JURNAL STUDI GENDER & ANAK
REKONSTRUKSI KRITIS PEMIKIRAN GENDER DALAM ISLAM Jonkenedi *) *)
Penulis adalah Magister Pendidikan Islam (M.Pd.I.), dosen tetap Jurusan Komunikasi(Dakwah) STAIN Purwokerto.
Abstract: Islam needs critical studies to terminate bias and domination in religious interpretation. It’s including a collective process that combines study, investigation, social analysis, education, and action to investigate woman issues. We also have to give encouragement and opportunity to women to develop religious teaching interpretation that not bias to man. The goal is creating equality and radical change, with women as its core change. With this, it’s possible to cultivate critical consciousness to women gender transformation. Keywords: reconstruction, gender, critical studies.
A. PENDAHULUAN Apabila krisis masyarakat membawa pada kritik pemikiran dan kebudayaan, maka krisis kebudayaan membawa pada kritik nalar, atau paling tidak, membawa pada kritik terhadap dirinya sendiri, yakni mengkritisi kaidah-kaidah nalar dan mekanisme pikiran, serta logika pembahasan dan metode pentahkikan (pengabsahan). Pada saat itu, langkah penanganannya tidak terbatas pada hasil pemikiran sebagai pendapat dan konsep-konsep atau sebagai mazhab dan sekte-sekte, tetapi lebih pada pengkajian dasar-dasar pengetahuan dan sistem-sistemnya, serta pendalamannya terhadap dasar-dasar pengetahuan dan sistem-sistemnya, pendalaman terhadap dasar-dasar kebudayaan dan bangunannya yang kokoh.1 Interpretasi terhadap teks-teks agama (al-Qur’an dan Hadis), bagi wacana agama merupakan salah satu mekanisme yang sangat penting, bahkan yang terpenting untuk melontarkan konsep dan pandangannya. Interpretasi sejati adalah yang meng-hasilkan makna teks, menuntut pengungkapan makna melalui analisis atas berbagai level konteks. Namun, wacana agama biasanya mengabaikan beberapa level konteks ini, bahkan mengabaikan keseluruhannya, demi memproteksi pelacakan makna yang telah ditentukan sebelumnya.2 Oleh karena itu, studi teks wacana gender dalam pemikiran Islam diarahkan pada dua hal, pertama, membongkar fenomena pengabaian konteks dalam wacana agama; dan kedua, mengungkap dampak dari fenomena itu pada wilayah pemikiran dan sosial.3 Oleh karena itu, dekonstruksi terhadap teks-teks keagamaan adalah suatu keharusan. Upaya dekonstruksi terhadap teks-teks agama dilakukan dengan memusatkan perhatian pada dua topik utama dalam wacana agama, yaitu; (1) interpretasi “scientific” atas teks agama, suatu topik yang berusaha menyingkapkan betapa konteks budaya diabaikan, (2) topik tentang “otoritarianisme” (al-hakimiyyah) yang menyingkapkan betapa konteks historis diacuhkan— konteks asbab an-nuzul—di sampingkan, konteks narasi linguistik dari teks yang menjadi objek penafsiran juga diabaikan.4 Dalam kajian filologi, teks apa pun, termasuk di dalamnya teks-teks keagamaan, tidak muncul begitu saja dari langit. Teks tidak muncul dari ruang “hampa” kebudayaan. Teks-teks keagamaan —apa pun bentuknya—dikarang, disusun, ditiru, diubah, diciptakan oleh pengarangnya sesuai dengan tingkat pemikiran manusia saat naskah-naskah tersebut disusun, dan tidak terlepas sama sekali
Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto
YINYANG Vol.4 No.1 Jan-Jun 2009 pp.71-84
ISSN: 1907-2791
JURNAL STUDI GENDER & ANAK
dengan pergolakan sosial-politik-budaya yang mengitarinya.5 Artikel ini mencoba menyajikan secara sederhana mengenai rekonstruksi kritis gender dalam Islam.
B. PANDANGAN AGAMA TENTANG GENDER Dewasa ini, agama mendapat ujian baru karena sering dianggap biang masalah, bahkan dijadikan kambing hitam atas terjadinya pelanggengan ketidakadilan gender. Hal yang sangat mengganggu, misalnya, tentang penggambaran bahwa Tuhan seolah-olah adalah laki-laki, penggambaran semacam ini terjadi dalam hampir semua agama. Sejauh-manakah pandangan tersebut dipengaruhi atau mempengaruhi kultur yang dikenal sebagai patriarki? Lebih lanjut, apakah pelanggengan ketidakadilan gender secara luas dalam agama bersumber dari watak agama itu sendiri, ataukah justru berasal dari pemahaman, penafsiran, dan pemikiran keagamaan yang tidak mustahil dipengaruhi oleh tradisi dan kultur patriarki, ideologi kapitalisme, maupun pandangan-pandangan lainnya? Dalam konteks ini, perlu kiranya kita mempertajam persoalan dengan cara melakukan telaah kasus Islam berkenaan dengan prinsip ideal Islam dalam memposisikan perempuan. Pertama-tama, harus dipahami lebih dahulu apa spirit yang dibawa Islam pada awal kelahirannya, yakni melakukan perbandingan atas posisi dan kondisi perempuan pada zaman sebelum dan sesudah Islam. Banyak sejarawan mengungkapkan bahwa dalam masyarakat pra-Islam atau yang dikenal zaman Jahiliyah, kedudukan perempuan dalam masyarakat sangatlah rendah posisinya dan amat buruk kondisinya, serta dianggap tidak lebih berharga dari suatu komoditas. Dari berbagai uraian tentang penggambaran kedudukan kaum perempuan, yang menonjol di antaranya ialah jika seorang suami meninggal dunia, saudara tua laki-laki atau saudara laki-laki lainnya mendapat waris untuk memiliki jandanya.6 Bahkan, kebiasaan mengubur bayi perempuan hidup-hidup adalah praktik merendahkan kaum perempuan yang membentang luas di dunia Arab pada zaman pra-Islam.7 Rendahnya martabat kaum perempuan juga terlihat dari hakikat perkawinan yang posesif sifatnya. Mereka juga tidak membatasi jumlah perempuan yang boleh dikawini oleh laki-laki. Al-Qur’an sebagai rujukan prinsip masyarakat Islam pada dasamya mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama.8 Keduanya diciptakan dari satu nafs (living entity), yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain. Bahkan, al-Qur’an tidak menjelaskan secara tegas bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam sehingga kedudukan dan statusnya lebih rendah. Atas dasar itu, prinsip al-Qur’an terhadap kaum laki-laki dan perempuan adalah sama, hak istri diakui sederajat dengan hak suami.9 Dengan kata lain, laki-laki memiliki hak dan kewajiban terhadap perempuan, dan sebaliknya perempuan juga memiliki hak dan kewajiban terhadap laki-laki apalagi jika dikaitkan dengan konteks masyarakat pra-Islam yang ditransformasikannya. Persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan, selain dalam hal pengambilan keputusan, juga dalam hak ekonomi, yakni untuk memiliki harta kekayaan dan tidaklah suami ataupun bapaknya boleh mencampuri hartanya.10 Kekayaan itu termasuk yang didapat melalui pewarisan ataupun yang diusahakannya sendiri. Oleh sebab itu, mahar atau maskawin dibayar oleh laki-laki untuk pihak perempuan sendiri, bukan untuk orangtua, dan tidak bisa diambil kembali oleh suaminya. Kultur semacam itu, di sebagian masyarakat Islam, masih dipertahankan, namun pelbagai masyarakat muslim sudah tidak berlaku lagi. Dalam kasus tersebut, kultur patriarkhi benar-benar ikut andil melanggengkan ketidakadilan gender. Lebih dari persoalan tersebut, tafsir keagamaan tetap memegang peran penting dalam melegitimasi dominasi atas kaum perempuan. Persoalannya di sini
Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto
YINYANG Vol.4 No.1 Jan-Jun 2009 pp.71-84
ISSN: 1907-2791
JURNAL STUDI GENDER & ANAK
adalah mengapa al-Qur’an seolah-olah menempatkan kedudukan laki-laki di atas perempuan?11 Ali Engineer (1992) mengusulkan dalam memahami ayat yang berbunyi “laki-laki adalah pengelola atas perempuan” hendaknya dipahami sebagai deskripsi keadaan struktur dan norma sosial masyarakat pada masa itu, dan bukan suatu norma ajaran. Ayat tersebut menjelaskan bahwa saat itu laki-laki adalah manager rumah tangga, dan bukan pernyataan kaum laki-laki harus menguasai dan memimpin. Dalam sejarah Islam, keadaan kaum perempuan berubah, seiring makin berkembangnya kesadaran hak kaum perempuan, dan konsep hak juga semakin meningkat. Pada saat ayat tersebut diwahyukan, memang belum ada kesadaran akan hal itu. Kata qowwam, dari masa ke masa dipahami selalu berbeda. Dulu, atas dasar ayat tersebut, perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki, dan implikasinya adalah seperti zaman feodal bahwa perempuan harus mengabdi kepada laki-laki sebagai bagian dari tugasnya. Namun demikian, al-Qur’an menegaskan bahwa kedudukan suami dan istri adalah sejajar.12 Untuk memahami bagaimana kedudukan kaum perempuan, kita dianjurkan untuk memahami konteks ayat ini. Diriwayatkan, suatu hari, seorang sahabat Nabi bernama Saad bin Rabi menampar istrinya Habibah bin Zaid, karena suatu persoalan. Habibah tidak terima dan mengadukan peristiwa tersebut kepada ayahnya. Lantas ayahnya pergi mengadu ke Nabi. Keputusan Nabi adalah meminta Habibah untuk membalasnya. Atas keputusan Nabi tersebut, kaum laki-laki di Madinah saat itu protes. Kalau ditarik makna dari peristiwa tersebut, jelas bahwa Nabi telah memperhitungkan dan paham betul akan ada akibatnya, yaitu pasti menghebohkan masyarakat yang didominasi oleh laki-laki. Dengan demikian, Surat an-Nisa ayat 35, yang menganjurkan untuk mengangkat hakim dalam menyelesaikan perselisihan tersebut diturunkan dengan semangat untuk mengurangi kekerasan terhadap kaum perempuan, dan bukan menegaskan superioritas laki-laki atas perempuan. Kenyataannya, banyak tafsiran justru tidak mencerminkan dan mengungkapkan kondisi sosial dan kekerasan yang pada saat itu dituntut oleh kaum perempuan agar dihentikan. Bisakah seorang perempuan menjadi kepala negara, pemimpin lembaga, atau kepala rumah tangga? Kalau kita telaah melalui al-Qur’an, tidak ada alasan yang tegas untuk melarang perempuan memiliki posisi seperti itu, kecuali sebuah Hadis ahad riwayat Abu Bakar yang menjadi dasar pendukung pandangan ini. Hadis tersebut sangat berlawanan dengan peristiwa Perang Unta, saat Aisyah istri Nabi memimpin Komando Perang, peristiwa yang justru terjadi setelah hadis itu diriwayatkan. Mengapa Abu Bakar sebagai periwayat Hadis tersebut tidak memberontak atau desersi atas kepemimpinan Aisyah? Apakah beliau memang percaya bahwa perempuan menurut Nabi tidak sah memimpin? Ataukah Nabi sendiri justru tidak membedakan peran laki-laki atau perempuan? Dari petikan kejadian itu, penulis hanya ingin menandaskan bahwa tafsir (interpretasi) terhadap ajaran agama sangat dipengaruhi oleh kacamata pandang yang digunakan oleh penafsirnya yang seringkali juga berkaitan dengan seberapa jauh keuntungan spiritual dan material yang bisa diperoleh. Artinya, tafsir agama erat kaitannya dengan aspek ekonomi, politik, kultural, dan ideologi, semuanya saling tergantung dan terkait satu sama lain. Untuk itu, diperlukan kajian kritis guna mengakhiri bias dan dominasi dalam penafsiran agama. Diperlukan suatu proses kolektif yang mengombinasikan studi, investigasi, analisis sosial, pendidikan, serta aksi untuk membahas isu perempuan. Hal ini termasuk memberikan semangat dan kesempatan perlawanan kepada kaum perempuan guna mengembangkan tafsiran ajaran agama yang tidak bias lakilaki. Usaha ini dimaksudkan untuk menciptakan perimbangan dan perubahan radikal dengan menempatkan perempuan sebagai pusat perubahan. Proses ini termasuk menciptakan kemungkinan bagi kaum perempuan untuk membuat, mengontrol, dan menggunakan pengetahuannya sendiri. Usaha inilah
Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto
YINYANG Vol.4 No.1 Jan-Jun 2009 pp.71-84
ISSN: 1907-2791
JURNAL STUDI GENDER & ANAK
yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran kritis menuju transformasi kaum perempuan. Gerakan transformasi gender ini mempercepat transformasi sosial secara luas dan menyeluruh.
C. PENDEKATAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF GENDER Pada dasarnya, inti ajaran setiap agama, khususnya Islam, adalah menganjurkan dan menegakkan prinsip keadilan. Al-Qur’an sebagai prinsip-prinsip dasar atau pedoman moral tentang keadilan tersebut, mencakup pelbagai anjuran untuk menegakkan keadilan ekonomi, keadilan politik, kultural, termasuk keadilan gender. Persoalan muncul ketika masyarakat dan zaman berkembang, jenis ketidakadilan juga berkembang. Dalam kaitan itu, guna memahami dan menganalisis tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil serta bagaimana mekanisme ketidakadilan yang menjadi prinsip dasar agama seseorang membutuhkan pisau analisis, atau perlu meminjam analisis ilmu-ilmu sosial atau politik-ekonomi. Untuk itu, diperlukan metode pendekatan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang bisa dipergunakan untuk memahami bagaimana ajaran moral agama yang bersifat prinsipil mesti membutuhkan analisis sosial. Pada dasarnya, di dalam al-Qur’an terdapat dalil ayat-ayat yang bersifat mutlak dan tidak bisa ditafsirkan lebih dari satu pengertian, yang disebut dalil qoth’iy (qoth’iyul dalalah). Ayat-ayat tersebut jumlahnya sangat sedikit, yakni biasanya menyangkut hal-hal yang sangat prinsip. Sementara itu, terdapat dalil al-Qur’an yang bisa dan boleh menimbulkan tafsiran, yang disebut dalil dhanny (dhanniyul dalalah). Dalam hal dalil-dalil dhanny inilah untuk memahaminya diperlukan pisau analisis yang harus dipinjam dari ilmu-ilmu lainnya, termasuk meminjam pisau analisis gender. Dengan begitu, pemahaman atau tafsiran terhadap ajaran keadilan prinsip dasar agama akan berkembang sesuai dengan pemahaman atas realitas sosial karena sesungguhnya prinsip dasar seruan agama Islam untuk menegakkan keadilan tetap relevan. Dengan demikian, penafsiran terhadap dalil yang bersifat dhanniyah dengan menggunakan analisis dan perspektif gender perlu dilakukan. Implikasi dari penafsiran tersebut adalah kemungkinan dilakukannya rekonstruksi fikih yang merupakan landasan perilaku keseharian umat Islam. Tasir dan fikih perempuan, yakni bukan saja tafsir dan fikih yang dilahirkan oleh kaum perempuan sendiri, melainkan juga tafsir dan fikih yang telah menggunakan analisis dan perspektif gender.
D. UPAYA STRATEGIS AGAMA DALAM MASALAH GENDER Dengan menekuni persoalan-persoalan gender, ada beberapa permasalahan tafsiran keagamaan yang dianggap strategis agar segera mendapat perhatian untuk dilakukan kajian. Pertama, yang menyangkut persoalan subordinasi kaum perempuan akibat penafsiran yang meletakkan kaum perempuan dalam kedudukan dan martabat yang tidak subordinatif terhadap kaum laki-laki. Padahal, pada dasarnya semangat hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam bersifat adil (equal). Oleh karena itu, subordinasi kaum perempuan merupakan suatu keyakinan yang berkembang di masyarakat yang bertentangan dengan semangat keadilan seperti dalam surat al-Hujurat ayat 14: “Sesungguhnya telah Aku ciptakan kalian laki-laki dan perempuan dan Aku jadikan kalian berbangsa dan bersuku-suku agar kalian lebih saling mengenal; sesungguhnya yang mulia di antara kalian adalah yang paling takwa.”
Masih banyak lagi ayat al-Qur’an yang mendukung pandangan bahwa kaum perempuan tidaklah subordinan terhadap kaum laki-laki, seperti surat at-Taubah ayat 71; an-Nisa ayat 123; Surat Ali Imran ayat 195, dan surat an-Nahl ayat 97. Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto
YINYANG Vol.4 No.1 Jan-Jun 2009 pp.71-84
ISSN: 1907-2791
JURNAL STUDI GENDER & ANAK
Kedua, pemahaman yang bias gender, selain meneguhkan subordinasi kaum perempuan, juga membawa akibat pada persoalan waris dan kesaksian, bertempatnya nilai kaum perempuan yang dianggap separoh dari kaum laki-laki. Untuk membahas ini, maka perlu dilakukan analisis konteks sosial terhadap struktur sosio-kultural pada saat ayat tersebut diturunkan, sehingga pemahaman masalah waris dan kesaksian tidak bertentangan dengan prinsip keadilan yang disampaikan dalam ayat-ayat di atas. Umumnya, mereka yang menekuni masalah keadilan gender tidak melihat angka pembagiannya, melainkan semangat keadilannya, sehingga demi mencapai keadilan, mengubah angka yang sesuai dengan sistem dan struktur sosial dewasa ini. Ketiga, segenap ayat yang berkenaan dengan hak produksi dan reproduksi kaum perempuan. Dalam tradisi penafsiran Islam yang tidak menggunakan perspektif gender, kaum perempuan sama sekali tidak memiliki hak berproduksi maupun reproduksi, yakni untuk mengontrol organ reproduksi mereka. Untuk itu, usaha untuk menafsirkan kembali agar terjadi keadilan gender dalam hak-hak reproduksi perlu mendapat perhatian. Di antara agenda mengenai penafsiran hak-hak reproduksi ini meliputi: 1. Hak jaminan keselamatan dan keadilan yang berkenaan dengan pilihan-pilihan untuk menjalankan dan menggunakan. Hal ini menolak penggunaan organ reproduksinya, mulai dari menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui. Dalam kaitan ini, termasuk hak untuk menentukan kehamilan bagi perempuan sepanjang akan membahayakan kesehatan dan keselamatannya. 2. Hak untuk memilih pasangan, dalam kenyataan masih banyak beredar keyakinan di masyarakat Islam bahwa orangtua (dalam hal ini ayah) memiliki hak menentukan jodoh (ijbar) bagi anak gadisnya. Kajian tentang hak-hak perempuan untuk menentukan nasib jodohnya ini juga perlu diagendakan. 3. Hak untuk menikmati dan menolak hubungan seksual. Dalam pandangan Islam yang bias gender, kaum perempuan secara seksual dimiliki dan dikontrol oleh kaum laki-laki, dan tugas utama istri adalah melayani. Meskipun tidak jelas dari mana pandangan itu datangnya, namun hubungan seksual bagi kaum perempuan lebih dikonstruksi sebagai kewajiban belaka. Oleh karena itu, perlu dilakukan dekonstruksi terhadap tafsir dan ajaran fikih yang menolak segenap jenis ketidakadilan gender dalam bentuk pelecehan seksual (sexual harassment), pemerkosaan terhadap istri (marital rape) yang masih menjadi masalah kontroversial tersebut. Dari uraian di atas, dapat disimpukan bahwa tafsir agama mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam melanggengkan ketidakadilan gender maupun sebaliknya, yaitu dalam usaha menegakkan keadilan gender. Untuk itu, diperlukan suatu pengkajian ulang terhadap keseluruhan tafsir agama dan implikasinya terhadap ajaran dan perilaku keagamaan. Kajian tersebut menyangkut identifikasi akar permasalahan dan strategi pemecahannya. Suatu strategi advokasi bisa dipinjam untuk melakukan proses penyadaran dan penafsiran ulang dengan pendekatan-pendekatan sebagai berikut. Apabila persoalannya terletak dalam pengertian ayat alQur’an atau bunyi suatu Hadis, maka yang perlu dilakukan adalah penafsiran ulang terhadap ayat tersebut dengan perspektif gender, penelitian terhadap autentisitas Hadis tersebut, untuk menemukan hadis yang lebih sahih. Hal ini berarti memerlukan usaha yang melibatkan ulama dengan berbagai orang dengan bermacam-macam disiplin ilmu yang mempunyai perspektif gender. Namun demikian, jika persoalannya terletak pada penafsirnya, yakni dalam pemahaman para ulama yang memiliki otoritas penafsiran, inilah perlu diadakan pendekatan dan pendidikan atau lokakarya guna membahas analisis gender bagi kalangan otoritas ilmu keagamaan tersebut. Kegiatan ini berarti melibatkan mereka yang dianggap memiliki otoritas ilmu keagamaan dalam memahami dan mendeskripsikan wacana keadilan gender dalam Islam. Akan tetapi, jika persoalannya terletak pada
Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto
YINYANG Vol.4 No.1 Jan-Jun 2009 pp.71-84
ISSN: 1907-2791
JURNAL STUDI GENDER & ANAK
kultur masyarakat agama yang melanggengkan ketidakadilan gender, yang diperlukan adalah suatu usaha kampanye dan pendidikan massa tentang masalah gender yang dilakukan oleh semua pihak yang peduli terhadap masalah keadilan, termasuk melibatkan para ulama. Untuk itu, sudah saatnya lembaga keagamaan dan pendidikan serta lembaga kajian keagamaan memiliki bagian “pengkajian perempuan” sebagai wadah yang memberi ruang untuk mengkaji persoalan kedudukan perempuan dalam agama. Dalam masyarakat Islam, misalnya, perlunya kajian perempuan di pesantren, maupun lembaga pendidikan tinggi Islam sudah semakin mendesak. Melalui lembaga kajian seperti ini, kemungkinan lahirnya tafsir maupun fikih perempuan yang berperspektif keadilan gender terbuka lebar.
E. GENDER DALAM WACANA ISLAM KONTEMPORER Wacana keagamaan seperti ini sungguh sulit untuk dipahami, bukan saja karena ia jelas-jelas berhadapan secara tajam dengan semangat dan cita-cita Islam sendiri, sebagaimana sudah dikemukakan di atas, tetapi juga dalam konteks perkembangan sosial baru. Pada tataran realitas kehidupan sekarang, pandangan-pandangan konservatif ini tengah menghadapi proses alienasi sosial. Meskipun tafsir-tafsir tersebut masih terus dibaca, tetapi ia semakin tidak lagi diamalkan. Keniscayaan perkembangan sosialekonomi-politik dewasa ini telah menuntut dan memaksa kaum perempuan terlibat dalam aktivitasaktivitas, yang bukan hanya pada ruang domestik, tetapi juga ruang-ruang publik secara lebih luas. Ini adalah keniscayaan perkembangan modernisme yang tidak dapat disangkal. Dalam kerangka mengaktualisasikan kembali prinsip-prinsip dan cita-cita Islam, maka tidak ada jalan lain bagi kita untuk melakukan pemaknaan ulang (ta’wil) atas tafsir-tafsir ini. Dengan demikian, Islam dapat tetap memberikan apresiasinya terhadap dinamika sosial yang terus berkembang, tanpa harus terjebak pada praktik-praktik relasi yang rendah dan tidak bermoral. Hal pertama yang harus menjadi perhatian kita bahwa tafsir adalah cara, tempat seorang penafsir berusaha mengungkapkan makna-makna teks yang menjadi acuan atau sumber legitimasi. Tegasnya, tafsir adalah produk pemikiran. Oleh karena sifatnya yang demikian, maka seringkali terjadi pengungkapan makna atas satu teks oleh seorang mufassir berbeda dengan makna yang ditemukan mufassir yang lain. Hal ini terjadi karena beberapa hal, antara lain; perbedaan perspektif, kecenderungan, kecerdasan intelektual, sumber informasi, dan sebagainya. Kedua, adalah keniscayaan bahwa latarbelakang sejarah sosial (termasuk politik, ekonomi, dan budaya) para ahli tafsir memberikan pengaruh yang signifikan bagi pikiran-pikirannya. Dengan kata lain, pandangan-pandangan mereka merupakan refleksi atas konteks sejarah sosial mereka. Dr. Faruq Abu Zayd menyatakan kesimpulannya dengan tanpa ragu-ragu bahwa produk pemikiran para mujtahid adalah refleksi sosio-kultural, tempat mereka hidup dan berhadapan.13 Kesimpulan yang dapat ditarik dari pernyataan ini bahwa produk-produk pemikiran sejatinya tidak harus selamanya dipertahankan dalam segala ruang dan waktu sosial, karena sejarah selalu memperlihatkan dialektika perubahan. Jika kaum muslimin mengklaim bahwa Islam adalah “shalih li kulli zaman wa makan” (selalu sesuai dengan setiap zaman dan tempat), maka pikiran-pikiran keagamaan klasik tersebut harus diberi makna-makna baru yang relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Berkaitan dengan ayat 34 surah an-Nisa dan keberadaan tubuhnya yang menjadi sumber fitnah, sebagaimana sudah dikemukakan, tampak jelas bahwa ia lahir dari konteks sosio-kultural Arab 15 abad lalu, tempat perempuan tidak mendapatkan tempat yang terhormat di hadapan laki-laki. Hal ini adalah
Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto
YINYANG Vol.4 No.1 Jan-Jun 2009 pp.71-84
ISSN: 1907-2791
JURNAL STUDI GENDER & ANAK
realitas umum yang terjadi ketika itu, tetapi pada sisi yang lain, ayat ini melalui kacamata kritis tengah menggugat struktur sosial untuk diarahkan pada konstruksi sosial-budaya yang lebih menghormati perempuan melalui cara-cara yang elegan dan tanpa revolusi. Memperlakukan perempuan secara baik dan adil serta menghormatinya, merupakan pesan agama yang selalu ditekankan dan harus terus diperjuangkan. Hal ini misalnya dapat dibaca pada teks al-Qur’an yang lain, misalnya tentang keharusan “mu’asyarah bi al-ma’ruf” (mempengaruhi dengan baik), dan “hunna libasun lakum wa antum libasun lahun”, maupun dari Hadis-hadis Nabi SAW. Beberapa di antaranya adalah “sebaik-baik kamu adalah yang paling baik memperlakukan istrinya” dan “tidaklah termasuk orang-orang yang baik, mereka yang memukul istrinya”. Teks-teks keagamaan ini sangat jelas memperlihatkan kehendak untuk merealisasikan nilai-nilai moral universal. Oleh karena itu, penafsiran atas ayat-ayat partikular perlu menyesuaikan diri dengan kehendak ini, sebab nilai-nilai moral universal adalah inti dari agama, di mana ia akan selalu hidup di mana-mana dan kapan saja. Ketiga, kecenderungan umum dalam pemaknaan teks adalah secara literal dan mengabaikan pemaknaan substansial. Satu lafaz (teks) dimaknai menurut makna lahiriahnya. Padahal, di dalam makna lahiriah tersebut tersembunyi pesan-pesan fundamental yang ingin ditegakkan. Pesan fundamental agama adalah keadilan dan kemaslahatan (kebaikan sosial).14 Ia juga merupakan nilai-nilai moral universal. Pesan-pesan inilah yang seharusnya menjadi perhatian utama ketika memaknai kembali teks-teks tersebut untuk konteks-konteks yang lain dan bukan sepenuhnya berhenti pada makna literalnya. Dalam masalah pemukulan suami terhadap istri, yang secara lahiriah disebutkan oleh teks, misalnya, pastilah mengandung makna substansialnya. Pemukulan, dalam konteks ayat di atas, adalah satu bentuk dan cara memberikan pendidikan terhadap istri yang nusyuz (tidak taat) yang dalam konteks sosial waktu itu dibenarkan, karena suami diposisikan sebagai qawwam atas istri. Cara tersebut dimaksudkan guna menyelesaikan ketidakharmonisan antara mereka karena ia merupakan cara dan dalam konteks tertentu. Oleh karena itu, cara tersebut bukanlah satu-satunya dan dapat saja berubah dalam konteks yang lain. Dalam masyarakat, yang kesetaraan, keadilan, dan penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia dijunjung tinggi, maka pendidikan dalam rangka menyelesaikan suatu persoalan, dilakukan melalui caracara yang demokratis dan menghargai martabat manusia. Ini adalah pesan-pesan yang tersembunyi di balik makna lahiriah lafaz atau teks, dan merupakan hakikat (substansi) pandangan Islam. Untuk memahami lebih kritis atas persoalan ini, studi atau analisis tentang sejarah sosial, politik dan ekonomi, tempat ayat-ayat tersebut muncul menjadi mutlak diperlukan. Ilmu-ilmu al-Qur’an masih menyisakan teori-teori ini melalui apa yang dikenal dengan istilah “asbab al-nuzul”, dan lebih dari itu, adalah apa yang diistilahkan al-Syathibi dengan “muctadhayat al-ahwal” (konteks sosial) dan “al-’adat” (tradisi-tradisi) Arab.15 Hal ini adalah mengenai pilihan-pilihan sumber informasi ilmiah untuk melegitimasi suatu persoalan, seperti Hadis dan riwayat-riwayat. Sebagai sumber ilmiah otoritatif kedua, Hadis memiliki posisi sangat penting dalam menafsirkan bahkan seringkali menentukan. Oleh karena itu, pilihan-pilihan atasnya harus dilakukan secara cermat. la bukan saja harus dilihat dari sisi validitas transmisinya, melainkan juga dibaca dalam konteksnya, baik secara linguistik maupun sosiologis. Pada sisi ini, ia juga perlu dianalisis secara rasional dan faktual. Mengenai hal ini adalah menarik pernyataan Ibnu al-Jauzi seperti dikutip Jalal al-Din al-Suyuthi dalam kitabnya “Tadrib al-Rawi” mengatakan bahwa “jika Anda melihat Hadis bertentangan dengan akal sehat atau berlawanan dengan teks agama yang lain, atau tidak terdapat dalam sumber-sumber referensi yang terpercaya, maka ketahuilah bahwa ia informasi palsu”.16 Dalam banyak tafsir tentang relasi laki-laki perempuan, terdapat tidak sedikit Hadis dalam kategori Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto
YINYANG Vol.4 No.1 Jan-Jun 2009 pp.71-84
ISSN: 1907-2791
JURNAL STUDI GENDER & ANAK
lemah, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, baik dari sisi transmisinya maupun dari sisi pandangan rasionalitas.17
F. PENUTUP Beberapa uraian di atas, meskipun serba singkat, menjadi penting untuk mendapat perhatian pada saat kita berusaha memaknai kembali teks-teks keagamaan agar tetap relevan dengan tuntutan-tuntutan kontemporer. Upaya ini dilakukan semata-mata dalam rangka menghidupkan kembali pemikiran keagamaan untuk tatanan sosial yang adil dan memberikan rahmat bagi semua orang sebagaimana diamanatkan Tuhan kepada Nabi-Nya “wama arsalnaka illa rahmatan lil al-’alamin”.
ENDNOTE Ali Harb, Kritik Nalar al-Qur’an, Terj. M. Faisol Fatawi (Yogyakarta: LKiS,
1
2003), hal. 99.
Nasr Hamid Abu Zaid, An-Nashsh, as-Sulthan, Teks Otoritas Kebenaran, Terj.
2
Sunarwoto Dema (Yogyakarta: LKiS, 2003), hal. 111. 3 4
Ibid., hal. 112. Ibid., hal. 112.
Amin Abdullah, “Arkoun dan Kritik Nalar Islam”, dalam John Hendrik
5
Meuleman (Peny), Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan
Pemikiran Mohammad Arkoun (Yogyakarta: LkiS, 1996) hal. 13-14.
Lihat Asghar Ali Engineer, The Rights of Women in Islam (London: C. Hurst and
6
Co., 1992). 7 8 9
Lihat: Maulana Muhammad Ali, Holy Qur’an, Lahore, 1978, hal. 194. Muhammad Asad, The Message of the Qur’an, hal. 933. Al-Qur’an, Surat an-Nisa: ayat 1.
10
Al-Qur’an, Surat an-Nisa: ayat 32.
11
Al-Qur’an, an-Nisa; Ayat 34.
12
Al-Qur’an, an-Nisa; Ayat 35
13
Furqan Abu Zaid, Al-Syari’ah al-lslamiyyah baina al-Muhafizhin wa al-
Mujahiddin (Kairo: Daaral-Taufiqal-Arabi), hal. l6. 14
Seluruh ulama dan pemikir besar Islam selalu menyebut kemaslahatan sebagai
basis utama agama. Imam Abu Hamid al-Ghazali misalnya menegaskan hal ini dalam bukunya yang terkenal “Al-Mahshul min Ilm al-Ushul”, Juz I, (Beirut: Dar
al-Fikr), hal. 26 dan Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah dalam bukunya “llmu al-
Muwaqqi’in, Juz III, (Beirut: Dar al-Fikr), hal. 14. 15
Al-Syathibi,
Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, VI, (Kairo: Maktabah
Tijariyah Kubra), hal. 347-351. 16
Jalal al-Din al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi Syarh al-Taqrib al-Nawawi, Juz I,
hal. 277. Ibnu Taimiyah pernah mengatakan “laqad tadabbartu kuilla al-tadabbur
Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto
YINYANG Vol.4 No.1 Jan-Jun 2009 pp.71-84
ISSN: 1907-2791
JURNAL STUDI GENDER & ANAK
fi al-adillah al-syari’iyyah: anna al-qiyas al-shahih lan yu’aridh al-nash al-
shahih” (saya telah merenungkan secara intens berbagai teks agama, bahwa analogi yang benar tidak mungkin berlawanan dengan teks yang benar (sahih). 17
Baca Ta’liq wa Takhrij Syarh Uqud al-Lujain fi Bayan Huquq al-Zaujain,
Shinta Nuriyah et. al. atau terjemahan FK3, Wajah Baru Relasi Suami Isteri; Telaah
Kitab ‘Uqud al-Lujain, (Yogyakarta: LkiS, 2001).
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, amin. 1996. “Arkoun dan Kritik Nalar Islam” dalam John Hendrik Meuleman (Peny),
Tradisi,
Kemodernan
dan
Mohammad Arkoun. Yogyakarta: LkiS.
Metamodernisme:
Memperbincangkan
Pemikiran
Al-Ghazali, Imam Abu Hamid. TT. Al-Mahshul min Ilm al-Ushul, Juz I. Beirut: Dar al-Fikr. Ali Harb. 2003. Kritik Nalar Al-Qur’an. Terj. M. Faisol Fatawi. Yogyakarta: LkiS.
Ali, Maulana Muhammad. 1978. Holy Qur’an. Lahore: TTP.
al-Jauziyah, Ibnu al-Qayyim. TT. Ilmu al-Muwaqqi’in, Juz III. Beirut: Dar al-Fikr. al-Suyuthi, Jalal al-Din. TT. Tadrib al-Rawi Syarh al-Taqrib al-Nawawi, Juz I.
Al-Syathibi. TT. Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, VI. Kairo: Maktabah Tijariyah Kubra.
Asa, Muhammad Asad. 1980. The Message of the Qur’an. Gibraltar: TTP.
Engineer, Asghar Ali. 1992. The Rights of Women in Islam. London: C. Hurst and Co.
Nuriyah, Shinta, dkk. Wajah Baru Relasi Suami Isteri; Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujain. Yogyakarta: LkiS.
Zaid, Furqan Abu. TT. Al-Syari’ah al-lslamiyyah baina al-Muhafizhin wa al-Mujahiddin. Kairo: Daaral-Taufiqal-Arabi.
Zaid, Nasr Hamid Abu. 2003. Teks Otoritas Kebenaran. Terj. Sunarwoto Dema. Yogyakarta: LkiS.
Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto
YINYANG Vol.4 No.1 Jan-Jun 2009 pp.71-84
ISSN: 1907-2791