DAMPAK PAJANAN KRONIS KEBISINGAN SEBAGAI STRESSOR LINGKUNGAN TERHADAP NEUROGENESIS DAN NEUROPLASTISITAS FORMATIO HIPPOCAMPALIS Catharina Widiartini Laboratorium Anatomi, Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto *
Corresponding author:
[email protected]
ABSTRACT
The advancement in economy and industrial sectors has lead to the increasing noise emission sources. Noise not only causes detrimental effects on auditory system, but can be an environmental stressor as well, which causes health problems of many other body systems. Stress response is a complex mechanism that consists of many pathways and involves interaction of many organ systems. Direct and indirect connections between auditory system and hippocampal formation give structural basis for hippocampal stress response pathway. Studies on mammals and avian that used various chronic noise exposure regiments showed morphological, physiological, biochemical and behavioral/cognitive changes that reflect impairment of neurogenesis and neuroplasticity of hippocampal formation. These changes were based on the changes in glutamate, aspartate, glutamate receptors and neurotrophin. This condition unsurprisingly impair the function of hippocampal formation as one important structure for brain cognitive function Keyword: chronic noise exposure, hippocampal formation, stress response, neurogenesis, neuroplasticity, cognition.
PENDAHULUAN Kebisingan adalah suara yang tidak dikehendaki. Kebisingan diukur dalam unit “sound pressure level” yang disebut decibel (dB). Rentang suara yang relevan bagi pendengaran manusia (yaitu pada frekuensi 16 Hz sampai dengan 20.000 Hz ) adalah 0 dB, yaitu ambang batas pendengaran, hingga 140 dB, yaitu ambang nyeri[1,2]. Nilai ambang batas (NAB) kebisingan yaitu standar faktor bahaya ditempat kerja sebagai pedoman pengendalian agar tenaga kerja masih dapat menghadapinya tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu2. Pajanan kebisingan okupasional yang tercantum dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) yaitu: nilai ambang batas
(NAB) sebesar 85dB; threshold limit values (TLVs) berkisar dari 20 dB selama periode 24 jam hingga 139 dB selama 0,11 detik; tidak boleh ada pajanan kebisingan yang terusmenerus, berkala maupun berupa ledakan singkat (impact noise) yang melebihi 140 dB. Hal ini serupa dengan yang ditetapkan oleh The American Conference of Governmental Industrial Hygienists (ACGIH) dan The National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) [3]. SUMBER KEBISINGAN Kemajuan Industri manufaktur membawa konsekuensi timbulnya berbagai masalah kesehatan dan keselamatan kerja, salah satunya yaitu peningkatan sumber-sumber emisi kebisingan[4]. Analisis data Occupational Safety
and Health Administration (OSHA)’s Integrated Management Information System (IMIS) dari tahun 1979 hingga 2006 menunjukkan bahwa pajanan tingkat kebisingan yang berbahaya terdapat di tiap sektor industri utama, terutama yang menggunakan permesinan yang abrasif, berkekuatan tinggi, menghasilkan tumbukan atau komponennya bergerak dengan cepat[1]. Pengukuran tingkat kebisingan di beberapa daerah di Indonesia telah dilakukan dalam beberapa studi, di antaranya di kilang minyak, pabrik susu dan dipo lokomotif yang secara keseluruhan menunjukkan pajanan kebisingan melebihi NAB dan menimbulkan gangguan pendengaran maupun berbagai keluhan fisik dan psikologis pada pekerjanya[5]. DAMPAK KEBISINGAN KESEHATAN
TERHADAP
Dampak kebisingan dapat dikelompokkan sebagai efek primer atau efek auditorik dan efek non auditorik. Efek primer atau efek auditorik kebisingan adalah efek kebisingan terhadap sistem pendengaran, yang disebut dengan GPAB. GPAB adalah gangguan pendengaran sensorineural (saraf) yang terjadi akibat pajanan bising yang keras dalam jangka waktu yang lama, kontinu sehingga akan mengakibatkan kerusakan secara mekanik dan metabolik pada organ manusia khususnya organ telinga[1].
Efek non auditorik disebabkan oleh kebisingan yang tidak mengancam pendengaran, tetapi menghasilkan gangguan subjektif yang cukup berarti dan merupakan faktor stress[1]. Pada hewan coba, stress akibat kebisingan telah terbukti meningkatkan tekanan darah, menurunkan frekuensi melahirkan, meningkatkan katekolamin plasma dan steroid serta menyebabkan gangguan tidur dan fungsi perilaku[6]. Efek non auditorik pada manusia meliputi efek terhadap komunikasi dan performa, seperti: keterisolasian; ketidaknyamanan; penurunan kinerja karena stress psikologis, kelelahan kronis atau gangguan tidur; kesulitan berkonsentrasi; peningkatan absensi dari sekolah/pekerjaan dan terjadinya kecelakaan[7]. Terdapat pula bukti terkait efek terhadap perubahan sistem imun, gangguan penyembuhan luka, peningkatan tekanan darah, penyakit jantung iskemik dan gangguan kehamilan serta gangguan pertumbuhan janin[1,8]. RESPON NEUROHORMONAL TUBUH DAN FORMATIO HIPPOCAMPALIS TERHADAP STRESS KRONIS AKIBAT KEBISINGAN
Pajanan kebisingan diterima sistem pendengaran perifer, diteruskan ke sistem pendengaran sentral, hingga akhirnya tiba di nuclei auditorius thalamica (yaitu nucleus ovoidalis dan nucleus ruber) yang selanjutnya meneruskan informasi menuju cortex auditorius. Proyeksi auditorius fungsional dapat pula dialihkan dari thalamus auditorius ke amygdala dan cortex orbito-frontalis medialis. Sistem auditorik berhubungan langsung dan tidak langsung dengan formatio hippocampalis (gambar 1 dan 2). Informasi auditorik yang diproses oleh colliculus inferior ditransmisikan ke cortex auditorius, menuju ke cortex entorhinal, yang merupakan awal sirkuit internal formatio hippocampalis [9]. Selain itu formatio hippocampalis menerima input auditorik sensorik secara tidak langsung melalui a) cortex Gambar 1. Efek kebisingan pada formatio hippocampalis[10]. parahippocampalis atau cortex perirhinal atau b) melalui jaras otak
depan lain, termasuk cortex frontalis medialis, insula atau amygdala. Sebaliknya, cortex auditorius asscociata menerima input tak langsung dari formatio hippocampalis melalui cortex parahippocampalis atau cortex perirhinal. Terdapat pula hubungan langsung dari area CA1 hippocampus menuju cortex auditorius asscociata dan bahkan menuju ke cortex auditorius primarius sebagaimana didapatkan pada tikus (Gambar 2)10. Amygdala yang teraktivasi kemudian mengirimkan impuls melalui hubungan neuronal langsung menuju nucleus paraventricularis (paraventricular nucleus, PVN) hypothalamus atau pun melalui proyeksi menuju nucleus basilaris striae terminalis (bed nucleus of stria terminalis, BNST) yang selanjutnya meneruskan ke PVN (gambar 1)[10].
ACTH juga menstimulasi pelepasan adrenalin dan noradrenalin dari medulla adrenal . Kaskade ini bersifat sementara. Pada terminasi atau penghilangan stimulus, poros HPA kembali ke kondisi awal (baseline) melalui aksi dari beberapa umpan balik negatif. Pada umpan balik negatif ini, kortikosteroid bekerja langsung untuk mematikan respon hypothalamus dan hypophysis dan pelepasan CRH dan ACTH, serta secara tidak langsung dengan mengaktivasi reseptor kortikosteroid dalam formatio hippocampalis dan cortex frontalis yang berproyeksi kembali ke hypothalamus [10,12,13,14].
Gambar 3. Skema umpan balik dalam poros HPA[14]. Gambar 2. Skema hubungan formatio hippocampalis dengan korteks sensorik[10].
Kebisingan sebagai impuls sensorik yang berperan sebagai stressor dengan cepat menstimulasi neuron parvocelluler PVN untuk melepaskan corticotropin-releasing factor (CRF) atau corticotropin-releasing hormone (CRH) sebagai regulator utama hypothalamuspituitary-adrenal axis (poros HPA) dan arginin vasopresin (AVP) yang mengamplifikasi efek CRH dalam vena porta[8]. CRH menstimulasi pelepasan adrenocorticotropic hormone (ACTH) dari hypophysis anterior, yang kemudian menstimulasi pelepasan produk akhir utama dari poros HPA, yaitu hormon stress kortikosteroid (disebut juga dengan kortisol, pada manusia dan kortikosteron pada hewan pengerat) dari cortex adrenal, yaitu glukokortikoid, ke dalam sirkulasi (gambar 3).
STUDI TERKAIT DAMPAK STRESS KRONIS AKIBAT KEBISINGAN TERHADAP FORMATIO HIPPOCAMPALIS Studi dengan menggunakan hewan coba telah banyak dilakukan, terutama pada hewan pengerat dan avian, dengan menggunakan regimen pajanan kebisingan yang bervariasi dan parameter perubahan morfologis (perubahan struktur anatomis/histologis), fisiologis, biokimiawi dan perilaku/kognitif. Perubahan morfologis formatio hippocampalis berikut menunjukkan gangguan neurogenesis hippocampal, yaitu: reduksi nyata volume ketiga lapis gyrus dentatus dan lapangan CA3 hippocampus[13,15,16]; kematian neuron dan apotosis pada neuron granul gyrus dentatus dan neuron piramidalis pada keseluruhan area
hippocampus[17]; penurunan densitas optikal badan Nissl[18]; perubahan sitoskeletal di formatio hippocampalis[19]; peningkatan densitas neuron disertai reduksi nyata ukuran area inti neuronal; penurunan hitung dendritik dalam regio CA1 dan CA3[20]; reduksi jangka panjang neurogenesis hippocampal yang tampak 10 minggu pasca pajanan[10]. Perubahan fisiologis yang didapatkan yaitu: proliferasi sel formatio hippocampalis (jumlah sel dengan BrdU imunopositif) lebih sedikit secara bermakna dibandingkan kelompok kontrol[21,22,23] dan reduksi jangka panjang dari proliferasi sel pada formatio hippocampalis[24]. Perubahan biokimiawi dapat berupa: penurunan ekspresi dan kadar mRNA dan protein dari protein sinaptik (synaptophysin, synapsin I, PSD-95)[25,26]; perubahan secara bermakna kadar dan keseimbangan neurotransmiter asam amino (peningkatan kadar neurotransmiter eksitatorik yaitu glutamat, aspartat dan glisin, penurunan (atau tidak ada perubahan) kadar neurotransmiter inhibitorik yaitu GABA[18]; peningkatan stress oksidatif (peningkatan kadar malondyaldehyde dan aktivitas superoksid dismutase)[27]. Perubahan perilaku/ gangguan kognitif berupa penurunan performa pada kemampuan belajar spasial yang diukur dengan berbagai prosedur, seperti Morris water maze dan T maze [25,27,28] . RESPON FORMATIO HIPPOCAMPALIS TERHADAP STRESS KRONIS AKIBAT KEBISINGAN SERTA DAMPAKNYA TERHADAP NEUROGENESIS DAN NEUROPLASTISITAS HIPPOCAMPAL Mekanisme dampak stress kronis akibat kebisingan terhadap formatio hippocampalis dapat dijelaskan dengan penjabaran respon stres jalur formatio hippocampalis. Pada otak mamalia, kortikosteroid bekerja melalui reseptor mineralokortikoid (MR) dan glukokortikoid (GR). Kedua reseptor tersebut terekspresi pada berbagai area otak, tetapi ditemukan sangat banyak pada neuron terutama hippocampus dan gyrus dentatus. MR mempunyai afinitas yang tinggi terhadap kortikosteroid, sehingga sebagian besar terokupasi pada kadar kortikosteroid yang rendah dalam darah. GR mempunyai afinitas yang 10 kali lebih rendah,
sehingga terokupasi sebagian pada kadar kortikosteroid basal, tetapi segera terokupasi lebih banyak pada peningkatan kadar kortikosteroid, seperti pada keadaan stress. Dengan terikatnya kortikosteroid pada reseptornya, reseptor kortikosteroid bertranslokasi ke dalam nukleus, di mana mereka bertindak sebagai regulator transkripsi gen. Dampak kortikosteroid pada fungsi neuronal muncul setidaknya setelah 1 jam dan dapat bertahan selama beberapa hari[29]. Komponen yang terkait dalam respon stres jalur formatio hippocampalis ini adalah: glutamat (terutama) dan aspartat; reseptor glutamat, yaitu a-amino-3-hydroxy-5-methyl-4isoxazolepropionic acid receptor (AMPAR), berikut subunitnya: glutamate receptor (GluR) 1 dan 2; reseptor glutamat N-methyl-D-aspartate Receptor (NMDAR) sub unit NR2B; dan neurotrofin seperti brain-derived neurotrophic factor (BDNF). Respon stress juga mempengaruhi faktor neurotrofik lain, seperti vascular endothelial growth factor (VEGF), yaitu faktor yang terlibat dalam angiogenesis dan neuroproteksi. VEGF tikus yang rentan terhadap stress berada pada kadar rendah di area CA3 hippocampus ventral[12]. Glutamat Dan Aspartat Glutamat (Glu) dan aspartat (Asp) merupakan neurotransmiter utama dalam sistem saraf pusat dan bersifat eksitatorik. Glutamat merupakan neurotransmiter utama yang memediasi respon sinaptik eksitatorik cepat pada susunan saraf pusat vertebrata[30]. Pada kondisi stress kronis dan berulang, glutamat ekstraseluler dipertahankan dalam kadar tinggi[12]. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: peningkatan pelepasan glutamat ke dalam ruang ekstraseluler, penurunan re-uptake dari celah sinaptik oleh sel glia di sekitarnya, maupun oleh kebocoran/tumpahan glutamat dari intraseluler akibat kematian sel[31]. AMPAR: sub unit GluR 1 dan GluR 2 Pada kondisi stress (atau pada individu yang rentan terhadap stress), GluR1 lebih sedikit dan GluR2 lebih banyak (dibandingkan normal atau pada individu yang tahan stress) pada area CA1 hippocampus dan gyrus dentatus formatio
hippocampalis dorsal (yang berperan dalam memori). GluR2 merupakan subunit yang membatasi influks kalsium, maka lebih banyaknya GluR2 menyebabkan penurunan sensitivitas AMPAR yang akan mengganggu fungsinya dalam memediasi transmisi sinaptik cepat yang penting untuk pemanggilan kembali memori. Penurunan sensitivitas AMPAR ini juga mengganggu terjadinya long-term potentiation (LTP), suatu plastisitas sinaptik berupa peningkatan jumlah AMPAR atau pun peningkatan efisiensi AMPAR post-sinaptik. Gangguan proses LTP berarti gangguan terhadap perubahan memori jangka pendek menjadi memori jangka panjang (yaitu konsolidasi memori)[32]. NMDAR: SUB UNIT NR2B
antara jaras MPP dan LPP dengan neuron granul gyrus dentatus, serta pada terminal akson dari zona CA3 hippocampus (gambar 4). Dengan demikian dapat dipahami bahwa gangguan terhadap neurogenesis akibat stress kronis oleh kebisingan berarti gangguan pembentukan jaringan sinaptik yang menjadi dasar struktural neuroplastisitas sinaptik /fungsi kognitif formatio hippocampalis[12]. Kadar glutamat yang tinggi juga menyebabkan internalisasi NR2B, sehingga densitasnya pada membran sel berkurang. NR2B berperan utama dalam proses belajar dan memori. Dengan demikian, gangguan kognitif akibat stress kronik termasuk kebisingan disebabkan tidak hanya karena kematian sel tetapi juga oleh internalisasi NR2B yang keduanya menyebabkan gangguan LTP[18].
NMDAR berupa kanal ion ligand-gated heteromer yang memediasi fungsi sinaptoplastik seperti LTP dan long-term depression (LTD). NMDAR merupakan kelas utama reseptor Glu dalam otak mamalia[30] dan mungkin terlibat dalam plastisitas, atrofi dan kematian sel dalam formatio hippocampalis[18]. Stimulasi NMDAR sinaptik menginduksi peristiwa pro-survival, sedangkan aktivasi NMDAR ekstrasinaptik menyebabkan kematian eksitotoksik. NMDAR yang mengandung sub unit NR2A terdapat terutama dalam sinaps, sedangkan NMDAR yang mengandung sub unit NR2B terdistribusi secara ekstrasinaptik[30]. Pada kondisi stress kronis dan berulang, glutamat ekstraseluler dalam kadar tinggi meningkatkan ekspresi sub unit NR2B sehingga memicu eksitotoksisitas yang lebih cepat daripada aktivasi reseptor glutamat yang lain, yaitu AMPAR dan kainat. Hal ini disebabkan permeabilitas yang lebih untuk Ca2+, dan kapasitas yang lebih besar untuk menginduksi kelebihan Ca2+ intraseluler serta mencetuskan kaskade neurodegeneratif atau eksitotoksisitas [30] . Eksitotoksisitas ini menyebabkan kematian neuron matur yang telah ada maupun yang baru dibentuk melalui proses neurogenesis hippocampal[33]. Neurogenesis menghasilkan neuron granul gyrus dentatus yang menerima input dari jaras perforant, memberikan input kepada neuron pyramidalis area CA3 hippocampus yang akan meneruskannya ke neuron area CA1 hippocampus. LTP berlangsung pada sinap
Gambar 4. Sirkuit neural dalam hippocampus hewan pengerat 34. a. Ilustrasi sirkuit hippocampal b.Diagram jaringan neural hippocampal. Jaras trisinaptik eksitatorik tradisional (Entorhinal Cortex (EC)-gyrus dentatus-CA3-CA1-EC)) digambarkan dengan panah solid. Akson dari neuron lapis II cortex entorhinal berproyeksi ke gyrus dentatus melalui perforant pathway (PP), yang terdiri atas lateral PP (LPP) dan medial PP (MPP). Gyrus dentatus mengirimkan proyeksinya ke sel pyramidal di CA3 hippocampus melalui mossy fibres. Neuron CA3 piramidal me-relay informasi ke neuron CA1 melalui kolateral Schaffer. Neuron pyramidal CA1 mengirimkan proyeksi kembali ke dalam neuron lapisan dalam EC. CA3 juga menderima proyeksi langsung dari neuron EC lapis II melalui PP. CA1 menerima input langsung dari neuron EC lapis III melalui jaras temporoammonik (TA). Sel granul gyrus dentatus juga mengirimkan proyeksi eksitatorik ke sel mossy dan
Gambar 5. Aksi neuronal BDNF[35]. proyeksi inhibitorik ke interneuron hillar, kembali ke sel granul.
BDNF BDNF merupakan faktor neurotrofik utama yang berperan penting dalam keberlangsungan hidup dan pemanduan neuron selama masa perkembangan. Demikian pula, BDNF dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup, diferensiasi dan berfungsinya secara normal neuron otak dalam masa pasca perkembangan. Gambar 5 menunjukkan mekanisme molekuler yang mendasari efek neurotrofin secara umum, termasuk BDNF. Ikatan BDNF pada reseptornya (TrkB) memicu dimerisasi reseptor yang diinduksi ligan dan autofosforilasi dari residu tirosin dalam domain
kinase intraseluler. Dalam hitungan detik hingga menit, fosforilasi tirosin diikuti aktivasi berbagai kaskade pensinyalan yang berbeda-beda, seperti jalur phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K)/Akt, MAPK dan PLC-γ. Jalur pensinyalan intraseluler memodulasi ekspresi gen secara spesifik berdasarkan tipe sel dan bertanggungjawab untuk sebagian besar dari efek neurotrofin terkait pertumbuhan, keberlangsungan hidup dan diferensiasi neuron[35]. BDNF merupakan salah satu komponen respon stress, yang dalam formatio hippocampalis diperlukan dan cukup untuk memberikan ketahanan terhadap stress. mRNA BDNF meningkat pada area formatio hippocampalis ventral CA3 pada tikus yang
tahan terhadap stress ringan kronik. Ketika diekspresikan berlebihan dalam gyrus dentatus dewasa, BDNF menyebabkan ketahanan terhadap stress dan memblok efek anhedonik dari stress. Apabila di knockdown pada hewan coba, kondisi ini meningkatkan kadar kortikosteron dan menginduki perilaku seperti depresi dan anhedonia[12]. Transkripsi gen penyandi BDNF diregulasi oleh calcium/cyclic-AMP responsiveelement binding protein (CREB). BDNF, melalui reseptor tyrosine kinase TrkB dapat menginisiasi kaskade pensinyalan termasuk jalur mitogen activated protein (MAP) kinase kinase (MEK)- extracellular signal-regulated protein kinase (ERK) yang menyebabkan fosforilasi CREB36. Pada kondisi stress kronis, termasuk oleh kebisingan, terjadi down-regulation terhadap aktivasi CREB di gyrus dentatus dan area CA3 hippocampus ventral, sehingga terjadi penurunan kadar BDNF yang diikuti penurunan berbagai fungsi penting BDNF, termasuk dalam mempertahankan keberlangsungan hidup neuron dan stimulasi terhadap neurogenesis hippocampal[12,36]. Dalam neurogenesis, BDNF sebagai salah satu neurotrofin berperan penting dalam mempromosikan proliferasi NPC hippocampal, selanjutnya meregulasi keputusan terkait nasib sel dan mendukung diferensiasi dan/keberlangsungan hidup (survival) neuron yang baru dihasilkan. Terdapat pula kemungkinan bahwa neurotrofin mungkin berperan pada tahapan maturasi lanjut dari neurogenesis, berdasarkan hasil studi bahwa aplikasi BDNF pada kultur Neuron Progenitor Cells (NPC) meningkatkan secara bermakna jumlah neuron matur tanpa mempengaruhi jumlah neuron[33]. Pada kondisi normal, pelepasan neurotrofin, seperti BDNF pada sinap aktif meningkatkan pelepasan neurotransmiter presinaptik, meningkatkan respon post sinaptik, yang selanjutnya meningkatkan kembali pelepasan neurotrofin. Pada kondisi stress, terikatnya glukokortikoid pada reseptornya akan men-downregulasi jalur tergantung fosfolipase Cγ dan pelepasan neurotransmitter yang dimediasi BDNF. Studi pada formatio hippocampalis tikus menunjukkan bahwa aktivasi reseptor muskarinik asetilkolin (ACh)
meningkatkan mRNA dan protein neuron growth factor (NGF) dan BDNF. Selanjutnya, NGF dan BDNF meningkatkan pelepasan ACh dari sinap[35]. Dengan demikian, penurunan pelepasan neurotransmiter pada kondisi stress akan diikuti penurunan produksi BDNF yang penting untuk mempertahankan keberlangsungan hidup neuron dan stimulasi terhadap neurogenesis hippocampal.
KESIMPULAN Pajanan kronis oleh kebisingan berdampak pada berbagai sistem tubuh manusia, termasuk otak yang berperan penting dalam kognisi. Hasil penelusuran literatur dapat menjadi dasar pengembangan studi lebih lanjut pada hewan coba maupun manusia, dengan memperhitungkan protokol pajanan kebisingan kronis. Masih diperlukannya eksplorasi lebih lanjut untuk mengungkap dampak pajanan kronis kebisingan terhadap formatio hippocampalis dan bagian otak yang lain guna mencegah dan mengatasi gangguan neurokognitif maupun dampak negatif kebisingan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA 1. Occupational Safety and Health Administration. OSHA Technical Manual NOISE [Internet]. Available from: https://www.osha.gov/dts/osta/otm/noise/in dex.html 2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.KEP51/Men/1999 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja. Kementerian Tenaga Kerja Republik Indonesia; 1999. 3. Badan Standardisasi Nasional. Nilai Ambang Batas iklim Kerja (panas), kebisingan, getaran tangan-lengan dan radiasi sinar ultra ungu di tempat kerja. 2004. 4. Fuente A, Hickson L. Noise-induced hearing loss in Asia. International Journal of Audiology. 2011; 50:S3–10.
5. Pujiriani I. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya keluhan pendengaran subjektif yang dirasakan oleh masinis kereta api dipo lokomotif jatinegara tahun 2008 [skripsi]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2008. 6. Toukh M, Gordon SP, Othman M. Construction noise induces hypercoagulability and elevated plasma corticosteroids in rats. Clinical and Applied Thrombosis/Hemostasis. 2014; 20(7):710– 5. 7. Ikron, Djaja IM, Wulandari RA. Pengaruh kebisingan lalu lintas jalan raya terhadap gangguan kesehatan psikologis andk SDN Cipinang Muara, Kecamatan Jatinegara, Kota Jakarta Timur, Propinsi DKI Jakarta. Makara, Kesehatan. 2007; 11(1):32–7. 8. Ristovska G, Laszlo HE, Hansell AL. Reproductive Outcomes Associated with Noise Exposure — A Systematic Review of the Literature. International Journal of Environmental Research and Public Health. 2014; 7931–52. 9. Patestas MA, Gartner LP. Limbic System. In: A textbook of neuroanatomy. Oxford: Blackwell Publishing; 2006. p. 344–59. 10. Kraus KS, Canlon B. Neuronal connectivity and interactions between the auditory and limbic systems. Effects of noise and tinnitus. Hearing Research. 2012; 288:34– 46. 11. Mohedano-Moriano A, Pro-Sistiaga P, Arroyo-Jimenez MM, Artacho-Pérula E, Insausti AM, Marcos P, et al. Topographical and laminar distribution of cortical input to the monkey entorhinal cortex. Journal of Anatomy. 2007; 211:250–60. 12. Franklin TB, Saab BJ, Mansuy IM. Neural Mechanisms of Stress Resilience and Vulnerability. Neuron. 2012; 75(5):747– 61.doi: 10.1016/j.neuron.2012.08.016. 13. Levone BR, Cryan JF, O’Leary OF. Role of adult hippocampal neurogenesis in stress resilience. Neurobiology of Stress. 2014; 1:147–55.
14. European Dana Alliance for the Brain. Neuroscience: Science of the brain. An introduction for young students. The British Neuroscience Association; 2003. 15. Charil A, Laplante DP, Vaillancourt C, King S. Prenatal stress and brain development. Brain Research Reviews. 2010; 65:56–79. 16. Hosseini-sharifabad M, Sabahi A. Exposure to chronic noise reduces the volume of hippocampal subregions in rats. Iran Journal of Basic Medical Science. 2008; 11(1):18–24. 17. Saljo A, Bao F, Jingshan S, Hamberger A, Hansson HA, Haglit KG. Exposure to shortlasting impuls noise causes neuronal c-Jun expression and induction of apoptosis in the adult rat brain. Journal of Neurotrauma. 2002; 19:985–91. 18. Cui B, Wu M, She X. Effects of chronic noise exposure on spatial learning and memory of rats in relation to neurotransmitters and NMDAR2B alteration in the hippocampus. Journal of Occupational Health. 2009; 51:152–8. 19. Cheng L, Wang S-H, Chen Q-C, Liao X-M. Moderate noise induced cognition impairement of mice and its underlying mechanisms. Physiology and Behaviour. 2011; 104:981–8. 20. Manikandan S, Padma MK, Srikumar R, Parthasarathy NJ, Muthuvel A, Dev RS. Effects of chronic noise stress on spatial memory of rats in relation to neuronal dendritic alteration and free radicalimbalance in hippocampus and medial prefrontal cortex. Neuroscience Letters. 2006; 399:17–22. 21. Kesar AG. Effect of prenatal chronic noise exposure on the growth and development of body and brain of chick embryo. International Journal of Applied and Basic Medical Research.2014; 4(1):3–6. 22. Kauser H, Roy S, Pal A, Sreenivas V, Mathur R, Wadhwa S, et al. Prenatal complex rhytmic music sound stimulation facilitates post natal spatial learning but transiently impairs memory in the domestic
chick. Developmental Neuroscience. 2011; 33:48–56.
phosphorylation. Brain Research. 2011; 1427:35–43.
23. Chaudhury S, Wadhwa S. Prenatal auditory stimulation alters the levels of CREB mRNA , p-CREB and BDNF expression in chick hippocampus. International Journal of Developmental Neuroscience. 2009; 27:583–90.
31. Mark LP, Prost RW, Ulmer JL, Smith MM, daniels DL, Strottman JM, et al. Pictorial review of glutamate excitotoxicity: fundamental concepts for neuroimaging. American Journal of American Radiology. 2001; 22:1813–24.
24. Jauregui-Huerta F, Garcia-Estrada J, Ruvalcaba-Delgadillo Y, Trujillo X, Huerta M, Feria-Velasco A, et al. Chronic exposure of juvenile rats to environmental noise impairs hippocampal cell proliferation in adulthood. Noise and Health. 2011;13 (53):286–91.
32. Morris RGM. Elements of a neurobiological theory of hippocampal function: the role of synaptic plasticity, synaptic tagging and schemas. European Journal of Neuroscience. 2006; 23(11):2829–46.
25. Sanyal T, Kumar V, Nag TC, Jain S, Sreenivas V, Wadhwa S. Prenatal Loud Music and Noise : Differential Impact on Physiological Arousal, Hippocampal Synaptogenesis and Spatial Behavior in One Day-Old Chicks. PLoS ONE. 2013; 8(7):e67347. 26. Chaudhury S, Jain S, Wadhwa S. Expression of Synaptic Proteins in the Hippocampus and Spatial Learning in Chicks following Prenatal Auditory Stimulation. Developmental Neuroscience. 2010; 32:114–24. 27. Cheng L, Wang S, Chen Q, Liao X. Physiology & Behavior Moderate noise induced cognition impairment of mice and its underlying mechanisms. Physiology and Behaviour. 2011; 104(5):981–8. doi: 10.1016/j.physbeh.2011.06.018 28. Kim C-H, Lee S-C, Shin JW, Chung K-J, Lee S-H, Shin M-S, et al. Exposure to music and noise during pregnancy influences neurogenesis and thickness in motor and somatosensory cortex of rat pups. International Neurology Journal. 2013; 17:107–13. 29. Joels M, Z.Baram T. The neuro-symphony of stress. National Reviews of Neuroscience. 2009; 10(6):459–66. 30. Cui B, Wu M, She X, Liu H. Impulse noise exposure in rats causes cognitive deficits and changes in hippocampal neurotransmitter signaling and tau
33. Lu B, Chang JH. Regulation of neurogenesis by neurotrophins: implications in hippocampus-dependent memory. Neuron Glia Biology. 2004; 1:377–84. 34. Deng W, Aimone JB, Gage FH. New neurons and new memories:how does adult hippocampal neurogenesis affect learning and memory? Nature Reviews. 2010; 11:339–48. 35. Blum R, Konnerth A. Neurotrophinmediated rapid signalling in the central nervous system: mechanisms and functions. Physiology (Bethesda M.d). 2005; 20(1):70–8. Doi: 10.1152/physiol.00042.2004 36. Paizanis E, Kelai S, Renoir T, Hamon M, Lanfumey L. Life-long hippocampal neurogenesis: environmental, pharmacological and neurochemical modulations. Neurochemistry Research. 2007; 32:1762–71.