Anita Roberts
Australian Consortium for In-
Country Indonesian Studies (ACICIS)
Australian National University
University of Mohainmadiyah, Malang, Indonesia
ASYLUM SEEKERS dari Timur Tengah di Indonesia;
Dari PerspektifRepublik Indonesia
ISITABEL
ABSTRAKSI
1. PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan 1.2 Irregular Migration: Fenomena Global 1.3 HAM dan Asylum Seekers
4 6 8
2. HUKUM DAN KEBIJAKAN Rl MENGENAI ASYLUM SEEKERS 2.1 RI di Bidang Internasional 2.2 Rl di Bidang Domestik 2.2.1 Hukum 2.2.2 Kebijakan 2.2.3 Penerapan Kebijakan
13
15 21 27
3. BADAN BADAN INTERNASIONAL
3.1 International Organisation for Migration (IOM) 3.2 UN High Commissioner for Refugees (UNHCR) 3.2.1
32 43
Konvensi Pengungsi
47
4. STUDIKASUSDIKARANTINADENPASAR
49
5. KESIMPULAN
60
6. DAFTARPERPUSTAKAAN
62
7. LAMPIRAN 7.1 Fotos di Karantina Denpasar
65
7.2 UN Convention Relating to the Status of Refugees 1951 (Konvensi Pengungsi)
7.3 Protocol Relating to the Status of Refugees 1967 7.4 Penerangan UNHCR untuk Asylum Seekers di Indonesia 7.5 UNHCR Refugee Eligibility Form 7.6 Bangkok Declaration on Irregular Migration (Deklarasi Bangkok) 7.7 Daftar Wawancara
ABSTRAKSI
A) PERBEDAAN lnternasional dan Domestik
Di bidang lnternasional, negara Republik Indonesia mendukung dialog baik
global maupun regional mengenai Irregular Migration dan Migrant Trafficking. Bahkan, pendirian pemerintah RI mengakibatkan Fourth Regional Seminar of the
Manila Process on Irregular Migration dan Migrant Trafficking ditempatkan di Jakarta pada bulan Oktober tahun 2000.
Akan tetapi keadaan di bidang domestik Republik Indonesia adalah berbeda.
Satu-satunya perundang-undangan yang menghadapkan soal keimigrasian irrigular sekalipun dalam bentuk Asylum Seekers adalah UU Rl Nomor 37 / 1999 tentang Hubungan Luar Neger. Bab VI, pasal 25, 26 dan 27 mengatur Pemberian suaka dan
masalah Pengungsi. Akan tetapi secara substansi pasal-pasal tersebut hanya memberikan kesempatan untuk mengambil langkah-langkah legislatiflebih lanjut. Penjelasan atas UURI No. 37 memberikan kejernihan atas pasal-pasal tersebut sebagai berikut : Pada dasarnya masalah yang dihadapi oleh pengungsi
adalah masalah kemanusiaan, sehingga penanganannya dilakukan dengan sejauh mungkin menghindarkan terganggunya hubungan baik antara Indonesia dan negara asal pengungsi itu. Indonesia memberikan kerjasamanya kepada badan yang berwenang dalam upayamencari penyelesaian masalah pengungsi tiu.
Akan tetapi menrut jurubicara dari Departmen Luar Negeri1, 'Republik Indonesia tidak menerima prinsip naturalisasi dan Indonesia tidak akan membiarkan
wilayahnya menjadi "Processing Centre" untuk pengungsi. Jadi apa yang dilakukan Indonesia karena pengungsi adalah atas dasar kemanusiaan'.
Ada perbedaan Fondamental antara baik posisi RI di bidang lnternasional
dengan domestik maupun teori Kebijakan Kemanusiaan dengan pelaksanaan kebijakan tersebut.
Pertama-tama kekosongan kebijakan dan hukum mengenai asylum seekers
mengakibatkan kesimpangsiuran bagi instansi-instansi pemerintah yang terkait, lembaga internasional dan asylum seekers sendiri.
UU Rl Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian berperan terutama untuk
menyediakan kerangka kebijakan mengenai penenganan migran irregular. UU ini
adalah pemyataan yang didasarkan pada prinsip-prinsip Pancasila dan Unadngundang Dasar 19945 tentang hak-hak dan kewajiban negara berdaulat Indonesia untuk mengatur pergerakkan orang yang melalui perbatasan.
Ada 2 (dua) jenis migran irregular di Indonesia Orang yang melanggar pasal 52 UU 9 / 1992 yang overstay batas waktu visanya dan yang kedua, yang melanggar pasal 48, 49 dan 50 dan keluar / masuk Indonesia secara ilegal. Yaitu tidak lewat Tempat Pemeriksaan Imigrasi.
Kebijakan Indonesia mengenai penerimaan dan penanganan orang asylum seekers (sekarang ada lebih dari 500 di Indonesia, sebagian besar dari Iraq dan 1Sinbutar, T. Wawancara 19-10-2000, Bagtan Masbin dan Maslugri Deplu, Jakarta.
Afghanistan) didasarkan 'Selective Policy'.
Dengan kebijakan itu, Indonesia
menampatkan orang migran di Karantina sampai identitasnya diketahui, kemudian
memulangkan orang tersebut dengan atau tanpa bantuan perwakilannya Prosedur
biasa ini sudah tidak biasa lagi karena dampak krisis monetair dan politik. Yaitu,
pada saat ini Kantor Imigrasi yang dibawah berwenang Departmen Kahakiman dan Hak Asasi Manusia mempunyai anggaran yang sangat terbatas.
Berarti, kalau
perwakilan orang migran itu tidak mau tanggung jawab atau tidak mampu membayar, orangnya dikarantinakan untuk jangka waktu yang tidak terbatas. Seandainya, kalau identitasnya orang itu tidak bisa diketahui, aktibatnya sama, yaitu karantina untuk selamanya.
Masuknya Komisi Tinggi Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa Bangsa (UNHCR) dan International Organisation for Migration (lOM) dan Pemerintah
Australia Walaupun kebijakan Pemerintah Indonesia tetap menolak orang orang termasuk adanya asylum seekers yang ingin masuk ke Indonesia, oleh karena tekanan
internasional dan dampak domestik dari aliran asylum seekers sekarang, Selective Policy tersebut diperlembutkan. Diperlembutkan oleh karena alasan kemanusiaan.
B) KEBIJAKAN DIPERLEMBUT ALASAN KEMANUSIAAN
Alasan pertama adalah Indonesia sudah dijadikan tempat 'transit' untuk
aliran asylum seekers dari Timur Tengah yang menuju ke Australia
Dengan
demikian, Indonesia mulai bekerjasama dengan Kedutaan Besar Australia untuk menyelesaikan persoalan ini.
Karena jumlahnya sangat besar, 500 lebih, Indonesia meminta IOM
membantu memberikan dana untuk kebutuhan migran irregular itu. Karena RI belum
menjadi pihak Konvensi PBB mengenai Status Pengungsi 1951 dan Protokolnya
1967, (Konvensi Pengungsi) Indonesia meminta bantuan UNHCR untuk melanjutkan
atau menempatkan mereka di negara ketiga Sisanya bisa dipulangkan ke negara
asalnya dengan bantuan IOM. Akan tetapi pemulangan terpaksa melawan Undang undang Dasar IOM, jadi ada migran yang tetap di Karantina yang tidak mau dan tidak
bisa dipulangkan.
Kelompok ini, bersama dengan orang diakui pengungsi oleh
UNHCR tetapi yang belum mendapat resettlement, menjadi beban untuk negara Indonesia.
Keterlibatan badan badan internasionai IOM dan UNHCR merumitkan
proses untuk pejabat pejabat Imigrasi di tingkat operasional. Rupanya keterlibatan badan badan tersebut dan prosedur yang dipengaruhi alasan kemanusiaan tidak
mengakibatkan piagam prosedur baru.
Seperti yang dikatakan Kepala Subseksi
Pendindakan Orang Asing di Kantor Imigrasi Denpasar, Budiyanto 'sebelum
sekarang, saya, kita tidak mempunyi pedoman2.' Konsekuensi kekosongan kerangka hukum dan kebijakan mengenai penanganan asylum seekers ada besar baik untuk pejabat pejabat di lapangan maupun asylum seekers sendiri. Menurut Directorat Jenderal Imigrasi, sedang ada perbahasan secara inter-
department dan inter-tingkat mengenai permasalahan irregular immigration. Akan tetapi dari penelitan saya di Propinsi Jawa Timur dan Bali, pengetahuan mengenai
prosedur baru terbatas. Yaitu, dari tingkat Kepala Kantor sampai bagian Penindakan dan Pengawasan Orang Asing.
Jadi prosedur atau pendekatan baru pemerintah
Indonesia belum disosialisasikan sampai orang yang menghadapi permasalahan
irregular migration ini di lapangan. Keadaan ini tidak diakui pada tingkat atas 'di lapangan mereka sudah mengerti permasalahannya, mereka aware dengan aturan
aturan yang berlaku dan mereka akan lakukan tugas sesuai dengan 'play by the book'3. Akan tetapi seperti dibahas di atas, aturan aturan belum ada Pada waktu
penjelasan dimita tentang identitas aturan aturan yang ada, jawabannya adalah 'belum
ada Karena yang namanya undang undang atau peraturan peraturan pelaksanaan karena dibawah undang undang tidak bisa secara otomatis.' Berarti pemerintah Rl akan 'menunggu ratifikasi Konvensi Pengungsi sebelum ada penjelasan dalam bentuk
perundangan undangan mengenai apasaja kita meratifikasi'4. Permasalahan sosialisasi kebijakan juga terkait dengan peran lembaga
lembaga internasional (IOM dan UNHCR).
Yaitu sebagai lembaga internasional
mereka tidak bisa dilihati ikut campur dalam urusan domestik RI. Akan tetapi UNHCR dan IOM sudah mempunyai mandat untuk mengurus asylum seekers di Indonesia. Peran organisasi masing masing dalam penanganan asylum seekers belum disosialisasikan kepada tingkat operasional. Berarti ada pendekatan sosialisasi dari
2Budiyanto,A. Wawancara, 16-11-2000, Kantor Imigrasi Denpasar, Bali. 3Sasongko, H. Wawancara 19-11-2000, Directorat Jenderal Imigrasi, Dep Kehakiman dan HAM, Jakarta.
4Bakar, B. Wawancara 19-11-2000, Deplu, Jakarta.
atas sampai bawah yang secara teorie ditimbangkan oleh hubungan langsung dengan IOM dan UNHCR di lapangan. Pendekatan ini menasumsikan bahwa a) IOM dan
UNHCR dihubungi kalau ada pendatangan irregular migrants dan b) kehadiran IOM dan UNHCR penuh dengan arti.
Dari penelitian di Jawa Timur dan Bali, ada kesimpangsiuran mengenai baik
peran dari lembaga lembaga internasional tersebut, maupun prosedur penanganan
asylum seekers baru. Keterlibatan IOM dan UNHCR diakibatkan kebingungan dan perselisihan mengenai hukum.
Tiba tiba kebijakan Selective Policy tidak berlaku lagi. Departmen Luar Negeri (Deplu) sedang mengkajikan apakah RI akan menjadi pihak Konvensi
Pengungsi.
Menurut Bakar dari bagian Perjanjian Internasional Departmen Luar
Negeri, 'Presiden Kota mendukung apa yang dilanjut secara internasional, hanya masalah pelaksanaanya di lapangan harus disesuaikan dengan konsidi Indonesia.5' Dari pandangan Deplu, penangan permasalahan pengungsi pada saat ini 'merupakan
kontribusi Indonesia kepada dunia Internasional bahwa kita peduli.6' Akan tetapi
sementara Deplu dan
Directorate Jenderal
Imigrasi
mendiskusikan dan meworkshopkan masalah pengungsi dengan lembaga lembaga internasional tersebut, tingkat kesimpangsiuran di lapangan semakin naik.
5Bakar, B. Wawancara 19-10-2000, Deplu, Jakarta. 6Bakar, B. Wawancara, 19-10-2000, Deplu, Jakarta.
instansi pemerintah terkait adalah sangat penting untuk mengatasi persoalan aliran asylum seekers pada saat ini.
Kesimpulan dari segi kemanusiaan.
Persoalan aliran asylum seekers pada saat ini melibatkan baik instansi domestik
maupun instansi internasional. Dengan demikian seharusnya ada upaya nasional dan regional untuk mengkajikan efek efek aliran ini atas negara masing masing. Australia
sebagai negara tujuan aliran migran irregular ini harus ambil langkah langkah yang
sesuai dengan tindakan tindakan RI. Bekerjasama dalam jiwa Regional Cooperative Model benar benar dibutuhkan untuksemua yang terlibat, khususnya asylum seekers dan pengungsi sendiri.
Mohammed Jaffar, adalah salah satu dari 327 pengungsi yang sedang menunggu resettlement di Indonesia Menurutnyadia akan dipindahkan ke Canada atau
Amerika Serikat. Sebenarnya tujuannya waktu diaasylum seekers adalah Australia dan diamembicara tentang perasaan frustrasi dengan pemerintah Australia dan
kebijakan Imigrasi Australia yang sangat ketat. Dia adalah lelaki muda yang sinis tentang masa depannya. Sinis tentang Amerika Serikat dan perannya dalam Perang Gulf, sinis tentang penanganannya sejak dia berada di Indonesia dan sinis tentang nasib dia dan orang pengungsi lain.
Dia mempunyai cita-cita besar mengenai negara Australia. Yang menurut dia
negara yang paling aman dan di mana ada cukup makanan dan terpenting kesempatan untuk hidup baru. Dia mengharap sampai di Australia dan seperti kebanyakan
asylum seekers dan pengungsi yang saya bertemu dia kecewa. Dia mengulangi
'peace, food and family, that isall I want.'7 Pesannyacukup sederhana, dan rupanya pelaksanaan tidak harus serumit sekarang.
7Mohammed Jaffar, Wawancara 16-10-2000, Jalan Jaksa, Jakarta.
1. PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
1.2 Irregular Migration: Fenomena Global
1.3 Hak Asasi Manusia dan Asylum Seekers di Republik Indonesia
1.1
Pendahuluan
Sejak tahun 1999, Indonesia dijadikan tempat transit terutama untuk pergerakan orang-orang Timur Tengah yang menuju ke Australia. 85% yang masuk Australia
secara ilegal, masuk inemakai perahu setelah transit di Indonesia atau Malaysia. Pada umumnya orang-orang asylum seeker masuk Indonesia secara sah kemudian mencari perjalanan ke salali satu dari Ashmore Reefatau Pulau Cliristmas.
Penelitian mengenai keimigrasian internasional asylum seekers Timur Tengah ke Indonesia sangat terbatas. Karena beberapa alasan yang berikut : (I) aliran asylum
seekers dari negara-negara Timur Tengah adalah kejadian baru, (2) adalah kekurangan
sistem pengumpulan data untuk memonitor dan meiaporkan aliran tersebut, (3) kebanyakan pergerakan itu ilegal jadi tidak didokumentasikan, dan (4) kurang perhatian
mengenai aliran tersebut dari segi posisi Indonesia Sumber data statistik adalah hanya empat ; Departemen Kehakiman dan HAM , (Kantor Imigrasi), United Nations High .Commissioner for Refugees (UNHCR), Internasional Organisation for Migration
(IOM) dan Departmen Keimigrasian dan Urusan Multikulturalism Australia.* Dengan demikian, makalah ini bertujuan untuk menjelaskan konsekuensi aliran
asylum seekers (pencari suaka) Timur Tengah (dari Iran, Iraq, Afghanistan dan Pakistan) yang menuju ke Australia atasnegara transitnya, Republik Indonesia
Walaupun 'manusia perahu' adalah isu yang panas, rupanya nasib orang asylum seekers ini dilihat hanya dalam konteks kedatangannya di Australia dan konsekuensi kedatangannya ini untuk masyarakat Australia Jarang terjadi bahwa rasa ketertarikan
itu mengenai pengungsi atau asylum seekers sendiri. Henderson mengakui 'ada sedikit
1AAP, Australia has its otvn smuggling tragedies : Ruddock, Bangkok, 14 July 2000.
simpati di Australia yang terobsesi pada saat ini untuk orang disposessed atau
pengungsi'1. Jadi itu diperlukan tidak hanya untuk memanusiakan asylum seekers ini tapi untuk melihat dampak aliran ini kepada negara telangga Australia dan negara transit asylum seekers tersebut, yaitu Republik Indonesia.
Yang harus diakui adalah pertanggungjawaban menyampai baik orang yang sampai garis pantai Australia maupun yang diluar. Akan tetapi, pertama-tama pengantar kepada subyek-subyek utama makalah ini,
yaitu kepapda para asylum seekers. Pada taraf apa, definisi asylum seekers bisa dibedakan dari definisi irregular migrant dan pada taraf apa, bisa dibedakan dari definisi
pengungsi? Makalah ini bermaksud untuk mengidentifikasi dan membedakan asylum seekers sebagai kategori yang terpsah dari yang disebut dalam kerangka hukum dan kebijakan keimigrasian Indonesia.
Seorang asylum seekers adalah seorang yang mendaftarkan diri kepada
pemerintah suatu negara (dalam kasus ini Indonesia) untuk pengakuan status pengungsi dan izin tinggal menetap di negara itu. Oleh karena mereka merasa takut (yang cukup
beralasan) akan disiksa kalau pulang ke negara asalnya atau pernah di siksa di negara asalnya berdasarkan alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu atau opini politik.
Permintaan asylum seekers di Indonesia tidak dipertimbangkan oleh pemerintah RI karena Indonesia menjadi pihak yang menandatangani Perjanjian Internasional Perehkatan Bangsa Bangsa (PBB) mengenai status pengungsi 1951 dan protokolnya 1467 (Konvensi Pengungsi). Malalian, permintaannya dipertimbangkan oleh cabang UNHCR di Jakarta Permintaannya akan dipertimbangkan sama definisi di Konvensi
1Henderson, G. 'The)' are people not the enemy, The Australian, 23November J999.
Pengungsi. Kalau mereka diakui status pengungsi maka harus menunggu perpindahan tempat tinggal (resettlement) kepada negara ketiga. Dari 185 anggota negara PBB, hanya sepuluh mempunyai status dan quota sebagai negara resettlement: Australia, New Zealand, USA, Canada, Norway, Finland, the Netherlands, Switzerland, Denmark dan Sweden.
Bahwa Indonesia belum menjadi pihak Konversi pengungsi menyebabkan
pelajaran menarik. Persis kekurangan kerangka hukum dan kebijakan Indonesia mengenai penerimaan dan penanganan asylum seekers adalah fokus makalah ini.
Dua propinsi menjadi tempat penelitian untuk studi lapangan ini yaitu Timur
dan Bah. Untuk mengkaji kerangka hukum dan kebijakan untuk asylum seekers Kantor
Imigrasi dari Departemen Kehakiman dan HAM diteliti. Lembaga-lembaga internasional UNHCR dan IOM juga di teliti dalam perannya sebagai pembentuk kebijakan. Peran pemerintah Australia jugaterkait.
1.2
Irregular Migration, Fenomena Global
Dengan pikiran warga negara global yang sedang tumbuh, itu menjadi lebih suht bagi negara untuk tetap menolak pengaruh luar negari ; yaitu dalm bentuk fisik atau
abstrak. Yaitu perasaan ketakutan terhadap aliran massa orang asing (aktual atau potensial menjadikan batasan pengertian urusan universal untuk semua negara 3 Pergerakan di atur orang-orang, secara ilegal lewat perbatasn internasional,
biasanya untuk biaya (dengan persetujuan orang terkait) atau penyelundupan orang adalali urusan global. Menurut perkiraan IOM, penyelundupan orang global dan
3Crock, M. Immigration and Refugee Law in Australia, The Federation Press, 1998, p3.
trafficking mencapai US$ 10 billion se taliun. Menurut IOM empat juta orang dipindakan sekililing dunia setahun; penyelundupan dan trafficking orang.4 Penyelundupan orang akan terus-menerus sejak banyak orang hidup dalam
kemiskinan dan lingkup untuk imigrasi yang sah adalali terbatas. Keimigrasian ilegal adalah hasil dari tekanan imigrasi global yaitu pertumbuhan populasi yang cepat, kesenjangan sosial dan krisis ekonomi global. Berakliimya keimigrasian buruh dan
'easy asylum' menyebabkan calon migrasi mencari jalur lain. Mereka menemukan jalur yang dipakai para profesional trafficker. Saat ini aliran asylum seekers Timur Tengah memakai jalur-jalur yang sama seperti yang diciptakan oleh jaringan imigran gelap dan narkoba.1
Mengapa kehadiran Asylum seekers Timur Tengah di Indonesia tidak hanya
mewajibkan tindakan-tindakan dari segi Indonesia tapi juga menyangkut bagian dari
Australia dan masyarakat internasional juga?. Keimigrasian irregular adalah persoalan global dengan demikian tindakan satu negara sendirian adalah tindakan inefisien.
Bagaimanapun dengan jaringan-jaringan dan aliran-aliran kompleks yang bisa melalui seluruh benua, kesegaran sesuatu negara untuk ikut campur di luar perbatasanya mudah
dipaliami. Setiap negara mau menetap kedaulatannya, mau melindungi kepentingan nasionalnya dan demikian hubungan antar negara di tanda tangani. Keadan ini
memerlukan konsensus di antara negara-negara yang fleksibel, efektif dan bergiliran2. Aliran sekarang asylum seekers Timur Tengah ke Australia sudah menunjukkan untuk
tingkat inovasi demokrasi yang baru yang berlaku di dalam dan di luar perbatasan, yang bisa mengidentifikasikan wilayah, untuk saling bertanggungjawab dan menangung 4DIMA, Protecting the Border Immigration Compliance, DIMA, 1999, pi 4. Schloendhadt, A The business ofmigration: organised crime and illegal migration in Australia andthe Asia Pacific Region, Adelaide Law Review, vol 21, nl, 1999.
McCleary, R(ed). Seeking Justice; Ethics and International Affairs, Weslview Press, Colorado, 1992,1.
resiko, di mana pikiran moral mengenai 'kewajiban' ditingkatkan atas laut yang memisah.7
Dengan kata singkat, pergerakan orang dalam dunia sekarang adalah universal
dan tidak dapat dihindarkan. Dengan demikian kita perlu pendekatan yang bersifat komprehensif dan yang lama. Sebagai diakui Deklarasi Bangkok.
"Keimigrasian internasional adalah fenomena kompleks yang didasarkan sejarah manusia dan bersambung dengan aspirasi sosial dan ekonomi saling negara dan daerah".
1.3
Hak Asasi Manusia dan Asylum Seekers di RI
Rencana nasional RI mengenai HAM menjelaskan komitmen RI kepada promosi dan perlindungan HAM. Menurut mukadimah Rencana Nasional....
"HAM adalah universal dan masyarakat internasional sudah mengakui dan menyetujui bahwa pelaksanaannya adalah kewajiban dan tanggung jawab semua negara, dan yang mempertimbangkan bermacam-macam sejarha,
kebudayaan, sistem politik, tingkat perkembangan sosial dan politik, sistem penilaian dan sebagainya".8
Indonesia membolehkan kerjasama internasional mengenai promosi dan
perlindungan HAM yang didasarkan prinsip dan norma Piagam PBB dari pasal 1(3), 55
dan 56, yaitu kerjasama internasional di bidang HAM harus didasarkan pada prinsip saling menghormati, keadilan dan hidup berdampingan di antara negara-negara dan hukum internasional yang berlaku.
Empat Rencana Nasional RI mengenai HAM 1998 - 2003 terdiri dari pokok utama:
7Inside Indonesia, No64, Oct-Dec, 2000.
a) Persiapan untuk verifikasi alat-alat
b) Penyebaran informasi dan pendidikan mengenai HAM ; c) Pelaksanaan hal-hal prioritas mengenai HAM, dan
d) Pelaksanaan alat-alat HAM interl yangdi ratifikasi oleh RI
Pemerintah Indonesia diakui sudah ada kemajuan yang cepat dalam bidang HAM dan demokrasi dalam waktu relatif singkat dimana sedang mencoba mengatasi krisis ekonomi dan politik. Oleh sub-komisi PBB atas kemajuan dan pemeliharaan HAM di Geneva, Agustus 1999.
Dalam konteks semacam yang diatas, RI mencoba menangani permasalahan asylum seekers di RI. Yaitu RI mencoba menimbangkan soal kemampuan ekonomi dan prinsip Rencana Nasional soal kemauan politik tidak akan dibahas di sini.
Diperlembutkan sekarang Selective Policy (kebijakan selective) mengenai asylum seekers dan pengungsi adalah hasil dorongan untuk pengakuan kemajuan HAM Indonesia di bidang domestik dan apalagi di luar negeri. Pendekatan humanis ini adalah
percobaan kemantapan dalam bertindak. Yaitu kemantapan dalam bertindak antara
dorong Indonesia baru mengenai HAM (khususnya dalam bidang ratifikasi perjanjian internasional) dan kenyataan hukum dan kebijakan domestik. Bagaimanapun kebijakan
bisa diubah tetapi tidak diperlembutkan. Yaitu penerimaan asylum seekers dan irregular imigrants sekarang menempati kekosongan kebijakan dan hukum. Ini akan dibahas di
bawah. Untuk bagian ini cukup menyimpulkan keadaan sekarang adalah kebingungan. Kebingungan ini bisa diatasi dengan ratifikasi Konvensi Pengungsi dari Pemerintah RI.
Ratifikasi Konversi Pengungsi bisa memperkuat dan mempercepatkan perkembangan alat-alat hukum nasional. Dengan demikian mendorong promosi dan
8Rencana Nasional Republik Indonesia mengenai HAM, 1998-2003, pendahuluan.
perlindungan hak-hak pengungsi. Langkah ini juga bisa mengembangkan kebijakan hukum nasional yang mengacu padanonna-nonna internasional. Menurut Rencana Nasional RI HAM proses meratifikasi harus dilakukan sesuai
dengan keperluan perkembangan dan kebutuhan masyarakat RI. Jadi budaya kesadaran HAM harus diciptakan.
Indonesia mempunuyai pengalaman mengenai pengungsi dari sisi internasional:
Pulau Galang dijadikan tempat akomodasi bagi manusia peraliu Vietnam dan pengungsi
Timur Timor yang di Timor Barat, dan pada sisi domestik dengan orang terlantar internal dari zona konflik misalnya Maluku, Aceh. Akan tetapi Asmara Nababan,
Sekjen Komnas HAM barusan menegaskan pemerintah RI menciptakan semacam badan pengurus pengungsi.
Jadi pertanyaan pentingnya adalah "apakah RI dengan upayanya untuk mengikuti kehendak internasional dengan diperlembutan kebijakan, pencantuman IOM dan UNHCR dan pengkajian konvensi Pengungsi, sudali melampaui kapasitas domestiknya? Yaitu dalam konteks keuangan dan kesadaran mengenai soal HAM dan
asylum seekersbaik dari segi instansi pemerintah dan masyarakat padaumum.
Kalau begitu, alternatifhya apa? Soal HAM bisamenjadikan suatu negara seperti
mempunyai kasta terendah dalam hubungan internasional. Apakah ratifikasi perjanjian internasional ongkos yang harus dibayar sebelum bisa masuk golongan negara global pertama? Apakah RI harus menuju ke arah mererifikasi Konvensi Pengungsi walaupun untuk sebagian masyarakat itu dianggap satu langkah yang tidak masuk akal, untuk saat krisis ekonomi dan politik ini.
Jadi untuk mengkajikan sistem yang dihadapi asylum seekers di Indonesia pada saat ini yang harus dipahami adalah alasan-alasan politik internasional yang berlaku
10
Republik Indonesia tidak dibolehkan duduk di tempat tengah. Kalau RI memutuskan
meratifikasi Konversi Pengungsi tindakannya akan dinilai dari posisi sama dengan negara Iain. Posisi Rl sebagai negara yangsedang berkembang tidakakan diketahui.
Apakah kelanjutan sistem sekarang yang memakai bantuan (personal dan keuangan ) dari IOM dan UNHCR bisa menjadi satu alternatif untuk RI?
RI sudali menjelaskan kemauannya menjadi pihak penandatangan Konversi
Pengungsi tetapi sampai sekaiang konvensinya belum diratifikasi. Apakali RI memutuskan untuk menunggu aliran asylum seekers saat ini sampai keadaan RI lebih
baik untuk mencapai kewajiban tehadap Konvensi Pengungsi?
Keadaan dan sistem untuk asylum seekers di Indonesia kurang jelas. Akan tetapi itu adalah pernyataan RI untuk masyarakat internasional.
Dalam bidang domestik, pendekatan pemerintahan RI mengenai pengungsi sudah mendapat banyak kritik, semacam Indonesia bukan negara pengungsi dan asylum seekers akan membebani negara RI.
Rl akan mengorbankan pendiriannya atas kepentingan semua kategori HAM yang tidak dapat dibagi (sipil, politik, sosial, budaya dan ekonomi), supaya itu bisa menunjukkan pernyataan politik.
11
2. HUKUM DAN KEBIJAKAN REPUBLIK INDONESIA MENGENAI ASYLUM SEEKERS
2.1 Indonesia di Bidang Internasional
2.2 Indonesia di Bidang Domestik 2.2.1 Hukum
2.2.2 Kebijakan
2.3 Penerapkan Kebijakan
12
2.1 Indonesia di Bidang Internasional
Di bidang internasional negara Republik Indonesia mendukung dialog baik global maupun regional mengenai irregular migration dan migrant traffcking. Bahkan pendirian pemerintah Indonesia mengakibatkan Fourth Regional Seminar of the Manila Process or Irregular Migration and Migrant Trafficking untuk wilayah Asia Timur Selatan diadakan di Jakarta pada bulan Oktober tahun 2000.
Manila Proses yang diciptakan oleh IOM dan dibentuk sebagai forum regional
yang didasarkan prinsip-prinsip Global Conference on Trafficking and Irregular Migration, Geneva, tahun 1994.
Pada setiap Pertemuan Manila Proses delegasi Indonesia nadir yang sejak tahun
1996. Manila Proses adalah kesempatan untuk dialog terbuka dan jujur mengenai persoalan dari perspektif regional. Akan tetapi resolusi Manila Proses tidak mengikat anggotanya.
Manila Proses ada di bawah Asia-Pacific Consultation on Refugees, Displaced Persons and Migrants (APC) Republik Indonesia adalah peserta aktifdalam APC juga. Pertemuan Ketujuh ASEAN Regional Forum (ARF) dihadirkan oleh Menteri
Luar Negeri Indonesia Alwi Sihab, pada 27 Juli 2000. Menurutnya Indonesia
mendukung negosiasi mengenai Convention against Transnational Organized Crime. Akan tetapi pidna antara negara juga harus ditangani dari segi regional dalam forum semacan APC.
Pemerintah Indonesia sebagai anggota Internasional Symposium an Migration (ISM) terlibat pada pembentukan komitmen Bangkok Declaration on Irregular
13
Migration. Deklarasi ini adalali komitmen, walaupun informal dan tidak mengikat untuk bekerjasama secara regional untuk menangani aliran migran.
Di samping kerangka yang diberikan oleh Bangkok Deklarasi tersebut ada juga
acuan yaitu Principles concerning Treatment of Refiigees1 dan the Body Of Priniciples of the Protection of all Persons under any from of Detention or Imprisonment2. Keterlibatan Pemerintah Indonesia Indonesia dalam tara tersebut sudah bisa
menetapkan cukup materi untuk pendekatan nasional dan perumusan kebijakan mengenai irregular migrants dan khususnya assylum seekers.
Bagian yang berikut akan mengkajikan apakah prinsip-prinsip di atas sudah diinkorporasikan dalam bidang domestik.
1Asian-African Legal Consultative Committee at its Eightieth Session, Bangkok 1966. 2General Assembly of the United Nations Resolution 43/173 of9 December 1988. 14
2.2 Indonesia di Bidang Domestik
2.2.1 Hukum
Satu-satunya perundang-undangan yang memuat tentang soal keimigrasian
irregular sekalipun dalam bentuk asylum seekers adalah Undang Undang Republik Indonesia Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Bab VI, pemberian suaka dan masalahpengungsi terdiri dari pasal-pasal yang berikut. Pasal 25
(1) Kewenangan pemberian suaka kepada orang a. berada di tangan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan Menteri.
(2) Pelaksanaan suaka kepada sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden. Pasal 26
Pemberian suaka kepada orang asing dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan nasional serta dengan memperhatikan hukum kebiasaan, dan praktek internasional. Pasal 27
(1) Presiden menetapkan kebijakan masalah pengungsi dari luar negeri dengan memperhatikan pertimbangan Menteri.
(2) Pokok-pokok kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.
Penjelasan atas UU Rl 37 Tahun 1999 memberikan kejelasan hanya atas Pasal 27 (1), Bab VI - pada dasarnya masalah yang dihadapi oleh pengungsi adalah masalah
kemanusiaan,
sehingga
penanganannya
dilakukan
dengan
sejauh
mungkin
15
menghindarkan terganggunya hubungan baik antara Indonesia dan negara asal
pengungsi itu. Indonesia memberikan kerjasamanya kepada badan yang berwenang dalam upayamencari penyelesaian masalah pengungsi itu.
UU 37 RI, 1999 rupanya belum mendapat perhatian mengenai langka lanjut yang disebutkan Pasal 35 (2) dan 27 (2) yaitu belum ada Keputusan Presiden untuk mengatur soal-soal tersebut.
Langkah-Iangkah legislatif lebih lanjut harus menunggu meratifikasi Konversi
pengungsi, *setelah kita akan ratifikasi ada kejelasan apa saja kita ratifikasi. Apa saja
menjadi pihak yang kita ikutkan sebagai dasar, nama, latar belakang dan selanjutnya'.4 RI akan merumuskan perundang-undangan untuk memasukkan Konversi PBB mengenai Transnational Organized Crime dalam hukum domestik, akan dilakukan di
Geneva pada bulan Desember 2000. Konversi ini di dukung oleh Direktorat Jendral
Imigrasi sebagai yang dikatakan Sasongko 'Kita memang sudah merencanakan untuk
melakukan MOU dengan pihak Australia. Namun kita mencari dasar, dan katanya Transorganized Crime akan ditandatangani di Geneva Desember ini'1. Tindakan ini bisa
dikatakan langkah serius yang pertama untuk menanggulangi secara perundangundangan penyelundupandan trafficking manusia
Jadi UURINomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian berp&mtemtamei untuk
menyediakan piagam atau kerangka kebijakan mengenai penanganan migran irregular. Undang Undang ini adalali pernyataan yang didasarkan prinsip-prinsip Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, tentang hak dan kewajiban negara berdaulat Indonesia untuk mengatur pergerakan orangmelalui perbatasannya.
4Bakar, B. Wawancara, 19-10-2000, Perjanjian Internasional Departmen Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta.
1Sasongko, H. Wawancara 19-10-2000, Direkorate Jenderal Imigrasi, Departmen K.shakiman dan HAM, Jakarta
16
Undang-Undang RI Nomor I, tahun 1999 tentang pengesahan perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Australia mengenai timbal-balik dalam masalah
pidana diikuri oleh Keputusan Presiden Nomor 128 tahun 1999 tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah RI dan pemerintahan Australia tentang pemeliharan keamanan. Dalam jiwa persetujuan-persetujuan tersebut pemerintah Austrah dan
pemerintahan RI merencanakan untuk merumuskan Memorandum Of Understanding (MOU) mengenai kerjasama dalam hal iregular migration.
UU 9/1999 Bab III, pasal 17 menetapkan penangkalan terhadap orang asing
dilakukan karena diketahui atau diduga terlibat dengan kegiatan sindikat kejahatan
internasional. Pasal 17 adalah tindakan pencegahan tidak berlaku surut. Akan tetapi sama dengan pasal 56, 57 dan 58 mengenai pembuatan dan pemakaian surat perjalanan yang curang.
UU 9/1999, Bab VII pasal 47 menetapkan bahwa penyidikan pelanggaran
hukum keimigrasian bisa dilakukan oleh baik penyidik Pejabat Polisi Negara RI
maupun Pejabat Pegawai Negeri Sipil5. Jadi jumlah PPNS di Kantor Imigrasi terkait dengan ketepatgunaan Kantor tersebut dan tingkat sumber daya manusia. Yaitu PPNS harus minimal Sarjana Universitas.
Jadi, PPNS pada setiap saat harus dapat mengidentifikasikan orang asing tidak
hanya sebagai migran irregular akan tetapi sebagai seorang asylum seeker. Dengan demikian, promosi hukum pengungsi dan pendidikan mengenai urusan
migrasi
irregular harus difokuskan kepada pejabat-pejabat PPNS. Menurut Iskandar, 'pendidikannya bertahap seluruh Indonesia. Setiap taliun ada pendidikan, Malang kirim satu, Surabaya satu, seluruh Indonesia mungkin begitu. Tetapi ini selama dua tahun ini
5Yang diberi wewenang sebagai dimaksud dalam UU8 Tahun 1981. 17
agak sedikit terganggu pendidikan PPNS-nya. Mungkin akan meneruskan lagi, itu
tergantung kemampuan kita... (karena krisis?) Mungkin.'1 PPNS harus melaporkan cara bekerja sama penyidikan kepada penyidik kepolisian yang kalau memutuskan prosedur substansinya benar akan memberikan keputusannya kepada Kepentingan Penuntutan. Sujendra menjelaskan kalau Kantor
Imigrasi tidak mempunyai pejabat yang berstatus PPNS (yang pernah terjadi di Malang dulu) penyidik polisi berwenang melakukan penyidikan pelanggaran keimigrasian
sendirian. Menurut Sujendra, keterlibatan dua penyidik dari dua departemen berbeda
dan dikuatkannya dua laporan merumitkan proses untuk segi imigrasi.2 Bab VI, pasal 44 menetapkan bahwa (1) setiap orang asing yang berada di
wilayah Indonesia dapat ditempatkan di Karantina Imigrasi dalam rangka menunggu proses pengusiran atau deportasi ke luar wilayah Indonesia. Karena alasan tertentu
orang asing tersebut dapat ditempatkan di tempat lain seperti ditetapkan pada pasal 44 (2) <4yang bermaksud dengan alasan tertentu dalam ayat itu adalah antara lain karena
menyangkut anak-anak yang masih di bawa umur, orang sakit yang memerlukan
perawatan kursus, atau Karantina Imigrasi tidak dapat menampung8. Jurang perbedaan antara penampungan asylum seekers di Karantina (strict detetion) dibandingkan di
hotel mempunyai konsekuensi besar untuk pengertian kebijakan untuk asylum seekers sendiri. Bagaimana perbedaan ini bisa dijelaskan kepada orang-orang terkait.
Karantina didefinisikan sebagai "tempat penampungan sementara bagi orang asing yang dikarenakan proses pengusiran atau deportasi atau tindakan keimigrasian
1Iskandar, A.Wawancara 3-11-2000, Kepala Kantor Imigrasi, Malang, Jawa Timur.
2Sujendra,K. Wawancara, 24-9-2000, Kapala Seksi Penindakan Orang Asing, Kantor Imigrasi Malang, Jawa Timur.
8Penjelasan UU9 Tahun 1992, Pasal 44(2).
9Yong Lai Kong, 22-10-2000, Petugas Lapangan IOM, Wawancara Kantor imigrasi Denpasar, Bali. 18
lainnya l0 . Akan tetapi tidak ada aturan yang menentukan batas waktu atau kesempatan untuk peninjauan kembali kasus. Berarti sampai kasusnya diputuskan orang tersangka bisa ditahan untuk jangka waktu yang tidak terbatas.
Dalam situasi di mana perwakilan seseorang tidak mampu membayar warganya pulang, atau identitas orangnya menolak bantuan IOM (Voluntary Repatriation) atau
identitas orangnya tidak bisa diketahui karantina di Kalideres Jakarta bisa menjadi rumah orang itu untuk selamanya. Dalam kasus tersebut, kekosongan kebijakan dan
keterbatasan anggaran tidak menetapkan pengembalian tepat pada waktunya atau penanganan kemungkinan yang ditentukan pasal 13 dan 14 Bangkok Convention.
Irregular migrants melanggar hukum Keimigrasian RI salah satu dari a) overstay, b) pemakaian surat-surat perjalanan yang palsu atau a) keluar masuk RI tidak
melalui Tempat Pemeriksaan Imigrasi (TPI). Dengan demikian ketentuan pidana mereka di kopi adalah diatur oleh pasal 48,49 dan 52 yang sebagai berikut: Pasal 48
Setiap orang yang keluar/masuk wilayah RI tanpa melalui pemeriksaan oleh pejabat Imigrasi di TPI dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,- (lima belasjuta rupiah) Pasal 49
Di pidana dengan pidana perjam paling lama 6 (enain) tahun dan denda paling banyak Rp.30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah). a) Orang asing yang dengan sengaja membuat palsu atau memaslukan visa atau izin keimigrasian, atau
10 UU 9,Tahun 1992, Pasal 1,Ayat 5. 19
b) Orang asing yang dengan sengaja menggunakn visa atau izin keimigrasian palsu atau yang dipalsukan untuk masuk atau berada di wilayah Indonesia. Pasal 52
Orang asing yang izin keimigrasian habis berlaku dan masih berada dalam wilayah Indonesia 60 (enam puluh) liari dari batas waktu izin yang diberikan, di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.25.000.000,Idua puluh limajuta rupiah).
20
2.2 Indonesia di Bidang Domestik
2.2.2 Kebijakan
Kebijakan RI mengenai penerimaan dan penanganan asylum seekers (pada saat
ini diperkirakan lebih dari 500, sebagian besar dari Iraq dan Afglianistan) didasarkan
pada 'Selective Policy'. Kebijakan ini menentukan bahwa hanya orang asing yang bisa menemui kriteria tertentu, bisa memanfaatkan kesejahteraan negara RI.
Selective Policy diekspresikan dengan dua prinsip. Yang pertama, RI tetap tidak menerima prinsip naturalisasi dan yang kedua "Indonesia tidak akan membiarkan
wilayahnya menjadi "processing centre" untuk pengungsi 13 . Atau dalam kata
Soewarna "Indonesia bukan negara pengungsi" ,4
Pendirian ini didasarkan pada pengalaman Pulau Galang (terletak di Kepulauan Riau) tempat penampungan orang Vietnam yang ditutup tahun 1998. Pemerintah
Indonesia sudha berjanji menutup penampungan pengungsi di Timur Barat yang masih menampung 130.000 orang yang melarikan diri dari Timur Loro Sae pada pada bulan September 1999.
Pada bulan Oktober pemerintah RI menolak tawaran Australia untuk memakai
satu pulau Indonesia sebagai processing centre untuk irregular migrants yang di danai
oleh Australia15 . Dikatakan Menteri Kehakiman dan HAM 'negara kita sudah mempunyai banyak masalah, mengapa harus ditambah lagi, mengapa Australia tidak
memakai satu pulau mereka sendiri.' Kalau pulau milik Australia dipakai, tujuan asylum seekers tercapai. Itu menunjukkan sentimen umum dari Departemen Kehakiman
13 Sinabutar, T. Wawancara 19-10-2000, Bagian Masbin Maslugri, Departmen Luar Negeri, Jakarta 4Soewarna, W. Wawancara 7-11-2000, Kanwil Kehakiman dan HAM, Surabaya, Jawa Timur.
21
dan HAM mengenai persoalan asylum seekers, yaitu Departemen yang paling teriibat dalam soal irregular migrants ini, secara operasional.
Sasongko, Direktur Penindakan dan Pengawasan orang asing di Direktorat
Jendral menyatakan 'kita menolak adanya orang orang asing pengungsi WNA karena
kita belum sebagai pihak dari konvensi Wiena 1951 dan Protokolnya 1967 mengenai refugees' . Dia membahas bahwa apa saja yang dilakukan Indonesia untuk pengungsi adalah atas alasan kemanusiaa. Yaitu penanganan pengungsi adalali penanganau yang sesuai dengan sikap pemerintah RI mengenai HAM. Soewamo menyetujui bahwa
'harus ada pendekatan kemanusiaan'. Soewarno membandingkan peran Indonesia yang sampai banyak berkorban untuk orang Vietnam dan Kambodia dengan polisi Malaysia
dan Singapura yang membayar irregular migrants untuk melanjutkan perjalanannya ke luar daerali perairan nasional masing-masing17. Menurut Ridwan walaupun 'ada motif politik bahwa karena kita bagian
masyarakat internasional kita harus menampung mereka. Kita memberikan tempat untuk mereka tanpa melihat motivasi, hanya karena rasa kemanusiaan, itu adalah satu
kebijakan yagn saya fikir cukup bagus'19. Baker mengatakan 'posisinya kita mengikuti ketentuan internasional dan
memang kita belum terikat karena kita belum meratifikasi. Secara umum kita sebagian sudali mengikuti konvensi ituseperti kasus Galang'20.
Baker menambahkan 'tidak semua hukum internasional bisa kita adaptasi. Itukan tergantung negara masing-masing. Masalah pengungsi itu merupakan kontribusi
Australian Federated Press, 'Indonesia rejects Australian Proposal for illegal migrant centre' Jakarta, 23-10-2000.
" Sasonko, H. Wawancara 19-10-2000, Dir Jen Imigrasi, Departmen Kehakiman dan HAM, Jakarta Soewarna Wawancara 7-11-2000, Kanwil Kehakiman dan HAM, Surabaya, Jawa Timur.
19 Ridwan, M. Wawancara 11-10-2000, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya Malang. 20 Bakar, B. Wawancara, 19-10-2000, Departmen Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta.
22
RI kepada dunia internasional bahwa kita peduli dengan masalah pengungsi sendiri.
Pengungsi itukan bukan hal yang dibuat-buat, karena nasibnya seperti itu, datang ke Indonesia, dari negara manapun. Kita mau tidak mau harus menerima mereka, tidak
sekedar "show-off' tapi lebih kepada penghargaan kita kepada HAM dan sebagainya'21. Menurut Siabutar pengulangan kebijakan Pulau Galang tidak mungkin. Oleh
karena kalau kebijakan semacam itu diterapkan pada saat ini, akan mendorong aliran asylum seekers ke Indonesia.
Perubahan kebijakan sejak Pulau Galang, menurut Baker didasarkan
'keterbatasan biaya tempat dan Iain-lain macam.
Selama ini menjadi kendala di
Indonesia betul aktif dalam hal itu, karena itu ada kerjasama IOM dengan harapan akan membantu proses selanjutnya.' 22
Tindakan tindakan prefentatif baru dimajukan untuk menghalaiigi aliran asylum seekers pada saat ini yang masuk ke RI melalui Tempat Pemeriksaan Indonesia di
bandara. Sejak bulan Januari Kedutaan Besar RI di negara Malaysia, Thailand, RRC, Hongkong dan Singapore mengeluarkan visa stiker. Jadi kalau ada yang masuk menggunakan visa cap itu membuktikan ada salah satu sindikat yang mencoba mengusahakan orang masuk dengan visa palsu.
Menurut Sasongko sindikat-sindikat pemah memakai dokumen curang
kemudian ada pasper curang karena penggantian foto pada saat sudah semuanya asli
visanya yang dipalsu. Sasongko mengatakan 'sekarang kalau datang dalam rombongan, terutama dari Afghanistan, karena sekarang nggak tahu negara bagaimana, siapa
pimpinan negaranya, we directly refuse. Atau Iraq, Iran visanya yang benar, paspornya
21 Bakar, B. Wawancara, 19-10-2000, Departmen Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta. Kesulitan pengungsi yang mau menetap di RI danBakar, B. 23
benar tetapi kadang-kadang tidak ada place of issue. Jadi kalau ada satu cacat, satu
misal di paspor, ever a genuine passport, werefuse.''
Budianta2 menjelaskan kalau calon imigran dapat "denied entry" mereka harus pulang dalam sejam memakai penerbangan
yang sama. Kalau tidak, perusaliaan
penerbanganmereka akan didenda US$ 3,000.
Jumlali yang ditolak Ngurah Rai Tahun 20003 Visa Palsu
Jumlah: 38 Januari
Februari
1 Afgan I
Maret
April
Mai Juni Juli
2 Afgan p 2 Iran p
Agustus September
n.a n.a
Oktober
n.a
November
n.a
Desember
n.a
4 Afgan I 7 Afgan I 13 Iran I
4 Iran I
1 Leban I
4 Pakist I
Tabel di atas menunjukkan kadar keberhasilan. Akan tetapi kekurangan data tabel
tersebut juga menunjukkan keadaan mengenai kecenderungan data yang sedang didapatkan di Kantor Imigrasi. Jika kecenderungan yang ditunjukkan di atas akan terusmenerus, itu akan mengakibatkan menindakan aliran asylum seekers dari TPI bandara
ke TPI pelabuhan (dimana pelarihan mengenai kecurangan dokumen belum dilakukan) atau ke tempat keluar/masuk informal (yaitu bukan TPI).
Kebijakan keimigrasian tersebut mengenai asylum seekers dan pengungsi disosialisasikan antar terutama Departemen Luar negeri, Depatermen Kehakiman dan
1Sasongko, H. 2Budianta, Wawancara 22-11-2000, Staf Ngurah Rai, Kantor Imigrasi Ngurah Rai, Bali. 3Djaiot, Wawancara, 22-11-2000, Subseksi Penindakan Orang Asing, Kantor Imigrasi Ngurah Rai, Bali. 24
Hak Asasi Manusia serta Polisi Republik Indonesia. Menurut Bakar, proses sosialisasi
ini 'bersal dari tingkat tertinggi ke tingkat terendah. Hal tersebut dibahas di tingkat teratas , dipelajari ditingkat terendah dan kemudian dikembalikan ke tingkat atas selanjutnya dibicarakan lagi sampai akhirnya dihasilkan suatu keputusan.' Bakar
mengatakan "Hal tersebut bersangkut paut dengan manusia. Kita memang sedang berhadapan atau berurusan dengan individu yang berada dalam situasi berbeda. Namun
pada dasarnya Indonesia tetap merasa bertanggung jawab terhadap para pengungsi. Mereka yang berada di lapangan cukup memahami permasalahan tersebut. Selain itu
mereka juga menyadari
peraturan-peraturan yang sah dan sedang berlaku serta
berusalia menyelesaikan tugas-tugas mereka 'play by the book'.'1 Ketika ditanya mengenai peraturan yang mana digunakan sebagai rujukan, Bakar menjawab bahwa
memang belum ada peraturan tertentu yang menjadi dasar kebijakan, karena 'undang undang atau peraturan pelaksanaan karena dibawah undang undang tidak bisa secara
otomatis'2. Dalam hal ini legislasi harus dibuat terlebili dahulu dan kemudian disampaikan kepada presiden. Peraturan-peraturan kebijakan tersebut akan disampaikan ke lapangan sebagai pedoman operasional, namun harus menunggu terlebih dahulu ratifikasi atau pengesahan dari Refugee Convention Konvensi ini akan diklariflkasikan
dengan peraturan dalam negeri sebelum dilaksanakan sebagai suatu kebijakan. Petugas lapangan tidak memiliki pedoman-pedoman operasional, seperti yang dikemukakan oleh Budiyanto, 'sampai sekarang saya, kita belum mempunyai pedoman operasional'.3 Dengan kesimpulan, kebijakan RI ditetapkan berdasarkan pada negara berdaulat,
'Selective Policy'. Yang dapat dililiatkan pada penolakan RI untuk dijadikan tempat Bakar, B. Wawancara, 19-10-2000, Departmen Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta
^Bakar, B. Wawancara, 19-10-2000, Departmen Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta. Budiayanto, A. Wawancara 16-11-2000, Kepala Subseksi Penindakan Orang Asing, Kantor Imigrasi Denpasar, Bali.
25
processing dan holding untuk asylum seekers dan penolakan prinsip naturalisasi. Akan tetapi kebijakan tersebut sementara diperlembutkan karena alasan kemanusiaan. Aliran
asylum seekers melalui RI pada saat ini sudali menjadi urusan internasional, menjadikan pemenntali RI membolehkan masyarakat internasional dalam bentuk IOM dan UNHCR
membantu menangani permasalahan ini. Akan tetapi dengan sifat sementara kecuali
kalau Indonesia menjadi pihak penandatangan Konvensi Pengungsi.
26
2.2.3 Penerapan Kebijakan
Kantor Imigrasi bernaung di bawah departemen yang telah mengalami perubahan sebanyak tiga kali dalam kurun waktu 12
bulan terakhir ini. Pertama
bernaung di bawah Departemen Keliakiman, Departemen Hukum dan Undang-undang dan kemudian Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Hal ini menunjukkan
adanya kebingungan dalam hal peran dasar dan esensi departemen sehingga sangat berpengaruli pula pada para stafhya.
Posisi departemen kehakiman dan hak asasi manusia (KehakHAM) selanjutnya berada dibawah naungan Departemen Luar negeri (Deparlu). Deparlu dalam hal ini
bekerja sama dengan KehakHAM dalam kaitannya dengan permasalahan pengungsi
internasional . Sebagai indikasi dari hal ini adalah kurangnya infiltrasi informasi yang berkaitan dengan
badan-badan internasional seperti UNHCR dan IOM ketingkat
kantor-kantor KehakHAM provinsi, yaitu koordinator untuk penahanan, pengadilan
dan imigrasi. Deplu nampaknya memiliki hubungan komunikasi langsung dengan Direktorat Jendral Imigrasi. Apakah ini sebagai tanda adanya rasa kurang percaya pihak Deparlu terhadap departemen pendampingnya? Kemampuan keuangan membatasi efektifitas kebijakan. Hal ini dapat dilihat
dalam moneter atau keuangan yang berkaitan dengan tempat karantina para irregular migrants, yaitu tingginya angka deportasi tanpa melalui investigasi padanya pelanggaran undang-undang keimigrasian (bahkan untuk yang terbukti melakukan
pelanggaran) dan penahanan tak pasti untuk mereka yang tidak memiliki sponsor yang membantu mendanai deportasi.
27
Berkaitan dengan masalah keuangan dan karantina, adajali soal dana sebesar
Rp.6000 (Aus $ 1.20) per hari untuk makanan yang ada dalam karantina. Wawan,
kepala keuangan kantor imigrasi Tanjung Perak mengatakan bahwa 'secara logika uang sebesar itu tidak cukup untuk makan sehari'1. Tohadi juga mengatakan bahwa konsulat dari migrant gelap 'tidak pernali membantu memberikan sandang dan pangan bagi
warganya yang terpaksa harus berada dikarantina'.2 Kalau ada orang sakit, biaya pengobatan dan perawatan bagi mereka ditanggung oleh pihak imigrasi dengan menggunakan anggaran yang dimiliki oleh pihak imigrasi. Dengan demikian akan terjadi defisit keuangan di kantor imigrasi. Penghuni karantina Tanjung Perak mengatakan bahwa mereka diberi rokok dan
dapat bermain kartu dengan uang taruhan yang dibayar oleh para karyawan sendiri.3
Oleh karena itu jelaslah bahwa faktor keuangan dapat mengurangi tekanan yang pertama dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari di karantina dan yang kedua dengan pemulangannya ke negara-negara mereka sendiri, terutama jika pihak konsulat mereka
enggan membantu pembiayaan. Bagi mereka yang kewarganegaraannya tidak pasti atau
konsulat yang bersangkutan tidak akan ikut campur, irregular migrant harus menunggu di Karantina sampai pihak imigrasi mampu membayar biaya deportasi baik dengan atau tanpa bantuan IOM.
Jika dijumpai imigran ilegal oleh instansi pemerintah Indonesia, maka imigan tersebut dianggap telah melanggar hukum Indonesia, yaitu hukum keimigrasian,
kriminal dan hukum sipil. Imigran seperti ini selanjutnya akan diproses oleh polisi. Menurut Bab VIII ayat 62, pelanggaran hukum imigrasi terbagi menjadi justisia dan 1Wawan, Wawancara 8-11-2000, Staf Keuangan, Kantor Imigrasi Tanjung Perak, Jawa Timur. Tohadi, Wawancara 7-11-2000, Kepala Penindakan Orang Asing, Kantor Imigrasi Tanjung Perak, Jawa Timur.
Bintimura, Imigran gelap dari Malaysia di Karantina Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur. 28
non-justisia.1 Akan tetapi Indra Kepala Direktorate Jenderal Imigrasi pada bulan Juni mengatakan , 'membawa kasus ini ke meja hijau/pengadilan hanya akan membuangbuang waktu dan uang saja. Cara yang dapat ditempuh
untuk hal tersebut adalali
dengan melakukan deportasi dan pencegahan. Hal ini jauh lebih praktis'2. Pengadilan Negeri Malang, Pengadilan Negeri Niaga Surabaya kelas I, dan
Pengadilan negeri Gresik tidak memiliki catatan mengenai kasus pelanggaran imigrasi yang bertentangan dengan UU 9/1992. Kepala bagian hukum kriminal di Surabaya
mengatakan, 'kita juga mengalami kebingungan mengapa anda tidak merubah topic anda menjadi, 'mengapa orang asing yang melanggar hukum imigrasi tidak duduk di
kursi pengadilan?'"3 Hal ini bukan berarti tidak ada migrant tak teratur yang tertangkap di Surabaya. Contoh, di bulan February 1999, 57 migrant gelap ditangkap oleh kantor imigrasi Tanjung Perak, karena mengalami kerusakan kapal. Terpaksa pihak imigrasi harus memberikan makan dan minuman selama berada di pelabuhan sebelum mereka
diijinkan melanjutkan perjalannya ke Australia4. Contoh kedua: pada awal Oktober 2000, 30 migrant gelap memasuki propinsi kepulauan Riau (tanpa pasport resmi). Pihak imigrasi memutuskan untuk mendeportasi mereka akan tetapi mereka melakukan
pemogokkan makan sampai ditemukan oleh UNHCR. Menurut kepala imigrasi Tanjung
Pinang, Riau Bapak Hari Murti, prosedur tersebut di iuar kelazrnian'5. Kesimpulannya, sejumlah permasalahan memang perlu dijelaskan. Pertama, Kantor Imigrasi perlu diberi peran yang lebih tegas bebas dari campur tangan instansi
instansi pemerintah lain. Yaitu bahwa Departemen Luar Negeri seharusnya
Pelanggaran yang terbukti secara hukum dan tidak terbukti secara hukum.
2www,pikiran-rakvat.com. Lima Imigran Gelap Segera DiadW, 21-6-2000.
3Artiningsih, S. Wawancara 11-11-2000, Kepala Bagian Pidana Pengadilan Negeri Niaga Surabaya. 4Surabaya Pos, Pengusiran Imigran Gelap Cina tunggu Imigrasi, 6-2-1999. 5Indonesian Observer, Illegal Foreign Nationals enter Riau Province. 9-10-2000 dan Kompas, UNHCR tangani Imigran Iraq dan Afghanistan, 12-10-2000. 29
mengkomunikasikan secara lebih efektif pertimbangan-pertimbangan kebijakan dengan
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (perlu ditingkatkan) dan mencegah kantor imigrasi dari urusan birokratis dan akan melibatkan Imigrasi secara politis dalam urusan urusan yang im menghadapi di lapangan.
Kedua, anggaran keuangan untuk Departement Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia perlu ditingkatkan. Peningkataii ini seharusnya disertai pula dengan pembagian yang substansial untuk meningkatkan profesionalisme staff dan pelatihan
dalam rangka menghadapi tantangan-tantangan baru dalam perannya di departemen. Kantor imigrasi seharusnya berpartisipasi dalam proses informasi vertikal dan
horizontal, yaitu dengan melakukan pertukaran pengalaman antar distrik atau provinsi
dan juga berusaha memastikan semaksimal mungkin bahwa kebijakan-kebijakan yang ada dapat sampai di tingkat operasional.
30
3.1 BADAN BADAN INTERNASIONAL
1.1 International Organisation for Migration (IOM)
1.2 United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)
31
3.1 International Organisation for Migration (IOM)
3.1.1 Peran dalam Sistem Sekarang
Indonesia Counter-Trafficking Project yang dimulai pada bulan Februari 2000
dan direncanakan selama satutaliun, bertujuan untuk membantu pemerintah Indonesia mengambil 'langkah yang konkrit dan efektifuntuk memecalikan jaringan penyelundupang orang yang sedang transit di Indonesia di antar beberapa negaraasal
Timur tengah dan Asia dengan negara tujuannya Australia.'' Sasaran dari proyek ini ada tiga: a) mengikat insentifdan kapasitas pegawai setempat Indonesia untuk melaksanakan secara lebih efektifhukum Keimigrasian Indonesia. Yaitu, utuk
memenulii kekurangan sumber penghasilan yang jadi alasan utama untuk tindakan pasif mengenai penyelundupan orang; b) dengan sistem 'effective action' menjamin semua asylum seekers dibawa kepada UNHCR; dan c) menawarkan voluntary return assistance (pengusiran secara sukarela) kepada irregular migrants yang tidak dapatstatus
pengungsi dari UNHCR.1 Imigrasi dan polisi Indonesia dan Australia keduanya adalah mitra dalam
pelaksanakan IOM untuk memperkuat Regional Cooperative Model mengenai people trafficking melalui RI. Pada akhirnya hasil yang diharapkan olehsetiap segi dan untuk alasan masing masing adalah berkurangnya jumlah irregular migrants yangditrafiked lewat RI.
Pemerintah RI dan IOM padatanggal 11 Oktober 2000, menandatangani Memorandum of Understanding (MOU) yang memberikan mandat kepada IOM. 1IOM in the ASEAN, Indonesia, IOM p2 32
Walaupun IOM sudah ada di RI sejak bulan Januari 2000, itu masih dalam 'taliap
embryonic'.2 IOM adalali organisasi utama untuk bertanya tentang irregular migrants di Rl.
Itu dipendidikan secara operasional dalam mengadapi asylum seekers sekaranag lebih dari 500, dan yang ada di seluruh nusa tenggara RI. Mayoritas asylum seekers yang sedang ditalian di Indonesia berasal dari Iraq, Iran dan Afghanistan. Sasaran IOM adalali untuk menghentikan trafficking akan tetapi dengan
kesadara baliwamigran adalah korban. Tujuan akhir adalah kepulangan secara sukarela
dari irregularmigranyang bukan asylum seeker. IOM mau menjelaskan kepada polisi dan Imigrasi Indonesia bahwa walaupun irregular migrants melanggar hukum keimigrasian, dalam banyak kasus itu terjadi baliwamigran adalali korban juga. Getchell mengatakan 'orang senang ditangani bukan sebagai penjaliat tetapi manusiayang perlu dibantu. Mereka benar-benarmenghargaiitu. Itu adalah kesabaran
menderitamanusia. Seharusnyaada yang menyeimbangkan pihak pelaksanaanundang
undang'.1
3.1.2 Opini opini mengenai Sistem Sekarang
Sebelum IOM masuk proses, atau lebihtepat, dana IOM masuk proses, penangananirregular migrants dilakukan yang berkenaan pelanggaran hukum
keimigrasian. Kekosongan kerangkahukum dan kebijakan mengenai penanganan asylum seekersdan pemulangan sukarelaberarti hal hal ini di luar yurisdiksi yang
berkuasa Indonesia dan jadi di luar perhatiannya. The Regional Cooperative Modelon ' IOM in the ASEAN, Indonesia, IOM p2 2Getchell.M. Wawancara 18-10-2000, Kantor IOM, Jakarta Jakarta ntor IOM, 33
Irregular Migrants dibentuk untuk memfokus perhatian kepada kebutuhan untuk
memelihara hak asasi manusia migran di negara asal, transit dan tujuannya. IOM mengakui baliwa 'instansi setempat tidak mampu, tidak mempunyai
kemauan atau keinginan untuk memelihara 150 orang yang tiba-tiba datang di ambang pintunya' dan dengan demikian itu menjadi mudah untuk penyelundup mendesak 'anda
tidak mampu, tidak banya anda bisa lakukan jadi lihat ke arah lain dan mendapat
bayaran.'2 Getchell menambalikan 'perbuatan ini bisa dipahami karena pegawai pegawai tidak adajalur lain.'
Perbuatan semacam tersebut masih belum berhenti dan IOM tidak mau
menghadapi ini, akan tetapi menawarkan satu solusi altematifkepada pegawai pegawai yang teriibat. Supaya IOM akan dianggap tetap netral itu harus hati hati mengenai soal
pelaksanaan undang undang. Ketidakgiatan IOM mengenai perbuatan korupt ini dan yang pada dasamya ada pelanggaran HAM diberikan alasan oleh Getchell. Yaitu, IOM
masih dalam 'taliap memperkuat kepercayaan. Kedaulatan Indonesia seharusnya 100%. Kami ada di sini untuk membantu mereka. Kalau mereka bisa lihat ini tidak akan
menjadi keberatan dan mereka bisa mendapat dana juga, itu bukan masalah. Untuk
orang Australia yang mendanai program kami ini bukan persoalan.' Rupanya posisi ini
sulit diikuti untuk organisai IOM yang menurut Direktor Jenderalnya, Kinley 'mempunyai panggilan hidup untuk mempertinggi perasaan gengsi migran dan membantu mereka mencari hidup lebih baik.'1
IOM juga ditekan dalam bidang lain, yaitu mengenai pemeliharaan irregular
migrants yang sedang ditahan. Baik pegawai Indonesia maupun orang biasa mempertanyakan logika kadar pemeliharaan orang asing pada saat anak masyarakat 1Getchell,M. Wawancara 18-10-2000, Kantor IOM, Jakarta 2GelcheJl,M. Interview 18-10-2000, IOM Office, Jakarta. 34
sendiri tidak dapat dukungan kesejaliteraan setinggi yang diberikan orang asing. Misalnya Sinabutar menunjukkan 'sedangkan kita sendiri sudah mengalami krisis
ekonomi. Kita sendiri, rakyat kita sudah menderita kekurangan.'2 Sasongko mengkhwatirkan 'mulai April atau Mei, jumlalinya masih sedikit, sekarang jumlahnya sudah mendekati 600. Yang menjadi asylum seekers memang baru sedikit mungkin bertahun-tahun terpengaruh kok kalau asylum seekers biasanya dikasih first klas.'3 Bagaimana IOM akan menimbangkan atau menanggulang persoalan ini? IOM akan
memastikan baliwa 'persepsi ini sulit tercapai4'. Yaim irregular migrants mendapat penanganan yang sama didapati orang Indonesia yang ditahankan. Tetapi persepsi
ketidakadilan sosial akan timbul dan menetap kalau asylum seekers dikasih perawatan
kesehatan, susu bubuk untuk bayinya dan kebebasan bergerakan. Sebagai contoh, pada tanggal 5 Mei 2000,134 migran Iraq dan Iran diancam oleh orang Indonesia setempat yang bersenjata parang di Selong, Lombok Timur. Kemarahan ditimbulkan karena
laporan bahwa migran main main sama perempuan setempat5. Menurut Getchell 'kebutulian dasar akan selalu lebih tinggi daripada yang didapatkan olehorang termiskin.' Apakah pembenaran inimasih berlaku di Indonesia
di mana 25 jutajiwadianggap hidup dibawah garis kemiskinan absolut6?
Bagaimanapun penahanan bbukan solusi akhir akan tetapi gangguan kepada aliran orang orang tertentu. Penahanan bersama dengan masa menunggu proses pengakuan
pengungsi yang lama telah menjadi simbol kepada penyelundup mengenai pengurangan kelangsungan hidup Indonesia sebagai negara transit.
McKinley, B. Humanitarian Action in the New Century, IOM ServiceAreas, 15-2-2000.
2Sinabutar, TWawancara 19-10-2000 Departmen Luar Negeri, Jakarta •' Sasongko, H. Wawancara 19-10-2000, Dirjen Imigrasi, Jakarta
4Getchell,M. Wawancara 18-10-2000, IOM Office, Jakarta Lorn, C. Indonesia asks IOMforhelp with irregular migrants IOM News, September 2000 p3. Sudarsono 'Human Rights the Indonesian view' Indonesian observer, 11-9-1997. 35
Akan tetapi, apakali pesan ini sudah dikorupsi oleh kenyataan bahwa hampir 100% asylum seekers dari Iraq dapat status pengungsi dari UNHCR? Ini berarti bahwa 'mereka bisa sampai di sana (Australia) naik pesawat terbang. Mereka tidak harus
menjalani perjalanan penuh baliaya ke Australia untuk diakui sebagai pengungsi.'1 Masa menunggu yang lama untuk asylum seekers berarti mereka akan memikirkan
kesempatan lain mereka. Yaitu, tidak mengenai IOM disponsori resettlement
(perpindahan tempat) di negara ketiga akan tetapi mengenai kemungkinan mereka bisa memilih dan memaksa penerimaan mereka dari negara pemilihannya. Menurut
Getchell, 'Indonesia sedang mempunyai populasi pengungsi yang tidak bisa
dipindalikan, yang tidak mau diterima.' Dia melanjutkan 'orang akan berpikir, saya mempunyai dokumen saya yang membuktikan saya adalali pengungsi. Status saya
didasarkan pada sejarah dan negara saya dan kalau saya datang di Australia status saya akan tetap sama. Saya pengungsi dan tidak bisa pulang. Kalau saya naik perahu dan
sampai Australia apakah yang akan terjadi? Australia tidak bisa mengembalikan saya ke Indonesia.'2
Pada pertenggahan tahun ini Detikcom melaporkan kedatangan 92 orang Iraq
dan Afghanistan di Pandeglang, Jawa Barat, dengan dokumen identitasnya lengkap, termasuk pengakuan pengungsi. Menurut Sasongko hal ini adalah persoalan baru, 'ada
asylum seekers yang sudah sebagai refugees, sudah memegang surat sebagai refugee
sebelum masuk di Indonesia. Ada yang dikeluarkan di Islamabad, itu belum tentu juga lama, tetapi kalau ada aliran, dia ikut 'saya sudah refugee'. Ini membikin keadaan
1Getchell,M. Wawancara 18-10-2000, IOM Office, Jakarta 2Getchell.M. Wawancara 18-10-2000, IOM Office, Jakarta 36
lebih sulit lagi.'1 Pembuktian mengenai mobilitas orang asylum seekers diakuit sebagai pengungsi menjadikan ramalan Getchell lebih mungkin.
Disamping ini, asylum seekers dan pengungsi di Jakarta ditampung di Jalan Jaksa, Jakarta pusat. Daerah ini terkenal untuk kegiatan pidana. McDonalds Jalan
Thamrin sudah dijadikan tempat pertemuan untuk orang Timur Tengah sama orang orang kriminal. Menurut sumber tertentu dokumen perjalann curang bisa diuruskan di situ(termasuk paspor dan visa). Dengan demikian ada banyak tekanan atas IOM dan
Regional Cooperative Modelnya khususnya karena adaperkiraan 3000asylum seekers
sedang adadi wilayah dan menunggu berangkat keAustralia atau menunggu dan melihat proses pengakuanpengungsi UNHCR.
3.13
Sosialisasi peran IOM
Hukum keimigrasian RItetap menolak irregular migrants (termasuk asylum seekers). Untuk sementara kebijakan ini diperlembutkan karena alasan kemanusiaan
sedangkan IOMdan UNHCR menangani aliran padasaatini.
Mengenai peran IOM, Sasongko mengatakan 'IOM menjanjikan itu dalam
waktu dekat akan diselesaikan'. Yatiu hukum keimigrasian masih berlaku, irregular
migrants masih pelanggar akan tetapi penanganan mereka dikontekskan dalam tujuan IOM dan UNHCR. Ini tergantung pada sosialisasikan tujuan badan badan tersebut
sampai tingkat operasional supaya pegawai bisa mencocokan tindakannya sama piagam
baru. Perdebatan biasa adalah walaupun ada kekosongan hukum dan kebijakan mengenai piagam baru ini, Indonesia belum dalam posisi untuk menciptakan yang baru.
1l Sasongko, H. Wawancara 19-10-2000, Dirjen Imigrasi, Jakarta 37
Mengapa? Karena RI belum menjadi pihak penanda tangan Konvensi Pengungsi. Dengan demikian, kalau pemerintah RI tidak mau membuat kepastian, IOM dan UNHCR harus mendidik pegawai Imigrasi tentang alasan untuk perubahan atau perlembutan kebijakan imigrasi.
Mengenai peran IOM dan mensosialisasikan pada tingkat operasional, itutidak cukup untuk Sasongko menargumen bahwa: a) asylum seekers sudali taliu untuk
menghubungi IOM atau UNHCR; b) imigrasi sudali tahu untuk menghubungi IOM
karena ada kedatangan 'rombongan'; c) kedatangan orang asing akan sampai perhatian karena itu akan dilaporkan kepada Dirjen sebagai kelainan Keimigrasian. Yang Sasongko diperdepatkan adalali kehadiran IOM hanya perlu
disosialisasikan pada tingkat tinggi karena semua kelainan keimigrasian akan ditangani oleh Directorate Jenderal. Pendirian ini tidak mengakui kemungkinan pegawai teriibat dalam trafficking karena kekurangan anggaran untuk menyelesaikan permasalahan pendatangan irregular migrants dalam cara lain.
Dapat dimengerti adanya kesimpangsiuran di lapangan oleh karena pejabat
pejabat imigrasi diharapkan menangani irregular migrants tanpa kerangka hukum atau
kebijakan. Sebagaimanapun digambar oleh Budiyanto 'Sebelum sekarang, saya, kita
tidak mempunyai pedoman.'*Jadi IOM ditempatkan sebagai sambungan antara pegawai tingkat tinggi dan pejabat di lapangan.
Ada pendekatan sosialisasi dari atas sampai kebawah, yang secara teorie
ditembangkan oleh hubungan lapangan dengan IOM di lapangan. Pendekatan ini
menagsumsikan bahwa; a) IOM dihubungi kalau ada pendetangan irregular migrants dan b) kehadiran IOM penuh dengan arti.
Budiyanto,A. Wawancara 16-11-2000, Kantor imigrasi Denpasar, Bali. 38
Dari penelitian di bidang Imigrasi Jawa Timur dan Bali, sosialisasi mengenai peran IOM belum disampaikan ke tingkat operasional atau keterlibatan IOM
diakibatkan kebingungan dan perselisihan mengenai hukum.
Dari semua Kantor Imigrasi yang diteliti di Jawa Timur, yaitu Kantor Imigrasi
Malang, Surabaya dan Tanjung Perak, tidak ada satu yang mempunyai hubungan dengan atau pernah niendengar mengenai IOM. Kantor Wilayah Kehakiman dan HAM
di Surabaya pernah ada anggota stafhya, Djohan Karimudin, mengikuti Seminar IOM mengenai Regional Cooperative Model. Bagaimanapun, Karimudin sudah ditransfer
dan hasil atau keterangan tidak dapat diserahkan kepada anggota staf lain atau Kepala Bidangnya. Bidang Imigrasi menurut Soewarna, 'mungkin tidak pernah ada
pertimbangan pada tingkat tinggi mengenai IOM'.1 Dalam kata lain, belum ada pada tingkat propinsi.
Tohadi pada waktu diberitahu peran IOM mengatakan 'mungkin MOU dengan IOMbelumdirealisasikan'. Dan menurutnya keterlibatan IOM adalah 'satu jalan keluar yangterbaik. Khususnya untuk warganegara Afrika Barat yang adaratusan di
Karantina Kalideres, Jakarta.'2 Yaitu IOM bisa memberikan keterbatasan waktu untuk yang ditahankan.
Iskandar mengatakan bahwa bantuan keuangar semacam yang ditawarkan IOM
dibutuhkan oleh Imigrasi. Mengenai masalah biaya 'kita sedang mengalami kesulitan. Anggaran Imigrasi untuk Karantina itu juga sangat terbatas, kita cumanadaanggaran
untukmemberi makanan selama mereka ada di Karantina. Itupun makanan yang sangat sederhana. Untuk membawa dia ke Kanwil Surabaya atau ke Jakarta imigrasi agak kekritisan masalah dana itu, dan selama ini kita tidak terima bantuan dari mana mana.'
1Soewarna, Wawancara, 7-11-2000, Bidang Imigrasi, Kanwil Kehakiman dan HAM, Jawa Timur.
2Tohadi, Wawancara 7-11-2000, Kantor Imigrasi Tanjung Perak, Surabaya
39
Pennasalahan pemulangan ditangani Directorate Jenderal akan tetapi menurut Iskandar, 'saya rasa dengan kita yang membutuh itu, masihrasa dengan sifat untuk membantu
pemulangan kita pasti menerima. Kita membutuhkan bantuan.'' Keterbatasan anggaran mengenai Karantina dan pemulangan adalah alasan
alasan utama untuk melibatkan IOM dalam proses penanganan irregular migrants.
'Apakah IOM PBB juga?'2, 'Belum pernah dengar saya'3 atau 'Dari mana
organisasi itu?4' menunjukkan kekurangan kesadaraan peran IOM di Jawa Timur. Akan tetapi keinginan untukbelajar tentang peran IOM ada dan kemauan untuk mendapat bantuan IOM (baik keuangan maupun kealilian) ada juga. Hasil hasil ini melawan pernyataan Sasongko bahwasosialisasi proses penanganan asylum seekers dan
keterlibatan IOM sudah masuk ke lapangan.
Mengenai apakah kehadiran IOM penuh dengan arti, kekurangan informasi yang didepatkan pada tingkat operasional mengakibatkan pengetaliuan pegawai Imigrasi mengenai IOM didasarkan pada pengalaman dengan IOM di lapangan. Khususnya
kalau IOM dianggap mitra UNHCR yang bisa memberikan keputusan mengenai langkah lanjut untuk asylum seekers yang dikarantinakan.
Petugan lapangan IOM, Yong Lai Kong ada dalam keadaan sulit. Sepuluh
asylum seekers ditempatkan di Karantina Denpasar dan pernah dikunjungi UNHCR
sekali dalam empat bulan terakhir. Harapan semua baik dari asylum seekers maupun pegawai imigrasi difokuskan kepadanya. Perasaan fhistrasi pegawai imigrasi dengan keadaan saat ini bisa dilihat dengan sikap sikap mereka terhadap pekerjaan IOM.
1Iskandar, Wawancara, 3-11-2000, Kantor Imigrasi Malang. 2Iskandar, Wawancara, 3-11-2000, Kantor Imigrasi Malang 3Maksikumbo, H. Wawancara 4-11-2000, Kantor Imigrasi Surabaya. 4Tohadi, Wawancara 3-11-2000, Kantor Imigrasi Tanjung Perak. 40
Abdurachim, Kepala Pendindakan dan Pengawasan Orang Asing, Kantor Imigrasi Denpasar merasa 'pusing' mengenai permasalalian asylum seekers. Dia masih
menghwatir tentang masalah biaya. Walaupun Imigrasi harus meinbayar dulu dan
meinerima pembayaran kembali dari IOM, menurut Abdurachim sistem ini kurang lancar. Budiyanto mencurigai tujuan dan motif IOM, 'kitatidak pernah menghubungi IOM. Awalnya kita tidak peniah liubungi, ternyata mereka sudah tahu. Kita nggak tahu
mereka datang dari mana, tahu dari mana... dan itu sebelum UNHCR datang.'1 Menurut pendapat Budiyanto, walaupun IOM mempunyai MOU dengan pemerintah
Indonesia, itu hanya karena negara Indonesia terpaksa. Yaitu jika IOM tidak menangani asylum seekers yang datang di Indonesia tidak ada lain yang mampu (termasuk
pemerintah RI). Pendapatnya mengenai pernyataan dukungan Australia sangat negatif. Pihak Imigrasi Denpasar menyesalkan sikap Australia yang kurang reaktifterhadap
penanganan irregular migrants dengan alasan 'urusan dalam negeri'2. Australia mensponsori program IOM di Indonesia dan dengan demikian IOM tidak dianggap organisasi netral dari pengaruh pengaruh politik.
Dalam kata singkat Budiuanto juga 'pusing' dengan keadaan saat ini dan
merasakan dia harus mencari solusi dan menangani permasalahan yang di luar
trainingnya. Imigrasi Denpasar baru sekali menangani asylum seekers dengan bantuan IOM dan UNHCR.
Pada saat ini IOM sedang mengurus lebih dari 500orang, yaitu menurut
Getchell, '500 orang lebih daripada tahun yang lalu, yang mungkin sudah sampai
Australia atau lebih parah lagi yaitu tenggelam.'3 Mungkin sukses IOM bisa dipahami
1Budiyanto, Wawancara 16-11-2000, Kantor Imigrasi Denpasar, Bali. Juga diakui di Kupang, Kompas, Australia kurang reaktifatasImigran Gelap, 28-6-2000.
3Getchell,M. Wawancara 18-10-2000, IOM Office, Jakarta 41
dalam kerangka memuaskan permintaan. Sebagaimanapun dikatakan Loin, 'dipandang dari segi keterlibatan IOM dalam proses tidak ada masalah'' yaitu ada kebutulian.
1Lom,C. Wawancara 18-10-2000, IOM Office, Jakarta 42
3.2 United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) in the Republic of Indonesia
3.2.1
Peran dalam Sistem Sekarang
UNHCR mempunyai mandat untuk menjamin pengungsi dilihara di negara suakanya dan membantu pemerintali terkait untuk mencapai tujuan itu. UNHCR bukan
dan tidak menghendaki organisasi supra-nasional dan jadi tidak bisamenggantikan
pemeliharaan negara terkait1. Indonesia belum menjadi pihak penanda tangan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa mengenai Status Pengungsi 1951 dan Protokolnya 1967 (Konvensi Pengungsi). Pemerintah Republik Indonesia (RI) meminta UNHCR mengurus pengakuan status
pengungsi untuk asylum seekers. Untuk para migran yang tidak dapat status pengungsi mereka bisa dianggap migran gelap dan akan deportasi. Dalam keadaan saat ini di RI, pemulangan migran gelap atau irregular migrants tergantung adakemampuan dan
kemauan perwakilannya orang asing ituatau IOM. UNHCR jugamenpromosikan hukum pengungsian dan hak asasi manusia.
Pengungsi menurut Konvensi Pengungsi adalah:
Seorang yangkarena perasaan ketakutan yang cukup beralasan, akan
disiksa karena alasan asalan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok sosial tertentu atau opini politik dan yang adadi luarnegara asalnya dan tidak
bisa atau karena perasaan ketakutan itu, tidak mau memintah proteksi kepada negara asal itu.
UNHCR, Who is a refugee, Information sheet. 43
Pada akhir bulan Juni 1999, UNHCR bermandat mengurus 162,500 pengungsi
dan 20 asylum seekers di RI. (Ini termasuk 10,000 orang Timor-Timur yang ada di RI sebelum krisis bulan Agustus 1999). Jumlah yang datang secara spontan dan yang
mendapat status pengunsi secara 'prima facie' adalali 280,000 dan kasus yang dikajikan sendiri sendiri adalali 80. 127,500 dipulangkan (UNHCR membantu 85,000) dan 20
dipindalikan tempat (resettled). Dengan demikian jumlali pengungsi meningkat dari 50 sampai 162,500 (yang dibantu UNHCR adalali 153,000). Pada akhir bulan Juni ada 60 kasus asylum seekers yang belum diputuskan. 90
kasus baru diajukan pada tahun 1999 dan 20 diputuskan dan 90 ditutupkan. Ini berarti ada 140 keputusan dicapai untu tahun 1999. Ada 20 kasus yang belum diputuskan dan
persentase asylum seekers yang diakui sebagai pengungsi adalah 51.2%.' Pada bulan November ada 273 pengungsi di Rl dan lebih dari 500 asylum
seekers. Dari angkat angkat diatas bisa dilihat baliwa UNHCR harus meningkat
kecepatan determinasi status2. Resettlement dan voluntary repatriation adalali dua pilihan yang bisa diambil pengungsi. Integrasi setempat tidak belaku di RI karena pemerintali Indonesia belum menjadi pesertapenanda tangan Konvensi Pengungsi.
3.2.2 Opini opini mengenai Sistem Sekarang Tujuan pokok UNHCR adalah untuk menjamin negara sadar tentang dan mengambil tindakan sesuai dengan kewajiban mereka untuk memelihara pengungi dan
1UNHCR, Statistical Data 1999, Geneva 2000. 2Yuwono, E. Wawancara 24-10-2000, Kantor Caritas, Jakarta 44
asylum seekers. Negara tidak boleh memaksa pulang atau 'refoule' pengungsi kepada teritori di mana menghadapi kebaliayaan: pasal 33 Konvensi Pengungsi. UNHCR tidak bisa melegalisasikan kehadiran pengungsi atau asylum seekers di RI. Berarti pengungsi dan asylum seekers tidak mempunyai status hukum atau identitas di Indonesia. UNHCR bisa mengeluarkan pengesahan status pengungsi atau asylum seeker akan tetapi dokumen ini tidak bisa menjamin kebebasan dari liukuman mengenai penahanan.
Negara yang pihak Konvensi harus memastikan pengungsi mendapat hak hak yang sama dengan orang asal Indonesia. Bagaimanapun di Indonesia sebagai negara
berkembang hal ini lebih cenderung kepada hak yang berlebih lebihan kepada asylum seekers dan pengungsi. Caritas Indonesia, organisasi pelaksanaan UNHCR, memberikan Rp 516,000 sepengungsi sebulan. Caritas membayar untuk sekolah dasar anak pengungsi dan
kadang kadang untuk pendidikan kejuruan. Hanane Ahmad datang di Indonesia pada tahun 1997. Dia masih menunggu perpindahan tempat ke negaraketiga dan baru minta bantuan Caritas untu mendaftarkan diri di sekolah bahasa asing. Dia melarikan diri dari
Algiers dengan umur 21 padawaktu dia belajarSastra Arabika di Universitas. Pelajaran Bahasa Inggris ini menurutnya berguna mempersiapkan dia untuk masa depannya
maupun menghentikan perasaan kebosanan1. Caritas Indonesia bertanggungjawab untuk memberikan nasihat kepada pengungsi dan asylum seekers. Menurut Yuwono, 'sebenarnya kami berencana untuk
merekruit orang untuk menangani orang yang stres dan tertekan psikologisnya, tetapi adakesulitannyajuga. Psikologis di Indonesia pada umumnya perempuan. Pengungsi
1Ahmad, Hanane, Wawancara 24-10-2000, Caritas, Jakarta. 45
itu agak keras dan kami khwatir, orang arab itu terkenal budaya seksnya. Jadi kami
mencari lelaki untuk menjadi psikologist.'' Sedangkan pada akhir bulan Oktober ada rombongan 10 orang asylum seekers yang haruscek-in sendiri ke rumah sakit untuk
penangan psikologis2. Pengungsi juga mendapat perawatan medis minimal dari Palang Merah Indonesia.
UNHCR mengajurkan pemerintah pemerintali mengadopsi proses determinasi pengungsi yang fleksibel, liberal dan cepat dan yang mengakui kesulitan untuk
membuktikan penyiksaan. Mohana Hadan Al Musawi3 melarikan diri dari Iraq sepuluh taliun yang lalu. Diadi Iran selama sembilan tahun dan anggota Organisasi Penolakan Saddam Hussein. Dia sudah menunggu 8 bulan di Indonesia sebelum UNHCR
mengakui dia sebagai pengungsi. Dengan demikian dia kurang entusias mengenai masa
menunggu 2 sampai 3 tahun4 yang biasa sebelum resettlement. Dia sudah mencoba sampai Australia padatiga kali terpisah dan sampai saat ini belum memikir itu suatu
jalan buntu untuk dia(walaupun dia pengungsi). Diamenghubungi UNHCR setelah uangnya habis.
UNHCR memutuskan status pengungsi melalui wawancara berinci. Pertamanya
UNHCR harus diberitahu ada asylum seeker. Seperti didiskusikan diatas, ini tergantung pada IOM adan tetapi khususnya kepada Imigrasi Indonesia. Orang dikarantinakan ada 'di luar tanggung jawabnya Caritas'. Menurut Informasi UNHCR yang diberikan kepada asylum seekers sesudah mereka didaftar, 'kalau Anda sedangdi tempat tahanan, Anda masih bisa minta status pengungsi. Dapat menghubungi UNHCR lewat faksimile
1Yuwono, Wawancara, 24-10-2000, Caritas, Jakarta
2Djoko, 26-10-2000, lapangan Caritas, Jakarta. 3Mohana Hadan Al-Musawi, Wawancara 22-10-2000, Jalan Jaksa, Jakarta. 4Ada pengungsi yang sudah menunggu 10 tahun - Yuwono, Caritas. 46
atau surat untuk mendaftarkan diri. UNHCR akan mengorganisir wawancara.'
Prosedur tersebut menunjukkan kebutulian untuktraining dan sosialisasi penanganan asylum seekers pada tingkat operasional.
Menurut Candler, mengenai apakah 'refoulemen' pernah terjadi:
'Kita belum mendapat laporan mengenai itu. Itu tidak berarti itu belum terjadi
di sesuatu tempat, di sesuatu saat. Kita tidak mendengar. Di Jakarta orang memang sadar mengenai persoalan pengungsi dan mereka akan menghubungi kami kalau ada seorang yang mengatakan merekatidak bisa pulang karena alasan perasaan ketakutan
hidupnya. Pegawai pegawai Imigrasi di Jakarta, Denpasar dan tempat pokokjalur aliran asylum seekers memang sadar. Akantetapi di tempat lain mereka tidak menghormati
refoulemen... Kami maumentrain orang di tingkat wilayah. Kepala DirJen Imigrasi sudah dipendidik mengenai pengungsi dan dip mengatakan bahwa dia siap untuk
mendukung training. Itu tanda tanda bagus.'' Yang menariktentang kutipan diatas adalah implikasibaliwa UNHCR
menghadapi persoalan pengungsi sendiri dan Imigrasi Indonesia adalah alat yang enggan saja. Asumpsi ini tidak benar. Imigrasi Indonesia sudah menjelaskan keinginan untukmenjadi mitra yangaktif dan sudah meminta penjelasan kebijakan dan pedoman. Imigrasi Indonesia mau dianggap mitraaktif dalam penanganan asylum seekers.
3.2J
Konvensi Pengungsi
Pemerintah Republik Indonesia sedang mengkajikan bagaiman mereka
menerapkan Konvensi Pengungsi ke Indonesia. Menurut Bakar, 'ada beberapa poin
1Candler, Wawancara 20-10-2000, UNHCR, Jakarta. 47
poin menurut kondisi di Indonesia yang masih belum bisa dipenuhi. Itu perlu dibahaskan oleh instansi instansi terkait, Departmen Luar Negeri dan Departmen Kehakiman dan HAM. Jadi tentunya akan memakan waktu, pokoknya secepatnya, kita
menjadi pihak dari Konvensi itu.'1 Meratifikas akan menjelaskan pendirian pemerintah Republik Indonesia terhadap asylum seekersdan inembentuk piagam keimigrasian baru. Konvensi
Pengungsi dan mslrumennya akan mendapatkan kerangka hukum dan kebijakan yang mudah diadopsi dan diadapsi oleh pemerintah RI.
1Bakar, B. Wawancara, 19-10-2000, Departmen Luar Negeri, Jakarta. 48
4. ASYLUM SEEKERS:
Studi Kasus Di Denpasar, Bali.
'Karena PBB adalah perwakilan dunia, maka mereka harus menerima kami,
mereka memerlukan semua orang, memerlukan orang miskin sekalipun,
korban perang.,l
Seperti pendapatnya asylum seekers lain yang tinggal di Karantina Imigrasi Denpasar, Daud telah melakukan perjalanan cukup jauli dan penuh resiko untuk
memikirkan tentang kemungkinan dia tidak akan mendapat status sebagai pengungsi oleh Komisi tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR).
Daud yang menyebut dirinya sebagai 'komandan' merupakan seorang warganegara Afghanistan yang berjuang untuk The United Front. Afghanistan yang diproklamasikan oleh pemerintahan Islam konservatif Taliban sebagai Islamic Emirate
of Afghanistan sejak Oktober 97 terletak diantara sub kontinen India, AsiaTengah dan negara negara Timur Tengah. Opposisi pemerintah Taliban 'the seekers' adalah United
Islamic Front for the Salvation of Afghanistan (UIFSA) yang dipimpin oleh B. Rabbani sebagai president. United Front (Fron Bersatu) ini berpusat di Mazar-i-Sharif sebelum
diambil alih oleh Taliban pada Juni 1998. Peristiwa ini menjadi perhatian utama dalam hal hak asasi manusia di Afganistan. Laporan yang dipublikasikan pada Januari 1999 mengatakan bahwa 'Afganistan merupakan salah satu contoh dari bencana hak asasi
manusia paling parah di dunia pada taliun 1998'2. 1Daud, Wawancara 18-11-2000, Denpasar Karantina Kantor Imigrasi Denpasar, Bali. 2Human Rights Watch: Afghanistan, Annual Country Reports, 19.99. 49
Isteri Daud beserta ke enam anaknya , tertua berusia 17 taliun, berada di tempat persembunyian ketika saudaranya yang juga komandan United Front ditangkap dan di bunuh oleh Taliban. Taliban yang didominasi oleh Sunni Pashtuns (kelompok emis terbesar, 40 persen dari jumlali populasi) mempelopori "Revolusi Islam" dan memproklamasikan bahwa Afganistan seharusnya dapat ditegakkan kembali melalui Syariat (hukum Islam).
Daud telali berada di Karantina Imigrasi Denpasar sejak ditangkap di Bali pada tanggal 14 Juni. Sejak saat itu dia tidak dapat berkomunikasi lagi dengan keluarganya. Perwakilan IOM Mr.Yong Lai Kong menjelaskan bahwa IOM tidak dapat memberikan
jaminan kebebasan bagi para asylum seekers melakukan percakapan telepon selain dari yang telah diberikan oleh pemerintah Indonesia. Akan tetapi mereka bisa memberikan
nomor telepon kepada pihak IOM yang kemudian berusaha mengontak keluarga
mereka1. Namun menurut Daud cara tersebut terlalu beresiko. Oleh karena itu terpaksa dia harus menunggu.
Sampai kapan dia harus menunggu? Suleman asylum seeker yang paling lancar berbahasa Inggris diantara kelompok tersebut menerangkan bahwa berita terakhir mengenai kemajuan usulan mereka untuk suaka ketika kunjungan terakhir UNHCR
pada pertengahan bulan Juli (kira-kira tanggal 18).2 Saat itu pegawai UNHCR Akmeemana datang bersama seorang
penterjemah.
Asylum
seekers tersebut
diwawancarai dan diberitahu untuk menunggu lagi selama satu bulan. Atau dalam kata
Suleman 'mereka berjanji akan kembali dalam satu bulan.' Akan tetapi waktu sudah berlalu selamalima bulan dan harapan mereka hampir hilang. 1Yong Lai Kong, Wawancara, 21-11-2000, Kantor Imigrasi Denpasar, Ba!i. 2Suleman, Wawancara, 16-11-2000, Karantina Kantor Imigrasi Denpasar, Bali. UNHCR m permintaansaya untuk mendapat penerangan mengenai kasus ini. Mereka melakukan status
50
Kenyataanya bahwa status Suleman dan kelompoknya tidak jelas, dan mereka
belum memperoleh kabar apapun tentang kemajuannya, dan harus tetap tinggal dalam karantina yang cukup ketat rupanya tidak sesuai dengan aturan UNHCR yang tertulis. Candler mengatakan mengenai persoalan ini, 'Kita berharap bahwa proses akan berjalan lebih cepat . Jika seseorang berasal dari suatu negara yang memiliki lebih sedikit informasi, karena sedikitnya asylum seekers, maka akan membutuhkan waktu yang
lebih lama untuk memperoleh informasi yasng relevan'1. Dengan lebih dari 500 asylum seekers yang sedang ada di Indonesia, dimana sebagian besar berasal dari Iraq dan
Afganistan, maka pedoman yang memadai untuk penentuan status dengan cepat seharusnya sudah tersedia.
Kelompok tersebut mengatakan bahwa mereka telah mengirim sebanyak 9 sampai dengan faksimili ke nomor penghubung UNHCR di Jakarta Bahkan Suleman juga pernah meminjam handphone salah satu penghuni Karantina lain untuk
menghubungi salah satu nomor telepon di Jakarta dan memperoleh jawaban bahwa Akmeemana tidak lagi berada di UNHCR.
Kini kekecewaan mereka semakin
mendalam, dan Yong Lai Kong sebagai perwakilan IOM juga tidak bisa memberikan
informasi dan kepastian kepada para asylum seekers mengenai kemajuan status mereka. Suleman mengatakan, 'Kita telah berada disini cukup lama dan pihak imigrasi
bahkan tidak tahu pasti kapan kita keluar dari tempat ini.'2 Budijanto menjawab permintaan saya dengan mengatakan 'tidak ada seorang yang tahu'l. Asylum seekers yang sekarang berada di Karantina Denpasar tersebut merupakan bagian dari kelompok yang terdiri dari 40 orang yang dikirim dari Kupang
determination secara tertutup yang tidak mendorong hubungan baik dan terbuk sama instansi instansi terkait baik pemerintah maupun badan internasional (termasuk asylum seekers sendiri).
1Candler, Wawancara 20-10-2000, Petugas Pemiliharan Pengungsi UNHCR Jakarta. 2Suleman, Wawancara 17-11-2000, Karantina Imigrasi Denpasar. 51
ke Benoa. Suleman mengatakan bagaimana ia sampai menjadi bagian dari keempat puluh orang tersebut. Suleman berasal dari desa kecil di dekat Kabul di Afganistan. Ayahnya, mantan anggota Northern Alliance, telah meninggalkan keluarganya untuk mengikuti Northern Front dalam usalia mempertahankan lembah Panjsher. Taliban melakukan kontrol terhadap hampir semua wilayah, kecuali Afganistan bagian tengah dan bagian Tenggara. Oleh karena itu keluarga Suleman harus berhadapan dengan kebijakan-kebijakan yang cukup represif dan keras terhadap
wanita dan kaum
minoritas. Wilayah ini dikontrol oleh pihak oposisi, namun hal ini tidak berarti mereka bebas dari perlakuan buruk. Balikan ada beberapa laporan yang menyatakan adanya
pembunuhan diluar hukum, pemerkosaan, dan hukuman kurungan.2 Cerita Suleman ini merupakan bukti untuk laporan tersebut bahwa adanya pelanggaran hak asasi manusia. Keluarganya tetap hidup di desa bersama dua saudara
laki-laki Suleman yang sekarang harus menjadi kepala keluarga Pada suatu hari Taliban
datang ke rumah mereka dan memaksa mereka untuk bertempur melawan Front bersatu. Taliban kembali lagi dan memaksa mereka lagi untuk bertempur, jika tidak mereka akan
dibunuh (ayah Suleman dicurigai sebagai anggota United Front). Mereka direkrut selama 15 hari untuk melakukan pertempuran. Kembali kerumah selama beberapa hari,
dan kemudian bertempur lagi selama 15 hari lagi. Bagi kelurga Suleman hal ini sangat
menyedihkan, karena mereka harus bertempur melawan pihak ayahnya. Hal tersebut terjadi berulang kali sampai pada akhimya kedua saudara laki-lakinya meninggal dunia dan jenasah mereka diantar ke rumah.
Selanjutnya Suleman menjadi kepala rumah tangga. Uang semakin terbatas, sedangkan dia satu-satunya orang dalam keluarga yang diperbolehkan bekerja (karena 1Budiyanto, A. Wawancara 16-11-2000, Kantor Imigrasi Denpasar, Bali. 2Human Rights Watch, World Report 1999, NewYork, January 1999. 52
laki-laki) sehingga kehidupan semakin sulit. Untuk mengatasi hal tersebut, keluarga Suleman mulai menjual beberapa harta benda miliknya dan kemudian mulai berkebun
di halamannya. Pada suatu hari Taliban datang lagi tetapi Suleman menolak ketika
diminta untuk bergabung dengan kelompok Taliban. Ibunya Suleman menyruhunya untukmelarikan diri dari situasi parah ini dan negara Afghanistan. Mereka menjual sebagian dari tanahnya dan dapat US$6000 agar Suleman bisa
keluar dari Afganistan. Di kabul dia bertemu seseorang yang menjanjikan kehidupan di luar negeri
dengan status sebagai pengungsi. Agent tersebut menyarankan agar
Suleman menuju Australia sebagai daerah tujuannya, karena masuk di Amerika sangat sulit apalagi masuk di Denmark, karena peraturan di Eropa semakin ketak. Akhirnya Suleman melakukan perjalanan dari Kabul ke Jalalabad kota bagian timur yang berbatasan dengan
Pakistan. Suleman menunggu di Pakistan selama 40 hari dan
membayar agennya sebesar US$ 3,000 unmk memperoleh pasport Afganistan, Visa Indonesia dan biaya perjalanan ke Indonesia (termasuk akomodasi dan makanan).
Dia datang di bandara internasional Ngurah Rai, Bali pada tanggal 30 April. Di Bali dia bertemu dengan 5 orang Afganistan lainnya dan selanjumya mereka tinggal di suatu hotel di daerah Kuta. Mereka benart-benar merasa bebas telah tiba di Indonesia.
Sepuluh hari kemudian dia menelpon nomor agennya di Jakarta (yang telah diberikan kepadanya ketika masih berada di Jalalabad). Suleman dan kelompoknya diatur oleh tiga agen, yaitu (i) Anwar, berasal dari Pakistan yang telah lancar berbahasa Indonesia
dan menjadi warga negara Indonesia serta beristeri orang Indonesia. Anwar memiliki sebuah toko karpet di Jakarta, (ii) Ali Haji Safer, orang Afganistan merupakan teman
53
Anwar yang telali merekrut orang-orang di Jakarta dan memiliki visa ijin tinggal secara
permanen , (iii) Ali berasal dari Iran merupakan agen untuk daerah Bali.1 Suleman dan kelima oiang tersebut pindali ke Hotel Rani. Jumlali anggota
kelompok makin lama makin bertambah sehingga menjadi 40 orang termasuk satu orang wanita. Sebagian dari mereka tinggal di Hotel Sanur. Setelah melakukan perjalanan dengan menggunakan bis dan kapal, mereka meninggalkan pelabuhan Kupang dengan kapal besar untuk menuju ke Australia. Ditengah perjalanan, wanita salah satu anggota kelompok melahirkan. Menurut
Suleman lelaki mudah, ini salah satu pengalaman yang paling lucu dalam sepanjang hidupnya. Karena cuaca sangat buruk, kapal terpaksa harus tetap berada di lepas pantai.
Setelah menunggu selama puluhan harti, akhirnya polisi menemukan mereka Akan
tetapoi mereka menolak untuk dibawa pergi sebelum mereka diperemukan oleh
UNHCR. Polisi mengancam merekajika tidak mau dibawa. Suleman bercerita adayang
berteriak "Kita lebih suka mati daripada ditangkap"2. Setelah beberapa saat kesepiaan polisi mulai menembaki air diseputar kapal mereka. Pada akhirnya dengan perasaan
takut mereka di bawa dan dimasukkan kedalam tahanan polisi. Suleman dengan ke 40 orang lainnya ditempatkan di satu ruangan di sebuah kantor polisi di luar Kupang. Mereka memohon untuk bisa melakukan kontak dengan pihak UNHCR tetapi
pemiiiiteanya ditolak. Salah satu asylum seeker diberi tugas untuk membeli makanan
untuk mereka.
Pada waktu dia keluar dari tahanan dia menghubungi UNHCR.
Akhirnya pihak perwakilan UN tiba di tempat penahanan mereka dengan kendaraan.
1Informasi ini selanjutnya disampaikan ke kantor imigrasi Indonesia. Dalam pencariannya mereka berusaha mengontak agen-agenyang ada dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Namun usaha ini juga mengalami kegagalan. Budijanto berjanji akan membawa permasalahanini lagi jika pergi ke Jakarta
2Suleman, Wawancara, 16-11-2000, Karantina Denpasar, Bali. 54
Perwakilan tersebut memberikan jaminan kepada para pencari suaka tersebut dan
Suleman mengatakan "UNHCR milik kita."1 Hubungan antara pihak UNHCR dengan pihak polisi kurang hannonis. Para
asylum seekers mendengar adu argumentasi antara kedua pihak dan mereka merasa khwatir jika pihak UNHCR tidak diperbolehkan membantu mereka. Setelah
kesepakatan polisi dan UNHCR kelompok tersebut dipindahkan ke pelabuhan Kupang. Wanita dan bayinya tetap berada di dalam kendaraan PBB, sedangkan lainnya bersama dengan kendaraan kepolisian. Setiap orang harus membayar tiket kapal sebesar US$20
untuk bisa sampai ke Benoa, Bali. Pihak perwakilan PBB mengatakan baliwa Mr. Yong Lai Kong dari IOM akan segera menemui mereka..
Di Bali mereka ditemui lagi oleh beberapa polisi dan pegawai imigrasi.
Menurut Suleman Yong Lai Kong tidak kelihatan2. Salah satu orang melarikan diri dan kemudian diikuti yang lain dengan meninggalkan kopor yang berisi uang US$700, lainnya mengikut. Suleman mengatakan bahwa hal tersebut menunjukkan tingkat rasa cemas dan takut mereka.
Suleman adalah satu yang berhasil melarikan diri. Kemudian dia menghubungi agennya di Bali dan disepakati untuk melakukan pertemuan kembali di Karangasem,
Bali. Empat hari kemudian tiga puluh orang telah berkumpul, akan tetapi polisi mendatangi mereka. Beberapa orang melarikan diri, tetapi Suleman dan 16 orang lainnya tertangkap dan dipindalikan ke kantor Polisi Daerah (Polda). Untungnya wanita beserta bayinya dapat melarikan diri. Suleman mengatakan bahwa 'karantina bukanlah
tempat yang baik untuk wanita dan anak-anak'3.
1Suleman, Wawancara 17-11-2000, Karantina Denpasar, Bali. 2Mungkin beralasan keturunan Filipino Yong Lai Kong. 3Suleman, Wawancara 17-11-2000, Karantina Denpasar, Bali. 55
Hubungan antara asylum seekers dan polisi diperburuk karena sesuatu peristiwa. Pada waktu di Polda salah satu orang dibawa kerumah sakit pada pukul 3 pagi. Namun
orang tersebut melarikan diri. Oleh karena itulali dua polisi ditempatkan di tempat
penahanan sebagai hukuman1. Dari 17 orang, 7 orang diantaranya melanggar pasal 52 UU 9/1992 karena
mereka tidak memiliki identifikasi yang jelas dan tidak mampu menunjukkan bukri
yang kuat baliwa mereka tidak overstay. Kelompok ini selanjutnya di talian di
Krangasem dengan hukuman kurungan selama 6 bulan. Kemudian mereka bertemu kembali 10 orang di Karantina Denpasar pada tanggal 14 Desember.
Mengomentari betapa stress dan takutnya mereka, Daud mengatakan 'Jika kehidupan kami tidak berada dalam baliaya, mengapa kami terpaksa harus meniggalkan anak dan isteri kami di Afganistan. Jika hal tersebut tidak benar mengapa kami harus
melakukan hal tersebut. Kami tidak ingin melihat Indonesia atau Australia, namun yang
kami inginkan adalah keamanan.'2 Bagaimanapun, pada saat ini asylum seekers sibuk memikirkan hal hal sehari hari. Makannya terdiri dari nasi, sayuran, jarang sekali makan tiga kali sehari. Mereka meminta disediakan kompor untuk membuat ten. Permintaan mereka tersebut diorganisir oleh IOM, dan terayata kali ini dikabulkan oleh pihak imigrasi. Khusus untuk Ramadhan mereka mengingkan agar makanan yang dihidangkan tidak dalam
keadaan dingin. Yong meminta imigrasi Indonesia menyediaskan rice cooker untuk mereka. Budiyanto mengatakan bahwa elemen rice cooker tersebut dapat digunakan sebagai peralatan untuk melarikan diri. Yong menjawab dia akan membeli socket board
' Yong Lai Kong, Wawancara, 21-11-2000, Kantor imigrasi Denpasar, Bali. 2Daud, Wawancara, 17-11-2000, Karantina Denpasar, Bali. 56
agar mereka tidak punya akses langsung ke sumber listrik utama1. Memang hubungan antara asylum seekers, IOM dan Imigrasi Indonesia didasarkan rasa curiga dan kompromi.
Oka Masriri yang bekerja di kantin Kantor Imigrasi Denpasar bertanggung jawab terhadap makanan mereka. Sebelumnya Masriri disediakan buah-buahan dan
rokok untuk mereka. Akan tetapi karena terbatasnya keuangan yang dimilikinya mereka
mereka tidak memperoleh hal-hal tersebut. Masriri merasa prihatin dengan keadaan mereka yang dilanda kebosanan dan kesepian, karena mereka jauh dari keluarganya. Masriri juga mengatakan bahwa makanan yang disediakan tidak tentu yaitu nasi, buah
dan kadang-kadang daging2. Abdurachim, menaruh perhatian terhadap asylum seekers tersebut berdasarkan dua tingkatan, yaitu dalam tingkat manusiawinya dan tingkat kebijakannya. Dia
mengeluh karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk mengatasi
permasalahan tersebut3. Budiyanto mengungkapkan rasa frustasinya dengan mengurusi 10 asylum seekers tersebut. Berikut ini adalahhasil percakapannyadengan Yong Lai Kong.
B - Saya menyarankan sebaiknya dibeli sebuah speed boat 500cc dan menemputkan mereka didalamnya. YLK - Diraanakali mereka ditempatkan?
B - Di Benoa. Kita akan mencukupi mereka dengan nasi dan makanan yang cukup memadai untuk selanjutnya mengirim mereka ke Australia.
YLK - Mereka mungkin tidak akan pernah sampai di sana.
1Yong Lai Kong and Budiyanto 20-11-2000, Kantor Imigrasi Denpasar, Bali. 2Masriri, O. Wawancara 21-11-2000, kantin Kantor Imigrasi Denpasar, Bali. 5 Abdurachim, D. Wawancara 17-11-2000, Kepala Penindakan dan Pengawasan Orang Asing, Kantor Imigrasi Denpasar, Bali. 57
B - Kita akan memberi mereka kapal yang lebih besar lagi.
YLK - (Menunjuk pada saya). Dia benar-benar pegawai kantor imigrasi yang bertanggung jawab, cerdas. Sungguh dia seorang pegawai yang baik.
Percakapan diatas menunjukkan rasa frustasinya, namun sebenarnya percakapan yang tidak serius. Kelompok Suleman adalah kelompok yang pertama kalinya di tempatkan di Karantina Denpasar. Hal ini bagi mereka merupakan situasi yang baru dan tak seorangpun mengetaliui standard yang sesungguhnya. Yang menjadikan situasi
bertambah rumit adalah kurangnya pedoman kebijakan dan pengetahuan tentang pengalaman Kantor lain.
Sebagian besar dari mereka memiliki kebebasan untuk bergerak, menurut
Candler1. Misalnya ada ditempatkan di Jalan Jaksa Jakarta, di Hotel mewah di Sumbawa Besar.
Akan tetapi yang harus diingat adalah masih ada proporsi dang
ditahan semacam Karantina Denpasar. Dan keadaan ini kurang sesuai untuk orang yang
pernah disiksa atau pernah dalam situasi perang.
Kita harus memperhatkan nasib
asylum seekers semacam ada di Karantina Denpasar. Diseluruh dunia terdapat 45.000 permohonan suaka yang diajukan oleh orang Afganistan yang 48,5 % nya ingin memperoleh status sebagai pengungsi, dan sampai saat ini
tetap
menjadi
perhatian
UNHCR.
Sayang
sekali
UNHCR
enggan
mengunkapkan secarajelas prosentase para pengungsi yang tinggal di Indonesia. Pertemuan yang dilakukan dengan para pengungsi seringkali diwarnai dengan
perasaan stres, agresif dan keputusasaan. Sama halnya dengan para karyawan imigrasi yang bertanggung jawab terhadap mereka. Situasi semacam ini perlu diperbaiki.
1Candler, Wawancara 20-10-2000, Petugas Pemiliharan Pengungsi UNHCR Jakarta 58
Keterbatasan-keterbatasan yang dihadapi oleh UNHCR, IOM, dan pihak imigrasi Indonesia telah dibalias diatas. Para pencari suaka tersebut layak untuk memperoleh sistem yang lebih baik dan diperlakukan secara manusiawi.
59
5. Kesimpulan
Kesimpulan dari segi kebijakan dan hukum Republik Indonesia.
Pertama, Kantor Imigrasi perlu diberi peran yang lebih tegas bebas dari campur
tangan instansi instansi pemerintah lain. Yaitu bahwa Departemen Luar Negeri seharusnya
mengkomunikasikan secara lebih efektif
pertimbangan-pertimbangan
kebijakan dengan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (perlu ditingkatkan) dan mencegah kantor imigrasi dari urusan birokratis dan akan inelibatkan Imigrasi secara politis dalam urusan urusan yang itu menghadapi di lapangan. Kedua, anggaran keuangan untuk Departement Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia perlu ditingkatkan. Peningkatan ini seharusnya disertai pula dengan pembagian yangsubstansial untuk meningkatkan profesionalisme staff dan pelatihan dalam rangka menghadapi tantangan-tantangan baru dalam perannya di departemen. Kantor imigrasi seharusnya berpartisipasi dalam proses informasi vertikal dan
horizontal, yaitudengan melakukan pertukaran pengalaman antar distrik atau provinsi dan juga berusaha memastikan semaksimal mungkin bahwa kebijakan-kebijakan yang adadapat sampaidi tingkat operasional. Kesimpulan dari segi badan badan internasional.
IOM dan UNHCR harus mempromosikan peran merekadalam proses penanganan asylum seekers khususnya padatingkat operasional. Bekerjasama dengan instans
instansi pemerintah terkait adalah sangat penting untuk mengatasi persoalan aliran asylum seekers pada saatini.
Kesimpulan dari segi kemanusiaan. Persoalan aliran asylum seekers pada saat ini melibatkan baik instansi domestik maupun instansi internasional. Dengan demikian
60
seharusnya ada upaya nasional dan regional untuk mengkajikan efek efek aliran ini atas
negara masing masing. Australiasebagai negara tujuan aliran migran irregular ini harus ambil langkah langkah yang sesuai dengan tindakan tindakan RI. Bekerjasama dalam
jiwa Regional Cooperative Model benarbenardibutulikan untuk semua yang teriibat, khususnya asylum seekers dan pengungsi sendiri.
Mohammed Jaffar, adalali salah satu dari 327 pengungsi yang sedang menunggu resettlement di Indonesia. Menurutnya dia akan dipindahkaii ke Canada atau Amerika
Serikat. Sebenarnyatujuannya waktu dia asylum seekers adalah Australia dan dia
membicara tentang perasaan fhistrasi dengan pemerintah Australiadan kebijakan Imigrasi Australia yang sangat ketat. Dia adalah lelaki muda yang sinis tentang masa depannya. Sinis tentang Amerika Serikat dan perannya dalam Perang Gulf, sinis tentang penanganannyasejak dia berada di Indonesia dan sinis tentang nasib dia dan
orang pengungsi lain. Dia mempunyai cita-citabesar mengenai negara Australia. Yang menurut dia
negarayang palingaman dan di mana ada cukup makanan dan terpenting kesempatan untuk hidup baru. Dia mengharap sampai di Australia dan seperti kebanyakan asylum
seekers dan pengungsiyang sayabertemu dia kecewa. Dia mengulangi 'peace, food
and family, that is all Iwant.'l Pesannya cukup sederhana, dan rupanya pelaksanaan tidak harus serumit sekarang.
1Mohammed Jaffar, Wawancara 16-10-2000, Jalan Jaksa, Jakarta 61
6. DAFTARPUSAKA
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang RI Nomor 31, Taliun 1991 tentang Pennberantan Tindak Pidana Korupsi, Restu Agung, Jakarta, 2000.
Undang-Undang RI Nomor 9, Tahun 1992 tentang Keimigrasian, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.
Undang-Undang RI Nomor 1,1999 Perjanjian Bilateral Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia mengenai Bantuan Tibal Balik dalam Masalah Pidana.
Undang-Undang RI Nomor 37, Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri. Undang-Undang RI Nomor 39, Taliun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.
Undang-Undang RI Kepolisian Negara Republik Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2000.
Keputusan Presiden RI, Nomor 128, Tahun 1999 tentang Pengesahan Persetujuan Antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australiatentang Pemeliharaan Keamanan.
Keputusan Menteri Kehakiman, Nomor M.02-PW.9.02.95 tentang Pengawasan Orang Asing Keputusan Menteri Kehakiman, Nomor M.03-P.09.02.95 tentang Pencegahan dan Penangkalan
62
BUKU BUKU dan ARTIKEL ARTIKEL
Bedjaoui, M (ed), International Law: Achievements and Prospects, UNESCO, Niglioff Publishers, Netherlands, 1991.
Budge, Hofferbert, Klingemann, Partai, Kebijakan dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, 2000 from Parties, Policy and Democracy, Westview Press, 1994. Croft, M. Immigration and Refugee Law in Australia, The Federation Press, 1998.
Diaz-Briquets and Weintraub, The Effect ofReceiving Country Policies on Migration Flows, Westview Press, 1991.
DIMA, PopulationFlows: Immigration Aspects, Department of Immigration and Multicultural Affairs Canberra, December 1999.
DIMA, Protecting the Borders: Immigration Compliance, Department of Immigration and Multicultural Affairs, Canberra, December 1999.
DIMA, Refugeesand Humanitarian Issues: Australia s Response, Department of Immigration and Multicultural Affairs, Canberra, 1998. Dupont, A. Transnational Crime, Drugs and Securityin East Asia, Asian Survey, Volume 39, Number 3, May/June, 1999. Gautama, S. Warga Negara dan Orang Asing, Penerbit Alumni, Edisi Sembilan, Bandung, 1997.
Giddens, A. Sociology (2nd Edition), Polity Press, Oxford, 1993. Howard, R. HumanRightsand theSearchfor Community, Boulder, Westview Press, 1995.
HREOC, Submission to theSenateLegal and Consitutional References Committee InquiryintoAustralia's Refugee and Humanitarian Program, Human Rights and Equal Opportunities Commission, 1998. IOM, Chairman'sSummary: Manila Process IV, 2-3 October 2000, Jakarta, International Organisation for Migration, 2000. IOM, IOM in the ASEAN, Fact Sheet, International Organisation for Migration. IOM, IOM News, September 2000, International Organisation for Migration. IOM, IOM Service Areas, Fact Sheet, International Organisation for Migration.
63
IOM, Manila Process, Asia-Pacific Consultations onRefugees, Displaced Persons and Migrants and the International Symposium onMigration, International Organisation for Migration, 2000.
IOM, Trafficking in Migrants Quarterly Bulletin, Number 21, Summer 2000.
Islamy, M. Prinsip-Prinsip Perumusah Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 2000.
ISM, Bangkok Declaration on Irregular Migration, International Symposium on Migration, Bangkok, 23 April 1999.
Lindsey, T. (ed) Indonesia: Law andSociety, The Federation Press, 1999.
McCleary, R. Seeking Justice: Ethics and International Affairs, Westview Press, Colorado, 1992.
Sakti, A. Upaya Pembuktian terhaap tersangka pada tindak pidana penyelundupan dengan modus operandi 'transhipment', Thesis, University Merdeka Malang, 1993. Sujata, A. Reformasi dalam Penegakan Hukum, Penerbit Djambatan, Jakarta 2000. UNHCR, Protecting Refugees: Questions andAnswers, UNHCR, Geneva, 20G0. UNHCR, Refugees and Others ofConcern to UNHCR: 1999StatisticalOverview, Geneva, 2000.
UNHCR web-site, Principles concerning Treatment of Refiigees, The Asian-African Legal Consultative Committee at its Eighth Session, Bangkok, 1966.
UNHCR web-site, Body ofPrinciplesfor the Protection ofAllPersons under anyform ofDetention orImprisonment, United Nations General Assembly Resolution 43/173 of December 1998.
US Department of State, Country Reports on Human Rights Practices: Indonesia, Bureau of Democracy, Human Rights and Labor, United States Department of State, 2000.
Wahab, S. Analisis Kebijaksanaan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta, 1997.
Wijayati, H. Pengawasan Orang Asing dan Tindakan Keimigrasian di Indonesia: Satu Tinjauan Yurisdis, ARENA Hukum, University of Brawijaya Law Faculty, Nomor 6, 1998.
64
7. LAMPIRAN
7.1 Fotos di Karantina Denpasar
7.2 United Nations Convention relating to the
Status of Refugees 1951 (Konvensi Pengungsi)
7.3 Protocol relating to the Status of Refugees 1967
7.4 UNHCR Information Leaflet untuk Asylum Seekers di Indonesia
7.5 UNHCR Refugee Eligibility Form
7.6 Bangkok Declaration on Irregular Migration (Deklarasi Bangkok)
7.7 Daftar Wawancara
65
7.1 Fotos dari Karantina Denpasar
66
7.2 United Nations Convention relating to the Status of Refugees 1951 (Konvensi Pengungsi)
67
'Convention relating to the Status of Refugees of 28 July 1951
United Nations Conference of Plenipotentiaries on the Status of Refugees and Stateless Persons, Geneva, 2-25 July 1951 22 April 1964 Preamble
The High Contracting Parties Considering that the Charter of the United Nations and the Universal Declaration of Human Rights approved on 10 December 1948 by the General
Assembly have affirmed the principlethat human beings shall enjoy fundamental rights and freedoms without discrimination, Considering that the United Nations has, on various occasions, manifested its profound concern for refugees and endeavoured to assure refugees the widest
possible exercise of these fundamental rights and freedoms, Considering that it is desirable to revise and consolidate previous international agreements relating to the status of refugees and to extend the scope of and protection accorded by such instruments by means of a new
agreement, Considering that the grant of asylum may place unduly heavy burdens on certain countries, and that a satisfactory solution of a problem of which the United Nations has recognized the international scope and nature cannot therefore be achieved without international co-operation, Expressing the wish that all States, recognizing the social and humanitarian nature of the problem of refugees will do everything withintheir power to prevent this problem from becoming a cause of tension between States, Noting that the United Nations High Commissioner for Refugees is charged withthe task of supervising international conventions providingfor the protection of refugees, and recognizing that the effective co-ordination of measures taken to deal with this problem will depend upon the co-operation of States withthe High Commissioner, Have agreed as follows:
Chapter I, General Provisions Article 1 Definition of the term "Refugee"
A. For the purposes of the present Convention, the term "refugee"shall apply to any person who: (1) Has been considered a refugee under the Arrangements of 12 May 1926 and 30 June 1928 or under the Conventions of 28 October 1933 and 10 February 1938, the Protocol of 14
September 1939 or the Constitution of the International Refugee Organization; Decisions of noneligibility taken by the International Refugee Organization during the period of its activities shall not prevent the status of refugee being accorded to persons who fulfil the conditions of paragraph 2. of this section;
(2) As a result of events occurring before 1 January 1951 and owingto well-foundedfear of being persecuted for reasons of race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion, is outside the countryof his nationality and is unable or, owingto such fear, is unwilling to avail himselfof the protection of that country; or who, not having a nationality and being outside the country of his formerhabitual residence as a result of such events, is unable or, owing to such fear, is unwilling to return to it. In the case of a person who has more than one nationality, the term "the country of his nationality" shall mean each of the countries of which he is a national, and a person shall not be deemed to be lacking the protection of the country of his nationality if, without any valid reason based on well-founded fear, he has not availed himself of the protection of one of the countries of which he is a national.
B. (1) For the purposes of this Convention, the words "events occurring before 1 January 1951" in Article 1, Section A, shall be understood to mean either (a) "events occurring in Europe before
1 January 1951"; or (b) "events occurring in Europe or elsewhere before 1 January 1951", and each Contracting State shall make a declaration at the time of signature, ratification or accession, specifying which of these meanings it applies for the purpose of its obligations under this Convention.
(2) Any Contracting State which has adopted alternative (a) may at any time extend its
obUgation^y adopting alternative (b) by means of a notification addressed tothe SecretaryGeneral SB&United Nations.
C. This Convention shall cease to apply to any person falling under the terms of Section A if:
(1) He has voluntarily re-availed himself of the protection of the country of his nationality; or (2) Having lost his nationality, he has voluntarily re-acquired it, or (3) He has acquired a new nationality, and enjoys the protection of the country of his new nationality; or
(4) He has voluntarily re-established himself in the country which he left or outside which he remained owing to fear of persecution; or (5) He can no longer, because the circumstances in connection with which he has been recognized as a refugee have ceased to exist, continue to refuse to avail himself of the protection of the country of his nationality; Provided that this paragraph shall not apply to a refugee falling under Section A(1) of this Article who is able to invoke compelling reasons arising out of previous persecution for refusing to avail himself of the protection of the country of nationality;
(6) Being a person who has no nationality he is, because of the circumstances in connection with which he has been recognized as a refugee have ceased to exist, able to return to the country of his former habitual residence; Provided that this paragraph shall not apply to a refugee falling under section A(1) of this Article who is able toinvoke compelling reasons arising out of previous persecution for refusing to return to the country of his former habitual residence. D. This Convention shall not apply to persons who are at present receiving from organs or agencies of the United Nations other than the United Nations High Commissioner for Refugees protection or assistance. When such protection or assistance has ceased for any reason, without the position of such persons being definitively settled in accordance with the relevant resolutions adopted by the GeneralAssembly of the United Nations, these persons shall ipso facto be entitled to the benefits of this Convention.
E. This Convention shall not apply to a person who is recognized by the competent authorities of the country in which he has taken residence as having the rights and obligations which are attached to the possession of the nationality of that country.
F. The provisions of this Convention shall not apply to any person with respect to whom there are serious reasons for considering that:
(a) he has committed a crime against peace, a war crime, or a crime against humanity, as defined in the international instruments drawn up to make provision in respect of such crimes; (b) he has committed a serious non-political crime outside the country of refuge prior to his admission to that country as a refugee; (c) he has been guilty of acts contrary to the purposes and principles of the United Nations. Article 2 General obligations Every refugee has duties to the country in which he finds himself, which require in particular that he conform to its laws and regulations as well as to measures taken for the maintenance of public order.
Article 3 Non-discrimination The Contracting States shall apply the provisions of this Convention to refugees without discrimination as to race, religion or country of origin.
Article 4 Religion The Contracting States shall accord to refugees within their territories treatment at least as favourable as that accorded to their nationals with respect to freedom to practise their religion and freedom as regards the religious education of their children. Article 5 Rights granted apart from this Convention Nothing in this Convention shall be deemed to impair any rights and benefits granted by a Contracting State to refugees apart from this Convention.
Article 6 The term "in the same circumstances" For the purposes of this Convention, the term "in the same circumstances" implies that any requirements (including requirements as to length and conditions of sojoum or residence) which the particular individual would have to fulfil for the
enjoyment of the right in question, rfhe were not a refugee, must be fulfilled by him, with the exception of requirements which by their nature a refugee is incapable of fulfilling. Article 7 Exemption from reciprocity 1. Except where this Convention contains more favourable provisions, a Contracting State shall accord to refugees the same treatment as is accorded to aliens generally. 2. After a period of three years' residence, all refugees shall enjoy exemption from legislative reciprocity in the territory of the Contracting States. 3. Each Contracting State shall continue to accord to refugees the rights and benefits to which they were already entitled, in the absence of reciprocity, at the date of entry into force of this Convention for that State. 4. The Contracting States shall consider favourably the possibility of according to refugees, in the absence of reciprocity, rights and benefits beyond those to which they are entitled according to paragraphs 2 and 3, and to extending exemption from reciprocity to refugees who do not fulfil the conditions provided for in paragraphs 2 and 3. 5. The provisions of paragraphs 2 and 3 apply both to the rights and benefits referred to in Articles 13,18,19,21 and 22 of this Convention and to rights and benefits for which this Convention does not provide. Article 8 Exemption from exceptional measures With regard to exceptional measures which
may be taken against the person, property or interests of nationals of a foreign State, the Contracting States shall not apply such measures to a refugee who is formally a national of the said State solely on account of such nationality. Contracting States which, under their legislation, are prevented from applying the general principle expressed in this Article, shall, in appropriate cases, grant exemptions in favour of such refugees. Article 9 Provisional measures Nothing in this Convention shall prevent a Contracting State, in time of war or other grave and exceptional circumstances, from taking provisionally measures which it considers to be essential to the national security in the case of a particular person, pending a determination by the Contracting State that that person is in fact a refugee and that the continuance of such measures is necessary in his case in the interests of national security.
Article 10 Continuity of residence 1. Where a refugee has been forcibly displaced during the Second World War and removed to the territory of a Contracting State, and is resident there, the
period of such enforced sojoum shall be considered to have been lawful residence withinthat territory. 2. Where a refugee has been forcibly displaced during the Second World War from the territory of a Contracting State and has, prior to the date of entry into force of this Convention, returned there for the purpose of taking up residence, the period of residence before and after such enforced displacement shall be regarded as one uninterrupted period for any purposes for which uninterrupted residence is required.
Article 11 Refugee Seamen Inthe case of refugees regularly serving as crew members on board a ship flying the flag of a Contracting State, that State shall give sympathetic consideration to their establishment on its territory and the issue of travel documents to them or their temporary admission to its territory particularly with a view to facilitating their establishment in another country.
Chapter II, Juridical Status Article 12 Personal status
1. The personal status of a refugee shall be governed by the law of the country of his domicile or, rf he has no domicile, by the law of the country of his residence.
2. Rights previouslyacquired by a refugee and dependent on personal status, more particularly rights attaching to marriage, shall be respected by a Contracting State, subject to compliance, if this be necessary, with the formalities required by the law of that State, provided that the right in
Article 25 Administrative assistance (1) When the exercise of a right by a refugee would
normally require the assistance of authorities of a foreign country to whom he cannot have recourse, the Contracting States in whose territory he is residing shall arrange that such assistance be afforded to him by their own authorities or by an international authority. (2) The authority or authorities mentioned in paragraph 1 shall deliver or cause to be delivered under their supervision to refugees such documents or certifications as would normally be delivered to aliens by or through their national authorities. (3) Documents or certifications so delivered shall stand in the stead of the official instruments delivered to aliens by or through their national
authorities, and shall be given credence in the absence of proof to the contrary. (4) Subject to such exceptional treatment as may be granted to indigent persons, fees may be charged for the services mentioned herein, but such fees shall be moderate and commensurate with those
charged to nationals for similarservices. (5) The provisions of this Article shall be without prejudice to Articles 27 and 28. Article 26 Freedom of movement Each Contracting State shall accord to refugees lawfully in its
territory the rightto choose their place of residence to move freely within its territory, subject to any regulations applicable to aliens generally in the same circumstances. Article 27 Identity papers The Contracting States shall issue identity papers to any refugee in their territory who does not possess a valid travel document. Article 28 Travel documents (1) The Contracting States shall issue to refugees lawfully staying in their territory travel documents for the purpose of travel outside their territory unless compelling reasons of national security or publicorder otherwise require, and the provisions of the Schedule to this Convention shall apply with respect to such documents. The Contracting States may issue such a travel document to any other refugee in their territory; they shall in
particulargive sympatheticconsideration to the issue of such a travel document to refugees in their territorywho are unable to obtain a travel document from the country of their lawful residence. (2) Travel documents issued to refugees under previous international agreements by parties thereto shall be recognized and treated by the Contracting States in the same way as if they had been issued pursuant to this article.
Article 29 Fiscal charges (1) The Contracting States shall net impose upon refugee duties, charges or taxes, of any descriptionwhatsoever, other or higher than those which are or may be levied on their nationals in similar situations. (2) Nothing in the above paragraph shall prevent
the application to refugees of the laws and regulations concerning charges in respect of the issue to aliens of administrative documents including identity papers.
Article 30 Transfer of assets (1) A Contracting State shall, in conformity with its laws and
regulations, permit refugees to transfer assets which they have brought into its territory, to another country where they have been admitted for the purposes of resettlement. (2) A Contracting State shall give sympathetic consideration to the application of refugees for permission to transfer assets wherever they may be and which are necessary for their resettlement in another country to which they have been admitted.
Article 31 Refugees unlawfully in the country ofrefuge (1) The Contracting States shall not impose penalties, on account of their illegal entry or presence, on refugees who, coming directly from a territory where their life or freedom was threatened in the sense of Article 1, enter or are
present in their territory without authorization, provided they present themselves without delay to the authorities and show good cause for their illegal entry or presence. (2) The Contracting States shall not apply to the movements of such refugees restrictions other than those which are necessary and such restrictions shall only be applied until their status in the country is regularized or they obtain admission into another country. The Contracting States shall allow
such refugees a reasonable period and all the necessary facilities to obtain admission into another country.
Article 32 Expulsion (1) The Contracting States shall not expel a refugee lawfully in their territory save on grounds of national security or public order. (2) The expulsion of such a refugee shall be only in pursuance of a decision reached in accordance with due process of law. Except where compelling reasons of national security otherwise require, the refugee shall be allowed to submit evidence to clear himself, and to appeal to and be represented for the purpose before
competent authority or a person or persons specially designated by the competent authority. (3) The Contracting States shall allow such a refugee a reasonable period v/ithin which to seek legal admission into another country. The Contracting States reserve the right to apply during that period such internal measures as they may deem necessary. Article 33 Prohibition of expulsion or return frefou/emenfj (1) No Contracting State shall expel or return ("refouler") a refugee in any manner whatsoever to the frontiers of territories where his life or freedom would be threatened on account of his race, religion, nationality, membership of a particular social group or political opinion. (2) The benefit of the present provision may not, however, be claimed by a refugee whom there are reasonable grounds for regarding as a danger to the security of the country in which he is, or who, having been convicted by a final judgment of a particularly serious crime, constitutes a danger to the community of that country. Article 34 Naturalization The Contracting States shall as far as possible facilitate the assimilation and naturalization of refugees. They shall in particular make every effort to expedite naturalization proceedings and to reduce as far as possible the charges and costs of such proceedings. Chapter VI, Executory and transitory provisions Article 35 Co-operation of the national authorities with the United Nations (1) The Contracting States undertake to co-operate with the Office of the United Nations High Commissioner for Refugees, or any other agency of the United Nations which may succeed it, in the exercise of its functions, and shall in particular facilitate its duty of supervising the application of the provisions of this Convention. (2) In order to enable the Office of the High Commissioner or any other agency of the United Nations which may succeed it, to make reports to the competent organs of the United Nations, the Contracting States undertake to provide them in the appropriate form with information and statistical data requested concerning: (a) the condition of refugees, (b) the implementation of this Convention, and (c) laws, regulations and decrees which are, or may hereafter be, in force relating to refugees. Article 36 Information on national legislation The Contracting States shall communicate to the Secretary-General of the United Nations the laws and regulations which they may adopt to ensure the application of this Convention.
Article 37 Relation to previous Conventions Without prejudice to Article 28, paragraph 2, of this Convention, this Convention replaces, as between parties to it, the Arrangements of 5 July 1922, 31 May 1924,12 May 1926,30 June 1928 and 30 July 1935, the Conventions of 28 October 1933 and 10 February 1938, the Protocol of 14 September 1939 and the Agreement of 15 October 1946.
Chapter VII, Final clauses Article 38 Settlement of disputes Any dispute between parties to this Convention relating to its interpretation or application, which cannot be settled by other means, shall be referred to the International Court of Justice at the request of any one of the parties to the dispute.
Article 39 Signature, ratification and accession (1) This Convention shall be opened for
signature at Geneva on 28 July 1951 and shall hereafter be deposited with the SecretaryGeneral of the United Nations. It shall be open for signature at the European Office of the United Nations from 28 July to 31 August 1951 and shall be re-opened for signature at the Headquarters of the United Nations from 17 September 1951 to 31 December 1952. (2) This Convention shall be open for signature on behalf of all States Members of the United Nations, and also on behalf of any other State invited to attend the Conference of Plenipotentiaries on the Status of Refugees and Stateless Persons or to which an invitation to sign will have been addressed by the General Assembly. It shall be ratified and the instruments of ratification shall
be deposited with the Secretary-General of the United Nations. (3) This Convention shall be open from 28 July 1951 for accession by the States referred to in paragraph 2 of this Article. Accession shall be effected by the deposit of an instrument of accession with the SecretaryGeneral of the United Nations.
Article 40 Territorial application clause (1) Any state may, at the time of signature, ratification or accession, declare that this Convention shall extend to all or any of the territories for the international relations of which it is responsible. Such a declaration shall take effect when the Convention enters into force for the State concerned. (2) At any time thereafter any such extension shall be made by notification addressed to the Secretary-General of the United Nations and shall take effect as from the ninetieth day after the day of receipt by the SecretaryGeneral of the United Nations of this notification, or as from the date of entry into force of the Convention for the State concerned, whichever is the later. (3) With respect to those territories to which this Convention is not extended at the time of signature, ratification or accession, each State concerned shall consider the possibility of taking the necessary steps in order to extend
the application of this Convention to such territories, subject, where necessary for constitutional reasons, to the consent of the governments of such territories.
Article 41 Federal clause In the case of a Federal or non-unitary State, the following provisions
shall apply: (a) With respect to those Articles of this Convention that come within the legislative jurisdiction of the federal legislative authority, the obligations of the Federal Government shall to this extent be the same as those of Parties which are not Federal States, (b) With respect to
those Articles of this Convention that come within the legislative jurisdiction of constituent States,
provinces or cantons which are not. under the constitutional systemof the federation, bound to take legislative action, the Federal Government shall bring such Articles with a favourable recommendation to the notice of the appropriate authorities of States, provinces or cantons at
the earliest possible moment (c) A Federal State Party to this Convention shall, at the request of any other Contracting State transmitted through the Secretary-General of the United Nations, supply a statement of the lawand practice of the Federation and its constituent units in regard to any particular provision of the Convention showing the extent to which effect has been given to that provision by legislative or other action.
Article 42 Reservations (1) Atthe time of signature, ratification or accession, any State may make reservations to articles of the Convention other than to Articles 1, 3, 4,16(1), 33, 36-46
inclusive. (2) AnyState making a reservation in accordance with paragraph 1 of this article may at any time withdraw the reservation by a communication to that effect addressed to the Secretary-General of the United Nations.
Article 43 Entry into force (1) This Convention shall come into force on the ninetieth day following the day of deposit of the sixth instrument of ratification or accession. (2) For each State ratifying or acceding to the Convention after the deposit of the sixth instrument of ratification or accession, the Convention shall enter into force on the ninetieth day following the date of deposit by such State of its instrument or ratification or accession.
7.3 Protocol relating to the Status of Refugees 1967
68
Article II
Co-operation of the national authorities with the United Nations 1. The States Parties to the present Protocol undertake to co-operate with the Office of the United Nations High Commissioner for Refugees, or
any other agency of the United Nations which may succeed it, in the exercise of its functions, and shall in particular facilitate its duty of super
vising the application of the provisions of the present Protocol. 2. In order to enable the Office of the High Commissioner, or any
other agency of the United Nations which may succeed it, to make reports to the competent organs of the United Nations, the States Parties to the
present Protocol undertake to provide them with the information and statistical data requested, in the appropriate form, concerning: (a) The condition of refugees;
(b) The implementation of the present Protocol;
(c) Laws, regulations and decrees which are, or may hereafter be, in force relating to refugees. Article III
Information on national legislation
The States Parties to the present Protocol shall communicate to the
Secretary-General of the United Nations the laws and regulations which they may adopt to ensure the application of the present Protocol.
Article IV
Settlement of disputes
Any dispute between States Parties to the present Protocol which relates to its interpretation or application and which cannot be settled by other means shall be referred to the International Court of Justice at the request
of any one of the parties to the dispute.
Article V Accession
The present Protocol shall be open for accession on behalf of all States Parties to the Convention and of any other State Member of the United 8?
2.
Reservations made by States Parties to the Convention in accordance
with article 42 thereof shall, unless withdrawn, be applicable in relation to their obligations under the present Protocol.
3. Any State making a reservation in accordance with paragraph I of this article may at any time withdraw such reservation by a communication to that effect addressed to the Secretary-General of the United Nations. 4. Declarations made under article 40, paragraphs 1 and 2, of the Convention by a State Party thereto which accedes to the present Protocol shall be deemed to apply in respect of the present Protocol, unless upon accession a notification to the contrary is addressed by the State Party concerned to the Secretary-General of the United Nations. The provisions of article 40, paragraphs 2 and 3, and of article 44, paragraph 3, of the Convention shall be deemed to apply mutatis mutandis to the present Protocol.
Article VIII
Entry into force
1. The present Protocol shall come into force on the day of deposit of the sixth instrument of accession.
2. For each State acceding to the Protocol after the deposit of the sixth instrument of accession, the Protocol shall come into force on the date of deposit by such State of its instrument of accession.
Article IX Denunciation
1. Any State Party hereto may denounce this Protocol at any time by a notification addressed to the Secretary-General of the United Nations.
2. Such denunciation shall take effect for the State Party concerned one year from the date on which it is received by the Secretary-General of the United Nations. Article X
Notifications by the Secretary-General of the United Nations
The Secretary-General of the United Nations shall inform the States
referred to in article V above of the date of entry into force, accessions, reservations and withdrawals of reservations to and denunciations of the
present Protocol, and of declarations and notifications relating hereto. 84
Article XI
Deposit in. the Archives of the Secretariat of the United Nations
A copy of the present Protocol, of which the Chinese, English, French, Russian and Spanish texts are equally authentic, signed by the President of
the General Assembly and by the Secretary-General of the United Nations, shall be deposited in the archives of the Secretariat of the United Nations.
The Secretary-General will transmit certified copies thereof to all States Members of the United Nations and to the other States referred to in article V above.
85
7.4
UNHCR Information Leaflet to Asylum Seekers in Indonesia
69
UNITED NATIONS HIGH COMMISSIONER :
NATIONS UNIES
'• ,:$#v%£s
HAUT COMMISSARIAT POUR LES REFUGIES
FOR REFUGEES
Regional Office for Brunei Darussalam,
Delegation Regionale
Indonesia, Malaysia, Philippines & Singapore Telephone
6221 391 2888
Fax E-mail
6221 391 2777
[email protected]
Gedung Arya, 14th Floor Jl. Kebon Sirih Kav.75 " ',j.«!.V:-iv:;5;'/'--j
Jakarta Pusat 10340 P.O. Box 6602/JKPWK Indonesia <>.'
•••••::••'
:-.^^2&-£&Z
(as of 6/9/2000)
If you approached UNHCR seeking our help because vou .cannot return to your country nf nriain due to fear of perseci jtinn, please read this leaflet. This leaflet will provide you with basic information on your rights and obligations as asylum seekers in Indonesia as
well as the roles of UNHCR and cooperating agencies Table of Contents 1,
What is "Asylum"?
2.
Why am Ian "Asylum Seeker", not a "Refugee"?
3.
What are your obligations as asylum seekers?
4.
What is UNHCR?
5.
What is the role of UNHCR in Indonesia? Who is a "Refugee"? UNHCR Refugee Determination Procedure
6. 7.
8.
What UNHCR can do for you if you are recognized as a refuqee under UNHCR's Mandate?
UNHCR's other assistance 10. Other contacts
uivnuK lorprotection.
3
You must show that the fear of being persecuted is at least for one of the following reasons: >
Race
> Religion >• Nationality >- Political opinion
> or your membership of a particular social group This group could be (but is not limited to): a village, family, clan," union, political party, raligious organization, student or human rights group. However, mere membership of a race, religious, social, ethnic or political group is not enough establish a claim to asylum.
UNHCR determines your refugee status through detailed interviews with you in accordance with our Mandate. Information provided by you will be treated with strict confidentiality by UNHCR, and will not be released to outsiders without your consent. Please refer to the procedure of refugee determination as follows:
7-1.
Initial registration of your asylum application
The first step is to goto Caritas Indonesia (the address is below), which is our implementing partner in Indonesia, for your application registration. Caritas will assist you with filling the application form. Forthe registration, we need to make photocopies of all relevant documents in your possession relating to your identity/citizenship (a passport, a national ID card, a birth certificate, etc. If your family is living together with you in Indonesia, please bring theirs also). Please make sure to bring all the documents with you to Caritas. After your registration, Caritas schedules your first interview in consultation with UNHCR.
Address: JL. Dr. Semeru I/4, Grogol, Jakarta (the map is available at UNHCR) Tel/Fax:
7-2.
021-567-0057
Preliminary interview with UNHCR
If you have any further documents which you did not submit at the registration with Caritas, please bring to the interview any kind of evidentiary documents or materials relation to your refugee claim. 7-3.
First instance interview (second interview) with UNHCR
In order to ensure thorough and sufficient examination of your claim, UNHCR Jakarta usually conducts two interviews. After the second interview, UNHCR Jakarta will decide whether you qualify as a refugee. 7-4.
If you are RECOGNISED...
UNHCR seeks a possible durable solution for you. Please read the. details of >5g ' :^SI||^
the durable solutions in Chapter T. 7-5.
if you are NOT RECOGNISED...
You are eligible to file an. appeal to UNHCR for reconsideration WITHIN 21 DAYS after you are notified of the rejection. If your claim is rejected again on appeal, there is no further assessment by UNHCR and you are considered not to be of concern.
7-6.
if you are now in detention: You still can claim refugee status.
Please contact UNHCR by fax or letter and file your application. UNHCR will arrange for an interview with you as soon as possible.
refugeefunderiUNHGR^jyiandate?! 8-1. Protection against "refoulement": UNHCR will protect you from being sent back to your country by the authorities against your will.
8-2. Facilitation of durable solutions: UNHCR will help you to obtain a permanent solution. Remember that it is primarily your responsibility to arrange a solution. There are three options; 1) Voluntary repatriation to country of origin This is regarded as the preferred solution to refugee problems. However, this solution is pursued only if a refugee opts to repatriate when the situation in the country changes - while you are applying for refugee status or you are waiting for a durable solution as a refugee - and it is possible for refugees to return in safety and dignity. In that case, UNHCR proceeds with your repatriation in cooperation with your country of origin. 2) Local integration in Indonesia Ifthere are prospects for your local settlement or naturalization in Indonesia, UNHCR assists your local integration, mediating between you and the Indonesian authorities.
3) Resettlement to a third country This option is available only for refugees who can neither return to their country of origin nor safely remain in Indonesia. Please keep in mind the following aspects of resettlement; o Resettlement is only an EMERGENCY PROTECTION MEASURE after exhausting all other durable solutions. ° Resettlement is NOT A RIGHT, and it is NOT AUTOMATIC. © Resettlement criteria: Resettlement countries have their own criteria for
resettlement of refugees. UNHCR will, depending on the need and urgency of each case, approach resettlement countries for their consideration.
' •••^0^M^$
o Resettlement to a third country depends largely on the willingness of the third country to accept a person for legal stay in its territory. Awilling country
•4
is not necessarily the COUNTRY OF YOUR CHOICE.
oResettlement through .an immigration channel: If you have a close family (spouse, parent, child, and sometimes brother/sister) overseas, and if they are
willing to sponsor your resettlement in the country where they are currently residing, please also pursue an immigration visa under your family's sponsorship. There might be a possibility for you to resettle in the country
;~
-.j£Msii£R
$
through an ordinary immigration visa.
!i^Ci§ssjstarTee
9-1. Attestation If.you have no legal status or no ID in Indonesia, after the first interview, . . UNHCR may issue an attestation of your status as an asylum seeker, who is under UNHCR's consideration for protection. As long as your application is pending with UNHCR, UNHCR may continue to provide you with this attestation. An attestation would be of some help for the Indonesian
| I '
immigration or the police to understand your status, and therefore may
minimize your risk of being detained due to your illegal stay in Indonesia. As mentioned in Chapter 5, however, these documents cannot always guarantee
impunity from detention.
9-2.
Counselling
UNHCR provides you with counselling through Caritas. You can consult with
Caritas with regard to your concerns or problems in Indonesia. According to
your needs, Caritas will assist you in finding relevant and available solutions. Please make an appointment with Caritas if you need such assistance. • 9-3.
1
'
. M *§
Financial assistance
UNHCR's resources are extremely limited! Financial assistance is provided
on a case-by-case basis, depending on your particular situation.
• If you are recognized as a refugee: In principle UNHCR encourages refugees to become self-sufficient. However, only if refugees have no other means ofsupport, UNHCR provides a subsistence allowance to a small
number of refugees for a limited period of time. On a case-by-case basis, Caritas may also provide limited assistance in tuition for primary education of
eligible children and vocational training.
rl
:J
•' ;& :K -K
£ \
• For asylum seekers: Only on an exceptional and one-off basis, UNHCR may provide emergency financial assistance for asylum seekers through Caritas. Please consult with Caritas first, and then they will assess your
'? -S ;I
9-4.
:''•
needs and decide on the assistance. Medical assistance
While a decision on your refugee status is pending with UNHCR that is after
you finished your first interview with UNHCR you may be provided minim^rT
H
^
1
••iy
M
medical treatment through a project implemented by the Indonesia Red Cross, or Palang Merah Indonesia (PMI).
The contact with PMI is as follows: When you approach PMI, you have to show PMI your attestation to prove that you are an asylum seeker with UNHCR. If you don't have an attestation because you have your own ID, if you finished our first interview, UNHCR may send a referral note to PMI. In
that case, please bring your ID with you when you visit PMI. The map is also available at our office.
Address:
JL. Jend. Gatot Subroto Kav. 69
Contact person:
Mr. Johnny or Mr. Wahludi
Tel:
021-799-2325
10-
^Her^intact§
10-1. Accommodation with reasonable prices Hotels/hostels
Wisma Delima (JL Jaksa 5, Tel: 392-3850) Rp. 15,000 - 20,000 per bed/night with shared mandi Norbek Hostel (JL Jaksa .14, Tel: 33-0392) Rp. 15,000 - 40,000 per bed/night with attached bathroom
Jusran Hostel (JL Kebon Sirih Barat VI No. 9, Tel: 314-0373) Rp. 15,000 - 20,000 per bed/night
Nick's Corner Hostel (JL Jaksa No. 16, Tel: 314-1988) Rp. 10,000 - 65,000 per bed/night
Hotel Tator (JL Jaksa 37, Tel: 32-3940)
Rp. 30,000 - 60,000 per bed/night
/}
Kresna Homestay (JL Jaksa 175, Tel: 32-5403)
'. i
Rp. 20,000 - 25,000 per bed/night
:1
Bloem Steen Homestay (JL Jaksa 173, Tel: 32-5389) Rp. 20,000 - 25,000 per bed/night
;1
Bintang Kenjora (JL Jaksa 52, Tel: 32-3878)
!-!
Rp. 15,000 - 35,000 per bed/night
;J
Lia's Hoste! (JL Kebon Sirih Barat 8 No. 47, Tel: 316-2708) Rp. 20,000 - 30,000 per bed/night
^ U
;
Apartment Address: Mangga Besar IV A No. 8C
?-| Room rate/month: Rp.500,000-575,000
Contact: Ms. Lilts
(One room)
Tel: 600-6578
H -1
•V. ai
Mangga Dua Mas dua
Rp. 850,000
Mr. Akyat
AbdatNo.lS^FI.)
(One room)
Tel: 626-5851
Libra Cake Decoration'
Rp.500,000-700,000 (One room)
Mr. Yakub
JL Mangga Besar Utara VI No.8 Jakarta 1150 Pulo Mas
Jl. Kayu Putih Raya No.1 Jakarta Timur
Basement to 2nd Fl. Rp.401,500 3rd Fl. and upper
Mr. Panggabean Tel: 489-3646
Rp.330,000 (Two rooms) Rp.501,500 (Three rooms)
*All the prices above are those as of 16 Aug. 2000, and subject to changes.
10-2. Emergency telephone numbers in Indonesia! Police
110
Fire
113
Ambulance
118
Jakarta Rescue Office National Search & Rescue
550-1111 352-1111
X UNHCR Eligibility Determination Form (to be completed by interviewer) Asylum Country (codo) space (or
Cqso Number
photograph
Soquonco Number registration Dato
Applicant/Family Mombor Full Namo r*-
Rocordlng of Docl3lona
i.
Decision:
Decision:
Signature & Date
Signature & Date
Decision:
Decision:
Signature & Date
Signature & Date
—
•
Are you recognized as refugee by local authorities?
D Yes
Date.
File No.
Authority:
ff no: Have you made applications?
Date: 2.
Authority:
•
No
If yes:
D
No
H yes:
File No.
Are you rocognlzod as rofugoo by UNHCR? Date:
3.
D Yos
.•
•
Yes
D No
D
Yos
D
If yes:
Flold Ollico:
Former countries of asylum
(a)
Havo you appliod for asylum or rolugoo status in any othor country?
No
If so, givo details: (b)
Was your application docidod upon?
D
Yos
•
No
D Yes
•
No
D Yes
•
No
If not, slate reason: (c)
4.
Was-your application granted?
Are you registered wllh any other International or nallonal agoncy:
If yes, give details: 5.
Are you registered with Embassy, Consulate or other authority of homo country:
D Yes
D
No
If yes, givo dotails: 6.
Do you possess any Travol Documonts/Idontlty Papors?
D
National passport %'
•
Convention Travol Document
D
Certificate of Identity
D
Travor Certificate
•
ICRC Travel Document
D
Identity Card
D
Driving Llconso
•
No Wontity or travel papers
D
Othor (please spoclfy)
Pleaso attach photocopy oi u'ocu'.T.eru(s), and complete dotails overleaf:
55
,\
UNHCR Eligibility Determination Form (continued) K-jmbor
Issued By
Date
7. On what date did you loave your home country?
Validity
__
With the authorization of the authorities?
D Yes D No
Means of transport:
Which countries and towns did you transit? _ Duration of your stay In each place en route:
(^ 8. Entry Into preeent country ofsojourn: (a) Date and place of entry:
(b) In what manner did you enter? (Clandestinely, with authorization, did you have avisa or work contract?) Give details:
.
(c) What kind of document did youtravel on?
.
.
•
(d) Are you staying legally In the present country of sojourn?
_
D Yes D No
If yes. specify: (residence permit, tourist visa, refugee status, etc.) Valid until when?
V
9. Why did you leave your home country?
Please explain In detail, describing also any special events and personal experiences, or measures taken against you or members of your family, which caused you to leave your home country. If you have any documentary or other proof, please attach. Use a separate sheet if you need more space.
n
56
* .. . i. • • . mmm**m*mmmmsmmBUBmn
UNHCR Eligibility Determination Form (conlinued)
10. Steu a„y polllte.1. religious, military ethnic or social organization or grouping to which you or any members of your family bolong or previously bolongod In your homo country:
11. Describe your (or your family members) activities and responsibilities In any organlzatl on mentioned above:
12. Wore you ever Involved Iri Incldent(s) Involving physical violence? If so, describe nature of Incidents) and your own Involvomont:
'
13. Havo you ever boon arrested or dotalnod?
•
Yos
D
No
D Yos
D
No
If yos, givo reasons dalo(s) and placo(s):
14. Havo ybu ever been convicted?
If yes:
Period of Imprisonment:
Where?
*
Nature of offense and sontenco passod: Othor dotails:
15 Is military service compulsory In your country?
Period sorved:
I/ not, 'givo reasons; j
D Yos
DNo
|f you WQre calle
16. Do you wish to roturn to yoUr homo country?
(a)
If yes: Havo you been called up for rt?
D
Yes
D
No
_
57
.ermtnoilon of Refugee Status
UNHCR'Ellglblllty Determination Form (continued) (b) Would the authorities ofyour home country permit you to return there? • Yes D No (c) What do you think would happen toyou If you were returned to your country and why?
(d) Would you face any particular dangor to your physical safety ff you were to return?
D Yes D No
If yes, give reasons:
.1 hereby formally declare that the statements made In this form are. to the best of my knowledge, true complete and accurate.
Signature of Applicant:
'
^^
Date:
17. Interviewer: Assessment of credibility of IC statements
Signature of Interviewing Officer:
58
Date:
r
7.6
Bangkok Declaration on Irregular Migration
(Deklarasi Bangkok)
71
IOM International Organization for Migration OIM Organisation Internationale pour les Migrations OIM Organizacidn Intemacional para las Migraciones
Bangkok Declaration on Irregular Migration
We, the Ministers and representatives of the Governments of Australia,
Bangladesh, Brunei Darussalam, Cambodia, China, Indonesia, Japan, Republic of Korea, Lao PDR, Malaysia, Mynamar, New Zealand, Papua New Guinea, the
Philippines, Singapore, Sri Lanka, Thailand and Vietnam, as well as the Hong Kong
Special Administrative Region (hereinafter referred to as the participating countries and Region), meeting at the invitation of the Royal Thai Government in Bangkok on 23 April 1999, on the occasion of the International Symposium on Migration, held on
21-23 April 1999, under the chairmanship of H.E. Bhichait Rattakul, Deputy Prime Minister of Thailand, to address the question of international migration, with particular
attention to regional cooperation on irregular/undocumented migration: 1. Realizing that international migration is a complex phenomenon which is
rooted in human history and is closely associated with social and economic aspirations of each country and region;
2. Recognizing that the process of globalization and liberalization, including
the increasing interdependence of economies, has contributed to large flows of
people in the Asia-Pacific region, thus providing both opportunity and challenge for governments in the region;
3. Noting that both the supply (push) factor and demand (pull) factor from concerned countries have led to the outflow of migrants from the countries of the region;
Subregional Office for East Asia and Oceania:
2nd Floor • Victoria Building • 429 United Nations Avenue • Ermita 100O Manila • Philippines Tel: +63.2.536 60 10 to 15 • Fax: +63.2.521 38 41 • E-mail:
[email protected] • Internet: http://www.iom.int
4. Being aware that international migration, particularly irregular migration,
has increasingly become a major economic, social, humanitarian, political and security concern for a number of countries in the Asia-Pacific region;
5. Noting with concern that the ongoing financial and economic crisis in may Asian countries has led to rising unemployment and other social problems, and
has had differing impacts on irregular migrants and on the countries of origin, transit and destination;
. 6. Noting further that the periodic natural disasters in some Asian countries
badly affect their economies and lead to rising unemployment and irregular migration;
7. Gravely concerned by the increasing activities of transnational organized
criminal groups and others that profit from smuggling of and trafficking in human
beings, especially women and children, without regard to dangerous and inhumane conditions and in flagrant violation of domestic laws and international standards;
8. Underlining that comprehensive, coherent and effective policies on
irregular/undocumented migration have to be formulated within the context of a broader regional framework based on a spirit of partnership and common understanding;
9. Noting that over 65 percent of the world's poorest people live in the AsiaPacific region, hence poverty and differences in level of development among countries in the region remain important causes of irregular migration;
10. Recognizing a need for international cooperation to promote sustained
economic growth and sustainable development in the countries of origin as a longterm strategy to address irregular migration;
11. Noting that there is a number of international conventions and instruments
dealing with humanitarian issues relating to migration;
12. Respecting the sovereign rights and legitimate interests of each country to safeguard its borders and to develop and implement its own migration/immigration laws, and also recognizing the obligations of the country of origin to accept its nationals back, and the obligation of the countries of transit and destination to
provide protection and assistance where appropriate, in accordance with their national laws;
13. Recognizing the important role and contribution of regional consultative mechanisms, such as the Asia Pacific Consultation on Refugees, Displaced
Persons, and Migrants, and the Manila Process, on issues relating to irregular migration;
14. Noting with appreciation the participation of countries from various regions, United Nations bodies and specialized agencies, intergovernmental organizations,
as well as non-governmental organizations, in sharing their views and experiences in dealing with migration issues;
15. Noting also with appreciation the discussion papers prepared by the
Institute for Population and Social Research, Mahidol University, and the
International Organization for Migration (IOM), which provided useful points of discussion and recommendations for the management of irregular migration;
16.Acknowledging with gratitude the timely initiative of H.Eh. Dr. Surin
Pitsuwan, Minister of Foreign Affairs of Thailand, the dynamic chairmanship of H.E. Bhichai Rattakul, Deputy Prime Minister of Thailand, as well as the excellent arrangements provided by the Royal Thai Government, with the valuable support of the IOM;
Declare as follows:
1. Migration, particularly, irregular migration, should be addressed in a
comprehensive and balanced manner, considering its causes, manifestations and
effects, both positive and negative, in the countries of origin, transit and destination;
2. The orderly management of migration and addressing of irregular migration and trafficking will require the concerted efforts of countries concerned,
whether bilaterally, regionally or otherwise, based on sound principles of equality, mutual understanding and respect;
3. Regular migration and irregular migration should not be considered in
isolation from each other. In orderto achieve the benefits of regular migration and
reduce the costs of irregular migration, the capacity of countries to manage movement of people should be enhanced through information sharing and technical and financial assistanc. In this context, UNITAR, UNFPA, and IOM, joint
sponsors of the International Migration Policy and Law Course (IMPLC), are invited to hold, in the near future, a course for middle to senior government officials from the region;
4. A comprehensive analysis of the social, economic, political and security causes and consequences of irregular migration in the countries of origin, transit and destination should be further developed in order better to understand and manage migration;
5. As the causes of irregular migration are closely related to the issue of development, effeorts should be made by the countries concerned to address all relevant factors, with a view to achieving sustained economic growth and sustainable development;
6. Countries of origin, as well as countries of transit and destination, are
encouraged to reinforce their efforts to prevent and combat irregular migration by improving their domestic laws and measures, and by promoting educational and information activities for those purposes;
7. Donor countries, international organizations and NGOs are encouraged to
continue assistance to developing countries, particularly the least-developed countries, in the region aimed at poverty reduction and social development as one means of reducing irregular migration;
8. The participating countries and regional should be encouraged to pass
legislation to criminalize smuggling of and trafficking in human beings, especially women and children, in all its forms and purposes, including as sources of cheap
labor, and to cooperate as necessary in the prosecution and penalization of all offenders, especially international organized criminal groups;
9. The participating countries and Region should exchange information on
migration
legislation and procedures for analysis and review, with a view to
increasing coordination to effectively combat migrant traffickers;
10. The countries of origin, transit and destination are encouraged to
strengthen their channels of dialogue at appropriate levels, with a view to
exchanging information and promoting cooperation for resolving the problem of illegal migration and trafficking in human beings;
11. Greater efforts should be made to raise awareness at all levels, including
through public information campaigns and advocacy, of the adverse effects of migrant trafficking and related abuse, and of available assistance to victims; 12. Concerned
countries,
in accordance with their national
laws
and
procedures, should enhance cooperation in ascertaining the identity of
undocumented/illegal migrants who seemingly are their citizens, with a view to accelerating their readmission;
13. Timely return of those without right to enter and remain is an important strategy to reduce the attractiveness of trafficking. This can be achieved only through goodwill and full cooperation of countries concerned. Return should be performed in a human and safe way;
14.Irregular migrants should be granted humanitarian treatment, including appropriate health and other services, while the cases of irregular migration are being handled, according to law. Any unfair treatment towards them should be avoided;
15. The participating countries and Region should each designate and
strengthen a national focal point to serve as a mechanism for bilateral, regional and/or multilateral consultations and cooperation on questions of international migration;
16. A feasibility study should be conducted on the need to establish a regional
migration arrangement, linked to existing international bodies, to provide technical assistance, capacity building and policy support as well as to serve as an information bank on migration issues for the countries in the Asia-Pacific region. The countries in the region are meanwhile encouraged to utilize and strengthen
the already existing bilateral and multilateral arrangements;
17. The participating countries and Region will follow-up on the above
mentioned issues of irregular migration at the political and senior official levels in
ways which may be deemed appropriate;
18.This document shall be given the widest publicity and dissemination
possible to encourage governments, non-governmental organizations, the private sector and civil society to join in acollective regional effort to alleviate the adverse
effects of irregular migration and to prevent and combat trafficking of human beings, especially women and children.
Bangkok, THAILAND 23 April 1999
7.7 INTERVIEW LIST INDONESIA
Offices of Immigration Kantor Imigrasi Malang Gusmaritno - Kepala Kantor (transferred end of October) Iskandar - Kepala Kantor (replacement) Sujendra - Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan Orang Asing Kantor Imigrasi Tanjung Perak Tohadi - Kepala Subseksi Penindakan Orang Asing Wawa - Kepala Seksi Keuangan Kantor Imigrasi Surabaya
Sihambing Makakombo
- Kepala Subseksi Penindakan Orang Asing - Staf Subseksi Penindakan Orang Asing
Kantor Imigrasi Denpasar
Abdurachim Budiyanto
- Kepala Seksi Pengawasan dan PenindakanOrang Asing - Kepala Subseksi Penindakan OrangAsing
Masriri
- Pegawai Kantin
Kantor Imigrasi Ngurah Rai
Dwinanto Djarot
- Kepala Seksi Pengawasan dan Penindakan OrangAsing - Kepala Subseksi Penindakan Orang Asing
Budianta
-Staf Ngurah Rai
Regional Office of the Department of Justice and Human Rights Kantor Wilayah Kehakiman dan HAM Jawa Timor Soewarno - Kepala Bidang Imigrasi Kantor Wilayah Kehakiman dan HAM Bali Sandiyasa - Kepala Bidang Informasi dan Data
Courts
Pengadilan Negeri Malang Karfi
- Bidang Pidana
Pengadilan Negeri Niaga Surabaya Kelas 1
Artingingsih
- Bidang Pidana
Directorate General Immigration Department of Justice and Human Rights Sakongko - Direktor Pengawasan dan Pendindakan Orang Asing
Department of Foreign Affairs Sinabutar - Staf Directorat Manbin Masyarakat Luar Negeri Ba!:ar - Staf Directorat Perjanjian Internasional
AUSTRALIA
Department of Immigration and Multicultual Affairs Alvarez - Regional Director of Immigration McArthur - Officer of Immigration INTERNATIONAL
International Organisation for Migration (IOM) Getchell - Regional Representative East Asia and Oceania Lorn - Regional Press and Information Officer Yong Lai Kong - Operations Officer United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) Akmeemana Candler Caritas Budi
- Officer in Protection Unit - Officer in Protection Unit
Yuwono
- Director - Administration and Finances
Utomo
- Operations Officer
Other
Dupont
- Director Asia Pacific SecurityProgram
Graham Ridwan
- Director Australia Strategic and Defence Studies Centre - Human Rights Law Lecturer, University of Brawijaya Malang, East Java. - Immigration Law Lecturer, University of Brawijaya Malang, East
Herlin
Java.
Asylum Seekers and Refugees Jalan Jaksa Jakarta and Caritas Office, Jakarta. Karantina, Denpasar Office of Immigration, Bali.
BUKU BUKU dan ARTIKEL ARTIKEL
Bedjaoui, M (ed), International Law: Achievements and Prospects, UNESCO, Niglioff Publishers, Netherlands, 1991.
Budge, Hofferbert, Klingemann, Partai, Kebijakan dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, 2000 from Parties, Policy and Democracy, Westview Press, 1994. Croft, M. Immigration and Refugee Law in Australia, The Federation Press, 1998. Diaz-Briquets and Weintraub, The Effect ofReceiving Country Policies on Migration Flows, Westview Press, 1991.
DIM A, Population Flows: Immigration Aspects, Department of Immigration and Multicultural Affairs Canberra, December 1999.
DIMA, Protecting the Borders: Immigration Compliance, Department of Immigration and Multicultural Affairs, Canberra, December 1999.
DIMA, Refugees and Humanitarian Issues: Australia's Response, Department of Immigration and Multicultural Affairs, Canberra, 1998. Dupont, A. TransnationalCrime, Drugs and Security in East Asia, Asian Survey, Volume 39, Number 3, May/June, 1999. Gautama, S. Warga Negara dan Orang Asing, Penerbit Alumni, Edisi Sembilan, Bandung, 1997.
Giddens, A. Sociology (2nd Edition), Polity Press, Oxford, 1993. Howard, R. Human Rights and the Searchfor Community, Boulder, Westview Press, 1995.
HREOC, Submission to the Senate Legal and Consitutional References Committee Inquiry into Australia's Refugee and Humanitarian Program, Human Rights and Equal Opportunities Commission, 1998. IOM, Chairman's Summary: Manila Process IV, 2-3 October 2000, Jakarta, International Organisation for Migration, 2000.
IOM, IOM in the ASEAN, Fact Sheet, International Organisation for Migration. IOM, IOM News, September 2000, International Organisation for Migration. IOM, IOM Service Areas, Fact Sheet, International Organisation for Migration.
63
Article 6 The term "in the same circumstances" For the purposes of this Convention, the term "in the same circumstances" implies that any requirements (including requirements as to length and conditions of sojoum or residence) which the particular individual would have to fulfil for the enjoyment of the right in question, if he were not a refugee, must be fulfilled by him, with the exception of requirements which by their nature a refugee is incapable of fulfilling. Article 7 Exemption from reciprocity 1. Except where this Convention contains more favourable provisions, a Contracting State shall accord to refugees the same treatment as is accorded to aliens generally. 2. After a period of three years' residence, all refugees shall enjoy exemption from legislative reciprocity in the territory of the Contracting States. 3. Each Contracting State shall continue to accord to refugees the rights and benefits to which they were already entitled, in the absence of reciprocity, at the date of entry into force of this Convention for that State. 4. The Contracting States shall consider favourably the possibility of according to refugees, in the absence of reciprocity, rights and benefits beyond those to which they are entitled according to paragraphs 2 and 3, and to extending exemption from reciprocity to refugees who do not fulfil the conditions provided for in paragraphs 2 and 3. 5. The provisions of paragraphs 2 and 3 apply both to the rights and benefits referred to in Articles 13,18,19, 21 and 22 of this Convention and to rights and benefits for which this Convention does not provide.
Article 8 Exemption from exceptional measures With regard to exceptional measures which may be taken against the person, property or interests of nationals of a foreign State, the Contracting States shall not apply such measures to a refugee who is formally a national of the said State solely on account of such nationality. Contracting States which, under their legislation, are prevented from applying the general principle expressed in this Article, shall, in appropriate cases, grant exemptions in favour of such refugees.
Article 9 Provisional measures Nothing in this Convention shall prevent a Contracting State, in time of war or other grave and exceptional circumstances, from taking provisionally measures which it considers to be essential to the national security in the case of a particular person, pending a determination by the Contracting State that that person is in fact a refugee and that the continuance of such measures is necessary in his case in the interests of national security. Article 10 Continuity of residence 1. Where a refugee has been forcibly displaced during the Second World War and removed to the territory of a Contracting State, and is resident there, the period of such enforced sojourn shall be considered to have been lawful residence within that territory. 2. Where a refugee has been forcibly displaced during the Second World War from the territory of a Contracting State and has, prior to the date of entry into force of this Convention, returned there for the purpose of taking up residence, the period of residence before and after such enforced displacement shall be regarded as one unintenupted period for any purposes for which uninterrupted residence is required.
Article 11 Refugee Seamen In the case of refugees regularly serving as crew members on board a ship flying the flag of a Contracting State, that State shall give sympathetic consideration to their establishment on its temtory and the issue of travel documents to them or their temporary admission to its territory particularly with a view to facilitating their establishment in another country.
Chapter II, Juridical Status Article 12 Personal status
1. The personal status of a refugee shall be governed by the law of the country of his domicile or, if he has no domicile, by the law of the country of his residence. 2. Rights previously acquired by a refugee and dependent on personal status, more particularly rights attaching to marriage, shall be respected by a Contracting State, subject to compliance, if this be necessary, with the formalities required by the law of that State, provided that the right in
question is one which would have been recognized bythe law ofthat State had he notbecome a refugee.
Article 13 Movable and immovable property The Contracting States shall accord to a refugee treatment as favourable as possible and, in any event, not less favourable than that accorded to aliens generally in the same circumstances, as regards the acquisition of movable and immovable property and other rights pertaining thereto, and to leases and other contracts relating to relating to movable and immovable property.
Ait:cle 14 Artistic rights and industrial property In respect of the protection of industrial property, such as inventions, designs or models, trade marks, trade names, and of rights in literary, artistic, and scientific works, a refugee shall be accorded in the country in which he has his habitual residence the same protection as is accorded to nationals of that country. In the territory of any other Contracting State, he shall be accorded the same protection as is accorded in that territory to nationals of the country in which he has his habitual residence. Article 15 Right of association As regards non-political and non-profitmaking associations and trade unions the Contracting States shall accord to refugees lawfully staying in their territorythe most favourable treatment accorded to nationals of a foreign country, in the same circumstances.
Article 16 Access to courts 1. A refugee shall have free access to the courts of law on the
territoryof all Contracting States. 2. A refugee shall enjoy in the Contracting State in which he has his habitual residence the same treatment as a national in matters pertaining to access to
the Courts, including legal assistance and exemption from cautio judicatem solvi. 3. A refugee shall be accorded in the matters referred to in paragraph 2 in countries other than that in which he has his habitual residence the treatment granted to a national of the country of his habitual residence.
Chapter III, Gainful Employment
Article 17 Wage-earning employment 1. The Contracting State shall accord to refugees lawfully staying in their territory the mostfavourable treatment accorded to nationals of a foreign country in the same circumstances, as regards the right to engage in wage-earning employment. 2. In any case, restrictive measures imposed on aliens or the employment of aliens for the protection of the national labour market shall not be applied to a refugee who was already exempt fromthem at the date of entry intoforce of this Conventionfor the Contracting State concerned, or who fulfils one of the following conditions: (a) He has completed three years' residence in the country, (b) He has a spouse possessing the nationality of the country of residence. A refugee may not invokethe benefits of this provision if he has abandoned his spouse, (c) He has one or more children possessing the nationality of the country of residence. 3. The Contracting States shall give sympathetic consideration to assimilating the rights of all refugees with regard to wage-earning employment to those of nationals, and in particular of those refugees who have entered their territory pursuant to programmes of labour recruitment or under immigration schemes.
Article 18 Self-employment The Contracting States shall accord to a refugee lawfully in their territory treatment as favourable as possible and, in any event, not less favourable that that accorded to aliens generally in the same circumstances, as regards the right to engage on his own account in agriculture, industry, handicrafts and commerce and to establish commercial and industrial companies.
Article 19 Liberal professions 1. Each Contracting State shall accord to refugees lawfully staying in their territorywho hold diplomas recognized by the competent authorities of that State, and who are desirous of practising a liberal profession, treatment as favourable as possible and, in any event, not less favourable than that accorded to aliens generally in the same
circumstances. 2. The Contracting States shall use their best endeavours consistently, with their laws and constitutions to secure the settlement of such refugees in the territories, other than the metropolitan territory, for whose international relations they are responsible. Chapter IV, Welfare Article 20 Rationing Where a rationing system exists, which applies to the population at large
and regulates the general distribution of products in short supply, refugees shall be accorded the same treatment as nationals.
Article 21 Housing As regards housing, the Contracting States, in so far as the matter is
regulated by laws or regulations or is subject to the control of public authorities, shall accord to refugees lawfully staying in their territory treatment as favourable as possible and, in any event, not less favourable than that accorded to aliens generally in the same circumstances. Article 22 Public education (1) The Contracting States shall accord to refugees the same treatment as is accorded to nationals with respect to elementary education. (2) The Contracting States shall accord to refugees treatment as favourable as possible, and, in any event, not less favourable than that accorded to aliens generally in the same circumstances, with respect to education other than elementary education and, in particular, as regards access to studies, the recognition of foreign school certificates, diplomas and degrees, the remission of fees and charges and the award of scholarships.
Article 23 Public reliefThe Contracting States shall accord to refugees lawfully staying in their territory the same treatment with respect to public relief and assistance as is accorded to their nationals.
Article 24 Labour legislation and social security (1) The Contracting States shall accord to refugees lawfully staying in their territory the same treatment as is accorded to nationals in respect of the following matters: (a) In so far as such matters are governed by laws or regulations or are subject to the control of administrative authorities: remuneration, including family allowances where these form part of remuneration, hours of work, overtime arrangements, holidays with pay, restrictions on home work, minimum age of employment, apprenticeship and training, women's work and the work of young persons, and the enjoyment of the benefits of collective bargaining; (b) Social security (legal provisions in respect of employment injury, occupational diseases; maternity, sickness, disability, old age, death, unemployment, family responsibilities and any other contingency which, according to national laws or regulations, is covered by a social security scheme), subject to the following limitations: (i) There may be appropriate arrangements for the maintenance of acquired rights and rights in course of acquisition; (ii) National laws or regulations of the country of residence may prescribe special arrangements concerning benefits or portions of benefits which are payable wholly out of public funds, and concerning allowances paid to persons who do not fulfil the contribution conditions prescribed for the award of a normal pension. (2) The right to compensation for the death of a refugee resulting from employment injury or from occupational disease shall not be affected by
the fact that the residence of the beneficiary is outside the temtory of the Contracting State. (3) The Contracting States shall extend to refugees the benefits of agreements concluded between them, or which may be concluded between them in the future, concerning the maintenance of acquired rights and rights in the process of acquisition in regard to social security, subject only to the conditions which apply to nationals of the States signatory to the agreements in question. (4) The Contracting States will give sympathetic consideration to extending to refugees so far as
possible the benefits of similaragreements which may at any time be in force between such Contracting States and non-contracting States. Chapter V, Administrative measures
Article 39 Signature, ratification and accession (1) This Convention shall be opened for
signature at Geneva on 28 July 1951 and shall hereafter be deposited with the SecretaryGeneral of the United Nations. It shall be open for signature at the European Office of the United Nations from 28 July to 31 August 1951 and shall be re-opened for signature at the Headquarters of the United Nations from 17 September 1951 to 31 December 1952. (2) This Convention shall be open for signature on behalf of all States Members of the United Nations, and also on behalf of any other State invited to attend the Conference of Plenipotentiaries on the Status of Refugees and Stateless Persons or to which an invitation to sign will have been addressed by the General Assembly. It shall be ratified and the instruments of ratification shall be deposited with the Secretary-General of the United Nations. (3) This Convention shall be
open from 28 July 1951 for accession by the States referred to in paragraph 2 of this Article. Accession shall be effected by the deposit of an instrument of accession with the SecretaryGeneral of the United Nations.
Article 40 Territorial application clause (1) Any state may, at the time of signature, ratification or accession, declare that this Convention shall extend to all or any of the territories for the international relations of which it is responsible. Such a declaration shall take effect when the Convention enters into force for the State concerned. (2) At any time thereafter any such extension shall be made by notification addressed to the Secretary-General of the United Nations and shall take effect as from the ninetieth day after the day of receipt by the SecretaryGeneral of the United Nations of this notification, or as from the date of entry into force of the Convention for the State concerned, whichever is the later. (3) With respect to those territories to which this Convention is not extended at the time of signature, ratification or accession, each State concerned shall consider the possibility of taking the necessary steps in order to extend the application of this Convention to such territories, subject where necessary for constitutional reasons, to the consent of the governments of such territories.
Article 41 Federal clause In the case of a Federal or non-unitary State, the following provisions shall apply: (a) With respect to those Articles of this Convention that come within the legislative jurisdiction of the federal legislative authority, the obligations of the Federal Government shall to this extent be the same as those of Parties which are not Federal States, (b) With respect to those Articles of this Convention that come within the legislative jurisdiction of constituent States, provinces or cantons which are not under the constitutional systemof the federation, bound to take legislative action, the Federal Government shall bring such Articles with a favourable recommendation to the notice of the appropriate authorities of States, provinces or cantons at the earliest possible moment (c) A Federal State Party to this Convention shall, at the request of any other Contracting State transmitted through the Secretary-General of the United Nations, supply a statement of the law and practice of the Federation and its constituent units in regard to any particular provision of the Convention showing the extent to which effect has been given to that provision by legislative or other action. Article 42 Reservations (1) At the time of signature, ratification or accession, any State may make reservations to articles of the Convention other than to Articles 1, 3, 4,16(1), 33, 36-46 inclusive. (2) Any State making a reservation in accordance with paragraph 1 of this article may at any time withdraw the reservation by a communication to that effect addressed to the Secretary-General of the United Nations.
Article 43 Entry into force (1) This Convention shall come into force on the ninetieth day following the day of deposit of the sixth instrument of ratification or accession. (2) For each State ratifying or acceding to the Convention after the deposit of the sixth instrument of ratification or accession, the Convention shall enter into force on the ninetieth day following the date of deposit by such State of its instrument or ratification or accession.
Article 44 Denunciation (1) Any Contracting State may denounce this Convention at any time
bya notification addressedto theSecretary-General ofthe United Nations. (2) Such denunciation shall take effect for the Contracting State concerned one year from the date upon
which it is received by the Secretary-General of the United Niations. (3) Any State which has made a declaration or notification under Article 40 may, at any time thereafter, by a notification to the Secretary-General of the United Nations, declare that the Convention shall cease to extent to such territory one year after the date of receipt of the notification by the Secretary-General. Article 45 Revision (1) Any Contracting State may request revision of this Convention at any time by a notification addressed to the Secretary-Generalof the United Nations. (2) The General Assembly of the United Nations shall recommend the steps, ifany, to be taken in respect of such request.
Article 46 Notifications by the Secretary-General of the United Nations The SecretaryGeneral of the United Nations shall inform all Members of the United Nations and non-member
States referred to in Article 39: (a) of declarations and notifications in accordance with Section B of Article 1; (b) of signatures, ratifications and accessions in accordance with Article 39; (c) of declarations and notifications in accordance with Article 40; (d) of reservations and withdrawals in accordance with Article 42; (e) of the date on whichthis Convention will come into force in accordance with Article 43; (f) of denunciations and notifications in accordance with Article44;
(g) of requests for revision in accordance with Article 45. IN FAITH WHEREOF the undersigned, duly authorized, have signed this Conventionon behalf of their respective Governments, DONE at GENEVA, this twenty-eighth day of July, one thousand nine hundred and fifty-one, in a single copy, of which the English and French texts are equally authentic and which shall remain deposited in the archives of the United Nations, and certifiedtrue copies of which shall be delivered to all Members of the United Nations and to the non-member States referred to in Article 39.
7.5 UNHCR Refugee Eligibility Form
70
18.This document shall be given the widest publicity and dissemination
possible to encourage governments, non-governmental organizations, the private sector and civil society to join in acollective regional effort to alleviate the adverse
effects of irregular migration and to prevent and combat trafficking of human beings, especiallywomen and children.
Bangkok, THAILAND 23 April 1999
7.7 Daftar Wawancara
72