DENGAN PISAU KEBUN ATAU DENGAN TONGKAT GEMBALA KESEWENANG-WENANGAN AUSTRALIA TERHADAP PENCARI SUAKA DI LAUT
Amnesty International adalah gerakan global terdiri dari tujuh juta orang lebih yang berkampanye untuk dunia yang mana hak asasi manusia (HAM) dinikmati oleh semua orang. Visi kami adalah agar setiap orang bisa menikmati semua hak yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan standar HAM internasional lainnya. Kami independen dari setiap pengaruh pemerintah, ideologi politik, kepentingan ekonomi atau agama dan didanai sebagian besar dari anggota kami dan sumbangan publik.
Hak cipta dilindungi. Publikasi ini dilindungi hak cipta, tapi boleh diproduksi ulang dengan cara apapun tanpa biaya demi kepentingan advokasi, kampanye dan pengajaran, namun tidak untuk dijual. Pemegang hak cipta meminta penggunaan semacam itu agar didaftarkan kepada mereka untuk tujuan analisis dampak. Untuk penyalinan di situasi yang berbeda, atau penggunaan ulang dipublikasi lain, atau untuk penerjemahan atau adaptasi, izin tertulis harus didapat terlebih dahulu dari penerbit, dan kemungkinan ada biaya yang perlu dibayar. Untuk memohon izin, atau pertanyaan lainnya hubungi
[email protected] © Amnesty International 2015
Dipublikasikan pertama kali pada tahun 2015 oleh by Amnesty International Ltd Peter Benenson House, 1 Easton Street, London WC1X 0DW, UK
amnesty.org
Indeks: ASA 12/2576/2015 Bahasa Indonesia Bahasa asli: Inggris Dicetak oleh Amnesty International, Sekretariat Internasional, Inggris
Foto sampul depan: Foto uang sebanyak 32.000 USD yang oleh awak perahu ceritakan kepada Amnesty International, dibayar kepada mereka oleh pihak berwenang Australia yang mencegat dan masuk ke atas perahu yang membawa 65 pencari suaka. Pembayaran dilakukan sekitar 24 Mei 2015, sebagaimana dikonfirmasi oleh para saksi mata. Uang tersebut ditemukan dalam kepemilikan para awak perahu ketika mereka ditangkap Polisi Indonesia. © Amnesty International
DAFTAR ISI Ringkasan Eksekutif ......................................................................................................2 Pencegatan Di Laut Oleh Pihak Berwenang Australia .....................................................2 Pelanggaran Hukum Internasional ...............................................................................6 Hukum Internasional Tentang Kejahatan Transnasional ..............................................6 Hukum Hak Asasi Manusia Internasional ..................................................................8 Kesimpulan ...............................................................................................................9 Metodologi ..............................................................................................................10
2
Dengan pisau kebun atau dengan tongkat gembala Kesewenang-wenangan Australia terhadap pencari suaka di laut
RINGKASAN EKSEKUTIF “Apa yang kami lakukan adalah menyelamatkan nyawa di laut. Kami melindungi kedaulatan nasional, kami melindungi negara kami dari jahatnya perdagangan penyelundupan manusia, dan dengan pisau kebun atau dengan tongkat gembala kami akan melakukan apa yang dibutuhkan untuk membuat negeri kami aman dan terus menghentikan perdagangan keji ini.” Mantan Perdana Menteri Australia Tony Abbott, 12 Juni 20151
PENCEGATAN DI LAUT OLEH PIHAK BERWENANG AUSTRALIA Pada 5 Mei 2015, sebuah perahu berangkat dari Pelabuhan Ratu di Indonesia, dengan tujuan mencapai Selandia Baru. Di atas perahu ada enam awak perahu dan 65 penumpang. Para penumpang, berasal dari Sri Lanka, Bangladesh dan Myanmar, mencakup 58 orang laki-laki, empat perempuan (satu diantaranya hamil), dua anak berusia tujuh tahun, dan satu anak berusia setahun. Semua penumpang dewasa mengaku sebagai pencari suaka. Mereka membayar kepada individu-individu yang tidak disebut namanya, rerata 4.000 USD seseorang untuk perjalanan tersebut. Perahu tersebut tidak pernah mencapai Selandia Baru. Pada 17 dan 22 Mei, ia dicegat oleh kapal-kapal Angkatan Laut dan Pasukan Perbatasan Australia, dan pada akhirnya semua yang berada di atas perahu harus kembali ke Indonesia. Kapal-kapal tersebut merupakan bagian dari Operasi Perbatasan Berdaulat (Sovereign Borders) Australia, yaitu satu dari serangkaian tindakan yang diimplementasikan pemerintah Australia secara berturut-turut untuk mengontrol masuknya warganegara asing ke Australia. Pihak berwenang Australia kemudian
Dikutip dari Daniel Hurst, “Tony Abbott Refuses to Rule out Paying People Smugglers to Turn Back Boats” [Tony Abbot Menolak Tidak Membayar Penyelundup Manusia untuk Mendorong Kembali PerahuPerahu], The Guardian, 12 Juni 2015, tersedia di http://www.theguardian.com/australianews/2015/jun/12/tony-abbott-refuses-to-rule-out-paying-people-smugglers-to-turn-back-boats. 1
Amnesty International Oktober 2015
Indeks: ASA 12/2576/2015
Dengan pisau kebun atau dengan tongkat gembala Kesewenang-wenangan Australia terhadap pencari suaka di laut
3
mendeskripsikan pencegatan tersebut diperlukan karena perahu tersebut dalam bahaya, dan menyatakan mereka bertindak untuk menjaga keselamatan nyawa mereka yang berada di atas perahu. Namun, interaksi dengan Angkatan Laut dan Pasukan Perbatasan Australia, yang berlangsung beberapa hari, melibatkan terjadinya penganiayaan dan membuat nyawa para pencari suaka dalam bahaya. Pada Agustus 2015 Amnesty International melakukan penelitian di Indonesia tentang kejadian ini, termasuk melakukan wawancara dengan 62 penumpang dewasa dan enam awak perahu. Pada waktu wawancara, para awak perahu sedang dalam penahanan polisi di Pulau Rote, dan sedang dituntut dengan tindak pidana penyelundupan manusia. Mereka yang menjadi penumpang di perahu tersebut berada di rumah detensi imigrasi di Kupang. Sepengetahuan Amnesty International, kedua kelompok tersebut tidak melakukan interaksi sejak 31 Mei. Kesaksian dua kelompok tersebut tentang kejadian pada Mei 2015 dinilai luar biasa konsisten. Kedua kelompok mendeskripsikan perjalanan, bentuk perahu dan perlakuan pihak berwenang Australia secara rinci, dan kesaksian mereka diperkuat dengan foto-foto yang diambil sejumlah penumpang dengan telepon genggam mereka ketika berada di laut, serta juga video. Sebanyak 62 orang dewasa yang meninggalkan Indonesia pada 5 Mei mendeskripsikan perahu yang mereka tumpangi memiliki perbekalan dan peralatan yang memadai, dengan kabin yang muat menampung semua orang di perahu. Perahu tersebut memiliki dapur, toilet, dan pelampung penyelamat yang cukup untuk semua orang, setidaknya satu telepon satelit, alat GPS yang besar, dan peta kelautan. Keenam awak perahu memiliki pengalaman bagussetidaknya satu orang memiliki pengalaman melaut secara internasional. Perahu tersebut dicegat di perairan internasional, pada 17 Mei, oleh dua kapal Australia: satu angkatan laut dan satu Pasukan Perbatasan. Enam orang Australia menggunakan seragam biru tua Pasukan Perbatasan Australia memasuki perahu, mengambil foto dan kemudian keluar, memberikan para penumpang dan awak perahu dengan selebaran dalam berbagai bahasa yang menyatakan mereka tidak akan pernah bisa mencapai perairan Australia, baik dengan tujuan mencapai Australia atau lewat untuk mencapai tujuan lainnya. Menurut awak perahu dan para penumpang, kedua kapal Australia terus mengikuti perahu mereka selama beberapa hari, hingga, pada 22 Mei, pencegatan kedua terjadi. Lokasi persis pencegatan kedua sulit dipastikan. Awak perahu percaya mereka berada di perairan Indonesia namun pihak berwenang Australia menyatakan pencegatan terjadi di lautan internasional. Personel Angkatan Laut Australia memasuki perahu dan bertahan disana. Malam tersebut semua lelaki ditempatkan di luar kabin oleh aparat Australia bersenjata. Saat itu hujan beberapa jam, dan air asin terhempas ke perahu. Tetap saja ke-58 orang lelaki tersebut dipaksa berada di luar tanpa ada perlindungan dari elemen luar. Perempuan yang hamil berkata pada Amnesty International bahwa ia mengalami kesakitan yang berat malam tersebut- dokter Australia memeriksanya namun hanya menyuruhnya minum air. Tidak ada penumpang yang diberikan makanan pada malam 22 Mei. Pada 23 Mei, mereka diizinkan makan dan para laki-laki diizinkan memasuki kabin. Kapal-kapal Australia kemudian mengawal perahu tersebut ke Pulau Greenhil, sebuah wilayah Australia dekat Darwin. Sembari bersauh di Pulau Greenhill, pihak berwenang Australia mengatakan kepada para
Indeks: ASA 12/2576/2015
Amnesty International Oktober 2015
4
Dengan pisau kebun atau dengan tongkat gembala Kesewenang-wenangan Australia terhadap pencari suaka di laut
penumpang mereka bisa mandi setelah masuk ke kapal Pasukan Perbatasan. Lima puluh penumpang memutuskan pindah ke kapal Pasukan Perbatasan; 15 bertahan di perahu awal. Pada saat inilah, di perahu awal, para awak perahu mengaku pihak berwenang Australia memberikan mereka uang. Para awak memberitahu Amnesty International, dua dari mereka menerima 6.000 USD masing-masing, dan empat orang menerima 5.000 USD seorang, sehingga totalnya menjadi 32.000 USD. Satu pencari suaka yang bertahan di perahu mendeskripsikan bahwa ia melihat kapten perahu bertemu dengan orang-orang Australia di dapur perahu dan melihat kapten menaruh amplop putih tebal di saku celana pendeknya. Sementara itu lima puluh orang yang pergi ke kapal Pasukan Perbatasan, termasuk tiga anakanak dan seorang perempuan yang hamil, dimasukkan ke dalam sel dan ditahan selama sekitar tujuh hari. Sel tersebut sangat sesak dan tanpa pendingin udara. Ketika berada di atas kapal Australia sejumlah orang mendapatkan masalah kesehatan. Satu perempuan mengatakan ia pingsan tiga kali karena kepanasan dan stres, kepalanya terbentur dalam satu kesempatan. Seorang dokter Australia memeriksanya namun berkata ia tidak mendapat izin untuk memberinya obat. Saorang perempuan lain yang mempunyai masalah tekanan darah tinggi mengatakan ia tidak diperbolehkan meminum obatnya sendiri, yang diambil darinya oleh petugas Australia. Mirip dengan ini, seorang lelaki penderita asma mengatakan ia tidak diperbolehkan mengakses inhalernya, yang disita, dan ia menderita serangan asma ketika disekap dalam sel. Pada malam tanggal 30 Mei, seorang aparat Australia memberitahukan para pencari suaka bahwa mereka, beserta dengan awak perahu awal, akan dipindahkan ke dua perahu baru. Kedua perahu tersebut tidak selengkap perahu awal yang mereka gunakan ketika meninggalkan Indonesia. Para awak khawatir karena hanya ada sedikit bahan bakar. Pihak berwenang Australia menyediakan pemadam api, pelampung penyelamat, satu alat GPS kecil dan satu atau dua peta kasar. Salah satu peta tersebut adalah Pulau Rote di Indonesia dan pihak berwenang Australia melingkari tiga lokasi pendaratan potensial. Para awak perahu mengatakan pada Amnesty International para pihak berwenang Australia memberikan mereka instruksi verbal langsung di mana mereka harus mendarat di Pulau Rote. Menurut awak perahu, awalnya mereka diberitahu- melalui penerjemah yang bekerja dengan pihak Australia- bahwa para pencari suaka akan dibawa ke Australia dan diterbangkan kembali ke Indonesia dengan uang yang diberikan oleh Australia. Namun kemudian mereka diberitahu, juga melalui penerjemah, mereka harus membawa para pencari suaka tersebut ke Indonesia. Awak perahu mengatakan kepada Amnesty International, mereka tidak berada dalam posisi bisa menolak. Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, kedua perahu pada awalnya dikawal dua kapal angkatan laut, dua kapal pasukan perbatasan dan enam kapal cepat Australia. Pihak Australia meninggalkan perahu mereka sekitar jam 11 pagi pada tanggal 31 Mei. Beberapa jam kemudian, satu perahu kehabisan bahan bakar. Awak perahu berhasil memindahkan semua penumpang ke perahu lainnya, yang kemudian menjadi berbahaya karena kelebihan muatan. Video yang diambil salah seorang penumpang menunjukkan tindakan pemindahan tersebut. Para awak perahu mengatakan pada Amnesty International, pada saat itu, situasinya berbahaya dan para penumpang panik. Awak perahu berhasil mengemudikan perahu ke arah Pulau Landu, sebuah pulau dekat Pulau Rote, yang mana mereka menghantam karang pada sore 31 Mei 2015. Penduduk lokal membantu menyelamatkan
Amnesty International Oktober 2015
Indeks: ASA 12/2576/2015
Dengan pisau kebun atau dengan tongkat gembala Kesewenang-wenangan Australia terhadap pencari suaka di laut
5
mereka. Insiden Mei 2015 yang dideskripsikan kepada Amnesty International mencakup tindak pidana penyelundupan manusia. Amnesty International tidak memeriksa keterlibatan- jika ada- dari enam awak perahu untuk tindak pidana penyelundupan manusia atau tindak pidana lainnya. Namun, bukti yang terkumpul mengisyaratkan para awak perahu mengambil tindakan dibawah tekanan ketika mereka mematuhi perintah pihak berwenang Australia. Pemerintah Australia menyangkal pihak berwenang Australia membayar awak perahu untuk membawa kembali orang-orang tersebut ke Indonesia. Penyangkalan ini, yang dilontarkan oleh dua menteri pemerintahan Australia, ditentang oleh semua bukti yang ada. Amnesty International telah mendokumentasikan kesaksian tangan pertama dari orang-orang yang menerima uang. Amnesty International juga mendokumentasikan kesaksian saksi mata bahwa pihak berwenang Australia menyerahkan sejumlah uang kepada awak perahu. Polisi yang menangkap para awak perahu mengkonfirmasi mereka ditemukan mengantongi sekitar 32.000 USD dan menunjukkan pada Amnesty International uang yang mereka sita dari awak perahu. Pada 24 Juni 2015, masalah pembayaran ini diadukan kepada Komite Referensi Urusan Hukum dan Konstitusi (Legal and Constitutional Affairs References Committee) dari Senat Australia. Komite ini dijadwalkan melaporkan hasilnya pada awal 2016. Amnesty International juga melakukan penelitian kepada insiden pendorongan-kembali kedua; para peneliti mewawancara 15 orang, dari Bangladesh, Pakistan dan Myanmar, yang berusaha melakukan perjalanan dengan perahu ke Australia pada Juli 2015 namun didorong kembali ke Pulau Rote setelah bertemu dengan Operasi Perbatasan Berdaulat. Dalam kasus ini perahu meninggalkan Kupang pada 22 atau 23 Juli, dan diawaki oleh dua lelaki Indonesia. Menurut mereka yang diwawancara Amnesty International, perahunya tidak dalam kondisi baik, dan cepat kemasukan air. Para penumpang berusaha mengurangi air masuk dengan gelas dan keranjang, dan takut perahunya akan tenggelam. Pada pagi hari 25 Juli, mereka melihat dua kapal Australia di samping mereka. Para penumpang berusaha mendapatkan perhatian kapal tersebut dan menunjukkan mereka berada dalam bahaya dengan mengibarkan baju merah. Mereka berkata menghabiskan seharian penuh kepada mereka bahwa mereka dalam bahaya, dari jam 10 atau 11 pagi, hingga jam 5 hingga 6 sore; Kedua kapal Australia mengikuti di kedua sisi mereka sepanjang periode itu. Pada malam hari, empat kapal cepat mendekati perahu, dan 10-12 pihak berwenang Australia memasuki perahu. Mereka memberikan jaket pelampung kepada penumpang dan memindahkan mereka, tiga orang sekali waktu, ke kapal angkatan laut. Sehari kemudian mereka dipindah ke sel di kapal pasukan perbatasan; dua awak perahu Indonesia diakomodasi terpisah. Pada 1 Agustus, pihak berwenang Australia mengatakan kepada awak perahu mereka harus meninggalkan kapal Australia. Mereka, dan kedua awak perahu Indonesia, dipindahkan ke perahu lain yang mirip dengan perahu awal mereka. Para penumpang mendeskripsikan bagaimana pihak berwenang Australia menyediakan mereka jaket pelampung, dua telepon genggam, sebuah walkie-talkie, tiga atau empat lembar peta, dan alat GPS. Menurut para penumpang, ketika mereka meninggalkan Kupang pertama kali menuju
Indeks: ASA 12/2576/2015
Amnesty International Oktober 2015
6
Dengan pisau kebun atau dengan tongkat gembala Kesewenang-wenangan Australia terhadap pencari suaka di laut
Australia, hubungan mereka dengan dua awak perahu sangatlah ramah. Namun, setelah terpisah seminggu di kapal Australia dan pemindahan semua orang ke perahu baru, perilaku awak perahu berubah. Beberapa penumpang juga berkata para awak perahu mempunyai dua tas yang tidak mereka miliki sebelum dicegat pihak berwenang Australia. Pada titik ini para penumpang belum diberitahu tujuan mereka. Ketika mereka melihat peta, yang mengindikasikan Pulau Rote, mereka marah. Mereka membayar untuk perjalanan ke Australia, dan tidak ingin kembali ke Indonesia. Setelah para penumpang mengancam memeriksa dua tas baru yang dimiliki awak perahu, para awak perahu setuju untuk mengemudikan perahu kembali ke kapal angkatan laut. Ketika perahu mereka mencapai kapal angkatan laut, para penumpang berkata pihak berwenang Australia menjadi lebih agresif ketimbang sebelumnya, memperingatkan mereka beberapa kali untuk tidak menyentuh tas awak perahu, dan mengancam menembak bila mereka kembali. Mereka diberikan sedikit bahan bakar dan diberitahu oleh petugas Australia tersebut mereka harus pergi ke Pulau Rote dan tidak berusaha ke tempat lain karena mereka tidak punya cukup bahan bakar untuk melakukannya. Perahu tersebut kehabisan bahan bakar sebelum mencapai daratan, namun dicegat oleh polisi Indonesia dan dibawa ke Tablolong, Indonesia. Tidak jelas apakah kedua awak perahu berada dalam tahanan polisi Indonesia, namun awak perahu berkata kepada Amnesty International mereka diwawancara oleh anggota Divisi Reserse Kriminal. Ke 25 pencari suaka kini berada dalam tahanan pihak imigrasi Indonesia di Kupang, dan –seperti para penumpang perahu yang didorong-kembali pada Mei 2015- sangat mengkhawatirkan masa depan mereka.
PELANGGARAN HUKUM INTERNASIONAL Berdasarkan informasi yang diperoleh Amnesty International, Australia telah melanggar serangkaian hukum internasional, termasuk hukum internasional tentang kejahatan transnasional dan hukum hak asasi manusia internasional.
HUKUM INTERNASIONAL TENTANG KEJAHATAN TRANSNASIONAL Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisir (selanjutnya disebut Konvensi) menjabarkan kewajiban hukum bagi Negara untuk bekerja sama mencegah dan memberantas kejahatan transnasional yang terorganisir. Protokol menentang Penyelundupan migran melalui darat, laut dan udara (Protokol Penyelundupan), yang melengkapi Konvensi, mensyaratkan Negara untuk mencegah dan memberantas penyelundupan migran dan melindungi hak-hak orang yang diselundupkan. Australia telah meratifikasi keduanya baik Konvensi maupun Protokol Penyelundupan. Protokol Penyelundupan mengharuskan Negara pihak memidanakan penyelundupan migran, yang didefinisikan sebagai “mencari untuk mendapatkan, secara langsung atau tidak langsung, keuntungan finansial atau material lainnya, dari masuknya secara ilegal seseorang ke negara pihak yang orang itu bukan warganegara atau warga permanennya.” Penyelundupan manusia adalah kejahatan transnasional, tetapi orang yang diselundupkan bukanlah kriminal, dan hukum internasional melarang negara menghukum pencari suaka hanya karena cara mereka masuk ke negaranya. Berdasarkan Protokol Penyelundupan, cara pelaksanaan- dalam kata lain, cara-cara
Amnesty International Oktober 2015
Indeks: ASA 12/2576/2015
Dengan pisau kebun atau dengan tongkat gembala Kesewenang-wenangan Australia terhadap pencari suaka di laut
7
seseorang bisa dianggap bertanggung jawab- dalam pelanggaran penyelundupan mencakup melakukan pelanggaran, berusaha melakukan pelanggaran, berpartisipasi sebagai rekan dalam melakukan pelanggaran, serta mengelola atau mengarahkan orang lain untuk melakukan pelanggaran. Bukti yang dikumpulkan Amnesty International tentang kejadian pada Mei 2015 mengindikasikan pada atau sekitar 24 Mei 2015 pihak berwenang Australia tampak telah mengelola atau mengarahkan awak perahu untuk melakukan pelanggaran penyelundupan manusia. Berdasarkan arahan pihak berwenang Australia dan bantuan material mereka (termasuk dua perahu, bahan bakar, peta, dan GPS) sehingga pelanggaran penyelundupan manusia ke Indonesia bisa berlangsung. Cara masuk ke Indonesia, berdasarkan pengakuan awak perahu, yang diarahkan kepada mereka oleh pihak berwenang Australia agar diikutimendarat pada titik tertentu di Pulau Rote, ketimbang menyerahkan diri mereka ke petugas perbatasan Indonesia dan mematuhi prosedur masuk perahu ke Indonesia- masuk kategori masuk secara ilegal berdasarkan ketentuan Protokol Penyelundupan. Uang 32,000 USD merupakan keuntungan finansial bagi awak perahu untuk melakukan masuk secara ilegal. Pihak berwenang Australia yang membayar penyelundup dan menginstruksikan mereka mendarat di Pulau Rote pada Mei 2015 juga telah berpartisipasi sebagai rekanan dalam kejahatan transnasional penyelundupan manusia. Kemudian, berdasarkan Protokol Penyelundupan, kondisi yang memberatkan bagi pelanggaran penyelundupan adalah mereka yang “membahayakan, atau akan membuat terancam bahaya, kehidupan atau keselamatan migran terkait; atau yang mencakup perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan martabat, termasuk eksploitasi, dari migran tersebut.” Metode pendorongan kembali pada Mei 2015- melalui perahu yang kepenuhan dengan bahan bakar yang kurang- akan masuk kategori kondisi yang memberatkan karena membahayakan nyawa dan memasukkan unsur perlakuan buruk. Pihak berwenang Australia juga telah melanggar ketentuan penyelundupan manusia dalam Undang-Undang Pidana Australia (Australian Criminal Code). Namun, kategori pejabat publik tertentu memiliki imunitas dari pertangungjawaban berdasarkan hukum Australia. Pengecualian dari pertanggungjawaban tersebut bertentangan dengan Konvensi PBB tentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisir, yang mensyaratkan negara pihak untuk mencegah kejahatan transnasional yang terorganisir dan untuk memperjuangkan pengembangan standar dan prosedur yang didesain untuk melindungi integritas badan-badan publik. Situasi perjanjian antara pihak berwenang Australia dan kedua awak perahu Indonesia pada insiden Juli 2015 kurang begitu jelas. Dalam kasus ini awak perahu memiliki tas yang disangka para penumpang diberikan kepada mereka oleh pihak berwenang Australia. Kesaksian penumpang- khususnya peringatan Australia pada penumpang untuk tidak membuka tas- menimbulkan kecurigaan yang cukup untuk melakukan investigasi lebih lanjut. Laporan gugus tugas kerjasama badan untuk Operasi Perbatasan Berdaulat (Operation Sovereign Border Joint Agency Task Force) yang diserahkan kepada Komite Senat Australia menginvestigasi pembayaran tersebut menyatakan operasi pada Mei 2015 bertujuan menyelamatkan nyawa setelah adanya permohonan bantuan. Bukti yang dikumpulkan
Indeks: ASA 12/2576/2015
Amnesty International Oktober 2015
8
Dengan pisau kebun atau dengan tongkat gembala Kesewenang-wenangan Australia terhadap pencari suaka di laut
Amnesty International bertentangan dengan laporan gugus tugas kerjasama untuk Komite senat. Para awak perahu dan pencari suaka- diwawancara terpisah- secara konsisten mengatakan pada Amnesty International bahwa perahu mereka tidak dalam keadaan bahaya pada saat kedua pencegatan baik pada 17 atau 22 Mei. Namun, tindakan paska pencegatan yang dilakukan oleh pihak berwenang Australia, sebagaimana dideskripsikan oleh penumpang dan awak perahu, tidak cocok dengan definisi operasi penyelamatan. Konvensi Internasional tentang pencarian dan penyelamatan di lautan (International Convention on Maritime Search and Rescue), yang diratifikasi oleh Australia, mendefinisikan operasi penyelamatan sebagai: “operasi untuk mengambil orang yang dalam keadaan bahaya, menyediakan pada mereka bantuan medis awal atau kebutuhan lainnya, dan mengantar mereka ke tempat yang aman.” Sebaliknya, bukti yang dikumpulkan oleh Amnesty International menunjukkan operasi pada bulan Mei mengakibatkan nyawa orang terancam bahaya. Dalam keadaan yang dideskripsikan para awak perahu dan pencari suaka, sudah luar biasa tidak ada nyawa yang hilang dan tidak seorang pun terluka.
HUKUM HAK ASASI MANUSIA INTERNASIONAL Kewajiban hukum Hak Asasi Manusia (HAM) internasional Australia menjadi ada ketika Australia memiliki kontrol efektif atas seseorang, termasuk di perairan internasional. Sejak saat sebuah negara menerapkan kontrol efektif atas sebuah perahu, semua orang didalamnya berada dalam yurisdiksi negara tersebut, dan negara itu bertanggungjawab mengamankan dan melindungi HAM mereka. Pada kejadian pendorongan kembali pada Mei 2015, awak perahu dan penumpang berada dalam kontrol efektif Australia selama sembilan hari. Pada insiden Juli 2015, penumpang dan awak perahu berada dalam kontrol efektif Australia selama enam hari. Pada masa ini pihak berwenang Australia melanggar beberapa ketentuan dari hukum HAM. Non-refoulement (pelarangan pemulangan paksa) adalah prinsip hukum internasional yang melarang pemindahan individu ke negara atau yurisdiksi lain yang mana mereka akan menghadapi risiko persekusi nyata atau pelanggaran atau penganiayaan berat hak asasi manusia lainnya. Prinsip ini adalah dasar dari perlindungan pengungsi internasional. Negara diwajibkan memberikan individu kesempatan menentang pemindahan mereka (ke negara atau yurisdiksi lain) dengan alasan pemindahan tersebut akan menempatkan mereka dalam risiko nyata pelanggaran atau penganiayaan berat hak asasi manusia. Dalam kasus-kasus yang didokumentasikan Amnesty International, Australia mendorong kembali orang-orang, yang setidaknya sebagian adalah pencari suaka, tanpa melakukan peninjauan terhadap situasi individual masing-masing orang, termasuk risiko pelanggaran atau penganiayaan berat hak asasi manusia, baik di negara yang mereka sedang kembalikan atau ke negara lain yang mereka kirim. Dengan mengusir pencari suaka secara kolektif, tanpa prosedur adil yang nyata, pihak berwenang Australia melanggar pelarangan refoulement. Pada masa episode-episode pendorongan kembali yang didokumentasikan Amnesty International, orang-orang disekap berhari-hari dalam ruangan, yang merupakan sel, di atas kapal Australia. Pembatasan kebebasan seseorang tersebut masuk dalam kategori penahanan. Pihak berwenang Australia melanggar Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) karena pencari suaka ditahan di atas kapal Australia tidak diberitahu alasan penahanan mereka dan mereka tidak memiliki jalur untuk menantangnya. Ketika ditahan oleh pihak berwenang Australia,
Amnesty International Oktober 2015
Indeks: ASA 12/2576/2015
Dengan pisau kebun atau dengan tongkat gembala Kesewenang-wenangan Australia terhadap pencari suaka di laut
9
beberapa orang menjadi sakit, dalam beberapa kasus karena kondisi penahanan mereka. Beberapa orang disangkal aksesnya terhadap pengobatan dan seorang perempuan hamil disangkal dari menerima pelayanan kesehatan memadai. Dalam satu kasus 58 orang dipaksa menghabiskan malam di luar dan kehujanan.
KESIMPULAN Tindakan langsung dan pembiaran oleh petugas Angkatan Laut dan Pasukan Perbatasan Australia, yang merupakan organ negara, merupakan tanggung jawab pemerintah Australia. Bukti yang dikumpulkan oleh Amnesty International mengindikasikan petugas-petugas Australia melanggar kewajiban Australia berdasarkan Konvensi PBB tentang Kejahatan Transnasional yang Terorganisir dan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional. Tindakan langsung dan pembiaran yang mengakibatkan pelanggaran ini, dan dibahas secara rinci dalam laporan ini, karenanya memicu tanggung jawab internasional pemerintah Australia. Amnesty International menyerukan agar diadakan Komisi kerajaan (Royal Commission) atas Operasi Perbatasan Berdaulat, untuk menginvestigasi dan melaporkan dugaan tindak pidana dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh petugas-petugas pemerintah Australia. Kemudian, Australia harus menjamin hak-hak mereka yang dilanggar karena tindakan petugas Australia, mendapatkan akses atas pemulihan dan reparasi yang efektif. Organisasi ini juga menyerukan kepada Australia untuk merombak total pendekatannya terhadap pencari suaka dan pengungsi yang tiba menggunakan perahu, termasuk dengan mengimplementasikan rekomendasi-rekomendasi dibawah ini: Mengizinkan pengawasan independen atas semua aktivitas yang dilakukan oleh Operasi Perbatasan Berdaulat, termasuk setiap operasi pencegatan dan pendorongan kembali perahuperahu, dalam rangka menegakkan pengawasan publik dan menjamin transparansi dan akuntabilitas;
Mengubah Undang-Undang Pidana Australia (Australian Criminal Code) untuk menghapus pengecualian pertanggungjawaban yang bertentangan dengan Konvensi PBB menentang Kejahatan Transnasional yang Terorganisir;
Turut terlibat dalam dialog regional yang efektif untuk menegosiasi perbaikan perlindungan regional bagi populasi pengungsi dan imigran yang rentan di wilayah Asia Pasifik;
Turut terlibat dalam operasi pencarian dan penyelamatan yang sejati, dilakukan dengan penghormatan penuh atas hukum hak asasi manusia internasional, diikuti dengan pendaratan yang aman di Australia;
Mengakhiri larangan kedatangan melalui laut untuk mengajukan suaka;
Mengakhiri praktik pendorongan kembali di laut;
Membalikkan kebijakan tidak menerima pemindahan ke negara ketiga (policy of nonresettlement) bagi pengungsi yang mendaftar dengan UNHCR-Indonesia setelah 1 Juli 2014;
Meningkatkan pilihan pemindahan negara ketiga (resettlement) bagi pengungsi di wilayah Asia Pasifik, khususnya pengungsi di Indonesia serta anak-anak tanpa pendamping; serta
Indeks: ASA 12/2576/2015
Amnesty International Oktober 2015
10 Dengan pisau kebun atau dengan tongkat gembala
Kesewenang-wenangan Australia terhadap pencari suaka di laut
Memperluas rute yang aman dan legal bagi orang yang ingin mencari keamanan di Australia, misalnya dengan meningkatkan jalur reunifikasi keluarga, visa belajar, dan penerimaan kemanusiaan bagi pengungsi.
METODOLOGI Laporan ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh para peneliti Amnesty International di Indonesia pada Agustus 2015, juga studi pustaka dan komunikasi lanjutan melalui telepon dan email pada September dan Oktober 2015. Delegasi peneliti mengunjungi Cisarua, Jakarta, Kupang dan Pulau Rote. Amnesty International melakukan tiga wawancara (dalam Bahasa Inggris, Tamil dan Bahasa Indonesia) dengan 62 orang dewasa di atas perahu yang dicegat Australia pada Mei 2015, dua wawancara (dalam Bahasa Inggris, Tamil, dan Indonesia) dengan enam awak perahu, dan satu wawancara (dalam Bahasa Inggris) dengan 15 dari 25 orang yang berada di perahu yang dicegat Australia pada Juli 2015. Penumpang dari perahu Mei 2015 memberikan kepada Amnesty International puluhan foto dari perjalanan mereka, serta video. Di Cisarua dan Jakarta, peneliti mewawancara (dalam Bahasa Inggris dan Rohingya) enam orang yang telah didorong kembali ke Indonesia oleh petugas Australia dalam lima kesempatan di antara akhir 2013 hingga pertengahan 2014. Para peneliti berbicara dengan petugas polisi lokal di Pulau Rote, Direktorat Jenderal Imigrasi Republik Indonesia, dan Kementerian Luar Negeri. Amnesty International juga berbicara dengan staf dari International Organization for Migration (IOM) dan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Nama dan informasi yang bisa mengidentifikasi orang yang diwawancara disembunyikan demi perlindungan mereka. Amnesty International ingin berterimakasih kepada semua orang yang membantu penelitian ini, terutama rekanan lokal yang menyediakan dukungan dan keahlian luar biasa, juga kepada mereka yang diwawancara atas kebaikan hati dengan waktu dan kesaksian mereka.
Amnesty International Oktober 2015
Indeks: ASA 12/2576/2015
LEBIH BAIK MENYALAKAN LILIN DARIPADA MENGUTUK KEGELAPAN
HUBUNGI KAMI
IKUT DALAM PERCAKAPAN
[email protected]
www.facebook.com/AmnestyGlobal
+44 (0)20 7413 5500
@AmnestyOnline
DENGAN PISAU KEBUN ATAU DENGAN TONGKAT GEMBALA KESEWENANG-WENANGAN AUSTRALIA TERHADAP PENCARI SUAKA DI LAUT Operasi Perbatasan Berdaulat (Sovereign Borders) adalah operasi kontrol perbatasan Australia yang dipimpin oleh militer. Operasi ini mencakup dimensi maritim yang signifikan dengan kapal Angkatan Laut dan Pasukan Perbatasan berpatroli di lautan di luar Australia. Dalam operasi yang disebut pendorongan-kembali (turnbacks), pihak berwenang Australia mencegat perahu-perahu pencari suaka dan mencegah mereka mendarat di Australia. Laporan ini meneliti legalitas dan dampak hak asasi manusia pendorongan kembali dari operasi Perbatasan Berdaulat, berdasarkan kesaksian orang-orang yang berada di perahu yang dicegat pihak berwenang Australia Antara tahun 2013 dan 2015. Pada bulan Mei 2015, Operasi Perbatasan Berdaulat mencegat sebuah perahu berisi 65 pencari suaka dan enam awak perahu, yang berusaha mencapai Selandia Baru. Berdasarkan bukti-bukti yang didapat Amnesty International, pihak berwenang Australia mengawal perahu pencari suaka ke perairan Australia, membayar awak perahu 32.000 USD, memindahkan semua penumpang dan awak perahu ke dua perahu kecil, dan menyuruh awak perahu membawa mereka semua ke Indonesia. Dalam kasus kedua, pada bulan Juli 2015, Operasi Perbatasan Berdaulat menghentikan sebuah perahu berisi 25 orang. Lagi, berdasarkan bukti yang diperoleh Amnesty International, pihak berwenang Australia menempatkan penumpang dan awak perahu ke perahu lain dan mengarahkan mereka ke Indonesia. Pada lima pendorongan-kembali pada 2013 dan 2014, kesaksian para penumpang mengisyaratkan pola penganiayaan fisik dan atau verbal terhadap pencari suaka yang dilakukan oleh pihak berwenang Australia. Amnesty International menyerukan agar diadakan Komisi Kerajaan (Royal Commission) terhadap Operasi Perbatasan Berdaulat, untuk menginvestigasi dan mengadukan dugaan tindakan pidana dan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh petugas-petugas Australia. Organisasi ini juga menyerukan pada Australia untuk menjamin mereka yang hak-haknya dilanggar oleh tindakan petugas Australia, mendapatkan akses terhadap pemulihan dan reparasi yang efektif.
Indeks: ASA 12/2576/2015 Oktober 2015
amnesty.org