Deny Setiyadi 2
Negeri Keajaiban DENY SETIYADI
3 Negeri Keajaiban
Negeri Keajaiban oleh Deny Setiyadi Penyunting: La Agusta Putri Pewajah sampul: Hesti Rosita Dwi Putri Pengilustrasi: Hesti Rosita Dwi Putri Penata letak: Deny Setiyadi Diterbitkan secara mandiri melalui Nulisbuku.com Jakarta, Indonesia ISBN-10: 3-033-00851-9 ISBN-13: 979-3-033-00851-9 © 2016 Deny Setiyadi Cetakan I: Desember 2016
Deny Setiyadi 4
‘Negeri Keajaiban’ mampu menginspirasi pemuda di luar sana yang masih larut dalam problematika kehidupannya. — Hesti Rosita Dwi Putri
Memanusiakan sisi gelap manusia. — La Agusta Putri
‘Negeri Keajaiban’ sangat layak dibaca. Pengarang sangat terampil menggunakan gaya bahasa. Konflik yang disajikan terasa jelas. — Ninik Puspita
5 Negeri Keajaiban
Deny Setiyadi 6
Teruntuk Ronan Furlong— dan Sharon yang berada di surga, aku merindukan kalian Buku ini didedikasikan untuk mengenang mereka
7 Negeri Keajaiban
Deny Setiyadi 8
2013
9 Negeri Keajaiban
Deny Setiyadi 10
Juli
| RICKI PRAKASA
MALAM YANG CUKUP DINGIN DI MUSIM PANAS DI SWORDS, kota pinggiran dari ibukota Dublin. Hari sudah hampir pagi, namun aku masih bisa mendengar beberapa suara pesawat terbang yang lalulalang di atas kepalaku. Sudah sepuluh menit aku menanti. Dari kejauhan terlihat seorang pria dengan jaket berwarna pirus sedang melambaikan tangannya ke arahku, memberikan sinyal agar aku masuk ke dalam sebuah ruangan kecil di sebelah rumah berdinding cokelat muda. Pria itu berlari kecil menghampiriku. “Sudah lama kau di sini?” Tanyanya dengan nafas terengah-engah. Wajahnya sedikit pucat dan tidak terawat. “Tidak juga.” Jawabku, “Di mana James dan yang lainnya?” Ia hanya mengangkat bahu dan menggelengkan kepalanya tanda tidak tahu, lalu membuka pintu ruangan tersebut perlahan. Namaku Ricki, dan pecandu tersebut adalah temanku sejak kecil, Ronan. Saat ini, aku memasuki tahun keduaku belajar di sebuah kolese kecil di Dublin. Sebenarnya aku tidaklah sebiasa itu. Aku tahu ini akan sulit untuk dipercaya, namun aku pernah diterima di salah satu universitas terbaik di Amerika Serikat, Jerman, dan Kerajaan Inggris. Terhitung ada sebelas universitas dan sekolah tinggi yang
11 Negeri Keajaiban menerimaku, dan sebagian besar dari mereka bahkan menawarkan beasiswa dan hibah yang nilainya benar-benar tidak pernah bisa kubayangkan sebelumnya. Aku ingat betul saat aku mendapatkan surat penerimaan ketujuhku dan membacanya, hari di mana aku melihat Da untuk terakhir kalinya. Dia telah pergi meninggalkanku, Ma, dan Conor yang saat itu baru lulus SMP. Di saat itu pula aku memutuskan untuk mengubur mimpi-mimpiku sedalam-dalamnya. Aku tidak bisa meninggalkan Ma sendirian, ia sangat membutuhkanku. Aku juga tidak mau adikku satu-satunya tumbuh tanpa figur seorang laki-laki dewasa. Mereka adalah segalanya bagiku. Orang-orang bilang aku bodoh dan tidak tahu diuntung, mereka hanya tidak mengerti. Terkadang aku ingin mereka tahu apa yang terjadi, namun aku berpikir lagi, mereka tidak layak. Aku juga tidaklah seistimewa itu. Aku selalu memiliki kesulitan belajar sejak SMP di hampir setiap mata pelajaran, dan karena hal itu pula teman-temanku mengintimidasiku, baik secara fisik maupun mental. Aku hanya sendirian, bahkan para kutu buku dan garib memiliki komunitas, aku tidak. Aku berada di kasta sosial terendah. Guru
pengetahuan
umumku
pada
saat
itu
pernah
tidak
mengizinkanku menghadiri kelasnya selama musim gugur dengan alasan ‘tidak memenuhi syarat’. Hingga suatu ketika, aku benar-benar merasa berada di titik terjenuh, sehingga kertas-kertas ujian matematikaku yang seharusnya kuselesaikan malah kuubah menjadi seekor burung bangau. Sejak saat itulah aku tahu, aku berbeda. Sejak saat itulah aku mulai berpikir untuk melakukan sesuatu yang setidaknya bisa kubanggakan nanti. Aku memulainya dengan musik. Sejak kecil aku piawai bermain piano, dan sekarang aku juga mahir
Deny Setiyadi 12 dalam biola dan seruling Irlandia. Memulai memang hal tersulit, namun aku tetap melakukannya. Seiring waktu, aku tidak lagi melihat kekuranganku sebagai penghalang besar untuk bermimpi, melainkan sebuah anugerah yang memungkinkanku bekerja lebih keras dari orang lain. Mimpi harus diperjuangkan, bukan? Masa laluku telah memperlihatkanku satu hal, bahwa hampir semua orang adalah bajingan yang sama sekali tidak dapat dipercaya. Bagaimana dengan James, Ronan, dan Aoife? Aku tahu, mereka bukanlah orang-orang yang pantas
dipanggil
‘teman’. Mereka
hanyalah pecandu berat obat-obatan tanpa masa depan. Namun dari mereka aku belajar banyak hal. Mereka mengajariku
bahwa
kehidupan adalah rasa sakit, hanya orang-orang mati yang tidak bisa merasakannya. Ya, masalah-masalah kehidupan tersebut merupakan esensi dari kehidupan itu sendiri. Mengutip Benjamin Franklin, “Banyak orang meninggal pada usia dua puluh lima, dan tidak dikubur sampai mereka tujuh puluh lima.” Banyak orang menyianyiakan lima puluh tahun dari hidupnya terjebak dalam rutinitas, sebuah eksistensi tanpa mimpi dan renjana, tanpa tujuan. “Hei, sedang memfantasikan apa kau? Claire?” Tanya Ronan membuyarkan lamunan panjangku. Aku melihat James dan Aoife yang sedang teler saling berciuman di pojok ruangan. Kuteguk Smithwick’s yang berada di tanganku. “Bisa saja kau. Aku hanya memikirkan… sesuatu. Ngomongngomong, sampai kapan kau akan terus-menerus seperti ini? Tidakkah kau memiliki sebuah mimpi atau semacamnya?” Jawabku. Ronan mengalihkan pandangannya ke langit-langit ruangan. “A-aku benar-benar tidak tahu. Tapi aku ingin sekali menjadi seorang guru… tapi kedengarannya tidak mungkin. Aku lebih suka
13 Negeri Keajaiban mendengar milikmu. Kau satu-satunya orang yang memilikinya di sini.” Katanya dengan nada pesimistis. “Ceritakanlah.” “Menurutmu, apakah aku pantas menjadi seorang musisi?” Tanyaku setengah bercanda, mencoba menyita perhatiannya. “Aku akan menjadi pengunjung pertama di konser pertamamu kalau begitu.” Jawabnya, tanpa tertawa sedikitpun. “Haha! Aku hanya bergurau.” Ujarku. “Tidak ada yang salah dengan hal itu, kawan. Aku akan selalu mendukungmu.”
Tambahnya
lagi
sambil
menepuk
pundakku,
kemudian merogoh sakunya dan mengeluarkan plastik kecil berisi bubuk heroin. Ia bangkit menghampiri meja dan menaruh bubuk tersebut ke sebuah sendok makan dan mencampurnya dengan alkohol. “Kau tidak dalam perawatan ADHD-mu lagi?” Tanyanya. “Untuk apa? Itu sudah dua tahun yang lalu. Ma tidak mampu lagi membayarnya.” Kataku. “Bukan apa-apa. Lagipula amfetamin-amfetamin stimulanmu itu sampah.” Ujarnya. Ia menyuntikkan campuran alkohol dan heroin tersebut melalui lengan kirinya. Ia mengerang pelan dan matanya terpejam, lalu terdiam menikmati halusinasi temporer yang disebabkan oleh obat keras tersebut. “Dengar, sehancur-hancurnya kau dan hidupmu, jangan pernah melakukan ini.” Katanya sok bijak, lalu ia menyeret langkahnya dan pergi. Walau begitu aku mengagumi Ronan, begitu juga Aoife dan yang lainnya. Mereka tidak pernah mencoba atau berniat untuk menjerumuskanku. James pernah menawarkan lintingan ganja kepadaku beberapa minggu lalu, tapi kurasa ia tidak benar-benar serius akan hal itu.
Deny Setiyadi 14 “Selamat bersenang-senang.” Kulirik arlojiku, sudah hampir setengah dua pagi, semoga saja Ma tidak mencariku. “Oi, ke mana si keparat itu pergi?” Teriak James. “Mana kutahu.” Kataku singkat. Aku bangkit dan mengambil ranselku yang berada di atas meja kayu tua. “Beraninya si brengsek itu mengambil jatahku!” Umpatnya. Aku tidak merespon. “Aku akan pulang. Jaga si kepala titit ini baik-baik.” Pesanku kepada Aoife sebelum bergegas keluar dari ruangan tersebut. Aoife mengacungkan jempolnya tanpa menoleh ke arahku. Aku pergi keluar dan mencari Ronan. Tak berapa lama, aku mendengar sesuatu, sebuah suara, dan suara itu berasal dari balik tumpukan kardus. “Astaga!” Aku berteriak histeris begitu melihat Ronan yang tergeletak tak berdaya di lantai. Tubuhnya kejang hebat. “Hei, Ronan! Kau baik-baik saja?! Ronan!” Teriakku dengan perasaan cemas. Ronan tidak merespon sama sekali. Wajahnya sangat pucat dan kuku-kuku jarinya membiru. Ada bekas muntah di sampingnya. “James! Aoife! Cepatlah ke sini!” Perintahku, namun tidak ada jawaban sama sekali. Aku mencoba menenangkan diri dan tidak panik. Nafas Ronan melambat secara signifikan, hanya 4-6 kali per menit dan mungkin akan berhenti dalam beberapa saat. “James! Cepat kau ke sini!” Panggilku lagi. Seketika terdengar suara pintu yang sedang dibuka. “Ada ap─R-Ronan?!” Kata James begitu melihat tubuh Ronan yang terbujur kaku. Dia terlihat sangat panik.
15 Negeri Keajaiban “Overdosis! Hubungi 999 sekarang!” Perintahnya. Aku segera mengeluarkan ponselku dan menekan tombol 999. Tanganku sedikit bergemetar, menunggu jawaban dari panggilan tersebut. “Layanan darurat 999. Ada yang bisa kami bantu?” Terdengar suara wanita yang terhubung melalui ponselku. “Seseorang terbujur kaku di sini! Tolong kirim mobil ambulans sekarang!” Jawabku tidak sabaran. Aku terbawa situasi. “Baik. Harap tenang, Tuan. Ceritakan apa yang telah terjadi.” Kata wanita itu. “Temanku, dia sepertinya overdosis heroin. Ia tidak bergerak sama sekali. Tolong panggilkan ambulans!” Aku memohon. “Baiklah. Di mana Anda berada saat ini?” “Belcamp Avenue. Cepatlah, dia sekarat!” “Harap tenang, Tuan. Sekarang apakah ia masih bernafas?” “Dia masih bernafas beberapa waktu lalu, sangat lambat. Aku tidak tahu sekarang. Cepatlah!” Isakku. Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. “Baiklah. Ambulans akan datang sebentar lagi. Apakah di sekitar Anda terdapat nalokson atau sejenisnya?” “Tidak ada.” “Apakah ada apotek di sekitar Anda?” “Tidak ada! Cepatlah! Dia sekarat!” “Ambulans akan datang sebentar lagi, Tuan. Apakah ia masih bernafas, Tuan?” “Nafasnya melambat.” “Sekarang beritahu saya setiap kali ia bernafas. Bisakah Anda melakukannya, Tuan?” Perintah wanita tersebut. “Baiklah…” Jawabku singkat.
Deny Setiyadi 16 “Ia bernafas sekarang!” Kataku kepadanya. “Terima kasih, Tuan. Beritahu saya yang selanjutnya. Teruslah berhitung sampai ambulans tiba.” Aku mengikuti perintahnya. Beberapa menit kemudian terdengar suara sirine ambulans dari kejauhan. Bertahanlah, kawan. Batinku dalam hati. “Ambulans sudah datang.” Aku memberitahu wanita itu. Tiba-tiba seorang petugas mengambil ponselku. “Kami di lokasi.” Katanya. Ia menutup panggilan tersebut dan mengembalikan ponsel itu kepadaku. Ia lalu menghampiri Ronan bersama dengan temannya, dan memeriksanya selama beberapa saat. “Dia sudah meninggal... Kita terlambat.” Kata salah satu dari mereka. Aku terdiam, bungkam tanpa sepatah kata sekalipun. Aku menatap James yang sama bisunya denganku. Mereka menggotong tubuh Ronan ke dalam ambulans dan pergi. Ronan, dia telah pergi untuk selamanya. []
17 Negeri Keajaiban
Agustus
| SHARON MEHDI
AKU MERINGIS KETIKA DOKTER MELEPAS JARUM TRANSFUSI dari lengan kiriku. Ini adalah saat yang paling aku benci, transfusi darah. Aku lega hal ini sudah berakhir, dan sekarang aku bisa pulang dan menikmati akhir pekanku untuk beristirahat. Aku bangkit dan tersenyum kepada pria separuh baya tersebut, ia membalas senyumku sambil membersihkan bercak darah yang tersisa dari transfusi. Aku Sharon, seorang perawat di salah satu rumah sakit umum di Kairo. Aku adalah seorang Muslim dan aku bangga akan hal itu. Sebagai seorang Muslim, aku juga berhijab dan hijab sudah menjadi bagian dalam hidupku. Siapa saja yang memiliki masalah dengan hal itu harus paham bahwa tidak ada paksaan sama sekali bagiku untuk mengenakannya. Hijab itu sendiri melambangkan kehormatan, proteksi, dan keteguhan iman. Sejak lahir aku telah menderita thalasemia, sebuah kelainan darah yang diturunkan secara genetis melalui hubungan keluarga, di mana tubuh memproduksi bentuk abnormal dari hemoglobin, protein dalam sel darah merah yang membawa oksigen. Ya, kedua orangtuaku merupakan pembawa thalassemia beta. Orang-orang yang hidup dengan thalassemia harus melakukan
Deny Setiyadi 18 transfusi darah seumur hidupnya, frekuensinya tergantung dari jenis dan tingkat keparahannya. Dalam kasusku misalnya, dua bulan sekali. Aku tidak pernah menyalahkan mereka, terlebih mereka semua telah tiada. Dan aku yakin Allah memberikanku ‘kelebihan’ ini sebagai bukti kemahaadilan-Nya; bahwa tidak seorangpun di dunia ini yang sempurna.
Preview
19 Negeri Keajaiban
September
| RYAN JAMESON
BAGI SEBAGIAN BESAR PENGHUNI KOTA SALT LAKE, UTAH, cuaca hari ini merupakan mimpi buruk di awal musim gugur. Tidak bagiku. Hari ini mungkin hari tercerah dalam hidupku setelah wisuda SMA tahun lalu. Panggilan misiku datang pagi ini namun ibu belum mengizinkanku membukanya sebelum Amanda dan anggota keluarga lainnya datang. Ia bahkan tidak mengizinkanku memegangnya barang sedetikpun. Huh, penasaran aku dibuatnya. Namaku Ryan Jameson. Aku lahir dan dibesarkan di keluarga penganut Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir yang bahagia. Kalian biasanya memanggil kami orang Mormon. Dalam ajaran Mormonisme, pemuda-pemudi Mormon sepertiku didorong
untuk
melakukan
misi
selama
dua
tahun
untuk
memberitakan ajaran-ajaran yang dibawa oleh Joseph Smith―nabi kami yang kami cintai, melalui Kitab Mormon kepada sesama umat manusia di berbagai penjuru dunia. Kami menyebut masa-masa tersebut sebagai ‘dua tahun terbaik’. Kakak perempuanku, Amanda telah menjalani misinya empat tahun lalu di Washington, D.C., yang tak henti-hentinya ia bicarakan selama berbulan-bulan, sampai seorang pria yang sekarang menjadi
Deny Setiyadi 20 kakak iparku menikah dengannya dan pada akhirnya dia berhenti bercerita (jangan tanya bagaimana dia melakukannya). Bagaimana denganku? Ke mana aku akan pergi untuk misiku? Alabama? Membosankan. New York? Bukan seleraku. Jepang? Romania? “Kau siap, Ryan?” Ucapan ayah membuyarkan lamunanku. “Amanda
sudah
datang,
yah?”
Aku
berbalik
tanya.
Ayah
mengangguk, lalu memberi isyarat agar aku segera keluar dan menemui kakakku. “Ryan-ku yang manis! Aku sudah tak sabar!” Ujar Amanda sembari memelukku. Huh, akulah yang seharusnya berkata seperti itu. Ibu lalu memberikan surat panggilan misiku beserta sebuah gunting. Ini adalah kali pertamaku memegangnya, dan juga terakhir. Aku menghirup nafas dalam, jujur aku sedikit gugup karena ini merupakan salah satu momentum bersejarah dalam hidupku. Dalam beberapa detik ke depan, aku akan mengetahui di mana aku akan menghabiskan dua tahun berdakwah dan melakukan kegiatan kemanusiaan. Aku menggunting bagian atas amplop itu perlahanlahan, kemudian kukeluarkan isinya. Kutarik nafas dalam sekali lagi, dan kupejamkan mataku sejenak. “Yang terkasih, Penetua Ryan Jameson,” Aku membaca kalimat pertama. Kupandang wajah ibu yang tersenyum hangat penuh cinta dan kebahagiaan. Wajah yang sama terlihat di wajah ayah, namun berbanding terbalik dengan teman-temanku yang terlihat tegang dan penasaran. Russell bahkan menutup kedua telinganya. “―dengan ini Anda dipanggil untuk mengabdikan diri sebagai seorang misionaris Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir. Diantisipasi bahwa Anda akan mengabdi untuk jangka
21 Negeri Keajaiban waktu 24 bulan, dan Anda ditugaskan untuk bekerja dalam Misi...” Aku terdiam sejenak dan menatap keramaian. “...Misi Kamboja– Phnom Penh.” Sorak-sorai pun menggema, Amanda teriak. Tuhan, Kamboja benar-benar jauh di luar dugaanku. “Selamat! Kudengar tarantula goreng sangat populer.” kata John. “Wow, aku tidak sabar, John.” Timpalku dengan nada sedikit sarkastik. Aku melanjutkan membaca. “Anda diminta untuk melaporkan diri ke Pusat Pelatihan Misionaris Provo pada 6 November 2013. Anda akan memberitakan Injil dalam bahasa Khmer...” Tanpa kusadari, air mataku terjatuh di pipiku. Ini adalah momentum awal dari ‘dua tahun terbaik’-ku. Dalam beberapa minggu ke depan aku akan hidup dan tinggal di sisi lain dunia, berbicara dalam bahasa asing yang belum pernah kuketahui sebelumnya, dan mengabdikan diriku untuk Tuhan. Teman-temanku menghampiriku untuk memberi selamat. John, Emma, Russell, mereka semua adalah yang terbaik dan kita akan meninggalkan satu sama lain dalam waktu yang cukup lama. Sungguh berat rasanya. Begitu juga dengan keluargaku, ayah, ibu, Amanda… Ah, sungguh tidak adil rasanya untuk memikirkan hal tersebut di saat seperti ini. “Meski tak sesuai dugaanku, tapi aku gembira sekali. Mereka beruntung mendapatkanmu.” Ujar Michael. Kata-kata tersebut setidaknya membuatku merasa lebih baik. “Rasa senangku lebih besar dari rasa iriku.” Tambah Amanda sambil mengernyitkan dahinya. Aku tertawa. “Kau tahu? D.C. itu jauh lebih keren dari yang kau kira.” Celetuk Emma dengan wajah agak masam. Emma mendapatkan panggilan
Deny Setiyadi 22 misinya tiga hari yang lalu, dan dia akan menjalani Misi Washington, D.C. seperti Amanda. Jadi, aku rasa dia sedang mencoba menghibur dirinya sendiri. Aku mengangguk tanda setuju. D.C. tidaklah sebegitu buruk. Walau tentu saja, Asia Tenggara jauh lebih eksotis dan menantang. “Aku bercanda, Emma. Aku sangat, sangat menyukai misiku.” Amanda mencoba menebus kesalahannya. “Kau akan ke D.C.?” Tanya Michael. Emma menggangguk. “Bagaimana denganmu, Russell? John?” “Amerika Selatan, yo! Misi Chile-Santiago lebih tepatnya.” Jawab Russell dengan antusiasme yang tinggi. “Panggilan misiku belum datang. Tapi kuharap itu Florida, atau paling tidak Kanada. Yah, aku memiliki masalah dalam beradaptasi. Yah, kita lihat saja minggu depan.” Kata John. “Atau Kerajaan Tonga.” Russell menambahkan. Yang lain pun tertawa. "John Terkasih..." Tambahnya lagi, sambil meniru salah satu adegan dari The Other Side of Heaven, sebuah film yang menceritakan tentang petualangan seorang misionaris Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir bernama John Gilbert, anak petani dari Idaho Falls, Idaho, yang ditugaskan di Kerajaan Tonga selama dua setengah tahun. Aku tak kuasa menahan tawa. Hari semakin sore dan gelap. Russell, Emma dan teman-temanku yang lain sudah pulang, hanya John yang masih di sini karena aku mengajaknya bermain Xbox hingga larut malam, kebiasaan yang dulu sering kami lakukan pada waktu SMA saat libur musim panas tiba, setidaknya dua kali seminggu. Sekarang John dan aku menuntut ilmu di sekolah yang sama, Universitas Brigham Young, sebuah universitas
23 Negeri Keajaiban yang didirikan dan dioperasikan oleh gereja kami, yang terletak di Provo, Utah. Sekilas aku memang terlihat klise. Seorang penganut Orang-Orang Suci Zaman Akhir yang lahir dan besar di Kota Salt Lake, Utah, belajar di Universitas Brigham Young, dan sebagainya. Namun sebenarnya
ada
satu
hal
tentangku
yang
benar-benar
tidak
terbayangkan, dan tidak seorang pun tahu akan hal itu. Sudah kusimpan rapi semuanya selama bertahun-tahun dalam kepurapuraan. Aku tahu betul, jika seseorang mengetahuinya, semua tidak akan sama lagi. Aku takut suatu hari nanti akan tiba saat di mana aku harus berhenti berpura-pura. “Kau siap?” Tanya John. “Selalu.” Jawabku secepatnya. “Kalau begitu, bersiaplah untuk merengek seperti bayi, kawan.” Ujarnya penuh percaya diri. “Bicara sesukamu, Johnny.” Kataku seadanya. Lalu kami larut dalam suasana. Benar-benar hari yang indah bagi seorang Ryan Dean Jameson. Sungguh besar kasih yang Bapa Surgawi anugerahkan kepada umatnya yang percaya kepada Injil yang dipulihkan dan dalam beberapa minggu ke depan, aku akan memberitakan kabar baik ini
kepada orang-orang di
Kamboja.
Di
sela-sela permainan,
kuucapkan kesaksianku pelan. Kitab Mormon adalah nyata adanya. Aku tahu Yesus Kristus hidup, dan Dia mati untuk menebus dosa-dosa kita sehingga kita bisa menjalani kehidupan sekarang yang penuh suka cita. Aku tahu Nabi Joseph Smith bertemu dengan Bapa Surgawi dan anak-Nya, kemudian dia bertanya gereja mana yang benar dan Mereka menjawab ‘tidak ada’. Dan aku bersaksi kepada hal-hal tersebut dalam nama Yesus Kristus. Amin. []
Deny Setiyadi 24
Oktober
| RICKI PRAKASA
SUDAH HAMPIR DUA BULAN SEJAK KEPERGIAN RONAN, namun aku masih membiarkan diriku terlarut dalam duka yang mendalam. Tadi pagi aku menerima surat panggilan kedua dari kolese karena sudah enam hari aku tak menampakkan diri. Ironinya, kolese baru saja dimulai dua minggu lalu dan rencanaku untuk membangun masa depanku dari bangku kuliah kini hancur berantakan. Aku bahkan tidak tahu seberapa banyak aku kehilangan berat badanku, tapi aku merasakannya. Aku merasakan kedua lenganku mengecil, dan bahu bidangku menyempit. Kepergian Ronan benar-benar telah mengubahku, hidupku, kepribadianku, segalanya. Berminggu-minggu aku hanya mengurung diri. Sesekali aku keluar untuk keperluan kolese, itu pun kalau bukan karena Ma. Dia bekerja hingga larut, enam hari seminggu untuk biaya kuliahku, biaya sekolah Conor, dan keperluan sehari-hari. Aku tahu ia lelah, aku melihat sorotan matanya yang meredup. Aku benar-benar terjebak. Aku sangat prihatin terhadapnya. Namun, aku belum mampu mengalihkan rasa kehilanganku, aku tidak yakin aku bisa. Bicara soal Ma, aku belum melihatnya sejak makan malam kemarin. Jangan-jangan ia mengambil giliran malam lagi.
25 Negeri Keajaiban “Conor, Ma di mana?” Tanyaku begitu melihat Conor yang sedang membuka lemari es. “Eh, kau mengagetkan saja. Dia mengambil giliran malam dan siang sekaligus dan kurasa dia baru akan pulang sore nanti. Ma tidak memberitahumu?” Jawabnya. Aku menggelengkan kepala. Dugaanku tidak meleset. “Ngomong-ngomong, di mana sarapan untuk hari ini?” Tukasnya. Ia menutup lemari es, kemudian menghampiriku. “Sarapan? Sudah hampir jam sebelas ini! Dari mana saja kau?” Kataku. Wajah Conor berubah gugup. “A-aku… Um… Lupakan saja. Lagipula aku tidak begitu lapar. Dah.” Jawabnya terbata-bata. Aku yakin betul ia belum makan sejak semalam. Ia berbohong. Tak biasanya ia bertingkah seperti itu. Lalu ia pergi dengan tergesa-gesa, namun aku mencegahnya. “Tunggu. Kau mau apa? Aku mungkin akan keluar sebentar. Nanti kubawakan sesuatu.” Tanyaku lagi. “Apa saja. Trims, ya.” Jawab Conor singkat. Kemudian ia melanjutkan langkahnya menuju ke kamarnya. Ia seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Aku bangkit dari kursi dan berjalan menuju kamarku. Kuambil switer biru tua dari dalam lemari, dan beberapa keping antasida dari kotak obat, lalu keluar. Kulihat pintu kamar Conor sedikit terbuka. Ada baiknya aku bertanya. “Kau baik-baik saja?” Tanyaku. Ia melepas alat pendengar yang ada di telinga kanannya. “Aku baik-baik saja. Ada apa?” Ia berbalik bertanya. “Memeriksa saja.” Jawabku sekenanya. “Baiklah. Aku pergi dulu.” “Hati-hati, kak.” Pesannya. Lalu aku berjalan keluar.
Deny Setiyadi 26 Udara di luar lumayan sejuk dan berangin, namun aku masih bisa merasakan sedikit kehangatan cahaya matahari yang mengintip dari balik awan-awan. Aku sengaja memperlambat langkahku dan membiarkan cahaya tersebut menerpa wajahku. Di saat-saat seperti ini memang seharusnya aku lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah karena efektivitas matahari sebagai sumber anti-depresan terbaik benar-benar tak diragukan lagi. Setibanya di halte bus, aku mengeluarkan beberapa uang logam dan memasukkannya ke mesin tiket. Delapan menit kemudian bus yang akan kutumpangi datang. Aku segera duduk di kursi yang terletak di baris keempat dekat jendela. Suasana di dalam cukup sepi. Kulihat hanya ada aku dan enam penumpang lainnya yang sebagian besar merupakan para lanjut usia. Tidak satu pun dari mereka berbicara satu sama lain. Setelah menempuh perjalanan selama 20 menit, bus berhenti tepat di
depan
Pemakaman
Dardistown.
Ini
pertama
kalinya
aku
berkunjung ke makam Ronan sejak kepergiannya. Sejujurnya aku agak gugup. Tapi mau tidak mau, siap tidak siap, aku harus melakukannya. Aku harus siap. Aku menghela nafas, kuberanikan diri untuk melangkah masuk ke area pemakaman dan mulai mencari. Tak sulit menemukannya. Terdapat batu nisan setinggi kurang lebih satu setengah meter di pusara makam yang bertuliskan:
DI SINI BERISTIRAHAT DENGAN TENANG RONAN FLYNN FURLONG 12 MEI 1994 - 14 JULI 2013
27 Negeri Keajaiban Kudekati pusara tersebut dan memegangnya. Kupejamkan mataku sejenak, aku tak kuasa menahan tangis. “Dasar bodoh kau…” Timpalku dengan nada sesenggukkan. Kuturunkan badanku sedikit demi sedikit hingga kududuki rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar makam, lalu bersandar di pusaranya dan membiarkan lagi diriku terlarut dalam duka yang mendalam dan tanpa kusadari, aku terlelap di antara ratusan makam yang memenuhi area pemakaman yang cukup luas tersebut. “Hei, Ricki! Ricki. Bangun. Sedang apa kau di sini?” Tiba-tiba terdengar sebuah suara cukup mengejutkan yang datang dan membangunkanku. Lantas aku membuka mata sepatku perlahan. “Sial, Cath. Kukira siapa. Bagaimana kau tahu aku di sini?” Ujarku dengan wajah sedikit kebingungan. Ternyata bukannya
Cath-lah menjawab,
yang ia
baru malah
saja
membangunkanku
bangkit
dan
dan
mengarahkan
pandangannya ke pusara, lalu membaca tulisan yang tertera di batu nisan tersebut. Kemudian ia menatapku. “Ronan? Siapa?” Tanyanya singkat. Aku tidak menjawab. “Peduli untuk menjelaskan?” Tanyanya lagi. “Bukan siapa-siapa. Lagipula kau sendiri belum menjawab pertanyaanku.” Aku beralibi. Aku berdiri dan menepuk bagian belakang celanaku yang penuh pasir dan rumput kering. “Sudah berhari-hari batang hidungmu tidak kelihatan. Ke mana saja kau? Aku mengkhawatirkanmu tolol! Tadi aku datang ke rumahmu, tapi kau tidak ada di sana. Aku hanya bertemu adikmu dan dia bilang kau ke sini.” Jelasnya panjang lebar. Aneh. Aku tidak
Deny Setiyadi 28 bilang apa-apa ke Conor. Bagaimana ia bisa tahu aku sedang berada di Dardistown? “Ada apa sebenarnya? Siapa Ronan?” Tanyanya. “Aku temanmu, Ricki. Kasih tahu, dong.” Katanya penuh rasa penasaran. Aku menghela nafas. “Ronan, ehm… Dia temanku.” Jawabku. Aku mencoba untuk tidak terlihat cengeng. “Maafkan aku, aku tidak bermaksud...” Katanya. “Tak perlu. Ngomong-ngomong, ada hal baru apa saja?” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. “Oh iya, aku sebenarnya ingin memberitahumu sesuatu. Aku yakin kau akan menyukainya. Tapi tidak di sini.” Jawabnya. Tiba-tiba aku merasakan sesuatu jatuh di kepalaku. Tetesan-tetesan air. Kualihkan pandanganku ke arah langit yang berubah kelabu, sebentar lagi akan turun hujan. “Kalau begitu ayo ke rumahku saja. Sudah mau hujan pula.” “Tidak juga, kau harus datang ke kampus Senin besok. Aku akan menunjukkanmu.” Ia menolak tawaranku pelan. “Sampai ketemu besok.” Ia pergi menjauh. Dasar, aku bisa mencium rencananya untuk membawaku kembali ke kolese. Mungkin Cath benar juga, aku harus segera kembali secepatnya. Kulirik arlojiku. “Ya ampun! Conor menungguku!” Teriakku dalam hati. Aku segera berlari secepat mungkin sambil memikirkan sesuatu yang harus kubeli untuk Conor. Ia pasti sudah sangat kelaparan. Buru-buru kunaiki bus menuju Swords yang baru saja tiba di pemberhentian bus di depan area pemakaman. Sepanjang perjalanan aku memusatkan perhatianku ke kanan-kiri jalan dan berharap dapat menemukan kedai atau restoran cepat saji
29 Negeri Keajaiban yang buka. Aku menemukan satu! Aku segera turun dari bus, dan berjalan menuju sebuah kedai pizza yang baru saja kutemukan. “Satu loyang Cajun Apache berukuran besar.” Kataku kepada si wanita kasir. “Dimakan di sini atau dibawa pulang, Tuan?” Tanyanya. “Dibawa pulang.” Kulihat angka yang tertera di layar kecil di hadapanku. Aku mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan dari dompetku, lalu menyerahkannya kepadanya. “Mohon ditunggu selama lima belas menit.” Katanya, lalu ia memberikan uang kembalianku. Aku berjalan menuju kursi kosong di pojok ruangan dan menunggu pizzaku. Tak berapa lama, seorang pria berseragam menghampiriku dan memberikan pizza pesananku. “Ini pizza Anda, Tuan.” Katanya sopan. “Terima kasih.” Balasku. Lalu aku bangkit dan beranjak keluar dari restoran tersebut, melanjutkan perjalananku pulang. Tepat pukul satu siang, aku tiba di rumah. Kulepas sepatuku yang sedikit basah karena sempat kehujanan dan menaruhnya di jejeran rak sepatu. Sambil berjalan menuju meja makan, kupanggil Conor agar segera turun untuk makan siang bersamaku. Tak butuh waktu lama, ia pun bergegas keluar dari kamarnya dan menuruni tangga menuju dapur. “Seperti yang telah kujanjikan, aku membawakanmu sesuatu.” Sorakku, lalu mengambil dua buah piring dan beberapa minuman kaleng dingin dari lemari es dan kuletakkan di meja makan. “Kuharap perutmu tidak keberatan untuk mencerna pizza hari ini.”
Deny Setiyadi 30 “Kau bercanda? Ini kesukaanku!” Seru Conor lantang, sembari mengambil sepotong pizza di hadapannya dan meletakkannya di piringnya. Lalu ia melahapnya. “Tadi temanmu datang. Dia mencarimu.” Ceritanya. “Aku tahu. Aku bertemu dengannya di Dardistown. Dari mana kau tahu aku tadi ke sana?” Tanyaku sedikit penasaran. Conor mempercepat kunyahannya. “Aku adikmu, bahkan!” Candanya. “Aku hanya mengira-ngira saja. Jangan kau kira aku masa bodoh dengan apa yang sedang kau alami saat ini. Aku peduli. Lagian kenapa kau tidak menceritakannya kepadaku tentang mantan kekasihmu itu? Dia kan temanku juga.” Tambahnya. “Mantan kekasih kepala moyangmu. Memangnya kau tahu apa?” Ujarku. “Dan jangan sekali lagi kau melakukan hal seperti tadi. Kau tahu Cath bukan orang sini? Dia bisa saja tersasar.” Tambahku. Sedikit
Preview
mengada-ngada memang, karena Cath tidak mungkin tersasar. Adikku hanya mengacungkan kedua jempolnya tanda mengerti. “Tapi serius, deh. Apa yang sedang mengganggu pikiranmu akhirakhir ini?” Tanyanya. Raut wajahnya berubah simpatik. “Ceritakanlah padaku. Kau tidak harus menjalani semuanya sendiri. Kau juga merasa kasihan dengan Ma, bukan? Dia terusterusan memikirkanmu.” Ujarnya. Conor benar, aku khawatir sekali dengan kondisi Ma. Mungkin sudah waktunya aku terbuka tentang perasaanku. “Lagipula aku rindu bermain bulutangkis denganmu.” Kuletakkan pizza yang belum kuhabiskan di atas piringku dan menghentikan makanku sejenak. Aku menghela nafas. “Ronan, dia selalu tersenyum dan terlihat baik-baik saja...“
31 Negeri Keajaiban “Aku hanya penasaran, apa yang membuatnya melakukan hal sebodoh itu.” Ceritaku panjang. “Kau tahu sesuatu?” Tanyaku. Conor mulai berpikir. “Yah, ini hanya dugaanku saja. Tapi aku rasa seseorang membunuhnya. Mungkin salah satu dari teman-temanmu yang lainnya?” Ia menduga-duga. “Maksudmu apa? Jangan melantur kau!” Ujarku agak kesal. “Sudah kubilang itu hanya dugaanku saja! Dia, sebagaimana juga semua
teman-temanmu,
kan
pecandu!
Kalau
kau
tak
mau
mendengarkan opiniku, ya sudah. Lupakanlah." Timpalnya. “Kau tidak tahu barang satupun tentang teman-temanku!” Kuselesaikan makan siangku secepatnya, lalu beranjak pergi. “Rapikan sisa-sisa makan siangmu jika kau sudah selesai dan beritahu aku kalau Ma sudah pulang.” Pesanku. Conor hanya diam dan memalingkan mukanya. “A-aku minta maaf.” Sesalku. Lalu dengan langkah gontai, kususuri anak tangga satu-persatu menuju kamarku. []
Deny Setiyadi 32
| SHARON MEHDI AKU TIDAK MERINGIS SAMA SEKALI SAAT JARUM transfusiku dilepaskan. Kejadian itu telah membuatku mati rasa, hatiku lumpuh. Belasan tahun aku mengenal Ibrahim dan mempercayainya, seorang pria agamis terdidik yang pernah mengatakan bahwa apapun penderitaan yang kita alami dalam hidup ini adalah tidak sia-sia, dan bahwa Allah memberikanku penyakit agar orang lain bisa memiliki kesempatan. Munafik. “Sudah selesai, Nona.” Dokter itu tersenyum. “Terima kasih.” Balasku dengan nada datar. “Kembali. Anda baik-baik saja, Nona?” Tanya dokter tersebut. Tampaknya ia memperhatikan raut wajahku yang penuh amarah dan kekecewaan. “Aku baik-baik saja. Sampai jumpa, dok.” Jawabku. Lalu aku keluar dengan langkah tergesa-gesa sebelum Sang Dokter sempat membalasnya. Aku hanya tidak mau orang-orang melihatku sebagai seorang wanita yang lemah. Sepanjang hidupku, detik demi detik kulalui dengan penuh perjuangan. Aku terbiasa berjuang sendiri, namun aku tahu betul bahwa setiap individu sedang berjuang dengan pertempuran keras yang kita tidak tahu apa-apa tentangnya. Tiba-tiba ponselku berdering. Kuhentikan langkahku sejenak dan merogoh tasku. Di layar ponsel terdapat pemberitahuan bahwa aku memiliki satu panggilan tak terjawab dan dua surel baru, salah satunya dari Aliyah. Kududuki kursi di dekatku dan membuka surel tersebut. Tatapanku terpaku kepada isi surel yang dikirim Aliyah saat kubaca surel tersebut.
33 Negeri Keajaiban
Tanggal: 19 Oktober 2013 Pengirim: Aliyah Talman (
[email protected]) Perihal: Te: Bantu Membentuk Masa Depan Perempuan Kamboja Hai, mungkin kau akan tertarik dengan ini. Salam kasih, Aliyah. -Apakah Anda memiliki keterampilan dalam bidang keperawatan, kebidanan, atau medis? Apakah Anda siap untuk petualangan yang menantang dan mengubah hidup? Biaya perjalanan Anda dari negara asal serta $200 + $50 per minggu untuk kebutuhan makam dan akomodasi akan ditanggung oleh penyelenggara. Anda akan bekerja di desa-desa sekitar Phnom Penh dan provinsi-provinsi terdekat dengan dukungan dan pengawasan. Anda tidak akan diminta untuk melakukan apa yang membuat Anda tidak nyaman, tetapi keberanian dan kepedulian sangat diperlukan untuk petualangan ini. Anda bertanggung jawab untuk diri dan kesehatan Anda sendiri. Asuransi perjalanan adalah syarat wajib ketika bepergian di Asia. Berhati-hatilah! Jika Anda mudah frustrasi dan tidak independen, maka ini bukan perjalanan untuk Anda! Kami beradaptasi dengan kehidupan desa. Anda mungkin memiliki waktu yang sangat produktif, atau mungkin ada gangguan dan frustrasi; Namun demikian itu akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan! Klik di sini untuk mengajukan permohonan. Kududuki kursi di sebelahku. Kubuka tasku dan kukeluarkan komputer jinjingku, lalu masuk ke akun surelku. Tanpa berpikir panjang, kuklik tautan tersebut dan segera mengisi formulir permohonan saat itu juga. Tekadku sudah bulat. Aku harus pergi jauh
Deny Setiyadi 34 sejauh-jauhnya. Kota ini hanya akan mengingatkanku pada penderitaan menyakitkan yang aku tidak mau terlarut di dalamnya, dan ini mungkin satu-satunya caraku untuk melepaskan diri. Kukirim formulir tersebut saat itu juga setelah kuisi dengan baik. Kemudian kutulis sebuah surel baru untuk Aliyah. “Aku tertarik.” Tulisku singkat. []
35 Negeri Keajaiban
| RICKI PRAKASA DUA PULUH DETIK SUDAH CATH MENATAPKU TANPA berkedip barang sekalipun. Ia tertegun dan terkejut pada saat yang bersamaan, karena mungkin sudah terlalu lama aku telah meninggalkan kolese untuk hidup dalam ‘pengasingan’. “Kau tampak berantakan sekali!” Ucapnya dengan nada yang sengaja dikeraskan. Sial, beraninya dia mengatakan seperti itu di khalayak ramai. Aku mencoba untuk tidak mempedulikannya. “Jadi itu yang selama ini kau ingin katakan? Percuma saja aku datang ke sini.” Ujarku. “Terima kasih telah membuang waktuku untuk hal yang sia-sia.” “Hei, santai dong! Aku merindukanmu, kawan!” Sesalnya. Ia meraih pundakku dan menggiringku ke suatu tempat. Sepertinya aku tahu ke mana ia akan membawaku. “Lihat, di sana.” Perintah Cath. Aku menoleh. “Oke, cukup! Aku pergi sekarang!” Bentakku setelah melihat Claire yang sedang berjalan ke arah Ruang 101. Aku mencoba pergi saat itu juga, namun Cath menahanku. “Ada apa denganmu?! Kau begitu sensitif! Tunggu sebentar, bukan itu yang mau kuberitahu. Coba lihat ini.” Katanya sambil menunjuk ke sebuah selebaran di papan pengumuman besar. Aku mendekati selebaran itu untuk membacanya dengan seksama. “Jadi kau menyuruhku datang ke sini hanya untuk… ini?” Tanyaku sambil menunjuk ke selebaran tersebut. “Aku tahu kau benar-benar membutuhkannya. Salah satu cara untuk menolong dirimu sendiri adalah dengan menolong orang lain.
Deny Setiyadi 36 Lagipula,
sudah
selalu
menjadi
mimpimu
selama
ini
untuk
melepaskan diri, bukan?” Jawabnya. Aku tidak meresponnya, malah berjalan menjauhinya. “Hei, Ricki. Mau ke mana kau? Ricki! Tunggu!” Cath mencoba menahanku. Lagi-lagi aku tidak meresponnya. Aku mempercepat langkahku. Kemudian kuletakkan ranselku di lantai koridor yang sepi dan aku terduduk dengan tatapan kosong sambil memeluk kedua lututku. “Aku minta maaf.” Tiba-tiba terdengar suara Cath. “Tidak, aku-lah yang seharusnya minta maaf.” Balasku. Lalu ia menghampiriku dan duduk di sebelahku. “A-aku benar-benar lelah.” Isakku sambil menyeka air mataku yang mulai menetes. “Aku telah bekerja sangat keras dan ini yang kudapat. Benar-benar menyakitkan, kau tahu?” “Apanya yang menyakitkan?” Tanyanya sedikit bingung. “Tidakkah kau mengerti?! Aku bukan apa-apa!” Teriakku. “Dan kau pikir menjadi relawan di sebuah negara dunia ketiga sebanding dengan Columbia?!” Aku menambahkan. “Setelah selama ini? K-kau belum…” Ujarnya sedikit terbata. Aku menggeleng. Suasana berubah hening seketika. “Aku mengerti sekarang. Dengar, Ricki. Aku mengerti betapa hancurnya perasaanmu dan berada di sini, terjebak di kolese sialan ini! Dan aku tahu tentang Roland. Kau telah kehilangan mimpimu dan temanmu.” “R-Ronan.” Koreksiku. “Kau tidak mengerti…” “Tetapi caramu merendahkan dirimu sendiri itu sudah tidak sehat lagi, dan entah bagaimana sangat mengkhawatirkanku. Kau tahu, bukan kau saja yang kehilangan seorang teman sekarang. Aku
37 Negeri Keajaiban kehilanganmu juga, dan itu sama-sama menyakitkan.” Ujarnya, menginterupsi sebelum aku menyelesaikan kata-kataku. Aku menarik nafas panjang. Cath benar, selama ini aku hanya memikirkan diriku sendiri. Aku telah mengabaikan orang-orang di sekitarku. Aku telah berubah menjadi seorang pemarah egosentris yang menyebalkan. “Tidak, Kamboja tidak sebanding dengan apapun nama dari universitas sialan yang kau sebutkan itu. Tapi kau harus mencoba dan pergi ke sana, dan melihatnya. Percayalah padaku. Aku akan membantumu menggalang dana.” Ujarnya. Ia menatapku tajam. “Tidak semua orang bisa kembali dan membuat awalan yang baru, tapi siapa pun dapat memulai dari sekarang dan membuat akhir baru yang... kau tahu, tak kalah indahnya. Apa yang terjadi beberapa tahun lalu, itu semua bukan salahmu. Jika saja dulu kau pergi ke New York, kita mungkin tidak akan pernah berteman, bukan?” Aku tersenyum kecil. Cath benar. “Trims, kawan. Kau benar-benar seorang teman yang baik dan aku sangat menghargai itu.” Kataku singkat. Ia merangkulku dan mengguncang-guncang badanku pelan, kemudian memberikanku selebaran yang ia ambil dari papan pengumuman. "Jadi, kapan kita bisa memulai menggalang dana?” Tanyanya. Aku tidak menjawab. “Jika saja dulu aku pergi ke New York, seorang Cathair Keegan mungkin tidak akan pernah menjadi sebijak ini, bukan?” Selorohku sambil menirukan gaya bicaranya. []
Deny Setiyadi 38
November
| RYAN JAMESON
HARI INI MERUPAKAN HARI PERSIAPAN PERTAMAKU DI Pusat Pelatihan Misionaris Provo, Utah, dan aku benar-benar menyukainya! Pendamping perdanaku, Penetua Gorski, juga merupakan pribadi mengagumkan. Dia berasal dari Fresno, California, dan memiliki iman setangguh baja, serta semangat yang luar biasa. Misionarismisionaris dalam Misi Kamboja-Phnom Penh lainnya adalah Penetua Sen, Suster Gregory, Suster Mayers, dan Penetua Storms. Bahasa misi kami, bahasa Khmer, merupakan salah satu bahasa yang paling sulit untuk dipelajari, namun Karunia Lidah adalah anugerah yang nyata dan Bapa Surgawi memberkati kami untuk mempelajarinya. Bagaimana dengan kehidupan sehari-hari kami di sini? Kami bangun pagi pada pukul 6:30, lalu sarapan. Kami bisa memakan apa saja, mulai dari sereal dingin, daging babi asap, dan telur, hingga nasi, kacang dan sosis. Pukul 7:30, kami berolahraga selama 30 menit sehari untuk menjaga kondisi kesehatan yang baik. Pukul 9:00 hingga 11:50, kami memiliki kelas bahasa dan doktrin, lalu dilanjutkan dengan makan siang. Ini adalah bagian kesukaanku. Pusat Pelatihan Misionaris terkenal karena memiliki banyak makanan yang lezat, dan semuanya dihidangkan dalam gaya prasmanan. Segala sesuatu mulai
39 Negeri Keajaiban dari makanan-makanan beku, masakan Tiongkok, hingga es krim ada di sini. Lalu pukul dua siang, kami diberikan satu jam untuk mempelajari tulisan-tulisan suci seperti Kitab Mormon, Alkitab, Ajaran dan Perjanjian, dan Mutiara yang Sangat Berharga secara mandiri, dilanjutkan dengan Telaah Kependampingan dan Kajian Doktrinal. Pukul lima sore, kami makan malam, kemudian ada Kajian Doktrinal sesi kedua. Pada pukul 9:30 malam, kami memiliki waktu pribadi yang biasanya digunakan untuk bercengkrama dengan misionaris lain, atau menulis catatan harian. Dan akhirnya, kami berdoa dan pergi tidur pada pukul 10:30 malam. Semua itu dilakukan setiap hari secara rutin, kecuali hari Rabu yang merupakan Hari Persiapan. Sebagai misionaris, kami tidak diizinkan untuk mengakses media sosial, menonton film, mendengarkan musik, dan membaca buku yang tidak disahkan oleh gereja. Kami juga dilarang untuk menghubungi anggota keluarga maupun teman-teman, kecuali melalui surel yang ditulis setiap minggu pada Hari Persiapan. Masih ada sekitar seratus enam puluh tujuh peraturan lainnya yang harus kami patuhi. Kehidupan di sini tidaklah mudah dan membutuhkan banyak kerja keras. Namun Bapa Surgawi telah memerintahkanku untuk mengabdi, dan aku tidak akan pernah menyerah. Aku hanya memiliki beberapa minggu di sini untuk mempersiapkan diri sebelum tiba di Kamboja. Tentu saja aku sangat merindukan ibu, ayah, Amanda, John, dan yang lainnya. Bicara soal John, dia akan tiba di sini dalam beberapa minggu untuk menjalani Misi Taiwan-Taichung dan menjadi Penetua Schmidt. Aku sangat tidak sabar! Ini terdengar ganjil, tapi aku selalu memikirkannya. Aku hanya terlalu takut untuk mengakuinya.
Deny Setiyadi 40 Rasanya aneh tanpa kehadirannya, karena aku sudah terbiasa untuk menghabiskan sebagian besar waktuku dengannya dari dulu. Aku melanjutkan surel mingguan pertamaku. Ini baru minggu pertama, namun sudah banyak sekali hal dan pengalaman baru yang inginku
ceritakan
dan
rasanya
tidak
cukup
bagiku
untuk
menuangkannya hanya dalam beberapa paragraf. Duh, aku bisa menulis sebuah buku untuk itu! “…Makanan di sini sangat menarik dan menggugah selera. Penetua Gorski adalah pribadi yang hebat dan aku belajar banyak darinya. John, aku memikirkanmu sepanjang waktu! Aku merindukan kalian semua! Berpeganglah kuat pada kebenaran. Tuhan akan selalu bersama kalian di setiap hal yang kalian lakukan dan Dia mempersiapkan jalan bagi hamba-Nya untuk melakukan pekerjaanNya. Aku tahu aku di sini karena suatu alasan. Gereja Yesus Kristus dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir adalah hakiki. Selalu berikan kabar terbaru untukku! Dengan kasih, Penetua Jameson.” Tutupku dalam surel tersebut dan mengirimnya, lalu bergegas ke kantin untuk menikmati makan siangku untuk hari ini. []
41 Negeri Keajaiban
Desember
| RICKI PRAKASA
CUACA DINGIN DI BANDARA DUBLIN SORE HARI INI BENARbenar menusuk tulang bagi siapa saja yang berada di sini, termasuk aku. Dublin di bulan Desember benar-benar sebuah mimpi buruk. Namun tampaknya, aku akan benar-benar merindukannya. Hari ini akan menjadi hari musim dingin terakhirku hingga setidaknya delapan belas bulan ke depan. Aku berangkat menuju Kamboja hari ini dan seperti yang banyak orang bilang, setiap hari adalah musim panas di Asia Tenggara. Perasaanku campur aduk. Aku merasa gembira, sedih, dan gugup pada saat yang bersamaan. Ini akan menjadi penerbangan jarak jauh pertamaku. Tidak peduli seberapa sering aku menaiki pesawat terbang, aku tidak pernah menyukainya. Berada di ketinggian lebih dari 30,000 kaki dan menembus awan selama berjam-jam membuatku gelisah, apalagi delapan belas jam. Namun di atas semua itu, aku merasakan sesuatu yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Aku merasakan lepas… seperti burung yang baru saja keluar dari sangkar besinya. Udara dingin yang kuhirup hari ini terasa jauh lebih menyegarkan dari biasanya. Cath sangat membantuku untuk menggalang dana dengan ide-ide
Deny Setiyadi 42 cemerlangnya. Kami tampil di kedai-kedai dan rumah minum, mengajar bahasa Jerman, hingga menjadi seorang tukang kebun keliling dan pengasuh. Setidaknya, waktu-waktu tersebut telah mengalihkan perhatianku untuk sementara waktu. Aku merasa jauh lebih baik, meskipun ‘jauh lebih baik’ masih jauh dari apa yang kuharapkan. Aku takut jika ini tidak akan berhasil dan aku hanya akan membuang waktuku. Aku takut suatu hari nanti, aku akan menyesali keputusanku ini. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa gembira akan ketakutanku karena rasa takut ini adalah pertanda baik. Aku bisa merasakannya. James pernah berkata, bahwa jalan yang sukar mengarah ke tujuan yang baik. Bicara soal James, dia pergi ke panti rehabilitasi dua minggu lalu. Sedangkan Aoife masih belum diketahui kabar serta keberadaannya. “Aku akan sangat merindukanmu, Richard.” Kata Ma. “Aku juga.” Balasku, kemudian Ma memelukku erat. “Dan kau, jaga Ma baik-baik. Sampaikan salamku juga kepada teman-temanku, dan yang lainnya.” Pesanku kepada Conor, lalu kupeluknya. “Jaga dirimu baik-baik.” Kata Conor. Dari kejauhan, kulihat Cath dan Claire melambaikan tangan mereka kepadaku. Aku membalasnya dengan senyuman. “Perhatian... Perhatian… Pesawat udara Aer Lingus dengan nomor penerbangan EI172 tujuan London-Heathrow telah siap untuk diberangkatkan…” Terdengar suara seorang wanita melalui pengeras suara. Aku menghela nafas. Itu pesawatku. Kupeluk Ma sekali lagi, lalu pergi. “Aku menyayangi kalian! Sampai jumpa…” []