DAMPAK MODERNISASI PERIKANAN Perkembangan sarana penangkapan nelayan adalah hal penting untuk menganalisa dampak modernisasi perikanan terhadap pola kerja, struktur sosial dan kesejahteraan nelayan di desa Lagasa. Penggunaan berbagai sarana tangkap tersebut terdiri dari perahu tradisional digerakkan oleh dayung (boseh) dalam istilah lokal koli-koli, dengan alat tangkap pancing atau jaring tassi. Selanjutnya nelayan menggunakan perahu layar motor (ngkuru-ngkuru), dengan alat tangkap pancing dan jaring tassi (pukat tassi) dan terakhir adalah sarana modernisasi berupa penerapan teknologi kapal mini pursein 5 - 10 GT dengan alat tangkap pukat cincin (gae). Untuk lebih jelasnya, akan dikemukakan pola kerja, struktur sosial serta tingkat kesejahteraan nelayan pada setiap penggunan sarana tersebut.
Periode Penggunaan Koli-Koli Pola Kerja Nelayan Koli-koli adalah perahu tradisional yang banyak digunakan oleh nelayan dengan alat kemudi dayung (bose). Penggunaan perahu tersebut diperkirakan sejak nelayan menetap di desa sebelum relokasi (awal 1950). Sebelumnya penduduk adalah pendatang dari berbagai Suku Bajo pesisir Kabupaten Muna. Perahu jenis ini, selain dipergunakan sarana menangkap ikan, juga dipergunakan untuk kepentingan lain misalnya alat transportasi, mengangkut pasir, dan mengambil air tawar/bersih. Perahu tersebut juga dipergunakan untuk lomba perahu tradisional pada berbagai event. Konstruksi koli-koli adalah dibuat dengan melubangi bagian tengah sebatang kayu besar dengan menggunakan kapak. Kayu tersebut dilubangi pada bagian tengah dengan menyisakan 30 - 50 cm pada bagian depan dan belakang. Oleh karena berasal dari sebatang kayu besar maka perahu tersebut cukup berat sehingga membutuhkan 5 - 7 orang untuk mendorong ke laut. Koli-koli pada umumnya dapat dioperasikan cukup 2 - 4 orang yakni seorang ponggawa bertugas sebagai juru mudi serta 2 atau 3 sawi. Dalam perkembangannya konstruksi perahu dibuat dari sambungan papan setebal 2 - 3 cm. Panjang perahu 3 - 4 meter dengan lebar 50 - 60 cm sedangkan dalam 40 cm. Cara produksi lama tersebut didominasi oleh alat tangkap pancing, kail maupun pukat tasi dengan sarana perahu tradisional. Waktu yang dibutuhkan
untuk melaut sekitar 6 - 7 jam yang dimulai pada pukul 05.00 pagi setelah shalat subuh sampai jam 11.00 menjelang shalat Dzuhur. Jangkauan melaut juga hanya pada daerah pinggiran pantai (inshore), serta jenis hasil tangkapan pada umumnya ikan - ikan pelagis. Dengan sarana tangkap serta waktu yang digunakan membuat hasil yang diperoleh tidak begitu banyak walaupun pada musim ikan (Maret-Juli) di Lagasa dan sekitarnya. Sebenarnya nelayan bisa memperoleh tangkapan lebih banyak tetapi tenaga mereka sudah terkuras serta teriknya matahari maupun kehujanan pada saat musim hujan. Disamping itu kapasitas perahu tidak mampu menampung tangkapan dalam jumlah yang terlalu banyak. Hasil wawancara dengan responden ponggawa HL terungkap bahwa mereka hanya bisa mendapatkan paling banyak 2 keranjang besar dengan menggunakan pukat tasi atau masing-masing sawi sekeranjang kecil jika menggunakan pancing. Secara ringkas pola kerja koli-koli dapat digambarkan sebagai berikut. Tabel 9. Pola Kerja Nelayan pada Penggunaan Sarana Tangkap Koli-Koli Dimensi
Bentuk
Daya Jelajah
Perahu tradisional (koli-koli), dan alat tangkap pancing atau jaring tassi Pinggiran pantai, < 5 km (inshore)
Jumlah Pekerja (Sawi) a. Sifat b. Pola rekrutmen
2 - 3 orang Bebas Spontan, Komunal
Waktu Melaut
≤ 7 jam per hari
Pembagian Kerja
Tidak ada
Jenis
Struktur Sosial Nelayan Seorang pemilik koli-koli yang mempekerjakan beberapa sawi tidak membuat ikatan perjanjian kerja yang mengikat. Pemilik perahu tidak menyediakan pancing sehingga sawi menyediakan sendiri pancing tersebut. Sistem bagi hasil yang berlaku adalah dengan sistem setoran tetap ataupun dengan sistem 50 : 50. Sawi diwajibkan menyetor setengah dari hasil tangkapannya kepada ponggawa baik dalam bentuk uang maupun ikan. Sistem tersebut dilakukan dan tidak memberatkan sawi karena hasil tangkap yang fluktuatif bergantung musim, cuaca maupun kondisi fisik nelayan itu sendiri. Sedangkan sistem setoran mewajibkan sawi
menyetor sejumlah ikan maupun uang hasil penjualan kepada pemilik (ponggawa). Beikut asil wawancara dengan responden sawi Lm (51): “Waktu masih di kampung lama (sebelum relokasi: Pen), saya kerja jadi sawi perahu HSl. Kita bawa pancing sendiri karena tidak disediakan. Ikan yang ditangkap sebagian kita setor sama Pak Haji (Sl). Atau bisa juga setelah dijual uangnya dibagi dua, satu bagian buat saya satu bagian buat dia. Kalau sistem setoran berat, karena belum tentu kita dapat ikan banyak dalam satu hari”. Pemilik perahu (ponggawa) juga lebih senang dengan sistem bagi hasil 50 : 50 tersebut. Mereka khawatir kalau memberlakukan sistem setoran akan memberatkan sawi sehingga tidak mau lagi bekerja pada perahu yang disediakan. Hal tersebut bisa membuat pemilik perahu harus turun melaut sendiri ataupun tidak memperoleh apa-apa ketika tidak melaut. Keseluruhan responden ponggawa pernah mempekerjakan sawi dengan sarana perahu koli-koli. Ponggawa tersebut keseluruhannya (100%) memberlakukan sistem bagi hasil. Kekhawatiran akan berhentinya sawi bekerja atapun beralih pada pemilik perahu lainnya dikemukakan oleh ponggawa HD (51): “ Kalau sawi sampe (akan: pen) pindah pada perahu lain karena tidak mampu kasih setoran, kita jadi rugi. Waktu itu saya bawa koli-koli dengan 2 sawi. Jadi saya bisa dapat setengah dari setiap sawi dan hasil yang saya dapat sendiri. Kalau sawi tidak kerja berarti saya hanya dapat ikan yang saya pancing sendiri. Saya perhatikan sawi itu. Kalau saya lihat tangkapannya sedikit saya juga hanya ambil sedikit tidak sampe setengahnya”. Pola hubungan produksi saat itu tidak menunjukkan sifat eksploitatif utamanya oleh pemilik sarana produksi (ponggawa). Pola hubungan patron-klien tersebut sesuai dengan etika dasar subsistensi Scott (1976) bahwa petani menganut asas pemerataan dengan pengertian membagi sama rata apa yang terdapat di desa karena mereka percaya pada hak moral petani untuk dapat hidup secara cukup. Posisi sosial (stratifikasi) sebagai dasar pembentukan struktur sosial belum terlalu beragam dan mencirikan stratifikasi masyarakat tradisional. Kelompok penangkapan (armada) belum mengenal pembagian kerja (diferensiasi) spesial. Hal tersebut disebabkan pola kerja koli-koli masih sederhana serta belum membutuhkan pembagian kerja spesifik. Kondisi nelayan pada waktu itu sesuai dengan tesis dan konsep diferensiasi struktural oleh Neil J. Smelser bahwa pada masyarakat tradisional masalah integrasi pelaksanaan berbagai fungsi tidak terjadi. Belum nampaknya diferensiasi
membentuk struktur sosial tradisional. Stratifikasi berdasarkan dimensi kekayaan (ekonomi) lebih nampak sehingga nelayan hanya terbagi dalam dua status yakni pemilik perahu (ponggawa) serta pekerja/buruh nelayan (sawi). Dimensi tersebut terukur dari kepemilikan perahu bagi lapisan atas (ponggawa) serta lapisan bawah bagi sawi sebagai penjual tenaga. Belum beragamanya differensiasi sosial (pembedaan sosial) sehingga ketidak samaan sosial (social inequality) belum nampak oleh karena itu kemampuan akses sumber daya bagi nelayan masih sama.29 Terjadinya diferensiasi tersebut bukan karena social inequality tersebut akan tetapi disebabkan oleh faktor lain. Misalnya ponggawa HD mampu membuat perahu oleh karena mendapat warisan sejumlah uang dari orang tuanya, sedangkan HA menerima pemberian kayu dari seorang temannya yang bekerja sebagai pegawai kehutanan melalui hubungan baik yang sudah dijalin sebelumnya. Perekrutan sawi oleh pemilik kapal dilakukan berdasarkan kuatnya struktur komunal desa Lagasa. Mereka direkrut berdasarkan hubungan keluarga, serta tetangga. Oleh karena itu hubungan ponggawa-sawi bersifat egaliter. Sifat kerja sawi adalah pekerja bebas tanpa ikatan kerja tetap dengan ponggawa. Akan tetapi perbedaan status kepemilikan sarana dan prasarana penangkapan membuat sawi tetap menaruh hormat kepada ponggawa. Tabel 10. Struktur Sosial Nelayan Pada Penggunaan Sarana Koli-Koli Dimensi Diferensiasi Stratifikasi 1. Kelompok Nelayan a. Jenis Lapisan b. Dasar/ukuran 2. Komunitas
Bentuk 1. ponggawa, 2. sawi
Atas (ponggawa), Bawah (sawi) Kepemilikan sarana tangkap
Atas (lolo, ponggawa,kades, imam desa), Bawah (atta, sawi) Kepemilikan sarana tangkap, kehormatan b. Dasar/ukuran Ascribed and achieved status Pola Hubungan Non eksploitatif, Egaliter Sistem Bagi Hasil 50% hasil sawi diserahkan ke ponggawa a. Jenis Lapisan
Ket: Lolo Bajo: bangsawan Atta Bajo: bukan bangsawan
29
Lihat Prasodjo dan Pandjaitan .2003. Stratifikasi Sosial dalam Tim Editor Sosiologi Umum. Bogor: Wirausaha Muda
Posisi kelembagaan kerja hanya terdiri dari dua bentuk yakni seorang ponggawa sebagai pemilik kapal bertindak sebagai juru mudi dan 2 atau 3 orang sawi sebagai pekerja. Posisi tersebut terbentuk karena diferensiasi yang beragam dalam kegiatan penangkapan belum dibutuhkan. Untuk dimensi jenis lapisan sebagai bagian dari stratifikasi yang ada hanya mencakup lapisan atas yang ditempati oleh posisi ponggawa pada level kelompok nelayan. Sedangkan pada konteks komunitas, lapisan atas terdapat kelompok bangsawan (lolo bajo) disamping posisi ponggawa. Penduduk desa masih menempatkan individu dengan status bangsawan pada lapisan atas. Dalam hal ini lapisan atas pada konteks komunitas tersebut mencakup kedudukan berdasarkan kelahiran (ascribed status) untuk kaum bangsawan serta kedudukan karena kemampuan (achieved status) untuk ponggawa, kades dan imam. Begitu pula pada lapisan bawah yang mencakup posisi sawi serta kelompok bukan bangsawan (atta bajo). Pada dimesi sistem bagi hasil, perolehan tangkapan sawi setengahnya (50%) diserahkan kepada ponggawa yakni setengah jumlah ikan yang diperoleh maupun setengah dari hasil penjualan keseluruhan. Tidak ada target tangkapan dalam sehari yang diberikan oleh ponggawa, sehingga dapat dikatakan bahwa pola hubungan non eksploitatif dan bersifat egaliter antara anggota dalam kelompok penangkapan. Pendapatan dan Kesejahteraan Nelayan Pendapatan nelayan berkaitan erat dengan kemampuan produksi hasil tangkapan serta nilai jual ikan. Akan tetapi kedua hal tersebut terkadang menjadi dilema tersendiri bagi nelayan. Pada musim ikan dengan tangkapan banyak harga ikan jatuh sedangkan pada musim terang harga ikan menjadi naik. Walaupun demikian hubungan produksi dan pendapatan tetap saling mempengaruhi. Hasil tersebut diperoleh sebagai hasil penjualan secara bebas baik di pasar maupun pada pedagang (pappalele) yang menunggu ketika nelayan pulang melaut. Pendapatan tersebut dipergunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari serta perbaikan perahu maupun mengganti pancing yang telah rusak. Keuangan dikelola oleh isteri nelayan sebagai pengelola keuangan rumah tangga perikanan (RTP).
Kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi karena mereka hanya membeli beras serta sayuran karena ikan diperoleh dari hasil tangkapan disamping untuk dijual.30 Isteri ponggawa HA menuturkan bahwa: ” Dari hasil itu kita juga bisa bikin acara sunat anak kita. Kita juga bisa datang kalau diundang acara keluarga dengan bawa uang, beras atau ayam yang dibeli di pasar lama (bekas pasar Kota Raha terbakar tahun 1996; Pen)”. Sedangkan wawancara dengan sawi Lm yang mengalami bekerja sebagai sawi pada koli-koli terungkap bahwa dia mempunyai pendapatan rata-rata sebesar Rp 15.000 - Rp 20.000 per bulan (harga beras Rp 250-Rp 500/liter). Hasil tersebut hanya dapat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu ia membuka jasa pembuatan perahu yang dipesan bagi nelayan yang berminat. Untuk pekerjaan tersebut pemesan menyediakan sendiri kayu yang dibutuhkan karena ia tidak memiliki modal untuk membeli kayu. Tabel 11. Pendapatan Nelayan Pada Penggunaan Sarana Koli-koli setiap bulan. No
Responden
1 2 3
Ponggawa (n = 45) Sawi Lokal (n = 30) Sawi Luar (n = 23) Rata-Rata
Pendapatan Rata-Rata (liter beras) 111 47 46.5 68.2
Ket: Pendapatan dihitung setiap bulan
Pendapatan nelayan pada penggunaan sarana koli-koli lebih tingggi pada nelayan dengan status ponggawa dibanding sawi baik lokal maupun dari luar. Hal tersebut dapat disebabkan karena ponggawa sebagai pemilik perahu berhak memperoleh setengah dari hasil tangkapan yang diperoleh sawi baik dalam bentuk ikan maupun uang hasil penjualan. Walaupun demikian, secara keselurhan pendapatan yang diperoleh masih tergolong rendah. Pada periode penggunaan koli-koli tersebut, secara rata-rata nelayan digolongkan pada kelompok masyarakat miskin yakni berpendapatan kurang dari 360 kg beras (Rusli et al 1995) dengan metode identifikasi Bangdes.31 Akan tetapi secara kualitatif, berdasarkan kriteria pemenuhan kebutuhan pangan (Kusnadi, 2002), nelayan dapat digolongkan pada katagori hidup yang
30 31
Wawancara dengan isteri HA dan HL Konversi 1 kg = 1.2 liter beras
cukup yakni apabila suatu rumah tangga nelayan mampu memenuhi kebutuhan konsumsi pangan dua kali sehari. Rendahnya pendapatan tersebut berkaitan dengan hasil hasil tangkapan yang kurang memadai karena sangat bergantung pada kondisi fisik nelayan serta kondisi alam. Penggunaan perahu koli-koli membuat nelayan hanya bekerja sesuai kemampuan mendayung perahu pada wilayah pinggir pantai (inshore). Nelayan belum mampu menjangkau wilayah tangkapan ikan yang lebih banyak yang biasanya terdapat pada wilayah lepas pantai (offshore).
Periode Penggunaan Ngkuru-ngkuru Pola Kerja Nelayan Pola kerja nelayan berubah setelah penggunaan ngkuru-ngkuru. Ngkurungkuru adalah perahu layar dengan kombinasi mesin tempel. Kadang digerakkan mesin kadang pula menggunakan penggerak layar. Pada umumnya alat tangkap yang digunakan adalah pancing dan menggunakan pukat tasi. Hal tersebut berlangsung mulai awal tahun 1970-an. Beberapa nelayan Lagasa yang menjadi sawi perahu motor katinting di wilayah Selat Buton dan Teluk Kendari turut andil memperkenalkan perahu tersebut. Pada saat itu pula pemerintah melaui BRI Raha membuka kesempatan penyaluran kredit pemilikan mesin katinting 10 PK. Menurut ponggawa HL (60) nelayan yang memanfaatkan jasa kredit tersebut, bahwa Kantor Perikanan Kab. Muna menginginkan produksi ikan nelayan lebih meningkat lagi. Oleh karena itu diupayakan program motorisasi perahu untuk memudahkan kerja nelayan dalam kegiatan penangkapan ikan. Selanjutnya demi menghemat bahan bakar, nelayan melakukan modifikasi perahu layar dengan kombinasi mesin 10 PK tadi (Tabel 12) Tabel 12. Pola Kerja Nelayan pada Penggunaan Sarana Ngkuru-ngkuru Dimensi Jenis Daya Jelajah
Jumlah Pekerja (Sawi) a. Sifat b. Pola rekrutmen Waktu Melaut Pembagian Kerja
Bentuk Perahu layar motor mesin 10 pk (ngkuru-ngkuru), dan alat tangkap pancing atau jaring tassi Pertengahan Selat Buton 6 - ≤ 10 km 3 - 4 orang Bebas Spontan, Komunal 7 - 12 jam per hari Ada, kurang jelas
Hasil tangkapan cenderung lebih banyak karena daya jelajah perahu bisa menjangkau pertengahan Selat Buton (sebelah timur Desa Lagasa).32 Perairan tersebut cukup subur dan memiliki banyak gugusan terumbu karang dengan berbagai macam biota laut yang hidup didalamnya seperti ikan - ikan pelagis (ikan permukaan), ikan - ikan domersal (ikan dasar), kerang mutiara, udang, dan teripang yang sebagian besar merupakan jenis komoditi ekspor dengan nilai ekonomis tinggi (DPK Kab. Muna, 2006). Sifat pekerja (sawi) bebas untuk bekerja pada ponggawa siapa saja serta kapan saja karena tidak adanya ikatan kerja antara kedua bela pihak. Sistem perekrutan masih bersifat spontan dengan memanfaatkan kuatnya struktur komunal dalam desa. Penggunaan alat bantu layar maupun mesin berkekuatan 10 PK dapat menambah jam kerja melaut dibanding penggunaan saana sebelumnya. Dalam kelembagaan kerja sudah mengenal pembagian kerja bagi sawi untuk tugas-tugas membersihkan air laut yang masuk ke dalam perahu, mengumpulkan ikan, serta pembagian jatah bonus ikan (jeme-jame). Akan tetapi pembagian tersebut belum jelas mengatur siapa mengerjakan apa, serta sistem giliran yang belum teratur.33 Untuk mengoperasikan ngkuru-ngkuru dan alat tangkap pukat tasi dibutuhkan 3 - 4 sawi dengan pembagian tugas seorang nakhoda, pada umumnya pemilik perahu, dan pekerjaan lainnya dilakukan secara bergilir oleh sawi seperti memasak, mengawasi kerja mesin serta membuang jangkar. Perubahan pembagian tenaga kerja dengan tugas yang jelas terjadi dalam satu armada yakni adanya posisi tukang lume.34 Struktur Sosial Nelayan Perubahan sosiologis nelayan akibat penggunaan sarana tersebut mengiringi cara produksi baru yang menggantikan cara produksi koli-koli. Kebutuhan akan posisi tukang lume dalam kelembagaan kerja sangat penting sebagai penambahan pembagian kerja (diferensiasi). Sawi yang sementara bekerja menangkap ikan tidak akan terganggu dengan kondisi perahu yang kemasukan air atau kotoran. Hal tersebut menguatkan pula tesis Smelser tentang pembentukan lembaga baru yang menyediakan tugas tertentu untuk menjalankan tugas lebih efektif dan efisien.
32
Selat Buton adalah selat yang memisahkan Pulau Muna dan Pulau Buton. Wawancara dengan ponggawa HA, HL, HD serta sawi Lm, LP dan LT 34 Tukang bersih air laut dan kotoran lain yang masuk ke dalam perahu akibat keras ombak atau perahu oleng.
33
Pembentukan spesifikasi kerja sebagai tukang lume adalah dampak dari perubahan teknologi perahu itu sendiri. Kapatuhan terhadap ponggawa bagi sawi maupun tukang lume bukan hanya karena status kepemilikan kapal bagi ponggawa. Akan tetapi ponggawa dengan statusnya juga sebagai juru mudi memiliki wewenang menentukan waktu dan wilayah penangkapan. Hal tersebut disebabkan pengetahuannya sebagai juru mudi tidak diragukan lagi (wawancara dengan informan mantan ponggawa). Hasil penangkapan dijual melalui pelelangan ikan di pasar sentaral Raha. Sistem bagi hasil yang diterapkan yakni terlebih dahulu dilakukan potong tengah yakni penghitungan biaya bahan bakar, perbekalan dan perbaikan serta retribusi penjualan pada TPI sebesar 5%, selanjutnya hasil tangkapan dibagi 2 bagian. Pemilik bertindak sebagai ponggawa memperoleh 1 bagian, sedangkan 1 bagian lainnya menjadi hak sawi. Sedangkan ponggawa karena posisinya sebagai juru mudi memperoleh 1 bagian. Sistem bagi hasil telah menjadi pranata dalam kehidupan nelayan. Walaupun demikian setiap kali ada sawi yang akan bergabung dalam armada ngkuru-ngkuru sistem tersebut tetap dibicarakan bersama. Meskipun bagi hasil diatur oleh ponggawa dan dilakukan di rumahnya akan tetapi tidak pernah terjadi manipulasi ataupun pembagian yang tidak adil. Disamping itu pemberian bonus ikan (jame-jame) sudah mulai diberlakukan kepada sawi. Bonus ikan tersebut diperuntukkan sebagai lauk keluarganya. Akan tetapi untuk lauk sehari bonus tersebut berlebih, sehingga para sawi menjual bonus tersebut setelah diambil buat lauk keluarga (jame-jame dalam istilah Jawa: lawuhan). Pemberian bonus ikan tersebut sangat disenangi oleh sawi. Salah seorang sawi Bc (49) mengungkapkan: “Jame-jame yang didapat kita jual di pasar sentral. Hasil yang dijual kita bisa beli rokok bahkan kebutuhan lainnya. Jame-jame tidak mungkin habis kita makan satu hari. Jadi sisanya kita jual dan selalu ada yang beli. Jame itu bikin kita sawi senang untuk bekerja ”. Cara produksi tersebut antara lain memiliki ciri kepemilikan nelayan atas perahu kecil motor tempel dan operasi dalam sehari (one day fishing). Pola hubungan kerja yang ada bukanlah hubungan eksploitatif, melainkan pola hubungan saling membutuhkan pada posisi nelayan ponggawa dan sawi. Secara singkat struktur sosial nelayan pada tahap penggunaan ngkurungkuru dapa dilihat pada tabel 13 berikut.
Tabel 13. Struktur Sosial Nelayan Pada Penggunaan Sarana Ngkuru-ngkuru Dimensi Diferensiasi Stratifikasi 1. Kelompok nelayan a. Jenis Lapisan b. Dasar/ukuran 2. Komunitas a. Jenis Lapisan b. Dasar/ukuran Pola Hubungan Sistem Bagi Hasil
Bentuk 1. ponggawa, 2. sawi 3. tukang lume
Atas (ponggawa), Bawah (sawi, tukang lume) Kepemilikan dan posisi kerja Atas (lolo, ponggawa, kepala desa, imam desa), Bawah (atta, sawi, tukang lume) Kepemilikan dan posisi kerja Ascribed and achieved status non eksploitatif, egaliter Potong tengah (biaya operasional) 50% (ponggawa): 50% (sawi)
Ket: Lolo Bajo: Bangsawan, Atta Bajo: Bukan Bangsawan
Dengan adanya tugas tukang lume, terbentuk satu posisi dalam kegiatan melaut dengan sarana ngkuru-ngkuru disamping ponggawa dan sawi. Posisi tersebut berimplikasi pada diferensiasi sosial dalam kehidupan nelayan seharihari. Posisi tersebut secara vertikal berada pada posisi paling bawah setelah sawi dalam struktur kerja nelayan. Posisi tersebut juga membedakan pembagian hasil tangkapan. Satu bagian yang diberikan untuk para sawi diberikan kepada tukang lume dalam porsi yang berbeda dengan sawi biasa. Untuk dimensi jenis lapisan sebagai bagian dari stratifikasi yang ada hanya mencakup lapisan atas yang ditempati oleh posisi ponggawa pada level kelompok nelayan. Sedangkan pada konteks komunitas, lapisan atas terdapat kelompok bangsawan (lolo bajo) disamping posisi ponggawa. Penduduk desa masih menempatkan individu dengan status bangsawan pada lapisan atas. Dalam hal ini lapisan atas pada konteks komunitas tersebut mencakup kedudukan berdasarkan kelahiran (ascribed status) untuk kaum bangsawan serta kedudukan karena kemampuan (achieved status) untuk ponggawa. Begitu pula pada lapisan bawah yang mencakup posisi sawi dan tukang lume serta kelompok bukan bangsawan (atta bajo). Pendapatan dan Kesejahteraan Nelayan Pendapatan nelayan pada cara produksi ngkuru-ngkuru berbeda dibanding menggunakan koli-koli. Secara kuantitatif hasil tangkapan kelompok penangkapan meningkat. Implikasi dari perkembangan pola kerja, nelayan dapat meningkatkan
daya jangkauan serta waktu melaut karena tenaga dayung untuk menggerakkan perahu telah dibantu oleh tenaga layar/angin maupun mesin 10 pk. Wilayah tangkapan dapat menjangkau pertengahan Selat Buton seperti dijelaskan pada tabel 10 terdapat berbagai jenis ikan yang cukup banyak.35 Panjangnya waktu melaut terkadang mengharuskan nelayan untuk menyiapkan perbekalan sehingga ponggawa mengeluarkan pula biaya perbekalan sebagai bagian dari pengeluaran biaya operasional. Tabel 14. Pendapatan Nelayan Ponggawa Pada Sarana Ngkuru-ngkuru. Pendapatan Rata-Rata (dalam liter beras) Sebelum Setelah Selisih 113 250 137 113 250 137 107 243 136 111.0 247.7 136.7
Tingkatan Adopter
No 1 2 3
Pengadopsi Cepat (n=15) Pengadopsi Sedang (n=14) Late Adopters (n=16) Rata-Rata
% 54.8 54.8 56.0 55.2
Ket: Sebelum (menggunakan perahu koli-koli) Setelah (menggunakan ngkuru-ngkuru) Pendapatan dihitung setiap bulan
Terjadi peningkatan pendapatan secara rata-rata pada nelayan ponggawa sebesar 55.2 %. Kenaikan tersebut terjadi karena sistem bagi hasil yang menjadi hak ponggawa sebesar 50% serta 1 bagian dari 50% sawi karena posisinya sebagai juru mudi. Tabel tersebut juga memperlihatkan bahwa pendapatan nelayan lebih tinggi pada Pengadopsi Cepat dan Pengadopsi Sedang sehingga dapat dikatakan bahwa pendapatan nelayan berhubungan pula dengan kecepatan adopsi teknologi. Pendapatan ponggawa tersebut cukup untuk kebutuhan sehari-hari, bahkan ponggawa HA dan HL bisa menambah masing - masing 1 buah perahu. Sementara itu HA bisa membeli sebuah mesin bekas. Sedangkan pendapatan bagi sawi diperlihatkan pada tabel 15 berikut. Tabel 15. Pendapatan Nelayan Sawi Pada Sarana Ngkuru-ngkuru. No 1 2
Status Sawi Lokal (n = 30) Sawi Luar (n = 25) Rata-Rata
Pendapatan Rata-Rata (dalam liter beras) Sebelum Setelah Selisih 47 46.5 46.8
80.6 84.4 82.5
33.6 37.9 35.8
% 41.7 44.9 43.3
Ket: Sebelum (menggunakan perahu koli-koli) Setelah (menggunakan ngkuru-ngkuru) Pendapatan dihitung setiap bulan 35
DPK Kab.Muna. 2006. Laporan Kinerja Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Muna tahun 2005.
Terjadi pula kenaikan pendapatan nelayan sawi pada penggunaan sarana ngkuru-ngkuru sebesar 41.7% untuk sawi lokal dan 44.9% untuk sawi luar. Pendapatan rata-rata lebih tinggi pada sawi luar dibanding dengan sawi lokal. Wawancara dengan responden sawi Lm sebesar Rp 100.000 dari Rp 15.000 atau Rp 20.000 pada waktu ikut koli-koli. Hasil tersebut dirasakan belum mencukupi kebutuhan hidup walaupun secara kuantitatif terjadi kenaikan, karena harga kebutuhan naik serta tanggungan semakin bertambah. Keluhan tersebut disampaikan isteri Lm: “ Anak saya yang ketiga lahir waktu Bapaknya masih ikut Ngkurungkuru. Uang yang dikasih sebenarnya belum cukup untuk hidup. Itu sebabnya kita selalu hemat pakai uang. Untung saja ikan tidak pernah kita beli karena dapat jame kalau pulang dari laut ”. Keluhan tersebut menggambarkan pula perbedaan pendapatan antara nelayan ponggawa dan sawi. Akan tetapi bagi sawi tidak pernah mengeluh dengan kondisi ketimpangan tersebut. Sawi tidak merasa perbedaan tersebut karena ponggawa bersifat tidak fair. Mereka menganggap hasil yang diberikan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai sawi. Keseluruhan responden (100%) menjawab sesuai ketika diberikan pertanyaan apakah hasil yang diperoleh sesuai dengan posisi mereka. Pendapat tersebut menunjukan bahwa pola hubungan antara ponggawa-sawi adalah hubungan saling membutuhkan (simbiose mutualisma) walaupun terdapat perbedaan. Pada periode penggunaan ngkuru-ngkuru tersebut, secara rata-rata nelayan (baik ponggawa maupun sawi) digolongkan pada kelompok masyarakat miskin yakni berpendapatan kurang dari 360 kg beras (Rusli et al 1995) dengan metode identifikasi Bangdes.36
Periode Penggunaan Gae Gae adalah istilah/sebutan lokal Bajo untuk paket sarana penangkapan yang terdiri dari kapal mini pursein serta pukat cincin. Pukat cincin sendiri pertama kali diperkenalkan di pantai utara Jawa oleh BPPL pada tahun 1970 (Subani dalam Irham, 2006). Teknologi gae (mini pursein dengan alat tangkap pukat cincin) mulai masuk dan berkembang di Desa Lagasa sewaktu masih menetap pada desa lama antara tahun 1976-1978. Bersamaan dengan itu terjadi program relokasi penduduk pada desa tempat menetap sekarang ini. Karena penduduk masih disibukkan dengan relokasi, penggunaannya baru dimulai tahun 1980 -1981. Orang yang pertama 36
Konversi 1 kg = 1.2 liter beras
menggunakan adalah ponggawa HA. Sebenarnya ia sudah menggunakan pukat yang mirip pukat cincin hasil rancangan sendiri. Teknologi gae sendiri sudah banyak diterapkan di beberapa desa pesisir Sulawesi Tenggara seperti Torobulu, Bontu-Bontu dan Latawe. Sewaktu menggunakan pukat mirip gae tersebut, nelayan tidak banyak yang merespons dengan baik. Hal tersebut menurut mereka karena biayanya terlalu mahal serta membutuhkan kapal yang agak besar. Informan mantan ponggawa mengungkapkan bahwa pada waktu itu mereka bahkan menganggap ide HA tersebut terlalu berlebihan. Akan tetapi HA tetap menggunakan serta belajar pada nelayan dari daerah lain. Oleh karena waktu itu alat tangkap pukat cincin sudah dijual di beberapa toko di Makassar, maka ia memutuskan untuk membeli dan tidak melanjutkan untuk menyempurnakan inovasinya. Disamping itu selisih biaya pembuatan dan harga yang dijual tidak begitu besar. HA pertama kali menggunakan kapal bekas serta perangkat gae dari seorang ponggawa di Desa Torobulu Kendari seharga Rp 6.000.000. Sebelumnya HA menjual sebuah perahu ngkuru-ngkuru sebagai tambahan modal membeli gae. Cara pengoperasian kapal maupun alat tangkap telah dipelajari sebelumnya dengan turut serta dalam penangkapan pada armada gae di Torobulu serta Bontu-Bontu (sebelah utara Raha, ibukota kabupaten). Sawi yang bekerja pada dua perahu sebelumnya (6 orang) direkrut untuk bekerja pada armada gae tersebut selanjutnya dilakukan penambahan sawi sebanyak 4 orang sehingga berjumlah 10 sawi. Semua berasal dari keluarga dan kerabat dekat. Posisi nakhoda dipegang sendiri oleh HA. Wilayah penangkapan mulai memasuki perairan Selat Buton sebelah utara dan Teluk Kendari. Pola Kerja Nelayan Gae sebenarnya adalah jenis pukat yang dilengkapi cincin pemberat pada bagian bawah pukat jumlahnya mencapai 200 buah. Cincin tersebut bersama tali kerut berfungsi membentuk kantong atau mangkok dalam mengumpulkan ikan (Irham, 2006). Sedang bagian atas terdapat pelampung-pelampung kecil terbuat dari plastik atau karet. Ukuran pukat adalah panjang antara 150 - 250 meter dengan lebar 30 - 50 meter. Dengan lebar seperti itu, maka pukat dapat dioperasikan pada perairan dengan kedalaman 25 - 30 meter. Panjang pukat dibagi 30 - 36 bagian (pice) dengan harga Rp 2.500.000 setiap pice. Kapal tersebut dikenal dengan kapal mini pursein dengan kekuatan mesin 300 PK. Untuk memudahkan penyebutan sarana penangkapan tersebut nelayan
memberi nama singkat; Gae. Sedangkan kelompok/awak dalam satu armada nelayan menyebut Pagae. Panjang kapal antara 15 - 20 meter dengan lebar 3 3,5 meter dan kedalaman palka 1 meter yang dapat memuat ikan 1,5 - 2,5 ton. Pada bagian atas kapal terdapat ruangan yang berfungsi sebagai tempat menyimpan perlengkapan melaut, perbekalan serta ruang kemudi. Atap ruangan berbentuk datar terbuat dari papan dan digunakan oleh para sawi untuk bercakapcakap ataupun bermain domino sebelum aktivitas melingkar pukat dimulai. Selain ruangan, bagian lain kapal tidak diberi atap. Untuk pengadaan sebuah kapal beserta pukatnya nelayan harus menginvestasikan uang sejumlah kurang lebih Rp 90.000.000 sampai Rp 95.000.000 untuk kapal bekas. Sedangkan kapal baru harganya bisa mencapai Rp 120.000.000 - Rp 150.000.000. Nelayan di Desa Lagasa memulai operasi penangkapan pada setiap hari pada musim gelap pada jam 4 atau jam 5 sore. Musim gelap tersebut adalah pada perhitungan bulan (penanggalan Hijriyah). Biasanya dimulai pada malam ke 20 bulan di langit, kemudian istirahat pada musim terang yakni pada malam ke 12 bulan berikutnya. Dengan kondisi tersebut praktis nelayan beroperasi selama 18 hingga 20 malam setiap bulannya. Akan tetapi efektif selama 15 malam pada saat bulan mati. Jadi waktu istrirahat nelayan selama 8 - 10 hari/malam. Pada saat terang (terang bulan) ikan sukar terkumpul tidak seperti musim gelap.37 Pada musim melaut tersebut setiap hari mulai jam 15.30 pagae berdatangan dan berkumpul di dermaga gae.38 Akan tetapi bagi pagae yang melakukan penangkapan dengan sistem pangkalan mereka baru kembali ke desa pada awal terang misalnya malam ke 12 - 15. Jika kondisi pantai, air sedang surut (metti), pagae berjalan kaki menuju kapal masing-masing dipimpin seorang ponggawa. Sedangkan jika kondisi air pasang mereka menggunakan jonson 10 pk (body batang /padomba) yang juga berfungsi untuk melingkarkan pukat sepanjang cahaya lampu. Pada hari pertama melaut setiap bulannya, pada malam hari dilakukan ritual tolak balaa seperti telah dijelaskan pada Bab sebelumnya. Ketika sampai pada daerah tujuan, para awak/pagae bersiap-siap memulai pekerjaan sambil menunggu posisi bulan agak miring di atas kepala sampai
37
Ikan dikumpulkan melalui cahaya lampu petromak atapun generator. Kemudian pukat diturunkan dilingkarkan oleh perahu body batang (padomba). 38 Ada 2 sistem melaut yang dilakukan nelayan yakni 1) sistem melaut semalam dan 2) sistem melaut pangkalan.
keadaan laut gelap gulita.39 Untuk memancing perhatian ikan dinyalakan lampu petromak dalam jumlah yang banyak. Saat ini beberapa armada mengganti petromak dengan mesin generator. Sambil menunggu posisi bulan, masingmasing awak melakukan aktivitas sendiri - sendiri. Setelah makan malam, ada yang tidur, memancing, berbincang-bincang ataupun bermain domino. Pada saat yang tepat pukat diatur setiap pice. Kemudian disebarkan membentuk lingkaran dengan menggunakan body batang yang dikemudikan oleh seorang sawi dan seorang bertugas menyebarkan pukat. Setelah masing-masing ujung pukat bertemu pada satu titik, para sawi yang menurunkan pukat tadi naik ke atas kapal dan menunggu ikan terkumpul selama 1 - 1,5 jam. Para sawi kembali melakukan aktivitas lain sambil menunggu pukat ditarik. Ketika ikan terperangkap, pukat membentuk payung/mangkuk serta terkumpul pada badan pukat. Seorang sawi bertugas mengamati keadaan/kelayakan jumlah ikan (pakacca). Aktivitas selanjutnya adalah menarik pukat dan mengumpulkan ikan yang masuk dalam perangkap pukat. Hal tersebut berlangsung sekitar 2,5 jam. Kemudian ikan dimasukan pada bagian penyimpanan biasanya bagian bawah geladak atau dikumpul tersendiri pada perahu body batang. Selanjutnya kapal bergerak menuju lokasi lain untuk melakukan aktivitas “melingkar” kedua sebelum waktu dini hari atau jika waktu masih memungkinkan. Hal tersebut dimaksudkan agar pada saat matahari terbit aktivitas sudah selesai, serta pagae tidak akan terlambat untuk shalat subuh. Beberapa sawi mendapat tugas khusus memilah ikan sesuai jenis serta besarnya. Para sawi mengambil bonus ikan (jame-jame) yang menjadi haknya dan disimpan pada wadah keranjang masing-masing. Sementara itu kapal bergerak menuju Tempat Pelelangan Ikan (TPI) sekitar Pasar Sentral Raha dimana hasil tangkapan dimuat di atas padomba. Di tengah laut sudah menunggu perahuperahu para pedagang (pappalele) untuk membeli ikan dari nelayan. Hasil tangkapan antara lain ikan tongkol (turinga/cakalang), sunu (sunu’), ikan putih (pote) rumah-rumah (ruruma), pari (sarange), teri (lure), tembang (tebah) serta berbagai jenis ikan lainnya. Menurut ponggawa Ti (40) sekali melaut (satu malam) pada musim gelap armadanya pernah memperoleh tangkapan berbagai jenis ikan sebanyak setengah ton.
39
Beberapa pengetahuan tradisional Suku Bajo potika uran/angina (ramalan hujan dan angin) serta pengetahuan perbintangan (Mamau), karang, ombak serta waktu dan lokasi penangkapan diwarisi turun temurun.
Transaksi dilakukan antara pappalele dan ponggawa. Sementara para sawi menawarkan bonus ikan yang diperoleh juga baik pada pappalele besar maupun pappalele kecil. Pada beberapa perahu terdapat anak-anak maupun remaja yang berusaha mengambil/mencuri ikan (matila) milik pagae atau pappalele. Mereka biasanya mengambil dalam jumlah sedikit untuk setiap armada. Menurut kepercayaan baik pagae maupun pappalele para matila ikan yang wajar sebenarnya pembawa rezeki. Akan tetapi jika yang diambil terlalu banyak sedang ikan sedikit, mereka bisa marah. Pagae tetap menyukai bekerja dengan sarana kapal (mini pursein) serta pukat cincin tersebut karena pekerjaan lebih santai dan jumlah anggota kelompok yang banyak/besar, tidak memerlukan tenaga untuk mendayung, serta tidak memerlukan perawatan pukat yang sering seperti jaring kecil sebelumnya. Secara ringkas pola kerja nelayan Gae dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 16. Pola Kerja Nelayan pada Penggunaan Sarana Tangkap Gae Dimensi Jenis Daya Jelajah Jumlah Pekerja (Sawi) a. Sifat b. Pola rekrutmen Waktu Melaut Pembagian Kerja
Capaian/Bentuk Kapal mini pursein kapasitas 5-10 GT dan alat tangkap pukat cincin (gae) Teluk Kendari, Laut Sulawesi, Perairan Maluku Selat Tiworo (> 10 km) 12 - 15 orang Semi bebas Selektif > 12 jam per hari Jelas
Ket: Pada umumnya kelompok nelayan menggunakan sistem penangkapan semalam pada wilayah Teluk Kendari
Dari segi efektivitas, penggunaan gae membuat hasil yang dicapai lebih banyak serta beragamnya jenis tangkapan ikan. Dari segi efisiensi, pekerjaan sawi menjadi lebih ringan dibandingkan ketika menggunakan sistem “manual” koli-koli maupun ngkuru-ngkuru. Dengan kondisi kapal tersebut nelayan bebas menentukan daerah tangkapan yang memiliki ikan lebih banyak sesuai dengan zonasi yang ditetapkan oleh Dinas Perikanan Kelautan setempat. Berbeda pada masa sebelumnya dimana nelayan memperhitungkan resiko tenaga serta jarak yang sukar dijangkau. Penggunaan teknologi pada aspek kekuatan mesin tersebut membawa implikasi pada peningkatan daya jelajah untuk memilih wilayah penangkapan yang dianggap memiliki sumber ikan lebih banyak. Pencapaian daya jelajah yang jauh menjadikan waktu melaut bagi nelayan menjadi lebih lama. Bahkan beberapa armada (pagae) melakukan sistem pangkalan pada beberapa wilayah
tertentu. Penggunaan teknologi kapal yang harus memuat alat tangkap pukat cincin tidak dapat dioperasikan oleh kelompok kecil. Pukat dimuat pada kapal dengan kapasitas minimal 5 - 10 GT dengan kelompok sawi 12 - 15 orang. Berkembangnya hubungan patron-klien antara ponggawa dan sawi tersebut berimplikasi pula munculnya hubungan-hubungan ekonomis rasional, misalnya hubungan hutang piutang. Hutang piutang tersebut menimbulkan perasaan “kurang nyaman“ bagi sawi untuk pindah pada kelompok pagae dengan ponggawa lain. Akibatnya sifat pekerja menjadi pekerja semi bebas. Hubungan tersebut berkembang di kalangan nelayan Lagasa. Dari 55 sawi baik lokal maupun luar, 100% pernah melakukan hubungan hutang tersebut, 23 sawi (41.8%) diantaranya masih memiliki beban hutang pada ponggawa. Pola rekrutmen sawi menjadi lebih selektif, tidak semata-mata mengandalkan kekuatan fisik. Berbagai tugas yang dilakukan mengharuskan pekerja juga memiliki keterampilan serta ketekunan. Misalnya tugas untuk menjalankan mesin, mengamati kondisi ikan apakah sudah terkepung atau belum (makacca). Oleh karena itu pembagian kerja menjadi lebih jelas untuk tugas dan tanggung jawab serta wewenang masing-masing. Struktur Sosial Nelayan Perubahan sosiologis terjadi ketika penggunaan kapal motor gae tersebut. Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, armada gae membutuhkan sawi 10 -12 orang, serta beberapa pekerjaan memerlukan keahlian khusus. Dengan menggunakan mesin dan kapasitas 5 - 10 GT tesebut, armada membutuhkan tenaga masinis untuk menjalankan, merawat dan memperbaiki mesin (bas). Posisi ini diisi biasanya diisi oleh anak ponggawa yang diajari khusus. Posisi baru adalah tukang melingkar pukat (tukang lingkar) yang diberikan kepercayaan kepada sawi yang dianggap mampu untuk pekerjaan tersebut. Posisi juru mudi (nakhoda) dan penunjuk arah serta penentu lokasi penangkapan dipercayakan kapada ponggawa. Jika menggunakan generator, dibutuhkan sawi yang bertugas untuk mengoperasikan mesin tersebut. Jadi dengan adanya modernisasi, terjadi diferensiasi sosial yang dilihat dari semakin banyaknya posisi sosial yang menimbulkan perubahan stratifikasi yang berjenjang serta hierarkis. Posisi tukang masak tidak ada karena sawi membawa sendiri perbekalan untuk makan malam. Tidak adanya posisi tersebut menyebabkan pula ponggawa tidak menanggung biaya makan/perbekalan.
Kelompok penangkapan (pagae) juga membutuhkan seorang yang mengamati kelayakan tangkapan (jumlah maupun jenis ikan). Posisi tersebut membutuhkan keahlian tersendiri bagi sawi karena pengamatan dilakukan dengan cara menyelam dalam air di waktu malam hari, dan hanya dilengkapi sebuah kacamata air. Posisi tersebut dalam bahasa lokal dinamakan pakacca. Pada armada juga terdapat posisi tukang bage yang bertugas memilah ikan berdasarkan ukuran dan jenisnya serta membagi bonus ikan (jame-jame) untuk setiap sawi sebelum ikan dijual (lihat tabel 17). Tabel 17. Posisi baru dalam Pola Kerja Armada Gae No
Posisi
Tugas
1
Nakhoda/ponggawa
- Mengemudikan kapal - Menentukan arah kapal - Menentukan lokasi penangkapan
2
Masinis/Bas
- Menjalankan mesin - Merawat dan memperbaiki mesin
3
Pakacca
Mengamati kelayakan jumlah ikan sebelum ditarik
4
Tukang Listrik
Menjalankan dan mengoperasikan mesin generator
5
Tukang Lingkar
Melingkarkan pukat di sekeliling lampu
6
Tukang Tare
Menarik pukat ke atas kapal
7
Tukang Bage
8
Tukang Lume
- Memilah ikan sesuai jenis dan ukurannya - membagi bonus (jame-jame) bagi sawi Membersihkan air laut dan kotoran lain yang masuk ke dalam kapal
Perbedaan posisi (diferensiasi pekerjaan) dalam pola kerja tersebut berimplikasi pada diferensiasi sosial karena posisi tersebut bersifat vertikal dan berjenjang serta hierarkis. Posisi sawi dengan keahlian khusus akan memperoleh bagian lebih banyak dari sawi lainnya. Hal tersebut menjadikan kecenderungan sawi untuk “belajar” sehingga dapat mencapai posisi-posisi yang membutuhkan keahlian khusus. Kecenderungan tersebut terjadi karena dalam aturan bagi hasil posisiposisi tersebut memperoleh jumlah lebih banyak dari pada posisi yang hanya mengandalkan kekuatan fisik seperti sawi pada umumnya. Walaupun jumlahnya tidak ditetapkan dalam suatu pranata khusus. Bagi gae yang memiliki mesin penarik pukat, posisi tukang tare tidak diperlukan lagi karena digantikan oleh mesin yang digerakan oleh masinis (bas). Sehingga bas biasanya memperoleh hasil pembagian yang cukup banyak. Sistem stratifikasi tersebut memperlihatkan
nelayan di Desa Lagasa memiliki sistem stratifikasi terbuka dengan berlakunya sistem achieved status. Pada armada yang menggunakan mesin gardang, perekrutan sawi menjadi lebih selektif lagi. Dua buah armada dengan ponggawa HA memiliki sebuah mesin gardang. Sawi yang hanya mengandalkan kekuatan fisik tidak terlalu menjadi prioritas untu bekerja pada gae gardang. Sawi lainnya tetap bekerja pada armada non gardang. Ponggawa tidak mungkin menampung pekerja terlalu banyak tetapi mubazir, serta berdampak pada kecilnya bagian yang diperoleh pada saat bagi hasil. Beberapa sawi direkrut bekerja sebagai pagae gardang oleh karena sudah memiliki kemampuan mengoperasikan mesin penarik pukat. Berubahnya sistem startifikasi tersebut dirasakan beberapa sawi yang sebelumnya tidak mengenal posisi selain menangkap dan mengumpulkan ikan. Hal tersebut terangkum dalam wawancara dengan sawi lokal Rn (48): “Tugas saya sekarang jadi tukang melingkar. Tapi sebelum itu saya hanya tukang tarik pukat. Lama-lama saya dikasih percaya (dipercayakan: Pen) ponggawa untuk melingkar. Mungkin dia (ponggawa) lihat saya bisa melingkar”. Sedangkan sawi luar desa LM (39) adalah lulusan STM di Raha dan memiliki sedikit pengetahuan elektronik sehingga dipercayakan sebagai Tukang Listrik. Pada dimensi stratifikasi pada level kelompok nelayan, setiap jenis lapisan menempatkan nelayan dengan posisi berdasarkan kepemilikan, posisi kerja dan pendapatan. Ukuran tersebut menempatkan ponggawa tetap pada lapisan atas, bas, tukang lingkar tukang listrik dan pakacca menempati lapisan menengah serta lapisan bawah terdapat nelayan dengan posisi tukang tare, tukang bage, tukang lume. Secara ringkas perubahan struktur sosial nelayan sebagai dampak penggunaan teknologi baru (modernisasi) dapat dilihat pada tabel 18, dimana terlihat bahwa nelayan dengan status bangsawan atau bukan menyebar pada berbagai posisi (diferensiasi). Penyebutan sawi dengan tugas khusus lazim digunakan pada kelompok penangkapan, sedangkan di luar kelompok (komunitas) tetap menggunakan istilah sawi.
Tabel 18. Struktur Sosial Nelayan Pada Penggunaan Sarana Gae Dimensi Diferensiasi Stratifikasi 1. Kelompok nelayan a Jenis Lapisan
b. Dasar/ukuran 2. Komunitas a Jenis Lapisan
b. Dasar/ukuran Pola Hubungan Sistem Bagi Hasil
Bentuk Nakhoda/ponggawa, Bas, pakacca, tukang listrik Tukang lingkar,tukang tare, tukang bage, tukang lume
Atas (Ponggawa) Menengah (Bas, tukang lingkar, tukang listrik, pakacca) Bawah (tukang tare, tukang bage, tukang lume) Kepemilikan, posisi kerja, pendapatan Atas (ponggawa) Menengah (bas, tukang lingkar, tukang listrik, pakacca) Bawah (tukang tare, tukang bage, tukang lume) Kepemilikan, posisi kerja, pendapatan (achieved status) non eksploitatif, hierarkis Potong tengah (biaya operasional) 50% (ponggawa): 50% (sawi)
Pada lapisan atas nelayan hanya menempatkan posisi ponggawa, dan tidak lagi terdapat kelompok bangsawan (lolo). Hal tersebut menunjukan bahwa ascribed status sudah tidak menjadi pertimbangan dalam menempatkan individu dalam satu jenis lapisan. Lapisan atas yang diisi oleh ponggawa tidak memandang status bangsawan atau bukan, tergantung kemampuan dan kecakapan sehingga dapat menempati posisi ponggawa. Sebaliknya seorang bangsawan pada posisi sawi pada beragam diferensiasi tetap ditempatkan pada lapisan menengah maupun lapisan bawah. Dalam hal ukuran ekonomi (kekayaan) secara fisik terlihat adanya perbedaan pada setiap posisi tersebut. Ukuran tersebut kelihatan dari model rumah, perabot serta pakaian yang dikenakan dirinya serta anggota keluarganya. Sistem stratifikasi tersebut terjadi karena (Prasodjo dan Pandjaitan, 2003): 1. Adanya proses kelembagaan yang menetapkan suatu tipe barang dan jasa tertentu sebagai sesuatu yang bernilai dan diinginkan. 2. Adanya aturan alokasi yang mendistribusikan barang dan jasa tersebut kepada beragam kedudukan atau pekerjaan. 3. Adanya mekanisme mobilitas (gerak berubah) yang mengaitkan antara individu dengan pekerjaannya atau kedudukannya itu. Secara kuantitatif, responden sawi yang menempati posisi-posisi tersebut dapat dilihat pada tabel 18 berikut ini.
Tabel 19. Jumlah Responden Sawi pada Berbagai Posisi Kerja Sarana Modernisasi No 1 2 3 4 5 6 7
Posisi Bas Tukang Listrik Tukang Lingkar Pakacca Tukang Tare Tukang Bage Tukang Lume Jumlah
Jumlah 9 12 5 7 10 7 5 55
% 16.4 21.8 9.1 12.7 18.2 12.7 9.1 100
Struktur pesisir mewarnai pola hubungan dalam sistem produksi penangkapan hasil laut. Pola hubungan ponggawa-sawi sebagai konsekuensi dari sifat saling membutuhkan antara pemilik sarana produksi (ponggawa) serta penjual jasa tenaga kerja (sawi). Pola hubungan produksi tersebut memiliki sisi positif dan tidak terjadi eksploitasi oleh pihak ponggawa. Hal tersebut disebabkan: 5. Hubungan tersebut tidak terikat kontrak kerja. 6. Ponggawa tidak menanggung biaya perbekalan serta jaminan piutang secara khusus bagi sawi. Termasuk di dalamnya tidak ada piutang yang mengikat sawi. 7. Konsekuensi poin 1 menyebabkan pihak sawi dapat berganti ponggawa kapan saja sesuai keinginannya. 8. Sistem bagi hasil yang menjamin kehidupan sawi. Disisi lain pola hubungan mengarah pada gejala semi eksploitasi dalam hal target jumlah tangkapan. Hasil tangkapan yang tidak sesuai targe misalnya pada saat tangkapan bulan sebelumnya tidak dapat menutupi biaya operasional bulan berikutnya karena hal tersebut menjadi hutang bagi kelompok pagae. Otomastis nelayan akan berusaha memperoleh tangkapan yang banyak untuk menutupi hutang tersebut serta memperoleh bagi hasil yang memadai. Walaupun demikian, dari hasil wawancara serta isian kuesioner yang diberikan, 34 responden sawi (68%) dari 55 responden menyatakan pola hubungan yang terjalin sangat menguntungkan sedangkan 16 responden (22%) menyatakan cukup menguntungkan. Saling menguntungkan tersebut bukan hanya sekedar bagi hasil yang memadai akan tetapi pola hubungan tidak mengikat tersebutlah yang menjadi faktor penyebabnya. Selain itu dalam setiap melaut, sawi diberi hak bagian hasil tangkap sejumlah ikan (jame-jame) sebelum ikan dijual kepada pihak pappalele. Sawi
diberi ikan secukupnya sebagai lauk buat makan keluarga.40 Menurut mereka ikan tersebut lebih dari cukup untuk makan, sedangkan sisanya dapat dijual. Seorang sawi LT (42) mengatakan bahwa dalam sehari ia bisa memperoleh Rp 30.000 hasil penjualan jame-jame. Sedangkan Ls (38) menuturkan bahwa dalam musim paceklik ikan sekalipun, ia dapat menghidupi keluarganya dari hasil jamejame.41 Ketika pertanyaan tersebut diberikan kepada pongawa dari 45 responden keseluruhannya (100%) menyatakan menyukai model hubungan tersebut. HD (51) seorang ponggawa mengatakan bahwa sawi yang bekerja pada armadanya sangat menaruh hormat padanya bukan hanya dalam kegiatan produksi. Hal tersebut juga terjadi dalam kehidupan sosial sehari-hari. Memang pada awal penerapan gae terjadi kondisi yang tidak menyenangkan utamanya bagi ponggawa. Kondisi tersebut karena belum adanya pranata yang disepakati dan berlaku dalam konteks armada penangkapan. Terdapat kondisi diskontinuansi atau keputusan menghentikan penggunaan inovasi pada seorang ponggawa karena tidak puas dengan konsekuensi inovasi tersebut. Seorang mantan ponggawa Sl (58) menjual kapal serta alat tangkap gae dan memilih usaha tangkap taripang (pattaripang) serta rumput laut dan hanya dibantu anak dan menantunya. Hal tersebut dilakukan karena menurutnya tindakan sawi pada kegiatan penangkapan sudah tidak terkendali. Sawi bekerja tidak menerapkan aturan yang telah disepakati bersama. Misalnya seorang ponggawa harus menunggu para sawi terkumpul pada jam 17.00-17.30 sore baru turun ke laut. Padahal sesuai kesepakatan melaut dimulai pada jam 16.00 selepas Shalat Ashar. Terkadang dia harus memanggil para sawi di rumahnya untuk segera turun melaut. Ketika pulang melaut, ikan jame-jame oleh para sawi diambil sesuai keinginan mereka. Keadaan tersebut menyebabkan pula sikap ponggawa yang tidak fair dalam hal penentuan harga jual yang berdampak pada bagi hasil yang tidak seimbang. Pada musim terang, ketika dilakukan pembagian hasil selama musim gelap ponggawa menyebutkan jumlah hasil penjualan kotor tanpa ada bukti nota maupun bukti tertulis lainnya.
40 41
Sawi menyiapkan keranjang khusus tempat menyimpan jame-jame untuk dibawa pulang. Sebagian dibawa pulang sebagian dijual.
Kedaan dapat diatasi setelah diadakan pertemuan antara tokoh masyarakat, ponggawa, sawi serta difasilitasi oleh Kepala Desa waktu itu (sekarang menjadi informan dalam penelitian ini). Kesepakatan yang dibuat adalah: 1. Semua pagae harus datang di dermaga tepat waktu. 2. Bagi hasil harus dilakukan secara terbuka dan diketahui oleh semua pagae. 3. Jame-jame hanya diberi jatah satu keranjang plastik. 4. Sawi yang berhalangan ikut harus memberi tahu (izin) ponggawa Menurut Smelser kondisi seperti itu merupakan konsekuensi dari modernisasi (penerapan teknologi). Penjelasan selanjutnya Smelser menekankan pentingnya integrasi sebagai proses menyatukan (institution) dampak diferensiasi tersebut. Mediasi yang dilakukan oleh Kepala Desa dalam kasus tersebut adalah salah satu bagian dari proses integrasi teori Smelser tersebut. Pendapatan dan Kesejahteraan Nelayan Sistem bagi hasil adalah unsur terpenting dalam mengkaji perubahan struktur sosial akibat cara kerja suatu teknologi baru. Sistem bagi hasil dilakukan sebagai pemberian balas jasa patron (ponggawa) kepada klien (sawi). Sistem bagi hasil tetap dipilih seperti halnya pada masa ngkuru-ngkuru sebagai pranata yang berlaku serta dianggap lebih baik dari pada sistem imbalan lain seperti gaji harian, permusim atau bentuk imbalan lainnya. Sistem bagi hasil mengurangi resiko kerugian bagi ponggawa akibat hasil tangkapan yang kurang. Untuk keperluan ini peneliti melakukan wawancara dengan ponggawa BM (40), sawi lokal Sb (37) serta sawi luar desa LK (47). Hasil wawancara disusun sebagai berikut: “ Kalau saya kasih gaji tetap, saya bisa rugi kalau tangkapan sedikit. Karena setiap hari kita kasih keluar uang untuk beli solar, belum biaya setiap bulan (retribusi desa) atau setiap tahun (perpanjangan izin Dishub dan Disperindag; Pen). Tapi kalau bagi hasil, kita (ponggawa-sawi) samasama senang “. (BM) “ Sebenarnya kita senang kalau gaji harian, tapi ponggawa pasti tidak mau. Bagi hasil juga baik, karena yang kita dapat sesuai dengan kerja kita sedangkan selama ini kita tidak pernah dirugikan (oleh ponggawa)”. (Sb) “ Kita tidak pernah curiga sama ponggawa karena kita percaya dia jujur. Kalau tahu dia tidak jujur pasti sudah lama kita keluar ganti ponggawa atau tidak ikut lagi pagae “. (LK) Adapun sistem bagi hasil yang berlaku adalah hasil penjualan ikan selama satu musim gelap disimpan biasanya oleh isteri ponggawa. Penghasilan kotor tersebut disimpan bersama dengan aneka kuitansi pembelian solar, retribusi
desa, pembelian suku cadang mesin dan biaya perbaikan (kalau ada). Pada waktu istirahat melaut malam 12 sampai dengan malam 19 biasanya semua sawi dipanggil ke rumah ponggawa atau di tempat lain yang ditentukan. Terlebih dahulu dilakukan “hitung bersama” agar semua yakin jumlah uang yang diperoleh. Seorang sawi mencatat dan menjumlahkan seluruh kuitansi pembelian yang dikeluarkan. Selanjutnya penghasilan kotor tadi dikurangi dengan jumlah pengeluaran dari sejumlah kuitansi yang sudah dikalkulasi (hasil bersih). Hasil bersih selanjutnya dilakukan potong tengah, yakni 1 bagian (50%) adalah menjadi hak ponggawa dan sisanya 1 bagian lagi (50%) menjadi hak sawi untuk dibagi sejumlah mereka yang terlibat dalam armada penangkapan. Satu bagian sawi tersebut selanjutnya dibagi oleh ponggawa sesuai posisi dan tanggung jawabnya. Untuk masing-masing sawi sebelumnya memperoleh satu bagian dari 50% sisa setelah diambil ponggawa. Untuk lebih adil biasanya dari jumlah tersebut disimpan 5% buat sawi
yang memiliki tugas dengan keterampilan
“khusus”. Perbedaan jumlah tersebut tidak dibuat dalam aturan tetap, akan tetapi biasanya posisi bas akan memperoleh sedikit lebih banyak dibanding posisi di bawahnya, demikian seterusnya. Bagi nelayan dengan sistem penangkapan pangkalan, biaya potong tengah ditambah dengan biaya perbekalan serta biaya sewa tempat.42 Perbekalan diadakan oleh karena waktu yang cukup lama bagi pagae berada di perairan yang cukup jauh dari Desa Lagasa. Sistem tersebut dilakukan dengan cara menyewa suatu tempat biasanya rumah kosong di sekitar pantai luar desa. Pagae biasanya membuka pangkalan di perairan Teluk Kendari, Sulawesi tengah bahkan perairan Papua, dan baru kembali pada musim terang. Sistem bagi hasil tersebut tidaklah bersifat mutlak atau flat sepanjang musim penangkapan, tetapi bergantung terhadap hasil tangkapan. Artinya porsi pembagian masing-masing pihak (ponggawa dan sawi) berubah jika penangkapan sedikit. Ponggawa tidak sepenuhnya mengambil 50% haknya dari bagian bersih hasil penangkapan. Hal tersebut dilakukan karena menurut ponggawa distribusi rata-rata menjadi lebih sedikit dan tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup sawi selama musim terang ataupun pada saat musim gelap. Jika pada satu periode gelap hasil tidak cukup untuk biaya operasional, maka biaya operasional tersebut dihitung sebagai hutang pagae pada bulan berikutnya.
42
Biasanya di pinggir pantai dengan menyewa sebuah bangunan/kios yang disediakan oleh pappalele atau pihak lain.
Hal tersebut terungkap dari pernyataan ponggawa HA yang menuturkan: “ Kita (ponggawa: pen) tidak mungkin ambil semua bagian kalau kita sedikit dapat ikan. Semua pagae pakai cara (sistem bagi hasil) seperti itu. Kasihan kalau sawi kasih uang isterinya sedikit.” Ketika diberikan pertanyaan mengenai penerapan bagi hasil dalam keadaan “darurat” tersebut kepada sawi baik lokal maupun dari luar desa keseluruhannya (100%) membenarkan. Hal tersebut karena semua armada dimana para sawi tersebut bekerja pernah mengalami penangkapan sedikit dan akumulasi hasil selama musim gelap tidak signifikan untuk dibagi sesuai pranata bagi hasil yang berlaku. Sistem bagi hasil dapat dilihat pada tabel 20 berikut. Tabel 20. Sistem Bagi Hasil Kegiatan Penangkapan Mini Pursein (Gae) Atribut
Porsi
Ket
Pendapatan Kotor
A
Bonus ikan (jame-jame)
B
Masing-masing keranjang ikan
Operasional
X
Perizinan, bahan bakar, es dan lain-lain
Hasil Bersih
(A-B) –X = Y
Ponggawa Jumlah sawi Bagian sawi khusus Sawi
memperoleh
1
50 % Y T 5% Y 45 % Y/t
Berlakunya pranata nelayan tersebut menyebabkan perubahan stratifikasi komunitas nelayan Suku Bajo tersebut belum mengarah pada gejala polarisasi, walaupun terdapat perbedaan pendapatan akibat sistem bagi hasil yang berlaku. Pranata lainnya misalnya dalam hal pekerjaan merawat alat tangkap serta kapal pada musim terang adalah kewajiban bersama. Akan tetapi biasanya ponggawa menyediakan makan siang, rokok dimana biaya untuk itu tidak diambil sebagai akumulasi biaya operasional bulan berikutnya (wawancara dengan ponggawa HA, HD, HL, BM serta sawi Lm, LK, LT serta informan). Ponggawa juga biasanya akan menolong jika suatu ketika sawi ditimpa musibah tetapi dalam porsi kecil.43 Dalam hal kesejahteraan mencakup pendapatan, pemenuhan kebutuhan hidup (pemenuhan gizi, gaya hidup, bentuk rumah), kesehatan serta pendidikan. Pendapatan untuk setiap posisi nelayan meningkat dan dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum walaupun secara kualitatif masih tergolong katagori nelayan 43
Biasanya tidak lebih dari Rp 15.000. Jika lebih dari jumlah itu sisanya dihitung sebagai hutang.
berpendapatan rendah bagi sawi. Dari pendapatan tersebut maka keluarga nelayan tidak termasuk dalam keluarga tertinggal (Achir, 1994). Tabel 21. Perubahan Pendapatan Ponggawa Pada Penerapan Modernisasi. Tingkatan Adopter
No 1 2 3
Pengadopsi Cepat (n=15) Pengadopsi Sedang (n=14) Late Adopters (n=16) Rata-Rata
Pendapatan Rata-Rata (dalam liter beras) Sebelum Setelah Selisih 250 1,300 1,050 250 1,283 1,033 243 1,280 1,037 247.7 1,287.7 1,040
% 80.8 80.5 81.0 80.8
Ket: Sebelum (menggunakan ngkuru-ngkuru) Setelah (menggunakan teknologi gae) Pendapatan dihitung setiap musim gelap (18 - 20 hari)
Seperti halnya pada penerapan sarana tangkap sebelumnya, kecenderungan pendapatan lebih tinggi pada adopter awal dengan kenaikan pendapatan yang cukup tinggi yakni sebesar 1.050 liter. Selanjutnya pendapatan sawi dapat dilihat pada tabel 22 berikut ini. Tabel 22. Perubahan Pendapatan Sawi Pada Penerapan Modernisasi. No
Status 1 2
Sawi Lokal (n = 30) Sawi Luar (n = 25) Rata-Rata
Pendapatan Rata-Rata (dalam Liter Beras) Sebelum Setelah Selisih 80.6 234.1 153.5 84.4 232.3 147.9 82.5 233.2 150.7
% 65.6 63.7 64.6
Ket: Sebelum (menggunakan ngkuru-ngkuru) Setelah (menggunakan teknologi gae) Pendapatan dihitung setiap musim gelap (18 - 20 hari)
Kenaikan pendapatan sawi lokal lebih tinggi dibandingkan dengan sawi luar meskipun pada penerapan sebelumnya pendapatan rata-rata sawi luar lebih tinggi. Adapun pendapatan nelayan pada saat penelitian ini dilaksanakan dapat dilihat pada lampiran 4. Tidak terdapat perbedaan pendapatan yang signifikan pada saat penerapan awal maupun pendapatan nelayan sekarang ini kecuali pada katagori early adopters. Pendapatan nelayan ponggawa early adopters rata-rata 1.408 liter beras, dimana pendapatan pada awal penerapan adalah sebesar 1.300 liter beras sedangkan katagori lainnya cenderung tetap. Sedangkan nelayan sawi perbedaan signifikan terdapat pada sawi luar. 44 Kondisi keluarga nelayan tersebut termasuk dalam katagori keluarga sejahtera III bagi ponggawa serta keluarga sejahtera I bagi keluarga nelayan 44
Lihat Lampiran 4.
sawi lokal maupun luar desa (Lampiran 9). Hal tersebut seperti disebutkan dalam ciri-ciri dan katagori keluarga sejahtera (Achir, 1994; BKKBN dalam Prisma, 1994). Walaupun meningkat, berdasarkan metode identifikasi Bangdes, periode penggunaan gae tersebut secara rata-rata nelayan digolongkan pada kelompok masyarakat miskin bagi sawi yakni berpendapatan kurang dari 360 kg beras (Rusli et al 1995). Sedangkan nelayan ponggawa tidak termasuk dalam kriteria miskin. Dampak teknologi gae juga menghasilkan peningkatan pemenuhan kebutuhan dasar serta gizi anggota keluarga nelayan. Anggota keluarga nelayan ponggawa 45 responden (100%) rata-rata makan tiga kali sehari, nelayan sawi lokal 30 responden (100%) makan dua kali sehari sedangkan sawi luar desa 18 responden (72%) makan dua kali dan 7 reponden (28 %) makan tiga kali sehari.45 Secara visual dalam hal gaya hidup serta bentuk rumah dan perabot di dalamnya terdapat 25 responden (55.5%) ponggawa memiliki rumah permanen (dinding tembok) pada rumah di daratan serta 20 responden (44.4%) memiliki rumah di atas air dengan konstruksi kayu kelas I dan kelas II yang memiliki perabot rumah tangga serta mobiler lainnya. Sedangkan bagi sawi lokal dan luar desa rata-rata menggunakan rumah konstruksi semi permanen. Penggunaan pakaian serta perhiasan bagi anggota keluarga nelayan bagi kaum perempuan sangat menyolok. Kecenderungan perempuan Bajo untuk menggunakan pakaian dan perhiasan sangat besar.46 Akan tetapi perhiasan maupun pakaian tersebut berbeda jumlah, jenis dan harganya pada setiap periode penggunaan sarana tangkap. Hal tersebut berkaitan dengan pendapatan yang diperoleh nelayan (wawancara dengan Mm, adik ponggawa HL). Semua anggota keluarga nelayan responden pernah mengenyam pendidikan minimal tingkat SD maupun pendidikan non formal dan tidak terdapat (0%) buta huruf. Bahkan saat ini sejumlah anak nelayan (ponggawa) sudah mencapai pendidikan tinggi (sarjana). Sementara untuk anak sawi lokal maupun sawi luar desa belum mencapai pendidikan tinggi. Secara rata - rata, anak sawi baru mencapai pendidikan SMP walaupun beberapa diantaranya sudah mencapai pendidikan SMA. Kesadaran pentingnya pendidikan tersebut, berkorelasi dengan peningkatan pendapatan. Pada periode penggunaan sarana yang belum modern (koli-koli
45 46
Menu sarapan pagi seadanya, berbeda untuk menu makan siang atau makan malam. Untuk kepentingan ini, pengamatan dilakukan pula pada komunitas Bajo di desa lain
maupun ngkuru-ngkuru), anak-anak nelayan yang sudah berusia remaja diarahkan oleh orang tuanya untuk ikut melaut. Selain alasan ekonomi, orang Bajo umumnya memang menganggap pendidikan tidak begitu penting. Mereka beranggapan bahwa laut yang sangat luas itu sudah sangat cukup menghidupi mereka sehingga tak perlu bersusah payah lagi untuk sekolah. Hasil wawancara dengan Kades Lagasa, bagi mereka bisa baca tulis saja dianggap sudah memadai.
Ikhtisar Nelayan di desa Lagasa menggunakan berbagai jenis sarana tangkap berupa perahu dan alat tangkap. Penggunaan berbagai sarana tangkap tersebut terdiri dari perahu tradisional dengan penggerak dayung (boseh) dalam istilah lokal koli-koli, dengan alat tangkap pancing atau jaring tassi. Selanjutnya nelayan menggunakan perahu layar motor (ngkuru-ngkuru), dengan alat tangkap pancing dan jaring tassi (pukat tassi) dan sarana modernisasi berupa penerapan teknologi kapal mini pursein 5 - 10 GT dengan alat tangkap pukat cincin (gae). Penggunaan setiap jenis sarana tersebut menimbulkan konsekuensi atau dampak yang terjadi yakni pola kerja, struktur sosial serta tingkat kesejahteraan nelayan. Oleh karena itu setiap peralihan penggunaan sarana tersebut menimbulkan perubahan pula pada pola kerja, struktur sosial serta tingkat kesejahteraan nelayan itu sendiri. Hasil tangkapan yang diperoleh juga berbeda-beda. Pada penggunaan koli-koli hasil yang diperoleh tidak terlalu banyak oleh karena jangkauan melaut hanya pada pinggiran pantai. Pada periode selanjutnya hasil yang diperoleh lebih bisa lebih banyak karena ketergantungan terhadap tenaga fisik nelayan dapat dibantu oleh mesin. Tabel 23. Perubahan Pola Kerja Penggunaan Jenis Sarana Tangkap Dimensi Daya Jelajah
Koli-Koli inshore
Jenis Sarana Tangkap Ngkuru-ngkuru Gae inshore offshore
Jumlah Pekerja (Sawi) 2 - 3 orang 3 - 4 orang 12 - 15 orang a. Sifat Bebas Bebas Semi bebas b. Pola rekrutmen Spontan, Komunal Spontan, Komunal Selektif Waktu Melaut ≤ 7 jam per hari ≤ 7 jam per hari > 12 jam per hari Pembagian Kerja Tidak ada Ada, kurang jelas Jelas
Dari segi efisiensi, pekerjaan sawi menjadi lebih ringan dibandingkan ketika menggunakan teknologi lama. Pada masa sebelumnya nelayan memperhitungkan resiko tenaga serta jarak yang sukar dijangkau. Pekerjaan lebih santai, tidak memerlukan tenaga untuk mendayung, serta tidak memerlukan perawatan pukat yang sering seperti jaring kecil sebelumnya. Implikasi peralihan setiap jenis sarana tangkap adalah berubahnya struktur sosial nelayan. Perubahan ditandai oleh munculnya diferensiasi pekerjaan sebagai konsekuensi penggunaan mesin/motor. Berbagai posisi kerja menyebabkan nelayan terstratifikasi dalam berbagai jenis lapisan. Selain itu terjadinya perubahan pola hubungan yang mengarah pada semi eksploitatif serta hierarkis. Tabel 24. Perubahan Struktur Sosial pada Penggunaan Jenis Sarana Tangkap Dimensi Koli-Koli 1.ponggawa, 2.sawi Diferensiasi
Sarana Tangkap Ngkuru-ngkuru Gae 1.nakhoda/ponggawa, 1. ponggawa, 2.bas, 3.pakacca, 2. sawi 4tukang listrik,5.tukang 3. tukang lume lingkar, 6.tukangtare, 7.tukang bage, 8.tukang lume
Stratifikasi 1. Nelayan Atas (Ponggawa), a Jenis Lapisan Bawah (Sawi)
Atas (ponggawa) Bawah (sawi, tukang lume)
kepemilikan, b.Dasar/ukuran posisi kerja, pendapatan Stratifikasi 2. Komunitas Atas(lolo, kades,imam, ponggawa) a Jenis Lapisan Bawah(atta, sawi)
kepemilikan, posisi kerja, pendapatan
kepemilikan dan b. Dasar/ukuran kehormatan (ascribed and achieved status) non eksploitatif, Pola hubungan egaliter Sistem bagi hasil
Atas (lolo,kades,imam, ponggawa), Bawah (atta, sawi, tukang lume)
kepemilikan dan kehormatan (ascribed and achieved status) non eksploitatif, egaliter potong tengah 50% hasil sawi (biaya perasional) diserahkan pada 50% (ponggawa) 50% (sawi) ponggawa
Atas (Ponggawa) Menengah (Bas, tukang lingkar, tukang listrik, pakacca) Bawah (tukang tare, tukang bage, tukang lume) kepemilikan, posisi kerja, pendapatan
Atas (kades,imam ponggawa), Menengah (bas, tukang lingkar, tukang listrik, pakacca) Bawah (tukang tare, tukang bage, tukang lume) kepemilikan, posisi kerja, pendapatan (achieved status) non eksploitatif, heirarkis potong tengah (biaya operasional) 50% (ponggawa): 50% (sawi)
Sementara itu, terjadi pula perubahan kesejahteraan nelayan setiap penggunaan sarana tersebut. Kesejahteraan tersebut berdasarkan indikator pendapatan, pola makan, kondisi rumah, pendidikan serta cara berpakaian anggota keluarga nelayan. Peningkatan pendapatan tersebut adalah sebagai implikasi dari alih teknologi sarana penangkapan. Penggunaan mesin pada perahu akan memudahkan kelompok nelayan untuk menentukan wilayah tangkapan tanpa mempertimbangkan tenaga untuk mendayung. Ukuran perahu yang lebih besar juga memungkinkan kapasitas muatan hasil tangkapan lebih besar. Disamping itu alat tangkap yang lebih modern juga menghasilkan tangkapan yang lebih banyak dibanding sarana sebelumnya. Perubahan pendapatan nelayan dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 25. Peningkatan Pendapatan Nelayan pada Sarana Tangkap Status Nelayan Ponggawa (n = 45) Sawi Lokal (n = 30) Sawi Luar (n = 23)
Koli-Koli 111 47 46.5
Pendapatan pada Sarana Tangkap (liter beras) Ngkuru-ngkuru Gae 247.7 1040 80.6 234.1 84.4 232.3
Walaupun terjadi peningkatan pendapatan, berdasarkan metode identifikasi Bangdes, periode penggunaan gae tersebut secara rata-rata nelayan digolongkan pada kelompok masyarakat miskin bagi sawi yakni berpendapatan kurang dari 360 kg beras. Secara visual dalam hal gaya hidup serta bentuk rumah dan perabot di dalamnya terdapat 25 responden (55.5%) ponggawa memiliki rumah permanen (dinding tembok) pada rumah di daratan serta 20 (44.4%) rumah di atas air dengan kontruksi kayu kelas I dan kelas II yang memiliki perabot rumah tangga serta mobiler lainnya. Sedangkan bagi sawi lokal dan luar desa menggunakan rumah kontruksi semi permanen. Semua anggota keluarga nelayan pernah mengenyam pendidikan minimal tingkat SD dan tidak terdapat (0%) buta huruf.