Sejak diundangkan atau ditandatanganinya Undang-undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS1) oleh Presiden maka Kementerian Kesehatan sebagai kementerian teknis dibidang kesehatan memiliki tangggung jawab yang strategis di dalam menyempurnakan agar Undang-Undang BPJS dan Undang Undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dapat segera dilaksanakan. DPR, Pemerintah dan Undang-undang telah mengamanatkan bahwa pada bulan Januari 2014 sistem jaminan sosial di bidang kesehatan ini sudah harus diimplementasikan. Oleh karena itu Kementerian Kesehatan sudah harus mempersiapkan rancangan peraturan perundangan seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau Peraturan Menteri yang terkait yang diperlukan untuk penerapan sistem jaminan tersebut. Untuk dapat menyusun peraturan perundangan serta roadmap (peta jalan) pelaksanaan sistem jaminan kesehatan tersebut diperlukan informasi yang komprehensif dan detail tentang segala sesuatu yang terkait dengan pelaksanaan jaminan kesehatan. Informasi tersebut meliputi: 1. 2. 3.
4.
5.
Data-data tentang manfaat layanan (benefit package) yang sudah ada dan yang akan dikembangkan. Data-data tentang biaya yang sudah dan yang akan dibutuhkan baik untuk menjamin bagi yang miskin atau yang hampir miskin atau yang harus dipikul oleh yang tidak miskin. Diperlukan data-data tentang kelembagaan, aset, sumber daya terutama sumber daya manusia (SDM) yang sudah ada diberbagai sistem jaminan yang sudah berjalan selama ini seperti PT. Askes, Jamkesmas, Jamkesda, Jamsostek dan lain-lain, yang diperlukan dalam transformasi dari lembaga yang ada menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang baru. Diperlukan informasi atau data yang terkait dengan utilisasi atau pemanfaatan oleh penerima manfaat atau beneficiaries untuk bisa memperkirakan seberapa akses dan sumber daya yang akan dibutuhkan guna menjamin seluruh masyarakat Indonesia. Data-data utilisasi yang mengagetkan seperti pemanfaatan RS terutama rawat inap sebelum dan sesudah adanya Jamkesmas yg meningkat 395% dari tahun 2005 ke 2007 merupakan informasi yang luar biasa, ini menunjukkan pencapaian kinerja Kementerian Kesehatan yang belum banyak diketahui. Informasi dan data tentang kepersertaan baik oleh sistem jaminan yang sudah ada, atau yang belum mendapatkan jaminan sangat diperlukan sebagai target yang akan dicakup dalam sistem jaminan ke depan.
Informasi-informasi tersebut sangat penting dan ini sebagian bisa diambil dari analisis data laporan Jamkesmas. Dengan demikian Buletin Jendela Data dan Informasi kesehatan sangat dibutuhkan keberadaannya dalam mengakselerasi pemahaman dan sebagai wahana komunikasi antar para pemangku kepentingan. Tentunya data-data dari sumber lain juga sangat dibutuhkan. Data-data dan informasi kesehatan seluruh Indonesia seharusnya dapat diakses oleh Pusdatin untuk kemudian dapat
1
digunakan untuk menyusun sebuah kebijakan yang tepat. Ke depan diharapkan proses transformasi kelembagaan, aset, orang, sistem prosedur diharapkan berjalan sedemikian rupa sehingga semua pihak merasa diuntungkan terutama masyarakat luas tanpa menimbulkan gejolak-gejolak yang tidak perlu. Dengan demikian peran strategis Pusdatin dengan Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan dapat ditingkatkan untuk mendukung percepatan implementasi sistem jaminan kesehatan di Indonesia. Paling tidak buletin ini bermanfaat dalam membangun kesamaan persepsi, opini dan strategi dalam pencapaian “universal coverage”. Dengan data dan informasi kesehatan ini banyak hal yang dapat diketahui, sebagai contoh kita dapat membaca dari buletin ini bahwa Indonesia sudah melakukan lompatan-lompatan jauh untuk mencapai “universal coverage” dimana jaminan kesehatan telah mencakup lebih 60% penduduk Indonesia. Ini berarti bahwa Indonesia telah berhasil dan sukses menjamin pendududuk/orang yang 6 kali lebih banyak dari penduduk Malaysia, 2 kali dari penduduk Thailand, dan 30 kali penduduk Singapura. Ini sesuatu hal yang luar biasa sekali didapat dari data dan informasi kesehatan. Tentu akan lebih bagus lagi harapannya dengan dua tahun ke depan setelah format baru sistem jaminan kesehatan terbentuk. Demikian pula kita bisa dapat memberi apresiasi kepada Pemerintah Pusat, PT. Askes, Jamkesmas, PT. Jamsostek dan Pemerintah Daerah, yang telah berusaha keras untuk dapat menjamin masyarakat Indonesia hingga 60% lebih penduduk Indonesia telah tercakup dalam sistem jaminan kesehatan. Pemerintah daerah melalui Jamkesda telah melengkapi dan menjamin masyarakatnya yang belum terjamin baik melalui sistem jaminan Askes, Jamsostek atau Jamkesmas. Jamkesda ini telah menjamin lebih dari 31 juta orang atau sekitar 22.6 % penduduk Indonesia. Ke depan menjadi pekerjaan rumah (PR) bersama agar proses transformasi ke arah sistem jaminan kesehatan baru sukses. Informasi-informasi ini dapat dibaca di Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan. Selamat pada buletin yang baru terbit ini.
2
A.
PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada pasal 28 H, menetapkan bahwa kesehatan adalah hak dasar hidup setiap individu dan semua warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Amandemen UUD 1945 pasal 34 ayat 2, menyebutkan bahwa negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan dimasukkannya SJSN ke dalam amandemen UUD 1945 dan terbitnya Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), hal ini menunjukkan bahwa pemerintah dan pemangku kepentingan terkait memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Atas dasar konstitusi dan Undang-Undang tersebut Kementerian Kesehatan sejak tahun 2005 telah melaksanakan program jaminan kesehatan sosial, dimulai dengan program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin/JPKMM atau dikenal dengan Askeskin (2005-2007) dan kemudian pada tahun 2008 berubah menjadi program Jamkesmas yang kita kenal sampai sekarang. Semua program ini memiliki tujuan yang sama yaitu melaksanakan penjaminan pelayanan terhadap masyarakat dengan prinsip asuransi kesehatan sosial. Tujuan pelaksanaan program Jamkesmas yaitu : 1. Terselenggaranya akses dan mutu pelayanan kesehatan terhadap seluruh masyarakat miskin dan tidak mampu agar tercapai derajat kesehatan yang optimal secara efektif dan efisien. 2. Meningkatkan cakupan masyarakat tidak mampu yang mendapatkan pelayanan kesehatan di Puskesmas serta jaringannya dan Rumah Sakit, serta meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin. Setiap peserta Jamkesmas berhak mendapat pelayanan kesehatan dasar meliputi pelayanan kesehatan rawat jalan (RJ) dan rawat inap (RI), serta pelayanan kesehatan rujukan rawat jalan tingkat lanjutan (RJTL), rawat inap tingkat lanjutan (RITL) dan pelayanan gawat darurat. Pelayanan kesehatan dalam program Jamkesmas menerapkan pola pelayanan berjenjang berdasarkan rujukan dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Pelayanan rawat jalan tingkat pertama diberikan di Puskesmas dan jaringannya. 2. Pelayanan rawat inap diberikan di Puskesmas Perawatan dan ruang rawat inap kelas III (tiga) di RS Pemerintah termasuk RS Khusus, RS TNI/POLRI dan RS Swasta yang bekerjasama dengan Kementerian Kesehatan. 3. Pada keadaan gawat darurat (emergency) seluruh Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) wajib memberikan pelayanan kepada peserta walaupun tidak memiliki perjanjian kerjasama. 4. RS/BKMM/BBKPM melaksanakan pelayanan rujukan lintas wilayah dan biayanya dapat diklaimkan oleh Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) yang bersangkutan ke Kementerian Kesehatan. Pelayanan kesehatan RJTL di BKMM/BBKPM/BKPM/ BP4/BKIM dan di Rumah Sakit, serta pelayanan Rawat Inap di Rumah Sakit yang mencakup tindakan, pelayanan obat, penunjang diagnostik, pelayanan darah serta pelayanan lainnya (kecuali pelayanan haemodialisa) dilakukan secara terpadu sehingga biaya pelayanan kesehatan diklaimkan dan diperhitungkan menjadi satu kesatuan menurut jenis paket dan tarif pelayanan kesehatan peserta Jamkesmas, atau penggunaan sistem INA-DRG, sehingga dokter berkewajiban melakukan penegakan diagnosa sebagai dasar pengajuan klaim.
B.
TUJUAN Tujuan dilakukan analisis data laporan Jamkesmas tahun 2010 adalah untuk : 1. Mengetahui gambaran kepesertaan Jamkesmas tahun 2010. 2. Mengetahui tingkat kelengkapan laporan data Jamkesmas tahun 2010 3. Mengetahui gambaran penyakit pada peserta Jamkesmas tahun 2010. 4. Mengetahui tingkat pemanfaatan Jamkesmas untuk kegiatan-kegiatan yang berdampak terhadap pencapaian target MDGs pada ibu dan anak tahun 2010.
3
C.
METODOLOGI 1. Sumber Data Data analisis diperoleh dari laporan penyelenggaraan Jamkesmas 2010 yang bersumber dari Sistem Informasi Jamkesmas-P2JK dan website pelaporan Jamkesmas. Untuk data laporan pemanfaatan pelayanan dasar, Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) dan Rawat Inap Tingkat Pertama (RITP) merupakan laporan kegiatan tahun 2010 yang diterima hingga bulan Maret 2011. Laporan puskesmas ini dilaporkan oleh Tim Pengelola Jamkesmas Dinas Kesehatan/Kota melalui halaman website dan laporan paperbase. Sedangkan data laporan pemanfaatan pelayanan kesehatan lanjut, diperoleh dari data klaim RS data laporan pelaksanaan Jamkesmas tahun 2010 yang diterima hingga bulan Juli 2011. 2. Metode Analisis Analisis data Jamkesmas merupakan analisis deskriptif dengan menggunakan data sekunder dari laporan Jamkesmas yang ada pada Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan (P2JK), dan data pendukung dari sumber lain.
D.
HASIL ANALISIS 1. Kepesertaan Jaminan Kesehatan a. Situasi Kepesertaan Jaminan Kesehatan Penduduk Indonesia berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 sebanyak 237.556.363 jiwa, data Kementerian Kesehatan tahun 2010 menunjukkan bahwa penduduk Indonesia yang telah memiliki Jaminan Kesehatan adalah 60,24% atau sejumlah 142.179.507 jiwa, dan 39,76% atau 95.376.856 penduduk yang belum memiliki jaminan Kesehatan. Grafik 1. Distribusi Penduduk Dengan Kepemilikan Jamkes Tahun 2010
Sumber : P2JK
Dari porsi penduduk yang telah memiliki jaminan kesehatan tersebut 53,7% merupakan peserta jaminan kesehatan yang dilindungi oleh program Jamkesmas, 12,4% dilindungi oleh jaminan kesehatan Askes PNS, TNI, dan Polri, 4,6% dilindungi oleh jaminan kesehatan perusahaan, 2% dilindungi oleh jaminan kesehatan swasta lainnya, dan sebesar 22,6% dilindungi oleh jaminan kesehatan daerah (Jamkesda). Seperti tampak pada gambar di bawah :
4
Grafik 2. Proporsi Peserta Menurut Jenis Jaminan Kesehatan Tahun 2010
Sumber : P2JK
Dalam rangka memperluas cakupan kepesertaan diluar kuota yang tercakup dalam program Jamkesmas dan sebagai bentuk tanggung jawab dan kepedulian pemerintah daerah pada masyarakat miskin, pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota yang memiliki kemampuan sumber daya yang memadai telah mengembangkan program Jamkesda. Terdapat 335 Kab/Kota atau 67,4% dari 497 Kabupaten/Kota di Indonesia, yang telah memberikan jaminan kesehatan bagi penduduknya melalui program Jamkesda2. b. Kepesertaan Jamkesmas Berdasarkan Pendataan Sosial Ekonomi tahun 2005 (PSE 2005) diperoleh rumah tangga miskin (RTM) di Indonesia sebanyak 19,1 juta atau sekitar 76,4 juta jiwa, jumlah ini digunakan sebagai dasar penentuan sasaran peserta Jamkesmas. Proporsi terhadap jumlah penduduk hasil sensus penduduk tahun 2010 adalah 32,16%. Hingga tahun 2010 sebanyak 72.049.380 (98%) kartu telah distribusikan oleh PT. ASKES dari total target sebesar 73.726.290 jiwa kepesertaan berdasarkan surat keputusan bupati/walikota. Sedangkan sisanya sebanyak 2.673.710 diperuntukan untuk gelandangan, pengemis, anak terlantar, panti sosial, penghuni rutan/lapas, korban bencana pasca tanggap darurat, pasien Program Keluarga Harapan (PKH) yang tidak diberi kartu Jamkesmas.
100.00 2.90 1.64 6.70 8.08 5.28 51.84 23.55
Sumatera Jawa-Bali Kalimantan Sulawesi
Nusa Tenggara
Maluku
Papua
Total
Grafik 3. Proporsi Peserta Jamkesmas Menurut Wilayah Pembangunan dan Jenis Kelamin Tahun 2010 Perempuan
49.84
Laki-laki
50.16
Perempuan 45.57 Laki-laki
54.43
Perempuan
48.58
Laki-laki
51.42
Perempuan
49.73
Laki-laki
50.27
Perempuan
47.81
Laki-laki
52.19
Perempuan
48.23
Laki-laki
51.77
Perempuan
50.79
Laki-laki
49.21
Perempuan
49.45
Laki-laki
45.00
50.55 46.00
47.00
48.00
49.00
50.00
51.00
52.00
53.00
54.00
55.00
Sumber : Laporan PT. Askes 2010
5
Dari grafik di atas tampak porsi paling tinggi peserta jamkesmas berada di wilayah Jawa-Bali (51,8%) dan diikuti dengan wilayah Sumatera (23,5%). Secara total tidak tampak kesenjangan yang bermakna kepesertaan Jamkesmas menurut jenis kelamin. Namun bila dilihat berdasarkan wilayah kerja pembangunan tampak kesenjangan kepesertaan perempuan terhadap laki-laki, pada wilayah Papua sebanyak 8,8%, wilayah Sulawesi kesenjangan sebanyak 4,38%, wilayah Kalimantan 3,55% dan wilayah Maluku 2,84%. Bila dilihat lebih jauh, proporsi peserta menurut jenis kelamin terhadap jumlah penduduk berdasarkan wilayah pembangunan tahun 2010 seperti tampak pada tabel 1 di bawah, masih terlihat ada kesenjangan kepesertaan perempuan terhadap laki-laki. Kesenjangan tertinggi terjadi pada wilayah Papua (3,1%) dan Sulawesi (3,1%) kemudian diikuti wilayah Nusa Tenggara (2,4%). Tabel 1. Proporsi Peserta Jamkesmas Terhadap Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Wilayah Pembangunan Tahun 2010
Wilayah Pembangunan
Jumlah Penduduk 2010
Laki-laki Perempuan Kalimantan 7,108,546 6,679,285 Sulawesi 8,660,444 8,711,338 Maluku 1,306,870 1,264,723 Papua 1,908,281 1,685,522 Nusa Tenggara 4,510,133 4,673,906 Sumatera 25,654,627 24,976,304 Jawa-Bali 70,482,012 70,019,335 Total 119,630,913 118,010,413
Kesenjangan Proporsi Peserta Perempuan Terhadap Laki-laki Laki-laki Perempuan % 27.7 27.5 0.2 35.1 32.0 3.1 46.5 45.4 1.1 59.7 56.6 3.1 53.8 51.4 2.4 33.4 33.6 -0.2 26.1 27.1 -1.0 30.2 30.4 -0.2
Kesenjangan Proporsi (%) Peserta Peserta Jamkesmas Jumlah Peserta Jamkesmas Perempuan Terhadap Jumlah Terhadap Penduduk Laki-laki Laki-laki Perempuan 1,969,178 1,834,341 3,040,021 2,785,130 607,407 573,906 1,138,933 953,367 2,427,941 2,402,210 8,575,835 8,388,572 18,382,149 18,970,390 36,141,464 35,907,916
Jumlah 134,837 254,891 33,501 185,566 25,731 187,263 -588241 233,548
Sumber : BPS, sensus penduduk 2010 dan Laporan PT. Askes 2010
Kesenjangan ini perlu dikaji lebih lanjut apakah hal ini dapat berdampak terhadap pencapaian target program kesehatan pada maternal. Grafik 4. Proporsi Peserta Jamkesmas Menurut Kelompok Umur 3%
21%
20%
56%
0-5 tahun Sumber : P2JK
6
6-14 tahun
15-49 tahun
> 50 tahun
Dari grafik 4 di atas tampak proporsi kelompok umur terbesar peserta Jamkesmas adalah kelompok umur 15-49 tahun (56%), diikuti oleh kelompok umur > 50 tahun (21%). Proporsi kelompok umur 0-14 tahun sebanyak 23%, jumlah ini sedikit lebih rendah dari proporsi kelompok umur penduduk 0-14 tahun (28,8%) hasil sensus penduduk 2010 oleh BPS. 2. Kelengkapan Laporan Rawat Jalan Tingkat Pertama dan Rawat Inap Tingkat Pertama Untuk mengetahui pemanfaatan Jamkesmas berdasarkan laporan data, perlu diketahui tingkat kelengkapan laporannya. Berdasarkan hasil laporan yang ada pada rawat jalan tingkat pertama (RJTP) terlihat bahwa tidak seluruh kabupaten/ kota dan puskesmas yang ada pada setiap provinsi melaporkan jumlah kunjungan peserta jamkesmas, dari 33 Provinsi sebanyak 23 Provinsi (69,7%) yang melapor, dari 497 Kabupaten/Kota sebanyak 216 Kabupaten/Kota (43,4%) yang melaporkan jumlah kunjungan RJTP dan dari total 8.799 Puskesmas sebanyak 2.967 Puskesmas (33,7%) yang melapor, adapun kelengkapan laporan dari masing-masing Provinsi dapat terlihat sebagai berikut : Tabel 2. Kelengkapan Laporan RJTP Dari Provinsi Yang Melapor Tahun 2010
Sumber : P2JK
7
Dari tabel di atas terlihat bahwa kisaran kelengkapan laporan RJTP kabupaten/kota dari provinsi yang melapor berada antara 100% - 5,26% rata-rata 62,83%, sedangkan laporan RJTP puskesmas antara 93,42% - 1,65% dengan ratarata 50,27%. Sebanyak 7 Provinsi persentase pelaporan RJTP Kabupaten Kota di bawah 50%, dan laporan Puskesmas sebanyak 11 Provinsi dibawah 50%. Kelengkapan laporan Kabupaten/Kota terendah adalah Provinsi Sumatera Barat (5,26%), sedangkan laporan Puskesmas terendah adalah Provinsi Sumatera Selatan (1,65%). Adapun distribusi kelengkapan laporan RJTP Kabupaten/Kota dan kelengkapan Puskesmas yang melaporkan RJTP dapat terlihat dalam grafik berikut : Grafik 5. Persentase Kabupaten/Kota Yang Melapor RJTP Menurut Provinsi Tahun 2010
Sumber : P2JK
Pada grafik 5 di atas tampak bila dibandingkan terhadap 33 provinsi, maka kelengkapan laporan RJTP Kabupaten/ kota secara nasional hanya 44,96%. Grafik 6. Persentase Puskesmas yang melapor RJTP Menurut Provinsi Tahun 2010
Sumber : P2JK
8
Pada grafik 6 di atas tampak kelengkapan laporan RJTP puskesmas bila dibandingkan terhadap 33 provinsi, maka secara nasional hanya 48,09%. Seperti halnya pada rawat jalan tingkat pertama, pada pelaporan rawat inap tingkat pertama (RITP) juga tidak seluruh Provinsi melapor, dari 33 Provinsi sebanyak 20 Provinsi (60,6%) yang melapor, dari 497 Kabupaten/Kota sebanyak 164 Kabupaten/Kota (32,9%) yang melaporkan jumlah kunjungan rawat inap tingkat pertama dan dari 2920 Puskesmas Perawatan, yang melaporkan jumlah kunjungan rawat inap tingkat pertama adalah sebanyak 953 Puskesmas (32,6%), hal ini dapat dilihat pada tabel 3 berikut : Tabel 3. Kelengkapan Laporan RITP Jamkesmas Puskesmas Tahun 2010
Sumber : P2JK
Dari tabel 3 di atas terlihat bahwa kisaran kelengkapan laporan RITP kabupaten/kota dari provinsi yang melapor berada antara 100% - 6,67% rata-rata 52,13%, sedangkan laporan RITP puskesmas antara 82,61% - 1,22% dengan rata-rata 42,03%. Sebanyak 8 Provinsi persentase pelaporan RITP Kabupaten Kota di bawah 50%, dan laporan Puskesmas sebanyak 11 Provinsi di bawah 50%. Kelengkapan laporan Kabupaten/Kota terendah adalah Provinsi Sumatera Selatan (6,67%), demikian pula untuk laporan Puskesmas yang terendah adalah Provinsi Sumatera Selatan (1,22%). 9
10 50
40
20
10
0 31.51
19.09
80
64.20
9.09
25
64.29
55.56
46.15 42.86
34.21
29.17
80
78.95 71.43
64.29
71.43 63.64
57.14
73.91
100
100
23.66 37.63
82.61
82.14
30
31.25
90
51.26
38.46
40
30.38
50
32.14 28.37
30
39.66
100
81.13
10
55.56 57.69
54.55
60
6.67
70
5.88
60
1.22
70
50.85
10
20
12.86
0 Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Kepulauan Riau Riau Bengkulu Lampung Banten Jawa Barat DKI Jakarta Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Jawa Tengah Bali Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tengah Gorontalo Sulawesi Utara Kalimantan Selatan kalimantan Tengah Kalimantan Barat Kalimantan Timur Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Nasional
80
53.45
90
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Kepulauan Riau Riau Bengkulu Lampung Banten Jawa Barat DKI Jakarta Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Jawa Tengah Bali Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tengah Gorontalo Sulawesi Utara Kalimantan Selatan kalimantan Tengah Kalimantan Barat Kalimantan Timur Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat Nasional
Grafik 7 :Persentase Kabupaten/Kota Yang Melapor RITP Menurut Provinsi Tahun 2010
Sumber : P2JK
Pada grafik 7 di atas tampak kelengkapan laporan RITP puskesmas bila dibandingkan terhadap 33 provinsi, maka secara nasional hanya 34,21%. Grafik 8 : Persentase Puskesmas yang melapor RITP Menurut Provinsi Tahun 2010
Sumber: P2JK
Terlihat pada grafik 8 di atas kelengkapan laporan RITP puskesmas bila dibandingkan terhadap 33 provinsi, maka secara nasional hanya 31,51%.
3. Distribusi Anggaran Jamkesmas Untuk Pelayanan Dasar Tingkat pendistribusi anggaran Jamkesmas pelayanan dasar (puskesmas) secara nasional mencapai 98,91%, pada 21 Provinsi (63,6%) sangat baik (100%), sedangkan 12 Provinsi lainnya masih terdapat sisa anggaran namun demikian pendistribusian anggaran rata-rata sudah diatas 50%, hanya 1 Provinsi yaitu Provinsi Papua Barat yang pendistribusinya di bawah 50%, hal ini dapat dilihat pada tabel 4 berikut : Tabel 4. Distribusi Penyaluran Dana Jamkesmas Tingkat Pelayanan Dasar Tahun 2010
Sumber : Ditjen Bina GIZI/KIA
Bila dibandingkan tingkat distribusi anggaran Jamkesmas dengan kelengkapan laporan data puskesmas di tingkat Kabupaten/Kota, tampak kesenjangan yang mencolok. Persentase laporan data puskesmas baik rawat inap maupun rawat jalan tampak sangat rendah dibandingkan dengan persentase distribusi anggaran, seperti tampak pada grafik 8 dan 9. Persentase laporan rawat jalan tampak relatif lebih baik daripada laporan rawat inap.
11
Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Jambi Sumatera Selatan Bangka Belitung Kepulauan Riau Riau Bengkulu Lampung Banten Jawa Barat DKI Jakarta Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Jawa Tengah Bali Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tengah Gorontalo Sulawesi Utara Kalimantan Selatan kalimantan Tengah Kalimantan Barat Kalimantan Timur Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
20
10
12 9 5.9
50
40
Sumber : P2JK dan Ditjen Bina GIZI/KIA
% Distribusi anggaran
% Kab/Kota lapor
% PKM Perawatan lapor 25 19.1
46
37.6
43
64.2 80
64
100
100 100 100
100
100
100
100
99.9
100
99.6
99
98.9
100
98.2
100
97.9
% Kab/Kota lapor
91.7
82.6
71 82.1
79
100
99.9
100
100
100
% Distribusi Anggaran
56
51.3
64
100
Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat
Bali Kalimantan Selatan Kalimantan Tengah Kalimantan Barat Kalimantan Timur Sulawesi Selatan Sulawesi Barat Sulawesi Tengah Gorontalo Sulawesi Tenggara Sulawesi Utara
Kepulauan Riau Bangka Belitung Bengkulu Lampung Banten DKI Jakarta Jawa Barat D.I Yogyakarta Jawa Tengah Jawa Timur
Riau
9.1 7.2
26.1
46
63.8
61.5
55.2
71.4
100
99.9
100
100
100
100
100 100.0 100
82.7
99
98.9
100
100 100.0 98.2
100
100 89.4 100.0 100
100
100
97.9 100.0 100
99.6
88.9 100 100 93.4100.0 91.7
85.7 79.0
73.9
100
100
100
100
99.9
96
85.793.3100 100
81.8
74.4
78.3
64.3 73.6
51.557.1
45.3
45.4
41.6
42.9
53.1
52.1 63.6
45.1
40.0
25.0 33.3
12.220.0
1.76.7
40
23.7
100
Sumatera Selatan
Jambi
30
31.3 46
90
57.7 71 97.9 64 81.1 100
57 55.6
100
100
5.3 7.6
10
100
Sumatera Barat
13.3
50
32.1 29 28.4
30 100
Aceh
70
30.438
60
39.7
70
1.27
80
Sumatera Utara
20
55 50.8
100 99.5
60
10 12.9
80
96
90
74
100
53.4
Grafik 9. Perbandingan Persentase Distribusi Anggaran Dengan Persentase Laporan RJTP Kabupaten/Kota dan Puskesmas Tahun 2010
0
% PKM lapor
Sumber : P2JK dan Ditjen Bina GIZI/KIA
Dari grafik 9 di atas tampak ada ada 10 provinsi yang telah didistribusikan anggaran Jamkesmas namun tidak ada laporan data RJTP dari Kabupaten/Kota maupun dari puskesmas yaitu provinsi Banten, DKI Jakarta, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat. Penyebab kesenjangan % distribusi anggaran dan % kelengkapan laporan pada RJTP dan RITP adalah kemungkinan karena anggaran yang didistribusikan oleh Kementerian Kesehatan, tidak dapat dimanfaatkan/ diserap oleh Puskesmas. Hal ini kemungkinan karena mekanisme pertanggungjawaban anggaran Jamkesmas yang tidak mudah, sehingga puskesmas enggan memanfaatkannya. Grafik 10. Perbandingan Persentase Distribusi Anggaran Dengan Persentase Laporan RITP Kabupaten/Kota dan Puskesmas Tahun 2010
0
Dari grafik 10 di atas tampak ada ada 13 provinsi yang telah didistribusikan anggaran Jamkesmas namun tidak ada laporan data RITP dari Kabupaten/Kota maupun dari puskesmas yaitu provinsi Sumatera Barat, Bengkulu, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat. Rendahnya dan tidak adanya laporan RITP, kemungkinan disebabkan rendahnya minat peserta Jamkesmas untuk dirawat di puskesmas perawatan, kemungkinan lain karena kemampuan puskesmas perawatan untuk merawat inap pasien masih rendah. Sehingga kemungkinan kasus-kasus yang seharusnya dapat dirawat di tingkat pelayanan dasar (Puskesmas Perawatan) akan ditemukan dirawat di tingkat pelayanan rujukan (RS). 4. Sepuluh (10) Besar Penyakit Rawat Jalan Tingkat Pertama di Puskesmas Tahun 2010 Berikut adalah gambaran distribusi 10 besar penyakit berdasarkan laporan data RJTP di puskesmas dari 23 provinsi yang melapor. Grafik 11 . Sepuluh Besar Penyakit RJTP Tahun 2010
Sumber : P2JK
Dari seluruh laporan yang ada terlihat bahwa jumlah kasus terbanyak adalah infeksi akut lain pada saluran pernapasan bagian atas dengan jumlah kasus sebanyak 2.522.113 kasus dan jumlah kasus terendah adalah penyakit kulit infeksi dengan jumlah kasus sebanyak 359.454 kasus. Tampak penyakit menular masih mendominasi pola penyakit pada peserta Jamkesmas. 5. Sepuluh (10) Besar Penyakit Rawat Inap Tingkat Pertama di Puskesmas Tahun 2010 Gambaran 10 besar penyakit RITP di puskesmas tahun 2010 bersumber dari laporan 20 provinsi sebagai berikut. Grafik 12. Distribusi 10 Besar Penyakit RITP Tahun 2010
Sumber : P2JK
13
6. Pemanfaatan Jamkesmas Untuk Kesehatan Ibu dan Bayi di Pelayanan Kesehatan Dasar (Puskesmas) Tahun 2010 a. Kelengkapan Laporan Kunjungan Ibu Hamil, Ibu Hamil Dirujuk, Persalinan Ditolong Tenaga Kesehatan dan Kunjungan Bayi Baru Lahir (KN) Peserta Jamkesmas di Puskesmas Tahun 2010 Dari 33 Provinsi yang ada terdapat 25 Provinsi (75,7%) yang melaporkan pelayanan kesehatan ibu dan bayi secara on line, sedangkan yang melaporkan secara manual sebanyak 7 Provinsi sehingga total 96,9% (32 dari 33 provinsi), dan 1 Provinsi laporannya tidak masuk ke P2JK yaitu DKI Jakarta. Adapun kelengkapan laporan yang masuk adalah sebagai berikut : Tabel 5. Distribusi Kelengkapan Laporan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Bayi Tahun 2010.
Sumber : P2JK
14
Laporan di atas bila dibandingkan persentase kelengkapannya menurut kabupaten/kota yang lapor dan puskesmas yang lapor, tampak kelengkapan puskesmas yang lapor lebih rendah. Hal ini kemungkinan karena tidak ada peserta Jamkesmas yang mendapat pelayanan kesehatan ibu dan bayi tersebut, atau puskesmas tidak / belum melapor. Terdapat tujuh provinsi yang laporan puskesmasnya tidak ada namun laporan kabupaten/ kota ada, hal ini karena laporan dilakukan secara manual (paperbase). Secara nasional Kelengkapan laporan masih rendah untuk kabupaten/kota 63% dan laporan puskesmas 54,3%.
100
Nasional
Papua Barat
3 0.63 9.1
Papua
Maluku
Maluku Utara
54.3
63
75 64.08 9.1
82.68
Nusa Tenggara Barat
Gorontalo
Sulawesi Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Tenggara
9.1 7.91 8.3 2.78
Sulawesi Barat
Nusa Tenggara Timur
98.82 46.67
73.93 33.3 32.67
Sulawesi Selatan
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
51.47
93.42
Kalimantan Selatan
% Kab/ Kota lapor
Kalimantan Timur
98.28
Bali
57.1 97.92
Jawa Timur
89.66
68.03
Jawa Tengah
71.32
Jawa Barat
D.I Yogyakarta
DKI Jakarta
Banten
100
100
100
100
100
100
100
100
100 80
73.1
100
100 73.62
Lampung
93.33
Riau
74.7
Bangka Belitung
Bengkulu
71.88
Sumatera Selatan
64.3
85.7
100
66.07
Jambi
Kepulauan Riau
66.05 13.3 11.93
Sumatera Barat
23.3 15.7
10.27 21.1
Sumatera Utara
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
81.8
100
Grafik 13. Persentase Kelengkapan Laporan Kesehatan Ibu dan bayi Tahun 2010
% Pkm lapor
Sumber : P2JK
Grafik 14. Cakupan Pelayanan K4 Ibu Hamil, Persalinan oleh Tenaga Kesehatan dan KN Bayi Melalui Jamkesmas Terhadap Populasi Penduduk Sasaran dan Terhadap Populasi Sasaran Masyarakat Miskin Tahun 2010
Sumber : P2JK
Dari grafik di atas tampak secara nasional pemanfaatan Jamkesmas untuk pelayanan persalinan oleh tenaga kesehatan dan kunjungan bayi (KN) masih sangat rendah (1%), sedangkan untuk kunjungan ibu hamil K4 sedikit lebih baik (4,8%). Bila dibandingkan dengan populasi kelompok sasaran pada penduduk miskin, tampak lebih baik tetapi masih rendah. Hal ini mungkin karena kelengkapan laporan secara nasional masih rendah, untuk 15
laporan kabupaten/kota 63% sedangkan laporan puskesmas 54,3%. Kemungkinan lain karena pemanfaatan Jamkesmas untuk persalinan di tingkat pelayanan dasar (puskesmas) masih rendah, karena banyak persalinan normal dilayani di tingkat pelayanan rujukan, demikian pula untuk kunjungan ibu hamil, perlu ada penelitian lebih lanjut untuk mengetahuinya. Berdasarkan data ini perlu lebih ditingkatkan pemanfaatan Jamkesmas untuk pelayanan kesehatan ibu dan bayi. 7. Sepuluh (10) Besar Penyakit di Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) Lanjutan Dari beberapa laporan yang ada terdapat beberapa provinsi diagnosa kasus bukan penyakit melainkan suatu tindakan. Bila tindakan dimasukkan kedalam diagnosa penyakit maka dapat menempati daftar 10 besar penyakit, contoh : tindakan partus lama, persalinan normal, dan perawatan bayi lahir sehat di Puskesmas. Berdasarkan laporan RS yang dilaporkan ke Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan (P2JK), terdapat laporan dari 28 Provinsi baik. Berdasarkan laporan yang masuk ke P2JK sampai dengan bulan Juli persentase RS yang melapor secara nasional adalah 69,75%. Lengkapnya dapat dilihat pada grafik di bawah. Grafik 15. Persentase Kelengkapan Laporan Jamkesmas Pelayanan Rujukan (RS) Tahun 2010
Sumber : P2JK laporan RS s/d Juli 2011
a. Sepuluh (10) Besar Penyakit Rawat Inap Pada PPK Lanjutan Khusus Pola penyakit rawat inap pada PPK lanjutan khusus berdasarkan laporan yang ada terlihat bahwa jumlah kasus terbanyak adalah Paranoid schizophrenia dengan jumlah kasus sebanyak 4.659 kasus. Sedangkan jumlah kasus terendah yaitu acute schizophrenia like psycosic disorder dengan jumlah kasus sebanyak 145 kasus. Adapun pola 10 besar penyakit dapat dilihat pada grafik berikut : Grafik 16. Pola Penyakit Rawat Inap Pada PPK Lanjutan Khusus Tahun 2010
16
Sumber : P2JK
b. Sepuluh (10) Besar Pola Penyakit Rawat Inap Pada PPK Lanjutan Umum Pola penyakit rawat inap pada PPK lanjutan umum berdasarkan laporan yang ada terlihat bahwa jumlah kasus terbanyak adalah Diarrhoea and gastroenteritis of presumed infectious origin dengan jumlah kasus sebanyak 4.659 kasus, sedangkan jumlah kasus terendah yaitu Thalassaemia unpecified jumlah kasus sebanyak 6.391 kasus. Adapun pola tersebut dapat dilihat pada grafik berikut : Grafik 17. Pola Penyakit Rawat Inap Pada PPK Lanjutan Umum Tahun 2010
Sumber : P2JK
Tampak pada grafik di atas penyakit menular masih mendominasi kasus rawat inap penyakit pada pengguna Jamkesmas. Terdapat kasus-kasus yang seharusnya dapat ditangani di tingkat pelayanan dasar, seperti diare, dan partus tunggal spontan. c. Sepuluh (10) Besar Pola Penyakit Rawat Jalan Pada PPK Lanjutan Khusus Pola penyakit rawat jalan pada PPK lanjutan khusus berdasarkan laporan yang ada terlihat bahwa jumlah kasus terbanyak adalah personal history of other mental and behavioural disorders dengan jumlah kasus sebanyak 26.691 kasus, sedangkan jumlah kasus terendah yaitu personal history of diseases of the nervous system and sense organs dengan jumlah kasus sebanyak 587 kasus. Adapun distribusi penyakit dapat dilihat pada grafik berikut : Grafik 18. Pola Penyakit Rawat Jalan Pada PPK Lanjutan Khusus Tahun 2010
Sumber : P2JK
17
d. Sepuluh (10) Besar Pola Penyakit Rawat Jalan Pada PPK Lanjutan Umum Pola penyakit rawat jalan pada PPK lanjutan umum berdasarkan laporan yang ada terlihat bahwa jumlah kasus terbanyak adalah extracorporeal dialysis dengan jumlah kasus sebanyak 52.645 kasus, sedangkan jumlah kasus terendah yaitu personal history of diseases of the nervous system and sense organs dengan jumlah kasus sebanyak 17.432 kasus. Tampak penyakit yang mendominasi kasus rawat jalan di PPK lanjutan umum adalah penyakit tidak menular. Pola penyakit dapat dilihat pada grafik berikut : Grafik 19. Pola Penyakit Rawat Jalan Pada PPK Lanjutan Umum Tahun 2010
Sumber : P2JK
e. Sepuluh (10) Besar Penyakit Rawat Jalan Pada Kelompok Umur 0 – 5 Tahun di PPK Lanjutan Umum Pola penyakit rawat jalan kelompok umur 0 – 5 tahun pada PPK lanjutan umum dari laporan yang ada terlihat bahwa jumlah kasus terbanyak adalah Acute upper respiratory infection unspecified dengan jumlah kasus sebanyak 1.243 kasus, sedangkan jumlah kasus terendah yaitu personal historyof diseases of the respiratory system dengan jumlah kasus sebanyak 405 kasus. Penyakit pada kelompok umur ini didominasi oleh penyakit menular. Pola penyakit dapat dilihat pada grafik berikut : Grafik 20. Penyakit Rawat Jalan Kelompok Umur 0 – 5 Tahun Pada PPK Lanjutan Umum Tahun 2010
Sumber : P2JK
18
f. Sepuluh (10) Besar Pola Penyakit Rawat Jalan Pada Kelompok Umur 6 -14 Tahun di PPK Lanjutan Umum Pola penyakit rawat jalan kelompok umur 6 – 14 tahun pada PPK lanjutan umum berdasarkan laporan terlihat bahwa jumlah kasus terbanyak adalah TB of lung without mention of bacteriological or hitologikal confirmation dengan jumlah kasus sebanyak 1.727 kasus, sedangkan jumlah kasus terendah yaitu Typoid fever dengan jumlah kasus sebanyak 558 kasus. Penyakit menular mendominasi kasus penyakit pada kelompok umur ini. Pola penyakit dapat dilihat pada grafik berikut : Grafik 21. Penyakit Rawat Jalan Kelompok Umur 6 -14 Tahun Pada PPK Lanjutan Umum Tahun 2010
Sumber : P2JK
g. Sepuluh (10) Besar Pola Penyakit Rawat Jalan Pada Kelompok Umur 15 – 49 Tahun di PPK Lanjutan Umum Pola penyakit rawat jalan kelompok umur 15 – 49 tahun pada PPK lanjutan umum berdasarkan laporan terlihat bahwa jumlah kasus terbanyak adalah Extracorporeal dialysis dengan jumlah kasus sebanyak 10.977 kasus, sedangkan jumlah kasus terendah yaitu Asthma unspecified dengan jumlah kasus sebanyak 3.106 kasus. Pada kelompok umur ini, penyakit tidak menular mendominasi. Adapun pola penyakit dapat dilihat pada grafik berikut : Grafik 22. Penyakit Rawat Jalan Kelompok Umur 15 -49 Tahun di PPK Lanjutan Umum Tahun 2010
Sumber : P2JK
19
h. Sepuluh (10) Besar Pola Penyakit Rawat Jalan Pada Kelompok Umur > 50 Tahun di PPK Lanjutan Umum Pola penyakit rawat jalan kelompok umur > 50 tahun pada PPK lanjutan umum berdasarkan laporan terlihat bahwa jumlah kasus terbanyak adalah Essential (primary) hypertension dengan jumlah kasus sebanyak 4.683 kasus, sedangkan jumlah kasus terendah yaitu Congestive heart failure dengan jumlah kasus sebanyak 1.443 kasus. Pada kelompok umur ini penyakit tidak menular mendominasi kasus rawat jalan. Pola penyakit dapat dilihat pada grafik berikut : Grafik 23. Pola Penyakit Rawat Jalan Kelompok Umur > 50 Tahun di PPK Lanjutan Umum Tahun 2010
Sumber : P2JK
i.
Sepuluh (10) Besar Pola Penyakit Rawat Inap Kelompok Umur 0 - 5 Tahun di PPK Lanjutan Umum Pola penyakit rawat inap kelompok umur 0 - 5 tahun pada PPK lanjutan umum berdasarkan laporan terlihat bahwa jumlah kasus terbanyak adalah Diarrhoea and gastroenteritis of presumed infectious origin dengan jumlah kasus sebanyak 9.008 kasus. Sedangkan jumlah kasus terendah yaitu Thalassaemia, unspecified dengan jumlah kasus sebanyak 1.724 kasus. Pola penyakit dapat dilihat pada grafik berikut : Grafik 24. Pola Penyakit Rawat Inap Kelompok Umur 0 - 5 Tahun di PPK Lanjutan Umum Tahun 2010
Sumber : P2JK
20
j.
Sepuluh (10) Besar Pola Penyakit Rawat Inap Pada Kelompok Umur 6 - 14 Tahun di PPK Lanjutan Umum Pola penyakit rawat inap kelompok umur 6 - 14 tahun pada PPK lanjutan umum berdasarkan laporan terlihat bahwa jumlah kasus terbanyak adalah Dengue haemorrhagic fever dengan jumlah kasus sebanyak 7.146 kasus, sedangkan jumlah kasus terendah yaitu Asthma, unspecified dengan jumlah kasus sebanyak 760 kasus. Pada kelompok umur ini penyakit menular mendominasi kasus rawat inap. Pola penyakit dapat dilihat pada grafik berikut : Grafik 25. Penyakit Rawat Inap Kelompok Umur 6 - 14 tahun di PPK Lanjutan Umum Tahun 2010
Sumber : P2JK
k. Sepuluh (10) Besar Pola Penyakit Rawat Inap Kelompok Umur 15 - 49 tahun di PPK Lanjutan Umum Pola penyakit rawat inap kelompok umur 15 - 49 tahun pada PPK lanjutan umum terlihat bahwa jumlah kasus terbanyak adalah Single spontaneous delivery, unspecified dengan jumlah kasus sebanyak 14.705 kasus, sedangkan jumlah kasus terendah yaitu Chemotherapy session for neoplasm dengan jumlah kasus sebanyak 4.247 kasus. Pola penyakit dapat dilihat pada grafik berikut : Grafik 26. Pola Penyakit Rawat Inap Kelompok Umur 15 - 49 tahun di PPK Lanjutan Umum Tahun 2010
Sumber : P2JK
21
l.
Sepuluh (10) Besar Pola Penyakit Rawat Inap Kelompok Umur > 50 tahun di PPK Lanjutan Umum Pola penyakit rawat inap kelompok umur > 50 tahun pada PPK lanjutan umum terlihat bahwa jumlah kasus terbanyak adalah Essential (primary) hypertension dengan jumlah kasus sebanyak 5.788 kasus, sedangkan jumlah kasus terendah yaitu Cerebral infarction, unspecified dengan jumlah kasus sebanyak 2.062 kasus. Penyakit tidak menular mendominasi pada kelompok umur ini. Pola penyakit dapat dilihat pada grafik berikut : Grafik 27. Pola Penyakit Rawat Inap Kelompok Umur > 50 tahun di PPK Lanjutan Umum Tahun 2010
Sumber : P2JK
8. Kasus HIV-AIDS Berdasarkan laporan RS yang ada di Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan terdapat pemanfaatan Jamkesmas untuk kasus HIV/AIDS. Jumlah kasus HIV/AIDS pada pelayanan Rawat Inap tahun 2010 sebanyak 361 kasus. Dengan jumlah kasus tertinggi adalah unspecified human immunodeficiency Virus (HIV) disease sebanyak 181 kasus. Pola penyakit tampak pada grafik berikut. Grafik 28. Distribusi Kasus HIV/AIDS Rawat Inap Tahun 2010
Sumber : P2JK
22
Sedangkan laporan kasus HIV/AIDS pada pelayanan Rawat Jalan tahun 2010 sebanyak 880 kasus. Kasus terbanyak adalah HIV disease resulting in mycobacterial infection sebanyak 628 kasus, seperti terlihat pada grafik berikut : Grafik 29. Distribusi Kasus HIV/AIDS Rawat jalan Tahun 2010
Sumber : P2JK
E.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan : 1. Kepesertaan Jaminan Kesehatan Tahun 2010. a. Penduduk Indonesia yang telah memiliki jaminan kesehatan sebanyak 60,24% (142.179.507 jiwa), dan 39,76% (95.376.856 jiwa) belum memiliki. b. 53,7% jaminan kesehatan penduduk bersumber dari Jamkesmas. 67,4% Kabupaten/kota telah memberi jaminan kesehatan penduduknya melalui Jamkesda. c. Porsi tertinggi (51,8%) peserta Jamkesmas ada di wilayah pembangunan Jawa-Bali. d. Terdapat kesenjangan proporsi peserta Jamkesmas perempuan terhadap laki-laki di wilayah pembangunan Papua 8,8%, wilayah Sulawesi 4,4% wilayah Kalimantan 3,55% dan wilayah Maluku 2,84%. e. Kesenjangan Proporsi peserta menurut jenis kelamin terhadap jumlah penduduk tertinggi terjadi pada wilayah Papua (3,1%) dan Sulawesi (3,1%), diikuti wilayah Nusa Tenggara (2,4%). f. Proporsi kelompok umur terbesar peserta Jamkesmas adalah kelompok umur 15-49 tahun (56%), diikuti oleh kelompok umur > 50 tahun (21%). 2. Kelengkapan laporan Puskesmas Tahun 2010. a. Rawat jalan Tingkat Pertama (RJTP) Persentase provinsi yang melapor 69,7% (23 dari 33 provinsi). Presentase kabupaten/kota yang melapor 43,46% (216 dari 497 kabupaten/kota). Dari 23 provinsi yang lapor kisaran kelengkapan laporan antara 100% - 5,26%, rata-rata 62,83%. Persentase puskesmas yang melapor 33,7% (2.967 dari 8.799 Puskesmas). Dari 23 provinsi yang lapor kisaran kelengkapan laporan antara 93,42% - 1,65%, rata-rata 50,27%. b. Rawat inap Tingkat Pertama (RITP) Tahun 2010. Persentase provinsi yang melapor 60,6% (20 dari 33 provinsi). Presentase kabupaten/kota yang melapor 32,9% (164 dari 497 kabupaten/kota). Dari 20 provinsi yang lapor kisaran kelengkapan laporan antara 100% - 6,67% rata-rata 52,13%. Persentase puskesmas perawatan yang melapor 32,6% (953 dari 2920 Puskesmas Perawatan). Dari 20 provinsi yang lapor kisaran kelengkapan laporan antara 82,61% - 1,22% dengan rata-rata 42,03%. 23
3. Tingkat distribusi anggaran Jamkesmas tahun 2010 secara nasional mencapai 98,91%, kisaran distribusi anggaran tiap provinsi antara 100% - 46,02%. 4. Terdapat kesenjangan kelengkapan laporan data dengan distribusi anggaran tahun 2010, laporan data jauh lebih rendah dari distribusi anggaran yang didistribusiikan. 5. Penyakit terbanyak RJTP tahun 2010 adalah infeksi akut lain pada saluran pernapasan bagian atas. Secara nasional penyakit menular masih mendominasi RJTP. 6. Penyakit terbanyak RITP tahun 2010 adalah infeksi akut lain pada saluran pernapasan bagian atas. Secara nasional penyakit menular masih mendominasi RITP. 7. Pemanfaatan Jamkesmas untuk kunjungan ibu hamil, ibu hamil dirujuk, persalinan ditolong tenaga kesehatan dan kunjungan bayi baru lahir (KN) di puskesmas tahun 2010 secara nasional masih rendah. Dari laporan didapat : a. Kelengkapan laporan provinsi 96,9% ( 32 dari 33 provinsi). Secara nasional Kelengkapan laporan kabupaten/kota 63% dan laporan puskesmas 54,3%. b. Pemanfaatan kartu Jamkesmas oleh Ibu hamil untuk ANC (K4) sebanyak 554.034 kunjungan atau 4,8% dari total populasi ibu hamil. Terhadap ibu hamil miskin dan hampir miskin persentase kunjungan ibu hamil (K4) memanfaatkan jamkesmas sebesar 34,53%. c. Pemanfaatan kartu Jamkesmas untuk rujukan Ibu hamil sebanyak 184.008 kunjungan atau 9,6% dari total populasi ibu hamil. d. Pemanfaatan kartu Jamkesmas untuk persalinan oleh tenaga kesehatan sebanyak 368.088 kunjungan atau 1% dari total sasaran ibu bersalin, namun terhadap ibu bersalin miskin dan hampir miskin persentase terlayani pelayanan jamkesmas sebesar 23,97%. e. Pemanfaatan kartu Jamkesmas untuk KN sebanyak 430.796 kunjungan atau 1% dari total populasi bayi, namun terhadap bayi miskin dan potensial miskin persentase terlayani pelayanan jamkesmas sebesar 29,44%. 8. Penyakit terbanyak pada rawat inap di PPK lanjutan khusus tahun 2010 adalah Paranoid schizophrenia. 9. Penyakit terbanyak pada rawat inap di PPK lanjutan umum tahun 2010 adalah Diarrhoea and gastroenteritis of presumed infectious origin. Penyakit menular masih mendominasi kasus rawat inap di PPK lanjutan umum. 10. Penyakit terbanyak pada rawat jalan di PPK lanjutan khusus tahun 2010 adalah personal history of other mental and behavioural disorders. 11. Penyakit terbanyak rawat jalan di PPK lanjutan umum tahun 2010 adalah extracorporeal dialysis. Penyakit tidak menular mendominasi kasus rawat jalan di PPK lanjutan umum. 12. Penyakit terbanyak pada rawat jalan kelompok umur 0 – 5 tahun di PPK lanjutan umum tahun 2010 adalah Acute upper respiratory infection unspecified. 13. Penyakit terbanyak pada rawat jalan kelompok umur 6 – 14 tahun di PPK lanjutan umum tahun 2010 adalah TB of lung without mention of bacteriological or histological confirmation. 14. Kasus terbanyak rawat jalan kelompok umur 15 – 49 tahun di PPK lanjutan umum tahun 2010 adalah Extracorporeal dialysis. 15. Penyakit terbanyak pada rawat jalan kelompok umur > 50 tahun di PPK lanjutan umum tahun 2010 adalah Essential (primary) hypertension. 16. Penyakit terbanyak pada rawat inap kelompok umur 0 - 5 tahun di PPK lanjutan umum tahun 2010 adalah Diarrhoea and gastroenteritis of presumed infectious origin. 17. Penyakit terbanyak rawat inap kelompok umur 6 - 14 tahun di PPK lanjutan umum tahun 2010 adalah Dengue haemorrhagic fever. 18. Penyakit / kasus terbanyak rawat inap kelompok umur 15 - 49 tahun di PPK lanjutan umum tahun 2010 adalah Single spontaneous delivery, unspecified. 19. Penyakit terbanyak rawat inap kelompok umur > 50 tahun di PPK lanjutan umum tahun 2010 adalah Essential (primary) hypertension. 20. Pemanfaatan Jamkesmas juga dipergunakan untuk rawat inap dan rawat jalan penderita HIV/AIDS. SARAN 1. Kelengkapan laporan data perlu ditingkatkan, dan dipantau bersama dengan laporan keuangan (penyerapan anggaran). 2. Kebijakan pertanggung-jawaban keuangan agar lebih sederhana dan tidak membebani petugas lapangan. 3. Perlu ada kebijakan untuk melaporkan data walaupun tidak ada kasus/peserta yang dilayani (Zerro report). 4. Laporan kasus hendaknya dapat dibedakan antara kasus baru dan kasus lama. 5. Perlu dilakukan kajian lebih lanjut tentang kesenjangan peserta perempuan terhadap laki-laki di wilayah pembangunan 24
timur terhadap kemungkinan pencapaian target-target MDG pada ibu dan bayi. 6. Perlu ditingkatkan upaya pemanfaatan pelayanan jamkesmas untuk mendorong pencapaian target MDG pada ibu dan bayi. Program Jaminan Persalinan (Jampersal) yang dimulai tahun 2011 sebaiknya dipantau lebih ketat, agar pemanfaatannya bisa lebih optimal. 7. Perlu lebih ditekankan tentang kebijakan kasus-kasus yang dapat dilayani di tingkat pelayanan dasar dan di tingkat pelayanan lanjut. F.
DAFTAR PUSTAKA 1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125/Menkes/SK/II/2008 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat; 2008. 2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan; Laporan Program Jamkesmas Tahun 2010. 3. Badan Pusat statistik; sensus penduduk 2010. 4. Thabrany Hasbullah; Asuransi Kesehatan Nasional; Perhimpunan Ahli Manajemen Jaminan dan Asuransi Kesehatan Indonesia; Jakarta.
25
Jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk telah dipikirkan Pemerintah Orde Baru melalui pembangunan puskesmas dan rumah sakit dengan tarif murah. Setelah krisis, di tahun 1998 Pemerintah menyediakan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dengan Program Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) tahun 1998–2001 yang didanai dari pinjaman Bank Pembangunan Asia. Penggantian pemerintahan mengubah nama program dan sumber dana dari pengurangan subsidi BBM menjadi program Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PDPSE) di tahun 2001. Kemudian program berubah lagi menjadi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS–BBM) tahun 2002–2004. Di Tahun 2005, program serupa diberi nama Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (Askeskin) karena untuk pertama kalinya dikelola secara Nasional oleh PT Askes. Tahun 2008, program ini diubah lagi menjadi Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan pengelolaannya ditangani oleh Kementerian Kesehatan, sampai sekarang. Di jaman Orde Baru, tarif layanan Puskesmas ditetapkan sama secara Nasional, yaitu sebesar Rp 100 per kunjungan termasuk obat, agar terjangkau oleh seluruh rakyat. Begitu juga tarif RS Publik ditetapkan sangat rendah agar semua rakyat dapat menjangkau layanan kesehatan. Namun demikian, tarif RS tidak sama dengan tarif Puskesmas yang sudah termasuk biaya obat. Tarif RS masih dibedakan antara biaya karcis, biaya pemeriksaan dokter, biaya laboratorium, biaya pemeriksaan radiologi, biaya obat dll. Hal ini merupakan konsep dagang layanan kesehatan. Alhasil, rakyat tidak pernah tahu biaya berobat yang harus dibayarnya sampai ia selesai berobat. Tidak jarang mereka harus meminjam uang, membayar obat sebagian, atau meminta keringanan dari pihak RS. Tentu saja, model pentarifan RS Publik semacam ini tidak akan menjamin tarif yang terjangkau. Tarif terjangkau hanya terjadi jika sebelum berobat rakyat sudah tahu pasti berapa yang harus dibayar seperti di Malaysia. Di Malaysia, semua layanan Puskesmas tetap gratis sampai sekarang, termasuk bersalin oleh dokter atau bidan. Tarif layanan rawat jalan oleh dokter spesialis di RS Publik,
26
termasuk pemeriksaan laboratorium dan obat hanya RM 1 (setara hampir Rp 3.000) sekali berobat. Sementara jika penduduk Malaysia memerlukan rawat inap, ia hanya membayar RM 3 (sekitar Rp 8.000-9.000 per hari rawat). All in!!. Meskipun ia mendapat operasi atau harus dirawat di ruang perawatan intensif, tarif yang harus dibayar penduduk Malaysia tetap RM 3. Dengan tarif seperti itu, yang diketahui oleh seluruh penduduk, karena sudah berlangsung puluhan tahun. Sejak Malaysia merdeka di tahun 1957, belum pernah terjadi pentarifan model di RS Publik di Indonesia. Maka tarif layanan kesehatan di Malaysia sudah pasti terjangkau semua rakyat. Pemerintah Malaysia menyadari bahwa kesehatan adalah hak dasar penduduk dan Pemerintah berkewajiban melayani rakyatnya. Di Indonesia, pola pikir Pemerintah dan Pemda bukan melayani rakyat, tetapi berjualan kepada rakyat.
Liberalisasi Layanan Kesehatan Tarif Puskesmas dan tarif RS Publik di Indonesia bertambah mahal sejak tahun 1990-an atas desakan lembaga keuangan internasional dan donor asing yang menganjurkan liberalisasi layanan kesehatan. Konsep pemulihan biaya (cost recovery) diperkenalkan di tahun 1990an untuk mengurangi “subsidi” RS. Rumah Sakit Publik juga diberikan kewenangan untuk membangun fasilitas privat dengan layanan swasta di sore hari dan membangun kamar perawatan berkelas-kelas sampai ruang VVIP yang sangat mahal. Konsep tarif dan layanan berkelas ini memang konsep pasar, konsep jualan yang tidak terjadi di Malaysia, Sri Lanka, Hong Kong, Inggris, dan negara-negara kesejahteraan lain. Pemerintah Indonesia tidak menghitung dengan cermat akibat jangka panjang dari kebijakan liberalisasi yang pada akhirnya menyulitkan rakyat banyak di masa sekarang. Untuk melindungi penduduk miskin, pemerintah menyediakan layanan kelas III yang murah. Namun, dalam praktiknya ketika itu, pernah terjadi dan mungkin masih terjadi banyak dokter spesialis tidak mau melayani pasien kelas III karena mereka tidak mendapat “jasa medik”. Padahal mereka sudah mendapat gaji dan fasilitas yang memungkinkan mereka menjadi spesialis yang laku dalam praktik swastanya. Dokter pun diberi kewenangan untuk menambah penghasilannya dengan
praktik sore, yang sering dilakukan di RS yang sama. Memang sebagian kecil rakyat Indonesia mampu membeli layanan rumah sakit publik yang mahal. Tetapi, semakin banyak rakyat yang tidak miskin tidak mampu menjangkau layanan kesehatan. Maka program jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dan hampir miskin dikembangkan. Program Jaminan Kesehatan bagi penduduk miskin, baik Jamkesmas, Askeskin, Jamkesda, maupun Medicaid di Amerika, tidak pernah menyelesaikan masalah. Berbagai masalah kepesertaan, paket manfaat dan pendanaan, pelayanan dan fasilitas kesehatan maupun masalah kelembagaan selalu muncul. Banyak kritik dan keluhan disampaikan masyarakat, pemerintah, bahkan pejabat pemerintah sendiri. Setelah ribut-ribut soal Askeskin, Jamkesmas dilaksanakan dengan tekad mencukupi dana yang tersedia. Sebagian peserta dialihkan kepada Pemda yang kemudian berkembang dengan nama Jamkesda. Masalah tidak selesai karena kita salah memahami kebutuhan dasar layanan kesehatan.
Jaminan Kesehatan Bukan Hanya Bagi Penduduk Miskin
memahami pasal 34 UUD 45 yang lama, yaitu “fakir miskin dipelihara negara”. Padahal UUD 45 sudah diamandemen dengan pasal 34 ayat 2, 3, dan 4. Pasal 34 ayat 1 memang masih dipertahankan dengan “fakir miskin dan anak telantar dipelihara negara. Tetapi, pasal itu tidak berlaku untuk jaminan kesehatan/jaminan sosial dan layanan kesehatan. Pasal itu hanya berlaku untuk kebutuhan hidup yang bersifat pasti, yang bisa dianggarkan, seperti pangan, sandang dan papan. Untuk kesehatan tidak bisa digunakan rujukan pasal 34 ayat 1. Pasal 34 ayat 2 UUD 45 mengharuskan Negara mengembangkan jaminan sosial untuk seluruh rakyat. Bunyi pasal itu jelas, untuk seluruh rakyat. Praktik umum di dunia, jaminan sosial paling tidak mencakup jaminan kesehatan dan jaminan hari tua. Atas perintah pasal 34 ayat 2 itulah kemudian UU tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No. 40 tahun 2004 dikeluarkan. Sayangnya, sampai sekarang UU tersebut belum dilaksanakan oleh Pemerintah. Masalah utamanya, keliru faham tentang tanggung-jawab Pemerintah.
Kriteria Miskin Tidak Relevan untuk Layanan Kesehatan
Di Indonesia, Amandemen UUD 45 yang pertama di tahun 1999 telah mengamanatkan negara menyediakan, baik langsung ataupun melalui sistem asuransi, layanan kesehatan untuk seluruh penduduk. Hal ini tertuang dalam amandemen pasal 28H ayat 1 yang berbunyi “setiap penduduk berhak atas layanan kesehatan”. Namun implementasi perubahan UUD 45 tersebut sampai saat awal tahun 2011 masih belum tampak. Konsep yang diterapkan hanya menyediakan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin sebagaimana dijalankan dalam program Jamkesmas.
Program untuk segmentasi penduduk berdasarkan kategori miskin dan tidak miskin selalu bermasalah. Di seluruh dunia, program jaminan kesehatan bagi penduduk miskin saja tidak pernah bebas dari masalah. Sebab, kriteria miskin sangat relatif. Batas antara yang miskin dan yang tidak miskin sangat tipis sehingga di lapangan selalu timbul berbagai masalah elijibilitas (berhak tidaknya suatu keluarga mendapatkan kartu Jamkesmas atau mendapat pembebasan biaya berobat). Sebagai contoh, atas dasar kriteria rumah tangga miskin (RTM) yang kini digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, misalnya, sebesar Rp 234.000 (dibulatkan) per orang per bulan. Bagaimana dengan RT yang memiliki penghasilan sebesar Rp 250.000 per orang per bulan? Jelas menurut kriteria itu, keluarga ini tidak tergolong miskin. Maka keluarga ini tidak berhak mendapat kartu Jamkesmas atau Jamkesda. Akan tetapi, perbedaan penghasilan yang hanya berbeda Rp 10.000 tidak ada artinya. Ketika satu anggota keluarga ini terkena musibah sakit dan perlu biaya berobat sebesar Rp 100.000 saja, maka tidak ada beda kemampuan membayar keluarga miskin dan keluarga tidak miskin tersebut. Bagaimana jika biaya berobat mencapai jutaan rupiah? Semantara Tuhan sudah mengatur jenis penyakit dan karenanya biaya berobat yang dibutuhkan tidak pernah terjadi dengan pilihan yang miskin hanya dikenai penyakit ringan yang murah biaya berobatnya dan yang kaya ter-kena penyakit berat. Inilah kekeliruan mendasar bangsa kita.
Hal tersebut terjadi karena kesalahan faham pimpinan negeri ini yang menganggap bahwa tanggung-jawab Pemerintah hanyalah bagi penduduk miskin. Mereka hanya
Kajian yang dilakukan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menunjukkan bahwa kesalahan memasukan (inclusion, yang memiliki kartu
Pola pikir (mind set) yang berkembang di kalangan pemerintah, baik di pusat maupun di daerah adalah, bahwa tanggung-jawab pemerintah hanyalah pada penduduk miskin. Hal ini memang diterapkan di masa lalu di Amerika. Diantara negara maju, hanya di Amerika konsep ini diterapkan. Padahal, di Amerika sendiri terjadi gejolak reformasi kesehatan yang menuntut jaminan kesehatan seluruh penduduknya sejak setelah Perang Dunia II. Puncak keberhasilannya adalah tahun 2010 ketika Obama menjadi Presiden Amerika. Obama menunda kunjungan ke Indonesia di bulan Maret 2010 hanya untuk meyakinkan Kongres (DPR) Amerika untuk menyetujui rencana Obama menyediakan jaminan kesehatan bagi semua penduduk, atau yang dikenal dengan Cakupan Universal.
27
Jamkesmas tetapi seharusnya tidak) seseorang menjadi peserta Jamkesmas di lima provinsi mencapai 13% 59,8%. Sementara kesalahan mengeluarkan (exclusion, yang seharusnya mendapat kartu Jamkesmas tetapi tidak mendapat kartu) bervariasi dari 31% - 93%. Hal ini bisa difahami sebab, dipihak lain, survei pasien pulang rawat (exit poll) di lima provinsi tersebut menunjukkan variasi biaya perawatan yang harus dibayar pasien dari nol sampai Rp 32.500.000 sekali perawatan. Biaya perawatan nol adalah biaya perawatan yang sudah dijamin oleh asuransi atau Jamkesmas. Selebihnya adalah biaya yang harus dibayar oleh suatu keluarga. Rata-rata biaya yang harus dibayar per kali dirawat di kelas III mencapai Rp 88.300 di Mataram sampai Rp 810.000 di Bolaan Mongondow. Tetapi, kebutuhan biaya berobat adalah kebutuhan mutlak, yang tidak bisa diukur dengan rata-rata. Jadi, harus digunakan ukuran biaya maksimum. Survei tersebut menunjukkan biaya maksimum yang menjadi beban sebuah keluarga di Pasuruan sebesar Rp 1.995.000 dan di Bolan Mongondow Rp 32.500.000. Apakah biaya tersebut terjangkau oleh rumah tangga yang tidak miskin? Kebutuhan rutin lain, yang memang relevan dan dapat digunakan untuk mengukur kemiskinan seperti kebutuhan makan, pakaian, dan rumah tinggal dapat diukur. Tidak pernah terjadi kebutuhan makan seseorang tiba-tiba melonjak menjadi Rp 1.000.000 per bulan. Begitu juga kebutuhan pakaian atau sewa rumah. Bisa diprediksi. Namun tidak demikian dengan kebutuhan kesehatan. Karena kuota peserta program Jamkesmas untuk tiap-tiap kota/kabupaten sudah ditetapkan Pemerintah, maka rumah tangga yang berada di garis batas tersebut, rumah tangga hampir miskin atau rumah tangga marjinal, diserahkan kepada Pemda masing-masing. Sesungguhnya program Jamkesmas diatas kertas telah menjamin (berdasarkan alokasi anggaran 76,4 juta jiwa atau 19,1 juta rumah tangga) bukan hanya penduduk miskin karena jumlah penduduk miskin tidak sebanyak itu. Namun, jaminan kesehatan untuk penduduk di luar kuota diserahkan kepada pemerintah daerah, sehingga berkembanglah program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), yang pada kenyataannya tetap tidak menyelesaikan masalah. Sebab, pada umumnya Pemda juga menetapkan batas penghasilan atau kriteria elijibilitas yang mendapat jaminan kesehatan oleh Pemda. Kembali, masalah garis batas tetap saja timbul. Hal ini sesungguhnya bukan barang baru, karena di seluruh dunia hal itu sudah terjadi sejak puluhan tahun lalu. Hanya saja, kita tidak belajar dari bangsa lain. Itulah sebabnya, seluruh negara di dunia mengupayakan jaminan kesehatan untuk semua penduduk atau cakupan universal. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam laporan
28
tahunan 2010 telah menghimpun berbagai aspek cakupan universal, termasuk pedoman bagi negara-negara yang belum mencapai cakupan universal seperti Indonesia, agar semua negara di dunia menyediakan jaminan kesehatan universal, Jaminan Kesehatan Publik yang tidak hanya berlaku bagi penduduk miskin seperti yang kini kita kenal.
Penantian Panjang Untuk Bebas Beban Biaya Berobat Kembali kepada amanat Pasal 34 ayat 2 UUD 45, yang sudah dirumuskan secara operasional dengan UU No 40 Tahun 2004 tentang SJSN, sesungguhnya telah diatur Pendanaan Jaminan Kesehatan Publik untuk seluruh rakyat bersumber dari iuran peserta yang bekerja dan menerima upah serta bantuan iuran oleh Pemerintah. Pengelolanya juga sudah diatur yaitu oleh sebuah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Pasal 17 ayat 4 UU tersebut menyatakan bahwa “iuran program jaminan sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah kepada BPJS”. Dengan demikian maka pemerintah wajib membayar iuran, bukan mengelola dana APBN sendiri. Iuran wajib tersebut, baik oleh pekerja, pemberi kerja dan pemerintah dibayarkan kepada BPJS. Tetapi, karena yang diperebutkan kekuasaan mengelola uang, bukan penjaminan seluruh rakyat, maka pembahasan RUU BPJS dan diperkirakan hasil akhir UU BPJS tidak sejalan dengan amanat UUD 45 Pasal 34 ayat 2 yang menyatakan “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial untuk seluruh rakyat….”. Entah kapan Indonesia akan memiliki satu sistem yang adil, yang sama untuk seluruh rakyat, sebagaimana diamanatkan UUD 45. Satu sistem jaminan kesehatan seluruh penduduk sudah terwujud sejak lebih dari setengah abad yang lalu di Malaysia dan bahkan di Sri Lanka yang lebih miskin dari Indonesia. Kita sudah merdeka 66 tahun, tetapi masih “belum mampu” memerdekakan rakyat dari biaya berobat yang mematikan dan menghilangkan produktifitas. Kita lebih suka menempatkan uang untuk subsidi BBM sampai Rp 120 Triliun, sementara menganggarkan untuk kesehatan sampai Rp 60 Triliun, sesuai UU 36/2009 tentang Kesehatan, masih impian. Persoalannya bukan pada kemampuan keuangan negara, tetapi pada kemauan politik pimpinan bangsa. Indonesia tampaknya lebih suka membagi-bagi uang publik untuk yang relatif kaya, yang bisa menikmati kemacetan kota-kota besar dalam mobil berpendingin udara, mendengar musik atau menonton video, dengan separuh biaya bensin dibayar negara. Sebuah perusahaan angkutan atau taksi bisa mendapat subsidi BBM sampai dengan Rp 1 milyar sehari. Tetapi, seorang penduduk yang berpenghasilan Rp 5 juta per bulan dan perlu perawatan intensif berharga Rp 25 juta serta mengancam jiwa orang tersebut, harus meminjam uang
atau menjual harta benda, bahkan harga dirinya, agar bisa membayar biaya berobat. Di Sri Lanka, Malaysia, dan Thailand harga solar dan bensin premium sudah di atas Rp 10.000 per liter. Rakyat di negeri itu tidak pernah protes sebab biaya berobat untuk semua penduduk sudah dijamin. Harga-harga barang banyak yang lebih murah dari harga barang yang sama di Indonesia. Tidak ada bukti di negara-negara lain bahwa harga BBM yang mahal akan menyulitkan ekonomi. Tetapi, telah banyak bukti bahwa BBM bersubsidi dinikmati orang yang kaya, baik langsung seperti pengusaha taksi, angkutan, mobil karyawan, dan lain-lain maupun tidak langsung melalui penyelundupan, pengoplosan, dan lain-lain. Jangan-jangan kita tidak dapat informasi yang sebenarnya dari politik subsidi BBM. Hanya Tuhan dan pelaku yang tahu.
Menuju cakupan universal
29
Kebijakan pemeliharaan kesehatan bagi penduduk miskin sudah lama diterapkan di Indonesia. Pelayanan gratis bagi penduduk yang membawa surat miskin dari Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), desa dan pembagian kartu sehat, adalah contoh kebijakan pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin dengan strategi “Individual Targeting”. Berbagai program Instruksi Presiden (Inpres), secara tidak langsung juga mempunyai aspek kebijakan membantu penduduk miskin, misalnya Inpres Obat dan Inpres Samijaga, merupakan contoh kebijakan dengan strategi “Geographic Targeting”. Sebetulnya, kebijakan subsidi tarif pelayanan kesehatan pemerintah, juga merupakan program melayani kesehatan penduduk miskin. Tarif Rp 500 – Rp 1.000 untuk rawat jalan Puskesmas dan Rp. 2.000 – Rp. 5.000 untuk rawat inap kelas III di Rumah Sakit Umum (RSU), membantu penduduk yang kemampuannya terbatas. Sejak 1998 muncul kebijakan lebih sistematis dan berskala nasional untuk melayani kebutuhan kesehatan penduduk miskin, yakni program Jaringan Pengamanan Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK). Pada tahun 2003, pemerintah menyediakan biaya untuk rujukan ke Rumah Sakit (RS) bagi penduduk miskin. Dana ini berasal dari pemotongan subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang disebut dana Penanggulangan Dampak Pemotongan Subsidi Energi (PDPSE), kemudian diubah namanya menjadi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM). Dana PDPSE langsung diberikan kepada RSU. Baik JPSBK dan PDPSE adalah contoh “Supply Side Approach” dalam memberikan subsidi bagi penduduk miskin. Program teranyar pemerintah pusat untuk melayani kebutuhan masyarakat miskin dan hampir miskin akan kesehatannya digulirkan di tahun 2008 ini adalah Jamkesmas (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat). Anggaran untuk program Jamkesmas di tahun 2008 disiapkan sebesar Rp. 4,6 triliun untuk 76,4 juta jiwa masyarakat miskin dan hampir miskin. Seluruh pendanaan program-program di atas bersumber dari pemerintah pusat dan bersifat proyek, sementara itu sumber dana dari pemerintah daerah belum dipadukan untuk program pengentasan kemiskinan umumnya dan pembiayaan kesehatan khususnya sehingga sulit bagi penduduk miskin jika tidak lagi mendapat jaminan seperti yang pernah diperolehnya. Pemerintah provinsi Sulawesi Selatan melalui program unggulan Bapak gubernur secara cermat menangkap kondisi ini dengan memunculkan ”Program Pelayanan Kesehatan Gratis” sebagai jawaban dari berbagai sinyalemen yang meragukan Sustainabilitas program Jamkesmas karena didasari pogram-program yang sifatnya proyek dan bahwa program pelayanan kesehatan gratis ini merupakan perpaduan sumber dana pemerintah dengan daerah untuk program pengentasan kemiskinan pada umumnya dan pembiayaan kesehatan khususnya yang tidak pernah dilakukan dan itu merupakan kekurangan kita selama ini. Oleh karena itu tanpa suatu program berkelanjutan, akan sulit mengangkat penduduk miskin dari lingkaran kemiskinan termasuk di Sulawesi Selatan ini. Ketika pemerintah pusat memunculkan program Jamkesmas untuk masyarakat miskin di Republik ini, seakan skenario Tuhan yang hinggap kepada hambanya yang di kehendaki. Pemerintah Sulawesi Selatan melihatnya sebagai anugerah yang diwujudkan dalam pemaknaan rasa syukur dengan membuat program pelayanan gratis agar program Jamkesmas semakin kokoh berakar di masyarakat, hal ini dapat dilihat dari beberapa data sebagai berikut : Jumlah penduduk Sulawesi Selatan tahun 2008 sebesar 7,5 juta jiwa, jumlah penduduk yang memiliki jaminan kesehatan, baik Askes, Jamsostek maupun Jamkesmas sebanyak 3,1 juta jiwa, sementara sisanya yakni sebanyak 4,4 juta jiwa, inilah yang kemudian ditanggung oleh pemerintah daerah melalui jaminan pemeliharaan kesehatan daerah yang merupakan wujud dari pelayanan kesehatan gratis yang dilakukan di Sulawesi Selatan. Selanjutnya dari indikator Indonesia Sehat tentang jaminan
30
pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam Prabayar ditargetkan Pemerintah Pusat sebesar 60 % di tahun 2008, dengan adanya program pelayanan gratis ini, target tersebut justru telah terlewati yakni sebesar 67,77% atau mengalami peningkatan sebesar 7,8%. Data inilah kemudian semakin menguatkan bahwa pelayanan kesehatan gratis menunjang program Jamkesmas. Pemerintah provinsi Sulawesi Selatan tentunya berharap agar pembiayaan kesehatan pada masa desentralisasi ini dapat mewujudkan komitmen daerah terhadap kesehatan, yang tercermin dalam APBDnya, besaran alokasi anggaran mendekati nilai normatif misalnya sesuai dengan standar WHO, cukup untuk membiayai pelayanan kesehatan prioritas, penduduk miskin terlindungi, biaya operasional dan pemeliharaan tercukupi, besarnya biaya kesehatan dari APBD lebih besar dari APBN, dan biaya untuk program/pelayanan langsung tercukupi. Olehnya itu Pelayanan Kesehatan Gratis menjadi efisien, karena Pelayanan kesehatan yang diberikan itu dilakukan oleh pemerintah daerah sendiri dengan keuntungan sebagai berikut : Lebih dekat dengan rakyat Lebih responsif Lebih sesuai permintaan Komitmen pemerintah Sulawesi Selatan untuk mensukseskan pelayanan kesehatan gratis ini dapat dilihat dari besarnya anggaran yang di alokasikan, dimana pada tahun 2008 anggaran yang disiapkan untuk itu sebesar Rp. 81,8 Milyar. Pada tahun 2009 alokasi anggaran untuk kabupaten/kota sebesar Rp. 30,4 Milyar dengan asumsi 40% bersumber dari provinsi dan 60% bersumber dari kabupaten/kota masing-masing, sementara itu besaran anggaran untuk rumah sakit provinsi, rumah sakit regional dan balai kesehatan mencapai angka Rp. 85,9 Milyar. Dalam pembiayaan dan pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin dan hampir miskin, ada dua pernyataan penting yang sebenarnya pemerintah provinsi Sulawesi Selatan telah memilih secara tegas salah satu dari 2 pernyataan tersebut. Pernyataan itu adalah apakah kita akan menggunakan pernyataan normatif, seperti ini: ”Pelayanan untuk orang miskin harus bermutu tinggi dan pasien miskin tersebut tidak perlu membayar’. atau .... pernyataan positif yang ada adalah: ”Pelayanan kesehatan di semua lembaga pelayanan milik pemerintah akan bermutu rendah jika orang miskin tidak membayar dan tidak ada subsidi cukup dari pemerintah” Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memilih penyataan yang normatif itu dan menepis kekurangan yang ada pada pernyataan positif tersebut.......EWAKO SUL-SEL !
31