DAMPAK JANGKA PANJANG HIPOKSIA PERINATAL
Sjarif Hidajat Effendi Minerva Riani Kadir
September 2013
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HASAN SADIKIN BANDUNG
DAFTAR ISI Halaman PENDAHULUAN ………………………………………………………………
1
DEFINISI ………………………………………………………………………..
1
FAKTOR RISIKO ………………………………………………………………
2
PATOFISIOLOGI ……………………………………………………………….
2
DIAGNOSIS …………………………………………………………………….
6
DAMPAK HIPOKSIA PERINATAL …………………………………………..
7
TATALAKSANA ……………………………………………………………….
9
SIMPULAN ……………………………………………………………………..
12
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………...
13
DAMPAK JANGKA PANJANG HIPOKSIA PERINATAL PENDAHULUAN Empat puluh persen kematian anak di bawah lima tahun terjadi pada usia neonatus. Hipoksia perinatal masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di negara maju dan berkembang.1,2 Berdasarkan data World Health Organization (WHO), kurang lebih empat sampai sembilan juta bayi lahir dalam keadaan hipoksia setiap tahunnya. Angka kejadian hipoksia lebih tinggi pada negara berkembang, di Cape Town didapatkan 4,6 per 1000 kelahiran hidup dan di Nigeria didapatkan 26 per 1000 kelahiran hidup.3 Di Rumah Sakit Hasan Sadikin/ Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran dari tahun 2011‒2013 didapatkan 166 neonatus lahir dalam keadaan hipoksia dari total 1485 kelahiran.4 Seiring dengan kemajuan tatalaksana di bidang neonatologi secara intensif, 80% bayi yang dilahirkan dalam keadaan prematur dapat bertahan hidup, namun 50% di antaranya mengalami gangguan motorik, kognitif, tingkah laku, dan cerebral palsy/ palsi serebral (CP).5-7 Pada kasus hypoxic ischemic encephalopathy/ ensefalopati hipoksik iskemik (HIE), didapatkan 20–30% bayi yang bertahan hidup akan mengalami kerusakan otak.7-9 Hipoksia perinatal dapat disebabkan faktor ibu, plasenta dan janin. Hipoksia perinatal dapat menyebabkan gangguan 72% pada sistem saraf pusat, ginjal 42%, jantung serta gastrointestinal 29%, dan paru 26%.10 Hipoksia akan menyebabkan disfungsi otak temporer bahkan permanen yang berdampak gangguan neurodevelopmental jangka panjang.1,11 Penilaian perinatal terhadap faktor risiko serta penanganan yang baik mutlak diperlukan untuk mencegah kerusakan neurodevelopmental jangka panjang. Dalam sari pustaka ini akan dibahas mengenai definisi, faktor risiko, patofisiologi, dampak jangka panjang hipoksia perinatal dari segi neurodevelopmental dan tatalaksananya. DEFINISI Hipoksia perinatal adalah kondisi terganggunya pertukaran gas selama periode intrapartum yang apabila berkelanjutan mengakibatkan hipoksemia dan hiperkarbia, dan fetal asidosis.12,13 Awalnya terminologi hipoksia perinatal hanya dibuat berdasarkan penanda tunggal berupa skor Apgar (Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration) yang rendah, namun saat ini untuk diagnosis yang lebih akurat digunakan penanda ganda berupa indikator distres pernapasan seperti ketuban tercampur mekonium, respons respirasi spontan yang 1
terlambat, skor Apgar yang rendah (kurang dari 6 atau 7 setelah 5 menit), asidosis metabolik dan memerlukan bantuan ventilasi tekanan positif. Berdasarkan The American Academy of Pediatrics (AAP) dan The American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) karakteristik hipoksia perinatal yaitu asidosis (pH<7.00), skor Apgar 0-3 menetap lebih dari 5 menit, terdapat manifestasi neurologi: kejang, hipotoni, serta didapatkan disfungsi multiorgan.14,15 Ensefalopati neonatal merupakan terminologi yang digunakan apabila didapatkan terdapat gangguan neurologis berupa manifestasi penurunan tonus otot dan refleks, penurunan kesadaran. Beberapa terminologi yang seringkali dipakai untuk menggambarkan gangguan hipoksia lebih lanjut adalah hypoxic ischemic encephalopathy/ Ensefalopati hipoksik iskemik (HIE), yaitu gangguan tingkat kesadaran disebabkan oleh hipoksia berkelanjutan yang dipengaruhi aliran darah ke otak.12,15 FAKTOR RISIKO Hipoksia dapat terjadi pada periode antepartum dan intrapartum sebagai akibat dari pertukaran gas melalui plasenta yang berdampak tidak adekuatnya suplai oksigen dan perpindahan karbon dioksida serta hidrogen (H+) dari janin. Etiologi hipoksia perinatal antara lain meliputi faktor maternal, uteroplasenta dan janin itu sendiri. Faktor maternal antara lain infeksi (korioamnionitis), penyakit ibu (hipertensi kronik, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan diabetes. Faktor uteroplasenta juga berperan dalam hal ini, yang tersering adanya insufisiensi plasenta, oligohidramnion, polihidramnion, ruptur uterus, gangguan tali pusat (tali pusat menumbung, lilitan tali pusat, prolaps tali pusat). Faktor janin yaitu prematuritas, bayi kecil masa kehamilan, kelainan bawaan, infeksi, depresi saraf pusat oleh obat-obatan, dan twin to twin transfusion. 12,16,17 PATOFISIOLOGI Kerusakan otak yang disebabkan oleh gangguan hipoksik iskemik terdiri dari 2 fase. Fase pertama terdiri dari early energy failure meliputi penurunan metabolisme energi oksidatif dan menginisiasi terjadinya nekrosis sel. Fase kedua terdiri dari kematian sel yang disebut late energy failure. Pada fase ini terjadi reperfusi dan reoksigenasi beberapa jam setelah fase inisial.5 Gangguan reperfusi akan menyebabkan penurunan asupan oksigen dan glukosa yang menyebabkan kegagalan energi dan menginisiasi gangguan biokimia yang menyebabkan disfungsi sel bahkan kematian sel. Konsekuensi dari terjadinya reperfusi otak menyebabkan
2
deteriorasi metabolisme otak, ditandai dengan peningkatan stres oksidatif, peningkatan glutamat ekstraseluler, aktivasi berlebihan reseptor glutamat, peningkatan kalsium dan radikal bebas.5 Gangguan hipoksia iskemik juga akan menyebabkan membran depolarisasi, mempengaruhi eksositosis dan stres oksidatif yang menunda proses apoptosis, serta pengeluaran mediator inflamasi seperti tumor necrosis factor, interleukin. Depolarisasi membran persisten dapat menyebabkan pelepasan glutamat presinaps, mengubah transpor glutamat, mempengaruhi perubahan transpor glutamat pada glia dan terminal neural. Hilangnya membran potensial mitokondrial disertai dengan peningkatan konsentrasi glutamat akan mengaktivasi N-methyl D aspartic acid (NMDA) dan kanal kalsium sehingga masuk ke sel neuron. Hal ini meningkatkan prduksi radikal bebas dan aktivasi lipase, protease dan endonuklease dan menyebabkan kematian sel. Efek dari ketiadaan sistosolik kalsium menyebabkan degradasi lipid seluler dengan mengaktivasi fosfolipase DNA sel dengan aktivasi nukleus dan radikal bebas serta nitrit oksida dengan peningkatan nitrit oxide synthase (NOS).18 Nitrit oksida akan bereaksi dengan superoksida membentuk peroxynitrite. Reaksi ini menyebabkan peningkatan produksi radikal hidroksi sehingga meningkatkan peroksidase lipid yang menyebabkan kerusakan otak lebih jauh (gambar 1).5 Secara histopatologi berdasarkan penelitian yang dilakukan di hewan didapatkan kerusakan hipoksik iskemik akan mengganggu perkembangan otak, predominan pada bagian hipokampus, gangglia basalis dan korteks parasagital yang dikenal sebagai area watershed. 6,9,12
3
Hipoksik iskemik Stimulasi berlebihan Reseptor NMDA
Pembukaan kanal Ionophore Depolarisasi membran
Ruang intraseluler Waktu
Kerusakan mitokondria
Mediator inflamasi
Excitotoxity
↓ fosforilasi
TNF-α IL1 IL6
oksidatif
↓ ATP Pengurangan pompa membran ion
Glikolisis anaerobik
Kehilangan integritas sel
↓ PH
Kondensasi Chromatin
↓ ubiquitination
Akumulasi kerusakan protein
↓Sintesis Protein
↑ cytosolic
Akumulasi xantin
CA++
CA
Aktivasi Aktivasi proteinkinases phospholipase A&C Inaktivasi Protein
↑ Reactive oxygen species Aktivasi Proteases Disrupsi sitoskeletal
Fragmentasi DNA
Peroksidasi lipid Permeabilitas membran
Kerusakan membran sel
Gambar 1. Mekanisme biokimia hipoksik-iskemik Sumber : Cerio,dkk.5
Hipotermia dan hipoksia Secara fisiologis bayi akan merespon kejadian hipotermia dengan peningkatan pelepasan norepinefrin sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah perifer yang akan meningkatkan panas tubuh. Apabila hipotermia berlangsung terus menerus vasokonstriksi akan memicu peningkatan asidosis metabolik. Respon terhadap dingin akan meningkatkan metabolisme dan konsumsi oksigen serta metabolisme lemak coklat pada kulit. Metabolisme lemak coklat akan memacu pelepasan asam lemak yang memperparah kondisi asidosis metabolik dan berdampak hipoksia yang lebih berat sehingga terjadi distres pernapasan. Bayi 4
dengan distres napas yang mengalami hipotermia, tidak mampu memenuhi
kebutuhan
oksigen yang meningkat. Hal ini dapat memperparah hipoksemia, dan vasokonstriksi pembuluh darah paru. Peningkatan konsumsi oksigen akan menyebabkan tubuh meresponsnya dengan penigkatan usaha nafas sehingga memacu metabolisme aerob menjadi anaerob sehingga terjadi penumpukkan asam laktat dan peningkatan konsumsi glukosa. Peningkatan metabolisme akan meningkatkan penggunaan cadangan glikogen sehingga terjadi hipoglikemia. Bayi dengan berat sangat rendah (<1000 gram) akan memiliki respon vasomotor yang sangat kurang sehingga lambat merespon suhu lingkungan (gambar 2).19,20 Stres dingin
↑ Metabolisme
↑Penggunaan oksigen
↑ Penggunaan Glukosa ↑ Penggunaan simpanan glikogen stores
metabolisme lemak coklat ↑Laju napas Pelepasan asam lemak
Oksigen yang dibutuhkan melebihi yang tersedia
Pengurangan simpanan glikogen
Hipoksia
Hipoglikemi
Metabolism anaerobik dan produksi asam laktat
Berat badan menurun atau kesulitan kenaikan berat badan
↓Produksi surfaktan (memerlukan oksigen, glukosa, perfusi paru yang cukup)
↓ pH distress
Metabolik asidosis
Vasokonstriksi pulmonal
Distres pernapasan
Hipoksia lanjut
Gambar 2. Dampak hipotermi terhadap hipoksia Adaptasi dari Ringer dkk., Nayeri dkk.19,20
5
DIAGNOSIS Diagnosis hipoksia perinatal dapat ditegakkan berdasarkan penilaian awal pada neonatus, risiko yang dialami neonatus dengan Apgar skor yang rendah, gangguan pH, serta presentasi klinis. Presentasi klinis dari hipoksia perinatal dapat bervariasi, hal ini dapat disebabkan oleh trauma lahir, aspirasi mekonium, hipertensi pulmonal. Rendahnya Apgar skor lebih lanjut akan menggambarkan kerusakan integritas kardiovaskular, penilaian ini apabila didapatkan Apgar skor ≤3 pada menit ke-10 termasuk faktor depresi akibat anestesi, trauma, infeksi, dan gangguan kardiopulmonal. Gangguan asidosis berat didapatkan bila pH≤ 7, base defisit ≥16 mmol/L. Hipoksia perinatal yang perlu diwaspadai menjadi gangguan neurodevelopmental jangka panjang apabila didapatkan denyut jantung <60 kali/menit, Apgar ≤3 pada 10 menit, memerlukan ventilasi tekanan positif pada menit 1 atau belum menangis lebih dari 5 menit, kejang pada usia 12 sampai 24 jam, gambaran burst suppressed pada EEG.12 Adanya kejang yang terdeteksi pada awal jam pertama kehidupan menunjukkan prognosis ke arah yang lebih buruk. Pada saat kejang, metabolisme energi akan meningkatkan hiperaktivitas neuron dan berimplikasi pada eksitoksisitas. Pemantauan kejang dapat dilakukan dengan menggunakan Electroencephalography (EEG), atau menggunakan Cerebral Function Monitor (CFM) yang menggunakan metode Amplitude-Integrated Electroencephalography (aEEG)18,21 Berdasarkan penelitian yang dilakukan Horn dkk, dilakukan penilaian prediksi gangguan ensefalopati sedang dan berat yang akan timbul pada 5 hari pertama, kerusakan yang tersering ditemukan adalah pada bagian fronto-parietal. Gambaran EEG yang tampak abnormal minimal maupun normal pada kasus HIE dapat mengalami perubahan perburukan pada follow up 2 tahun kemudian.22,23 Gejala klinis HIE sendiri dibagi menjadi 3 menurut Sarnat dan Sarnat yang pertama kali diperkenalkan tahun 1976. Gangguan jangka panjang yang ditimbulkan pada HIE stadium 1 didapatkan lebih ringan dibandingkan pada gangguan yang ditimbulkan HIE stadium 2 dan 3. Stadium 1 ditandai dengan hyperalert, EEG normal, moro dan refleks regangan baik. Stadium 2 ditandai dengan hipotonia, fleksi distal, kejang multifokal, stadium 3 ditandai dengan stupor, flaksid serta gambaran EEG abnormal (tabel 1).24
6
Tabel 1. Klasifikasi ensefalopati hipoksik iskemik Tingkat kesadaran
Stadium 1 Hyper alert/irritable
Stadium 2 Letargis
Stadium 3 Stupor
Tonus otot Postur Refleks regangan
Normal Normal Hiperaktif
Hipotoni Fleksi Hiperaktif
Mioklonus Sucking reflex Moro Occulovestibular Tonic neck Function autonomic
Ada Lemah Kuat Normal Berkurang Dominan simpatik
Ada Lemah Lemah
Pupils
Midriasis
Miosis
Denyut jantung Motilitas gastrointestinal Kejang EEG
Takikardi Berkurang Tidak ada Normal
Durasi
<24 jam
Bradikardi Berkurang Fokal atau multi fokal Voltase rendah sampai bangkitan kejang 24 jam sampai 14 hari
Flaksid Deserebrasi Penurunan refleks/tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada atau lemah Tidak ada Terganggu parasimpatik dan simpatik Bervariasi, refleks cahaya berkurang Bervariasi Bervariasi Uncommon (deserebrasi) Burst suppression ke isoelektrik Beberapa hari sampai minggu
Sumber: Sarnat dan Sarnat24
Kuat Dominan parasimpatik
DAMPAK HIPOKSIA PERINATAL Berdasarkan waktunya, jejas yang ditimbulkan oleh kejadian hipoksik iskemik dibagi menjadi dua yaitu akut dan berkelanjutan. Kerusakan otak yang disebabkan oleh fase akut contohnya terjadinya ruptur uterus, sering diikuti dengan adanya bradikardia, dan jejas otak yang ditimbulkan lebih ke arah bagian tengah otak. Sebaliknya jejas otak yang disebabkan proses yang berkelanjutan akan disertai terdeteksinya perlambatan denyut jantung janin (contohnya insufisiensi plasenta) lebih banyak menyebabkan jejas otak pada daerah wathershed zone.25 Gangguan perkembangan lebih lanjut yang disebabkan oleh jejas akut antara lain cerebral palsy, athetoid, spastik kuadriplegia, mikrosefal, gangguan kognitif. Kerusakan pada watershed akan menyebabkan berbagai gangguan kognitif, kerusakan penglihatan (tabel 1).25,26 Lamanya waktu terjadinya hipoksia serta tingkat keparahan gangguan neurologisnya sangat berpengaruh menentukan dampak hipoksia tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Robertson pada tahun 2002 dengan membandingkan tingkat kemampuan motorik dan kognitif anak usia sekolah didapatkan anak dengan riwayat HIE stadium 3 memiliki gangguan neurodevelopmental yang parah dibandingkan dengan HIE stadium 1 dan 2.27,28
7
Tabel 2. Hubungan hipoksia, kerusakan otak dan tipe disabilitas Waktu kejadian Acute, near total
Sedang Berat
Prolong, partial
Sedang Berat
Sumber : Robertson,dkk25
Area jejas otak Gangglia basalis Thalamus Korteks serebral, basal gangglia, thalamus Area “watershed” Patologi ekstensif
kortikal
Gangguan disabilitas Atetoid atau CP distonik, gangguan kognitif ringan Spastik quadriplegia, mikrosefal, gangguan penglihatan kortikal Variasi gangguan kognitif, spastik quadriplegia Gangguan kognitif berat, mikrosefal, gangguan kortikal
Palsi serebral / cerebral palsy (CP) merupakan dampak jangka panjang yang seringkali dikhawatirkan terjadi. Gangguan ini merupakan kerusakan permanen non progresif pada otak yang terjadi sebelum, selama atau setelah lahir, namun intervensi dini dapat meminimalisasi kelainan neurologis pada penderita CP. Diduga kerusakan terjadi pada daerah gangglia basalis, thalamus dan area perirolandik akibat hipoksia perinatal berperan pada terjadinya CP di masa yang akan datang.29 Palsi serebral / cerebral palsy (CP) tipe diskinetik lebih sering terlihat pada asfiksia acute near total, pada pemeriksaan magnetic resonance imagine (MRI) akan terlihat gambaran substansia alba pada korteks perirolandik. Berdasarkan penelitian Barnet pada tahun 2004 dengan menggunakan Griffith Mental Development Scales didapatkan anak dengan ensefalopati neonatal sedang berisiko menjadi CP pada 12 bulan berikutnya dengan persentase 23–82%.30 Disfungsi motorik pada penderita CP bisa disebabkan primer karena lesi otak yang terjadi, berupa gangguan tonus otot, keseimbangan, kekuatan otot, dan sensasi, sekunder berupa kontraktur dan deformitas, serta tersier berupa mekanisme adaptif dan respons terhadap gangguan primer dan sekunder. Anak dengan gangguan ensefalopati neonatal yang terdiagnosis CP pada usia 12 bulan memiliki prognosis neurodevelopmental yang buruk, sedangkan pada riwayat ensefalopati neonatal ringan, rata-rata anak memiliki kemampuan sama dengan teman sebayanya yang lahir tanpa riwayat asfiksia. 15 Pencegahan atau penanganan yang tepat pada masalah-masalah yang menyertai CP akan meningkatkan kualitas hidup penderita CP dan keluarganya. Dampak lain yang seringkali menyertai adalah gangguan kognitif dan tingkah laku seringkali diakibatkan oleh ensefalopati neonatal. Gangguan kognitif dapat terjadi akibat jejas substansia alba, thalamus, dan gangglia basalis.9 Gangguan kemampuan kognitif yang seringkali terdeteksi pertama kali adalah keterlambatan membaca dan berhitung serta mulai tampak pada usia sekolah.26,29 8
Struktur ini terkait dengan fungsi kognitif seperti ingatan dan perhatian yang merupakan patogenesis terjadinya gangguan attention deficit hyperactive disorder (ADHD), autisme dan skizofrenia.9,15,31,32 Berdasarkan penelitian Badawi, dkk anak dengan riwayat ensefalopati neonatal sedang sampai berat memiliki risiko berkembang menjadi gangguan tingkah laku autisme.32 Hal yang memperberat gangguan neurodevelopmental pada anak dengan riwayat hipoksia adalah adanya gangguan fungsi indra antara lain penglihatan dan pendengaran. Beberapa hal yang perlu terus dipantau pada anak yang memiliki risiko hipoksia perinatal antara lain adanya sensori hearing loss pada tahun pertama serta gangguan penglihatan akibat jejas pada korteks lateral oksipitoparietal bilateral yang mempengaruhi penglihatan.15 Tatalaksana yang tepat dengan monitoring ketat akan mencegah terjadinya kasus ambliopia sekunder di masa yang akan datang dan mengoptimalkan penglihatan. Hipoksia menyebabkan terjadinya hiperpolarisasi sel rambut dalam yang dapat mengakibatkan perubahan pada neuron pendengaran. Menurut satu teori pelepasan spontan pada neuron pendengaran merupakan hasil dari pelepasan spontan transmiter oleh sel rambut. Dengan adanya rangsangan suara akan menyebabkan depolarisasi dari sel rambut yang akan mengakibatkan peningkatan pelepasan transmiter kimia dan loncatan saraf. Pada hipoksia akan terjadi hiperpolarisasi dari sel rambut yang akan mengakibatkan penurunan jumlah transmiter yang dilepaskan dan berakibat penurunan dari aktivitas saraf. Dalam penelitian histopatologi tulang temporal, lesi koklea telah diamati pada bayi dengan asfiksia berat. Hal ini didukung dengan fakta bahwa amplitudo, masa laten, dan interval gelombang interpeak semua terpengaruh yang menunjukkan terjadinya kerusakan.33 Kejadian HIE yang disertai hipertensi pulmonal memberikan risiko lebih tinggi untuk keterjadian tuli sensorineural, oleh karena itu penting untuk dilakukan skrining awal pendengaran. 25 TATALAKSANA Perinatal hipoksia merupakan sebab kematian tersering dan penyebab disabilitas jangka panjang terbesar yang memerlukan perawatan secara intensif. Perawatan suportif yang hendaknya diperhatikan antara lain meliputi koreksi hemodinamik dan asidosis, memperhatikan kadar glukosa, kalsium, magnesium dan elektrolit, memperhatikan kadar kecukupan oksigen. Kekurangan oksigen akan menyebabkan gangguan autoregulasi serebrovaskular dengan konsekuensi tekanan pasif pada serebral yang menyebabkan aliran darah lebih banyak pada bagian otak yang sehat, serta peningkatan jejas pada area substantia
9
alba.12 Penggunaan terapi oksigen dapat berimplikasi jangka panjang lain yaitu displasia bronkopulmonal. Tatalaksana komplikasi displasia bronkopulmonal ini juga dapat mengurangi efek jangka panjang neurodevelopmental yang buruk. Penelitian di Pusan kesehatan anak di Oslo tahun 2012 menyatakan dengan tatalaksan komprehensif pihak medis dan orangtua mampu menurunkan angka dirawat di rumah sakit dan didapatkan pengurangan persentase gangguan motor, kongnitif maupun bahasa.34 Strategi Neuroprotektif Penggunaan neuroprotektif untuk mengurangi gejala sisa dari hipoksia perinatal masih merupakan perdebatan, tidak dapat dipastikan mekanisme terjadinya proteksi secara biokimia. Penggunaan terapi farmakologis dan non farmakologis diterapkan sesuai dengan insidens terjadinya hiposik iskemik (gambar 3). Tujuan dari keseluruhan terapi adalah untuk mengurangi jejas pada otak dengan mengurangi pembentukan radikal bebas, menghambat influks kalsium yang berlebihan ke dalam neuron dan meminimalkan edema serebral. Penggunaan N-acetylcysteine, magnesium glutamat receptor, allopurinol, eritropoetin serta teknik hipotermia diduga dapat meminimalkan radikal bebas dan jejas pada otak. 5 Hipoksik iskemik Menit Primary energy failure
jam
Secondary energy failure
Melantonin
Hipotermi
Cannabinod
Allopurinol
Magnesium sulfat
N-acetylcysteine
Statin
Xenon
Iminobiotin
Argon
Melatonin
Deferoksamin
Eritropoetin
Cannabinoid
Sel punca
hari
Gambar 3. Terapi neuroprotektif, waktu pemberian dan hubungannya dengan mekanisme aksi hipoksik iskemik Sumber : Cerio,dkk.
5
Pada teknik hipotermia (cooling therapy), diharapkan dengan penuruhan suhu 3–5 derajat Celsius akan mampu mengurangi jejas pada otak dan meminimalkan penggunaan energi, mengurangi ukuran infark yang disebabkan oleh hipoksia, mengurangi ameliorasi sel neuronal serta struktur hipokampus dan diharapkan mampu meningkatkan kemampuan perkembangan neurologis. Suhu yang digunakan untuk standar mengurangi jejas otak akibat
10
hipoksik iskemik pada neonatus adalah 32–34˚C, dengan pengurangan 1˚C pada suhu inti akan membantu mengurangi laju metabolisme 6–7%.5 Terapi hipotermi pada kepala dan badan diharapkan akan mengurangi insidens jejas pada thalamus. Mekanisme neuroproteksi dari hipotermi ini adalah mempertahankan neuron yang normal di gangglia basalis dan supresi aktivasi caspase-3. Hipotermia akan menekan aktivasi mikroglia, dan lebih lanjut menekan proses inflamasi dengan menurunkan produksi TNFα, IL-1β, dan IL-18. Pada tingkat seluler, hipotermia memproteksi dinding sel dan mempertahankan integritas membran lipoprotein. Lebih lanjut, proses ini akan mengurangi reaksi enzimatik yang memperparah kematian sel. Proses hipotermia akan meningkatkan suplai oksigen ke area iskemik otak sehingga mengurangi tekanan intrakranial.35,36 Beberapa obat-obatan dicoba digunakan untuk mengurangi radikal bebas dan menghambat influks kalsium secara berlebihan utuk mengurangi terjadinya edema serebral. Beberapa diantaranya adalah allopurinol, magnesium sulfat, eritropoetin, statin, xenon dan cannabinoid. 5 Allopurinol diduga mampu mengurangi pembentukan radikal bebas dan mampu menghambat kerja xanthine oksidase yang terlibat pada kerusakan reperfusi, efek lainnya yang diperkirakan adalah allopurinol menghambat akumulasi neutrofil, kelasi besi seperti ferri dan memfasilitasi transpor elektron ke sitokrom.37 Xenon, yang merupakan zat antagonis non kompetitif dari N methyl D aspartate (NMDA) dengan menghambat pelepasan neurotransmiter, menginhibisi kalsium/calmodulin dependent protein kinase II.38 Magnesium sulfat berperan sebagai agen neuroprotektif dengan mencegah terjadinya eksitotoksik dari jejas yang disebabkan oleh masuknya kalsium dengan menginhibisi reseptor NMDA.5 Cannabinoid merupakan agen neuroprotektif dengan cara menginduksi terjadinya penutupan kanal kalsium sehingga menginduksi neuroproteksi dengan mengurangi respons glutamat.39 Terapi
neuroprotektif
lain
yang digunakan
antara
lain
eritropoetin,
melantonin,
desferoksamin, magnesium sulfat. Eritropoetin yang memiliki efek antiapoptotik dan angiogenik. Melantonin memiliki efek antiapotosis dan antiinflamasi sehingga meningkatkan aktivasi mikroglia dan meningkatkan sitokin pro inflamasi. Desferoksamin pada penelitian di tikus berfungsi meningkatkan metabolisme otak dan membantu reperfusi.5
11
SIMPULAN Hanya sedikit penelitian mengenai dampak jangka panjang neurodevelopmental dan kognitif pada bayi yang mampu bertahan hidup. Tatalaksana di beberapa negara maju telah meliputi secara komprehensif dari awal dilahirkan sampai perkembangan selanjutnya melalui rawat jalan maupun rawat inap dengan melibatkan multidisplin ilmu, namun di Indonesia masih jarang dilakukan pemantauan secara menyeluruh
terhadap bayi-bayi yang lahir dengan
hipoksia. Diharapkan tatalaksana tidak selesai hanya pada saat bayi dirawat di pusat kesehatan, namun diteruskan sampai pada rawat jalan dan evaluasi tes perkembangan sehingga mampu mencapai kesehatan yang seutuhnya.
12
DAFTAR PUSTAKA 1. Mach M, Dubovický M, Navarová J, Brucknerová I, Ujházy E. Experimental modeling of hypoxia inpregnancy and early postnatal life. Interdisc Toxicol. 2012;2(1):28-32. 2. Mwaniki MK, Maurine Atieno, Lawn JE, Newton CRJC. Long-term neurodevelopmental outcomes after intrauterine and neonatal insults: a systematic review. Lancet 2012;379:445– 52. 3. Haider BA, Bhutta ZA. Birth asphyxia in developing countries: current status and public health implications. Curr Probl Pediatr Adolesc Health Care 2006;36:178-88. 4. Rekam m. Data Ilmu Kesehatan anak FK Unpad-RSHS 2011-2013. 5. Cerio FGd, Lara-Celador I, Alvarez A, Hilario E. Neuroprotective Therapies after Perinatal Hypoxic-Ischemic Brain Injury. Brain Sci. 2013;3:191-214. 6. Covey MV, Levison SW. Pathophysiology of Perinatal Hypoxia-Ischemia and the Prospects for Repair from Endogenous and Exogenous Stem Cells. NeoReviews 2006;7:352-62. 7. Qureshi AM, Rehman Au, Siddiqi TS. Hypoxic ischemic encephalopathy in neonates. J Ayub Med Coll Abbottabad. 2010;22(4):190-4. 8. Schmidt J, Walsh WF. Hypoxic-ischemic encephalopathy in preterm infants. Journal of NeonatalPerinatal Medicine 2010;3:277–84. 9. Armstrong-Wellsa J, Bernarda TJ, Boadaa R, Manco-Johnson M. Neurocognitive outcomes following neonatal encephalopathy. NeuroRehabilitation 2010;26:27-33. 10. Martín-Ancel A, García-Alix A, Cabañas FGF, Burgueros M, Quero J. Multiple organ involvement in perinatal asphyxia. J Pediatr. 1995;127:786-93. 11. MacDonald MG, Seshia MMK, Mullett MD. Avery's Neonatology. 6: Lippincott Williams & Wilkins; 2005. 12. Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hypoxic ischemic encephalopathy. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care. 7. Philadelphia: Lippincott Williams and Witkins; 2012. p. 721-6. 13. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Tuttle D. Perinatal Asphyxia. 6. United States of America: The McGraw-Hill; 2009. p. 624-35. 14. American AoP. The Apgar Score. The American college of obstetrician and gynecologists. 2006;117(4):1444-7. 15. Handel Mv, Swaab H, Vries LSd, Jongmans MJ. Long-term cognitive and behavioral consequences of neonatal encephalopathy following perinatal asphyxia: a review. Eur J Pediatr 2007;166:645-54. 16. Levene MI, Vries Ld. Hypoxic Ischemic Encephalopathy. In: Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC, editors. Fanaroff and Martin's Neonatal Perinatal 8: Elseveir Mosby; 2006. 17. Martinez-Biarge M, Madero R, González A, Quero J, García-Alix A. Perinatal morbidity and risk of hypoxic-ischemic encephalopathy associated with intrapartum sentinel events. Am J Obstet Gynecol 2012;206(148):1-7. 18. Lai M-C, Yang S-N. Perinatal Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. Hindawi publishing coorporation. 2010:1-6. 19. Ringer SA. Core concepts: Thermoregulation in the newborn, part ii: Prevention of aberrant body temperature. NeoReviews. 2013;14:221-9. 20. Nayeri F, Nili F. Hypothermia at Birth and its Associated Complications in Newborns: a Follow up Study. Iranian J Publ Health. 2006;35(1):48-52. 21. Vasiljevi B, Maglajli-Djuki S, Gojni M. The prognostic value of amplitude-integrated electroencephalography in neonates with hypoxic-ischemic encephalopathy. Vojnosanit Pregl 2012;69(6):492–9.
13
22. Horn AR, Swingler GH, Myer L, Linley LL, Raban MS, Joolay Y, et al. Early clinical signs in neonates with hypoxic ischemic encephalopathy predict an abnormal amplitude-integrated electroencephalogram at age 6 hours. BMC Pediatrics 2013;13:52-62. 23. Murray DM, Boylan GB, Ryan CA, Connolly S. Early EEG findings in hypoxic-ischemic encephalopathy predict outcomes at 2 years. Pediatrics 2009;124:459-69. 24. Sarnat H, Sarnat M. Neonatal encephalopathy following fetal distress. A clinical and electroencephalographic study. Arch Dis Child Fetal Neonatal. 1976;75:145-51. 25. Robertson CM, Perlman M. Follow-up of the term infant after hypoxic-ischemic encephalopathy. Paediatr Child Health. 2006;11(5):278-82. 26. Vries LSd, Jongmans MJ. Long-term outcome after neonatal hypoxic ischemic encephalopathy. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2010;95:220–F4. 27. Handel Mlv, Swaab H, Vries LSd, Jongmans MJ. Behavioral outcome in children with a history of neonatal encephalopathy following perinatal asphyxia. Journal of Pediatric Psychology 2010;35(3): 286–95. 28. Edwards AD, Brocklehurst P, Gunn AJ, Halliday H, Juszczak E, Levene M, et al. Neurological outcomes at 18 months of age after moderate hypothermia for perinatal hypoxic ischaemic encephalopathy: synthesis and meta-analysis of trial data. BMJ 2010;340:363-70. 29. Perez A, Ritter S, Brotschi B, Werner H, Caflisch J, Martin E, et al. Long-Term Neurodevelopmental Outcome with Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. J Peds. 2013:1-7. 30. Barnett A, Mercuri E, Rutherford M, Haataja L, Cowan F, Dubowitz L. Can the Griffiths scales predict neuromotor and perceptual motor impairment in term infants with neonatal encephalopathy? Arch Dis Child Fetal Neonatal. 2004;89:637-43. 31. deHaan M, Wyatt J, Roth S, Vargha-Khadem F, Gadian D, Mishkin M. Brain and cognitivebehavioral development after asphyxia at term birth. Dev Sci. 2006;9(4):350-8. 32. Badawi N, Dixon G, Felix J, Keogh J, Petterson B, Stanley F, et al. Autism following a history of newborn encephalopathy: more than a coincidence? . Dev Med Child Neurol. 2006;48:85-9. 33. Borg E. Perinatal asphyxia, hypoxia, ischemia and hearing loss. Scand audiol. 1997;26:77-91. 34. Shepherd E, Knupp A, Welty S, Susey K, Gardner W, Gest A. An interdisciplinary bronchopulmonary dysplasia program is associated with improved neurodevelopmental outcomes and fewer rehospitalizations. J Perinatol. 2012;32(1):33-8. 35. Barrett R, Bennet L, Davidson J, Dean J, George S, Emerald B, et al. Destruction and reconstruction: hypoxia and the developing brain Birth Defects Res 2007;81: 163–76. 36. Polderman KH. Mechanisms of action, physiological effects, and complications of hypothermia. Crit Care Med 2009;37(7):1-17. 37. Marro P, Mishra O, Delivoria-Papadopoulos M. Effect of allopurinol on brain adenosine levels during hypoxia in newborn piglets. Brain Res. 2006;444-450. 38. Ma D, Williamson P, Januszewski A, Nogaro M, M Hossain M, Ong L, et al. Xenon mitigates isoflurane-induced neuronal apoptosis in the developing rodent brain. Anaesthesiology. 2007;106:746–53. 39. Yager J. Animal models of hypoxic-ischemic brain damage in the newborn. Semin Pediatr Neurol. 2004;11:31-46.
14