Bagian VI
Menjadi Kepala Pusat P3TEK
D
ari penugasannya di Biro Kerja Sama Luar Negeri, ia ditempatkan sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Energi dan Ketenagalistrikan (P3TEK). Meski dengan latar belakang pendidikan teknik pertambangan, Supriatna harus memimpin orangorang yang kebanyakan berlatar belakang teknik elektro. “Bayangkan orang tambang, disuruh memimpin orang-orang elektro,” ujarnya santai. Dari penugasannya selama 30 tahun di sektor tambang, di antaranya sebagai Kepala Inspektur Tambang, ia mendapatkan banyak pengalaman tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan pada sektor pertambangan. Segala pengalaman tersebut bermanfaat bagi penugasanpenugasan berikutnya. Sambil menebar senyum, Supriatna mengisahkan pengalaman menggelikan saat menjadi Kepala Puslitbangtek Energi dan Ketenagalistrikan. Sebuah lembaga swadaya masyarakat sedang membangun pembangkit listrik dari mikro hidro. Rencananya, listrik yang dihasilkan akan dialirkan ke jaringan PLN secara manual. Orang yang bertanggung jawab atas proyek tersebut sangat high profile, dan pernah dipanggil menteri karena keahliannya. Mengetahui koneksi yang |
43
|
Birokrat Pertambangan Berjiwa Wirausaha | Supriatna Suhala
dilakukan secara manual, Supriatna memberi tahu teman-temannya, kalau koneksi itu satu saat akan terbakar. Awalnya mereka tidak percaya. Salah seorang temannya bahkan berani bertaruh. “Ayo kita tengok seminggu lagi. Kalau tidak terbakar, maka gaji sebulan Bapak buat kami.” Setelah seminggu, mereka kembali ke lokasi. Ternyata, koneksi tersebut benar terbakar. Menurut Supriatna, listrik koneksi PLN secara continue akan on dan off. Kalau sambungan antara listrik mikro hidro dan jaringan PLN dilakukan secara manual, bisa jadi orang yang bertanggung jawab untuk memutus dan menyambung aliran tersebut sedang beristirahat. Saat dihidupkan kembali sambungannya, aliran listrik yang ada sudah sangat besar layaknya air bah. Akibatnya, tidak aneh kalau sambungan itu terbakar. Secara teknologi, untuk memutus dan menyambung aliran listrik dari pembangkit listrik berkapasitas rendah dan tinggi masih pada tahap penelitian yang dilakukan oleh program doktor di negara-negera maju. Salah satunya adalah Jerman. Selain digunakan untuk menghubungkan listrik yang dihasilkan mikro hidro ke sistem jaringan PLN, aplikasi yang lain adalah pengaliran listrik yang dihasilkan oleh photovoltaic yang dipasang di rumah-rumah penduduk. Pada siang hari, photovoltaic akan menghasilkan energi yang lebih besar dari energi listrik yang digunakan oleh rumah-rumah tersebut. Maka listrik dapat dijual ke PLN dan dialirkan melalui jaringan PLN. Di malam hari, saat photovoltaic tidak menghasilkan energi listrik, maka rumah-rumah tersebut bisa mendapatkan aliran listrik dari jaringan PLN. Saat itu, teknologi yang bisa digunakan untuk memutus dan menyambung aliran listrik belum berkembang dengan baik. Menurut hemat Supriatna, memutus dan menyambung listrik harus secara otomotis, tidak bisa secara manual. Dari peristiwa tersebut, orang-orang di P3TEK yang kebanyakan merupakan lulusan teknik elektro dan fisika yang hebat, menaruh hormat kepada Supriatna. “Oh, berarti Supriatna ada ilmunya juga soal listrik. Jadi orang mulai hormat. Tadinya mereka pikir, ah orang tambang. Ngerti apa tentang listrik!”
|
44
|
Gambar 14 Gedung P3TEK
Saat menjadi Kepala P3TEK, Supriatna mengarahkan para peneliti untuk melakukan riset sedehana dan aplikatif. Lebih baik meneliti topik biogas, misalnya dari kotoran ternak sapi. Agar kotoran gas tersebut dapat menghasilkan gas skala besar, maka kotoran sapi dikumpulkan dalam satu septic tank, misalnya melingkupi kebutuhan satu RW. Gas yang dihasilkan bisa digunakan para petani di lingkungan tersebut untuk memasak dan keperluan sehari-hari lainnya. Salah satu desa di Jawa Barat pernah melakukan percobaan tersebut, dan ternyata berhasil. Untuk membangun instalasi biogas skala mikro, P3TEK bekerja sama dengan Universitas Winaya Mukti. Menurut Supriatna, tidak terlalu perlu untuk bekerja sama dengan universitas besar seperti ITB karena teknologi yang digunakan relatif sederhana. Dari hasil percobaan di Garut tersebut, diketahui jika satu ekor sapi dapat menghasilkan gas untuk mencukupi kebutuhan dua rumah tangga. Padahal, potensi sumber energi biogas tersebut tidak hanya berasal dari kotoran ternak. Enceng gondok dan limbah pertanian yang mudah didapat di pedesaan-pedesaan di Indonesia juga bisa menghasilkan biogas. Supriatna saat itu bercita-cita |
45
|
Birokrat Pertambangan Berjiwa Wirausaha | Supriatna Suhala
agar gas yang dihasilkan juga bisa digunakan untuk penerangan. Ia ingin menghidupkan kembali tradisi memakai lampu petromaks dengan bahan bakar gas yang dulu biasa dijumpai di kota-kota besar di Indonesia, baik di Jakarta maupun Surabaya. Mengingat teknologi lampu berbahan bakar gas sudah digunakan dari zaman dulu, ia yakin teknologi tersebut dapat dikuasai dengan baik. Sayang, sebelum impiannya terwujud, Supriatna keburu dipindah tugas lagi dari posisinya selaku Kepala P3TEK. Menurut Supriatna, untuk menghasilkan energi biogas dalam skala kecil, sebenarnya tinggal mempabrikasi peralatan-peralatan yang menunjang mengingat teknologi yang digunakan relatif sederhana. Peralatanperalatan tersebut juga dapat dijual dengan harga murah. Sekiranya perlu, pemerintah ikut andil. “Kalau perlu diberikan subsidi. Jangan subsidi diberikan kepada BBM seperti sekarang ini,” ungkapnya prihatin. Agar program tersebut dapat memberikan efek yang nyata, maka peralatan-peralatan penunjang harus bisa diproduksi secara massal. Menurutnya, teknologi biogas untuk penerangan dan memasak tidak perlu canggih. Lebih baik teknologi sederhana asalkan tepat guna. “Sebenarnya tidak selalu pakai tangki. Bisa memakai plastik yang tebal, tahan sampai delapan tahun. Asalkan klepnya kuat untuk menahan gasnya agar tidak keluar. Itu kan bisa diproduksi di dalam negeri. Jadi bukan hal yang canggih. Tidak perlu diimpor semuanya.” Tentunya untuk tahap awal tidak perlu dibuat secara massal dulu. Pemerintah melalui lembaga penelitian dapat melakukan pilot project terlebih dahulu. “Berikan contoh satu buah terlebih dahulu. Nantinya seluruh desa yang memiliki peternakan seperti desa Tanjung Sari, Cikajang, Cilawu, Ciwidey, Pangalengan bisa dikembangkan ke arah situ. Jadi kita berkontribusi sedikitsedikit.” Lebih lanjut, menurut Supriatna, sosialisasi terhadap teknologi tersebut juga perlu dilakukan agar masyarakat dapat menerimanya. Ia juga mengarahkan peneliti P3TEK untuk mengembangkan mikro hidro di Subang dan di Garut dengan kapisitas 250 ribu Watt. Air yang digunakan untuk memutar turbin didapat dari saluran-saluran irigasi. Sebagian hasil listriknya dialirkan kepada penduduk sekitar dan sebagian lagi dijual ke PLN. Ia lalu membayangkan, teknologi mikro hidro ini dapat diterapkan
|
46
|
di Pulau Sumatra dan Kalimantan di mana potensi air melimpah ruah. Energi yang diambil dari sampah untuk menghasilkan listrik juga Salah satu permasalahan utama menjadi perhatian P3TEK. Ia tidak berkembangnya pemanfaatan menyoroti kebijakan Pemerintah energi terbarukan di Indonesia Kotamadya Bandung yang adalah karena lemahnya dukungan menurutnya kurang tepat, yakni dari pemerintah. menempatkan pembuangan sampah di daerah Gede Bage. Seharusnya lokasi pembuangan sampah berada di daerah yang terletak jauh dari Bandung, di mana lokasi PLT Sampah akan dibangun. Sarannya, sampah tersebut sebaiknya dicampur dengan batubara sehingga energi yang dihasilkan akan lebih besar lagi. Lebih lanjut, ia memberi komentar tentang Pemda DKI Jakarta yang sampai sekarang belum mampu membangun PLT Sampah, sekalipun mereka menghadapi pemasalahan sampah dan krisis jumlah aliran listrik. Harusnya, pembangunan PLT Sampah dapat digunakan untuk mengatasi kedua masalah tersebut. Salah satu kendala yang dihadapi adalah karena Pemda DKI meminta fee/royalti dari pengelolaan sampah menjadi tenaga listrik tersebut. Bagi Supriatna, logika tersebut betul-betul aneh. Ketika ada pihak yang akan membantu mereka mengatasi masalah sampah, malah diminta membayar royalti. Ternyata hal semacam ini tidak hanya terjadi dengan Pemda DKI Jakarta, tetapi juga dengan pemda-pemda lain di Indonesia. Bagi Supriatna, salah satu permasalahan utama tidak berkembangnya pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia adalah karena lemahnya dukungan dari pemerintah. “Sebetulnya masalah energi baru dan terbarukan itu karena kebijakan pemerintah dan undang-undang yang ada kurang mendukung.” Sebagai contoh, saat ini harga sel photovoltaic sangat mahal karena sel tersebut harus diimpor. Sekiranya pemerintah mendukung perkembangan energi baru dan terbarukan, tentunya pemerintah harus serius berperan dalam membangun industri photovoltaic di Indonesia. Dukungan dari pemerintah bisa berupa pembebasan
|
47
|
Birokrat Pertambangan Berjiwa Wirausaha | Supriatna Suhala
pajak dan biaya masuk kepada siapa saja yang mempunyai komitmen untuk membangun industri tersebut di Indonesia. Harapannya, tenaga kerjanya merupakan orang Indonesia. Dengan berkembangnya industri photovoltaic di dalam negeri, bukan mustahil suatu saat nanti Indonesia bisa menjadi negara pengekspor sel photovoltaic. Untuk mencapai itu, dibutuhkan Presiden yang smart dalam melihat kepentingan negara jangka panjang, serta Menteri Keuangan yang tidak hanya berorientasi jangka pendek untuk meningkatkan pendapatan negara. Menteri Keuangan harus mempertimbangkan pentingnya berinvestasi untuk hasil jangka panjang. Energi baru dan terbarukan, misalnya yang bersumber dari tenaga surya dan angin cenderung tidak stabil dan sangat tergantung pada kondisi cuaca alam. Di Indonesia tenaga angin biasanya memberikan suplai yang bagus sebatas untuk empat sampai lima jam saja. Untuk energi dari panas matahari, biasanya hanya memberikan suplai dalam waktu enam sampai sepuluh jam mengingat matahari akan tenggelam setelah rentang waktu tersebut. Mengingat masyarakat membutuhkan energi listrik selama 24 jam, maka Supriatna berpendapat perlu dikembangkan teknologi hybrid yang bisa memadukan energi listrik dari berbagai sumber energi. Ke depan juga perlu diupayakan agar energi baru dan terbarukan dapat disimpan atau dikonversi terlebih dahulu ke dalam bentuk energi yang lain. Dengan demikian, pemanfaatan energi baru dan terbarukan tersebut akan lebih optimal. “Penelitian di P3TEK itu menarik,” ujar Supriatna dengan wajah berseri.
Keterbatasan Kemampuan Sumber Daya Manusia P3TEK Supriatna adalah Kepala P3TEK yang ketiga. Saat lembaga tersebut baru didirikan, P3TEK belum mempunyai peneliti yang memadai jumlahnya. Alhasil, pada saat pertemuan dengan Sekretaris Jenderal Departemen Pertambangan dan Energi (Deptamben), ia menyarankan agar penelitianpenelitian yang seharusnya dilakukan oleh P3TEK dikontrakkan saja |
48
|
kepada lembaga penelitian lain, misalnya LIPI. Karuan saja Sekjen Deptamben marah. Supriatna memberi tahu Sekjen, betapa sulitnya melaksanakan penelitian di P3TEK dengan sumber daya manusia yang ada saat itu. Bagaimana mungkin disediakan dana penelitian yang cukup, tetapi orang-orang yang diterima di P3TEK mempunyai kemampuan yang sangat minim. Hal ini karena Indeks Presentasi Kumulatif (IPK) dari pegawai-pegawai yang diterima sebagai peneliti hanya pada kisaran 2,1 sampai 2,7 saja. Dalam pertemuan tersebut, Supriatna menyampaikan, seharusnya IPK pegawai yang diterima menjadi peneliti berkisar pada angka 3,0 hingga 3,5. Supriatna pun mensinyalir adanya praktik titipan dari berbagai pihak yang mempunyai kekuasaan politik di negeri ini hingga calon peneliti ber-IPK rendah bisa diterima di P3TEK. “Tidak mau saya gini. Kalau begini semuanya, terus-terusan menjadi tempat buangan. Apa yang bisa dihasilkan?” kritiknya pedas.
|
49
|
Birokrat Pertambangan Berjiwa Wirausaha | Supriatna Suhala
|
50
|