam persentase PDB) dari 4,9 persen menjadi 4,4 persen. Jika besarnya dana perimbangan diasumsikan sekitar 25 persen dari penerimaan negara dan hibah, maka porsi pengeluaran pemerintah pusat dalam periode 2001-2004 akan turun. 12 Dalam gambar tersebut data untuk tahun 2000 merupakan realisasi anggaran, data tahun 2001 merupakan APBN, sedangkan periode 2002 –2003 bersumber dari perkiraan APBN dalam Nota Keuangan dan Rancangan APBN tahun 2001. C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc
# 9
daerah merupakan dana transfer dari pemerintah pusat. Sedangkan pada tingkat kabupaten dan kota, dana transfer pemerintah pusat mencapai lebih dari 80 persen.13 Peta kondisi keuangan tersebut menunjukkan besarnya peran dana perimbangan dalam operasi keuangan pemerintah daerah. Dana perimbangan diharapkan dapat menggantikan komponen anggaran yang lama, yaitu bagian daerah, dana alokasi rutin, dan dana alokasi pembangunan. Alokasi DAU untuk tahun anggaran 2001 kepada Pemda tingkat I dan Pemda tingkat II telah ditetapkan dalam Keputusan Presiden nomor 181 tahun 2000. Selama satu bulan pelaksanaan desentralisasi beberapa daerah, seperti provinsi Sumatera Barat, Jambi, dan Bali mengeluh bahwa sebagian besar DAU telah terpakai untuk membayar gaji pegawai, khususnya dengan adanya tambahan pegawai pusat yang dialihkan ke daerah. Kondisi keuangan semacam ini diperkirakan terjadi dalam dua tahun mendatang.14 Hal ini mengindikasikan porsi anggaran rutin akan meningkat dalam beberapa tahun mendatang, yang selama ini telah mencapai sekitar 60 persen dari total anggaran Pemda. Jika perkiraan ini yang terjadi maka anggaran pembangunan akan relatif kecil pada beberapa wilayah, terutama yang tidak memperoleh pendapatan yang cukup besar dari Dana Bagi Hasil.15 Sebagai akibatnya Pemda mungkin menghadapi kesulitan dalam menyediakan dana pemeliharaan dan peningkatan pelayanan dasar.
Dengan adanya indikasi penurunan porsi anggaran pembangunan dalam APBD beberapa tahun mendatang, dapat mendorong Pemda untuk melakukan pinjaman daerah. Pinjaman daerah, menurut PP nomor 107 tahun 2000, merupakan pelengkap dari sumber-sumber penerimaan lain dan ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana. Dalam PP tersebut sudah dirumuskan prosedur dan pagu pinjaman daerah, sehingga kecil kemungkinan terjadi hutang Pemda yang berlebihan jika ketentuan ini dipatuhi. Namun sebagaimana pengalaman negara lain, misalnya Pakistan, ketentuan pinjaman daerah ini dapat saja tidak berjalan efektif. Beberapa penyebabnya telah disampaikan pada bagian II butir 3, seperti belum adanya sistem manajemen anggaran belanja yang efektif. Pengendalian pinjaman daerah memang perlu mendapatkan perhatian serius, karena dalam rangka manajemen ekonomi makro pemerintah pusat dihadapkan pada rencana penurunan stock hutang pemerintah. Seperti tercantum pada Kerangka Ekonomi Makro dalam PROPENAS 2000-2004, maka stok hutang pemerintah direncanakan menurun persentasenya terhadap PDB dari 99,2 persen tahun 2000 menjadi 45,7 persen
13 Penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah pusat meliputi Bagian Daerah dan Dana Alokasi. Porsi Dana Alokasi mencapai sekitar 60 persen pada tingkat provinsi dan sekitar 80 persen pada tingkat kabupaten/ kota. 14 Kompas, 15 Januari 2000, Kompas 9 Januari 2000, dan Kompas 5 Januari 2000. 15 Untuk daerah yang kaya akan sumber daya alam seperti Kalimantan Timur, dana anggaran pembangunannya berlebih sehingga dapat memiliki Cadangan Anggaran Pembangunan (CAP), Kompas, 9 Januari 2000
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc
# 10
tahun 2004.16 Dengan target indikatif ini maka pagu pinjaman daerah diperkirakan relatif kecil, bahkan mungkin ditiadakan.17 Disamping ketiga masalah di atas yang berkaitan dengan sisi pendapatan operasi keuangan pemerintah, gambaran terbatasnya sumber-sumber pendapatan dari luar daerah diperkirakan mendorong timbulnya masalah yang dampaknya lebih luas yaitu kecenderungan Pemda menggali sumber-sumber pendapatan internal. Berdasarkan UU nomor 34 tahun 2000 Pemda kabupaten/kota diijinkan menerbitkan jenis pajak baru selain dari yang telah ditetapkan dengan menggunakan Perda. Meskipun dalam undangundang tersebut sudah ditentukan kriteria yang harus dipenuhi untuk menerbitkan suatu jenis pajak baru, namun keleluasaan ini dapat dipastikan mendorong jumlah pajak daerah akan bertambah.
Tabel 1 Dana Perimbangan APBN 2001 (miliar rupiah) Klasifikasi I. Dana Bagi Hasil 1. Sumber Daya Alam a. Kabupaten/ Kota i. Minyak bumi ii. Gas Alam iii. Pertambangan umum iv. Kehutanan v. Perikanan
APBN 2001
Persen thd. PDB
20.259,2 11.708,0 9.203,4 4.611,5 2.965,1 594,0 799,5 233,4
1,4 0,8 0,6 0,3 0,2 0,0 0,1 0,0
5.447,6 4.498,9 3.511,5 987,4
0,4 0,3 0,2 0,1
2. Bagi Hasil PBB dan BPHTB a. Kabupaten/Kota i. PBB ii. BPHTB 16
Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004. 17 Belajar dari pengalaman Spanyol, maka koordinasi pinjaman pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangatlah penting. Suatu dokumen perencanaan pinjaman yang terpadu diperlukan sebagai acuan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dokumen semacam ini disebut Local Government Financial Plan di Jepang yang diajukan setiap tahun ke parlemen bersamaan dengan pengajuan anggaran pemerintah pusat. Indikasi larangan pinjaman luar negeri dan pinjaman domestik, serta obligasi Pemda disampaikan oleh Menko Ekuin pada tanggal 5 Februari 2001. C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc
# 11
b. Propinsi i. PBB ii. BPHTB
948,7 760,6 188,1
0,1 0,1 0,0
3. PPh Perseorangan a. Kabupaten/Kota b. Propinsi
3.103,6 1.862,2 1.241,4
0,2 0,1 0,1
II. Dana Alokasi Umum a. Kabupaten/Kota b. Propinsi
60.516,7 54.465,0 6.051,7
4,2 3,8 0,4
900,6 900,6 -
0,1 0,1 -
81.676,5
5,7
III. Dana Alokasi Khusus 1. Dana Reboisasi 2. Dana Non-Reboisasi Jumlah
Sumber : Nota Keuangan dan Rancangan APBN tahun anggaran 2001
Penambahan jumlah pajak ini dapat menjadi gangguan dalam manajemen ekonomi makro jika jumlahnya tidak terkendali. Daya tarik Indonesia bagi penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri dapat menjadi berkurang. Harga komoditi ekspor dapat menjadi lebih mahal. Jumlah pajak daerah yang tak terkendali akan menimbulkan ‘high cost economy’ bagi dunia usaha dan pertumbuhan ekonomi menjadi lebih rendah. Upaya membangun kerjasama dalam manajemen ekonomi makro akan menghadapi tantangan yang sangat berat mengingat motivasi pelaksanaan desentralisasi Indonesia lebih karena tuntutan daerah untuk mendapatkan kewenangan yang lebih besar dalam pengelolaan pendapatan dari sumber daya alam, pengambilan keputusan politik dan hukum, serta pemerintahan. Selama beberapa dekade kewenangan tersebut dilaksanakan secara sentralistik sehingga menimbulkan rasa tidak puas daerah.18 Hal ini yang mungkin mendorong pengaturan pengalihan kewenangan menjadi mengemuka daripada pengaturan yang berorientasi pada peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Kecenderungan tersebut tercermin dari beberapa rumusan dalam dua undangundang yang menjadi dasar pelaksanaan desentralisasi, yaitu UU no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan UU no. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU PKPD). Dalam UU PKPD jelas terlihat adanya akomodasi terhadap tuntutan daerah penghasil sumber daya alam agar mendapatkan pendapatan yang lebih besar. Sementara itu dalam UU Pemda, tuntutan kewenangan politik dan pemerintahan yang lebih besar diakomodasi dengan pemberian kewenangan DPRD dalam pemilihan pimpinan daerah dan dibatasinya bidang tugas pemerintahan pusat. Kedua undang-undang tersebut tidak secara jelas
18 Menurut Gubernur Z.B. Palaguna konsep otonomi sudah dikenal sejak UU nomor 5 tahun 1974, namun gagal dalam pelaksanaannya karena semua kewenangan tersentralistik. Kompas ,12 Januari 2001.
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc
# 12
merumuskan konsekuensi pengalihan kewenangan pendapatan yang lebih besar dengan peningkatan pelayanan umum kepada masyarakat.19 Penjabaran lebih jauh kedua undang-undang tersebut dalam Peraturan Pemerintah nampak juga kurang memberikan perhatian terhadap masalah penyediaan pelayanan umum. Hal ini terbukti dari belum dikeluarkannya Pedoman Standar Pelayanan Umum (PSPM) hingga Januari 2001.20 Padahal pedoman ini mengatur standar pelayanan minimal yang harus dilakukan Pemda kepada masyarakat dalam rangka mewujudkan otonomi. Pemahaman tentang otonomi daerah yang tidak hanya berarti meningkatkan pendapatan asli daerah namun juga perlunya peningkatan pelayanan kepada masyarakat nampaknya perlu disebarluaskan. Potensi masalah desentralisasi fiskal di Indonesia juga dapat timbul dari ketentuan yang seragam untuk semua wilayah, baik dari sisi pembebanan pendapatan maupun sisi pembebanan pengeluaran. Beberapa wilayah yang mempunyai keunikan sejarah pemerintahan, seperti Daerah Istimewa Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, serta Sumatera Barat mungkin perlu mendapatkan perlakuan khusus, berupa kewenangan pengeluaran yang lebih luas daripada wilayah lain. Untuk itu referensi klasifikasi otonomi daerah nampaknya perlu disusun untuk mengetahui sejauhmana posisi suatu daerah dibanding daerah lain dalam hal kewenangan pemerintahannya.21
V. Penutup Kekhawatiran IMF akan dampak desentralisasi fiskal terhadap ekonomi makro Indonesia memang beralasan. Beban berat yang timbul akibat pembayaran hutang pada APBN dan pembayaran gaji pada APBD dalam jangka menengah menyebabkan ketatnya ruang gerak operasi keuangan pemerintah. Kondisi ini dapat menimbulkan ketidakselarasan pelaksanaan desentralisasi fiskal dengan upaya manajemen ekonomi makro. Ketidakselarasan tersebut dapat timbul dari dorongan untuk melakukan pinjaman daerah akibat terbatasnya anggaran pembangunan dalam APBD. Sementara pada sisi ekonomi makro diharapkan pengurangan pinjaman cukup tajam dalam jangka menengah ini. Selain itu juga mungkin timbul dari pola anggaran belanja Pemda yang berlebihan sehubungan dengan upaya pemerintah pusat meningkatkan penerimaan dari pajak dan melonjaknya penerimaan dana bagi hasil daerah pemilik sumber daya alam. Pola anggaran semacam ini tidak mendukung terciptanya tingkat inflasi yang diharapkan semakin rendah. Ketatnya mekanisme pinjaman daerah22 selanjutnya dapat mendorong Pemda mengembangkan sumber pendapatan asli daerah, khususnya melalui penerbitan pajak 19
Ehtisham Ahmad dan Ali Mansoor, IMF, November 2000 Kompas, 11 Januari 2000. 21 Klasifikasi otonomi daerah disusun dengan rincian persyaratan bagi suatu daerah untuk tercatat pada kelas tertentu. Pengklasifikasian ini berfungsi sebagai instrumen monitoring pemerintah pusat. 22 Indikasi larangan pinjaman luar negeri dan pinjaman domestik, serta obligasi Pemda disampaikan oleh Menko Ekuin pada tanggal 5 Februari 2001. Kompas, 6 Februari 2001. 20
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc
# 13
baru. Kecenderungan ini jika mengakibatkan jumlah pajak daerah berlebihan akan mengganggu kegiatan pasar di dalam negeri. Desentralisasi dikhawatirkan cenderung menjadi faktor ‘market constraining’ daripada ‘market enhancing’. 23 Kondisi anggaran pembangunan Pemda yang ketat dapat mengurangi alokasi dana untuk penyediaan pelayanan dasar masyarakat. Jika kondisi ini berlangsung lama, khususnya di daerah terpencil, akan menyebabkan kualitas hidup masyarakat menurun. Pada giliran selanjutnya kesenjangan horisontal akan semakin lebar. Untuk meminimalkan ekses negatif dari proses desentralisasi fiskal maka disampaikan gagasan sebagai berikut: 1. Semakin luas tingkat devolusi anggaran pendapatan dan pengeluaran, maka semakin penting adanya dialog yang aktif antara pemerintah pusat dan Pemda, serta keterlibatan Pemda dalam manajemen ekonomi makro24. Rakorbangnas mungkin dapat diarahkan menjadi forum dialog tersebut. 2. Pemda didorong untuk melaksanakan disiplin anggaran yang ketat, melalui monitoring dan supervisi yang komprehensif, transparan, dan efektif oleh pemerintah pusat. Pembatasan hutang, sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 107 tahun 2000, perlu dilaksanakan secara tegas. Agar langkah ini efektif, maka penyempurnaan formulasi dana perimbangan secara kontinyu seyogyanya dilakukan agar hasilnya semakin mengarah pada penciptaan keseimbangan vertikal maupun keseimbangan horisontal . 3. Pemantauan akan kecukupan penyediaan pelayanan dasar di tingkat daerah hendaknya menjadi perhatian khusus dalam masa transisi pelaksanaan desentralisasi fiskal. Penurunan kapasitas penyediaan pelayanan ini mungkin terjadi pada beberapa daerah dengan sumber pendapatan terbatas. Untuk itu perlu penajaman alokasi anggaran pemerintah pusat ke daerah. 4. Bagi daerah yang memiliki kelebihan anggaran baik di awal tahun anggaran maupun dalam tahun anggaran disarankan untuk membentuk Cadangan Anggaran Pembangunan (CAP) ketimbang menggunakannya. Dana ini akan berguna apabila dana dari pemerintah pusat mengalami perlambatan atau pengurangan. Selain itu juga dapat menjadi alternatif sumber pinjaman bagi daerah lain. 5. Kriteria alokasi dana kontijensi dalam rangka desentralisasi fiskal sekitar Rp. 6 triliun pada tahun 2001 perlu disusun agar penggunaannya efektif dan transparan. Keberhasilan pemerintah pusat mengalokasikan dana ini secara adil akan meningkatkan kredibilitas pemerintah pusat dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun-tahun yang akan datang.
23 24
Vito Tanzi, IMF, November 2000 Teresa Ter-Minassian dan Jon Craig, IMF, 1997
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc
# 14
Daftar Bacaan
Dennis Rondinelli dan kawan-kawan, Decentralization: What and Why ? World Bank, 1999. Republik Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000-2004. Julio Vinuela, Fiscal Decentralization in Spain, IMF, 2000 Vito Tanzi, Fiscal Federalism and Decentralization : A Review of Some Efficiency and Macroeconomic Aspects, Annual World Bank Conference on Development Economics 1995. Vito Tanzi, On Fiscal Federalism : Issues To Worry About, IMF, November 2000. Teresa Ter-Minassian, Decentralization and Macroeconomic Management, IMF Working Paper, 1997 Teresa Ter-Minassian dan Jon Craig, Control of Sub National Borrowing, bab 7 dari buku Fiscal Federalism – in Theory and Practice, editor Teresa Ter-Minassian, IMF, 1997 A. Premchand, Government Budgeting and Expenditure Controls – Theory and Practice, International Monetary Fund, Cetakan Keempat, Juli 1994. Ehtisham Ahmad dan Ali Mansoor, Indonesia: Managing Decentralization, Fiscal Affairs Department-IMF, November 2000 World Bank. Managing Government Debt and its Risks, 2000 Kompas, Sebagian Besar PAD untuk Biaya Rutin, 5 Januari 2001, Kompas, Kaltim Sediakan Dana CAP Sekitar Rp. 1,2 Trilyun, 9 Januari 2000 Kompas, Soal Keberatan atas Desentralisasi Pemerintah Sayangkan Mengapa Dulu IMF Diam, 9 Januari 2001 Kompas, Anggaran PNS Bali Kurang Rp. 100 Milyar, 9 Januari 2001 Kompas, Mendesak Standar Pelayanan Otonomi Daerah, 11 Januari 2001 Kompas. Hadapi Otoda, Gubernur Tuntut Otonomi Penuh, 12 Januari 2001 Kompas, Sebagian Besar DAU Sumbar untuk Gaji Pegawai, 15 Januari 2001 Kompas, Pinjaman Pemda dan RUU BI Jadi Perhatian IMF, 6 Februari 2001
C:\WINDOWS\Desktop\Majalah Perencaan Pembangunan\Edisi 23 Th 2001\Bobby H Rafinus.doc
# 15