ISBN 978-979-792-675-5 DAMPAK AKTIVITAS PENAMBANGAN EMAS TANPA IZIN (PETI) TERHADAP PENCEMARAN AIR SUNGAI, SOSIAL EKONOMI, DAN SOLUSINYA DI KABUPATEN KUANTAN SINGINGI. Nopriadi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Andalas Email:
[email protected] ABSTRAK Aktivitas PETI di Kabupaten Kuantan Singingi dilakukan sejak 2006, awalnya oleh para pendatang dan kemudian makin banyak diikuti warga desa setempat karena kebutuhan ekonomi. Para pekerja PETI menggunakan merkuri (Hg) sehingga dikhawatirkan terjadi pencemaran pada air sungai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak aktivitas PETI terhadap pencemaran air sungai dan bendungan irigasi, sosial ekonomi pekerja dan masyarakat sekitar DAS, serta merumuskan solusi penanganan PETI di Kabupaten Kuantan Singingi. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif dan kualitatif eksploratif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PETI telah berdampak terhadap pencemaran air sungai dan bendungan irigasi ditinjau dari tingkat kekeruhan dan kadar merkuri (Hg), BOD, COD dan DO yang melebihi NAB (tercemar), sehingga mengakibatkan berbagai biota (ikan, udang, kerang-kerangan) yang ada di sungai terganggu. Aktivitas PETI meningkatkan penghasilan ekonomi pekerja dan pemodal, namun merugikan masyarakat sekitar DAS, air sungai tidak dapat lagi dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari, masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih dan ikan sungai, PETI sering menimbulkan konflik antara aparat keamaan dengan para pelaku. Solusi penanganan PETI adalah perlu komitmen bersama dan kebijakan Pemda untuk menertibkan PETI, perlu diseminasi informasi, sosialisasi dan edukasi dampak PETI, meningkatkan kerjasama dan koordinasi instansi terkait dan dukungan masyarakat, penertiban PETI secara bertahap dan penegakan hukum sehingga menimbulkan efek jera, menyiapkan program pengendalian sosial pasca penutupan PETI bagi masyarakat lokal yang terkena dampak, menyiapkan lahan pekerjaan, empowerment, pelatihan keterampilan, diversifikasi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Kata kunci: PETI, Pencemaran, Sosial Ekonomi, Solusi ABSTRACT The illegal gold mining activity in the district of Kuantan Singingi began in 2006, initially done the newcomers and then followed by the local villagers due to economic necessity. The illegal gold mining workers used mercury (Hg) which is feared to create pollution. This research is conducted to identify the effect of illegal gold mining activity to the rivers pollution dan irrigation dams, the social economy of the workers, and the people around the watershed, and to frame the handling solutions for illegal gold mining in the district of Kuantan Singingi. This research utilizes the quantitative research, and qualitative explorative. The result of this research indicates that illegal gold mining has had an impact to the pollution of rivers and irrigation dams in terms of turbidity level and mercury (Hg) concentration, BOD, COD, and DO which exceed Threshold Limit Value (TLV) (polluted), so that the marine creatures in the rivers (fish, shrimps, and shells) are disturbed. The illegal gold mining activity elevates the economy of the workers and the investors, but harms the people arround the watershed, the water from the rivers is no longer possible to be used for daily needs, people have difficulty in obtaining clean water and fish from the rivers, illegal gold mining often creates conflict between security forces and the suspects. The illegal gold mine handling solutions are; to have a shared commitment and the local government policy to regulate illegal gold mining, information dissemination, socialization and education of illegal gold mining effect, intensify the cooperation and coordination with related agencies and people support. The gradual illegal gold mine policing and law enforcement that cause deterrent effect, prepare social control program after the illegal gold mine closing for the locals who suffer from the impact, prepare jobs, empowerment, skills training, diversification, and improve the wealth of the villagers. Keywords: Illegal Gold Mining, Pollution, Social Economy, Solution.
119
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5 PENDAHULUAN Pencemaran lingkungan yang disebabkan beberapa logam berat, seperti arsenik, timbal, kadmium dan merkuri sangat berbahaya bagi kesehatan manusia, hewan, tanaman maupun kelangsungan kehidupan di lingkungan sekitarnya (Widowati et al, 2008). Pada konsentrasi rendah, efek logam berat berpengaruh langsung dan terakumulasi pada rantai makanan, mengganggu biota lingkungan sehingga berdampak pada kesehatan manusia meskipun relatif lama dan jauh dari sumber pencemarnya (Lestarisa, 2010). Sejak era industri, merkuri menjadi bahan pencemar penggalian, karena merkuri dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Salah satu pencemaran lingkungan karena merkuri adalah pembuangan ampas (tailing) pengolahan emas secara amalgamasi (International Agency for research, 1993). Kegiatan penambangan emas pada umumnya menggunakan proses amalgamasi akan menghasilkan dampak positif berupa emas untuk kebutuhan hidup manusia, tetapi juga berdampak negatif berupa pencemaran lingkungan oleh uap Hg. Sebanyak 10% - 30% Hg yang digunakan akan hilang atau terlepas ke lingkungan (Alpers et al, 2006). Aktivitas Penambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) sering disebut dengan istilah penambangan emas rakyat, tradisional, skala kecil, karena memang dilakukan oleh rakyat, bukan oleh suatu perusahaan, menggunakan peralatan sederhana dan keberadaannya tidak mendapat ijin dari Pemerintah Daerah (Inswiasri, 2010). Aktivitas PETI banyak ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, antara lain; di Pongkor, Bogor Jawa Barat, Kulo Sulawesi Utara, Landak Kalimantan Barat, Gunung Mas Kalimantan Tengah, Jambi, Sijunjung Sumatera Barat. Di Provinsi Riau juga ditemukan di Kabupaten Kampar, Indragiri Hulu, tetapi paling banyak terdapat di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), yaitu di sepanjang aliran Sungai Kuantan, Sungai Singingi, bendungan irigasi, anak sungai dan area perkebunan (Nopriadi, 2015). Daerah Kabupaten Kuansing dikenal memiliki kandungan emas yang cukup tinggi, sehingga menarik minat para penambang emas yang berasal dari luar daerah. Aktivitas PETI ini dilakukan sejak tahun 2006, awalnya oleh para pendatang dan diikuti warga desa setempat. Jumlah PETI meningkat sangat cepat dari tahun ke tahun dan menyebar hampir di setiap kecamatan dan desa yang dekat dengan aliran sungai. Pada bulan Januari 2014 tercatat sekitar 2.103 unit dan Januari 2015 diperkirakan lebih dari 3.000 unit rakit PETI dan mesin (dongfeng) dilengkapi alat penyedot, satu unit dijalankan oleh 3 sampai 4 pekerja. Sehingga diperkirakan sekitar 9.000 sampai 12.000 orang penambang emas yang aktif beroperasi setiap hari, baik pendatang dari luar daerah maupun masyarakat tempatan. Bahkan ada beberapa orang penambang emas ilegal yang menggunakan alat berat (excapator) untuk mengeruk tanah secara optimal (Nopriadi, 2015). Hasil penelitian Eriyati dan Rita (2011) di Desa Kebun Lado, Kecamatan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi, menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan para penambang emas liar sebesar Rp. 2.881.045,- atau sekitar Rp. 1.940.000,- s.d Rp.4.722.000. Secara ekonomi menunjukkan terjadi peningkatan pendapatan ekonomi para penambang emas tersebut sehingga mereka terus bekerja PETI. Aktivitas PETI di Kuansing diduga telah mengakibatkan pencemaran air Sungai Kuantan, Sungai Singingi, anak sungai yang airnya mengalir ke pemukiman warga, air bendungan irigasi yang sudah memprihatinkan. Menurut Bintal Amin (2014), aktivitas PETI di Kuansing ini akan menjadi “bom waktu” yang berdampak terhadap lingkungan, makanya ini harus menjadi perhatian bersama, khususnya penggunaan merkuri bagi lingkungan. Seharusnya penggunaan merkuri ini tidak langsung dibuang ke lingkungan sungai dan harus dikelola dengan baik (Kasim, 2014). Pemerintah daerah seakan dihadapkan pada dua pilihan, yaitu memberantas PETI yang diduga telah mencemari lingkungan atau menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat melalui ijin pertambangan rakyat. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui dampak aktivitas PETI terhadap pencemaran air sungai dan bendungan irigasi, sosial ekonomi pekerja dan masyarakat sekitar DAS, serta merumuskan solusi penanganan PETI dalam upaya memelihara lingkungan sungai di Kabupaten Kuantan Singingi.
120
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5 METODE PENELITIAN Metode penelitian ini terdiri dari penelitian kuantitatif dan kualitatif. Pada penelitian kuantitatif ini merupakan langkah awal untuk mendapatkan pangkalan data tentang status sosial ekonomi pekerja PETI dan masyarakat DAS, pencemaran air sungai (kadar Hg dan kekeruhan) dengan menggunakan metode survei dan uji laboratorium. Metode penelitian kualitatif eksploratif dilakukan untuk menggali informasi lebih dalam dari informan dan memperkuat hasil penelitian kuantitatif tentang dampak PETI, serta peran pemerintah daerah, aparat kepolisian, para pemangku kepentingan dalam upaya mencari solusinya dan menyelamatkan lingkungan sungai dari pencemaran. Penelitian ini dilakukan di 7 kecamatan dari 15 kecamatan yang ada di Kabupaten Kuantan Singingi. Kecamatan yang dipilih merupakan lokasi yang banyak ditemukan aktivitas PETI dan tersebar di aliran Sungai Kuantan, Sungai Singingi, Sungai Kukok dan bendungan irigasi yang sebelumnya pernah dilakukan upaya penertiban oleh aparat Pemda dan Kepolisian, yaitu: Kecamatan Singingi Hilir, Singingi, Kuantan Mudik, Gunung Toar, Hulu Kuantan, Kuantan Tengah, dan Sentajo Raya. Waktu penelitian dilakukan 2 tahun, mulai tanggal 15 Februari 2014 s.d. 15 Februari 2016. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja PETI yang tersebar di 15 kecamatan yang ada di Kabupaten Kuantan Singingi, sekitar 8.412 s.d 12.000 orang. Jumlah tersebut diperoleh berdasarkan jumlah rakit (PETI) sekitar 2.103 s.d 3.000 unit yang tersebar di sepanjang aliran Sungai Kuantan, Sungai Singingi dan anak sungai serta bendungan irigasi. Satu unit PETI dijalankan oleh 3-4 orang pekerja. Pengambilan sampel berdasarkan cluster dilakukan secara quota dan accidental sampling, setiap kecamatan diambil sampel sebanyak 30 orang pekerja PETI yang banyak tersebar di 7 kecamatan. Penentuan besarnya sampel menggunakan metode Rapid Assessment Procedure (RAP) yang telah menjadi yurisprudensi oleh World Health Organization (WHO), yaitu sebanyak 30 responden untuk setiap kecamatan, sehingga jumlah sampelnya 30 x 7 = 210 pekerja PETI. Kemudian masyarakat yang tinggal di sekitar DAS dan tidak terlibat sebagai pelaku PETI juga dijadikan sebagai sampel (responden) sebanyak 210 orang. Pengambilan sampel air sungai dan bendungan dilakukan di 19 titik lokasi penelitian, yaitu di sekitar 50-100 meter bagian hulu dan hilir rakit PETI yang beroperasi di aliran Sungai Kuantan, Sungai Singingi, Sungai Kukok dan bendungan irigasi di tempat penelitian. Sampel air tersebut langsung diambil dari permukaan air sungai (tepian mandi) warga tanpa diolah terlebih dahulu, untuk mengukur kadar merkuri (Hg) dan tingkat kekeruhan air pada lokasi yang ditentukan. Pada penelitian kualitatif lebih berfokus kepada representasi fenomena sosial yang terjadi. Cara pemilihan informan dilakukan dengan metode purposive sampling. Informan yang dipilih adalah Kepala Dinas ESDM, BLH, Dinas Kesehatan, Perkebunan, Perikanan, Pertanian, Kapolres, Pakar lingkungan, Ketua DPRD, Camat, Kepala Desa, Tokoh Masyarakat dan Pelaku PETI. Jumlah informan ditentukan sesuai dengan kecukupan data yang dibutuhkan. Pengumpulan data penelitian dihentikan jika tidak lagi ditemukan variasi informasi. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Dampak Aktivitas PETI terhadap Pencemaran Air Sungai a. Hasil Pengukuran Kadar Merkuri (Air Raksa/Hg) dan Kekeruhan Air Pada tabel 1 dapat diketahui hasil pengukuran kadar merkuri (Hg) air Sungai Kuantan, Sungai Singingi dan air bendungan irigasi di Kuansing sebagai berikut.
121
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Tabel 1 Hasil Pengukuran Kadar Merkuri Air Sungai Kuantan, Singingi, Bendungan Irigasi di Kabupaten Kuansing, Oktober 2014 Hasil Uji & No. Labor Deskripsi Parameter Katego Lokasi Pengambilan ri Merku Baku Mutu Sampel Air ri Air APHA 3030 B, Kls I 3111 B Kls II 2012 & (mg/L) III 3927 / 3069 BA.K Sungai Singingi Koto Baru 0,001 Tdk 0,0007 0,002 tercemar 3927 / 3070 BA.K Anak Sungai Desa Petai 0,001 Tdk 0,0005 0,002 tercemar 3927 / 3071 BA.K Sungai Singingi Desa Petai 0,001 Tdk 0,001 0,002 tercemar 3927 / 3072 BA.K Sungai Singingi Muara Lembu 0,001 Tdk 0,0005 0,002 tercemar 3927 / 3073 BA.K Sungai Kuantan Tepian Narosa 0,001 Tdk 0,0006 0,002 tercemar 3927 / 3074 BA.K Sungai Kukok Hilir 0,001 Tdk 0,0004 0,002 tercemar 3927 / 3075 BA.K Sungai Kukok (di Lokasi PETI) 0,001 Tdk 0,0004 0,002 tercemar 3927 / 3076 BA.K Air Bendungan Kopah (K.Tengah) 0,001 Tdk 0,0004 0,002 tercemar 3927 / 3077 BA.K Sungai Kuantan Desa Pulau Aro 0,001 Tdk 0,0004 0,002 tercemar 3927 / 3078 BA.K Sungai Kuantan Desa Toar (1) 0,001 Tercemar 0,0034 0,002 3927 / 3079 BA.K Sungai Kuantan Desa Toar (2) 0,001 Tdk 0,0006 0,002 tercemar 3927 / 3080 BA.K Sungai Kuantan Lubuk Jambi 0,001 Tdk 0,0007 0,002 tercemar 3927 / 3081 BA.K Sungai Kuantan L.Ambacang Hulu 0,001 Tdk 0,0003 0,002 tercemar 3927 / 3082 BA.K Sungai Kuantan L. Ambacang Hilir 0,001 Tdk 0,001 0,002 tercemar 3927 / 3083 BA.K Sungai Kuantan Sentajo (1) 0,001 Tdk 0,0003 0,002 tercemar 3927 / 3084 BA.K Sungai Kuantan Sentajo (2) 0,001 Tdk 0,0005 0,002 tercemar 3927 / 3085 BA.K Sungai Kuantan batas SentajoBenai 0,001 Tdk 0,0001 0,002 tercemar 3927 / 3086 BA.K Air Bendungan WK Sentajo (1) 0,001 Tdk 0,0003 0,002 tercemar 3927 / 3087 BA.K Air Bendungan WK Sentajo (2) 0,001 Tdk 0,0001 0,002 tercemar Sumber : Hasil Uji di Laboratorium Kesehatan Lingkungan Propinsi Riau, Oktober 2014
Hasil penelitian ini menunjukkan ada indikasi bahwa aktivitas PETI yang menggunakan merkuri telah mencemari air Sungai Kuantan, yaitu di ‘tepian mandi’ warga Desa Toar Kecamatan Gunung Toar Kabupaten Kuansing, dengan kadar Hg (0,0034 mg/L) telah melebihi baku mutu air
122
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5 kelas I, II & III untuk bahan baku air minum, prasarana/sarana rekreasi air, budidaya ikan air tawar, peternakan, dan untuk mengairi tanaman, sesuai kriteria baku mutu air berdasarkan kelas (PP No.82/2001). Selain itu juga ditemukan 2 (dua) titik lokasi sampel air sungai yang telah mencapai nilai ambang batas atau baku mutu air kelas I (0,001 mg/L) untuk bahan baku air minum yaitu di Sungai Singingi Desa Petai Kecamatan Singingi Hilir dan di Sungai Kuantan Desa Lubuk Ambacang Kecamatan Hulu Kuantan Kabupaten Kuantan Singingi. Hasil penelitian ini didukung oleh pendapat Kasry (2014), yang menyatakan bahwa diduga kuat keberadaan merkuri di dalam air Sungai Kuantan dan Sungai Singingi ini berasal dari kegiatan PETI yang menggunakan merkuri. Dari 19 titik lokasi sampel air yang diteliti, ditemukan 1 titik lokasi sampel yang telah melibihi baku mutu air kelas I, II, III, dan 2 titik sampel yang telah mencapai baku mutu air kelas I. Diduga bahwa kadar merkuri lebih banyak terdapat pada sedimen atau endapan lumpur di sepanjang sungai karena masa jenisnya lebih berat dari air. Asumsi ini didukung oleh hasil penelitian Adventus et al (2003) di Sungai Kahayan Kalimantan Tengah, menyatakan bahwa dari sampel yang diukur, akumulasi merkuri tertinggi berada dalam sedimen sungai (0.336 gr), kemudian akumulasi merkuri pada daging ikan baung (Mytus nemurus), yaitu 0.303-0.342 mg/g, selanjutnya pada air sungai (0.058 mg-1). Merkuri memiliki tendensi meninggi menuju hilir. Hal ini disebabkan oleh tekstur sedimen yang didominasi oleh endapan lumpur. Sehingga mengancam penduduk yang mengkonsumsi air dan ikan dari sungai tersebut. Menurut Mahmud (2012) bahwa semakin jauh jarak, semakin menurun konsentrasi merkurinya. Konsentrasi merkuri tertinggi di effluent (pembuangan air kotor), cenderung semakin ke hilir semakin kecil. Peninggian di titik tertentu karena gerakan partikel dasar sungai, juga karena adanya kegiatan tambang lain di sekitarnya. Begitu juga dengan hasil penelitian Subanri (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan antara jarak dengan kadar Hg dalam air sungai, semakin jauh jarak semakin kecil kadar Hg dalam air. Rata-rata kadar Hg di dalam air Sungai Menyuke Kalimantan Barat adalah 0,532 ppb, sudah sangat tercemar jika dibandingkan dengan kadar Hg air Sungai Kuantan dan Singingi (PP No.82/2001). Namun jika aktivitas PETI terus terjadi di Sungai Kuantan dan Singingi, maka diperkirakan 10-20 tahun yang akan datang mempunyai potensi tercemar seperti yang terjadi di Sungai Kahayan Kalimantan Tengah dan Sungai Menyuke di Kalimantan Barat. Hasil penelitian ini sesuai dengan Inswiasri (2007, 2010) bahwa kegiatan PETI di berbagai wilayah menggunakan Hg untuk proses amalgamisasi. Akibat amalgamisasi tersebut, sering muncul pencemaran Hg di lingkungan pada saat amalgamisasi dan pemijaran sehingga mengkontaminasi sumber air minum dan ikan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat sekitar tambang emas. Proses amalgamasi emas yang dilakukan oleh masyarakat secara tradisional dapat terlepas ke lingkungan. Saat proses tahap pencucian inilah, limbah yang umumnya masih mengandung merkuri dibuang langsung ke badan air. Hasil dengan penelitian Orathinkal, et al (2011), tentang konsentrasi merkuri dan pengaruhnya pada lingkungan air Sungai Watut di Provinsi Morobe, Papua New Guinea, menyatakan bahwa tingkat konsentrasi merkuri 0.001mg/L, sesungguhnya sudah tergolong tinggi jika dibandingkan standar baku air minum yang direkomendasikan di Papua New Guinea dan Australia. Dijelaskan bahwa merkuri dapat mempengaruhi lingkungan air, banyak perubahan yang terjadi atau ditemukan di sungai, tanaman banyak yang mati, kadar merkuri banyak di sedimen dan banyak ditemukan ikan yang cacat. Kajian ini memberikan informasi dasar tentang dampak dari racun merkuri terhadap lingkungan air sungai. Penelitian ini menggunakan sampel air yang sama untuk mengukur kadar Hg dan tingkat kekeruhan air sungai, bendungan irigasi pada lokasi penelitian yang bersifat sesaat (satu kali pengukuran). Pada tabel 2 berikut dapat diketahui hasil pengukuran kekeruhan (TSS) air sungai.
123
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5 Tabel 2 Hasil Pengukuran Kekeruhan Air Sungai Kuantan, Singingi dan Bendungan Irigasi di Kabupaten Kuantan Singingi, Oktober 2014
Dari hasil pengukuran kekeruhan (Total Suspended Solid=TSS) air Sungai Kuantan, Sungai Singingi dan bendungan irigasi dapat diketahui bahwa semua titik lokasi sampel air (19 titik) telah melebihi baku mutu air kelas I dan II. Ditemukan 7 titik lokasi sampel air yang sudah jauh melebihi baku mutu air kelas III dan IV, yaitu: Sungai Singingi di Desa Muara Lembu, Sungai Kukok Hilir, Sungai Kukok di lokasi PETI, Sungai Kuantan batas Kecamatan Sentajo dan Benai, Air Bendungan irigasi Desa Jaya Kopah Kecamatan Kuantan Tengah, Air Bendungan irigasi WK Kecamatan Sentajo bagian Hulu PETI dan bagian Hilir. Artinya telah jauh melebihi baku mutu untuk sumber air minum, prasarana/sarana rekreasi air, untuk budidaya ikan air tawar, peternakan dan untuk pengairan tanaman atau pertanian (PP No.82/2001; Sunu, 2001). Sehingga dapat mengganggu kehidupan dan pertumbuhan organisme perairan. Hal ini juga didukung oleh persepsi masyarakat yang tinggal di daerah aliran Sungai Kuantan dan Sungai Singingi yang sudah kesulitan mendapatkan ikan sungai, dan hasil tangkapannya mengalami penurunan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Johan dan Ediwarman (2011) yang menyatakan bahwa tingginya nilai kekeruhan air Sungai Singingi disebabkan karena adanya kegiatan PETI yang beroperasi pada saat pengambilan air sampel. Dapat diyakini bahwa tanah, pasir, lumpur dan lempung disedot mesin Dongfeng (PETI) langsung dibuang ke sungai sehingga padatan tersebut tersuspensi berupa partikel-partikel kecil dan halus mengakibatkan kekeruhan air sungai, kemudian partikelpartikel ini melayang dalam aliran sungai sehingga menurunkan intensitas cahaya ke dalam air yang terdapat fitoplankton, zooplankton dan lain-lain. Partikel-partikel yang tersuspensi dengan air sungai tersebut akan mengalir jauh dan mengendap di suatu tempat, akan menutupi bentos dan telur-telur ikan yang ada di sekitar rumput sehingga telur ikan tidak bisa menetas, bentos dan beberapa jenis ikan juga akan mati. Kalaupun ada sebagian bentos dan ikan yang masih bertahan hidup tetap tidak aman, karena lumpur halus tersebut mengandung organik dan akan membusuk, sehingga terjadi proses unaerobik dan kondisi di perairan itu akan menimbulkan H2S yang beracun atau multiple effect. Pernyataan di atas didukung oleh Wardhana (2004) dan Salmin (2005) yang menyatakan bahwa sungai yang menjadi tempat pembuangan limbah yang mengandung bahan organik, sebagian besar oksigen terlarut digunakan bakteri aerob untuk mengoksidasi karbon dan nitrogen dalam bahan organik menjadi karbondioksida dan air. Sehingga kadar oksigen terlarut akan berkurang dengan cepat dan akibatnya ikan, udang dan kerang akan mati. Penyebab bau busuk dari air yang tercemar berasal dari gas NH3 dan H2S yang merupakan hasil proses penguraian bahan organik lanjutan oleh bakteri anaerob. Suatu perairan yang tingkat pencemarannya rendah dan dapat dikategorikan sebagai perairan yang baik memiliki kadar oksigen terlarut (DO) > 5 ppm. 124
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5 b. Kualitas Air Sungai Kualitas air sungai dilihat berdasarkan parameter BOD, COD dan DO, peneliti menggunakan data sekunder dari BLH Propinsi Riau, yang melakukan pengukuran kualitas air Sungai Kuantan (Sungai Indragiri) setiap tahun. Namun pada bagian ini, peneliti hanya akan menuliskan hasil analisis laboratorium air sungai yang termasuk dalam lokasi penelitian dan juga diuji oleh BLH Propinsi Riau dari tahun 2009 s.d. 2013. Lokasi yang diukur adalah di Sungai Kuantan Desa Lubuk Ambacang, Desa Banjar Padang Lubuk Jambi, Desa Koto Gunung Toar, Desa Pasar Teluk Kuantan Kabupaten Kuansing (pada tabel berikut). Tabel 3 Hasi Analisis Laboratorium untuk Parameter DO, DOD, COD di Sungai Kuantan Kabupaten Kuantan Singingi, Tahun 2009 s.d 2013
Keterangan Tabel 3 1. Baku Mutu Air menurut PP No. 82/2001: a. Kelas I. Air yang dapat digunakan untuk bahan baku air minum b. Kelas II. Untuk prasarana/sarana rekreasi, budidaya ikan air tawar, peternakan, tanaman. c. Kelas III. Untuk budidaya ikan air tawar, peternakan dan tanaman. d. Kelas IV. Untuk mengairi tanaman. 2. Nilai ambang batas (NAB) menurut Wardhana (2004); Salmin (2005); Unesco, WHO (2092) dalam Warlina (2004). Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa oksigen terlarut (DO) di Sungai Kuantan (Desa Lubuk Ambacang, Desa Banjar Padang Lubuk Jambi, Desa Koto Gunung Toar, Desa Pasar Teluk Kuantan) Kabupaten Kuansing pada tahun 2010 s.d 2013 telah terjadi penurunan. Parameter DO berdasarkan PP No.82/2001 untuk baku mutu air kelas I (6 mg/L), kelas II (4 mg/L), kelas III (3 mg/L). Menurut Wardhana (2004) & Salmin (2005), agar ikan dapat hidup, air harus mengandung oksigen (DO) paling sedikit 5 mg/L. Perairan dengan tingkat pencemaran rendah dan dikategorikan sebagai perairan yang baik jika memiliki kadar DO > 5 ppm (part per million). Artinya hasil pengukuran DO di Sungai Kuantan Kabupaten Kuansing pada tahun 2010 s.d 2013, berada di bawah NAB (5 mg/L) dan dikategorikan tercemar, sehingga dapat mengakibatkan ikan, udang, kerang-kerangan yang ada di sungai tersebut akan mati. Kebutuhan oksigen biokimia (BOD) di Sungai Kuantan (Desa Lubuk Ambacang, Desa Banjar Padang Lubuk Jambi, Desa Koto Gunung Toar, Desa Pasar Teluk Kuantan) Kabupaten Kuansing pada tahun 2009 s.d 2013 telah melebihi NAB. Parameter BOD (PP No.82/2001) untuk baku mutu air kelas I (2 mg/L), kelas II (3 mg/L), kelas III (6 mg/L). Menurut Wardhana (2004), perairan yang bersih adalah perairan yang BOD nya kurang dari 1 mg/L atau 1 ppm, jika BOD nya di atas 4 ppm, maka air dikatakan tercemar. Semakin tinggi kadar BOD-nya, maka semakin menunjukkan indikasi bahwa perairan tersebut tercemar. Artinya hasil pengukuran BOD pada tahun 2009 s.d. 2013 telah melampaui nilai ambang batas (4 mg/L) dan baku mutu untuk air minum, prasarana/sarana rekreasi air, dan untuk budidaya ikan tawar.
125
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5 Hasil pengukuran COD menunjukkan jumlah oksigen yang digunakan dalam reaksi kimia oleh bakteri di Sungai Kuantan (Desa Lubuk Ambacang, Desa Banjar Padang Lubuk Jambi, Desa Koto Gunung Toar) Kabupaten Kuansing pada tahun 2009 s.d 2013 telah melebihi NAB (20 mg/L) atau tercemar. Parameter COD (PP No.82/2001) untuk baku mutu air kelas I (10 mg/L), kelas II (25 mg/L), kelas III (50 mg/L). Menurut UNESCO, WHO/UNEP (1992) dalam Warlina (2004), perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/L. Artinya hasil pengukuran COD di Sungai Kuantan Kabupaten Kuansing pada tahun 2009 s.d 2013, telah melebihi NAB dan baku mutu untuk air minum, dan prasarana/sarana rekreasi air. Berbeda dengan hasil pengukuran COD di Sungai Kuantan Desa Pasar Teluk Kuantan Kabupaten Kuansing pada tahun 2009 s.d. 2013 masih dibawah NAB (20 mg/L) atau belum tercemar, diasumsikan karena lokasi ini adalah padat pemukiman penduduk dan banyaknya masyarakat melakukan aktivitas disana, sehingga sangat mudah dipantau, diawasi dan pencemaran air sungai masih dapat dikendalikan oleh Pemerintah daerah dan aparat keamanan. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Johan dan Ediwarman (2011) yang menyatakan bahwa secara umum kondisi perairan Sungai Singingi berada dalam kondisi ekosistem yang labil dan berada pada tingkat yang cukup mengkhawatirkan karena telah tercemar. Hasil analisis berdasarkan parameter fisika maupun kimia yang telah melebihi NAB sesuai dengan PP No. 82 Tahun 2001, tentang pengelolan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, antara lain seperti parameter kekeruhan, TSS, DO, BOD dan COD. Menurut Warlina (2004) kualitas air terganggu ditandai adanya perubahan bau, rasa dan warna. Indikator bahwa air lingkungan telah tercemar yaitu adanya perubahan atau tanda yang diamati secara fisik, kimiawi dan biologis, kemudian pencemaran air berdasarkan mikroorganisme yang ada dalam air, terutama ada tidaknya bakteri pathogen. Dari semua indikator tersebut, dapat dinyatakan bahwa air Sungai Kuantan, Sungai Singingi, Sungai Kukok dan bendungan irigasi sudah tercemar oleh aktivitas PETI. Pencemaran dan penurunan kualitas air sungai dilihat berdasarkan parameter BOD, COD dan DO. Kebutuhan oksigen biokimia (BOD) menunjukkan jumlah oksigen yang digunakan dalam reaksi oksidasi oleh bakteri. Semakin tinggi kadar BODnya, makin menunjukkan indikasi perairan tersebut tercemar. Kemudian COD menunjukkan jumlah oksigen yang digunakan dalam reaksi kimia oleh bakteri. Oksigen juga sangat diperlukan oleh semua mahluk yang hidup di air seperti ikan, udang, kerang dan hewan lainnya termasuk mikroorganisme seperti bakteri, Agar ikan dapat hidup, air sungai harus mengandung oksigen paling sedikit 5 mg/liter atau > 5 ppm (part per million). Namun kenyataannya oksigen terlarut di aliran sungai tersebut sudah berada di bawah baku mutu atau mulai tercemar, sehingga dapat mengakibatkan ikan, udang, kerang-kerangan yang ada di sungai tersebut akan mati. Oleh sebab itu pencemaran air sungai harus segera dicegah mulai dari sumber pencemarnya dan dikendalikan oleh Badan Lingkungan Hidup (BLH), penertiban aktivitas PETI harus dilakukan oleh aparat kepolisian, Pemda dan dukungan masyarakat. c. Persepsi Masyarakat, Informan terhadap Pencemaran Sungai Persepsi masyarakat di sekitar daerah aliran sungai terhadap kondisi air sungai akibat aktivitas PETI di Kuansing dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1
126
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5 Hasil kuesioner pada gambar di atas, didukung oleh hasil wawancara mendalam dengan informan (PL11, KBLH2, KPi5, A2Ekbang7, TM12, KD13, PP315, PP516) terkait dampak aktivitas PETI terhadap pencemaran lingkungan air sungai, ikan dan ketergantungan masyarakat sekitar terhadap air sungai. Berdasarkan hasil wawancara mendalam diperoleh informasi bahwa aktivitas PETI telah menimbulkan dampak terhadap pencemaran lingkungan air Sungai Kuantan, Sungai Singingi, Sungai Kukok, dan bendungan irigasi. Air sungai sudah sangat keruh sehingga tidak layak lagi digunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti untuk MCK dan mengganggu kehidupan ikan dan biota lainnya. Selama ini masyarakat yang tinggal di sekitar DAS sangat bergantung terhadap air sungai tersebut. Menurut Robbin dan Judge (2009); Hanggraeni (2011), bahwa persepsi diartikan sebagai cara individu menganalisis dan mengartikan pengamatan indrawi mereka dengan tujuan untuk memberikan makna terhadap lingkungan sekitar mereka. Seorang individu akan memandang segala sesuatu dengan persepsi mereka sendiri yang mungkin saja berbeda dengan persepsi orang lain. Menurut McShane dan Von Glinow (2010) dan Wibowo (2013), salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki persepsi individu adalah membantu orang lain menjadi lebih peduli terhadap bias dalam keputusan dan perilakunya sendiri. Masyarakat dan stakeholders mempunyai persepsi yang negatif terhadap PETI yang telah mencemari air sungai, namun sebagian mereka apatis dan tidak mampu berbuat banyak untuk menolak PETI, sehingga aktivitas PETI tetap berlangsung, bahkan jumlahnya semakin banyak dan meluas. Oleh karena itu sangat diperlukan kepedulian dari semua pihak, seperti para pelaku PETI dan masyarakat sekitar serta para pemangku kebijakan (stakeholders) untuk menjaga, memelihara, melestarikan dan menyelamatkan lingkungan sungai dan biota yang ada didalamnya. Berdasarkan teori perkembangan moral Kohlberg, maka sikap pelaku PETI, masyarakat sekitar dan stakeholders tersebut masih berada pada tingkat pra-konvensional 1 dan 2. Pada tahap 1 (orientasi kepatuhan dan hukuman) artinya suatu tindakan dianggap salah secara moral bila orang yang melakukannya dihukum, semakin keras hukuman diberikan dianggap semakin salah tindakan itu (Shaffer, 2004); pada tingkat 2 (orientasi minat pribadi), mereka masih berpikir “apa untungnya buat saya” kurang menunjukkan perhatian pada lingkungan dan orang lain, hanya sampai pada tahap bila kebutuhan itu berpengaruh terhadap kebutuhannya sendiri, perhatian kepada orang lain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor intrinsik. Dibutuhkan nilai-nilai kearifan lokal yang sudah mulai hilang dalam meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kebiasaan yang mengarahkan perilaku manusia dalam kehidupan bermasyarakat untuk melestarikan lingkungan (Hamidy, 2001; Amri et al 2013). Saam (2011) menyebutkan kearifan lokal (local wisdom) itu berkembang dalam kehidupan sehari-hari melalui ajaran langsung dari orang tua kepada anaknya maupun dari ”niniak mamak” kepada cucu dan “kemenakannya”. Cara lain dalam penyampaian kearifan tersebut bisa pula melalui pepatah-petitih, pantang larang dan sastra lainnya. Masyarakat sekitar sesungguhnya mempunyai hak menyatakan keberatan dan melaporkan kepada pihak kepolisian dan Pemerintah daerah karena dirugikan akibat aktivitas PETI yang telah mencemari lingkungan sungai, sebagimana diatur dalam Undang-undang Lingkungan Hidup No. 32 tahun 2009 pasal 26 dan pasal 70. Masyarakat juga memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 2. Dampak Aktivitas PETI terhadap Sosial Ekonomi a. Terhadap Sosial Ekonomi Pekerja PETI Pada gambar 2 berikut diketahui bahwa penghasilan responden (pekerja PETI) rata-rata meningkat. Hasil uji statistik (uji t) didapatkan nilai p 0,001 maka dapat di simpulkan ada pengaruh atau perbedaan yang signifikan antara penghasilan sebelum bekerja PETI dan sesudah bekerja PETI.
127
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5
Gambar 2
Berdasarkan hasil kuesioner, responden mempunyai persepsi bahwa aktivitas PETI berpengaruh positif terhadap sosial ekonomi para pekerja PETI, seperti dijelaskan pada gambar berikut.
Gambar 3
Hasil kuesioner pada gambar di atas, didukung oleh hasil wawancara mendalam terhadap pelaku/pemilik PETI PP3)15 (PP5)16, bahwa penghasilan ekonominya meningkat dari pada pekerjaan sebelumnya, mereka dapat membangun dan memperbaiki rumah, membuat warung, membeli kendaraan (sepeda motor dan mobil), serta membantu sanak keluarganya secara financial. Pernyataan pelaku PETI tersebut didukung oleh salah seorang Kepala Desa (KD2)14 dan kebetulan juga memiliki 3 unit PETI yang mengatakan bahwa penghasilannya juga meningkat, bahkan dapat membeli kenderaan (sepeda motor dan mobil) serta membantu sanak keluarganya. Namun, menurut salah seorang tokoh masyarakat (TM)12, bahwa tidak semua pelaku PETI ini berhasil, bagi yang tidak berhasil bahkan hutangnya semakin bertambah. Aktivitas PETI juga memiliki pengaruh negatif bagi kondisi sosial ekonomi pekerja, sering terjadi pungutan liar oleh oknum aparat, merasa khawatir dan dirugikan jika dilakukan penertiban, terjadi konflik antara aparat keamanan dengan pelaku PETI dan terkadang melibatkan masyarakat sekitar, pelaku PETI jarang mengikuti kegiatan sosial di masyarakat, dan meningkatnya kebutuhan biaya pengobaatan sehubungan dengan aktivitas PETI, sebagaimana hasil kuesioner pada gambar berikut.
128
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5
Hasil kuesioner pada gambar di atas didukung oleh hasil wawancara terhadap informan, bahwa sering terjadi pungutan liar dari oknum aparat keamanan, konflik antara pelaku PETI dengan petugas keamanan, aparat Pemda dan masyarakat sekitar, sebagaimana hasil wawancara dengan pelaku/pemilik PETI (PP3)15 (PP5)16. Seringnya terjadi pungutan liar oleh oknum aparat keamanan yang diduga terlibat PETI, membeking dan terjadi konflik antara aparat keamanan dengan para pelaku PETI dan keluarganya, juga dikatakan oleh informan lainnya seperti KBLH2, KPi5, KKes3, Camat10, dan TM12. Aktivitas PETI di Kabupaten Kuantan Singingi telah memberikan pengaruh positif dan pengaruh negatif terhadap sosial ekonomi para pekerja/ pelaku dan keluarganya. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Pasaribu (2010), Eriyati dan Rita (2011), Refles (2012) dan Irfan (2013) yang menyatakan bahwa aktivitas PETI berpengaruh positif bagi para penambang emas. Pengaruh positif dari aktivitas PETI terhadap sosial ekonomi pekerja di Kuansing adalah meningkatnya jumlah penghasilan pekerja PETI 3 kali lebih tinggi dari pada pekerjaan sebelumnya dan melebihi Upah Minimum Kabupaten Kuansing tahun 2015 (Rp 1.980.000,-) per bulan. Kegiatan PETI telah menciptakan lapangan kerja baru dan terjadi perubahan pekerjaan dari bertani (memotong karet) ke aktivitas PETI, terutama bagi masyarakat desa yang tidak punya banyak pilihan pekerjaan selain bertani, berladang, berkebun, pedagang kecil (kedai) dan lainnya. PETI juga telah meningkatkan ekonomi keluarga mereka, mampu membiayai pendidikan atau sekolah anak-anaknya mulai sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi, kegiatan PETI telah meningkatkan roda perekonomian dan daya beli masyarakat lokal karena terjadinya perputaran uang dalam jumlah yang relatif lebih besar di wilayah tersebut, para pekerja/pelaku PETI dapat membangun dan memperbaiki rumah, warung, membeli kendaraan (sepeda motor dan mobil), membeli ternak, tanah, kebun serta dapat membantu sanak keluarganya secara finansial. Meskipun aktivitas PETI mempunyai pengaruh positif terhadap sosial ekonomi pekerja (seperti menciptakan lapangan kerja dan meningkatnya penghasilan), namun dalam perspektif ilmu lingkungan dapat disimpulkan bahwa PETI telah merusak lingkungan dan ekosistem perairan sungai, dengan demikian PETI harus ditertibkan (dihentikan) dan dicari solusinya agar kesejahteraan masyarakat sekitarnya lebih meningkat, lingkungan dan perairan sungai harus tetap dijaga, dipelihara dan dilestarikan sehingga terwujud pembangunan yang berwawasan lingkungan. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa aktivitas PETI berpengaruh negatif terhadap sosial ekonomi pekerja PETI di Kuansing, yaitu sering terjadinya pungutan liar dari oknum aparat keamanan, konflik antara pelaku PETI dengan oknum aparat keamanan dan masyarakat sekitar. Pelaku merasa khawatir dengan keadaan ekonomi keluarga dan kebutuhan biaya sekolah anak-anaknya setiap dilakukan razia penertiban PETI oleh aparat kepolisian. Pekerja PETI sering tidak sempat mengikuti kegiatan sosial (acara adat, mendo’a syukuran, pesta pernikahan, khitanan, takziah pada acara kematian) di daerah tersebut karena sibuk bekerja PETI. Meningkatnya jumlah pengeluaran biaya pengobatan karena berbagai penyakit sehubungan dengan kegiatan PETI. Menurut Somantri (2011), lemahnya pengetahuan dan kemampuan ekonomi masyarakat telah menyebabkan mereka seringkali menjadi objek eksploitasi para pemodal atau cukong sehingga sangat sedikit diantara mereka yang dapat memperbaiki kesejahteraan hidupnya. Lebih jauh lagi, aktivitas ini
129
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5 seringkali menggiring mereka menuju terjadinya degradasi budaya lokal akibat bertemunya berbagai budaya dari para penambang pendatang dengan masyarakat setempat sehingga melahirkan konflik diantara mereka dan meningkatkan potensi kriminalitas. Ada perbedaan dengan hasil penelitian Idrobo, et al (2014) yang menyatakan bahwa maraknya aksi PETI di Kolombia telah membawa dampak negatif secara signifikan terhadap peningkatan kekerasan, dilihat dari jumlah korban pembunuhan dan pembantaian di Kolombia. Kondisi yang terjadi di Kuansing adalah terjadi konflik (perang mulut dan saling mengancam, bahkan terkadang mengakibatkan bentrokan fisik) antara pelaku PETI dengan aparat keamanan ketika dilakukan penertiban PETI dan warga masyarakat sekitar yang memiliki hubungan dengan pelaku PETI, termasuk dengan petugas security perusahaan (PT. DPN) yang melarang aktivitas PETI di lingkungan perusahaannya, sehingga para pelaku PETI melakukan tindakan merusak membakar salah satu bangunan perusahaan, namun keadaan di lokasi PETI akhirnya masih dapat dikendalikan oleh aparat keamanan yang turun langsung ke lapangan. Hasil penelitian ini sejalan dengan Karl marx, bahwa perubahan sosial hanya mungkin terjadi karena adanya konflik kepentingan material. Konflik sosial dan perubahan sosial menjadi satu pengertian yang setara, karena perubahan sosial berasal dari adanya konflik kepentingan material tersebut. Oleh karena itu, kita perlu memperhatikan pendidikan dan meningkatkan keterampilan mereka sebagai pondasi untuk membangun masyarakat baru, terbuka bagi perubahan dan perkembangan zaman, serta menata masyarakat dengan paradigma baru yang peduli terhadap lingkungan sekitarnya (Salim, 2002). Menurut Keraf (2010), bahwa teori antroposentrisme yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta, segala kepentingannya dianggap paling menentukan dalam tatanan ekosistem. Segala sesuatu yang ada di lingkungan dan alam ini hanya dinilai dan diperhatikan sejauh menunjang kepentingan manusia. Lingkungan hidup dan alam semesta hanya dilihat sebagai obyek, alat, sarana bagi pemenuhan kebutuhan manusia untuk mencapai tujuan. Demikian pula halnya dengan aktivitas PETI yang terjadi di Kabupaten Kuantan Singingi, demi kebutuhan ekonomi keluarganya, telah mengabaikan kerusakan lingkungan sekitarnya. Seharusnya pelaku PETI, masyarakat dan stakeholders juga melihat dari perspektif biosentrisme dan ekosentrisme, bahwa tidak benar hanya manusia yang mempunyai nilai. Alam juga mempunyai nilai, semua makhluk hidup dan seluruh komunitas ekologi baik yang hidup maupun yang mati harus diperhatikan, karena saling terkait satu sama lain sehingga pantas mendapat pertimbangan dan kepedulian moral. Oleh karena itu, kewajiban dan tanggung jawab moral tidak hanya dibatasi pada makhluk hidup. Kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga berlaku terhadap semua realitas ekologis. b. Terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat DAS Gambaran jumlah penghasilan masyarakat yang tinggal di DAS sebelum dan setelah ada aktivitas PETI di Kabupaten Kuantan Singingi, rata-rata terjadi penurunan dari Rp. 3.300.000,- (tiga juta tiga ratus ribu rupiah) menjadi Rp. 3.104.000,- (tiga juta seratus empat ribu rupiah) per bulan. Hasil uji statistik (Uji t) didapatkan nilai p 0,001 maka dapat disimpulkan ada pengaruh atau perbedaan yang signifikan antara penghasilan sebelum bekerja PETI dan sesudah bekerja PETI, seperti pada gambar berikut.
130
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5
Gambar 5
Berdasarkan hasil kuesioner yang diisi oleh responden (masyarakat DAS), sebanyak 81,9% responden mengatakan bahwa aktivitas PETI ini memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan pembangunan di desa seperti sumbangan untuk tempat ibadah. Namun 99% responden mengatakan bahwa aktivitas PETI berpengaruh negatif mengakibatkan terjadinya keresahan dan konflik antara pelaku PETI dengan aparat keamanan dan terkadang dengan masyarakat sekitar. Aktivitas PETI juga berpengaruh terhadap penggunaan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari, tidak digunakan lagi sebagai sumber air minum, untuk memasak, mandi, mencuci pakaian (lihat gambar berikut).
Gambar 6
Data pada gambar di atas, didukung oleh hasil wawancara mendalam terhadap informan (KBLH2, Camat10 dan KD113), bahwa aktivitas PETI berpengaruh negatif terhadap penurunan jumlah rata-rata penghasilan masyarakat sekitar daerah aliran sungai (DAS) yang tidak terlibat aktivitas PETI, sehingga mereka merasa terganggu dan dirugikan akibat dari aktivitas PETI dan kesulitan mendapatkan air bersih, masyarakat DAS tidak bisa lagi memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan sehari-hari, seperti untuk air minum/memasak, mandi, mencuci pakaian dan kakus (MCK), minum ternak, budi daya ikan keramba, ikan sungai sudah sulit didapat. Masyarakat DAS juga kesulitan mendapatkan ikan sungai, sehingga mereka terpaksa membeli ikan dari daerah lain seperti dari Kabupaten Kampar dan Provinsi Sumatera Barat. Aktivitas PETI juga sering menimbulkan terjadinya konflik antara pelaku PETI dengan aparat keamanan, petugas Pemda dan petugas perusahaan baik berupa perang mulut, bentrokan fisik, bahkan terkadang sampai melakukan anarkis/merusak mobil aparat Pemerintah daerah dan membakar bagian gudang perusahaan (PT. DPN) yang ikut melakukan penertiban PETI. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Mahgfirah et al (2013) di Desa Sungai Alah Kecamatan Hulu Kuantan Kabupaten Kuansing yang menyatakan bahwa kegiatan PETI berkontribusi terhadap masyarakat sekitar berupa bantuan kegiatan desa untuk masyarakat, memberikan alokasi dana untuk kegiatan jalur, bantuan untuk perbaikan Mushollah, membuat jalan ke tepian sungai, dan bantuan untuk kegiatan sosial. Berbeda dengan hasil penelitian Pasaribu (2010) di Kecamatan Batang Toru, Tapanuli Selatan yang menyatakan bahwa kegiatan penambangan emas berdampak positif terhadap peningkatan sosial ekonomi masyarakat dilihat dari meningkatnya pendapatan masyarakat (sekitar 26,56%), terjadi
131
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5 peningkatan sarana pendidikan, sarana kesehatan dan pengembangan wilayah kecamatan. Diasumsikan ada perbedaan kriteria responden dan status usaha penambangan emas. Dalam penelitian ini responden yang dipilih adalah masyarakat yang tinggal di sekitar daerah aliran sungai dan tidak terlibat dalam aktivitas PETI serta status usaha penambangan emas illegal milik perorangan. Sedangkan pada penelitian Pasaribu (2010) menggunakan responden (masyarakat desa) yang berdekatan dengan perusahaan tambang emas dan tidak menjelaskan secara eksplisit kriteria responden apakah terlibat atau tidak dengan kegiatan penambangan emas tersebut. Sangat mungkin responden yang digunakannya adalah bagian dari keluarga para penambang emas atau ada hubungan kerja dengan kegiatan penambangan emas sehingga jumlah penghasilannya meningkat. Hasil penelitian di Kuansing tidak ditemukan pengaruh aktivitas PETI terhadap peningkatan sarana pendidikan, sarana kesehatan dan pengembangan wilayah kecamatan seperti yang terjadi di Batang Toru, Tapanuli Selatan. Aktivitas PETI di Kuansing hanya menguntungkan para pemodal, pekerja dan sebagian orang yang ikut terlibat dalam aktivitas PETI, seperti pemilik lahan, oknum aparat yang melindungi, penjual merkuri dan alat-alat PETI, keluarga pelaku PETI dan mereka yang merasa diuntungkan. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian Mahgfirah et al (2013) yang menyatakan bahwa kegiatan PETI di Desa Sungai Alah Kecamatan Hulu Kuantan Kabupaten Kuansing memberikan pengaruh negatif terhadap masyarakat sekitar, khususnya kepada masyarakat nelayan, yaitu terjadi penurunan jumlah nelayan 59% dari tahun 2008 ke tahun 2013. Hal ini disebabkan karena berkurangnya jumlah pendapatan para nelayan dari waktu ke waktu dan semakin sulitnya mendapatkan ikan di sungai akibat dari pencemaran air sungai. Menurut Somantri (2011), dampak aktivitas PETI di Lombok Barat mengakibatkan menurunnya tingkat kehadiran siswa di sekolah, banyak siswa yang lebih memilih menambang emas dari pada masuk sekolah, kasus pencurian dan perampokan meningkat, banyak masyarakat yang mengabaikan kegiatan agama (mesjid menjadi sepi), begitu juga pada kegiatan sosial, seperti saat acara kematian, sulit mencari warga untuk mengurus jenazah dan masih banyak lagi perubahan kebiasaan masyarakat di wilayah tersebut dan lingkungan hidup tercemar. Tidak seharusnya karena alasan ekonomi harus mengorbankan lingkungan sekitar, kesehatan dan generasi selanjutnya. Kegiatan PETI di berbagai daerah, khususnya di Kuansing telah menimbulkan lebih banyak kerugian bagi masyarakat sekitar DAS dan persoalan akibat kerusakan lingkungan sungai dan risiko gangguan kesehatan jangka panjang, baik bagi Negara maupun bagi masyarakat sekitar bila dibandingkan dengan manfaatnya bagi para pelaku. Negara kehilangan pendapatan karena illegal, para penambang tidak membayar pajak, royalty, terjadi pemborosan sumber daya, sementara lingkungan menjadi rusak dan ekosistem terganggu, air sungai tercemar karena cara penambangan dan pengolahan yang tidak mengikuti kaidah (good mining practice). Dampak aktivitas PETI terhadap pencemaran lingkungan sungai, kondisi sosial ekonomi pekerja dan masyarakat DAS, serta gangguan kesehatan dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 7
Dampak aktivitas PETI terhadap lingkungan, yaitu terjadinya pencemaran air sungai dan air bendungan irigasi ditinjau dari tingkat kekeruhan dan kadar Hg, parameter DO, BOD dan COD yang 132
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5 melibihi NAB, sehingga mengakibatkan kehidupan berbagai jenis biota sungai seperti ikan, udang, kerang-kerangan dan lainnya terganggu dan mati, air sungai tidak dapat lagi dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari. Pengaruh aktivitas PETI terhadap sosial ekonomi, yaitu PETI meningkatkan penghasilan ekonomi pekerja dan pemodal, namun PETI telah merugikan masyarakat sekitar DAS, masyarakat telah kesulitan mendapatkan air bersih dan aktivitas PETI sering menimbulkan konflik antara para pelaku PETI dengan aparat kepolisian, petugas Pemda dan petugas perusahaan baik berupa “perang mulut”, bentrokan fisik, bahkan sampai melakukan anarkis/merusak mobil aparat Pemerintah daerah dan membakar bangunan perusahaan (PT.DPN) yang ikut melakukan penertiban PETI. Pengaruh aktivitas PETI terhadap kesehatan, yaitu pekerja PETI di Kabupaten Kuansing mengalami berbagai gejala gangguan kesehatan, kecelakaan kerja, dan jika PETI terus dibiarkan dalam jangka panjang maka dapat berdampak terhadap masalah kesehatan masyarakat yang terakumulasi merkuri dan kehilangan generasi berikutnya. Menurut Hendrik L. Blum dalam Notoatmodjo (2007), lingkungan merupakan salah satu faktor dominan yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat. Pada penelitian ini, lingkungan air sungai yang tercemar dapat berisiko terhadap berbagai gangguan kesehatan pada pekerja PETI dan masyarakat sekitar yang menggunakan air sungai, mengkonsumsi ikan, udang, kerang-kerangan yang terakumulasi Hg. Lingkungan sungai yang tercemar juga dapat menimbulkan masalah sosial ekonomi masyarakat sekitar, seperti masyarakat DAS dan nelayan kehilangan mata pencaharian akibat pencemaran air sungai dan kesulitan mendapatkan ikan sungai, kesulitan sumber air bersih sehingga memerlukan biaya untuk penyediaan air bersih. 3. Solusi Aktivitas PETI a. Upaya yang Sudah Dilakukan dan Masalahnya Berdasarkan informasi dari beberapa informan, bahwa pada tahun 2013 sudah dibentuk Tim Terpadu Pemberantasan PETI oleh Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi bekerjasama dengan Polres Kuansing dalam melakukan upaya sosialisai, edukasi, advokasi dan penertiban PETI. Upaya lintas sektor yang sudah dilakukan Pemda dan stakeholder pada tahun 2013-2014, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa masalah sebagai berikut.
No 1
2
3
Tabel 4 Upaya yang Pernah Dilakukan oleh Pemda dan Stakeholders Upaya yang Bentuk Kegiatan Masalah dilakukan Sosialisasi & Seminar, penyuluhan, menyebarkan brosur, Kegiatan sosialisasi dan edukasi belum Edukasi dampak poster, leaflet, baliho dan spanduk. sampai ke masyarakat desa, sehingga PETI mereka tidak mengetahui dampak PETI. Koordinasi dan - Bupati pernah meminta bantuan - Komitmen (Pemerintah, aparat Advokasi Pemerintah Provinsi dan Polda Riau keamanan dan masyarakat) untuk melalui Forkopimda terkait solusi PETI menertibkan PETI secara - Bupati telah mengirimkan surat kepada berkelanjutan, dan diperlukan dana Tim khusus Presiden dan kementerian operasional yang cukup besar untuk terkait (BLH, ESDM, Mendagri) terkait penertiban PETI, anggaran Pemda solusi masalah PETI di Kuansing (tahun Kuansing terbatas. 2013). - Pemerintah Pusat belum merespon surat dari Bupati terkait solusi PETI di Kuansing. Penertiban PETI Tim gabungan Polda Riau, Pemda & Polres Upaya penertiban PETI yang dilakukan Kuansing telah melakukan penertiban razia aparat keamanan sering mendapatkan PETI (menangkap beberapa pelaku dan perlawanan secara fisik dari para pelaku membakar lebih dari 438 rakit PETI, PETI. Penertiban PETI yang dilakukan menyita barang bukti) yang beroperasi di belum efektif, aktivitas PETI kembali sepanjang aliran Sungai Kuantan, Singingi, terjadi. Ada oknum aparat yang terlibat Kukok (PT DPN). PETI dan melakukan pungutan liar.
133
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5 Upaya sosialisasi dan edukasi tentang dampak aktivitas PETI terhadap kesehatan dan lingkungan sebaiknya lebih sering dan rutin dilakukan sampai ke pelosok desa di Kuansing sehingga informasinya sampai kepada semua sasaran. Menurut Notoatmodjo (2007), sasaran promosi kesehatan terdiri dari sasaran primer, sekunder dan tersier. Sasaran primer, yaitu para pelaku PETI dan kelompok masyarakat yang terkena dampak pencemaran air sungai dan rentan/berisiko terhadap gangguan kesehatan akibat aktivitas PETI. Sasaran sekunder, yaitu para tokoh masyarakat baik formal maupun informal yang disegani atau berpengaruh bagi para pelaku PETI. Sasaran tersiernya, yaitu pembuat keputusan atau penjabat dari semua sektor. Menurut Wahyono (2006), diperlukan komunikasi antara stakeholders dalam penanganan PETI, daerah kesulitan menyelesaikan persoalan pertambangan emas liar karena sumber persoalannya ada di Pusat. Masih terjadi sentralisasi pengelolaan pertambangan ESDM, sebagaimana diatur dalam UU Pemerintahan Daerah No 23/2014 Pasal 14, bahwa kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ESDM dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi. Berbeda dengan UU Pertambangan Minerba (No 4/2009) Pasal 20-26, menyatakan bahwa wilayah pertambangan rakyat (WPR) ditetapkan oleh bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan DPRD kab/kota. Menurut hasil penelitian Nuraina (2012) di Aceh, bahwa sampai saat ini di beberapa Daerah Kabupaten/Kota belum memiliki Qanun (Peraturan daerah) untuk mengatur pertambangan. Sementara kedudukan Qanun tersebut sebagai syarat utama dalam melakukan penetapan WPR maupun menerbitkan ijin pertambangan rakyat (IPR). Aktivitas PETI yang terjadi di berbagai daerah termasuk di Kabupaten Kuantan Singingi telah mengakibatkan pencemaran lingkungan sungai dan biota di dalamnya, berdampak pada keselamatan dan kesehatan pekerja, berisiko terhadap masalah kesehatan masyarakat sekitar, dikhawatirkan akan menjadi “bom waktu” seperti kasus Minamata Disease di Jepang. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dari Pemerintah Pusat (Presiden) melalui Kementerian Dalam Negeri, Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Kesehatan untuk saling berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, aparat penegak hukum dan melibatkan Stakeholders yang terkait untuk merumuskan rancangan strategis penyelamatan lingkungan dan penanganan aktivitas PETI di daerah. Disamping itu, juga diperlukan upaya penertiban terhadap para oknum aparat keamanan yang terlibat, sehingga Bupati Kuantan Singingi perlu mendatangi atau meminta bantuan Kapolri dan Panglima TNI untuk menertibkan para oknum anggotanya. b. Persepsi Masyarakat terhadap Solusi Aktivitas PETI Persepsi responden (masyarakat DAS) terhadap solusi aktivitas PETI di Kuansing adalah sebagai berikut: Tabel 5 Persepsi Masyarakat DAS terhadap Solusi Aktivitas PETI di Kuansing, 2015. No Persepsi Masyarakat terhadap Solusi PETI % 98.1 1 Pemda dan Kepolisian diharapkan serius menangani PETI 0.5 2 Sebaiknya aktivitas PETI ini dibiarkan saja beroperasi Sebaiknya aktivitas PETI ini ditertibkan atau dihentikan 100 3 99.0 4 Sebaiknya selalu dirazia (pekerja, pemodal dan penadah diproses secara hukum) 99.5 5 Sebaiknya oknum aparat yang terlibat, PUNGLI, ditindak dan diproses hukum 13.8 6 Perlu dibuat PERDA, penetapan WPR dan IPR 99.0 7 Sebaiknya pelaku PETI kembali ke pekerjaan sebelumnya: bertani, berkebun, dll. 15.2 8 Sebaiknya PEMDA menyediakan lapangan pekerjaan untuk para pekerja PETI Sebaiknya PEMDA, Kepolisian, pihak terkait mengawasi penjualan Minyak Solar 49.5 9 98.6 10 Sebaiknya PEMDA, Kepolisian, pihak terkait mengawasi penjualan Air Raksa c. Solusi Penanganan Aktivitas PETI yang Diusulkan Gambar berikut merupakan instrumen riset kebijakan “Criminal Justice Policy Cycle” (Bachtiar, 2011) yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah dan mencari solusi penanganan aktivitas PETI di Kabupaten Kuantan Singingi dan menggunakan pendekatan system. 134
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5
Gambar 8
Berdasarkan gambar di atas dapat dijelaskan bahwa sistem penanganan aktivitas PETI di Kabupaten Kuantan Singingi dimulai dari mengidentifkasi masalah bahwa aktivitas PETI berdampak pada pencemaran sungai, menimbulkan masalah sosial ekonomi pada masyarakat sekitar dan risiko gangguan kesehatan pada pekerja dan masyarakat, kemudian dilakukan identifikasi solusi yang memungkinkan (ditertibkan atau diberi ijin/IPR dan WPR) berdasarkan tujuan yang ingin dicapai meliputi komponen input, proses, output, outcome, kemudian dipilih solusi yang terbaik adalah aktivitas PETI ditertibkan dengan 6 solusi penanganan, yaitu: komitmen bersama dan kebijakan, diseminasi informasi, melakukan sosialisasi dan edukasi, meningkatkan kerjasama dan koordinasi, melakukan penertiban dan penegakan hukum, dan pengendalian sosial. Selanjutnya implementasi kebijakan Pemda, Stakeholders terhadap PETI dalam menjaga dan melindungi lingkungan sungai, bendungan irigasi, dan mengevaluasi kebijakan yang dilakukan, hingga kebijakan tersebut berakhir. Aktivitas PETI telah merusak lingkungan dan mencemari Sungai Kuantan, Sungai Singingi, dan bendungan irigasi di Kabupaten Kuantan Singingi, sehingga perlu diuraikan solusi penanganan dan pencegahannya sebagai berikut: 1. Komitmen dan Kebijakan Diperlukan komitmen bersama dan kebijakan dari Pemerintah Daerah Kuansing, aparat penegak hukum, para pemangku kepentingan (stakeholders), dukungan masyarakat untuk menertibkan PETI dalam upaya penyelamatan lingkungan sungai, melalui: a. Mengaktifkan kembali Tim terpadu penertiban PETI, yang terdiri dari unsur Muspida, Kepala SKPD, camat, perwakilan masyarakat (tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat), akademisi dan stakeholders lainnya. Tim ini bersifat lintas sektoral, memiliki program kerja, dan diaktualisasikan (blusukan) b. Mengalokasikan dana operasional penertiban PETI melalui anggaran BLH Kuansing, dan menyediakan SDM penyidik di BLH melalui Diklat, sehingga kasus-kasus lingkungan dapat diproses sampai tuntas. c. Menunjuk dan mengaktifkan Satgas preventif (edukasi, sosialisasi dan humas), Satgas represif (penegakan hukum), pembagian tugas dan tanggung jawab, serta menyediakan sarana operasional. d. Rencana dan pelaksanaan program penertiban PETI yang jelas e. Monitoring dan evaluasi program pengendalian berkelanjutan Penelitian ini sejalan dengan penelitian Clifford (2010), Hirons (2011) di Sub-Sahara Afrika, Spiegel et al, (2012) di Amazon, yang merekomendasikan penanganan PETI (ASGM) bahwa Pemerintah perlu melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam merancang strategi perencanaan lingkungan, dan harus melakukan intervensi untuk membatasi penggunaan merkuri oleh masyarakat melalui pendekatan partisipatif para pelaku. 135
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5 Penelitian ini sesuai dengan pendapat Robbins dan Timothy (2011) bahwa efektivitas tim terpadu dipengaruhi oleh kecukupan sumber daya, kepemimpinan dan struktur, iklim kepercayaan, evaluasi kinerja dan system penghargaan, kemampuan anggota, kepribadian, mengalokasikan peran, keberagaman, besaran tim, fleksibilitas anggota, preferensi anggota, maksud dan tujuan dibentuknya tim terpadu, efikasi, tingkat konflik dan kemalasan sosial (social loafing). Menurut Kreitner dan Kinicki (2010), biasanya pekerjaan tim tidak selalu berhasil, bisa saja mengalami kegagalan yang dapat disebabkan karena kesalahan dalam manajemen maupun karena harapan yang tidak realistis. Menurut peneliti bahwa belum efektifnya penanganan PETI di Kabupaten Kuantan Singingi selama ini dapat disebabkan oleh tim yang belum mampu mengatasi kelemahannya, dana operasional yang terbatas, sebagian masyarakat yang terlibat PETI bermusuhan atau berkolusi dengan tim, resistensi untuk melakukan sesuatu dan kurang memiliki komitmen jangka panjang untuk memelihara dan melindungi sungai dari pencemaran akibat PETI. Oleh karena itu efektivitas tim penanganan PETI perlu ditingkatkan melalui kerja sama tim secara sistematis diintegrasikan untuk mencapai tujuan kolektif, membangun rasa saling percaya, dan lebih terpadu. 2. Diseminasi Informasi Diperlukan diseminasi informasi dari hasil penelitian ini agar semua pihak yang terkait satu pandangan bahwa aktivitas PETI telah mengakibatkan kerusakan lingkungan dan pencemaran sungai, sehingga diperlukan keterlibatan berbagai pihak, dinas dan instansi terkait dalam merumuskan program pencegahan dan penanganan, program pemberdayaan masyarakat, dan rehabilitasi atau reklamasi. Selanjutnya dilakukan pertemuan besar di tingkat kabupaten untuk menyusun langkahlangkah tindakan, perlu dirancang narasumber dan peserta yang harus dihadirkan serta rumusan yang dihasilkan. Kemudian ditindaklanjuti di tingkat kecamatan sampai ke tingkat desa. Perlu juga dijelaskan bahwa, potensi emas di Kabupaten Kuansing yang bersifat alluvial atau tersebar di dasar sungai dan daratan, sehingga dinilai tidak efisien dan tidak feasible dikelola secara ekonomis, dan tidak ekonomis jika ditambang dengan menggunakan teknologi tinggi karena akan membutuhkan biaya yang besar. Oleh karena itu, penetapan WPR dan IPR di Kuansing dianggap kurang memungkinkan, karena tidak akan seimbang antara hasil yang diperoleh (PAD) dengan besarnya biaya reklamasi lingkungan yang harus ditanggung semua oleh pemerintah. 3. Sosialisasi dan Edukasi Tim terpadu penertiban PETI perlu melakukan upaya sosialisasi dan edukasi secara rutin tentang dampak aktivitas PETI terhadap pencemaran lingkungan dan risiko gangguan kesehatan yang tepat sasaran (primer, sekunder, tersier) untuk membentuk kesadaran para pelaku PETI, masyarakat sekitar dan stakeholders. Pemerintah daerah melalui instansi terkait (Dinas Kesehatan, ESDM, BLH, Dinas Perikanan, Camat dan lainnya) perlu bersinergi dengan aparat desa, elemen masyarakat, LSM peduli lingkungan, organisasi profesi kesehatan untuk melakukan sosialisasi dan edukasi dampak PETI bagi kesehatan dan pencemaran lingkungan sungai, termasuk memberdayakan para tokoh masyarakat dan tokoh agama melalui ceramah agama di mesjid dan wirid pengajian. Kapolres Kuansing sesuai dengan programnya akan menugaskan “Babinkamtibmas” untuk melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat dengan cara walk and talk melalui program Polisi Peduli Lingkungan Hidup (PPLH), yang dibekali booklet (modul) panduan sosialisasi berisi informasi dan gambar-gambar terkait dampak PETI terhadap pencemaran air sungai, dan risiko gangguan kesehatan yang ditimbulkan (lihat lampiran 20). Menurut Sippl & Henrik (2012), upaya sosialisasi dan edukasi dapat membangun wawasan masyarakat terhadap bahaya aktivitas PETI. Sosialisasi dan edukasi dampak aktivitas PETI di Kuansing dapat dilakukan melalui penyuluhan, seminar, penyebaran poster, leaflet, memasang papan reklame atau baliho di pinggir jalan, iklan melalui radio, televisi, buku komik, booklet/modul, kegiatan pendidikan dan latihan untuk para kader masyarakat, Satuan tugas preventif dari Kepolisian yang melakukan edukasi, bimbingan kepada masyarakat dan kunjungan langsung ke lokasi untuk menghentikan aktivitas PETI tersebut. Seperti yang dilakukan di Ghana, para penambang emas (PETI) sangat sensitif terhadap isi pesan yang menekankan bahaya merkuri terhadap anak-anak. Di Brazil, 136
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5 brosur yang yang bertuliskan dampak merkuri terhadap impotensi, ternyata sangat efektif dalam meningkatkan kesadaran para pelaku PETI. Penelitian ini sejalan dengan Notoatmodjo (2007), bahwa upaya sosialisasi dan edukasi yang dilakukan Stakeholders perlu memperhatikan strategi promosi kesehatan (advocacy, social support, empowerment), dan sasaran promosi kesehatan, terdiri dari: Sasaran primer, yaitu para pelaku PETI dan kelompok masyarakat yang terkena dampak pencemaran air sungai dan rentan/berisiko terhadap gangguan kesehatan akibat aktivitas PETI. Sasaran sekunder, yaitu para tokoh masyarakat baik formal maupun informal yang disegani atau berpengaruh bagi para pelaku PETI. Sasaran tersier, yaitu pembuat keputusan atau pejabat dari semua sektor. Sosialisasi dan edukasi yang dilakukan tersebut seharusnya juga dapat: 1) Meningkatkan kemampuan kepada masyarakat agar mau, mampu memelihara serta peduli pada lingkungan sekitarnya, menjaga dan meningkatkan kesehatannya. 2) Menjembatani masyarakat dengan pihak-pihak yang “concern” terhadap kesehatan lingkungan. 3) Mengadvokasi para pengambil keputusan di berbagai sektor/penjabat agar mendukung program peduli lingkungan terkait aktivitas PETI. Menurut Borisch (2012), bahwa asosiasi kesehatan masyarakat harus membantu pemerintah dan stakeholders untuk mempromosikan nilai-nilai penting kesehatan masyarakat, melakukan kebijakan publik, termasuk solidaritas, partisipasi, pemberdayaan dan keadilan sosial. Untuk melaksanakan program penyelamatan lingkungan sungai yang berkelanjutan dibutuhkan peran perguruan tinggi untuk memberikan masukan dan solusi, keterlibatan berbagai organisasi profesi kesehatan, peran lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang kuat dan tidak terikat pada pemerintah dan kepentingan tertentu, juga membutuhkan peran media massa (televisi, radio, koran, dll). Disamping itu, mengangkat kasus pencemaran lingkungan akibat PETI di Kuansing dan di daerah lainnya menjadi isu nasional, sehingga lebih mendapat perhatian dari para pemangku kebijakan di tingkat kabupaten, provinsi dan pusat. 4. Kerjasama dan Koordinasi Pimpinan Daerah Kuantan Singingi (Bupati, Kapolres, Kodim, Kajari) perlu meningkatkan kerjasama dan koordinasi, keterlibatan dinas dan instansi terkait (ESDM, BLH, Kesehatan, Bappeda, Perikanan, Pertanian, Dinsosnaker), perguruan tinggi, LSM, peran media (pers) serta dukungan komponen masyarakat sangat diperlukan untuk mengamankan kebijakan penanganan aktivitas PETI dan menyelamatkan lingkungan sungai di Kuansing secara berkelanjutan. Bila diperlukan, Pemda dapat meminta bantuan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Pusat (Presiden) melalui kementerian terkait (Kemendagri, ESDM, KLH, Kemensos) terkait bantuan anggaran dan petunjuk penanganan aktivitas PETI dalam upaya penyelamatan lingkungan sungai. Disamping itu, juga diperlukan upaya penertiban terhadap para oknum aparat keamanan yang terlibat, bila perlu Bupati Kuantan Singingi meminta bantuan Kapolri dan Panglima TNI untuk menertibkan para oknum anggotanya yang terlibat. Penelitian ini sejalan dengan rekomendasi penelitian Gibb and O’Leary (2014) di Amerika Selatan, Asia dan Afrika, bahwa diperlukan kebijakan pemerintah pusat dan rencana aksi nasional yang mencakup strategi kesehatan masyarakat terhadap bahaya eksposur merkuri yang digunakan oleh para penambang emas skala kecil (ASGM/PETI), seperti hasil Konvensi Minamata, harus segera dilaksanakan. Penelitian ini sesuai dengan Pendapat Wahyono (2006) yang menyatakan bahwa diperlukan komunikasi antara stakeholders dalam penanganan PETI, karena daerah kesulitan menyelesaikan persoalan pertambangan emas liar. Perbedaaan antara UU Pemerintahan Daerah No 23/2014 Pasal 14, bahwa kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang ESDM dibagi antara Pemerintah Pusat dan Provinsi, dengan UU Pertambangan Minerba (No 4/2009) Pasal 20-26, menyatakan bahwa wilayah pertambangan rakyat (WPR) ditetapkan oleh bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan DPRD kabupaten/kota, dapat mengakibatkan kerancuan, dan dikhawatirkan menimbulkan potensi konflik antara pusat dan daerah, wacana regionalisme serta unjuk rasa masyarakat yang bisa mengarah pada kegiatan anarki yang melanggar hukum. Untuk mengatasi permasalahan di atas, diperlukan komunikasi dan koordinasi antara Pemerintah Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota beserta 137
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5 Stakeholders lainnya dalam penanganan PETI. Pemerintah Daerah harus berani melakukan terobosan baru dalam menerbitkan kebijakan daerah, misalnya memasukkan peranan masyarakat adat, kearifan lokal dalam pengelolaan pertambangan, menyiapkan anggaran untuk koordinasi dengan aparat keamanan dalam menanggulangi PETI. Pada gambar berikut akan digambarkan bentuk solusi terpadu penanganan PETI di Kabupaten Kuantan Singingi. 5. Penertiban PETI dan Penengakan Hukum. Penertiban PETI secara bertahap dan berkelanjutan yang dimaksudkan adalah dilakukan larangan dan penertiban PETI di sepanjang aliran Sungai Kuantan, Sungai Singingi, Sungai Kukok dan bendungan irigasi. Kemudian larangan PETI di aliran anak-anak sungai, serta di area perkebunan, sambil menyiapkan program pengendalian sosial bagi masyarakat lokal yang terkena dampak. Penengakan hukum secara tegas terhadap para pelaku PETI (pekerja/pemodal), oknum aparat yang terlibat memiki, melindungi PETI dan melakukan pungutan liar sehingga menimbulkan efek jera. Menurut Ikhsan (2015), bahwa penertiban PETI di Kabupaten Sijunjung (Sumatera Barat) dilakukan secara bertahap, tidak bisa diselesaikan dengan waktu yang cepat, karena kegiatan PETI di Sijunjung sudah meregenerasi seperti mata rantai yang kuat, sehingga dibutuhkan waktu untuk memutus rantai tersebut. Sehingga diperlukan upaya jangka panjang melalui upaya preventive, yaitu dengan mengubah pola pikir masyarakat melalui penyuluhan yang intensif. Pemerintah dapat melakukan upaya preventive (pencegahan) dan represif (memberi sanksi). Upaya jangka pendek, pemerintah dapat melakukan penertiban PETI di lokasi pertambangan secara represif (penegakan hukum) kepada para pelaku (pemodal dan pekerja) serta oknum aparat yang ikut terlibat. Pemerintah dapat menjatuhkan sanksi administrasi berupa teguran, sanksi dan denda, sehingga menimbulkan efek jera. Berbeda dengan Somantri (2011) mengatakan bahwa apabila PETI di tutup maka akan terjadi permasalahan sosial yang sangat kompleks berkaitan dengan kultur masyarakat yang sudah terbentuk saat ini, keamanan pasca penutupan PETI akan menjadi rawan sehubungan kondisi ekonomi mereka yang akan terganggu. oleh karena itu pemerintah perlu melakukan pengawasan dan menyiapkan program pengendalian sosial pasca penutupan PETI. 6. Pengendalian Sosial Pemerintah daerah beserta dunia usaha (swasta) perlu menyiapkan program pengendalian sosial pasca penutupan aktivitas PETI bagi masyarakat, seperti menyiapkan lapangan kerja bagi masyarakat lokal yang terkena dampak dari kebijakan ini. Penelitian ini sejalan dengan pendapat Ikhsan (2015), yang mengatakan bahwa pemerintah dapat mengarahkan masyarakat untuk melakukan pekerjaan yang lain sebagai mata pencahariannya. Pemberian bantuan kepada masyarakat tersebut merupakan bentuk partisipasi dari pemerintah untuk mencarikan solusi permasalahan apabila masyarakat meninggalkan profesi sebagai penambang emas. Berbeda dengan Somantri (2011), yang mengatakan bahwa pengalihan profesi penambang emas menjadi profesi lain bukanlah hal yang sederhana dan mudah. Begitu pula pendapat Robbins (2003) dan Hanggraeni (2011), Perubahan (pekerjaan) bukanlah proses yang mudah. Proses perubahan biasanya selalu diikuti oleh resistensi atau penolakan oleh masing-masing individu dengan beberapa alasan: 1) Individu tidak menangkap keseluruhan esensi yang disampaikan atau hanya mendapatkan informasi sepotong-sepotong, 2) ketakutan akan ketidakpastian, 3) faktor ekonomi, mungkin saja akan menyebabkan mereka kehilangan sumber daya ekonomi yang selama ini dikuasai, 4) keamanan, mungkin saja individu tersebut merasa terancam, 5) kebiasaan, melakukan hal yang baru yang tidak biasa dan ini merupakan proses yang sangat berat. Meskipun resistensi atau penolakan dari berbagai individu (pelaku PETI) terhadap proses penertiban PETI yang dilakukan, tetapi tidak membuat proses penertiban menjadi mustahil. Menurut Robbins (2003) dan Hanggraeni (2011), resistensi tentu saja akan menghambat proses perubahan (penertiban), tetapi ada beberapa cara yang dapat dilakukan agar masyarakat mau secara sukarela terlibat dalam proses penertiban PETI, yaitu: 1) Mengkomunikasikan proses penertiban PETI secara jelas untuk mengurangi ketidakpastian sehingga masyarakat merasa aman yang pada akhirnya tidak 138
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5 lagi bersikap oposan, 2) Meningkatkan partisipasi masyarakat, 3) Memfasilitasi dan memberikan bantuan, pelatihan, konseling guna membantu mereka menyesuaikan diri, 4) Melakukan negosiasi terhadap pihak-pihak yang menentang proses penertiban PETI sehingga tercipta solusi yang saling menguntungkan, 5) Bekerja sama dengan para penentang penertiban PETI agar lebih kooperatif terhadap penertiban, 6) Pemberian sanksi terhadap pihak-pihak yang menjadi oposisi terhadap proses penertiban. Ada kalanya hukuman diperlukan apabila cara-cara yang persuasif tidak dapat mengurangi resistensi terhadap proses penertiban PETI. Penertiban PETI di Kuansing dapat dilakukan secara bertahap sesuai kesepakatan atau musyawarah dengan pihak-pihak terkait, sembari menyiapkan lahan pekerjaan lainnya bagi masyarakat yang terkena dampak, dan pemberdayaan masyarakat (empowerment) melalui penyuluhan, pengorganisasian dan pengembangan masyarakat (PPM), pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan berbagai jenis keterampilan (skill) usaha, kemampuan meningkatkan pendapatan keluarga, dan pendayagunaan potensi lingkungan yang ada. Semua pihak perlu persepsi yang sama atau“satu bahasa” untuk meyakinkan masyarakat bahwa PETI berdampak negatif bagi pencemaran lingkungan, bagi kehidupan masyarakat sekitar dan risiko munculnya masalah kesehatan yang lebih besar. Sesungguhnya banyak peluang usaha yang dapat dikembangkan bagi masyarakat di Kabupaten Kuantan Singingi, baik di sektor pertanian (reagraria) seperti bercocok tanam, padi, cabe, bawang, pisang, dan buah-buahan lainnya, usaha perkebunan (sawit, karet, jeruk, durian, dll), usaha peternakan (kerbau, sapi, kambing, ayam, dll), program budidaya ikan keramba di aliran Sungai Kuantan Singingi sebagai bentuk upaya menyelamatkan sungai dari pencemaran PETI, budidaya kolam ikan bertingkat (biopot) di sekitar rumah warga yang tidak memerlukan biaya besar. Demikian juga dengan potensi usaha bisnis dari bahan baku batu-batuan, kerikil dan pasir yang dikelola secara ramah lingkungan, termasuk pengembangan potensi eko wisata di Kuansing. Bila memungkinkan, pemerintah perlu mengendalikan harga karet atau memberikan subsidi karena rendahnya harga karet, karena mayoritas masyarakat desa di Kuantan Singingi memiliki kebun karet. Disamping itu, masyarakat dapat melakukan diversifikasi (penganekaragaman usaha), misalnya pagi hari menyadap karet, siang dan sore harinya mengelola kolam ikan, bercocok tanam dan usaha lainnya, sehingga penghasilannya lebih meningkat. Pemerintah daerah juga dapat menggunakan anggaran dana desa (ADD) untuk membantu menyediakan lahan pertanian, perkebunan, bibit, ternak, pupuk dan bantuan lainnya demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirangkum permasalah dan solusi penanganan aktivitas PETI seperti pada tabel berikut. Tabel 6 Permasalahan dan Solusi Penanganan Aktivitas PETI No Permasalahan Solusi Instansi dan Pihak yang Berperan 1. Belum ada Diperlukan komitmen - Pemda (Bupati & Kepala SKPD), komitmen bersama bersama dan kebijakan DPRD, Kajari, untuk menertibkan Pemda Kuansing, aparat - Polres/Polsek, Dandim/Koramil PETI dan penegak hukum, - Camat, Kades, Ormas, profesi menyelamatkan stakeholders, dukungan - Perguruan tinggi (akademisi) lingkungan sungai masyarakat untuk - LSM, Tokoh masy, adat, agama, media dari pencemaran. menertibkan PETI dan (tv, radio, koran) menyelamatkan lingkungan sungai 2 Belum ada Diperlukan diseminasi Tim terpadu penertiban PETI: diseminasi informasi agar semua pihak - BLH, Bappeda, Pemberdayaan informasi yang terkait memiliki satu Masyarakat, Dinas Perikanan, Dinas jelas terkait pandangan bahwa aktivitas ESDM, Dinas PU, Kesehatan, aktivitas PETI. PETI telah mengakibatkan Perkebunan, DPRD, Camat, Kades pencemaran lingkungan - Polres/Polsek/Babinkamtibmas, sungai, sehingga perlu Dandim/Koramil/Babinsa program pencegahan dan - Perguruan tinggi (akademisi) 139
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5
3
Pelaku PETI dan masyarakat belum menyadiri dampak aktivitas PETI terhadap pencemaran dan risiko gangguan kesehatan.
4
Kurangnya kerjasama, koordinasi dan keterlibatan instansi terkait dalam penanganan masalah PETI.
5
Penertiban PETI dan penegakan hukum terhadap para pelaku PETI dan oknum aparat yang terlibat.
6
Pengendalian sosial pasca penutupan PETI
penanganan PETI, pemberdayaan masyarakat, dan reklamasi. Diperlukan upaya sosialisasi dan edukasi secara rutin tentang dampak PETI terhadap pencemaran lingkungan dan risiko gangguan kesehatan yang tepat sasaran (primer, sekunder, tersier) untuk kesadaran para pelaku PETI, masyarakat dan stakeholders. Pimpinan Daerah Kuansing perlu meningkatkan kerjasama dan koordinasi, keterlibatan Dinas dan Instansi terkait. Pemda dapat juga meminta bantuan Pemerintah Provinsi/ Pusat melalui kementerian terkait, Kapolri, Panglima TNI untuk menertibkan oknum aparat yang terlibat. Penertiban PETI bertahap dan berkelanjutan berupa larangan PETI di sepanjang aliran sungai, bendungan irigasi, anak sungai, serta di area perkebunan. Penengakan hukum se-hingga menimbulkan efek jera. Menyiapkan program pengendalian sosial pasca penutupan PETI bagi masyarakat lokal yang terkena dampak, menyiapkan lapangan kerja, Empowerment, pelatihan keterampilan, diversifikasi, mengendalikan harga karet. Pemda juga dapat menggunakan ADD untuk kesejahteraan masyarakat desa.
- LSM, Tokoh masy, adat, agama, media (tv,radio, koran) Tim terpadu penertiban PETI: - BLH, Dinas Kesehatan, Dinas ESDM, Dinas Perikanan, DPRD, Camat, Kades, ormas, profesi, Polres/Polsek/Babinkamtibmas - Perguruan tinggi (akademisi), LSM, Tokoh masyarakat, adat - Penceramah / tokoh agama, - Media massa (radio, tv, koran)
-
-
-
Unsur Muspida/Forkopimda (Bupati, DPRD, Kapolres, Kodim, Kajari) Dinas terkait: ESDM, BLH, Kesehatan, Bappeda, Perikanan, Pertanian, Sosnaker Peran media (pers), masyarakat. Pemerintah Pusat (Kemendagri, ESDM, KLH, Kemensos) TNI, Polri.
Tim terpadu penertiban PETI: Pemda:SKPD/Satpol PP, Aparat penegak hukum, Polri/Polda/ Polres dan TNI/Danrem/Dandim, Satgas preventif, Satgas represif) Dukungan DPRD, Masyarakat - Peran pers (media massa)
-
Pemda Kuansing (Dinas: Sosnaker, Pertanian, Perkebunan, Perikanan, ESDM, Ekonomi kreatif, Koperasi UMKM, Pariwisata, Pemberdayaan masyarakat, Perindag) Perusahaan swasta/dunia usaha Polres/Polsek, Kodim/Koramil Camat, Kades, Komponen Masyarakat, Peran media Massa.
KESIMPULAN 1. Aktivitas PETI telah berdampak negatif terhadap kualitas air sungai dan air bendungan irigasi ditinjau dari tingkat kekeruhan, kadar Hg, parameter DO, BOD dan COD yang melibihi NAB (tercemar), sehingga mengakibatkan kehidupan biota di sungai menjadi terganggu dan mati.
140
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5 2. Aktivitas PETI meningkatkan penghasilan ekonomi pekerja dan pemodal, namun PETI telah merugikan masyarakat sekitar DAS, air sungai tidak dapat lagi dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari, masyarakat kesulitan air bersih dan ikan dari sungai, serta sering menimbulkan konflik. 3. Solusi penanganan aktivitas PETI di Kabupaten Kuansing. a. Komitmen dan Kebijakan. Diperlukan komitmen bersama dan kebijakan pemerintah daerah untuk menertibkan atau menghentikan PETI: Mengaktifkan Tim terpadu penertiban PETI, mengalokasikan dana operasional yang dititipkan melalui anggaran BLH, menyiapkan Satgas preventif dan repsesif dengan tugas dan tanggung jawab, sarana operasional, rencana dan pelaksanaan program, monitoring dan evaluasi program penertiban secara berkelanjutan. b. Diseminasi Informasi. Diperlukan diseminasi informasi agar semua pihak satu pandangan bahwa aktivitas PETI telah mengakibatkan kerusakan lingkungan dan pencemaran sungai, sehingga diperlukan keterlibatan berbagai pihak, dinas dan instansi terkait untuk merumuskan program pencegahan dan penanganan, pemberdayaan masyarakat dan reklamasi. c. Sosialisasi dan Edukasi. Tim terpadu penertiban PETI (bersinergi) melanjutkan upaya sosialisasi dan edukasi secara rutin tentang dampak PETI terhadap pencemaran lingkungan sungai dan risiko gangguan kesehatan yang tepat sasaran d. Kerjasama dan Koordinasi. Unsur pimpinan daerah Kuansing perlu meningkatkan kerjasama dan koordinasi, keterlibatan dinas dan instansi terkait serta dukungan komponen masyarakat sangat diperlukan untuk mengamankan kebijakan penanganan aktivitas PETI dan menyelamatkan lingkungan sungai di Kuansing secara berkelanjutan. e. Penertiban PETI dan Penegakan Hukum. Penertiban PETI dapat dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan, serta penengakan hukum secara tegas terhadap para pelaku PETI (pekerja dan pemodal), oknum aparat yang terlibat dan melakukan Pungli sehingga menimbulkan efek jera. f. Pengendalian Sosial. Pemerintah daerah dan swasta perlu menyiapkan program pengendalian sosial pasca penutupan aktivitas PETI dengan menyiapkan lapangan kerja bagi masyarakat, empowerment, meningkatkan keterampilan dan penghasilan masyarakat, diversifikasi, Pemda dapat menggunakan anggaran dana desa (ADD) untuk membantu masyarakat desa.
1.
2.
3.
4.
SARAN Kepada para pelaku PETI (pekerja/pemodal), masyarakat dan stakeholders untuk menyadari bahwa aktivitas PETI berdapak terhadap pencemaran lingkungan dan biota sungai. Aktivitas PETI di aliran sungai dan bendungan irigasi harus dihentikan melalui komitmen bersama. Pemerintah daerah, stakeholders beserta masyarakat dan swasta perlu menyiapkan program pengendalian sosial pasca penutupan PETI dengan menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat lokal di bidang pertanian, perkebunan, empowerment, keterampilan dan penghasilan masyarakat, diversifikasi, mengendalikan harga karet atau pemberian subsidi. Pemerintah daerah juga dapat menggunakan anggaran dana desa (ADD) untuk pembangunan desa dan membantu menyediakan lahan, bibit, pupuk, ternak, dan usaha lainnya demi kesejahteraan masyarakat desa. Kepada Pemda Kuantan Singingi dan Stakeholders sebaiknya menggunakan hasil studi ini sebagai bahan untuk menyusun kebijakan penanganan PETI secara terpadu dan melindungi lingkungan sungai dari pencemaran. Disarankan kepada peneliti selanjutnya, untuk melakukan penelitian kadar Hg pada sedimen di sungai dan bendungan irigasi, kadar Hg pada ikan dan siput, kadar Hg pada padi atau beras di bagian hilir aktivitas PETI, serta gangguan kesehatan pada masyarakat sekitar.
141
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5 DAFTAR PUSTAKA Adventus P., K Handoyo, Nitimulyo, Tjut S. Djohan (2003), meneliti: Akumulasi Merkuri Pada Ikan Baung (Mytus nemurus) di Sungai Kahayan Kalimantan Tengah, Jurnal Manusia dan Lingkungan (Journal of People and Environment), Volume X, No. 3, November. ISSN 08545510. Amri F., Zulfan Saam, Thamrin, (2013). Kearifan Lokal Lubuk Larangan sebagai Upaya Pelestarian Sumberdaya Perairan di Desa Pangkalan Indarung Kabupaten Kuantan Singing. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Riau. Alpers N. Charles and Michael P. Hunerlach, (2006). Mercury Contamination from Historic Gold Mining in California, USGS Fact Sheet FS-061-00 (Rev. 4/05). http://ca.water.usgs.gov/mercury/ fs06100.htpl, (Diaskses 2 April 2013). Bachtiar, A., (2011). Instrumen Riset Kebijakan: Criminal Justice Policy Cycle, Artikel, Departemen AKK, FKM UI Depok. Borisch B., (2012). Global Health Equity: Opportunities and Threats. Journal Public Health Policy, Vol. 33:488–491; doi:10.1057/jphp.2012.26. Clifford M., (2010). Potential repercussions of a mercury ban on the artisanal and small-scale goldmining sector. International Journal Environ Pollut, Vol. 41:229–241. Eriyati, Rita Y.I., (2011), Dampak Ekonomi dan Lingkungan Penambangan Emas Liar di Desa Kebun Lado, Kecamatan Singingi Kabupaten Kuantan Singingi, Jurnal ekonomi, volume 19, No. 3: 135-143. Gibb H, O’Leary KG. (2014). Mercury Exposure and Health Impacts Among Individuals In The Artisanal and Small-Scale Gold Mining Community: A Comprehensive Review. Environmental Health Perspect, Vol 122:667–672; http://dx.doi:10.1289/ehp.1307864. Hamidy, (2001). Kearifan Puak Melayu Riau Memelihara Lingkungan Hidup. UIR Press. Pekanbaru. Hanggraeni, D., (2011). Perilaku Organisasi; Teori, Kasus, dan Analisis. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hirons M., (2011). Locking-in carbon, locking-out livelihoods? Artisanal mining and REDD in SubSaharan Africa. Journal International Development. Vol. 23(8):1140–1150 Humas Pemkab Kuansing, (2013). Bupati Bahas Solusi PETI. Artikel, http://www.kuansing.go.id/2029/20131205/bupati-bahas-solusi-peti/ Humas. (Kamis, 5 Desember). Idrobo N., Daniel Mejía, Ana María Tribin (2014), Illegal Gold Mining and Violence in Colombia, DOI 10.1515/peps-2013-0053, Journal PEPS, Volume 20, No 1: 83–111 Ikhsan, I., (2015). Menumpas Tambang Emas Ilegal, Artikel, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Inswiasri, Hendro Martono, (2007). Kajian Pencemaran di Wilayah Tambang Emas Rakyat. Media Litbang Kesehatan, Vol.XVII No.3; 42-50. Inswiasri, (2010). Analisis Risiko Kesehatan Penggunaan Merkuri Pada Kegiatan Tambang Emas Rakyat di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Disertasi. FKM Universitas Indonesia, Depok. International Agency for research on cancer World Health Organization, (1993). Monographs on the evalution of carcinogenic risk to humans. Vol.58. Berrillium, Cadmium, Mercury, and exposures in the glass manufacturing. Irfan M., (2013). Dampak Pertambangan Terhadap Perekonomian Masyarakat, (Artikel), IKIP Mataram. Johan,TI., Ediwarman (2011). Dampak Penambangan Emas Terhadap Kualitas Air Sungai Singingi Di Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau. Jurnal Ilmu Lingkungan. ISSN 1978-5283. Program Studi Ilmu Lingkungan PPS Universitas Riau Kasim, (2014). Akan Menjadi Bom Waktu, Liputan Khusus Riau Pos (12 Januari 2014), Pekanbaru Riau. Kasry A., (2014). Merkuri Organik dan Penyakit Minamata, OPINI Riau Pos (15-16 Januari 2014), Pekanbaru Riau. Keraf, A.S., (2010). Etika Lingkungan Hidup. Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Kreitner, R., & A.Kinicki (2010), Organizational Behavior. New York: McGraw-Hill. Lestarisa T., (2010). Faktor-faktor yang berhubungan dengan Keracunan Merkuri (Hg) Pada Penambang Emas Tanpa Ijin (PETI) di Kecamatan Kurun, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, PS MKL, PPS Undip, Semarang.
142
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5 Mahgfirah, Eni Yulinda, Lamun Bathara (2013). The Impact Of Gold Mine Without Permit (PETI) Fishermen Of The Economic And Social Village Sungai Alah Subdistrict Of Hulu Kuantan District Kuantan Singingi Province Riau (Artikel). Mahmud M., (2012). Model Sebaran Spasial Temporal Konsentrasi Merkuri Akibat Penambangan Emas Tradisional Sebagai Dasar Monitoring dan Evaluasi Pencemaran Di Ekosistem Sungai Tulabolo Provinsi Gorontalo", Disertasi, PPS UGM Yogyakarta. Diakses, 03 Mei 2014. McShane,S.L. & Mary Ann Von Glinow (2010). Organization Behavior. New York: McGraw-Hill. Nopriadi, (2015a). Pengaruh Aktivitas Penambangan Emas Tanpa Ijin (PETI) terhadap Gangguan Kesehatan Pekerja di Kabupaten Kuantan Singingi. Al-Tamimi Kesmas; Journal of Public Health Sciences, Vol. 06. No.03, 30-42. ISSN 2338-2147. Nopriadi, (2015b). The Influence of Illegal Gold Mining Activities toward Health of Workers in Kuantan Singingi, Indonesia. International Journal of Science and Research (IJSR), Volume 4 Issue 8, August, www.ijsr.net. Paper ID: SUB157856. Notoatmodjo S., (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Penerbit PT Rineka Cipta, Jakarta. Nuraina (2012). Kebijakan Pengelolaan Pertambangan Emas Rakyat Ditinjau Dari Aspek Keberlangsungan Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Provinsi Aceh. KLH Kabupaten Aceh Utara. Orathinkal, J. Abbeygail T.Joanne, M. Kilip (2011), Mercury Concentration and its Effect on the Aquatic Environment of the Lower Watut River, Morobe Province, Papua New Guinea, Contemporary PNG Studies: DWU Research Journal, Volume 14, May. Pasaribu A., (2010). Analisis Dampak Pertambangan Emas terhadap Sosial Ekonomi Masyarakat di Kecamatan Batang Toru Kabupaten Tapanuli Selatan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, Medan. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Refles (2012). Kegiatan Pertambangan Emas Rakyat dan Implikasinya terhadap Kondisi Social Ekonomi Masyarakat di Kenagarian Mundam Sakti Kecamatan IV Nagari, Kabupaten Sijunjung. (Artikel), Prodi Pembangunan Wilayah dan Pedesaan, Program Pascasarjana, Universitas Andalas, Padang. Robbins, S.P., (2003). Organizational Behavior 10th edition. www.Prenhall.com/ Robbins. Pearson Education International. Robbins, S.P., & Timothy A. Judge (2009). Organizational Behavior 13th edition. Pearson Education. Robbins, S.T. & Timothy A. Judge (2011). Organizational Behavior. New Jersey: Pearson Education, Inc. Rudicahyo, (2013). Teori Perkembangan Moral Kohlberg. (http://rudicahyo.com /psikologiartikel/teori-perkembangan-moral-kohlberg). Diakses 12 Juni 2014. Saam Z., Arlizon, (2011). Kearifan Lokal Perkandangan di Kenegerian Sentajo. Jurnal Ilmu Lingkungan. 5(1): 10-17. Salim, A., (2002). Perubahan Sosial; Sketsa Teori dan Refleksi Motodologi Kasus di Indonesia. PT Tiara Wacana, Yogyakarta. Salmin (2005). Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD) Sebagai Salah Satu Indikator untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana, Vulume XXX, Nomor 3: 21-26 Shaffer, David R., (2004). Social and Personality Development (5th Ed ed). Wadsworth Publishing. ISBN 0-534-60700-4. Sippl K., H.Selin, (2012). Global Policy For Local Livelihoods Phasing Out Mercury in Artisanal and Small-Scale Gold Mining, Environment, Volume 54, number 3. www.environmentmagazine.org. Somantri, ND., (2011). Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Artikel. (30 November). Spiegel SJ, Ribeiro CA, Sousa R, Veiga MM. (2012). Mapping Spaces of Environmental Dispute: GIS, Mining, and Surveillance In the Amazon. Ann Assoc Am Geogr, Vol. 102(2):320–349. Spiegel S., Susan Keane, Steve Metcalf, Marcello Veiga, Annalee Yassi, (2014), The Minamata Convention on Mercury: Time to Seek Solutions with Artisanal Mining Communities, Journal Environmental Health Perspectives. Volume 122, Number 8, August. http://dx.doi.org/10.1289/ ehp.1408514. Subanri, (2008). Kajian Beban Pencemaran Merkuri (Hg) Terhadap Air Sungai Menyuke dan Gangguan Kesehatan Pada Penambang Sebagai Akibat Penambangan Emas Tanpa Izin
143
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016
ISBN 978-979-792-675-5 (PETI) di Kecamatan Menyuke Kabupaten Landak Kalimantan Barat, PPS MKL Undip, Semarang. Sunu, P., (2001). Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 14001. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Wahyono, A.,(2006). Pentingnya Komunikasi Antara Stakeholders Dalam Penanganan Pertambangan Tanpa Ijin (PETI), Komunika Vol 9 No 2 2006 51-62. Wardana, K., (2003). Dampak Lingkungan akibat pertambangan tanpa ijin (PETI) emas (Studi tentang efektivitas lembaga lingkungan dalam pengendalian dampak akibat aktivitas PETI di Kalimantan Barat), Program Studi Ilmu Lingkungan, Pascasarjana UI, Jakarta. Wardhana, W.A., (2004). Dampak Pencemaran Lingkungan, Andi Offset, Yogyakarta. Warlina, L., (2004). Pencemaran Air: Sumber, Dampak dan Penanggulangannya. Artikel Filsafat Sain, IPB, Bogor. Wibowo (2013). Perilaku Dalam Organisasi. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Wibowo A., (2014). Metodologi Penelitian Praktis Bidang Kesehatan. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. Widowati W, Sastiono A, R Jusuf Raymond, (2008). Efek toksik logam “Pencegahan dan penanggulangan pencemaran. Penerbit Andi, Yogyakarta.
144
Prosiding Seminar Nasional “Pelestarian Alam & Mitigasi Bencana” Pekanbaru, 28 Mei 2016