Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-56354/PP/M.IIB/12/2014 Jenis Pajak
: Pajak Pengfhasilan Pasal 23
Tahun Pajak
: 2009
Pokok Sengketa
: bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pengajuan banding terhadap koreksi Dasar Pengenaan Pajak (DPP);
Menurut Terbanding : bahwa berdasarkan penelitian pada data SPT Masa PPh Pasal 23/26 Masa Pajak Januari s.d. Desember - 2009 yang telah dilaporkan oleh Pemohon Banding dapat diketahui bahwa Pemohon Banding tidak melaporkan Objek PPh Pasal 23 sebesar Rp.1.144.860.000.000,00 atas pembayaran bunga hutang pembelian BBM sebesar Rp.705.140.000.000,00 dan Bunga Listrik Swasta sebesar Rp.439.718.000.000,00; Menurut Pemohon
Menurut Majelis
: bahwa Pasal 4 ayat 1 huruf f UU PPh menyatakan bahwa bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang. Lebih lanjut penjelasan Pasal 4 ayat 1 huruf f UU PPh menyatakan bahwa dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang. Pasal ini secara tegas mengindikasikan bahwa imbalan bunga disini timbul atas transaksi pinjam meminjam uang. Sebagaimana diuraikan pada bagian penjelasan bahwa premium terjadi apabila surat obligasi dijual di atas nilai nominalnya dan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli di bawah nilai nominalnya. Juga, sebagaimana diketahui, surat obligasi merupakan surat hutang atas peminjaman uang (Investor dari obligasi meminjamkan uang kepada Penerbit Obligasi (Issuer)); : bahwa menurut Majelis, Terbanding melakukan Koreksi Obyek PPh Pasal 23 sebesar Rp.1.144.860.000.000,00 (Terdiri Koreksi DPP PPh 23-Bunga Hutang Pembelian BBM sebesar Rp.705.142.000.000,00 dan Bunga Listrik Swasta sebesar Rp.439.718.000.000,00 dengan alasan sebagai berikut:
bahwa berkaitan dengan pembayaran bunga ke PT Pertamina (persero), berdasarkan Laporan Keuangan Non Konsolidasi Induk Perusahaan Saja untuk Tahun-Tahun yang berakhir 31 Desember 2009 terdapat biaya hutang pembelian BBM untuk tahun 2009 sebesar Rp.705.142 (dalam jutaan rupiah) dengan jumlah total beban bunga dan keuangan sebesar Rp.6.327.428 (dalam jutaan rupiah). Jumlah tersebut telah dibebankan sebagai beban lain-lain pada Laporan Laba Rugi Non Konsolidasi (halaman 3 Laporan Keuangan Non Konsolidasi); bahwa berkaitan dengan Pembayaran bunga ke PT Paiton Energy, berdasarkan Laporan Keuangan Konsolidasi Pemohon Banding dan anak perusahaan untuk tahun-tahun yang berakhir 31 Desember 2009 diketahui bahwa pada halaman 48 catatan 45 terdapat Beban Bunga dan Keuangan atas hutang listrik swasta sebesar Rp.439.718 (dalam jutaan rupiah) dengan jumlah total beban bunga dan keuangan Rp.6.327.428 (dalam jutaan rupiah). Jumlah tersebut telah dibebankan sebagai beban lain-lain pada Laporan Laba Rugi Konsolidasi (halaman 3 Laporan Keuangan Konsolidasi); bahwa pembukuan Pemohon Banding menggunakan stelsel akrual dan komponen biaya akrual atas bunga hutang pembelian BBM dan pembelian Listrik Swasta yang menurut Pemohon Banding dilaporkan sebagai unsur PPh Pasal 23 dalam SPT Masa PPh Pasal 23 tahun 2010, secara akuntansi telah diakui sebagai biaya di tahun 2009 sebagai unsur Beban Usaha (dicatat di tahun 2009); bahwa berdasarkan Pasal 23 ayat (1) huruf a angka 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 diatur bahwa atas penghasilan berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f, dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan sebesar 15%; bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan Pasal 8 ayat (3) dan Penjelasannya disebutkan bahwa Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu. Saat terutangnya penghasilan tersebut lazimnya adalah pada saat jatuh tempo (seperti : bunga dan sewa). Saat terutangnya penghasilan tersebut juga ditentukan berdasarkan saat pengakuan biaya sesuai dengan metode pembukuan yang dianut oleh pihak yang berkewajiban memotong atau memungut Pajak Penghasilan. Pada prinsipnya, saat yang menentukan kapan kewajiban pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan harus dilaksanakan adalah mana yang lebih dulu terjadi, saat pembayaran atau saat terutangnya penghasilan; bahwa dengan demikian, Pemohon Banding wajib melakukan pemotongan atas Obyek PPh Pasal 23
sebesar Rp.1.144.860.000.000,00 (terdiri Koreksi DPP PPh 23-Bunga Hutang Pembelian BBM sebesar Rp.705.142.000.000,00 dan Bunga Listrik Swasta sebesar Rp.439.718.000.000,00 dan dilakukan pada saat terutangnya penghasilan tersebut yaitu saat diakuinya bunga hutang pembelian BBM sebagai biaya oleh Pemohon Banding; bahwa menurut Majelis, Pemohon Banding tidak setuju dengan Koreksi Obyek PPh Pasal 23 sebesar Rp.1.144.860.000.000,00 (Terdiri Koreksi DPP PPh 23-Bunga Hutang Pembelian BBM sebesar Rp.705.142.000.000,00 dan Bunga Listrik Swasta sebesar Rp.439.718.000.000,00 dengan alasan sebagai berikut: bahwa Pembayaran sanksi/denda/penalti atas keterlambatan pembayaran pembelian BBM sebesar Rp.705.142.000.000,00 kepada PT Pertamina (persero) tersebut dicatat ke dalam akun bunga hutang pembelian bahan bakar oleh Pemohon Banding, namun hakikatnya tetap merupakan pembayaran atas sanksi/denda/penalti keterlambatan bayar, sehingga pembayaran tersebut bukan merupakan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 UU Pajak Penghasilan; bahwa Pembayaran Denda/Pinalti sebesar Rp.439.718.000.000,00 berupa bunga ke PT Paiton Energy berdasarkan pasal 9.3 Power Purchase Agreement terkait proses Pembelian Listrik kepada PT Paiton Energy dan dicatat ke dalam akun Bunga Hutang Pembelian Listrik hakikatnya tetap merupakan pembayaran atas sanksi/denda/penalty keterlambatan bayar, sehingga bukan merupakan bunga sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 23 dari UU Pajak Penghasilan; bahwa adapun bunga yang terutang pemotongan PPh Pasal 23 UU PPh adalah bunga yang timbul atas suatu transaksi pinjam meminjam uang (income from money lent). Bunga yang timbul dari transaksi pinjam meminjam uang merupakan obyek pemotongan PPh pasal 23, tetapi bunga yang sesungguhnya merupakan sanksi keterlambatan bayar atas transaksi jual beli barang bukan merupakan obyek pemotongan PPh pasal 23; bahwa berkaitan dengan Biaya Bunga Pembeliasn BBM ke Pertamina a quo, Majelis telah meneliti Perjanjian jual beli BBM antara PT Pertamina (Persero) dengan Pemohon Banding No. 528/C00000/2007-S8 – 0661.PJ/040/DIR/2007 yang ditandatangani pada tanggal 16 Mei 2007, dimana ada tunggakan pelunasan atas pembelian BBM oleh Pemohon Banding dan sebagai akibatnya Pemohon Banding kemudian dikenakan sanksi denda/penalti berdasarkan klausul Pasal 10 ayat (1) dari perjanjian di atas, yang penghitungan sanksi denda/penaltinya didasarkan pada persentase tertentu dari nilai tunggakan pembayaran tersebut; bahwa berkaitan dengan sengketa Biaya Bunga Listrik a quo, Majelis telah meneliti perjanjian Power Purchace Agreement, Perjanjian Amendment To Power Purchase Agreement, dan keterangan tertulis yang disampaikan oleh PT Paiton Energy sebagaimana dimaksud dalam huruf c, dimana Pemohon Banding wajib membayar sebesar USD.48,000,000 setahun dalam bentuk Restructuring Settlement Payment (RSP) kepada PT Paiton Energy, yang dihitung dengan metode nilai sekarang dengan discount rate sebesar 10% dan dicatat nilai pokok serta nilai bunga dalam laporan keuangan PT Paiton Energy per tanggal 31 Desember; bahwa berdasarkan Power Purchase Agreement tertanggal 12 Februari 1994 antara PT Paiton Energy dengan Pemohon Banding antara lain diatur hal-hal: b.1. Article 9.3 Late Payments Except as as otherwise provided in Appendix P, late payments by either Party shall bear interest at the Late Payment Interest Rate from the date on which such payment was originally due until the date that such payment was made; b.2. Appendix P Invoicing and Payment Procedures “Broken contract” shall have the meaning set forth in Section 7 (c); “Reference Banks” shall mean, collectively, at least three (3) banks designated as such by PLN from time to time (one of which shall at all times be Bank Indonesia or any successor central bank for the Republic of Indonesia), subject to approval of Seller, which shall not be unreasonably withheld, provided that any change in the designation of a Reference Bank with respect to any Billing Period shall be given on or before the third (3rd) Business Day following the last day of such Billing Period; bahwa dalam Amendement To Power Purchase Agreement antara PT Paiton Energy dan Wajib Pajak diatur hal-hal: c.1. Witnesseth: Whereas, Seller and PLN have been engaged in discussions to amend and restructure the Original PPA, and pending the finalization of such discussions Seller and PLN have entered into various interim agreement, comprising the Interim Agreement dated February 21, 2000, the Phase I Agreement effective as of January 1, 2001, the Phase II Agreement effective as of July 1, 2001, and the Phase III Agreement effective as of October, 2001; Whereas, Seller and PLN entered into a Binding Term Sheet, dated as of December 14, 2001 and effective as of January 1, 2002 (the “Binding Term Sheet”), to set forth certain commercial terms of agreement on the principal amendements to the Original PPA, including among other things changing theTerm of the Original PPA, modifying Components A and C of the tariff under the Original PPA,
and providing for Restructuring Settlement Payments for the settlement of arrearages as provided in Section 3.12 of this Amendment, and the waiver of certain claims arising out of or in c.1. Section 3.8 The following definitions are inserted in Article 1 (Definitions) of the Original PPA after the definition of “Required Commercial Operation Date”: “RSP Term” shall mean the period commencing on January 1, 2002 and ending on December 31, 2031; c.2. Section 3.12 Section 9 of the Original PPA is amended by adding a new Section 9.4 as follows: 9.4 Restructuring Settlement Payments; - 9.4.1 On or before the last day of each month during the RSP Term, Seller will provide an invoice to PLN dated as of the last day of such month, and, following the timely receipt of such invoice, PLN will pay Seller thirty (30) days after the last day of such month an amount equal to the Rupiah equivalent of US$4,000,000 (each a “Restructuring Settlement Payment”) as set forth in Appendix P; - 9.4.2 The Restructuring Settlement Payments are in addition to any and all other payments to be made under this Agreement, and shall be made without defense, challenge, set-off or counterclaim (other than any calculation or input error in one or more RSP Invoices), and without regard to the actual or deemed availability or unavailability of the Plant during any Billing Period or series of Billing Periods or otherwise, and irrespective of either Party’s default, failure to perform or Force Majeure under this Agreement. Notwithstanding the foregoing, the Restructuring Settlement Payments shall be due and payable at the time, in the manner and as calculated as set forth in Appendix F in the circumstances set forth therein bahwa menurut Majelis, dalam Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (UU PPh) diatur bahwa: Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkan: dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g a. sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas: 1. 2. 3.
bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f; royalti; dan hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e; b. …dst bahwa menurut Majelis, berdasarkan Pasal 4 (1) UU PPh diatur bahwa: Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk: (Huruf) f: bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; bahwa menurut Majelis, dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU PPh diatur bahwa: Undang-Undang ini menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang ini tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan; bahwa dilihat dari aspek aliran tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak, Penghasilan dapat dikelompokkan menjadi: 1) penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akuntan, pengacara, dan sebagainya; 2) penghasilan dari usaha dan kegiatan; 3) penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan 4) penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah; bahwa menurut Majelis, berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak No: S-150/PJ.33/1995 Tanggal 4 Oktober 1995 tentang PPh Pasal 23 atas Denda Keterlambatan Pembayaran Kontrak Jual-Beli, ditegaskan bahwa denda keterlambatan pembayaran dikaitkan dengan perjanjian jual-beli suatu barang dan jasa, bukan merupakan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 maupun Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23 atau Pasal 26; bahwa dalam Surat Direktur Jenderal Pajak No: S-150/PJ.33/1995 a quo, disebutkan bahwa denda
keterlambatan dimaksud, jumlahnya sesuai dengan kesepakatan dengan pembeli yang umumnya didokumentasikan pada kontrak jual beli atau dokumen Purchase Order atau kadang-kadang hanya tertera pada faktur penjualan; bahwa menurut Majelis, berdasarkan Surat No. S-151/PJ.43/2005 tanggal 2 Agustus 2005 tentang Permohonan Penegasan Perlakuan PPh Pasal 23 Atas Denda Keterlambatan Pembayaran Kontrak Jual-Beli juga ditegaskan bahwa denda keterlambatan pembayaran utang dagang (berkaitan dengan transaksi jual beli) bukan merupakan obyek PPh Pasal 23, namun denda tersebut merupakan penghasilan bagi perusahaan yang menerima sehingga merupakan obyek pajak yang dikenakan PPh dengan tarif sesuai dengan Pasal 17 UU PPh; bahwa menurut Majelis, sesungguhnya terdapat 2 (dua) pengertian bunga yaitu sebagai sanksi atas suatu transaksi dan bunga sebagai penghasilan dari modal. Berdasarkan Pasal 23 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1) UU PPh beserta Penjelasannya, terlihat bahwa Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) bermaksud/bertujuan untuk mengenakan pemotopngan pajak terhadap Bunga dalam pengertian yang kedua, yaitu penghasilan dari modal. Dalam bentuk ini maka bunga merupakan hasil dari pemanfaatan modal, misalnya peminjaman uang, namun bukan bunga sebagai sanksi atas suatu transaksi. Hal ini juga sesuai dan diperkuat dengan penegasan dari pihak Terbanding sendiri, yaitu dalam Surat Direktur Jenderal Pajak No: S150/PJ.33/1995 Tanggal 4 Oktober 1995 dan Surat No. S-151/PJ.43/2005 tanggal 2 Agustus 2005. bahwa memperhatikan uraian dan pemahaman tersebut, Majelis berpendapat transaksi angsuran/cicilan antara Pemohon Banding dengan para Pembelinya ( PT Pertamina (Persero) dan PT Paiton Energy Company) bukan transaksi pembiayaan (tidak melibatkan pihak Bank, Lembaga Pembiayaan, atau Pihak Ketiga Lainnya) atau terkait dengan peminjaman modal (uang), tetapi merupakan transaksi jual beli barang dan/atau jasa yang dilaksanakan antara pihak pembeli dan pihak penjual, dan bunga yang timbul/dikenakan kepada Pemohon Banding oleh para Pembeli ( PT Pertamina dan PT Paiton Energy Company) dari semula memang dimaksudkan sebagai sanksi atau denda atas keterlambatan pembayaran transaksi Pembelian Barang (BBM dan listrik) oleh Pemohon dari Pembeli ( PT Pertamina dan PT Paiton Energy Company) sebagaimana termuat di dalam Perjanjian antara PT Pertamina dan PT Paiton Energy Company dengan Pemohon Banding, bukan sebagai bunga atas peminjaman uang dari Pemohon Banding kepada PT Pertamina dan PT Paiton Energy Company; bahwa dengan demikian, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dan uraian tersebut serta bukti dokumen dan keterangan para pihak di dalam persidangan, mengingat Bunga Hutang Pembelian BBM sebesar Rp.705.142.000.000,00 dan Bunga Listrik Swasta sebesar Rp.439.718.000.000,00 merupakan bentuk sanksi atau denda atas keterlambatan pembayaran transaksi Pembelian Barang (BBM dan listrik) dan bukan sebagai imbalan (bunga) atas peminjaman modal (uang), maka Majelis berpendapat sebagai pembayaran bunga dari Pemohon Banding kepada PT Pertamina dan PT Paiton Energy Company a quo, yang dicatat sebagai Bunga dalam Pembukuan Pemohon Banding, bukan merupakan termasuk Obyek Pemotongan PPh Pasal 23 UU PPh, karena Underlying transaction atas Biaya Bunga Pembelian BBM dan Listrik Swasta a quo pada dasarnya terkait dengan transaksi jual beli barang (berupa BBM dan listrik) berdasarkan Perjanjian antar para pihak dan bukan karena adanya transaksi peminjaman uang antara Pemohon Banding dan PT PLN dan PT Paiton Energy; bahwa dengan demikian, Majelis berpendapat Koreksi DPP PPh Pasal 23 sebesar Rp.1.144.860.000.000,00 (berupa Bunga Hutang Pembelian BBM sebesar Rp.705.142.000.000,00 dan Bunga Listrik Swasta sebesar Rp.439.718.000.000,00) tidak dapat dipertahankan; bahwa oleh karena itu, berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut nilai Sengketa a quo yang dipertahankan dan dibatalkan oleh Majelis adalah sebagai berikut: No.
Jenis Sengketa Terbukti
1
Koreksi DPP PPh Pasal 23
Jumlah
Total Nilai Sengketa Terbukti (RP) 1.144.860.000.000
Dipertahankan oleh Majelis (Rp) 0
Dibatalkan oleh Majelis (Rp) 1.144.860.000.000
1.144.860.000.000
0
1.144.860.000.000
Menimbang
: bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai tarif pajak;
Menimbang
: bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai kredit pajak;
Menimbang
: bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai kompensasi kelebihan pajak ke masa berikutnya;
Menimbang
: bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai sanksi administrasi, kecuali bahwa besarnya sanksi administrasi tergantung pada penyelesaian sengketa lainnya;
Menimbang
: bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan untuk mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding sehingga Koreksi DPP PPh Pasal 23 Masa Pajak Januari s.d Desember 2009 sebesar Rp.1.144.860.000.000,00 atas nama Pemohon Banding adalah sebagai berikut:
DPP PPh Pasal 23 menurut Terbanding Koreksi DPP PPh Pasal 23 Dibatalkan Majelis DPP PPh Pasal 23 menurut Majelis
Rp Rp Rp
1.770.297.742.882,00 1.144.860.000.000,00 625.437.742.882,00
PPh Pasal 23 Terutang menurut Terbanding Koreksi PPh Pasal 23 Terutang Dibatalkan Majelis PPh Pasal 23 Terutang menurut Majelis
Rp Rp Rp
197.087.643.095 171.729.000.000 25.358.643.095
Menimbang
: bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, penghitungan Jumlah PPh Pasal 23 Masa Pajak Januari sd Desember 2009 yang masih harus dibayar atas nama Pemohon Banding versi Terbanding dan versi Majelis adalah sebagai berikut:
Uraian Penghitungan Pajak
Menurut Terbanding
Menurut Majelis
Koreksi
PPh Pasal 23 Terutang Kredit PPh Pasal 23 PPh Pasal 23 Kurang (Lebih) Bayar
197.087.643.095 21.845.907.444 175.241.735.651
25.358.643.095 21.845.907.444 3.512.735.651
171.729.000.000 0 171.729.000.000
Sanksi Admisitrasi: -Bunga Pasal 13 (2) KUP -Kenaikan Pasal 13 (3) KUP Jumlah PPh Pasal 23 YMH (Lebih) dibayar
77.106.363.587 0 252.348.099.338
1.545.603.684 0 5.058.339.335
0 75.560.759.903 0 247.289.760.003
Mengingat
: Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan ketentuan perundang-undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan perkara ini;
Memutuskan
: Menyatakan mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-1226/WPJ.19/2012 tanggal 18 September 2012, tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 23 Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2009 Nomor: 00094/203/09/051/11 tanggal 21 Oktober 2011, atas nama: XXX, sehingga jumlah pajak yang masih harus (lebih) dibayar menjadi sebagai berikut:
PPh Pasal 23 Terutang Kredit DPP PPh Pasal 23 PPh Pasal 23 Kurang (Lebih) Bayar Sanksi Administrasi: -Bunga Pasal 13 (2) UU KUP -Kenaikan Pasal 13 (3) UU KUP Jumlah PPh Pasal 23 Yang Masih Harus (Lebih) dibayar
Rp Rp Rp
25.358.643.095,00 21.845.907.444,00 3.512.735.651,00
Rp Rp Rp
1.545.603.684,00 0,00 5.058.339.335,00
Demikian diputus di Jakarta berdasarkan musyawarah Majelis IIB, dengan susunan Majelis Hakim dan Panitera Pengganti sebagai berikut: I.G.N. Mayun Winangun, S.H., L.L.M. Drs. Adi Wijono, M.PKN. Drs. Bambang Basuki, M.A., M.P.A. Haryono, Ak., M.A.
sebagai Hakim Ketua, sebagai Hakim Anggota, sebagai Hakim Anggota, sebagai Panitera Pengganti,
dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Kamis, tanggal 23 Oktober 2014 dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti serta tidak dihadiri oleh Terbanding maupun Pemohon Banding.