FAKTOR-FAKTOR PENENTU PERMINTAAN EKSPOR MINYAK KELAPA MENTAH (CRUDE COCONUT OIL/CCO) INDONESIA (DETERMINANTS OF INDONESIA’S CRUDE COCONUT OIL EXPORT DEMAND) Aziz Fauzi1) Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi
[email protected] Dedi Darusman2) Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi
[email protected] Unang3) Fakultas Pertanian Universitas Siliwangi
[email protected] ABSTRACT The research was intended to know the export development of Indonesia’s Crude Coconut Oil (CCO) and to analyze the determinants of its demand. Descriptive and quantitative method by panel data regression model were explored to process secondary data of a range year 2000 to 2011 as time series data and China, Netherland, Malaysia, Singapore as cross section data. The result demonstrated that Indonesia’s CCO export volume fluctuated as well as its export price, while its market share varied in four analyzed countries. The determinants of Indonesia’s CCO export demand were Indonesia’s CCO export price, importing country’s population and real GDP per capita, real exchange rate of IDR to currency of importing countries and Philippine’s CCO export price. Key Words : Export Demand, Crude Coconut Oil,Real GDPPercapita ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan ekspor minyak kelapa mentah (Crude Coconut Oil/CCO) Indonesia serta menganalisis faktor-faktor penentunya. Data sekunder berupa data time series dari tahun 2000 sampai 2011 serta data cross section dari negara Cina, Belanda, Malaysia, Singapura diolah dengan analisis dekriptif dan kuantitatif berupa model ekonometrika regresi data panel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa volume dan harga ekspor CCO Indonesia berfluktuasi dan pangsa ekspor CCO Indonesia bervariasi di empat negara yang dianalisis. Faktor-faktor yang menentukan permintaan ekspor CCO Indonesia adalah harga ekspor CCO Indonesia, populasi penduduk dan GDP riil perkapita negara pengimpor, nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara pengimpor serta harga ekspor CCO Filipina. Kata Kunci : Permintaan Ekspor, Minyak Kelapa Mentah, GDP Riil Perkapita
1
PENDAHULUAN Minyak kelapa mentah (crude coconut oil/CCO) merupakan produk olahan kelapa yang paling dominan dalam perdagangan internasional komoditas kelapa. Permintaan CCO dunia diperkirakan akan terus meningkat di masa yang akan datang. Hal ini dikarenakan telah ditemukannya berbagai teknologi baru yang membutuhkan CCO sebagai bagian dari bahan bakunya. Teknologi tersebut salah satunya adalah pemanfaatan minyak kelapa mentah sebagai sumber energi alternatif. Tim Sekretariat MAPI (2006) menyebutkan bahwa penggunaan minyak kelapa mentah mampu mensubstitusi penggunaan solar sampai 100 persen untuk penggunaan mesin diesel pada skala pabrik serta berpotensi menghasilkan daya listrik sampai 1 Megawatt. Sejumlah daya listrik tersebut bisa didistribusikan kepada kurang lebih 100 rumah dengan kapasitas pemakaian tiga lampu, televisi dan satu atau dua peralatan elektronik lainnya. Kandungan asam laurat yang tinggi dalam kelapa untuk kepentingan industri serta deterjen dan kosmetik menurut Ditjen Industri Agro dan Kimia (2009) akan turut mendorong meningkatnya permintaan CCO. Kecenderungan dunia untuk produkproduk ramah lingkungan yang mampu dihasilkan oleh produk turunan CCO juga diduga akan mempertinggi tingkat permintaan CCO Selama rentang waktu 2000-2011, volume ekspor CCO mencapai Indonesia mencapai 5.183.943 ton disusul kemudian bungkil kopra (3.909.511 ton) dan Desiccated Coconut/tepung kelapa (619.733 ton). Volume ekspor CCO selama rentang waktu tersebut berfluktuasi. Volume ekspor tertinggi selama tahun 2000 sampai 2005 dicapai pada tahun 2000 yaitu 666.171 ton. Tahun 2006, CCO Indonesia yang diekspor turun menjadi 383.808 ton, kemudian mengalami peningkatan tajam pada tahun 2007 menjadi 606.627 ton. Peningkatan pada tahun tersebut tidak bisa dipertahankan pada tahun-tahun berikutnya sampai volume ekspor terendah dicapai pada tahun 2011 yaitu 324.244 ton (Tabel 1). Produk olahan kelapa lainnya, yaitu serat sabut dari tahun ke tahun cenderung mengalami penurunan. Balitbang (2007) menyatakan bahwa penurunan produk tersebut terjadi akibat tidak terpenuhinya mutu baku ekspor serat sabut. Menurut Balitbang (2007) pengaruh dinamika dan preferensi negara tujuan menyebabkan pola dan tingkat permintaan ekspor menjadi berbeda-beda. Tahun 1999 produk CCO Indonesia hanya diimpor oleh Belanda dan USA, tetapi pada tahun 2003 menjadi Belanda, China dan Malaysia. Tujuan utama ekspor CCO Indonesia pada tahun 2011 semakin 2
bertambah yaitu, China, Spanyol, India, Malaysia, Belanda, Singapura dan USA (United Nations Commodity Trade Statistic, 2013), namun demikian perdagangan internasional CCO Indonesia ke depan akan mendapatkan berbagai macam ancaman. Negara penghasil produk olahan kelapa dewasa ini semakin meningkat jumlahnya. Negara pesaing ekspor CCO Indonesia sudah mulai mengurangi ekspor kelapa dalam bentuk kopra dan menggantinya dengan ekspor CCO. Permintaan pasar internasional akan produk olahan kelapa yang berkualitas juga merupakan ancaman lain terhadap industri CCO dalam negeri. Pengimpor produk CCO tidak saja mendasarkan pembeliannya atas dasar harga dan kualitas produk, akan tetapi faktor-faktor lain yang mempermudah transaksi internasional. Tabel 1. Volume Ekspor Beberapa Produk Kelapa Indonesia 2000-2011 (ton) Tahun
Kopra
CCO
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Jumlah
34579 23884 40045 25107 36139 56880 38362 46919 26109 39517 38042 34565 488449
666171 337679 352888 244680 376166 640043 383808 606827 479805 409043 362188 324244 5183943
Desiccated Coconut 31373 34820 48550 36883 31186 51456 62410 60648 55431 46705 47096 51664 619733
Bungkil Kopra 408431 258959 301759 771149 124279 323774 171340 323288 247021 209046 231396 182832 3909511
Serat Sabut 88,95 97,30 208,17 55,00 282,10 634,66 213,00 361,00 496,00 285,00 42,00 20,00 1417,34
Sumber : BPS, 2012 (diolah)
Penelitian tentang perkembangan eskpor CCO Indonesia serta faktor-faktor yang akan menentukan permintaan ekspor CCO Indonesia dirasa sangat diperlukan. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja ekspor CCO Indonesia di masa yang akan datang dengan melihat kecenderungan yang terjadi di pasar global. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus. Menurut Suharsimi Arikunto (2010), penelitian studi kasus adalah suatu penelitian yang dilakukan secara intensif, terinci dan mendalam terhadap suatu lembaga atau gejala tertentu. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari publikasi lembaga-lembaga resmi nasional dan internasional. Lembaga-lembaga tersebut 3
adalah Badan Pusat Statistik (BPS), International Monetary Fund (IMF), United Nations Commodity Trade (UNComtrade) dan Food and Agricultural Organization (FAO). Untuk mengetahui perkembangan ekspor CCO Indonesia dalam penelitian ini dilakukan analisis deskriptif, sedangkan untuk menganalisis faktor-faktor penentu permintaannya dilakukan analisis kuantitatif. Persamaan permintaan ekspor CCO Indonesia diduga dengan regresi data panel. Panel data adalah bentuk data yang merupakan gabungan dari data time series dan cross section. Data time series yang digunakan adalah dari tahun 2000 sampai 2011, sedangkan negara-negara yang dipilih dengan alasan ketersediaan data adalah Cina, Belanda, Malaysia dan Singapura sebagai data cross section. Teknik estimasi yang dipakai adalah Fixed Effect Model (FEM) karena jumlah data time series lebih banyak dari jumlah data cross section sebagaimana pendapat B.H Baltagi (1995) dalam Arief Daryanto dan Yundy Hafizrianda (2010). Peubah-peubah bebas dalam persamaan tersebut akan diuji secara parsial dan simultan pada tiga tingkat taraf nyata yaitu 1 persen, 5 persen dan 10 persen. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Eviews 5.1 Dugaan persamaan permintaan ekspor CCO adalah sebagai berikut : Ln Qit = β0 + β1ln PXit + β2ln NTRrt + β3ln GDPjt + β4ln Popit + β5ln PYit + β6 ln PZit + ei Keterangan : Qit PXit NTRrt GDPjt Popit PYit PZit
= volume permintaan ekspor CCO Indonesia (Kg) = harga ekspor CCO Indonesia (US$/Kg) = Nilai tukar rupiah riil terhadap mata uang pengimpor (Rp/mata uang pengimpor) = GDP riil perkapita negara pengimpor CCO Indonesia (US$) = Populasi penduduk negara pengimpor CCO Indonesia (juta orang) = Harga ekspor CPO Indonesia (US$/Kg) = Harga ekspor CCO Filipina (US$/Kg)
HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi dan Ekspor Crude Coconut Oil Indonesia Hasil produksi CCO Indonesia dari tahun 2000-2011 mengalami fluktuasi. Indonesia memproduksi CCO pada tahun 2000 sebesar 778.000 ton kemudian meningkat 0,25 persen pada tahun 2001 menjadi 780.000 ton. Angka produksi ini tidak bisa ditingkatkan pada tahun berikutnya, melainkan terus mengalami penurunan sampai tahun 2003 menjadi sebesar 707.095 ton. Tahun 2004, angka produksi meningkat kembali sebesar 22,41 persen, tetapi tahun 2005 turun sebesar 11,32 persen. Angka produksi tertinggi dicapai pada tahun 2007 sebesar 958.400 ton. Hasil produksi CCO Indonesia sebagian besar ditujukan untuk 4
memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal itu dibuktikan dari pangsa pasar ekspor terhadap total produksi CCO tidak pernah lebih dari 60 persen kecuali pada tahun 2000, 2005 dan 2007. Rata-rata proprosi ekspor dari total produksi CCO adalah 53 persen. Jumlah produksi
(Ribuan Ton)
dan ekspor CCO Indonesia disajikan pada Gambar 1. 1200 1000 800 Ekspor
600 400
Produksi
200
Impor 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
0
Gambar 1 Perkembangan Jumlah Produksi, Ekspor dan Impor Produk CCO Indonesia
Volume ekspor produk CCO Indonesia selama periode 2000-2011 cenderung berfluktuasi pada kisaran 244,68-666,17 ribu ton. Pencapaian terrendah volume ekspor Indonesia selama periode analisis terjadi pada tahun 2003 yaitu sebesar 244,68 ribu ton, namun dua tahun berikutnya mengalami peningkatan. Terjadinya peningkatan harga minyak nabati dunia menyebabkan penurunan volume ekspor produk CCO Indonesia menjadi 383,80 ribu ton pada tahun 2006. Penurunan volume ekspor produk CCO Indonesia terus terjadi dari tahun 2008 sampai akhir tahun analisis yaitu 2011. Penurunan yang sebesar 32,59 persen ini merupakan dampak dari terjadinya krisis finansial AS yang kemudian menjadi krisis finansial global. Rata-rata pertumbuhan volume ekspor CCO Indonesia selama tahun 2000-2011 menunjukkan angka positif sebesar 0,81 persen, sedangkan di empat negara yang dianalisis sebesar 5,39 persen yang lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan volume ekspor dunia yaitu sebesar 10,39 persen. Angka pertumbuhan ini disumbangkan permintaan dari berbagai negara yang mengimpor produk CCO Indonesia. Pertumbuhan volume ekspor CCO Indonesia di empat negara yang dianalisis, paling tinggi terjadi di Belanda, yaitu 24,85 persen disusul kemudian Singapura, Cina dan Malaysia secara berturut-turut sebesar 23,71 persen, 15,34 persen dan 11,16 persen (Gambar 2). Laju pertumbuhan volume ekspor CCO yang positif ini diakibatkan semakin bertambahnya produk turunan CCO yang diproduksi di negara-negara tersebut. 5
(juta ton)
350 300 250 Cina
200
Singapura
150
Malaysia
100
Belanda
50 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
0
Gambar 2. Perkembangan Volume Ekspor CCO Indonesia ke Belanda, Malaysia, Singapura dan Cina Tahun 2000-2011
Pangsa Produk CCO Indonesia di Pasar Negara-negara Tujuan Ekspor Produk ekspor CCO Indonesia paling banyak diserap oleh Belanda (35%), Malaysia (16%), Cina (12%), USA (9%), Spanyol (3%) dan Singapura (2%), namun pasar ekspor yang akan dibahas pada bagian ini ditujukan kepada empat negara yang dijadikan unit analisis yaitu Belanda, Malaysia, Singapura dan Cina. Pangsa produk CCO Indonesia di masingmasing negara-negara tersebut adalah seperti yang tertera pada Gambar 3.
Lainnya 8%
Pasar Belanda Filipina 26%
Indonesia 28%
Indonesia 73%
Filipina 64% Lainnya 12% Filipina 21%
Lainnya 1%
Pasar Cina
Pasar Malaysia Indonesia 67%
Lainnya 11%
Pasar Singapura
Indonesia 21%
Malaysia 31% Filipina 37%
Gambar 3. Pangsa Pasar Ekspor CCO Indonesia di Empat Negara Tahun 2000-2011
6
Perkembangan Harga Ekspor Produk CCO Indonesia Rata-rata harga ekspor CCO Indonesia bervariasi di setiap negara importir walaupun variasinya kecil. Rata-rata paling tinggi adalah di pasar Singapura, yaitu 0,71 US$/kg, padahal eksportir CCO di negara ini lebih banyak dari negara lainnya yaitu Malaysia, Filipina dan Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan negara ini terhadap produk CCO adalah tinggi. Harga paling rendah terjadi di pasar Cina yakni 0,68 US$/kg. Nilai ini bahkan lebih rendah dari rata-rata harga dunia yaitu 0,72 US$/kg. Harga ekspor Indonesia di pasar Belanda dan Malaysia masing-masing adalah 0,70 US$/kg dan 0,69 US$/kg. Rata-rata harga ekspor Indonesia yang terbentuk di empat negara tersebut dengan demikian adalah 0,69 US$/kg. Perkembangan harga ekspor di masing-masing negara pengimpor dapat dilihat pada grafik berikut ini (Gambar 4). Fluktuasi harga di masing-masing negara secara umum
US$/kg
dipengaruhi oleh harga ekspor CCO dunia yang juga berfluktuasi.
2.5 2 Belanda
1.5
Malaysia Singapura
1
Cina Dunia
0.5
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
0
Gambar 4. Perkembangan Harga Ekspor CCO Indonesia di Negara Belanda, Malaysia, Singapura dan Cina Tahun 2000-2011
Faktor-faktor Penentu Permintaan Ekspor CCO Indonesia Hasil analisis regresi data panel dengan perangkat lunak Eview 5.1 mengenai faktorfaktor yang mempengarui permintaan ekspor CCO Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2. Tampak bahwa koefisien determinasi (R2-adjusted) adalah sebesar 0,997, artinya 99,7 % variasi yang terdapat pada volume ekspor CCO Indonesia dapat dijelaskan oleh variabel bebasnya, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak masuk ke dalam model. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa nilai uji F memiliki probabilitas sebesar 0,000. Nilai 7
ini jauh lebih kecil dari nilai taraf nyata 1 persen. Hal ini menunjukkan bahwa variabelvariabel bebas berupa harga ekspor CCO Indonesia, nilai tukar rupiah riil terhadap mata uang negara pengimpor, GDP riil perkapita negara pengimpor, populasi penduduk negara pengimpor, harga ekspor CPO Indonesia dan harga ekspor CCO Filipina secara bersamasama mempengaruhi volume ekspor CCO Indonesia pada selang kepercayaan 99 persen. Tabel 2. Hasil Analisis Regreresi Data Panel Metode FEM dengan Eview 5.1 Variabel Koefisien C 26,48577 Px -0,572374 NTR -1,168132 GDP 1,128909 Pop -2,934190 Py -0,605661 Pz 0,516256 Fixed Effect (Cross) Cina 10,71667 Singapura -8,970973 Malaysia -0,642138 Belanda -1,103564
Std. Error 9,481590 0,326337 0,473873 0,464577 0,931772 0,040902 0,380130
t-statistik 2,793390 -1,753938 -2,466584 2,429970 -3,149044 -1,593302 12,62163
Prob. 0,0081 0,0875* 0,0183** 0,0199** 0,0032*** 0,1194ns 0,0000***
Catatan: *** = Signifikan pada tingkat kepercayaan 99 % ** = Signifikan pada tingkat kepercayaan 95 % * = Signifikan pada tingkat kepercayaan 90 % ns = Non Signifikan
Hasil olahan data tersebut menghasilkan persamaan sebagai berikut : Ln Qit = (Crossi+26,48577) –0,572374ln PXit - 1,168132ln NTRrt + 1,128909 ln GDPjt - 2,934190 ln Popit - 0,605661ln PYit + 0,516256ln PZit Hasil estimasi pada Tabel 2 juga menunjukkan pengaruh perbedaan wilayah terhadap permintaan ekspor CCO Indonesia yaitu nilai fixed effect cross section (negara). Cina merupakan negara yang memiliki nilai pembeda paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa volume ekspor produk CCO Indonesia ke negara tersebut memiliki rata-rata perubahan paling tinggi yaitu sebesar 37,20. Negara yang memiliki efek paling kecil adalah Singapura dengan rata-rata perubahan 17,51. Dapat disimpulkan bahwa Cina merupakan pasar tujuan ekspor CCO Indonesia yang paling potensial diantara keempat negara lainnya. Harga ekspor CCO Indonesia (Px) berpengaruh nyata pada taraf nyata 10 persen dengan angka koefisien regresi sebesar -0,57. Artinya peningkatan harga sebesar satu persen akan menurunkan permintaan ekspor CCO Indonesia sebesar 0,57 persen ceteris paribus. Perubahan permintaan yang lebih rendah dari perubahan harganya menunjukan bahwa 8
elastisitas harga ekspor CCO bersifat inelastis. CCO tergolong barang intermediate product atau barang setengah jadi yang bersama bahan lainnya merupakan input bagi perusahaan pengolahannya. Penurunan harga ekspor CCO Indonesia tidak akan meningkatkan kapasitas produksi perusahaan sehingga responnya terhadap permintaan CCO menjadi kecil. Harga ekspor CCO Indonesia di empat negara pengimpor CCO Indonesia selalu bernilai lebih rendah dari harga ekspor CCO Filipina (Tabel 3), namun daya saing harga ekspor Indonesia selama ini berasal dari keunggulan komparatif yaitu upah buruh murah dan sumber daya alam berlimpah sehingga murah biaya pengadaannya. Daya saing yang bersumber dari keunggulan komparatif ini dikhawatirkan akan menurun di masa yang akan datang. Hal itu dikarenakan terjadinya beberapa hal, yaitu meningkatnya upah buruh dari tahun ke tahun, peningkatan Tarif Dasar Listrik (TDL), pengurangan subsidi BBM serta permintaan kelapa dalam negeri yang semakin tinggi karena semakin beragamnya produk turunan kelapa. Hal-hal tersebut akan meningkatkan biaya produksi pengolahan CCO sehingga harga ekspor akan lebih tinggi di pasar internasional. Tabel 3. Perbandingan Rata-rata Harga Ekspor CCO Indonesia dengan Filipina Negara Cina Belanda Singapura Malaysia
Harga Ekspor CCO Indonesia (US$/Kg) 0,6869 0,7134 0,6909 0,7058
Harga Ekspor CCO Filipina (US$/Kg) 0,7145 0,7155 1,2195 0,7290
Daya saing ekspor ke depan menurut Tulus Tambunan (2001) tidak lagi ditentukan oleh keunggulan komparatif, tetapi pada keunggulan kompetitif yaitu keunggulan yang berbasiskan pada teknologi know-how dan keahlian khusus. Anonim (2013) menyebutkan bahwa tingkat teknologi pengolahan kopra menjadi minyak kelapa mentah yang diusahakan pada skala menengah dan kecil terkategori sedang dan cenderung tradisional sehingga efisiensi dan produktivitas usahanya masih rendah, selain itu produk CCO Indonesia menurut Abner Lay dan Patrik M Pasang (2012) banyak yang berasal dari kopra yang diolah dengan cara pengasapan. Kopra yang dihasilkan dengan cara pengasapan pada suhu tinggi dan tidak terkontrol akan menghasilkan kopra berwarna coklat, berbau asap dan cukup banyak bagian yang terbakar. Minyak yang dihasilkan adalah minyak tengik, warna coklat tua dan kadar asam lemak bebas yang tinggi 1-5 persen. Minyak kelapa dengan karakteristik tersebut kurang disukai oleh beberapa negara pengimpor.
9
Variabel nilai tukar (NTR) secara signifikan berpengaruh terhadap permintaan ekspor CCO Indonesia pada taraf nyata 5 persen. Nilai koefisien regresi yang diberikan varibel ini adalah sebesar -1,16. Angka ini menunjukkan bahwa penguatan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara pengimpor sebesar satu persen maka permintaan ekspor CCO Indonesia akan menurun sebesar 1,16 persen dengan menganggap variabel yang lain tetap. Apresiasi nilai tukar menjadikan produk CCO Indonesia menjadi relatif lebih mahal di pasar internasional. Apresiasi (depresiasi) nilai tukar dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah tingkat inflasi suatu negara. Negara yang inflasinya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain maka mata uangnya akan cenderung melemah. Hal ini terkait dengan aspek purchasing power parity. Ketika inflasi meningkat maka purchasing power parity akan menurun. Kenaikan harga produk dalam negeri akan mendorong masyarakat untuk mencari alternatif tawaran dari negara lain yang lebih murah. Dampaknya adalah kurs mata uang dalam negeri akan melemah seiring dengan penurunan permintaan akan mata uang dalam negeri, sementara permintaan mata uang asing akan meningkat (Hendra Halwani, 2005). GDP riil perkapita menggambarkan kemampuan daya beli dari penduduk suatu negara. GDP riil negara pengimpor berpengaruh nyata pada taraf nyata 5 persen. Nilai dari koefisien tersebut adalah 1,12. Nilai tersebut memberikan arti bahwa jika GDP riil perkapita negara pengimpor meningkat sebesar satu persen maka permintaan ekspor CCO Indonesia akan naik sebesar 1,12 persen dengan mengganggap faktor-faktor lain tidak berubah (cateris paribus). Variabel GDP riil perkapita pengimpor merupakan variabel yang paling besar pengaruhnya dalam meningkatkan permintaan ekspor CCO Indonesia. Perubahan permintaan yang lebih tinggi dari perubahan GDP riil perkapitanya sebagai indikator pendapatan rata-ratanya menunjukan bahwa elastisitas pendapatan rata-rata negara pengimpor bersifat elastis. Hal ini dapat dipahami karena baik CCO maupun produk turunannya merupakan barang-barang normal yang permintaannya akan meningkat seiring dengan meningkatnya pendapatan karena daya belinya semakin bertambah. Produk CCO di negara importir digunakan sebagai bahan baku industri pangan dan non pangan. Industri pangan yang menggunakan CCO salah satunya adalah minyak goreng kelapa, sedangkan industri non pangan yang memakai CCO sebagai bahan bakunya adalah kosmetik, sabun, sampo, krim dan lain-lain. Peningkatan permintaan atas produk-produk tersebut akan mengakibatkan industri meningkatkan outputnya sehingga impor produk CCO semakin besar.
10
Pertumbuhan GDP riil perkapita pengimpor CCO Indonesia dari tahun 2001-2007 cenderung mengalami peningkatan, akan tetapi pada tahun 2008 mengalami penurunan bahkan sampai menjadi negatif pada tahun 2009. Penurunan tersebut diakibatkan oleh rembetan krisis finansial di Amerika dan Eropa pada tahun 2008 dan 2009. Krisis tersebut menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kesempatan kerja (Bappenas, 2011). Negara Cina merupakan satu-satunya dari keempat negara pengimpor CCO Indonesia yang pertumbuhan GDP riil perkapitanya positif pada tahun tersebut. Kondisi krisis tersebut berdampak pada penurunan permintaan ekspor CCO Indonesia. Krisis finansial AS pada tahun 2008 menurunkan permintaan ekspor semua negara pengimpor yang dianalisis. Penurunan yang paling tinggi dialami oleh Singapura yaitu (84,96 persen). Krisis finansial Eropa pada tahun 2009 hanya berdampak menurunkan permintaan ekspor dari dua negara yaitu Malaysia dan Belanda dengan penurunan masing-masing 30,56 persen dan 6,00 persen. Variabel populasi penduduk negara pengimpor (Pop) berpengaruh sangat nyata terhadap permintaan ekspor CCO Indonesia. Nilai koefisien regresi variabel ini adalah -2,93. Hal ini berarti jika populasi penduduk negara importir naik satu persen maka permintaan ekspor CCO Indonesia akan turun 2,93 persen dengan menganggap faktor lain konstan. Hasil ini bertentangan dengan hipotesis yang diajukan yaitu berpengaruh positif. Hal ini bisa terjadi karena penduduk di negara-negara pengimpor bukan merupakan penduduk yang konsumtif atau dengan kata lain penduduk negara pengimpor bersifat produktif sehingga ketika terjadi peningkatan populasi maka akan terjadi peningkatan produksi yang akhirnya akan membantu negara tersebut untuk mencukupi kebutuhan negara itu dengan kemampuannya sendiri dan mengurangi impor. Penelitian Nguyen Trung Kien dan Yoshizo Hashimoto (2005) memberikan hasil serupa yaitu populasi negara pengimpor berdampak ganda yakni positif dan negatif. Dampak negatif terjadi pada negara yang mempunyai populasi penduduk besar yang dengan peningkatan pendapatannya menyebabkan penyerapan produk domestik menjadi lebih tinggi. Cina adalah salah satu contoh kasusnya. Besarnya populasi penduduk Cina dengan pertumbuhan pendapatan per kapita yang pesat membuat pasar domestik CCO semakin besar. Hal ini mendorong produsen lokal untuk memproduksi CCO lebih banyak. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan data dari FAO (2012) yang menunjukkan bahwa pada tahun 2000 produksi CCO Cina hanya 3,43 ton kemudian naik sangat pesat sebesar 10.174 persen ke angka 352,42 ton pada tahun 2011. 11
Variabel harga ekspor CCO Filipina digunakan untuk melihat pengaruh harga pesaing terhadap permintaan ekspor CCO Indonesia. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengaruh harga ekspor CCO Filipina adalah sangat signifikan pada selang kepercayaan 99 persen. Arah dan nilai koefisien variabel harga ekspor CCO Filipina adalah 0,516 yang sesuai dengan rumusan hipotesis. Interprestasi dari nilai tersebut adalah bahwa apabila harga ekspor CCO Filipina naik satu persen maka permintaan ekspor CCO Indonesia juga akan naik sebesar 0,51 persen (ceteris paribus). Hasil ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya yaitu Achmad Husni Malian dkk (2005) bahwa penurunan daya saing CCO Indonesia akan meningkatkan volume ekspor pesaingnya yaitu Filipina dan India. Filipina mendapatkan peningkatan ekspor sebesar US$ 133,1 juta, sedangkan India mendapatkan nilai yang lebih kecil yaitu US$ 17,1 juta. Penurunan atau peningkatan daya saing ekspor negara pesaing merupakan faktor utama yang menurunkan atau meningkatkan volume ekspor CCO Indonesia. Variabel harga ekspor CPO Indonesia tidak berpengaruh terhadap permintaan ekspor CCO Indonesia pada berbagai taraf nyata yang digunakan. Hal ini berarti penurunan harga CPO tidak membuat produsen pengolah CCO beralih menggunakan CPO. Hal ini terjadi karena penurunan harga CPO tidak membuat produk CCO menjadi langka di pasar, selain itu kandungan asam laurat yang lebih tinggi pada CCO yang banyak dibutuhkan oleh industri kosmetik membuat produsen tidak mengurangi jumlah permintaannya pada saat CPO mengalami penurunan harga. Lebih dari itu Anonim (2013) mengatakan bahwa preferensi konsumen terhadap minyak goreng yang bebas dari bahan pengawet seperti minyak goreng kelapa mendorong produsen CCO untuk terus meningkatkan produksinya. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : 1)
Perkembangan ekspor CCO Indonesia dari tahun 2000-2011 baik dari sisi volume maupun harga berfluktuasi dan bervariasi di berbagai negara karena permintaan ekspor dari masing-masing negara pengimpor juga berfluktuasi. Pangsa ekspor Indonesia kepada dunia selama tahun 2000-2011 rata-rata sebesar 38 persen. Pangsa ekspor CCO Indonesia dari empat negara yang dianalisis berturut-turut dari yang terbesar adalah Cina, Malaysia, Belanda dan Singapura.
12
2)
Faktor- faktor yang menentukan permintaan ekspor CCO Indonesia adalah harga ekspor CCO Indonesia, nilai tukar rupiah riil terhadap mata uang negara pengimpor, GDP riil perkapita negara pengimpor, populasi penduduk negara pengimpor serta harga eskpor CCO Filipina.
Saran 1)
Untuk meningkatkan daya saing dari aspek kualitas perlu perbaikan dalam teknik pengolahan kopra, salah satunya melalui pembuatan kopra putih dengan menggunakan oven pengering yang dikembangkan oleh Baristand Industri Manado. Teknologi tersebut mampu menghasilkan kopra dan minyak kelapa mentah dengan kualitas yang lebih baik.
2)
Variabel nilai tukar rupiah riil terhadap mata uang negara pengimpor berpengaruh terhadap permintaan ekspor CCO maka Bank Indonesia perlu mengendalikan laju inflasi agar selalu berada di bawah negara pengimpor.
3)
Krisis ekonomi yang melanda AS dan Eropa menyebabkan penurunan GDP riil perkapita beberapa negara pengimpor produk CCO Indonesia sehingga mengurangi jumlah permintaannya oleh karena perlu upaya memperluas negara tujuan ekspor CCO Indonesia ke negara yang memiliki GDP riil perkapita yang tinggi dan relatif stabil.
4)
Petani disarankan untuk memanfaatkan fasilitas kredit yang disediakan oleh pemerintah seperti Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) guna mengatasi permasalahan modal usahataninya sehingga produktivitas kelapa dapat ditingkatkan.
5) Diperlukan penelitian lanjutan mengenai kelayakan finansial dan lending model usahatani kelapa sebagai bahan pertimbangan dalam penyaluran kredit usahatani. DAFTAR PUSTAKA Abner Lay dan Patrik M Pasang. 2012. Strategi dan Implementasi Pengembangan Produk Kelapa Masa Depan. Jurnal Perspektif Vol. 11 No.1/Juni 2012 Hal : 01-22. Achmad Husni Malian, Bambang Irawan, Hendiarto, Budi Wiryono, Saktyanu K Dermoredjo, Chairul Muslim, Sjaiful Bahri. 2005. Prospek Pengembangan Agroindustri dalam Meningkatkan Daya Saing dan Ekspor Berdasarkan Permintaan Jenis Produk Komoditas Perkebunan Utama. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementrian Pertanian. Jakarta Arief Daryanto dan Yundy Hafizrianda. 2010. Model-model Kuantitatif untuk Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah : Konsep dan Aplikasi. IPB-Press. Bogor.
13
Anonim. 2013. Pola Pembiayaan Usaha Kecil (PPUK) Industri Pengolahan Minyak Kelapa. Direktorat Kredit, BPR dan UMKM. Jakarta. Tersedia : http://www.bi.go.id. Diakses Tanggal 10 April 2013 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbang). 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Kelapa. Kementrian Pertanian. Jakarta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 2011. Krisis Keuangan Eropa: Dampak Terhadap Perekonomian Nasional. Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional. Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS). 2012. Statistik Ekspor-Impor Indonesia. Tersedia : Http://www.bps.go.id. Diakses Tanggal 10 April 2013. Bank Indonesia. 2013. Pola Pembiayaan Usaha Kecil (PPUK) Industri Pengolahan Minyak Kelapa. Direktorat Kredit, BPR dan UMKM. Bank Indonesia. Jakarta Direktorat Jendral (Ditjen) Industri Agro dan Kimia. 2009. Roadmap Pengolahan Kelapa. Kementrian Perindustrian. Jakarta Food and Agriculture Organisation. 2012. Chinese CCO Production. Tersedia : Http://www.fao.org. Diakses Tanggal 16 Mei 2013. Hendra Halwani. 2005. Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi. Ghalia Indonesia. Bogor Nguyen Trung Kien dan Yoshizo Hashimoto. 2005. Economic Analysis of ASEAN Free Trade Area; By A Country Panel Data. Discussion Paper 05-12. Osaka School of Public Policy (OSIPP). Osaka Japan. Suharsimi Arikunto. 2010. Prosedure Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Tim Sekretariat MAPI. 2006. Minyak Kelapa sebagai Bahan Bakar Alternatif. Tersedia: Http://www.dekindo.com. Diakses Tanggal 15 April 2013. Tulus Tambunan. 2001. Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran : Teori dan Temuan Empiris. LP3ES. Jakarta United Nations Commodity Trade Statistics Data Base (UNComtrade). 2013. Data Trade. Tersedia : Http://www.uncomtrade.org Diakses Tanggal 14 April 2013
14