DESCRIPTION OF EMOTIONS AND EMOTION REGULAR TO HAVE A BROTHER THAT ADOLESCENT Physically autism AFSHYUS SALAMAH, NI MADE TAGANING K, S.PSI, M.P Undergraduate Program, Faculty of Psychology, 2008 Gunadarma University http://www.gunadarma.ac.id
Key Word : Emotions, Physically Autism, Adolescent ABSTRACT : The presence of people with autistic children in a family is certainly going to affect the lives of all other family members, especially parents and siblings. Cohen & Bolton (1994) suggested autism as a condition affecting children, either at birth or during children and make them not make social relationships or develop normal communication. The purpose of this research is to know about the picture of emotions and emotion regulation in adolescents who have siblings as a result of events that cause emotions and how these adolescents regulate their emotions. In this study the author used qualitative methods with case study approach. The case study aimed to examine one or more cases in detail and depth to understand the complexity in the natural context. Data collection techniques in this research is to use the method of observation and interviews conducted in which the subject and significant other. Subjects consisting of one 14-year-old teenager who has a disabled autistic siblings. From the research results could be seen that all the emotions contained in the theory of Lazarus experienced by the subject. Emotions experienced by adolescents who have disabled siblings with autism in this study varied enough. Emotion of anger, sadness, love and hope is felt almost entirely by the subject, which is associated with behavior and condition of the siblings. Emotion regular strategies used by acceptance subject is, blaming other, self-blaming, refocus on planning, Rumination or focus on thought, Putting into perspective, and catastrophizing. Suggestions from this study is the need for support and attention from parents who may be given to teenagers who have disabled siblings with autism to become more mature. Siblings who do not have the disorder should try to involve siblings who have the disorder, so that they could be established between a good relationship between one another. Parents should be more effort to treat brothers and sisters equally.
GAMBARAN EMOSI DAN REGULASI EMOSI PADA REMAJA YANG MEMILIKI SAUDARA KANDUNG PENYANDANG AUTIS Afshyus Salamah Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma ABSTRAK Kehadiran anak penyandang autis dalam suatu keluarga sudah tentu akan mempengaruhi kehidupan seluruh anggota keluarga lainnya, terutama orang tua dan saudara sekandungnya. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk men getahui tentang gambaran emosi dan regulasi emosi pada remaja yang memiliki saudara kandung sebagai akibat dari peristiwa yang menimbulkan emosi dan bagaimana cara remaja tersebut mere gulasi emosinya. Pada penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Teknik pen gumpulan data dalam penelitian ini adalah men ggunakan metode observasi dan wawancara yang mana dilakukan kepada subjek dan significant other. Subjek penelitian yaitu satu orang remaja berusia 14 tahun yang memiliki saudara kandung penyandang autis. Emosi-emosi yang dialami oleh remaja yang memiliki saudara kandung penyandang autis dalam penelitian ini cukup beragam. Emosi marah, sedih, cinta dan harapan dirasakan hampir seluruhnya oleh subjek, yang mana berhubungan dengan tin gkah laku dan kondisi saudara kandungnya tersebut. Strategi regulasi emosi yang digunakan oleh subjek adalah accepatance, blaming other, self blaming, refocus on planning, Rumination or focus on thought, Putting into perspective dan catastrophizing. Kata Kunci : emosi, regulasi emosi, autis, saudara kandung, remaja. PENDAHULUAN anak autis, saudara sekandung Kehadiran anak-anak dalam sebuah mengalami masalah karena saudaranya k el ua rg a me ru pak an k e bah agi aa n yang autis sulit berkomunikasi, menjadi tersendiri bagi orang tua di seluruh dunia, frustasi, sering mengamuk, hiperaktif, maka kemajuan dan perkembangan anak dan berteriak sepanjang hari. Saudara merupakan hal yang sangat penting bagi sekandung biasanya banyak mengalami orang tua dan tidak dapat lepas dari perasaan-perasaan ataupun emosi-emosi pengamatan orang tua. Kemajuan dan yang membuat mereka marah dan kesal perkembangan seorang anak pertamakali karena diganggu atau disakiti oleh dimulai dari lingkungan keluarga dan yang kakak atau adik mereka yang utama adalah adanya interaksi antara penyandang autis. orang tua dengan anak, ataupun interaksi Hubungan antara seorang kakak antara anak dengan saudara dengan adiknya akan menyediakan sekandungnya. Tetapi apa jadinya bila kesempatan kepada masing-masing dari s a l a h s a t u d a ri a n g g o t a k e l u a r g a mereka untuk dapat belajar dan mengalami suatu gangguan, misalnya saja mengalami interaksi sosial yang tidak gangguan autis. Gangguan autis termasuk didapatkannya melalui hubungan antara dalam salah satu subtipe dari Gangguan individu lainnya diluar dari keluarga intinya Perkembangan Pervasif (Pervasife (Bigner, 1979). Masalah utama anak autis Developmental Disorder). adalah hambatan yang nyata dalam Menurut Marijani (2003) kehadiran interaksi sosial. Interaksi sosial anak autis anak penyandang autis dalam suatu dapat berkembang menjadi lebih baik keluarga sudah tentu akan mempengaruhi apabila dalam periode waktu tertentu terus kehidupan seluruh anggota keluarga menerus mereka selalu bertemu ataupun lainnya, terutama orang tua dan saudara berhubungan dengan anak-anak yang sekandungnya. Pada keluarga dengan tidak mengalami gangguan atau normal.
Disinilah pentingnya kehadiran saudara sekandung sebagai anak yang tidak mengalami gangguan (normal) yang dapat
mengajarkan dan memberikan contoh mengenai bagaimana melakukan interaksi sosial dengan tepat. Masalah utama anak autis adalah hambatan yang nyata dalam interaksi sosial. Interaksi sosial anak autis dapat berkembang menjadi lebih baik apabila dalam periode waktu tertentu terus menerus mereka selalu bertemu ataupun berhubungan dengan anak-anak yang tidak mengalami gangguan atau normal. Di dalam sebuah keluarga manapun, perasaaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan pastilah dirasakan oleh seluruh anggota keluarga dan mungkin bisa berkembang menjadi lebih baik ataupun menjadi lebih buruk terutama pada interaksi antara anak-anak yang mengalami gangguan dengan saudara sekandungnya. Hal ini benar adanya karena dalam sebuah keluarga dengan atau tanpa seorang anggota keluarga yang memiliki gangguan, pastinya akan timbul konflik-konflik antar anggota keluarga terutama antara anak dengan saudara sekandungnya (Autism Society of America, 2002 ). Anak yang memiliki saudara sekandung penyandang autis akan memiliki jenis hubungan yang berbeda dengan mereka yang tidak memiliki gangguan. Biasanya pada saudara sekandung yang tidak mengalami gangguan (normal) banyak mengalami kesulitan dan merasa emosi dalam berinteraksi dengan anak yang menyandang autis tersebut. Lebih dari itu, saudara sekandungnya mungkin harus bisa mengatasi perubahan dalam peran, struktur, dan aktivitas keluarga, saudara kandung tersebut selalu merasa bersalah dan malu, kehilangan perhatian orang tua, dan adanya peningkatan beban tanggung jawab kepada orang tua untuk selalu bersedia dan meluangkan waktunya untuk dapat merawat dan membantu saudaranya yang menyandang autis, yang mana mungkin saja bisa mempengaruhi kesejahteraan atau kesehatan diri mereka sendiri. Terlebih lagi apabila usia mereka m a s i h re m a j a , m e re k a h a ru s b i s a menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekitarnya (autism.com, 2006). Perubahan psikologis yang terjadi selama masa remaja yang disertai oleh perubahan didalam hubungan keluarga, antara orang tua dengan anak remajanya,
ataupun hubungan remaja itu sendiri dengan saudara kandungnya. Sebagai seorang yang sedang berkembang, melalui masa remajanya, adanya tingkat konflik yang tinggi dapat mengurangi keakraban didalam sebuah hubungan antar saudara kandung, yang mungkin akan berkembang menjadi lebih baik ataupun menjadi lebih buruk, yang terjadi selama periode remaja awal sampai remaja akhir. KERANGKA TEORI Berbagai jenis-jenis emosi yang dapat digunakan untuk memperoleh gambaran emosi dan regulasi emosi pada remaja yang memiliki saudara kandung penyandang emosi. Dari segi etimologi, emosi berasal dari akar kata bahasa latin E-movere yang berarti menggerakkan, bergerak. Kemudian ditambah dengan awalan e- untuk memberi arti bergerak menjauh, misalnya emosi sedih mendorong perubahan suasana hati untuk mencerna atau menyerang sesuatu dengan melak uk an suatu tindak an tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan untuk bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi (Goleman, 2000). Menurut Chaplin (1995), emosi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang terangsang dari organisme, mencangkup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya dan perubahan perilaku. Maramis (1990) dalam bukunya Ilmu Kedokteran Jiwa mendefinisikan emosi sebagai suatu keadaan yang kompleks yang berlangsung biasanya tidak lama yang mempunyai komponen pada badan dan pada jiwa individu tersebut. Pada jiwa timbul keadaan terangsang excitement dengan perasaan yang hebat serta biasanya juga terdapat impuls untuk berbuat suatu hal tertentu. Pada badan timbul gejala-gejala dari pihak susunan saraf vegetatif, umpamanya pada pernapasan, sirkulasi dan sekresi. Emosi menurut Rakhmat (2001) menunjukkan perubahan organisme yang disertai oleh gejala-gejala kesadaran, keperilakuan dan proses fisiologis. Kesadaran apabila seseorang mengetahui makna situasi yang sedang terjadi. Jantung berdetak lebih cepat, kulit memberikan respon dengan mengeluark an k eringat dan napas
terengah-engah termasuk dalam proses fisiologis dan terakhir apabila orang tersebut melakukan suatu tindakan sebagai akibat dari situasi yang sedang terjadi. Ruang lingkup emosi sangatlah luas dan kompleks, sehingga para psikolog mengalami kesulitan dalam menentukan mana emosi primer dan mana yang sekunder, mana emosi dasar dan mana yang telah bercampur dengan yang lain. menurut Rene Descartes (dalam Gunarsa, 2003), ada 6 emosi dasar pada setiap i ndi vid u , a n ta ra lai n : c in ta ( l ove ), kebahagiaan (joy), heran atau ingin tahu (wonder), benci (hate), keinginan (desire) dan kesedihan (saddnes) Selain itu menurut Robert Plutchik (dalam Hude, 2006), terdapat beberapa emosi dasar, yaitu antisipasi (anticipation), kegembiraan (joy), penerimaan (acceptance), terkejut (surprise), takut (fear), sedih (sadness), jijik (disgust), dan marah (anger), yang digambarkan dalam sebuah lingkaran (roda) bersama dengan emosi-emosi campuran (mixed) yang bisa sangat beragam. Sedangkan menurut Lazarus (1991), emosi-emosi yang terdapat pada seorang individu, yaitu: anger, anxiety, fright, guilt, shame, sadness, envy, jealousy, disgust, happiness, pride, relief, hope, love dan compassion. Yang mana akan dijelaskan, yaitu: 1). Anger adalah perasaan marah yang dirasakan individu, yang berupa penghinaan terhadap diri sendiri dan milik sendiri, 2). Anxiety adalah perasaan cemas yang dialami individu terhadap seuatu hal yang belum terjadi namun ada, d a n p a d a d a s a rn ya ti m bu l k a re n a perasaan tidak mampu, 3). Fright adalah perasaan takut yang timbul pada individu ya n g d i s e b a b k a n o l eh a n ta ra l a i n mengahadapi bahaya fisik yang konkrit, luar biasa dan dalam waktu yang singkat, berada sendirian ditempat yang gelap, berpergian sendiri pada waktu malam hari, dan menghadapi orang-orang yang asing baginya atau orang yang berjumlah banyak, 4). Guilt atau perasaan bersalah pada individu yang dikarenakan telah melanggar nilai -nilai moral atau merupakan semacam penilaian yang negatif dari diri sendiri yang timbul jika seseorang menyadari bahwa, tingkah lakunya tidak sesuai dengan suatu nilai kesusilaan tertentu, yang berlaku secara
umum, yang dia ketahui harus dianutnya, 5). Shame adalah gagal memenuhi sebuah ego ideal. Perasaaan malu yang dirasakan oleh seorang individu, yang dikarenakan gagal memenuhi apa yang diinginkan, atau suatu perasaan yang tidak menyenangkan yang dialami oleh seseorang setelah dia merasakan adanya pendapat yang negatif dari orang lain mengenai dirinya, 6). Envy adalah perasaan iri hati pada seorang individu yang diakibatkan oleh kemampuan atau barang yang dimiliki oleh orang lain melebihi kemampuan individu tersebut, 7). Jealousy adalah perasaan cemburu yang disebabkan oleh hilangnya kasih sayang seseorang karena hadirnya pihak ketiga, 8). Sadness adalah perasaan sedih yang diakibatkan kehilangan sesuatu yang tidak dapat digantikan, 9). Disgust adalah perasaan jijik pada i ndividu untuk berdekekatan dengan seseorang ataupun objek yang tidak disukai, perasaan ini dapat diungkapkan melalui tingkah laku tidak mau berteman ataupun berhubungan dengan segala sesuatu yang dianggapnya jijik, 10). Happines adalah rasa senang yang dirasakan oleh individu yang disebabkan antara lain oleh mencapai suatu tujuan atau mengalami kemajuan yang berarti dalam mencapai tujuan tersebut dan telah dapat menghilangkan rasa takut, cemas, iri hati, marah yang telah dialaminya, 11). Pride adalah rasa bangga yang dirasakan oleh individu ditimbulkan karena tercapainya atau diraihnya sesuatu yang dihargai oleh masyarakat, 12). Relief adalah perasaan lega yang dialami oleh individu dikarenakan kondisi yang ditimbulkan oleh stres telah hilang atau berubah menjadi lebih baik, 13). Hope adalah harapan sebagai hal dalam menghadapi kemungkinan yang terburuk, tetapi juga pengharapan individu bahwa sesuatunya akan menjadi lebih baik, 14). Love adalah perasaan kasih sayang yang dirasakan oleh seorang individu yang ditunjukan dengan cara antara lain, selalu berusaha untuk berada didekat orang atau teman yang disayangi, atau berusaha untuk membahagiakan orang lain, 15). Compassion adalah perasaan kasihan y a n g ti m b u l k a re n a t e rg e ra k o l e h penderitaan orang lain dan ingin menolong.
Ma n u s i a ti d ak h a n ya s e k e da r memiliki emosi tetapi juga harus dapat mengendalikannya (Fridja, 1986).
Gambar 1: Roda Emosi Plutchick Remaja yang dapat mengendalikan emosinya dapat mendatangkan k e b a h a g i a a n b a g i me re k a , h a l i n i dinyatakan oleh Karl C. Garrison dalam Mappiare (2003) bahwa kebahagiaan seseorang dalam hidup ini bukan karena tidak adanya bentuk-bentuk emosi dalam dirinya, melainkan kebiasaannya memahami dan menguasai emosi. Proses pengendalian emosi ini juga disebut sebagai proses regulasi emosi. Regulasi emosi merupakan cara individu untuk menentukan emosi apa yang dirasakan, kapan emosi tersebut dirasakan dan b a g a i m a n a m e n g e k s p re s i k a n d a n mengetahui emosi tersebut (Fridja, 1986). Sedangkan Gross (1999) mendefinisikan regulasi emosi sebagai cara individu mempengaruhi emosi yang mereka miliki, kapan mereka merasakannya dan bagaimana mereka mengalami atau mengekspresikan emosi tersebut. Regulasi emosi juga dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengevaluasi dan mengubah reaksireaksi emosional untuk bertingkah laku tertentu yang sesuai dengan situasi yang sedang terjadi (Thompson dalam Garnefski, dkk., 2001). Regulasi emosi diasumsikan sebagai faktor penting dalam menentukan keberhasilan seseorang dalam usahanya untuk berfungsi dengan normal dikehidupannya seperti dalam proses adaptasi, dapat berespon sesuai dan fleksibel (Thompson dalam Garnefski, dkk., 2001). Sedangkan Gross (1999) mengemuk ak an bahwa tujuan dari regulasi emosi sendiri bersifat spesifik
t e rg a n tu n g k e a d a a n y a n g d i a l a m i seseorang. Sebagai contoh, pada suatu situasi seseo rang menahan emosi takutnya agar ketakutannya tersebut tidak dimanfaatkan orang lain. Dalam situasi yang lain, seseorang dapat dengan sengaja menaikan rasa marahnya untuk membuat orang lain merasa takut. Cukup sulit untuk mendeteksi tujuan dari regulasi emosi pada tiap individu, namun satu hal yang dapat disimpulkan adalah bahwa regulasi emosi berkaitan dengan mengurangi dan menaikan emosi negatif dan positif (Gross, 1999). Emosi positif dan emosi negatif ini muncul ketika individu yang memiliki tujuan berinteraksi dengan lingkungannya dan orang lain. Emosi positif muncul apabila individu dapat mencapai tujuannya dan emosi negatif muncul bila individu mendapatkan halangan saat akan mencapai tujuannya. Yang termasuk emosi positif diantaranya adalah senang dan gembira, sedangkan yang tergolong emosi negatif diantaranya adalah marah, takut dan sedih. Menurut Garnefski, dkk. (2003) terdapat beberapa macam strategi-strategi untuk meregulasi emosi, yaitu : 1). Selfblame disini adalah mengacu kepada pola pikir menyalahkan diri sendiri. Beberapa penelitian menemukan bahwa self blame b e rh u b u n g a n d e n ga n d e p re s i d a n pengukuran kesehatan lainnya (Garnefski, dkk., 2003), 2). Blaming others adalah mengacu pada pola pikir menyalahkan orang lain atas kejadian yang menimpa dirinya, 3). Acceptance adalah mengacu pada pola pikir menerima dan pasrah atas kejadian yang menimpa dirinya. Acceptance merupakan strategi coping yang memiliki hubungan yang positif dengan pengukuran keoptimisan dan self esteem dan memiliki hubungan yang negatif dengan pengukuran kecemasan (Garnefski, dkk., 2003), 4). Refocus on planni ng mengacu pada pemikiran terhadap langkah apa yang harus diambil dalam menghadapi peristiwa negatif yang dialami. Perlu diperhatikan kalau dimensi ini hanya pada tahap kognitif saja, tidak sampai kepelaksanaan. Refocusing on planning merupakan strategi coping yang memiliki hubungan yang positif dengan pengukuran keoptimisan dan self esteem dan memiliki hubungan yang negatif dengan pengukuran kecemasan
(Garnefski, dkk., 2003), 5). Positive refocusing adalah kecenderungan indivdu untuk lebih memikirkan hal-hal yang lebih menyenangkan dan menggembirakan dari pada memikirkan situasi yang sedang terjadi. Berfokus pada hal-hal yang positif bisa dianggap membantu pada jangka pendek, namun pada jangka panjang bisa bersifat maladaptive, 6). Rumination or focus on thought adalah apabila individu cenderung selalu memikirkan perasaan yang berhubungan dengan situasi yang sedang terjadi. Nolen, dkk., (dalam Garnefski, dkk., 2003) menyatakan bahwa rumination cenderung berasosiasi dengan tingkat depresi yang tinggi, 7). Positive reappraisal adalah kecenderungan individu untuk mengambil makna positif dari situasi yang sedang terjadi. Carver, dkk., (dalam Garnefski, dkk., 2003) menunjukkan bahwa positive reappraisal berasosiasi dengan optimisme dan selfesteem serta berkorelasi negatif dengan kecemasan, 7). Putting into perspective adalah individu cenderung untuk bertindak acuh (tidak perduli) atau meremehkan suatu keadaan. Konsep ini belum pernah dimasukan dalam pengukuran coping METODOLOGI PENELITIAN Dalam penelitian ini akan digunakan metode kualitatif dengan pendekatan penelitian studi kasus. Menurut Moleong (2004), studi kasus adalah studi yang berusaha memahami isu-isu yang rumit a tau o bjek da n d ap at m empe rl uas pengalaman atau menambah kekuatan terhadap apa yang telah dikenal melalui hasil penelitian yang lalu. Lebih lanjut dikatakan dalam studi kasus menekankan pada rincian analisis kontekstual tentang sejumlah kecil kejadian atau kondisi dan hubungan-hubungan yang ada padanya. Sedangkan American Psychologycal Asosiation (1994) mendefinisikan Studi kasus atau Case study sebagai papers in which the author describes case material while with an individual or organization. Yang intinya bahwa studi kasus adalah sebuah laporan penelitian yang dibuat oleh peneliti untuk memberikan gambaran mengenai suatu kasus, baik itu pada individu ataupun organisasi. Subjek dalam penelitian ini adalah remaja yang berusia 14 tahun yang memiliki saudara kandung penyandang autis, berse rta o rang terdek atn ya
apapun sehingga belum ada data-data mengenai korelasi putting into perspective dengan hal lain, 8). Catastrophizing adalah kecenderungan individu untuk menganggap bahwa dirinyalah yang lebih tidak beruntung dari situasi yang sudah terjadi. Secara umum, catastrophizing berhubungan erat dengan maladaptasi, distress emosional & depresi (Garnefski, dkk., 2003). Pada penjelasan strategi-strategi diatas, yang dapat dikatakan sebagai strategi regulasi emosi yang baik menurut Garnefski, dkk., (2003) adalah acceptance, refocus on planning, positive refocusing, positive reappraisal, putting into perspective, karena strategi regulasi emosi tersebut menunjukkan tingkat optimis dan self esteem yang positif serta tingkat anxiety yang rendah. Sedangkan strategi emosi yang buruk menurut Garnefski, dkk., (2003) adalah self blame, blaming other, rumination or focuse on thought, dan catastrophizing karena strategi-strategi regulasi emosi tersebut menunjukkan atau diasosiasikan dengan tingkat depresi dan stress yang tinggi.
(significant other). Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang akan d igu nak a n ada lah wa wan ca ra d an observasi langsung dengan sumbernya menggunakan catatan lapangan. Berikut adalah penjabaran lengkap mengenai dua teknik yang diimplementasikan dalam penelitian. Moleong (2004), mengemukakan bahwa wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang men ga juk an pe rtan ya an da n yang d i wa wa n c a ra i ( i n t e r v i e w e e ) y a n g memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Adapun menurut Banister (dalam Poerwandari, 1998), wawancara merupakan percakapan Tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tuajuan tertentu. Dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang maknamakna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti b e rm a k s u d m e l a k u k a n e k s p l o ra s i terhadap isi tersebut.
Sedangkan menurut Patton (dalam Poerwandari, 1998), pada penelitian ini wawancara akan dilakukan dengan menggunakan pedoman umum wawancara. Dalam proses wawancara ini, interviewer dilengkapi pedoman wawancara yang sangat umum, serta mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tidak berbentuk pertanyaan yang eksplisit. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan interviewer mengenai aspek-aspek apa yang harus dibahas atau ditanyakan. Dalam studi kasus ini, peneliti memilih dan menggunakan metode wawancara dengan pedoman umum, yang mencantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa menentukan urutan pertanyaan. Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah menggunakan teknik observasi langsung atau pengamatan langsung terhadap gejala-gejala atau kondisi yang terjadi dilapangan. Observasi langsung menurut Mediadiknas (2008) adalah observasi yang dilakukan terhadap objek ditempat
kejadian atau tempat berlangsungnya peristiwa yang diteliti. Artinya, dalam observasi langsung peneliti yang mengadakan observasi turut ambil bagian bersama subjek ataupun objek yang diobservasi. Penelitian ini dilakukan secara langsung dilapangan, oleh karena itu peneliti menggunakan catatan lapangan sebagai pelengkap data. Catatan lapangan merupakan catatan yang ditulis secara rinci, cermat, luas dan mendalam dari hasil wawancara dan observasi yang dilakukan oleh peneliti terhadap subjek penelitian, aktivitas ataupun tempat berlangsungnya penelitian tersebut. Menurut Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2008) catatn lapangan adalah suatu hasil dari observasi dan wawancara yang bermakna kolektif, karena terdiri dari catatan lapangan yang dibuat oleh peneliti s e n d i ri , d a n d i ta m b a h k a n d e n g a n dokumen-dokumen resmi, gambar, foto, rekaman video ataupun sumber-sumber resmi lainnya yang dikeluarkan oleh pihak yang terkai yang mana sesuai dengan fokus dari penelitian yang akan dilakukan.
PEMBAHASAN 1. Gambaran Emosi Pada Remaja Yang Memiliki Saudara Kandung Penyandang Autis Dari 15 emosi yang dijelaskan oleh Lazarus (1991), subjek mengalami hampir seluruh emosi tersebut. Subjek mengalami emosiemosi negatif yaitu, marah, sedih, cemburu, malu, cemas, iri, jijik, takut, kasihan dan rasa bersalah. Selain itu subjek juga mengalami beberapa emosi-emosi positif, diantaranya adalah harapan, bangga, lega, gembira dan cinta. a). Emosi Negatif 1). Marah Penyebab kemarahan pada subjek adalah karena tingkah laku adiknya yang seringkali nakal, susah untuk diatur dan sering memaksakan kehendaknya. Hal lain yang menyebabkan subjek mengalami emosi marah adalah karena adiknya, suka tiba-tiba keluar rumah hanya untuk jajan di warung yang
berada tepat didepan rumahnya, hal tersebut membuat subjek bingung karena telah mencari-cari adiknya ternyata adiknya berada diluar rumah. Adik subjek juga suka berteriak pada saat subjek sedang menelepon, dan jika sedang memainkan komputer suka lupa waktu dan tidak mau diberhentikan. 2). Sedih Penyebab emosi sedih pada subjek adalah karena adiknya menyandang autis, dan karena kondisi adiknya tersebut subjek merasa sulit untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan adiknya. 3). Cemburu Subjek mengalami emosi cemburu karena adiknya yang autis terlalu dimanja oleh kedua orang tuanya, kebutuhan-kebutuhan adiknya
selalu dipenuhi oleh kedua orang tuanya tetapi tidak sama halnya dengan kebutuhan subjek, selain itu subjek juga merasa cemburu karena orang tuanya terlalu melindungi adiknya yang autis. 4). Malu Subjek merasa malu pada saat adik mereka bertingkah laku yang tidak sesuai dengan situasi. Hal ini terlihat dari penjelasan subjek y a n g m e n g a ta k a n b a h wa tingkah laku adiknya yang tidak pantas dilakukan didepan umum seperti teriak, tiba-tiba marah dan perilaku keseharian adiknya yang berbeda dengan anak-anak lainnya yang seusianya. Menurut Martin & Colbert (1997), salah satu dampak memilik saudara sekandung dengan kebutuhan khusus adalah merasa malu karena saudara sekandung mereka, dan merasa lelah karena harus menjelaskan kelainana saudara sekandung mereka kepada teman-temannya. 5). Cemas Subjek merasa cemas karena keadaan dan tingkah laku adiknya. Keadaan yang membuat subjek merasa cemas adalah : karena adiknya sakit. Hal lain yang membuat subjek merasa cemas adalah karena adiknya tidak memiliki rasa tak ut, adiknya bisa tiba-tiba keluar rumah tanpa ijin dan tanpa sepengetahuan subjek, tingkah laku adiknya yang kadang kala pergi kewarung sendirian tanpa mengetahui bahaya yang mungkin dapat terjadi, membuatnya cemas. 6). Iri Subjek merasa iri dengan perhatian yang diberikan oleh kedua orang tuanya, menurut subjek semua kebutuhan adiknya seringkali dipenuhi, sedangkan kebutuhannya tidak, begitu
juga dengan barang-barang yang subjek inginkan, subjek merasa sulit sek ali u ntuk mendapatkan barang-barang tersebut, sedangkan hal tersebut tidak berlaku pada adiknya. 7). Jijik Subjek merasa jijik pada a dik n ya , a pa bila ad ik n ya sedang membersihkan kotoran hidungnya, bila sedang melakukan hal tersebut subjek suka mengotori barang-barang yang ada disekitarnya, adiknya lalu menempelkan kotoran hidungnya di karpet, tembok dan barang-barang yang ada dihadapannya. 8). Takut Dalam hal ini subjek merasa takut apabila adiknya tiba-tiba sakit, subjek tidak dapat mengetahui sebab dari sakit yang dirasakan oleh a d i k n y a , k a re n a a d i k n y a sendiri saja sulit untuk memberitahu subjek sedang sakit apa. Hal lain yang membuat subjek takut adalah, apabila adiknya tiba-tiba keluar rumah tanpa diketahui oleh subjek. Subjek merasa takut jika adiknya diganggu oleh orang yang tidak tahu dengan kondisi adik nya tersebut, subjek juga merasa tak ut adiknya mengalami kecelakaan karena ia keluar r u m a h d a n m e n ye b e r a n g jalan. 9). Kasihan Dalam kasus ini subjek merasa kasihan terhadap adiknya karena subjek melihat bahwa adiknya menderita akibat kekurangan yang dimilikinya, seperti perbedaan adiknya dengan anak-anak lainnya, kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain, serta hubungan adiknya dengan teman-temannya yang normal. Oleh karena itu subjek berusaha untuk menolong sang adik dengan cara terusmenerus membantunya agar
ia bertambah menjadi lebih baik. Selain itu menurut subjek adiknya juga belum dapat berkomunikasi dengan lancar. Subjek mengetahui bahwa adiknya belum mampu untuk berkomunikasi seperti anakanak lain seumurannya walaupun adiknya telah berusaha dengan keras. Oleh karena itu subjek ingin menolong dengan cara membantu adiknya dalam hal memperlancar komunikasinya. 10). Rasa bersalah Subjek mengaku kadang kala memarahi adiknya yang autis secara berlebihan karena alasan adiknya mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama sehingga akhirnya dilampiask annya dengan kemarahan. Menurut subjek, ia memarahi adiknya karena ia tidak ingin adiknya seperti ini terus-menerus. Subjek ingin adiknya bertambah baik. Rasa bersalah tersebut menjadi bertambah parah apabila adiknya mulai menangis.
b). Emosi-emosi Positif 1). Harapan Subjek berharap agar adiknya dapat menjadi lebih baik. Keadaan untuk dapat men ja di l ebi h baik di sini adalah agar adiknya dapat menjadi anak yang lebih baik dari keadaan yang sekarang, dapat membaca, memiliki banyak teman, dan dapat diterima oleh orang-orang yang ada disekitarnya. 2). Bangga Subjek merasa bangga atas kemampuan-kemampuan baru yang dimiliki oleh adiknya. Misalnya, subjek merasa bangga karena adiknya sudah lebih mandiri, tidak suka memaksakan kehendaknya sendiri. Satu hal yang berbeda adalah peristiwa yang menyebabkan subjek mengalami emosi
bangga, yaitu dengan kondisi adiknya yang serba terbatas, dapat membantu dirinya menjadi seperti sekarang ini, membuat dirinya menjadi lebih dewasa bila dibandingkan dengan teman-temannya. 3). Lega Dalam hal ini, kondisi yang menimbulkan stres atau yang tidak sesuai dengan subjek adalah kekurangan adiknya didalam hal kemandirian. Menurut subjek, kini adiknya sudah lebih mandiri dari sebelumnya, hal ini dapat dilihat dari apa yang dikataklan oleh subjek bahwa adiknya sudah mau mengerjakan tugas-tugasnya sendiri, saat makan dan minum adiknya sudah mandiri, karena hal tersebutlah subjek merasa lega, karena adiknya sudah tidak merepotkan orang-orang yang ada disekitarnya. 4). Gembira Subjek merasa gembira karena adanya kemajuan pada adiknya. Kemajuan ini dapat berupa kemampuan baru, ya i tu adik n ya s ud ah mau berusaha untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, selain itu adiknya juga sudah tidak membuat kekacauan dan berteriak-teriak lagi apabila teman-teman subjek sedang berkunjung kerumah. Adiknya juga sudah tidak buang air kecil sembarangan, sekarang adiknya melak ukannya di kamar kecil. Sebelumnyua adiknya suka buang air kecil disembarang temapat, bahkan apabila sedang berada diluar rumah ataupu n di te mpat umum adiknya masih saja buang air kecil dicelana ataupun sembarangan. 5). Cinta Subjek merasa memiliki emosi cinta kepada kedua orang adiknya, baik itu yang menyandang autis ataupun yang normal. Karena menurut
subjek, kedua adiknya tersebut s an ga t pi n ta r da n s ubjek merasa sangat bersyuk ur karena memiliki kedua adiknya. 2. Gambaran Regulasi Emosi Pada Remaja Yang Memiliki Saudara Kandung Penyandang Autis Di Lihat Dari Peristiwa Yang Menimbulkan Emosi. Dibawah ini akan dijelaskan bagaimana cara subjek untuk dapat meregulasi emosinya, yang mana cara dari subjek untuk meregulasi emosi-emosi tersebut adalah emosiemosi yang negatif. 1). Regulasi Emosi Marah Subjek menyalahkan dirinya sendiri karena telah memarahi adiknya secara b e rl e b i h an d a n m emb u a t adiknya menangis dan juga karena tidak dapat menjaga adiknya dengan baik, sehingga adiknya suka tiba-tiba keluar rumah sendiri. 2). Regulasi Emosi Sedih Karena keadaan adiknya yang autis, serta kesulitan subjek untuk dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan adiknya, subjek cenderung untuk melupakan kesulitannya karena memiliki adik yang autis, selain itu subjek biasanya suka mengajak teman-temannya main kerumah walaupun hanya sekedar untuk kumpul-kumpul ataupun menonton film-film komedi. 3). Regulasi Emosi Cemburu Subjek seringkali menyalahkan orangtuanya yang tidak bersikap adil terhadapnya dan hanya mementingkan adiknya yang autis, menurut subjek orang tuanya selalu memenuh i semua kebutuhan adiknya yang autis, sedangkan untuk kebutuhan subjek orang tuanya kurang memperhatikan. 4). Regulasi Emosi Malu
Dengan kondisi adiknya tersebut, subjek merasa bahwa hanya dirinyalah yang memiliki seorang adik penyandang autis, subjek merasa malu karena adiknya tersebut suka berteriak, tibatiba marah, suka bertingkah aneh seperti memainkan jari tangannya tanpa berhenti dan juga karena adiknya berbeda dengan anak -anak yang lainnya. 5). Regulasi Emosi Cemas S u b j ek ju g a m e ra sa cemas apabila sedang bermain ditempat umum, karena ada beberapa orang yang tidak mengetahui tentang kondisi adiknya yang autis, seringkali bertanya kepada subjek tentang kondisi adiknya yang autis tersebut, hal yang biasanya subjek lakukan adalah de ngan menjawab bahwa adiknya adalah seorang penyandang autis dan memiliki tingkah laku yang berbeda dengan anak-anak yang normal. 6). Regulasi Emosi Iri Menurut subjek apa yang dilakukan oleh orang tuanya adalah demi kebaikan adiknya, karena itu subjek belajar untuk selalu berfikir positif terhadap seluruh perhatian yang diberikan kepada adiknya oleh kedua orangtuanya, adalah karena memang adiknya sangat membutuhkan perhatian tersebut. Subjek juga selalu berusaha untuk tidak terlalu banyak menuntut perhatian dari kedua orang tuanya. 7). Regulasi Emosi Jijik Adik subjek sering sekali mengupil, dan apabila sedang melakukan hal tersebut adiknya suka menempelkan kotoran hidungnya dimana saja, baik itu di sofa, tembok ataupun karpet, hal tersebut membuat subjek merasa jijik. Apabila adiknya melakukan hal yang membuat subjek jijik,
subjek mencoba untuk tidak menghiraukan adiknya tersebut, karena subjek menganggap bahwa peristiwa tersebut tidak terlalu menjijikan dan ada hal-hal tertentu yang lebih membuat subjek merasa lebih dari itu. 8). Regulasi Emosi Takut Apabila adiknya sedang keluar subjek merasa sangat tak ut dan selalu memiliki perasaan-perasaan ataupun pikiran-pikiran yang negatif yang dapat terjadi pada adiknya, karena adiknya itu berbeda dengan anak yang normal, sehingga adiknya belum bisa menjaga dirinya sendiri. Hal yang biasanya subjek lakukan untuk dapat mengatasi perilaku adiknya tersebut adalah dengan cara selalu berusaha menjaga adiknya agar tidak keluar rumah. 9). Regulasi Emosi Kasihan Hal yang membuat subjek merasak an emosi KESIMPULAN DAN SARAN Hampir semua jenis emosi yang ada dalam teori emosi Lazarus dialami oleh subjek yang memiliki saudara kandung penyandang autis. Selain itu juga subjek meregulasi emosinya dengan cara yang berbeda-beda pada tiap jenis emosi yang subjek rasakan. Untuk penelitian selanjutnya peneliti menyarankan agar mempertimbangkan variasi jenis kelamin partisipan dengan DAFTAR PUSTAKA Lazarus, R. S. (1991). Emotional and Aadaptation. New York: Oxford University Press. Mappiare, A. (2003). Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional. Maramis, W. F. (1998). Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Arilangga University Press. Mediadiknas. go.id . (2008). Bab III Metodologi Penelitian. Available on
. Diakses tanggal 25 Juli 2008. Marijani, L. (2003). Peran Saudara Sekandung Pada Anak
kasihan adalah karena adiknya berbeda dengan anak-anak lain yang seumurannya, selain itu adiknya juga belum dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik dan lancar, sehingga subjek merasa kesulitan untuk dapat berhubungan dengan adiknya. Dengan kondisi adiknya yang autis, subjek berusaha untuk dapat menerima k eadaan adiknya, dan berusaha untuk d a p a t m em b a n tu a d ik n ya dengan cara mengajarkan adiknya cara berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik. 10). Regulasi Emosi Rasa Bersalah Subjek menyalahkan dirinya sendiri karena telah memarahi adiknya secara berlebihan dan membuat adiknya menangis dan juga karena tidak dapat menjaga adiknya dengan baik, sehingga adiknya suka tiba-tiba keluar rumah sendiri.
adiknya yang menyandang autis. Pengalaman emosi saudara sekandung akan lebih terlihat perkembangannya a pa bila dil ak uk an pen eli ti an ya ng berkesinambungan (longitudinal), yang mana penelitian tersebut dimulai pada saat sang adik dinyatakan menyandang autis. Hal ini mungkin terjadi apabila perbedaan usia antara kakak dengan adik cukup jauh. Penyandang ASD. Available on . Diakses tanggal 19 Juli 2008. B i n g e r, J .J . (1 9 7 9 ) . P a r e n t - C h i l d Relations: An Introduction to Parenting. New York: McMillan Publishing Co. Inc. Chaplin, J. P. (2002). Dictionary of Psychology. Terjemahan Kartini Kartono (Cetatan ke-8). Jakarta: RajaGrafindo Persada.
This document was created with Win2PDF available at http://www.daneprairie.com. The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.