1
ANALISIS PENERAPAN BOBOT SEBAGAI DASAR PENGENAAN PAJAK KENDARAAN BERMOTOR DITINJAU DARI KONSEP CONGESTION COST Kania Natarizkita; Azhari Aziz Samudra Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
ABSTRAK Skripsi ini menganalisis penerapan bobot sebagai dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor ditinjau dari konsep congestion cost yang intinya berfokus untuk mengurangi kemacetan serta dampaknya terhadap kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan. Skripsi ini juga meninjau upaya pemerintah dalam mengalokasikan hasil penerimaan bobot. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu mengalokasikan sepenuhnya hasil penerimaan bobot untuk pemeliharaan jalan dan pencemaran lingkungan. Oleh sebab itu, penelitian ini menyarankan agar biaya-biaya yang terkait dengan pencemaran lingkungan perlu diperhitungkan dalam menetapkan koefisien bobot. Kata Kunci: dasar pengenaan pajak; Pajak Kendaraan Bermotor; biaya kemacetan
ABSTRACT This thesis analyzes the application of weights as motor vehicle tax basis in terms of the concept of congestion cost that essentially focused on reducing congestion and its impact on road damage and environmental pollution. This thesis also review the efforts of the government in allocating the proceeds weights. The approach used in this study is a qualitative approach with descriptive research. The study concluded that Jakarta Provincial Government needs to fully allocate the proceeds weights for road maintenance and environmental pollution. Therefore, this study suggests that the costs associated with environmental pollution need to be taken into account in setting the weighting coefficients. Keywords: tax base; motor vehicle tax; congestion cost
Analisis penerapan..., Kania Natarizkita, FISIP UI, 2014
2
PENDAHULUAN Kemacetan merupakan masalah besar bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Selain kemajuan industri otomotif yang turut menyumbang kemacetan di Jakarta, masih banyak faktor lain yang menyebabkan timbulnya kemacetan di Kota Jakarta. Pertama, ruas jalan yang tersedia di Jakarta jauh di bawah kebutuhan normal. Panjang jalan yang tersedia di Jakarta hanya 7.650 km dan luas jalan 40,1 km atau 0,26 persen dari luas Wilayah Jakarta secara keseluruhan, sedangkan pertumbuhan ruas jalan hanya 0, 01 persen per tahun. (Sadiyah, 2013: 1) Kedua, moda angkutan umum belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (Sadiyah, 2013: 1) Masyarakat mengharapkan kondisi angkutan umum yang aman, nyaman, tarif terjangkau dan tepat waktu. Namun hingga saat ini kondisi angkutan umum di Jakarta masih belum memenuhi harapan masyarakat tersebut. Ketiga, pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor dan mobilitasnya yang semakin meningkat. (Sadiyah, 2013: 1) Jumlah kendaraan bermotor di Jakarta semakin hari cenderung semakin meningkat. Sementara secara faktual
kondisi tersebut tidak sebanding
dengan pertumbuhan ruas jalan sehingga menyebabkan kemacetan. Tabel 1. Pertumbuhan Jumlah Kendaraan Bermotor di Jakarta Tahun 2009-2013 Tahun
Jenis Kendaraan Penumpang
Beban
Bus
Motor
Jumlah
Ransus
2009
2.116.282
309.385
550.924
7.518.098
-
10.494.689
2010
2.334.883
332.779
565.727
8.764.130
-
11.997.519
2011
2.541.351
363.710
581.290
9.861.451
-
13.347.802
2012
2.742.414
358.895
561.918
10.825.973
129.113
14.618.313
2013
3.010.403
360.223
619.027
11.949.280
133.936
16.072.869
Sumber: Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kemacetan di Jakarta telah menyebabkan kerugian tidak hanya materil namun juga non materil. Kerugian tersebut diantaranya meliputi kerugian biaya operasi kendaraan, kerugian waktu, pencemaran lingkungan serta dampaknya terhadap kesehatan. (Dewan Transportasi Kota Jakarta, 2012: 1) Kerugian biaya operasi kendaraan dapat diukur dengan efisiensi energi dan bahan bakar. Kerugian waktu dapat diukur antara lain dengan kecepatan perjalanan, tundaan, panjang antrian, dan jarak tempuh. Pencemaran lingkungan diukur dengan tingkat kebisingan dan tingkat polusi udara akibat oleh lalulintas. Hal tersebut belum ditambah dengan dampak
Analisis penerapan..., Kania Natarizkita, FISIP UI, 2014
3
sosial akibat kemacetan yang telah menyebabkan turunnya kualitas sosial (social quality) masyarakat. Keadaan ini tentu bertolak belakang dengan konsep yang menyatakan bahwa transportasi digunakan untuk meningkatkan taraf hidup seseorang, bukan sebaliknya yang justru menyebabkan turunnya kualitas hidup seseorang. Salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah kemacetan di Jakarta adalah melalui pemungutan pajak kendaraan bermotor. Pemungutan pajak mempunyai fungsi yang strategis, bukan semata-mata karena pajak merupakan sumber penerimaan negara, namun pajak juga kerapkali digunakan sebagai instrumen kebijakan pemerintah. Sebagai instrumen kebijakan, pemungutan pajak dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu yang sudah ditetapkan pemerintah. (Rosdiana & Irianto, 2013: 80) Tabel 2. Penerimaan Pajak Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2013 JENIS PAJAK
2009
2010
2011
2012
2013
2.766.961 3.107.744 3.664.400 4.106.968 4.605.206 PKB 2.542.533 3.997.470 4.582.084 5.507.710 6.143.969 BBN-KB 671.464 727.327 848.569 882.558 1.027.108 PBB-KB 126.446 156.690 114.442 102.046 95.969 Pajak Air Tanah 608. 668 744.252 858.337 1.028.521 1.156.626 Pajak Hotel 755. 473 880.920 1.031.995 1.238.573 1.571.462 Pajak Restoran 267.735 293.356 296.519 369.152 393.263 Pajak Hiburan 269.697 258.171 269.666 483.178 657.798 Pajak Reklame 412.478 456.404 511.449 557.307 609.449 PPJ 138.675 129.407 158.256 220.901 314.382 Pajak Parkir 2.885.527 3.224.573 3.419.932 BPHTB 3.372.759 PBB-P2 8.560.134 10.751.745 15.221. 249 17.721. 493 23.367.929 JUMLAH Sumber: Realisasi Penerimaan Pajak Daerah-SIPKD BPKD Prov DKI Jakarta
Tabel 2 menunjukkan penerimaan pajak daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009-2013. Pajak kendaraan bermotor memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan asli daerah. Namun nyatanya, kendaraan bermotor tersebut ternyata menimbulkan dampak negatif sebagai akibat dari penggunaan kendaraan bermotor. Dampak negatif tersebut diantaranya berupa masalah kemacetan, kerusakan jalan, dan pencemaran lingkungan. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah menetapkan dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor berupa hasil perkalian dari dua unsur pokok, yaitu Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) dan bobot. Nilai
Analisis penerapan..., Kania Natarizkita, FISIP UI, 2014
4
Jual Kendaraan Bermotor diperoleh berdasarkan harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor. Sedangkan bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor dihitung berdasarkan faktorfaktor tekanan gandar, jenis bahan bakar kendaraan bermotor, dan jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin kendaraan bermotor. Penerapan bobot sebagai dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor ini didasarkan pada konsep congestion cost dimana congestion cost merupakan biaya tambahan yang dibebankan kepada pengguna jalan karena kendaraan tersebut menimbulkan kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan. Kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan ini-lah yang disebut sebagai eksternalitas negatif akibat penggunaan kendaraan bermotor. Apabila pungutan pajak telah dilakukan, selanjutnya perlu dipertimbangkan bagaimana cara pengalokasian yang terbaik agar terjadi keseimbangan antara beban pajak dengan bentuk pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Penerimaan daerah yang berasal dari pajak kendaraan bermotor tersebut betul-betul harus dikembalikan oleh pemerintah daerah kepada wajib pajak dalam bentuk pelayanan khususnya dalam mengatasi kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor. Berdasarkan pokok permasalahan yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk merumuskan pertanyaan penelitian bagaimana penerapan bobot sebagai dasar pengenaan pajak kendaraan bermotor ditinjau dari konsep congestion cost serta bagaimana upaya pemerintah dalam mengalokasikan hasil penerimaan bobot untuk mengatasi kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan.
TINJAUAN TEORITIS Musgrave dan Musgrave dalam bukunya menjelaskan definisi congestion cost yaitu: “Goods which consumed in equal amounts by all members of a particular group, are not truly nonrival in consumption. As more users are added, the quality of service received by all users from a given installation declines…Demand schedules are still added vertically, but the marginal cost of adding an additional consumer is no longer zero” (Musgrave & Musgrave, 1983: 80) Ide dasar penerapan biaya kemacetan (congestion cost) adalah membebankan tarif tertentu yang sama dengan marginal cost yang disebabkan oleh pengguna jalan terhadap pengguna jalan lainnya, yang dapat berupa kerugian karena pengurangan kecepatan lalulintas
Analisis penerapan..., Kania Natarizkita, FISIP UI, 2014
5
dan peningkatan dampak lingkungan. Tarif ini diterapkan untuk mengurangi bahkan membatasi perjalanan untuk menggunakan kendaraan pribadi yang tidak perlu. Tarif yang optimal untuk setiap jenis kendaraan diperoleh dengan cara memaksimalkan manfaat bersih untuk masyarakat dan pengguna jalan dan meminimalkan disbenefit. Tarif ini merupakan selisih antara marginal social cost dengan marginal private cost. Selisih antara marginal social cost dengan marginal private cost merupakan congestion cost yang disebabkan oleh adanya tambahan kendaraan pada ruas jalan yang sama. Pentingnya penerapan biaya kemacetan (congestion cost) ini juga didasarkan dengan adanya eksternalitas negatif yang ditimbulkan dari penggunaan kendaraan bermotor. Eksternalitas merupakan berbagai pengaruh, baik atau buruk terhadap pihak-pihak yang tidak secara langsung terlibat dalam proses produksi atau penggunaan suatu komoditi. Hal ini juga disebut pengaruh pihak ketiga (third party effects). (Lipsey, Courant, & Purvis, 1997: 297)
METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini, pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Peneliti berusaha untuk memahami fenomena tentang penerapan bobot sebagai dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan upaya pemerintah dalam mengalokasikan penerimaan bobot untuk mengatasi kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan. Berdasarkan tujuan penelitiannya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif karena penelitian ini menyajikan gambaran secara lengkap mengenai setting sosial serta hubungan-hubungan yang terdapat dalam penelitian. Penelitian ini juga merupakan penelitian murni dimana penelitian ini berorientasi pada ilmu pengetahuan. Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari hingga Juni. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik pengumpulan data kualitatif dengan metode pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan studi lapangan (field research) melalui wawancara secara mendalam (in depth interview).
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 2014 tentang Penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Tahun 2014, bobot untuk jenis kendaraan sedan, sedan station, jeep, station wagon,
Analisis penerapan..., Kania Natarizkita, FISIP UI, 2014
6
minibus, microbus, bus, sepeda motor dan sejenisnya serta alat- alat berat dan alat- alat besar ditetapkan sebesar 1,00. Sedangkan untuk mobil barang/beban bobotnya ditetapkan sebesar 1,30. Hal ini juga dikemukakan oleh M. Priyono, Kepala Seksi PDRD Wilayah II Kementerian Dalam Negeri: “Bobot ada dua untuk saat ini penerapannya 1 dan 1,3. Jadi kalau untuk kendaraan bermotor yang memang penggunaannya dirasakan masih dalam standar itu ditetapkan 1. Tapi kalau untuk kendaraan yang tekanan gandarnya diatas rata-rata seperti truck, light truck itu menggunakan 1,3.” (wawancara M. Priyono tanggal 28 Mei 2014) Koefisien bobot yang nilainya 1 dan 1,3 ini mengandung pengertian bahwa koefisien bobot yang nilainya 1 berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap masih dalam batas toleransi. Sedangkan koefisien bobot yang nilainya 1,3 mengandung pengertian bahwa kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan Kendaraan Bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi. Berdasarkan Pasal 5 ayat 8 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan dihitung berdasarkan faktor-faktor: a. Tekanan gandar, yang dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor. b. Jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor yang dibedakan menurut solar, bensin, gas, listrik, tenaga surya, dan jenis bahan bakar lainnya. c. Jenis, penggunaan, tahun pembuatan, dan ciri-ciri mesin Kendaraan Bermotor yang dibedakan berdasarkan jenis mesin 2 tak atau 4 tak, dan isi silinder. Tekanan gandar dibedakan atas dasar jumlah sumbu/as, roda, dan berat Kendaraan Bermotor. Jumlah sumbu/as dibedakan atas as tunggal, as tandem, dan as triple. Sedangkan konfigurasi roda untuk jenis kendaraan truck di Indonesia dapat dilihat dalam gambar 5.1 sebagai berikut:
Analisis penerapan..., Kania Natarizkita, FISIP UI, 2014
7
Gambar 1. Konfigurasi Roda Truk di Indonesia Sumber: Kementerian Dalam Negeri
Jenis bahan bakar Kendaraan Bermotor dibedakan menurut solar, bensin, gas, listrik, tenaga surya, dan jenis bahan bakar lainnya. Kualitas, kategori dan harga bahan bakar biasanya ditentukan berdasarkan angka oktan, Research Octane Number (RON). Bilangan oktan ini adalah angka yang menunjukkan seberapa besar tekanan yang bisa diberikan sebelum bahan bakar terbakar secara spontan. Ada tiga jenis bahan bakar bensin di berbagai negara termasuk Indonesia berdasar angka Oktan (RON) diantaranya yaitu: Tabel 3. Angka Oktan No
Jenis Bahan Bakar
Angka Oktan
1
Premium
88
2
Pertamax
92
3
Pertamax Plus
95
Angka oktan di atas menunjukkan bahwa semakin rendah angka oktan, maka pencemaran lingkungan yang ditimbulkan akibat penggunaan bahan bakar semakin besar. Sedangkan apabila angka oktannya semakin tinggi, maka pencemaran lingkungan yang ditimbulkan akibat penggunaan bahan bakar semakin kecil.
Analisis penerapan..., Kania Natarizkita, FISIP UI, 2014
8
Selain tekanan gandar dan jenis bahan bakar kendaraan bermotor, faktor lainnya seperti jenis kendaraan, penggunaan, tahun pembuatan, ciri-ciri mesin dan isi silinder juga diperhitungkan dalam menetapkan besarnya koefisien bobot. Jenis kendaraan dibedakan atas jenis sedan, sedan station, jeep, station wagon, minibus, microbus, bus, sepeda motor, dan sejenisnya serta alat- alat berat dan alat- alat besar. Sedangkan untuk mobil barang/beban diantaranya terdiri dari pick up, light truck, dump truck. Penggunaan kendaraan bermotor dibedakan atas apakah kendaraan tersebut sering digunakan atau tidak. Tahun pembuatan menunjukkan bahwa semakin tua kendaraan maka bobotnya semakin besar. Sedangkan isi silinder dinyatakan dengan menggunakan satuan sentimeter kubik (cc) dan/atau liter (l). Dalam literatur the economics of road user charge, setiap pemakai jalan harus membayar sejumlah biaya kepada pemerintah karena kendaraan tersebut menimbulkan kerusakan terhadap jalan raya. Pembiayaan jalan raya harus dibebankan kepada setiap pemakai jalan dengan mengenakan pajak jalan, pajak kendaraan bermotor dan pungutan-pungutan lainnya sehingga pembiayaan terhadap jalan raya dapat ditutupi. Keseimbangan antara besarnya biaya jalan raya dengan pajak yang dikenakan kepada pemakai jalan akan menunjukkan bahwa penggunaan jalan raya sudah optimal. (Samudra, 2005: 60) Pemerintah berhak untuk memungut biaya atas pemakaian jalan berupa Pajak Kendaraan Bermotor. Berdasarkan konsep road user charge ini, pemerintah dapat memperhitungkan biayabiaya yang terkait dengan jalan raya dalam menetapkan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor. Biaya-biaya tersebut antara lain biaya kemacetan (congestion cost), biaya polusi (pollution cost), dan biaya-biaya lainnya. Bahl dan Linn dalam bukunya: “The marginal social cost includes the variable maintenance and pollution costs and the marginal congestion costs, that is, the additonal cost of vehicle operation, lost time, and noise and foul air that the vehicle operator imposes on others by putting an additional vehicle on the road. If automotive taxes exactly equal these marginal costs, they will produce an efficient use of roads.” (Bahl & Linn: 211) Dalam menetapkan Pajak Kendaraan Bermotor, biaya-biaya tidak langsung bagi masyarakat yang timbul dari penggunaan jalan raya harus diperhitungkan termasuk biaya-biaya pembangunan
dan
pemeliharaan
jalan.
Penerapan
bobot
saat
ini
nyatanya
telah
memperhitungkan marginal social cost termasuk diantaranya biaya kemacetan (congestion cost). Namun penerapan bobot saat ini lebih fokus dalam memperhitungkan biaya-biaya yang terkait dengan kerusakan jalan. Sedangkan biaya-biaya yang terkait dengan pencemaran lingkungan
Analisis penerapan..., Kania Natarizkita, FISIP UI, 2014
9
belum dijadikan sebagai perhitungan dalam menetapkan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor. Pemerintah seharusnya tidak hanya fokus dalam memperhitungkan biaya yang terkait dengan kerusakan jalan saja namun juga harus memperhitungkan biaya yang terkait dengan pencemaran lingkungan. Hal ini dikarenakan pencemaran lingkungan di DKI Jakarta sudah sangat serius. Kota Jakarta telah menjadi kota besar dengan tingkat polusi udara terburuk ketiga di dunia setelah Mexico City (Meksiko) dan Bangkok (Thailand). (Lopulalan, 2013: 1) Dampak polusi dalam jangka panjang akan menimbulkan dampak kesehatan. Di berbagai negara, pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor biasanya didasarkan pada cc kendaraan.
Ada
4
macam
metode
utama
yang
mengatur
emisi
permobilan: Eropa, Inggris, Jepang, dan Amerika Serikat. Metode yang dipakai di beberapa negara Eropa adalah mengenakan pajak pada kendaraan di atas 1.0L (1000 cc) dan di level 1.6L (1600 cc). Di Inggris, sistem pengenaan pajaknya adalah emisi gas buang mulai tanggal 1 Maret 2001 (sebelumnya mereka memakai kapasitas mesin sebagai metode, mobil dengan mesin dibawah 1549 cc pajaknya lebih murah). Di Jepang metodenya mirip dengan Eropa (berdasarkan kapasitas mesinnya) ditambah dengan pajak bobot kendaraan. Di Belanda dan Swedia, pengenaan pajak dilihat dari bobot kendaraan. Tapi, Swedia mengubah peraturannya tahun 2008 menjadi pengenaan pajak didasarkan pada emisi karbon dioksida. Pengenaan bobot sebagai dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor di Indonesia ini perlu mempertimbangkan biaya-biaya yang terkait dengan pencemaran lingkungan seperti yang diterapkan di negara maju. Misalnya, pengenaan bobot sebagai dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor dihitung berdasarkan pada cc kendaraan. Peneliti memberikan beberapa alternatif dalam menghitung besarnya bobot. Alternatif ini memperhitungkan faktor-faktor yang terkait dengan pencemaran lingkungan dalam menetapkan besarnya koefisien bobot. Pertama, peneliti menghitung besarnya bobot berdasarkan isi silinder yang dinyatakan dengan menggunakan satuan sentimeter kubik (cc) dan/atau liter (l). apabila suatu kendaraan memiliki cc yang besar, maka kerusakan lingkungan ditimbulkan dari penggunaan kendaraan bermotor akan besar pula. Hal ini akan berpengaruh dalam menghitung besarnya bobot. Misalnya, kendaraan jenis Jeep Grand Cherokee 6.200 cc V8 seharusnya dikenakan bobot yang lebih besar dibandingkan dengan Avanza 1.500 cc VVT-I karena kendaraan jenis Jeep yang memiliki cc lebih besar tersebut menimbulkan kerusakan jalan dan
Analisis penerapan..., Kania Natarizkita, FISIP UI, 2014
10
pencemaran lingkungan yang lebih besar pula. Semakin berat kendaraan semakin besar juga kerusakan jalannya dan semakin besar cc nya maka bobotnya juga semakin besar karena konsumsi bahan bakarnya juga semakin banyak. Besarnya koefisien bobot yang dihitung berdasarkan isi silinder ini dapat dilihat dalam tabel 5.2 sebagai berikut: Tabel 4. Penetapan Koefisien Bobot Berdasarkan Isi Silinder Isi Silinder
Koefisien Bobot
≤ 1000 cc
0,9
1001 – 1500 cc
1
1501 – 2000 cc
1,1
2001 – 2500 cc
1,2
2501 – 3000 cc
1,3
3001 – 3500 cc
1,4
≥ 3500 cc
1,5
Sumber: Diolah Peneliti Kedua, peneliti juga menghitung besarnya bobot berdasarkan jenis bahan bakar kendaraan bermotor. Jenis bahan bakar kendaraan bermotor dibedakan menurut solar, bensin, gas, listrik, tenaga surya, dan jenis bahan bakar lainnya. Jenis bahan bakar yang angka oktannya tinggi, maka pencemaran lingkungan yang ditimbulkan akibat penggunaan bahan bakar semakin kecil. Dengan demikian, pajak yang dikenakan pun akan semakin kecil karena pemerintah dalam hal ini memberikan insentif atas penggunaan bahan bakar ramah lingkungan. Sedangkan untuk jenis bahan bakar yang angka oktannya rendah, maka pencemaran lingkungan yang ditimbulkan akibat penggunaan bahan bakar semakin besar. Dengan demikian, pajak yang dikenakan pun akan semakin besar. Ketiga, peneliti juga menghitung besarnya bobot berdasarkan tahun pembuatan. Kendaraan bermotor yang tahun pembuatannya lebih tua, maka pencemaran lingkungan yang ditimbulkan akibat penggunaan kendaraan bermotor semakin besar. Disamping itu, penggunaan kendaraan bermotor tersebut juga dapat menyebabkan kemacetan jika kendaraan bermotor tersebut mengalami mogok. Misalnya, kendaraan bermotor yang tahun pembuatannya tahun 1990, emisi gas buang yang dikeluarkan semakin banyak sehingga hal ini dapat menyebabkan
Analisis penerapan..., Kania Natarizkita, FISIP UI, 2014
11
pencemaran lingkungan yang lebih besar. Kendaraan tersebut juga dapat menyebabkan kemacetan jika kendaraan bermotor tersebut mengalami mogok. Oleh sebab itu, pemerintah dapat memperhitungkan biaya-biaya yang terkait dengan jalan raya dalam menetapkan dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor. Biaya-biaya tersebut antara lain biaya kemacetan (congestion cost), biaya polusi (pollution cost), dan biaya-biaya lainnya. Perhitungan biaya-biaya ini kemudian dirumuskan dalam menetapkan koefisien bobot yang nilainya bervariasi. Dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2010, hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor paling sedikit 20% dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum. Pasal ini menjelaskan fungsi earmarked tax dalam hasil pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor. Namun jika melihat UU Nomor 28 Tahun 2009, tampaknya hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor ini belum dialokasikan untuk masalah pencemaran lingkungan. Dalam UU ini masih fokus mengalokasikan hasil penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum. Masalah pencemaran lingkungan ini seharusnya diatur lebih lanjut mengingat bahwa dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor ini salah satunya terdiri dari bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor. Oleh sebab itu, pemerintah daerah seharusnya juga mengatur ketetapan mengenai penanganan masalah pencemaran lingkungan selain masalah kerusakan jalan akibat penggunaan kendaraan bermotor. Fungsi earmarked tax Pajak Kendaraan Bermotor ini erat kaitannya dengan fungsi regulerend dimana pajak digunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Namun tampaknya pemerintah saat ini masih mengedepankan fungsi budgetair Pajak Kendaraan Bermotor dibandingkan dengan fungsi regulerend nya. Hal ini mengingat bahwa Pajak Kendaraan Bermotor merupakan primadona dalam penerimaan pajak daerah. Menurut Siregar dalam Samudra, terdapat dua pendekatan dalam menetapkan besarnya pembebanan biaya jalan raya kepada pemakai jalan yaitu: (Samudra, 2005: 60) a. Pendekatan benefits received Pemakai jalan atau pemilik kendaraan bermotor dikenakan pajak sebanding dengan manfaat yang diterima. Pajaknya sama dengan biaya pemeliharaan untuk setiap kilometer pemeliharaan jalan raya ditambah biaya congesti. Pendekatan ini digunakan untuk
Analisis penerapan..., Kania Natarizkita, FISIP UI, 2014
12
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kendaraan komersial yang penting peranannya dalam melancarkan arus barang dan penumpang diberikan keringanan pajak. Sedangkan kendaraan sedan yang pemiliknya sangat mampu membayar dikenakan pajak lebih tinggi. b. Pendekatan the cost of service Yaitu besarnya pajak sebanding dengan biaya yang ditimbulkan oleh pemakai jalan. Karena itu pajak untuk kendaraan bermotor truk dan bus akan lebih besar dibandingkan dengan pajak kendaraan bermotor sedan. Hal ini karena truk dan bus dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibandingkan terhadap jalan raya yang mengakibatkan biaya pemeliharaan jalan yang ditimbulkan akan lebih besar pula. Apabila dikaitkan dengan kerusakan jalan yang ditimbulkan dari penggunaan kendaraan bermotor, maka pendekatan yang paling tepat digunakan dalam menetapkan besarnya biaya jalan raya adalah pendekatan the cost of service dimana kendaraan besar seperti truk, light truk dan dump truk akan dikenakan pajak yang lebih besar dibandingkan kendaraan jenis sedan. Namun khusus untuk kendaraan jenis bus yang digunakan sebagai transportasi umum, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan keringanan pajak dimana besarnya bobot nilainya sama dengan kendaraan jenis sedan. Hal ini sesuai dengan pendekatan benefits received. Kendaraan komersial yang penting peranannya dalam melancarkan arus barang dan penumpang diberikan keringanan pajak. Apabila dikaitkan dengan pencemaran lingkungan, maka pendekatan yang paling tepat digunakan dalam menetapkan besarnya biaya jalan raya adalah pendekatan benefits received. Pemilik kendaraan bermotor dikenakan pajak sebanding dengan manfaat yang diterima. Namun pada kenyataannya wajib pajak kendaraan bermotor sendiri masih belum merasakan keseimbangan antara beban pajak yang ia keluarkan dengan manfaat yang diterimanya khususnya mengenai upaya pemerintah untuk mengatasi masalah pencemaran lingkungan. Oleh sebab itu, fungsi earmarked tax Pajak Kendaraan Bermotor ini perlu diatur lebih lanjut agar alokasi penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor ini jelas sehingga wajib pajak dapat memperoleh manfaat yang maksimal. Berdasarkan konsep kesejateraan masyarakat (social welfare), negara/pemerintah bertanggung jawab penuh dalam menyediakan seluruh kebutuhan rakyatnya dan tanggung jawab tersebut tidak dapat dilimpahkan. (Ismail, 2005: 36) Berdasarkan perubahan ketiga UUD 1945
Analisis penerapan..., Kania Natarizkita, FISIP UI, 2014
13
Pasal 23A, “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam UU.” Hal ini merupakan dasar hukum pajak di Indonesia. Pada hakikatnya dalam ketentuan pajak tersirat falsafah pajak dimana pajak harus berdasarkan undang-undang karena pajak akan menyentuh hak rakyat atau keadilan rakyat dan digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan serta kesejateraan masyarakat (social welfare). (Ismail, 2005: 41) Hal ini jelas menunjukkan bahwa pajak ditujukan untuk kesejateraan masyarakat (social welfare). Di Swedia dan Perancis, pajak polusi diperuntukkan khusus mengatasi masalah polusi, termasuk membiayai temuan-temuan baru tentang energi pengganti BBM. (Rosdiana, 2009: 148) Due menjelaskan, di Amerika Serikat dan beberapa negara lain hasil pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor dikombinasikan dengan pemberian subsidi untuk minum susu. Hal ini ditujukan untuk mengurangi dampak kesehatan yang ditimbulkan dari penggunaan kendaraan bermotor. Apabila pemungutan pajak telah dilakukan, selanjutnya pemerintah juga harus memikirkan bagaimana cara pengalokasian yang terbaik agar terjadi keseimbangan antara pertumbuhan jalan dan jumlah kendaraan bermotor. (Samudra, 2005: 58) melihat kondisi saat ini, ternyata masalah tersebut muncul setelah pembayar pajak menuntut agar pemerintah secepat mungkin mengalokasikan dana tersebut untuk perbaikan jalan dan juga pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor. Hal ini sesuai dengan pendapat Due sebagai berikut: “Alokasi kembali dari dana-dana sulit dilaksanakan, dengan susunan badan legislatif yang ada, perlawanan yang kuat dari pihak pemakai terhadap pertambahan dalam tingkat pajak tanpa alokasi yang lebih baik. Mereka merasa bahwa terlalu banyak yang telah dikeluarkan bila dibandingkan dengan apa yang telah diperolehnya.” (Due, 1985: 469) Penerimaan daerah yang berasal dari pajak kendaraan bermotor tersebut betul-betul harus dikembalikan oleh pemerintah daerah kepada wajib pajak dalam bentuk pelayanan khususnya dalam mengatasi kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor. Apabila bobot ditetapkan sebagai dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor, selanjutnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga harus mengalokasikan sepenuhnya hasil penerimaan bobot untuk pemeliharaan jalan dan pencemaran lingkungan karena berdasarkan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, bobot mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor.
Analisis penerapan..., Kania Natarizkita, FISIP UI, 2014
14
Oleh sebab itu, hasil penerimaan bobot ini harus dialokasikan sepenuhnya untuk mengatasi kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan. Dengan demikian, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu mengalokasikan sepenuhnya hasil penerimaan bobot untuk pemeliharaan jalan dan pencemaran lingkungan. Tidak hanya dialokasikan
untuk
pembangunan
dan/atau
pemeliharaan
jalan,
namun
juga
harus
mengalokasikan sepenuhnya hasil penerimaan bobot untuk pencemaran lingkungan. Beban pajak yang telah dipungut harus dikembalikan oleh pemerintah daerah kepada wajib pajak dalam bentuk pelayanan khususnya dalam mengatasi kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan. Fungsi earmarked dalam Pajak Kendaraan Bermotor perlu diterapkan secara lebih efisien agar dapat mengurangi eksternalitas negatif yang ditimbulkan dari penggunaan kendaraan bermotor.
KESIMPULAN DAN SARAN Penerapan bobot sebagai dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor didasarkan pada konsep congestion cost dimana congestion cost merupakan biaya tambahan yang dibebankan kepada pengguna jalan karena kendaraan tersebut menimbulkan eksternalitas negatif berupa kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan. Besarnya koefisien bobot seharusnya tidak hanya memperhitungkan biaya yang terkait dengan kerusakan jalan saja namun juga perlu memperhitungkan biaya yang terkait dengan pencemaran lingkungan. Hasil penerimaan bobot saat ini dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum. Sedangkan pencemaran lingkungan yang tercermin dalam bobot ini belum diatur dalam UU. Fungsi earmarked tax dalam Pajak Kendaraan Bermotor ini perlu ditingkatkan agar terjadi keseimbangan antara beban pajak yang telah dikeluarkan oleh wajib pajak dengan upaya pemerintah dalam meminimalisir eksternalitas negatif yang ditimbulkan dari penggunaan kendaraan bermotor termasuk kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan. Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti memberikan saran sehubungan dengan penyempurnaan permasalahan terkait yaitu: Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya tidak hanya memperhitungkan biaya yang terkait dengan kerusakan jalan saja namun juga perlu memperhitungkan biaya yang terkait dengan pencemaran lingkungan. Hal ini mengingat bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009, bobot mencerminkan secara
Analisis penerapan..., Kania Natarizkita, FISIP UI, 2014
15
relatif tingkat kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor. Oleh sebab itu, biaya-biaya yang terkait dengan kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan sudah sepatutnya diperhitungkan dalam menetapkan koefisien bobot. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu mengalokasikan sepenuhnya hasil penerimaan bobot untuk pemeliharaan jalan dan pencemaran lingkungan. Tidak hanya dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan, namun juga harus mengalokasikan sepenuhnya hasil penerimaan bobot untuk pencemaran lingkungan. Beban pajak yang telah dipungut harus dikembalikan oleh pemerintah daerah kepada wajib pajak dalam bentuk pelayanan khususnya dalam mengatasi kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA Atkinson, Anthony B. & Stiglitz, Joseph E. (1980). Lectures on Public Economics. Singapore: McGraw Hill. Bahl, Roy W. & Linn, Johannes F. (1992). Urban Public Finance in Developing Countries. New York: Oxford University Press Inc Basuki. (2008). Pengelolaan Keuangan Daerah. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Bird, Richard M. (2000). Taxation in Developing Countries Fourth Edition. Baltimore dan London: The John Hopkins University Press. Brotodihardjo, R. Santoso. (2003). Pengantar Ilmu Hukum Pajak (Edisi Keempat). Bandung: PT Refika Aditama. Bungin, B. (2003). Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo. Due, J. F. (1985). Keuangan Negara: Perekonomian Sektor Pemerintah. Jakarta: UI Press. Hancock, D. (1999). An Introduction to Taxation. London: Chapman and Hall. Ismail, T. (2005). Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia. Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia Badan Pengkajian Ekonomi Keuangan dan Kerjasama Internasional Pusat Evaluasi Pajak dan Retribusi Daerah. Kelana, S. (1996). Teori Ekonomi Makro. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Kurniawan, P., & Purwanto, A. (2004). Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Indonesia. Malang: Bayumedia Publishing. Laudin, M. (2006). Hukum dan Kebijakan Perpajakan di Indonesia. Yogyakarta: UII Pers.
Analisis penerapan..., Kania Natarizkita, FISIP UI, 2014
16
Lipsey, R. G., Courant, P. N., & Purvis, D. D. (1997). Pengantar Makroekonomi. Jakarta: Binarupa Aksara. Meolong, L. J. (2006). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Musgrave, R. A., & Musgrave, P. B. (1983). Public Finance in Theory and Practice. United States: McGraw Hill. Neuman, W. L. (2003). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. Boston: Pearson. Nurmantu, S. (2005). Pengantar Perpajakan. Jakarta: Granit. Rosdiana, H., & Irianto, E. S. (2013). Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Rosen, H. S. (1988). Public Finance. Illinois: Richard D. Irwin Inc Samudra, Azhari Aziz. (2005). Perpajakan di Indonesia: Keuangan, Pajak, dan Retribusi. Jakarta: PT Hecca Mitra Utama. Savas, E. (2000). Privatization and Public Private Partnerships. London: Chantam House Publisher. Siahaan, M. P. (2005). Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. , (2010). Pajak Daerah dan Retribusi Daerah: Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. Surachmad, W. (1982). Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar, Metode, dan Tehnik. Bandung: Tarsico. Block, W. (1983). Public Goods and Externalities: The Case of Roads. The Journal of Libertarian Studies Vol. VII No. 1, 11. Rosdiana, H. (2009). Menggagas Model Proyeksi Penerimaan PKB dan BBNKB. Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi Volume 16 Nomor 3, 147.
Analisis penerapan..., Kania Natarizkita, FISIP UI, 2014