DAFTAR PUSTAKA
Riswandi, ilmu komunikasi , Graha Ilmu, Yogyakarta Amir Effendi Siregar Dkk, Potret Manajemen Media di Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2010 Elvinaro Ardianto & Lukiati Komala Erdinaya, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2004. Morissan, Media Penyiaran Strategi Mengelola Radio dan Televisi, ramdina prakasa, 2005. Fred Wibowo, Teknik Produksi Program Televisi, Pinus 2007. Sasa Djuarsa Sendjaja, Pengantar Komunikasi, Universitas Terbuka, 1999. Joseph A. Devito, Komunikasi Antar Manusia, Profesional Book, 1997. Elvinaro Ardianto, Komunikasi Massa, Simbiosa rekatama media, Bandung, 2004. Hafied Cangara. Pengantar Ilmu Komunikasi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. William L.Rivers, Media Massa dan Masyarakat Modern, Kencana,Jakarta,2008 Heru Effendy, Mari Membuat Film Panduan Menjadi Produser, Panduan dan Pustaka Konfiden, Jakarta, 2002. Sani, Asrul. Cara Menilai Sebuah Film. 1986. Jakarta : Yayasan Citra Dennis G. Fitryan, Bekerja Sebagai Produser, Erlangga, 2010. Misbach Yusa Biran, Teknik Menulis Skenario Film Cerita, Pustaka Jaya, Jakarta. Wahyu Wary Pintoko, How To Become Cameraman, Interpre, Jakarta. Jalalludin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, Universitas Terbuka Depdikbud 1995. Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, bandung, 1989. Deddy Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung 2004. Robert K Yin, Studi Kasus (desain dan metode), PT.Raja Grafindo, Jakarta. 1995.
86 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Lexy J Moeloeng, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004. Pawito, Penelitan Komunikasi Kualitatif, LkiS, Yogyakarta, Juni 2007. Rachmat Kriyanto, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007.
Sumber Lain : http://www.filmpelajar.com/tutorial/director-photography-dop https://yahadramaut.wordpress.com/.../lembar-kerja-lighting-penata-cahaya. milesfilms.net/ milesfilms.net/gie/ dedeanggriawan.blogspot.com/2013/04/sinopsis-film-gie.html https://rahmawatieka.wordpress.com/2013/06/22/film-gie/
87 http://digilib.mercubuana.ac.id/
LAMPIRAN HASIL WAWANCARA DENGAN PRODUSER MILES FILM Mira Lesmana : “Kalau Gie, saya sebenarnya waktu itu berharap bisa lebih. Ada sedikit salah duga, yang ternyata, penonton yang kita tuju itu malas ke bioskop. Penjualan DVD malah di luar dugaan. Ternyata orang-orang yang berusia 40-50 tahun ke atas lebih memilih nonton film itu di rumah, bukan di bioskop. Kami punya core audience kan 16-25 tahun ya. Tadinya saya pikir mereka akan keluar dari sarangnya. Ada yang keluar, tapi tidak sebesar yang saya duga. Lucu lah waktu Gie itu. Kami suka nongkrong di bioskop untuk lihat reaksi penonton. Terus ada dua orang cewek, penggemar Nicholas [Saputra]. Selesai nonton, mereka bilang, “Itu barusan film apa, sih?” (tertawa). Mereka bilang lagi, “Kita shopping aja, yuk.” Saya sama Nico ketawa saja, sambil tutup muka pakai topi. Kadang-kadang menarik untuk melihat nature penonton kita. Saya pikir mereka penggemar Nico, tapi tetap saja begitu masuk dan filmnya. nggak nyambung ya nggak bisa. Dan ternyata memang sejarah dalam Gie itu tak banyak yang tahu, anak muda sekarang terutama. Mereka butuh background untuk bisa menikmati Gie. Jadi, kalau mau bikin film sejarah, jangan yang eksperimental, harus beruntun dengan penjelasan yang lengkap.”
88 http://digilib.mercubuana.ac.id/
"Situasi politik belakangan ini masih sejajar seperti ketika Soe Hok Gie masih menjadi aktivis pada tahun 1966. Kita mestinya belajar dari sejarah ya..." kata Mira (Kompas 10/5/2003) “Jika kamu atau generasi-generasi penerus bangsa membaca Catatan Seorang Demonstran tentu kamu berharap adegan-adegan demonstrasi yang dimotori oleh Gie dan sahabat-sahabatnya, bahkan cukup detil dituliskan dalam catatan hariannya. Memang tidak banyak ditunjukkan dan saya sempat berpikir bahwa film ini akan menyodorkan bagaimana proses sebuah demonstrasi mahasiswa disiapkan secara teknis dan nonteknisnya, saya tak berharap ada adegan demonstrasi kolosal yang mahal. Di sisi lain kegiatan hobinya naik gunung kurang ditunjukkan, sebab saya ingin tahu pada tahun itu seperti apa mereka menyiapkan peralatan naik gunung yang tentunya tak mudah didapatkan seperti sekarang, dan hal ini ada penjelasannya di buku CSD. Di film ini cakrawala lebar hanya bisa anda dapatkan dalam setting di gunung, termasuk di padang Edelweiss (padang Suryakencana kalau tidak salah namanya) Gunung Gede dan puncak triangulasi Gunung Pangrango (saya pernah duduk juga di puncak Pangrango tersebut dan tidur di kelilingi bunga Edelweiss yang berlimpah), sedangkan di kota hanyalah sudut-sudut kamera sempit namun cukup tertata dalam menggambarkan suasana kota lama Jakarta. Namun satu yang kurang dari film ini adalah Gie pernah melakukan perjalanan ke luar negeri yaitu ke Amerika dan ke Australia di tahun 1968, setahun sebelum Mapala UI menyiapkan pendakian ke puncak tertinggi di pulau Jawa yaitu
89 http://digilib.mercubuana.ac.id/
gunung Semeru, namun tidak ada deskripsi atau adegan tentang hal ini, memang cukup mengecewakan, namun bisa dimengerti jika alasannya adalah sulit dan mahalnya pengambilan gambar. Salah satu catatannya selama ke Australia adalah piringan hitam Joan Baez-nya ditahan di bandara. Di waktu sebelumnya Sita menyanyikan lagu Donna Donna Donna dengan apik, bahkan cukup menyayat hati mendengar kembali lagu tersebut di film Gie. Lagu “Donna Donna Donna” dulu saya dengarkan sambil membaca buku CSD, yang cukup memengaruhi saya menyukai lagu-lagu Joan Baez yang lain, terutama lagu Diamond and Rust (1975). Di tengah film-film yang mengangkat tema percintaan remaja, Gie memang berupaya mengangkat tema politik dan sejarah. namun dibalik itu semua terdapat suatu makna yang sangat dalam terkandung dalam film tersebut. tertuma untuk para pemuda indonesia yang merupakan tumpuan dan menentukan bangsa indonesia kedepan.” Wawancara Dengan Sutradara GIE, Riri Riza : Benarkah lewat Gie anda sebenarnya menyampaikan penggambaran Indonesia pada masa orde lama ke orde baru? “Saya ingat waktu itu sesudah premiere Gie di Plaza Senayan 2005, saya ngobrol dengan Budiman Sujatmiko. Dia bilang cara saya menangkap kenaifan Gie menarik. Maksud Budiman, sosok Gie yang muncul tampak tidak terlalu mengerti bagaimana cara berpolitik. Saya bilang, kalau Gie mengerti betul bagaimana cara berpolitik maka dia tidak akan menjadi Soe Hok Gie.”
90 http://digilib.mercubuana.ac.id/
Jadi, Anda menafsirkan satu sisi hidup Gie atau hanya merekonstruksinya? “Bisa dibilang fifty-fifty. Intinya saya mau bebas. Kita tidak suka terminologi film seni atau film komersial. Kita menganggap film adalah kombinasi antara seni dan industri, ya pada saat itu tahun 2005 menjadi momentum juga ya untuk saya.” Selama memproduksi film Gie, apakah anda merasa punya beban tersendiri, seperti apa emosi yang akan ditampilkan atau intervensi seperti itu? “Saya percaya betul pada nuansa dan feeling. Saya mencoba menyentuh emosi, mencoba membuat cerita ini jelas. Saya memperkenalkan tokoh dengan baik, namanya harus disebut dengan jelas, motivasi yang melatarbelakangi setiap aksinya harus jelas. Kalau ada kesan saya menahan sesuatu, jangan-jangan memang itu intensi saya untuk menciptakan nuansa atau suasana seperti itu.” Mengapa film ini berbeda dengan film-film Anda sebelumnya? “Karena saya percaya bahwa gaya dan bentuk itu hadir dari cerita. Ada sutradara seperti Woody Allen yang apa pun ceritanya, dari shot pertama kita bisa tahu bahwa itu film dia. Saya kebalikannya, saya lihat dulu ceritanya, baru saya tentukan style film saya.” Lalu warna film seperti apa yang ingin anda capai dalam sinematografi film Gie? “Tentunya warna sinematografi yang benar-benar menceritakan indonesia khusunya Jakarta pada masa orde lama, dengan berbagai pergolakan politiknya dengan latar belakang yang harus sama atau paling tidak semirip mungkin dari apa yang menjadi riset tim kita, itu adalah tugas saya, produser, penata artistik,
91 http://digilib.mercubuana.ac.id/
penata fotografi dan semuanya. Bahka kita harus hunting info sampai ke belanda untuk melihat bagaimana sinematografi yang ingin kita sampaikan. Seperti itu.” Wawancara Dengan Yudi Datau, Penata Fotografi : Bagaimana cara anda menentukan mood dan look dalam sebuah produksi film? “Pertama kita harus mengetahui dan paham apa mau dari sutradara, jika kita sudah tahu tinggal bagaimana kita bekerja, untuk menentukan mood dan look tadi, kita harus survey ke lokasi dan menentukan letak atau pergerakan kamera, tentunya dengan persetujuan dan komunikasi dengan sutradara.” Lalu apa penjelasan anda dengan pengambilan shoot seperti scene digambar ini? “Saya ingin mengambil suasana senja di perkotaan dengan semua kepadatan dan keragamannya, jika anda melihat film ini anda pasti mendengar suara adzan sedang berkumandang, sangat jelas tidak samar. Dan tempat ini menjadi salah satu lokasi favorit dari Gie itu sendiri. Dan untuk pengambilannya kami bekerjasama dengan property dan artistik untuk membuat stand kamera.”
92 http://digilib.mercubuana.ac.id/
http://digilib.mercubuana.ac.id/