Pada dasarnya pembangunan merupakan upaya yang ber-
sifat perbailcan dan peningkatan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Dalam keberlangsungannya,
partisipasi masyarakat merupakan syarat dan sekaligus menjadi sasaran pelaksanaannya. Berpartisipasi dalam pembangunan berarti mengarnbil bagian atau berperanserta dalam pembangunan baik dalam bentuk pernyataan maupun dalam bentuk kegiatan dengan memberikan masukan berupa pikiran, tenaga, waktu, keahlian, modal, dan atau materi, serta ikut memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan (Wardojo, 1992a:48; Sastropoetro, 1988:56; Slamet, 1992:2; Cohen dan Uphoff, 1977:5-6; Susanto, 1984:47). Dengan masukan yang dibaikmnya itu, pelaku partisipasi berhak ikut menikrnati hasil pembangunan serta irnbalan-imbalan lainnya. Imbalan yang diterima sangat tergantung pada besar dan mutu masukannya, sedangkan besar dan mutu masukan sangat tergantung pada besarnya kemarnpuan dan kesempatan yang mereka miliki. Partisipasi dalam proses pembangunan baik secara individual ataupun secara kolektif, bisa saja secara parsial, dan dapat pula secara prosesional, yang meliputi; (1) partisipasi dalam
perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan, (2) partisipasi dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan, (3)partisipasi dalarn pemanfaatan hasil-hasil pembangunan, dan (4) partisipasi dalam penilaian hasil-hasil pembangunan. Galjart (Contreras, 1980:113) mengemukakan proposisi: ada tiga faktor yang menentukan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pertanian di negara berkembang, yaitu: (1) ketidaktah u m , (2) ketidakinginan, dan (3)ketidalanampuan. Ketidaktahuan: yakni kurang pengetahuan: petani tidak tahu bahwa ada inovasi. Ketidakinginan: bukan berarti tidak tahu atau tidak merniliki kemarnpuan untuk inovasi, namun terdapat nilai-nilai dan perilaku yang mencegah masuknya inovasi. Jika faktor ketidaktahuan rnembutuhkan informasi, faktor ketidakinginan lebih ke arah halangan kebudayaan terhadap pembangunan. Ketidalanampuan: pada tingkat individual hal ini berarti petani tidak mampu untuk berubah walaupun mereka mengetahui hal-ha1 yang dapat dan ingin dilakukannya, karena ham-
batan situasi. Perspektif tersebut menunjdckan bahwa unsur tabu, mau, dan mampu merupakan unsur penting yang menumbuhkan partisipasi. Partisipasi baru akan dapat terwujud sebagai suatu kegi-
atan nyata, jika seseorang memiliki cukup kemauan dan kemampuan, serta terbuka kesempatan baginya untuk berperanserta. Kinej a kemauan, kemampuan, dan kesempatan merupa-
kan hasil interaksi faktor-faktor dalam diri individu dan faktorfaktor lingkungan, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Keterkaitan hubungan faktor-faktor tersebut sangat
kompleks sifatnya. Namun, dapat diperkirakan melalui pendekatan dengan menelusuri faktor-faktor tertentu yang mendukungnya, yang dalam penelitian ini dibatasi pada faktor-faktor yang erat keterkaitannya dengan proses pembangunan pertanian. Kemauan merupakan situasi mental yang menyangkut emosi atau perasaan. Kinerjanya ditentukan oleh banyak faktor (termasuk faktor lingkungan), terutama faktor yang bersifat psikologis individu, seperti: motif, harapan, kebutuhan, dan irnbalan. Dorongan seseorang melakukan suatu kegiatan untuk mencapai suatu tujuan sangat tergantu~lgpada besamya harapan akan tercapainya tujuan itu. Harapan mendapatkan manfaat atau imbalan tertentu, terutama dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan hidup, merupakan sumber motivasi bagi seseorang untuk berperanserta dalam kegiatan-kegiatan pembangunan. Makin banyak manfaat yang diduga atau diperhitungkan akan diperoleh dalam kegiatan pembangunan, maka semakin kuat keterlibatan
,
seseorang dalam kegiatan pembangunan. Di samping itu, tingkat p e n g u a s m informasi merupakan pula faktor yang sangat menentukan timbulnya kemauan seseorang untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Informasi sangat bernilai bagi para petani, karena hampir semua aktivitas penting dalam proses pembangunan pertanian terkait atau bergantung pada informasi, clan jenis infonnasi pertama yang dibutuhkan para petani dalam proses pembangunan pertanian adalah informasi yang berkaitan dengan telkologi pertanian (McAnany, 1980:5; Contreras, 1980:124; Kasryno dan Togar, 1991:9). Petani sebagai produsen harus memutuskan waktu, tempat, jumlah, dan jenis produk yang harus diproduksi, serta macarn teknologi yang harus digunakan. Dalarn memutuskan hal tersebut petani sangat memerlukan adanya informasi. Demikian pula, petani sangat membutuhkan infonnasi mengenai pasar, perkreditan, kebijakan harga, serta kebijakan-kebijakan pembangunan pertanian lainnya. Oleh sebab itu, tingkat penguasaan informasi
akan sangat mempengaruhi aktivitas petani dalam penyelenggaraan usahatani, yang berarti akan mempengaruhi tingkat partisipasinya dalam proses pembangunan pertanian.
Kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemb a n v a n pertanian dipengaruhi oleh banyak faktor, terutama: faktor pendidikan (formalmaupun non formal), faktor pengalaman usahatani, dan faktor permodalan usahatani. Untuk dapat berpartisipasi dalam bentuk memberikan sumbangan pemikiran diperlukan sejumlah pengetahuan tertentu. dan hal ini erat kaitannya dengan tingkat pendidikan tertentu, baik p e n d i d h formal maupun non formal.
Oleh karena itu,
pendidikan yang merupakan upaya untuk menghasilkai
pem-
bahan-perubahan pada perilaku manusia (kawasan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental) akan menentukan tingkat kemampuan partisipasi masyarakat dalarn pembangunan.
Pendi-
dikan yang baikltinggi yang dialami seseorang akan memungkin-
kan orang tersebut untuk berpartisipasi lebih baik dalarn proses pembangunan. Untuk dapat berpartisipasi dalam mengerjakan pekejaan tertentu diperlukan keterampilan atau keahlian tertentu, baik keterampilan fisik maupun keterampilan manajerial.
Keteram-
pilan seseorang di samping mempunyai kaitan yang erat dengan faktor pendidikan, ditentukan pula oleh faktor pengalaman kej a yang pernah dilaluinya.
Seseorang yang memiliki pengalaman
usahatani ymg luas akan memungkinkan lebih terampil meng-
kelola dan menjalankan usahatani, sehingga memungkinkan dapat berpartisipasi lebih baik dalam pembangunan pertanian. Untuk dapat berpartisipasi dalam memberikan sumbangan material, melakukan kegiatan produksi, dan aktivitas-aktivitas lain dalam proses pembangunan yang memerlukan dana, diperlu-
kan adanya kemarnpuan ekonomi dalam bentuk modal. Dalam ha1 ini kemarnpuan permodalan akan ditentukan oleh tingkat pendapatan rurnahtangga, serta fasilitas kredit produksi yang terjangkau oleh masyarakat. Rumahtangga petani yang memiliki kemampuan permodalan yang lebih tinggi akan memungkinkannya berpartisipasi lebih baik dalam pembangunan pertanian. Proposisi Tjondronegoro (1984:234) menunjukkan, bahwa kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan tidak akan terbuka bagi subyek pembangunan yang terasing dari asset, modal, dan keuntung-
an pembangunan. Studi Rogers (1983:251) tentang "adopter categories" memberi wawasan kepada kita, bahwa kemampuan ekonorni mempengaruhi adopsi inovasi di kalangan masyarakat; tingkat hidup dan tingkat pendapatan golongan "early adopter" (pengadopsi
awal) ternyata lebih tinggi daripada "late adopter" (pengadopsi larnbat).
.
Kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dipengaruhi oleh banyak faktor, terutarna: ketersediaan sarana dan prasarana fisik, kelembagaan (formal dan l o w ) , kepemimpinan (formal dan lokal), struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal (norrna, tradisi, adat-istiadat), serta pengaturan dan pelayanan pertanian yang dilakukan pemerintah. Tersedianya sarana d m prasarana fisik seperti sarana produksi pertanian (benih, pupuk, pestisida), peralatan pertanian, jaringan irigasi, fasilitas-fasilitas pengolahan dan penyirnpanan hasil pertanian, serta fasilitas pemasaran hasil usahatani, membuka kesempatan-kesempatan bagi masyarakat tani untuk berpartisipasi dalarn proses pembangunan pertanian.
Teknologi
menciptakan gugus kesempatan bagi pelaku pembangunan. Kesempatan-kesempatan itu akan dimanfaatkan oleh masyarakat apabila sesuai dengan kebutuhan mereka, serta ditunjang oleh kemampuan din dan kemampuan ekonomi yang dimilikinya. Sumberdaya dam, teknologi, modal, dan sumberdaya manusia merupakan "necessary condition" (syarat keharusan) tmtuk pembangunan, tetapi belurn memenuhi "s-cient
condition" (sya-
rat kecukupan). Tersedianya perangkat kelembagaan merupakan syarat kecukupan, karena kelembagm diperlukan untuk mengatur keterkaitan antar individu maupun kelompok individu dalarn
.
masyarakat, serta mengalokasikan dan memobilisasikan sumberdaya secara optimum. Kelembagaan ini bisa formal seperti: koperasi, perbankan, balai penyuluhan, pos kesehatan khewan, dan bisa informal seperti kelompok pengajian, kelompok "kandang kolektif' (peternak), dan kelompok-kelompok tani lainnya. Kelcmbagaan lokal (kelompok lokal) merupakan tempat masuknya inovasi pembangunan yang datang dari luar, dan oleh karenanya dapat mempercepat jalannya proses difusi inovasi di kalangan masyarakat. Kelembagaan lokal dapat menghubungkan masyarakat dengan birola-asi pemerintah, dapat untuk memobilisasi sumberdaya dan mengorganisasikan pelaksanaan pembangunan, dan merupakan wahana yang efektif untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, karena sudah dikenal dan sejak lama berfungsi sebagai wahana komunikasi yang aktab bagi warga masyarakat setempat (Schramm & d.,1976:141;Khan, 1976:71;Freeman a al.,
1989:4;Esman dan Uphoff, 1988:29;Nasution, 1991:16;Nasution, 1988:103). Dalam setiap kelompok sosial selalu terdapat pemimpin (orang yang lebih berpengaruh) yang akan m e n j a l a n h M g s i kepemirnpinan, yaitu mempengaruhi orang lain (pengikut) melalui
,
proses komunikasi untuk mencapai tujuan tertentu.
Hubeis
(1988: 368) mengatakan, bahwa para pemirnpin itu tidak hanya
bertindak sebagai pemrakarsa dan penggerak, akan tetapi juga sekaligus sebagai pengesah. Kepemimpinan ini biasanya dibedakan atas kepemimpinan formal dan kepemimpinan informal. Kepemimpinan formal adalah kepemimpinan yang tersimpul di dalam suatu jabatan, sedangkan kepemimpinan informal adalah kepemimpinan sebagai hasil dari pengakuan warga masyarakat atas kemampuan seseorang untuk menjalankan kepemimpinan. Rasa percaya dan yakin pada pemimpin akan mempenga-
ruhi partisipasi masyarakat dalam pembangunan, karena rasa percaya dan yakin pada pemimpin baik pemirnpin formal ataupun pemimpin informal akan menumbuhkan kerjasama, mau mematuhi dan mengikuti kata-kata pemimpin.
Masyarakat pedesaan pada umumnya menaruh kepercaya-
an yang tinggi pada pemirnpin informal (tokoh masyarakat setempat). Kondisi seperti ini akan merupakan faktor pendorong dalam meningkatkan partisipasi masyarakat ddam proses pembangunan pertanian. Pengaturan dan pelayanan pemerintah akan mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Sering terjadi parti-
sipasi masyarakat dalam pembangunan tidak muncul karena mereka merasa tidak diberi kesempatan, atau atas kebijakan tertentu tidak dibenmkan untuk berpartisipasi dalam tahap-tahap tertentu dalam proses pembangunan. Pendekatan pembangunan yang bersifat "top-down" akan sangat memungkinkan keadaan itu tejadi, khususnya dalam tahap perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan. Pendekatan pembangunan yang bersifat "bottom-up" ataupun gabungan kedua pendekatan tersebut, akan lebih memb&a kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalarn proses pem-
bangunan. Merujuk Stigler (1977),Pakpahan (1990:30)mengatakan, bahwa pemerintah dengan kekuasaannya dapat melakukan banyak hal dalam proses pembangunan. Melalui kebijakannya pemerintah dapat menentukan pendekatan tertentu berdasarkan situasi dan kondisi masyarakat, dengan mempertimbangkan aspek teknis d m finansial yang dimiliki. Struktur dan s t r a t i f i s i sosial, akan mempengaruhi pola
hubungan masyarakat dalam kehidupan bersama, termasuk dalam kegiatan pembangunan.
Pola hubungan "patron-client" di
masyarakat pertanian akan menentukan corak partisipasi yang berbeda antara keduanya.
.
Sistem pelapisan masyarakat menyebabkan adanya pengelompokan tertentu atas individu-individu dalam masyarakat, seperti: kaya pernimpin
- miskin; tuan tanah - buruh tani; terpelajar - awam; - pengikut, petani luas - petani sempit. Stratifikasi
sosial seperti ini memberi corak pada perilaku partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan.
Petani kaya akan lebih
mempunyai peluang untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan pertanian dibandingkan dengan petani miskin, tuan tanah lebih berpeluang daripada petani gurem, karena perbedam kemampuan permodalan dan penguasaan asset produksi. Demikian pula antara petani yang berpengetahuan luas dengan petani yang berwawasan sempit. Hasil studi Tjondronegoro (1991:8) memberikan wawasan, bahwa petani lapisan atas lebih tertarik pada teknologi baru pertanian daripada petani lapisan bawah.
Demikian pula studi
Chambers (1987:40-41) di India, bahwa petani lapisan atas lebih diuntungkan oleh R ~ M ~ uHijau. s~ Fenomena tersebut menggambarkan perbedaan tingkat partisipasi berbagai lapisan masyarakat dalam pembangunan pertanian. Di sarnping f W r modal usahatani yang dapat menjadi penyebabnya, ha1 tersebut dapat pula
disebabkan oleh faktor pola hubungan di antara berbagai lapisan masyarakat tersebut.
Budaya lokal (norma, tradisi, adat-istiadat) yang dianut masyarakat akan mengatur interaksi masyarakat dalarn pola kehidupannya, baik yang bersifat mengikat maupun yang tidak mengikat.
Adanya nilai-nilai dasar yang dianut bersarna oleh
warga masyarakat akan menentukan pola perilaku mereka, dan hal ini akan memberi wama pada perilaku partisipasi mereka dalam proses pembangunan. Secara skematis, keterkaitan hubungan faktor-faktor yang menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pertanian dapat dilihat pada Gambar 2.
KEMAUAN
KEMAMPUAN
Ketexan~an: PDF'l'N USHTN = Pendapatan Usahatani
Gambar 2. Keterkaitan Hubungan Faktor-faktor Penggerak Partisipasi dalam Pembangunan Pertanian