PEDOMAN PENANGANAN ALIRAN DAN GERAKAN KEAGAMAAN BERMASALAH DI INDONESIA
Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Tahun 2014 I
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan (KDT) pedoman penanganan aliran dan gerakan keagamaan bermasalah di indonesia/ Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta: 2014
ISBN: 978-979-797-361-2 Hak Cipta pada Penerbit Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit ………………………………………………………………………… Cetakan Pertama, Oktober 2013 Cetakan Kedua, Desember 2013 Cetakan Ketiga, Juli 2014 ………………………………………………………………………… PEDOMAN PENANGANAN ALIRAN DAN GERAKAN KEAGAMAAN BERMASALAH DI INDONESIA ………………………………………………………………………… Tim Penyusun Puslitbang Kehidupan Keagamaan : Ahmad Syafi’i Mufid, Rusmin Tumanggor, Mulyo Wibisono, Nuhrison M Nuh, Kustini, Reslawati Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. MH. Thamrin No.6 Jakarta 10340 Telp. (021) 3920425, Fax. (021) 3920421 http://www.puslitbang1.kemenag.go.id
II
KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas terwujudnya penerbitan buku, “Pedoman Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah di Indonesia”. Pedoman ini merupakan hasil kegiatan yang dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat, Kementerian Agama RI, bekerjasama dengan berbagai pihak. Tujuan penyusunan buku Pedoman ini: pertama, menyelesaikan masalah aliran dan gerakan keagamaan bermasalah dengan cara-cara berkemanusiaan, berkeadilan, dan berkeadaban; kedua, memperkokoh fungsi agama dalam mengembangkan potensi manusia paripurna (insan kamil); ketiga, memfasilitasi penyelesaian antara mereka yang dianggap aliran bermasalah dengan masyarakat pada umumnya melalui cara-cara damai dan demokratis. Pendekatan
yang
digunakan
adalah
pendekatan
psikologis dan keagamaan. Sedangkan subyeknya adalah para pejabat/pegawai yang ditunjuk oleh Kementerian Agama dengan melakukan koordinasi yang baik dengan instansi terkait serta para pakar yang berkompeten. Mungkin kehadiran Pedoman ini belum dapat memberikan solusi menyeluruh terhadap permasalahan seputar kehadiran aliran
i
dan gerakan keagamaan bermasalah. Namun setidaknya Pedoman ini dapat menjadi bahagian dari upaya terstruktur dan sistemik dalam penyelesaian masalah aliran dan gerakan keagamaan. Sesuai dengan judulnya, buku ini dimaksudkan sebagai pedoman yang dapat digunakan oleh Tim yang dibentuk Kementerian Agama baik di provinsi maupun kabupaten/kota
dalam
menangani
aliran
keagamaan
bermasalah. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan jika buku ini digunaan oleh individu, khususnya para penyuluh, yang telah memiliki kemampuan memadai untuk memahami keseluruhan isi buku ini. Untuk itu penting bagi Kementerian Agama, dalam hal ini Badan Litbang dan Diklat, untuk mengadakan diklat bagi para penyuluh terkait dengan penanganan aliran dan gerakan keagamaan bermasalah. Buku Pedoman ini menjadi bahan utama diklat tersebut. Di Indonesia kasus aliran dan gerakan keagamaan bermasalah sering mendapatkan “penindasan” dari warga masyarakat setempat sudah ada sepanjang sejarah agama itu sendiri. Akhir-akhir ini lembaga keagamaan Islam yang memiliki
otoritas
dalam
pemeliharaan
akidah
dan
pelaksanaan syariah, Majelis Ulama Indonesia, dengan institusi fatwa dapat menentukan sebuah Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah sebagai aliran sesat atau bukan. Biasanya, dalam amar sebuah fatwa juga disampaikan pesan
ii
agar para penganut aliran sesat ini kembali ke jalan yang benar. Masalahnya
adalah,
bagaimana
kita
berusaha
memahami, berempati dan meluruskan atau membimbing mereka, para penganut aliran dan gerakan keagamaan bermasalah, agar dapat kembali kepada kelompok atau komunitas yang damai?. Hingga saat ini belum ada panduan atau pedoman penanganan para anggota atau penganut aliran dan
gerakan
keagamaan
tersebut.
Para
penganutnya
seringkali menjadi korban kekerasan dari mereka yang merasa sebagai penganut aliran dan gerakan keagamaan mainstream. Atas dasar kesadaran dan tanggungjawab individual dan institusional maka Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan mencoba melakukan serangkaian kajian, diskusi dan workshop untuk melahirkan sebuah buku Pedoman Penanganan Aliran dan Gerakaan Keagamaan Bermasalah di Indonesia yang telah difatwa sesat atau yang telah diputus oleh pengadilan sebagai aliran dan ajaran terlarang, atau aliran yang keberadaannya telah menimbulkan konflik
di
masyarakat.
Tentu
saja
upaya
ini
belum
memecahkan keseluruhan problem yang dihadapi oleh mereka tetapi diharapkan dapat menjadi pemicu lahirnya berbagai program dan kegiatan penanganan kasus keagamaan bermasalah di Indonesia. Pedoman ini lahir atas bantuan dan kerjasama dengan berbagai pihak. Untuk itu, kami mengucapkan terima kasih
iii
yang setinggi-tingginya kepada banyak pihak atas kontribusi sehingga tersusunnya buku pedoman ini: 1. Tim NII-Crisis Centre (NCC). 2. Para narasumber antara lain Prof. Utang Ranuwijaya; Prof. Marzani Anwar; Budy Munawar Rachman, Ph.D; Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si, dan Yahya Umar MA, Ph.D. Kami ucapkan terima kasih atas hasil kajian dan pemikirannya yang
disumbangkan
pada
diskusi
penyiapan
dan
penyusunan naskah. 3. Tim INCIS yang telah berkontribusi menyiapkan bahan dan berdiskusi untuk penyusunan naskah Pedoman ini. 4. Ditjen Bimas Islam dan jajaran, LPPI, dan Wahid Institute yang telah berpartisipasi dalam FGD, Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Kasi Penerangan Agama Islam se-DKI Jakarta, Bogor dan Bekasi serta Para penyuluh di beberapa wilayah DKI Jakarta yang telah membantu dalam diskusi merumuskan pedoman yang ada di tangan anda sekalian. 5. Dr. Abdul Aziz, MA dan Drs. Zaenal Abidin, M.Si yang telah membaca keseluruhan naskah ini serta mengedit sehingga menjaga keruntutan struktur tulisan. 6. Mantan penganut aliran keagamaan bermasalah Saudara SS dan SN yang telah berbagi pengalaman masa lalunya ketika terlibat dalam aliran keagamaan bermasalah.
iv
7. Tim pelaksana pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat yang telah menyiapkan dan memfasilitasi berbagai pertemuan dan keperluan teknis lainnya. Buku Pedoman yang ada di hadapan pembaca ini juga telah diujicobakan dan didiskusikan dengan para ahli. Uji coba dilakukan pada tahun 2012 di tiga wilayah yaitu Makassar, Semarang, dan Bandung. Di masing-masing wilayah itu uji coba dihadiri oleh para penyuluh yang diharapkan menjadi pengguna utama dari buku ini.
Pada
tahun 2013 buku ini telah dibahas dan dikritisi dalam 4 kali diskusi kelompok terbatas (FGD) dengan peserta yang berbeda, terdiri atas unsur pejabat di lingkungan Kementerian Agama pusat dan daerah serta pejabat instansi terkait antara lain perwakilan dari Menko Kesejahteraan Rakyat, Kepolisian RI, Jaksa Agung, Kementerian Sosial dan Kementerian Dalam Negeri,
FGD
juga
telah
melibatkan
pimpinan
ormas
keagamaan dan ormas penggiat HAM, serta para penyuluh di lingkungan DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Provinsi Banten. Pada akhir tahun 2013 buku ini telah disosialisasikan pada sekitar 70 orang penyuluh agama dari wilayah Jabodetabek. Buku Pedoman yang ada di hadapan pembaca ini merupakan hasil akhir dari serangkaian diskusi dan pembahasan melalui berbagai rentetan pertemuan tersebut. Konstribusi dari mereka yang kami sebutkan di atas menjadi bagian penting untuk pengayaan Pedoman ini.
v
Kepada mereka kami ucapkan terima kasih disertai harapan mudah-mudahan karya ini menjadi bagian dari solusi masalah kehidupan keagamaan di Indonesia. Akhirnya, kami menghaturkan ucapan terimakasih kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang telah memberikan arahan dan kebijakan untuk tercapainya tujuan kegiatan ini. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan kepada anggota tim dan semua yang terlibat dalam proses penyusunan dan penyelesaian buku pedoman ini.
Semoga usaha untuk menerbitkan buku pedoman
menjadi salah satu upaya menciptakan kehidupan damai di antara komponen masyarakat.
Jakarta, Juli 2014 Pgs. Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D NIP. 19600416 198903 1 005
vi
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI Kami menyambut baik diterbitkannya buku, “Pedoman Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah di Indonesia” ini kami anggap penting karena beberapa hal. Pertama, gerakan keagamaan baru (new religious movement) merupakan fakta dan realitas yang terjadi di masyarakat kita, kapanpun dapat muncul, baik yang direspon dengan menunjukkan sikap pro maupun sikap kontra. Gerakan tersebut secara fenomenal ada yang bermasalah dan ada yang tidak bermasalah. Kedua, pada saat bersamaan, Pemerintah Indonesia menghadapi persoalan terkait isu “pembiaran” tatkala terjadi kekerasan yang menyangkut penganut aliran dan gerakan keagamaan bermasalah seperti penutupan rumah ibadat dan kekerasan terhadap mereka yang dituduh melakukan penodaan agama. Padahal, pemerintah telah melakukan berbagai upaya, tidak saja memberikan peringatan, bimbingan dan fasilitas, akan tetapi juga menerbitkan regulasi keagamaan yang dalam penyusunan regulasi tersebut melibatkan instansi terkait dan beberapa elemen masyarakat. Hal itu dapat dilihat pada proses penyusunan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan
vii
Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, serta Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Nomor: 3 Tahun 2008, Nomor: KEP033/A/JA/6/2008, dan Nomor: 199 Tahun 2008, tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Ketiga, gerakan keagamaan bermasalah mendekonstruksi ajaran agama yang telah menjadi anutan masyarakat mendorong lahirnya konflik dan kekerasan terutama di tingkat akar rumput dengan melibatkan arus utama (mainstream). Dalam kasus seperti ini kelompok minoritas selalu dikalahkan dengan berbagai perlakuan destruktif. Di sisi lain aliran dan gerakan keagamaan tersebut memunculkan permasalahan yang nyata-nyata melawan hukum dan konstitusi, mendorong makar dan memicu konflik sosial. Keempat, penanganan aliran dan gerakan keagamaan bermasalah belum dilakukan secara serius, komprehensif, dan berkesinambungan. Sementara itu masyarakat mengalami keresahan akibat tindakan anarkis terus terjadi. Seyogyanya hak hidup kelompok-kelompok minoritas sebagai warga negara wajib dilindungi. Salah satu upaya yang penting dilakukan adalah perlindungan hak psikologis korban (pengikut atau calon pengikut aliran tersebut), terutama jika penyimpangan yang dilakukan oleh aliran yang menggunakan metode brain-
viii
washing, manipulatif, pemaksaan, dan indoktrinasi yang menyebabkan korbannya menutup diri dan dikucilkan. Untuk penyelesaian masalah aliran dan gerakan keagamaan bermasalah tersebut, Buku Pedoman ini harus menjadi acuan bagi seluruh satuan kerja di lingkungan Kementerian Agama RI untuk mempedomaninya, sesuai dengan SURAT EDARAN SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN AGAMA Nomor: SJ/B.V/HK.00/71.08/2014 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN ALIRAN DAN GERAKAN BERMASALAH DI INDONESIA, tanggal 7 April 2014. Akhirnya, kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak dengan sepenuh hati telah mendukung dalam penyusunan Pedoman ini. Kami berharap, semoga dengan Pedoman ini menjadi pemandu dalam penyelesaian permasalahan aliran keagamaan bermasalah di Indonesia.
Jakarta, Juli 2014 Pgs. Kepala Badan
Prof. Dr. H. Machasin, MA NIP. 19561013 198103 1 003
ix
x
xi
xii
DAFTAR ISI Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan……… Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI ………………………………………………………………………… Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kementerian Agama Nomor: SJ/BV/2/HK.00/71.08/2014 tentang Pedoman Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah di Indonesia………………… Daftar Isi .................................................................................................
i
BAB I.
1 1 6
BAB II
PENDAHULUAN ............................................................... A. Latar Belakang ............................................................. B. Beberapa Pengertian ................................................. C. Tujuan dan Signifikansi Penanganan dan Pembinaan .................................................................... D. Pembinaan dan Sasaran Binaan ................................ E. Landasan Hukum ........................................................ F. Signifikansi Pedoman ................................................. INDIKATOR, TIPOLOGI, DAN DAMPAK ALIRAN DAN GERAKAN KEAGAMAAN BERMASALAH DI INDONESIA ....................................................................... A. Indikator Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah ................................................................. B. Tipologi Aliran dan Gerakan Keagamaan ............. C. Dampak .......................................................................
BAB III LANGKAH IDENTIFIKASI DALAM PENANGANAN ................................................................. A. Identifikasi Sasaran ................................................... B. Identifikasi Kelompok Penentang ........................... C. Identifikasi Akibat dan Dampak .............................
vii
xi xiii
9 10 10 18
19 19 22 24
27 27 31 32
xiii
D. E. F.
Metode Pengumpulan Data ..................................... Rekomendasi Penanganan ...................................... Metode Perumusan Rekomendasi ..........................
34 35 37
BAB IV BENTUK-BENTUK PENANGANAN ............................ A. Pendekatan Personal ................................................. B. Pendekatan Kolektif Beragam Program ................. C. Pendekatan Sistemik .................................................
39 39 45 46
BAB V
49 49 51 53 54
MANAJEMEN PENANGANAN...................................... A. Organisasi dan Struktur Organisasi ........................ B. Peran dan Pola Kerja .................................................. C. Sarana dan Prasarana ............................................... D. Monitoring dan Evaluasi ........................................... E. Penguatan Kapasitas Tim Penanganan dan Pembinaan ................................................................... . F. Penganggaran ............................................................ G. Bagan Koordinasi ...................................................... H. Bagan Struktur Kelembagaan Penanganan dan Pembinaan .................................................................. I. Alur Kerja Penanganan Kasus .................................
55 57 57 58 59
BAB VI PENUTUP ............................................................................
61
GLOSARIUM .......................................................................................
62
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
75
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................... 78 Lampiran 1. Format Petunjuk Identifikasi Aliran dan Gerakan 78 Keagamaan Bermasalah
xiv
Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4.
Lampiran 5.
Laporan Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah Laporan Hasil Penanganan (LHP) Pemahaman Dasar Bagi Penyuluh Terkait Gangguan Kamtibmas di Balik Konflik Atas Nama Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah Analisis Film Dokumenter dan Rekaman Tayangan TV pada Workshop Pedoman Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah di Indonesia
82 87 88
93
xv
xvi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam
sejarah
agama-agama,
termasuk
Islam,
perbedaan pendapat mengenai tafsir terhadap teks, ajaran, dan doktrin keagamaan senantiasa muncul di setiap jaman. Tidak
jarang,
perbedaan
pendapat
tersebut
kemudian
melahirkan aliran, madzhab, sekte, dan kelompok keagamaan baru yang berbeda dari pandangan keagamaan arus utama (mainstream).
Aliran,
madzhab,
sekte,
dan
kelompok
keagamaan yang baru tersebut kemudian muncul sebagai ‚gerakan
keagamaan
bermasalah‛
karena
dianggap
menyimpang dan menimbulkan keresahan bagi kelompok keagamaan arus utama. Tidak jarang pula, mereka dihakimi oleh kelompok keagamaan arus utama sebagai kelompok menyimpang atau ‚sesat‛ dan ‚menyesatkan‛. Pengertian bermasalah dalam konteks ini tidak terkait dengan aqidah dan syariah tetapi lebih kepada persoalan relasi sosial yang timbul akibat aliran dan gerakan keagamaan bermasalah tersebut. Selain itu, pengertian bermasalah juga tidak terkait dengan perdebatan mengenai ‚sesat‛ atau ‚tidak sesat‛ karena dalam hal ini negara bukanlah otoritas dan domain yang menentukan menjelaskan terminologi ‚sesat‛ termasuk menentukan seseorang atau kelompok sebagai ‚sesat‛.
1
Secara sosiologis, aliran dan gerakan keagamaan yang baru, muncul sebagai respon terhadap perubahan sosial yang sangat cepat yang dialami oleh komunitas keagamaan. Di Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan tercatat adanya berbagai aliran dan gerakan keagamaan yang baru yang dianggap bermasalah. Sebagai negara yang mempunyai lebih dari 400 suku bangsa dengan ciri kemajemukan budaya dan karakternya,
Indonesia
sering
mengalami
munculnya
pemahaman dan keyakinan, aliran dan gerakan keagamaan di berbagai daerah yang kemudian menimbulkan masalah bagi warga masyarakat sekitar. Pro dan kontra terhadap aliran dan gerakan keagamaan bermasalah selalu terjadi dari waktu ke waktu. Tumbuh kembangnya aliran dan gerakan keagamaan yang
dianggap
menyimpang,
khususnya
pada
masa
pemerintahan Orde Lama, mendorong lahirnya UndangUndang No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama dan Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pada masa itu, muncul aliran dan gerakan keagamaan yang bersifat teologis seperti Inkar Sunnah, maupun yang bersifat sufistik yaitu tarekat, serta gerakan yang bersifat politis seperti Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia, maupun Negara Islam Indonesia. Sedangkan pada masa pemerintahan Orde Baru muncul aliran atau gerakan keagamaan seperti Islam Jamaah/Darul Hadits, Darul Arqom, Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah-9 (NII KW-IX), dan NII Fillah.
2
Data yang tersedia pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan, dari tahun 1964 sampai dengan 1989 terdapat 71 (tujuh puluh satu) aliran yang dilarang. Instansi pemerintah yang melakukan pelarangan terhadap aliran tersebut adalah Kejaksaan Negeri di berbagai daerah (Daulay, 2000). Pada masa sesudah reformasi tahun 1998, menjamur aliran-aliran seperti Islam Murni, Salamullah (Lia Eden), AlHaq, Millah Ibrahim, Komunitas Millah Abraham (KOMAR), Surga Eden, Hidup di Balik Hidup, Salafi Jihadis, NII KW-IX yang terkait Ma’had Al-Zaytun, dan lain-lain. Dalam konteks sosiologis Indonesia saat ini, subur dan berkembangnya aliran serta gerakan keagamaan bermasalah yang dianggap menyimpang dan sesat, merupakan persoalan serius, karena dampaknya juga berisiko. Pimpinan dan anggotanya diadili serta dipenjarakan, pengikut atau umatnya diancam, akses ekonomi dan sosial mereka ditutup. Juga terjadi perusakan dan pemusnahan atau tindakan destruktif terhadap siapa saja yang dianggap berbeda dan mengganggu warga. Kasus Ahmadiyah di NTB dan Jawa Barat serta Syi’ah di Sampang, Jawa Timur membuktikan sinyalemen di atas. Fenomena ini juga menstimulasi konflik dan kekerasan yang laten di tingkat masyarakat, yang berimbas kepada kelompokkelompok kecil yang sebenarnya tidak masuk kategori menyimpang, namun juga menjadi korban. Korban dimaksud tidak hanya mereka para penganut aliran dan gerakan keagamaan bermasalah yang mengalami akibat
tindakan
kekerasan
baik
verbal
maupun
fisik,
3
melainkan korban dalam pengertian mereka yang melakukan tindakan kekerasan. Tetapi, buku ini hanya dimaksudkan untuk
panduan
penanganan
korban
sesuai
pengertian
pertama. Adanya konflik antara kelompok mainstream dengan penganut
aliran
dan
gerakan
keagamaan
baru
dan
bermasalah, pengusung paham nilai dan norma kebenaran religiusitas yang dipandang kontroversial ini, senantiasa dimenangkan
oleh
mereka
yang
dominan.
Sedangkan
kelompok minoritas selalu dikalahkan, tertuduh dan terusir, bahkan dalam beberapa kasus ada warganya yang terbunuh. Semua masalah dan dampak yang timbul dari kehadiran gerakan keagamaan baru bermasalah ini cenderung ditangani secara ad hoc, situasional, dangkal, dan hanya di permukaan saja. Belum ada pihak yang secara serius, komprehensif, sistemik dan berkesinambungan bekerja untuk menangani masalah itu. Elemen pemerintah dan aparatnya juga nampak gamang dalam menangani kasus-kasus seperti ini. Di satu sisi, keresahan dan anarkisme massa sulit dibendung, di sisi lain bagaimanapun juga ada individuindividu penganut aliran ini yang harus dilindungi hak hidupnya
sebagai
pelemahan
ilmu
warga agama
negara; dan
mereka
mengalami
keberagamaan;
mereka
memerlukan pencerahan, pelayanan kesehatan, relasi sosial, perlindungan dan pemberdayaan. Dampak besar yang selama ini belum mendapatkan perhatian serius terutama adalah dampak psikologis korban
4
(pengikut
atau
calon
pengikut)
aliran
dan
gerakan
bermasalah, yang dalam sistem manajemen dan leadership aliran/gerakan
tersebut
menggunakan
metode-metode
pencucian otak (brain washing), manipulatif, pemaksaan, ancaman, dan indoktrinatif. Cara-cara ini berdampak pada kondisi kesehatan fisik, kejiwaan, sosial dan spiritual keberagamaan para korbannya. Banyak di antara korban ini yang dianggap dan diperlakukan oleh masyarakat sebagai pelaku
yang
sesungguhnya
dari
aliran
dan
gerakan
keagamaan baru itu, sehingga mereka dihakimi, dieksekusi, dan dikucilkan, yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap kehidupan mereka kini dan dalam jangka panjang. Mereka yang terlibat kasus aliran dan gerakan keagamaan
bermasalah
dengan
posisi
sebagai
korban,
diasumsikan menghadapi masalah pelik dalam pemahaman dan interpretasi keagamaan. Bagi mereka (terutama yang beragama Islam), penanganan dan pembinaan yang perlu disediakan
selain
menggunakan
psikologis, sosiologis, dan
pendekatan
pedagogis,
hukum, juga menggunakan
pendekatan keagamaan (religiusitas). Tentu saja pendekatan lain seperti ekonomi, kebudayaan serta keamanan (security) juga sangat penting. Namun untuk kepentingan Kementerian Agama, pilihan pendekatan yang tepat adalah pendekatan keagamaan dan psikologis, sedangkan pendekatan lainnya merupakan bagian dari penanganan komprehensif yang dilakukan
oleh
pemerintah
dengan
para
pemangku
kepentingan (stakeholders) lainnya secara terpadu.
5
Inilah yang melatarbelakangi Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama menyelenggarakan serangkaian Focus Group Discussion (FGD), lokakarya, sosialisasi dan seminar
untuk
melahirkan
sebuah
buku
‚Pedoman
Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah‛. Buku ini diharapkan kontributif bagi Kementerian Agama dan berbagai stakeholders, termasuk bagi kalangan masyarakat madani (civil society) di Indonesia. B. Beberapa Pengertian 1. Aliran Keagamaan Bermasalah Secara teoritis, aliran kegamaan baru yang bermasalah dapat diklasifikasi ke dalam dua tipe. Aliran keagamaan tipe pertama adalah pengakuan individu atau kelompok yang mendapatkan wahyu secara asli (orisinil) dari Tuhan. Wahyu tersebut diyakini berisi nilai dan norma sakral yang berbeda sama sekali dengan isi kitab suci agama yang telah ada dan membudaya pada masyarakat tertentu,
baik
yang
berkaitan
dengan
teks,
konteks,
aqidah/ketuhanan (teologi), ibadah (ritual), jejaring proses penerima dan penerimaan kitab suci (tarikh genealogis), kemasyarakatan (muamalah sosiologis), akhlak, alam semesta, maupun berkaitan dengan awal dan akhir kehidupan. Aliran keagamaan tipe kedua adalah pengakuan individu atau kelompok yang mendapatkan wahyu atau
6
petunjuk dari Tuhan tentang pemahaman dan penafsiran baru atas nilai dan norma sakral sebahagian dari kitab suci sesuatu agama yang telah ada dan membudaya pada masyarakat tertentu
(modifikasi),
baik
menyangkut
teks,
konteks,
aqidah/ketuhanan (theologi), ibadah (ritual), jejaring proses penerima dan penerimaan kitab suci (tarikh genealogi), kemasyarakatan (muamalah sosiologis), akhlak, alam semesta, maupun menyangkut awal dan akhir kehidupan. Fenomena kontemporer gejala aliran keagamaan baru yang hadir di Indonesia dan dipandang bermasalah adalah aliran keagamaan dari tipe modifikasi, bukan tipe orisinil. Dengan kata lain lebih condong kepada mazhab atau sekte yang esensi dan substansi rukun-rukunnya dipandang oleh mainstream berubah jauh atau menyimpang dari silogisme dan premis primernya, yakni agama induknya. 2. Gerakan Keagamaan Bermasalah Gerakan Keagamaan bermasalah dimaksud memiliki dua dimensi tipikal; a. Gerakan keagamaan yang nyata-nyata melawan hukum dan konstitusi, mendorong makar dan konflik serta kerusuhan sosial terhadap segala sesuatu yang dipandang penganutnya bertentangan atau menghambat nilai dan norma
sakral
keberagamaan
mereka.
Aktivitas
ini
mendapat reaksi secara sosial, sanksi hukum, dan berakibat kehancuran, cacat, penahanan, meninggal, kesengsaraan keluarga yang ditinggalkan, dan pemerasan.
7
b. Gerakan keagamaan yang dalam upaya menggalang pengikut dan pendanaan, manajemen serta program perjuangannya, menggunakan strategi, cara-cara dan taktik manipulatif, pencucian otak (brain-washing),
pemaksaan,
ancaman, dan memikulkan beban kewajiban yang berat pada pundak para korbannya. Korban pengikut gerakan tersebut mengalami kesadaran palsu (dikendalikan patron aliran dan gerakan keagamaan bermasalah) dengan gejala antara lain bingung; jiwa kosong; menerawang yang bisa diklasifikasi sebagai akibat frustrasi, konflik, anxietas, atau depressi; yang pada intinya merupakan perwujudan stress memasuki pintu keabnormalan jiwa (abnormal psychic), mencakup
kelainan
(psychoneuroses),
(adjustive
menderita
mechanism),
gangguan
penyakit
(psychoses;
psychosomatic), serta gangguan khusus (specific disorders). 3. Pembinaan
dan
Penanganan
Aliran
dan
Gerakan
Keagamaan Bermasalah Pembinaan dan penanganan aliran dan gerakan keagamaan
bermasalah
terutama
difokuskan
pada
pendampingan para korban menyangkut aspek psikologis dan religiusitas,
menggunakan berbagai pendekatan
seperti pendidikan kembali (re-edukasi), bimbingan dan konseling (rehabilitasi), terapi dan medisin, preservasi, advokasi, pemberdayaan dan pemutusan mata rantai patron-klien para korban dari seluruh jaringan patron mereka (resosialisasi).
8
C. Tujuan dan Signifikansi Penanganan dan Pembinaan 1.
Tujuan Penanganan a. Penyelesaian masalah aliran dan gerakan keagamaan baru dan bermasalah dengan cara-cara yang lebih manusiawi, adil, beradab, dan dengan perspektif memandirikan (self sufficient). b. Memperkokoh fungsi agama dalam mengembangkan potensi manusia paripurna (insan kamil). c. Memfasilitasi
penyelesaian
antara
mereka
yang
dianggap aliran menyimpang dan ‚sesat‛ dengan masyarakat beragama mainstream pada umumnya melalui cara-cara damai, sejuk dan komunikasi hangat serta demokratis. 2. Signifikansi Penanganan dan Pembinaan Penanganan dan pembinaan yang ruhnya bersifat re-edukasi nantinya bermanfaat bagi para korban aliran keagamaan bermasalah sehingga dapat kembali kepada kehidupan sosial yang normal serta kondisi kejiwaan yang sehat. Juga re-edukasi kepada masyarakat penentang untuk lebih bersifat rehabilitasi-sosial, tidak main hakim sendiri dan
tidak
menggunakan
kekerasan
sebagai
jalan
penyelesaian. Pembinaan dan penanganan ini, di samping dapat mempermudah
penguatan
koordinasi
lintas
instansi,
institusi, pakar atau ahli, antar warga beda persepsi dan
9
konsepsi, juga dapat menghasilkan regulasi baru oleh negara yang dapat menjaga etika menafsir dan memahami kebenaran dan kerukunan beragama. D. Pembina dan Sasaran Binaan Pembina
dari
penanganan
ini
adalah
pejabat/pegawai yang ditunjuk oleh Kementerian Agama RI, berkoordinasi dan bekerja sama dengan instansi, institusi serta ahli/ pakar terkait. Sasaran binaan adalah individu dan atau kelompok keagamaan,
mantan
penganut
aliran
dan
gerakan
keagamaan baru yang diindikasikan bermasalah, dan kelompok
penentang
atau
masyarakat
luas
yang
cenderung menggunakan cara-cara kekerasan, serta warga masyarakat yang tidak terlibat, akan tetapi ikut menjadi korban konflik dan kekerasan. E. Landasan Hukum Sumber-sumber hukum yang digunakan sebagai landasan dalam penyusunan buku panduan ini antara lain: 1. UUD 1945 Pasal 28E; Pasal 28I, ayat (1); Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2); Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2). 2. Pasal 156a KUHP yang memuat aturan ‚Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang
10
siapa
dengan
sengaja
di
muka
umum
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang maha Esa.‛ (ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana penodaan agama). 3. Undang-Undang N0.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, jo UU No.5
Tahun
1969
tentang
Pernyataan
Berbagai
Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. 4. Undang-Undang RI Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. 5. Undang-Undang RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia 6. Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. 7. Undang-Undang
RI No. 7 Tahun 2012 tentang
Penanganan Konflik Sosial. Perlunya penanganan aliran dan gerakan keagamaan bermasalah secara baik, tidak dapat dilepaskan dari adanya jaminan negara atas kebebasan warga masyarakat untuk memeluk agama dan menjalankan ibadat menurut agama yang diyakininya tersebut. Pengakuan tersebut secara tegas
11
dieksplisitkan dalam konstitusi dan peraturan perundangundangan, seperti yang tertuang dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi, ‚negara menjamin kebebasan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu‛. Jaminan tersebut secara sosiologis tergambarkan secara baik dalam Penjelasan Pasal 1 Undang Undang Nomor 1/PNPS/1965 jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969. Dalam Pasal tersebut digambarkan bahwa ada 6 (enam) agama yang hidup dan berkembang di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu. Namun, ditegaskan bahwa hal itu bukan berarti agama-agama lain, seperti Yahudi, Zoroaster, Shinto, dan Tao dilarang di Indonesia. Agama-agama itu juga boleh hidup di Indonesia dan mendapatkan jaminan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejalan dengan bunyi konstitusi di atas, Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa ‚setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu‛ dan ‚negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu‛. Adanya jaminan negara tersebut menunjukkan bahwa dalam konteks Indonesia hubungan
12
antara agama dan negara mempunyai relasi yang sangat kuat. Relasi
ini
menginsyaratkan
memperhatikan
secara
kepada
negara
sungguh-sungguh
untuk
pelaksanaan
jaminan kebebasan beragama itu di masyarakat. Karena adanya jaminan negara tersebut sebenarnya menegaskan tentang adanya wilayah internal dalam beragama yang tidak boleh diintervensi oleh siapapun, bahkan oleh negara sekalipun. Selanjutnya, konstitusi pasca amandemen menegaskan dalam Pasal 28E bahwa: (1) Setiap orang bebas memeluk agama
dan
beribadat
menurut
agamanya,
memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali; (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya; dan (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Kemudian juga ditambahkan Pasal 28I, yang berbunyi bahwa ‚hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Berdasarkan kutipan di atas jelaslah bahwa sebenarnya pengaturan kebebasan beragama di Indonesia, sudah sangat
13
maju. Namun, perlu juga dipahami bahwa ada norma agung dalam konstitusi, yaitu Pasal 28J yang berbunyi: (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan
maksud
semata-mata
untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Senada dengan bunyi Pasal 28J di atas, Pasal 70 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan kembali bahwa ‚dalam menjalankan dan kewajiban, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang-Undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan ketertiban umum
dalam
suatu
masyarakat
demokratis‛.
Namun
demikian, dalam konteks Indonesia sebagai negara yang bukan negara agama, seluruh umat beragama harus tunduk pada konstitusi yang berlaku di Indonesia. Perlu digarisbawahi di sini bahwa pembacaan pasalpasal itu hendaknya dilakukan secara menyeluruh. Orang tidak boleh hanya membaca Pasal 29, 28E, dan berhenti pada Pasal 28I saja, melainkan harus juga membaca Pasal 28J
14
sebagai satu kesatuan dengan pasal-pasal sebelumnya. Adanya pembatasan-pembatasan itu tidak perlu dianggap bahwa bangsa Indonesia tidak memiliki kebebasan beragama. Hal itu dimungkinkan sepanjang dilakukan melalui undangundang, semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. Sesungguhnya
dalam
instrumen–instrumen
inter-
nasional pun hal serupa memang diatur. Dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang diadopsi PBB pada tahun 1948, Pasal 29 Ayat (2), dikatakan sebagai berikut: In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society (Dalam melaksanakan hak-hak dan kebebasannya, setiap orang hanya patuh kepada pembatasan yang diatur melalui undang-undang, semata-mata untuk tujuan menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan moralitas yang adil, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokratis).
15
Dalam Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik (diadopsi PBB Tahun 1966) yang telah diratifikasi oleh Indonesia menjadi UU No. 12 Tahun 2005, Pasal 18 Ayat (3) berbunyi sebagai berikut: (3) Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain. Kemudian dalam Deklarasi PBB tentang Penghapusan segala
Bentuk
Diskriminasi
Berdasarkan
Agama
dan
Kepercayaan (Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion and Belief) Tahun 1981, pada Pasal 1 Ayat (3) juga dinyatakan sebagai berikut: Freedom to manifest one's religion or beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, ormorals, or the fundamental rights and freedoms of others (Kebebasan seseorang untuk menyatakan agamanya atau kepercayaannya hanya dapat dibatasi oleh UU dan dalam rangka menjamin keselamatan umum, ketentraman umum, kesehatan umum, atau nilainilai moral atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain).
16
Demikian juga dalam Konvensi tentang Hak-Hak Anak
yang
diadopsi
oleh
Sidang
Umum
PBB
yang
ditandatangani pada tanggal 20 November 1989 (Convention on the Rights of the Child), dalam Pasal 14 ayat (3) dinyatakan sebagai berikut: Freedom to manifest one's religion or beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals, or the fundamental rights and freedoms of others (Kebebasan seseorang untuk menyatakan agamanya atau kepercayaannya hanya dapat dibatasi oleh UU dan dalam rangka untuk melindungi keselamatan, ketentraman, kesehatan, dan nilai-nilai moral publik atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain). Dengan demikian, Pasal 28J UUD 1945 sesungguhnya juga sejalan dengan berbagai instrumen internasional yang telah diadopsi dan ditandatangani oleh PBB. Dalam hal ini maka apabila UU No.1/PNPS/1965 itu dipandang sebagai salahsatu pembatasan yang dilakukan dengan UU, maka hal itu sebenarnya adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena adanya peluang yang diberikan oleh Pasal 28J UUD 1945 itu yang harus dibaca sebagai bagian tak terpisahkan dari pasal-pasal lainnya. Norma ‚pembatasan berdasarkan Undang-Undang‛ yang diatur dalam pasal ini telah memberikan ketegasan bagi aparatur dan warga masyarakat dalam menyikapi keberadaan aliran dan gerakan keagamaan bermasalah. Selain itu, norma ‚dalam rangka untuk melindungi keselamatan, ketentraman,
17
kesehatan, dan nilai-nilai moral publik, atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain‛ telah memberikan panduan pula bahwa sepanjang aktualisasi kebebasan beragama itu tidak mengganggu keselamatan, ketentraman, kesehatan, dan nilainilai moral publik, atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain, maka Pemerintah tidak terlibat. Namun, apabila terjadi sebaliknya,
maka
Pemerintah
wajib
untuk
melakukan
penanganan segera. F. Signifikansi Pedoman Buku panduan ini menjadi pegangan bagi para pihak yang ditunjuk atau dilibatkan oleh Kementerian Agama untuk menangani dan menyelesaikan berbagai problem yang dihadapi para korban internal dan eksternal akibat aktivitas aliran
dan
gerakan
keagamaan
yang
ada
di
tengah
masyarakat, yang terindikasi ‚bermasalah‛. Buku ini juga dapat bermanfaat bagi pembuatan langkah-langkah pendataan berupa pemetaan aliran dan paham keagamaan baru dan bermasalah; pendataan tentang fenomena keluasan dan kedalaman konflik, kerusuhan serta akibat dan dampak yang pernah terjadi; rencana uji coba model
solusi
yang
akan
diprioritaskan;
inventarisasi,
rekruitment, penentuan sistem kerja sumberdaya pelaksana; penyiapan tempat, sarana dan prasarana, serta biaya yang diperlukan; koordinasi, supervisi, evaluasi, dan analisa kritis keberhasilan dan kegagalan; serta revisi sistem kerja dan uji coba lanjutan atas model solusi yang ditawarkan.
18
BAB II INDIKATOR, TIPOLOGI, DAN DAMPAK ALIRAN DAN GERAKAN KEAGAMAAN BERMASALAH DI INDONESIA A. Indikator Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah 1. Ditinjau dari peraturan perundang-undangan Mengacu
pada
perundang-undangan,
konstitusi
indikator
dan
suatu
peraturan aliran
dan
gerakan keagamaan dianggap bermasalah apabila: a. Membahayakan
ketertiban
publik,
seperti
penafsiran dan penyebaran ajaran agama yang nyata-nyata menyimpang, menyesatkan, menyulut masalah
dan
mendorong
kekacauan
atau
kerusuhan di tengah masyarakat. b. Membahayakan
keselamatan
jiwa,
seperti
mengajarkan kepada para pengikutnya untuk melukai diri sendiri dan atau orang lain. c. Mengganggu akhlak publik, seperti ajaran yang memperbolehkan seks bebas dan perzinaan. d. Membahayakan kesehatan publik, seperti ajaran yang memperbolehkan menggunakan obat-obatan terlarang. e. Melanggar hak-hak dasar orang lain, seperti pengkonsepsian dan penafsiran ajaran agama yang
19
dalam penyebarannya memaksaan pencucian otak orang lain baik secara langsung maupun tak langsung (brain washing); memobilisasi pendanaan secara manipulatif dari masyarakat. f.
Menyebarkan kebencian dan permusuhan di tengah masyarakat, seperti syiar-syiar baik secara lisan maupun tertulis yang menghalalkan darah orang lain bahkan orang tua kandung, atau mendorong orang lain melakukan kekerasan fisik dan teror.
g. Menganjurkan dan mengajarkan makar terhadap pemerintahan yang sah serta tidak mengakui Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Ditinjau dari Kriteria Paham dan Aliran Sesat menurut Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Di bawah ini adalah 10 kriteria paham dan aliran sesat (dalam Islam) menurut ketetapan MUI hasil Munas tahun 2007. Kriteria ini tidak serta merta menjadi dasar penindakan dan penanganan terhadap pengikut aliran yang dianggap sesat tersebut, sebelum ada
vonis
dari
pengadilan.
Kriteria
ini
dapat
digunakan sebagai rujukan awal untuk melihat dan menganalisa aliran-aliran keagamaan (Islam) guna ditindaklanjuti
secara
hukum.
Sepuluh
kriteria
tersebut adalah: a. Mengingkari salah satu dari rukun iman yang enam
20
b. Meyakini dan atau mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah c. Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Quran d. Mengingkari otentisitas atau kebenaran isi AlQuran e. Menafsirkan Al-Quran tidak berdasar pada kaidahkaidah tafsir f.
Mengingkari Hadits Nabi sebagai sumber ajaran Islam
g. Menghina atau melecehkan atau merendahkan para nabi dan rasul h. Mengingkari Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir i.
Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh Syari’ah, seperti haji tidak ke Baitullah, shalat wajib tidak 5 waktu
j.
Mengkafirkan sesama muslim Jika ditarik benang merah dari regulasi negara
dan Ketetapan MUI tersebut maka indikator Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah itu adalah: a. Otoritas penafsiran mutlak pada keinginan sang Imam/pemimpin
21
b. Kegiatannya
membahayakan
bagi
diri,
dan
penganut dan warga masyarakat lainnya c. Mengaku menerima wahyu d. Mengaku sebagai Nabi e. Menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal f.
Ada struktur dan aturan yang ketat yang mutlak diikuti dan ditaati oleh anggota yang tidak berdasar dari teks dan konteks wahyu
g. Berlebih-lebihan
dalam
mengamalkan
ajaran
agama keluar jauh dari teks dan konteks wahyu h. Aktivitasnya eksklusif (menutup diri) B.
Tipologi Aliran dan Gerakan Keagamaan Keberadaan aliran dan gerakan keagamaan di berbagai
tempat di Indonesia memunculkan reaksi dan tanggapan yang beragam di masyarakat. Seringkali, reaksi yang muncul berbentuk tindakan main hakim sendiri dengan mengadili pimpinan atau pengikut aliran yang dianggap bermasalah tersebut. Berkaitan dengan keragaman tipologi aliran dan gerakan keagamaan yang biasanya tidak memunculkan reaksi, atau yang sebaliknya, memunculkan reaksi penolakan di masyarakat Indonesia, pada umumnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
22
1. Aliran dan gerakan keagamaan yang tidak bermasalah adalah mereka yang mengembangkan paham aliran dan aktivitas gerakan keagamaan yang dipandang berada di luar mainstream, namun tidak melakukan pelanggaran terhadap hukum negara. Contohnya adalah tarekat yang tergolong ghoiru mu’tabarah atau yang dipandang oleh sebagian orang sebagai tarekat di luar mainstream. Aliran seperti ini juga tidak melakukan pelanggaran terhadap hukum negara. Secara umum, tidak ada reaksi masyarakat yang membahayakan pimpinan dan penganut tarekat semacam ini. 2. Aliran, dan gerakan keagamaan yang bermasalah adalah mereka yang secara nyata melawan hukum negara, melakukan makar dengan tujuan untuk memutuskan NKRI dan
mendirikan
negara baru, menganjurkan
permusuhan, teror dan kejahatan kemanusiaan lainnya. Contohnya gerakan
atas
nama
agama
yang
ingin
mendirikan negara Islam. Termasuk dalam hal ini adalah aliran dan gerakan keagamaan yang menggunakan caracara manipulatif (penipuan, brain-washing, hipnotis) dan kriminal (penculikan pembunuhan). 3. Aliran dan gerakan keagamaan lainnya yang dianggap bermasalah adalah aliran-aliran keagamaan yang telah divonis
pengadilan
sebagai
aliran
bermasalah
dari
kebiasaan yang mainstream, tetapi kemudian secara diamdiam atau terbuka mereka tetap saja tidak berubah.
23
C. Dampak Paham,
aliran,
dan
gerakan
keagamaan
baru
bermasalah yang banyak berbenturan dengan paham, aliran dan gerakan keagamaan yang telah lama mapan, dari segi sosiokultural dapat menimbulkan dampak sebagai berikut: 1. Dampak terhadap korban atau pengikut dapat berupa: a. Pengucilan oleh keluarga dan masyarakat baik secara sosial maupun ekonomi b. Terganggunya pendidikan korban baik prestasi belajar, disiplin, maupun keberlanjutan pendidikan c. Penghujatan dan pendiskreditan oleh pihak yang menentang d. Pemberitaan secara merugikan baik oleh media massa maupun oleh masyarakat dari mulut ke mulut e. Keadaan psikologis yang tertekan dan terintimidasi berproses frustrasi, konflik bathin, anxietas, depressi berujud
stress
sehingga
menimbulkan
gejala
keabnormalan jiwa seperti kelainan jiwa (adjustive mechanism), gangguan jiwa (psychoneuroses), penyakit jiwa (psychoses), penyakit phisik akibat guncangan jiwa (psychosomatic), dan gangguan khusus (specific disorders) lainnya f.
Perubahan pola hidup yang keluar dari kebiasaan, serta membangun relasi yang anti sosial
24
g. Pelarian dari situasi dan kondisi wajar ke arah yang lebih buruk h. Pemidanaan dan pemenjaraan 2. Dampak terhadap keluarga dapat berupa: a. Perpecahan anggota keluarga antara anak dan orang tua, keluarga dan anggota keluarga serta kerabat lainnya b. Pengucilan dari masyarakat sekitar terhadap keluarga c. Penanggungan beban psikologis dan ekonomi atas keluarga d. Rentan terpengaruhi dan terindoktrinasi lebih awal (menjadi korban) e. Perampasan hak berkeluarga f.
Perampasan hak mendapatkan nafkah
3. Dampak terhadap masyarakat dapat berupa: a. Timbulnya aksi
dan reaksi
antar
anggota dan
kelompok masyarakat b. Timbulnya konflik dalam masyarakat yang berpotensi melahirkan disintegrasi sosial c. Timbulnya
rasa
takut
akan
menjadi
korban
penyimpangan d. Termanipulasi oleh paham dan ajaran yang salah
25
e. Menderita kekerasan fisik dari kelompok yang tidak sepaham 4. Dampak terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara dapat berupa: a. Ancaman
terhadap
Pancasila
sebagai
ideologi
berbangsa dan bernegara b. Ancaman
terhadap
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia c. Memupuk tumbuh dan berkembangnya ideologi religiustas baru yang merusak tatanan kekitabsucian, aqidah, peribadatan, tarikh, dan akhlak mulia; serta mengobrak-abrik
falsafah
dan
regulasi
acuan
kehidupan berbangsa dan bernegara 5.
Dampak terhadap citra Indonesia di dunia Internasional a. Terorisme dan konflik keagamaan menjadi catatan penting
yang
memengaruhi
iklim
investasi
di
Indonesia b. Citra Indonesia sebagai negara yang penuh kerukunan dan harmoni di mata dunia juga menurun akibat konflik dan kekerasan atas dasar aliran dan gerakan keagamaan mainstream versus aliran dan gerakan keagamaan bermasalah yang penuh kontroversi
26
BAB III LANGKAH IDENTIFIKASI DALAM PENANGANAN A. Identifikasi Sasaran Sebelum penangan aliran dan gerakan keagamaan bermasalah dilakukan oleh pejabat/pegawai yang ditunjuk, diperlukan identifikasi terhadap sasaran yang akan ditangani meliputi: 1. Eksistensi: a. Nama aliran keagamaan b. Ajaran dan dakwah kegamaan c. Nama pendiri d. Tahun berdiri e. Nama pimpinan saat ini f.
Jumlah pengikut
g. Lokasi h. Legalitas i.
Sumber dana
2. Asal muasal Berkaitan dengan, apakah aliran/gerakan keagamaan ini dibentuk oleh aliran keagamaan yang sudah ada di negara lain? ataukah cabang dari aliran/gerakan keagamaan di
27
daerah lain di Indonesia?; Apakah aliran/gerakan itu lahir secara natural dari budaya dan masyarakat lokal? ataukah gagasan seseorang tokoh kharismatik di komunitas wilayah aktivitas dakwahnya? 3. Motivasi a. Bagaimana cerita dan konteks awal mula berdiri atau munculnya aliran/gerakan keagamaan ini? Apa sebab dan motivasinya? b. Apa motivasi pengikutnya sehingga masuk menjadi bagian dari aliran keagamaan ini? Beberapa alternatif motivasi yang bisa ditelusuri, atau dikonfirmasi adalah sebagai berikut: 1) Teologis atau ideologis 2) Sosial 3) Budaya 4) Ekonomi 5) Politik 4. Lembaga payung atau afiliasi politik Apakah ada lembaga induk yang menjadi payung dari aliran atau gerakan keagamaan ini? Jika tidak ada, apakah aliran keagamaan ini berafiliasi dengan lembaga lain?
28
Beberapa kemungkinan lembaga payung: a. Yayasan sosial b. Yayasan pendidikan c. Balai Pengobatan d. Perguruan tinggi e. Pondok pesantren f.
Penghayat kepercayaan
g. Kelompok diskusi h. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) i.
Organisasi Kepemudaan dan Kemahasiswaan (OKP)
j.
Organisasi Kemasyarakatan (Ormas)
k. Partai Politik (Parpol) l.
Perkumpulan/paguyuban
m. Koperasi n. Perguruan bela diri o. Sanggar seni p. Perusahaan q. Perusahaan media r. Cybermedia s. Organisasi ad hoc 5. Jaringan a. Apakah
aliran
atau
gerakan
keagamaan
ini
mempunyai jaringan dengan aliran keagamaan sejenis di tingkat internasional maupun nasional, ataukah berdiri sendiri dan tidak memiliki cabang?
29
b. Apakah aliran keagamaan ini mempunyai jaringan atau bekerja sama secara langsung maupun tidak langsung dengan pemerintah/lembaga birokrasi atau dengan
individu
tertentu
dalam
internal
pemerintahan/lembaga birokrasi? 6. Persebaran a. Apakah konsentrasi pengikut atau cabang aliran ini di wilayah pedesaan, perkotaan, atau dua-duanya? b. Apakah aliran keagamaan ini memiliki misi atau rencana penyebaran ajarannya/pengikutnya? Sejauh mana cakupannya (lokal, wilayah, nasional, atau internasional?) 7. Pokok Ajaran a. Apakah
materi
ajaran
atau
ideologi
pokok
aliran/gerakan keagamaan ini? b. Bagaimana argumen mereka terhadap ajaran atau ideologi pokok ini? 8. Metode Dakwah dan Rekruitmen Anggota a. Bagaimana metode penyebaran (dakwah) ajaran ini di tengah masyarakat? b. Bagaimana mereka menerapkan metode itu terhadap pengikut dan sasaran (calon pengikut)? c. Bagaimana mereka merekrut/mengkader pengikut? Adakah sistem baiat/perjanjian tertentu?
30
d. Apakah
pengikutnya
merasa
dipaksa
ketika
masuk/direkrut? e. Apakah mereka menggunakan struktur sel tertutup atau terbuka? f.
Apakah pengikutnya berbasis individu atau keluarga?
g. Bagaimana argumen mereka terhadap metode-metode tersebut? B. Identifikasi Kelompok Penentang Selain identifikasi sasaran, perlu dilakukan juga identifikasi terhadap kelompok penentang, meliputi antara lain: 1. Apakah ada kelompok penentang
terhadap aliran/
gerakan keagamaan ini? 2. Siapa tokoh-tokoh di balik penentangan tersebut? 3. Bagaimana
argumen
kelompok
penentang
terhadap
aliran/gerakan keagamaan tersebut? 4. Apakah
masyarakat
di
sekitar
tempat
keberadaan
aliran/gerakan memiliki pandangan yang sama dengan kelompok penentang itu? atau berbeda (non-penentang)? 5. Apa saja yang sudah, sedang, dan akan dilakukan kelompok penentang terhadap aliran/gerakan keagamaan ini?
31
6. Bagaimana aparat terkait melihat masalah ini? Dan apa sikap aparat terhadap kelompok penentang? 7. Apa akibat yang ditimbulkan oleh sikap dan tindakan kelompok penentang ini? 8. Apa reaksi aliran/gerakan keagamaan tersebut terhadap sikap dan tindakan penentangan tersebut? 9. Apa motivasi/alasan kelompok penentang ini di balik sikap dan tindakan penentangan mereka? Beberapa alternatif motivasi yang bisa ditelusuri/ dikonfirmasi antara lain sebagai berikut: a. Teologis atau ideologis b. Sosial c. Budaya d. Ekonomi e. Politik C. Identifikasi Akibat dan Dampak Selanjutnya, identifikasi dilakukan terhadap akibat dan dampak
dari
kehadiran
aliran/gerakan
keagamaan
bermasalah: 1. Korban / Pengikut a. Apakah
pengikut
aliran/gerakan
keagamaan
ini
terlihat mengalami frustrasi, konflik, anxietas, depresi berwujud stress, trauma hingga disorientasi?
32
b. Bagaimana kondisi keluarga dan anak-anak pengikut aliran/gerakan tersebut? c. Apakah
pengikut
mengalami
aliran/gerakan
kerugian
material
keagamaan
setelah
ini
mengikuti
aliran/gerakan keagamaan tersebut? d. Apakah
pengikut
mengalami
sanksi
aliran/gerakan sosial
keagamaan
(dieksklusi
ini
keluarga,
dikucilkan oleh lingkungannya) setelah mengikuti aliran/gerakan keagamaan tersebut? 2. Sosial a. Apakah keberadaan aliran/gerakan keagamaan tersebut menimbulkan konflik dan kecamasan di kalangan masyarakat
sekitarnya?
Apa
jenis
konflik
dan
kecemasan tersebut? b. Sejauhmana cakupan pengaruh konflik dan kecemasan tersebut? c. Apakah keberadaan aliran/gerakan keagamaan tersebut merusak pranata sosial yang ada di masyarakat sekitarnya? d. Ataukah justru tindakan kelompok penentang yang memunculkan keresahan dan kerugian sosial? 3. Hukum a. Apakah
aliran/gerakan
keagamaan
tersebut
melakukan tindakan pelanggaran hukum?
33
b. Apa bentuk tindakan pelanggaran hukum tersebut? delik apa saja yang dilanggar? c. Apakah ada pihak yang dirugikan oleh tindakan pelanggaran
hukum
tersebut?
Apa
bentuk
kerugiannya? D. Metode Pengumpulan Data Di dalam proses identifikasi sebagaimana tercakup pada uraian terdahulu, digunakan metode pengumpulan data dan pembuatan database sebagai berikut: 1. Wawancara atau dialog dengan pimpinan dan pengikut kelompok keagamaan aktif yang menjadi sasaran. 2. Wawancara atau dialog dengan mantan pimpinan dan eks pengikut kelompok keagamaan yang sudah sadar yang menjadi sasaran. 3. Wawancara dengan masyarakat secara umum. 4. Pengumpulan data dan dokumen dari kepolisian, lembaga pemasyarakatan, rumah sakit, keluarga
dan sumber
lainnya tentang korban atau penderita dampak konflik aliran/gerakan keagamaan bermasalah. 5. Investigasi/observasi 6. Pengkategorian psikhophisik,
masalah sosial,
hukum,
keagamaan baru tersebut. 7. Studi kepustakaan.
34
pendidikan, korban
phisik,
psikis,
aliran/gerakan
8. Penentuan jenis, macam, metode, teknik, prosedur, sarana dan
prasana,
tenaga
ahli
yang
diperlukan
dalam
penanganan. 9. Informasi masyarakat ahli atau pakar terkait. 10. Persetujuan
korban
dan
keluarga untuk mengikuti
penanganan. 11. Membuat database berdasarkan informasi yang sudah dikumpulkan, termasuk di dalamnya adalah database personalia. E. Rekomendasi Penanganan Dari identifikasi yang dilakukan, perlu dirumuskan rekomendasi penanganan terkait fokus sasaran penanganan dan strategi penanganan. Beberapa pertanyaan yang harus dijawab meliputi: 1. Skala Prioritas Sasaran a. Apakah penanganan dan pembinaan difokuskan kepada individu-individu ataukah secara umum kepada semua stakeholder yang terkait dengan masalah aliran/gerakan keagamaan ini, termasuk kelompok penentang? b. Bagaimana
sebaiknya
strategi
penanganannya
dirumuskan? Apakah strategi penanganan korban sebaiknya
dibedakan
dari
strategi
penanganan
penentang?
35
2. Tipe Penanganan a. Apakah penanganan dan pendampingan mungkin dilakukan dalam kasus ini? Ataukah kasusnya harus diselesaikan secara hukum? b. Apakah penanganan ini bisa dikategorisasi menjadi jangka
pendek,
jangka
menengah,
atau
jangka
panjang? c. Apakah proses pendampingan bisa dilakukan secara ad hoc, ataukah harus simultan dan berkelanjutan, ataukah harus diintegrasikan dengan pranata sosial yang ada di lingkungan
tersebut,
atau
secara
boarding
(pemondokan) khusus? 3. Penentuan proses pembinaan a. Metode dan didaktika yang digunakan b. Keteladanan yang ditampilkan c. Pembudayaan nilai dan norma yang dilaksanakan d. Penilaian keberhasilan dan kegagalan penanganan 4. Penanganan dampak a. Penyaluran pasca penanganan bagi mereka yang berhasil ditangani. b. Penanganan/perujukan bagi korban yang mengalami dampak keabnormalan jiwa baru. c. Konsekuensi biaya perujukan dampak.
36
F.
Metode Perumusan Rekomendasi 1.
Diskusi tim ahli.
2.
Analisis temuan lapangan.
3. FGD oleh keseluruhan tim yang ditugaskan untuk maksud penanganan.
37
38
BAB IV BENTUK-BENTUK PENANGANAN A. Pendekatan Personal Setelah
jelas
database
aliran/gerakan
keagamaan
bermasalah dengan segala penyimpangan, ketersesatan, masalah dan dampak yang ditimbulkannya, penanganan para korban (atau penentangnya) dilakukan dalam berbagai bentuk, dan pemilihan bentuk penanganan sangat bergantung pada jenis masalah yang dihadapi para korban. Setidaknya ada lima jenis masalah yang mungkin timbul dan dialami oleh para korban. Masalah pertama berupa kerancuan pemahaman tentang ajaran agama (yang Syar’i); jenis masalah kedua berupa keabnormalan jiwa; jenis masalah ketiga penyakit phisik; masalah keempat hukum; dan masalah terakhir
sosial. Masing-masing masalah diatasi
melalui bentuk penanganan yang berbeda-beda, meskipun satu atau dua bentuk penanganan boleh jadi dapat digunakan untuk lebih dari satu jenis masalah. Satu hal yang penting ditekankan di sini adalah, apapun bentuk penanganan yang diberikan kepada para korban, terdapat kebutuhan mutlak bagi semua korban dari kelima jenis masalah yang mereka hadapi, untuk memutus total hubungan mereka dengan aliran/gerakan bermasalah. Pemutusan seluruh mata rantai jejaring aliran/gerakan bermasalah
ini
merupakan
elemen
strategis
dalam
keseluruhan proses penanganan korban.
39
Oleh karena penanganan aliran/gerakan keagamaan bermasalah ini lebih berorientasi pada penanganan korban yang
pada
pendekatan
dasarnya
adalah
penanganannya
individu-individu,
juga
maka
mempertimbangkan
pendekatan personal, tanpa melupakan pendekatan lain, sebagaimana akan diuraikan kemudian. Dalam pendekatan personal, bentuk penanganannya antara lain menggunakan: 1. Metode
Pendidikan
dan
Bimbingan
(Edukasi
dan
Guidance) Penyimpangan dari Ajaran Agama
(yang syar’i)
ditangani dengan metode pendidikan dan bimbingan keberagamaan.
Dalam
proses
ini,
pendidikan
dan
bimbingan bisa dilakukan dengan cara ta’lim, remedial, enrichment, dan klinikal, lewat teknik mentoring, diskusi, dialog (counter), ceramah, atau metode lainnya yang dinilai cocok dengan kondisi para korban. Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam proses ini adalah: a. Menciptakan kenyamanan, sehingga korban merasa damai, terbela, dan terlindungi. b. Tidak bersifat menghakimi keyakinan korban sebagai sesat
atau
menyimpang,
terhadap pemahamannya.
40
tetapi
bersifat
analitis
c. Membangun rasa percaya (trust) korban sehingga mereka bersedia terbuka kepada petugas dari tim penanganan. 2. Metode Konseling dan Psikotherapi Tatkala korban telah terdiagnosa sebagai penderita keabnormalan jiwa, maka metode penanganannya adalah dengan konseling dan psikotherapi. Penderita yang terdiagnosa dengan gejala seputar kelainan jiwa (adjustive mechanism) diiringi dengan kesulitan menentukan pilihan keputusan terhadap nilai dan norma teks dan konteks wahyu secara utuh, maka disuluhi dengan konseling. Ketika korban
telah terdiagnosa
keabnormalan
jiwa
(psikoneuroses)
dan
pada
sebagai penderita
tingkat
gangguan
jiwa
gangguan khusus
jiwa
(specific
disorders), atau pada tingkat penyakit jiwa (psikosa), penyakit phisik akibat guncangan jiwa (psikosomatik), maka
disembuhkan
dengan
teknik
konsultatif,
hipnotherapi, atau biopsikomedical. 3. Metode Pengobatan (Treatment) Setelah korban terdiagnose menderita salah satu atau sejumlah
penyakit
phisik
(diseases),
maka
perlu
ditanggulangi dengan pelayanan biomedis secara an sich. 4. Metode Hukum dan Advokasi Sosial Setelah korban jelas terindikasi masalah hukum, maka penanganannya adalah penyelesaian lewat peradilan.
41
Dalam hal ini, agar keadilan berjalan maksimal perlu ada advokasi. Sementara korban yang terindikasi memikul dampak sosial, maka penanganannya dengan metode memberi pemahaman dan kesadaran masyarakat agar dapat menerima kembali korban yang sudah dianggap sudah baik dan siap hidup di tengah masyarakatnya, untuk
kemudian
diberi
program
pemberdayaan
(empowering). 5. Metode Pemutusan Mata Rantai Ke Jejaring Institusi Berajaran Menyimpang Sebagaimana telah dikemukakan, pemutusan hubungan dengan aliran/gerakan bermasalah sangat penting dalam proses penanganan. Cara yang dilakukan dalam metode ini adalah dengan memutus lingkungan korban dari komunitas dan atau jaringan yang dimungkinkan bisa dipengaruhi oleh aliran/gerakan keagamaan bermasalah. Pemutusan hubungan ini dilakukan hingga korban dinilai sudah mampu menjaga diri dari pengaruh aliran/gerakan keagamaan bermasalah tersebut. Jika diskemakan, alur proses penanganan aliran/gerakan keagamaan
baru
yang
bermasalah
tersebut
pendekatan personal, terlihat sebagai berikut:
42
melalui
Skema Pendekatan Penanganan Personal/Individual Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah
Ajaran Syar`i *
Pendidikan
Dakwah
Remedial Enrichment Clinical
Kejiwaan
Transisi G u i d a n c e
C o n s e l i n g
Penyakit Phisik
Treatment
Abnormal Psychotherapy Counselling Individual Consulltation FGD
Perundingan/Dialog
Hukum*
P s i k o m a t i k
Arbitrase
L i t i g a s i
D i s e a s e s
N o n L i t i g a s i
Program 1
Program 2
Penyesuaian Diri Penerimaan Warga Masyarakat Pemberdayaan
Paralegal
Pemutusan Hubungan Mata Rantai Dengan Jejaring Institusi Berajaran Menyimpang
Program Aksi
Identifikasi Masalah
Sosial*
Program 3
Alternatif Penanganan yang direkomendasikan
Program Aksi
Keterangan* : dapat digunakan untuk penanganan yang bersifat kolektif dan sistemik
Dari skema penanganan pendekatan personal ini, terlihat diversifikasi fungsi dari berbagai stakeholders yang diharapkan terlibat dalam penanganan, tentunya secara terkoordinasi dalam satu tim oleh institusi yang menjadi
43
leading sector koordinasinya, yaitu Kementerian Agama RI. Misalnya: 1. Bidang Pendidikan (remedial; enrichment; clinikal), guidance dan dakwah terhadap penyimpangan dari ajaran syar`i dilaksanakan oleh Kementerian Agama RI dibantu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI; Conselling
2. Bidang
dan
Psychotherapy
(Individual
Consultation; Focus Group Discussion “FGD” Technical; Biomedical;
dll)
untuk
keabnormalan
Jiwa
termasuk
Psikosomatik dilaksanakan oleh Kementerian Agama RI dibantu Kementerian Kesehatan RI; 3. Bidang
Treatment
(Obat,
Menu,
Tindakan,
dll)
penanggulangan penyakit fisik (ansich, atau psikosomatik), dilaksanakan
oleh Kementerian Agama
RI dibantu
Kementerian Kesehatan RI; 4. Bidang
perlindungan,
penyelesaian
masalah
advokasi hukum
dan
penyuluhan
dilaksanakan
oleh
Kementerian Agama RI dibantu Kementerian Hukum dan HAM RI dan Kejaksaan Republik Indonesia; 5. Bidang upaya penyesuaian diri yang bersangkutan, pembinaan
penerimaan
warga
masyarakat
serta
pemberdayaan terhadap masalah sosial dilaksanakan oleh Kementerian Agama RI dibantu Kementerian Sosial RI, dan Kementerian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI.
44
6. Pengembangan berbagai program aksi (1,2,3) dalam rangka pemutusan mata rantai ke jejaring institusi aliran/gerakan keagamaan bermasalah dilaksanakan oleh Kementerian Agama RI dibantu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kementerian Dalam Negeri RI, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. 7. Dalam penanganan lintas masalah dapat melibatkan berbagai instansi, institusi, serta ahli atau pakar dalam kompetensi yang relevan. B. Pendekatan Kolektif: Beragam Program Pendekatan
kolektif
digunakan
sebagai
langkah
penanganan dan pembinaan kelompok, cara yang digunakan berupa pemberdayaan, di antaranya adalah: 1. Charity
(santunan)
kebutuhan
pokok
diberikan melalui
kepada korban tim
berupa
penanganan
yang
sebelumnya telah dibentuk. 2. Development
(pembangunan),
yaitu
pengembangan
pengetahuan, sikap dan perilaku sehingga kembali menjadi individu yang mampu memecahkan masalah yang sedang dihadapi, dengan tetap melibatkan tim penanganan. 3. Transformasi (perubahan SDM), dari eksklusif menjadi inklusif yang adaptif terhadap perubahan lingkungan sosiokultural, dengan tuntunan dari tim penanganan.
45
4. Policy (Kebijakan) pemerintah yang melihat para penganut aliran dan gerakan keagamaan baru sebagai korban dan bukan sebagai penyebab keresahan dan konflik sosial, dijembatani oleh tim penanganan. C. Pendekatan Sistemik Pendekatan penanganan
dan
sistemik digunakan pembinaan
secara
sebagai hukum,
langkah persuasif
(pembinaan rapport) di antaranya: 1. Hukum a.
Litigasi (penyelesaian lewat pengadilan)
b.
Non litigasi: 1) Perundingan/dialog 2) Arbitrase (penyelesaian masalah dengan pihak ketiga) 3) Paralegal (tuntutan oleh masyarakat atau korban)
2. Sosial Berbagai
pihak
terkait
yang
meliputi
warga
masyarakat penentang, anggota aliran/gerakan keagamaan baru, serta pihak-pihak yang dapat berperan
sebagai
pendingin situasi konflik dan kerusuhan, sama-sama dibekali kesadaran agama, kenegaraan, serta keutuhan kehidupan suatu komunitas.
46
Dengan
kekayaan
bentuk-bentuk
penanganan,
keahlian yang relevan, kebijakan yang tepat, kelembagaan pemerintah dan sosial yang sinergis, diharapkan situasi keberagamaan, kehidupan sosial budaya, kekuatan hukum, dan keutuhan bernegara akan lebih kondusif secara esensial dan substansial bagi kehidupan Bangsa Indonesia.
47
48
BAB V MANAJEMEN PENANGANAN A. Organisasi dan Struktur Organisasi Untuk menjalankan roda kegiatan agar bekerja lebih efektif dan efisien, terukur dan terarah, dibutuhkan sebuah wadah (organisasi) atau sebuah tim, yang secara tentatif dapat disebut ‘’Tim Penanganan dan Pembinaan‛. Karena sifat waktunya yang temporal, sementara cara penanganannya harus integral dan komprehensif, maka ketentuan pokok yang berlaku pada organisasi tersebut adalah: Bersifat ad hoc yang diketuai oleh personil yang ditunjuk
1.
oleh Kementerian Agama RI, baik yang di provinsi maupun kabupaten/kota mendapat persetujuan Pemda c.q. Dinas Sosial. Bersifat koordinatif, di mana fungsi pimpinan ad hoc
2.
mampu melakukan koordinasi dengan berbagai instansi terkait. Adapun komponen organisasinya sebagai berikut: a. Pemerintah a.
Leading Sector: Kementerian Agama RI
b.
Instansi terkait: 1) Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat RI 2) Kementerian Sosial RI 3) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
49
4) Kementerian Dalam Negeri RI 5) Kejaksaan Republik Indonesia 6) Kepolisian Negara Republik Indonesia 7) Kementrian Hukum dan HAM RI b. Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota 1)
Leading Sector: Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi atau Kantor Kemenag Kabupaten/Kota
2)
Instansi
terkait:
Dinas-dinas
provinsi
dan
kabupaten/kota c. Masyarakat 1)
Tokoh Masyarakat
2)
Tokoh Agama
3)
Ormas
d. Struktur Organisasi : 1) Tim penanganan pusat: sekurang-kurangnya terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota 2) Tim penanganan provinsi: sekurang-kurangnya terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota 3) Tim penanganan kabupaten/kota: sekurang-kurangnya terdiri dari ketua, sekretaris, bendahara dan anggota. Dalam melaksanakan tugasnya, tim penanganan kabupaten/kota ini dibantu oleh tim ahli. 4) Tim Ahli adalah tim yang dibentuk oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota yang terdiri dari para ahli yang diperlukan sesuai dengan bentuk penanganan.
50
B. Peran dan Pola Kerja 1. Tugas/peran/tanggung
jawab
Pemerintah
adalah
sebagai berikut: a. Mengkoordinir
pelaksanaan
penanganan
dan
pembinaan b. Melindungi
pelaksanaan
penanganan
dan
pelaksanaan
penanganan
dan
pembinaan c. Mengawasi pembinaan d. Memberikan pendanaan pelaksanaan penanganan dan pembinaan 2. Tugas/peran/tanggung jawab Tim Penanganan dan Pembinaan: a. Tim
Lokal
yakni
Penyuluh
Agama
Kabupaten/Kota. Tim ini bertugas: 1) Bekerja dengan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan ormas untuk melakukan needs assessment. 2) Data assessment dilaporkan ke Tim Lokal Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi untuk diteruskan ke Tim Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI. b. Tim Lokal Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi. Tim ini bertugas:
51
1) Menerima laporan pengumpulan data needs assessment 2) Meneruskan hasil laporan ke Tim Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI. c. Tim Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI. Tim ini bertugas: 1) Menerima hasil laporan dari Tim Lokal Kantor
Wilayah
Kementerian
Agama
Provinsi. 2) Memberikan
penilaian
terhadap
hasil
laporan. 3) Menentukan ukuran masalah dan penentuan jumlah tim yang akan diturunkan dan keterlibatan tim ahli d. Tim Ahli. Tim ini bertugas: 1) Melakukan
penanganan
korban
sesuai
dengan keahlian yang dimiliki. 2) Apabila
dipandang
perlu,
membuat
rekomendasi penanganan lebih lanjut kepada Tim Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI.
52
3. Tugas/peran/tanggung jawab masyarakat sebagai berikut: a. Melaporkan masalah atau potensi masalah dari paham, aliran, dan gerakan keagamaan baru. b. Menciptakan bekerjanya
iklim
yang
tim penanganan
kondusif dan
untuk
pembinaan
(dalam hal ini Penyuluh). c. Bersama Penyuluh melaporkan kepada pihak berwajib untuk menjaga keamanan. d. Bersama Penyuluh melakukan needs assessment untuk
mengidentifikasi
substansial,
maupun
kebutuhan kebutuhan
material, operasional
lapangan. C. Sarana Prasarana 1. Literatur yang dibutuhkan: buku acuan dan buku penunjang. 2. Tempat penanganan: ruangan, meja, kursi, tempat halaqah dan fasilitas. 3. Transportasi yang diperlukan 4. Pemukiman
(khususnya
bagi
korban)
selama
pembinaan.
53
D. Monitoring dan Evaluasi 1. Instrumen Untuk membuat penilaian yang valid, maka sistem penilaian harus dilakukan secara bertingkat. Instrumen untuk pemantauan dan penilaian bertingkat ini terdiri dari: a. Penilaian diri, dengan cara memberikan format yang kemudian diisi sendiri. b. Penilaian kolektif, dengan cara memberikan format yang kemudian diisi bersama. c. Penilaian objektif, dengan cara memberikan format yang kemudian diisi orang lain. 2. Alat Ukur (Barometer) a. Sampai sejauh mana individu atau kelompok korban aliran/gerakan
keagamaan
bermasalah,
kembali
menjadi atau diterima sebagai anggota masyarakat secara normal. b. Diasumsikan, masyarakat lingkungan di mana korban berada juga telah memiliki kesadaran yang benar. 3. Monitoring dan Evaluasi Monitoring
dan
evaluasi
dilakukan
oleh
Kantor
Kementerian Agama setempat atau oleh tim yang dibentuk oleh Kantor Kementerian Agama setempat.
54
4. Sistem Pelaporan Sistem Pelaporan disusun dalam berbagai format disesuaikan dengan SOP (Standar Operasional Prosedur), dan Matrik Penilaian diatur lebih lanjut sesuai keperluannya (lihat lampiran/FORMAT). Adapun pelaporan dilakukan secara rutin/berkala baik harian, mingguan, bulanan, dan triwulan dengan berbagai tahapan: a.
Pelaporan rencana kegiatan (RENGIAT)
b.
Pelaporan kemajuan kegiatan (LAPJU)
c.
Evaluasi tahapan kegiatan
E. Penguatan Kapasitas Tim Penanganan dan Pembinaan 1. Membuat pengayaan dan pelatihan keilmuan dan keterampilan a. Penelitian (pemetaan). b. Penguasaan pasal-pasal hukum terkait kasuskasus keagamaan. c. Pembekalan materi, metode dan pembinaan
didaktika
d. Pembekalan materi, metode, dan didaktika serta retorika, penilaian keberhasilan bidang dahwah. e. Pembekalan ilmu dan latihan keterampilan memahami dan menguasai kejiwaan. f. Pembekalan kemahiran dialog dan pratikum solusi yang diperlukan.
55
g. Pembekalan dan kemahiran di bidang: Edukasi; Remedial; Enrichment; Clinical; Guidance; Counselling; Psychoterapy Consultatif; FGD Teknik Therapi, Hipnoterapy; Advokasi dan Pemberdayaan. h. Perlindungan khusus ‚legal‛ bagi tim penyadaran dalam melaksanakan tugas. 2. Kemampuan dalam meneliti a. Menjaring data lewat teknik: observasi, wawancara, analisa dokumen b. Keterampilan
menarasikan/mendeskripsikan
secara sistematis c. Kemampuan mengartikulasikan dalam diskusi dan debat tim 3. Menampilkan kepribadian a. Jujur b. Memahami kelemahan c. Cepat
menyesuaikan
diri
dengan
langkah
pembinaan hasil musyawarah Tim Penanganan d. Berupaya mengingat dan mengamalkan segala sesuatu ajaran, nilai, norma agama yang telah ditanamkan pada objek binaan sebagai bentuk keteladanan kharismatik dari Tim Penanganan.
56
4. Membangun persamaan persepsi tentang aliran dan gerakan keagamaan bermasalah antar instansi terkait. a. Dalam kedamaian b. Dalam keselamatan c. Dalam kerukunan d. Menggunakan Dasar Hukum Negara dan Ketetapan MUI F. Penganggaran Anggaran
kegiatan
penanganan
masalah
aliran/gerakan keagamaan bermasalah dibebankan pada APBN dan jika dimungkinkan pada APBD, yang ditangani oleh masing-masing instansi: 1. Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI, Kantor Wilayah dan Kantor Kementerian Agama Kabupaten dan Kota. 2. Instansi terkait; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kementerian Hukum dan HAM RI, Kementerian Kordinator Kesejahteraan RI, Kementerian Sosial RI, Kejaksaan
Republik
Indonesia,
Kepolisian
Negara
Republik Indonesia. 3. Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota) 4. Masyarakat sipil (Majlis Ulama Indonesia; Institusi Sosial lainnya).
57
G. Bagan Koordinasi Koordinasi Lintas Instansi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI
Kementerian Dalam Negeri RI
Kementerian Agama RI c.q. Ditjen Bimas Islam
Kementerian Hukum dan HAM RI
Polri
H.
Bagan
Struktur
Kejagung RI
Kemenko Kesra RI
Instansi Lain
Kelembagaan
Kemensos RI
Institusi Lain
Penanganan
dan
Pembinaan
Kepala Kantor Kementerian Agama sebagai Ketua Tim
Penyuluh Agama + Lembaga terkait
Tim Ahli/Pakar
Individu / Kelompok
Praktisi Hukum
Masyarakat
Dapat diubah sesuai keperluan Dapat diubah sesuai keperluan
58
Dinas Sosial Dinas Dikbud Dinas Kesehatan Aparat Hukum Kesbang Kab/Kota, Ormas Agama
Orang Tua/Keluarga, Teman Dekat Mantan Korban Tokoh Agama Agama
Media Massa
Pemda
I. Alur Kerja Penanganan Kasus oleh Tim 1
Kejadian/Laporan kasus oleh Penyuluh
Kepala Kemenag menerima laporan dan membentuk Tim
2
Identifikasi Kasus oleh Tim 4
6
Mediasi awal oleh Tim
Kalau berhasil selesai
3
5
Identifikasi Sasaran, Korban, dan Dampak
Data awal laporan/kronologi kejadian oleh Tim
Jika gagal lakukan penanganan sesuai prosedur penanganan pada Tabel Skema Penanganan
59
60
BAB VI PENUTUP Demikian Buku Pedoman Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah di Indonesia ini disusun, semoga dapat menjadi pegangan yang bermanfaat. Buku ini baru terbatas untuk penanganan korban aliran dan gerakan keagamaan yang bermasalah pada masyarakat yang beragama Islam, dengan pendekatan psikologis dan keagamaan. Untuk
menggunakan
pendekatan
lainnya
perlu
dukungan dari berbagai pihak yang memiliki otoritas dan melibatkan
seluruh
elemen
instansi
pemerintah
dan
masyarakat.
61
GLOSARIUM Ad hoc
:
Al-Haq
: Aliran yang juga disebut Qur’an Suci, muncul pada tahun 2007. Ajarannya hanya bersumber kepada Al Qur’an, dan tidak menerima Hadis sebagai sumber ajaran. Penganut aliran ini masih melaksanakan shalat lima waktu tetapi hukumnya tidak wajib, alasannya saat ini masih periode Mekkah. Jika dilihat dari ajaran Al-Haq (Qur’an Suci) merupakan metamorfosa NII KW IX dan atau Lembaga Kerasulan. (Nuh dan Sugiarto (ed.), 2011: 4).
‚Fokus untuk sesuatu maksud‛. Untuk mencapai itu biasanya dibentuk panitia khusus. Asal konsep ini dari bahasa Latin yang populer dipakai dalam bidang keorganisasian, penelitian dan pengembangan. Tujuannya agar secara spesifik dapat mengetahui, menyesuaikan, dan mengimprovisasi program terkait dengan mudah. (Poerwadarminta, 1982:708; Echols et al, 1996: 11)
Adjustive/ Defence/ : Penyesuaian yang cepat. Istilah lainnya: Defence Mechanism, Escape Mechanism; Ego Defence. Escape Merupakan salah satu tahapan dalam klasifikasi Mechanism; Ego keabnormalan jiwa yang dilabelkan ‚kelainan Defence jiwa‛. Gejalanya dalam rangka menutupi kelemahannya memberi respon otomatis terhadap stimulus kehidupan dengan melahirkan ungkapan dan atau perbuatan yang keluar dari budaya nilai dan norma benar. (Drever, 1971:61; Tumanggor, 1974: 48)
62
Advokasi
: Penasihatan dan pembelaan hak dan kewajiban seseorang atau kelompok dari gangguan atau pengaduan serta proses peradilan. Fungsi lebih tinggi merupakan sebuah proses politis untuk memberikan pengaruh pada kebijakan publik dan alokasi sumber daya pada suatu sistem politik, ekonomi, lingkungan dan kelembagaan terkait. (Echols et al, 1996: 18)
An sich
: Sebuah istilah dari bahasa Jerman yang secara harfiah berarti: "Kemurnian yang melekat atau tergambar pada diri atau sesuatu". An sich juga berarti pendapat atau pandangan asli dari seseorang (Rahajoekoesoemah, 1975:45) : Cemas resah yang berlebihan tidak sesuai dengan realitas. Dengan gejala keadaan perasaan (emosi) kacau dalam jangka lama, keprihatinan, ketakutan terhadap sesuatu yang akan terjadi dicirikan berbagai kegugupan dan gemetaran, terkadang bercampur dengan pelbagai gangguan mental lainnya (Markam dkk, 2001:17; Drever, 1971:17) : Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa (Pasal 1 ayat 1 UU. No. 30 Tahun 1999) : Upaya ilmu kedokteran memberi pengobatan terhadap penyakit tubuh (phisik) dengan penerapan secara sistemik dan fungsional ilmu tubuh, ilmu kimia, dan ilmu fisika (Markam dkk, 2001:32)
Ansietas (anxiety)
Arbitrase
Biomedikal
63
Biopsikomedikal
: Upaya memahami interrelasi diantara jiwa dan raga serta memberi pengobatan terhadap penyakit organisme yang hidup (tubuh) maupun gangguan dan penyakit jiwa yang relevan (Depdiknas, 2001: 155, 729,901; Ambrosiana, 1968:524)
Clinical learning
: Upaya melakukan pendidikan dan pembelajaran ulang, bimbingan atau dakwah terhadap peserta didik yang keliru dan sesat memahami, serta kacau bersikap dan berprilaku dalam mengamalkan keilmuannya (Mappiare, 2006:49)
Cyber media
: Alat dan sarana untuk mengirim dan mengumpulkan informasi dan data secara digital dan nirkabel seperti internet.
Darul Arqom
: Darul Arqom didirikan pada tahun 1969 oleh pria berkebangsaan Malaysia, yaitu Ashari Muhammad atau populer di kalangan pengikutnya disebut dengan Abuya AM. Darul Arqom difatwa sesat oleh MUI pada tahun 1994 karena mengajarkan doktrin bahwa Abuya AM mengaku diutus untuk menyambut kedatangan Imam Mahdi (menurut Darul Arqom adalah Syaikh Muhammad Suhaemi, tokoh Darul Arqom yang diyakini menerima Aurad Muhammadiyah langsung dari Rasulullah pada saat ia berada di Ka’bah). Rasulullah menurut Darul Arqom masih ada dan terjaga di dalam bangunan Ka’bah tersebut. Abuya AM mengatakan bahwa dirinya memperoleh ilmu laduni dan mengetahui hal-hal gaib dan
64
persoalan yang akan datang. Diagnosis
Didaktika
Diseases
: Penentuan jenis dan karakter keabnormalan, penyakit yang diderita pasien, analisa sebab, proses, interval kronis, tempo keakutan dan tindakan pengobatan dan penyembuhan yang akan dilakukan (Markam dkk, 2001:45; Drever, 1971:66; Goldman, 1988:139 ) : Dari bahasa Yunani: didáskein yang berarti mengajar. Mengajar dimaksudkan bukan cara (metode) mengajar akan tetapi seni mengajar berisi gaya mengajar memperkaya cara mengajar memperkaya penguasaan kelas, membangkitkan perhatian peserta didik, model bertanya, dan penggunaan gerak gerik tertentu (Mursal, 1981: 39) : Keadaan tubuh yang sakit karena pelbagai penyebab dari alam, sosial budaya dan psykis (Tumanggor, 2005: 13; Ambrosiana,1968:190).
Enrichment learning : Pengkayaan materi pembelajaran dari standar isi sehingga lebih berwawasan luas dan mendalam (Mursal, 1981: 40) Guidance
: Upaya membantu mempermudah peserta didik dalam belajar, berkembang, dan penyesuaian diri (Mappiare, 2006:151)
Hidup di Balik
: Institusi pembelajaran (majelis taklim) yang dibentuk untuk tujuan mengabarkan tentang hakekat keselamatan di negara akhirat yang diperoleh secara hakekat. Kegiatan taklim
Hidup
65
dilakukan pada pukul 21.00 sampai pukul 04.00. tujuan kegiatan Majelis Hidup Dibalik Hidup adalah membahas persolan hidup yang dihadapi oleh masing-masing anggota. Tema-tema kajian berpangkal pada Al Qur’an yang ditafsirkan dengan menggunakan bahasa sehari-hari, bukan tafsir yang ditulis oleh ahli tafsir. Inti ajarannya; manusia akan selamat di akhirat jika rohaninya telah berpakaian dan mengandung cahaya. Pakaian rohani dapat diperoleh dengan berbakti dan menyembah kepada Allah, bersikap zuhud, melaksanakan sahalat, zikir dan tafakkur. Aliran ini didirikan oleh Muhammad Kusnandar yang mengaku pernah berbicara langsung dengan Allah. (Hidayat dalam Hakim (ed), 2009: 129136). Islam Jamaah/ Darul Hadits
66
: Islam Jamaah/Darul Hadist didirikan oleh AlImam Nurhasan Ubaidah Lubis Amir atau Madigol. Ayahnya bernama Abdul Aziz bin Thahir bin Irsyad. Nurhasan lahir di Desa Bangi, Kec. Purwosari, Kab. Kediri, Jawa Timur, Indonesia pada tahun 1915M. Islam Jama’ah/Darul Hadits telah dilarang oleh Jaksa Agung Republik Indonesia pada tahun 1971 melalui SK Jaksa Agung RI No. Kep-089/ D.A/10/1971 tanggal 29 Oktober 1971. Untuk membina eks pengikut Islam Jamaah maka didirikan LEMKARI atau Lembaga Karyawan Islam pada tahun 1972 sampai tahun 1990. Lemkari pada saat itu mendukung Golkar. Pada tahun 1990, LEMKARI menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII).
Sejak tahun 2006, LDII menegaskan telah memiliki paradigma baru, tidak menganut lagi doktrin-doktrin keagamaan Islam Jamaah. Namun demikian, ada sebagian masyarakat yang masih memandang bahwa LDII kini tidak ada bedanya dengan Islam Jama’ah. Kekerasan Verbal : Kekerasan verbal merupakan salah satu jenis kekerasan non fisik. Kekerasan non fisik lainnya berupa kekerasan psikologis yaitu kekerasan yang dilakukan lewat bahasa tubuh. Contohnya memandang sinis, memandang penuh ancaman, mempermalukan, mendiamkan, mengucilkan, memandang yang merendahkan, mencibir. Sedangkan kekerasan verbal merupakan kekerasan yang dilakukan lewat kata-kata. Contohnya: membentak, memaki, menghina, menjuluki, meneriaki, memfitnah, menyebar gosip, menuduh, menolak dengan kata-kata kasar, mempermalukan di depan umum dengan lisan, dll (Tim Yayasan Sejiwa, 2008) Kekerasan Non : Kekerasan Non Verbal/Fisik yaitu jenis kekerasan Verbal yang kasat mata. Artinya, siapapun bisa melihatnya karena terjadi sentuhan fisik antara pelaku dengan korbannya. Contohnya adalah: menampar, menimpuk, menginjak kaki, menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, dll (Tim Yayasan Sejiwa, 2008)
67
Komunitas Millah Abraham (KOMAR)
: Aliran ini diduga sebagai metamorfosa Al Qiyadah Al Islamiyah yang didirikan oleh Ahmad Mushaddeq. Pada tahun 2010 aliran ini muncul di Haurgeulis, Indramayu disebarkan oleh Kurzin Sanusi, mantan guru Az Zaytun. Mengubah syahadat, berpegang pada kitab Ruhul Qudus, dan tidak menjalankan shalat lima waktu dan tidak menjalankan puasa Ramadhan adalah inti ajaran kelompok ini. Ajaran lainnya bercorak mesianistik, dengan syahadat untuk al masih al mau’ud. (Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2011:5-10).
Konseling
: Proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang ahli (konselor) kepada individu (konsele) yang mengalami kesulitan dalam penentuan nilai dan norma yang relevan bagi pengambilan keputusan atas sesuatu masalah (Mappiare, 2006:67)
Konstruktif
: Upaya membangun dasar-dasar keilmuan, sikap, perilaku dalam bermacam bidang kehidupan (Tumanggor, 2005: 65).
Kuratif
: Upaya penyehatan penyakit setelah gagal lewat konstruktif dan preventif, baik melalui penggunaan teknik pengobatan maupun tekhnis penyembuhan (Markam dkk, 2001: 128)
Litigasi
: Tuntutan hukum di depan pengadilan dalam rangka meminta keadilan
68
Millah Ibrahim
: Secara harfiyah berarti Agama Ibrahim. Kelompok ini mulai berkembang di Kabupaten Kuningan tahun 2006. Tokohnya bernama Zubaedi Djawahir, pensiunan guru agama /Pegawai Negeri Sipil. Ajarannya berkembang dari kebebasan penafsiran ajaran Islam seperti zakat tidak ada, yang ada shodaqoh, tidak meyakini Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir. Wahyu dapat diterima oleh siapa saja dan dimana saja. Shalat cukup meniru cara orang shalat sebagaimana yang sudah-sudah, tidak perlu berpedoman kepada hadis Nabi SAW. Tidak ada kewajiban shalat Jum’at, yang ada rawatib jamaah yaumiyah, usbu’iyah. (Nuh dan Sugiarto (ed.), 2011: 297).
NII Fillah
: Kelompok pecahan DI/TII yang dikembangkan oleh Jaja Sujadi salah seorang petinggi NII Kartosuwiryo. Sepeninggal Jaja Sudjadi, kelompok ini dipimpin oleh Bakar Misbah, seorang mantan bupati NII untuk Sumedang. Sekarang NII Fillah dipimpin oleh anak Bakar Misbah, Drs. Sensen Komara. Ajarannya tergolong menyimpang karena memerintahkan shalat menghadap ke timur, tetap menginginkan Republik Islam Indonesia (RII) sebagaimana surat yang dikirimkan kepada Presiden SBY.
NII KW-IX
: Sebuah kelompok pecahan dari gerakan bawah tanah yang bernama Negara Islam Indonesia terkait Ma’had Al yang didirikan oleh SM. Kartosuwiryo. Zaytun Kelompok ini lahir pasca berakhirnya pemberontakan DI/TII oleh Adah Djaelani, salah
69
seorang petinggi DI/NII pada masa Orde Baru. KW adalah singkatan Komandemen Wilayah dan IX adalah menunjuk pada teritori Jakarta dan sekitarnya. Sekarang NII KW IX dipimpin oleh Abu Toto. Ajaran dan gerakannya sangat meresahkan karena menerapkan prinsip teologis “mabadi’us tsalasah” yang dimaknai secara berbeda dengan pemahaman Salafi. (Tim Peneliti Insep, 2011). Non-Litigasi
: Tuntutan pengadilan
Preservasi
: Pengawetan kelanggengan, atau keharmonisan suatu keadaan (phisik, psikis, sosial, spiritual, lingkungan dan pekerjaan) untuk mempertahankan kondisi kesehatan, keamanan dan kelestarian mutakhir agar tetap bertahan (Markam dkk, 2001:190)
Preventif/ Prophylactic
: tindakan yang diambil dalam rangka mencegah atau menghindari timbulnya atau memburuknya sesuatu penyakit (Ambrosiana, 1968:518)
Psikis
: Eksistensi dan gejala-gejala kejiwaan dalam kehidupan (Drever, 1971:66)
Psikoterapi
: Interaksi terapeutik atau penyembuhan dengan kesepakatan antara pasien dengan pemeraktek terapi melalui pendekatan psikologi dan biologi yang relevan sesuai penyebab dan dampak serta bobot akut maupun kronisnya. Dengan kata lain upaya penyembuhan jiwa yang tidak sehat dengan menggunakan pelbagai tekhnik psikis, phisik, sosial, serta spiritual terkait (Cameron, 1963:761).
70
hukum
tanpa
campur
tangan
Psychoneroses
: Gangguan jiwa yang manifest semacam gangguan saraf dengan gejala keadaan tidak normal dimana kerusakannya tidak disebabkan anggota badan meskipun kadang-kala terlihat pada fisik akan tetapi lebih pada faktor psikis dan lingkungan, dengan gejala ketegangan batin, rasa tertekan, putus asa, murung, gelisah, cemas, perbuatan terpaksa, histeris, rasa lemah, tidak mampu menentukan tujuan, takut, dan pikiranpikiran buruk. (Drever, 1971:61; Tumanggor, 1974: 53)
Psychophysic
: Bagian dari keilmuan psikologi yang berhubungan proses keadaan fisik manusia seperti intelijensia atau kecerdasan dan hubungannya pada emosi. Suatu kesatuan yang terintegrasi dari fungsi psikologis dan biologis. (Maramis, 1980: 762)
Psychoses
: Penyakit jiwa yang penderitanya putus hubungan dengan realita stimulus dari luar diri, atau stimulus-respon terjadi secara kacau, serta kehilangan fungsi jiwa secara cepat. Jenis penyakitnya bermacam ragam buruknya. (Drever, 1971:234; Tumanggor, 1974: 68)
Psychosomatik
: Terjadinya sejumlah penyakit badan yang bersumber dari guncangan jiwa yang penyembuhannya ada dengan tekhnis kejiwaan dan ada pula dengan tekhnis medis (obat). (Drever, 1971:234; Tumanggor, 1974: 93)
71
Rehabilitatif
: Proses membantu seseorang yang tidak memiliki kemampuan hidup terutama masalah kepribadian, karir dan indepedensi secara sosial. Rehabilitasi bertujuan untuk kembali mampu bekerja dan menjalankan fungsi sosialnya.
Remedial learning
: Pembelajaran melengkapi kekurangan standar. (Tidjan dkk, 1991:87)
Specific Disorder
dari
: Kelainan kejiwan khusus, yang tidak termasuk dalam kelainan jiwa (adjustive mechanism), gangguan jiwa (psychoneuroses) dan penyakit jiwa (psychoses), penyakit phisik yang bersumber dari gucangan jiwa (psychosomatic) seperti keingintahuan berlebihan (curiosity), rasa gelisah jika tidak melacur (compulsive prostitution), tidak puas jika belum mencuri (kleptomania), anti sosial (psychopatic). (Tumanggor, 1974:84; Cameron, 1963:636).
Teknik Konsultatif : Teknik penyembuhan keabnormalan jiwa lewat pelayanan media konsultasi (pemupukan hubungan akrab, ceritera, diskusi, pemberian arah dan tanpa pemberian arah, bimbingan pengambilan keputusan, dan kesepakatan pertemuan berikutnya hingga pemutusan hubungan jasa penyembuhan). Dengan harapan dengan perubahan prinsip, aktivitas menghadapi pemecahan masalah penderita secepatnya sehat lagi. (Cameron, 1963: 395). Salafi Jihadis
72
: Istilah yang diperkenalkan oleh peneliti ICG, Sidney John yang menengarai pelaku tindak pidana terorisme (pengeboman) untuk tujuan
dan motif keagamaan adalah didasarkan atas paham salafi. Berbeda dengan kelompok salafi yang lain yang bergiat dengan dakwah untuk mencapai cita-cita mereka. Salamullah (Lia Eden)
Surga Eden
: Secara harfiyah berarti ‚keselamatan dari Allah‛, sebuah gerakan keagamaan yang bercorak mesianistik (messianistic religious movement). Salamullah berkeyakinan bahwa ruh Nabi Isa dan Imam Mahdi telah dibangkitkan lagi menyatukan umat Kristen dan umat Islam. Didirikan oleh Samsuriyati atau akarab dipanggil Lia isteri Aminuddin, sehingga populer disebut Lia Aminuddin. Awalnya Salamullah mengajarkan kemurnian tauhid dan kesucian, tetapi sejak 2005 kelompok ini mendeklarasikan diri sebagai agama baru ‚Komunitas Eden‛. Inti ajarannya adalah regulasi ruh, penyucian dari dosa serta kesucian dari hal-hal yang kotor dengan cara pengakuan dosa dan pembakaran bagian ubun-ubun. Salamullah yang semula beragama (Islam), sufism perenial, berkembang menjadi kelompok spiritual yang bebas dari agama. (Mufid: ‚Dari Sufisme Perenial Salamullah Menjadi Spiritualisme Eden‛ dalam Bruinessen dan Howell, 2008). : Sebuah aliran keagamaan yang didirikan oleh Ahmad Tantowi. Ajarannya bersumber pada penafsiran Al-Qur’an menurut versi Ahmad Tantowi sendiri. Pencampuradukan ajaran Islam dengan kejawen. Anggota Surga Eden tidak membolehkan meyakini al Hadist sebagai
73
kebenaran, membayar infaq pertama 10%, setelah itu ada infaq-infaq lainnya. Dan akhirnya Ahmad Tantowi juga mengajarkan bahwa Tuhan berwujud al Fikri yang juga nama lain dari Ahmad Tantowi. (Nuh dan Sugiarto (ed.), 2011:356366).
74
DAFTAR PUSTAKA Ambrosiana, 1968. Dorland’s Pocket Medical Dictionary. Bowie, Fiona 2001, The Anthropology of Religion. Massachussets: Blackwel Publishers Cameron, Norman. 1963. Personality Development and Psychopathology: A Dynamic Approach. (edited by Leonard Carmichael). Boston: Houghton Miffin Company Chambers, Robert, 1983. Rural Development: Putting the Last First. Daulay, Zainuddin. M (Penyunting), 2000. Himpunan Aliran/Faham Dan Buku Keagamaan Yang Dikenakan Tindakan Pelanggaran Di Indonesia (Edisi II). Jakarta: Balitbang Agama Dan Pusdiklat Kehidupan Beragama Depdiknas, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Drever, James, 1952. A Dictionary of Psychology. England: Penguin Book Ltd Echols, John M. et al, 1996. Kamus Inggris Indonesia. Goldman, HH (Ed), 1988. Review of General Psychology (Second Edition). Baltimora: A Lange Medical Book, PrenticeHall International Inc. Hidayat, R. Aris, dalam Bashori A Hakim (ed), 2009. Aliran, Faham dan Gerakan Keagamaan di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Hidayati, Heny Narendrany Jakarta: UIN Press.
et.al. 2007. Psikologi Agama.
75
Koentjaraningrat, 1984. Kamus Istilah Antropologi. Jakatra: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departeman P&K Markam, Soemarmo dkk, 2001. Kamus Kedokteran (Edisi Ketiga). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Maramis, W.F. 1990, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press. Mappiare, Andi, A.T, 2006. Kamus Istilah Konseling & Terapi. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. Muda, Ahmad A.K, 1994. Kamus Lengkap Kedokteran. Surabaya: Gilamedia Press. Mufid, Ahmad Syafi’i ‚Dari Sufisme Perenial Salamullah Menjadi Spiritualisme Eden‛ dalam Martin V. Bruinessen dan Julia Howell, 2008. Urban Sufism, Jakarta: Rajawali Press. Mursal, H.M.Taher, 198. Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan. Nuhrison M. Nuh dan Wakhid Sugiyarto (ed.), 2011. Direktori Aliran & Gerakan Keagamaan Islam, Kristen dan Buddha di Indonesia, Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Poerwadarminta, WJS, 1982. Kamus Inggeris-Indonesia. Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2011. Respon Masyarakat Terhadap Aliran dan Paham Keagamaan Kontemporer, makalah tidak diterbitkan. Jakarta. Rahajoekoesoemah, Datje, 1975. Kamus Bahasa Jerman : Jerman – Indonesia. Bandung: Penerbitan Sumur. Saunders, Company, W.B. 1959. Dorland’s Pocket Medical Dictionary (21st Edition). USA: WB. Saunders Company.
76
Soekanto, Soerjono, 1983. Kamus Sosiologi. Jakarta: PT Rajawali Sudjangi, dkk. 2003. Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Hidup Umat Beragama (Edisi Ketujuh). Jakarta: Balitbang Agama dan Puslitbang Kehidupan Keagamaan Departemen Agama RI. Tidjan, et.al. 1991. Bimbingan Konseling Untuk Sekolah. Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta. Tim Peneliti, 2004. Model Kedamaian Sosial di Wilayah Konflik. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Tim Peneliti, 2005. Ilmu Jiwa Agama (The Psychology of Religion). Jakarta: Ulinuha Press Tim Peneliti Insep, 2011. Al Zaytun The Untold Stories: Investigasi terhadap Pesantren Paling Kontroversial di Indonesia. Jakarta: Pustaka Alvabet Tim Yayasan Semai Jiwa Amini, 2008. Bullying: Panduan bagi Orangtua dan Guru Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar Anak. Jakarta: Yayasan Semai Jiwa Amini (SEJIWA). Tumanggor, Rusmin, 1974. Tinjauan Terhadap Pelaksanaan Therapy Pada Rumah Perawatan Sakit Jiwa Banda Aceh (Skripsi tidak diterbitkan), Banda Aceh: IAIN ArRaniri. Tumanggor, Rusmin et.al. (Ed). 2005. Dokter atau dan Dukun: Pergumulan Pengobatan di Indonesia. Jakarta: Lemlit UIN Syarif Hidayatullah.
77
LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1: FORMAT PETUNJUK IDENTIFIKASI ALIRAN DAN GERAKAN KEAGAMAAN BERMASALAH I.
PROFIL KELOMPOK 1. Nama aliran keagamaan
:
2. Nama-Nama Lain (Alias)
:
3. Nama pendiri
:
4. Tahun berdiri
:
5. Asas
:
6. Nama pimpinan saat ini
:
7. Lokasi / Markas
:
8. Jumlah Pengikut
:
9. Penambahan Pengikut
:
10. Cabang/Penyebaran
:
11. Home Page (alamat internet) :
78
12. Lambang / Simbol
:
13. Legalitas / Legal Formal
:
II.
UMUM 1. Kepemimpinan 2. Afiliasi dengan kelompok mana saja 3. Sejarah perkembangan 4. Wilayah operasi 5. Struktur organisasi
III.
ANATOMI FAHAM / GERAKAN 1. Ajaran Utama ( yang bermasalah) 2. Ciri Khas 3. Tujuan gerakan 4. Motivasi Gerakan
IV.
CIRI KEANGGOTAAN/JAMA’AH/PENGIKUT 1. Ciri khusus fisik 2. Bentuk, warna dan cara berpakaian 3. Ciri kediaman/rumah 4. Simbol yang dipakai 5. Kata yang sering diucapkan (yel-yel/salam khusus) 6. Kebiasaan sehari-hari
V.
KEUANGAN 1. Sumber pengadaan dana 2. Dukungan luar/eksternal 3. Anggaran per tahun 4. Penggajian
79
VI.
OPERASIONAL 1. Kemampuan pengikut / militer 2. Strategi yang dipakai 3. Taktik yang digunakan 4. Pelatihan-pelatihan 5. Sasaran-sasaran
VII.
POLITIK 1. Ideologi 2. Afiliasi dengan partai politik 3. Masyarakat/komunitas pendukung
VIII.
TANGGAPAN 1. Negara a. Kesbangpol Kemendagri b. Kepolisian / intelkam c. Kejaksaan 2. Masyarakat (alasan penentangan) a. MUI b. Ormas / kelompok penentang c. Siapa dibalik kelompok penentang d. Kliping media massa 3. Reaksi dunia internasional
IX.
REKAM JEJAK 1. Kasus yang pernah terjadi
80
2. Jumlah korban (luka, orang hilang, meninggal dunia) 3. Mayoritas korban (siswa/mahasiswa/generasi muda/kaum perempuan) 4. Isu yang dipermasalahkan 5. Penanganan pemerintah 6. Catatan kriminal 7. Putusan pengadilan / kejaksaan X.
ANALISA 1. Hakekat ancaman 2. Potensi konflik sosial 3. Prediksi perkembangan kelompok a. Adanya metamorfosis, pergantian nama dan pimpinan b. Perubahan paradigma c. Ancaman anarkis hingga tindak terorisme
Petugas Pencari Data
Ttd ( ………………. )
Mengetahui, Ketua Tim Ttd ( ………………. )
81
Lampiran 2: LAPORAN PENANGANAN ALIRAN DAN GERAKAN KEAGAMAAN BERMASALAH (LAPORAN AWAL, IDENTIFIKASI SINGKAT) I.
PROFIL KELOMPOK 1. Nama aliran keagamaan
:
2. Nama-Nama Lain (Alias)
:
3. Nama pendiri
:
4. Tahun berdiri
:
5. Asas
:
6. Nama pimpinan saat ini
:
7. Lokasi / Markas
:
8. Jumlah Pengikut
:
9. Penambahan Pengikut
:
10. Ciri Khas Pengikut/Jama’ah
:
11. Cabang/Penyebaran
:
12. Home Page (alamat internet) :
82
13. Lambang / Simbol
:
14. Legalitas / Legal Formal
:
II. BUKTI AWAL PERMASALAHAN 1. Adanya Pelapor a. Nama Pelapor b. Identitas KTP c. Alamat Pelapor d. Status Pelapor e. Institusi Pelapor f.
Waktu Pelaporan
g. Motivasi Pelapor h. Latar Belakang Pelapor Lainnya 2. Adanya Korban a. Identitas korban/pihak yang dirugikan b. Alamat korban c. Jumlah korban (korban luka, orang hilang, meninggal dunia) d. Akumulasi korban e. Kesaksian korban f.
Kesaksian mantan korban
3. Adanya pelaku yang bermasalah 4. Identifikasi pelaku yang bermasalah 5. Dokumen yang diajarkan bermasalah (doktrin/bai’at/petunjuk lainnya) III. BERITA ACARA PENANGANAN KASUS 1. Fakta Lapangan a. Biodata pelapor b. Identifikasi faham bermasalah
83
c. Korban d. Keberatan masyarakat / mainstream e. Potensi Konflik / anarkisme / SARA f. Adanya tindak pidana 2. Cerita singkat kejadian (summary) 3. Hal-hal yang dianggap bermasalah a. Terkait 10 kriteria kesesatan menurut MUI b. Terkait tindak pidana c. Terkait budaya / mainstream IV. REKOMENDASI PENANGANAN KASUS 1. Langkah pencegahan a. Pembinaan melalui pendekatan individual/personal, termasuk bantuan penyuluhan dan konsultasi psikologis b. Pendekatan budaya / pendidikan c. Pendekatan pemberdayaan ekonomi d. Pendekatan sistemik dan komunikasi dengan aparat e. Dialog dengan tokoh penentang f.
Memberikan kesempatan klarifikasi daripenganut ajaran bermasalah
g. Pemutusan mata rantai dengan pengikut gerakan h. Belum / tidak diperkenankan adanya publikasi i.
84
Perlindungan saksi / pelaku / korban
2. Langkah Penindakan a. Persiapan : survey, investigasi dan pengumpulan bukti dilapangan (TKP) b. Tabayun c. Musyarah terkait : 1) Penggunaan
Fatwa
MUI
terkait
Faham
Keagamaan Bermasalah 2) Rencana Pelaporan Adanya Tindak Pidana ke pihak Kepolisian 3) Pengawalan point 1 dan 2 dari kemungkinan tindakan main hakim sendiri (anarkisme) dan kemungkinan lain yang bisa membawa akibat kontraproduktif 4) Adanya bantuan pendampingan, dari Ulama, Psikolog dan Tokoh masyarakat 5) Adanya bantuan hukum dan perlindungan saksi/korban V. TANGGAPAN 1. Negara a. Kesbangpol Kemendagri b. Kepolisian c. Kejaksaan 2. Masyarakat a. Masyarakat lokal / mainstream terkait pro-kontra faham bermasalah
85
b. MUI c. Ormas Islam d. Kelompok penentang dan siapa dibalik kelompok penentang e. Alasan penentangan f.
Kelompok pendukung
g. Kliping media masa dan upaya pengalihan isu terkait politik 3. Reaksi pimpinan dan pengikut dari paham yang dianggap bermasalah 4. Reaksi dunia internasional (contoh Ahmadiyah : tragedi Cikeusik dan insiden Monas) Ketua Tim Ttd ( ………………. )
86
Lampiran 3: LAPORAN HASIL PENANGANAN (LHP) KOP SURAT Nomor : ………………
Lamp.
: ………………
Hal
: Laporan Hasil Penanganan
Kota, Tanggal
Yth…………………………… Paragraf Pembuka : Dasar melakukan penanganan, identifikasi, tujuan/sasaran, lingkup, dan metodologi penanganan; pernyataan bahwa penanganan dilaksanakan sesuai dengan standar penanganan; kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi. Pernyataan adanya keterbatasan dalam penanganan.(jika ada) Paragraf Isi : Hasil penanganan berupa kesimpulan, temuan lapangan, dan rekomendasi; tanggapan dari pejabat institusi, tokoh, yang berkepentingan. Pelaporan informasi rahasia apabila ada. Paragraf Penutup Tim Penanganan Ttd Nama NIP Tembusan :
87
Lampiran 4: PEMAHAMAN DASAR BAGI PENYULUH TERKAIT GANGGUAN KAMTIBMAS DI BALIK KONFLIK ATAS NAMA ALIRAN DAN GERAKAN KEAGAMAAN BERMASALAH
Setiap penyuluh diharapkan mampu memahami potensi gangguan kamtibmas, termasuk mampu memetakan masalah (mapping) dan membuat laporan terkait upaya pencegahan timbulnya konflik massa terkait isu keagamaan bermasalah. Gangguan kamtibmas yang berkadar tinggi yang dampaknya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang menjadi korban namun juga dirasakan oleh masyarakat luas, memiliki ciri – ciri : 1. Pelaku/penyebab: kelompok atau organisasi pelaku kejahatan atau pemimpin keagamaan baru bermasalah yang memicu atau memprovokasi kemarahan masa, contoh kasus Cikeusik adanya penolakan pimpinan Ahmadiyah untuk dievakuasi, justru malah menantang masyarakat dan aparat secara over acting sehingga menimbulkan bentrok dan anarkisme masa yang tak terkendali. 2. Modus Operandi: Memanfaatkan aksi massa (sama dengan kasus Cikeusik, Insiden Monas dan kasus Syiah di Sampang), menggunakan kekerasan, menggunakan senjata api dan bom. 3. Korban: Korban yang timbul baik perorangan maupun kelompok warga masyarakat di tempat kejadian dan sekitarnya, dampaknya juga menimbulkan rasa panik yang meluas, seperti kasus pembakaran sejumlah gereja di
88
4. 5.
6.
7.
Mataram pada 17 Januari 2000 yang mengakibatkan eksodus non muslim secara masal. Jaringan nasional, regional dan internasional, seperti kasus terorisme, Salafi Jihadis dan Islam liberal. Terorganisir rapi mempunyai pimpinan, dan mempunyai anggota yang terlatih dan militan, seperti kasus NII KW9 dan Fatwa MUI Kabupaten Bogor terkait Mahesa Kurung. Mobilitas tinggi dalam manuver dan gerakan serta daya serang secara destruktif terhadap semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara dan berdampak lingkungan extra ordinary. Mengancam simbol-simbol negara dan sendi-sendi kebangsaan serta merongrong kewibawaan pemerintah.
Bentuk gangguan keamanan dalam negeri berkadar tinggi yang mesti dipahami oleh penyuluh dan pimpinan Kementerian Agama di daerah: 1. Kerusuhan yang anarkis a. Penangulangan huru–hara bersifat anarkis yang dilakukan oleh sekelompok orang atau lebih, dalam unjuk rasa yang telah berubah menjadi tindakan kekacauan, kerusuhan dan melawan hukum, seperti demo bubarkan Ahmadiyah di berbagai daerah di Indonesia sangat berpotensi menimbulkan huru-hara dan anarkisme masa. b. Massa yang potensial menimbulkan kerusuhan akibat ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah yang disebabkan faktor ekonomi , politik , sosial , budaya dan agama. c. Massa pengunjuk rasa yang sengaja berkumpul untuk satu tujuan yang sama yang akan mengarah pada tindakan anarkis.
89
d. Massa perusuh yang telah melakukan tindakantindakan yang mengganggu ketertiban ataupun melanggar hukum. e. Keramaian/tontonan yang mengakibatkan tindakan anarkis 2. Kejahatan Trans Nasional Kejahatan trans nasional berupa terorisme, temuan bom/bahan peledak, penyelundupan senapan api, penyelundupan wanita/anak, pembajakan, narkoba, perampokan dengan menggunakan senjata api dan bahan peledak serta zat berbahaya. 3. Kejahatan terhadap Kekayaan Negara Kejahatan terhadap kekayaan negara berupa kejahatan illegal loging , illegal mining, illegal fishing, illegal oil, korupsi, uang, palsu , perusakan lingkungan. 4. Kejahatan yang Berimplikasi Kontijensi a. Perkelahian antar suku Adaya perbedaan kultur, kecemburuan sosial dan perasaan dendam yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya perkelahian antar suku/kelompok, seperti kasus perseteruan dua kakak beradik yang memicu rusuh massa anti Syiah di Sampang Madura, kasus pembunuhan seorang guru mengaji di Aceh terkait isu ajaran sesat untuk tidak sholat Jum’at dan pertikaian kakak beradik anak pendiri Nahdlatul Wathon di NTB. Apabila pertikaian tersebut tidak segera diselesaikan secara musyawarah dan tuntas, dikhawatirkan dapat memicu timbulnya konflik horizontal yang berpengaruh terhadap stabilitas nasional.
90
b. Perkelahian Antar Kelompok Perkelahian antar kelompok/kampung yang disebabkan rasa solidaritas kesukuan dapat menimbulkan perasaan dendam yang dapat memicu kesalah pahaman menjadi perkelahian massal yang dapat mengganggu stabilitas keamanan. c. Konflik Horisontal Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk (Plural Society) yang sendi-sendi utamanya adalah suku bangsa yang memiliki budaya berbeda, yang askriptif dan primordial. Ciri askriptif dan primordial tersebut mencuat sampai kesistem pemerintahan nasional. Akibatnya akan menimbulkan konflik antar suku bangsa ( suku Dayak dan Madura, konflik agama yang terjadi di Poso dan Maluku ). Selain itu konflik-konflik tersebut biasanya juga dipacu oleh faktor-faktor lain yang dominan, seperti kesenjangan ekonomi, fanatisme sempit dan berlebihan, streotif terhadap suatu suku, ketidakadilan, dan lain-lainnya. Kesemuanya itu telah menimbulkan terjadinya konflik antar masyarakat dengan masyarakat atau suku dengan suku yang dikenal dengan istilah ‚konflik horizontal‛. d. Konflik Vertikal Konflik vertikal akan terjadi apabila polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat dan yang sering terjadi disebabkan polarisasi dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap
91
pemerintah seperti tuntutan reformasi terhadap pemeritah dalam penyelenggaraan demokrasi, penegakan hukum, tranparansi, perlindungan terhadap HAM maupun akuntabilitas publik untuk terciptanya good governance dan good government apabila tidak disikapi dengan baik oleh pemerintah akan menimbulkan ketidak percayaan masyarakat terhadap pemerintah dengan melakukan unjuk rasa damai sampai unjuk rasa yang mengarah tindakan anarkis yang akan mengarah terjadinya konflik vertikal.
92
Lampiran 5: ANALISIS FILM DOKUMENTER DAN REKAMAN TAYANGAN TV PADA WORKSHOP PEDOMAN PENANGANAN ALIRAN DAN GERAKAN BERMASALAH DI INDONESIA I. PENDAHULUAN Penayangan film dokumenter dan rekaman tayangan televisi tentang maraknya isu aliran menyimpang di masyarakat, sengaja dihadirkan pada Workshop Buku Pedoman Penanganan Aliran dan Gerakan Keagamaan Bermasalah. Maksud dan tujuannya adalah : 1. Sebagai gambaran umum tentang sejauh mana potensi konflik yang disebabkan maraknya aliran bermasalah. 2. Sebagai apersepsi untuk mengukur kemampuan pengetahuan dan pengalaman penyuluh dalam menguasai paham dan gerakan keagamaan bermasalah. 3. Memudahkan penyuluh memahami profil aliran dan gerakan keagamaan bermasalah yang bersifat kontemporer dan hidup berkembang di masyarakat. 4. Membantu penyuluh melakukan identifikasi sehingga dengan mudah penyuluh melakukan pemetaan dan merumuskan masalah. 5. Membantu penyuluh dan narasumber untuk menghadirkan situasi yang lebih konkrit dan faktual.
93
II. PEMBAHASAN 1. Pembahasan menggunakan metode analisis naratif dan studi dokumenter 2. Sekilas tentang analisis naratif, dalam hal ini analisis naratif menggunakan pendekatan dan metode yang dikembangkan oleh para sastrawan, wartawan dan investigator. Pertanyaan pentingnya: a. Bagaimana struktur dan dinamika cerita? b. Apa yang diceritakan dan bagaimana menceritakannya? c. Bila ada konflik, bagaimana perkembangannya, apa motifnya? d. Apa makna atau pesan cerita ini? Apa yang diceritakan dan bagaimana penceritaannya 1. Apa yang diceritakan (isi)
Latar (setting): waktu, tempat, situasi-kondisi, suasana Tokoh cerita (pemimpin aliran, tokoh penentang dan aparat terkait) Adegan (paham ajaran, eskalasi masa dan konflik) Alur cerita (kronologis)
2. Cara penceritaan
94
Pengulangan (alur cerita yang berulang terkait anarkisme) Pemelukan (inklusio) (upaya untuk menarik empati publik) Pensejajaran (berita berimbang, ada cover bothside) Rujukan (implisit dan eksplisit)
Peramalan atau prediksi damai, hakekat ancaman atau konflik baru’ Ringkasan (adanya summary atau synopsis) Persepsi pencerita (apa memihak, memediator, mencoba menengahi atau menyalahkan?)
III. ANALISIS Analisis isi (content analisis) mempunyai beberapa pengertian, seperti dicantumkan di bawah ini: 1. Analisis isi merupakan teknik penelitian untuk mendeskripsikan secara kuantitatif, objektif, dan sistematik, dari isi komunikasi. 2. Analisis isi adalah suatu teknik penelitian untuk membuat perujukan pengenalan karakteristik tertentu di dalam teks secara sistematik dan objektif. Pada uraian tertentu kita mengusulkan penggunaan istilah 'content analysis' dan 'coding' secara bergantian guna menunjukkan deskripsi kuantitatif, sistematik, dan objektif, dari suatu prilaku simbolik. Studi Dokumenter : Pertanyaan yang sering muncul dan jawabannya oleh penyuluh, antara lain :
harus
dikuasai
1. Apa yang dimaksud dengan aliran bermasalah? 2. Siapa tokoh penyebar aliran bermasalah dan siapa juga tokoh penentangnya? 3. Dimana peta penyebaran aliran bermasalah yang sering memancing gejolak?
95
4. Siapa yang diuntungkan dan dirugikan dari konflik aliran bermasalah? 5. Mengapa aliran bermasalah sering dipersoalkan dan memancing anarkisme masa? 6. Mapan dan bagaimana sebuah aliran bermasalah bisa menimbulkan gejolak/konflik serta bagaimana proses penanganannya? 7. Apa yang harus dilakukan penyuluh menghadapi situasi awal hingga terjadinya potensi konflik dan reaksi dimasyarakat terkait aliran bermasalah? Kompilasi film yang ditayangkan : 1. Film tentang sekilas aliran dan gerakan keagamaan bermasalah di Indonesia Durasi: 10 menit sebagai apersepsi ditayangkan pada pembukaan Isi berkisar tentang : a. b. c. d. e. f. g.
Maraknya aliran menyimpang Identifikasi aliran bermasalah Reaksi masyarakat Reaksi negara Anarkisme ormas/masa Dampak aliran bermasalah Bagaimana penanganannya?
2. Film & tayangan TV tentang Ahmadiyah durasi 10 menit
96
a. Sekilas tentang Ahmadiyah versi JAI (cuplikan film sang Ahmad) b. Peta penyebaran jejaring Ahmadiyah di Indonesia? c. Isu utama penentangan Ahmadiyah d. Dampak isu Ahmadiyah : 1) insiden Monas 2) tragedi Cikeusik 3) berita foto pengusiran warga Ahmadiyah di Lombok & Manislor e. Korban konflik Ahmadiyah f. Penanganan 1) Fatwa MUI 2) Surat Bersama Menteri 3) Proses hukum 3. Nabi palsu : durasi 7 menit Kasus Lia Eden, Al Qiyadah (Ahmad Mushoddiq eks KW9) berubah jadi Millah Ibrahim dan mendirikan ormas Gafatar (ditambah latar belakang film mengaku nabi tentang konflik dengan masyarakat) 4. Kasus NII KW9 terkait Ma’had Al Zaytun durasi : 10 menit & 7 menit ditampilkan secara berseri a. Sekilas tentang. NII KW-9 b. Isu utama penentangan NII KW-9 terkait Ma’had Al Zaytun c. Peta penyebaran jejaring NII KW-9 di Indonesia?
97
d. Dampak isu NII KW-9 : 1) Keutuhan NKRI 2) Masa depan generasi muda 3) Kriminalisasi & makar 4) Keberadaan Ma’had Al Zaytun e. Korban konflik NII KW-9 f. Kronologis dan modus operandi perekrutan jadi jamaah NII g. Hidden camera tentang baiat di NII dan pelepasan kewarganegaraan dari warga RI hijrah/penerimaan jadi warga NII h. Penanganan 1) Fatwa MUI 2) Pakem Kejaksaan 3) Proses hukum 4) Kementerian Agama 5) Seminar NII masuk kampus diberbagai universitas 5. Kasus Jama’ah Syi’ah di Sampang Jawa Timur (pengusiran sejumlah warga) 6. Kasus maraknya paham Islam liberal di kampus Universitas Sunan Gunung Jati di Bandung Durasi 10 menit a. Sekilas tentang Islam liberal b. Isu utama penentangan penyebaran faham Islam liberal c. Peta penyebaran jejaring Islam liberal
98
d. Dampak isu Islam liberal 1) Generasi muda 2) Konflik antar masyarakat 3) Isu HAM e. Korban konflik Islam liberal f. Penanganan oleh MUI dan pihak kepolisian 7. Contoh penanganan di daerah terkait kasus pengibaran bendera NII oleh sisa-sisa gerakan NII di Garut Jawa Barat yang penanganannya diselesaikan melalui jalur musyawarah dan perdamaian namun tetap ada penegakan hukum oleh kepolisian Sisa-sisa NII : studi kasus Sensen Komara durasi 10 menit a. Sekilas tentang NII Sensen Komara dan benang merahnya dengan gerakan NII Kartosuwiryo b. Isu utama penentangan pengibaran bendera NII di Garut c. Peta penyebaran jejaring bekas NII di Indonesia? d. Dampak isu NII Sensen Komara : • protes masyarakat • proses hukum e. Korban isu NII Sensen Komara f. Penanganan • Fatwa MUI • Sikap Pemkab Garut • Saksi ahli dan psikolog • Proses hukum
99