DESAIN DAN IDENTITAS July Hidayat1 Abstract Identity is frequently made to be the goal of design, as part of marketing strategy in winning the market, including for promotion and gets public appreciation. Even it is often considered to be thing which is mandatory owned by a design. Is identity really being such intention of design? When design is seriously experienced to the full of problem solving effort, to manifest its integrated aesthetic when presenting the value of beauty, righteous and goodness altogether, people oriented which considers translation of individual experience to universal/general design codes, appreciate the value of personal choice and individual context by giving opportunity to the consumer to be involved more actively in design process, the identity will emerge naturally. It is just a fair consequence from the approach mentioned; never to be the design goal. In the end, in more liquid comprehension and by interdisciplinary approach, design will be comprehended more as the way of thinking than a science that has certain method and theory. Keywords: design, identity, integrated aesthetic
Pendahuluan Latar Belakang Masalah Identitas adalah ilusi dalam pengertian merupakan hasil konstruksi pemikiran manusia. Tetapi sebagai hal yang tidak hadir secara nyata, bersifat ilusif, identitas terus-menerus dan secara intensif dibicarakan. Desain yang memiliki identitas digaung-gaungkan sebagai sebuah tujuan (design goal), baik sebagai strategi pemasaran ataupun kriteria desain yang baik atau seharusnya. Apakah benar bahwa identitas adalah tujuan dari desain? Pemahaman terhadap konsep identitas juga kerap dipertukarkan antara identitas yang dikaitkan dengan cara bagaimana manusia tampil atau menjadi dengan cara bagaimana manusia berada. Ketika seseorang memakai produk desain karena pertimbangan tren dan sekadar untuk diferensi, keinginan untuk terus berganti demi tetap mengikuti tren menjadi lebih penting daripada kebutuhan akan produk tsb. Dalam ideologi fashion, eksistensi produk dan manusia pemakainya menjadi tidak penting, karena satu-satunya hal yang tetap justru adalah kesementaraan dan kebergantian gaya desain. Apakah produk yang dipakai demi tren yang bersifat sementara, mampu merepresentasikan identitas pengguna? Identitas lebih berkaitan dengan cara manusia berada, yang terkait dengan bagaimana manusia membentuk eksistensi dirinya. Dalam kaitannya dengan desain produk, sesungguhnya dari pengertian desain sendiri, sudah tersirat bahwa desain berkaitan dengan cara manusia membentuk eksistensinya ketika desain 1
Universitas Pelita Harapan
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
hadir sebagai solusi masalah kebutuhan yang nyata dialami oleh manusia untuk membuat kehidupannya menjadi lebih baik (nyaman) (problem solving effort). Identitas kerap dipahami berasal dari persamaan esensial yang dimiliki oleh sekelompok individu, yang kemudian membentuk identitas kelompok, ataupun karakter esensial yang dimiliki oleh seorang individu. Pencarian terhadap karakter esensial membuat sebagian besar orang percaya bahwa identitas bersifat tetap, karena walaupun di permukaan berbeda-beda, tetapi ada satu hal di dalam yang sesungguhnya tidak berubah atau lebih stabil, yang sama antara satu individu dengan lainnya. Karakter stabil dan asumsi bahwa identitas relatif tidak berubah menghasilkan pola-pola identitas yang biasanya dalam desain dirangkum dalam jargon gaya tertentu. Apakah pola desain tsb memang ada, dalam arti, identitas memang berkaitan dengan karakter persamaan esensial yang relatif tidak berubah atau stabil? Desain sebagai budaya materi (material culture) adalah ekspresi budaya dalam relasi timbal-balik. Artinya produk desain adalah hasil representasi dari sistem kebudayaan (culture system), tetapi sekaligus juga sebaliknya, yaitu menciptakan terjadinya sistem perilaku yang lambat laun akan mengubah pola berpikir seseorang. Pada pendekatan yang pertama, analisis terhadap bentuk desain menjadi langkah awal untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih luas tentang konsep-konsep yang ada di balik bentuk, tentang pesan yang ingin disampaikan oleh desainer terkait dengan konteks sistem budaya yang menghasilkan desain tsb. Sementara pada pendekatan yang kedua, desainer perlu bekerja sama dengan para ahli di luar desain untuk dapat mewujudkan desain sebagai solusi masalah. Desainer dituntut untuk memahami unsur-unsur pemandu yang terkait dengan pembuatan desain: faktor sejarah, budaya dan relasi kekuasaan yang berasal dari sistem kebudayaan dan masalah teknis pembuatan produk desain itu sendiri, terkait dengan teknik pembuatan dan material. Dengan demikian, pada level proses pembuatan ataupun apresiasi, desainer dituntut untuk bekerja sama oleh para ahli terkait dari berbagai bidang. Pendekatan multidisipliner telah membuka kesempatan untuk menelaah ulang pengertian desain ke arah yang lebih cair: apakah desain merupakan sebuah ilmu yang sebagai konsekuensinya harus memiliki sistem metodologi sendiri, atau lebih sebagai sebuah cara berpikir atau pendekatan solusi masalah. Para desainer kerap dengan tegas membedakan diri dari seniman dan menegaskan perbedaan seni dengan desain, bahwa seni subyektif, berdasarkan slogan art for art sake dan desain lebih obyektif karena harus dapat dipergunakan, harus mengikuti fungsi guna, harus mengikuti kebutuhan dan konteks penggunanya, tidak terserah kepada keinginan penciptanya, dsb. Pada awalnya desain adalah bagian dari seni. Pada jaman klasik tidak dikenal pemisahan antara seni dan desain, yang ada hanyalah seni. Sehingga pendidikan dasar ‘desain’ sama dengan modal dasar seniman untuk berkarya. Apa yang saat ini dikenal sebagai desain, termasuk juga 16
July Hidayat Desain dan Identitas
dalam ruang lingkup seni. Ada hal-hal yang memisahkan desain dari seni pada masa desain modern setelah revolusi industri, ketika inovasi desain dihasilkan dari inovasi teknologi dan desain sangat terikat pada fungsi guna. Tetapi pada saat ini, ketika pendekatan dan sistem nilai pada desain meluas pada aspek sistem kebudayaan (budaya, sosial, politik, ekonomi), nilai keindahan desain tidak sekadar berasal dari persoalan bentuk semata, tetapi sebagai representasi dari sistem nilai yang ada dalam lingkungannya. Pada titik ini, ketika desain menjadi sebuah sistem reprsentasi, desain kembali bersinggungan dengan seni yang juga adalah sebuah sistem representasi; menjadi media penyampaian pesan agar apresiator lebih memahami realitas di sekelilingnya. Mungkinkah adanya tuntutantuntutan di luar aspek fungsi guna merupakan pendekatan yang terkait dengan hadirnya identitas di dalam desain? Pada akhirnya, apakah desain, apakah identitas dan apakah keduanya memiliki relasi mutual untuk lebih meningkatkan kualitas desain dalam pengertian lebih mengoptimalkan peran desain sebagai bahasa komunikasi visual dan solusi masalah yang berasal dari kebutuhan. Kajian ini bertujuan untuk menelusuri kaitan desain dengan identitas atau masalah identitas dalam desain dari aspek pendekatannya; identitas sebagai konsekuensi dari pendekatan desain (the nature of design). Wacana Desain Dalam wacana desain, terjadi perdebatan antara kelompok yang memahami desain lebih sebagai sebuah ilmu tersendiri, sehingga kemudian berusaha untuk membakukan metode desain dan merelasikannya dengan metode ilmiah, demi menghasilkan ilmu desain (science of design/design science) (Jacques 1981:18), dengan kelompok yang mempercayai desain lebih sebagai sebuah pendekatan atau cara berpikir untuk mensolusi masalah (designerly way of thinking), sehingga bisa terdapat dalam berbagai ilmu. Kelompok yang pertama memandang adanya pola dalam perilaku manusia yang bisa menjadi dasar bagi pertimbangan dan atau solusi desain, pola dalam desain berupa prinsip/pedoman/aturan baku dan metode baku dalam proses pelaksanaan desain. Aspek rasional atau logika diutamakan demi mencapai obyektifitas dalam desain. Sementara pihak yang lain lebih mengutamakan invensi pengalaman individual yang menekankan pada pentingnya proses kreatif dan kesenangan dalam mendesain. Dalam hal ini tampak adanya dimensi seni yang lebih kental. Di samping itu, adanya standarisasi atau pola baku dari metode atau teori tentang perilaku manusia, termasuk sistem budaya dan budaya materi yang dihasilkan manusia, dianggap mustahil karena semua budaya harus dipahami dari sudut pandang logika konteksnya masing-masing. Pendekatan yang pertama dikenal sebagai aliran perilaku (the behaviourist) dan yang kedua sebagai fenomenologi (the phenomenologist) (Jacques 1981:3). Pendekatan yang lebih fenomenologis, seperti terdeskripsikan melalui pendapat Blumer (1969), menyatakan bahwa tidak 17
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
mungkin ilmu pengetahuan dapat menstandarisasikan atau meuniversalkan pola perilaku manusia dalam penggunaan desain (yang menjadi pedoman umum dalam desain), karena apresiasi dan atau respon manusia terhadap segala sesuatu merupakan invensi yang datang dari pengalaman individual, yang memperhitungkan di dalamnya karakterkarakter non ilmiah, yaitu kompleksitas yang tidak dapat digeneralisir, ambiguitas dan relatifitas, sehingga sulit untuk dipasti-pastikan. Dengan demikian desain sebenarnya lebih berperan bukan sebagai sebuah disiplin ilmu tertentu dengan pendekatan, metode dan teori tertentu, tetapi lebih merupakan sebuah cara pandang untuk menstrukturkan atau mensistemkan atau menciptakan keberaturan pada dunia yang tidak teratur dan tidak terukur. Bruce Archer mengemukakan bahwa memang ada pengertian yang lebih luas tentang desain dan ada pengertian yang lebih khusus atau spesifik berkaitan dengan permasalahan bentuk (intra estetik). Pengertian desain yang lebih cair adalah sebagai area pengalaman individual, keterampilan dan pemahaman yang merepresentasikan kepedulian manusia terhadap aspek keberaturan, fungsi dan makna dalam pengertian konsep yang ada di balik bentuk. Sementara desain dalam pengertian yang lebih sempit adalah manifestasi dari masalah konfigurasi, komposisi, struktur, kegunaan dan makna dalam benda (produk) dan sistem yang dibuat oleh manusia (Jacques 1980:54). Pengertian yang pertama beorientasi kepada desain sebagai sebuah pendekatan dan pengertian yang lebih spesifik adalah desain sebagai sebuah proses dan hasil, terkait dengan pembuatan sebuah karya desain. Tetapi pemahaman desain yang lebih komprehensif dinyatakan oleh John Heskett (2004) sbb: Design is to design a design to produce a design (Heskett 2004 dalam Zainuddin 2006:18)
Terdapat empat kata desain dalam definisi Heskett yang merujuk pada desain sebagai ilmu, proses aktivitas pembuatan desain, hasil produk desain dan wacana desain yang mendiskusikan desain sebagai sebuah sistem nilai. Dalam kategori yang terakhir, pengertian desain yang mengemuka bukanlah sebagai proses ataupun sebagai hasil, tetapi sebagai kegiatan metafisik yang berkaitan dengan refleksi dan pemikiran kiritis dalam konteks apreasiasi desain. Tentunya berbagai dimensi tsb bukanlah kategori untuk dipilih walaupun mungkin adakalanya perlu ditetapkan batasan ruang lingkup untuk mendapatkan fokus pembahasan, karena berbagai kategori tsb saling terkait dalam sebuah sistem yang koheren. Relasi antara desain dan identitas dapat dieksplorasi dari kajian Michael Polanyi tentang peranan empati, pengetahuan implisit dan peran individual dalam ilmu pengetahuan (tacit knowledge), bahwa sesungguhnya pendekatan ilmu pengetahuan bukanlah bersifat obyektif (seperti yang digaungkan selama ini sebagai acuan sifat ilmiah), tetapi justru subyektif 18
July Hidayat Desain dan Identitas
atau individual. Pergumulan tentang identitas sesungguhnya terletak bukan pada level fisik, tetapi bersifat abstrak dan merupakan proses yang terjadi secara non verbal dan visual secara implisit dan individual (tacit knowing process). Desain yang memiliki identitas dicirikan melalui kemampuannya untuk menimbulkan rasa memiliki dari penggunanya (sense of belonging). Untuk itu si pengguna harus memiliki semacam empati atau pemahaman terhadap hal yang tidak tampak secara eksplisit dalam karya desain, yaitu yang berkaitan dengan pemaknaan atau konsep-konsep di balik bentuk. Wacana Identitas Identitas merupakan sebuah sistem representasi. Berdasarkan kamus, istilah representasi memiliki tiga buah pengertian. Pertama, representasi adalah citra, penampakan, penggambaran atau ekspresi dari imaji dan ide yang dibentuk oleh pikiran dan dinyatakan secara khusus (Webster, Oxford); representasi adalah simbol (Badudu). Kedua, representasi adalah perwakilan (KBBI, Webster, Oxford). Pengertian yang ketiga memiliki makna persuasif, tidak netral, bahwa representasi adalah kalimat atau pernyataan formal yang membawa pemikiran atau ide tertentu, yang ditujukan untuk mempengaruhi pendapat atau tindakan seseorang, sehingga terjadi perubahan (Webster, Oxford). Pengertian yang ketiga dari kamus tsb mendukung pemahaman bahwa proses internal dari representasi dipengaruhi oleh ideologi (Spencer 2006:3). Dengan kata lain, ideologi adalah sistem representasi (Althusser 1971). Dalam hal ini, ideologi mendasari dan tampak dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, sehingga representasi dari nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi tsb merupakan identitas budaya yang pada akhirnya terepresentasikan sampai pada tataran budaya materi, termasuk desain. Pengertian identitas yang diacu adalah identitas dalam realita, yaitu yang berkaitan dengan cara (bagaimana) manusia berada. Pemahaman identitas seperti ini dibedakan dengan “identitas dalam fantasi” yaitu yang berkaitan dengan cara (bagaimana) manusia akan menjadi (M. Sastrapratedja, S.J. 2008). Pengertian yang kedua bersifat temporer, tidak memiliki landasan hadir yang jelas (kuat) – sekadar untuk diferensi dan bukan identitas dalam pengertian yang sesungguhnya. Sementara identitas sebagai cara manusia berada (identity of being) didasari oleh ruang-ruang budaya yang nyata dialaminya dan mempengaruhi struktur keberadaannya. Kata identitas pertama kali dipergunakan pada 1570 dalam bentuk ‘identitie’ yang artinya adalah sebuah kualitas atau kondisi yang memiliki persamaan dalam hal substansi, komposisi, elemen alamiah atau karakter tertentu; absolut atau secara esensial sama; sebuah kesatuan (Benwell 2006:18). Membaca pengertian etimologis ini, wajar apabila secara umum identitas suatu kelompok dipahami sebagai sebuah persamaan karakter esensial atau keserupaan yang dimiliki oleh setiap anggota kelompok dan 19
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
diakui sebagai ciri yang membedakan kelompok tsb dengan yang lain. Pengertian pertama dari identitas ini bersifat implisit, seakan-akan identitas adalah sebuah jati diri yang berada di dalam, sehingga sifatnya tersirat, tidak dapat dilihat atau dikenali secara langsung, karena yang tampak di luar belum tentu mewakili jati diri yang sesungguhnya di dalam. Identitas ini bersifat intrinsik, tidak tampak dari luar dan kontras dengan identitas yang ditampilkan di depan publik. Dalam hal ini, identitas adalah sesuatu yang esensial dan psikologis serta diistilahkan sebagai identitas atau realitas internal. Dengan demikian pendekatan pertama dalam memahami identitas adalah pemikiran bahwa walaupun orang-orang menampilkan diri mereka secara berbeda dalam konteks yang berbeda dan berbeda pula satu dengan lainnya, pada dasarnya, jauh di dalam hati dan pikiran, masih didapati karakter yang sama sebagai sebuah identitas yang stabil (identitas dasar atau prinsipil atau stereotype). Pada pengertian yang lebih awal ini, identitas adalah proyek bentukan pribadi, sebagai usaha dari diri sendiri untuk memahami jati diri melalui identitas kolektif atau sosial atau budaya. Pengertian yang kedua bertolak dari kenyataan dasar bahwa manusia adalah makhluk sosial, sehingga tidak mampu untuk hidup sendiri. Pendekatan ini memahami identitas sebagai sebuah fenomena publik. Artinya pada akhirnya yang bermakna adalah yang ditangkap oleh persepsi publik tentang diri kita; identitas adalah interpretasi yang dibangun oleh orang lain; sebuah konstruksi sosial. Dalam hal ini, berlawanan dengan pengertian yang pertama, identitas bersifat eksplisit, jelas terlihat dari luar dan ekstrinsik yaitu sebagai nilai yang dibangun oleh faktor eksternal. Karena identitas adalah hasil konstruksi orang-orang lain di sekitar kita yang memiliki cara pandang atau penilaian berbeda-beda, maka identitas bersifat paradigmatik. Konsekuensinya adalah tidak ada identitas yang absolut. Identitas adalah sesuatu yang dinamis, yang secara aktif dalam arti terus-menerus dikonstruksi di dalam wacana; identitas adalah hasil negosiasi dalam wacana sosial. Identitas sebagai Konsekuensi Wajar Pendekatan Desain Interdisipliner Dalam pembuatan desain Sony Center di Berlin misalnya, arsitek dari perusahan Murphy/Jahn di Chicago harus bekerja sama dengan para ahli teknik pencahayaan, teknik konstruksi baja, kaca dan fabric, untuk mewujudkan desain kubah skylight pada kompleks bangunan tsb (gambar 1 & 2). Dalam pembuatan desain produk, desainer kerap diperhadapkan oleh kebutuhan untuk bekerja sama dengan ahli material science dan engineering, kadang juga dengan seniman untuk bisa mewujudkan sebuah produk. Dalam hal ini, interaksi hibrid lebih sulit daripada sinkretik. Contoh dari interaksi sinkretik adalah ketika desain diperlakukan hanya sebagai pembungkus, untuk membuat sebuh desain menjadi “manusiawi”. Atau dengan kata lain, desainer lebih fokus pada pengolahan bentuk permukaan 20
July Hidayat Desain dan Identitas
yang terpisah dengan sistem mekanik di bagian dalamnya. Tetapi dalam kasus konstruksi bangunan tradisional Tionghoa, interaksi antara dimensi seni dan teknik bersifat hibrid. Dalam modul konstruksi yang disebut duogong, tidak ada pemisahan antara seni dan teknik. Elemen desain duogong memenuhi kebutuhan fungsional dan estetis secara bersama-sama. Kerjasama interdisiplin dalam desain produk dapat dicontohkan antara lain melalui konsep desain motor futuristik dari desainer Shaun Stevens untuk Audi, yang diberi nama Audi AM. Audi AM adalah konsep motor beroda tunggal untuk menghemat bahan bakar dan mengurangi polusi udara dalam kota, untuk menunjang konsep kehidupan kota yang berkelanjutan (suistainable city). Untuk itu, desainer Shaun Stevens perlu bekerja sama dengan ahli teknik mesin, elektro dan lingkungan (gambar 3 & 4).
Gambar 1 & 2: Sony Center, Berlin dari konsultan arsitketur Murphy/Jan Sumber: Verlagshaus Braun, 2005 www.skycrappercity.com
Gambar 3 & 4: Audi AM dari Shaun Stevens Sumber: blog.rightpedal.com
Bagaimana pendekatan interdisipliner dapat memunculkan identitas? Ketika konsep citra desain dimunculkan dari berbagai kebutuhan dan berbagai sumber yang berbeda, desainer dituntut untuk bekerja sama dengan berbagai ahli terkait untuk dapat memahami berbagai kebutuhan citra dari sumber-sumber yang berbeda tsb dan memikirkan sinkretisasinya. Desain interior toko misalnya, kiranya tidak ditentukan sekadar dari karakter produk yang dijual, tetapi juga mengakomodir citra yang 21
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
sesuai dengan gaya hidup segmen market utama misalnya, memenuhi juga kebutuhan citra sesuai dengan misi pengelola misalnya, serta sinergis pula dengan karakter arsitekturnya misalnya, memenuhi juga persyaratan teknis dan fungsional gedung misalnya. Desainer perlu memadukan semua kebutuhan tsb dalam sebuah konsep citra yang akhirnya menjadi panduan konsep bentuk, material, warna, pencahayaan dan penghawaan, serta konsep-konsep desain lainnya. Identitas akan muncul dengan sendirinya sebagai konsekuensi dari optimasi dan solusi kreatif desainer untuk memenuhi berbagai kebutuhan dari dimensi yang berbeda. Identitas bukan tujuan yang dicari-cari dari awal tetapi lebih merupakan sebuah konsekuensi. Identitas sebagai Konsekuensi Wajar Translasi Pengalaman Individual terhadap Pola Desain Analisis terhadap kasus desain menyatakan bahwa pola desain tetap ada, tetapi pola yang merupakan konteks desain secara umum (contoh: langgam desain) tidak sekadar ditiru atau diterapkan sesuai dengan referensi aslinya. Bahkan strategi representasi identitas adopsi pun tidak pernah terjadi tanpa translasi. Translasi terjadi karena pola desain umum tsb didialogkan dengan konteks-konteks desain yang lebih khusus yang berasal dari pola-pola desain lokal (lebih kontekstual) dan keinginan subyektif pengguna yang referensinya tidak dapat dipolakan (tidak memiliki referensi). Translasi muncul dalam bentuk kombinasi desain yang bersifat sinkretik/hibrid dalam level yang berbeda-beda, yang bentuknya pun tidak tetap, berubah sesuai dengan perubahan konteks pengguna dan lingkungannya, sehingga hibriditas bentuk adalah sebuah konsekuensi yang wajar. Hibriditas desain menjadi semacam ruang intervensi atau ruang wacana yang tidak stabil, yang di dalamnya makna identitas terusmenerus dikonstruksi. Dengan demikian yang mampu dicermati bukan apa identitas itu sendiri, tetapi bagaimana identitas dibentuk, yaitu mencari variabel-variabel pembentuk identitas dalam desain, yaitu keberadaan bahasa yang lebih umum yang terkait dengan vektor persamaan dan bahasa yang lebih kontekstual dan individual, terkait dengan vektor perbedaan. Bentuk yang berasal dari konteks subyektif pengguna merupakan gugus fungsi, dalam arti, perbedaan jenisnya akan menentukan perbedaan sifat representasi identitas yang timbul. Ketika gugus pribadi pengguna yang berinteraksi adalah preferensi subyektif, maka yang dihasilkan adalah identitas yang berkaitan dengan cara bagaimana manusia mencitrakan dirinya (identitas ini dapat dipilih), sementara gugus kebutuhan subyektif menghasilkan identitas yang berkaitan dengan cara manusia berada (identitas ini berasal dari ruang budaya yang nyata dialami oleh pengguna). Gugus preferensi dan kebutuhan subyektif bersifat lintas budaya, tidak terikat pada ruang budaya tertentu yang menjadi “identitas asal” yang bersifat genetis, sesuai dengan tidak dimungkinkannya pengkategorian budaya berdasarkan batas-batas etnik, karena ruang-ruang budaya saling berinteraksi dalam proses menuju hibriditas; tidak ada identitas etnik. 22
July Hidayat Desain dan Identitas
Gambar 5: Translasi individual terhadap gaya desain Indische Empire pada tampak depan rumah Tionghoa peranakan di Lasem Sumber: July Hidayat 2008
Gambar 6 & 7: Pola lantai area teras, kusen dan furnitur ruang tamu juga diberi warna kuning. Warna tsb adalah pilihan pribadi untuk mendekati warna emas yang dalam budaya Tionghoa adalah simbol dari kemakmuran. Sumber: July Hidayat 2008
Identitas sebagai Konsekuensi Wajar Estetika Terintegrasi Ada dua hal yang pada awalnya memisahkan desain dari seni. Pertama, diakui adanya prinsip baru dalam berkarya, bahwa sesuatu dapat lahir dari alam teknis, dari ranah ‘teknik’ dan inovasi teknologi, tidak lagi mengikuti azas mimesis, di mana kemudian pendekatan ini berkembang dan melahirkan desain produk (Widagdo 2006). Kedua, desain kerap dipisahkan dari seni oleh keberadaan fungsi guna (function of use). Pada perkembangannya, terutama pada era ideologi pomodern, desain tidak hanya sekedar dibangun dari inovasi teknologi tetapi juga tetap dan kembali belajar dari alam. Bentuk-bentuk representasional sama-sama diakui seperti bentuk non representasional atau abstrak. Tujuan desain juga tidak dibatasi pada fungsi guna (function of use), tetapi fungsi evokasi yang berkaitan dengan aspek pemenuhan kebutuhan emosi (function of evocation) dan representasi simbolik (function of symbol). Dogma desain form follows function yang dikeluarkan oleh Sullivan, yang pada desain modern dipersempit menjadi sekedar fungsi guna, pada penjabaran yang lebih utuh merupakan integrasi dari fungsi guna, evokasi dan simbolik. Pada saat ini, pendekatan dan sistem nilai pada desain meluas pada aspek sistem kebudayaan: budaya, sosial, politik, ekonomi. Nilai keindahan desain (interior) tidak sekedar berasal dari komposisi bentuk dan persoalan ruang semata, tetapi sebagai representasi dari sistem nilai yang ada dalam lingkungannya. Pada titik ini, pada waktu desain menjadi sebuah sistem reprsentasi, desain kembali bersinggungan dengan seni yang juga adalah sebuah sistem representasi; media penyampaian pesan agar apresiator lebih memahami realitas di sekelilingnya. Pada titik ini, desain diposisikan mengikuti pendapat Tolstoi tentang hakekat seni sebagai media peningkatan kualitas spiritual, yang 23
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
dapat mendekatkan relasi manusia dengan Tuhan dan sesamanya, di mana desain tidak cukup untuk menjadi indah, tetapi seperti tujuan dari desain tradisional yang tidak memisahkan guna dengan non guna, ataupun pengertian fungsi yang utuh di atas, desain juga harus baik dan benar – membawa manusia untuk lebih mengenal sistem budayanya atau menjadi media pembelajaran juga. Hal inilah yang disebut oleh Widagdo sebagai estetika yang utuh atau aletheia, sebagai integrasi dari keindahan, kebenaran dan kebaruan (Widagdo 2006:16); penulis berpihak pada istilah estetika terintegrasi (integrated aesthetic). Tuntutan untuk menghasilkan keindahan yang utuh, tidak berhenti pada aspek fungsional, membuat desainer masuk pada studi kajian yang lebih dalam tentang konsep-konsep filosofis yang ada di balik bentuk. Ketika desainer berusaha untuk menggubah rupa atau merupakan sedemikian konsep makna yang abstrak tsb sehingga dapat menyampaikan pesan kepada apresiator desain, desain memiliki identitas dengan sendirinya, karena identitas terjadi ketika apresiator berhasil memaknai produk dan merelasikannya dengan konteks budayanya (timbul sense of belonging). Berbicara mengenai aspek kebaruan dalam desain, kemampuan dasar minimal yang dimiliki oleh desainer untuk dapat mendesain dari jaman Vitruvius sampai sekarang tidak berubah: 1. Penguasaan bahan atau material elemen desain, 2. Penguasaan aspek teknik seperti teknologi bahan, teknik bangunan, termasuk sistem/teknik konstruksi, fisika bangunan dan gambar teknik, 3. Penguasaan aspek konseptual, termasuk di dalamnya estetika, sejarah, psikologi, ergonomi dan manajemen desain. Proyek desain pun tidak berubah, yaitu pengolahan elemen-elemen produk dalam berbagai fungsi produk. Sumber kebaruan dalam desain atau identitas dalam desain dibangun mulai dari pendekatan perancangannya. Apabila pada desain klasik, pendekatan desain relatif tidak terpisah dengan seni karena memang secara umum tidak ada pemisahan antara seni dan desain (walau adanya perbedaan cara berkarya sudah mulai dirasakan sejak jaman renaisans), pada desain modern pendekatan desain berpisah dengan seni dengan latar-belakang tuntutan fungsi guna pada desain, pada desain posmodern, apa yang dahulu terpisah-pisah dalam kategori-kategori yang ketat menunjukkan gejala saling mengintervensi kembali membentuk hibriditas. Dari bekal kemampuan dasar, desainer merumuskan masalah desain, membuat konsep solusi masalah dan implementasi desain, tetapi pada waktu mendesain, ia juga masuk dalam perenungan-perenungan yang lebih luas tentang isu-isu yang mengiringi desain yang dibuatnya. Contoh dari integrasi antara nilai keindahan, kebenaran dan kebaikan dalam desain dapat ditemui dalam desain tatami (gambar 8). Ruang yang mempergunakan tatami merepresentasikan salah satu pemikiran dasar dalam filsafat budaya tradisional Jepang tentang hidup sebagai sebuah perubahan yang konstan. Ruang yang diberi tatami adalah sebuah ruang kosong yang fungsinya berubah-ubah (fleksibel), yaitu sebagai 24
July Hidayat Desain dan Identitas
ruang tamu, ruang makan, ruang tidur, upacara minum teh dan lain-lain kegiatan. Terdapat tuntutan terhadap cara beraktivitas dalam ruang tsb, sesuai dengan etika moral atau tata sopan-santun dalam budaya tradisional Jepang. Melalui desain ruang tatami, pengguna dapat mengalami nilai keindahan, kebenaran dalam pengertian kesesuaian terhadap fungsi dan kebaikan dalam pengertian nilai budaya. Contoh yang lain adalah keberadaan ’inner court-yard’ dalam desain tradisional Tionghoa yang merepresentasikan konsep menjaga keseimbangan antara ruang terbuka alam dan tertutup buatan, atas dasar pandangan manusia bagian dari alam (gambar 9 & 10). Keberadaan ruang terbuka di bagian tengah rumah mengkondisikan ruang-ruang yang mengelilinginya, mendapatkan pencahayaan dan penghawaan alami. Ruang terbuka di bagian tengah menjadi ruang komunal, sebagai muara pertemuan ruang-ruang privat yang mengelilinginya. Dengan demikian, ketika mengalami ruang, apresiator mengalami nilai keindahan, kebenaran dan kebaikan yang berasal dari representasi pandangan hidup dan nilai budaya komunal.
Gambar 8: Tatami Sumber: Kaori Karasawa & Hironobu Baba (www.ne.jp)
Gambar 9: Ruang terbuka pada Kompleks kuil tradisional Tionghoa Sumber: Liu 1989:61
Gambar 10: Ruang terbuka pada rumah tradisional Tionghoa Sumber: Knapp 2005:108
Pendekatan seni yang juga dipakai menjadi pendekatan desain untuk memenuhi aspek kebaruan dalam model estetika terintegrasi berkaitan dengan kreativitas dan intuisi. Kreativitas merupakan cara subyektif desainer mengolah hal-hal yang obyektif, tetapi seorang desainer yang terlatih akan memakai intuisi untuk mengambil keputusan desain. Pada waktu itu ia akan “melompati” sekian banyak tahapan programming dan pembuatan konsep desain yang mendahului sebuah implementasi desain. Pada titik inilah penulis menyebut seorang desainer sebagai seniman, pada waktu tidak ada “resep” standar untuk mensolusi sebuah masalah desain sama halnya dengan tidak ada deskripsi baku sebuah solusi desain yang baik itu seperti apa, di mana semua tergantung dari persenyawaan atau hibriditas berbagai hal dalam pemikiran si desainer sebelum ia mengeluarkan sebuah keputusan desain. Tergantung latar belakang kebudayaannya (ground), bukan hanya situasi kondisi lingkungan 25
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
tempat ia dibesarkan sampai sekarang tetapi juga konteks kebudayaan lokasi proyek dibuat dan konteks kebudayaan pengguna, pengendapan pendidikan dasar yang ia dapat, latihan yang ia dapat selama menimba pengalaman menjadi desainer, preferensi pribadi yang dipengaruhi kemampuan atau kepekaan mengeksplorasi, menganalisis dan membuat relasi antar konsep desain. Acapkali desainer harus dapat memperhitungkan hal-hal yang belum terjadi tetapi akan terjadi, agar desainnya dapat bertahan mengakomodir kebutuhan untuk jangka waktu yang relevan. Benar, kemungkinan-kemungkinan ini hendaknya diprediksikan secara logis dan dapat dipertanggungjawabkan secara obyektif. Tetapi tidak semua hal dapat diukur secara obyektif dan kalaupun dapat tidak semua batasan waktu proyek memungkinkan. Pada titik ini desainer terlatih mempergunakan intuisi untuk membuat keputusan-keputusan desain. Penutup Identitas berkaitan dengan cara manusia berada, sehingga identitas desain sangat terkait dengan kebutuhan, bukan keinginan untuk tampil dalam budaya permukaan tanpa kedalaman makna. Desain sebagai solusi masalah kebutuhan ini terkait juga dengan tujuan dari pembuatan desain untuk merepresentasikan kebenaran fungsional yang menyatu dengan keindahan sebagai pemenuhan fungsi evokasi dan kebaikan sebagai pemenuhan fungsi simbol, agar melalui desain manusia juga bisa belajar tentang nilai-nilai. Ketika desain dibuat untuk mencapai estetika yang merupakan integrasi keindahan, kebenaran dan kebaikan tsb, desainer perlu bekerja sama dengan para ahli lintas disiplin. Dalam mengerjakan desain, akan selalu ada translasi pengalaman individual terhadap pola-pola desain sehingga identitas dalam desain akan muncul dengan sendirinya. Dengan kata lain, identitas tidak pernah menjadi tujuan dari desain, tetapi merupakan proses wajar dan hasil alamiah dari pendekatan desain yang benar (tepat), yang berorientasi pada manusia (people oriented) dan solusi masalah kebutuhan yang nyata. Semua ini adalah hukum lama dalam desain. Desain yang memiliki identitas hanyalah cara untuk memenuhi kebutuhan nyata aktualisasi diri dan ikatan sosial. Desain yang memiliki identitas timbul dalam benak apresiator. Apresiator baru akan merasa sebuah desain memiliki identitas bila antara dirinya dan sebuah produk desain terjalin rasa ’sense of belonging’ seperti halnya apabila sebuah desain interior rumah tinggal berhasil menimbulkan rasa ’feel at home’ pada diri penghuninya. Implikasi kebijakan strategis terkait dengan masalah desain dan identitas adalah digalakkannya pendekatan yang lebih kontekstual dan individual, lebih berorientasi pada manusia, serta melibatkan berbagai bidang keilmuan dalam pembuatan desain. Dalam kerjasama desain interdisipliner, yang menjadi acuan bagi label desain, apabila diperlukan, bukanlah batasan-batasan kaku bidang keilmuan, tetapi lingkup proyek desainnya. Contoh: pada saat ini sudah ada bidang kajian atau disiplin 26
July Hidayat Desain dan Identitas
’enviromental design’ yang di dalamnya terlibat ahli teknik sipil, lingkungan, arsitektur dan interior, bukan lagi mengkotak-kotakkan ”keilmuan” dalam kotak-kotak teknik sipil, teknik lingkungan, arsitektur dan desain interior. Dalam seni pun demikian, maraknya seni instalasi membuat seni meleburkan batas-batas seni lukis, patung dan grafis, bahkan antara seni rupa dan seni pertunjukkan. Dengan demikian yang diharapkan untuk dikembangkan adalah industri-industri kreatif skala kecil yang mengembangkan desain-desain yang lebih kontekstual dan spesifik, sesuai dengan gaya hidup, kebutuhan dan preferensi spesifik segmen-segmen market tertentu. Lokalitas sebagai representasi identitas akan muncul dengan sendirinya ketika muatan-muatan lokal berdialog dan mentranslasi kode-kode desain yang lebih universal yang didasari oleh pertimbangan fungsional dan kebutuhan untuk mengikuti persyaratan teknis, demi menyesuaikan diri dengan kebutuhan konteks masyarakat lokal penggunanya. Akan lebih baik lagi bila desain lebih memberikan ruang untuk pengguna, untuk lebih aktif terlibat dalam proses desain. Contoh: desain produk yang citranya dapat dipilih sendiri oleh penggunanya baik sebagian maupun keseluruhan, desain produk yang terdiri dari elemenelemen fleksibel dapat dirakit ulang dan dikombinasikan sendiri oleh pemakainya. Translasi individual terhadap kode desain umum akan memunculkan identitas dengan sendirinya. ___________ Daftar Pustaka Benwell, Bethan dan Stokoe, Elizabeth. 2006. Discourse and Identity. Ediburgh: Edinburgh University Press. Jacques, Robin dan Powell, James A. 1981. Proceedings of the 1980 Design Research Society Conference. Surrey, England: Westbury House. Knapp, Ronald G. 2005. Chinese Houses. The Architectural Heritage of a Nation. Vermont: Tuttle. Liu, Laurence G. 1989. Chinese Architecture. London: Academy Editions. Parkes, Graham. 2005. Japanese Aesthetics dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy. Website: http://plato.stanford.edu. Tanggal akses: 23 April 2010. Sastrapratedja, M. 2008. Ruang Publik/Privat dan Kebudayaan. Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
27