124
BAB IV ANALISIS WACANA KRITIS DALAM KAJIAN CERPEN BERIDEOLOGI GENDER
Bab ini mengkaji ideologi gender pada cerpen-cerpen karya penulis perempuan yang telah terpilih sebagai cerpen pilihan Kompas dan telah diterbitkan oleh Penerbit Kompas dalam bentuk antologi . Dipilihnya penulis perempuan, karena penulis perempuan akan lebih jelas dan transparan dalam menggambarkan persoalan ideologi gender dan ketidakadilan gender. Banyak cerpen yang mengupas tentang perempuan, tetapi kebanyakan tentang permasalahan kondisi sosial perempuan dan kemiskinan. Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan membahas mengenai cerpencerpen yang berideologi gender. Adapun cerpen-cerpen itu adalah: 1) “Rambutnya Juminten”, 1994, Karya Ratna Indraswari Ibrahim. 2) “Mbok Nah 60 Tahun”, 1995, Karya Lea Pamungkas. 3) “Warung Pinggir Jalan”, 1996, Karya Lea Pamungkas. 4) “Ruang Belakang”, 2000, Karya Nenden Lilis Aisyah. Analisis ideologi gender ini menggunakan pisau bedah AWK yang sudah dibuat oleh peneliti. Langkah analisis sudah dibahas pada bab 3 sebagai berikut: 1) menentukan bentuk teks, teks itu mengungkap ideologi gender; 2) menentukan subjek penceritaan; 3) menentukan objek penceritaan; 4) mendeskripsikan bahasa yang digunakan untuk mengungkap makna;
125
5) menginterpretasi makna yang telah dibahas dalam deskripsi bahasa; 6) mengeksplanasi apa yang diungkap oleh cerpen-cerpen yang berideologi gender tersebut. Di bawah ini adalah cerpen-cerpen yang akan dianalisis dengan menggunakan pisau bedah AWK. 4.1 Cerpen “Rambutnya Juminten” Judul
: “Rambutnya Juminten”
Pengarang
: Ratna Indraswari Ibrahim
Antalogi
: “Lampor”
Penerbit
: Kompas, 1994
Ikhtisar Cerpen ini menceritakan tokoh utama Juminten. Panuwun (suami Juminten) menginginkan istrinya (Juminten) memanjangkan rambutnya. Padahal Juminten menginginkan rambutnya dipotong pendek. Panuwun berkali-kali mengatakan bahwa istri bersolek untuk suami dan hal itu dianggap prinsip. Akhirnya Juminten memanjangkan rambutnya. Juminten meminta dibelikan obat penyubur rambut, tetapi setiap kali Juminten memakai obat itu selalu merasa mual dan pusing. Jadi, Juminten alergi terhadap obat itu, namun Juminten selalu memakainya karena ingin menyenangkan suami (Panuwun menyenangi aroma obat rambut itu). Marni, sahabat Juminten, menganggap tindakan Juminten itu bodoh, karena menyiksa diri sendiri demi menyenangkan suami.
126
Ketika rambut Juminten sudah panjang banyak orang mengatakan Juminten cantik, termasuk Nardi (anak majikan orang tua Juminten dan Panuwun). Bahkan Nardi berani menggoda Juminten. Hal ini diketahui Panuwun, sehingga ia cemburu. Juminten dilarang keluar rumah kalau tidak ada suami dan boleh keluar jika dengan suami. Juminten termasuk salah satu anggota tim kasti di desanya dan harus mengikuti latihan, berarti Panuwun tidak bisa mengurung Juminten selamanya. Alasan Panuwun terjadinya kejadian ini diakibatkan oleh rambut panjang Juminten. Oleh karena itu, Panuwun meminta Juminten untuk pergi ke salon Mbak Titik untuk memotong rambutnya. Juminten menolak, ia sudah merasa sayang pada rambutnya. Lagi-lagi Panuwun mengucapkan, “Ten kau kan dandan untukku?” (hal 79). Akhirnya Juminten luluh dan pergi ke salon Mbak Titik. Tatkala ia melihat rambutnya pendek di depan kaca salon dia mencucurkan air mata. 4.1.1
Profil Gender dan Identitas Gender Wacana cerpen “Rambutnya Juminten” secara nyata merepresentasikan profil
atau sosok identitas gender laki-laki dan perempuan. Profil yang direpresentasikan dalam cerpen ini adalah Juminten sebagai istri Panuwun. Panuwun (suami Juminten), Marni, dan Nardi sebagai orang-orang yang tinggal di desa. Profil ini pun mencerminkan status sosialnya sebagai masyarakat desa biasa. Profil Juminten adalah perempuan cantik dengan rambut panjang. Profil gender lainnya tidak digambarkan secara fisik oleh pengarang. Dari pemerian cerita, Juminten digambarkan aktivitasnya sebagai ibu rumah tangga, yaitu bekerja di ruang domestik sebagai istri. Selain itu ada aktivitas lainnya seperti ikut program PKK dan
127
kegiatan olahraga kasti di desanya. Penggambaran profil Juminten terlihat dalam deskripsi bahasa sebagai berikut. Suatu kali sewaktu nonton film layar tancap di desa bersama suaminya, banyak orang bilang, “Ten, kok rambutmu sudah sepanjang itu. Tapi kamu memang cantik dengan rambut sepanjang itu, seperti bintang film.” (hal 80) Profil Panuwun (suami Juminten) digambarkan sebagai seorang buruh pabrik di kota dalam arti bekerja di ruang publik. Panuwun adalah seorang suami yang berkuasa, otoriter, dan kemauannya selalu harus dituruti. Sedangkan profil Juminten dalam kehidupan sehari-harinya sangat penurut, selalu mengalah, dan selalu mematuhi apa kata suaminya. Panuwun adalah sosok egois yang tidak mau mengerti akan keinginan-keinginan istrinya. Prinsipnya istri adalah milik suami. Hal-hal yang berhubungan dengan istri, suamilah yang menentukan. Profil Panuwun terlihat dalam ucapannya
terhadap Juminten dengan berkali-kali mengatakan bahwa “Kamu
bersolek untuk suami, iya kan?” (hal 78). “Pokoknya, saya tidak suka kamu keluar” (hal 81). Profil
Marni
digambarkan
sebagai
seorang
perempuan
yang
telah
berpandangan modern. Marni beranggapan semua sikap Juminten sebagai seorang istri adalah sikap yang menyiksa diri. Profil Marni digambarkan sebagai sebagai perempuan yang rasional. Marni selalu berusaha menyadarkan Juminten untuk bersikap rasional, dalam arti harus bisa menolak keinginan suami bila tidak cocok dengan kemauannya. Menurut Marni keadaan yang terjadi pada Juminten dalam hubungannya sebagai istri adalah tindakan represif. Tetapi pendirian Juminten tidak tergoyahkan oleh nasihat-nasihat Marni, walaupun ia terlihat kecewa, Juminten tetap
128
berpendirian bahwa istri harus menurut pada suami dan menyenangkan suami. Hal ini terlihat dari ucapan Marni pada Juminten. “Ten, sudah kubilang berulang-ulang padamu. Suami cemburu itu bukan pertanda cinta, tapi orang yang mau enaknya sendiri. Sudahlah saya tidak bisa lagi menasehatimu. Mestinya kamu tidak terus menerus mengalah, tapi memberi pengertian pada suami. Kalau aku dibegitukan sama suamiku, sudah lama aku minta cerai. Kita bukan burung di dalam sangkar.” (hal 82) Profil Nardi digambarkan sebagai seorang laki-laki, walaupun tinggal di desa, dia hidup lumayan, karena orangtuanya punya pabrik, tetapi tidak digambarkan apa pekerjaan Nardi. Panuwun dan bapak Juminten bekerja di Pabrik ayah Nardi. Profil Nardi digambarkan sebagai laki-laki yang jatuh cinta pada Juminten karena Juminten kelihatan cantik sekali dengan rambut panjangnya. Ketertarikan Nardi terhadap Juminten diketahui Panuwun, sehingga terjadi konflik antara keduanya, yang berakibat Juminten tidak boleh keluar rumah, kecuali dengan suami dan pada akhirnya Juminten disuruh memotong rambutnya sependek mungkin, dengan tujuan bisa menyelesaikan konflik dan kecemburuan terhadap istrinya. 4.1.2
Peran Gender dan Relasi Gender Salah satu konsekuensi logis dari integrasi kultural adalah penerimaan peran-
peran gender yang sudah ditentukan secara turun temurun oleh masyarakat. Peranperan gender tradisional sangat bergantung pada fungsi biologis perempuan yang berpusat pada ruang domestik yang tidak jarang diasosiasikan nonproduktif, jadi, tidak ada ruang publik bagi gender tradisional. Peran-peran modern lebih terinternalisasi pada fungsi perempuan yang terfokus di masyarakat atau publik yang
129
tidak jarang pula diasosiasikan produktif tanpa harus meninggalkan fungsi biologis perempuan yang berpusat di ruang domestik Kate Milles (1972), seorang penulis dari Amerika Serikat dalam bukunya “Sexual Politics” mengungkap perhatiannya yang tertuju pada masalah-masalah pemikiran-pemikiran tentang perempuan, terutama pertanyaan-pertanyaan mendasar mengenai masalah ketertindasan perempuan. Buku ini merupakan turunan dari disertasi doktornya di bidang sastra. Analisisnya mencakup analisis tekstual dan kontekstual dari teori politik, sosiologi, psikologi, dan sastra yang dijadikan landasan untuk menganalisis kekuasaan patriarkal, dan relasi laki-laki dan perempuan (Gadis Arivia, 2003: 82). Sebagai perempuan yang memilih integrasi kultural terhadap tradisi, Juminten menerima peran gender tradisional yang sudah tersedia. Pada dasarnya, hidup dan kehidupan Juminten berada di ruang domestik. Sebagai ibu rumah tangga, Juminten harus tunduk kepada kemauan suami, sebagai kepala keluarga. Peran gender yang dilaksanakan oleh Juminten ditentang oleh Marni selaku sahabatnya, yang menganggap sikap Juminten sebagai menyiksa diri. Saran Marni sama sekali tidak digubris oleh Juminten, yang penting dia bisa menyenangkan suami. Selain
peran
gender
perempuan,
cerpen
“Rambutnya
Juminten”
merepresentasikan juga peran gender laki-laki. Peran gender laki-laki ini adalah peran gender yang telah ada secara kultural. Peran gender laki-laki ini diterima oleh perempuan sebagai seorang kepala rumah tangga. Panuwun (suami) bekerja sebagai buruh pabrik, sekaligus sebagai kepala rumah tangga, ia sangat memegang tradisi
130
yang otoriter dan egois dalam menampilkan peran dalam rumah tangganya. Juminten (istri) harus selalu menurut pada keinginannya. Sebaliknya Panuwun tidak pernah peduli pada keinginan dan kemauan istrinya. Peran gender laki-laki lainnya adalah Nardi, yang tidak banyak digambarkan oleh pengarang, peran Nardi hanya sebagai peran tambahan. Nardi adalah lawan konflik Panuwun karena Nardi (anak majikan Panuwun dan orang tua Juminten) menyenangi Juminten dengan rambut panjangnya, yang menurut Nardi, Juminten seperti Nawang Wulan (putri kahyangan). Karena ketertarikannya itu, Nardi berani menggoda Juminten, bahkan selalu menghampiri dan mengajaknya mengobrol ketika Juminten mencuci di pancuran. Keberaniaan Nardi menggoda Juminten menimbulkan kecemburuan Panuwun, sehingga Panuwun melarang istrinya keluar rumah. Keberterimaan, kegagalan dan keberhasilan peran gender laki-laki dan perempuaan seperti diuraikan di atas ditentukan oleh relasi gender. Relasi gender berhubungan dengan hal-hal yang menyangkut hubungan laki-laki dan perempuan sebagai kelompok sosial. Relasi gender ini dijalankan melalui peran masing-masing individu. Pasangan peran dasar dalam berinteraksi tersebut adalah pasangan peran laki-laki dan perempuan, yang tidak hanya berdasarkan pada jenis kelamin, tetapi juga pada perkembangan konstruksi sistem sosial budaya masyarakat. Relasi gender ini bisa tidak imbang atau tidak adil, dan bisa juga imbang atau adil. Perempuan yang menerima peran gender tradisional pada umumnya tidak mempersoalkan imbang tidaknya atau adil tidaknya relasi gender. Sedangkan perempuan yang menerima peran gender modern sangat mempertanyakan dan memperhitungkan imbang
131
tidaknya dan adil tidaknya relasi gender. Ketidakseimbangan atau ketidakadilan relasi gender ini ditandai oleh dominasi laki-laki pada perempuan, pelabelan negatif terhadap perempuan, dan kekerasan terhadap perempuan. Sedangkan keseimbangan atau keadilan relasi gender antara lain ditandai oleh kemitrasejajaran laki-laki dan perempuan. Perempuan yang menerima peran gender tradisional seperti Juminten tidak mempertanyakan dan memperhitungkan relasi gender. Dia pasrah dengan keadaannya dan menerima peran gender tradisionalnya sebagai ibu rumah tangga yang bergerak di ruang domestik, yaitu mengurus rumah tangga. Juminten menerima apa pun yang menimpanya termasuk menerima nasib peran kultural seorang ibu rumah tangga yang memang harus dijalaninya Peran gender tradisional ditolak oleh Marni sebagai perempuan yang sudah berpandangan modern. Marni selalu menasehati Juminten untuk menjadi perempuan yang tidak terlalu menurut kepada suami, apabila tidak sesuai dengan keinginannya, karena hal itu merupakan penyiksaan pada dirinya. ”Bilang pada Kang Panuwun, kau alergi dengan obat penyubur rambut ini. Ten, saya kira kau tak perlu menyiksa diri, sekalipun agar dicintai suami” (hal 79). Dalam kehidupan sehari-harinya, Juminten sangat penurut dan mengalah pada keinginan suaminya. Sikap mengalah untuk menyenangkan hati suami yang dilakukan Juminten tampak dalam kerelaan Juminten memakai obat penyubur rambut, meskipun dia selalu mual setiap memakai obat itu, dia alergi terhadap obat itu. Sikap ini menunjukkan kepatuhan terhadap peran gender tradisional.
132
4.1.3
Jenis Ideologi Gender dan Ketidakadilan Gender Cerpen “Rambutnya Juminten” sebagai wacana sastra adalah bentuk dari
praktik ideologi gender atau pencerminan dari ideologi gender tertentu. Dari analisis yang
dilakukan,
diketahui
bahwa
wacana
cerpen
“Rambutnya
Juminten”
mencerminkan ideologi gender Ratna Indraswari Ibrahim sebagai seorang feminis. Pengoperasian ideologi gender ini merupakan proses produksi dan reproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara laki-laki dan perempuan melalui representasi posisi dari berbagai faktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa yang ditampilkan dalam cerpen “Rambutnya Juminten”. Posisi-posisi tersebut menentukan bentuk teks atau wacana yang hadir di tengah pembaca. Posisi-posisi ini dalam arti siapa yang menjadi “subjek” penceritaan dan siapa yang menjadi “objek” penceritaan, dan bagaimana menentukan struktur teks, bagaimana makna diinterpretasikan dan bagaimana eksplanasi diberlakukan dalam teks atau wacana cerpen itu secara keseluruhan. Analisis ini akan menjelaskan bagaimana posisi-posisi ini ditampilkan secara luas dan akan mengungkap bagaimana ideologi dan kepercayaan dominan beroperasi dalam wacana cerpen tersebut (Fairclough, 1998; Mills, 1997). Berdasarkan analisis data yang dilakukan, pengoperasian ideologi gender dalam wacana cerpen “Rambutnya Juminten” adalah sebagai berikut. Dalam wacana cerpen “Rambutnya Juminten” perempuan ditampilkan sebagai “objek penceritaan” dan bukan “subjek penceritaan” karena itu sebagai objek representasi, perempuan posisinya selalu didefinisikan, dijadikan bahan penceritaan, dan tidak dapat menampilkan dirinya sendiri, seperti tampak pada cerpen berideologi
133
gender yang dikemukakan pengarang “Ratna Indraswari Ibrahim” bagaimana dia mengungkap jenis-jenis ideologi gender dalam cerpen tersebut. Jenis ideologi gender tersebut terdiri atas (1) Ideologi Patriarki; (2) Ideologi Familialisme; (3) Ideologi Ibuisme; dan (4) Ideologi Umum, serta ketidakadilan gender. Di bawah ini akan dikupas jenis ideologi mana yang ditampilkan dalam cerpen “Rambutnya Juminten”, termasuk ketidakadilan gender. 4.1.3.1 Ideologi Patriarki Dalam masyarakat kuno yang menganut paham patriarki, sang ayah mempunyai hak mutlak atas anggota keluarganya. Sebagai kepala keluarga ia memiliki bukan saja rumah, tanah, ternak, dan budak, tetapi juga istri, perempuan simpanan, dan anak-anak (the Beauvoir, 2003: 121-123). Dalam masyarakat sekarang juga masih ada hak kepemilikan laki-laki atas perempuan bahkan dalam masyarakat patriarki masih terdapat ideologi yang menganggap bahwa perempuan sesudah menikah menjadi milik suaminya, dan anak perempuan milik ayahnya, istri adalah milik suami. Hal-hal yang berhubungan dengan istri, termasuk pribadi si istri, suamilah yang menentukan. Hal ini terlihat pada pemerian dan dialog antara Panuwun (suami) dengan Juminten (istri). Sementara itu semua perempuan di desa ini memotong rambutnya semodel Marni, Juminten yang tidak tahan terhadap aroma rambut itu ingin memotong rambutnya semodel Marni (hal. 79). Tapi apa kata suaminya. “Saya tidak akan mengizinkan kamu memotong semodel Marni. Sebagai suami saya kan tahu model apa yang pantas untuk istriku. Ten kau dandan untukku!” (hal. 79).
134
Dalam hal ini Panuwun, suami Juminten, digambarkan sebagai seorang lakilaki yang berwatak otoriter dan egois. Panuwun adalah laki-laki yang tidak mau peduli akan keinginan-keinginan istrinya, istri adalah milik suami! Peristiwa yang dialami Juminten sebagai objek penceritaan dalam cerpen ini adalah menerima dan menurut atas keinginan suaminya untuk memanjangkan rambutnya. Usaha memanjangkan rambut ini tidak sia-sia. Setelah rambutnya panjang, bukan hanya Panuwun yang memuji dirinya cantik, orang-orang di kampungnya pun memujinya. Suatu kali sewaktu nonton layar tancap di desa bersama suaminya, banyak orang bilang, “Ten, kok rambutnya sudah sepanjang itu. Tapi kamu memang cantik dengan rambut sepanjang itu, seperti bintang film.” (hal. 80) Pujian terhadap Juminten ternyata merupakan awal dari konflik dalam cerpen ini. Konflik diawali oleh ketertarikan Nardi (anak majikan Panuwun dan ayah Juminten) pada Juminten yang rambutnya panjang. Menurutnya, Juminten cantik seperti Nawang Wulan. Karena ketertarikannya, Nardi berani menggoda Juminten, bahkan selalu menghampiri dan mengajaknya mengobrol ketika Juminten sedang mencuci di pancuran. Keberanian Nardi menggoda Juminten menimbulkan kecemburuan Panuwun. Akhirnya, Panuwun melarang istrinya keluar rumah. “Ten ada yang bilang setiap kamu mencuci di pancuran, Nardi pasti mengajakmu ngomong, iya kan? Jadi, mulai sekarang kamu tidak perlu mencuci di pancuran. Dan kalau tidak ada saya di rumah jangan keluyuran!” Juminten sempat membantah suaminya, “Kang, saya bosen kalau di rumah terus. Apalagi sebentar lagi saya akan latihan kasti.” “Pokoknya saya tidak suka kamu keluar” (hal.81). Tindakan
Panuwun
ini
menunjukkan
bahwa
Juminten
itu
adalah
kekuasaannya. Juminten menurut walaupun dirinya sangat tertekan. Terlihat di sini
135
bagaimana kokohnya pendirian Panuwun dengan budaya patriarkinya. Kata-kata pokoknya sangat menentukan bagi Panuwun dalam hal melarang istrinya supaya menurut. Di satu pihak Juminten tidak setuju akan tindakan Panuwun, di lain pihak dia takut pada Panuwun. Ketidaksetujuan Juminten terhadap tindakan Panuwun tampak pada sikap Juminten ketika Marni memprotes tindakan Juminten sebagai sikap yang keterlaluan karena mengorbankan diri sendiri. Juminten bergeming terhadap ucapan Marni. Ketidaksetujuan ini bercampur dengan ketakutan dalam diri Juminten sehingga menimbulkan konflik internal yang tampak ketika Marni mengajak latihan kasti. Tanggapan Juminten sebagai berikut. “Marni, saya ingin juga ikut latihan, tapi kalau saya latihan , khawatir Nardi ikut menonton. Saya takut kalau Kang Panuwun cemburu, dan membunuh Nardi.” “Ten, sudah kubilang berulang-ulang padamu. Suami cemburu itu bukan pertanda cinta, tapi orang yang mau enaknya sendiri. Sudahlah saya tidak bisa lagi menasehatimu. Mestinya kan tidak terus menerus mengalah, tapi memberi pengertian pada suami. Kalau aku dibegitukan sama suamiku, sudah lama aku minta cerai. Kita bukan burung dalam sangkar.” Juminten merasa omongan Marni itu benar. Tapi Marni sama sekali tidak mengerti. Dia tak ingin suaminya masuk penjara. (hal.82) Dalam menyelesaikan konflik dalam dirinya, Juminten mengambil keputusan untuk tetap menuruti kehendak suaminya. Juminten menyuruh Marni untuk mencari penggantinya dalam latihan kasti. “Ni, seandainya Kang Panuwun tidak mengizinkan saya bermain kasti lagi, tolong carikan penggantiku saja.” “Bodoh kamu, kata Marni teriak. (hal.82) Pada hakekatnya manusia itu ingin bebas, begitu pula dengan Juminten, sebagai manusia pada umumnya dan sebagai perempuan pada khususnya ia pun
136
menginginkan kebebasan. Namun kehendakbebasan ini sering terhalang oleh normanorma dan konstruksi sistem sosial budaya masyarakat yang melingkarinya, yang telah ditentukan sejak awal. Jadi, ideologi patriarki menekankan dominasi laki-laki cenderung menjadikan perempuan inferior. Hal ini tampak dalam relasi laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga. Perempuan selalu “tersubordinasi.” 4.1.3.2
Ideologi Familialisme (Kekeluargaan) Ideologi Familialisme adalah ideologi yang mengonstruksi perempuan untuk
berperan di dalam rumah tangga sebagai ibu rumah tangga yang baik dan ibu yang baik. Sebagai istri yang baik perempuan harus dapat mendampingi suami untuk mencapai cita-cita kehidupannya. Ia harus pandai menjaga diri, baik dalam bersikap dan bertingkah laku, budaya familialisme ini sudah ditanamkan sejak dini pada perempuan. Sebagai seorang perempuan dan sebagai istri, Juminten selalu berusaha untuk menyenangkan suami, karena itu dia selalu menurut apa kata suami, dan walaupun dia tidak setuju akan kehendak suami ia tetap mengalah demi menyenangkan suami. Juminten tokoh utama dalam cerpen ini adalah perempuan yang mewakili sosok kehidupan masyarakat yang berlaku umum, yaitu berwatak penurut, mengalah, dan pasif. Juminten adalah wakil dari stereotip perempuan dalam masyarakat yang dikehendaki masyarakat patriarkis. Dalam budaya Sunda ada pepatah “awewe mah dulang tinande” artinya “perempuan itu harus pasrah dan menerima’’, apa lagi jika hal itu sudah berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan laki-laki. Sikap mengalah untuk menyenangkan suami yang
137
dilakukan Juminten, tampak pada kerelaannya memakai obat penyubur rambut, walaupun dia selalu mual setiap kali memakai obat itu, bahkan dia alergi terhadap obat itu. Karena Panuwun menyukai aroma obat itu bila sudah melekat pada rambut Juminten, maka Juminten selalu tidak lupa meminyaki rambutnya dengan obat itu, terutama menjelang kepulangan Panuwun dari tempat kerjanya. Sore ini waktunya Panuwun pulang ke rumah. Sejak tadi, dia sudah memasak masakan kesukaan Panuwun. Dan meminyaki rambutnya. (hal. 79). Meminyaki rambut dengan obat penyubur rambut bagi Juminten sama artinya dengan memasak makanan kesukaan suaminya. Apa pun yang disukai suaminya, pasti akan dipenuhi dan dilakukan. Bahkan... kalau saja dia tahan dengan bau obat rambut itu... mungkin seumur-umur hidupnya, dia akan memakai obat rambut itu. (hal 80). Pandangan gender terlihat pula pada kepatuhan Juminten untuk tidak keluar rumah karena dilarang suaminya. Istri yang baik harus mendukung suami dalam segala hal. Konsep normatif ini merupakan salah satu bentuk ideologi familialisme. Ideologi familialisme yang digambarkan dalam cerpen ”Rambutnya Juminten” mengonstruksi perempuan berperan di dalam rumah tangga, menurut, mengalah, dan selalu harus bisa menyenangkan suami. Juminten sering bertanya pada dirinya sendiri, apakah dia istri yang bahagia? Sebab setiap dua minggu sekali Panuwun yang bekerja sebagai buruh pabrik di kota, kalau pulang ke rumah tak lupa membawa oleh-oleh kesukaannya. Dan kali ini Panuwun membawa obat penyubur rambut, yang aromanya kalau sudah melekat di rambutnya disukai Panuwun. Seusai meminyaki rambutnya, Marni bertandang kerumahnya.
138
“Ni, setiap pakai obat penyubur rambut ini, saya kok mual dan pusing,” kata Juminten. “Itu berarti kamu alergi. Bilang pada Kang Panuwun, kau alergi dengan obat penyubur rambut. Ten, saya kira kau tak perlu menyiksa diri, sekalipun agar dicintai suami.” (hal 79). Konflik internal dalam diri Juminten tentang kebahagiaan rumah tangganya dengan Panuwun selalu menimbulkan pertanyaan pada dirinya sendiri. Panuwun baik dan perhatian terlihat dari pemerian yang menyatakan bahwa Panuwun selalu membawa oleh-oleh kue kesenangannya. Suatu saat, Panuwun membawa oleh-oleh obat penyubur rambut. Juminten sebetulnya alergi terhadap obat rambut itu, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, karena Panuwun menyukai aroma obat itu. Intinya dia ingin selalu menyenangkan suami, walaupun dia menyiksa dirinya sendiri. Saran Marni supaya tidak menyiksa diri, sekalipun agar dicintai suami tidak membuat Juminten berubah sikap, padahal menurut Marni sikap Juminten yang selalu ingin menyenangkan Panuwun adalah sikap yang keterlaluan, karena sudah menyiksa diri, sikap inilah yang membuat Juminten termarginalisasi. 4.1.3.3 Ideologi Ibuisme Ideologi ibuisme adalah ideologi yang merupakan kombinasi nilai borjuis Belanda dan nilai priyayi di Indonesia yang menyetujui tindakan apa pun yang diambil seorang perempuan dalam keluarga, kelompok, kelas sosial, atau pemisahan tanpa mengharapkan kekuasaan atau prestise sebagai imbalan. Onghokham (1991) mengemukakan bahwa nilai kecil borjuis Belanda ini merupakan adopsi dari moral Victorian yang diciptakan untuk mengontrol kualitis bangsawan Inggris pada masa pemerintahan Ratu Victoria. Moral ini mementingkan pertahanan diri dari nafsu
139
seksual dan larangan terhadap Ratu dengan seorang suami dan anak-anak dinilai sebagai model keluarga ideal. Nilai ini berkembang sampai ke seluruh Eropa abad ke19 yang kemudian dibawa ke negara-negara jajahan di antaranya sampai ke Indonesia. Di Indonesia moral ini bertemu dengan moral priyayi yang dipertahankan untuk mengatur kehidupan perempuan. Lebih lanjut Mies (1986) dan Jayadiningrat (1987) menyatakan bahwa selama Orde Baru ideologi ibuisme negara dominan sekali di Indonesia. Ideologi ibuisme ini mudah menjadi bagian dari realitas budaya masyarakat sekaligus juga sebagai budaya sesuai negara. Konsep “kodrat” digunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk mengonstruksi ideologi “ibuisme”. Sementara konsep perempuan sebagai istri dan ibu dimanipulasi untuk membatasi ruang gerak perempuan Dari pemerian cerita tergambar tokoh Juminten aktivitas sehari-harinya adalah memasak, mencuci, dan mengurus urusan pekerjaan domestik sebagai ibu rumah tangga. Selain pemerian tersebut, dari percakapan dialog-monolog tergambar aktivitas Juminten lainnya, yaitu ikut kegiatan PKK di desanya, sebagai anggota tim kasti. Kegiatan satu-satunya bagi Juminten di sektor publik ini, adalah bias gender, karena pada umumnya, seperti yang diamati dalam kehidupan masyarakat, kegiatan PKK cenderung melanggengkan sistem nilai patriarkis yang termanifestasi dalam Panca Dharma Wanita (5 dasar hak dan kewajiban wanita). Rumusan Panca Dharma Wanita ini mengadopsi nilai tradisi agama dan nilai kecil borjuis Belanda yang membatasi peran dan tugas perempuan, yaitu (1) mendampingi suami; (2) melahirkan, merawat, dan membesarkan anak; (3) mengatur ekonomi rumah tangga;
140
(4) pencari nafkah tambahan; dan (5) sebagai anggota masyarakat, terutama sebagai anggota organisasi perempuan yang bergerak dalam badan-badan sosial. Dengan demikian, peran dan posisi perempuan yang hanya bergerak di sekitar domestik tersubordinasi di bawah bayang-bayang kekuasaan suami atau laki-laki. Masalah perempuan dianggap masalah yang khas, karena itu yang laki-laki tak perlu bertanggung jawab. Padahal sumber penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan bersumber dari budaya patriarkis. Sebagai istri yang baik, perempuan harus mampu menjadi ibu rumah tangga yang baik pula. Istrilah “ibu rumah tangga” bahkan “ratu rumah tangga” yang melekat pada istri, yang lebih berkonotasi pengabdian dan pelayanan. Seperti apa yang dikatakan Panuwun pada Juminten tentang perilaku dandan dan bersolek. Berkali-kali Penuwun mengucapkan, “Kamu bersolek untuk suami, iya kan?” (hal. 78) “Ten, saya kira kau bersolek untuk suami!” (hal. 84) Sikap
Panuwun
di
atas
merepresentasikan
pandangan
gender
yang
memposisikan laki-laki yang berkuasa atas istri. Adapun keputusan yang diambil Juminten tampak sangat dipengaruhi oleh perbedaan gender (stereotip) dan peran gender yang diembannya seperti yang berlaku di masyarakat. Akibat stereotipnya yang penurut, mengalah, pasrah, dan akibat dari perannya yang “ibu rumah tangga” dan “pelayan suami,” yang posisinya “subordinat” dan tidak punya kekuatan, Juminten tidak berdaya di depan suaminya, yang dikuatkan posisinya oleh kehendak
141
dan
nilai-nilai
masyarakat.
Jadi,
jelas
cerpen
“Rambutnya
Juminten,”
merepresentasikan ideologi gender. Juminten terdiskriminasi. 4.1.3.4 Ideologi Umum Ideologi umum adalah ideologi yang menekankan nilai pingitan (seclusion) perempuan, pengucilan perempuan dari bidang-bidang tertentu (exclusion), dan pengutamaan feminitas perempuan. Dikotomi laki-laki dan perempuan yang hierarkis menyebabkan pembagian kerja secara seksual, yaitu menempatkan laki-laki di sektor publik dan perempuan di sektor domestik. Pembagian kerja ini sudah disosialisasikan dan diinternalisasikan dari generasi ke generasi. Hal ini memperkuat kenyataan bahwa tempat yang ideal bagi perempuan adalah di sektor domestik. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ideologi umum yang direpresentasikan dalam cerpen “Rambutnya Juminten” menunjukkan betapa berkuasanya Panuwun untuk melarang Juminten tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suami dan tanpa didampingi suami. “... Dan kalau tidak ada saya di rumah jangan kluyuran!” “Kang, saya bosen kalau di rumah terus. Apalagi sebentar lagi saya akan latihan kasti.” “Pokoknya saya tidak suka kamu keluar!” (hal. 81) Tindakan Panuwun mengucilkan istrinya ini didengar oleh masyarakat desanya secara luas, yang memunculkan dua kubu pendapat di desanya, dalam arti ada yang pro dan ada yang kontra, yang pro menilai “tindakan Panuwun benar, karena suami berhak menyuruh istrinya diam di rumah” sedangkan yang kontra menganggap tindakan Panuwun sebagai tindakan yang kejam.
142
“Panuwun itu suami yang kejam. Bayangkan di zaman modern seperti ini, di mana kaum perempuan perlu banyak keluar untuk belajar di PKK, di pengajian, dan ikut olah raga, bisa-bisanya dia mengurung Juminten.” (hal. 81) Dalam cerpen ini diceritakan mengenai hal-hal tidak enak yang dirasakan Juminten dalam memenuhi keinginan suami. Hal-hal tidak enak tersebut ditahan Juminten sebenarnya semata-mata demi memenuhi norma masyarakat. Norma masyarakat yang dimaksud adalah norma bahwa istri harus mematuhi suami dan norma bahwa istri adalah pelayan suami. Contoh lain, dalam masalah latihan kasti, Juminten mengambil keputusan dengan menyuruh Marni mencari pengganti lain. “Ni, seandainya Kang Panuwun tidak mengizinkan saya bermain kasti lagi, tolong carikan pengganti saja.” (hal. 82) Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ideologi umum yang direpresentasikan dalam cerpen “Rambutnya Juminten” menekankan pengucilan perempuan dari bidang-bidang tertentu, yaitu dengan konsep pembagian kerja secara seksual, yaitu ruang publik merupakan dunia laki-laki, dan ruang domestik merupakan dunia perempuan. Juminten “terepresi” yang diakibatkan ketidakadilan gender. 4.2
Cerpen “Mbok Nah 60 Tahun”
Judul
: “Mbok Nah 60 Tahun”
Pengarang
: Lea Pamungkas
Antologi
: “Laki-laki yang Kawin dengan Peri”
Penerbit
: Kompas, 1995
143
Ikhtisar Cerpen ini bercerita tentang seorang perempuan bernama Mbok Nah yang berumur 60 tahun. Ia mempunyai suami bernama Marno yang berumur lebih muda 20 tahun. Pekerjaan sehari-hari Mbok Nah berjualan jamu. Mbok Nah mempunyai langganan yang banyak. Salah seorang langganannya adalah Meri. Meri adalah seorang waria, nama sebenarnya Rukman. Meri tinggal di depan rumah Mbok Nah. Dia indekos di rumah itu, pekerjaannya pagi-pagi mengamen dan malam hari bekerja sebagai penjaja seks di sebuah taman kota. Mbok Nah dan Meri cukup akrab, karena kalau Mbok Nah menjual jamu pada Meri, sering tertahan di kamar Meri, karena Meri sering bercerita tentang pengalaman-pengalamannya. Akhir-akhir ini Mbok Nah menghadapi masalah dari kelakuan suaminya. Marno sering berangkat menarik becak lebih siang, padahal sudah berdandan sejak pagi. Setiap Mbok Nah selesai mengantar jamu pada langganannya dan hendak mengantar jamu ke kamar Meri, Mbok Nah selalu melihat suaminya itu tersenyum malu-malu ketika Meri keluar dari kamarnya. Pada suatu malam Mbok Nah dan suaminya kaget mendengar ketukan pintu, ternyata Meri. Ia muntah-muntah dan minta tolong Mbok Nah dan Marno untuk merawatnya. Ternyata sakit Meri tidak seringan yang diduga Mbok Nah dan Marno, sehingga akhirnya Meri tinggal di rumah Mbok Nah. Setelah sembuh Meri tetap tinggal di rumah Mbok Nah. Ia banyak membantu Mbok Nah, segala keperluan Mbok Nah dibereskan, termasuk jamu-jamu yang akan dijajakan. Mbok Nah dengan tulus membiarkan Meri tinggal di rumahnya, ia merasa
144
begitu saja menemukan anak yang tak pernah singgah di rahimnya. Mbok Nah tak bereaksi pada omongan-omongan tetangganya tentang Meri dan Marno, malahan ada yang terus terang bahwa Meri adalah gendakannya Marno. Pada suatu hari, ketika Mbok Nah pulang menjaja jamu, terdengar dari kamar belakang suara Meri dan Marno yang mengingatkannya pada malam-malam kebersamaannya dengan Marno. Walaupun marah, Mbok Nah bersikap seolah-olah tak ada apa-apa. Besok malamnya Meri meminta maaf, tapi Mbok Nah tak menanggapinya dan bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa. Esoknya lagi ketika Mbok Nah bangun, dia melihat Marno meringkuk di bawah ketiak Meri yang sedang tidur pulas di kamar belakang. Mbok Nah berkata, “Bocah-bocah turu kabeh.” 4.2.1
Profil Gender dan Identitas Gender Profil yang direpresentasikan dalam cerpen ini adalah Mbok Nah sebagai
tokoh utama. Marno (suami Mbok Nah) merupakan tokoh tambahan. Meri, Jeng Sri, Zus Marni, Mbakyu Surti, Mbakyu Menuk, dan Nak Wasti adalah para tetangga dan pelanggan jamu Mbok Nah. Dari pemerian wacana cerpen diketahui bahwa Mbok Nah yang berumur 60 tahun ini adalah orang yang berwatak tulus, lembut, telaten, sabar, luwes, dan selalu berprasangka baik terhadap orang lain. Dilihat dari sudut gender, sifat-sifat seperti ini adalah sifat-sifat perempuan ideal yang dikehendaki budaya patriarkis. Sifat-sifat ini merupakan representasi stereotip gender, yang menurut Sebatu (1994: 24) merupakan hasil ciptaan budaya masyarakat. Dengan demikian, watak tokoh utama (Mbok Nah) merepresentasikan ideologi gender.
145
Profil Marno (suami Mbok Nah) tidak digambarkan secara menyeluruh, kecuali Marno itu seorang yang mempunyai sifat kekanak-kanakan, sifat ini mengasosiasikan pada sifat-sifat manja, lemah, dan bergantung pada orang lain. Sifat ini bertolak belakang dengan stereotip gender. Dengan demikian sifat Marno tidak merepresentasikan ideologi gender. Profil Meri dalam cerpen ini digambarkan sebagai seorang waria. Meri berkarakter genit, manja, cerewet, gesit, kuat, terampil, dan rajin. Sifat-sifat Meri tersebut merupakan perpaduan dari sifat maskulin dan feminin. Ia hadir sebagai sosok androgini. Istilah ini digunakan oleh ahli psikoanalisis Carl Gustave Jung (Sebatu, 1994: 13) yang menyatakan bahwa androgini ada dalam diri manusia menyatu antara unsur feminin dan maskulin. Jung telah membuktikan secara ilmiah tentang sifat androgenitas manusia tersebut baik secara biologis maupun secara psikologis. Di samping itu mitos dan perdukunan juga meyakini sifat androgenitas, misalnya dalam budaya Cina diyakini bahwa manusia terdiri dari unsur yin (maskulin) dan yang (feminin). Dalam sejarah Indonesia zaman lampau pun dikenal simbol lingga (jantan) dan yoni (feminin), simbol dari dua unsur ini menyatu dalam diri manusia (Sebatu, 1994:18). Profil Meri dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” ditampilkan pengarang untuk menyatakan bahwa manusia mempunyai sifat androgini. Kenormalan sifat androgenitas Meri harus dikaji, karena sifat androgenitas ini memiliki batas-batas kenormalan. Menurut Sebatu (1994: 116), perempuan pada dasarnya memiliki sifat maskulin dalam taraf rendah. Orang yang androgen memiliki keseimbangan yang
146
tinggi dari kedua ciri feminin dan maskulin itu. Adapun tokoh Meri yang waria (nama sebenarnya Rukman) kadar kefemininannya terlalu tinggi, sehingga masyarakat menganggapnya tidak normal. Sebatu (1994: 116) menyatakan bahwa jika setiap orang menyadari adanya kedua unsur tersebut, yaitu maskulin dan feminin dalam dirinya, maka mereka akan tumbuh menjadi pribadi yang seimbang. Sayangnya ideologi gender telah membatasi adanya perempuan dan laki-laki dengan salah satu unsur saja yaitu feminin dan maskulin. Dilihat dari sudut ideologi gender, sifat profil Meri tidak merepresentasikan ideologi gender (dalam hal ini stereotip gender), karena dia adalah laki-laki yang tidak memenuhi kriteria laki-laki yang dituntut masyarakat dengan pandangan gender. Adapun profil lain yang digambarkan pengarang dengan tokoh tambahan adalah Jeng Sri, Mbakyu Surti, Zus Marni, Nak Wasti dan Mbakyu Menuk (tetangga dan pelanggan jamu Mbok Nah). 4.2.2
Peran Gender dan Relasi Gender Dari pemerian cerpen ini tergambar bahwa peran tokoh utama Mbok Nah
adalah peran ganda. Jadi, selain mengurus rumah tangga dia juga bekerja di ruang publik, yaitu berjualan jamu. Sebagai perempuan yang memilih integritas kultural terhadap tradisi, Mbok Nah menerima peran ganda ini dengan tulus. Dia menerima kondisi ini sebagai tugas seorang perempuan berperan ganda, dia tetap bertugas melayani suami dengan baik, apalagi mengingat perbedaan umur yang jauh berbeda,
147
yaitu Mbok Nah 60 tahun dan suaminya Marno berumur 20 tahun di bawah Mbok Nah. Pekerjaan Marno adalah menarik becak, perwatakannya tidak banyak digambarkan oleh pengarang, kecuali penggambaran bahwa dia kekanak-kanakan. Perwatakan ini muncul bisa saja karena dia mempunyai istri yang lebih tua, jadi, dia manja, lemah, dan ketergantungan kepada orang lain, yaitu kepada Mbok Nah. Dari pemerian cerita dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” ini, terlihat bahwa peran Marno tidak menunjukkan peran gender. Pengarang tidak menggambarkan bagaimana relasi peran suami-istri antara Marno dan Mbok Nah. Semua penekanan cerita pada tokoh utama, yaitu Mbok Nah, yang menyadari tentang kondisi ketuaannya sebagai perempuan. Dalam tradisi Jawa perempuan harus bisa mengurus diri, cantik, untuk tetap menarik dalam relasi dengan lawan jenisnya. Walaupun pengarang tidak menyebut lokasi penceritaan, tetapi dari penggunaan bahasa yang sederhana, struktur kalimat yang tidak kompleks, kosakata yang digunakan adalah kosakata sehari-hari yang bermakna denotatif, termasuk di dalamnya memasukkan kata-kata Jawa, seperti kata pokoke, sampean, turu, tentrem tur besuki, dan lain-lain, menunjukkan bahwa latar tempat adalah daerah Jawa. Peran lain yang diceritakan dalam cerpen ini adalah peran Meri (nama asli Rukman), yaitu seorang waria. Pekerjaan Meri, kalau siang hari mengamen, dan kalau malam hari menjadi penjaja seks di taman kota. Dia adalah pelanggan baru Mbok Nah. Anehnya ia selalu memesan jamu-jamu khusus perempuan, yaitu sari rapet dan galian singset, tetapi dia juga memesan jamu kuat majun. Mbok Nah tidak
148
mempermasalahkan mengapa Meri memesan jamu seperti itu dan Mbok Nah juga tidak pernah memasalahkan apakah Meri itu perempuan atau laki-laki. Mbok Nah tidak mempedulikan gunjingan-gunjingan tetangga tentang Meri, dan Mbok Nah tidak menaruh curiga, ketika setiap hari mengetuk pintu kamar Meri (Meri kos di depan rumah Mbok Nah) untuk mengantar jamu, suaminya yang masih duduk-duduk di amben depan rumah dan belum berangkat menarik becak, selalu tersenyum malumalu. Dalam dua minggu ini Mbok Nah bingung memikirkan tingkah laku suaminya yang selalu menarik becak lebih siang, padahal dia sudah dandan dari sejak pagi. Mbok Nah selalu menegur suaminya itu dengan lembut, namun suaminya selalu mengulur waktu. Sikap Mbok Nah yang sabar, lembut, telaten, dan pasrah pada suaminya menunjukkan bahwa Mbok Nah adalah figur perempuan Jawa dengan budaya tradisionalnya. Di samping itu dia menyadari dirinya sebagai seorang perempuan tua yang tidak menarik lagi, keriput dan legam. Belakangan ini Mbok Nah memergoki perselingkuhan suaminya dengan Meri secara terang-terangan. Mbok Nah terluka, namun perasaan itu tidak diungkapkannya dan tidak ditunjukkannya. Ia bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa dan tak mau membicarakan persoalan atau kemarahan terbuka. Dari latar belakang cerpen yang berkultur Jawa bisa diketahui bahwa sikap Mbok Nah di atas dipengaruhi oleh latar belakang sosial budayanya sebagai seorang Jawa. Dalam kultur Jawa ada stereotip yang menabukan perempuan mengemukakan perasaan secara terang-terangan. Selain itu di depan suami, perempuan dituntut selalu bersikap manis, tak peduli sedih atau gembira yang tengah dirasakannya. Hal ini dilakukan demi menjaga perasaan suami.
149
Dalam menyikapi perselingkuhan suaminya, Mbok Nah tidak menyalahkan suaminya yang jelas-jelas bersalah, malah ia mencari kesalahan pada dirinya. Ia berkesimpulan bahwa ketuaan dirinyalah yang menyebabkan perselingkuhan semuanya. Sementara perempuan dituntut untuk selalu menyenangkan suami dengan selalu tampil cantik. Tuntutan tersebut lahir dari bentukan sosial budaya. Dalam hal ini Mbok Nah tak memiliki jalan lain kecuali menerima perselingkuhan itu, agar ia tak berkonflik dengan perasaannya dan dapat memaafkan perselingkuhan tersebut. Sikap nrimo dijadikan jalan untuk menyelesaikan masalah. Sikap nrimo juga dipengaruhi oleh kultur Jawa. Kultur Jawa memosisikan perempuan serba nrimo, tabah, sabar, dan mau menderita, yang luluh dalam hukum-hukum sosial yang berlaku di masyarakat, yang pada dasarnya tidak adil terhadap perempuan. 4.2.3
Jenis Ideologi Gender dan Ketidakadilan Gender Dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” ini akan dibahas mengenai posisi dari
berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa. Posisi-posisi ini menentukan bentuk teks atau wacana yang hadir di tengah pembaca. Posisi-posisi inilah yang menentukan siapa yang menjadi “subjek” penceritaan dan siapa yang menjadi “objek” penceritaan, dan bagaimana menentukan struktur teks, bagaimana makna diinterpretasikan, dan bagaimana eksplanasi diberlakukan dalam teks atau wacana cerpen secara keseluruhan. Berdasarkan analisis (Fairclough dan Mills) akan dijelaskan bagaimana posisi-posisi itu ditampilkan secara luas dan akan menyingkapi bagaimana ideologi dan kepercayaan dominan beroperasi dalam kajian cerpen
150
tersebut. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, ideologi gender dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” digambarkan sebagai tokoh utama. Dalam kajian cerpen ini “Mbok Nah” ditampilkan sebagai objek penceritaan. Mbok Nah sebagai perempuan posisinya selalu didefinisikan, dijadikan bahan penceritaan dan tidak bisa menampilkan bahan penceritaan dan tidak bisa menampilkan dirinya sendiri. Hal ini tampak pada ideologi gender
yang
dikemukakan pengarang Lea Pamungkas yang feminis, bagaimana dia mengungkap jenis-jenis ideologi gender dan ketidakadilan gender dalam cerpen ini. 4.2.3.1 Ideologi Patriarki Mbok Nah adalah figur seorang perempuan yang diketahui berwatak tulus, lembut, sabar, telaten, tak pernah berprasangka buruk terhadap orang lain, dan tak suka menilai orang lain. Dilihat dari sudut gender, sifat-sifat seperti ini adalah sifatsifat perempuan ideal, sesuai dengan yang dikehendaki oleh masyarakat patriarkis. Sifat-sifat tersebut merupakan representasi dan stereotip perempuan. Stereotip tersebut merupakan hasil ciptaan budaya masyarakat. Dengan demikian, tokoh Mbok Nah ini merepresenasikan ideologi gender sebagai objek penceritaan. Tokoh subjek Marno dalam cerpen ini tidak digambarkan secara jelas. Marno suami Mbok Nah yang lebih muda 20 tahun dari Mbok Nah tidak digambarkan secara utuh. Gambaran yang dikemukakan pengarang sebatas figur suami yang seenaknya dewek, dalam arti sama sekali tidak menaruh perhatian pada istrinya. Sikap kekanakkanakan Marno mungkin saja disebabkan karena dia mempunyai istri lebih tua. Karena itu, Mbok Nah tidak berani menegur atau mengemukakan perasaannya
151
kepada suaminya. Dari pemerian cerita dalam cerpen ini bisa diinterpretasi bahwa tidak ada komunikasi yang baik antara Mbok Nah dan suaminya. Ketidakpedulian Marno kepada istrinya (walaupun tidak diungkap oleh pengarang) menunjukkan bahwa Marni berkuasa atas Mbok Nah. Lebih jelasnya Marno berposisi superior dan Mbok Nah berposisi inferior, padahal sifat Marno itu tidak mempresentasikan ideologi gender, jadi dia berkuasa secara psikis atas Mbok Nah, bukan secara biologis. Dalam dua minggu ini Mbok Nah lagi bingung melihat gelagat Mas Marno suaminya. Yang bikin bingung, ya ini, Mas Marno, Si Kuku Bimanya. Hati Mbok Nah kebat kebit. Mas Marno tersayang kini sering berangkat menarik becak lebih siang. Padahal pagi-pagi dia sudah dandan. Rambutnya sudah lengket berkilat oleh pomade, celana pendek jins juga sudah dipakainya. Becak pun sudah di pinggir jalan. Tapi Marno Cuma duduk-duduk di amben depan rumah. Wajahnya jernih kekanakan menatap ke depan. “Lho ndak berangkat toh Mas... nanti ndak bisa ngantar anak-anak yang mau sekolah.” lembut Mbok Nah menyapa. Kopi dan goreng pisang yang disuguhkannya sudah ludas. “Nanti sebentar lagi Nah.” Dan itu Jawaban Marno setiap kali, bahkan walau tak ditanya Mbok Nah. Ya sudah, Mbok Nah tak bisa menunggu sampai Marno pergi. (hal 96-97). Kebingungan Mbok Nah akibat sikap suaminya ini memunculkan konflik dalam cerpen ini. Mbok Nah tak menaruh curiga, ketika setiap kali ia mengetuk pintu kamar Meri (waria yang kos di depan rumahnya) dan Meri keluar dari kamarnya, Marno, suaminya selalu tersenyum malu-malu. “Halo Mbok Nah, dagg Mas Marno.” Begitu setiap pagi dan Mbok Nah tak tahu apa yang terjadi kemudian. Yang pasti pendapatan Marno dua minggu terakhir ini surut banyak. Mbok Nah harus ngutang sana-sini untuk makan atau bahan pembuat jamu. (hal. 98). Dari pemerian dan dialog pendek antara Mbok Nah dan Marno tergambar bahwa Marno mempunyai niat jelek buat Mbok Nah. Dia kelihatan bahagia apabila
152
Mbok Nah telah memulai pergi menjajakan jamu termasuk kepada Meri yang selanjutnya diketahui bahwa Marno berselingkuh dengan Meri. Frase tersenyum malu-malu menunjukkan bahwa hati Marno berbunga-bunga akan berkencan dengan Meri, bukan dengan Mbok Nah, walaupun Sebenarnya Mbok Nah sangat kesengsem oleh senyum malu-malu Marno (hal. 98). Ternyata senyum itu bukan buat Mbok Nah, tetapi buat Meri. Mbok Nah tersubordinasi. 4.2.3.2 Ideologi Familialisme Sebagai seorang istri walaupun Mbok Nah lebih tua 20 tahun dari suaminya, ia berusaha selalu ingin menyenangkan suaminya. Setiap pagi sebelum dia menjajakan jamu, Mbok Nah menyediakaan sarapan pagi buat suaminya, walaupun hanya berupa kopi dan pisang goreng. Mbok Nah berusaha berbuat taat dan setia pada suaminya. Kegiatan Mbok Nah sebenarnya berperan ganda, dalam arti dia berfungsi sebagai ibu rumah tangga, juga sebagai pencari nafkah. Sejak pagi dia sudah mulai menjajakan jamu kepada langganan-langganannya. Dalam dua minggu ini ia mempunyai langganan baru seorang waria yang kos di depan rumahnya. Waria namanya Meri dan nama sebenarnya adalah Rukman. Anehnya Meri ini selalu membeli jamu singset dan sari rapet, selain itu dia juga membeli jamu kuat majun. Tetapi Mbok Nah tidak pernah mempermasalahkan mengapa Meri membeli kedua jenis jamu itu, yaitu jamu untuk perempuan dan jamu untuk laki-laki. Meri akrab dengan Mbok Nah, karena kalau Mbok Nah datang ke kamar Meri untuk mengantarkan jamu pesanan Meri, Meri suka bercerita tentang pengalamanpangalamannya.
153
Suatu malam Meri muntah-muntah dan minta tolong Mbok Nah. Mbok Nah dan Marno menolong Meri, merawatnya di rumah mereka hingga lebih dari seminggu, hingga Meri sembuh. Kesembuhan Meri membuat Mbok Nah lega. Adanya Meri di rumah Mbok Nah membuat kehangatan tersendiri bagi Mbok Nah. Ia seperti mendapatkan anak begitu saja. Ia tidak pernah mempersoalkan sekalipun ia sering melihat Meri dan Marno saling cubit dan bermain kaki di bawah meja. Naluri keibuannya membuatnya ia sabar, dan tidak peduli akan kelakuan suaminya dan Meri. Sebetulnya kesembuhan Meri membuat pekerjaan Mbok Nah banyak terbantu. Ternyata Meri itu seorang yang gesit dan kuat; terampil memasak, membelah kayu bakar, sampai menumbuk dan menggodok racikan jamu Mbok Nah. Pagi hari secangkir kopi hangat sudah terhidang buat Mbok Nah, saat sore datang: nasi panas, sambal terasi, dan ikan asin spesial dibikin. (hal 100). Hal ini membuat Mbok Nah merasa menemukan anak yang tak pernah hadir di rahimnya, menurut perasaannya anak itu hadir begitu saja di hadapannya. Tingkah laku Meri dengan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga Mbok Nah adalah untuk menitipkan dirinya karena ia banyak dibantu oleh Mbok Nah dan Marno. Cerpen ini memerikan bahwa Pada suatu sore Mbok Nah melihat becak Marno sudah nangkring di bawah pohon jambu klutuk depan rumah... Dari kamar belakang dia mendengar suara Marno dan suara Meri. Suara-suara itu mengingatkan Mbok Nah pada malammalam kebersamaannya dengan Marno. Mbok Nah tercenung... Pandangannya jatuh pada tangannya yang keriput dan legam. Mbok Nah menarik nafas. (hal 100-101). Marno yang diceritakan sebagai orang yang kekanakan, dalam pemerian di atas tergambar sebagai seorang suami yang punya kekuasaan untuk menyakiti istrinya
154
Mbok Nah. Tega-teganya ia berselingkuh dengan waria yang terang-terangan dilakukan di rumah Mbok Nah atau di rumahnya sendiri. Kalimat “Suara-suara itu mengingatkan Mbok Nah pada malam-malam kebersamaannya dengan Marno,” membuat Mbok Nah tercenung, dia merasa termaginalisasi. Dia menoleh kepada dirinya yang sudah berumur 60 tahun, tangannya telah keriput dan legam, apalagi wajahnya. Kalimat Mbok Nah menarik nafas, menunjukkan bahwa dia menyadari sudah tua, sudah tidak menarik lagi bagi Marno. Kesadaran ini membuat dirinya tidak sakit hati. Apa artinya sakit hati karena dalam dirinya sejak awal sudah dicekoki bahwa perempuan Jawa tidak boleh menyatakan perasaannya kepada suami, dalam arti harus nrimo, pasrah, dan tidak boleh berpretensi apa-apa. Suami adalah panutan. 4.2.3.3 Ideologi Ibuisme Ideologi ibuisme ialah ideologi yang menganut perempuan harus menjadi “ibu yang baik” atau menjadi “ibu rumah tangga yang baik”, akan lebih jelas kalau disebut “ratu rumah tangga.” Apa pun sebutannya adalah sama saja perempuan harus menjadi orang baik di dunia domestik dan masyarakatnya. Cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” menceritakan tentang tokoh Mbok Nah yang sudah berumur 60 tahun, penjaja jamu. Kalau dia menjajakan jamu, kalimat-kalimat yang dilontarkannya masih manjur, buktinya setiap pagi jamunya pasti ditunggu orang. Mbok Nah yang masih montok pandai merayu tukang becak dan kuli bangunan: “Ayo Mas biar badannya kuat dan bojone di rumah puas, pokoke coba dulu, sampean pasti bangga,” atau “Iya lho Jeng, suami Mbok kan dua puluh tahun lebih muda, gara-gara sari rapet ini dia tambah hari tambah rapet. Jamu yang
155
ini bikin baan singset ndak bau, laki kan ndak suka. Kalau sudah begitu kan bisa repot.” (hal. 93). Pemerian dan monolog di atas menggambarkan bahwa betapa pentingnya jamu untuk membuat laki-laki kuat sehingga istrinya merasa puas. Kalau istri merasa puas tentu saja suami menjadi bangga karena dia bisa menunjukkan kejantanannya. Sudah sejak awal memang laki-laki dikondisikan secara kultural untuk mempunyai stereotip yang jantan, kuat, rasional, dan gagah. Dengan demikian dia bisa menjadi superior dan perempuan menjadi inferior, serta tunduk kepada suami. Karena penampilan stereotip di atas, perempuan pun merasa bangga kalau mempunyai suami seperti itu. Inilah yang menimbulkan adanya ideologi patriarki. Lain halnya dengan perempuan, seperti yang dikatakan Mbok Nah tadi. “Jamu itu bikin badan singset, rapet, dan tidak bau, laki ndak suka. Kalau sudah begitu kan bisa repot.” (hal. 95). Perempuan sejak dini sudah dipola oleh budaya masyarakatnya, yaitu harus bisa menjaga diri dan merias diri untuk menyenangkan suami serta melayani suami. Jamu singset dan sari rapet Mbok Nah ini memang manjur terbukti banyak langganan-langganannya yang bercerita sambil cekikikan pada Mbok Nah tentang pengalaman dan kepuasan berhubungan dengan suaminya (hal. 95). Peran jamu ini sangat manjur terutama bagi perempuan Jawa, dengan jamu ini mereka akan berharap supaya dicintai dan disayang suami. Mbok Nah merasa bersyukur saat langganan-langganannya bercerita, dia selalu mengingat kata-kata ibunya. “Kamu rupanya yang dikasih wangsit sama moyangmu bikin jamu, Nduk. Kamu bakal menolong banyak orang.” Dan Mbok Nah percaya sudah banyak menolong orang, para langganannya tak ada satu pun yang bercerai, punya istri baru, atau suami lain. Semua langgeng tur besuki. “Syukur,” bisik Mbok Nah dalam hati. (hal. 96).
156
Hal ini menunjukkan keberhasilan Mbok Nah dalam berperan ganda, yaitu sebagai ibu rumah tangga yang baik, dalam arti bekerja di ruang domestik, dan sebagai penjual jamu, dalam arti bekerja di ruang publik. Sebetulnya Mbok Nah sekarang tidak begitu repot karena pekerjaan domestik di rumah telah dikerjakan oleh Meri, Mbok Nah merasa terbantu. Larut malam ketika kentongan berbunyi dua kali Mbok Nah masih menunggu Marno. Cuma dengkuran dari kamar sebelah yang didengarnya (hal. 100). Pemerian ini menggambarkan bahwa Marno tidak masuk ke kamar Mbok Nah, tetapi tidur di kamar sebelah dengan Meri. Frase “masih menunggu Marno,” memperlihatkan bahwa Marno sudah tidak mempedulikan Mbok Nah. Dia berbuat terang-terangan berselingkuh, dan dia tidak takut diketahui oleh Mbok Nah. Kepindahan Meri ke rumah Mbok Nah, rupanya jadi bahan gunjingan baru di kalangan tetangga; “Mbok Nah ini pikirannya piye toh. Apa ndak melihat kelakuan Si Meri sama Mas Marno. Pikun apa Mbok Nah ini... Mas Marno juga wis gendeng apa, punya gendakan kok banci,” kata Mbakyu Surti yang terkenal ceplas-ceplos (hal. 102). Mbok Nah menyadari perselingkuhan antara suaminya dengan Meri. Dia tidak menyalahkan suaminya, malah dia melihat ke dirinya, bahwa suaminya wajar berbuat selingkuh karena dia sudah tua, sudah tak menarik lagi, dengan cara ini Mbok Nah menghindari sakit hatinya dan mengobati perasaannya. Meri tengah memasukkan botol-botol jamunya ke dalam bakul dan rambut Mas Marno basah. Keduanya tersenyum malu-malu, Mbok Nah tak berkata apaapa. Ia menghirup kopi dan pergi (hal. 101).
157
Mbok Nah ”terdiskriminasi.” Melihat gelagat suami dan Meri, Mbok Nah lebih baik pergi walaupun hatinya teriris. Sepanjang jalan ketika berjualan Mbok Nah tak bisa melupakan perselingkuhan suaminya dengan Meri. Akibat peristiwa itu ia enggan pulang. Namun rasa lapar tak bisa ditahannya membuat ia terpaksa pulang. 4.2.3.4 Ideologi Umum Ideologi umum yang direpresentasikan dalam cerpen “Mbok Nah 60 Tahun” menunjukkan betapa pedihnya Mbok Nah diperlakukan seenaknya oleh suaminya yang berselingkuh terang-terangan di depan matanya. Dia merasa rendah diri karena dia merasa lebih tua dari suaminya, dan kenyataannya memang tua sudah berumur 60 tahun dan suaminya baru 40 tahun. Badan Mbok Nah masih tetap montok, tetapi kulitnya sudah mulai keriput dan legam karena kepanasan ketika menjajakan jamunya. Mbok Nah terbangun ketika terdengar ketukan halus pada pintu. Mbok Nah mengira Mas Marno, ia gelagapan. Tak tahu kira-kira apa yang harus dikatakannya. Ia tak yakin apakah ia marah dengan peristiwa kemarin sore. Jika berlagak marah ya salah, tapi jika tidak mengatakan apa-apa juga salah. Akhirnya Mbok Nah cuma menunggu (hal. 102-103). Pemerian di atas menunjukkan kepanikan Mbok Nah. Dalam batinnya ia mengharapkan Marno datang ke kamarnya. Kata gelagapan menunjukkan bahwa ia bingung apa yang harus dia kemukakan kepada Marno mengenai perselingkuhan suaminya itu dengan Meri. Ternyata yang masuk ke kamar bukan Marno, tetapi Meri. “Mbok..., kemarin sore..., Meri tampak gugup dan tersendat “Meri... anu Mbok, nuwun sewu... Mas Marno, Meri..” (hal. 103). “Wis Nduk, wis... tidur sana,” kata Mbok Nah setengah mengantuk. Mbok Nah tidur lagi (hal. 103).
158
Meri berusaha meminta maaf kepada Mbok Nah atas perselingkuhannya dengan Marno. Tetapi karena Mbok Nah sudah merasa kehangatan atas kehadiran Meri di rumah itu, dan dia merasa kehadiran Meri itu merupakan kehadiran anak yang tiba-tiba ada tanpa kehadiran dahulu di rahimnya, maka Mbok Nah menganggap tidak ada persoalan baginya. Mbok Nah memang selalu mengharapkan kehadiran seorang anak, nyatanya yang muncul Meri yang berselingkuh dengan suaminya. Pengakuan perasaan ini menjadi sikap Mbok Nah yang tidak mempermasalahkan perselingkuhan itu. Tetangga-tetangga Mbok Nah mengetahui perselingkuhan Marno dengan Meri. Mereka menyayangkan sikap Mbok Nah yang terlalu baik pada Meri dan mengherankan Marno mempunyai gendakan banci. Mbok Nah sebetulnya tak ingin bertemu tetangga. Tetapi tak bisa, karena semua tetangganya langganannya. Ia akhirnya menjawab pertanyaan-pertanyaan tetangganya yang memerahkan telinga dan membuat sakit hati perasaannya. Mbok Nah terepresi. Mbok Nah berusaha menyimpan perasaannya dan tidak mengungkapkan secara terbuka untuk menjaga terjadi konflik. Sikap ini mencerminkan perempuan ideal, yaitu perempuan yang bersifat pasif, menderita tanpa protes, kuat perasaannya, dan tak pernah menyatakan hal-hal negatif, semuanya dipendam di hati. Mbok Nah tidak bersikap terbuka dan mendiamkan persoalan. Hal ini membuat Mbok Nah kembali mendapat represi dari suaminya. Mbok Nah berusaha memaklumi dan memaafkan perselingkuhan itu dengan cara menganggap Meri dan Marno sebagai bocah-bocah. Mbok Nah berjalan ke luar. Pintu kamar belakang terkuak sedikit,
159
dilihatnya Meri lelap tidur dengan muka penuh riasan. Di sisi ketiaknya Marno meringkuk seperti bayi. “Bocah-bocah turu kabeh,” desahnya. Mbok Nah mengikat gulungannya yang terlepas. (hal. 103). Dalam hal ini terlihat sikap penerimaan Mbok Nah terhadap perselingkuhan Marno atau dalam kultur Jawa disebut nrimo, yang berarti perempuan harus selalu pasrah dan menerima segala tindakan suami. Konsep ini tercermin dalam ungkapan “swarga nunut naraka katut”, artinya kebahagiaan dan penderitaan istri ada di tangan suami (kultur Jawa), dan “awewe mah dulang tinande”, artinya perempuan hanya menerima (kultur Sunda). Sikap Marno ini merupakan ideologi gender yang cenderung menyebabkan ketidakadilan gender bagi perempuan. Ketidakadilan ini bermacam-macam, salah satunya adalah penindasan secara psikis, dalam hal ini perselingkuhan Marno yang dapat dikategorikan “kekerasan dalam rumah tangga”. Kekerasan tersebut menyerang integritas emosional-psikologis yang menyebabkan pihak yang mengalaminya tertekan secara psikologis maupun fisik. Kekerasan ini menurut Adingsih (Pikiran Rakyat, 8 Maret 2002) terjadi karena perempuan cenderung tidak berdaya untuk keluar dari lingkaran itu. Terbukti dari 125 kasus yang dicatat Rifka Annisa Women’s Crisis Center (1998), 70% perempuan mengalami represi dari suaminya, pasrah menjalani perkawinan. 4.3
Cerpen “Warung Pinggir Jalan”
Judul
: “Warung Pinggir Jalan”
Pengarang
: Lea Pamungkas
Antologi
: “Pistol Perdamaian”
160
Penerbit
: Kompas, 1996
Ikhtisar Cerpen ini bercerita tentang kehidupan di sebuah daerah yang terkena proyek pembangunan waduk, yang diperkirakan di daerah Jawa Barat. Asalnya daerah ini daerah pertanian, tentu saja mata pencaharian warganya adalah bertani. Namun ketika daerah itu dijadikan proyek pembuatan waduk, warganya jadi kehilangan mata pencaharian. Akibatnya warga merobah profesi jadi pedagang, dan berdirilah warungwarung di sepanjang jalan di daerah itu, yang oleh pengarang cerpen ini disebut warung pinggir jalan. Pada perkembangannya warung pinggir jalan ini ternyata menjadi tempat prostitusi. Di antara warung pinggir jalan tersebut, ada sebuah warung yang sejak sebelum ada proyek pun sudah berdiri. Warung tersebut adalah warung milik tokoh Emak, yang menjual satai dan gulai. Emak tinggal dengan anaknya Idah yang masih berusia belasan tahun. Akhir-akhir ini perhatian Idah tertumpu pada seorang perempuan di seberang jalan yang bernama Mira. Idah melihat Mira lain dari perempuan-perempuan lainnya di desa itu. Mira selalu cantik, gembira, dan gaya. Rumahnya pun lebih bagus. Sore menjelang malam Mira selalu dijemput oleh seorang lelaki dengan menggunakan sebuah mobil truk mini dan pulang waktu subuh. Idah ingin sekali meniru apa yang dipakai dan apa yang dilakukan oleh Mira. Ia selalu mengintip Mira dari mulai kepergian sampai kepulangannya. Idah ingin menjadi seperti Mira. Dari percakapan orang-orang, diketahui bahwa Mira itu pelacur, tetapi Mira mempunyai langganan tetap. Perempuan-perempuan lainnya di warung pinggir jalan
161
ini banyak yang menjadi pelacur, bedanya langganan mereka berganti-ganti, kebanyakan sopir-sopir truk yang mengangkut bahan-bahan bangunan waduk dari kota. Selama pembangunan waduk, warung Emak Idah selalu ramai dikunjungi para sopir truk. Di antara supir truk itu, ada seorang yang disukai Idah, yaitu Emet. Setiap Emet makan di warung Emaknya, Idah memberikan pelayanan yang khusus (misalnya khusus untuk Emet, ia memberi satai yang lebih besar). Lama-lama sikap Idah diketahui oleh Emak, Emet, dan langganan-langganan lainnya. Berhari-hari sumur Emak Idah yang juga digunakan penduduk lainnya kering, begitu pula sumur-sumur lainnya di sekitar itu. Kegiatan warung Emak Idah terhambat, sehingga Emak Idah merasa sedih. Idah mengusulkan agar sumur itu digali lagi, tetapi Emak Idah tidak punya uang. Akhirnya Idah mengusulkan agar Emak menyuruh Emet menggalinya dan Idah berjanji akan mengatakannya kepada Emet. Emak sebetulnya tidak begitu setuju, tetapi karena keadaan, akhirnya menyetujuinya. Emet ternyata bersedia karena ia punya maksud lain terhadap Idah. Kenyatannya benar, di lokasi pembangunan waduk itu, keperawanan Idah direnggut Emet. Lewat firasatnya Emak mengetahui kejadian ini, tetapi Emak tidak bicara apaapa, ia hanya bisa menangis. Sayangnya Idah tidak peduli, malah ia merasa terbebaskan dari rasa ingin tahu yang selama ini mempengaruhi perasaannya. Pengalaman ini membuat Idah merasa bebas dan berhak melakukan apa saja yang ia inginkan.
162
Sementara itu terjadi perubahan lain di desa itu, pembangunan waduk itu terhenti. Warung-warung pinggir jalan banyak yang gulung tikar. Warga kampung banyak yang demo menuntut ganti rugi tanah yang digunakan proyek itu. Dengan kondisi situasi seperti itu, pengarang menceritakan bahwa Idah akhirnya menjadi pelacur yang berakibat pada Emak menjadi bisu. 4.3.1
Profil Gender dan Identitas Gender Cerpen “Warung Pinggir Jalan” menceritakan kehidupan sebuah daerah yang
terkena proyek pembangunan waduk. Latar tempat yang diceritakan cerpen ini adalah di sebuah daerah di Jawa Barat (dilihat dari penyapaan dan nama para tokohnya). Latar sosial cerpen ini awalnya digambarkan sebagai daerah pertanian, mata pencaharian penduduknya bertani. Namun setelah daerah itu terkena proyek pembangunan waduk, penduduknya jadi kehilangan mata pencaharian, karena lahan pertaniannya dibuat proyek. Selama pembangunan waduk tersebut, di daerah itu banyak berdiri warung pinggir jalan, yang dibaliknya terjadi praktik prostitusi. Cerita mengenai
kehidupan
di
daerah
tersebut
dikemukakan
pengarang
dengan
menggunakan sudut pandang persona ketiga “dia” sebagai pengamat. Dalam sudut pandang ini pengarang hanya dapat menceritakan tokoh-tokohnya secara terbatas dari tindakan-tindakan yang tampak. Hanya tokoh utamalah yang bisa diceritakan perasaannya, pikirannya, dan tindakannya. Bahasa yang digunakan sederhana, baik ditinjau dari leksikal maupun gramatikal. Kosakata diambil dari bahasa sehari-hari yang lugas, yang pada
163
umumnya bermakna denotatif. Struktur kalimat yang digunakan juga kebanyakan kalimat tunggal. Profil-profil yang ditampilkan dalam cerpen ini ialah Idah, Emak (ibunya Idah), Mira, para sopir, dan para tetangga. Yang menjadi tokoh utama dalam cerpen ini adalah Idah dan profil gender lainnya sebagai profil tambahan. Dari pemerian cerpen ini digambarkan profil Idah sebagai tokoh utama yang masih berumur belasan tahun dan masih bersekolah, kegiatan sehari-hari membantu Emak di warung, memasak, mencuci piring, dan melayani pembeli. Dalam pemerian cerpen terlihat bahwa Idah adalah gadis montok, berwatak polos, selalu ingin tahu, mudah terpengaruh, dan pasif (diam, menunggu, dan jadi objek), menunjukkan profil stereotip gender. Profil Emak digambarkan sebagai perempuan yang berbibir sumbing dan berkulit kuning. Emak adalah seorang perempuan mandiri, tidak banyak bicara, dan penuh harga diri, tetapi tingkah lakunya selalu tergesa-gesa. Pekerjaan Emak seharihari berjualan nasi, gulai, satai, dan minuman. Sejak subuh dia sudah memasak dan membuat tusukan-tusukan satai. Pukul 06.00 mulai membuka warung dan melayani pembeli. Profil Emet digambarkan sebagai laki-laki yang tidak pantas disebut tampan. Perut Emet buncit, bajunya tak pernah bersih dari oli, baru keringat, dan matanya selalu merah, kalau duduk kakinya selalu diangkat, tetapi dia kuat, tangkas, nakal, dan agresif. Tingkah lakunya bebas, sama seperti sopir-sopir lainnya selalu tertawa lebar, berkata-kata terbuka dan keras, serta berperilaku seenaknya. Dia dipanggil
164
dengan panggilan “Si Jalu” oleh perempuan-perempuan warung yang berjualan sehari penuh, sama seperti mereka menyebut “ayam jantan yang selalu menang.” Profil Mira digambarkan sebagai perempuan seberang jalan, yang berarti rumahnya berseberangan dengan rumah Idah. Dia adalah seorang perempuan pelacur, tapi tidak melacurkan diri pada setiap laki-laki. Dia melacur hanya pada satu lakilaki. Dalam cerpen ini Mira digambarkan sebagai perempuan periang, cantik, bersih, bajunya banyak, sepatunya banyak, selalu harum, dan setiap sore dia dijemput oleh seorang laki-laki, waktu subuh baru diantar pulang. Jadi, dia diantar jemput dengan mobil semacam truk, tapi lebih kecil. Kehidupan Mira tak ada bedanya dengan dokter atau orang kaya di kampung itu. Profil tetangga Emak Idah disebutkan oleh pengarang dengan istilah “bocor mulut” dalam arti tetangga-tetangga ini senang bergunjing, suka membuka rahasia dan aib orang. Bocor mulut yang digambarkan pengarang di sini ialah bocornya cerita bapaknya Idah yang diusir oleh Emak karena nyeleweng. Padahal bapaknya Idah itu adalah seorang penganggur. Dia kepergok oleh Emak nyeleweng dengan “perempuan seberang jalan,” tapi tak disebutkan siapa perempuan seberang jalan itu, dan Idah tak mau tahu. Minggu-minggu terakhir ini tidak banyak truk yang parkir di depan warung. Proyek pembangunan waduk itu dikurangi kegiatannya. Persoalannya karena uang ganti rugi tanah penduduk belum beres. Sebagian sopir diberhentikan sementara. Keadaan ini berpengaruh pada penduduk desa. Warung-warung tampak sepi, keadaan kampung jadi sunyi. Banyak warung yang tadinya buka 24 jam jadi tutup, yang
165
tampak masih buka adalah warung Emak dan Ceu Iyam. Dalam situasi warungnya sepi ini, Ceu Iyam bergumam, kalau tahu keadaan bakal begini, nggak bakalan saya panggil si Euis ke sini. Yang cantik dan bahenol, sudah nggak ada gunanya lagi, kalau sopir-sopir itu nggak lagi ke sini (hal. 139). Pemunculan profil Euis sebagai profil tambahan menggambarkan bahwa di balik pendirian warung-warung di pinggir jalan itu ada usaha lain yaitu praktik prostitusi. 4.3.2
Peran Gender dan Relasi Gender Cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini mengangkat cerita tentang sebuah desa
yang terkena proyek pembangunan waduk. Daerah itu pada mulanya adalah daerah pertanian dan pencaharian penduduknya bertani. Saat ada proyek pembangunan waduk daerah itu berubah menjadi daerah yang sibuk, daerah itu penuh dengan alatalat berat, truk-truk, sopir-sopir, dan tenaga-tenaga kerja yang banyak berdatangan dari daerah lain. Akibat proyek ini, banyak penduduk kehilangan pekerjaan dan beralih profesi, yang tadinya bertani, karena lahan pertaniannya dibuat waduk, tak ada lagi lahan untuk bertani, akhirnya banyak laki-laki yang mencari pekerjaan ke kota, berdagang, atau bekerja di proyek pembangunan waduk tersebut. Perempuanperempuan desa yang tadinya juga petani beralih pekerjaan dengan mendirikan warung-warung di pinggir jalan, yang kebanyakan berjualan nasi dan minuman. Selain berjualan ternyata warung-warung itu membuka praktik prostitusi. Cerpen ini jelas menonjolkan peran gender. Dari pemerian cerpen diketahui Emak Idah pekerjaannya dari dahulu sampai sekarang adalah membuka warung nasi. Walaupun sesudah ada proyek pembangunan
166
waduk ini bermunculan warung-warung pinggir jalan hingga berderet, warung Emak tidak terganggu, dari dulu sama tidak pernah sepi. Tak ada praktik prostitusi di warung Emak Idah ini, yang terkena pengaruh keadaan lingkungan adalah Idah anak Emak. Idah yang polos dan belia mengidolakan perempuan di seberang jalan yang bernama Mira. Idah ingin sekali berperan seperti Mira, cantik, bersih, harum, sepatunya selalu berganti-ganti, bajunya banyak, lipstiknya, dan selalu gembira. Perempuan itu diantar-jemput oleh seorang laki-laki dengan menggunakan truk mini, sore dijemput dan subuh diantar pulang. Pekerjaan Mira adalah pelacur. Idah ingin sekali jadi Mira. Kalau di sekolah dia ditanya guru, cita-citanya mau jadi apa, dia menjawab ingin menjadi dokter, tetapi dalam hati kecilnya ia ingin menjadi pelacur. Bagi Idah, Mira tak ada bedanya dengan dokter. Idah yang menjadi tokoh utama dalam cerpen ini pekerjaannya membantu Emak memasak, mencuci piring, dan melayani pembeli, serta bersekolah. Secara esensial apa yang dilakukan Emak dan Idah adalah mencari nafkah, karena hidup tanpa suami dan tanpa bapak. Aktivitas mereka merepresentasikan ideologi gender, karena pekerjaan itu merupakan kepanjangan pekerjaan dari sektor domestik. Ibrahim dan Susanto (1998: 81) menggambarkan bahwa dalam pekerjaan perempuan sering kali dicadangkan pada urusan tradisional semata, baik karena keadaan maupun keterpaksaan. Namun kedua-duanya pada dasarnya karena dikondisikan oleh ideologi gender. Aktivitas Emet dan para sopir adalah menjadi tenaga kerja pada proyek pembangunan waduk sebagai sopir. Aktivitas ini merupakan representasi peran
167
gender. Pekerjaan keras dan berat cenderung dilakukan laki-laki, karena secara fisik laki-laki dianggap lebih kuat daripada perempuan. Peran tokoh lain adalah peran Mira sebagai pelacur dan para tetangga Idah (tokoh utama) yang beraktivitas di warung-warung dan membuka kegiatan prostitusi atau pelacuran. Fakih (1991: 17-18) menyebutkan bahwa pelacuran (prostitusi) adalah suatu bentuk kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assult) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap salah sau jenis kelamin dapat disebabkan oleh beberapa hal, yakni disebabkan oleh anggapan gender (stereotip) dan tidak setaranya kekuatan yang ada dalam masyarakat. Demikian pula dengan pelacuran. Pelacuran terjadi karena ada stereotip yang merendahkan perempuan. Perempuan cenderung dianggap sebagai sumber dosa dan penggoda pria agar jatuh ke dalam dosa. Hal ini seperti yang dinyatakan Baidhawy (1997: viii) yang tercermin dalam kisah kejatuhan Adam dan Hawa (legend of fall) yang diyakini masyarakat. Dalam kisah ini Hawalah yang terbujuk setan untuk menggoda Adam melakukan pelanggaran. Stereotip lainnya merupakan relasi gender yang memosisikan perempuan semata-mata sebagai objek laki-laki. Dilihat dari segi pelaksanaan prostitusi, perempuanlah yang selalu mendapat perlakuan tidak adil dari masyarakat. Hal ini terjadi karena relasi gender yang tidak imbang antara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan pelacurlah yang sering mendapat cemoohan dan pandangan rendah dari masyarakat. Namun hidung belang yang memanfaatkan pelacur bebas dari penilaian masyarakat dan bebas berkeliaran.
168
4.3.3 Jenis Ideologi Gender dan Ketidakadilan Gender Dari uraian cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini tergambar terjadinya perubahan sosial di desa tempat proyek pembangunan waduk. Perubahan sosial yang terjadi akibat pembangunan ini melanda sikap, perilaku, cara pandang, dan cara hidup masyarakat. Pembangunan waduk itu telah merampas sumber kehidupan mereka satusatunya, yaitu tanah pertanian. Ketika sumber kehidupan ini diambil untuk kepentingan pembangunan, tak ada lagi yang dapat mereka kerjakan, selain miskin, mereka tak punya potensi apa-apa. Sementara pelaksana pembangunan (pemerintah) tidak memberi solusi lain. Uang ganti rugi pun tidak diberikan, atau pun diberikan juga tidak memadai. Di sini terlihat bahwa pembangunan hanya mengejar pertumbuhan ekonomi/materi, tanpa mengabaikan sisi-sisi kemanusiaan. Hal inilah yang membuat perubahan cara hidup dan cara pandang masyarakat desa dan membuat masyarakat menjadi korban. Yang menjadi korban terparah dari akibat pembangunan ini adalah perempuan, perempuan juga berada pada situasi dan kondisi yang merendahkan posisi mereka. Selanjutnya dalam uraian ideologi gender akan dibahas mengenai representasi posisi dari berbagai aktor sosial, posisi gagasan, atau peristiwa yang diungkap oleh cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini. Selain itu akan dijelaskan mengenai siapa yang menjadi “subjek” penceritaan dan siapa yang menjadi objek penceritaan, termasuk menentukan struktur teks, interpretasi makna, dan eksplansi yang diberlakukan dalam teks tersebut secara keseluruhan.
169
Dalam cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini, yang menjadi tokoh utama adalah Idah. Peran Idah direpresentasikan sebagai “objek” penceritaan dan yang didefinisikan oleh pengarang Lea Pamungkas yang feminis, serta bagaimana Lea Pamungkas mengungkap jenis-jenis ideologi gender dan ketidakadilan gender dalam cerpen ini. 4.3.3.1 Ideologi Patriarki Ideologi patriarki yang ditemukan dalam cerpen “Warung Pinggir Jalan” adalah dalam perwatakan dan aktivitas (pekerjaan tokoh). Watak Idah (sebagai objek penceritaan) adalah polos dan sikapnya pasif (diam, menunggu), mudah terpengaruh, dan selalu ingin tahu. Pekerjaan Idah adalah membantu Emak dalam kegiatan di warung dan bersekolah. Di tengah-tengah aktivitas rutin sehari-hari ini pengarang menggambarkan peristiwa berupa hal-hal yang dipikirkan Idah. Selama ini Idah selalu mengintip dan memperhatikan tingkah laku seorang perempuan yang bernama Mira, tapi Emak memberi julukannya dengan perempuan seberang jalan. Idah mengintip Mira setiap menjelang kepergian yaitu setiap sore, dan setiap subuh pada saat kepulangannya. Mira selalu diantar-jemput oleh seorang laki-laki dengan menggunakan truk mini. Idah selalu ingin tahu apa yang dilakukan Mira, bagaimana sepatunya, bagaimana bajunya, dan bagaimana lipstiknya. Emak sering jengkel dengan kelakuan Idah tersebut, tetapi Idah tidak memperdulikannya. Di mata Idah. Mira itu lain dari perempuan-perempuan di desa itu. Mira lebih bersih dari semua perempuan yang ada di desa itu, lebih cantik, lebih wangi, pakaiannya banyak, sepatunya banyak, tetapi lebih dari segalanya, Mira selalu gembira (hal. 138).
170
Dalam pemerian diceritakan bahwa Idah ingin menjadi seperti Mira. Bagi Idah Mira tak ada bedanya dengan dokter. Betapa ingin Idah seperti dia. Ia tak peduli setiap kali seseorang membicarakan Mira, maka mulut orang itu akan maju ke depan paling tidak dua centi. Mencibir. Hati Idah selalu menjawab, “Ingin jadi Mira,” seorang pelacur (hal. 138). Kalau kita telaah cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini bertema bahwa: Pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan aspekaspek kemanusiaan dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan menjadikan masyarakat menjadi korban. Yang menjadi korban terparah adalah perempuan, karena selain mereka menerima dampak pembangunan tersebut, mereka pun berada dalam situasi masyarakat yang merendahkan posisi mereka. Dalam cerpen ini proyek pembuatan waduk membuat perempuan-perempuan terlempar ke sektor-sektor informal yang berupa prostitusi. Dalam cerpen ini pengarang (Lea Pamungkas) bertindak sebagai pengamat. Dalam cerpen ini digunakan bahasa-bahasa yang berideologi gender, yaitu pada diksi-diksi yang digunakan dalam narasi dan monolog. Misalnya dalam narasi. “Dan nanti elusan Emet pada pantatnya, akan terasa sampai Idah duduk di bangku sekolah siang nanti. Emak pura-pura tidak melihat, mata dan tangannya segera sibuk mengerjakan sesuatu” (hal. 137). Dalam pemerian ini kelihatan perlakuan Emet ini sangat tidak menghargai perempuan apalagi perempuan itu adalah gadis belasan tahun yang polos, yang belum tahu apa-apa. Sikap Emak tersinggung, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa, karena perbuatan Emet dianggap wajar menurut lingkungannya. Di sini jelas kaum
171
perempuan tersubordinasi. Laki-laki senang berbuat apa saja, walaupun tidak senonoh. Seperti pada penggalan teks berikut. Perempuan-perempuan warung yang berjualan selama sehari penuh itu menyebut Emet “Si Jalu.” Sama seperti mereka menyebut ayam-ayam jantan aduan yang paling sering menang (hal. 137). Penonjolan budaya patriarki terlihat dari tingkah laku para sopir, yang seenaknya dan menganggap perempuan sebagai dagangan “Si Idah sudah jadi perawan montok ya Ceu, saya pesan duluan ya” (hal. 137). Tapi gurauan para sopir itu tidak menjadikan Idah kesal dan Emak pun pura-pura tak memberikan reaksi. Kecenderungan laki-laki menggoda perempuan ini merupakan gambaran dari kesenjangan kedudukan dan kekuasaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya di antara dua kelompok manusia yang dibedakan oleh jenis kelamin, yaitu kesenjangan berupa subordinasi laki-laki atas perempuan. Akibat kepincangan ini, timbul pandangan bahwa perilaku laki-laki menggoda perempuan itu merupakan sesuatu yang “sehat dan normal.” Malahan kalau laki-laki yang tak pernah melakukan godaan terhadap perempuan akan diejek dan diragukan kenormalannya. Jika demikian, penormalan terhadap perilaku seksual laki-laki sudah merupakan stereotip, hal ini dapat ditanyakan pada pemerian julukan “Si Jalu” pada Emet. Julukan tersebut adalah julukan untuk laki-laki dan untuk menegaskan sifat kelelakian yang diyakini masyarakat, yaitu perkasa, kuat, berani, jago, dan lain-lain. 4.3.3.2 Ideologi Familialisme Dalam cerpen ini diungkap bahwa yang menjadi korban terparah dari pembangunan adalah perempuan. Dalam hal ini pengarang (Lea Pamungkas) hendak
172
memberikan kritik terhadap para pelaksana pembangunan, agar tidak mengabaikan aspek kemanusiaan, juga tidak mengabaikan aspek gender. Pengarang pun melakukan kritik terhadap masyarakat yang selalu berpegang pada ideologi gender. Idelogi gender cenderung tidak adil terhadap salah satu jenis kelamin manusia, yaitu perempuan. Perempuan selalu banyak menderita kerugian dan kesengsaraan, dan hentikanlah praktik-praktik yang tidak adil tersebut dari perikemanusiaan manusia itu sendiri. Tokoh Idah gadis belia yang polos, yang seharusnya duduk di bangku sekolah bersama harapan-harapan masa depannya harus menjadi korban jadi pelacur dan tidak menyadari bahwa dia menjadi korban. Lea Pamungkas sebagai pengarang cerpen “Warung Pinggir Jalan” ini memotret dan mencerminkan kenyataam sosial masyarakat Indonesia, khususnya masa pemerintahan Orde Baru, terutama yang berhubungan dengan masalah pembangunan. Pada masa ini, seperti sering diberitakan media massa banyak permasalahan yang muncul akibat proyek pembangunan yang dilakukan pemerintah. Contohnya masalah penggusuran, masalah ganti rugi tanah, akibat-akibat pembangunan itu sendiri yang banyak menimbulkan permasalahan sosial. Akibat pembangunan yang dilakukan pada masa Orde Baru banyak dirasakan oleh kaum perempuan adalah “pemarginalan” kaum perempuan. Misalnya dalam cerpen ini diceritakan bahwa pembuatan waduk itu membuat warga desa kehilangan pekerjaan dari bertani ke pekerjaan-pekerjaan di proyek. Tetapi perempuan yang tadinya juga bertani tidak bisa bekerja di proyek, akhirnya beralih mendirikan
173
warung-warung pinggir jalan dan menjalankan praktik prostitusi. Ester Boserup dalam bukunya “Women’s Role in Economic Development” (Utaryo, 1992: 80) mengemukakan bahwa pengalaman banyak negara di dunia menunjukkan bahwa pembangunan sering kali menimbulkan dampak negatif terhadap kaum perempuan. Dampak tersebut di antaranya “marginalisasi.” Peristiwa yang merupakan kelanjutan dari akibat pembangunan waduk, yaitu Idah yang muda belia, yang normalnya menyukai teman laki-laki yang sebaya, lebih menyukai Emet yang lebih pantas jadi bapaknya. Hal ini terjadi karena lingkungan yang membentuknya demikian. Hanya figur para sopirlah yang menarik Idah, karena dengan merekalah Idah banyak berhubungan. Warung satai-gulei milik Emak harus buka pukul enam pagi. Sebentar lagi sopir-sopir truk bermata merah burung hantu itu akan berdatangan. “Si Idah sudah jadi perawan montok ya, Ceu. Saya pesan duluan ya,” gurauan para sopir itu tidak selamanya mengesalkan Idah. Apalagi kalau Emet yang mengatakannya. Rosidah akan tersipu-sipu, tak sabar menunggu kopi selesai diseduh dan mengantarkannya. Dan nanti elusan Emet pada pantatnya akan terasa sampai Idah duduk di bangku sekolah siang nanti (hal. 138). Peristiwa keringnya sumur Emak sudah berjalan empat hari. Hal ini membuat Emak sedih karena warungnya harus tutup dan berdampak tak bisa mencari nafkah. Idah pun ikut sedih, karena kalau warung Emak tutup, berarti tak akan ada lagi Emet. Akibat sumur kering inilah yang menentukan jalan hidup tokoh utama Idah. Idah mengusulkan pada Emak agar meminta Emet untuk menggali sumurnya. Emaknya setuju. Permintaan Idah disetujui Emet karena Emet mempunyai maksud lain terhadap Idah.
174
Benar saja. Emet mengajak Idah ke waduk dengan alasan akan mengambil peralatan dan di waduk itulah terjadi apa yang dikehendaki Emet. Idah hilang keperawanannya. Ketika pulang sesudah kejadian itu, Emak dengan intuisinya sudah tahu apa yang terjadi, menatap Idah dalam-dalam. Idah gemetar. Akan tetapi tidak mengatakan apa-apa. Sekilas sebelum masuk kamar, Idah sempat melihat air mata mengalir dari mata Emak. Idah tak peduli. Ia lebih suka menikmati pengalaman barunya (hal. 145). Emak sangat sedih dan dia merasa “termarginalisasi” oleh tingkah laku Emet terhadap Idah. 4.3.3.3 Ideologi Ibuisme Ideologi ibuisme menuntut perempuan menjadi “ibu yang baik”, dalam arti perempuan harus menjadi orang baik di dunianya, yaitu dunia domestik dan di masyarakat. Cerpen “Warung Pinggir Jalan”, memerikan peran tokoh utama Idah sebagai perempuan yang mencari nafkah dengan ibunya Emak sebagai pedagang satai-gulai di warungnya. Pekerjaan ini merupakan kepanjangan tangan dari dunia perempuan yaitu dunia domestik yang ditentukan melalui ideologi gender. Jadi, dengan keterampilan peran domestiknya Idah dan Emak mencari nafkah. Dalam cerpen ini Idah digambarkan sebagai perempuan yang polos, masih belasan tahun, juga masih bersekolah. Pekerjaan dia sehari-hari mencuci piring, memasak, membuat kopi, dan melayani langganan yang kebanyakan sopir-sopir yang makan di warungnya. Pengarang menceritakan kisah cerita ini dengan sudut pandang gadis belia Idah (tokoh utama) yaitu segala hal yang diihat, dikhayal, dirasa, dipikirkan, dan
175
dilakukan tokoh utama tersebut. Pengarang menggambarkan dampak pembangunan yang mengabaikan aspek-aspek humanisme dan keadilan gender terhadap masyarakat desa yang miskin secara material maupun spiritual. Dalam cerpen ini dilukiskan yang menjadi korban terparah adalah perempuan. Mereka banyak yang menjual diri dengan cara praktik prostitusi. Tokoh Idah yang polos dan lugu, yang tidak berdosa apa-apa, yang seharusnya mempunyai harapan untuk masa depannya, karena lingkungan masyarakatnya, akhirnya menjadi korban juga. Dia menjadi pelacur. Namun dia tak menyukai bahwa dirinya adalah korban, baik dari pembangunan, maupun dari lingkungan masyarakatnya yang menerapkan ideologi gender. Idah “Ingin jadi Mira” seorang pelacur. Memang dalam pembicaraan, kalau ditanya guru atau orang yang lebih tua darinya, Idah menjawab persis seperti teman sebangkunya, “Ingin jadi dokter.” Bagi Idah, Mira tak ada bedanya dengan dokter atau banyak orang kaya di kampungnya (hal. 138). Idah mengidolakan Mira, karena Mira berbeda dengan perempuan-perempuan di desanya. Mira banyak bajunya, banyak sepatunya, selalu gembira, dan warna lipstiknya bermacam-macam, badannya selalu harum, dan menarik. Subuh itu Mira bersepatu putih dan serba putih, kecuali rambut hitam sangat lurus dan masai ...... Lelaki-lelaki yang mengantarkannya pun tak bakal lama. Tetapi yang hanya sebentar itu yang ditunggu Idah : dalam ketergesaan mereka saling berciuman merapatkan diri. Sayangnya tidak setiap subuh Idah punya waktu menikmati kegugupan dan kejutan-kejutan dirinya (hal. 135).
Kejadian-kejadian di lingkungan kehidupannya ini sangat mempengaruhi Idah yang masih polos dan belia, yang akhirnya terjerumus oleh rayuan Emet, sang sopir yang pantas jadi bapaknya.
176
Pemarginalisasian dan diskriminasi terjadi secara perlahan-lahan terlihat dari pembangunan di pedesaan yang mengintrodusir mekanisme pembangunan waduk. Perempuan yang tadinya bekerja bertani, jadi tak punya pekerjaan, sedangkan kaum laki-laki banyak yang terserap menjadi pekerja proyek pembangunan. Akhirnya para perempuan desa membuka warung-warung di pinggir jalan, yang secara terselubung membuka praktik prostitusi. Merebaknya prostitusi sebagai akibat berubahnya cara pandang masyarakat warga desa yang terpengaruh konsep pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi (materi), yang cenderung mengukur segala sesuatu dari materi. Warga tidak lagi mengindahkan norma-norma kehidupan dan nilai-nilai spiritual. 4.3.3.4 Ideologi Umum Idah dalam peristiwa ini selain merupakan representasi lain dari perempuan yang menjadi korban pembangunan yang tidak berkeadilan gender juga merupakan korban dari ideologi gender. Idah tidak melihat pelacuran sebagai bentuk kekerasan (represi) yang dilakukan masyarakat terhadap perempuan, karena perempuan terekspolitasi sebagai objek untuk kepentingan tertentu. Mereka tak menyadari hal itu karena telah termakan “hegemoni gender.” Peristiwa selanjutnya berhubungan dengan sopir-sopir yang sering makan di warung Emak. Di antara para sopir itu, Idah menyukai Emet, tapi tak pernah mengatakannya, ia hanya memperlihatkan lewat pelayanannya, yaitu memberi satai yang ukuran dagingnya lebih besar-besar. Idah pun selalu diam apabila Emet merabaraba bagian tubuhnya. Di sini terlihat bahwa Emet merupakan representasi stereotip
177
laki-laki, yaitu cenderung melakukan tindakan-tindakan secara aktif dan agresif. Adapun Idah merepresentasikan stereotip perempuan, yaitu pasif dan sekedar menjadi objek. Sudah empat hari sumur Emak kering. Idah menyarankan Emak agar minta tolong Emet untuk menggalinya. Keesokan harinya Emet datang dengan senyum di bibir dan matanya nakal. Emak Idah tak ada di rumah, Idah menyampaikan pembicaraan dengan Emak malam kemarin. Emet menyambut gembira permintaan Idah. “Neng, jangankan masuk sumur, masuk lubang kubur Mang mau, kalau Neng yang minta,” Emet tertawa lebar dan tangannya mencubit pipi Idah. Telapak tangan Idah tiba-tiba berkeringat. Kesempatan ini membuat Emet lebih agresif dan percaya diri untuk melaksanakan kenginannya, dia melihat kepasrahan Idah yang masih polos dan belia. “Duduk sini, Neng,” Emet menepuk-nepuk tempat di sampingnya. Idah raguragu sejenak, tetapi kemudian ia tersenyum dan mendekati Emet. “Supaya cepat, antar Mang Emet ambil peralatan di waduk. Neng Idah mau kan?” Mata Emet berbinar, tiba-tiba saja Idah sudah ada di pangkuannya. Pipi Idah diciumnya sekilas. Idah terperangah, tanpa disadarinya kepalanya langsung mengangguk (hal. 139). Kejadian pelecehan Emet terhadap Idah berlangsung lancar, tak ada penolakan dari Idah. Justru ini yang dikhayalkan Idah, sebagai korban lingkungan, terutama fikirannya yang mengidolakan Mira, seorang pelacur. Idah “terepresi” oleh Emet dan oleh kondisi lingkungan masyarakatnya. Saat Idah diperawani oleh Emet dia tidak merasa menyesal, malah dia gembira. Ia merasa memperoleh puncak dari sesuatu yang selama ini ingin diketahuinya, sekaligus terbebaskan dari ketidaktahuan (hal. 145).
178
Idah yakin sekarang dia bisa melakukan apa saja, termasuk pergi sore pulang pagi seperti yang dilakukan oleh Mira. Idah jadi pelacur, sesuai dengan dambaannya ingin seperti Mira. Sebetulnya bukan Idah saja yang hidupnya terepresi karena pembangunan, tetapi berakibat juga terhadap Emak. Emak “terepresi” sampai menjadi bisu. 4.4
Cerpen “Ruang Belakang”
Judul
: “Ruang Belakang”
Pengarang
: Nenden Lilis Aisyah
Antologi
: “Dua Tengkorak Kepala”
Penerbit
: Kompas, 2000
Ikhtisar Cerpen “Ruang Belakang” bercerita tentang kehidupan dua keluarga yang mengontrak di ruang belakang paviliun yang dikontrak tokoh aku (pengarang). Pengarang dalam cerita ini menempatkan diri sebagai pengamat, tetapi pegarang juga melibatkan diri dalam penceritaan. Kedua-duanya ibu, yang satu adalah Umi, seorang janda dengan satu anak laki-laki yang duduk di SMP dan sangat bandel, tidak pernah menurut pada ibunya dan selalu menyepelekan ibunya. Sementara tetangga yang satu lagi Teh Nining dan suaminya, Dadang punya anak satu perempuan yang masih duduk di kelas satu SD. Mereka suka menyetel tape keras-keras. Di tengah suara kaset yang keras terdengar suara Teh Nining yang mengomel karena suaminya selalu tidur kaya kebo. Anaknya menangis tidak mau mandi. Kadang-kadang terdengar suara
179
jeritan Teh Nining karena bertengkar dengan tetangganya Umi, atau karena digampar suaminya. Tokoh aku (pengarang) sudah tiga bulan mengontrak paviliun di perbatasan kota, dan mereka sekeluarga ngontrak di daerah itu karena biayanya relatif murah. Tokoh aku bercerita bahwa dia mempunyai bayi yang baru berumur empat bulan. Teh Nining sering dipukul suaminya. Apalagi setelah suaminya dikeluarkan dari hotel tempatnya semula bekerja. Kira-kira jam sepuluh pagi Teh Nining pergi ke pasar berbelanja bahan adonan gorengan yang akan dijualnya pada sore hari sampai kira-kira pukul sembilan malam. Kalau pagi-pagi Teh Nining ke pasar seringkali suaminya masih tidur, karena semalam ia pulang dalam keadaan mabuk. Apabila ia bangun agak pagi dan menemukan istrinya pergi tanpa menyediakan kopi, ia akan marah-marah dan menyumpah-nyumpah sendiri, lalu pergi dalam keadaan semrawut setelah menitipkan kunci. Suatu pagi terdengar suara piring dan gelas yang dilempar, diikuti rentetan kata-kata kasar seorang laki-laki, rupanya suara Dadang, suami Teh Nining. Kemudian terdengar suara benda dibenturkan. Tampaknya laki-laki itu menjambak rambut Teh Nining dan membenturkannya, terdengar jeritan Teh Nining, tangis anaknya, suara kerompyang, bantingan pintu, dan langkah pergi. Siang hari Teh Nining pinjam uang kepada tokoh Aku untuk pergi ke rumah kakaknya di Cililin bersama anaknya. Suatu hari terlihat seorang perempuan di kamar Teh Nining, dikira Teh Nining, ternyata pacarnya Dadang, suami Teh Nining, yang menurut Umi perempuan itu sudah bunting.
180
4.4.1 Profil Gender dan Identitas Gender Profil yang direpresentasikan dalam cerpen ini ialah tokoh aku (pengarang), sebagai pencerita dan pengamat cerita, Teh Nining sebagai tokoh utama, Dadang (suami Teh Nining), dan Umi sebagai tokoh tambahan. Dari pemerian cerita diketahui bahwa Teh Nining adalah seorang istri yang menderita karena suaminya galak dan sering memukulnya. Dilihat dari sudut gender Teh Nining ini adalah perempuan mandiri dan berperan ganda. Pagi-pagi dia sudah menyediakan kopi buat suaminya, karena kalau dia lupa pasti suaminya marah-marah, kemudian pergi ke pasar belanja bahan gorengan yang akan dijualnya pada sore hari sampai kira-kira jam sembilan malam. Dadang (suami Teh Nining) adalah pengangguran dan pekerjaannya tidur “kaya kebo”, wataknya kasar dan sering menyiksa istrinya. Profil Dadang ini diceritakan oleh pengarang sebagai profil manusia jorok dan menjanjikan, tubuhnya kotor, mulutnya bau, kerjanya lantang-lantung, pulang hanya untuk makan, dan kalau belum ada makanan, istrinya harus siap menerima dampratan. Profil Dadang merepresentasikan ideologi gender. Profil Teh Nining digambarkan sebagai perempuan yang berwajah manis, tubuhnya padat, gerakannya lincah, dandanannya dan riasannya selalu mencolok, seolah-olah tidak pas, kelihatannya akan lebih cantik kalau dia tidak dandan norak (polos). Teh Nining ini masih muda, tapi dia bertahan hidup dengan suami yang selalu memperlakukan buruk dan galak. Dia mempunyai anak perempuan yang baru duduk di kelas satu SD. Watak Teh Nining merepresentasikan ideologi gender.
181
Profil tokoh aku (pengarang) adalah keluarga muda yang mengontrak paviliun yang selalu terganggu oleh penghuni dua kamar ruang belakang paviliunnya. Tokoh aku punya bayi berumur empat bulan yang selalu terganggu pula oleh riuhnya suara dari ruang belakang. Profil tokoh aku tidak merepresentasikan ideologi gender. Profil Umi digambarkan oleh pengarang sebagai profil tambahan. Umi adalah seorang janda dan mempunyai seorang anak laki-laki yang bandel dan masih duduk di bangku SMP. Profil Umi adalah senang membuat gosip, membual, dan kurang dapat dipercaya, karena tidak jujur. Umi sering menjelek-jelekan Teh Nining, kelihatannya mereka tidak akrab. Profil Umi ini tidak merepresentasikan ideologi gender. Lokasi penceritaan kelihatannya terjadi di daerah Sunda, terlihat dari namanama tokoh pemeran cerita dalam cerpen ini. 4.4.2 Peran Gender dan Relasi Gender Dari pemerian cerpen “Ruang Belakang” ini tergambar bahwa peran tokoh utama Teh Nining adalah berperan ganda, yakni berperan sebagai ibu rumah tangga, dalam arti harus mengurus rumah tangga (bekerja di ruang domestik) dan bekerja di ruang publik sebagai pedagang gorengan. Teh Nining berperan sebagai pencari nafkah,
karena
suaminya
pengangguran.
Dalam
pemeriannya
pengarang
mengkondisikan Teh Nining berperan ganda ini sebagai tugas perempuan dalam integritas kultural terhadap tradisi. Pekerjaan Dadang (suami Teh Nining) luntang-lantung seharian, menyabung ayam, atau main gapleh dengan pemuda-pemuda pengangguran. Kalau pulang hanya untuk makan. Apabila dia pulang tak ada makanan, dia marah-marah dan istrinya
182
harus siap menerima dampratan. Kebiasaan Dadang pulang malam dalam keadaan mabuk, sesudah itu tidur kayak kebo. Apabila dia bangun agak pagi dan menemukan istrinya sudah pergi ke pasar tanpa menyediakan kopi, dia akan marah-marah dan menyumpah-nyumpah sendiri, lalu pergi luntang-lantung tak ada pekerjaan. Tidak ada komunikasi atau relasi yang baik antara Dadang dan istrinya. Pekerjaan tokoh tambahan Tokoh aku (pengarang) adalah sedang menulis skripsi dan suaminya wartawan. Kehidupan tokoh tambahan ini harmonis dengan suami dan anaknya yang masih berumur empat bulan. Suaminya “Tokoh aku” baik, mau mencuci, mau memandikan bayi, dan tidak banyak tuntutan. Tokoh aku ini tulus melayani suami dengan bekerja di ruang domestik sambil menyelesaikan studi. Dia menjadi tempat pengaduan bagi penghuni kamar ruang belakang, terutama Umi tokoh tambahan lain yang selalu mengganggu dengan ocehan-ocehan dan gosip-gosipnya, sambil menjajakan dagangannya untuk dibeli. Peran tokoh tambahan yang lain adalah Umi. Umi adalah seorang janda yang menghidupi seorang anak laki-laki yang duduk di bangku SMP. Pekerjaan Umi adalah tukang pijat dan mencuci pakaian sambil berdagang jamu dan kosmetik yang murahan. Umi berjualan jamu dan kosmetik dari rumah ke rumah sambil membual tentang cerita-cerita gosip, yang belum tentu kebenarannya. Kadang-kadang dia dimintai untuk memijat, lumayan pijatannya enak, hanya sambil memijat mulutnya tak pernah berhenti mengoceh tentang kejelekan dan rahasia orang lain. Paling senang menjelek-jelekkan Teh Nining, padahal ngontrak kamarnya berdempetan di ruang belakang paviliun tokoh aku.
183
Umi itu selain tukang jamu, juga sering mencucikan pakaian-pakaian tetangga, termasuk pakaian-pakaian tokoh aku. Ternyata beberapa potong pakaian tokoh aku hilang, Umi menjawab dengan tenang dan bersumpah dengan nama Tuhan segala, dia tidak mengambilnya, tetapi kemudian diketahui Umi menjajakan kain yang dicucinya kepada orang-orang kampung belakang. 4.4.3
Jenis Ideologi Gender dan Ketidakadilan Gender Cerpen “Ruang Belakang” ini membahas tentang representasi posisi berbagai
aktor sosial, posisi gagasan, dan peristiwa. Posisi-posisi ini menentukan bentuk wacana yang hadir di tengah pembaca. Berdasarkan analisis Fairclough dan Sara Mills akan dijelaskan bagaimana posisi-posisi itu ditampilkan. Posisi-posisi ini akan menentukan siapa yang menjadi “subjek” penceritaan dan siapa yang menjadi “objek” penceritaan, bagaimana menentukan struktur teks, menginterpretasikan makna dan memberlakukan eksplanasi dalam wacana cerpen itu secara keseluruhan. Secara luas cerpen ini akan mengungkap tentang ideologi dan kepercayaan dominasi beroperasi. Berdasarkan analisis data yang dilakukan, representasi ideologi dalam cerpen “Ruang Belakang” menampilkan Teh Nining sebagai “objek” penceritaan dan Dadang (suami Teh Nining) sebagai “subjek” penceritaan. Dalam cerpen ini pengarang Nenden Lilis Aisyah terlibat dalam penceritaan dengan menampilkan diri (tokoh aku) dalam cerita, dia juga menjadi pengamat jalannya penceritaan. Pengarang berperan mengungkap jenis-jenis ideologi gender dan ketidakadilan gender.
184
4.4.3.1 Ideologi Patriarki Teh Nining sebagai tokoh utama mempunyai peran ganda dalam rumah tangganya. Selain dia beperan di ruang domestik, dia juga bekerja di ruang publik sebagai penjual gorengan. Teh Nining berperan sebagai pencari nafkah, karena suaminya sedang menganggur, dikeluarkan dari pekerjaannya di hotel. Entah alasannya apa? Dalam cerpen ini Teh Nining selalu didefinisikan, tak pernah dia menampilkan dirinya sendiri. Dia mengerjakan pekerjaan rutin sebagaimana tugas perempuan yang memang sudah dikondisikan sejak awal dalam strategi sosial sesuai ideologi gender. Setelah anaknya pergi sekolah, suamiya sedang tidur (karena pulang tengah malam dan mabuk) Teh Nining pergi ke pasar belanja bahan-bahan gorengan, yang akan dijual pada sore hari yang dimulai jam 16.00 sampai jam 21.00 dengan gerobak yang diparkir di pertigaan jalan. Apabila suaminya bangun agak pagi, dan menemukan istrinya sudah pergi tanpa menyediakan kopi, dia akan menyumpah-nyumpah sendiri, lalu pergi dalam keadaan semrawut setelah menitipkan kunci pada tokoh aku. Tokoh aku (pengarang) sering merasa takut dan jijik pada suami Teh Nining yang digambarkannya sebagai berikut: Tubuhnya seperti orang tidak sehat dan sekotor tikus-tikus yang berloncatan dari atap gudang. Wajahnya menyerupai kamar sempit penuh sarang laba-laba. Ia menatap dengan mata orang sakit mata, dan kalau berbicara, kecoa-kecoa busuk dari got seakan memenuhi perutnya untuk menyebarkan bau melalui mulutnya. Ia luntang-lantung seharian, ikut menyabung ayam atau main gapleh dengan pemuda-pemuda pengangguran. Pulang-pulang untuk makan, dan kalau tak ada makanan, istrinya harus siap-siap menerima dampratan (hal.108).
185
Karena tingkah laku Dadang (suami Teh Nining) menjijikan dan galak, maka wajarlah kalau Teh Nining selalu memuji-muji suami tokoh aku yang katanya ganteng, pintar, baik hati. Dalam penceritaan cerpen ini tokoh Dadang sebagai “subjek” penceritaan digambarkan penonjolan ideologi patriarkinya. Dia menguasai istrinya dan sering memukul istrinya. Sedangkan suami tokoh Aku lirik digambarkan sebaliknya “...Setiap pagi sebelum berangkat kerja suamiku mencuci dan memandikan bayi kami yang berumur empat bulan” (hal 108). Gambaran suami tokoh Aku berlawanan dengan ideologi gender dan benar-benar melaksanakan kemitrasejajaran gender. Lain halnya dengan suami Teh Nining yang selalu “mensubordinasi” istrinya, selalu ingin menang sendiri dan selalu ingin dilayani. Tingkah laku suami Teh Nining menunjukkan ketidakadilan gender (subordinasi, marginalisasi, diskriminasi, dan represi). Sama halnya dengan Umi yang bercerai karena katanya suaminya menyeleweng. 4.4.3.2 Ideologi Familialisme Sebagai seorang istri Teh Nining adalah seorang perempuan yang sangat bertanggung Jawab terhadap kelangsungan kehidupan keluarga. Karena suaminya tidak bekerja, dia yang mengambil alih mencari nafkah dengan berjualan gorengan. Jadi, dalam cerpen ini digambarkan bahwa Teh Nining berperan ganda. Sayangnya peran ganda Teh Nining tidak ditunjang oleh suaminya. Suami Teh Nining walaupun menganggur dan dihidupi oleh istri, sangat dominan, dia galak, istrinya sering sekali dipukul, sekalipun karena masalah-masalah kecil. Peran ganda Teh Nining sangat tidak dihargai suaminya. Seandainya Dadang (begitulah nama suami Teh Nining)
186
bangun lebih pagi, karena selalu bangun siang dia akan marah-marah dan menyumpah-nyumpah, apabila tak disediakan kopi oleh istrinya, sebelum pergi ke pasar. Teh Nining harus hati-hati sebelum pergi, makanan dan minuman harus disediakan dahulu, supaya suaminya tidak mencak-mencak. Pola kehidupan keluarga muda Teh Nining dan Dadang ini menunjukkan representasi ideologi gender. Tentang peran ganda perempuan ini Parson (Darma, 2002: 26) mengemukakan bahwa penyesuaian dan mekanisme hubungan dalam rumah tangga dapat dilihat dengan pendekatan sistem yang disebut AGIL, yaitu Adaptation, Goal Attaintment, Integration, dan Lattern Pattern Maintenance. Pengaruh
eksternal
dan
internal
adanya
peran
ganda
perempuan
mempengaruhi keluarga untuk mengadaptasi perubahan-perubahan. Baik istri maupun suami sebaiknya dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan kebutuhan dan harapan peran dengan adanya peningkatan peran perempuan (Adaptation). Selanjutnya perubahan dan penyesuaian harus diselaraskan dengan tujuan-tujuan keluarga dan penentuan prioritas. Baik istri maupun suami memiliki kesempatan yang sama untuk menentukan keputusan apa yang menjadi prioritas (Goal Attainment). Dalam tahap penyesuaian mungkin saja terjadi konflik, pertentangan, dan ketegangan, karena suami dan istri memiliki harapan-harapan peran baru, yang sesuai dengan peran perempuan. Baik keseimbangan muncul dalam menghadapi harapan-harapan peran yang baru, maka integrasi akan tercapai. Kesesuaian peran yang diharapkan dapat terjadi (Integritas). Akhirnya harapanharapan peran baru diterima. Selanjutnya disosialisasikan dan dipelihara dalam
187
keluarga (Lattern Pattern Maintenance). Norma peran ganda perempuan dengan segala konsekuensinya terhadap kedudukan atau status perempuan dalam rumah tangga akan diinternalisasikan oleh keluarga. Kenyataan konsep AGIL, sama sekali tak terserap oleh keluarga Teh Nining. Yang ada adalah kesenjangan komunikasi antara Teh Nining dan Dadang. Masingmasing keduanya mempunyai dasar penilaian menurut pola gender yang telah dibuat turun-temurun oleh masyarakat. Pada suatu pagi terdengar suara Teh Nining mengomel karena suaminya selalu tidur kayak kebo, anaknya menangis tidak mau mandi. Selanjutnya terdengar suara jeritan Teh Nining yang digampar suaminya. Kekasaran Dadang terhadap istrinya menunjukkan "pemarginalan, penyubordinasian, pendeskriminasian, dan perepresian” suami terhadap istri. Kadang-kadang posisi perempuan yang termarginalisasi diperkuat oleh kaum perempuan itu sendiri. Contohnya, bagaimana tokoh Umi, sang tetangga ikut memarginalkan tokoh Nining. Si Nining itu perempuan pembawa apes bagi suami ... usaha Dadang selalu gagal ... Bagaimana tidak membawa sial, lanjut Umi, waktu menikah dengan Dadang saja dia sudah tidak perawan ... Eh setelah menikah, dia masih senang menggoda laki-laki lain ... Bapaknya si Iwang saja yang ketat dikelilingi jampijampi sama Umi, hampir tergoda (hal.110). Umi senang sekali menjelek-jelekkan Teh Nining. Tokoh aku tak mempercayainya begitu saja, walaupun Teh Nining kadang-kadang bersikap agak berlebihan di depan rumah tokoh aku. Tokoh aku berpretensi bahwa Teh Nining berbuat begitu karena ia simpati pada cara suamiku memperlakukan tokoh aku yang berbeda dengan cara suaminya memperlakukan dia.
188
4.4.3.3 Ideologi Ibuisme Munculnya simbol ibu, kemudian diikuti dengan paham “ibuisme”. Paham ini membawa arti sempit terhadap perempuan, karena perannya dibatasi pada sektor domestik. Ideologi ibuisme menuntut perempuan berperan sebagai ibu yang baik, pendamping suami yang baik, mengurus anak, dan ikut mencari nafkah tambahan. Memosisikan perempuan seperti ini menunjukkan adanya diskriminasi terhadap kehidupan perempuan. Soalnya tak ada tuntutan sebanyak itu bagi laki-laki. Laki-laki hanya dikondisikan sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah (bekerja di ruang publik), tidak ada tuntutan untuk membantu pekerjaan perempuan di ruang domestik. Semua posisi ini dikondisikan oleh sistem nilai masyarakat turun-temurun. Saat Dadang diomeli Teh Nining karena tidur saja kayak kebo, Dadang marah dan menggamparnya. Tetapi saat Teh Nining tidak menyediakan kopi untuk suaminya kalau bangun agak pagi, Teh Nining bisa-bisa digampar lagi. Jadi perempuan tidak bisa menampilkan dirinya, diskriminasi ini berlangsung selama ada dominasi laki-laki terhadap perempuan, perempuan selalu didefinisikan tidak bisa mendefinisikan. Tokoh Teh Nining itu adalah tokoh perempuan yang mandiri. Selama ini dia yang mencari nafkah untuk keluarganya. Selain itu dia tidak pernah mengeluh dan tidak pernah banyak omong seperti Umi. Tokoh aku heran, kenapa Teh Nining yang masih muda dan berparas manis mau bertahan punya suami yang memberlakukan dia seburuk itu. Apa kata Umi mengomentari pertanyaanku ketika Umi memijat tokoh aku.
189
“Sayang barangkali Neng berpisah dengan laki-laki ganteng macam Dadang. Lagian ... tidak enak Neng jadi janda ...” (hal. 111). Tokoh aku heran mengapa Umi mengatakan Dadang ganteng. Pantas dia selalu menjelek-jelekkan Teh Nining, mungkin dia iri pada Teh Nining, karena mempunyai suami Dadang. Padahal pada kenyataannya penampilan Dadang itu sangat menjijikan, kotor, dan bau. Pekerjaannya hanya luntang-lantung dan marahmarah. Kalau pulang hanya untuk makan, dan kalau tak ada makanan, bisa-bisa Teh Nining
digamparnya.
Teh
Nining
selalu
terdiskriminasi,
tersubordinasi,
termarginalisasi, dan terepresi. Umi yang berprofesi pemijat dan pencuci pakaian sambil membawa dagangan jamu kemasan yang mereknya tak terkenal dan kosmetik murah berceloteh tentang khasiat jamunya kepada tokoh aku. “Neng, jamu yang ini, Neng, khusus untuk wanita!” ... Eneng kan baru melahirkan. Nah, ini rahasianya. Supaya rapet dan nggak becek” (hal. 108-109). Tokoh aku hanya tersenyum, menurut tokoh aku yang memunculkan kemesraan adalah suasana hati dan kasih sayang yang muncul dari dalam dan harus muncul dari kedua-duanya, suami dan istri, tidak ada “diskriminasi”. 4.4.3.4 Ideologi Umum Ideologi umum menunjukkan adanya represi bagi perempuan yang dilakukan oleh laki-laki. Hal ini juga terjadi karena adanya hegemoni gender. Dalam cerpen “Ruang Belakang” ini pengarang bercerita tentang keterlibatannya dalam penceritaan. “Pagi itu dia dan suaminya terbangun karena jeritan bayinya, yang kaget karena suara gerombyang gelas dan piring yang dilempar. Jam di dinding baru
190
menunjukkan jam enam lewat sedikit. Terdengar suara laki-laki yang kasar dan suara benda yang dibenturkan. Tampaknya Dadang menjambak rambut Teh Nining dan membenturkan kepalanya. Terdengar pula jeritan Teh Nining dan tangisan anaknya, serta bantingan pintu, kayaknya Dadang pergi. Suamiku pergi ke belakang ingin melihat apa yang terjadi, tapi dia kembali lagi karena pintu kamar Teh Nining dikunci (hal 112).”
Siang hari si tokoh aku mengetuk pintu Teh Nining, karena khawatir terjadi apa-apa pada Teh Nining, tetapi tidak dibuka. Kamar Umi juga sepi, entah ke mana dia pergi. “Menjelang tengah hari terdengar ketukan di pintu dapur. Ketika pintu dibuka, tersembul muka bengap dan mata bengkak.” Terjadi dialog antara tokoh aku dan Teh Nining. “Eh Teh Nining, masuk Teh!” “Maaf mengganggu nih, Bu...” ucapnya lirih. “Nggak apa-apa. Justru saya gembira Teh Nining keluar. Tadi pintunya beberapa kali saya ketuk...” “Saya ada di dalam. Cuman tadi saya betul-betul nggak bisa bangun. Pusing. Nggak enak badan.” “Dahi Teteh memar, kenapa?” “Ah cuman terbentur, nggak apa-apa kok.” “Benar nggak apa-apa?” (hal. 112). Dia menggeleng pelan, lalu cepat-cepat mengatakan maksudnya akan meminjam uang untuk ongkos ke Cililin ke rumah kakaknya bersama anaknya. Dia berjanji akan mengembalikan uangnya kalau kembali dari Cililin. Dari dialog di atas bisa diketahui bahwa tokoh Teh Nining tidak mau kejelekan rumah tangganya diketahui orang lain, dia berusaha menutupi apa yang terjadi sebenarnya. Hal ini juga menunjukkan adanya ideologi gender, yang menyangkut posisi perempuan yang tabu untuk mengemukakan perasaannya secara terbuka. Perempuan harus bisa menyimpan perasaan, dan harus bisa tetap menutupi
191
kejelekan-kejelekan suaminya, karena suami adalah kepala rumah tangga dan panutannya. Teh Nining, yang sudah jelas-jelas mukanya bengap dan matanya sembab tak mau terbuka menceritakan kepada tokoh aku atas “represi” yang dilakukan suaminya. Saat Teh Nining keluar dari rumah tokoh aku dengan sempoyongan, berpapasan dengan Umi yang baru datang, entah dari mana. Umi dan Teh Nining sama sekali tidak bertegur sapa. Malah Umi cepat menghampiri tokoh aku dan mendorong tokoh aku masuk ke dalam dan menutup pintu. Kemudian terjadi dialog antara Umi dan tokoh aku. “Si Nining, tadi ngapain?” “Nggak apa-apa.” “Dia cerita habis disiksa suaminya?” “Tidak.” “Lantas?” “Pinjam uang.” (hal. 113). Selanjutnya Umi bercerita bahwa semua uang Teh Nining, termasuk modal dagangnya diambil suaminya dan dipakai judi. Menurut Umi, Teh Nining pantas mendapat perlakuan suaminya seperti itu karena Teh Nining main sama tukang ojeg. Terang saja Dadang marah. “Mana sih ada laki-laki yang mau diperlakukan begitu,” kata Umi (hal.113). Umi berterus terang bahwa dia yang mengadukan perselingkuhan Nining dengan tukang ojeg kepada Dadang. “Apa Umi melihat sendiri Teh Nining berselingkuh?” “Ah tak usah dilihat sendiri. Semua orang sudah tahu,” kata Umi (hal.113).
192
Percaya atau tidak atas cerita Umi, tokoh aku tetap kasihan sama Teh Nining. Tegateganya Umi berbuat seperti itu terhadap tetangga dan sesama perempuan, yang sebetulnya begitu pasrah mau mencari nafkah untuk kelangsungan kehidupan keluarga dengan tak lupa melayani suami. Teh Nining betul-betul berada dalam keadaan “terepresi” oleh kelakuan suaminya. Sudah lama Aku tidak melihat Dadang, tetapi kadang-kadang menjelang dini hari terdengar Dadang pulang dalam keadaan mabuk, meracau, lalu muntah di depan kamarnya (hal. 114). Kepulangan Teh Nining dari Cililin tidak dapat ditentukan. Namun pada suatu hari Tokoh aku melihat seorang perempuan di kamar Teh Nining. Tokoh aku mengira Teh Nining. Namun Umi memberi tahu “Pacarnya si Dadang, Neng. Udah bunting...” Aku terpaku (hal. 114). Dalam cerpen “Ruang Belakang” ini terlihat pengarang melibatkan diri sampai selesai penceritaan. Dia mengungkap kekerasan rumah tangga secara gamblang, tanpa ada perikemanusiaan dengan seenaknya suami Teh Nining mengambil uang, modal dagangan istrinya untuk menafkahi keluarga dan menyiksanya secara fisik dan mental. Dalam cerita ini terlihat bahwa dengan sekadar gosip, laki-laki sudah wenang untuk merepresi istrinya (dalam hal ini perempuan), tetapi perempuan tidak bisa berbuat seperti apa yang dilakukan laki-laki. Inilah kenyataannya apa yang terjadi dengan adanya ketidakadilan gender.