DAMPAK PENYERAPAN TENAGA KERJA LOKAL PADA PROYEK LIQUIFIED NATURAL GAS TANGGUH TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PENDUDUK DESA DI KAWASAN TELUK BINTUNI PROVINSI PAPUA BARAT
Oleh: DEASI MAYAWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
ABSTRACT DEASI MAYAWATI. Impact of Local Workers Absorption in Tangguh Liquified Natural Gas Project on the Household Economics in Bintuni Region West Papua Province (NUNUNG KUSNADI as Chairman and HARIANTO as Member of the Advisory Committee). One commitment of Tangguh LNG project is to increase employment opportunity for local workers who live in directly affected villages and the Bird’s Head Region in the short, middle and long run. The objectives of this study were to analyze the impact of Tangguh LNG project on the allocation of time of households, income structure, and household consumption; to analyze factors influencing production and consumption of households who working in Tangguh LNG project; and to find out the impact of cash income on the production and consumption activities of households. This study used descriptive analysis and the form simultaneous equation household models. Result showed that the allocation of time in agriculture, fishing, and timbers of household working in Tangguh LNG project is less then household do not belong to. Household working in Tangguh LNG project gain more cash income and higher consumption on market goods than those do not. Farm income was significantly influenced by the distance of land area and intensity of agricultural extention. Fishing income was significantly influenced by number of trammel net and fuel. Income of timbers was significantly influenced by the allocation of time and timbers frequency. Household consumption was significantly influenced by income and size of family. When the cash income gaining from the project increased, consumption of market goods increased but working hours allocated to agriculture, fishing and timbers decreased. Keywords: Tangguh LNG Project, Household Economics, Local Workers, Cash Income
RINGKASAN Kabupaten Teluk Bintuni merupakan salah satu kabupaten di wilayah provinsi Papua Barat yang memiliki potensi tambang yang cukup besar, termasuk migas. Hampir seluruh kawasan ini mengandung gas alam cair (liqufied natural gas) dengan jumlah cadangan mencapai 23.7 trilyun kaki kubik dan kandungan minyak bumi kurang lebih 45 juta ton (BAPPEDA, 2005). Berdasarkan potensi tersebut, pada tahun 1998 berdasarkan SK Menteri Pertambangan dan Energi No.04/DKPP/1998 tertanggal 13 Januari 1998 telah dibangun proyek Liquefied Natural Gas (LNG) Tangguh di Kawasan Teluk Bintuni (PERTAMINA & BP, 2002). Proyek ini dikelola oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP-Migas) dan British Petrolium (BP) yang memegang hak guna usaha selama 30-50 tahun. Sumber mata pencaharian penduduk di sekitar proyek dapat dibagi menjadi dua, yaitu sumber mata pencaharian yang bergantung sepenuhnya kepada potensi sumberdaya alam seperti kegiatan bertani, menangkap ikan, berburu dan menokok sagu dan sumber mata pencaharian dari keterlibatan mereka pada berbagai industri yang ada di wilayah tersebut. Salah satu komitmen yang diberikan kepada masyarakat setempat oleh proyek LNG Tangguh adalah adanya peyerapan tenaga kerja lokal dan tenaga kerja di sekitar wilayah kepala burung pada jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk menganalisis keadaan ekonomi rumahtangga masyarakat yang bekerja pada proyek LNG Tangguh, sedangkan tujuan spesifiknya adalah: (1) menganalisis dampak penyerapan tenaga kerja lokal pada proyek LNG Tangguh terhadap alokasi kerja rumahtangga, struktur pendapatan dan konsumsi rumahtangga, (2) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan konsumsi rumahtangga yang bekerja pada proyek LNG Tangguh, dan (3) menganalisis pengaruh peningkatan proporsi cash income karena adanya penyerapan tenaga kerja lokal terhadap aktivitas produksi dan konsumsi yang selama ini telah dilakukan oleh penduduk setempat. Tujuan penelitian pertama dianalisis secara deskriptif melalui tabulasi data. Tujuan kedua dan ketiga dianalisis dengan menggunakan model ekonometrika berupa persamaan simultan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara deskriptif diketahui bahwa keputusan bekerja di Proyek LNG Tangguh merubah alokasi kerja rumahtangga pada kegiatan pertanian, perikanan dan mengambil hasil hutan, dimana alokasi kerja rumahtangga untuk kegiatan-kegiatan tersebut mengalami penurunan setelah mereka bekerja di proyek. Keputusan bekerja di proyek LNG Tangguh mengakibatkan adanya peningkatan pendapatan tunai rumahtangga, sehingga merubah struktur pendapatan rumahtangga. Pada rumahtangga yang bekerja di proyek, pendapatan tunai terbesar berasal dari proyek sedangkan rumahtangga yang tidak bekerja di proyek pendapatan tunai terbesar berasal dari kegiatan perikanan. Hal ini mengakibatkan daya beli pada rumahtangga yang bekerja di proyek lebih tinggi sehingga konsumsi barang pasar, baik berupa bahan pangan
maupun non pangan lebih besar daripada konsumsi pada rumahtangga yang tidak bekerja pada proyek. Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang diusahakan oleh sebagian masyarakat di lokasi penelitian dan memberikan kontribusi yang cukup besar pada penerimaan tunai rumahtangga dari kegiatan pertanian. Hal ini mengakibatkan jarak lahan menjadi faktor yang sangat mempengaruhi penerimaan dari kegiatan tersebut, karena lahan kelapa sawit penduduk setempat berada di desa tetangga dan membutuhkan jarak tempuh yang cukup lama. Selain itu peran penyuluh pertanian juga sangat mempengaruhi tinggi rendahnya penerimaan pertanian. Jumlah jaring dan biaya variabel merupakan faktor utama yang mempengaruhi tinggi rendahnya penerimaan rumahtangga pada kegiatan perikanan. Alokasi kerja pada kegiatan mengambil hasil hutan serta frekuensinya sangat menentukan besar kecilnya penerimaan dari kegiatan tersebut. Produk total yang dihasilkan rumahtangga sangat menentukan besar kecilnya konsumsi rumahtangga dari produk-produk tersebut. Besar kecilnya konsumsi bahan pangan maupun non pangan sangat dipengaruhi oleh jumlah anggota rumahtangga yang ada. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dengan adanya kesempatan bekerja di Proyek LNG Tangguh akan meningkatkan pendapatan tunai rumahtangga sehingga berdampak terhadap penurunan curahan kerja pada kegiatan pertanian, perikanan dan mengambil hasil hutan. Hal ini secara langsung mengakibatkan menurunnya penerimaan dari kegiatan-kegiatan tersebut. Sebaliknya peningkatan pendapatan tunai karena bekerja di proyek mengakibatkan daya beli rumahtangga meningkat sehingga konsumsi barang pasar mereka juga meningkat.
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: DAMPAK PENYERAPAN TENAGA KERJA LOKAL PADA PROYEK LIQUIFIED NATURAL GAS TANGGUH TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PENDUDUK DESA DI KAWASAN TELUK BINTUNI PROVINSI PAPUA BARAT merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan sumbernya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, Januari 2009
DEASI MAYAWATI NRP. H351060081
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
DAMPAK PENYERAPAN TENAGA KERJA LOKAL PADA PROYEK LIQUIFIED NATURAL GAS TANGGUH TERHADAP EKONOMI RUMAHTANGGA PENDUDUK DESA DI KAWASAN TELUK BINTUNI PROVINSI PAPUA BARAT
DEASI MAYAWATI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi Pembimbing: Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS
Judul Tesis
:
Dampak Penyerapan Tenaga Kerja Lokal pada Proyek Liquified Natural Gas Tangguh Terhadap Ekonomi Rumahtangga Penduduk Desa di Kawasan Teluk Bintuni Provinsi Papua Barat
Nama Mahasiswa
:
Deasi Mayawati
Nomor Pokok
:
H351060081
Program Studi
:
Ilmu Ekonomi Pertanian
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir.Nunung Kusnadi,MS Ketua
Dr. Ir. Harianto, MS Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian
3. Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 6 Januari 2009
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Manokwari pada tanggal 25 Juni 1977 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Andi Rustam Sinjai dan Sumarthina. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1989 di SDN Yossudarso Manokwari. Penulis melanjutkan studi di SMPN 01 Manokwari hingga kelas dua tahun 1990, lalu pindah ke SMPN 02 Rantepao Tanah Toraja dan menyelesaikan studi di sana pada tahun 1992. Penulis kemudian melanjutkan studi di SMAN 02 Manokwari pada tahun yang sama dan lulus tahun 1995. Tahun 1995 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih Manokwari dan meraih gelar sarjana pada tahun 2001. Tahun 2002 penulis diterima bekerja sebagai staff pengajar tidak tetap pada Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Negeri Papua (UNIPA) dan menjadi staff pada Pusat Penelitian Pemberdayaan Fiskal dan Ekonomi Daerah (P3FED) UNIPA. Per Desember Tahun 2003, penulis diangkat menjadi staff pengajar tetap di Program Studi Agribisnis Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian UNIPA. Pada tahun 2006 penulis diberikan kesempatan untuk melanjutkan studi S-2 di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan sponsor BPPS dari Dirjen Pendidikan Tinggi. Tahun 2007 penulis menikah dengan Tommy Ferdinand Undap, staff Dinas Kesehatan Teluk Wandama Provinsi Papua Barat.
PRAKATA
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Yesus Kristus yang telah memberikan hikmat dan kemampuan untuk menyelesaikan penulisan tesis ini yang berjudul ” Dampak Penyerapan Tenaga Kerja Lokal pada Proyek Liquified Natural Gas Tangguh Terhadap Ekonomi Rumahtangga Penduduk Desa di Kawasan Teluk Bintuni Provinsi Papua Barat”. Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Harianto, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan mengarahkan penulis dengan memberikan saran dan sumbangan pemikiran yang sangat membantu selama penulisan tesis ini. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. M. Parulian Hutagaol, MS selaku penguji luar komisi pembimbing atas kritik dan sarannya. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada: 1. Rektor Universitas Negeri Papua (UNIPA) dan Dekan Fakultas Pertanian UNIPA, serta Bapak Ir. Achmad Rochani, MS yang telah memberikan rekomendasi dan kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan studi di IPB. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian dan pengajar mata kuliah Metodologi Penelitian Ekonomi yang telah memberikan banyak saran dan dorongan selama perkuliahan. 3. Seluruh dosen dan staff yang telah memberikan arahan selama penulis kuliah di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana IPB.
4. Pemerintah Daerah Kabupaten Teluk Bintuni, Managemen BP-Migas serta Kepala Desa Tanah Merah dan Saengga yang telah memfasilitasi penulis selama penelitian ini dilakukan. 5. Teman-teman EPN angkatan 2006 (Sayekti Handayani, Dewi Haryani, Indra Rochmadi, Ismi Jazila, Husen Bahasoan, I Gusti Ayu P. Mahendri, Risyuwono, Femmi Nor Fahmi, Dahya, Andi Thamrin, Piter Sinaga dan I Wayan Sukanata) atas kebersamaan di dalam suka dan duka selama perkuliahan dan penulisan tesis ini serta semua pihak yang turut memberikan sumbang saran dan bantuan serta doa selama penulis kuliah di IPB yang namanya tidak dapat disebutkan satu per satu. Secara khusus dengan penuh rasa cinta dan hormat, penulis mengucapkan terimakasih yang tulus kepada suami terkasih Tommy Ferdinand Undap yang telah berdoa dan mendukung penulis selama kuliah di IPB. Penghargaan dan trimakasih yang tulus, juga di sampaikan kepada Ayahanda tercinta Andi Rustam Sinjai dan Ibunda tercinta Sumarthina, adikku Nikson Firmansyah dan Zulfikar Mardiyadi yang telah memberikan dukungan materil dan doa selama penulis kuliah di IPB. Akhir kata, tesis ini penulis persembahkan kepada pembaca sebagai pengetahuan dan sumber informasi yang diharapkan berguna bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Bogor,
Januari 2009
Deasi Mayawati
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Provinsi Papua Barat merupakan provinsi pemekaran dari Provinsi Papua yang sebelumnya lebih dikenal dengan Provinsi Irian Jaya. Provinsi ini dimekarkan berdasarkan Undang-Undang nomor 45 tahun 1999 yaitu pada masa pemerintahan Presiden Bachruddin Jusuf Habibie berdasarkan aspirasi masyarakat dan pertimbangan terhadap kemajuan dan perkembangan Provinsi Irian Jaya. Undang-Undang tersebut dipertegas oleh Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999. Berdasarkan tujuan tersebut semua komponen Departemen Pusat dan Kepala Pemerintahan
di
daerah
diinstruksikan
untuk
melaksanakan
percepatan
pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong (BAPPEDA, 2005). Provinsi Papua Barat terdiri dari sembilan wilayah pemerintahan kabupaten/kota, yaitu Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Manokwari, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama, Kabupaten Fak-Fak, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Raja Ampat dan Kota Sorong dengan luas keseluruhan wilayah tersebut adalah 133 724 km2. Kesembilan wilayah ini mempunyai potensi sumberdaya alam yang melimpah baik sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable) maupun yang tidak dapat diperbaharui (non renewable).
Sebelum dan sesudah Provinsi Papua Barat dimekarkan, sektor
2
primer tetap menjadi sektor utama yang memberikan kontribusi terbesar kepada PDRB provinsi seperti yang terlihat pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1. Peranan Masing-masing Sektor Terhadap Pembentukan Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1999 – 2003 (%) Sektor (1) 1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik dan Air Bersih 5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Angkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
1999 (2) 16.39 63.24 4.09 0.21 2.71 4.20 1.00
2000 (3) 16.11 63.10 3.37 0.22 2.58 4.38 1.90
2001 (4) 16.21 63.66 3.07 0.22 2.48 4.45 0.97
2002 (5) 20.11 53.60 3.81 0.35 3.49 5.75 1.16
2003 (6) 18.81 56.73 3.66 0.38 3.22 5.70 1.04
5.68
5.71
6.17
8.11
6.97
Sumber: BPS Provinsi Papua, 2003
Tabel 2. Peranan Masing-masing Sektor Terhadap Pembentukan Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Barat Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2007 (%) Sektor (1) 1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik dan Air Bersih 5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Angkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-jasa
2007 (2) 26.64 15.98 20.10 0.56 8.61 10.58 7.44 2.07 8.03
Sumber: BPS Provinsi Papua Barat, 2008
Melihat sumbangan sektor pertambangan dan galian terlihat bahwa potensi migas dan non migas di wilayah Papua cukup besar, namun saat ini yang memegang peranan penting terhadap PDRB adalah sektor pertambangan non
3
migas. Sekalipun demikian, bukan berarti potensi migas di wilayah ini terbatas. Kabupaten Teluk Bintuni merupakan salah satu kabupaten di wilayah provinsi Papua Barat yang memiliki potensi tambang yang cukup besar, termasuk migas. Hampir seluruh kawasan ini mengandung gas alam cair (liquified natural gas) dengan jumlah cadangan mencapai 23.7 trilyun kaki kubik dan kandungan minyak bumi kurang lebih 45 juta ton (BAPPEDA, 2005). Potensi sumberdaya alam yang cukup besar tersebut mendorong investor berinvestasi di kawasan tersebut.
Pada tahun 1998 berdasarkan SK Menteri
Pertambangan dan Energi No.04/DKPP/1998 tertanggal 13 Januari 1998 telah dibangun proyek Liquified Natural Gas (LNG) Tangguh di Kawasan Teluk Bintuni (PERTAMINA & BP, 2002). Proyek ini dikelola oleh Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP-Migas) dan British Petrolleum (BP) yang memegang hak guna usaha selama 30-50 tahun. Penemuan gas dengan cadangan yang sangat besar di wilayah ini mencapai 14.4 trilyun kaki kubik yang terletak di lapangan Weriagar dan Vorwata (PERTAMINA & BP, 2002). Tujuan utama dari rencana pengembangan proyek ini adalah untuk menghasilkan gas alam dan sekaligus mengolahnya menjadi gas alam cair atau LNG, dan mengangkut serta memasarkannya ke pasar LNG tradisional maupun pasar yang baru berkembang. Penemuan cadangan migas di kawasan ini mendukung Indonesia kedepannya sebagai negara pengekspor LNG terbesar di dunia. Bila proyek ini beroperasi maka ada sejumlah keuntungan ekonomi yang diperoleh oleh Indonesia secara umum dan Provinsi Papua Barat secara khusus.
4
Eksploitasi sumberdaya gas alam yang dilakukan oleh BP-Migas dan BP di Kawasan Teluk Bintuni diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi pengembangan ekonomi daerah melalui lapangan kerja baru yang terbentuk, peluang tumbuhnya berbagai kegiatan bisnis baru, pembelian produkproduk lokal hasil usaha masyarakat Papua, dan pembayaran berbagai jenis pajak dan non-pajak kepada pemerintah (UNIPA, 2004).
Berdasarkan riset untuk
Ethical Corporation tahun 2004 diperkirakan pemerintah Indonesia akan memperoleh pendapatan kurang lebih sebesar 12 milyar dollar Amerika Serikat yang bersumber dari produksi bersama dan pajak selama proyek tersebut beroperasi, dimana pemerintah pusat akan memperoleh 8.7 milyar dollar sedangkan pemerintah daerah Papua akan memperoleh sekitar 3.6 milyar dollar Amerika Serikat. Aliran pendapatan ini baru bisa dinikmati oleh masyarakat Papua pada tahun 2012 karena perolehan pendapatan pada tahun-tahun sebelumnya diprioritaskan untuk membayar para penanam modal yang telah menanamkan sahamnya (PPI India, 2006). Laporan mengenai pendapatan yang akan diterima oleh masyarakat Papua secara terpisah yang dilaporkan oleh Tangguh Independent Advisory Panel (TIAP) dalam DTE 60 (2004) yaitu jumlah pendapatan yang akan diterima oleh pemerintah Papua mencapai antara 100 juta dollar pertahun pada tahun 2016 hingga 225 juta dolar pertahun pada tingkat produksi puncak. Pendapatan ini sangat tergantung pada seberapa banyak terminal LNG dibangun. Selain itu dalam laporan keduanya tim TIAP menunjukkan adanya ketidakpastian berkaitan dengan
5
masalah pembagian pendapatan di masa datang antara pemerintah Indonesia dan pemerintah di tingkat lokal dan provinsi. Sebaliknya dari pihak BP-Migas sendiri melalui Pudyantoro (2007) mengemukakan bahwa bagi hasil migas setelah adanya undang-undang otonomi khusus lebih banyak yang diterima pemerintah daerah setempat, yang dapat dilihat pada Gambar 1. Pada gambar tersebut terlihat bahwa sebagian besar dana yang masuk ke pemerintah Indonesia, sebagian besarnya dialokasikan untuk pemerintah daerah baik pada bahan tambang minyak maupun gas setelah dikurangi dengan berbagai potongan yang berkaitan dengan pembangunan proyek tersebut.
Mekanisme PSC
Potongan: PDRD, PBB, PPN Reimbursment, Fee Kegiatan Hulu Misal : US$ 13.250
Bagian pe merintah U$ 63.250
Bahan tambang
Lifting US$ 100.00
> 12 mil
US$ 50.00 4-12 mil
<4 mil
Minyak
Pemerintah pusat 100 %
1. Pemerintah pusat 30 % 2. Provinsi 65 % 3. Kabupaten non penghasil 5 %
1. Pemerintah pusat 30 % 2. Provinsi 58 % 3. Kabupaten penghasil 6% 4. Kabupaten non penghasil 6%
Gas
Pemerintah pusat 100 %
1. Pemerintah pusat 30 % 2. Provinsi 60 % 3. Kabupaten non penghasil 10 %
1. Pemerintah pusat 30 % 2. Provinsi 46 % 3. Kabupaten penghasil 12 % 4. Kabupaten non penghasil 12 %
Bagian kontraktor US$ 36.750
Keterangan: Keterangan: PSC: Production Sharing Contract Gambar 1. Mekanisme Bagi Hasil Migas Era Otonomi Khusus
6
Proyek Tangguh diperkirakan mulai beroperasi pada tahun 2008, pada kuartal keempat. Pada bulan Mei 2007 sudah dilakukan pengeboran eksplorasi pada dua sumur di anjungan lepas pantai B yang merupakan salah satu target dari 15 sumur yang direncanakan akan dieksplorasi hingga tahun 2009. Gas alam cair ini telah mempunyai pembeli yang berkomitmen untuk memasok yaitu Fujian (Cina) sebesar 2.6 juta ton per tahun, K-Power dan Posco (Korea) sebesar 1.1 juta ton pertahun, Sempra Energy LNG Marketing Corp (Meksiko) sebesar 3.6 juta ton per tahun (DOT, 2007). Terlepas dari semua keuntungan ekonomi yang akan dinikmati, pembangunan proyek LNG Tangguh ini juga mempunyai kemungkinan menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian maupun lingkungan fisik dan sosial di wilayah tersebut. Beberapa dampak yang mungkin ditimbulkan oleh adanya pembangunan proyek ini seperti yang tercatat dalam PERTAMINA & BP (2002), antara lain : 1. Dampak sosial ekonomi pekerja konstruksi diperkirakan mencapai 5 800 dan 500 pekerja lapangan. 2. Pemukiman kembali penduduk Desa Tanah Merah yang pemukimannya merupakan lokasi pembangunan proyek tersebut. 3. Hilangnya hak ulayat masyarakat lokal atas tanah dan daerah perairan dekat pantai. 4. Gangguan terhadap lahan, hilangnya kayu, dan hilangnya habitat satwa liar karena pembukaan lahan.
7
5. Dampak terhadap daerah hutan mangrove dari perpipaan dan fasilitas dermaga khusus. 6. Dampak terhadap kualitas air akibat pembuangan air terproduksi (produced water), air limbah domestik, air buangan lainnya, dan dari sedimen selama konstruksi dan saat pengerukan di dekat pantai dan lepas pantai. 7. Dampak terhadap perikanan lepas pantai dan dekat pantai serta jalur penangkapan ikan (right of way). 8. Limbah yang dihasilkan dari kegiatan industri dan kegiatan masyarakat. 9. Dampak kualitas udara selama konstruksi dan operasi dari sumber bergerak dan tidak bergerak, dan dari debu halus lepasan (fugitive dust). 10. Dampak kebisingan dan penyinaran (lampu). 11. Dampak dari keterbatasan akses untuk daerah penangkapan ikan dekat pantai. 12. Daerah pertanian dan perburuan tradisional, dan penggunaan lahan yang lain. 13. Dampak-dampak lain yang berhubungan dengan kegiatan proyek seperti ini. Dalam
pembangunan
proyek
ini
tentu
saja
pemerintah
harus
memperhatikan dampak yang ditimbulkan olehnya. Desa-desa yang terletak dekat lokasi proyek baik lokasi tempat kegiatan eksploitasi gas, kegiatan transmisi gas, kegiatan kilang LNG, pembangunan pelabuhan dan bandara diduga akan merasakan dampak negatif akibat kegiatan konstruksi selama proses konstruksi berlangsung, seperti berkurangnya wilayah penangkapan ikan dan daerah perburuan tradisional, kebisingan dan lain sebagainya. Sedangkan desa-desa yang terletak jauh dari proyek kemungkinan tidak akan merasakan dampak tersebut. Dengan adanya proyek tersebut terbuka kesempatan untuk bekerja langsung di
8
proyek dan juga kesempatan untuk menjual hasil-hasil pertanian dan perikanan serta hasil produksi rumahtangga lainnya, baik bagi penduduk yang berada di desa yang terletak di dekat proyek maupun yang jauh dari proyek, meskipun demikian peluang lebih besar terdapat di desa-desa yang lebih dekat dengan lokasi proyek. Beberapa desa yang terletak dekat dengan lokasi proyek ini adalah Desa Tanah Merah, Desa Simuri, Desa Weriagar, Desa Toweri, Desa Tofoi, Desa Tomu dan Desa Taroy. Ketujuh desa tersebut tersebar pada empat kecamatan atau distrik di kawasan Teluk Bintuni, yaitu Distrik Babo, Distrik Aranday, Distrik Kokas dan Distrik Simuri. Sedangkan desa-desa yang terletak jauh dari proyek antara lain Desa Sidomakmur, Desa Irarutu III, Desa Aroba, Desa Yaru, Transmigrasi SP I, Transmigrasi SP II dan Desa Kalitami.
1.2. Perumusan Masalah Wilayah Papua merupakan wilayah dimana terdapat sumberdaya alam yang potensial di berbagai sektor, baik itu pertanian, perikanan, kehutanan serta pertambangan. Investasi juga terus dilakukan di wilayah ini, hal ini terlihat dari adanya perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di berbagai sektor di wilayah tersebut. BPS Provinsi Papua (2003) mencatat bahwa hingga tahun 2003, total investasi di Papua adalah sebesar Rp. 27 456 752 037 000 dan jumlah industri yang ada 4 387 yang menyerap tenaga kerja sebesar 49 689 pekerja pada berbagai level pendidikan. Jumlah tersebut sangat rendah dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja yang sebenarnya tersedia yaitu sebesar 1 169 796 jiwa.
9
Pembangunan di wilayah ini terkesan lamban dibandingkan pembangunan di wilayah Indonesia Tengah dan Indonesia Barat.
Hal ini dipicu karena
lambatnya perkembangan infrastruktur di wilayah tersebut yang dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya pemanfataan sumberdaya yang ada dan didukung oleh infrastruktur yang memadai, perkembangan wilayah ini seharusnya tidak berbeda jauh dengan perkembangan pembangunan di wilayah Indonesia barat, tetapi ternyata hal tersebut jauh dari yang diharapkan. Sekalipun terkesan lamban, pembangunan di wilayah ini terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari PDRB yang terus meningkat dari tahun ke tahun seperti yang terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kelompok sektor (1) Primer Sekunder Tersier PDRB
Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Menurut Kelompok Sektor Tahun 2002-2003 Atas Dasar Harga Berlaku Pertumb (Juta Rp) uhan (%) (2) (3) (4) 17 025 837.53 21 700 209.55 27.45 1 769 270.32 2 083 308.09 17.82 4 302 413.53 4 941 277.07 14.85 23 096 521.38 28 742 794.71 24.37
Atas Dasar Harga Konstan 1993 Pertumb (Juta Rp) uhan (%) (5) (6) (7) 6 266 240.29 6 740 100.09 1.13 627 731.49 688 291.22 8.53 1 347 664.39 1 488 367.60 8.67 8 201 636.17 8 916 758.92 8.67
Sumber: BPS Provinsi Papua, 2003
Tabel 3 menunjukkan bahwa sektor primer merupakan sektor penyumbang terbesar pada PDRB Papua sekalipun pertumbuhannya lebih rendah dibanding sektor sekunder dan tersier.
Sektor primer adalah sektor pertanian, sektor
pertambangan dan galian, sedangkan sektor sekunder adalah sektor industri pengolahan, sektor listrik dan air minum serta sektor konstruksi. Sektor sisanya adalah sektor tersier. Dibangunnya proyek LNG Tangguh yang baru di Papua tentu saja akan meningkatkan PDRB Provinsi Papua Barat di masa yang akan datang. Saat ini
10
proyek ini dianggap sebagai mesin pembangunan ekonomi di Papua setelah Freeport yang berlokasi di Timika Papua. Salah satu komitmen yang diberikan kepada masyarakat oleh proyek LNG Tangguh adalah adanya penyerapan tenaga kerja lokal dan tenaga kerja di sekitar wilayah kepala burung seperti yang terlihat pada Tabel 4 . Tabel 4. Target Tenaga Kerja Konstruksi Proyek Liquified Natural Gas Tangguh (% jam-orang) Semua pekerja yang mewakili persentase jam kerja selama masa konstruksi Tenaga kerja tidak terampil Tenaga kerja dengan ketrampilan menengah Tenaga kerja dengan ketrampilan tinggi Manajer/supervisor
Desa yang terkena dampak langsung
Kepala burung
Daerah lainnya di Papua
Orang Indonesia lainnya atau orang asing
20
25
55
0
10
20
63
7
0
2
10
88
0
1
5
94
Sumber: UNIPA, 2004 Dari Tabel 4 terlihat bahwa sebagian besar dari tenaga kerja yang terserap di wilayah Papua untuk tahapan konstruksi proyek LNG Tangguh merupakan pekerja dengan tingkat ketrampilan menengah ke bawah. Hal ini tidak mengherankan karena hingga tahun 2003 persentase jumlah penduduk yang termasuk angkatan kerja yang mempunyai pendidikan sekolah dasar hingga sekolah menengah tingkat pertama adalah sebesar 80.38 persen dan sisanya adalah pendidikan diploma dan strata satu (BPS Provinsi Papua, 2003). Target proyek LNG Tangguh adalah menyerap 42.75 persen angkatan kerja orang Papua selama masa konstruksi dari keseluruhan target rekrutmen, baik melalui rekrutmen oleh BP-Migas secara langsung maupun melalui kontraktor BP-Migas.
11
Di daerah yang masuk kategori daerah yang terkena dampak langsung, pada tahap konstruksi, kontraktor akan menawarkan satu jenis pekerjaan kepada setiap rumah tangga di kampung-kampung tersebut dengan memperhatikan kemampuan masing-masing rumah tangga. Tenaga kerja yang direkrut merupakan tenaga kerja kontraktor. Artinya tenaga kerja tersebut akan bekerja untuk mendapatkan upah dari kontraktor dan menerima perintah kerja dan bekerja di bawah pengawasan kontraktor. Pekerjaan yang diberikan merupakan pekerjaan yang bersifat jangka pendek. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh setiap pencari kerja adalah KTP atau kartu keluarga (UNIPA, 2006). Proses rekrutmen tenaga kerja di desa yang terletak dekat dengan proyek seperti yang dilaporkan oleh Tim Peneliti UNIPA (2006) adalah sebagai berikut : 1. Kontraktor memberikan informasi mengenai kebutuhan tenaga kerja dan meminta bantuan kepada BP. 2. BP meneruskan informasi tersebut kepada kepala kampung dan kepala distrik yang bersangkutan. 3. Kepala kampung diharapkan merekomendasikan kepada BP nama-nama calon tenaga kerja. 4. BP menyampaikan nama-nama calon yang direkomendasikan oleh kepala kampung kepada kontraktor. 5. Kontraktor mengadakan proses seleksi. Pada tahap ini, dimungkinkan ada sebagian calon akan lulus seleksi dan ada yang tidak lulus seleksi.
12
6. Calon yang lulus seleksi diharuskan mengikuti tes kesehatan yang dapat dilakukan di kampung tempat calon berasal atau di tempat lain yang ditunjuk oleh kontraktor. 7. Setelah calon dinyatakan lulus tes kesehatan, kontraktor/BP akan memberitahu kepada calon tenaga kerja tersebut, kapan ia harus mulai bekerja. Proses rekrutmen tenaga kerja di kampung yang dekat dengan proyek dapat dilihat pada Gambar 2. Proses rekrutmen akan dilakukan di luar kampung dekat proyek jika masih terdapat kekurangan tenaga kerja melalui pusat-pusat penerimaan atau Hiring Points yang didirikan oleh kontraktor di empat kota, yaitu : Bintuni, Fakfak, Sorong dan Manokwari. 4
Kontraktor Kontraktor
BP
1
3 2
Ka. Kampung / Ka. Distrik
5 Test
6
Penerimaan
Gambar 2. Proses Rekrutmen Tenaga Kerja Kontraktor tidak akan melakukan penerimaan tenaga kerja di lokasi proyek. Informasi mengenai rekrutmen tenaga kerja tersebut dapat diperoleh di kantorkantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Teluk Bintuni, Fakfak, Sorong dan Manokwari. Bila ada kebutuhan tenaga kerja, Proyek Tangguh/kontraktor mengumumkan hal tersebut melalui media massa dan berkoordinasi dengan kantor Dinas Tenaga Kerja di Bintuni, Manokwari, Fak-fak dan Sorong. Pada tahap konstruksi proyek, tenaga kerja yang dibutuhkan adalah tenaga kerja yang memiliki ketrampilan yang rendah dan menengah. Posisi tenaga kerja
13
dengan ketrampilan menengah oleh pemrakarsa proyek diberikan pelatihan agar penduduk di dekat proyek tersebut dapat memenuhi kualifikasi pekerjaan tersebut. Posisi pekerjaan dengan tingkat ketrampilan menengah tersebut antara lain: tukang cat, tukang kayu, supir dan pembantu tukang las sedangkan posisi pekerjaan dengan ketrampilan yang rendah seperti cleaning service. Pada tahap operasional, tenaga kerja yang dibutuhkan adalah tenaga kerja terampil karena baik untuk operasionalisasi peralatan maupun pemeliharaannya membutuhkan ketrampilan yang tinggi. Oleh karena itu oleh pihak pemrakarsa proyek ditetapkan target kesempatan kerja pada jangka pendek, menengah dan jangka panjang agar penduduk di sekitar proyek dapat memenuhi berbagai kualifikasi yang dibutuhkan dalam setiap posisi pekerjaan (PERTAMINA & BP, 2002). Hingga bulan Januari 2007, jumlah pekerja lokal yang direkrut adalah sebanyak 635 pekerja dari 868 angkatan kerja dari seluruh desa-desa yang terkena dampak langsung pembangunan proyek tersebut atau sekitar 73.16 persen. Keseluruhan pekerja lokal yang direkrut tersebut berasal dari 502 rumahtangga dari total 870 rumahtangga yang ada di desa-desa yang terkena dampak langsung (UNIPA, 2007). Dengan adanya pembangunan proyek tersebut termasuk rekrutmen tenaga kerja yang dilakukan dalam tahapan konstruksi tersebut secara langsung akan mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi para pekerja lokal di wilayah Papua, terutama masyarakat yang berdomisili di desa yang terdekat dengan proyek. Sumber mata pencaharian penduduk di sekitar proyek dapat dibagi menjadi dua, yaitu sumber mata pencaharian yang bergantung sepenuhnya kepada potensi
14
sumberdaya alam seperti kegiatan bertani, menangkap ikan, berburu dan menokok sagu yang merupakan sektor non formal dan sumber mata pencaharian dari keterlibatan mereka pada berbagai industri yang ada di wilayah tersebut yang merupakan sektor formal. Perekrutan tenaga kerja lokal di sekitar wilayah proyek LNG Tangguh membuka peluang berpindahnya tenaga kerja potensial yang selama ini bekerja di sektor informal ke sektor formal.
Hal ini tentu saja dapat mengakibatkan
terjadinya perubahan-perubahan di dalam setiap rumahtangga yang salah satu anggota keluarganya bekerja di proyek tersebut. Pilihan untuk bekerja di proyek LNG Tangguh dapat disebabkan oleh respon positif terhadap pendapatan tunai yang dapat mereka terima ataupun karena tekanan demografi akibat jumlah tanggungan keluarga yang besar sehingga mendorong rumahtangga untuk menetapkan pilihan-pilihan rasional didalam memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Berkurangnya tenaga kerja potensial yang selama ini mengalokasikan kerjanya pada sektor informal akibat keputusan bekerja di proyek mengakibatkan alokasi kerja pada sektor tersebut juga menurun pada setiap rumahtangga. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap perilaku ekonomi rumahtangga penduduk yang bekerja di proyek tersebut, baik dalam pengambilan keputusan produksi, alokasi kerja anggota rumahtangga dan konsumsi mereka. Berdasarkan pemikiran tersebut maka hal-hal yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah :
15
1. Apakah penyerapan tenaga kerja lokal pada proyek LNG Tangguh mengakibatkan adanya perubahan alokasi kerja pada berbagai aktivitas produksi yang bergantung kepada potensi sumber daya alam? Bagaimana dampaknya terhadap struktur pendapatan rumahtangga dan konsumsi rumahtangga? 2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi produksi dan konsumsi dari rumahtangga yang bekerja pada proyek LNG Tangguh? 3. Apakah dengan adanya peningkatan cash income karena adanya penyerapan tenaga
kerja
pada
proyek
pembangunan
LNG
Tangguh
tersebut
mempengaruhi alokasi kerja dan konsumsi rumah tangga?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk menganalisis keadaan ekonomi rumahtangga masyarakat yang bekerja pada proyek LNG Tangguh, sedangkan tujuan spesifiknya adalah: 1. Menganalisis dampak adanya penyerapan tenaga kerja lokal pada proyek LNG Tangguh terhadap alokasi kerja rumahtangga, struktur pendapatan dan konsumsi rumahtangga. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan produksi dan konsumsi rumahtangga yang bekerja pada proyek LNG Tangguh. 3. Menganalisis pengaruh peningkatan proporsi cash income karena adanya penyerapan tenaga kerja lokal terhadap aktivitas produksi dan konsumsi yang selama ini telah dilakukan oleh penduduk setempat.
16
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi management proyek LNG Tangguh dan pemerintah daerah setempat dalam rangka mengembangkan masyarakat di desa yang berada di sekitar wilayah pembangunan proyek tersebut. Selain itu penelitian ini juga diharapkan bisa memberikan informasi yang aktual mengenai perkembangan desa di sekitar lokasi proyek tersebut.
1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Ruang lingkup penelitian ini hanya melihat dampak pembangunan proyek LNG Tangguh terhadap keadaan ekonomi rumah tangga penduduk yang bekerja pada proyek LNG Tangguh baik kegiatan produksi maupun konsumsinya. Dampak lain akibat pembangunan proyek seperti limbah proyek, kualitas air dan hak ulayat masyarakat tidak termasuk dalam penelitian ini. Data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer selanjutnya akan dianalisis secara simultan. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonomi rumah tangga masyarakat yang terkena dampak pembangunan proyek.
17
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Potensi Sumberdaya Alam di Kawasan Teluk Bintuni Kawasan Teluk Bintuni merupakan kawasan yang terletak di kepala burung pulau Papua yang merupakan wilayah administrasi Kabupaten Teluk Bintuni. Sebelumnya kabupaten ini adalah merupakan salah satu kecamatan di wilayah administrasi Kabupaten Manokwari yang mengalami pemekaran berdasarkan Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2002. Kabupaten ini terdiri dari sebelas kecamatan dan 96 desa dengan ibukota kabupaten di Bintuni yang merupakan pusat pemerintahan kabupaten tersebut. Luas kabupaten ini adalah 18 637 km2 atau 13.02 persen dari keseluruhan wilayah Provinsi Papua Barat ( BPS, 2008). Kawasan ini merupakan kawasan yang kaya potensi sumberdaya alam seperti kehutanan, perikanan, perkebunan dan pertambangan, sehingga sektor primer merupakan sektor unggulan di kawasan ini. Potensi hutan di kawasan ini mencapai 1.1 juta hektar yang terdiri dari hutan produksi 3.74 persen, hutan produksi konversi 30.4 persen, hutan produksi terbatas 11.2 persen, kawasan konservasi 15.2 persen dan hutan lindung sebesar 5.8 persen. Sektor perkebunan yang dikembangkan di wilayah ini adalah kelapa sawit, kakao dan kelapa, dimana luas lahan yang tersedia untuk digarap adalah 250 000 hektar. Sektor perikanan di wilayah ini didominasi oleh perikanan laut terutama ikan dan udang dengan kepadatan masing-masingnya 1 059 ton per km2 dan 0.041 ton per km2. Selain itu potensi kepiting bakau merupakan salah satu produk perikanan yang potensial di
18
wilayah ini karena wilayah ini dipenuhi bakau sepanjang sungai-sungai yang ada. Sektor unggulan lainnya adalah sektor pertambangan. Jumlah cadangan gas alam cair (LNG) di kawasan ini mencapai 23.7 triliun kaki kubik yang berada pada hampir semua kawasan Teluk Bintuni.
Selain itu kandungan minyak bumi
diperkirakan mencapai 45 juta ton yang terletak di Kecamatan Muskona Selatan. Kawasan ini juga mempunyai potensi batu bara dan mika dengan cadangan masing-masing mencapai 14.3 juta ton batu bara dan 150 juta metrik ton mika (BAPPEDA, 2005). Dengan adanya potensi sumberdaya alam yang cukup banyak tersebut, maka tidaklah mengherankan bila Kawasan Teluk Bintuni merupakan kawasan yang menjadi target para investor didalam menanamkan sahamnya terutama di sektor primer. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah perusahaan skala besar yang berinvestasi di wilayah tersebut. Adapun perusahaan-perusahaan yang bergerak di sub sektor kehutanan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Jumlah Jenis Perusahaan Sektor Kehutanan di Wilayah Provinsi Irian Jaya Barat Sesuai Perijinan Tahun 2004 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Kabupaten Kabupaten Fakfak Kabupaten Teluk Wondama Kabupaten Sorong Kabupaten Raja Ampat Kabupaten Kaimana Kabupaten Teluk Bintuni Kabupaten Sorong Selatan Manokwari Total
Jumlah Perusahaan Yang memiliki Ijin Sah IPH HPH Kopermas ISL HK Σ Luas (Ha) Σ Luas (Ha) Σ Σ 2 309 300 10 10 000 2 *) 2 311 800 12 12 000 *) *) 4 691 450 27 27 000 3 3 1 51 600 5 5 000 *) *) 7 1 319 010 7 7 000 9 4 8 1 396 140 33 33 000 6 5 3 609 500 5 5 000 *) *) 1 85 000 10 10 000 27 7 28 4 773 800 109 109 000 47 19
Sumber: Tokede et al, 2006 Keterangan : *) Kabupaten pemekaran, belum tersedia data dan kemungkinan terpaut dalam data Kabupaten induk. ISL = Izin Sah Lain IPHHK = Industri Primer Hasil Hutan Kayu
19
Lebih lanjut PERTAMINA dan BP (2002) dalam laporan AMDAL mencatat bahwa di Kecamatan Babo, pemerintah daerah telah melaporkan bahwa terdapat rencana pengembangan perkebunan kelapa sawit sebagai berikut: 1. PT Varita Maju Utama (Kelapa Sawit) – 60 000 atau 90 000 ha untuk perkebunan dan100 ha untuk pabrik. 2. PT Yapen Mitra Agricultura (Kelapa Sawit) – 36 000 ha. 3. PT Kasuari Aria Kencana (Kelapa Sawit) – 36 000 ha. 4. PT Intsia Palembanica Lestari (Kelapa Sawit) – 3000 ha. Selain itu jumlah perusahaan yang bergerak di sub sektor perikanan pada tahun 2002 di kawasan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Perusahaan Penangkapan Ikan yang Bermarkas di Wimbro Tahun 2002 Nama Perusahaan PT Mina Raya Wimro – Babo dan ke sembilan anak perusahaannya: a. PT Irian Marine Product Development (IPMD) b. PT West Irian Fishing Industry (WIFI) c. PT Alfa Kurnia d. PT Dwi Bina Utama e. PT Nusantara Fishing f. PT Mina Indo Kencana g. PT Timika Jaya Nusantara h. PT Tunggal Jaya Utama i. PT Daya Guna Samudera Sumber: PERTAMINA & BP, 2002.
Kegiatan
Wilayah Operasi
Eksploitasi Udang
Wilayah operasinya adalah seluruh Teluk Berau/Bintuni pada 3 Distrik: 1. Distrik Babo 2. Distrik Bintuni 3. Distrik Aranday
2.2. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat di Kawasan Teluk Bintuni Penduduk asli Kawasan Teluk Bintuni terdiri dari tujuh suku, yaitu suku Sough, Wamesa, Irarutu, Sebyar, Kuri, Simuri dan Moskona. Sebaran populasi penduduk asli di Kecamatan Babo terdiri dari lima buah suku yang besar, yaitu
20
Suku Kuri, Wamesa, Irarutu, Simuri, dan Sough. Di Distrik Aranday populasi suku yang terbanyak adalah suku Sebyar sedangkan di Distrik Bintuni pemilik hak ulayat adalah suku Wamesa dan Sough. Masing-masing suku ini dipimpin oleh kepala suku yang disebut ondoafi yang tergabung dalam Pilar Lembaga Masyarakat Adat Teluk Bintuni (LMATB). Bila timbul masalah yang berkaitan dengan kepentingan umum disampaikan dalam forum ini yang merupakan sarana penyambung lidah kepada pemerintah setempat. Mata pencaharian utama penduduk di kawasan ini adalah petani dan nelayan, kegiatan sampingan mereka umumnya adalah menokok sagu dan berburu. Menurut PERTAMINA dan BP (2002), rata-rata jumlah pendapatan penduduk yang terkena dampak langsung pembangunan proyek LNG Tangguh adalah berkisar antara Rp. 504 000 hingga Rp. 1 305 000 per bulan, sedangkan desa yang terkena dampak tidak langsung yang terletak dekat proyek berkisar Rp. 324 000 hingga Rp. 2 881 000. Di desa yang terkena dampak tidak langsung yang terletak jauh dari proyek rata-rata pendapatan penduduknya Rp. 549 000 hingga Rp. 1 554 000 per bulannya. Pendapatan tersebut cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sebagai akibat adanya peningkatan harga. Sebagai contoh, berdasarkan survei yang dilakukan di 6 desa pada bulan Maret 1991 diperkirakan bahwa penghasilan total rata-rata dari barang yang diperdagangkan adalah Rp. 1 400 000 per tahun per KK. Bila hasil produksi rumahtangga tidak dijual juga dimasukkan dalam komponen pendapatan, maka nilai total penghasilan rata-rata menjadi Rp. 9 000 000 per KK per tahun. Survei pada bulan April 2001 yang dilakukan oleh tim survei AMDAL memperkirakan
21
bahwa di Simuri (Saengga) penghasilan rata-rata adalah Rp. 840 000 per bulan per KK dengan kisaran antara Rp. 550 000 per bulan hingga Rp. 1 817 000 per bulan. Dimana sumber penghasilan utama penduduk adalah dari penjualan udang sebesar 56 persen atau sekitar Rp. 473 000 per bulan. Kemudian pada bulan Maret 2002 sensus yang dilakukan oleh PERTAMINA dan BP memperkirakan penghasilan rumahtangga di Simuri (Saengga) adalah Rp. 18 311 000 per tahun per KK, dimana 41 persen dari penghasilan tersebut merupakan hasil dari penangkapan udang.
2.3. Tugas dan Wewenang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau yang lebih dikenal dengan BP- Migas merupakan organisasi yang ditetapkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai Pembina dan Pengawas Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) berdasarkan UU No.22/2001 tanggal 23 Nopember 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan PP No.42/2002 tanggal 16 Juli 2002 guna menjalankan kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan pemasaran migas di Indonesia. Dengan adanya lembaga ini maka segala kegiatan pengawasan dan pembinaan kegiatan kontrak kerja sama yang sebelumnya ditangani langsung oleh PERTAMINA dialihkan ke lembaga ini sebagai wakil dari pemerintah Indonesia. Adapun wewenang yang dimiliki oleh BP-Migas dalam menjalankan tugasnya antara lain:
22
a. Membina kerjasama dalam rangka terwujudnya integrasi dan sinkronisasi kegiatan operasional KKKS. b. Merumuskan kebijakan atas anggaran dan program kerja KKKS. c. Mengawasi kegiatan utama operasional KKKS. d. Membina seluruh aset KKKS yang menjadi milik negara. e. Melakukan koordinasi dengan pihak dan/atau instansi terkait yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu. Kontraktor kontrak kerja sama ini meliputi perusahaan dalam dan luar negeri, perusahaaan joint-venture antara perusahaan dalam dan luar negeri berdasarkan tender konsesi yang dilakukan oleh BP-Migas setiap tahunnya. Dengan demikian BP-Migas secara langsung merupakan pengawas dan pembina kontrak kerjasama Proyek LNG Tangguh di Kawasan Teluk Bintuni.
2.4. Manfaat Pembangunan Proyek Liquified Natural Gas Tangguh Tujuan pembangunan Proyek LNG Tangguh di Kawasan Teluk Bintuni adalah memproduksi gas alam, memproses gas alam menjadi LNG, serta mengangkut LNG dan hidrokarbon cair (kondensat) ke pasaran. Proyek ini dilengkapi dengan Fasilitas Produksi Gas (Gas Production Facility, disingkat GPF) dan Fasilitas Kilang LNG (termasuk fasilitas pelabuhan laut khusus dan Bandar Udara Khusus) yang dibangun di daerah Teluk Berau/Bintuni, Provinsi Papua Barat (PERTAMINA & BP, 2002). Total investasi untuk pelaksanaan proyek LNG Tangguh ini adalah sebesar 5 miliar dollar Amerika Serikat. Dari keseluruhan investasi tersebut, 37.16 persen saham proyek tersebut dimiliki oleh
23
BP Migas Indonesia. Untuk tahap awal operasi, telah dibangun Kilang I dan Kilang II yang akan beroperasi secara penuh pada tahun 2009. Pembangunan Kilang III dan IV akan dipastikan setelah pada bulan November 2007 telah diperoleh gambaran cadangan gas yang ada (DOT, 2007). Enam kegiatan utama yang dilakukan didalam pembangunan proyek LNG Tangguh ini antara lain: pembangunan fasilitas eksploitasi gas, pembangunan pipa transmisi gas, pembangunan kilang LNG, pembangunan pelabuhan laut khusus, pembangunan bandar udara khusus dan pemukiman kembali penduduk Desa Tanah Merah. Tenaga kerja yang diharapkan dapat terserap dengan adanya proyek ini sebesar 5 800 tenaga kerja lepas (tidak permanen) selama 3 tahun tahap konstruksi dan kurang lebih 500 orang pekerja tetap (350 orang akan berada di lokasi pada satu waktu) untuk tahap operasi. Secara umum pembangunan Proyek LNG Tangguh diharapkan bermanfaat bagi kepentingan lokal, regional, dan nasional. Dengan adanya pembangunan proyek ini diharapkan perekonomian kawasan Teluk Bintuni mengalami kemajuan yang pesat di masa yang akan datang yang ditandai dengan peningkatan pendapatan maupun kesejahteraan penduduk di sekitar kawasan tersebut karena tujuan pemrakarsa proyek adalah memaksimumkan peluang penduduk lokal dan tenaga kerja Papua untuk berperan serta dalam pekerjaan konstruksi dan operasi kilang LNG. Selain itu proyek ini berperan penting dalam mempertahankan dan memperkuat posisi Indonesia sebagai negara pengekspor LNG terbesar di dunia (PERTAMINA & BP, 2002).
24
2.5. Transformasi Tenaga Kerja dari Sektor Informal ke Sektor Formal Pembangunan proyek LNG Tangguh pada masa konstruksi membutuhkan tenaga kerja yang cukup besar, sekalipun pada masa operasional proyek jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan tidak terlalu besar. Pemrakarsa proyek berusaha memaksimalkan jumlah pekerja asal Papua di lokasi konstruksi.
Berbagai
pelatihan dilakukan oleh pihak proyek untuk meningkatkan ketrampilan para pekerja di sekitar lokasi proyek. Selain itu pemrakarsa proyek mempunyai target rekrutmen jangka pendek, menengah dan jangka panjang seperti yang terlihat pada Tabel 7 yang memungkinkan pada tahap operasional tenaga kerja di sekitar proyek tetap digunakan. Tabel 7. Target Penerimaan Tenaga Kerja Pada Proyek Liquified Natural Gas Tangguh Tahun 2005-2026 Tingkat ketrampilan Unskilled worker Low skilled worker Semi skilled worker Skilled worker Manager/supervisor
Total pekerja 42 50 184 183 60
2005 L P 42 25 25 3 50 15 2
2007 L P 42 35 15 15 75 25 4
2015 L 42 45 20 2 -
P 5 125 75 10
2026 L P 42 50 46 138 18 125 20
Sumber : UNIPA, 2004 Keterangan: L = local area P = other Papua region
Dengan adanya rekrutmen tenaga kerja pada proyek LNG Tangguh serta insentif upah yang tinggi di sektor tersebut dibandingkan upah di sektor pertanian maka rumahtangga di sekitar proyek cenderung akan memilih bekerja dan meluangkan waktu bekerjanya di proyek dibandingkan bekerja pada sumber matapencaharian mereka sebelumnya yaitu bertani, menangkap ikan/udang, berburu dan meramu. Salah satu model dualisme pembangunan pertanian yang
25
dikemukakan oleh Arthur Lewis dalam Ghatak dan Ingersent (1984) dapat digunakan
untuk
menjelaskan
fenomena
ini.
Dalam
modelnya,
Lewis
mengemukakan bahwa ada perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Adapun asumsi yang mendasari model ini adalah: 1. Dalam pembangunan ekonomi ada dua sektor yaitu sektor subsisten yang cenderung miskin dan tertinggal yang umumnya berada di pedesaan dan sektor kapitalis yang cenderung lebih maju dan mempunyai mekanisme pasar yang telah berjalan dengan baik. 2. Sektor subsisten cenderung menggunakan modal yang tidak produktif dibandingkan yang digunakan oleh sektor kapitalis. Dimana sektor kapitalis menggunakan modal yang mampu melipatgandakan produksi yang mereka hasilkan. 3. Elastisitas penawaran tenaga kerja pada sektor subsisten di negara-negara yang sedang berkembang adalah tak terhingga. Hal ini disebabkan karena di negara berkembang jumlah tenaga kerja yang dominan umumnya adalah tenaga kerja dengan tingkat ketrampilan yang rendah sehingga mereka cenderung bersedia untuk bekerja dengan bayaran berapapun. Artinya bahwa produktivitas marginal dari tenaga kerja melebihi penawaran tenaga kerja yang ada dan cenderung mendekati nol. 4. Teknologi produksi pada sektor kapitalis lebih tinggi dari teknologi pada sektor subsisten sehingga output perkapita pada sektor kapitalis lebih tinggi. 5. Upah pada sektor subsisten tidak dipengaruhi oleh produktivitas marginal karena upah yang berlaku cenderung konstan. Sedangkan upah pada sektor
26
kapitalis dipengaruhi oleh produktivitas marginalnya, sehingga sangat dipengaruhi oleh ketrampilan dari tenaga kerja yang ada. Hal ini menurut Lewis dapat diatasi melalui pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja yang merupakan suatu investasi sumberdaya manusia. Menurut Lewis, transfer tenaga kerja dari sektor subsisten ke sektor kapitalis akan bermanfaat atau menguntungkan kedua sektor tersebut, dimana setelah adanya transfer tenaga kerja sektor subsisten akan melakukan perbaikan, sedangkan sektor kapitalis memperoleh input tenaga kerja murah yang dibutuhkan untuk meningkatkan outputnya. Besar kecilnya tenaga kerja yang berpindah dari sektor subsisten ke sektor kapitalis sangat tergantung kepada seberapa besar stok modal yang dimiliki oleh sektor kapitalis melalui investasi yang mereka lakukan dan surplus tenaga kerja yang ada pada sektor subsisten. Fenomena yang terjadi pada pembangunan proyek LNG Tangguh di lokasi yang berada dekat dengan proyek dapat dilihat pada Gambar 3. Sumbu horisontal pada kuadran I dan III menunjukkan sejumlah tenaga kerja pada sektor informal sedangkan kuadran II dan IV menunjukkan sejumlah tenaga kerja pada proyek LNG Tangguh (sektor formal).
Sumbu vertikal pada kuadran I dan II
menunjukkan produk total pada sektor informal dan proyek LNG Tangguh sedangkan pada kuadran III dan IV menunjukkan produktivitas marginal dan tingkat upah yang berlaku di sektor informal dan pada proyek LNG Tangguh. Upah yang cenderung konstan sebesar 0W pada sektor informal dapat dilihat pada kuadran III. Pada kuadran ini terlihat bahwa sekalipun produktivitas marginal tenaga kerja mendekati atau sama dengan 0, upah yang diterima pekerja di sektor
27
ini tetap sama.
Hal ini menunjukkan bahwa upah di sektor informal tidak
dipengaruhi oleh produktivitas marginal tenaga kerjanya. Upah pada proyek LNG Tangguh adalah 0W’ yang lebih tinggi dari upah di sektor pertanian 0W yang merangsang tenaga kerja di sektor pertanian untuk lebih memilih bekerja pada proyek. Upah yang diberikan sesuai dengan produktivitas marginal dari tenaga kerja tersebut. Profit yang diterima oleh proyek awalnya adalah sebesar daerah A. Bila diasumsikan bahwa kaum kapitalis menginvestasikan kembali semua profit yang diperoleh maka produktivitas marginal tenaga kerja semakin meningkat ke M1 dan jumlah tenaga kerja yang diserap akan lebih banyak sebesar L1 dengan tingkat upah yang sama. Hal ini mengakibatkan profit proyek meningkat sebesar luasan daerah A ditambah dengan daerah B. Proses tersebut akan terus berlanjut hingga surplus tenaga kerja di sektor informal terserap habis oleh proyek sehingga upah akan mulai meningkat yang ditunjukkan oleh garis putus-putus. Kasus pada rekrutmen tenaga kerja di proyek LNG Tangguh, pengurangan profit diakibatkan oleh upah yang cenderung meningkat karena pihak proyek menerapkan kebijakan pelatihan dan pendidikan bagi tenaga kerja lokal serta strategi penyerapan tenaga kerja dalam jangka pendek, menengah dan panjang yang kecenderungannya akan meningkatkan ketrampilan penduduk lokal. Pada fase ini menurut Lewis sektor informal dan formal akan bersaing untuk mendapatkan tenaga kerja yang lebih banyak. Implementasi teori Lewis tersebut pada rekrutmen tenaga kerja di proyek LNG Tangguh pada jangka pendek hingga jangka panjang hanyalah relevan pada penduduk yang berada di sekitar lokasi proyek, sedangkan yang berada di luar atau jauh dari lokasi proyek kurang relevan karena secara bertahap proyek
28
mengurangi jumlah tenaga kerja yang berasal dari luar lokasi proyek seperti yang terlihat pada Tabel 7. Pada tahap operasional, diperkirakan jumlah tenaga kerja yang digunakan hanyalah sekitar 500 tenaga kerja yang mempunyai tingkat ketrampilan yang tinggi.
pertanian
Proyek LNG Tangguh
TP
TP2
Q
TP1
TP0
I
II
L2 L1 L0
L
L’
VMP Upah
III
IV M1
C B
M0 A W’ W
L 0
L’ L2 L1 L0
L
0
L0
L1
L2
L’
Gambar 3. Transfer Tenaga Kerja dari Sektor Informal ke Proyek Liquified Natural Gas Tangguh
29
2.6 Tinjauan Penelitian Terdahulu Perpindahan tenaga kerja dari sektor informal ke sektor formal menunjukkan bahwa kedua sektor tersebut mempunyai suatu keterkaitan. Sektor formal menyerap tenaga kerja yang merupakan salah satu input didalam proses produksi dengan upah yang relatif murah, sedangkan sektor informal menerima pendapatan tunai berupa upah yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. Selain itu sektor informal juga menerima berbagai pelatihan yang meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan mereka dalam rangka meningkatkan produktifitas marginal mereka di sektor formal.
2.6.1. Keterkaitan Antar Sektor Dalam Pembangunan Penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti Universitas Negeri Papua (2001) mengenai ”Rencana Pengembangan Sektor Ekonomi Potensial Secara Terpadu di Kawasan Teluk Bintuni” menyimpulkan bahwa kontribusi eksport terbesar di Kabupaten Manokwari didominasi oleh sektor pertanian sebesar 85.64 persen. Sekalipun demikian masing-masing sektor saling menunjang didalam memberikan nilai tambah di dalam perekonomian. Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan suatu sektor tidak mungkin tercapai tanpa adanya dukungan dari sektor lainnya sehingga di dalam melakukan investasi perlu dilihat suatu keterkaitan antara masing-masing sektor, baik keterkaitan ke belakang maupun ke depan. Pada Kawasan Teluk Bintuni sektor primer adalah merupakan sektor yang memberikan kontribusi terbesar pada PDRB (53.87 persen), diikuti oleh sektor jasa (11.02 persen). Dengan melakukan injeksi investasi Rp. 1 000 000 pada
30
sektor pertanian akan meningkatkan faktor produksi berupa modal sebesar Rp. 430 990, tenaga kerja Rp. 549 490, institusi rumahtangga Rp. 367 180, perusahaan sebesar Rp. 66 000, output sektor pertanian Rp. 163 000, sektor kehutanan Rp. 32 000, sektor industri Rp. 14 000, sektor angkutan dan komunikasi Rp. 1000 dan sektor perdagangan sebesar Rp. 95 700. Brata (2004) dengan judul penelitiannya ”Analisis Hubungan Imbal Balik Antara Pembangunan Manusia dan Kinerja Ekonomi Daerah Tingkat II di Indonesia” mengatakan bahwa terdapat hubungan dua arah antara pembangunan
manusia
dan
kinerja
ekonomi.
Pembangunan
manusia
membutuhkan sumberdaya lain untuk pembiayaannya yang bersumber dari pertumbuhan ekonomi, sedangkan salah satu determinan penting dalam proses pertumbuhan ekonomi adalah sumber daya manusia. Hal ini menunjukkan bahwa suatu pembangunan hendaknya tidak hanya menekankan pada kinerja ekonomi tetapi juga harus diimbangi dengan pembangunan manusia. Dari kedua penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa pembangunan suatu sektor sangat terkait dengan pembangunan sektor lainnya dan harus didukung oleh pembangunan sumberdaya manusia.
Bila dikaitkan dengan
penelitian yang dilakukan maka hal utama yang dijadikan pelajaran dari kedua penelitian tersebut adalah sektor formal yang dalam hal ini adalah Proyek LNG Tangguh didukung oleh sektor informal karena tersedianya tenaga kerja murah dengan tingkat ketrampilan yang rendah di desa-desa sekitar proyek. Perpindahan tenaga kerja dari sektor formal ke sektor informal pada jangka menengah dan jangka
panjang
membutuhkan
sumberdaya
manusia
terampil
sehingga
31
pembangunan sumberdaya manusia di sekitar lokasi proyek LNG Tangguh sangat diperlukan untuk meningkatkan produktifitas kerja di proyek.
2.6.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alokasi Waktu Kerja, Produksi, Konsumsi dan Pendapatan Rumahtangga di Beberapa Daerah di Indonesia Perpindahan tenaga kerja dari sektor informal ke sektor formal mempengaruhi alokasi kerja rumahtangga pada berbagai kegiatan produktif yang selama ini telah dilakukan rumahtangga. Oleh karena itu pendekatan ekonomi rumahtangga digunakan dalam penelitian ini untuk melihat dampak proyek terhadap alokasi kerja dan konsumsi rumahtangga Penelitian-penelitian berikut adalah penelitian yang memberikan gambaran secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi alokasi waktu kerja produksi, konsumsi dan pendapatan suatu rumahtangga. Chuzaimah (2006) dalam penelitiannya yang berjudul ”Analisis Keragaan Ekonomi Rumahtangga Petani Peserta dan Non Peserta Rice Estate di Lahan Pasang Surut Delta Telang I Kabupaten Banyuasin Sumatra Selatan” menyimpulkan bahwa tingkat pendapatan dan pengeluaran petani peserta Rice Estate lebih besar dibandingkan petani non peserta, dimana luas lahan dan jumlah pestisida berpengaruh nyata terhadap produksi peserta dan non peserta. Luas lahan, upah, pendapatan dari usahatani dan usia kepala keluarga berpengaruh nyata terhadap tenaga kerja keluarga pada usahatani. Alokasi tenaga kerja di luar usahatani dan pendapatan total berpengaruh nyata terhadap pendapatan di luar usahatani. Pendapatan total, jumlah tanggungan keluarga dan
32
pendidikan istri berpengaruh nyata terhadap konsumsi pangan. Produksi tahun lalu, konsumsi pangan, dan total pendapatan berpengaruh nyata terhadap stok peserta serta konsumsi pangan dan pendapatan total terhadap non peserta. Pendidikan kepala keluarga berpengaruh nyata terhadap rekreasi peserta dan pendapatan total, luas lahan dan dummy asal petani terhadap non peserta. Faradesi (2004) dalam penelitiannya dengan judul ”Dampak Pasar Bebas Terhadap Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Padi di Kabupaten Cianjur: Suatu Analisis Simulasi Model Ekonomi Rumahtangga Pertanian” menemukan bahwa dampak pasar gabah yang tanpa proteksi dan ketiadaan subsidi input memberikan dampak yang buruk bagi kinerja usahatani yang ditunjukkan oleh penurunan produksi per luas lahan, penurunan penggunaan pupuk dan benih serta penurunan investasi usahatani. Kondisi pasar bebas dimana intervensi pemerintah masih dimungkinkan ternyata mampu meningkatkan kinerja usahatani yang ditunjukkan dengan meningkatnya investasi usahatani, produksi per luas lahan, penggunaan pupuk dan benih. Adanya subsidi yang efektif serta diberlakukan tarif impor yang tinggi, namun pemerintah tidak dapat mengatasi masuknya beras ilegal mengakibatkan penurunan produksi per luas lahan, penggunaan pupuk dan benih serta investasi usahatani tetapi tidak separah bila tidak ada proteksi dan subsidi input. Soepriati (2006) dalam penelitiannya yang berjudul ”Peranan Produksi Usahatani dan Gender Dalam Ekonomi Rumahtangga Petani Lahan Sawah: Studi Kasus di Kabupaten Bogor” menyatakan bahwa alokasi waktu kerja yang digunakan untuk kegiatan usahatani padi, ubi jalar dan ubi kayu di lokasi
33
penelitian lebih kecil daripada alokasi waktu yang dicurahkan untuk kegiatan non usahatani. Hal ini disebabkan faktor resiko kegagalan panen dan penurunan harga serta kondisi sumberdaya yang dimiliki berupa lahan yang terbatas, sehingga sebagian besar rumahtangga petani mencari tambahan penghasilan di bidang jasa atau beternak untuk mencukupi konsumsi pangan dan non pangan. Curahan kerja untuk meningkatkan produksi dipengaruhi oleh curahan kerja luar usaha terutama untuk tanaman padi yang lebih banyak membutuhkan tenaga kerja luar keluarga. Peningkatan curahan kerja luar keluarga sangat dipengaruhi oleh besarnya upah yang diperoleh. Pola pengeluaran rata-rata rumahtangga petani lahan sawah menunjukkan bahwa konsumsi pangan lebih besar dari non pangan yang dipenuhi dari pendapatan non usahatani. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan produksi usahatani padi, ubi jalar, dan ubi kayu adalah kepemilikan lahan, curahan kerja keluarga dan penggunaan pupuk. Curahan kerja di luar usahatani sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, umur, pendapatan yang diharapkan. Curahan kerja pada usahatani dipengaruhi oleh pendapatan dari usahatani, curahan kerja luar keluarga, jumlah anggota keluarga dan curahan kerja non usahatani. Pengeluaran konsumsi pangan sangat dipengaruhi oleh pendapatan total keluarga, jumlah anggota rumahtangga dan pengeluaran untuk investasi pendidikan. Aryanto (2004) dalam penelitiannya yang berjudul ”Alokasi waktu dan Ekonomi Rumahtangga Pekerja pada sektor Industri Formal Berdasarkan Gender” menemukan bahwa pemegang kendali kegiatan mencari nafkah masih didominasi suami, dimana faktor yang dominan mempengaruhi alokasi waktu dan
34
ekonomi rumahtangga pada rumahtangga pekerja pria adalah umur anak terkecil, gaji pokok, jenis industri, alokasi waktu suami bekerja di luar industri, jenis pekerjaan istri, disposeable income, konsumsi pangan dan non pangan, jumlah anak yang sekolah dan tabungan rumah tangga. Pada rumah tangga pekerja wanita hal yang dominan mempengaruhi alokasi waktu kerja dan ekonomi rumahtangga adalah pendapatan istri dari luar industri, umur anak terkecil, gaji pokok, jam lembur, alokasi waktu istri di luar industri, pendidikan suami, total pendapatan rumahtangga, ukuran rumahtangga, disposeable income, tabungan rumahtangga dan konsumsi rumahtangga. Rosalinda (2004) dalam penelitiannya yang berjudul ”Kajian Curahan Tenaga Kerja, Produksi dan Konsumsi Rumahtangga Petani Lahan Kering di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Sukabumi” menyimpulkan bahwa orientasi petani padi gogo mengarah pada usahatani subsisten, yang disebabkan oleh penguasaan lahan yang relatif sempit dan minimnya sumber uang tunai untuk membeli input tunai serta harga gabah yang tidak memadai. Penggunaan tenaga kerja keluarga pada lahan ini dipengaruhi oleh luas areal, total pendapatan rumahtangga dan ukuran keluarga. Kegiatan produksi dipengaruhi oleh biaya penggunaan saprotan, umur petani, dan proporsi nilai produksi padi gogo terhadap produksi total, sedangkan konsumsi pangan dipengaruhi oleh besarnya produksi, ukuran keluarga, dan konsumsi pangan dari usahatani lahan sawah. Selain itu ia juga menemukan bahwa semakin besar total pendapatan yang diterima rumahtangga petani maka semakin sedikit tenaga kerja keluarga yang dicurahkan
35
pada usahatani lahan gogo dan semakin besar nilai produksi usahatani, semakin besar bagian produksi yang dikonsumsi. Sari (2002) dalam penelitiannya yang berjudul ”Alokasi Waktu dan Pendapatan
Tenaga
Kerja
Perempuan:
Studi
Kasus
Rumahtangga
Kerajinan Tenun di Kenagarian Pandai Sikek Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatra Barat” menemukan bahwa alokasi waktu, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga dipengaruhi secara dominan oleh waktu kerja dan pendapatan yang diperoleh masing-masing anggota rumahtangga, dimana faktor upah merupakan faktor utama yang mempengaruhi alokasi waktu dan pendapatan sektor non pertanian.
Disposeable income pada berbagai tingkat sensitivitas
merupakan faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan, non pangan, pendidikan dan kesehatan. Dirgantoro (2001) dalam penelitiannya yang berjudul ”Alokasi Tenaga Kerja dan Kaitannya dengan Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani Sawi” menemukan bahwa secara keseluruhan kenaikan harga sawi dan upah di luar pertanian serta kombinasi keduanya akan meningkatkan curahan tenaga kerja rumahtangga, pendapatan dan pengeluaran rumahtangga petani sawi. Dari semua penelitian di atas dapat disimpulkan secara umum bahwa alokasi waktu kerja dari masing-masing rumahtangga berdampak kepada tinggi rendahnya pendapatan yang diterima oleh suatu rumahtangga. Dimana curahan kerja suatu rumahtangga pada suatu kegiatan produksi sangat dipengaruhi oleh tingkat upah yang diterima, jumlah anggota rumahtangga dan pendapatan di luar kegiatan tersebut. Disposeable income merupakan salah satu faktor yang sangat
36
mempengaruhi konsumsi pangan san non pangan dari setiap rumahtangga yang terkait dengan produksi yang dilakukan. Oleh karena itu keputusan produksi dan konsumsi suatu rumahtangga saling terkait sehingga memerlukan suatu analisis secara simultan.
2.6.3. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani di Papua Rumahtangga petani di Papua relatif berbeda dengan rumahtangga pertanian yang ada di wilayah lainnya di Indonesia. Perilaku subsisten masih mendominasi rumahtangga pertanian di Papua.
Hal ini ditunjukkan dengan
penggunaan input pertanian yang cukup rendah dan tenaga kerja keluarga yang mendominasi pada berbagai aktivitas produksi. Suprapto (2001) dalam penelitiannya yang berjudul ”Analisis Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Irian Jaya” menyimpulkan bahwa rumahtangga petani di Irian Jaya tidak respon terhadap signal pasar yang ditandai oleh upah yang diperoleh tidak mempengaruhi alokasi tenaga kerja keluarga baik di dalam maupun di luar usahatani. Dalam berusahatani mereka sangat tergantung kepada tenaga kerja keluarga dan teknologi yang digunakan sangat sederhana, dimana usahatani yang diusahakan sangat tergantung oleh kebutuhan konsumsi rumahtangga. Ongge (2001) dengan penelitiannya yang berjudul ”Analisis Curahan Kerja Wanita dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Rumahtangga Petani di Kabupaten Jayawijaya-Irian Jaya” menemukan bahwa pria dan wanita berada dalam posisi yang tidak setara. Hal ini terlihat dari curahan kerja
37
wanita yang lebih besar dibanding pria pada kegiatan usahatani, tetap keputusan dalam rumahtangga tetap didominasi oleh pria. Kedua penelitian di atas menunjukkan bahwa perilaku rumahtangga di papua cukup berbeda dengan rumah tangga di wilayah lainnya di Indonesia, dimana tenaga kerja keluarga mendominasi kegiatan produksi rumahtangga dan insentif upah tidak mempengaruhi alokasi waktu kerja mereka. Keputusan dalam rumahtangga umumnya masih didominasi oleh kaum pria sehingga pendidikan suami cukup mempunyai peranan didalam meningkatkan kesejahteraan suatu rumahtangga.
38
III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS
3.1. Konsep Dasar Ekonomi Rumahtangga Keadaan ekonomi rumahtangga dianalisis oleh Becker (1976) dalam penelitiannya menggunakan analisis simultan untuk melihat rumahtangga sebagai pengambilan keputusan dalam kegiatan produksi dan kegiatan konsumsi dan hubungannya dengan alokasi waktu produktif dan non produktif serta pendapatan rumahtangga yang diperoleh. Dalam formulasinya Becker menyatakan bahwa ada dua proses dalam perilaku rumahtangga yaitu proses produksi dan konsumsi yang mempunyai keterkaitan yang sangat erat yang harus dianalis secara bersamasama. Studi yang dilakukan oleh Becker ini dilakukan dengan menerapkan fungsi kepuasan sederhana dari konsumsi barang-barang dalam ekonomi rumahtangga. Fungsi kepuasan rumahtangga yang dikemukakan Becker antara lain: U = U (Z1, Z2, ............,Zm) ....................................................................(3.1) dimana: Zi = produk yang dihasilkan oleh rumahtangga (i = 1,2,…….m) Produk yang dihasilkan oleh rumah tangga ini merupakan fungsi produksi dari: Zi = fi (xi, Ti) …………………………………………………………(3.2) dimana: xi = barang dan jasa ke-i yang dibeli di pasar. Ti = waktu yang digunakan untuk menghasilkan barang Z ke i
39
Dalam memaksimumkan kepuasannya, rumahtangga dibatasi oleh kendala anggaran dan kendala waktu yang terlihat pada persamaan (3.3) dan (3.4). m
∑p x i
i
= I = V + Tw w
................................................................(3.3)
1
m
∑T
i
= Tc = T − Tw .................................................................................(3.4)
1
dimana: pi = harga barang dan jasa ke-i yang dibeli di pasar Tw = waktu yang digunakan untuk bekerja W = upah per unit Tw V = pendapatan selain upah Tc = jumlah waktu yang dihabiskan untuk mengkonsumsi T = jumlah waktu yang tersedia Strauss (1986) mengembangkan formula yang dikemukakan Becker pada rumahtangga pertanian dengan menggunakan static comparative untuk melihat secara terpisah pendapatan dan pembelanjaan suatu rumahtangga. Berdasarkan konsep yang dikemukakan Strauss tersebut, dalam penelitian ini diasumsikan rumahtangga mengkonsumsi enam komoditi yaitu leisure (Xl), barang yang dibeli di pasar (Xm) dan barang yang dihasilkan rumahtangga (Xs, Xp, Xb, Xu) , sehingga fungsi utilitas rumahtangga adalah: U = U (Xl, Xm, Xs, Xp, Xb, Xu ) ………………………………………...(3.5) dimana Xs, Xp, Xb, Xu masing-masing adalah barang yang dihasilkan oleh rumahtangga dari hasil meramu sagu, menangkap ikan, berburu dan dari usahatani tanaman pangan. Barang-barang tersebut ada yang dikonsumsi dan ada yang
40
dijual. Dalam memaksimumkan utilitasnya, rumahtangga dibatasi oleh kendala anggaran: Y =
L
∑p X i =1
i
i
…………………………………………………………(3.6)
dimana:
full income rumahtangga
Y
=
pi
= harga komoditi
dalam hal ini full income sama dengan nilai dari waktu yang tersedia ditambah dengan nilai produksi rumahtangga dikurangi nilai dari input variabel dan nilai dari non upah seperti yang terlihat pada persamaan berikut: M
N
j =1
i =1
Y = p L T + ∑ q j Q j − ∑ qiVi − p L L + E …………………………… (3.7) dimana: T
= waktu yang tersedia
Qj
= output untuk j = 1, ………….., M
Vi
= input-input variabel selain tenaga kerja, untuk i = 1, ……..,N
L
= permintaan tenaga kerja
qj
= harga Qj
qi
= harga Vi
E
= pendapatan yang bukan dari produksi rumahtangga
Untuk menghasilkan barang Qs dan dan semua barang yang dapat dijual di pasar, rumahtangga menggunakan tenaga kerja (L), input variabel (V) dan input tetap (K) yang merupakan fungsi produksi. G = µG(Qs, Qp, Qb, Qu L, V, K) ............................................................(3.8)
41
Rumahtangga dapat memaksimumkan fungsi utilitasnya dengan kendalakendala yang ada dengan menurunkan fungsi langrange seperti pada persamaan (3.9) ₤ = U (Xl, Xm, Xs, Xp, Xb, Xu) + λ[pLT + (psQs + ppQp + pbQb + puQu – pLL - qvV) + E – pLXL – pmXm – psXs – ppXp – pbXb – puXu] + µG(Qs, Qp, Qb, Qu L, V, K) …………………………………………….........(3.9) Dimana syarat pertama yang harus dipenuhi adalah turunan pertama dari fungsi tersebut harus sama dengan 0, sehingga turunan parsialnya adalah sebagai berikut: ∂£ = U L − λp L = 0 ...........................................................................(3.10) ∂X l ∂£ = U m − λp m = 0 ..........................................................................(3.11) ∂X m ∂£ = U s − λp s = 0 ............................................................................(3.12) ∂X s ∂£ = U p − λp p = 0 ..........................................................................(3.13) ∂X p
∂£ = U b − λpb = 0 ...........................................................................(3.14) ∂X b ∂£ = U u − λpu = 0 ...........................................................................(3.15) ∂X u ∂£ = pL(T − Xl −L) + ps(Qs − Xs) + pp(Qp − Xp) + pb(Qb − Xb) + pu(Qu − Xu) − pvV − pmXm +E = 0 ∂λ ..............................................................................................................(3.16) ∂£ = λp s + μG s = 0 atau ∂Q s
1 ∂£ μ = ps + Gs ....................................(3.17) λ ∂Qs λ
42
∂£ = λp p + μG p = 0 atau ∂Q p
μ 1 ∂£ = pp + Gp ................................. (3.18) λ ∂Qp λ
∂£ = λpb + μGb = 0 atau ∂Q b
μ 1 ∂£ = pb + Gb ................................... (3.19) λ ∂Qb λ
∂£ = λpu + μGu = 0 atau ∂Qu
μ 1 ∂£ = pu + Gu ................................... (3.20) λ ∂Qu λ
∂£ = −λp L + μG L = 0 atau ∂L
1 ∂£ μ = −pL + GL .................................. (3.21) λ ∂L λ
∂£ = −λp v + μGv = 0 atau ∂V
1 ∂£ μ = −pv + Gv .................................. (3.22) λ ∂V λ
∂£ = G (Qs , Q p , Qb , Qu , L, V , K ) = 0 ....................................................(3.23) ∂μ Fungsi permintaan rumahtangga terhadap leisure dan barang diperoleh dari persamaan (3.10) hingga (3.16) bila persamaan-persamaan tersebut diselesaikan secara simultan. Adapun fungsi permintaan rumahtangga terhadap leisure dan barang adalah sebagai berikut: Da = Da (ps, pp, pb, pu, pL, pv, Y); a = Xl, Xm, Xs, Xp, Xb, Xu .................(3.24) Fungsi penawaran tenaga kerja rumahtangga untuk kegiatan yang berkaitan dengan seluruh aktivitas produksi di dalam rumahtangga maupun di luar rumahtangga merupakan fungsi dari faktor-faktor sebagai berikut: Sb = Sb(ps, pp, pb, pu, pL, pv, Y); b = p ..................................................(3.25) Fungsi penawaran produk yang dihasilkan oleh rumahtangga baik dari kegiatan usahatani maupun kegiatan-kegiatan lainnya serta fungsi permintaan inputnya diperoleh dari persamaan (3.17) hingga (3.23).
Dimana fungsi
43
penawaran produk yang secara keseluruhan sebagian dikonsumsi oleh rumahtangga merupakan fungsi marketed surplus yang dinyatakan sebagai berikut: MS = MS(ps, pp, pb, pu, pL, pv, Y).........................................................(3.26) Adapun fungsi permintaan input rumahtangga untuk melakukan aktivitas produksi dapat dilihat pada persamaan berikut: Bw = Bw (ps, pp, pb, pu, pL, pv, Y); w = L, V ........................................(3.27) Dari diferensial total persamaan (3.10) hingga (3.23) diperoleh sistem persamaan dalam bentuk matriks pada persamaan (3.28) yang dapat dlihat pada lampiran 2. Persamaan (3.28) adalah persamaan dalam bentuk diagonal blok. Blok sebelah kiri atas merupakan solusi untuk permintaan komoditi dan marginal utility full income yang diperoleh sedangkan blok di sebelah kanan bawah merupakan solusi untuk penawaran output, permintaan input variabel dan multipliernya. Kedua blok persamaan tersebut dapat dicari turunan keduanya dengan memperhatikan fungsi utilitas dan fungsi produksi yang menunjukkan bahwa dua keputusan dapat dipecahkan secara rekursif dengan waktu yang bersamaan. dimana: Ψ = - (T - XL - L)dpL + Xmdpm – (Qs- Xs)dps – (Qp – Xp)dpp - (Qu – Xu)dpu – dE + Vdvq - μ/λGkdK ...................................................................................(3.29) Persamaan (3.28) juga menunjukkan bahwa keputusan konsumsi dipengaruhi oleh teknologi usahatani, jumlah dan harga input-input variabel serta output yang dihasilkan oleh suatu rumahtangga, sedangkan preferensi, harga barang-barang yang dikonsumsi dan pendapatan tidak mempengaruhi keputusan produksi rumahtangga. Penawaran output bereaksi positif kepada harga barang
44
itu sendiri pada semua waktu yang tersedia berdasarkan asumsi quasi-convexity pada suatu fungsi produksi yaitu ∂Qs / ∂p s > 0 . Harga cash dari komoditi yang
dihasilkan (ps) mempunyai hubungan dengan harga barang yang dibeli (Xm) dan perubahan pendapatan seperti yang terlihat pada persamaan berikut: ∂X m ∂X m ....................................................................................(3.30) = Qs ∂E ∂p s Dari persamaan tersebut juga terlihat bahwa perubahan jumlah input-input tetap yang digunakan (K) akan mempengaruhi pendapatan, sehingga konsumsi Xm adalah: ∂X m μ ∂X m = GK ...............................................................................(3.31) ∂K λ ∂E
Bila diasumsikan bahwa Xm adalah barang normal maka peningkatan penggunaan input tetap atau peningkatan harga komoditi yang dijual di pasar akan menyebabkan semakin tingginya konsumsi barang Xm. Selanjutnya efek dari harga barang itu sendiri pada barang yang dihasilkan oleh rumahtangga dapat dilihat pada persamaan berikut: ∂X s ∂X s = ∂p s ∂p s
+ (Qs − X s ) U
∂X s ............................................................(3.32) ∂E
Sehingga perubahan harga Xs umumnya mempunyai efek subtitusi negatif dan efek pendapatannya dihitung berdasarkan surplus pasar Xs, dan tidak berdasarkan jumlah barang Xs yang dikonsumsi, dimana efek pendapatan akan mempunyai nilai positif untuk net seller dan negatif untuk net buyer. Hal ini mengakibatkan konsumsi Xs bagi net seller mempunyai respon yang positif terhadap perubahan harga barang Xs sekalipun barang tersebut adalah barang normal.
45
Efek pendapatan pada suatu rumahtangga pertanian mempunyai suatu terminologi
extra,
dimana
Qs(∂Xs/∂E)
dibandingkan
dengan
konsumsi
rumahtangga murni. Efek extra ini dapat dilihat ketika komponen profit dari full income meningkat sehingga dapat disebutkan sebagai efek dari profit yang terlihat pada persamaan 3.7. Dari persamaan tersebut diperoleh dY = Tdp L + dπ + dE , dimana π adalah profit (nilai dari output yang dihasilkan dikurangi dengan nilai dari variabel input). Dari persamaan (3.7) diperoleh kondisi awal yang harus dipenuhi: dπ = Qs dp s + Q p dp p + Qb dpb + Qu dpu − Ldp L − Vdq v +
μ Gk dK ......(3.33) λ
sehingga ketujuh elemen pada sisi kanan persamaan (3.28) dapat ditunjukkan sebagai berikut:
ψ = −(T − X L )dpL + X m dpm + X s dps + X p dpp + X b dpb + X u dpu − dπ − dE ..(3.34) Hal tersebut memperjelas fungsi permintaan Marshallian untuk bahan pangan adalah sebagai berikut:
X s ( p L , p m , p s , p p , pb , pu , pv , K , E ) atau X s ( pL , pm , ps , pb , pu ,π , E) ...(3.35) bila profit menggantikan posisi harga input variabel selain tenaga kerja dan inputinput tetap yang digunakan, maka komparatif statiknya adalah: ∂X s ∂ps
= π
∂X s ∂ps
− Xs U
∂X s .....................................................................(3.36) ∂Y
Dimana persamaan di atas identik dengan kasus konsumen murni, yaitu: ∂X s ∂X s ∂X s ∂X s ∂π .......................................................(3.37) + = − Xs ∂ps ∂ps U ∂Y ∂Y ∂ps
46
Bila diasumsikan ∂π / ∂ps = Qs , maka extra efek seluruhnya berasal dari perubahan profit usahatani.
Dimana static comparative untuk leisure juga sama seperti
persamaan sebelumnya. ∂X L ∂X L = ∂p L ∂p L
+ (T − X L − L) U
∂X L ......................................................(3.38) ∂Y
Efek pendapatan dihitung dengan melakukan pengurangan penawaran tenaga kerja rumahtangga terhadap permintaan tenaga kerja rumahtangga. Bila diasumsikan leisure adalah barang normal, hal ini menyebabkan terjadi backwardbending supply. Dalam penelitiannya mengenai Marketed Surplus pada rumahtangga pertanian di Sierra Leone, Strauss (1984) memformulasikan persamaan produksi rumahtangga merupakan fungsi dari harga barang yang dihasilkan rumahtangga, karakteristik pertanian termasuk input tetap yang digunakan dan teknologi produksi yang digunakan rumahtangga. MS = Xi - Xic ……………………………………………………….(3.39) Xi = Xi( p, z, k) ...................................................................................(3.40) Selanjutnya Strauss memformulasikan persamaan konsumsi rumahtangga pada persamaan (3.41). Xic = Xic( p, η, A + pNT(m) + π(p, z, k) ……………………………..(3.41) dimana: MS = marketed surplus Xi = produksi rumahtangga
47
Xic = konsumsi rumahtangga p = harga produk z
= karakteristik pertanian
k = teknologi produksi η = karateristik rumahtangga yang mempengaruhi taste A = pendapatan di luar usahatani pN = upah tenaga kerja T = waktu yang tersedia untuk kerja dan santai m = karakteristik rumahtangga yang mempengaruhi alokasi waktu π = profit Persamaan (3.39) hingga (3.41) menunjukkan bahwa selain harga, faktorfaktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran produk rumahtangga juga dipengaruhi oleh karakteristik pertanian yang ada di masing-masing daerah dan karakteristik rumahtangga yang mempengaruhi taste dan alokasi waktu, pendapatan luar usahatani, upah tenaga kerja, profit maupun alokasi kerja rumahtangga. Bila dikaitkan dengan kondisi di Papua yang corak usahataninya masih cenderung subsisten dan pasar tenaga kerja yang cenderung terbatas di pedesaan, maka model ekonomi rumahtangga Chayanov cukup relevan digunakan untuk membantu menjelaskan fenomena yang terjadi di daerah tersebut.
Model
ekonomi rumahtangga Chayanov berfokus pada keputusan subjektif yang dibuat oleh rumahtangga berkaitan dengan penggunaan tenaga kerja keluarga yang dialokasikan dalam usahatani yang bercorak subsisten.
Keputusan subjektif
48
tersebut adalah tentang penentuan jumlah tenaga kerja keluarga yang harus dicurahkan untuk memperoleh pendapatan yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan rumahtangga.
Dalam hal ini rumahtangga akan mengalokasikan
kerjanya pada usahatani hanya sampai pada batas pemenuhan konsumsi. Bila konsumsi rumahtangga telah terpenuhi maka rumahtangga petani cenderung memilih mengkonsumsi leisure. Perilaku tersebut dikenal dengan istilah drudgery averse atau perilaku yang menghindari kerja keras pada aktifitas usahatani. Asumsi yang menjadi dasar model ekonomi rumahtangga Chayanov adalah : 1. Tidak ada pasar tenaga kerja 2. Output usahatani dapat dijual untuk memperoleh pendapatan ataupun untuk dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga. 3. Akses setiap rumahtangga pertanian terhadap lahan untuk berproduksi adalah fleksibel. 4. Adanya norma sosial yang diterima sebagai pendapatan minimum perkapita. Ellis (1988) mengemukakan bahwa faktor penentu rumahtangga memilih untuk bekerja untuk memperoleh sejumlah pendapatan atau mengkonsumsi waktu luang adalah struktur demografi yang dinyatakan sebagai ratio antara jumlah tanggungan rumahtangga dan angkatan kerja produktif di dalam rumahtangga (c/w). Kebutuhan konsumsi yang meningkat akibat peningkatan jumlah anggota keluarga mengakibatkan rumahtangga akan mengalokasikan lebih banyak waktu untuk bekerja di usahatani guna memperoleh pendapatan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangganya. Hal ini mengakibatkan rumahtangga mengorbankan sejumlah leisure yang selanjutnya dialokasikan untuk bekerja.
49
Secara matematis fungsi utilitas rumahtangga didalam memaksimumkan kepuasannya adalah merupakan fungsi dari pendapatan (Y) dan leisure (H). U = f(Y, H) …………………………………………………………..(3.42) dengan kendala Y = PY.f(L)………………………………………………….(3.43) dimana : Y ≥ Ymin; L ≤ Lmaks; PY adalah harga produk, f(L) adalah fungsi produksi dengan L sebagai input tenaga kerja.
Keseimbangan akan diperoleh dengan
menyelesaikan persamaan (3.42) dan (3.43) sebagai berikut:
(∂U / ∂H )
(∂U / ∂Y )
Pengaruh
= ∂Y / ∂H = MVPL ……………………………...(3.44)
perubahan
struktur
demografi
terhadap
keseimbangan
rumahtangga pada model Chayanov secara grafis dapat dilihat pada Gambar 4.
Y
Y I1
I2
TVP
Ysc B
A
Y2min
Y2min
Y1min
Y1min
0
L1
L2
Lmaks
L
Sumber: Ellis, 1988 Gambar 4. Model Keseimbangan Rumahtangga Menurut Chayanov
50
Sumbu vertikal pada Gambar 4 menunjukkan nilai produk yang dihasilkan pada kegiatan usahatani dan sumbu horizontal menggambarkan alokasi kerja rumahtangga.
Jumlah waktu yang tersedia bagi rumahtangga untuk bekerja
sebesar L, tetapi yang dialokasikan hanya sebesar Lmaks.
Fungsi produksi
rumahtangga dengan menggunakan input tenaga kerja menghasilkan total value product. Kendala pendapatan minimum dalam asumsi yang digunakan Chayanov ditunjukkan oleh garis Y1min. Keseimbangan pada titik A tercapai pada saat kendala pendapatan tersebut minimum yang merupakan titik persinggungan antara kurva indiferen I1 dan kurva total value product.
Pada kondisi tersebut
rumahtangga mengalokasikan waktunya untuk bekerja sebesar 0-L1 dan untuk bersantai sebesar L-L1. Kebutuhan
konsumsi
rumahtangga
peningkatan jumlah anggota keluarga.
akan
meningkat
bila
terjadi
Hal ini mengakibatkan pendapatan
minimum meningkat dari Y1min ke Y2min. Bila diasumsikan jumlah anggota keluarga yang bekerja jumlahnya tetap maka perubahan kebutuhan konsumsi tersebut tidak menggeser kurva TVP, tetapi kurva indiferen I1 bergeser menjadi I2. Perubahan kurva indiferen tersebut menunjukkan peningkatan marjinal utilitas pendapatan dan penurunan marjinal utilitas leisure yang ditunjukkan oleh I2 yang lebih landai dibandingkan I1 yang disebabkan kebutuhan konsumsi yang meningkat akibat adanya penambahan jumlah anggota keluarga.
Hal ini
mengakibatkan rumahtangga lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk bekerja yaitu sebesar 0-L2 dan leisure sebesar L-L2 yang terlihat pada titik keseimbangan yang baru di B.
51
Implikasi dari model Chayanov adalah bahwa keputusan rumahtangga akan dipengaruhi oleh setiap kebijakan yang mempengaruhi beban konsumsi rumahtangga. Semakin kuat hubungan antara produksi dan konsumsi ditunjukkan oleh semakin kuatnya ciri demografi mempengaruhi keputusan produksi rumahtangga. Terbukanya pasar barang konsumsi di suatu daerah mengakibatkan kebutuhan konsumsi rumahtangga meningkat sehingga meningkatkan marjinal utilitas pendapatan yang mendorong peningkatan alokasi kerja di usahatani. Sebaliknya bila barang-barang kebutuhan konsumsi kurang tersedia di daerah tersebut maka akan terjadi penurunan marjinal utilitas pendapatan sehingga rumahtangga cenderung memilih leisure dibandingkan bekerja karena marjinal utilitas leisure meningkat (Kusnadi, 2005).
3.2. Efek Pendapatan Terhadap Perilaku Kerja Rumahtangga
Bryant (1990) menyatakan bahwa sumber pendapatan suatu rumahtangga terdiri dari pendapatan karena bekerja dan pendapatan yang diperoleh sekalipun rumahtangga tersebut tidak bekerja untuk menghasilkan suatu cash income. Pendapatan karena bekerja ditentukan oleh seberapa besar upah yang diperoleh per satuan unit waktu di pasar tenaga kerja. Perubahan upah maupun jam kerja suatu rumahtangga berdampak kepada perubahan equilibrium suatu rumahtangga. Peningkatan pendapatan karena tidak bekerja (V) meningkatkan sumberdaya yang tersedia bagi suatu rumahtangga.
Hal ini mengakibatkan
kombinasi barang baik yang dibeli di pasar maupun yang dihasilkan serta leisure yang tersedia juga meningkat. Namun perubahan tersebut tidak dapat diharapkan
52
untuk merubah upah yang diterima oleh masing-masing anggota rumahtangga pada pasar tenaga kerja, harga barang-barang yang dibeli di pasar, dan fungsi produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh rumahtangga. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan pendapatan karena tidak bekerja (non labor income) meningkatkan sumberdaya yang tersedia pada rumahtangga tetapi tidak merubah keadaan pasar barang dan leisure maupun kondisi produksi suatu rumahtangga. Peningkatan non labor income hanya akan menggeser budgetline ke atas sehingga mengakibatkan permintaan terhadap barang dan leisure dari masing-masing anggota rumahtangga meningkat, sepanjang barang tersebut adalah barang normal. Peningkatan permintaan terhadap leisure akan mengurangi jam bekerja dari masing-masing anggota rumahtangga tetapi tidak mengurangi waktu yang digunakan untuk melakukan aktivitas rumahtangga pada rumahtangga yang memasuki pasar tenaga kerja. Gambar 5 dapat menjelaskan fenomena tersebut. Total anggaran rumahtangga ditunjukkan oleh DEBT.
Masing-masing
rumahtangga (S dan R) memperoleh non labor income (V) per minggu dan masing-masing anggota rumahtangga memperoleh upah sebesar $w/ jam dari alokasi waktu kerja mereka di pasar tenaga kerja yang ditunjukkan oleh slope DE. Kurva indiferen Uor dan U1r menunjukkan preferensi rumahtangga R sementara Uos dan U1s menunjukkan preferensi rumahtangga S. Pada kondisi awal, rumahtangga S mengalami keseimbangan pada titik P, sedangkan rumahtangga R pada titik Q. Pada titik P, masing-masing anggota rumahtangga pada S menghabiskan jam bekerja untuk aktivitas rumahtangga
53
setiap minggu sebesar THe dan jam bekerja di pasar tenaga kerja sebesar HeLp dan 0Lp untuk leisure. Sedangkan pada rumahtangga R, anggota rumahtangga yang ada tidak bekerja di pasar tenaga kerja dan menghabiskan waktunya untuk melakukan pekerjaan rumahtangga sebesar THq per minggu dan 0Hq perminggu untuk leisure. Bila diasumsikan masing-masing rumahtangga memperoleh tambahan non labor income sebesar VV’ perminggu maka total anggaran masingmasing rumahtangga bergeser ke D’E’B’T’ secara paralel dan vertikal karena peningkatan non labor income tidak mempengaruhi tingkat upah yang diperoleh baik oleh rumahtangga R maupun S pada pasar tenaga kerja, dimana pemberi kerja atau perusahaan tidak akan meningkatkan upah kepada S maupun R karena mereka sudah bertambah kaya.
Selain itu, peningkatan non labor income
mengakibatkan terjadi peningkatan pembelanjaan barang-barang pasar dari 0V ke 0V’. Pada rumahtangga S, setelah menerima non labor income sebesar VV’, equilibriumnya meningkat ke P’.
Pada titik tersebut rumahtangga tersebut
menghabiskan sebesar THe setiap minggu untuk aktivitas rumahtangga sama seperti kondisi awal, HeL’p perminggu untuk bekerja mendapatkan upah (lebih rendah dari sebelumnya) dan 0L’p perminggu untuk leisure (lebih banyak dari sebelumnya). Bila rumahtangga meningkatkan leisure mengakibatkan penurunan jam untuk bekerja pada pasar kerja.
Jumlah jam kerja untuk kegiatan
rumahtangga tidak mengalami perubahan karena dengan gh = w/p tetap tidak berubah sekalipun terjadi peningkatan non labor income. Aktivitas rumahtangga hanya akan berubah dengan adanya peningkatan non labor income bila pasar dan
54
barang-barang yang dihasilkan oleh rumahtangga tidak tersubtitusi sempurna atau jika peningkatan non labor income sangat besar sehingga menyebabkan setiap orang berhenti bekerja secara bersamaan.
Goods C+G
T
U1s
D’ U0s
D
P’ U1R
A’
P
E U0R
A
E
Q’ Q
V’
B’
V
B
0
Lp
Lp’
He
Hq
Hq’
T
Sumber: Bryant 1990 Gambar 5. Efek Peningkatan Non Labor Income Pada Perilaku Kerja Rumahtangga Pada rumahtangga R yang tidak bekerja sebelum dan sesudah adanya non labor income menghabiskan TH’q perminggu untuk pekerjaan rumahtangga (lebih kecil dari sebelumnya) dan 0H’q untuk leisure setiap minggunya (lebih besar dari
55
sebelumnya). Bila diasumsikan leisure adalah barang normal maka rumahtangga R hanya akan mengkonsumsi leisure lebih banyak dengan mengurangi sejumlah aktivitas rumahtangga yang selama ini sudah dilakukan.
3.3. Efek Upah Pada Alokasi Waktu Rumahtangga
Menurut Bryant (1990) dengan mengasumsikan bahwa tingkat upah di pasar sama dengan harga dari leisure maka bila tingkat upah di pasar berubah maka harga leisure juga mengalami perubahan sehingga mempengaruhi permintaan suatu rumahtangga terhadap leisure. Tingkat upah juga merupakan bagian dari produktivitas individu didalam memperoleh barang-barang yang dibeli, dimana w/p menunjukkan jumlah barang-barang pasar yang dapat diperoleh dengan cara bekerja pada pasar kerja dan pendapatan yang diperoleh digunakan untuk membeli barang. Oleh karena itu perubahan pada tingkat upah juga mempengaruhi perubahan produktivitas pasar individu relatif terhadap produktivitas rumahtangga dan juga mempengaruhi trade-off antara pasar kerja dan aktivitas rumahtangga. Gambar 6 menjelaskan hal tersebut. DEBT merupakan garis anggaran suatu rumahtangga yang akan berubah bila terjadi perubahan tingkat upah. Tingkat upah awal adalah w dan slopenya adalah w/p.
Rumahtangga akan memaksimumkan kepuasannya pada titik P,
dimana masing-masing individu menghabiskan waktunya sebesar 0L perminggu untuk leisure dan HeLp pada pasar kerja dan TH pada aktivitas rumahtangga. Bila terjadi perubahan perilaku individu karena adanya respon terhadap peningkatan upah dari w ke w’, maka yang terjadi adalah hubungan antara produktivitas pasar
56
individu (w/p) dan produktivitas rumahtangga gh berubah.
Dimana dengan
meningkatnya w jumlah barang yang dapat dibeli dengan menggunakan satu jam pertama pada pasar kerja (w/p) akan lebih besar dibandingkan jumlah barang yang dapat ia hasilkan pada satu jam terakhir yang ia gunakan pada aktivitas rumahtangga pada titik E, dimana g h
E
< w' / p .
Sebagai konsekuensinya
rumahtangga dapat menghasilkan lebih banyak barang dengan curahan waktu kerja yang sama jika jumlah waktu yang digunakan untuk aktivitas rumahtangga dikurangi dan waktu yang digunakan untuk bekerja ditingkatkan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa peningkatan upah akan menyebabkan individu mensubtitusi pasar kerja dengan aktivitas rumahtangga sepanjang jumlah total waktu kerja adalah konstan. Substitusi pasar kerja terhadap aktivitas rumahtangga ditunjukkan oleh pergeseran total anggaran rumahtangga dari DEBT ke D’E’BT, dimana penurunan waktu kerja rumahtangga dari THe ke THe’ dan meningkatnya jam kerja dari He ke He’. Sebelum adanya peningkatan upah, titik E adalah titik persinggungan antara fungsi produksi rumahtangga AB dan garis anggaran DE. Pada titik E, w / p = gh E .
Ketika w meningkat ke w’, w' / p > g h E dan individu akan
mensubtitusi kerja dengan
aktivitas
rumahtangga, sehingga
rumahtangga yang baru ada pada titik E’, dimana w' / p = g h
equilibrium E'
dan garis
anggaran yang baru adalah D’E’ dan slopenya adalah w’/p. Proses subtitusi ini disebut sebagai efek subtitusi produksi. Ketika upah meningkat dari w/p ke w’/p, harga leisure menjadi relatif lebih mahal terhadap harga barang.
Bila kepuasan rumahtangga dianggap
57
konstan, maka rumahtangga akan mensubtitusi barang yang harganya lebih murah dengan leisure yang harganya lebih mahal. Hal ini terjadi bila terjadi peningkatan jam kerja individu dan menggunakan kelebihan pendapatan yang diperoleh untuk meningkatkan konsumsi keluarga terhadap barang. Hal ini disebut dengan efek subtitusi konsumsi karena subtitusi terjadi pada aktivitas konsumsi, bukan pada aktivitas produksi. Efek subtitusi ini dapat dilihat pada persinggungan antara garis anggaran yang baru D’E’ dengan kurva indiferen awal Uo. JJ adalah garis yang bersinggungan dengan Uo pada titik Q. Dimana JD’ adalah jumlah pendapat real yang harus dihasilkan rumahtangga untuk meningkatkan kepuasannya pada tingkat upah yang baru seperti pada tingkat upah yang lama. Dengan kata lain dengan adanya efek subtitusi konsumsi karena adanya peningkatan upah mengakibatkan terjadi penurunan kuantitas leisure yang dikonsumsi dari 0Lp ke 0Lq dengan asumsi kepuasannya adalah konstan. Efek subtitusi total dengan adanya peningkatan upah adalah penjumlahan dari efek subtitusi produksi dan efek subtitusi konsumsi. Salah satu point yang harus diingat selain hal-hal yang telah dijelaskan sebelumnya adalah dengan adanya peningkatan upah mengakibatkan terjadi peningkatan real income rumahtangga sehingga akan meningkatkan permintaan rumhtangga terhadap barang maupun leisure sepanjang keduanya adalah barang normal.
Efek pendapatan dengan adanya peningkatan upah ditunjukkan oleh
pergeseran dari JJ ke D’E’ yang mengakibatkan terjadi peningkatan permintaan terhadap leisure dari 0Lq ke 0Lr dan equilibrium rumahtangga bergeser dari titik Q ke titik R. Hal ini berarti terjadi penurunan penawaran tenaga kerja dan terjadi
58
peningkatan permintaan terhadap leisure, tetapi waktu kerja untuk aktivitas rumahtangga tidak mengalami penurunan. Efek total upah pada pasar kerja merupakan penjumlahan dari efek subtitusi produksi, efek subtitusi konsumsi dan efek pendapatan, yang ditunjukkan oleh persamaan berikut: LrHe’- LpHe = HeHe’ + LpLq + LqLr ......................................................(3.45)
Goods C+G T
U1 D’
U0 R
J Q
D A
P E
J
E’
V
B
0
Lq Lr Lp
He
He’
T
Sumber: Bryant 1990 Gambar 5. Efek Upah Pada Penggunaan Waktu Rumahtangga
59
dimana kedua efek subtitusi mengakibatkan terjadi peningkatan jam kerja di luar aktivitas rumahtangga sedangkan efek pendapatan mengakibatkan jam kerja menurun, sehingga efek total upah bisa positif maupun negatif, tergantung pada besar kecilnya masing-masing efek yang ditimbulkan. Kurva penawaran tenaga kerja bisa positif seperti umumnya (dengan tingkat upah yang tinggi, penawaran tenaga kerja meningkat) atau backward bending dan bisa juga negatif (dengan tingkat upah yang tinggi tetapi penawaran tenaga kerja rendah). Efek total upah pada aktivitas rumahtangga merupakan efek subtitusi produksi, dimana pada saat upah meningkat, waktu yang dicurahkan untuk aktivitas rumahtangga berkurang dan tenaga kerja rumahtangga yang ada berpindah ke pasar tenaga kerja. Hal ini ditunjukkan oleh HeHe’. Efek total upah pada leisure terdiri dari efek pendapatan dan efek subtitusi konsumsi. Ketika harga relatif leisure meningkat terhadap harga barang, maka rumahtangga akan mensubtitusi leisure dengan barang. Selain itu bila tingkat upah meningkat maka real income rumahtangga juga meningkat sehingga permintaan terhadap leisure akan meningkat, dimana: LrLp = LpLq + LqLr ...............................................................................(3.46)
3.4. Model Ekonomi Rumahtangga Penduduk yang Bekerja Pada Proyek Liquified Natural Gas Tangguh
Pembangunan proyek LNG tangguh di Kawasan Teluk Bintuni menyerap tenaga kerja lokal di sekitar pembangunan proyek tersebut. Penyerapan tenaga kerja lokal ini diduga akan mempengaruhi alokasi kerja yang selama ini telah
60
dilakukan oleh setiap rumahtangga yang ada serta struktur pendapatan dan konsumsi rumahtangga. Fungsi permintaan terhadap barang, input rumahtangga, penawaran tenaga kerja dan produk rumahtangga yang diturunkan dengan menggunakan konsep yang
dikemukakan
Strauss
mengkombinasikannya
dengan
dalam
penelitian
karakteristik
ini
pertanian
digunakan dan
dengan
karakteristik
rumahtangga yang mempengaruhi produksi dan alokasi waktu rumahtangga. Struktur demografi yang dikemukakan Chayanov juga digunakan di dalam model yang digunakan di dalam penelitian ini untuk melihat pengaruh jumlah anggota keluarga terhadap kebutuhan konsumsi rumahtangga. Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut, maka model ekonomi rumahtangga pada rumahtangga yang bekerja pada proyek LNG Tangguh dibangun menggunakan model ekonometrika berupa persamaan simultan untuk melihat keterkaitan antara alokasi kerja pada berbagai kegiatan produksi karena adanya dampak yang ditimbulkan dari penyerapan tenaga kerja di proyek yang terdiri dari tiga blok persamaan, yaitu blok persamaan penerimaan rumahtangga yang mewakili blok persamaan produksi, blok alokasi kerja rumahtangga dan blok konsumsi rumahtangga.
Model yang dibangun dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut: U = U (Xm, Xs, Xp, Xb, Xu, m, η ) …..................................................(3.47) Dalam memaksimumkan utilitasnya dengan mengkonsumsi sejumlah produk yang dihasilkan sendiri serta barang pasar, rumahtangga dihadapkan dengan kendala anggaran dan kendala produksi:
61
Y =
L
∑p X i =1
i
i
………………………………………………………...(3.48)
Xi = Xi( p, z, k) ...................................................................................(3.49) Dengan menyelesaikan persamaan (3.47) hingga (3.49) diperoleh fungsi permintaan terhadap input produksi, fungsi penawaran tenaga kerja dan fungsi permintaan terhadap produk rumahtangga dan leisure yang secara keseluruhan merupakan fungsi dari harga produk yang dihasilkan rumahtangga, upah yang berlaku, full income, karakteristik pertanian di suatu daerah, karakteristik rumahtangga yang mempengaruhi taste, dan karakteristik rumahtangga yang mempengaruhi alokasi waktu rumahtangga. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data cross section oleh karena itu sensitifitas harga menjadi rendah sehingga variasi yang ditimbulkannya juga rendah. Oleh karena itu dalam model penelitian ini variabel harga produk rumahtangga tidak dimasukkan, tetapi upah di proyek tetap dimasukkan karena variasinya cukup tinggi. Bw = Bw (pL ,Y, z, k); w = L…….........................................................(3.50) Sb = Sb(pL, Y, m); b = p .......................................................................(3.51) Da = Da (pL, Y, η ); a = Xm, Xs, Xp, Xb, Xu ...........................................(3.52)
62
IV. METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kawasan Teluk Bintuni di dua desa yang berada di sekitar wilayah pembangunan proyek LNG Tangguh yaitu di Desa Tanah Merah dan Desa Simuri (Saengga) pada bulan Maret hingga Mei 2008. Desa Tanah Merah dan Desa Simuri dipilih sebagai lokasi penelitian berdasarkan informasi dalam studi AMDAL BP (2002) bahwa kedua desa tersebut merupakan desa-desa dari tujuh desa yang mendapat prioritas didalam rekrutmen tenaga kerja pada pembangunan proyek tersebut. Alasan lainnya adalah lokasi pembangunan kilang proyek berada di dekat desa mereka sehingga penduduk setempat mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk bekerja pada proyek tersebut.
4.2. Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung dengan reponden yang berada di dua lokasi penelitian tersebut dengan menggunakan kuisioner.
Data sekunder
diperoleh dari instansi-instansi terkait yang ada kaitannya dengan penelitian ini. Responden yang akan diwawancara adalah penduduk asli yang merupakan anggota rumahtangga yang memenuhi kualifikasi sebagai sumber informasi keadaan ekonomi rumahtangga tersebut.
63
Jumlah sampel yang diambil pada Desa Tanah Merah dan Desa Simuri adalah berjumlah 40 rumahtangga yang bekerja di LNG dan 25 rumahtangga yang tidak bekerja di LNG untuk mendeskripsikan dampak proyek. Selanjutnya dalam model hanya digunakan 40 rumahtangga untuk mengetahui dampak proyek terhadap ekonomi rumahtangga. Pengambilan contoh lokasi penelitian dilakukan dengan metode purposive sedangkan pengambilan contoh responden dilakukan secara simple random sampling.
4.3.
Analisis Perubahan Perilaku Ekonomi Rumahtangga Pembangunan Proyek Liquified Natural Gas Tangguh
Akibat
Dalam rangka memahami keadaan ekonomi rumahtangga penduduk yang bekerja dan tidak bekerja pada proyek LNG Tangguh maka dilakukan analisis terhadap curahan kerja anggota rumahtangga, kontribusi pendapatan anggota rumahtangga, pola konsumsi dan produksi rumahtangga dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Dilakukan tabulasi terhadap data curahan kerja anggota
rumahtangga (suami, istri dan anak serta anggota rumahtangga lainnya yang tinggal dalam satu atap), kontribusi berbagai kegiatan produksi pada pendapatan rumahtangga dan karakteristik rumahtangga. Hasil tabulasi pada rumahtangga yang bekerja dan yang tidak bekerja di LNG Tangguh kemudian dibandingkan untuk mendeskripsikan dampak keputusan bekerja di proyek terhadap alokasi kerja rumahtangga, struktur pendapatan dan konsumsi rumahtangga. Curahan kerja dikelompokkan menjadi curahan kerja di dalam usahatani, kegiatan perikanan, berburu, menokok sagu, curahan kerja pada proyek LNG Tangguh dan
64
curahan kerja pada aktivitas rumahtangga. Aktivitas konsumsi dibagi menjadi aktivitas konsumsi barang-barang yang berasal dari produksi rumahtangga dan aktivitas konsumsi barang yang berasal dari pasar yang terdiri dari konsumsi bahan pangan dan non pangan.
4.4. Spesifikasi Model Ekonomi Rumahtangga
Guna menjawab tujuan kedua dan ketiga dari penelitian ini yaitu menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi dan produksi penduduk yang bekerja pada Proyek LNG Tangguh serta pengaruh peningkatan pendapatan tunai yang berasal dari proyek maka digunakan model ekonomi rumahtangga. Model merupakan suatu representasi dari dunia nyata sehingga kekuatan-kekuatan ekonomi yang terdapat dalam model tersebut dapat dipahami.
Menurut
Intriligator (1980), model ekonometrik merupakan tipe khusus dari model aljabar yang bersifat stokastik yang terdiri dari satu atau beberapa variabel acak. Model yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sepuluh persamaan struktural dan dua persamaan identitas yang terangkum dalam tiga blok persamaan simultan yang terdiri dari : 1. Blok Penerimaan Rumahtangga a. Penerimaan dari kegiatan pertanian Persamaan ini mewakili persamaan produksi pertanian karena komoditi yang dihasilkan lebih dari dua komoditi pertanian, sehingga persamaan ini dibangun dengan memperhatikan input-input pertanian yang digunakan yaitu curahan kerja anggota rumahtangga pada kegiatan
65
pertanian, luas lahan yang diusahakan dan biaya yang dikeluarkan didalam proses produksi pertanian. Jarak lahan pertanian, dan intensitas penyuluhan pertanian yang ditunjukkan dalam persamaan merupakan karakteristik pertanian di daerah tersebut. PRU = a0 + a1CKU + a2LA + a3JRL + a4BU + a5IPP + U ........(4.1) Parameter dugaan yang diharapkan : a1, a2, a4 , a5> 0 dan a3 < 0 dimana: PRU
= penerimaan dari kegiatan pertanian (Rp/tahun)
CKU = curahan kerja anggota rumahtangga pada kegiatan usahatani (HOK/tahun) LA
= luas lahan yang diusahakan (hektar)
JRL
= jarak lahan pertanian (menit)
BU
= biaya pertanian (Rp/tahun)
IPP
= intensitas penyuluhan pertanian (kali)
U
= error term
b. Penerimaan di Bidang Perikanan Persamaan ini mewakili persamaan produksi perikanan karena komoditi perikanan yang dihasilkan lebih dari dua komoditi, sehingga persamaan ini dibangun dengan memperhatikan input-input yang digunakan yaitu alokasi kerja pada kegiatan tersebut, jumlah jaring yang merupakan teknologi yang digunakan dan biaya variabel yang dikeluarkan seperti pada persamaan (4.2). PRI = b0 + b1CKL + b2JJ + b3BVI + U .................................(4.2) Parameter dugaan yang diharapkan: b1, b2 , b3 > 0 dimana:
66
PRI
= penerimaan perikanan (Rp/tahun)
CKL = curahan kerja anggota rumahtangga pada kegiatan perikanan (HOK/tahun) JJ
= jumlah jaring yang dimiliki (buah)
BVI
= biaya variabel pada kegiatan perikanan (Rp/tahun)
c. Penerimaan dari Kegiatan Mengambil Hasil Persamaan dalam perolehan hasil dari kegiatan mengambil hasil hutan adalah sebagai berikut: PRH = c0 + c1CKH+ c2PH + c3FH + U ………………………(4.3) Parameter dugaan yang diharapkan: c1, c2, c3 > 0 dimana: PRH
= penerimaan dari kegiatan mengambil hasil hutan (Rp/tahun)
CKH = curahan kerja anggota rumahtangga pada kegiatan mengambil hasil hutan (HOK/tahun) PH
= pengeluaran untuk mengambil hasil hutan (Rp/tahun)
FH
= frekuensi mengambil hasil hutan (kali)
d. Penerimaan Produk Total Rumahtangga PRPRT = PRU + PRI + PRH ...................................................(4.4) 2. Blok Curahan Kerja Rumahtangga Tenaga kerja yang ada di dalam setiap rumahtangga merupakan tenaga kerja potensial yang sebelum adanya proyek LNG Tangguh bekerja di sektor informal seperti kegiatan pertanian, perikanan, berburu dan menokok sagu untuk memperoleh sejumlah pendapatan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangga.
Setelah adanya proyek, sebagian tenaga kerja yang
67
selama ini bekerja di sektor tersebut beralih ke proyek sehingga mengakibatkan alokasi kerja pada kegiatan informal yang selama ini dilakukan menjadi berkurang.
Selain itu pilihan rumahtangga untuk mengalokasikan curahan
kerjanya pada berbagai kegiatan produktif untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga mengakibatkan adanya subtitusi curahan kerja pada berbagai kegiatan produktif tersebut. a. Curahan Kerja Anggota Rumahtangga pada Kegiatan Pertanian Persamaan curahan kerja anggota rumahtangga pada kegiatan pertanian adalah sebagai berikut: CKU = d0 + d1PCIP + d2JKU + d3TWR + d4LA + d5CKL + d6CKP + d7CKR + U...................................................(4.5) Parameter dugaan yang diharapkan: d2, d3, d4> 0 ; d1 , d5, d6, d7 < 0 dimana: PCIP = proporsi cash income proyek (persen) JKU
= jumlah komoditi pertanian (jenis)
TWR = total waktu yang dicurahkan (HOK/tahun) CKL = curahan kerja pada kegiatan perikanan (HOK/tahun) CKP
= curahan kerja di proyek(HOK/tahun)
CKR = curahan kerja pada kegiatan rumahtangga (HOK/tahun) b. Curahan Kerja Anggota Rumahtangga pada Kegiatan Perikanan Persamaan curahan kerja anggota rumahtangga pada kegiatan perikanan adalah sebagai berikut: CKL = e0 + e1PCIP + e2CKP + e3TWR + e4TKI + e5CKR + e6JJ + e7 CKU + U..................................................................(4.6)
68
Parameter dugaan yang diharapkan: e3, e4 > 0 ; e1, e2, e5, e6, e7 < 0 c. Curahan Kerja Anggota Rumahtangga pada Kegiatan Proyek LNG Tangguh Persamaan curahan kerja anggota rumahtangga pada kegiatan Proyek LNG Tangguh adalah sebagai berikut: CKP
= f0 + f1 CIP + f2 TWR + f3 CKL + f4 CKH + f5 CKU + U …............................................................................. (4.7)
Parameter dugaan yang diharapkan: f1 , f2 > 0 ; f3, f4 , f5 < 0 dimana: CIP
= cash income dari proyek (Rp/ tahun)
d. Curahan Kerja Anggota Rumahtangga pada Kegiatan Rumahtangga Persamaan curahan kerja anggota rumahtangga pada kegiatan rumahtangga adalah sebagai berikut: CKR = g0 + g1PRPRT + g2TWR + g3CKU + g4CKH + g5JB + g6CKL +U...................................................................(4.8) Parameter dugaan yang diharapkan: g2 , g5 > 0 ; g1, g3 , g4, g6 < 0 dimana: PTR
= pendapatan total rumahtangga (Rp/tahun)
JB
= jumlah balita ( jiwa)
e. Curahan Kerja Anggota Rumahtangga pada Kegiatan Mengambil Hasil Hutan Persamaan curahan kerja anggota rumahtangga pada kegiatan mengambil hasil hutan adalah sebagai berikut:
69
CKH = h0 + h1 PCIP + h2 TWR + h3 CKP + h4 FH + h5 CKR + h6 CKL + U ................................................................(4.9) Parameter dugaan yang diharapkan: h2 , h4 > 0 ; h1, h3 , h5, h6< 0 f. Total Waktu yang Dicurahkan Dalam Rumahtangga TWR = CKR + CKU + CKL + CKP + CKH .........................(4.10) 3. Blok Konsumsi Rumahtangga Blok konsumsi rumahtangga terdiri dari dua persamaan yaitu konsumsi produk yang dihasilkan rumatangga dan konsumsi barang pasar. a. Konsumsi Barang Non Pasar yang Berasal dari Aktivitas Produksi Rumahtangga NKBP = i0 + i1JAK + i2KBP + i3PRPRT + i4FH + i5JKU + U ................................................................................(4.11) Parameter dugaan yang diharapkan: i1, i3, i4, i5 > 0 ; i2 < 0 dimana: NKBP
= konsumsi barang yang berasal dari aktivitas produksi rumahtangga (Rp/tahun)
JAK
= jumlah anggota keluarga (orang)
KBP
= konsumsi barang pasar (Rp/tahun)
PRPRT = penerimaan produk total rumahtangga (Rp/tahun) b. Konsumsi Barang Pasar KBP = j0 + j1JAK + j2NKBP + j3CIP + j4PDS + U ................(4.12) Parameter dugaan yang diharapkan: j1 , j3, j4> 0 ; j2 < 0 dimana: PDS
= pendidikan suami (tahun)
70
4.5. Identifikasi Model
Model ekonomi rumah tangga di desa yang terletak dekat dengan pembangunan proyek LNG Tangguh terdiri dari 12 persamaan yang meliputi 2 persamaan identitas dan 10 persamaan struktural. Peubah eksogen berjumlah 15 buah dan peubah endogen berjumlah 12. Untuk mengetahui metode pendugaan model yang dapat digunakan sehubungan dengan semua persamaan yang telah ada maka dilakukan identifikasi model untuk mengetahui alat analisis apa yang harus digunakan. Identifikasi model dilakukan dengan menggunakan rumus: (K-M) ≥ (G -1) dimana: K
= jumlah seluruh peubah endogen dan peubah predetermined di dalam model
M
= jumlah peubah endogen dan eksogen dalam setiap persamaan
G
= jumlah persamaan
Kriteria identifikasi model adalah sebagai berikut: 1. Bila (K-M) = (G -1) maka persamaan di dalam model adalah exactly identified. 2. Bila (K-M) < (G -1) maka persamaan dalam model adalah unidentified. 3. (K-M) > (G -1) maka persamaan dalam model adalah overidentified. Berdasarkan ketiga kriteria di atas, maka semua persamaan dalam model ini adalah overidentified.
71
4.6. Analisis Data
Dalam penelitian ini, analisis tabulasi digunakan untuk melihat gambaran umum karakteristik rumahtangga yang menjadi sasaran penelitian seperti tingkat pendidikan, rata-rata jumlah anggota keluarga, rata-rata pendapatan dan lain sebagainya. Analisis dengan menggunakan Two Stage Least Squares (2SLS) digunakan untuk menganalisis model ekonomi rumahtangga yang merupakan suatu persamaan simultan.
4.7. Konsep dan Defenisi Operasional
Konsep dan defenisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Rumahtangga adalah sekelompok orang yang tinggal di bawah satu atap dan menggunakan sumberdaya yang ada dalam rumahtangga tersebut bersamasama dengan tujuan yang sama untuk meningkatkan kepuasan rumahtangga. 2. Curahan kerja merupakan hari orang kerja yang dicurahkan oleh setiap anggota rumahtangga baik itu kegiatan di dalam usahatani tanaman pangan, perkebunan, usaha penangkapan ikan, kegiatan berburu, kegiatan menokok sagu, kegiatan di Proyek LNG Tangguh dan kegiatan rumahtangga selama satu tahun. 3. Tenaga kerja lokal adalah tenaga kerja yang berasal dari Kawasan Teluk Bintuni yang merupakan penduduk asli di daerah tersebut.
72
4. Produksi adalah banyaknya produk yang dihasilkan baik pada kegiatan pertanian, perikanan, berburu dan menokok sagu selama satu tahun. 5. Biaya pertanian adalah semua biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan pertanian selama satu tahun. 6. Luas areal pertanian adalah luasan lahan yang diusahakan oleh setiap rumahtangga selama satu tahun. 7. Jarak lahan pertanian merupakan jarak tempuh untuk mencapai lahan yang dikelola oleh setiap rumahtangga. 8. Intensitas penyuluhan pertanian adalah frekuensi penyuluhan pertanian yang diikuti oleh setiap rumahtangga dalam satu tahun. 9. Jumlah komoditi usahatani adalah banyaknya komoditi usahatani yang diusahakan setiap rumahtangga pada berbagai lahan yang dikelola selama satu tahun. 10. Biaya variabel pada kegiatan perikanan adalah semua biaya bahan bakar yang dikeluarkan untuk kegiatan perikanan selama satu tahun. 11. Jumlah jaring adalah banyaknya jaring yang dimiliki setiap rumahtangga selama satu tahun. 12. Tenaga kerja pada kegiatan perikanan adalah tenaga kerja pada setiap rumahtangga yang terlibat pada kegiatan tersebut selama satu tahun. 13. Pengeluaran kegiatan berburu adalah semua biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan kegiatan tersebut. 14. Pengeluaran kegiatan menokok sagu adalah semua biaya yang dikeluarkan berkaitan dengan kegiatan tersebut.
73
15. Frekuensi mengambil hasil hutan adalah jumlah kegiatan mengambil hasil hutan baik kegiatan berburu maupun menokok sagu pada setiap rumahtangga selama satu tahun. 16. Penerimaan total rumahtangga merupakan keseluruhan penerimaan dari berbagai aktivitas produksi yang bergantung kepada potensi sumber daya alam yang mencerminkan tinggi rendahnya produksi rumahtangga selama satu tahun. 17. Pendapatan tunai rumahtangga adalah seluruh penerimaan total tunai rumahtangga setelah dikurangi biaya-biaya yang digunakan pada setiap aktivitas produksi ditambah dengan pendapatan tunai dari proyek dan dari berbagai aktivitas produksi lainnya selama satu tahun . 18. Jumlah anggota keluarga adalah jumlah semua orang yang ada di dalam satu rumah yang menjadi tanggungan kepala keluarga. 19. Jumlah balita adalah jumlah anak kecil yang berusia di bawah lima tahun di dalam suatu rumahtangga. 20. Cash income dari proyek adalah pendapatan tunai yang diperoleh dari bekerja pada proyek LNG Tangguh selama satu tahun. 21. Proporsi pendapatan tunai dari proyek adalah persentase pendapatan tunai dari proyek terhadap keseluruhan pendapatan total rumahtangga selama satu tahun. 22. Konsumsi adalah kegiatan memanfaatkan barang atau produk yang dihasilkan oleh rumahtangga pada berbagai kegiatan produksi dan barang atau produk yang dibeli dipasar.
74
23. Barang non pasar merupakan produk yang dihasilkan rumahtangga pada kegiatan pertanian, perikanan, berburu dan menokok sagu selama satu tahun. 24. Barang pasar merupakan produk yang berasal dari pasar yang tidak dihasilkan oleh rumahtangga. Barang pasar terdiri dari barang pasar pangan maupun non pangan.
75
V. KARAKTERISTIK DAERAH PENELITIAN DAN RESPONDEN
5.1. Letak dan Keadaan Alam Kabupaten Teluk Bintuni
Kabupaten Teluk Bintuni merupakan salah satu kabupaten yang terletak di wilayah provinsi Papua Barat yang secara resmi berdiri pada tahun 2002. Sebelumnya kabupaten ini merupakan salah satu kecamatan dari wilayah pemerintahan Kabupaten Manokwari. Secara geografis kabupaten ini berada pada 1320 55’ BT – 1340 02’ BT dan 020 02’ LS – 020 97’ LS dengan luasan mencapai ± 18 637 km2. Secara administratif Kabupaten Teluk Bintuni terdiri dari 11 kecamatan yaitu Kecamatan Moskona Utara, Kecamatan Merdey, Kecamatan Bintuni, Kecamatan Idoor, Kecamatan Kuri, Kecamatan Fafurwar, Kecamatan Babo, Kecamatan Aranday, Kecamatan Moskona Selatan, Kecamatan Tembuni dan Kecamatan Simuri (BPS Papua Barat, 2008). Menurut DPU (2005), kabupaten ini hampir seluruhnya tertutup wilayah payau dan hutan bakau dengan batasan-batasan wilayah sebagai berikut: 1. Sebelah Utara
:
Kecamatan Aifat Timur Kabupaten Sorong Selatan, Kecamatan Kebar, Testega, Menyambouw dan Sururey Kabupaten Manokwari
2. Sebelah Selatan
:
Kecamatan Kaimana dan Kecamatan Teluk Arguni Kabupaten
Kaimana
dan
Kecamatan
Kokas
Kabupaten Fak-fak 3. Sebelah Barat
:
Teluk Bintuni, Kecamatan Kokodo dan Kecamatan Aifat Timur Kabupaten Sorong Selatan
76
4. Sebelah Timur
:
Kecamatan
Ransiki
Kabupaten
Manokwari,
Kecamatan Wamesa, Kecamatan Windesi, serta Kecamatan Wasior Kabupaten Teluk Wondama, dan Kecamatan Yaur Kabupaten Nabire
Secara keseluruhan kawasan Teluk Bintuni berada pada ketinggian 0 – 2000 meter dpl. Sepertiga wilayahnya adalah rawa-rawa yang ditumbuhi hutan sagu dan hutan bakau. Sepertiga wilayahnya lagi ditumbuhi oleh hutan rimba dan sisanya merupakan lereng terjal. Pemukiman penduduk umumnya berada di sepanjang alur sungai dan tepi jalan. Kemiringan lahan di kawasan ini bervariasi mulai kemiringan 0 – 2 persen hingga 15 – 40 persen. Iklim di wilayah Teluk Bintuni merupakan iklim tropis monsoon yang dicirikan oleh kondisi suhu dan kelembaban udara yang tinggi sepanjang tahun atau tropik basah dan memiliki suhu udara berkisar dari 200 - 380 C. Kampung Simuri (Saengga) dan Tanah Merah yang merupakan lokasi penelitian adalah sebuah unit administrasi dari Kecamatan Simuri yang merupakan daerah yang masuk kategori daerah terkena dampak langsung pembangunan proyek LNG Tangguh. Luasan masing-masing kampung ini adalah 467 km2.
Desa Tanah Merah terletak di pantai bagian selatan dari Teluk
Berau/Bintuni dalam lahan yang menjadi hak ulayat Klen Soway. Batas-batas administrasi Kampung Tanah Merah sebelum direlokasi ke Tanah Merah Baru meliputi wilayah seluas 5 630 ha, dan dibatasi perbatasan Desa Simuri (Saengga)
77
di bagian selatan, perbatasan Desa Tofoi di utara dan timur, serta Teluk Berau/Bintuni di bagian barat. Desa Simuri (Saengga) adalah sebuah unit administrasi dari Kecamatan Simuri. Di sebelah utara, batas administratif desa adalah Teluk Berau/Bintuni, di sebelah selatan adalah Desa Tofoi, di sebelah barat adalah Kecamatan Kokas di Kabupaten Fak-fak, dan di sebelah timur adalah Pulau Asap di Desa Tofoi. Jenis tanah dan bahan induk di kawasan Teluk Bintuni dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Keadaan Bahan Induk, Jenis Tanah dan Kelerengan Kawasan Teluk Bintuni No
Landform
Bahan induk
Jenis tanah Entisol, Inceptisols dan Alfisols Inceptisols dan Entisols Entisols, Inceptisols dan Histosis Entisols dan Inceptisols
Lereng (%)
1.
Kompleks siklin dan antiklin
Kapur, batu pasir
2.
Dataran aluvial
Aluvium
3.
Gambut topogen air tanah
Gambut
4.
Pesisir pantai
Aluvium
5.
Bekas sungai lama
Aluvium kasar dan halus
Entisols
<2
6.
Rawa pantai
Aluvium
Entisols dan Inceptisols
<2
7.
Dataran banjir rawa belakang dan danau
Aluvium
Inceptisols dan Entisols
<2
> 45 <2 <2 <2
Sumber: Unipa, 2001 Lahan di Kabupaten Teluk Bintuni sebagian besar masih berupa kawasan hutan dengan luas 18 244 km² atau sekitar 97.8 persen dari luas wilayah perencanaan. Kawasan hutan ini terdiri dari hutan produksi, hutan lindung, hutan perlindungan dan pelestarian, maupun areal penggunaan lainnya.
78
Di Kabupaten Teluk Bintuni banyak mengalir sungai besar dengan anakanak sungai. Ada 5 (lima) sungai besar di wilayah ini yang terletak di Kecamatan Bintuni dan Babo. Sungai Sebyar dan Muturi merupakan sungai yang terpanjang yaitu 150 km dan 140 km. Sungai-sungai yang ada bermuara di laut Teluk Bintuni. Pada waktu surut, hanya perahu-perahu berukuran kecil yang dapat melewati jalur masuk muara sungai yang kedalamannya kurang dari 1 meter. Hal ini mengakibatkan transportasi antar kecamatan di wilayah ini maupun antar kabupaten sangat tergantung pada pasang surut air. Keanekaragaman jenis satwa liar di kawasan ini berkaitan erat dengan komposisi jenis dan struktur vegetasi tiap-tiap formasi /tipe hutan. Vegetasi yang terdapat di daerah ini, adalah sebagai berikut (DPU, 2005): - Vegetasi rawa dan bakau antara lain: Avecenia alba, A. marina, A. officinallis, Rhizophora mucronata, R. a piculata, Bruguiera gymnoriza, B. parviflora, Xylocarpus spp, Nypa fruticans dan Ceripos tagal. - Vegetasi pantai antara lain: Ipomea pescapre, Pandanus spp., Cassuarina equisetifolia,
Terminallia
catappa,
Hibiscus
tiliaceus,
Callophylum
inophyllum, Carbera sp., Macaranga tanarius dan Vicus sp. - Vegetasi hutan campuran, antara lain: Palaqium sp, Pometia sp, Litsea sp, Metroxylon sp, rotan, perdu dan paku-pakuan dan savana yang didominasi jenis Malaleuca leucadendron.
5.2. Kependudukan 5.2.1. Komposisi Penduduk Menurut Agama
Komposisi penduduk menurut agama di dua lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 9. Sebaran penduduk berdasarkan agama di dua desa tersebut relatif
79
berbeda. Di desa Tanah Merah sekalipun mayoritas penduduknya adalah Kristen Protestan tetapi jumlah penduduk yang beragama Islam dan Katolik juga cukup banyak, sedangkan di Desa Saengga mayoritas penduduknya beragama Katolik sedangkan jumlah penduduk yang beragama Islam dan Kristen Protestan sangat sedikit. Hal ini menunjukkan bahwa di Desa Tanah Merah sebaran penduduknya berdasarkan agama relatif merata sedangkan di Desa Saengga didominasi oleh agama Katolik. Tabel 9.
Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama di Desa Tanah Merah dan Saengga Tahun 2002
Tanah Merah Saengga Keluarga persentase Keluarga Persentase 1. Islam 24 18.90 1 1.10 2. Katolik 27 21.26 83 91.21 3. Protestan 76 59.84 7 7.69 Total 127 100.00 91 100.00 Sumber: Sensus Rumahtangga, November 2001 dan Sensus Rumahtangga, Februari, 2002 No
Agama
5.2.2. Komposisi Penduduk Menurut Suku
Sebaran penduduk berdasarkan suku/etnis di Kabupaten Teluk Bintuni dikategorikan dalam dua kategori, yaitu etnis asli dan pendatang. Ada tujuh suku asli yang ada di Kabupaten Teluk Bintuni, yaitu Irarutu, Kuri, Sough, Simuri, Moskona, Wamesa, dan Sebyar. Sedangkan pendatang dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu, Pendatang Papua seperti Biak, Serui, Ayamaru, Inanwatan, Sentani, dan pendatang non Papua seperti Bugis, Buton, Jawa, Batak, Kei, Tanimbar, dan Seram (DPU, 2005).
80
Suku Simuri merupakan suku yang terletak di wilayah utara Teluk Berau. Suku yang mendominasi di kedua desa penelitian adalah Suku Simuri karena kedua desa tersebut merupakan desa yang terletak di sebelah utara Teluk Berau. Secara lengkap sebaran suku di kedua desa tersebut dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. No
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Suku
Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku di Desa Tanah Merah dan Saengga Tahun 2001 dan 2002 Tanah Merah Keluarga persentase 1 0.79 1 0.79 1 0.79 1 0.79 1 0.79 1 0.79 1 0.79 1 0.79 2 1.57 4 3.15 2 1.57 1 0.79 2 1.57 1 0.79 1 0.79 97 76.38 1 0.79 1 0.79 1 0.79 1 0.79 2 1.57 3 2.36
Saengga Keluarga Persentase 0 0.00 0 0.00 1 1.10 0 0.00 1 1.10 6 6.60 0 0.00 2 2.19 2 2.19 1 1.10 0 0.00 0 0.00 0 0.00 1 1.10 1 1.10 66 72.50 0 0.00 0 0.00 0 0.00 0 0.00 1 1.10
Ambon Aru Ayamaru Bacan Biak Bintuni Dobo Flores Iraruttu Maluku Merauke Numfor Raja Ampat Sangir Serui Sumuri Sunda Tepa Ternate Tobati Wamesa Wandamen Cina 0 0.00 (keturunan) 24. Kabiar 0 0.00 25. Kamoro 0 0.00 26. Lamalokot 0 0.00 27. Tehit 0 0.00 Sumber: Sensus Rumahtangga, November 2001 dan Februari, 2002
4
4.40
1 1.10 1 1.10 1 1.10 1 1.10 Sensus Rumahtangga,
81
5.2.3. Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. N o 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Tkt pendidikan Tidak sekolah SD tidak tamat SD tamat SLTP tdk tamat SLTP tamat SLTA tdk tamat SLTA tamat Akademi/P T
Total
Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Tanah Merah dan Saengga Tahun 2001 dan 2002 Pria Σ
Tanah Merah Penduduk Wanita % Σ %
Total
Saengga Penduduk Pria Wanita % Σ %
% Σ
Total
%
3
1.75
15
9.43
18
5.45
4
3.70
3
2.70
7
3.19
25
14.62
47
29.56
72
21.82
14
12.96
26
23.42
40
18.28
42
24.56
55
34.59
97
29.39
31
28.70
49
44.14
80
36.52
25
14.62
10
6.29
35
10.61
14
12.96
5
4.50
19
8.67
31
18.13
17
10.69
48
14.55
23
21.29
15
13.50
38
17.35
9
5.26
2
1.26
11
3.33
2
1.85
3
2.70
5
2.28
34
19.88
12
7.55
46
13.94
18
16.66
10
9.00
28
12.78
2
1.17
171
100
1 159
0.63 100
3 330
0.91 100
2 108
1.85 100
0
0.00
2
0.92
111
100
219
100
Sumber: Sensus Rumahtangga, November 2001 dan Sensus Rumahtangga, Februari, 2002
Tabel 11 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk di kedua desa tersebut mempunyai tingkat pendidikan di bawah sembilan tahun atau tidak tamat SMP. Hal ini disebabkan oleh fasilitas pendidikan lanjut seperti SMU hanya berada di ibukota Kecamatan dan ibukota Kabupaten.
Sebelum adanya Proyek LNG
Tangguh, transportasi ke kedua lokasi tersebut baik ibukota kecamatan maupun ibukota kabupaten sangat susah. Ketika musim angin untuk mencapai ibukota kecamatan yang berada di Desa Irarutu I bisa mencapai dua hari perjalanan dengan menggunakan perahu layar sedangkan untuk mencapai Kecamatan Bintuni yang sekarang merupakan ibukota Kabupaten
bisa lebih lama lagi.
Setelah
Proyek LNG Tangguh melakukan aktivitasnya di Kawasan Teluk Bintuni, masyarakat sangat terbantu dengan fasilitas speed boat perusahaan yang juga
82
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk bisa ke desa lain maupun ke ibukota kecamatan dan ibukota kabupaten.
5.2.4. Komposisi Penduduk Menurut Pekerjaan
Tabel 12 menunjukkan bahwa mayoritas penduduk di kedua desa tersebut mempunyai mata pencaharian utama sebagai nelayan. Aktivitas penangkapan udang sebagai sumber mata pencaharian/pendapatan keluarga dimulai pada bulan maret tahun 2000 bersamaan dengan hadirnya PT. Usaha Mina yang berperan sebagai penampung hasil tangkapan udang yang beroperasi hingga bulan Juni 2001. Tabel 12. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Utama di Desa Tanah Merah dan Saengga Tahun 2001 dan 2002 No
Tanah Merah Penduduk Pria Wanita % Σ %
Pekerjaan Σ
I 1 2 3 4 II 5 6 7 8 9 10
11 12
Pertanian Petani Nelayan/pen angkap udang Menokok sagu Peternak Sub total Non pertanian Pedagang Guru Paramedic Pensiunan Buruh Karyawan (BP, calmarine, dll) Menganyam (tikar, noken) Operator chainsaw Sub total Total
Saengga Penduduk Total
Pria
% Σ
%
Σ
Total
Wanita %
%
5
3.47
9
15.79
14
6.97
0
0
0
0
0
0
84
58.33
26
45.61
110
54.73
56
61.54
12
66.67
68
62.39
1
1.75
1
0.50
0
0
0
0
0
0
36
0.00 63.16
1 126
0.50 62.69
0 56
0 61.54
0 12
0 66.67
0 68
0 62.39
22.81 7.02 1.75 0.00 0.00
15 7 2 1 8
7.46 3.48 1.00 0.50 3.98
1 3 0 1 0
2.85 8.57 0 2.85 0
4 1 0 0 0
22.22 5.56 0 0 0
5 4 0 1 0
4.59 3.67 0 0.92 0
0.00
37
18.41
30
85.71
1
5.56
31
28.44
3
5.26
3
1.49
0
0
0
0
0
0
0.00
2
1.00
0
0
0
0
0
0
21 57
36.84 100
75 201
37.31 100
35 91
38.46 100
6 18
33.33 100
41 109
37.61 100
0
0.00
1 90
0.69 62.50
2 3 1 1 8
1.39 2.08 0.69 0.69 5.56
37
25.69
0
0.00
2
1.39
54 144
37.50 100
13 4 1
Sumber: Sensus Rumahtangga, November 2001 dan Sensus Rumahtangga, Februari, 2002
Setelah perusahaan tersebut tutup, yang menjadi penampung udang adalah PT. Bintuni Mina Raya (BMR) melalui perpanjangan tangan kopermas dan para
83
penampung udang lainnya. Hal ini mengakibatkan kegiatan menangkap udang merupakan mata pencaharian utama masyarakat desa tanah Merah dan Sengga hingga sekarang. Masuknya proyek LNG Tangguh di Kawasan Teluk Bintuni membuka peluang kerja bagi masyarakat setempat, terutama bagi penduduk yang berada di sekitar desa yang terkena dampak langsung karena mereka mendapat prioritas untuk direkrut pada sub kontraktor BP.
Hal ini mengakibatkan pada tahap
konstruksi, penduduk di lokasi penelitian banyak yang bekerja di proyek tersebut.
5.3. Karakteristik Rumahtangga Responden
Karakteristik rumahtangga responden dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Karakteristik Rumahtangga Responden Tahun 2008 No
Karakteristik Rumahtangga
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Umur suami (tahun) Umur istri (tahun) Pendidikan suami (tahun) Pendidikan istri (tahun) Jumlah anggota keluarga (orang) Jumlah angkatan kerja keluarga (orang) 7. Jumlah balita Sumber : Data Penelitian diolah Tabel 13 menunjukkan bahwa
LNG
Non LNG
39.77 34.80 7.97 6.57 7.1 3.95
37.96 32.12 7.44 5.56 6.24 3.16
1.40
1.16
rata-rata umur suami dan istri pada
keluarga yang tidak bekerja di LNG lebih rendah dibandingkan dengan umur suami dan istri yang salah satu anggota keluarganya bekerja di LNG. Pendidikan suami yang anggota keluarganya bekerja di LNG relatif sama dibandingkan dengan yang tidak bekerja di LNG, dimana rata-rata pendidikan suami yang
84
anggota keluarganya bekerja di LNG adalah 7.97 dan yang tidak bekerja di LNG adalah 7.44 atau setara dengan SMP kelas dua tetapi putus sekolah. Sedangkan pendidikan istri yang anggota keluarganya bekerja di LNG Tangguh pendidikannya lebih tinggi satu tahun dibandingkan istri yang anggota keluarganya tidak bekerja di LNG. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian Suprapto (2001) mengenai perilaku ekonomi rumahtangga petani di Irian Jaya, tingkat pendidikan suami maupun istri di Desa Tanah Merah dan Saengga cenderung lebih tinggi daripada di Kecamatan Ransiki. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesadaran masyarakat setempat tentang pentingnya pendidikan cukup tinggi sekalipun daerah tersebut cukup terisolasi sebelum adanya Proyek LNG Tangguh.
5.4. Mata Pencaharian Utama Rumahtangga Responden
Mata pencaharian utama rumahtangga responden dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 menunjukkan bahwa untuk rumahtangga responden yang bekerja di LNG, mayoritas dari mereka menggantungkan hidupnya sepenuhnya sebagai karyawan pada proyek tersebut sedangkan rumahtangga responden yang tidak bekerja di LNG mayoritas mereka menggantungkan hidupnya pada mata pencaharian utama sebagai nelayan. Hal ini berkaitan erat dengan penerimaan tunai yang mereka terima perbulannya, dimana baik rumahtangga responden yang mempunyai mata pencaharian utama sebagai karyawan pada proyek LNG maupun nelayan setiap bulannya mereka menerima uang tunai dari hasil kerja mereka sehingga mereka cenderung memilih untuk lebih banyak mencurahkan waktunya
85
pada dua kegiatan tersebut, sekalipun kegiatan usahatani juga tetap mereka lakukan. Tabel 14. Mata Pencaharian Utama Rumahtangga Responden Tahun 2008 LNG Jumlah Persentase Responden (%) (orang) 1 Petani 2 5.00 2 Nelayan 11 27.50 3. Proyek LNG 23 57.50 4. Pedagang 1 2.50 5. Meubel 0 0.00 6. Pembuat perahu 0 0.00 7. Guru 2 5.00 8. Tukang chainsaw 1 2.50 Total 40 100.00 Sumber : Data Penelitian diolah Mata Pencaharian No Utama
Non LNG Jumlah Persentase Responden (%) (orang) 2 8.00 20 80.00 0 0.00 1 4.00 1 4.00 1 4.00 0 0.00 0 0.00 25 100.00
Awalnya mata pencaharian utama di Desa Tanah Merah maupun Saengga hingga tahun 1998/1999 adalah bertani dan menokok sagu. Cara bertani yang mereka lakukan adalah ladang berpindah. Namun kegiatan ini merupakan strategi antara untuk budidaya tanaman tahunan. Umumnya mereka menanam tanaman jangka pendek hanya satu dua kali pada tahun pertama yang juga disertai dengan menanam tanaman tahunan sehingga pada tahun-tahun selanjutnya ladang tersebut perlahan-lahan menjadi kebun tanaman tahunan. Jenis-jenis tanaman jangka panjang yang dibudidayakan oleh masyarakat setempat antara lain kelapa, rambutan, nangka, durian, nenas, sukun, pisang, pepaya, sirsak dan kedondong.
Sementara tanaman jangka pendek yang
diusahakan antara lain kasbi (singkong), betatas, keladi, jagung, tomat, kacang panjang, bayam, rica, gedi, kangkung dan sawi.
Rata-rata luas areal yang
diusahakan oleh responden baik yang bekerja di LNG maupun yang tidak bekerja
86
di LNG adalah di bawah setengah hektar, yaitu sebesar 0.4 Ha. Hal ini menunjukkan beberapa hal, antara lain: (1) usahatani saat ini bukanlah merupakan mata pencaharian utama penduduk di lokasi penelitian, karena bukanlah merupakan sumber pendapatan tunai (cash income) yang besar, (2) kepemilikan lahan usahatani menjadi relatif lebih kecil semenjak adanya proyek LNG Tangguh karena lahan-lahan produktif penduduk Tanah Merah telah dialihkan menjadi areal konstruksi proyek tersebut. Adapun lahan masyarakat yang dibebaskan sebesar 3 666 hektar milik klen Soway, Simuna dan Wayuri. Bagi penduduk Tanah
Merah
pembebasan
lahan
tersebut
mengakibatkan
hilang
atau
berkurangnya akses ke lahan yang selama ini mereka gunakan untuk berkebun, berburu, dan mengambil hasil hutan. Tempat penjualan produk pertanian yang dihasilkan oleh penduduk adalah di Desa Tanah Merah, karena telah ada pasar yang dibangun di desa tersebut. Hal ini memudahkan petani untuk memasarkan hasil pertaniannya, sehingga mereka tidak perlu lagi ke Desa Tofoi maupun ke ibukota Kecamatan sebelumnya untuk memasarkan hasil pertanian mereka. Aktivitas penangkapan udang sebagai sumber mata pencaharian utama keluarga mulai ditekuni oleh penduduk setempat setelah hadirnya PT. Usaha Mina yang berperan sebagai penampung hasil tangkapan udang yang beroperasi hingga bulan Juni 2001. Setelah perusahaan tersebut tutup, PT. Bintuni Mina Raya (BMR) yang menjadi penampung udang melalui perpanjangan tangan kopermas dan para penampung udang lainnya. Hal ini mengakibatkan kegiatan menangkap udang merupakan mata pencaharian utama masyarakat desa tanah Merah dan
87
Sengga hingga sekarang. Adanya pembangunan dan pengoperasian pelabuhan ekspor LNG dan pelabuhan kargo saat ini mengakibatkan berkurangnya akses masyarakat Desa Tanah Merah maupun Saengga untuk melaut mencari udang dan ikan. Pada saat masa konstruksi, pihak proyek LNG Tangguh memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat untuk mengambil bagian pada pembangunan proyek tersebut sesuai dengan salah satu komitmen sosial yang memang telah disepakati oleh pihak pengelola proyek dan para stake holder yang ada. Komitmen tersebut telah dipenuhi perusahaan dengan memberikan kesempatan kepada masing-masing keluarga di sekitar wilayah terkena dampak langsung proyek, termasuk Desa Tanah Merah dan Saengga untuk bekerja di proyek selama masa konstruksi.
Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh
penduduk setempat untuk terlibat dalam masa konstruksi dan sekaligus menjadikan pekerjaan yang mereka lakukan di proyek sebagai mata pencaharian utama. Adapun pekerjaan yang mereka lakukan pada masa konstruksi umumnya adalah pekerjaan dengan tingkat ketrampilan yang rendah dan menengah, seperti tenaga konstruksi, perbengkelan, supir, tukang masak dan cleaning service. Selain itu perusahaan juga mempunyai komitmen untuk merekrut tenaga kerja pada jangka menengah dan panjang di wilayah tersebut, seperti yang dapat dilihat pada Tabel 7, sekalipun jumlahnya tidak sebanyak pada tahap konstruksi proyek. Setiap pekerja yang telah direkrut oleh sub kontraktor BP-Migas akan bekerja sesuai dengan jam dan hari kerja yang telah ditetapkan oleh kontraktor serta etika tingkah laku kerja lainnya (code of conduct). Selain itu setiap pekerja
88
yang telah diterima dipekerjakan dengan status lajang dan menempati tempat tinggal yang telah ditetapkan bagi mereka oleh sub kontraktor. Mereka hanya dapat meninggalkan lokasi konstruksi proyek pada saat cuti atau berkaitan dengan hal-hal penting lainnya di luar kendali perusahaan. Pada saat cuti para pekerja tersebut dikirim ke daerah tempat mereka direkrut. Bila masa kontrak mereka telah habis atau bila terjadi pemutusan hubungan kerja karena hal-hal tertentu, maka para pekerja tersebut dikembalikan ke daerah asal mereka (daerah mereka sebelum bekerja di proyek).
5.5. Penerimaan Tunai Rumahtangga Responden
Rata-rata penerimaan tunai rumahtangga responden dari berbagai aktivitas produksi yang mereka lakukan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Rata-rata Penerimaan Tunai Rumahtangga Responden Tahun 2008 No 1 2 3. 4. 5. 6.
Mata Utama
Pencaharian
Petani Nelayan Proyek LNG Berburu Menokok sagu Lain-lain Total
LNG Penerimaan Persentase Tunai (Rp) (%) 6 600 862.50 12.33 13 879 312.50 25.93 27 131 925.00 50.70 365 625.00 0.68 1 015 000.00 1.89 4 525 000.00 8.46 53 517 725.00 100.00
Non LNG Penerimaan Persentase Tunai (Rp) (%) 9 046 900.00 20.60 24 101 600.00 54.87 0.00 0.00 1 130 200.00 2.57 1 060 000.00 2.41 8 568 666.68 19.55 43 925 366.68 100.00
Sumber : Data Penelitian diolah Tabel 15 menunjukkan bahwa penerimaan tunai rumahtangga yang bekerja di LNG Tangguh lebih besar daripada rumahtangga yang anggota keluarganya tidak bekerja di LNG. Bagi rumahtangga yang bekerja di LNG Tangguh, sumber utama penerimaan tunainya adalah penerimaan dari bekerja di LNG Tangguh, sedangkan yang tidak bekerja di LNG, sumber utama penerimaan
89
tunainya adalah kegiatan menangkap udang. Dimana kegiatan menangkap udang semenjak tahun 2000 merupakan kegiatan yang merupakan sumber utama penerimaan uang tunai dari masyarakat setempat. Bila dibandingkan dengan data sensus yang dilakukan oleh BP Migas pada tahun 2002 untuk Desa Saengga PERTAMINA dan BP memperkirakan penghasilan rumahtangga di Simuri (Saengga) adalah Rp.18 311 000 per tahun per KK, dan bahwa 41 persen dari angka tersebut adalah hasil dari penangkapan udang.
Sedangkan untuk Desa Tanah Merah penghasilan penduduk berkisar
antara Rp. 4 050 000 hingga Rp. 31 011 000 per tahun Pada saat sensus tersebut dilakukan harga udang Rp. 25 000 per kg, sedangkan pada saat penelitian dilakukan, harga udang sudah mencapai Rp. 35 000 per kg. Jumlah tangkapan udang juga mengalami penurunan yang cukup besar.
Berdasarkan sensus
tersebut, pada saat musim udang, rata-rata jumlah udang yang diperoleh sekali melaut adalah berkisar antara 10 kg hingga 30 kg atau rata-ratanya sekitar 20 kg, sedangkan pada saat penelitian ini dilakukan, rata-rata udang yang dapat ditangkap oleh rumahtangga responden rata-ratanya 8.9 kg. Hal ini sesuai dengan wawancara yang dilakukan terhadap keseluruhan responden, yang mengatakan bahwa sebelum adanya proyek, sekali melaut mereka biasa menangkap udang berkisar antara 15 kg hingga 30 kg, tetapi setelah adanya proyek, jumlah tangkapan udang mengalami penurunan. Menurut mereka, hal ini disebabkan karena daerah penangkapan udang yang selama ini mereka manfaatkan untuk melaut telah menjadi zona larangan yang ditetapkan oleh pihak proyek LNG dengan alasan keamanan.
90
Harga sagu per tumang dengan ukuran diameter 30 cm pada saat sensus tersebut adalah Rp. 20 000 bila dijual di desa tersebut, sedangkan pada saat penelitian ini dilakukan harga sagu dengan ukuran yang sama telah mencapai Rp 100 000. Tidak ada informasi dari sensus tersebut mengenai hasil buruan yang diperoleh penduduk apakah dijual atau semuanya dikonsumsi sendiri pada saat itu, tetapi pada saat penelitian ini dilakukan hasil buruan berupa babi hutan, rusa, laolao (kangguru) dan kasuari dijual dengan harga perikatnya yang diperkirakan mempunyai berat satu hingga satu setengah kilo sebesar Rp. 10 000. Perbedaan harga maupun jumlah tangkapan udang, hasil buruan dan jumlah sagu yang dihasilkan diduga mengakibatkan perbedaan nilai penerimaan yang diperoleh oleh penduduk di desa yang sama pada waktu yang berbeda. Atau dengan kata lain, peningkatan penerimaan tunai tersebut diakibatkan karena peningkatan harga setiap komoditi.
91
VI. PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA RESPONDEN
6.1. Alokasi Curahan Kerja 6.1.1. Alokasi Curahan Kerja Pada Kegiatan Pertanian
Rumahtangga responden umumnya mengusahakan tanaman pangan, tanaman jangka panjang dan tanaman perkebunan. Tanaman perkebunan yang diusahakan adalah kelapa sawit yang berlokasi di Desa Tofoi. Curahan kerja yang mereka curahkan untuk kelapa sawit dibandingkan tanaman pangan dan tahunan pada saat penelitian ini dilakukan relatif kecil karena mereka hanya melakukan pemeliharaan dan pemanenan, sedangkan aktivitas penanaman dan pemupukan telah dilakukan perusahaan. Oleh karena itu dalam penelitian ini curahan kerja rumahtangga responden pada kegiatan usahatani tanaman pangan dan perkebunan dijadikan satu. Tabel 16. Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota Rumahtangga Pada Usahatani dan Perkebunan dalam Satu Tahun (HOK) No 1 2. 3.
Anggota Rumahtangga
Suami Istri Anak/ anggota keluarga lain Total Sumber : Data Penelitian diolah
LNG Curahan Kerja Rata-rata 26.01 31.42 7.65
Non LNG Curahan Kerja Rata-rata 36.27 29.31 4.68
65.08
70.26
Tabel 16 menunjukkan bahwa alokasi curahan kerja suami rumahtangga responden non LNG untuk kegiatan usahatani dan perkebunan lebih tinggi dibandingkan yang bekerja di LNG. Sebaliknya curahan kerja istri dan anak yang
92
tidak bekerja LNG lebih rendah dibandingkan curahan kerja istri dan anak yang salah satu anggota keluarganya bekerja di LNG. Hal ini terjadi karena umumnya yang bekerja di proyek adalah suami atau anak laki-laki, sehingga ketika mereka bekerja di proyek, istri dan anak yang harus memegang peranan dalam mengelola usahatani keluarga mereka.
Sebaliknya rumahtangga responden yang tidak
bekerja di LNG, umumnya alokasi curahan kerja untuk kegiatan produksi dalam rumahtangga didominasi oleh suami sehingga istri dan anak-anak cenderung lebih banyak mengerjakan aktivitas rumahtangga. Alokasi kerja suami yang terbesar pada kegiatan pertanian di wilayah penelitian umumnya adalah kegiatan pembukaan lahan dan pengolahan lahan untuk tanaman jangka pendek serta kegiatan pemanenan kelapa sawit di lahan perkebunan kelapa sawit yang mereka miliki.
Istri umumnya lebih banyak mengalokasikan kerjanya pada kegiatan
penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran, sedangkan anak-anak dan anggota keluarga lainnya juga turut bekerja, tetapi alokasi bekerja mereka tidak banyak.
Hal ini disebabkan anak-anak mereka masih bersekolah sehingga
aktivitas mereka untuk kegiatan produktif juga sangat rendah. Biasanya mereka membantu orangtua mereka pada saat libur panjang sekolah atau setelah pulang sekolah. Secara keseluruhan Tabel 16 menunjukkan bahwa keputusan bekerja di LNG Tangguh menurunkan total alokasi kerja pada kegiatan pertanian. Hal ini terjadi karena tenaga kerja yang bekerja di proyek sebenarnya merupakan tenaga kerja potensial yang sebelum adanya proyek merupakan tenaga kerja yang juga mengalokasikan kerjanya pada kegiatan pertanian. Penurunan alokasi kerja pada
93
kegiatan pertanian terutama karena adanya penurunan alokasi kerja suami pada kegiatan tersebut, karena waktu produktifnya lebih banyak di proyek.
6.1.2. Alokasi Curahan Kerja Pada Kegiatan Perikanan
Kegiatan perikanan yang ditekuni oleh penduduk setempat adalah menangkap udang setiap bulan hampir di sepanjang tahun. Kegiatan penangkapan ikan juga mereka lakukan tetapi tidak serutin penangkapan udang.
Hal ini
disebabkan harga udang perkilogram jauh lebih tinggi dibandingkan harga ikan pertali. Harga udang pada saat penelitian ini dilakukan adalah Rp. 35 000 dan harga ikan pertali Rp. 10 000. Selain itu, umumnya mereka menangkap ikan pada saat mereka juga menangkap udang.
Alokasi curahan kerja pada kegiatan
perikanan dapat dilihat pada Tabel 17. Wilayah tangkapan udang bagi masyarakat di lokasi penelitian ke arah utara membentang dari garis pantai hingga kedalaman laut 10 meter. Wilayah tangkapan ini membentang hingga muara Saengga (sebelah barat) sedangkan di sebelah timur hingga tanjung Tagova. Perahu yang umumnya digunakan adalah perahu tanpa mesin sehingga masyarakat setempat menangkap udang tidak terlalu jauh dari garis pantai. Pada saat penelitian ini dilakukan, pihak perusahaan (LNG Tangguh) telah memberikan bantuan kepada masyarakat di Desa Tanah Merah mesin berkapasitas 24 PK untuk masing-masing rumahtangga, sedangkan penduduk Desa Saengga masih menunggu tahap berikutnya untuk memperoleh mesin dengan kapasitas yang sama. Tujuan pemberian mesin tersebut dengan harapan bahwa masyarakat bisa tetap melaut dengan frekuensi dan produksi yang
94
relatif sama sebelum pembangunan proyek. Sekalipun pihak perusahaan telah memberikan bantuan motor mesin tersebut, tetapi jarang penduduk yang menggunakannya untuk menangkap udang atau melaut. Hal ini disebabkan harga bahan bakar minyak, dalam hal ini bensin yang digunakan untuk perahu motor per liternya pada saat penelitian ini dilakukan adalah Rp 12 000 sehingga masyarakat lebih memilih menggunakan perahu dayung sekalipun wilayah penangkapan udang menjadi terbatas yang berakibat kepada penurunan produksi. Kondisi ini diduga semakin parah setelah kenaikan bahan bakar minyak yang diumumkan pemerintah secara resmi pada bulan juni lalu. Alasan penduduk tidak menggunakan perahu motor untuk menangkap udang adalah karena jumlah tangkapan yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya yang harus mereka keluarkan sekali melaut.
Oleh karena itu hanya beberapa orang saja yang
menangkap udang hingga Tanjung Tagova pada saat tidak musim angin. Kegiatan menangkap udang yang dilakukan oleh masyarakat setempat sangat tergantung dengan musim angin barat/utara dan angin timur/selatan. Pada bulan Desember biasa mulai bertiup angin barat/utara sehingga masyarakat hanya melaut saat laut teduh. Pada bulan januari hingga bulan maret bertiup angin barat/utara sehingga pada bulan-bulan penduduk hanya bisa melaut pada saat laut teduh. Pada bulan april hingga oktober pada saat musim angin timur/selatan laut relatif teduh sehingga masyarakat melakukan penangkapan udang pada bulanbulan ini. Setiap bulannya, masyarakat melaut pada saat awal bulan dan tengah bulan, karena pada saat tersebut menurut mereka udang yang mereka peroleh lebih banyak dibandingkan hari-hari lain. Dalam sebulan, umumnya frekuensi
95
melaut masyarakat setempat berkisar dari enam hingga empat belas hari, sehingga hari-hari lainnya digunakan untuk melakukan aktivitas produksi yang lain. Tabel 17. Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota Rumahtangga Pada Kegiatan Perikanan dalam Satu Tahun (HOK) No
Anggota Rumahtangga
1 2. 3.
Suami Istri Anak/ anggota keluarga lain Total Sumber : Data Penelitian diolah
LNG Curahan Kerja Rata-rata 67.05 32.67 18.14
Non LNG Curahan Kerja Rata-rata 147.32 48.68 30.51
117.86
226.51
Tabel 17 menunjukkan bahwa untuk rumahtangga non LNG alokasi curahan kerja mereka untuk kegiatan perikanan baik suami, istri maupun anak lebih tinggi dibandingkan pada rumahtangga yang bekerja di LNG.
Hal ini
disebabkan sumber penerimaan tunai rumahtangga non LNG yang utama adalah dari kegiatan penangkapan udang, karena ketika mereka menjual kepada pedagang pengumpul, mereka langsung menerima uang tunai. Penerimaan dari usahatani tanaman pangan cenderung lebih rendah dan hanya bisa diterima oleh rumahtangga responden setelah panen sehingga alokasi kerja mereka untuk kegiatan ini lebih rendah sedangkan untuk kegiatan perikanan lebih tinggi. Hasil tangkapan mereka umumnya adalah udang, ikan sembilan, ikan sisik, ikan merah dan ikan mulut tikus. Keputusan bekerja di LNG Tangguh mengakibatkan alokasi kerja seluruh anggota rumahtangga pada kegiatan perikanan juga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan umumnya kegiatan melaut didominasi oleh suami. Ketika mereka
96
bekerja di proyek maka kegiatan melaut hanya dilakukan oleh istri dan anak. Biasanya setelah suami mendapat cuti dari proyek barulah mereka melaut pada saat musim udang. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan adanya subtitusi pendapatan tunai yang cukup besar dari proyek untuk kegiatan perikanan, sehingga alokasi kerja mereka untuk kegiatan perikanan juga mengalami penurunan.
6.1.3. Alokasi Curahan Kerja Pada Kegiatan Berburu
Kegiatan berburu yang dilakukan oleh penduduk setempat merupakan kegiatan yang mereka lakukan pada saat bukan musim udang. Aktivitas berburu ini dilakukan di hutan yang ada di sekitar pemukiman penduduk. Hanya saja setelah pembebasan lahan yang dilakukan oleh pihak LNG Tangguh serta keputusan bekerja di proyek tersebut, maka wilayah berburu masyarakat setempat dan alokasi kerja pada kegiatan tersebut juga berkurang sehingga mempengaruhi hasil tangkapan yang diperoleh. Umumnya setiap kali berburu mereka terdiri dari dua hingga enam orang dari keluarga yang sama ataupun berbeda. Hasil buruan yang mereka peroleh umumnya adalah babi hutan, lao-lao (kangguru), kasuari dan rusa. Hasil yang mereka peroleh dibagi merata pada setiap orang yang ikut berburu. Tabel 18 menunjukkan bahwa alokasi kerja rumahtangga responden untuk kegiatan berburu lebih tinggi pada rumahtangga yang tidak bekerja di LNG. Sekalipun demikian aktivitas berburu juga tetap dilakukan oleh keluarga yang bekerja di LNG Tangguh ketika mereka cuti bekerja, tetapi frekuensinya tidaklah
97
sebanyak frekuensi berburu di rumahtangga yang tidak bekerja di LNG. Frekuensi berburu rumahtangga yang bekerja di LNG adalah rata-rata 4.50 pertahun, sedangkan yang tidak bekerja di LNG frekuensi berburunya bisa mencapai 8.12 pertahun. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan bekerja di proyek mengakibatkan alokasi kerja pada kegiatan berburu mengalami penurunan karena tenaga kerja potensial untuk kegiatan tersebut dialihkan ke proyek. Tabel
18.
Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota Rumahtangga Pada Kegiatan Berburu dalam Satu Tahun (HOK)
No 1 2. 3.
Anggota Rumahtangga
Suami Istri Anak laki-laki Total Sumber : Data Penelitian diolah
LNG Curahan Kerja Rata-rata 2.82 0.00 1.15 3.97
Non LNG Curahan Kerja Rata-rata 8.24 0.00 2.64 10.88
6.1.4. Alokasi Curahan Kerja Pada Kegiatan Menokok Sagu
Kegiatan menokok sagu umumnya dilakukan oleh kepala keluarga dan istrinya di dusun sagu yang merupakan dusun sagu yang dimiliki secara komunal pada tingkat marga. Para anggota marga tidak mempunyai pemilikan pribadi atas dusun sagu, walaupun ada semacam pembagian daerah untuk kegiatan menokok sagu. Sekalipun demikian, marga yang satu dapat menokok sagu di dusun sagu marga lain. Setelah adanya pembebasan lahan yang dilakukan oleh pihak proyek, maka dusun sagu tempat masyarakat menokok sagu juga berkurang. Kegiatan ini mempunyai beberapa tahapan yang umumnya masing-masing tahapan tersebut dilakukan oleh suami dan istri secara bergantian. Ketika mereka
98
ke hutan, biasanya suami yang mencari pohon sagu yang telah tua dan siap untuk ditokok. Setelah menemukan pohon sagu, mereka membuat sumur dan goti untuk memeras sagu.
Pohon sagu yang telah ditebang lalu dibuka dan dipangkur.
Kegiatan pangkur ini umumnya dilakukan oleh suami tetapi istri juga sering melakukannya ketika suami tidak turut serta dalam kegiatan tersebut. Setelah selesai dipangkur, istri menyiram hasil pangkuran sagu tersebut dan memerasnya dengan menggunakan kain atau goti yang telah dibuat. Hasil perasan tersebut lalu diendapkan dan menjadi sagu yang siap dimasukkan ke dalam tumang yang telah dibuat. Tabel 19. Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota Rumahtangga Pada Kegiatan Menokok Sagu dalam Satu Tahun (HOK) No 1 2. 3.
Anggota Rumahtangga
Suami Istri Anak/anggota keluarga lain Total Sumber : Data Penelitian diolah
LNG Curahan Kerja Rata-rata 12.08 13.47 0.45 26.00
Non LNG Curahan Kerja Rata-rata 12.31 34.76 4.00 51.07
Tabel 19 menunjukkan bahwa curahan kerja rumahtangga responden untuk kegiatan menokok sagu lebih tinggi pada rumahtangga yang tidak bekerja di LNG. Hal ini disebabkan curahan kerja yang tersedia untuk menokok sagu lebih banyak pada rumahtangga yang tidak bekerja di LNG dan juga karena harga sagu pertumangnya setelah adanya proyek LNG cukup tinggi sehingga mendorong mereka untuk terus menokok sagu, sekalipun hutan sagu sangat terbatas di wilayah mereka setelah pembangunan proyek LNG Tangguh.
Sebaliknya
rumahtangga yang bekerja di LNG cenderung mengurangi aktivitas menokok sagu
99
karena mereka mempunyai uang tunai dari proyek yang dapat dialokasikan untuk membeli beras maupun sagu. Sagu yang dihasilkan oleh masyarakat setempat umumnya dalam bentuk tumang dan mempunyai diameter kurang lebih 30 cm dan tinggi 50 cm.
Harga sagu pertumangnya dengan diameter tersebut adalah
Rp 100 000.
6.1.5. Alokasi Kerja pada Kegiatan Produktif di Rumahtangga yang Bekerja dan Tidak Bekerja di Proyek Liquified Natural Gas Tangguh
Perbedaan alokasi kerja pada kegiatan produktif di rumahtangga yang bekerja di LNG Tangguh maupun yang tidak bekerja dapat dilihat pada Tabel 20 dan 21. Tabel 20. Rekapitulasi Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota Rumahtangga Pada Kegiatan Produktif dalam Satu Tahun di Rumahtangga yang Bekerja di Proyek Liquified Natural Gas Tangguh (HOK-%) No
Anggota rumahtangga
1.
Suami
2.
Istri
Kegiatan pertanian 26.01 (6.16) 31.42 (7.45)
Anak/ 7.65 anggota (1.81) keluarga lain Jumlah 65.08 Persentase (15.42) Sumber : Data Penelitian diolah 3.
Kegiatan perikanan 67.05 (15.89) 32.67 (7.74)
2.82 (0.67) 0.00 (0.00)
Menokok sagu 12.08 (2.86) 13.47 (3.19)
Proyek LNG 93.83 (22.24) 0.00 (0.00)
201.79 (47.82) 77.56 (18.38)
18.14 (4.30)
1.15 (0.27)
0.45 (0.11)
115.19 (27.30)
142.58 (33.79)
117.86 (27.93)
3.97 (0.94)
26.00 (6.16)
209.03 (49.54)
421.94 (100.00)
Berburu
Jumlah
Tabel 20 menunjukkan bahwa rumahtangga responden yang bekerja di LNG Tangguh mengalokasikan kerjanya paling besar pada kegiatan proyek LNG Tangguh. Hal ini diakibatkan kontrak yang mengikat mereka setelah mereka bekerja pada proyek tersebut. Selain itu kegiatan di proyek merupakan sumber penerimaan uang tunai terbesar dalam rumahtangga mereka. Semakin banyak
100
waktu yang dicurahkan untuk bekerja di proyek, ada kecenderungan pendapatan tunai yang mereka terima di proyek juga semakin tinggi. Oleh karena itu kondisi fisik pekerja di proyek sangat menentukan berapa banyak waktu yang dapat dialokasikan untuk bekerja pada masa konstruksi.
Selama mereka bekerja,
mereka tinggal di tempat tinggal yang disediakan oleh perusahaan bagi mereka di lokasi konstruksi proyek. Mereka hanya diizinkan pulang pada saat cuti atau pada saat air pasang. Cuti yang mereka jalani sesuai dengan jenis pekerjaan yang mereka kerjakan. Ada yang bekerja satu bulan kemudian memperoleh cuti satu bulan, tetapi ada juga yang bekerja dua bulan tetapi cuti mereka hanya satu bulan tergantung jenis pekerjaan mereka. Pada saat musim air pasang pagi dan sore setiap bulannya mereka juga diizinkan pulang sekalipun belum masa cuti karena speed boat milik perusahaan bisa merapat ke desa mereka.
Biasanya dalam
sebulan mereka bisa pulang sekitar kurang lebih dua hingga empat kali. Sekalipun demikian mereka tetap melakukan aktivitas kerja mereka seperti biasa di proyek. Setiap sore mereka diantar oleh speed boat perusahaan ke desa-desa mereka dan besok paginya jam setengah enam mereka telah dijemput kembali oleh speed boat untuk dibawa kembali bekerja di proyek. Bagi rumahtangga yang bekerja di LNG Tangguh, curahan kerja terbesar kedua yang dilakukan oleh rumahtangga adalah pada kegiatan perikanan karena kegiatan ini adalah merupakan sumber penerimaan tunai kedua terbesar di dalam rumahtangga.
Para suami ketika cuti umumnya mereka selalu melaut untuk
menangkap udang. Ketika mereka bekerja di proyek biasa ada anggota keluarga yang lain yang tetap melaut pada saat-saat musim udang bila didalam keluarga
101
tersebut mempunyai anggota keluarga produktif lebih dari dua orang dan sudah tidak bersekolah lagi. Bila keluarga tersebut hanya mempunyai dua tenaga kerja produktif yaitu suami dan istri serta anak-anak mereka masih balita atau masih bersekolah, maka kegiatan penangkapan udang ini hanya dilakukan oleh suami pada saat cuti dari perusahaan. Sebaliknya bagi rumahtangga yang tidak bekerja di LNG Tangguh, alokasi kerja mereka yang terbesar adalah pada kegiatan perikanan karena merupakan sumber penerimaan tunai terbesar dalam rumahtangga. Tabel 21. Rekapitulasi Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota Rumahtangga Pada Kegiatan Produktif dalam Satu Tahun di Rumahtangga yang Tidak Bekerja di Proyek Liquified Natural Gas Tangguh (HOK-%) No
Anggota rumahtangga
1.
Suami
2.
Istri
3.
Anak/ anggota keluarga lain Jumlah Persentase
Kegiatan pertanian 36.27 (10.11) 29.31 (8.17)
Kegiatan perikanan 147.32 (41.07) 48.68 (13.57)
8.24 (2.30) 0.00 (0.00)
Menokok sagu 12.31 (3.43) 34.76 (9.69)
4.68 (1.30)
30.51 (8.51)
2.64 (0.74)
4.00 (1.12)
41.83 (11.66)
70.26 (19.59)
226.51 (63.14)
10.88 (3.03)
51.07 (14.24)
358.72 (100.00)
Berburu
Jumlah 204.14 (56.91) 112.75 (31.43)
Sumber : Data Penelitian diolah Alokasi kerja untuk kegiatan pertanian, menokok sagu dan berburu lebih kecil dibandingkan dua kegiatan sebelumnya baik pada rumahtangga yang bekerja maupun yang tidak bekerja pada proyek LNG Tangguh. Hal ini diduga karena curahan kerja produktif yang biasa dialokasikan untuk kegiatan tersebut telah dialokasikan untuk kegiatan proyek pada rumahtangga yang bekerja di proyek LNG Tangguh. Selain itu, ketiga kegiatan tersebut bukan merupakan sumber penerimaan uang tunai yang besar dalam rumahtangga.
Keterbatasan lahan
102
pertanian dan wilayah berburu serta hutan sagu setelah adanya pembebasan lahan yang dilakukan oleh pihak proyek LNG Tangguh untuk kepentingan konstruksi diduga merupakan salah satu penyebab semakin rendahnya curahan kerja pada kegiatan pertanian, berburu dan menokok sagu karena hilangnya akses terhadap lahan dan hutan yang selama ini menjadi tempat mencari nafkah.
6.1.6. Alokasi Curahan Kerja Pada Kegiatan Rumahtangga
Kegiatan rumahtangga didominasi oleh istri di dalam masing-masing keluarga, baik pada rumahtangga yang bekerja di LNG maupun yang tidak. Alokasi curahan kerja pada kegiatan rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota Rumahtangga Pada Kegiatan Rumahtangga dalam Satu Tahun (HOK) No 1 2. 3.
Anggota Rumahtangga
Suami Istri Anak/anggota keluarga lain Total Sumber : Data Penelitian diolah
LNG Curahan Kerja Rata-rata 9.04 247.56 126.96 383.56
Non LNG Curahan Kerja Rata-rata 13.56 256.71 57.42 327.69
Dalam penelitian ini, kegiatan rumahtangga yang diteliti meliputi kegiatan memasak, mencuci, mengasuh anak dan mencari kayu bakar. Rumahtangga yang bekerja di LNG, alokasi curahan kerja suami lebih rendah dibandingkan yang tidak bekerja di LNG, tetapi alokasi kerja anak dan anggota keluarga lain lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak bekerja di LNG. Hal ini disebabkan kegiatan rumahtangga yang menjadi tanggungjawab kepala keluarga yang bekerja di LNG dibebankan kepada anak dan anggota keluarga lainnya. Selain itu rata-
103
rata jumlah anggota keluarga dan jumlah balita pada setiap rumahtangga yang bekerja di LNG maupun yang tidak bekerja di LNG sangat mempengaruhi alokasi curahan kerja istri. Semakin banyak jumlah balita maka pekerjaan rumahtangga juga cenderung lebih tinggi. Penduduk
di
lokasi
penelitian
didalam
melakukan
aktivitas
rumahtangganya sangat terbantu dengan tersedianya fasilitas air bersih yang menjangkau setiap rumah, sehingga para istri dan anak-anak tidak perlu menimba air lagi atau pergi ke sumber mata air untuk mencuci ataupun mengambil air bersih. Pada saat penelitian dilakukan, setiap hari air mengalir di rumah-rumah yang ada di Desa Saengga. Hanya saja untuk Desa Tanah Merah air dijadwal mengalir dua hari sekali karena jumlah penduduk di desa ini jauh lebih besar daripada jumlah penduduk di Saengga. Air bersih tersebut mengalir pada saat fasilitas penerangan juga telah menyala pada saat jam enam sore.
Beberapa
rumahtangga yang salah satu anggota keluarganya bekerja di LNG menggunakan mesin cuci untuk mencuci baju sehingga alokasi kerja untuk aktivitas mencuci menjadi berkurang.
6.2.
Kontribusi Pendapatan Tunai Masing-masing Kegiatan Produksi Rumahtangga
Sumber pendapatan tunai
masing-masing rumahtangga responden
berbeda-beda. Secara keseluruhan sumber pendapatan responden berasal dari upah kerja pada proyek LNG tangguh, usahatani tanaman pangan dan perkebunan, melaut, guru, berdagang, membuat perahu, meubel, berburu, menokok sagu dan
104
sebagai tukang chainsaw. Kontribusi pendapatan masing-masing kegiatan produksi rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23 menunjukkan bahwa untuk rumahtangga yang bekerja di LNG, sebagian besar pendapatannya diperoleh dari bekerja di proyek LNG, sedangkan untuk rumahtangga yang tidak bekerja di LNG sebagian besar pendapatannya diperoleh dari kegiatan perikanan. Rata-rata pendapatan dari kegiatan perikanan bisa mencapai Rp. 1 538 817.78 perbulannya untuk rumahtangga yang tidak bekerja di LNG dan Rp. 735 086.48 perbulannya untuk yang bekerja di LNG. Tinggi rendahnya pendapatan tersebut diakibatkan oleh tinggi rendahnya curahan kerja yang mereka curahkan pada kegiatan tersebut. Tabel 23. Rata-rata Kontribusi Pendapatan Tunai Rumahtangga pada Masingmasing Kegiatan Produksi dalam Satu Tahun No
Komponen Pendapatan
1. 2. 3. 4 5. 6.
Proyek LNG Nelayan Usahatani & perkebunan Berburu Menokok sagu Lain-lain Total Sumber : Data Penelitian diolah
LNG Rata-rata Pendapatan (Rp) 27 131 925.00 8 821 037.75 6 585 063.53 363 812.50 1 008 760.43 4 652 375.00 48 562 974.21
Persentase (%) 55.87 18.16 13.56 0.75 2.08 9.58 100.00
Non LNG Persentase Rata-rata (%) Pendapatan (Rp) 0.00 0.00 18 465 813.33 48.28 9 028 843.33 23.61 1 128 746.67 2.95 1 034 510.49 2.70 8 586 666.68 22.45 38 244 580.50 100.00
Pada rumahtangga yang tidak bekerja di LNG, pendapatan yang mereka peroleh dari semua sumber pendapatan yang bergantung pada potensi sumber daya alam lebih tinggi dibandingkan dengan yang bekerja di LNG. Sekalipun demikian total pendapatan pada rumahtangga yang bekerja di LNG Tangguh lebih tinggi karena adanya peningkatan penerimaan uang tunai dari kegiatan bekerja pada proyek LNG Tangguh.
105
Bila dikaitkan dengan Tabel 20 dan 21, secara keseluruhan Tabel 23 menunjukkan bahwa tinggi rendahnya pendapatan tunai sangat ditentukan oleh alokasi kerja pada masing-masing kegiatan. Semakin tinggi alokasi kerja pada kegiatan tertentu mengakibatkan pendapatan tunai yang diperoleh juga semakin tinggi. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa rumahtangga didalam mengalokasikan kerjanya sangat dipengaruhi oleh pendapatan tunai yang dapat diperoleh dari masing-masing kegiatan.
6.3.
Konsumsi pada Rumahtangga Responden
Masing-masing rumahtangga responden mempunyai pola konsumsi yang berbeda-beda baik pada komoditi pangan maupun non pangan tergantung jumlah anggota keluarga dan gaya hidup masing-masing keluarga.
Konsumsi pada
rumahtangga responden dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Rata-rata Konsumsi Rumahtangga dalam Satu Tahun No 1. 2. 3. 4
Jenis Barang Konsumsi
Produk usahatani Produk perikanan Hasil buruan Hasil menokok sagu Konsumsi barang pasar 5. pangan selain produksi rumahtangga Konsumsi barang pasar 6. non pangan Total Sumber : Data Penelitian diolah
LNG Rata-rata nilai Persentase Konsumsi (Rp) (%) 1 249 300 5.98 1 403 750 6.72 298 250 1.43 370 000 1.77
Non LNG Rata-rata nilai Persentase Konsumsi (Rp) (%) 745 100 3.86 2 915 400 15.09 750 400 3.88 634 000 3.28
15 451 425
73.99
12 854 960
66.55
2 110 700
10.11
1 417 680
7.34
20 883 425
100.00
19 317 540
100.00
Konsumsi terbesar rumahtangga responden adalah konsumsi untuk bahan pangan, terutama bahan pangan yang berasal dari pasar baik pada rumahtangga yang bekerja di LNG maupun yang tidak bekerja di LNG. Hal ini disebabkan harga-
106
harga barang pasar untuk pangan di kedua desa penelitian lebih tinggi dibandingkan dengan harga normal yang berlaku di ibukota provinsi. Sebagai contoh, harga per kilogram gula pasir di ibukota provinsi mencapai Rp. 9 000 sedangkan di lokasi penelitian, harga gula pasir ¾ kg mencapai Rp. 10 000 dan harga minyak goreng 5 liter mencapai Rp. 80 000 sedangkan di ibukota provinsi sebesar Rp. 60 000. Tingginya harga bahan pangan di kedua desa ini merupakan konsekuensi dari biaya tataniaga yang juga meningkat yang harus ditanggung oleh para pedagang setempat. Nilai konsumsi barang pasar pangan maupun non pangan pada rumahtangga yang bekerja di LNG Tangguh lebih besar dibandingkan pada rumahtangga yang tidak bekerja di LNG. Hal ini disebabkan rata-rata jumlah anggota keluarga dan jumlah balita rumahtangga yang bekerja di LNG lebih besar dibandingkan jumlah anggota keluarga dan balita rumahtangga yang tidak bekerja di LNG.
Selain itu uang tunai yang diterima dari upah bekerja di LNG
memungkinkan keluarga yang bekerja di LNG mempunyai tingkat konsumsi yang lebih tinggi karena tingkat pendapatan mereka lebih besar dari rumahtangga yang tidak bekerja di LNG.
Untuk menyiasati kebutuhan konsumsi yang tinggi,
rumahtangga yang tidak bekerja di LNG lebih banyak mengkonsumsi produk yang berasal dari produksi rumahtangga dan mengurangi konsumsi barang pasar untuk pangan dan non pangan. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya pendapatan tunai yang dimiliki rumahtangga mempengaruhi tinggi rendahnya konsumsi suatu rumahtangga terhadap barang pasar maupun produk-produk yang dihasilkan rumahtangga pada berbagai aktivitas produksi.
107
6.4.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi dan Penerimaan Rumahtangga
Dalam rangka mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi dan penerimaan rumahtangga responden yang bekerja di LNG Tangguh dilakukan pendugaan model dengan menggunakan metode 2SLS pada program SAS 9.1 melalui prosedur PROC SYSLIN. Dari hasil pendugaan model tersebut dilakukan analisis berdasarkan nilai koefisien determinasi (R2) untuk mengetahui keragaan masing-masing peubah endogen dapat dijelaskan oleh peubah penjelas yang ada di dalam model yang dibangun.
Nilai statistik uji-F juga dilakukan untuk
mengetahui pengaruh peubah penjelas secara bersama-sama terhadap peubah endogen, sedangkan untuk mengetahui pengaruh masing-masing peubah penjelas terhadap variabel endogen dilakukan uji-t.
6.4.1. Penerimaan Pertanian
Hasil pendugaan parameter penerimaa pertanian dapat dilihat pada Tabel 25. Hasil pendugaan parameter persamaan penerimaan pertanian mempunyai koefisien determinan (R2) sebesar 0.72161, yang menunjukkan bahwa keragaman penerimaan pertanian dapat dijelaskan oleh peubah bebas curahan kerja pertanian rumahtangga (CKU), luas areal (LA), jarak lahan pertanian (JRL), biaya usahatani (BU) dan intensitas penyuluhan pertanian (IPP) sebesar 72.16 persen. Nilai uji Fhitung adalah 17.63 berpengaruh nyata pada taraf α = 1 persen, yang menjelaskan bahwa seluruh peubah bebas tersebut dapat menjelaskan dengan baik perilaku penerimaan pertanian.
108
Tabel 25.
Hasil Pendugaan Parameter Penerimaan Pertanian Rumahtangga Responden
Peubah
Parameter Dugaan 775859.6
t-hitung
Intersep 0.47 Curahan kerja 25624.81 1.63 pertanian Luas areal 164600.5 0.08 Jarak lahan pertanian 133232.3 5.98 Biaya usahatani -40.4487 -1.08 Intensitas Penyuluhan 1575139 3.25 Pertanian R2 0.72161 Fhit 17.63 N 40
Taraf Nyata
Elastisitas
0.6407 0.1130
0.213225
0.9388 <.0001 0.2874
0.008609 0.559838 -0.08152
0.0026
0.200932
Seluruh peubah bebas yang ada di dalam persamaan tersebut mempunyai tanda yang sesuai dengan yang diharapkan. Curahan kerja pertanian mempunyai tanda positif, dimana semakin tinggi curahan kerja pada kegiatan pertanian maka ada kecenderungan produksi pertanian juga semakin tinggi sehingga penerimaan pertanian juga semakin tinggi. Sekalipun demikian, penerimaan pertanian tidak responsif terhadap curahan kerja pada kegiatan pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa dengan adanya peningkatan alokasi kerja pada kegiatan tersebut tidak membawa perubahan yang besar pada penerimaan pertanian.
Satu persen
perubahan alokasi kerja hanya meningkatkan penerimaan pertanian sebesar 0.21 persen. Hal ini terlihat pada setiap peningkatan satu hari orang kerja hanya meningkatkan penerimaan pertanian sebesar Rp. 25 624. 81, yang menunjukkan bahwa produktifitas kerja di pertanian per hari orang kerja cukup rendah dibandingkan dengan kegiatan produktif lainnya. Luas areal bertanda positif yang menunjukkan bahwa semakin tinggi lahan yang dikelola rumahtangga maka produksi pertanian juga semakin tinggi sehingga
109
penerimaan rumahtangga juga meningkat. Hanya saja penerimaan pertanian juga tidak responsif terhadap luas areal yang diusahakan. Meningkatnya luas areal sebesar satu persen hanya meningkatkan penerimaan pertanian sebesar 0.008 persen. Hal ini mengindikasikan rendahnya produktifitas lahan di daerah tersebut, karena sistem bercocok tanam yang dilakukan masih sangat sederhana tanpa ditunjang input-input pertanian seperti pupuk yang dapat mendorong terjadinya peningkatan produktifitas lahan. Rendahnya penggunaan input-input pertanian yang diperlukan untuk meningkatkan produktifitas lahan disebabkan akses rumahtangga terhadap input-input tersebut sangat rendah, karena desa tersebut merupakan salah satu desa yang cukup terisolasi sebelum adanya proyek. Akses ke desa lain ataupun ibukota distrik maupun kabupaten hanya bisa ditempuh dengan menggunakan transportasi laut berupa long boat milik pribadi atau speed boat milik perusahaan. Selain itu lembaga-lembaga pertanian yang menjual inputinput pertanian belum ada di kedua desa yang menjadi lokasi penelitian. Jarak lahan pertanian mempunyai tanda positif bertolak belakang dengan yang diharapkan. Dimana semakin jauh jarak lahan pertanian yang dimiliki, maka semakin tinggi penerimaan rumahtangga.
Penduduk di lokasi penelitian
umumnya mempunyai lebih dari satu fragmen lahan pertanian. Fragmen lahan pertanian tanaman jangka pendek yang dikelola untuk menghasilkan kebutuhan rumahtangga biasanya hanya berjarak dua hingga lima meter dari rumah, sedangkan untuk lahan tanaman jangka panjang ada yang dekat dengan rumah, tetapi umumnya agak jauh dari rumah. Sekalipun demikian, banyak penduduk yang memanfaatkan semua lahan tersebut untuk menanam kedua jenis tanaman
110
tersebut pada kedua lahan yang ada. Selain itu, ada juga rumahtangga yang memiliki lahan kelapa sawit di Desa Tofoi yang bila ditempuh dengan menggunakan long boat, bisa mencapai satu hingga dua jam perjalanan, sedangkan bila berjalan kaki bisa enam hingga delapan jam perjalanan. Rumahtangga yang belum mengelola sendiri lahan kelapa sawitnya, umumnya setiap bulan mereka menerima uang tunai dari perusahaan kelapa sawit sebesar Rp. 500 000 hingga Rp. 600 000, sedangkan yang telah mengelola sendiri bisa menerima penerimaan tunai sebesar Rp. 3 000 000 hingga Rp. 6 000 000 per bulan. Oleh karena itu sebenarnya penerimaan produk pertanian yang terbesar adalah dari kelapa sawit yang arealnya jauh dari lokasi pemukiman penduduk. Hal ini mengakibatkan secara signifikan jarak lahan mempengaruhi penerimaan pertanian secara positif. Perhitungan lebih lanjut menunjukkan bahwa penerimaan pertanian tidak respon terhadap jarak lahan pertanian. Satu persen peningkatan jarak lahan hanya meningkatkan penerimaan pertanian sebesar 0.56 persen. Artinya bahwa penerimaan pertanian di lokasi yang jauh sangat tergantung dengan jenis komoditi yang diusahakan. Biaya usahatani yang dikeluarkan oleh petani adalah biaya tetap berupa biaya penyusutan alat pertanian yang dialokasikan untuk membeli peralatan pertanian yang mereka gunakan.
Mereka tidak mengeluarkan biaya untuk
pembelian bibit maupun pupuk dan obat-obatan sehingga tidak ada biaya variabel yang dikeluarkan untuk kegiatan pertanian. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa investasi rumahtangga terhadap kegiatan pertanian masih sangat rendah. Biaya usahatani
mempunyai tanda negatif, artinya semakin bertambah biaya
111
usahatani akan berpengaruh terhadap penurunan penerimaan dari kegiatan pertanian karena akan mengurangi penerimaan yang diperoleh oleh setiap rumahtangga. Sekalipun demikian, biaya tetap yang dikeluarkan oleh mereka sangat membantu dalam proses produksi terutama untuk pengolahan lahan, karena ada kecenderungan bahwa rumahtangga yang melakukan pengolahan lahan dengan mencangkul lahan dan membuat bedengan produksi pertanian mereka jauh lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak mengolah lahan. Masyarakat di lokasi penelitian boleh dikatakan telah terampil menggunakan cangkul dan membuat bedengan karena sebelum ada proyek LNG Tangguh mereka rutin mendapat penyuluhan yang berkaitan dengan pertanian. Umumnya pekerjaan yang dilakukan oleh kepala keluarga (suami) pada kegiatan pertanian adalah membuka lahan dan mengolahnya, sementara untuk kegiatan penanaman dan pemeliharaan biasanya dikerjakan bersama-sama oleh suami dan istri beserta anggota keluarga lainnya yang terlibat. Bila lahan yang diusahakan tidak diolah terlebih dahulu, maka produksinya juga tidak sebesar bila lahan tersebut diolah. Pengolahan lahan yang dilakukan di daerah penelitian umumnya adalah dengan mencangkul lahan tersebut dan membuat bedeng. Penduduk di lokasi penelitian telah terbiasa menggunakan cangkul untuk mengolah lahan pertanian mereka, sehingga sistem bercocok tanam mereka sedikit lebih maju dibandingkan sistem bercocok tanam masyarakat lokal di daerah Papua lainnya yaitu di Kecamatan Ransiki yang diteliti oleh Suprapto (2001).
Artinya bahwa sebenarnya
peningkatan produksi pertanian lebih disebabkan oleh cara bercocok tanam yang lebih baik yang ditunjang dengan peralatan atau teknologi yang memadai.
112
Perhitungan lebih lanjut menunjukkan bahwa penerimaan pertanian tidak respon terhadap biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan tersebut. Biaya pertanian yang meningkat satu persen hanya menurunkan penerimaan pertanian sebesar 0.08 persen sehingga bukan merupakan kendala yang berarti didalam meningkatkan penerimaan pertanian. Dalam meningkatkan produksi pertanian di Papua peran penyuluh pertanian masih sangat penting dan diperlukan. Intensitas penyuluhan pertanian mempunyai tanda positif seperti yang diharapkan. Artinya semakin intensif setiap rumahtangga mengikuti kegiatan penyuluhan pertanian akan meningkatkan penerimaan pertanian.
Hal ini diduga disebabkan semakin banyak mereka
mengikuti kegiatan penyuluhan maka pengetahuan mereka mengenai cara bercocok tanam akan semakin baik sehingga mereka dapat meningkatkan produksi pertanian mereka. Kemampuan mereka berdasarkan pengalamanpengalaman sebelumnya yang diperoleh membuat mereka mampu mengelola pertanian mereka dengan lebih baik. Penyuluhan yang diberikan umumnya adalah cara bercocok tanam seperti membuat bedeng, memanfaatkan pupuk alam, cara menanam dan lain sebagainya. Institusi yang memberikan penyuluhan berasal dari perguruan tinggi dan institusi terkait lainnya seperti Universitas Negeri Papua, penyuluh lapang dari Kabupaten Fak Fak dan lain sebagainya. Perhitungan lebih lanjut menunjukkan bahwa penerimaan pertanian tidak respon terhadap intensitas penyuluhan pertanian, dimana satu persen peningkatan frekuensi mengikuti penyuluhan pertanian hanya meningkatkan penerimaan pertanian sebesar 0.2 persen. Hal ini menunjukkan bahwa intensitas penyuluhan
113
pertanian bukan merupakan peubah yang secara langsung dapat meningkatkan penerimaan pertanian tanpa adanya perubahan cara bercocok tanam dari setiap rumahtangga. Oleh karena itu untuk meningkatkan penerimaan rumahtangga dari kegiatan pertanian sangat diperlukan partisipasi aktif dari setiap rumahtangga untuk menerapkan pengetahuan yang diperoleh ketika mengikuti penyuluhan.
6.4.2. Penerimaan Produk Perikanan
Hasil pendugaan persamaan penerimaan perikanan mempunyai koefisien determinan (R2) sebesar 63.203 dan nilai F-hitung sebesar 15.03 pada taraf α = 1 persen, yang menunjukkan bahwa secara bersama-sama peubah bebas dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan keragaman penerimaan perikanan sebesar 63.20 persen dan pada taraf kepercayaan α = 1 persen, peubah penjelas dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan dengan sangat baik perilaku penerimaan perikanan rumahtangga. Ketiga peubah penjelas tersebut antara lain curahan kerja perikanan rumahtangga (CKL), jumlah jaring (JJ) dan biaya variabel yang dikeluarkan untuk kegiatan tersebut (BVI). Semua peubah penjelas yang ada dalam persamaan tersebut mempunyai tanda yang sesuai dengan hipotesis. Curahan kerja perikanan rumahtangga bertanda positif sesuai dengan yang diharapkan.
Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi curahan kerja yang
dicurahkan untuk melaut maka ada kecenderungan hasil yang diperoleh juga semakin meningkat sehingga penerimaan rumahtangga juga meningkat. Hal ini juga
menunjukkan
bahwa
keputusan
untuk
meningkatkan
penerimaan
rumahtangga, tergantung kepada seberapa besar alokasi tenaga kerja yang dapat
114
dicurahkan untuk kegiatan tersebut. Bila dibandingkan dengan penerimaan yang diperoleh dari kegiatan pertanian perhari orang kerja yang dicurahkan, maka penerimaan dari kegiatan perikanan lebih tinggi Rp. 5 888.79. menunjukkan produktifitas
Hal ini
kerja pada kegiatan perikanan lebih tinggi
dibandingkan di pertanian, sehingga tidak mengherankan bila rumahtangga lebih banyak mengalokasikan kerja mereka pada kegiatan perikanan.
Sekalipun
demikian bila dihubungkan dengan penerimaan per hari orang kerja pada kegiatan perikanan sebesar Rp. 31 513.60 dengan harga udang per kg sebesar Rp. 35 000 pada saat penelitian ini dilakukan, maka sebenarnya jumlah udang yang dapat diperoleh setiap hari orang kerja tidak mencapai satu kilogram. Bila dikaitkan dengan aktivitas perusahaan LNG Tangguh yang mengakibatkan berkurangnya akses penduduk setempat pada wilayah penangkapan yang sering mereka manfaatkan untuk melaut, maka hal tersebut berdampak langsung terhadap penurunan penerimaan perikanan. Berdasarkan perhitungan lebih lanjut diketahui bahwa penerimaan perikanan tidak respon terhadap alokasi kerja pada kegiatan tersebut. Peningkatan alokasi kerja sebesar satu persen hanya akan meningkatkan penerimaan dari kegiatan perikanan sebesar 0.5 persen. Alokasi kerja yang besar dan didukung oleh penggunaan jaring yang memadai berdampak positif terhadap peningkatan penerimaan dari kegiatan perikanan. Jumlah jaring bertanda positif sesuai dengan yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf α = 5 persen. Artinya bahwa semakin banyak jaring (trammel net) yang digunakan maka semakin tinggi produksi yang bisa dihasilkan sehingga penerimaan rumahtangga juga semakin meningkat.
Hal ini
115
menunjukkan bahwa tinggi rendahnya penerimaan dari kegiatan penangkapan udang maupun ikan sangat tergantung dari jumlah jaring yang dimiliki oleh masing-masing rumahtangga atau dengan kata lain produktifitas jaring mempunyai peranan yang penting didalam meningkatkan penerimaan dari kegiatan perikanan. Rata-rata jumlah jaring yang dimiliki masing-masing rumahtangga adalah 5.73. Perhitungan selanjutnya menunjukkan bahwa penerimaan perikanan tidak respon terhadap jumlah jaring yang dimiliki. Setiap peningkatan satu persen jumlah jaring yang digunakan hanya meningkatkan penerimaan perikanan sebesar 0.50 persen. Hal ini mengindikasikan terbatasnya jumlah tangkapan yang diperoleh akibat terbatasnya wilayah penangkapan karena adanya larangan bagi penduduk setempat untuk melaut di sekitar lokasi pembangunan proyek. Biaya variabel pada kegiatan perikanan yang dikeluarkan umumnya adalah biaya untuk membeli bensin dan mata kail.
Bagi rumahtangga yang
menggunakan perahu bermotor sekali melaut bisa menghabiskan bensin berkisar lima hingga dua puluh liter. Harga per liter bensin murni pada saat penelitian ini dilakukan adalah Rp. 12 000, sehingga umumnya mereka hanya melaut pada saat musim udang, yaitu pada awal bulan dan tengah bulan. Semakin jauh mereka melaut maka semakin tinggi jumlah udang dan ikan yang dapat diperoleh dengan konsekuensi biaya variabel yang dikeluarkan juga semakin meningkat. Artinya bahwa biaya variabel berupa bahan bakar seperti bensin dan solar merupakan input yang sangat penting didalam meningkatkan penerimaan dari kegiatan perikanan. Harga bahan bakar yang tinggi tersebut membuat mereka sangat
116
memperhitungkan penggunaan bensin yang mereka gunakan dengan penerimaan yang
mereka peroleh untuk menghindari kerugian.
Perhitungan selanjutnya
menunjukkan bahwa penerimaan pada kegiatan perikanan tidak respon terhadap biaya variabel yang dikeluarkan, dimana satu persen peningkatan biaya variabel hanya akan meningkatkan penerimaan perikanan sebesar 0.23 persen. Hal ini juga mengindikasikan terbatasnya wilayah penangkapan. Tabel 26.
Hasil Pendugaan Parameter Penerimaan Perikanan Rumahtangga Responden
Peubah Intersep Curahan kerja perikanan Jumlah jaring Biaya variabel perikanan R2 Fhit N
Parameter Dugaan 3000371 31513.60 1001156 1.706231
0.89
Taraf Nyata 0.3819
2.01
0.0524
0.503445
2.67
0.0114
0.502895
2.47
0.0186
0.235044
t-hitung
Elastisitas
0.63203 15.03 40
6.4.3. Penerimaan dari Kegiatan Mengambil Hasil Hutan
Dalam penelitian ini, kegiatan mengambil hasil hutan adalah kegiatan menokok sagu dan berburu.
Kedua kegiatan tersebut dalam penelitian ini
dijadikan satu persamaan dengan alasan bahwa kedua kegiatan tersebut sering dilakukan secara bersamaan. Pada saat suami dan istri pergi ke hutan, setelah mencari dan menebang pohon sagu, biasanya kepala keluarga melanjutkan aktivitasnya dengan berburu. Sementara suaminya berburu, istrinya memangkur
117
sagu dan menapisnya.
Hasil pendugaan parameter penerimaan dari kegiatan
mengambil hasil hutan dapat dilihat pada Tabel 27. Hasil pendugaan penerimaan kegiatan mengambil hasil hutan mempunyai koefisien determinan (R2) sebesar 0.86017.
Hal ini menunjukkan bahwa
keragaman penerimaan dari kegiatan mengambil hasil hutan dapat dijelaskan oleh peubah bebas yang ada dalam persamaan tersebut sebesar 86.02 persen. Nilai uji F-hitung adalah 73.82 berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan α = 1 persen yang menunjukkan bahwa secara bersama-sama, peubah bebas yang ada dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan dengan sangat baik perilaku penerimaan dari kegiatan mengambil hasil hutan. Adapun peubah bebas yang terdapat dalam persamaan tersebut antara lain curahan kerja mengambil hasil hutan (CKH), pengeluaran untuk mengambil hasil hutan (PH) dan frekuensi mengambil hasil hutan (FH). Tabel 27.
Hasil Pendugaan Parameter Penerimaan dari Kegiatan Mengambil Hasil Hutan Rumahtangga Responden
Peubah Intersep Curahan kerja mengambil hasil hutan Pengeluaran untuk mengambil hasil hutan Frekuensi mengambil hasil hutan 2 R Fhit N
Parameter Dugaan 1338.740 47415.63 -40.5958 87998.87 0.86017 73.82 40
t-hitung Taraf Nyata 0.00
0.9960
4.63
<.0001
-1.65
0.1072
5.86
<.0001
Elastisitas 0.694974 -0.159571 0.463943
118
Curahan kerja mengambil hasil hutan mempunyai tanda sesuai dengan yang diharapkan yaitu positif dan berpengaruh nyata pada taraf α = 1 persen. Hal ini memberikan gambaran bahwa penerimaan dari kegiatan mengambil hasil hutan akan semakin tinggi bila curahan kerja yang dialokasikan untuk kegiatan tersebut juga semakin tinggi. Hal ini juga menunjukkan bahwa keputusan rumahtangga untuk meningkatkan penerimaan dari kegiatan mengambil hasil hutan sangat tergantung dari seberapa besar curahan kerja yang dapat dialokasikan untuk kegiatan tersebut. Perhitungan lebih lanjut menunjukkan bahwa penerimaan dari kegiatan mengambil hasil hutan tidak respon terhadap curahan kerja pada kegiatan tersebut. Peningkatan satu persen alokasi kerja pada kegiatan mengambil hasil hutan hanya akan meningkatkan penerimaan pada kegiatan tersebut sebesar 0.69 persen. Kondisi ini menggambarkan dua hal, pertama semakin terbatasnya jumlah buruan akibat berkurangnya akses penduduk pada hutan yang selama ini menjadi lokasi berburu karena telah menjadi areal pembangunan proyek. Kedua, semakin jauh dusun sagu tempat penduduk menokok sagu akibat berkurangnya akses penduduk pada hutan yang selama ini menjadi lokasi menokok sagu. Pengeluaran mengambil hasil hutan mempunyai tanda yang bertolak belakang dengan yang diharapkan yaitu negatif, yang menunjukkan bahwa semakin tinggi pengeluaran yang harus dikeluarkan oleh rumahtangga untuk mengambil hasil hutan akan semakin mengurangi penerimaan dari kegiatan tersebut. Artinya bahwa keputusan rumahtangga untuk meningkatkan penerimaan dari kegiatan tersebut harus mempertimbangkan pengeluarannya. Pengeluaran untuk kegiatan ini umumnya adalah untuk membeli peralatan yang diperlukan
119
untuk mengambil hasil hutan seperti kain untuk menapis sagu, parang, kapak, dan tombak untuk berburu dan menokok sagu.
Peralatan-peralatan tersebut
merupakan peralatan yang sangat sederhana sehingga tidak mempengaruhi besar kecilnya penerimaan pada kegiatan tersebut secara signifikan. Frekuensi mengambil hasil hutan mempunyai tanda yang sesuai dengan yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf
α = 1 persen.
Artinya
semakin tinggi frekuensi mengambil hasil hutan yang dilakukan oleh rumahtangga, maka penerimaan dari kegiatan tersebut juga akan meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan rumahtangga untuk meningkatkan penerimaan dari kegiatan mengambil hasil hutan sangat dipengaruhi oleh frekuensi kegiatan tersebut sepanjang tahun. Perhitungan lebih lanjut menunjukkan bahwa penerimaan dari kegiatan mengambil hasil hutan tidak respon terhadap frekuensi mengambil hasil hutan.
Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun frekuensi
mengambil hasil hutan tinggi tetapi dengan semakin terbatasnya wilayah berburu dan menokok sagu maka jumlah sagu dan buruan yang dihasilkan juga tidak besar.
6.4.4. Curahan Kerja Pertanian
Dari hasil pendugaan yang dilakukan, persamaan penerimaan dari curahan kerja pertanian mempunyai koefisien determinan sebesar 0.50185 dan mempunyai nilai uji F-hitung 4.61 yang perpengaruh nyata pada taraf α = 1 persen. Artinya bahwa keragaman curahan kerja pertanian dapat dijelaskan oleh peubah bebas yang ada sebesar 50.18 persen dan peubah-peubah tersebut dapat
120
menjelaskan dengan sangat baik perilaku curahan kerja pertanian rumahtangga. Peubah-peubah bebas tersebut adalah Proporsi Cash Income dari Proyek (PCIP), Jumlah Komoditi Pertanian (JKU), Total Waktu yang Dicurahkan Rumahtangga (TWR), Luas Areal (LA), curahan kerja pada kegiatan perikanan (CKL), curahan kerja di proyek (CKP) dan curahan kerja pada kegiatan rumahtangga (CKR). Tabel 28 menunjukkan bahwa seluruh peubah bebas yang terdapat di dalam persamaan tersebut mempunyai tanda sesuai dengan yang diharapkan. Proporsi cash income dari proyek LNG Tangguh yang semakin tinggi mendorong rumahtangga mengurangi aktivitas produksi mereka pada kegiatan pertanian. Artinya bahwa perilaku rumahtangga didalam mengalokasikan kerjanya pada kegiatan pertanian secara langsung dipengaruhi oleh seberapa besar proporsi cash income dari proyek di dalam keseluruhan pendapatan tunai yang dimiliki rumahtangga. Hal ini terjadi karena perhari orang kerja di proyek memberikan kontribusi yang lebih besar daripada kegiatan pertanian yaitu rata-rata sebesar Rp. 79 799.78, sehingga merupakan pilihan rasional bila mereka beralih ke proyek, sayangnya secara statistik peubah bebas ini tidak mempengaruhi alokasi kerja di pertanian secara signifikan. Penerimaan tunai tersebut digunakan untuk membeli kebutuhan keluarga berupa bahan pangan maupun non pangan. Kemampuan mereka untuk membeli bahan pangan pokok seperti beras cenderung membuat mereka beralih dari mengkonsumsi ubi-ubian maupun sagu ke mengkonsumsi nasi. Hal ini mengakibatkan alokasi kerja mereka untuk kegiatan menanam ubi-ubian menjadi berkurang dan dialihkan pada kegiatan mengelola kelapa sawit.
Sekalipun demikian, setiap rumahtangga tetap mengalokasikan
121
kerjanya untuk kegiatan pertanian, karena merupakan sumber pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan keluarga. Penurunan alokasi kerja pada kegiatan pertanian akibat peningkatan pendapatan tunai di proyek secara tidak langsung mengakibatkan penerimaan pada kegiatan pertanian juga menurun. Perhitungan selanjutnya menunjukkan bahwa alokasi kerja pada kegiatan pertanian tidak respon terhadap proporsi pendapatan tunai dari proyek. Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun alokasi kerja rumahtangga menurun pada kegiatan pertanian akibat adanya pendapatan tunai dari proyek tetapi rumahtangga tetap bercocok tanam karena merupakan sumber pemenuhan kebutuhan pangan mereka. Tabel 28. Hasil Pendugaan Parameter dari Curahan Kerja Pertanian Rumahtangga Responden Parameter Dugaan Intersep -28.2214 Proporsi cash income -0.03210 proyek Jumlah komoditi 15.35306 pertanian Total waktu yang 0.261376 dicurahkan Luas areal 24.44893 Peubah
Curahan kerja -0.53777 perikanan Curahan kerja proyek -0.23298 Curahan kerja -0.18498 rumahtangga 2 R 0.50185 Fhit 4.61 N 40
t-hitung
Taraf Nyata
Elastisitas
-0.36 -0.03
0.7190 0.9736
-0.028397
2.13
0.0410
0.635543
1.68
0.1035
3.949292
1.04
0.3067
0.154243
-2.41
0.0217
-0.971861
-1.03 -1.06
0.3105 0.2979
-1.213657 -1.088184
122
Jumlah komoditi pertanian berpengaruh nyata pada taraf α = 5 persen. Semakin bervariasi komoditi pertanian yang diusahakan, secara langsung semakin meningkatkan curahan kerja rumahtangga pada kegiatan pertanian dan secara tidak langsung meningkatkan penerimaan pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku curahan kerja rumahtangga untuk kegiatan pertanian dipengaruhi oleh keputusan rumahtangga untuk mengusahakan seberapa banyak komoditi pada lahan pertanian mereka. Perhitungan lebih lanjut menunjukkan bahwa alokasi kerja pada kegiatan pertanian tidak respon terhadap jumlah komoditi pertanian yang diusahakan. Hal ini disebabkan dalam satu luasan lahan yang diusahakan terdiri dari banyak komoditi yang diusahakan secara campuran oleh sebagian besar rumahtangga sehingga tidak membutuhkan alokasi kerja yang tinggi. Total waktu yang dialokasikan rumahtangga untuk kegiatan produktif mempengaruhi distribusi kerja pada masing-masing kegiatan produksi termasuk pada kegiatan pertanian. Semakin tinggi waktu yang dialokasikan oleh setiap anggota rumahtangga, maka ada kecenderungan semakin tinggi pula alokasi kerja untuk kegiatan pertanian. Perhitungan selanjutnya menunjukkan bahwa alokasi kerja pada kegiatan pertanian respon terhadap total waktu yang dicurahkan untuk masing-masing kegiatan di dalam rumahtangga. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan waktu yang dapat dialokasikan oleh setiap anggota rumahtangga yang merupakan tenaga kerja potensial memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan alokasi kerja pada kegiatan pertanian. Luas areal mempunyai tanda positif sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini memberikan gambaran bahwa semakin luas areal pertanian yang diusahakan
123
suatu rumahtangga secara langsung meningkatkan curahan kerja rumahtangga pada kegiatan tersebut, sehingga keputusan rumhtangga untuk mengalokasikan curahan kerjanya cenderung dipengaruhi oleh besar kecilnya kepemilikan lahan. Setelah adanya pembebasan lahan yang dilakukan oleh pihak proyek LNG Tangguh untuk kontruksi proyek, maka lahan pertanian yang produktif yang dimiliki masyarakat menjadi berkurang.
Masing-masing keluarga yang tidak
mempunyai hak ulayat di daerah tersebut hanya memiliki lahan milik sendiri untuk tanaman jangka pendek sebesar 300 m2 dan lahan jangka panjang sebesar 2000 m2 setelah pembangunan proyek tersebut. Hanya saja biasanya mereka meminjam tanah hak ulayat milik pemegang hak ulayat terbesar di desa tersebut untuk mengusahakan komoditi pertanian yang ingin mereka usahakan. Selain itu umumnya mereka memiliki areal kelapa sawit yang berlokasi di Desa Tofoi yang mempunyai luasan berkisar satu hektar hingga dua hektar sehingga rata-rata kepemilikan lahan bisa mencapai 0.4 hektar.
Dalam penelitian ini, lahan
pertanian yang jauh dari pemukiman penduduk adalah lahan kelapa sawit. Bagi rumahtangga yang belum mengelola sendiri lahan kelapa sawitnya, mereka hanya ke Desa Tofoi untuk mengambil uang hasil panen sebesar kurang lebih Rp. 500 000 hingga Rp. 600 000, tetapi bagi rumahtangga yang telah mengelola kelapa sawitnya sendiri, tiap bulan mereka ke Desa Tofoi bisa satu hingga dua kali untuk memanen hasil kelapa sawit mereka. Umumnya mereka bekerja setiap satu kali panen adalah selama 3 hari di desa tersebut, setelah itu mereka kembali ke desa asal mereka. Adapun aktivitas yang mereka lakukan di sana hanyalah membersihkan rumput, memanen kelapa sawit dan menjualnya ke perusahaan
124
kelapa sawit yang ada di desa tersebut. Perhitungan selanjutnya menunjukkan bahwa alokasi kerja pada kegiatan pertanian tidak respon terhadap luas areal yang diusahakan. Hal sangat terkait dengan tingkat kesuburan lahan di daerah tersebut dan terbatasnya akses terhadap input-input pertanian, sehingga rumahtangga dalam mengusahakan usahataninya cenderung lebih diarahkan untuk tujuan konsumsi sendiri sehingga alokasi kerjanya juga tidak terlalu besar. Semakin tinggi alokasi kerja yang dicurahkan oleh rumahtangga pada kegiatan perikanan secara langsung akan mengurangi alokasi kerja untuk kegiatan pertanian dan secara tidak langsung menurunkan penerimaan dari pertanian. Kegiatan perikanan merupakan sumber penerimaan uang tunai terbesar kedua setelah upah dari proyek sehingga ada kecenderungan rumahtangga lebih memilih mengalokasikan kerja mereka lebih banyak pada kegiatan tersebut. Perhitungan selanjutnya menunjukkan bahwa alokasi kerja pada kegiatan pertanian tidak respon terhadap curahan kerja perikanan. Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun alokasi kerja pada kegiatan pertanian menurun akibat peningkatan alokasi kerja pada kgiatan perikanan, tetapi perubahan tersebut tidak terlalu besar karena dalam aktivitas melaut tidak dilakukan secara terus menerus selama satu bulan. Curahan kerja pada proyek LNG Tangguh secara langsung mengakibatkan alokasi kerja untuk kegiatan pertanian juga cenderung menurun sehingga secara tidak langsung menurunkan penerimaan pada kegiatan pertanian. Keterbatasan tenaga kerja produktif didalam keluarga dan keterbatasan waktu yang dimiliki masing-masing
rumahtangga
mendorong
rumahtangga
untuk
cenderung
mengalokasikan kerja mereka pada kegiatan yang menghasilkan uang tunai lebih
125
besar. Perhitungan lebih lanjut menunjukkan bahwa alokasi kerja pada kegiatan pertanian respon terhadap curahan kerja di proyek. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan bekerja di proyek mempunyai dampak yang besar terhadap penurunan alokasi kerja pada kegiatan pertanian sehingga penerimaannya juga secara tidak langsung mengalami penurunan. Peranan istri cukup besar didalam kegiatan pertanian secara keseluruhan, dimana rata-rata curahan kerja pertahunnya adalah 31.48 HOK dan suami 26.13 HOK. Di sisi lain, peran istri pada kegiatan rumahtangga juga sangat tinggi, sehingga peningkatan alokasi kerja di rumahtangga akan menurunkan alokasi kerja di pertanian dan secara tidak langsung akan menurunkan penerimaan di pertanian.
Perhitungan lebih lanjut menunjukkan bahwa alokasi kerja pada
kegiatan pertanian mempunyai respon yang negatif terhadap curahan kerja rumahtangga. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan istri untuk lebih banyak mengalokasikan kerjanya pada kegiatan rumahtangga berdampak terhadap penurunan alokasi kerja pada kegiatan pertanian. Keputusan tersebut umumnya sangat dipengaruhi oleh jumlah balita di dalam setiap rumahtangga.
6.4.5. Curahan Kerja Perikanan
Koefisien determinan adalah 0.73982 yang berarti bahwa keragaman curahan kerja perikanan dapat dijelaskan oleh peubah bebas yang ada di dalam persamaan tersebut sebesar 73.98 persen. Nilai uji F-hitung adalah 13.00 dan berpengaruh nyata pada taraf α = 1 persen yang menunjukkan bahwa semua
126
peubah bebas yang ada di dalam persamaan tersebut secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan sangat baik perilaku curahan kerja perikanan. Hasil estimasi perilaku curahan kerja rumahtangga dapat dilihat pada Tabel 29. Proporsi cash income dari proyek mempunyai tanda negatif sesuai dengan yang diharapkan. Dimana semakin tingggi proporsi cash income dari proyek, secara langsung akan menurunkan curahan kerja di bidang perikanan dan secara tidak langsung menurunkan penerimaan perikanan. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan rumahtangga didalam mengalokasikan waktu kerjanya untuk kegiatan perikanan dipengaruhi oleh pendapatan tunai yang diterima oleh masingmasing-rumahtangga dari kegiatan di proyek LNG Tangguh. Perhitungan lebih lanjut menunjukkan bahwa curahan kerja perikanan tidak respon terhadap proporsi peningkatan pendapatan tunai. Hal ini memberikan gambaran bahwa dalam mengalokasikan kerjanya pada kegiatan produktif rumahtangga tetap berorientasi pada pendapatan tunai, dimana kegiatan perikanan merupakan sumber penerimaan tunai terbesar kedua setelah proyek sehingga sekalipun alokasi kerja pada kegiatan tersebut cenderung menurun tetapi penurunannya tidak besar. Curahan kerja di proyek mempunyai tanda negatif sesuai dengan yang diharapkan, tetapi tidak signifikan. Dimana semakin tinggi curahan kerja pada proyek LNG Tangguh, secara langsung akan menurunkan curahan kerja pada kegiatan perikanan dan secara tidak langsung menurunkan penerimaan perikanan. Dalam setiap rumahtangga yang berada atau masuk kategori daerah terkena dampak langsung pembangunan proyek LNG Tangguh, diberi kesempatan yang sama untuk bekerja pada proyek tersebut sebanyak satu orang bila mereka telah
127
memenuhi persyaratan medical check up. Kesempatan tersebut disambut baik oleh masyarakat setempat dengan mendaftarkan diri melalui kepala desa setempat untuk diberikan rekomendasi bekerja di proyek.
Daya tarik yang membuat
mereka ingin bekerja di proyek adalah cash income yang dapat dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga yang merupakan produk yang tidak bisa dihasilkan sendiri oleh rumahtangga. Tabel 29. Hasil Pendugaan Parameter dari Curahan Kerja Perikanan Rumahtangga Responden Peubah Intersep Proporsi cash income proyek Curahan kerja proyek Total waktu yang dicurahkan Jumlah tenaga kerja di perikanan Curahan kerja rumahtangga Jumlah jaring Curahan kerja pertanian 2 R Fhit N
Parameter Dugaan 21.14201
0.41
0.6860
-0.79171
-1.32
0.1972
-0.387546
-0.15458
-0.94
0.3534
-0.445577
0.307201
2.95
0.0059
2.568435
78.74203
3.81
0.0006
0.835016
-0.39178
-3.50
0.0014
-1.2753
-7.01234
-2.12
0.0418
-0.340578
-0.24182
-1.50
0.1432
-0.133809
t-hitung
Taraf Nyata
Elastisitas
0.73982 13.00 40
Perhitungan lebih lanjut menunjukkan bahwa curahan kerja di perikanan tidak respon terhadap curahan kerja di proyek. Hal ini mengindikasikan bahwa sekalipun mereka bekerja di proyek, alokasi kerja mereka pada kegiatan perikanan tidak mengalami penurunan yang cukup berarti karena istri dan anggota keluarga lain tetap melaut, hanya saja alokasi kerjanya tidak sebesar ketika suami mereka
128
yang melaut. Rata-rata jumlah anggota keluarga yang produktif atau merupakan angkatan kerja keluarga dalam masing-masing rumahtangga adalah 3.95 sehingga bila satu anggota keluarga produktif yang bekerja di proyek, maka tenaga kerja produktif di dalam keluarga tersebut untuk mengerjakan aktivitas produksi yang selama ini menjadi mata pencaharian mereka menjadi berkurang. Umumnya yang bekerja pada proyek LNG Tangguh adalah suami atau anak laki-laki usia produktif yang sebelum bekerja di proyek sering melaut untuk menangkap udang maupun ikan.
Biasanya bila mereka cuti, mereka akan melaut dan menjual
hasilnya pada pedagang pengumpul yang ada di desa tersebut. Total waktu yang dicurahkan mempunyai tanda yang positif sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini terkait erat dengan ketersediaan tenaga kerja produktif di dalam setiap rumahtangga.
Perhitungan selanjutnya menunjukkan bahwa
curahan kerja di perikanan respon terhadap total waktu yang dicurahkan rumahtangga. Semakin banyak tenaga kerja produktif di dalam suatu rumahtangga akan meningkatkan total waktu yang dapat dicurahkan pada berbagai aktivitas pada masing-masing rumahtangga, termasuk kegiatan melaut yang merupakan sumber penerimaan tunai terbesar kedua setelah penerimaan di proyek LNG Tangguh. Jumlah tenaga kerja di perikanan bertanda positif sesuai dengan yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf α = 1 persen. Dimana semakin tinggi jumlah tenaga kerja yang terlibat dalam kegiatan perikanan akan meningkatkan curahan kerja rumahtangga untuk kegiatan tersebut.
Hal ini
menunjukkan bahwa keputusan rumahtangga untuk mengalokasikan waktunya
129
untuk kegiatan perikanan sangat dipengaruhi oleh seberapa besar tenaga kerja yang tersedia yang dapat dicurahkan untuk kegiatan tersebut. Perhitungan lebih lanjut menunjukkan bahwa curahan kerja di perikanan tidak respon terhadap jumlah tenaga kerja yang terlibat pada kegiatan perikanan. Hal ini terjadi diduga karena istri ataupun anggota keluarga lainnya yang menggantikan tenaga kerja yang biasa melaut dibebankan pada kegiatan rumahtangga yang cukup besar dan kegiatan produktif lainnya. Curahan kerja rumahtangga mempunyai tanda yang negatif sesuai dengan yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf α = 1 persen. Semakin tinggi curahan kerja pada kegiatan rumahtangga secara langsung akan mengurangi alokasi kerja pada kegiatan perikanan dan secara tidak langsung menurunkan penerimaan perikanan. Perhitungan lebih lanjut menunjukkan bahwa curahan kerja di perikanan respon terhadap alokasi kerja rumahtangga. Hal ini terjadi karena sekalipun curahan kerja terbesar pada kegiatan perikanan didominasi oleh suami, tetapi biasanya pada saat musim udang, istri juga ikut melaut untuk membantu suaminya. Bila aktivitas rumahtangga meningkat maka yang melaut hanya suami atau anggota keluarga lainnya, sehingga berpengaruh terhadap penurunan alokasi kerja pada kegiatan perikanan.
Artinya bahwa keputusan
rumahtangga didalam mengalokasikan kerjanya untuk kegiatan perikanan sangat ditentukan oleh kemampuan seorang istri didalam mengelola kegiatan rumahtangganya seperti memasak, mencuci, mengasuh anak, dan lain sebagainya. Jumlah jaring bertanda negatif berlawanan dengan yang diharapkan, dan signifikan pada taraf α = 10 persen.
Dimana semakin banyak jaring yang
130
dimiliki, maka alokasi kerja yang dicurahkan untuk kegiatan perikanan semakin berkurang. Hal ini memberikan gambaran bahwa semakin banyak jaring yang dimiliki oleh rumahtangga membuat mereka akan memperoleh udang dan ikan lebih cepat dan lebih banyak daripada rumahtangga yang mempunyai jumlah jaring lebih sedikit sehingga curahan kerja yang diperlukan juga tidak terlalu besar. Perhitungan lebih lanjut menunjukkan bahwa curahan kerja di perikanan tidak respon terhadap jumlah jaring yang dimiliki. Hal ini memberikan gambaran bahwa sekalipun jumlah jaring yang dimiliki banyak tetapi curahan kerja pada kegiatan perikanan tidak mengalami penurunan yang cukup berarti karena ada kecenderungan setelah konstruksi proyek, jumlah udang maupun ikan yang ditangkap mengalami penurunan sehingga sekalipun jaring mereka banyak mereka tetap harus mengalokasikan kerjanya lebih besar daripada saat sebelum adanya proyek. Curahan kerja pada kegiatan pertanian mempunyai tanda negatif sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini menunjukkan semakin tinggi alokasi kerja pada kegiatan pertanian secara langsung akan menurunkan alokasi kerja pada kegiatan perikanan.
Umumnya masing-masing rumahtangga mempunyai frekuensi
menanam setiap tahunnya adalah maksimum tiga kali, sedangkan frekunsi melaut hampir merata di sepanjang tahun.
Hanya bulan desember hingga februari
frekuensi melaut mereka menurun karena adanya musim angin.
Hal ini
mengakibatkan masing-masing rumahtangga dihadapkan pada pilihan untuk melakukan kedua aktivitas produksi tersebut. Perhitungan lebih lanjut menunjukkan bahwa curahan kerja di perikanan tidak respon terhadap curahan
131
kerja di pertanian. Hal ini memberikan gambaran bahwa peningkatan kerja di pertanian tidak mengakibatkan terjadi penurunan yang cukup berarti pada kegiatan perikanan karena kegiatan tersebut merupakan sumber penerimaan tunai terbesar kedua dalam rumahtangga setelah di proyek.
6.4.6. Curahan Kerja Proyek
Dari hasil pendugaan yang dilakukan pada persamaan curahan kerja di proyek, diketahui bahwa koefisien deteminannya adalah 0.64010 yang menjelaskan bahwa keragaman curahan kerja di proyek LNG Tangguh dapat dijelaskan oleh peubah bebas yang ada di dalam persamaan tersebut sebesar 64.01 persen. Nilai uji F-hitungnya adalah 12.09, berpengaruh nyata pada taraf α = 1 persen yang menunjukkan bahwa secara bersama-sama, seluruh peubah bebas yang terdapat di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan dengan baik perilaku curahan kerja rumahtangga di proyek. Tabel 30 menunjukkan bahwa seluruh peubah bebas yang ada di dalam persamaan mempunyai tanda yang sesuai dengan yang diharapkan. Cash income dari proyek mempunyai tanda positif dan berpengaruh nyata pada taraf α = 10 persen. Artinya bahwa semakin tinggi cash income dari proyek secara langsung akan meningkatkan curahan kerja rumahtangga pada kegiatan proyek tersebut. Sebagai contoh, gaji pokok untuk security adalah Rp. 1 200 000, tetapi bila ditambah dengan overtime maka uang tunai yang dapat mereka terima perbulan bisa di atas tiga juta rupiah perbulannya. Oleh karena itu semakin tinggi cash income yang dapat diperoleh pada suatu kegiatan produktif, maka seorang tenaga
132
kerja akan mencurahkan waktunya lebih banyak di dalam kegiatan tersebut. Hal ini secara langsung menunjukkan bahwa keputusan rumahtangga untuk bekerja di proyek sangat tergantung dengan cash income yang dapat mereka peroleh bila mereka bekerja di proyek tersebut. Perhitungan lebih lanjut menunjukkan bahwa curahan kerja di proyek respon terhadap penerimaan tunai di proyek. Hal ini memberikan gambaran bahwa keputusan rumahtangga untuk bekerja di proyek sangat dipengaruhi oleh seberapa besar pendapatan tunai yang dapat diperoleh dari kegiatan tersebut. Tabel 30. Hasil Pendugaan Parameter dari Curahan Kerja Proyek Rumahtangga Responden Peubah Intersep Cash income dari proyek Total waktu yang dicurahkan Curahan kerja perikanan Curahan kerja mengambil hasil hutan Curahan kerja pertanian 2 R Fhit N
Parameter Dugaan -31.2207
-0.45
0.6571
5.169E-6
3.15
0.0034
0.279565
2.51
0.0168
0.810885
-0.06608
-0.25
0.8065
-0.022925
-0.63475
-1.16
0.2559
-0.056091
-0.27469
-1.05
0.3020
-0.052731
t-hitung
Taraf Nyata
Elastisitas 412.7582
0.64010 12.09 40
Total waktu yang dicurahkan rumahtangga mempunyai tanda positif sesuai dengan yang diharapkan. Semakin tinggi total waktu yang dicurahkan rumahtangga dalam aktivitas produksi mereka maka waktu yang dicurahkan di dalam proyek juga semakin tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa keputusan
133
rumahtangga didalam mengalokasikan waktunya di proyek LNg Tangguh dipengaruhi oleh total waktu yang dicurahkan oleh rumahtangga pada berbagai aktivitas produksi. Curahan kerja di perikanan mempunyai tanda sesuai dengan yang diharapkan yaitu negatif. Artinya semakin tinggi curahan kerja di perikanan secara langsung mengakibatkan curahan kerja di proyek menjadi semakin rendah. Hal ini disebabkan baik kegiatan perikanan maupun kegiatan di proyek merupakan sumber penerimaan tunai terbesar di dalam rumahtangga sehingga didalam mengalokasikan kerjanya, rumahtangga dihadapkan pada pilihan-pilihan yang secara ekonomi menguntungkan bagi mereka. Curahan kerja pada kegiatan mengambil hasil hutan seperti berburu dan menokok sagu mempunyai tanda negatif sesuai dengan yang diharapkan. Artinya bahwa semakin tinggi curahan kerja pada kegiatan berburu menyebabkan kegiatan di proyek akan menurun. Dari keseluruhan rumahtangga yang diwawancarai, semua tenaga kerja yang bekerja di LNG Tangguh adalah tenaga kerja pria dan yang melakukan aktivitas berburu adalah kaum pria, sehingga bila dalam suatu rumahtangga kecenderungan aktivitas berburu semakin tinggi maka kegiatan di proyek cenderung akan turun. Begitu pula untuk kegiatan menokok sagu, karena pada kegiatan ini, biasanya suami dan istri melakukannya secara bersama-sama. Curahan kerja pertanian mempunyai tanda negatif seperti yang diharapkan. Semakin tinggi alokasi kerja untuk kegiatan pertanian akan mengurangi alokasi kerja untuk proyek. Hal ini menunjukkan bahwa masing-masing rumahtangga dihadapkan pada pilihan-pilihan untuk melakukan aktivitas produksi mereka.
134
Keputusan rumahtangga yang lebih banyak mencurahkan kerjanya pada aktivitas produksi yang bersumber pada alam secara langsung akan menurunkan alokasi kerja pada proyek dan secara tidak langsung meningkatkan pendapatan dari kegiatan-kegiatan tersebut. Hal ini merupakan pilihan rasional bila upah yang diterima per hari orang kerja pada kegiatan-kegiatan tersebut lebih tinggi daripada di proyek. Kenyataan yang ada rata-rata penerimaan per hari orang kerja pada kegiatan-kegiatan tersebut lebih rendah daripada upah per hari di proyek. Hasil perhitungan lebih lanjut menunjukkan bahwa curahan kerja di proyek tidak respon terhadap curahan kerja di pertanian, perikanan maupun pada kegiatan mengambil hasil hutan. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan alokasi kerja pada kegiatan yang bersumber pada potensi sumberdaya alam tidak membawa penurunan yang cukup berarti pada kegiatan di proyek.
6.4.7. Curahan Kerja pada Kegiatan Rumahtangga
Curahan kerja pada kegiatan rumahtangga didominasi oleh istri, dimana hampir semua kegiatan di dalam rumahtangga, mulai dari memasak, mencuci dan mengasuh anak dilakukan oleh seorang istri. Hasil pendugaan pada persamaan curahan kerja pada kegiatan rumahtangga mempunyai koefisien determinan sebesar 0.49739 yang menunjukkan bahwa keragaman perilaku curahan kerja pada kegiatan rumahatangga dapat dijelaskan oleh peubah bebas di dalam persamaan tersebut sebesar 47.74 persen. Nilai uji F-hitung adalah 5.44 dan berpengaruh nyata pada taraf α = 1 persen.
135
Tabel 31. Hasil Pendugaan Parameter dari Curahan Kerja Kegiatan Rumahtangga Responden Peubah Intersep Pendapatan total rumahtangga Total waktu yang dicurahkan Curahan kerja pertanian Curahan kerja mengambil hasil hutan Jumlah balita Curahan kerja perikanan 2 R Fhit N
Parameter Dugaan 48.14867
0.59
0.5581
-1.1E-6
-1.58
0.1244
-0.148177
0.331562
3.63
0.0009
0.85161
0.050946
0.18
0.8562
0.00866
-0.44509
-0.69
0.4966
-0.034829
82.07680
3.24
0.0027
0.299472
-0.33384
-1.19
0.2435
-0.102558
t-hitung
Taraf Nyata
Elastisitas
0.49739 5.44 40
Penerimaan total rumahtangga mempunyai tanda yang negatif sesuai dengan yang diharapkan. Artinya semakin tinggi penerimaan total rumahtangga secara langsung mengakibatkan semakin rendah curahan kerja pada kegiatan rumahtangga dan secara tidak langsung meningkatkan curahan kerja pada pertanian, perikanan dan mengambil hasil hutan sehingga penerimaan yang diperoleh dari masing-masing kegiatan tersebut juga meningkat. Artinya bahwa peranan istri pada kegiatan produksi meningkat akibat berkurangnya kerja di rumahtangga. Total waktu yang dicurahkan rumahtangga mempunyai tanda positif sesuai dengan yang diharapkan. Semakin tinggi total waktu yang dicurahkan rumahtangga dalam aktivitas produksi mereka maka waktu yang dicurahkan di
136
dalam rumahtangga juga semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan rumahtangga didalam mengalokasikan waktunya untuk kegiatan rumahtangga dipengaruhi oleh total waktu yang dicurahkan oleh rumahtangga pada berbagai aktivitas produksi. Curahan kerja pada kegiatan pertanian mempunyai tanda positif, tidak sesuai dengan yang diharapkan. Artinya bahwa semakin tinggi curahan kerja pada kegiatan pertanian mengakibatkan curahan kerja pada kegiatan rumahtangga juga semakin tinggi.
Umumnya jarak lahan tanaman jangka pendek setiap
rumahtangga hanyalah berjarak dua meter dari rumah, karena lahan tersebut hanyalah berada di belakang rumah mereka, sehingga para istri umumnya bekerja di lahan pertaniannya sambil melakukan aktivitas rumahtangga lainnya seperti mengasuh anak dan memasak. Bagi rumahtangga yang lahan mereka jauh, para istri tidak bisa mengerjakan dua pekerjaan sekaligus baik di lahan pertanian atau kegiatan rumahtangga. Biasanya kalau lahan tanaman jangka pendek agak jauh, maka anak-anak mereka yang masih berusia di bawah lima tahun dititipkan di rumah nenek mereka atau saudara mereka yang paling dekat. Bagi rumahtangga yang tidak mempunyai anak kecil, biasanya aktivitas rumahtangga dilakukan oleh anak-anak mereka yang telah putus sekolah atau telah selesai sekolah. Curahan kerja pada kegiatan mengambil hasil hutan bertanda negatif sesuai dengan yang diharapkan tetapi tidak berpengaruh nyata.
Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi curahan kerja pada kegiatan mengambil hasil hutan akan mengurangi kegiatan mereka di dalam rumahtangga. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa kegiatan mengambil hasil hutan adalah
137
berburu dan menokok sagu.
Untuk kegiatan yang kedua, alokasi kerjanya
didominasi oleh kaum perempuan atau istri.
Umumnya dusun sagu tempat
mereka menokok sagu agak jauh dari rumah dan biasa ditempuh sekitar satu hingga dua jam perjalanan baik dengan menggunakan long boat maupun dengan berjalan kaki, karena ada dusun sagu yang terletak di dekat perkampungan maupun ada dusun sagu yang harus melewati laut untuk sampai ke sana. Di dusun sagu yang harus ditempuh dengan menggunakan long boat, biasanya ibuibu yang menokok sagu di dusun tersebut menginap selama satu minggu. Suamisuami mereka biasanya hanya mengantar mereka, kemudian menebang pohon sagu, membelah pohon tersebut kemudian mereka kembali ke kampung atau melakukan kegiatan berburu. Ibu-ibu yang menokok sagu tersebut bisa mencapai sepuluh orang. Sagu yang mereka hasilkan dibagi rata untuk semua ibu-ibu yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Biasanya bila mereka satu minggu menokok sagu, masing-masing ibu bisa pulang membawa empat tumang sagu dengan diameter 30 cm.
Oleh karena itu ketika seorang istri melakukan kegiatan
menokok sagu, aktivitas mereka di rumah seperti memasak dan mencuci menjadi berkurang. Jumlah balita bertanda positif sesuai dengan yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf α = 1 persen. Artinya semakin banyak jumlah anak-anak yang berusia di bawah lima tahun, maka kegiatan para istri di dalam setiap rumahtangga akan semakin tinggi. Hal ini mengakibatkan keputusan para istri didalam mengalokasikan waktu kerja pada kegiatan rumahtangga sangat dipengaruhi oleh jumlah balita yang ada di dalam keluarga mereka.
138
Curahan kerja di perikanan mempunyai tanda sesuai dengan yang diharapkan yaitu negatif. Artinya semakin tinggi curahan kerja di perikanan mengakibatkan curahan kerja di rumahtangga menjadi semakin rendah. Hal ini disebabkan ketika musim udang, suami dan istri sering pergi melaut bersamasama. Biasanya mereka keluar dari jam lima pagi dan pulang jam lima sore, sehingga aktivitas produksi pada kegiatan rumahtangga juga menjadi berkurang. Hasil pendugaan respon pada persamaan curahan kerja pada kegiatan rumahtangga menunjukkan bahwa curahan kerja pada kegiatan rumahtangga tidak respon terhadap semua peubah bebas yang ada di dalam persamaan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa dalam mengalokasikan kerjanya pada kegiatan rumahtangga lebih didasari tanggung jawab sebagai kepala keluarga dan ibu rumahtangga, sehingga sekalipun mereka bekerja pada berbagai kegiatan produktif, mereka tetap melakukan aktivitas rumahtangga sebagaimana mestinya.
6.4.8. Curahan Kerja pada Kegiatan Mengambil Hasil Hutan
Hasil
pendugaan
menunjukkan
bahwa
persamaan
curahan
kerja
mengambil hasil hutan mempunyai koefisien determinan sebesar 0.49739, yang menunjukkan bahwa keragaman curahan kerja berburu dapat dijelaskan oleh peubah-peubah bebas di dalam persamaan tersebut sebesar 49.74 persen. Nilai uji F-hitung 5.44 berpengaruh nyata pada taraf α = 1 persen, dimana semua peubah bebas yang ada di dalam persamaan tersebut dapat menjelaskan dengan sangat baik perilaku curahan kerja berburu rumahtangga.
139
Tabel 32 menunjukkan bahwa proporsi cash income dari proyek mempunyai tanda yang negatif sesuai dengan yang diharapkan tetapi tidak signifikan. Dimana ada kecenderungan semakin tinggi proporsi cash income yang diperoleh secara langsung mengakibatkan alokasi waktu kerja rumahtangga untuk kegiatan mengambil hasil hutan menjadi semakin berkurang sehingga secara tidak langsung penerimaan pada kegiatan tersebut juga mengalami penurunan. Hal ini memberi gambaran bahwa dengan adanya peningkatan proporsi cash income dari kegiatan proyek membuat setiap rumahtangga dapat mencukupkan kebutuhan rumahtangga mereka dengan membeli barang-barang konsumsi di pasar seperti beras dan bahan pangan lainnya dengan menggunakan cash income tersebut, sehingga mereka mulai mengurangi aktivitas berburu
dan menokok sagu.
Penurunan alokasi kerja pada kegiatan mengambil hasil hutan berpengaruh positif terhadap peningkatan konservasi sumber daya alam. Bila dilihat dari jenis buruan yang sering diburu oleh penduduk setempat yaitu babi hutan, lao-lao (kangguru), kasuari dan rusa, maka burung kasuari merupakan jenis burung yang masuk kategori burung yang terancam secara global (PERTAMINA & BP, 2002). Total waktu yang dicurahkan rumahtangga mempunyai tanda positif sesuai dengan yang diharapkan. Semakin tinggi total waktu yang dicurahkan rumahtangga dalam aktivitas produksi mereka maka waktu yang dicurahkan pada kegiatan mengambil hasil hutan juga semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan rumahtangga didalam mengalokasikan waktunya untuk kegiatan mengambil hasil hutan dipengaruhi oleh total waktu yang dicurahkan oleh rumahtangga pada berbagai aktivitas produksi.
140
Tabel 32.
Hasil Pendugaan Parameter dari Curahan Kerja Mengambil Hasil Hutan Rumahtangga Responden
Peubah Intersep Proporsi cash income proyek Total waktu yang dicurahkan Curahan kerja proyek Frekuensi mengambil hasil hutan Curahan kerja rumahtangga Curahan kerja perikanan 2 R Fhit N
Parameter Dugaan 3.912820
0.12
0.9079
-0.20535
-0.53
0.5995
-0.39463
0.069158
1.19
0.2420
0.177631
-0.03157
-0.36
0.7179
-0.357259
1.635661
3.99
0.0004
21.89961
-0.04860
-0.67
0.5098
-0.621076
-0.15685
-1.43
0.1617
-0.615777
t-hitung
Taraf Nyata
Elastisitas
0.43261 4.19 40
Curahan kerja proyek mempunyai tanda negatif sesuai dengan yang diharapkan tetapi tidak signifikan. Artinya bahwa semakin tinggi curahan kerja di proyek maka semakin sedikit waktu yang dapat dialokasikan untuk kegiatan mengambil hasil hutan. Hal ini disebabkan tenaga kerja yang berburu umumnya adalah suami atau anak laki-laki yang berusia produktif yang juga bekerja di proyek LNG Tangguh. Frekuensi mengambil hasil hutan mempunyai tanda positif sesuai dengan yang diharapkan dan berpengaruh nyata pada taraf α = 1 persen. Artinya bahwa semakin tinggi frekuensi berburu dan menokok sagu, maka alokasi waktu kerja untuk kegiatan tersebut juga semakin tinggi.
Perhitungan lebih lanjut juga
menunjukkan bahwa curahan kerja pada kegiatan mengambil hasil hutan respon terhadap frekuensi mengambil hasil hutan. Hal ini memberikan gambaran bahwa
141
keputusan rumahtangga di dalam mengalokasikan curahan kerjanya untuk mengambil hasil hutan sangat dipengaruhi oleh frekuensi mengambil hasil hutan setiap tahunnya. Curahan kerja rumahtangga dan perikanan mempunyai tanda negatif sesuai dengan yang diharapkan tetapi tidak signifikan. Artinya bahwa semakin tinggi alokasi kerja pada kegiatan rumahtangga dan kegiatan perikanan secara langsung akan mengakibatkan curahan kerja pada kegiatan mengambil hasil hutan menjadi berkurang dan secara tidak langsung mengakibatkan terjadi penurunan penerimaan hasil hutan. Hal ini disebabkan istri mempunyai alokasi waktu yang cukup besar untuk kedua kegiatan tersebut sehingga keputusan rumahtangga didalam mengalokasikan waktunya dipengaruhi oleh alokasi waktu untuk bekerja di rumah dan melaut. Hasil pendugaan respon pada persamaan curahan kerja mengambil hasil hutan menunjukkan bahwa curahan kerja mengambil hasil hutan hanya respon terhadap frekuensi mengambil hasil hutan setiap tahun. Hal ini menggambarkan bahwa perilaku rumahtangga dalam mengalokasikan kerjanya untuk kegiatan tersebut sangat dipengaruhi oleh frekuensi berburu dan menokok sagu.
6.4.9. Konsumsi Barang Non Pasar
Barang non pasar merupakan barang yang dihasilkan oleh setiap rumahtangga, yang berasal dari kegiatan pertanian, perikanan, berburu dan menokok sagu. Hasil pendugaan parameter menunjukkan bahwa koefisien determinan untuk persamaan konsumsi barang non pasar adalah 0.30118 yang
142
menunjukkan bahwa keragaman konsumsi barang non pasar hanya dapat dijelaskan oleh peubah bebas yang terdapat di dalam persamaan sebesar 30.12 persen. Nilai uji F-hitung 2.93 berpengaruh nyata pada taraf α = 5 persen. Jumlah anggota keluarga mempunyai tanda positif sesuai dengan yang diharapkan.
Dimana semakin tinggi jumlah anggota keluarga maka semakin
tinggi pula konsumsi barang non pasar.
Sedangkan konsumsi barang pasar
bertanda negatif sesuai dengan yang diharapkan, yang menunjukkan bahwa daya beli yang meningkat dari suatu rumahtangga karena adanya pendapatan tunai yang dapat dibelanjakan mengakibatkan konsumsi terhadap barang non pasar menjadi berkurang. Hal ini terkait secara tidak langsung dengan semakin menurunnya produksi pada kegiatan perikanan, pertanian dan mengambil hasil hutan bila terjadi peningkatan proporsi pendapatan tunai di proyek dan curahan kerja di proyek. Penerimaan Produk Rumahtangga (PRPRT) yang dimiliki setiap rumahtangga bertanda positif. Hal ini memberikan gambaran semakin tinggi penerimaan produk rumahtangga akan meningkatkan konsumsi barang non pasar. Hal ini menunjukkan kecenderungan rumahtangga untuk melakukan aktivitas produksi pada kegiatan pertanian, perikanan, berburu dan menokok sagu selain untuk tujuan komersil juga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumahtangga. Semakin tinggi frekuensi rumahtangga didalam mengambil hasil hutan maka semakin tinggi hasil buruan dan sagu yang dapat dihasilkan sehingga semakin tinggi produk tersebut dapat dikonsumsi keluarga.
Hal ini
143
mengakibatkan total konsumsi rumahtangga terhadap barang-barang non pasar menjadi semakin tinggi sesuai dengan hipotesis yang ada. Semakin bervariasinya produk usahatani maka ada kecenderungan konsumsi terhadap produk pertanian juga menjadi semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat pada tanda positif pada peubah bebas jumlah komoditi usahatani. Hal ini memberikan gambaran bahwa tingginya variasi komoditi pertanian yang diusahakan oleh setiap rumahtangga cenderung didorong untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga. Hasil pendugaan respon pada persamaan konsumsi barang non pasar menunjukkan bahwa persamaan tersebut tidak respon terhadap seluruh peubah bebas yang ada. Hal ini memberikan gambaran bahwa keseluruhan peubah bebas yang ada didalam persamaan tersebut bukanlah faktor utama yang menentukan tinggi rendahnya konsumsi rumahtangga terhadap komoditi non pasar. Tabel 33. Hasil Pendugaan Parameter dari Konsumsi Barang Non Pasar Rumahtangga Responden Peubah Intersep Jumlah anggota keluarga Nilai konsumsi barang pasar Penerimaan total Frekuensi mengambil hasil hutan Jumlah komoditi usahatani 2 R Fhit N
Parameter Dugaan 731064.0
t-hitung Taraf Nyata
Elastisitas
0.40
0.6905
0.56
0.5797
0.457682
-0.03799
-0.39
0.6994
-0.200881
0.043401
1.84
0.0740
0.326482
51015.59
2.24
0.0320
0.165889
37808.16
0.18
0.8567
0.030736
214098.3
0.30118 2.93 40
144
6.4.10. Konsumsi Barang Pasar
Keragaman konsumsi barang pasar dapat dijelaskan oleh peubah bebas yang ada di dalam persamaan tersebut sebesar 46.99 persen. Nilai uji F-hitungnya adalah 7.76 berpengaruh nyata pada taraf α = 1 persen, yang berarti bahwa semua peubah bebas di dalam persamaan tersebut secara bersama-sama dapat menjelaskan dengan baik perilaku rumahtangga didalam mengkonsumsi barang pasar, seperti yang terlihat pada Tabel 34. Semua peubah bebas yang terdapat di dalam persamaan tersebut mempunyai tanda sesuai dengan yang diharapkan. Semakin besar jumlah anggota keluarga maka konsumsi barang pasar juga semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan rumahtangga didalam mengkonsumsi barang pasar sangat ditentukan oleh seberapa besar jumlah anggota keluarganya. Sebaliknya semakin tinggi konsumsi barang non pasar akan mengurangi konsumsi barang pasar. Kecenderungan ini memberikan gambaran bahwa bila rumahtangga bisa memenuhi kebutuhan konsumsi mereka dari produk-produk yang mereka hasilkan sendiri, maka konsumsi mereka terhadap barang pasar terutama barang pasar berupa bahan pangan akan menjadi semakin berkurang. Cash income dari proyek LNG Tangguh merupakan cash income terbesar didalam rumahtangga yang salah satu anggota keluarganya bekerja di sana. Penerimaan tunai tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga berupa barang-barang kebutuhan yang tidak dihasilkan sendiri oleh rumahtangga yang harus mereka beli di pasar atau kios-kios terdekat. Semakin tinggi cash income dari proyek, ada kecenderungan semakin tinggi konsumsi rumahtangga
145
terhadap barang-barang pasar.
Hal ini menunjukkan daya beli rumahtangga
meningkat karena adanya uang tunai yang berasal dari proyek. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ongge (2001) pada petani di Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua mengenai analisis curahan kerja wanita dan kontribusinya terhadap pendapatan rumahtangga petani yang memberikan gambaran bahwa keputusan dalam rumahtangga didominasi oleh pria, maka hasil penelitian ini juga memberikan gambaran yang mendukung hasil penelitian tersebut.
Dalam penelitian ini keputusan rumahtangga untuk
mengkonsumsi barang-barang yang berasal dari pasar baik berupa barang pangan maupun non pangan didominasi oleh kaum pria. Hal ini terlihat dari semakin tinggi pendidikan suami maka semakin tinggi pula konsumsi rumahtangga terhadap barang-barang pasar. Hal ini diduga sangat terkait erat dengan dominasi pria didalam pengambilan keputusan di dalam rumahtangga di Papua. Tabel 34. Hasil Pendugaan Parameter dari Konsumsi Barang Pasar Rumahtangga Responden Peubah Intersep Jumlah anggota keluarga Nilai non konsumsi barang pasar Cash income dari proyek Pendidikan suami 2 R Fhit N
Parameter Dugaan -8887816
-1.26
Taraf Nyata 0.2168
3114935
4.87
<.0001
1.259303
-1.08190
-1.77
0.0850
-0.204606
0.136251
1.63
0.1122
0.210496
1.08
0.2885
0.240885
530465.2 0.46994 7.76 40
t-hitung
Elastisitas
Hasil pendugaan respon pada persamaan konsumsi barang pasar terhadap semua peubah bebas yang ada di dalam persamaan tersebut menunjukkan bahwa
146
persamaan konsumsi barang pasar respon terhadap jumlah anggota keluarga, tetapi tidak respon terhadap nilai konsumsi barang non pasar, cash income dari proyek dan pendidikan suami. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya konsumsi barang pasar sangat tergantung kepada kebutuhan rumahtangga yang didasarkan atas besar kecilnya jumlah anggota keluarga. Semakin besar jumlah anggota keluarga maka kebutuhan konsumsi mereka juga semakin tinggi sehingga mendorong rumahtangga mengalokasikan sumberdaya manusia yang mereka miliki untuk memperoleh uang tunai dari berbagai sumber produksi untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga.
147
DAFTAR PUSTAKA
Aryanto, A. 2004. Alokasi waktu dan Ekonomi Rumahtangga Pekerja pada sektor Industri Formal Berdasarkan Gender. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Badan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. 2003. Papua Dalam Angka 2003. Badan Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah dan Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, Jayapura. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Pemerintah Propinsi Irian Jaya Barat. 2005. Draft Rencana: Strategi Pengembangan Wilayah dan Tata Ruang Propinsi Irian Jaya Barat. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Propinsi Irian Jaya Barat, Manokwari. Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. 2003. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua 1999-2003. Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, Jayapura. Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat. 2008. Papua Barat Dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat, Manokwari. Becker, G.S. 1976. The Economic Approach to Human Behavior. The University of Chicago Press, Chicago. BP Tangguh Project. 2006. Land Acquisition and Resettlement Action Plan. BP Tangguh Project, Jakarta. Brata, A.G. 2004. Analisis Hubungan Imbal Balik Antara Pembangunan Manusia dan Kinerja Ekonomi Daerah Tingkat II di Indonesia. Lembaga Penelitian Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Bryant, W.K. 1990. The Economic Organization of the Household. Cambridge University Press, New York. Chuzaimah. 2006. Analisis Keragaan Ekonomi Rumah Tangga Petani Peserta dan Non Peserta Rice Estate di Lahan Pasang Surut Delta Telang I Kabupaten Banyuasin Sumatra Selatan. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jendral Penataan Ruang dan PT. Teknoplan Nusantara Consultant. 2005. Bantuan Teknis Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Teluk Bintuni Provinsi Irian
148
Jaya Barat. Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jendral Penataan Ruang dan PT. Teknoplan Nusantara Consultant, Bandung. Dirgantoro, M.A. 2001. Alokasi Tenaga Kerja dan Kaitannya dengan Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Petani Sawi. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. DOT. 24 Oktober 2007. Proyek Tangguh Beroperasi Januari 2009. Kompas: 19 (kolom 4-7). DTE 60. 2004. Masyarakat Adat dan Kawasan Lindung: Kemenangan Dalam Tingkat Global. http/www.google.com. html (4 November 2007). Ellis, F. 1988. Peasant Economics: Farm Household and Agrarian Development. Cambridge University Press, Cambridge. Faradesi, E. 2004. Dampak Pasar Bebas Terhadap Perilaku Ekonomi Rumah Tangga Petani Padi di Kabupaten Cianjur: Suatu Analisis Simulasi Model Ekonomi Rumah Tangga Pertanian. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ghatak, S. and K. Ingersen. 1984. Agriculture and Economic Development. The John Hopkins University Press, Baltimore. Intriligator, M. 1980. Econometrics Models, Techniques, and Applications. Prentice-Hall of India, New Delhi. Kusnadi, N. 2005. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani dalam Pasar Persaingan Tidak Sempurna di Beberapa Provinsi di Indonesia. Disertasi Doktor. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Makmun dan A. Yasin. 2003. Pengaruh Investasi dan Tenaga Kerja Terhadap PDB Sektor Pertanian. Kajian Ekonomi dan Keuangan, 7(3): 57-83. Ongge, J.K. 2001. Analisis Curahan Kerja Wanita dan Kontribusinya Terhadap Pendapatan Rumahtangga Petani di Kabupaten Jayawijaya-Irian Jaya. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Perusahaan Tambang Minyak Nasional dan British Petrolium. 2002. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Proyek LNG Tangguh. Perusahaan Tambang Minyak Nasional dan British Petrolium, Jakarta. Persatuan Pelajar Indonesia di India. 2006. Laporan Terbaru Proyek Tangguh 2005. Persatuan Pelajar Indonesia di India. http/www.google.com html (4 November 2007).
149
Pudyantoro, A.R. 2007. Bagi Hasil Migas. Dinas Akuntansi Revenue, Divisi Operasi Finansial Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi, Jakarta. Rosalinda. 2004. Kajian Curahan Tenaga Kerja, Produksi dan Konsumsi Rumahtangga Petani Lahan Kering di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Sukabumi. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sari, R. 2002. Alokasi Waktu dan Pendapatan Tenaga Kerja Perempuan: Studi Kasus Rumahtangga Kerajinan Tenun di Kenagarian Pandai Sikek Kabupaten Tanah Datar Provinsi Sumatra Barat. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Singh, I., L. Squire and J. Strauss. 1986. Agricultural Household Models: Extensions, Application and Policy. The John Hopkins University Press, Baltimore. Soepriati. 2006. Peranan Produksi Usahatani dan Gender Dalam Ekonomi Rumah Tangga Petani Lahan Sawah: Studi Kasus di Kabupaten Bogor. Tesis Magister Sains. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Strauss, J. 1984. Marketed Surpluses of Agricultural Household in Sierra Leone. American Agriculture Economics Association, USA. Suprapto, T. 2001. Analisis Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani Irian Jaya. Tesis Magister Sains. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tokede, M.J., Widodo, Z. Mardiyadi, S.A.B.D. Handoko, J.P. Amafnini dan G. Letsoin . 2006. Ke Arah Penegakan Hukum Sektor Kehutanan yang Lebih Efektif dan Berkeadilan di Irian Jaya Barat. Fakultas Kehutanan Universitas Negeri Papua dan Yayasan Lingkungan Hidup Yalhimo, Manokwari. Universitas Negeri Papua. 2001. Rencana Pengembangan Sektor Ekonomi Potensial Secara Terpadu di Kawasan Teluk Bintuni. Universitas Negeri Papua , Manokwari. . 2004. Parameter dan Indikator Komitmen-komitmen Sosial: Rencana Pengelolaan Lingkungan Andal Kegiatan Terpadu LNG Tangguh. Universitas Negeri Papua, Manokwari. . 2007. Laporan Pelaksanaan Papua Stakeholder Review Meeting IV di Bintuni. Universitas Negeri Papua, Manokwari.
150
Universitas Negeri Papua dan BP Tangguh. 2006. Survey Perikanan Berkelanjutan di Kabupaten Bintuni. Universitas Negeri Papua dan BP Tangguh, Manokwari. Universitas Negeri Papua dan Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua Barat. 2007. Kajian Implikasi Sosial Ekonomi Areal Pertambangan di Provinsi Papua Barat (Kabupaten Raja Ampat, Teluk Bintuni dan Sorong). Universitas Negeri Papua dan Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua Barat , Manokwari. United Research Services. 2002. Laporan Hasil Sensus Rumahtangga Desa Tanah Merah. United Research Services, Jakarta.
151
LAMPIRAN
152
Lampiran 1. Bagan Keterkaitan Antar Peubah
= Peubah endogen = Peubah eksogen
153
Lampiran 2. Sistem Persamaan Dalam Bentuk Matriks
⎡ ⎢ULL ⎢ ⎢UmL ⎢ ⎢ ⎢UsL ⎢ ⎢UpL ⎢ ⎢U ⎢ bL ⎢ ⎢UuL ⎢ ⎢−p ⎢ L ⎢ ⎢0 ⎢ ⎢0 ⎢ ⎢ ⎢0 ⎢ ⎢0 ⎢ ⎢ ⎢0 ⎢ ⎢0 ⎢ ⎢ ⎢0 ⎣
ULm ULs
ULp
ULu
−pL 0
0
0
0
0
0
0
Umm Ums
Ump Umb Umu
−pm 0
0
0
0
0
0
0
Usm
Uss
Usp
Usb
Usu
−ps
0
0
0
0
0
0
0
Upm Ups
Upp
Upb
Upu
−pp 0
0
0
0
0
0
0
Ubm Ubs
Ubp
Ubb
Ubu
−pb 0
0
0
0
0
0
0
Uum Uus
Uup
Uub
Uuu
−pu 0
0
0
0
0
0
0
−pm −ps
−pp −pb −pu 0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
μ Gss λ μ Gps λ μ Gbs λ μ Gus λ μ GLs λ μ Gvs λ
μ Gsp λ μ Gpp λ μ Gbp λ μ Gup λ μ GLp λ μ Gvp λ
μ Gsb λ μ Gpb λ μ Gbb λ μ Gub λ μ GLb λ μ Gvb λ
μ Gsu λ μ Gpu λ μ Gbu λ μ Guu λ μ GLu λ μ Gvu λ
μ GsL λ μ GpL λ μ GbL λ μ GuL λ μ GLL λ μ GvL λ
μ Gsv λ μ Gpv λ μ Gbv λ μ Guv λ μ GLv λ μ Gvv λ
0
0
0
0
0
0
Gs
Gp
Gb
Gu
GL
Gv
ULb
Gs Gp Gb Gu GL Gv 0
⎤ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦
⎡ λdpL ⎤ ⎢λdp ⎥ ⎢ m⎥ ⎢ λdps ⎥ ⎥ ⎢ ⎢λdpp ⎥ ⎢ λdpb ⎥ ⎥ ⎢ ⎢ λdpu ⎥ ⎢ Ψ ⎥ ⎥ ⎢ ⎢− dps ⎥ ⎢− dp ⎥ p⎥ ⎢ ⎢− dpb ⎥ ⎥ ⎢ ⎢− dpu ⎥ ⎢ dpL ⎥ ⎥ ⎢ ⎢ dpv ⎥ ⎢ 0 ⎥ ⎦ ⎣
..........................................................................................................................(3.28)
⎡ λdpL ⎤ ⎢λdp ⎥ ⎢ m⎥ ⎢ λdps ⎥ ⎥ ⎢ ⎢ λdpp ⎥ ⎢ λdpb ⎥ ⎥ ⎢ ⎢ λdpu ⎥ ⎢ Ψ ⎥ ⎥ ⎢ ⎢ − dps ⎥ ⎢− dp ⎥ p⎥ ⎢ ⎢− dpb ⎥ ⎥ ⎢ ⎢− dpu ⎥ ⎢ dpL ⎥ ⎥ ⎢ ⎢ dpv ⎥ ⎢ 0 ⎥ ⎦ ⎣
154
Lampiran 3. Program Komputer Statistical Analysis System Version 9.1 Pendugaan Model Persamaan Simultan dengan Metode Two State Least Square DATA HASIL; SET ANALISIS; PROC SYSLIN 2SLS DATA=HASIL ; INSTRUMENTS LA JRL BU IPP JJ TKI BVI PH FH CIP JKU PCIP PTR JB JAK PDS; ENDOGENOUS PRU PRI PRH CKU CKL CKP CKR CKH NKBP KBP NKBP KBP TWR PRPRT; PENERIMAAN : MODEL PRU = CKU LA JRL BU IPP; PENERIMAAN : MODEL PRI = CKL JJ TKI BVI; PENERIMAAN : MODEL PRH = CKH PH FH; CURAHAN : MODEL CKU = PCIP JKU TWR LA CKL CKP CKR; CURAHAN : MODEL CKL = PCIP CKP TWR TKI CKR JJ CKU; CURAHAN : MODEL CKP = CIP TWR CKL CKH CKU; CURAHAN : MODEL CKR = PTR TWR CKU CKH JB CKL; CURAHAN : MODEL CKH = PCIP TWR CKP FH CKR CKL; NON : MODEL NKBP = JAK KBP PRPRT FH JKU; KONS : MODEL KBP = JAK NKBP CIP PDS; /*PERSAMAAN IDENTITAS*/ TOTAL : IDENTITY TWR = CKR + CKU + CKL + CKP + CKB + CKS; PENDAPATAN : IDENTITY PRPRT = PRU + PRI + PRH; RUN;
Lampiran 4. Hasil Dugaan Model Persamaan Simultan
155
The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model: PRU Dependent Variable:PRU Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 5.282E15 1.056E15 17.63 <.0001 Error 34 2.038E15 5.994E13 Corrected Total 39 7.375E15 Root MSE 7741835.55 R‐Square 0.72161 Dependent Mean 7839175.00 Adj R‐Sq 0.68067 Coeff Var 98.75829 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 775859.6 1647730 0.47 0.6407 Intercept CKU 1 25624.81 15749.84 1.63 0.1130 CKU LA 1 164600.5 2126342 0.08 0.9388 LA JRL 1 133232.3 22292.89 5.98 <.0001 JRL BU 1 ‐40.4487 37.42372 ‐1.08 0.2874 BU IPP 1 1575139 484819.5 3.25 0.0026 IPP
156
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model: PRI Dependent Variable:PRI Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 7.933E15 1.983E15 15.03 <.0001 Error 35 4.619E15 1.32E14 Corrected Total 39 1.19E16 Root MSE 11487443.0 R‐Square 0.63203 Dependent Mean 15096687.5 Adj R‐Sq 0.58998 Coeff Var 76.09247 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 3000371 3388400 0.89 0.3819 Intercept CKL 1 64478.02 32104.05 2.01 0.0524 CKL JJ 1 1326122 496457.2 2.67 0.0114 JJ TKI 1 ‐5315575 4029225 ‐1.32 0.1956 TKI BVI 1 1.398658 0.566358 2.47 0.0186 BVI
157
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model: PRH Dependent Variable:PRH Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 3 3.815E14 1.272E14 73.82 <.0001 Error 36 6.202E13 1.723E12 Corrected Total 39 5E14 Root MSE 1312590.69 R‐Square 0.86017 Dependent Mean 2048500.00 Adj R‐Sq 0.84852 Coeff Var 64.07570 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 1338.740 267762.5 0.00 0.9960 Intercept CKH 1 47415.63 10247.13 4.63 <.0001 CKH PH 1 ‐40.5958 24.56830 ‐1.65 0.1072 PH FH 1 87998.87 15025.13 5.86 <.0001 FH
158
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model:CKU Dependent Variable:CKU Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 255488.9 36498.42 4.61 0.0012 Error 32 253601.9 7925.061 Corrected Total 39 534033.0 Root MSE 89.02281 R‐Square 0.50185 Dependent Mean 65.22500 Adj R‐Sq 0.39288 Coeff Var 136.48572 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐28.2214 77.75544 ‐0.36 0.7190 Intercept PCIP 1 ‐0.03210 0.961739 ‐0.03 0.9736 PCIP JKU 1 15.35306 7.209761 2.13 0.0410 JKU TWR 1 0.261376 0.155967 1.68 0.1035 TWR LA 1 24.44893 23.53605 1.04 0.3067 LA CKL 1 ‐0.53777 0.222767 ‐2.41 0.0217 CKL CKP 1 ‐0.23298 0.226082 ‐1.03 0.3105 CKP CKR 1 ‐0.18498 0.174800 ‐1.06 0.2979 CKR
159
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model: CKL Dependent Variable:CKL Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 7 401859.3 57408.47 13.00 <.0001 Error 32 141322.6 4416.331 Corrected Total 39 588538.4 Root MSE 66.45548 R‐Square 0.73982 Dependent Mean 117.87500 Adj R‐Sq 0.68291 Coeff Var 56.37793 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 21.14201 51.81725 0.41 0.6860 Intercept PCIP 1 ‐0.79171 0.601125 ‐1.32 0.1972 PCIP CKP 1 ‐0.15458 0.164163 ‐0.94 0.3534 CKP TWR 1 0.307201 0.104200 2.95 0.0059 TWR TKI 1 78.74203 20.68424 3.81 0.0006 TKI CKR 1 ‐0.39178 0.111878 ‐3.50 0.0014 CKR JJ 1 ‐7.01234 3.307233 ‐2.12 0.0418 JJ CKU 1 ‐0.24182 0.161119 ‐1.50 0.1432 CKU
160
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model: CKP Dependent Variable: CKP Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 942857.9 188571.6 12.09 <.0001 Error 34 530120.2 15591.77 Corrected Total 39 1627213 Root MSE 124.86701 R‐Square 0.64010 Dependent Mean 339.77500 Adj R‐Sq 0.58718 Coeff Var 36.74991 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐31.2207 69.72104 ‐0.45 0.6571 Intercept CIP 1 5.169E‐6 1.642E‐6 3.15 0.0034 CIP TWR 1 0.279565 0.111167 2.51 0.0168 TWR CKL 1 ‐0.06608 0.267699 ‐0.25 0.8065 CKL CKH 1 ‐0.63475 0.549272 ‐1.16 0.2559 CKH CKU 1 ‐0.27469 0.262072 ‐1.05 0.3020 CKU
161
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model: CKR Dependent Variable: CKR Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 602890.1 100481.7 4.99 0.0010 Error 33 664825.1 20146.22 Corrected Total 39 1272556 Root MSE 141.93737 R‐Square 0.47557 Dependent Mean 383.70000 Adj R‐Sq 0.38022 Coeff Var 36.99176 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 37.12503 83.78249 0.44 0.6606 Intercept PRPRT 1 ‐1.61E‐6 1.265E‐6 ‐1.27 0.2113 PRPRT TWR 1 0.301360 0.089432 3.37 0.0019 TWR CKU 1 0.130454 0.287872 0.45 0.6534 CKU CKH 1 ‐0.49807 0.665621 ‐0.75 0.4596 CKH JB 1 83.45182 26.13133 3.19 0.0031 JB CKL 1 ‐0.17421 0.298183 ‐0.58 0.5630 CKL
162
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model: CKH Dependent Variable: CKH Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 6 45673.28 7612.213 4.19 0.0031 Error 33 59902.70 1815.233 Corrected Total 39 104561.0 Root MSE 42.60556 R‐Square 0.43261 Dependent Mean 30.02500 Adj R‐Sq 0.32945 Coeff Var 141.90027 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 3.912820 33.55389 0.12 0.9079 Intercept PCIP 1 ‐0.20535 0.387304 ‐0.53 0.5995 PCIP TWR 1 0.069158 0.058053 1.19 0.2420 TWR CKP 1 ‐0.03157 0.086627 ‐0.36 0.7179 CKP FH 1 1.635661 0.410357 3.99 0.0004 FH CKR 1 ‐0.04860 0.072922 ‐0.67 0.5098 CKR CKL 1 ‐0.15685 0.109581 ‐1.43 0.1617 CKL
163
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model: NKBP Dependent Variable: NKBP Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 5 1.257E14 2.514E13 2.93 0.0264 Error 34 2.916E14 8.577E12 Corrected Total 39 4.21E14 Root MSE 2928571.47 R‐Square 0.30118 Dependent Mean 3321300.00 Adj R‐Sq 0.19841 Coeff Var 88.17546 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 731064.0 1820493 0.40 0.6905 Intercept JAK 1 214098.3 382875.3 0.56 0.5797 JAK KBP 1 ‐0.03799 0.097576 ‐0.39 0.6994 KBP PRPRT 1 0.043401 0.023542 1.84 0.0740 PRPRT FH 1 51015.59 22808.50 2.24 0.0320 FH JKU 1 37808.16 207796.0 0.18 0.8567 JKU
164
Lampiran 4. Lanjutan The SAS System The SYSLIN Procedure Two‐Stage Least Squares Estimation Model: KBP Dependent Variable: KBP Analysis of Variance Sum of Mean Source DF Squares Square F Value Pr > F Model 4 2.328E15 5.82E14 7.76 0.0001 Error 35 2.626E15 7.503E13 Corrected Total 39 4.824E15 Root MSE 8661780.20 R‐Square 0.46994 Dependent Mean 17562125.0 Adj R‐Sq 0.40937 Coeff Var 49.32080 Parameter Estimates Parameter Standard Variable Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label Intercept 1 ‐8887816 7066172 ‐1.26 0.2168 Intercept JAK 1 3114935 639114.2 4.87 <.0001 JAK NKBP 1 ‐1.08190 0.610334 ‐1.77 0.0850 NKBP CIP 1 0.136251 0.083626 1.63 0.1122 CIP PDS 1 530465.2 492205.8 1.08 0.2885 PDS
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL ...................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... viii I.
PENDAHULUAN....................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ..........................................................................
8
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 15 1.4 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ................................... 16 II. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 17 2.1. Potensi Sumberdaya Alam di Kawasan Teluk Bintuni .................... 17 2.2. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat di Kawasan Teluk Bintuni... 19 2.3. Tugas dan Wewenang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi ..................................................................... 21 2.4. Manfaat Pembangunan Proyek Liquified Natural Gas Tangguh ..... 22 2.5. Transformasi Tenaga Kerja dari Sektor Informal ke Sektor Formal 24 2.6. Tinjauan Penelitian Terdahulu ......................................................... 29 2.6.1. Keterkaitan Antar Sektor dalam Pembangunan ................... 29 2.6.2. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Alokasi Waktu Kerja, Produksi, Konsumsi dan Pendapatan Rumahtangga di Beberapa Daerah di Indonesia ............................................. 31 2.6.3. Perilaku Ekonomi Rumahtangga Petani di Papua................ 36 III. KERANGKA PEMIKIRAN TEORITIS .............................................. 38 3.1. Konsep Dasar Ekonomi Rumahtangga ............................................ 38 3.2. Efek Pendapatan Terhadap Perilaku Kerja Rumahtangga ............... 51 3.3. Efek Upah pada Alokasi Waktu Rumahtangga................................ 55 3.4. Model Ekonomi Rumahtangga Penduduk yang Bekerja pada Proyek
Liquified Natural Gas Tangguh ....................................................... 59 IV. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 62 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ........................................................... 62 4.2. Data dan Sumber Data ..................................................................... 62 4.3. Analisis Perubahan Perilaku Ekonomi Rumahtangga Akibat Pembangunan Proyek Liquified Natural Gas Tangguh ................... 63 4.4. Spesifikasi Model Ekonomi Rumahtangga ...................................... 64 4.5. Identifikasi Model ............................................................................ 70 4.6. Analisis Data .................................................................................... 71 4.7. Konsep dan Defenisi Operasional Penelitian ................................... 71 V. KARAKTERISTIK DAERAH PENELITIAN DAN RESPONDEN . 75 5.1. Letak dan Keadaan Alam Kabupaten Teluk Bintuni ....................... 75 5.2. Kependudukan ................................................................................. 78 5.2.1. Komposisi Penduduk Menurut Agama ................................ 78 5.2.2. Komposisi Penduduk Menurut Suku ................................... 79 5.2.3. Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan ............ 81 5.2.4. Komposisi Penduduk Menurut Pekerjaan ............................ 82 5.3. Karakteristik Rumahtangga Responden ........................................... 83 5.4. Mata Pencaharian Utama Rumahtangga Responden ....................... 84 5.5. Penerimaan Tunai Rumahtangga Responden................................... 88 VI. PERILAKU EKONOMI RUMAHTANGGA RESPONDEN............. 91 6.1. Alokasi Curahan Kerja ..................................................................... 91 6.1.1. Alokasi Curahan Kerja pada Kegiatan Pertanian ................. 91 6.1.2. Alokasi Curahan Kerja pada Kegiatan Perikanan ................ 93 6.1.3. Alokasi Curahan Kerja pada Kegiatan Berburu ................... 96 6.1.4. Alokasi Curahan Kerja pada Kegiatan Menokok Sagu........ 97 6.1.5. Alokasi Kerja pada Kegiatan Produktif di Rumahtangga yang Bekerja dan Tidak Bekerja di Proyek Liquified Natural Gas Tangguh........................................................... 99 6.1.6. Alokasi Curahan Kerja pada Kegiatan Rumahtangga.......... 102 6.2. Kontribusi Pendapatan Masing-masing Kegiatan Produksi
ii
Rumahtangga ................................................................................... 103 6.3. Konsumsi Pada Rumahtangga Responden ....................................... 105 6.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konsumsi dan Penerimaan Rumahtangga.................................................................................... 107 6.4.1.
Penerimaan Pertanian ........................................................ 107
6.4.2.
Penerimaan Produk Perikanan .......................................... 113
6.4.3.
Penerimaan dari Kegiatan Mengambil Hasil Hutan.......... 116
6.4.4.
Curahan Kerja Pertanian ................................................... 119
6.4.5.
Curahan Kerja Perikanan .................................................. 125
6.4.6.
Curahan Kerja Proyek ....................................................... 131
6.4.7.
Curahan Kerja pada Kegiatan Rumahtangga .................... 134
6.4.8.
Curahan Kerja pada Kegiatan Mengambil Hasil Hutan .... 138
6.4.9.
Konsumsi Barang Non Pasar ............................................ 141
6.4.10.
Konsumsi Barang Pasar .................................................... 144
VII. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 147 7.1. Kesimpulan ...................................................................................... 147 7.2. Saran................................................................................................. 149 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 151 LAMPIRAN ............................................................................................. 155
iii
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Peranan Masing-masing Sektor Terhadap Pembentukan Produk Domestik Regional Bruto Papua Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 1999 – 2003.........................................................................
2
2. Peranan Masing-masing Sektor Terhadap Pembentukan Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Barat Atas Dasar Harga Berlaku Tahun 2007.............................................................
2
3. Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Papua Menurut Kelompok Sektor Tahun 2002-2003..............................................
9
4. Target Tenaga Kerja Konstruksi Proyek Liquified Natural Gas Tangguh..........................................................................................
10
5. Jumlah Jenis Perusahaan Sektor Kehutanan di Wilayah Provinsi Irian Jaya Barat Sesuai Perijinan Tahun 2004................................
18
6. Perusahaan Penangkapan Ikan yang Bermarkas di Wimbro Tahun 2002.....................................................................................
19
7. Target Penerimaan Tenaga Kerja pada Proyek Liquified Natural Gas Tangguh Tahun 2005-2026.....................................................
24
8. Keadaan Bahan Induk, Jenis Tanah dan Kelerengan Kawasan Teluk Bintuni..................................................................................
77
9. Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama di Desa Tanah Merah dan Saengga Tahun 2001 dan 2002.......................................................
79
10. Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku di Desa Tanah Merah dan Saengga Tahun 2001 dan 2002.......................................................
80
11. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Tanah Merah dan Saengga Tahun 2001 dan 2002.........................
81
12. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Utama di Desa Tanah Merah dan Saengga Tahun 2001 dan 2002..........................
82
13. Karakteristik Rumahtangga Responden Tahun 2008.....................
83
14. Mata Pencaharian Utama Rumahtangga Responden Tahun 2008................................................................................................
85
iv
15. Rata-rata Penerimaan Tunai Rumahtangga Responden Tahun 2008................................................................................................
88
16. Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota Rumahtangga pada Kegiatan Usahatani dan Perkebunan dalam Satu Tahun................
91
17. Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota Rumahtangga pada Kegiatan Perikanan dalam Satu Tahun...........................................
95
18. Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota Rumahtangga pada Kegiatan Berburu dalam Satu Tahun..............................................
97
19. Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota Rumahtangga pada Kegiatan Menokok Sagu dalam Satu Tahun..................................
98
20. Rekapitulasi Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota Rumahtangga pada Kegiatan Produktif dalam Satu Tahun di Rumahtangga yang Bekerja di Proyek Liquified Natural Gas Tangguh..........................................................................................
99
21. Rekapitulasi Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota Rumahtangga pada Kegiatan Produktif dalam Satu Tahun di Rumahtangga yang Tidak Bekerja di Proyek Liquified Natural Gas Tangguh...................................................................................
101
22. Alokasi Curahan Kerja Rata-rata Anggota Rumahtangga pada Kegiatan Rumahtangga dalam Satu Tahun.....................................
102
23. Rata-rata Kontribusi Pendapatan Tunai Rumahtangga pada Masing-masing Kegiatan Produksi dalam Satu Tahun...................
104
24. Rata-rata Konsumsi Rumahtangga dalam Satu Tahun...................
105
25. Hasil Pendugaan Parameter Penerimaan Pertanian Rumahtangga Responden......................................................................................
108
26. Hasil Pendugaan Parameter Penerimaan Perikanan Rumahtangga Responden......................................................................................
116
27. Hasil Pendugaan Parameter Penerimaan dari Kegiatan Mengambil Hasil Hutan Rumahtangga Responden........................
117
28. Hasil Pendugaan Parameter dari Curahan Kerja Pertanian Rumahtangga Responden...............................................................
121
29. Hasil Pendugaan Parameter dari Curahan Kerja Perikanan Rumahtangga Responden...............................................................
127
v
30. Hasil Pendugaan Parameter dari Curahan Kerja Proyek Rumahtangga Responden………………………………………...
132
31. Hasil Pendugaan Parameter dari Curahan Kerja Kegiatan Rumahtangga Responden...............................................................
135
32. Hasil Pendugaan Parameter dari Curahan Kerja Mengambil Hasil Hutan Rumahtangga Responden....................................................
140
33. Hasil Pendugaan Parameter dari Konsumsi Barang Non Pasar Rumahtangga Responden...............................................................
143
34. Hasil Pendugaan Parameter dari Konsumsi Barang Pasar Rumahtangga Responden...............................................................
145
vi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Mekanisme Bagi Hasil Migas Era Otonomi Khusus......................
5
2.
Proses Rekrutmen Tenaga Kerja....................................................
12
3.
Tranfer Tenaga Kerja dari Sektor Informal ke Proyek Liquified Natural Gas Tangguh.....................................................................
28
4.
Model Keseimbangan Rumahtangga Menurut Chayanov..............
49
5.
Efek Peningkatan Non Labor Income pada Perilaku Kerja Rumahtangga..................................................................................
54
Efek Upah pada Penggunaan Waktu Rumahtangga.......................
58
5.
vii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1.
Bagan Keterkaitan Antar Peubah....................................................
156
2.
Sistem Persamaan dalam Bentuk Matriks......................................
157
3.
Program Komputer Statistical Analysis System Version 9.1 Pendugaan Model Persamaan Simultan dengan Metode Two State Least Squares ………………………………………………
158
Hasil Dugaan Model Persamaan Simultan……………………….
159
4.
viii
165