i
DAMPAK PENGEMBANGAN PARIWISATA DAN SIKAP NELAYAN DI DESA PANGANDARAN
ELBIE YUDHA PRATAMA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Dampak Pengembangan Pariwisata dan Sikap Nelayan di Desa Pangandaran adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2013 Elbie Yudha Pratama NIM I34089001
ABSTRAK ELBIE YUDHA PRATAMA. Dampak Pengembangan Pariwisata dan Sikap Nelayan di Desa Pangandaran. Dibimbing oleh RILUS A. KINSENG. Pengembangan pariwisata pesisir secara langsung dapat memberikan dampak pada kehidupan sosial budaya masyarakat nelayan serta menyebabkan terbentuknya sikap nelayan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak pengembangan pariwisata terhadap struktur sosial dan nilai budaya nelayan serta menganalisis sikap nelayan terhadap pengembangan pariwisata. Penelitian ini dilakukan di Desa Pangandaran dengan menggunakan metode survei. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan pariwisata memberikan dampak pada struktur sosial nelayan yang meliputi tumbuhnya organisasi sosial, stratifikasi sosial, migrasi dan komposisi penduduk, serta mata pencaharian dan pendapatan. Sedangkan dampak pada nilai budaya nelayan meliputi memudarnya tradisi nelayan lokal, perubahan gaya hidup nelayan, dan bertambahnya pengetahuan nelayan. Status nelayan dan tingkat pendapatan memiliki hubungan nyata dengan sikap nelayan, sedangkan usia dan tingkat pendidikan tidak memiliki hubungan nyata dengan sikap nelayan. Kata kunci: pengembangan pariwisata, dampak terhadap struktur sosial, dampak terhadap nilai budaya, dan sikap nelayan
ABSTRACT ELBIE YUDHA PRATAMA. Impact of Tourism Development and Fisherman Attitudes in Pangandaran Village. Supervised by RILUS A. KINSENG. Development of coastal tourism can give directly impact on the social and cultural life of fisherman communities and influence the attitudes of fishermen. This study intend to analyze the impact of tourism development on the social structure and cultural values as well as analyzing the attitudes of fishermen towards the tourism development. The research was conducted in Pangandaran village using survey methods. The results showed that the development of tourism impact on the social structure of fishermen namely the growth of social organization, social stratification, migration and composition of the population, as well as the livelihoods and incomes. Whereas the impact on the cultural value of fishermen include namely the waning tradition of local fishermen, fishermen lifestyle changes, and increased knowledge of fishermen. Fishermen status and income level have a real relationship with the attitude of fishermen, whereas age and education level did not have a real relationship with the attitude of fishermen. Key words: tourism development, impact towards social structure, impact towards cultural values, and fisherman attitudes
iii
DAMPAK PENGEMBANGAN PARIWISATA DAN SIKAP NELAYAN DI DESA PANGANDARAN
ELBIE YUDHA PRATAMA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
v
Judul Skripsi : Dampak Pengembangan Pariwisata dan Sikap Nelayan di Desa Pangandaran Nama : Elbie Yudha Pratama NIM : I34089001
Disetujui oleh
Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala limpahan hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dampak Pengembangan Pariwisata dan Sikap Nelayan di Desa Pangandaran”. Skripsi ini disusun dalam rangka untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan masukan dan bimbingan hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada dosen beserta staf KPM atas ilmu yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Desa Pangandaran atas kesediaan waktunya dalam memberikan informasi. Penulis juga menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada ayahanda Widiyanto Dwi Surya, ibunda Susy Ekawati, serta adik Khalida Widiyasari Putri yang selalu memberikan semangat, motivasi, doa, dukungan dan kasih sayang untuk kelancaran penulis dalam menyelesaikan skripsi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Siti Aulia Andhini yang telah memberikan masukan, semangat, dan dukungan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman satu bimbingan, Tiara Triutami dan Sitti Hadijah atas masukan, semangat, dan dukungan yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman Ilmu Komputer Dodit, Dani, Ari, Catur, Melki, Halim, Dayat, Jagal, Nanda, Dipo, Firman, Iki, Aga, Wido, Irvan, Ilman, Putra, Rian, Pradit atas kebersamaan selama satu tahun di Departemen Ilmu Komputer. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman KPM 45, Farhan, Galih, Agung, Indra, serta teman-teman KPM 46 Tiara, Fadil, Agustin, Faris, Ratu, Bahari, Adis, Anan, Dika, Gilang, Septiadi atas kebersamaannya selama di KPM. Peneliti menyadari bahwa tulisan ini belum sempurna, maka dari itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan bagi yang membacanya.
Bogor, Mei 2013 Elbie Yudha Pratama
vii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xxi
DAFTAR GAMBAR
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
xii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
4
Manfaat Penelitian
4
TINJAUAN PUSTAKA
5
Konsep Pariwisata
5
Dampak Pariwisata
7
Desa Wisata
10
Konsep Nelayan
11
Kemiskinan Nelayan
12
Pengertian Sikap
13
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap
14
Kerangka Pemikiran
14
Hipotesis Penelitian
16
Definisi Konseptual
16
Definisi Operasional
16
PENDEKATAN LAPANGAN
19
Pendekatan Penelitian
19
Lokasi dan Waktu Penelitian
19
Teknik Pengumpulan Data, Pemilihan Informan, dan Pemilihan Responden
20
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
21
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
23
Kondisi Geografis
23
Kondisi Demografis
24
Kondisi Sosial-Budaya dan Ekonomi
25
Kondisi Perikanan
29
Kondisi Pariwisata
31
PERUBAHAN PANGANDARAN
SOSIAL-BUDAYA
NELAYAN
DESA 35
Sejarah Berkembangnya Pariwisata
35
Perubahan pada Struktur Sosial Nelayan
38
Perubahan pada Nilai-Nilai Budaya Nelayan
44
SIKAP NELAYAN DESA PANGANDARAN PERKEMBANGAN PARIWISATA
TERHADAP 49
Karakteristik Responden
49
Sikap Nelayan terhadap Perkembangan Pariwisata
51
Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Sikap terhadap Perkembangan Pariwisata
52
Hubungan Antara Usia dengan Sikap terhadap Perkembangan Pariwisata
52
Hubungan Antara Status Nelayan dengan Sikap terhadap Perkembangan Pariwisata
54
Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Sikap terhadap Perkembangan Pariwisata
55
Hubungan Antara Tingkat Pendapatan dengan Sikap terhadap Perkembangan Pariwisata
56
SIMPULAN DAN SARAN
59
Simpulan
59
Saran
60
DAFTAR PUSTAKA
61
LAMPIRAN
65
RIWAYAT HIDUP
86
ix
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Jarak dan waktu tempuh menurut tujuan dengan kendaraan dari Desa Pangandaran tahun 2011 Jumlah penduduk menurut kelompok umur di Desa Pangandaran tahun 2011 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Desa Pangandaran tahun 2011 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Pangandaran tahun 2012 Jumlah penduduk menurut agama yang dianut di Desa Pangandaran tahun 2012 Pembagian jenis alat tangkap dan jenis tangkapan nelayan Desa Pangandaran Jumlah arus kunjungan wisatawan kawasan wisata Pangandaran periode bulan Januari – Desember tahun 2011 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pendapatan sebelum dan setelah adanya kegiatan pariwisata Dampak sosial budaya perkembangan pariwisata di Desa Pangandaran Jumlah dan persentase responden berdasarkan usia di Desa Pangandaran tahun 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan stratifikasi nelayan Desa Pangandaran tahun 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Pangandaran tahun 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan di Desa Pangandaran tahun 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan sikap terhadap perkembangan pariwisata di Desa Pangandaran tahun 2013 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan usia dengan sikap terhadap perkembangan pariwisata Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan status nelayan dengan sikap terhadap perkembangan pariwisata Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap terhadap perkembangan pariwisata Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan antara tingkat pendapatan dengan sikap terhadap perkembangan pariwisata
24 24 25 26 27 30 33 44 48 49 49 50 50 51 53 54 55 56
DAFTAR GAMBAR 1 2
Kerangka analisis Peta wilayah pantai barat dan timur Pangandaran berdasarkan daerah aktivitas nelayan pariwisata dan nelayan non-pariwisata
15 37
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5
Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2013 Peta Desa Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat Daftar kerangka sampling Dokumentasi Hasil uji korelasi Rank Spearman
65 66 67 82 84
1
PENDAHULUAN Pada bagian pendahuluan akan dibahas mengenai pemikiran kuat yang mendasari penelitian ini. Pemikiran tersebut dijelaskan melalui latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan kegunaan penelitian. Latar belakang yang disusun menggambarkan permasalahan umum dalam penelitian disertai dengan fakta-fakta yang mendukung terhadap persoalan pada masyarakat desa akibat perkembangan pariwisata di desa. Kemudian permasalahan umum dijabarkan menjadi permasalahan-permasalahan khusus yang ditulis dalam perumusan masalah. Tujuan penelitian merupakan jawaban yang diharapkan terhadap permasalahan-permasalahan dalam penelitian. Sementara kegunaan penelitian merupakan manfaat yang diharapkan oleh peneliti setelah penelitian ini dilakukan. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam dan lingkungan yang melimpah. Indonesia juga dikenal sebagai negara maritim dan merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas laut 5,8 juta km² dan jumlah pulau sekitar 17.504 buah yang dikelilingi oleh garis pantai sepanjang 81.290 km. Letak Indonesia yang sangat strategis menjadikan Indonesia dikenal sebagai zamrud khatulistiwa yang memiliki pesona keanekaragaman alam dan budaya. Berbagai keistimewaan yang dimiliki tersebut menjadikan Indonesia memiliki berbagai potensi sumberdaya alam khususnya wilayah pesisir dalam rangka mengembangkan pariwisata terutama pariwisata alam. Potensi sumberdaya pesisir yang dimiliki Indonesia antara lain adalah keindahan terumbu karang yang ada di setiap perairan laut dangkal, hutan mangrove yang memiliki keanekaragaman hayati dan berbagai sumberdaya laut lainnya seperti ikan, mineral, dan bahan tambang yang bernilai tinggi. Potensi yang besar ini memberikan peluang yang cukup besar dalam perkembangan pariwisata karena dengan pengembangan pariwisata akan meningkatkan devisa negara. Pengembangan pariwisata tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan devisa negara, namun juga diharapkan dapat berperan sebagai pendongkrak pembangunan di Indonesia. Adapun pengembangan pariwisata di Indonesia memiliki delapan keuntungan, yaitu meningkatkan kesempatan berusaha, meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan penerimaan pajak, meningkatkan pendapatan nasional, mempercepat proses pemerataan pendapatan, meningkatkan nilai tambah produk hasil kebudayaan, memperluas pasar produk dalam negeri, dan memberikan dampak multiplier effect dalam perekonomian sebagai akibat pengeluaran wisatawan, para investor maupun perdagangan luar negeri (Bappenas 2008). Perkembangan pariwisata dapat dilihat dari peningkatan jumlah wisatawan setiap tahunnya baik wisatawan lokal maupun wisatawan asing. Pariwisata merupakan sektor ekonomi alternatif yang dipandang mampu mempercepat penanggulangan kemiskinan di Indonesia (Yoeti 2008). Pada tahun 2004, pariwisata telah memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 113,78 trilyun rupiah atau sebesar 5 persen dari total PDB nasional. Pada
2
tahun 2005 kontribusi sektor pariwisata meningkat sebesar 33,02 trilyun rupiah sehingga menjadi 146,8 trilyun rupiah atau sebesar 5,27 persen dari total PDB nasional. Kontribusi pariwisata sempat mengalami penurunan pada tahun 2006 menjadi 143,62 trilyun rupiah atau sebesar 4,30 persen dari total PDB nasional. Pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 2007 kontribusi pariwisata kembali mengalami peningkatan menjadi 169,67 trilyun rupiah atau sebesar 4,29 persen dari total keseluruhan PDB nasional. Data tersebut menunjukkan bahwa pengembangan pariwisata merupakan suatu langkah yang positif karena dapat memberikan kontribusi terhadap PDB nasional. Selain memiliki kontribusi terhadap PDB nasional, pariwisata juga memberikan kontribusi dalam menyerap tenaga kerja. Pada tahun 2004, pariwisata memberikan kontribusi terhadap lapangan kerja sebanyak 8,49 juta orang atau 9,06 persen dari total lapangan kerja nasional. Pada tahun 2005 kontribusi pariwisata menurun menjadi 6,55 juta orang atau 6,97 persen dari total lapangan kerja nasional. Pada tahun 2006 kontribusi pariwisata kembali mengalami penurunan menjadi 4,41 juta orang atau sebesar 4,65 persen dari total lapangan kerja nasional. Namun pada tahun 2007 kontribusi pariwisata mengalami peningkatan menjadi 5,22 juta orang atau 5,22 persen dari total lapangan kerja yang ada yaitu sebesar 99,93 juta orang (Bappenas 2008). Retnowati (2004) menjelaskan bahwa pariwisata juga berpotensi memicu terjadinya perubahan perilaku masyarakat, memudarnya nilai dan norma sosial, kehilangan identitas, konflik sosial, pergeseran mata pencaharian dan pencemaran lingkungan. Berbagai hal tersebut rentan terjadi di masyarakat sebagai akibat dari perkembangan pariwisata. Namun berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dari perkembangan pariwisata dapat diantisipasi oleh masyarakat itu sendiri. Hal-hal tersebut tidak hanya terjadi pada pengembangan pariwisata di daerah persawahan, hutan, dan pegunungan akan tetapi dampak tersebut dapat terjadi di daerah pariwisata pesisir yang pada saat ini difokuskan untuk dijadikan daerah tujuan wisata oleh pemerintah daerah. Penetapan wilayah pesisir dijadikan sebagai daerah tujuan wisata tidak terlepas dari keindahan alam dan pesona laut yang dimiliki sebagian besar laut di Indonesia. Perkembangan pariwisata di daerah pesisir secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak positif maupun negatif. Perkembangan pariwisata di daerah pesisir secara langsung akan melibatkan masyarakat pesisir yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan. Karakteristik sosial yang dimiliki masyarakat nelayan berbeda dengan masyarakat lainnya secara umum. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan karakteristik sumberdaya yang dihadapi (Satria 2002). Masyarakat nelayan sering dianggap tidak mampu untuk merencanakan masa depannya sendiri karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki. Selain itu, mencari ikan di laut juga merupakan satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukan oleh nelayan. Nelayan hanya menggantungkan harapan pada hasil tangkapan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari. Berdasarkan fakta tersebut seharusnya menjadi kewajiban pihak-pihak terkait untuk memberdayakan masyarakat nelayan melalui program-program pembangunan yang melibatkan masyarakat nelayan sebagai objek pembangunan sehingga nelayan memiliki alternatif mata pencaharian selain mencari ikan di laut. Sejenak apabila kita perhatikan nelayan yang tinggal di daerah pedesaan di Indonesia memiliki banyak potensi untuk dijadikan objek pembangunan dalam
3
berbagai sektor terutama dalam sektor pariwisata. Berbagai macam jenis pariwisata dapat dikembangkan di Indonesia, salah satunya adalah melalui program desa wisata. Menurut Soemarno (2010), desa wisata biasanya merupakan kawasan pedesaan yang memiliki beberapa karakteristik khusus yang layak untuk dijadikan daerah tujuan wisata. Penetapan suatu daerah menjadi kawasan desa wisata tidak terlepas dari beberapa hal seperti ciri tradisi dan kebudayaan yang khas yang ditunjukkan dengan makanan khas daerah, hubungan sosial antar masyarakat, dan sistem pertanian yang menjadi ciri dari sebuah desa wisata. Kondisi ekologis dan faktor sumberdaya alam yang masih terjaga kelestariannya juga merupakan salah satu faktor penetapan suatu daerah menjadi kawasan desa wisata. Program Desa Wisata adalah program yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat miskin di pedesaan. Masyarakat miskin dapat ditemukan hampir di seluruh pedesaan di Indonesia, tidak terkecuali pada masyarakat nelayan. Mubyarto, Soetrisno, dan Dove (1994) mengatakan bahwa keluarga nelayan pada umumnya lebih miskin daripada keluarga petani atau pengrajin. Pengembangan program desa wisata diharapkan dapat mengatasi masalah-masalah umum di pedesaan khususnya masalah kemiskinan. Desa wisata juga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dengan melibatkan masyarakat sebagai objek dalam pengembangan desa wisata dan juga diharapkan dapat meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat dengan mengembangkan potensi alam. Barlan (2013) mengungkapkan bahwa perubahan status desa menjadi desa wisata di Desa Pangandaran memberikan dampak positif dimana peluang lapangan pekerjaan meningkat dan akses terhadap sektor ekonomi kota juga semakin tinggi, namun ternyata hal ini tidak mampu sepenuhnya dimanfaatkan oleh masyarakat miskin yang ada di Desa Pangandaran. Desa Pangandaran merupakan salah satu Desa di Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis yang pada saat ini telah difokuskan untuk dijadikan desa wisata. Posisi desa yang dekat dengan pantai menjadikan wilayah Pangandaran memiliki daya tarik wisata yang utama.Oleh karena itu hampir seluruh kegiatan wisata dilakukan di sepanjang kawasan pantai. Perkembangan wisata di Desa Pangandaran secara langsung telah memberikan dampak bagi kehidupan sosial, budaya dan ekonomi nelayan. Berdasarkan alasan tersebut, menarik untuk melihat dampak sosial, budaya dan ekonomi nelayan Desa Pangandaran sebagai akibat dari perkembangan desa wisata. Perumusan Masalah Perkembangan pariwisata di Desa Pangandaran telah memberikan dampak positif dan negatif pada kehidupan sosial-budaya masyarakat terutama masyarakat nelayan. Dampak positif yang ditimbulkan akibat perkembangan pariwisata disebabkan karena pariwisata memberikan manfaat pada kehidupan mereka dan dapat membawa perubahan kearah yang lebih baik pada masyarakat nelayan. Sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan akibat perkembangan pariwisata disebabkan karena mereka kurang merasakan manfaat dari adanya kegiatan pariwisata dan pariwisata telah menyebabkan perubahan-perubahan yang cenderung tidak baik pada kehidupan masyarakat nelayan. Selain memberikan
4
dampak terhadap kehidupan nelayan, perkembangan pariwisata juga menyebabkan terbentuknya sikap yang dimiliki oleh para nelayan. Sikap yang terbentuk akibat perkembangan pariwisata berbeda-beda bergantung pada manfaat yang dirasakan oleh masyarakat nelayan akibat dari perkembangan pariwisata. Namun, belum ada penelitian yang membahas tentang dampak pengembangan pariwisata dan sikap nelayan di Desa Pangandaran. Terkait dengan kondisi tersebut, rumusan masalah yang dapat diangkat dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana dampak pengembangan pariwisata terhadap kehidupan nelayan? yang meliputi: a. Dampak terhadap struktur sosial nelayan b. Dampak terhadap nilai-nilai budaya nelayan 2. Bagaimana sikap nelayan Desa Pangandaran terhadap pengembangan pariwisata? Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disusun beberapa tujuan penelitian guna menjawab rumusan masalah tersebut, yaitu : 1. Menganalisis dampak pengembangan pariwisata terhadap kehidupan nelayan yang meliputi: a. Dampak terhadap struktur sosial nelayan b. Dampak terhadap nilai-nilai budaya nelayan 2. Menganalisis sikap nelayan Desa Pangandaran terhadap pengembangan pariwisata. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi beberapa pihak, Adapun manfaat yang dapat diperoleh yaitu : 1. Bagi Mahasiswa dan Peneliti, diharapkan tulisan ini dapat memberikan tambahan pengetahuan mengenai dampak pengembangan pariwisata terhadap kehidupan sosial budaya ekonomi nelayan. 2. Bagi masyarakat, diharapkan penelitian ini dapat memberikan gambaran terutama masyarakat sekitar kawasan wisata untuk mengetahui kehidupan sosial budaya ekonomi yang mengalami perubahan sebagai dampak dari pengembangan desa wisata. 3. Bagi pemerintah, tulisan ini diharapkan dapat menjadi pedoman untuk membuat regulasi mengenai pariwisata. 4. Bagi pengembang pariwisata, diharapkan tulisan ini dapat membentuk pola pikir terhadap apa yang seharusnya dilakukan pengembang pariwisata dalam kehidupan sosial ekonomi nelayan.
5
TINJAUAN PUSTAKA Bagian ini akan menjelaskan mengenai acuan-acuan yang melandasi pemikiran terhadap permasalahan dalam penelitian. Beberapa acuan diperoleh dari laporan hasil penelitian, baik cetak maupun elektronik. Acuan tersebut memuat antara lain konsep pariwisata, dampak pariwisata terhadap kehidupan masyarakat, kondisi nelayan, kemiskinan nelayan, pengertian sikap, dan faktor yang mempengaruhi sikap. Konsep Pariwisata Istilah Pariwisata berasal dari Bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata yaitu pari dan wisata. Pari berarti berulang-ulang, sedangkan wisata berarti perjalanan atau bepergian. Pariwisata dapat diartikan sebagai perjalanan yang dilakukan secara berulang-ulang atau berkali-kali. Wisata merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia. Kegiatan manusia untuk kepentingan wisata dikenal juga dengan pariwisata (Yulianda 2007). Individu atau sekumpulan orang yang melakukan perjalanan disebut traveler, sedangkan orang yang melakukan perjalanan untuk tujuan wisata disebut tourist, yang dalam bahasa sehari-hari kita kenal dengan sebutan wisatawan. Menurut definisi International of Travel Organization (IUOTO), wisatawan dapat dibagi ke dalam beberapa golongan, yaitu, Visitor (pengunjung) adalah seseorang yang melakukan perjalanan ke suatu negara yang bukan negara tempat ia tinggal, karena suatu alasan yang bukan pekerjaannya sehari-hari. Tourist (wisatawan) adalah pengunjung yang tinggal sementara di suatu tempat paling sedikit 24 jam di Negara yang dikunjungi dengan motivasi perjalanannya adalah untuk bersenang-senang, liburan, studi, kunjungan keluarga, misi, ataupun pertemuan. Sedangkan Excursionist (pelancong) adalah pengunjung sementara di suatu negara tanpa menginap. Menurut Cohen (1974), seorang wisatawan adalah seorang pelancong yang melakukan perjalanan atas kemauan sendiri dan untuk waktu sementara saja, dengan harapan mendapat kenikmatan dari hal-hal baru dan perubahan yang dialami selama dalam perjalanan yang relatif lama dan tidak berulang. Perjalanan wisata pada umumnya memerlukan waktu lebih dari dua hari yang dilakukan sendiri maupun yang diatur oleh Biro Perjalanan Umum dengan acara meninjau beberapa kota atau tempat baik di dalam maupun di luar negeri. Kepariwisataan menurut Undang-undang Nomor : 9 Tahun 1990 adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan penyelenggaraan pariwisata, yang mengandung unsur manusia (wisatawan), kegiatan, usaha, pengaturan, pembinaan, motivasi, sasaran, penyelenggaraan, dan pengendalian. Kepariwisataan merupakan kegiatan jasa yang memanfaatkan kekayaan alam dan lingkungan hidup yang khas, seperti hasil kebudayaan, peninggalan bersejarah, pemandangan alam yang indah dan iklim yang nyaman. Kepariwisataan berfungsi untuk memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Tujuan dari pariwisata yaitu untuk
6
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengatasi pengangguran, menghapus kemiskinan, memajukan kebudayaan, mengangkat citra bangsa, serta memperkokoh persatuan antar bangsa. Sebagai penunjang segala kegiatan pariwisata, kepariwisataan mewajibkan adanya penyediaan produk wisata. Beberapa produk wisata diantaranya (Yoeti 1996) yaitu : 1.
Jasa-jasa agen perjalanan yang memberikan informasi, saran, dan pengurusan dokumen perjalanan 2. Jasa-jasa perusahaan angkutan yang akan membawa wisatawan dari dan ke daerah tujuan wisata. 3. Jasa-jasa pelayanan akomodasi, perhotelan, bar dan fasilitas rekreasi. 4. Jasa-jasa agen perjalanan lokal yang menyelenggarakan perjalanan ke obyekobyek wisata setempat. 5. Jasa-jasa transport lokal (bus, taksi) dalam melakukan perjalanan obyek wisata setempat. 6. Obyek wisata dan atraksi wisata yang terdapat di daerah tujuan wisata. 7. Jasa-jasa pedagang cinderamata dan kerajinan serta pusat perbelanjaan. 8. Jasa-jasa perusahaan pendukung seperti postcard film (photo supply), penukaran uang (bank). Pariwisata tidak hanya sekedar melakukan perjalanan tetapi juga menetapkan suatu daerah menjadi tempat tujuan wisata. Daerah Tujuan Wisata di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan dan pengembangan yang cukup signifikan. Hal ini paling tidak apat dicermati mulai Pelita V. Saat itu terjadi peningkatan dan pengembangan 10 DTW menjadi 17 DTW, sesuai dengan potensi dan infrastruktur yang ada (Kuntjoro-Jakti, 1989). Pada tahun-tahun selanjutnya bersamaan dengan dicanangkannya tahun kunjungan Indonesia (Visit Indonesia Year 1991) maupun tahun kunjungan ASEAN (Visit ASEAN Year 1992) terjadi peningkatan dan pengembangan DTW secara pesat. Ditetapkannya Daerah Tujuan Wisata menunjukkan belum meratanya persebaran kegiatan pariwisata di Indonesia.bahkan dalam satu daerah tujuan wisata jarang ditemukan kegiatan pariwisata hanya terfokus dalam satu atau beberapa wilayah yang sangat terbatas. Daerah tujuan wisata pada umumnya memiliki daya tarik tersendiri bagi para calon wisatawan. Keindahan alam dan keanekaragaman hayati merupakan faktor penting untuk menunjang keberlangsungan aktivitas pariwisata. Menurut UU Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009, daya tarik wisata didefinisikan sebagai segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keaneka ragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan tangan manusia yang menjadi tujuan kunjungan wisata. Marpaung (2002) mengelompokkan obyek dan daya tarik wisata kedalam dua kategori, yaitu : a) Obyek dan daya tarik wisata (ODTW) sosial budaya, yang meliputi peninggalan sejarah kepurbakalaan dan monumen, museum dan fasilitas budaya, pola kehidupan, desa wisata, wisata keagamaan dan etnis. Wisata budaya dilakukan biasanya untuk mempelajari adat istiadat, perilaku, serta tata cara kelakuan masyarakat tradisional. Kegiatan tersebut dapat memberikan suasana baru kepada para wisatawan karena dapat berinteraksi langsung
7
dengan masyarakat lokal dan dapat terlibat dalam kegiatan mereka seperti, upacara adat, pertunjukan tari dan kegiatan-kegiatan lainnya. b) Obyek dan daya tarik wisata (ODTW) alam, meliputi pantai, wisata bahari, pegunungan, daerah terpencil, taman nasional konservasi, dan health resort. Keindahan alam yang dimiliki memiliki pengaruh yang sangat besar bagi wisatawan. Wisatawan dapat melakukan berbagai kegiatan seperti snorkeling, diving, surfing, hiking yang secara langsung akan memberikan kepuasan tersendiri bagi wisatawan untuk merelaksasikan diri dari rutinitas sehari-hari. Obyek dan daya tarik wisata (ODTW) merupakan faktor penting dalam merencanakan dan mengembangkan daerah tujuan wisata. Perencanaan pengembangan pariwisata memerlukan pendekatan yang tepat agar sesuai dengan daya dukung yang dimiliki daerah tersebut agar kelestarian lingkungan dan keunikan dari budaya lokal tetap terjaga dan terpelihara. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan memaksimalkan peran para pelaku pariwisata dalam mengembangkan pariwisata. Dampak Pariwisata Kegiatan pariwisata merupakan sesuatu yang umum dilakukan oleh orangorang yang semata mata ingin menikmati perjalanan ataupun memenuhi keinginan yang beragam dari masing-masing individu atau kelompok. Arus wisatawan yang melakukan kegiatan wisata selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Derasnya arus mobilisasi wisatawan dimanfaatkan oleh pihak pengelola kawasan pariwisata untuk membangun kawasan yang mempunyai daya tarik tersendiri bagi wisatawan, karena mereka berasumsi dengan pembangunan kawasan pariwisata dapat meningkatkan pendapatan khususnya bagi pengelola kawasan pariwisata. Pariwisata adalah salah satu dari industri gaya baru yang mampu menyediakan pertumbuhan ekonomi dengan cepat dalam hal kesempatan kerja, pendapatan, taraf hidup, dan dalam mengaktifkan sektor produksi lain di dalam negeri penerima wisatawan. Oleh karena itu pariwisata dapat membawa dampak positif kedalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan pariwisata karena pariwisata memiliki berbagai macam kegiatan wisata untuk mendukung perkembangan kepariwisataan. Perkembangan pariwisata tidak selalu memberikan dampak positif pada masyarakat ataupun lingkungan. Pariwisata harus dilakukan dengan benar apabila tidak ingin menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Ketiga hal tersebut saling berkaitan dan memiliki hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Oleh karena itu, pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan pariwisata diwajibkan untuk memiliki kemampuan memfasilitasi semua kepentingan lingkungan, ekonomi, dan sosial secara seimbang. Dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok besar (Cohen 1984),yaitu: 1. Dampak terhadap penerimaan devisa 2. Dampak terhadap pendapatan masyarakat 3. Dampak terhadap kesempatan kerja 4. Dampak terhadap harga-harga 5. Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan 6. Dampak terhadap kepemilikan dan kontrol
8
7. Dampak terhadap pembangunan pada umumnya dan 8. Dampak terhadap pendapatan pemerintah. Sedangkan dampak sosial budaya pariwisata menurut Cohen (1984), yaitu: 1. Dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya 2. Dampak terhadap hubungan interpersonal antar anggota masyarakat 3. Dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial 4. Dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata 5. Dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat 6. Dampak terhadap pola pembagian kerja 7. Dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial 8. Dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan 9. Dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial dan 10. Dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat. Serangkaian aktivitas wisata dapat memberikan manfaat, adapun manfaat yang dapat dirasakan masyarakat dari aktivitas wisata adalah manfaat ekonomis, manfaat sosial budaya, dan manfaat lingkungan. Sedarmayanti (2005) dalam bukunya menjelaskan bahwa meningkatnya arus wisatawan baik nusantara atau mancanegara ke suatu daerah menuntut aneka ragam pelayanan dan fasilitas yang semakin meningkat jumlah dan ragamnya. Hal ini memberi manfaat ekonomi bagi penduduk, pengusaha maupun pemerintah setempat dalam penerimaan devisa, kesempatan berusaha, terbukanya lapangan kerja, meningkatnya pendapatan masyarakat dan pemerintah, serta mendorong pembangunan daerah. Selain manfaat ekonomi, pariwisata juga memberikan manfaat sosial budaya seperti, pelestarian budaya dan adat, meningkatkan kecerdasan masyarakat, meningkatkan kesehatan dan kesegaran jasmani maupun rohani, serta mengurangi konflik sosial. Pembangunan dan pengembangan pariwisata diarahkan agar dapat memenuhi keinginan wisatawan, oleh karena itu dalam pengembangan wisata juga diperlukan adanya upaya dalam melestarikan lingkungan agar apat memberikan nilai tambah suatu daerah wisata. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Qomaruddin (2012) yang menjelaskan bahwa sebelum dikembangkan menjadi kawasan wisata, masyarakat Karimun Jawa umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan, akan tetapi seiring berjalannya perkembangan pariwisata di Karimun Jawa masyarakat beralih mata pencaharian kedalam bidang jasa yang menunjang kegiatan pariwisata antara lain membuat penginapan, menyediakan penyewaan kapal dan alat menyelam, dan sebagian masih berhubungan dengan perikanan seperti menjual ikan asin dan ikan bakar. Dampak pariwisata terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat setempat sangat sulit diukur dan umumnya dipandang selalu membawa dampak negatif bagi masyarakat lokal. Perkembangan pariwisata tidak selalu memberikan dampak positif pada masyarakat. Pariwisata pada umumnya selalu mempertemukan dua atau lebih kebudayaan yang berbeda di dalam suatu daerah. Tujuan wisatawan datang ke suatu daerah antara lain didorong oleh keingian untuk mengenal, mengetahui atau mempelajari daerah dan kebudayaan masyarakat lokal. Selama ditempat wisata, wisatawan pasti berinteraksi dengan
9
masyarakat lokal diberbagai bidang. Keberadaan industri pariwisata di tengahtengah masyarakat secara langsung akan membawa pengaruh terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat.. Pertemuan manusia atau masyarakat dengan latar belakang sosial budaya yang berbeda akan menghasilkan berbagai macam proses perubahan seperti, akulturasi, asimilasi, adopsi, adaptasi, dan dominasi. Hal ini sejalan dengan penjelasan Pitana (1994) bahwa kepariwisataan di Malta mengakibatkan semakin lebarnya rentang stratifikasi sosial ekonomis sebagai akibat tidak meratanya keuntungan dari pariwisata yang cenderung hanya dinikmati kelompok elit. Pariwisata telah merusak nilai-nilai solidaritas dan mengembangkan individualisme, serta meruntuhkan sendi-sendi kerjasama dan tolong menolong yang selama ini menjadi identitas masyarakat. Pariwisata juga telah merusak nilai-nilai tradisional akibat perkembangan komersialisasi dan materialisme dalam hubungan antar manusia. Hubungan sosial antar manusia yang pada mulanya didasari oleh nilai-nilai moral berubah menjadi hubungan yang didasari oleh nilai-nilai ekonomi. Soekanto (2006), menjelaskan bahwa proses industrialisasi pada masyarakat agraris merupakan perubahan yang membawa pengaruh yang besar pada masyarakat. Perubahan sosial dan pariwisata merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat yang hidup di sekitar kawasan pariwisata. Kehadiran pariwisata akan membawa berbagai macam perubahan dan sebuah tatanan baru pada masyarakat. Perubahan-perubahan yang terjadi akibat perkembangan pariwisata antara lain adalah perubahan pada aspek sosial, perubahan pada aspek ekonomi, dan perubahan pada aspek budaya. Perubahan pada aspek sosial terjadi akibat interaksi masyarakat dengan wisatawan. Kehadiran wisatawan yang berkunjung secara langsung mempengaruhi pola interaksi masyarakat, hubungan kekerabatan, maupun sistem pelapisan masyarakat. Dijelaskan dalam penelitian Baginda (2000) bagaimana pariwisata telah merubah struktur sosial dan sistem lapisan masyarakat. Perubahan struktur sosial masyarakat dapat dilihat dari berubahnya mata pencaharian dari sektor pertanian ke sektor pariwisata. Pariwisata juga menyebabkan penguasaan sumberdaya ekonomi yang sebelumnya didominasi oleh sedikit orang dari keturunan marga raja kini mulai bergeser ke tangan banyak orang yang bukan keturunan marga raja. Hal tersebut menyebabkan berkurangnya pengaruh dan peranan pemimpin adat dalam masyarakat meskipun pemimpin adat pada saat itu masih merupakan keturunan raja. Pariwisata juga menyebabkan perubahan pada sistem lapisan masyarakat. Sebelum masuknya pariwisata sistem lapisan masyarakat didasarkan pada basis politik, namun setelah kehadiran pariwisata sistem lapisan tersebut bergeser menjadi basis penguasaan sumber-sumber ekonomi. Kehadiran pariwisata juga menyebabkan perubahan pola kepemilikan lahan pada sebagian besar masyarakat. Pembangunan-pembangunan yang dilakukan akibat aktivitas pariwisata tidak terlepas dari lahan yang diperlukan guna menunjang pembangunan fasilitas pariwisata. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Yoeti (1996), kepariwisataan mewajibkan penyediaan produk wisata yang antara lain penyediaan dalam bentuk jasa pelayanan akomodasi dan fasilitas seperti, perhotelan, bar dan fasilitas rekreasi. Pembangunan fasilitas pariwisata pada umumnya memerlukan lahan yang luas.Terbatasnya lahan yang dimiliki dalam suatu wilayah berakibat menjadikan lahan pertanian sebagai alternatif tempat untuk dibangun fasilitas
10
pariwisata. Hal tersebut praktis menyebabkan berkurang bahkan hilangnya lahan yang dimiliki oleh petani untuk mendapatkan penghasilan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mafianos (2006) juga ditemukan bahwa pola kepemilikan lahan petani berubah setelah pembangunan fasilitas kawasan pariwisata Kota Bunga. Perubahan tersebut bervariasi, ada petani yang sebelum pembangunan fasilitas memiliki lahan luas, namun setelah pembangunan fasilitas pariwisata, petani tersebut tergolong menjadi petani yang memiliki lahan sedang, atau justru sebaliknya. Perubahan tersebut terjadi disebabkan beberapa faktor, salah satunya yaitu tingkat harga jual lahan.Tingkat harga jual lahan yang didapatkan petani bervariasi tergantung lokasi lahan, kegunaan lahan, masa penjualan, dan keahlian petani dalam hal tawar menawar harga jual lahan. Pariwisata juga memberikan pengaruh pada aspek budaya masyarakat. Pada masyarakat tradisional, perubahan tersebut dapat terlihat dari nilai yang dimiliki masyarakat itu sendiri. Masyarakat tradisional yang awalnya cenderung tertutup setelah berkembangnya pariwisata masyarakat lebih cenderung untuk terbuka. Nilai-nilai homogen mengalami perubahan menjadi pluralisme begitu juga dengan norma sosial yang berlaku. Pariwisata juga membawa pengaruh yang besar terhadap kebudayaan masyarakat setempat. Kegiatan-kegiatan pariwisata secara langsung akan memudarkan nilai nilai budaya asli suatu bangsa, dengan adanya pengaruh budaya asing yang dibawa oleh wisatawan. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Geriya (1993), perkembangan pariwisata di Bali secara khusus menyebabkan perubahan dalam aspek sosial budaya. Perubahan-perubahan tersebut ditandai dengan beberapa hal antara lain, adanya pertumbuhan penduduk yang cukup pesat di daerah wisata sebagai akibat dari adanya migrasi penduduk pencari kerja ke wilayah tersebut, berkembangnya pola hubungan sosial yang lebih bersifat impersonal, meningkatnya mobilitas kerja, memudarnya nilai gotong royong pada masyarakat, terjadinya gejala social deviance yang meliputi kejahatan, narkotika serta adanya komersialisasi kebudayaan. Mantra (1991) menyatakan akibat dari perkembangan pariwisata masyarakat Bali mengalami transisi, yaitu berubahnya sikap dan perilaku masyarakat yang sebelumnya bersifat ritual komunalistis mengarah pada kehidupan individualistis, ekonomis dan demokratis.Ciri-ciri berubahnya sikap dan perilaku masyarakat tersebut terutama terlihat dari kehidupan sehari-hari sampai pada ritus-ritus keagamaan. Desa Wisata Salah satu jenis pariwisata yang saat ini sedang berkembang adalah Desa Wisata. Keberadaan Desa Wisata sudah jelas terletak di pedesaan yang umumnya melibatkan masyarakat lokal sebagai pelaku usaha. Desa Wisata menurut Soemarno (2010) merupakan suatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan seperti atraksi, akomodasi, makananminuman, cindera mata, dan kebutuhan wisata lainnya.
11
Kawasan desa wisata juga dipersyaratkan memiliki berbagai fasilitas penunjang kegiatan wisata. Fasilitas yang disediakan kawasan wisata akan memberikan kemudahan bagi wisatawan dalam melakukan kegiatan wisata. Fasilitas yang diperlukan di suatu kawasan desa wisata antara lain : sarana transportasi, telekomunikasi, kesehatan, dan akomodasi. Sarana akomodasi pada desa wisata umumnya menyediakan pondok-pondok wisata (home stay) untuk membuat pengunjung lebih merasakan suasana pedesaan yang asri. Suatu desa harus memiliki persyaratan tertentu untuk dapat dijadikan desa wisata, syarat-syarat tersebut antara lain : 1. Aksesibilitas baik, sehingga mudah dikunjungi wisatawan dengan menggunakan berbagai jenis alat transportasi. 2. Memiliki obyek-obyek menarik berupa alam, seni budaya, legenda, makanan lokal, dan sebagainya yang dapat dikembangkan sebagai objek wisata. 3. Masyarakat desa dan aparat desa menerima dan memberi dukungan yang tinggi terhadap desa wisata serta para wisatawan yang datang ke desanya. 4. Keamanan di desa tersebut terjamin. 5. Tersedia akomodasi, telekomunikasi, dan tenaga kerja yang memadai. 6. Beriklim sejuk atau dingin. 7. Berhubungan dengan objek wisata lain yang sudah dikenal oleh masyarakat luas (Barlan 2013). Konsep Nelayan Indonesia merupakan negara maritim yang sebagian besar wilayahnya merupakan lautan. Luas Wilayah laut di Indonesia adalah tujuh puluh lima persen dari wilayah Indonesia. Laut di Indonesia menyimpan berbagai macam kekayaan alam yang dibutuhkan negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kekayaan keragaman hayati yang terdapat di laut Indonesia merupakan kekayaan laut tertinggi di dunia (Dewan Hankamnas dan BPP Teknologi 1996). Hasil laut tersebut pada umumnya diperoleh dengan cara ditangkap dan yang menangkap hasil laut tersebut pada umumnya merupakan nelayan yang merupakan bagian dari masyarakat pesisir. Menurut Imron (2003), nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya bergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budi daya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir (Satria, 2004). Nelayan tidak beroperasi secara individual, akan tetapi mereka terdiri dari beberapa kelompok. Nelayan dapat digolongkan menjadi beberapa kelompok, antara lain berdasarkan : 1) Kepemilikan alat tangkap (Mulyadi 2007): a. Nelayan Buruh Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain. b. Nelayan Juragan
12
Nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan orang lain. c. Nelayan Perorangan Nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri, dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain. 2) Daya jangkau armada perikanan dan lokasi penangkapan (Widodo dan Suadi 2008): a. Nelayan pantai atau biasa Nelayan pantai atau biasa disebut perikanan pantai untuk usaha perikanan skala kecil dengan armada yang didominasi oleh perahu tanpa motor atau kapal motor tempel. b. Nelayan perikanan lepas pantai Nelayan perikanan lepas pantai untuk perikanan dengan kapasitas perahu rata-rata 30 GT. c. Nelayan perikanan samudera Nelayan perikanan samudera untuk kapal-kapal ukuran besar misalnya 100 GT dengan target perikanan tunggal seperti tuna. 3) Jenis perahu, alat tangkap dan etnis (Sumarti dan Saharudin 2001) : a. Lapisan atas merupakan lapisan pertama yang didominasi oleh etnis Cina, Bugis, dan Jawa dengan kriteria memiliki perahu berkapasitas besar dengan jenis alat tangkap yang bervariasi dapat digunakan menurut perubahan musim. Ciri lain yang melekat pada lapisan ini yaitu mereka mempekerjakan para tekong dan anak buah kapal (ABK) untuk mendukung usaha penangkapan mereka. b. Lapisan kedua adalah kalangan mayoritas Bugis dan Jawa dan sedikit etnis Melayu, memiliki kapal seperti pompong dan rubin serta memiliki lahan secukupnya yang biasanya digunakan untuk pertanian sawah. c. Lapisan ketiga diisi oleh mayoritas suku Melayu dengan kriteria memiliki perahu dan alat tangkap yang merupakan warisan generasi sebelumnya seperti togok, jermal dan belat. 4) Jumlah buruh antara kelas/kategori (Kinseng 2011) : a. Nelayan besar Nelayan yang mempekerjakan lebih dari 10 orang buruh. b. Nelayan sedang Nelayan yang mempekerjakan 4-10 orang buruh. c. Nelayan kecil Nelayan yang mempekerjakan maksimal 3 orang buruh d. Buruh Kemiskinan Nelayan Setiap manusia pada umumnya memiliki pola adaptasi yang berbeda yang disesuaikan terhadap kondisi lingkungannya. Begitu juga pada masyarakat nelayan yang pola adaptasinya menyesuaikan dengan ekosistem lingkungan fisik laut dan lingkungan sosial di sekitarnya. Bagi nelayan yang umumnya berkerja di tengah lautan, lingkungan fisik laut mengandung banyak bahaya dan resiko. Pekerjaan utama nelayan dalam mencari ikan tidak dapat ditentukan kepastiannya, semuanya serba spekulatif. Menurut Acheson (1981), masalah risiko dan
13
ketidakpastian terjadi karena laut adalah wilayah yang dianggap bebas untuk dieksploitasi. Hal tersebut yang sampai sekarang menjadi permasalahan mengapa kemiskinan masih melekat dalam kehidupan nelayan. Pada dasarnya masyarakat nelayan identik dengan kemiskinan yang merupakan masalah yang bersifat kompleks. Berdasarkan data BPS 2002 yang diolah oleh SMERU 2003 menyebutkan bahwa sebesar 32,14% dari 16,4 jiwa masyarakat pesisir pada 8.090 desa masih hidup dibawah garis kemiskinan. Berdasarkan faktor-faktor penyebab kemiskinan, kemiskinan masyarakat pesisir dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan kultural dan kemiskinan alamiah (Mulyadi 2007). Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang disebabkan karena struktur sosial, struktur ekonomi, dan struktur politik yang tidak kondusif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Kemiskinan kultural merupakan kemiskinan yang disebabkan faktor budaya, seperti kemalasan, cara berfikir fatalistik, dan rendahnya etos kewirausahaan. Sementara itu kemiskinan alamiah terjadi karena kondisi sumberdaya alam yang serba terbatas untuk kepentingan kegiatan produksi. Kemiskinan nelayan cenderung dialami oleh nelayan perorangan dan buruh nelayan. Kedua jenis kelompok itu jumlahnya mayoritas dan citra tentang kemiskinan selalu melekat pada kehidupan nelayan. Empat masalah pokok yang menjadi penyebab dari kemiskinan, yaitu kurangnya kesempatan (lack of opportunity), rendahnya kemampuan (low of capabilities), kurangnya jaminan (low level security) dan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi dan politik sehingga menyebabkan kerentanan (vulnerability), keterpurukan (voicelessness), dan ketidakberdayaan (powerlessness) dalam berbagai bidang. Apabila dilihat dari ruang lingkupnya, kemiskinan nelayan terdiri atas kemiskinan prasarana dan kemiskinan keluarga. Kemiskinan prasarana dapat diindikasikan pada ketersediaan prasarana fisik di desa-desa nelayan, yang pada umumnya masih sangat minim, seperti tidak tersedianya air bersih, jauh dari pasar, dan tidak adanya akses untuk mendapatkan bahan bakar yang sesuai dengan harga standar. Kemiskinan prasarana secara langsung juga akan berpengaruh terhadap kemiskinan keluarga. Hal tersebut dapat dilihat dari tidak tersedianya air bersih akan memaksa keluarga untuk mengeluarkan uang untuk membeli air bersih yang secara langsung akan mengurangi pendapatan mereka. Pengertian Sikap Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi adalah merupakan “pre-disposisi” tindakan atau perilaku. Sikap masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka. Rakhmat (2001) menjabarkan sikap sebagai kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi objek, ide, situasi, atau nilai. Sikap bukan perilaku, akan tetapi sikap merupakan kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek. Azwar (2005) menjelaskan sikap adalah suatu bentuk evaluasi / reaksi terhadap suatu obyek, memihak / tidak memihak yang merupakan keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya.
14
Berkowitz dalam Azwar (2005) mengatakan bahwa sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Newcomb et al (1978) mengungkapkan bahwa sikap-sikap dilihat sebagai penentu dalam keseluruhan organisasi individu, beberapa konsekuensi sikap-sikap terhadap tingkah laku adalah tidak langsung karena diperantarai oleh proses-proses psikologis lainnya. Lebih jauh Newcomb et al (1978) mengatakan bahwa efek terhadap suatu objek dapat digolongkan sebagai positif atau negatif. Sikap-sikap positif memiliki kecenderungan bahwa orang yang bersangkutan melakukan pendekatan terhadap objek, sementara sikap-sikap negatif memiliki kecenderungan bahwa orang yang bersangkutan melakukan penghindaran terhadap objek. Banyak pandangan mengenai sikap, Azwar (2005) memandang bahwa sikap merupakan korelasi antara ketiga komponen sikap yang saling bertautan pada ranah kognitif, afektif dan konatif pada suatu objek dan kemudian membantu menentukan sikap terhadap objek tersebut.Namun disisi lain, adanya ketidakpuasan terhadap atas penjelasan mengenai inkonsistensi antara ketiga komponen yang membentuk sikap, maka beberapa ilmuan seperti La Piere dan Calhoun dalam Azwar (2005), mengatakan bahwa dalam menentukan sikap seseorang terhadap suatu objek perlu untuk adanya pembatasan konsep sikap hanya pada aspek afektif saja. Definisi yang mereka ajukan mengatakan bahwa sikap tidak lain adalah penilaian (afek) positif atau negatif terhadap suatu objek. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Sikap tidak terbentuk dengan sendirinya. Azwar (2005) menyimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, serta faktor emosi dalam diri individu. Winarni (2001) dalam studinya mengenai sikap terhadap program penyuluhan sekolah lapang pengendalian hama terpadu (SLPHT) menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi sikap, yaitu umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan sifat kekosmopolitan. Hal ini serupa dengan Soebiyanto (1998) yang menyatakan bahwa karakteristik sosial-ekonomi seperti tingkat pendidikan, umur, kekosmopolitanan dan tingkat kemampuan ekonomi mempengaruhi masyarakat desa dalam menanggapi ide atau informasi terhadap suatu hal. Kerangka Pemikiran Perkembangan pariwisata yang terjadi di Desa Pangandaran telah memberikan dampak positif dan negatif pada kehidupan nelayan serta menyebabkan terbentuknya sikap pada nelayan. Dampak yang diberikan dari perkembangan pariwisata adalah dampak terhadap struktur sosial nelayan dan dampak terhadap nilai budaya nelayan. Dampak pada struktur sosial nelayan meliputi tumbuhnya organisasi sosial, stratifikasi sosial, migrasi dan komposisi penduduk, serta mata pencaharian dan pendapatan. Sedangkan dampak terhadap nilai-nilai budaya nelayan meliputi memudarnya tradisi nelayan lokal, perubahan gaya hidup nelayan, dan bertambahnya wawasan nelayan. Seluruh dampak yang
15
diberikan akibat perkembangan pariwisata di desa Pangandaran memiliki sisi positif dan negatif masing-masing bergantung pada manfaat yang dirasakan oleh masyarakat nelayan. Perkembangan pariwisata di desa Pangandaran juga menyebabkan terbentuknya sikap dari masyarakat nelayan. Sikap nelayan Desa Pangandaran terhadap perkembangan pariwisata ada yang positif dan ada yang negatif bergantung bagaimana cara mereka melihat apakah pariwisata dapat membawa perubahan kearah yang lebih baik atau sebaliknya. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap nelayan Desa Pangandaran antara lain usia, status nelayan, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan. Secara sederhana, kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut.
Perkembangan pariwisata
Dampak terhadap nelayan
Dampak pada struktur sosial ‐ ‐ ‐ ‐
Organisasi sosial Stratifikasi sosial Migrasi dan komposisi penduduk Mata pencaharian dan pendapatan Keterangan
Sikap nelayan
Dampak pada nilai budaya ‐ ‐ ‐ ‐ ‐
Nilai-nilai Adat istiadat Gaya hidup Pengetahuan Komersialisme
: : Berhubungan
Gambar 1 Kerangka analisis
Karakteristik individu
-
Usia Status nelayan Tingkat pendidikan Tingkat pendapatan
16
Hipotesis Penelitian (1) Diduga terdapat hubungan nyata antara karakteristik individu dengan sikap terhadap pengembangan pariwisata. Secara lebih rinci karakteristik individu tersebut adalah : usia, status nelayan, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan. Definisi Konseptual (1) Struktur sosial adalah jejaring hubungan sosial yang sudah mantap di mana interaksi sudah menjadi rutin dan berulang antar berbagai peran sosial, grup, organisasi dan institusi/pranata yang membentuk suatu masyarakat. Dalam penelitian ini dampak pada struktur sosial yang dilihat adalah organisasi sosial, stratifikasi sosial, migrasi dan komposisi penduduk, mata pencaharian dan pendapatan (2) Nilai-nilai budaya adalah nilai- nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan perilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi. Dalam penelitian ini dampak pada nilai-nilai budaya yang dilihat adalah adat istiadat, komersialisme, gaya hidup, dan wawasan. Definisi Operasional (1) Usia adalah selisih antara tahun responden dilahirkan dengan tahun pada saat penelitian dilaksanakan. Berdasarkan data yang diperoleh usia maksimal responden adalah 59 tahun dan usia minimal 18 tahun, Digolongkan menjadi tiga berdasarkan data emik pada saat penelitian. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan skala ordinal dengan penilaian sebagai berikut : a. Tua (skor 3) : usia responden 47-60 tahun b. Dewasa (skor 2) : usia responden 33-46 tahun c. Muda (skor 1) : usia responden 18-32 tahun (2) Status nelayan merupakan penggolongan pada nelayan yang dilihat berdasarkan kepemilikan alat produksi dan alat tangkap. Status pada nelayan di Desa Pangandaran dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu (1) Nelayan juragan, nelayan yang memiliki perahu dan alat tangkap, dan (2) Nelayan buruh, nelayan yang tidak memiliki perahu dan alat tangkap. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan skala ordinal dengan penilaian sebagai berikut: a. Tinggi (skor 2) : nelayan juragan b. Rendah (skor 1) : nelayan buruh (3) Tingkat pendidikan adalah jenjang terakhir sekolah formal yang pernah diikuti oleh responden, dikategorikan menjadi SD, SMP, SMA. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan skala ordinal dengan penilaian sebagai berikut: a. Tinggi (skor 3) : SMA/sederajat
17
b. Sedang (skor 2) c. Rendah (skor 1)
: SMP/sederajat : SD/sederajat
(4) Tingkat pendapatan adalah ukuran taraf hidup yang dilihat dari jumlah penghasilan nelayan dari mata pencahariannya sebagai nelayan yang dilihat dari rata-rata penghasilan per bulan. Tingkat pendapatan dikategorikan menjadi tiga kategori berdasarkan rata-rata jumlah pendapatan responden dalam sebulan. Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan skala ordinal dengan penilaian sebagai berikut: a. Tinggi (skor 3) : pendapatan > Rp. 2.000.000,00 b. Sedang (skor 2) : pendapatan Rp. 1.000.000,00 - Rp. 2.000.000,00) c. Rendah (skor 1) : pendapatan < Rp. 1.000.000,00 (5) Sikap adalah kecenderungan individu dalam menanggapi sesuatu yang terjadi. Sikap terhadap pengembangan pariwisata adalah kecenderungan individu dalam menanggapi perkembangan pariwisata di Desa Pangandaran. Pengukuran ini akan dilakukan dengan menggunakan skala ordinal dengan penilaian sebagai berikut: a. Sangat setuju (skor 4) : skor kumulatif (63-80) b. Setuju (skor 3) : skor kumulatif (47-62) c. Tidak setuju (skor 2) : skor kumulatif (31-46) d. Sangat tidak setuju (skor 1) : skor kumulatif (15-30)
18
19
PENDEKATAN LAPANGAN Pendekatan lapangan menggambarkan mengenai pendekatan penelitian yang digunakan di lapangan. Pendekatan lapangan meliputi pendekatan penelitian, lokasi dan waktu penelitian, teknik pengumpulan data, serta teknik pengolahan dan analisis data. Pendekatan penelitian merupakan pendekatan yang dilakukan dalam melakukan penelitian, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Lokasi dan waktu penelitian menggambarkan mengenai pemilihan lokasi dan waktu yang diperlukan untuk penelitian mulai penyusunan proposal hingga laporan penelitian. Teknik pengumpulan data merupakan pendekatan yang digunakan dalam menggali data dan informasi baik melalui kuesioner ataupun wawancara terstruktur kepada responden dan informan. Teknik pengolahan dan analisis data merupakan pendekatan untuk menggambarkan cara pengolahan data yang diperoleh dari hasil penelitian yang kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan dan hipotesis yang diajukan. Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kombinasi metode kualitatif dan kuantitatif. Kombinasi ini dilakukan untuk memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang diteliti. Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus yang bersifat deskriptif, untuk mengetahui dampak apa saja yang ditimbulkan dari perkembangan pariwisata pada aspek kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi nelayan. Data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam dan pengamatan langsung di lokasi penelitian untuk menggali pemahaman responden secara subjektif. Pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah penelitian survey yaitu penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Penelitian kuantitatif ini bersifat explanatory research yang menjelaskan hubungan kausal antara variabel-variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun dan Effendi 1989). Pendekatan kuantitatif ini digunakan untuk melihat bagaimana hubungan antara karakteristik individu nelayan dengan sikap terhadap perkembangan pariwisata. Data kuantitatif diperoleh dari pengumpulan data melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner yang ditanyakan langsung kepada responden dalam wawancara tatap muka. Teknik wawancara mendalam juga dilakukan ketika pengisian kuesioner kepada responden yang merasa kurang mengerti dengan pertanyaan yang ada pada kuesioner, selain itu juga memudahkan peneliti untuk menggali informasi yang diperlukan yang berada diluar kuesioner. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Pangandaran merupakan desa wisata yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Pengembangan desa wisata di Pangandaran sudah berlangsung sejak lama dan merupakan salah satu daerah tujuan wisata di Jawa Barat. Penyusunan
20
proposal dilakukan selama bulan Februari 2013. Pengumpulan data primer dan data sekunder akan dilakukan pada bulan Maret - April 2013. Pengolahan data dan hasil pembahasan laporan selanjutnya akan dilakukan pada bulan April - Mei 2013 (Lampiran 1). Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal penelitian, kolokium, revisi proposal, pengumpulan data, pengolahan data dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Teknik Pengumpulan Data, Pemilihan Informan, dan Pemilihan Responden Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dengan metode wawancara melalui kuesioner yang dibagikan kepada responden dan wawancara mendalam terhadap responden maupun informan. Data sekunder didapatkan dari hasil dokumentasi dan studi literatur melalui hasil penelitian sebelumnya, dapat berupa jurnal, skripsi, tesis, disertasi, makalah, informasi dari internet dan karya ilmiah lainnya. Terdapat dua subyek dalam penelitian ini yaitu responden dan informan. Informan adalah pihak yang memberikan keterangan tentang diri sendiri, keluarga, pihak lain dan lingkungan sekitarnya. Pemilihan informan dilakukan secara purposive, informan kunci yang dipilih adalah aparatur kecamatan, aparatur desa, tokoh agama, rukun nelayan, dan kelompok nelayan. Aparatur kecamatan dan aparatur desa sebagai salah satu informan kunci didasarkan atas pertimbangan bahwa dalam hal ini pihak pemerintah merupakan penduduk asli Desa Pangandaran yang mengetahui tentang data dan perkembangan masyarakat nelayan di desanya. Tokoh agama dipilih untuk dijadikan informan kunci karena dalam hal ini pihak tersebut mengetahui pergeseran nilai-nilai kehidupan khususnya masyarakat nelayan. Rukun nelayan dilibatkan dalam informan karena dalam hal ini pihak tersebut berpotensi untuk memberikan informasi terkait kehidupan dan pembagian stratifikasi pada masyarakat nelayan dan jenis kapal serta alat tangkap yang digunakan. Kelompok Nelayan dilibatkan dalam informan kunci sebagai pertimbangan dalam hal ini mereka mengetahui tentang kondisi lingkungan desa. Responden didefinisikan sebagai pihak yang memberikan keterangan tentang data diri, kegiatan yang dilakukan dan pandangan terhadap perkembangan lingkungannya. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh masyarakat nelayan yang berada di Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Dalam memperoleh responden ditentukan kerangka percontohan (sampling frame) yaitu individu nelayan non-pariwisata Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat yang berjumlah 1134 orang. Responden yang diambil berjumlah 50 orang nelayan. Pengambilan responden dengan menggunakan metode sampel acak distratifikasi (Stratified Random Sampling). Metode sampel acak distratifikasi dipilih untuk menggambarkan secara tepat mengenai sifat-sifat populasi yang heterogen, maka populasi yang bersangkutan harus dibagi dalam lapisan-lapisan (strata) yang seragam, dan dari setiap lapisan dapat diambil sampel secara acak (Singarimbun dan Effendi 2008). Status nelayan di Desa Pangandaran terdiri dari nelayan pemilik kapal (juragan) dan nelayan ABK/buruh (janggol). Nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki kapal dan alat tangkap, sedangkan nelayan ABK
21
adalah nelayan yang tidak memiliki kapal namun sebagian kecil memiliki alat tangkap. Proporsi pengambilan responden yang terdiri dari nelayan juragan dan ABK adalah 15 orang untuk nelayan juragan dan 35 orang untuk nelayan ABK, hal tersebut dikarenakan jumlah nelayan ABK lebih banyak dari jumlah nelayan juragan yang ada di Desa Pangandaran. Pengambilan responden yang dilakukan tidak sepenuhnya dapat menggunakan “Stratified Random Sampling” sehingga dikombinasikan dengan “Accidental Sampling” karena keberadaan nelayan yang tidak dapat ditentukan secara pasti. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Unit analisis penelitian ini adalah individu. Teknis analisis data yang dilakukan adalah analisis data kualitatif dan kuantitatif. Data kualitatif baik data primer maupun sekunder yang telah didapatkan akan diolah melalui tiga tahap kegiatan analisis data dan dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan (Sitorus 1998). Data kuantitatif hasil kuesioner akan diolah menggunakan software Microsoft Excel 2007 dan SPSS for Windows versi 16.0 kemudian dilakukan analisis secara statistik dengan menggunakan uji Rank Spearman. Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan beberapa teknik yaitu, tabel frekuensi, yang digunakan untuk menganalisis data primer seperti karakteristik individu yang meliputi: usia, stratifikasi, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan. Langkah berikutnya adalah melakukan uji korelasi Rank Spearman untuk menguji hubungan antara karakteristik individu dengan sikap terhadap pengembangan pariwisata. Gabungan data tersebut diolah dan dianalisis dan disajikan dalam bentuk teks naratif dan tabel. Kemudian ditarik kesimpulan dari semua data yang telah diolah. Selain dengan menggunakan metode kuantitatif, analisis data juga dilakukan dengan metode kualitatif. Analisis data melalui metode kualitatif terbagi dalam tiga tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data terdiri dari proses pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang berupa catatan-catatan tertulis di lapang selama penelitian dilakukan. Reduksi data bertujuan untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang data yang tidak diperlukan. Langkah selanjutnya adalah menyajikan data dengan cara menyusun sekumpulan informasi agar mudah dalam penarikan kesimpulan yang disajikan dalam bentuk teks naratif berupa catatan lapangan.
22
23
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Bagian ini akan dibahas mengenai lokasi penelitian yang akan memberikan gambaran umum mengenai kondisi geografis, kondisi demografis, kondisi sosialbudaya dan ekonomi masyarakat, kondisi perikanan, dan kondisi pariwisata. Gambaran umum tersebut penting untuk diketahui sebagai bahan pengantar terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan. Gambaran umum mengenai kondisi geografis merupakan gambaran mengenai lokasi penelitian yang dilihat berdasarkan keadaan bentang alam. Gambaran umum mengenai kondisi demografis digunakan sebagai bahan acuan untuk mengetahui karakteristik penduduk di lokasi penelitian yang dilihat berdasarkan kelompok umur. Kondisi sosial-budaya dan ekonomi masyarakat menggambarkan keadaan kehidupan masyarakat di lokasi penelitian yang dilihat berdasarkan mata pencaharian, ketersediaan fasilitas umum, dan budaya masyarakat setempat. Kondisi perikanan menggambarkan kehidupan nelayan di lokasi penelitian yang meliputi pembagian kelas pada nelayan, penggunaan alat tangkap dan jenis tangkapan, dan pengelompokkan nelayan akibat aktivitas pariwisata. Sedangkan untuk kondisi pariwisata menggambarkan objek wisata yang ada di lokasi penelitian dan arus kunjungan wisatawan. Kondisi Geografis Desa Pangandaran merupakan salah satu desa yang terletak di wilayah Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Desa Pangandaran merupakan wilayah pesisir di pantai selatan Jawa yang memiliki panjang pantai sepanjang 7 km. Sebelah utara desa ini berbatasan langsung dengan Desa Babakan, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah barat berbatasan dengan Desa Pananjung dan sebelah timur berbatasan dengan Samudera Indonesia. Wilayah Desa Pangandaran terbagi menjadi 3 dusun, yaitu Dusun Pangandaran Barat, Dusun Pangandaran Timur, dan Dusun Parapat yang terbagi dalam 14 Rukun Warga dan 46 Rukun Tetangga. Luas Wilayah Desa Pangandaran adalah 667,87 Ha. Sebagian besar wilayah desa ini merupakan kawasan Cagar Alam yang merupakan obyek wisata yang ada di Desa Pangandaran yang memiliki luas sebesar 530 Ha dan sisanya sebesar 137,8 Ha merupakan wilayah pemukiman penduduk. Letak geografis Desa Pangandaran terletak pada koordinat 7º40’20” LS s/d 7º40’20’ LS dan 108º 20’ BT s/d 108º40’ BT. Ketinggian tanah dari permukaan laut secara spesifikasi 18,47 mm/th, dengan curah hujan 184,77 mm/th. Secara topografi Desa Pangandaran merupakan daerah dataran rendah dan pantai dengan ketinggian 0 s/d 25 meter diatas permukaan laut (dpl). Pada daerah pantai relatif datar dengan kemiringan lereng 0º - 3º dan homogen, elevasi 0 – 3 meter diatas permukaan laut dengan suhu rata-rata 27ºC. Orbitasi wilayah Desa Pangandaran disajikan pada Tabel 2 dibawah ini. Tabel ini memperlihatkan bahwa lokasi desa merupakan kawasan strategis yang berada pada lintasan antara Kabupaten Ciamis dan Kotamadya Banjar. Jarak antara Desa Pangandaran dengan ibukota Kecamatan Pangandaran relatif dekat namun relatif jauh dengan Kotamadya Banjar dan Kabupaten Ciamis. Desa ini
24
dapat ditempuh dengan berbagai macam transportasi darat dengan kondisi jalan beraspal yang cukup baik serta dilengkapi dengan sarana transportasi yang memadai untuk mengaksesnya. Tabel 1 Jarak dan waktu tempuh menurut tujuan dengan kendaraan dari Desa Pangandaran tahun 2011 Tujuan (dari Desa Pangandaran) Kecamatan Pangandaran Kotamadya Banjar Kabupaten Ciamis
Jarak (km) 1 63 97
Waktu Tempuh (jam) 0.05 1.50 3.00
Sumber : Kecamatan Pangandaran Dalam Angka Tahun 2012
Kondisi Demografis Desa Pangandaran terdiri atas 46 RT yang tersebar dalam 3 dusun. Setiap dusun di Desa Pangandaran dihuni oleh penduduk lokal yang mayoritas berasal dari suku Sunda dan Jawa. Pendatang di Desa Pangandaran umumnya berasal dari daerah Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Jumlah penduduk yang tinggal menetap di desa ini berjumlah 9.240 penduduk dengan proporsi 4.602 jumlah penduduk laki-laki dan 4.638 jumlah penduduk perempuan. Berbagai macam potensi yang berkembang di Desa Pangandaran menciptakan berbagai peluang usaha dan peluang kerja yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Pemerintah mengunggulkan sektor pariwisata, perikanan, dan kelautan yang dapat menyerap banyak tenaga kerja dan juga menjadi sumber pendapatan bagi desa dan kecamatan serta Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Ciamis. Salah satu yang mempengaruhi cepatnya perkembangan perekonomian di suatu daerah adalah jumlah tenaga kerja usia produktif yang lebih besar dari jumlah tenaga kerja usia non produktif. Usia kerja di Indonesia digolongkan antara usia 10-64 tahun dan di lokasi penelitian dapat dilihat jumlah usia kerja produktif lebih mendominasi dari jumlah penduduk yang ada secara keseluruhan. Meskipun begitu tidak semua penduduk yang tergolong usia kerja produktif dapat dibilang aktif secara ekonomi. Data mengenai komposisi penduduk Desa Pangandaran berdasarkan kelompok umur digambarkan dalam tabel berikut. Tabel 2 Jumlah penduduk menurut kelompok umur di Desa Pangandaran tahun 2011 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kelompok Umur (Tahun) 0–4 5 – 12 13 – 18 19 – 22 23 – 59 >60 Jumlah
Jumlah (Jiwa) 548 1 411 1 097 672 5 451 769 9 948
Sumber : Kecamatan Pangandaran Dalam Angka Tahun 2012
Persentase (%) 5.51 14.20 11.02 6.75 54.79 7.73 100.00
25
Data pada Tabel 2 menunjukkan, bahwa penduduk Desa Pangandaran paling banyak berada pada usia produktif yaitu dalam rentang 23 – 59 tahun sebanyak 5.451 jiwa, kemudian diikuti pada rentang usia 5 – 12 tahun sebanyak 1.411 jiwa, dan rentang usia 13 – 18 tahun sebanyak 1.097 jiwa. Penduduk Desa Pangandaran pada usia produktif hampir seluruhnya memiliki pekerjaan. Tidak ditemukan pada masyarakat Desa Pangandaran yang menjadi pengangguran, hal ini disebabkan berkembangnya industri pariwisata yang dapat menciptakan berbagai macam lapangan pekerjaan sehingga menyerap tenaga kerja dari penduduk setempat maupun pendatang. Kondisi Sosial-Budaya dan Ekonomi Mata Pencaharian Mayoritas masyarakat Desa Pangandaran masih menggantungkan hidupnya dengan bekerja mencari ikan di laut. Letak Desa Pangandaran yang diapit oleh dua Samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Indonesia yang di dalamnya banyak menyimpan hasil kekayaan laut membuat sebagian besar masyarakat desa memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara menangkap ikan di laut. Kondisi topografi di Desa Pangandaran yang hampir sebagian besar dikelilingi daerah pesisir pantai membuat desa tersebut menjadi daya tarik objek wisata pantai maupun wisata bahari. Pangandaran juga dikenal dengan potensi perikanannya, yaitu hasil tangkapan ikan yang memiliki kualitas baik. Oleh karena itu, sebagian besar penduduk Desa Pangandaran berprofesi sebagai nelayan. Perkembangan industri pariwisata di Desa Pangandaran mengakibatkan terbukanya lapangan kerja yang lain seperti pengusaha, pedagang, penyedia jasa dan lain sebagainya. Data jumlah penduduk menurut mata pencaharian disajikan dalam tabel berikut. Tabel 3 Jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Desa Pangandaran tahun 2011 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Mata Pencaharian Petani Nelayan Pengusaha Buruh Pedagang PNS/ABRI/POLRI dan pensiunan Peternak Jasa Lain-lain Jumlah
Jumlah Penduduk (jiwa) 315 1 874 1 103 64 1 217 819
Persentase (%) 5.19 30.86 18.17 1.05 20.04 13.49
0 537 143 6 072
0.00 8.84 2.36 100.00
Sumber : Data Monografi Desa Pangandaran Tahun 2012
Data pada Tabel 3 menunjukkan, bahwa sebagian besar penduduk Desa Pangandaran masih bergantung pada sektor perikanan sebagai mata pencaharian yaitu sebagai nelayan sebanyak 1.874 jiwa. Desa Pangandaran tidak memiliki lahan pertanian, oleh karena itu penduduk yang berprofesi sebagai petani hanya
26
sedikit yaitu berjumlah 315 jiwa. Perkembangan industri pariwisata mengakibatkan terbukanya berbagai macam lapangan pekerjaan di sektor pariwisata. Industri pariwisata membuat masyarakat untuk terlibat langsung dalam kegiatan pariwisata dan memilih untuk berprofesi sebagai pedagang yang berjumlah 1.217 jiwa, kemudian diikuti oleh pengusaha sebanyak 1.103 jiwa, dan penyedia jasa dalam sektor pariwisata sebanyak 537 jiwa. Perkembangan pariwisata di Desa Pangandaran yang berdampak pada besarnya penyerapan tenaga kerja yang berasal dari penduduk lokal maupun pendatang membuat mayoritas masyarakat Desa Pangandaran memiliki pekerjaan dan tidak ada yang menjadi pengangguran. Oleh karena itu tingkat kriminalitas di Desa Pangandaran sangatlah rendah bahkan hampir tidak ditemukan sama sekali. Berikut penuturan salah seorang informan : “Penduduk disini hampir semuanya bekerja mas, rata-rata anak nelayan lulusan SD sudah membantu orang tuanya menjadi ABK di perahu orang tuanya atau ikut orang lain. Begitu juga karena disini daerah wisata yang membuat banyak orang berdagang dan membuka usaha, jadi tidak ada pengangguran disini.” (ZNL, 44 tahun) Pendidikan Komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan menggambarkan kualitas sumberdaya yang ada di suatu wilayah. Selain itu dapat juga menggambarkan kemajuan pembangunan suatu wilayah. Dalam hal tersebut penduduk Desa Pangandaran dapat dikatakan masih minim tingkat pendidikannya karena mayoritas penduduk adalah tamatan Sekolah Dasar, akan tetapi penduduk Desa Pangandaran dapat dikatakan memiliki kemajuan pembangunan karena dapat mewakili dalam setiap jenjang pendidikan. Data jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan digambarkan dalam tabel berikut. Tabel 4 Jumlah penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Pangandaran tahun 2012 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tingkat Pendidikan Belum Bersekolah Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Perguruan Tinggi Jumlah
Jumlah (Jiwa) 1 844 1 067 3 157 1 657 2 151 497 10 373
Persentase (%) 17.78 10.29 30.43 15.97 20.74 4.79 100.00
Sumber : Data Monografi Desa Pangandaran Tahun 2012
Data pada Tabel 4 menunjukkan, mayoritas masyarakat Desa Pangandaran adalah lulusan SD/Sekolah Dasar sebanyak 3.157 jiwa, kemudian diikuti lulusan SLTA sebanyak 2.151 jiwa, lulusan SLTP sebanyak 1.657 jiwa, dan perguruan tinggi sebanyak 497 jiwa.
27
Agama Distribusi penduduk Desa Pangandaran berdasarkan agama yang dianut adalah pemeluk agama Islam merupakan mayoritas terbanyak dari total penduduk. Data mengenai sebaran penduduk menurut agama yang dianut digambarkan sebagai berikut. Tabel 5 Jumlah penduduk menurut agama yang dianut di Desa Pangandaran tahun 2012 No. 1. 2. 3. 4. 5.
Agama Islam Kristen Protestan Kristen Katolik Hindu Budha Jumlah
Jumlah Penduduk (Jiwa) 10 229 38 30 1 15 10 313
Persentase (%) 99.18 0.36 0.29 0.01 0.14 100.00
Sumber : Data Monografi Desa Pangandaran Tahun 2012
Mayoritas penduduk Desa Pangandaran adalah pemeluk agama Islam, yaitu sebanyak 10.229 jiwa, kemudian sisanya adalah minoritas pemeluk agama Kristen dan Budha. Sejalan dengan hal ini, sarana peribadatan yang dimiliki Desa Pangandaran pada umumnya merupakan sarana peribadatan umat muslim. Jumlah sarana peribadatan yang ada di Desa Pangandaran adalah 23 tempat ibadah dengan rincian 13 Masjid, 7 Mushola, dan 3 Gereja. Meskipun jumlah pemeluk Agama Islam di Desa Pangandaran terbanyak akan tetapi kerukunan antara pemeluk agama lainnya cukup kondusif dan tidak pernah terjadi konflik karena masing-masing umat saling menghargai aliran kepercayaannya masing-masing. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya penduduk yang bukan beragama Islam di lingkungan Desa Pangandaran dapat diterima dengan baik dan setiap acara perayaan Hari Raya Natal tidak memerlukan penjagaan ekstra seperti di tempattempat lain. Ketersediaan Fasilitas Umum Status Desa Pangandaran sebagai desa wisata dan memiliki berbagai macam daya tarik objek wisata diharuskan untuk memiliki fasilitas umum yang dapat menunjang segala aktivitas wisatawan maupun penduduk setempat. Desa Pangandaran memiliki berbagai fasilitas umum seperti sarana pendidikan, sarana kesehatan, tempat ibadah, transportasi dan komunikasi, dan perdagangan. Dari aspek pendidikan, Desa Pangandaran hanya memiliki tiga Taman Kanak-Kanak Swasta (TK) dan enam Sekolah Dasar Negeri (SDN). Desa ini tidak memiliki Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) namun terdapat di Desa Pananjung yang letaknya tidak jauh dari Desa Pangandaran. Sarana kesehatan yang dimiliki adalah satu Puskesmas dan lima Posyandu. Sarana tempat ibadah yang dimiliki Desa Pangandaran adalah berupa 13 Masjid, tujuh Mushola, dan tiga Gereja. Sarana transportasi dan komunikasi di Desa Pangandaran sudah tergolong baik. Seluruh akses darat menuju Desa Pangandaran sudah beraspal walaupun ada beberapa titik jalan yang masih berlubang. Akses menuju Pangandaran dapat
28
ditempuh dengan menggunakan angkutan umum berupa bis kota yang merupakan penghubung Pangandaran dengan berbagai Kabupaten di Jawa Barat seperti Tasikmalaya, Garut, Cianjur, dan Kota Banjar. Selanjutnya untuk menuju Desa Pangandaran dapat menggunakan kendaraan seperti ojeg dan becak. Sarana komunikasi yang digunakan masyarakat pada umumnya adalah handphone. Masyarakat Pangandaran rata-rata sudah memiliki handphone sebagai alat komunikasi. Kegiatan Perdagangan di Desa Pangandaran selalu berjalan dengan baik. Hal tersebut terjadi karena Desa Pangandaran sudah memiliki fasilitas lengkap di bidang perdagangan seperti pasar tradisional, pasar ikan, dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Pranata Sosial, Budaya dan Adat Istiadat Mayoritas penduduk Desa Pangandaran berasal dari Suku Sunda dan Jawa. Pertemuan dua kebudayaan dalam satu daerah tersebut membuat kehidupan mereka semakin beragam dan menagkibatkan akulturasi budaya. Salah satu bukti terjadinya akulturasi budaya tersebut adalah banyak masyarakat yang menguasai dua bahasa daerah yaitu Bahasa Sunda dan Bahasa Jawa. Berbagai macam kesenian tradisonal juga terdapat di Desa Pangandaran seperti wayang golek, wayang kulit, ebek/kuda lumping, ronggong gunung, kasidah, orkes melayu/dangdut, gondang, sintren, reog dan seni kentongan yang merupakan elemen-elemen kesenian Suku Sunda dan Jawa yang sering dijumpai. Masyarakat Desa Pangandaran selalu memegang teguh norma-norma dan etika sosial yang berlaku. Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh penduduk Desa Pangandaran adalah Bahasa Sunda dan Jawa, namun apabila mereka berkomunikasi dengan orang luar Jawa dan Sunda ataupun wisatawan mereka akan menggunakan Bahasa Indonesia. Masyarakat Desa Pangandaran juga masih memiliki ciri khas sebagaimana wilayah pedesaan pada umumnya yaitu nilai-nilai budaya warga setempat yang masih menjunjung tinggi rasa hormat pada orang yang lebih tua dan berlaku baik pada wisatawan. Selain itu budaya gotong-royong sebagai wujud kebersamaan juga masih terjaga seperti dalam membangun rumah penduduk, tempat ibadah, perbaikan jalan, membantu hajatan tetangga dan sebagainya. Sampai saat ini mereka juga masih menjaga kelestarian tradisi-tradisi peninggalan nenek moyang mereka yaitu tradisi Hajat Laut yang dilakukan setahun sekali. Hajat Laut yang sampai saat ini masih menjadi agenda tahunan penduduk setempat khususnya nelayan merupakan acara syukuran nelayan sebagai wujud syukur dan terima kasih kepada tuhan akan rizki yang didapat dari laut selama setahun. Acara tersebut dilakukan dengan ritual-ritual keagamaan dan ritual adat guna memberikan kekuatan mental spiritual kepada masyarakat. Mereka mempercayai apabila Hajat Laut tidak dilakukan maka dapat menimbulkan malapetaka. Pelaksanaan tradisi ini merupakan salah satu daya tarik wisata yang dapat dinikmati oleh para wisatawan. Di sisi lain, tak dapat dipungkiri kemajuan dan perkembangan teknologi serta masuknya budaya barat yang berkembang pesat memberikan pengaruh kepada kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Menurut data profil Desa Pangandaran, masyarakat Pangandaran lambat laun terpengaruh dengan perkembangan keduanya. Hal tersebut telah merubah kebiasaan masyarakat Pangandaran. Salah satu contohnya kehadiran internet dengan fenomena jejaring
29
sosial dan update status-nya. Dampaknya adalah komunikasi langsung antar tetangga, keluarga, dan yang lainnya menurun akibat komunikasi melalui dunia maya (secondhand media) lebih sering dilakukan. Hal ini mengakibatkan perubahan besar terhadap aspek kehidupan manusia khususnya sosial dan budaya. Kondisi Perikanan Sebagian besar wilayah Desa Pangandaran merupakan wilayah pesisir dimana mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Jumlah nelayan yang ada sebanyak 1.874 jiwa. Dalam pembagiannya terdapat dua kategori nelayan yaitu nelayan pemilik (juragan) dan nelayan buruh (ABK) yang dikenal sebagai janggol pada masyarakat Desa Pangandaran. Nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki perahu dan alat tangkap, nelayan juragan di Desa Pangandaran ada yang ikut melaut dan adapula yang hanya mengontrol dari darat. Nelayan buruh (ABK/Janggol) adalah nelayan yang tidak memiliki perahu dan alat tangkap, dan biasanya hanya mengeluarkan tenaga saja. Nelayan di Desa Pangandaran pada umumnya melaut setiap hari kecuali pada jumat kliwon. Mereka biasanya berangkat melaut sekitar pukul 3 pagi dan kembali ke darat sekitar pukul 10 siang. Belakangan ini dikenal sistem pengelompokkan nelayan di Desa Pangandaran, sistem pengelompokkan tersebut berhubungan dengan kegiatan pariwisata yang ada di Desa Pangandaran. Berdasarkan sistem pengelompokkan tersebut nelayan terbagi menjadi nelayan pariwisata dan nelayan non pariwisata. Nelayan pariwisata adalah nelayan yang bekerja di bidang pariwisata seperti menyewakan perahu, menyewakan sarana olahraga air, dan biasanya mencari ikan untuk dikonsumsi sendiri. Sedangkan nelayan nonpariwisata adalah nelayan yang hanya bekerja mencari ikan di laut dan tidak bersentuhan dengan kegiatan pariwisata. Fokus pada penelitian ini adalah pada nelayan non pariwisata karena ingin melihat dampak yang diterima nelayan nonpariwisata akibat perkembangan pariwisata. Nelayan juragan di Desa Pangandaran pada umumnya mempekerjakan buruh paling sedikit satu orang dan paling banyak tiga orang. Buruh kapal yang ada tidak hanya berasal dari Desa Pangandaran, tetapi banyak juga yang berasal dari desa-desa di sekitar Pangandaran seperti Desa Pananjung, Desa Babakan, Desa Wonoharjo, Desa Sukahurip, dan bahkan ada yang berasal dari Kabupaten Ciamis, Garut, dan Tasikmalaya. Setiap nelayan juragan yang ada di Desa Pangandaran pada awalnya pernah merasakan menjadi buruh nelayan atau ABK yang ikut melaut bersama orang tuanya ataupun bekerja pada orang lain. Perahu yang digunakan oleh nelayan Pangandaran mayoritas berukuran sama dan tidak ada perbedaan antara perahu satu dengan yang lainnya yang memiliki kekuatan mesin 15pk dengan panjang 9x30 cm. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan bermacam-macam bergantung pada jenis tangkapannya. Jenis alat tangkap dan jenis tangkapan dari masing-masing alat tangkap dapat dilihat pada tabel berikut.
30
Tabel 6
Pembagian jenis alat tangkap dan jenis tangkapan nelayan Desa Pangandaran
Jenis alat tangkap Jaring Gill-Net Jaring Sirang Pancing
Jenis Tangkapan Tenggiri, Tuna Bawal putih, Tongkol Kakap
Persentase kepemilikan (%) 30 90 30
Data pada Tabel 6 menunjukkan, nelayan juragan Desa Pangandaran pada umumnya memiliki jaring sirang sebagai alat tangkap yang paling sering digunakan. Persentase tersebut menunjukkan bahwa pada satu orang nelayan tidak hanya memiliki satu alat tangkap, tetapi memiliki dua atau tiga alat tangkap. Tidak seluruh nelayan Desa Pangandaran memiliki jaring Gill-Net, hal tersebut bergantung dari besarnya modal yang dimiliki oleh setiap nelayan juragan karena diperlukan modal yang cukup besar untuk membeli jaring Gill-Net. Jaring sirang digunakan untuk menangkap ikan bawal putih, tenggiri, dan tongkol yang merupakan jenis ikan yang paling sering ditemui di wilayah perairan Pangandaran. Nelayan Desa Pangandaran terbagi menjadi empat kelompok sesuai dengan wilayah tempat tinggalnya. Kelompok nelayan tersebut dikenal dengan sebutan Komda (Komisaris Daerah), yang mana pada setiap komda memiliki masingmasing ketua. Pada awalnya komda terbentuk dari anggota KUD (Koperasi unit Desa) Minasari yang merupakan wadah bagi para nelayan untuk mengelola keuangan dari hasil tangkapan mereka. Selanjutnya Komda dibawahi oleh Rukun Nelayan yang terbentuk dari hasil musyawarah seluruh anggota Komda. Rukun Nelayan merupakan organisasi formal yang memiliki AD/ART sebagaimana organisasi-organisasi lainnya dan bertindak sebagai badan pengawas seluruh kegiatan nelayan yang merupakan kepanjangan tangan dari Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) dan Dinas Kelautan. Program-program pemerintah seluruhnya ditujukan pada Rukun Nelayan untuk mengatur jalannya program tersebut. Salah satu program pemerintah adalah dengan didirikannya Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang digunakan untuk melelang hasil tangkapan nelayan dan TPI mendirikan KUD sebagai wadah pengelola keuangan. Menurut masyarakat keberadaan TPI dapat memberikan keuntungan secara ekonomis kepada nelayan karena hasil tangkapan mereka langsung dilelang ke TPI. Berikut penuturan salah seorang informan. “Dengan adanya TPI disini seluruh hasil tangkapan dari laut langsung dibawa ke TPI untuk dilelang mas, jadi hasilnya bisa langsung diterima saat itu juga.”(SKD,42 tahun) Pembagian pendapatan nelayan di Desa Pangandaran umumnya dilakukan dengan sistem bagi hasil. Pembagian pendapatan dilakukan setelah ikan hasil tangkapan dilelang ke TPI. Setiap ABK akan mendapatkan masing-masing 20% dari total pendapatan satu hari. Hal tersebut juga berlaku pada juragan yang memiliki ABK lebih dari satu orang. Oleh karena itu semakin banyak jumlah ABK jika mendapatkan banyak hasil tangkapan maka akan mendapatkan penghasilan yang banyak dalam satu hari. Sebaliknya apabila memiliki ABK yang
31
banyak namun tidak mendapatkan banyak hasil tangkapan dalam sehari akan membuat pembagian penghasilan menjadi lebih sedikit. Kondisi Pariwisata Desa Pangandaran merupakan desa pesisir yang juga merupakan daerah tujuan wisata. Pada awalnya sebelum tahun 1983 Desa Pangandaran dan Desa Pananjung merupakan satu desa. Kemudian pada tahun 1983 dilakukan pemekaran. Setelah mengalami pemekaran Desa Pangandaran kini terdiri dari tiga dusun yaitu, Dusun Pangandaran Timur, Dusun Pangandaran Barat, dan Dusun Parapat. Sejak Pangandaran diresmikan menjadi tempat pariwisata, pemerintah Kabupaten Ciamis dan beberapa pihak terkait membangun segala sarana dan prasarana yang dapat menunjang kelancaran pariwisata. Kenyamanan dan kelengkapan sarana dan prasarana akan mempengaruhi perkembangan suatu obyek wisata. Pembangunan sarana dan prasarana Pangandaran meliputi pambangunan akses jalan menuju Pangandaran, pembangunan lahan parkir, pembangunan pasar seni dan pasar wisata untuk para pedagang, pendirian Badan Penyelamat Wisata Tirta (Balawista) serta sarana penunjang lainnya. Pemerintah Kabupaten Ciamis, Kecamatan Pangandaran, dan Desa Pangandaran terus memperbaiki fasilitas setiap tahun sebagai upaya untuk meningkatkan kunjungan wisatawan seperti pusat informasi, tempat ibadah, lokasi parkir, toilet, papan penunjuk arah, areal berjualan, pembangunan tanggul penahanan tsunami, pembangunan pasar wisata, dan sebagainya. Sarana pendukung aktivitas wisata yang ada di Pangandaran antara lain Tempat Pelelangan Ikan (TPI), pasar umum, pasar ikan, pasar wisata, restauran, hotel dan pondok wisata, kafe, karaoke, panggung terbuka, perahu wisata, dan lain-lain. Selain pengadaan sarana pendukung yang memadai, peningkatan kualitas jalan dan alat transportasi juga penting dilakukan. Kemudahan akses untuk menuju suatu obyek wisata sangat berpengaruh terhadap jumlah kunjungan wisatawan. Kawasan wisata Pangandaran relatif mudah dicapai melalui jalan raya dari beberapa kota, seperti: jarak tempuh dari Jakarta (380 km), Bandung (223 km), Tasikmalaya (108 km), dan Ciamis (90 km) untuk menuju kawasan wisata Pangandaran. Jalan-jalan tersebut secara umum sudah memadai, namun masih perlu pengembangan untuk kelancaran arus wisata. Selain melalui jalur darat, Pangandaran juga dapat ditempuh dengan pesawat kecil dari Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta. Lapangan terbang terletak di Nusawiru, Cijulang dengan jarak ± 26 km dari kawasan Pantai Pangandaran. Saat ini berbagai sarana transportasi darat menuju Pangandaran juga berkembang pesat. Beberapa perusahaan bus umum berlomba untuk meningkatkan kualitas armada dan pelayanannya agar menarik minat penumpang. Berbagai kemudahan akses inilah yang menjadikan Pangandaran sebagai tempat favorit untuk berwisata. Pariwisata di Desa Pangandaran mulai mengalami perkembangan sejak tahun 1990-an. Pada awalnya wisatawan yang datang ke Pangandaran hanya sebatas untuk melihat keindahan pantai Pangandaran. Kelebihan dari Pantai Pangandaran ini adalah memiliki dua pantai yaitu Pantai Timur dan Pantai Barat, karena pada pagi hari dapat melihat matahari terbit di Pantai Timur sembari melihat kapal nelayan bersandar setelah pulang dari melaut dan pada sore hari dapat melihat matahari terbenam di Pantai Barat dimana letak kedua pantai
32
tersebut tidak berjauhan lokasinya. Pantai Timur Pangandaran merupakan lokasi wisata air yang ada di Pangandaran. Disana pengunjung dapat menikmati berbagai macam sarana rekreasi air seperti jet-ski, banana boat, berselancar dan berbagai kegiatan lainnya. Pantai Barat Pangandaran juga dikenal dengan keramaian suasananya yang dapat dinikmati dari pagi hingga malam hari. Para pedagang kaki lima membuka kiosnya hingga tengah malam bahkan 24 jam pada saat musim ramai kunjungan seperti akhir pekan, musim libur sekolah dan hari libur nasional. Selain Pantai Barat dan Pantai Timur juga terdapat pula Pantai Pasir Putih yang terletak di pinggiran kawasan Cagar Alam. Sesuai dengan namanya, pantai pasir putih memiliki hamparan pasir putih yang lembut dan indah.Pantai ini memiliki air yang jernih sehingga pengunjung dapat berenang ataupun snorkeling dan menikmati keindahan terumbu karang di dalamnya. Selain objek wisata pantai, Pangandaran juga memiliki berbagai macam objek wisata lainnya seperti Cagar Alam, Event Wisata, dan Pusat Kuliner serta Cenderamata. Objek wisata Cagar Alam merupakan satu-satunya objek wisata hutan yang ada di Pangandaran, Kabupaten Ciamis. Selain itu terdapat juga Event Wisata yang diadakan sebagai upaya meningkatkan daya tarik wisatawan untuk berkunjung. Kegiatan yang ada di dalam Event Wisata antara lain adalah: (i) Pangandaran International Kite Festival, yang merupakan kegiatan festival layang-layang yang diadakan pada saat musim liburan sekolah yaitu sekitar bulan Juli-Agustus dan berlokasi di Pantai Timur dengan diikuti puluhan peserta dari dalam dan luar negeri; (ii) Hajat Laut atau syukuran nelayan. Kegiatan ini merupakan acara tradisi tahunan yang diadakan setiap malam jumat kliwon pada bulan Muharram yang diadakan oleh masyarakat lokal sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rezeki dan keselamatan hidup yang telah diberikan selama setahun. Acara pelepasan sesaji yang berupa kepala binatang dan penaburan bunga ke tengah laut menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang datang untuk melihat. Kegiatan tersebut juga diikuti dengan berbagai macam rangkaian kegiatan lainnya seperti lomba perahu hias, lomba memancing, permainan voli pantai, dan arak-arakan yang berawal dari desa sampai ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Suatu kawasan wisata sudah pasti tidak dapat dipisahkan dari sentra kerajinan dan cenderamata. Salah satu daya tarik Pangandaran adalah pengunjung dapat melihat kerajinan kerang dari berbagai macam hasil laut yang banyak dijual di kios-kios kaki lima yang berada di sepanjang pantai. Para pengrajin lokal membuat beberapa jenis kerajinan, diantaranya gantungan lampu, jam dinding, hiasan dinding, asesoris (gelang, kalung). Selain terkenal dengan industri kerajinan kerangnya, Pangandaran juga dikenal dengan usaha pembuatan ikan asin yang terkenal baik kualitasnya.Usaha pembuatan ikan asin yang dilakukan oleh masyarakat lokal ini merupakan salah satu tujuan utama wisata kuliner di Desa Pangandaran.Selain ikan asin, hasil tangkapan laut lainnya juga memiliki kualitas yang baik sehingga tidak heran apabila di Pangandaran banyak dijumpai restoran seafood yang menyediakan berbagai macam menu masakan berbahan dasar ikan atau hasil laut lainnya. Kawasan wisata Pangandaran telah dikenal baik oleh wisatawan nusantara maupun mancanegara. Pengunjung pada umumnya datang pada akhir pecan, liburan sekolah, dan hari raya. Puncak kunjungan wisatawan biasanya terjadi pada
33
hari-hari tertentu, yaitu : (1) Beberapa hari setelah hari raya Idul Fitri; (2) Satu minggu di penghujung bulan Desember karena adanya hari Raya Natal dan pergantian malam tahun baru; (3) Hari liburan sekolah pada bulan Juli. Sementara jumlah kunjungan wisatawan sangat sedikit pada bulan Ramadhan seperti pada bulan Agustus tahun 2011 lalu sehingga sebagian besar kegiatan pariwisata dihentikan. Data sebaran jumlah kunjungan wisatawan berdasarkan periode bulan selama tahun 2011 disajikan dalam tabel berikut. Tabel 7 Jumlah arus kunjungan wisatawan kawasan wisata Pangandaran periode bulan Januari – Desember tahun 2011 No
Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember Total
Jumlah Kunjungan Wisatawan Nusantara Mancanegara 73 597 152 23 456 361 32 722 286 32 288 369 42 857 200 66 810 348 83 642 1 136 18 219 839 148 349 370 34 080 355 23 035 210 135 635 366 714.690 4.992
Total 73 749 33 757 33 008 32 657 43 057 67 158 84 778 19 058 148 719 34 435 23 245 136 001 729.622
Sumber: UPTD Kebudayaan dan Pariwisata Pangandaran, 2012
Data pada tabel tersebut menunjukkan bahwa jumlah kunjungan wisatawan nusantara paling tinggi terdapat pada bulan September. Hal ini disebabkan pada bulan tersebut terdapat libur setelah hari raya Idul Fitri, kemudian disusul dengan bulan Desember, karena pada bulan tersebut pengunjung banyak yang datang untuk mengisi waktu liburan Natal dan Tahun Baru. Sedangkan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara paling tinggi terdapat pada bulan Juli dan Agustus. Hal ini disebabkan pada bulan tersebut iklim di Indonesia cukup baik dengan curah hujan sangat rendah sehingga membuat wisatawan dapat menikmati keindahan pantai dengan kondisi sangat baik.
34
35
PERUBAHAN SOSIAL-BUDAYA NELAYAN DESA PANGANDARAN Sejarah Berkembangnya Pariwisata Wilayah Desa Pangandaran merupakan sebuah desa yang sebagian besar wilayahnya dikelilingi oleh pantai. Seperti kebanyakan desa pada umumnya, Pangandaran juga memiliki banyak pemukiman penduduk yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan. Keindahan alam yang dimiliki pantai Pangandaran yang merupakan bagian dari Desa Pangandaran memiliki daya tarik tersendiri bagi orang-orang yang ingin melihat keindahan salah satu pantai selatan di Jawa Barat tersebut. Pengunjung yang datang tidak hanya dari dalam negeri saja bahkan tidak sedikit juga pengunjung dari luar negeri yang sekedar ingin menikmati keindahan Pantai Pangandaran. Jumlah pengunjung yang datang ke Pangandaran setiap tahunnya semakin bertambah. Potensi Pangandaran yang merupakan wilayah pesisir dimanfaatkan sebagian masyarakat untuk dijadikan sebagai alternatif kegiatan untuk mendapatkan penghasilan lebih melalui kegiatan pariwisata. Pariwisata di Desa Pangandaran pada awalnya mengalami perkembangan semenjak tahun 1990-an. Awal berkembangnya pariwisata di Desa Pangandaran ditandai dengan dibangunnya tempat-tempat penginapan yang disediakan untuk tempat berisitirahat para pengunjung yang datang. Tempat berisitirahat yang dibangun di Desa Pangandaran tidak hanya hotel, sejak awal tahun 2000 banyak tempat-tempat lainnya yang dapat dijadikan tempat penginapan salah satunya adalah rumah-rumah penduduk. “Waktu pariwisata belum berkembang belum pernah ada pengunjung yang masuk ke rumah warga. Seiring berkembangnya pariwisata, banyak pengunjung yang memilih untuk tinggal di rumah-rumah warga, alasannya karena harga yang ditawarkan jauh lebih murah dari pada menyewa kamar hotel.” (SKD, 42 tahun). Warga setempat memang sengaja menyediakan penginapan di rumah mereka sebagai alternatif penginapan karena pada hari libur nasional atau musim liburan sekolah hotel-hotel di Pangandaran sudah pasti penuh disewa oleh pengunjung. Awalnya hanya pada musim liburan sekolah dan libur hari raya Pangandaran ramai dikunjungi oleh wisatawan, akan tetapi seiring berjalannya waktu dan sampai kini tidak hanya pada musim libur sekolah dan hari raya saja melainkan juga pada akhir pekan yang banyak dikunjungi para wisatawan sembari melepaskan penat bersama para keluarga ataupun kerabat. Wilayah Desa Pangandaran tidak hanya dikelilingi oleh pantai, akan tetapi Desa Pangandaran juga memiliki cagar alam. Pada zaman dahulu cagar alam yang kini merupakan salah satu objek wisata yang ada di Desa Pangandaran merupakan tempat ‘nyauma’ atau tempat berburu. Banyaknya hewan liar yang tinggal di daerah cagar alam tersebut dijadikan sebagai incaran oleh para pemburu. Akibat perkembangan pariwisata segala kegiatan berburu dihentikan karena akan menyebabkan hewan-hewan yang berada di cagar alam akan menjadi semakin
36
berkurang bahkan punah. Kawasan cagar alam tersebut dijadikan kawasan konservasi agar flora dan fauna yang terdapat didalamnya dapat terjaga kelestariannya sehingga membuat daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang datang ke cagar alam. Kegiatan pariwisata di Pangandaran pernah mengalami masa-masa surut. Hal itu terjadi akibat bencana tsunami yang terjadi di Pantai Pangandaran pada tahun 2006. Hampir sebagian besar sarana penunjang pariwisata rusak total sehingga membuat kegiatan pariwisata tidak berjalan lancar seperti biasanya. Sebagian kapal-kapal nelayan pun hancur sehingga membuat nelayan merugi. Namun adanya bencana tsunami tersebut tidak lantas membuat wilayah Pangandaran menjadi semakin sepi pengunjung. Kedatangan pengunjung ke wilayah Desa Pangandaran masih terus terjadi yang sekedar hanya ingin melihat keadaan pantai pasca bencana tsunami. Setelah bencana tsunami yang melanda kawasan Pangandaran, banyak bantuan yang datang dari pihak pemerintah setempat, pemerintah pusat maupun swasta. Bantuan yang datang tersebut berupa sarana pariwisata seperti kapal-kapal nelayan, warung, restoran dan pembangunan infrastruktur. Masyarakat meyakini apabila tidak terjadi bencana tsunami mungkin saja tidak ada pembangunan infratruktur yang membuat wajah Pangandaran semakin baik. Pasca bencana tsunami yang terjadi tidak lantas membuat nelayan untuk kembali turun melaut. Beberapa nelayan mengaku kejadian tersebut meninggalkan trauma yang mendalam. “Setelah tsunami saya benar-benar tidak berani melihat laut, hal itu saya alami karena bencana tersebut menyebabkan trauma yang mendalam. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena saya berpikir jika tidak dari laut darimana lagi saya bisa menghidupi anak istri.” (TOTO, 41 tahun) Setelah bencana tsunami pada tahun 2006 wajah Pangandaran berangsur mengalami perubahan. Pembangunan infratruktur penunjang pariwisata membuat wisatawan kembali berdatangan ke Pangandaran, salah satunya adalah dengan membangun pemecah gelombang pantai timur yang bermanfaat untuk mencegah terjadinya abrasi agar gelombang air laut tidak sampai ke daratan sehingga membuat keamanan wisatawan tetap terjaga. Peran pemerintah daerah tidak bisa dilepaskan dari berkembangnya pariwisata di Pangandaran. Berbagai macam upaya dilakukan pemerintah guna menjadikan kawasan Pangandaran sebagai daerah tujuan wisata, salah satunya adalah dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat setempat khususnya nelayan. Pemerintah mengajak nelayan Pangandaran untuk melakukan studi ke Pulau Bali yang seperti sudah kita ketahui bahwa Bali merupakan daerah tujuan utama di Indonesia dengan keindahan alam khas yang dimiliki. Nelayan diajarkan dengan cara melihat bagaimana nelayan di Bali dapat menciptakan suasana pariwisata yang kondusif dan menarik sehingga kegiatan wisata dapat berjalan dengan baik. Hal tersebut karena di Pulau Bali, para wisatawan yang datang tidak semata hanya ingin menikmati keindahan pantai atau keindahan alam lainnya tetapi juga ingin melihat bagaimana kehidupan sehari-hari nelayan di Bali. Upaya pemerintah dengan mengajak para nelayan Pangandaran untuk melihat langsung kondisi pariwisata di Bali memberikan perubahan ke arah yang
37
positif bagi wajah pariwisata di Desa Pangandaran. Wisatawan yang datang tidak hanya sekedar ingin bersantai menikmati keindahan pantai, tetapi juga menyaksikan bagaimana nelayan bekerja dalam menangkap ikan. Berbagai macam jenis jaring yang dimiliki nelayan Desa Pangandaran juga memiliki daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang datang. Nelayan dipandang sebagai salah satu aset wisata yang memiliki porsi tersendiri dalam perkembangan pariwisata di Pangandaran. Banyak orang beranggapan bahwa nelayan miskin, akan tetapi anggapan tersebut tidak selamanya terbukti bagi sebagian nelayan Desa Pangandaran. Nelayan di Desa Pangandaran sudah hidup diatas rata-rata dibanding masyarakat desa pada umumnya karena tidak ada wilayah pemukiman kumuh di Desa Pangandaran. Pemukiman penduduk di Desa Pangandaran sebagian besar berada di dekat pantai timur. Aktivitas nelayan dalam menangkap ikan pada umumnya terkonsentrasi di wilayah pantai timur, sedangkan aktifitas wisata lebih banyak dilakukan di pantai barat seperti berenang, snorkeling, dan penyewaan perahu pesiar. Kegiatan wisata juga dilakukan di sebagian kecil wilayah pantai timur seperti olahraga air dan rekreasi air, akan tetapi para nelayan tidak merasa terganggu karena sarana wisata hanya berada di pinggir pantai sedangkan nelayan mencari ikan sampai ke tengah laut. Berikut adalah peta pantai barat dan timur di Desa Pangandaran berdasarkan aktivitas nelayan pariwisata dan nelayan yang hanya menangkap ikan.
Wilayah aktivitas nelayan pariwisata
Wilayah aktivitas nelayan nonpariwisata
Gambar 2 Peta wilayah pantai barat dan timur Pangandaran berdasarkan daerah aktivitas nelayan pariwisata dan nelayan non-pariwisata
38
Perubahan pada Struktur Sosial Nelayan Tumbuhnya Organisasi Sosial Kondisi awal Desa Pangandaran sebelum pariwisata mengalami perkembangan merupakan sebuah desa pesisir yang rata-rata sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai nelayan. Pekerjaan sebagai nelayan merupakan pekerjaan utama yang dimiliki oleh penduduk Pangandaran. Nelayan juga merupakan sebuah daya tarik bagi orang yang berkunjung pada saat itu selain untuk menikmati keindahan Pantai Pangandaran. Kegiatan pariwisata jelas tidak hanya memerlukan objek pariwisata saja, namun diperlukan juga subjek pariwisata untuk menunjang keberlanjutan pariwisata di suatu daerah. Subjek pariwisata yang dimaksud adalah para pelaku usaha yang berfungsi sebagai penyedia jasa yang dibutuhkan oleh para wisatawan. Semakin berkembangnya pariwisata di Desa pangandaran membuat semakin bertambahnya jumlah wisatawan yang datang. Wisatawan yang datang tidak hanya wisawatan lokal bahkan tidak sedikit wisatawan mancanegara dari berbagai negara juga datang ke Pangandaran. Keberadaan wisatawan di Desa Pangandaran jelas membutuhkan suatu jasa yang dapat menyediakan segala kebutuhan yang diperlukan selama berada disana. Keadaan tersebut yang kemudian melatarbelakangi tumbuhnya organisasi-organisasi sosial yang mampu menyediakan kebutuhan wisatawan dalam bidang jasa. Organisasi yang ada merupakan organisasi formal berbadan hukum yang memiliki AD/ART dalam pelaksanaannya. Organisasi tersebut antara lain, Himpunan Pramuwisma Indonesia (HPI) yang bergerak sebagai pemandu wisatawan khususnya wisatawan asing selama berada di Pangandaran, PHRI yang berjasa menyediakan fasilitas penginapan dan tempat makan selama berada di Pangandaran, dan masih banyak organisasi-organisasi lainnya. Setiap organisasi tersebut menjalin hubungan baik dengan organisasi lainnya dan dapat menjalankan fungsinya masing-masing dengan baik agar kegiatan pariwisata di Pangandaran dapat berjalan dengan baik. Anggota yang termasuk ke dalam organisasi tersebut pada umumnya merupakan nelayan khusus pariwisata, akan tetapi ada juga nelayan non-pariwisata yang masuk kedalam anggota organisasi tersebut meskipun jumlahnya tidak banyak. Hal tersebut sejalan dengan penjelasan Sedarmayanti (2005) yang dalam bukunya menjelaskan bahwa meningkatnya arus wisatawan baik nusantara atau mancanegara ke suatu daerah menuntut aneka ragam pelayanan dan fasilitas yang semakin meningkat jumlah dan ragamnya. Hal ini memberi manfaat ekonomi bagi penduduk, pengusaha maupun pemerintah setempat dalam penerimaan devisa, kesempatan berusaha, terbukanya lapangan kerja, meningkatnya pendapatan masyarakat dan pemerintah, serta mendorong pembangunan daerah. “Semenjak pariwisata mengalami perkembangan, banyak sekali mas bermunculan organisasi-organisasi sosial yang fungsinya adalah untuk membantu wisatawan supaya lebih mudah dalam melakukan aktifitas wisata disini.” (DEDI, 42 tahun) Kegiatan pariwisata di Desa Pangandaran menyebabkan terbentuknya kelompok-kelompok baru pada nelayan. Awalnya nelayan di Desa Pangandaran
39
hanya bekerja menangkap ikan di laut. Setelah berkembangnya pariwisata terbentuk organisasi baru pada nelayan yang bekerja menyediakan jasa bagi wisatawan yang akan menikmati keindahan Pantai Pangandaran. Berkembangnya pariwisata tidak membuat seluruh nelayan Pangandaran dapat terlibat dalam kegiatan dan organisasi pariwisata. Hanya orang-orang tertentu yang dapat terlibat dalam kegiatan pariwisata. Hal ini sejalan dengan penjelasan Mathieson dan Wall (1982) yang menemukan bahwa pariwisata telah mengubah struktur internal dari masyarakat, sehingga terjadi pembedaan antara mereka yang mempunyai hubungan dengan pariwisata dan mereka yang tidak. Jadi, keterkaitan pariwisata menjadi salah satu pemisah atau pembeda dalam masyarakat. Organisasi yang terbentuk sejak berkembangnya pariwisata tersebut bernama Organisasi Perahu Pesiar Pangandaran (OP3) yang didirikan pada tanggal 4 November 2009. Organisasi tersebut bersifat sosial kemasyarakatan yang didirikan dengan tujuan untuk memberdayakan masyarakat dan menumbuhkembangkan potensi masyarakat. Dalam pelaksanaannya organisasi tersebut mengadakan hubungan dan kerjasama dengan instansi pemerintah, swasta, dan badan-badan lainnya guna mendukung kelancaran dalam mencapai maksud dan tujuan organisasi. OP3 memiliki keanggotaan yang bergerak di bidangnya masing-masing yaitu kelompok binaan budidaya perikanan, kelompok binaan bidang lingkungan hidup wisata bahari, dan kelompok binaan bidang pariwisata. Stratifikasi Sosial Kehidupan sosial nelayan Pangandaran seperti yang telah dibahas sebelumnya dikenal adanya pembagian strata yaitu nelayan juragan dan nelayan buruh. Nelayan juragan adalah sebutan untuk nelayan yang memiliki perahu dan alat tangkap dan memiliki sejumlah pekerja untuk membantu seluruh kegiatannya. Sedangkan nelayan buruh adalah nelayan yang tidak memiliki perahu dan alat tangkap dan bekerja untuk membantu nelayan juragan. Apabila dilihat dari stratanya, nelayan juragan berada diatas nelayan buruh karena nelayan juragan memiliki lebih banyak modal untuk membeli perahu dan alat tangkap. Selain itu nelayan juragan juga memiliki pengetahuan yang lebih jika dibandingkan dengan nelayan buruh. Hal tersebut sejalan dengan penjelasan Soekanto (2006) yang memberikan ukuran atau kriteria yang dipakai untuk menggolongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan, yaitu : (1) ukuran kekayaan, (2) ukuran kekuasaan, (3) ukuran kehormatan, dan (4) ukuran ilmu pengetahuan. Nelayan di Desa Pangandaran sebagian besar merupakan nelayan buruh karena pada satu juragan rata-rata memiliki dua sampai tiga orang buruh untuk dipekerjakan. Nelayan juragan ada yang ikut melaut ada juga yang hanya mengontrol dari darat tergantung dari jumlah pekerja yang dimiliki. Seluruh nelayan yang kini menjadi nelayan juragan pada awalnya pernah merasakan menjadi nelayan buruh. Sewaktu masih bersekolah banyak anak-anak nelayan yang ikut orangtuanya pergi melaut dengan menjadi buruh. Orang tua yang bekerja sebagai nelayan menginginkan anaknya dapat memiliki bekal pengetahuan dalam menangkap ikan. Selain memperoleh ilmu dari orang tuanya, para anak nelayan juga memperoleh ilmu dari orang lain.
40
“Saya sempat 10 tahun menjadi nelayan buruh, setelah saya memiliki istri dan berkeluarga, saya memutuskan untuk membeli perahu dan peralatan sendiri dengan mempekerjakan orang lain, karena penghasilan juragan lebih besar.” (ZNL, 44 tahun) Keinginan yang dimiliki oleh Bapak ZNL untuk menjadi juragan adalah karena beliau sudah memiliki istri dan keluarga. Beliau merasakan untuk menghidupi keluarganya saja tidak cukup apabila hanya bergantung pada orang lain. Oleh karena itu setelah menikah Bapak ZNL memutuskan meminjam modal untuk membeli perahu dan alat tangkap dan dapat mempekerjakan orang sehingga penghasilan yang didapatkan lebih tinggi . Berkembangnya pariwisata tidak membuat jumlah nelayan juragan menjadi semakin meningkat, sebaliknya dengan berkembangnya pariwisata membuat banyak penduduk dari luar datang ke Pangandaran untuk merasakan dampak dari kegiatan pariwisata. Akan tetapi penduduk yang datang tersebut tidak memiliki cukup modal dan pengetahuan untuk menjadi nelayan juragan dan mereka hanya mampu menjadi buruh yang membuat jumlah nelayan buruh terus mengalami peningkatan. Oleh karena itu perkembangan pariwisata tidak sepenuhnya membawa perubahan pada stratifikasi sosial dalam masyarakat nelayan. Migrasi dan Komposisi Penduduk Cohen (1984) menyebutkan bahwa salah satu dampak sosial pariwisata adalah migrasi penduduk dari dan ke daerah pariwisata. Perkembangan pariwisata di Desa Pangandaran secara langsung menyebabkan kepadatan penduduk di daerah tersebut semakin bertambah. Hal tersebut disebabkan karena Pangandaran sebagai daerah tujuan wisata dapat dijadikan sebagai tempat mendapatkan penghasilan. Awalnya sebelum pariwisata belum mengalami perkembangan secara pesat, hanya penduduk Pangandaran asli yang bekerja dan membuka usaha. Mereka umumnya membuka warung yang menjual makanan kecil, minuman, membuka kios pakaian, cendera mata, dan sebagainya. Semakin berkembangnya pariwisata di Desa pangandaran menyebabkan penduduk yang berasal dari luar Pangandaran banyak yang bermigrasi ke Pangandaran. Penduduk yang datang pada umumnya berasal dari daerah di sekitar Pangandaran seperti, Ciamis, Garut, Tasikmalaya, Cilacap dan bahkan ada yang berasal dari Pulau Sumatera khususnya Medan. Kedatangan penduduk dari luar tidak lain adalah untuk mencari lahan pekerjaan di Desa Pangandaran yang menyebabkan terjadinya perubahan pada komposisi penduduk. Hal tersebut sejalan dengan teori dari Harper (1989) yang mengatakan bahwa perubahan pada personel, dalam arti jumlah dan komposisi manusia yang dijelaskan dengan penduduk yang memiliki pengalaman hidup berbeda masuk dan keluar dari suatu struktur sosial tidak membawa perubahan berarti pada struktur sosial. Kepadatan penduduk di Desa pangandaran tidak hanya diakibatkan karena banyaknya penduduk yang ingin mencari pekerjaan di Desa Pangandaran. Salah satu penyebab kepadatan penduduk semakin bertambah adalah banyak nelayan buruh yang bukan penduduk asli Desa Pangandaran dan berasal dari luar Pangandaran. Hal tersebut terjadi karena banyak anak nelayan yang sudah tidak mau menjadi buruh bagi orang tuanya lagi. Pendidikan tinggi yang dimiliki oleh sebagian anak nelayan menyebabkan anak nelayan memutuskan untuk
41
melanjutkan sekolah di Perguruan Tinggi yang tersebar di seluruh Jawa Barat, bahkan ada beberapa anak nelayan yang dapat melanjutkan sekolahnya di luar Pulau Jawa. “Anak-anak nelayan sekarang sudah tidak mau lagi jadi janggol, itu yang membuat para orang tua sudah tidak bisa lagi mengandalkan anaknya dan terpaksa harus nyari orang dari luar yang menyebabkan penduduk disini jadi semakin bertambah.” (NSR, 40 tahun) Selain disebabkan oleh banyaknya anak nelayan yang memutuskan untuk melanjutkan sekolah di perguruan tinggi, kebanyakan anak nelayan bekerja di bidang pariwisata. Berkembangnya pariwisata di Pangandaran membuat anakanak nelayan untuk terlibat dalam kegiatan pariwisata dan bekerja di bidang pariwisata antara lain bekerja sebagai pegawai hotel, pegawai restoran, pegawai dinas dan lain sebagainya. Hal ini yang menyebabkan para nelayan terpaksa untuk mencari buruh yang berasal dari luar desa, luar kecamatan, dan luar kabupaten untuk membantu menjalankan kegiatan menangkap ikan. Hal tersebut sejalan dengan penjelasan Geriya (1983) yang menjelaskan dampak dari pariwisata adalah terjadinya pertumbuhan penduduk secara pesat di daerah wisata sebagai akibat dari adanya migrasi penduduk pencari kerja ke wilayah tersebut. Buruh yang berasal dari luar desa atau luar daerah sebagian besar menetap di Pangandaran yang menyebabkan berubahnya komposisi penduduk di Desa Pangandaran. Mata Pencaharian dan Pendapatan Qomaruddin (2012) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa sebelum dikembangkan menjadi kawasan wisata, masyarakat Karimun Jawa umumnya bermata pencaharian sebagai nelayan, akan tetapi seiring berjalannya perkembangan pariwisata di Karimun Jawa masyarakat beralih mata pencaharian kedalam bidang jasa yang menunjang kegiatan pariwisata antara lain membuat penginapan, menyediakan penyewaan kapal dan alat menyelam, dan sebagian masih berhubungan dengan perikanan seperti menjual ikan asin dan ikan bakar. Masyarakat Pangandaran pada awalnya menggantungkan hidupnya dari hasil melaut. Menangkap ikan merupakan satu-satunya pekerjaan yang dapat dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Desa Pangandaran yang berprofesi sebagai nelayan. Pendapatan yang diperoleh hanya berasal dari hasil melaut yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Penghasilan nelayan pada saat itu dapat dikatakan pas-pasan karena hanya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Berkembangnya pariwisata di Pangandaran memberikan dampak yang positif bagi masyarakat lokal. Pariwisata diyakini oleh masyarakat dapat memberikan perubahan ke arah yang lebih baik. Penyerapan tenaga kerja akibat perkembangan pariwisata di Desa Pangandaran selalu bertambah hampir di setiap sektor pekerjaan. Manfaat positif tersebut tidak hanya dirasakan oleh nelayan juragan saja tetapi juga dirasakan oleh nelayan buruh meskipun tidak seluruh nelayan buruh mampu bersaing dan terlibat dalam sektor pariwisata. Berikut salah satu penuturan seorang nelayan buruh.
42
“Semenjak pariwisata berkembang disini dapat memberikan dampak positif buat kehidupan nelayan, selain dapat meningkatkan penjualan ikan, istri saya yang tadinya tidak bekerja sekarang bisa bekerja di dinas kebersihan, itung-itung bantu-bantu buat tambahan penghasilan mas.” (IMN, 41 tahun) Bapak IMN adalah seorang nelayan buruh di Desa Pangandaran. Sebelum pariwisata belum mengalami perkembangan, keseharian Bapak IMN hanya bekerja mencari ikan di laut. Pekerjaan tersebut merupakan satu-satunya pekerjaan yang dapat dilakukan oleh dirinya dan tidak ada pekerjaan lain yang dapat dilakukan oleh anggota keluarganya. Setelah pariwisata mengalami perkembangan, banyak jasa-jasa yang dibutuhkan oleh sektor pariwisata guna menunjang kelancaran kegiatan pariwisata. Hal tersebut dimanfaatkan oleh istri Bapak IMN yang bisa bekerja di dinas kebersihan sehingga dapat meningkatkan penghasilan keluarganya Keberadaan pariwisata juga dapat memberikan alternatif mata pencaharian bagi nelayan lokal. Nelayan yang tadinya hanya melaut kini banyak nelayan yang beralih profesi menjadi pedagang, membuka usaha warung, membuka kios pakaian, menjadi tukang becak, tukang parkir, menyewakan perahu pesiar, menjadi pemandu wisatawan, dan lain sebagainya. Hal tersebut juga dimanfaatkan oleh pendatang dari luar untuk bekerja di bidang pariwisata. Mereka sengaja datang ke Pangandaran karena melihat peluang untuk dapat meningkatkan penghasilan dengan ikut terlibat dalam kegiatan pariwisata. Sisi positif lainnya adalah semakin banyaknya penduduk dari luar yang datang membuat semakin beragamnya mata pencaharian yang dapat dilakukan. Hal ini disebabkan tidak bertumpuknya penduduk dari luar untuk menggeluti satu jenis usaha. Mereka dapat menggunakan kreatifitas masing-masing untuk dapat menciptakan berbagai macam jenis kerajinan dari hasil laut yang dapat dijadikan cendera mata yang kemudian dijual kepada para wisatawan. Semakin bertambahnya jumlah penduduk tidak lantas membuat masyarakat kehilangan pekerjaan dan menjadi pengangguran. Kedatangan penduduk dari luar justru membuat masyarakat lokal dapat menciptakan berbagai macam jenis usaha, oleh karena itu masyarakat asli Pangandaran maupun pendatang tidak ada yang menganggur. “Masyarakat di Pangandaran ‘teu cicing’, ga ada yang cuma diem, nongkrong-nongkrong, atau nganggur. Hampir semua masyarakat punya pekerjaan disini. Kriminalitas juga hampir tidak pernah terjadi disini, buat apa mencuri, merampok toh sudah pada bisa mencari uang dengan cara yang halal kan.” (SRG, 49 tahun) Bapak SRG menjelaskan bahwa pariwisata di Desa Pangandaran mampu menciptakan berbagai macam lapangan pekerjaan. Seluruh orang yang ada di Desa Pangandaran baik penduduk lokal maupun pendatang memiliki pekerjaan tetap. Pariwisata di Pangandaran memberikan dampak yang baik karena dapat memberikan lapangan pekerjaan kepada masyarakat. Sehingga hampir tidak ditemukan tindak kriminalitas di Desa Pangandaran. Hal tersebut sejalan dengan penjelasan dari teori Cohen (1984) yang menyatakan bahwa keberadaan
43
pariwisata dapat memberikan dampak pada aspek sosial ekonomi masyarakat yaitu dapat menciptakan kesempatan kerja. Perkembangan pariwisata memberikan manfaat tersendiri bagi nelayan Pangandaran, selain dapat menciptakan mata pencaharian baru bagi nelayan juga dapat meningkatkan harga penjualan dari hasil tangkapan. Wisatawan pada umumnya mulai ramai berdatangan pada saat libur akhir pekan, dimana permintaan atas ikan dan udang meningkat. Meningkatnya permintaan atas ikan dan udang membuat harga ikan dan udang melambung. Hal tersebut dapat memberikan manfaat bagi nelayan yang dapat meningkatkan hasil tangkapannya. Kondisi tersebut tidak hanya terjadi pada libur akhir pekan, pada saat libur hari raya, libur sekolah, dan libur nasional jumlah wisatawan yang berkunjung meningkat dua kali lipat dari hari libur akhir pekan. Kondisi tersebut sudah jelas akan memberikan keuntungan bagi nelayan. Banyak para wisatawan yang dari jauh hari sudah memesan ikan dan udang untuk dikonsumsi selama disana. Hal tersebut dilakukan karena biasanya pada musim liburan ikan, udang, dan makanan laut lainnya akan lebih cepat habis dikonsumsi oleh pengunjung yang datang. Harga ikan pada hari-hari biasanya dihargai Rp.40.000,00 untuk dua ekor, tetapi jika musim ramai wisatawan harganya bisa mencapai Rp. 120.000,00. “Kalo lagi musim-musim rame bisa meningkatkan penjualan udang khususnya udang windu, karena kebanyakan bule-bule sukanya udang windu dan biasanya udah mesen dari jauh-jauh hari sebelum mereka datang.” (IMN, 41 tahun) Bapak IMN merupakan salah seorang nelayan buruh di Desa Pangandaran. Menurut beliau, kedatangan para wisatawan dapat meningkatkan pendapatan secara langsung. Jika musim ramai kunjungan wisatawan biasanya akan diikuti dengan meningkatnya permintaan ikan atau udang. Sebelum datang ke Pangandaran wisatawan biasanya sudah memesan terlebih dahulu agar tidak kehabisan, karena wisatawan yang datang khususnya wisatawan mancanegara sangat menyukai hidangan laut. Selain dapat meningkatkan penjualan dari hasil tangkapan, banyaknya wisatawan yang berkunjung dapat memberikan tambahan pendapatan khususnya bagi nelayan yang menyediakan homestay. Nelayan Pangandaran pada umumnya mampu memanfaatkan tempat tinggalnya untuk mendukung berbagai kegiatan pariwisata. Sejalan dengan penelitian Setyadi (1999) yang membuktikan bahwa masyarakat Bali pada umumnya mampu memanfaatkan tempat tinggalnya (pola menetap keluarga) untuk mendukung berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pariwisata. Sebagian besar rumah-rumah nelayan sudah banyak yang disewakan menjadi tempat tinggal untuk wisatawan yang berkunjung. Hal tersebut dilakukan untuk memberikan alternatif kepada wisatawan apabila hotel sudah penuh. Keberadaan homestay juga dapat memberikan alternatif tempat penginapan dengan biaya yang murah dan terjangkau. Bagi para nelayan yang memiliki homestay, mereka tentunya akan mendapatkan pemasukan tambahan, apalagi jika pada saat libur tahun baru hampir tidak satupun ditemukan homestay yang kosong. Manfaat secara ekonomis juga dirasakan oleh pemerintah setempat. Akibat dari pariwisata dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), terlebih Pangandaran sudah resmi lepas dari Kabupaten Ciamis dan menjadi Pangandaran
44
yang pada nantinya akan semakin meningkatkan PAD Pangandaran. Pemasukan daerah juga diperoleh dari nelayan di luar Pangandaran. Sebagian Nelayan Cilacap menangkap ikan di wilayah perairan Pangandaran yang mengharuskan mereka untuk menjual hasil tangkapan ke Tempat Pelelangan Ikan yang ada di Pangandaran. Hal terebut menyebabkan pemasukan daerah jadi bertambah. Melalui hasil wawancara didapatkan data yang menunjukkan peningkatan pendapatan yang dialami oleh sebagian besar responden sebagai akibat dari adanya kegiatan pariwisata yang dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 8 Jumlah dan persentase responden berdasarkan pendapatan sebelum dan setelah adanya kegiatan pariwisata Pendapatan Responden Mengalami Peningkatan Tetap Mengalami Penurunan
Jumlah (orang) 40 10 -
Persentase (%) 80.00 20.00 0.00
Data pada tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar responden mengalami peningkatan pendapatan setelah terlibat dalam kegiatan pariwisata, sisanya tidak mengalami peningkatan atau penurunan pendapatan, dan tidak ada yang mengalami penurunan pendapatan. Dari total 50 orang responden, sebanyak 40 orang responden (80 persen) mengalami peningkatan pendapatan akibat kegiatan pariwisata, dan sebanyak 10 orang responden (20 persen) tidak mengalami peningkatan atau penurunan pendapatan. Perubahan pada Nilai-Nilai Budaya Nelayan Memudarnya Tradisi Nelayan Lokal Perkembangan pariwisata selain memberikan pengaruh pada kehidupan sosial masyarakat juga memberikan pengaruh pada nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat. Perubahan pada nilai-nilai budaya masyarakat tidak terlepas dari tuntutan lingkungan sekitar masyarakat. Pariwisata yang sudah mengalami perkembangan cukup lama secara tidak langsung menyebabkan semakin memudarnya tradisi masyarakat lokal. Salah satu tradisi masyarakat lokal yang dianut sejak dahulu adalah larangan melaut pada hari-hari tertentu. Hari-hari yang diyakini sakral untuk pergi melaut adalah setiap malam selasa dan malam jumat termasuk pada malam kliwon pada kedua hari tersebut. Masyarakat Pangandaran pada zaman dahulu selalu meyakini dan memegang teguh kepercayaan dari nenek moyang mereka bahwa setiap malam selasa dan malam jumat dilarang untuk pergi melaut dan apabila ada yang melanggar maka akan celaka. Larangan dari nenek moyang untuk pergi melaut tersebut bukan tanpa alasan untuk dipatuhi dan ditaati oleh para nelayan. Larangan tersebut memberikan makna tersendiri bahwa hari-hari tersebut dapat digunakan oleh nelayan untuk beri’tirakat di masjid, beribadah dan di sisi lain memberikan waktu bagi ikan untuk dapat berenang bebas dan beristirahat. Tradisi tersebut lama kelamaan menjadi semakin memudar dengan diikuti berbagai proses.
45
Awalnya nelayan banyak yang masih mentaati larangan untuk melaut pada malam selasa dan malam jumat termasuk pada malam kliwon, kemudian sebagian nelayan meninggalkan larangan untuk pergi melaut pada malam selasa dengan pergi melaut pada setiap malam selasa kecuali pada malam selasa kliwon. Larangan melaut setiap malam selasa kliwon kemudian ditinggalkan secara perlahan oleh nelayan Pangandaran, mereka tetap pergi melaut pada setiap malam selasa termasuk malam selasa kliwon. Semakin berkembangnya pariwisata memaksa nelayan untuk meningkatkan hasil tangkapannya karena akan memberikan keuntungan ekonomis kepada nelayan. Hal tersebut membuat nelayan Pangandaran menjadi semakin meninggalkan tradisi-tradisi yang sudah diyakini sejak lama oleh para leluhur. Ancaman celaka apabila tidak mentaati larangan tersebut kini tidak dihiraukan lagi oleh para nelayan. Larangan untuk pergi melaut pada setiap malam jumat termasuk malam jumat kliwon juga sudah perlahan-lahan ditinggalkan oleh para nelayan. Sebelum pariwisata mengalami perkembangan yang pesat, pada malam jumat tidak ada satupun nelayan yang pergi melaut. Semenjak pariwisata mengalami perkembangan larangan untuk tidak pergi melaut pada malam jumat ditinggalkan, dan kini sudah banyak nelayan yang mulai mengikuti untuk tetap pergi melaut pada malam jumat, tetapi beristirahat dari kegiatan melaut pada malam jumat kliwon. “Pariwisata membuat masyarakat semakin meninggalkan tradisitradisi yang dianggap sakral oleh para leluhur. Seperti larangan melaut pada malam selasa dan malam jumat termasuk malam kliwon kini telah dilanggar dan tidak ada lagi yang menghiraukan apabila tetap melaut maka akan celaka. Semua itu karena tututan pariwisata yang membuat nelayan ingin selalu mendapatkan tangkapan dalam jumlah besar.” (RTM, 55 tahun). Menurut Bapak RTM, perkembangan pariwisata telah membuat nelayan semakin giat untuk meningkatkan pendapatan dengan cara memperbanyak hasil tangkapan. Nelayan di Desa Pangandaran akan mendapatkan keuntungan yang berlebih apabila ikan yang ditangkapnya habis terjual. Terlebih jika musim ramai kunjungan wisatawan yang mana permintaan akan ikan semakin meningkat dan membuat nelayan lebih giat untuk mencari ikan. Hal itu yang menyebabkan nelayan semakin meninggalkan nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang telah dianut dari zaman nenek moyang mereka. Kondisi tersebut sejalan dengan penelitian Evelyn Hong dalam Jafari (1986) yang menunjukkan bahwa masyarakat di daerah pariwisata telah meninggalkan nilai-nilai budayanya dan terjadi komersialisasi kesenian. Pariwisata di Desa Pangandaran juga telah membuat nelayan atau penduduk lokal lebih komersil terhadap sesuatu. Penduduk lokal jarang mau melakukan sesuatu yang sifatnya tidak menguntungkan secara finansial. Contohnya adalah penduduk yang memiliki warung di Pantai Barat umumnya sebagian besar memiliki tempat duduk menghadap ke pantai. Setiap wisatawan yang ingin menikmati keindahan pantai sembari duduk-duduk akan dimintai bayaran atas fasilitas tempat duduk atau dianjurkan untuk memesan makanan dan minuman di
46
warungnya. Hal tersebut berawal dari pola pikir masyarakat yang cenderung mengarah pada komersialisme akibat perkembangan pariwisata. Perkembangan pariwisata di Pangandaran tidak selalu memberikan dampak negatif pada kehidupan masyarakat. Hal tersebut salah satunya dapat dilihat dari semakin meningkatnya nilai gotong-royong yang dianut masyarakat. Pariwisata di Pangandaran tidak serta merta membuat nelayan bersikap individualis. Sebaliknya, perkembangan pariwisata membuat nelayan semakin antusias untuk saling membantu dan menolong. Namun hal tersebut hanya dialami oleh nelayan non-pariwisata. Hubungan antara nelayan non-pariwisata dan nelayan non pariwisata tidak terlalu dekat karena disebabkan perbedaan sumber mata pencaharian. Perubahan Gaya Hidup Nelayan Lokal Gaya hidup atau kebiasaan hidup merupakan perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam aktivitas khususnya yang berkaitan dengan citra diri untuk merefleksikan status sosialnya. Pariwisata di Pangandaran telah menyebabkan berubahnya gaya hidup sebagian besar nelayan lokal terutama nelayan yang berprofesi sebagai nelayan juragan. Perubahan tersebut ditandai oleh berbagai hal seperti, berubahnya tata cara berkelakuan, berubahnya pola hidup masyarakat yang diikuti dengan berubahnya status sosial masyarakat dan lain sebagainya. Perubahan gaya hidup pada masyarakat nelayan yang terjadi antara lain adalah meninggalkan kebiasaan bersilaturahmi karena sudah digantikan dengan handphone, cara berpakaian, dan bangunan rumah. Masyarakat nelayan sudah banyak yang berkomunikasi dengan menggunakan alat komunikasi. Tata cara komunikasi langsung tatap muka berubah menjadi menggunakan alat komunikasi seperti telepon genggam. Hampir setiap nelayan memiliki telepon genggam yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan rekan-rekannya. Hal tersebut telah menghilangkan kebiasaan untuk bersilaturahmi dengan teman, saudara, dan tetangga karena kebiasaan tersebut telah hilang dan digantikan oleh perkembangan teknologi. “Hampir setiap masyarakat di Pangandaran ini punya handphone, karena dengan menggunakan handphone semua urusan jadi lebih mudah. Jika ingin bertemu tidak perlu jauh-jauh untuk berjalan. Bahkan anak-anak nelayan yang masih SD pun sudah banyak yang memiliki handphone.” (NSR, 40 tahun) Cara berpakaian masyarakat juga lambat laun mulai mengalami perubahan. Perubahan cara berpakaian tersebut sebagian besar karena dipengaruhi oleh cara berpakaian wisatawan asing yang ada di Pangandaran. Wisatawan asing yang datang dianggap sebagai panutan dan dijadikan contoh bagi masyarakat nelayan khususnya anak-anak nelayan. Anak-anak nelayan kemudian mengikuti cara berpakaian yang dianggap tidak senonoh. Sebagai sebuah desa yang islami perilaku tersebut kemudian mendapat teguran dari tokoh agama yang ada di Desa pangandaran. Teguran tersebut tidak hanya ditujukan bagi anak-anak nelayan yang melakukan penyimpangan, tetapi juga ditujukan kepada wisatawan asing yang membawa perilaku ‘barat’ ke Pangandaran.
47
“Turis asing harusnya menghormati penduduk sekitar dengan memberikan contoh yang baik dari cara berperilaku, cara berpakaian, dan cara bergaul dengan orang lain, supaya kebiasaankebiasaan mereka di negaranya ga ditiru sama anak-anak kita.” (SRG, 49 tahun) Perubahan gaya hidup yang lain juga ditunjukkan dari bangunan rumah nelayan. Perkembangan pariwisata membuat nelayan untuk merenovasi rumahnya sehingga terlihat lebih mewah dan dapat memberikan kenyamanan bagi para wisatawan untuk beristirahat. Hampir di setiap rumah nelayan sudah menggunakan keramik, tersedia televisi, dan air panas di setiap kamar mandinya. Hal ini disebabkan karena perkembangan pariwisata yang menuntut para nelayan untuk bergaya hidup seperti kebanyakan orang-orang di perkotaan. Perubahan gaya hidup tersebut hanya terjadi pada sebagian nelayan saja yang memiliki modal cukup untuk merenovasi rumahnya yang pada umumnya adalah nelayan juragan, tetapi ada juga sebagian kecil nelayan buruh yang dapat merenovasi rumahnya meskipun tidak semua nelayan buruh mampu melakukannya. “Pariwisata telah menyebabkan rumah nelayan berubah jadi lebih bagus, supaya para wisatawan tertarik untuk menjadikan tempat beristirahat dan nyaman saat tidur karena rata-rata setiap rumah sudah ada tv, lemari es, air panas dan lain-lain.” (UNS, 57 tahun) Bertambahnya Pengetahuan Nelayan Pariwisata di Pangandaran menyebabkan semakin bertambahnya pengetahuan dan wawasan yang dimiliki oleh nelayan. Interaksi dengan wisatawan secara tidak langsung telah menyebabkan bertambahnya pengetahuan nelayan mengenai informasi-informasi dari luar. Keberadaan homestay yang pada umumnya disediakan oleh nelayan membuat nelayan tidak dapat terlepas dari interaksi dengan wisatawan ketika musim liburan. Wisatawan yang datang pun tidak jarang memberikan masukan-masukan tentang bagaimana cara menggunakan alat tangkap yang cocok baik, ramah lingkungan, dan tidak menganggu ekosistem yang lainnya. Perkembangan pariwisata selain menyebabkan bertambahnya wawasan para nelayan juga memberikan pengaruh bagi anak-anak nelayan. Pariwisata merupakan jalur alternatif bagi berkembangnya pengetahuan di kalangan anakanak nelayan selain melalui pendidikan formal di sekolah. Anak-anak nelayan sekarang bisa melanjutkan sekolah sampai pada perguruan tinggi. Perkembangan pariwisata juga menyebabkan anak-anak nelayan lebih memilih untuk ikut terlibat dalam kegiatan pariwisata, oleh karena itu banyak anak nelayan yang cakap berkomunikasi dengan menggunakan bahasa inggris karena sering berinteraksi dengan wisatawan asing. “Anak-anak nelayan sekarang tidak seperti dulu lagi, anak nelayan sekarang bisa dibilang cukup membanggakan karna bisa masuk perguruan tinggi dan banyak yang terlibat dalam kegiatan pariwisata.” (NSR, 40 tahun)
48
Perkembangan pariwisata di Desa Pangandaran telah membawa berbagai dampak pada kehidupan sosial dan budaya masyarakat nelayan. Analisis mengenai kondisi sosial budaya masyarakat sebelum perkembangan pariwisata dan setelah pariwisata dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 9 Dampak sosial budaya perkembangan pariwisata di Desa Pangandaran No .
Indikator
Sebelum Perkembangan
1.
Dampak terhadap penerimaan devisa
Tidak ada penerimaan devisa
2.
Dampak terhadap pendapatan masyarakat
Pendapatan rendah, dari menangkap ikan
3.
Dampak terhadap kesempatan kerja
Kesempatan kerja rendah
4.
Dampak terhadap kepemilikan dan kontrol
Dominan dikuasai masyarakat lokal
5.
Dampak terhadap pembangunan
Pembangunan fisik dan non fisik lambat
6.
Sedikit
7.
Dampak terhadap pendapatan pemerintah Dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat
8.
Dampak terhadap migrasi
9.
Dampak terhadap organisasi Tidak ada organisasi
10.
Dampak terhadap pola pembagian kerja
Hubungan sangat erat karena kesamaan dalam mata pencaharian Migrasi masih sedikit
Pembagian kerja masih sederhana
Sesudah Perkembangan (dampak) Ada peningkatan penerimaan devisa (dampak baik) Pendapatan tinggi, dari berbagai sumber (dampak baik) Kesempatan kerja tinggi, di sektor pariwisata (dampak baik) Dikuasai sebagian pendatang dan investor (dampak tidak baik) Pembangunan fisik dan non fisik cepat (dampak cenderung baik) Banyak dan berlipat ganda (dampak baik) Hubungan kurang erat karena keberagaman mata pencaharian (dampak kurang baik) Migrasi menjadi semakin banyak (dampak kurang baik) Tumbuh organisasi yang memfasilitasi kebutuhan wisatawan (dampak baik) Pembagian kerja semakin kompleks (dampak baik)
49
SIKAP NELAYAN DESA PANGANDARAN TERHADAP PERKEMBANGAN PARIWISATA Karakteristik Responden Usia Karakteristik responden merupakan faktor yang diduga berhubungan dengan sikap nelayan terhadap perkembangan pariwisata yang terjadi di Desa Pangandaran. Karakteristik responden pada penelitian ini meliputi usia, stratifikasi nelayan, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan. Usia digolongkan menjadi tiga kategori yaitu, muda (18-32 tahun), dewasa (33-46 tahun), dan tua (47-60 tahun). Jumlah responden berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 10 Jumlah dan persentase responden berdasarkan usia di Desa Pangandaran tahun 2013 Golongan Usia Muda Dewasa Tua Total
Jumlah (orang) 7 29 14 50
Persentase (%) 14.00 58.00 28.00 100.00
Data pada Tabel 10 menunjukkan penggolongan usia responden ke dalam tiga kategori pada saat penelitian dilakukan. Tabel tersebut menunjukkan sebanyak 29 responden (58 persen) tergolong kedalam kategori usia dewasa, 14 responden (28 persen) tergolong kedalam kategori usia tua, dan 7 responden (14 persen) tergolong kedalam kategori usia muda. Penggolongan usia ini berdasarkan sebaran usia responden yang ditemukan di lapangan. Data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar nelayan Desa Pangandaran berada pada usia produktif. Status Nelayan .Status nelayan yang ditemukan pada saat penelitian adalah berdasarkan kepemilikan alat tangkap yang dikategorikan menjadi nelayan buruh dan nelayan juragan. Status pada nelayan digolongkan menjadi dua yaitu rendah untuk nelayan buruh dan tinggi untuk nelayan juragan. Jumlah responden berdasarkan status dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 11 Jumlah dan persentase responden berdasarkan stratifikasi nelayan Desa Pangandaran tahun 2013 Kategori Status Rendah Tinggi Total
Jumlah (orang) 35 15 50
Persentase (%) 70.00 30.00 100.00
Data pada Tabel 11 menunjukkan bahwa jumlah responden dengan status nelayan buruh sebanyak 35 orang (70 persen). Sedangkan jumlah responden
50
dengan status nelayan juragan berjumlah 15 orang (30 persen). Data tersebut menunjukkan bahwa mayoritas nelayan Desa Pangandaran adalah nelayan buruh. Hal ini disebabkan karena setiap satu juragan rata-rata memiliki lebih dari satu orang buruh atau anak buah kapal. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan responden dilihat berdasarkan jenjang pendidikan terakhir yang telah atau ditempuh oleh responden. Tingkat pendidikan dibagi menjadi tiga kategori yaitu rendah untuk kategori SD atau sederajat. Sedang untuk kategori SMP atau sederajat, dan tinggi untuk kategori SMA atau sederajat. Jumlah responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 12 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Pangandaran tahun 2013 Tingkat Pendidikan Rendah Sedang Tinggi Total
Jumlah (orang) 28 13 9 50
Persentase (%) 56.00 26.00 18.00 100.00
Data pada Tabel 12 menunjukkan penggolongan responden berdasarkan tingkat pendidikan yang telah ditempuh. Sebanyak 28 orang responden (56 persen) termasuk kedalam kategori pendidikan rendah, 13 orang responden (26 persen) termasuk kedalam kategori pendidikan sedang, dan sebanyak 9 orang responden (18 persen) termasuk kedalam kategori pendidikan tinggi. Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat khususnya nelayan masih tergolong rendah. Hal ini seharusnya menjadi fokus perhatian pemerintah setempat maupun pemerintah pusat untuk meningkatkan standar pendidikan nelayan Desa Pangandaran. Tingkat Pendapatan Tingkat pendapatan responden diukur berdasarkan pendapatan responden dalam satu bulan terakhir yang didapat dari hasil melaut. Pendapatan diukur berdasarkan pendapatan bersih dari pekerjaan sebagai nelayan yang dilakukan oleh masing-masing individu. Tingkat pendapatan dibagi menjadi tiga kategori yaitu rendah (< Rp. 1.000.000,00), sedang (Rp. 1.000.000,00 – Rp. 2.000.000,00), dan tinggi (> Rp. 2.000.000,00). Jumlah responden berdasarkan tingkat pendapatan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 13 Jumlah dan persentase responden berdasarkan tingkat pendapatan di Desa Pangandaran tahun 2013 Tingkat pendapatan Rendah Sedang Tinggi Total
Jumlah (orang) 30 15 5 50
Persentase (%) 60.00 30.00 10.00 100.00
51
Data pada Tabel 13 menunjukkan pendapatan responden sebagian besar terkonsentrasi pada kategori rendah. Sebanyak 30 orang responden (60 persen) termasuk kedalam kategori pendapatan rendah, 15 orang responden (30 persen) termasuk kedalam kategori sedang, dan sebanyak 5 orang responden (5 persen) termasuk kedalam kategori pendapatan tinggi. Sebagian besar responden yang masuk kedalam kategori pendapatan rendah adalah nelayan buruh. Sikap Nelayan terhadap Perkembangan Pariwisata Sikap terhadap perkembangan pariwisata adalah penilaian positif atau negatif yang diberikan oleh nelayan terhadap perkembangan pariwisata yang terjadi di Desa Pangandaran yang memberikan pengaruh pada kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi nelayan. Sikap nelayan dapat dilihat dari kecenderungan berperilaku, berpikir, atau berpersepsi terhadap perkembangan pariwisata yang terjadi di desa mereka. Sikap nelayan terhadap perkembangan pariwisata dibagi menjadi empat kategori yaitu sangat tidak setuju, tidak setuju, setuju, dan sangat setuju. Pembagian kategori tersebut ditentukan berdasarkan skor jawaban responden pada saat pengisian kuesioner penelitian. Pernyataan yang diberikan merupakan pernyataan yang menunjukkan penilaian positif terhadap perkembangan pariwisata. Berdasarkan penilaian dari pernyataan yang diberikan, skor terendah dimiliki oleh responden (nelayan) yang menunjukkan sikap tidak setuju terhadap perkembangan pariwisata, sedangkan skor tertinggi dimiliki oleh responden yang menunjukkan sikap sangat setuju terhadap perkembangan pariwisata. Penggolongan sikap responden terhadap perkembangan pariwisata dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 14
Jumlah dan persentase responden berdasarkan sikap terhadap perkembangan pariwisata di Desa Pangandaran tahun 2013
Kategori Sikap Sangat Tidak Setuju Tidak Setuju Setuju Sangat Setuju Total
Jumlah (orang) 0 3 23 24 50
Persentase (%) 0.00 6.00 46.00 48.00 100.00
Data pada Tabel 14 menunjukkan sikap responden terhadap perkembangan pariwisata yang terjadi di Desa Pangandaran. Dari total responden, sebanyak 24 orang responden (48 persen) menyatakan sikap sangat setuju terhadap perkembangan pariwisata, kemudian sebanyak 23 orang responden (46 persen) menyatakan sikap setuju terhadap perkembangan pariwisata, lalu sebanyak 3 orang responden (6 persen) menyatakan sikap tidak setuju terhadap pengembangan pariwisata, dan tidak ada responden yang memiliki sikap sangat tidak setuju terhadap pengembangan pariwisata yang terjadi di Desa Pangandaran. Hal tersebut menunjukkan bahwa perkembangan pariwisata di Desa Pangandaran cenderung disikapi positif oleh sebagian besar responden, namun terdapat 3 orang responden yang menyatakan sikap tidak setuju terhadap perkembangan pariwisata karena dirasakan tidak terlalu memberikan pengaruh pada kehidupan mereka.
52
Berikut penuturan salah seorang responden (nelayan buruh) yang menyatakan sikap tidak setuju terhadap perkembangan pariwisata. “Buat saya adanya pariwisata disini ga memberikan pengaruh apaapa mas. Pendapatan saya juga segini saja dari dulu, yang penting bisa kasih makan anak istri. Kalo menurut saya pariwisata ya pariwisata ga ada hubungannya sama kerjaan saya yang mencari ikan di laut” (AKN, 45) Menurut Bapak AKN yang merupakan seorang nelayan buruh di Desa Pangandaran, pariwisata di Pangandaran tidak memberikan manfaat secara langsung terhadap kehidupannya. Keterbatasan modal dan pengetahuan membuat Bapak AKN tidak mampu untuk ikut bekerja ke dalam sektor pariwisata. Pengetahuan yang dimiliki adalah sebatas pengetahuan bagaimana cara menangkap ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Pariwisata juga tidak memberikan manfaat ekonomis secara langsung kepada Bapak AKN karena tidak bisa memanfaatkan kesempatan usaha ataupun kesempatan kerja di sektor pariwisata. Hubungan Antara Karakteristik Individu dengan Sikap terhadap Perkembangan Pariwisata Soebiyanto (1998) menyatakan bahwa karakteristik sosial-ekonomi seperti tingkat pendidikan, umur, kekosmopolitanan dan tingkat kemampuan ekonomi mempengaruhi masyarakat desa dalam menanggapi ide atau informasi terhadap suatu hal. Nurjanah (2011) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa karakteristik individu dapat mempengaruhi sikap. Karakteristik tersebut meliputi usia, pendidikan, tingkat pendapatan, luas lahan pekarangan, status rumah dan pekarangan, dan pengeluaran dalam keluarga. Penelitian lain yang dilakukan pleh Pertiwi (2011) menjelaskan mengenai faktor internal yang dapat mempengaruhi sikap. Faktor internal tersebut adalah umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan jumlah tanggungan dalam keluarga. Pada penelitian ini karakteristik individu yang diuji adalah usia, status nelayan, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan. Setiap karakteristik individu yang diuji dihubungkan dengan sikap nelayan terhadap perkembangan pariwisata di Desa Pangandaran. Karakteristik tersebut diuji melalui uji korelasi Rank Spearman untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan dengan sikap nelayan terhadap perkembangan pariwisata. Uji korelasi Rank Spearman digunakan untuk melihat hubungan antara karakteristik individu yang meliputi usia, stratifikasi nelayan, tingkat pendidikan, dan tingkat pendapatan dengan sikap terhadap perkembangan pariwisata. Hubungan Antara Usia dengan Sikap terhadap Perkembangan Pariwisata Penggolongan usia responden dilakukan berdasarkan sebaran data di lapangan. Usia responden digolongkan menjadi muda (18-32 tahun), dewasa (3346 tahun), dan tua (47-60 tahun). Data di lapangan menunjukkan bahwa jumlah responden didominasi oleh usia dewasa. Hal tersebut disebabkan usia kelompok
53
usia dewasa merupakan usia produktif dalam angkatan kerja. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa kelompok usia muda belum terlalu memiliki pengalaman dalam melaut, sedangkan untuk kelompok usia tua umumnya sudah tidak mampu secara fisik untuk melaut. Hubungan antara usia responden dengan sikap terhadap perkembangan pariwisata dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 15 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan usia dengan sikap terhadap perkembangan pariwisata Usia Muda Dewasa Tua Total
Tidak Setuju 0 (0.0%) 3 (10.0%) 0 (0.0%) 3 (6.0%)
Sikap Setuju 5 (71.4%) 12 (40.0%) 6 (46.2%) 23 (46.0%)
Total Sangat Setuju 2 (28.6%) 15 (50.0%) 7 (53.8%) 24 (48.0%)
7 (100.0%) 30 (100.0%) 13 (100.0%) 50 (100.0%)
Data pada Tabel 15 menunjukkan, dari total 7 orang responden yang berusia muda sebanyak 5 orang responden (71,4 persen) memiliki sikap setuju dan sebanyak 2 orang responden (28,6 persen) memiliki sikap sangat setuju. Pada kategori usia dewasa, sebanyak 3 orang responden (10 persen) memiliki sikap tidak setuju, sebanyak 12 orang responden (40 persen) memiliki sikap setuju, dan sebanyak 15 orang responden (50 persen) memiliki sikap sangat setuju. Sedangkan pada kategori usia tua, sebanyak 6 orang responden (46,2 persen) memiliki sikap setuju dan sebanyak 7 orang responden (53,8 persen) memiliki sikap sangat setuju. Data tersebut menunjukkan bahwa responden yang memiliki sikap positif terhadap perkembangan pariwisata cenderung tergolong pada kategori usia dewasa yang merupakan usia produktif angkatan kerja. Usia merupakan salah satu karakteristik individu yang diduga memiliki hubungan dengan sikap terhadap perkembangan pariwisata. Melalui uji korelasi Rank Spearman didapatkan hasil data statistik yang menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang dihasilkan sebesar 0,351, nilai tersebut lebih besar dibandingkan nilai signifikansi yang telah ditetapkan yaitu sebesar 0,05. Hal tersebut menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan sikap terhadap perkembangan pariwisata. Nilai tersebut menunjukkan bahwa variabel usia tidak berhubungan nyata dengan sikap terhadap perkembangan pariwisata. Hasil wawancara dengan responden (nelayan) menunjukkan bahwa nelayan juragan atau nelayan buruh yang berusia muda, dewasa, maupun tua hampir memiliki pandangan dan sikap yang sama terhadap perkembangan pariwisata. Bagi mereka yang berusia muda, dewasa, dan tua adanya pariwisata diharapkan mampu menyerap tenaga kerja yang dibutuhkan dalam sektor pariwisata, akan tetapi ada sebagian kecil responden yang berusia dewasa tidak menyatakan sikap positif terhadap perkembangan pariwisata. Hal tersebut disebabkan ketidakmampuan untuk memanfaatkan kesempatan usaha dan kesempatan kerja dalam bidang pariwisata.
54
Hubungan Antara Status Nelayan dengan Sikap terhadap Perkembangan Pariwisata Penggolongan responden dilakukan berdasarkan status nelayan yang ditemukan di lapangan. Status pada responden nelayan digolongkan menjadi rendah (nelayan buruh), dan tinggi (nelayan juragan). Data di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah nelayan buruh. Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar nelayan yang ada di lokasi penelitian adalah nelayan buruh. Setiap satu orang nelayan juragan rata-rata mempekerjakan buruh lebih dari satu orang. Hubungan antara strata responden dengan sikap terhadap perkembangan pariwisata dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 16 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan status nelayan dengan sikap terhadap perkembangan pariwisata Status Nelayan Rendah Tinggi Total
Tidak Setuju 3 (8.6%) 0 (0.0%) 3 (6.0%)
Sikap Setuju 19 (54.3%) 4 (26.7%) 23 (46.0%)
Total Sangat Setuju 13 (37.1%) 11 (73.3%) 24 (48.0%)
35 (100.0%) 15 (100.0%) 50 (100.0%)
Data pada Tabel 16 menunjukkan, dari total 35 orang responden dengan status rendah sebanyak 3 orang responden (8,6 persen) memiliki sikap tidak setuju, sebanyak 19 orang responden (54,3 persen) memiliki sikap setuju, dan sebanyak 13 orang responden (37,1 persen) memiliki sikap sangat setuju. Pada kategori status tinggi, sebanyak 4 orang responden (26,7 persen) memiliki sikap setuju dan sebanyak 11 orang responden (73,3 persen) memiliki sikap sangat setuju. Status nelayan diduga memiliki hubungan nyata dengan sikap terhadap perkembangan pariwisata. Melalui uji korelasi Rank Spearman yang telah dilakukan, diperoleh hasil data statistik yang menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang dihasilkan sebesar 0,015, nilai tersebut lebih kecil dibandingkan nilai signifikansi yang ditetapkan yaitu 0,05. Hal tersebut menunjukkan terdapat hubungan antara status nelayan dengan sikap terhadap perkembangan pariwisata. Hasil wawancara dengan responden menunjukkan bahwa sebagian besar atau hampir seluruhnya nelayan juragan memiliki sikap setuju terhadap perkembangan pariwisata. Hal tersebut disebabkan mayoritas nelayan juragan dapat bekerja di bidang pariwisata, baik dirinya maupun anggota keluarganya. Kondisi tersebut tidak dialami oleh seluruh responden nelayan buruh yang merasa tidak terlalu mendapat keuntungan dari adanya kegiatan pariwisata karena hanya dapat melakukan penangkapan ikan dan tidak dapat memanfaatkan kesempatan usaha dan kerja di bidang pariwisata.
55
Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Sikap terhadap Perkembangan Pariwisata Tingkat pendidikan responden digolongkan menjadi tiga kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Kategori rendah dimiliki oleh responden dengan tingkat pendidikan SD atau sederajat, kategori sedang dimiliki oleh responden dengan tingkat pendidikan SMP atau sederajat, dan tingkat pendidikan tinggi dimiliki oleh responden dengan tingkat pendidikan SMA atau sederajat. Hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap terhadap perkembangan pariwisata dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 17 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap terhadap perkembangan pariwisata Tingkat Pendidikan Rendah Sedang Tinggi Total
Tidak Setuju 3 (10.7 %) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 3 (6.0%)
Sikap Setuju 11 (39.3%) 6 (46.2%) 6 (66.7%) 23 (46.0%)
Total Sangat Setuju 14 (50.0%) 7 (53.8%) 3 (33.3%) 24 (48.0%)
28 (100.0%) 13 (100.0%) 9 (100.0%) 50 (100.0%)
Data pada Tabel 17 menunjukkan, dari total 28 orang responden dengan tingkat pendidikan rendah, sebanyak 3 orang responden (10,7 persen) memiliki sikap tidak setuju, sebanyak 11 orang responden (39,3 persen) memiliki sikap setuju dan sebanyak 14 orang responden (50 persen) memiliki sikap sangat setuju. Pada kategori tingkat pendidikan sedang dari total 13 orang responden, sebanyak 6 orang responden (46,2 persen) memiliki sikap setuju dan sebanyak 7 orang responden (53,8 persen) memiliki sikap sangat setuju. Sedangkan pada kategori tingkat pendidikan tinggi dari total 9 orang responden, sebanyak 6 orang responden dengan persentase (66,7 persen) memiliki sikap setuju dan sebanyak 3 orang dengan persentase (33,3 persen) memiliki sikap sangat setuju. Tingkat pendidikan diduga memiliki hubungan yang nyata dengan sikap nelayan terhadap perkembangan pariwisata. Melalui uji korelasi Rank Spearman yang telah dilakukan, diperoleh hasil data statistik yang menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang dihasilkan sebesar 0,880, nilai tersebut lebih besar dibandingkan nilai signifikansi yang telah ditetapkan yaitu sebesar 0,05. Hal tersebut menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan sikap terhadap perkembangan pariwisata. Hasil wawancara dengan responden menunjukkan nelayan juragan dan nelayan buruh dengan tingkat pendidikan SD, SLTP, SMA sebagian besar memiliki pandangan dan sikap yang sama terhadap perkembangan pariwisata. Manfaat yang diperoleh dari adanya pariwisata tidak hanya dirasakan oleh nelayan yang memiliki pendidikan tinggi. Bagi mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah ataupun sedang juga dapat memanfaatkan kesempatan usaha atau kesempatan kerja di bidang pariwisata. Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar nelayan yang memiliki pendapatan tinggi merupakan nelayan dengan tingkat pendidikan SD dan SLTP.
56
Hubungan Antara Tingkat Pendapatan dengan Sikap terhadap Perkembangan Pariwisata Tingkat pendapatan adalah besarnya penghasilan yang diperoleh responden dari pekerjaannya. Pendapatan yang diperoleh responden adalah pendapatan dari hasil pekerjaan menangkap ikan di laut. Penggolongan tingkat pendapatan responden dilakukan berdasarkan sebaran data di lapangan. Tingkat pendapatan dikategorikan menjadi rendah dengan responden yang memiliki pendapatan dibawah Rp.1.000.000 per bulan, tingkat pendapatan sedang untuk responden yang memiliki pendapatan sebesar Rp.1.000.000 – Rp.2.000.000 per bulan, dan tingkat pendapatan tinggi untuk responden yang memiliki pendapatan diatas Rp.2.000.000 per bulan. Hubungan antara tingkat pendapatan dengan sikap terhadap perkembangan pariwisata dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 18 Jumlah dan persentase responden berdasarkan hubungan antara tingkat pendapatan dengan sikap terhadap perkembangan pariwisata Tingkat Pendapatan Rendah Sedang Tinggi Total
Tidak Setuju 3 (10.0%) 0 (0.0%) 0 (0.0%) 3 (6.0%)
Sikap Setuju 16 (53.3%) 6 (40.0%) 1 (20.0%) 23 (46.0%)
Total Sangat Setuju 11 (36.7%) 9 (60.0%) 4 (80.0%) 24 (48.0%)
30 (100.0%) 15 (100.0%) 5 (100.0%) 50 (100.0%)
Data pada Tabel 18 menunjukkan, dari total 30 orang responden dengan tingkat pendapatan rendah, sebanyak 3 orang responden (10 persen) memiliki sikap tidak setuju, sebanyak 16 orang responden (53,3 persen) memiliki sikap setuju dan sebanyak 11 orang responden (36,7 persen) memiliki sikap sangat setuju. Pada kategori tingkat pendapatan sedang dari total 15 orang responden, sebanyak 6 orang responden (40 persen) memiliki sikap setuju dan sebanyak 9 orang (60 persen) memiliki sikap sangat setuju. Sedangkan pada kategori tingkat pendidikan tinggi dari total 5 orang responden, sebanyak 1 orang responden (20 persen) memiliki sikap setuju dan sebanyak 4 orang responden dengan persentase (80 persen) memiliki sikap sangat setuju. Tingkat pendapatan diduga memiliki hubungan yang nyata dengan sikap nelayan terhadap perkembangan pariwisata. Melalui Hasil uji korelasi Rank Spearman yang telah dilakukan, diperoleh hasil data statistik yang menunjukkan bahwa nilai signifikansi yang diperoleh sebesar 0,024, nilai tersebut lebih kecil dibandingkan nilai signifikansi yang ditetapkan yaitu sebesar 0,05. Hal tersebut berarti terdapat hubungan antara tingkat pendapatan dengan sikap terhadap perkembangan pariwisata. Hasil wawancara dengan responden menunjukkan nelayan yang memiliki pendapatan tinggi memiliki sikap sangat setuju terhadap perkembangan pariwisata. Hal tersebut disebabkan nelayan yang memiliki pendapatan tinggi umumnya dapat menciptakan kesempatan kerja dan kesempatan usaha di bidang pariwisata sehingga dapat meningkatkan pendapatannya. Begitupun pada nelayan yang berpendapatan sedang memiliki sikap setuju terhadap perkembangan
57
pariwisata. Sebaliknya bagi nelayan yang berpendapatan rendah memiliki sikap tidak setuju terhadap perkembangan pariwisata karena dirasakan tidak memberikan manfaat ekonomis dalam kehidupannya.
58
59
SIMPULAN DAN SARAN Pada bab ini akan disajikan mengenai kesimpulan dan saran berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan. Kesimpulan akan menjelaskan mengenai bagaimana sejarah berkembangnya pariwisata, dampak pada struktur sosial masyarakat nelayan akibat berkembangnya pariwisata, dampak pada nilai budaya masyarakat nelayan akibat berkembangnya pariwisata, dan sikap nelayan terhadap perkembangan pariwisata. Sementara saran disajikan untuk mengetahui implikasi selanjutnya yang perlu dilakukan atau diperbaiki terhadap aktivitas pengembangan pariwisata. Selain itu, saran diperlukan untuk menggugah penyadaran terhadap berbagai pihak mengenai perkembangan pariwisata dan dampaknya. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat ditarik beberapa simpulan terkait dengan sejarah berkembangnya pariwisata, dampak pada struktur sosial masyarakat, dampak pada nilai budaya masyarakat, dan sikap nelayan terhadap perkembangan pariwisata di Desa Pangandaran. Simpulan dapat ditulis sebagai berikut: 1. Sejarah berkembangnya pariwisata diawali dengan keinginan dari masyarakat setempat yang sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan yang menginginkan adanya alternatif mata pencaharian. Kemudian pemerintah memfasilitasi kebutuhan masyarakat dengan memberikan bantuan modal untuk pengembangan pariwisata dan memberikan sosialisasi dengan mengajak nelayan pergi ke Bali untuk melihat bagaimana kehidupan nelayan di sekitar kawasan pariwisata. 2. Perkembangan pariwisata di Desa Pangandaran memberikan dampak terhadap struktur sosial nelayan Desa Pangandaran. Dampak tersebut antara lain adalah munculnya organisasi-organisasi sosial yang terbentuk guna menyediakan kebutuhan jasa bagi para wisatawan yang melahirkan organisasi nelayan baru yaitu nelayan pariwisata, perubahan pada stratifikasi sosial nelayan yang ditunjukkan dengan perubahan dari nelayan buruh menjadi nelayan juragan, migrasi dan komposisi penduduk ke Desa Pangandaran semakin meningkat dan beragam yang didasari adanya kegiatan pariwisata di Desa Pangandaran, dan meningkatnya pendapatan nelayan dan penduduk lokal, serta terbukanya peluang usaha dan lapangan kerja. 3. Perkembangan pariwisata di Desa Pangandaran memberikan dampak terhadap nilai-nilai budaya nelayan Desa Pangandaran. Dampak tersebut antara lain adalah memudarnya nilai-nilai budaya yang dianut oleh nelayan lokal seperti melanggar larangan melaut pada hari-hari tertentu, meningkatnya pola pikir ke arah komersialisme akibat pesatnya perkembangan pariwisata, berubahnya gaya hidup nelayan lokal akibat perkembangan pariwisata, dan bertambahnya wawasan nelayan lokal. 4. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa sekitar 90% nelayan memiliki sikap setuju terhadap pengembangan pariwisata, khususnya yang mendapatkan manfaat ekonomis secara langsung dari adanya pariwisata, dan sisanya memiliki sikap tidak setuju terhadap pengembangan pariwisata karena tidak mampu untuk bersentuhan secara langsung dengan kegiatan pariwisata. Hasil
60
pengolahan data penelitian menunjukkan bahwa stratifikasi nelayan dan tingkat pendapatan memiliki hubungan nyata dengan sikap nelayan terhadap perkembangan pariwisata. Sedangkan usia dan tingkat pendidikan tidak memiliki hubungan nyata dengan sikap nelayan terhadap perkembangan pariwisata. Saran Saran yang diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah perlu adanya kebijakan dari pemerintah yang berkaitan dengan pengembangan pariwisata. Pemerintah seharusnya lebih memperhatikan pengembangan pariwisata agar dapat dirasakan manfaatnya secara merata oleh berbagai lapisan masyarakat lokal di Desa Pangandaran dan tidak hanya dirasakan oleh lapisan masyarakat yang memiliki modal dan pengetahuan yang lebih. Program ini tentu harus didukung oleh berbagai pihak terutama pemerintah maupun kalangan akademisi khususnya civitas akademika IPB. Dinas perikanan dan dinas pariwisata setempat seharusnya bekerja sama untuk memfasilitasi nelayan agar dapat mengembangkan keterampilan dalam memberikan pelayanan kepada wisatawan guna menunjang kelancaran kegiatan pariwisata. Pemerintah daerah setempat seharusnya juga membuat peraturan tentang larangan berpakaian yang tidak senonoh di kawasan pantai guna menghindari penyimpangan-penyimpangan sosial dan menghormati kebudayaan dan nilai keagamaan yang dianut oleh masyarakat Desa Pangandaran.
61
DAFTAR PUSTAKA Acheson J. 1981. Anthropology of fishing. Annual review of anthropology. Vol. 10 (1981). Azwar S. 2005. Sikap manusia : Teori dan pengukurannya. Yogyakarta [ID] : Pustaka Belajar. Baginda S. 2000. Perubahan struktur masyarakat dan sistem lapisan masyarakat pedesaan di sekitar Danau Toba (Studi kasus historis di Desa Tomok, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Toba Samosir, Propinsi Sumatera Utara). [Tesis]. Bogor [ID] : Institut Pertanian Bogor. Barlan ZA. 2013. Desa wisata dan dampaknya terhadap terpinggirnya masyarakat nelayan, Studi kasus : masyarakat nelayan miskin Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis Jawa Barat. Makalah hasil observasi. Bappenas [Badan Perencanaan Pembangunan Nasional]. 2008. Dampak pariwisata terhadap perekonomian nasional. [internet]. [dikutip 10 Februari 2013]. Dapat diunduh dari : http://kppo.bappenas.go.id/preview/282/ BPS [Badan Pusat Statistik]. 2012. Pangandaran dalam angka. Ciamis [ID] : BPS. Cohen E. 1974. Who is a tourist? A conceptual clarification. Sociological Review. _______. 1984. The sociology of tourism: approaches, issues, and finding annal of tourism research Dahuri R. 2000. Pendayagunaan sumber daya kelautan untuk kesejahteraan rakyat. Jakarta [ID] : LISPI. Dewan Hankamnas dan BPP Teknologi. 1996. Benua maritim Indonesia. Jakarta [ID] : Dit. TISDA – PKA BPP Teknologi. Geriya IW. 1993. Pariwisata dan segi sosial budaya masyarakat Bali dalam kebudayaan dan kepribadian bangsa (Tjok Sudharta, dkk. Ed.). Denpasar [ID] : Upada Sastra. Harper CL 1989. Exploring social change. New Jersey : Prentice-Hall Imron M. 2003. Kemiskinan dalam masyarakat nelayan dalam Jurnal masyarakat dan budaya. Jakarta [ID] : PMB – LIPI. Jafari J. 1986. Introduction tourism science dalam ATR Vol. 18. pp. 1-11. USA : University of Wiscousin Stout. Kinseng RA. 2011. Konflik kelas nelayan di Indonesia : Tinjauan kasus Balikpapan. Bogor [ID] : IPB Press Kuntjoro-Jakti D. 1989. Prospek pengembangan kepariwisataan di Indonesia pada tahun 1989 siap untuk tinggal landas, makalah dalam seminar pekan raya Jakarta 4-5 Juli 1989. Mafianos N. 2006. Dampak pembangunan fasilitas pariwisata terhadap perubahan struktur agraria, kelembagaan dan peluang usaha di pedesaan (kasus di sekitar kawasan pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat). [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Mantra IB. 1991. Indonesia tourism Bali experiences, A paper presented at The 40-th annual PATA Conference in Bali. Marpaung H. 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. Bandung [ID] : Alfabeta. Mathieson A, Wall G. 1990. Tourism, Economic, Physical and Social Impact.
62
Mubyarto, Soetrisno L, dan Dove M. 1984. Nelayan dan kemiskinan studi ekonomi antropologi dua desa pantai. Jakarta [ID] : Rajawali. Mulyadi. 2007. Ekonomi kelautan. Jakarta [ID] : PT. Raja Grafindo Persada. Newcomb et al. 1978. Psikologi sosial. terjemahan Ny. Yoesoef Noesjirwan. Bandung [ID] : CV. Diponegoro Notoatmodjo S. 2003. Pendidikan dan perilaku kesehatan. Jakarta [ID] : Rineka Cipta. Nurjanah S. 2011. Sikap dan perilaku konsumsi masyarakat terhadap beras padi (Oryza sativa) dan beras singkong (Manihot esculenta) sebagai bahan pangan pokok (Kasus masyarakat Kampung Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat). [skripsi]. Bogor [ID] : Institut Pertanian Bogor. Pertiwi HD. 2011. Dampak keberadaan perusahaan pertambangan terhadap ekologi, sosial, dan ekonomi masyarakat di era otonomi daerah (kasus : Kelurahan Sampaja Utara, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda). [skripsi]. Bogor [ID] : Institut Pertanian Bogor. Pitana IG. 1994. Mosaik masyarakat dan kebudayaan Bali dalam dinamika masyarakat dan kebudayaan Bali. Denpasar [ID] : Penerbit BP. Qomaruddin. 2012. Perubahan sosial dan peran serta masyarakat dalam pengembangan kawasan wisata kepulauan Karimun Jawa. Makalah hasil observasi Rakhmat J. 2001. Psikologi komunikasi. Cetakan ke 16. Bandung [ID] : Renja Kesdakarya. Satria A. 2002. Pengantar sosiologi masyarakat pesisir. Jakarta [ID] : Cidesindo. _____ . 2004. Menanti gebrakan kelautan Ala SBY”. Kompas. Jakarta. _____ . 2009. Pesisir dan laut untuk rakyat. Bogor [ID] : IPB Press. Sedarmayanti. 2005. Membangun kebudayaan dan pariwisata. Bandung [ID] : Mandar Maju. Setyadi YB. 2007. Pariwisata dan perubahan nilai-nilai sosial budaya berdasarkan lingkungan tradisi pada masyarakat Bali. [internet]. [diunduh tanggal 15 September 2012]. Jurnal penelitian humaniora. Dapat diunduh dari:http://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/580/1.%2 0YULIANTO%20BAMBANG%20S.pdf?sequence=1 Singarimbun M, Sofian E. 1989. Metode penelitian survai. Jakarta [ID] : LP3ES. Soebiyanto FX. 1998. Peranan kelompok dalam mengembangkan kemandirian petani dan ketanguhan berusaha tani. [disertasi]. Bogor [ID] : Institut Pertanian Bogor. Soekanto S. 2006. Sosiologi : suatu pengantar. Jakarta [ID] : Raja Grafindo. Soemarno. 2010. Desa wisata (Bahan ajar Universitas Brawijaya). http://marno.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/Desa-wisata.doc Diunduh pada tanggal 28 Januari 2013 pukul 15.00 WIB. Sumarti dan Saharudin. 2001. Model kelembagaan ekonomi lokal untuk pemberdayaan masyarakat nelayan dalam pengelolaan pertanian kawasan pesisir dan pedesaan nelayan. Bogor [ID] : Laporan hasil penelitian hibah bersaing perguruan tinggi. Widodo J, Suadi. 2008. Pengelolaan sumberdaya perikanan laut. Yogyakarta [ID] : Gajah Mada University Press.
63
Winarni S. 2001. Hubungan karakteristik sosial ekonomi petani dengan pemilihan ragam metode penyuluhan. Surakarta [ID] : Sebelas Maret University Press. Yoeti OA. 1996. Pengantar ilmu pariwisata. Bandung [ID] : Angkasa. _______ . 2008. Ekonomi pariwisata. introduksi, informasi, dan implementasi. Jakarta [ID] : Kompas Yulianda F. 2007. Ekowisata bahari sebagai alternatif pemanfaatan sumberdaya pesisir berbasis konservasi. Disampaikan pada seminar sains 21 Februari 2007 pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK. IPB.
64
65
LAMPIRAN Lampiran 1 Jadwal pelaksanaan penelitian tahun 2013 No 1.
Kegiatan
2.
Penyusunan proposal Kolokium
3.
Revisi proposal
4.
Pengumpulan data
5. 6.
Pengolahan dan Analisis data Penulisan skripsi
7.
Konsultasi skripsi
8.
Uji petik
9.
Sidang skripsi
10.
Perbaikan skripsi
Feb 3 4
1
Maret 2 3
4
1
April 2 3
4
1
Mei 2 3
Juni 4
1
66
Lampiran 2 Peta Desa Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat
67
Lampiran 3 Daftar kerangka sampling Kerangka sampling nelayan buruh Desa Pangandaran No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Nama Nanang Ocid Mamat R. Ade rapi Nendi Sarman Yudi Kendar Irman Dede Roni Iwan Karso Ijang Nunu Sudir Oding Suryaman C. Parman Kundang Sarman Adin Edi Wawan Tisna Sirun Otong Agus Inan Yaya Eko Sono Doyok Husein Aep
35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69
Hanapi Wasiman U Sodik Ato Deni Eris Risyana Ganjar Herman Supriatna Gino Ikin Kodar Rusdi Alien Tantan Misrun Saring Rusdi Mantep Ro'i Suhdi Utung Mamat Agus Pebi Ade Maman Andi G Daris Oot Herman Ucil Sirun Paiman Hendra Toni E
68
70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108
Dudung A Ujang Yono Iusep S Doglag Omen Aton Ujang Jaya Junaedi Dede Kasiman Ade Suhendi Iding Ade Nahri Ujang A Roni Uka Mansur Wawan H Eman Eman N Tatang Uyo S Sarmin Dedi SW Rusdi Dede Didi Samin Wawan Maman Riki Jaja Idin Ahyana Tono Iyan Suparmin Saikun Ade Karwan Watiman
109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147
Suin Ujang Arip Cahya Entos Ade Sapudin Akub Anang A Iyah RM A Usman Nenden Ujang Sulaeman Jasman Sutrisno Ajam Saringan Piteri Ujang Dasim Hendra Dindin Sireng Samuji Sawin Samin Sis Aa Gito Toto Ngadimin S Mulyadi Paijin Badilah Sukur Yamin Tunggal Karsim Lasino Enceng Yatiman
69
148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186
Solehan Saliwon Husen Marijan Ujang R Wawan R Eko Ajat Mahdi Dirun Yanto Engkis Yamin Anderi Dede Kismanto Iyan Pardi Edi Ade Tatang Ajah Masari Eman Ooy Sis Sabar Agus Adi Marimin Joko Samsuri Mamat Doni Sarimin Ujang Mumu Sadin Sugeng H Endi Ujang
187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225
Oman Tayum Jeje Atikah Kusmayadi Dede Tarom Nesero Dadang Turnasih K Sutisna Tasdirin Pendi Ending Dasuk Deni Mimid Siswono Dedi Herman Hernawan Nakimin Eko Edeng Darso Joni Danu Rutio Ateng Guntoro Warsono Sariwon Serunteh Anam Pairin Tupon Seto Sugeng Sutaryo
70
226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264
Nanang SR Emin Ateng Dede Saking Parman Selamet Solihin Yatna Pardi Asim Ronal Paryaman Misno Slamet Darsono Wawan Toyib Karsono Heri Sis Maman Rohman B Karsim Enceng Heri Soleh Ujang Yati Windu Erik Dede Bagol Toyeng Dodi Suparno Muji Seto Ngadimin Gohari Wahyu
265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 301 302 303
Kaput Sapandi Sukirno Suparno Sarjito Nanang Wahyu Yatiman Nata Mul Saimin Maniso Udin Saring Mesak Yanto Masikin Rokimin Yatno Aceng M Suswato Ajo Eko Yayan Mino Suhen Cipto Purwanto Sija Runtah Jajang Dede Sarli Agu Harsono Maman Dadan Umus Toha Darli
71
304 305 306 307 308 309 310 311 312 313 314 315 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325 326 327 328 329 330 331 332 333 334 335 336 337 338 339 340 341 342
Naso Yono Arson Ngadirin Surip Iyit Marsun Surip Amir Mantung Ajun Samiran Sarno Samin Anto Yayan Sutarno Asep Ipin H Wawan Maman Rasikin Narmo Hendi Eroh Eli Suratno Midi A Wagiman Brian Sudirman Dede Rohmana Yaman Eso Uun Supriyatna Sarjan Siran Aceng R Turnasih
343 344 345 346 347 348 349 350 351 352 353 354 355 356 357 358 359 360 361 362 363 364 365 366 367 368 369 370 371 372 373 374 375 376 377 378 379 380 381
Kiah Maman Yon Aep Badar Ajal Ano Akung Jaka Adin Marink Suratman Budiman Iwa Ahdi Iyan Mul Sauji Jujun Lasimun Marsan Wasino Narmo Diam Dian Mikun Saji Ujang Iwan Yos Wariso Yamin Dedi Rizal Ujang Uu Budi S Iwan Tablo Ita
72
382 383 384 385 386 387 388 389 390 391 392 393 394 395 396 397 398 399 400 401 402 403 404 405 406 407 408 409 410 411 412 413 414 415 416 417 418 419 420
Yaya Yana Ucang Kinun Tohirin Kamud Hapi Pausit Santo Ujang Y Andi Irman Nakimun Suratman Heri Surip Jana Kusnadi Edin Sarnah Eli P Hendi Wargono Salimin Ujang T Mamat Sugi Yunus Nana R Jaya Elin Mujiono Tuti Nakimin Untoro Saring Parman Hendi Oman
421 422 423 424 425 426 427 428 429 430 431 432 433 434 435 436 437 438 439 440 441 442 443 444 445 446 447 448 449 450 451 452 453 454 455 456 457 458 459
Hendera Sudar Jang Tasliman Koko Sarwono Cucu Sunar M Unyil Slamet R Kampleng Rendi Ade Iwa Ulung Redi Yadi Tabid Rawan Yaya Wahyu Rahmat Yanto Maryono To'i Eko Rosadi Satiman Iwan Sugeng Hendri Slamet Rohmat Hendi Doreng Embe Tugiman Ipung Uus Ule S Oong
73
460 461 462 463 464 465 466 467 468 469 470 471 472 473 474 475 476 477 478 479 480 481 482 483 484 485 486 487 488 489 490 491 492 493 494 495 496 497 498
Suhi Yasim Paimin Abdul Herdis Nendi Ego Mamat Sudar Oman Ujang Minyu Maman Deden Yayat Maman M Adin Uju Supri Abah Jenal Iri Lili Maman Rahmat Andika Ateng Wawan Yatno Satiman Wiwin Rahmat Yayan Ginanjar Eli Yayan Satif Darso Marwan Yanto
499 500 501 502 503 504 505 506 507 508 509 510 511 512 513 514 515 516 517 518 519 520 521 522 523 524 525 526 527 528 529 530 531 532 533 534 535 536 537
Yayan Afan Rusman Karim Roni Yanto Yadi Apay Doreng Iin Lili R Eman Satiman Basuki Kentus Rohidin Sarno Ujang Dede K Bera Surkasto Darsun Supena Edi Adna Ato Usnadi Sukiman Wagio Kuming Marsud Sudir Eman Sawin Dedi U Ocid Dede Halim Wagiman Epul Sartono
74
538 539 540 541 542 543 544 545 546 547 548 549 550 551 552 553 554 555 556 557 558 559 560 561 562 563 564 565 566 567 568 569 570 571 572 573 574 575 576
Sabar Ujang Kiswanto Giro Dede Warpan Eras Dedi U Endut Ayi Arip Ngadiwan Wasin Taruno Deni Uyun Saiman Yusup Jemingan Ade Undang Didin Mingan Jepri Mamah Keri Kusdi Mariman Siam Daryaman Odin Ratiman Eras Paryo Yanto Diding Gude Ujang Soleh
577 578 579 580 581 582 583 584 585 586 587 588 589 590 591 592 593 594 595 596 597 598 599 600 601 602 603 604 605 606 607 608 609 610 611 612 613 614 615
Usmana Usup Yuyun Diman Maman Wagiman Udin Pudin Ujang Bajiran Suparmin Usup Darman Slamet Yoyo Didi Nana Emin Nana W Hermanto Heri Eko Bungkus BL Atin Yanto Hoya Edi Sahli Sardi H Sunarya Mimi Karso Mulya D Misno Odid Daheli Ponyo Idin Keling
75
616 617 618 619 620 621 622 623 624 625 626 627 628 629 630 631 632 633 634 635 636 637 638 639 640 641 642 643 644 645 646 647 648 649 650 651 652 653 654
Roso Eno S Buang Supena K Usep Yadi TN Ujang Satisah Engkos Suhendi Wiwin Elan Ures Ruslan Miskun Gino Endong Jakem Peang Saidi Sipit Yadi Isun Ato Engkus Ujang Iwan Supriadi Mimin U Sikun Ratimin Gamang Budi Yanto Tumin Soleh Sapari Wawan Rimin
655 656 657 658 659 660 661 662 663 664 665 666 667 668 669 670 671 672 673 674 675 676 677 678 679 680 681 682 683 684 685 686 687 688 689 690 691 692 693
Aji Nani Sudir Samingin Dede Kuswati Prato Ulung Masa Kasri Kusno Samin Sapon Aang Gojo Jepri Enin Wagino Emin Unus Asnu Ento Hendra Dadang A Darto Udin Sanbuang Sukirman Dadang A Erna U Iskandar Sarya Ujang Jamin Mustajab Yanto Dedi Nakim Oom
76
694 695 696 697 698 699 700 701 702 703 704 705 706 707 708 709 710 711 712 713 714 715
Yahdi B Satinah Dede Ijan Pendi Lilis Yaya H Hamidi Yatino Dodo S Ali Enurdin ena Seno Yayan Nanang Endewy Berto Oce Sukono Dadan Woto
Kerangka sampling nelayan juragan Desa Pangandaran 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Sudirja Tirwan Sukidin Nana Ahdi Kastim Juin Suhana Kosasih Ano S. Roin Kasman Entang
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52
Memed Samsu Jumirin Oos Musiran Kusna H. Rusim Muhtadin Broto Ato S. Kusnadi Elin Ngadiman Warmin C. Saring Supatno Herman N. Tumino Enang J Syarifudin Somana Ade Hendra Ee U Mamat U. Kirman Haerudin Kusna Husen A. Iis H. Farhat Tukijo Ratijo Pudin Juhri Ade Turiman Durian Edi Hasuidi Uhen S. Enang Hamim Parjo
77
53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91
Ade Oji Sukir Tatang E Nardi Mul S Ade Sadili Aas Eka Ato Ade Kurnia Rikan C Ujang Sudarman Nana B Eli Purnama Pudin Ujang Juhri Adang S Adang S Ahdi E Yanto AP Odin Aldin Kaswa Tumino L Rosid Salamin Diran Beni Ngatiran Admin Wagino Majono Yoyo Ade Tawe Saiman U Dodi Timin AR Dasimin Ayun Lasikun
92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130
Mul Saliman S Ponijo Ijo Sakiman Solehah Tumiran Wawan Rodsujono Marsum Aris Wasis Andi Aris P Dislam Dikdik Dodi Manikin Manio Mariman Yayat Ratno Sukaesih Ujang Bagang Kuncoro Ratimin Uswara Tino K Rohman R Ujang O Salidin Sadikun S Tarno Juhana Misman Satiman Maman O Loso Rohedi
78
131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169
Tata Kapri Ratimin Giman Tiran Ade R Een Wasidin Tarsun Maniri Tasam Rusdiana Ujang H Nano P Wagino Sikun Maryo Jamingan Untung Supar Salimin Sakio Sadikun Iyoh Idan Parjo Satino Paijo Satimin Paino Tugiono Wawan Tono Leman Abak Sakiman C Misno J Suroso Mamat
170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208
Kasmin Tukiman Samiran Cemot Abak Aep Wawan Cemplu Sutarno Sadikin R Sudiono Wagino HS Wagiman Rohani Gino Paijo Deni Nono KS Marno W Nandol Sariman Iing Tumin Opik Sapar Gino Su Ikun Misman Sariman P Samun Parno Iin S Endang Wardan Yadi R Tasman Eyeg Sarikin
79
209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247
Darsono Kadarisman Ujang Rosda Selamet M Kenci Satino Edin Untung Kusman Ponimin Ponikun Paiman Iwan Sutisno Ade Maman RB Rasib Agus Usup D Sariman Sapon Aman Turino Miseroh Uyeng Elim Tumijo Aday Liwon Sipon Sadam Enung M Muridan Lasimin Asman Rusdi Misliyanto Junadi Eeng
248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286
Utus Cicih Wagiran Masirah Pebriyanto Prasetio Suswanto Tugiran Sukanto R Poniman Aceng BL Rokasih Dasono Saring Sutarjo Tepung S Pairan Aridi Aris Sumpeno Untung Saikin Ratimin Aep Mami Nasimin Yanto Sukaesih Datam Elang R Kasiman Kasino Supar Maikun Deni Heni Basir Enceng R Mahidin Aning
80
287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 311 312 313 314 315 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325
Muhidin Usman Pa Solo Nono Ato Uken Heru Surnah Adi Santoso Adi Santoso Aep Tono Agus Omon Tijo Agus Pepi Ujang P Aris S Saleh Agus Wawan Ukan Sudin Rudi Ratemin Miswan R Solehan Jami Lasimun Jajang Mustofa Ateng Y Anang R Aad S Enang Wagino Ade Uri Ade Entik Eno T Sage Timan
326 327 328 329 330 331 332 333 334 335 336 337 338 339 340 341 342 343 344 345 346 347 348 349 350 351 352 353 354 355 356 357 358 359 360 361 362 363 364
Yayat H Rasim J Iyan Dimun A Zenal R Eno Wagino Bastiar Sukaya Iin R Usin Maman Sahria Edi T Ngadimun T Bop Rohiyat Agus Y Ujang Hermawan Dodo S Ujang Amin Usup M Yusuf Irwa Dedi U Dadang Ade Suherlan Siswanto Enceng H Boto Tarmin BA Yanto K Saryin Sumiking Lili R Kuswanto Unus S Mamat E Eli
81
365 366 367 368 369 370 371 372 373 374 375 376 377 378 379 380 381 382 383 384 385 386 387 388 389 390 391 392 393 394 395 396 397 398 399 400 401 402 403
Kuswanto Apin S Iwan Ahdi S Sakri Sudar Usup S Kiswanto Uu Suwandi Ucu S Anang S Sarimin Sakiran Sakim Muhadi Yuli Sudar A Nono W Yayat E Kantong Suwita E Slamet TN Ador M Sudiono Amin W Turiman O Usmana Siswadi Sabar Esu S Poniran J Tuki Undang B Aah B Sobihin Sulwi Abang Marino Dadang O
404 405 406 407 408 409 410 411 412 413 414 415 416 417 418 419
Goto Jajang E Tutu S Usman D Ade Umar Aris Suwondo Heri Heri Ade Sukada Guying Kino Rahmat H Lesmana Boy Hendi Yadi TN Kakay
82
Lampiran 4 Dokumentasi
Perahu Nelayan Desa Pangandaran
Pantai Timur Pangandaran
Pantai Barat Pangandaran
Kantor KUD Minasari
Tugu Desa Wisata Pangandaran
83
Nelayan Sedang Membuat Jaring
Nelayan Sedang Menarik Jaring
Nelayan Sedang Membuat Jaring
Tempat Pelelangan Ikan
Rumah Nelayan yang Dijadikan Homestay
Organisasi Perahu Pesiar Pangandaran (OP3)
Kios-kios Usaha di Pangandaran
84
Lampiran 5 Hasil uji korelasi Rank Spearman
Correlations usia Spearman's rho
usia
Correlation Coefficient
1.000
.135
.
.351
50
50
Correlation Coefficient
.135
1.000
Sig. (2-tailed)
.351
.
50
50
Sig. (2-tailed) N sikap
sikap
N
Correlations stratifikasi Spearman's rho
status
1.000
.343*
.
.015
50
50
Correlation Coefficient
.343*
1.000
Sig. (2-tailed)
.015
.
50
50
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
sikap
sikap
N
85
Correlations tk.pendidikan Spearman's rho
tk.pendidikan
Correlation Coefficient
sikap
1.000
-.022
.
.880
50
50
-.022
1.000
.880
.
50
50
Sig. (2-tailed) N Sikap
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Correlations tk.pendapatan Spearman's rho
tk.pendapatan
1.000
.318*
.
.024
50
50
Correlation Coefficient
.318*
1.000
Sig. (2-tailed)
.024
.
50
50
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
sikap
sikap
N
86
RIWAYAT HIDUP Elbie Yudha Pratama dilahirkan di Los Banos, Philipina pada tanggal 17 September 1990, sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Widiyanto Dwi Surya dan Susy Ekawati. Selama hidup, penulis telah menempuh pendidikan formal di SD Islam Al Azhar Pusat tahun 1996-2002, SMP Islam Al Azhar Pusat tahun 2002-2005, SMA Islam Al-Azhar 3 tahun 2005-2008, Program Sarjana Departemen Ilmu Komputer pada tahun 2008-2010 melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Kemudian penulis memutuskan untuk pindah ke Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia sampai saat ini. Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga pernah aktif sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Ilmu Komputer Divisi Networking masa kepengurusan 2009-2010 dan sebagai anggota pada Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) dalam Divisi Advertising dan Multimedia masa kepengurusan 2010-2011. Selama menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor, selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif mengikuti beberapa kegiatan, baik unit kegiatan mahasiswa (UKM) maupun kegiatan kepanitiaan. Penulis pernah tergabung dalam UKM Futsal pada tahun 2008. Penulis juga aktif mengikuti berbagai kegiatan kepanitiaan dalam beberapa event di IPB antara lain dalam kepanitiaan Masa Perkenalan Departemen Ilmu Komputer Divisi Firewall pada tahun 2010, kepanitiaan Masa Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Divisi PAK pada tahun 2011, kepanitiaan 4th E’SPENT (Ecology Sport and Art Event) Divisi Keamanan pada tahun 2011, kepanitiaan INDEX (Indonesian Ecology Expo) Divisi Logstran pada tahun 2011 yang diadakan oleh FEMA, dan kepanitiaan ISEE yang diadakan oleh BEM KM.