Dari “Club of Rome” Sampai ke Hakikat Manusia * Jawaban untuk Iskandar Alisjahbana Arief Budiman* TULISAN saya Yang Hilang dari Polemik Koperasi ternyata mendapat tanggapan yang cukup serius dari Iskandar Alisjahbana (Kompas, 21 Maret 1987) dan Christianto Wibisono (Kompas, 30 Maret dan 1 April 1987). Terlepas dari isi tanggapan tersebut, saya merasa bahagia karena dengan tanggapan ini, paling sedikit tulisan saya telah dibaca dan dipikirkan orang. Tulisan saya sendiri, yang dimuat Kompas, 12 Maret 1987, merupakan juga sebuah tanggapan terhadap polemik mengenai koperasi, khususnya tulisan Kwik Kian Gie (Kompas, 22 Januari 1986). Isi tulisan saya pada pokoknya adalah, bahwa usaha koperasi tidak bisa dibandingkan dengan usaha yang kapitalistis, tanpa memperhatikan sistem besar yang menjadi konteks, di mana kedua jenis usaha itu diperbandingkan. Dalam sistem besar kapitalisme, jelas sekali usaha koperasi menjadi pucat dan loyo. Bagaimana dalam sistem sosialis? Tentu saja usaha koperasi tidak diperlukan lagi, dasarnya sudah merupakan usaha koperasi yang diterapkan secara nasional. Saya lalu bertanya, kalau kita memang menginginkan keadilan sosial bagi semua warga masyarakat kita, seperti yang diamanatkan oleh Pancasila, mengapa kita harus menambal sulam sistem kapitalisme dengan koperasi? Mengapa kita tidak langsung saja terjun ke sistem sosialisme secara tuntas? Christianto menanggapi masalah ini dalam tulisannya, yang berjudul Sistem Ekonomi Indonesia, dengan mengemukakan, bahwa apa yang disebutnya sebagai sistem sosial demokrasi atau sistem *
Arief Budiman, staf pengajar Universitas Kristen Satya Wacana. Dimuat dalam Kompas, 6 Mei 1987. Bagian Pertama dari dua tulisan.
kapitalisme yang dikontrol dengan demokrasi, adalah sebagai alternatif terbaik. Pada tulisan yang sama, secara selintas (karena itu, tidak saya bahas secara mendalam) saya menyatakan, bahwa sosialisme barangkali merupakan arah yang tidak dapat dielakkan oleh sejarah manusia. Saya menyebut tentang ramalan Club of Rome tentang keterbatasan daya dukung alam dalam menghadapi jumlah penduduk yang bertambah. Ramalan itu menyatakan, bahwa semacam “kiamat” akan terjadi di sekitar tahun 2100, kalau perkembangan masyarakat manusia tidak mengalami perubahan yang berarti. Tulisan Iskandar menanggapi soal ramalan Club of Rome ini, di samping dia juga membahas tentang sifat-sifat manusia yang selain egois juga punya sifat sosial. Dengan demikian, kita tidak usah takut, bahwa kapitalisme akan membawa kita pada kehancuran akibat keserakahan manusia, karena bagaimanapun juga manusia tidak akan kehilangan jiwa sosialnya. Kesimpulan Peter Drucker Pertama-tama, saya akan menanggapi tulisan Iskandar, yang mulamula membantah ramalan Club of Rome, antara lain dengan menyebut karya-karya Alvin Toffler dan Peter Drucker. Memang terhadap ramalan ini ada dua kritik yang serius. Kritik pertama datang dari para teknolog, yang membantah akan terjadinya ramalan ini karena adanya perkembangan teknologi. Apa yang dikemukakan Peter Drucker tentang kecenderungan perekonomian dunia, tampaknya mendukung kritik ini. Kritik kedua datang dari para ahli ilmu sosial yang menyatakan, bahwa ramalan Club of Rome akan menjadi kenyataan, kalau sistem kapitalisme terus dipertahankan. Alasannya, karena sistem ini, sumber-sumber alam dieksploitir untuk keserakahan pribadi, bukan untuk kepentingan umum. Tiap orang berusaha mengambil sebanyak-banyaknya untuk dirinya sendiri, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Meskipun sadar akan adanya kedua kritik ini, pada tulisan saya yang terdahulu saya tetap mengutip ramalan Club of Rome untuk
| 2 |
Club of Rome
menggambarkan kesulitan yang mungkin akan dihadapi manusia, karena ramalan ini sudah sangat dikenal.
Pada kesempatan ini, ada baiknya kita uraikan pendapat Peter Drucker yang akhir-akhir ini banyak dibicarakan orang (Tulisan Drucker berjudul Ekonomi Dunia yang Telah Berubah, dapat dibaca di majalah Analisa, Maret 1987). Drucker mengemukakan tiga kesimpulan berdasarkan pengamatannya terhadap perkembangan ekonomi global. Pertama, terjadi keterpisahan antara ekonomi penghasil komoditi primer dan ekonomi yang didasarkan pada industri. Kedua, erjadi keterpisahan antara kegiatan di bidang industri manufaktur dan permintaan tenaga kerja kasar. Etiga, kegiatan ekonomi lebih mengandalkan diri pada gerakan modal antar-negara daripada pertukaran barang dan jasa. Secara singkat, kesimpulan Drucker ini dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, akibat perkembangan teknologi, produksi komoditi primer tampaknya meningkat, terutama di negara-negara Dunia Ketiga. Pada saat yang bersamaan, di negara-negara maju kegiatan industri juga meningkat. Tapi tragisnya, dan ini penemuan Drucker yang mengejutkan, kenaikan pada kegiatan industri di negara-negara maju ini tidak diikuti dengan kenaikan permintaan akan bahan baku alam. Antara kegiatan industri dan permintaan bahan baku seakan-akan terjadi keterpisahan. Mengapa demikian? Jawabnya kembali ada pada perkembangan teknologi. Kegiatan industri sekarang adapada aras teknologi tinggi. Dalam industri berteknologi tinggi, yang lebih utama bukanlah bahan bakunya, tapi kadar informasi atau teknologinya. Misalnya pada chip komputer, bahan bakunya barangkali tidak terlalu mahal; yang mahal adalah teknologinya. Ditambah lagi dengan penemuan bahan-bahan sintetis baru, atau bahan alternatif yang menggantikan bahan baku alam. Baja misalnya, mungkin akan digantikan oleh plastik yang tahan panas. Bukan suatu kemustahilan, bila di masa depan mesin mobil tidak lagi dibuat dengan logam, tapi plastik.
| 3 |
Kedua, sekali lagi berkat kemajuan teknologi di bidang otomatisasi dan robotisasi, kegiatan di bidang industri makin sedikit menyerap tenaga kerja (terutama yang kasar). Maka kegiatan yang meningkat dalam industri modern bisa saja tidak diikuti oleh meningkatnya permintaan tenaga kerja kasar. Hal seperti ini, menurut Drucker, bukan lagi akan, tapi sudah terjadi di sekitar kita sekarang. Maka bisa terjadi, bahwa pada saat kegiatan industri memuncak, pengangguran juga merajalela. Ketiga, kegiayan ekonomi ternyata ada di bidang perdagangan uang. Drucker menyebutkan, perdagangan uang yang didasarkan pada perubahan kurs mata uang antarnegara berjumlah sekitar 35 trilyun AS setahun atau 12 kali perdagangan barang dan jasa. Omzet bursa pinjam-meminjam di London adalah 75 trilyun dollar AS setahun atau 25 kali omzet perdagangan dunia. Kegiatan seperti ini jelas hanya bisa dilakukan oleh para pemilik modal besar. Kabar buruk Inti dari apa yang dikatakan Peter Drucker adalah, bahwa negaranegara Dunia Ketiga yang penghasilan utamanya masih bertumpu pada ekspor komoditi primer, atau kadang-kadang ditambah dengan ekspor tenaga kerja, akan mengalami kesulitan yang serius dengan beralihnya industri ke teknologi tinggi. Pada saat yang sama, Drucker secara tidak langsung membuktikan, bahwa ramalan Club of Rome tentang “kiamat” yang disebabkan dunia kekurangan bahan baku, tidak atau belum dapat dibenarkan. Produksi bahan baku alam ternyata meningkat, sedangkan kebutuhan industri mengurang. Tetapi semacam krisis lain terjadi, yakni kesenjangan yang mungkin akan bertambah besar antara negara-negara miskin (pengekspor bahan mentah) dengan negara-negara industri kaya. Memang, beberapa ahli termasuk Iskandar beranggapan bahwa krisis ini dapat diatasi, dengan cara negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) melompat dan masuk ke dalam kegiatan industri berteknologi tinggi. Saya sendiri bukan orang yang optimis dalam
| 4 |
Club of Rome
hal ini. Terlalu banyak faktor yang tidak dimiliki oleh negaranegara Dunia Ketiga untuk melakukan lompatan ini. Tapi membahas masalah ini tentunya membutuhkan suatu seminar tersendiri, seperti yang baru-baru ini, kalau tidak salah, diadakan di Yogya.
Kalau negara-negara Dunia Ketiga tidak berhasil melakukan lompatan ini, maka yang akan dihadapinya adalah krisis yang cukup hebat, yang barangkali mendekati semacam “kiamat.” Karena harus kita catat, bahwa sampai saat ini, dunia dikuasai oleh sistem kapitalisme. Orang-orang atau negara-negara yang memiliki modal dan teknologi akan menjadi semakin kuat dan kaya, seperti yang diramalkan oleh Drucker. Indonesia yang tergolong dalam kelompok negara-negara tidak kaya, akan kebagian juga nasib buruk ini. Memang, kemudian akan datang bantuan internasional dalam bentuk bahan makanan, obat-obatan ataupun uang untuk mengurangi beban kita. Tapi bantuan seperti ini tidak akan memecahkan persoalan mendasar yang bersifat struktural, seperti yang diuraikan Drucker. Pertanyaan saya, tidakkah keadaan seperti ini dapat kita analogikan dengan kekurangan makanan yang ada di pulau, seperti yang secara dramatis saya gambarkan dalam karangan saya yang terdahulu (Kompas, 12 Maret 1987). Atau sama juga semacam “kiamat” yang diramalkan oleh Club of Rome paling sedikit “kiamat” bagi negara-negara Dunia Ketiga yang mengalami nasib buruk ini? Tidakkah kemungkinan semacam ini dapat dianggap cukup untuk kita memikirkan sistem yang lebih baik dari kapitalisme? Bagaimana kalau sosialisme? Tiga posisi Iskandar Pokok tanggapan kedua yang dibahas oleh Iskandar adalah mengenai sifat-sifat manusia. Iskandar ingin menyatakan, meskipun kapitalisme merangsang sifat egoisme manusia, supaya manusia itu dapat berkompetisi untuk meningkatkan prestasi, tapi kita tidak usah takut, karena manusia pada dasarnya juga memiliki sifat sosial. Kapitalisme tidak akan dapat mengikis habis sifat
| 5 |
sosial manusia ini. Iskandar menganut teori, bahwa manusia itu memiliki tidak hanya satu sifat, tapi banyak. Dia mengutip teori David McClelland tentang need for achievement dan need for affiliation (Sebenarnya ada unsur ketiga dari teori McClelland yang tidak dibahas oleh Iskandar, yakni need for power.) Dia juga mengutip teori Takdir Alisyahbana, yang menyatakan adanya enam orientasi nilai pada manusia, yakni nilai teori, nilai ekonomi, nilai seni, nilai agama, nilai kuasa dan nilai solidaritas (Sebenarnya ini bukan teori Takdir tapi E. Spranger). Persoalannya, sifat mana yang akan berkembang dan menjadi dominan dalam kehidupan seorang manusia pada suatu waktu tertentu? Dan apa yang menyebabkannya? Di sini Iskandar tampak mengalami sedikit kerancuan. Ada tiga posisi yang dia ambil, tanpa jelas mana yang dia paling setujui. Posisi pertama, Iskandar mengambil teori Abraham Maslow, tanpa menyebutkan nama ini. Teori Maslow, sebagaimana kita ketahui, mengurutkan empat kebutuhan manusia berdasarkan prioritasnya, yakni kebutuhan fisik, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan solidaritas dan cinta, dan kebutuhan akan harga diri. Berdasarkan prioritasnya, hanya bila kebutuhan yang lebih mendasar sudah dipenuhi, kebutuhan tingkat yang lebih tinggi muncul. Jadi, kebutuhan akan rasa aman timbul, setelah kebutuhan fisik dipenuhi, dan seterusnya. Iskandar kemudian mengambil butir-butir teori Spranger, dan memakai teori prioritas dari Maslow untuk mengoperasikannya. Katanya: “... sebelum ia berhasil mencapai hidup yang berkecukupan, nilai budayanya yang tertinggi ada dalam nilai ekonomi. Tetapi sesudah ia hidup berkecukupan, nilai dalam kehidupan bergeser ke arah nilai solidaritas (sosialisme) ataupun nilai teori (imajinasi).” Di sini jelas, bahwa Iskandar beranggapan, bahwa orientasi nilai seorang manusia atau suatu masyarakat tergantung dari tingkat
| 6 |
Club of Rome
perkembangannya. Kalau masih miskin, nilai ekonomi yang dominan, kemudian baru nilai lainnya (Karena tidak menggunakan unsur-unsur yang dikemukakan oleh Maslow sendiri, padahal memakai prinsip Maslow dalam mengoperasikannya, maka tidak jelas bagi saya, bagaimana Iskandar menyusun skala prioritas dari keenam unsur yang diajukan Spranger).
Tetapi dalam perkembangan tulisannya, Iskandar lebih banyak membahas butir-butir teori McClelland, yakni need for achievement dan need for affiliation. Di sini pun sulit digunakan teori Maslow. Yang mana di antara kedua needs tersebut, yang dapat dianggap lebih mendasar? Pada bagian tertentu dari tulisannya, Iskandar beranggapan (dan ini adalah posisinya yang kedua), bahwa kedua needs ini selalu ada secara seimbang. Dia menulis, bahwa kedua needs ini “susah untuk dipisahkan, karena selalu berada bersama, secara dialektis menonjol ke muka secara bergantian dan seimbang.” Jadi, tak ada proiritas. Posisi kedua ini jelas menyangkal posisi pertamanya, yang mengikuti teori prioritas dari Maslow. Pada bagian lain, Iskandar mengambil posisinya yang ketiga, yakni sifat manusia yang dominan dalam diri manusia adalah hasil dari manipulasi lingkungan. Kembali ia memakai kedua needs dari McClelland. Kitalah (maksudnya mungkin para pemimpin masyarakat) yang harus merangsang sifat mana yang mau kita kembangkan. Iskandar berpendapat, bahwa kompetisi dunia pada saat ini berlangsung dengan sengit. Karena itu perlu dikembangkan bagi bangsa Indonesia, sifat yang berupa keinginan mencapai prestasi yang setinggi-tingginya. Maka tulis Iskandar: “... Untuk sementara waktu, pemberian prioritas harus diberikan kepada pembinaan need of achievement.“ Posisi ketiga ini sekali lagi menyangkal posisi pertama dan kedua yang diambil sebelumnya. Pengaruh lingkungan? Karena Iskandar tidak menunjukkan secara jelas posisi mana yang mau dia pertahankan, maka saya juga tidak dapat menyatakan,
| 7 |
apakah saya setuju atau tidak setuju dengan Iskandar yang dapat saya katakan adalah, bahwa manusia pada dasarnya memiliki tidak hanya satu sifat, tapi banyak. Meskipun begitu, pada setiap saat dalam hidupnya ada satu sifat yang menjadi dominan melebihi sifat-sifat yang lain. Tentang daftar sifat-sifat itu sendiri, apakah mengikuti teori McClelland, Spranger atau Maslow, tidak mau saya persoalkan dalam tulisan ini. Sifat mana yang akan menjadi dominan dan apa sebabnya? Di sini saya mendukung posisi ketiga dari Iskandar, yakni pengaruh lingkunganlah yang menyebabkannya? Saya tidak mendukung posisi pertama yang mengikuti teori prioritas dari Maslow, karena seperti kritik-kritik yang sudah dilancarkan kepada teori ini, sulit untuk dibenarkan dalam kenyataannya, bahwa misalnya harga diri tidak ada pada seorang yang merasa lapar. Atau kalau seorang miskin berusaha mengumpulkan materi, tidak dapatkah dikatakan, bahwa kegiatan itu juga sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan akan rasa aman? Bahkan mungkin juga untuk menaikkan harga dirinya? Posisi kedua juga tidak saya dukung, karena posisi ini terasa masih mengambang. Dikatakan, bahwa kedua needs itu ada secara bersama, tapi dapat “secara dialektis menonjol ke muka secara bergantian.”Ini menimbulkan pertanyaan, faktor-faktor apa yang membuat dia menonjol pada suatu waktu dan kurang menonjol pada suatu waktu yang lain? Apakah dia berganti begitu saja, karena yang lain sudah mencapai puncaknya? Atau dia mengikuti teori prioritas dari Maslow, atau penonjolan ini diakibatkan karena pengaruh lingkungan? Derma dan belas kasihan Setelah saya menyatakan, bahwa saya mendukung teori lingkungan sebagai penyebab menjadi dominannya salah satu sifat manusia, maka saya ingin mengemukakan kembali pernyataan, bahwa sistem kapitalisme pada dasarnya adalah sistem yang merangsang manusia untuk menjadi serakah kepada materi. Hal ini dirangsang dengan alasan, supaya daya inisiatif dan daya kreatif individual dapat
| 8 |
Club of Rome tumbuh dengan imbalan kekayaan materiel. Memang, sifat sosial manusia (yang dapat disamakan dengan need for affiliation, meskipun tidak persis sama) tidak hilang sama sekali. Tapi sifat ini menjadi sekunder, dan dalam konfigurasi dari sifat-sifat manusia tersebut, sifat ini menjadi tunduk kepada sifat keserakahan akan materi. Paling-paling ia menjelma menjadi sifat suka memberi derma, sesudah orang ini menjadi kaya. Kadang-kadang sifat memberi derma ini pun harus dipaksa, atau dipancing dengan imbalan tertentu. Misalnya di Amerika Serikat, pajak dibebaskan bagi modal yang dipakai untuk mendirikan yayasan sosial. Dunia yang diatur secara ini, di satu pihak orang dirangsang untuk mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya dan di lain pihak mereka juga dianjurkan untuk memberi derma kepada orangorang yang kalah dalam kompetisi, bagi saya cukup memprihatinkan. Di satu pihak kita lihat ada negara-negara yang sangat kaya dan tinggi konsumsinya, dan di lain pihak ada orangorang yang mati kelaparan, seperti apa yang terjadi di Ethiopia. Kemudian derma mengalir. Jumlah derma ini hampir tidak ada artinya dibandingkan dengan kekayaan yang berhasil dikumpulkan oleh negara-negara kaya. Tapi yang lebih penting lagi, derma ini sama sekali tidak menyentuh persoalan yang menyebabkan terjadinya kemiskinan tersebut, apalagi menyelesaikannya. Materialistis? Saya melihat, mungkin salah satu cara terbaik untuk menyelaraskan need for achievement dan need for affiliation dapat dicapai dalam sistem sosialis. McClelland dalam merumuskan konsep need for achievement pada dasarnya menekankan pada kepuasan psikologis, bukan kepuasan material. Kepuasan psikologis tersebut dicapai pada saat ia merasa telah berprestasi dengan baik. Oleh sistem kapitalis, imbalan psikologis ini dikaitkan dengan imbalan materiel. Ini penting bagi sistem tersebut, bukan saja karena sistem ini mendasarkan dirinya pada filsafat materialisme,
| 9 |
tapi terutama karena dengan dibentuknya manusia baru yang selalu mengejar imbalan materiel, maka produksi dan perputaran barang dan jasa menjadi ditingkatkan. Orang jadi mengkonsumsikan produk materiel. Kalau orang hanya berkonsumsi materiel secara secukupnya saja, dan selebihnya mencari kepuasan di bidang nonmateriel, maka kapitalisme akan kehilangan dinamikanya. Dalam sistem sosialis, need for achievement kita kembalikan kepada tujuannya yang semula, yakni mencapai kepuasan berprestasi, tanpa dikaitkan dengan imbalan materiel. Imbalannya barangkali dapat kita kaitkan dengan kebanggaan, bahwa ia telah berjasa kepada masyarakat. Kalau ini berhasil, kita telah juga berhasil mempersatukan need for achievement dengan need for affiliation. Dalam kapitalisme, hal ini tidak dimungkinkan, karena kapitalisme merangsang sifat egois manusia. Dia mempertentangkan individu dan masyarakat. Tetapi apakah pemberian imbalan yang tidak berbentuk materiel dapat berfungsi dengan baik? Ukupkah bila orang yang berprestasi hanya diberi pujian atau bintang jasa saja, tanpa diberi uang, mobil atau rumah mungil yang indah? Pada titik ini, pertanyaan kita sudah sampai pada pertanyaan filsafat tentang hakikat manusia. Apa sebenarnya hakikat manusia? Kalau anda penganut filsafat materialistis, maka Anda tidak akan percaya, bahwa manusia bisa dipuaskan dengan imbalan nonmateriel. Anda kemudian akan beranggapan, bahwa sosialisme yang tidak memberikan imbalan materiel kepada prestasi seseorang, merupakan suatu utopia. Saya sendiri percaya, seperti yang dinyatakan oleh posisi ketiga Iskandar, bahwa sifat manusia sangat dipengaruhi oleh lingkungannya, sampai batas-batas tertentu. Keserakahan akan material, menurut saya, bukan merupakan hakikat manusia, tapi merupakan sifat yang menjadi subur karena dirangsang dalam sebuah sistem kemasyarakatan yang bernama kapitalisme. Karena itu, dia harus dikoreksi oleh sistem yang lain. Saya menawarkan sosialisme.
| 10 |
Marx yang Goblok dan Dungu * Jawaban untuk Christianto Wibisono Arief Budiman* CHRISTIANTO Wibisono adalah seorang penulis yang sangat produktif. Tulisannya tidak saja tersebar pada beberapa koran nasional yang terbit di Jakarta, tapi juga muncul di koran-koran lokal yang terbit di daerah. Kompas juga sering kebagian produktivitas penulis ini. Di samping produktif, penulis ini seringkali menggunakan gaya yang ceplas-ceplos. Oleh beberapa orang kadang-kadang ia dianggap kasar. Misalnya ketika dalam tulisannya yang menaggapi saya, dia berkata: “... Maka ini berarti, pola berpikir Arief mandek atau mundur satu abad ...” Atau pada bagian lain, ketika mengomentari teori Marx tentang negara yang akan hilang dengan sendirinya dalam masyarakat komunis, Christianto menulis: “Suatu utopia yang goblok dan dungu.” Saya tidak berkeberatan sama sekali terhadap gaya ceplas-ceplos ini. Saya sendiri, harus saya akui, kadang-kadang juga bergaya seperti itu. Saya anggap, gaya menulis Christianto yang seperti itu sebagai semacam bumbu, yang membuat tulisannya tidak monoton. Asal, tentu saja, isi tulisan tersebut berbobot. Keberatan saya terhadap tulisan Christianto yang menanggapi tulisan saya ada pada hal yang lain. Pertama, cara Christianto menyederhanakan pendapat orang lain, dan kemudian memberikan penilaian pribadinya secara terlalu cepat. Misalnya, ketika dia menyatakan, seperti yang sudah dikemukakan di atas, teori Marx tentang menghilangnya negara sebagai “goblok dan dungu.” Kalau ini adalah pernyataan politik, barangkali Christianto dapat dimaafkan. Tapi kalau ini dinyatakan dalam suatu polemik yang *
Arief Budiman, staf pengajar Universitas Kristen Satya Wacana. Dimuat dalam Kompas, 7 Mei 1987. Bagian Terakhir dari dua tulisan.
| 11 |
berpretensi ilmiah, saya kira hal tersebut tidak pada tempatnya. Bagaimanapun juga, lepas dari setuju atau tidak setuju, karyakarya Marx telah menggoncangkan dunia ilmu selama beberapa puluh tahun terakhir ini. Dia telahberhasil memberi paradigma baru yang mempengaruhi hampir semua bidang ilmu. Kalau pikiranpikiran Marx dicap oleh Christianto sebagai “goblok dan dungu,” barangkali jutaan sarjana di dunia ini yang mau melayani dan membahas secara serius pikiran-pikiran Marx (termasuk teorinya tentang menghilangnya negara dalam masyarakat komunis), dapat juga dimasukkan ke dalam kategori yang sama. Kemudian, dalam Diagram Jalan Tengah yang dikemukakan Christianto, ia menyebutkan “Sosialisme Marxis” (melalui revolusi sosial menegakkan diktator proletariat). Ini pun suatu penyederhanaan dari fenomena negara-negara sosialis yang beragam banyaknya, yang tidak semuanya mau menegakkan diktatur proletariat. Kemudian lagi, masih dalam Diagram tersebut, ia menyatakan, bahwa salah satu ciri sistem sosialisme Marxis adalah, “buruh diorganisir hanya sebagai onderbouw partai dan tunduk pada partai.” Saya kira, realitas organisasi buruh di negaranegara sosialis sangat kompleks, tidak sesederhana seperti yang dinyatakan oleh Christianto. Kecerobohan yang mengganggu Hal kedua yang membuat saya berkeberatan terhadap tulisan Christianto adalah kecerobohannya dalam mengutip data. Dia menulis: “Kondisi kapitalisme ortodoks di abad XIX memang sangat memelas dan bisa menimbulkan antipati ekstrem terhadap pola kapitalisme awal yang sadis, seperti diungkapkan oleh Charles Dickens dalam A Tale of Two Cities (1859).” Saya telah membaca dan menonton film A Tale of Two Cities, dan karya Dickens ini merupakan kisah percintaan dari seorang Inggris terhadap seorang wanita Perancis, dilatarbelakangi oleh peristiwaperistiwa Revolusi Perancis. Tidak ada masalah kritik terhadap kapitalisme di sana. Untuk memastikan diri, saya tanyakan hal ini
| 12 |
Marx yang Goblok dan Dungu pada beberapa orang ahli sastra Inggris dan pendapat saya dibenarkan. Mereka menambahkan, memang ada karya-karya Dickens yang melakukan kritik terhadap kapitalisme dan kekejaman dari revolusi industri di Inggris, seperti Hard Times, The Bleak House dan Oliver Twist. Saya menjadi sangsi, apakah Christianto pernah membaca buku A Tale of Two Cities. Atau kalau ia mendengarnya dari orang lain, apakah ia pernah mencoba memeriksa kembali kebenaran dari apa yang didengarnya. Kecerobohan kedua terjadi, ketika ia menuliskan: “… Seperti dituduhkan oleh teori dependencia, yang telah ketinggalan zaman. Malahan salah satu “nabi” pendukung teori ini, yaitu Peter Berger, sosiolog yang tahun 1976 menerbitkan buku The Pyramids of Sacrifice ...” Kecerobohan terjadi karena Peter Berger tidak pernah menjadi penganutteori dependencia, apalagi menjadi “nabi”-nya. Entah dari mana Christianto memungut informasi ini. Saya juga jadi bertanya-tanya, apakah Christianto sempat mempelajari teori dependencia secara cukup mendalam? Dan apakah ia cukup mengerti pandangan-pandangan Peter Berger, karena siapa pun yang membaca buku Berger, akan segera mengetahui, bahwa ia tidak ada kaitannya dengan teori dependencia, baik yang klasik maupun yang neoklasik. Adanya kecerobohan ini membuat saya menjadi tertarik untuk melakukan pemeriksaan pada kutipan-kutipannya yang lain. Pada salah satu bagian tulisan Christianto dinyatakan: “sebagai reaksi terhadap kondisi kerja kapitalisme ortodoks yang menyayat hati, banyak tokoh humanis, seperti Charles Dickens, John Ruskins dan Thomas Carlyle, memperjuangkan reformasi melalui parlemen ... Pejuang-pejuang humanis ini memang tidak memberikan resep radikal, seperti Marx, berupa diktatur proletariatnya.” Christianto mungkin akan menjadi sangat terkejut, kalau ia sempat membuka-buka misalnya The Encyclopedia Americana, karena di sana akan ia dapati, bahwa Thomas Carlyle (1795-1881) sama sekali bukan seorang yang percaya pada sistem parlementer. Dia
| 13 |
adalah pemuja The Great Ruler, yang baginya akan menyelamatkan masyarakat. Menurut dia, massa rakyat terlalu bodoh untuk bisa mengurus dirinya sekalipun, apalagi untuk menyelamatkan masyarakat. Yang menyelamatkan masyarakat adalah pemimpin-pemimpin yang bijaksana dan kuat. Carlyle pernah menulis: “Tunjukkan kepada saya seorang kaisar, raja atau orang pandai, dan ia punya hak suci untuk memerintah atas diri saya.” Tidak heran, kalau buku-bukunya menjadi pujaan diktator-diktatordunia, seperti Stalin, Hitler dan Mussolini. Pada ensiklopedia yang sama, saya menemukan nama John Ruskin (tanpa huruf s), yang hidup antara tahun 1819-1900. Entah, memang ini yang dimaksud oleh Christianto, karena nama lain yang mirip tidak saya jumpai. Ternyata, John Ruskin ini merupakan seorang kritikus seni. Karya-karyanya yang terkenal adalah Modern Paintings and Seven Lamps of Architecture. Dia juga dinyatakan sebagai pengikut dan pengagum Thomas Carlyle. Karena itu, mungkin sekali dia juga bukan seorang penganut sistem parlementer, seperti yang dikesankan oleh Christianto. Kalau benar bahwa hanya ada satu John Ruskin yang kita bicarakan, kembali ini menunjukkan kecerobohan Christianto. Kalau saja Christianto adalah mahawiswa saya di Satya Wacana, saya akan terpaksa memberi nilai E bagi tulisannya. Karena dalam dunia ilmu, kecerobohan yang terlalu mencolok seperti ini, hukumnya adalah “tiada maaf bagimu.” Tapi saya toh masih memaafkan beliau. Karena itu saya lanjutkan pembahasan ini. Senyum pahit Hal-hal seperti ini sengaja saya tunjukkan secara agak panjanglebar, karena sedikit banyak saya telah menjadi korban dari kecerobohan yang dimaksud. Oleh Christianto misalnya, saya digambarkan sebagai orang yang tidak mau memperhatikan perkembangan sejarah. Kalau saya berbicara tentang kapitalisme, saya membayangkan kapitalisme abad XIX, yang kejam dan sadis.
| 14 |
Marx yang Goblok dan Dungu “Arief Budiman melihat ideologi kapitalisme sebagai suatu dogma yang tuntas dan “mati,” tidak berkembang, tidak mengalami modifikasi ..,” tulisnya. “Kekeliruan prinsipiel dari Arief Budiman ialah pengamatan atau persepsinya, bahwa kapitalisme pada hakikatnya tidak berubah dari zaman abad XIX, ketika Karl Marx menerbitkan Das Kapital sampai sekarang ini,” tulisnya lagi. Pernyataan saya, apakah ia sudah benar-benar membaca tulisantulisan saya, seperti dia membaca karya Dickens, Berger, Carlyle dan Ruskin? Pertanyaan ini saya ajukan, karena sejak saya kembali dari luar negeri pada tahun 1981, saya adalah salah seorang yang paling rajin melakukan kritik terhadap ilmu sosial Indonesia yang ahistoris. Rasanya sampai bosan saya mengulang-ulang kritik ini. Saya selalu mengemukakan perlunya suatu masalah dibahas dalam konteks kesejarahannya (Lihat misalnya makalah yang saya presentasikan pada seminar ulang tahun ke-10 penerbit PT. Gramedia, 2 Oktober 1984, yang berjudul Faktor-faktor yang Menghambat bagi Kemungkinan Munculnya Teori Ilmu sosial Alternatif; dimuat di majalah Kritis, jurnal Universitas Kristen Satya Wacana, Juli 1986). Bahkan, pendekatan historis ini saya pakai juga dalam analisa tentang estetika, seperti yang tercermin dalam pandangan apa yang sekarang dikenal dengan nama “sastra kontekstual.” Karena itu, menghadapi tuduhan Christianto yang mengatakan, bahwa saya bersikap a-historis, Cuma dapat saya balas dengan senyuman pahit. Kapitalisme tidak pernah saya lihat sebagai sesuatu yang tidak berkembang. Bahkan di negara-negara Dunia Ketiga pun saya anggap, kapitalisme yang menggejala di sana sangat berlainan dengan kapitalisme yang menggejala pada abad XIX di Eropa. Demikian juga dengan sosialisme. Sosialisme juga berkembang, tidak seperti yang dibayangkan oleh Christianto, yang hanya berputar-putar di sekitar usaha mendirikan diktatur proletariat serta pembunuhan terhadap lawan-lawan politik, seperti yang terjadi di Rusia pada zaman Stalin.
| 15 |
Kapitalisme memang telah berkembang. Dari kapitalisme liberal menjadi kapitalisme monopoli, dan dengan ikut campurnya negara berubah lagi menjadi kapitalisme yang dilengkapi dengan sistem welfare state. Tetapi dalam semua perubahan itu, kontradiksi dasar tidak pernah berhasil diselesaikan, yakni terjadinya eksploitasi dari yang kuat (baik karena memiliki modal maupun teknologi) terhadap mereka yang lemah. Perubahan bentuk kapitalisme hanya merupakan perubahan yang bersifat tambalsulam saja, yakni melunakkan dampak yang terlalu negatif dari sistem ini. Terutama bila situasi politik menjadi panas akibat kaum yang tertindas sudah mulai bangkit. Karena itu, jawaban terhadap kapitalisme dalam macam-macam bentuknya ini, pada dasarnya masih tetap sama, yakni sosialisme. Ini kalau yang mau diselesaikan adalah kontradiksi dasarnya, bukan sekedar mau memberikan kehidupan yang lebih layak saja bagi buruh yang dieksploitir. Dan saya tidak pernah menyatakan, bahwa sosialisme yang harus kita anut adalah sosialisme, seperti yang menggejala di Rusia (apalagi ketika zaman Stalin), RRC ataupun Kuba. Lalu, sosialisme macam apa? Di sini kembali saya ingin menekankan pendekatan historis, yang memang sudah merupakan metode dasar analisa saya; sosialisme yang sesuai dengan kondisi historis bangsa Indonesia. Harus kita lihat adanya kenyataan pluralisme budaya dan agama di Indonesia, harus kita perhitungkan, bahwa mayoritas rakyat kita masih hidup di pedesaan, dan sebagainya. Dalam konteks inilah sosialisme harus kita tumbuhkan, bukan sosialisme yang diimpor begitu saja. Tetapi dalam seluruh tulisannya, Christianto secara simplistis selalu menyatakan, bahwa orang yang setuju pada sosialisme sudah pasti anti demokrasi dan pro diktatur proletariat. Pertanyaan saya, siapa sekarang yang sebenarnya a-historis dalam mendekati persoalannya? Sebelum kecenderungan dan kecerobohan Christianto yang seperti ini “disembuhkan,” memang sulit untuk siapapun melakukan dialog yang produktif dengan dia.
| 16 |
Marx yang Goblok dan Dungu Agak ketinggalan zaman Dalam tulisannya, Christianto menyinggung banyak persoalan. Tetapi kalau saya tidak salah tangkap, persoalan utama yang mau dikemukakannya adalah, bahwa untuk sistem sosial-politik di Indonesia, yang terbaik adalah sistem sosial demokrat. Sistem ini dijabarkan olehnya sebagai sistem kapitalis yang dikontrol melalui mekanisme demokrasi. Katanya, “... Kapitalisme bentuk itu (maksudnya kapitalisme ortodoks abad XIX, AB) hanya bisa dikontrol oleh sistem demokrasi yang efektif dan tuntas ...” Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa Barat dengan demikian menjadi model ideal bagi Christianto. Kritik pertama yang harus dilontarkan adalah, apakah persepsi Christianto terhadap demokrasi di Barat (yang serba positif) tidak sama bias dan sederhananya seperti persepsinya terhadap sistem sosialis dan komunis di negara-negara Timur (yang serba negatif). Saya pernah cukup lama tinggal di Amerika Serikat, dan di sana ada banyak persoalan tentang kemiskinan, keadilan, diskriminasi rasial, dominasi dan manipulasi politik, dan sebagainya. Ini sama sekali tidak berarti, bahwa secara keseluruhan saya menyangkal, bahwa apa yang telah mereka capai tidak mengagumkan. Kedua, taruhlah bahwa negara-negara Barat ini kita anggap ideal dan kita mengarahkan diri ke sana. Yang menjadi pokok persoalan adalah, dapatkah negara-negara Dunia Ketiga yang memilih jalan kapitalisme, menjalankan sistem demokrasi seperti negara-negara Barat yang mau kita contoh itu. Persoalan ini sebenarnya sudah pernah dipolemikkan di harian ini juga (Periksa tulisan saya yang berjudul Pembangunan dan Demokrasi di Dunia Ketiga, Kompas 19 November 1982. Tulisan ini kemudian mendapat tanggapan dari Mubyarto, Kompas, 29 November 1982; Kwik Kian Gie, Kompas, 14 Desember 1982; Tribuana Said, Kompas, 5 Januari 1983; dan kemudian saya menjawab lagi dengan dua tulisan yang dimuat pada Kompas, 24 dan 25 Januari 1983). Dalam polemik itu, saya mencoba mengaitkan proses demokrasi di suatu negara yang menempuh jalan kapitalis, dengan konsep welfare state (Ini
| 17 |
sekali lagi membuktikan, bahwa dalam melakukan analisa tentang kapitalisme, saya tidak pernah berhenti pada gejala kapitalisme abad ke-XIX, seperti yang dituduhkan Christianto). Dengan mengaitkan proses demokrasi dengan sistem welfare state, saya mencoba mengatakan, bahwa masalah terbentuknya demokrasi yang kuat di suatu negara (bukan demokrasi peralihan yang bersifat sementara, seperti yang kita alami pada permulaan tahun 1950an dan akhir tahun 1960an; atau seperti yang sedang dialami oleh Filipina sekarang, barangkali), erat hubungannya dengan tingkat perkembangan ekonomi negara tersebut. Masalah demokrasi bukanlah sekadar masalah kemauan politik dari elite yang berkuasa saja, atau dari rakyat banyak saja. Masalah demokrasi yang stabil adalah masalah struktural yang melibatkan aspek-aspek ekonomi dan kekuatan-kekuatan politik yang ada dalam masyarakat. Pada tulisan saya dalam polemik tersebut, saya mencoba mempertahankan pendapat, bahwa bagi negara-negara Dunia Ketiga yang mengikuti jalan kapitalis, sangat sulit, kalaupun bukan tidak mungkin sama sekali, untuk mencapai taraf welfare state. Karena untuk ini dibutuhkan dana yang sangat besar, di samping faktor-faktor lainnya. Analisa Peter Drucker telah menunjukkan, bahwa nasib negara-negara Dunia Ketiga bukannya bertambah baik, tapi kemungkinan akan bertambah buruk. Dengan demikian, sangat sulit untuk menciptakan sistem demokrasi di negara-negara ini. Atau dengan perkataan lain, sangat sulit bagi kita untuk mengulangi kisah sukses negara-negara yang sekarang maju. Kondisi dunia sudah sangat berlainan dibandingkan dengan kondisi ketika negara-negara Barat ini mengembangkan dirinya (Dengan mengatakan begini, sekali lagi saya ingin menunjukkan, bahwa segala sesuatu harus dibahas dalam konteks perubahan historis). Polemik tentang demokrasi di Dunia Ketiga sudah sampai pada aras yang cukup canggih pada tahun 1982. tidak lagi kita berbicara tentang perlunya mekanisme demokrasi di Dunia Ketiga, tapi yang dibicarakan adalah kondisi-kondisi yang menghambat terjadinya
| 18 |
Marx yang Goblok dan Dungu proses tersebut. Tapi tiba-tiba pada permulaan tahun 1987, Christianto menurunkan tulisan panjang yang menyatakan perlunya demokrasi di Dunia Ketiga, dan memberi contoh secara panjang lebar tentang betapa majunya negara kapitalis yang telah berhasil mengembangkan sistem demokrasinya, seperti halnya Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa Barat. Menurut saya, apa yang dikemukakan Christianto rasanya sudah agak ketinggalan zaman. Penemuan yang terlambat Masih banyak persoalan lain yang disinggung oleh Christianto, tapi karena terbatasnya ruang, saya hanya akan menyinggung satu hal lagi. Dalam membahas negara-negara sosialis, Christianto menunjukkan “penemuan”-nya, bahwa negara-negara sosialis pun ternyata terlibat utang. Katanya: “Yang ingin saya perlihatkan dari daftar tersebut ialah, bahwa utang bukan monopoli negara yang menganut sistem kapitalis, seperti dituduhkan oleh teori dependencia, yang juga sudah ketinggalam zaman.” Setahu saya, teori dependencia tidak pernah menyatakan, bahwa negara-negara sosialis tidak terlibat utang. Terlalu bodoh untuk membuat pernyataan yang melawan kenyataan itu. Yang lebih dipersoalkan adalah akibat utang tersebut bagi pembangunan negara yang berutang, dengan memperbandingkan negara-negara yang menempuh jalan kapitalis dengan yang sosialis. Juga ketergantungan jenis apa yang timbul, bila kita berutang kepada negara kapitalis dan negara sosialis. Saya sendiri pernah memperbandingkan perkembangan Korea Utara dan Korea Selatan, dan saya singgung juga masalah utang ini bagi kedua negara (Lihat Arief Budiman: Pelajaran dari Dua Korea dan Teori Ketergantungan Digantung, Kompas, 14 Agustus 1985 dan 2 September 1985). Dengan demikian, apa yang ditemukan Christianto tentang utang di negara-negara sosialis merupakan suatu penemuan yang sudah sangat terlambat. Pada saat orang sudah menempuh jarak sepuluh kilometer, ia masih sibuk bergerak di titik start, kalau kita mau ibaratkan penemuan ini sebagai
| 19 |
suatu perlombaan maraton. Sebagai penutup, saya ingin menyatakan kepada Christianto, dalam menulis, apalagi di koran seperti Kompas, kita hendaknya lebih teliti dengan data yang mau kita kemukakan. Kalau tidak, nanti orang akan mencap kita sebagai penulis yang “goblok dan dungu.” Saya yakin, Christianto bukanlah penulis seperti itu. >>><<<
| 20 |