Dasa Tali Dogén Karya I Gdé Dharna: Mengajarkan Sejarah Lewat Cerpen
Formatted: Left: 99,25 pt, Right: 85,05 pt, Top: 99,25 pt, Bottom: 85,05 pt, Width: 595,35 pt, Height: 842 pt Formatted: Font: (Default) Tahoma
Oleh : W. Suardiana (Dosen Fakultas Sastra UNUD) I. Pendahuluan
Deleted:
(*)
Deleted:
*
Formatted: Font: (Default) Tahoma, Bold Formatted: Font: Bold Formatted: Font: (Default) Tahoma
Berbicara masalah karya sastra (baca: cerpen) kita akan diajak untuk “menikmati” dunia baik dalam tataran realita maupun rekaan. Sebagai sebuah realita, pelukisan kisah dalam sebuah karya sastra dapat berupa halhal yang kasat mata dan pernah kita alami di seputaran kehidupan kita, sedangkan cerita rekaan merupakan kisah yang telah mengalami proses pengendapan oleh pengarangnya. Kisah itu baru dilahirkan setelah pengarang mengalami kontemplasi dengan pengalaman dan keadaan yang ada di seputar ia berada. Cerita pendek (cerpen) pada dasarnya merupakan kisah yang hanya memuat tentang satu persoalan namun diungkapkan secara tajam (Sumardjo, 2007: 89). Oleh karenanya kekuatan cerpen itu ada pada pengisahan dan pemilihan diksi yang digunakan oleh pengarang. Konflikkonflik yang tidak terduga dan padat tentu sangat diharapkan dalam sebuah karya yang disebut cerpen. Dalam konteks Bali, istilah cerpen baru kita kenal setelah mendapat pengaruh dari sastra Indonesia. Cerpen dalam kesusastraan Bali lumrah disebut sebagai sastra modern. Lewat pengaruh sastra Indonesia (Melayu) itulah kemudian para penekun sastra dan penulis Bali menulis kisah-kisah pendek tentang sesuatu hal yang ada di lingkungannya tinggal. Bahkan, bisa jadi tulisan-tulisan yang muncul merupakan buah dari imajinasi mereka sendiri. Kumpulan cerpen “Dasa Tali Dogén” karya I Gdé Dharna yang akan menjadi pusat pembahasan dalam makalah ini pada dasarnya memuat berbagai persoalan yang pernah di-“potret” atau dialami oleh penulisnya. Lika-liku hidup penulis dituangkan ke dalam sebuah kisah baik berupa kisah nyata, rekaan, maupun gabungan antara keduanya. Dari kontemplasi itu maka lahirlah lima belas hasil karya yang dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu (1) kelompok kisah nyata seperti cerita dengan judul Dasa Tali Dogén, Siaté di Selat Bali, Sri Kumala Ngentungang Api di Badung, dan Ingetang. (2) Cerita rekaan diberi judul Kobarang Apiné, Mara Teka, Kadén Saja, Tusing Madaya, Mindang Batu, Mara Lima Bulan, dan Baang Dogén (3) Kisah yang mencerminkan perpaduan antara cerita rekaan dengan kisah nyata itu diaktualisasikan oleh pengarang dengan judul Gita Pahlawan, Patut Lestariang, dan Eda Engsapina. Untuk memberikan gambaran perkembangan (*)
Formatted: Line spacing: single
Deleted: bayangan Deleted: yang
Formatted: Justified
Deleted: , Deleted: dan Patut Lestariang.
Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Right, Position: Horizontal: 297,25 pt, Relative to: Page, Vertical: -9,2 pt, Relative to: Paragraph Formatted: Right: 18 pt
1
karya-karya sastra Bali modern di bawah ini akan diuraikan sekilas tentang karya-karya yang pernah ada dalam khasanah Kesusastraan Bali Anyar (modern). II. Sekilas Kesusastraan Bali Anyar (Modern) Tonggak keberadaan kesusastraan Bali Anyar oleh para sujana Bali awalnya diakui sejak terbitnya novel/roman Nemoe Karma karya I Wayan Gobiah tahun 1931. Pendapat-pendapat bahwa sastra Bali modern (Kasusastran Bali Anyar) bermula tahun 1931 terus didaur ulang sejak 1969 sampai tahun 2000. Dalam situasi tidak tersedia bukti-bukti lain, tentu saja mudah menerima pendapat yang mengatakan bahwa sejarah sastra Bali modern bermula tahun 1931 karena tahun itulah untuk pertama kalinya terbit karya sastra berbahasa Bali dalam bentuk roman. Lebih-lebih, karya ini juga memiliki keistimewaan karena diterbitkan oleh Balai Pustaka, penerbit penting pada zaman kolonial (bahkan sampai sekarang). Pendapat di atas gugur setelah terbitnya buku Tonggak Baru Sastra Bali Modern karya I Nyoman Darma Putra tahun 2000 silam. Menurut Putra (2000: 7), tahun 1913, I Madé Pasek menerbitkan buku berjudul Tjatoer
Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma Deleted: ¶ ¶
Formatted: Line spacing: single
Perenidanâ, Tjakepan kaping doeâ pâpeladjahan sang mâmanah maoeroek mâmaos aksarâ Belanda yang diterbitkan di Semarang oleh percetakan
Brukkerij en Boekhandel H.A. Benjamnis. Dalam buku ini termuat 46 judul tulisan, ada teks eksposisi, deskripsi, dan narasi. Salah satu teks yang berbentuk narasi (cerita) berjudul Balian, yang mengisahkan keadaan manusia biasa sehari-hari, bukan kisah dewa atau binatang seperti pada sastra lisan, menunjukkan bahwa telah ada bentuk baru dalam sastra Bali saat itu. Karya I Madé Pasek lainnya berjudul Pemadat. Selanjutnya Mas Nitisastro, seorang guru di Singaraja, menerbitkan buku Warna Sari, Batjaan Bali Hoeroef Belanda (1925). Dalam buku ini termuat cerpen berjudul Loba dan Anak Ririh. Berdasarkan kedua penulis di atas, tonggak keberadaan sastra Bali modern bergeser dari tahun 1931 ke tahun 1913. Lama vakum, baru tahun 1959 lahir puisi Bali modern dengan judul “Basa Bali” karya Suntari Pr. dalam majalah Medan Bahasa Basa Bali No.1 Th. I, Maret 1959, hlm 30. Sesungguhnya, antara tahun 1931 sampai tahun 1959 hanya ada tiga karya sastra Bali Modern; Nemoe Karma (roman), Basa Bali (puisi), dan satunya lagi belum diterbitkan berupa novel/roman, karya I Gde Srawana berjudul Mlantjaran ka Sasak (dimuat dalam majalah Djatajoe antara tahun 1935 s.d.1939). Perkembangan kesusastraan Bali modern, khususnya dalam bentuk puisi, setelah puisi Basa Bali selanjutnya baru tahun 1968 ada puisi berjudul “Angin” yang merupakan terjemahan dari puisi karya Boris Pasternak “Wind”. Puisi ini diterjemahkan oleh I Ketut Suwidja dan dimuat pada harian Angkatan Bersenjata edisi Nusa Tenggara tanggal 16 Juni 1968 (Sumarta, 1988: 43). Pada tahun yang sama (1968), Lembaga Bahasa Nasional Cabang
2
Formatted: Right, Position: Horizontal: 297,25 pt, Relative to: Page, Vertical: -9,2 pt, Relative to: Paragraph Formatted: Right: 18 pt
I Singaraja –kini Balai Penelitian Bahasa- mengadakan sayembara penulisan karya sastra Bali Modern yang meliputi puisi, cerita pendek, dan drama. Sayembara ini merupakan sayembara pertama untuk penulisan puisi Bali modern. Terpilih empat puisi sebagai pemenang pertama sampai harapan, yaitu : “Bali” karya Ngurah Yupa (I Gusti Ngurah Yudha Panik); “Gaguritan Pianak Bendéga” karya Arthanegara (I Gusti Bagus Arthanegara); “Pura Agung Jagatnatha” karya I Wayan Rugeg Nataran; dan “Galang Bulan” karya Ketut Putra. Selanjutnya tahun 1969, untuk kedua kalinya Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja mengadakan sayembara yang sama. Selain itu, sayembara yang kedua ini juga menyertakan sayembara penerjemahan puisi. Pemenangnya adalah: “Mati Nguda” karya Putu Sedana; “Pinunas” karya Ngurah Agung; “Suara saking Kawahé” karya I Wayan Rugeg Nataran. Puisi terjemahan yang mendapat juara kedua –pemenang pertama dan ketiga tidak ada- yakni puisi “Di Sisin Cariké” terjemahan oleh I Wayan Rugeg Nataran dari puisi “Di Tepi Sawah” karya Toto Sudarto Bachtiar. Tahun 1972 Listibya Provinsi Bali menerbitkan buku Himpunan Naskah Pemenang Sayembara Sastra Daerah dan Nasional. Untuk puisi Bali Modern pemenangnya, berturut-turut: “Suara saking Sétra” karya Madé Sanggra; “Taman Tirta Gangga” karya I Gusti Ayu Ngurah Murtini; “Pura Besakih” karya Anak Agung Gede Jelantik; “Wit Cemara” karya Nyoman Tusthi Eddy; dan “Pabesen I Tua” karya I Gusti Ketut Waca Warsana. Tahun 1973, Yayasan Dharma Budhaya, Gianyar menerbitkan buku yang memuat 34 puisi karya Madé Sanggra dan Nyoman Manda dengan judul Ganda Sari. Yayasan ini juga menerbitkan buku kumpulan puisi Joged Bumbung karya I Nyoman Manda sebanyak 20 buah pada tahun 1975. Yayasan Sabha Sastra Bali pada tahun 1976 menerbitkan kumpulan puisi yang memuat 25 puisi dari tujuh orang penyair, berjudul Galang Kangin. Ketujuh penyair itu, yaitu: Agastia; Aryottama; Raka Téja; Utara Wungsu; Madé Taro; Wayan Jéndra; dan Madé Sanggra. Selanjutnya, tahun 1978 terbit sebuah bunga rampai yang disunting oleh I Gusti Ngurah Bagus bersama I Ketut Ginarsa. Bunga rampai ini berjudul Kembang Rampé Kasusastran Bali Anyar diterbitkan oleh Balai Penelitian Bahasa, Singaraja. Buku ini terdiri atas dua jilid. Jilid pertama memuat puisi-puisi Bali modern sejumlah 150 judul karya 41 orang penulis puisi Bali modern. Pada intinya puisi-puisi ini pernah diterbitkan pada harian Suluh Marhaén, Angkatan Bersenjata edisi Nusa Tenggara antara tahun 1968 s.d. 1975 (Ibid: 53). Selanjutnya tahun 1980 terbit kumpulan puisi berjudul Klangen ring Batur. Kumpulan puisi karya Nyoman Manda ini memuat 14 judul puisi Bali modern. Tahun 1981, Yayasan Sabha Sastra Bali menerbitkan pula sebuah buku kumpulan puisi yang berjudul Puyung. Kumpulan ini berisi 13 puisi karya tujuh orang penulis, yakni Ki Nirdon (nama samaran Ida Bagus Gede Agastia), I Ketut Suwidja, I Dewa Gde Windhu Sancaya, Made Sanggra, Wayan Suteja, Aturu, dan Deratha. Tahun 1982 Yayasan Sabha Sastra kembali menerbitkan sebuah kumpulan puisi dengan judul Ngayah. Kumpulan ini berisi 17 puisi karya
3
Formatted: Right, Position: Horizontal: 297,25 pt, Relative to: Page, Vertical: -9,2 pt, Relative to: Paragraph Formatted: Right: 18 pt
enam penulis, yakni Ki Nirdon, Made Suarsa, Made Sanggra, Putu Suarthama, I Dewa Gde Windhu Sancaya, dan Nyoman Tusthi Eddy. Masih dalam tahun yang sama (1982) terbit pula kumpulan puisi berjudul Rah. Kumpulan ini berisi 10 puisi karya I Gusti Putu Antara yang diterbitkan sendiri oleh penulisnya. Tahun 1983 terbit dua buku kumpulan puisi, yaitu (1) Ai dan (2) Bunga Gadung Ulung Akatih. Yang pertama diterbitkan oleh Yayasan Sabha Sastra Bali dan berisi 31 puisi, di antaranya 19 puisi terjemahan yang dikerjakan oleh Nyoman Tusthi Éddy (18 puisi) serta I Dewa Gde Windhu Sancaya (1 puisi). Puisi-puisi Bali modern yang asli dalam kumpulan puisi Ai ini ditulis oleh Ki Nirdon, I Dewa Gde Windhu Sancaya, Made Sanggra, dan Wayan Selat Wirata. Adapun kumpulan puisi Bunga Gadung Ulung Akatih berisi 12 puisi karya Nyoman Manda sendiri dan diterbitkannya sendiri dengan lebel Pondok Tebawatu, Gianyar. Terbitan terakhir, puisi Bali modern pada periode 1980-an ini berjudul Gending Pangapti yang diterbitkan oleh Yayasan Sabha Sastra Bali. Kumpulan ini terbit tahun 1984 dan berisi 29 puisi karya Made Sanggra, I Ketut Sumarta, Ida Bagus Rai Putra, dan I Dewa Gde Windhu Sancaya. Tahun 1988 Yayasan Kawi Sastra Mandala menerbitkan kumpulan puisi Bali modern dengan judul Satria Kuladewa karya IGP. Antara (Putra, Op. Cit: 65). Selanjutnya, keberadaan puisi Bali modern dipasilitasi oleh harian lokal seperti Bali Post, Karya Bakti, dan Nusa Tenggara. Selain itu, juga ada majalah yang diterbitkan oleh mahasiswa Fakultas Sastra Unud, secara berkala memuat puisi Bali modern. Majalah itu bernama Kanaka. Setelah periode di atas, selanjutnya penulisan dan penerbitan puisi Bali modern mengalami pasang surut. Lama menghilang, akhirnya tahun 1995 Yayasan Dharma Sastra, Denpasar menerbitkan kumpulan 67 judul puisi Bali modern dengan judul Lawat-lawat Suwung karya Tatukung (nama samaran IB. Madé Dharma Palguna). Tahun 1997 Made Sanggra menerbitkan kumpulan puisi yang berjudul Kidung Republik. Bulan Juni 1999, di Gianyar terbit majalah bernama Canang Sari yang dinahkodai oleh Nyoman Manda dan Made Sanggra. Sementara itu di Karangasem, juga muncul majalah berbahasa Bali Buratwangi yang dinahkodai oleh IDK. Raka Kusuma, dkk. Kedua majalah di atas memuat puisi-puisi Bali modern secara berkelanjutan sampai sekarang. Koran Bali Orti yang merupakan suplemen pada harian Bali Post Minggu mulai Agustus 2006 sampai sekarang juga memuat puisi Bali modern dalam rubrik Saking Langit Bali (hal.11). Kumpulan puisi Bali modern yang terbit diawal abad ke-21 diantaranya dapat dilacak karya-karya: (1) Ki Dusun (nama samaran dari I Putu Gedé Suata). Dalam buku ini Suata menulis 19 judul puisi dan juga memuat cerpen berjudul Penyiunan Kunang-kunangé di Manhattan (terjemahan dari cerpen karya Umar Kayam Seribu Kunang-kunang di Manhattan). Kumpulan puisi ini diberinya judul Majugjag dan diterbitkan oleh Sabha Sastra Bali (2001); (2) Nyoman Manda menerbitkan kumpulan puisi Bali modern dengan judul Béh (2001) diterbitkan oleh Pondok Tebawutu,
4
Formatted: Right, Position: Horizontal: 297,25 pt, Relative to: Page, Vertical: -9,2 pt, Relative to: Paragraph Formatted: Right: 18 pt
Gianyar. Buku ini berisi 59 judul yang berisi puisi pendek-pendek. (3) I Madé Molog menulis 31 judul puisi dengan judul “Togog Yéh” yang diterbitkan oleh Sanggar Buratwangi tahun 2002; (4) I Gusti Putu Bawa Samar Gantang menulis buku kumpulan puisi Sagung Wah yang terdiri dari 31 judul dan diterbitkan oleh Majalah Canang Sari, Pondok Tebawutu, Br. Teges, Gianyar tahun 2002; (5) Nyoman Manda kembali menulis 46 judul puisi Bali modern dengan judul Suung Luung yang juga diterbitkan oleh penerbit yang sama tahun 2003; (6) I Dewa Gde Windhu Sancaya menulis kumpulan puisi dan cerpen dengan judul Coffee Shop tahun 2003 yang diterbitkan oleh Yayasan Bali Purana Hita; dan (7) I Made Suarsa menerbitkan tiga buah kumpulan puisi berturut-turut tahun 2004, 2005, dan 2007. Adapun judul puisi Bali modern yang diterbitkan Suarsa merupakan karyanya sendiri dengan judul Ang Ah lan Ah Ang (2004); Gunung Menyan Segara Madu (2005); dan Kunang-Kunang Anarung Sasi (2007). Perkembangan cerita pendek (Cerpen) berbahasa Bali sebagaimana telah diuraikan di atas, pada dasarnya merupakan cikal bakal keberadaan sastra Bali modern itu sendiri yang dimulai tahun 1913. Lewat tulisan I Made Pasek itulah muncul tema-tema tulisan yang lain dari tradisi sebelumnya (dalam hal ini tradisi lisan), dengan tema-tema yang aktual dengan lingkungan masyarakat sekitar pada saat itu. Selanjutnya, setelah periode 1910-an itu, keberadaan cerpen berbahasa Bali mengalami stagnasi yang cukup panjang dan baru muncul ke hadapan publik tahun 1960-an. Cerpen berbahasa Bali pada periode ini (1960-an), diawali dengan kelahiran kisah yang berjudul “Mémé Kualon” karya I Gusti Putu Rai. Cerpen ini merupakan pemenang pertama hasil sayembara yang diselenggarakan oleh Kantor Dinas Kebudayaan Propinsi Bali pada tahun 1967 (Naryana, 1978: 80 dalam Bagus (ed.), 1978). Tahun 1968, Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja (kini Balai Penelitian Bahasa, Denpasar) mengadakan lomba penulisan karya sastra Bali modern yang meliputi puisi, cerpen, dan drama. Dalam bidang cerpen terpilih pemenang harapan dengan judul cerpen “Ni Luh Sari” karya Ida Bagus Mayun. Pemenang pertama, kedua, dan ketiga ditiadakan, karena cerpen-cerpen yang ikut lomba tidak memenuhi syarat untuk itu. Selanjutnya, tahun 1969 untuk kedua kalinya Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja menyelenggarakan lomba yang sama. Sebagai pemenang sayembara penulisan cerpen tahun itu dipilih tiga cerpen. Juara pertama sampai ketiga secara berurutan adalah: Mirah karya Putu Sedana; Iwang Titiang Néwék karya Anak Agung Gde Jelantik; dan Kapatutan Ngulati Kamajuan, karangan I Gusti Putu Rai. Karya-karya ini selanjutnya diterbitkan oleh lembaga yang sama tahun 1974. Tahun 1970 terbit buku “Pakéling Petang Dasa Warsa Sastra Bali Anyar” oleh Yayasan Sabha Sastra Bali bekerjasama dengan Listibya Propinsi Bali. Dari buku ini diketahui pemenang cerpen Bali modern karya Rugeg Nataran dengan judul “Talin Sampi”. Cerpen ini meraih pemenang kedua saat itu. Berikutnya, tahun 1972 Listibya Propinsi Bali kembali mengadakan
5
Formatted: Right, Position: Horizontal: 297,25 pt, Relative to: Page, Vertical: -9,2 pt, Relative to: Paragraph Formatted: Right: 18 pt
lomba cerpen. Terpilih sebagai pemenang 1 s.d 4 berturut-turut: cerpen Katemu ring Tampak Siring karya I Madé Sanggra; Luh Puri ciptaan Ida Bagus Mayun; Ulam Emas karya I Wayan Rugeg Nataran; Dagang Canang ciptaan Anak Agung Gde Jelantik; dan pemenang harapan adalah cerpen Radén Jagat Jaya karangan Ida Bagus Putu Kadra. Hasil sayembara ini dibukukan dengan judul Himpunan Naskah Pemenang Sayembara Sastra Daerah dan Nasional 1972 (tanpa tahun) oleh Listibya Propinsi Bali. Berikutnya, tahun 1974 Yayasan Dharma Budhaya, Banjar Teges Gianyar menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Togog. Buku ini memuat empat kumpulan cerpen karya Nyoman Manda sendiri, berjudul: Mangku Nodé, Buung, Togog, dan Madé Néri. Tahun 1975 Yayasan ini kembali menerbitkan kumpulan cerpen Bali modern dengan judul Katemu ring Tampaksiring. Kumpulan cerpen ini merupakan karangan I Madé Sanggra dan berisi 5 judul cerpen, yaitu: Tukang Gambar; Kucit (terjemahan); Sekar Emas; dan Katemu ring Tampak Siring. Selebihnya, tahun 1977 Balai Penelitian Bahasa Singaraja (dulunya bernama Lembaga Bahasa Nasional Cabang I Singaraja) menerbitkan kumpulan cerpen hasil sayembara penulisan cerpen Bali modern tahun 1975. Juara-juara dalam sayembara itu berturut-turut: Mategul tan Patali karya I Gusti Ketut Waca Warsana; Togog, karangan Nyoman Manda; dan Matemu ring Rumah Sakit buah karya I Nyoman Tri Satya Paramartha. Harian Bali Post antara tahun 1976 – 1980-an menerbitkan beberapa judul cerpen Bali modern dan yang terpenting di antaranya adalah karangan I Gusti Gde Jelantik Santha dengan judul Kulkul Bulus Tengahing Wengi. Cerpen ini dimuat hari Minggu, 27 Maret 1977. Selanjutnya pada edisi Sabtu, 9 September 1978 Bali Post kembali menerbitkan cerpen berjudul Kadapetan karya Brénténg Kakah (nama samaran dari I Gusti Ngurah Pindha); edisi Minggu 10 Maret 1979 terbit cerpen Tresna Asih karangan Krida (Ketut Rida); 15 Juli tahun yang sama terbit cerpen berjudul Matemu ring Kutampi karya penulis yang sama; tanggal 23 September 1979 dimuat cerpen Bungkung Pendok karya Paśa Wiguna; dan tanggal 14 Oktober tahun yang sama terbit cerpen Tusing Nyidaang Nekepin Andus karya Brénténg Kakah. Sepanjang tahun 1980 ada empat cerpen yang dipublikasikan harian Bali Post. (1) Titah karya Ketut Rida terbit tanggal 2 Maret 1980; (2) Kampih di Kakisik karangan Jelantik Santha terbit 23 Maret 1980; Magulungan Ombaké di Pasisi Mascéti ciptaan Wyat S. Ardhi terbit 8 Juni 1980; dan terakhir Eda Maselselan karya Ketut Rida diterbitkan tanggal 5 Oktober 1980. (Gélgél, 1989: 81). Selanjutnya, pada edisi Minggu, 15 Maret 1981 terbit cerpen berjudul Putih-putih Taluh karya I Gde Pitak Pitana. Tahun 1982 Yayasan Sabha Sastra Bali menerbitkan buku kumpulan puisi dan satua bawak (cerpen) Bali modern dengan judul Ngayah. Cerpen yang dimuat dalam buku tersebut, yaitu: Nyantosang Ulung I Bungan Waru karya Made Sanggra; Pura karya Windhu Sancaya; dan Ngabén I karya penulis yang sama. Selanjutnya, setelah lama vakum (kurang lebih 5 tahun), tahun 1988 Bali Post menerbitkan karya cerpen terjemahan dari I Made
6
Formatted: Right, Position: Horizontal: 297,25 pt, Relative to: Page, Vertical: -9,2 pt, Relative to: Paragraph Formatted: Right: 18 pt
Sanggra dengan judul Bramacorah. Cerpen ini merupakan karya Mochtar Lubis dalam bahasa Indonesia. Tahun 1989, Yayasan Sabha Sastra Bali kembali menerbitkan sebuah kumpulan cerpen (satua bawak) dan puisi Bali modern dengan judul Kampih (Papupulan Satua Bawak miwah Puisi Bali Anyar). Cerpen-cerpen yang tercantum dalam buku tersebut ada tiga buah, yaitu: Tan Katutugan karya Madé Merta; Gending Bebotoh karya Ida Bagus Rai Putra; dan Jelantik Santha menulis cerpen berjudul Kampih di Kakisik. Pada tahun yang sama, Bali Post menerbitkan cerpen dengan judul Pilih-pilih Bekul, termuat dalam edisi Pedesaan di bulan Oktober. Tahun 1997, muncul jurnal berbahasa Bali dengan judul Kulkul yang diterbitkan oleh Yayasan Bali Anyar. Sebagaimana namanya Kulkul (kentongan), majalah ini hanya terbit dua kali (Februari dan September), persis seperti suaranya : “tung, tung” lantas menghilang. Pada kedua terbitannya, majalah ini memuat tentang puisi dan cerpen Bali modern selain artikel lainnya. Selanjutnya, terbitan yang dapat kita warisi dari para penulis cerpen Bali modern pada akhir abad kedua puluh dan akhir abad ke-21 ini dapat dicatat di antaranya (1) I Gdé Dharna menulis buku dengan judul Tusing Ada Apa Dé (Pupulan satua Bawak Basa Bali) tahun 2003 dan dihimpun oleh Listibiya Kabupaten Buleleng dan Dasa Tali Dogén (Pupulan Satua) yang diterbitkan oleh Arti Foundation tahun 2009. (2) Windhu Sancaya menulis buku berjudul Coffee Shop (Pupulan Sastra Bali Anyar) tahun 2003 dan memuat 6 judul cerpen, masing-masing: Ngabén I; Ngabén II; Chi Kwang Bok; Luh Métri; Warung; dan Segara Madu. (3) I Made Suarsa menulis buku dengan judul Gedé Ombak Gedé Angin (Pupulan Sawelas Carita Cutet Basa Bali) tahun 2006. Selanjutnya ada puluhan cerpen Bali modern yang dimuat dalam koran Bali Orti dari sejak terbit (Agustus 2006) lalu sampai saat ini pada rubrik Sastra halaman 11. Begitu pula halnya dalam majalah Buratwangi dan Canang Sari dapat kita baca cerpen-cerpen yang bermutu untuk mengasah kepekaan kita terhadap lingkungan Bali. Selanjutnya, perkembangan Kesusastraan Bali Modern dalam bentuk novel akan diuraikan beberapa novel yang pernah terbit dan populer di kalangan pembacanya. Sebagaimana telah terurai di atas, bahwa salah kaprah tentang tonggak awal perkembangan Kesusastraan Bali Modern yang pada dasarnya menggunakan roman/novel Nemoe Karma (1931) karya Wayan Gobiah sebagai titik awal tidaklah keliru benar. Sebab, dalam khasanah tulis sastra Bali modern, novel inilah yang paling mudah untuk didapatkan pada zamannya, sehingga oleh sujana Bali dianggap sebagai tonggak awal keberadaan novel Bali modern. Setelah novel Nemoe Karma selanjutnya terbit novel dengan judul Mlancaran ka Sasak karya Gdé Srawana yang dimuat dalam majalah Djatayoe antara tahun 1935 s.d. 1939 (Tim, 1977/1978: 102). Selanjutnya naskah roman ini diterbitkan kembali oleh Yayasan Sabha Sastra Bali tahun 1978. Lama menghilang, akhirnya baru tahun 1980 Balai Penelitian Bahasa
7
Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma
Formatted: Right, Position: Horizontal: 297,25 pt, Relative to: Page, Vertical: -9,2 pt, Relative to: Paragraph Formatted: Right: 18 pt
Singaraja menggelar sayembara novel. Berdasarkan seleksi dewan juri diputuskan ada enam novel terbaik (tiga juara pertama dan tiga juara harapan) berturut-turut: (1) “Sunari” karya I Ketut Rida; (2) “Lan Jani” karya Nyoman Manda; “Buah Sumagané Kuning-kuning” karya Tri Jayéndra (I Wayan Jéndra); (4) “Ni Kembang Wangi” karya I Dewa Ketut Tjakra; (5) “Gulung-gulungan Ombak” karya I Dewa Ayu Cintiawati; dan (6) “Nemu Karma” karya Anak Agung Jelantik (Putra, Op. Cit: 84). Novel Sunari di atas pada tahun 1999 diterbitkan kembali oleh Yayasan Obor Indonesia. Selanjutnya terbit novel karya Jelantik Santha tahun 1981 diberi judul Tresnané Lebur Ajur Satondén Kembang. Novel Jelantik Santha yang lain berjudul Sembalun Rinjani (terbit tahun 2006) Tahun 1999, Nyoman Manda menerbitkan novel dengan judul Sayong. Selanjutnya Manda juga menerbitkan novel dengan judul Bunga Gadung Ulung Abancang (September 2001). A. Wiyat S. Ardhi menulis novel dengan judul Bukit Buung Bukit Mentik pada tahun 2004 dan diterbitkan oleh Sanggar Bhadrika Ashrama Keramas, Gianyar. Sedangkan perkembangan drama Bali modern khususnya dalam bentuk naskah sangat sedikit ditemui karya-karya yang sampai ke tangan kita. Beberapa kumpulan drama itu dapat dicatat sebagai berikut. Tahun 1978 Listibiya Bali mengadakan lomba menulis naskah drama Bali modern. Dari hasil lomba itu terpilih enam naskah drama Bali modern, yaitu: (1) Semun Langité Kantun Sendu karya Nengah Segatri; (2) Masan Cengkéhé Nedeng Mabunga dan (4) Kuuk karya Nyoman Manda; (5) Puspitawati karya Wayan Pamit; dan (6) Sari karya I Nyoman Nada Sariadha. Berdasarkan hasil keputusan dewan juri terpilih drama dengan judul Masan Cengkéhé Nedeng Mabunga karya Nyoman Manda sebagai naskah pemenang pertama. Tahun 1999, Gdé Dharna menulis buku dengan judul Kobarang Apiné (Pupulan Drama lan Puisi) yang diterbitkan oleh Sanggar Buratwangi, Amlapura. Dalam buku ini memuat enam naskah drama di antaranya dua naskah baru, empat yang lainnya dibuat tahun 1970-an. Keempatnya sudah pernah dimuat dalam buku Kebang Rampé Kasusastran Bali Anyar suntingan I Gusti Ngurah Bagus dan I Ketut Ginarsa (1978). Masing-masing naskah drama itu berturut-turut: “Kobarang Apiné”; “Ki Bayan Suling”; “Aduh Déwa Ratu”; “Perjuangan”; “Pengadilan” (1989); dan “Kibaru Semang” (1992). Tahun yang sama (1999) A. Wiyat S. Ardhi menulis naskah Drama Gong dengan judul Gusti Ayu Klatir. Naskah ini ditetapkan sebagai penulisan naskah terbaik oleh dewan juri. Naskah ini diterbitkan dalam buku Gending Girang Sisi Pakerisan (1999) terbitan Pemda Gianyar. Tahun 2005, Nyoman Manda menulis naskah drama dengan judul Kirana (drama anak-anak) dan diterbitkan oleh Pondok Tebawutu, Br. Teges, Gianyar. III. Dasa Tali Dogén: Penanaman Nilai-nilai Sejarah Lewat Cerpen
Formatted: Right, Position: Horizontal: 297,25 pt, Relative to: Page, Vertical: -9,2 pt, Relative to: Paragraph Formatted: Right: 18 pt
8
3.1 Cerpen sebagai model penulisan sejarah Kumpulan cerpen “Dasa Tali Dogén” karya I Gdé Dharna yang memuat lima belas judul cerpen sesungguhnya sebagaimana judul buku tersebut disebutkan sebagai Pupulan Satua (kumpulan cerita) tidaklah semuanya menampilkan kisah-kisah berupa cerpen. Sebagaimana telah disebutkan di atas, cerita Dasa Tali Dogén, misalnya, tidaklah mutlak disebut sebagai cerpen mengingat kisah itu lebih mendekati kisah nyata yang dialami penulisnya. Dikisahkan, ketika si aku lirik (tiang) sedang asyik membaca buku riwayat hidup Bapak Ketut Nadha, tokoh pers di Bali itu, tiba-tiba datang seorang tamu yang kemudian ia ketahui bernama I Nyoman Sada, menantu dari seorang veteran pejuang Nyoman Suléndra dari Penglatan. Disebutkan, maksud kedatangan I Nyoman Sulendra dari Banyuning ke rumah si aku lirik tiada lain untuk meminta bantuan uang sejumlah pembelian 300 biji bata merah. Karena tidak memiliki uang sejumlah itu, dengan santun si aku lirik menolak permintaan I Nyoman Sada. Karena usahanya tidak berhasil, sebelum pulang, I Nyoman Sada minta uang dasa tali (sepuluh ribu) rupiah saja kepada si aku lirik. Selanjutnya, yang menarik dari karya-karya I Gdé Dharna adalah kelihaiannya meramu kisah sehingga secara tidak langsung pembaca diajak untuk mempelajari sejarah lewat cerita pendek. Jalinan peristiwa yang membangun cerita dalam karya-karya I Gdé Dharna sebagian besar mencerminkan bahkan menceritakan sejarah, terutama sejarah perjuangan arek-arek Bali menentang penjajah pada masa kolonial dan Jepang berkuasa di Bali. Secara tegas bagaimana Dharna membalut sejarah dalam kisahan dapat dilihat dari cerpen Gita Pahlawan, Patut Lestariang, dan Eda Engsapina. Cerpen Gita Pahlawan, misalnya, mengisahkan anak-anak SMA yang belajar sejarah kepada Gusti Aji Lingsir (I Gusti Bagus Adnyana) pelaku sejarah perang Surabaya, 10 November 1945 yang silam. Hal yang dikisahkan tentang peristiwa pertempuran di Surabaya antara tentara Inggris (Gurkha) yang bersenjata modern dengan pasukan tentara di bawah komando Sudirman yang bersenjatakan gelanggang. Meskipun arek suroboyo mampu menewaskan Brigjen Malaby dan Brigjen Simon Lodders dari pihak Inggris, namun akhirnya sebagian besar tentara Surabaya tewas dalam pertempuran yang tidak seimbang itu. Kisah ini berakhir, setelah anak-anak SMA di bawah asuhan I Putu Kastu mohon pamit dari rumah Gusti Aji Lingsir. Sebelum mereka pulang, sebagai rasa hormatnya kepada para pahlawan yang telah gugur saat perang Surabaya itu, mereka mempersembahkan sebuah lagu dengan judul Gita Pahlawan sebagai rasa hormat dan baktinya kepada para pejuang 10 November 1945. Pada cerita Patut Lestariang, kembali si aku lirik menampilkan peristiwa sejarah dengan teknik bercerita. Lewat tokoh I Komang Yasa dan
Formatted: Font: (Default) Tahoma, Bold Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Space Before: 6 pt Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma
Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma
Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma
Formatted: Right, Position: Horizontal: 297,25 pt, Relative to: Page, Vertical: -9,2 pt, Relative to: Paragraph Formatted: Right: 18 pt
9
Ni Madé Darmi, pengarang menyebarkan semangat para pahlawan kepada generasi muda terutama ketika terjadi perang di Tanah Aron (Karangasem) antara tentara Nica dengan pasukan I Gusti Ngurah Rai. Pasukan I Gusti Ngurah Rai mampu meloloskan diri dari kepungan tentara Nica meskipun harus memanjat dindin Gunung Agung yang terjal tersebut. Nilai-nilai perjuangan dari para pejuang pendahulu kita sehingga kita dapat merasakan indahnya hidup merdeka, juga ditampilkan pengarang lewat cerpen yang berjudul Eda Engsapina. Peristiwa sejarah yang menyangkut tentang kronologis waktu dan tempat kejadian dikisahkan oleh tokoh I Nyoman Oka (I Pastima, yang berarti pasti merdeka) tentang sejarah masyarakat Bali menentang penjajah. Tokoh I Nyoman Oka dalam cerpen Eda Engsapina yang sekaligus sebagai pelaku sejarah dalam zaman revolusi dulu, dikisahkan mendapat kunjungan dua orang (mahasiswa dan mahasiswi) dari Jurusan Sejarah agar memberikan riwayat perjuangan para pejuang dahulu dalam menentang penjajah di Bali dari abad XIX s.d. XX. Dalam kisah itu, pencerita dalam cerita mengajak kedua mahasiswa itu agar senantiasa ingat dengan peristiwa sejarah dan selalu ingat dengan Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang digagas oleh Bung Karno dulu!
Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma
Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma
Deleted: ¶
3.2 Peristiwa Sejarah
Formatted: Font: (Default) Tahoma, Bold
Peristiwa Sejarah dalam kumpulan cerita “Dasa Tali Dogén” diceritakan oleh pengarang dalam Siaté di Selat Bali, Sri Kumala Ngentungang Api di Badung, dan Ingetang. Siaté di Selat Bali menginformasikan secara detail tentang perjuangan tentara pejuang dari Negara yang masih berada di Banyuwangi akan ikut bergabung dengan tentara di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai di Bali mengusir penjajah Belanda. Peristiwa itu ditulis secara detail layaknya catatan sejarah dari keberangkatan tentara Bali yang ada di Banyuwangi supaya bergabung ke Bali dengan pasukan TNI Resimen Sunda Kecil pimpinan I Gusti Ngurah Rai pada bulan April 1946. Pelukisan penyebrangan dari Ketapang ke Gilimanuk dilukiskan secara nyata sampai akhirnya pasukan pejuang pimpinan Kapten Markadi mampu menyebrangi Selat Bali karena di Banyuwangi banyak berkeliaran mata-mata Belanda. Bersaranakan perahu mayang pasukan Markadi yang terdiri dari empat peleton, tanggal 3 April berangkat ke Bali. Pada tanggal 4 April pagi hanya satu perahu mayang yang mampu menyeberang ke Bali sementara yang lainnya mati mesin sehingga terkatung-katung di tengah lautan sampai menjelang pagi. Sementara itu, datanglah kapal patroli Belanda yang telah curiga dengan perahu mayang sehingga menghujani dengan tembakan senjata. Pasukan Markadi pun tidak ada jalan lain kecuali membalas tembakan tentara patroli Belanda itu. Kapal patroli Belanda tiba-tiba keluar asap dan sebelum terbakar ada sebuah kapal patroli lain milik Belanda siap membantu, namun dihadang oleh pasukan dibawah pimpinan Mochtar
Formatted: Space Before: 12 pt Deleted: Cerpen
Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma
Formatted: Indent: First line: 36 pt Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Right, Position: Horizontal: 297,25 pt, Relative to: Page, Vertical: -9,2 pt, Relative to: Paragraph Formatted: Right: 18 pt
10
sehingga urung membantu kapal yang sedang terbakar itu. Akhirnya, kapal patroli milik Belanda meledak dan tenggelam beserta penumpangnya. Pasukan Markadi akhirnya dapat bergabung dengan pasukan I Gusti Ngurah Rai di Munduk Malang, Tabanan. Pada tulisan yang berjudul Sri Kumala Ngentungan Api di Badung, terlukis peristiwa terdamparnya kapal Sri Kumala milik warga Cina Kwéék Ték Tiang dari Banjarmasin di pantai Sanur yang sedang membawa bahan pokok pada tanggal 27 Mei 1904. Kapal ini membawa bencana bagi masyarakat Badung karena Kwéék Ték Tiang pemilik perahu mengatakan kepada Residen Bali Lombok, J. Eschbach di Buleleng bahwa kapalnya dijarah oleh masyarakat Sanur. Residen Bali Lombok marah dan mengira raja Badung ingkar dengan perjanjian sebelumnya sehingga akhirnya pecah perang puputan Badung tanggal 20 September 1906. Ingetang, merupakan penceritaan kembali tentang lika-liku perang Puputan Margarana antara tentara Nica (Belanda) dengan pasukan I Gusti Ngurah Rai tanggal 20 Novembember 1946.
Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma
Formatted: Font: (Default) Tahoma, Bold
3.3 Cerpen Sungguhan Sebagaimana telah disebutkan di atas, karya-karya Dharna yang termasuk ke dalam golongan cerpen sesungguhnya hanya ada tujuh karya, seperti Kobarang Apiné, Mara Teka, Kadén Saja, Tusing Madaya, Mindang Batu, Mara Lima Bulan, dan Baang Dogén. Cerpen Kobarang Apiné berkisah tentang Pan Kobar, seorang mantan pejuang veteran yang sedang tertatih-tatih melawan penyakit yang menggerogoti anggota tubuhnya. Keadaannya itu diperparah dengan usia yang telah uzur dengan kaki yang cacat akibat kena tembakan peluru saat berjuang dulu. Keadaan rumah tangganya seakan-akan bagai neraka karena anaknya, I Gedé Kobar kepincut judi sehingga sering marah-marah bila datang ke rumah. Suasana itu dapat segera berlalu ketika ketiga anaknya, I Gedé Kobar, Nyoman Tirta, dan Ni Ketut Murni (terutama I Gedé Kobar) berjanji akan tidak mengulangi perbuatannya berjudi dan marah-marah ketika berada di rumah. Cerpen ini memiliki kesamaan tokoh dan tema dengan drama yang berjudul sama yang pernah ditulis pengarangnya sekitar tahun 1970-an. Cerpen Mara Teka, mengisahkan tokoh I Wayan Madu ketemu jodoh dengan seorang pedagang bantal keliling bernama Luh Metri. Ia jatuh cinta dengan dara manis dari Desa Tegallinggah itu meskipun memiliki cacat sumbing. Karena baru ketemu jodoh yang dirasakannya cocok, meskipun sumbing, I Wayan Madu bersedia “mempermak” bibir calon istrinya itu meskipun dengan membayar mahal karena ia telah beberapa kali gagal bercinta. Kadén Saja, berkisah tentang peristiwa yang dialami melalui mimpi itu dilukiskan oleh pencerita luar (aku lirik) tentang proses berpindahtangannya tanah sawah milik kakek si aku lirik kepada orang lain. Dikisahkan, tanah itu
11
Formatted: Space Before: 12 pt Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Space Before: 6 pt
Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma
Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Right, Position: Horizontal: 297,25 pt, Relative to: Page, Vertical: -9,2 pt, Relative to: Paragraph Formatted: Right: 18 pt
pernah digadaikan oleh kakeknya kepada orang lain dan telah ditebus kembali oleh kakak sepupunya sehingga tanah itu kemudian menjadi milik bersama. Dalam mimpinya, si aku lirik bertemu dengan kakak sepupunya dan kakak dua pupunya di sawah yang pernah menjadi milik kakeknya itu. Masih dalam mimpi, setelah usai minum air kelapa muda pemberian kakak sepupunya, si aku lirik dan dua sepupunya pergi ke arena judi. Ternyata, mereka bukan pergi ke arena sabung ayam namun adu manusia yang belum sempat pula ia saksikan karena si aku lirik terjaga dari tidurnya. Tusing Madaya, mengisahkan I Gedé Suplug (I Gedé Sarat), seorang anak akibat bergabung dengan bebotoh akhirnya kepincut judi. Setelah menikah, dikisahkan I Gedé Suplug diterima menjadi Satpam di Denpasar. Tidak berselang lama, ia ditangkap polisi karena bersekongkol dengan seseorang. Dalam persekongkolan itu, terkuak I Gedé Suplug berpura-pura menculik orang itu dan minta tebusan kepada kakak orang yang diculik tersebut. Ketika menyerahkan uang tebusan itulah ia ditangkap oleh polisi dari Polda Bali. Pada cerpen Mindang Batu, dikisahkan I Gdé Suta, pemuda kekar dan sedikit arogan, pada suatu ketika terkena racun sampai akhirnya semua giginya rontok. Kegagahannya menjadi sirna sehingga ia mulai mulat sarira dengan lebih banyak berdiam diri di rumah. Hingga akhirnya, suatu hari datang seorang janda ke rumahnya untuk membeli buah mangga yang masih di pohon. Luh Nadri, pedagang mangga itu akhirnya menjadi istri I Gdé Suta dan sekaligus I Gdé Suta diangkat sebagai tenaga harian dalam membantu Luh Nadri memetik mangga. Mara Lima Bulan, mengisahkan fenomena sosial yang sering terjadi di masyarakat Bali saat ini. Dikisahkan, I Putu Mara, seorang duda berkepala enam tergoda oleh kemolekan gadis kafe, Faidah. Kisah asmara I Putu Mara dengan Faidah berakhir di pelaminan, namun sayang karena ia telah renta maka usia perkawinannya dengan Faidah berlangsung hanya lima bulan. Upaya I Putu Mara mereguk manisnya madu perkawinan dengan gadis kafe nan molek itu berakhir teragis karena ia keburu menghadap Yang Khalik. Kisah Baang Dogén melukiskan seorang yang ringan tangan untuk membantu kerabat dekat maupun orang lain di seputar tempatnya tinggal bernama I Madé Arsa. Ketulusannya menolong seseorang tidak mendapatkan balasan yang setimpal, justru sebaliknya ia banyak mendapat fitnah. Meskipun demikian, ia tidak ambil pusing dan menyerahkan semua itu kepada Ida Sang Hyang Widhi! 3.4 Sisi Gelap Kumpulan Cerpen Dasa Tali Dogén Dalam kumpulan tulisan ini banyak sekali redaksi baik berupa kalimat, penulisan ejaan, maupun tata tulis yang mengalami kesalahan sehingga perlu untuk diedit dalam penerbitan ulang kemudian. Bila dilihat dari tematema dan teknik penulisan, kumpulan cerita ini layak untuk dinikmati oleh pembaca. Oleh karena demikian keseluruhan teks yang termuat dalam
Formatted: Space Before: 0 pt, Line spacing: single Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Font: (Default) Tahoma, Not Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Indent: First line: 36 pt, Space Before: 0 pt, Line spacing: single Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma
Formatted: Space Before: 0 pt, Line spacing: single
Formatted: Indent: First line: 36 pt, Space Before: 0 pt, Line spacing: single
Deleted: ¶
Formatted: Space Before: 12 pt Deleted: 3
Formatted: Right, Position: Horizontal: 297,25 pt, Relative to: Page, Vertical: -9,2 pt, Relative to: Paragraph Formatted: Right: 18 pt
12
tulisan ini selayaknya diedit dengan cermat agar tidak mengganggu keutuhan cerita. Beberapa kesalahan yang banyak terjadi dapat disebutkan di antaranya penulisan prefik seperti mamaca (hlm. 1 baris 5 dari atas) ditulis memaca; magaé (hlm. 14 baris 10 dari bawah) ditulis megaé. Penulisan kata seperti sekaa ditulis sekeha (hlm. 2 baris 12 dari bawah); penulisan tanda petik sebagai pertanda dialog dalam teks juga banyak terjadi seperti terdapat pada halaman 34 -- 35.
Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic
IV. Simpulan
Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic
Kumpulan tulisan yang terdapat dalam buku Dasa Tali Dogén karya I Gdé Dharna secara garis besar memuat tiga kelompok tulisan. Pertama, cerita rekaan (cerpen), kedua, kisah sejarah, dan yang nomor tiga pembelajaran sejarah lewat cerita. Secara keseluruhan, tulisan Dharna memiliki ciri yang spesifik yakni setiap judul senantiasa melukiskan kejadian dengan mencatatkan waktu kejadian yang sesungguhnya lengkap dengan tanggal, bulan, hari dan waktu kejadian. Tulisan yang tergolong cerpen sejarah, secara eksplisit mengajak para pembaca agar senantiasa ingat dengan sejarah dan pelaku sejarah itu sendiri dan mau belajar dari sejarah untuk menjaga kehidupan mendatang. Semua tulisan Dharna meskipun disajikan dengan teknik yang tidak terlalu rumit namun patut mendapat perhatian karena eksistensinya terhadap waktu yang mesti dicatat untuk mengingatkan generasi penerus tentang kejadian di masa lampau.
Formatted: Font: (Default) Tahoma
Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma
Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma Deleted: ¶ ¶
Formatted: Space Before: 12 pt Formatted: Justified, Space Before: 6 pt Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic Formatted: Font: (Default) Tahoma
Daftar Acuan Ardhi, S. A. Wiyat. 2004. Bukit Buung Bukit Mentik (Novellat mabhasa Bali). Gianyar: Sanggar Bhadrika Ashrama. Bagus, I Gusti Ngurah dan I Ketut Ginarsa, 1978. Kembang Rampé Kasusastran Bali Purwa. Buku I. Singaraja: Balai Penelitian Bahasa (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan).
Formatted: Justified, Indent: First line: 36 pt Formatted: Font: (Default) Tahoma, Bold Formatted: Centered, Indent: First line: 36 pt Formatted: Font: (Default) Tahoma Formatted: Justified, Indent: First line: 36 pt
___________. 1978. Kembang Rampé Kasusastran Bali Anyar. Wewidangan 1 & 2 Buku II. Singaraja: Balai Penelitian Bahasa (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). ___________. dan Ida Bagus Agastia. 1977. Sekilas tentang Kesusastraan Bali. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
13
Formatted: Right, Position: Horizontal: 297,25 pt, Relative to: Page, Vertical: -9,2 pt, Relative to: Paragraph Formatted: Right: 18 pt
Dharna, I Gdé. 2003. Tusing Ada Apa Dé (Pupulan Satua Bawak Basa Bali): Singaraja: Listibiya Kabupaten Buleleng. ____________. 2009. Dasa Tali Dogén (Pupulan Satua). Denpasar: Arti Foundation.
Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic
Galang Kangin. 1976. Denpasar: Saba Sastra Bali
Formatted: Font: (Default) Tahoma, Italic
Gélgél, I Déwa Gede. 1989. “Struktur Cerpen Bali Modern 1967 – 1989 Sebuah Analisis”. Denpasar: Skripsi Sarjana Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Formatted: Font: (Default) Tahoma
Formatted: Font: (Default) Tahoma
Manda, Nyoman. 2001. Béh (Pupulan Puisi Bali Anyar). Gianyar: Pondok Tebawutu. Putra, Darma, I Nyoman. 2000. Tonggak Baru Sastra Bali Modern. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Rakhmawati, Dewi. 2007. “Kakawin Candrabhanu: Sebuah Kajian Struktur dan Semiotik”. Denpasar: Skripsi Sarjana pada Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra Unud. Rida, I Ketut. 1999. Sunari (Novél Basa Bali). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Sancaya, Windhu, IDG. 1997. “Mencari Jejak Kesusastraan Bali Zaman Bali Kuna” Dimuat dalam Widya Pustaka (Journal Ilmu-ilmu Budaya Tahun XIV Nomor 1&2 Agustus 1997. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana. ____________. 2003. Coffee Shop (Pupulan Sastra Bali Anyar). Denpasar: Yayasan Bali Purana Hita. Santha, Jelantik. 1981. Tresnané Lebur Ajur Satondén Kembang. Denpasar: tanpa penerbit Suarsa, Made. 2004. Ang Ah lan Ah Ang (Pupulan Puisi Bali Anyar). Denpasar: Fakultas Sastra, Universitas Udayana. ____________. 2005. Gunung Menyan Segara Madu. Denpasar: Arti Faundation. ____________. 2006. Gedé Ombak Gedé Angin (Pupulan Sawelas Carita Cutet Basa Bali). Denpasar: Fakultas Sastra, Universitas Udayana.
14
Formatted: Right, Position: Horizontal: 297,25 pt, Relative to: Page, Vertical: -9,2 pt, Relative to: Paragraph Formatted: Right: 18 pt
____________. 2007. Kunang-kunang Anarung Sasi (Pupulan 118 Puisi Bali Anyar). Penerbit Universitas Udayana. Sumardjo, Jakob. 2007. Menulis Cerpen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Simpen AB, Wayan. t.t. Pengawi-pengawi Bali. Diktat milik Balai Penelitian Bahasa Singaraja. Srawana, Gdé. 1978. Mlancaran ka Sasak. Yayasan Saba Sastra Bali. Sumarta, I Ketut. 1988. “Struktur Puisi Bali Modern 1959 – 1987 Sebuah Analisis”. Denpasar: Skripsi Sarjana Jurusan Sastra Daerah, Fakultas Sastra Universitas Udayana. Suwidja, I Ketut. t.t. Gedong Kirtya. Singaraja: Gedong Kirtya. Tatukung. 1995. Lawat-lawat Suwung: papupulan puisi bali anyar. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra. Tim
Peneliti
Fakultas Sastra Universitas Udayana. 1977/1978. “Perkembangan Kesusastraan Bali Modern”. Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Bali, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Formatted: Justified, Indent: First line: 36 pt
Formatted: Right, Position: Horizontal: 297,25 pt, Relative to: Page, Vertical: -9,2 pt, Relative to: Paragraph Formatted: Right: 18 pt
15