Dengarkan Suara Hati Brilly El-Rasheed quantumfiqih.wordpress.com
Tahukah anda, siapakah orang yang paling rugi? Orang yang tidak punya harta? Orang yang cacat? Orang yang selalu dirundung bencana? Tidak. Orang yang paling rugi adalah orang yang tidak mau
mendengarkan
suara
hatinya.
Mengapa demikian? Karena hati yang suci hanya menyuarakan kebenaran dan selalu membimbing anda untuk meraih kebahagiaan hakiki. Orang yang tidak bisa merasakan kebahagiaan hakiki adalah orang yang senantiasa memperturutkan hawa nafsunya menikmati beraneka ragam maksiat. Acuh dengan bisikan hati yang mulia, yang selalu menunjukkan kepada kebaikan. Umurnya ia habiskan untuk mendurhakai Allah, hari-harinya penuh dengan dosa, hingga dosa itu membalut hatinya, sedikit demi sedikit, sampai akhirnya seluruh bagian hatinya tertutup noda-noda dosa. Jangankan membimbing ke arah keindahan hidup, berbisik pun hatinya sudah tak mampu. Dan pada klimaksnya, hati itu mati. Layaknya seorang manusia yang telah mati, hati yang mati pun tidak akan lagi bisa memberikan manfaat. Itu semua adalah dampak dari mengabaikan suara hati yang bersih. Inilah kenyataan kita, kita acap kali tidak peduli dengan bisikan halus sang hati. Kita hidup tanpa memperhatikan arahan dari sekerat daging penentu baik buruknya jasad. Dan akibatnya hidup kita pun tidak terarah, penuh keraguan, penuh ketidak yakinan, bahkan penuh kesalahan.
Psikolog asal Yale, Robert Stenberg, yang juga ahli di bidang Successful Intelligence, mengungkapkan keprihatinannya atas kenyataan ini, “Salah satu sikap yang paling membahayakan yang telah dilestarikan oleh budaya kerja modern saat ini adalah bahwa kita tidak boleh, dalam situasi apa pun, memercayai suara hati kita. Kita dibesarkan untuk meragukan diri sendiri, untuk tidak memedulikan intuisi. ” Sikap acuh terhadap intuisi nurani ini akan sangat buruk dampaknya sebab seperti kata Seorang pakar EQ (Emotional Quotient), Robert K. Cooper, Ph.D, hati mengaktifkan nilai-nilai kita yang terdalam, mengubahnya dari sesuatu yang kita pikir menjadi sesuatu yang kita jalani. Hati adalah sumber keberanian dan semangat, integritas serta komitmen. Hati adalah sumber energi dan perasaan mendalam yang menuntut kita untuk melakukan pembelajaran, menciptakan kerjasama, memimpin, serta melayani. Hal yang sama juga ditegaskan oleh Stephen R. Covey dalam The Seven Habits of Highly Effective People (New York: Fireside Simon & Schuster Inc., 1990) hal. 109, “Di sinilah anda berurusan dengan visi dan nilai anda. Di sinilah anda gunakan anugerah anda –kesadaran diri (self awareness)- untuk memeriksa peta diri anda, dan jika anda menghargai prinsip yang benar, maka paradigma anda sesungguhnya berdasarkan pada prinsip dan kenyataan di mana suara hati berperan sebagai kompasnya.” Sebagai bukti konkrit akan urgennya posisi hati dalam diri anak manusia, kita simak penuturan Robert Stenberg, “Telah dilakukan sebuah survei terhadap ribuan eksekutif, manajer, dan wiraswastawan yang menunjukkan bahwa sebagian besar di antara mereka mengandalkan dorongan suara hati sebagai sumber kecerdasan emosi dalam hampir semua keputusan dan interaksi yang diambilnya selama bertahun-tahun.”
Ragam Hati Benar, tidak semua hati bisa dijadikan panutan dan penuntun. Tidak semua hati bisa dituruti perintahnya. Suara hati tertentu saja yang harus diikuti. Sebab hati itu tidak selamanya baik. Para sahabat membagi hati menjadi empat macam. Demikian seperti disebutkan dalam riwayat yang shahih dari Hudzaifah bin Al-Yaman, “Hati itu ada empat macam: Pertama, hati murni yang di dalamnya ada pelita yang menyala, itulah hati orang Mukmin; Kedua, hati yang tertutup, itulah hati orang kafir. Ketiga, hati yang terbalik, itulah hati orang munafik, ia mengetahui (kebenaran) tetapi mengingkarinya, ia melihat tetapi membuta. Dan terakhir, hati yang terdiri dari dua materi: Iman dan kemunafikan, mana yang menang dalam pergulatan itulah yang menguasai.” [Musnad Ahmad, 3/17] Pembagian hati bisa pula dikerucutkan menjadi tiga
macam, sebagaimana penjelasan Ibnu Qayyim (691 H-751 H), ulama salaf pakar manajemen qalbu, dalam beberapa buku beliau.
Hati yang Sehat Yaitu hati yang bersih atau biasa disebut qalbun salim yang seorang pun tak akan bisa selamat pada Hari Kiamat kecuali jika dia datang kepada Allah dengannya, sebagaimana firman Allah, “Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tiada lagi berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.” (QS. Asy-Syu’ara`: 88-89). Qalbun salim yaitu hati yang bersih dan selamat dari berbagai syahwat yang menyalahi perintah dan larangan Allah, bersih dan selamat dari berbagai syubhat yang bertentangan dengan beritaNya. Ia selamat dari melakukan penghambaan kepada selainNya, selamat dari pemutusan hukum oleh selain RasulNya, bersih dalam mencintai Allah dan dalam ber-hukum kepada RasulNya, bersih dalam ketakutan dan berpengharap-an pada-Nya, dalam bertawakal kepadaNya, dalam kembali kepada Nya, dalam menghinakan diri di hadapan-Nya, dalam mengutamakan mencari ridhaNya di segala keadaan dan dalam menjauhi dari kemungkaran karena apa pun.
Hati yang Mati Tipe hati yang kedua yaitu hati yang mati, yang tidak ada kehidupan di dalamnya. Ia tidak mengetahui Tuhannya, tidak menyembahNya sesuai dengan perintah yang dicintai dan diridhaiNya. Ia bahkan selalu menuruti keinginan nafsu dan kelezatan dirinya, meskipun dengan begitu ia akan dimurkai dan dibenci Allah. Ia tidak mempedulikan semuanya, asalkan mendapat bagian dan keinginannya, Tuhannya rela atau murka. Ia menghamba kepada selain Allah; dalam cinta, takut, harap, ridha dan benci, pengagungan dan kehinaan. Jika ia mencintai maka ia mencintai karena hawa nafsunya. Jika ia membenci maka ia membenci karena hawa nafsunya. Jika ia memberi maka ia memberi karena hawa nafsunya. Jika ia menolak maka ia menolak karena hawa nafsunya. Ia lebih meng-utamakan dan mencintai hawa nafsunya daripada keridhaan Tuhannya. Hawa nafsu adalah pemimpinnya, syahwat adalah komandannya, kebodohan adalah sopirnya, kelalaian adalah kendaraannya. Ia terbuai dengan pikiran untuk mendapatkan tujuan-tujuan duniawi, mabuk oleh hawa nafsu dan kesenangan dini.
Ia dipanggil kepada Allah dan ke kampung akhirat dari tempat kejauhan. Ia tidak mempedulikan orang yang memberi nasihat, sebaliknya mengikuti setiap langkah dan keinginan syetan. Dunia terkadang membuatnya benci dan terkadang membuatnya senang. Hawa nafsu membuatnya tuli dan buta selain dari kebatilan. Keberadaannya di dunia sama seperti gambaran yang dikatakan kepada Laila, “Ia musuh bagi orang yang pulang dan kedamaian bagi para penghuninya. Siapa yang dekat dengan Laila tentu ia akan mencintai dan mendekati.”
Hati Yang Sakit Yaitu hati yang hidup tetapi cacat. Ia memiliki dua materi yang saling tarik-menarik. Ketika ia memenangkan per-tarungan itu maka di dalamnya terdapat kecintaan kepada Allah, keiman-an, keikhlasan dan tawakal kepada-Nya, itulah materi kehidupan. Di dalamnya juga terdapat kecintaan kepada nafsu, keinginan dan usaha keras untuk mendapatkannya, dengki, takabur, bangga diri, kecintaan berkuasa dan membuat kerusakan di bumi, itulah materi yang menghancurkan dan membinasakannya. Allah menjelaskan ketiga jenis hati itu dalam firman-Nya, "Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasulpun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila dia mempunyai sesuatu ke-inginan, syetan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keingin-an itu, Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syetan itu dan Allah menguatkan ayat-ayatNya. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana, agarDia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syetan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang kasar hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat, dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini bahwa Al-Qur'an itulah yang haq dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus." [Al-Hajj: 52-54] Juga dijelaskan oleh Rasulullah dalam hadits berikut ini. Hudzaifah bin Al-Yamani berkata, "Rasulullah bersabda, "Fitnah-fitnah itu menempel ke dalam hati seperti tikar (yang di-anyam), sebatang-sebatang. Hati siapa yang mencintainya, niscaya timbul noktah hitam dalam hatinya. Dan hati siapa yang meng-ingkarinya, niscaya timbul noktah putih di dalamnya, sehingga menjadi dua hati (yang berbeda). (Yang satunya hati) hitam legam seperti cangkir yang terbalik, tidak mengetahui kebaikan, tidak pula mengingkari kemungkaran, kecuali yang dicintai oleh
hawa nafsunya. (Yang satunya hati) putih, tak ada fitnah yang membahayakannya selama masih ada langit dan bumi." [Shahih Muslim]
Jagalah Hati Rasulullah berkata,
ﺐ ﻲ ﺍﹾﻟ ﹶﻘ ﹾﻠ ﻫ ﻭ ﹶﺃ ﹶﻻ،ﺪ ﹸﻛﱡﻠﻪ ﺴ ﺠ ﺪ ﺍﹾﻟ ﺴ ﺕ ﹶﻓ ﺪ ﺴ ﻭﹺﺇﺫﹶﺍ ﹶﻓ ،ﺪ ﹸﻛﱡﻠﻪ ﺴ ﺠ ﺢ ﺍﹾﻟ ﺻﹶﻠ ﺖ ﺤ ﺻﹶﻠ ﻐ ﹰﺔ ﹺﺇﺫﹶﺍ ﻀ ﻣ ﺪ ﺴ ﺠ ﻲ ﺍﹾﻟﹶﺃ ﹶﻻ ﹺﺇ ﱠﻥ ﻓ “Ketahuilah, sesungguhnya dalam jasad ada segumpal darah. Jika ia baik, seluruh jasad akan baik pula. Jika ia rusak, maka seluruh jasad akan rusak. Ketahuilah bahwa itu adalah qalbu.” [Shahih Al-Bukhari no.52; Shahih Muslim no.4070] “Hidup dan bersinarnya hati adalah modal segala kebaikan. Mati dan gelapnya hati adalah modal segala keburukan. Hati yang sehat dan hidup secara naluriah akan lari dan membenci jika disodorkan padanya berbagai keburukan, ia tidak akan menoleh sedikit pun padanya. Ini tentu berbeda dengan hati yang mati, ia tidak bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan,” tulis Ibnu Qayyim dalam bukunya yang berjudul Ighatsah Al-Lahfan. Kemudian beliau menukil ucapan Abdullah bin Mas'ud, “Binasalah orang yang dengan hatinya tidak mengetahui kebaikan dan tidak mengingkari kemungkaran.” Sebagaimana jasmani jika dalam keadaan sakit tidak akan bermanfaat baginya makanan dan minuman, demikian pula qalbu jika terjangkiti penyakit-penyakit hawa nafsu dan keinginankeinginan jiwa, maka tidak akan mempan padanya nasehat. Barangsiapa hendak mensucikan qalbunya maka ia harus mengutamakan Allah dibanding keinginan dan nafsu jiwanya. Karena qalbu yang tergantung dengan hawa nafsu akan tertutup dari Allah subhanahu wa ta’ala, sekadar tergantungnya jiwa dengan hawa nafsunya. Qalbu bisa sakit sebagaimana sakitnya jasmani, dan kesembuhannya adalah dengan bertaubat. Qalbu pun bisa berkarat sebagaimana cermin, dan cemerlangnya adalah dengan berdzikir. Qalbu bisa pula telanjang sebagaimana badan, dan pakaian keindahannya adalah taqwa. Qalbu pun bisa lapar dan dahaga sebagaimana badan, maka makanan dan minumannya adalah mengenal Allah subhanahu wa ta’ala, cinta, tawakkal, bertaubat dan berkhidmat untukNya. [Al-Fawa`id hal.111-112] Lalu bagaimanakan hati bisa menjadi sehat, suci, mulia, selamat? Jawabannya adalah apa yang ditulis Ibnu Qayyim dalam Ad-Da` wa Ad-Dawa` hal.138, “Tidak sempurna keselamatan qalbu seorang hamba melainkan setelah selamat dari lima perkara: syirik yang menentang
tauhid; bid’ah yang menyelisihi As-Sunnah; syahwat yang menyelisihi perintah; kelalaian yang menyelisihi dzikir; dan hawa nafsu yang menyelisihi ikhlas.”
Hati sebagai Penuntun Rasulullah berkata,
ﺩﻉ ﻣﺎ ﻳﺮﻳﺒﻚ ﺇﱃ ﻣﺎ ﻻ ﻳﺮﻳﺒﻚ ﻓﺈﻥ ﺍﻟﺼﺪﻕ ﻃﻤﺄﻧﻴﻨﺔ ﻭﺍﻟﻜﺬﺏ ﺭﻳﺒﺔ “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan.” [Shahih: Sunan At-Tirmidzi no.2518; Sunan An-Nasa`i no.5398, 5711; Shahih Ibnu Khuzaimah no.2348. Shahih Al-Jami' no.3377, 3378; Ar-Raudh An-Nadhir no.152; Ghayah Al-Maram no.179; Irwa` Al-Ghalil no.2074; Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no.1737, 2231, 2930] Berkata Al-Munawi, mengutip pernyataan Al-Qadhi ‘Iyadh bin Musa Al-Yahshibi (wafat 544 H) ketika mengomentari hadits ini, “Dalam kejujuran itu ada keberhasilan (kesuksesan) dan keselamatan sekalipun manusia terkadang memandang di situ ada kebinasaan. Maka bila engkau mendapatkan dirimu dalam keadaan ragu terhadap sesuatu, tinggalkanlah perkara tersebut. Karena jiwa seorang mukmin yang sempurna keimanannya merasa tenang dengan kejujuran yang bisa menyelamatkan dirinya dari kebinasaan dan akan merasa ragu dengan kedustaan.
Keraguanmu terhadap sesuatu merupakan
perkara yang
dikhawatirkan
keharamannya maka berhati-hatilah engkau dari perkara tersebut, sedangkan ketenanganmu terhadap sesuatu merupakan tanda benarnya hal tersebut, maka ambillah”. [Faidh Al-Qadir 3/528] “Namun tentunya yang dapat merasakan dan menimbang hal yang demikian ini hanyalah orang-orang yang memiliki jiwa yang bersih dari noda-noda dosa dan aib,” imbuh AlHusain bin Muhammad bin ‘Abdullah Ath-Thibi (wafat 743 H). [Faidh Al-Qadir 3/529] Demikian lah hati. Ia memiliki peran yang sangat vital dalam kehidupan anak manusia. Tanpa hati, manusia tidak akan bisa meraih kebahagiaan sejati. Karena hati adalah penuntun, pembimbing, penunjuk ke arah kebenaran, selama hati itu masih suci. Dan hati yang suci adalah hati yang terisi dengan pancaran cahaya ilahi, hati yang terselimuti dengan firman-firman Allah dan sabda-sabda RasulNya.