DAMPAK NILAI TUKAR TERHADAP PERDAGANGAN INTERNASIONAL SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR INDONESIA (KUARTAL I:2005– KUARTAL IV:2012) Anung Yoga Anindhita Magister Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga ABSTRACT This study is aimed at analyzing and estimating the impact of the exchange rate (price effect and risk effect) on international manufacturing industries using time series data from Q1:2005 to Q4:2012. The analysis are on the two models: 1) demand for imports of raw and auxiliary materials, and 2) demand for exports of manufacturing industries. The results show in the first model that demand for imports of raw and auxiliary materials needed by the domestic manufacturing sector is very susceptible to the shock and volatily of exchange rate. Meanwhile, the results in the second model shows that demand for exports of manufacturing industries is susceptible to recession in its main destination countries. Yet, it is also not able to take advantage of the depreciation of the exchange rate due to lack of competitiveness. JEL Classification: F31, F32, F41, F47, C32 Keywords: Exchange Rate, Exchange Rate Volatility, Imports of Raw and Auxiliary Materials, Exports of Manufacturing Industries, International Trade, Manufacturing Sector. ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis dan mengestimasi dampak yang ditimbulkan nilai tukar (efek harga dan efek resiko) terhadap perdagangan internasional industri manufaktur dengan menggunakan data runtun waktu periode kuartal I:2005 hingga kuartal IV:2012 dalam dua model: 1) Permintaan impor bahan baku dan penolong; dan 2) Permintaan ekspor industri manufaktur. Hasil dari model pertama menunjukkan bahwa permintaan impor bahan baku dan penolong yang dibutuhkan oleh sektor manufaktur dalam negeri sangat rentan terhadap shock dan volatilitas nilai tukar. Sementara untuk model kedua didapatkan hasil bahwa kondisi permintaan ekspor industri manufaktur rentan akan adanya resesi di negara-negara tujuan utamanya, namun di satu sisi tidak mampu mengambil keuntungan dari depresiasi nilai tukar disebabkan kurangnya daya saing pada barang-barang ekspor industri manufaktur. Klasifikasi JEL: F31, F32, F41, F47, C32 Kata Kunci: Nilai tukar, Volatilitas Nilai Tukar, Impor Bahan Baku dan Penolong, Ekspor Industri Manufaktur, Perdagangan Internasional, Sektor Industri Manufaktur.
1
2
1. Pendahuluan Dalam perjalanan rezim nilai tukar, Indonesia mengalami fase penting saat pelepasan band intervensi Rupiah terhadap Dollar Amerika pada tanggal 14 Agustus 1997. Peristiwa tersebut menandakan perubahan sistem nilai tukar dari mengambang terkendali dengan band intervensi bergerak merangkak (managed floating with crawling band system) menjadi mengambang bebas (floating exchange rate). Latar belakang dari perubahan sistem nilai tukar tersebut adalah Indonesia−yang saat itu cadangan devisinya terkuras dan Rupiah mengalami tekanan kuat−memutuskan melaksanakan sistem mengambang bebas sesuai paket reformasi ekonomi yang direkomendasikan oleh IMF. Namun, karena kebijakan pelepasan band intervensi tersebut lebih menyiratkan ekspektasi yang negatif karena dilakukan saat Rupiah sedang tertekan dan diperparah serangan spekulasi yang memburuk (destabilizing speculation), dampak selanjutnya adalah nilai tukar Rupiah semakin terdepresiasi tajam (Gambar 1) Rp/USD
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (Bank Indonesia), berbagai edisi, diolah
Gambar 1. Pergerakan Nilai Tukar Rupiah/US Dollar Juni 1997–Mei 1998 Dalam konteks perdagangan internasional, kestabilan nilai tukar merupakan keadaan yang lebih diinginkan oleh pelaku pasar. Hal ini didasarkan pengaruh nilai tukar terhadap perdagangan melalui: 1) biaya dan harga yang akhirnya menghasilkan perubahan harga relatif dalam perdagangan (Carbaugh, 2005: 416-422); dan 2) volatilitas nilai tukar itu sendiri akan menimbulkan resiko dalam transaksi karena perbedaan nilai spot transaksi dengan nilai spot pembayaran. Walaupun resiko tersebut dapat ditutup dengan melakukan pemagaran nilai tukar (hedging)—yakni dengan melakukan transaksi di pasar forward—besarnya premi yang ditanggung importir tetap akan membebani transaksi. (Krugman dan Obsfeld, 2003:575). Dalam berbagai penelitian di berbagai negara akhir-akhir ini, kedua dampak nilai tukar tersebut telah diidentifikasikan dalam model perdagangan agregat suatu negara sebagaimana yang dilakukan Siregar dan Rajan (2003), Fang, Lai dan Miller (2005), Prusty (2008), Oskooeedan Hegerty (2009), Appuhamilage dan Alhayky
3
%
Pertumbuhan
(2010), Bilquees, Mukhtar dan Maliq (2010), Bethune, Thaver dan Plante (2012). Secara umum penelitian-penelitian tersebut menunjukkan terjadi hubungan antara ekspor-impor dengan penyesuaian harga akibat perubahan nilai tukar. Hubungan dan arah penyesuaian tersebut sejalan dengan yang digambarkan dalam Kondisi MarshallLerner. Salah satu syarat yang mendukung arah dan penyesuaian tersebut adalah jika negara-negara obyek penelitian memiliki daya saing terhadap mitra dagangnya. Tidak tercapainya hubungan dan arah penyesuaian Kondisi Marshall-Lerner dapat dilihat dengan tidak berlangsungnya arah penyesuaian ekspor maupun impor suatu negara melalui depresiasi/apresiasi. Dalam konteks ekspor Indonesia ketika terjadi depresiasi tajam setelah krisis moneter tahun 1997, kondisi ini telah digambarkan Siregar dan Rajan (2003) dalam pendahuluan penelitiannya—walaupun dalam penelitiannya menggunakan data seri tahun 1980 hingga kuartal II tahun 1997—yang menunjukkan Indonesia tidak mengalami penyesuaian ekspor melalui depresiasi nilai tukar sebagaimana negara-negara Asia yang terkena krisis, yakni Malaysia, Thailand dan Filipina. (Gambar 2)
Tahu
Sumber: Siregar dan Rajan (2003: 221)
Gambar 2. Tingkat Pertumbuhan Ekspor di Beberapa Negara yang Mengalami Krisis Mata Uang di Asia pada tahun 1997 Salah satu penyebab krisis ekonomi sebagai lanjutan krisis moneter di Indonesia pada saat itu secara garis besar dapat dijelaskan pada rapuhnya sektor riil (perdagangan). Sebelum krisis, kinerja impor Indonesia ditandai dengan dominasi impor bahan baku dan penolong terutama oleh industri. Dominasi impor bahan baku dan penolong di sektor industri ini terjadi dikarenakan sektor industri mengalami ketergantungan akan bahan baku dan penolong yang diimpor dari luar negeri. Dampak selanjutnya dari ketergantungan ini mengakibatkan rentannya produksi industri manufaktur terhadap eksternalitas luar negeri, sebagaimana yang diperkirakan sebelum krisis oleh Dumairy (1996) dan diulas saat krisis oleh Tambunan (1998).
4
Pada Gambar 3, dapat dilihat kontribusi impor yang jauh di atas barang modal dan barang konsumsi. Ketika krisis moneter tahun 1997-1998—di mana nilai tukar terdepresiasi sangat tajam—impor bahan baku dan penolong yang berkecenderungan mempunyai tren yang terus meningkat sejak tahun 1986 hingga tahun 1996, tiba-tiba mengalami shock yang ditandai oleh penurunan tajam pada tahun 1997-1998. Dari grafik juga dapat dilihat bahwa shock cenderung hanya terjadi pada impor bahan baku dan penolong dan barang modal, sedangkan pada impor barang konsumsi cenderung tidak mengalami shock.
Sumber: Indikator Ekonomi (Badan Pusat Statistik), berbagai edisi, diolah
Gambar 3. Perkembangan Impor Non Migas Berdasarkan Golongan Penggunaan Barang Tahun 1996 - 2004 Dampak dari shock pada saat krisis moneter tahun 1997 tersebut mengakibatkan tidak mampunya sektor industri manufaktur berproduksi yang berdampak pada pemutusan hubungan kerja dan meningkatnya angka pengangguran di tahun berikutnya sehingga terjadi krisis ekonomi. Hal ini sejalan temuan ILO dan UNDP (1998) dikutip dari Romdiati (2003) yang memperlihatkan jumlah penganggur yang dihasilkan oleh sektor konstruksi dan manufaktur mencapai dua juta pekerja atau sepuluh kali lipat dari mereka di sektor keuangan dan jasa perusahaan. Dengan kondisi tersebut, sektor industri manufaktur mengalami persentase penurunan kontribusi terhadap pertumbuhan PDB yang sangat tajam dibandingkan dengan sektor lainnya pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1998 . Kerentanan terhadap shock yang berasal dari eksternalitas nilai tukar atau produksi sektor industri manufaktur tersebut ternyata tidak dibarengi dengan pengurangan ketergantungan terhadap impor bahan baku dan penolong. Meneruskan tren pada Gambar 3 menunjukkan perbandingan impor bahan baku dan penolong dibandingkan dengan barang konsumsi dan barang modal hingga pasca krisis tahun 1998 cenderung tidak bergeser dan sangat mendominasi hingga kisaran lebih dari 70 persen. Di sisi lain, ekspor industri manufaktur telah berkontribusi dalam perekonomian Indonesia yang mana menyumbang lebih dari 80 persen dari ekspor
5
nonmigas dan lebih dari 60 persen dari total ekspor Indonesia pada periode tahun 1990-an sebelum krisis moneter 1997-1998. Proporsi yang besar tersebut, jika dikaitkan dengan tidak terkoreksinya ekspor selama terdepresiasinya Rupiah di saat krisis moneter pada tahun 1997-1998 sebagaimana digambarkan pada Gambar 2 di atas, dapat dikatakan industri manufaktur ikut memberikan kontribusi besar terhadap tidak berjalannya koreksi ekspor yang diekspektasikan meningkat. Dengan latar belakang yang telah dipaparkan, penelitian ini ditujukan untuk menganalisis dan mengestimasi dampak nilai tukar terhadap perdagangan internasional sektor industri di Indonesia pada periode yang berbeda jauh setelah krisis 1998-1997 (Q1:2005 – Q4:2012). Sesuai dengan dugaan identifikasi permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka penelitian akan dispesikasikan melalui model permintaan impor bahan baku dan penolong dan model permintaan ekspor hasil industri manufaktur sebagai model yang menggambarkan keadaan kondisi perdagangan industri manufaktur Indonesia.
2. Tinjauan Pustaka Teori-Teori Sebagaimana yang telah disinggung dalam pendahuluan, dampak nilai tukar terhadap perdagangan internasional diindentisikasikan ke dalam dua dampak, yakni: 1) melalui penyesuaiannya terhadap harga (price effect). 2) melalui resiko transaksi perdagangan internasional yang ditimbulkan (risk effect). Kedua dampak tersebut selanjutnya menjadi fokus utama penelitian. Dampak pertama, yakni penyesuaian terhadap harga telah dipaparkan dalam Kondisi Marshall-Lerner (Marshall-Lerner Condition) yang menjelaskan bagaimana elastisitas permintaan impor dan ekspor akan mempengaruhi neraca pembayaran melalui transaksi berjalan (dengan asumsi neraca modal tetap). Kondisi MarshallLerner tersebut mensyaratkan bahwa penjumlahan mutlak elastisitas ekspor dan impor harus lebih besar dari angka 1 (satu) agar tercapai perbaikan transaksi berjalan (terjadi surplus). Jika syarat tersebut tidak terpenuhi, depresiasi tidak akan memperbaiki atau bahkan malah memperburuk transaksi berjalan. Sedangkan untuk dampak kedua—yakni resiko nilai tukar—terjadi setiap kali seorang investor, perusahaan atau bank menghadapi kewajiban pembayaran di masa mendatang dalam valuta asing. Kondisi tersebut berarti pelaku pembayaran itu mengalami resiko nilai tukar (foreign exchange risk) atau apa yang disebut sebagai “posisi terbuka” (open position) (D. Salvatore, 1997:30). Terkait adanya resiko tersebut, maka pelaku transaksi dapat melakukan upaya dalam menghindari resiko nilai tukar tersebut dengan melakukan pemagaran nilai tukar atau hedging yang dapat dilakukan di pasar forward. Namun, pemagaran resiko nilai tukar ini juga menimbulkan biaya jika terjadi premi terhadap transaksinya. Timbulnya biaya yang harus dipikul dalam rangka melakukan pemagaran resiko nilai tukar tersebut akan menimbulkan biaya perdagangan internasional yang selanjutnya berkecenderungan mengurangi volume perdagangan. Hal tersebut juga didukung oleh Suardhini dan Goeltom (1997: 93) yang menyatakan bahwa resiko fluktuasi keuntungan perdagangan dalam jangka pendek bisa dikurangi dengan melakukan transaksi di pasar forward. Tetapi, sebagai akibatnya akan menimbulkan biaya perdagangan internasional akan meningkat yang akhirnya menimbulkan anti-trade bias.
6
Tabel 1. Beberapa Hasil Penelitian Sebelumnya 2.1.1
Referensi Siregar dan Rajan (2003)
Obyek/Periode Penelitian Ekspor dan impor agregat Indonesia (Multilateral). Periode kuartal pertama tahun 1980 sampai dengan kuartal kedua tahun 1997.
Hasil Model Ekspor: - Real effective exchange rate (REER) tidak berdampak signifikan. - Volatilitas nilai tukar berdampak secara signifikan mengurangi ekspor. Model Impor: - REER berdampak positif secara signifikan, berhubungan positif terhadap impor. - Volatilitas nilai tukar tidak berdampak signifikan, namun akan signifikan jika diberlakukan segregasi impor bahan baku dan impor barang modal.
2.1.2
Fang, Lai dan Miller (2005)
2.1.3
2.1.4
Prusty (2008)
2.1.5
Ekspor delapan negara Asia (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Philipina, Korea Selatan, Taiwan dan Jepang) terhadap Amerika Serikat. Periode Januari 1979 sampai dengan April 2003. Pertumbuhan ekspor India (multilateral). Periode Maret 1992 sampai dengan April 2007.
- Depresiasi memberikan dampak yang lemah dalam mendorong Ekspor - Volatilitas berdampak buruk terhadap ekspor.
Ekspor dan impor di 102 industri berbeda perdagangan bilateral Meksiko terhadap Amerika Serikat tahun 1962 – 2004. Perdagangan Srilanka terhadap Cina dengan periode penelitian kuartal pertama tahun 1993 sampai dengan kuartal keempat tahun 2007.
- Volatilitas lebih banyak berdampak buruk terhadap perdagangan bilateral industri-industri yang diteliti.
2.1.6
Oskooee dan Hegerty (2009)
2.1.7
Appuhamilage dan Alhayky (2010)
2.1.8
Bilquees, Mukhtar dan Maliq (2010)
Ekspor tiga negara Asia, yakni India, Pakistan dan Srilanka. Periode penelitian antara tahun 1960 sampai dengan 2007
2.1.9
Bethune, Thaver dan Plante (2012)
Perdagangan (ekspor dan impor) negara Afrika Selatan dengan negara-negara Uni Eropa selama periode 1980 sampai dengan 2009
- Terjadi kausalitas dua arah antara pertumbuhan ekspor dengan pertumbuhan nilai tukar.
- Variabel Real exchange rate lag 1 periode (RERt1) menunjukkan akibat depresiasi secara signifikan mendorong ekspor, dan mengurangi impor. - Volatilitas nilai tukar mengakibatkan dampak negatif terhadap baik ekspor maupun impor - Volatilitas nilai tukar memberikan dampak negatif terhadap ekspor negara-negara yang diteliti baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang - Variabel term of trade juga menghasilkan hubungan yang sesuai ekspektasi, yakni penurunan pada REER (depresiasi) akan memberikan peningkatan pada ekspor - REER berhubungan negatif dengan ekspor, - volatilitas nilai tukar menimbulkan dampak buruk baik dalam jangka pendek dan jangka panjang. (Catatan: REER tidak dimasukkan sebagai variabel penjelas impor karena afrika selatan dipertimbangkan keterbukaan ekonominya kecil dan digantikan variabel cadangan devisa)
7
Penelitian Sebelumnya Kedua dampak nilai tukar seperti yang disebutkan dalam teori-teori di atas telah dispesifikasikan dalam beberapa penelitian yang sempat disinggung sebelumnya. Spefisikasi model yang dilakukan bervariasi, baik itu terhadap transaksi berjalan, atau secara parsial terhadap ekspor atau impor. Juga terhadap obyek penelitian, apakah merupakan perdagangan bilateral ataupun multilateral. Hasil yang dihasilkan bervariatif, mengacu pada variasi spefisikasi model atau lingkup perdagangan yang digunakan. Alat analisis yang digunakan juga bervariasi, baik itu menggunakan model struktural ataupun pengembangan model-model analisis time series seperti VECM, VAR , maupun kausalitas. Namun, pada dasarnya variabel-variabel dampak nilai tukar tidak berbeda, yakni perubahan nilai tukar dan volatilitasnya. Secara ringkas, penelitian terdahulu dirangkum pada tabel 1.
3. Model Analisis dan Data Pembentukan Model Permintaan Impor Bahan Baku dan Penolong Dalam menyusun model impor, dasar model akan mengacu pada Leamer dan Stren (1976) dalam buku: “Quantitative International Economics”. Adapun bentuk fungsional yang mendasar dari permintaan impor agregat adalah sebagai berikut: 𝑌
𝑀 = 𝑎+𝑏𝑃 +𝑐 𝑌
𝑃𝑀 𝑃𝑌
+ 𝑢 ....................................................................................................... (1)
Di mana M adalah kuantitas impor, Y adalah pendapatan nasional, 𝑃𝑌 adalah tingkat harga barang domestik dan PM adalah tingkat harga impor. Persamaan 𝑌 tersebut juga dapat dibaca 𝑀 adalah kuantitas impor, 𝑃 adalah pendapatan nasional riil, dan
𝑌
𝑃𝑀 𝑃𝑌
adalah harga relatif impor. Untuk menghasilkan parameter yang dibaca sebagai elastisitas atau persentase perubahan variabel tergantung yang diakibatkan perubahan satu persen variabel bebas, maka persamaan (1) ditambahkan logaritma natural pada masing-masing variabelnya, sehingga akan diubah sebagai berikut: 𝑙𝑛 𝑀 = 𝑙𝑛 𝑎 + 𝑏 𝑙𝑛
𝑌 𝑃𝑌
+ 𝑐 𝑙𝑛
𝑃𝑀 𝑃𝑌
+ 𝑙𝑛 𝑢 ............................................................................. (2)
Untuk penyederhanaan notasi penulisan, model pada persamaan (2) di atas akan ditulis kembali sebagai berikut: ln Mt = ln α + β ln Yt + γ ln HRMt + ln u .............................................................................. (3)
Di mana M adalah nilai impor riil, Y adalah pendapatan nasional riil, HRM adalah harga relatif impor dan u merupakan error term. Karena barang impor yang diteliti adalah impor bahan baku dan penolong (bukan impor agregat), maka variabel pendapatan nasional menjadi tidak relevan. Leamer dan Stren (1976:13) menyarankan agar variabel yang digunakan adalah produksi sektor industri. Dengan demikian persamaan (3) ditulis menjadi:
8
ln MBt = ln α + β ln PRODt + γ ln HRMt + ln u ................................................................ (4)
Di mana, MB adalah nilai impor bahan baku dan penolong riil, PROD adalah nilai produksi sektor industri manufaktur domestik riil, HRM adalah harga relatif impor bahan baku dan penolong, dan u adalah error term. Memasukkan Variabel-Variabel Dampak Nilai Tukar Selanjutnya dimasukkan variabel-variabel yang merupakan representasi nilai tukar yang berdampak pada impor, yakni: 1) variabel apresiasi/depresiasi nilai tukar; dan 2) variabel volatilitas nilai tukar. Dengan memasukkan kedua variabel tambahan yang merupakan dampak nilai tukar, maka model persamaan (4) akan menjadi: ln MBt = ln α + β ln PRODt + γ ln HRMt + δ ln NEERt+ θ ln VOLt+ ln u ................... (5)
Di mana, MB adalah nilai impor bahan baku dan penolong riil, PROD adalah nilai produksi sektor industri manufaktur domestik riil, HRM adalah harga relatif impor bahan baku dan penolong, NEER adalah nilai tukar efektif nominal (nominal effective exchange rate), VOL adalah volatilitas nilai tukar dan u adalah error term Selanjutnya, dilakukan penggabungan variabel harga relatif impor (HRM) dengan NEER untuk mendapakan nilai Real Effective Exchange Rate (REER) yang lebih menggambarkan Term of Trade (TOT), yang dihitung dengan rumus sebagai berikut: 𝑅𝐸𝐸𝑅 = 𝑁𝐸𝐸𝑅 𝑥
𝑃𝑀 ................................................................................................................ (6) 𝑃𝑌
Di mana 𝑅𝐸𝐸𝑅 adalah nilai tukar efektif riil, NEER adalah nilai tukar efektif nominal, PM adalah indeks harga impor bahan baku dan penolong, dan PY adalah indeks harga bahan baku dan penolong domestik. Sehingga persamaan (5) menjadi : ln MBt = ln α + β ln PRODt+ γ ln REERt+ θ ln VOLt + ln u............................................ (7)
Pengukuran Volatilitas atau Resiko Nilai Tukar Dalam penelitian ini, volatilitas nilai tukar dibentuk dengan menggunakan Nomimal Effective Exchange Rate (NEER) karena nilai nominal lebih menggambarkan volatilitas yang mendorong ketidakpastian yang dihadapi pelaku perdagangan internasional secara langsung (Bourdon dan Korinek, 2011: 16). Sedangkan untuk metode pengukurannya, digunakan standar deviasi rata-rata bergerak (MASD: Moving Average Standard Deviation) yang diperkenalkan oleh Kenen dan Rodrik (1986) dengan rumus sebagai berikut: 𝑛
̅
2
∑ (𝑋 −𝑋) 𝑉𝑂𝐿 = √( 𝑖=1 𝑖 ) ............................................................................................................. (8) 𝑛−1
Di mana Xi adalah NEER, 𝑋̅ adalah rata-rata dari 4 triwulanan NEER, dan
n= 4
9
Masalah Agregasi Model yang sejauh ini disusun menggambarkan sebuah agregasi model impor bahan baku dan penolong. Masalah tersebut meninggalkan masalah dampak agregasi yang mungkin ditimbulkan, sehingga penggunaan model data panel bisa dijadikan alternatif. Namun, ketiadaan data yang lengkap seperti data segregasi variabel terikat yakni data impor bahan baku dan penolong berdasarkan negara asal maupun data ekspor manufaktur berdasarkan negara tujuan yang disusun secara bulanan atau triwulan, menjadikan model data panel sulit untuk digunakan. Menurut Leamer dan Stren (1976:41-42), masalah agregasi ini bisa dihindari dengan menggunakan angka indeks pada variabel-variabel yang digunakan. Angka indeks ini mampu mengurangi penggunaan sejumlah besar data yang menggambarkan fenomena ekonomi yang kompleks. Dalam penelitian ini, agregasi ke dalam angka indeks tunggal dilakukan dengan membuat rata-rata indeks komponen variabel-variabel bebas yang berasal dari negara-negara mitra dagang (pendapatan, harga, nilai tukar) tertimbang terhadap kontribusi perdagangan bilateral (total ekspor dan impor) masing-masing negara tersebut terhadap Indonesia selama periode penelitian. Masalah Kelambanan (Lag) Dalam model perdagangan internasional sangat memungkinkan terjadinya lag karena adanya perbedaan waktu saat transaksi (pembuatan keputusan) dengan diterimanya barang akibat proses yang harus dilalui. Terbentuknya lag juga diperkuat dengan apa yang dikenal sebagai kurva J, yang menjelaskan hubungan antara keseimbangan perdagangan dengan depresiasi mata uang (Krugman dan Obsfeld, 2005: 464). Kurva J ini, oleh Gujarati dan Porter (2012: 275) dijadikan landasan terjadinya lag dalam model perdagangan internasional. Adanya lag dalam model diindentifikasikan bersifat terbatas (infinite lag model), sehingga metode yang digunakan adalah menggunakan metode ad hoc Alt dan Timbergen. Yakni dengan melakukan regresi secara berurutan hingga t-n, yang mana sudah tidak ditemukan pengaruh yang signifikan dari koefisien variabel penjelas. Sehingga, model impor bahan baku dengan memperhatikan lag dapat dituliskan seperti pada persamaan (10): 𝑙𝑛 𝑀𝐵𝑡 = 𝑙𝑛 𝛼 + ∑𝑘𝑛=0 𝛽𝑛 𝑙𝑛 𝑃𝑅𝑂𝐷𝑡−𝑛 + ∑𝑘𝑛=0 𝛾𝑛 𝑙𝑛 𝑅𝐸𝐸𝑅𝑡−𝑛 + 𝜃𝑙𝑛 𝑉𝑂𝐿𝑡 + 𝐿𝑛 𝑢 ......................................................................................................................... (10)
Di mana, MB adalah nilai impor bahan baku dan penolong riil, PROD adalah nilai produksi sektor industri manufaktur domestik riil, REER adalah nilai tukar efektif riil (real effective exchange rate) dari impor bahan baku dan penolong, VOL adalah volatilitas nilai tukar dan u adalah error term. Tanda sigma menunjukkan variabelvariabel yang menggunakan lag dengan metode ad hoc. Pembentukan Model Permintaan Ekspor Industri Manufaktur Dengan proses identifikasi variabel dan penyusunan model yang hampir sama dengan model permintaan impor bahan baku dan penolong, model permintaan ekspor industri manufaktur merupakan fungsi dari pendapatan riil luar negeri (dalam hal ini mitra dagang), REER ekspor industri manufaktur, dan volatilitas nilai tukar.
10
Dalam persamaan regresi, model yang dikembangkan untuk ekspor industri manufaktur adalah sebagai berikut: 𝑙𝑛 𝑋𝑀𝐴𝑁𝑡 = 𝑙𝑛 𝛼 + ∑𝑘𝑛=𝑜 𝛽𝑛 𝑙𝑛 𝑌𝐿𝑁𝑡−𝑛 + ∑𝑘𝑛=0 𝛾𝑛 𝑙𝑛 𝑅𝐸𝐸𝑅𝑡−𝑛 + 𝜃𝑙𝑛 𝑉𝑂𝐿𝑡 + 𝐿𝑛 𝑢 ......................................................................................................................... (11)
Dimana XMAN adalah nilai ekspor industri manufaktur riil, YLN adalah pendapatan riil negara tujuan ekspor industri manufaktur, REER adalah nilai tukar efektif riil, VOL adalah volatilitas nilai tukar dan u adalah error term. Data
Sampel data yang digunakan adalah melalui perilaku berdasar deret waktu (time series) yang dipotret dalam data triwulanan antara Q1:2005 sampai dengan Q4:2012. Data yang digunakan adalah data sekunder dan dikumpulan secara online melalui publikasi resmi yang dimuat pada situs-situs lembaga yang menyediakan data yang dibutuhkan. Sebagian besar data diperoleh dari Bank Indonesia (http://www.bi.go.id/id/statistik/seki) antara lain: 1) impor barang menurut kategori ekonomi dalam ribu USD; 2) PDB menurut lapangan usaha dalam milyar USD; 3) Indeks nilai tukar nominal rupiah terhadap negara-negara mitra dagang utama; 4) ekspor non migas berdasarkan kategori sektor dalam ribuan USD. Sumber data berikutnya adalah dari situs resmi Organization for Economics and Co-operation and Development (OECD): (http://stats.oecd.org/). Data-data yang diperoleh antara lain: 1) Indeks GDP negara-negara yang menjadi anggora OECD dalam kuartalan; dan 2) Indeks harga produsen industri manufaktur. Data pendukung lainnya adalah dari Badan Pusat Statistik (http://bps.go.id/) berupa data indeks harga perdagangan besar Indonesia.
4. Hasil Analisis Data Analisis Data Model Impor Bahan Baku dan Penolong Gambaran awal melalui diagram pencar (scatter plot) seperti yang disajikan pada Gambar 4 menghasilkan variabel-variabel bebas (dalam bentuk logaritma natural) yang dispesifikasikan berkecenderungan mempunyai hubungan dengan variabel tergantung antara lain: 1) Nilai produksi sektor industri manufaktur domestik riil lag 1 periode (LNPRODt-1); 2) Real Effective Exchange Rate lag 1 periode (LNREERt-1), dan 3) volatilitas nilai tukar (LNVOLt). Dari hasil tersebut, pemetaan hubungan variabel menunjukkan kecenderungan terjadi lag 1 periode pada variabel produksi sektor industri manufaktur dan nilai tukar dalam menjelaskan permintaan impor bahan baku dan penolong di Indonesia.
11
12.1
12.0
4.6
11.9 12.0
4.5
11.8 11.7
11.8
11.7
4.4
LNREER
LNPRODT_1
LNPROD
11.9
11.6 11.5 11.4
4.3
4.2
11.3
11.6
4.1
11.2 11.5 14.2
14.4
14.6
14.8
15.0
15.2
11.1 14.2
15.4
14.4
14.6
4.6
2.5
4.5
2.0
4.4
1.5
4.3
4.2
15.0
15.2
15.4
4.0 14.2
14.4
14.6
14.8
15.0
15.2
15.4
LNMB
1.0
0.5
4.1
4.0 14.2
14.8 LNMB
LNVOL
LNREERT_1
LNMB
0.0
14.4
14.6
14.8
15.0
15.2
15.4
LNMB
-0.5 14.2
14.4
14.6
14.8
15.0
15.2
15.4
LNMB
Gambar 4. Diagram Pencar (Scatter Plot) antara Variabel Tergantung dengan Variabel-Variabel Bebas Model Permintaan Impor Bahan Baku dan Penolong Tabel 2. Hasil Pengujian Augmented Dicky Fuller pada Variabel-Variabel Fungsi Permintaan Impor Bahan Baku dan Penolong t tabel (tingkat kesalahan 5 %) LNMBt -2.164747 -3.562882 D(LNMB) t -4.874066 -3.568379 LNPRODt-1 -3.352311 -3.562882 D(LNPROD t-1) -5.976503 -3.568379 LNREER t-1 -2.588685 -3.562882 D(LNREER t-1) -5.976503 -3.568379 LNVOLt -2.112516 -3.562882 D(LNVOL)t 4.881631 -3.568379 Keterangan: Pengujian ADF memasukkan unsur intersep dan tren (kuasa pengujian terbesar), pemilihan jumlah lag berdasarkan SIC Variabel
t hitung ADF
Langkah yang dilakukan kemudian adalah melakukan pengujian dua langkah Engle-Granger pada variabel-variabel di atas. Tabel 2 menunjukkan bahwa keseluruhan variabel tidak stasioner pada level, namun stasioner pada diferensiasi pertama. Hasil tersebut dilihat dari angka mutlak pada t hitung ADF yang seluruhnya lebih kecil jika dibandingkan dengan angka mutlak t tabel pada tingkat kesalahan 5 persen, namun pada diferensiasi pertama angka mutlak pada t hitung ADF seluruhnya lebih besar jika dibandingkan dengan angka mutlak t tabel pada tingkat kesalahan 5 persen.
12
Dengan kestasioneran data seluruh variabel pada diferensiasi pertama, maka terbuka kemungkinan terjadinya regresi yang terkointegrasi. Hasil pengujian (Tabel 3) menunjukkan terjadinya regresi yang kointegrasi. Ini dapat dilihat dari hasil pengujian ADF terhadap seluruh residual yang stasioner pada level, yang ditunjukkan pada nilai mutlak pada t hitung ADF yang lebih besar dari pada nilai mutlak t tabel pada tingkat kesalahan 5 persen. Tabel 3. Pengujian ADF pada Residual Model Permintaan Impor Bahan Baku dan Penolong Variabel
t hitung ADF
t tabel (tingkat kesalahan 5 %)
RESID01
-2.316621
-1.952066
RESID02
-2.569497
-1.952066
RESID03 -3.882789 -1.953381 Keterangan: Pengujian ADF untuk residual, pemilihan jumlah lag berdasarkan SIC RESID01 adalah residual hasil regresi lnmbt dengan lnprodt-1 RESID02 adalah residual hasil regresi lnmbt dengan lnreert-1 RESID03 adalah residual hasil regresi lnmbt dengan lnvolt
Tabel 4. Hasil Estimasi Model Permintaan Impor Bahan Baku dan Penolong Variabel Tergantung: LNMBt Variabel bebas: Konstanta LNPRODt-1 LNREER t-1 LNVOLt R2 Adj. R2 F-stat Prob(F-statistic) DW Statistic
Parameter (probabilitas) 5,014 (0,005) 0,637 (0.0000) 0,616 (0,0001) – 0,132 (0,0014) 0,833 0,815 46,71 (0,000000) 1.737541
Keterangan: angka dalam kurung merupakan nilai probabilitas
Dari hasil perhitungan regresi yang disajikan pada Tabel 4 menunjukkan gambaran arah koefisien parameter yang arahnya sesuai dengan yang diekspektasikan, di mana variabel nilai produksi sektor industri manufaktur domestik riil lag 1 periode (LNPROD t-1) dan nilai tukar efektif riil lag 1 periode (LNREERt-1) berhubungan positif, sedangkan volatilitas (resiko) nilai tukar berhubungan negatif. Hasil regresi model permintaan impor bahan baku dan penolong menunjukkan tiga koefisien parameter variabel-variabel yang signifikan dengan tingkat kesalahan 5 persen dan arah korelasi yang diekspektasikan, yakni: 1) nilai produksi riil sektor Industri manufaktur domestik riil lag 1 periode (LNPRODt-1); 2) Real Effective Exchange Rate lag 1 periode (LNREERt-1); dan 3) volatilitas nilai tukar (LVOLt). Ketiga variabel tersebut juga memberikan pengaruh secara simultan dan
13
mampu menjelaskan variasi variabel tergantung sebesar 83,3 persen. Selanjutnya, Interpretasi yang lebih dalam mengenai besaran parameter dan implikasinya terhadap temuan empiris akan dibahas di bagian pembahasan. Analisis Data Model Permintaan Ekspor Industri Manufaktur. Berbeda dengan hasil diagram pencar (scatter plot) model permintaan impor bahan baku dan penolong, variabel-variabel bebas yang dispesifikasikan pada model permintaan ekspor industri manufaktur tidak mengalami kelambanan (lag). Seperti yang disajikan dalam Gambar 5, hubungan yang jelas hanya terlihat pada pendapatan negara-negara tujuan ekspor industri manufaktur (LNYLN) dan volatilitas nilai tukar (LNVOL). Sedangkan, variabel nilai tukar efektif riil (REER) tidak menghasilkan hubungan yang jelas baik dalam periode yang sama atau dengan kelambanan (lag) periode-periode sebelumnya. 4.70
4.70
4.7
4.69
4.68
4.6
4.68
LNYLNT_1
LNYLN
4.66 4.65
LNREER
4.66
4.67
4.64
4.5
4.4
4.62
4.64 4.63
4.3
4.60 4.62 4.61 14.8
15.0
15.2
15.4
15.6
4.58 14.8
15.8
15.0
15.2
15.4
15.6
15.8
LNXMAN
LNXMAN
4.7
4.2 14.8
15.0
15.2
15.4
15.6
15.8
LNXMAN
9 8 7 6
4.5
LNVOL
LNREERT_1
4.6
4.4
5 4 3 2
4.3
1
4.2 14.8
15.0
15.2
15.4
LNXMAN
15.6
15.8
0 14.8
15.0
15.2
15.4
15.6
15.8
LNXMAN
Gambar 5 Diagram Pencar (Scatter Plot) antara Variabel Tergantung dengan Variabel-Variabel Bebas Model Permintaan Ekspor Industri Manufaktur Pengujian ADF yang dirangkum dalam Tabel 5 menunjukkan bahwa keseluruhan variabel tidak stasioner pada level, namun stasioner pada diferensiasi pertama. Dapat dilihat, angka mutlak pada t hitung ADF yang seluruhnya lebih kecil jika dibandingkan dengan angka mutlak t tabel pada tingkat kesalahan 5 persen, namun pada diferensiasi pertama angka mutlak pada t hitung ADF seluruhnya lebih besar jika dibandingkan dengan angka mutlak t tabel pada tingkat kesalahan 5 persen. Dengan dihasilkannya kestasioneran data seluruh variabel pada diferensiasi pertama, maka dalam model permintaan ekspor industri manufaktur ini juga terbuka kemungkinan terjadinya regresi yang terkointegrasi. Selanjutnya dari hasil Tabel 6, didapatkan hasil dua hubungan yang terkointegrasi, yakni antara variabel tergantung permintaan ekspor industri manufaktur (LNXMANt) dengan variabel pendapatan negara-negara tujuan ekspor industri manufaktur (LNYLNt) dan variabel volatilitas nilai tukar (LNVOLt).
14
Sedangkan variabel nilai tukar effektif riil (LNREERt)—yang berkecenderungan tidak mempunyai hubungan dengan variabel ekspor industri manufaktur (LNXMANt)— tidak terkointegrasi. Tabel 5 Hasil Pengujian Augmented Dicky Fuller (ADF) pada VariabelVariabel Fungsi Permintaan Ekspor Industri Manufaktur Variabel
t hitung ADF
LNXMANt D(LNXMAN) t LNYLN t D(LNYLN) t LNREERt D(LNREER t) LNVOL t D(LNVOL t)
-1.874144 -4.797623 -3.259710 -3.682288 -2.463036 -5.351709 -2.139627 -4.709830
t tabel (tingkat kesalahan 5 %) -3.562882 -3.568379 -3.568379 -3.574244 -3.562882 -3.568379 -3.562882 -3.568379
Keterangan: Pengujian ADF memasukkan unsur intersep dan tren (kuasa pengujian terbesar), pemilihan jumlah lag berdasarkan SIC
Tabel 6 Pengujian Augmented Dicky Fuller Permintaan Ekspor Industri Manufaktur Variabel
t hitung ADF
RESID01 RESID02 RESID03
-2.050862 -1.605562 -3.695243
pada Residual Model
t tabel (tingkat kesalahan 5 %) -1.952066 -1.952066 -1.952066
Keterangan: Pengujian ADF untuk residual, pemilihan jumlah lag berdasarkan SIC RESID01 adalah residual hasil regresi LNXMANt dengan LNYLNt RESID02 adalah residual hasil regresi LNXMANt dengan LNREERt RESID03 adalah residual hasil regresi LNXMANt dengan LNVOLt
Setelah dilakukan perhitungan regresi, masih ditemui gangguan otokorelasi positif yang ditandai dengan rendahya nilai statistik Durbin Watson (DW) yang hanya sebesar 1,16. Oleh karena itu diperlakukan perbaikan model dengan menggunakan metode weighted least square menggunakan Two-Steps Durbin Watson Statistic, tampak terjadi perubahan nilai statistik DW sebesar 1,72 yang lebih besar dari nilai krisis dl sebesar 1.17. Nilai tersebut—walaupun masih sedikit di bawah nilai du sebesar 1,73 yang berarti masih di daerah tanpa kesimpulan adanya—bisa menghindarkan koefisien parameter yang dihasilkan di daerah berkesimpulan adanya otokorelasi positif. Hasil regresi setelah dilakukan perbaikan terhadap otokorelasi positif dijasikan pada Tabel 7. Hasil Tabel 7 menunjukkan hanya dua koefisien parameter variabel-variabel yang signifikan dengan tingkat kesalahan 5 yakni pendapatan riil negara-negara tujuan ekspor industri manufaktur (LNYLNt), dan volatilitas nilai tukar (LVOLt) sesuai arah yang diekspektasikan. Sedangkan Real Effective Exchange Rate (LNREERt) secara parsial tidak signifikan mempengaruhi permintaan ekspor industri. Variabel-variabel bebas dalam model memberikan pengaruh secara simultan dan mampu menjelaskan variasi variabel tergantung sebesar 67 persen.
15
Tabel 7. Hasil Estimasi Model Permintaan Ekspor Industri Manufaktur Variabel Tergantung: LNXMANt Variabel bebas: Konstanta
Parameter (probabilitas) -1.085 (0.695) 3,61 (0.005) 0.095 (0.541) – 0.023 (0.024) 0,67 0,63 18,34 0,000001
LNYLNt* LNREERt* LNVOL t *
R2 Adj. R2 F-stat Prob(F-statistic) 1.724718 DW Statictic Keterangan: - angka dalam kurung merupakan nilai probabilitas - tanda (*) merupakan hasil iterasi Two-Steps Durbin Watson Statistic Di mana: LNXMANt* LNYLNt* LNREERt* LNVOLt*
= LNXMANt - (0.4195905 × LNXMANt-1) = LNYLNt - (0.4195905 × LNYLNt-1) = LNREERt - (0.4195905 × LNREERt-1) = LNVOLt - (0.4195905 × LNVOLt-1)
5. Pembahasan Dari hasil dari perhitungan estimasi model permintaan impor bahan baku dan penolong, didapatkan ketiga variabel yang dispesifikasikan memberikan dampak yang signifikan dengan arah korelasi sesuai yang diekspektasikan. Keseluruhan hubungan yang dihasilkan juga terkointegrasi dan berarti terjadi hubungan antara variabelvariabel bebas dengan variabel tergantung dalam jangka panjang. Variabel pertama, logaritma natural nilai permintaan impor bahan baku dan penolong riil lag satu periode (LNPRODt-1) menghasilkan interpretasi bahwa di Indonesia kenaikan (penurunan) nilai impor bahan baku dan penolong riil (LNMBt) disebabkan oleh kenaikan (penurunan) nilai produksi sektor manufaktur domestik riil pada periode sebelumnya (LNPRODt-1) dengan elastisitas sebesar 0,637. Dalam analisis regresi, arah hubungan adalah searah, yakni variabel bebas mempengaruhi variabel tergantung. Namun, banyak analisis kualitatif—seperti yang dipaparkan dalam bagian latar belakang—yang mengulas bahwa pada saat periode krisis moneter tahun 1997 produksi sektor industri manufaktur mengalami ketergantungan akan impor bahan baku dan penolong sehingga memicu kenaikan impor bahan baku dan penolong tersebut (terjadi kausalitas). Karena model yang dispesifikasikan berbentuk struktural, dibutuhkan analisis lanjutan lagi untuk menguji kausalitas hubungan tersebut, namun keterbatasan penelitian dengan model struktural mengakibatkan analisis VAR dengan uji kausalitas Engle-Ganger tidak digunakan. Masalah kemungkinan terjadinya terjadinya kausalitas pada periode penelitian—yakni ketergantungan produksi sektor manufaktur domestik terhadap impor bahan baku dan penolong—diperkuat oleh pernyataan Kepala Badan Pusat Statistik, Rusman Heriawan yang dimuat di situs Investor Daily Indonesia pada tanggal 1 Agustus 2011 bahwa terjadi ketergantungan yang tinggi sektor industri
16
manufaktur terhadap impor bahan baku dan penolong masih tinggi. Ketergantungan impor bahan baku dan penolong tersebut selanjutnya diserap untuk industri nasional yang output-nya sebagian besar untuk pemenuhan konsumsi dalam negeri. Hanya sebagian kecil yang outputnya untuk ekspor karena daya saing produk nasional masih lemah (lihat: http://www.investor.co.id/home/tinggi-ketergantungan-industriterhadap-bahan-impor/17153). Ketergantungan yang besar terhadap impor bahan baku dan penolong tersebut juga mendorong pemerintah lebih memilih untuk memberi insentif berupa tax holiday kepada industri pengolahan dan manufaktur dalam mengimpor bahan baku. Kebijakan ini cukup beralasan, dikarenakan kekuatiran terjadinya overheating karena ketidaktersediaan bahan baku serta pertimbangan bahwa industri manufaktur menyerap tenaga sangat tinggi (lihat: http://www.tempo.co/read/news/2011/05/03/090331836/Industri-ManufakturMendapat-Insentif-Impor-Bahan-Baku) Besarnya impor bahan baku dan penolong untuk menopang produksi manufaktur ini juga menandakan kecenderungan rendahnya keterkaitan (linkage) sektor-sektor di bawah sektor industri manufaktur. Jika dilihat dari struktur impor bahan baku dan penolong Indonesia, komponen terbesar adalah bahan pasokan olahan untuk industri yang besarnya rata-rata lebih dari 40 persen dari keseluruhan impor bahan baku dan penolong), disusul kemudian dengan bahan bakar dan pelumas olahan dan suku cadang dan perlengkapan untuk barang modal. Dengan struktur tersebut, industri manufaktur lebih dominan dalam mengimpor bahan pasokan olahan yang siap untuk diproses dibandingkan dengan bahan pasokan baku yang seharusnya merupakan input yang berasal dari ouput dari sektor-sektor di bawahnya. Selanjutnya, hasil estimasi juga menunjukkan bahwa dua variabel yang dispesifikasikan sebagai dampak nilai tukar—yakni real effective exchange rate lag 1 periode (LNREERt-1) dan volatilitas nilai tukar (LNVOLt)—signifikan berdampak terhadap impor bahan baku dan penolong tersebut. Dengan kata lain, ketergantungan akan impor bahan baku dan penolong seperti diindikasikan sebelumnya, rentan terhadap shock eksternalitas nilai tukar. Untuk variabel dalam nilai tukar pertama, yakni (LNREERt-1) menunjukkan bahwa depresiasi 1 persen real effective exchange rate lag 1 periode (LNREERt-1) akan mengoreksi penurunan nilai impor bahan baku dan penolong riil pada periode berikutnya (LNMBt) sebesar 0,616 (hampir sama dengan nilai koefisien variabel produksi industri manufaktur dalam negeri). Keadaan ini juga menggambarkan bahwa shock nilai tukar akan menimbulkan dampak ganda jika terjadi ketergantungan produksi sektor manufaktur terhdap impor bahan baku dan penolong. Dengan kondisi tersebut, depresiasi yang tinggi dalam periode yang lama akan rawan menyebabkan deindustrialisasi. Sedangkan dampak kedua dampak dari nilai tukar, yakni besarnya volatilitas yang dihadapi (LNVOLt) —walaupun dampaknya relatif lebih kecil (elastisitas sebesar 0,132), menunjukkan bahwa semakin besarnya volatilitas nilai tukar akan memberikan dampak buruk bagi produsen industri manufaktur dalam negeri dalam kegiatan produksinya. Dengan demikian, resiko maupun biaya pemagaran yang diakibatkan volatilitas nilai tukar sesuai dengan yang diekspektasikan mengurangi jumlah impor bahan baku dan penolong.
17
Dengan kedua variabel dampak nilai tukar yang dispesifikasikan signifikan dalam menjelaskan variasi impor bahan baku dan penolong, menunjukkan kondisi permintaan impor bahan baku dan penolong berkecenderungan rentan akan shock nilai tukar seperti halnya krisis moneter pada tahun 1998 walaupun saat itu volatilitas nilai tukar lebih stabil dan terjaga dengan adanya band intervensi. Shock nilai tukar pada sektor industri pada tahun 1998 menunjukkan bahwa ketergantungan akan impor bahan baku dan penolong yang merupakan salah satu kerapuhan sektor riil akan menyebabkan rentetan proses yang menjurus ke arah krisis ekonomi. Selanjutnya, masuk ke model kedua—yakni permintaan ekspor industri manufaktur—hasil koefisien parameter variabel pendapatan riil negara tujuan ekspor industri manufaktur (LNYLNt) menunjukkan bahwa ekspor industri manufaktur sangat mengandalkan kenaikan pendapatan negara-negara tujuan ekspornya. Koefisien parameter sebesar 3.61 berarti respon ekspor industri manufaktur elastis terhadap perubahan pendapatan negara-negara tujuan ekspor. Hasil ini mengambarkan bahwa shock terhadap pendapatan riil negara-negara tujuan ekspor industri manufaktur utama akan lebih berdampak terhadap jumlah ekspor industri manufaktur Indonesia. Sebaran negara-negara tujuan ekspor industri manufaktur dengan persentase terbesar hanya tersebar pada 6 negara: Amerika Serikat, Jepang, Republik Rakyat Cina, Singapura, India dan Malaysia (lebih dari 5 persen). Dengan sebaran tersebut, maka shock yang dimaksudkan akan tergambar turunnya nilai ekspor industri manufaktur serentak pada tahun 2009 seiring dengan menurunnya pendapatan negara-negara tujuan utama ekspor setelah mengalami krisis global. Berlanjut ke variabel kedua—yang berbeda dengan efek pendapatan negaranegara tujuan ekspor—efek harga melalui perubahan nilai tukar (LNREERt) pada hasil perhitungan estimasi regresi yang dihasikan tidak mempunyai koefisien parameter yang signifikan dalam menjelaskan variasi perubahan ekspor. Dengan demikian, koreksi ekpor karena perubahan nilai tukar seperti yang digambarkan pada Kondisi Marshall-Lerner tidak terjadi. Tidak berjalannya koreksi harga melalui nilai tukar ini dapat mengacu pada daya saing dan jenis produk ekspor industri manufaktur Indonesia. Ekspor produk industri berdaya saing rendah bisa diakibatkan dengan tingginya biaya produksi dan biaya transportasi. Biaya produksi tinggi akan mengacu pada biaya bahan baku, biaya energi dan upah minimum pekerja. Biaya bahan baku—seperti dijelaskan sebelumnya—sangat terkait dengan ketergantungan sektor industri manufaktur dengan impor bahan baku dan penolong. Biaya energi dan upah minimum pekerja merupakan biaya yang terus membebani pengusaha, karena sering kali kenaikan tarif dasar listrik berkala dibarengi dengan kenaikan upah minimum. Sedangkan biaya transportasi merupakan masalah pelik yang berdampak pada biaya yang semakin tinggi dan mengganggu kelancaran stok produksi sangat terkait dengan penyediaan infrakstruktur oleh pemerintah. Jika dilihat dari jenis produksi industri manufaktur, selama ini ekspor industri manufaktur ditulang-punggungi terutama oleh produk-produk yang unfinished goods yang kurang mempunyai nilai tambah yakni pengolahan kelapa sawit yang mana 49 persen berupa palm oil dan pengolahan karet yang sekitar 78 persen berupa crumb rubber. Jenis ekspor yang didominasi unfinished goods ini juga mengurangi daya saing yang selanjutnya tidak mendukung bekerjanya penyesuaian harga melalui nilai tukar dalam mendorong ekspor industri manufaktur.
18
Variabel terakhir, volatilitas nilai tukar (LNVOLt) menghasilkan koefisien yang sesuai dengan arah yang diharapkan walaupun nilai koefisiennya kecil sebesar 0.023 (inelastis), yakni berhubungan negatif atau volatilitas yang meningkat dari nilai tukar memberikan dampak yang buruk bagi ekspor industri manufaktur. Hasil tersebut seiring dengan yang dihasilkan pada model impor bahan baku dan penolong yang berarti resiko fluktuasi keuntungan perdagangan dalam jangka pendek—walaupun bisa dikurangi dengan melakukan transaksi di pasar forward—akan menimbulkan biaya perdagangan internasional akan meningkat yang akhirnya menimbulkan pengurangan terhadap ekspor. Dengan demikian, kestabilan nilai tukar dalam jangka pendek lebih disukai oleh para pelaku perdagangan internasional dalam menjalankan aktivitas ekspor dan impor dibandingkan jika terdapat volatilitas yang tinggi yang akan menimbulkan ketidakpastian dan menimbulkan biaya pemagaran. 6. Simpulan dan Rekomendasi Sebagaimana hasil yang diperoleh, arah dampak nilai tukar menghasilkan hasil yang berbeda pada kedua model yang dispesifikasikan. Dari kedua dampak nilai tukar yang dispesifikasikan—yakni efek harga (REER) dan efek resiko (volatilitas)— kesemuanya berlaku pada model permintaan impor bahan baku dan penolong. Sedangkan pada model permintaan ekspor industri manufaktur, hanya mendapati efek resiko sebagai dampak yang signifikan berpengaruh. Dalam model struktural yang dibentuk, efek pendapatan yang bekerja menggambarkan impor bahan baku dan penolong didorong oleh kebutuhan produksi sektor industri manufaktur. Diperlukan analisis lanjutan untuk membuktikan apakah produksi sektor manufaktur tergantung oleh impor bahan baku dan penolong hubungan terbalik (kausalitas). Namun, secara tidak langsung kecenderungan ini telah diperkuat oleh pola dominasi impor bahan baku dan penolong serta kebijakan insentif tax holiday terhadap impor bahan baku dan penolong. Keadaan ini secara simultan dapat memperparah dampak yang ditimbulkan depresiasi nilai tukar yang tajam (efek harga) yang mengakibatkan ketidakmampuan sektor industri mengimpor bahan baku dan penolong untuk memenuhi kebutuhan produksinya. Pada model kedua, permintaan ekspor hasil industri manufaktur sangat tergantung kepada pendapatan riil negara-negara tujuannya. Artinya, efek pendapatan yang bekerja pada permintaan ekspor industri manufaktur adalah sangat besar (elastis). Dengan demikian, adanya krisis global terhadap negara-negara tujuan ekspor industri manufaktur dipastikan akan mengakibatkan penurunan ekspor industri manufaktur. Sementara, mekanisme penyesuaian yang diharapkan dari depresiasi untuk mendorong ekspor industri manufaktur tidak terjadi. Artinya, koreksi nilai tukar melalui efek harga tidak bekerja pada ekspor industri manufaktur. Kondisi ini mengambarkan daya saing yang rendah dari barang-barang ekspor industri manufaktur Indonesia. Hasil terakhir pada kedua model yang dispesifikasikan, semakin besarnya volatilitas nilai tukar akan mengurangi baik itu impor bahan baku dan penolong dan ekpor industri manufaktur, walaupun dampaknya kecil. Dengan kondisi tersebut, kestabilan nilai tukar merupakan keadaan yang lebih diinginkan oleh pelaku eksporimpor di sektor industri manufaktur walaupun resiko nilai tukar masih bisa ditekan dengan pemagaran resiko nilai tukar.
19
Hasil-hasil tersebut menunjukkan perlunya dalam jangka panjang untuk mengupayakan industri substitusi impor bahan baku dan penolong dari produksi domestik sektor manufaktur, atau dalam hal ini memperkuat keterkaitan antara sektor-sektor yang menjadi masukan (input) bagi sektor industri manufaktur. Upayaupaya tersebut dalam akan mencegah dampak eksternalitas nilai tukar yang mengakibatkan shock terhadap harga impor bahan baku dan penolong yang selanjutnya mengancam kesinambungan produksi sektor industri manufaktur. Bagi Ekspor Industri manufaktur, diperlukan upaya untuk membuka pasar ekspor ke negara-negara non-tradisional untuk mengurangi resiko terjadinya resesi simultan pada negara-negara tujuan utama ekspor industri manufaktur. Di samping itu, perlu juga meningkatkan kualitas daya saing dan bernilai tambah pada barangbarang ekspor industri manufaktur dengan membenahi masalah-masalah utama yang dihadapi sektor industri manufaktur antara lain biaya produksi yang tinggi, serta upaya mendorong produk finished goods atau bernilai tambah tinggi. Upaya-upaya tersebut diharapkan akan meningkatkan kemampuan efek harga melalui depresiasi nilai tukar dalam mendorong ekspornya. Walaupun dari hasil penelitian volatilitas nilai tukar mempunyai dampak yang kecil dalam merubah variasi permintaan impor dan ekspor sektor industri manufaktur, tetap diperlukan stabilisasi nilai tukar yang menjaga agar volatilitas dalam jangka pendek tidak terlalu tinggi untuk mengurangi dampak negatifnya terhadap perdagangan di sektor industri manufaktur. Daftar Pustaka Appuhamilage, K.S.A. dan A.A.A. Alhayk. 2010. “Exchange Rate Movements Effect on Sri Lanka-China Trade”. Journal of Chinese Economic and Foreign Trade Studies. Vol. 3. No. 3: 254-267. Apridar. 2012. Ekonomi Internasional (Sejarah, Teori, Konsep dan Permasalahan dalam Aplikasinya). Yogyakarta: Graha Ilmu Bank Indonesia. 1998. Buletin Ekonomi Monener dan Perbankan. Jakarta: Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter-Bank Indonesia. Bank Indonesia. 2006. Laporan Pemetaan Ekonomi Sektor Industri Nonmigas. Jakarta: Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter-Bank Indonesia. Bethune, E. M. Ekanayake. R.L. Thaver, dan D. Plante. 2013. “The Effects of Exchange Rate Volatility on South Africa’s Trade With The European Union”. The International Journal of Business and Finance Research. Vol. 6. No. 3: 13-26. Bilquees, Faiz, T. Mukhtar dan S.J. Malik. 2010. “Exchange Rate Volatility and Export Growth: Evidence from Selected South Asian Countries” Zagreb International Review of Economics & Business. Vol. 13. No. 2: 27-37. Carbaugh, Robert J. 2005. International Economics. 10th edition. Mason, OH: Thomson South-Western Dumairy, 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga. Fang, WenShwo; L. YiHao, dan S.M. Miller. 2005. “Export Promotion through Exchange Rate Policy: Exchange Rate Depreciation or Stabilization?”. Economics Working Papers. Paper 200507. Gujarati, D. dan D.C Porter. 2003. Dasar-Dasar Ekonometrika. Edisi 5, Buku 1 dan 2. Terjemahan: Raden Charles Manungson. Jakarta: Salemba Empat.
20
Hanke, Steve. 1999. “Refl ections on Exchange Rates and Dollarization”. Fordham Journal of Corporate & Financial Law. Vol. 4. Issue 1 Article 8: 63-76. Huchet - Bourdon, M. dan J. Korinek. 2011. “ To What Extent Do Exchange Rates and their Volatility Affect Trade?”. OECD Trade Policy Papers. No. 119. OECD Publishing. Investor Daily. 2011. Tinggi, Ketergantungan Industri terhadap Bahan Impor. http://www.investor.co.id/home/tinggi-ketergantungan-industri-terhadapbahan-impor/17153. Dilihat pada tanggal 16 Nopember 2013. Kementerian Perindustrian. 2011. Laporan Ekspor Hasil Industri Pengolahan. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Perindustrian. Kenen, P. T., dan D. Rodrik. 1986. "Measuring and Analyzing the Effects of Shortterm Volatility in Real Exchange Rates" Review of Economics and Statistics. Vol. 68. No. 2: 311-315. Krugman, P dan M. Obsfeld. 2003. International Economics: Theory and Policy. 6th Edition, New York: Addison Wesly. Kuncoro, Mudradjat. 2009. Ekonomika Indonesia. Yogyakarta: UPP STIM YKPN. Learmer, Edward E dan Robert M Stern. 1976. Quantitative International Economics. Chicago: Adline Publishing Company. Neraca Online. 2012. Pasokan Bahan Baku Lokal Seret, Industri Terpaksa Impor. http://www.neraca.co.id/harian/article/9154/Pasokan.Bahan.Baku.Lokal.S eret.Industri.Terpaksa.Impor. Dilihat pada tanggal 1 April 2013. Nopirin. 2013. Ekonomi Internasional. Edisi 3.Yogyakarta: BPFE. Oskooee, Mohsen Bahmani dan Scott W. Hegerty. 2009. “The Effects of ExchangeRate Volatility on Commodity Trade between the United States and Mexico”. Southern Economic Journal. Vol. 75. No. 4: 1019–1044. Prusty, Sadananda. 2008. “An Analysis of Exchange Rate and Export Growth in India”. The Business Review. Cambridge, Vol. 9. No. 2: 139-144. Romdiati, Haning, 2003. “Pengangguran Akibat Krisis Ekonomi : Strategi Penanggulangan Di Tingkat Keluarga Dan Masyarakat”. Prosiding Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional VIII, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia: 655-668 Rosadi, Dedi, 2012. Ekonometrika dan Analisis Runtun Waktu Terapan dengan Eviews. Yogyakarta: Andi Salvatore, Dominick, 1997. Ekonomi Internasional. Jilid 2. Edisi kelima. Terjemahan: Haris Munandar. Jakarta: Erlangga Siregar, Reza, and Ramkishen S Rajan. 2003. “Impact of exchange rate volatility on Indonesia’s tradeperformance in the 1990s”. Journal of Japaneese and International Economics. Vol. 18: 218–240 Suardhini, Made dan Miranda S Goeltom, 1997. “Analisis Dampak Intervensi Bank Sentral dalam Penetapan Nilai Tukar terhadap Ekspor-Impor Indonesia”. Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Vol. XLV. No 1:97-212. Suherman Rosyidi, 2012. Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro Dan Makro. Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada Tambunan, Tulus, 1998. Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi. Jakarta: LPFE-UI. Tempo.co. 2011. Industri Manufaktur Mendapat Insentif Impor Bahan Baku. http://www.tempo.co/read/news/2011/05/03/090331836/IndustriManufaktur-Mendapat-Insentif-Impor-Bahan-Baku. Dilihat pada tanggal 1 April 2013.