i
DAMPAK PENGEMBANGAN PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUBAK EMBUKAN (Studi Kasus: Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem)
CHRISTIN DEBORA NGGAUK I34070015
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
iii
ABSTRACT
CHRISTIN DEBORA NGGAUK. The Impact of Tourism Development on the Sustainability of Subak Embukan (Case Studies: Ababi Village, Abang Subdistrict, Karangasem Regency).
The objective of this study is to see observe and analyze the impact of tourism development on the sustainability of Subak Embukan as well as its agriculture production. Subak is a Balinese indigenous irrigation management institution. The study was conducted at the Subak Embukan located at Ababi Village, Abang sub-Regency, Karangasem Regency. The qualitative data were explored through in-depth interviews and field observations. Meanwhile a survey method to 30 farmers of the Subak Embukan‟s member was applied for gathering quantitative figures. The impacts were measure through with and without (tourism) approach. The result shows that tourism that grew on Ababi Village of Bali has brought adverse impacts to Subak Embukan in terms of its paddy fields areas. In the last four years, through the permission of customary community elders, 12 out of 87 hectares of Subak Embukan land are converted for tourism facilities and infrastructure. So far, at a certain point, the decline of Subak’s paddy lands seems did not significantly influence the amount of member, institutional configuration and irrigation management capacity of the Subak. However, if the land conversion continues to grow, the sustainability of the Subak Embukan will be threatened in the future. Keyword: Subak Embukan, land conversion, irrigation
iv
RINGKASAN
CHRISTIN DEBORA NGGAUK. Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Keberlanjutan Subak Embukan: Studi Kasus Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. (Di bawah bimbingan SOERYO ADIWIBOWO)
Pariwisata sebagai komoditi ekspor, pada kenyataannya menjadi penggerak kehidupan perekonomian negara. Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia tentunya menaruh harapan besar terhadap komoditi ekspor tersebut. Hal ini cukup beralasan karena Indonesia memiliki potensi pariwisata yang besar, baik dari wisata alamnya maupun wisata budayanya. Salah satu pulau di Indonesia yang berpotensi di sektor pariwisata ialah pulau Bali. Bali merupakan daerah kunjungan wisata yang paling sering dikunjungi oleh wisatawan baik wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara. Perkembangan pariwisata yang cukup pesat di Bali tidak hanya terjadi di daerah perkotaan tetapi juga meluas hingga ke pedesaan. Pada dasarnya perkembangan pariwisata banyak mendatangkan keuntungan bagi masyarakat sekitar maupun masyarakat luas. Namun dalam pengembangannya, sektor pariwisata ternyata memberikan dampak yang dapat mengancam sektor pertanian. Sektor pertanian masyarakat Bali sangat terkait erat dengan keberadaan subak sebagai lembaga irigasi tradisional yang bertanggung jawab dalam hal pengelolaan air irigasi pertanian. Terkait dengan adanya kegiatan pariwisata, dalam proses pengembangannya secara tidak langsung menuntut adanya bangunan sarana dan prasarana yang mampu mendukung setiap kegiatan pariwisata.
Proses
pembangunan
telah
memberikan
dampak
terhadap
berkurangnya lahan pertanian subak. Berdasarkan data DPTPH, diketahui bahwa rata-rata konversi lahan pertanian yang terjadi di Bali sebesar 913,20 hektar setiap tahunnya dan tidak hanya di perkotaan tetapi juga terjadi di pedesaan. Desa Ababi yang terletak di Kecamatan Abang merupakan satu-satunya desa yang memiliki objek wisata budaya yang terkenal yaitu Tirta Gangga. Kawasan objek wisata ini berdampingan langsung Subak Embukan. Oleh karena
v
itu, dalam penelitian ini menjadi menarik untuk dikaji tentang sejauh manakah dampak pengembangan pariwisata di Bali terhadap keberlanjutan Subak Embukan yang terdapat di Desa Ababi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yang didukung dengan data kuantitatif. Pendekatan kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam dengan informan terkait dan observasi lapang. Data kuantitatif diperoleh melalui metode survei menggunakan kuesioner yang dilakukan terhadap responden anggota petani Subak Embukan yang berjumlah sebesar 30 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan pariwisata yang berlangsung di Desa Ababi khususnya di kawasan wisata Tirta Gangga secara nonmaterial tidak berdampak terhadap keberlanjutan subak ditinjau dari aspek kelembagaanya, keanggotaan, dan pengelolaan irigasi Subak Embukan. Namun dari segi materialnya, pariwisata berdampak terhadap berkurangnya lahan Subak Embukan akibat adanya konversi lahan untuk keperluan kegiatan pariwisata. Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh di lapangan, luas lahan Subak Embukan selama empat tahun terakhir yakni pada tahun 2006 hingga 2010 telah terkonversi sebesar 12 hektar dari 87 hektar. Hal ini berarti rata-rata konversi yang terjadi adalah sebesar tiga hektar atau 300 are setiap tahunnya. Jika konversi terus berlanjut maka dalam rentang waktu 22 hingga 24 tahun ke depan lahan subak akan habis dan berganti dengan kawasan wisata. Konversi lahan yang terjadi tidaklah dilakukan oleh para petani subak melainkan oleh pihak pura karena lahan tersebut adalah lahan milik pura dan petani hanya bekerja sebagai penggarap. Melihat kondisi yang demikian maka Dinas Pertanian setempat telah menetapkan kawasan “Jalur Hijau” yakni aturan yang menetapkan bahwa tidak diperbolehkan lagi adanya pembangunan di kawasan Tirta Gangga karena kawasan tersebut merupakan daerah pertanian yang subur yang dikelola oleh subak.
ii
DAMPAK PENGEMBANGAN PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUBAK EMBUKAN (Studi Kasus: Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem)
Oleh Christin Debora Nggauk I34070015
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
vi
DAMPAK PENGEMBANGAN PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUBAK EMBUKAN (Studi Kasus: Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem)
Oleh Christin Debora Nggauk I34070015
SKRIPSI Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
vii
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Christin Debora Nggauk NRP
: I34070015
Program Studi
: Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul
: Dampak
Pengembangan
Pariwisata
Terhadap
Keberlanjutan Subak Embukan (Studi Kasus Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem) Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Menyetujui, Dosaen Pembimbing
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003 Tanggal Pengesahan: ___________________
viii
LEMBAR PERNYATAN
DENGAN
INI
SAYA
MENYATAKAN
BAHWA
SKRIPSI
YANG
BERJUDUL “DAMPAK PENGEMBANGAN PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUBAK EMBUKAN: STUDI KASUS DESA ABABI, KECAMATAN
ABANG,
KABUPATEN
KARANGASEM”
BELUM
PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK
TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA
SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.
Bogor, Juli 2011
Christin Debora Nggauk NRP. I34070015
ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 17 Maret 1989. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara dari Bapak Elias Nggauk dan Ibu Sri Warisanti Ruhupatty. Penulis menamatkan pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Bhayangkara Waikabubak (1994-1995), Sekolah Dasar di SD Masehi Waikabubak I (1995-2001), Sekolah Menengah Pertama di SMP Kristen Waikabubak I (2001-2004), dan Sekolah Menengah Atas di SMA Kristen Waikabubak I (2004-2007). Kemudian pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama di IPB, penulis tergabung dalam Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) bagian Komisi Kesenian Divisi Dana dan Usaha. Penulis juga aktif mengikuti berbagai kegiatan kepanitian dalam beberapa event di IPB yang diselenggarakan oleh PMK, antara lain Workshop Musik (Divisi Acara), Malam Pujian dan Penyembahan (Divisi Acara), dan Natal Civitas Akademika IPB (Divisi Dekorasi). Selain itu, penulis juga mengikuti Program GO FIELD yang diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) IPB di desa binaan PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA Tbk, Citereup periode 14 Juli-14 Agustus 2009.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan penyertaan-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi yang berjudul ”Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Keberlanjutan Subak Embukan (Studi Kasus Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem)” merupakan hasil penelitian yang dilakukan untuk mengetahui dampak yang terjadi pada Subak Embukan akibat adanya kegiatan pariwisata. Kegiatan pariwisata di Bali telah menjadi ujung tombak perekonomian Bali di samping kegiatan pertaniannya. Pariwisata tidak hanya terbatas pada wilayah perkotaan Bali, tetapi juga merambah hingga ke pedesaan. Desa Ababi adalah salah satu desa yang turut merasakan adanya pengembangan pariwisata. Terdapatnya objek wisata yang dikelilingi oleh lahan persawahan subak, semakin membuka peluang bagi pariwisata untuk terus mengembangkannya. Oleh karena itu, menjadi menarik untuk dikaji tentang berbagai dampak pengembangan pariwisata di Desa Ababi khususnya bagi Subak Embukan yang bersentuhan langsung dengan daerah objek wisata tersebut. Penelitian ini dilakukan tidak hanya untuk memperoleh gelar sarjana, tetapi juga untuk menambah pengetahuan terkait dengan perubahan-perubahan pada kegiatan pertanian secara khusus pada lembaga irigasi tradisonal subak sebagai dampak dari berkembangnya kegiatan pariwisata. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan dapat menjadi acuan untuk penelitian selanjutnya.
Bogor, Juli 2011
Christin Debora Nggauk
xi
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur penulis panjatkan atas berkat dan penyertaan Tuhan sehingga penulis boleh diberi kelancaran dalam meyelesaikan skripsi ini. Penyelesaian skripsi ini juga tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini, antara lain: 1.
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. sebagai dosen pembimbing skripsi atas kesabarannya dalam membimbing, memberikan kritik dan saran yang membangun serta selalu memberikan motivasi yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2.
Kedua orang tua tersayang Bapak Elias Nggauk dan Mama Sri Ruhupatty yang selalu menjadi motivasi bagi penulis dalam penulisan skripsi ini. Terimakasih atas kasih sayang dan dukungan doa yang tiada henti kepada penulis hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3.
Kakak tersayang yaitu Metty L. Bunga terimaksih atas dukungan, motivasi, doa, dan nasihat-nasihat yang selalu diberikan kepada penulis.
4.
Keluarga besar Bapak Mangku I Nyoman Sudiara dan Ibu Ifonny Ruhupatty yang telah bersedia menjaga dan merawat penulis selama penulis berada di Karangasem. Terimakasih atas segala bantuannya baik material maupun nonmaterial yang diberikan kepada penulis selama penulis mencari data di lapangan.
5.
Adik tersayang I Nengah Sutariada Agustina, I Gede Suryanata, I Komang Hedriani Satvika, I Kadek Chandra Sufonmita, dan kakak Dedi yang telah bersedia membantu penulis dalam mencari data di lapangan.
6.
Kakak Emi Rensiana, Elfi, dan Nathan yang telah merawat dan membantu penulis baik bantuan material maupun nonmaterial selama berada di Denpasar dalam rangka mengurus perijinan penelitian.
xii
7.
Bapak Nyoman Sudha, Bapak Made Suhade, dan pihak petani anggota Subak Embukan yang telah banyak memberikan informasi terkait dengan penelitian penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
8.
Aparat Desa Ababi dan Kesbang Linmas Propinsi maupun Kabupaten yang telah memberikan ijin bagi penulis untuk melakukan penelitian dan mengambil data di lapangan.
9.
Seluruh pihak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karangasem yang telah membantu penulis dalam memperoleh data dan informasi terkait penelitian penulis.
10.
Teman-teman seperjuangan, Asih, Ayu, Anggi, Faris, Novita, Anas, Didi, Zuhe, Ali, Vika, serta KPM 44 yang selalu memberikan saran, kritik, dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
11.
Kakak Tiur Gabe (Wisma Jenius) yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
12.
Teman-teman di “Wisma Jenius” sekaligus sahabat-sahabat tercinta dan tersayang: Leny, Loretta, Kade, Metha, Dewi, dan Christa yang selalu memberikan saran dan dukungan yang sangat luar bisa kepada penulis dalam penyelesaiaan skripsi ini.
13.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaian skripsi ini. Terimakasih atas bantuannya dan mohon maaf apabila penulis banyak
menyusahkan atau banyak melakukan kesalahan selama penulis bersama kalian semua. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan juga bagi penulis pada khususnya.
xiii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI .............................................................................................. xiii DAFTAR TABEL ..................................................................................... xv DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xvi DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xvii BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................
1
1.1. Latar Belakang ..............................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ......................................................................
3
1.3. Tujuan Penelitian ..........................................................................
4
1.4. Kegunaan Penelitian .....................................................................
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................
5
2.1. Tinjauan Pustaka ...........................................................................
5
2.1.1. Ruang Lingkup Pariwisata ..................................................
5
2.1.2. Dampak Pengembangan Pariwisata ....................................
9
2.1.3. Konversi Lahan ...................................................................
11
2.1.4. Ruang Lingkup Irigasi ........................................................
13
2.1.5. Irigasi Tradisonal Subak .....................................................
15
2.1.6. Kelembagaan .......................................................................
18
2.3. Kerangka Pemikiran ...................................................................... 20 2.2. Hipotesa penelitian ....................................................................... 22 2.1. Definisi Operasional .....................................................................
22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...............................................
24
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................
24
3.2. Teknik Pengumpulan Data ............................................................
24
3.3. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ..........................................
26
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .....................
27
4.1. Profil Desa Ababi ..........................................................................
27
4.1.1. Sejarah Desa Ababi .............................................................
27
4.1.2. Lambang Desa Ababi ..........................................................
29
4.1.3. Keadaan Geografis Ababi ...................................................
30
4.1.4. Keadaan Demografi Desa Ababi ......................................... 31
xiv
4.2. Karakteristik Responden ...............................................................
35
4.3. Kegiatan Pertanian ........................................................................
37
4.4. Kegiatan Pariwisata Desa Ababi ...................................................
38
4.4.1. Objek Wisata .......................................................................
38
4.4.2. Perkembangan Pariwisata ...................................................
39
4.4.3. Sarana dan Prasarana Pariwisata .........................................
42
4.5. Ikhtisar ..........................................................................................
45
BAB V SISTEM IRIGASI TRADISIONAL SUBAK EMBUKAN.......
46
5.1. Sejarah Subak Embukan ...............................................................
46
5.2. Komponen Budaya Subak Embukan.............................................
46
5.2.1. Pola Pikir Pembagian Air Irigasi ........................................
47
5.2.2. Kegiatan Upacara Keagamaan ............................................
50
5.3. Komponen Sosial Subak Embukan ...............................................
53
5.3.1. Kepengurusan Subak Embukan ..........................................
53
5.3.2. Awig-Awig Subak Embukan ..............................................
55
5.3.3. Pengalokasian Air Irigasi ....................................................
57
5.4. Komponen Artefak Subak Embukan ............................................
58
5.4.1. Jaringan Irigasi Subak Embukan ......................................... 58 5.4.2. Ketersediaan Air Irgasi .......................................................
59
5.5. Ikhtisar ..........................................................................................
60
BAB VI DAMPAK PENGEMBANGAN PARIWISATA TERHADAP SUBAK EMBUKAN ..................................................
62
6.1. Konversi Lahan Subak Embukan .................................................
62
6.2. Pola Mata Pencaharian ..................................................................
66
6.3. Keanggotaan Subak Embukan ......................................................
70
6.4. Kelembagaan Subak Embukan .....................................................
73
6.5. Pengelolaan Irigasi Subak Embukan ............................................
75
6.6. Ikhtisar ..........................................................................................
76
BAB VII PENUTUP .................................................................................. 77 7.1. Kesimpulan ................................................................................... 77 7.2. Saran .............................................................................................
79
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
80
LAMPIRAN ...............................................................................................
83
xv
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel 1 Tabel 2 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 6 Tabel 7
Tabel 8
Halaman Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Golongan Umur Desa Ababi, 2010 ................................
32
Jumlah Kepala Keluarga (KK) Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan Desa Ababi, 2010 ...................................
32
Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Desa Ababi, 2010 ...........................................................
33
Jumlah Responden Petani Subak Embukan Berdasarkan Jenis Pekerjaan Desa Ababi, 2010 ............
37
Jumlah Kunjungan Wisatawan Ke Objek Wisata di Kabupaten Karangasem Tahun 2008, 2009 dan 2010 ...
40
Jenis dan Luas Tempek Subak Embukan Desa Ababi, 2010 ...............................................................................
63
Produksi dan Penerimaan Responden Petani Subak Embukan Berdasarkan Luas Lahan Garapan per Tiga Bulannya ........................................................................
67
Jumlah Tenaga Kerja yang Terserap di Sektor Pariwisata Kecamatan Abang, 2010 ..............................
71
xvi
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
Gambar 1
Kerangka pemikiran ........................................................
21
Gambar 2
Matriks Konsep, Variabel dan Metode Pengumpulan Data .................................................................................
25
Gambar 3
Lambang Desa Ababi ......................................................
29
Gambar 4
Persentase Penduduk Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian Desa Ababi, 2010 ........................................
34
Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Objek Wisata Tirta Gangga Bulan Januari-Desember 2010 ...........................
41
Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Objek Wisata Tirta Gangga Tahun 2008, 2009 dan 2010 ..............................
42
Jumlah Sarana Pariwisata di Kecamatan Abang Tahun 2010 .................................................................................
43
Gambar 8
Struktur Kepengurusan Subak Embukan ........................
53
Gambar 9
Persentase Petani Responden Subak Embukan Berdasarkan Luas Lahan Garapan ...................................
62
Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
Lampiran 1
Peta Desa Ababi ................................................................
84
Lampiran 2
Peta Subak Embukan .........................................................
85
Lampiran 3
Daftar Nama Anggota Subak Embukan ............................
86
Lampiran 4
Kuesioner dan Panduan Wawancara .................................
88
Lampiran 5
Catatan Harian ...................................................................
94
Lampiran 6
Dokumentasi Penelitian .....................................................
98
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pariwisata merupakan fenomena kemasyarakatan yang menyangkut manusia, masyarakat, kelompok, organisasi, kebudayaan, dan sebagainya. Dewasa ini pariwisata telah menjadi salah satu industri andalan utama dalam menghasilkan devisa diberbagai negara. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang, sangat menaruh harapan pada pariwisata sebagai „komoditas ekspor‟. Harapan ini cukup beralasan karena Indonesia memiliki potensi pariwisata yang besar baik dari segi alam maupun dari segi sosial budaya. Salah satu contohnya adalah pulau Bali yang terkenal dengan keunikan budaya dan keindahan alamnya. Sebagai daerah tujuan utama wisata, Bali sangat terkenal dengan keindahan alamnya. Objek wisata alam yang beraneka ragam menjadi daya tarik utama bagi para wisatawan baik wisatawan domestik maupun manca negara. Tidak hanya wisata alamnya, kehidupan masyarakat Bali yang sangat terkait dengan budaya dan ajaran agama Hindu juga menjadi salah satu objek wisata budaya yang sangat menarik untuk di nikmati. Salah satu kegiatan masyarakat Bali bidang pertanian yang telah menyatu dengan budaya dan kegiatan keagamaan ialah kegiatan pengelolaan sumber daya air. Pada masyarakat Bali kegiatan pengelolaan sumber daya air diatur oleh organisasi tradisional yang dikenal dengan sebutan subak. Menurut Setiawan (1995) bahwa subak merupakan salah satu aset kelembagaan yang telah terbukti efektivitasnya dalam menyangga pembangunan pertanian di Bali. Sejarah irigasi yang panjang telah memberi kesempatan kepada petani untuk menumbuhkan kelembagaan pengelola air irigasi. Lembaga yang telah dikembangkan oleh petani menunjukkan bahwa petani mempunyai pengalaman dengan irigasi yang diteruskan dari generasi ke generasi. Selanjutnya pengalaman ini menumbuhkan suatu kearifan ekologis yang tajam di suatu lokasi, yang tercermin dalam bentuk pengetahuan tentang sifat sungai, lokasi-lokasi mata air, cara membuat saluran
2
pada lereng yang terjal, cara memperbaiki bendungan supaya kokoh, cara membagi air yang sesuai dengan ketersediaannya. Sebagai lembaga pengelola sumber daya air, subak terdiri dari kumpulan petani-petani pemakai air irigasi dan bersifat sosial-teknis-religius serta otonom baik ke dalam maupun keluar. Berdasarkan hasil penelitian Wardana & Sudira, subak juga dalam proses pelaksanaannya berlandaskan pada Tri Hita Karana, yakni falsafah hidup yang diyakni oleh masyarakat Bali sebagai tiga hal yang menyebabkan manusia mencapai kesejahteraan, kebahagian dan kedamaian. Tiga hal tersebut terdiri dari: parhyangan, pawongan, dan palemahan. Objek wisata alam maupun wisata budaya yang beraneka ragam merupakan salah satu faktor utama yang mendorong pesatnya perkembangan pariwisata di Bali. Banyak keuntungan yang diperoleh dengan berkembangnya pariwisata, antara lain ialah meningkatnya pendapatan daerah, terdapatnya peluang kerja atau usaha baru, peningkatan devisa negara, dan lain sebagainya. Namun sejalan dengan hal tersebut, pengembangan pariwisata juga mempunyai dampak terhadap pembangunan pertanian khususnya subak. Dampak yang dirasakan subak akibat pengembangan pariwisata yang demikian pesat salah satunya ialah konversi lahan pertanian ke lahan nonpertanian. Berdasarkan data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (DPTPH) Propinsi Bali tahun 2006, selama periode waktu tahun 2000 hingga tahun 2005, total luas lahan sawah telah mengalami penurunan sekitar 4.566 hektar, yaitu dari 85.776 hektar menjadi 81.210 hektar. Dengan kata lain, rata-rata konversi lahan terjadi sebesar 913,20 hektar per tahunnya (sumber: DPTPH Bali 2006 – diolah). Konversi lahan yang demikian besar setiap tahunnya, dapat mengacam keberlanjutan subak karena subak berhubungan dengan tanah yakni tempat bagi masyarakat subak menjalankan kewajiban pemeliharaan dan pelaksanaan upacara pada subak. Hal ini merupakan salah satu nilai penting dalam Tri Hita Karana sebagai pilar penting dalam mempertahankan keberlanjutan subak. Mengacu pada penjelasan di atas, maka menjadi menarik untuk dikaji mengenai pariwisata dan subak yang mempunyai kontribusi penting dalam
3
pembangunan Bali, tetapi dalam pengembangannya dapat menjadi ancaman bagi sektor lainnya.
1.2. Perumusan Masalah Parwisata
sebagai
sektor
unggulan
yang
mampu
menggerakkan
perekonomian Bali, dalam pengembangannya tidak hanya membawa dampak positif tetapi juga dampak negatif. Banyaknya kunjungan wisatawan baik domestik maupun manca negara, merupakan salah satu manfaat dari pariwisata karena dapat menambah pendapatan daerah maupun pendapatan negara dari pajak yang diterima. Namun, manfaat tersebut berjalan beriringan dengan kerugian yang ditimbulkan. Salah satunya adalah semakin menyempitnya areal pertanian karena tuntutan pemenuhan kebutuhan di sektor non-pertanian. Berdasarkan data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura (DPTPH) Propinsi Bali tahun 2006, selama tahun 2000 hingga tahun 2005 total luas lahan sawah telah mengalami penurunan sekitar 4.566 hekar, yaitu dari 85.776 hektar menjadi 81.210 hektar. Dengan kata lain, selama periode tersebut, rata-rata luas lahan sawah yang telah terkonversi sebesar 913,20 hektar per tahunnya. Konversi lahan sawah terluas terdapat di Kabupaten Jembrana, Buleleng dan Tabanan masing-masing sebesar 262,4 hektar, 188,2 hektar dan 173,6 hektar. Sementara itu, konversi lahan di Kabupaten Badung, Denpasar, Giannyar, Bangli dan Karangasem berturut-turut mencapai luas sebesar 116,80 hektar, 75,80 hektar, 62,60 hektar, 25 hektar dan 8,80 hektar (sumber: DPTPH Bali 2006 – diolah). Berdasarkan kondisi tersebut di atas, konversi lahan pertanian yang kian besar dapat menjadi ancaman bagi sistem subak sebagai penyangga pembangunan pertanian Bali, sehingga dalam penelitian ini menjadi menarik untuk dikaji sejauh mana dampak pengembangan pariwisata di Bali terhadap keberlanjutan Subak Embukan yang khususnya dalam penelitian ini difokuskan di Desa Ababi?
4
1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang telah diuraikan di atas, disusun beberapa tujuan penelitian sebagai berikut: 1.
Mengkaji dampak pengembangan parwisata di Bali terhadap keberlanjutan pertanian khususnya kelembagaan Subak Embukan di Desa Ababi.
2.
Menelaah pengaruh
lanjut
yang
timbul
sebagai
akibat
pudarnya
kelembagaan Subak Embukan di Desa Ababi.
1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak, diantaranya pihak akademisi, pihak masyarakat, dan pihak pemerintah. Adapun manfaat yang dapat diperoleh yaitu: 1.
Bagi Akademi Penelitian ini dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam mengkaji secara ilmiah mengenai keberlanjutan subak sebagai lembaga irigasi tradisional terkait dengan adanya pariwisata. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi bahan referensi atau literatur untuk melakukan penelitianpenelitian selanjutnya.
2.
Bagi Masyarakat Penelitian ini dapat menambah wawasan khususnya bagi masyarakat subak terkait dampak yang muncul karena adanya pengaruh dari sektor pariwisata dan membantu masyarakat dalam menyikapi dampak tersebut yang dapat mengancam keberlanjutan sistem subak.
3.
Bagi Pemerintah Penelitian ini dapat menjadi acuan atau masukan atau bahan pertimbangan dalam merencanakan kebijakan-kebijakan terkait dengan pengembangan sektor pariwisata yang akan berpengaruh terhadap keberlanjutan sistem subak.
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Ruang Lingkup Pariwisata Pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lainnya, dengan maksud bukan untuk berusaha atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi sematamata untuk menikmati perjalanan tersebut guna pertamasyaan dan rekreasi atau untuk memenuhi keinginan yang beraneka ragam (Yoeti, 1982). Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.9. Tahun 1990 tentang kepariwisataan yang dimaksud dengan: 1.
Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata.
2.
Wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisata.
3.
Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut.
4.
Kepariwisataan
adalah
segala
sesuatu
yang
berhubungan
dengan
penyelenggaraan pariwisata. 5.
Usaha pariwisata adalah kegiatan yang bertujuan menyelenggarakan jasa pariwisata atau menyediakan atau mengusahakan objek dan daya tarik wisata, usaha sarana pariwisata dan usaha lain yang terkait dibidang tersebut.
6.
Objek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata.
7.
Kawasan pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. Pariwisata dalam pengertiannya mengandung tiga unsur yaitu manusia
(unsur insani sebagai pelaku kegiatan pariwisata), tempat (unsur fisik yang
6
sebenarnya tercakup oleh kegiatan itu sendiri), dan waktu (unsur tempo yang dihabiskan dalam perjalanan itu sendiri selama berdiam di tempat tujuan (Wahab, 1987). Penyelenggaraan
kepariwisataan
dalam
Undang-Undang
Republik
Indonesia No. 9 Tahun 1990 dilakukan dengan tujuan untuk: (a) memperkenalkan, mendayagunakan, melestarikan, dan meningkatkan mutu objek dan daya tarik wisata; (b) memupuk rasa cinta tanah air dan meningkatkan persahabatan antar bangsa; (c) memperluas dan memeratakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja; (d) meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; (e) mendorong pendayagunaan produksi nasional. Hal ini dilakukan dengan tetap memelihara kelestarian dan juga sebagai upaya mendorong peningkatan mutu lingkungan hidup, objek dan daya tarik wisata, nilai-nilai budaya bangsa yang menuju ke arah kemajuan adab, mempertinggi derajat kemanusiaan, kesusilaan, dan ketertiban umum guna memperkukuh jati diri bangsa dalam rangka perwujudan wawasan nusantara. Oleh karena itu, pembangunan objek dan daya tarik wisata tersebut tetap harus dilakukan dengan memperhatikan : a.
Kemampuan untuk mendorong dan meningkatkan perkembangan.
b.
Kehidupan ekonomi dan sosial budaya.
c.
Nilai-nilai agama, adat-istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
d.
Kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup.
e.
Kelangsungan usaha pariwisata itu sendiri. Sifat pariwisata yang luas dan menyangkut kepentingan masyarakat secara
keseluruhan, mengharuskan dilaksanakannya penyelenggaraan kepariwisataan secara terpadu oleh pemerintah, badan usaha, dan masyarakat. Peran serta masyarakat
dalam arti yang seluas-luasnya
di dalam penyelenggaraan
kepariwisataan ini memegang peranan penting demi terwujudnya pemerataan, pendapatan dan pemerataan kesempatan berusaha. Terkait dengan peran serta masyarakat tersebut, perlu diberikan arahan agar pelaksanaan berbagai usaha pariwisata yang dilakukan dapat saling mengisi, saling berkaitan, dan saling
7
menunjang satu dengan yang lainnya. Untuk mencapai maksud tersebut, pemerintah melakukan pembinaan terhadap kegiatan kepariwisataan, yaitu dalam bentuk pengaturan, pemberian bimbingan, dan pengawasan. Kegiatan-kegiatan kepariwisataan yang menyangkut aspek pembangunan, pengusahaan, dan kebijakan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah serta perkembangan yang begitu pesat di bidang kepariwisataan perlu diikuti dengan pengaturan yang sesuai dengan aspirasi bangsa Indonesia (UU RI No.9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan) Seperti halnya dengan kegiatan-kegiatan kepariwisataan, pengelolaan kawasan pariwisata yang banyak dibangun diberbagai wilayah perlu mendapat pengamanan agar tidak terjadi ketimpangan terhadap masyarakat di sekitarnya, sehingga dapat mewujudkan adanya keserasian dan keseimbangan. Undangundang kepariwisataan yang bersifat nasional dan menyeluruh sangat diperlukan sebagai
dasar
hukum
dalam
rangka
pembinaan
dan
penyelenggaraan
kepariwisataan, khususnya yang menyangkut objek dan daya tarik wisata, usaha pariwisata, peran serta masyarakat, serta pembinaannya. Undang-undang ini memberikan
ketentuan
yang
bersifat
pokok
dalam
penyelenggaraan
kepariwisataan, sedangkan pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Terkait dengan pengembangan suatu daerah tujuan wisata, Butler (1980) seperti yang dikutip oleh Pitana dan Gayatri (2005) membagi perkembangan suatu destinasi (DTW) yang dikenal dengan istilah destination area life cycle menjadi tujuh fase yang bersifat siklik, yaitu: eksplorasi, keterlibatan, pembangunan, konsolidasi, stagnasi, penurunan, dan peremajaan. 1.
Ekplorasi (exploration) atau penemuan Daerah tujuuan wisata baru mulai ditemukan dan dikunjungi secara terbatas dan sporadis, khususnya bagi wisatawan petualang. Pada tahap ini terjadi kontak yang tinggi antara wisatawan dengan masyarakat lokal karena wisatawan menggunakan fasilitas lokal yang sudah tersedia. Karena jumlah yang terbatas dan frekuensi yang jarang maka dampak sosial-budaya dan sosial-ekonomi pada tahap ini masih sangat kecil.
8
2.
Keterlibatan (involvement) Dengan meningkatnya jumlah kunjungan, maka sebagian masyarakat lokal mulai menyediakan berbagai fasilitas yang memang khusus diperuntukkan bagi wisatawan. Kontak antara wisatawan dengan masyarakat lokal masih tinggi dan masyarakat sudah mulai mengubah pola-pola sosial yang ada untuk merespon perubahan ekonomi yang terjadi. Di sinilah mulainya suatu daerah menjadi destinasi wisata yang ditandai oleh adanya advertensi atau promosi.
3.
Pembangunan (development) Investasi dari luar mulai masuk, serta mulai munculnya pasar pariwisata secara sistematis. Daerah semakin terbuka secara fisik dan advertensi (promosi) semakin intensif. Fasilitas lokal sudah tersisih atau digantikan oleh fasilitas yang benar-benar touristik dengan standar internasional dan atraksi buatan sudah mulai dikembangkan. Berbagai barang dan jasa impor sudah menjadi keharusan termasuk tenaga kerja asing untuk mendukung perkembangan industri pariwisata yang pesat.
4.
Konsolidasi (consolidation) Pariwisata sudah dominan dalam struktur ekonomi daerah dan dominasi ekonomi ini dipegang oleh jaringan internasional atau major chains and franchises. Jumlah kunjungan wisatawan masih naik tetapi pada tingkat yang lebih rendah. Pemasaran semakin gencar dan diperluas, untuk mengisi berbagai fasilitas yang sudah dibangun. Fasilitas lama sudah mulai ditinggalkan atau tidak laku.
5.
Stagnasi (stagnation) Kapasitas berbagai faktor telah terlampaui (di atas dukung carrying capacity), sehingga menimbulkan masalah ekonomi, sosial, dan lingkungan. Kalangan industri sudah mulai bekerja berat untuk memenuhi kapasitas dan fasilitas yang dimiliki khususnya dengan mengharapkan repeater guests atau wisata konvensi/bisnis. Pada fase ini, atraksi buatan sudah mendominasi atraksi asli alami (baik budaya maupun alam), citra awal sudah meluntur dan destinasi tidak lagi popular.
9
6.
Penurunan (decline) Wisatawan sudah beralih ke destinasi baru atau pesaing dan yang tinggal hanya „sisa-sisa‟, khususnya wisatawan yang datang untuk berakhir pekan. Banyak fasilitas wisata sudah beralih atau dialihkan fungsinya untuk kegiatan non-pariwisata sehingga destinasi semakin tidak menarik bagi wisatawan. Pariwisata lokal mungkin meningkat lagi, terkait dengan harga yang merosot turun dengan melemahnya pasar. Destinasi bisa berkembang menjadi destinasi kelas rendah (a tourism slum) atau sama sekali secara total kehilangan diri sebagai destinasi wisata.
7.
Peremajaan (rejuvenation) Perubahan secara dramatis bisa terjadi (sebagai hasil dari berbagai usaha dari berbagai pihak), menuju perbaikan atau peremajaan. Peremajaan ini bisa terjadi karena adanya inovasi dalam pengembangan produk baru atau menggali dan memanfaatkan sumberdaya alam dan budaya yang sebelumnya belum dimanfaatkan.
2.1.2. Dampak Pengembangan Pariwisata Pariwisata sebagai suatu kegiatan secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat, sehingga membawa dampak terhadap masyarakat setempat. Dampak pariwisata terhadap masyarakat dan daerah tujuan wisata mencakup: dampak terhadap sosial-ekonomi, dampak terhadap sosial-budaya, dan dampak terhadap lingkungan (Pitana dan Gayatri, 2005). 1.
Dampak terhadap sosial dan ekonomi Dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok besar (Cohen, 1984 dalam Pitana dan Gayatri, 2005), yaitu: dampak terhadap penerimaan devisa, dampak terhadap pendapatan masyarakat, dampak terhadap kesempatan kerja, dampak terhadap harga-harga, dampak terhadap distribusi manfaat atau keuntungan, dampak terhadap kepemilikan dan kontrol, dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dampak terhadap pendapatan pemerintah. Pembangunan pariwisata pada suatu daerah mampu memberikan dampak
10
positif diantaranya: peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan penerimaan devisa, peningkatan kesempatan kerja dan peluang usaha, peningkatan pendapatan pemerintah dari pajak dan keuntungan badan usaha milik pemerintah, dan sebagainya. Selain dampak positif terdapat juga dampak negatif dari pembangunan pariwisata, diantaranya: semakin memburuknya kesenjangan pendapatan antar kelompok masyarakat, memburuknya kesenjangan antar daerah, hilangnya kontrol masyarakat lokal terhadap sumber daya ekonomi, munculnya neo-kolonialisme, dan sebagainya. 2.
Dampak terhadap sosial dan budaya Pizam
dan
Milman
(1984)
dalam
Pitana
dan
Gayatri
(2005)
mengklasifikasikan dampak pariwisata terhadap sosial-budaya menjadi enam, yaitu: dampak terhadap aspek demografis (jumlah penduduk, umur, perubahan piramida kependudukan), dampak terhadap mata pencaharian (perubahan pekerjaan, distribusi pekerjaan), dampak terhadap aspek budaya (tradisi, keagamaan, bahasa), dampak terhadap transformasi norma (nilai, norma, peranan seks), dampak terhadap modifikasi pola konsumsi (infrastruktur, komoditas) dan dampak terhadap lingkungan (polusi, kemacetan lalu lintas). Sifat dan bentuk dari dampak sosial-budaya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pitana (1999) dalam Pitana dan Gayatri (2005) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang ikut menentukan dampak sosial-budaya tersebut antara lain: jumlah wisatawan (baik absolut maupun relatif terhadap jumlah penduduk lokal), objek dominan yang menjadi sajian wisata dan kebutuhan wisatawan terkait dengan sajian tersebut, sifat-sifat atraksi wisata yang disajikan (apakah alam, situs arkeologi, budaya kemasyarakatan, dan lainnya), struktur dan fungsi dari organisasi kepariwisataan di daerah tujuan wisata, perbedaan tingkat ekonomi dan perbedaan kebudayaan antara wisatawan dengan masyarakat lokal dan laju atau kecepatan pertumbuhan pariwisata.
11
3.
Dampak terhadap lingkungan Dampak pengembangan pariwisata menurut Yoeti (2008), antara lain: pembuangan sampah sembarangan (selain menyebabkan bau tidak sedap, juga membuat tanaman disekitarnya mati); pembuangan limbah hotel, restoran, dan rumah sakit yang merusak air sungai, danau atau laut; kerusakan terumbu karang sebagai akibat nelayan tidak lagi memiliki pantai untuk mencari ikan, karena pantai telah dikaveling untuk membangun hotel dan restoran. Akibatnya para nelayan membom terumbu karang dan pada akhirnya tidak ada lagi daya tarik pantai; perambahan hutan dan perusakan sumber-sumber hayati yang tidak terkendali sehingga menyebabkan hilangnya daya tarik wisata alam.
2.1.3. Konversi Lahan Sitorus (2002) mengemukakan bahwa lingkup agraria terdiri dari dua yaitu objek agraria dan subjek agraria. Objek agraria adalah sumber-sumber agraria dalam bentuk fisik dan subjek agraria adalah pihak yang memiliki kepentingan terhadap sumber-sumber agraria tersebut. Tanah sebagai salah satu jenis sumber agraria merupakan modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan menjadi faktor produksi yang penting bagi usahatani. Pandangan tanah sebagai sumberdaya dalam pertanian dapat juga dihat dari arti penting tanah bagi pemanfaat hasil-hasil pertanian. Petani memerlukan tanah untuk lahan usaha tani. Pada umumnya, petani yang akses terhadap sumberdaya tanah berpenghasilan dari sektor pertanian. Namun, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian, kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung terus meningkat. Kecenderungan ini menyebabkan konversi lahan sulit untuk dihindari. Menurut Sihaloho (2004) konversi lahan adalah proses alih fungsi lahan khususnya dari lahan pertanian ke non-pertanian. Dua faktor penting yang mempengaruhi konversi lahan ini adalah pertumbuhan industri dan pemukiman yang secara terus-menerus akan mengalami perubahan dengan laju konversi yang tinggi. Hal ini juga diikuti dengan keberpihakan pemerintah terhadap pengusaha
12
swasta dan pemerintah itu sendiri. Faktor keberpihakan ini akan berimplikasi pada menurunnya hasil (produksi) pertanian. Faktor lainnya yaitu pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah, marginalisasi ekonomi atau kemiskinan ekonomi. Konversi pada lahan pertanian dapat berimplikasi terhadap berbagai aspek seperti aspek sosial ekonomi, politik, dan sosial budaya yang juga terkait dengan kesejahteraan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengertian lain dari konversi lahan juga dinyatakan oleh Utomo (1992) yakni perubahan penggunaan lahan oleh manusia yang dapat bersifat permanen dan juga bersifat sementara. Dikatakan bersifat tidak permanen jika lahan sawah tersebut berubah menjadi perkebunan tebu karena pada tahun berikutnya dapat dijadikan sawah lagi. Namun, jka lahan sawah berubah menjadi kawasan pemukiman maka konversi ini bersifat permanen dan biasanya memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan dengan konversi yang bersifat tidak permanen. Secara empiris menurut Iqbal dan Sumaryanto (2007), lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi lahan adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh: (1) kepadatan penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga tinggi; (2) daerah persawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah perkotaan; (3) akibat pola pembangunan dimasa sebelumnya, infrastruktur wilayah persawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering; dan (4) pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainyya cenderung berlangsung cepat di wilayah dengan topografi seperti itu ekosistem pertaniannya dominan areal persawahan. Alih fungsi lahan merupakan keputusan dari pengguna lahan oleh masyarakat. Jayadinata (1992) menyatakan bahwa faktor penentu dalam penggunaan lahan bersifat sosial, ekonomi, dan kepentingan umum. Perilaku masyarakat menjadi penentu dalam penggunaan lahan karena terdapat nilai-nilai sosial dalam hubungan dengan penggunaan lahan yaitu yang berhubungan dengan kebiasaan, sikap moral, pantangan, pengaturan pemerintah, peninggalan kebudayaan, pola tradisional, dan sebagainya. Penggunaan lahan juga dipengaruhi oleh faktor yang berhubungan dengan kehidupan ekonomi. Dalam kehidupan
13
ekonomi, daya guna dan biaya adalah merupakan pertimbangan penting. Kepentingan umum juga merupakan penentu dalam penggunaan lahan. Kepentingan umum ini meliputi: kesehatan, keamanan, moral, kemudahan, keindahan, kenyamanan, dan sebagainya. Proses alih fungsi lahan yang terjadi, menurut Winoto (1995) dipengaruhi oleh dua faktor yaitu sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan sistem non kelembagaan. Kedua faktor tersebut diperkuat juga oleh strategi pembangunan wilayah yang bias terhadap pembangunan perkotaan dengan basis ekonomi yang bertumpu pada pembangunan industri. Strategi ini menyebabkan terpusatnya investasi pedesaan ke sektor perkotaan, sedangkan sektor pedesaan hanya mendapat imbas dari perekonomian kota.
2.1.4. Ruang Lingkup Irigasi Irigasi sebagai suatu sistem tidaklah bersifat mandiri, tetapi selalu berkaitan dengan sistem lainnya yang lebih luas. Sebagai unit produksi, sistem irigasi merupakan salah satu subsistem dari suatu wilayah pertanian. Sebagai unit hidrologis, irigasi merupakan subsistem dari daerah aliran sungai. Sesuai dengan hakekat yang demikian, penyusunan perencanaan, kebijaksanaan, dan pengelolaan sistem irigasi memerlukan masukan dari berbagai disiplin untuk menjamin adanya keserasian antara sasaran-sasaran dan tujuan pembangunan baik yang berasal dari pemerintah maupun dari masyarakat petani. Irigasi oleh Vaughn et.al (19920 didefinisikan sebagai pengunaan air pada tanah untuk keperluan penyediaan cairan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanam-tanaman. Adapun juga definisi yang paling umum dan termasuk sebagai irigasi adalah penggunaan air pada tanah untuk setiap jumlah delapan kegunaan yakni: 1.
Menambah air ke dalam tanah untuk menyediakan cairan yang diperlukan untuk pertumbuhan tanam-tanaman.
2.
Untuk menyediakan jaminan panen pada saat musim kemarau yang pendek.
3.
Untuk mendinginkan tanah dan atmosfir sehingga menimbulkan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan tanam-tanaman.
14
4.
Untuk mengurangi bahaya pembekuan.
5.
Untuk mencuci atau mengurangi garam dalam tanah.
6.
Untuk mengurangi bahaya erosi tanah.
7.
Untuk melunakkan pembajakan dan gumpalan tanah.
8.
Untuk memperlambat pembentukan tunas dengan pendinginan karena penguapan. Keadaan lingkungan air merupakan determinan yang paling penting dari
pengelolaan irigasi. Oleh karena itu, pemberian air irigasi dapat dilakukan dalam lima cara, yaitu: (1) dengan penggenangan, (2) dengan menggunakan alur, besar atau kecil, (3) dengan menggunakan air di bawah permukaan tanah melalui sub irigasi, sehingga menyebabkan permukaan air tanah naik, (4) dengan penyiraman (springkling), atau (5) dengan sistem cucuran (trickle). Peraturan Pemerintah (PP) No.23/1982 Pasal 1, menyatakan tentang pengertian irigasi, bangunan irigasi, daerah irigasi, dan petak irigasi telah dibakukan sebagai berikut: a.
Irigasi adalah usaha penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang pertanian.
b.
Jaringan irigasi adalah saluran dan bangunan yang merupakan satu kesatuan dan diperlukan untuk pengaturan air irigasi mulai dari penyediaan pengambilan, pembagian pemberian dan penggunaannya. Terdapat juga konsep lain dari jaringan irigasi yaitu prasarana irigasi yang pada pokoknya terdiri dari bangunan dan saluran pemberi air pengairan beserta perlengkapannya (Kartasapoetra, 1994).
c.
Daerah irigasi adalah kesatuan wilayah yang mendapat air satu jaringan irigasi.
d.
Petak irigasi adalah petak tanah yang memperoleh air irigasi. Berdasarkan beberapa cakupan pengertian tentang irigasi dan jaringan
irigasi tersebut di atas, maka disusun suatu rumusan pengertian irigasi yaitu suatu bentuk
kegiatan
penyediaan,
pengambilan,
pembagian,
pemberian
dan
15
penggunaan air untuk pertanian dengan menggunakan satu kesatuan saluran dan bangunan berupa jaringan irigasi (Pusposutardjo, 2001). Irigasi dalam proses penyediaan dan distribusi air didukung oleh sarana dan prasarana irigasi yaitu berupa jaringan irigasi. Jaringan irigasi dapat digolongan menjadi dua bagian berdasarkan pengelolaannya yaitu jaringan irigasi utama dan jaringan irigasi tersier (Kartasapoetra, Sutedjo, & Pollein, 1994). a.
Jaringan irigasi utama Meliputi bangunan bendung, saluran-saluran primer dan sekunder termasuk bangunan-bangunan utama dan pelengkap, saluran pembawa dan saluran pembuang. Bangunan utama merupakan bangunan yang mutlak diperlukan bagi eksploitasi, meliputi bangunan pembendung, bangunan pembagi dan bangunan pengukur. Bangunan bendung berfungsi agar permukaan air sungai dapat naik dengan demikian memungkinkan untuk disalurkan melalui pintu pemasukan ke saluran pembawa. Bangunan pembagi berfungsi agar air pengairan dapat didistribusikan di sepanjang saluran pembawa (saluran primer) ke lahan-lahan pertanaman melalui saluran sekunder dan saluran tersier. Terdapat juga bangunan ukur yang berfungsi mengukur debit air yang masuk ke saluran pembawa, dengan demikian distribusi air pengairan ke lahan-lahan pertanaman melalui saluran-saluran sekunder dan saluran tersier dapat terkontrol dengan baik, sesuai dengan pola pendistribusian air pengairan yang telah dirancang.
b.
Jaringan irigasi tersier Merupakan jaringan air pengairan di petak tersier, mulai air keluar dari bangunan ukur tersier, terdiri dari saluran tersier dan kuarter termasuk bangunan pembagi tersier dan kuarter, serta bangunan pelengkap lainnya yang terdapat di petak tersier.
2.1.5. Irigasi Tradisional Subak Sistem irigasi pertanian di Bali dikelola oleh suatu lembaga yang disebut subak. Subak merupakan salah satu kelembagaan yang telah terbukti evektivitasnya dalam menyangga pembangunan pertanian Bali. Sejarah irigasi
16
yang panjang telah memberi kesempatan bagi petani untuk menumbuhkan kelembagaan pengelola air irigasi. Apabila sarana fisik sebuah jaringan irigasi merupakan “perangkat kerasnya” maka lembaga tersebut merupakan “perangkat lunaknya” yang mutlak diperlukan untuk mengelola air irigasi (Setiawan, 1995). Subak dengan kearifan lokalnya senantiasa berupaya dan berusaha untuk memecahkan segala masalah yang di hadapi dengan tujuan agar mencapai tujuan hidup yakni kesejahteraan lahir dan batin. Hal ini sesuai dengan dengan ajaran hindu “Moksartham Jagadhitaya Ca Iti Dharmah” yang artinya tujuan agama Hindu mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin. Subak adalah masyarakat hukum adat Bali yang bersifat sosio-agrarisreligius, yang secara historis didirikan sejak dahulu kala dan berkembang terus sebagai suatu organisasi di bidang pengaturan air dan lain-lain persawahan dari suatu sumber di dalam suatu daerah1. Selanjutnya, dijelaskan juga pengertian subak yang lain yaitu “subak adalah masyarakat hukum adat yang bersifat sosio agraris religius yang secara historis tumbuh dan berkembang sebagai suatu organisasi di bidang tata guna air di tingkat usaha tani 2. Berdasarkan definisi tersebut, lebih lanjut subak dapat dijelaskan sebagai suatu lembaga irigasi tradisional bersifat sosio-teknis-religius dan terdiri dari kumpulan petani-petani pemakai air irigasi yang sawahnya terikat dari satu aliran sungai. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah subak hanya didasarkan pada hamparan sawah yang menerima air dari satu aliran air dan sangat dipengaruhi oleh lokasi, perbedaan topografi, sumber air, keadaaan tanah, jumlah anggota, keadaan sosial, ekonomi, dan tradisi setempat. Oleh karena itu, subak tidak berkaitan dengan batas-batas wilayah administrasi desa ataupun kecamatan. Penyelenggaran kegiatan-kegiatan pada subak bersifat otonom sehingga subak tidak mempunyai kaitan dengan perintah dan tidak bertanggung jawab terhadap kepala desa, lembaga desa, lembaga pemerintah, maupun lembaga desa lainnya. Selain itu, subak juga berlandaskan pada Tri Hita Karana yaitu falsafah hidup yang diyakni oleh masyarakat Bali sebagai tiga hal yang menyebabkan
1 2
Peraturan Daerah propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 2 Tahun 1972, Tentang Irigasi Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1982, Tentang Irigasi
17
manusia mencapai kesejahteraan, kebahagian dan kedamaian 3. Tiga hal tersebut terdiri dari: (1) parhyangan, yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan; (2) pawongan, yang mengatur hubungan manusia dengan manusia; dan (3) palemahan, yang mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Nilai-nilai Tri Hita Karana pada masyarakat subak diwujudkan dalam tiga komponen yaitu (1) aspek budaya yang meliputi kegitan-kegiatan keagamaan dan pola pikir anggota subak dalam pengelolaan irigasi; (2) aspek sosial yang meliputi penyediaan dan distribusi air, kepengurusan subak, dan awig-awig; (3) aspek artefak atau kebendaan yang meliputi sarana dan prasarana irigasi. Nilai-nilai yang terkandung dalam Tri Hita Karana merupakan pilar penting untuk mempertahankan keberlanjutan subak. Subak dalam pengelolaan sumber daya air, memiliki seperangkat aturan yang disusun dan ditentukan secara musyawarah dan bersifat mengikat bagi anggotanya. Peraturan dalam subak disebut awig-awig yaitu berisi tentang aturanaturan terkait dengan tata kelakuan dan hukuman atas tindakan-tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota subak. Pelanggaran yang terjadi akan disampaikan kepada kelian subak dan hukuman selanjutnya akan ditetapkan pada pertemuan berikutnya. Umumnya pelanggaran yang timbul berkaitan dengan keterlambatan datang pada suatu pekerjaan subak, sama sekali tidak datang, datang tanpa membawa alat yang dibutuhkan, serta pencurian air. Hukuman dari setiap pelanggaran yang dibuat biasanya berupa denda. Peraturan mengenai waktu menanam juga termuat dalam “awig-awig” subak yang disebut “kerta mase” yakni peraturan subak tentang penertiban penanaman di sawah menurut masa atau musim yang ditetapkan oleh subak (Arya, 1980 dalam Suyatna, 1982). Berdasarkan penelitian Grader (1960) dalam Ambler (1991) menyebutkan bahwa subak mempunyai dua kewajiban utama subak yaitu: pekaryan dan penyubaktian. Pekaryan merupakan kewajiban di luar keagamaan antara lain; membuat, memelihara dan memperbaiki bendungan, terowongan, saluran air dan juga jalan subak. Penyubaktian merupakan kewajiban yang ada hubungannya dengan keagamaan antara lain; membuat sesajen dan sembayang di pura subak. 3
http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/detail.php?dataId=4858, diunduh pada 7 Oktober 2010
18
Selain dua kewajiban utama tersebut, subak juga memiliki fungsi dalam hal perolehan air, alokasi air, pengadaan sumber daya, dan menyelesaikan berbagai perselisihan atau konflik yang terjadi. Selain memiliki seperangkat aturan, subak juga memiliki struktur kepengurusan. Susunan pengurus pada setiap subak berbeda-beda. Perbedaan susunan pengurus ini disesuaikan dengan kebutuhan subak. Semakin besar anggota subak, semakin luas sawahnya, dan semakin menyebar tempat tinggal anggota maka pengurus subak juga semakin banyak. Adapun struktur kepengurusan subak terdiri dari: pekaseh atau kelian (ketua), kelian tempek, kesinoman (juru arah), dan kerama subak (anggota). Gabungan dari beberapa subak atau beberapa tempek disebut Subak Gede dan ketuanya disebut Kelian Gede. Penggabungan biasanya terjadi karena air yang diperoleh berasal dari satu sumber.
2.1.6. Kelembagaan Umumnya kelembagaan sering diartikan sebagai organisasi yang dalam banyak hal dapat merancukan pengertian yang sebenarnya dari kelembagaan tersebut, seperti yang dipaparkan oleh Schmid (1978) dalam Tonny (2004) bahwa kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat yang telah mendefinisikan kesempatan-kesempatan yang tersedia, mendefinisikan bentukbentuk aktifitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan serta tanggungjawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu. Kelembagaaan mengarahkan perilaku individu dan masyarakat agar sejalan dengan tujuan umum (publik) yang ditetapkan. Secara lebih khas kelembagaan dapat
dipahami sebagai sistem
pengorganisasian dan kontrol terhadap sumberdaya yang merupakan gugus kesempatan bagi pelaku yang mendukung kelembagaan tersebut dalam melaksanakan aktifitasnya. Kelembagaan seperti ini dicirikan oleh batas yuridiksi, property rights, dan aturan representasi. Batas yuridiksi diartikan sebagai wilayah
19
kekuasaan atau batas wewenang (otoritas) yang dimiliki suatu kelembagaan. Perubahan batas yuridiksi ditentukan oleh perasaan se-komunitas, eksternalitas, homogentitas, dan skala ekonomi. Ciri property rights dipahami sebagai suatu hukum, adat, dan tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar orang dan antar organisasi sosial terhadap sumberdaya. Sedangkan aturan representasi mengatur siapa yang berhak berpartisipasi terhadap apa dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian perubahan kelembagaan dicirikan oleh perubahan satu atau lebih dari unsur-unsur tersebut. Rintuh (2003) juga memaparkan tentang pendapat para ahli bahwa kelembagaan dapat diartikan sebagai suatu norma atau kaidah peraturan atau organisasi yang memudahkan koordinasi dalam membentuk harapan masingmasing yang mungkin dapat dicapai dengan saling bekerja sama. Kelembagaan yang dimaksud meliputi semua lembaga sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain baik dalam bentuk organisasi maupun tradisi dan pranata yang terdapat dalam masyarakat yang terdiri dari unsur publik, swasta, dan lembaga swadaya. Pengertian kelembagaan didefinisikan juga oleh Koendjoroningrat (1965) sebagai suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada serangkaian aktifitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam masyarakat. Definisi tersebut menekankan pada tata kelakuan yang mencakup norma-norma dan perilaku yang terus menerus mendukung pencapaian tujuantujuan tertentu yang bernilai secara kolektif. Sistem norma yang mengatur hidup dengan tujuan tertentu apabila diwujudkan dalam hubungan antar manusia disebut organisasi. Sejalan dengan hal tersebut, Norman Uphoff (1986) dalam Tonny (2004) menyebutkan bahwa organisasi merupakan bentuk dari institusi pada tingkat tata kelakuan dalam kehidupan sehari-hari yang ditandai dengan adanya peranan dan struktur, sementara yang lainnya tampil dengan pengaruh-pengaruh abstrak. Institusi sebagai kompleks norma-norma dan perilaku yang muncul sepanjang waktu dengan melayani tujuan-tujuan yang khusus dan penting dapat berbentuk kongkrit dan spesifik. Uphoff juga membedakan antara institusi dan organisasi dalam pengertian institusi yang bukan organisasi (seperti: hak ulayat,
20
perkawinan), institusi yang sekaligus organisasi (seperti: Bank Central Asia, Asosiasi), dan organisasi yang bukan institusi (sepeti: Organisasi Atletik). Berdasarkan beberapa pengertian kelembagaan yang telah dipaparkan tersebut, kelembagaan yang akan menjadi fokus kajian ialah terkait dengan kelembagaan irigasi baik kelembagaan irigasi sebagai suatu pranata maupun kelembagaan irigasi sebagai suatu organisasi yang ditandai dengan adanya peranan dan struktur. Pada bidang irigasi telah dikenal berbagai lembaga baik yang bersifat tradisional seperti subak di Bali, ulu-ulu atau ili-ili di Jawa, raksabumu, ngalambang, penganir atau centeng di Jawa Barat maupun kelompok tani yang baru dikembangkan oleh pemerintah. Menurut Robert Chambers (1977) dalam Kalo (1979) suatu lembaga pengairan harus mempunyai 4 fungsi yaitu: (1) menentukan keputusan strategis tentang penggunaan air irigasi yang meliputi: waktu pemberian, jumlah air yang dialokasikan, areal yang perlu diprioritaskan, tanaman yang akan ditanam dan pemeliharaan saluran irigasi, (2) melaksanakan keputusan-keputusan yang telah ditentukan, (3) mengawasi kelancaran air yang telah dialokasikan, dan (4) melakukan pengamanan serta penuntutan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam pemakaian air irigasi. Dilihat dari fungsi dan pengertiannya suatu lembaga pengairan baik yang sederhana maupun kompleks harus mempunyai kemampuan mengorganisir anggota-anggotanya dalam pengelolaan pengairan yang ada seefisien mungkin. Konsep kelembagaan yang telah dipaparkan tersebut di atas, dalam sistem subak dibedakan menjadi dua bagian yakni kelembagaan dalam bentuk aturanaturan dan kelembagaan dalam bentuk struktur yang terdiri dari berbagai peran di dalamnya. Aturan yang dimaksud dalam hal ini adalah “awig-awig” sebagai pedoman bagi setiap anggota subak dan struktur yakni kepengurusan yang terdapat dalam subak terkait dengan peran serta tugas dan tanggung jawab setiap anggota.
21
2.2. Kerangka Pemikiran Pariwisata sebagai penggerak perekonomian Bali, dalam perkembangan dan pengembangannya memiliki dampak terhadap aspek kehidupan masyarakat khususnya masyarakat sekitar objek wisata. Banyaknya kunjungan wisatawan secara tidak langsung menuntut adanya pemenuhan sarana dan prasarana yang mampu mendukung terselenggaranya kegiatan pariwisata. Hal ini tentunya akan berdampak pada sektor pertanian dalam hal terjadinya konversi lahan, fragmentasi lahan dan pola mata pencaharian. Dampak pariwisata terhadap sektor pertanian ini, selanjutnya akan mempengaruhi keberlanjutan dari sistem subak yang ditinjau dari kelembagaan subak, jumlah keanggotaan subak dan pengelolaan jaringan irigasi. Selain sektor pariwisata, keberlanjutan sistem subak juga dipengaruhi oleh komponen budaya, sosial, dan artefak. Hal ini karena ketiga komponen tersebut merupakan perwujudan dari nilai-nilai Tri Hita Karana yang merupakan pilar penting untuk mempertahankan keberlanjutan dan kelestarian subak. Alur kerangka pemikiran yang menggambarkan dampak pengembangan pariwisata terhadap keberlanjutan subak, secara ringkas dapat dilihat pada gambar berikut ini. Budaya - Pola pikir dalam pembagian air irigasi - Kegiatan keagamaan
Pariwisata - Jumlah wisatawan - Jumlah sarana dan prasarana wisata
Sektor Pertanian - Konversi Lahan - Fragmentasi Lahan - Pola mata pencaharian
Keberlanjutan Subak - Kelembagaan subak - Jumlah keanggotaan subak - Pengelolaan jaringan irigasi
Sosial - Kepengurusan subak - Penyediaan dan distribusi air irigasi - awig-awig
Artefak - Ketersedian jaringan irigasi - Ketersediaan air Keterangan:
hubungan pengaruh
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
22
2.3. Hipotesa Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dipaparkan tersebut, hipotesis penelitian yang diajukan adalah pariwisata di Bali berdampak terhadap keberlanjutan Subak Embukan di Desa Ababi ditinjau dari segi kelembagaan, jumlah keanggotaan subak, dan pengelolaan jaringan irigasi.
2.4. Definisi Operasional Untuk mengukur variabel-variabel yang akan digunakan dalam penelitian ini, maka dikemukakan rumusan batasan serta operasionalisasi dari masingmasing variabel tersebut. Adapun variabel-variabel yang akan dioperasionalkan adalah: 1.
Jumlah wisatawan adalah banyaknya pengunjung objek wisata dengan motivasi tertentu seperti memperoleh kesenangan, kepuasan, pengujian, observasi, dan penelitian (Barika, 2009). Banyaknya jumlah kunjungan wisatawan akan diukur dalam rentang waktu tiga tahun.
2.
Jumlah sarana dan prasarana wisata adalah banyaknya fasilitas, infrastruktur dan atau pelayanan umum yang dibangun untuk mendukung kegiatan pariwisata.
3.
Konversi
lahan
pertanian
adalah
kecepatan
transformasi
dalam
pengalokasian sumber daya lahan dari pemanfaatan untuk sawah menjadi pemanfaatan non-sawah (Budiman, 2009). Konversi lahan akan diukur dalam hektar per tahun. 4.
Fragmentasi lahan adalah banyaknya petani anggota subak yang melakukan pembagian tanah yang disebabkan oleh sistem pewarisan, jual-beli, hibah, persewaan dan penyakapan (Wastutiningsih dan Subejo, 2004). Fragmentasi lahan akan diukur dalam hektar per tahun.
5.
Pola mata pencaharian adalah banyaknya anggota yang melakukan nafkah ganda atau bekerja selain sebagai petani pada sektor pariwisata.
6.
Kelembagaan subak adalah perubahan norma atau nilai atau aturan-aturan yang berlaku dalam sistem subak (Syahyuti, 2006).
23
7.
Jumlah keanggotaan subak adalah banyaknya anggota subak yang tidak lagi tergabung dalam subak dalam rentang waktu lima tahun.
8.
Pengelolaan jaringan irigasi adalah frekuensi kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi jaringan irigasi.
24
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian yang dilakukan berlokasi di Bali tepatnya di Desa Ababi, Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa lokasi penelitian merupakan salah satu lokasi yang subaknya telah terkena dampak dari pengembangan pariwisata. Lokasi yang menjadi tempat penelitian yaitu Subak Embukan yang merupakan satu-satunya subak di Desa Ababi yang secara langsung berdampingan atau mengililingi kawasan objek wisata di desa tersebut. Pengumpulan data dilakukan sejak bulan April sampai Mei 2011. Pengolahan data dan hasil penulisan laporan dilakukan pada bulan Juni sampai Juli 2011.
3.2. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan didukung oleh data kuantitatif. Penelitian kualitatif digunakan untuk menerangkan dan memberikan pemahaman secara mendalam mengenai suatu peristiwa atau gejala sosial, serta mampu menggali berbagai realitas dan proses sosial yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang dari orang-orang yang menjadi subjek penelitian. Pengambilan data kualitatif diperoleh dengan melakukan observasi langsung dilapangan, wawancara mendalam, dan dokumen tertulis. Data-data yang terkumpul akan disusun secara sisitematis dan apa adanya dalam bentuk catatan harian tanpa unsur analisis di dalamnya. Catatan harian merupakan data mentah yang nantinya akan diolah dan dianalisis untuk penarikan kesimpulan. Data kuantitatif diperoleh dengan metode survei menggunakan kuesioner untuk mencari informasi faktual secara detail tentang hal-hal yang sedang menggejala dan mengidentifikasi masalah-masalah atau untuk mendapatkan justifikasi keadaan dan kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan (Wahyuni dan Muljono 2009). Metode survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu
25
populasi dan bertujuan untuk menjelaskan hubungan kausal antara variabelvariable melalui pengujian hipotesa atau explanatory research (Singarimbun dan Effendi 1989). Teknik dan metode pengumpulan data di lapangan secara lebih jelas akan ditunjukkan pada gambar berikut ini. Konsep
Variabel
Metode Pengumpulan Data
-
Jumlah wisatawan
- Pengumpulan data sekunder di tingkat kabupaten dan kecamatan
-
Jumlah sarana dan prasarana wisata
- Pengumpulan data sekunder di tingkat kecamatan dan desa
-
Konversi lahan
-
Fragmentasi lahan
-
Pola mata pencaharian
-
Kelembagaan subak yaitu nilainilai atau aturan yang berlaku dalam subak Jumlah keanggotaan subak
-
Pengelolaan jaringan irigasi
-
Pola pikir dalam pembagian air irigasi
-
Kegiatan keagamaan
-
Kepengurusan subak
-
Penyediaan dan distribusi air irigasi
-
Awig-awig
-
Ketersediaan jaringan irigasi
-
Ketersediaan air irigasi
Pariwisata
Sektor pertanian
Keberlanjutan subak
Budaya
Sosial
- Pengumpulan data menggunakan kuesioner
primer
- Respondennya adalah anggota petani subak di Desa Sidemen
- Pengumpulan data primer melalui wawancara mendalam dan observasi - Pengumpulan data sekunder yang diperoleh melalui dokumen tertulis dan studi literatur dari hasil penelitian-penelitian ilmiah terdahulu - Sumber utama informasi adalah pengurus subak
Artefak
Gambar 2. Matriks Konsep, Variabel dan Metode Pengumpulan Data
Banyaknya responden yang dipilih dalam penelitian ini yaitu berjumlah 30 orang yang dijumpai peneliti pada saat melakukan pengambilan data di lapangan. Responden tersebut merupakan anggota petani yang tergabung dalam Subak
26
Embukan. Unit analisis dalam pengambilan data kuantitatif adalah individu yaitu anggota petani subak. Subjek penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi responden dan informan. Informan yang dipilih dalam penelitian ini meliputi para kelian subak atau pengurus subak dan tempek serta pihak Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) Dinas Pertanian Kecamatan Abang. Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner, wawancara mendalam dan observasi. Data sekunder diperoleh melalui dokumen tertulis yang diperoleh dari lokasi penelitian, seperti: peta lokasi, data potensi desa dan data lainnya yang dapat memberikan informasi terkait dengan penelitian yang akan dilakukan. Selain itu, pengumpulan data kualitatif juga diperoleh melalui studi literatur seperti buku, tesis, disertasi, skripsi dan hasil penelitian terdahulu lainnya.
3.3. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data kualitatif dilakukan dengan menyusun semua data mentah dengan sistematis dan selanjutnya dinalisis dalam bentuk teks naratif sesuai dengan tujuan penelitian. Untuk pengolahan data kuantitaif, hasil pengumpulan data melalui kuesioner kemudian di editing untuk meneliti kembali apakah data tersebut sudah cukup siap untuk diklasifikasi dan diolah lebih lanjut. Data-data kuantitatif tersebut, kemudian dimasukkan ke lembar penyimpanan data dalam Microsoft Excel 2007. Data yang telah diolah, selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel atau diagram dengan tujuan untuk memberikan informasi yang dapat mendukung data kualitatif yang telah diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi. Hasil analisis tersebut kemudian ditarik kesimpulan untuk menjawab tujuan penelitian.
27
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1.
Profil Desa Ababi
4.1.1. Sejarah Desa Ababi Nama asli Desa Ababi dalam Purana Desa Adat Ababi adalah “Karaman Ihara Babi.” Sejak zaman kerajaan di Bali, sebagian dari lembaran purana tersebut hilang sehingga hanya tersisa tiga lembar. Kini satu di antara tiga lembar purana tersebut telah pecah. Purana merupakan kumpulan cerita kuno yang terkumpul dari kalangan rakyat yang mengisahkan kehidupan para Dewa tentang penciptaan semesta. Purana desa ini terbuat dari tembaga dengan tulisan huruf Bali kuno atau para huruf Bali. Berdasarkan penelitian Dinas Kepurbakalan terhadap purana tersebut pada bulan Agustus tahun 1980, diperkirakan bahwa Desa Adat Ababi telah berdiri sejak zaman pemerintahan Raja Sri Anaka Wungsu di Bali. Mengacu pada Purana Desa Adat Ababi, nama Desa Ababi yakni “Karaman Ihara Babi” memiliki beberapa pengertian yakni: Karaman yang artinya masyarakat atau krama Ihara yang artinya pohon eha (sejenis pohon penghijauan yang tumbuh di lereng-lereng tebing) Babi yang artinya buah pohon eha yang bernama buah babi Berdasarkan ketiga pengertian tersebut maka “Karaman Ihara Babi” memiliki arti sebagai masyarakat yang bernaung di bawah pohon eha yang sedang berbuah. Pohon eha ini juga memiliki hubungannya dengan cerita mata air eha yang terdapat di Desa Ababi atau juga terkait dengan pertama kalinya masyarakat Ababi tiba dan bermukim di bawah pohon eha yang sedang berbuah. Asal-usul nama Desa Ababi sendiri juga berasal dari tiga kata yaitu “Karaman Ihara Babi”. Karaman yang berarti masyarakat, Hara yang berarti pohon eha, dan Babi yang berarti buah eha, kemudian oleh masyarakat disebut dengan Hara Babi atau Eha Babi yang selanjutnya menjadi Ababi. Purana Desa Ababi menceritakan bahwa Raja Bali pernah mengutus “pakiran-kiran” (tim peneliti) untuk meneliti laporan Prajuru Desa Adat Ababi
28
yang memohon bebas upeti. Setibanya di Desa Ababi, pakiran-kiran yang dipimpin oleh Dang Acarya Kuturan Lembu Kara langsung mengadakan penelitian dan sesuai dengan laporan Prajuru Desa akhirnya Desa Ababi di bebaskan dari upeti. Raja Bali juga memerintahkan agar masyarakat Desa Ababi tetap berhati-hati dalam bercocok tanam serta tetap melaksanakan pemberantasan hama secara berkala niskala. Desa Adat Ababi hingga saat ini masih melaksanakan perintah Raja Bali tersebut, yaitu mengadakan Upacara Palebon Jero Ketut (pengabenan tikus). Upacara tersebut bertujuan untuk memberantas tikus-tikus dan kemudian tikus tersebut diupacarakan (ngaben) dengan maksud untuk mengembalikan ke alam aslinya. Selain cerita tersebut di atas, dalam Purana Desa Adat Ababi diceritakan juga bahwa konon pada zaman dahulu kala Dewi kemakmuran yaitu Betara Dewi Dabuh pernah memberikan suatu anugrah suci kepada wong (orang-orang) Desa Ababi setelah sebelumnya Ida Betara melewati beberapa Desa seperti Tianyar, Culik, dan Abang. Dikisahkan dalam perjalanannya, Ida Betara membawa sebungkus air yang dibungkus dengan daun kumbang sejenis daun talas. Setelah tiba di Desa Ababi, sebagian besar air tersebut akan ditumpahkan oleh Ida Betara dengan syarat harus dilakukannya upacara “Bukakak Kebo Metanduk Emas.” Orang-orang Desa Ababi menyetujui serta menyanggupi permintaan Ida Betara tersebut dan seketika itu juga air tersebut ditumpahkan di bawah pohon Eha sehingga sampai saat ini mata air tersebut di beri nama Air Eha. Sisa dari air yang telah ditumpahkan di Desa Ababi kemudian dibawa oleh Ida Betara ke Desa Jungutan (Desa Adat Sibetan) dan dengan permintaan serta persyaratan yang sama, Ida Betara menumpahkan air yang berasal dari titisan air. Tempat tersebut kemudian diberi nama Telaga Tiista (Telaga Tista). Daun kumbang sebagai pembungkus air tersebut dilemparkan di atas telaga tista dan sampai saat ini disebut kumbang. Desa Ababi sejak dahulu kala telah memiliki akar kebudayaan yang sangat kuat. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya purana dan awig-awig desa. Desa babi juga telah mengalami pemekaran menjadi lima Desa Adat yaitu Kesimpar, Peladung, Kertasari, Tampuangan dan Jasi. Oleh karena Desa Adat tersebut merupakan bekas wilayah Desa Ababi maka hingga saat ini masih terdapat hubungan kerja atau ikatan antara desa-desa tersebut.
29
4.1.2. Lambang Desa Ababi Berdasarkan Purana Desa Adat Ababi, lambang desa Ababi juga mencerminkan “Karaman Ihara Babi” yang terdiri dari beberapa simbol seperti: perisai dasar lambang segi lima, pohon eha, akar pohon eha, pohon eha bercabang tiga dengan mahkota daun segitiga, kerbau bertanduk mas, mata air, batu besar, api pedupaan dan motto yang mengikat pada lambang. Agar lebih jelas, pada gambar berikut akan ditunjukkan lambang desa Ababi dengan simbol-simbolnya.
Gambar 3. Lambang Desa Ababi
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa lambang tersebut terdiri dari banyak simbol. Namun dari keseluruhan simbol yang ada, terdapat tiga simbol utama yang penting pada lambang tersebut yaitu: - Pohon eha yang mencirikan masyarakat Ababi pada waktu pertama kalinya diceritakan tiba dan bernaung di bawah pohon eha yang berbuah (Hara Babi) - Kerbau yang bertanduk emas menanduk tanah sehingga keluar air, merupakan ciri korban suci masyarakat Ababi untuk upacara kemakmuran. Upacara ini dilakukan sebagai wujud ucapan terimakasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas kemurahannya mengaruniai air untuk kepentingan kemakmuran bumi.
30
- Api pedupaan yang membakar tikus merupakan wujud dari keyakinan memberantas hama secara keyakinan dan ilmiah. Secara keseluruhan arti dari lambang desa Ababi adalah atas dasar pengayoman dari Pancasila dan UUD 1945 dengan kedamaian masyarakat Ababi bergotong royong membangun desa, memberantas kemelaratan dan musuh-musuh pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan kebenaran. Lambang dari Desa Ababi telah disepakati dan disyahkan melalui musyawarah desa dalam sidang Lemudes pada tanggal 27 Januari 1981, bertempat di Kantor Perbekel Desa Ababi.
4.1.3. Kondisi Geografis Desa Ababi Desa Ababi merupakan salah satu desa yang terletak di wilayah Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem yang memiliki luas wilayah sebesar 1.060.535 hektar dan berada pada ketinggian rata-rata ± 573 meter di atas permukaan air laut dengan suhu minimum sebesar 290c dan suhu minimum sebesar 350c. Desa Ababi juga memiliki curah hujan sebesar 2887,7 milimeter dengan kelembapan udara sebesar 5 – 15 0c. Wilayah desa Ababi terdiri dari 12 dusun atau banjar, yaitu: Banjar Ababi, Banjar Tanah Lengis, Banjar Besang, Banjar Pikat, Banjar Umanyar, Banjar Gunaksa, Banjar Bias, Banjar Sadimara, Banjar Kuhun, Banjar Abianjero, Banjar Tumpek, dan Banjar Tukad Bungbung. Beberapa nama dusun atau banjar tersebut memiliki persamaan nama dengan beberapa tempat di Klungkung. Hal ini mencirikan bahwa Desa Ababi mempunyai hubungan yang erat dengan Kerajaan Klungkung yakni orang-orang Klungkung yang berpindah ke Desa Ababi yang ditugaskan Kerajaan Bali untuk mengamankan desa pada waktu itu. Selain memiliki dua belas banjar, Desa Ababi juga memiliki satu Desa Adat atau Desa Pakraman Ababi yang terdiri dari: lima Banjar Adat Murwa (Ngarep), tiga Banjar Adat Pemade, dua Banjar Adat Pragunung, dan tiga Desa Adat Sasempalan. Bentuk wilayah desa ini juga berbeda-beda menurut letaknya. Sebelah utara Desa Ababi merupakan daerah dataran tinggi yang berbatasan langsung dengan Desa Pidpid atau Abang. Sebelah timur adalah daerah dengan tanah berbukit kecil
31
yang sebagian besarnya area persawahan dan berbatasan dengan Desa Tiyingtali. Sebelah baratnya adalah daerah datar yang berbatasan dengan Desa Budakeling dan Bhuana Giri. Bagian selatan berbatasan dengan Desa Padangkerta dan merupakan daerah dataran rendah dan sawah. Sedangkan daerah bagian tengahtengah Desa Ababi berbentuk tanah berbukit kecil (tidak datar). Jarak pusat pemerintahan Desa Ababi dengan ibu kota Karangasem adalah sekitar tujuh kilometer ke arah utara dari pusat kota Amlapura dan jarak dengan ibukota Denpasar adalah 83 kilometer. Sarana transportasi yang digunakan adalah transportasi darat berupa motor, mobil atau bus. Jika menggunakan kendaraan motor atau mobil, lama waktu yang dibutuhkan dalam perjalanan dari Denpasar ke Amlapura sekitar 1 jam 40 menit dan dari Amlapura ke Ababi sekitar 15 menit. Sedangkan lama waktu perjalanan jika menggunakan bus atau transportasi umum yakni sekitar 3 jam dari Denpasar ke Amlapura dan sekitar 20 menit dari Amlapura ke Desa Ababi.
4.1.4. Kondisi Demografi Desa Ababi Desa Ababi memiliki jumlah penduduk sebanyak 9138 jiwa yang terdiri atas penduduk laki-laki sejumlah 4474 jiwa dan penduduk perempuan sejumlah 4664 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 2553 jiwa. Pada Tabel 1 diperlihatkan jumlah dan persentase penduduk laki-laki dan perempuan menurut golongan umur. Berdasarkan data yang terdapat pada tabel tersebut, menunjukkan bahwa dari 100 persen jumlah penduduk desa Ababi, sebanyak 40 persen atau sebanyak 3.817 jiwa adalah penduduk dengan golongan umur 16-55 tahun. Penduduk yang termasuk dalam golongan umur tersebut merupakan penduduk dengan usia produktif yakni telah mampu memenuhi kebutuhan hidupnya seharihari. Sebanyak 31 persen adalah penduduk dengan golongan umur diatas 55 tahun, dan 29 persen adalah penduduk dengan golongan usia 0-15 tahun. Data pada Tabel 1 juga menunjukkan bahwa persentase penduduk laki-laki yang berusia 0-15 tahun lebih kecil dibandingkan dibandingkan dengan persentase penduduk perempuan dengan golongan usia yang sama yakni 27 persen untuk penduduk laki-laki dan 31 persen untuk penduduk perempuan. Sebaliknya,
32
persentase penduduk dengan golongan usia di atas 55 tahun untuk laki-laki lebih banyak yakni sebesar 33 persen dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan yaitu sebesar 30 persen. Tabel 1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Golongan Umur Desa Ababi, 2010 Golongan Umur
Penduduk (Jiwa)
Total
%
31
2.777
29
1.889
40
3.817
40
33
1.407
30
2.994
31
100
4.754
100
9.588
100
Laki-laki
%
Perempuan
%
a. 0-15 tahun
1.319
27
1.458
b. 16-55 tahun
1.928
40
c. > 55 tahun
1.587
Total
4.834
Sumber: Data Penduduk Desa Ababi, 2010
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penduduk Desa Ababi memiliki kepala keluarga sebesar 2.553 jiwa dan digolongkan ke dalam beberapa tingkatan berdasarkan kesejahteraan sosialnya dimasyarakat. Penggolongan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan Desa Ababi, 2010 Jumlah Kepala Keluarga (KK)
%
Miskin Sedang
858 945
33,60 37,02
Kaya
150
5,88
Sejahtera Prasehtera
350 250
13,71 9,79
2.553
100
Tingkat Kesejahteraan
Total Sumber: Data Penduduk Desa Ababi, 2010
33
Tingkat kesejahteraan sosial yang berlaku pada penduduk Desa Ababi, secara langsung ataupun tidak langsung memiliki dampak terhadap tingkat pendidikan yang ditempuh oleh anggota keluarga yang bersangkutan. Sebagian besar penduduk Desa Ababi telah menempuh pendidikan dasar sembilan tahun. Bahkan ada yang telah mencapai jenjang diploma atau sarjana. Hal ini perlihatkan dengan data yang terdapat pada Tabel 3. Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Desa Ababi, 2010 Tingkat pendidikan
Jumlah (orang)
Persentase
100
1,23
SD
2.000
24,69
SLTP
3.000
37,04
SLTA
2.000
24,69
Diploma/Sarjana
1.000
12,35
Total
8.100
100
Tidak Tamat SD
Sumber: Data Penduduk Desa Ababi, 2010
Berdasarkan data pada Tabel 3, menunjukkan bahwa sebesar 37 persen atau 3.000 penduduk Desa Ababi telah menempuh pendidikan pada tingkat SLTP. Kemudian sebesar 24,69 persen penduduk telah menempuh pendidikan SD dan SLTA serta 12 persennya telah menempuh pendidikan tingkat diploma/sarjana. Sedangkan sisanya yaitu 1,23 persen adalah penduduk yang tidak tamat SD. Mengacu pada data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa lebih dari 50 persen jumlah penduduk di Desa Ababi telah memperoleh pendidikan yang tinggi atau telah menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun. Tingkat pendidikan yang telah ditempuh pada akhirnya akan menentukan kesempatan kerja yang akan menjadi sumber mata pencaharian bagi penduduk Desa Ababi. Mata pencaharian utama penduduk Desa Ababi masih bertumpu pada sektor pertanian sawah. Sebanyak 1.838 dan 895 penduduk bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Selain itu, terdapat juga penduduk yang memiliki mata
34
pencaharian sebagai peternak dan tukang batu sebesar 1000 orang untuk masingmasing jenis mata pencaharian, sebanyak 900 orang bermata pencaharian sebagai tukang kayu, sebanyak 700 orang bekerja sebagai pedagang, dan sebanyak 1500 orang yang bekerja sebagai pengrajin serta 100 orang bekerja sebagai penjahit. Tidak hanya terbatas pada sektor pertanian dalam arti luas, tetapi juga terdapat sejumlah penduduk Desa Ababi yang bekerja di sektor pemerintahan sebagai sumber mata pencahariannya. Untuk PNS terdapat sebanyak 150 orang yang masih bekerja aktif. Sedangkan penduduk yang terhitung sebagai pensiunan sebanyak 40 orang. Kemudian terdapat juga yang bekerja sebagai TNI/POLRI dan Perangkat Desa. Masing-masing sebanyak 60 orang dan 19 orang. Persentase jumlah penduduk berdasarkan mata pencahariaannya, dapat dilihat pada diagram yang terdapat dalam Gambar 4. Berdasarkan data yang terdapat pada Gambar 4 dapat disimpulkan bahwa sebesar 45,51 persen jenis mata pencaharian penduduk Desa Ababi adalah pada sektor pertanian yakni 22,41 persennya sebagai petani, sebesar 10,91 persen sebagai buruh tani, dan 12,19 persen sebagai peternak. Selanjutnya, sebesar 23,16 persen bermata pencaharian sebagai tukang, sebesar 19,52 persen bekerja di bidang industri kerajinan tangan, sebagai pedagang sebesar 8,35 persen dan sebesar 3,28 persen bekerja pada sektor pemerintahan.
Gambar 4. Persentase Penduduk Berdasarkan Jenis Mata Pencaharian Desa Ababi, 2010
35
Sektor pertanian khususnya pada daerah Bali memiliki peranan penting dalam segi kehidupan masyarakat Bali secara keseluruhan. Hal ini karena sektor pertanian merupakan tempat dimana budaya Bali tumbuh dan berkembang. Pertanian dan budaya masyarakat Bali sangat erat kaitannya dengan kepercayaan atau keyakinan yang dianut oleh masyarakat tersebut. Sebagian besar masyarakat Bali menganut agama Hindu. Begitu juga halnya dengan penduduk Desa Ababi yang sebanyak 9.574 jiwa (99,86 persen) menganut agama Hindu dan sisanya yaitu 14 jiwa (0,14 persen) menganut agama Kristen Protestan. Sebagai suatu desa yang yang berkewajiban mengatur wilayahnya dan masyarakat yang tinggal di dalamnya, tentunya membutuhkan dana untuk mendukung keberlangsungan kerjanya. Oleh karena itu, Desa Ababi memiliki beberapa sumber penerimaan desa yang berasal dari pungutan desa, pendapatan tanah kas desa, alokasi dana desa, dan sumbangan atau kerja sama pihak ke tiga. Dana pungutan Desa Ababi tergolong kecil, namun sejak dua tahun terakhir telah mengalami peningkatan karena adanya pemasukan dari air minum yang telah dioptimalkan pengelolaannya oleh desa. Untuk pendapatan tanah kas desa berasal dari para penggarap yang disetor setiap bulannya kepada desa dan tergolong lebih sedikit dibandingkan pemasukan dari sumber dana lainnya. Sumber penerimaan dana yang paling besar berasal dari alokasi dana desa yakni dari pemerintah dan besaran dananya dapat berubah tiap tahunnya sesuai dengan kebijakan Pemerintah Kabupaten. Penerimaan desa yang terakhir bersumber dari sumbangan dan kerja sama dengan pihak ke tiga yang bisa berubah setiap tahunnya tergantung pada jumlah pungutan yang diperoleh.
4.2. Karakteristik Responden Anggota petani Subak Embukan yang menjadi responden dalam penelitian ini rata-rata berusia 37 tahun sampai 50 tahun dan telah bergabung atau menjadi anggota Subak Embukan selama kurang lebih 15 tahun sampai 30 tahun dan seluruhnya adalah penganut agama Hindu. Responden merupakan penduduk asli Desa Ababi yang sehari-harinya bekerja sebagai penggarap di sawah. Namun selain bekerja sebagai petani, hampir sebagian besar responden bekerja sebagai
36
buruh bangunan di pabrik atau juga menjadi tukang. Hal ini dilakukan agar dapat memperoleh tambahan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pada tabel berikut ini akan diperlihatkan jumlah responden yang memiliki pekerjaan sampingan selain sebagai petani. Tabel 4. Jumlah Responden Petani Subak Embukan Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Luar Sektor Pertanian Sawah, 2010 Jenis Pekerjaan di Luar Sektor Pertanian Sawah
Jumlah
%
Buruh bangunan/pabrik
16
53%
Tukang
5
17%
Tidak memiliki nafkah non-pertanian
9
30%
Total
30
100%
Sumber: Data Keanggotaan Subak Embukan (diolah), 2010
Data yang diperlihatkan pada Tabel 4 tersebut, menunjukkan bahwa sebanyak 70 persen anggota petani Subak Embukan memiliki pekerjaan sampingan di luar sektor pertanian sawah yakni 53 persen bekerja sebagai buruh bangunan/pabrik dan 17 persen nya bekerja sebagai tukang. Namun, terdapat 30 persen dari responden tidak memiliki pekerjaan lain di luar sektor pertanian sawah. Persentase tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar petani Subak Embukan telah melakukan nafkah ganda. Selain itu, angka tersebut juga menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh dari sektor pertanian belum dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari.
4.3. Kegiatan Pertanian Desa Ababi memiliki wilayah yang luas dan sebagian besar merupakan hamparan lahan persawahan yang indah. Berdasarkan data potensi desa tahun 2008, struktur penggunaan lahan di Desa Ababi terdiri dari: pertanian sawah atau lahan pengairan teknis dengan luas sebesar 493 hektar, pertanian bukan sawah dengan luas 552,3 hektar, dan lahan non pertanian dengan luas sebesar 40,7
37
hektar. Banyaknya areal pertanian di desa ini juga menyebabkan sebagian besar warga bekerja di sektor pertanian sebagai sumber penghasilan utama. Pada sektor pertanian ini, komoditi utamanya adalah tanaman padi. Umumnya petani di Bali khususnya di Desa Ababi termasuk ke dalam anggota subak yaitu suatu kelembagaan yang mengelola air irigasi secara tradisional. Petani yang termasuk sebagai anggota, kemudian akan dikelompokkan lagi berdasarkan kelompok tempek yang ada pada masing-masing subak dengan tujuan untuk mempermudah pengalokasian air ke masing-masing sawah. Para petani di desa ini, memulai kegiatan bertaninya pada pagi hari sekitar jam tujuh sampai jam sepuluh dan dilanjutkan lagi pada sore hari pada jam tiga sampai jam enam sore. Sebelum memulai menanam padi, para petani biasanya membersihkan telabah-telabah yang menyalurkan air irigasi ke sawah. Hal ini dilakukan agar air yang akan dialirkan tidak mengalami hambatan. Selain itu, dilakukan berbagai kegiatan upacara baik secara individu maupun perkelompok sesuai dengan kepercayaan terhadap agama Hindu. Petani Desa Ababi sebagian besar adalah petani penggarap dan lahan persawahan yang digarap bukanlah milik pribadi melainkan milik pura. Penggarap atau yang disebut juga penyakap merupakan bentuk ikatan ekonomi-sosial antara pemilik tanah dengan penyakap. Pemilik tanah akan menyerahkan tanahnya untuk digarap oleh penggarap dengan persyaratan-persyaratan yang telah disepakati bersama. Persyaratan tersebut umumnya mengenai resiko yang harus ditanggung dan besarnya bagian yang harus diterima oleh masing-masing pihak atau yang dikenal dengan sistem bagi hasil. Persyaratan penting yang harus dipatuhi oleh pihak penggarap adalah lahan milik pura ini tidak boleh diperjualbelikan tanpa ijin dari pihak pura. Selain itu, subak juga bertanggung jawab terhadap lahan yang telah diberikan pura untuk dikelola. Oleh karena lahan persawahan adalah milik pura maka terdapat sistem bagi hasil antara petani dengan pihak pura yang harus diserahkan kepada pura setiap kali selesai memanen padi. Hasil tersebut kemudian akan digunakan untuk keperluan dan kepentingan pura. Sistem bagi hasil yang berlaku di Desa Ababi adalah satu banding dua. Satu untuk petani dan dua bagi pemilik lahan. Padi yang telah di panen, oleh sebagian
38
besar petani dijual dalam bentuk gabah kering panen dan hanya beberapa yang menggunakannya untuk konsumsi sehari-hari dan sehingga tidak dijual. Pada sistem bagi hasil, padi yang diberikan juga dalam bentuk gabah kering panen.
4.4. Kegiatan Pariwisata Desa Ababi 4.4.1. Objek Wisata Desa Ababi Desa Ababi merupakan satu-satunya desa di Kecamatan Abang yang memiliki objek wisata budaya yaitu taman Tirta Gangga. Konon taman ini dibangun oleh Raja Karangasem yaitu Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem pada tahun 1948 dan merupakan tempat pemurnian bagi para dewa sehingga dianggap sakral. Taman Tirta Gangga memiliki satu mata air besar yang dianggap oleh warga Desa Ababi sehingga pada mata air ini terdapat pura kecil sebagai tempat sembayang. Mata air ini juga digunakan sebagai sumber air untuk keperluan masyarakat sekitar. Taman Tirta Gangga dikelilingi oleh hamparan sawah yang luas yang dikelola oleh Subak Embukan. Sebagian tempek pada Subak Embukan juga dialiri oleh mata air yang berasal dari Tirta Gangga yaitu Tempek Tirta Gangga, Tempek Embukan Teben, dan Tempek Pancoan. Bangunan yang terdapat pada taman Tirta Gangga terdiri dari tiga bagian yaitu bagian bawah taman, bagian tengah taman, dan bagian atas taman. Pada bagian bawah taman tersebut terdapat dua kolam besar di sisi kiri dan kanannya. Kolam yang berada pada sisi kanan pada bagian tengah terdapat berbagai jenis patung. Bagian tengah taman merupakan tempat pemandian. Wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara (lokal) yang berkunjung ke tempat ini dapat menikmati sarana pemandian dengan membayar tiket sebesar Rp3.000,00 untuk anak kecil dan Rp6.000,00 untuk dewasa. Sedangkan untuk masuk ke lokasi taman Tirta Gangga, pengunjung harus membayar tiket sebesar Rp5000,00. Wisatawan yang berkunjung ke lokasi ini juga dapat beristirahat dengan tenang sambil menikmati pemandangan di taman Tirta Gangga. Fasilitas peristirahatan ini terdapat pada bagian atas taman yang digunakan hanya untuk sekedar bersantai dan tidak digunakan sebagai tempat penginapan. Pada bagian teratas dari taman ini terdapat bangunan pura sebagai tempat sembayang. Dahulu kala taman ini merupakan tempat yang hanya boleh dikunjungi oleh orang-orang
39
tertentu untuk kepentingan persembayangan. Namun seiring berkembangnya pariwisata di Bali, tempat ini mulai dikomersialkan dengan tujuan untuk memperkenalkan budaya Bali.
4.4.2. Perkembangan Pariwisata Desa Ababi Berbicara tentang pariwisata tentunya erat kaitannya dengan objek wisata yang menjadi daya tarik dari kegiatan pariwisata itu sendiri. Suatu daerah tidak akan menjadi tujuan wisata apabila kawasan wisatanya tidak berkembang. Hal ini berarti, suatu daerah akan menjadi menarik untuk dikunjungi apabila objek wisata yang dimilikinya memiliki daya tarik dimata pengunjung. Oleh karena itu, untuk mencapai hal tersebut maka salah satu tujuan dari kegiatan pariwisata harus dijalankan yakni memperkenalkan objek wisata secara luas sehingga mampu mendorong perkembangan dari kawasan objek wisata itu sendiri. Berkembangnya suatu objek wisata atau kawasan wisata dapat dilihat dari banyaknya jumlah kunjungan wisatawan yang berwisata ke tempat tersebut. Kondisi yang demikian adalah kondisi yang juga dialami oleh kawasan objek wisata di Desa Ababi. Adanya warisan objek wisata budaya di Desa Ababi, pada kenyataannya mampu menarik perhatian wisatawan nusantara (wisnu) maupun mancanegara (wisman) untuk berkunjung ke kawasan tersebut. Seperti yang diketahui bahwa Desa Ababi memiliki objek wisata Tirta Gangga sebagai salah satu warisan budaya Bali. Secara umum kunjungan wisatawan ke objek wisata Tirta Gangga dalam kurun waktu tiga tahun terakhir tergolong tinggi jika dibandingkan dengan objek wisata lainnya yang berada di Karangasem. Jumlah kunjungan wisatawan secara total selama kurun waktu tiga tahun akan diperlihatkan pada Tabel 5. Data pada Tabel 5 tersebut menginforrmasikan bahwa kawasan wisata Tirta Gangga merupakan objek wisata ketiga dari sebelas objek wisata yang terdapat di Kabupaten Karangasem yang sering di kunjungi oleh wisatawan setiap tahunnya yaitu sebesar 13,3 persen. Objek wisata yang jumlah kunjungannya paling banyak adalah Besakih sebanyak 30 persen dan diurutan keduanya adalah Tenganan sebesar 18,1 persen. Secara umum, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Karangasem setiap tahunnya mengalami peningkatan. Data tersebut juga
40
menunjukkan bahwa rata-rata kunjungan wisatawan relatif lebih stabil setiap tahunnya untuk kawasan wisata Tirta Gangga. Meskipun data setiap tahun menunjukan terjadi peningkatan jumlah kunjungan wisatawan, namun banyaknya wisatawan yang melakukan kunjungan ke Tirta Gangga untuk setiap bulannya relatif tidak stabil. Pada bulan-bulan tertentu dapat terjadi lonjakan jumlah kunjungan tetapi dapat juga terjadi penurunan jumlah kunjungan. Tabel 5. Jumlah Total Kunjungan Wisatawan Ke Objek Wisata di Kabupaten Karangasem Tahun 2008, 2009 dan 2010 Jumlah Kunjungan Wisatawan Objek Wisata di Karangasem 2008
%
Tahun 2009 %
2010
Total
%
18.480
2,1
%
Puri Agung Karangasem Besakih Tirta Gangga
2,1
7.260
2,5
6.024
1,7
79.909 32 37.948 15,2
90.543 41.162
30,9 14
99.017 40.646
27,9 11,5
269.469 30 119.756 13,3
Tenganan
52.511
21
54.645
18,6
55.167
15,6
162.323 18,1
Padang Bai Jemeluk
18.118 1.414
7,3 0,6
27.526 9.016
9,4 3,1
44.262 8.828
12,5 2,5
89.906 19.258
10 2,1
Telaga Waja Tulamben
8.721 18.212
3,5 7,3
19.819 27.244
6,8 9,3
30.729 27.447
8,7 7,7
59.269 72.903
6,6 8,1
Yeh Malet
627
0,3
648
0,2
885
0,2
2.160
0,2
Candidase Taman Sukasada Ujung
5.379
2,2
2.865
1
7.473
2,1
15.717
1,8
21.555
8,6
12.582
4,3
33.995
9,6
68.132
7,6
249.590
100
293.310
100 354.473
100
897.373
100
Total
5.196
Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karangasem, 2010
Mengacu pada grafik yang terdapat pada Gambar 5, angka kunjungan wisatawan mancanegara maupun nusantara yang datang ke objek wisata ini setiap bulannya rata-rata tidak terlalu berbeda jauh. Hal ini berarti setiap bulannya kawasan wisata ini selalu ramai oleh para wisatawan. Berdasarkan data pada gambar tersebut, angka kunjungan wisatawan melonjak tajam pada bulan Januari, Mei, Agustus dan Desember. Namun, pada bulan Desember lonjakan pengunjung
41
hanyalah terjadi pada wisatawan nusantara, sedangkan kunjungan wisatawan mancanegara mulai mengalami penurunan.
Gambar 5. Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Objek Wisata Tirta Gangga Bulan Januari-Desember Tahun 2010 Berkurangnya angka kunjungan tidak hanya terjadi pada wisatawan mancanegara tetapi juga pada wisatawan nusantara. Jika dilihat lebih lanjut, angka kunjungan dari bulan September terus mengalami penurunan setiap bulannya hingga pada bulan Desember. Angka kunjungan wisatawan dalam setahun relatif meningkat atau menurun untuk setiap bulannya, sehingga pada Gambar 6 akan ditunjukan secara keseluruhan angka kunjungan wisatawan selama tiga tahun terakhir. Data angka kunjungan wisatawan pada Gambar 6 diperlihatkan bahwa pada periode tahun 2008 hingga 2010, jumlah kunjungan wisatawan nusantara lebih banyak jika dibandingkan dengan wisatawan mancanegara. Hal ini disebabkan karena lokasi yang tidak terlalu jauh dari pusat kota kabupaten sehingga masyarakat dapat dengan mudah berkunjung ke objek wisata tersebut. Selain itu, letaknya juga startegis yaitu berada tepat dipinggir jalan sehingga dapat dengan mudah dijangkau oleh pengunjung yang sedang melintasi jalan tersebut atau sedang melakukan perjalanan antar kabupaten. Akses jalan menuju objek
42
wisata Tirta Gangga hanya dilalui oleh satu jalan besar yakni jalan lintas kabupaten.
Gambar 6. Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Objek Wisata Tirta Gangga Tahun 2008, 2009 dan 2010
Mengacu pada Gambar 6, diperoleh informasi bahwa angka kunjungan wisatawan manca negara pada tahun 2009 mengalami peningkatan sebesar 6 persen dari 25 persen pada tahun sebelumnya. Sedangkan pada tahun berikutnya hanya terjadi peningkatan sebesar satu persen. Hal ini berkebalikan dengan angka kunjungan wisatawan nusantara yang terus menurun selama tiga tahun terakhir yakni sebesar satu persen untuk setiap tahunnya. Secara keseluruhan berdasarkan diagram-diagram yang memuat data-data kunjungan wisatawan dapat disimpulkan bahwa kunjungan wisatawan baik mancanegara maupun nusantara ke objek wisata Tirta Gangga terus mengalami perkembangan. Hal ini dibuktikan dengan kunjungan wisatawan yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
4.4.3. Sarana dan Prasarana Pariwisata Desa Ababi Meningkatnya minat wisatawan yang berkunjung ke objek wisata yang terdapat di Desa Ababi secara tidak langsung menuntut adanya pembangunan sarana maupun prasarana yang dapat mendukung berlangsungnya kegiatan
43
pariwisata. Sarana dan prasarana yang terdapat di desa ini berupa akomodasi, jalan raya, hotel, tempat parkir, pondok wisata, rumah atau warung makan, restauran, dan lain sebagainya. Kecamatan Abang terdiri dari sembilan desa dan diantara sembilan desa tersebut terdapat beberapa desa yang mempunyai sarana dan prasarana pariwisata seperti Desa Datah, Purwakerti, Bunutan dan Ababi. Hal ini karena desa tersebut merupakan kawasan objek wisata. Banyaknya sarana pariwisata yang terdapat di desa-desa tersebut berbeda-beda seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7.
Gambar 7. Jumlah Sarana Pariwisata di Kecamatan Abang Tahun 2010
Data yang terdapat pada Gambar 7, menunjukkan bahwa sarana pondok wisata yang dibangun untuk kegiatan pariwisata lebih mendominasi jika dibandingkan dengan pembangunan hotel ataupun rumah makan. Data tersebut juga menunjukkan bahwa Desa Ababi tergolong lebih sedikit dalam hal pembangunan sarana dan prasarana pariwisata. Khususnya di Desa Ababi di kawasan wisata Tirta Gangga hanya terdapat empat rumah makan, dua restauran, satu warung makan, tiga hotel melati, dan satu pondok wisata. Sedangkan prasarana yang mendukungnya yaitu jalan raya, tempat parkir, dan money changer. Jika dibandingkan dengan dua desa lainnya yaitu Purwakerti dan Bunutan, Desa Ababi memang tergolong memiliki sarana dan prasarana
44
pariwisata yang sedikit. Namun khususnya untuk kawasan wisata Tirta Gangga, jumlah prasarana dan sarana tersebut sudah termasuk banyak karena lingkungan sekitar objek wisata Tirta Gangga merupakan daerah persawahan yang subur. Sehingga jika terus dilakukan pembangunan maka akan terjadinya konversi lahan Adapun jumlah sarana dan prasarana yang sedikit di kawasan wisata Tirta Gangga disebabkan karena akses untuk mencapai kawasan tersebut sangat dekat dari pusat kota Karangasem yaitu sekitar enam kilo meter dari kota Amlapura dan dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua ataupun roda empat dalam rentang waktu 15 menit sampai 20 menit. Jarak dan waktu tempuh yang dekat menjadi faktor yang mempengaruhi keputusan pengunjung untuk menginap atau tidak menginap di kawasan tersebut. Biasanya kebanyakan wisatawan yang berkunjung ke Tirta Gangga menghabiskan waktunya hanya untuk berkeliling disekitar taman atau berfoto-foto selama beberapa jam ataupun ada yang sekedar datang karena ingin merasakan tempat pemandian di taman Tirta Gangga. Setelah itu mereka beristirahat di rumah atau warung makan atau restauran sekitar dan kemudian melanjutkan kembali perjalanan atau kembali ke tempatnya lagi. Sedikitnya wisatawan yang menginap di lokasi tersebut menyebabkan hotel yang dibangun juga lebih sedikit dan lebih banyak membangun rumah/warung makan atau restauran.
4.5. Ikhtisar Bab ini secara keseluruhan memberikan gambaran tentang profil Desa Ababi yang mencakup kondisi geografis dan demografinya serta perkembangan kegiatan pariwisata yang berlangsung di desa tersebut. Desa Ababi adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan Abang, Kabupaten Karangasem. Sebagian besar wilayah Desa Ababi didominasi oleh areal persawahan yang subur. Hal ini menyebabkan sumber mata pencaharian utama masyarakat di desa ini bertumpu pada sektor pertanian. Umumnya petani di Desa Ababi tergabung dalam lembaga irigasi tradisonal yang disebut subak. Secara khusus yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah Subak Embukan yang terdapat di Desa Ababi. Petani di desa ini juga rata-rata tidak memiliki lahan sehingga mereka bekerja hanya sebagai
45
petani penggarap. Lahan sawah yang digarap merupakan lahan milik pura. Oleh karena lahan tersebut adalah lahan garapan maka terdapat sistem bagi hasil antara petani dengan pemilik lahan sebesar satu banding dua. Satu untuk petani dan dua untuk pemiliki lahan. Desa Ababi merupakan salah satu desa di Kecamatan Abang yang memiliki kawasan objek wisata budaya yaitu taman Tirta Gangga. Perkembangan pariwisata yang berlangsung di Bali tidak hanya dirasakan oleh lingkungan perkotaan tetapi juga oleh lingkungan pedesaan. Salah satunya kawasan wisata Tirta Gangga. Dahulu taman ini digunakan untuk kegiatan persembayangan. Namun dengan semakin berkembangnya kegiatan pariwisa, kawasan ini pun mulai dikomersialkan sebagai objek wisata budaya dengan tujuan untuk memperkenalkan budaya Bali kepada masyarakat sekitar dan masyarakat di luar. Adanya kawasan wisata Tirta Gangga pada kenyataannya mampu menarik perhatian wisatawan baik wisatawan nusantara maupun wisatawan manca negara. Hal ini terbukti dari data-data kunjungan wisatawan yang diperoleh dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karangasem yang menunjukkan bahwa terjadi peningkatan jumlah kunjungan wisatawan setiap tahunnya selama tiga periode terakhir. Berkembangnya kawasan wisata ini secara tidak langsung menuntut adanya pembangunan sarana dan prasarana pariwisata yang mempu mendukung kelancaran kegiatan pariwisata. Pembangunan sarana dan prasarana pariwisata di Desa Ababi jika dibandingkan dengan Desa Purwakerti dan Desa Bunutan tergolong cukup sedikit jumlahnya. Namun jika diteliti lebih jauh, data-data menunjukkan bahwa pembangunan sarana dan prasarana pariwisata kawasan Tirta Gangga telah menghabiskan lahan persawahan sebanyak 12 hektar selama kurun waktu empat tahun terakhir. Lahan persawahan tersebut merupakan lahan Subak Embukan. Hal ini berarti setiap tahunnya lahan subak telah berkurang sebesar tiga hektar atau 300 are untuk keperluan pariwisata. Mengkonversi lahan subak sama halnya dengan mengurangi sumber mata pencaharian utama masyarakat Desa Ababi.
46
BAB V SISTEM IRIGASI TRADISIONAL SUBAK EMBUKAN
5.1. Sejarah Subak Embukan Subak Embukan adalah salah satu subak yang berada di Desa Ababi Kecamatan Abang. Keberadaan Subak Embukan tidak diketahui secara tepatnya pada tahun berapa. Namun menurut para petani, subak tersebut sudah ada sejak sebelum Gunung Agung meletus pada tahun 1963. Meletusnya Gunung Agung ini menyebabkan wilayah Subak Embukan berkurang menjadi 87 hektar hingga pada tahun 2006. Hal ini karena banyak batu-batu yang berasal dari letusan Gunung Agung yang menumpuk dan menutupi areal persawahan sehingga lahan tersebut tidak dapat digunakan lagi untuk menanam padi. Hal ini diungkapkan oleh Bapak IGD yang menyatakan bahwa: “subak embukan ini sudah ada sebelum Gunung Agung meletus. Waktu kena letusan gunung, wilayahnya jadi kurang karena banyak batu-batu yang menumpuk jadi nda bisa lagi dijadikan sawah. Susah untuk dibajak.” Asal nama Subak Embukan sendiri diambil dari bahasa setempat yaitu “embukan” yang berarti mata air dan “subak” yang berarti perkumpulan. Subak Embukan berarti perkumpulan petani yang memanfaatkan mata air yang sama. Sesuai dengan namanya, daerah Subak Embukan dikelilingi oleh banyak mata air yang mengaliri air irigasi ke sawah-sawah petani. Terdapat tiga mata air besar yang menjadi sumber air irigasi Subak Embukan yaitu Kaliasem, Jagad Satru, dan Dauh. Selain dialiri oleh tiga mata air besar, masing-masing tempek pada subak juga dialiri oleh mata air-mata air kecil yang terdapat pada setiap tempek. Seperti pada umumnya masyarakat Bali yang menganut falsafah Tri Hita Karana, begitu juga halnya dengan Subak Embukan yang menjadikan Tri Hita Karana sebagai pedoman bagi setiap anggota subak dalam melakukan kegiatankegiatan yang terkait dengan subak dan juga sebagai pedoman dalam menentukan awig-awig subak. Falsafah ini kemudian dalam pelaksanaannya diwujudkan dalam tiga bentuk ajaran, yaitu Parhyangan yakni mengatur hubungan manusia
47
dengan Tuhan, Palemahan yakni mengatur hubungan manusia dengan lingkungan, dan Pawongan yakni mengatur hubungan manusia dengan sesamanya. Parhyangan diwujudkan dengan adanya Pura Bedugul yang merupakan tempat mengadakan sembayang dalam kegiatan-kegiatan subak. Pura Bedugul adalah pura kecil yang digunakan untuk melakukan persembayangan pada setiap kegiatan subak. Pura ini dibangun pada setiap tempek sehingga pada saat melakukan upacara secara berkelompok, setiap tempek dapat melakukannya di kelompok tempeknya sendiri. Palemahan diwujudkan dengan adanya saluran irigasi yang dibangun secara gotong royong dan Pawongan yang diwujudkan dengan adanya awig-awig serta sangkepan krama. Wilayah Subak Embukan pada tahun 2010 berkurang menjadi 75 hektar dari luas sebelumya yakni 87 hektar pada tahun 2006. Hal ini terjadi karena adanya alih fungsi lahan subak untuk kepentingan kegiatan non-pertanian. Subak ini kemudian terbagi menjadi 12 tempek yaitu: Pancoan, Lime Busuh, Tirta Gangga, Dulu, Teben, Ketipat, Yeh Sumeng, Dause, Limut, Kedokan, Kelampwak dan Wani. Masing-masing tempek memiliki penjuru arah yakni seorang kelian (ketua tempek) yang dibantu oleh sekretaris dan bendahara. Pembagian anggota ke masing-masing tempek dilakukan untuk mempermudah pengalokasian air ke sawah dan pengaturan tugas bagi setiap penjuru arah.
5.2.
Komponen Budaya Subak Embukan
5.2.1. Pola Pikir Pembagian Air Irigasi Pola pikir adalah salah satu aspek pada komponen budaya Subak Embukan yang merupakan bentuk kegiatan dimana para anggota bertemu untuk melakukan musyawarah tentang berbagai hal terkait dengan kegiatan Subak Embukan, khususnya dalam hal tata kelola pembagian air irigasi di subak tersebut. Pola pikir merupakan langkah awal bagi anggota subak untuk menentukan bagaimana cara mengalirkan air yang berasal dari sumber mata air agar dapat sampai ke sawahsawah anggota subak secara merata. Hal ini karena letak sumber mata air utama Subak Embukan yang cukup jauh dari wilayah subak dan berada pada daerah
48
dataran tinggi. Pertemuan yang dilakukan oleh anggota subak ini disebut dengan sangkepan krama yang berlangsung pada tingkat tempek dan pada tingkat subak. Sangkepan krama dalam bahasa Indonesia berarti rapat anggota. Rapat yang diadakan oleh Subak Embukan, pada tingkat subak dipimpin oleh pekaseh (ketua subak) dan hanya dihadiri oleh penjuru arah yaitu kelian (ketua), sekretaris, dan bendahara dari masing-masing tempek. Rapat pada tingkat tempek di pimpin oleh kelian tempek dan dihadiri oleh semua anggota tempek terkait. Untuk rapat rutin yang diadakan sebulan sekali pada tingkat tempek membahas tentang hal-hal terkait dengan kegiatan-kegiatan menjelang tanam padi seperti gotong royong membersihkan saluran irigasi, pola tanam, ketersediaan air irigasi, dana atau iuran dalam subak, dan kegiatan-kegiatan subak kedepannya yang akan dilakukan oleh kelompok tempek tersebut. Rapat yang berlangsung setiap enam bulan sekali juga diadakan pada tingkat subak untuk mendiskusikan setiap permasalahan pada masing-masing tempek dan juga solusi dari masalah yang ada. Selain itu, juga dibicarakan mengenai bagaimana memperoleh bantuan pupuk atau benih atau bantuan pemerintah lainnya yang terkait dengan pertanian. Hasil rapat tersebut kemudian akan disampaikan kepada seluruh anggota subak melalui rapat pada tingkat tempek. Untuk memperoleh bantuan pertanian, setiap anggota petani membentuk kelompok berdasarkan kelompok tempek masingmasing dan dibantu oleh sekretaris tempek untuk membuat proposal yang akan diajukan ke dinas pertanian terkait. Namun, tidak semua tempek diharuskan untuk membuat proposal tetapi hanya tempek yang membutuhkan saja yang akan mengajukan proposal tersebut. Subak Embukan selain mengadakan rapat rutin, terdapat juga rapat insidentil yang dilakukan apabila mengalami permasalahan yang serius terkait dengan subak. Misalnya kerusakan pada bendungan irigasi atau masalah serius lainnya yang harus ditanggulangi secara cepat. Untuk rapat seperti ini, biasanya pekaseh yang akan mengumpulkan setiap penjuru arah dari masing-masing tempek dengan mendatanginya dan menyampaikan waktu dan tempat rapat akan dilaksanakan. Begitu juga halnya jika terjadi masalah pada tingkat tempek. Subak Embukan memiliki bangunan tersendiri yang digunakan sebagai tempat
49
mengadakan sangkepan pada tingkat subak dan dilengkapi dengan pura kecil untuk sembayang yang terdapat di bagian depan bangunan. Pada tingkat tempek tidak terdapat bangunan khusus sebagai tempat sangkepan karena sangkepan dapat dilakukan di sawah ataupun disalah satu rumah anggota tempek. Namun, biasanya rapat dilakukan di sawah dan dihadiri oleh seluruh anggota tempek. Hal ini juga dimaksudkan agar setelah rapat selesai para petani bisa langsung bekerja lagi di sawah. Untuk rapat selanjutnya biasanya sudah ditetapkan pada setiap akhir rapat dilaksanakan. Selain membahas hal-hal terkait dengan pengelolaan air irigasi, dalam sangkepan juga dibahas tentang sistem pola tanam yang diterapkan di Subak Embukan. Sistem pola tanam yang diterapkan oleh anggota petani Subak Embukan berbeda-beda untuk setiap tempek. Hal ini karena bergantung pada ketersediaan air yang ada pada setiap tempek. Walaupun Subak Embukan memiliki banyak mata air namun pada musim kemarau, sumber mata air yang terdapat pada beberapa tempek menjadi berkurang debit airnya sehingga tempek tersebut membutuhkan air lebih banyak dari tempek lainnya. Kondisi yang demikian menyebabkan petani harus menunggu giliran untuk menanam padi. Apabila terjadi kekurangan air dan petani harus menunggu giliran untuk memperoleh air, biasanya petani menanam tanaman palawija sebagai ganti tanaman padi. Namun, hal ini hanya terjadi pada tempek-tempek tertentu dan sangat jarang terjadi di Subak Embukan. Umumnya sistem pola tanam pada masyarakat subak didasarkan pada sistem perkalenderan Bali dan jarak untuk memanen padi bagi setiap tempek secara keseluruhan sama yaitu tiga bulan sekali sehingga dalam setahun petani dapat memanen padi sebanyak empat kali. Namun demikian, menurut pengakuan Bapak IGD bahwa petani di Bali belum semuanya merasakan keuntungan dari hasil panen karena padi tersebut terkadang terserang hama sehingga menyebabkan padi kemerah-merahan dan tidak dapat dijual. Petani Subak Embukan tergolong masih tradisonal dalam membajak sawah karena petani tidak menggunakan traktor melainkan menggunakan sapi untuk membajak. Kondisi ini juga didukung oleh keadaan tanah yang tidak rata
50
akibat adanya batu-batu yang masih menumpuk di bawah tanah lahan persawahan yang berasal dari letusan Gunung Agung.
5.2.2. Kegiatan Upacara Keagamaan Subak Embukan dalam melaksanakan kegiatannya tidak terlepas dari berbagai kegiatan upacara keagamaan karena pada dasarnya upacara keagamaan merupakan
cara
masyarakat
Bali
khususnya
masyarakat
subak
untuk
mengucapkan rasa syukur dan permohonan mereka kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Hal ini telah menjadi ciri khas dan telah menjadi budaya masyarakat Bali secara umum. Kegiatan-kegiatan upacara yang dilakukan oleh anggota subak umumnya dapat dilakukan secara berkelompok dan juga dilakukan secara individu. Upacaraupacara tersebut dilaksanakan pada saat sebelum memulai panen hingga pada saat panen berakhir. Sebelum memulai menanam padi, anggota petani pada masingmasing tempek secara gotong royong membersihkan telabah-telabah dengan tujuan agar pada saat dialiri air irigasi ke sawah tidak terdapat hambatan sehingga air dapat mengalir dengan lancar. Begitu juga halnya dengan bendungan yang juga dibersihkan secara gotong royong oleh anggota subak. Upacara yang pertama kali dilaksanakan pada saat akan memulai menanam ialah upacara ngedangin yakni pada saat pencangkulan pertama. Upacara ini dilakukan untuk memohon kepada Sang Hyang Widhi Wasa agar bebas dari rintangan saat mulai bertani. Kemudian saat akan menanam dilakukan upacara mamula. Setelah itu bila padi sudah berumur satu bulan, dilaksanakan upacara neduh yang bertujuan agar padi tersebut tidak terserang hama. Selain itu, dilakukan juga upacara biukukung yang bertujuan mendoakan agar tanaman padi tersebut tumbuh dengan baik dan dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Menginjak usia dua setengah bulan, anggota subak melakukan upacara musabeniri yakni upacara yang bertujuan memohon kepada Sang Hyang Widhi Wasa agar padi tersebut berisi. Padi yang telah berisi dan siap untuk dipanen akan memasuki tahap akhir dari kegiatan upacara keagamaan yaitu upacara nyangket.
51
Upacara-upacara tersebut merupakan kegiatan yang dilakukan secara individu oleh anggota Subak Embukan di Pura Bedugul. Seperti halnya upacara individu, upacara secara berkelompok juga dilakukan untuk memohon agar padi yang ditanam dapat tumbuh dengan baik dan mendapat perlindungan dari Tuhan. Beberapa upacara perkelompok yang dilakukan oleh Subak Embukan yaitu upacara mapagtoyo. Upacara ini dilakukan di dekat bendungan pada saat menjelang pengolahan tanah dan bertujuan agar Sang Hyang Widhi Wasa memberikan kelancaran pada air tersebut sehingga dari awal memulai tanam hingga akhir, air tersebut dapat mencukupi dan tetap mengalir dengan lancar tanpa hambatan. Kemudian dilakukan juga upacara mamula dan ngucaba pada saat menanam dan menjelang panen. Upacara mamula dilakukan dua kali yaitu secara individu dan juga kelompok. Upacara kelompok ini dilaksanankan berdasarkan tempek masing-masing tempat anggota tersebut terdaftar. Setelah padi di panen maka anggota subak melakukan suatu upacara piodalan yang merupakan wujud dari ucapan syukur kepada Tuhan atas keberhasilan padi yang telah dipanen dan juga memohon agar panen selanjutnya dapat mencapai keberhasilan yang sama atau lebih baik dari yang sebelumnya. Pada saat awal menanam padi hingga menjelang padi tersebut dipanen, apabila terdapat masalah hama dalam artian padi terkena serangan hama maka akan dilakukan upacara nakluk merana. Upacara ini tidak menentu kapan dilakukan karena upacara ini dilakukan hanya pada saat padi terserang hama dan bertujuan untuk memohon agar merana-merana berupa hama yang menyerang tanam dapat dibatasi oleh Tuhan. Sedangkan upacara untuk mengusir atau menolak hama secara khusus dilaksanakan setiap 15 tahun sekali yang dilakukan oleh anggota subak. Upacara ini dikenal dengan sebutan palebon jero ketut yakni upacara pengabenan tikus yang mana umumnya tikus-tikus di berantas lalu diupacarakan (palebon/ngaben) dengan maksud untuk mengembalikan tikus-tikus tersebut ke alam aslinya. Upacara-upacara yang dilakukan oleh subak merupakan budaya subak yang telah dilakukan turun-temurun oleh petani Subak Embukan. Setiap kegiatan upacara yang berlangsung pada subak dilaksanakan di Pura Bedugul baik pada
52
tingkat tingkat tempek maupun pada tingkat subak. Oleh karena itu, pada Subak Embukan masing-masing tempek memiliki satu Pura Bedugul sebagai tempat melakukan sembayang secara bersama-sama. Kedua aspek pada komponen budaya yakni aspek pola pikir maupun kegiatan upacara keagamaan merupakan dua aspek yang paling penting dan paling utama dalam mmempertahankan keberlanjutan Subak Embukan. Hal ini karena pada kedua aspek inilah terdapat unsur Parhyangan yang mengatur hubungan setiap anggota subak dengan Sang Hyang Widi Wasa. Menjalankan setiap upacara pada kegiatan subak merupakan wujud nyata ketaatan setiap anggota kepada Tuhan yang telah memberikan penghidupan dan bukti bahwa masyarakat subak percaya bahwa kemakmuran itu hanya berasal dari Sang Hyang Widhi Wasa. Apabila
masyarakat
subak
tidak
menjalankan
atau
tidak
melakukan
persembayangan kepada Tuhan, diyakini bahwa akan terjadi malapetaka atau musibah yang menimpa mereka. Pada masyarakat subak khususnya, kegagalan panen merupakan wujud kemarahan Tuhan atas kesalahan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, masyarakat subak dalam hal ini anggota petani Subak Embukan selalu rutin melakukan sembayang dalam bentuk upacara keagamaan baik secara individu maupun berkemolpok. Pola pikir dari setiap anggota subak yang tertuang dalam bentuk sangkepan merupakan bentuk kebersamaan dan kesatuan yang dibangun oleh Subak Embukan dalam menghadapi masalah secara bersama-sama dan membuat keputusan yang menguntungkan bagi setiap unsur dalam subak. Hal ini juga membuktikan adanya rasa saling menghargai dan memiliki diantara anggota Subak Embukan. Ketaatan dalam menjalankan kegiatan keagamaan dan juga rasa saling memiliki diantara anggota subak adalah dasar untuk mempertahankan kelembagaan, keanggotaan, dan pengelolaan jaringan irigasi Subak Embukan secara keseluruhan. Apabila salah satu aspek dari komponen budaya ini tidak dijalankan dengan benar maka akan mempengaruhi aspek-aspek lain yang terdapat pada Subak Embukan.
53
5.3. Komponen Sosial Subak Embukan 5.3.1. Kepengurusan Subak Embukan Aspek kepengurusan sebagai salah satu dari komponen sosial dalam Subak Embukan merupakan aspek pendukung komponen budaya. Pola pikir dan kegiatan keagamaan dalam pelaksanaannya membutuhkan kerjasama dan koordinasi yang baik diantara setiap anggota subak sehingga dalam melaksanakan kegiatanya dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Kepengurusan dalam Subak Embukan penting untuk dibentuk karena mengingat luasnya wilayah Subak Embukan dan banyaknya jumlah anggota subak tersebut sehingga dibutuhkan beberapa orang yang mampu menjadi perwakilan dari anggota yang ada dalam rangka mengkoordinir setiap kegiatankegiatan terkait dengan subak khususnya dalam pengalokasian air. Penasehat Pekaseh (Ketua Subak)
Bendahara
Sekretaris Penjuru Arah Pada Tiap Tempek
Kelien (Ketua Tempek)
Sekretaris
Bendahara
Anggota
Gambar 8. Struktur Kepengurusan Subak Embukan Seperti yang ditunjukkan pada gambar di atas, kepengurusan dalam Subak Embukan secara sederhana terdiri dari pekaseh atau ketua subak yaitu Bapak I Nyoman Sudha, sekretaris yaitu Bapak I Made Rena, bendahara yaitu Bapak I
54
Wayan Seringgen dan sebagai penasehat yaitu Bapak I Nyoman Kute. Kepengurusan subak pada tingkat subak maupun pada tingkat tempek secara umum sama tetapi jika pada tingkat subak ketua disebut pekaseh sedangkan pada tempek ketuanya disebut kelian. Kelian pada tempek merupakan bagian dari dari penjuru arah yang dibantu oleh sekretaris dan bendahara. Setiap pengurus menjalankan tugasnya secara sukarela dalam hal ini tidak tidak dibayar. Hal ini menunjukkan bahwa menjadi pengurus subak tidak disebabkan oleh faktor ekonomi tetapi lebih kepada rasa tanggung jawab terhadap sistem subak itu sendiri sebagai suatu budaya. Setiap pengurus pada subak memiliki tugas dan tanggung jawab masingmasing. Pekaseh bertanggung jawab terhadap subak secara keseluruhan dan mengurus hal-hal yang terkait kepentingan subak dengan lembaga di luar subak seperti dengan Dinas Pertanian. Kelian tempek bertanggung jawab terhadap tempek yang diketuainya dan memimpin rapat-rapat yang diadakan pada tingkat tempek. Tugas dan tanggung jawab kelian tempek lebih difokuskan pada kegiatan-kegiatan di dalam subak. Periode pergantian kepengurusan dalam Subak Embukan berlangsung setiap lima tahun sekali. Namun, pada saat pergantian pengurus terdapat kesulitan untuk memilih calon pengurus yang baru karena tidak ada yang mau mencalonkan diri atau bersedia untuk menjadi pengurus. Apabila tidak mendapat calon pengurus yang baru maka pengurus lama bisa menjabat sampai dua periode. Biasanya hal ini lebih sering terjadi pada pemilihan pekaseh karena tugas dan tanggung jawab yang dibebankan pada pekaseh lebih besar dibandingkan dengan sekretaris atau bendahara ataupun kelian tempek. Pengurus dalam Subak Embukan dipilih berdasarkan kesepakatan bersama dalam musyawarah dan kemampuan serta kesiapan calon tersebut sebagai pengurus subak. Apabila pada saat menjalankan jabatannya terdapat pengurus yang mengalami sakit sehingga tidak dapat melanjutkan lagi masa jabatannya maka akan diadakan rapat khusus untuk membahas pergantian pengurus tersebut. Pengurus yang menjabat sebagai pekaseh pada umumnya adalah mereka yang sebelumnya telah atau pernah menjabat sebagai kelian tempek. Pekaseh
ataupun
kelian
tempek
dalam
melaksanakan
tugasnya
berkoordinasi atau dibantu oleh bendahara dan sekretaris. Pada umumnya tugas
55
sekretaris dan bendahara adalah sama baik pada tingkat subak maupun tingkat tempek. Sekretaris bertugas mencatat semua hal-hal yang dibahas dalam rapat serta bertugas untuk membuat proposal apabila dibutuhkan. Sedangkan bendahara bertugas untuk mengurusi keuangan pada subak atau tempek. Keuangan pada subak berasal dari iuran rutin yang dikumpulkan oleh setiap anggota pada masingmasing tempek sebesar Rp1.000,00 per bulannya. Iuran tersebut kemudian akan dikelola oleh bendahara tempek dan berkoordinasi dengan bendahara subak. Selain itu, sumber dana subak juga diperoleh dari sumbangan-sumbangan yang berasal dari warga sekitar. Dana yang telah terkumpul digunakan untuk kegiatan sembayang secara khusus dan kegiatan subak lainnya. Subak Embukan dalam melaksanakan kegiatannya apabila terjadi permasalahan dalam pembagian air maka tidak langsung diselesaikan oleh pekaseh tetapi diselesaikan oleh kelian tempek. Masalah tersebut diselesaikan dengan cara mengumpulkan semua anggota tempek kemudian kelian mulai memberikan pengarahan kepada setiap anggota bahwa air tesebut harus di bagi secara merata sehingga semua sawah dapat memperoleh air. Apabila diwaktu mendatang masalah ini terulang lagi maka kelian akan melaporkannya kepada pekaseh. Selain itu, jika lahan yang digarap tidak memperoleh hasil yang bagus maka lahan tersebut akan diambil oleh pemiliknya dalam hal ini pihak pura. Lahan yang akan diambil harus terlebih dahulu dilaporkan kepada kelian tempek yang bersangkutan karena hal tersebut merupakan tanggung jawab kelian sepenuhnya. Namun sebelum lahan tersebut diambil, pihak pemilik harus mengganti lahan tersebut dengan sejumlah uang yang besarnya telah disepakati secara bersama. Apabila pemilik tidak dapat menyangggupinya maka lahan tersebut akan terus digarap oleh petani yang bersangkutan.
5.3.2. “Awig-Awig” Subak Embukan “Awig-awig” sebagai salah satu aspek dalam komponen sosial merupakan aturan-aturan atau hukum tertulis yang dimiliki oleh subak yang memuat tentang pedoman-pedoman bagi para petani khususnya anggota Subak Embukan dalam bertingkah laku. Selain itu, “awig-awig” juga memuat berbagai sanksi-sanksi
56
yang ditetapkan bagi setiap anggota yang melanggar aturan tersebut. Aturanaturan tersebut biasanya terkait dengan kegiatan-kegiatan dalam subak seperti upacara keagamaan sebagai wujud hubungan manusia dengan Tuhan, kegiatan pemeliharan saluran irigasi, pengalokasian air, sistem pola tanam, tugas dan tanggung jawab pekaseh maupun penjuru arah seperti kelian, bendahara, sekretaris serta aturan lainnya yang berhubungan dengan subak. Setiap aturan dalam awig-awig dibuat dengan berlandaskan pada falsafah Tri Hita Karana yang diyakini sebagai tiga hal yang menyebabkan manusia mencapai kesejahteraan, kebahagian dan kedamaian. Selain itu juga, aturan-aturan tersebut merupakan hasil kesepakatan bersama yang telah dimusyawarahkan dalam sangkepan krama oleh para anggota subak. Awig-awig merupakan aturan yang berlaku secara umum dan menyeluruh bagi setiap anggota subak. Selain aturan umum, terdapat juga aturan-aturan yang berlaku pada tingkat tempek. Aturan tersebut hanya berlaku untuk anggota petani yang tergolong dalam tempek terkait sehingga setiap tempek mempunyai aturannya masing-masing. Pada tingkat tempek, aturan yang ada juga disepakati secara bersama melalui musyawarah yang dipimpin oleh kelian tempek. Adapun sanksi yang diberikan kepada anggota yang melakukan pelanggaran baik terhadap awig-awig subak maupun awig-awig tempek, bukanlah berupa sanksi adat sebab sanksi adat hanya diberikan jika anggota tersebut melanggar hukum adat dan hal tersebut tidak memiliki kaitan dengan subak. Subak hanya mengurus hal-hal yang terkait dengan pertanian khususnya dalam pengalokasian air. Menurut penuturan Bapak IGD, apabila terdapat anggota subak yang tidak mengikuti upacara atau sangkepan maka anggota tersebut memang tidak diberi sanksi tetapi anggota tersebut tidak akan mendapat sumbangan yang diperoleh subak..
5.3.3. Pengalokasian Air Irigasi Sistem pembagian air di Subak Embukan diatur oleh kelian tempek secara langsung. Pada subak ini sistem pembagian air irigasi tidak terlalu sulit dilakukan karena merupakan tanggung jawab masing-masing tempek. Selain itu pada masing-masing tempek juga terdapat mata air-mata air kecil yang mengairi sawah
57
selain dari sumber mata air utama sehingga air senantiasa mengalir dengan lancar dan petani hanya membatasi banyaknya air yang mengalir ke sawah mereka. Tata cara pengalokasian air terlebih dahulu dibicarakan dalam sangkepan sehingga tidak terjadi kesalahpahaman diantara anggota. Pengalokasian air bukanlah menjadi tanggung jawab pekaseh. Pekaseh hanya bertindak sebagai pengontrol. Pada musim kemarau terdapat beberapa tempek yang mengalami kekurangan air. Hal ini dapat ditanggulangi dengan memberikan tambahan air dari tempek-tempek yang masih memiliki sumber air yang melimpah seperti Tempek Tirta Gangga dan Tempek Embukan Dulu. Namun apabila kondisi kekurangan air semakin serius maka dilakukan sistem pembagian air secara berkelompok. Seperti pada saat akan menanam padi maka kelian tempek hanya mengalirkan air pada beberapa petani anggota tempek terkait sedangkan anggota lainnya akan menunggu giliran selanjutnya. Kekurangan air yang terjadi disebabkan karena pada musim kemarau debit air pada beberapa mata air menjadi lebih kecil. Hal ini juga didukung oleh kondisi beberapa terowongan pada Subak Embukan yang telah patah. Adanya patahan pada beberapa bagian terowongan terjadi karena adanya letusan Gunung Agung. Akibatnya dengan debit air yang kecil dan melewati beberapa terowongan yang patah menyebabkan tidak semua air dapat melewati terowongan dan hanya sedikit yang sampai pada sawah petani. Ketiga aspek dalam komponen sosial ini merupakan perwujudan dari ajaran Pawongan yakni yang mengatur hubungan antar manusia dengan sesamanya. Komponen ini juga memegang peranan penting dalam menjaga keberlanjutan Subak Embukan baik dari segi kelembagaannya, keanggotaan, dan pengelolaan irigasinya. Adanya kepengurusan subak merupakan bagian penting untuk memperkokoh hubungan antar setiap anggota dalam menjalankan tanggung jawabnya dalam hal pengalokasian air irigasi. Awig-awig subak sebagai pedoman dalam bertingkah laku merupakan tiang penopang bagi keutuhan Subak Embukan. Apabila salah satu aspek dari komponen sosial ini tidak dijalankan dengan semestinya maka aspek lainya akan ikut terpengaruh. Misalnya jika dalam sistem kepengurusan subak terdapat pengurus yang tidak menjalankan tugasnya dengan benar terkait dengan kegiatan pengalokasian air yang tidak merata maka pengurus tersebut telah melanggar awig-awig subak yang sebelumnya sudah ditetapkan. Hal
58
ini kemudian akan mempengaruhi sistem pengolahan irigasi dalam subak atau tempek terkait. Dengan demikian anggota subak akan mulai merasa tidak puas atau merasa tidak sesuai lagi dengan subak tersebut. Akibatnya hal ini akan berpengaruh pada jumlah keanggotaan subak secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting bagi Subak Embukan untuk tetap menjaga keutuhan dan keseimbangan ketiga aspek ini dalam melaksanakan setiap kegiatannya.
5.4. Komponen Artefak Subak Embukan 5.4.1. Jaringan Irigasi Subak Embukan Kelancaran pengalokasian air sangat didukung oleh ketersediaan jaringan irigasi yang dimiliki oleh Subak Embukan. Sebagai lembaga yang mengelola air irigasi secara tradisional, Subak Embukan diperlengkapi dengan fasilitas irigasi yang membantu dalam pengalokasian air. Faslitas irigasi pada subak ini terdiri dari bendungan (empelan), terowongan, dan telabah. Bendungan Subak Embukan terletak dekat digunung dan agak jauh dari sawah. Bendungan ini menampung air dari tiga mata air utama yaitu: Kaliasem, Jagad Satru dan Dauh. Air yang telah dibendung tersebut kemudian akan dialiri ke sawah-sawah melalui terowonganterowongan yang berfungsi mengalirkan air dari bendungan ke sawah. Air yang keluar dari terowongan tidak langsung mengalir ke sawah tetapi harus melewati telabah-telabah yakni saluran air irigasi yang akan mengalirkan air ke sawah. Pemeliharaan saluran irigasi tersebut dilakukan setiap sebulan sekali secara gotong royong oleh masing-masing tempek yakni dengan membersihkan telabah-telabah. Anggota Subak Embukan tidak dapat membersihkan terowongan karena saluran tersebut berada di bawah tanah. Masing-masing anggota tempek hanya membersihkan telabah-telabah yang mengalirkan air ke tempek mereka dalam hal ini tempek yang akan memulai menanam yang akan membersihkan saluran irigasi. Seperti yang diketahui bahwa Subak Embukan telah lama ada sejak sebelum tahun 1963. Hal ini mengakibatkan fasilitas jaringan irigasi yang dimiliki oleh subak ini sudah cukup lama. Walaupun demikian, dengan adanya kegiatan rutin setiap sebulan sekali yang dilakukan untuk membersihkan dan memperbaiki
59
setiap saluran irigasi yang ada maka hingga saat ini bangunan tersebut masih terpelihara dengan baik. Namun yang menjadi masalah bagi subak tersebut adalah terowongan yang dimiliki tidak semuanya masih dalam keadaan yang baik, sebab terdapat beberapa terowongan yang telah mengalami kerusakan yakni mengalami patahan dibeberapa bagiannya. Terowongan tersebut tidak dapat diperbaiki disebabkan karena letaknya yang berada di dalam tanah. Sehingga jika ingin memperbaikinya membutuhkan biaya yang cukup besar. Terowongan yang rusak menyebabkan tidak semua air yang berasal dari bendungan dapat dialirkan semua ke sawah, sehingga jika musim kemarau tiba maka akan terjadi kekurangan air akibat debit air di mata air mulai berkurang dan hanya sedikit air yang dapat melalui terowongan tersebut. Tidak semua tempek mengalami kekurangan air, hanya tempek-tempek tertentu saja yang memperoleh aliran air dari terowongan tersebut saja yang akan mengalami kekurangan air. Hal ini dapat diatasi dengan menerapkan sistem peminjaman air dari tempek-tempek yang memiliki sumber air yang banyak.
5.4.2. Ketersediaan Air Irigasi Subak Embukan Ketersediaan air irigasi adalah bagian penting dari Subak Embukan karena keberadaan subak sebagai lembaga tradisonal yang mengelola air irigasi sangat terkait erat dengan air. Subak Embukan pada dasarnya memiliki tiga mata air besar yang merupakan sumber mata air utama yang mengalirkan air ke setiap sawah anggota subak tersebut. Mata air tersebut terdiri dari mata air Kaliasem, mata air Jagad Satru, dan mata air Dauh. Ketersediaan air pada Subak Embukan tidak terbatas pada ketiga sumber mata air tersebut, sebab pada masing-masing tempek memiliki sumber air lain yakni yang berasal dari mata air-mata air kecil disekitar tempek. Mata air ini kemudian dimanfaatkan oleh tempek terkait sebagai sumber air irigasi. Selain itu, terdapat beberapa tempek yang memperoleh air dari mata air yang terdapat di taman Tirta Gangga yakni Tempek Pancoan, Tempek Embukan Teben dan Tempek Tirta Gangga. Hal ini disebabkan karena letaknya yang sangat dekat
60
dengan kawasan Tirta Gangga. Air tersebut tidak dialirkan melalui terowongan tetapi langsung mengalir melalui telabah dan dialirkan langsung ke sawah. Tersedianya air irigasi dan jaringan irigasi pada Subak Embukan sangat mendukung dalam kelancaran pengalokasian air irigasi. Komponen artefak merupakan pilar penting untuk mempertahankan keberlanjutan subak. Jika tidak terdapat jaringan irigasi maka air irigasi tidak akan mengalir ke sawah-sawah anggota. Begitu juga sebaliknya, jika tidak terdapat air irigasi maka subak tidak dapat menjalankan tugasnya terkait dengan pengelolaan air irigasi. Komponen artefak pada subak ini merupakan perwujudan dari ajaran Palemahan yang mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya.
5.5. Ikhtisar Bab ini secara keseluruhan menjelaskan tentang sistem irigasi tardisional Subak Embukan yang terdapat di Desa Ababi. Pada dasarnya Subak Embukan dibangun oleh tiga komponen penting yakni komponen budaya, sosial, dan artefak yang merupakan perwujudan dari ajaran Parhyangan, Palemahan, dan Pawongan. Aspek yang terdapat pada komponen budaya merupakan bagian terpenting dari Subak Embukan sebab pada aspek ini setiap anggota subak diwajibkan untuk taat kepada Tuhan yang dicirikan dengan mengikuti setiap kegiatan-kegiatan upacara keagamaan. Selain itu, aspek pola pikir juga berperan penting dalam mengokohkan hubungan diantara setiap anggota subak melalui kegiatan sangkepan yang diadakan oleh subak. Komponen budaya juga ditopang oleh aspek-aspek pada komponen sosial yakni aspek kepengurusan subak, awig-awig, dan pengalokasian air irigasi. Kegiatan upacara atau pun sangkepan yang diadakan oleh subak dalam proses pelaksanaannya tidak bisa dilaksanakan begitu saja, harus ada aturan-aturan tertulis yang mengatur setiap kegiatan yang berlangsung pada subak. Aturanaturan inilah yang disebut dengan awig-awig subak dan dalam penerapannya harus dikontrol oleh anggota subak. Namun, tidak semua anggota subak mampu mengontrol setiap awig-awig yang ada. Oleh sebab itu, disinilah peran penting dari aspek kepengurusan subak yakni untuk mengontrol setiap kegiatan subak
61
agar berjalan sesuai dengan awig-awig yang ditetapkan terutama dalam hal pengalokasian air irigasi. Berlangsungnya kegiatan pengalokasian air dapat berjalan dengan lancar apabila didukung oleh ketersediaan air irigasi dan fasilitas jaringan irigasi yang memadai. Pemeliharaan setiap jaringan irigasi merupakan tanggung jawab setiap anggota subak pada masing-masing tempek. Pada intinya, baik komponen budaya, komponen sosial, maupun komponen artefak serta aspek-aspek yang ada di dalamnya merupakan pilar penting dalam mempertahankan keberlanjutan Subak Embukan. Oleh karena itu, setiap aspek yang ada harus dijalankan dengan semestinya sebab jika tidak maka akan mempengaruhi aspek lainnya dan dampaknya akan mengancam kelembagaan, keanggotaan, dan proses pengelolaan irigasi Subak Embukan secara keseluruhan. Berdasarkan hasil pengumpulan data di lapangan, diketahui bahwa Subak Embukan sampai pada saat ini masih terus memegang teguh setiap aspek penting yang tersebut di atas. Hal ini terbukti dari masih dijalankannya setiap upacara keagamaan terkait dengan kegiatan subak yang telah dilakukan turun-temurun sejak dahulu kala dan juga awig-awig yang masih terus dijalankan oleh anggota Subak Embukan.
62
BAB VI DAMPAK PENGEMBANGAN PARIWISATA TERHADAP SUBAK EMBUKAN
6.1. Konversi Lahan Subak Embukan Anggota petani Subak Embukan merupakan petani penggarap yang menggarap lahan sawah milik pura dan Subak Embukan diberikan tanggung jawab oleh pura untuk mengelola lahan sawah tersebut secara khusus dalam hal pengalokasian air irigasi. Lahan garapan Subak Embukan cukup luas yaitu mencapai 75 hektar dan terdiri dari 12 tempek. Setiap petani menggarap lahan sawah dengan luas lahan yang berbeda-beda untuk setiap anggotanya. Pada Gambar 9 di bawah ini, ditunjukkan bahwa sebagian besar petani yaitu sebesar 67 persennya menggarap lahan dengan luas lahan mencapai 0,1 hektar sampai 0,3 hektar dan sebesar 23 persen dengan luas lahan 0,31 hektar sampai 0,5 hektar, sedangkan sisanya yaitu sebesar 10 persen menggarap lahan dengan luas 0,5 hektar atau lebih dari luas lahan tersbut.
Gambar 9. Persentase (%) Petani Responden Subak Embukan Berdasarkan Luas Lahan Garapan Luas lahan garapan sebagian besar petani Subak Embukan berdasarkan data tersebut tergolong masih sempit yaitu hanya sekitar 15 are sampai 20 are. Namun demikian, petani anggota subak tidak hanya menggarap pada satu lahan saja tetapi
63
juga pada beberapa lahan dengan tempek yang berbeda sehingga hasil panen yang diperoleh juga lebih banyak. Lahan sawah petani dikoordinir oleh kelian tempek. Masing-masing tempek tersebut mempunyai luas lahan yang berbeda-beda. Tempek yang lahannya lebih luas cenderung memiliki anggota lebih banyak dibandingkan dengan tempek dengan luas lahan lebih sempit. Berikut pada tabel di bawah ini akan ditampilkan tempek-tempek yang ada pada Subak Embukan berserta luas tempek tersebut. Tabel 6. Jenis dan Luas Tempek Subak Embukan Desa Ababi, 2010 No
Nama Tempek
Luas lahan (are)
1
Tempek Teben
1.190
2
Tempek Dulu
1.073
3
Tempek Dause
924
4
Tempek Pancoan
896,5
5
Tempek Ketipat
748
6
Tempek Wani
605
7
Tempek Yeh Sumeng
498
8
Tempek Kelampwak
420
9
Tempek Kedokan
345
10
Tempek Lime Busuh
336
11
Tempek Tirta Gangga
245
12
Tempek Limut
220
Total
7.500,5
Sumber: Data Subak Embukan Desa Ababi, 2010
Tempek-tempek tersebut di atas kemudian tergabung dalam satu subak dengan luas lahan keseluruhan mencapai 75 hektar hingga tahun 2010. Sebelum tahun 2010 yakni pada tahun 2006 luas lahan sawah Subak Embukan adalah 87 hektar. Hal ini berarti selama periode waktu empat tahun, lahan subak telah berkurang sebesar 12 hektar. Berkurangnya lahan subak tersebut disebabkan
64
karena adanya alih fungsi lahan atau konversi lahan yang dilakukan untuk keperluan pariwisata, seperti yang dituturkan oleh Bapak INS bahwa: “Dulu subak ini luasnya 87 hektar. Itu waktu tahun 2006. Sekarang luasnya sudah berkurang jadi 75 hektar. Lahannya yah dijual untuk bangun penginapan dan rumah makan.” Seperti yang dipaparkan sebelumnya bahwa Subak Embukan adalah salah satu subak yang berdampingan langsung dengan kawasan objek wisata Tirta Gangga. Sehingga lahan yang terkonversi sebagian besar digunakan untuk membangun sarana dan prasarana pariwisata seperti hotel, rumah makan, tempat parkir dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden petani subak, diketahui bahwa tidak terdapat salah satu orang pun dari anggota Subak Embukan yang melakukan fragmentasi lahan atau konversi lahan. Alasan utamanya ialah karena lahan subak yang digarap oleh para petani bukanlah milik pribadi melainkan milik pura sehingga petani tidak mempunyai hak untuk menjual lahan tersebut. Hal ini berarti bahwa konversi lahan yang terjadi bukanlah dilakukan oleh pihak petani subak melainkan oleh pihak pura sebagai pemilik dari lahan tersebut. Hal ini diungkapkan oleh Bapak IKR bahwa: “Saya nda bisa menjual lahan ini karena ini bukan milik saya. Lahan ini miliknya pura. Semua kami disini hanya sebagai penggarap saja. Kalau urusan lahan ini mau dijual atau nda, itu tergantung dari pura”. Lahan subak yang dijual untuk dikonversi biasanya adalah wilayah-wilayah yang berada dekat dengan jalan raya dan objek wisata. Wilayah tersebut dalam Subak Embukan diantaranya adalah Tempek Tirta Gangga dan Tempek Pancoan. Kedua tempek tersebut letaknya berdampingan dengan Taman Tirta Gangga dan aksesnya dekat dari jalan raya. Kondisi tersebut merupakan faktor pendorong yang kuat untuk melakukan konversi lahan. Selain itu, harga tanah yang mahal juga merupakan faktor pendukung untuk menjual lahan sawah tersebut. Harga tanah di kawasan Desa Ababi khususnya yang dekat dengan kawasan pariwisata tergolong mahal. Harga tanah tersebut juga tergantung pada letaknya. Semakin ke dalam atau jauh dari jalan raya, harga tanah cenderung lebih murah.
65
Sebaliknya semakin dekat dengan jalan raya dan kawasan wisata, harga tanah akan semakin mahal. Harga tanah rata-rata berkisar antara 35 juta sampai dengan 75 juta per are. Untuk tanah yang letaknya strategis yaitu dekat dengan jalan dapat mencapai harga 75 juta per are atau lebih dari harga tersebut. Hal ini sesuai dengan penuturan Bapak IGD yang mengungkapkan bahwa: “Kalau di tempek saya nda ada yang di jual karena ini letaknya ke dalam dan juga ini milik pura, jadi bukan hak saya. Walaupun ada pariwisata di tempat ini tapi ini nda ada pengaruhnya dengan sawah saya. Dulu di sini memang pernah ada yang bilang mau dijadikan tempat wisata tapi nda tau kenapa sampai sekarang nda ada lagi kabarnya. Kalau yang lahannya di jual itu banyaknya di Pancoan atau Tirta Gangga yang dekat dengan jalan. Harga tanahnya juga mahal, sekitar 70 atau 75 juta. Itu harga satu arenya.” Selama empat tahun terakhir, wilayah subak yang sudah terkonversi adalah sebesar 12 hektar. Angka tersebut tergolong kecil jika dibandingkan dengan konversi lahan yang terjadi secara keseluruhan di Bali. Namun, untuk kawasan Desa Ababi dan Subak Embukan angka tersebut tergolong sangat besar. Data-data sebelumnya menunjukkan bahwa jumlah sarana dan prasarana pariwisata yang terdapat di Desa Ababi khususnya di kawasan Tirta Gangga termasuk dalam jumlah kecil tetapi pada kenyataannya pembangunan fasilitas tersebut telah menghabiskan lahan pertanian sebesar 12 hektar. Jika dibiarkan terus berlanjut maka dalam rentang waktu 22 sampai 24 tahun ke depan lahan sawah Subak Embukan akan habis dan berganti dengan kawasan wisata. Apabila wilayah subak tersebut habis terkonversi atau terjual maka banyak petani akan kehilangan pekerjaan dan beralih ke mata pencaharian di luar sektor pertanian. Hal ini berarti jumlah petani akan semakin berkurang dan sektor pertanian menjadi terabaikan. Namun, hal yang paling penting adalah apabila tidak ada lagi wilayah subak maka kelembagaan subak juga akan menjadi pudar. Dampaknya adalah tidak terdapat lagi kegiatan-kegiatan upacara keagamaan yang dilakukan oleh subak, awig-awig subak tidak lagi dapat dijalankan. Pudarnya kelembagaan subak berarti secara tidak langsung telah menghilangkan salah satu warisan budaya Bali. Melihat kondisi yang demikian serta memikirkan keberlanjutan Subak Embukan maka oleh pemerintah ditetapkan bahwa kawasan Tirta Gangga dan
66
sekitarnya merupakan kawasan “Jalur Hijau” yaitu kawasan yang ditetapkan atau dilarang untuk segala kegiatan pembangunan di bidang pariwisata yang berujung pada konversi lahan, seperti yang diungkapkan oleh Bapak MS selaku petugas Dinas Pertanian. Beliau menyatakan bahwa: “Di sekitar daerah Tirta Gangga ke arah Timurnya, sudah ditetapkan sebagai jalur hijau. Artinya nda boleh lagi ada pembangunan untuk kegiatan pariwisata atau lainnya. Karena sebagian besarnya daerah di situ sawah semua.” Dampak yang dirasakan oleh Subak Embukan karena adanya kegiatan pariwisata tidak hanya masalah konversi lahan tetapi juga masalah yang terkait dengan kebersihan lingkungan irigasi Subak Embukan. Sebelum adanya pembangunan fasilitas pariwisata seperti penginapan yang terdapat disekitar kawasan subak dan Tirta Gangga, saluran irigasi terbebas dari limbah. Namun, seiring dengan adanya penginapan-penginapan yang semakin banyak dibangun serta fasilitas pariwisata lainnya menyebabkan lingkungan subak menjadi kotor. Kekecewaan ini diungkapkan langsung oleh pekaseh (ketua) Subak Embukan yaitu Bapak NS yang menuturkan bahwa: “Pariwisata memang nda ada pengaruhnya pada subak. Tapi pengaruh negatifnya bu, dengan ada penginapan terus juga ada restauran, saluran irigasinya jadi tercemar dengan limbah kotoran dan sampah-sampah yang dari tempat pariwisata itu. Waktu itu saya biarkan saja, tapi karena sering terjadi dan petani juga mulai rasa terganggu akhirnya saya tegur mereka. Sampai sekarang sudah nda ada lagi kotoran atau sampah yang dibuang ke saluran irigasi dan disekitar sawah.” Kegiatan pariwisata yang berlangsung di Desa Ababi pada kenyataannya memiliki pengaruh yang negatif terhadap keberlanjutan Subak Embukan. Konversi lahan yang terjadi selama kurun waktu empat tahun terakhir, apabila tidak diperhatikan dengan serius maka akan mengancam keberlanjutan Subak Embukan itu sendiri. Dapat dibayangkan bahwa pada awalnya lahan yang dijual adalah lahan-lahan yang berada dekat dengan jalan. Setelah lahan tersebut terkonversi, secara tidak langsung membuka peluang bagi lahan-lahan yang berada di belakangnya atau yang sebelumnya terletak jauh ke dalam untuk ikut dikonversi karena aksesnya yang semakin dekat dengan kawasan wisata.
67
Adanya penetapan kawasan “Jalur Hijau” di sekitar lingkungan subak diharapkan dapat menjadi senjata ampuh untuk meminimalkan atau bahkan menghentikan kegiatan konversi lahan apabila dilaksanakan dengan benar dan tepat.
6.2. Pola Mata Pencaharian Desa Ababi merupakan daerah yang sebagian besarnya didominasi oleh lingkungan persawahan yang subur. Kondisi yang demikian menyebabkan sebagian besar warganya bermata pencaharian sebagai petani. Begitu juga halnya dengan petani anggota Subak Embukan yang masih mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama. Selain bekerja sebagai petani, banyak diantara anggota subak yang juga bekerja di luar sektor pertanian yaitu menjadi buruh bangunan atau pabrik atau pun menjadi tukang. Petani yang memiliki pekerjaan di luar sektor pertanian biasanya bekerja setelah menanam padi dan menjelang padi tersebut di panen. Namun, tidak dapat dipastikan pada bulan-bulan apa saja mendapat pekerjaan tersebut. Menurut salah satu responden yaitu Bapak ING, mengungkapkan bahwa: “Kalau ditanya bulan apa saja, saya nda bisa bilang karena itu juga tergantung panggilan. Kalau nda ada, yah nda kerja. Paling di sawah. Kalau ada, yah saya kerja, untuk tambahan uang sambil menunggu panen.” Pernyataan Bapak ING tersebut menginformasikan bahwa pekerjaan di sektor non-pertanian tidaklah menjadi fokus utama, tetapi hanya sebagai salah satu alternatif pekerjaan yang bertujuan untuk menambah penghasilan keuangan rumah tangga. Penghasilan petani dari pekerjaan di luar sektor pertanian rata-rata mencapai Rp2.700.000,00 sampai Rp2.900.000,00 dalam waktu satu sampai tiga bulan. Selain penghasilan dari luar sektor pertanian, petani memiliki penghasilan utama dari hasil menggarap lahan sawah. Rata-rata petani Subak Embukan memanen padi tiga bulan sekali. Hasil dari panen padi untuk setiap anggotanya
68
berbeda-beda karena tergantung pada luas lahan garapan. Untuk lebih jelasnya akan diperlihatkan pada Tabel 7. Tabel 7. Produksi dan Nilai Produksi Responden Berdasarkan Luas Lahan Garapan Periode Musim Kemarau dan Musim Hujan, 2010 Produksi per Satuan Luas
Luas Lahan Garapan (are)
Jumlah Responden
15 20
1 9
160 187,28
25
2
27
Total
Nilai Produksi (Rp/Dua Musim)
152 180
312 367,28
Rp 1.560.000 Rp 1.836.400
170,8
82
252,8
Rp 1.264.000
1
200
186,4
386,4
Rp 1.932.000
30
7
235,86
229
464,8
Rp 2.324.042
33,5
1
394,4
376
770,4
Rp 3.852.000
40
2
292
284
576
Rp 2.880.000
50
4
416
409,3
825,3
Rp 4.126.667
60 68
2 1
580 456
573,3 448
1153,3 904
Rp 5.766.667 Rp 4.520.000
Total
30
3092,34
2920,02
6012,36
Rp 30.061.775
Musim Kemarau (kg/are)
Musim Hujan (kg/are)
Tabel tersebut di atas menunjukkan bahwa pada musim kemarau, petani dapat memproduksi padi lebih dari 230 kg bagi yang luas lahannya di atas 30 are. Bagi petani dengan luas lahan kurang dari 30 are, hanya dapat memperoleh 160 sampai 200 kg gabah kering panen. Untuk setiap satu kilogram dihargai sebesar Rp5.000,00. Banyak padi yang dihasilkan akan menentukan penerimaan petani seperti yang tercantum dalam tabel tersebut. Padi
yang
telah
dipanen
tidak
semuanya menjadi hak milik petani tetapi sebagiannya harus diserahkan kepada pihak pura sebagai pemilik dari lahan subak tersebut. Sistem bagi hasil yang berlaku antara petani anggota Subak Embukan dengan pihak pura adalah satu banding dua. Produksi padi yang ditampilkan dalam tabel di atas adalah hak yang diterima petani setelah dilakukan bagi hasil. Tabel tersebut juga menunjukkan
69
bahwa pada musim hujan produksi padi lebih sedikit dibandingkan dengan musim kemarau. Mengacu pada nilai produksi pada Tabel 7, menginformasikan bahwa penghasilan pada sektor pertanian sawah lebih kecil dibandingkan dengan penghasilan diluar sektor tersebut. Meskipun demikian, petani Subak Embukan masih tetap bertumpu pada sektor pertanian. Hal ini karena pada sektor pertanian terkandung budaya Bali yang terkait erat dengan keberadaan subak dan ini menunjukkan bahwa pertanian khususnya subak bersama anggota di dalamnya tidak terikat secara ekonomi atau materi tetapi terikat secara budaya. Kondisi demikian di atas, adalah kondisi yang terjadi pada anggota petani Subak Embukan yang telah berlangsung sejak lama sebelum kegiatan pariwisata di Desa Ababi mulai berkembang. Meskipun saat ini pariwisata di desa tersebut terus berkembang, namun tidak menjadi alasan bagi petani untuk bekerja pada sektor pariwisata. Hal ini terbukti dari sedikitnya jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor pariwisata Desa Ababi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8. Jumlah Tenaga Kerja Yang Terserap di Sektor Pariwisata Kecamatan Abang, 2010 Desa di Kecamatan Abang
Hotel Melati
Pondok Wisata
-
Labasari
-
-
-
-
Purwakerti
37
49
16
102
Bunutan
246
84
31
361
Tista
-
-
-
-
Ababi
8
47
22
77
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Pidpid Kertamandala
-
1
Total
Datah
Tiying Tali
5
Rumah /Warung Makan, Restauran, Bar
6
Abang
-
-
10
10
Total
291
185
80
556
Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karangasem, 2010
70
Berdasarkan tabel tersebut di atas, diperoleh informasi bahwa angka tenaga kerja di sektor pariwisata untuk Desa Ababi lebih sedikit dibandingkan desa lainnya. Secara keseluruhan angka tenaga kerja di sektor pariwisata berjumlah 77 orang. Angka tersebut jika tergolong kecil dibandingkan dengan jumlah warga Desa Ababi yang bermatapencaharian sebagai petani atau buruh tani yaitu sebesar 2773 orang atau sekitar 45,51 persen dari jumlah penduduk Desa Ababi. Angka tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat masih bertumpu pada sektor pertanian. Keadaan yang sama juga terjadi pada anggota petani subak sebagai bagian dari penduduk Desa Ababi. Hasil pengambilan data di lapangan menunjukkan bahwa seluruh responden anggota Subak Embukan masih bertumpu pada sektor pertanian sawah. Tidak terdapat anggota petani yang beralih mata pencaharian ke sektor pariwisata. Hal ini berarti pola mata pencaharian anggota Subak Embukan adalah sebagai petani dan juga memiliki nafkah ganda selain bertani namun, tidak pada sektor pariwisata. Mengacu pada hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa berkembangnya pariwisata di Desa Ababi tidak mempunyai pengaruh terhadap peralihan mata pencaharian penduduk di desa ini, khususnya terhadap anggota petani Subak Embukan.
6.3. Keanggotaan Subak Embukan Berdasarkan data keanggotaan Subak Embukan, sampai tahun 2011 anggota Subak Embukan telah berjumlah 330 orang. Proses untuk menjadi anggota Subak Embukan harus terlebih dahulu mendaftarkan diri kepada pekaseh (ketua subak). Kemudian calon anggota tersebut akan dipertemukan dengan kelian tempek (ketua tempek) dimana orang tersebut akan menjadi anggotanya. Setelah itu akan diadakan sangkepan (rapat) untuk memperkenalkan anggota baru serta menjelaskan aturan-aturan yang berlaku pada subak ataupun pada tempek. Pada dasarnya keanggotaan subak tidak terikat dengan keberadaan tempat tinggal, tetapi lebih didasarkan pada kepemilikan terhadap lahan garapan sehingga anggota Subak Embukan tidak semua berasal dari satu desa atau satu banjar yang sama. Pada umumnya petani yang menggarap di Subak Embukan terikat oleh
71
faktor keturunan dalam artian apabila petani tersebut sudah tidak mampu lagi menggarap sawah, maka akan diteruskan oleh anaknya atau saudaranya. Selain itu, petani yang ingin bergabung dengan Subak Embukan haruslah beragama Hindu karena dalam melaksanakan kegiatannya subak sangat terikat dengan kegiatan keagamaan yang wajib dilakukan oleh setiap anggota subak. Jumlah anggota Subak Embukan yang mencapai 330 orang, terbagi-bagi ke dalam 12 tempek dengan jumlah yang berbeda-beda untuk setiap tempek. Namun jika dihitung secara umum tanpa melihat tempek-tempek yang ada pada subak, jumlah anggota Subak Embukan tidak mencapai 330 orang. Hal ini karena terdapat juga anggota subak yang menggarap sawah lebih dari satu tempek. Meskipun demikian, tidak terdapat larangan atau batasan bagi anggota subak untuk menggarap lahan sawah lebih dari satu tempek atau pada tempek yang berbeda dalam satu subak. Pengelompokkan setiap tempek yang terdapat pada Subak Embukan didasarkan pada kemampuan air irigasi yang dialirkan. Oleh karena itu, pada setiap tempek memiliki jumlah anggota yang berbeda-beda bergantung pada jumlah petak-petak sawah yang memperoleh aliran air irigasi. Petani anggota Subak Embukan tergolong dalam krama pengayah yaitu anggota aktif. Disebut sebagai anggota aktif karena anggota tersebut selalu terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subak baik itu berupa upacarupacara keagamaan yang terkait dengan subak ataupun kegiatan perbaikan dan pemeliharan fasilitas irigasi yang biasanya dilakukan sekali dalam sebulan. Selain krama pengayah terdapat juga krama pengampel yakni anggota pasif atau anggota yang tidak terlibat secara rutin dalam kegiatan-kegiatan subak. Namun pada Subak Embukan tidak terdapat krama pengampel karena semua anggota secara rutin mengikuti kegiatan di subak. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa jumlah anggota petani Subak Embukan hingga tahun 2011 telah berjumlah 330 orang. Namun menurut Bapak NS, angka tersebut adalah berdasarkan daftar anggota pada setiap tempek. Pada kenyataannya jumlah anggota Subak Embukan tidak mencapai 330 orang. Hal ini karena terdapat beberapa anggota subak yang namanya terdaftar lebih dari satu tempek seperti yang disampaikan oleh Bapak IGD:
72
“Dari daftar yang ada sekarang, anggota subak ini ada 330 orang. Tapi ada anggota yang garap lahan di tempek yang beda. Jadi dia bisa garap di dua atau tiga tempek. Karena daftar ini dikumpulkan dari tiap tempek makanya ada beberapa nama anggota yang diulang.” Pengembangan pariwisata di Desa Ababi khususnya di kawasan Tirta Gangga yang berdekatan dengan Subak Embukan secara langsung tidak memberikan dampak terhadap jumlah keanggotaan subak. Berdasarkan hasil wawancara dengan pekaseh Subak Embukan, diketahui bahwa berkurang atau bertambahnya jumlah anggota subak tidak dapat dipastikan setiap tahunnya. Pada tahun yang sama anggota subak dapat berkurang tetapi juga dapat bertambah. Namun, hal ini tidak terjadi berturut-turut setiap tahunnya. Biasanya dua atau tiga tahun sekali atau dalam rentang waktu yang cukup lama, terjadi penambahan anggota subak tetapi dalam jumlah yang relatif kecil yaitu sekitar dua sampai empat orang. Hal serupa juga disampaikan oleh Bapak IGD yang menyatakan bahwa: “Pariwisata nda ada pengaruhnya sama anggota saya. Anggota subak memang berkurang tapi juga bertambah. Saya nda bisa bilang setiap bulannya atau setiap tahunnya berapa. Jarang terjadi. Bisa dua atau tiga tahun. Bisa juga nda ada sama sekali. Saya nda bisa pastikan. Dulu anggotanya memang berkurang tapi sekarang sudah nda lagi. Waktu tanahnya yang di dekat jalan itu dijual. Yah, nda bisa garap lagi petaninya. Lahan sudah digarap semua sama yang lain, terpaksa harus nyari yang lain.” Pariwisata memang tidak memberikan dampak langsung terhadap jumlah keanggotaan
subak
tetapi
secara
tidak
langsung
berdampak
terhadap
berkurangnya jumlah keanggotaan subak. Dampak yang terjadi merupakan akibat dari adanya konversi lahan selama kurun waktu empat tahun terakhir ini. Lahan subak yang terkonversi untuk kebutuhan kegiatan pariwisata menyebabkan petani yang awalnya menggarap sawah di lahan tersebut menjadi tersingkirkan karena lahannya bukan lagi milik Subak Embukan. Petani yang sudah tidak mempunyai lahan untuk digarap lagi terpaksa harus mencari pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dengan demikian petani tersebut tidak lagi menjadi anggota Subak Embukan dan jumlah anggota menjadi berkurang.
73
Penambahan anggota baru dalam Subak Embukan sangat jarang terjadi. Hal ini karena mempertimbangkan lahan garapan subak yang terbatas. Maksudnya adalah hampir semua lahan subak telah digarap oleh petani subak, sehingga jika tidak terdapat lahan subak yang kosong atau yang tidak memiliki penggarap maka pengurus subak tidak dapat menerima anggota subak baru. Namun, kebanyakan anggota subak yang terdaftar sebagai anggota baru dapat diterima karena anggota tersebut bekerja sama dengan anggota subak lainnya untuk menggarap lahan yang sama pada satu tempek. Hal ini biasanya terjadi pada anggota subak yang memiliki lahan garapan yang luas atau yang mempunyai lahan garapan lebih dari satu tempek. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak IMY bahwa: “Ada juga yang yang lahannya di garap berdua sama temannya. Termasuk saya juga. Ini saya garapnya berdua. Biasanya kalau saya lagi kerja, saudara saya yang bantuin tapi kalau saya nda kerja kita sama-sama kerjanya. Masalah hasil, kita baginya merata. Seberapa dapatnya itu dibagi rata. Kalau yang garap berdua ini, biasanya yah sama saudara sendiri atau sama teman. Nda banyak juga yang garap berdua, yang lahanya cuma dikit nda mungkin digarap berdua. Kebanyakan yang lahannya luas, yang punya lahan dibeberapa tempek juga biasanya kerjanya berdua.” Dengan demikian bagi siapa saja yang telah menggunakan air irigasi yang dikelola oleh Subak Embukan maka secara langsung orang tersebut telah menjadi anggota Subak Embukan dan harus tunduk pada awig-awig yang berlaku di subak tersebut. Mengacu pada penjelasan dan informasi yang telah dipaparkan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa pengembangan pariwisata tidak berdampak langsung terhadap bertambah atau berkurangnya jumlah keanggotaan Subak Embukan. Namun secara tidak langsung, pariwisata memberikan dampak terhadap berkurangnya keanggotaan subak yang diakibatkan karena adanya konversi lahan Subak Embukan selama kurun waktu empat tahun terakhir.
6.4. Kelembagaan Subak Embukan Kelembagaan merupakan bagian terpenting dalam subak. Kelembagaan subak dalam hal ini mencakup kelembagaan sebagai suatu pranata dan juga kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki struktur dan peran.
74
Kelembagaan subak dalam hal aturan-aturan yang berlaku dalam subak disebut dengan awig-awig. Jika dianalogikan dengan tubuh manusia, kelembagaan adalah jantung dari subak. Hal ini karena pada awig-awig terdapat seluruh pedoman bagi setiap anggota dalam hal melakukan kegiatan upacara keagamaan maupun kegiatan subak lainnya. Terkait dengan perkembangan pariwisata di kawasan Tirta Gangga, kelembagaan Subak Embukan tidak mengalami perubahan dari sejak awal subak tersebut ada sampai pada saat ini, bahkan ketika kegiatan pariwisata terus dikembangkan. Aturan-aturan dalam menjalankan upacara keagamaan masih terus dilaksanakan oleh subak karena hal tersebut dianggap sebagai kegiatan wajib sebagai wujud hubungan manusia dengan Tuhan dan bukti ketaatan mereka terhadap Tuhan. Selain itu, adanya Pura Bedugul yang terdapat pada setiap tempek juga merupakan wujud bahwa masyarakat subak masih menjalankan ajaran Parhyangan. Kegiatan-kegiatan sangkepan yang tertulis dalam awig-awig juga masih rutin dilaksanakan baik pada tingkat tempek maupun subak. Hal ini karena sangkepan krama merupakan wadah bagi anggota subak untuk saling bertatap muka dengan anggota lainnya sehingga dapat memperkokoh hubungan antar anggota tempek, antar tempek, dan antar anggota dalam Subak Embukan secara keseluruhan. Selain itu, kelembagaan sebagai organisasi dalam proses pelaksanaannya juga tidak mengalami perubahan. Peranan dari masing-masing anggota sesuai dengan strutur yang ada masih tetap dijalankan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam awig-awig subak tersebut. Berdasarkan pada kondisi tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa walaupun lingkungan Subak Embukan bersentuhan langsung dengan kawasan pariwisata, namun pada prosesnya perkembangan pariwisata tidak memiliki pengaruh atau tidak dapat mengubah substansi yang terdapat dalam kelembagaan Subak
Embukan.
Tidak
adanya
perubahan
pada
kelembagaan
subak
mengindikasikan bahwa kekuatan sektor pariwisata tidak mampu menandingi kokohnya kelembagaan Subak Embukan. Hal ini berarti anggota Subak Embukan secara keseluruhan masih mempertahankan dan menjaga keutuhan aspek-aspek penting dalam subak dan sadar bahwa kelembagaan merupakan ujung tombak bagi keberlanjutan Subak Embukan. Melaksanakan dan menjaga kelembagaan
75
subak sama halnya dengan menjaga Subak Embukan dari pengaruh negatif yang berasal dari luar.
6.5. Pengelolaan Irigasi Subak Embukan Pengelolaan irigasi pada Subak Embukan dalam konteks ini mencakup berbagai kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh subak secara keseluruhan seperti kegiatan-kegiatan upacara, perbaikan dan pemeliharaan jaringan irigasi, pemeliharaan pura subak, kegiatan sangkepan yang diadakan oleh subak dan juga masalah pembagian serta kekurangan air irgasi. Berdasarkan data yang diperoleh di lokasi penelitian, secara keseluruhan anggota subak masih menjalankan seluruh kegiatan tersebut dengan rutin yakni sebulan sekali untuk kegiatan pemeliharaan saluran irigasi pada tingkat tempek. Begitu juga halnya dengan sangkepan krama. Subak Embukan sangat jarang mengalami masalah dalam hal pembagian air irigasi. Hal ini karena subak tersebut memiliki mata air yang banyak. Masalah kekurangan air sesekali dapat terjadi terutama pada musim kemarau. Namun, hanya terjadi pada beberapa tempek yang memang memiliki sumber air yang kecil. Jika air tidak mencukupi maka akan diterapkan sistem peminjaman air dari tempek yang memiliki air yang berlimpah. Masalah kekurangan air yang terjadi disebabkan karena terdapat beberapa terowongan yang membawa air dari bendungan mengalami patahan pada bagian tertentu sehingga apabila debit air mulai berkurang air tersebut tidak dapat melewati bagian terowongan yang patah. Akhirnya air yang sampai pada telabah-telabah juga menjadi berkurang. Terowongan tersebut tidak dapat diperbaiki karena letaknya yang berada di bawah tanah sehingga sulit untuk dijangkau. Terkait dengan perkembangan kegiatan pariwisata yang berlangsung di sekitar lingkungan Subak Embukan dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh atau dampak yang dirasakan oleh Subak Embukan dengan berkembangnya kegiatan pariwisata di kawasan tersebut. Hal ini terbukti dari kegiatan-kegiatan yang masih terus dijalankan oleh seluruh anggota Subak Embukan secara rutin. Pariwisata tidak menjadi hambatan bagi anggota subak untuk terus melestarikan kebudayaan subak yang mereka miliki.
76
6.6. Ikhtisar Bab ini menjelaskan tentang dampak pengembangan pariwisata terhadap keberlanjutan Subak Embukan ditinjau dari segi kelembagaan subak, keanggotaan subak, dan pengelolaan irigasi yang berlangsung di Subak Embukan. Kelembagaan subak dalam hal ini terkait dengan aturan-aturan yang berlaku di Subak Embukan dan juga terkait dengan kelembagaan subak sebagai suatu organisasi. Berdasarkan hasil yang diperoleh dilapangan, data menunjukkan bahwa tidak terjadi perubahan kelembagaan pada Subak Embukan baik pada saat pariwisata belum berkembang maupun telah berkembang di desa tersebut. Tidak hanya pada aspek kelembagaan, aspek pengelolaan irigasi juga tidak mengalami perubahan sebagai dampak dari pariwisata. Seluruh kegiatan yang terkait dengan pengelolaan irigasi masih rutin dilaksanakan oleh setiap anggota subak. Secara non-material, kegiatan pariwisata di Desa Ababi memang tidak memiliki
dampak
terhadap
Subak
Embukan.
Namun
secara
material,
pengembangan pariwisata pada kenyataannya berdampak terhadap berkurangnya lahan pertanian subak tersebut. Dampak tersebut terlihat dari adanya konversi lahan subak sebesar 12 hektar dalam rentang waktu empat tahun terakhir. Konversi lahan yang terjadi mengakibatkan petani kehilangan lahan garapannya. Petani tidak dapat lagi menggarap lahan sawah karena tanah tersebut dijual dan dijadikan untuk keperluan pariwisata. Jumlah konversi lahan sebesar 12 hektar jika dibandingkan dengan jumlah konversi lahan secara keseluruhan di Bali, mungkin bukanlah angka yang besar. Namun untuk wilayah Desa Ababi, angka 12 hektar yang terkonversi dalam empat tahun adalah angka yang cukup besar. Hal ini karena sebagian besar wilayah Desa Ababi didominasi oleh areal persawahan yang subur, khususnya di sekitar kawasan wisata Tirta Gangga dan nilai pentingnya adalah lahan Subak Embukan merupakan hak ulayat. Meskipun demikian, kondisi tersebut tidak mempengaruhi anggota petani Subak Embukan untuk beralih mata pencaharian ke sektor non-pertanian. Hal ini terbukti dari data yang menunjukkan bahwa anggota Subak Embukan masih bertumpu pada sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama.
77
BAB VII PENUTUP
7.1. Kesimpulan Penelitian ini berangkat dari hipotesis yang menyatakan bahwa pariwisata di Bali berdampak terhadap keberlanjutan Subak Embukan di Desa Ababi ditinjau dari segi kelembagaan, jumlah keanggotaan subak, dan pengelolaan jaringan irigasi. Mengacu pada penjelasan dan data-data yang telah dipaparkan pada babbab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa perkembangan pariwisata di Desa Ababi khususnya di kawasan Tirta Gangga ditinjau dari segi non-materialnya memang tidak berpengaruh terhadap ketiga aspek tersebut di atas. Hal ini karena, substansi yang terdapat pada aspek kelembagaan subak maupun pada pengelolaan irigasinya masih tetap dilaksanakan oleh anggota Subak Embukan secara keseluruhan. Selain itu, substansi yang ada di dalamnya juga merupakan perwujudan dari ajaran Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan yang merupakan pilar penting dari keberlanjutan Subak Embukan. Namun dari segi materil dampak yang dirasakan cukup besar yakni terjadinya konversi lahan Subak Embukan sebesar 12 hektar selama periode waktu empat tahun yaitu dari tahun 2006 hingga tahun 2010. Akibat dari konversi lahan ini, petani yang pada awalnya menggarap di lahan tersebut kini tidak dapat lagi menggarap sawah sehingga petani terpaksa harus melepas keanggotaannya sebagai anggota Subak Embukan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa lahan persawahan Subak Embukan bukanlah milik dari anggota subak secara individu, melainkan milik dari pura (hak ulayat). Hal ini berarti konversi lahan yang terjadi tidak dilakukan oleh pihak petani subak karena lahan Subak Embukan adalah milik pihak pura dan petani hanya berkerja sebagai penggarap di lahan tersebut. Konversi lahan subak jika dibiarkan terus berlanjut, dalam rentang waktu 22 hingga 24 tahun lahan Subak Embukan akan terus berkurang atau bahkan tidak ada lagi dan telah menjadi kawasan pariwisata. Meskipun secara material kondisi lahan subak telah berkurang selama empat tahun terakhir, namun kondisi tersebut tidak mempengaruhi anggota Subak
78
Embukan untuk beralih mata pencaharian ke sektor non-pertanian. Hal ini terlihat dari sebagian besar anggota subak yang masih bekerja pada sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama. Pada kenyataannya memang terdapat anggota subak yang memiliki pekerjaan di luar sektor pertanian dan jika mengacu pada data yang ada penerimaan petani pada sektor pertanian sawah lebih besar dibandingkan dengan penerimaan pada pertanian sawah. Meskipun kondisinya demkian, anggota petani Subak Embukan masih bertumpu pada pertanian sawah karena pertanian merupakan aspek penting dalam budaya masyarakat Bali. Hal inilah yang merupakan salah satu faktor penting dalam sistem subak yakni setiap anggota tidak terikat secara ekonomi tetapi terikat secara kultural dan agama dengan sistem subak. Melihat kondisi demikian, yakni konversi lahan yang terjadi di Subak Embukan maka dinas pertanian setempat memberlakukan kawasan “Jalur Hijau”. Kawasan “Jalur Hijau” adalah aturan yang menetapkan bahwa tidak diperbolehkan lagi adanya pembangunan di sekitar kawasan wisata Tirta Gangga karena kawasan tersebut merupakan daerah pertanian yang subur yang dikelola oleh subak.
79
7.2. Saran Adanya konversi lahan yang terjadi pada Subak Embukan selama kurun waktu empat tahun terakhir jika dibiarkan terus berlanjut, dalam prosesnya cepat atau lambat akan mengancam keberlanjutan Subak Embukan tidak hanya dari segi materialnya tetapi juga segi non-material. Petani Subak Embukan masih bertumpu pada sektor pertanian sawah, sehingga apabila lahan terus terkonversi maka petani akan kehilangan mata pencahariannya dan bukan tidak mungkin akan beralih ke sektor non-pertanian. Oleh karena itu, melihat kondisi yang demikian maka peneliti memberi beberapa saran yaitu hendaknya aturan tentang penetapan kawasan “Jalur Hijau” disekitar lingkungan objek wisata Tirta Gangga yang telah diberlakukan oleh pemerintah Dinas Pertanian setempat, diharapkan dapat secara tegas diterapkan sehingga dapat menekan laju konversi lahan. Hendaknya juga pihak pura selaku pemilik lahan Subak Embukan perlu mempertimbangkan kembali keputusannya dalam hal konversi lahan. Hal ini karena keputusan mengkonversi lahan erat kaitannya dengan sumber mata pencaharian utama petani Subak Embukan yang masih bertumpu pada sektor pertanian dan juga terkait dengan keberlanjutan Subak Embukan itu sendiri. Nilai penting lainnya yang perlu diperhatikan ialah setiap anggota yang tergabung dalam Subak Embukan tidak terikat secara ekonomi tetapi terikat secara budaya dan agama dengan sistem subak. Selain itu, Subak Embukan perlu terus mempertahankan kelembagaannya sebagai pilar penting untuk menjaga keberlanjutan Subak Embukan yang merupakan warisan budaya Bali.
80
DAFTAR PUSTAKA
Ambarawati, Ni Gusti Made. Upaya Pemerintah Dalam Melestarikan Subak Di Kabupaten Tabanan (Studi Kasus Di Subak Palean Desa Perean Kecamatan Baturiti Kabupaten Tabanan. http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin.jurnal/2106161183.pdf, diunduh pada 13 Desember 2010, pukul 14:10 WIB. Ambler, John. (Editor) 1991. Irigasi Di Indonesia: Dinamika Kelembagaan Petani. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia. Astuti, Putri. 1995. Analisis Ketersediaan Air irigasi DAS Kuranji Sumatera Barat. [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Barika. 2009. Kajian Dampak Pengembangan Sektor Pariwisata Di Kota Bengkulu (Studi Kasus Pengembangan Kawasan Wisata Pantai Panjang Dan Tapak Paderi). [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Budiman, Yohan. 2009. Konversi Lahan Pertanian Sebagai Strategi Adaptasi Petani (Kasus di RW 02 Desa Gunung Picung, Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor). [Skripsi]. Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Dewi, Ratna Komala Dan I N Gede Ustriyana. 2007. Keberlanjutan Nilai-Nilai Tri Hita Karana (THK) Pada Sistem Subak Di Kawasan Wisata dan Kawasan Agraris Kabupaten Gianyar. http://ejournal.unud.ac.id/index.php?module=detailpenelitian&idf=7&idj=4 8&idv=181&idi=47&idr=183, diunduh pada 7 Oktober 2010, pukul 22:08 WIB. Heriawan, Rusman. 2004. Peranan Dan Dampak Pariwisata Pada Perekonomian Indonesia: Suatu Pendekatan Model I-O Dan Sam. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjanana Institut Pertanian Bogor. Hilyana, Sitti. 2001. Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Karakteristik Kultural Dan Struktural Maayarakat Lokal. [Tesis]. Program Pascasarjanana Institut Pertanian Bogor. Iqbal, Muhammad. 2007. Fenomena dan Strategi Kebijakan Pemerintah Daerah Dalam Pengendalian Konversi Lahan Sawah di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5. Nomor 4. Desember 2007. Halaman 287303. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ISU5-4a.pdf, diunduh pada 5 Maret 2011 pukul 23:15 WIB.
81
Iqbal, M dan Sumaryanto. 2007. Srtategi Pengendalian Alih Fungi Lahan Pertanian Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5. Nomor 2. Juni 2007. Halaman 167-182. http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/ART5-2c.pdf, diunduh pada tanggal 6 Juli 2011 pukul 21:20 WIB. Jayadinata, J. T. 1992. Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan dan Wilayah Bandung. Bandung: ITB Bandung. Kalo, Husni Thamrin. 1979. Suatu Tinjauan Mengenai Kelembagaan Pengelolaan Irigasi Di Daerah Aliran Sungai Cimanuk Jawa Barat. Agro-economic survey (Rural Dinamics Study.) Nomor 4. November 1979. Kartasapoetra, A. G, Mul Muljani Sutedjo, dan E. Pollein. 1991. Teknologi Pengairan Pertanian (Irigasi). Jakarta: Bumi Aksara. Pitana, I Gede dan Gayatri, Putu Gede. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: ANDI. Safri, Muhammad. 2003. Dampak Pariwisata Alam Taman Nasional Kerinci Seblat Terhadap Ekonomi Masyarakat Sekitar dan Wilayah Kabupaten Kerinci Propinsi Jambi. [Disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sihaloho, Martua. 2004. Konversi Lahan Pertanian dan Perubahan Struktur Agraria (Kasus Di Kelurahan Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor Jawa Barat). [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Setiawan, I Ketut. 1995. Subak: Organisasi Irigasi Pada Pertanian Padi Sawah Masa Bali Kuno. [Tesis]. Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3S. Soekanto, Suryono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Somantri, Lili. Keunggulan Bali Sebagai Daerah Tujuan Wisata Andalan Indonesia. http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR.PEND.GEOGRAFI/13231454-LILI SOMANTRI/makalahbali.pdf, diunduh pada 18 Februari 2011, pukul 11:02 WIB. Sutawan, Nyoman. 2001. Eksistensi Subak Di Bali: Mampukah Bertahan Menghadapai Berbagai Tantangan. http://ejournal.unud.ac.id/index.php?module=detailpenelitian&idf=7&idj=4 8&idv=186&idi=192&idr=1112, diunduh pada 7 Oktober 2010, pukul 21:57 WIB.
82
Suwena, I Wayan dan Soehardi. 1999. Dinamika Subak di Kawasan Wisata Bali: Studi Kasus Subak Mas Ceti Kedewatan Ubud, Gianyar. http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/detail.php?dataId=5995. (diunduh Tanggal 7 Oktober 2010, pukul 21:37 WIB). Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting Dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian: Penjelasan Tentang Konsep, Istilah, Teori dan Indikator Serta Variabel. Jakarta: Bina Rena Pariwara. Tonny, Fredian. 2004. Perspektif Kelembagaan Dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Citanduy. Pusat Studi Pembangunan-Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan Partnership For Governance Reform In IndonesiaUNDP. Nomor 4. Desember 2004. Wahab, Salah. 1992. Manajemen Kepariwisataan. Penerjemah, Frans Gromang. Jakarta: Pradnya Paramita. Wahyuni, Ekawati S dan Pudji Muljono. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bahan Kuliah. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Wastutiningsih, Sri Peni dan Subejo. 2004. Handout Mata Kuliah Sosiologi Pertanian. Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. Yoeti, Oka A. 1982. Pengantar Ilmu Pariwisata. Jakarta: Angkasa. Yoeti, Oka A. 2008. Ekonomi Pariwisata: Introduksi, Informasi Dan Aplikasi. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. http://berita.balihita.com/bali-perlu-tetapkan-kawasan-subak-abadi.html, diunduh pada tanggal 5 Januari 2011, pukul 13:40 WIB. http://www.scribd.com/doc/6611050/10-Analisis-Data, diunduh pada 5 Maret 2011, pukul 21:10 WIB.
83
LAMPIRAN
84
Lampiran 1. Peta Desa Ababi
85
Lampiran 2. Peta Subak Embukan
86
Lampiran 3. Daftar Nama Anggota Subak Embukan IDM
IGP
IKK
IWL
IWDS
NP
INR
IDB
IGP
IKK
IWM
IWDS
TN
INP
IGA
IGPP
IKK
IWMA
IWK
IWK
ING
IGC
IGR
INR
IWP
IWD
INA
INS
IGC
IGR
IKK
ING
INT
INA
INM
IGD
IGR
IKL
IWM
INT
ING
INPD
IGD
IGS
IKL
IWP
INP
ING
INDR
IGDD
IGS
IKM
IWM
INT
INJ
ING
IGDM
IGS
IKM
IWO
IWA
ING
IND
IGDS
IGS
IKN
IWP
IWC
INM
IND
IGDT
IGT
IKP
IWM
IWDR
INPS
INK
IGD
IGT
IKP
ING
IWDS
INPT
IND
IGG
IKP
IKP
IWM
IGL
INS
INK
IGG
IKB
IKPA
IWP
IGL
INP
INL
IGK
IKB
IKPB
IWM
IGM
INP
INK
IWM
IKD
IKP
IWM
IGMW
INDR
INK
IWPN
IMR
IKR
IWP
IGO
IND
INR
IWM
IKD
IKR
IWP
IKRC
INA
INP
IWPN
IKG
IKR
IWM
IKS
INP
INP
IWM
IKJ
IKRM
IWP
IKT
INS
INS
IWPN
IKR
IKK
IWP
IWS
INS
INW
IWPP
IKS
IKS
IWM
IWR
INP
INW
IWR
IKT
IKT
INJ
IWS
IWK
INDM
87
IKW
IKD
IWS
ING
IWR
INS
INW
IKT
IKT
IKT
INM
IWR
IND
IND
IMA
IKS
IKMP
INM
IWS
IWD
IND
IMB
IMB
IMDG
INP
IWR
IWK
INB
IMD
IMD
IMDG
INP
IWS
IWK
ING
IMD
IKS
IMDG
INR
IWR
IWK
IND
IMK
IMG
IMG
IWA
IWR
IWG
INK
IMG
IKD
IMG
IWB
IWR
IWD
INL
IKM
IMG
IKT
IWD
IWS
IMY
INK
IWD
IMG
IMK
IWD
IWR
IMR
INK
IMK
IMD
IMK
IWDS
IWS
INDR
INO
IMK
IMK
IMK
INS
IWT
IWD
INP
IMP
IMP
IMK
INA
IWW
IWC
INR
IMPK
IMPK
IMR
INB
IWT
IND
INS
IMP
IMP
IMP
INA
IWT
INB
INP
IMWP
IMP
IMR
IDT
IWT
INK
INS
IMP
IMR
IMR
ING
IWT
IND
INS
IMR
IMRM
IMRS
INDR
IWW
INK
INW
IMR
IMR
IMR
INK
KS
INL
IWD
IMS
IMR
IMR
INL
KM
INK
INDP
IMS
IMS
IMS
INMM
KM
INL
IMW
IMW
IMW
INP
NM
INM
IMY
INA
INB
INPM
NM
INP
INB
INB
INB
INP
NW
INRT
Keterangan:
= responden
88
Lampiran 4. Kuesioner dan Panduan Wawancara KUESIONER PENELITIAN Dampak Pengembangan Pariwisata Terhadap Keberlanjutan Subak (Studi Kasus Desa Sideman, Kecamatan Sideman, Kabupaten Karangasem, Propinsi Bali) No. Responden : Tanggal Pengisian : I. Identitas Responden Nama : Usia : Status : Alamat (RT/RW) : II. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan
Dahulu (Tahun)
I. Konversi dan Fragmentasi Lahan 1. Berapa luas sawah Bapak? 2. Apakah status lahan sawah Bapak? a. Sewa b. Garap c. Milik 3. Apakah yang menyebabkan bertambah atau berkurangnya lahan sawah? a. Diperoleh dari orang tua(warisan) b. Membeli c. Dijual d. Disewakan e. Digadaikan f. Diwariskan g. Dihibahkan 4. Berapa kali Bapak melakukan fragmentasi lahan sawah? 5. Berapakah harga jual tanah? 6. Tanah sawah Bapak di beli untuk keperluan apa? a. Jalan raya b. Rumah makan c. Penginapan d. Pemukiman e. Pom Bensin f. Restoran e. Lainnya...........
Sekarang (Tahun) ha ha ha ha ha
ha ha ha ha ha
rp/m²
rp/m²
II. Peralihan Mata Pencaharian 7. Pola tanam (jenis tanaman) a. Musim hujan b. Musim kemarau c. Musim pancaroba 8. Berapakah produksi persatuan luas lahan (kw/luas lahan)?
GKP
GKG
GKP
GKG
89
• Persil I a. Musim hujan b. Musim kemarau c. Musim pancaroba
(1/2)*
(1/2)*
(1/2)*
(1/2)*
(1/2)*
(1/2)*
(1/2)*
(1/2)*
(1/2)*
(1/2)*
(1/2)*
(1/2)*
(1/2)*
(1/2)*
(1/2)*
(1/2)*
(1/2)*
(1/2)*
• Persil II a. Musim hujan b. Musim kemarau c. Musim pancaroba • Persil III a. Musim hujan b. Musim kemarau c. Musim pancaroba 9. Berapakah harga jual padi? • Persil I a. Musim hujan b. Musim kemarau c. Musim pancaroba • Persil II a. Musim hujan b. Musim kemarau c. Musim pancaroba • Persil III a. Musim hujan b. Musim kemarau c. Musim pancaroba 10. Nafkah ganda a. Apakah pekerjaan Bapak selain sebagai petani? b. Berapa lama Bapak bekerja dalam sebulan? c. Dibulan apa sajakah Bapak bekerja? d. Berapakah penerimaan yang Bapak peroleh? III. Keanggotaan Subak 11. Sejak kapan Bapak menjadi anggota subak? 11. Berapakah jumlah anggota subak ? Keterangan:
* = coret salah satunya 1 = termasuk upah panen 2 = belum termasuk upah panen GKB = Gabah Kering Panen GKG = Gabah Kering Giling
90
12. Berapa banyak anggota subak yang berkurang? IV. Pengelolaan Irigasi 13. Sebagai apakah posisi Bapak dalam subak? a. Pekaseh b. Kelihan tempek c. Kesinoman d. Kerama subak e. Lainnya ...................... 14. Berdasarkan pertanyaan no.13, apakah tugas Bapak? 15. Kegiatan-kegiatan apa saja yang dilaksanakan oleh subak? a. Perbaikan jaringan irigasi b. Pemeliharaan jaringan irigasi c. Pemeliharaan pura subak d. Lainnya...................... 16. Berapa kali kegiatan-kegiatan subak dilaksanakan dalam sebulan? a. Perbaikan jaringan irigasi b. Pemeliharaan jaringan irigasi c. Pemeliharaan pura subak d. Lainnya...................... 17. Apakah Bapak rutin mengikuti kegiatan tersebut? a. Perbaikan jaringan irigasi b. Pemeliharaan jaringan irigasi c. Pemeliharaan pura subak d. Lainnya...................... 18. Apakah Bapak pernah mengalami masalah dalam: a. Pembagian air irigasi b. Kekurangan air irigasi c. Lainnya.............................. V. Kelembagaan Subak 19. Apakah ada perubahan nilai atau aturan dalam subak? a. Ya b. Tidak 20. Nilai atau aturan apa saja yang mengalami perubahan?
1. ..................... 2....................... 3.......................
91
Pertanyaan terbuka I. Konversi lahan, fragmentasi lahan, dan peralihan mata pencaharian 1. Mengapa Bapak melakukan fragmentasi lahan? 2. Apakah harga tanah tersebut menguntungkan atau merugikan Bapak? Mengapa? 3. Mengapa Bapak melakukan nafkah ganda? 4. Biasanya sistem upah atau bagi hasil dalam bentuk apa? II. 1. 2.
Keanggotaan subak Faktor apa yang menyebabkan anggota subak berkurang? Apakah setiap tahunnya ada anggota subak berkurang?
III. 1. 2. 3.
Pengelolaan Irigasi Kendala apa saja yang sering terjadi dalam pembagian air irigasi? Apa yang menyebabkan kendala tersebut terjadi? Kegiatan-kegiatan upacara apa saja yang dilakukan oleh subak? apakah Bapak rutin mengikutinya?
IV. 1. 2. 3. 4.
Kelembagaan Subak Apa yang menyebabkan nilai atau aturan pada subak mengalami perubahan? Sejak kapan nilai atau aturan mengalami perubahan? Menurut Bapak, bagaimana pengaruh pengembangan pariwisata terhadap subak? Apakah pariwisata dapat menjadi ancaman bagi kelembagaan subak? Mengapa?
92
Pedoman Wawancara Kepada Pengurus Subak Hari/tanggal : Lokasi : Nama : Usia : Alamat (RT/RW) : Pertanyaan: I. Komponen Budaya 1. Apakah Anda penduduk asli desa ini? 2. Sejak kapan menjadi pengurus subak? 3. Kegiatan upacara keagamaan apa saja yang dilakukan oleh subak? 4. Bagaimanakah penyelenggaraan upacara tersebut? 5. Bagaimana jika terdapat anggota yang tidak melakukan atau mengikuti upacara? 6. Bagaimana proses pengambilan keputusan dalam pembagian air irigasi? II. Komponen Sosial 7. Sejak kapan Anda menjadi pengurus subak? 8. Berdasarkan apa pemilihan pengurus subak? 9. Bagimanakah sistem penyediaan dan distribusi air pada subak? 10. Bagaimanakah sistem pembagian air pada subak? 11. Apakah pernah terjadi kekurangan air irigasi? Mengapa? 12. Apakah yang akan dilakukan jika terjadi kekurangan air irigasi? 13. Bagaimanakah sistem kepengurusan pada subak? 14. Bagaimanakah penerapan awig-awig pada subak? 15. Aturan-aturan tentang apa sajakah yang termuat dalam awig-awig subak? III. Komponen Artefak 16. Darimanakah sumber air yang diperoleh untuk keperluan subak? 17. Bagaimanakah sistem pengelolaan air irigasi pada subak ini? 18. Jaringan irigasi apa saja yang terdapat pada subak? 19. Kegiatan-kegiatan apa sajakah yang dilaksanakan oleh subak terkait dengan pengelolaan air irigasi? Pertanyaan Bebas 1. Menurut Anda, bagaimanakah perkembangan pariwisata saat ini? 2. Apakah ada dampak yang dirasakah oleh subak terkait dengan pengembangan pariwisata di desa ini? 3. Adakah perubahan-perubahan yang muncul pada subak terkait dengan berkembangnya pariwisata di desa ini? 4. Bagaimanakah luas lahan subak saat ini mulai berkurang sejak adanya pengembangan pariwisata? Mengapa? 5. Apakah jumlah anggota subak berkurang? Mengapa? 6. Jika anggota subak terus berkurang apakah yang akan terjadi pada subak? 7. Adakah perubahan nilai atau aturan yang terjadi pada subak? Mengapa? 8. Menurut Anda, faktor apakah yang menyebabkan petani beralih mata pencaharian di luar sektor pertanian? 9. Menurut Anda, apakah pengembangan pariwisata di desa ini dapat mengancam keberlanjutan subak? Mengapa? 10. Bagaimanakah cara subak dalam menghadapi perubahan-perubahan baik di dalam maupun di luar subak terkait dengan perkembangan pariwisata?
93
Pedoman Wawancara Kepada Tokoh Masyarakat Hari/tanggal Lokasi Nama Usia Alamat (RT/RW)
: : : : :
Pertanyaan: I. Konversi Lahan, Fragmentasi Lahan dan Peralihan Mata Pencaharian 1. Apakah Anda penduduk asli desa ini? 2. Apakah jenis mata pencaharian utama di desa ini? 3. Sejak kapan pariwisata mulai berkembang di desa ini? 4. Apakah di desa ini sering terjadi konversi lahan pertanian? Mengapa? 5. Konversi lahan pertanian biasanya digunakan untuk keperluan apa? 6. Bagaimana pendapat Anda tentang subak terkait dengan konversi lahan pertanian tersebut? 7. Apakah dengan masuknya pariwisata ke desa ini menyebabkan terjadinya peralihan mata pencaharian? Mengapa? 8. Menurut Anda, faktor apakah yang menyebabkan petani melakukan fragmentasi lahan sawah? 9. Apa yang akan terjadi jika lahan subak terus berkurang? Bagaimana cara mengatasi hal tersebut? II. Kelembagaan Subak, Keanggotaan Subak dan Pengelolaan irigasi 10. Perubahan apa sajakah yang terjadi sejak berkembangnya pariwisata? 11. Menurut Anda, adakah perubahan nilai atau aturan yang berlaku dalam masyarakat subak sejak berkembangnya pariwisata di desa ini? Mengapa? 12. Menurut Anda, apakah yang akan terjadi jika anggota subak terus berkurang? Mengapa? 13. Bagaimanakah pengelolaan air irigasi yang diakukan oleh subak? 14. Menurut Anda, bagaimanakah dampak pengembangan pariwisata terhadap masyarakat subak? 15. Menurut Anda, bagaimanakah cara subak beradaptasi dengan perubahan yang terjadi? 16. Bagaimanakah pengembangan wisata di desa ini? Jelaskan! 17. Bagaimanakah pengaruh pengembangan pariwisata terhadap keberlanjutan subak di desa ini?
94
Lampiran 5. Cacatan Harian Hari/Tanggal Narasumber Lokasi Hasil Wawancara
: Rabu, 12 April 2011 : Bapak NS (pekaseh) : Rumah Pekaseh : Sejarah Subak Embukan
Nama Subak Embukan berasal dari kata “embukan” yang berarti mata air dan kata “subak” yang berarti perkumpulan. Subak Embukan berarti perkumpulan petani yang memanfaatkan mata air yang sama. Subak Embukan ini memiliki banyak mata air-mata air kecil pada tempek selain sumber mata air utama yang dimiliki oleh subak. Subak ini terdiri dari 12 tempek, yaitu: Pancoan, Lime Busuh, Tirta Gangga, Dulu, Teben, Ketipat, Yeh Sumeng, Dause, Limut, Kedokan, Kelampwak dan Wani. Tempek ini dibagi berdasarkan kemampuan air irigasi mengalirkan airnya. Setiap tempek memiliki jumlah anggota yang berbeda-beda karena tergantung pada luas tempek tersebut. Biasanya masing-masing tempek memiliki 40 sampai 60 anggota dan ada juga yang lebih dari jumlah tersebut. Anggota subak secara keseluruhan berjumlah 330 orang. Jumlah tersebut dihitung berdasarkan keterlibatan anggota pada tempek-tempek. Terdapat beberapa anggota yang menggarap sawah lebih dari satu tempek. Hal ini tidak menjadi masalah dan tidak dibatasi dalam subak. Pada subak terdapat juga iuran yang dipungut dari setiap anggota sebesar Rp1000,00 yang digunakan untuk keperluan persembayangan. Subak Embukan memiliki pengurus yang terdiri dari pekaseh, bendahara, dan sekretaris pada tingkat subak. Pada tingkat tempek, terdapat kelian sebagai ketua dan dibantu oleh sekretaris dan bendahara. Kelian tempek bertanggung jawab mengurusi kegiatan internal dalam subak, sedangkan pekaseh bertanggung jawab terhadap kegiatan atau hubungan subak dengan lembaga lain di luar subak. Tugas skretaris dan bendahara ialah untuk mencatat setiap hasil rapat, mebuat proposal serta mengurus keuangan pada subak. Sangkepan yang diadalakan oleh subak ada yang rutin enam bulan sekali pada tingkat subak dan hanya diikuti oelh pengurus dari masing-masing tempek. Sangkepan pada tingkat tempek dilakukan sebulan sekali sesuai kesepakatan bersama dan hanya diikuti oleh anggota tempek terkait. Selain itu juga terdapat rapat insedentil yang dilakukan jika memang diperlukan dan mendesak. Subak Embukan sudah ada sejak lama sebelum tahun 1963. Pada dasarnya lahan subak ini merupakan milik dari pura adat. Anggota petani subak hanya bekerja sebagai penggarap. Luas subak ini pada tahun 2006 mencapai 87 hektar. Namun, luas lahan mulai berkurang hingga pada tahun 2010 luas subak menjadi 75 hektar. Hal ini disebabkan karena adanya lahan yang dijual oleh pihak pura. Subak Embukan berlandaskan pada falsafah Tri Hita Karana yang menjadi landasan dalam membuat awig-awig subak. Tri Hita Karana ini terdiri dari ajaran Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan. Parhyangan diwujudkan dengan kegiatan upacara dan juga keberadaan pura-pura bedugul pada masing0masing tempek. Pawongan diwujudkan dalam bentuk kegiatan sangkepan dan Palemahan dalam bentuk fisik lahan subak. Masuknya pariwisata di desa ini sedikitnya berpengaruh pada Subak Embukan. Seperti halnya, lingkungan subak menjadi kotor begitu juga dengan saluran irigasi akibat limbah dari penginapan. Awalnya kejadian ini masih dibiarkan, namun karena petani juga merasa
95
terganggu makan saya menegur mereka. Sejak itu, tidak terdapat lagi limbah dari penginapan ataupun rumah makan di sekitar lingkungan subak.
Hari/Tanggal Narasumber Lokasi Hasil Wawancara
: Rabu, 20 April 2011 : Bapak IGD (kelian tempek) : Tempek Embukan Dulu : Kepengurusan subak, pengaruh pariwisata, dan kegiatankegiatan pada Subak Embukan
Bapak IGD penduduk asli desa ini dan telah bergabung menjadi anggota subak ini sejak tahun 1980. Sebelumnya, sejak kecil Bapak IGD terbiasa mengikuti orang tua ke sawah hingga akhirnya beliau juga mulai menggantikan atau melanjutkan orang tuanya untuk menggarap sawah di subak ini. Subak Embukan ini sudah ada sejak sebelum tahun 1963. Namun, tidak dapat dipastikan kapan subak ini ada. Subak punya beberapa upacara yang dilakukan mulai dari awal pengolahan tanah sampai panen selesai. Upacara yang diadakan seperti mapagtoyo, nakluk merana, biukukung, mamula, dan palebon jero ketut yang diadakan setiap 15 tahun sekali. Upacara yang dilakukan biasanya ada yang perkelompok dan juga individu. Upacara berkelompok dilakukan bersama dengan anggota kelompok tempek masing-masing. Apabila pada saat kegiatan upacara dilakukan terdapat beberapa anggota yang tidak hadir, upacara akan tetap dilaksanakan dan anggota tersebut tidak akan diberikan sanksi adat. Namun, jika dalam sangkepan krama terdapat anggota yang tidak hadir maka anggota tersebut tidak memperoleh bantuan bila subak mendapat bantuan dari pemerintah. Sejauh ini anggota saya selalu hadir dalam setiap sangkepan krama dan juga kegiatan upacara yang diadakan. Untuk pembagian air irigasi dilakukan sesuai dengan kebutuhan petani yang bersangkutan dan sebelumnya telah dibahas terlebih dahulu dalam sangkepan agar tidak terdapat kesalahpahaman diantara para anggota. Jabatan sebagai pengurus subak sudah jalani selama tiga tahun dan periode jabatan ini berlaku sampai lima tahun. Pemilihan ini didasarkan pada keputusan bersama diantara anggota kelompok tempek. Proses penyediaan dan distribusi air irigasi merupakan tanggung jawab kelian tempek sepenuhnya. Masing-masing kelian tempek, khususnya tempek yang akan memulai menanam harus membersihkan saluran-saluran pembawa air ke petak-petak sawahnya. Masalah kekurangan air irigasi terkadang sering terjadi pada Subak Embukan. Hal ini karena air yang berada pada mata air mulai berkurang. Apalagi pada musim kemarau. Namun hal ini dapat ditanggulangi karena selain dari sumber mata air utama, subak juga memiliki mata air-mata air kecil yang terdapat pada tempek-tempek. Pada tahun 1986, tempek embukan masih melimpah air. Namun karena gorong airnya dan lempengan tanah jebol menyebabkan air menjadi turun. Biasanya jika terjadi kekurangan air, akan dilakukan sistem peminjaman air dari tempek yang memiliki air melimpah. Apabila terjadi permasalahan air diantara pada anggota, maka anggota terkait akan segera dikumpulkan oleh kelian tempek tersebut kemudian diberi pengarahan. Apabila masalah tidak selesai, maka akan disampaikan kepada pekaseh. Kepengurusan dalam subak dipimpin oleh pekaseh. Pekaseh dibantu juga oleh sekretaris dan bendahara. Pada tempek juga terdapat ketua yang disebut kelian dan dibantu juga oleh sekretaris dan bendahara. Pada subak embukan telah memiliki awig-
96
awig yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota subak terkait. Selain awig-awig pada tingkat subak juga terdapat awig-awig pada tingkat tempek dan hanya berlaku bagi semua anggota tempek terkait. Sumber air pada Subak Embukan ada tiga yaitu Dauh, Jagad Satru, dan Kaliasem. Ini adalah tiga mata air utama pada subak. Tempek embukan ini ada dua bagian. Bagian utara irigasi disebut embukan dulu dan bagian utara tirta gangga disebut embukan teben. Pada subak ini panen padi dilakukan empat kali dalam setahun. Namun, terkadang jika debit air kecil atau mengalami kekurangan air maka akan tanaman padi akan diganti dengan tanaman palawija dan sebulan telahnya baru kembali mulai menanam padi. Terkait dengan pariwisata, tidak berpengaruh terhadap Subak Embukan. Memang terdapat lahan yang dijual untuk pembangunan di sektor pariwisata dan lebih banyak pada sebelah Timur karena lebih dekat dengan jalan raya dan dengan kawasan wisata Tirta Gangga. Kalau tempek embukan ini letaknya sangat di dalam jadi tidak mungkin untuk dijual. Anggota subak bisa dibilang berkurang dan bisa juga dibilang bertambah. Pertambahan anggota terjadi karena pada satu petak sawah dapat di garap oleh dua orang. Hal ini biasanya terjadi pada beberapa orang yang menggarap dilahan yang luas atau menggarapa dibeberapa tempek. Sejauh ini tidak terdapat pada perubahan pada subak. Upacara rutin masih dilaksanakan. Begitu juga dengan sangkepan kerama yakni 6 bulan skali dan sebulan sekali pada tingkat tempek. Awigawig masih tetap dilaksanakan. Pada Subak Embukan dalam hal pengolahan tanah masih menggunakan tenaga sapi. Untuk panen padi tidak seragam dilakukan oleh semua anggota. Hal ini karena waktu tanam yang berbeda-beda dan sesuaikan dengan sistem perkelenderan masyarakat Bali. Hasil panen padi sebagiannya akan diberikan kepada pihak pura selaku pemilik lahan subak tersebut. Bagi petani yang menggarap bersama teman atau saudaranya, maka hasil panen akan dibagi secara merata. Padi yang dipanen dihitung per blek padi. Satu blek setara dengan empat kilogram padi dan di hargai Rp20.000,00. Secara pribadi, padi hasil panen tidak saya jual tetapi dikonsumsi untuk kebutuhan sehari-hari. Petani di Bali belum ada yang merasa untung karena padi biasanya terkena serangan hama yang menyebabkan padi menjadi kemerah-merahan sehingga tidak bisa dipanen. Seperti tahun ini panen padi juga tidak terlalu bagus. Hari/Tanggal Narasumber Lokasi Hasil Wawancara
: Sabtu, 16 April 2011 : Bapak IKK (kelian tempek) : Tempek Tirta Gangga : Pola mata pencaharian
Subak Embukan memiliki 12 tempek dan tempek tirta gangga merupakan tempek yang jumlah lahannya paling sempit yaitu 225 are. Tempek tirta gangga ini juga memperoleh air irigasi yang berasal dari mata air di taman Tirta Ganga. Umumnya setiap anggota petani di subak ini memiliki pekerjaan sampingan lainnya selain sebagai petani. Biasanya kami bekerja sebagai tukang atau bekerja sebagai buruh bangunan atau buruh pabrik. Pekerjaan ini dilakukan sambil menunggu musim panen tiba. Pekerjaan ini tidak menentu di bulan apa saja, karena tergantung pada permintaan terhadap pekerjaan ini. Biasanya pekerjaan sampingan dilakukan untuk menambah penghasilan petani karena jika mengandalkan dari hasil bertani saja tidak dapat mencukupi
97
kebutuhan sehari-hari. Hari kerjanya berkisar antara 20 sampai 30 hari selama enam atau tujuh jam sehari. Dalam hal penggarapan sawah, jika hasil garapan tidak bagus atau pihak pura tidak merasa puas terhadap hasil panen tersebut, maka pihak pura dapat mengambil kembali lahan sawah yang digarap. Namun, proses pengambilan tersebut harus diberitahukan kepada kelian. Lahan tesebut dapat diambil kembali oleh pihak pura dengan syarat pihak pura harus membayar kepada petani terkait sejumlah uang yang telah ditentukan. Apabila pihak pura tidak mampu untuk membayarnya maka lahan sawah tidak dapt diambil dan petani terkait masih tetap dapat menggarapnya. Pariwisata di desa ini memang cukup berkembang. Wisatawan juga banyak yang melakukan kunjungan ke Tirta Gangga. Meskipun demikian, anggota petani Subak Embukan tidak ada yang bekerja pada sektor pariwisata. Masayarakat di desa ini khususnya anggota subak embukan semuanya masih bertumpu pada sektor pertanian dan masih merupakan sumber mata pencaharian utama. Bergabung sebagai anggota subak embukan merupakan keinginan masing-masing anggota. Untuk kepengurusan dalam subak embukan, petani yang terlibat sebagai pengurus dipilih berdasarkan hasil musyawarah bersama. Pengurus yang terlibat harus benar-banr siap menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, khususnya bagi yang menjabat sebagai pekaseh. Subak Embukan selain mempeoleh dana dari hasil iuran masing-masing anggota, terdapat juga dana yang berasal dari sumbangan masyarakat sekitar. Dana ini digunakan untuk keperluan sembayang. Hari/Tanggal Narasumber Lokasi Hasil Wawancara
: Selasa, 3 Mei 2011 : Bapak MS (PPL) : Kantor Kecamatan Dinas Pertanian Abang :Konversi lahan dan upaya pemerintah dalam menanggulanginya
Subak Embukan merupakan salah satu wilayah kerja PPL di Desa Ababi. PPL biasannya bertugas untuk memberikan penyuluhan terkait dengan hama, bibit, dan program-program pertanian bantuan pemerintah dalam pertanian. Subak Embukan merupakan satu-satunya subak yang bersentuhan langsung dengan kawasan wisata Tirta Gangga. Daerah disekitar kawasan Tirta Gangga telah dibangun beberapa penginapan, rumah makan, dan lainnya yang mendukung kegiatan pariwisata tersebut. Pembangunan sarana ini menghabiskan sekitar 12 hektar lahan Subak Embukan selama kurun waktu empat tahun terakhir. Kondisi demikian menyebabkan Dinas Pertanian Abang memberlakukan kawasan “Jalur Hijau” yakni aturan yang menetapkan bahwa tidak diperbolehkan lagi adanya pemabangunan sarana dan prasarana pariwisata disekitar kawasan Tirta Gangga dan lingkungan subak. Tujuan ditetapkannya aturan ini ialah agar menekan laju konversi lahan karena mengingat sekeliling kawasan Tirta Gangga adalah lahan persawahan yang dikelola oleh subak. Sejak mulai dikembangkannya kegiatan pariwisata di desa ini, tidak terjadi perubahan pada mata pencaharian pada masyarakat subak secara khusus. Pertanian sawah masih menjadi sumber mata pencaharian utama bagi petani. Aturan pada Subak Embukan juga tidak ada yang berubah dan masih terus dijalankan sebagamana mestinya. Pengaruh pariwisata yang jelas terlihat jelas yaitu adanya konversi lahan subak.
98
Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian
Bagian Barat Lahan Persawahan Subak Embukan
Bagian Selatan Lahan Persawahan Subak EMbukan
99
Pura Bedugul sebagai tempat persembayangan
Sebagian Wilayah Tempek Tirta Gangga
100
Klien Tempek Tirta Gangga (Aktivitas di pagi Hari)
Responden Petani Subak Embukan
Anggota Subak Embukan Tempek Teben
Kelian Tempek Embukan Dulu
Responden Tempek Embukan Dulu
Responden Petani Subak Embukan
101
Objek Wisata Taman Tirta Gangga, Desa Ababi
Taman Tirta Gangga (Bagian Bawah Taman