DINAMIKA KETENAGAKERJAAN, PENYERAPAN TENAGA KERJA DAN SISTEM HUBUNGAN KERJA Supriyati, Saptana, Sumedi, dan Tri Bastuti Purwantini Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161
ABSTRACT The last period, agricultural sector have to burdensome rural labor absortion, concequently decleaning produvtivity of labor in agricultural sector and wage rate relatitely stagnant . This paper objective to study : (1) labor dinamic in the macro and micro level; (2) variety kind of labor activity and labor supply in wet land area; (3) structure of time labor allocation in household level; and (4) institution and wage rate in wet land rural area. Research use data of primary collected through method survey in household level, at wet season 2000/2001 and dry season 2001. Research done in seven regency, in seven provinces (five provinces in Java and two provinces in Off Java), that is Majalengka and Indramayu (West Java), Klaten (Central Java), Kediri and Ngawi (East Java), Agam( West Sumatra), and Sidrap (South Sulawesi). Result of the research indicate that in macro and micro level labour absorbtion in agricultural sector each achieved 68% and 57-84% in Java, 67-83% in Off Java. Total labour absortion by members household in Java about 77-121 days (21-33%), and in Off Java about 126-186 days (34-51%) from time avaibility. The result indicate that in rural area is also happened unemployment as according to macro level. Trend of real wage, in East and Central Java relatively stagnant, in West Java to decleaning, in West Sumatra and South Sulawesi to increasing. This fact to indicate shown sign labor over supply in the rural Java. Several recommendation to solve to solve this problem are land use optimalization by higher plant intencity; to develope farming diversification, especially high value commodity; land and farming consolidation; and to develope agroindustry based on local raw material. Key words : labor, labor absorption, labor supply, labor demand, wage
PENDAHULUAN Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Paling tidak ada lima peran penting, yaitu: (1) berperan secara langsung dalam menyediakan kebutuhan pangan masyarakat; (2) menyumbang pembentukan Pendapatan Domestik Bruto (PDB); (3) menyerap tenaga kerja di pedesaan; (4) berperan dalam menghasilkan devisa dan atau penghematan devisa; dan (5) berfungsi dalam pengendalian inflasi. Sektor pertanian secara tidak langsung juga berperan dalam menciptakan iklim yang kondusif bagi pembangunan sektor ekonomi lainnya. Sektor pertanian merupakan penyedia pangan masyarakat. Oleh karena itu percepatan pembangunan pertanian berperan penting dalam penyediaan pangan yang cukup dan terjangkau oleh masyarakat. Walaupun dalam sumbangannya terhadap PDB mengalami penurunan, namun sektor pertanian masih akan tetap memegang peran yang sangat penting dalam perekonomian secara keseluruhan, karena mempunyai keterkaitan yang luas dengan sektor ekonomi lainnya. Sampai dengan saat ini sektor pertanian tetap menyerap
154
tenaga kerja terbesar dan menjadi penopang perekonomian di pedesaan, bahkan pada saat krisis ekonomi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian mengalami sedikit peningkatan. Pembangunan pertanian merupakan proses yang dinamis yang dalam jangka menengah atau panjang akan membawa dampak perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat di pedesaan. Transformasi sosial ekonomi tersebut dapat berupa pergeseran sektoral, kelembagaan dan tatanilai yang ada dalam masyarakat. Perubahan sektoral secara agregat dapat di lihat dari sumbangan sektor pertanian terhadap penyerapan tenaga kerja dan sumbangannya dalam PDB. Hasil kajian data makro menunjukkan bahwa titik balik untuk aktivitas ekonomi tercapai lebih cepat dibandingkan dengan titik balik penyerapan tenaga kerja (labour turning point). Artinya, laju pergeseran ekonomi sektoral relatif lebih cepat dibandingkan dengan laju pergeseran tenaga kerja. Perubahan struktur yang tidak berimbang diantaranya ditunjukkan oleh penurunan pangsa sektor pertanian terhadap PDB yang sangat tajam, yaitu dari 51,8 persen (1961) menjadi 16 persen (1995). Pada tahun 2000 dan 2001 masih relatif bertahan yaitu berturut-turut
sebesar 17,03 dan 16,39 persen. Tetapi hal ini tidak diiringi dengan penurunan penyerapan tenaga kerja yang seimbang, yang hanya menurun dari 73,3 persen (1961) menjadi 48 persen (1995). Bahkan dengan adanya dampak krisis ekonomi yang melanda Indonesia terjadi peningkatan penyerapan tenaga kerja disektor pertanian, sebagai ilustrasi pada tahun 1997 penyerapan tenaga kerja disektor pertanian telah turun mencapai 41 persen, namun pada tahun 1998 melonjak kembali menjadi 45 persen (Sakernas, BPS Tabel 13, tahun 1999). Gambaran mikro dinamika penyerapan tenaga kerja dan kesempatan kerja di pedesaan sangat dipengaruhi oleh kondisi agroekosistem setempat, yang pada lahan sawah dipengaruhi oleh tipe irigasi, struktur penguasaan lahan pertanian, sistem usahatani, pola tanam dan siklus tanam, dan komoditas dominan yang diusahakan, serta sistem pola hubungan kerja. Secara umum penyerapan dan kesempatan kerja sektor pertanian pada lahan sawah dengan sistem irigasi yang lebih baik mempunyai daya serap yang lebih tinggi dibandingkan pada lahan sawah dengan sistem irigasi yang lebih sederhana dan tadah hujan. Intensitas tanam yang lebih tinggi yang tergambarkan dalam siklus dan pola tanam akan mempunyai daya serap terhadap penyerapan kesempatan kerja yang lebih tinggi. Struktur penguasaan lahan yang relatif lebih merata diperkirakan mempunyai daya serap yang lebih tinggi. Pengusahaan komoditas komersial bernilai ekonomi tinggi, seperti hortikultura khususnya sayuran dan perkebunan seperti tembakau mempunyai daya serap yang lebih tinggi, karena bersifat intensif secara kapital dan tenaga kerja. Sementara itu, dilihat dari pola hubungan kerja, diperkirakan bahwa pola hubungan kerja yang mengarah mekanisme pasar tenaga kerja memberikan peluang kesempatan kerja yang lebih terbatas, namun dengan produktivitas kerja yang lebih tinggi. Penurunan pangsa tenaga kerja sektor pertanian terhadap PDB secara nyata yang tidak diikuti penurunan dalam penyerapan tenaga sektor pertanian, dikuatirkan akan terjadi penurunan produktivitas dan pendapatan tenaga kerja sektor pertanian di pedesaan. Konsekuensinya adalah sektor pertanian menanggung beban penyerapan tenaga kerja yang semakin berat. Dengan demikian perlu di lihat perubahan-perubahan sosial ekonomi secara mikro di pedesaan, sehingga dapat diantisipasi kearah mana perubahan-perubahan yang terjadi.
Dinamika sosial ekonomi ketenagakerjaan yang penting untuk diungkap adalah keragaan ketenagakerjaan di pedesaan lahan sawah; struktur curahan alokasi waktu kerja; kelembagaan hubungan kerja, sistem upah dan tingkat upah; mobilitas tenaga kerja dan integrasi pasar tenaga kerja di pedesaan. Dengan demikian akan dapat diungkap : (1) Proporsi anggota rumahtangga usia kerja dan anggota rumah tangga yang bekerja menurut lokasi; (2) Keragaan jenis pekerjaan baik kepala rumah tangga (KK) maupun anggota rumah tangga (ART) menurut lokasi dan sektor usaha; (3) Struktur alokasi/ curahan waktu kerja rumah tangga menurut sektor usaha; (4) Dinamika kelembagaan hubungan kerja; (5) Perkembangan tingkat upah menurut jenis kegiatan antar lokasi; dan (6) Pasar tenaga kerja di pedesaan lahan sawah. Berdasarkan latar belakang tersebut maka tulisan ini ditujukan untuk mengkaji : (1) Gambaran makro ketenagakerjaan di pedesaan lahan sawah; (2) Ketersediaan tenaga kerja dan keragaman jenis pekerjaan di pedesaan lahan sawah; (3) Struktur alokasi curahan waktu kerja rumah tangga di pedesaan lahan sawah; dan (4) Kelembagaan hubungan kerja dan tingkat upah di pedesaan lahan sawah METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian, Informasi dan Data Penelitian dilakukan dengan metode survei untuk mengumpulkan data primer. Pengumpulan data primer dalam studi ini difokuskan di tujuh kabupaten, yang tersebar di lima provinsi, yaitu Majalengka dan Indramayu (Jawa Barat), Klaten (Jawa Tengah), Kediri dan Ngawi (Jawa Timur), Agam (Sumatera Barat), dan Sidrap (Sulawesi Selatan). Penelitian ini membedakan empat sistem pengairan sawah yang merepresentasikan ketersediaan air pada lahan sawah yakni; irigasi teknis (ketersediaan air baik), setengah teknis (ketersediaan air sedang), sederhana (ketersediaan air kurang) dan tadah hujan. Sehingga pada setiap kabupaten dipilih empat desa yang merepresentasikan ketersediaan air tersebut. Jumlah rumah tangga contoh pada masing-masing desa adalah 20 orang yang dipilih secara acak yang mewakili buruh tani, penguasaan lahan sempit, sedang dan luas. Data primer yang dikumpulkan mencakup data usahatani di lahan sawah representatif (yang 155
terdiri atas penggunaan input dan output), curahan kerja dan pendapatan dari semua kegiatan/bidang usaha yang dilakukan rumahtangga contoh, pemasaran dan kelembagaan yang terkait dengan pasar input dan output. Pengumpulan data primer di tingkat petani mencakup data pada musim hujan (MH 2000/2001) dan musim kemarau (MK 2001), sedangkan informasi kualitatif mengenai pasar input-output pertanian di pedesaan dilakukan secara periodik mulai dari MH 1999/2000 sampai MH 2001/2002. Penggalian informasi kunci lainnya dilakukan secara berlapis ditingkat desa, kabupaten dan provinsi diantaranya; formal dan informal leaders, pedagang pengumpul, wholesales, retailers dan pemilik Rice Milling Unit (RMU). Pendekatan Analisis Kajian ini akan difokuskan pada dinamika ketenagakerjaan di pedesaan lahan sawah yang mencakup keragaan ketenagakerjaan di pedesaan lahan sawah; struktur curahan/alokasi waktu kerja; kelembagaan hubungan kerja, tingkat upah; pasar tenaga kerja di pedesaan. Analisis data primer struktur curahan/alokasi waktu kerja dilakukan dengan metode deskriptif melalui metode akunting. Struktur curahan/alokasi waktu kerja rumahtangga contoh dibedakan menurut kegiatan di sektor pertanian dan non pertanian. Pada sektor pertanian dibedakan atas kegiatan pada lahan garapan sendiri dan kegiatan berburuh tani. Kegiatan pada lahan garapan sendiri dibedakan menurut jenis lahan (sawah dan non sawah); pada lahan sawah struktur alokasi waktu kerja dibedakan atas jenis usahatani komoditas dengan agregasi: padi, palawija, hortikultura, tebu dan tembakau. Kegiatan berburuh tani dibedakan menjadi dua, berburuh dilahan sawah dan non sawah. Sementara pada kegiatan non pertanian dibedakan atas kegiatan usaha, dan berburuh. Di samping itu akan dilengkapi analisis secara deskriptif berdasarkan data sekunder tingkat makro yang dipandang relevan. Pembahasan struktur alokasi waktu kerja dibedakan atas: (1) rataan rumahtangga contoh total; dan (2) rumahtangga contoh dibedakan menurut statusnya yaitu rumahtangga contoh buruh tani dan rumahtangga contoh petani (status berdasarkan pekerjaan utama kepala keluarga); dan (3) rumahtangga contoh dibedakan atas kelas luas sawah garapan (rumahtangga yang tidak mempunyai sawah garapan, luas garapan kurang dari 0,1 ha; 0,11 – 0,5 ha; 0,51 – 0,75 ha; 0,76 – 1,0 ha dan di atas 1 ha). Dalam pembahasan 156
struktur alokasi waktu kerja akan dilakukan agregasi kabupaten contoh, yaitu Indramayu, Majalengka (Jawa Barat); Klaten (Jawa Tengah); Kediri dan Ngawi (Jawa Timur); Agam (Sumatera Barat); dan Sidrap (Sulawesi Selatan). Agregasi dilakukan dengan pertimbangan bahwa analisis menurut tingkat ketersediaan air masing-masing desa kurang relevan mengingat jumlah rumah tangga contoh relatif kecil, terutama pada saat analisis dibedakan atas status rumahtangga dan kelas luas garapan. Analisis kelembagaan hubungan kerja dan pasar tenaga kerja di pedesaan dilakukan secara deskriptif kualitatif, sementara analisis tingkat upah didasarkan atas data sekunder dari BPS dengan agregasi tingkat provinsi dan kegiatan (mencangkul, menanam dan merambet/menyiang) pada periode tahun 1989-2000. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Makro Ketenagakerjaan di Pedesaan Angkatan Kerja dan Angkatan Kerja yang Bekerja Indonesia termasuk salah satu negara yang dipandang berhasil dalam pengendalian jumlah penduduk, namun hingga saat ini masih menghadapi masalah kependudukan yang sulit dipecahkan, terutama dalam penyerapan angkatan kerja. Permasalahan dalam penyerapan tenaga kerja mencapai titik kritis saat terjadi gelombang krisis ekonomi. Keragaan angkatan kerja di Indonesia dan di provinsi contoh dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Dari Tabel 1 dan 2 dapat diperoleh gambaran pokok sebagai berikut: (1) Proporsi angkatan kerja yang bekerja mengalami peningkatan yang cukup tinggi, yaitu meningkat dari hanya 87,00 persen dari total angkatan kerja di kota dan 95,03 persen dari total angkatan kerja di desa (1995) meningkat menjadi 93,58 persen di kota dan 95,58 persen di desa (2001); (2) Hasil analisis di atas dapat mengindikasikan telah mulai membaiknya perekonomian nasional, meskipun diperkirakan peningkatan proporsi angkatan kerja yang bekerja terhadap angkatan kerja kemungkinan besar bekerja dibawah jam kerja normal; (3) Keragaan proporsi angkatan kerja yang bekerja (AKB) terhadap angkatan kerja (AK) baik secara nasional maupun di masing-masing provinsi contoh, menunjukkan proporsi AKB terhadap AK, yang berkisar antara 90-96 persen; (4) Hal tersebut menun-
Tabel 1. Perkembangan Angkatan Kerja dan Angkatan Kerja yang Bekerja di Indonesia, 1995-2001
Uraian 1. Kota 2. Desa 3. Kota + Desa Sumber :
1) 2)
Tahun 1995 (orang)1) Angkatan AK bekerja (%) kerja 87,00 25.711.779 28.869.546 95,03 52.610.383 55.360.576 92,99 78.322.162 84.230.122
Tahun 2000 (orang)2) Angkatan AK bekerja kerja 35.839.367 38.298.608 56.689.106 59.134.517 92.528.473 97.433.125
(%) 93,58 95,58 94,97
SUPAS, 1995 (penyesuaian dilakukan dengan mengurangi AK umur 10-14 tahun) Hasil Sensus Penduduk, 2000 (BPS)
Tabel 2. Keragaan Angkatan Kerja dan Angkatan Kerja yang Bekerja di Lima Provinsi Contoh, Tahun 2000 Uraian Jawa Barat -Kota -Desa -Kota+Desa Jawa Tengah -Kota -Desa -Kota+Desa Jawa Timur -Kota -Desa -Kota+Desa Sumatera Barat -Kota -Desa -Kota+Desa Sulawesi Selatan -Kota -Desa -Kota+Desa Indonesia -Kota -Desa -Kota+Desa
Angkatan kerja (orang)
AK bekerja (orang)
Proporsi AKB terhadap AK (%)
7.614.525 8.432.772 16.047.297
7.241.825 8.092.533 15.334.358
95,11 95,97 95,56
6.140.918 10.476.386 16.617.304
5.745.755 10.018.289 15.764.044
93,57 95,63 94,87
6.742.265 10.773.107 17.515.372
6.356.926 10.312.856 16.669.782
94,28 95,73 95,17
464.642 1.404.009 1.868.651
430.837 1.348.530 1.779.367
92,72 96,05 95,22
826.729 2.453.681 3.280.410
751.602 2.371.140 3.122.742
90,91 96,64 95,19
38.298.608 59.134.517 97.433.125
35.839.367 56.689.106 92.528.473
93,58 95,86 94,97
Sumber : Hasil Sensus Penduduk, 2000 (BPS)
jukkan masih tingginya tingkat pengangguran terbuka (4-10 persen di pedesaan). Jika pengangguran terselubung diperhitungkan maka tingkat pengangguran di pedesaan akan lebih tinggi lagi. Implikasi kebijaksanaan penting dari kondisi di atas adalah terus menciptakan iklim usaha yang kondusif, sehingga masing-masing sektor ekonomi khususnya industri mengalami pendalaman. Pengembangan agro industri yang berbasis bahan baku domestik dan mempunyai spektrum pasar yang luas perlu memperoleh prioritas pengembangan, seperti industri beras, jagung, dan tembakau.
Struktur Kesempatan Kerja Semenjak terjadinya krisis ekonomi periode 1997-1998 proporsi kesempatan kerja sektor pertanian mengalami peningkatan, padahal hampir keseluruhan sektor ekonomi mengalami kemacetan. Sebagai ilustrasi proporsi kesempatan kerja sektor pertanian tahun 1997 sebesar 22,20 persen dan pada tahun 1998 meningkat menjadi sebesar 24,37 persen (BPS, 1999). Sementara itu, gambaran tentang perkembangan penyerapan tenaga kerja berdasarkan lapangan usaha di pedesaan Indonesia dan provinsi contoh dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.
157
Tabel 3. Perkembangan Penyerapan Tenaga Kerja Menurut Lapangan Uasaha di Pedesaan, 1995-2000 Lokasi 1. 2. 3. 4. 5.
Pertanian Industri Perdagangan Lainnya Jumlah
Penyerapan TK tahun 1995 (orang) (%) 60,77 32.914.901 9,82 5.320.192 12,18 6.596.540 17,22 9.328.104 100,00 54.159.737
Penyerapan TK tahun 2000 (orang) (%) 67,79 38.427.606 4,50 2.551.966 8,30 4.704.911 19,41 11.004.623 100,00 56.689.106
Sumber : 1) SUPAS, 1995 (BPS) 2) Hasil Sensus Penduduk, 2000 (BPS) Tabel 4. Struktur Tenaga Kerja Pedesaan menurut Sektor Ekonomi di Indonesia dan Lima Provinsi Contoh, 1995-2000 1)
Penyerapan tenaga kerja 1995 (orang) Penyerapan tenaga kerja 2000 (orang) PerdaPerdaLainnya Lainnya Jumlah Pertanian Industri Pertanian Industri gangan gangan Indonesia 32.914.901 5.320.192 6.596.540 9.328.104 54.159.737 38.427.606 2.551.966 4.704.911 11.004.623 persen 60,77 9,82 12,18 17,22 100,00 67,79 4,50 8,30 19,41 3.734.508 1.044.389 1.446.178 2.109.972 8.335.047 4.034.265 498.168 1.093.180 2.466.920 Jabar persen 44,80 12,53 17,35 25,31 100,00 49,85 6,16 13,51 30,48 6.012.047 127.416 1.345.770 1.973.360 9.458.593 6.585.224 600.892 Jateng 986.033 1.846.140 Persen 63,56 1,35 14,23 20,86 100,00 65,73 6,00 9,84 18,43 6.132.225 1.328.399 1.583.446 1.908.718 10.952.788 6.931.255 523.380 Jatim 964.298 1.893.923 persen 55,99 12,13 14,46 17,43 100,00 67,21 5,08 9,35 18,36 819.009 Sumbar 17.104 166.099 302.480 1.304.692 907.760 37.728 120.294 282.748 persen 62,77 1,31 12,73 23,18 100,00 67,31 2,80 8,92 20,97 1.332.077 122.574 Sulsel 209.583 285.722 1.949.956 1.817.057 60.907 145.324 347.852 persen 68,31 6,29 10,75 14,65 100,00 76,63 2,57 6,13 14,67 Sumber : 1) Hasil SUPAS, 1995 (BPS) 2) Hasil Sensus, 2000 (BPS)
2)
Lokasi
Tabel 3 dan 4 merefleksikan beberapa hal pokok sebagai berikut : (1) Proporsi secara keseluruhan penyerapan TK di pedesaan Indonesia mengalami peningkatan dari 54,16 juta orang (1995) meningkat menjadi 56,69 juta orang (2000), atau hanya meningkat sebesar 1,02 persen; (2) Proporsi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di pedesaan mengalami peningkatan dari 32,91 juta orang atau 60,77 persen (1995) menjadi 38,43 juta orang atau 67,79 persen (2000), atau mengalami peningkatan sebesar 8,33 persen; (3) Sementara itu, sektor lainnya mengalami penurunan dalam penyerapan tenaga kerja; (4) Dari gambaran di atas nampak bahwa dalam situasi krisis sektor pertanian dapat berperan sebagai sektor penyelamat dalam penyerapan tenaga kerja, meskipun dapat diduga bahwa sebagian tenaga kerja menjadi pengangguran tak kentara (under employment); (5) Secara umum distribusi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian di pedesaan provinsi contoh memberikan gambaran bawa proporsi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian relatif lebih tinggi di Luar Jawa 67,31 76,63 persen, sementara itu di Jawa berkisar antara 49,85-67,21 persen (2000). 158
Jumlah 56.689.106 100,00 8.092.533 100,00 10.018.289 100,00 10.312.856 100,00 1.348.530 100,00 2.371.140 100,00
Penyerapan tenaga kerja yang tinggi pada sektor pertanian di pedesaan membawa beberapa implikasi pokok: (1) Semakin menurunnya produktivitas kerja sektor pertanian terutama di Jawa, karena kelebihan tenaga kerja tidak dapat direspon dengan perluasan areal; (2) Meningkatnya pengangguran tidak kentara di pedesaan, yang kalau tidak segera di carikan pemecahannya akan mempunyai implikasi sosial ekonomi yang luas; (3) Semakin sulit meningkatkan efisiensi dan produktivitas sektor pertanian. Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan adalah melalui pengembangan usahatani komoditas komersial yang bersifat padat tenaga kerja, usaha-usaha konsolidasi lahan dan managemen usahatani. Pengembangan agroindustri berbasis bahan baku setempat harus menjadi prioritas olem pemerintah daerah dalam kerangka otonomi daerah. Pengangguran Tak Kentara Untuk menguji apakah peningkatan penyerapan tenaga kerja dan peningkatan angkatan kerja yang bekerja memberikan gambaran bahwa kondisi perekonomian telah pulih akan di lihat
jumlah dan proporsi tenaga kerja pertanian di pedesaan menurut jumlah jam kerja (Tabel 5). Dari Tabel 5 merefleksikan beberapa hal sebagai berikut: (1) Telah terjadi peningkatan proporsi penyerapan tenaga kerja dan angkatan kerja yang bekerja secara penuh (full employment) dari 13,18 juta orang atau 40,05 persen (1995) menjadi 15,71 juta atau 42,67 persen (2000); (2) Sebaliknya terjadi penurunan proporsi tenaga yang bekerja di bawah kapasitas (under employment), yaitu dari 18,27 juta atau 55,50 persen (1995) menjadi 19,15 juta atau 52,19 persen (2000); serta penurunan proporsi tenaga kerja yang bekerja di atas kapasitas yaitu dari 737 ribu orang atau 2,24 persen (1995) menjadi 753 ribu orang atau 2,04 persen (2000); (3) Sementara itu jumlah tenaga kerja yang sementara tidak bekerja pun sedikit mengalami peningkatan dari 726 ribu orang atau 2,21 persen (1995) menjadi 1,14 juta atau 3,10 persen (2000), yang menunjukkan meningkatnya jumlah pengangguran di sektor pertanian di pedesaan. Secara umum dapat disimpulkan bahwa penyerapan tenaga kerja pertanian di pedesaan telah mengalami peningkatan dari kondisi sebelum krisis ke kondisi setelah krisis, yang menunjukkan bahwa sektor pertanian mempunyai daya serap tenaga kerja yang cukup tinggi.
kesempatan kerja dan pertumbuhan angkatan kerja antar lokasi. Selain dimensi spasial, dimensi penting lainnya adalah dimensi temporal. Dimensi waktu ini melahirkan konsep migrasi komutasi, sirkulasi dan permanen. Migrasi komutasi adalah kegiatan yang dilakukan secara pergi-pulang (ulang-alik) setiap hari. Migrasi sirkulasi adalah migrasi yang dilakukan dengan meninggalkan rumah lebih dari 2 hari dan kurang dari 6 bulan. Migrasi permanen adalah migrasi yang dilakukan dengan cara migran menetap di daerah (tujuan migran) lebih dari 6 bulan serta tercatat sebagai penduduk desa yang bersangkutan. Dimensi sektoral melahirkan konsep mobilitas penduduk berdasarkan jenis pekerjaan (okupasi) baik yang sifatnya permanen maupun musiman (Sumaryanto dan Pasaribu, 1996). Dalam kenyataannya, sangatlah sulit membahas masalah migrasi dengan konsep dimensi secara terpisah, karena antar dimensi tersebut saling terkait. Dalam konteks migrasi secara spasial, arah migrasi menggambarkan dari mana dan ke arah mana pergerakan penduduk terjadi, apakah dari satu desa ke desa lain, dari desa ke pusat kota, dari pulau yang satu ke pulau yang lain yang
Tabel 5. Jumlah dan Proporsi Tenaga Kerja Pertanian di Pedesaan Menurut Jumlah Jam Kerja Perminggu di Indonesia, Tahun 1995 dan 2000 Tahun 1995 1)
Uraian 0 *) <35 55-59 >60 Jumlah
(Orang) 726.175 18.268.639 13.183.220 736.867 32.914.901
(%) 2,21 55,50 40,05 2,24 100,00
Tahun 2000 2) (Orang) (%) 3,10 1.141.188 52,19 19.153.713 42,67 15.714.539 2,04 753.146 36.828.729 100,00
Sumber : 1) Hasil SUPAS, 1995 (BPS) 2) Hasil Sensus Penduduk, 2000 *) Sementara tidak bekerja
Mobilitas Tenaga Kerja di Pedesaan Dalam pembahasan tentang migrasi ada tiga dimensi penting, yaitu: dimensi spasial, temporal dan sektoral. Pengertian migrasi dilihat dari dimensi spasial adalah menerangkan perpindahan penduduk atau mobilitas penduduk yang melintasi batas teritorial (administratif) atau geografis (Tirto Sudarmo, 1993). Salah satu bentuk migrasi secara spasial yang banyak terjadi adalah mobilitas penduduk desa-kota. Terjadinya migrasi spasial mencerminkan adanya ketidak seimbangan antara
sering disebut transmigrasi atau dari suatu negara ke negara lain yang disebut emigrasi. Pergerakan penduduk dari desa ke desa lain seperti yang terjadi di Jawa dikemukakan oleh Geertz dalam Mubyarto, (1985) yang mengemukakan fenomena terjadinya migrasi dari desa ke desa di perkebunan tebu. Selanjutnya hasil kajian di lapang menunjukkan bahwa fenomena tersebut masih terjadi pada perkebunan tebu khususnya di Kediri, Ngawi, dan Klaten, tetapi juga pada perkebunan tembakau untuk kasus di Klaten; bahkan juga terjadi pada usahatani padi yang 159
ditemukan di pedesaan Klaten, Indramayu serta di Sidrap. Kegiatan migrasi dari sektor pertanian ke sektor pertanian yang terjadi di pedesaan baik di pedesaan Jawa maupun di pedesaan Luar Jawa sebagian terutama untuk kegiatan pengolahan tanah dengan traktor, menanam yang dilakukan secara berkelompok, dan panen dengan power threser, yang juga dilakukan secara kelompok. Cara melakukan migrasi ada yang dilakukan secara individu maupun kelompok. Migrasi yang dilakukan secara berkelompok dapat dijumpai pada kegiatan panen dengan sistem tebasan dengan alat power threser di pedesaan Kabupaten Klaten dan Kediri. Migrasi kelompok pemanen (penderos) dengan power threser terjadi di pedesaan Kabupaten Sidrap, dan kegiatan panen dengan sistem ceblokan di pedesaan Majalengka dan di Indramayu ada yang dilakukan secara kelompok maupun individu. Pada kasus ceblokan di Majalengka dan sebagian Indramayu, serta beberapa kasus kedokan di Kediri, hal tersebut menunjukkan adanya saling keterkaitan antara pasar tenaga kerja dengan pasar lahan di pedesaan. Sementara itu, pada kasus tenaga kerja pengolahan tanah dengan traktor yang biasanya dikerjakan oleh tiga orang dan tenaga kerja panen dengan power threser yang biasa dilakukan secara berkelompok menunjukkan adanya saling keterkaitan antara pasar tenaga kerja dengan teknologi yang digunakan. Gambaran migrasi penduduk secara makro di tujuh provinsi contoh dapat dilihat pada Tabel 6. Pada periode 1990–2000, tingkat migrasi penduduk di lima provinsi contoh pada tahun 1990 menunjukkan kondisi yang beragam. Provinsi yang tingkat migrasi masuk lebih tinggi dibandingkan migrasi yang keluar hanya terbatas di provinsi Jawa Barat, yang menunjukkan pada tahun terse-
but Jawa Barat terutama Botabek masih merupakan tujuan migran. Sementara itu, di empat provinsi lainnya menunjukkan bahwa migrasi masuk jauh lebih kecil dibandingkan migrasi yang keluar. Tingginya arus migrasi antar kota provinsi membawa konsekuensi meningkatnya proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan, yaitu dari 30,9 persen (1990) meningkat menjadi hampir 40 persen (2000). Di Jawa lebih dari sepertiga penduduk (35,65%) tinggal di daerah perkotaan. Jika ditambah dengan banyaknya penduduk pedesaan di Jawa yang melakukan sirkulasi dan komutasi ke tempat kerjanya di kota, jumlah penduduk yang tinggal dan menggantungkan hidupnya di kota semakin besar. Hasil kajian di lapang khususnya di pedesaan Jawa menunjukkan pola-pola migrasi yang banyak dilakukan oleh masyarakat di pedesaan adalah sebagai berikut. Untuk desa yang sangat dekat dengan pusat-pusat kota atau industri dengan aksesibilitas yang baik, jenis migrasi yang dominan dilakukan adalah komutasi sepanjang tahun. Untuk desa yang agak jauh dari pusat kota atau industri ternyata sebagian besar penduduknya ada yang melakukan migrasi secara sirkulasi musiman. Sementara untuk yang sangat jauh dan tujuan migrasinya adalah kota-kota besar kota provinsi sebagian besar migrasinya adalah migrasi permanen. Hasil kajian kualitatif di lapang menunjukkan bahwa keputusan seseorang untuk melakukan migrasi dipengaruhi oleh rata-rata luas lahan yang dimiliki, kualitas lahan yang dicerminkan oleh tipe irigasi, umur migran, tingkat pendidikan, aksesibilitas desa-kota, perkembangan kesempatan kerja di luar sektor pertanian di pedesaan, dan perkembangan tingkat upah riil sektor pertanian di pedesaan. Secara umum, rata-rata pemilikan
Tabel 6. Migrasi Masuk, Keluar, dan Neto berdasarkan Provinsi Contoh, 1990-2000 1990 Provinsi 1. 2. 3. 4. 5.
Jabar Jateng Jatim Sumbar Sulsel
1)
2000 2)
Masuk
Keluar
1.338.326 379.656 319.919 126.075 112.390
495.727 1.159.694 647.348 173.220 161.050
Neto
3)
842.599 -780.038 -327.429 -47.145 -48.660
1)
Masuk
Keluar2)
Neto3)
1.709.254 369.141 426.332 129.476 144.215
631.753 1.017.494 529.037 233.945 169.663
1.047.501 -648.353 -102.705 -104.469 -25.448
Sumber : BPS, 1990 dan 2000. Hasil Sensus Penduduk Tahun 1990 dan 2000, Seri L2.2. Keterangan : 1) Penduduk berumur 10 tahun ke atas menurut status migrasi risen (migrasi masuk) 2) Arus migrasi risen antar provinsi 3) Migrasi netto merupakan selisih antar migasri masuk terhadap migrasi keluar
160
semakin rendah dengan kualitas irigasi yang kurang baik mendorong tingginya tingkat migrasi. Sebagai ilustrasi rata-rata pemilikan lahan sawah yang kecil di Klaten dan Agam dan terutama pada lahan sawah tadah hujan menunjukkan tingginya tingkat migrasi. Banyaknya tenaga kerja muda dengan ratarata tingkat pendidikan rendah asal pedesaan yang melakukan migrasi dengan tujuan utama pusat kota atau industri memberikan indikasi bahwa mereka kurang atau tidak tertarik lagi bekerja sektor pertanian di pedesaan, yang terkesan kumuh, dan tidak kotinyu. Nampaknya tingkat aksessibilatas desa-kota bukan lagi merupakan kendala tenaga kerja melakukan migrasi. Pada daerah pedesaan lahan sawah yang berkembang komoditas komersial dan agroindustri, serta berkembang kegiatan-kegitan non pertanian tingkat migrasi relatif dapat ditekan, seperti kasus pada desa lahan sawah teknis di Klaten dengan berkembangnya komoditas tembakau, industri pengolahan tembakau, dan furniture arus migrasi dapat ditekan. Gambaran lain kasus di Kecamatan Jatiwangi Majalengka sebagai akibat berkembangnya industri genteng dan bata merah migrasi relatif terkendali. Dari aspek tingkat upah riil sektor pertanian sesungguhnya tidak terlalu rendah dibandingkan sektor industri, hanya sifatnya yang tidak kontinyu menjadi salah satu sebab tenaga kerja muda bermigrasi ke industri di perkotaan.
Keragaan Mikro Ketenagakerjaan Pedesaan Gambaran Umum ART Usia Kerja Keragaan jumlah anggota rumah tangga (ART) pada ke tujuh kabupaten lokasi penelitian menunjukkan gambaran yang mirip. Jumlah ART berkisar antara 3.71–4.82 orang dalam satu rumah tangga, yang umumnya terdiri dari sepasang suami istri dan satu sampai tiga orang anak. Ratarata jumlah anggota rumah tangga terbesar terdapat di Kabupaten Agam dengan 4,82 anggota per KK, dan terendah di Indramayu dengan 3,71 orang anggota per rumah tangga. Jumlah ART dalam rumah tangga, memiliki arti ekonomi yang penting, yaitu sebagai sumber pendapatan rumah tangga jika yang bersangkutan memiliki pekerjaan, atau merupakan tanggunggan keluarga jika sebaliknya. Dengan demikian menjadi penting untuk melihat komposisi anggota rumah tangga yang termasuk dalam ART usia kerja dan ART usia kerja yang bekerja. Dari pemilahan ini dapat diperoleh angka atau tingkat ketergantungan, yang menunjukkan rasio jumlah ART usia kerja yang menjadi tanggungan ART usia kerja yang bekerja. Dari Tabel 7 terlihat kisaran proporsi ART usia kerja pada lokasi penelitian berkisar antara 59 persen (Kabupaten Majalengka) sampai 71 persen (Kabupaten Kediri). Berarti sekitar 30 – 40 persen anggota keluarga, masih sekolah atau sudah lanjut usia. Umumnya ART usia kerja terdiri dari sepasang suami dan istri ditambah satu atau dua orang anaknya. Dilihat dari tingkat partisipasi kerja
Tabel 7. Rata-rata Jumlah Anggota Rumah Tangga (ART), ART Usia Kerja dan ART Usia Kerja yang Bekerja per Rumah Tangga di Tujuh Kabupaten Contoh, Tahun 2001 Kabupaten/Tipe
Jumlah ART
ART usia kerja Orang
%
ART usia kerja yang bekerja
1)
Orang
%2)
Angka ketergantungan 3)
1. Indramayu
3,71
2,49
67,00
1,61
64,82
1,30
2. Majalengka
3,85
2,27
58,88
1,84
81,01
1,10
3. Klaten
4,40
3,05
69,35
2,09
68,41
1,11
4. Kediri
4,05
2,88
71,20
2,09
72,44
0,94
5. Ngawi
4,19
2,85
68,06
2,15
75,44
0,95
6. Agam
4,82
2,94
60,89
1,82
62,07
1,65
7. Sidrap
4,26
2,71
63,64
1,29
47,47
2,31
Sumber : Data primer (diolah) Keterangan: 1) persen terhadap jumlah ART 2) persen terhadap ART usia kerja 3) Rasio antara ART usia kerja dan ART usia kerja yang bekerja ART: Anggota rumah tangga; ART usia kerja: ART umur 15 - 55 tahun
161
(persentase ART usia kerja yang bekerja terhadap ART usia kerja), terdapat keragaman yang cukup besar antara lokasi penelitian. Secara umum tingkat partisipasi kerja anggota rumah tangga di Jawa lebih tinggi dibandingkan dengan kasus di luar Jawa. Partisipasi kerja anggota keluarga di Jawa berkisar antara 65 persen (Kabupaten Indramayu) sampai dengan 81 persen (Kabupaten Majalengka). Sementara itu untuk kasus Agam tingkat partisipasinya sebesar 62 persen sedangkan di Sidrap hanya sebesar 47,5 persen. Rendahnya tingkat partisipasi kerja di Sidrap, disebabkan oleh dua hal, yaitu : (1) Pada umumnya petani lebih mengandalkan tenaga kerja luar keluarga, sehingga curahan tenaga kerja dalam keluarga relatif kecil; dan (2) Rendahnya partisipasi tenaga kerja keluarga wanita dalam kegiatan usahatani. Tingkat patisipasi kerja anggota keluarga selaras dengan tingkat ketergantungan. Pada lokasi dengan tingkat partisipasi kerja rendah (Kasus Sidrap), angka ketergantungannya cukup tinggi (2,3) yang berarti satu orang bekerja menanggung 2,3 orang tidak bekerja. Angka ketergantungan terendah terjadi di Kediri dan Ngawi masingmasing dibawah satu. Tabel 8 dan Tabel 9 menunjukkan sebaran responden menurut jenis pekerjaan utama kepala keluarga dan anggota rumah tangga. Proporsi pekerjaan utama kepala keluarga adalah petani. Pada kasus kabupaten di Jawa, berkisar antara 64 persen sampai 71 persen sementara di Luar Jawa lebih tinggi lagi, yaitu mencapai 80 persen di Sidrap dan 91 persen di Agam. Menarik untuk dilihat, proporsi pekerjaan KK (Kepala Keluarga) sebagai buruh tani, dimana Jawa proporsinya lebih tinggi dibandingkan dengan kasus luar Jawa. Kisaran responden yang pekerjaan utamanya sebagai buruh tani di Jawa sebesar 16,5 persen (kasus Klaten) sampai 26 persen (kasus Ngawi). Sementara itu pada kasus Agam dan Sidrap masing-masing sebesar 6 dan 11 persen. Jika hal ini dapat dianggap merepresentasikan kondisi wilayah, dapat diartikan bahwa proporsi petani pemilik di Jawa relatif lebih kecil dibandingkan di luar Jawa. Dapat juga mengandung arti bahwa rata-rata petani di luar Jawa memiliki lahan garapan sendiri yang lebih luas dan lebih merata. Fenomena relatif tingginya buruh tani di Jawa menunjukkan semakin timpangnya penguasaan lahan pertanian dan tersumbatnya aliran kelebihan tenaga kerja pertanian ke usaha non pertanian di pedesaan. Disamping itu, juga menunjukkan relatif berjalannya mekanisme pasar tenaga kerja di 162
pedesaan melalui sistem pengupahan. Pada sisi lain peranan sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja dan sebagai sumber mata pencaharian baik di pedesaan Jawa maupun Luar Jawa masih dominan terlebih di pedesaan Luar Jawa. Tabel 9 menunjukkan distribusi ART menurut jenis pekerjaan utama. Secara umum, keragaan jenis pekerjaan utama ART sama dengan distribusi pekerjaan kepala keluarga dimana sebagian besar memiliki pekerjaan utama sebagai petani atau buruh tani. Namun jika dilihat lebih jauh proporsi ART yang pekerjaan utamanya petani lebih kecil dibandingkan dengan proporsi kepala keluarga dengan pekerjaan utama petani. Pada sisi lain proporsi buruh tani relatif sama. Penurunan proporsi ART dengan pekerjaan petani dibanding dengan proporsi pekerjaan utama kepala keluarga disebabkan karena sebagian ART pada rumahtangga yang pekerjaan kepala keluarganya petani, bekerja bukan sebagai petani. Setidaknya ada tiga hal kemungkinan penyebabnya yaitu: (1) Lahan pertanian yang sempit, sehingga tidak mampu dijadikan mata pencaharian utama untuk anggota keluarga sehingga terpaksa menganggur atau mencari pekerjaan di luar usahatani; (2) Adanya kesempatan kerja di luar sektor pertanian, dan (3) Keengganan untuk terjun pada sektor pertanian khususnya untuk golongan muda terdidik karena dipandang tidak menarik sehingga lebih memilih pekerjaan lain atau menganggur. Sementara untuk buruh tani yang relatif tetap, dapat disimpulkan ART pada rumah tangga yang kepala keluarganya buruh tani sebagian besar ART nya juga berburuh tani. Kesempatan kerja sektor nonpertanian yang tersedia antara lain: buruh industri, terutama di Kabupaten Majalengka dan Klaten, yang proporsinya penyerapan tenaga kerjanya mencapai 18,6 persen dan 15 persen. Pada kabupaten lainnya jenis pekerjaan buruh industri relatif kecil yaitu berkisar antara 3 – 5 persen, kecuali di Agam yang hampir tidak ada (0,7%). Pekerjaan utama sebagai pedagang relatif merata pada semua lokasi penelitian, meskipun konsentrasinya terdapat pada Kabupaten Sidrap (15,5%), Klaten (13,8%) dan Kediri (10,4%). Pada kabupaten lainnya relatif kecil dengan kisaran antara 4 – 9 persen. Sektor perdagangan nampaknya berkembang cukup merata pada semua lokasi penelitian, dan menjadi alternatif usaha utama di luar sektor pertanian. Jasa dan angkutan belum banyak berkembang dan menyerap tenaga kerja di pedesaan. Namun pada beberapa daerah (Indramayu dan Sidrap)
Tabel 8. Keragaan Jenis Pekerjaan Utama Kepala Keluarga (KK) di Tujuh Kabupaten Contoh, 2000-2001 (%) Kabupaten/ tipe Irigasi 1. Indramayu a. Baik b. Sedang c. Kurang d. Tadah hujan 2. Majalengka a. Baik b. Sedang c. Kurang d. Tadah hujan 3. Klaten a. Baik b. Sedang c. Kurang d. Tadah hujan 4. Kediri a. Baik b. Sedang c. Kurang d. Tadah hujan 5. Ngawi a. Baik b. Sedang c. Kurang d. Tadah hujan 6. Agam a. Baik b. Sedang c. Kurang d. Tadah hujan 7. Sidrap a. Baik b. Sedang c. Kurang d. Tadah hujan
Petani 70 70 65 70 75 71,4 70,6 76,2 70 68,4 68,4 65 60 60,9 93,8 64,1 60 70 72,2 55 67,9 57,9 63,7 75 75 90,8 78,9 94,4 95 94,7 80 75 69 95 90
Buruh tani
Industri
25 25 25 25 25 16,9 11,8 14,3 15 26,3 16,5 15 20 21,7 6,3 23,1 25 25 16,7 25 25,9 26,3 31,8 25 20 6,6 15,8 5,6 5,3 11,3 15 30 0 0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1,3 0 0 4,3 0 2,6 0 0 0 10 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Dagang 0 0 0 0 0 1,3 0 4,8 0 0 1,3 5 0 0 0 0 0 0 0 0 1,2 0 4,5 0 0 1,3 5,3 0 0 0 2,5 0 5 0 1,3
Jasa dan angkutan 2,5 5 5 0 0 1,3
Buruh industri 0
5
7,8 17,6 4,8 10
1,3 0 5 0 0 0
1,3 5 0 0 0 0
0
0
0
0
Lainnya 2,5 0 5 5 0 1,3
5,3 10,1 10 15 13 0 10,3 15 5 11,1 10 4,9 15,8 0 0 5 1,3
5 0
1,3 5
5,0 5 5 5 5
Total ART bekerja 80 20 20 20 20 77 17 21 20 19 79 20 20 20 19 78 20 20 18 20 81 19 22 20 20 76 19 18 20 19 80 20 20 20 20
Sumber : Data primer (diolah)
sudah mulai tumbuh. Pada Kabupaten Indramayu dan Sidrap maing-masing sebesar 4 dan 8 persen ART memiliki pekerjaan utama pada bidang jasa dan angkutan. Bidang usaha industri pengolah relatif belum berkembang hanya sebagian kecil di kabupaten Klaten dan Kediri terdapat KK dengan pekerjaan utama pada industri yaitu masing-masing hanya 1,3 dan 2,6 persen itupun hanya terkonsentrasi pada desa irigasi sederhana di Klaten( industri
perajangan tembakau) dan desa tadah hujan di Kediri (industri gula merah tebu skala rumah tangga). Di luar jenis usaha/kegiatan yang disebutkan di atas masih terdapat jenis usaha/kegiatan yang sangat beragam. Jenis usaha/kegiatan lain ini cukup banyak dijadikan pekerjaan utama terutama di Klaten dan Kediri yang masing-masing mencapai 10 persen. Sementara pada lokasi lain cukup beragam, namun relatif kecil dengan kisaran antara satu sampai lima persen.
163
Tabel 9. Keragaan Jenis Pekerjaan Utama Anggota Rumah Tangga (ART) di Tujuh Kabupaten Contoh, 2000-2001 (%) Kabupaten/tipe
Petani
Buruh tani Industri
Dagang
Jasa dan angkutan 3,9 7,1 3,7 3,3
Buruh industri 1,6 3,3 3,3
Lainnya
1. Indramayu a. Baik b. Sedang c. Kurang d. Tadah hujan
55,8 57,1 59,3 50 56,7
28,7 21,4 33,3 43,3 20
0,0 -
3,9 11,9 6,7
2. Majalengka a. Baik b. Sedang c. Kurang d. Tadah hujan
49,7
13,1
0,0
9,7
2,1
18,6
6,9
145
40,5 45,7 58,6 56,4
4,8 17,1 3,4 25,6
-
2,4 22,9 6,9 7,7
0,7 0,0 3,4 2,6
38,1 8,6 24,1 2,6
11,9 5,7 3,4 5,1
42 35 29 39
3. Klaten a. Baik b. Sedang c. Kurang d. Tadah hujan
36,5
20,4
2,4
13,8
1,8
15,0
10,2
167
37,9 44,4 41,7 29,3
22,4 22,2 29,2 13,8
8,3 3,4
8,6 11,1 4,2 24,1
1,7 3,7 0,0 1,7
25,9 3,7 4,2 13,8
3,4 14,8 12,5 13,8
58 27 24 58
4. Kediri a. Baik b. Sedang c. Kurang d. Tadah hujan
46,6
22,7
1,2
10,4
1,8
3,1
14,1
163
47,8 50,9 40,5 44,4
17,4 24,5 32,4 14,8
0,0 0,0 0,0 7,4
13 15,1 2,7 7,4
0,0 5,7 0,0 0,0
4,3 0,0 2,7 7,4
17,4 3,8 21,6 18,5
46 53 37 27
5. Ngawi a. Baik b. Sedang c. Kurang d. Tadah hujan 6. Agam a. Baik b. Sedang c. Kurang d. Tadah hujan 7. Sidrap a. Baik b. Sedang c. Kurang d. Tadah hujan
53,5 50 49 52,4 62,2 74,3 57,1 79,4 74,5 89,3 46,6 7,1 48,4 48,1 61,3
26,2 25 30,6 26,2 22,2 8,3 22,9 11,8 0,0 0,0 20,4 21,4 29 11,1 19,4
0,0 0,0 -
6,4 5,6 8,2 4,8 6,7 8,3 14,3 2,9 8,5 7,1 15,5 28,6 19,4 11,1 9,7
2,9 5,6 0,0 0,0 6,7 2,8 0,0 2,9 4,3 3,6 7,8 14,3 0,0 18,5 3,2
5,2 0,0 8,2 11,9 0,0 0,7 2,9 2,9 7,1 0,0 7,4 0,0
5,8 13,9 4,1 4,8 2,2 5,6 2,9 2,9
172 36 49 42 45 144 35 34 46 28 103 14 31 27 31
0,0 -
4,7 2,4 3,7 13,3
Total ART bekerja 129 42 27 30 30
12,8 0,0 6,8 21,4 3,2 3,7 6,5
Sumber : Data Primer (Diolah)
Berdasarkan pemaparan diatas, sektor pertanian terbukti masih besar peranannya dalam perekonomian di pedesaan. Relatif tingginya masyarakat yang bekerja sebagai buruh tani, disamping petani, menunjukkan sektor ini masih menjadi andalan sebagai tumpuan ekonomi rumah tangga. 164
Sekalipun pada sisi lain fenomena buruh tani dipandang sebagai akibat semakin terbatasnya lahan pertanian dan kesempatan kerja di luar sektor pertanian sekaligus rendahnya sumberdaya manusia di pedesaan.
Tabel 10. Curahan Tenaga Kerja Dalam Keluarga Per ART yang Bekerja, di 7 Kabupaten 2001 (% Jam Kerja) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 1 2 3 4 5
Uraian Curahan T.K. Pertanian Usahatani Padi Usahatani Palawija Usahatani Hortikultura U.T.Tebu & Tembakau Usahatani Tegal Usahatani Kebun Usaha Kolam Usaha Ternak Buruhtani sawah Buruhtani nonsawah Curahan kerja non pertanian Usaha Industri usaha Perdagangan Usaha Angk. Jasa PNS dll Buruh Non pertanian Total curahan tenaga kerja (JK) Setara HOK
Indramayu Majalengka 72,77 25,28 0,85 13,66 0,68 1,00 1,72 26,95 2,63 27,23 7,44 8,40 4,11 7,29 541,28 77
54,07 19,78 2,64 2,99 0,01 1,21 2,91 6,81 15,98 1,74 45,93 3,22 3,62 10,47 28,63 765,87 109
Klaten
Kediri
63,82 12,65 8,06 0,00 13,94 0,01 0,76 0,08 13,74 13,97 0,61 36,18 2,59 1,96 21,47 10,16 847,66 121
62,82 9,49 7,13 9,27 1,82 0,36 10,39 12,97 11,38 37,18 0,35 4,20 24,46 8,17 762,84 109
Ngawi
Agam
Sidrap
75,39 71,47 19,79 21,48 2,96 1,49 11,57 15,11 2,06 1,62 0,30 0,74 0,14 0,33 6,78 13,03 28,91 18,83 1,27 0,48 24,61 28,53 1,00 3,86 1,57 12,93 14,59 6,97 7,45 4,77 827,24 1300,38 118 186
70,83 30,75 5,41 0,23 6,76 6,91 19,90 0,86 29,17 3,11 3,00 15,19 7,88 884,62 126
Sumber: data primer (diolah)
Struktur Alokasi Curahan Waktu Kerja Pembahasan berikut akan melihat alokasi curahan kerja keluarga (ART yang bekerja) pada berbagai bidang usaha yang dilakukan oleh rumah tangga contoh. Pembahasan akan dilakukan dengan agregasi kabupaten, dan pembahasan akan dibedakan atas: (1) rataan rumah tangga contoh total; dan (2) rumah tangga contoh dibedakan menurut statusnya yaitu rumah tangga contoh buruh tani dan rumah tangga contoh petani; dan (3) rumah tangga contoh dibedakan atas luas sawah garapan. Pada kajian ini, status rumah tangga contoh didasarkan pada pekerjaan utama kepala keluarga (KK) yaitu dibedakan atas petani dan buruh tani. Proporsi alokasi curahan kerja keluarga dapat dijadikan indikasi sumber pencaharian utama pada masyarakat serta peranan berbagai sektor lainnya. Tabel 10 menunjukkan curahan jam kerja (dalam persen jam kerja) tenaga kerja dalam keluarga (rataan per ART yang bekerja) pada berbagai kegiatan ekonomi. Secara umum curahan kerja pada sektor pertanian masih dominan dibandingkan dengan curahan kerja non pertanian, namun kasus Kabupaten Majalengka menunjukkan curahan kerja keluarga pada kegiat-
an nonpertanian relatif besar (sekitar 46%) dibandingkan dengan kabupaten contoh lain. Penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian (rataan semua lokasi contoh) mencapai 67,31 persen, gambaran ini sesuai dengan gambaran makro dimana sektor pertanian masih menyerap 67,7 persen tenaga kerja, namun ada variasi antar kabupaten. Penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian bervariasi antara 54,07 persen pada kasus Kediri sampai dengan 75,39 persen di Kabupaten Ngawi. Untuk curahan kerja nonpertanian yang dominan pada lokasi penelitian adalah tenaga profesional yang terdiri atas pegawai negeri sipil, pegawai swasta dan lain-lain (Kabupaten Klaten, Kediri, Ngawi dan Sidrap), sementara di Kabupaten Indramayu usaha jasa, di Kabupaten Majalengka usaha buruh nonpertanian dan di Kabupaten Agam usaha dagang. Pada sektor pertanian, distribusi alokasi jam kerja keluarga cukup beragam. Usahatani padi masih mendominasi dengan proporsi yang cukup besar yaitu berkisar antara 9,5 persen (kasus Kediri) sampai 30,7 persen (kasus Sidrap) dari jam kerja total. Berburuh tani ternyata menjadi kegiatan yang cukup menyerap jam kerja keluarga, 165
bahkan pada beberapa kasus, melebihi usahatani padi di lahan sendiri. Kisaran alokasi jam kerja keluarga untuk berburuh di lahan sawah, antara 13 persen (kasus Kediri) sampai 28,9 persen (kasus Ngawi) dari jam kerja total. Sementara alokasi jam kerja keluarga untuk berburuh tani di lahan non sawah berkisar antara 0,48 persen (kasus Agam) sampai 11,36 persen (kasus Kediri), relatif kecil dibandingkan dengan berburuh di lahan sawah, kecuali kasus Kediri yang hampir sama. Tingginya curahan jam kerja dalam keluarga untuk berburuh tani dapat dijadikan indikator bahwa sebagian petani menggarap lahan yang sempit, dibanding dengan ketersediaan tenaga kerja dalam keluarga (yang berkisar antara 2 – 4 orang) sehingga masih memungkinkan berburuh tani sebagai kegiatan sampingan. Dilihat dari total curahan jam kerja per tahun (setara HOK) per ART yang bekerja berkisar antara 77 HOK (kasus Kabupaten Indramayu) sampai yang tertinggi 186 HOK (kasus di Kabupaten Agam). Fenomena ini menunjukkan bahwa pada semua kabupaten contoh terjadii pengangguran terselubung, yang relatif besar, terutama terjadi di Kabupaten Indramayu. Kesempatan kerja di sektor pertanian bersifat musiman berarti sektor pertanian memiliki kapasitas tertentu dalam menyerap tenaga kerja, dan gambaran di atas menunjukkan kesempatan kerja di luar sektor pertanian relatif terbatas seperti terlihat dari partisipasi ART yang bekerja di luar sektor pertanian yang relatif kecil (Tabel 9) disamping total curahan jam kerja yang belum optimal. Temuan ini sejalan dengan analisis data makro, yang menunjukkan masih relatif tingginya tenaga kerja yang bekerja dibawah kapasitas (52% pada tahun 2000). Curahan kerja pada usahatani komoditas palawija, hortikultura, dan komoditas lainnya di lahan sawah bervariasi antar lokasi penelitian, tergantung pada keragaman pola tanam yang dilakukan oleh masyarakat. Kasus Indramayu, Ngawi dan Agam, didominasi komoditas hortikultura, sementara pada kasus Klaten, komoditas tebu dan tembakau menyerap jam kerja cukup besar. Pada kasus Kediri dan Majalengka curahan kerja menyebar cukup merata pada komoditas hortikultura dan palawija. Kegiatan usahatani lahan kering relatif kecil. Sebaran jam kerja keluarga sesuai dengan keragaan usahatani dan kegiatan ekonomi pada masing-masing lokasi penelitian. Berdasarkan pekerjaan utama KK yang dibedakan atas petani dan buruh tani, maka pembahasan berikut 166
adalah struktur curahan jam kerja ART yang bekerja pada rumah tangga petani dan rumah tangga buruh tani.Secara umum jumlah rumah tangga petani dan rumah tangga buruh tani pada tujuh kabupaten contoh tertera di Tabel 11. Tabel 11. Jumlah Rumah tangga Contoh Menurut Status Rumah tangga di Tujuh Kabupaten Contoh, 2001
Kabupaten
Rumah tangga Petani
Buruh Tani
Total
1. Indramayu
60
20
80
2. Majalengka
67
13
80
3. Klaten
67
13
80
4. Kediri
60
18
78
5. Ngawi
60
20
80
6. Agam
74
5
79
7. Sidrap
71
9
80
Sumber: Data Primer
Pada Tabel 12 ditampilkan curahan jam kerja (dalam persen jam kerja) tenaga kerja dalam keluarga (rataan per ART yang bekerja) pada rumah tangga petani dan buruh tani pada berbagai kegiatan ekonomi. Secara umum curahan kerja pada sektor pertanian pada rumah tangga buruh tani lebih tinggi dibandingkan dengan curahan kerja sektor pertanian pada rumah tangga petani, dengan proporsi yang cukup besar yaitu berkisar antara 67.85 (kasus Kabupaten Majalengka) sampai dengan 96.12 persen (kasus Kabupaten Agam) dari total jam kerja. Dan sesuai dengan status rumah tangganya, curahan jam kerja terbesar adalah pada kegiatan berburuh tani terutama berburuh tani di lahan sawah. Fenomena ini juga menunjukkan bahwa rumah tangga buruh tani kurang akses terhadap kesempatan kerja di luar sektor pertanian. Diduga hal ini disebabkan karena terbatasnya kesempatan kerja di luar pertanian di lokasi contoh, karena dilihat dari total hari kerja ART yang bekerja pada rumah tangga buruh tani hanya berkisar antara 84 – 170 HOK per tahun (dengan catatan 1 HOK setara dengan 7 Jam Kerja/JK). Curahan jam kerja pada rumah tangga petani pada sektor pertanian berkisar antara 51,53 (kasus Kabupaten Majalengka) sampai dengan 74,28 persen (kasus Kabupaten Ngawi) dari total jam kerja. Pada sektor pertanian, proporsi curahan
Tabel 12. Curahan Kerja Anggota Keluarga Per ART yang Bekerja Menurut Status Rumah Tangga (petani vs buruh tani) di Tujuh Kabupaten (% jam Kerja)
Uraian Curahan kerja pertanian
Indramayu Majalengka Klaten Kediri Ngawi Agam Sidrap Buruh Buru Buruh Buruh Buruh Buruh Buruh Petani Petani Petani Petani Petani Petani Petani h tani tani tani tani tani tani tani 85,07 68,18 67,85 51,53 83,65 61,08 76,07 58,09 78,98 74,28 96,12
70,54
94,77
66,56
3,69
22,15
7,74
34,86
3,77
-
1,55
-
6,37
- 15,15
-
15,68
-
0,27
2,55
-
-
-
-
1,44
-
-
-
7,97
Usahatani Padi
1,42 34,18 1,45 23,15
3,47 13,92
- 12,87
0,58 25,73
Usahatani Palawija
0,54
3,00
1,07
9,03
-
0,31
Usahatani Hortikultura Us.tan tebu & tembakau
0,58 18,53
3,54
-
0,00
- 12,58
-
-
-
-
-
2,47
0,48
Usahatani Tegal
1,79
0,26
-
0,01
-
0,01
-
-
2,22
Usahatani Kebun
0,97 0,67 -
3,64 15,36
9,68
0,26
1,27
-
1,44
-
0,87
-
0,50
0,15
0,35
0,62
0,74
-
Usaha Kolam
-
-
-
3,44
-
0,09
-
-
-
0,18
-
0,34
-
-
Usaha Ternak
1,55
5,82 12,02
5,89
7,05
- 1 3,52
-
8,14
Buruhtani sawah Buruhtani nonsawah Curahan kerja non pert. Usaha Industri
6,64 15,42 13,50
69,78 10,97 46,87 10,29 59,91
16,08
81,33
8,96
0,17
0,31
0,49
5,70
-
14,93 31,82 32,15 48,47 16,35 38,92 23,94 41,91 21,02 25,72
9,15
5,54
usaha Perdagangan Usaha Angk. Jasa
1,79 7,69 0,20 11,17
8,15 2,38
-
0,14
3,37
-
3,11
2,95
1,34
4,82
-
4,21
3,88
29,46
5,23
33,44
-
-
4,00
-
3,66
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
9,47
-
4,28
-
2,23
0,77
5,42
-
2,06
-
13,42
2,99
3,00
- 12,39
-
7,23
-
17,90
3,88
4,81
2,24
8,88
PNS dll
1,79
4,97
2,07
9,23 29,77 28,42 14,76
Setara HOK
4,87 64,53 17,89 91,50
0,67 34,57
5,53
Buruh Non pertanian Total curahan kerja (JK)
7,62 35,68
1,59 24,22 15,61 27,62 9,52
6,21
4,78 17,62
8,87 12,03
6,04
588,09 525,68 723,3 774,26 633,95 889,13 869,26 730,91 781,78 842,39 747,581337,74 1189,38 845,99 84
75
103
111
91
127
124
104
112
120
107
191
170
121
Catatan : 1HOK = 7 JK
kerja pada usahatani sawah lebih dominan dibandingkan dengan kegiatan lain, disusul dengan kegiatan berburuh tani di lahan sawah. Tingginya proporsi curahan kerja pada usahatani sawah menunjukkan bahwa rumah tangga petani dalam kegiatan usahataninya banyak mengguna-kan tenaga kerja dalam keluarga, hal ini merupakan salah satu faktor semakin terbatasnya kesempatan kerja bagi buruh tani. Pada kegiatan usahatani, usahatani padi masih mendominasi dengan proporsi yang cukup besar yaitu berkisar antara 12,87 persen (kasus Kediri) sampai 34,86 persen (kasus Sidrap) dari jam kerja total. Dilihat dari total curahan jam kerja per tahun (setara HOK) per ART yang bekerja pada rumah tangga petani berkisar antara 75 HOK (kasus Kabupaten Indramayu) sampai yang tertinggi 191 HOK (kasus di Kabupaten Agam). Baik pada rumah tangga petani maupun buruh tani pada semua kabupaten contoh, terjadi pengangguran terselubung. Pada rumah tangga buruh tani, mereka hanya bekerja 23 – 47 persen dari hari
kerja yang tersedia, sementara pada rumah tangga petani berkisar antara 21 – 52 persen dari hari kerja yang tersedia yaitu 364 hari kerja per tahun. Pembahasan berikut adalah struktur curahan jam kerja ART yang bekerja dimana rumah tangga contoh dibedakan atas luas sawah garapan. Rumah tangga contoh dibagi dalam 6 kelas luas sawah garapan, yaitu : (1) Rumah tangga yang tidak punya sawah garapan/landless; (2) Rumah tangga dengan luas garapan 0,01 – 0,1 ha; (3) Rumah tangga dengan luas garapan 0,11 – 0,5 ha; (4) Rumah tangga dengan luas garapan 0,51 – 0,75 ha; (5) Rumah tangga dengan luas garapan 0,76 – 1,0 ha; dan (6) Rumah tangga dengan luas garapan lebih dari 1 ha. Sebaran rumah tangga contoh menurut luas sawah garapan ditampilkan pada Tabel 13. Pada Tabel 14 ditampilkan curahan kerja ART yang bekerja menurut sektor dan kelas luas sawah garapan, sementara curahan kerja ART yang bekerja menurut kelas luas sawah garapan 167
Tabel 13. Jumlah Rumah Tangga Contoh Menurut Luas Sawah Garapan di Tujuh Kabupaten Contoh, 2001 Luas Sawah Garapan
Kabupaten 1. Indramayu 2. Majalengka 3. Klaten 4. Kediri 5. Ngawi 6. Agam 7. Sidrap
0
0,01 – 0,10
0,11 -0,50
0,51 – 0,75
0,76-1
>1
16 16 11 22 15 5 7
1 2 2 3 -
26 32 46 25 29 33 16
14 10 12 8 10 9 11
7 5 6 11 11 14 8
16 15 3 12 12 18 38
Sumber : Data Primer
Tabel 14. Curahan Kerja Anggota Keluarga Menurut Sektor dan Luas Garapan Di Tujuh Kabupaten Contoh, 2001 (% Jam Kerja) Kabupaten Indramayu
Majalengka
Klaten
Kediri
Ngawi
Agam
Sidrap
Curahan kerja Pertanian Non Pert. Total JK Setara HOK Pertanian Non Pert. Total JK Setara HOK Pertanian Non Pertanian Total JK Setara HOK Pertanian Non Pert. Total JK Setara HOK Pertanian Non Pert. Total JK Setara HOK Pertanian Non Pert. Total JK Setara HOK Pertanian Non Pert. Total JK Setara HOK
Sumber : Data primer (diolah) Catatan : 1)1HOK setara 7JK
168
0 88,63 11,37 591,31 84 42,25 57,75 1009,63 144 75,24 24,76 516,09 74 79,40 20,59 826,6 118 79,57 20,43 792,67 113 100,00 1112 159 89,36 10,64 1208 173
0 – 0,10 75,88 24,12 331,61 47 66,13 33,87 531,38 76 37,39 62,61 838,46 120 0 73,00 27,00 921,94 132 -
Luas sawah garapan (ha) 0,11 – 0,5 0,51 – 0,75 75,29 24,71 310,97 44 64,70 35,30 464,77 66 62,56 37,44 881,53 126 45,96 54,04 673,92 96 82,01 17,99 670,71 96 61,16 38,84 1096,5 157 61,29 38,71 714,08 102
54,28 45,72 509,12 73 52,33 47,67 700 100 63,32 36,68 980,21 140 23,48 76,52 1166,99 167 83,15 16,85 681,93 97 94,66 5,34 717,68 103 59,12 40,88 876,49 125
0,76-1
>1
70,44 29,56 480,3 69 50,66 49,34 847,26 121 58,23 41,77 749,99 107 73,95 26,05 743,66 106 58,78 41,22 1261,04 180 60,96 39,04 1848,25 264 88,84 11,16 705,48 101
70,64 29,36 933,41 133 56,98 43,02 1176,21 168 80,80 19,20 1215,41 174 100,00 579,34 83 75,89 24,11 948,48 135 83,23 16,77 1591,74 227 69,81 30,19 936,92 134
dan kegiatan ekonomi secara rinci ditampilkan pada Tabel Lampiran 1 – 7. Dari Tabel 14 terlihat bahwa curahan jam kerja menurut luas sawah garapan tidak memberikan gambaran yang spesifik, tidak terlihat hubungan antara luas sawah garapan dengan curahan jam kerja di sektor pertanian. Namun dari data yang lebih rinci (Tabel Lampiran 1–7), terlihat bahwa pada kelas garapan rendah, curahan jam kerja pada sektor pertanian didominasi oleh kegiatan berburuh tani terutama di sawah, sementara pada kelas garapan yang lebih tinggi curahan jam kerja pada sektor pertanian didominasi oleh kegiatan pada usahataninya sendiri. Pada rumah tangga buruh tani atau pada rumah tangga dengan luas garapan sempit dan rumah tangga yang tidak mempunyai garapan nampak bahwa tumpuan kesempatan kerja adalah berburuhtani di lahan sawah. Pada kasus Kabupaten Indramayu, rasio curahan kerja ART (rumah tangga total) pada sektor pertanian dan non pertanian sebesar 73 persen berbanding 27 persen. Buruh tani, usahatani padi dan hortikultura merupakan kegiatan dominan pada sektor pertanian, yang masingmasing memiliki proporsi sebesar 27 persen, 25 dan 13 persen dari total jam kerja. Sementara untuk kegiatan non pertanian, usaha jasa dan angkutan memiliki proporsi cukup besar yaitu 8,4 persen, selain itu adalah usaha industri dan buruh nonpertanian sebesar 7,4 da 7,3 persen. Pada rumah tangga buruh tani, curahan kerja ART pada sektor pertanian lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga petani (yaitu 85 persen berbanding 68 persen), satu lagi perbedaan yang nyata adalah kegiatan pertanian pada rumah tangga buruh tani adalah berburuh tani (mencapai 69,78 persen) sementara pada rumah tangga petani adalah pada kegiatan usahatani sendiri (53,68 persen). Pada rumah tangga yang tidak mempunyai garapan dan rumah tangga dengan luas garapan <0,1 ha curahan kerja pada kegiatan buruh tani cukup besar, masing-masing 75,28 dan 69,96 persen, pada rumah tangga dengan luas garapan 0,11–0,5 ha curahan kerja pada kegiatan 35,72 dan kegiatan pada usahataninya sendiri sekitar 27 persen, sementara pada rumah tangga dengan luas garapan yang lebih tinggi, curahan kerja lebih dominan pada usahatani sendiri. Kasus Kabupaten Majalengka menunjukkan bahwa curahan kerja ART pada sektor pertanian dibandingkan dengan curahan kerja non pertanian yaitu 54 persen berbanding 46 persen. Tingginya curahan kerja pada sektor non pertanian, disebab-
kan karena berkembangnya kesempatan kerja luar pertanian (industri genteng dan bata merah). Proporsi curahan kerja pada kegiatan berburuh non pertanian pada kabupaten contoh ini lebih tinggi dibandingkan dengan curahan jam kerja pada kegiatan berburuh tani. Hal ini disebabkan karena kesempatan kerja berburuh tani relatif terbatas karena sifatnya musiman, sementara kegiatan berburuh non pertanian sifatnya sepanjang tahun tidak mengenal musim. Gambaran yang berbeda apabila rumah tangga dibedakan atas rumah tangga petani dan buruh tani. Pada rumah tangga buruh tani, curahan kerja di sektor pertanian mencapai 67,85 persen dan 46,87 persen diantaranya adalah kegiatan berburuh tani di lahan sawah, namun proporsi curahan kerja buruh non pertanian masih lebih rendah (29,77%). Sementara pada rumah tangga petani, proporsi curahan jam kerja pertanian dan nonpertanian hampir seimbang (51,53% vs 48,47%), pada sektor pertanian didominasi oleh kegiatan pada usahatani lahan sawah dan pada sektor nonpertanian didominasi oleh buruh nonpertanian dan tenaga profesional (PNS dan lain sebagainya). Struktur curahan jam kerja pada rumah tangga yang dibedakan atas luas sawah garapan berbeda antar kelas. Pada rumah tangga yang tidak mempunyai garapan, ternyata curahan kerja pada kegiatan berburuh non pertanian (56,36%) relatif tinggi dibandingkan curahan kerja pada kegiatan berburuh tani yang hanya mencapai 31,1 persen. Pada rumah tangga dengan luas garapan <0,1 ha, curahan jam kerja terutama pada kegiatan usaha ternak (52,69%) dan berburuh nonpertanian (33,87%). Pada rumah tangga dengan luas garapan 0,1 – 0,5 ha, curahan jam kerja berturutturut dari proporsi yang terbesar adalah kegiatan berburuh nonpertanian (30,39%), berburuh tani di lahan sawah (22,4%) dan selanjutnya kegiatan pada usahatani lahan sawah (24,63%). Pada rumah tangga dengan luas garapan lebih besar dari 1 ha, curahan kerja terkonsentrasi pada usahatani lahan sawah (42,77%) disamping juga berburuh non pertanian (22,38%) Secara absolut total curahan jam kerja ART di Kabupaten Klaten setara dengan 121 HOK per tahun. Curahan kerja di sektor pertanian lebih tinggi dari sektor non pertanian. Curahan kerja pada sektor pertanian yang dominan adalah usahatani padi, buruh tani di lahan sawah, usaha ternak dan usahatani tembakau. Sementara kesempatan kerja non pertanian adalah sebagai tenaga profesional dan buruh non pertanian. Pada 169
rumah tangga buruh tani, sektor pertanian merupakan alternatif kesempatan kerja utama, terutama kegiatan berburuh tani, sementara pada rumah tangga petani kesempatan kerja pertanian lebih terkonsentrasi pada usahatani di lahan sawah garapannya. Gambaran curahan kerja rumah tangga menurut kelas sawah garapan (Tabel 12 dan Tabel Lampiran 3) menunjukkan bahwa pada rumah tangga landless dan rumah tangga dengan sawah garapan di atas 0,1 ha, sektor pertanian merupakan kesempatan kerja utama, walaupun berbeda kegiatannya. Pada rumah tangga tanpa garapan (landless) kegiatan utama adalah berburuh tani di lahan sawah, sementara pada rumah tangga dengan sawah garapan kegiatan terutama pada usahatani di lahan sawah garapannya. Pada petani luas (sawah garapan di atas 1 ha) di Klaten, proporsi curahan pada usahataninya sendiri mencapai sekitar 70 persen dan total jam kerja tertinggi dibandingkan dengan kelas-kelas yang lain, walau juga belum optimal (kurang dari 50% hari kerja yang tersedia). Pada rumah tangga dengan sawah garapan sangat sempit (kurang dari 0,1 ha), selain sektor pertanian mereka juga tenaga profesional, bisa jadi pada kasus ini, sektor pertanian hanya merupakan pekerjaan sampingan. Proporsi curahan kerja sektor pertanian di Kediri sebesar 62,82 persen, sementara non pertanian sebesar 37,18 persen. Pada sektor pertanian, kegiatan buruh tani dan pada usahatani lahan sawah mempunyai proporsi curahan jam kerja terbesar. Pada sektor nonpertanian, PNS dan buruh nonpertanian merupakan aktivitas dominan, masing-masing memiliki proporsi sebesar 24,46 dan 8,17 persen dari total jam kerja dalam keluarga. Curahan kerja antara rumah tangga buruh tani dan petani menunjukkan gambaran yang berbeda (Tabel 12). Pada rumah tangga buruh tani, curahan kerja pada sektor pertanian mencapai 76,07 persen dan sekitar 70 persen diantaranya adalah curahan kerja pada kegiatan berburuh tani baik pada lahan sawah maupun nonsawah. Pada rumah tangga petani, curahan kerja pada sektor pertanian sekitar 58 persen dan sebagian merupakan curahan kerja pada kegiatan pada usahatani lahan sawah garapannya dan di sektor nonpertanian, tenaga profesional merupakan alternatif kesempatan kerja yang cukup tinggi di kabupaten ini. Curahan kerja pada kelas rumah tangga menurut luas sawah garapan bervariasi, pada rumah tangga tanpa garapan (landless), dan rumah tangga dengan garapan di atas 0,75 ha 170
penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian relatif tinggi namun dengan kegiatan yang berbeda. Pada rumah tangga tanpa garapan kegiatan utamanya adalah berburuh tani di lahan sawah maupun lahan non sawah, sementara pada rumah tangga dengan garapan di atas 0,75 ha kegiatan utamanya adalah di usahatani lahan sawah garapannya. Pada rumah tangga dengan garapan 0,1–0,5 ha dan 0,5-0,75 ha, curahan kerja di sektor non pertanian lebih besar dibandingkan dengan sektor pertanian, kegiatan non pertanian yang terbesar adalah sebagai tenaga profesional. Pada kasus Kabupaten Ngawi, curahan tenaga kerja dalam keluarga sebagian besar pada sektor pertanian (75,39%), terutama terdiri atas kegiatan pada usahatani sendiri dan berburuh tani. Apabila dibedakan atas rumah tangga buruh tani dan petani, curahan tenaga kerja pada sektor pertanian rumah tangga buruh tani lebih tinggi dibandingkan dengan rumah tangga petani, namun perbedaannya tidak sebesar yang terjadi pada kabupaten contoh lain. Dan sesuai dengan status rumah tangganya, pada rumah tangga buruh tani curahan jam kerja terbesar adalah pada kegiatan berburuh tani terutama berburuh tani di lahan sawah dan pada rumah tangga petani pada kegiatan usahataninya sendiri. Curahan kerja ART pada semua kelas rumah tangga menurut luas sawah garapan sebagian besar masih pada sektor pertanian, dengan total jam kerja yang berkisar antara 96 – 180 setara HOK per tahun, yang menunjukkan kapasitas ART yang bekerja belum optimal. Hal senada dijumpai pada kasus Kabupaten Agam, dimana curahan kerja anggota rumah tangga sebagian besar pada sektor pertanian (71,47%); yaitu pada usahatani padi rata-rata sebesar 21,48 persen. Pada sektor nonpertanian, usaha perdagangan merupakan alternatif kesempatan kerja yang dominan. Jumlah rumah tangga buruh tani di Kabupaten Agam relatif kecil (5 rumah tangga), curahan kerja pada rumah tangga ini sebagian besar pada sektor pertanian (96%) terutama pada kegiatan berburuh tani di lahan sawah. Sementara pada rumah tangga petani curahan kerja pada sektor pertanian mencapai sekitar 70 persen yang terdiri atas kegiatan pada usahatani lahan sawah dan berburuh tani. Pada rumah tangga landless, curahan waktu kerja semua pada kegiatan berburuh tani di lahan sawah, dengan pendapatan per kapita Rp 737 ribu per tahun relatif kecil dibandingkan dengan pendapatan pada kelas gaparan lain.
Sektor pertanian merupakan sumber pencaharian utama di Kabupaten Sidrap, nampak dari curahan kerja rumah tangga yang lebih dari 70 persen pada sektor pertanian, terutama usahatani padi, dan buruh tani, yang mencapai 50,6 persen. Curahan kerja pada sektor nonpertanian yang ada adalah buruh nonpertanian dan pegawai negeri sipil (tenaga profesional). Seperti halnya di Kabupaten Agam, jumlah rumah tangga buruh tani di Kabupaten Sidrap relatif kecil (9 rumah tangga), curahan kerja pada rumah tangga ini sebagian besar pada sektor pertanian (95%) terutama pada kegiatan berburuh tani di lahan sawah. Sementara pada rumah tangga petani curahan kerja pada sektor pertanian mencapai sekitar 66,56 persen yang sebagian besar merupakan kegiatan pada usahatani lahan sawah garapannya sendiri. Peranan penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian masih relatif besar pada semua kelas rumah tangga, terutama pada rumah tangga tanpa luas sawah garapan dan pada rumah tangga dengan garapan 0,75–1 ha, kesempatan kerja nonpertanian yang tersedia adalah buruh nonpertanian, tenaga profesional dan usaha jasa/ angkutan. Sumbangan pendapatan sektor pertanian tidak sebesar proporsi alokasi curahan kerja pada sektor yang sama, kecuali kasus di Kabupaten Indramayu. Hal ini sesuai dengan gambaran secara makro dimana peranan sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja dan PDB tidak seimbang. Fenomena menunjukkan bahwa secara rata-rata produktivitas tenaga kerja sektor pertanian dibawah sektor nonpertanian. Suatu hal yang perlu dicermati lebih lanjut adalah jenis kegiatan/usaha sektor nonpertanian apa yang mampu memberikan produktivitas tenaga kerja yang lebih tinggi. Bisa jadi suatu sektor yang memerlukan modal yang cukup tinggi, sehingga kesempatan kerja ini tidak dapat dimasuki oleh semua tenaga kerja atau yang tersedia adalah kegiatan non pertanian dengan upah relatif rendah. Misalnya, kasus di Kabupaten Majalengka, dimana di daerah ini berkembang kesempatan kerja buruh nonpertanian (pada industri genteng dan bata merah), namun kesempatan kerja ini tidak mampu meningkatkan pendapatan per kapita pada rumah tangga buruh tani (Rp 519,6 ribu/ tahun) yang curahan kerja pada kegiatan ini cukup besar (29,77% dari total jam kerja). Dari uraian pada tujuh lokasi penelitian, sektor pertanian masih menjadi kesempatan kerja utama bagi rumah tangga pedesaan, sekalipun
sebagian diantaranya bekerja di luar sektor non pertanian. Secara rataan, penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sesuai dengan gambaran penyerapan tenaga kerja secara makro. Suatu hal yang menarik perhatian adalah tingginya ketergantungan rumah tangga buruh tani terhadap sektor pertanian terutama pada kegiatan berburuh tani di lahan sawah, dan nampak kurang aksesnya rumah tangga buruh tani terhadap kesempatan kerja non pertanian. Hal ini bila dilihat dari total curahan kerja per tahun yang masih relatif rendah (dibawah 50% dari ketersediaan hari kerja) dan rendahnya pendapatan per kapita rumah tangga buruh tani. Atau memang di lokasi tersebut tidak tersedia kesempatan kerja di luar sektor pertanian. Untuk menjawab pertanyaan ini, diperlukan kajian khusus tentang ketenagakerjaan dan kesempatan kerja. Sementara pada rumah tangga petani, alokasi waktu kerja lebih banyak pada usahatani sawah garapannya sendiri. Dilihat dari total jam kerja, baik pada rumah tangga total, rumah tangga petani dan buruh tani maupun pada rumah tangga menurut luas sawah garapan terlihat bahwa total jam kerja per ART yang bekerja per tahun masih relatif rendah (dibawah 200 HOK per tahun). Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja masih bekerja dibawah kapasitasnya, dengan kata lain terjadi pengangguran terselubung di pedesaan, seperti yang tergambar pada ketenagakerjaan tingkat makro. Hal ini menunjukkan bahwa ada keterbatasan kesempatan kerja di luar pertanian dan tersumbatnya mobilitas tenaga kerja pertanian ke non pertanian. Perkembangan Tingkat Upah Sektor Pertanian, Sistem Hubungan Kerja dan Pasar Tenaga Kerja di Indonesia Perkembangan Tingkat Upah di Sektor Pertanian Tingkat upah adalah nilai tukar dari tenaga kerja yang dijual kepada orang lain. Tingkat upah di sektor pertanian ditentukan oleh pasar tenaga kerja (interaksi antara penawaran dan permintaan tenaga kerja), pasar komoditas (sebagai input produksi, permintaan tenaga kerja dapat dipandang sebagai permintaan dari komoditas dalam proses produksi), faktor kelembagaan tenaga kerja yang ada (sifatnya spesifik lokasi) dan sosial budaya. Menurut Erwidodo (1993) faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat upah pertanian di suatu wilayah, antara lain : ketersediaan tenaga 171
Tabel 15. Perkembangan Rata-Rata Upah Buruh Tani di Lima Provinsi Contoh, 1989-2000 Tingkat upah (Rp/orang/setengah hari)
Kegiatan
Sumbar
Jabar
Jateng
Jatim
Sulsel
Mencangkul
2.821,6
3.768,61
2.305,3
3.542,4
2.628,0
Menanam
2.771,5
2.465,8
1.844,2
2.303,4
2.476,3
Merambet
2.662,3
2.633,4
1.776,2
2.650,2
2.541,1
Sumber: Statistik Upah Buruh Tani Di Pedasaan , BPS (Berbagai Tahun, diolah)
kerja, kesempatan kerja di sektor pertanian, komoditas dominan yang diusahakan, luas areal irigasi, aksesibilitas wilayah dan ketersediaan kesempatan kerja di sektor nonpertanian. Faktorfaktor tersebut mengakibatkan tingkat upah sektor pertanian bervariasi antar jenis kegiatan, jender, sistem pengupahan dan wilayah. Badan Pusat Statistik (BPS) mempublikasikan Statistik Upah Buruh Tani Di Pedesaan yang diagregasi menurut kegiatan (mencangkul, menanam dan merambet) dan provinsi. Data upah buruh tani nominal dari BPS pada periode tahun 1989 – 2000 pada lima provinsi contoh tidak menunjukkan suatu fenomena yang spesifik, artinya tidak dapat dikatakan tingkat upah di suatu daerah lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan dengan daerah lain. Tingkat upah nominal pada periode tersebut meningkat, dengan tingkat pertumbuhan yang berbeda antar provinsi. Tingkat upah nominal buruh tani meningkat, tidak ada spesifikasi antar lokasi, hal ini menunjukkan bahwa tingkat upah sektor pertanian bersifat dinamis. Data perkembangan tingkat upah dan tingkat pertumbuhan pada periode 1989 – 2000 ditampilkan pada Tabel Lampiran 8. Sementara pada Tabel 15 dan Gambar 1 – 3 ditampilkan rataan tingkat upah sektor pertanian menurut kegiatan dan provinsi.
4.000 3.500 3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 500 0 Sumbar
Gambar 1.
172
Jabar
Jateng
Jatim
Sulsel
Rataan Tingkat Upah Mencangkul 1989 – 2000 (Rp/orang/setengah hari)
3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 Sumbar
Jabar
Jateng
Jatim
Sulsel
Gambar 2. Rataan Tingkat Upah Menanam 1989 – 2000 (Rp/orang/setengah hari)
3,000 2,500 2,000 1,500 1,000 500 0 Sumbar
Jabar
Jateng
Jatim
Sulsel
Gambar 3. Rataan Tingkat Upah Merambet 1989–2000 (Rp/orang/setengah hari)
Bagaimana sebenarnya perkembangan upah buruh tani riil pada periode tersebut. Untuk mengetahui upah riil buruh tani di provinsi contoh, upah nominal dideflasi dengan rataan harga beras di pedesaan masing-masing provinsi. Pertumbuhan tingkat upah riil ditampilkan pada Tabel 16 dan Tabel Lampiran 9. Ternyata tingkat upah riil buruh tani di lima provinsi contoh bervariasi, terlihat pada Gambar 4-6. Pada periode 1989 – 2000, di Sumbar dan Sulsel, tingkat upah riil untuk semua kegiatan cenderung menurun. Sementara di Jateng dan Jatim tingkat upah riil masih meningkat, walau relatif kecil, yaitu 1,03 persen (Jateng) dan 1,81 persen
Provinsi
Tingkat pertumbuhan upah (%)
Kegiatan Mencangkul Menanam Merambet Rataan
Nominal 13,92 13,88 13,32 13,71
Riil 1) -0,82 -0,83 -1,47 -1,04
Jabar
Mencangkul Menanam Merambet Rataan
13,94 15,53 16,20 15,23
-0,94 0,40 1,17 0,21
Jateng
Mencangkul Menanam Merambet Rataan Mencangkul Menanam Merambet Rataan
15,48 15,77 14,64 15,30 15,67 15,58 16,24 15,83
2,17 2,58 1,24 2,00 0,70 0,66 1,66 1,01
Mencangkul Menanam Merambet Rataan
12,98 15,78 13,30 14,02
-4,22 -1,99 -3,89 -3,37
Sumbar
Jatim
Sulsel
Upah (Setara Kg Beras)
1) Dideflasi dengan harga beras pedesaan di masing-masing provinsi
4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 19
89
19
91
Sumbar Jatim
19
93
19
95
19
Jabar Sulsel
97
19
99
Jateng
Gambar 6. Perkembangan Upah Merambet Riil
(Jatim) per tahun. Sementara di Jabar, tingkat upah mencangkul riil menurun (-0,09%/tahun), sedang tingkat upah menanam dan merambet meningkat masing-masing 1,25 dan 2,03 persen per tahun. Banyak faktor yang mempengaruhi tingkat upah, dalam kasus ini, pertumbuhan tingkat upah riil yang menurun disebabkan karena pertumbuhan tingkat upah lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan harga beras di tingkat konsumen. Pasar Tenaga Kerja di Pedesaan
6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 19
89
19
91
19
93
19
95
Sumbar
Jabar
Jatim
Sulsel
19
97
19
99
Jateng
Gambar 4. Perkembangan Upah Mencangkul Riil Upah (Setara Kg Beras)
Upah (Setara Kg Beras)
Tabel 16. Tingkat Pertumbuhan Upah Buruh Tani pada Periode 1989-2000, di Lima Provinsi Contoh
5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 19
Pasar tenaga kerja pertanian di pedesaan bersifat spesifik, permintaan tenaga kerja terkait dengan kegiatan dan musim artinya permintaan tenaga kerja bersifat musiman, sementara penawaran tenaga kerja di pedesaan relatif tetap. Dengan pengembangan teknologi di sektor pertanian seperti penjadwalan tanam, introduksi varietas unggul dan masuknya mekanisasi pertanian menyebabkan waktu pengerjaan kegiatan usahatani lebih singkat, pada saat itu permintaan tenaga kerja sangat tinggi, sehingga kadang-kadang memunculkan isu terjadinya kelangkaan tenaga kerja di sektor pertanian. Namun, pada saat tidak ada kegiatan di sektor pertanian, terjadi kelebihan penawaran tenaga kerja di sektor pertanian. Tabel 17.Rataan dan Tingkat Pertumbuhan Harga Beras Pedesaan, di Lima Provinsi Contoh, 1989-2000 Provinsi
89
19
91
Sumbar Jatim
19
93
19
95
Jabar Sulsel
19
97
19
99
Jateng
Gambar 5. Perkembangan Upah Menanam Riil
Sumbar Jabar Jateng Jatim Sulsel
Harga beras di pedesaan Rataan 1.039,25 1.019,66 906,78 976,49 951,44
Pertumbuhan 14,33 16,18 13,95 15,93 16,84
Sumber: Statistik Harga Konsumen Pedesaan di Indonesia, BPS (Berbagai tahun, diolah)
173
Pasar tenaga kerja di pedesaan Jawa menunjukkan bahwa mekanisme pasar tenaga kerja sudah berjalan dengan baik. Secara umum sektor pertanian di pedesaan Jawa menunjukkan adanya ketersediaan tenaga kerja yang berlebih (over supply), namun ada indikasi makin terjadi kekurangan tenaga kerja. Kelebihan tenaga kerja sektor pertanian di pedesaan sebagian terserap oleh sektor nonpertanian, seperti industri, perdagangan dan jasa. Di Kabupaten Majalengka, pada daerah-daerah lahan sawah irigasi yang berdekatan dengan pusat industri seperti kecamatan Jatiwangi yang merupakan sentra industri genteng menunjukkan adanya kelangkaan tenaga kerja pria untuk mencangkul, sedangkan pada lahan sawah tadah hujan terjadi kekurangan tenaga kerja untuk kegiatan menanam dan panen. Sementara itu, di Kabupaten Klaten dan Kediri pada daerah lahan sawah irigasi teknis menunjukkan adanya kelangkaan tenaga kerja karena banyak tenaga kerja yang terserap pada industri setempat seperti industri furniture di Klaten dan industri gula merah tebu dan rokok di Kediri, sedangkan pada tipe irigasi lainnya menunjukkan masih adanya kecukupan tenaga kerja. Bahkan untuk daerah lahan sawah tadah hujan menunjukkan adanya tenaga kerja yang berlebih. Kelangkaan tenaga kerja pada lahan sawah irigasi teknis di Jawa sangat terkait dengan intensitas tanam yang tinggi dan tingginya mobilitas penduduk antar wilayah dan antar sektor, sedangkan adanya gejala kelangkaan tenaga kerja pada lahan sawah tadah hujan (kasus Majalengka) terkait dengan ketergantungan saat tanam dengan turunnya hujan serta rata-rata pemilikan lahan yang relatif lebih luas. Pasar tenaga kerja di pedesaan luar Jawa menunjukkan bahwa mekanisme pasar tenaga kerja sudah berjalan dengan baik, meskipun belum terintegrasi sebaik di Jawa. Pasar tenaga kerja di Kabupaten Agam dan Kabupaten Sidrap, menunjukkan adanya kelangkaan tenaga kerja pada semua tipe agroekosistem. Makin berperannya mekanisme pasar tenaga kerja di pedesaan luar Jawa ditunjukkan oleh hampir semua aktivitas berburuh pertanian dilakukan dengan sistem upah, di Kabupaten Agam sistem upah harian lebih dominan. Di Kabupaten Sidrap sistem upah borongan lebih dominan, meskipun pada lokasi yang sumber air dan aksesibilitasnya kurang baik masih ditemukan sistem sambatsinambat khususnya untuk kegiatan tanam.
174
Sistem Kelembagaan Hubungan Kerja Pertanian Hasil penelitian di tujuh kabupaten contoh menunjukkan bahwa sebagian besar buruh tani berburuh pada usahatani sawah (temuan ini sesuai dengan curahan kerja pada pembahasan sebelumnya) dengan sistem hubungan kerja sebagai buruh lepas. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Patanas yang menemukan fakta semakin berkurangnya buruh tetap dan buruh langganan (Bagyo, 1997, Saptana, 1999, Saleh, 1997 dan Rachmat, 2000). Meskipun hasil pekerjaan buruh tetap/langganan lebih baik, namun nampaknya semakin sulit untuk memperolehnya. Fenomena ini mengindikasikan bekerjanya sistem pasar tenaga kerja yang semakin terbuka dan adaptasi kelembagaan hubungan kerja menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja pedesaan bekerja cukup baik, berkembang menuju ke arah yang semakin efisien dan berdasarkan rasional ekonomi. Proses adaptasi sangat dipengaruhi oleh perubahan teknologi. Indikasi tersebut terjadi di daerah persawahan, searah dengan semakin ketatnya pengaturan waktu tanam dan penerapan mekanisasi pertanian dalam pengolahan lahan dan panen. Namun demikian, di kabupaten contoh, masih ditemui kasus-kasus hubungan kerja tetap dan atau langganan seperti di Kabupaten Indramayu, Majalengka, Ngawi dan Sidrap. Di kabupaten Indramayu, buruh tetap dijumpai pada usahatani padi (di desa irigasi teknis dan irigasi sederhana) dan pada usahatani bawang merah. Tenaga kerja tetap pada usahatani padi terutama dijumpai pada petani luas (yang dari sisi waktu tidak mampu mengawasi semua lahan miliknya), dengan upah 7 kw GKG per musim per ha di desa irigasi teknis yang dikenal sebagai sistem hubungan kerja “open-openan”, selain upah tetap, buruh tetap juga memperoleh hak untuk memperoleh bagi hasil pada musim kemarau. Kewajiban tenaga kerja tetap adalah melakukan kegiatan pemeliharaan dan mencari tenaga pengolahan lahan, tanam dan panen, serta mempersiapkan sarana produksi (pupuk dan pestisida) sesuai dengan kebutuhan, tenaga tetap pada usahatani padi berfungsi sebagai pengelola (manager) usahatani sekaligus pekerja. Sistem ini berkembang dan merupakan suatu kasus yang didorong oleh adanya polarisasi pemilikan lahan. Kesempatan kerja dikuasai oleh pemilik lahan luas dan tenaga kerja dalam posisi yang lemah. Sementara itu, sistem hubungan kerja tetap pada usahatani bawang merah didorong karena budidaya bawang
merah sangat intensif. Tenaga kerja tetap pada usahatani bawang merah mempunyai tugas untuk melakukan kegiatan pemeliharaan yang meliputi kegiatan menyiram, menyemprot dan menyiang. Di Kabupaten Sidrap, pemusatan penguasaan lahan yang diindikasikan adanya petani yang menguasai lahan luas (30-33 ha), mendorong sistem hubungan kerja tetap, seperti halnya di Indramayu meskipun kasus ini hanya ditemukan pada desa irigasi baik, dengan upah satu ton GKP per ha/musim. Sehingga unit-unit usahatani tetap dikerjakan seperti halnya usaha keluarga. Di samping itu, pemusatan penguasaan lahan di Sidrap mendorong usahatani dengan orientasi ke arah teknologi hemat tenaga kerja yaitu dengan penggunaan mekanisasi pertanian (traktor, power threser, dan water pump) dan penggunaan herbisida sebagai pemberantasan gulma. Buruh langganan terutama dijumpai pada usahatani padi, dan dikenal sebagai sistem ceblokan dan dijumpai di Kabupaaten Indramayu dan Majalengka. Menurut Erwidodo (1993), sistem ceblokan mengandung makna adanya hubungan resiprokal antara petani dan buruh tani disamping hak serta kewajibannya dan hal ini menunjukkan adanya interlink antara pasar lahan dan pasar tenaga kerja. Aturan main yang terkandung dalam sistem ceblokan adalah bahwa penceblok berkewajiban melakukan kegiatan menanam dan menyiang tanpa diupah dan memperoleh hak penuh untuk memanen. Bentuk kelembagaan ceblokan akan mempengaruhi kesempatan kerja, menurut Gunawan (1989) dan Rachman (1989) hadirnya sistem ceblokan mengakibatkan tidak terjadinya free entry di pasar tenaga kerja di pedesaan Jawa Barat. Disamping mengakibatkan adanya pasar tenaga kerja yang tidak sempurna (ada segmentasi pasar), sistem ceblokan juga menimbulkan dampak negatif, antara lain : (1) Dengan hak monopoli memanen, waktu panen lebih ditentukan oleh penceblok, apabila ada kesempatan memanen di luar ceblokan maka penceblok akan ikut memanen di tempat lain, sehingga pemilik lahan merasakan dirugikan; (2) Penceblok merontokan hasil 1-3 hari setelah penyabitan, hal ini tentu akan mengurangi kualitas gabah yang diperoleh pemilik lahan. Dengan adanya dampak negatif pada sistem ceblokan, maka ada kecenderungan berkurangnya sistem ceblokan, kalaupun ada hanya terbatas pada famili dan kerabat. Fenomena ini juga menunjukkan adanya interlink antara pasar lahan dan pasar tenaga kerja semakin berkurang.
Keengganan penerapan sistem ceblokan berasal dari pemilik lahan. Namun, hasil temuan pada penelitian ini, menunjukkan adanya pergeseran aturan main pada sistem penceblok, yang lebih menguntungkan penceblok. Hasil temuan di Majalengka dan Indramayu menunjukkan bahwa kewajiban penceblok pada saat ini hanya melakukan kegiatan menanam saja, bahkan penceblok memperoleh insentif tambahan dengan istilah uang sabun. Di Indramayu, penceblok yang melakukan kegiatan tanam memperoleh “uang sabun” yang besarnya sekitar 30 – 50 persen dari tingkat upah borongan tanam atau Rp 8000 per hari per orang. Kasus di Majalengka, petani memberikan beras dan uang meskipun jumlahnya tidak seberapa, yaitu sekitar 1 “kati” (3/4kg) beras ditambah dengan sekitar uang Rp 2000 per orang. Fenomena ini menunjukkan bahwa ada kelangkaan tenaga kerja tanam, disebabkan karena ada jadwal tanam serentak, sehingga posisi tawar menawar buruh tanam pada waktu tertentu (pada waktu puncak musim tanam) semakin meningkat. Sistem Pengupahan di Sektor Pertanian Sistem pengupahan pada hubungan kerja pertanian dapat berupa upah harian, upah borongan, upah tetap, dan upah bawon. Menurut Wiradi (1984), pembayaran upah borongan didasarkan pada satuan hasil kerja, dengan demikian upah bawon merupakan juga upah borongan yang dibayar dalam bentuk natura. Pembayaran upah harian didasarkan pada jumlah hari kerja, sementara pembayaran upah tetap didasarkan pada satuan waktu tertentu (per minggu, per bulan, per musim atau per tahun). Hasil penelitian tahun 2000-2001, menunjukkan bahwa tingkat partisipasi buruh tani dengan sistem upah harian di lokasi penelitian masih lebih besar dibandingkan dengan sistem upah borongan (tidak termasuk upah bawon), kecuali di Kabupaten Sidrap, di mana sistem pengupahan yang berlaku sebagian besar adalah borongan (Tabel 15). Tingginya tingkat partisipasi sistem upah harian di Klaten, Kediri dan Agam antara lain disebabkan karena tenaga kerja panen (untuk menyabit) diupah dengan sistem harian. Hasil penelitian “Rice” pada tahun sebelumnya menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi sistem upah harian ke sistem upah borongan. Indikasi yang sama juga ditemukan Kabupaten Indramayu, Klaten, Kediri.
175
Sistem upah borongan merupakan institusi baru yang berkembang cukup pesat, dan secara bertahap berhasil menggeser sistem upah harian. Pengguna tenaga kerja lebih menyukai sistem borongan karena: (a) perhitungan biaya yang akan dikeluarkan menjadi lebih pasti, bukan ditentukan oleh lamanya kerja seperti yang berlaku pada sistem upah harian, (b) para pekerja tidak perlu diawasi dan tidak perlu memikirkan menyediakan makan bagi yang bekerja, dan (c) lebih memudahkan dalam manajemen pencarian tenaga pekerja, dan tidak perlu lagi dilakukan secara perorangan. Sistem borongan ini juga menguntungkan pekerja karena: (a) mencari kesempatan kerja lebih mudah, karena dilakukan secara bersamasama, (b) kemampuan kerja dapat dipakai sebagai reputasi kelompok dalam menda-patkan peluang kerja, dan (c) besar kecil imbalan kerja tergantung prestasi kerja atau kecepatan dalam menyelesaikan pekerjaan bukan ditentukan oleh lamanya bekerja. Dengan demikian, berkembangnya sistem kerja borongan merupakan hasil dari mekanisme pasar tenaga kerja yang semakin efisien, karena sistem ini mampu menurunkan biaya transaksi dan pengawasan, serta sekaligus memberi peluang untuk meningkatkan prestasi kerja. Pada usahatani padi sistem pengupahan borongan berlaku untuk kegiatan pengolahan tanah dengan traktor, cabut bibit dan tanam, pemupukan dengan urea tablet. Sistem pengupahan harian tenaga kerja pria berlaku untuk kegiatan pengolahan lahan (mencangkul), pengolahan lahan dengan ternak, pemupukan, cabut bibit. Berbeda pada pekerjaan lainnya sistem upah borongan jarang dijumpai pada kegiatan panen padi, meskipun pada kondisi saat ini ditemukan adanya sistem panen khususnya untuk sabit padi secara borongan untuk kasus di Klaten. Sementara pada usahatani hortikultura (kasus bawang merah dan cabe di Indramayu) sistem upah borongan berlaku untuk kegiatan pengolahan tanah dengan tenaga kerja manusia. Dan sistem upah harian berlaku untuk pemasangan ajir, penyiraman, tanam, panen, pemeliharaan, dan pemupukan. Salah satu keunikan kondisi tenaga kerja di kabupaten Agam adalah bahwa sebagian besar penggunaan tenaga kerja pada kegiatan pertanian dibayar dengan cara upah harian (daily wages), baik pada kegiatan mencangkul, tanam sampai dengan kegiatan panen. Namun pada sebagian masyarakat tani yang kurang memiliki modal, untuk memperoleh tenaga kerja dari luar keluarga dapat dilakukan dengan cara arisan tenaga kerja 176
(labour exchange) yang oleh masyarakat setempat disebut “julo-julo”. Namun karena diduga tenaga kerja relatif jarang (scare), maka setiap kegiatan selalu diperhitungkan secara ekonomi, sehingga apabila seorang petani yang mempunyai hutang julo-julo dan dia tidak ada kesempatan untuk share tenaga kerja, maka dia harus membeli tenaga orang lain untuk di jadikan julo-julo. Bahkan apabila seseorang memiliki piutang julo-julo dan kebetulan dia tidak ada lagi yang harus dikerjakan, maka dia dapat menjual julo-julo tersebut sehingga dia memperoleh uang tunai. Di Kabupaten Sidrap, sistem pengupahan yang berlaku adalah sistem upah borongan yang dijumpai pada kegiatan pengolahan tanah dengan traktor, tanam, dan kegiatan panen (borongan natura) yang dijumpai di semua lokasi contoh. Sementara itu, hubungan kerja langganan secara gotong royong masih dijumpai pada lahan sawah irigasi setengah teknis, sederhana, dan lahan sawah tadah hujan, namun sudah mengarah ke sistem upah secara borongan. Di samping itu ditemukan adanya sistem hubungan kerja secara tetap dengan sistem upah borongan natura di lokasi lahan sawah irigasi teknis pada pemilikpemilik lahan luas. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 1. Secara makro, penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di pedesaan masih cukup tinggi, sementara sumbangan sektor pertanian terhadap PDB semakin menurun, sehingga mengakibatkan semakin menurunnya produktivitas tenaga kerja sektor pertanian. Data yang sama menunjukkan peningkatan pengangguran terbuka dan pengangguran tidak kentara di pedesaan yang masih relatif besar, walau ada kecenderungan menurun pada tahun 2000. Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan adalah melalui pengembangan usahatani komoditas komersial yang bersifat padat tenaga kerja, usaha-usaha konsolidasi lahan dan managemen usahatani, serta pengembangan dan pendalaman agroindustri berbasis bahan baku setempat 2. Hasil kajian di tingkat mikro menunjukkan bahwa secara umum curahan kerja pada sektor pertanian masih dominan dibandingkan dengan curahan kerja non pertanian, penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian
(rataan semua lokasi contoh) mencapai 67,31 persen, gambaran ini sesuai dengan gambaran makro dimana sektor pertanian masih menyerap 67,7 persen tenaga kerja, namun ada variasi antar kabupaten. Secara umum curahan kerja pada sektor pertanian pada rumah tangga buruh tani lebih tinggi dibandingkan dengan curahan kerja sektor pertanian pada rumah tangga petani, dengan proporsi yang cukup besar yaitu berkisar antara 67,85 – 96,12 persen dari total jam kerja dan terfokus pada kegiatan berburuh tani di lahan sawah. Pada rumah tangga petani, curahan kerja terfokus pada kegiatan usahataninya sendiri. Implikasinya, dengan keterbatasan kesempatan kerja di luar sektor pertanian, akan mengakibatkan semakin berkurangnya kesempatan kerja buruh tani, karena kegiatan usahatani akan dikerjakan sendiri oleh tenaga kerja dalam keluarga. 3. Total curahan jam kerja per tahun (setara HOK) per ART yang bekerja berkisar antara 75 - 191 HOK artinya terjadi pengangguran terselubung di daerah pedesaan sesuai dengan gambaran makro, tidak ada perbedaan total curahan jam kerja yang nyata antara rumah tangga buruh tani dan petani. Oleh karena kesempatan kerja di sektor pertanian bersifat musiman (sektor pertanian memiliki kapasitas tertentu dalam menyerap tenaga kerja), gambaran di lokasi kajian mengindikasikan kesempatan kerja di luar sektor pertanian yang relatif terbatas. 4. Pada periode 1989 – 2000, di Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan, tingkat upah riil untuk semua kegiatan cenderung menurun. Sementara di Jateng dan Jatim tingkat upah riil masih meningkat, walau relatif kecil, yaitu 1,03 persen (Jateng) dan 1,81 persen (Jatim) per tahun. Sementara di Jabar, tingkat upah mencangkul riil menurun (-0,09%/tahun), sedang tingkat upah menanam dan merambet meningkat masing-masing 1,25 dan 2,03 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tingkat upah lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan harga beras di tingkat konsumen. Implikasinya kesejahteraan rumah tangga buruh tani akan menurun, sehingga diperlukan pengembangan usahatani padi dan komoditas komersial di lahan sawah yang efisien, yang mampu memberikan tingkat upah riil yang meningkat agar tingkat kesejahteraan buruh tani tidak tertinggal. Temuan ini dapat
sebagai masukan bahwa dalam penentuan sasaran yang layak memperoleh bantuan Program Raskin perlu memasukkan indikator buruh tani. 5. Hasil penelitian di tujuh kabupaten contoh menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran: (1) sistem kelembagaan hubungan kerja tradisional ke arah sistem pola hubungan buruh lepas; (2) sistem upah harian ke sistem upah borongan dan (3) makin terintegrasinya tingkat upah antar lokasi dan antar kegiatan. Artinya sistem pasar tenaga kerja pertanian telah bekerja dengan baik dan makin terintegrasi. Adanya perubahan kelembagaan hubungan kerja menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja pedesaan bekerja cukup baik, berkembang menuju ke arah yang semakin efisien dan berdasarkan rasional ekonomi dan akan mengakibatkan persaingan pasar tenaga kerja pertanian dan nonpertanian di pedesaan. Implikasinya pengembangan usahatani padi dan komoditas komersial di lahan sawah terus ditingkatkan baik memalui perluasan areal maupun peningkatan intensitas tanam sehingga mampu menyerap kelebihan tenaga kerja pertanian. Disisi lain harus tetap membuka kesempatan kerja di luar pertanian sehingga arus migrasi tidak tersumbat. DAFTAR PUSTAKA Bagyo. A.S dan Sumaryanto. 1997. Studi Dinamika Kesempatan Kerja dan Pendapatan Provinsi Jawa Tengah. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. BPS,
1990. Penduduk Indonesia. Hasil Sensus Penduduk Tahun 1990. Badan Pusat Statistik. Jakarta
BPS,
1990. Penduduk Indonesia. Hasil Sensus Penduduk Tahun 1990. Badan Pusat Statistik. Jakarta
BPS, 1995. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Tahun 1995. Badan Pusat Statistik. Jakarta BPS, 2001. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia Tahun 1995. Badan Pusat Statistik. Jakarta Erwidodo;M. Syukur; B. Rachman; G.S.Hardono. 1993. Evaluasi Perkembangan Tingkat Upah Di Sektor Pertanian. Monograph Series N0. 15. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. 1993. Gunawan,M., A. Pakpahan dan E. Pasandaran. 1989. Perubahan Kelembagaan Pertanian pada
177
Pasca Adopsi Padi Unggul. Prosiding Evolusi Kelembagaan Pedesaan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Mubyarto, 1985. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta Rachman, B. 1989. Sistem Hubungan Kerja dan Distribusi Pendapatan di Pedesaan Jawa Barat. Prosiding Evolusi Kelembagaan Pedesaan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Rachmat. M; Supriyati, Hendiarto. 2000. Dinamika Kelembagaan Lahan dan Hubungan Kerja Pertanian dalam Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. 2000. Bogor. p:226-238. Saleh, C. 1997. Studi Dinamika Kesempatan Kerja dan Pendapatan Provinsi Sulawesi Selatan. Laporan Hasil Penelitian. Pusat penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
178
Saptana, Maesti M. dan M. Syukur. 2000. Pola Hubungan Kerja Sektor Pertanian di Pedesaan Jawa Timur. Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. 2000. Bogor. p:278-290. Supriyati dan N. Syafa’at. 2000. Analisis perubahan Struktur Kesempatan Kerja Di Indonesia, 19951998: Implikasinya pada Peran Sektor Pertanian dalam Penyerapan Tenaga Kerja. Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Pedesaan Dalam Era Otonomi Daerah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. 2000. p: 128-1. Tirto Sudarmo R. 1993. Migrasi dan Perubahan Sosial di Masa Orde Baru. AnalisisCSIS. Jakarta. Wiradi, J. Dan Makali. 1984. Penguasaan Tanah dan Kelembagaan dalam Perspektif Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. p: 43 – 130.