OVERVIEW OF PARENTS ACCEPTANCE TO THE AUTISM CHILD AND THEIR ROLE IN AUTISM THERAPY SRI RACHMAYANTI, ANITA ZULKAIDA, MSI, SPSI Undergraduate Program, 2008 Gunadarma University http://www.gunadarma.ac.id Key Words: parents acceptance, autism child, autism therapy ABSTRACT : Every parent wants their children develop fully. However, the circumstances in which children often show symptoms of developmental problems at an early age. One example is the distortion that can occur with autism. Autism is one of the deviations in development since infancy are characterized by disturbances in interpersonal relationships (social interaction), disturbances in language development (communication) and there is repetition of the habit of doing the same behavior. At some parents who quickly realized the fact that her son had autism disorder is likely to be better in handling the future. Range of time in the process through which parents vary, of course, the sooner steps can they go through, the faster finally reached the point of acceptance, it can help children to become more optimal.. Forms of acceptance of parents in handling the individual with autism is to understand the state of the child as it is, understand the habits of children, aware of what can and can not be a child, forming a strong bond that will be required in a future life and work alternative treatment in accordance with the needs of children. In addition there are several stages through which a parent before they reach the stage of acceptance of children diagnosed with autism holds, namely stage denial (refusing to accept the fact), the stage of anger (anger), stages of bargaining (bargaining), the stage of depression (depression) and acceptance stage (to surrender and accept the reality). This study used qualitative methods, qualitative approach is that more emphasis on the benefits and the collection of information by studied phenomenon. Characteristics of research subjects include the parents who have children diagnosed with autism holds. The number of samples in this study include three parents who have children with autism. Data analysis techniques include Case Analysis of Intra and Inter-Case Analysis, using data collection techniques with interviews as the main method and observation as a method of supporters. Results showed that the acceptance of parents of children with autism will enable the detection and early intervention so as to speed what steps it will take. After the parents that their children can receive, then the parents will also remain committed to actively participate in the handling of autism so that they can maximize the course of therapy.
Gambaran Penerimaan Orang Tua Terhadap Anak Autisme Serta Peranannya Dalam Terapi Autisme Sri Rachmayanti Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma JURNAL
BAB 1 Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai penerimaan orang tua terhadap anak autisme dan peranannya dalam terapi autisme. Disamping itu untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk penerimaan orang tua terhadap anak autisme, untuk melihat lebih mendalam bagaimana tahap-tahap orang tua yang dilalui dalam proses penerimaan dan faktor-faktor apa saja yang yang mempengaruhi proses penerimaan serta bagaimana peran serta orang tua dalam yang efektif sehingga dapat mengoptimalkan jalannya terapi yang dijalani oleh anaknya. Setiap orang tua menginginkan anaknya berkembang sempurna. Namun demikian sering terjadi keadaan dimana anak memperlihatkan gejala masalah perkembangan sejak usia dini. Salah satu contohnya adalah autisme. Autisme merupakan salah satu penyimpangan dalam perkembangan sejak masa bayi yang ditandai adanya gangguan pada hubungan interpersonal (interakasi sosial), gangguan pada perkembangan bahasanya (komunikasi) dan adanya kebiasaan untuk melakukan pengulangan tingkah laku yang sama. Reaksi pertama orang tua ketika anaknya dikatakan bermasalah adalah tidak percaya (shock), sedih, kecewa, merasa bersalah, marah dan menolak. Tidak mudah bagi orang tua yang anaknya menyandang autisme untuk mengalami fase ini, sebelum pada akhirnya sampai pada tahap penerimaan. Pada sebagian orang tua yang segera menyadari kenyataan bahwa anaknya mengalami gangguan autisme sangat mungkin akan lebih baik dalam penanganan nantinya. Proses yang dilalui orang tua beragam, tentunya semakin cepat tahapan-tahapan yang dapat mereka lalui, maka akan semakin cepat akhirnya sampai pada tahap penerimaan.
Dengan demikian semakin cepatnya penerimaan orang tua terhadap anak autisme, hal
itu
dapat
membantu
anak
untuk
menjadi
lebih
optimal
dalam
penatalaksanaannya. Orang tua memiliki peran dominan dalam upaya penyembuhan, orang tua dituntut mengerti hal-hal seputar autisme dan mampu mengorganisir kegiatan terapi penyembuhan untuk anaknya. Meskipun semakin intensif semakin baik, intervensi ini tidak hanya dalam bentuk penanganan terus menerus setiap hari. Setidaknya ada usaha orang tua dan keluarga terus menerus melakukan pendampingan pada anak sehingga mereka terlibat secara langsung dalam proses pengajaran
anak.
Keterlibatan
langsung
ini
sangat
berpengaruh
pada
perkembangan anak. Para ahli tidak dapat bekerja tanpa peran serta orang tua dan terapi tidak akan efektif bila orang tua tidak dapat bekerja sama. Bagaimanapun hebatnya seorang terapis atau sebuah tempat terapi, guru terbaik adalah orang tua.
BAB 2 Karakteristik tentang autisme yang pertama kali diperkenalkan oleh Kanner (dalam Berkell, 1992) yang mendeskripsikan gangguan ini dengan tiga kriteria umum,
yaitu
gangguan
pada
hubungan
interpersonal,
gangguan
pada
perkembangan bahasa dan kebiasaan untuk melakukan pengulangan atau melakukan tingkah laku yang sama. Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun. Bahkan pada autisme infantil gejalanya sudah ada sejak lahir (Suryana, 2004). Penyebab autisme adalah multifaktor, kemungkinan besar disebabkan adanya kerentanan genetik seperti infeksi virua selama kehamilan, bahan-bahan kimia serta polutan. Kebanyakan orang tua mengalami shock bercampur perasaan sedih, khawatir, cemas, takut dan marah ketika pertama kali mendengar diagnosa bahwa anaknya mengalami gangguan autisme. Setiap orang tua pasti berbeda-beda reaksi emosionalnya, bagaimanapun reaksi emosional yang dimunculkan oleh para orang
tua tersebut adalah hal yang wajar dan alamiah. Hal ini adalah persoalan yang sangat sulit dihadapi para orang tua dan mereka dipaksa untuk berhadapan dengan keadaan tersebut, serta dipaksa untuk menerima kenyataan yang menekan ini. Ross (dalam Sarasvati 2004), dalam bukunya “On Death and Dying” membahas reaksi-reaksi manusia dalam menghadapi “cobaan” dalam hidup ini. Beliau membaginya menjadi lima tahap, (dalam konteks orang tua dari anak-anak dengan kebutuhan khusus) tahapan ini bisa dijabarkan sebagai berikut: a. Tahap Denial (menolak menerima kenyataan) Dimulai dari rasa tidak percaya saat menerima diagnosa dari seorang ahli, perasaan orang tua selanjutnya akan diliputi kebingungan. Bingung atas arti diagnosa, bingung akan apa yang harus dilakukan, sekaligus bingung mengapa hal ini dapat terjadi pada anak mereka. Kebingungan ini sangat manusiawi, karena umumnya, orang tua mengharapkan yang terbaik untuk keturunan mereka. Tidak mudah bagi orang tua manapun untuk dapat menerima apa yang sebenarnya terjadi. Kadangkala, terselip rasa malu pada orang tua untuk mengakui bahwa hal tersebut dapat terjadi di keluarga mereka. Keadaan ini bisa menjadi bertambah buruk, jika keluarga tersebut mengalami tekanan sosial dari lingkungan untuk memberikan keturunan yang ”sempurna”. Kadang dalam hati muncul pernyataan ”tidak mungkin hal ini terjadi pada anak saya” atau ”tidak pernah terjadi keadaan seperti ini di keluarga kami”. b. Tahap Anger (marah) Reaksi marah ini bisa dilampiaskan kepada beberapa pihak sekaligus. Bisa kepada dokter yang memberi diagnosa. Bisa kepada diri sendiri atau kepada pasangan hidup. Bisa juga, muncul dalam bentuk menolak untuk mengasuh anak tersebut. Pernyataan yang sering muncul dalam hati (sebagai reaksi atas rasa marah) muncul dalam bentuk ”Tidak adil rasanya...”, ” Mengapa kami yang mrengalami ini?” atau ”Apa salah kami?” c. Tahap Bargaining (menawar) Pada tahap ini, orang tua berusaha untuk menghibur diri dengan pernyataan seperti “Mungkin kalau kami menunggu lebih lama lagi, keadaan akan membaik dengan sendirinya”.
d. Tahap Depression (depresi) Muncul dalam bentuk putus asa, tertekan dan kehilangan harapan. Kadangkala depresi dapat juga menimbulkan rasa bersalah, terutama di pihak ibu, yang khawatir apakah keadaan anak mereka akibat dari kelalaian selama hamil, atau akibat dosa di masa lalu. Ayahpun sering dihinggapi rasa bersalah, karena merasa tidak dapat memberikan keturunan yang sempurna. Putus asa, sebagai bagian dari depresi, akan muncul saat orang tua mulai membayangkan masa depan yang akan dihadapi sang anak. Terutama jika mereka memikirkan siapa yang dapat mengasuh anak mereka, pada saya mereka meninggal. Harapan atas masa depan anak menjadi keruh, dan muncul dalam bentuk pertanyaan ”Akankah anak kami mampu hidup mandiri dan berguna bagi orang lain?”. Pada tahap depresi, orang tua cenderung murung, menghindar dari lingkungan sosial terdekat, lelah sepanjang waktu dan kehilangan gairah hidup. e. Tahap Acceptance (pasrah dan menerima kenyataan) Pada tahap ini, orang tua sudah menjadi kenyataan baik secara emosi maupun intelektual. Sambil mengupayakan ”penyembuhan”, mereka mengubah persepsi dan harapan atas anak. Orang tua pada tahap ini cenderung mengharapkan yang terbaik sesuai dengan kapasitas dan kemampuan anak mereka. Patut dicatat bahwa, kelima tahap tersebut di atas tidak harus terjadi secara berurutan. Bisa saja ada satu tahap atau lebih yang terlompati, atau kembali muncul jika ada hal-hal yang mengingatkan ketidak ”sempurnaan” anak mereka (bila dibandingkan dengan anak lain yang sebaya). Demikian pula pada tahap awal. Ada juga orang tua yang telah begitu lama mencari diagnosa dan penyembuhan. Begitu mereka mendapatkan diagnosa dan metode yang dapat membantu mereka, perasaan legalah yang mereka dapatkan, bukan menolak menerima kenyataan (denial) (Sarasvati, 2004). Menurut Puspita seorang psilokolg, bentuk penerimaan orang tua dalam penanganan
autisme
adalah
(http://puterakembara.org/rm/peran_ortu.htm) :
sebagai
berikut
a. Memahami keadaan anak apa adanya (positif-negatif, kelebihan dan kekurangan). Langkah ini justru yang paling sulit dicapai orang tua karena banyak diantara orang tua sulit atau enggan menangani sendiri anaknya sehari-hari dirumah. Mereka mengandalkan bantuan pengasuh, pembantu, saudara dan nenek-kakek dalam pengasuhan anak. Padahal pengasuhan sehari-hari justru berdampak baik bagi hubungan interpersonal antara anak dengan orang tuanya. b. Memahami kebiasaan-kebiasaan anak. c. Menyadari apa yang bisa dan belum bisa dilakukan anak. d. Memahami penyebab prilaku buruk atau baik anak-anak. e. Membentuk ikatan batin yang kuat yang akan diperlukan dalam kehidupan dimasa depan. Sikap orang tua saat bersama anak sangat menentukan. Bila orang tua bersikap mengecam, mengkritik, mengeluh dan terus mengulang-ulang pelajaran, anak cenderung bersikap menolak dan “masuk” kembali kedunianya. Ada baiknya orang tua bisa bersikap lebih santai dan “hangat” setiap kali berada bersama anak. Sikap orang tua yang positif, biasanya membuat anak-anak lebih terbuka akan pengarahan dan lalu berkembang ke arah yang lebih positif pula. Sebaliknya, sikap orang tua yang menolak (langsung atau terselubung) biasanya menghasilkan individu autis yang sulit untuk diarahkan, dididik dan dibina. f. Mengupayakan alternatif penanganan sesuai kebutuhan anak. Alternatif penanganan begitu banyak, orang tua yang tidak tahu harus memberikan apa bagi anaknya. Peran dokter disini sangat penting dalam membantu memberikan keterampilan kepada orang tua untuk dapat menetapkan kebutuhan anak. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses penerimaan orang tua terhadap anak autisme, berikut ini adalah penjabarannya :
a. Dengan semakin kuatnya dukungan keluarga besar, orang tua akan terhindar dari merasa ”sendirian”, sehingga menjadi lebih ”kuat” dalam menghadapi ”cobaan” karena dapat bersandar pada keluarga besar mereka. b. Keuangan keluarga yang memadai, memberikan kesempatan yang lebih baik bagi orang tua untuk dapat memberikan ”penyembuhan” bagi anak mereka. Dengan kemampuan finansial yang lebih baik, makin besar pula kemungkinan orang tua untuk dapat memberikan beberapa terapi sekaligus, sehingga proses ”penyembuhan” juga akan semakin cepat. c. Latar belakang agama yang kuat, relatif membuat orang tua lebih mampu menerima ”cobaan”, karena percaya bahwa cobaan itu datang untuk kebaikan perkembangan sipiritualnya. Kepercayaan yang kuat kepada Yang Maha Kuasa membuat orang tua yakin bahwa mereka diberikan cobaan sesuai dengan porsi yang mampu mereka hadapi. Dengan keyakinan tersbut, mereka mengupayakan yang terbaik untuk anak mereka, dan percaya bahwa suatu saat, anak tersebut akan mengalami kemajuan. d. Dokter ahli yang simpatik, membuat orang tua merasa dimengerti dan dihargai. Apalagi jika dokter memberikan dukungan dan pengarahan kepada orang tua (atas apa yang sebaiknya mereka lakukan selanjutnya). Sikap dokter ahli yang berempati, membuat orang tua merasa memiliki harapan, bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi ”cobaan” hidup ini. e. Demikian pula dengan tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, relatif makin cepat pula orang tua menerima kenyataan dan segera mencari penyembuhan. Disisi lain, latar belakang pendidikan yang baik, memberikan kepercayaan diri yang lebih baik bagi orang tua, untuk mencari informasi mengenai keadaan anaknya. f. Sementara, status perkawinan yang harmonis, memudahkan suami isteri untuk bekerja saling bahu membahu, dalam menghadapi cobaan hidup yang mereka alami. g. Yang paling sulit diubah justru adalah sikap masyarakat umum. Makin rendahnya pengetahuan masyarakat umum akan kondisi kebutuhan khusus anak-anak ini, makin sulit bagi mereka untuk menerima ”kelainan” pada anak-
anak ini. Dengan sendirinya, sikap masyarakat kepada anak-anak ini cenderung tidak simpatik (yang membuat orang tua enggan mengajak anak mereka keluar rumah). Tatapan mata yang penuh selidik, menghardik orang tua saat sang anak menyerobot, berbisik-bisik menggunjingkan kondisi sang anak atau menyingkir jauh-jauh dari sang anakdengan kebutuhan khusus, sangatlah menyakiti perasaan orang tua anak-anak tersebut. Anak-anak ini memiliki ”pola” tingkah laku berbeda, tidak berarti mereka tidak layak untuk menikmati masa kanak-kanak mereka. Kondisi merekapun tidak menular, jadi tidak perlu khawatir dan menyingkir. Pada masyarakat yang sudah lebih ”menerima”, mereka berusaha memberikan dukungan secara tidak berlebihan (pada saat berhadapan dengan anak-anak dengan kebutuhan khusus). Menanyakan secara halus apakah orang tua perlu bantuan, memberikan senyuman kepada sang anak, memperlakukan orang tua seperti layaknya orang tua lain (dengan anak yang normal), merupakan hal-hal sederhana yang sebetulnya sangat membantu menghilangkan stres pada keluarga dari anak dengan kebutuhan khusus. h. Usia yang matang dan dewasa pada pasangan suami isteri, memperbesar kemungkinan orang tua untuk menerima diagnosa dengan relatif lebih tenang. Dengan kedewasaan yang mereka miliki, pikiran serta tenaga mereka difokuskan pada mencari jalan keluar yang terbaik. i. Sarana penunjang, seperti pusat-pusat terapi, sekolah khusus, dokter ahli, dan pusat konseling keluarga, merupakan saran penunjang yang sangat dibutuhkan oleh orang tua dalam mengasuh anak-anak dengan kebutuhan khusus. Dengan semakin banyaknya sarana penunjang ini, semakin mudah pula orang tua mencari ”penyembuhan” untuk anak mereka, sehingga makin tinggi pula kesiapan mereka dalam menghadapi ”cobaan” hidupnya. Peran orang tua bagi anak penyandang autisme sangat penting, banyak hal yang bisa dan harus dilakukan orang tua anak autisme diantaranya yaitu, Pertama, memastikan diagnostik, sekaligus mengetahui ada tidaknya gangguan lain pada anak untuk ikut diobati. Memilih
dokter yang kompeten. Umumnya, adalah
dokter anak yang menangani autisme, dokter saraf anak, dan dokter rehabilitasi medik. Kedua, orang tua perlu membina komunikasi dengan dokter. Hal ini dikarenakan kerja sama antara orang tua dengan dokter sangatlah penting, keterbukaan orang tua tentang kondisi anak, dan kesediaan mengikuti aneka pengobatan atau treatment yang disarankan akan mempengaruhi kemajuan anaknya dan merupakan syarat mutlak. Komunikasi yang baik antara dokter dengan orang tua dapat terlihat dari kemampuan orang tua memperoleh informasi mengenai kondisi anak. Jadi, pada saat berobat bukan hanya datang, anak diperiksa, diberi obat, lalu pulang. Jika hal itu terjadi maka waktu dan biaya yang telah dikeluarkan akan sia-sia. Ketiga, mencari dokter lain yang dapat memahami penyakit anak jika orang tua menganggap dokter kurang kooperatif atau tidak memberikan konsultasi memadai. Orang tua tidak boleh fanatik pada satu dokter karena tidak selamanya seorang dokter benar secara mutlak. Keempat, hal lain yang tidak kalah penting adalah berkata jujur pada dokter saat konsultasi, misalnya tidak menutup-nutupi salah satu gejala yang dialami anak. Kejujuran orang tua dalam menceritakan kondisi keseharian anak akan sangat membantu dokter mengevaluasi kondisi anak yang dapat mempengaruhi kemajuan anak. Kelima, orang tua perlu memperkaya pengetahuannya mengenai autisme. Terutama pengetahuan mengenai terapi yang tepat dan sesuai dengan anak. Selain itu, orang tua perlu menguasai terapi karena orang tua selalu bersama anak, sedangkan pengajar atau terapis hanya sesaat dan saling bergantian. Sebelum terapi dimulai, perlu diinformasikan bahwa orang tua juga terlibat dan tidak ada terapi yang dilakukan tanpa persetujuan orang tua. Untuk mengoptimalkan terapi perlu adanya kerja sama orang tua dan pertemuan berkala antara orang tua dengan terapis untuk mengevaluasi program maupun terapi itu sendiri.
Keenam. hal yang juga sangat membantu orang tua adalah bertemu dan berbicara dengan sesama orang tua anak autis. Orang tua berusaha untuk bergabung dalam parent support group. Selain untuk berbagi rasa, juga untuk berbagi pengalaman, informasi, dan pengetahuan. Ketujuh, selain itu, orang tua juga perlu bertindak sebagai manager saat terapi dilakukan, misalnya mempersiapkan kamar khusus, mencari dan mewawancara terapis, mengatur jadwal, melakukan evaluasi bersama tim, juga mampu memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan, terapisan, dan pengobatan anak. Terapis harus mempunyai perilaku professional termasuk mematuhi jam kerja dan menginformasikan jika mereka datang terlambat atau tidak datang. Lingkungan rumah tangga juga dapat menjadi suatu lingkungan terapi yang ideal bagi anak autisme. Terapi yang diberikan kepada setiap anak autisme hendaknya tetap melibatkan peran serta orang tua secara aktif. Tujuannya agar setiap orang tua merasa memiliki andil atas kemajuan yang dicapai oleh anak mereka dalam setiap fase terapi. Dengan demikian akan terbentuk suatu ikatan emosional yang lebih kuat antara orang tua dan anak, hal ini diharapkan akan mendukung perkembangan emosional dan mental anak menjadi lebih baik dari sebelumnya. Memberikan penanganan yang tepat dan terarah serta sedini mungkin pada anak penyandang autisme berarti memberikan kesempatan yang semakin besar kepada mereka untuk dapat hidup mandiri menuju masa depan yang lebih cerah.
BAB 3 Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif, kualitatif adalah pendekatan yang lebih menekankan pada manfaat dan pengumpulan informasi dengan cara mendalami fenomena yang diteliti (Moleong, 2000). Karakteristik subjek penelitian meliputi orang tua yang memiliki anak yang didiagnosa menyandang autisme. Jumlah sampel dalam penelitian ini meliputi 3 orang tua yang memiliki anak autisme, agar dapat memperoleh gambaran mengenai penerimaan orang tua terhadap anak autisme serta peranannya dalam terapi
autisme secara lebih mendalam. Teknik analisa data meliputi Analisa Intra Kasus dan Analisa Antar Kasus. Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara sebagai metode utama dan observasi sebagai metode pendukung.
BAB 4 Hasil penelitian ini Berdasarkan bentuk-bentuk penerimaan orang tua secara keseluruhan ketiga subjek dapat menerima sepenuhnya kondisi anak mereka yang didiagnosa menyandang autisme. Hal ini terlihat dari bagaimana subjek memahami keadaan anak apa adanya baik itu tingkah laku positif, negatif, kelebihan, serta kekurangan anak, memahami kebiasaan-kebiasaan anak dalam kesehariannya, menyadari apa yang bisa dan belum bisa dilakukan anak, memahami penyebab perilaku buruk dan baik yang dilakukan anak, membentuk ikatan batin yang kuat yang akan diperlukan dalam kehidupan dimasa depan dan mengupayakan alternatif penanganan sesuai dengan kebutuhan masing-masing anak. Meskipun pada awalnya mereka sempat merasa stres, bingung serta khawatir. Selain itu ada beberapa tahap yang dilalui oleh ketiga subjek dalam proses mencapai penerimaan terhadap anaknya yang didiagnosa menyandang autisme, yaitu tahap denial (menolak menerima kenyataan), tahap anger (marah), tahap bargaining (menawar), tahap depression (depresi) dan tahap acceptance (pasrah dan menerima kenyataan). Namun ketiga subjek melalui tahapan yang berbeda satu sama lainya. Hal ini dikarenakan adanya ketidaksempurnaan anak mereka masing-masing yang berbeda bila dibandingkan dengan anak lainnya yang sebaya. Penerimaan orang tua terhadap anak autisme timbul dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor dukungan dari keluarga besar yang menerima sepenuhnya kondisi anak, kemampuan keuangan keluarga yang berkaitan dengan sarana penunjang untuk melakukan terapi, latar belakang agama yang berkaitan dengan keiikhlasan dalam menerima kondisi yang dialami, tingkat pendidikan yang berkaitan dengan pola pikir dalam mengambil tindakan untuk penyelesaian masalah, status perkawinan berkaitan dengan motivasi dan dukungan diantara
orang tua, usia yang berhubungan dengan tingkat kematangan emosional individu dalam memahami, serta sikap para ahli dan masyarakat umum yang berkaitan dengan dukungan secara eksternal dari lingkungan dalam proses penerimaan orang tua terhadap anak autisme. Ketiga subjek sudah cukup berperan serta dalam penanganan anak mereka yang menyandang autisme sehingga dapat mendukung kelancaran terapi autisme yang dijalankan oleh anaknya. Hal ini terlihat dari adanya usaha orang tua untuk memastikan diagnostik dokter mengenai anaknya, selalu membina komunikasi dengan dokter, mencari dokter lain apabila dokter yang bersangkutan dinilai kurang
kooperatif,
berkata
jujur
saat
melakukan
konsultasi
mengenai
perkembangan anaknya, memperkaya pengetahuan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan autisme, dan mendampingi anak saat melakukan terapi baik ditempat terapi maupun dirumah. Namun ketiga subjek tidak mempunyai banyak waktu untuk bergabung dalam Parrent Support Group dan kurangnya informasi mengenai hal tersebut.
BAB V Kesimpulan dari hasil penelitian menunjukkan adanya penerimaan orang tua terhadap anak penyandang autisme memungkinkan dilakukannya deteksi dan intervensi dini sehingga mempercepat langkah-langkah apa saja yang akan diambilnya. Setelah orang tua dapat menerima keadaan anaknya, maka orang tua juga tetap mempunyai komitmen untuk berperan aktif dalam penanganan penyandang autisme sehingga dapat memaksimalkan jalannya terapi. Berikut ini adalah saran-saran yang mungkin diterapkan oleh para orang tua yang memiliki anak autisme, para terapis dan dokter serta saran untuk penelitian selanjutnya : 1. Untuk para subjek, yaitu orang tua yang memiliki anak Autisme : a. Subjek 1 Subjek 1 sudah cukup aktif hanya saja diharapkan agar lebih banyak lagi melakukan pendampingan pada anak, baik dirumah maupun ditempat terapi dan sebisa mungkin untuk menyempatkan diri menerapkan terapi dirumah apa
yang sudah diajarkan, tidak hanya mengandalkan pada pengasuh, karena pengasuhan sehari-hari akan lebih berdampak baik bagi hubungan interpersonal anak dengan orang tuanya. b. Subjek 2 Subjek 2 diharapkan agar lebih bersabar lagi dalam menghadapi dan menerima setiap perubahan anaknya yang memang berlangsung sangat lamban. Karena sekecil apapun perubahan yang dihasilkan oleh anak itu adalah merupakan kemajuan yang berarti dan setiap anak itu memiliki keunikan sendiri-sendiri. Selain itu subjek 2 agar lebih giat lagi dalam menerapkan terapi dirumah apa yang sudah diajarkan ditempat terapi. c. Subjek 3 Subjek 3 diharapkan agar lebih mau menerapkan terapi dirumah dan lebih giat lagi untuk mengikuti terapi agar kemajuan anak bisa lebih terlihat. Selain itu subjek 3 jangan merasa semua ini adalah akibat ketidakadilan Tuhan terhadap dirinya, anggaplah semua ini adalah cobaan yang harus dijalani dan agar lebih bersabar lagi dalam mengadapi anaknya, biar bagaimanapun anak dengan kebutuhan khusus ini membutuhkan kasih sayang dari orang lain terutama dari kedua orang tuanya. 2. Untuk terapis ditempat terapi tersebut, sebaiknya agar lebih kooperatif lagi dalam melakukan komunikasi dengan orang tua dan dapat memberikan perhatian serta dukungan yang lebih bagi anak dan orang tuanya. 3. Untuk dokter ditempat terapi tersebut, sebaiknya dapat memberikan informasi yang lebih banyak lagi kepada setiap orang tua mengenai Parent Support Group dan dapat membentuk suatu wadah yang sama fungsinya seperti Parent Support Group. 4. Penelitian selanjutnya, dapat melakukan penelitian tentang hubungan antara tingkat penerimaan orang tua yang memiliki anak autisme dengan keberhasilan terapi dengan menggunakan metode-metode dan sumber-sumber yang berbeda.