DEKONSTRUKSI FANATISME KEAGAMAAN BERBASIS SEKOLAH: ALTERNATIF PENDEKATAN DERADIKALISASI GERAKAN KEAGAMAAN DI TINGKAT USIA PELAJAR MUSLIM Nurhidayah Fakultas Tarbiyah IAINU Kebumen Email:
[email protected]
Abstrak Meningkatnya radikalisasi gerakan agama di kalangan usia pelajar, secara tidak langsung memberikan gambaran meningkatnya intoleransi pelajar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia yang majemuk, multikultur dan agama. Fenomena-fenomena radikalisasi di kalangan pelajar muncul sebagai akibat adanya globalisasi yang begitu cepat, padahal remajaremaja tersebut tinggal dalam suatu negara berkembang yang kondisinya terbalik secara ekonomi, sosial dan budaya. Masuknya informasi-informasi yang cepat serta dan arus migrasi in-out Indonesia yang begitu cepat dan tak terkendali reformasi menimbulkan shock kebudayaan (cultural shock). Penafsiran budaya dan agama juga demikian. Segala sesuatu kemudian diartikan oleh remaja secara tekstual saja. Maka terapi khusus harus segera dilakukan terkait pelajar dan keberagaamaan mereka. Sebagaimana dalam istilah agama scientology, mereka (baca: pelajar) harus segera untuk menolong diri sendiri bila ingin selamat. Sehingga remaja/pelajar tidak terjebak pada sikap keberagaamaan yang sempit. Kata Kunci: Radikalisme, Pelajar, Agama
215
An-Nidzam Volume I, Nomor 2, Mei-Agustus 2014
PENDAHULUAN Radikalisasi gerakan Agama di Indonesia dari hari ke hari semakin memprihatinkan. Bahkan sudah masuk komunitas pelajar sebagaimana terlihat dalam hasil penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) Jakarta tentang radikalisme di kalangan pelajar se-Jabodetabek yang menunjukan bahwa hampir 50 persen pelajar menyetujui tindakan radikal atas nama agama. Beberapa pengamat terorisme dan intelijen melihat reaksi kaum muda tersebut sebagai benihbenih pemikiran yang bisa mengarah pada tindakan terorisme. Hasil catatan intelijen Wawan Purwanto menjelaskan, selama tahun 2007, dua orang remaja yaitu Isa Anshori (16) dan Nur Fauzan (19) ditangkap Densus 88 karena diduga ikut terlibat dalam menyembunyikan Taufik Kondang, salah seorang anggota jaringan teroris komplotan Abu Dujana. Selanjutnya pada tahun 2009 (17 Juli 2009) pelaku bom di JW Marriot adalah Dani Dwi Permana (18) dan Ritz Charlton Nana Ikhwan Maulana (28). Tahun 2011 (25 Januari 2011), Arga Wiratama (17), Joko Lelono, Nugroho Budi, Tri Budi Santoso, Yuda Anggoro. Roki Apris Dianto dibekuk oleh Densus 88 bersama ketujuh orang lainnya dalam kasus teror bom di wilayah Klaten, Sleman, dan Yogyakarta.1 Adanya fenomena kemunculan pelaku teroris, bom bunuh diri dari kalangan pelajar, mahasiswa, dan pemuda yang berusia di bawah 30 tahun serta beragama Islam dikatakan M. Bambang Pranowo2 menunjukan adanya kegagalan pendidikan, salah satunya Pendidikan Agama Islam (PAI) khususnya dalam menumbuhkan sikap kebhinekaan siswa. Sehingga tingkat persetujuan atas aksi radikal tinggi, mencapai 48,9 persen, sebagaimana hasil penelitian dari LaKIP. Meningkatnya radikalisasi gerakan agama di kalangan usia pelajar, secara tidak langsung memberikan gambaran meningkatnya intoleransi pelajar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia yang majemuk, multikultur dan agama3. Survey Penduduk Antar Sensus 1 2 3
detikNews, 28/4. Direktur LaKIP, Guru Besar Sosiologi Agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat Dari segi etnis, di Indonesia terdapat lebih kurang 658 etnis, dengan rincian 109 etnis di belahan Barat, sedang Timur 549 etnis. Dari 549 etnis itu 300 lebih diantaranya menyebar di Papua. Dengan kata lain, kemajemukan di belahan timur lebih tinggi dari belahan barat. Amiruddin al Rahab.” Kekerasan Komunal di Indonesia Sebuah Tinjauan Umum”dalam Jurnal Dignitas. Volume V no.1 tahun 2008. hlm.34
216
Dekonstruksi Fanatisme Keagamaan Berbasis Sekolah: Alternatif Pendekatan Deradikalisasi Gerakan Keagamaan di Tingkat Usia Pelajar Muslim
(SUPAS) 2005 menunjukan hasil yang hampir sama yaitu pemeluk Islam (88,58%), Kristen (5,79%), Katholik (3,08%), Hindhu (1,73%), Budha (0,60%). Sehingga apabila semangat keagamaan berlebihan dan mengarah kepada fanatisme keagamaan maka semangat persatuan dan kesatuan dalam perbedaan yang terbingkai dalam Bhineka Tunggal Ika akan pudar. Bahkan potensi radikalisasi gerakan keagamaan mengarah kepada aksi teror atau terorisme yang dapat menganggu stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada dasarnya wajar, apabila radikalisme muncul dikalangan pelajar. Hal ini dikarenakan usia pelajar adalah usia-usia pancaroba. Usia peralihan dimana pada usia ini, remaja dalam hal ini pelajar sedang melakukan usaha pencarian jatidiri. Pelajar adalah usia yang rentan untuk dimasuki gerakan4 radikalisasi berbasis agama melalui internalisasi emosi keagamaan5. Karena secara aspek emosional, mereka masih labil. Sehingga faktor lingkungan sangat mempengaruhi perkembangannya, sebagaimana dikemukakan oleh para ahli teori empirisme bahwa perkembangan seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Apalagi ketika seorang remaja yang dalam masa pencarian. Masa dimana ego-nya sebagai seorang anak yang ingin diakui kedewasaanya muncul. Gerakan radikalisasi di kalangan usia pelajar sangat efektif. Adanya perasaan nyaman dan kerasan siswa di sekolah daripada di rumah, menjadikan interaksi dengan komunitas keluarga berkurang. Nilai-nilai agama atau sistem nilai tidak tersampaikan bahkan terputus. Akhirnya ketika di sekolah atau lingkungan sekolah seorang pelajar mendapat semangat agama yang parsial dimana semangat keagamaan tersebut dibangun berdasar tekstual tanpa memperhatikan adanya kearifan lokal dan kultur yang ada, maka gerakan radikalisasi agama akan sangat mudah untuk subur di tingkat usia pelajar. Oleh karena itu, toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di kalangan pelajar muslim sebagai kelompok masyarakat terdidik sangat besar perannya dalam menumbuhkembangkan sikap saling memahami dan menghargai perbedaan bagi terwujudnya kerukunan hidup beragama. Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin bukan hanya lilmuslimin6. Maka seyogyanya orang muslim 4 5 6
Ada tiga model konfirmitas karakter yang dapat mempengaruhi karakter seseorang menurut David Riesman yaitu arahan tradisi, arahan orang lain, arahan dari alam. Bahari “Toleransi Beragama Mahasiswa. Jakarta. 2010 Taklid keagamaan, pembenaran spesifik dengan mengabaikan dialog yang jujur dan argumentatif Ceramah K.H Hasyim Muzadi pada Harlah NU ke 65 di Kebumen: “Islam rahmat bagi seluruh umat bukan
217
An-Nidzam Volume I, Nomor 2, Mei-Agustus 2014
(baca: pelajar muslim) mampu memberikan dan menjadi contoh perdamaian. Abdullah Ahmed Anna’im menjelaskan bahwa Islam tidak memulai lembaran putih karena ia tidak hadir dalam ruang hampa keagamaan, social, ekonomi dan politik7. Ideologi kekerasan, teologi jihad dan teologi radikal yang berakar pada fanatisme agama tidak sesuai untuk konteks Negara bangsa Indonesia kontemporer yang mengharuskan penerimaan teologi kebangsaan, yang bertitik tolak pada realitas kemajemukan keagamaan bangsa Indonesia8 Realitas yang menunjukan adanya radikalisasi gerakan keagamaan di tingkat usia pelajar dan posisi penting pelajar dalam kehidupan Negara bangsa Indonesia, maka perlu kiranya perhatian dan penyikapan yang serius mengenai fenomena radikalisme agama yang saat ini tengah berkembang di kalangan pelajar. Sehingga permasalahan tersebut diharapkan dapat dijawab tidak berdampak lebih buruk terhadap kondisi pelajar Indonesia.
LATAR BELAKANG RADIKALISASI GERAKAN KEAGAMAAN YANG MUNCUL DIKALANGAN PELAJAR Pasca peristiwa 29 September 2003, Islam
yang merupakan agama
rahmatan lil’alamin, agama yang mengajarkan adanya perdamaian dan kasih sayang diidentikan dengan teroris. Wacana media mengidentikan Islam dengan radikalisme. Ketika ada kekerasan dan aksi terror selalu dilabelkan pada Islam. Wacana tersebut tidak bisa dipersalahkan karena fakta di lapangan ketika ada peristiwa bom meletus dan terror di Indonesia, ternyata identitas beberapa pelaku yang ditemukan oleh badan intelligent seperti dilaporkan beberapa media adalah beragama Islam. Bahkan beberapa diantara pelaku berusia pelajar dimana lingkungan mereka sebagian besar ada di sekolah.
7
8
hanya umat muslim” Dengan istilahnya sendiri ia merupakan kelanjutan kulminasi tradisi Ibrahimi, sehingga Islam memodifikasi menerima syariah dengan banyak aspek adat dan praktik Arab pra Islam. Namun secara psikologis memang memulai lembaran putih, namun tetap mendasarkan pada martabat yang inheren seluruh umat. Sehingga pada pengembangan perilakunya tidak ada pemaksaan, kekerasan apapun. Abdullahi Ahmed an-Na’im, Dekontruksi Syari’ah, terj. Ahmad Suaedy dan Amirudin ar-Rany, Yogyakarta: LKiS, 2001, hlm. 102-103 Lihat Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina.1999), hlm. 50-51
218
Dekonstruksi Fanatisme Keagamaan Berbasis Sekolah: Alternatif Pendekatan Deradikalisasi Gerakan Keagamaan di Tingkat Usia Pelajar Muslim
Adanya fenomena radikalisasi gerakan keagamaan di tingkat usia pelajar tersebut memunculkan sebuah keinginan penulis untuk menuliskan lebih lanjut tentang tema radikalisasi ini dengan judul “Dekonstruksi Fanatisme Keagamaan Berbasis Sekolah Sebagai Upaya Deradikalisasi Gerakan Keagamaan”. Sehingga diharapkan mampu memberi sumbangan pemikiran atau kebijakan terkait program dan kebijakan kurikulum pendidikan keagamaan di sekolah. Selain itu, dari tulisan ini pada akhirnya diharapkan mampu mengetahui pola dan alur pihak yang akan memanfaatkan pelajar serta mengetahui latar belakang munculnya fanatisme keagamaan di tingkat pelajar. Sebagaimana diketahui perubahan dan pergeseran semangat keagamaan muslim Indonesia di samping menunjukan kabar gembira namun juga mengkhawatirkan. Hal ini dikarenakan adanya semangat keagaamaan yang berlebihan hingga mengarah pada fanatisme keagamaan yang akhirnya memunculkan radikalisasi/teror. Pemahaman agama yang cenderung literal dan tekstual ternyata tidak diikuti dengan pemahaman sosio-historis Indonesia yang multikultur. Agama menjadi slogan tanpa interpretasi19. Bahkan agama menjadi salah satu alasan untuk melakukan radikalisasi oleh kalangan pelajar10. Tulisan ini mencoba mengkaji dengan berusaha menggunakan kerangka teori dekonstruksi dimana dekonstruksi adalah alat yang digunakan untuk meruntuhkan konsep-konsep dan deskripsi-deskripsi kita selama ini. Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita. Menurut Jacques Derrida di dalam Of Grammatology11 adalah salah satu strategi intelektual dalam menghancurkan, meruntuhkan, membongkar, menguak, atau meleburkan setiap jenis struktur (bahasa, ideologi, ekonomi, politik, hukum dan kebudayaan), yang selama ini dipaksa untuk diterima sebagai satu kebenaran, sehingga tidakmenyisakan ruang untuk pertanyaan, gugatan, atau kritikan. Struktur yang telah didekonstruksi tersebut kemudian direkonstruksi kembali, menghasilkan struktur baru yang lebih segar, lebih demokratis, lebih terbuka. Disinilah agama dan fanatisme keagamaan sebetulnya diinterpretasikan dan diolah lagi. 9 Hasan Hanafi, Rekonstruksi Pemahaman Tradisi Islam klasik, (Malang: Kutub Minar 2004). 10 Eko Prasetyo, Membela Agama Tuhan, (Yogyakarta: INSIST Press, 2002) . 11 Yasraf Amir Piliang, Hypermoralitas: Mengadili Bayang-Bayang, (Yogyakarta: Belukar, 2003)
219
An-Nidzam Volume I, Nomor 2, Mei-Agustus 2014
Teori dekonstruksi sebagai teori posmodernisme yang memandang realitas sebagai ciptaan, atau ciptaan kembali. Teori ini memposisikan realitas keagamaan yang akan diketahui atau dipahami sebagai realitas hasil ciptaan atau hasil ciptaan kembali12. Disinilah dikatakan bahwa realitas itu sebagai realitas dekonstruksi, yang secara paradigmatis merupakan hasil dekonstruksi postmodernisme atas modernisme. Meminjam istilah dari teori Derrida bahwa Konsepsi dasar pemikiran dekonstruktif ini adalah ide pemikiran yang menempatkan segala realitas sebagai ditentukan oleh tanda. Tanda tidak memungkinkan untuk dapat menjelaskan segala suasananya secara utuh, untuk itu perlu digempur dan dipertanyakan kembali secara kritis.13 Nilai penting dari teori Derrida pada tulisan ini terletak pada kemampuannya untuk membuat kita melihat jejak dari apa yang telah terabaikan dari konsep dan deskripsi pelajar tentang agamanya karena kelemahankelemahan ini merupakan satu entitas yang menjadi kesatuan, yang mengakibatkan mereka tidak mustahil untuk ada dan eksis. Dekonstruksi mengajarkan kita untuk memikirkan dan merenungkan lagi dasar, praktik, konsep, dan nilai kita, dalam hal ini konsep agama kita. Apapun itu, setelah kita menggunakan dekonstruksi, pandangan kita tidak akan menjadi terlalu dogmatis atau fanatis, bahkan akan menjadi lebih murni dan jernih. Makalah ini penulis berusaha untuk memahami, bagaimana cerita-cerita atau pengetahuan tentang agama, kepercayaan dan simbol mempengaruhi pandangan pelajar sekaligus identitas orang-orang yang menuturkan ataupun mendengarkannya. Di sisi lain cerita-cerita itu seringkali memiliki nilai terpendam yang memiliki aspek pendidikan (baca:indoktrinasi langsung ataupuntak langsung). Cerita-cerita itu dituturkan atau dibacakan kepada kita dengan tujuan membentuk suatu sikap hidup tertentu. Biasanya cerita-cerita itu merupakan bagian dari suatu mata pelajaran/pengalaman di sekolah atau lingkungan pelajar di sekolah. demikian dapat diketahui pengetahuan dan pengalaman yang pada akhirnya dapat menumbuhkan fanatisme keagamaan di kalangan pelajar. Dimana mereka masih cenderung memahami sebuah pengetahuan secara literal atau teks. Meski terlihat 12 Jacques Derrida,Writing and Difference, Translated, with an introduction and additional notes, by Alan Bass (London: Routledge, 2001), hlm. 351. 13 Untuk memperkuat konsep dekonstruksi silahkan membaca sumber bacaannya antara lain karya Derrida (1976), Norris (2003), Ritzer (2003), Piliang (2003), Storey (2003), Grenz (2001), Kutha Ratna (2004a; dan 2004b), Barker (2004), Shimogaki (1993), Selden (1993), Appignanesi (1999), Hardiman (1994), dan Caputo (1997).
220
Dekonstruksi Fanatisme Keagamaan Berbasis Sekolah: Alternatif Pendekatan Deradikalisasi Gerakan Keagamaan di Tingkat Usia Pelajar Muslim
sederhana dan bahkan terlihat seperti tidak ada korelasi namun sebagaimana ritual14 yang berfokus pada adanya aksi dan keistimewaan khusus ritual dalam konsep keagaamaan seperti keyakinan, simbol dan mitos yang seringkali berbeda hal ini sangat urgen dalam konteks timbulnya apersepsi atau mis komunikasi sebuah konsep. Melalui makalah hasil penelitian ini penyusun berusaha memperoleh gambaran fanatisme keagamaan di kalangan pelajar yang mengarah pada radikalisasi sehingga hasil penelitian ini kemudian dapat memberikan konsep dekonstruksi fanatisme keagamaan di kalangan pelajar. Peneliti juga dapat memahami dan mendekonstruksi proses pembentukan pengetahuan pelajar di dalam suatu masyarakat tertentu. Thomas Kuhn pernah berpendapat, bahwa untuk sungguh memahami suatu kelompok masyarakat, orang perlu untuk mengalami masyarakat tersebut. Di dalam metode penelitian naratif, tindak mengalami tidak perlu dilakukan secara langsung (walaupun tetap perlu dilakukan, jika ingin memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam). Karena pandangan dunia dan cara berpikir orang-orang yang hidup di dalam suatu kelompok biasa tampak di dalam cerita atau narasi yang mereka dengar dan tuturkan sehari-hari. Rasa untuk menjadi bagian dari suatu komunitas terbentuk, ketika kita sebagai peneliti telah menghidupi cerita yang dituturkan di dalam masyarakat yang ingin kita teliti.
PELAJAR DAN KEBERAGAMAAN Pelajar adalah orang dewasa yang belum matang. Ia bukan lagi anak-anak, akan tetapi ia juga bukan orang dewasa sempurna atau adult. Usia ini adalah usia yang sangat rentan. Pada masa ini remaja sebagaimana dikatakan Harold pada bukunya tentang Pikologi Perkembangan, pada tahap-tahap perkembangan anak ini, mereka sedang mengalami masa-masa transisi. Sebuah masa pencarian jatidiri. Biasanya mereka akan cenderung lebih percaya dan lebih dengan lingkungan/ seseorang yang lebih in team interaksinya. Dimana ia akan lebih nyaman dan merasa diakui. Hal ini biasanya sangat dipengaruhi oleh pola pendidikan an pengasuhan di keluarganya. Apabila seorang remaja tidak merasa comfort di rumahnya dan atau lingkungan keluarganya ia akan mencari siapa dirinya. 14 Lebih lanjut baca tentang konstruksi tentang ritual dalam Catherine Bell, Ritual Theory, Ritual Practice.
221
An-Nidzam Volume I, Nomor 2, Mei-Agustus 2014
Maka ketika seorang anak atau remaja tidak dapat menemukan sesuatu atau ia tidak dapat merasakan kepuasan di keluarganya maka ia akan mencari tempat sebagai cermin untuk dirinya. Adapun lingkungan yang terdekatlah yang akan menjadi modelnya. Dimana ia dapat mengambil model dari perilaku, cara berpikir atau segala hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Sejauh penulis, orang-orang yang terdekat atau yang lebih intens interaksinya yang akan menjadi guru (model ) dalam perilakunya. Begitu juga dalam hal keberagamaan, maka lingkungan terdekatlah yang paling dominan mempengaruhi citra dirinya. Seperti guru, teman sebaya, teman curhat, tokoh yang diidolakan dan lain-lain.
SIMPULAN Fenomena-fenomena radikalisasi di kalangan pelajar muncul sebagai akibat adanya globalisasi yang begitu cepat, padahal remaja-remaja tersebut tinggal dalam suatu negara berkembang yang kondisinya terbalik secara ekonomi, sosial dan budaya. Masuknya informasi-informasi yang cepat serta dan arus migrasi inout Indonesia yang begitu cepat dan tak terkendali reformasi menimbulkan shock kebudayaan (cultural shock). Penafsiran budaya dan agama juga demikian. Segala sesuatu kemudian diartikan oleh remaja secara tekstual saja. Maka terapi khusus harus segera dilakukan terkait pelajar dan keberagaamaan mereka. Sebagaimana dalam istilah agama scientology, mereka (baca: pelajar) harus segera untuk menolong diri sendiri bila ingin selamat. Sehingga remaja/pelajar tidak terjebak pada sikap keberagaamaan yang sempit.
222
Dekonstruksi Fanatisme Keagamaan Berbasis Sekolah: Alternatif Pendekatan Deradikalisasi Gerakan Keagamaan di Tingkat Usia Pelajar Muslim
DAFTAR RUJUKAN Mustaqim, Abdul, Sahiron Syamsuddin (ed), Studi Al-Qur’an Kontemporer, Yogya: Tiara Wacana, 2002. Suaedy, Ahmad, Raja Juli Anthoni (penyunting). Para Pembaharu: Pemikiran dan Gerakan Islam Asia Tenggara. Jakarta: SEAMUS, 1999. Giddens, Anthony, Jonathan Turner (eds). Social Theory Today: Panduan Sistematis dan Terdepan dalam Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1987 Mohammed, Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan Dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat, Jakarta: INIS 1994. _________________, ”Menuju Pendekatan Baru Islam” dalam Ulumul Qur’an, No. 7, Vol. II, 1990. Martin, Richard C, (ed). Approaches To Islam Religious Studies. Tucson: The University of Arizona Press, 1985 Azyumardi, Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta: Paramadina, 1999 Bahari. Toleransi Beragama Mahasiswa. Jakarta: Maloho Jaya Abadi Press, 2010 Prasetyo, Eko, Membela Agama Tuhan. Yogyakarta:INSIST Press, 2002 Hasan, Hanafi, Rekonstruksi Pemahaman Tradisi Islam Klasik. Malang: Kutub Minar, 2004 ----------------. Islamologi 3: Dari Teosentrisme ke Antroposentrisme. Yogyakarta : LKiS, 2004 Hidayat, Komaruddin, “Hermeneutical Problems of Religious Language” dalam AlJami’ah Journal of Islamic Studies, No. 65/VI/2000 Lapidus, Ira L., Sejarah Sosial Umat Islam, terj. Ghufran A. Mas’adi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1999. Prasetyo, Eko, Membela Agama Tuhan. Yogyakarta: INSIST Press, 2002
223
An-Nidzam Volume I, Nomor 2, Mei-Agustus 2014
Derrida, Jacques, Writing and Difference, Translated, with an introduction and additional notes, by Alan Bass London :Routledge, 2001. Leonard Webster dan Patricie Metrova, Using Narrative Inquiry as a Research Method, Oxon: Routledge, 2007. Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syariah, Yogyakarta: LkiS, 2003 Na’im, Abdullahi Ahmed an-, Dekontruksi Syari’ah, terj. Ahmad Suaedy dan Amirudin ar-Rany, Yogyakarta: LKiS, 2001. Piliang, Yasraf Amir, Hipermoralitas: Mengadili Bayang-Bayang. Yogyakarta: Belukar, 2003 Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition, Chicago and London: The University of Chicago, 1982. Teuku Kemal Fasha. 2005. Ritus Kekerasan dan Libido Nasionalisme. Yogyakarta: Buku Baik Ulumul Qur’an. 1990. Vol 7. Jurnal Ilmu dan Kebudayaan. Jakarta
224