Nomor 37 Tahun 12, April 2013
Daftar Isi Pengantar Redaksi Rantai Penjelas Konflik-konflik Agraria yang Kronis, Sistemik, dan Meluas Noer Fauzi Rachman 1-14 Potret Konflik Agraria di Indonesia Widiyanto 15-27 Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik Agraria: Studi Perbandingan antara Ranah Kebijakan dan Ranah Perjuangan Agraria Kus Sri Antoro 28-48 Land Grabbing dan Potensi Internal Displacement Persons (IDP) Dalam Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua Amin Tohari 49-62 Perlawanan Ekstra Legal: “Transfromasi Perlawan Petani Menghadapi Korporasi Perkebunan” Muhammad Afandi 63-95
“Menjarah” Pulau Gambut: Konflik dan Ketegangan di Pulau Padang M. Nazir Salim 96-121 Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik Seribu Hektar Lahan Sawit Asiatic Persada Dwi Wulan Pujiriyani & Widhiana Hestining Puri 122-141 Petani Melawan Perkebunan: Perjuangan Agraria di Jawa Tengah Siti Rakhma Mary Herwati 142-156 Perampasan Tanah dan Konflik: Kisah Perlawanan Sedulur Sikep Tri Chandra Aprianto 157-168 Kontekstualitas Aff irmative Action dalam Kebijakan Pertanahan di Yogyakarta Widhiana Hestining Puri 169-180 Dilematika Pelaksanaan Otonomi Dibidang Pengelolaan Sumberdaya Alam/Agraria Sarjita 181-195 Review Buku: Powe of Exclusion Ahmad Nashih Luthf i 196-199
BHUMI
Nomor 37
Tahun 12
Halaman 1-200
Yogyakarta April 2013
PENGANTAR REDAKSI
Penanganan sengketa dan konflik adalah salah satu tema Rapat Kerja Nasional BPN RI tahun 2013. Tema ini seolah mengingatkan kembali kepada para punggawa BPN untuk kembali memberikan penekanan kepada penanganan sengketa dan konflik. Mengapa? Jawabannya selalu sama: karena ekskalasi konflik semakin hari bukannya semakin surut akan tetapi semakin meningkat baik dilihat dari sudut kuantitas maupun kualitas. Nah, tentu dengan kondisi konflik serta sengketa yang demikian ini, kita dan anda semua harus turut berperanan sebab pernyataannya selalu sama bahwa penanganan sengketa dan konflik adalah tanggung jawab bersama segenap anak bangsa ini. Dalam rangka itu pula, jurnal terbitan pertama tahun 2013 ini mengusung tema penanganan sengketa, konflik, dan perkara. Pengambilan topik seperti ini karena dua hal. Pertama bahwa sebagaimana kritik yang sering dilontarkan terhadap jurnal ini adalah tidak fokusnya kajian-kajian yang tersaji dalam artikel yang diusungnya. Argumen bahwa kita memang berfokus di bidang pertanahan seolah tidak cukup untuk mengeliminasi kritikankritikan tersebut. Kedua, sudah tentu, kami, dan tentu kita juga ingin turut serta mendukung janji-janji para punggawa BPN di awal tahun itu. Apa yang dapat kita lakukan? Inilah bentuk kontribusi kami kepada janji-janji itu. Pada terbitan kali ini, terdapat sebelas artikel yang kesemuanya membahas konflik agraria. Tiga artikel awal, yakni tulisan Noer Fauzi Rahman tentang penjelasan konflik dari penyebab hingga faktor-faktor yang melestarikan konflik; berikutnya tulisan Widiyanto yang sudah dengan
gamblang mengumumkan potret konflik-konflik yang terjadi di tanah air; dan ketiga adalah tulisan Kus Sri Antoro yang mencoba mensikapi persoalan penyelesaian konflik yang selama ini dilakukan di Indonesia. Penulis ini mencoba membandingkan perilaku dua aktor (pemerintah dan pejuang agraria) dalam mensikapi konflik-konflik yang terjadi. Kemudian, delapan artikel lain, dimulai dari tulisan Saudara Amin Tohari yang mengetengahkan land grabbing sebagai bentuk lain dari konflik latent yang tengah marak sekarang ini; tulisan Muhammad Affandi yang mengupas perubahan pola perlawanan petani terhadap korporasi perkebunan dari legal ke ekstra legal; tulisan berikutnya tentang kasus Pulau Padang yang coba diuraikan oleh Muhammad Nazir Salim; Dwi Wulan Puji Riyani dan Widhiana Hestning Puri mengangkat perlawanan masyarakat Suku Anak Dalam Batin 9 yang wilayahnya diokupasi PT. Asiatic Persada; Siti Rakhma Mary Herwati dengan artikel perlawanan petani kepada perkebunan di wilayah Jawa Tengah; Tri Chandra Aprianto dengan kisah perlawanan Sedulur Sikep; Widhiana Hestining Puri dengan persoalan pembelaan terhadap kaum minoritas tertentu; dan terakhir rekan Sarjita yang mengusung dilema-dilema otonomi daerah yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Tulisan-tulisan yang dimuat ini tidak bermaksud memperkeruh suasana. Tulisan-tulisan ini semata-mata hanya ingin mengawal janji-janji awal tahun pemangku kebijakan penyelesaian konflik di negeri ini. Dengan kawalan ini, kita hanya dapat berharap bahwa dalam penyelesaian
konflik, seperti yang diungkapkan Gunawan Wiradi (2000), kita tidak terjebak pada pendekatan Nelson, Fabian, Jalan pintas, maupun kekuatan. Pendekatan-pendekatan seperti tadi adalah hal yang selama ini sering dipertontonkan. Oleh karena itu, berkaitan dengan pola pikir serta cara pandang kita terhadap persoalan sengketa, konflik, maupun perkara pertanahan dan agraria di tempat kita berpijak ini, baik bagi yang pro maupun kontra, kita hanya dapat berharap bahwa tulisan-tulisan yang dimuat memberi inspirasi serta ide-ide cemerlang lain bagi kemaslahatan jejak laku kita dimasa yang akan datang. Satu yang terakhir, saat ini, jurnal ini sedang kembali ke permulaan track menuju akreditasi. Ini adalah momentum kedua yang dialami jurnal
ini. Mudah-mudahan, mulai sekarang dan hingga tiga tahun kedepan kita dapat berada dalam track itu. Anda dapat melihat beberapa perubahan secara fisik dan itulah tuntutan akreditasi. Akan tetapi, lebih jauh dari itu, jurnal ini tidak akan berhasil tetap dalam track bila tidak memperoleh bantuan dari segenap pembaca. Bagaimana bentuk perubahan-perubahan itu? Sidang pembaca sedang menikmatinya sekarang ini. Untuk itu, sebagai akhir pengantar ini, kami tetap berharap artikel-artikel Bapak/Ibu pembaca jurnal dapat terus mengisi jurnal-jurnal berikutnya. Mari kita tetap peliharan intuisi serta sentuhan-sentuhan agraria kita. Selamat membaca! Terima kasih. Redaksi
Ahmad Nashih Luthf i
RANTAI PENJELAS KONFLIK-KONFLIK AGRARIA YANG KRONIS, SISTEMIK, DAN MELUAS DI INDONESIA Noer Fauzi Rachman*
Abstract: The article offers an framework to identify causes, effects, perpetuating conditions, and structural roots of agrarian conflicts. Systemic agrarian conflicts were defined as everlasting contradictory claims on who had the rights over access to lands, natural resources, and territories between rural community and concession holders in the business of plantation, forestry, mining, infrastructure, etc. The conflicting claims are perpetuated by significant efforts to delegitimize the existence of others’ claims. Being different from various mainstream analysis promoting global market as opportunity, I prefer to use what Ellen M. Wood notion of “market-as-imperative”. Using the illustration of the expansion of oil palm plantation in Indonesia, the article shows the consequence of global capitalist markets to the emergence of the agrarian conflicts. Keywords Keywords: agrarian conflicts, market, agrarian capitalism. Intisari: Artikel ini menawarkan sebuah kerangka penjelas untuk memahami sebab, akibat, kondisi yang melestarikan, dan akarakar masalah dari konflik agraria struktural. Konflik agraria struktural didefinisikan sebagai pertentangan klaim yang berkepanjangan mengenai siapa yang berhak atas akses terhadap tanah, sumberdaya alam, dan wilayah antara satu kelompok rakyat pedesaan dengan badan penguasa dan/atau pengelola tanah yang bergerak dalam bidang produksi, ekstraksi, konservasi, dan lainnya. Pertentangan klaim tersebut disertai pula dengan upaya dan tindakan menghilangkan eksistensi, legitimasi, atau daya berlaku dari klaim pihak lain. Berbeda dengan banyak analisis yang mengutamakan pasar-sebagai-kesempatan, penulis mendayagunakan pemikiran Ellen M. Wood mengenai pasar-sebagai-keharusan. Dengan menggunakan ilustrasi pada konflik-konflik agraria berkenaan dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia, artikel ini menempatkan konflik agraria sebagai konsekuensi dari perkembangan pasar kapitalis. Kata K unci Kunci unci: Konflik agraria, pasar, kapitalisme agraria.
Hukum memenjarakan laki-laki dan perempuan, tersangka yang mencuri seekor angsa dari tanah kepunyaan bersama. Namun tersangka yang lebih besar lolos begitu saja, yakni mereka yang mencuri tanah milik bersama dari angsa itu … Dan para angsa terus hidup dalam kekurangan tanah bersama Sampai mereka masuk dan mencurinya kembali.1 A. Pengantar Konflik agraria struktural yang dimaksud dalam artikel ini merujuk pada pertentangan klaim yang berkepanjangan mengenai siapa yang berhak atas akses pada tanah, sumber daya alam * Noer Fauzi Rachman, PhD adalah Direktur Sajogyo Institute, Bogor; Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA); dan pengajar mata kuliah “Politik dan Gerakan Agraria” pada Departemen Sains Komunikasi dan
(SDA), dan wilayah antara suatu kelompok rakyat pedesaan dengan badan penguasa/pengelola tanah2 yang bergerak dalam bidang produksi, ekstraksi, konservasi, dan lainnya; dan piPengembangan Masyarakat (SKPM), Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Institut Pertanian Bogor (IPB). 1 “The law locks up the man or woman; Who steals the goose from off the common; But leaves the greater villain loose; Who steals the common from off the goose;
2
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
hak-pihak yang bertentangan tersebut berupaya dan bertindak, secara langsung maupun tidak, menghilangkan klaim pihak lain. Konflik agraria yang dimaksud dimulai oleh surat keputusan pejabat publik, termasuk Menteri Kehutanan, Menteri ESDM (Energi Dan Sumber Daya Mineral), Kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional), Gubernur, dan Bupati, yang memberi ijin/hak/ lisensi pada badan usaha tertentu, dengan memasukkan tanah, SDA, dan wilayah kepunyaan rakyat ke dalam konsesi-konsesi agraria yang bergerak dalam bidang ekstrasi, produksi, maupun konservasi berbasiskan sumberdaya alam. Konflik agraria yang dimaksud dalam artikel ini dimulai dengan pemberian ijin/hak pemanfaatan oleh pejabat publik yang mengekslusi sekelompok rakyat dari tanah, SDA, dan wilayah kelolanya. Akses yang telah dipunyai sekelompok rakyat itu dibatasi, atau dihilangkan sepenuhnya. Dalam literature studi agraria terbaru, konsep akses dan ekslusi adalah dua konsep yang diletakkan sebagai dua sisi dari satu mata uang. Akses diberi makna sebagai “kemampuan untuk mendapat manfaat dari sesuatu, termasuk objek-objek material, orang-orang, institusi-institusi dan simbol-simbol”3, sedangkan eksklusi dimaknakan sebagai “cara-cara dimana orang lain dicegah untuk mendapatkan manfaat
… And geese will still a common lack; Till they go and steal it back”, demikian bait-bait protes atas enclosure (perampasan tanah) yang merupakan gejala umum di Inggris mulai abad 17. Dalam literature terbaru, kalimat-kalimat ini dikutip kembali untuk menunjukkan relevansi konsep analitik “enclosure’. Lihat misalnya Ollman (2008: 8), Kloppenburg (2010: 367). 2 Dalam pengertian badan penguasa/pengelola tanah ini mencakup baik perusahaan-perusahaan milik Negara, maupun milik pribadi/swasta, domestik maupun asing; dan juga badan-badan pemerintah pengelola tanah luas, seperti taman-taman nasional yang berada langsung dibawah Kementerian Kehutanan. 3 Jesse Ribot dan Nancy Lee Peluso, 2003, “A Theory of Access”. Rural Sociology, 68 (2), hlm. 153.
dari sesuatu (lebih khususnya, tanah)”.4 Proses eksklusi ini menggunakan regulasi, pasar, kekuatan, dan legitimasi, sebagaimana dijelaskan dengan panjang lebar dan secara ilustratif dalam buku Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li dalam Power of Exclusion, Land Dilemmas in Southeast Asia, 2001. Naskah ini akan secara lugas mengungkap dan membahas rantai penjelas dari konflik agraria (sebab langsung, sebab struktural, dan kondisi-kondisi yang melestarikannya—lihat Bagan 1 di bawah), dengan mengambil ilustrasi konflik agraria yang diakibatkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit. B. Kerangka Rantai Penjelas Konflikkonflik Agraria Konflik agraria akan terus-menerus meletus di sana-sini, bila sebab-sebabnya belum dihilangkan. Dengan tetap adanya kondisi-kondisi yang melestarikannya, konflik-konflik agraria ini menjadi kronis dan berdampak luas. Pelajaran pokok yang hendak dikemukakan tulisan ini adalah bahwa dalam menangani konflik-konflik agraria struktural, yang kronis, sistemik dan berdampak luas, kita tidak bisa mengandalkan cara-cara tambal-sulam dengan sekedar mengatasi secara cepat dan darurat, terutama sehubungan dengan eskalasi dan ekses yang tampak dari konflik-konflik itu. Artikel ini menganjurkan bahwa untuk memahami konflik-konflik agraria seperti ini secara memadai, kita memerlukan pendekatan yang memadai pula, yang mendasarkan diri pada rerantai sebab-akibat dan kondisi-kondisi yang melestarikannya.
4
Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Li, 2011, Powers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia. Singapore and Manoa: NUS Press, hlm. 7.
Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria .....: 1-14
3
Bagan 1. Kerangka penjelas sebab-akibat konflik agraria struktural, kondisi-kondisi yang melestarikan, dan akar masalahnya Sebab-sebab • Pemberian ijin/hak/konsesi oleh pejabat publik (Menteri kehutanan, Menteri ESDM, Kepala BPN, Gubernur dan Bupati) yang memasukkan tanah/wilayah kelola/SDA kepunyaan sekelompok rakyat ke dalam konsesi badan-badan usaha raksasa dalam bidang produksi, ekstraksi, maupun konservasi. • Penggunaan kekerasan, manipulasi, dan penipuan dalam pengadaan tanah skala besar untuk proyek-proyek pembangunan, perusahaan-perusahaan raksasa, dan pemegang konsesi lain dalam bidang produksi, ekstraksi, konservasi. • Ekslusi sekelompok rakyat pedesaan dari tanah/wilayah kelola/SDA yang dimasukkan ke dalam konsesi badan usaha raksasa tersebut. • Perlawanan langsung dari kelompok rakyat sehubungan ekslusi tersebut. Akibat-akibat • Ekslusi rakyat, perempuan dan laki-laki, atas tanah, wilayah, dan SDA yang diperebutkan
secara langsung berakibat hilangnya (sebagian) wilayah hidup, mata pencaharian, dan kepemilikan atas harta benda. • Menyempitnya ruang hidup rakyat, yang diiringi menurunnya kemandirian rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, utamanya pangan. • Last but not least, transformasi dari petani menjadi buruh upahan. Akibat-akibat Lanjutan • Konflik yang berkepanjangan menciptakan krisis sosial ekologi yang kronis, termasuk mendorong penduduk desa bermigrasi ke wilayah-wilayah baru untuk mendapatkan tanah pertanian baru atau pergi ke kota menjadi golongan miskin perkotaan. • Dalam krisis sosial ekologis ini secara khusus perhatian perlu diberikan pada berbagai bentuk ketidakadilan gender, dimana perempuan dari kelompok marginal menghadapi dan menanggung beban yang jauh lebih besar. • Merosotnya kepercayaan masyarakat setem-
4
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
pat terhadap pemerintah yang pada gilirannya dapat menggerus rasa ke-Indonesia-an para korban. • Meluasnya artikulasi konflik agraria ke bentuk-bentuk konflik lain seperti: konflik etnis, konflik agama, konflik antar kampung/desa, dan konflik antar “penduduk asli” dan pendatang. Kondisi-kondisi yang Melestarikan • Tidak adanya koreksi atas putusan-putusan pejabat publik yang memasukkan tanah/ wilayah kelola/SDA rakyat ke dalam konsesi badan usaha atau badan pemerintah raksasa untuk produksi, ekstraksi, maupun konservasi, dan di sisi lain, berlangsungnya terus-
•
•
•
•
menerus proses pemberian ijin/hak pada badan-badan raksasa tersebut. Lembaga-lembaga pemerintah tidak pernah membuka informasi kepada publik, apalagi dikontrol oleh publik, perihal penerbit hak/ ijin/lisensi yang berada pada kewenangannya. Ketiadaan kelembagaan yang memiliki otoritas penuh, lintas sektor dalam lembaga pemerintah, yang memadai dalam menangani konflik agraria yang telah, sedang, dan akan terjadi. Badan-badan usaha atau badan-badan pemerintah bersikap defensif apabila rakyat mengartikulasikan protes sebab hilang atau berkurangnya akses rakyat atas tanah, sumber daya alam, dan wilayahnya, sebagai akibat dari hak/ ijin/lisensi yang mereka dapatkan itu. Lebih lanjut, protes rakyat disikapi dengan kekerasan, kriminalisasi, dan intimidasi. Sempitnya ruang lingkup dan terhambatnya pelaksanaan program yang disebut “Reforma Agraria” dalam membereskan ketimpangan penguasaan tanah dan SDA. Lebih dari itu, kita menyaksikan berbagai skandal dalam implementasi redistribusi tanah, misalnya pemberian tanah bukan pada mereka yang
memperjuangkan, pengurangan jumlah tanah yang seharusnya diredistribusi, penipuan dan manipulasi nama-nama penerima maupun objek redistribusi, dan tanah-tanah yang diredistribusi dikuasai oleh tuan-tuan tanah (rekonsentrasi). Akar Masalah • Tidak adanya kebijakan untuk menyediakan kepastian penguasaan (tenurial security) bagi akses atas tanah-tanah/SDA/wilayah kelola masyarakat, termasuk pada akses yang berada dalam kawasan huatn negara. • Dominasi dan ekspansi badan-badan usaha
•
•
•
•
•
raksasa dalam industri ekstraktif, produksi perkebunan dan kehutanan, serta konservasi. Instrumentasi badan-badan pemerintahan sebagai “lembaga pengadaaan tanah” melalui rejim-rejim pemberian hak/ijin/lisensi atas tanah dan sumber daya alam. UUPA 1960 yang pada mulanya ditempatkan sebagai UU Payung, pada prakteknya disempitkan hanya mengurus wilayah non-hutan (sekitar 30% wilayah RI), dan prinsip-prinsipnya diabaikan. Peraturan perundang-undangan mengenai pertanahan/kehutanan/ PSDA lainnya tumpang tindih dan bertentangan antara satu dengan yang lain. Hukum-hukum adat yang berlaku di kalangan rakyat diabaikan atau ditiadakan keberlakuannya oleh perundang-undangan agraria, kehutanan dan pertambangan. Sektoralisme kelembagaan, sistem, mekanisme, dan administrasi yang mengatur pertanahan/kehutanan/SDA lainnya yang semakin menjadi-jadi. Last but not least, Semakin menajamnya ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan peruntukan tanah/hutan/SDA lainnya.
Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria .....: 1-14
5
C. Ilustrasi Konflik-konflik Agraria sebagai Akibat Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit
hektar pada tahun 2025.
Produksi Crude Palm Oil (CPO) Indonesia terus tumbuh pesat dari tahun ke tahun. Indonesia adalah penghasil CPO terbesar di dunia. Pemantauan dari Indonesian Commercial News Letter (Juli 2011) produksi CPO meningkat menjadi 21,0 juta pada 2010 dari tahun sebelumnya 19,4 juta ton. Pada 2011 produksi diperkirakan akan naik 4,7% menjadi sekitar 22,0 juta ton. Sementara itu, total ekspor juga meningkat, yakni pada 2010 sekitar 15,65 juta ton, dan diperkirakan akan melonjak menjadi 18,0 juta ton pada 2011. Dari total produksi tersebut diperkirakan hanya sekitar 25% atau sekitar 5,45 juta ton yang dikonsumsi oleh pasar domestik. Produksi CPO sebanyak itu ditopang oleh total luas konsesi perkebunan kelapa sawit yang terus bertambah yaitu menjadi 7,9 juta hektar pada 2011 dari 7,5 juta hektar pada 2010.
Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan pada
Data Dirjenbun menunjukkan bahwa luasan
juga menyaksikan instrumentasi hukum, peng-
perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah 8,1
gunaan kekerasan, kriminalisasi (tokoh) pendu-
juta (Dirjenbun 2012 sebagaimana dikutip oleh
duk, manipulasi, penipuan, dan pemaksaaan
Sawit Watch 2012). Luas perkebunan ini, lebih
persetujuan, yang dilakukan secara sistematik
kecil dari yang sesungguhnya sebagaimana
dan meluas. Kesemua ini sering menyertai upaya
diperkirakan oleh Sawit Watch (2012), telah men-
penghilangan klaim rakyat atau pengalihan
capai 11,5 juta hektar. Perkebunan-perkebunan
penguasaan atas tanah, SDA dan wilayah kelola
kelapa sawit sering lebih luas dari konsesi legal-
rakyat setempat ke konsesi yang dipunyai oleh
nya. Dari luasan ini berapa persen partisipasi
badan-badan usaha raksasa termaksud. Hal ini
petani-petani yang bertanam kelapa sawit di
sekaligus merupakan ekslusi atau pembatasan
tanahnya sendiri. Menurut Dirjen Perkebunan,
akses rakyat terhadap tanah, SDA, maupun wila-
Departemen Pertanian, luasan kebun sawit milik
yah kelolanya. Sebaliknya, terjadi perlawanan
petani di atas 40 % (sebagaimana dikutip oleh
langsung dari rakyat maupun yang difasilitasi
Sawit Watch 2012). Sementara menurut Sawit
oleh organisasi-organisasi gerakan sosial, lem-
Watch sendiri (2012), jumlahnya adalah kurang
baga swadaya masyarakat (LSM), maupun elite
dari 30 %. Dengan percepatan luasan 400.000
politik, dilakukan untuk menentang eksklusi,
ha per tahun, luasan kebun sawit Indonesia yang
atau pembatasan paksa akses rakyat tersebut.
digenjot pemerintah, perusahaan-perusahaan
Sudah diakui bahwa masalah pengadaan tanah untuk perkebunan sawit di Indonesia cenderung berujung pada konflik agraria. Perten-
swasta, dan petani-petani sawit, luasan kebun sawit di Indonesia dicanangkan mencapai 20 juta
Menarik sekali memperhatikan data dari Direktur Pascapanen dan Pembinaan Usaha Kementerian Pertanian, Herdradjat Natawidjaja (2012), sebagaimana dimuat dalam Kompas 26 Januari 2011, “Lahan Sawit Rawan Konflik”. Dalam rapat koordinasi perkebunan berkelanjutan di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, pada tanggal 25 Januari 2012, ia menyampaikan data bahwa sekitar 59 % dari 1.000 perusahaan kelapa sawit di seluruh daerah Indonesia terlibat konflik dengan masyarakat terkait lahan. Tim dari Ditjen Perkebunan sudah mengidentif ikasi konflik itu di 22 provinsi dan 143 kabupaten. Totalnya ada sekitar 591 konflik: Kalimantan Tengah menempati urutan pertama dengan 250 kasus konflik, disusul Sumatera Utara 101 kasus, Kalimantan Timur 78 kasus, Kalimantan Barat 77 kasus, dan Kalimantan Selatan 34 kasus. Dalam banyak konflik-konflik agraria kita
6
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
tangan klaim hak atas tanah terjadi antara pengusaha yang telah mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) dari pemerintah dengan masyarakat petani yang telah hidup bertahun-tahun di sebuah wilayah dengan sistem tenurialnya sendiri.5 D. Sebab-sebab Struktural Konflik Agraria Konf lik agraria belum banyak diungkap sebab-sebab strukturalnya, yakni yang berhubungan dengan bagaimana ekonomi pasar kapitalistik bekerja. Harus dipahami bahwa ekonomi pasar kapitalistik bekerja sama sekali berbeda dengan ekonomi pasar sederhana dimana terjadi tukar-menukar barang melalui tindakan belanja dan membeli yang diperantarai oleh uang. Dalam ekonomi pasar kapitalis, “bukanlah ekonomi yang melekat ke dalam hubungan-hubungan sosial, melainkan hubunganhubungan sosial lah yang melekat ke dalam sistem ekonomi kapitalis itu”.6 Pasar kapitalis memiliki kekuatannya sendiri yang dipercayai bisa mengatur dirinya sendiri. Tapi, sebagaimana ditunjukkan oleh Polanyi, badan-badan negara lah yang sesungguhnya membuat pasar kapitalis demikian itu bisa bekerja. Ekonomi pasar kapitalis terus bergerak. Kalau tidak bergerak dia mati. Gerakan pasar dapat dibedakan sebagai penyedia kesempatan dan juga dapat sebagai kekuatan pemaksa. Ellen Wood (1994) mengistilahkannya sebagai market-as-opportunity (pasar-sebagai-kesempatan),
5
M. Colchester, N. Jiwan, M.T. Sirait, A.Y. Firdaus, A. Surambo, & H. Pane, 2006, Promised Land: Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia - Implications for Local Communities and Indigenous Peoples (published by Forest People Programme (FPP), Sawit Watch, HUMA, World Agroforestry Centre (ICRAF) – SEA. 6 Karl Polanyi, 1967 (1944). The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press, 1967/(1944), hlm. 57.
dan market-as-imperative (pasar-sebagai-keharusan). Pasar sebagai kesempatan bekerja melalui proses sirkulasi barang dagangan. Kebutuhan manusia pada gilirannya dibentuk agar dapat mengkonsumsi apa-apa yang diproduksi. Sebagai suatu sistem produksi yang khusus, ia mendominasi cara pertukaran komoditas melalui pasar. Lebih dari itu, perusahaan kapitalisme sanggup membentuk bagaimana cara sektor ekonomi dikelola oleh badan-badan pemerintahan hingga ke pemikiran cara bagaimana cara ekonomi pasar itu diagung-agungkan.7 Negara Indonesia secara terus-menerus dibentuk menjadi negara neoliberal dalam rangka melancarkan bekerjanya ekonomi pasar kapitalis di zaman globalisasi sekarang ini. Hal ini perlu dipahami dengan kerangka pasar-sebagai-keharusan. Pasar-sebagai-keharusan dapat dipahami mulai dari karakter sistem produksi kapitalis sebagai yang paling mampu dalam mengakumulasikan keuntungan melalui kemajuan dan sof istikasi teknologi, serta peningkatan produktivitas tenaga kerja per-unit kerja, dan ef isiensi hubungan sosial dan pembagian kerja produksi dan sirkulasi barang dagangan. Kesemuanya mengakibatkan penggantian pabrik-pabrik yang telah usang, sektor-sektor ekonomi yang tidak kompetitif, hingga ketrampilan para pekerja yang tidak lagi dapat dipakai. Sebagai sistem produksi yang khusus, kapitalisme ini memberi tempat hidup dan insentif bagi semua yang efisien, dan menghukum mati atau membiarkan mati hal-hal yang tidak sanggup menyesuaikan diri dengannya. Selanjutnya, di atas apa-apa yang telah dihancur-leburkan itulah dibangun sesuatu yang baru, yang
7
Perihal asal-mula dari keharusan-pasar (market-imperatives), dan cara bagaimana keharusan-keharusan ini membentuk kebijakan-kebijakan ekonomi utama saat ini silakan lihat karya-karya Wood (1994, 1995:284–93; 1999a; 1999b; 2001,:283–6; 2002a:193–8; 2002b; and 2009)
Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria .....: 1-14
dapat lebih menjamin keberlangsungan akumulasi keuntungan. Schumpeter (1944/1976:81-86) menyebut hal ini sebagai the process of creative destruction (proses penghancuran yang kreatif). Sejarah penguasaan agraria di Indonesia hampir mirip dengan sejarah yang terjadi di negaranegara pasca-kolonial di Asia, Amerika Latin hingga Afrika. Pemberlakuan hukum agraria yang baru, termasuk di dalamnya hukum yang mengatur usaha-usaha perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, merupakan suatu cara agar perusahaan-perusahaan kapitalis dari negaranegara penjajah di Eropa maupun Amerika dapat memperoleh akses eksklusif atas tanah dan kekayaan alam, yang kemudian mereka def inisikan sebagai modal perusahaan-perusahaan itu. Di Indonesia pasca-kolonial, kran liberalisasi sumberdaya alam tersebut sangat jelas ketika Orde Baru pimpinan Jenderal Soeharto mulai berkuasa, tahun 1967. Liberalisasi ini telah merampas kedaulatan rakyat atas tanah untuk kedua kalinya setelah pemerintah kolonial melakukan cara serupa semasa penjajahan sebelumnya. Badan-badan pemerintahan dan perusahaan-perusahaan mulai mengkapling-kapling tanah-air Indonesia untuk konsesi perkebunan, kehutanan dan pertambangan, dan mengeluarkan penduduk yang hidup di dalam konsesi itu. Hubungan dan cara penduduk menikmati hasil dari tanah dan alam telah diputus melalui pemberlakuan hukum, penggunaan kekerasan, pemagaran wilayah secara f isik, hingga penggunaan simbol-simbol baru yang menunjukkan status kepemilikan yang bukan lagi dipangku oleh mereka. Bila saja sekelompok rakyat melakukan protes dan perlawanan untuk menguasai dan menikmati kembali tanah dan wilayah yang telah diambil alih pemerintah dan perusahaan-perusahaan itu, mereka akan merasakan akibat yang sangat nyata: kriminalisasi, sanksi oleh birokrasi hukum, atau tindakan kekerasan lainnya yang seringkali dibenarkan secara hukum.
7
Pengkaplingan dan pemutusan hubungan itu pada intinya adalah penghentian secara paksa akses petani atas tanah dan kekayaan alam tertentu, lalu tanah dan kekayaan alam itu masuk ke dalam modal perusahaan-perusahaan kapitalistik.8 Jadi, perubahan dari alam menjadi “sumber daya alam” ini berakibat sangat pahit bagi rakyat petani yang harus tersingkir dari tanah asalnya dan sebagian dipaksa berubah menjadi tenaga kerja/buruh upahan. Ini adalah proses paksa menciptakan orang-orang yang tidak lagi bekerja terikat pada tanah dan alam. Orangorang ini mengandalkan hanya pada tenaga yang melekat pada dirinya saja, lalu menjadi para pekerja bebas. Sebagian mereka pergi dari tanah mereka di desa-desa ke kota-kota untuk mendapatkan pekerjaan. Kantung-kantung kemiskinan di kota-kota dilahirkan oleh proses demikian ini.9 David Harvey (2003, 2005) mengemukakan istilah accumulation by dispossession (akumulasi
8
Karl Marx dalam Das Capital (1867) mengembangkan teori “the so-called primitive accumulation”, yang mendudukkan proses perampasan tanah ini sebagai satu sisi dari mata uang, dan kemudian memasangkannya dengan sisi lainnya, yaitu penciptaan tenaga kerja bebas. Marx mengerjakan kembali temuan Adam Smith (pemikir ekonomi terkenal yang menteorikan mengenai “tangan-tangan tak terlihat” [invisible hands] yang bekerja dalam mengatur bagaimana pasar bekerja), bahwa “akumulasi kekayaan alam harus terjadi dulu sebelum pembagian kerja”, sebagaimana tertulis dalam karya terkenalnya The Weath of Nations (1776, I.3: 277). Michael Perelman memecahkan misteri penggunaan kata “primitive” dalam “primitive accumulation”. Seperti yang secara tegas tercantum dalam tulisan Marx, kata primitive berasal dari istilah previous accumulation- Adam Smith. Marx yang menulis dalam bahasa Jerman menerjemahkan kata “previous” dari karya Adam Smith menjadi “ursprunglich”, dimana penerjemah bahasa Inggris Das Kapital karya Marx kemudian menerjemahkannya menjadi kata “primitive” (Perelman 2000:25). Uraian menarik mengenai konsep “original accumulation” dari Adam Smith dan “primitive accumulation” dari Karl Marx, dan relevansinya untuk memahami perkembangan kapitalisme dewasa ini, dapat ditemukan dalam Perelman (2000) dan De Angelis (1999, 2007). 9 Mike Davis, 2006, Planet of Slums. New York: Verso.
8
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
dengan cara perampasan) yang dibedakan dengan accumulation by exploitation, yakni akumulasi modal secara meluas melalui eksploitasi tenaga kerja dalam proses produksi dan sirkulasi barang dagangan. Dalam proses akumulasi dengan cara perampasan, dia menekankan pentingnya “produksi ruang, organisasi pembagian kerja yang secara keseluruhannya baru dalam wilayah yang baru pula, pembukaan berbagai macam cara perolehan sumberdaya baru yang jauh lebih murah, pembukaan wilayah-wilayah baru sebagai bagian dari dinamika ruang-ruang akumulasi modal, dan penetrasi terhadap formasi sosial yang ada oleh hubungan-hubungan sosial kapitalis dan tatanan kelembagaannya (contohnya aturan kontrak dan kepemilikan pribadi) membuka jalan bagi penyerapan surplus modal maupun tenaga kerja”.10 Reorganisasi dan rekonstruksi geograf is untuk pembukaan ruangruang baru bagi sistem produksi kapitalis ini dimulai dengan menghancur-lebur hubungan kepemilikan rakyat pedesaan dengan tanah, kekayaan alam, dan wilayahnya, dan segala halihwal kebudayaannya yang hidup, melekat secara sosial pada tempat-tempat itu. Reorganisasi dan rekonstruksi geograf is inilah yang sedang kita alami dengan pemberian konsesi-konsesi tanah dan sumber daya alam untuk menghasilkan komoditas-komoditas global seperti yang dirancang secara terpusat dengan Masterplan Percepatan dan Pengembangan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Dalam MP3EI itu, tiap koridor ekonomi dirancang untuk menghasilkan andalan-andalan komoditas global tertentu (lihat table 1 di bawah).
Tabel 1. Pembagian Koridor Ekonomi menurut MP3EI Koridor Ekonomi Sumatera, Banten Utara
Jawa Kalimantan
Sulawesi, Maluku Utara
Bali, Nusa Tenggara
Papua, Maluku
Produksi Komoditas Global yang Diandalkan Sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional dengan fokus sektor pada minyak kelapa sawit/CPO, Karet, dan Batubara Pendorong industri dan jasa nasional dengan fokus sektor pada produk makanan, tekstil dan industri alat angkut Pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional dengan fokus sektor pada migas, minyak kelapa sawit, dan batubara Pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan nasional dengan fokus sektor pada tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan pertambangan nikel Pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional dengan fokus sektor pada pariwisata serta pertanian dan peternakan Pengolahan sumber daya alam yang melimpah dan SDM yang sejahtera dengan fokus sektor pada pertambangan serta pertanian dan perkebunan
Pasar kapitalis membuat segala hal dikomodif ikasi menjadi barang dagangan. Namun, khusus untuk tanah (atau lebih luas alam), pasar kapitalis tidak akan pernah berhasil mengkomodif ikasi sepenuhnya. Karl Polanyi percaya bahwa tanah (atau lebih luasnya: alam) sesungguhnya bukanlah komoditi atau barang dagangan, dan tidak dapat sepenuhnya diperlakukan sebagai komoditi (barang dagangan). Tanah melekat sepenuhnya dengan relasi-relasi sosial. Jadi mereka yang memperlakukan tanah (alam) sepenuhnya sebagai komoditi, sesungguhnya bertentangan dengan hakekat tanah (alam) itu sendiri. Tanah (alam) dapat dibayangkan sebagai komoditi. Polanyi mengistilahkannya: f ictitious commodity (barang dagangan yang dibayangkan). Menurut Polanyi memperlakukan tanah (alam) sebagai barang dagangan dengan memisahkannya dari ikatan hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya, niscaya akan menghasilkan guncangan-guncangan yang menghancurkan sendi-sendi keberlanjutan hidup masyarakat itu, dan kemudian akan ada gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah.
10
David Harvey, 2003, The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press, hlm. 116.
Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-Konflik Agraria .....: 1-14
Tanah (dan juga tenaga kerja) merupakan syarat hidup dari masyarakat. Memasukkan tanah (dan juga tenaga kerja) dalam mekanisme pasar adalah merendahkan hakekat masyarakat, dan dengan demikian menyerahkan begitu saja sepengaturan kehidupan masyarakat pada mekanisme pasar. Hal ini dengan sendirinya, akan menimbulkan gejolak perlawanan, demikian Polanyi menyebutkan. Polanyi pun menulis bahwa kelembagaan pasar demikian “tak dapat hidup lama tanpa melenyapkan hakekat alamiah dan kemanusiaan dari masyarakat; Ia akan secara f isik merusak manusia dan mengubah lingkungannya menjadi demikian tak terkendalikan. Tak terelakkan lagi, masyarakat melakukan upaya perlindungan diri”.11 Dalam bagian lain bukunya, Polanyi menulis “selama berabad dinamika masyarakat modern diatur oleh suatu gerakan ganda (double movement): pasar yang terus ekspansi meluaskan diri, tapi gerakan (pasar) ini bertemu dengan suatu gerakan tandingan (counter-movement) menghadang ekspansi ini agar jalan ke arah yang ber-
beda. Apa yang diutamakan oleh gerakan tandingan ini adalah untuk melindungi masyarakat, yang pada akhirnya (gerakan tandingan itu) tak cocok dengan prinsip pengaturan diri-sendiri dari pasar, dan dengan demikian tidak cocok pula dengan sistem pasar itu sendiri”.12 Protesprotes itu adalah perlawanan balik yang sesaat atau bisa juga berkepanjangan dari sekelompok rakyat untuk bertahan, melindungi diri dan bahkan melawan proses komodif ikasi yang dilancarkan oleh pasar kapitalis itu.13 E. Kesimpulan Merujuk pada puisi yang dikutip di awal tulisan ini, di kalangan kaum terdidik, termasuk para ahli hukum, baik di Indonesia maupun di berbagai belahan bumi lainnya, kita dihadapkan oleh dua macam pemikiran yang bertentangan satu sama lain, yakni mereka yang mempelajari “orang-orang yang mencuri seekor angsa dari tanah milik bersama”, dan mereka yang mempelajari mereka “yang mencuri tanah milik bersama
12
11
Karl Polanyi, 1944, The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press, hlm. 3.
9
Ibid, hlm. 130. Noer Fauzi, 1999, Petani dan Penguasa. Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar-Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria. 13
10
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
dari angsa itu” 14. Tulisan ini mengajak kita mengerti mereka yang “mencuri angsa” dari “tanah milik bersama” itu, dengan berusaha mengemukakan cara kerja mereka “yang mencuri tanah milik bersama dari angsa itu”. Kita sudah saksikan bahwa jika konf likkonflik agraria struktural, seperti yang terjadi sehubungan dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit, dipahami hanya sebatas problem kriminalitas rakyat, maka pendekatan polisionil yang diterapkan sebagai konsekuensi dari pemahaman itu berakibat pada semakin rumitnya konflik-konflik agraria tersebut. Penulis menganjurkan mendudukkan konflik-konflik agraria yang berhubungan dengan perluasan perkebunan sawit di Indonesia dalam perspektif yang lebih luas. Akibat lanjutan dari konflik agraria ini adalah meluasnya konflik itu sendiri, dari sekedar konflik klaim atas tanah, sumberdaya alam dan wilayah menjadi konflik-konflik lain. Konflik agraria yang berkepanjangan menciptakan krisis sosial-ekologi, termasuk yang mendorong penduduk desa bermigrasi ke wilayahwilayah baru untuk mendapatkan tanah pertanian baru, atau pergi dan hidup menjadi golongan miskin kota. Hal ini menjadi sumber masalah baru di kota-kota. Lebih jauh dari itu, artikulasi konflik agraria dapat membentuk-bentuk konflik lain seperti konflik antara para petani pemilik asal tanah dengan pekerja perkebunan, konf lik antar kelompok etnis, antar “penduduk asli” dan pendatang, bahkan hingga konflik antar kampung/ desa. Ketika konflik-konflik itu berlangsung dalam intensitas yang tinggi, rakyat mencari akses ke organisasi gerakan sosial, LSM, DPRD, Badan Pertanahan Nasional, Kementrian Kehu-
14
Bertell Ollman, 2008, “Why Dialectics? Why Now?”, Dialectics for the New Century. Edited by Bertell Ollman dan Tony Smith. Hampshire: Palgrave Macmillan, hlm. 8.
tanan, hingga DPR Pusat, Komnas HAM, dll. Dalam sejumlah kasus klaim dan keperluan rakyat korban bisa diurus sesuai dengan kewenangan dan kapasitas masing-masing lembaga. Namun, tidak demikian halnya untuk kasuskasus dengan karakteristik konf liknya yang bersifat struktural, dan sudah kronis, serta akibat-akibatnya telah meluas. Konflik agraria struktural macam ini dilestarikan oleh tidak adanya koreksi/ralat atas putusan-putusan pejabat publik (Menteri Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri ESDM, Bupati dan Gubernur) yang memasukkan tanah, SDA, dan wilayah hidup rakyat ke dalam konsesi badan usaha raksasa untuk produksi, ekstraksi, maupun konservasi. Kita tahu bahwa berdasarkan kewenangannya, pejabat publik itu dimotivasi oleh keperluan perolehan rente maupun untuk pertumbuhan ekonomi, mereka melanjutkan dan terus-menerus memproses pemberian ijin/hak pada badanbadan usaha/proyek raksasa tersebut. Kita tahu pula bahwa bila suatu koreksi demikian dilakukan, pejabat-pejabat publik dapat dituntut balik oleh perusahaan-perusahaan yang konsesinya dikurangi atau apalagi dibatalkan. Resiko kerugian yang bakal diderita bila kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tentu dihindari oleh pejabat publik yang bersangkutan. Dalam situasi konflik agraria yang berkepanjangan, rakyat korban bertanya mengenai posisi dan peran pemerintah. Rakyat bisa sampai pada perasaan tidak adanya pemerintah yang melindungi dan mengayomi. Pada tingkat awal mereka akan memprotes pemerintah. Ketika kriminalisasi diberlakukan terhadap mereka, mereka merasa dimusuhi pemerintah. Kalau hal ini diteruskan, mereka merasakan pemerintah di masa Reformasi berlaku sebagai penguasa dan bertindak semaunya saja, termasuk menjadi pelayan pasar kapitalis. Kalau hal ini diteruskan, yang akan terjadi adalah merosotnya legitimasi peme-
Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-konflik Agraria .....: 1-14
rintah di mata rakyatnya. Hal ini tentunya akan membuat negara kita semakin jauh dari yang dicita-citakan oleh proklamasi kemerdekaan Negara Republik Indonesia sebagaimana dikemukakan dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Merosotnya legitimasi rakyat terhadap pemerintah itu membuat mereka yang pada mulanya berada dalam posisi korban dalam konf likkonf lik agraria itu sampai pada pertanyaan apakah mereka “berhak mempunyai hak”?15 Ilustrasi terbaik dari krisis legitimasi pemerintah dan pentingnya “hak untuk memiliki hak” ini adalah apa yang diperjuangakan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sebagaimana terpantul dari motonya, “Kalau negara tidak mengakui kami, kami pun tidak mengakui negara”. Menurut penulis, tuntutan AMAN agar negara mengakui eksistensi masyarakat adat beserta pemastian hak atas tanah-air masyarakat adat adalah suatu panggilan untuk pejabat dan badan-badan negara untuk memenuhi kewajiban konstitusional untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum” demi tujuan “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Hasil amandemen atas Undang-undang Dasar 1945 menghasilkan tiga ketentuan baru berkenaan dengan eksistensi dan hak-hak masyarakat adat, yaitu pasal 18B ayat (2), pasal 28i ayat (3), dan ayat (2). Pengakuan eksistensi dan perlindungan hak-hak masyarakat adat ini dipersyarati dengan
15
Penulis mengambil konsep “hak untuk memiliki hak” (the rights to have rights) dari filsuf politik Hannah Arendt (1951) The Origins of Totalitarianism (1951). Arendt lah yang membuat konsep “hak untuk memiliki hak” ini populer sebagai hak politik yang paling fundamental bagi seorang warganegara (Arendt 1951/1968: 177. Untuk pembahasan terbaru mengenai konsep ini dalam konteks perjuangan hak asasi manusia, kewajiban Negara, dan rejim pasar bebas, lihat Somerr (2008), dan Kesby (2012).
11
empat ketentuan, yakni sepanjang masih hidup, sesuai dengan perkembangan masyarakat, sesuai prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan diatur dalam undang-undang. Namun pengakuan konstitusional ini tidak dengan sendirinya (secara otomatis) mendorong penyesuaian perundang-undangan di bawahnya. Masih banyak pekerjaan pembaruan perundang-undangan untuk meralat penyangkalan dan mewujudkan pengakuan atas eksistensi masyarakat adat itu dan segenap hak-hak dasarnya.16 Lebih jauh, agenda utama perjuangan AMAN adalah (i) mendorong ralat kebijakan-kebijakan yang menyangkal eksistensi masyarakat adat itu, dengan memastikan bahwa masyarakat adat adalah suatu subjek hukum yang sah, dan pemerintah Republik Indonesia wajib mengadministrasikan hak-hak khusus yang melekat padanya, termasuk hak-hak atas tanah, kekayaan alam, dan wilayah kelolanya; dan (ii) mewujudkan hak memperoleh pemulihan atas kerusakan sosialekologis yang diderita masyarakat adat akibat kekeliruan kebijakan pemerintah yang menyangkal eksistensinya sebagai subjek hukum, dan hakhak dasar yang melekat padanya.17
16
Lihat Simarmata, 2006, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia. Jakarta: UNDP, Myrna A. Safitri, “Legislasi Hak-hak Masyarakat atas Tanah dan Kekayaan Alam dalam Peraturan Perundang-undangan Nasional Indonesia: Model, Masalah, dan Rekomendasi”, dalam Masa Depan Hak-hak Komunal atas Tanah: Beberapa Gagasan untuk Pengakuan Hukum: Rekomendasi Kebijakan, Universiteit Leiden dan BAPPENAS, hlm. 15-35, Yance Arizona, 2010, “Satu Dekade Legislasi Masyarakat Adat: Trend Legislasi Nasional tentang Keberadaan dan Hakhak Masyarakat Adat atas Sumber Daya Alam di Indonesia (1999-2009)”, Kertas Kerja EPISTEMA No. 07/2010. 17 Noer Fauzi Rachman, 2012, “Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah-Airnya”. Naskah kuliah dalam rangka Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Tobelo, 20 April 2012. http://www.kongres4.aman.or.id/ 2012/05/masyarakat-adat-dan-perjuangan-tanah-airnya.asp (Terakhir diunduh pada 10 Maret 2013) dan “Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah-Airnya”. Kompas 11 Juni 2012.
12
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Indonesia di bawah Orde Baru (1966-1998) mewariskan cara bagaimana pemerintah yang berkuasa menekankan kewajiban-kewajiban sosial penduduk, dan bukan memenuhi hak-hak sipil-politik dan ekonomi, sosial dan budaya penduduk. Indonesia saat ini bukan hanya memerlukan Reformasi atas pemerintahan yang otoritarian dan sentralistik dan digantikan oleh suatu pemerintahan demokratis dan desentralistis, melainkan juga transformasi kelembagaan yang menyeluruh.18 Dalam konteks pokok bahasan artikel ini, menjadi jelas bahwa satu agenda utama dari transformasi kelembagaan itu adalah memulihkan posisi kewarganegaran dari rakyat miskin pedesaan, termasuk mereka yang berada dalam situasi konflik agraria dan dalam kesatuankesatuan masyarakat-hukum adat. Ucapan Terima kasih Versi-versi terdahulu atau bagian-bagian tertentu dari naskah ini disajikan sebagai brief ing paper, bahan presentasi dan/atau makalah di banyak forum diskusi/lokakarya/seminar semenjak penulis aktif sebagai peneliti senior di Sajogyo Institute. Forum-forum itu diselenggarakan oleh berbagai unit/proyek dalam organisasi-organisasi sebagai berikut: Konsorsium Pembaruan Agraria, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Perkumpulan Pembaruan Hukum berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA), Program Studi Pasca Sarjana Sosiologi Universitas Indonesia, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Yayasan Perspektif Baru, Badan Legislatif DPR-RI, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan lainnya. Sebagian isi naskah ini telah disajikan dalam Rachman dan Swanvri
18
Saich, Anthony, 2010, David Dapice, Tarek Masoud, Dwight Perkins, Jonathan Pincus, Jay Rosengard, Thomas Vallely, Ben Wilkinson, and Jeffrey Williams, Indonesia Menentukan Nasib: dari Reformasi ke Transformasi Kelembagaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
(2012). Versi lain akan dimuat dalam Jurnal Ilmu Pemerintahan Universitas Indonesia, 2013. Terima kasih untuk Didi Novrian dan Mia Siscawati dan semua kolega lain di Sajogyo Institute yang memberi banyak kritik, komentar, usulan dan inspirasi untuk pengembangan naskah ini.
Daftar Pustaka Arizona, Yance. 2010. Satu Dekade Legislasi Masyarakat Adat: Trend Legislasi Nasional tentang Keberadaan dan Hak-hak Masyarakat Adat atas Sumber Daya Alam di Indonesia (1999-2009). Kertas Kerja EPISTEMA No. 07/2010 Arendt, Hannah. 1951 (1968). The Origins of Totalitarianism. New York: Harcourt Brace Jovanovich. Colchester, M., Jiwan, N., Sirait, M.T., Firdaus, A.Y., Surambo, A. & Pane, H. ( 2006). Promised Land: Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia - Implications for Local Communities and Indigenous Peoples (published by Forest People Programme (FPP), Sawit Watch, HUMA, World Agroforestry Centre (ICRAF) - SEA. Davis, Mike. 2006. Planet of Slums. New York: Verso. De Angelis, Massimo. 1999. “Marx’s Theory of Primitive Accumulation: A Suggested Reinterpretation.” University of East London. Available online at http:// homepages.uel.ac.uk/M.DeAngelis/ PRIMACCA.htm (Unduh terakhir tanggal 04 Oktober 2012). ____. 2007. The Beginning of History: Value Struggles and Global Capital. London, Pluto Press Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa. Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta, Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Insist Press dan Konsorsium Pembaruan Agraria. Hall, Derek, Philip Hirsch, dan Tania Li. 2011.
Noer Fauzi Rachman: Rantai Penjelas Konflik-konflik Agraria .....: 1-14
Powers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia. Singapore and Manoa: NUS Press. Harvey, David. 2003. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press. ____. 2004. “The ‘New’ Imperialism: Accumulation by Disposession.” in Socialist Register 2004, edited by L. Panitch and C. Leys. New York: Monthly Review Press. ____. 2005. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press. Indonesian Commercial Letter. 2011. “Indonesian Commercial Letter, July 2011” http:// www.datacon.co.id/Sawit-2011Kelapa.html (Unduh terakhir tanggal 04 Oktober 2012). ____. 2011. From Reformasi to Institutional Transformation: A strategic Assessment of Indonesia’s Prospects for Growth, Equity and Democratic Governance. Harvard Kennedy School Indonesia Program, Harvard, USA. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2011 . Kesby, Alison. 2012. The Right to Have Rights: Citizenship, Humanity, and International Law, Oxford University Press,. Kloppenburg, Jack. 2010. “Impeding dispossession, enabling repossession: biological open source and the recovery of seed sovereignty”. Journal of Agrarian Change 10:3 (July): 367388. Ollman, Bertell. 2008. “Why Dialectics? Why Now?”, Dialectics for the New Century. Edited by Bertell Ollman dan Tony Smith. Hampshire: Palgrave Macmillan. Perelman, Michael. 2000. The Invention of Capitalism: Classical Political Economy and the Secret History of Primitive Accumulation. Durham: Duke University Press. Polanyi, Karl. 1967 (1944). The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time. Boston: Beacon Press. ____. 2001 (1944) The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time.
13
Boston: Beacon Press. Rachman, Noer Fauzi. 2012a. “Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah-Airnya”. Naskah kuliah dalam rangka Kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Tobelo, 20 April 2012. http:// w w w.kongres4.aman.or.id/2012/05/ masyarakat-adat-dan-perjuangan-tanahairnya.asp (Terakhir diunduh pada 10 Maret 2013). ____. 2012b. “Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah-Airnya”. Kompas 11 Juni 2012. Rachman, Noer Fauzi dan Swanvri. 2012. “Pasarsebagai-Keharusan: Sebab Struktural Konf lik Agraria”. Sawit Watch Journal. Vol.1:43-54. Ribot, Jesse dan Nancy Lee Peluso. 2003. “A Theory of Access”. Rural Sociology 68(2):15381. Safitri, Myrna A. 2010. “Legislasi Hak-hak Masyarakat atas Tanah dan Kekayaan Alam dalam Peraturan Perundang-undangan Nasional Indonesia: Model, Masalah, dan Rekomendasi”, dalam Masa Depan Hak-hak Komunal atas Tanah: Beberapa Gagasan untuk Pengakuan Hukum: Rekomendasi Kebijakan. Universiteit Leiden dan BAPPENAS, hal 15-35. Sawit Watch. 2012. “Menerka Luasan Kebun Sawit Rakyat” http://sawitwatch.or.id/2012/ 07/menerka-luasan-kebun-sawit-rakyat/ (Unduh terakhir tanggal 04 Oktober 2012). Saich, Anthony, David Dapice, Tarek Masoud, Dwight Perkins, Jonathan Pincus, Jay Rosengard, Thomas Vallely, Ben Wilkinson, and Jeffrey Williams. 2010. Indonesia Menentukan Nasib: dari Reformasi ke Transformasi Kelembagaan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Simarmata, Ricardo. 2006. Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia. Jakarta: UNDP. Somers, Margaret R. 2008. Genealogies of Citizenship: Markets, Statelessness and the Right to Have Rights. Cambridge, Cambridge University Press.
14
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Wood, Ellen Meiksins. 1994. “From Opportunity to Imperative: The History of the Market”. Monthly Review 46(3). ____. 1995, Democracy against Capitalism: Renewing Historical Materialism, Cambridge: Cambridge University Press. ____. 1999a, “Horizontal Relations: A Note on Brenner’s Heresy”, Historical Materialism, 4(1): 171–9. ____. 1999b, “The Politics of Capitalism”, Monthly Review, 51(4): 12–26.
____. 2001. “Contradiction: Only in Capitalism?”, in The Socialist Register 2002, edited by Leo Panitch and Colin Leys, London: Merlin Press. ____. 2002a. The Origin of Capitalism. A Longer View. London, Verso. ____. 2002b, “The Question of Market Dependence”, Journal of Agrarian Change, 2: 50–87. ____. 2009, “Getting What’s Coming to Us: Capitalism and Social Rights”, Against the Current, 140: 28–32.
POTRET KONFLIK AGRARIA DI INDONESIA Widiyanto*
Abstract Abstract: For the last three years (2010-2013) the conflicts on natural and agrarian resources has taken public attention beginning from the Government, Parliement, National Commission on Human Right to Non Governmental Organization as they frequently took place. The conflicts, which had been previously latent, later they came into existence.The article talks about the portrait of the agrarian conflicts taking place in Indonesia in general. Keywords Keywords: conflicts, agraria, Indonesia, natural resources. Intisari Intisari: Konflik sumberdaya alam dan agraria sepanjang tiga tahun terakhir (2010-2013) menyita perhatian publik, mulai dari Pemerintah, Parlemen, Komnas HAM, dan LSM, mengingat intensitas ledakannya yang cukup sering. Ada tren yang cukup kuat, konflik yang sebelumnya bersifat laten, beberapa tahun belakangan berubah menjadi manifes. Tulisan ini menyajikan potret konflik agraria yang terjadi pada umumnya di Indonesia. Kata kunci kunci: konflik, agraria, Indonesia, sumberdaya alam..
A. Pengantar Konflik sumberdaya alam dan agraria secara garis besar disebabkan paling tidak oleh dua hal. Pertama, adalah ketimpangan penguasaan atas tanah. Negara dan korporasi yang mendapat konsesi darinya memiliki porsi penguasaan atas tanah yang sangat dominan, dibanding dengan penguasaan oleh mayoritas masyarakat di perdesaan yang pada umumnya hidup di bawah garis kemiskinan. Data Konsorsium Pembaruan Agraria, misalnya, menyebut sekitar 64,2 juta hektar tanah atau 33,7 persen daratan di Indonesia telah diberikan kepada perusahaan-perusahaan kehutanan, pertambangan gas, mineral, dan batubara berupa izin konsesi. Meskipun Pemerintah mengakui bahwa sebagian besar izin sebenarnya bermasalah.1 Di sektor kehutanan sendiri, luas hutan yang ditunjuk mencapai
*
Penulis adalah Koordinator Divisi Pusat Database dan Informasi, www.huma.or.id. 1 Bernhard Limbong, Reforma Agraria, (Jakarta: Margaretha Pustakan: 2012), hlm. 3.
136,94 juta hektar atau 69 persen total luas wilayah Indonesia. Dari jumlah tersebut, baru sekitar 1213 persen yang telah selesai ditata batas. Dengan wilayah seluas ini, Kementerian Kehutanan selaku pihak pemangkunya, merupakan instansi yang memiliki luasan terbesar dibanding instansi lain. Penyebab konflik agraria yang kedua adalah adanya perbedaan sistem penguasaan lahan antar pihak dalam konflik agraria tak kunjung ada kepastian. Masyarakat gigih mempertahankan hak penguasaannya secara turun-temurun dan bersifat informal, sementara perusahaan dan para pihak lain datang dengan sistem aturan formal yang tidak dikenal dalam kebiasaan masyarakat. Kedua akar utama konflik agraria tersebut memang saling terkait, bahkan melekat. Perbedaan keduanya baru dapat teridentifikasi melalui pokok masalah hingga penanganannya. Pokok masalah pertama adalah ketimpangan penguasaan lahan, kedua adalah pertentangan klaim. Bila konflik didasari ketimpangan penguasaan, maka problem solvingnya yang paling penting didorong adalah dengan mekanisme redistribusi
16
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Gambar 1. Sebaran konflik Sumber Daya Alam di Indonesia. Sumber: Database HuMa, 2012. tanah. Sementara bila akar masalah konflik adalah pertentangan klaim yang tak seimbang, maka perlu adanya pengakuan yang mengarah pada kepastian penguasaan yang dianggap tak resmi atau formal. Itu sebabnya, gagasan pembaruan agraria berujung pada keadilan dan memberikan kepastian penguasaan kepada kelompok masyarakat yang lemah. Lalu bagaimana potret konflik agraria di Indonesia? Apa saja tipologi konflik yang dominan? Dan bagaimana sebarannya? Pertanyaan selanjutnya, apa implikasi konflik agraria terhadap hak asasi manusia, sebagai dimensi terpenting dalam menjaga eksistensi para pihak terutama bagi korban? Dalam tulisan ini, saya lebih menekankan potret konf lik agraria dengan mengacu pada penyebab yang kedua, yakni adanya pertentangan klaim penguasaan lahan antar pihak. Konflik bermula dari pertentangan dua sistem penguasaan lahan, formal dan yang informal, yang meletusnya dipicu dengan ke-
inginan salah satu pihak untuk memaksakan sistemnya kepada pihak lain. Banyak konflik yang mulanya terjadi secara diam-diam, tiba-tiba meletus ke permukaan. Perubahan tren konflik tersebut terjadi merata di seluruh Indonesia. Kita bisa simak mulai dari Mesuji di Lampung Utara, Ogan Komering Ilir, Kebumen, hingga Sumbawa. Gambar di atas menunjukkan sebaran konflik di Indonesia.2 B. Sebaran Konflik Dari data yang didokumentasikan oleh HuMa terlihat bahwa ratusan konflik tersebut terjadi di hampir seluruh provinsi di Indonesia dengan tingkat frekuensi yang berbeda. Beberapa provinsi tidak masuk karena keterbatasan data yang ada. Sangat mungkin provinsi seperti ini justru memiliki intensitas konflik yang tinggi. Sebut
2
Widiyanto, dkk, Outlook Konflik Sumberdaya Alam dan Agraria, HuMa, 2012
Widiyanto: Potret Konflik Agraria di Indonesia .....: 15-27
saja seperti Provinsi Papua, dimana megaproyek ambisius pengadaan lumbung pangan Merauke Integrated Food and Energy Estate atau dikenal MIFEE, sedang berlangsung. Proyek ini akan mengkonversi sekitar sejuta hektar lahan yang dikuasai masyarakat adat menjadi areal perkebunan dan pertanian oleh korporasi-korporasi besar. HuMa mencatat konflik berlangsung di 98 kota/kabupaten di 22 provinsi. Yang memprihatinkan, luasan area konflik mencapai 2.043.287 hektar atau lebih dari 20 ribu km2. Luasan ini setara dengan separoh luas Provinsi Sumatera Barat. Konflik yang didokumentasikan HuMa ini hanya potret permukaan saja. Bisa dibayangkan jika semua konflik berhasil diidentif ikasi jumlah dan luasannya yang pasti akan jauh lebih besar. Dari 22 provinsi konflik yang didokumentasikan HuMa, tujuh provinsi di antaranya memiliki konflik paling banyak, yakni Aceh, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara. Tabel 1. Jumlah Kasus Konflik Terbanyak No 1 2 3 4 5 6 7
Provinsi Kalimantan Tengah Jawa Tengah Sumatera Utara Banten Jawa Barat Kalimantan Barat Aceh
Jumlah kasus 67 kasus 36 kasus 16 kasus 14 kasus 12 kasus 11 kasus 10 kasus
Luas Lahan (hektar) 254.671 9.043 114,385 8,207 4,422 551,073 28.522
Sumber: Database HuMa, 2012. Kalimantan Tengah menjadi provinsi yang paling banyak konflik, dimana 13 dari 14 kabupaten dan kotanya memendam masalah klaim atas sumberdaya alam dan agraria. Artinya, konflik berlangsung merata di wilayah administratif provinsi tersebut. Sebanyak 85% dari kasus di Kalimantan Tengah terjadi di sektor perkebunan. Sedangkan 10% merupakan konflik di sektor kehutanan. Sisanya adalah konf lik pertam-
17
bangan dan konflik lainnya. Meluasnya ekspansi perkebunan monokultur seperti sawit di Kalimantan tak ayal membuat luas hutan berkurang drastis. Perubahan status kawasan hutan melalui mekanisme pelepasan, tukar-menukar yang tak seimbang, maupun izin pinjam pakai marak terjadi dan cenderung kian tak terkendali. Akibatnya, konflik klaim adat atas wilayah hutan melawan penunjukan sepihak oleh negara yang paling sering terjadi, makin runyam. Ketika kasus macam ini belum tuntas, kini konflik bertambah antara masyarakat dengan perusahaan. Keempat provinsi se-Kalimantan menyumbang angka 36 persen konflik secara keseluruhan dari data konflik HuMa. Konflik-konflik yang terjadi di provinsi-provinsi lain di Nusa Tenggara, Sulawesi, Sumatera dan Jawa juga menunjukkan kondisi yang mencemaskan. Tipologi konflik yang terjadi di Sumatera hampir mirip dengan Kalimantan, yakni konflik klaim komunitas lokal atau masyarakat adat dengan negara dan perusahaan. Dua pulau besar ini memiliki kawasan hutan yang luas dan belakangan menjadi wilayah dominan ekspansi perkebunan sawit di Indonesia. Sementara konflik di Jawa, lebih banyak menyangkut sektor kehutanan, dimana gugatan masyarakat terhadap penguasaan wilayah oleh Perhutani masih dalam deretan teratas. Konflik yang melibatkan Perhutani terjadi di seluruh wilayah kerja perusahaan plat merah tersebut, yaitu di Provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Data resmi Perhutani menunjukkan bahwa perusahaan ini menguasai kawasan hutan seluas 2,4 juta hektar. Terdapat sekitar 6.800 desa yang berkonflik batas dengan kawasan Perhutani di Pulau Jawa. C. Konflik Dilihat dari Sektor Menurut data HuMa, konflik perkebunan dan kehutanan menjadi konflik yang paling sering terjadi di Indonesia. Konflik di dua sektor
18
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
ini mengalahkan konflik pertanahan atau agraria non kawasan hutan dan kebun. Konflik perkebunan terjadi sebanyak 119, dengan luasan area konflik mencapai 413.972 hektar. Meski frekuensi konf lik kehutanan lebih sedikit dibanding konflik perkebunan, namun secara luasan konflik sektor ini paling besar. Dari 72 kasus, luas area konflik kehutanan mencapai 1.2 juta hektar lebih. Sumber: Database HuMa, 2012.
Sumber: Database HuMa, 2012. Meluasnya area konflik sektor perkebunan ditengarai sebagian besar berada di kawasan hutan. Hutan yang sebelumnya ditumbuhi pohon-pohon lebat dan banyak yang dikelola oleh masyarakat, dalam satu dekade mengalami deforestasi yang amat parah. Tingkat konversi hutan cukup tinggi di daerah dimana ekspansi sawit merajalela.Dorongan untuk memacu laju investasi sektor perkebunan sawit diduga memperkuat tekanan atas kebutuhan lahan, dan yang paling rentan dikorbankan adalah kawasan berhutan. Ini terjadi di Nagari Rantau, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, yang melibatkan PT. Anam Koto. Perusahaan ini memegang hak guna usaha seluas 4,777 hektar di atas tanah yang dulunya diklaim sebagai wilayah hutan adat. Pendampingan kasus ini dikerjakan oleh Q-Bar, mitra HuMa yang berbasis di Sumatera Barat. 1. Konflik Kehutanan dan Akarnya Secara umum, konf lik sektor kehutanan terjadi di 17 provinsi. Konflik sektor kehutanan pada umumnya disebabkan hak menguasai negara secara sepihak pada tanah-tanah yang
dikuasai oleh komunitas lokal secara komunal. Politik penunjukan tanah yang diklaim milik negara menyulut perlawanan yang menyebabkan konflik berlarut-larut. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kemenhut tahun 2007 dan 2009, terdapat 31.957 desa yang saat ini teridentif ikasi berada di sekitar dan dalam kawasan hutan yang sedang menunggu proses kejelasan statusnya. Di banyak desa bahkan hampir secara keseluruhan wilayah administratifnya berada di dalam kawasan hutan lindung atau konservasi yang berarti dapat dengan mudah dianggap sebagai tindakan ilegal, bila ada masyarakat yang memungut atau mengambil kayu hasil hutan. Ambil contoh Desa Sedoa yang terletak di Kecamatan Lore Utara, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Wilayah administratif desa ini hampir 90 persen berada di kawasan hutan lindung dan Taman Nasional Lore-Lindu. Kasus Desa Sedoa kini masih dalam proses pendampingan oleh Bantaya, mitra HuMa yang berada di Palu, Sulawesi Tengah. Atau Kelurahan Battang Barat, Kota Palopo, yang sekitar 400 hektar terkena perluasan kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Nanggala III yang diadvokasi oleh Wallacea.Bagi desa yang berada dalam kawasan hutan, seperti Desa Sedoa atau Kelurahan Battang Barat, maka atas tanah-tanah dalam desa tersebut tidak dapat diterbitkan sertif ikat atau
Widiyanto: Potret Konflik Agraria di Indonesia .....: 15-27
19
Gambar 2. Sebaran konflik Sumber Daya Alam Sektor Kehutanan di Indonesia. Sumber: Database HuMa, 2012. bukti terkuat kepemilikan atas tanah. Domain pengaturan tanah dalam kawasan hutan berada dalam rezim Kementerian Kehutanan, sementara sertif ikat atau registrasi tanah berada di bawah Badan Pertanahan Nasional. Sepintas masalah desa-desa di sekitar dan di dalam kawasan hutan ini masalah administratif. Akan tetapi perbedaan rezim ini berimplikasi pada pelayanan publik, jaringan infrastruktur, dan lain sebagainya, yang rentan menghadirkan diskriminasi bagi masyarakat desa dalam kawasan hutan tersebut. Selain konf lik mengenai kejelasan status wilayah administratif, konflik kehutanan juga dilatari perbedaan cara pandang antara perusahaan dengan komunitas setempat atas jenis tanaman yang ditanam. Biasanya konflik seperti ini maraknya terjadi pada area-area konsesi hutan produksi atau hutan tanaman industri yang memiliki tutupan primer. Perusahaan membutuhkan lahan skala luas untuk ditanami bahan baku pembuatan kertas atau kayu lapis olahan. Salah
satu contoh konf lik kehutanan kategori ini terjadi pada kasus PT. Toba Pulp Lestari di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Perusahaan membabat Hutan Kemenyan (Tombak Haminjon) yang sudah dikuasai secara turun temurun oleh masyarakat adat Pandumaan dan Sipituhuta, dan menggantinya dengan pohon ekaliptus. Terjadi pula pada kasus PT. Wira Karya Sakti yang membabat hutan primer untuk ditanami akasia dan ekaliptus di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi. Serta kasus PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Semenanjung Kampar, Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, Riau. 2. Akar-akar Konflik Perkebunan Sementara itu, jika konflik sektor perkebunan tidak mendapat perhatian serius, bukan tak mungkin luas lahan yang disengketakan akan menyamai, bahkan melebihi luas area kehutanan yang berkonflik.
20
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Konf lik perkebunan yang massif terjadi belakangan secara tidak langsung dipicu oleh ambisi Pemerintah untuk menjadikan sawit sebagai komoditas unggulan Indonesia yang terbesar di dunia. Dalil ini kemudian dimanfaatkan oleh kalangan pengusaha sawit untuk mendapatkan berbagai proteksi dari Pemerintah. Parahnya, Pemerintah lokal juga turut ‘bermain’ dalam memudahkan penguasaan lahan dan pengoperasian perkebunan sawit di daerahnya dengan pertimbangan ekonomi-politik jangka pendek. Dari data HuMa, paling tidak terdapat 14 provinsi yang tercatat memiliki konflik perkebunan yang mayoritas terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Banyak sumber yang merilis data mengenai konversi besar-besaran kawasan hutan menjadi area perkebunan kelapa sawit. Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, misalnya, menyebut penyusutan kawasan hutan seluas 1,1 juta hektar di Jambi dalam dua dekade terakhir.3 3. Konflik Pertambangan Data konflik sektor pertambangan agaknya memang tak sebanyak konflik kehutanan dan perkebunan. Akan tetapi konflik sektor ini sangat mudah meletup dibanding sektor kehutanan, yang cenderung bersifat laten. Dari pantauan HuMa, komunitas lokal sangat gigih memper3
http://www.mongabay.co.id/2012/12/03/foto-udarakehancuran-hutan-jambi-akibat-perambahan-ekspansiperkebunan/
Gambar 3. Sebaran konflik Sumber Daya Alam Sektor Kehutanan di Indonesia. Sumber: Database HuMa, 2012. tahankan wilayah kelolanya yang dirampas oleh perusahaan dengan izin konsesi tambang, tanpa ada pertimbangan persetujuan dengan dasar informasi tanpa paksaan atau free, prior and informed consent (FPIC). Wilayah-wilayah pertambangan perusahaan umumnya berada di kawasan yang memiliki dimensi religius-magis bagi masyarakat adat setempat. Perusahaan berdalih memegang izin formal, masyarakat kukuh mempertahankan wilayah yang sakral bagi leluhur mereka. Konflik pun termanifes. Konflik pertambangan memiliki kecenderungan sering terjadi bentrok f isik di dalamnya. Korban luka banyak berjatuhan, beberapa di antaranya sampai meninggal dunia. Dalam konflik pertambangan, perusahaan hampir selalu tampil sebagai pemenang. Aparat polisi, jaksa, hingga hakim cenderung lebih mengutamakan pihak yang memegang konsesi sebagai alas hukum ketimbang adat yang dianggap tak resmi atau formal.Perusahaan tambang sendiri dengan mudah membelokkan tudingan penyerobotan tanah, kawasan hutan atau pencemaran lingkungan sebagai efek destruksi pengolahan tambang terhadap lingkungan, menjadi persoalan administrasi konsesi atau kontrak karya. Tak jarang justru perusahaan-perusahaan dibantu aparat penegak hukum melakukan kriminalisasi terhadap warga yang melakukan
Widiyanto: Potret Konflik Agraria di Indonesia .....: 15-27
protes dengan dalih anarkis. Warga ditangkapi, ditahan, bahkan banyak yang dipenjarakan. Seperti yang terjadi pada PT. Sorikmas Mining yang beroperasi di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Mahkamah Agung dalam putusan hak uji materi SK Menteri Kehutanan No.126-MenhutII/2004 tentang Perubahan Fungsi dan Penunjukan Kawasan Taman Nasional Batang Gadis memenangkan perusahaan yang sebagian besar dimiliki oleh Aberifoyle Pungkut Investment Singapura ini. Terkait kasus yang sama, lima orang masyarakat Desa Huta Godang Muda diseret ke pengadilan atas laporan PT. Sorikmas. Di Kalimantan Barat, tepatnya di Pelaik Keruap, Kabupaten Melawi, yang merupakan daerah dampingan Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), tiga orang tokoh komunitas setempat dihukum penjara dengan dakwaan menahan tanpa hak rombongan surveyor perusahaan eksplorasi tambang PT. Mekanika Utama yang masuk kampung tengah malam. Padahal masyarakat setempat sejatinya berniat untuk menanyakan maksud kedatangan rombongan saat itu. Kasus kriminalisasi dalam konflik pertambangan juga menimpa empat warga Sirise, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Mereka dihukum lima bulan penjara karena mempertahankan lingko atau hutan adat yang diserobot konsesi perusahaan tambang.
21
Kehutanan; e) Perhutani; f ) PT. Perkebunan Nusantara (PTPN); g) Perusahaan/Korporasi; h) Perusahaan Daerah; i) Instansi Lain. Masyarakat adat dengan komunitas lokal sengaja dibedakan untuk menjelaskan perbedaan klaim historis atas lahan konflik. Sementara kelompok petani diidentif ikasi bagi pihak yang terkait dengan relasi kontraktual dengan perusahaan. Ketiga pihak ini merupakan pihak yang menjadi korban. Kementerian Kehutanan masuk sebagai pihak yang berkonflik karena kewenangan institusionalnya yang melekat untuk menunjuk hingga menetapkan kawasan hutan. Tabel 2. Para pihak yang berkonflik Para Pihak
Frekuensi dalam Konflik
Perusahaan/Korporasi Komunitas Lokal Petani Masyarakat Adat Perhutani Taman Nasional/ Kemenhut PTPN Pemerintah Daerah Instansi lain
158 153 41 34 30 20 11 7 2
D. Siapa Para Pihak yang Terlibat Konflik? HuMa dengan menggunakan sistem pendokumentasian HuMaWin, mengidentif ikasi para pihak bersifat komunal. Unit terkecilnya adalah komunitas, masyarakat, atau kelompok. Tidak individual. Ada sembilan pihak yang terlibat dalam konflik sumberdaya alam dan agraria yang diidentif ikasi HuMa, yaitu: a) Masyarakat Adat; b) Komunitas Lokal; c) Kelompok Petani; d) Taman Nasional/Kementerian
Sumber: Database HuMa, 2012. Perhutani sebagai institusi dipisahkan dengan Kementerian Kehutanan. Sebagai unit bisnis yang memiliki sejarah dan area konsesi tersendiri, perusahaan plat merah yang mengelola hutan
22
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Jawa ini patut dipertimbangkan sebagai pihak yang berkonflik. Dasar pendirian Perhutani pertama kali adalah Surat Keputusan Gubernur Jenderal (Staatblad No. 110 tahun 1911) dan mengalami berkali-kali revisi terakhir adalah Peraturan Pemerintah No.72 tahun 2010 tentang Perusahaan Umum Kehutanan Negara. Demikian pula PTPN. Dalam setahun terakhir perkembangan perusahaan negara di sektor perkebunan ini perlu perhatian, terutama terkait konflik lahan. Posisinya dalam peta ekonomi nasional semakin signif ikan tatkala kebijakan nasional mendorong pertumbuhan investasi dengan menggenjot produksi komoditas dalam negeri. Oleh karenanya, PTPN didudukkan sebagai unit pelaku yang terlibat konflik secara tersendiri, terpisah dengan entitas perusahaan (swasta). Menurut data yang didokumentasi HuMa, paling tidak PTPN terlibat dalam 11 kasus konflik agrari, tentu kesemuanya berada di sektor perkebunan. PTPN berperan penting sebagai produsen komoditas andalan nasional, seperti gula dan kopi. Tak heran bila Menteri Negara Urusan Badan Usaha Milik Negara (Menneg BUMN), Dahlan Iskan, yang membawahi PTPN, mati-matian membela luasan wilayah PTPN ketika meletup kasus Cinta Manis, Sumatera Selatan, yang digugat warga karena telah menyerobot tanah mereka. Instansi lain di sini merujuk pada organ kekuasaan yang ternyata mengklaim punya penguasaan atas tanah, seperti TNI Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Dari data yang dihimpun HuMa, perusahaan/ korporasi atau koperasi menempati urutan pertama sebagai pelaku dalam konflik agraria dan sumberdaya alam. Perusahaan/korporasi banyak terlibat konflik di sektor perkebunan dan pertambangan berlawanan dengan komunitas lokal, masyarakat adat, bahkan dengan kelompok petani. Bila terlibat di sektor kehutanan, dapat dipastikan mereka terlibat di kawasan hutan yang status kawasannya hutan produksi. Fre-
kuensi keterlibatan perusahaan/korporasi mencapai 35% dari keseluruhan data pelaku yang didokumentasikan HuMa. Posisi perusahaan/ korporasi sebagai pelanggar hak asasi manusia yang tinggi juga tercatat dalam laporan yang dirilis oleh Komnas HAM atau lembaga advokasi seperti Walhi. Hal ini menunjukkan makin besarnya peran perusahaan/korporasi di segala sektor kehidupan masyarakat, menggeser peran dominan negara. Dominannya swasta bisa kita simak lewat perputaran uang yang melibatkan sektor swasta. Menurut Sof ian Wanandi, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), perputaran uang di swasta mencapai Rp. 7.000 trilyun. Bandingkan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang hanya sekitar Rp. 1.200 trilyun. Dengan demikian peran swasta di masa depan, dapat dipastikan akan membesar. Ini catatan penting untuk diantisipasi dalam proses penyelesaian konflik agraria yang akan mengorbankan masyarakat. Taman Nasional atau dalam hal ini Kementerian Kehutanan pada umumnya terlibat dalam sengketa tata batas atau perluasan kawasan secara sepihak oleh Kementerian Kehutanan, seperti terjadi di Taman Nasional Gunung HalimunSalak (TNGHS), yang tertuang dalam SK Menhut No. 175/Kpts-II/2003. Seperti yang diidentifikasi Rimbawan Muda Indonesia (RMI), paling tidak terdapat 314 kampung yang terkena perluasan itu yang tersebar di sekitar kawasan Gunung Halimun-Salak, di Kabupaten Bogor maupun Kabupaten Lebak. Salah satu kampung yang terkena perluasan TNGHS adalah Kampung Nyungcung, Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Dari uraian para pihak yang terlibat dalam konflik agraria dan sumberdaya alam di atas, perusahaan menjadi para pihak yang paling sering menjadi pelaku konflik. Perusahaan terlibat dalam 158 konflik yang didata oleh HuMa.
Widiyanto: Potret Konflik Agraria di Indonesia .....: 15-27
Disusul kemudian Perhutani dengan 30 kasus, dan Taman Nasional 20 kasus, PTPN di 11. Kemudian Pemda dengan 7 kasus dan instansi lain 2 kasus. Berikut tabel para pihak pelaku konflik sumberdaya alam dan agraria yang dihimpun HuMa:
Sumber: Database HuMa, 2012. E. Tipologi Konflik dan Pelanggaran terhadap HAM 1. Tipologi Konflik Berdasar Pelaku Secara umum dengan melihat para pihak yang terlibat dalam konflik sumberdaya alam dan agraria, terdapat empat jenis konflik yang dominan terjadi di Indonesia. Posisi perusahaan/ korporasi sebagai pelaku utama muncul paling sering di empat tipologi konflik. Empat tipologi konflik tersebut adalah: (1) Komunitas Lokal melawan Perusahaan/Korporasi; (2) Petani melawan Perusahaan; (3) Komunitas Lokal melawan Perhutani; (4) Masyarakat Adat melawan Perusahaan.
Sumber: Database HuMa, 2012.
23
Tingginya frekuensi keterlibatan perusahaan ini disumbang dari konflik sektor perkebunan dan pertambangan. Barangkali hampir keseluruhan konflik sumberdaya alam dan agraria berdasar pada perbedaan dasar klaim para pihak yang menyebabkan tumpang-tindih klaim. Dasar klaim formal umumnya dijadikan pegangan oleh perusahaan berhadapan dengan klaim historis nonformal versi komunitas lokal atau masyarakat adat. Berangkat dari tipologi konflik yang telah dipaparkan, sejumlah pelanggaran hak asasi manusia telah terjadi di dalamnya. Sejalan dengan perkembangan hak asasi manusia, maka saat ini perusahaan atau korporasi dapat dikategorikan sebagai pelaku. Tidak hanya negara. Perusahaan tidak hanya beroperasi dengan bersinggungan dengan dimensi publik atau rakyat, akan tetapi perusahaan atau bisnis juga mengalami pergeseran peran yang dalam banyak hal menggerus kewenangan negara. Menurut Kerangka Kerja PBB mengenai Prinsip-prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia “Perlindungan, Penghormatan, dan Pemulihan”, setidaknya terdapat tiga pilar penting dalam hal kaitan bisnis dan hak asasi manusia ini. Pertama, tugas negara untuk melindungi dari pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak ketiga, termasuk perusahaan bisnis, melalui kebijakan, peraturan, dan peradilan yang sesuai. Kedua, adalah tanggung jawab korporasi untuk menghormati hak asasi manusia, yang berati bahwa perusahaan bisnis harus bertindak dengan uji tuntas untuk menghindari dilakukannya pelanggaran atas hak pihak lain dan untuk mengatasi akibat yang merugikan di mana mereka terlibat. Ketiga, adalah kebutuhan atas akses yang lebih luas oleh korban untuk mendapatkan pemulihan yang efektif, baik yudisial maupun non yudisial. Dalam realitas di lapangan, perusahaan seringkali menggunakan instrumen atau apa-
24
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
ratur negara dalam melakukan tindak kekerasan. Perusahaan dengan modalitas ekonominya mampu mempengaruhi dan bahkan memaksa aparatur negara menghalau demonstrasi atau protes-protes komunitas lokal atau masyarakat adat dengan membabi buta. Contoh kongkrit dalam relasi organisasi bisnis yang menggunakan entitas atau aparat negara yang mengakibatkan korban dapat kita lihat dalam kasus Mesuji atau Cinta Manis yang mengakibatkan korban komunitas lokal berjatuhan. 2. Pelanggar dan Pelanggaran HAM Sistem pendokumentasian HuMaWin mengklasif ikasi kejadian seperti ini masuk dalam kategori peristiwa yang melingkupi kasus. HuMaW in mendokumentasikan konf lik dengan dasar kasus, bukan peristiwa. Sehingga keluaran data pelanggar berbeda dengan data para pihak yang bertindak sebagai pelaku dalam konflik yang didokumentasikan. Bila dalam kategori pelaku konf lik, perusahaan atau korporasi menempati urutan teratas, maka dalam kategori pelanggar hak asasi manusia dalam konf lik agraria, entitas negara yang menempati pelanggar pertama. Dari tingginya pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi melingkupi konflik agraria menunjukkan bahwa penanganan konf lik yang termanifes pada umumnya berlangsung sistematis menyasar pada kelompok masyarakat yang melakukan aksi demonstrasi menentang konsesi atau izin perusahaan. Aparat negara, seperti personel Brimob, dalam hal ini cenderung memposisikan dirinya sebagai pihak yang mengamankan aset perusahaan ketimbang melindungi masyarakat. HuMa mencatat sebanyak 91.968 orang dari 315 komunitas telah menjadi korban dalam konflik sumberdaya alam dan agraria. HuMa juga mengidentifikasi pelaku pelanggar hak asasi manusia dari kalangan individu yang memiliki posisi dan pengaruh dalam
kekuasaan, umumnya di tingkat lokal. Kategori pelaku individu ini dialamatkan kepada orang seperti ketua kerapatan adat, yang menggunakan kekuasaan simboliknya sebagai tetua adat untuk menghasut atau menyerang masyarakat yang melakukan protes-protes. Berikut tabel pelanggar HAM yang berhasil dihimpun. Tabel 3. Pelaku dan Pelanggar HAM Pelaku Pelanggar HAM Entitas Negara Organisasi Bisnis Individu dalam posisi memiliki kekuasaan Jumlah
Peristiwa Prosentase 266 53,96% 179 36,31% 48 493
9,74% 100,00%
Sumber: Database HuMa, 2012. Dalam konflik sumberdaya alam dan agraria, jenis pelanggaran yang sering terjadi adalah pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial-budaya—utamanya adalah hak ekonomi, akan tetapi hak sipil-politik dalam berbagai bentuk seperti bentrokan yang disertai penembakan, sweeping, penangkapan, penganiayaan, penggusuran, dan perusakan properti milik komunitas juga kerap dilakukan pelaku. Berikut contoh beberapa kejadian yang di dalamnya terdapat pelanggaran hak sipil-politik. Tabel 4. Beberapa contoh pelanggaran HAM di daerah No 1
Aceh Tamiang
Pihak yang bersengketa dengan komunitas PT Sinar Kaloy Perkasa Indo
2
Muara Enim
Pengusaha Burhan
3
Pasaman Barat
PT. Permata Hijau Pasaman II
4
PT Wira Karya Sakti PT. Anam Koto
6
Tanjung Jabung Barat Pasaman Barat Binjai
7
Bengkalis
PT Arara Abadi
8
Manggarai Timur
Pemda Manggarai
9
Minahasa Selatan
PT. Sumber Energi Jaya
5
Daerah
PTPN 2 Sei Semayang
Pelanggaran hak sipil dan politik Pemaksaan Datok Desa tandatangani rekomendasi perluasan HGU Penangkapan Junaidi dan Kosim 20 orang terluka, 1 keguguran saat polisi melakukan sweeping. Warga lain trauma todongan senjata. Ahmad (45) tewas ditembak anggota Brimob. Penculikan terhadap 2 aktivis dan 5 warga Remi (22) tewas akibat panah beracun saat pertahankan lahan Penangkapan 200 warga disertai kekerasan, 1 balita mati Pemukulan terhadap warga yang tolak tanda tagan penyerahan tanah Frengky Aringking luka tertembak peluru polisi, penangkapan Yance secara paksa disertai sweeping
Widiyanto: Potret Konflik Agraria di Indonesia .....: 15-27 10
Labuhanbatu Utara
PT Smart
11
Aceh Barat
PT KTS
12
Ogan Ilir
PTPN VII Cinta Manis
13 14
Kotawaringin Timur Sumba Timur
PT. Nabatindo Karya Utama PT. Fathi Resources
15
Rokan Hulu
PT Merangkai Artha Nusantara
16
Mandailing Natal
PT Sorikmas Mining
17
Donggala
PT. Cahaya Manunggal Abadi
p p g Penangkapan terhadap 60 petani, Gusmanto (16) tertembak Tgk Banta Ali ditembak mati pertahankan tanahnya Angga (12) tewas dan 23 orang tertembak Brimob Penangkapan warga 4 warga mengalami luka -luka akibat kerusuhan, 24 warga dikriminalisasikan Bentrokan warga dengan preman perusahaan, 5 warga tidak pulang. Bentrok dengan petugas perusahaan, 4 luka dan 1 mengalami luka tembak Masdudin (50) tewas dan lima lainya tertembak polisi
Sumber: Database HuMa, 2012. Dilihat dari jenis-jenis pelanggaran HAM, pelanggaran terhadap hak rakyat untuk memanfaatkan kekayaan dan sumber-sumber alam yang paling sering terjadi (25%). Umumnya pelanggaran ini terjadi pada sengketa yang terkait dengan kepemilikan kolektif, misalnya sekelompok masyarakat adat yang kehilangan akses mereka terhadap hutan adat akibat penetapan lahan tersebut sebagai hutan negara yang dikelola oleh perusahaan swasta. Hal ini terjadi pada kasus perampasan tanah ulayat milik masyarakat Tanjung Medang oleh pengusaha di Muara Enim, atau pembabatan hutan Kemenyan milik Kemenyan Humbahas oleh PT Toba Pulp Lestari Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Kemudian pelanggaran terhadap hak untuk memiliki atau menguasasi kekayaan (19%). Hal ini terjadi pada perampasan tanah-tanah yang dimiliki masyarakat secara individu. Sebagian korban mempunyai surat kepemilikan tanah dan sebagian lain tidak memilikinya. Di Kabupaten Aceh Timur misalnya, terdapat 700 orang yang tanah miliknya dalam sengketa dengan PT Bumi Flora. Warga yang tersebar di 7 desa tersebut tengah menunggu verif ikasi tim pemerintah terhadap surat-surat bukti kepemilikan tanah mereka. Kasus serupa juga terjadi pada kasus sengketa antara PT Lestari Asri Jaya dengan warga pendatang di Kabupaten Tebo. Mereka saling meng-klaim sebagai pihak yang memiliki secara
25
syah tanah tersebut. Pelanggaran hak atas kebebasan (18%), terjadi ketika aparat Pemerintah melakukan penangkapan semena-mena terhadap masyarakat yang melawan penyerobotan tanah. Peritiwa penangkapan besar-besaran terjadi dalam kasus sengketa tanah PT Arara Abadi di Kabupaten Bengkalis. Sebanyak 200 orang ditangkap dalam sebuah sweeping yang mencekam dan berdarah. Hal demikian juga terjadi di Kabupaten Labuhanbatu Utara dimana 60 warga yang menentang penyerobotan tanah PT Smart ditangkap. Contoh serupa juga dialami 24 warga penentang tambang PT. Fathi Resources di Kabupaten Sumba Timur. Pelanggaran terhadap integritas pribadi, seperti dijumpai pada kasus-kasus yang diwarnai bentrokan. Bentrokan bisa terjadi antara masyarakat dengan petugas keamanan perusahaan maupun dengan aparat kepolisian. Tidak jarang sweeping oleh kepolisian dengan jumlah personel yang besar dilakukan di desa-desa dengan tujuan penangkapan mendapatkan perlawanan dari warga yang berakhir dengan penembakan dan penganiayaan. Seperti yang terjadi dalam kasus PT. Permata Hijau Pasaman II di Kabupaten Pasaman Barat, sebanyak 20 orang mengalami luka tembak. Peristiwa berdarah PTPN VII di Ogan Ilir juga menyebabkan 23 warga luka tertembak. Berikut merupakan daftar jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling sering dilakukan pelaku, yakni dari entitas negara (dalam hal ini seperti aparatur bersenjata, Brimob), atau dari kalangan korporasi, dan dari entitas individu yang memiliki kekuasaan:
26
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Tabel 5. Jenis-jenis Pelanggaran HAM Jenis Pelanggaran HAM Pelanggaran terhadap hak rakyat untuk memanfaatkan -sumber alam (Hak Akses terhadap Sumberdaya Alam)
Prosentase
25% Instrumen yang dilanggar: Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya Pasal 1 ayat (2) Kovenan Hak Sipil Politik Pasal 1 ayat (2) Pelanggaran terhadap hak untuk memiliki atau menguasai (Hak Milik atas Sumberdaya Alam) Instrumen yang dilanggar: asal 17 ayat (1) dan (2) UU No39/1999 tentang HAM Pasal 29 ayat (1) UU No39/1999 tentang HAM Pasal 31 ayat (1) dan (2) Pelanggaran terhadap hak atas kebebasan Hak untuk Menyatakan Sikap, Berorganisasi,
Instrumen yang dilanggar: asal 3 dan 9 Kovenan Hak Sipil Politik Pasal 9 ayat (1) dan (2) Serangan terhadap integritas pribadi
19%
18%
Instrumen yang dilanggar: Kovenan Hak Sipil Politik Pasal 7 Kovenan Hak Sipil Politik Pasal 17 ayat (1) dan (2) 1999 tentang HAM Pasal 33 ayat (1) Pelanggaran terhadap hak atas lingkungan yang sehat
7%
Instrumen yang dilanggar: Kovenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya Pasal 12 ayat 1999 tentang HAM Pasal 9 ayat (3) Pelanggaran terhadap hak hidup Instrumen yang dilanggar: Kovenan Hak Sipil Politik Pasal 6 ayat (1) 1999 tentang HAM Pasal 9 ayat (1) 1999 tentang HAM Pasal 33 ayat (2)
7%
6%
Sumber: Database HuMa, 2012. F. Kesimpulan4 Konflik sumber daya alam terjadi di kawasan perkebunan, kehutanan, tambang, adalah buntut dari kebijakan Pemerintah yang dengan sewenang-wenang memberikan perijinan dan konsesi kepada perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang ekstraktif seperti perkebunan dan pertambangan skala luas. Di sektor kehutanan masalah terbesar yang diwariskan oleh Pemerintah hingga kini adalah dengan penunjukan kawasan hutan secara sepihak tanpa mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat, lokal, serta kelangsungan ekosistem dan lingkungan berkelanjutan pada kawasan-kawasan yang ditunjuk tersebut. 4
Bagian kesimpulan ini ditulis oleh Siti Rakhma Mary Herwati.
Dalam pemberian ijin-ijin dan penunjukan tersebut, Pemerintah di segala tingkatan tidak menggunakan prinsip persetujuan dini tanpa paksaan atau mekanisme Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Padahal, di banyak kasus, masyarakatlah yang sejak awal membuka hutan, dan mendiami lahan-lahan garapan mereka atau tanah-tanah ulayat. Pengambilalihan lahan-lahan komunitas lokal, masyarakat adat, atau petani yang sebagian terjadi di masa lalu (1965), masa Orde Baru, maupun setelah masa Reformasi inilah yang menjadi akar konflik agraria yang berlangsung hingga sekarang. Konflik agraria ini terus meluas, menyebar, membara, dan berkelanjutan karena Pemerintah terusmenerus memberikan ijin-ijin atau konsesi-konsesi kepada perusahaan-perusahaan skala luas tersebut, tetapi di sisi lain membiarkan konflikkonflik agraria itu terjadi tanpa penanganan yang menyeluruh dan memberikan keadilan bagi masyarakat yang menjadi korban. Konflik agraria sekarang menjadi meluas karena Pemerintah terus mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi, salah satunya dengan membuka perkebunan-perkebunan baru kelapa sawit, baik di atas tanah-tanah yang diklaim masyarakat sebagai tanah ulayat mereka, maupun dengan mengkonversi hutan. Di tengah sistem hukum yang mengindahkan keberadaaan klaimklaim masyarakat atas sistem penguasaan lahan masyarakat, Pemerintah melalui aparatur penegak hukum dan bersenjatanya menopang kekuasaan perusahaan-perusahaan pemegang bukti formal meski terkadang diperoleh dengan mekanisme yang koruptif. Ini tampak kuat terjadi pada semua sektor konflik. Negara, tak hanya memfasilitasi perusahaanperusahaan untuk mengambil-alih tanah masyarakat, tetapi juga membangun mesin pencari keuntungan sendiri melalui PTPN-PTPN. Walhasil, perusahaanlah yang menjadi aktor utama yang berkonflik dengan masyarakat. Modus
Widiyanto: Potret Konflik Agraria di Indonesia .....: 15-27
yang digunakan oleh perusahaan untuk membungkam masyarakat yang memprotes perampasan lahan itu adalah dengan menggunakan aparat hukum seperti polisi (Brimob) dan TNI. Mereka juga menggunakan centeng atau preman bayaran. Penanganan konflik agraria oleh Pemerintah juga cenderung represif, sehingga alih-alih membuat konflik selesai, Pemerintah dan aparat penegak hukumnya bersama-sama perusahaan, justru melakukan pelanggaran hak asasi manusia, yaitu hak sipil politik ketika melakukan penanganan terhadap masyarakat yang menuntut hak atas tanah. Pelaku pelanggaran HAM juga meluas, tak hanya negara, aparatusnya, dan perusahaan, tetapi juga para individu yang menjadi pemimpin-pemimpin kampung. Konflik-konflik agraria tersebut akan terpelihara selama Pemerintah tidak melakukan langkah-langkah sebagai berikut: Pertama, moratorium atas semua perijinan untuk perusahaanperusahaan di bidang perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan pesisir. Kedua, menghentikan segala bentuk penanganan konflik dengan cara kekerasan. Ketiga, membentuk sebuah lembaga Penyelesaian Konflik Agraria yang bertugas mengidentif ikasi, menyelidiki, konflik-konflik agraria yang terjadi, case by case, dan memberikan rekomendasinya kepada pemerintah. Keempat, dari rekomendasi lembaga tersebut, pemerintah melakukan tindakan tegas berupa pencabutan maupun pembatalan izin-izin perusahaan tersebut, dan menindak secara pidana terhadap perusahaan maupun aparat pemerintah yang melakukan perampasan tanah rakyat. Kelima, melakukan review terhadap peraturan perundangundangan yang tumpang tindih di bidang sumber daya alam dan semua perizinan yang dikeluarkan di bidang sumber daya alam, dan Keenam, mengembalikan tanah-tanah hasil rampasan perusahaan maupun pemerintah kepada masyarakat sebagai pemiliknya. Keseluruhannya, dilak-
27
sanakan dalam kerangka menjalankan amanat TAP MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Daftar Pustaka Hedar Laudjeng, Hukum Kolonial di Negara Merdeka, paper diunduh dariwww.huma.or.id Noer Fauzi Rahman, 2012. Landreform Dari Masa Ke Masa, Yogyakarta: Tanah Air Beta dan Konsorsium Pembaruan Agraria. Gamma Galudra, dkk, 2006. Rapid Land Tenure Analysis; Panduan Ringkas Bagi Praktisi, World Agro Forestry-Asia Tenggara. Departemen Kehutanan dan Biro Pusat Statistik, 2007. Identif ikasi Desa Dalam Kawasan Hutan. Departemen Kehutanan dan Biro Pusat Statistik, 2009. Identif ikasi Desa di Dalam dan di Sekitar Kawasan Hutan. Wahyu Wagiman (ed), 2012. Prinsip-prinsip Panduan untuk Bisnis dan Hak Asasi Manusia: Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa, Perlindungan, Penghormatan dan Pemulihan, Jakarta: Elsam. Andi Muttaqien, dkk, 2012. UU Perkebunan: Wajah Baru Agrarische Wet; Dasar dan Alasan Pembatalan Pasal-pasal Kriminalisasi oleh Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Elsam.
ANATOMI KONSEP PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA: STUDI PERBANDINGAN ANTARA RANAH KEBIJAKAN DAN RANAH PERJUANGAN AGRARIA Kus Sri Antoro*
Abstract: This article is a conceptual idea of the comparison between a research finding and reality in the community related to the agrarian conflict resolution. The study is entitled Resolution Policy on Contemporary Agrarian Conflict, which is one of the systematic studies carried out by STPN in 2012; while the aforementioned reality in the society is gathered from records of the dynamics of agrarian conflict and struggle in several areas collected by Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA), which are published by FKMA and other official media. By exploring and comparing the conceptual ideas of the two written sources, this article is intended to map out the approaches and models of agrarian conflict resolution, especially according to the perceptions and interests of the three actors of agrarian political economy, namely the state, market and society. Keywords Keywords: agrarian resources, conflict, conflict resolution Intisari Intisari: Naskah ini merupakan gagasan konseptual atas perbandingan hasil penelitian dan kenyataan di masyarakat terkait penyelesaian konflik agraria. Penelitian yang dimaksud berjudul Kebijakan Penyelesaian Konflik Agraria Kontemporer, yang merupakan salah satu Riset Sistematis yang dilaksanakan oleh STPN pada tahun 2012, sedangkan kenyataan di masyarakat yang dimaksud berupa laporan-laporan mengenai dinamika konflik dan perjuangan agraria di beberapa daerah yang dihimpun oleh Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA), yang dipublikasikan oleh FKMA dan media resmi lainnya. Dengan menelusuri dan membandingkan gagasan-gagasan konseptual atas dua sumber tertulis tersebut, naskah ini bertujuan untuk memetakan berbagai pendekatan dan model penyelesaian konflik agraria, khususnya menurut persepsi dan kepentingan tiga aktor dalam ekonomi politik agraria, yaitu negara; pasar; dan masyarakat. Kata kunci kunci: sumberdaya agraria, konflik, penyelesaian konflik
A. Pengantar Pada 7 dan 10 Februari 2013 terdapat dua seruan kepada pemerintah yang berisi harapan agar konflik agraria segera diselesaikan. Seruan pertama berasal dari aliansi akademikus yang menamakan diri Forum Indonesia untuk Keadilan Agraria (FIKA)1 dan seruan kedua berasal dari
*Petani-peneliti dan Relawan di Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA). 1 FIKA adalah perhimpunan 153 akademikus yang memperhatikan masalah agraria atau menggeluti studi agraria, selanjutnya simak http://www.change.org/petitions/surat-terbuka-forum-indonesia-untuk-keadilan-agraria-kepada-presiden-republik-indonesia-untuk-penyelesaian-konflik-agraria.
aliansi akar rumput yang menamakan diri Forum Komunikasi Masyarakat Agraris (FKMA)2. Keduanya berangkat dari latar belakang yang berbeda, FIKA sebagai pengamat dan peneliti agraria dan FKMA sebagai pelaku dalam pusaran perubahan-perubahan agraria di pedesaan. Kedua seruan tersebut berangkat dari kegelisahan yang sama, yaitu konflik agraria tak kunjung selesai, meskipun payung hukum bagi kebi-
2
FKMA adalah wadah perjuangan organisasiorganisasi akar rumput (terutama petani) yang mandiri dan independen, dideklarasikan pada 22 Desember 2012 di Jogjakarta, saat ini mewadahi 15 organisasi di Jawa dan luar Jawa, selanjutnya simak www.selamatkanbumi.com
Kus Sri Antoro: Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik .....: 28-48
jakan penyelesaian konflik telah ada. Hingga kini, kedua seruan tersebut belum bersambut meskipun seruan keduanya telah sampai kepada yang dituju. Menurut Saleh et al. (2012) 3, seruan ini menunjukkan dua fakta, 1) alternatif kebijakan yang dipakai pemerintah tidak mencapai tujuan, 2) terdapat hal-hal di luar perhitungan pemerintah dalam implementasi kebijakan penyelesaian konflik agraria. Tercatat di dalam surat terbuka kepada Presiden RI bertanggal 7 Februari 20134, FIKA menuntut penyelesaian konflik agraria secara kelembagaan yang difasilitasi sebagai kebijakan. Dengan mempertimbangkan kepentingan pembangunan ekonomi, sebagaimana butir ke-3 surat tersebut: “Pembangunan ekonomi yang sehat memerlukan penataan penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam yang adil dan berkelanjutan sebagai basis penguatan ekonomi rakyat. Demikian pula diperlukan partisipasi masyarakat secara hakiki. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan kemauan politik yang sungguh- sungguh dan konsisten serta jaminan perlindungan hukum yang nyata terhadap kelompok masyarakat rentan, utamanya masyarakat tak bertanah (tunakisma) dan tidak memiliki akses terhadap tanah dan sumberdaya alam” aliansi akademikus ini menengarai bahwa pembaruan agraria belum dilaksanakan, terbukti bahwa: 1) peraturan perundangan terkait agraria banyak yang bertentangan secara substansi dengan UUD 1945; 2) sinkronisasi dan harmonisasi peraturan perundangan yang mengatur sumberdaya alam dan lingkungan hidup belum terjadi; 3) ketidaksinkronan antara peraturan percepatan pertumbuhan ekonomi (umumnya 3
Deden Dani Saleh, Widhiana H.P., Siti Fikriyah K., Kus Sri Antoro. 2012. Kebijakan Penyelesaian Konflik Agraria Kontemporer Dalam Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 (Hasil Penelitian Sistematis STPN 2012), AN. Luthfi (editor). Yogyakarta: PPPM. hlm109. 4 Dapat disimak pada http://www.kpa.or.id/ ?p=1158&lang=en
29
yang dirujuk adalah MP3EI) dengan peraturan perundangan yang mengatur sumberdaya alam dan lingkungan hidup; 4) peraturan daerah didominasi oleh peraturan dengan semangat yang eksploitatif dan bermotif jangka pendek; 5) kebijakan perijinan bagi usaha skala besar belum memperhatikan tata kelola yang baik; 6) konsentrasi penguasaan tanah pada segelintir orang/ badan hukum yang menimbulkan kesenjangan sosial di sektor agraria; dan 7) perjanjian-perjanjian bilateral/multilateral yang bertentangan dengan semangat keberlanjutan sosial/lingkungan hidup. Keenam butir inilah yang menjadi akar konflik agraria yang tak berkesudahan, demikian menurut FIKA. Berbeda dengan FIKA yang berangkat dari perspektif kebijakan, yaitu menempatkan ketiadaan reformasi hukum sebagai akar konflik agraria dan pelaksanaan reformasi hukum sebagai penyelesaian konflik agraria, melalui pernyataan sikap bertanggal 10 Februari 20135, FKMA bertolak dari perspektif bahwa pembangunan ekonomi (dalam persepsi pemerintah dan swasta) dan kebijakan terkait sumberdaya agraria justru merupakan pintu masuk bagi konflik agraria. Hal ini tampak dari butir pembuka pernyataan sikap mereka: “Membayangkan dunia tanpa petani/pertanian sama seperti membayangkan hidup tanpa pangan. Demikian pula, membayangkan negara yang abai pada rakyat sama seperti membayangkan negara tanpa kedaulatan… Atas nama pembangunan, negara dan perusahaan semakin gencar mengambil alih lahan petani. Atas nama kesejahteraan, petani secara perlahan dan teratur diubah menjadi buruh cadangan. Atas nama kepentingan umum, ruang hidup petani dipersempit bahkan dihilangkan untuk memperkaya segelintir konglomerat. Atas nama kemajuan, petani dikelabui untuk melepas hak hidupnya, melepas tanahnya, melepas pekerjaannya, 5
Dapat disimak di http://selamatkanbumi.com/ kongres-kedua-forum-komunikasi-masyarakat-agraris/
30
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
melepas jati dirinya, melepas kehormatannya sebagai rakyat, sebagai manusia… Hukum bukan lagi ruang di mana rakyat dapat menemukan keadilan, tetapi hukum menjadi pembenaran atas pelanggaran asasasas keadilan. Saat ini, pemerintah mencanangkan pengurasan kekayaan alam Indonesia dan pengusiran terhadap penduduk yang dianggap menghambat perluasan modal, dengan produk hukum/kebijakan yang membenarkan tindakan tersebut, antara lain : (1). UU No 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, (2) UU No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, (3) UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (4) PP No 32 Tahun 2011 tentang Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 20112015” Dengan mempertimbangkan bahwa 1) sejarah konflik agraria (struktural) turut membangun sejarah Indonesia, dan 2) konflik agraria akibat ketimpangan struktur penguasaan sumberdaya agraria hendak diselesaikan seturut cita-cita proklamasi kemerdekaan, FKMA menengarai bahwa konflik agraria yang tak kunjung usai boleh jadi bukan hanya karena berputar dalam lingkaran setan logika pemerintah, tetapi juga sengaja dirawat untuk mengukuhkan tatanan yang menguntungkan penguasa dan pengusaha. Sementara instrumen kelembagaan dan kebijakan sedang didorong agar dapat mewadahi kepentingan pasar dan sosial, praktik-praktik kerakusan terus menimbulkan kerusakan-kerusakan ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan masyarakat. Dan, di dalam dinamika konflik agraria itulah, lembaga-lembaga negara justru bertindak sebagai aktor kekerasan terhadap rakyat melalui aksi-aksi yang diatas namakan penegakan undang-undang, berupa kriminalisasi, teror, intimidasi, penculikan, dan penembakan terhadap petani/pejuang hak-hak rakyat. Sementara itu, ketika rakyat mempertahankan haknya atas ruang hidup, kepada rakyatlah label kekerasan disematkan. Menurut FKMA, tindakan rakyat dalam mempertahankan/merebut
kembali hak-haknya bukanlah kekerasan, melainkan perjuangan sebagaimana perjuangan bersenjata para pejuang kemerdekaan di jaman kolonial. Akar konflik agraria bukan terletak pada hukum yang tidak tegak, melainkan pada penindasan dan ketidakadilan akibat kejahatan korporasi, negara dan persekongkolan keduanya dalam pengurusan sumberdaya alam/agraria, demikian menurut FKMA. Jika perspektif akademikus dan akar rumput ini bertemu di satu titik, maka keduanya mungkin menyiratkan pesan bahwa konflik agaria merupakan tanda bahwa kemerdekaan bangsa belum tercapai; bukan hanya itu, bahkan merupakan tanda bahwa negara telah kehilangan kedaulatannya. Kemudian, apa yang diharapkan oleh kedua aliansi tersebut terkait penyelesaian konf lik agraria? Beberapa rekomendasi FIKA antara lain ialah mengusulkan kepada presiden RI untuk melakukan : 1) pelaksanaan mandat TAP MPR RI No. 9 Tahun 2001 secara konsisten dan memantau pelaksanaannya secara transparan; 2) mengupayakan penyelesaian konflik agraria secara berkesinambungan intensif, dan terkoordinasi dengan langkah-langkah tertentu; 3) menugaskan menteri Hukum dan HAM untuk memimpin pengkajian ulang terhadap seluruh peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan pengelolaan sumberdaya alam yang tumpang tindih dan bertentangan satu sama lain, dengan melibatkan akademisi dan masyarakat madani; 4) menugaskan pimpinan kementrian terkait dengan sumberdaya agraria dengan BPN untuk melakukan beberapa langkah, antara lain moratorium pemberian ijin pemanfaatan sumberdaya alam/hak atas tanah selama audit dilakukan oleh lembaga independen; mengemban kebijakan pencegahan dampak negatif dari konflik agraria dan terhadap lingkungan hidup; melaksanakan UU 14 Tahun 2008; 5) mendorong kementrian terkait BPN untuk mendukung
Kus Sri Antoro: Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik .....: 28-48
percepatan pembentukan UU yang mengatur pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, mendukung pemerintah daerah melakukan proses identif ikasi dan verif ikasi keberadaan masyarakat hukum adat; 6) menugaskan kepada menteri kehutanan untuk segera menyelesaikan konflik pada masyarakat yang berbatasan dengan kawasan hutan; dan 7) membentuk kementrian yang bertanggungjawab mengkoordinasikan kebijakan dan implementasi di bidang pertanahan, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup. Sedikit berbeda dengan rekomendasi FIKA yang bersifat mengusulkan dan menghimbau, beberapa rekomendasi FKMA yang dirumuskan dalam pernyataan sikap mereka lebih kuat nuansa politiknya, antara lain: 1) memaksa pemerintah untuk menghentikan kriminalisasi serta membebaskan petani dan pejuang hak-hak rakyat dari tahanan akibat konflik agraria; 2) memerintahkan kepada Presiden RI dan jajaran penyelenggara negara untuk mewujudkan hakhak rakyat atas sumberdaya agraria/ruang hidup; 3) memerintahkan kepada segenap penyelenggara negara untuk tidak membuat atau mencabut kebijakan yang menjadi legitimasi bagi perampasan hak rakyat, terutama hak atas sumberdaya agraria; dan 4) menyerukan korporasi untuk menghentikan segala upaya perampasan/ pengambilalihan lahan yang menjadi ruang hidup rakyat. Butir-butir rekomendasi tersebut dibangun atas kesadaran bahwa rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam NKRI dan negara sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan, mereka meletakkan kembali posisi rakyat di atas negara, dan meletakkan korporasi di bawah kendali negara. Perbandingan sikap politik antara FIKA dan FKMA dalam merumuskan akar konflik agraria dan cara menyikapinya cukup menggambarkan bahwa: posisi politik suatu aktor memengaruhi kerangka pemikiran dan metode yang dipilihnya.
31
Tentu saja, untuk membedah relasi dunia akademik dengan dunia gerakan akar rumput diperlukan studi lebih lanjut di luar konteks tulisan ini. Akan tetapi, pertanyaan- pertanyaan awal perlu diajukan: ketika secara nyata hukum adalah produk politik, sejauhmana hukum menjadi instrumen bagi penyelesaian konflik agraria yang adil bagi rakyat sebagai elemen terpenting dalam NKRI? Dan, seturut rekam jejak konflik agraria di nusantara (terutama untuk kawasan-kawasan hutan dan perkebunan), sejauhmana persoalan agraria dipandang sebagai akibat dari keberlanjutan model ‘pembangunan’ yang dipertahankan sejak jaman kolonial? Dan, dalam perspektif serta kepentingan siapakah penyelesaian konflik agraria didef inisikan, dirumuskan, dan diimplementasikan? Ilustrasi sikap politik FIKA dan FKMA menunjukkan bahwa pemahaman keagrariaan suatu pihak memengaruhi pemahaman pihak tersebut atas konflik agraria. Bagaimana konflik agraria ditakrifkan dan dipahami oleh suatu pihak akan bergantung pada bagaimana Reforma Agraria ditakrifkan dan dipahami oleh pihak tersebut6. Dengan demikian, Reforma Agraria (bukan Reformasi Agraria) menjadi kunci penting dalam studi tentang konflik agraria dan penyelesaian konflik agraria. B. Studi Perbandingan Seturut dengan tradisi akademik yang menjadi nafas FIKA, pada tahun 2012 STPN menyelenggarakan riset sistematis bertema Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21. Salah satu topik penelitian yang dipilih dalam tulisan ini sebagai bahan perbandingan adalah yang berjudul Kebijakan Penyelesaian Konf lik Agraria Kontemporer, untuk selanjutnya disebut riset Kebijakan STPN
6
Saleh et al. 2012. hlm 123
32
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
2012. Penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasi akar konflik agraria, pola-pola kebijakan penyelesaian konflik agraria, menilai efektif itas kebijakan tersebut di era reformasi, dan merumuskan rekomendasi untuk kebijakan penyelesaian konflik agraria. Dan, sebagaimana dengan perspektif FKMA, riset Kebijakan STPN 2012 melihat bahwa aktor ekonomi politik dalam dinamika konflik agraria tidak dapat dilepaskan dari posisi dan peran negara, pasar, dan masyarakat. Riset Kebijakan STPN 2012 dilandasi oleh argumentasi awal sebagai berikut: 1) kebijakan dan konf lik agraria telah berlangsung jauh sebelum proklamasi kemerdekaan, setidaknya bersamaan dengan kolonialisme7. Bermula dari pemutusan hubungan-hubungan agraria secara paksa oleh pemerintah kolonial kepada pribumi melalui kebijakan-kebijakan agraria yang menguntungkan perusahaan baik negara/swasta, konflik agraria hadir sebagai respons rakyat atas kebijakan agraria negara dari jaman ke jaman. 2) ketika konflik agraria adalah bentuk respons (antitesis) dari kebijakan agraria (tesis), maka penyelesaian konflik agraria dihadirkan oleh negara sebagai sintesis, namun, dalam situasi tertentu, apa yang dimaksudkan sebagai sintesis ini belum beranjak dari tesis pendahulunya sehingga kembali menarik kehadiran antitesis. Riset lapang penelitian ini berlangsung antara 28 Mei-2 Juni 2012 dan dilakukan dengan pendekatan konstruksi sejarah kebijakan agraria, penelusuran informasi (studi literatur, studi arsip, wawancara kepada beberapa pengambil kebijakan di lembaga-lembaga terpilih, dan studi kasus), dan triangulasi data yang bersumber pada keduanya. Identifikasi permasalahan yang ditemukan melalui riset Kebijakan STPN 2012 disajikan dalam Tabel 3 dan diuraikan lebih mendalam pada penjelasannya. 7
Saleh et al. , 2012. hlm 110-111
Di sisi lain, konflik-konflik agraria di lapangan masih berlangsung hingga kini, tidak hanya mengakibatkan kerusakan-kerusakan tetapi juga melahirkan wacana-wacana akar rumput tentang apa yang seharusnya dilakukan. Sebagai kasus uji terhadap hasil riset Kebijakan STPN 2012 tersebut, argumentasi dalam catatan konflik-konflik agraria yang terjadi di Banten, Jawa Barat (penambangan air)8; di Kulon Progo, DIY (penambangan pasir besi)9; di Sidoarjo, Jawa Timur (lumpur PT LAPINDO Brantas)10, dan di Ogan Ilir, Sumatera Selatan (perkebunan PTPN VII)11 dipilih sebagai wacana pembanding. Keempat komunitas tersebut diwadahi oleh FKMA. Identifikasi permasalahan disajikan dalam Tabel 4 dan diuraikan lebih mendalam pada penjelasannya. Perbandingan antara temuan-temuan penelitian riset Kebijakan STPN 2012 dan temuantemuan pencermatan akar rumput atas konflikkonflik agraria di daerah-daerah tersebut di atas, disajikan dalam Tabel 5 dan diuraikan lebih mendalam pada penjelasannya. Agar memperoleh pengetahuan yang lebih komprehensif dan dapat menyumbang kritik akademis atas artikel ini, pembaca disarankan untuk membaca terlebih dahulu tulisan-tulisan yang menjadi sumber studi perbandingan dalam artikel ini dan/atau
8
Berdasarkan artikel berjudul Kronologi Perlawanan Warga Padarincang versus Aqua Danone, ditulis oleh GRAPPAD (Gerakan Rakyat Anti Pembangunan Pabrik Aqua Danone), dapat disimak di http:// selamatkanbumi.com/kronologi-perlawanan-wargapadarincang-vs-aqua-danone/ 9 Berdasarkan artikel berjudul Bertani atau Mati, ditulis oleh Kus Antoro, dapat disimak di http:// selamatkanbumi.com/bertani-atau-mati/ 10 Berdasarkan artikel berjudul Refleksi Perlawanan Porong, ditulis oleh Rere, dapat disimak di http:// selamatkanbumi.com/refleksi-perlawanan-porong/ 11 Berdasarkan artikel Risalah Kasus dan Riwayat Tanah Warga Rengas (dipublikasikan dalam cetak), ditulis oleh Mukhlis.
Kus Sri Antoro: Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik .....: 28-48
tulisan lain yang dirujuk dalam artikel ini12. Artikel ini memberikan penjelasan yang sangat terbatas karena pembatasan ruang. Di Indonesia, kapitalisme bermula hampir bersamaan dengan kolonialisme, dan secara nyata mengemuka sebagai sejarah agraria. Sejarah agraria tidak lain merupakan sejarah konflik struktural, yaitu konflik yang melibatkan rakyat berhadapan dengan kekuatan modal dan/ atau instrumen negara (dalam tulisan ini diistilahkan sebagai negara-korporasi) memperebutkan alat produksi berupa tanah/sumberdaya alam. Studi Kartodirjo dan Suryo (1991) tentang perkebunan menunjukkan bahwa di Indonesia, relasi kekuasaan antara modal dan negara untuk mengukuhkan ekonomi politik kapitalisme sudah dimulai sejak jaman kolonial, sebagai bukti: negara merupakan instrumen dalam penetrasi, akumulasi, dan ekspansi modal berbasis sumberdaya alam. Akibatnya, terbentuk dua kutub kekuatan, 1) korporasi dan negara yang hendak menempatkan kapitalisme sebagai satusatunya kekuatan ekonomi politik dan 2) kekuatan sosial yang dirugikan oleh kapitalisme. Kedua kekuatan itu bertemu dalam perebutan 1) ruang dan alat produksi secara material; 2) arena kekuasaan di ranah kebijakan; dan 3) wacana untuk legitimasi sosial. Di dalam kontestasi kekuasaan antara kekuatan ekonomi politik kapitalisme dan kekuatan sosial inilah, konflik struktural lahir dan mengemuka. Pemodal, baik pada masa kolonial maupun pascakolonial, berkemampuan untuk mengubah relasi-relasi agraria dalam masyarakat, yang membawa konsekuensi bahwa tanah/ruang hidup/sumberdaya alam harus berelasi dengan pasar, sehingga modal dan tenaga kerja sebagai penggerak moda produksi adalah kebutuhan agar kapitalisme berlangsung. Kekuatan sosial yang dirugikan oleh kapitalisme melakukan perlawanan, baik terorganisasi (well organized) seperti serikat-serikat yang diini-
33
siasi oleh kaum intelektual di tingkat akar rumput, maupun tidak terorganisasi secara modern seperti ditunjukkan oleh James C. Scott dalam perlawanan keseharian. Corak-corak perlawanan bervariasi tergantung dari bentuk kapitalisme yang dihadapi; aktor yang dihadapi; struktur sosial (masyarakat) di mana konflik struktural itu berlangsung; dan kesempatan politik yang dipunyai oleh rakyat. Dan, dalam berbagai bentuknya, negara dan/atau korporasi melakukan penghentian perlawanan sosial itu, baik secara fisik; regulasi; politik identitas; pengorganisasian kekerasan; atau pelabelan dan pewacanaan bagi mereka yang menolak patuh sebagai: musuh bersama. Pertarungan kekuasaan antara kapitalisme dengan rakyat tak jarang juga diramaikan dengan perang wacana yang akan menentukan legitimasi (pembenaran): siapa yang dibenarkan secara sosial untuk menentukan perubahan lingkungan dan sosial, lalu mereproduksi wacana itu untuk kepentingannya. Tulisan ini akan mengangkat tiga pendekatan, yaitu Pendekatan Hak; Pendekatan Akses; dan Pendekatan Ekososiologi, dalam membandingkan hasil Riset Kebijakan STPN 2012 dengan kertas-kertas kerja akar rumput sebagai kasus uji. Dengan harapan, dapat tergambarkan secara teoritis: sejauhmana penyelesaian konflik yang diusulkan kepada pemerintah atau dirumuskan oleh pemerintah telah menjadi bagian dari solusi. 12
Antara lain: 1) Membangun Gerakan Petani Mandiri, ditulis oleh Guruh Dwi Riyanto, http://www.portalkbr.com/berita/saga/2526669_4216.html; 2) Akar Rumput Menuju Kemandirian, ditulis oleh Sita Magfira dan Suluh Pamuji, http://indoprogress.com/akar-rumput-menujukemandirian/; 3) Merawat Nafas Panjang Perjuangan Agraria, ditulis oleh Udin Choirudin, http://selamatkanbumi.com/merawat-nafas-panjang-perjuangan-agrariarisalah-kongres-ii-forum-komunikasi-masyarakat-agrarisfkma/; 4) Dari Gunawan Wiradi untuk Kawan-kawan FKMA, ditulis oleh Gunawan Wiradi, http://selamatkanbumi.com/surat-dari-gunawan-wiradi-untuk-fkma/.
34
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
C. Kerangka Teori 1. Pendekatan Hak Milik Locke memandang kepemilikan sebagai klaim moral atas hak-hak yang muncul dari pencampuran tenaga kerja dan tanah13, sedangkan pendapat oposannya, Marx 14, memandang bahwa kepemilikan adalah pencurian (theft). Berbeda dengan Locke dan Marx, Proudhon15 dan MacPherson16 memandang kepemilikan bukan sesuatu yang alami (natural), melainkan klaim yang memperoleh legitimasi sosial. Peluso dan Ribot17 mengemukakan bahwa hak kepemilikan dikendalikan oleh sekelompok hak (a bundle of rights), yang dicirikan dengan penguasaan si pemilik hak untuk memiliki, menggunakan, mewariskan, dan memindahkan penguasaannya kepada pihak lain. Lebih lanjut, Schlager dan Ostrom (1992) membuat uraian atas a bundle of rights itu sebagai berikut: 1. Hak atas akses (rights of access), yaitu hak untuk memasuki wilayah tertentu, berlaku bagi pemanfaat yang diijinkan (authorized users), pemakai atau penyewa (claimant), kepunyaan (propeitors), dan pemilik (owners). 2. Hak pemanfaatan (rights of withdrawal), yaitu 13
…property as the moral claim to rights arising from mixing of labor with land (Peluso dan Ribot, 2003:156). 14 Property is appropriation, thus the rights that derived from combining labor and land or resource use were superceded by state backed institutions of property, causing him (Marx) to regard property as theft (Ibid: 156-157) 15 One author teaches that property is a civil rights, based on occupation and sanctioned by law; another holds that it is a natural rights, arising from labor, and these doctrines, though they seem opposed, are both encouraged and applauded. I (Proudhon) contende that neither occupation nor labor nor law can create property, which is rather an effect without cause (Ibid:155). 16 …a right in the sense of an enforceable and supported by society through law, custom, or convention (Ibid). 17 Peluso, N.L. and J.C. Ribot. 2003. A Theory of Access. Rural Sociology 68 (2) , pp 153-181.
hak untuk mengambil manfaat atas sesuatu dari suatu tempat, berlaku bagi pemakai dan penyewa, kepunyaan, dan pemilik. 3. Hak pengelolaan (rights of management), yaitu hak untuk mengatur pola pemanfaatan dan mengubah sumberdaya yang ada untuk tujuan tertentu, berlaku bagi pemakai atau penyewa, kepunyaan, dan pemilik. 4. Hak pembatasan (rights of exclusion), yaitu hak untuk membatasi akses pihak lain terhadap sesuatu dan membuat aturan pemindahan hak ini, berlaku bagi kepunyaan dan pemilik. Hak milik merupakan hak tertinggi karena hanya pemilik yang mempunyai hak untuk melepaskan penguasaannya kepada pihak lain. 2. Pendekatan Akses Menurut Peluso dan Ribot (2003), jika hak kepemilikan dikendalikan oleh sekelompok hak (a bundle of rights), maka akses dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan (a bundle of powers). Kekuasaan lebih berperan daripada klaim dalam pengambilan manfaat atas suatu sumberdaya. Sekelompok orang mungkin tidak mempunyai hak menurut hukum yang berlaku, namun kekuasaan yang melekat padanya memungkinkannya untuk mengakses sumberdaya, bahkan membuat klaim kepemilikan atau menentukan struktur penguasaan atas sumberdaya. Kekuasaan kemudian menjadi konsep penting untuk menelaah struktur penguasaan sumberdaya dalam perspektif kelas, ranah di mana konflik penguasaan sumberdaya sering berlangsung. Perbedaan perspektif kekuasaan dalam akses SDA antara Teori Hak Kepemilikan (Theory of Property Rights) dan Teori Akses (Theory of Access) disajikan dalam Tabel 1.
Kus Sri Antoro: Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik .....: 28-48
Tabel 1. Perbedaan Theory of Property Rights dan Theory of Access Sumber
Schlager dan Ostrom (1992) Theory of Property Rights
Konsep kunci
A bundle of rights
A bundle of Ribot dan power Peluso (2003) Theory of Access
Konsekuensi Hak adalah faktor yang menentukan akses SDA seseorang atau sekelompok orang. Hak tertinggi terdapat pada aktor yang berkuasa melepaskan penguasaannya atas SDA. Kepastian hukum diperoleh dari kemelekatan hak pada seseorang atau sekelompok orang atas SDA. Kekuasaan adalah faktor yang menentukan akses SDA seseorang atau sekelompok orang. Hak adalah klaim yang memperoleh legitimasi sosial. Kepastian hukum merupakan arena kekuasaan, pihak yang tidak dilekati hak tetap dapat melakukan akses melalui kekuasaannya.
Sumber: Peluso dan Ribot (2003) dan Schlager dan Ostrom (1992) 3. Pendekatan Ekososiologi Istilah Ekososiologi muncul dalam kumpulan karya terpilih Sajogyo yang menyoroti perubahan-perubahan agraria, terutama di pedesaan, yang berangkat dari suatu upaya untuk mengurai benang kusut pembangunan18. Beberapa karya Sajogyo sebelumnya, seperti Modernization Without Development dan Pertanian, Landasan Tolak bagi Pengembangan Bangsa berangkat dari argumentasi bahwa ketimpangan struktur penguasaan sumberdaya agraria tidak selesai semata-mata dengan kepastian hak yang dimotori dengan modernisasi19. Mengkritisi revolusi hijau, Sajogyo berpendapat bahwa modernisasi justru tidak berdampak pembangunan, padahal dalam tradisi wacana fungsionalisme/modernisme keduanya selalu identik. Studi Sajogyo dikenal berusaha memosisikan kelas terbawah dalam struktur penguasaan sumberdaya agraria sebagai aktor yang penting, memunculkannya dalam diskursus: siapa yang paling berhak menikmati hasil atas pembangunan dan perubahan-perubahan
18
Sajogyo. 2006. Ekososiologi. Sains, Sekretariat Bina Desa, Cindelaras Pustaka Cerdas. Yogyakarta. 19 Tulisan ini hadir sebagai Kata Pengantar dalam Involusi Pertanian (Geertz, 1983).
35
agraria: rakyat atau korporat?20 Apa yang menjadi prioritas utama dalam pembangunan dan perubahan-perubahan agraria: keberlanjutan atau pertumbuhan sesaat? Bagaimana pembangunan dan perubahan-perubahan agraria yang bermanfaat luas akan dimulai: mengutamakan dorongan modal sosial atau mengutamakan tarikan kapital? Meskipun belum diangkat sebagai sebuah teori, Ekososiologi yang dirintis oleh Sajogyo dalam beberapa hal sejalan dengan pendekatan Political Ecology, seperti halnya ditunjukkan oleh Watts dalam Robbins, bahwa ekologi politik adalah21:
An approach to understand the complex relations between nature and society through a careful analysis of what one might call the forms of access and control over resources and their implications for environmental health and sustainable livelihoods. Tentu saja, pendekatan Ekososiologi kental dengan nuansa ekonomi politik. Konf lik dan penyelesaian konflik, dalam pendekatan ekososiologi, perlu dipikirkan kembali. Konflik hadir bukan sebagai sebab, melainkan sebagai akibat pertemuan dua subyek lengkap dengan kepentingan dan posisinya dalam relasi lingkungan-sosial, mengarah aksi-reaksi yang cenderung menegasikan. Dalam konflik struktural, subyek itu adalah rakyat berhadapan dengan negara dan/atau korporasi. Menggunakan pendekatan ekososiologi, klaim atas suatu sumberdaya harus diletakkan kembali dalam sejarah kemunculan klaim itu. Sebagai misal, menjawab siapa yang berhak atas sumberdaya agraria di masa kolonial di nusantara; pendekatan hak akan memunculkan jawaban tegas: mereka yang diakui oleh pemerin20
Sajogjo. 1982. Modernzation without Development. The Journal of Social Studies, Dacca (Bangladesh). 21 Robbins, Paul. 2004. Political Ecology A Critical Introduction. Blacwell, Malden.
36
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
tah kolonial dan dikuatkan dengan tanda bukti ‘kepemilikan’ hak adalah pihak yang berhak. Namun, pendekatan ekososiologi akan memunculkan jawaban jelas: mereka yang telah menempati dan memanfaatkan sumberdaya agraria sebelum kolonial tiba adalah pihak yang berhak. Demikian pula dalam penyelesaian konflik, pendekatan hak akan mengutamakan penegakan hukum positif di atas semua cara penyelesaian yang ada, artinya dalam kasus tersebut di atas, pemerintah kolonial selalu benar. Pendekatan ekososiologi akan mendahulukan keadilan sebelum hukum, artinya kepentingan sosial dan pengolah sumberdaya agraria merupakan subjek yang harus difasilitasi sekalipun fasilitas itu nanti akan muncul sebagai hukum positif. Di masa kolonial, kolonialisme adalah sebab, konflik agraria adalah akibat. Penyelesaiannya kolonialisme harus diakhiri, dan ditata kembali pembaruan struktur penguasaan sumberdaya agraria (dikenal sebagai reforma agraria yang diperjuangkan melalui UUPA). Di masa pascakolonial, terlebih di era reformasi, kapitalisasi sumberdaya agraria adalah sebab, konflik agraria adalah akibat. Penyelesaiannya adalah mengganti model-model penyelesaian yang mendukung kapitalisasi sumberdaya agraria, meskipun bentuk penyelesaian itu belum terpikir oleh pengambil kebijakan. Tabel 2. Perbandingan Teoritis atas diskursus tentang Konflik Agraria dan Penyelesaiannya22 Parameter
PENDEKATAN TEORITIS Hak Akses Ekososiologi (a bundle of rights) ( a bundle of powers) Sumber Ketidakpastian Hak Ketimpangan Ketimpangan konflik akses penguasaan Tercipta kepastian Tercipta peluang Demokratisasi Tujuan penyelesaian hukum yang seimbang struktur agraria Instrumen Hukum positif Kontrak Kelembagaan sosial Bentuk Sertifikasi Pembukaan Keputusan yang penyelesaian Akses mengedepankan kepentingan sosial dan ekosistem Konsekuensi Terbuka pada pasar Berbagi otoritas Terbuka pada hak tanah milik komunal Exclussion
Sumber: Sajogjo (2006); Peluso dan Ribot (2003) dan Schlager dan Ostrom (1992) 22
Data diolah dari buku Peluso dan Sajogyo.
Riset Kebijakan STPN 2012 menemukan permasalahan seputar kebijakan penyelesaian konflik agraria. Secara umum, konflik berlangsung di dalam persaingan kepentingan Negara; Pasar; dan Masyarakat. Negara memandang agraria sebagai ruang dan isinya yang merupakan entitas tak terpisahkan dari kekuasaan sistem politik bernama nation- state. Sebagai kesatuan kekuasaan, hukum dan kebijakan merupakan alat kontrol atas perubahan-perubahan agraria, dengan demikian kepastian hukum adalah syarat mutlak agar kebijakan dapat dijalankan. Konflik hadir sebagai akibat dari hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, pemerintah sebagai wakil institusi negara mempunyai wewenang untuk mengatur bagaimana konflik akan diselesaikan, salah satu bentuknya adalah penertiban administrasi pertanahan (sertif ikasi). Pasar memandang agraria sebagai komoditas yang merupakan bagian tak terpisahkan dari mesin pertumbuhan ekonomi. Sebagai pondasi kekuatan ekonomi, pengubahan sumberdaya agraria menjadi nilai lebih akan ef isien ketika hak telah pasti. Kepastian hak akan menjadi jaminan bagi iklim investasi yang baik. Logika pasar dan negara bertemu pada gagasan pembangunan dan/atau pertumbuhan modal yang difasilitasi dengan kepastian hak; perbedaannya, pasar percaya bahwa tanpa kebijakan negara pun moda produksi tetap menggeliat, menumbuh-kembangkan modal. Penertiban administrasi penting sebagai mekanisme pengalihan hak dari publik ke privat melalui pasar tanah. Masyarakat memandang agraria sebagai ruang di mana relasi-relasi kekuasaan bertemu dalam berbagai kepentingan. Agraria bukan hanya berfungsi privat, misalnya tanah warisan; tetapi juga berfungsi sosial; misalnya sumber mata pencaharian/penghidupan. Dalam perspektif masyarakat, ada struktur penguasaan agraria yang timpang, hak masyarakat atas sumberdaya
Kus Sri Antoro: Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik .....: 28-48
agraria tidak diakui dan akses masyarakat terhadapnya ditutup. Struktur penguasaan inilah yang harus dirombak, dan bukan pada siapa aktor yang kepadanya akan dilekatkan hak. Upaya penertiban administrasi hanya akan melestarikan konflik sejauh upaya itu memelihara ketimpangan struktur penguasaan agraria. Tabel 3 Identifikasi permasalahan yang ditemukan riset sistematis STPN 2012 tentang Kebijakan Penyelesaian Konflik Agraria Kontemporer23 Unsur-unsur agraria Subyek dalam konflik agraria Hal yang direform
Negara Ruang (tanah, air, udara) dan isinya Hukum dan Kebijakan
Pasar
Kelompok Masyarakat
Komoditas berbasis ruang
Relasi-relasi kekuasaan
Ketidakpastian Hak dan Akses
Struktur penguasaan Landreform Dipandu Organisasi Masyarakat (by leverage) Pemerataan distribusi ruang, pengakuan kelembagaan atas wilayah adat
Pendekatan
Landreform Dipandu negara
Landreform Dipandu pasar
Tujuan
Kepastian hukum melalui tertib administrasi
Jaminan keamanan investasi
Pelaku utama
Lembaga negara
Badan usaha didorong Badan Finansial Internasional
Lembaga masyarakat
Realisasi
Sertifikasi
Sertifikasi Pasar tanah
Sertifikasi, Pluralisme hukum (dalam beberapa hal)
Sumber: Saleh et al. (2012) Kertas kerja akar rumput yang dihimpun oleh FKMA menemukan permasalahan-permasalahan yang sedikit berbeda dengan Riset Kebijakan STPN 2012. Secara umum, kertas kerja ini menemukan hubungan mutualistik antara negara dan korporasi dalam menafsirkan, mengatur, dan mengelola agraria. Hubungan mutualistik ini dengan sendirinya menyingkirkan masyarakat yang secara normatif merupakan pemegang kedaulatan tertinggi NKRI dan merusak lingkungan/ruang hidup masyarakat; sehingga, diistilahkan oleh FKMA sebagai kejahatan negara-korporasi. Hubungan ini dilegitimasi oleh hu-
23
Deden dkk., op.cit.
37
kum dan kebijakan, baik berupa Ijin Bupati (Banten), Kontrak Karya dan UU No 13 Tahun 2012 (Kulon Progo), Peraturan Presiden (Sidoarjo), maupun Hak Guna Usaha (Ogan Ilir). Hukum dan kebijakan tersebut bekerja dalam logika yang sama: negara adalah penentu hubungan agraria semua pihak, dan kepastian hak dibutuhkan untuk mengamankan investasi atas sumberdaya agraria. Tidak berbeda dengan temuan Saleh et al. (2012), akar rumput menempatkan agraria sebagai ruang hidup dan sumber penghidupan, karenanya agraria tidak tergantikan. Pembebasan lahan, baik itu melalui mekanisme transaksi maupun perampasan, bukan sebuah pilihan bagi masyarakat yang ruang hidupnya telah/akan hilang karena suatu moda produksi/ agenda pembangunan. Berbagai upaya legal formal dan intraparlementer untuk menyelesaikan konflik agraria structural telah dilakukan masyarakat, tetapi kandas oleh narasi hukum dan ketidakmauan politik pemerintah untuk menyelesaikan konflik. Karena konflik antara masyarakat dan negara-korporasi bersifat saling menegasikan, win win solution tidak dipandang sebagai solusi bagi kelompok masyarakat ini. Konflik usai jika akar konflik dihilangkan, yaitu hubungan mutualistik negara dan korporasi, bentuk penyelesaian konfliknya ialah pembatalan legitmasi dan praktik-praktik kelanjutannya. Istilah “memperpanjang nafas perjuangan” dan “mengutamakan kemandirian pemikiran dan gerak” muncul sebagai strategi sekaligus konsep tanding bagi penyelesaian konflik agraria a la negara-koporasi, sebagaimana diungkapkan oleh Magf ira dan Pamuji (2013), Riyanto (2013), Choirudin (2013) dan Wiradi (2013).
38
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Tabel 4 Identifikasi permasalahan yang ditemukan oleh akar rumput (FKMA) Unsur-unsur agraria Akar konflik Aktor penyebab konflik
Banten
Kulon Progo
Sidoarjo
Ogan Ilir
Kejahatan negara-koporasi terhadap sumberdaya agraria PT Lapindo PTPN VII Kasultanan dan Pemerintah Brantas Pakualaman Daerah Pemerintah Daerah I PT Aqua Golden dan II Missisipi PT Indomines Ltd. Tanah ulayat yang Semburan Perubahan fungsi Basis material Okupasi lahan diubah statusnya lumpur akibat kawasan dari yang menjadi oleh korporasi pengeboran PT menjadi HGU, sumber konflik untuk industri air pertanian dan total areal tebu pemukiman menjadi Lapindo mineral 2.354 ha, lahan Brantas (29 pertambangan, sengketa 1.529 ha. Mei 2006) dilegalisasi dengan Kontrak Karya Pertambangan (4 November 2008) Perpres HGU atas tanah Perda DIY No 2 Kebijakan Surat Izin Bupati 14/2007 ulayat Tahun 2010, tentang yang menjadi dengan nomor Perpres Surat Gubernur No RTRW sumber konflik 593/Kep.50593.83/6623/I/200 UU No 13 Tahun 2012 48/2008 Huk/2007 0 kepada Melegalkan akuisisi Melegalkan Kementrian lahan untuk Warga harus akuisisi lahan BUMN, agar tambang pasir besi. menjual tanah untuk tambang mengembalikan ke PT. air. lahan dan LAPINDO memberi kompensasi pada warga. Upaya penyadaran Warga Pembebasan Jual beli tanah Upaya hukum dan diharuskan lahan Pendaftaran tanah penyelesaian perbaikan menjual tanah Kasultanan/Pakuala konflik agraria manajemen PTPN kepada PT man pemerintah/pe VII, unit usaha PG Penerbitan UU No 13 Lapindo rusahaan Cinta Manis Tahun 2013, Perda DIY No 2 Tahun 2010 Pembayaran tanah dan bangunan melalui APBN Okupasi dan Penuntutan Upaya legal formal Penyikapan Menuntut Penyelidikan ganti rugi (2007-2012) dan Masyarakat pencabutan surat status tanah oleh kepada PT selalu kandas izin No Lapindo (2006- masyarakat Tetap bertani di 593/Kep.50Mendesak 2011) Huk/2007 tentang lahan yang penyelesaian lewat Penuntutan ditetapkan sebagai izin lokasi jalur hukum dan bedhol desa konsesi pembangunan tidak ditanggapi. kepada pertambangan, agar Pabrik Danone pemerintah investor oleh PT. Tirta mempertimbangkan (2013) Investama. untuk tidak Demonstrasi dan mempertahankan mengambil risiko kerugian. lahan
Sumber: GRAPPAD (2013); Antoro (2012); Mukhlis (2013) dan Rere (2013)
Kus Sri Antoro: Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik .....: 28-48
Apa yang dibayangkan sebagai penyelesaian konflik agraria oleh pemerintah di ranah kebijakan ternyata tidak bekerja sebagai solusi di lapangan. Permasalahannya bukan terletak pada sejauhmana kebijakan penyelesaian konflik itu efektif dan efisien, melainkan pada sejauhmana kebijakan penyelesaian konflik itu benar-benar menjadi solusi sejak dalam ranah arena kebijakan (bukan pada narasi/implementasi kebijakan). Ranah arena kebijakan berbeda dengan ranah narasi/implementasi kebijakan, ranah pertama dapat diterjemahkan sebagai arsitektur konsep dan arah kebijakan; sedangkan ranah kedua adalah strukturisasi konsep dan arah kebijakan tersebut. Mayoritas kebijakan penyelesaian konflik agraria di Indonesia belum menyentuh akar konflik agraria; sekalipun hal ini dibantah oleh pemerintah, bukti di lapangan justru berbicara sebaliknya: kebijakan penyelesaian konf lik menjadi bagian dari pemeliharaan konf lik. Kertas kerja akar rumput di FKMA maupun Riset Kebijakan STPN 2012 menunjukkan hal itu, terutama ketika menjawab: apa akar konflik agraria? Pendekatan Hak tampaknya ditinggalkan oleh akar rumput dalam pembangunan wacana untuk memperjuangkan hak atas agraria, baik itu diwujudkan sebagai penutupan paksa alat produksi korporasi; tuntutan pencabutan ijin pemerintah pada korporasi; penolakan bentukbentuk legitimasi untuk perampasan ruang hidup; dan okupasi lahan untuk meneruskan penghidupan. Pendekatan akses, yang dipromosikan oleh Peluso dan Ribot sebagai Teori Akses, tampaknya menjadi landasan bagi akar rumput untuk menyelesaikan konflik agraria struktural dengan caranya sendiri. Sedangkan Pendekatan Ekososiologi tampaknya menjadi landasan teoritik untuk melegitimasikan posisi akar rumput dan ruang hidupnya dalam pusaran konflik agraria struktural.
39
Tabel 5 Perbandingan argumentasi tentang konflik agraria dan penyelesaian konflik agraria Parameter Dimensi material akar konflik agraria
Dimensi Immaterial akar konflik agraria
Hasil penelitian Riset Kebijakan STPN 2012 Komoditas berbasis sumberdaya: Pasir besi, air, tanaman, gas bumi Ketidakpastian hukum Ketimpangan akses
Pendekatan Pendekatan Hak penyelesaian konflik Pendekatan Akses agraria Strategi penyelesaian Kebijakan konflik
Kertas kerja FKMA Ruang hidup Sarana penghidupan (air , tanah, dan alat produksi) Kesehatan lingkungan Keberlanjutan ekonomi Relasi sosial Identitas lokal Akses Ekososiologi Okupasi dan Memperpanjang nafas perjuangan
Sumber: Rere (2013), Mukhlis (2013), GRAPPAD (2013), Antoro (2012), dan Saleh et al. (2012) Dengan membandingkan argumentasi yang muncul dalam Riset Kebijakan STPN 2012 dan kertas kerja FKMA, artikel ini hendak menyasar pada isu penyelesaian konflik agraria dengan pertanyaan-pertanyaan panduan sebagai berikut: 1. Apa makna agraria bagi negara, pasar, atau masyarakat; dan mengapa demikian? 2. Apa akar konflik agraria menurut negara; pasar; dan masyarakat? 3. Apakah upaya-upaya ‘penyelesaian konflik’ yang dirumuskan dan/atau dijalankan oleh negara, pasar, atau masyarakat sudah menjadi bagian dari penyelesaian, atau justru menjadi bagian dari persoalan baru yang harus diselesaikan; dan mengapa demikian? D. Analisis Gillian Hart24 dalam Development Debates in the 1990s: Culs de Sac and Promising Paths, mengembangkan kerangka analisis pembangunan dengan ‘memisahkan sejenak’ dan ‘memadukan kembali’ antara kebijakan pembangunan (pembangunan dalam huruf “P” besar) dan proses operasi pembangunan kapitalisme (pembangunan dalam huruf “p” kecil). Pembangun24
Hart, G. Development Debates in the 1990s: Culs de Sac and Promising Paths,Progress in Human Geography 25,4 , pp. 649–658, 2001
40
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
an—dalam pemahaman pengambil kebijakan,
kemacetan25. Lebih lanjut, Harvey menegaskan
sesungguhnya suatu proyek intervensi negara-
bahwa perubahan besar di dalam sejarah sosial,
negara ‘dunia pertama’ pascaperang dunia II yang
dikaitkan dengan diskursus (P)embangunan
diterjemahkan sebagai suatu perencanaan
dan (p)embangunan di Indonesia, dapat dilacak
(p)embangunan investasi dengan akuisisi ruang-
dari enam hal pokok yang saling terhubung dan
ruang baru di negara-negara bersumber daya
memengaruhi, yakni perubahan teknologi, relasi
alam dan manusia yang melimpah, untuk meli-
dengan alam, modus produksi, konsumsi sehari-
patgandakan keuntungan skala besar bagi kepen-
hari, mental conception, dan relasi sosial.
tingan investasi tersebut (produksi ruang). Akui-
Levebre (2000) dalam Harvey26 mengungkapkan bahwa daya hidup kapitalisme terjaga melalui penciptaan perluasan ruang (production of space), sebagaimana pendapatnya di sumber lain:
sisi dan produksi ruang ini tidak lagi menggunakan cara-cara imperialisme kuno, yaitu invansi militer, melainkan memanfaatkan kekuatan dari dalam negara-negara ‘dunia ketiga’, yaitu penyelenggara negara (acquisition through state intervention), dengan menggunakan logika (P)embangunan dan Peningkatan Kesejahteraan. Model lain dari intervensi ini adalah dengan dukungan Badan-badan Internasional yang menitikberatkan pada program-program penertiban administrasi pertanahan untuk kebutuhan pasar tanah (acquisition through market intervention). Kebijakan pembangunan di Indonesia, teruta-
According to Marx’s early works, production is not merely the making of products. ..it also signifies the self-production of the “human being” in the process of historical selfdevelopment, which involves the production of social relations. Finally, in its fullest sense, the term embraces re-production . . . [this] being the outcome of a complex impulse rather than of inertia or passivity; this impulse . . . this praxis and poiesis does not take place in the higher spheres of a society (state, scholarship, “culture”) but in everyday life (2000 [1971]:30" 27
ma menjelang abad ke-21, ditandai oleh opera-
Selanjutnya, Levebre mengungkapkan:
sionalisasi kekuatan-kekuatan struktural dari
“capitalism has found itself able to attenuate (if not resolve) its internal contradictions . . . by occupying space, by producing a space”.
agen-agen pasar baik transnasional maupun nasional, yang bekerja melalui Badan-badan Internasional, untuk meneruskan akumulasi modal, sebagai contoh adalah keharusan menerapkan SAPs dalam LoI IMF 1998. Logika kapitalisme mengharuskan modal harus berputar (dijalankan dalam moda produksi) agar meng-
Levebre menganjurkan untuk waspada terhadap cara-cara kerja kapitalisme dalam hidup keseharian, kapitalisme mampu menemukan celah untuk mengambil-alih ruang (hidup) dan memproduksi ruang (kapital). Hal itu tampak jika
hasilkan surplus dan modal kembali. Jika surplus yang terakumulasi tidak berputar kembali dalam siklus produksi; sirkulasi; dan pertukaran yang sudah ada; maka krisis akibat akumulasi yang berlebihan akan terjadi. Sehingga, untuk mencegah krisis itu, dibutuhkan ruang baru untuk reproduksi kapital terus menerus. Harvey dalam The Limit of Capital mengemukakan bahwa produksi ruang baru merupakan solusi
25
Levebre H. 2010. “The Survival of Capitalism: Reproduction of the Relation of Production”. Dalam David Harvey. Imperialisme Baru, Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer. Terj. Eko PD. Jakarta: Resist Book dan Institute of Global Justice.hlm, 97 26 Levebre.H. op.cit 27 Greig Charnoks. Challenging New State Spatialities: The Open Marxism of Henry Levebre. Antipode Vol. 42 No. 5 2010 ISSN 0066-4812, pp 1279–1303, 2010.
Kus Sri Antoro: Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik .....: 28-48
mengamati bagaimana ruang diatur, diproduksi, bahkan direbut. Dengan demikian, diskursus (P)embangunan dalam skema (p)embangunan merupakan bagian dari produksi-reproduksi ruang-ruang baru bagi akumulasi modal dengan menggunakan instrumen-instrumen struktural, baik negara maupun swasta. 1. Makna agraria Menurut UU No 5 Tahun 1960, agraria didef inisikan sebagai bumi, air, dan udara. Pengertian ini mengacu pada makna agraria sebagai ruang (space) dan isinya. Ruang dapat berdimensi fisik, seperti garis pantai, tepi sungai, tebing, tanggul, vegetasi; dan berdimensi imajiner batas administrasi dalam peta. Sedangkan isi dari ruang mengacu pada materi yang menempati ruang tersebut, lebih dikenal dengan istilah sumberdaya alam, termasuk manusia. Dengan demikian, istilah agraria, ruang, dan/atau sumberdaya alam dapat digunakan secara bergantian untuk menunjuk maksud yang sama. Batas wilayah dapat menandakan identitas ekologis, misalnya ekosistem hutan dan ekosistem DAS; dapat pula bermakna politis, misalnya batas negara; dapat bermakna sosiologis, misalnya batas pemangku adat; dapat pula bermakna ekonomis, misalnya batas tanah yang dimiliki/ dikuasai oleh suatu pihak.28 Sehingga, agraria bermakna material sekaligus immaterial, terkait dengan kewenangan suatu pihak untuk mengakses; mengelola; memanfaatkan, dan mengklaim suatu lingkup yang menjadi wilayahnya (domein), dan kewenangan ini biasanya mengarah pada bentuk penguasaan tunggal. Batas wilayah dengan sendirinya menandakan pula klaim kekuasaan suatu pihak atas materi yang berada pada suatu wilayah, dan tak jarang klaim itu bertubrukan dengan klaim pihak lain. Akibatnya, konf lik yang memperebutkan klaim; akses; 28
Deden dkk., op.cit.
41
pengelolaan; dan pemanfaatan sumberdaya alam/agraria antara negara dan masyarakat adat tidak terhindarkan. Agraria terkadang merupakan ruang hidup yang tidak tergantikan. Sehingga, bagi pemaknanya, agraria akan dipertahankan hingga usai usia. Pemaknaan ini barangkali berbeda bagi negara atau swasta yang menilai sumberdaya agraria adalah aset ekonomi, baik untuk tujuan pertumbuhan ekonomi maupun akumulasi kapital dan laba. Bagi negara dan swasta, karena agraria sebagai aset, pemberian kompensasi menjadi alternatif resolusi ketika konflik agraria struktural terjadi. 2. Akar-akar konflik agraria Akar-akar konflik agraria dapat dipetakan dalam 5 hal, yaitu:29 a. Proyek ideologi dan politik neoliberalisme Sebagai sebuah teori, Neoliberalisme adalah suatu aliran pemikiran yang mengutamakan prinsip-prinsip kepemilikan pribadi secara mutlak, pasar dan perdagangan bebas, dan kebebasan dalam berusaha dan bersaing. Teori ini segera menjadi kritik bagi tata pemerintahan yang absolut. Neoliberalisme kemudian dilembagakan dalam kebijakan pembangunan melalui SAPs (Structural Adjustment Programs), dipelopori oleh IMF dan Bank Dunia. Harvey dalam A Brief History of Neoliberalism memahami Neoliberlaisme sebagai agenda konsolidasi kelas yang berkuasa untuk mengatasi krisis-krisis akibat kejenuhan akumulasi modal melalui accumulation by dispossession, yakni akumulasi modal dengan cara perampasan disertai produksi ruang yang baru; pembagian kerja yang baru; sumberdaya yang baru dan lebih murah; dan kelembagaan modal yang baru, yang dibedakan dengan accumulation by exploitation, yakni akumulasi modal secara meluas melalui 29
Deden dkk., op.cit.
42
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
eksploitasi tenaga kerja dalam proses produksi dan sirkulasi barang dagangan30. Sehubungan dengan hal itu, sumberdaya agraria merupakan ruang pertemuan antara (P)embangunan dan (p)embangunan, dan dimaknai sebagai komoditas. Jauh sebelum kritik Harvey terhadap perilaku agen kapitalisme dalam memperlakukan lahan, Polanyi, dalam The Great Transformation, menilai sumberdaya agraria bukan sebagai komoditas, melainkan sebagai ruang di mana relasi-relasi sosial terjadi dan bekerja31. Menurut Polanyi, ketika sumberdaya agraria diperlakukan sebagai barang dagangan (komoditas) maka hubungan-hubungan sosial yang melekat padanya akan terlepas dan menghasilkan guncangan-guncangan sosial berupa gerakan-gerakan tandingan untuk melindungi masyarakat dari kerusakan yang lebih parah. Sumberdaya agraria beserta tenaga kerja merupakan syarat hidup masyarakat, sehingga ketika keduanya diintegrasikan ke dalam mekanisme pasar sama saja dengan menyerahkan pengaturan kehidupan sosial kepada pasar. b. Sistem tenurial yang monopolistis Domein Verklaring yang diperkenalkan oleh Rafless menjadi landasan yang kuat bagi klaim penguasaan atas ruang hingga saat ini. Asas ini diadopsi oleh hukum nasional; misalnya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dan oleh hukum feodal; misalnya Rijksblad 1918 di Lembaga Swapraja Yogyakarta32. Menurut UUPA, Domein Verklaring dianggap mengabaikan hubungan-hubungan agraria berbasis
komunal atau yang berbasis semangat sosialisme Indonesia33. Sesungguhnya, Domein Verklaring lahir sebagai alat legitimasi pemerintah kolonial untuk mengukuhkan monopoli atas ruang dan pengelolaannya. Monopoli itulah yang menjadi akar konflik karena akan meniadakan pihak yang tidak dominan. Meskipun asas domein verklaring dihapuskan dalam narasi kebijakan agraria, bukan berarti semangat dan upaya-upaya untuk menciptakan monopoli atas ruang turut pula hilang. c. Konstruksi kebijakan agraria Kebijakan yang mengatur pengelolaan agraria di Indonesia bersifat tumpang tindih kepentingan, bahkan bertentangan dengan asas hukum agraria yang berlaku. Hal ini tampak, jika UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokokpokok Agraria (UUPA) dibadingkan dengan UU Pertambangan, UU Kehutanan, UU Pengadaaan Tanah untuk Kepentingan Umum dan Pembangunan, dan MP3EI. d. Moda Produksi atas agraria Moda produksi atas agraria mengemuka sebagai sumber konflik di beberapa tempat. Kehutanan dan perkebunan merupakan moda produksi penyumbang konflik agraria struktural paling banyak dan paling lama dalam sejarah konflik agraria Indonesia, karena sisa-sisa penerapan hukum kolonial pada kedua sektor tersebut masih terjadi. Reformasi hukum di bidang kehutanan, baik UU No 5 tahun 1967 maupun UU No 41 tahun 1999 yang menggantikan Ordonansi 1927/ 1932, tidak berarti menuntaskan konflik agraria di sektor ini. Pembaruan hukum tanah Agrarische Wet 1870 menjadi UU No 5 Tahun
30
Harvey, David. 2005. A Brief History of Neoliberalism. Oxford:Oxford University Press. 31 Polanyi, K. The great transformation. New York: Rinehart. 1944 32 Kasus uji: Pertambangan Pasir Besi di DIY, klaim tanah oleh Swapraja menggunakan produk kolonial Rijksblad 1918.
33
Antoro, Kus Sri. 2010. Konflik-konflik Sumbedaya Alam di Kawasan Pertambangan Pasir Besi: Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta). Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB, tidak diterbitkan.
Kus Sri Antoro: Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik .....: 28-48
1960, dalam beberapa hal, juga demikian. Dalam UU No 5 Tahun 1960, hak-hak yang diturunkan langsung dari hukum kolonial, terutama Hak Guna Usaha (HGU) yang diturunkan langsung dari hak erpacht, merupakan model yang paling sering menimbulkan konflik agraria struktural. Penerapan HGU pada suatu wilayah dengan serta merta akan menghilangkan hubungan hukum yang ada sebelumnya pada kawasan tersebut, karena dikembalikan kepada asas muasal bahwa HGU berasal dari tanah negara (bukan tanah yang terlekati hak eigendom atau tanah ulayat). Sehingga, HGU merupakan salah satu cara penghilangan status hukum atas lahan dan mekanisme peralihan penguasaan menjadi di tangan negara. Kasus di Ogan Ilir menunjukkan demikian. e. Politik hukum agraria Kelsen berpendapat “the state is the community created by a national (as opposed to an international) legal order34. The state as juristic person is a personif ication of this community on the national legal order constituting this community. From a juristic point of view, the problem of the state therefore appears as the problem of the national legal order”, dengan demikian, persoalan negara, dalam sudut pandang hukum, diartikulasikan sebagai persoalan tata hukum nasional. Politik hukum agraria yang menempatkan asas hukum positif sebagai satu-satunya asas yang diijinkan hidup dalam masyarakat, dengan kata lain meniadakan sistem hukum yang lain. Dominansi hukum positif melahirkan konflik yang tiada habis, karena hukum positif mengabaikan kearifan sistem yang lain. Konsep kepemilikan yang diatur oleh bukan hukum positif berlandaskan pada teori ipso
facto, menurut Burns hukum barat yang dianut oleh pemerintah kolonial berlandaskan pada teori ipso jure—teori ini didukung oleh mazhab Utrecht yang melahirkan doktrin Domein Verklaring, yang berprinsip bahwa kepemilikan hak atas sumberdaya agraria harus dinyatakan dengan alat bukti formal berdasarkan prinsip rasionalisme35. 3. Penyelesaian Konflik agraria Peraturan Kepala BPN No 3 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan membedakan dengan tegas batasan Kasus, Sengketa, Perkara dan Konflik pertanahan (tidak meliputi kawasan perairan; udara; dan hutan). Kasus dibatasi sebagai sengketa, konflik, atau perkara pertanahan yang disampaikan kepada BPN RI untuk mendapatkan penanganan penyelesaian sesuai ketentuan perundang-undangan dan/atau kebijakan pertanahan nasional. Dalam hal ini jelas, bahwa BPN tidak akan menangani kasus yang 1) tidak dilaporkan, 2) di luar terminologi pertanahan, dan 3) tidak berpayung hukum. Sengketa dibatasi sebagai perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio politik (berdimensi horizontal). Perkara adalah perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih dimintakan penanganan perselisihannya di BPN RI. Konflik adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio-politik (berdimensi struktural/ vertikal). Konflik agraria struktural lebih sering 35
34
Kelsen, Hans. 1961. General Theory of Law and State, New York, Russell and Russell. hlm 181
43
Burns, Peter. 1999. The Leiden Legacy Concepts of Law Indonesia. Jakarta:P.T. Pradnya Paramita, Jakarta.hlm 95.
44
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
merupakan kasus yang kronik, komprehensif, dan sensitif pada isu-isu kemanusiaan yang adil dan beradab dan/atau keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketetapan MPR RI No 9 Tahun 2001memberi mandat kepada DPR dan Presiden untuk : Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 dari Ketetapan ini. Konsekuensinya, pemerintah harus melakukan 1) sinkronisasi kebijakan, untuk mengakhiri dualisme hukum atau tumpang tindih kewenangan; 2) landreform dengan mengedepankan kepemilikan tanah untuk rakyat; 3) inventarisasi dan pendaftaran tanah untuk landreform; 4) pencegahan dan penyelesaian konflik agraria; 5) penguatan kelembagaan dan kewenangan lembaga yang berkompeten; 6) pembiayaan dalam Reforma Agraria dan penyelesaian konflik agraria. Sedangkan Peraturan Presiden No 10 Tahun 2006 Tentang BPN mengatur kewenangan BPN untuk melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral (Pasal 2), dalam kaitannya dengan amanah TAP MPR RI No 9 Tahun 2001, fungsi tersebut dijabarkan dalam kewenangan untuk, antara lain: a. koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; b. pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum; c. pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah; d. pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah; e. pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan
Reforma Agraria (pemerintah dan pasar menyebutnya Reformasi Agraria) mempunyai dua fungsi, pertama sebagai tujuan yang memayungi kebijakan agraria dan kedua sebagai cara untuk penyelesaian konflik agraria36. Menurut Bank Dunia, reformasi agraria mempunyai lima dimensi, yaitu: 1) liberalisasi harga dan pasar; 2) landreform (termasuk pengembangan pasar tanah); 3) pengolahan hasil pertanian dan saluran pasokan pendapatan; 4) keuangan pedesaan; dan 5) lembaga-lembaga pasar37. Konsekuensinya adalah konsolidasi tanah oleh pelaku pasar demi tujuan-tujuan investasi yang efisien. Logikanya, ef isiensi hanya dapat dicapai apabila proses konsolidasi tanah diserahkan kepada mekanisme pasar karena pasar diyakini mempunyai kemampuan untuk mengatur sendiri dalam mencapai keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Tidak mengherankan apabila pasar tanah dipromosikan sebagai bagian dari kebijakan transformasi penguasaan lahan. Sejalan dengan gagasan Bank Dunia, ADB mempromosikan Land Administration Projects (LAP) sebagai bagian dari landreform, yang akan memenuhi dua fungsi yaitu 1) kepastian hukum dan 2) kemudahan transaksi. Merujuk pada Tuma dalam Twenty-Six Centuries of Agrarian Reform, a Comparative Analysis, Reforma Agraria didefinisikan oleh kelompok yang mewakili kepentingan masyarakat sebagai suatu upaya sistematik, terencana, dan dilakukan secara relatif cepat, dalam jangka waktu tertentu dan terbatas, untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial serta menjadi pembuka jalan bagi pembentukan masyarakat ‘baru’ yang demokratis dan berkeadilan; yang dimulai dengan langkah menata ulang penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya, kemudian disusul dengan sejumlah pro-
36
Deden dkk., op.cit.
Kus Sri Antoro: Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik .....: 28-48
gram pendukung lain untuk meningkatkan produktivitas petani khususnya dan perekonomian rakyat pada umumnya38. Konsekuensinya, sebagaimana yang di simpulkan oleh Lindquist39 dalam Land and Power in South America, antara lain adalah (1) Bermakna sebagai suatu transfer kekuasaan; (2) Pengembalian tanah-tanah (property) rakyat yang dirampas; (3) Pembagian tanah secara merata (4) Mengarah kepada pengelolaan tanah yang lebih baik; (5) Meningkatkan standar kehidupan dari petani-petani yang menerima manfaat dari reform; (6) Meningkatkan produksi pertanian; (7) Menciptakan lapangan kerja; (8) Mempercepat pembentukan modal (capital formation), investasi dan teknologi inovasi di bidang pertanian; (9) Menciptakan dukungan politik untuk partai atai kelompokkelompok politik yang pro reform; (10) Memungkinkan untuk dilakukan/diterapkan dalam kondisi yang ada di tengah masyarakat, khususnya dalam hal kapasitas personal/orang-orang yang ada/tersedia; dan (11) Menjungkirbalikan (mengubah) masyarakat kapitalis. Lebih lanjut, Bachriadi40 menegaskan bahwa Reforma Agraria merupakan bagian dari program pembangunan ekonomi sekaligus program politik untuk mengubah struktur penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agraria, yang meliputi 1) redistribusi tanah dan sumber-sumber agraria lainnya yang dikuasai secara berlebihan atau skala besar dan 2) pengembalian tanah-tanah dan
37
Limbong, Benhard. 2012. Konflik Pertanahan. Jakarta:Margaretha Pustaka. hlm 168. 38 Tuma, Elias H. 1965. Twenty-Six Centuries of Agrarian Reform, a Comparative Analysis . Berkeley: University of California Press 39 Lindquist. 1979. Land and Power in South America. 40 Bachriadi, Dianto. 2007. Reforma Agraria untuk Indonesia: Pandangan Kritis tentang Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Redistribusi Tanah ala Pemerintahan SBY. Makalah Pertemuan Organisasi-organisasi Rakyat se-Jawa di Magelang, 6-7 Juni 2007.
45
sumber-sumber agraria lainnya yang dirampas dari rakyat sebagai penguasa sebelumnya. Dengan demikian, keberpihakan; kemauan politik; dan posisi negara dalam penyelesaian konflik agraria dapat dilihat dari praktik-praktiknya, antara lain: bagaimana skema penyelesaian konflik agraria dirumuskan dan ditempuh: memenuhi amanat rakyat atau amanat pasar? Tabel 6. Konflik Agraria menurut berbagai pihak41 Unsur-unsur Akar masalah Sumber masalah Paradigma
Pemerintah Ketidakpastian hukum Penegakan hukum yang lemah Konflik sebagai penghambat kebijakan
Pasar Kegagalan pasar
Kelompok Masyarakat Ketimpangan penguasaan
Hambatan structural
Dominansi ekonomi pasar
Konflik sebagai eksternalitas
Konflik sebagai akibat (respons)
Solusi
Penertiban administrasi
Mekanisme pasar
Eksekutor
Lembaga negara melalui pengadilan
Pasar tanah
Perombakan struktur penguasaan Kelembagaan negara dan sosial
Sumber: Saleh et al. (2012) Pada 24 September 2012, dalam peringatan Hari Tani ke 52, Kepala BPN RI menuangkan visi lembaga negara yang dipimpinnya dalam soal agraria nasional, melalui 7 tertib (Sapta Tertib), yaitu Tertib Administrasi, Tertib Anggaran, Tertib Perlengkapan, Tertib Perkantoran, Tertib Kepegawaian, Tertib Disiplin Kerja, dan Tertib Moral. Dan dalam rangka melaksanakan Sapta Tertib itu, BPN telah mencanangkan dan melaksanakan 5 program strategis yaitu 1) Reforma Agraria, 2) Penertiban Tanah Terlantar,3) Legalisasi Aset, 4) Penyelesaian Sengketa dan Konflik Pertanahan, dan 5) LARASITA. Reforma agraria dilaksanakan melalui penataan sistem politik dan hukum pertanahan dan melalui landreform plus, yaitu penataan hukum pertanahan yang didasarkan pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip ideologi negara dan UUD 1945, dan bukan didasarkan pada nilai-nilai individu41
Deden dkk., op.cit.
46
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
alis dan yang menempatkan tanah sebagai komoditas. Berbagai peraturan baru telah dibuat antara lain: 1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, 2) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, 3) Peraturan Presiden RI Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, 4) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 2 Tahun 2010 tentang Penanganan Pengaduan Masyarakat, 5) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar dan 6) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 3 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu. Sengketa, perkara dan konflik pertanahan ditangani dengan membentuk Tim 11 (sebelas) dan Ad-hoc, yang juga akan dibentuk pada tingkat Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan untuk menyelesaikan kasuskasus di daerah dengan pola penyelesaian yang sama, menggunakan prinsip. Win-Win Solution. Tidak hanya berdasarkan hukum tertulis, tapi lebih pada prinsip keadilan dan prinsip tanah untuk kepentingan umum. Kontraproduktif terhadap atas visi landreform plus di atas, BPN RI merespons pengesahan UU No. 2 Tahun 2012 dengan penataan struktur organisasi agar dapat melaksanakan “pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum”. Menurut analisis Riset Kebijakan STPN 2012, kebijakan BPN tersebut hanya merupakan salah satu cara penyelesaian, tetapi tidak menyelesaikan persoalan ketika karakter konflik saling menegasikan. Rekomendasi Riset ini antara lain: 1) Konstruksi Kebijakan 2) Dibentuk peradilan khusus agraria
3) Sistem Tenurial yang tidak monopolistik 4) Penataan Ruang yang mengacu asas-asas keadilan agraria Dalam skema TAP MPR No 9/2001, reforma agraria menjadi mekanisme yang harus ditempuh agar konflik agraria struktural terselesaikan. Tetapi, setidaknya, saat ini negara dihadapkan pada tiga pilihan bentuk reforma agraria: 1) Reforma agraria yang dipandu oleh negara; 2) Reforma agraria yang dipandu oleh pasar; dan 3) Reforma agraria yang digerakkan oleh masyarakat. Meskipun sama-sama dianggap sebagai masalah yang harus dipecahkan, konflik agraria dipandang secara berbeda-beda oleh negara, pasar, atau kelompok sosial (masyarakat), menurut pemahaman masing-masing pihak terhadap Reforma Agraria. Pasar melihat konflik agraria sebagai akibat dari kegagalan pasar bebas, diantaranya karena keberadaan barang publik dan eksternalitas yang tidak terselesaikan oleh pihak yang berwenang (negara). Negara melihat konflik agraria sebagai akibat dari ketidakpastian hukum. Masyarakat melihat konflik agraria sebagai akibat dari ketimpangan struktur penguasaan sumberdaya agraria karena dominansi dua pihak lainnya. Karenanya, pemaknaan Reforma Agraria turut menentukan pendefinisian dan pemaknaan konflik agraria, berikut tawaran resolusinya. Upaya resolusi konflik agraria tidak akan menjadi bagian dari penyelesaian konflik ketika dirumuskan dalam paradigma, pemahaman, dan pendekatan yang melahirkan konflik agraria. Tidak ada rumusan tunggal mengenai resolusi konflik agraria, tergantung karakteristik masalahnya. Sebagai contoh, untuk konflik akses, penertiban administrasi dan penegakan hukum justru tidak solutif, dibandingkan pendekatan program-program pembukaan akses. Apakah konflik harus diselesaikan? Baik negara, pasar, dan kelompok masyarakat (dalam hal ini adalah komunitas akar rumput di titik-
Kus Sri Antoro: Anatomi Konsep Penyelesaian Konflik .....: 28-48
titik konflik) mempunyai jawaban seragam: Ya. Tetapi, bagaimana dalam rumusan dan dalam cara siapakah konflik agraria akan diselesaikan? Jawabannya tidak sama. Bagi negara, mengakui hak ulayat mungkin bukan solusi, demikian pula bagi pasar, reforma agraria a la UUPA mungkin juga bukan solusi. Bagi rakyat, win win solution pun bukan penyelesaian konflik, karena rakyat tetap kehilangan ruang hidup di dalam moda produksi yang baru sekalipun. Memperpanjang nafas perjuangan menjadi cara yang efektif ketika rekomendasi kebijakan, jalur legal, dan jalur parlementer selalu menemui jalan buntu. E. Kesimpulan Studi perbandingan atas hasil penelitian sistematis STPN 2012 dan kertas kerja FKMA (sebagai kasus uji) menunjukkan bahwa penyelesaian konflik agraria bukanlah terminologi yang bebas nilai, istilah itu memuat perspektif dan kepentingan aktor yang terlibat dalam konflik agraria struktural. Perspektif, rumusan, dan metode penyelesaian konflik berbeda-beda antara aktor yang mewakili negara, pasar, atau masyarakat sipil (terlebih akar rumput yang terampas ruang hidupnya). Negara cenderung mendorong pada penertiban administrasi dengan dalih penegakan hukum positif. Pasar cenderung mendorong pembebasan lahan melalui mekanisme pasar dengan dalih efisiensi. Dan, masyarakat sipil yang menemui kegagalan setelah menempuh upaya legal dan parlementer ada yang cenderung mempertahankan sumberdaya agraria untuk memperpanjang nafas perjuangan hingga investasi akan dihentikan.
47
Daftar Pustaka Antoro, Kus Sri. 2010. Konflik-konflik Sumberdaya Alam di Kawasan Pertambangan Pasir Besi: Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa Yogyakarta). Tesis. Sekolah Pascasarjana IPB, tidak diterbitkan. ____. 2012. Bertani atau Mati, http://selamatkanbumi.com/bertani-atau-mati/, diakses 10 Maret 2013. Bachriadi, Dianto. 2007. Reforma Agraria untuk Indonesia: Pandangan Kritis tentang Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) atau Redistribusi Tanah ala Pemerintahan SBY. Makalah Pertemuan Organisasi-organisasi Rakyat se-Jawa di Magelang, 6-7 Juni 2007 Burns, Peter. 1999. The Leiden Legacy Concepts of Law Indonesia. Jakarta: P.T. Pradnya Paramita, Jakarta. Choirudin, Udin. 2013. Merawat Nafas Panjang Perjuangan Agraria, http:// selamatkanbumi.com/merawat-nafaspanjang-perjuangan-agraria-risalahkongres-ii-forum-komunikasi-masyarakatagraris-fkma/, diakses 10 Maret 2013. FIKA. 2013. Surat Terbuka Kepada Presiden RI. http://www.change.org/petitions/suratterbuka-forum-indonesia-untuk-keadilana g ra r i a- ke p ad a-p res i d e n - re p u b l i kindonesia-untuk-penyelesaian-konf likagraria, dan http://www.kpa.or.id/ ?p=1158&lang=en, diakses 10 Maret 2013. Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor. GRAPPAD. 2013. Kronologi Perlawanan Warga Padarincang versus Aqua Danone, ditulis oleh GRAPPAD (Gerakan Rakyat Anti Pembangunan Pabrik Aqua Danone), http:/ /selamatkanbumi.com/kronologiperlawanan-warga-padarincang-vs-aquadanone/, diakses 10 Maret 2013. Hart, Gillian. 2001. Development Debates in the 1990s: Culs de Sac and Promising Paths,
48
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Progress in Human Geography 25,4, pp. 649–658. Hart, Gillian. 2001. Development Debates in the 1990s: Culs de Sac and Promising Paths, Progress in Human Geography 25,4, pp. 649–658. Harvey, David. 2005. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press. Harvey, David. 2010. Imperialisme Baru, Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer. Terj. Eko PD. Jakarta: Resist Book dan Institute of Global Justice. Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan Indonesia: Kajian Sosial–Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media. Kelsen, Hans. 1961. General Theory of Law and State. New York: Russell and Russell. Levebre, Henry. 2010.”The Survival of Capitalism: Reproduction of the Relation of Production”. Dalam David Harvey. Imperialisme Baru, Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer. Terj. Eko PD. Jakarta: Resist Book dan Institute of Global Justice. Limbong, Benhard. 2012. Konflik Pertanahan. Jakarta: Margaretha Pustaka. Magf ira, Sita dan Suluh Pamuji. 2013. Akar Rumput Menuju Kemandirian, http:// indoprogress.com/akar-rumput-menujukemandirian/, diakses 18 Maret 2013. Mukhlis. 2013. Risalah Kasus dan Riwayat Tanah Warga Rengas (dipublikasikan dalam cetak). Peluso, N.L. and J.C. Ribot. 2003. A Theory of Access. Rural Sociology 68 (2), pp 153-181. Polanyi, Karl. 1944. The great transformation. New York: Rinehart.
Rere. 2013. Refleksi Perlawanan Porong, http:// selamatkanbumi.com/refleksi-perlawananporong/, diakses 10 Maret 2013. Riyanto, Guruh Dwi. 2013. Membangun Gerakan Petani Mandiri, ditulis oleh, http:// w w w. p o r t a l k b r. c o m / b e r i t a / s a g a / 2526669_4216.html, diakses 10 Maret 2013. Robbins, Paul. 2004. Political Ecology A Critical Introduction. Malden:Blacwell. Sajogyo. 1982. Modernization without Development. Dacca (Bangladesh):The Journal of Social Studies. Sajogyo. 2006. Ekososiologi. Sains, Sekretariat Bina Desa. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Cerdas. Saleh, Deden D., Widhiana H.P., Siti Fikriyah K., Kus Sri Antoro. 2012. Kebijakan Penyelesaian Konf lik Agraria Kontemporer Dalam Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 (Hasil Penelitian Sistematis STPN 2012), AN. Luthf i (editor). Yogyakarta: PPPM STPN. Schlager, E. and E. Ostrom. 1992. Property Rights Regimes and Natural Resources: A Conseptual Analysis, Land Economics 68(3), p 249262. Scot, James C. 1985. Weapons of the Weak: Everyday Forms of Resistance. Oxford: Oxford University Press. Tuma, Elias H. 1965. Twenty-Six Centuries of Agrarian Reform, a Comparative Analysis . Berkeley: University of California Press. Wiradi, Gunawan. 2013. Dari Gunawan Wiradi untuk Kawan-kawan FKMA, http:// selamatkanbumi.com/surat-dari-gunawanwiradi-untuk-fkma/, diakses 10 Maret 2013.
LAND GRABBING DAN POTENSI INTERNAL DISPLACEMENT PERSONS (IDP) DALAM MERAUKE INTEGRATED FOOD AND ENERGY ESTATE (MIFEE) DI PAPUA Amin Tohari*
Abstract Abstract: This article discussed the possible impact of land grabbing practice toward the emergence of internal displacement person taken a close look to MIFEE project in papua. employed the concept of acumulation by dispossesion, it was found that the major scale farming development kept a serious impact toward the emergence of internal displacement person. they are ones whose land, forest and other aource of living had been taken away. The MIFEE had cause a socio-cultural gap between farming mechanism and mode of production of the local people, a massice demographical change, economic polarisation, power politics marginalization. with a big number of problems in IDP as a result of dispossesion practice, the IDP is directed toward group that got an effect of development expansion rather than those who suffer from disaster. in the context of human right, the MIFEE was a great potention for the occurance of a violation toward the local people’s right. Keywords Keywords: Land Grabbing, Internal Displacement Persons, Accumulation, MIFFEE Intisari Intisari:Tulisan ini mediskusikan kemungkinan dampak praktek land grabbing terhadap munculnya internal displacement person dengan melihat kasus proyek MIFEE di Papua. Dengan menggunakan konsep accumulation by dispossession ditemukan bahwa pembangunan pertanian skala besar tersebut menyimpan dampak serius terhadap kemunculan Internal Displacement Person, yaitu orang-orang yang tercerabut dari tanah, hutan, dan sumber penghidupanya. MIFEE menimbulkan kesenjangan sosial-budaya antara mekanisasi pertanian dan modus produksi masyarakat lokal, perubahan susunan demografi yang massif, polarisasi ekonomi, dan peminggiran politik-kekuasan. Dengan banyaknya problem IDP akibat praktek dispossession ini sudah saatnya IDP diarahkan kepada kelompok masyarakat yang terkena dampak dari ekspansi pembangunan di samping IDP akibat konflik dan bencana alam. Dalam kontek HAM, MIFEE merupakan salah satu potensi besar terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat lokal. Kata Kunci Kunci: Land Grabbing, Internal Displacement Person, Accumulation, MIFEE
A. Pengantar Tulisan ini membahas isu land grabbing yang terkait dengan hak asasi manusia terutama hak atas tanah dan sumber penghidupan dari tanah. Land grabbing kini menjadi kecenderungan baru bentuk-bentuk investasi negara-negara kaya ke negara-negara berkembang. Praktek global ini terutama dipicu oleh kecemasan dunia atas krisis pangan dan energi (von Braun & Meinzen-Dick, 2009; Ito at.all, 2011). Terutama negara-negara pengimpor pangan yang memiliki hambatan
* Alumni Pascasarjana Fisipol Universitas Gadjah Mada, peneliti dan penggiat studi agraria.
pada sumber daya air dan tanah namun memiliki modal berlimpah merupakan aktor terdepan dalam investasi tanah pertanian ini. Target utama mereka adalah negara-negara berkembang yang ongkos produksinya masih rendah dan memiliki sumber daya agraria dan air yang berlimpah. Selain mencari lahan baru untuk dapat memenuhi kebutuhan pangan, land grabbing juga menjadi skema banyak negara kaya lainya untuk mencari lahan produksi energi baru terutama energi yang dihasilkan dari tanaman (agrofuel). Perbedaan mencolok dari praktek ini adalah jika pada dekade-dekade sebelumnya land grabbing dilakukan sektor privat dengan motif pencarian keun-
50
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
tungan, kini praktek ini banyak dilakukan oleh negara dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan papulasinya. Praktek land grabbing ini kemudian memunculkan dilema. Di satu sisi berurusan dengan isu pembangunan seperti modernisasi pertanian, peningkatan taraf hidup, dan investasi. Sementara di sisi lain menimbulkan persoalan yang terkait dengan hak-hak masyarakat adat atau hak masyarakat terhadap ruang hidup yang sejak lama telah menopang kehidupan mereka. Praktek land grabbing ini tidak mengakuisisi tanah dalam ukuran kecil melainkan dalam skala besar, yang mencapai ribuan hektar, sehingga hal ini dapat berakibat menyingkirkan masyarakat yang sejak awal mendiami dan hidup di wilayah tersebut. Tidak hanya itu saja, kesepakatan-kesepakatan akuisisi tanah ini hanya dilakukan antara investor dengan pemegang otoritas suatu negara dan tidak banyak melibatkan kelompok-kelompok masyarakat setempat (von Braun & MeinzenDick, 2009). Selain terkait dengan isu hak tanah dan masyarakat adat, land grabbing juga dinilai akan memunculkan masalah keberlanjutan ekologis. Pada prinispnya, tanah dan kekayaan alam sebuah negara diperuntukkan bagi kesejahteraan warga negaranya. Prinsip dasar ini merupakan pijakan utama bagi sebuah negara dalam mengelola sumber daya alamnya. Di Indonesia, Undang-undang Dasar 1945 pasal 33 mengamanahkan bahwa “Bumi, air, ruang angkasa dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Terkait dengan hak kelola masyarakat adat atas tanah dan hak mereka atas tanah juga diakui oleh Undang-undang terutama Undang-undang Pokok Agraria tahun 1960 (UUPA/1960). Sebagai pihak yang memiliki hak atas tanah masyarakat lokal pada dasarnya merupakan pihak yang pertama kali harus diajak berunding
mengenai akuisisi yang mencakup wilayah hak kelola mereka sebab jauh sebelum proyek-poryek semacam land grabing ini muncul, mereka adalah orang yang pertama kali mendiami wilayah tersebut. Terkait dengan masalah penghormatan, perlingdungan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia, pada 16 Mei 2006, di Switzerland diselenggarakan seminar internasional bertajuk The Global Land Grab: A Human Right Approach. Seminar di Switzerland ini secara khusus menyoroti persoalan akuisisi tanah skala besar (LSLAs) sebagai modus baru negara-negara kaya dalam pemenuhan sumber pangan dan energi biofuel. Seminar tersebut melibatkan beragam aktor termasuk pakar-pakar hak asasi manusia dari PBB, anggota-anggota gerakan sosial di dunia, dan perwakilan NGO-NGO pembangunan internasional. Tujuan utama seminar ini salah satunya adalah mencari metode-motode baru dan caracara yang lebih efektif dalam mempromosikan nilai-nilai HAM pada realitas baru berupa land grabbing (Trand-Human Right-Equitable Economy, 2009). Dari perspektif HAM, seminar tersebut melihat bahwa praktek land grabbing atau yang mereka sebut dengan LSLAs (Large-Scala Land Acquisitions) menyimpan akibat serius pada upaya-upaya perwujudan hak asasi manusia. Kehilangan akses atas tanah dan sumber-sumber agraria lainya akan berdampak pada hak atas standar hidup layak termasuk di dalamnya hak atas pangan, rumah, dan air. Demikian pula hak untuk menentukan diri sendiri (self-determination), hak atas pembangunan, dan hak untuk berpatisipasi dalam kehidupan budaya. Hak-hak sipil dan politik seperti misalnya hak berpartisipasi dalam urusan-urusan publik dan hak memperoleh informasi yang memadai akan terancam ketika negosiasi dan implementasi LSLAs tersebut dilakukan dengan cara yang tidak partisipatif (Trand-Human Right-Equitable Economy, 2009). Partisipasi sendiri, sebagai gagasan yang
Amin Tohari: Land Grabbing dan Potensi IDP .....: 49-62
melekat dalam ide tentang demokrasi akan sulit bisa dilakukan ketika infrastruktur dan prosesproses demokrasi sebuah negara tidak berjalan atau berjalan tetapi tidak subtantif. Tulisan ini akan membicarakan beberapa persoalan terkait dengan problem di atas. Pertama, tulisan ini mendiskusikan tentang kondisikondisi yang memunculkan praktek land grabbing. Dalam kaitan itu akan juga dibahas mengenai siapa saja yang menjadi aktor-aktor utama praktek land grabbing ini di berbagi belahan dunia. Dibicarakan juga implikasi potensial praktek ini terutama dampak yang terkait dengan persoalan HAM, namun sorotan dan titik tekanya lebih diarahkan pada persoalan displacement person sebagai akibatnya. Kedua, secara teoritik memperbincangan praktekpraktek land grabbing bisa muncul, bukan dalam melihat kondisi pendorong kemunculanya melainkan pada motif-motif apa yang berada dibalik praktek global ini. Misalnya, benarkah hanya karena persoalaan pangan dan energi saja atau sebenarnya praktek land grabbing ini adalah bagian dari gempuran kekuatan kapitalisme. Ketiga, pada bagian ini akan disorot secara spesifik kasus-kasus di mana praktek land grabbing sudah berlangsung. Untuk itu, yang menjadi bahan kajiannya adalah melihat hubungan antara logika akumulasi primitif dengan internal displacement persoan. Keempat, bagian ini secara khusus membahas praktek land grabbing di Indonesia yang sering disebut dengan proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Pembahasan kasus ini akan dicoba lebih ditekankan pada melihat implikasinya pada internal displacement person yang mungkin akan ditimbulkanya. B. Kemunculan Land Grabbing, Aktoraktor, dan Implikasi Potensialnya Land Grabbing merupakan bentuk praktek baru hasil campuran beragam faktor yang di
51
antaranya adalah volasitas harga di pasar global, krisis pangan global, dan tingginya tingkat aktivitas spekulasi. Secara sederhana praktek ini sangat terkait dengan tiga hal yaitu meningkatnya ketidakamanan pangan negara-negara yang kemudian mencari cara-cara mengamankan pasokan dan ketersediaan pangan negaranya, melonjaknya permintaan terhadap agrofuel dan bentuk-bentuk energi lainya (yang dianggap alternatif dan ramah lingkungan), dan investasi yang meningkat tajam baik dalam pasar tanah maun komoditas-komoditas lainya yang terkait dengan tanah (Daniel & Mittal 2009: 2). Sejumlah faktor yang semakin mengancam keamanan pangan sebuah negara mendorong banyak negara, terutama negara-negara di kawasan Asia Tengah dan Timur Tengah memeriksa kembali kebijakan domestik mereka atas keamanan pangan. Peninjauan ulang kebijakan domestik ini didasari oleh faktor-faktor seperti meroketnya harga pangan pada tahun 2008 yang meningkatkan nilai impor dan inflasi, perubahan drastis kondisi iklim dunia, kekurangan lahan, tanah subur, dan air di banyak wilayah bercampur dengan pertumbuhan ekonomi dan tekanan demografi. Persoalan pangan ini, bagi pemerintah di negera-negara tersebut, merupakan persoalan politik yang dapat memicu kerusuhan sosial dan mengganggu stabilitas pemerintahan. Oleh kerana itu, mereka mencari lahan dan tanah di luar negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan ini. Negara-negara teluk misalnya, total nilai impor pangan mereka melonjak tajam dalam kurun lima tahun dari $ 8 juta menjadi $ 20 juta selama kurun waktu 2002 sampai 2007 (Daniel & Mittal 2009, h. 2). Qatar misalnya, negara ini hanya memiliki 1 % dari seluruh luas wilayah negara yang bisa ditanami, selain itu sebagian besarnya merupakan kilang minyak. Qatar telah membeli tanah seluas 40.000 hektar di Kenya untuk produksi pangan dan melakukan hal serupa di Cambodia dan Vietnam untuk mempro-
52
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
duksi beras. Uni Emirat Arab yang mengimpor sekitar 85 % panganya, kini membeli lahan seluas 324.000 hektar di Punjab dan Sind Pakistan pada tahun 2008 (Daniel & Mittal 2009, h. 3). Jepang, Cina, dan Korea Selatan juga melakukan hal yang sama. Cina misalnya, negara ini telah membeli 101,171 hektar lahan di Zimbabwe. Korea Selatan telah mengakuisisi tanah lebih dari 1 juta hektar di Sudan, Mongolia, Indonesia, dan Argentina.
Sumber: IFPRI Policy Brief 2009 Faktor pendorong kedua atas praktek global land grabbing ini adalah meningkatnya kebutuhan energi dan manufaktur dunia. Permintaan bahan bakar dari tanaman telah meningkat tajam selama beberapa tahun dan negara-negara pengimpor bahan bakar mentargetkan produksi besar-besaran agrofuel dan juga berambisi menggabungkan bahan bakar biofuel dan bioethanol dengan bahan bakar transportasi tradisional. Kebijakan pembaruan standar bahan bakar Amerika Serikat misalnya bertujuan untuk meningkatkan penggunaan bahan bakar ethanol dari 3.5 milyar gallon antara 2005-2012, dan Uni Eropa juga meningkatkan penggunaan biofuel pada transportasi darat sampai 10 persen pada 2020 (Mitchell 2008). Sementara itu, kondisi krisis pangan dan energi dunia ini memberikan peluang baru bagi investor-investor private kelas dunia untuk turut terlibat dalam produksi pangan dan energi yang semata-mata dilatari oleh motif keuntungan ekonomi. Gerak investor besar ini juga memicu meningkatnya land grabbing di seluruh dunia. Beberapa investor barat dan orang-orang terkaya
di dunia yang mulai melirik bisnis pangan dan energi menggunakan skema land grabbing ini di antaranya; Morgan Stanley membeli 40.000 hektar tanah pertanian di Ukraina, Goldman Sachs mengakuisi industri unggas dan daging Cina termasuk hak mereka atas tanah pertanianya pada tahun 2008, BlackRock, inc., dari New York menyediakan $ 200 juta dana pertanian dan sekitar $ 30 juta secara khusus digunakan untuk mengakuisisi lahan pertanian (Daniel & Mittal 2009). Akan tetapi, tentu saja, praktek land grabbing ini tidak mungkin berjalan secara demikian masifnya tanpa melibatkan aktor-aktor finansial kelas dunia yang berkepentingan untuk melancarkan proyek ini. Setidaknya, beberapa aktor f inansial kelas dunia yang bisa disebut dalam hal ini adalah International Financial Corporation (IFA), sektor privat dari World Bank Group yang mendanai investasi-investasi privat di negara berkembang, dan mempromosikan reformasi kebijakan, dengan melenyapkan semua hal yang menghalangi datangnya investasi. Salah satu program penting IFA sekarang ini adalah membangun “hutan tanaman di lahan-lahan yang terdegradasi”, yang berarti program ini memaksudkan pembiayaan dan dukungan atas praktek land grabbing. Aksi ini utamanya didorong oleh keyakinan bahwa tingginya harga pangan dunia akan menciptakan kesempatan-kesempatan baru munculnya pasar pangan. Sebab itu, beberapa prinsip-prinsip utama IFA dalam upayanya ini adalah memperbaiki produktifitas dengan transfer teknologi, meningkatkan skala ekonomi produksi dan proses pertanian, dan mendapatkan tanah lebih banyak lagi untuk produksi pertanian (Daniel & Mittal 2009). Untuk tujuan tersebut, IFA melakukan beragam upaya membantu investor mengatasi rintangan yang menghalangi investasi dalam pasar tanah. Pertama, IFC menyarankan peme-
Amin Tohari: Land Grabbing dan Potensi IDP .....: 49-62
rintah suatu negara untuk mengurangi batasanbatasan mereka dan membiarkan investor asing masuk dan membeli tanah yang ada di negara tersebut. Kedua, menyiapkan desain implementasi kebijakan yang efektif serta prosedur-prosedur yang memungkinkan bagi investasi asing, misalnya dilakukan dengan cara merubah aturan-aturan yang bisa meningkatkan jumlah izin kepemilikan tanah oleh orang asing. Ketiga, sementara itu FIAS (Foreign Investment Advisory Service) mitra IFA secara khusus bekerja memperbaiki iklim investasi pasar asing dengan cara membangun prosedur yang simpel dan transparan bagi investor untuk memperoleh hak properti yang aman dengan tingkat harga yang rasional (Daniel & Mittal 2009). Bagi para pendukung praktek land grabbing, semua itu diperlukan karena proyek skala besar ini dinilai merupakan jalan tengah yang saling menguntungkan antara negara-negara kaya tetapi sedikit memiliki tanah subur, dan negaranegara miskin yang memiliki tanah luas yang subur dan populasi yang bisa menjadi bagian dari bekerjanya land grabbing. Misalnya, land grabbing dianggap dapat mentransformasikan ekonomi negara berkembang baik dengan menyediakan lapangan pekerjaan di sektor pertanian, maupun membuka lapangan pekerjaan melalui penyediaan infrastruktur pendukung lainya seperti transportasi dan perumahan. Praktek ini juga dianggap dapat meningkatkan produksi pertanian, meningkatkan nilai ekspor, dan membawa teknologi baru untuk memperbaiki efisiensi produksi pertanian (Daniel & Mittal 2009). Secara makro retorika ini tampaknya sangat menjanjikan, terutama bagi negara berkembang yang menghadapi persoalan domestik khusus perbaikan ekonomi. Namun demikian, jika tidak melihat lebih dalam akibat yang sejauh ini ditimbulkan maka akan mudah terjebak pada pandangan simplistik. Retorika ini sebenarnya sangat mirip dengan semua argumentasi yang
53
berdiri dibalik semua kebijakan eksplorasi dan eksploitasi tanah atau alam melalui pemanggilan investor sebanyak-banyak. Asumsi dibaliknya adalah bahwa investasi akan menggerakkan roda perekomian dan memodernisasi masyarakat. Dengan melihat praktek land grabbing bekerja di beberapa negara akan segera kelihatan bukti yang berkebalikan dengan retorika optimistik di atas. Pada dasarnya, praktek semacam ini bukanlah hal baru melainkan—dengan bentuk yang sedikit berbeda—sudah dilakukan pada abad sebelumnya, baik pada masa kolonialisme maupun pascakolonial. Pembukaan lahan-lahan luas untuk kepentingan perkebunan produksi ekpor komoditas dunia merupakan awal dari praktek ini. Jika pada masa lalu yang mendorong adalah konsumsi dan perdagangan dunia sedangkan saat ini didorong terutama oleh krisis pangan dan energi dunia. Watak dasar praktek semacam ini beserta akibat yang ditimbulkanya tidak juah berbeda. Beberapa konsekuensi tidak sederhana di antaranya adalah terjadinya displacement petani kecil, merubah bentuk operasi pertanian sehingga para petani yang dahulu memiliki tanah mereka berubah menjadi buruh di tempat itu. Kondisi ini dalam jangka panjang menjadi awal dari kemunculan kekacauan sosial, ketidakadilan sosial-ekonomi, dan bahkan pergolakan politik lokal. Kelompok-kelompok lemah ini menjadi semakin dirugikan manakala investor land grabbing mendapat dukungan dan proteksi yang kuat dari negara karena klaim-kalim mereka yang telah membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan pendapatan (win win solution claim). Akibat yang kedua adalah minimalisasi akses terhadap sumber-sumber pangan sebab sumber pangan yang dulu adalah kontrol dari masyarakat setempat tetapi sejak land grabbing dilakukan, maka akses terhadap sumber-sumber pangan menjadi di bawah kontrol investor asing (Daniel & Mittal 2009). Pangan kemudian tidak
54
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
merupakan sesuatu yang didistribusikan melalui kelembagaan sosial tradisional masyarakat yang mereka praktekkan dari generasi ke generasi tetapi telah berubah menjadi sesuatu yang distribusinya dilakukan dalam mekanisme-mekanisme pasar. Dengan demikian akan segera tampak bahwa mereka yang tidak memiliki cukup modal untuk memperoleh sumber pangan dari pasar akan menjadi kelompok sosial paling rentan padahal dahulunya mereka adalah pemilik tanah dan pemegang kontrol atas produksi dan distribusi sumber-sumber pangan karena mereka yang memiliki alat-alat produksinya. C. Land Grabbing, Perluasan Kapital, dan Masalah Internal Displacement Person’s Bagaimana sebenarnya praktek land grabbing ini didudukkan secara kritis dan bagaimana praktek ini seharusnya dipahami? Apakah faktor pendorong utamanya yaitu krisis pangan dan energi benar-benar merupakan dasar satu-satunya bagi kemunculanya? Ataukah praktek ini adalah bagian dari perluasan kapitalisme? Mengingat pada dasanya praktek serupa ini dalam sejarah sudah pernah dilakukan meskipun dalam bentuk yang tidak jauh berbeda. Penulis melihat bahwa land grabbing pada dasarnya merupakan perluasan ruang-ruang baru kapitalisme sebagai bagian dari upaya mengatasi kondisi overaccumulation. Surplus kapital di negara-negara kaya dihasilkan melalui praktik pembangunan kapitalisme yang sampai taraf tertentu surplus itu tidak lagi memadai diputar di dalam negaranya sendiri. Agar surplus itu tidak hilang maka harus dicari wilayah lain yang dianggap memungkinkan dipertahankannya surplus dan dilipatgandakanya surplus tersebut. Itulah sebabnya pelaku land grabbing paling terdepan adalah negara-negara kaya di dunia yang tidak lagi memiliki lahan untuk pertanian. Praktek ini, sebagian besar merupakan dorongan
watak kapital yang terus menuntut akumulasi dengan mencari ruang-ruang baru sirkulasinya. Tiga watak utama kapital yang terus mendorongnya mencari daerah-derah baru adalah akumulasi, enclosure, dan dispossession. Oleh sebab itu, praktek ini harus dipahami dalam kerangkan apa yang disebut dengan dinamika modal (the dynamic of capital) (Ito, Rachman, dan Savitri, 2011). Dinamika modal berkaitan dengan sejarah politik kapitalisme yang bertumpu pada kecenderunganya mengakumulasi dan melakukan perluasaan wilayah jelajah. Kondisi over-akumulasi kemudian dipecahkan dengan jalan menciptakan ruang baru yang belum terjamah oleh relasi produksi kapitalisme. Oleh karena itu, praktek pengurungan atau pemagaran wilayah tertentu, melakukan pencabutan hak, dan merubah kondisi-kondisi sosial ekonomi di suatu wilayah menjadi bagian tak terpisahkan dari praktek ini. Menurut de Angelis (2004:72) praktek perluasan ini terkait dengan dua hal yaitu kolonisasi wilayah tapal batas dan melakukan rekomposisi politik. Wilayah tapal batas yang dimaksudkan adalah wilayah hidup yang belum tersentuh oleh relasi produksi kapitalisme, sedangkan rekomposisi politik adalah upaya melenyapkan hambatan-hambatan sosial yang menghalangi proses produksi kapitalisme. Kombinasinya tampak nyata ketika krisis energi dan pangan dunia membuka kesempatan bagi negara, korporasi internasional dan pemerintah di level lokal untuk mentransformasikan tidak hanya ruang geograf is yang mengandung tanah-tanah subur dan hutan-hutan alami tetapi juga ruang-ruang sosial dan relasi-relasi produksi yang hadir sebelum land grabbing (Ito, Rachman, Savitri 2011: 6). Dinamika kapital tidak hanya berupa perampasan sumber daya dengan melepaskan produsen dari alat-alat produksi tetapi ia juga merupakan kekuatan sosial yang bekerja untuk memperdalam relasi kapitalistik yang
Amin Tohari: Land Grabbing dan Potensi IDP .....: 49-62
dibentuk untuk menyerap sebanyak mungkin surplus produksi. Kondisi-kondisi yang kemudian terbentuk dari proses akumulasi dan ekspansi ini di antaranya adalah apa yang disebut dengan Internal Displacement Person (IDP). Orang-orang yang terasingkan dari wilayah tempat sebelumnya mereka memiliki kontrol terhadapnya. Jika menggunakan term akses Ribot dan Peluso (2003), mereka adalah orang-orang yang tidak lagi memiliki kemampuan untuk memperoleh manfaat atau keuntungan dari sesuatu—yang dulu mereka miliki, bahkan dalam derajat tertentu mereka tidak lagi memiliki hak memperoleh manfaat dari sesuatu tersebut. Bagi Ribot dan Peluso (2003) kondisi ini berada dalam hubungan-hubungan sosial yang menghambat dari memperoleh manfaat penggunaan sumber daya tertentu. Pengertian ini, dalam konteks land grabbing, lebih tepat dan lebih spesifik daripada pengertian IDP resmi yaitu;
“Persons or groups of persons who have been forced or obliged to flee or to leave their homes or places of habitual residence, in particular as a result of or in order to avoid the effects of armed conflict, situations of generalized violence, violations of human rights or natural or human made disasters, and who have not crossed an internationally recognized State border” (Global Protection Cluster Working Group 2007: 6). Konsep IDP sebenarnya juga terkait dengan kelompok-kelompok yang tersingkir dari praktek semacam land grabbing. Mereka kehilangan akses terhadap tanah mereka atau properti lainya yang pernah mereka miliki atau mereka terputus dari kehidupan normal mereka dan sumber penghasilan mereka, dan sebagai hasilnya mereka mengalami pemiskinan, marjinalisasi, eksploitasi, dan obyek kesewenang-wenangan (Global Protection Cluster Working Group 2007). Namun demikian, tetap akan kesulitan untuk melihat sebaran IDP Indonesia yang didasarkan
55
pada kondisi yang diakibatkan oleh praktek akumulasi kapital melalui perampasan ruang hidup yang seringkali dilakukan dengan cara yang relatif halus dan sebagian besar dianggap legal. Ini karena kebanyakan laporan tentang IDP hanya merilis IDP yang diakibatkan oleh konflik sosial maupun konflik militer dan bencana alam (lihat Hugo 2002). Pada tahun 2007 misalnya, Internal Displacement Monitoring Centre (IDMC) dan Norwegian Refugee Council hanya menyebutkan bahwa IDP di Indonesia sekitar 100.000-200.000 orang sebagai akibat konflik sosial dan militer sejak awal tahun 2000. Mereka adalah orang-orang yang menderita akibat konflik di Aceh, Maluku-Ambon, Sampit-Kalimantan Tengah, Poso-Sulawesi Utara, dan Papua Barat. Sampai laporan itu dirilis kondisi IDP Indonesia yang tersebar di berbagai wilayah itu sangat tidak memadai akibat manajeman dan pengurusan yang diwarani oleh korupsi dan penyalahgunaan bantuan (IDMC & NRC 2007: 91). Kelompok-kelompok masyarakat yang sebenarnya masuk dalam kategori IDP sesuai dengan pengertian IDP yang terkait dengan perampasan tanah di atas, di Indonesia sangat banyak jumlahnya tetapi tidak kelihatan (dalam data IDP). Untuk melihat massifnya gerak ekspansi kapital yang menimbulkan akibat pada banyaknya IDP di Indonesia salah satunya adalah dengan melihat kasus konflik pertanahan antara warga, negara, dan kekuatan-kekuatan kapital. Dalam tiga tahun terakhir ini, graf ik kejadian konflik agraria di tanah air terus menunjukkan peningkatan. Jika di tahun 2010 terdapat sedikitnya 106 konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia, kemudian di tahun 2011 terjadi peningkatan drastis, yaitu 163 konflik agraria, yang ditandai dengan tewasnya 22 petani/warga tewas di wilayah-wilayah konflik tersebut, maka sepanjang tahun 2012 ini, KPA mencatat terdapat 198 konflik agraria di seluruh Indonesia. Luasan ar-
56
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
eal konflik mencapai lebih dari 963.411,2 hektar, serta melibatkan 141.915 kepala keluarga (KK) dalam konflik-konflik yang terjadi. Sementara catatan kriminalisasi dan kekerasan terhadap petani sepanjang tahun 2012 adalah; 156 orang petani telah ditahan, 55 orang mengalami luka-luka dan penganiayaan, 25 petani tertembak, dan tercatat 3 orang telah tewas dalam konflik agraria. Dari 198 kasus yang terjadi di tahun 2012, terdapat 90 kasus terjadi di sektor perkebunan (45%); 60 kasus di sektor pembangunan infrastruktur (30%); 21 kasus di sektor pertambangan (11 %); 20 kasus di sektor kehutanan (4%); 5 kasus di sektor pertanian tambak/ pesisir (3%); dan 2 kasus di sektor kelautan dan wilayah pesisir pantai (1 %). Sejak 2004 hingga sekarang telah terjadi 618 konflik agraria di seluruh wilayah Republik Indonesia, dengan areal konflik seluas 2.399.314,49 hektar, dimana ada lebih dari 731.342 KK harus menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan. Ketidakberpihakan pemerintah kepada masyarakat yang tengah berkonflik, tindakan intimidasi dan kriminalisasi, serta pemilihan cara-cara represif oleh aparat kepolisian dan militer dalam penanganan konflik dan sengketa agraria yang melibatkan kelompok masyarakat petani dan komunitas adat telah mengakibatkan 941 orang ditahan, 396 mengalami luka-luka, 63 orang diantaranya mengalami luka serius akibat peluru aparat, serta meninggalnya 44 orang di wilayah-wilayah konflik tersebut selama periode 2004–2012. Dalam konteks pembangunan dan kebijakan pemerintah, residu dari hal ini yang berbentuk IDP, biasanya tidak masuk dalam pengertian IDP yang diakui secara Internasional. UN OCHA dalam buku Prinsip-prinsip Panduan Untuk IDP menggariskan secara tegas;
“The distinctive feature of internal displacement is coerced or involuntary movement that takes place within national borders. The reasons for flight may
vary and include armed conflict, situations of generalized violence, violations of human rights, and natural or human-made disasters. Persons who move from one place to another voluntarily for economic, social, or cultural reasons do not fit the description of internally displaced persons to whom the Guiding Principles apply. By contrast, those who are forced to leave their home areas or have to flee because of conflict, human rights violations, and other natural or human-made disas-ters do fit the description of the internally displaced. In some cases, internal displacement may be caused by a combination of coercive and economic factors…” (Brookings Institution, UN OCHA 1999:5). Tentu saja dengan definisi semacam ini sulit untuk memasukkan orang-orang yang pergi meninggalkan rumah secara suka rela tetapi lebih disebabkan oleh kondisi-kondisi yang mamaksa seperti penyitaan tanah, pajak yang memberatkan, atau kondisi ekonomi yang membuat meninggalkan rumah adalah opsi yang paling memungkinkan dan rasional untuk merubah hidup (Bosson, 2007). Pembangunan yang lebih banyak didorong dan dioperasikan oleh prinsip accumulation by dispossession pada kenyataanya juga memunculkan banyak akibat yang membuat penduduk kehilangan tempat hidupnya (Lin, 2008). Namun sayangnya isu pembangunan yang membawa displacement tidak menjadi inti atau bagian penting dari wacana dan praktek advokasi bagi orang-orang yang tersingkir di rumahnya sendiri. Di beberapa negara berkembang Brazil dan Mexico misalnya, pembangunan yang membawa displacement tersebut menciptakan atau memperluas ketidaksetaraan di dalam masyarakat, melenyapkan sumber penghidupan tradisional, mencabut orang-orang dari kehidupan komunitasnya dan masuk ke dalam bentuk kehidupan individual yang terpecah-pecah dan saling berhadapan satu sama lain di dalam sistem ekonomi oportunistik. Hal ini juga memunculkan budaya konsumer yang mengakibatkan kehancuran sumber daya alam (Sharma 2003:980). Kasus Merauke Integrated
Amin Tohari: Land Grabbing dan Potensi IDP .....: 49-62
Food and Energy Estate (MIFEE) di Papua pada dasarnya merupakan praktek dari kebijakan pembangunan bukan hanya pemerintah nasionallokal tetapi juga bagian dari keinginan dunia internasional yang membawa akibat-akibtanya sendiri terutama—dalam kasus MIFEE—adalah terkait dengan internally displacment person. Logika pembangunan dan pengembangan yang dibaluti oleh alasan-alasan ekonomi seperti meningkatkan taraf hidup masyarakat biasanya menyimpan residu bagi masyarakat lokal karena praktek semacam ini membawa dalam dirinya ukuran-ukuran compatibilatas operasi yang seringnya tidak sesuai dengan kondisi-kondisi masyarakat lokal. D. MIFEE dan Potensi Internal Displacement Persons MIFEE secara resmi dibuka pada 11 Agustus 2010 oleh Menteri Pertanian Indonesia. Proyek besar ini dimaksudkan sebagai proyek pembangunan skala besar yang didesain untuk memproduksi tanaman pangan dan bahan bakar dari tumbuhan. Total target luas penggarapanya adalah 1,282,833 hektar dengan perincian; 423,251.3 hektar pada 2010-2014; 632,504.8 hektar pada 2015-2019; dan 227,076.9 hektar pada 20202030 (GoI 2010: 36; BKTRN 2010: 10). Melalu MIFEE ini diproyeksikan pada 2020 akan menghasilkan produksi pangan beras sebesar 1.95 juta ton, jagung 2.02 juta ton, kedelai 167,000 ton, sapi 64,000, gula 2.5 juta ton, minyak kelapa sawit mentah 937,000 tin per tahun. Di Indonesia, proyek besar ini dilandaskan pada Kepres No 05/ 2007 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat dan Peraturan Pemerintah No. 39/2009 tentang Zona Ekonomi Khusus yang menetapkan Papua sebagai lokasi strategis pembangunan nasional. Pada 2010, Peraturan Pemerintah No. 18/2010 tentang Pertanian Pangan menjadi dasar payung proyek MIFEE (Jasuan, 2011).
57
Dilihat dari rencana tata ruang, Merauke dibagi ke dalam IX Kluster Sentra Produksi Pangan. KSSP I adalah Greater Merauke mencakup lahan seluas 9.932 hektar, KSSP II Kalikumb luasnya 214.336 hektar, KSSP III Yeinan 82.966 hektar, KSSP IV Bian 91.754 hektar, KSSP V Okaba 127.271 hektar, KSSP VI Ilwayab 78.036 hektar, KSSP VII Tubang 180.115 hektar, KSSP VIII Tabonji 213.725, dan KSSP IX Nakias dengan luas 139.700. Secara lebih luas persebaran dan lokasi masing-masing KSSP tersebut dapat dilihat pada gambar peta di bawah ini (Gambar.2.). Rencana Koridor Ekonomi Papua-Maluku 2011-2015 yang dicanangkan pemerintah terdiri dari Sorong, Wamena, Manokwari, Jayapura, dan Merauke juga menempatkan Merauke sebagai sentra produksi pertanian selain sebagian wilayah Jayapura lainya. Peta Arahan Kluster Sentra Produksi Pertanian Kawasan Merauke
Sumber: Dirjen Sarana dan Prasarana Pertanian Kementerian Pertanian 2010 Investasi besar produksi pangan dan energi skala besar ini tidak dilakukan oleh perusahaanperusahaan negara tetapi semua perusahaan yang adalah perusahaan swasta baik dalam negeri maupun luar negeri. Jika melihat data Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah dan Perijinan (BKPMDP)Kabupaten Merauke tahun 2009, total area MIFFE lebih besar yaitu 1.616.234,56 hektar. Dari total jumlah tersebut 316.347 Ha untuk perkebunan kelapa sawit dikuasi 8 perusahaan, 156.812 Ha untuk perkebunan tebu dan produksi gula dipegang 5
58
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
perusahaan, 97.000 Ha untuk perkebunan jagung yang dikuasai 4 perusahaan, 973.057,56 Ha untuk hutan tanaman industri yang dipegang 9 perusahaan, 69.000 Ha untuk produksi tanaman pangan dipegang 3 perusahaan, 2.818 Ha untuk produksi kayu dikuasi 2 perusahaan, dan 1.200 Ha untuk pembangunan pelabuhan yang dipegang oleh satu perusahaan (lihat Tabel.4.). Tabel.4. Daftar Perusahaan, Luas Areal, dan Jenis Tanaman/Usaha No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Nama Perusahaan
Luas Area (Ha)
PT. Bio Inti Agrindo 39.900 Ha PT. Ulilin Agro Lestari 30.000 Ha PT. Dongin Prabhawa 39.800 Ha PT. Berkat Cipta Abadi 40.000 Ha PT. Papua Agro Lestari 39.800 Ha PT. Hardaya Sawit Papua 62.150 Ha PT. Mega Surya Agung 24.697 Ha PT. Agrinusa Persada Mulia 40.000 Ha Total Areal: 316.347 Ha PT. Tebu Nusa Timur 12.000 Ha PT. Papua Resources Indonesia 20.000 Ha PT. Agri Surya Agung 40.000 Ha PT. Nusantara Agri Resources 40.000 Ha PT. Hardaya Sugar Papua 44.812 Ha Total Areal: 156.812 Ha PT. Muting Jaya Lestari 40.000 Ha PT. Digul Agro Lestari 40.000 Ha PT. Tjipta Bangun Sarana 14.000 Ha PT. Muting Jaya Lestari 3.000 Ha Total Areal : 97.000 Ha PT. Energi Hijau Kencana 90.225 Ha PT. Plasma Nutfah Marind Papua 67.735 Ha PT. Inocin Abadi 45.000 Ha PT. Balikpapan Forest Indonesia 40.000 Ha PT. Wanamulia Suskes Sejati 61.000 Ha PT. Wanamulia Suskes Sejati 96.553, 560 Ha PT. Wanamulia Suskes Sejati 116.000 Ha PT. Kertas Nusantara 154.943 Ha PT. Selaras Inti Semesta 301.600 Total Area : 973.057,56 Ha PT. Sumber Alam Sutera 15.000 Ha PT. Bangun Cipta Sarana 14.000 Ha PT. Karisma Agri Pratama 40.000 Ha Total Areal: 69.000 Ha PT. Muting Mekar Hijau 18 Ha PT. Medco Papua Industri Lestari 2.800 Ha Total Areal: 2.818 Ha PT. Cupta Beton Sinar Perkasa 1.200 Ha
Jenis Tanaman/Usaha Sawit Sawit Sawit Sawit Sawit Sawit Sawit Sawit Gula Tebu Gula Tebu Gula Tebu Gula Tebu Gula Tebu Jagung Jagung Jagung Jagung Hutan Industri Hutan Industri Hutan Industri Hutan Industri Hutan Industri Hutan Industri Hutan Industri Hutan Industri Hutan Industri Tanaman Pangan Tanaman Pangan Tanaman Pangan Industri Kayu Industri Kayu Pembangunan Pelabuhan
Total Areal: 1.200 Ha TOTAL AREA : 1.616.234,56 Ha
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah dan Perijinan (BKPMDP), Pemerintah Kabupaten Merauke, 2009. Merauke terletak di selatan Papua yang terdiri dari banyak hutan-hutan rawa dengan banyak aliran sungai, bercampur dengan padang rumput luas. Merauke adalah satu tempat penting yang dilimpahi kekayaan biodiversitas. Suku lokal yang hidup di wilayah ini adalah suku Malind, Muyu
dan Mandobo, termasuk suku Mappi dan Auyu. Dalam konteks proyek MIFEE, suku Malind adalah suku yang paling terkena dampak proyek pangan dan energi tersebut. Suku Malind saling mengenal satu sama lain melalui simbol klan. Terdapat enam klan besar dalam suku ini dengan simbol mereka masing-masing. Klan gebze disimbibolkan dengan kelapa, Mahuze dengan sagu, Basik dengan babi, Samkakai dengan kanguru, Kaize dengan burung kasuari, dan Balagaise dengan burung elang. Simbol-simbol ini terkait dengan aturan-aturan adat yang mengontrol dan berpangaruh terhadap kehidupan mereka. Kehilangan salah satu simbol ini dari alamnya berarti kehilangan identitas mereka. Karena itu, hewan dan tumbuhan yang melambangkan setiap klan ini harus dijaga dan dilindungi agar setiap klan tidak kehilangan identitas masing-masing. Orang Malin mengidentif ikasi dirinya dengan sesuai dengan leluhurnya (Dema). Suku Malin juga percaya bahwa tempat-tempat tertentu adalah keramat yang pasti disinggahi oleh leluhur mereka itu. Mereka juga percaya bahwa leluhur mereka hidup di tempat itu sehingga mereka berkewajiban untuk melindungi tempat-tempat itu dan menghormatinya. Jika mereka tidak melakukanya, mereka percaya bahwa mereka akan mendapat hukuman adat yang akan menimbulkan sesuatu yang buruk bagi kehidupan mereka. Kepercayaan ini terus diturunkan dari generasi ke generasi. Proyek besar MIFEE berada di wilayah teritorial suku ini yang berpotensi mengancam dan memusnahkan kepercayaan, identitas, simbol leluhur, dan sumber pangan mereka. Karena itu banyak penolakan dilakukan oleh suku ini terhadap program MIFEE meskipun bupatinya adalah orang Malind sendiri dari klan Gebze, John Gluba Gebze (Moiwend, 2011). Orang-orang Malind memiliki mekanisme sendiri dalam memanfaatkan sumberdaya alam. Setiap klan memiliki teritori adat sendiri yang
Amin Tohari: Land Grabbing dan Potensi IDP .....: 49-62
berfungsi untuk tempat berburu, berkebun, tangkapan ikan, dan pemukiman. Setiap tempat mempunyai batas-batas sendiri yang tidak kelihatan dalam peta resmi hak tanah pemerintah. Apabila tempat-tempat suci dan batas-batasnya hilang, ini berarti akan terjadi konflik di antara mereka. Dengan total arena okupasi 1.616.234,56 Ha oleh 32 perusahaan dipastikan berpotensi melenyapkan basis kehidupan orang-orang Malind dan suku-suku lainya yang masih tergantung pada moda produksi berburu-meramu dan pertanian rumah tangga. Konflik dan sengketa diperkirakan akan terus terjadi antara masyarakat asli dengan perusahaan dan pemerintah. Sebuah riset yang dilakukan oleh Greenomic Indonesia pada 2010 menyebutkan bahwa hanya 4.92 % (atau sekitar 235.260,68) dari 4.78 juta hektar luas Merauke yang bukan kawasan hutan. Bagian lain dari total luas areal itu yang mencakup 4.55 juta hektar atau sekitar 95 % masih merupakan hutan. MIFEE diperkiran akan menghabisi hutan Merauke secara masif, menghilangkan kekayaan biodiversitas, dan menyingkirkan orang-orang asli yang mendiami daerah tersebut sejak lama. Data lain menyebutkan seluas 125.485,5 hektar di antaranya adalah bukan kawasan hutan, sisanya seluas 1.157.347,5 hektar adalah kawasan hutan.”Kawasan hutan tersebut merupakan kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK), yang secara tata ruang memang dicadangkan untuk pembangunan di luar sektor kehutanan,seperti pertanian. Namun, dari total luas 1,45 juta hektar kawasan HPK di Merauke, hanya 366.612,4 hektar yang dalam kondisi tak ber-hutan. Sisanya seluas 1,06 juta hektar masih berupa tegakan hutan alam dengan kondisi baik (Pakage 2010). Dampak sosial-budaya dan politik MIFEE terhadap orang-orang asli Papua juga dilaporkan oleh tim pencari fakta dan studi lapangan yang dilakukan oleh Zakaria, dkk (2010). Mereka melaporkan bahwa MIFEE mengabaikan kesen-
59
jangan budaya sekitar 125 abad antara moda produksi budi daya dan berburu, kemudian marginalisasi orang-orang Papu adalah hasil dari proyek ini dari aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Pendek kata Internal Displacement Person akan menjadi akibat paling nyata dari proyek besar ini. Besarnya kemungkinan tersebut setidaknya dapat diperkirakan dari beberapa hal; pertama adalah masalah kesenjangan sosialbudaya masyarakat sekitar proyek MIFEE. Kesenjangan ini terlihat dari rendahnya pendidikan masyarakat Papua yang bercampur dengan moda produksi bukan modern yaitu berburu-meramu, dan mereka masih sangat tergantung pada hutan. Moda produksi demikian itu dengan struktur sosial dan budaya yang terbentuk di atasnya, bagi masyarakat Papua khususnya Merauke tidak mudah untuk bisa masuk ke sektor pertanian modern yang termekanisasi karena modernisasi moda produksi mensyaratkan keterampilan dan kemampuan tertentu yang dibutuhkan oleh logika industri. Dengan tingkat pendidikan yang rendah dan keterampilan yang tidak memadai orang-orang Merauke ini akan sulit terserap ke sektor pertanian modern tersebut. Sementara di sisi lain tanah dan hutan yang selama ini menopang dan menjadi basis kehidupan masyarakat telah hilang. Internal Displacement Person akan menjadi satu dampak nyata yang segera terlihat. Kedua, terjadinya perubahan komposisi demografis besar karena kebutuhan tenaga buruh yang sangat tinggi yang memaksa untuk mendatangkan tenaga buruh dari luar Papua, tentunya dengan pertimbangan buruh luar Papua memiliki keahlian, keterampilan, dan kemampuan lebih tinggi dari pada masyarakat lokal. Jika diperkirakan sekitar 4 juta orang akan didatangkan dari luar Papua untuk bekerja sebagai buruh-tani dalam proyek MIFEE, artinya akan ada pertambahan penduduk sekitar 4 juta buruh-tani + 4 juta (suami/istri buruh-tani) + 8
60
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
juta (2 orang anak mereka sesuai standar KB) + 8 juta (2 orang kerabat buruh-tani) = 24 juta orang. Dengan jumlah populasi penduduk pribumi Merauke yang hanya sekitar 52.413 orang atau sekitar 30% dari 174.710 total penduduk Kabupaten Merauke (Papua dan Non Papua), maka bisa diperkirakan perubahan besar demografi ini dapat men-displacement orang Papua dari akses pada sumber-sumber ekonomi dan sumber penghidupan lainya (Pakage 2010). Ketiga, sebagaimana sudah disebutkan di depan bahwa proses dispossession yang merupakan bawaan lahir dari akumulasi kapital secara otomatis bekerja melakukan pemagaran dan peminggiran. Hal ini dilakukan untuk memperdalam relasi moda produksi kapitalistik dai dalam ruang hidup baru. Proses enclosure dan dispossession menempatkan kapital bukan hanya sebagai kekuatan ekonomi tetapi juga kekuatan sosial yang bekerja melampuai batas-batasnya (De Angelis 2004:72). Modernisasi pertanian dalam proyek MIFEE dipastikan akan bekerja dalam logika akumulasi kapital. Proses ini, jika tidak secara positif melibatkan masyarakat lokal dan tidak mempersiapkan jaring pengaman dari resiko sirkulasi kapital yang ekspansif tersebut, besar kemungkinan akan menciptakan polarisasi ekonomi baru. Masyarakat lokal Papua yang dulu memiliki kedaulatan hidup akan berubah dan menempati tingkat ekonomi paling rendah. Keempat, perubahan modus produksi, susunan demograf i, dan akses sumber-sumber ekonomi akan lebih banyak bisa diraih oleh kelompok migran karena kesempatan ekonomi yang tersedia. Hal ini lebih memungkinkan bagi mereka untuk mendapat akses kepada kekuasaan, seperti halnya pada bidang pemerintahan. Rekomposisi politik yang ditimbulkan dari proses accumulation by dispossession yang dibawa oleh proyek MIFEE diperkirakan menempatkan masyarakat Papua di luar sumber kekuasaan.
Tabel.5. Aspek dan Dampak Potensial MIFEE No Aspek 1 Kesenjangan Sosial-Budaya
2
Revolusi Demografi
3
Marjinalisasi Ekonomi
4
Marjinalisasi Politik
Dampak Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat Papua dan moda produksi berburu dan meramu akan melemparkan mereka dalam perubahan besar ini dari pola pertanian rumah tangga ke pertanian perusahaan mekanistik Permintaan buruh pertanian diperkirakan akan mendatangkan sekitar 4.8 juta pendatang baru dari luar Papua yang membuat populasi orang Papua hanya 5 % dari total penduduk. Perubahan demografi ini akan men-displace orang Papua dari akses terhadap sumber eko nomi, seperti yang dialami masyarakat Papua dari dampak program Transmigrasi pada 1980 an. Modernisasi pertanian yang tidak menyediakan ruang bagi orang-orang Papua dalam prosesnya akan menimbulkan polarisasi sosial-ekonomi, dan akan menempatkan orang-orang papua pada tingkat ekonomi paling rendah. Kekuatan ekonomi besar yang lebih bisa diakses oleh migran dari pada orang asli Papua akan melahirkan akses yang lebih luas bagi kekuasaan politik seperti halnya pada kantor pemerintahan, dan bentukbentuk kepemimpinan politik lainya. Kondisi-kondisi ini potensial meningkatkan konflik sosial di Papua.
Sumber: Zakari, dkk., 2010. E. Kesimpulan Internal Displacement Person (IDP) yang sejauh ini lebih banyak terfokus pada korban konflik dan korban bencana alam, sudah saatnya digeser lebih luas ke wilayah korban pembangunan (Sah 1995, Patkar 1998). Enclosure dan gerak dispossession yang masif membawa dampak peminggiran orang-orang dari tanah mereka. Menurut Li (2009) ciri proses dispossesion di Asia didorong oleh tiga faktor yang merasuk ke masyarakat pedesaan. Pertama, penyitaan tanah oleh negara dan perusahaan-perusahaan yang mendapat dukungan oleh negara. Kedua, piecemeal dispossession pada pertanian skala kecil yang tidak mampu survive ketika masuk dalam gelanggang kompetisi dengan modal skala besar. Ketiga, menutup batas-batas hutan masyarakat untuk proyek konservasi. Proses-proses ini banyak didorong oleh ekspansi akumulasi primitif yang untuk menjaga keberlanjutan melakukan pendalam sistem relasi kapitalisme melalui rekomposisi politik, restrukturasi modus produksi, dan pemagaran terhadap kelompok-kelompok
Amin Tohari: Land Grabbing dan Potensi IDP .....: 49-62
yang tidak mampu masuk dan menyesuaikan diri dengan logika akumulasinya. Kasus MIFEE di Papua merupakan ciri dari gerak enclosure dan dispossession dengan melakukan pencabutan tanah masyarakat oleh negara dan korporasi-korporasi nasional dan internasional yang mendapat dukungan negara. Akibat paling nyata di masa depan adalah munculnya Internal Displecement Person karena orang-orang setempat tidak mampu menyesuaikan diri dengan logika industrialisasi pertanian skala besar. Merauke Integrated Food and Energy Estate memunculkan empat persoalan yaitu kesenjangan sosial-budaya, revolusi demograf i, marjinalisasi ekonomi, dan marjinalisasi politik. Proses-proses seperti di atas dalam jangka panjang memunculkan persoalan yang terkait dengan pemajuan, perlindungan, dan pemenuhan hak asai manusia. Internal Displacement Person merupakan kelompok yang paling rentan mengalami pelanggaran hak karena hilangnya sumber pendapan dan sumber daya alam yang dalam kasus MIFFE adalah hutan dan tanah yang sejak lama menjadi bagian kehidupan mereka. Hak-hak individu yang diakui secaa internasional termasuk di dalamnya hak hidup, makanan, kesehatan, bekerja, dan bebas dari diskriminasi dalam dimensi apapun terancam terlanggar dalam kasus MIFFE padahal, norma hukum menuntut pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan memajukannya. Dalam kaitanya dengan hak makanan misalnya, negara harus mengambil tindakan yang menghalangi seseorang mendapatkan akses pada makananya. Sedangkan kewajiban untuk melindungi adalah terkait dengan langkah-langkah negara untuk meyiapkan kerangka aturan dan melakukan tindakan pencegahan terhadap perbuatan perusahaan maupun perorangan yang mungkin akan mencabut akses seseorang atas makananya. Negara juga diwajibkan untuk mengidentifikasi
61
orang-orang yang paling rentan dan mengeluarkan kebijakan untuk menjamin akses mereka terhadap sumber makanan termasuk memfasilitasi kemampuan mereka untuk mencari makan bagi diri mereka sendiri.
Daftar Pustaka Anonym. 2007. Handbook for the Protection of Internally Displaced Persons. Global Protection Cluster Working Group: Geneva. Anonym. 2011. The Global Land Grab: A Human Rights Approach. Diunduh pada situs http:/ / w w w. 3 d t h r e e . o r g / p d f _ 3 D / 3D_Reportlandgrabseminar.pdf pada 21 April 2011. Araghi, Farshad. 2009. “Invisible Hand, Visible Foot”, dalam Lodhi-Akram, Harun and Kay, Cristobal. 2009. Peasants and Globalization; Political Economy, Rural Transformastion, and Agrarian Question. London and New York: Rotledge. Colbran, Nicola. n.d. Human Rights Implications of Land Grabs: Palm Oil in Indonesia. Indonesia Programme. Diunduh dari http:// w w w. 3 d t h r e e . o r g / p d f _ 3 D / NicolaColbran_Indonesia.pdf pada 21 Mei 2011. Daniel, Shepard dan Mittal, Anuradha. 2009. The Great Land Grab Rush For World’s Farmland Threatens Food Security For The Poor. USA: Oaklan Institute. Naskah ini diunduh dari situs http://www.oaklandinstitute.org/ pdfs/LandGrab_final_web.pdf pada 21 April 2011. De Angelis, Massimo. 2004. “Separating the Doing and the Deed: Capital and the Continuous Character of Enclosures.” Historical Materialism 12:57-87. Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li. 2011. Powers of Exclusion: Land Dilemmas in Southeast Asia. Singapore and Manoa: NUS Press and University of Hawaii Press. E. Hedman,Eva-Lotta (edt). 2007. Dynamics of
62
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Conflict and Displacement in Papua, Indonesia. Refugee Studies Centre: University of Oxford. Ginting,Longgena and Pye, Oliver. 2011. Resisting Agribusiness Development: The Merauke Integrated Food and Energy Estate in West Papua, Indonesia. Paper presented at the International Conference on Global Land Grabbing 6-8 April 2011: University of Sussex. Grabska,Katarzyna dan Mehta,Lyla (eds). 2008. Forced Displacement Why Rights Matter. New York:Palgrave Macmillan. Hardianto,B Josie Susilo. MIFEE, Berkah atau Kutuk? Diunduh dari http:// www.batukar.info/komunitas/articles/ mifee-berkah-atau-kutuk pada 21 Mei 2011. IDMC and NRC. 2006. Indonesia: Support needed for return and re-integration of displaced Acehnese following peace agreement. Geneva: Norwegian Refugee Council Ito, Takeshi at.all,. 2011. Naturalizing Land Dispossession: A Policy Discourse Analysis of the Merauke Integrated Food and Energy Estate. Paper presented at the International Conference on Global Land Grabbing 6-8 April 2011, University of Sussex. Jasuan,Yulian Junaidi. 2011. Land Grabbing in Indonesia. Paper presented at the International Conference on Global Land Grabbing: University of Sussex. Jennings, Edmund. 2007. Internal Displacement. Geneva: Imprimerie Lenzi. Li,Tania Murray. 2009. To Make Live or Let Die? Rural Dispossession and the Protection of Surplus Populations. Antipode Vol. 41 No. S1. M. Borras Jr,Saturnino and C. Franco,Jennifer. 2011. Political Dynamics of Land-grabbing in Southeast Asia: Understanding Europe’s Role. Transnational Institute: Amsterdam The Netherlands. Malik,Mahnaz. 2011. Foreign investment into agriculture: Investment Treaties and the ability of governments to balance rights and obligations between foreign investors and local communities. Paper presented at the International Conference on Global Land
Grabbing: University of Sussex. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 – 2025. Istana Bogor, 11 Februari 2011. Mitchell, d. 2008. “A Note on Rising Food Prices.” Policy Research Working Paper 4682. World Bank: New York Moiwend, Rosa. 2010. War Prof iteer of the Month: Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) - A Food Project Invasion in West Papua. Diunduh dari http://www.wriirg.org/node/12386 pada 19 Mei 2011. Pakage, John. 2010. MIFEE Di Merauke Adalah Genosida. Diunduh dari http://digoel. wordpress.com/2010/07/08/mifee-dimerauke-adalah-genosida/ pada 21 Mei 2011. Patkar,Medha. 1998. The People’s Policy on Development, Displacement and Resettlement: Need to Link Displacement and Development. Economic and Political Weekly, Vol. 33, No. 38, pp. 2432-2433. Ribot, Jesse C. dan Lee Peluso, Nancy. 2003. A Theory of Access. Journal Rural Sociology , Volume 68, Nomor 2. pp 153-181. Sah, D. C., 1995. Development and Displacement: National Rehabilitation Policy. Economic and Political Weekly, Vol. 30, No. 48, pp. 3055-3058. Smaller, Carin. 2005. Planting the Rights Seed: A human rights perspective on agriculture trade and the WTO. Swiss Agency for Development and Cooperation (SDC), 3D, and IATP. von Braun, Joachim and Meinzen-Dick, Ruth. 2009. Land Grabbing by Foreign Investors in Developing Countries: Risks and Opportunities. FPRI Policy Brief 13 April 2009. Zakaria, Y., E.O. Kleden, and F. Samperante. 2010. Beyond Malind imagination: Beberapa catatan atas upaya percepatan pembangunan cq. Merauke Integrated Food and Estate (MIFEE) di Kabupaten Merauke, Papua, dan kesiapan masyarakat adat setempat dalam menghadapinya. Jakarta: Pusat Studi dan Advokasi Hak-hak Masyarakat Adat (PUSAKA).
PERLAWANAN EKSTRA LEGAL: “TRANSFORMASI PERLAWANAN PETANI MENGHADAPI KORPORASI PERKEBUNAN” Muhammad Afandi*
Abstract: History of plantation is the history of peasants’ land grabbing in Nusantara. The peasants have responded this situation with resistance in many ways. The theme of the research is peasant resistance during the transition of democracy organized by peasant movement of Deli Serdang confronts PTPN II. This research reveals that the peasants consider that reformation era has opened political chance for them to struggle in legal ways. But when the resistance in legal way is dead locked, the peasants took another way to rebel, in the extra legal way, with its consequences such as open war with national military or civilian militia recruited by PTPN II. The birth of extra legal movement is the consequence of nation failure and it is also the consequence of the contradictions of the formal law in handling agrarian conflict. Keywords Keywords: PTPN II, peasant social movement, reclaiming, rebellion transformation. Intisari: Intisari:Sepanjang sejarahnya perkebunan telah mengakibatkan terjadinya perampasan tanah-tanah petani di seluruh pelosok Nusantara. Situasi yang demikian direspon oleh petani dengan melakukan perlawanan-perlawanan melalui beragam cara. Penelitian ini mengangkat tema perlawanan petani di era “transisi demokrasi” yang dilakukan oleh gerakan petani Persil IV Deli Serdang dalam menghadapi korporasi perkebunan negara (PTPN II). Penelitian ini mengungkapkan era transisi demokrasi (reformasi) dimaknai oleh petani sebagai suatu kesempatan politik untuk menempuh perjuangan-perjuangan jalur legal. Namun ketika perlawanan jalur legal menemui kebuntuan, petani meninggalkan pola perlawanan tersebut dengan menempuh perlawanan ekstra legal yang dihadapkan pada resiko-resiko perang terbuka dengan aparat keamanan negara ataupun milisi-milisi sipil yang direkrut oleh PTPN II. Lahirnya gerakan ekstra legal merupakan konsekuensi yang ditimbulkan akibat gagalnya negara serta menguatnya kontradiksi-kontradiksi hukum formal dalam penyelesaian konflik agraria. Kata kunci kunci: PTPN II, gerakan sosial petani, reklaiming, transformasi perlawanan.
A. Pengantar “dimanapun perkebunan itu timbul atau diimpor dari luar, maka ia selalu merusak norma-norma budaya yang telah ada sebelumnya dan menetapkan ketentuan-ketentuannya sendiri, kadang-kadang dengan cara membujuk, kadang-kadang dengan paksaan, tetapi selalu berada dalam konflik-konflik dengan ketentuan-ketentuan budaya yang dilanda olehnya – (Eric Wolf)” Maraknya pemberitaan media tentang konflik-konflik agraria dan perlawanan-perlawanan petani di Indonesia saat ini menunjukkan bahwa *
Alumni Pasca Sarjana Antropologi UGM, Peneliti Agraria dan Relawan FKMA (Forum Komunikasi Masyarakat Agraris).
Sumatera dan Kalimantan merupakan wilayah yang paling rawan terjadinya sengketa pertanahan antara petani dengan korporasi perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit. Provinsi Sumatera Utara menempati posisi kedua setelah Kalimantan Barat sebagai provinsi yang menempati angka konflik agraria tertinggi. Perlawanan-perlawanan petani di Indonesia terhadap perkebunan telah muncul sejak dahulu, seperti pemogokan atas tanam paksa hingga pemberontakan, sebagaimana yang terjadi di Langkat dan Deli pada tahun 1872, yang dikenal sebagai ‘Perang Batak”. Pemberontakan tersebut merupakan sikap penentangan Masyarakat Karo terhadap Sultan Deli yang menyewakan tanah
64
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
leluhur mereka kepada kolonial Barat untuk memperluas perkebunan tembakau. Masyarakat Karo menunjukkan perlawanan mereka dengan membakar gudang-gudang tembakau. Pemberontakan lain terhadap perkebunan juga terjadi di Banten pada tahun 1888. Namun gerakan petani yang bergaya mileniaris tersebut segera mati seiring ditangkapnya pemimpin-pemimpin gerakannya oleh pihak kolonial. Selanjutnya pada masa Orde Baru yang menerapkan kebijakan developmentalisme yang bercorak industrialisasi pertanian semakin mempersempit ruang gerak petani karena penyerobotan-penyerobotan tanah terhadap petani yang meluas. Gerakan petani lebih memilih gerakan bawah tanah untuk menghindari represif yang dibangun dengan gaya militeristik. Di pihak lain, politik stigmatisasi Orde Baru terhadap petani yang selalu menghubungkannya dengan gerakan komunis dan subversif, menyebabkan gerakan petani menjadi semakin tiarap. Namun momentum reformasi yang berakhir dengan tumbangnya rezim Orde Baru menjadi awal satu masa transisi politik di Indonesia, sekaligus menjadi katalisator bagi meledaknya masalah-masalah agraria yang selama ini bergolak di bawah tanah. Fenomena politik ini mendorong lahirnya perlawanan-perlawanan petani dengan cara-cara yang terbuka di berbagai daerah. Dalam perlawanannya petani tidak jarang menggunakan kekuatan-kekuatan politik formal yang teroganisir dalam kekuatan negara seperti partai politik, organisasi-organisasi tani resmi bentukan pemerintah ataupun NGO untuk memperluas dukungan dalam mencapai kemenangan-kemenangan yang diinginkan. Strategi seperti ini biasanya akan mengarah pada satu pola karakter gerakan perlawanan yang biasa disebut legal. Orientasi gerakan seperti ini cenderung memahami negara sebagai sebuah arena politik, dimana kanal-kanal politik yang tersedia dimaknai sebagai suatu metode instrumentasi
strategi perjuangan. Dalam praktiknya, perlawanan akan menggunakan kekuatan parlemen (partai) yang dipilih, sebagai pendorong tuntutan yang diinginkan oleh petani dan selanjutnya diperjuangkan dalam jalur-jalur hukum formal negara (peradilan). Selain perlawanan legal, hadir pula perlawanan petani yang ekstra legal. Dalam praktiknya, perlawanan ekstra legal tersebut justru berorientasi pada gerakan sosial-revolutif yang cenderung mempertahankan sikap garis keras dan memilih berkonfrontasi langsung secara terbuka dengan kekuatan negara. Pola perlawanan gerakan ini pada kelanjutannya menghasilkan gerakan yang radikal konfrontatif terhadap hegemoni negara dan mengadopsi cara-cara yang disebut negara sebagai tidak legal serta dianggap melanggar aturan hukum negara. Dalam perkembangannya perlawanan ekstra legal kerap dianggap sebagai gerakan sosial baru (GSB) karena bercirikan pada perjuangan yang berbasis otonom, anti institusional dan bersifat anti otoritarian karena menolak campur tangan negara. Sejarah perkembangan perkebunan di Indonesia terkait erat dengan sejarah perkembangan kolonialisme, kapitalisme, dan modernisasi.1 Perkebunan kelapa sawit dirintis sejak 1911 oleh pemerintah Belanda dan terus berkembang seiring dengan peningkatan permintaan minyak nabati akibat revolusi industri pada pertengahan abad ke-19. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di pantai timur Sumatera (Deli) dan Aceh yang saat itu luasnya 5.123 hektar. Selanjutnya di Masa Orde Baru, terutama di sekitar tahun 1980 an, pemerintah banyak memberikan ijin-ijin lokasi dan pengusahaan hutan kepada korporasi-korporasi yang bergerak di bidang 1
Sartono Kartodirjo dan Joko Suryo, Sejarah Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media, 1989, hlm. 3.
Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95
perkebunan kelapa sawit, hal tersebut disebabkan kelapa sawit menjadi komoditas monokultur andalan Indonesia. Keuntungan besar dan orientasi ekspor komoditas ini membuat pemerintah mendorong investasi besar-besaran terhadap industri perkebunan kelapa sawit dengan pembukaan lahan besar-besaran melalui penggunaan hukum negara sebagai alat pelegitimasian perampasan tanah-tanah petani. Hal inilah yang akhirnya mendorong terjadinya konflik di masyarakat akibat penyerobotan tanah petani oleh korporasi sawit. (Aditjondro, 2011: 3). Konflik-konflik tersebut merupakan konsekuensi dari menguatnya kepentingan kapitalisme global yang bekerja dalam bentuk korporasi-korporasi raksasa di bidang perkebunan serta gagalnya negara dalam menyelesaikan sengketa-sengketa pertanahan. Penyerobotan dan perampasan paksa terhadap tanah petani memicu perlawanan-perlawanan dan mendorong lahirnya gerakan sosial petani dalam perkembangan maraknya industri perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada masa kini. Berkaitan dengan semakin meluasnya kepentingan kapitalisme perkebunan akan tanah yang berdampak pada peningkatan konflik agraria, lahirlah sebuah gerakan sosial petani Persil IV melawan korporasi perkebunan negara (PTPN II) di Deli Serdang yang belum berakhir hingga sekarang. Bermula dari perampasan tanah petani oleh negara yang terjadi pada tahun 1972 di masa Rezim Orde Baru yang selanjutnya dikuasai oleh PTPN II. Deli Serdang merupakan kabupaten yang menempati urutan pertama jumlah kasus sengketa pertanahan tertinggi di Propinsi Sumatera Utara, dengan total 32 kasus dari 97 kasus. Angka ini juga terkait dengan faktor kesejarahan pertama kelapa sawit di Indonesia yang berlokasi di Deli Serdang.2
Oleh karena melalui perjuangan legal, perjuangan yang ditempuh dengan cara-cara formal di lembaga peradilan negara dari tahun 1997 hingga 2006 tidak membuahkan hasil secara baik, maka petani memilih strategi reclaiming dan pendudukan lahan sebagai alternatif terakhir untuk mendapatkan tanah mereka itu hingga detik ini. Sebagai sebuah fenomena gerakan sosial petani kontemporer, perubahan metode perjuangan legal menjadi ekstra legal yaitu gerakan reclaiming dan pendudukan yang dilakukan oleh para petani tersebut menarik untuk dikaji secara ilmiah. Hal ini bukan saja berkaitan dengan semakin maraknya perlawanan-perlawanan petani di Indonesia pada masa kekinian yang berkonflik dengan korporasi perkebunan swasta ataupun negara, namun juga terkait dengan meningkatnya pola-pola perlawanan petani yang memilih cara ekstra legal dengan variasi-variasi yang baru dan beragam, misalnya: sabotase, pembakaran gedung-gedung pemerintahan dan korporasi perkebunan, perusakan tanaman, pemblokiran, hingga perang terbuka. Berdasarkan logika di atas, kajian ini akan difokuskan dengan merumuskan beberapa permasalahan dalam bentuk pertanyaan penelitian, yaitu: 1. Bagaimana strategi bertahan hidup petani setelah kehilangan tanah? 2. Bagaimana pola dan strategi perlawanan petani dalam menghadapi korporasi perkebunan? Etnografi dari penelitian ini akan menyajikan sebuah argumen tentang perlawanan petani yang mengalami beberapa perubahan dalam pola-pola perjuangan mereka. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan historisantropologis melalui studi kasus. Menurut Lofland,3 metode studi kasus dalam penelitian 3
2
2011.
Bakumsu, Tabel Kasus Tanah di SUMUT: Medan,
65
John Lofland, Protes: Studi tentang Perilaku Kelompok dan Gerakan Sosial (terj. Lutfhi Ashari), Yogyakarta: Insist Press, 2003.
66
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
gerakan sosial mengikuti beberapa tahapan: menyeleksi sebuah kasus, mengumpulkan data, mengajukan pertanyaan, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan beberapa cara, sebagai berikut: observasi partisipatif, pengumpulan data dalam bentuk dokumen, wawancara dan diskusi, browsing dan clipping print. Penelitian lapangan dalam studi ini dilakukan di kawasan Persil IV yang berlokasi di 3 desa (Tadukan Raga, Limau Mungkur, Lau Barus Baru), Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. B. Persil IV dalam Tekanan Zaman 1. Penamaan Persil IV dan Asal Mula Perkampungan Nama Persil IV sebenarnya merujuk pada konsep sebuah kawasan yang sekarang ditempati oleh Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara II-PTPN II (Persero/BUMN) yang berkantor di Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, terletak kurang lebih 30 kilometer dari Kota Medan. Penamaan Persil IV bermula dari kebijakan negara pada tahun 1956 yang memberikan surat ijin garap berupa tanah suguhan dengan sistem Persil yang ditandai empat nomor seluas 525 hektar kepada masyarakat di 5 dusun. Dusun-dusun tersebut adalah: Dusun Tungkusan yang secara administratif merupakan wilayah Desa Tadukan Raga, Dusun Sinembah dan Limau Mungkur yang secara administratif merupakan wilayah Desa Limau Mungkur, Dusun Lau Barus dan Batutak yang secara administratif merupakan wilayah Desa Lau Barus Baru. Ketiga desa tersebut secara administratif merupakan wilayah Kecamatan STM Hilir, Kabupaten Deli Serdang. Sebelum negara memberikan surat ijin garap kepada masyarakat yang pada umumnya bermata pencaharian petani di lokasi penelitian ini,
sebagian besar masyarakat 5 dusun tersebut telah mengusahai tanah dan mendirikan bangunan rumah berupa gubuk-gubuk sebagai tempat tinggal sementara selama musim tanam dari sejak tahun 1940-an. Berbagai jenis tanaman yang ditanam oleh masyarakat terdiri dari berbagai jenis, mulai dari tanaman pangan pokok seperti padi ladang, tanaman keras seperti pohon durian, jengkol, petai dan jenis tanaman palawija seperti jagung ataupun jenis tanaman buah berupa pisang dan duku. Kawasan seluas 525 Ha tersebut menurut penuturan salah seorang warga Dusun Tungkusan yang bernama Syahrial (51 tahun) adalah sebuah kawasan yang dahulunya adalah hutan tua, sekaligus satu-satunya kawasan tersisa yang tidak dijadikan areal perkebunan oleh perusahaan-perusahaan Perkebunan Belanda. Berbeda dengan kawasan-kawasan di sekitarnya yang umumnya adalah areal-areal perkebunan tembakau milik Belanda yang dikenal sebagai basis kawasan “tembakau Deli’. Jauh sebelum menjadi nama dusun, tempat mereka tinggal disebut sebagai kampung. Sampai saat penelitian ini dilakukan, belum ada catatan resmi atapun tulisan yang menjelaskan tentang asal mula terbentuknya perkampungan yang menjadi 5 dusun tersebut. Namun, hal ini dapat digambarkan berdasarkan atas rabaan yang dibuat melalui cerita para orang tua (sesepuh) kelima dusun. Menurut penuturan Mak Esron (66 tahun) sesepuh Dusun Limau Mungkur, menceritakan bahwa pada tahun 1940-an penduduk yang tinggal di Limau Mungkur masih sangat sedikit, tidak lebih dari 20 kepala keluarga (KK). Pada awal tahun 1950-an, terjadi migrasi penduduk dari Desa Durian Tinggung, Kecamatan STM Hulu ke Limau Mungkur, Kecamatan STM Hilir. Arus migrasi ini menambah jumlah populasi penduduk di Desa Limau Mungkur, selanjutnya warga pendatang juga mulai ikut menggarap kawasan “hutan tua” untuk bercocok tanam yang pada tahun 1956
Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95
akhirnya oleh negara diberikan surat ijin garap di atas tanah yang disebut sebagai “Tanah Suguhan Persil IV”.4 Per Kepala Keluarga (KK) mendapatkan 2 Ha. Berbeda dengan Dusun Tungkusan, menurut penuturan Syahrial, penduduk Tungkusan sebelum tahun 1956 awalnya bermukim di tepian Sungai Blumei, bersebelahan dengan kampung Lubuk Beringin. Namun pada saat negara memberikan surat ijin garap kepada warga pada tahun 1956 di kawasan Persil IV dengan luas 2 Ha per KK dan 20 x 50 meter per KK untuk tempat tinggal, penduduk Tungkusan dan Lubuk Beringin yang bermukim di tepian Sungai Blumei pindah ke kawasan yang telah ditetapkan. Hal ini berdampak pada terbentuknya pemukiman baru bersebelahan dengan kawasan Persil IV. Kampung Lubuk Beringin selanjutnya secara administratif dipersatukan menjadi Dusun Tungkusan. Menurut penuturan Pak Soni (61 tahun) sesepuh Dusun Sinembah, kampungnya memiliki sejarah yang cukup panjang. Dahulunya para orang tua mereka telah bermukim lama di Kampung Sinembah. Pada awal tahun 1900-an, tanah orang tua mereka dirampas paksa oleh perusahaan perkebunan tembakau Belanda tanpa ganti rugi. Ketika terjadi pemberontakan melawan perusahaan perkebunan menawarkan “politik etis” kepada warga yang bertujuan untuk meredam pemberontakan dengan cara memberikan tanah jaluran. Tanah jaluran tersebut diperbolehkan untuk ditanami padi selepas musim panen tembakau selama setahun. 5
4
Hutan Tua adalah sebutan oleh warga terhadap kawasan yang pada tahun 1956 disebut sebagai kawasan Persil IV. Kawasan ini satu-satunya kawasan yang tidak tersentuh oleh industri perkebunan. Kawasan ini selain digunakan untuk bercocok tanam juga dimanfaatkan kayunya untuk kebutuhan pembangunan tempat tinggal oleh warga. 5 Budi Agustono, Muhammad Osmar Tanjung dan Edy Suhartono, Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia VS PTPN II. Bandung: Akatiga, 1997.
67
Setahun setelah ditanami padi, tanah jaluran harus kembali dikosongkan sampai enam atau tujuh tahun untuk dipersiapkan menjadi areal penanaman tembakau selanjutnya. Warga juga tidak harus membersihkan dan mencangkul tanah jaluran untuk proses awal penanaman padi karena perusahaan perkebunan telah mentraktornya selepas musim panen tembakau. Dengan kata lain warga mendapat kemudahan dalam pengelolaan tanah jaluran. Namun menurut Pak Soni, ini hanya praktik tipu daya perusahaan perkebunan, pentraktoran tersebut baginya sangat berkaitan dengan proses percepatan produksi penanaman tembakau selanjutnya. Ia menjelaskan bahwa semakin cepat tanah jaluran ditanami padi maka akan semakin mempercepat tanah tersebut kembali subur sehingga tembakau dapat kembali ditanam oleh perusahaan. Apabila tanah selepas musim panen tembakau langsung ditanami kembali maka kwalitas tembakau yang dihasilkan akan bermutu rendah dan memang tidak dibenarkan dalam proses penanamannya. Ia menganggap politik etis perusahaan perkebunan dengan memberikan tanah jaluran kepada warga pada masa lampau memang secara ekonomis membantu warga untuk menghasilkan bahan pangan, namun hal itu juga menguntungkan bagi perusahaan perkebunan karena juga membantu kesuburan tanah untuk ditanami tembakau kembali. Selanjutnya pada tahun 1956, warga yang bermukim di Kampung Sinembah oleh negara diberikan surat ijin garap dengan luas 2 Ha per KK. Dua dusun lainnya adalah Lau Barus dan Batutak. Kampung Lau Barus terletak bersebelahan dengan Limau Mungkur. Berdirinya Kampung Lau Barus bermula dari perpindahan sebagian penduduk di Limau Mungkur ke daerah tersebut. Menurut penuturan warga, Kampung Lau Barus berdiri pada awal tahun 1950-an ketika pemukiman di Limau Mungkur mulai sedikit padat. Dusun yang terakhir adalah Batutak,
68
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
menurut penuturan Pak Tarigan (65 tahun), berdirinya Kampung Batutak bermula dari segelintir orang mantan pekerja perkebunan tembakau yang bersuku Jawa menduduki “tanah perengan” pada tahun 1940 yang selanjutnya digunakan untuk mendirikan tempat tinggal. Tanah perengan adalah tanah yang berkontur tidak rata di areal perbukitan dalam kawasan yang dikonsesikan untuk perkebunan tembakau milik perusahaan Belanda. Tanah dengan bercirikan tidak rata dalam sistem perkebunan tidak digunakan sebagai areal penanaman. Perusahaan perkebunan tembakau hanya memanfaatkan tanah berkontur rata. Pendudukan tanah perengan kemudian disusul oleh beberapa Kepala Keluarga pendatang yang bersuku Karo. Pendudukan tersebut dalam kurun waktu 10 tahun telah membentuk satu perkampungan besar yang pada tahun 1950 menurut penuturan Pak Tarigan telah mencapai 25 KK. Warga kedua dusun tersebut selanjutnya pada tahun 1956 diberikan surat ijin garap Tanah Suguhan dengan luas 2 Ha per KK. 2. Zaman Gelap Orde Baru dan Perampasan Tanah Tepat berusia enam belas tahun pada tahun 1972 petani mendapatkan pengakuan dari negara atas kepemilikan tanah seluas 525 Hektar. Tanah tersebut dimiliki kurang lebih 260 KK yang tersebar di 5 dusun. Setiap tahunnya petani membayar pajak atas tanah yang mereka miliki sejak tahun 1956 tersebut. Wilayah Persil IV berbeda dengan wilayah-wilayah di sekitarnya yang merupakan wilayah perkebunan. Daerah ini dikelilingi oleh perkebunan-perkebunan raksasa yang dimiliki oleh perkebunan negara dan perusahaan-perusahaan swasta lainnya. Pada tahun 1972 perkebunan tembakau mulai ditinggalkan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan seiring dengan merosotnya kwalitas yang dihasilkan dan faktor meningkatnya kebu-
tuhan minyak nabati di pasar dunia. Hal ini berdampak pada beralihnya jenis tanaman yang dikembangkan oleh perkebunan, yaitu karet dan kelapa sawit mulai menjadi tanaman komoditas andalan bagi perusahaan-perusahaan di masa tahun 1970-an. Di tengah persaingan antar perusahaan perkebunan, petani di Persil IV tetap memilih menanam tanaman berupa padi, palawija, dan buah-buahan. Tepat menjelang panen padi di pertengahan tahun 1972, petani mendapat kabar dari pihak perkebunan negara kebun Limau Mungkur (sekarang PTPN II) bahwa tanah yang mereka usahai di atas tanah Persil harus diserahkan kepada pihak perkebunan dengan janji tanah dan tanaman yang dimiliki oleh warga akan diganti rugi. Pihak perkebunan juga mendesak agar petani menyerahkan surat ijin garap atas tanah Persil kepada pihak perkebunan dalam tempo satu bulan setelah pengumuman ganti rugi dikeluarkan. Mendapat kabar tersebut, seorang petani sekaligus pemuka agama dusun Tungkusan yang bernama Haji Sulaiman mengundang seluruh warga yang memiliki surat ijin garap tanah Persil untuk bermusyawarah dirumahnya. Musyawarah dihadiri oleh seluruh pemilik tanah yang memiliki surat ijin garap. Sebagian besar para undangan yang hadir bersepakat untuk tidak menyerahkan surat ijin garap kepada pihak perkebunan, hal ini disebabkan tidak layaknya uang ganti rugi yang ditawarkan oleh pihak perkebunan serta kuatnya keinginan para warga untuk tetap mempertahankan tanah mereka dikelola sebagai lahan pertanian. Melihat perkembangan petani tidak bersedia untuk menyerahkan surat ijin garap, pihak perkebunan melancarkan pernyataan secara serentak di 5 dusun kawasan Persil IV dengan menyatakan petani adalah sisa-sisa anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Propaganda dan pelabelan komunis terhadap petani juga didukung oleh pihak kepolisian, tentara dan aparat
Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95
pemerintahan Kecamatan STM Hilir. Melihat situasi ini, petani meresponnya dengan mempercepat masa panen terhadap tanaman yang mereka tanam dan mulai secara bergiliran melakukan penjagaan terhadap lahan yang mereka miliki dengan memilih tinggal hingga berharihari di lahan mereka. Mak Esron (66 tahun) menyebutnya sebagai masa gagal panen, dia mengartikan sebagai gagal panen yang disengaja karena pemanenan dilakukan tidak tepat pada waktunya. Seminggu setelah hampir setengah dari seluruh pemilik lahan mulai melakukan pemanenan, pihak perkebunan negara memobilisasi seluruh pekerja perkebunan yang dibantu oleh aparat kepolisian dan tentara bergerak menuju lahan milik petani dengan membawa traktor dan alat-alat berat lainnya. Pada malam yang tak terduga, seluruh gubuk-gubuk milik petani dibakar dan tanaman diatasnya dibabat serta ditebang. Peristiwa itu berlanjut hingga esok harinya dengan pentraktoran yang dikawal ketat oleh puluhan aparat keamanan negara. Di atas lahan Persil IV, tepatnya dua bulan setelah pentraktoran, pihak perkebunan negara menanaminya dengan jenis tanaman karet seluas 320 hektar dan 200 hektar sisanya ditanami kelapa sawit. Akses petani untuk mengusahai tanah yang telah mereka dapatkan secara sah menurut hukum sejak tahun 1956 telah terputus pasca peristiwa tahun 1972 tersebut. 3. Sekilas Tentang PTPN II Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara II (PTPN II) adalah sebuah badan usaha milik negara yang bergerak di bidang agribisnis perkebunan. Produksinya meliputi budidaya kelapa sawit, karet, kakao, gula dan tebu yang areal penanamannya tersebar di Sumatera Utara dan Papua. Dalam peta lokasi Sumatera Utara, perusahaan ini menguasai lahan di tiga Kabupaten, yaitu Serdang Bedagai, Deli Serdang dan
69
Langkat yang dibagi menjadi lima distrik. Budidaya kelapa sawit menempati areal seluas 85. 988, 92 ha, karet 10. 608, 47 ha, kakao 1. 981, 96 ha dan tebu seluas 13. 226, 48 ha. Perusahaan perkebunan ini berkantor pusat di Tanjung Morawa, Propinsi Sumatera Utara. Berdirinya PTPN II didasari oleh ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang No. 9 tahun 1969 dan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1969 yang mengatur tentang Perusahaan Perseroan. PTPN II didirikan pada tanggal 5 April 1976 melalui Akte Notaris GHS Loemban Tobing, SH, No. 12, selanjutnya disahkan oleh Menteri Kehakiman dengan Surat Keputusan No. Y.A 5/43/8 tanggal 28 Januari 1977 dan diumumkan dalam lembaran negara No. 52 tahun 1978.6 Lahan-lahan yang dikuasai PTPN II memiliki keterkaitan sejarah yang cukup panjang dengan perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda. Lahan PTPN II berasal dari konsesi tanah NV. Van Deli Maatschappij seluas 250. 000 ha yang membentang dari Sungai Ular di Kabupaten Deli Serdang hingga Sei Wampu Kabupaten Langkat yang diusahai sejak 1870.7 Pengambilalihan tanah-tanah milik perkebunan Belanda ini bermula pada 7 November 1957 terkait dengan krisis politik Perebutan Irian Barat dengan Belanda, Soekarno selaku Presiden Republik Indonesia mengumumkan untuk mengambil alih seluruh perkebunan milik orang Belanda. Pengumuman tersebut diteruskan dengan keluarnya pengumuman Menteri Kehakiman G.A Maengkom pada tanggal 5 Desember 1957 yang menyatakan pengambilalihan akan dilakukan oleh pihak yang berwenang, yaitu Penguasa Militer Pusat dan Daerah. Namun Juanda Kartawidjaja selaku Menteri Pertahanan dan pimpinan tertinggi militer Republik Indonesia pada tanggal 9 Desember
6 7
http: ptpn2.com, 2012, diunduh pada 13 Januari 2012. http : bumn.go.id, 2012, diunduh pada 15 Januari 2012.
70
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
1957 memberi wewenang kepada Menteri Pertanian untuk mengeluarkan peraturan terkait dengan pengelolaan perkebunan Belanda. Dengan kewenangan tersebut Menteri Pertanian menempatkan perkebunan Belanda dibawah pengawasan sebuah organisasi yang bernama Pusat Perkebunan Negara (PPN). Organisasi ini menjadi cikal bakal lahirnya PTPN yang pada masa selanjutnya menguasai konsesi tanah yang dimiliki perkebunan Belanda di Sumatera Timur setelah dikeluarkan Undang-Undang No. 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi PerusahaanPerusahaan Milik Belanda di Indonesia.8
Gambar 1. Kantor PTPN II Kebun Limau Mungkur di Dusun Tungkusan. Sumber: foto pribadi Kebijakan nasionalisasi itu dalam sejarah perjalanannya justru menjadi salah satu penyebab utama terjadinya konflik-konflik agraria yang berkepanjangan, terutama pasca tumbangnya era Demokrasi Terpimpin. Hal itu bermula ketika pengkonversian tanah-tanah perkebunan Belanda yang mengantongi hak erfacht menjadi hak guna usaha yang dinasionalisasi oleh negara tidak terlebih dahulu mengembalikan tanahtanah rakyat yang dahulunya dirampas paksa oleh kolonial. Selanjutnya posisi-posisi strategis di tubuh organisasi perkebunan yang dijabat oleh elit-elit tentara semakin mempersempit dan menghalangi rakyat (petani) untuk menuntut 8
Karl Pelzer, Sengketa Agraria. Jakarta: Sinar Harapan, 1991.
kembali tanah-tanah mereka yang terampas, tuduhan sebagai pendudukan illegal dan dicap sebagai komunis akan dilekatkan pada mereka oleh tentara-tentara yang telah membentuk “kelas sosial baru”.9 Dalam perkembangannya PTPN II melakukan peleburan (reorganisasi) dengan PTPN IX menjadi PTPN II berdasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1996. Peleburan tersebut dilakukan pada tanggal 11 Maret 1996 dengan Akte Notaris Ahmad Bajumi, SH., kemudian disahkan oleh Menteri Kehakiman dengan Surat Keputusan No. C2.8330.HT.01.01.TH.96 dan diumumkan dalam Berita Negara RI nomor 81.10 Di kabupaten Deli Serdang PTPN II memiliki 16 kebun yang setiap kebun dikepalai oleh seorang Administratur (ADM). Wilayah Persil IV terletak bersebelahan dengan salah satu kebun milik PTPN II, yaitu kebun Limau Mungkur dengan tapal batas sungai Batutak di sebelah Timur dan Sungai Bekaca di sebelah Barat. PTPN II Kebun Limau Mungkur mengklaim mengusahai lahan seluas 2. 322 ha yang didalamnya termasuk wilayah Persil IV. Namun berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri melalui SK No. 13/HGU/DA/1975 tanggal 10 Maret 1975, PTPN II hanya diberikan Hak Guna Usaha seluas 1400 ha. Hal ini ditegaskan kembali dengan surat ukur yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tanggal 20 Agustus 1993, Nomor 1450/08/1993 yang menyatakan bahwa PTPN II kebun Limau Mungkur hanya memiliki HGU seluas 1400 ha.11 Dengan demikian tanah 9
Noer Fauzi, Land Reform Dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Tanah Air Beta, 2012. 10 http : ptpn2.com, 2012, diunduh pada 13 Januari 2012. 11 Notulensi Rapat Kerja dan Jajak Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Deli Serdang terhadap Permasalahan Tanah Persil IV yang dihadiri oleh BPN Tk. II Deli serdang, ADM PTPN II Kebun Limau Mungkur, Camat Kecamatan STM Hilir, Kepada Desa Tadukan Raga, Limau Mungkur, Lau Barus Baru dan Petani pada tanggal 27 Oktober 1998.
Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95
seluas 922 ha (2.322 – 1400) dapat dikatakan sebagai areal yang tidak memiliki HGU, sekaligus memperkuat argumentasi petani bahwa didalamnya terdapat 525 ha tanah mereka yang dirampas oleh PTPN II sejak tahun 1972. C. Strategi Bertahan Hidup Petani Persil IV di Masa Orba 1. Kondisi Petani di Awal Kehadiran PTPN Sejak terjadinya peristiwa perampasan tanah pada tahun 1972, hubungan antara rakyat petani dengan PTPN II terlihat kurang harmonis. Di akhir tahun 1972, PTPN II mulai disibukkan dengan mentraktor tanah, penyiangan bibit karet dan kelapa sawit serta persiapan-persiapan teknis untuk memulai dan mengembangkan perkebunan di wilayah administrasi kebun Limau Mungkur, sementara petani mulai kehilangan aktivitasnya untuk bertani. Harapanharapan untuk mendapatkan tanah mereka kembali seakan menemui jalan buntu. Seluruh petani Persil dihadapkan dengan persoalan-persoalan ketiadaan tanah yang mereka fungsikan sebagai sumber kehidupan. Hampir dari seluruh petani menggantungkan kehidupan di atas tanah tersebut. Hanya sekitar 20 persen (50-an KK) yang masih memiliki lahan di luar lahan Persil.12 Bagi mereka yang memiliki lahan di luar Persil, mereka mencoba untuk bertahan hidup dari tanah yang tersisa, namun bagi sebagian yang lain hanya mengandalkan sisa pekarangan rumah untuk dikelola dan ditanami jenis tanaman sayur mayur sebagai sumber penghasilan ataupun sekedar untuk dikonsumsi. 12
Wawancara dengan Informan (Agus-Menantu Haji Sulaiman : Pengurus Gerakan Petani Persil IV), April 2012. Dalam wawancara ini, Informan mengatakan bahwa hanya 20 persen dari jumlah pemilik tanah Persil yang memiliki lahan di luar areal Persil (lahan cadangan). 20 persen yang memiliki lahan cadangan tidak terpusat di salah satu dusun, tetapi tersebar di 5 dusun.
71
Pada tahun 1975, Rajali dan Haji Sulaiman (warga dusun Tungkusan) mencoba mempertanyakan kasus perampasan tanah yang dialaminya kepada kepala Desa Tadukan Raga. Dalam pertemuan tersebut, Kepala Desa menyatakan tidak tahu menahu persoalan yang dihadapi Haji Sulaiman. Kepala Desa menyarankan Sulaiman untuk mempertanyakan persoalannya kepada Camat STM Hilir. “Kepala Desa yang kami harapkan untuk mengayomi warganya saat itu tidak bisa berbuat apa-apa, malah ia mengatakan agar kami merelakan tanah tersebut diambil PTPN untuk kepentingan negara. Banyak dari kami tidak memiliki lahan selain tanah Persil. Bagi yang memiliki lahan cadangan (di luar tanah Persil) bukan berarti tidak sengsara, mereka juga mengalami nasib yang terpuruk. Saat itu kami benarbenar tidak tahu harus mengadu kepada siapa karena memang kita sama-sama tahu zaman Orde Baru sangat represif. Bagi siapapun yang menolak kebijakan pemerintah maka dia akan dicap PKI ataupun ditangkap secara tidak wajar”. (Rajali, 62 tahun) Haji Sulaiman selanjutnya mencoba untuk mendapatkan jawaban dari Camat STM Hilir terkait persoalan yang dihadapinya. Usaha kedua yang ditempuhnya juga berujung pada ketidakpastian. Camat STM Hilir hanya memberi jawaban “saya tidak bisa memberikan kepastian atas persoalan yang kalian hadapi”. Ia juga menambahkan agar para petani melaporkan permasalahan tersebut ke pemerintahan Kabupaten Deli Serdang.13 Usaha-usaha yang ditempuh dengan mendatangi Kepala Desa dan Camat tidak membuahkan hasil yang baik berdampak pada kekecewaan yang mendalam terhadap institusi-institusi negara. Petani pemilik tanah Persil di 4 dusun yang lain juga menyimpulkan bahwa jalur-jalur formal dengan berharap pada sebuah kepastian hukum di lembaga-lembaga pemerin13
Wawancara dengan Informan (Rajali-Pengurus Gerakan Tani Persil IV), April 2012.
72
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
tahan tidak akan menghasilkan keadilan bagi mereka. Selain di Kecamatan STM Hilir, pada awal tahun 1970-an perampasan tanah petani oleh negara untuk kepentingan PTPN juga terjadi di kecamatan-kecamatan lain dalam wilayah Kabupaten Deli Serdang. Ada 32 kasus perampasan tanah petani selain kasus Persil IV yang terjadi di awal rejim Orde Baru dengan melibatkan PTPN dan organisasi militer. 26 kasus merupakan konflik antara petani dan PTPN II, 1 kasus dengan PTPN III, 2 kasus dengan PTPN IV, 2 kasus dengan organisasi militer (Puskopad Bukit Barisan dan Veteran) dan 1 kasus dengan perusahaan swasta (PT. London Sumatera). Tabel. Konflik Agraria (Tanah) Di Deli Serdang No 1
2
Nama Kelompok Kelompok Tani Manunggal
Kelompok Masyarakat Pematang Belo
Luas Areal 42 Ha
270 Ha
Jumlah KK 36 KK
210 KK
Veteran
Kelompok Tani Terbit Fajar, Desa Tandem Hulu II, Psr 2, 3, 4, 5, 6. Kec. Hamparan Perak Kelompok Tani Sigara-gara I. Kec. Patumbak
170 Ha
5
Kelompok Tani Sigara-gara II. Kec. Patumbak
80 Ha
60 KK
PTPN II Kebun Patumbak
6
Kelompok Tani Lantasan Lama, Pasar 4. Kec. Patumbak
60 Ha
90 KK
PTPN II Kebun Patumbak
7
Kelompok Tani Kurnia Negara. Kec. Patumbak
100 Ha
150 KK
8
Kelompok Tani Paya Bakung. Pasar 5,7,8,9. Kec. Hamparan Perak
300 Ha
184 KK
9
Kelompok Tani Paya Bakung, Pasar 10, Bulu Cina. Kec. Hamparan Perak Kelompok Tani Paya Bakung, Pasar 1 dan 2. Kec. Hamparan Perak
105 Ha
95 KK
208 Ha
104 KK
3
4
10
70 Ha
366 KK
Lawan Sengketa PTPN II Helvetia
80 KK
PTPN II Kebun Tandem
PTPN II Kebun Patumbak
PTPN II Tanjung Morawa, Kebun Patumbak PTPN II Tanjung Morawa, Kebun Sei Semayang PTPN II Tanjung Morawa, Kebun Bulu Cina PTPN II Tanjung Morawa, Kebun Sei Semayang
Alas Hak SK Mendagri No. 12 5/4, Tanggal 28 Juni 1951. SK Gubsu No. 36/K/Agr, Tanggal 28 September SK Kepala Kampung Tandem Hilir II No. 196/T.H.II/66, Tanggal 30 Agustus 1966. Menerangkan Pematang Belo merupakann garapan penduduk Tandem Hilir II. Restu dari Menteri Agraria, 4 Mei 1962. UU Darurat No. 8 Tahun 1954 KRPT Daftar Panjang Bukti Pembayaran Pajak.
UU Darurat No. 8 Tahun 1954, KRPT, Peta Kalk No. 594U oleh Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah Sum. Timur. Tanggal 9 September 1960. UU Darurat No. 8 Tahun 1954, KRPT, Peta Kalk No. 594P oleh Ktr. Reorganisasi Pemakaian Tanah Sum. Timur. Tanggal 15 Juni 1957. UU Darurat No. 8 Tahun 1954, KRPT, Peta Kalk No. 659P oleh Ktr. Reorganisasi Pemakaian Tanah Sum. Timur. Tanggal 4 Juni 1957. UU Darurat No. 8 Tahun 1954, KRPT Tanggal 22 Mei 1957.
UU Darurat No. 8 Tahun 1954, SK Mendagri No. 15 15/5/4 jo SK Gubsu 36/k/Agr TI 27 September 1951. UU Darurat No. 8 Tahun 1954, Peta Kalkir dan Daftar Panjang.
UU Darurat No.8 Tahun 1954, KRPT, Peta Kalkir, SK Gubsu 36/k/Agr/1951.
11
Kelompok Tani Bulu Cina, Pasar 2,3,4,5. Kec. Hamparan Perak
550 Ha
235 KK
12
Kelompok Tani Bulu Cina, Pasar 9,10,11,12. Kec. Hamparan Perak
489 Ha
342 KK
13
Kelompok Tani Klumpang. Kec. Hamparan Perak
200 Ha
150 KK
14
Kelompok Tani Sei Semayang, Pasar 1 dan 2. Kec. Sunggal Kelompok Tani Sukarende. Kec. Kutalimbaru
80 Ha
53 KK
50 Ha
58 KK
16
Kelompok Tani Silebo-lebo. Kec. Kutalimbaru
350 Ha
300 KK
17
Kelompok Tani Paya Badau. Kec. Patumbak
73 Ha
58 KK
18
Kelompok Tani Durin Tonggal. Kec. Pancur Batu
524 Ha
500 KK
19
Kelompok Tani Dolok Masango. Kec Kotarih
16 Ha
100 KK
20
Kelompok Tani Ujung Jahe Simalingkar. Kec. Pancur Batu Kelompok Tani Psr 4 dan 5 Kelambir 5. Kec. Hamparan Perak Kelompok Tani Peta Kesra, Ramunia. Kec. Pantai Labu Kelompok Tani Psr 2 dan 3 Kelambir Lima. Kec. Hamparan Perak BPRPI Kebun Saentis. Kec. Percut Kelompok Tani Psr 3 Wonorejo. Kec. Batang Kuis
300 Ha
100 KK
PTPN II Tamora, Kebun Bekala
83 Ha
58 KK
UU Darurat No. 8 Tahun 1954.
351 Ha
250 KK
PTPN II Tamora, Kebun Kelambir Puskopad BB
85 Ha
38 KK
UU Darurat No. 8 Tahun 1954.
600 Ha
5000 KK
100, 59 Ha
131 KK
PTPN II Tamora, Kebun Kelambir Lima PTPN Bandar Kalipah PTPN II Tamora, Kebun Batang Kuis PTPN II Tamora, Kebun Helvetia PTPN IV, Kebun Adolina PTPN IV, Kebun Adolina PTPN II Tamora, Kebun Melati PTPN II Tj Garbus PTPN II Tamora, Kebun Sei Semayang PT. Lonsum
15
21
22
23
24
25
26
Kelompok Tani Veteran Pasar 1 dan 2 Helvetia
217 Ha
175 KK
27
Kelompok Tani Bingkat II. Kec. Perbaungan Kelompok Tani Bingkat III. Kec. Perbaungan Kelompok Tani Bingkat I. Kec. Perbaungan Kelompok Tani Pintu Air Kelompok Tani Mulyorejo. Kec. Hamparan Perak
71 Ha
150 KK
400 Ha
150 KK
104 Ha
23 KK
28
29
30 31
32
Kelompok Tani Pergulaan JUMLAH
75 Ha
110 KK
364 Ha
364 KK
118 Ha
300 KK
6.605, 59 Ha
10.020 KK
PTPN II Tanjung Morawa, Kebun Bulu Cina PTPN II Tanjung Morawa, Kebun Bulu Cina PTPN II Tanjung Morawa, Kebun Klumpang PTPN II Tamora, Kebun Sei Semayang PTPN II Tamora, Kebun Tuntungan PTPN II Tamora, Kebun Sei Glugur PTPN II Tamora, Kebun Patumbak PTPN II Tamora, Kebun Berkala PTPN III Sei Kambing
UU Darurat No. 8 Tahun 1954, KRPT, Peta Kalkir dan Daftar Panjang. UU Darurat No.8 Tahun 1954, KRPT, SK Gubsu 36/k/Agr 1951.
UU Darurat No. 8 Tahun 1954, KRPT, Peta Lokasi BPPST No. 879, Tanggal 15 Agustus UU Darurat No. 8 Tahun 1954, KRPT, Peta Lokasi BPPST No. 879 Tahun 1960. UU Darurat No. 8 Tahun 1954.
PLR Deli Serdang No. Ist/LR/11/1968
UU Darurat No. 8 Tahun 1954
UU Darurat No. 8 Tahun 1954, KRPT No. 583A 1953. UU Darurat No. 8 Tahun 1954, SK Pembayaran Pajak Tahun 1955-56. UU Darurat No 8 Tahun
SK Pangdam II BB No. 153/II/175
Permohonan pelepasan HGU PTPN II Kebun Saentis Permohonan Pelepasan HGU PTPN II Kebun Saentis UU Darurat No. 8 Tahun 1954, KRPT, Daftar Panjang, Peta Kalkir. UU Darurat No. 8 Tahun 1954. UU Darurat No. 8 Tahun 1954. UU Darurat No. 8 Tahun 1954. UU Darurat No. Tahun Surat BPPST 8, 7, 8 Tahun 1960.
Sumber: Hasil wawancara peneliti dengan berbagai NGO di Sumatera Utara dan Bakumsu, 2012. Dari tabel di atas dapat diperoleh keterangan bahwa konflik agraria berupa perampasan tanah petani oleh perkebunan negara maupun swasta serta institusi militer di Kabupaten Deli Serdang
Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95
pada era awal rejim Orde Baru telah mengakibatkan tercaploknya lahan milik petani seluas 6.605, 59 hektar yang berdampak pada kehidupan 10. 020 KK. Jika ditambah dengan luas lahan Persil IV maka angka tersebut bertambah menjadi 7. 130 hektar dan 10. 280 KK. Terputusnya akses terhadap alat produksi (tanah) berdampak pada penghilangan identitas kehidupan petani. Situasi ini mendorong terciptanya krisis subsistensi dan proletarisasi massal yang berskala besar di era awal tahun 1970-an. Petani dihadapkan dengan berbagai pilihanpilihan untuk bertahan hidup. Secara tofografi mereka tetap bermukim di areal rumah yang selama ini mereka huni yang terletak mengelilingi lahan Persil. Namun akses terhadap tanah untuk kegiatan produksi tidak lagi dapat mereka gapai. Dalam kondisi demikian petani mencoba melakukan usaha-usaha untuk bertahan hidup dengan pilihan-pilihan yang sebenarnya tidak mereka inginkan. Sebelum peristiwa perampasan, Haji Sulaiman biasanya menanam padi di tanah Persil seluas 2 hektar dengan sistem persawahan tadah hujan. Selama setahun, pemanenan dapat dilakukan dua kali jika curah hujan mencukupi. Hasil dari pemanenan selama setahun, seperempatnya digiling menjadi beras untuk pemenuhan kebutuhan pangan keluarga setahun. Dua pertiganya dijual untuk ditukar menjadi uang yang akan digunakan untuk membiayai kebutuhan non pangan dan pendidikan anaknya. Selain memiliki tanah Persil, Haji Sulaiman juga mempunyai sebidang tanah lain seluas 0, 5 hektar yang lokasinya tidak jauh dari tempat tinggalnya. Di atas tanah tersebut ia menanam jenis tanaman buah seperti dukuh, rambutan dan pinang. Setiap tahun ia memanen dukuh dan rambutan yang selanjutnya dijual ke pasar-pasar tradisional di Kota Talun Kenas ataupun Tanjung Morawa. Hasil panen disimpan dalam bentuk tabungan untuk menjadi cadangan keuangan keluarga jika
73
sewaktu-waktu terjadi kebutuhan mendadak. Selama lebih dari sepuluh tahun semenjak ia mengelolah kedua lahan yang dimilikinya, ia dapat menabung uang dengan jumlah yang menurutnya dapat ditukarkan dengan enam sapi. Kondisi ekonomi keluarganya sedikit lebih baik daripada warga-warga lain di dusun Tungkusan. Di dusun Tungkusan terdapat sekitar 100 orang yang dikatakan sebagai pemilik tanah Persil.14 Sisa pemilik lainnya berjumlah 160 orang dan tersebar di empat dusun yang lain. Dari 100 orang pemilik tanah Persil di dusun Tungkusan tidak semuanya memiliki lahan cadangan seperti Haji Sulaiman. Hanya sekitar 22 orang warga yang memiliki lahan cadangan seperti Haji Sulaiman di dusun Tungkusan. Bagi Rajali dan warga dusun Tungkusan lain yang tidak memiliki lahan cadangan hanya mengandalkan pendapatan ekonomi keluarga dari tanah Persil yang luasnya 2 hektar. Di atas tanah 2 hektar tersebut Rajali menanam padi seluas 1 ½ hektar, ½ hektar sisanya ia tanami jenis tanaman buah-buahan seperti rambutan dan pisang. Dari 1 ½ hektar, ia mendapatkan rata-rata 4 ton padi dalam sekali musim panen. ¼ dari jumlah hasil panennya ia giling secara berkala menjadi beras untuk kebutuhan pangan keluarga selama setahun dan sisanya dijual untuk memenuhi kebutuhan non pangan dan pendidikan anaknya. Tidak hanya di dusun Tungkusan, di 4 dusun yang lain (Sinembah, Limau Mungkur, Lau Barus dan Batutak) juga memiliki kesamaan dalam bertahan hidup. Dalam kesehariannya, warga di 4 dusun yang lain juga bertahan hidup melalui aktifitas bercocok tanam di dalam ataupun di luar tanah Persil yang mereka miliki. Setelah peristiwa perampasan di tahun 1972, situasi dan kondisi perekonomian rumah tangga
14
Wawancara dengan Syahrial (Anak bungsu Haji Sulaiman) pada 24 April 2012.
74
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
petani Persil berubah drastis. 260 KK pemilik tanah Persil kehilangan haknya untuk mengakses alat produksi (tanah). Haji Sulaiman dan warga lain bertahan hidup di atas lahan cadangannya. Lahan cadangan yang semula tidak diperuntukkan untuk pertanian jenis tanaman pangan pokok (padi) diubah sepenuhnya menjadi areal pertanian jenis tanaman pangan pokok. Hal ini dilakukan untuk menghindari krisis pangan keluarga. Ia harus merelakan tanaman buahbuahan di lahan cadangan dibabat dan diganti menjadi padi ataupun ubi. Situasi yang berbeda dialami Rajali dan warga lain yang tidak mempunyai lahan cadangan. Mereka berusaha bertahan hidup dengan menjadi buruh upahan di lahan-lahan milik warga lain ataupun kuli bangunan di sekitar desa. Perampasan tersebut selain berdampak pada tercerabutnya petani dari akarnya juga mengakibatkan peningkatan kemiskinan di wilayah Kabupaten Deli Serdang pada pertengahan tahun 1970-an, khususnya pada wilayah-wilayah konflik yang disebutkan pada tabel di atas. Selain menjadi pekerja serabutan, kuli bangunan dan buruh upahan di lahan-lahan milik warga lain, kesempatan untuk bertahan hidup juga muncul dari PTPN. Kesempatan tersebut berupa tawaran-tawaran untuk bekerja menjadi buruh di lingkungan perkebunan. Salah seorang warga dusun Limau Mungkur bernama Mak Esron (66 tahun) menceritakan pengalamannya sebagai berikut: “Pada masa itu saya masih ingat kira-kira tahun 1975, datang kepada saya 2 orang laki-laki yang mengaku utusan dari PTPN, tetapi saya lupa namanya. Mereka mengatakan membawa pesan dari atasan mereka yang berisi akan membantu warga di dusun kami. Mereka menawarkan kepada kami untuk bergabung dan bekerja di PTPN. Setiap warga yang memiliki niat baik dan semangat kerja yang tinggi akan dipertimbangkan untuk menjadi pekerja. Pernyataan mereka langsung saya tolak karena saya masih ingat betul ketika tanah saya dirampas mereka.
Jadi tidak akan pernah sudi keringat akan saya berikan untuk perkebunan. Saya dan warga-warga lain yang tanahnya dirampas perkebunan juga bersepakat untuk tidak memberi restu kepada sanak saudara yang ingin bekerja di perkebunan. Memang kami miskin, tapi kami akan lebih bermartabat jika kami tidak menjadi buruh di atas tanah sendiri”. Mak Esron-dusun Limau Mungkur, 18 April 2012 Dari tahun 1975-1980, PTPN II kebun Limau Mungkur tetap berusaha untuk melakukan perekrutan tenaga kerja dari 5 dusun Persil. Petani menganggap perekrutan tersebut merupakan sebuah usaha yang tersistematis untuk penjinakkan sikap warga yang menentang kehadiran PTPN II. Walaupun dalam kondisi ekonomi rumah tangga yang semakin memburuk, hampir seluruh dari pemilik tanah Persil yang tersebar di 5 dusun tetap tidak menerima tawaran-tawaran untuk bekerja menjadi buruh di perkebunan. Sikap tersebut lahir dari sebuah proses politik yang panjang. Perkebunan dianggap menjadi musuh petani sejak lahirnya perkebunan-perkebunan Belanda yang telah merampas tanah leluhur mereka. Kebencian terhadap perkebunan kembali menguat di saat Orde Baru memperlakukan mereka dengan sewenangwenang. Kelangkaan dan terbatasnya kesempatan kerja di sekitar desa mereka semakin mendorong petani dalam ruang-ruang kemiskinan. Petanipetani yang memiliki lahan cadangan dalam beberapa musim panen mengalami kegagalan. Haji Sulaiman dan Mak Esron beberapa kali selama dalam kurun waktu lima tahun (19751980) melakukan pinjaman kepada bank untuk menutupi biaya produksi pertanian. Pinjaman diberikan dengan menggadaikan surat tanah cadangan kepada pihak bank. Kegagalan-kegagalan panen disebabkan serangan wabah wereng di areal pertanian mereka. Wabah wereng tersebut dianggap tidak lahir begitu saja. Menurut Haji Sulaiman, wereng mulai ada
Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95
ketika PTPN II hadir di wilayah mereka. Penggunaan pestisida, pupuk dan cairan-cairan senyawa kimia dalam jumlah besar yang di semprotkan di areal perkebunan PTPN II terbawa air di kala musim hujan dan mengalir ke sungai Batutak, selanjutnya aliran air masuk ke sebagian wilayah pertanian warga dan menimbulkan dampak kerusakan ekosistem. Kerusakan itu berdampak pada munculnya wabah wereng pada tahun 1976-1980 dalam beberapa gelombang.15 Rajali dan Pak Soni (66 tahun, dusun Sinembah) warga yang digolongkan tidak memiliki lahan cadangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selalu berhutang ataupun menjual hewan ternak karena penerimaan atas kegiatan produksi mereka selalu defisit. Hal yang demikian terus memicu petani terjebak dalam proses pemiskinan dan ketidakstabilan ekonomi rumah tangga pertanian. Dalam proses ekonomi yang seperti itu, petani mengalami mobilitas profesi secara horizontal dari petani menjadi buruh lintas profesi ataupun pekerja sektor informal. Di sisi lain juga mengalami penurunan mobilitas secara vertikal, dari petani pemilik lahan sedang menjadi petani berlahan sempit. Perubahan-perubahan corak produksi ini meluas pada terbentuknya relasirelasi yang bersifat konfliktual antara perkebunan dan petani. Relasi konfliktual yang berbasis pada perbedaan kepentingan ini secara perlahan mendorong radikalisme petani dalam bentuk perlawanan-perlawanan yang dilakukan dengan diam-diam ataupun terbuka. Seperti yang diungkapkan oleh Scott (1993), bahwa pemutusan dan penghilangan akses terhadap alat produksi (tanah) terhadap petani secara sepihak akan memposisikan petani sebagai pihak
15
Hasil wawancara dengan Mak Esron (66 tahun) warga dusun Limau Mungkur. Ia mengatakan sebelum kehadiran PTPN II di wilayah mereka wereng tidak pernah ada.
75
yang terpojokkan, dan sewaktu-waktu dalam kondisi yang dirasa aman maka akan menciptakan suatu perlawanan dan pemberontakan secara kolektif. 2. Berburu di Areal Perkebunan dan Aksi Diam-diam Dusun Tungkusan merupakan dusun dengan jumlah penduduk terbesar daripada empat dusun yang lainnya. Menurut catatan statistik Desa Tadukan Raga, penduduknya pada tahun 1995 mencapai 856 jiwa dengan jumlah laki-laki 515 dan 341 perempuan. Diantara jumlah tersebut, yang memiliki pekerjaan tetap sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) hanya berjumlah 6 orang. Sisanya berprofesi sebagai buruh upahan, kuli bangunan, dan petani lahan kecil. Setengah dari jumlah keseluruhan penduduk dusun Tungkusan memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik tanah Persil. Namun setengah lainnya sama sekali tidak memiliki hubungan kekerabatan dan bukan sebagai ahli waris tanah Persil. Penduduk yang sama sekali tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan pemilik tanah Persil terdapat beberapa orang yang bekerja di perkebunan sebagai buruh rendahan. Keterbatasan lapangan perkerjaan serta tidak terdapatnya hubungan biologis dengan pemilik tanah Persil merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang menerima pekerjaan sebagai buruh perkebunan. Walaupun demikian, hal itu tidak memicu ketegangan dalam hubungan-hubungan sosial keseharian antar warga. Dalam kesehariannya pemuda-pemuda dusun Tungkusan memilih bekerja sebagai pengeruk pasir (bonjor) di Sungai Blumei yang bersebelahan dengan tempat tinggal mereka. Mereka bekerja dengan sistem manual melalui penyelaman tanpa perlindungan alat-alat keamanan. Pekerjaan itu mulai dilakukan sejak tahun 1995 ketika sekelompok pengusaha dari Kota Tanjung Morawa mendapatkan ijin penge-
76
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
rukan dan pemanfaatan pasir sungai dari pemerintahan Kabupaten Deli Serdang. Namun semenjak para pengusaha menggunakan teknik pengerukan yang lebih canggih melalui mesinmesin penyedot, tenaga manusia menjadi tidak dibutuhkan. Pemuda-pemuda tersebut kembali menjadi pengangguran ataupun buruh serabutan di sekitar-sekitar desa. Pemuda pengangguran desa sesekali memanfaatkan waktu dengan berburu pada malam hari di kawasan-kawasan sekitar desa, terutama di pinggiran perkebunan. Hewan buruan bernilai ekonomi tinggi adalah ular sawah dan babi hutan. Mereka melakukan pemburuan menggunakan senapan angin dan tombak bermata maja. Satuan petugas keamanan perkebunan PTPN II memberikan izin bagi para pemburu untuk memasuki kawasan perkebunan. Kebijakan ini bermula, setelah populasi babi hutan yang dikategorikan sebagai hama pengganggu tanaman meningkat di areal tersebut. Dengan ijin itu para pemuda secara berkelompok melakukan pemburuan di kawasan-kawasan perkebunan PTPN II. Setelah beberapa kali melakukan pemburuan, kemudahan-kemudahan perijinan didapatkan dengan mudah dalam waktu-waktu selanjutnya. Terkadang tanpa harus melapor kepada pihak petugas keamanan, mereka dapat langsung memasuki areal perkebunan. Mula-mula situasi itu hanya dimanfaatkan untuk memburu hewan yang bernilai ekonomi tinggi. Tapi mereka menyadari sesuatu yang lain juga akan mendatangkan keuntungan, yaitu mencuri tandan buah kelapa sawit segar. Sejarah perampasan yang dialami oleh orang tua mereka mendorong terbentuknya kesadaran politik untuk mengganggu aktif itas produksi perkebunan. Bahkan terputusnya sekolah sebagian para penganggur ini disadari akibat sejarah tahun 1972. Secara perlahan beberapa perencanaan untuk mencuri buah kelapa sawit kecil-kecilan ini dilakukan dengan hati-hati dan secara sadar
mereka juga mengetahui akibat yang akan dipikul jika aksi tersebut diketahui oleh petugas keamanan. Pencurian dilakukan hanya seminggu sekali secara bergantian. Kelapa sawit hasil curian dimasukkan ke dalam karung buruan. Selanjutnya kegiatan berburu digunakan sebagai alat dan taktik untuk bisa mengakses masuk ke wilayah perkebunan secara terus menerus. Hewan-hewan buruan tidak lagi menjadi target utama, bahkan secara sengaja dibiarkan agar produksi kelapa sawit perkebunan semakin menurun sekaligus memperluas kesempatan kegiatan berburu dapat terus dilakukan karena hewan yang dianggap pengganggu tanaman itu populasinya sengaja dibiarkan meningkat.16 Gaya perlawanan cerdas ini merupakan bentuk perlawanan yang oleh Scott disebut bersifat Brechtian. Perlawanan yang sedikit atau sama sekali tidak membutuhkan kordinasi atau perencanaan luas dan secara sengaja menghindari konfrontasi simbolis dengan kelas penguasa.17 Melihat perkembangan yang tidak menunjukkan pada penurunan populasi babi hutan, pihak perkebunan melakukan penambahan jumlah petugas keamanan yang dilengkapi dengan senapan angin berjenis khusus. Operasi rutin perburuan babi hutan ditingkatkan. Walaupun pihak perkebunan tetap memberikan ijin kepada para pemuda untuk ikut dalam perburuan namun operasi rutin yang dilakukan perkebunan semakin mempersempit ruang gerak mereka melakukan pencurian buah kelapa sawit. 16
Ramlan, salah seorang warga dusun Sinembah yang kerap melakukan perburuan bersama pemuda dusun Tungkusan menyatakan mereka sengaja membiarkan hewan pengganggu tanaman tidak diburu. Dengan demikian populasi babi hutan semakin meningkat dan hal tersebut tetap memberikan peluang kepada mereka mendapat alasan untuk bisa terus mengakses perkebunan dengan dalih berburu kepada pihak petugas keamaman PTPN II. 17 James C Scott, 1997. Senjatanya Orang-orang Yang Kalah. Jakarta: YOI, hlm. xxiii.
Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95
Selama lebih dari dua dekade, kehidupan ekonomi rumah tangga petani menjadi porakporanda. Segala bentuk strategi bertahan hidup telah dilakukan dengan berbagai cara, namun petani dihadapkan pada suatu kenyataan kemiskinan yang bergerak secara progessif. Kekuasaan modal (capital) di era rejim Orde Baru yang ditransformasikan dalam bentuk industri perkebunan telah menghancurkan tatanan masyarakat petani pedesaan. Dengan berbagai cara, modal (negara ataupun swasta) mengambil alih pertanian dan mengubah secara mendasar bentukbentuk tatanan masyarakat di dalamnya yang selanjutnya memproduksi kemiskinan secara sistematis di atas tatanan masyarakat baru (kapitalistik). Dalam ranah agraria, akumulasi primitif yang berasal dari sejarah perkembangan kapitalisme ini telah mencirikan bentuk-bentuk transformasi, diantaranya adalah mengubah kekayaan alam menjadi modal dan kaum tani diubah menjadi buruh tani. Skema pembangunan Orde Baru yang ditandai pada tingginya angka perampasan tanah-tanah petani akhirnya menghasilkan suatu konflik-konflik struktural di berbagai daerah, khususnya di wilayah-wilayah pinggiran perkebunan Sumatera Utara hingga saat ini. D. Transformasi Perlawanan Petani 1. Awal Mula Terjadinya Gerakan Sosial Petani Setelah melewati proses waktu panjang dengan kondisi perekonomian yang semakin tidak mencukupi kebutuhan keluarga, petani tetap berusaha mencari alternatif untuk keluar dari kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Selain itu mereka juga mulai membayangkan persoalanpersoalan jumlah angka pemilik lahan yang masih hidup semakin menurun. Petani beranggapan jika para generasi pertama (pemilik lahan Persil) tidak memulai sesuatu untuk merebut tanah mereka dari perkebunan maka untuk sela-
77
manya status kepemilikan tanah itu akan semakin tidak jelas. Walaupun segala sesuatu yang akan dilakukan tidak akan mengembalikan tanah mereka pada masa itu tetapi petani berkeyakinan dengan memulai sesuatu minimal telah mewariskan sejarah perjuangan yang akan terus dilanjutkan kepada generasi selanjutnya. Awal tahun 1996, segelintir petani mencoba untuk melakukan sebuah diskusi rutin terkait penyelesaian atas tanah Persil. Pertemuan dilakukan secara bergiliran di setiap dusun. Dalam pertemuan tersebut di sepakati untuk mengirimkan surat pengaduan kepada Wakil Presiden melalui “Tromol Pos 5000”.18 Petani beranggapan surat pengaduan itu merupakan cara terakhir yang mereka tempuh untuk mencari keadilan lewat jalur formal. Setiap dusun mendelegasikan satu orang untuk menandatangani surat pengaduan yang dikirim pada tanggal 8 Agustus 1996. Mereka adalah Haji Sulaiman, Polin Silalahi, Nazarudin Purba, Nampat Sembiring dan K. Berutu. Di luar dugaan, surat tersebut mendapatkan jawaban atas nama Asisten Wakil Presiden yang berisikan agar petani melaporkan perkara itu kepada Bupati Deli Serdang. Selanjutnya petani menindak lanjuti dengan mengirimkan surat pengaduan lanjutan kepada Bupati Deli Serdang. Bupati Deli Serdang pada tanggal 21 Februari 1997 mengeluarkan surat jawaban dengan Nomor. 593/15/RHS yang isinya antara lain menyarankan agar petani menyelesaikan permasalahan kasus tanah Persil melalui jalur hukum. Situasi ini mendorong lahirnya sebuah harapan baru terkait penyelesaian kasus perampasan yang mereka hadapi. Informasi-informasi dan jawaban
18
Tromol Pos 5000 adalah kotak surat pengaduan yang ditujukan untuk pemerintahan Pusat (Presiden/wakil Presiden). Siapa saja berhak mengirim surat pengaduan, secara perorangan maupun organisasi, yang berisi tentang persoalan-persoalan yang sedang dihadapi.
78
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
dari surat-surat yang diterima di kelola oleh Haji Sulaiman cs untuk mengkonsolidasikan perjuangan petani. Haji Sulaiman merupakan salah satu orang yang mempunyai pengaruh cukup besar di dusun Tungkusan. Ia di anggap cukup gigih dan konsisten dalam perjuangan sehingga masyarakat sering menyebutnya sebagai “tokoh penggerak”. Di sisi lain ketaatan agama serta gelar haji yang melekat pada dirinya semakin memperkuat kharisma yang dimilikinya. Begitu juga dengan Polin Silalahi, seorang warga dusun Batutak yang dianggap tokoh agama mewakili petani beragama Kristen. Kedua orang itu dianggap tokoh kunci dan pemersatu perjuangan petani yang mulai menggelora. Krisis ekonomi dan politik yang memuncak pada jatuhnya Soeharto pada 20 Mei 1998 telah menjadi katalisator meledaknya kekuatan-kekuatan petani yang selama ini memilih jalur perlawanan bawah tanah. Puluhan ribu KK petani Deli Serdang telah menunggu lama jatuhnya Soeharto, khususnya petani yang kehilangan tanah di awal 1970-an. Euforia reformasi menyulut kebencian-kebencian petani untuk melakukan perlawanan-perlawanan terbuka. Zaman reformasi di anggap suatu era transisi politik, dari otoritarian menuju demokratis. McAdam, Tarrow, dan Tilly dalam bukunya yang berjudul Dynamics of Contentation (2001) menyatakan gerakan sosial terbuka cenderung terjadi di dalam masyarakat transisional. Seminggu setelah kejatuhan Soeharto, ribuan petani di pinggiran perkebunan Deli Serdang menduduki kembali lahan mereka (reclaiming). Organisasi-organisasi yang mengatasnamakan “kelompok perjuangan petani” muncul secara spontan di beberapa kecamatan dalam wilayah Kabupaten Deli Serdang. Diantaranya 4 kelompok tani di Kecamatan Patumbak, yaitu : Kelompok Tani Sigara-gara I, II, Lantasan Lama dan Kurnia Negara Namosuro. Pendudukan lahan itu segera disusul oleh kelompok-kelompok tani
lain yang tersebar di beberapa kecamatan. Aksi dilakukan dengan membabat seluruh lahan dan tanaman perkebunan PTPN II. Menurut catatan Badan Advokasi Hukum Sumatera Utara (BAKUMSU), NGO yang bergerak di bidang advokasi hukum, menyatakan gerakan pendudukan lahan oleh petani di wilayah perkebunan PTPN juga terjadi di Kabupaten Langkat, Asahan dan Labuhan Batu dalam jumlah besar di akhir Mei 1998. Gerakan pendudukan tersebut mendorong lahirnya pembelajaran politik petani secara massal dan selanjutnya ditiru oleh masyarakat petani di wilayah-wilayah pinggiran perkebunan, terutama di wilayah rawan konflik pertanahan. Perkebunan dianggap menjadi musuh bersama petani.19 Meluasnya gerakan pendudukan lahan di Deli Serdang berpengaruh terhadap psikologis petani Persil. Kelompok tani di Kecamatan Patumbak yang terletak tidak jauh dari wilayah Persil dianggap telah berhasil mendapatkan tanah mereka kembali. Pembabatan tanaman yang mereka lakukan mengakibatkan terhentinya kegiatan produksi perusahaan perkebunan. Isu-isu tentang reformasi dan pelanggaran HAM mempersempit PTPN untuk melakukan represif itas terhadap gerakan petani. Bahkan seminggu setelah jatuhnya Soeharto, aktif itas penjagaan keamanan di lingkungan PTPN II terlihat menurun. Melihat perkembangan ini, Haji Sulaiman cs mengajak seluruh petani Persil untuk menduduki lahan pada awal Juni 1998. Seluruh pemilik lahan beserta para kerabat secara bergelombang mulai menduduki tanahnya. Di atas lahan itu, 320 hektar tanaman karet yang telah ditanami sejak tahun 1972 diganti menjadi tanaman kelapa sawit pada awal tahun 1998 oleh PTPN II. Sebelum kejatuhan Soeharto seluruh areal Persil
19
Soeharto dianggap menjadi musuh bersama seluruh rakyat Indonesia, perkebunan dianggap menjadi musuh bersama seluruh petani, Rajali-dusun Tungkusan.
Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95
dengan luas 525 hektar telah diseragamkan menjadi perkebunan kelapa sawit. Namun 320 hektar masih tergolong tanaman kelapa sawit berumur muda, 205 hektar sisanya merupakan tanaman kelapa sawit berumur tua. Pendudukan dilakukan di atas lahan 320 hektar tanaman kelapa sawit muda. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pembabatan terhadap tanaman di atasnya. Mereka menyepakati setiap KK mendapatkan 6 rante (1 rante: 20 x 20 m) dan selanjutnya ditanami dengan tanaman palawija. Haji Sulaiman dan para panandatangan surat pengaduan Tromol Pos berinisiatif untuk melanjutkan dan menindaklanjuti surat jawaban Bupati Deli Serdang dengan cara mendatangi komisi A DPRD Deli Serdang. Petani merasa sudah berhasil mendapatkan tanah mereka kembali. Namun mereka tetap berkeinginan untuk mendapatkan kepastian hukum atas tanah tersebut. DPRD Deli Serdang merespon laporan petani dengan mengadakan sebuah pertemuan “dengar pendapat” pada tanggal 27 Oktober 1998. Pertemuan itu dihadiri oleh Kepala Badan Pertanahan (BPN) tingkat II Deli Serdang, Kepala Administrasi PTPN II kebun Limau Mungkur, Camat STM Hilir, Kepala Desa Tadukan Raga, Lau Barus Baru dan Limau Mungkur serta seluruh petani pemilik tanah Persil. Dalam pertemuan tersebut disimpulkan bahwa lahan Persil IV seluas 525 hektar tidak termasuk dalam HGU PTPN II kebun Limau Mungkur. Hal ini berdasarkan sertif ikat HGU dan hak Konsesi Limau Mungkur Nomor. 02.04.08.05.2.0001 yang dikeluarkan Menteri Dalam Negeri dengan surat keputusan Nomor. 13/HGU/DA/1975 serta Surat Ukur Nomor.1450/ 08/1993. ADM PTPN II Kebun Limau Mungkur menjelaskan bahwa tanah yang dikuasai dan diusahai oleh PTPN II Kebun Limau Mungkur adalah seluas 2322 hektar. Namun BPN Tk II Deli Serdang sebagai perwakilan negara yang memiliki
79
otoritas pertanahan menjelaskan bahwa berdasarkan Keputusan Nomor.13/HGU/DA/1975 dan Surat Ukur Nomor.1450/08/1993, PTPN II Kebun Limau Mungkur hanya mengantongi ijin HGU seluas 1400 hektar. Dengan demikian, tanah seluas 2322 hektar yang dikuasai oleh PTPN II Kebun Limau Mungkur terdapat sisanya seluas 922 hektar yang tidak memiliki sertifikat HGU. Pertemuan itu semakin memperjelas bahwa di dalam lahan 922 hektar terdapat tanah petani Persil IV seluas 525 hektar yang dirampas PTPN II pada tahun 1972. Sisanya (922-525) 397 hektar juga diyakini milik petani Persil V yang dirampas pada tahun 1972.20 Kepala Desa Tadukan Raga, Limau Mungkur dan Lau Barus dalam pertemuan itu mengeluarkan pendapat bahwa tanah seluas 922 hektar merupakan tanah milik petani Persil IV dan V yang dirampas PTPN II Kebun Limau Mungkur pada tahun 1972, selanjutnya para Kepala Desa menyarankan agar tanah yang dipersengkatakan segera dikembalikan kepada masyarakat sesuai dengan bukti-bukti kepemilikan yang dimiliki. Selain keberhasilan dari kelompok-kelompok tani lain dalam menduduki lahan, surat-surat jawaban ataupun rekomendasi dari Asisten Wakil Presiden, Bupati, dan rapat dengar pendapat juga menjadi faktor-faktor penting meyakinkan petani untuk terus melakukan perjuangan. Kemenangan dirasakan sudah di depan mata. Reformasi dimaknai menjadi suatu kesempatan untuk mendapatkan keadilan karena terbukanya akses-akses institusional. Terbukanya akses-akses instusional, melemahnya kedudukan negara (Orde Baru) mencirikan suatu bentuk masyarakat yang sedang mengalami transisi politik. Situasi ini memunculkan kecenderungan situasi perlawanan rakyat di dalamnya dengan karakter yang lebih terbuka. Segala sesuatu yang dimaknai sebagai kesempatan akan menciptakan nilai-nilai 20
Notulensi rapat dengar pendapat, 27 Oktober 1998.
80
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
yang selanjutnya dimobilisasi sebagai kekuatankekuatan perubahan social.21 Petani menggunakan segala bentuk strategi dalam perjuangannya. Walaupun dalam pendudukan lahan yang mereka lakukan tidak mengalami represif itas dari pihak-pihak perkebunan, namun mereka tetap menempuh perjuangan dengan cara-cara yang disebut sebagai jalur legal dan ekstra legal. Dua bentuk perjuangan ini mereka gunakan untuk memenangkan dua wilayah yang cukup berbeda, hukum dan non hukum. Bagi mereka keputusan hukum akan melegitimasi secara permanen terhadap kepemilikan tanah sekaligus untuk memudahkan bentukbentuk kegiatan transaksional, seperti pembagian warisan ataupun jual beli jika tanah telah dikuasai secara penuh. Kepemilikan tanah Persil IV yang tidak bersifat komunal menjadi faktor penting terbentuknya perjuangan yang masih mempercayai kemenangan hukum formal. Berbeda dengan karakter perjuangan masyarakat bercirikan kepemilikan tanah komunal, yang biasanya tidak mengadopsi perjuangan-perjuangan legal ketika berhadapan dengan kekuasaan negara karena di dalam masyarakat tersebut pada umumnya tanah bersifat kepemilikan kolektif dan sosial sehingga tidak dibenarkan untuk di transaksikan dalam kegiatan-kegiatan komersial. Pada tanggal 24 Maret 1999, BPN Tk II Deli Serdang mengeluarkan surat keputusan dengan Nomor.410.874/P3/1999 yang berisikan penjelasan bahwa tanah Persil IV yang dituntut oleh petani adalah di luar HGU PTPN II kebun Limau Mungkur. Setelah keputusan BPN ini dikeluarkan, petani mengajukan surat permohonan kepada Camat STM Hilir untuk menindaklanjuti dengan menuntut dibuatnya surat keterangan Camat agar legitimasi atas kepemilikan tanah tersebut menjadi semakin kuat. 21
Doug McAdam, Sidney Tarrow dan Charles Tilly, Dynamics of Contention. New York: Cambridge University Press, 2001.
2. Menempuh Perjuangan Legal: Menang di Atas Kertas Keputusan-keputusan lembaga negara sudah dianggap berpihak kepada petani. Namun PTPN II kebun Limau Mungkur tetap tidak mengeluarkan keputusan untuk menyerahkan tanah persil kepada petani. Petani menyepakati untuk menempuh jalur legal, menggugat PTPN II di lembaga peradilan. Petani berkeyakinan dengan bukti-bukti kepemilikan serta keputusan-keputusan politik yang sudah di dapatkan akan memenangkan gugatan yang mereka ajukan. Petani Persil IV mengajak Petani Persil V untuk bergabung melakukan gugatan perdata terhadap PTPN II. Untuk menuntut PTPN II di lembaga peradilan bisa dilakukan dengan gugatan perorangan. Namun petani memilih untuk menuntut secara berkelompok. Atas kesepakatan itu, petani Persil IV dan V menggunakan sebuah organisasi koperasi milik petani Persil V yang bernama “Koperasi Juma Tombak” untuk menuntut PTPN II di lembaga peradilan. Aliansi ini bermula pada satu pandangan untuk memudahkan kemenangan secara bersama, selain itu karena letak kedua lahan (Persil IV dan V) sama-sama berada dalam kawasan PTPN II kebun Limau Mungkur. Mereka membentuk satu kepengurusan perjuangan bersama. Petani Persil IV memilih perwakilan-perwakilannya untuk di susun menjadi kepengurusan kolektif dengan perwakilanperwakilan Petani Persil V. Haji Sulaiman dan para penandatangan Tromol Pos terpilih menjadi perwakilan dari Persil IV. Sementara di Persil V, Supandi, seorang petani yang juga menjabat sebagai Kepala Desa Lau Barus Baru terpilih menjadi salah perwakilan dari beberapa orang yang terpilih. Kepengurusan kolektif bertanggung jawab memimpin perjuangan di jalur legal (peradilan) serta wajib mendistribusikan segala bentuk perkembangan informasi kepada seluruh petani
Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95
terkait perjuangan yang di tempuh melalui jalur legal. Pada tahun 1999, petani menggugat PTPN II kebun Limau Mungkur di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam. Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam dengan Nomor.61/Pdt.G/1999 mengabulkan tuntutan petani. PTPN II diwajibkan membayar ganti rugi material 74 Milyar rupiah dan diharuskan untuk mengembalikan tanah seluas 922 hektar kepada petani. Putusan pengadilan ini meningkatkan kepercayaan diri mereka untuk tetap menduduki lahan. Aktifitas produksi perkebunan PTPN II lumpuh total. Tingkat keamanan di wilayah administrasi kebun Limau Mungkur tidak berjalan normal, kegiatan pemanenan kelapa sawit oleh PTPN II di atas areal 205 hektar kelapa sawit tua Persil IV terhenti setelah putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam mengabulkan tuntutan petani. Dalam menjalani proses persidangan di lembaga peradilan, petani hanya mengandalkan sumber keuangan yang didapatkan dari iuran wajib. Keuangan di kelola untuk membayar sejumlah biaya administrasi persidangan dan honor pengacara. Kegiatan pertanian di atas areal 320 hektar yang telah mereka kuasai tidak mencukupi biaya-biaya operasional yang dibutuhkan selama proses persidangan. Melihat perkembangan situasi keamanan PTPN II di atas areal 205 hektar yang semakin lumpuh total, petani menyepakati untuk memanen kelapa sawit sebagai sumber keuangan perjuangan. Sejak itu, petani mendapatkan sumber-sumber logistik yang cukup besar. Pemanenan kelapa sawit di lakukan 2 kali dalam satu bulan. Mendapatkan putusan kekalahan di tingkat Pengadilan Negeri, PTPN II menempuh upaya hukum “banding” di tingkat pengadilan Tinggi yang berkedudukan di Kota Medan. Langkah ini ditempuh PTPN II bertujuan untuk mengalahkan gugatan yang diajukan petani sekaligus menggugurkan putusan Pengadilan Negeri
81
Lubuk Pakam. Namun pada tahun 2000, Pengadilan Tinggi Sumatera Utara memutuskan perkara tersebut dengan Nomor.230/Pdt/2000 menolak pengajuan banding PTPN II. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi memutuskan tanah seluas 922 hektar harus dikembalikan kepada pihak penggugat (petani) dan PTPN II diwajibkan untuk membayar ganti rugi material 49 Milyar rupiah kepada petani. Kemenangan ini dirayakan petani dengan memagar seluruh areal PTPN II kebun Limau Mungkur, khususnya wilayah Persil IV dan V. Pemagaran ini dimaksudkan untuk melumpuhkan secara total aktif itas produksi PTPN II. Perlawanan semakin luas dan terbuka. Pemagaran dan pendirian plank-plank yang bertuliskan “tanah ini milik rakyat” di lakukan secara serentak. Setelah 2 kali mendapatkan kekalahan di lembaga peradilan, PTPN II pada tahun 2001 menggunakan pihak ketiga, yaitu preman-preman bayaran pimpinan “Anto Keling” untuk mengintimidasi kegiatan pendudukan lahan yang sedang dilakukan petani. Anto Keling adalah seorang pengusaha perkebunan swasta dan memimpin salah satu organisasi kepemudaan di Deli Serdang.22 Intimidasi tersebut berlanjut dengan pembabatan seluruh tanaman milik petani di atas lahan 320 hektar dan berujung pada sebuah bentrokan. Bentrokan mengakibatkan seorang petani Persil IV (Rajali) menjadi korban karena terkena bacokan senjata tajam berjenis pedang.23 “Saya masih ingat peristiwa tersebut, di saat kami dua kali dimenangkan oleh pengadilan, PTPN II mendatangkan preman bersenjata dalam jumlah 22
Wawancara dengan Bang Esron (Informan), dusun Limau Mungkur, 23 April 2012. 23 Rajali merupakan salah seorang petani yang berasal dari dusun Tungkusan. Ia menjadi korban dalam bentrokan yang terjadi pada tahun 2001 dan mengalami cacat permanen hingga kini.
82
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
besar. Hampir seratus orang kira-kira jumlah mereka. Kami tahu mereka akan datang ke lahan kami, kemudian kami bersiap untuk menghadapi mereka. Namun mereka sepertinya lebih ahli dalam menggunakan senjata, seperti pasukan terlatih. Saya tersungkur, bahkan saya kira sudah mati. Namun saya masih hidup setelah satu bulan dirawat di rumah sakit, tapi ya begini dengan kondisi banyak besi/ pen di tangan saya. Rajali-dusun Tungkusan”. Sebagian besar sumber keuangan/kas organisasi petani digunakan untuk biaya pengobatan Rajali di rumah sakit. Di sisi lain pasca bentrokan tersebut, lahan Persil IV seluruhnya dikuasai oleh Anto Keling cs, dan lahan 320 hektar yang telah dibabat oleh petani kembali ditanami kelapa sawit oleh PTPN II. Sumber-sumber keuangan yang biasanya di dapatkan dari pemanenan kelapa sawit di atas lahan 205 hektar tidak lagi berjalan. Anto Keling cs digunakan PTPN II untuk melakukan penjagaan keamanan penanaman lahan 320 hektar dan pemanenan kelapa sawit di areal 205 hektar. Setelah menguasai lahan Persil IV, PTPN II memberi kuasa kepada pihak Anto Keling cs untuk melakukan pemanenan di areal Persil V. Menurut salah seorang warga dusun Limau Mungkur, Esron Ginting, mengatakan bahwa pemberian kuasa tersebut adalah suatu tindakan cacat hukum karena penggugat (petani) dan tergugat (PTPN II) dalam proses berperkara tidak berhak memberi kuasa kepada siapapun sebelum adanya keputusan hukum tetap (eksekusi). Ia menambahkan pemberian kuasa itu selain merupakan tindakan cacat hukum juga sebagai salah satu usaha PTPN II untuk mendorong konflik horizontal. Setelah berhasil menguasai lahan Persil IV dan V melalui pihak ketiga, PTPN II mengajukan upaya hukum “Kasasi” di tingkat Mahkamah Agung. Upaya ini ditempuh PTPN II melalui kuasa hukumnya, Posman Nababan, SH, untuk membatalkan putusan hukum Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Putusan Mahkamah Agung
pada tahun 2004 dengan Nomor. 1611.K/Pdt/ 2004 menolak permohonan kasasi yang diajukan PTPN II. Persidangan yang dipimpin oleh Abdul Rahman Saleh, SH, MH tersebut memutuskan bahwa PTPN II harus mengembalikan tanah seluas 922 hektar dan membayar ganti rugi material 49 Milyar kepada petani. Setelah keluarnya putusan Mahkamah Agung yang menolak permohonan Kasasi PTPN II sekaligus mempertegas secara hukum kemenangan terhadap petani, PN Lubuk Pakam membuat penetapan eksekusi dengan Nomor.14/Eks/ 2004/61/Pdt/99 PN-LP. Penetapan eksekusi itu mewajibkan PTPN II untuk menyerahkan tanah seluas 922 hektar dan membayar ganti rugi material 49 milyar rupiah kepada petani selambatlambatnya 8 hari sejak penetapan itu dikeluarkan. Walaupun petani tidak lagi menduduki lahan sejak peristiwa penyerangan kelompok Anto Keling Cs pada tahun 2001, namun petani tetap melakukan gugatan hukum terhadap PTPN II. Kemenangan atas gugatan dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung menjadi cukup bukti bagi petani untuk melakukan pendudukan lahan kembali. Penetapan eksekusi yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Lubuk Pakam itu dianggap sebagai sumber kekuatan hukum tetap. Organisasi perjuangan petani “Juma Tombak” mengkonsolidasikan seluruh petani untuk “turun ke lahan” saat eksekusi dilakukan.24 Namun saat eksekusi akan dilakukan, pihak PTPN II tetap menempatkan pihak ketiga (Anto Keling cs) menjaga keamanan areal lahan perkebunan. Eksekusi dibatalkan karena PTPN II menyatakan telah mengajukan permohonon Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Kasasi di Mahkamah Agung. Dengan dalih itu, PTPN II menyatakan 24
Turun ke lahan adalah istilah yang diartikan oleh petani sebagai tindakan turun ke lahan.
Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95
putusan Kasasi belum menjadi kekuatan hukum tetap. Upaya permohonan PK yang diajukan PTPN II dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Hal ini mengakibatkan putusan Kasasi yang memenangkan tuntutan petani secara hukum dianggap tidak berlaku. Petani menjadi sangat kecewa atas dikabulkannya PK PTPN II di Mahkamah Agung karena lembaga tersebut dianggap mengeluarkan 2 putusan yang berbeda. PTPN II menyatakan keberhasilan PK yang mereka ajukan di Mahkamah Agung bersumber dari adanya salah seorang pengurus koperasi “Juma Tombak” yang berkhianat dengan memberikan kesaksian kepada PTPN II bahwa ia tidak pernah ikut memberi tanda tangan dalam pendirian koperasi “Juma Tombak”. Kesaksian tersebut menjadi materi dikabulkannya PK PTPN II di Mahkamah Agung. Keterangan PTPN II itu tidak dipercayai oleh petani dan dianggap hanya sebuah rekayasa untuk memecah belah perjuangan. Namun petani Persil IV secara perlahan mulai mempercayai keterangan PTPN II terkait penghianatan tersebut. Hal ini disebabkan salah seorang pengurus “Koperasi Juma Tombak” yang berasal dari Persil V dicurigai telah mendapatkan sejumlah uang dari PTPN II dengan pembuktian orang tersebut menjadi “kaya mendadak”. Terjadi perpecahan di tubuh organisasi perjuangan petani Persil IV dan V. Petani Persil IV memilih untuk memisahkan diri dari Petani Persil V, Haji Sulaiman cs bersepakat mengeluarkan diri dari organisasi perjuangan “Koperasi Juma Tombak”. Selama 8 tahun (1996-2004), petani telah melakukan perjuangan dengan cara-cara yang mereka yakini. Perjuangan dipilih dengan 2 cara yang berbeda dalam waktu yang bersamaan, perjuangan legal dan ekstra legal. Perjuangan legal yang semula diyakini berhasil untuk mengembalikan tanah berakhir dengan ketidakpastian. Perjuangan ekstra legal (reclaiming) dihadapkan dengan intimidasi-intimidasi dari
83
pihak PTPN II. Era transisi politik (reformasi) yang dimaknai petani sebagai era keterbukaan, melahirkan peluang dan kesempatan yang selanjutnya dimobilisasi menjadi kekuatan-kekuatan untuk meraih kemenangan. Putusan-putusan pengadilan di anggap sebagai sumber daya eksternal yang bisa dimanfaatkan untuk membangun perlawanan dengan cara-cara yang lebih terbuka. Menurut McAdam, mobilisasi kekuatan-kekuatan eksternal akan terus berubah seiring dengan situasi politik yang berpihak kepada para aktor (petani) atau sebaliknya. Pertikaian dan perlawanan akan semakin meningkat ketika situasi kehidupan sehari-hari semakin menekan dan melampaui batas toleransi petani. Namun ketika para petani kembali dihadapkan pada situasi yang tidak menguntungkan dan sumber-sumber kekuatan eksternal melemah, petani akan kembali memilih strategi-strategi perlawanan lain. Kemenangankemenangan petani di ranah hukum formal (legal) tidak berbanding lurus dengan harapan yang mereka inginkan, sehingga petani menyebut kemenangan itu dengan istilah “menang di atas kertas”. 3. Belajar Dari Keberhasilan Kelompok Tani Lain Sejak PTPN II berhasil menguasai kembali lahan Persil IV dan V pada tahun 2001 dengan memobilisir preman-preman bayaran pimpinan Anto Keling cs serta dikabulkannya permohonan Peninjauan Kembali (PK) PTPN II di Mahkamah Agung semakin mempersempit ruang gerak petani untuk menduduki lahan. Petani memilih untuk tidak menduduki lahan karena penjagaan keamanan di atas areal Persil IV semakin diperketat dengan penambahan jumlah pasukan keamanan. Haji Sulaiman, Polin Silalahi, Rajali dan seluruh petani Persil IV merefleksikan perjuangan yang selama ini mereka lakukan. Mereka
84
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
merencanakan sebuah pertemuan untuk membahas persoalan tersebut sekaligus mengundang kelompok tani Kecamatan Patumbak yang dianggap telah berhasil secara penuh mendapatkan tanah perjuangan. Dalam pertemuan tersebut, delegasi kelompok tani Patumbak mengatakan: “Perjuangan di meja pengadilan memang sering dimenangkan oleh petani, tetapi petani tetap tidak bisa menguasai lahannya secara penuh. PTPN II selalu menggunakan preman yang dibayar dari sawit yang ada di atasnya. Maka cara yang tepat adalah membunuh kelapa sawit itu. Jika kelapa sawit itu tidak lagi ada maka PTPN II tidak lagi bisa membayar preman. Dengan cara itulah kami berhasil menduduki lahan kami.” Pernyataan delegasi kelompok tani Patumbak dalam pertemuan itu menjadi sebuah materi refleksi perjuangan petani Persil IV. Dari pernyataan itu, petani baru menyadari areal 205 hektar tanaman kelapa sawit tua di lahan Persil IV menjadi sumber keuangan utama untuk menopang pembiayaan operasional PTPN II dalam membiayai para preman. Pertemuan refleksi menyimpulan bahwa tanaman kelapa sawit tua di areal 205 hektar harus dimusnahkan. Untuk memusnahkan tanaman kelapa sawit, petani Patumbak menyarankan untuk di bor dan selanjutnya dimasukkan racun rumput. Cara lain untuk memusnahkan tanaman kelapa sawit juga bisa di lakukan dengan membakar, namun cara tersebut mengundang resiko yang cukup besar berupa penangkapan dari petugas keamanan PTPN II terhadap petani. Satu botol racun rumput volume 1 liter dapat digunakan untuk memusnahkan 10 tanaman kelapa sawit. Di dalam areal 1 hektar, tanaman kelapa sawit berjumlah 110 batang, maka di areal 205 hektar terdapat 22.550 batang tanaman kelapa sawit yang akan dimusnahkan. Petani mulai menghitung biaya produksi pemusnahan 22.550 batang tanaman kelapa
sawit. Dibutuhkan biaya sekitar 90 juta rupiah untuk membeli 2.225 botol racun. Petani mendapatkan kesulitan untuk menutupi biaya yang dibutuhkan. Menghadapi kesulitan-kesulitan itu, dibentuklah satu kelompok khusus yang merekrut sebagian kelompok pemuda untuk mencuri kelapa sawit tua sebagai sumber keuangan pembelian racun. Pencurian di lakukan pada malam hari, di saat petugas keamanan dan preman bayaran PTPN II lengah dalam penjagaan. Petani dengan prinsip kehati-hatian secara diam-diam melakukan pencurian lewat sistem kordinasi yang hanya dimengerti oleh mereka sendiri. Kegiatan ini tidak berlangsung lama setelah diketahui hasil produksi pemanenan mulai menurun. PTPN II meningkatkan penjagaan areal 205 hektar dengan sistem 24 jam. Pasca peningkatan penjagaan keamanan ini, petani tidak hanya terhenti untuk melakukan kegiatan pencurian tetapi juga menghentikan operasi pemusnahan tanaman kelapa sawit. 4. Menjadi Buruh Industri, Kehadiran Mahasiswa dan Meluasnya Solidaritas Gagalnya operasi pemusnahan kelapa sawit pada tahun 2004, berakibat pada terhentinya segala bentuk rencana kegiatan pendudukan. Intimidasi secara terang-terangan oleh preman PTPN II bahkan tidak hanya terjadi di areal perkebunan, meluas hingga perkampungan warga. Di sela-sela waktu luang penjagaan, preman-preman bayaran memasuki perkampungan warga menenteng senjata tajam. Perilaku teror sengaja dilakukan untuk mempersempit dan mengisolasi kekuatan-kekuatan perlawanan petani. Selain itu, pada awal tahun 2005, PTPN II mencoba melakukan perekrutan terhadap pemuda-pemuda Persil untuk bekerja sebagai petugas keamanan di bawah kendali preman-preman PTPN II. Petani memilih tiarap, tidak melakukan perlawanan-perlawanan terbuka sekaligus menolak
Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95
tawaran-tawaran bekerja sebagai petugas keamanan di lingkungan perkebunan. Perekonomian rumah tangga petani menurun drastis, petani yang berumur tua rata-rata mengandalkan pendapatan rumah tangga dari bekerja menjadi buruh upahan ataupun berdagang keliling di sekitar desa. Pemuda-pemuda desa lulusan Sekolah Menengah Atas sebagian besarnya terserap menjadi buruh-buruh industri di Kawasan Industri Medan Star (KIM) Tanjung Morawa yang terletak tidak jauh dari wilayah Persil. Kawasan Industri terbesar di Propinsi Sumatera Utara yang dibangun di awal tahun 2000 itu menyerap lebih dari 456 pemuda di dusun-dusun Persil. Mobilisasi profesi secara besar-besaran pemuda Persil menjadi buruh Industri di KIM Tanjung Morawa mendorong perubahan komposisi kependudukan masyarakat Persil. Menurut catatan statistik Desa Tadukan Raga, Limau Mungkur dan Lau Barus Baru, pada tahun 2005 jumlah penduduk berusia 19-35 tahun, lebih dari setengahnya bekerja di KIM Tanjung Morawa. Kehadiran KIM Tanjung Morawa berdampak pada mobilisasi besar-besaran penduduk yang berprofesi sebagai buruh perkebunan, kuli bangunan dan jasa menjadi buruh industri di KIM Tanjung Morawa. Selain bekerja, sebagian buruh mulai terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik di serikat buruh. Kegiatan-kegiatan politik di serikat buruh yang mereka pilih mendorong lahirnya kesadaran politik baru atas persoalan-persoalan yang dihadapi dan berdampak pada munculnya kesadaran
85
“Awalnya kami tidak tahu cara-cara berorganisasi dengan baik. Setelah kami bekerja sebagai buruh industri di Tanjung Morawa selanjutnya kami belajar tentang berorganisasi dan terlibat dalam serikatserikat buruh. Teori-teori tentang gerakan sosial kami pelajari pelan-pelan dan menjadi sadar terhadap penindasan yang terjadi. Hal inilah yang mendorong kami untuk membangun jaringan-jaringan gerakan, khususnya gerakan mahasiswa, karena gerakan mahasiwa kami anggap sangat berpengaruh terhadap perubahan sosial-Agus, pemuda dusun Tungkusan”. Salah seorang pemuda, Agus (Menantu Haji Sulaiman), mencoba menemui salah satu organisasi mahasiswa bernama Forum Mahasiswa Anti Penindasan (FORMADAS) di Kota Medan dari sebuah informasi yang didapatkan dari salah satu kerabatnya.25 Menurut kerabatnya, organisasi yang akan ditemui adalah organisasi mahasiswa independen yang sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan advokasi rakyat pinggiran. Pertemuan melahirkan sebuah kesepakatan bahwa mahasiswa akan melakukan investigasi dan pendataan terhadap kasus Persil IV yang akan dimulai pada pertengahan Juni 2007. Sebulan setelah itu FORMADAS memutuskan untuk mengirim 8 orang mahasiswa untuk terlibat dalam perjuangan petani dengan metode live in (tinggal menetap).26 Metode ini merupakan metode pengorganisiran yang sering mereka gunakan untuk membangun dan menguatkan gerakan petani. Setiap dusun, FORMADAS menempatkan 2 orang mahasiswa tinggal bersama petani. Kehadiran mahasiswa membawa dampak perubahan terhadap semangat perlawanan petani yang telah melemah. Petani mulai agresif
untuk berorganisasi pada pemuda-pemuda Persil. Situasi ini berlanjut pada penalaran sikap kritis terhadap kasus Persil IV yang dihadapi oleh sebagain besar orang tua mereka. Proses tersebut berkembang menjadi terciptanya kesadaran kelas yang menuntut mereka membangun jaringanjaringan gerakan sosial yang dianggap akan menguatkan perlawanan Persil IV.
25
FORMADAS adalah sebuah organisasi mahasiswa independent yang berdiri pada tahun 2000 di kota Medan. Organisasi ini mempunyai kepengurusan di 4 Universitas dan aktif dalam kegiatan-kegiatan advokasi dan pengorganisiran di sektor mahasiswa dan petani. 26 Wawancara dengan Juson Jusri Simbolon, salah seorang pendiri FORMADAS dan 1 dari 8 orang mahasiswa yang ikut live in di dusun Tungkusan sejak bulan Agustus 2006.
86
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
melakukan pertemuan-pertemuan terkait permasalahan perjuangan mereka yang berhenti sejak dikuasainya lahan Persil oleh preman-preman PTPN II. Pada tanggal 26 Agustus 2007, sebuah pertemuan Akbar bertema “Tanah Untuk Rakyat” dilaksanakan di dusun Tungkusan.27 Seluruh pemilik tanah dan ahli waris menghadiri acara tersebut. Pertemuan akbar menghasilkan kesepakatan-kesepakatan untuk memulai kembali perjuangan dengan menata ulang sistem organisasi yang selama ini dianggap bersifat sentralistik. Perombakan organisasi dilakukan dengan mendirikan badan-badan otonom di setiap dusun. Tiap-tiap dusun memiliki 5 orang perwakilan yang akan disusun menjadi kepengurusan bersama dengan perwakilan dusun-dusun lainnya. Perombakan diharapkan meminimalisir ketergantungan perjuangan terhadap sekelompok orang. Setelah terpilihnya 5 orang perwakilan setiap dusun, dibentuk sebuah organisasi perjuangan baru yang bernama Gerakan Petani Persil IV (GTP-IV). Isu perjuangan petani diperluas dalam diskusi-diskusi dan kegiatan politik di Kota Medan yang digagas oleh FORMADAS dengan menyertakan pengurus GTP-IV sebagai nara sumber. Kegiatan-kegiatan ini memperluas jaringan solidaritas terhadap perjuangan petani Persil IV. Satu bulan setelah FORMADAS terlibat dalam perjuangan petani, FORMADAS membentuk satu aliansi yang bernama SMAPUR (Solidaritas Mahasiswa Untuk Perjuangan Rakyat). Aliansi didirikan untuk memperluas solidaritas perjuangan petani di tingkat mahasiswa yang berkedudukan di Kota Medan. Aliansi ini terdiri dari 6 organisasi mahasiwa di 4 kampus yang berbeda.28
5. Tanah Milik Petani, Kelapa Sawit Milik PTPN II Keterlibatan mahasiwa dalam perjuangan petani berdampak pada berubahnya sistem keamanan perkebunan PTPN II kebun Limau Mungkur. Hal itu bermula ketika petani dan mahasiswa melakukan sebuah aksi demonstrasi pada tanggal 10 September 2007. Aksi turun ke jalan ini merupakan demonstrasi pertama petani sepanjang sejarah perjuangan yang mereka lakukan. Petani menggeruduk Kantor DPRD, Gubernur, dan Kepolisian Daerah Sumatera Utara dengan menuntut pembentukan segera tim penyelesaian tanah rakyat Persil IV dan penghentian segala bentuk intimidasi serta kekerasan terhadap petani. Aksi itu menghasilkan keputusan akan dilaksanakannya pertemuan “dengar pendapat” antara pihak-pihak terkait yang akan difasilitasi oleh Komisi A DPRD Sumatera Utara pada tanggal 24 Oktober 2007. Rapat “dengar pendapat” yang dilaksanakan pada tanggal 24 Oktober 2007 menyepakati untuk membentuk “tim bersama” penyelesaian kasus tanah Persil IV. Namun karena lambatnya proses pembentukan tim bersama, mahasiswa dan beberapa utusan petani kembali menggelar demonstrasi pada tanggal 1 November 2007 di Kantor Gubernur Sumatera Utara. Pada tanggal 10 Desember 2007, petani memanfaatkan hari Hak Azasi Manusia (HAM) sebagai momentum untuk mengkampanyekan persoalan kasus perampasan tanah dan pelanggaran HAM yang terjadi. Mereka menggeruduk kembali kantor DPRD Sumatera Utara. Aksi demontrasi berujung pada sebuah bentrokan yang mengakibatkan penangkapan terhadap 2 orang mahasiswa. Bentrokan dalam aksi
27
Arsip FORMADAS SMAPUR didirikan setelah satu bulan FORMADAS terlibat dalam perjuangan petani Persil IV. SMAPUR menjadi organisasi aliansi dari beberapa organisasi mahasiwa yang tersebar di beberapa kampus 28
(Institut Teknologi Medan, Universitas Islam Sumatera Utara, Universitas Sumatera Utara dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi) dan menjadi lembaga yang berfungsi untuk memperluas kampanye solidaritas perjuangan petani.
Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95
demonstrasi itu mendorong terbentuknya opini di media-media publik (koran dan televisi) terhadap isu-isu seputar kasus Persil IV, khususnya isu keterlibatan preman-preman bayaran PTPN II.29 Pemberitaan media publik tentang keterlibatan preman-preman bayaran di areal petani secara politis mempersempit PTPN II meneruskan sistem keamanan yang berbasis preman. Menghindari tekanan-tekanan politis terhadap penggunaan preman di areal petani, PTPN II menggunakan isu “tanah milik petani, tanaman milik negara”. Isu ini memberikan legitimasi PTPN II sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menggunakan aparat Kepolisian dalam sistem keamanan perkebunan PTPN II. “Jika areal lahan yang diklaim PTPN II tidak memiliki HGU, maka tanaman kelapa sawit di atasnya bukanlah aset negara. Walaupun penanaman kelapa sawit tersebut dilakukan oleh PTPN II namun harus diketahui bahwa tanah dibawahnya merupakan tanah rakyat. Seharusnya PTPN II lah yang harus membayar ganti rugi terhadap petani karena telah mencaplok tanah Persil IV sejak tahun 1972. Klaim PTPN II yang menyatakan tanaman kelapa sawit di atas lahan Persil IV sebagai aset negara merupakan klaim yang tidak beralaskan hukum, bahkan sebuah rekayasa yang hanya untuk menjadikan kelapa sawit di atasnya menjadi bisnis korupsi antara PTPN II dan aparat keamanan. Kasus seperti ini tidak hanya terjadi di Persil IV, bahkan banyak ratusan kasus yang serupa terjadi di wilayah pinggiran perkebunan PTPN II Sumatera Utara. Semua ini bermula dari kebijakan Orde Baru yang dengan secara sengaja merampas tanah rakyat untuk perkebunan negara pada awal tahun 1970-an : SMAPUR-Medan”.
29
Arsip FORMADAS dan Harian Kompas, 11 Desember 2007.
87
Gambar 2. Aksi demontrasi petani dan mahasiswa pada hari HAM pada tanggal 10 Desember 2007 di kantor DPRD SUMUT yang berujung bentrok. Sumber: foto pribadi Terusirnya preman-preman dari areal lahan Persil dianggap oleh petani sebagai sebuah keberhasilan yang disebabkan hadirnya mahasiswa di dalam gerakan mereka. Namun di sisi lain petani dihadapkan pada sebuah kekuatan baru yang akan menjadi musuh di saat mereka akan mencoba untuk menduduki lahan, yaitu satuan petugas keamanan yang berasal dari aparat Kepolisian. 6. Reklaiming dan Transformasi Perlawanan Perubahan sistem keamanan yang berbasis pada penggunaan aparat Kepolisian semakin memperuncing penyelesaian pengembalian tanah kepada petani. Klaim “tanaman kelapa sawit adalah aset negara” dirasa tidak beralaskan azas-azas hukum formal yang berlaku karena klaim kepemilikan tanaman tidak di dasarkan pada pelekatan ijin HGU. Hukum formal telah memberikan suatu penjelasan yang kontradiktif terhadap kasus yang mereka alami. Pembuktian terhadap kepemilikan tanah petani melalui keputusan-keputusan institusi negara seperti yang telah disebutkan di atas berupa putusan pengadilan ataupun lembaga yang berwenang atas otoritas pertanahan tidak mewujudkan keadilan bagi petani serta meningkatnya tindakan-tindakan represif aparatus negara
88
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
semakin menimbulkan ketegangan-ketegangan sosial yang tidak terdamaikan. Pola-pola perlawanan bergaya legal dengan menggunakan instrumen negara sebagai kanalkanal politik untuk mencapai keadilan telah menemui jalan buntu. Strategi-strategi bertahan hidup di tengah krisis subsistensi yang melonjak telah dirasa melampaui batas toleransi, hal ini menghadapkan petani pada beberapa pilihan yang tidak lagi bisa ditawar. Di lain pihak, kemenangan-kemenangan kelompok tani lain di sekitarnya yang dianggap berhasil menguasai lahan dengan cara memusnahkan tanaman di atasnya menjadi sebuah tinjauan reflektif atas pola perjuangan yang mereka lakukan. Pengalaman yang demikian mendorong terbentuknya satu kepercayaan kolektif untuk menempuh perlawanan bergaya ekstra legal. Reklaiming dianggap sebagai cara yang terbaik bagi petani untuk mendapatkan tanah mereka kembali sekaligus dimaknai sebagai pencarian terhadap hukum petani itu sendiri ketika hukum negara tidak memberikan keadilan.30 Bentrokan aksi demonstrasi pada hari HAM yang berujung pada penangkapan 2 orang mahasiswa menyulut kemarahan seluruh petani dan mahasiswa terhadap institusi negara. Situasi ini memancing pendudukan lahan pada 14 Desember 2007. Menghadapi gelombang pendudukan lahan secara massal, PTPN II mengosongkan lahan persil IV dari penjagaan keamanan. Selain menduduki lahan, petani juga mendirikan “poskoposko perjuangan” di beberapa sudut areal lahan.31 Posko-posko perjuangan digunakan sebagai tempat konsolidasi pendudukan lahan yang
30
Wawancara dengan Ramlan. Posko Perjuangan adalah sebuah tempat konsolidasi yang dibangun petani dengan menggunakan bambu dan beratap tepas di atas areal lahan Persil IV. Setiap dusun memiliki posko-posko, namun terdapat satu posko utama yang difungsikan sebagai tempat pertemuan seluruh unitunit dusun. 31
dijaga secara bergantian selama 24 jam. Kaum perempuan mulai terlibat dalam gerakan pendudukan, sebagian besarnya menggantikan peran perjuangan suami yang telah meninggal dunia. Pemusnahan tanaman mulai dilakukan secara terang-terangan dengan cara membakar dan meracuni pohon kelapa sawit.
Gambar 3. Petani sedang beristirahat di posko “perjuangan utama” selepas pendudukan lahan. Sumber: foto pribadi Mahasiswa menggalang solidaritas perjuangan di 2 lokasi yang berbeda. Sekitar 40-an mahasiwa ikut dalam gerakan pendudukan itu, sementara mahasiswa lainnya yang tergabung dalam SMAPUR menggalang aksi solidaritas melalui demontrasi jalanan di sekitar wilayahwilayah kampus selama berhari-hari. Aksi-aksi ini difungsikan untuk meningkatkan kampanye dan propaganda politik sebagai pencegah lahirnya black campaign terhadap gerakan pendudukan yang dilakukan petani. Mahasiswa menduga PTPN II akan melakukan black campaign atau kampanye hitam dengan memunculkan opini-opini di media cetak yang akan menuduh petani telah melakukan tindakan-tindakan melawan hukum dan menjarah aset negara. Tepat pada 16 Desember 2007, sebuah posko utama yang biasanya dijadikan sebagai tempat konsolidasi perjuangan petani di dusun Lau Barus Baru dibakar orang tak dikenal. Peristiwa itu meningkatkan jumlah massa pendudukan lahan keesokan harinya. Di lain pihak, PTPN II
Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95
89
memobilisir preman-preman bayaran untuk merespon gelombang pendudukan lahan yang semakin membesar. Direktur PTPN II melakukan Kerja Sama Operasional (KSO) dengan pihak ketiga, yaitu CV. Bintang Meriah yang dipimpin M. Said Ginting dan Koperasi Kecil Nuansa Baru, pimpinan Yusron Harahap dalam sebuah Surat Keputusan No.11.0/X/01/I/2007. Surat KSO ini telah diajukan pada tanggal 4 Januari 2007, jauh sebelum peristiwa pendudukan dilakukan, namun baru dilaksanakan setelah peristiwa pendudukan lahan oleh petani mulai membesar pada 16 Desember 2007. M. Said Ginting dan Yusron Harahap dalam surat KSO disebut sebagai pihak yang berhak untuk memanen kelapa sawit dan menjaga keamanan di areal PTPN II kebun Limau Mungkur. Penggunaan pihak ketiga ini merupakan strategi PTPN II untuk menghindari tuntutan secara hukum sekaligus menggeser konf lik menjadi horizontal (petani versus preman). Mobilisasi preman-preman bayaran ini diikuti dengan penambahan pasukan keamanan yang berasal dari satuan petugas Kepolisian Resort Deli Serdang.
menyatakan tanah adalah milik petani, dengan itu mereka tetap bisa untuk mempertahankan dan menduduki lahannya. Jika situasi dianggap aman dari jangakauan pihak petugas keamanan, petani secara diam-diam tetap melakukan peracunan tanaman kelapa sawit, tetapi akan kembali berpura-pura membersihkan rumput-rumput jika satuan petugas keamanan datang. Strategi ini untuk menghindari upaya kriminalisasi hukum yang akan dijatuhkan jika petani tertangkap tangan melakukan perusakan tanaman. Namun bentuk-bentuk intimidasi yang tersistematis tetap dilakukan PTPN II terhadap petani. Pengurus-pengurus perjuangan tiap-tiap dusun secara bergiliran diberikan surat panggilan ke kantor polisi Resort Deli Serdang. Pemanggilanpemanggilan itu dilakukan untuk memberikan tekanan secara politis dan psikologis agar mereka merasa takut untuk ikut dalam pendudukan lahan. Bahkan salah seorang pengurus perjuangan dusun Batutak yang bernama M. Pasaribu dijerat dengan hukuman 8 bulan penjara karena dituduh melakukan pencurian buah kelapa sawit selama masa meningkatnya gelombang pendudukan lahan di awal januari 2008.
“Kami sangat tahu, bahkan mungkin telah menjadi rahasia umum bahwa kelapa sawit di atas areal persil IV seluas 525 hektar bukanlah aset negara karena tidak ada HGUnya. Nilai hasil panen setiap bulan dari 525 hektar itu kira-kira mencapai paling sedikit 500 juta rupiah. Uang itulah yang dibagi-bagi antara PTPN II, polisi dan preman. Mereka menggunakan tipu muslihat kalau itu dikatakan “aset negara”. Saya dan yang lain tidak akan berhenti untuk menruskan perjuangan yang telah diamanatkan oleh orang tua kami. Esron Ginting, dusun Limau Mungkur”.
“Saya tidak pernah melakukan pencurian buah kelapa sawit, justru merekalah yang mencuri sebagian besar kehidupan saya. Kasus itu direkayasa agar saya bisa dijebloskan ke dalam penjara-M. Pasaribu, dusun Batutak”.
Jumlah preman-preman bayaran melebihi jumlah petani yang melakukan pendudukan lahan. Dalam situasi yang demikian petani dan mahasiswa tetap melakukan pendudukan lahan dengan cara membersihkan rumput-rumput disekelilingnya tanpa merusak tanaman kelapa sawit. Petani berdalih bahwa PTPN II pernah
Menghadapi jumlah satuan petugas keamanan PTPN II dalam jumlah yang tidak seimbang, kaum laki-laki mulai berhati-hati dalam pendudukan lahan. Pendudukan dilakukan dengan cara bergerombol dan memusat di satu titik. Sementara kaum perempuan mulai memanfaatkan ruang-ruang keagamaan seperti perwiritan dan ibadah gereja sebagai media konsolidasi untuk mendiskusikan strategi-strategi perlawanan yang akan dipilih. Perusakan portal-portal (penghalang) oleh preman-preman bayaran PTPN II dan seringnya
90
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
aparat kepolisian melakukan penembakanpenembakan ke udara di areal lahan pendudukan berdampak pada menurunnya jumlah petani laki-laki yang menduduki lahan. Kaum perempuan mengambil alih peran laki-laki untuk menduduki lahan. Mereka beranggapan strategi tersebut tidak akan berakhir dengan bentrokan fisik karena perempuan lebih aman dari penyerangan-penyerangan. Anggapan-anggapan demikian dibuktikan dengan pembuatan barikade untuk menghalangi truk pengangkut buah kelapa sawit. Supir truk pengangkut buah kelapa sawit yang merasa takut untuk menabrak barisan barikade perempuan selanjutnya diambil alih oleh seorang oknum kepolisian Resort Deli Serdang yang bernama Bripka. K. Sihite. Peristiwa itu berujung pada sebuah tragedi tabrakan yang mengakibatkan 3 orang kaum perempuan menjadi korban.32 Situasi kembali memanas pasca peristiwa penabrakan kaum perempuan di areal pendudukan lahan. Pada tanggal 14 Januari 2008 petani dan mahasiswa kembali “turun ke jalan” menggeruduk kantor DPRD Sumatera Utara. Mereka mendesak pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk menarik seluruh aparat Kepolisian dan preman-preman dari lahan sengketa. Situasi penjagaan keamanan di lahan persil IV terlihat menurun pasca aksi demonstrasi dilakukan. Petani dan mahasiswa menggunakan strategi demonstrasi sebagai bentuk kampanye dan propaganda terbuka. Strategi ini bukan merupakan suatu tujuan untuk mendapatkan perubahan keadilan karena mereka menyadari jalur-jalur formal tidak akan menghantarkan pada suatu jalan kemenangan. Menghadapi tekanan-tekanan dan bentuk intimidasi yang diorganisir dalam milisi-milisi sipil (preman) secara terus menerus, aksi pendudukan tidak dapat dilakukan secara rutin dan teratur. Di sisi lain petani 32
Wawancara dengan Informan.
juga dihadapkan pada persoalan krisis ekonomi rumah tangga yang berkepanjangan selama masa pendudukan. Selanjutnya strategi pendudukan lahan dilakukan secara bergantian oleh tiap-tiap dusun agar memudahkan mereka untuk bekerja menutupi sebagian kebutuhan ekonomi rumah tangga. Syarial, warga dusun Tungkusan akan bekerja sebagai pemanjat pohon nira apabila dusunnya sedang tidak mendapatkan giliran pendudukan lahan. Sementara, Ramlan, warga dusun Sinembah harus meninggalkan pekerjaannya sebagai sopir apabila sedang mendapatkan giliran pendudukan lahan. Melihat perkembangan aksi pendudukan lahan yang dilakukan petani semakin menurun, PTPN II justru memobilisasi jumlah penambahan preman. Situasi ini mempersempit petani, khususnya kaum laki-laki. Pada pertengahan 2008, PTPN II mengalihkan kuasa keamanan baru kepada pihak ketiga (Lingga).33 Ini merupakan ketiga kalinya PTPN II kebun Limau Mungkur memberikan kuasa pemanenan dan keamanan kepada pihak ketiga. Namun yang berbeda dari sebelumnya adalah Lingga cs dianggap lebih intimidatif dan terbuka melakukan teror kepada petani dan mahasiswa, baik lakilaki maupun perempuan. “Kelompok preman sebelumnya biasanya tidak terlalu berani untuk mengahadapi massa petani perempuan apalagi mahasiswa. Namun Lingga cs lebih beringas dan tidak pandang bulu, baik perempuan ataupun mahasiwa jika melawan akan disikat-Agus, dusun Tungkusan”. Jumlah preman terus meningkat, tidak sebanding dengan jumlah petani. Jika terus melakukan pendudukan lahan dengan jumlah yang tidak seimbang maka kerugian akan akan menimpa
33
Lingga adalah seorang pimpinan di salah satu organisasi kepemudaan (Pemuda Panca Marga) di Deli Serdang yang berafiliasi sangat dekat dengan militer.
Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95
mereka. Memasuki Oktober 2008, petani menghentikan aksi pendudukan lahan. Tindakan ini disebut sebagai strategi tertutup, ditempuh untuk menghindari kerugian-kerugian dalam bentuk kekerasan fisik dan material. Perlawanan petani akan terus beradaptasi dengan situasi dan kondisi yang terjadi di medan politik. Pendudukan lahan dianalogikan sebagai medan politik perebutan sumber daya (tanah) saat reklaiming ditempuh sebagai cara untuk memenangkan pertarungan. Pengurus-pengurus perjuangan tiap-tiap dusun dan mahasiwa mencoba menemukan strategi-strategi baru untuk menghadapi kelompok preman bayaran PTPN II. Mereka merekrut kerabat-kerabat yang bukan ahli waris tanah persil IV ataupun warga-warga sekitar desa untuk terlibat dalam kegiatan pendudukan lahan. Strategi ini bertujuan untuk menggalang penambahan jumlah massa menghadapi preman-preman PTPN II yang berjumlah tidak kurang dari 250 orang. Massa yang dihimpun petani ini disebut sebagai kelompok “pendukung”. Strategi perekrutan oleh petani menawarkan “sejumlah tanah” kepada kelompok pendukung. Bagi siapa saja yang mendukung secara aktif dalam pendudukan lahan maka ia berhak untuk mendapatkan tanah Persil jika kemenangan telah didapatkan. Saat itu setiap petani ataupun ahli waris bersedia memberikan 10 rante dari 2 hektar yang dimiliki tiap-tiap petani kepada kelompok pendukung. Strategi ini berhasil merekrut 200 massa dari kelompok pendukung. “Setiap pemilik dan ahli waris memiliki hak kepemilikan tanah Persil seluas 2 hektar, kami akan memberikan 10 rante dari 2 hektar yang kami miliki kepada siapa saja yang mau ikut bergabung dalam pendudukan lahan. Pemilik tanah Persil ada sekitar 260 orang, namun yang aktif untuk menduduki lahan hanya sekitar 200 orang karena sisanya harus bekerja ataupun tidak kuat secara fisik. Namun jika tiap-tiap pemilik mau memberikan sebagian
91
tanahnya maka jumlah massa akan bertambah untuk menduduki lahan. Syahrial-dusun Tungkusan”. Merasa memiliki jumlah massa yang seimbang, petani melakukan pendudukan lahan kembali pada awal Januari 2009. Mereka membakar dan merusak tanaman kelapa sawit secara bergelombang hingga Maret 2009. Aksi itu telah berhasil memusnahkan 90 hektar kelapa sawit di areal Persil IV dan berdampak pada menurunnya jumlah hasil produksi pemanenan pihak PTPN II. Aksi-aksi ini direspon secara massif oleh PTPN II dengan menambah jumlah satuan petugas keamanan dari pihak kepolisian dan premanpreman bayaran. Kelompok pendukung dituduh sebagai provokator dan perusak aset negara. Namun isu-isu tersebut tidak berdampak pada menurunnya jumlah kelompok pendukung dalam aksi pendudukan lahan karena pemilik dan ahli waris tanah Persil IV menaikkan jumlah tawaran pemberian tanah kepada kelompok pendukung hingga 1 hektar. Ketegangan-ketegangan dalam konflik pertanahan yang terjadi di Persil IV kerap berujung pada bentrokan-bentrokan antara kedua belah pihak, yakni petani dan PTPN II. Kedua belah pihak tetap mempertahankan kepentingan masing-masing. Bagi petani, tanah merupakan ruang hidup yang harus dipertahankan dan direbut dari pihak-pihak yang telah mengklaim secara sepihak atas kepemilikan tanah yang mereka miliki. Di lain pihak, PTPN II tetap mempertahankan aset tanaman kelapa sawit yang telah divonis tidak memiliki HGU itu sebagai lahan bisnis dan korupsi dengan klaim “aset negara” tanpa mempertimbangkan dampak kemiskinan yang timbul olehnya sejak tahun 1972. Selain berdampak pada kerugian materil dan non materil, aksi pendudukan lahan tersebut juga berdampak pada penghilangan nyawa manusia, khususnya petani.
92
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Gambar 4. Preman-preman PTPN II kebun Limau Mungkur. Sumber: foto pribadi Pada Akhir Desember 2009, bermula dari terjadinya pembakaran ‘Posko Perjuangan Bersama” milik petani di atas areal Persil IV yang dilakukan oleh pihak Lingga cs menyulut kemarahan petani untuk menyerang balik tindakan tersebut. Bentrokan terulang kembali pada tanggal 17 April 2010, seorang petani tewas terkena tusukan benda tajam. 7. Berubahnya Sistem Kepemilikan Tanah Terbentuknya kelompok pendukung pada akhir tahun 2008 telah merubah sistem kepemilikan tanah petani. Setiap pemilik ataupun ahli waris tanah Persil IV yang tiap-tiap individunya berhak atas tanah seluas 2 hektar telah mengeluarkan setengahnya kepada orang lain (kelompok pendukung) untuk menambah jumlah massa dalam aksi pendudukan lahan. Perlawanan-perlawanan ekstra legal melalui pendudukan lahan tidak hanya berdampak pada berubahnya sistem kepercayaan petani terhadap institusi negara namun juga berdampak pada berubahnya sistem kepemilikan tanah. Petani diharuskan untuk melakukan sesuatu ketika dihadapkan pada suatu kenyataan dalam gerakan pendudukan lahan yang mereka lakukan tidak mempunyai jumlah kekuatan yang seimbang menghadapi kekuatan korporasi perkebunan. Terbatasnya jumlah aktor (petani) dalam gerakan pendudukan lahan mendorong lahirnya
perubahan-perubahan dalam sistem perlawanan yang dilakukan. Kelompok Tani Patumbak yang memiliki kekuatan massa lebih besar daripada kekuatan preman-preman PTPN II tidak harus mengeluarkan sebagian tanahnya untuk membentuk kelompok pendukung. Namun bagi petani Persil IV akan mengalami tekanan yang tidak seimbang jika tidak merekrut ataupun membentuk kelompok pendukung untuk menghadapi massa kekuatan PTPN II yang lebih besar. Hal ini disebut sebagai strategi adaptasi dan transformasi perlawanan petani. E. Kesimpulan Perlawanan-perlawanan petani di Indonesia telah banyak dideskripsikan oleh para akademisi dengan beberapa model pendekatan teori sebagai unit analisa, khususnya dalam disiplin ilmu-ilmu humaniora. Dari beberapa pendekatan yang ditawarkan telah melahirkan sejumlah karya akademik yang mengkategorisasikan perlawanan-perlawanan petani menjadi sangat beragam. Keragaman itu tidak dapat dipisahkan dari sudut pandang dan latar belakang paradigma peneliti dalam menganalisis secara mendalam terhadap fenomena-fenomena perlawanan petani sepanjang sejarahnya. Studi penelitian ini memusatkan pada perlawanan petani masa kini dalam menghadapi korporasi perkebunan. Model perlawanan Scottian memang masih sangat relevan untuk menjelaskan fenomena perlawanan petani yang terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru. Petani di masa itu tidak memilih perlawanan-perlawanan yang demonstratif dan terbuka demi menghindari kerugian-kerugian materil ataupun non materil. Namun argumentasi pendekatan moral ekonomi Scottian yang menyatakan gerakan petani merupakan sebuah reaksi untuk mempertahankan institusi tradisional dan norma-norma resiprositas mereka dari ancaman kapitalisme menjadi tidak tepat jika melihat
Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95
struktur ekonomi dan sistem kepemilikan tanah petani Persil IV. Sistem kepemilikan tanah yang bersifat kepemilikan pribadi akan mencirikan suatu tatanan masyarakat kapitalistik yang telah terlibat dalam kegiatan-kegiatan transaksional (jual-beli, uang, perdagangan), dan hal itu akan melemahkan intitusi-instusi tradisional berfungsi sosial sekaligus melenyapkan bentuk-bentuk resiprositas (pertukaran-barter). Pada umumnya di dalam suatu masyarakat yang telah menganut sistem kepemilikan pribadi, segala sesuatu akan diletakkan pada azas-azas ekonomi rasional, dengan pengertian tiap-tiap individu memiliki keinginan menjadi “kaya”. Dengan demikian, pada dasarnya yang ditolak petani bukan nilai-nilai kapitalisme namun perampasan tanah yang dilakukan oleh para kapitalis negara sehingga mereka kehilangan eksistensi dan sumber kehidupannya. McAdam, Tarrow, dan Tilly34 menyatakan gerakan sosial terbuka cenderung terjadi di dalam masyarakat transisional. Segala sesuatu yang dimaknai sebagai kesempatan akan menciptakan nilai-nilai yang selanjutnya dimobilisasi sebagai kekuatan-kekuatan perubahan sosial. Seperti yang telah dijelaskan di dalam bab IV tesis ini bahwa euforia reformasi menyulut kebencian-kebencian petani untuk melakukan perlawanan-perlawanan terbuka. Seminggu setelah kejatuhan Soeharto, ribuan petani di pinggiran perkebunan Deli Serdang menduduki kembali lahan mereka (reclaiming). Organisasi-organisasi yang mengatasnamakan “kelompok perjuangan petani” muncul secara spontan di beberapa kecamatan dalam wilayah kabupaten Deli Serdang. Pendekatan ini masih sangat relevan untuk menjelaskan perubahan-perubahan strategi perjuangan petani di era transisi demokrasi.
34
op.cit.
Doug McAdam, Sidney Tarrow dan Charles Tilly,
93
Perjuangan-perjuangan jalur legal yang pada mulanya dianggap dapat mengembalikan tanah petani di era reformasi justru berakhir dengan kemenangan-kemenangan di atas kertas. Situasi ini direspon petani dengan memilih strategi perjuangan ekstra legal melalui tindakan reklaiming (pendudukan lahan). Lahirnya gerakan ekstra legal merupakan konsekuensi yang ditimbulkan akibat gagalnya negara serta menguatnya kontradiksi-kontradiksi hukum formal dalam penyelesaian konflik agraria. Hal ini merupakan aspek terpenting dari tesis ini terhadap perubahan polapola perlawanan petani Persil IV. Berdasarkan paparan pembahasan yang dijelaskan pada Bab I hingga Bab IV, studi ini menarik beberapa kesimpulan terkait strategistrategi bertahan hidup dan pola-pola perlawanan petani dalam menghadapi korporasi perkebunan. Berkaitan dengan bagaimana strategi bertahan hidup petani setelah kehilangan tanah, petani melakukan strategi subsistensi keamanan pangan melalui pendayagunaan lahan yang tersisa. Petani-petani yang masih memiliki lahan cadangan bertahan hidup di atas lahan yang tersisa dengan merubah areal lahan cadangan menjadi areal pertanian tanaman pangan pokok (padi), dimana sebelum terjadinya perampasan oleh PTPN II lahan cadangan hanya dimanfaatkan sebagai areal pertanian tanaman non pangan pokok. Bagi petani-petani yang tidak memiliki lahan cadangan berusaha bertahan hidup dengan menjadi buruh upahan di lahanlahan milik warga lain ataupun kuli bangunan di sekitar desa. Petani melakukan mobilitas profesi secara horizontal dari petani menjadi buruh lintas profesi ataupun pekerja sektor informal untuk menciptakan basis perekonomian uang. Di sisi lain, juga melakukan penurunan mobilitas secara vertikal, dari petani pemilik lahan sedang menjadi petani pemilik lahan kecil. Selanjutnya berkaitan dengan bagaimana pola
94
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
dan strategi perlawanan petani dalam menghadapi korporasi perkebunan, petani melakukan: Pertama, petani memilih strategi-strategi perlawanan tertutup bergaya Scottian pada masa Orde Baru dengan melakukan pencurian tanaman kelapa sawit berskala kecil secara diamdiam di atas areal tanah mereka yang telah diklaim menjadi milik PTPN II. Namun strategi tersebut berubah seiring hadirnya reformasi, petani memilih strategi perlawanan terbuka dengan cara menduduki kembali lahan mereka (reclaiming). Hal ini juga dipengaruhi oleh laju pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat namun tidak berbanding lurus dengan jumlah luas lahan untuk proses produksi sehingga berdampak pada bertambahnya jumlah angka pengangguran sekaligus terciptanya buruh-buruh non skill (tidak terampil). Kedua, petani menempuh perjuangan-perjuangan di jalur legal (pengadilan). Selama menempuh perjuangan di jalur legal, petani bertambah percaya diri ketika lembaga-lembaga peradilan mengabulkan gugatan-gugatan yang mereka ajukan melawan PTPN II. Namun kemenangan berupa putusan-putusan tersebut berakhir dengan “kemenangan di atas kertas”, secara de jure mereka berhak atas tanah tetapi secara de facto penguasaan lahan tidak dapat dilakukan. Pernyataan PTPN II yang mengakui “tanah milik rakyat tetapi tanaman milik perkebunan” semakin menyebabkan kebuntuan-kebuntuan dalam proses penyelesaian kasus tersebut. Kebuntuan itu memicu lahirnya sebuah kesadaran untuk meninggalkan pola-pola perjuangan legal dengan memilih reklaiming sebagai cara yang terbaik untuk mengembalikan tanah mereka kembali. Di lain pihak, keberhasilan kelompok tani Patumbak dan sekitarnya dalam menguasai lahan dari pihak PTPN II dengan cara-cara menduduki lahan serta membabat seluruh tanaman di atasnya menjadi faktor-faktor pendukung strategi perjuangan ekstra legal dilakukan.
Ketiga, petani melakukan strategi aliansi terbuka. Terbentuknya aliansi-aliansi politik yang terbangun pasca meleburnya gerakan mahasiswa dalam perjuangan petani dimaknai oleh petani sebagai kekuatan-kekuatan pendukung untuk memobilisasi ulang gerakan perlawanan petani. Dalam kerangka berpikir seperti itu, munculnya kembali perlawanan petani dengan pola-pola ekstra legal melalui reclaiming merupakan suatu gerakan perlawanan balik (counter-claim) terhadap hegemoni dan kekuasaan negara yang sebelumnya melakukan klaim secara sepihak terhadap tanah petani. Proses yang demikian dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan pola perlawanan petani di dalamnya disebut sebagai peristiwa transformasi perlawanan petani.
Daftar Pustaka Aditjondro, George. J, 1998. Seminar “Konferensi 100 Tahun Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia”. Agustono, Budi, Muhammad Osmar Tanjung dan Edy Suhartono, 1997. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia VS PTPN II. Bandung: Akatiga. Bakumsu, 2011. Tabel Kasus Tanah di SUMUT: Medan. Breman, Jan, 1989. The Taming the Coolie Beast: Plantation Society and The Colonial Order in Southeast Asia. New Delhi: Oxford University Press. Eckstein, Susan, 1989. Power and Populer Protest, Latin America Social Movements. Berkeley: University of California Press. Fauzi, Noer, 2012. Land Reform Dari Masa ke Masa. Yogyakarta: Tanah Air Beta. Ikhsan, Edy, 2012. Ayam Mati di Dalam Lumbung: Kepingan Sejarah Kekalahan Orang Melayu Atas Tanah Adatnya. Jorgensen, Danny L, 1989. Participant Observation. A Methodology for Human Studies. London: Sage Publication.
Muhammad Afandi: Perlawanan Ekstra Legal .....: 63-95
Kartodirjo, Sartono dan Joko Suryo, 1989. Sejarah Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media. Khudori, 2004. Neoliberalisme Menumpas Petani. Yogyakarta: Resist Book. Kompas, 11 Desember 2007. Kompas, 14 Desember 2007. KPA, Konflik Kekerasan Agaria, 2007. Kuntowijoyo, 2002. Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Yayasan Gentang Budaya. Larana, Johnston, Gusf ield, 2002. New Social Movement: from ideology to identity. Temple University Press. Lofland, John, 2003. Protes: Studi tentang Perilaku Kelompok dan Gerakan Sosial (terj. Lutfhi Ashari), Yogyakarta: Insist Press. Li, Tania Murray, 2003. Proses Transformasi Daerah Pedalaman di Indonesia. Jakarta: YOI. Mamay, Sergey. Theories of Social Movements and Their Surrent Development in Soviet Society. www.lucy.ukc.ac.uk. Manalu, Dimpos, 2009. Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. McAdam, Doug, Sidney Tarrow dan Charles Tilly, 2001. Dynamics of Contention. New York: Cambridge University Press. Mulyanto, Dede, 2011. Antropologi Marx. Bandung: Ultimus. Mustain, 2007. Petani Versus Negara. Yogyakata: Arruz Media. Padmo, Soegijanto, 2007. Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten. Yogyakarta: Media Pressindo. Pelzer, Karl, 2007. Toean Keboen dan Petani. Jakarta: Sinar Harapan. ____, 1991. Sengketa Agraria. Jakarta: Sinar Harapan. Reid, Anthony, 2011. Menuju Sejarah Sumatera. Jakarta: KITLV dan YOI.
95
Said, Mohammad, 1977. Suatu Zaman Gelap di Deli, Koeli kotrak Tempo Doeloe Dengan Segala Derita Dan Kemarahannya. Medan: Waspada. Sawit Watch, Kasus-kasus Perkebunan sawit. Scott, James C, 1997. Senjatanya Orang-Orang Yang Kalah. Jakarta: YOI. ____, 1989. Peasant Resistance. New York: Rmunck Me Sharpe. Situmorang, Abdul Wahab, 2007. Gerakan Sosial: Studi Kasus Beberapa Perlawanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Smelser, Neil J, 2007. Theory of Collective Behavior. New York: The Free Press. Soetrisno, Lukman, 1997. Kata Pengantar. Senjatanya Orang-orang Yang Kalah, J. Scott. Jakarta: YOI. Spadley, James P, 1997. Metode Etnograf i. Yogyakarta: Tiara Wacana. Stoller, Ann Laura, 2005. Kapitalisme dan Konfrontasi di Sabuk Perkebunan Sumatera 1870-1979. Yogyakarta: KARSA. Tarrow, Sidney, 1998. Power in Movement: Social Movement and Contentious Politics, Cambridge: Cambridge University Press. Tilly, Charles, 1978. From Mobilization to Revolution. USA: Addison-Wesley Publishing Company. ____, 1998. Social Movements and (all sors of) other Political Interactions-Local, National, and International-Including Identities, Theory and Society 27: 453-480. Wolf, Eric, R, 2009. Petani: Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta: Rajawali Press. ____, 2009. Perang Petani. Yogyakarta: Insist Press. www.bumn.go.id www.ptpn2.com www. suarausu-online.com www.walhi.or.id
“MENJARAH” PULAU GAMBUT: KONFLIK DAN KETEGANGAN DI PULAU PADANG M. Nazir Salim*
Abstract: The article was saimed at describing the conflicts between the community, peasants at Pulau Padang, Meranti Islands Regency, and PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). The conflict started from the policy of The Minister of Forestry which allowed concession of HTI to RAPP at Pulau Padang. The problem was the permission itself as it took not only the area of farming lands but also the areas of settlement. The other problem was the environment itself. This was a result of RAPP. Various researches showed that Pulau Padang had thick peat. However, the permission for RAPP was to build industries and canals needing a lot of water. This would damage the environment whereas the peat ought to be protected. If tis is done, the serious damage of ecosystem at Pulau Padang will take place. Keywor ds ds: Pulau Padang, RAPP, agrarian conflicts, peasants’ struggle. eywords Intisari: Artikel ini mencoba melihat konflik antara warga dan petani Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti dengan PT RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper). Konflik bermula dari kebijakan Menteri Kehutanan yang memberikan izin konsesi HTI kepada RAPP di Pulau Padang. Izin itu dipermasalahkan karena luasan wilayahnya yang mengambil lahan warga, bukan saja lahan pertanian, namun juga pemukiman. Persoalan lain adalah isu lingkungan yang akan menjadi perhatian warga jika RAPP beroperasi di wilayah tersebut. Berbagai kajian menunjukkan bahwa Pulau Padang merupakan wilayah tanah gambut dengan ketebalan yang cukup tinggi, sementara izin konsesi RAPP untuk tanaman industri membutuhkan banyak air dan pembangunan kanal-kanal, selain tentunya tanah gambut dilindungi undang-undang. Jika hal itu dilakukan maka ancaman kekeringan dan kerusakan ekosistem di Pulau Padang menjadi serius. Kata kunci kunci: Pulau Padang, RAPP, konflik agraria, dan perjuangan petani.
A. Pengantar Konflik sumber daya alam di Indonesia khususnya di Sumatera terus mengalami peningkatan. Beberapa catatan menunjukkan angka yang terus bertambah, bahkan cenderung mengkhawatirkan karena satu persoalan belum terselesaikan kemudian muncul kembali konflik baru, sehingga dari tahun ke tahun trend-nya
*
Staf Pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Peneliti Agraria. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Mitra Bestari (Laksmi Savitri) yang memberikan beberapa kritik dan masukan. Kepada Ahmad Zazali, Direktur Scale Up, Pekanbaru, Riau yang membantu penulis dengan mengirimkan data hasil Mediasi di Pulau Padang, dan beliau menjadi salah satu anggota tim yang dibentuk oleh Pemerintah..
megalami kenaikan. Apa sebenarnya yang menjadi inti persoalannya? Banyak pakar melihat konflik agraria terlalu akut1 sehingga sulit untuk diselesaikan dengan sistem parsial yakni dengan menyelesaikan masing-masing konflik dan per wilayah. Metode demikian terlalu menghabiskan energi dan tak akan sebanding antara jumlah penyelesaian konflik dengan tumbuhnya konflik itu sendiri. Konflik yang terjadi di daerah mayoritas akibat tumpang tindih lahan dan aturan, 2 penguasaan sumber agraria yang 1
Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi, 2011. Enam Dekade Ketimpangan. Jakarta: Bina Desa, ARC, KPA. 2 Gamma Galudra, Gamal Pasya, Martua Sirait, Chip Fay, (peny.) 2006. Rapid Land Tenure Assessment: Panduan Ringkas bagi Praktisi. Bogor: World Agroforestry Centre, hlm 8.
M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121
timpang, pemanfaatan yang tidak adil, distribusi hasil yang tidak merata, serta policy negara yang tidak berpihak kepada rakyat. Realitas itu menjadi bara api dalam setiap semak-semak perkebunan dan hutan-hutan yang ada. Hasil penelitian yang dipimpin oleh DR. Prudensius Maring, MA, Prof. DR. Afrizal dkk. di empat provinsi di Sumatera (Sumatera Selatan, Jambi, Riau, dan Sumatera Barat) menunjukkan persoalan yang sama, sama dalam pengertian sepanjang bentangan Pulau Sumatera konflik agraria menimpa kelompok yang sama, tumpang tindih lahan yang sejenis, korban yang luas, dan peminggiran oleh pelaku usaha dan negara secara masif. Catatan empat provinsi itu menunjukkan akar masalah yang hampir sama, yakni: 1. Tumpang-tindih kebijakan pemerintah tentang pengelolaan SDA; 2. Ekspansi penguasaan lahan untuk kepentingan HTI/HPH dan perkebunan; 3. Kegagalan pengaturan tataruang secara adil; 4. Ekspansi penguasaan lahan berbasis adat oleh pemerintah dan perusahaan; 5. Ketidakadilan tatakelola sumberdaya alam oleh pemerintah dan perusahaan; 6. Kegagalan pembangunan ekonomi berbasis masyarakat.3 Berkaca dari realitas itu, banyak kritik diajukan kepada berbagai pihak yang bertanggung jawab tehadap berbagai konflik tersebut. Apa sebenarnya peran negara dalam konteks itu dan apa yang telah dan akan dilakukan? Sepanjang pemahaman yang tersebar secara luas, kesan yang selama ini muncul adalah membiarkan hal tersebut, membiarkan masyarakat menemukan jalan penyelesaiannya. Tentu berbahaya bagi 3
DR. Prudensius Maring, MA, Prof. DR. Afrizal, MA, Jomi Suhendri S., SH, Dr. Ir. Rosyani, M.Si, dkk. 2011. “Studi Pemahaman dan Praktik Alternatif Penyelesaian Sengketa oleh Kelembagaan Mediasi Konflik Sumberdaya Alam di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan”, (Laporan Penelitian), Pekanbaru: Scale Up (Kemitraan Pembangunan Sosial Berkelanjutan), hlm. 65.
97
kondisi kebangsaan saat masyarakat tertimpa berbagai persoalan sementara negara seolah membiarkan. Beberapa waktu lalu sempat berkumpul beberapa akademisi, NGO, dan penggiat studi agraria yang mencoba untuk mendorong negara berperan lebih serius dalam melihat persoalan tersebut. Upaya-upaya extra ordinary menurut para akademisi diperlukan agar bangsa ini bisa bangkit dari keterpurukan persolan konflik agraria. Salah satu yang dianggap paling penting adalah mendorong penguatan kinerja lembaga yang bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan menyangkut agraria. Di luar enam akar persoalan di atas, konflik terus mengalami peningkatan akibat perluasan lahan yang tidak memperhatikan ekologi, tata ruang, dan tata wilayah. Pemerintah gagal mengatur dan menertibkan para pengusaha yang terus mengajukan izin pembukaan lahan tanpa mempertimbangkan aturan hukum yang berlaku. Bukan rahasia lagi bahwa kong kalikong antara penguasa dan pengusaha terus berjalan, baik pada kasus pembukaan lahan perkebunan4 maupun kehutanan, dan celakanya hukum tidak mampu menyentuh mereka. Pemerintah sudah mencanangkan 2013 zero konflik lahan antara pengusaha dengan masyarakat, akan tetapi upaya itu tampaknya jauh panggang dari api, sebab kegiatan hulu yang menjadi persoalan mendasar masih terus diproduksi, yakni pemberian izin pengelolaan dan perluasan pembukaan lahan, baik untuk kepentingan perkebunan maupun tanaman industri. Untuk kasus Riau, hal yang sama sebagaimana laporan penelitian Prudensius Maring dkk., akar konf lik terjadi akibat tumpang tindih kebijakan, perluasan HTI/HPH, dan kegagalan negara berlaku adil terhadap semua warganya. 4
Anton Lucas dan Carol Warren, 2007. “The State, the People, and Their Mediators: The Struggle Over Agrarian Law Reform in Post-New Order Indonesia”. Indonesia, Edisi 76.
98
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Pada sisi ini, munculnya konflik berbarengan dengan munculnya kegagalan penataan ruang, seperti yang terjadi pada kasus Pulau Padang (Kabupaten Kepulauan Meranti) antara warga dengan RAPP (Riang Andalan Pulp and Paper). Negara tidak cermat menempatkan sebuah wilayah dalam izin konsesi HTI tanpa memperhatikan tata ruang. Bagaimana mungkin sebuah wilayah yang puluhan bahkan ratusan tahun didiami oleh warga dengan begitu saja tidak dianggap, seolah tidak ada penghuninya. Wajar apabila kemudian muncul persoalan yang biayanya sangat mahal. Sejak 2007-2009, kasus konflik di Sumatera pada umumnya adalah persoalan konf lik perkebunan. Beberapa catatan menunjukkan pembukaan lahan sawit yang begitu besar—Riau memiliki lahan sawit terbesar di Indonesia5— membuat semakin tingginya konflik perebutan lahan antara pengusaha dengan warga. Hal itu terjadi tidak saja menabrak lahan masyarakat tetapi juga berusaha meminggirkan mereka. Akan tetapi, pada tahun 2010-2012 terjadi perubahan pola konflik, dari perkebunan ke hutan produksi. Kisah konflik dan perebutan lahan mengalami pergeseran dari perkebunan ke hutan produksi/Hutan Tanaman Industri (HTI). Digeser dalam pengertian kuantitas konflik di HTI jauh lebih tinggi dibanding pada lahan perkebunan. Namun, hal itu tidak berarti konflik pada lahan perkebunan berkurang atau mengecil. Data yang dihimpun oleh Scale Up menunjukkan angka yang cukup menarik:
Diagram 1. Perbandingan dan distribusi konflik berdasarkan status lahan, 2010 230.492
28.000
84.079
Hutan Produksi Hutan lindung.konservasi Perkebunan/HPL
Diagram 2. Perbandingan jumlah konflik pada lahan hutan produksi dengan lahan perkebunan di Riau, 2011/2012
Sumber diagram 1-2: Laporan Tahunan (Executive Summary). “Konflik Sumberdaya Alam di Riau Tahun 2008, 2009, 2010, 2011”. Pekanbaru: Scale Up (Sustainable Social Development Partnership), 2012. Tahun 2010 konflik pada lahan hutan produksi mengalami peningkatan yang cukup tinggi dibanding pada tahun sebelumnya. Sejak 2010 persebaran konflik hutan produksi dengan masyarakat mulai menyebar hampir ke seluruh kabupaten di Riau. Peningkatan itu terjadi karena ekspansi lahan beberapa perusahaan besar semakin tak terbendung. Lebih dari 260 ribu hektar lahan konflik terjadi di hutan produksi, sementara konflik di lahan perkebunan dan hutan lindung relatif lebih rendah. Data di atas menunjukkan, semakin besar konf lik dan banyaknya kelompok yang memiliki interes, maka semakin rumit diselesaikan karena berbagai elemen dan kepentingan masuk di dalamnya. Faktanya, pertumbuhan konflik dari tahun keta-
5
Marcus Colchester, Norman Jiwan, Andiko, dkk. 2006. Tanah yang Dijanjikan: Minyak Sawit dan Pembebasan Tanah di Indonesia, Implikasi terhadap Masyarakat Lokal dan Masyarakat Adat. Jakarta: Forest People Programme dan Perkumpulan Sawit Watch, hlm. 26.
hun bukan justru mengecil, baik dari sisi jumlah lahan maupun pihak yang berkonflik. Pada kasus Pulau Padang, persoalan mendasar adalah munculnya kegelisahan banyak warga
M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121
akan status tanah yang mereka miliki secara adat akibat keluarnya SK Menhut No. 327 Tahun 2009 dan terancamnya ekosistem yang berpengaruh langsung terhadap kelangsungan kehidupan masyarakat banyak. Lahan gambut sangat rentan dengan status air, saat musim penghujan akan datang banjir dan saat musim panas tiba ia akan kehilangan air dalam situasi serius. Artinya keberadaan RAPP yang akan membuka lahan hutan di sekitarnya akan menjadi ancaman serius dalam jangka panjang, yakni ancaman air laut masuk kedarat dan ancaman kekeringan saat musim panas. Tentu dalam konteks land tenure akan segera muncul sebagai bagian dari konsekuensinya. Ketika isu terus bergulir, kecurigaan masyarakat pada masing-masing kelompok mulai terlihat karena ada pihak-pihak yang menolak dan ada pihak-pihak yang menerima keberadaan RAPP. Hal itu akan mempersulit posisi warga kelas bawah bagaimana ia akan bertahan dan menghadapi situasi yang serba tidak pasti. Dari beberapa gambaran di atas, dalam artikel ini penulis ingin melihat struktur yang ada dalam permainan besar bernama konflik Hutan Tanaman Industri yang di dalamnya melibatkan banyak pihak. Dari struktur itu penulis ingin melihat proses-proses berlangsung yang menghasilkan posisi masyarakat pada sisi yang lemah, kedua ingin melihat sejauh mana secara luas perubahan struktur dan kebijakan yang muncul berimplikasi langsung terhadap masyarakat Pulau Padang. Untuk mengkaji persoalan konflik di Pulau Padang yang terjadi antara masyarakat dengan RAPP, penulis mencoba melakukan penelusuran data secara maksimal dengan berbagai metode. Saat berkunjung ke Riau pada tahun 2010 dan 2012, penulis sempat melakukan beberapa kali wawancara terbatas, sekalipun wawancara itu tidak untuk kepentingan langsung esai ini, akan tetapi beberapa data sangat terkait dengan persoalan Pulau Padang. Wawancara dilakukan dengan
99
beberapa warga dan beberapa anggota dewan setempat. Dokumen Scale Up, sebuah LSM di Riau yang bergerak di bidang konservasi alam dan isu-isu lingkungan telah kami dapatkan. Melalui koresponden saya mendapatkan beberapa data yang mereka miliki. Tentu saja ada juga banyak data dukungan dari media online. Beberapa data online yang saya dapatkan sempat saya komunikasikan dengan beberapa sumber yang saya temui, baik kebetulan mereka datang ke Yogyakarta maupun komunikasi via online. Dalam melakukan penelusuran data-data Pulau Padang, penulis menemukan beberapa tulisan yang secara prinsip tidak pernah ditemukan tulisan yang utuh tentang kasus konflik yang sedang berlangsung di Pulau Padang. Akan tetapi, beberapa tulisan yang muncul adalah kajian legal opini dan analisis konflik SDA secara luas, begitu juga data-data online yang muncul adalah berita-berita menyangkut persoalan Pulau Padang.6 Beberapa penulis seperti Imade Ali, Sutarno, dan Teguh Yuwono, mencoba melihat persoalan Pulau Padang dengan pendekatan kronologis. Pendekatan ini sangat menarik karena melihat persoalan dari sudut pandang gerak dari waktu ke waktu apa yang terjadi di Pulau Padang. Kajian ini penulis tempatkan sebagai bahan rujukan dan pembanding dalam melihat beberapa hal, termasuk merujuk kajian pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 356/ Menhut-II/2004 Tanggal 1 November 2004 dan SK Menteri Kehutanan No. 327, 2009. Anugerah Perkasa, wartawan harian Bisnis Indonesia telah melakukan investigasi ke Pulau Padang yang menghasilkan 4 tulisan bersambung. Ia mencoba menampilkan secara utuh namun singkat dari
6
Salah satu kajian legal opini dilakukan oleh Tim Jikalahari yang mencoba embedah SK Menhut 327, tentang izin konsesi HTI di Pulau Padang. Tim Jikalahari, 2011. “Hutan Rawa Gambut dan Permasalahan SK 327/ MENHUT-II/2009”. Pekanbaru: Jikalahari, 2011.
100
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
pergerakan masyarakat Pulau Padang pada awal 2010 sampai usaha melakukan bakar diri di Jakarta.7 Tulisan lain yang secara khusus dan komprehensif dalam melihat Pulau Padang belum penulis temukan, akan tetapi beberapa tulisan analisis data yang dikeluarkan oleh Scale Up, Jikalahari, Mongabay, STR (Sarikat Tani Riau) cukup membantu penulis dalam merekonstruksi beberapa persoalan menyangkut kasus konf lik warga dengan RAPP. Dalam skala luas untuk melihat konflik, kajian Prudensius Maring dkk. cukup memberikan pemahaman yang kompleks bagaimana konflik agraria terjadi di Pulau Sumatera. Kajian ini memberikan keyakinan penulis bahwa penyelesaian konflik agraria tidak bisa dilakukan secara parsial sebagaimana selama ini dianut oleh pemerintah, namun harus diselesaikan dari hulu. Kebijakan negara dalam melihat persoalan sumber daya agraria di Sumatera adalah kata kunci bagaimana konf lik bisa diselesaikan. Dengan mengkaji 4 provinsi di Sumatera, laporan penelitian ini membuat sebuah analisis menarik, dengan menempatkan kebijakan hulu sebagai persoalan krusial munculnya konflik di daerah dan uniknya, empat provinsi dinilai memiliki akar persoalan yang sama.8 Tulisan penting 7
Anugerah Perkasa, 2012. “Tragedi Pulau Padang: Dari Lukit hingga Tebet Dalam (1-4)”. www.bisnis.com, 13-14 Agustus 2012. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2012. Gerakan menuju titik ekstrim ini akibat eskkalasi dan ketegangan yang tidak terdekteksi sehingga menuju pada titik polarisasi, petani berubah menjadi ekstrim dalam tindakan-tindakannya. Doug McAdam, Sidney Tarrow, Charles Tilly, 2004. Dynamics of Contention. Cambridge University Press. 8 DR. Prudensius Maring, op.cit., hlm. 65-66. Lihat juga Johny Setiawan Mundung, Muhammad Ansor, Muhammad Darwis, Khery Sudeska, Laporan Penelitian “Analisa Konflik Pertanahan di Provinsi Riau Antara Masyarakat dengan Perusahaan (Studi Tentang PT RAPP, PT IKPP, PT CPI dan PT Duta Palma 2003-2007)”, Pekanbaru: Tim Litbang Data FKPMR, 2007. Didownload dari: www.scaleup.or.id.
lainnya adalah blog pribadi aktivis petani Pulau Padang, M. Riduan. Sebagai pimpinan STR cabang Meranti yang juga pimpinan aksi, ia banyak melakukan pendokumentasian dan menulis dalam blog pribadinya. Sekalipun catatannya singkat, hal itu sangat membantu memahami penggalan cerita dari kasus Pulau Padang.9 Di atas semua itu, penulis ingin melihat persoalan Pulau Padang dari sisi struktur kekuasaan yang menyebabkan munculnya konflik di Pulau Padang, tentu juga melihat proses-proses yang terjadi di sana. Dengan melihat struktur dan pola bangunan kekuasaan kapital, kasus Pulau Padang menurut hemat penulis adalah bagian kecil dari persoalan konflik sumberdaya agraria di Indonesia. Dalam teori klasik, konflik dilihat sebagai bagian dari paradigma penyelesaian persoalan, kelompok ini meyakini konflik akan menghasilkan sebuah perubahan. Beberapa teori ini sering mengemuka bahwa konflik akan menunjukkan ujungnya yakni berupa instrumen lahirnya sebuah perubahan sekalipun dengan cara yang “revolusioner.” Ralf Dahrendorf melihat masyarakat dalam dua wajah, yakni konflik dan konsensus, dalam kondisi ini kedua wajah itu saling melengkapi. Ia meyakini konflik akan melahirkan konsensus.10 Jarang dalam sistem masyarakat yang normal tak ada konflik yang tidak bisa dikonsensuskan. Dalam konteks ini, ilmu sosial selalu melihat konflik adalah gejala yang terjadi di masyarakat dan dijadikan indikator untuk memahami apa yang menjadi keinginannya. Tanpa menunjukkan kemauannya maka sulit untuk dipahami perilaku dan struktur yang ada. Berbeda dengan Karl Marx dalam melihat masyarakat, ia meyakini masyarakat sudah ter-
9
http://riduanmeranti.blogspot.com/#uds-searchresults. 10 Ritzer, George & J. Goodman, Douglas. 2004. Teori Sosiologi Modern. Edisi keenam. Jakarta: Prenada Media.
M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121
bentuk dalam struktur kelas sosial, dan kelas sosial secara sadar sudah memiliki potensi dan konflik itu sendiri, ia melekat pada struktur basisnya, sehingga konflik dengan sadar bisa dipahami sebagai bagian dari aktivitas masyarakat. Teori Marx11 relatif bisa digunakan dalam melihat segala jenis konflik yang terjadi di masyarakat karena konflik dengan mudah bisa dideteksi dengan melihat kelas, ketimpangan, dan ketidakadilan dalam sistem masyarakat, sekalipun kelas tidak mesti selalu berlawanan, sebab kelas kadang memiliki logikanya sendiri. Marx disandingkan dengan Charles Tilly12 dengan teorinya collective action tampaknya mudah melihat stuktur yang muncul dalam lingkup konflik. Kasus Pulau Padang akan mudah dijelaskan dengan pendekatan collective action karena begitu banyaknya interest yang muncul dalam ranah tersebut. Tilly meyakini common interest menjadi poin penting dalam melihat konflik, dan apa yang menjadi fenomena konflik sumber daya alam bisa kita balik yang memiliki kepentingan adalah para pelaku-pelaku yang memanfaatkan sumber daya alam. Saya mencoba membandingkan dengan teori Tilly dkk lainnya yang jauh lebih rumit. Dalam beberapa case di Pulau Padang sangat mungkin dan menarik untuk lebih jauh dielaborasi dengan pendekatan Dynamic of Contention.13 Pendekatan ini memang lebih kompleks, karena memiliki prasyarat dan beberapa proses: pembentukan identitas, eskalasi, polarisasi, mobilisasi, dan pembentukan aktor. Proses itu memang hampir semua terjadi
11
Franz Magnis-Suseno, 1999. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia. 12 Charles Tilly, 2004. Social Movement, 1768-2004, London: Paradigm Publisher, lihat juga R.Z. Leiriza, 2004. “Charles Tilly dan Studi tentang Revolusi”, Jurnal Sejarah, Vol. 6. 13 Doug McAdam, Sidney Tarrow, Charles Tilly, 2004. Op.cit.
101
di Pulau Padang, namun tidak semasif sebagaimana pada kasus-kasus besar seperti Sambas, Poso, Ambon. Polarisasi di Pulau Padang benar terjadi menuju titik ekstrim dalam beberapa kasus, namun tidak meluas, bahkan menurut saya mengalami “kegagalan” sebagai upaya menuju target, namun mobilisasi yang masif dari semua sikap acuh oleh warga berhasil digerakkan, dalam konteks ini bisa dilihat sebagai “keberhasilan”. Begitu juga halnya ketika kelompok tak terorganisir saat ini menjadi jauh lebih terorganisir, termasuk pembentukan aktor. B. Melihat Pulau Padang dari Dekat “Masyarakat Pulau Padang yang tadinya pragmatis, tidak tahu tentang politik, kini mengalami peningkatan kualitas kesadaran yang sangat luar biasa. Aksi massa menjadi sebuah topik yang dibicarakan di mana-mana. Orang-orang di sepanjang jalan yang saya temui, selalu menanyakan kepada Ridwan agenda-agenda aksi dan berapa banyak perwakilan yang harus mereka kirim. Di jalan itu pula, Ridwan mengatakan, di Pulau Padang orang kini punya semboyan, “Hidup adalah mati, merdeka adalah perang”.14 “Tak bergeming aksi jahit mulut beberapa waktu lalu, baik di Riau maupun di depan Gedung DPR akhir tahun lalu, kali ini warga Pulau Padang, Kabupaten Meranti, Provinsi Riau, kembali melakukan aksi nekat cukup menggegerkan, yaitu aksi bakar diri. Aksi bakar diri ini, tidak lain tuntutannya agar menyelamatkan Pulau Padang. Aksi tersebut merupakan penolakan terhadap pemerintah agar segera mencabut SK 327 Menhut/2009 di mana pemerintah khususnya Menteri Kehutanan segera mencabut izin jalan aktivitas PT RAPP yang dianggapnya secara tidak langsung dapat mengancam kehidupan masyarakat Pulau Padang.
14
Tutut Herlina, 2012. “Berkorban demi Pulau Padang (1)”, Sinar Harapan, Selasa, 25 September 2012. Lihat juga http://www.shnews.co/detile-8396-berkorban-demipulau-padang-1.html.
102
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
“Aksi bakar diri adalah tindakan yang suci dan harus kami lakukan setelah aksi jahit mulut beberapa waktu lalu agar pemerintah belajar mendengar,” ujar Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Riau (STR), M Ridwan kepada SH, di Pekanbaru, Senin (18/6). Ia menegaskan, sejak awal telah disampaikan bahwa pemerintah harus mampu menyelamatkan Pulau Padang. Aksi bakar diri ini merupakan puncak kekecewaan masyarakat terhadap pemerintah yang tidak berani mengevaluasi kebijakan SK Menhut No 327 Tahun 2009 yang dinilai salah”.15 Diagram di bawah ini sengaja penulis hadirkan untuk melihat peta persoalan mendasar mengapa konflik begitu mudah muncul dan bagaimana menjelaskan akar persoalannya. Sesungguhnya, konflik bukan suatu barang antik yang penting untuk dipelihara, tapi harus disikapi sebagai bagian dari sistem budaya dan kerja dalam masyarakat. Konflik di Riau menyebar begitu cepat dari satu ruang ke ruang yang lain, dari satu lahan menuju lahan-lahan lain. Di sisi lain kebijakan untuk menciptakan zero konflik atau mengurangi konflik sangat minim, sehingga konflik terus menjalar. Ada sepuluh kabupaten yang menjadi titik konflik di Riau baik konflik di lahan perkebunan maupun di hutan produksi. Diagram 3. Konflik di sektor hutan produksi (Hutan Tanaman Industri) di Riau berdasarkan kabupaten/kota, 2011/2012
15
Uparlin Maharadja, 2012. “Warga Pulau Padang Aksi Bakar Diri di Depan Istana”, Sinar Harapan, Selasa, 19 Juni 2012. Lihat juga http://www.shnews.co.
Diagram 4. Konflik di sektor perkebunan di Riau berdasarkan kabupaten/kota, 2011/2012
Diagram 5. Perbandingan total luasan konflik sumberdaya alam di Riau tahun 2007, 2008, 2009, 2010, 2011
Sumber diagram 4-5: Laporan Tahunan (Executive Summary). “Konflik Sumberdaya Alam di Riau Tahun 2008, 2009, 2010, 2011”. Pekanbaru: Scale Up (Sustainable Social Development Partnership), 2012. Jika diperhatikan data di atas, pada tahun 2011 konf lik di hutan produksi di seluruh Riau melibatkan 262,877 hektar, sementara konflik pada lahan perkebunan (sawit) telah melibatkan 39.246 hektar. Catatan ini coba saya tampilkan dalam satu tahun untuk melihat tingginya laju konflik pada lahan hutan produksi. Yang menarik, jumlah konflik di lahan hutan produksi melibatkan begitu besar perusahaan. Menjadi pemandangan umum bahwa pembukaan hutan di Riau secara besar-besaran telah berdampak serius pada saat ini dimana semua perusahaan pulp and paper telah “menggunduli” hutan-hutan Riau. Dalam laporan yang sama, ada sekitar 30 perusahaan yang berhubungan dengan bubur kertas, dari 30 itu mereka telah berebut kayu-kayu Riau dan ruang bekas penebangan kayu. Pada ruang
M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121
inilah mereka saling berlomba memperluas izin usahanya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industrinya. Realitasnya, apa yang dikerjakan mereka telah menimbulkan persoalan serius dan sumber konflik bagi masyarakat Riau. Kasus Pulau Padang dalam pandangan peneliti bukanlah suatu yang baru, bahkan terjadi di berbagai tempat, akan tetapi setiap wilayah memiliki tipologi yang berbeda. Persoalan Pulau Padang termasuk sebuah kasus yang cukup besar dan menjadi isu nasional, bahkan menjadi perhatian bagi NGO internasioal. Hal itu terjadi karena melibatkan puluhan ribu warga tempatan, melibatkan sebuah perusahaan raksasa, dan juga dalam berbagai analisis melibatkan banyak elite birokrasi yang terlibat dalam berbagai kepentingan. Di sisi lain, Pulau Padang merupakan kawasan lahan gambut yang seharusnya dilindungi, sehingga menjadi perhatian banyak pihak. Tabael 1. Daftar Nama perusahaan dan luas (Ha) konflik antara masyarakat dengan perusahaan selama tahun 2011
103
Diagram 6. Distribusi konflik berdasarkan group perusahaan di Riau
Sumber Tabel 1 dan Diagram 6: Laporan Tahunan (Executive Summary). “Konflik Sumberdaya Alam di Riau Tahun 2008, 2009, 2010, 2011”. Pekanbaru: Scale Up (Sustainable Social Development Partnership), 2012. Sebagai sebuah perusahaan besar, APRIL (Asia Pacific Resources International Ltd.) yang memiliki 7 anggota perusahaan telah lama bercokol di wilayah Riau dan RAPP merupakan salah satu yang terbesar. Perusahaan ini membutuhkan banyak dukungan bahan baku untuk keberlangsungan produksinya. Di mata orang Riau dan NGO yang bergerak dalam hal konservasi sekaligus pemerhati lingkungan, perusahaan ini sangat akrab dengan isu konflik dan perusakan lingkungan. Hal itu dibuktikan juga dengan diagram di atas, April group menjadi “juara” dalam hal urusan konflik dengan warga yang melibatkan lahan seluas 203.870 hektar. Posisi ini menurut data Scale Up, tidak terlalu mengejutkan karena sepak terjang RAPP hampir merata di seluruh wilayah kabupaten kota di Riau. Untuk kasus RAPP di Pulau Padang sendiri merupakan yang terbesar di seluruh Riau (hampir 70.000 hektar), dan lebih dari separo lahan konflik tersebut terdapat di Pulau Padang (41.205 hektar). 1. Meranti dan Pulau Padang Kutipan laporan investigatif wartawan Sinar Harapan di atas tidak berlebihan apalagi bombastis, namun syarat menggambarkan perjuangan warga Pulau Padang yang hingga kini belum menemukan nasib baiknya. Warga Pulau Padang yang sudah beberapa tahun terakhir ini
104
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
bergerak melawan korporasi sudah merenggang nyawa demi menyelamatkan apa yang diyakini, meyelamatkan apa yang selama ini menjadi sumber penghidupan warga selama puluhan tahun. Sebuah perusahaan raksasa bernama Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP),16 perusahaan bubur kertas telah mengusik keheningan warga yang jauh dari hiruk pikuk modernitas dan perkotaan. Sebuah pulau yang tidak terlalu besar dan tidak memiliki kekayaan alam yang banyak, hanya seonggok gambut tebal dengan segala penghidupan warga dan aktif itas perkebunan karetnya.17 Secara administratif, Pulau Padang di bawah sebuah kabupaten baru bernama Kepulauan Meranti (akronim dari Merbau, Rangsang, dan Tebing Tinggi). Meranti merupakan kabupaten dengan tiga pulau kecil, Pulau Padang, Pulau Rangsang, dan Pulau Tebing Tinggi. Kabupaten 16
PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP), perusahaan milik Asia Pacific Resources Internationa Limited (APRIL) ini didirikan tahun 1992. Kantor pusat PT RAPP berada di Pangkalan Kerinci, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan. RAPP merupakan kelompok Raja Garuda Mas (RGM) milik konglomerat Sukanto Tanoto dan kelompok Sinarmas milik taipan Eka Tjipta Widjaja dari Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP). 17 Pulau Padang merupakan wilayah yang tak begitu luas, sekitar 110 ribu hektar, didiami 14 desa (1 kelurahan dan 13 desa), di bawah Kecamatan Merbau, dengan ibukota Kecamatan Teluk Belitung. Penduduk Kecamatan ini sejumlah 47.370 jiwa, dan luas total wilayahnya 1.348,91 KM2. Terdiri atas Kelurahan Teluk Belitung, Desa Bagan Melibur, Bandul, Dedap, Kudap, Lukit, Mekar Sari, Mengkirau, Mengkopot, Meranti Bunting, Pelantai, Selat Akar, Tanjung Kulim, dan Desa Tanjung Padang. Mayoritas penduduk Pulau Padang dari suku Melayu dan Jawa. Penghasilan sehari-hari sebagai petani karet, kelapa, kopi, kapas, coklat, dan persawahan (padi), lihat www.merantikab.go.id. Di pulau ini terdapat satu tokoh yang cukup populer, Intsiawati Ayus yang duduk di pusat sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah utusan Provinsi Riau. Putri kelahiran Teluk Belitung ini terpilih sebagai angora DPD pada periode 2009-2014. Saat kasus Pulau Padang mencuat, beliau juga tampil diberbagai kesempatan yang membela para petani Pulau Padang.
ini sebelum 2009 berada di bawah administratif Kabupaten Bengkalis, dan sejak 2009 menjelma menjadi kabupaten sendiri. Meranti18 terdiri atas 7 kecamatan, dan total penduduk pada 2011 sekitar 233.024 jiwa. Mayoritas masyarakat Meranti tinggal di pedesaan dan bekerja pada perkebunan karet, sagu, sawit, dan bertani sayursayuran. Sementara ibukota kabupaten berada di Selatpanjang yang banyak dihuni oleh para pedagang Tionghoa, Padang, Melayu, dan Jawa. Selatpanjang adalah nama yang cukup dikenal karena wilayah ini merupakan sebuah kota dagang transit Pesisir Timur Sumatera, ia menjadi penghubung antara Pulau Batam-Tanjung Balai Karimun dan Pekanbaru, dan juga Bengkalis dan Dumai. Sebagai kota dagang transit, kota ini cukup ramai dikunjungi oleh wilayah pinggir seperti Rangsang Barat dan Timur, Kep. Merbau, Belitung, Tanjung Samak, Guntung, dll. Hiruk pikuk kota ini cukup ramai di pagi hari hingga sekitar pukul 14.00, sorenya tidak terlalu banyak aktifitas ekonomi, karena jalur laut yang digunakan wilayah penyangga hanya sampai siang. Pukul 14.00 puluhan kapal-kapal yang merapat di dermaga-dermaga kecil di Selatpanjang sudah kembali lagi ke daerahnya masing-masing. Mayoritas lahan tiga pulau ini adalah lahan gambut dengan ketebalan yang cukup tinggi, bahkan di Pulau Padang lahan gambut mencapai 9-12 meter.19 Dalam Peraturan Menteri Kehutanan, kawasan gambut dengan kedalaman > 3 meter masuk kawasan yang harus dilindungi, tidak diperuntukkan HTI, karena akan merusak eko-
18
Sebelum 2013, Kabupaten Meranti terdiri atas Kecamatan Tebing Tinggi Barat, Tebing Tinggi, Rangsang, Rangsang Barat, Merbau, Tebing Tinggi Timur, Pulau Merbau. Kecamatan Pulau Merbau meliputi seluruh Pulau Merbau sedangkan Kecamatan Merbau wilayahnya meliputi seluruh Pulau Padang. 19 Haryanto, 1989. “Studi Pendahuluan Struktur Vegetasi Hutan Gambut di Pulau Padang, Provinsi Riau”. Media Konservasi Vol. II (4), Desember 1989.
M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121
sistem dan berpotensi merusak kawasan tersebut.20 Pulau Padang sebelumnya tidak dikenal, dan sejak 2009 menjadi sebuah berita nasional akibat penolakan warganya atas tindakan PT. RAPP “mengekploitasi” lahan gambutnya. Sebagaimana ramai diberitakan, RAPP mendapat konsesi dari Departemen Kehutanan di pulau tersebut seluas 41.205 hektar. Artinya lebih dari 40 persen wilayah Pulau Padang dikonsesikan kepada RAPP, karena luas pulau itu hanya sekitar 110 ribu hektar. Anehnya, Departemen Kehutanan begitu saja memberikan izin kepada RAPP dan menabrak hampir semua wilayah (kampung) yang ditinggali penduduk sejak puluhan tahun. Alasan bahwa menurut peta milik Departemen Kehutanan bahwa Pulau Padang tidak berpenduduk sangat menyakiti hati warga Pulau Padang, dan karena itulah warga menjadi lebih berani, radikal, bahkan bertindak ekstrim di luar kebiasaan manusia Melayu21 pada umumnya, yakni aksi menjahit mulut di depan gedung DPRD Riau dan DPR pusat serta nekat mau membakar diri. Akan tetapi upaya itu dapat digagalkan oleh polisi karena enam petani yang menyelinap ke Jakarta berhasil masuk radar intelijen polisi sehingga selama di Jakarta gerak gerik mereka diawasi oleh aparat kemanan.22
105
Diagram 7. Distribusi total luas lahan konflik sumberdaya alam berdasarkan kabupaten/kota di Riau, 2011/2012
Sumber: Laporan Tahunan (Executive Summary). “Konflik Sumberdaya Alam di Riau Tahun 2008, 2009, 2010, 2011”. Pekanbaru: Scale Up (Sustainable Social Development Partnership), 2012. Dari diagram di atas terlihat dengan jelas bahwa konflik agraria yang terjadi saat ini di Riau yang terbesar terjadi di Kabupaten Meranti dengan melibatkan lahan seluas 69.890 hektar, kemudian Kotamadya Dumai 50.000 hektar, Pelalawan 44.957 hektar. Di Meranti konflik melibatkan 3 kecamatan, dan konflik terbesar terjadi di Kecamatan Merbau (Pulau Padang), kemudian Kecamatan Rangsang, dan Kecamatan Tebing Tinggi. Konflik ditiga kecamatan tersebut semua menyangkut konflik hutan untuk kepentingan industri pulp and paper, bukan konflik perkebunan sebagaimana selama ini mendominasi. Ditiga kecamatan ini juga terdapat perkebunan yang cukup luas, terutama Kecamatan Tebing Tinggi, yakni perkebunan sagu, karena
20
Teguh Yuwono, tt. (tanpa tahun). “Konflik Izin IUPHHK-HT PT. RAAP di Pulau Padang: Potret Buram Penataan Ruang & Kelola Hutan di Indonesia”. 21 Dalam khasanah gerakan sosial Indonesia, orang Melayu tidak memiliki sejarah kenekatan seperti yang telah ditunjukkan oleh warga Pulau Padang. Mayoritas penduduk pulau ini beragama Islam dan banyak pula warga di pulau ini yang tradisi agamanya berbasis madrasah, pesantren (NU) dan mayoritas tradisi agamanya cukup kuat. Usaha untuk melakukan bakar diri yang juga berarti bunuh diri bagi tradisi NU nyaris tidak dikenal, namun hal itu pernah akan dilakukan oleh sekelompok petani di Pulau Padang, lihat Anugerah Perkasa, op.cit. 22 Anugerah Perkasa, op.cit.
sagu menjadi salah satu makanan pokok sebagian masyarakat Meranti. 2. Apa yang Terdengar dan Terlihat di Pulau Padang Sejauh ini, RAPP sebagai sebuah perusahaan besar telah lama bercokol di Riau (berdiri sejak 1992). Menurut catatan Scale Up, sebuah NGO yang peduli dengan isu deforestasi di Riau, APRIL grup mendominasi persoalan konflik HTI di Riau. Dalam laporan tahunannya, sepanjang
106
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
lima tahun terakhir area konsesi perusahaan tersebut paling banyak bersengketa di Riau dengan melibatkan lahan seluas 84.400 hektar, diikuti oleh PT. Smatera Riang Lestari 57.100 hektar.23 Sebelum kasus Pulau Padang muncul, RAPP melalui mitranya (PT. Lestari Unggul Makmur) juga mendapat izin konsesi di Pulau Tebing Tinggi seluas 10.390 hektar dan Pulau Rangsang melalui PT. Sumatera Riang Lestari memperoleh 18.890 hektar. Pulau Rangsang terletak persis di utara Pulau Tebing Tinggi (Selatpanjang) ibukota Kabupaten Meranti. Izin di Pulau Rangsang dan Tebing Tinggi sebenarnya juga sempat menjadi persoalan, akan tetapi warga tidak berhasil menolak secara massal, sehingga proyek jalan terus dan mitra RAPP tetap nyaman berada di pulau tersebut.24 Mengapa RAPP begitu perkasa di Riau? Sejarah tidak bisa begitu saja kita lepaskan, bahwa RAPP telah begitu lama menguasai wilayah daratan Riau dan kepulauanya. Sebagai sebuah perusahaan bubur kertas yang mensuplai kertaskertas terbaik dunia, RAPP membutuhkan bahan baku begitu banyak, bahkan tidak pernah akan cukup sekalipun menggunduli semua hutan di Sumatera. Kebutuhan kertas Indonesia dan dunia begitu tinggi sementara suplai bahan baku tidak sebanding dengan laju kebutuhannya, maka jalan pintas dilakukan oleh banyak perusahaan. Kemandirian Perusahaan untuk memasok bahan baku sendiri tidak pernah tejadi kare23
Laporan Tahunan (Executive Summary), 2012. “Konflik Sumberdaya Alam di Riau Tahun 2008, 2009, 2010, 2011”. Pekanbaru: Scale Up (Sustainable Social Development Partnership), lihat juga M. Riduan, “Ketika SK Menhut MS Kaban No 327 di tentang oleh Rakyat, Namun Pemerintah Tetap Memaksakan Kehendaknya...!”, http:// riduanmeranti.blogspot.com/2011/05/ketika-sk-menhutms-kaban-no-327-di.html 24 Menurut data Scale Up updating Juni 2012, terdapat 69.890 hektar konflik lahan di Kabupaten Meranti yang terjadi di Pulau Padang dan Pulau Rangsang. Keduanya konflik lahan antara warga dengan RAPP, ibid.
na tidak menciptakan sistem penanaman Hutan Tanaman Industri sejak awal, dan mereka juga sadar proses penanaman kayu membutuhkan waktu 8 tahun untuk siap dipanen. Indonesia memiliki sekitar 80 perusahaan yang bergerak di bidang pulp and papers, dengan menghasilkan sekitar 6.3 juta ton pertahun. Sinar Mas melalui bendera usaha Asia Pulp & Paper (APP) menguasai pangsa pasar terbesarnya. Di bawah grup APP, ada 7 anak perusahaan yakni PT. Pabrik kertas Tjiwi Kimia, PT. Indah Kiat Pulp & Paper, PT. Pindo Deli Pulp and Papers Mills, PT. Lontar Papyrus Pulp & Paper Industry, PT. The Univenus, PT Ekamas Fortuna, dan PT. Purinusa Ekapersada. Total kapasitas 7 perusahaan itu menghasilkan 2,68 juta ton per tahun, atau 42 persen dari kapasitas nasional. Sementara urutan kedua diduduki oleh RAPP di bawah grup Raja Garuda Mas yang juga memiliki perusahaan besar di Samosir (Sumatera Utara) dengan bendera PT. Toba Pulp Lestari (TPL). RAPP menghasilkan 2,21 juta ton pertahun atau sekitar 35 persen dari kapasitas produksi nasional. Jika digabungkan dua perusahaan raksasa itu menghasilkan kapasitas produksi 77 persen dari kapasitas produksi yang dihasilkan Indonesia. Dengan kapasitas itu, Indonesia merupakan pemasok kertas terbesar ke-12 di dunia dan terbesar ke-4 di Asia setelah Cina, Jepang, dan Korea.25 Menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), APP dengan tujuh perusahaan besarnya setiap tahun membutuhkan bahan baku kayu sekitar 27,71 juta meter kubik. Sementara RAPP setiap tahun membutuhkan 9,468 juta meter kubik. Perusahaan tersebut baru bisa memasok sendiri sebatas 5,465 juta meter kubik. Artinya ada kekurangan bahan baku yang begitu banyak (minus 31.713 juta meter kubik) dan hutan alam 25
Data diolah dari http://www.balithut-kuok.org/ index.php/home/56-industri-pulp-dan-kertas-belummandiri. Diakses pada tanggal 4 Maret 2013.
M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121
menjadi sasarannya. Diperkirakan 70 persen kekurangan bahan baku diambilkan dari hutan alam, artinya, mereka melakukan pembabatan hutan secara masif demi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku bubur kertas.26 Dengan data di atas, jelas, yang dihasilkan oleh perusahaan raksasa itu tidak mampu diatasai sendiri oleh perusahaan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya (bahan baku), bahkan, mayoritas bahan baku diperoleh dari luar perusahaan. Artinya kebutuhan bahan baku diambil dari hutan alam Indonesia. Tidak heran jika hutan Sumatera mengalami deforestasi secara masif dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Situasi ini sebenarnya sudah dengan jelas tercium oleh dunia internasional atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan, karena dengan mengambil hutan alam akan merusak ekosistem dan tatanan sosial masyarakat tempatan, bahkan dampaknya lebih luas dari yang diperkirakan. Indikasi lain, kertas dari Indonesia sekalipun diterima di pasaran internasional tetap dinilai berbeda dengan memberlakukan pajak lebih tinggi dibanding negara-negara pensuplai kertas lainnya. Bahkan sejak akhir 2012, beberapa negara klien dari RAPP dan APP pergi akibat tidak seriusnya kedua perusahaan tersebut menjadikan sebuah perusahaan yang ramah terhadap lingkungan. Sertif ikasi SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) tidak dimiliki sehingga produk kedua perusahaan tersebut mengalami kesulitan memasuki pasar Eropa. Anehnya, kini APP sudah mengantongi 9 SVLK padahal mereka tidak melakukan upaya-upaya aman dan ramah lingkungan terhadap usaha bubur kertasnya, bahkan mereka masih melakukan perambahan dan pengrusakan hutan alam.27 26
Ibid. Aji Wihardandi, 2012. “Asia Pulp and Paper Terus Lolos Uji SVLK Kendati Klien Berlarian”, Mongabay Indonesia, www. mongabay.co.id, 19 November 2012. Diakses pada tanggal 5 Maret 2013. 27
107
Menurut Nazir Foead, Direktur Konservasi WWF-Indonesia, “saat ini, APRIL grup merupakan pelaku pembukaan hutan alam terbesar diantara produsen pulp lain di Indonesia”. Dalam catatan lain, laporan Eyes on the Forest menyebutkan, “APRIL merupakan pelaku terbesar untuk perusakan hutan di Riau. Perusahaan ini menebang sedikitnya 140.000 hektar hutan tropis, sebagian besar terletak di lahan gambut sebagaimana terjadi pada 2008-2011. Dalam periode itu, APRIL bertanggung jawab atas hilangnya hampir sepertiga hutan alam di Riau”.28 Pada peta berikut terlihat dengan jelas batas hutan alam yang masih tersisa dan hutan alam yang dihabiskan oleh perusahaan-perusahaan dalam rangka penebangan untuk kepentingan industri kertas. Gambar “merah” pada peta berikut menunjukkan deforestasi yang terjadi sejak 2009-2012. Angka itu jauh lebih tinggi dari laju deforestasi antara 2005-2007, padahal pada tahun 2011 lewat Inpres No. 10, 2011 pemerintah memberlakukan penundaan izin baru di hutan primer dan lahan gambut (moratorium),29 namun justru pembabatan hutan mengalami laju deforestasi begitu cepat. Dalam catatan Jikalahari—sebuah NGO yang fokus pada penyelamatan hutan Riau—”tiga tahun terakhir (pada 2009-2012), Riau kehilangan hutan alam sebesar 0,5 juta hektare, dengan laju deforestasi sebesar 188 ribu hektare pertahun”. Ironisnya, 73,5 persen kehancuran itu 28
Sapariah Saturi, 2013. “WWF Desak APRIL Hentikan Penghancuran Hutan Alam”. www.mongabay.co.id, 13 Februari 2013. Diakses pada tanggal 5 Maret 2013. 29 “Setahun Moratorium Hutan, Apakah hutan dan Gambut Indonesia Sudah Terlindungi?”. http:// www.greenpeace.org/seasia/id/blog/Setahun-Moratorium Hutan/blog/40230/. Ditulis oleh Yuyun Indradi, Juru kampanye Hutan, 3 Mei, 2012. Diakses pada tanggal 19 Maret 2013. Moratorium akan berakhir pada bulan Mei 2013, dan pemerintah belum memutuskan memperpajang atau mencabut kesepakatan tersebut.
108
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Peta 1: Sisa Tutupan Hutan Alam Riau Sampai Tahun 2012. Sumber: Jikalahari. Diundu dari http:// www.mongabay.co.id/2013/01/02/jikalahari-catatan kejahatan-kehutanan-riau-sepanjang-2012/ #ixzz3oOpj8kL6 terjadi pada hutan alam gambut yang seharusnya dilindungi oleh negara. Dengan kondisi itu, saat ini hutan alam Riau hanya tersisa 2,005 juta hektar atau 22,5 persen dari luas daratan yang dimiliki Riau.30 Dikalangan aktivis NGO, kegiatan para pengusaha pulp and papers ini begitu kasar karena telah mengabaikan berbagai kepatutan kepada alam. Pembalakan kayu secara liar di hutan alam lebih disukai pelaku usaha dibanding dengan mengusahakan Hutan Tanaman Industri (HTI). Ironisnya, pembalakan itu dilakukan secara terang-terangan bahkan aksi “legal” dengan menunjuk kontraktor. Akibat tindakan pembalakan liar yang dilakukan oleh perusahaan 30
Made Ali, 2013. “Jikalahari: Deforestasi di Riau 2012 Setara Kehilangan 10 Ribu Lapangan Futsal Tiap Hari.”: http://www.mongabay.co.id/2013/01/02/jikalahari-catatankejahatan-kehutanan-riau-sepanjang-2012/ #ixzz3oOpj8kL6. 2 Januari 2013. Diakses pada tanggal 15 Maret 2013.
kertas, Balai Penelitian Teknologi Serat Tanaman Hutan mensinyalir, setiap tahun Indonesia kehilangan hutan seluas 27 kilometer persegi, atau setiap 10 detik kita kehilangan hutan alam seluas lapangan bola, dan setara juga dengan 10 ribu lapangan futsal setiap hari, sementara negara dirugikan sekitar Rp 45 triliun per tahun.31 Pengalaman penulis di wilayah Kabupaten Meranti juga menunjukkan hal demikian, bahwa pembalakan liar di hutan-hutan alam memang terjadi secara masif, baik oleh perusahaan besar maupun pelaku-pelaku kecil yang dilakukan oleh masyarakat. Tentu berbeda dengan apa yang dilakukan masyarakat, mereka menebang kayu dan kemudian mengalirkan balok-balok kayu 31
Ibid. lihat juga Made Ali, “Jikalahari: Deforestasi di Riau 2012 Setara Kehilangan 10 Ribu Lapangan Futsal Tiap Hari”. www.mongabay.co.id/2013/01/02/jikalahari-catatankejahatan-kehutanan-riau-sepanjang-2012/ #ixzz3oOpj8kL6. 2 Januari 2013. Diakses pada tanggal 10 Maret 2013.
M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121
lewat parit (selokan) kecil ke laut dan menjual kepada toke atau cukong hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, sementara perusahaan melakukan penebangan liar untuk mengumpulkan pundi-pundi keuntungan. Situasi itu sudah menjadi pemandangan sehari-hari dengan apa yang terjadi di selat-selat di Kabupaten Meranti. Hampir setiap hari kapal-kapal mendayu-dayu kelelahan karena beban berat menarik kayu yang dirakit begitu panjang. Pemandangan itu jelas bahwa mereka bergerak dengan cara “legal” sekalipun tindakan hulunya illegal, artinya negara sengaja melakukan pembiaran yang begitu serius terhadap deforestasi hutan-hutan di pulau tersebut. Menurut Ngabeni dan Riduan, illegal logging yang dilakukan oleh masyarakat menemukan tahun kejayaannya berkisar antara tahun 19901998. Pada tahun-tahun itulah awal munculnya permintaan kayu secara besar-besara oleh beberapa perusahaan di Riau, sehingga banyak orang dengan sedikit modal bisa melakukan penebangan hutan secara luas dan kemudian menjual kapada pengumpul-pengumpul kayu. Kegiatan masyarakat ini tidak tersentuh oleh hukum karena tidak ada aparat hukum yang mau masuk ke hutan dengan menempuh jalan kaki berjam-jam. Tidak mungkin aparat keamanan masuk hutan dengan berjalan kaki, sementara kondisi jalan setapak yang gembur seperti bubur karena tanah bergambut, sehingga masyarakat dengan tenang melakukan kegiatan tersebut. Akan tetapi setelah itu pemain illegal logging bertambah banyak dan mereka dengan modal besar bisa melakukan apa saja, misalnya membangun parit-parit (kanal) yang besar untuk menyalurkan kayu ke laut. Begitu juga alat tebang pohon sinso32 (chainsaw) yang canggih 32
Orang daerah meranti menyebut alat tebang pohon yang terbuat dari rantai bermesin (chainsaw) ini dengan sebutan umum sinso, gergaji mesin.
109
telah mereka miliki, sementara masyarakat masih menggunakan cara-cara tradisional, menebang dengan kampak (kapak), mengirim kayu dengan cara di-gulek (didorong dengan tenaga manusia). Sementara pelaku bermodal akan membuat parit atau kanal berukuran besar sehingga dengan mudah kayu dimasukkan ke dalam kanal dan mengirim ke laut.33 Gambar di bawah ini memperjelas bagaimana kayu diambil dan dikumpulkan dalam jumlah yang banyak, kemudian dialirkan ke kanal menuju sungai atau laut.
Gambar 1: Tumpukan kayu hasil pembabatan dan pembalakan di hutan alam Riau yang siap dialirkan ke laut. Sumber: antara.go.id 33
Hasil diskusi dengan H. Ngabeni, Meranti, 2011, dengan Riduan, Klaten dan Jogja, 16-18 Maret 2013. Proses umum pengambilan kayu di hutan sebagaimana diceritakan Ngabeni, setelah ditebang kemudian kayu dipotong sesuai ukuran kebutuhan, lalu diangkut dengan membuat jalan khusus untuk memindahkan kayu dari satu titi ke titik lain. Setelah terkumpul di pusat-pusat pengumpulan, biasanya dipinggir kali atau orang Meranti menyebut parit yang berukuran kecil (lebar 60cm) ukuran besar (4-20 meter). Dari parit ini kemudian kayu dialirkan ke hilir (sungai/laut), baru kemudian dirakit dengan tali dan ditarik dengan kapal menuju ke perusahaan ataupun tongkang besar untuk dibawa ke perusahaan dalam negeri atau ke luar negeri. Menurutnya, tindakan mereka ini hampir smuanya ilegal, tanpa izin namun mereka sudah saling paham dan menyiapkan uang sogokan manakala di jalan bertemu dengan aparat hukum. Tak jarang sekali jalan mereka harus menyogok aparat hukum lebih dari 3 kali, dari nilai kecil hanya 1-5 juta sampai puluhan juta. Berdasarkan pengalaman mereka, nyaris tak ada yang tertahan.
110
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
3. Pulau Padang: Konflik Hutan Tanaman Industri Sebuah perusahaan besar beroperasi di sekitar Sungai Siak, Riau. Sebuah sungai yang menurut banyak ahli sebagai sungai terdalam di Indonesia. Sungai yang lebarnya hanya sekitar 100an meter itu merupakan sungai padat lalu lintas, hampir setiap hari sungai ini dilalui kapal-kapal cepat (speedboat) maupun kapal berkecepatan sedang dan lambat. Sungai ini menghubungkan antara Pekanbaru Perawang, Siak menuju ke Buton-Bengkalis, Selatpanjang-Tanjungbalai Karimun-Batam. Puluhan kapal cepat melalui sungai ini karena hanya jalur ini yang paling efektif untuk menuju Pekanbaru sebagai Ibukota Provinsi Riau. Sungai ini menghubungkan pulau-pulau kecil yang secara administratif di bawah Riau. Di luar armada kapal cepat yang melewati sungai ini, juga terdapat kapal-kapal berukuran besar dan sedang yang memuat berbagai macam kebutuhan, baik kebutuhan pangan warga pulau yang disuplai dari Medan, Padang, Pekanbaru dan sekitarnya menuju wilayah-wilayah penyangga. Sebagai ibukota provinsi tentu Pekanbaru menjadi tempat banyak tujuan kepentingan wilayah administratif lainnya karena di Pekanbaru pula terdapat kampus negeri yang cukup bergengsi di Riau, diantaranya UNRI (Universitas Negeri Riau) UIN (Universitas Islam Negeri) dan universitas swasta seperti Universitas Lancangkuning dan Universitas Islam Riau. Banyak diantara warga daerah pulau yang menyekolahkan anaknya ke Pekanbaru, Sungai Siak adalah jalur yang selalu dilewati. Akan tetapi, dalamnya sungai ini juga bisa dimanfaatkan oleh banyak perusahaan besar untuk mengirim kayu dalam jumlah besar. Kapal tengker dan kapal induk barang biasa melewati sungai ini untuk membawa kayu dan batu bara keperusahaan bubur kertas di sekitar Sungai Siak (Indah Kiat) dan ke perusahaan lainnya.
Kisah Pulau Padang adalah kisah para pengumpul pundi-pundi keuangan dari darat melewati laut. Bahan baku diambil dari darat (hutan) kemudian dikumpulkan di pingir kali/ parit lalu dialirkan ke sungai menuju laut. Dengan cara ini kayu kemudian diangkut baik dengan metode dirakit dan ditarik dengan kapal atau langsung dimasukkan ke kapal tengker kayu dan dibawa ke perusahaan. Dari sanalah semua bermula, dari sanalah semua dimaknai oleh warga Pulau Padang sebagai eskspansi para pengusaha besar menancapkan kukunya ke hutan-hutan sekitar warga tinggal. Mereka tidak pernah sadar selama ini kapal-kapal, tongkang, kapal induk barang yang mereka lihat lalu lalang akan menjadi bagian dari sejarah mereka. Warga Pulau Padang tentu tidak asing dengan pemandangan demikian karena mereka akrab dengan sungai dan laut. Mereka hidup dengan sistem dan budaya sungai sampai kemudian mereka sadar abrasi semakin mengusir mereka dan bergeser ke darat. Hal yang dilakukan oleh RAPP di Pulau Padang adalah bagian dari paket kritikan aktivis internasional atas ketidakramahan perusahaan pulp and paper yang beroperasi di Indonesia (Riau) terhadap lingkungan. Organisasi besar internasional Greenpeace menjadikan Riau sebagai bagian dari target operasi kampanye, karena di wilayah ini perusahaan beroperasi tanpa memiliki Sistem Verif ikasi Legalitas Kayu (SVLK). Hal itu terbukti dengan beberapa pejabat teras Riau ditangkap KPK, termasuk mantan Kepala Dinas Kehutanan Riau, Asral Rahman atas kasus penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) tahun 2001-2006. Dengan niat baik akan memenuhi pasokan bahan baku untuk industrinya dan mengurangi pembabatan hutan alam, APRIL grup mengajukan izin HTI kepada menteri kehutanan, yang kebetulan salah satu izin tersebut di wilayah
M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121
Pulau Padang. Jauh sebelum izin itu diberikan oleh Menhut, RAPP sudah mengantongi izin pemanfaatan hasil hutan di wilayah tersebut. Dengan izin itu ia telah menghabisi semua kayu yang ada di wilayah Pulau Padang, dan izin berikutnya adalah izin HTI. Menjadi ironis karena niatan baik itu dilakukan setelah sebelumnya membabat habis Pulau Padang, bahkan izin yang dikantongi RAPP kemudian “mengancam” warga sekitar karena izin lahan HTI-nya menabrak mayoritas lahan penduduk, bahkan menabrak lahan pemukiman. Pada tahun 2007, saat Kabupaten Meranti masih di bawah administratif Kabupaten Bengkalis, Menteri Kehutanan mengeluarkan surat izin HTI untuk wilayah Tebing Tinggi, pulau yang saat ini menjadi Ibukota Meranti. Izin HTI di pulau ini keluar dengan SK Menhut No. 217/Menhut-II/2007 Tanggal 31 Mei 2007. Izin dikeluarkan untuk Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Tanaman Industri (UPHHTI) di Desa Nipah Sendadu, Sungai Tohor, Tanjung Sari, Lukun, dan Desa Kepau Baru seluas 10.390 hektare.34 Warga melakukan penolakan karena wilayah tersebut menjadi konsentrasi pengembangan sagu, bahkan Tebing Tinggi merupakan pusat sagu terbaik dan terbesar di Indonesia. Dukungan datang dari banyak pihak, termasuk Ketua DPRD Riau waktu itu, Chaidir. Alasannya jelas, karena Tebing Tinggi akan difokuskan kepada pengembangan sagu di Riau. Akan tetapi protes tidak berlangsung lama karena perusahaan yang ditunjuk RAPP, PT Lestari Unggul Makmur terus beroperasi. Hal yang sama juga terjadi di Pulau Rangsang, PT. Sumatera Riang Lestari (SRL) mendapat izin operasi seluas 18.890 hektar.
34
Sutarno, “Kronologis Penolakan Masyarakat Pulau Padang Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti Prov. Riau Terhadap Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. RAPP Blok Pulau Padang (SK NO. 327/MENHUT-II/ 2009 TANGGAL 12 JUNI 2009)”.
111
Juni 2009, Kembali menteri Kehutanan Republik Indonesia M.S. Kaban mengeluarkan SK No. 327/Menhut-II/2009 Tanggal 12 Juni 2009. SK ini kemudian menjadi persoalan nasional hingga hari ini karena mendapat perlawanan paling serius dari pihak warga, bahkan dalam beberapa kajian tentang gerakan sosial atau protes movement di Riau, SK ini mendapat porsi yang luar biasa dari pemberitaan media. Artinya sejak SK keluar dan masyarakat mengetahui, sejak itu pula (akhir 2009) gerakan perlawanan masyarakat terus muncul. Dalam analisis strategi umpan tarik ala pemerintah, SK ini hingga hari ini belum dicabut oleh Menteri Kehutanan meskipun mendapat perlawanan secara masif dari warga, akan tetapi SK ini sudah hilang dari daftar resmi SK yang dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan, artinya SK itu tidak muncul di situs resmi www.dephut.go.id. Status hukum policy tersebut hingga hari ini adalah moratorium setelah Menhut mendapat tekanan kuat dari berbagai elemen masyarakat, baik masyarakat MerantiRiau maupun NGO. Apa sebenarnya isi SK tersebut? Inti dari SK ini adalah setelah RAPP mendapat izin pemanfaatan hutan Pulau Padang, RAPP kemudian memanfaatakan lahannya untuk tanaman industri (HTI). Proses munculnya SK bukan pada tahun 2009, akan tetapi dimulai dari tahun 2004, dan SK 2009 bukan merupakan SK tunggal, akan tetapi meliputi beberapa kabupaten, dan Meranti hanya salah satu yang didapatkan oleh RAPP di Riau. RAPP mendapatkan persetujuan dari Menhut untuk melakukan beberapa kali perubahan pengajuan izin, dari semula hanya 235.140 hektar sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.356/Menhut-II/2004 Tanggal 1 November 2004. Berdasarkan permohonan Direktur Utama PT.RAPP sesuai surat Nomor: 02/RAPP-DU/I/04 Tanggal 19 Januari 2004, Menteri Kehutanan mengeluarkan kembali keputusan penting, Surat Keputusan SK No. 327/
112
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Menhut-II/2009 tanggal 12 Juni 2009 dengan luas areal 350.165 hektar yang tersebar ke 5 kabupaten dengan rincian luas masing-masing kabupaten sebagai berikut: Tabel 2. Peroses perolehan dan perubahan izin PT RAPP di Riau No.
1 2 3 4 5
Kabupaten
Kampar Siak Pelalawan Sengingi Kepulauan Meranti (Pulau Padang, Tebing Tinggi, Rangsang) Jumlah Total
Perubahan, SK 2009 (hektar)
Selisih (hektar)
32.511 37.400 89.440 75.789 41.205
30.422 52.505 151.254 74.779 41.205
2.089 15.105 61.814 1.010
235.140
350.165
115.025
Luas perolehan izin, SK 2004 (hektar)
-
Sumber: Diolah dari Surat Keputusan Menteri No.: 356/Menhut-II/2004, Dokumen Jikalahari,35 dan catatan M. Riduan (STR). Kedua surat keputusan yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan tersebut menyangkut lima kabupaten. Kajian ini penulis fokuskan pada Kabupaten Kepulauan Meranti dimana antara SK tahun 2004 dan 2009 tidak mengalami perubahan, jumlah luasan izin yang diperoleh tetap sama, 41.205 hektar. Pada kolom ketiga, jumlah luasan lahan yang dikeluarkan pada tahun 2004, kemudian diajukan kembali oleh RAPPP yang direspon oleh Departemen Kehutanan sehingga muncul perubahan luasan lahan konsesi yang menjadi jauh lebih luas. Pada Kabupaten Meranti tidak mengalami perubahan, karena Meranti hanya menjadi bagian paket usulan baru oleh RAPP. Dari data resmi RAPP ada tiga skenario memanfaatkan hutan yang akan menjadi tanaman industri mereka. Logika RAPP dari sisi agenda konservasi sebagaimana mereka janjikan sangat rasional, karena setelah hutan dihabisi “secara legal”, maka ia harus melakukan penanaman 35
Tim Jikalahari, 2005. “Assessment of Legal Aspects of the Concession Expansion Plan by PT. RAPP in Kampar Peninsula and Padang Island”, Pekanbaru: Jikalahari.
ulang. Persoalan muncul karena RAPP menargetkan pembukaan lahan 23.914 hektar hutan gambut di Pulau Padang, padahal pulau ini masuk kategori pulau sedang, luasnya hanya sekitar 110.000 hektar. Hutan gambut yang ditargetkan ini kemudian justru mendapat izin konsesi seluas 41.205 hektar. Padahal RAPP belum melakukan konservasi justru sudah akan melakukan penanaman pohon demi kepentingan bahan baku perusahaan. Dalam laporan Eyes on the Forest, sebuah NGO internasional yang melakukan banyak investigasi di Sumatera, RAPP belum melakukan apa yang menjadi janji dan kewajibannya, justru sudah akan menanam untuk kepentingan industrinya.36 Pada posisi ini sebenarnya tidak banyak masalah, namun saat membuka peta untuk kepentingan mensosialisasikan izin konsesi dan diketahui oleh masyarakat secara luas termasuk Sarikat Tani Riau (STR), maka pecahlah persoalan menjadi meluas. Setelah banyak melakukan berbagai protes dan perlawanan terhadap RAPP, masyarakat Pulau Padang pada akhir 2010 melakukan rapat besar untuk membahas apa yang secara persis terjadi di Pulau Padang. Hadir dalam forum tersebut berbagai elemen masyarakat, petani, tokoh masyarakat, DPD, NGO, Anggota DPRD Kab. Meranti, politisi, birokrat, polisi, dan militer. Dalam pembahasan tersebut akhirnya ditemukan kejalasan status dan problem yang sedang terjadi di Pulau Padang. Jika kita baca dari berbagai laporan media, laporan NGO, dan laporan berbagai aktivis yang tersebar, inti dari problem tersebut adalah: 1. Areal konsesi PT. RAPP di Blok Pulau Padang berada pada areal yang tumpang tindih dengan lahan/kebun warga. 2. Lebih dari separo lahan dan pemukiman warga Pulau Padang masuk dalam area izin konsesi. 36
www.eyesontheforest.or.id.
M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121
113
Peta 2. Peta Industri HTI PT LUM, PT SRL (mitra RAPP), PT RAPP di Kabupaten Kepulauan Meranti. Peta oleh Sarikat Tani Riau (STR), diolah kembali oleh penulis. Sumber download: http:// www.mongabay.co.id 3. Dengan dibukanya kanal-kanal akan menyebabkan intrusi air masin ke darat dan pengeringan lahan yang cukup signif ikan pada musim kemarau yang akan menyebabkan mudah terbakar. Hal ini bisa terjadi karena pulau ini memiliki gambut yang tebal lebih dari 3 meter. 4. Perusahaan belum melakukan kewajibannya setelah menghabisi hutan Pulau Padang. 5. Dari sisi perijinan, di ketahui bahwa rekomendasi oleh pejabat Bengkalis yang dijadikan acuan oleh pemerintah pusat sebagai dasar dikeluarkannya SK Menhut 327 2009, sama sekali tidak diketahui oleh DPRD Kabupaten Bengkalis. 6. Tidak memiliki analisis Amdal yang baik, sehingga tidak memberikan jaminan keamanan bagi masyarakat.37 37
Disarikan dari berbagai sumber: Media cetak, online, dokumen, dan wawancara dengan anggota DPRD Meranti dan masyarakat Pulau Padang.
Dalam peta di atas terlihat bahwa blok penguasaan RAPP di Pulau Padang cukup luas, ia menguasai hampir semua sisi (warna gelap kiri atas) dari keseluruhan pulau. Izin konsesi ini keluar tanpa memperhatikan posisi dan letak pemukiman, sehingga semua ruang hampir terimbas oleh RAPP. Situasi ini membuat panik warga karena mereka sudah puluhan tahun bahkan beberapa desa sudah ada di Pulau Padang sejak abad ke-19. Realitas ini tentu menjadikan syok beberapa warga apalagi berbagai isu dengan mudah disebarmainkan yang menyebabkan situasi begitu cepat berubah. Pada realitasnya, beberapa wilayah sudah diolah oleh RAPP, sehingga mudah menyulut amarah warga. Beberapa pekerja dari perusahaan yang ditempatkan di beberapa lokasi menjadi terancam oleh penolakan dan perlawanan warga, bahkan konflik sampai pada taraf pembakaran, perusakan alat-alat berat, pemblokiran area, penutupan akses jalur masuk lahan, sabotase kanal-kanal,
114
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
teror terhadap pekerja perusahaan, dan kekerasan lain yang sampai menimbulkan korban jiwa.38 Menjadi jelas apa yang disnyalir oleh Doug McAdam, Sidney Tarrow, Charles Tilly bahwa polarisasi dengan mudah muncul akibat kebijakan tersebut dan masyarakat dalam beberapa hal dari semula tidak peduli berubah menjadi ekstrim. Ada kelompok aktor yang memobilisasi warga untuk melakukan protes, dan dari hari kehari eskalasinya meningkat. Dari luasan wilayah konsesi, menurut data RAPP diakui kalau ia sendiri belum memiliki tata batas untuk area operasi. Namun RAPP membuat sendiri tata batas tanpa kesepakatan dengan pemda dan masyarakat. Dalam pernyataan resminya, Direktorat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan belum dilakukan pembuatan tata batas, yang ada tata batas buatan PT. RAPP yang dijadikan dasar untuk melakukan operasi. Berikut tata batas yang dibuat oleh RAPP yang luas totalnya 41.205 Ha, terdiri atas: 1. Tanaman Pokok: 27.375 Ha (66 %); 2. Tanaman Unggulan: 4.121 Ha (10 %); 3. Tanaman Kehidupan: 1.904 Ha (5 %); 4. Kawasan Lindung: 4.102 Ha (10 %); 5. Sarana prasarana: 808 Ha (2 %); 6. Areal Tidak Produktif: 2.895 Ha (7 %) (termasuk di dalamnya areal tambang Kondur Petroleum SA, milik Bakrie Group). Setelah mempelajari situasi dan realitas izin tersebut serta perlawanan masyarakat yang cukup kuat, RAPP sempat berkompromi akan mencoba menarik batas seminimal mungkin untuk melakukan penarikan dan menghindarkan lahan warga serta pemukiman. Sebab dari izin yang dikantongi dengan jelas diakui oleh RAPP akan menabarak hampir 2/3 lahan penduduk, pemukiman, dan semua area fasilitas warga yang ditempati. 38
Wawancara dengan Riduan, masyarakat Pulau Padang.
Menurut Ma’ruf Syaf ii,39 anggota DPRD Kabupaten Meranti, setelah ketahuan izin itu keluar dan ternyata menabrak semua lahan penduduk, Bupati Pjs. Kepulauan Meranti Syamsuar mengajukan surat kepada Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor 100/Tapem/189 tentang Peninjauan Ulang Terhadap Semua IUPHHK-HTI PT. LUM, PT. SRL dan PT RAPP di Kabupaten Kepulauan Meranti. Warga mendesak agar bupati melakukan upaya-upaya menolak RAPP di Meranti. Apalagi izin itu keluar bukan atas dasar pertimbangan pemda setempat, lebih menyakitkan komentar menteri Kehutanan (Zulkifli Hassan) mengatakan Pulau Padang adalah Pulau tak berpenghuni, pulau tidak produktif,40 dan pulau yang lahan gambutnya di bawah 3 meter. Akibat pernyataan itu pula kemudian banyak pihak melakukan uji legal opini atas SK Menhut dan menyimpulkan apa yang menjadi dasar keputusan keluarnya SK sangat lemah bahkan cenderung melawan hukum. Karena jelas lahan gambut Pulau Padang lebih dari 3 meter sebagi batas minimal lahan yang harus dilindungi, di sisi lain dari sisi amdal dan kondisi lahan tidak memenuhi syarakat untuk dijadikan HTI. Lahan gambut yang tebal akan sulit menahan air jika dijadikan lahan tanaman industri, sebab mereka membutuhkan kanal-kanal yang besar dan air yang banyak. Kita tahu bahwa sistem pengaliran kayu untuk industri dari hutan dilakukan dengan cara membuat kanal-kanal (parit) yang besar agar kayu mudah dikirim ke hilir dan diangkut dengan kapal lewat sungai dan laut. Dalam skala besar, proses dari kegiatan ini sangat 39
Wawancara dengan Ma’ruf Syafii, 21 Agustus 2012, di Tebing Tinggi Barat, Kepulauan Meranti dan 30 Agustus 2012 di Yogyakarta. 40 “Pulau Padang Tak Berpenghuni: STR Bantah Keras Pernyataan Menhut”, Tribun Pekanbaru, http:// pekanbaru.tribunnews.com/2011/05/04/str-bantah-keraspernyataan-menhut. Diakses pada tangal 21 Maret 2013.
M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121
merusak ekosistem lahan gambut dan menurunkan posisi tanah secara cepat, dan endingnya masyarakat yang melakukan kegiatan di perkebunan karet, kopi, palawija, coklat, dan kelapa akan kehilangan sumber air. Maka dari itu bupati dengan sadar mengajukan surat penolakan dan permintaan agar RAPP keluar dari wilayah tersebut demi melindungi warganya. Namun beberapa sumber meragukan niat baik bupati Meranti, karena menurut beberapa harian lokal Pekanbaru, bahwa laporan Pulau Padang tak berpenghuni kepada Menhut justru datang dari bupati itu sendiri. Dalam Analisis sederhana, yang dilakukan oleh bupati dengan memenuhi permintaan warga lebih pada meredam gejolak warga Meranti agar mengurangi perlawanan dan menjaga agar tidak muncul kegiatan di luar kontrolnya.41 Sejak surat bupati kepada Menhut dikirimkan, aktivitas penolakan warga untuk menekan pemerintah terus diupayakan, bahkan pada bulan Desember 2009, Selatpanjang sebagai pusat ibukota selalu dijadikan tempat tujuan demonstrasi menyuarakan aspirasi perlawanan dan penolakan. Mereka tidak saja mendapat dukungan dari warga Pulau Padang, tetapi juga dari berbagai daerah pinggir lainnya, seperti Rangsang dan Tebing Tinggi Barat. Menurut Ma’ruf Syafii, sepanjang Desember 2009 sampai akhir 2010, puluhan kali anggota DRPD melakukan upaya penyelesaian konflik kedua belah pihak, namun masing-masing tidak menemukan titik temu. Bahkan beberapa catatan anggota dewan, perwakilan dari RAPP benar-benar tidak mau mengalah dengan kondisi tersebut dan tetap mempertahankan SK Menhut 2009 yang menjadi acuannya. Dari sisi peta dan struktur gerakan masyarakat, pada tahun 2009 dan awal 2010, gerakan
41
Ibid.
115
petani Pulau Padang masih menemukan momentum untuk terus melakukan perlawanan. Di atas kertas, momentum dukungan bupati dan anggota DPRD sangat penting bagi warga, oleh karena itu kesempatan itu terus diupayakan dan mencoba untuk menjaringkan keberbagai mitra mereka. Salah satu kunci penting dalam gerakan masyarakat Pulau Padang adalah dukungan para ulama dan kyai, karena kultur masyarakat Pulau Padang dan Meranti umumnya begitu tunduk kepada para kyai dan tokoh panutan, sehingga jalur itu juga digunakan. Para ulama dan kyai mayoritas mendukung gerakan tersebut karena posisi mereka juga menjadi bagian dari wilayah yang terdampak akibat izin konsesi RAPP. Dalam pernyataannya, wakil ketua DPRD Kab. Meranti dari Gerindra Tauf ikurahman, dengan tegas akan mendukung gerakan masyarakat Pulau Padang untuk memperjuangkan hak-haknya. Akan tetapi politisi adalah politisi, tergantung kesempatan dan kemungkinan dan kalkulasi mereka, ketika gerakan itu tidak menguntungkan, maka ia secara perlahan akan berpaling dengan pasti, dengan alasan masih banyak pekerjaan lain yang harus diselesaikan dan berlindung dibalik tidak memiliki wewenang untuk menolak dan menghentikan aktif itas RAPP di Pulau Padang. Realitas itu dengan tegas terlihat dari pernyataan Ma’ruf Syafii dkk. saat berkunjung ke Yogyakarta 2010. Mereka mengaku kehilangan akses dan dukungan dari berbagai pihak di Meranti untuk memperjuangkan Pulau Padang, karena Pulau Padang bukan persoalan sederhana, ada struktur besar yang bermain di wilayah ini dan tak mudah untuk disentuh oleh elite-elite lokal yang baru saja dilantik menjadi wakil rakyat.42 42
Pada tahun 2009 dan 2010, Ma’ruf Syafii (anggota DPRD Meranti dari PKB) dan Muhammad Adil (Wakil Ketua DPRD Meranti dari Hanura) adalah sosok yang dermawan, terlibat aktif memperjuangankan kepentingan
116
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Dalam bahasa sederhana, elite lokal ini ingin mengatakan, terlalu banyak pemain illegal logging di Meranti yang tidak terlalu suka dengan gerakan dan dukungan pemerintah-DPRD kepada masyarakat karena akan mengganggu aktifitas yang sama pada pelaku-pelaku lain.43 Setidaknya, ada banyak struktur kekuatan dan modal yang bertahun-tahun bermain di Meranti, termasuk mitra RAPP di Tebing Tinggi dan Pulau Rangsang.44 Dalam pengalaman melakukan mediasi dengan masyarakat dan RAPP, posisi dewan terlihat begitu lemah dan RAPP tampak begitu conf ident sekaligus menguasai petanya, sehingga seringkali yang menjadi kesepakatan di atas kertas selalu diabaikan di lapangan.45 Menyangkut perilaku RAPP ini, tampak ia memiliki dealdeal besar terhadap penguasa di Riau, karena dengan jelas kesepakatan moratorium dengan warga dan Menteri Kehutanan tetap diabaikan, karena saat ini RAPP tetap menjalankan aktifitasnya di Pulau Padang sekalipun ada kesepakatan penghentian sementara semua aktif itas penggarapan lahan. Beberapa kali perwakilan RAPP berdialog dengan para petani Pulau
masyarakat Pulau Padang. Mereka dengan gigih melakukan upaya mediasi dan mencari solusi di dewan. Tak sedikit mereka berkorban waktu, tenaga, dan dana untuk membiayai masyarakat melakukan lobi-lobi sekaligus ke Jakarta memperjuangankan nasibnya, akan tetapi pada titik tertentu, mereka kehabisan “amunisi” untuk terus mendampngi warga. Diakuinya anggota dewan tak memiliki kekuatan lobi dan modal untuk melawan birokrasi dan raksana bernama RAPP. 43 Ironisnya, menurut beberapa sumber, pihak-pihak yang menikmati illegal logging adalah para birokrat dan elite politik. Artinya memang hutan dijarah untuk kepentingan beberapa kelompok dan untuk membiayai para politisi menuju kursi dewan. 44 Wawancara dengan Ma’ruf Syafii. Lihat juga laporan tahunan (Scale Up), op.cit., hlm. 35. 45 Diskusi dengan Ma’ruf Syafii dan beberapa mantan anggota komisi B DPRD Kabupaten Meranti, di Yogyakarta, 2010.
Padang, akan tetapi pertemuan tidak dilakukan di Meranti, melainkan dilakukan di Pekanbaru. Dari sisi itu saja, posisi petani sebagai pihak yang mendatangi dan jauh lebih lemah dari anggapan banyak pihak. Mereka harus mengalah dengan mendatangi tempat yang jauh dari kampung halaman mereka, ke Pekanbaru yang ditempuh sekitar 4-5 jam. Pada bulan Oktober dan November 2010, Petani Pulau Padang diundang dalam pertemuan yang dilakukan di Hotel Grand Zuri Pekanbaru yang menghasilkan kesepakatan lisan antara warga Pulau Padang dengan RAPP, intinya masyarakat menuntut “pihak perusahaan sebelum beroperasi di Pulau Padang untuk melakukan mapping (pemetaan ulang) dan pembuatan tapal batas permanen sebelum RAPP melakukan operasional di Pulau Padang. Secara lisan pihak perusahaan menyetujui semua tuntutan masyarakat Pulau Padang yang saat itu diwakili oleh 10 orang petani, namun secara tertulis berbeda dengan apa yang disepakati secara lisan. Sehingga pihak masyarakat tidak mau menandatangani berita acara dan notulensi hasil pertemuan”.46 Pada pertemuan kedua justru RAPP menyampaikan atau sosialisasi bahwa RAPP akan segera beroperasi di Pulau Padang. Kelemahan itu jelas terlihat sebab pada pertemuan kedua RAPP menunjukkan keabsahan izin operasi dari Departemen Kehutanan dan bupati mendapat “instruksi” dari Gubernur Riau Rusli Zainal untuk memfasilitasi beroperasinya RAPP di Pulau Padang. Artinya, kekalahan kedua gerakan telah mulai tampak di depan mata, sehingga mereka harus mengatur kembali basis perjuangannya dengan para pengusung gerakan tersebut.
46
Made Ali, “Kronologi Kasus Pulau Padang (4)”, http://madealikade. wordpress.com/2012/07/10/ kronologis-kasus-pulau-padang-4/.
M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121
Jika kita melihat pada struktur “modal” dan kuasa yang bermain di Meranti dan sekitarnya, sedikitnya ada empat kelompok yang memiliki interest. Pertama, kekuatan modal keturunan Tionghoa yang sudah bercokol puluhan tahun. Kelompok ini masuk pada basis kebutuhan dasar masyarakat Meranti, seperti transportasi darat dan laut, kebutuhan pokok, dan sebagian usaha perkebunan; kedua, kelompok pemain besar yang berafiliasi dengan kekuatan lokal melakukan eksploitasi hutan alam dan kayu; ketiga kekuatan asing, hal ini selalu dilihat sebagai para pegusaha Malaysia dan Singapura yang tidak pernah menggunakan langsung tangannya, tetapi memilih jalur aman memainkan relasi gelap di bisnis illegal logging dan kebutuhan dasar masyarakat Meranti; dan terakhir adalah kekuatan birokrasi dan politisi lokal. Kelompok ini bahkan masuk pada semua lini dalam memainkan isu sekaligus pelaku kebijakan. Kita mafhum bahwa sejak reformasi, biaya politik sangat tinggi dan para politisi harus mengerahkan semua modal untuk menuju kursi kekuasaan. Tiga eleman modal menjadi bagian yang tak terpisahkan, sehingga memunculkan persoalan yang menahun sekaligus sebuah kekuatan dan isu yang bisa dipelihara dan dimainkan. Saat RAPP mendapat izin konsesi HTI di Pulau Padang, beberapa analis melihat ada peta persaingan antara perusahaan besar dengan para pemain kecil dan pelaku Illegal Logging yang bertahun-tahun mensuplai beberapa perusahaan di Malaysia.47 Sempat muncul isu bahwa gerakan masyarakat Pulau Padang di dukung oleh para pelaku illegal logging dan beberapa perusahaan Malaysia. Orang sudah faham bahwa pencurian kayu di Meranti sudah lama terjadi dan pejualan kayu illegal ke Malaysia sudah berlangsung 47
“Cukong Malaysia Bekingi Illegal Logging di Riau?”. http.www.okezone.com. 2 Juni 2012. Diakses tanggal 11 Maret 2013.
117
puluhan tahun. Kondisi geograf is wilayah ini sangat mendukung, di samping dekat dengan Malaysia, pulau-pulau di Meranti sangat banyak anak sungai (jalur tikus) yang begitu mudah bagi beberapa pelaku kejahatan dan pencurian kayu untuk kabur dari penglihatan dan kejaran aparat kemanan. Tentu kita memahami kemampuan aparat penegak hukum kita dan sadar pula dengan perilakunya, sehingga sekalipun tertangkap, jarang yang tidak dilepas. Dikalangan mereka sudah menjadi rahasia umum, saat tertangkap harus menyiapkan segepok rupiah untuk lepas dari seretan ke meja hijau. Ekspansi RAPP ke Pulau Padang, Rangsang, dan Tebing Tinggi memperjelas ada beberapa pemain di wilayah ini yang kehilangan kesempatan dan terdesak, khususnya para pelaku illegal logging. Wilayah yang selama ini dikenal di sekitar sekitar Desa Selatakar, Kudap, Lukit (Pulau Padang) dan Pulau Rangsang BaratTimur dan sekitarnya adalah wilayah penguasaan para pengusaha kelas sedang dan kecil yang mensuplai kayu ke Malaysia. Dan kini mereka terdesak oleh perluasan eksploitasi RAPP di wilayah tersebut. Dugaan ini sebenarnya tidak terlalu kabur, karena persoalan illegal logging antara pelaku-pelaku pembabat hutan alam di Riau telah lama mengirim kayu tersebut ke Malaysia.48 Beberapa sarjana Indonesia yang sedang studi di Malaysia pernah secara serius mendiskusikan hal tersebut di Malaysia, dan banyak elite-elite Malaysia mengakui hal tersebut, namun Malaysia tidak mau dipersalahkan begitu saja, sebab banyak dari para tentara dan pelaku bisnis Indonesia yang menyeret-nyeret pengusaha
48
Bahkan beberapa anggota DPR sempat mensinyalir hal tersebut sebagai sesuatu yang luar biasa karena Malaysia yang hutannya jauh lebih sedikit dibanding Indonesia justru mereka mengekspor kayu lebih besar dibanding Indonesia. Pertanyaannya dari mana kayu itu diperoleh Malaysia? Ibid.
118
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Malaysia untuk terlibat dalam perdagangan ilegal tersebut.49 Akhirnya, kita harus melihat Illegal Logging adalah bagian dari persoalan-persoalan agraria yang muncul ke permukaan sebagai aksesoris persoalan besarnya. Persoalan utama yang mendasar adalah konflik agraria yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Seolah tak menemukan solusi, negara kehilangan ruh untuk menyelesaikan dan meminimalisir berbagai persoalan. Dalam catatan banyak pemerhati dan peneliti agraria di Riau, laju konflik sebanding dengan laju luas wilayah konflik dan jumlah rumah tangga konflik. Akan tetapi tidak signif ikan jumlah perusahaan yang terlibat dalam konflik. Artinya, para “pemain” yang terlibat dalam konflik masih kelompok usaha lama yang selama ini terlibat secara serius di wilayah tersebut. Dalam analisis konflik dan pelaku tidak menunjukkan perkembangan yang luar biasa, tetapi sungguh menimbulkan dampak yang begitu besar. Oleh karena itu tindakan hulu dari akar persoalan mesti menjadi prioritas dari kebijakan agraria Indonesia ke depan. C. Kesimpulan Konflik dan ketegangan dalam persoalan agraria di Riau sejak tahun 2011 mengalami perubahan. Jika sebelumnya konflik didominasi pada lahan perkebunan, khususnya perkebunan sawit, kini konflik beralih pada hutan tanaman industri. Sebenarnya dua lahan itu tidak bisa dipisahkan karena sebenarnya mayoritas lahan perkebunan di Riau sebelumnya juga hutan alam yang telah dihabisi. Pada periode 1990-an, pembukaan hutan secara luas dan mengalihkan lahan tersebut ke sawit memunculkan persoalan
49
Diskusi dengan Abdul Halim Mahally, Kandidiat Doktor di University Kebangsaan Malaysia. Pernyataan ini keluar dari beberapa elite Malaysia dalam rangka menekan perdagangan ilegal kayu-kayu dari Riau.
yang panjang. Konflik di lahan tersebut banyak yang tidak terselesaikan sampai akhirnya banyak warga tempatan mengalah karena memang tidak mampu melawan tindakan korporasi. Mereka lebih memilih pindah dan beralih profesi karena tidak sanggup untuk bertahan. Tahun 2000-an hal yang sama kembali terjadi pembukaan lahan secara luas terjadi akibat kebijakan negara yang mendukung penuh perusahaan pulp and paper di Riau. Dengan belajar model yang terjadi pada tahun 1990-an, tampaknya persoalan yang sama akan terjadi pada tahuntahun mendatang. Saat ini, pemerintah mendukung secara penuh dengan memberikan izinizin konsesi kepada perusahaan untuk melakukan eksploitasi hutan alam, pada gilirannya setelah kayunya habis, maka akan banyak menyusul izin baru, baik untuk lahan perkebunan maupun tanaman industri.50 Berkaca dari persoalan tersebut, penulis meyakini jika mereka gagal memanfaatkan lahan untuk kepentingan tanaman industri, maka akan dialihkan ke perkebunan dan sawit menjadi prioritas utama. Gerakan perlawanan petani dan warga Pulau Padang sampai pada titik jenuh, karena kekuatan modal mereka untuk melawan kini sudah “habis”. Apa yang diyakini dalam collective action-Tilly sebenarnya menunjukkan kejelasn 50
Sempat terjadi moratorium pemberian izin untuk pembukaan lahan hutan tanaman industri selama satu tahun, namun pada tahun 2013 kembali dibuka. Pada kaus Pulau Padang yang sebelumnya sempat terjadi pengehntian sementara justru kini sudah dibuka kembali, dan RAPP sudah beroperasi kembali di Pulau Padang, lihat Khairul Hadi, “Riau akan Semakin Sering Dilanda Banjir dan Kekeringan”. 10 Mei 2013. www.goriau.com. Diakses pada tanggal 14 Mei 2013. Lihat juga hasil mediasi yang dibentuk oleh pemerintah, namun tak juga dilaksanakan, “Laporan Tim Mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Setempat Terhadap Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) PT. RAPP di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. (SK.736/Menhut-II/2011 tanggal 27 Desember 2011)”, (Executive Summary). Dokumen tidak dipublikasikan.
M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121
bahwa gerakan sosial akan melamah seiring dengan lajunya kekuatan-kekuatan yang memiliki kepentingan dalam suatu objek. RAPP dengan dukungan banyak pihak termasuk diduga kelompok jaringan birokrasi dan aparat keamanan tak mampu dilawan oleh masyarakat Pulau Padang. Sekalipun sebenarnya upaya yang dilakukan sebagaimana gerakan mengarah pada meningkatkan eskalasi secara tidak sadar menuju polarisasi yang ekstrim (Doug McAdam, Sidney Tarrow, Charles Tilly, 2004) dengan memainkan aktor-aktor justru menjadi pembenar bagi pihak lawan untuk segera “menghabisi” gerakan mereka. Selain beberapa tokoh mereka ditangkap oleh aparat keamanan dengan tuduhan merusak dan perbuatan kriminal, dukungan beberapa pihak lain perlahan mulai mengendur. Hal itu terkait modal dan amunisi yang mereka miliki. Berjuang pada wilayah seperti Pulau Padang membutuhkan dukungan dana yang tidak sedikit, karena posisi wilayah yang jauh (antarpulau) membutuhkan tenaga dan dana yang besar. Kekuatan itu dalam skala tertentu sudah diperkirakan oleh RAPP, terbukti mereka terus bergerak melakukan pengerjaan lahan, karena mereka meyakini akan ada titik pasrah dari warga dalam memperjuangkannya. Kondisi lengah itulah yang dimanfaatkan untuk melakukan lobi beberapa pihak warga Pulau Padang agar dukungan kepada RAPP di peroleh. Dan kini beberapa warga mulai mengalami perubahan, ada yang menyerah, ada yang mencoba berkompromi, dan ada pula yang bekerja sama. Realitas ini sebenarnya sangat menyedihakan karena persoalan Pulau Padang bukan persoalan warga Meranti semata, tapi persoalan kesetiaan terhadap masa depan anak negeri yang peduli terhadap lingkungannya. “Kekalahan” warga memang sudah jauh terlihat karena negara tidak berpihak pada mereka, di sisi lain terlalu kuat struktur di balik kekuasaan dan penguasaan hutan di Meranti.
119
Ada banyak pemain yang memiliki interest dan mencoba memainkan isu Pulau Padang untuk kepentingan kelompok tertentu, selain tentu saja RAPP berkepentingan untuk mengamankan dalam jangka panjang perusahaannya di wilayah Riau.
Daftar Pustaka Ali, Made, 2012. “Kronologi Kasus Pulau Padang (4)”, http://madealikade.wordpress.com/ 2012/07/10/ kronologis-kasus-pulaupadang-4/. ____, 2012. “Jikalahari: Deforestasi di Riau 2012 Setara Kehilangan 10 Ribu Lapangan Futsal Tiap Hari.”: http://www.mongabay.co.id/ 2013/01/02/jikalahari-catatan kejahatankehutanan-riau-sepanjang-2012/ #ixzz3oOpj8kL6. 2 Januari 2013. Bachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi, 2011. Enam Dekade Ketimpangan. Jakarta: Bina Desa, ARC, KPA. Colchester, Marcus, Norman Jiwan, Andiko, dkk. 2006. Tanah yang Dijanjikan: Minyak Sawit dan Pembebasan Tanah di Indonesia, Implikasi terhadap Masyarakat Lokal dan Masyarakat Adat. Jakarta: Forest People Programme dan Perkumpulan Sawit Watch. “Cukong Malaysia Bekingi Illegal Logging di Riau?”. http.www.okezone.com. 2 Juni 2012. Diakses tanggal 11 Maret 2013. Haryanto, 1989. “Studi Pendahuluan Struktur Vegetasi Hutan Gambut di Pulau Padang, Provinsi Riau”. Media Konservasi Vol. II (4), Desember 1989. Galudra,Gamma, Gamal Pasya, Martua Sirait, Chip Fay, (peny.) 2006. Rapid Land Tenure Assessment: Panduan Ringkas bagi Praktisi. Bogor: World Agroforestry Centre. Herlina, Tutut, 2012. “Berkorban demi Pulau Padang (1)”, Sinar Harapan, Selasa, 25 September 2012. Lihat juga http://www.shnews.co/detile8396-berkorban-demi-pulau-padang-1.html.
120
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Indradi, Yuyun, “Setahun Moratorium Hutan, Apakah hutan dan Gambut Indonesia Sudah Terlindungi?”. http:// www.greenpeace.org/seasia/id /blog/ Setahun-Moratorium Hutan/blog/40230/. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.356/ MENHUT-II/2004 Tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 130/ KPTS-II/1993 Tanggal 27 Pebruari 1993 JO. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 137/ KPTS-II/1997 Tanggal 10 Maret 1997 Tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri di Provinsi Riau Kepada PT. Riau Andalan Pulp and Paper. Laporan Tahunan (Executive Summary). 2012. “Konflik Sumberdaya Alam di Riau Tahun 2008, 2009, 2010, 2011”. Pekanbaru: Scale Up (Sustainable Social Development Partnership). “Laporan Tim Mediasi Penyelesaian Tuntutan Masyarakat Setempat Terhadap Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) PT. RAPP di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. (SK.736/Menhut-II/2011 tanggal 27 Desember 2011)”, (Executive Summary). Dokumen tidak dipublikasikan. Leiriza, R.Z., 2004. “Charles Tilly dan Studi tentang Revolusi”, Jurnal Sejarah, Vol. 6, 2004. Lucas, Anton dan Carol Warren, 2007. “The State, the People, and Their Mediators: The Struggle Over Agrarian Law Reform in PostNew Order Indonesia”. Indonesia, Edisi 76. McAdam, Doug, Sidney Tarrow, Charles Tilly, 2004. Dynamics of Contention. Cambridge University Press. Magnis-Suseno, Franz, 1999. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia. Maring, Prudensius, Afrizal, Jomi Suhendri S, Rosyani, dkk. 2011. “Studi Pemahaman dan Praktik Alternatif Penyelesaian Sengketa oleh Kelembagaan Mediasi Konflik Sumberdaya Alam di Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan”, (Laporan Penelitian), Pekanbaru: Scale Up
(Kemitraan Pembangunan Sosial Berkelanjutan). Maharadja, Uparlin, 2012. “Warga Pulau Padang Aksi Bakar Diri di Depan Istana”, Sinar Harapan, Selasa, 19 Juni 2012. Lihat juga http://www.shnews.co. Mundung, Johny Setiawan, Muhammad Ansor, Muhammad Darwis, Khery Sudeska, 2007. Laporan Penelitian “Analisa Konflik Pertanahan di Provinsi Riau Antara Masyarakat dengan Perusahaan (Studi Tentang PT RAPP, PT IKPP, PT CPI dan PT Duta Palma 2003-2007)”, Pekanbaru: Tim Litbang Data FKPMR. Perkasa, Anugerah, 2012. “Tragedi Pulau Padang: Dari Lukit hingga Tebet Dalam (1-4)”. www.bisnis.com, 13-14 Agustus 2012. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2012). “Pulau Padang Tak Berpenghuni: STR Bantah Keras Pernyataan Menhut”, Tribun Pekanbaru, http://pekanbaru.tribunnews. com/2011/05/04 /str-bantah-keras-pernyataan-menhut. Riduan, M. “Ketika SK Menhut MS Kaban No 327 di tentang oleh Rakyat, Namun Pemerintah Tetap Memaksakan Kehendaknya...!”, http://riduanmeranti. blogspot. com/2011/05/ketika-sk-menhut-ms-kabanno-327-di.html. Ritzer, George & J. Goodman, Douglas. 2004. Teori Sosiologi Modern. Edisi keenam. Jakarta: Prenada Media. Saturi, Sapariah, 2013. “WWF Desak APRIL Hentikan Penghancuran Hutan Alam”. www.mongabay.co.id, 13 Februari 2013. Sutarno, “Kronologis Penolakan Masyarakat Pulau Padang Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti Prov. Riau Terhadap Hutan Tanaman Industri (HTI) PT. RAPP Blok Pulau Padang (SK NO. 327/ MENHUT-II/2009 TANGGAL 12 JUNI 2009)”. Tilly, Charles, 2004. Social Movement, 1768-2004, London: Paradigm Publisher. Tim Jikalahari, 2001. “Hutan Rawa Gambut dan Permasalahan SK 327/MENHUT-II/2009”.
M. Nazir Salim: “Menjarah” Pulau Gambut.....: 96-121
Pekanbaru: Jikalahari, 2011. www.jikalahari. org ____, 2005. “Assessment of Legal Aspects of the Concession Expansion Plan by PT. RAPP in Kampar Peninsula and Padang Island”, Pekanbaru: Jikalahari. www.jikalahari.org ____, “Investigative Report”, www.jikalahari.org van Gelder, Jan Willem, 2005. The financing of the Riau pulp producers Indah Kiat and RAPP. A research paper prepared for Jikalahari (Indonesia), 24 October 2005. Wihardandi, Aji, 2012. “Asia Pulp and Paper Terus Lolos Uji SVLK Kendati Klien Berlarian”, Mongabay Indonesia, www. mongabay.
121
co.id, 19 November 2012. Yuwono, Teguh, tt. “Konflik Izin IUPHHK-HT PT. RAAP di Pulau Padang:Potret Buram Penataan Ruang & Kelola Hutan di Indonesia”. http://riduanmeranti.blogspot.com/#udssearch-results http://www.merantikab.go.id. http://www.balithut-kuok.org/index.php/home/ 56-industri-pulp-dan-kertas-belummandiri. http://www.eyesontheforest.or.id Wawancara: H. Ngabeni, Ma’ruf Syafii, Riduan.
SUKU ANAK DALAM BATIN 9 DAN KONFLIK SERIBU HEKTAR LAHAN SAWIT ASIATIC PERSADA1 Dwi Wulan Pujiriyani* & Widhiana Hestining Puri*
Abstract Abstract: This paper seeks to explore the case of conflict within palm oil plantation-local people partnership involving SAD Batin 9 group with palm oil company. Bungku village was the site chosen to take this issue comprehensively.The expansion ofpalm oil plantationshave led totheloss ofliving territoryto developtheir social system. Conflictsarisenot onlyverticalbut alsohorizontal. Amongst the Inner SAD 9 itself, each fighting for its sovereignty emerged. SAD groups which were impoverished by imbalanced control structure eventually have to deal with a part of their own group which slowly became part of the new ruling capital group. The palm oil skipper that came from a group of local residents as well as newcomers were the form of the emerging plantation power. In the context of adverse incorporation, they were part of the group that get benefit from the presence of palm oil plantation. Involvement or integration of this group in the oil business scheme has allowed them to accumulate new capital sources. This group could accumulate greater profits from palm-oil they collect from small farmers. Key words: Suku Anak Dalam, palm oil, conflict, partnership Intisari Intisari: Tulisan ini berupaya untuk menelusuri kasus konflik kemitraan perkebunan dengan masyarakat yang melibatkan kelompok SAD Batin 9 dengan perusahaan sawit. Desa Bungku merupakan lokasi yang dipilih untuk bisa memotret persoalan ini secara komprehensif. Ekspansi perkebunan sawit telah menyebabkan masyarakat kehilangan kawasan hidup untuk mengembangkan sistem sosial mereka. Konflik yang muncul tidak saja bersifat vertikal melainkan horizontal yaitu konflik yang terjadi diantara sesama kelompok SAD Batin 9 yang masing-masing memperjuangkan kedaulatannya. Kelompok-kelompok SAD yang dimiskinkan oleh struktur penguasaan yang tidak seimbang ini, pada akhirnya juga harus berhadapan dengan bagian dari kelompok mereka yang ternyata secara perlahan telah menjadi bagian dari kelompok penguasa kapital baru. Para juragan sawit yang berasal dari kelompok penduduk lokal dan juga pendatang merupakan wujud alih rupa dari kuasa perkebunan yang muncul. Dalam konteks adverse incorporation, mereka inilah yang menjadi bagian dari kelompok yang diuntungkan dengan kehadiran sawit. Keterlibatan atau integrasi kelompok ini dalam skema bisnis sawit, telah memungkinkan mereka untuk mengakumulasi sumber-sumber kapital baru. Kelompok yang satu ini bisa mengakumulasi keuntungan yang lebih besar dari sawit-sawit yang mereka kumpulkan dari petani kecil. Kata Kunci Kunci: Suku Anak Dalam, Sawit, konflik, kemitraan
A. Pengantar
“Masyarakat Suku Anak Dalam di Provinsi Jambi menerima kebun sawit seluas 1.000 hektar dari PT Asiatic Persada, grup perusahaan Wilmar International, yang diharapkan bisa mengangkat kesejah1
Ditulis berdasarkan hasil penelitian lapangan yang dilakukan oleh tim riset sistematis Jambi (Bambang Suyudi, Tanjung Nugroho, Deden Dani Saleh, Heru Purwandari, Dwi Wulan Pujiriyani, Widhiana Hestining Puri) yang dilaksanakan pada 13-23 September 2011. * Staf pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.
teraan mereka. Selama kredit pengelolaan kebun sawit itu belum lunas, kira-kira selama lima tahun, setiap kepala keluarga akan menerima uang hasil kebun sekitar Rp750 ribu per bulan, setelah kredit lunas, pendapatan per kepala keluarga bisa dua kali lipat”, (Media Swara, 17 Juni 2010). Konflik perkebunan dengan komunitas lokal atau masyarakat adat adalah satu dari sekian persoalan konflik agraria di Indonesia yang tercatat sebagai persoalan yang dari tahun ke tahun menunjukkan tren yang terus meningkat. Seperti dikutip oleh Saturi (2013), akar konflik
Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141
di sektor perkebunan terutama disebabkan oleh tingkat konversi hutan menjadi sawit yang menyebabkan deforestasi yang sangat parah. Sumatera dan Kalimantan adalah dua wilayah yang memiliki karakteristik konflik serupa ini dimana ekspansi kawasan hutan luas yang dijadikan perkebunan sawit menyisakan konflik berupa klaim komunitas lokal atau masyarakat adat dengan negara maupun perusahaan. Laju investasi perkebunan sawit telah memperkuat tekanan terhadap lahan. Berbagai penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa konflik antara masyarakat lokal dengan perusahaan pengelola perkebunan yang terjadi akibat ekspansi perkebunan sawit, jamak berawal dari pengingkaran terhadap keberadaan komunitas lokal atau masyarakat adat yang telah turun temurun mencari penghidupan di tanah-tanah yang telah diubah menjadi kawasan perkebunan. Mengacu pada Djuweng dan Dove dalam Julia (2009), aspek yang paling tampak dari relasi antara masyarakat adat dengan negara adalah penyangkalan terhadap kesahihan posisi/keberadaan yang satu terhadap yang lain.2 Negara tidak mengakui keberadaan masyarakat adat dan sementara itu masyarakat adat juga tidak mengakui klaim negara terhadap tanah leluhur mereka. Tanah yang merupakan hal fundamental bagi hampir seluruh kelompok masyarakat adat dan masyarakat lain yang bergantung kepada hutan, merupakan kunci perdebatan dalam isu perkebunan kelapa sawit. Pada saat dimana banyak kelompok masyarakat adat harus tinggal di tanah yang sama untuk beberapa generasi, hak-hak mereka terhadap tanah tersebut juga tidak jelas dalam hukum Indonesia (Marti, 2008).
2
Lebih lanjut lihat Julia. 2009. “Pembangunan untuk Siapa? Implikasi Jender Perkebunan Kelapa Sawit terhadap Perempuan Dayak Hibun di Kalimantan Barat, Indonesia. Dalam Jurnal Tanah Air, Edisi Oktober-Desember, hal 194-235.
123
Sementara itu White (2009) menyebutkan bahwa sebagian besar ekspansi sawit di Indonesia dan beberapa negara lainnya dilakukan di tanah-tanah luas yang penguasaannya tidak (belum) dilindungi oleh hukum yang mengatur hubungan-hubungan hak milik pribadi, tetapi mempunyai status tanah ‘publik’ atau ‘negara’.3 Tanah-tanah ini memberi penghidupan bagi jutaan petani dan pengguna hutan di bawah beragam kedudukan hubungan tidak resmi dan semi-resmi atau ‘adat’, individu atau kolektif. Hal ini pada kenyataannya berdampak luas pada mata pencaharian penduduk di pedesaan. Status kepemilikan tak resmi dan tidak pasti, dimana banyak petani dan pengguna hutan mengusahakan lahan ini, membuat mereka rentan. Di banyak negara dimana proyek-proyek biofuel berkembang, ada keprihatinan luas tentang pelanggaran serius baik terhadap hak atas tanah dan hak asasi, dengan banyaknya ketidakberesan dalam cara mendapatkan tanah serta cara memperlakukan petani yang dilakukan oleh perusahaan modal besar. Banyak terjadi kasus penipuan dalam proses pengadaan lahan, seperti skema inti-plasma dimana penduduk menyerahkan tanah adat mereka dan hanya sebagian kecil diantaranya yang dikembalikan, pengambilalihan lahan tanpa sepengetahuan masyarakat setempat dan penyewaan tanah dengan harga yang sangat rendah.4 Hal serupa juga ditegaskan oleh Colchester (2006) yang dalam penelitiannya mengenai dampak ekspansi perkebunan kelapa sawit di Lam3
Tulisan merupakan respon yang dilakukan penulis terhadap Instruksi Presiden No 1 Tahun 2006 untuk menyediakan 27 juta ha lahan yang disebut “tanah hutan yang tidak produktif untuk ditanami kelapa sawit, tebu, jagung dan jarak pagar untuk penyediaan biofuel. 4 Hal ini salah satunya dilakukan oleh perusahaan Daewoo Logistics Korea yang menyewa tanah seluas 1 juta hektar dengan harga 6 milyar $. Lebih lanjut lihat Ben White. 2009. “Laba dan Kuasa Dicat Warna Hijau: Catatan Mengenai Biofuel, Agribisnis dan Petani”. Dalam Jurnal Tanah Air, Edisi Oktober-Desember, hal 238-257.
124
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
pung, Kalimantan, dan Padang, menyebutkan bahwa konflik berawal dari masyarakat yang merasa ditipu oleh perusahaan. Mereka merasa dijebak dalam kesepakatan dan janji-janji palsu. Beberapa penyimpangan yang ditengarai terjadi antara lain: hak ulayat tidak diakui; perkebunan kelapa sawit dibangun tanpa perizinan dari pemerintah; informasi tidak diberikan kepada komunitas; kesepakatan untuk mufakat tidak dirundingkan; pemuka adat dimanfaatkan untuk memaksakan penjualan tanah; pembayaran kompensasi tidak dilaksanakan; keuntungan yang dijanjikan tidak diberikan; kebun untuk petani tidak dibagikan atau dibangun; petani dibebani dengan kredit yang tidak jelas; kajian mengenai dampak lingkungan terlambat dilakukan; lahan tidak dikelola dalam waktu yang ditentukan, penolakan masyarakat ditekan melalui kekerasan dan pengerahan aparat; serta pelanggaran hak asasi manusia serius.5 Dalam konteks ekspansi sawit yang terjadi di Sumatra atau secara spesifik di Jambi, McCharty (2011) memunculkan konsep ‘inclusion’ dan ‘adverse incorporation.’ Dalam hal ini, kehadiran sawit telah mengintegrasikan masyarakat lokal dan mengubah pola hidup subsistennya untuk kemudian terintegrasi dalam sebuah rantai ko5
Hal ini menunjukan bahwa masyarakat adat Indonesia secara sistematis tersingkir dari warisan leluhur mereka (tanah, hutan, sumber penghidupan dan budaya) oleh perkebunan kelapa sawit tanpa menghargai hak dan kepentingan mereka. Walaupun konstitusi Indonesia bertujuan untuk melindungi hak masyarakat adat, sejumlah kebijakan dan hukum memungkinkan hak tersebut diabaikan ‘demi kepentingan nasional’. Bahkan ketika perundingan dengan masyarakat terjadi, mereka tidak pernah diberikan kesempatan untuk mengatakan ‘tidak’ atas pengambil-alihan tanah mereka, dan tidak pernah diberitahukan bahwa hakhak mereka dihapuskan dalam proses pembangunan perkebunan. (Lebih lanjut lihat Colchester, et al. 2006. Promised Land: Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia: Implication for Local Communities and Indigenious People. England: Forest People Programme (FPP); Bogor: Perkumpulan Sawit Watch).
moditas global. Jebakan kemiskinan adalah potret yang pada akhirnya muncul. Keterlibatan mereka dalam skema kemitraan dengan perkebunan baik melalui PIR Trans maupun KKPA, pada kenyataannya tidak sepenuhnya mampu menjawab harapan tentang kemakmuran dan pengentasan kemiskinan. Sawit mendatangkan kemakmuran bagi sebagian dan sekaligus juga menghadirkan kemiskinan bagi yang lain. Kemiskinan tidak terjadi karena mereka tidak bisa mengambil bagian dalam proses transformasi agraria yang ada, tetapi karena keterlibatan mereka dalam sebuah skema yang tidak menguntungkan (inclusion on disanvantageous term). Berbagai proses yang mensubordinasikan masyarakat terjadi dari mulai: status tanah plasma yang tidak jelas, tidak adanya komitmen pihak perkebunan untuk menjalankan pola kemitraan dengan baik, elite lokal yang memanfaatkan kesempatan dengan mengintimidasi masyarakat untuk menjual tanahnya, kurangnya kontrol proses dan kelembagaan dan sebagainya. Pada akhirnya yang terjadi adalah sebagian masyarakat lokal tetap miskin dan banyak yang justru kehilangan tanahnya. Hal serupa juga dimunculkan oleh Fortin (2011) dalam kasus ekspansi sawit yang terjadi di Sanggau, Kalimantan Barat. Transformasi agraria yang terjadi seiring dengan masuknya sawit, telah menghadirkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi sebagian orang dan kemiskinan yang kronis bagi sebagian yang lain. Skema intiplasma yang diperkenalkan sebagai model pengembangan pertanian telah menyebabkan penyingkiran dan ketimpangan akses terhadap tanah. Diferensiasi pedesaan melalui mekanisme intiplasma telah memungkinkan sebagian orang berhasil mengakumulasi kapital dan memperluas produksi serta penguasaannya sementara sebagian yang lain terpaksa harus tersingkir tanpa kompensasi dan keberlanjutan kebun plasmanya. Petani terjebak pada rantai hutang yang tidak
Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141
bisa terselesaikan. Transformasi dari mode produksi subsistensi ke komoditas produksi telah memicu tersubordinasinya kelompok petani dari pasar komoditas yang pada akhirnya menyebabkan tereleminasinya kelompok petani akibat proses industrualisasi yang terjadi. Kehadiran sawit telah memicu terjadinya tranformasi agraria, dan memunculkan pola inclusion, exclusion dan adverse incorporation yang ditandai dengan perubahan kepemilikan aset-aset pertanian dari kelompok miskin serta distribusi sosial kekuasaan di daerah pinggiran yang berlangsung dalam proses yang lebih panjang. Salah satu aspek kunci dalam adverse incorporation adalah relasi petani plasma yang seringkali tidak memahami kewajiban, resiko dan kesempatan ketika mereka menandatangani kontrak pertanian dengan perusahaan sawit dimana relasi produksi yang terjadi biasanya sangat monopolistik dan monopsonistik. Terlebih lagi melalui kerjasama KUD dan KKPA, petani plasma tidak bisa mengetahui keuntungan yang diperoleh dengan transparan. Kelindan persoalan akibat ekspansi perkebunan monokultur dan perubahan status kawasan hutan salah satunya terekam jelas dalam konflik Suku Anak Dalam Batin 9 dengan PT Asiatic Persada sebagai perusahaan pemegang HGU. Hamparan sawit yang pada awalnya datang dengan sebuah janji tentang kemakmuran bagi komunitas lokal yang selama ini dengan setia telah menggantungkan kehidupannya pada kemurahan hutan ternyata harus dibayar mahal dengan berbagai persoalan dari mulai tumpang tindih klaim penguasaan tanah sampai peminggiran dan penggusuran. Hutan Jambi yang kaya, pada kenyataannya justru membawa petaka per-
6
Hutan di Jambi sebagaimana dicatat Handini (2005:135), memang telah mengalami perubahan signifikan pada beberapa dasawarsa terakhir. Pembukaan dan eksploitasi hutan untuk berbagai kepentingan yang meningkat sejak tahun 1970-an membuat wilayah hutan di Jambi semakin
125
soalan yang tidak ada habisnya.6 Bagi masyarakat SAD, sawit merupakan komoditas pertanian baru yang berbeda dengan penghidupan mereka selama ini yang berbasis pada hutan. Cerita tentang ‘emas hijau’ bagi masyarakat SAD adalah bagian dari skema internasionalisasi pertanian yang menempatkan mereka dalam satu lingkar bisnis raksasa dimana mereka dipaksa untuk keluar dari produksi tanaman pangan tradisional dan menggantikannya dengan kewajiban untuk tunduk pada eksploitasi dalam bentuk kontrol atas lahan, tenaga kerja, dan sumber daya lainnya. Ekspansi perkebunan sawit merupakan bagian dari skenario kapitalisme yang bisa dilekatkan dengan pyramid of sacrif ise dari Berger (1982:xiv-xvii). Standar kehidupan material yang tinggi atau kesejahteraan yang ditawarkan dalam skema bisnis sawit telah menempatkan tanahtanah yang kini menjadi hamparan kebun sawit itu menjadi lahan perebutan dari mereka yang mengklaim sebagai pemilik sah dan merasa paling berhak untuk mengambil manfaat penuh dari tanah-tanah tersebut. Tulisan ini lebih lanjut akan membahas persoalan konflik yang muncul akibat ekspansi perkebunan sawit melalui potret pemberian 1000 hektar lahan sawit dari PT Asiatic berkurang. Pengembangan wilayah transmigrasi, penebangan liar, dan perubahan peruntukan hutan telah mereduksi kuantitas serta kualitas lingkungan hutan. Bohmer (1998:1-3) dalam Prasetijo (2011:18) menambahkan bahwa pada tahun 1970 lingkungan alam di Jambi sebenarnya sudah mulai berubah drastis sejak adanya program pembukaan hutan untuk lahan hutan produksi (HTI), pemukiman transmigrasi, pengembangan pertanian dan perkebunan, serta proyek peningkatan infrastruktur. Kegiatan-kegiatan ini berdampak pada terjadinya kebakaran hutan yang tidak terkontrol serta pembukaan hutan dilakukan terus menerus, sehingga menyebabkan penurunan kualitas lingkungan di dataran rendah Jambi. Proyek transmigrasi berikut proyekproyek pendukung lainnya, seperti perkebunan sawit, pemukiman, dan jalan, mempengaruhi perubahan lingkungan di dataran rendah Jambi secara luas. Proyek-proyek tersebut mengubah fungsi hutan, dari hutan primer ke kawasan perkebunan dan pemukiman secara cepat.
126
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Persada sebagai pihak operasional perkebunan dengan masyarakat SAD Batin 9. Seperti halnya program transmigrasi besar-besaran pada tahun 1974 yang telah meminggirkan keberadaan mereka, saat ini ekspansi perkebunan sawit pun dengan cepat telah mengambil hutan yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka. Kasus pemberian 1000 hektar lahan sawit sebenarnya bisa dikatakan sebagai salah satu strategi perusahaan untuk meminimalisir konflik dengan masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena begitu banyaknya kasus sengketa yang muncul akibat banyak tanah yang dikonversi menjadi perkebunan sawit. Sengketa tanah adat ini pada kenyataannya juga berkembang terkait pola kemitraan perkebunan kelapa sawit. B. Wajah Perkebunan Sawit di Kabupaten Batang Hari Sawit memang layak disebut sebagai ‘emas hijau’ karena keuntungan yang ditawarkan dari bisnis komoditi yang satu ini memang benarbenar menggiurkan. Di Indonesia sendiri, sawit merupakan salah satu produksi perkebunan terbesar. Sampai saat ini Indonesia masih menempati posisi teratas sebagai negara produsen minyak kelapa sawit (CPO) terbesar dunia, dengan produksi sebesar 19,4 juta ton pada 2009. Sektor minyak kelapa sawit Indonesia memang mengalami perkembangan yang berarti, hal ini terlihat dari total luas areal perkebunan kelapa sawit yang terus bertambah yaitu menjadi 7,3 juta hektar pada 2009 dari 7,0 juta hektar pada 2008. Sedangkan produksi minyak sawit (crude palm oil/CPO) terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dari 19,2 juta ton pada 2008 meningkat menjadi 19,4 juta ton pada 2009. Sementara total ekspornya juga meningkat, pada 2008 tercatat sebesar 18,1 juta ton kemudian menjadi 14,9 juta ton sampai dengan September 2009. Dalam 10 tahun terakhir luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus mening-
kat dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 8,7% per tahun dari hanya seluas 3.902 ribu ha pada 1999 meningkat menjadi 7.321 ribu ha tahun 2009. Produk minyak sawit di Indonesia meningkat dengan pesat sejalan dengan peningkatan luasnya areal perkebunan kelapa sawit tersebut. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak yang berperan penting dalam perekonomian dunia, baik sebagai bahan baku industri dalam negeri maupun diekspor. Pada saat ini tanaman kelapa sawit di Indonesia diusahakan oleh perkebunan pemerintah, swasta, dan perkebunan rakyat. Dalam lima tahun terakhir, kelapa sawit terus berkembang menjadi salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia. Kue konsumsi minyak kelapa sawit mentah di pasar minyak nabati global pun terus meningkat.7 Minyak kelapa sawit telah menjadi bahan baku yang sangat penting bagi berbagai industri makanan, komestik dan yang terbaru sebagai sumber energi.8 Perkembangan pesat perkebunan kelapa sawit dimulai pada akhir tahun 1980-an, ketika perkebunan besar swasta (PBS) mulai masuk ke sektor perkebunan dan pengolahan minyak kelapa sawit dalam jumlah besar. Sebelumnya perkebunan kelapa sawit didominasi oleh perkebunan 7
Itaibnu. 2011. Merawat Emas Hijau.www.bakti.org. Diakses 24 November 2011 8 Jika dirunut dari jejak historisnya, kelapa sawit pertama kali masuk ke Indonesia pada tahun 1911, dibawa oleh Adrien Hallet yang berkebangsaan Belgia. Empat pohon sawit pertama dibawa dari Congo untuk kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor untuk melihat kecocokannya dengan iklim dan tanah di Indonesia. Hasil perkembangbiakan dari tanaman induk inilah yang kemudian menjadi cikal bakal perkebunan sawit pertama di Sumatra, SOCFINDO yang masih ada hingga hari ini. Benih induk dari Kebun Raya Bogor ini jugalah yang kemudian dibawa ke Malaysia sebagai awal perkebunan kelapa sawit di Malaysia. Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, pada masa-masa awal sesungguhnya relatif lambat. Baru pada tahun 1980-an terjadi ‘booming’ kelapa sawit hingga hari ini permintaan terus meningkat.
Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141
127
milik negara (PBN). Sejalan dengan harga Crude Palm Oil yang terus meningkat maka selain perkebunan swasta besar, maka petani kecil mulai menanam kelapa sawit. Semula kebun sawit milik rakyat dibangun dalam skema inti plasma dengan perkebunan besar baik swasta maupun milik negara sebagai inti, namun kemudian perkebunan rakyat (PR) semakin berkembang diluar skema inti plasma. Saat ini PBS mendominasi luas areal perkebunan sawit di Indonesia. Pada tahun 2009 dari total areal perkebunan kelapa sawit nasional seluas 7.077 ribu ha, sekitar 3.501 ribu ha (49,47%) diusahakan oleh perkebunan besar swasta (PBS), sedangkan 2.959 ribu ha (41,80%) diusahakan oleh perkebunan rakyat (PR) dan selebihnya 617 ribu ha (8,73%) adalah milik PBN.9
salah satunya adalah Jambi. Untuk Propinsi Jambi sendiri, kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang sangat dominan dengan luas lahan 574,514 ha. Hal ini didukung dengan program Pemerintah Daerah Propinsi Jambi yaitu “Pengembangan Kelapa Sawit Sejuta Hektar”. Saat ini tidak kurang dari 30-an perusahaan sawit yang beroperasi di wilayah ini. Sawit dapat ditemukan di di tujuh kabupaten yaitu Batanghari, Muaro Jambi, Bungo, Sarolangun, Merangin, Tanjung Jabung Barat dan Tebo.
Dalam skema bisnis sawit di Indonesia, Sumatera merupakan salah satu wilayah yang tercatat memiliki luasan perkebunan yang paling besar yaitu sebesar 4.280.094 ha atau 76,46% dari total areal perkebunan kelapa sawit nasional. Tidak mengherankan kalau gerak industri sawit di wilayah ini begitu masif.10 Kebijakan tingkat lokal maupun nasional mengarahkan Sumatera sebagai pemasok energi alternatif terbarukan yang berasal dari biofuel sawit. Master plan MP3EI menyatakan bahwa koridor ekonomi sumatera diarahkan sebagai Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional. Kegiatan ekonomi utama di 11 daerah pusat ekonomi diarahkan pada produksi kelapa sawit,
perkebunan kelapa sawit di propinsi Jambi yang
Sawit memang tidak pernah datang tanpa cerita. Masifnya ekspansi kebun sawit yang terjadi di Jambi pada kenyataannya hadir bersama wacana krisis ketahanan pangan lokal serta benih-benih pemicu ekskalasi konflik yang terus memanas. Menurut catatan Yayasan SETARA, mencapai 480.000 Ha hingga tahun 2008 telah banyak melahirkan konflik sosial yang 99 konflik sosial diantaranya, tidak pernah selesai sampai saat ini. Upaya-upaya penyelesaian yang muncul pun pada dasarnya tidak permanen sehingga tidak mengherankan jika kemudian konflik bisa muncul kembali dengan mudah. Lemahnya penataan ruang bagi areal-areal yang diperuntukkan bagi perkebunan kelapa sawit juga dituding sebagai salah satu pemicu semakin menurunya areal-areal pangan lokal milik masyarakat. Banyak areal padi milik masyarakat yang telah berganti menjadi kebun sawit dan diusahakan baik oleh perkebunan besar kelapa sawit maupun oleh masyarakat sendiri.
9
Pada periode 1999-2009, pertumbuhan luas areal perkebunan besar negara hanya relatf kecil yaitu meningkat rata-rata 1,73% per tahun. Sedangkan pertumbuhan terbesar terjadi pada perkebunan rakyat yang mencapai tingkat pertumbuhan rata-rata 12,01% per tahun. Sementara perkebunan besar swasta meningkat rata-rata sekitar 5,04% per tahun. 10 www.datacon.co.id diakses 14 november 2011, INDUSTRI PALM OIL DI INDONESIA, November 2009
Kabupaten Batanghari juga merupakan salah satu wilayah Propinsi Jambi yang juga memiliki cerita tentang perkebunan sawit. Sawit merupakan komoditi tanaman perkebunan terbesar di wilayah ini dengan produksi utama di kecamatan Bajubang sebanyak 76,43 persen. Ada beberapa perkebunan besar yang beroperasi di wilayah ini seperti dapat dicermati dalam tabel berikut ini:
128
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Tabel. 1. Pelaku Usaha di Kabupaten Batanghari Nama Perusahaan PT Adora Mas Sumatra Plantation PT Cipta Prasasti Lestari PT Citra Quinta PT Angso Duo Sawit Sejahtera PT Asiatic Persada PT Berkat Jaya Pangestu
Komoditi Perkebunan Kelapa sawit
Jenis Produksi
Perkebunan Kelapa sawit
TBS (Tandan Buah Segar
Perkebunan Kelapa sawit Industri Pengolahan Kelapa sawit menjadi CPO dan inti kernel Perkebunan kelapa sawit dan pengolahannya Perkebunan sawit dan pengolahannya
TBS CPO dan inti sawit
TBS, CPO dan INRI TBS, CPO, dan INRI
Sumber: www.regionalinvestment.com Kehadiran perkebunan-perkebunan besar di Kabupaten Batanghari bukan tanpa masalah. Kehadiran mereka pada kenyataannya telah menciptakan berbagai macam bentuk konflik. Seperti dicatat oleh Persatuan Masyarakat Korban Perkebunan Sawit (2009), ratusan bahkan ribuan hektar tanah, lahan dan kebun masyarakat telah di rampas oleh perusahaan perkebunan, terutama perusahaan perkebunan besar. Kasuskasus yang terjadi di PT. Sawit Jambi Lestari, PT. Sacona Persada PT. Sawit Desa Makmur, PT. Maju Perkasa Sawit, PT. Jammer Tulen dan PT. Asiatic Persada yang berada dibawah bendera Asiatic Persada Group/Wilmar Group merupakan salah satu bukti betapa berkuasanya perusahaan perkebunan besar. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Batanghari dipandang kurang bisa mengambil sikap tegas untuk berpihak pada rakyatnya. Kehadiran perusahaan telah banyak menimbulkan kerugian fatal, baik bagi rakyat maupun bagi Negara. Ada beberapa indikasi pelanggaran yang teridentif ikasi diantaranya: membuka lahan perkebunan sawit dengan mengambil tanah, lahan dan kebun milik masyarakat secara paksa; memperluas kebun (kelebihan luasan HGU) hingga mencaplok tanah milik warga; menelantarkan lahan-lahan inti dan plasma dalam waktu yang cukup lama; serta tidak membayar pajak kepada negara.
C. Kesejahteraan Semu: Berkah Tandan Sawit di Desa Bungku Desa Bungku merupakan salah satu potret desa di wilayah Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari yang mengalami perubahan akibat ekspansi perkebunan sawit.11 Kekhasan desa Bungku ini seperti beberapa desa lain di Kecamatan Bajubang, adalah pohon sawit yang menjadi primadona tak hanya di kebun, tetapi juga ditanam sebagai peneduh dan tanaman pekarangan. Desa Bungku memang tercatat sebagai salah satu desa yang memiliki potensi di bidang perkebunan kelapa sawit dan karet. Untuk perkebunan sawit sendiri, desa ini memiliki perkebunan seluas seluas 50.000 hektar yang pengelolaan terbesarnya berada di pihak swasta. Sebelum sawit menjadi primadona, konon Desa Bungku merupakan daerah hutan rawa yang lebat. Dengan jumlah penduduk yang masih terbilang sedikit, sebuah sungai yang melintas wilayah perkampungan menjadi salah satu media transportasi yang sangat berperan pada saat itu. Desa Bungku masa lalu hanya didiami oleh beberapa kelompok suku yang sering disebut Suku Anak Dalam (SAD).12 Seiring berjalannya waktu, banyak masyarakat dari luar desa Bungku yang mulai mengetahui bahwa hutan desa Bungku menyimpan banyak pundipundi yang berasal dari ‘kayu bulian’. Kayu bulian inilah yang pada akhirnya membawa banyak pendatang masuk ke desa Bungku untuk
11
Mengacu pada data Kantor Camat Bajubang, 2005, Desa Bungku memiliki luas 40.000 ha dengan jumlah penduduk 5782 jiwa dan jumlah kk 1589. Desa ini secara administratif di sebelah utara berbatasan dengan Desa Pompa Air, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Durian Luncuk, sebelah Barat berbatasan dengan Desa Singkawang dan sebelah Timur berbatasan dengan Desa Markandang. 12 Suku Anak Dalam yang mendiami desa Bungku adalah SAD yang berasal dari daerah Sumatera Selatan dan daerah Bukit Dua Belas yang membentuk satu kelompok dengan jumlah 10 keluarga.
Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141
mengambil kayu-kayu tersebut. Kayu bulian adalah komoditas pertama yang membawa perubahan di desa ini. Jalan-jalan mulai diperkeras untuk jalan mobil para penebang kayu agar mereka dapat membawa keluar kayu mereka. Beberapa tahun kemudian setelah kayu bulian mulai habis dan tidak ada yang dimanfaatkan lagi, para penebang kayu pun meninggalkan hutan yang sudah gundul begitu saja dan masuklah perusahaan kelapa sawit mengambil alih pengelolaan lahan hutan untuk dijadikan lahan perkebunan kelapa sawit. Masuknya perusahaan sawit telah menjadi magnet yang menarik banyak warga dari luar untuk datang dan tinggal di desa Bungku.13 Potret kejayaan sawit terlihat jelas dari kontradiksi yang terekam di desa ini. Desa yang notabene berada di daerah pedalaman yang cukup terpencil ini, ternyata menunjukan perkembangan yang cukup memukau. Rumah berjajar rapi di sepanjang jalan desa yang sudah diperkeras dengan aspal. Rumah-rumah tipe kelas menengah yang berdiri megah dengan desaindesain modernnya dapat dijumpai dengan mudah di desa ini. Polesan cat berwarna terang tampak menambah elegan tampilan rumah-rumah yang mungkin bisa disebut sebagai ’istana’ para juragan sawit ini. Rumah-rumah panggung yang seringkali digambarkan sebagai romantisme klasik dari rumah-rumah penduduk asli di bumi Sumatera, tidak lagi dijumpai di desa ini. Parabola terlihat bertengger menghias di hampir setiap atap rumah di desa ini. Parabola tampaknya memang sudah tidak lagi menjadi simbol status sosial melainkan sudah menjadi kebutuhan wajib yang tidak bisa ditinggalkan. Pa-
13
Para pendatang ini tidak hanya berasal dari wilayah di seputar Jambi tetapi juga dari Padang, Palembang, Lampung, Medan, Jawa, Madura, Lombok, dan TimorTimur. Para pendatang ini rata-rata bekerja di sawit (70%), sementara sisanya bekerja di kebun karet (30%).
129
rabola juga sudah menjadi satu paket kebutuhan primer dengan generator yang menjadi nadi kehidupan di desa ini. Letak desa yang agak terpencil tampaknya juga tidak menjauhkan desa Bungku dari pengaruh gaya hidup perkotaan yang konsumtif. Sepeda motor berbagai jenis merek tampak berlalu lalang di sepanjang jalan. Kendaraan besar dari mulai truk-truk perkebunan, pick up sampai mobil pribadi sekelas avanza pun tidak kalah jumlahnya.14 Mobil-mobil tampak terparkir dengan rapi di depan rumah beberapa warga. Mungkin inilah berkah sawit yang konon sering disebut ’emas hijau’. Sawit telah menyediakan lembaranlembaran rupiah yang bisa ditukar dengan segala bentuk kenyamanan hidup.15 Uang tunai cukup besar yang akan diperoleh petani sawit setiap habis panen, tampaknya menjadi pemicu tumbuh suburnya gaya hidup konsumtif. Tidak hanya sepeda motor, peralatan elektronik seperti televisi, kulkas, blender, atau mesin cuci juga tampak terpajang dengan rapi di rumah warga. Agak sayang sebenarnya karena beberapa barang tampak tidak difungsikan dengan baik akibat aliran listrik yang tidak stabil. Belum masuknya jaringan listrik, membuat warga memanfaatkan genset sebagai sumber energi yang utama. Genset biasanya dimaksimalkan pemakaiannya pada malam hari.
14
Menurut hasil interview dengan pak Nasri, Kepemilikan kendaraan motor di desa Bungku bisa dikatakan cukup fantastis. Jumlah mobil ada sekitar 200-an lebih. Mobil-mobil umumnya berjenis pick up atau truk yang berjumlah sekitar 30-an. Jumlah sepeda motor memiliki angka yang paling tinggi yaitu 2864 unit. Setiap satu keluarga bisa dipastikan memiliki minimal 1 unit motor. 15 Masyarakat rata-rata memiliki lahan seluas 2-4 ha. Dalam sebulan, lahan seluas 2 ha dapat menghasilkan 2x panen @ 3 ton. Dengan demikian, pendapatan perbulan mencapai 6 ton. Apabila harga per kg mencapai 800 maka pendapatan dalam 2 ha sawit mencapai Rp. 4800.000/bulan atau jika petani memiliki 4 ha, maka pendapatan akan mencapai Rp. 960.0000/bulan.
130
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Sawit tampaknya juga tidak hanya mengubah rumah-rumah panggung menjadi rumah tembok berlantai keramik, tetapi telah meninabobokan masyarakat dalam kebiasaan hidup yang santai untuk tidak menyebutnya sebagai bermalas-malasan. Hal ini salah satunya terlihat dari pekarangan rumah yang rata-rata gersang dan tidak dimanfaatkan. “Disini orang sudah kayakaya, mending beli saja”, begitulah penuturan salah seorang warga ketika memberi penjelasan tentang banyaknya pekarangan yang tidak dimanfaatkan. Di desa Bungku sendiri ada sekitar 10 tukang sayur yang siap melayani kebutuhan seluruh warga. Warga hanya perlu menunggu para penjaja ini lewat, untuk kemudian memilih barang yang mereka butuhkan.16 Kehadiran sawit di desa Bungku tidak dapat dilepaskan dari keberadaan Suku Anak Dalam (SAD).17 Desa yang mulai diramaikan oleh pendatang dari berbagai daerah ini memiliki komunitas penduduk asli yang jamak dikenal dengan nama Suku Anak Dalam Batin 9 (SAD Batin 9). Kelompok SAD Batin 9 inilah yang dalam skenario pemberian 1000 hektar lahan sawit merupakan kelompok yang dianggap berhak memperoleh limpahan kemurahan hati dari sebuah perkebunan sawit bernama PT. Asiatic Persada. Kelompok SAD Batin 9 merupakan kelompok etnik yang tersebar di wilayah Jambi bagian timur atau tepatnya di wilayah Muara Bulian. Nama Batin 9 sendiri merupakan identitas etnik yang
16
Tukang sayur biasanya akan datang lima hari dalam satu minggu, kecuali hari Jumat dan Sabtu. Mereka membawa berbagai jenis sayuran, ikan, bumbu dapur dan kebutuhan dapur lainnya. 17 Merunut pada legenda “Sentano Padang Sembilan”, Desa Bungku adalah desa yang awalnya dihuni oleh sekelompok orang yang terdiri dari sepuluh keluarga SAD yang berasal dari daerah Sumatera Selatan dan daerah Bukit Dua Belas. Kelompok yang dipimpin oleh seorang penghulu bernama ‘Pati’ inilah yang merupakan leluhur awal kelompok SAD di Desa Bungku.
bersumber dari keyakinan bahwa nenek moyang mereka berasal dari 9 orang bersaudara yang tinggal di 9 anak sungai Batanghari (Bulian, Bahar, Jebak, Jangga, Pemusiran, Burung antu, Telisak, Sekamis, Singoan). Penguasaan sungai memberi sebuah orientasi pada ruang yang kemudian berdampak pada segi-segi kehidupan SAD Batin IX. Sebagai sumber kehidupan, sungai menjadi pusat dari segala acuan dalam pola pembangunan pemukiman berupa rumah panggung yang berada di sepanjang aliran sungai. Sungai menjadi gerbang untuk berhubungan dengan orang-orang lain di luar wilayah mereka. Aktivitas perdagangan dan pertukaran barang dilakukan melalui jalur transportasi air, sehingga aliran sungai tidak boleh dibiarkan dangkal dan menyempit. Keberadaan SAD masa kini tidak dapat dilepaskan dari tren program pemberdayaan. Perlu diketahui sebelumnya bahwa nama Suku Anak Dalam di Jambi sendiri sudah bak sebuah merk dagang, begitu juga dengan nama SAD Batin 9. Ada banyak lembaga yang lahir dengan mengusung nama ‘Suku Anak Dalam’ dalam visi advokasi mereka seperti dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel 2. Nama Lembaga yang Memakai Nama SAD sebagai Bagian dari Program Advokasinya NO 1 2 3 4 5 6 7
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
NAMA LEMBAGA Aliansi Masyarakat Peduli Hutan dan Lahan (AMPHAL) Hanura Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Lingkungan (YLBHL) Setara Jambi Forum Komunikasi Lintas Adat Suku Anak Dalam (FORKALA-SAD) Lembaga Bantuan Hukum Buruh (LBH Buruh) Yayasan Masyarakat Adat Orang Kubu Dusun Lamo Padang Salak, Sei Bahar, Kabupaten Batanghari, Propinsi Jambi PALM KKI Warsi Yayasan MABU Trisula FORMASKU AMPHAL Gerakan Pembela Masyarakat Jambi (GMPJ) Peduli Bangsa Merdeka Keris
(Sumber: Data primer, 2011)
Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141
Di dalam lembaga-lembaga ini, dengan mudah dapat dijumpai suara-suara vokal yang memberikan dukungan bagi keberadaan mereka yang seringkali dianggap sebagai kelompok yang terpinggirkan. Keterpinggiran mereka ini dilekatkan dengan berbagai stereotype atau pelabelan negatif seperti dapat dicermati dalam skema berikut ini:
131
‘dibantu’, atau ‘diselamatkan’ dari berbagai tekanan yang mengancam eksistensinya. Citra serupa ini ditumbuhsuburkan oleh pemerintah melalui program PKMT yang populer pada tahun 80-an yang salah satunya hadir dalam bentuk pendef inisian Suku Anak Dalam seperti dapat dilihat dari skema berikut ini: PENDEFINISIANSAD
Versi pemerintah
Versi SAD
Miskin Tidak beragama
Bodoh
SAD Berbau amis
Tertutup
Terbelakang/ kolot
Kotor/ kulit bersisik
Gambar 1. Stereotype Suku Anak Dalam (Sumber: data primer, 2011) Pelabelan yang dilekatkan pada SAD juga muncul di desa Bungku seperti dikutip: “Kalau desa Bungku ini yang paling kubu-kubu, di ujung aspal itu lho, itu yang paling kolotnya. Yang kamukamu nak pergi kan, yang kata kamu metakmetak tanah. Itulah kubunya, itulah yang paling kubu.” Pelabelan negatif dilakukan dengan memberikan istilah ‘kubu’ untuk membedakan SAD dengan masyarakat kebanyakan. Kelompok ini memiliki kebiasaan yang lugu atau diistilahkan dengan ’basah-basah kering’ seperti: seperti: menjemur pakaian di depan rumah, mencuci pakaian tanpa menggunakan sabun, atau makan bersama dengan hewan peliharaan. Dalam wacana yang lebih luas, pelabelan yang diberikan pada SAD pada dasarnya mencitrakan mereka sebagai kelompok yang harus ‘ditolong’,
Bertempat tinggal atau berkelana di tempat-tempat yang secara geografik terpencil, terisolir dan secara sosial budaya terasing atau masih terbelakang dibandingkan dengan bangsa Indonesia pada
Keturunan sembilan saudara anak Raden Ontar: Singo Jayo, Singo Jabo, Singo Pati, Singo Inu, Singo Besak, Singo Laut, Singo Delago, Singo Mengalo, Singo Anum
pola hidup berpindah, berdiam diri di dalam hutan, tidak memeluk/ kurang memahami agama islam, tinggal terpencil,jauh dari pemukiman masyarakat umum
Keturunan Puyang Semikat dari Palembang yang menikah dengan putri Depati Seneneng Ikan yaitu putri Bayan Riu dan Bayan Lais
Gambar 2. Skema Pendefinisian Suku Anak Dalam (SAD). (Sumber: Data primer, 2011) Pendefinisian mengenai identitas Suku Anak Dalam telah melahirkan satu wacana tersendiri bahwa keberadaan mereka memang dianggap ‘berbeda’. Dalam kasus SAD, dominasi pendefinisian yang lebih banyak berasal dari perspektif orang luar telah menempatkan kelompok SAD sebagai satu kelompok yang sama tanpa mempertimbangkan bahwa nama SAD mewakili beberapa kelompok etnik yang berbeda di Jambi. Untuk desa Bungku, pelabelan-pelabelan yang dilekatkan pada SAD juga masih tersisa. Meskipun demikian, pelabelan ini memang tidak muncul dalam batas-batas yang tegas. Proses pembauran yang terjadi antara SAD dengan kelompok pendatang, telah memupus pelabelan dan mengaburkan batas-batas antara kelompok SAD denga kelompok pendatang. Proses pembauran inilah yang pada akhirnya menghadirkan perubahan pada sosok SAD ‘masa kini’ seperti dapat dilihat dalam ilustrasi berikut:
132
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013 SAD Sebelum berbaur
Setelah berbaur
pemukiman masuk ke dalam hutan
pemukiman menyebar, rumah-rumah mulai dibangun di sepanjang jalan
mandi sekedar membasahi badan (berendam di sungai)
Mandi dalam kamar mandi yang dibuat permanen
Mencuci baju tidak menggunakan sabun, tetapi dengan memukul -mukulkan kayu ke pakaian
Mencuci baju sudah dengan sabun bahkan menggunakan mesin cuci
Makan dan tidur di tempat yang sama (makan bersama dengan hewan peliharaan)
Makan dan tidur dalam ruangan terpisah di rumah permanen yang disekat -sekat
tidak mau tinggal di pinggir jalan,
Gambar.3. Bagan SAD “Masa Kini”- SAD yang sudah berbaur. (Sumber: data primer, 2011) Potret kesejahteraan yang tergambar di Desa Bungku pada kenyataanya merupakan sebuah potret dari kesejahteraan sawit yang hanya dirasakan oleh sebagian kecil masyarakatnya. Spotspot kemakmuran ini cukup bertolak belakang dengan kondisi sebagian besar masyarakat yang tidak mampu mengambil bagian dalam lingkar bisnis perkebunan sawit. Hal inilah yang menguat dalam berbagai benturan yang akhirnya melahirkan konflik berkaitan dengan klaim hak atas tanah. D. Perjalanan Konflik Lahan antara SAD dan PT Asiatic Persada18 Konflik lahan antara SAD dan PT Asiatic Persada sudah dimulai sejak sebuah perusahaan perkayuan dengan Bendera Asiatik Mas Coorporation, beroperasi di wilayah Sungai Bahar, Batanghari pada tahun 1986. Karena lokasi ini telah habis masa eksploitasi kayunya, maka PT. AMC pun mengajukan izin untuk mengelola lahan menjadi kebun kelapa sawit, karet dan coklat. Beberapa anak perusahaan pun akhirnya dibentuk dengan salah satunya bernama PT. Bangun Desa Utama (sekarang diganti dengan 18
PT. Asiatic Persada adalah perusahaan perkebunan kelapa sawit dan pengolahan tandan buah segar (TBS) menjadi CPO sebagai produk utama dan sampingan adalah palm kernel.
PT Asiatic Persada). PT. Bangun Desa Utama mendapat izin prinsip HGU berdasarkan SK Menteri Dalam Negeri tanggal 01 September 1986 dengan SK Nomor 46/HGU/DA/86 sampai akhirnya terbitlah sertif ikat HGU No. 1 Tahun 1986 pada tanggal 20 Mei 1987. Tanah yang dicadangkan oleh Gubernur Jambi untuk dikelola oleh PT BDU pada waktu itu adalah seluas 40.000 Ha. Dalam hal ini ternyata Menhut hanya melepaskan izin prinsip seluas 27.150 Ha. Ketika diinventarisasi oleh BPN, luas tanah yang dikeluarkan ijin HGU-nya dan dinyatakan layak untuk dikelola sebagai kawasan perkebunan hanya seluas 20.000 Ha. Sisa luasan sebasr 7.150 Ha yang secara prinsip telah dikeluarkan peruntukannya oleh Menteri, kemudian diberikan oleh gubernur kepada 2 perusahaan di bawah Wilmar Group lainnya yaitu PT Jammer Tulen dan PT Maju Perkasa Sawit. Pada tahun 1992, akhirnya PT. BDU berganti nama menjadi PT Asiatic Persada.19 PT. Asiatic Persada beroperasi di wilayah perbatasan Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Muaro Jambi atau tepatnya di wilayah Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Secara spesifik, lokasi HGU Asiatic Persada memiliki batas-batas: sebelah utara (Desa Pompa Air-Tiang Tunggang); sebelah selatan (kawasan Hutan eks HPH Asialog, Unit 22 UPT PTPN VI Sungai Bahar dan Desa Tanjung Lebar); sebelah barat ( PTPN VI Sungai Bahar); sebelah timur (PT. Maju Perkasa Sawit, PT. Jammer Tulen, Kawasan Tahura Senami dan Desa Bungku). Pemilik PT. Asiatic Persada sendiri juga berubahubah, mulai dari Andi Senangsyah melalui holding company-nya yaitu Asiatic Mas Corporation, CDC, Cargill, dan terakhir Wilmar International Plantation yang berpusat di Singapura. 19
Pergantian nama ini didasarkan pada SK Pengesahan dari Menteri Kehakiman No. C2.4726.HT.01.04 Tahun 1992.
Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141
Keberadaan HGU PT. Bangun Desa Utama yang kemudian berubah menjadi PT.Asiatic Persada sejak tahun 1986 telah membawa dampak yang besar bagi masyarakat SAD. Banyak masyarakat yang terpaksa pindah karena tergusur maupun sengaja melarikan diri karena tekanan dari perusahaan. Tercatat dua tahun sejak terbitnya HGU ditahun 1987, perusahaan telah melakukan penggusuran 3 dusun, yaitu Dusun Tanah Menang, Dusun Pinang Tinggi dan Dusun Padang Salak.20 E. Proses Perijinan yang “Sumbang” Secara umum, sebuah perusahaan perkebunan yang telah berbadan hukum, berhak untuk mengajukan permohonan hak atas tanah berupa hak guna usaha. Hak guna usaha ini dapat dipahami sebagai hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara sebagaimana ketentuan Pasal 28 UUPA. Dalam Pasal 30 selanjutnya dinyatakan bahwa yang dapat mempunyai HGU adalah badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Atas dasar ini, maka PT. Bangun Desa Utama atau PT. Asiatic Persada berhak mengajukan dan memperoleh HGU atas usaha perkebunannya. Sebagaimana diketahui bahwa untuk terbitnya sertif ikat HGU atas suatu perusahaan perkebunan terlebih dahulu harus melalui tahapan maupun prosedur yaitu: penerbitan ijin pencadangan wilayah, penerbitan ijin prinsip, penerbitan ijin lokasi, pelepasan kawasan hutan, dan penerbitan sertifikat HGU. Kesemua prosedur ini idealnya harus dilalui secara ber-
133
urutan. Sebuah perusahaan baru bisa dikatakan memiliki legalitas hukum yang kuat apabila telah menjalankan setiap prosedur ini. Pada kenyataannya prosedur penerbitan sertif ikat HGU PT Asiatic Persada tidak melalui proses yang seharusnya. Penerbitan sertif ikat HGU ternyata telah keluar sebelum ada ijin pelepasan kawasan hutan dari menteri kehutanan. Selain itu teridentifikasi bahwa berdasarkan kegiatan inventarisasi tata guna hutan tahun 1987, di dalam kawasan hutan yang disiapkan sebagai lokasi PT. Asiatic Persada ternyata mencakup tanah dan lahan milik masyarakat. Dalam kasus serupa ini, PT. Asiatic Persada seharusnya berkewajiban untuk menyelesaikan segala permasalahan yang ada termasuk juga memberikan ganti kerugian atas hak masyarakat yang terambil. Terbitnya Surat Keputusan Menhut pada tanggal 11 Juli 1987 No. 393/ VII-4/ 1987 Tentang Inventarisasi dan tata guna hutan menunjukan adanya persetujuan areal hutan seluas 27.150 Ha untuk perkebunan kelapa sawit dan coklat untuk PT. Bangun Desa Utama HGU yang ternyata juga meliputi 2.100 Ha kawasan milik masyarakat SAD. Dalam hal ini teridentifikasi bahwa terdapat lahan masyarakat SAD seluas 2.100 Ha itu ada di dalam kawasan HGU seluas 20.000 Ha. Dalam kawasan seluas 27.150 Ha tersebut juga diketahui bahwa sebagian tanah telah dikelola oleh masyarakat, dengan rincian kawasan yang berhutan seluas 23.600 Ha, belukar 1.400 Ha dan perladangan seluas 2.100 Ha serta pemukiman penduduk seluas 50 Ha.
20
Pada tanggal 9 Agustus 2011 telah terjadi upaya penggusuran dan intimidasi yang disertai perusakan harta benda, penjarahan, bahkan kekerasan fisik yang tidak jarang berakhir di penjara tepatnya di daerah Sungai Beruang, Kabupaten Muaro Jambi. Banyak perubahan yang terjadi akibat keberadaan perkebunan tersebut khususnya pada wilayah-wilayah masyarakat Batin Sembilan yang masuk dalam areal HGU.
Gambar 4. Komposisi Penguasaan lahan. Hasil Inventarisasi Tata Guna Hutan Tahun 1987
134
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Areal yang menjadi HGU ternyata merupakan lahan-lahan, perkampungan, pedusunan dan hutan milik SAD Batin IX yang mendiami Sungai Bahar. SAD telah mendiami wilayah ini jauh sebelum perusahaan datang. Beberapa dusun yang masuk dalam kawasan HGU adalah: Dusun Lamo Pinang Tinggi, Dusun Lamo Padang Salak, Dusun Lamo Tanah Menang, serta beberapa pedusunan di wilayah Markanding. Selain pedusunan, juga terdapat beberapa lokasi yang merupakan ladang dan kebun milik SAD yaitu yang berada di wilayah Bungin. Selain kebun dan pemukiman, terdapat juga hutan masyarakat dan hutan larangan. Pada akhirnya, permasalahan yang muncul pun semakin kompleks dari mulai: lokasi lahan sawit yang diberikan, status pembagian lahan, pola kerja sama SAD dengan perkebunan, kelompok SAD lain yang belum memperoleh ganti rugi atas tanah adatnya, sampai pada masalah pemekaran kabupaten Muaro Jambi yang membawa akibat sebagian lahan daerah yang masuk dalam HGU PT. Asiatic Persada tersebut berada di wilayah Kabupaten Muaro Jambi.21 Secara lebih jelas, luasan HGU yang mencaplok tanahtanah milik SAD dapat dicermati pada skema berikut ini:
21
Dengan adanya pemekaran wilayah tersebut, secara administratif daerah-daerah tersebut masuk dalam Kabupaten Muaro Jambi. Bahkan secara administratif kependudukan masyarakat tercatat sebagai warga muaro jambi. Namun ketika permasalahan terjadi misalnya terkait pencurian sawit atau tuntutan konversi lahan yang bersinggungan dengan PT. Asiatic Persada, maka aparat kepolisian Kabupaten Batanghari merasa berhak bertindak dengan mengacu pada kedudukan hukum HGU PT. Asiatic Persada.
Gambar 5. Persebaran wilayah HGU yang berasal dari lahan SAD22 Dari keseluruhan data luasan tanah yang diklaim oleh kelompok-kelompok SAD yang masuk dalam HGU PT. Asiatic Persada tersebut seluas 17.937 Ha. Hal ini artinya mencapai hampir 70% dari seluruh luasan HGU seluas 20.000 Ha.
Gambar.6. komposisi lahan SAD yang masuk dalam areal HGU PT. Asiatic Persada 22
Keterangan: Di batanghari terdiri dari: a) kelompok 113: meliputi desa tanah menang, pinang tinggi dan padang salak seluas 3.070 Ha; b) kelompok Mat Ukup: berlokasi di dekat wilayah 113, meliputi 2.067 Ha; c) Bungku: memanen buah sawit di wilayah eks PT. Jamer Tulen dan PT. Maju Perkasa Sawit seluas 7.000 Ha. Dari luasan ini 3.000 Ha ditanami perusahaan dan dari 3.000 Ha ini 1000 Ha diperuntukkan bagi kemitraan. Di Muaro Jambi terdiri dari: a) Kelompok KOPSAD (Koperasi Suku Anak Dalam). Berada di wilayah Dsn Markanding, Tanjung Lebar dan Penyerokan. Secara administratif mereka tinggal di wilayah Kabupaten Muaro Jambi, namun perladangan mereka termasuk dalam areal HGU PT. Asiatic persada yang masuk dalam wilayah Kabupaten Batanghari seluas 519 Ha; b) Kelompok Tani Persada. Mengklaim lahan seluas 5.100 Ha yang pada tahun 1999 dilakukan pembukaan lahan untuk jalan poros, perintisan, dan penataan pemukiman. Namun setelah dilakuakn pengukuran ulang, lahan ini masuk dalam areal HGU PT. Asiatic Persada. Artinya, ada indikasi perluasan wilayah HGU; c) SAD Sungai Beruang, Sungai Buaian, dan Danau Minang di Tanjung Lebar. Mengklaim lahan garapan seluas 157 Ha dan pemukiman seluas 24 Ha.
Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141
Pada dasarnya terdapat banyak kelompok yang mengklaim diri sebagai masyarakat SAD yang berhak atas lahan yang saat ini menjadi areal HGU PT. Asiatic Persada. Sebaran dari penguasaan-penguasaan lahan di areal HGU PT. Asiatic Persada pada tahun 2004 tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini.
135
Surat Kakantah Batanghari kepada Setda pada tahun 2007 perihal pengecekan luas lahan PT. Asiatic Persada yang isinya menyebutkan bahwa lahan sawit PT. Asiatic Persada eksisting telah melampaui areal HGU yang diberikan. Salah satu staf BPN Kabupaten Batanghari juga menyebutkan kalau lahan PT Jamer Tulen telah melebihi areal pelepasan, dan telah masuk ke area kehutanan seluas 512 Ha. Inilah yang menjadi pokok masalah sehingga HGU Jamer Tulen tidak dapat terbit, di samping konflik yang terjadi. F. Pola Kemitraan
Gambar. 7. Peta sebaran penguasaan/ penggarapan di lahan HGU PT. Asiatic (1986) Dalam rangka memantapkan data penguasaan tanah, khusus untuk lokasi HGU PT. Asiatic Persada seluas 20.000 Ha, Kanwil BPN Provinsi Jambi sudah melakukan pengukuran dan pendataan yang berakhir pada bulan Januari 2006 pada garapan/penguasaan masyarakat SAD dan PIR-TRANS PTPN VI dengan perincian yang dapat dicermati dalam tabel berikut: Tabel 3. Penguasaan Tanah di Lahan HGU PT. Asiatic Persada No 1 2 3 4 5
Uraian Tanaman sawit PT.Asiatic Digunakan oleh PTPN VI untuk PIR-TRANS Garapan/Permukiman Penduduk Garapan masyarakat SAD Diklaim masyarakat yang mengaku SAD Jumlah
Luas (Ha) 10.625 1.571,5 343,5 913 6.547 20.000
Sumber : BPN, Januari 2006 Dari luasan lahan tersebut, PT. Asiatic Persada faktanya juga melaksanakan kegiatan operasional kebun sawit di lokasi PT. Maju Perkasa Sawit dan PT. Jamer Tulen. BPN setempat secara tersirat juga membenarkan pada pernah ada
Meskipun tidak jelas koordinatnya perjalananan panjang pemberian kompensasi 1.000 Ha lahan sawit yang diwacanakan oleh perusahaan telah dilakukan. Rencana Pola kemitraan dilakukan dengan menempatkan SAD pada lokasi yang telah habis perijinannya yaitu PT. Jamer Tulen dan PT. Maju Perkasa Sawit. Ada beberapa skenario terkait dengan lokasi pemberian 1000 ha. Pada tahun 2003, pernah terdapat pernyataan yang menyebutkan bahwa 1.000 Ha tersebut akan dibangun di Johor seluas 600 Ha untuk SAD Bungku dan daerah Bungin seluas 400 Ha untuk SAD Tanjung Lebar. Namun dalam kesepakatan lain, PT. Asiatic Persada pernah menjanjikan akan membangun 600 Ha kebun kemitraan untuk SAD Tanjung Lebar dan 50 Ha untuk pemukiman. Pada kenyataannya keberadaan areal 1.000 Ha yang dijanjikan oleh PT. Asiatic Persada untuk kemitraan tersebut sampai saat ini masih belum teridentifikasi. Sementara itu dalam rangka kompensasi, penanaman modal dilakukan oleh Bank Mandiri dengan penjaminan oleh PT. Asiatic Persada. Pembayaran dan bunganya dilakukan oleh SAD dengan pembagian sebesar 70:30, 70 untuk petani dan 30 untuk angsuran. SAD juga membayar kembali semua biaya terkait pemeliharaan dan rencana operasi kepada manajemen Asiatic Persada. Sebagian laba bersih menjadi hak PT.
136
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Asiatic Persada. Dan kedua belah pihak wajib untuk membayar pajak atas keuntungan yang mereka peroleh. Pada hakekatnya perkiraan perencanaan operasi PT. Asiatic Persada tidak hanya terkait dengan biaya-biaya, tetapi juga bantuan teknis, modal, pembayaran bunga serta yang terpenting adalah keuntungan. Pembagian lahan dilakukan sebagai ganti rugi karena SAD telah menyerahkan tanahnya untuk HGU PT. Asiatic Persada. Masyarakat yang membutuhkan lahan, diminta untuk datang dan mendaftar. Pola kemitraan yang ditawarkan perusahaan ternyata berujung konflik. Hal ini terutama terkait dengan skema kemitraan, lahan kemitraan, dan petani calon mitra. Pada akhirnya di tahun 2010 Wilmar Internasional melalui anak perusahaannya PT.Asiatic Persada secara resmi berusaha merangkul SAD di Batanghari dengan memberikan 1.000 Ha lahan sawit yang kerjasamanya dilakukan melalui Koperasi Sanak Mandiri.23 23
Dalam sebuah dokumen investigasi independent terkait kasus pembagian 1000 ha lahan sawit ini salah satunya membahas tentang legalitas menyangkut rencana kemitraan yang ada. Disana disebutkan bahwa berdasarkan rencana kesepakatan antara PT. Asiatic Persada dan Koperasi Sanak Mandiri tertanggal 24 Juni 2010. Dalam hubungannya menyangkut kapasitas tiga orang yang mewakili koperasi yaitu Hendriyanto (Ketua koperasi), Muhammad Adam (sekretaris) dan Acil Saputra (bendahara) yang dipilih berdasarkan keputusan rapat anggota koperasi tanggal 2 juni 2010 yang diformalkan melalui dokumen penetapan yang dibuat dihadapan notaris Chintia Untari tertanggal 2 Juni 2010. Sedangkan Koperasi Sanak Mandiri disahkan oleh Menteri Koperasi tertanggal 17 Juni 2010 No. 231.Gub. Diskop.Umkm/Juni/2010, sehingga bisa dikatakan bahwa legalitas para pihak yang mewakili koperasi ini masih belum cukup untuk menandatangani perjanjian. Karena keberadaan koperasi baru disahkan tertanggal 17 Juni 2010 sedangkan pertemuan koperasi tentang penetapan anggota itu tanggal 2 Juni 2010. Sehingga ketika menandatangani perjanjian tersebut, koperasi belum mempunyai kedudukan hukum dan tanda tangan yang ada menjadi tidak sah. Hal ini semakin memperkuat indikasi pelanggaran hukum yang ada karena seolah ada skenario besar yang dijalankan untuk memuluskan strategi pembagian lahan sawit dengan pola kemitraan/ plasma ini.
Dengan bantuan dari Pemerintah Kabupaten Batanghari, teridentifikasi sebanyak 771 KK asli SAD yang akhirnya diberi hak untuk menjadi mitra PT. Asiatic Persada sekaligus penerima 1.000 Ha lahan sawit tersebut. Sayangnya pengidentif ikasian serta penetapan kelompok SAD yang dianggap ‘asli’, tidak jelas. Banyak kesimpangsiuran yang terjadi sehingga berkembang cerita bahwa masyarakat penerima manfaat dari 1.000 ha lahan sawit lebih banyak merupakan pendatang yang mangaku sebagai SAD. G. Perubahan Ruang Hidup SAD Ekspansi perkebunan sawit telah menyebabkan masyarakat kehilangan kawasan hidup untuk mengembangkan sistem sosial mereka. Konflik yang muncul tidak saja bersifat vertikal melainkan horizontal yaitu konflik yang terjadi diantara sesama kelompok SAD Batin 9 yang masing-masing memperjuangkan kedaulatannya. Idealnya apabila lahan seluas 1000 ha merupakan realisasi tuntutan warga, maka harus segera dilakukan over alih tanggungjawab dari PT.AP ke masyarakat. Namun pada kenyataannya seluruh pengelolaan masih berada di tangan PT. AP. Saat ini kelompok SAD yang tergusur terpaksa harus membangun pemukiman-pemukiman sementara.24 Pola permukiman yang dikembangkan saat ini tidak berbeda dengan saat mereka masih mengembangkan sistem berburu meramu. Perbedaan hanya terletak pada material bangunan yang digunakan. Jika pada generasi pertama material bangunan yang digunakan adalah kulit kayu untuk dinding dan anyaman daun sebagai atap, maka pada saat ini mereka menggunakan tenda sebagai dinding dan atap
24
Suku Anak Dalam Batin 9 yang mendapat lahan seluas 1000 ha berjumlah 771 KK beranggotakan penduduk dari kelompok Acil, Nyogan, Desa Bungku, Desa Markanding, dan Penyerokan. Mereka tinggal di Daerah Durian Dangkal.
Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141
layaknya orang berkemah. Satu tenda diisi oleh tiga generasi yakni kakek, orangtua dan cucu. Sebagai penerima lahan 1000 ha, warga SAD Batin 9 berharap mendapat keleluasaan untuk mengelola lahan sawit yang telah secara resmi menjadi milik mereka. Namun kenyataannya, batas antar lahan tidak terdefinisi dengan jelas. Rata-rata penguasaan tanah adalah 1,3 ha yang manajemen-nya berada di bawah koperasi. Lahan 1000 ha rupanya tidak dapat langsung diperoleh oleh warga melainkan harus melalui koperasi. Beberapa ketentuan keanggotaan harus dipenuhi warga sebelum mendapat hak penuh untuk mengelola. Posisi warga penerima lahan sawit 1000 ha saat ini hanya sebagai “penunggu” kebun sawit. Pekerjaan yang mereka lakukan sehari-hari adalah pengumpul berondolan sawit. Kegiatan mengumpulkan brondolan sawit diupah Rp. 300/kg oleh perusahaan. Meskipun secara legal mereka adalah penerima lahan 1000 ha, namun mereka tidak mendapat hak untuk memanen. Kesepakatan yang dibangun antara koperasi dengan warga penerima sejumlah 771 KK adalah warga harus membayar kredit kepemilikan sawit sejumlah Rp. 28 Milyar yang diambil dari panen sawit lahan 1000 ha. Hanya saja, pemanenan dilakukan oleh PT. Asiatic Persada (PT. AP) dan koperasi tinggal menerima perhitungan yang keseluruhan proses dilakukan oleh PT. AP. Hasil panen dianggap asset oleh keduabelah pihak dan asset harus masuk ke koperasi untuk memudahkan perhitungan. Pengakuan dari ketua koperasi menyatakan bahwa telah terjadi pengurangan asset sehingga dana yang dibagikan kepada anggota koperasi makin sedikit. Pengurangan asset diakibatkan oleh banyak hal diantaranya warga tidak menjual sawit yang dipanen kepada perusahaan, melainkan kepada pihak ketiga. Beberapa warga Desa Bungku ditemukan berstatus sebagai pembeli sawit warga. Salah satu contoh yang ditemukan adalah Knama samaran. Informan tersebut merupakan
137
pembeli sawit. Dalam sehari dapat mengumpulkan sawit sebanyak 10 ton dengan harga beli 800950/kg. sawit tersebut akan dijual ke pabrik yang berada di Mersam dengan harga Rp 1350/kg. Selisih harga jual merupakan keuntungan kotor yang diperoleh. Apabila yang terserap hanya 8 ton, maka dalam sehari, penghasilan kotor mencapai Rp. 3.200.000. Akibat banyak sawit yang dijual ke luar pihak perusahaan, panen terakhir yang masuk ke PT. AP hanya 15 ton yang apabila dirupiahkan untuk harga sawit 1200/kg mencapai: Rp. 18 juta. Nilai 18 juta harus dibagi dua dimana separuhnya harus diberikan kepada PT. AP sebagai bagian pelunasan hutang. Separuhnya masih harus dipotong untuk administrasi koperasi sejumlah 20% sehingga nilai rupiah yang tersisa adalah Rp. 1.800.000 yang harus dibagikan kepada 771 KK. Inilah mekanisme pengelolaan lahan 1000 ha yang disebut oleh PT. AP sebagai pola kemitraan. Praktek-praktek penguasaan negara atas sumber daya ekonomi rakyat, menjadikan kelompok SAD Batin 9 semakin terpinggirkan. SAD terpaksa harus kehilangan sumber-sumber penghidupan yang pada akhirnya memicu rusaknya tatanan sosial budaya. Keberadaan perkebunan sawit secara tidak langsung telah mencerabut SAD dari sumber penghidupan asal mereka yaitu hutan. Dari perkebunan sawitlah, akhirnya mereka mulai mengembangkan sumber-sumber penghidupan alternatif diantaranya dengan menjadi buruh di perkebunan seperti dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel. 4. Jenis Pekerjaan di Perkebunan Sawit No
Jenis Pekerjaan
1 2
Buruh Brondolan Buruh Nyimas (membersihkan rumput) Buruh pemupukan Buruh panen Sopir Satpam
3 4 5 6
(Sumber: data primer, 2011)
Upah Rp. 300/kg Rp. 42.000/hari Rp. 42.000/hari Rp. 100/kg Rp. 1000.000/bulan Rp. 1000.000/bulan
138
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Dengan menjadi buruh di perkebunan sawit inilah, sebagian dari mereka bisa memperoleh penghasilan. Selain dari sawit, mereka juga memiliki mata pencaharian lain seperti: menyadap karet, membuat arang kayu, membuat kusen (tukang gesek). Pelibatan SAD Batin 9 dalam sistem perkebunan besar menempatkan petani jauh dari sumberdaya-nya bahkan tidak dapat lagi dikategorikan sebagai rumah tangga petani, melainkan buruh. Dalam sistem produksi perkebunan besar, buruh tidak ada bedanya dengan posisi buruh pabrik. Kelompok ini berada di dalam sistem, memiliki nilai tawar yang tinggi terhadap keberlangsungan sistem produksi namun tidak dapat mengontrol nilai tawar yang dimiliki untuk mendongkrak kesejahteraan mereka. Intervensi perkebunan menggusur karakter warga dalam mengembangkan sistem pencaharian mereka. Posisi buruh merupakan posisi yang memperlihatkan ketidak-berdaulatan mereka atas dirinya. Model yang ditawarkan oleh pemerintah adalah model KKPA yang secara formal sudah ditawarkan melalui MOU Bupati tentang lahan 1000 ha dan pendirian koperasi 771 KK yang tergabung dalam plasma. Dalam MOU disepakati bahwa pengelolaan lahan 1000 ha akan dilakukan dengan sistem plasma. Kenyataannya adalah seluruh lahan berstatus sebagai inti. Warga terlibat hanya sebagai buruh harian lepas. Jam kerja ditentukan dari pukul 07.30-14.00. Terdapat aturan yang menyatakan bahwa karyawan yang bekerja pada kebun sawit milik perusahaan tidak boleh memiliki kebun dengan alasan khawatir pupuk dilarikan ke kebun milik. Tingkat upah yang diberikan tidak sebanding dengan nilai jual komoditas sawit di pasaran dunia.25 25
Harga tandan buah segar Rp.1000-1900/kg. jika diasumsikan produksi sawit adalah 3-4 ton/ha/bulan, maka dalam setiap hektar, pendapatan kotor petani sawit akan mencapai Rp. 3 juta -7,6 juta tergantung tingkat harga dan produksi kebun sawit. Angka ini akan sangat timpang apabila dibandingkan dengan nilai kompensasi yang diterima
Pada kenyataannya, kelompok SAD harus merespon perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya dengan menggunakan ukuran-ukuran dan simbol-simbol modernisme. Ketiadaan sumber penghidupan menyebabkan mereka lebih disibukkan dengan urusan mempertahankan hidup daripada memikirkan cara untuk meningkatkan pengetahuan ataupun mempelajari perubahan-perubahan yang ada di lingkungan mereka. Potret perubahan kehidupan SAD dapat dicermati dalam tabel berikut ini: Tabel. 5. Perbandingan Kehidupan SAD sebelum dan sesudah Masuknya Perkebunan Sawit Unsur/ Elemen
Pra-masuknya perkebunan Sawit
Lingkungan fisik (sungai)
Sungai menjadi media transportasi penting yang menjadi penghubung antar kelompok SAD. Sungai juga menjadi penyedia nutrisi melalui ikan-ikan yang melimpah dan dapat dikonsumsi setiap saat Tinggal di rumah panggung, beratap ijuk enau/mengkuang, berdinding kulit pohon yang dikeringkan/jalinan batang bambu muda yang dipotong dan diikat dengan rotan. Rumah-rumah ini dibangun di dekat aliran sungai
Tempat tinggal/ Rumah
Aktivitas Mata Pencaharian
Berkebun/berladang, mengambil madu dari pohon sialang, mencari ikan di sungai, mengambil durian, memikat ayam hutan, menanam padi ladang dan umbi-umbian Struktur Mengenal sistem pangkat kepemimpi dan gelar yang mempunyai nan adat fungsi sosial dalam mengatur keseharian hidup orang Batin IX Interaksi Terjalin dengan baik, saling Sosial mengenal satu dengan yang lain, ikatan kekeluargaan kuat Kepemilikan Kepemilikan tradisional – tanah membuka ladang dengan menebang pohon di hutan. Semakin banyak menebang hutan, semakin luas kepemilikan tanahnya
Pasca masuknya perkebunan sawit Sungai menjadi dangkal dan menyempit. Jumlah ikan berkurang bahkan sulit dijumpai
Tidak sepenuhnya mempertahankan model rumah panggung sebagai tempat tinggal. Rumah-rumah dibangun dengan menggunakan arsitektur modern, berdinding tembok, bahkan banyak yang sudah berlantai keramik. Rumah juga tidak dibangun di dekat aliran sungai, namun sudah menyebar Menjadi buruh di perkebunan kelapa sawit, menyadap karet di perkebunan-perkebunan milik masyarakat
Struktur kepemimpinan adat sudah tidak dijalankan lagi. Sebutan gelar masih ada tapi sudah tidak berfungsi sebagai pimpinan adat Benih-benih individualisme mulai tumbuh akibat penetrasi kapitalisme yang masuk melalui budaya konsumerisme Pemilikan tanah mengacu pada sistem legalitas formal
(Sumber: Hidayat, 2011) sebesar Rp. 200.000/bulan dari yang seharusnya diterima sebesar Rp. 1,5 juta.
Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141
H. Kesimpulan Kasus pemberian seribu hektar lahan sawit kepada Suku Anak Dalam merupakan salah satu bentuk kuasa kapital yang telah mengeksklusi kelompok Suku Anak Dalam dari tanah-tanah mereka. Berbagai bentuk perlawanan dari masyarakat lokal baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan potret resistensi SAD dalam menghadapi kuasa modal. Melalui cara inilah SAD bertahan dalam ruang hidup mereka sekarang. Kehilangan hutan, kehilangan mata pencaharian, dislokasi sosial budaya, ketercerabutan dari sumber-sumber daya agraria yang dimiliki merupakan fakta-fakta konkrit yang memperlihatkan akses mereka terhadap hutan telah disingkirkan oleh skema bisnis sawit. Keberadaan sawit sebagai bagian dari komoditas internasional yang menawarkan sejuta keuntungan ekonomis telah membentengi akses mereka untuk bisa mempertahankan penghidupan dalam memanfaatkan hutan. Di tengah euforia bisnis sawit, kelompokkelompok SAD yang dimiskinkan oleh struktur penguasaan yang tidak seimbang ini, pada akhirnya juga harus berhadapan dengan bagian dari kelompok mereka yang ternyata secara perlahan telah menjadi bagian dari kelompok penguasa kapital baru. Para juragan sawit yang berasal dari kelompok penduduk lokal dan juga pendatang merupakan wujud alih rupa dari kuasa perkebunan yang muncul. Dalam konteks adverse incorporation, mereka inilah yang menjadi bagian dari kelompok yang diuntungkan dengan kehadiran sawit. Keterlibatan atau integrasi kelompok ini dalam skema bisnis sawit, telah memungkinkan mereka untuk mengakumulasi sumbersumber kapital baru. Kelompok yang satu ini bisa mengakumulasi keuntungan yang lebih besar dari sawit-sawit yang mereka kumpulkan dari petani kecil. Hal ini bisa dicermati dari kepemilikan mereka baik rumah, kendaraan maupun pekerja yang dimilikinya.
139
Kasus pemberian seribu hektar lahan kepada Suku Anak Dalam merupakan cerminan dari perebutan akses yang terjadi atas tanah. Pemberian seribu hektar lahan sawit merupakan bentuk strategi yang diambil oleh perusahaan dengan mengkamuflasekan kesejahteraan sebagai slogan dibalik upaya pengerukan keuntungan dan penjinakan perlawanan dari masyarakat. Masyarakat tetap diposisikan sebagai pihak yang pasif. Polapola kemitraan yang diterapkan perusahaan, tidak hanya meminggirkan masyarakat, tetapi juga telah menciptakan konflik horisontal yang memecah belah kelompok. Diferensiasi agraria menguat dan memunculkan friksi yang cukup tajam. Tata kelola yang dilakukan oleh perusahaan pada kenyataannya telah menciptakan bencana sosial dan ekologis yang luar biasa bagi kelompok SAD. Skema bisnis sawit telah menempatkan mereka dalam rantai terendah dalam bisnis ini. Sawit adalah tanaman baru yang jelas-jelas sangat tidak ramah terhadap livelihood asli mereka. Kesejahteraan yang diperoleh pada kenyataanya hanya kesejahteraan semu yang dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat. Pada akhirnya yang didapatkan adalah ketercerabutan dari tanah-tanah mereka. Perkebunan sawit telah menggusur akses masyarakat terhadap sumberdaya agrarianya. Tanah-tanah yang dijanjikan pada mereka kenyataannya tidak pernah ada secara jelas. Lokasi seribu hektar lahan sawit selalu berpindah mengikuti logikalogika kapital yang bekerja dalam kuasa perkebunan sawit. Dalam skema bisnis sawit, secara global masyarakat juga sedang dihadapkan pada berbagai dampak luar biasa yang mengancam ruang hidup mereka. Skema bencana ekologis yang akan terjadi 20 atau 30 tahun mendatang adalah bagian dari fakta yang saat ini belum disadari secara penuh. Perkebunan-perkebunan kelapa sawit akan menghancurkan sumber-sumber air
140
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
tanah.Hal ini sudah mulai terlihat dari semakin keruhnya sungai Batanghari yang merupakan sumber air di PDAM Provinsi Jambi. Selain krisis air, masyarakat juga akan sangat disibukan dengan persoalan peremajaan pada kebunkebun tua. Selama peremajaan dilakukan, praktis dalam jangka waktu lima tahun risiko kehilangan pendapatan dalam jumlah besar akan ditanggung petani bila tidak diantisipasi jauh-jauh hari. Hal ini dapat melahirkan dampak sosial yang jauh lebih besar dibanding ketika masa tanam dalam siklus pertama dahulu.Hal ini terjadi karena dua alasan. Pertama, tingginya pendapatan per kapita yang selama ini diterima petani plasma telah mengubah pola konsumsi rumah tangganya, termasuk dalam kredit/ utang. Kedua, sebagian besar kebun-kebun tua itu boleh jadi telah diwariskan ke generasi berikutnya, generasi yang tidak pernah merasakan sulitnya hidup di masa awal-awal pembangunan sawit dahulu Inilah fakta yang haru dihadapi akibat perubahan yang dibawa oleh skema bisnis sawit. Yang terjadi adalah masyarakat menjadi terusir dari tanahnya sendiri. Minimnya akses informasi tentang dampak yang akan ditimbulkan dari pembangunan kelapa sawit dan pengaruh ekonomi liberal telah mengubah cara berpikir orang Batin tentang tanah yang awalnya mempunyai fungsi ekonomi dan sosial, berganti menjadi nilai ekonomis semata. Warga kehilangan tanah akibat proses ganti rugi dan terpaksa menjadi buruh di perkebunan untuk menyambung hidupnya. Kembali ke livelihood asal mungkin menjadi sebuah kemustahilan ketika tanah-tanah yang sekarang sudah dikonversi menjadi sawit tidak memberikan cukup ruang untuk mengembalikan hutan-hutan ke kondisi awal.
Daftar Pustaka Behrman, Julia, et all. 2011. The Gender Implications of Large-Scale Land Deals. IFPRI Discussion Paper.www.ifpri.org. Colchester, et al. 2006. Promised Land: Palm Oil and Land Acquisition in Indonesia: Implication for Local Communities and Indigenious People. England: Forest People Programme (FPP); Bogor: Perkumpulan Sawit Watch. Fortin. 2011. The Biofuel Boom and Indonesia’sOil Palm Industry in West Kalimantan. Paper presented in International Conference on Global Land Grabbing 6-8 April 2011. Handini, Retno. 2005. Foraging yang Memudar: Suku Anak Dalam di Tengah Perubahan. Yogyakarta: Galang Press Hidayat, Rian. 2011. “Suku Anak Dalam Batin 9: Membangkitkan Batang Terendam, Sejarah Asal Usul Kebudayaan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Draft Laporan Penelitian. Jambi: Yayasan Setara Jambi. Julia. 2009. “Pembangunan untuk Siapa? Implikasi Jender Perkebunan Kelapa Sawit terhadap Perempuan Dayak Hibun di Kalimantan Barat, Indonesia. Dalam Jurnal Tanah Air, Edisi Oktober-Desember, hal 194-235. Kartika, Sandra dan Gautama, Candra. 1999. Menggugah Posisi Masyarakat Adat Terhadap Negara. Prosiding Saresehan Masyarakat Adat Nusantara, Jakarta, 15-16 Maret. Jakarta: Konggres Masyarakat Adat Nusantara 1999 dan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP). Kusworo, Ahmad. 2000. Perambah Hutan atau Kambing Hitam?: Potret Sengketa Kawasan Hutan di Lampung. Bogor: Pustaka Latin. Maryani dan Sapardiyono. 2005. Penguasaan dan Pemilikan Tanah Masyarakat Suku Anak Dalam di Desa Sungai Beringin Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo Provinsi Jambi. Dalam Bhumi, Nomor 13 Tahun 5 Desember. McCharty, S. 2010. Process of Inclusion and Adverse Incorporation: Oil Palm and Agrarian Change in Sumatra. Journal of Peasant
Dwi Wulan P & Widhiana HP: Suku Anak Dalam Batin 9 dan Konflik .....: 122-141
Studies vol 37.No.4. Prasetijo, Adi. 2011. Serah Jajah dan Perlawanan yang Tersisa Etnograf i Orang Rimba di Jambi. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Sarifudin (dkk). 2010. Prof il Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan Program Pemberdayaan di Provinsi Jambi. Jambi: Dinsosnakertrans.
141
Tauf ik Rahman. Perkebunan Kelapa Sawit Perparah Pencemaran Sungai Batanghari. http://www.republika.co.id (diakses 25 November 2010). White, Ben. 2009. “Laba dan Kuasa Dicat Warna Hijau: Catatan Mengenai Biofuel, Agribisnis dan Petani”. Dalam Jurnal Tanah Air, Edisi Oktober-Desember, hal 238-257.
PETANI MELAWAN PERKEBUNAN: PERJUANGAN AGRARIA DI JAWA TENGAH1 Siti Rakhma Mary Herwati*
Abstract: One of current agrarian struggles in Central Java is between peasants against plantation estates. This paper explicates four land conflict cases, and discusses varied responses of the state institutions to deal with land conflicts. This paper start by showing the ways in which, after the fall of the authoritarian regime of Suharto in 1998, rural poor took the land back, which previously controlled by plantations. They believed the reclaimed lands belong to them as heirs. The Reformasi provided political opportunity for rural poor in various regions to do Aksi Reklaiming, and got legitimacy for their actions. However, the plantation companies fought back, including by using legal and non-legal strategies. The paper shows in detail the trajectory of each conflict and efforts to handle it, and put them in comparison one to another. Keywords Keywords: agrarian conflicts, reclaiming action, Central Java. Intisari: Salah satu perjuangan agraria di Jawa Tengah saat ini adalah antara petani melawan perusahaan-perusahaan perkebunan. Paper ini menjelaskan 4 kasus konflik tanah dan membahas respon institusi-insitusi negara dalam menangani konflik-konflik tersebut. Dengan menceritakan akar konfliknya dalam sejarah kolonial, paper ini menunjukkan, bagaimana masyarakat miskin pedesaan mengambil kembali tanah-tanah mereka yang sebelumnya dikuasai perkebunan-perkebunan sejak jatuhnya Soeharto pada 1998. Mereka meyakini bahwa tanah yang mereka klaim tersebut adalah milik mereka sebagai ahli waris. Masa Reformasi menyediakan kesempatan politik bagi masyarakat miskin pedesaan di beberapa daerah untuk melakukan Aksi-aksi Reklaiming, dan mengusahakan legitimasi atas aksi-aksi mereka. Merespon petani, perusahaan-perusahaan perkebunan tersebut melawan mereka, termasuk dengan menggunakan strategi hukum dan non-hukum. Paper ini menunjukkan secara rinci perjalanan dari konflik dan penanganannya, dan meletakkannya dalam perbandingan satu dengan yang lain. Kata K unci unci: perjuangan agraria, konflik tanah, Jawa Tengah. Kunci
A. Pengantar “Kami juga berencana untuk menggugat Bupati Siti Nurmarkesi (Dra Siti Nurmarkesi) yang telah mengeluarkan SK (Surat Keputusan) perpanjangan HGU atas tanah tersebut. Dulu tanah yang dikelola milik PT KAL tersebut adalah milik warga, setelah habis HGU mestinya dikembalikan kepada warga.’’ (Suara Merdeka, 26 November 2009). 1
Judul ini diinspirasikan oleh judul buku klasik studi agraria Indonesia: Karl Pelzer. 1982. Planters against Peasants: The Agrarian Struggle in East Sumatra, 1947-1958. ‘sGravenhage: M. Nijhoff. Perspektif yang ditampilkan di sini berangkat dari aksi-aksi kolektif petani dalam melawan perkebunan dari waktu ke waktu. Sebagian materi artikel ini pernah dipresentasikan pada Konferensi Internasional Penguasaan Tanah di Jakarta pada 12 Oktober 2004 dan Workshop di LIPI pada 11 Januari 2012. Penulis
Konflik tanah antara petani Desa Trisobo dengan PT KAL sebagaimana petikan berita di atas hanyalah salah satu dari puluhan konflik serupa di Jawa Tengah. LBH Semarang, sebuah lembaga non pemerintah yang bergerak di bidang advokasi hukum dan hak asasi manusia, mencatat bahwa sampai akhir tahun 2011 terjadi 46 kasus di Jawa Tengah, yang mencakup konflik antara petani dengan pengusaha perkebunan, dan dengan Perhutani. mengucapkan terima kasih kepada Noer Fauzi Rachman, PhD atas komentar kritis, editing, dan masukan-masukannya dalam penulisan artikel ini. * Penulis adalah Koordinator Pembaruan Hukum dan Resolusi Konflik pada Perkumpulan Pembaruan Hukum dan Masyarakat Berbasis Ekologis (HuMa) Jakarta.
Siti Rakhma Mary Herwati: Pertani Melawan Perkebunan .....: 142-156
Akar historis dari kasus-kasus konflik tanah perkebunan itu bermula dari perampasan-perampasan tanah petani oleh perusahaan-perusahaan perkebunan di zaman Hindia Belanda. Perusahaan-perusahaan perkebunan itu muncul, sejak berlakunya Agrarische Wet 1870. Agrarische Wet dan peraturan pemerintah pelaksananya (Agrarische Besluit) telah melapangkan jalan pengusaha Belanda dalam mendapatkan konsesi untuk menginvestasikan modal di sektor perkebunan. Agrarische Wet memberi wewenang kepada Kerajaan Belanda untuk melepaskan hak penguasaan rakyat atas tanah-tanah yang digolongkan terlantar (woeste gronden) maupun tanah yang sedang digarap rakyat untuk kemudian memberikannya kepada pengusaha perkebunan dengan hak erfpacht yang berjangka 75 tahun.2 Pada masa itu banyak petani kehilangan tanah. Makalah ini hendak membahas konsekuensi dari aksi-aksi petani pada awal masa Reformasi untuk mengambil kembali tanah-tanah yang sebelumnya dikuasai perusahaan-perusahaan perkebunan. Pada masa reformasi 1998, para petani di berbagai daerah menduduki tanahtanah perkebunan yang mereka yakini sebagai pernah menjadi milik mereka sebagai ahli waris. Tak terkecuali para petani di empat lokasi penelitian ini. Mereka menduduki tanah, menggarap, dan menanaminya dengan berbagai tanaman pangan. Tetapi, perusahaan perkebunan tak begitu saja membiarkan pendudukan dan penggarapan lahan itu. Mereka melaporkan para petani itu ke polisi, memobilisasi preman untuk mengintimidasi para petani, atau menggugat para tokoh petani ke pengadilan. Akibatnya, tak semua aksi reklaiming berhasil mengembalikan tanah petani. Dalam keempat kasus yang dibahas, para petani meminta dan mendapatkan bantuan 2
Cf. Soetandyo Wignyosoebroto dalam Ricardo Simarmata. 2002. Kapitalisme Perkebunan. Yogyakarta: Insist Press, hal 9.
143
hukum dari LBH Semarang. LBH Semarang memandang penyelesaian konflik di luar pengadilan memberikan peluang untuk para petani mendapatkan penyelesaian yang lebih adil.3 Meski demikian, penyelesaian kasus tanah akhirnya sampai juga di ranah litigasi. Ini terjadi ketika polisi menangkap tokoh-tokoh petani, menyidiknya, dan mengirim kasus dan terdakwanya ke kejaksaaan, dan jaksa menghadapkan terdakwa dan kasusnya ke muka pengadilan. Tulisan ini membahas perjalanan perjuangan agraria para petani di empat kasus dalam berkonflik dengan perkebunan-perkebunan di Jawa Tengah, termasuk penggunaan jalur pengadilan dan di luar pengadilan. Adapun perusahaanperusahaan perkebunan yang dihadapi petani di empat kasus ini adalah PT. Pagilaran di Kabupaten Batang, PTPN IX di Kabupaten Kendal, PT. Sinar Kartasuran di Kabupaten Semarang, dan PT. Karyadeka Alam Lestari (KAL) di Kabupaten Kendal. Penulis adalah pengacara LBH Semarang untuk para petani di empat kasus itu sejak tahun 2000 sampai 2011. Dengan demikian, penulis memiliki akses yang dalam dan luas terhadap seluruh perjalanan keempat kasus tersebut, termasuk melalui wawancara dan percakapan dengan tokoh-tokoh petani, penelusuran arsip, partisipasi dalam arena pengadilan maupun non-pengadilan, dan lainnya. B. Perjalanan Perjuangan Agraria Petani melawan Perkebunan Jauh sebelum datangnya perusahaan perkebunan ke Pagilaran pada sekitar tahun 1918-1925, para petani Pagilaran telah membuka tanah untuk dijadikan lahan pertanian dan pemukiman. Sejumlah sesepuh Desa Pagilaran diantaranya Sutomo (alm), Mukhlas (alm, bekas Petugas Keamanan PT Pagilaran dan saksi 3
Lihat: Mary, Rahma dan Muhadjirin. 2008. Konflik Agraria di Jawa Tengah dan Penyelesaian Non-Litigasi. Semarang: LBH Semarang.
144
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
pengusiran warga tahun 1966), Dirjo, menuturkan cerita turun-temurun tentang pembukaan lahan tersebut. Menurut mereka, para sesepuh mereka telah membuka lahan sebelum datangnya Londo (Belanda). Paguyuban Petani Korban PT Pagilaran (P2KPP), organisasi tani lokal di Pagilaran yang berdiri tahun 1999, dalam Riwayat Asal-Usul Tanah Pagilaran menulis: pada 1878 masyarakat membuka tanah untuk lahan pertanian. Pada waktu itu tanah-tanah di Pagilaran masih berupa hutan belantara, penduduknya masih jarang, dan mereka membuat rumah di dekat lahan pertanian masing-masing.4 Sementara di Desa Kalisari yang secara geografis terletak di bawah Desa Pagilaran—sebelum dijadikan areal perkebunan oleh Belanda—terdapat kampung asli warga Kalisari yang bersisian dengan kuburan warga. Lokasi kuburan tersebut sampai saat ini berada di tengah areal perkebunan dan masih dipergunakan warga Desa Kalisari. Namun seiring kedatangan perusahaan Belanda, para petani kehilangan tanah-tanah garapannya, karena perusahaan mengambil alihnya secara paksa. Proses penyewaan berlangsung dengan kekerasan setelah perusahaan Belanda memetakan tanah-tanah untuk lahan perkebunan. Sutomo menuturkan: dengan memanfaatkan aparat desa setempat, pengusaha Belanda membodohi para petani dalam proses penyewaan lahan. Penelitian Anton Lucas memperkuat hal ini. Di sekitar tahun 1920-an, berdiri industri gula kolonial di Karesidenan Pekalongan. Untuk menjamin kebutuhan pabrik akan lahan-lahan sawah, pemerintah menetapkan luas tanah yang harus disewakan di setiap desa. Untuk itu Pemerintah Hindia Belanda menggunakan elit birokratis setempat (Kepala Desa atau Pangreh Praja) untuk memaksa para petani menyewakan tanahnya.5
Pemaksaan seperti ini juga dialami oleh warga Desa Gondang, Kalisari, Bawang, dan Bismo. Seorang petani Desa Gondang, Minto Samari (alm) mengungkapkan bahwa lahan-lahan pertanian yang dibuka oleh para orang tua mereka diambil alih oleh perusahaan perkebunan dengan cara disewa paksa. Penyewaan itu dilakukan dengan mengganti rugi tanaman yang masih berdiri dengan uang yang jumlahnya tidak seimbang. Selanjutnya, hampir semua tanah garapan dan pemukiman petani yang telah disewa perusahaan Belanda dikosongkan. Pada 1918, perusahaan perkebunan tersebut mulai mengeksploitasi tanah Pagilaran. Mereka datang untuk mencari dan menanam pohonpohon kina di sekitar hutan. Mereka menanam pohon-pohon kina di Karangnangka dan Kali Kenini. Setahun kemudian, yaitu 1919, mereka mengukur tanah-tanah garapan para petani dan membuatkan surat hak kepemilikan tanah (pethok). Setelah surat pethok jadi, dengan janji menyewa tanah, para petani di Blok Pekandangan (Desa Bismo), Blok Karangsari (Desa Bawang) diusir dari lahannya.6 Mula-mula pengusaha Belanda menanam pohon-pohon kina dan kopi. Kemudian menggantinya dengan tanaman teh. Ide penanaman teh ini muncul ketika pengusaha Belanda mengetahui Mak Sitas membawa biji teh dari Desa Tujungsari (Wonosobo). Pengusaha Belanda itu kemudian membeli biji teh itu untuk pembibitan. Pembibitan itu berhasil, lalu si pengusaha mengganti perkebunan kopi dengan perkebunan teh. Ia menjadikan para petani yang telah kehilangan tanah sebagai buruh di lahan-lahan perkebunan itu. Dari catatan resmi PT Pagilaran, diketahui bahwa pada 1880 sebuah maskapai Belanda mendirikan perkebunan Belanda. Pada
4
P2KPP, 1999, Riwayat Asal-Usul Tanah Pagilaran: Naskah Kampanye Advokasi, tidak diterbitkan 5 Lucas, E. Anton, 1989, One Soul One Struggle, Peristiwa Tiga Daerah, Resist Book, Yogyakarta, hal 18.
6
Divisi Pertanahan LBH Semarang, Naskah Gelar Perkara Tanah PT Pagilaran di Mapolda Jawa Tengah, 21 Agustus 2000.
Siti Rakhma Mary Herwati: Pertani Melawan Perkebunan .....: 142-156
1922 pemerintah Kolonial Inggris membelinya dan menggabungkannya dengan Pamanukan and Tjiasem Land’s PT (P&T Land’s PT). Sejarah para petani Pagilaran membuka lahan pertanian dan permukiman ini tak jauh berbeda dari sejarah para petani Dusun Kalidapu, Kabupaten Kendal dalam membuka tanah pertanian dan permukiman. Namun terdapat perbedaan masa pengambilalihan tanah-tanah garapan petani Dusun Kalidapu dengan tanah petani Pagilaran. Sejarah konflik agraria para petani Dusun Dusun Kalidapu, Kabupaten Kendal, diawali sebelum tahun 1940-an, ketika warga Dusun Kalidapu, Desa Kaliputih, Kecamatan Singorojo, Kabupaten Kendal yang berjumlah kurang lebih 100 KK (Kepala Keluarga) membuka hutan belantara (menurut bahasa setempat disebut alas gung lewang lewung). Dalam prof il organisasi Kerukunan Warga Kaliputih (1998) dituliskan: pada saat itu warga tidak berani sendirian memasuki alas (hutan), karena sangat berbahaya. Setelah membuka lahan, mereka membagi tanah tersebut menjadi lima blok, yakni blok A, B, C, D dan E. Blok-blok inilah yang sekarang dinamakan Giri Salam, Cilapar, Kedung Bogor, Kedung Kendil dan Munggang. Selanjutnya para petani mengolah tanah hasil membuka hutan tersebut hingga menjadi tanah garapan yang subur dan menanam ketela, padi gogo, jagung, pisang, durian, nangka, rambutan dan tanaman lainnya yang menghasilkan. Luas hutan belantara yang mereka buka adalah kurang lebih 80–100 hektar. Hutan belantara itu membentang dari Giri Salam, Cilapar, Kedung Bogor, Kedung Kendil sampai Munggang. Rata-rata petani menggarap lahan seluas antara 0,5 hektar sampai 1 hektar. Sebagian hasil panen mereka konsumsi sendiri, sebagian lainnya di-barter dengan para pedagang dari Kaliwungu dan Boja (Kabupaten Kendal) yang datang ke Dusun Kalidapu. Di masa revolusi 1947-1949, selain menggarap tanah dan berdagang di pasar
145
tradisional, para petani dan warga Dusun Kalidapu membantu para pejuang Republik yang bermarkas di Dusun Kalidapu melawan Belanda. Sementara itu di Kabupaten Semarang, sejarah lahan yang dikuasai oleh PT Sinar Kartasura dimulai pada sekitar tahun 1930, yaitu ketika Belanda masuk ke Bandungan. Dari penuturan para sesepuhnya, diketahui pada tahun 1930-an tanah-tanah—yang sekarang merupakan tanahtanah sengketa—yang terletak di tiga desa itu merupakan lahan kosong dan semak belukar (bero). Pada waktu itu, secara hampir bersamaan para investor datang dan membuka usaha perkebunan. Tak ada yang bisa menjelaskan apakah pengusahaan lahan itu telah dimusyawarahkan dengan masyarakat sekitar dan telah ada ganti rugi penggarapan atau belum. Warga sendiri merasa tak pernah sama sekali diajak bermusyawarah. Sukadi—warga Dusun Talun, Desa Candi, Bandungan—mengatakan pada tahun 30-an lahan itu masih berupa tanah kosong dan semak belukar. Pada tahun 1932 tiba-tiba Tuan Van Harten menguasainya dan menanaminya dengan kopi, akasia, dan serai. Di lahan yang dikuasai Van Harten, seorang Jepang bernama Takeshi juga mengusahakan tanaman bunga. Pada tahun 1935 lahan tersebut dinamai persil Langenharjo. Hanya sampai tahun 1942—saat dimulainya kolonialisme Jepang—Van Harten mengelola lahan tersebut. Ketika Jepang berkuasa, ia tinggalkan lahan tersebut begitu saja dan kemudian diduduki oleh laskar rakyat yang ikut berjuang mengusir penjajah bersama-sama warga sekitar kebun. Setelah kemerdekaan, khususnya setelah laskar rakyat pergi, masyarakatlah yang secara optimal menggarap lahan tersebut. Kemudian masing-masing Kepala Desa setempat memberi para penggarap surat warna jambon (warna merah muda) yang biasa disebut letter D.7
7
Data ini diperoleh dari profil kasus PT Sinar Kartasura, disusun oleh LBH Semarang di tahun 2000.
146
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Di Desa Trisobo, tanah-tanah garapan petani hasil membuka hutan, disewa secara paksa oleh pemerintah kolonial Belanda disekitar tahun 1920. Tanah garapan petani kemudian beralih menjadi perkebunan P&T Lands milik Inggris. Perusahaan ini menanam kopi, kakao, dan randu.
ke perkebunan. Di Pagilaran, para pejuang Republik membakar aset-aset perusahaan Belanda dan akibatnya perkebunan teh hancur. Tetapi Belanda membangun lagi perkebunan dan pabriknya di luar tanah-tanah yang digarap petani. 2. Masa Revitalisasi Perkebunan
1. Masa Pendudukan Jepang, 1942-1945 Selama pendudukan Jepang segala kegiatan masyarakat ditujukan untuk menopang usaha perang. Hal itu berlaku pula bagi bidang ekonomi dan perkebunan.8 Untuk menambah hasil bumi, Jepang memperluas tanah pertanian rakyat dengan mengurangi tanah-tanah perkebunan. Kemudian diatas lahan-lahan lebih ditanami padi dan tanaman pangan lainnya.9 Para pengusaha perkebunan Belanda di Pagilaran—setelah Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat—segera meninggalkan atau membakar tanah-tanah perkebunannya, akibatnya banyak tanah menjadi terlantar. Para sesepuh menuturkan, pemerintah Jepang kemudian menginstruksi para petani untuk menanami lahan-lahan tersebut dengan jagung dan palawija lainnya. Sebagian dari hasil panennya dijadikan bahan pangan tentara Jepang. Hal yang sama terjadi di Dusun Kalidapu, Kabupaten Kendal, Desa Trisobo, dan Desa Bandungan, Kabupaten Semarang. Tetapi selain mensuplai bahan pangan tentara Jepang, di ketiga tempat itu para petani secara sembunyi-sembunyi mensuplai bahan makanan untuk para pejuang kemerdekaan (laskar rakyat). Para petani terus menggarap lahan sampai berakhirnya kekuasaan Jepang pada tahun 1945. Namun setelah itu Belanda mencoba masuk lagi
8
Sartono Kartodirjo dan Djoko Suryo, op.cit, hlm.
161. 9
Tauchid dalam Mubyarto dkk (eds.), op.cit, hlm. 49.
Masa revitalisasi perkebunan yang dimulai tahun 1956 merupakan periode sejarah yang menentukan bagi pemerintah Republik untuk menguasai aset-aset bangsa Indonesia yang sebelumnya dikuasai para penjajah. Bagi petani, masa nasionalisasi hanya menyisakan persoalan panjang, karena tercerabutnya tanah garapan mereka, bukan oleh Belanda, tetapi oleh bangsa sendiri. Setelah pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan kepada pemerintah Republik Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 29 Desember 1949, Belanda menyerahkan seluruh harta milik bangsa Belanda yang ada di Indonesia termasuk aset-aset perkebunan. Dalam perundingan KMB tersebut, selain penyerahan kedaulatan kepada Indonesia, ada satu pasal tentang Aturan Peralihan yang merugikan kerjasama antara Belanda dan Indonesia, yaitu persoalan Irian Barat. Peraturan Peralihan, yang dibuat atas anjuran Komisi PBB, tidak memberi kejelasan mengenai kedaulatan Indonesia atas Irian Barat. Para perunding hanya bicara tentang dipertahankannya keadaan status quo atas karesidenan Irian Barat dengan ketentuan, setahun setelah penyerahan kedaulatan akan diadakan perundingan antara kedua belah pihak (Indonesia dan Belanda) untuk menentukan status ketatanegaraan daerah itu. Dalam pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus 1950 Presiden Soekarno menyatakan: “Irian Barat adalah bagian Republik Indonesia, bukan besok atau lusa, melainkan sekarang, pada saat ini”. Lebih lanjut ia mengatakan kekuasaan de
Siti Rakhma Mary Herwati: Pertani Melawan Perkebunan .....: 142-156
facto Belanda atas Irian Barat hanya diakui untuk tahun ini. Bila dalam tahun ini jalan perundingan tidak tercapai, akan terjadi sengketa besar atas pulau itu.10 Sengketa besar yang diucapkan Soekarno akhirnya menjadi kenyataan, yaitu ketika pada 29 November 1957 Indonesia gagal memperoleh dukungan dalam pemungutan suara di PBB tentang masalah Irian Barat. Perdana Menteri Djuanda mendesak bangsa Indonesia agar tetap mengobarkan semangat juang demi merebut kembali Irian Barat melalui “jalan lain”. Terjadilah beberapa pemogokan di perusahaan-perusahaan Belanda. Bahkan buruh-buruh mengambil alih beberapa perusahaan Belanda. Tetapi pada tanggal 9 Desember 1957, Djuanda selaku pimpinan tertinggi militer mengeluarkan sebuah peraturan yang menempatkan semua perkebunan Belanda termasuk pabrik, fasilitas penelitian pertanian, semua bangunan lainnya, harta tetap dan harta tidak tetap dalam yurisdiksi Republik Indonesia. Dan untuk itu ia memberi wewenang kepada Menteri Pertanian untuk mengeluarkan peraturan yang perlu. Menteri Pertanian, melalui peraturan yang dikeluarkan pada hari berikutnya, menempatkan perkebunan-perkebunan Belanda dalam pengawasan teknis sebuah organisasi baru, Pusat Perkebunan Negara Baru (PPN-Baru). Cikal bakal PPN-Baru adalah Pusat Perkebunan Negara (PPN) dan Jawatan Perkebunan. Selanjutnya pada tanggal 10 Desember 1957, Jenderal A.H. Nasution (Kepala Staf Angkatan Bersenjata) selaku Penguasa Militer Pusat, mengeluarkan sebuah peraturan yang ditujukan kepada segenap Penguasa Militer Daerah untuk mengambil alih pelaksanaan semua perusahaan Belanda yang ada dalam masing-masing wilayah
militer mereka atas nama Republik Indonesia.11 Dalam penjelasannya di depan wakil-wakil asosiasi perkebunan Belanda pada tanggal 10 Desember 1957, Menteri Pertanian Sadjarwo menjamin tak akan ada nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Hak milik perusahaanperusahaan Belanda tetap pada pemiliknya, yakni orang-orang Belanda, namun di bawah pengawasan PPN-Baru. Tetapi pada tanggal 27 Desember 1957, Presiden Sukarno menandatangani UU Nomor 86 Tahun 1957 mengenai “Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda di Indonesia”. Nasionalisasi ini merupakan bagian dari perjuangan membebaskan Irian Barat dan harus dianggap sebagai kebijaksanaan pembatalan persetujuan KMB. Sementara pasal 2 mengatur ganti rugi bagi pemilik lama dan memberikan hak bagi pemilik lama untuk mencari penyelesaian hukum jika ganti rugi tidak memuaskan.12 Di Kabupaten Batang, setelah revolusi kemerdekaan, perusahaan perkebunan Belanda masih menguasai tanah perkebunan seluas 450 hektar di luar tanah garapan petani. Namun tujuh tahun setelah keluarnya UU Nomor 86 Tahun 1957 tentang “Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda di Indonesia”, perkebunan P&T Land’s tersebut dinasionalisasi. Para saksi sejarah mengungkapkan dahulu pada tahun 1963 warga dari kelima desa merebut lahan tersebut dari Inggris. Waktu itu luasnya sekitar 663 ha. Tetapi pada 1964 pemerintah menyerahkannya kepada UGM melalui Fakultas Pertanian. Penyerahan ini adalah bentuk kebijakan pemerintah Orde Lama menghibahkan tanah kepada lembaga pendidikan atau universitas tertentu yang diistilahkan sebagai land grant college. Nama perusahaan diubah menjadi PN Pagilaran, dan 11
10
Henderson dalam Ide Anak Agung Gde Agung, 1985, Renville, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, halaman 335.
147
Karl J. Pelzer, 1991, Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, halaman 206. 12 Ibid, halaman 214-215.
148
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
luas tanah yang dikuasai perusahaan ditambah menjadi 836 hektar. Saat itu petani masih menggarap tanah. Sejarah konflik agraria Dusun Kalidapu tak jauh beda dari sejarah konflik agraria di Batang. Setelah zaman Jepang sampai dengan tahun 1956, para petani tetap menggarap tanah. Tetapi pada tahun 1957 ratusan petani penggarap dikumpulkan oleh PTP XVIII (sekarang PTPN IX) di gedung Sinderan. Mereka diminta membubuhkan cap jempol untuk dibuatkan letter D. Tetapi ternyata mereka ditipu oleh PTP XVIII, karena yang didapat bukan letter D, melainkan surat pencabutan tanah garapan petani. Sejak itu para petani dilarang memasuki tanah garapan. Tanaman para petani diganti dengan pohonpohon karet dan kopi di bawah kekuasaan PTPN XVIII Merbuh. Di Bandungan Kabupaten Semarang, setelah masa kemerdekaan, para petani masih menguasai lahan-lahan pertanian. Lebih dari dua puluh tahun kehidupan para petani Bandungan tak terganggu oleh siapapun. Bahkan aparat desa setempat, mengeluarkan Letter D, yang disebut Pethok Jambon oleh para petani, mendukung para petani menggarap lahan-lahan tersebut. Tetapi pada awal tahun 1975 dengan kedatangan oknum militer dari Koramil Ambarawa, ketenangan itu sirna. Mereka datang ke lahan garapan petani dan memaksa petani untuk keluar dari lahan garapannya. Mereka mengancam akan memasukkan para petani yang menolak ke Beteng Pendem.13 Petani terpaksa keluar dari lahan garapannya. Sementara di Desa Trisobo, pasca kemerdekaan tak otomatis tanah-tanah petani yang diambil alih P&T Lands kembali pada petani. Pada masa nasionalisasi, perkebunan beralih di
bawah kekuasaan PPN Dwikora IV yang kemudian beralih ke PP Subang ditahun 1971.14 3. Peristiwa 1965 dan Konsekuensinya Tahun 1965 merupakan sejarah kelam kedua bagi para petani. Peristiwa 30 September 1965 berimbas pada stigmatisasi petani-petani penggarap tanah sebagai anggota PKI (Partai Komunis Indonesia). Akibatnya semua petani perkebunan di tiga daerah tersebut tak berani menggarap lahan-lahannya. Para petani di Pagilaran—yang tak pernah berpikir akan kehilangan lahan-lahan garapannya setelah kedatangan UGM—bahkan diinstruksikan oleh Pimpinan Perusahaan Perkebunan Pagilaran untuk meninggalkan lahanlahannya. Hal ini bisa diketahui dari surat yang ditandatangani oleh T. Chandra Bharata Bsc., Kepala Bagian Kebun pada tanggal 11 April 1966. Sebelum itu, Mukhlas yang waktu itu menjabat Bagian Keamanan Kebun ditugasi mencabut lahan-lahan garapan petani. Tetapi ia menolaknya, karena tak memiliki surat tugas pencabutan, maka oleh Chandra diketiklah surat pencabutan itu: Kepada semua penggarap tanah-tanah bekas garapan orang-orang Gestapu, dengan ini diinstruksikan agar menetapi/mentaati pengumuman dari Task Force Siaga Komando Kebun Pagilaran tertanggal 26 April 1966 tentang pentjabutan tanah-tanah tersebut dalam keadaan jang bagaimanapun. Barangsiapa jang pada saat ini masih belum mentaati instruksi tanggal 26 April ’66 atau masih mengerdjakan tanah-tanah Gestok tersebut akan diambil tindakan berdasarkan ketentuan2 jang berlaku. Sekian agar mendjadikan maklum. Dengan demikian sejak tanggal 26 April 1966, para petani Pagilaran harus pergi dari tanah yang telah mereka garap sejak tahun 1942. Kondisi yang sama terjadi di Dusun Kalidapu 14
13
Nama penjara di kecamatan Ambarawa yang terkenal menakutkan
Djarmadji, 2000, Sejarah Perjuangan Tanah Bondo Deso Trisobo, Tanah Dirampas Rakyat Terhempas, Kendal, belum diterbitkan
Siti Rakhma Mary Herwati: Pertani Melawan Perkebunan .....: 142-156
jauh sebelum tahun 1965. Petani Dusun Kalidapu bahkan sudah sejak tahun 1957 tidak menggarap lahan-lahannya, karena diusir oleh PTP XVIII berdasarkan kebijakan nasionalisasi perkebunan. Sementara para petani di Bandungan sempat selama sepuluh tahun menggarap tanah-tanahnya setelah tahun 1965, sebelum akhirnya diusir oleh militer. Ternyata pengambilalihan lahanlahan garapan hanya siasat untuk mengalihkan ke pengusaha. Para oknum militer dan aparat desa setempat merampas tanah-tanah para petani dan menyerahkannya kepada seorang pengusaha bernama Buntik Buntoro. Ia mendirikan sebuah kantor pabrik di wilayah Ampelgading diatas lahan-lahan eks para petani tersebut. Buntik Buntoro mengkontrak lahan-lahan tersebut dari Korps Veteran, tetapi tak mengetahui, Korps Veteran mana yang dimaksud. 4. Perjuangan Agraria di Masa Orde Baru dan Reformasi Pengambilalihan tanah-tanah garapan petani di masa nasionalisasi 1957 dan setelah September 1965 mengakibatkan para petani tak memiliki tanah garapan lagi. Jika dihitung lama waktu petani tak lagi menggarap tanahnya sejak masa nasionalisasi sampai masa reformasi berarti sekitar 30-40 tahun. Sejak itu sebagian dari para petani bekerja sebagai buruh industri, buruh perkebunan, buruh tani, buruh bangunan, Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Para petani di empat wilayah ini menggunakan situasi reformasi 1998 untuk mengambil kembali hak atas tanah-tanahnya. Mereka mengorganisir diri, menggabungkan diri dalam organisasi-organisasi tani lokal, dan memulai tuntutan-tuntutannya. Melalui organisasi-organisasi tani lokal mereka me-reklaim tanah-tanah mereka yang selama ini dikuasai oleh perusahaanperusahaan perkebunan. Dalam buku Reklaiming dan Kedaulatan Rakyat yang diterbitkan Yayasan Lembaga
149
Bantuan Hukum Indonesia, reklaiming adalah sebuah tindakan perlawanan, yang dilakukan oleh rakyat tertindas untuk memperoleh kembali hak-haknya seperti tanah, air, dan sumber daya alam lainnya, serta alat-alat produksi lainnya secara adil, demi terciptanya kemakmuran rakyat semesta. 15 Reklaiming bukan sekedar mengambil alih tanah dan sumber daya alam lainnya, tetapi dikaitkan dengan hak-hak mereka yang dirampas sejak masa kolonial sampai Orde Baru. Reklaiming memerlukan strategi, yaitu: mengorganisir diri, memahami hukum secara kritis, revitalisasi nilai-nilai adat/lokal, melakukan analisis sosial, membuat pandangan hukum, melakukan negosiasi, mensosialisasikan opini, mengembangkan jaringan, menentukan obyek reklaiming.16 Sebagai sebuah gerakan sosial, tantangan terhadap reklaiming tak hanya datang dari kalangan penguasa atau pemilik modal. Pertama adalah akademisi. Sebagian akademisi sering memberikan analisis yang memojokkan para pelaku reklaiming. Mereka menstigma gerakan reklaiming sebagai gerakan anarkis, penjarahan, gerakan melawan penguasa, atau tindakan melawan hukum.17 Kedua adalah golongan kompromis, yang berpendapat bahwa penyelesaian sengketa hak tanah petani tidak selalu menuntut hak tanahnya tetapi juga bersama-sama mengelola tanah perkebunan. Konsep ini ditawarkan oleh beberapa pemerintah lokal. Ketiga dari 15
Boedhi Wijardjo dan Herlambang Perdana, Reklaiming dan Kedaulatan Rakyat, YLBHI dan RACA Institute, Jakarta, hlm. 81. Istilah reklaiming muncul dalam pertemuan para aktifis LBH ditahun 1998 di Jakarta. Para aktifis LBH yang difasilitasi YLBHI berkumpul untuk menyikapi situasi politik dan isu-isu pertanahan. Pertemuan itu melahirkan satu kata yang kemudian menjadi model gerakan perjuangan petani yaitu reklaiming. Istilah ini menjadi kesepakatan bersama untuk menyebut pengambilalihan kembali tanah-tanah rakyat 16 Ibid. hlm. 98-129. 17 Ibid., hlm. 35.
150
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
kelompok yang mendukung aksi-aksi gerakan reklaiming petani. Kelompok akademisi ini punya pergaulan dengan para aktivis atau mantan aktivis.18 Respon beberapa pihak pasca reklaiming yang diklasif ikasikan dalam empat pihak. Pihak pertama adalah rakyat, yaitu membentuk kelompok pengelolaan lahan, penguatan simbol-simbol lokal dan legalisasi lahan reklaiming. Pihak kedua adalah pemerintah, yaitu membentuk tim dan mengusulkan penyelesaian melalui pengadilan serta pengukuran lahan. Pihak pengusaha itu mendatangkan preman, mengambil alih kembali lahan reklaiming, meminta dukungan dan keterlibatan pihak luar, mengkriminalkan petani, menggugat perdata dan menggugat administrasi. Pihak lain adalah mahasiswa, NGO, jaringan lain yang turut mendukung dan mendampingi, ulama dan informal leader yang sering melakukan kooptasi dan aparat keamanan yang melakukan konsolidasi pengamanan kebun.19 C. Dinamika Perjuangan Agraria dan Konflik Tanah di Empat wilayah Kasus Empat kasus ini adalah kasus-kasus yang diadvokasi berdasarkan pola pengorganisasian yang sama. Latar belakang perkebunan adalah perusahaan perkebunan swasta dan negara dengan kondisi perkebunan yang berbeda-beda. Di empat daerah ini, terdapat organisasi tani, yang masing-masing berbeda-beda pula kekuatannya. Naik turunnya perjuangan petani, ditentukan juga oleh kekuatan organisasi tani, dan dukungan pemerintah daerah. Dukungan pemerintah daerah pun berkaitan erat dengan 18
Siti Rakhma Mary Herwati dan Noer Fauzi Rachman, 2012. “Bantuan Hukum Struktural di Jawa Tengah – Catatan LBH Semarang”, artikel dalam buku berjudul: Verboden Voor Honden En Inlanders Dan Lahirlah LBH, Catatan 40 Tahun Pasang Surut Keadilan, YLBHI, Jakarta, hlm. 226. 19 Ibid., hlm. 222.
kondisi masing-masing perkebunan. Di empat daerah ini, hanya di tiga daerah, dimana terdapat aparat keamanan yang menjaga keamanan perkebunan, baik secara intens maupun sewaktu-waktu: yaitu di perkebunan Pagilaran, PTPN IX, dan PT Karyadeka Alam Lestari. Penjagaan aparat tidak ada di perkebunan PT Sinar Kartasura, kecuali pada waktu aparat kepolisian menangkap 3 orang petani setelah para petani mereklaim tanah. PT Sinar Kartasura adalah perkebunan terlantar. 1. Kasus Pagilaran, Kabupaten Batang Perlawanan petani di daerah ini dimulai sejak tahun 1999. Warga 5 desa di sekitar perkebunan Pagilaran, menuntut kembali hak atas tanah yang dikuasai PT Pagilaran, perusahaan swasta yang mengusahakan tanaman teh di atas lahan seluas 1131,8 hektar. Petani memulai perlawanan dengan memprotes PHK yang dilakukan PT Pagilaran kepada 500 orang buruhnya. Mereka di-PHK tanpa pesangon dan hak-hak normatif lainnya. Tuntutan ini kemudian berkembang kearah tuntutan hak atas tanah. Para petani kemudian mengadukan persoalan ini ke LBH Semarang. LBH Semarang lalu melakukan investigasi, mengumpulkan data, dan memfasilitasi terbentuknya organisasi tani bernama Paguyuban Petani Korban PT Pagilaran (P2KPP). Organisasi tani ini meminta dukungan aparat pemerintahan lokal seperti Kepala Desa, Camat, DPRD, dan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sayangnya, tak satupun aparat pemerintahan yang mendukung tuntutan para petani. Meski demikian, BPN melakukan pengukuran ulang atas Hak Guna Usaha PT Pagilaran. Tetapi ditengah proses pengukuran ulang, aparat kepolisian menangkap para petani. Saat itu, para petani sedang menggarap dan mengukur lahan seluas sekitar 3 hektar yang dikuasai PT Pagilaran untuk ditanami tanaman pangan dan sayuran. Serombongan
Siti Rakhma Mary Herwati: Pertani Melawan Perkebunan .....: 142-156
polisi datang dan menangkap petani. Mereka memproses hukum para petani sampai ke pengadilan. Para hakim mendakwa petani dengan pasal perusakan, penghasutan, dan penadahan. Mereka menghukum penjara 21 petani selama 5–7 bulan. Pasca kriminalisasi, para petani tetap berusaha menuntut hak atas tanah. Mereka bergabung dengan para buruh perkebunan dan mengganti nama organisasi tani menjadi Paguyuban Masyarakat Gunung Kamulyan (PMGK). Beberapa aksi demonstrasi pun dilakukan, diantaranya demonstrasi besar ke Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada pada 2003. PT Pagilaran adalah milik Yayasan Pembina Fakultas Pertanian universitas ini. Namun, pihak universitas tidak menanggapi tuntutan petani. Mereka menganggap tuntutan petani salah alamat. Petani lalu menempuh beberapa negosiasi ke BPN Provinsi Jawa Tengah dan BPN Pusat. Mereka meminta BPN mengeluarkan sebagian tanah yang diklaim petani dari HGU PT Pagilaran. Alih-alih mengeluarkan sebagian tanah dari HGU, BPN justru memperpanjang HGU PT Pagilaran yang berakhir pada 31 Desember 2008 selama 25 tahun. 2. Kasus PTPN IX, Kabupaten Kendal Di masa Orde Baru, beberapa petani dari Desa Kaliputih sebenarnya telah berupaya menuntut kembalinya tanah-tanah mereka yang diambil alih PTPN IX di sekitar tahun 1957. Tetapi upaya ini tidak berhasil. Mereka kembali menuntut hak atas tanah pada 1997. Beberapa negosiasi dengan aparat pemerintahan lokal juga ditempuh. Negosiasi itu juga tidak berhasil mengembalikan tanah-tanah petani. Akhirnya, petani melakukan aksi reklaiming. Petani mematoki, dan menggarap tanah yang dikuasai PTPN IX. Aksi ini membuat PTPN IX menggugat 521 petani ke Pengadilan Negeri Kendal. PTPN IX meminta kepada hakim untuk memutuskan bahwa tanah adalah milik PTPN IX dan menghukum petani untuk
151
membayar ganti rugi atas kerugian PTPN IX akibat aksi reklaiming tersebut. Pengadilan Negeri Kendal memenangkan PTPN IX dalam perkara ini. Petani, didampingi LBH Semarang mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jawa Tengah. Tetapi, putusan pengadilan ini menguatkan putusan Pengadilan Negeri Kendal. Lalu, petani mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Di tingkat terakhir inilah, MA mengabulkan kasasi para petani. Petani baru menerima putusan MA pada tahun 2011, padahal MA memutus perkara ini pada 2006. 3. Kasus Petani PT Sinar Kartasura, Semarang PT Sinar Kartasura seharusnya mengusahakan tanaman sereh wangi. Tetapi mereka menelantarkan tanahnya dan membuat peternakan di atas lahan HGU. Pencemaran lingkungan karena limbah peternakan itulah yang kemudian membuat para petani dari 3 desa di Kabupaten Semarang mempermasalahkan tanah HGU tersebut. Menurut petani, tanah yang dikuasai PT Sinar Kartasura, adalah tanah garapan petani. Militer merampasnya sekitar tahun 1965, lalu memberikannya kepada pengusaha. Dengan dukungan LBH Semarang, petani meminta kembali tanahnya. Mereka lalu menemui Bupati dan DPRD Jawa Tengah. Komisi A DPRD Jawa Tengah menyetujui tuntutan petani untuk menggarap tanah yang diterlantarkan tersebut. Meski mendapat persetujuan, beberapa pimpinan petani sempat ditangkap polisi setelah para petani melakukan aksi reklaiming. Polisi menuduh 3 orang pimpinan petani tersebut menghasut para petani untuk menduduki lahan. Di Pengadilan Negeri Semarang, majelis hakim membebaskan mereka. Menanggapi tuntutan petani atas tanah, Badan Pertanahan Nasional membatalkan HGU PT Sinar Kartasura pada 2001. Atas keputusan ini, PT Sinar Kartasura menggugat BPN ke Pengadilan Tata Usaha Nega-
152
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
ra Jakarta. Hakim yang memeriksa perkara, membatalkan Surat Keputusan BPN ini. BPN mengajukan banding dan kemudian kasasi, karena Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memberikan putusan yang sama. Mahkamah Agung sekarang tengah memeriksa kasus ini. 4. Kasus Karyadeka Alam Lestari, Kendal Perlawanan petani Desa Trisobo kepada PT Karyadeka Alam Lestari (KAL) telah berlangsung sejak sebelum masa reformasi. Tetapi perlawanan secara lebih sistematis dilakukan setelah masa reformasi. Petani, dipimpin Kepala Desa, menempuh jalur non-litigasi: membuat surat ke kecamatan, mengikuti pertemuan-pertemuan yang membahas kasus Trisobo, dan bernegosiasi dengan PT KAL dengan difasilitasi pemerintah setempat. Di tahun 2000, petani, yang tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Ngaglik Trisobo (PPNT) melakukan reklaiming tanah. Mereka menduduki lahan seluas 67 hektar, dengan cara menanami sela-sela pohon karet yang masih muda dengan tanaman kacang dan jagung. Selama tahun 2000–2007, para petani menggarap tanah dengan aman. Tetapi, situasi ini tidak bertahan lama. Terjadi kasus pidana yang akhirnya menghancurkan PPNT. Pada pertengahan 2008 pasca Kepala Desa Trisobo tidak lagi menjabat sebagai Kepala Desa, mantan Kepala Desa dan 9 orang pimpinan petani, dikriminalkan aparat kepolisian. Atas laporan PT KAL, petani dituduh menebang 6 batang pohon rambutan dan mangga, yang diklaim PT KAL sebagai pohon miliknya di perkebunan karet. Sementara Kepala Desa dituduh melakukan pencurian kayu di balai desa yang terjadi tahun 2004. Para petani lalu divonis 6 bulan, 9 bulan, dan kepala desa 1, 5 tahun penjara. LBH Semarang lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung untuk kasus yang melibatkan mantan Kepala Desa. MA membatalkan putusan PN Kendal. Menurut mereka perbuatan kepala
desa bukanlah perbuatan pidana. Karena itu kepala desa dilepaskan dari segala tuntutan hukum. Tetapi, Djarmadji, kepala desa itu terlanjur menjalani 9 bulan di penjara. Di tengah-tengah para pemimpin petani menjalani proses pidana, Kanwil BPN Jateng dan BPN Pusat menjalankan reforma agraria di Desa Trisobo. Para petani yang tersisa, orang-orang tua yang tidak menjadi pimpinan organisasi dan para perempuan diajak bernegosiasi oleh BPN. Para petani ini menolak tawaran BPN Jateng untuk menerima lahan seluas 11,5 hektar di Desa Trisobo untuk seluruh petani penggarap yang jumlahnya lebih dari 300 KK. Petani, menginginkan BPN melepaskan lahan seluas 80 hektar yang selama sepuluh tahun sudah digarap petani. PT KAL menolak. BPN mengikuti kemauan PT KAL untuk hanya melepaskan 11, 5 hektar lahan. BPN kemudian memberikan tanah itu kepada Kepala Desa Trisobo yang baru. Sampai sekarang, tak satupun petani anggota PPNT mau menggarap lahan itu. Setelah BPN melepaskan lahan seluas 11,5 hektar tersebut, BPN memperpanjang HGU PT KAL yang telah berakhir 31 Desember 2002. HGU diperpanjang selama 25 tahun. BPN mengklaim redistribusi lahan di Desa Trisobo ini sebagai pelaksanaan reforma agraria yang sukses. Petani kemudian mengajukan gugatan pembatalan SK HGU tersebut ke PTUN Semarang. Mereka juga mengajukan gugatan perdata ke PN Kendal. Di kedua proses hukum tersebut, petani dikalahkan. 5. Perbandingan Keempat Kasus Dari keempat kasus tersebut bisa terlihat perbedaan mengenai asal-mula munculnya kasus, situasi masyarakat dan ada/tidak dukungan dari pemerintah lokal (lihat tabel 1).
153
Siti Rakhma Mary Herwati: Pertani Melawan Perkebunan .....: 142-156
Tabel 1. Perbandingan Perjuangan Agraria di 4 kasus Kasus PT Pagilaran P2KPP/PMGK
Kasus PTPN IX
Kasus PT Sinar PT KAL Kartasura KWK dan PWB P3TR PPNT
Organisasi Tani Lokal Tahun berdiri 1999 1998 Alasan PHK 419 buruh Kemiskinan Gerakan tanpa pesangon dan krisis ekonomi Struktur Organisasi Mekanisme Pengambilan Keputusan Jumlah Anggota Luas Tanah Yang direklaim Kebun yang di-reklaim Status Perkebunan Dukungan Pemerintah Lokal
Presidium
Tunggal
2000 Pencemaran air minum oleh limbah ternak PT Presidium
Pertemuan tingkat desa dan tingkat presidium 1500 KK
Musyawarah tingkat Organisasi Tani Lokal 853 KK
Musyawarah tingkat P3TR Dusun dan P3TR Desa 3000 KK
Musyawarah tingkat Organisasi Tani Lokal 300 KK
-
200 hektar
198 hektar
150 hektar
Kebun teh Kebun Kopi orientasi ekspor yang sebagian besar terlantar Swasta Negara
Kebun terlantar
Kebun karet, sebagian terlantar Swasta
Tidak ada
Tidak ada Komisi A DPRD Jawa Tengah, DPRD Kabupaten Semarang, dan Bupati Semarang
Komisi A DPRD Kendal
Swasta
1999 Pengambilali han tanah Tunggal
Pertama, Perkebunan teh PT Pagilaran adalah perkebunan teh swasta berorientasi ekspor. Jumlah petani yang menuntut tanah cukup besar (1500 KK), dan sebagian diantaranya bekerja sebagai buruh perkebunan berupah rendah.20 Meski demikian, tak ada dukungan dari pemerintah lokal karena perkebunan ini produktif. Kedua, adalah perkebunan kopi dan karet milik PTPN IX. Para petani di wilayah kasus ini pernah mendapat dukungan Komisi A DPRD Kendal untuk menggarap tanah. Dukungan ini memperkuat aksi reklaiming tanah yang mereka lakukan. Sebagai perkebunan negara, posisi PTPN IX cukup kuat, hingga BPN tak pernah mau meninjau ulang HGU perkebunan ini yang telah berakhir sejak 2005. Meski gugatan PTPN IX terhadap petani dikalahkan oleh Mahkamah Agung, PTPN IX tetap menguasai tanah konflik. Para petani juga tetap menguasai tanah yang mereka reklaim sejak 1998. Ketiga, adalah perkebunan 20
Pada Maret 2013, upah buruh tetap dan harian lepas pabrik PT. Pagilaran adalah Rp. 32.350 per hari, sementara buruh petik adalah Rp. 450,00 per hari. Tiap hari rata-rata buruh menghasilkan 10-15 kg daun teh basah.
PT Sinar Kartasura. Kondisi perkebunan yang terlantar, kekuatan organisasi tani, dan dukungan politik lokal membuat para petani sampai sekarang memenangkan penguasaan f isik atas lahan konflik. BPN telah membatalkan HGU perkebunan ini. Hingga sekarang, petani menggarap tanah subur di kaki Gunung Ungaran tersebut. Perkebunan terakhir adalah perkebunan karet milik PT Karyadeka Alam Lestari. Ketiadaan dukungan pemerintah lokal, kondisi perkebunan yang cukup produktif dan kurangnya dukungan seluruh warga Desa Trisobo mengakibatkan para petani gagal mendapatkan hak atas tanah. BPN hanya membagikan 11,5 hektar dari 80 hektar tanah bekas HGU yang dituntut. Petani tak mau menerimanya. Saat ini tak satupun petani yang tergabung dalam Paguyuban Petani Ngaglik Trisobo (PPNT) yang menggarap tanah. Tanah hasil redistribusi ini jatuh ke tangan Kepala Desa Trisobo dan kelompok pendukungnya. Perbandingan keempat kasus tersebut menunjukkan pula bagaimana perusahaan-perusahaan perkebunan menghadapi tuntutan dan aksi-aksi kolektif petani (lihat tabel 2) Tabel 2. Respon perusahaan perkebunan PT PAGILARAN Bentukbentuk represi
PT KAL
Pengusiran petani dari lahan garapan (1966) PHK (1999) Kriminalisasi (2000) PHK sebagai imbas kriminalisasi (2000-2001) Premanisme (2000) Membentuk organisasi tandingan (2000) Pengusiran buruh dari emplasemen (2001)
Kriminalisasi (1999) Perusakan tanaman Intimidasi Kriminalisasi (2008) Premanisme Membentuk organisasi tandingan
pencurian kopi (2002)
Setiap perusahaan perkebunan senantiasa melaporkan para petani yang mencoba menun-
154
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
tut tanah ke polisi. Perusahaan tak hanya menggunakan Hukum Pidana, tetapi juga Hukum Perdata dan Peradilan Tata Usaha Negara tergantung pada perkembangan kasus masing-masing. Selain itu juga diketahui ketiga perusahaan perkebunan memiliki hubungan erat dengan aparat keamanan, preman, dan akses lebih ke pengadilan. Penangkapan petani Pagilaran pada tahun 2000 dilakukan oleh gabungan aparat Polsek, Polres, dan TNI. Pada masa itu, Perusahaan Perkebunan Pagilaran juga menjalin hubungan dengan organisasi preman Roban Siluman yang sekarang sudah dibubarkan. Sementara itu, Polres Kendal juga mengamankan puluhan kali sidang pengadilan kasus PTPN IX, sementara Brimob mengamankan kebun PTPN IX. PTPN IX juga menggunakan Serikat Pekerja Perkebunan (SP Bun) untuk menghadang perlawanan petani. Di pihak lain, PT. Sinar Kartasura menjalin hubungan dengan Polwil Semarang, Brimob, dan TNI. Sedangkan PT KAL menggunakan preman dan polisi untuk menghentikan perlawanan petani. Ternyata, dalam perjalanan perjuangan agraria para petani, mereka juga harus terlibat dalam perkara-perkara di pengadilan (lihat Tabel 3 dan 4). Tabel 3. Penggunaan Jenis-jenis Peradilan di Keempat Kasus Peradilan
PT Pagilaran Pidana
PTPN IX - Pidana - Perdata
PT Sinar Kartasura - Pidana - Administrasi Negara
- PTUN
PT KAL - Pidana - PTUN - Perdata
Tabel 4. Putusan Hakim dalam Konflik Tanah Perkebunan Jenis Perkara Pidana
PT Pagilaran 5 bulan – 2 tahun penjara
PTPN IX Bebas
Perdata
-
PTUN
Kalah
Menang di MA -
PT SK - Perkara penghasutan diputus bebas - Perkara pembakaran diputus 1,5 tahun penjara -
PT KAL 6 bulan – 1,5 tahun penjara
Menunggu putusan
kalah
kalah
Kriminalisasi terhadap petani terjadi di semua kasus. Sedangkan perusahaan perkebunan yang menggugat perdata hanya satu, yaitu PTPN IX. Dua kasus yang lain, adalah gugatan pembatalan SK HGU yang diajukan para petani yaitu di kasus PT. Pagilaran dan kasus PT. KAL. Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dan Semarang mengalahkan petani di semua gugatannya. Tetapi gugatan yang diajukan PTPN IX juga dibatalkan Mahkamah Agung di tingkat kasasi. Meski menang, petani tak serta merta mendapatkan tanah dari putusan pengadilan itu. Status tanah tetaplah tanah negara. D. Kesimpulan Latar belakang sejarah keempat kasus ini adalah perampasan-perampasan tanah petani yang dilakukan perusahaan-perusahaan perkebunan di masa lalu, dibawah pemerintah kolonial, yang akibat-akibatnya masih terjadi sampai sekarang. Meskipun pemerintah telah memiliki konstitusi yang memuat tekad untuk melindungi “segenap tumpah darah Indonesia” dan mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan mengeluarkan Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang berbasis kerakyatan, tetapi pemerintah terus memfasilitasi kelanjutan perusahaan-perusahaan milik negara maupun swasta paska kolonial untuk memupuk dan mengembangbiakkan modal dengan mengorbankan para petani. Keempat kasus ini secara terang menunjukkan kolaborasi perusahaan dengan aparat keamanan seperti polisi, preman, dan aparat peradilan. Aksi pengambilalihan tanah (reklaiming) yang dilakukan para petani di semua wilayah ini, pertama kali ditanggapi dengan kriminalisasi. Perusahaan perkebunan menggunakan aparat kepolisian untuk menangkap para pimpinan petani. Kriminalisasi ini adakalanya mengendorkan semangat petani untuk menuntut kembali hak atas tanah mereka, seperti terjadi
Siti Rakhma Mary Herwati: Pertani Melawan Perkebunan .....: 142-156
dalam kasus Pagilaran. Beberapa faktor turut mempengaruhi keberhasilan petani mendapatkan hak atas tanahnya kembali, seperti: kondisi perkebunan, situasi politik lokal, kekuatan organisasi rakyat. Di Pagilaran, kekuatan organisasi rakyat dan jaringan petani seperti organisasi masyarakat, organisasi mahasiswa, dan organisasi pemerintah tak hentihentinya memberikan dukungan pada perjuangan petani. Tetapi gerakan petani ini tidak berhasil karena situasi politik lokal tidak mendukung. Tak satupun institusi negara dalam kasus Pagilaran yang mendukung perjuangan petani. Situasi sebaliknya terjadi di Kabupaten Kendal, di wilayah kasus PT Karyadeka Alam Lestari di Desa Trisobo. Meski didukung organisasi tani yang kuat, tapi dukungan pemerintah terhadap petani tidak ada. Sehingga ketika pimpinan organisasi tani yang juga menjabat Kepala Desa berpindah tangan, tanah yang dituntut juga ikut berpindah tangan. Dalam kasus Trisobo, perusahaan perkebunan mendatangkan aparat kepolisian, preman, dan membuat organisasi tani tandingan. Di kasus PTPN IX, perusahaan perkebunan juga menggunakan aparat kepolisian, buruh perkebunan, dan preman untuk menjaga perkebunan. Demikian juga di Kabupaten Semarang, perusahaan perkebunan menggunakan aparat kepolisian untuk menangkap para pimpinan petani. Untuk menggagalkan tuntutan petani atas tanah, dan aksi reklaiming yang mereka lakukan, negara juga menggunakan pengadilan. Hak Guna Usaha (HGU) empat perkebunan ini berakhir hampir bersamaan. HGU PT Pagilaran berakhir 31 Desember 2008, HGU PTPN IX berakhir 31 Desember 2005, HGU PT Karyadeka Alam Lestari berakhir 31 Desember 2002, dan HGU PT Sinar Kartasura berakhir 31 Desember 1999. Seluruh HGU ini sudah diperpanjang oleh Badan Pertanahan Nasional. Ini juga merupakan kebijakan anti-land reform dalam menanggapi
155
tuntutan petani atas tanah. Menariknya, atas tuntutan petani pula, BPN kemudian membatalkan HGU PT Sinar Kartasura. Kebijakan anti-land reform juga ditunjukkan ketika mereka melawan petani di pengadilan, saat petani mengajukan gugatan pembatalan HGU PT Pagilaran dan PT KAL. Bahkan dalam kasus PT Karyadeka Alam Lestari, Polres Kendal meminta staf BPN Provinsi Jawa Tengah menjadi saksi ahli bagi Polres Kendal setelah Polres Kendal menerima laporan terjadinya tindak pidana dari PT KAL. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dalam 4 wilayah kasus diatas, terlihat 4 bentuk kebijakan anti-land reform baik yang dilancarkan langsung oleh badan pemerintahan maupun oleh perusahaan dalam merespon aksi reklaiming tanah petani. Pertama adalah penggunaan aparat keamanan, kedua adalah pemberian Surat Keputusan Perpanjangan HGU, dan ketiga penggunaan pengadilan sebagai sarana represi. Ketiga, kebijakan anti-land reform itu bertujuan menjaga situasi tetap seperti semula, mempertahankan modal dan menolak tanah-tanah kembali ke petani. Jika dikaitkan dengan situasi yang terjadi pada masa kolonial, maka situasi saat ini tak jauh beda. Perampasan-perampasan tanah oleh perusahaan perkebunan kolonial masih berlanjut hingga saat ini dengan aktor yang berbeda. Jika pada masa kolonial pemerintah kolonial merampas tanah dengan kebijakan dan sewa paksa, maka perampasan tanah yang dilakukan saat ini juga menggunakan kebijakan dan institusi negara seperti aparat keamanan dan pengadilan. Penggunaan peradilan di semua levelnya, pengiriman preman dan polisi untuk meredam aksi reklaiming tanah, adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan sosial yang ada dalam konstitusi dan UUPA. Menurut penulis, seharusnya aksi reklaiming tidak diproses dengan hukum-hukum represif, tetapi diselesai-
156
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
kan secara politik melalui kebijakan land reform dengan hukum-hukum yang responsif dan progresif.21
Daftar Pustaka Anonim, Leaflet PT Pagilaran. Gde Agung, Ide Anak Agung, 1985. Renville. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Herwati, Siti Rakhma Mary, 2000, Laporan Live In Di Dusun Kalidapu Kendal, LBH Semarang. Herwati, Siti Rakhma Mary, 2001. Laporan Live In Di Pagilaran Batang, LBH Semarang. Herwati, Siti Rakhma Mary dan Radjimo Sastro Wijono, 2003. Atas Nama Pendidikan, Terkuburnya Hak-Hak Petani Pagilaran Atas Tanah, LBH Semarang dan PMGK. Herwati, Siti Rakhma Mary dan Noer Fauzi Rachman. “Bantuan Hukum Struktural di Jawa Tengah–Catatan LBH Semarang”, artikel dalam buku berjudul: Verboden Voor Honden En Inlanders Dan Lahirlah LBH, Catatan 40 Tahun Pasang Surut Keadilan, YLBHI, Februari 2012, Jakarta. Herwati, Siti Rakhma Mary dan Muhadjirin, 2008. “Konflik Agraria di Jawa Tengah dan Penyelesaian Non-Litigasi”, LBH Semarang. Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Suryo, 1991. Sejarah Perkebunan Di Indonesia, Yogyakarta, Aditya Media. LBH Semarang. Divisi Pertanahan, 1998-2004. Laporan Lapangan. ___. 2000. Naskah Gelar Perkara Kasus Tanah PT. Pagilaran di Mapolda Jawa Tengah. ___. 2000. Pleidooi Dalam Perkara Pidana Pagilaran.
21
Kalimat ini diinspirasikan oleh buku karya Philippe Nonet dan Philippe Selznick yang berjudul: Hukum Responsif, Pilihan di masa Transisi, yang versi terjemahannya telah diterbitkan Perkumpulan HuMa pada tahun 2003. Penulis juga terinspirasi oleh karya-karya Prof. Satjipto Rahardjo tentang Hukum Progresif.
___. Divisi Hak-Hak Sipil Politik, 2000-2001. Laporan Lapangan. ___. Divisi Perburuhan, 2000-2002. Laporan Live In Di Pagilaran. ___. Divisi Pertanahan, 2002. Dokumentasi perkara perdata No. 16/Pdt/G/2000/PN. Kendal. ___. Divisi Pertanahan, 2004. Dokumentasi Perkara Pidana Bandungan ___. Divisi Pertanahan, 2004. Dokumentasi Perkara Administrasi Bandungan. Lucas, E. Anton, 1989. Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi Dalam Revolusi, Jakarta, Pustaka Utama Graf iti. Mubyarto, dkk, 1992, Tanah dan Tenaga Kerja Perkebunan, Kajian Sosial Ekonomi, Yogyakarta, Aditya Media. P2KPP, 2000. Riwayat Asal-Usul Tanah Pagilaran, Naskah Kampanye Advokasi, tidak diterbitkan. Padmo, Soegijanto 2004. Bunga Rampai Sejarah Sosial Ekonomi Indonesia, Yogyakarta, Aditya Media kerjasama dengan Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya dan Program Studi Sejarah Program Pascasarjana, Universitas Gajah Mada. Pelzer, J. Karl, 1991, Sengketa Agraria, Pengusaha Perkebunan Melawan Petani, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan. Ro’is, Mochammad, 2000. “Kembalikan Tanah Leluhur Kami Yang Diambil Oleh PTPN IX”, dalam Media Pendidikan Perjuangan Hak Rakyat Atas Tanah: Kisah-Kisah Perjuangan Hak Rakyat Atas Tanah, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Simarmata, Rikardo, 2002. Kapitalisme Perkebunan, Yogyakarta, Insist Press. Wahyudi, 2004. Perlawanan Masyarakat Pagilaran: Orang Kampung vs Orang Kampus, naskah tulisan, tidak diterbitkan. Widjarjo, Boedhi dan Herlambang Perdana. 2001. Reklaiming dan Kedaulatan Rakyat. Jakarta: YLBHI & RACA Institute.
PERAMPASAN TANAH DAN KONFLIK: KISAH PERLAWANAN SEDULUR SIKEP 1 Tri Chandra Aprianto*
Abstract: Abstract:This paper draws how the people to make effort against land grabbing process in Kendeng montain range, Pati, Central Java. The conflict not only into make effort the struggle forms of violence, but also come into fights on ideas level, because the are other efforts to bear down the other to make academic and cultural in order to pave land grabbing. This paper gets to know a consciousness of people to make effort against land grabbing. The consciousness of the people is an expression of everyday live such as politic behavior, economic idea, and cultural idea. In addition resistant community, especially Sudulur Sikep speak against land grabbing at the basis on their belief, and one of their conection is the one with the land. Keywor ds: Land grabbing, industrialization, agrarian conflict, and Sedulur Sikep community. eywords: Intisari: Tulisan ini menggambarkan bagaimana perlawanan masyarakat atas proses perampasan tanah berlangsung di Pegunungan Kendeng, Pati, Jawa Tengah. Konflik yang terjadi tidak saja berbentuk pertarungan kekerasan fisik, tapi juga terjadi pertarungan pada wilayah ide, karena terdapat upaya menundukkan yang lain dengan menggunakan legitimasi akademik dan kultural, dalam rangka memuluskan jalannya perampasan tanah. Tulisan ini berusaha memahami dan memperhitungkan kesadaran masyarakat di tingkat bawah dalam melakukan perlawanan. Kesadaran masyarakat yang maujud/mewujud dalam ekspresi keseharian baik yang bersifat perilaku politik, maupun cita-cita ekonomi dan bahkan angan-angan budaya. Dan perlawanan dari masyarakat, komunitas Sedulur Sikep berdasar atas keyakinan mereka, yang salah satunya adalah hubungan mereka dengan tanah. Kata Kunci Kunci: Perampasan tanah, industrialisasi, konflik agraria, dan komunitas Sedulur Sikep.
A. Pengantar Narasi pengelolaan sumber-sumber agraria di Indonesia masih berkutat pada masalah klasik “menyediakan tanah untuk pembangunan”. Narasi itu maujud dalam bentuk formulasi kebijakan yang memberi peluang bagi proses konsentrasi lahan pada satu kekuatan modal. Akibatnya, masyarakat lokal disingkirkan secara perlahan dari akses lahannya. Tanah tidak lagi “menyatukan” individu-individu yang tergabung dalam masyarakat. Tanah sudah menjadi milik institusi 1
Tulisan ini adalah perbaikan dari makalah yang dipresentasikan pada seminar hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Kapuslitbang Depag di Hotel Melenium, Jakarta, 27 Desember 2012. * Adalah Sejarawan Universitas Jember, aktivis dan penggiat studi agraria, sekarang sedang menjadi Mahasiswa S3 di FIB Universitas Indonesia.
yang didukung penyelenggara negara dalam rangka pelipatgandaan modal. Inilah yang disebut dengan perampasan tanah (land grabbing).2 Kendati beberapa prakteknya terdapat unsur penyewaan atau ganti rugi (jual beli), namun itu tidak menghapus bahwa semua itu diperuntukkan pada akumulasi kapital. Praktek land grabbing di Indonesia bukanlah merupakan hal yang baru. Banyak studi yang 2
Istilah land grabbing muncul pertama kali dari laporan GRAIN, sebuah NOG dari Spanyol yang mendukung kelompok petani kecil. Dalam laporan tersebut, land grabbing merupakan tren global yang terkait dengan promosi bahan bakar nabati dan pangan untuk eksport. Lihat Dwi Wulan Pujiriyani dkk, Perampasan Tanah Global Pada Abad XXI, dalam Tim Peneliti STPN, 2012, Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 (Hasil Penelitian Sistematis STPN, 2012), Yogyakarta: PPPM-STPN, hlm. 183.
158
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
telah menjelaskan praktek ini sejak era kolonialisme. Ironisnya praktek untuk mengkonsentrasikan tanah pada satu kepemilikan tidak saja (masih) menggunakan praktek kekerasan, tapi juga bujuk rayu, dan buaian unsur keyakinan. Sering kali, masyarakat yang menjadi korban malah mendapatkan stigma negatif baik secara hukum positif maupun norma kemasyarakatan. Sementara praktek perampasan tersebut menjadi sesuatu yang halal dan wajar. Praktek semacam ini menyebabkan tertutupnya akses dan asset penguasaan tanah oleh petani. Akibat selanjutnya adalah memperpanjang daftar konflik agraria di Indonesia. Adalah Pegunungan Kendeng3 yang menjadi satu lahan yang ingin “dibebaskan” oleh kekuatan modal. Skemanya, Pegunungan Kendeng harus diubah dari kawasan lindung menjadi kawasan industri semen. Pegunungan ini menyimpan lebih dari 200 mata air dan beberapa sungai bawah tanah. Sekitar 45% kebutuhan air masyarakat Pati di topang oleh wilayah ini. Adanya upaya untuk merubah kawasan lindung menjadi kawasan industri inilah praktek dari skema land grabbing sedang diterapkan. Sejak tahun 2006 terjadilah konflik antara pihak masyarakat salah satunya adalah komunitas sedulur sikep4 yang melakukan penolakkan dengan pihak yang memaksakan hadirnya industri semen. 3
Pegunungan Kendeng merupakan Kawasan Kars yaitu perbukitan batu gamping yang terletak di Kecamatan Sukolilo, Kayen, Tambakromo dan Brati (Kabupaten Pati), Grobogan, Tawangharjo, Wirosari, Ngaringan (Kabupaten Grobogan), dan Todanan (Kabupaten Blora). Menurut laporan Penelitian ASC (Acintyacunyata Speleological Club) pada tahun 2008, sebuah lembaga penelitian karst yang berkedudukan di Yogyakarta, menyatakan bahwa wilayah Pegunungan Kendeng termasuk dalam kawasan kars kelas I sehingga tidak boleh ditambang. Jika ditambang maka sumber air akan hilang, karena mata air tersebut berada di bawah permukaan. 4 Sedulur Sikep dikenal sebagai sekelompok masyarakat yang lelaku hidupnya berpatokan pada ajaran Samin Soerontiko (1890an). Samin Soerontiko ditangkap tahun
Hampir satu dekade belakangan keberadaan komunitas Sedulur Sikep muncul lagi dipermukaan, tapi bukan lagi soal “keunikannya” hidup sederhana di tengah budaya global.5 Isu yang menyeruak kepermukaan kali ini adalah penolakan Sedulur Sikep atas rencana industrialisasi di Pegunungan Kendeng, Pati, Jawa Tengah. Pada pertengahan 2006, PT Semen Gresik berencana berekspansi modal (sekitar 40% saham asing) ke Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Pabrik semen itu akan dibangun di Kecamatan Sukolilo yang merupakan kawasan pertanian. Demikianlah tulisan ini hendak menempatkan proses konflik agraria yang berbasis land grabbing terjadi tidak hanya bermakna perebutan tata kelola dan penataan tata ruang atas sumbersumber agraria. Lebih jauh dari itu juga bermakna menata ulang hubungan kebudayaan antara manusia dengan tanah. Pertanyaan adalah mengapa Sedulur Sikep melakukan penolakan atas rencara dibangunnya industri di daerah Pengunungan Kendeng? Bagaimana bentuk perlawanan Sedulur Sikep dari setiap rezim yang ingin menundukkan mereka? Bagaimana proses negosiasi antara berbagai pihak yang sedang memperebutkan Pegunungan Kendeng? Kendati pertanyaan dasarnya seperti itu, namun tulisan ini lebih ingin melakukan explanasi6 pema1907 selanjutnya dibuang ke Digul (Papua), kemudian dipindah ke Sawahlunto (Sumatera Barat) hingga salin sandangan. Wawancara Gunretno tanggal 12, 13 dan 14 Desember 2012. Komunitas ini awalnya hadir di Klopoduwur, Randublatung, Blora, kemudian berkembang ke daerah lain: Tapelan (Bojonegoro), Tlaga Anyar (Lamongan), Nginggil dan Klopoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunung Segara (Brebes) serta Kandangan dan Sukolilo (Pati). Lihat Harry J. Benda dan Lance Castles, The Samin Movement, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 125 (1969), No: 2, Leiden, hlm. 207-240. 5 Salah satunya yang paling mutakhir adalah tulisan, Moh Rosyid, Samin Kudus: Bersahaja di Tengah Asketisme Lokal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008. 6 Dalam ilmu sejarah eksplanasi atau suatu penjelasan itu berhubungan dengan hermeneutics dan verstehen,
Tri Chandra Aprianto: Perampasan Tanah dan konflik .....: 157-168
haman, pemikiran dan keyakinan Sedulur Sikep dalam memandang setiap persoalan dari “dunia luar” yang hadir dalam diri mereka. Mengingat yang dihadapi oleh Sedulur Sikep adalah kepentingan kapital besar, dan dalam prakteknya juga menggunakan unsur moral keagamaan guna meminggirkan Sedulur Sikep. Tulisan ini menyoroti bagaimana praktek land grabbing dijalankan, Akan tetapi tetap penting memahami dan memperhitungkan kesadaran masyarakat di tingkat bawah dalam melakukan perlawanan, bukan sebaliknya. Kesadaran masyarakat yang maujud dalam ekspresi7 keseharian baik yang bersifat perilaku politik, maupun citacita ekonomi dan bahkan angan-angan budaya. Walaupun dalam realitas sosial yang terjadi sering menunjukkan proses marjinalisasi kesadaran masyarakat oleh mainstream. Kendati demikian, hal itu tidak serta merta dapat menghapus dan menaf ikan kehadiran serta bobot kesadaran yang telah dilakukan oleh masyarakat.8 Dengan menafsirkan dan mengerti suatu peristiwa. Lihat pada Kuntowijoyo, 2008. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), Yogyakarta: Tiara Wacana, hlm. 1 dan 10. Proses eksplanasi ini (bisa jadi) lebih mudah untuk ditampilkan, ketimbang melakukan analisis. Lebih dalam, analisis suatu proses sejarah seringkali tampak untuk menuntun dari, ketimbang menuju suatu kompleksitas pemahaman peristiwa sejarah. Pemahaman ini dapat dilihat pada Donald L. Donham, 1999. History, Power, Ideology: Central Issues in Marxism and Antropology, Berkeley and Los Angeles: University of California Press, hlm. 140. 7 Istilah ekspresi ini biasa disebut oleh kalangan ilmuwan sosial sebagai gerakan sosial, suatu tindakan sosial atau tindakan kolektif untuk melakukan perubahan dalam satu tatanan kehidupan sosial. Lihat A. Touraine, 1984. The Return to The Actor. Minneapolis. Istilah ini juga muncul di kalangan sosiolog Amerika pada tahun 1950-an. Eric Hobsbawn sejarawan Inggris yang pertama kali memakai istilah ini. Lihat pada Peter Burke, 2001. Sejarah Dan Teori Sosial (Mestika Zed, Penterjemah), Jakarta: Yayasan Obor, hlm. 132-136. 8 Kehadiran the other dalam hal ini pabrik semen pada level tertentu merusak norma-norma budaya yang telah ada sebelumnya dan menetapkan ketentuan-ketentuannya sendiri. Eric Wolf, 1983. Petani Suatu Tinjauan Antropologis, Jakarta: YIIS dan CV. Rajawali, hlm. 186.
159
demikian guna memahami apa yang dilakukan oleh komunitas Sedulur Sikep harus juga melihat tindakan sosial mereka.9 B. Perebutan Makna Pegunungan Kendeng Pembangunan dan industrialisasi merupakan mitos kemajuan suatu masyarakat yang “dipakai” dalam rangka memuluskan skema land grabbing. Kedua mitos tersebut diyakini dapat memberi nilai tambah bagi pemerintah daerah. Keyakinan tersebut berhimpitan dengan berlakunya era otonomi daerah di Indonesia (1998), yang awalnya sebagai counter terhadap sentralistik hierarkinya Orde Baru. Peletakkan batu pertama era otonomi daerah merupakan pintu masuk bagi komunikasi langsung antara kekuatan kapital besar (baik asing maupun dalam negeri) dengan pemerintah daerah. Sekaligus ini berkelindan dengan skema land grabbing di Indonesia. Berbekal surat ijin yang dikeluarkan Kantor Pelayanan dan Perijinan Terpadu (Kayandu) Kabupaten Pati, PT Semen Gresik Tbk mulai tahun 2006 gencar melakukan sosialisasi rencana pembangunan pabrik semen. Adapun rencananya tampak tambangnya terletak di Kecamatan Sukolilo. Rencana investasi untuk kawasan industri semen ini sebesar 3,5 trilyun. Gagasan yang dikembangkan dalam sosialiasi tersebut adalah pentingnya keberadaan pabrik semen dapat mengangkat kesejahteraan masyarakat yang itu lebih baik ketimbang bertani. Dengan mencon9
Tindakan sosial dalam bukan sekedar perilaku (behavior) reflektif yang sama sekali tidak melibatkan proses berpikir aktornya. Tindakan ini memiliki makna subyektif yang dilakukan secara sadar guna mencapai suatu tujuan tertentu. Tindakan ini akan dijalankan oleh aktornya bilamana tindakan tersebut kemudian dianggap memiliki makna subyektif (subjective meaning) bagi para aktor yang terlibat. Selain itu, tindakan ini akan sangat bergantung pada proses interpretasi dan identifikasi para aktornya atas situasi yang dihadapi. Lihat Antony Giddens, 1987. Social Theory and Modern Sociology, Stanford: Stanford University Press.
160
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
tohkan pendapatan daerah Kabupaten Tuban 90% disumbang oleh PT Semen Gresik dan PT Holcim.10 Ini adalah pemantik terjadinya situasi pro dan kontra di masyarakat dalam menyikapi kehadiran rencana industrialisasi di kawasan Pegunungan Kendeng. Masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam proses perencanaan hadirnya industrialisasi tersebut. Tiba-tiba saja sudah ada proses sosialisasi yang dibungkus dengan penjaringan aspirasi masyarakat. Anehnya Pemerintah Daerah (malah) melakukan pembiaran atas terjadinya situasi tersebut. Bahkan secara tegas Pemerintah Daerah mendukung praktek land grabbing tersebut, dengan menerbitkan Surat Pernyataan Bupati Nomor: 131/1814/2008 tentang kesesuaian lahan pengambilan bahan baku PT Semen Gresik dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pati. Sementara bagi masyarakat yang menolak itu bertentangan dengan RTRW Kabupaten Pati tahun 2001-2011.11 Sementara itu penolakan Sedulur Sikep atas rencana industrialisasi tersebut tidak semata berdasar atas alasan legal formal di atas. Terdapat alasan keyakinan yang melatari penolakan tersebut. Adam seneng nyandang, doyan mangan, dilakoni tata gauta, gebayah macung sing dumunung weke dewe. Artinya Sedulur Sikep memiliki sistem dan tata cara tersendiri dalam mencari nafkah. Mereka sangat meyakini kerja keras untuk memenuhi sandang dan pangan, yang itu haruslah berasal dari sesuatu yang jelas demununge (asal-usulnya). Demunung merepresen-
tasikan konsep keyakinan tentang kemurnian yang mereka jalankan. Dari konsep ini pekerjaan mengolah tanah atau menjadi petani merupakan satu-satunya pekerjaan jelas asal-usulnya bagi mereka.12 Pegunungan Kendeng bagi Sedulur Sikep bukan hanya tanah yang semata-mata bermakna sebagai lahan. Tanah juga telah bermakna hadirnya sistem kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Menurut Gunarti, orang sering menyebut dengan istilah Ibu Pertiwi untuk menyebut tanah yang ditempatinya. Ada makna ibu di sana, sebuah makna yang menghidupi seluruh makhluk. Oleh sebab itu sudah menjadi kewajiban bagi semua manusia, khususnya Sedulur Sikep untuk merawat dan melindungi.13 Bumi dianggap telah memberi mereka sumber hidup dan penghidupan. Untuk itu mereka wajib menyukurinya.14 Implikasi dari eksploitasi Pegunungan Kendeng, tidak hanya sebatas semakin menipisnya jumlah sumber mata air yang merupakan tumpuan kehidupan masyarakat. Pada level lain juga berdampak pada akan kehilangan kekayaan keanekaragaman hayati dan kerusakan alam. Dalam perspektif lain, ini merupakan tindakan pengabaian/penggusuran hak-hak masyarakat lokal serta marjinalisasi tatanan sosial dan budaya masyarakat, yang tidak pernah diperhitungkan sebagai ongkos ekonomi, ekologi, dan ongkos sosial-budaya yang harus dikorbankan untuk pembangunan serta mengabaikan kemaje-
12
Wawancara Gunretno tanggal 12, 13, dan 14 Desember
2012. 13
10
Lihat pada Sri Hartati Samhadi dan Ahmad Arif, Investasi Semen: Kami Juga Ingin Maju, dalam kompas Edisi 1 Agustus 2008. 11 Husaini, 2008. Fakta Empiris Atas Pro-Kontra Rencana Pembangunan Pabrik Semen: PT Semen Gresik Tbk di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Makalah Tidak Diterbitkan, Yayasan Sheep Indonesia, hlm. 4.
Wawancara Gunarti tanggal 14 Desember 2012. Dalam prakteknya, itu semua didasarkan pada nilai kejujuran dan kebenaran dalam konsep pandom urip (Petunjuk Hidup). Petunjuk hidup itu mencakup angger-angger pratikel (hukum tindak tanduk), angger-angger pengucap (hukum berbicara), serta angger-angger lakonana (hukum perihal apa saja yang perlu dijalankan). Wawancara Gunretno tanggal 12, 13, dan 14 Desember 2012. 14
Tri Chandra Aprianto: Perampasan Tanah dan konflik .....: 157-168
mukan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.15 Mempertahankan keberadaan Pegunungan Kendeng dari acaman industrialisasi menurut Mbah Tarno,16 sesepuh Sedulur Sikep, bukan gagasan kolot dan tak berdasar. Malah, itu harus dilakukan demi menghargai sejarah. Selain itu, agar peradaban manusia di masa depan tak terancam runtuh. Bagi Mbah Tarno tidak ada larangan atau hukuman untuk mempertahankan lahan milik sendiri, termasuk oleh negara.17 Negara dalam konsepsi Sedulur Sikep adalah sebagai pelayan rakyatnya. Adam ngongak sakjeroning negara, arti bebasnya orang sikep itu mengerti secara mendalam tentang negara. Sedulur Sikep iku dudu wonge negara, Sedulur Sikep itu bukan orangnya pemerintah. Dengan demikian Sedulur Sikep itu tidak bisa menjadi pejabat di pemerintahan dan tidak punya citacita untuk menjadi pejabat negara. Hal itu dikarenakan, Sedulur Sikep wis milih dadi juragan, Sedulur Sikep sudah memilih menjadi juragan. Jabatan tertinggi dalam bernegara menurut konsepsi Sedulur Sikep ini adalah rakyat yang berprofesi sebagai petani. Karena merekalah yang menghidupi negara. Pejabat negara adalah pelayan dari rakyat, bukan penguasa.18 15
Lihat pada paper Erwin Dwi Kristianto, Perlawanan Masyarakat Pegunungan Kendeng Utara, makalah tidak diterbitkan. 16 http://nasional.kompas.com/read/2012/04/16/ 02044683/Jujur.ala.Sedulur.Sikep 17 Menurut keyakinan Sedulur Sikep tidak boleh menyalahi tatanan atau ajaran leluhur. Apabila terjadi penyimpangan atau bahkan melakukan pelanggaran dengan sengaja atas keberadaan ajaran leluhur, menurut keyakinan Sedulur Sikep dapat dipastikan akan terjadi sesuatu yang menimpa diri yang melanggar tersebut. Sedulur Sikep sering mengancam dengan kata titenono (perhatikan secara serius). Karenanya oleh sebagian kalangan juga disebut sebagai wong peniten (orang yang mengajak selalu waspada). Wawancara Gunretno tanggal 12, 13, dan 14 Desember 2012. 18 Wawancara dengan Gunretno tanggal 12, 13, dan 14 Desember 2012.
161
Akibat adanya perbedaan pemahaman antara yang memaksakan hadirnya investasi dan menolak, terjadilah polemik berkepanjangan. Berbagai alasan f ilosof is dari pihak Sedulur Sikep dan masyarakat yang menolak tidak dijadikan acuan oleh pihak yang memaksakan hadirnya industri semen. Pemaksaan kehendak tersebut mendapat perlawanan yang salah satunya adalah penghadangan rencana pengukuran lahan yang akan dijadikan tapak tambang. Penghadangan tersebut di desa Kedu Mulyo pada tanggal 22 Januari 2009. Dengan dukungan dari pihak aparat Polda Jateng yang menurunkan personilnya sebanyak 250 orang membubarkan dan menangkap 9 orang yang dianggap sebagai provokator yang merusak fasilitas mobil PT Semen Gresik Tbk. Perlawanan dari masyarakat tidak berhenti akibat kejadian tersebut. Upaya untuk mempertahankan kelestarian Pegunungan Kendeng, komunitas Sedulur Sikep juga mengajak masyarakat petani lainnya yang hidupnya juga tergantung pada keberadaan Pegunungan Kendeng. Mereka membangun organisasi petani, Serikat Petani Pati (SPP). Selain itu mereka juga bekerja sama dengan kalangan LSM dan akademisi dalam rangka mengangkat isu-isu keadilan ekologi. Bahkan mereka juga melakukan perlawanan melalui jalur legal-formal. Hingga pada tahun 2010, Mahkamah Agung (MA) membatalkan dokumen perijinan yang dikeluarkan Kantor Pelayanan dan Perijinan Terpadu (Kayandu) Kabupaten Pati.19 Akibat batalnya rencana PT Semen Gresik Tbk, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo berkomentar kalau Pemerintah Jawa Tengah telah dirugikan oleh orang-orang yang menolak adanya investasi.20 19
Tampaknya berbeda pada era kolonial dan Orde Baru, perlawanan Sedulur Sikep lebih bersifat aktif, sementara sebelumnya cenderung pasif kendati tetap berprinsip dengan gerakan nir-kekerasannya akan tetapi pada kali ini. 20 “Bibit Waluyo Geram, LSM Sontoloyo Bubarkan Proyek 5 Trilun,” dalam Koran Tempo, edisi 25 Juli 2009.
162
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
C. Perebutan yang Tidak Imbang Dengan dibatalkannya oleh MA bukan berarti skema land grabbing berhenti di situ. Kali ini bukan oleh PT Sahabat Mulia Sakti (PT SMS) mengajukan hal yang sama ke Pemerintah Daerah Pati. Perusahaan ini merupakan anak dari PT Indocement Tunggal Prakarsa. Rencananya tapak tambangnya tidak lagi di Kecamatan Sukolilo sebagaimana PT Semen Gresik Tbk, tapi wilayah Kecamatan Kayen dan Tambakromo. Persis sebelumnya, PT ini juga bergerak pada tambang pengolahan semen. Kali ini, soliditas dan langkah-langkah perlawanan Sedulur Sikep di atas mulai menghadapi praktek-praktek penundukkan yang lebih kompleks. Praktek provokasi dan adu domba antar kelompok masyarakat lebih sering terjadi. Tuduhan terhadap Sedulur Sikep sebagai wong mbangkang (kaum pembangkang) direpoduksi kembali. Sebagai kelompok masyarakat yang tidak mau dengan hadirnya kemajuan, emoh modern dan anti pembangunan. Pada zaman kolonial, Sedulur Sikep mendapat stigma subvesif karena menolak membayar pajak dan mengikuti sistem pendidikan Belanda.21 Pada zaman Orde Baru, Sedulur Sikep dikenal sebagai komunitas yang tidak menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah formal dan masuknya mereka kedalam agama Budha, sebagai akibat pemaksaan pemerintah. Pada zaman Orde Baru mereka mendapat stigma anti pembangunan, anti kemajuan dan anti pemerintah.22 Kini Sedulur Sikep
21
Lihat Harry J. Benda dan Lance Castles, The Samin Movement, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 125 (1969), no: 2, Leiden, hlm. 207-240. Gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat dalam satu babak sejarah nasional, sebagai gerakan ratu adil penentang hegemoni kolonial. Lihat Sartono Kartodirdjo, 1984. Ratu adil, Jakarta: Sinar Harapan. 22 Pada titik ini yang terjadi adalah narasi kuasa menafikan keberadaan lokal, yang itu kemudian disalahtafsirkan. Lihat Muhammad Nurkhoiron, 2010. Sedulur Sikep, Sedulur
yang ada di Sukolilo, Pati mendapat stigma sebagai provokator oleh kekuatan kapital besar, karena menolak hadirnya pabrik semen. 23 Pandangan umum yang sengaja dibangun bahwa Sedulur Sikep adalah komunitas yang ngeyelan (suka mendebat), wong mbangkang (pembangkang), susah diatur, dan terbelakang, sehingga dikategorikan sebgai Komunitas Adat Terpencil (KAT), karenanya perlu pembinaan.24 Kali ini upaya-upaya penolakan yang dilakukan oleh Sedulur Sikep mendapat perlawanan dari orang-orang yang mendukung industrialisasi. Perlawanan tersebut berupa tindak kekerasan dalam rangka menghentikan penolakan masyarakat tersebut. Setidaknya tercatat dua kali terjadi aksi kekerasan antara massa yang menolak kehadiran pabrik semen dengan massa yang diorganisasi oleh pihak investor. Pertama, pada 20 April 2011, masyarakat yang menolak yang hendak melakukan demonstrasi di Kantor Pemda dan DPRD Pati, dihadang preman bayaran di depan Polsek Kayen, jalan raya Pati–Purwodadi, Km 26. Dalam aksi penghadangan tersebut sempat terjadi adu fisik antara dua belah pihak. Pihak kepolisian sendiri terkesan mendukung aksi penghadangan tersebut.
(Saudara) Yang Sering Disalahtafsirkan, Jakarta: Desantara. 23 Stigma yang menimpa mereka kali ini berkelindan dengan nilai-nilai keagamaan mainstream, Islam. Komunitas Sedulur Sikep memiliki sejarah benturan dengan kelompok Islam. Khutbah-khutbah Samin Soerontiko dinilai oleh santri di pesisir utara Jawa Tengah sebagai hal yang menyesatkan. Lihat Suripan Sadi Hutomo, 1985. Samin Soerontiko dan Ajaran-Ajarannya, Basis, Februari, hlm. 3. 24 Ridwan Al-Makassary, 2007. Multikulturalisme: Review Teoritis Dan Beberapa Catatan Awal, dalam Mashudi Noorsalim et.all (ed.), Hak Minoritas, Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa, Jakarta: Yayasan Interseksi, hlm. 42. Lihat juga M Nurkhoiron, 2007. Minoritasisasi dan Agenda Multikulturalisme di Indonesia: Sebuah Catatan Awal, dalam Mashudi Noorsalim et.al (ed), Hak Minoritas Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa, Jakarta:
Tri Chandra Aprianto: Perampasan Tanah dan konflik .....: 157-168
Kedua, pada 1 Januari 2012, masyarakat yang menolak kehadiran pabrik semen melakukan pawai lingkungan hidup. Pawai ini dilakukan dalam rangka kampanye pentingnya ekologi terhadap generasi mendatang. Pawai lingkungan hidup tersebut dihadang dan sebagian peserta pawai dipukuli oleh preman-preman. Kejadian kekerasan itu terjadi di wilayah Desa Keben, Kecamatan Tambakromo.25 Bersamaan dengan tindak kekerasan yang diterima oleh masyarakat yang melakukan penolakan tersebut PT SMS berupaya untuk melengkapi kelengkapan dokumen perijinan lingkungan. Perijinan ini merupakan legitimasi legal yang dibutuhkan oleh kaum pemodal untuk menjalankan praktek eksploitasinya. Komisi Penilai Amdal Kabupaten Pati menyelenggarakan sidang komisi pertama kali pada tanggal 30 Januari 2012. Adapun agenda dari sidang komisi tersebut adalah membahas Kerangka Acuan Analisa Dampak Lingkungan (KA-ANDAL) Rencana Pembangunan Pabrik Semen dan Pertambangan PT. SMS. Uniknya dalam persidangan ini penjagaan dilakukan sangat ketat. Ratusan polisi dari Polres Pati dihadirkan untuk mengamankan jalannya sidang tersebut. Selain itu untuk lebih memperkuat pengamanan sidang juga dihadirkan ratusan anggota Barisan Serbaguna (Banser) NU, selain masih terdapat banyak orang yang berpakaian preman. Sementara itu masyarakat yang menolak rencana pembangunan pabrik semen tersebut berencana menghadiri sidang komisi. Masyarakat berbondong-bondong ingin menghadiri
Yayasan Interseksi. Bandingkan juga dengan AA GN Ari Dwipayana, “Problematika Relasi Negara dan Desa”, makalah seminar “Relasi Politik Negara dan Desa” diselenggarakan Lingkar Pembaharuan Agraria dan Desa (KARSA), Yogyakarta, Desember 2007, hlm. 1-4. 25 Wawancara Gunretno tanggal 12, 13, dan 14 Desember 2012.
163
proses persidangan tersebut. Mereka hadir dengan menggunakan kendaraan truk dari berbagai daerah di kawasan Pegunungan Kendeng. Sedikitnya 56 truk yang mengangkut mereka guna menuju Hotel Pati, tempat digelarnya sidang. Akan tetapi di depan Polsek Kayen, truk-truk tersebut dihadang oleh ratusan orang yang berseragam kaos berwarna putih-biru bertuliskan Pro Investasi. Akibat adanya penghadangan tersebut, bentrokkan fisik tidak terhindarkan. Kendati terdapat peristiwa tersebut, akhirnya puluhan truk yang memuat masyarakat yang menolak pabrik semen tersebut tiba juga di lokasi sidang. Mereka menggelar orasi menyampaikan aspirasi guna penolakan kehadiran pabrik semen.26 Sementara itu pihak masyarakat sendiri mulai geram dengan tindakan kepala-kepala desa mereka yang dianggap hanya mementingkan dirinya sendiri. Kegeraman tersebut diwujudkan masyarakat guna mendatangi beberapa kepala desa yang setuju dengan kehadiran pabrik semen. Setidaknya ada 6 (enam) kepala desa yang didatangi. Para kepala desa itu dipaksa menandatangani pernyataan resmi untuk menolak rencana pendirian pabrik semen. Peristiwa itu terjadi di Desa Brati Kecamatan Kayen, Desa Keben, Larangan, Maitan, Karangawen dan Wukirsari Kecamatan Tambakromo pada pertengahan bulan Februari 2012.27 Selain menghadapi berbagai tindak kekerasan Sedulur Sikep juga harus menghadapi upaya penundukan yang bersifat akademik, seperti seminar dan diskusi terbatas yang itu dilakukan oleh pihak investor. Hal ini secara sadar dilakukan, karena anggapan kaum pemodal Sedulur Sikep adalah orang yang tidak berpen-
26
Cerita kronologis ini dituturkan oleh beberapa orang yang sedang kumpul rumah Gunretno, pada tanggal 14 Desember 2012. 27 Ibid.
164
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
didikan.28 Salah satunya adalah kegiatan seminar tentang analisa dampak lingkungan di Hotel Pati, pertengahan Desember 2011. Kendati forum akademik, dan pihak Sedulur Sikep telah menunjukkan data akademik, namun pihak yang menginginkan hadirnya investasi memaknainya secara pejorative. Bukan berhenti di situ, Sedulur Sikep juga harus dihadapkan dengan suatu kegiatan kesenian dari budaya mainstream. Pemerintah Daerah Pati mengadakan pentas malam kebudayan yang dimeriahkan oleh pementasan Kyai Kanjeng di bawah Pimpinan Emha Ainun Najib, pada tanggal 14 Desember 2011. Pemda berharap dengan kegiatan ini dapat menjadi awal bagi komunikasi yang lebih baik untuk pihak yang menolak dengan pihak investor. Dan kedekatan Emha Ainun Najib dengan Gunretno tokoh Sedulur Sikep diharapkan dapat mencairkan ketegangan diantara keduanya. Kegiatan tersebut dihadiri dari kalangan Pemda, tokoh masyarakat, ulama, pihak investor, Frangky Welirang dan Gunretno sebagai pihak yang menolak hadirnya industri semen.29 Akan tetapi kalau ditilik dari struktur kegiatannya, ini merupakan kegiatan yang berupaya menghadirkan budaya adiluhung guna menundukkan budaya tanpa aji. Tanpa aji karena prak-
28
Sedulur Sikep dikenal sebagai komunitas yang enggan memasukkan anaknya dalam sekolah formal. Adapun alasannya menurut Gunarti, sekolah formal memberikan ajaran yang mempengaruhi mereka untuk pindah. Tidak saja pengaruh untuk mereka pindah keyakinan, tapi juga pindah terhadap pengetahuan dasar mereka. Bagi Sedulur Sikep ajaran ketauladanan orang tua itu sangat penting dan utama. Guru bagi Sedulur Sikep adalah orang yang sudah bisa menjaga omongan dan laku. Guru adalah gunem kawruh, omongan pengetahuan yang mendalam, yaitu memberi ujaran yang bermakna dalam kehidupan. Sehingga fungsinya juga memberi keteladanan hidup bagi generasi mendatang. Wawancara Gunarti 14 Desember 2012. 29 Wawancara dengan Jumadi, tanggal 15 dan 16 Desember 2012.
tek budaya yang dijalankan oleh Sedulur Sikep adalah praktek budaya rakyat. Hal ini terwujud dalam pilihan bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa ngoko, bukan kromo.30 Dengan demikian budaya adiluhung harus “mengajari” yang tanpa aji. Kyai Kanjeng adalah representasi dari nilai santri. Sementara Sedulur Sikep representasi sebagai sesuatu yang liyan (berbeda) dengan mainstream. Kehadiran Gunretno dalam kegiatan tersebut memiliki arti yang sangat kompleks, tidak saja bagi Gunretno pribadi, tetapi juga bagi kalangan yang tidak setuju dengan adanya rencana industrialisasi di wilayah Pegunungan Kendeng. Selain itu makna kehadiran Gunretno dalam acara tersebut juga memiliki makna lain bagi pihak industri dan kalangan yang setuju dengan industri, juga pihak orang luar. Padahal secara denotatif (makna sesungguhnya) kehadiran Gunretno adalah sebagai orang yang diundang untuk menghadiri kegiatan pentas kesenian kyai kanjeng. Akan tetapi secara konotatif (makna tidak sesungguhnya) terdapat banyak tafsiran dan makna atas kehadiran tersebut. Situasinya adalah adanya upaya untuk menundukkan satu sama lain. Adanya situasi penundukan tersebut dapat dilihat dari isi pidato dari pihak Pemerintah Kabupaten mengetengahkan pentingnya proses pembangunan di Kabupaten Pati. Pembangunan menjadi syarat bagi kemajuan Kota Pati, sebagai salah satu kota penting di Jawa Tengah. Untuk itu perlu hadirnya investor dan proses pembangunan yang itu bisa menyejahterakan masyarakat Pati. Tentu saja tafsir dibalik isi pidato tersebut adalah terdapat sekelompok orang Pati
30
Untuk lebih detail soal penggunaan bahasa keseharian Sedulur Sikep bisa dilihat pada, Hari Bakti Mardikantoro, 2012. Pilihan Bahasa Masyarakat Samin Dalam Ranah Keluarga, Jurnal Humanior, volume 24, No. 3 Oktober, hlm. 345 – 357.
Tri Chandra Aprianto: Perampasan Tanah dan konflik .....: 157-168
yang tidak mau dengan pembangunan. Emoh dengan proses kemajuan dan modernisasi. Representasi dari pembangunan, kemajuan dan modernisasi adalah hadirnya pabrik semen. Sementara kalangan yang menolak adalah kalangan yang anti pembangunan, anti kemajuan, anti modern dan terpenting mereka adalah petani. Petani selama ini telah menjadi simbol masyarakat yang berada pada stratif ikasi paling rendah. Mereka adalah kalangan tradisional, jumud dengan keyakinannya dan menolak proses modernisasi. Hal itu tentu saja dengan mudah semua tuduhan itu dapat dilekatkan pada kalangan Sedulur Sikep. Situasi penundukan semakin jelas dengan pidato selanjutnya yang disampaikan oleh wakil pemuka agama. Ia menyatakan kalau lantunan syair Kyai Kanjeng berisi pencerahan. Pencerahan terhadap keyakinan orang yang selama ini masih berada pada kegelapan. Dengan pencerahan orang akan dapat menerima mana hal yang baik dan yang buruk. Adanya pencerahan orang dapat menerima pemahaman baru, bukan lagi pemahaman lama.31 Upaya “penundukan” kebudayaan mainstream terhadap apa yang lokal dirasakan betul oleh pihak Sedulur Sikep. Kedua pidato sebelumnya dirasakan bukan hadir dalam pikiran yang bersifat denotatif, tapi dalam kerangka pikiran yang sarat konotatif. Kata-kata pembangunan, kemajuan, kesejahteraan, pencerahan dan lainlain adalah kata-kata yang memiliki makna konotasi, bukan denotasi. Kata-kata tersebut memiliki konotasi menundukan, bukan konotasi yang mengajak dialog. Menghadapi upaya penundukkan tersebut, Gunretno manakala mendapat kesempatan menyampaikan gagasannya untuk kemajuan dan pembangunan Kota Pati. Gunretno lang31
Wawancara dengan Jumadi, tanggal 15 dan 16 Desember 2012.
165
sung menghadap ribuan penonton yang sedang menyaksikan pentas kesenian akhir tahun tersebut. Gunretno merasa berkepentingan dengan masyarakat luas, ketimbang dengan para elit yang duduk bersamanya di atas panggung. Ia menyampaikan pentingnya kelesatarian alam Pegunungan Kendeng, ketimbang “kesejahteraan” yang ditawarkan oleh kaum pemodal, yang dibalik itu kehancuran ekologi. Penjelasan Gunretno sangat masuk akal kedalam alam pikir penonton. Sehingga dengan mudah penonton diajak yel-yel tentang kelestarian ketimbang hadirnya pabrik semen. Setelah itu Gunretno pamit kepada orang-orang yang ada di atas panggung, seraya minta maaf dan tetap mempertahankan paseduluran. Uniknya begitu Gunretno pamit dan meninggalkan panggung, sebagian besar penonton ikut meninggalkan acara tersebut.32 D. Perebutkan Sakral Mengingat stigma yang terus dilekatkan pada komunitas Sedulur Sikep, sehingga setiap kegiatan mereka terlebih dulu berada dalam kerangka yang pejorative. Apa yang dilakukan oleh Sedulur Sikep dan masyarakat disekitar Pegunungan Kendeng dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 67 tahun juga berada dalam kerangka ini. Oleh sebab itu pihak aparat keamanan, Kepolisian dan Kodim Pati melakukan berbagai upaya untuk menggagalkan kegiatan tersebut. Setidaknya terdapat empat alasan dari pihak aparat keamanan untuk melakukan pelarangan kegiatan tersebut. Pertama, terdapat informasi bahwa kegiatan tersebut akan terjadi tindakan yang sifatnya subversif. Kedua, terdapat kesan akan ada pembangkangan sipil. Ketiga, bahwa upacara peringatan hari kemerdekaan itu sakral, 32
Hasil kompilasi hasil Wawancara Gunretno dan Jumadi.
166
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
tidak bisa dilakukan secara serampangan. Keempat, tempat upacara terjadi di Desa Brati itu terletak di lereng Pegunungan Kendeng, sehingga terkesan sembunyi-sembunyi dari keramaian. Berdasar atas keempat alasan tersebut, pada tanggal 16 Agustus 2012, aparat keamanan mulai melakukan upaya untuk menggagalkan acara tersebut. Sepasukan tentara dari Kodim Pati mendatangi rumah Gunretno di Dukuh Bombong, Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Pati. Mereka datang di rumah Gunretno sejak pukul 13. Kursi tamu di ruang tamu Gunretno penuh dengan aparat keamanan. Belum lagi yang ada di luar rumahnya, juga ada beberapa aparat keamanan yang berjaga-jaga. Hampir setiap sudut rumah Gunretno difoto oleh aparat yang ada di ruang tamu, termasuk diri Gunretno, istri dan keluarganya, serta beberapa Sedulur Sikep yang mendampingi Gunretno juga difoto. Berbagai macam ancaman diterima Gunretno dari pihak Kodim Pati, jika tetap memaksakan diri melanjutkan kegiatan tersebut. Dalam alam pikir aparat keamanan, kegiatan upacara peringatan Kemerdekaan RI adalah sakral. Sakral menurut perspektif militer. Dalam upacara yang dilakukan oleh rakyat di Pegunungan Kendeng itu tidak sesuai dengan Tatacara Upacara Militer (TUM). Sehingga upacara tersebut tidak bisa dilaksanakan. Apalagi rencana kegiatan yang disodorkan oleh Gunretno banyak berisi dengan tembang-tembang yang berbahasa Jawa. Dialog antara Gunretno dan pihak aparat dari Kodim itu berakhir jam 15, karena ia akan dilakukan gladi resik di tempat upacara.33 Kemudian Gunretno beserta aparat keamanan tersebut berbondong-bondong ke tempat upacara di lapangan di Desa Brati, Kecamatan Kayen. Ternyata sesampai di tempat gladi resik, Gunretno sangat terkejut, karena aparat lebih banyak lagi di tempat gladi resik. Tidak hanya 33
Ibid.
hadir aparat dari Kodim Pati, tapi juga pihak kepolisian. Melihat banyaknya pihak keamanan tersebut, masyarakat sempat kebingungan mengingat kehadiran aparat keamanan sebagai sesuatu yang ganjil pada era reformasi. Akan tetapi mereka juga bangga, tidak ada rencana upacara peringatan hari kemerdekaan dijaga oleh aparat keamanan, kecuali di Istana Negara. Hal ini dirasakan sebagai hal yang berbeda dengan kegiatan di tempat lain yang tidak pernah ada penjagaan sedemikian ketat. Sekembalinya dari gladi resik di tempat upacara, rumah Gunretno kembali dikepung oleh aparat dari Kodim. Hingga pukul 3 dini hari mereka berada di rumah Gunretno. Rupanya pihak aparat tetap dengan ketetapan meminta Gunretno membatalkan kegiatan upacara peringatan hari kemerdekaan ala rakyat tersebut. Tepat tanggal 17 Agustus 2012, upacara puncak peringatan hari Kemerdekaan RI diperingati. Aparat keamanan baik dari pihak Kodim maupun dari Polres berjaga-jaga di tempat upacara. Tidak kurang dari 5.000an orang hadir dalam upacara ala rakyat tersebut. Mereka berusaha baris serapi mungkin. Komandan upacara, Pak Bambang menyiapkan upacara tersebut dengan khidmat. Pada saat pembawa bendera jalan menuju ke tiang bendera, diiringi dengan tembang Ibu Pertiwi karangan Ki Narto Sabdo (dalang terkenal pada tahun 1970-an). Sesampai di pinggir tiang bendera, Pak Gimin orang yang bertugas mengibarkan bendera Merah Putih maju ke depan. Sebelum menuju tiang untuk mengibarkan bendera dengan cara memanjat tiang bendera, Ia menyembah terlebih dulu peserta upacara, tiang bendera dan Bendera Merah Putih sendiri. Setelah berhasil memanjat tiang bendera dan mengibarkan Bendera Merah Putih, rakyat bersorak yang kemudian dilanjutkan dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Akhirnya upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI
Tri Chandra Aprianto: Perampasan Tanah dan konflik .....: 157-168
berjalan lancar, aparat keamanan yang berjaga juga merasakan keharuan tersendiri.34 Begitu juga pada peringatan Hari Ibu tanggal 22 Desember 2012, Masyarakat Pegunungan Kendeng menggelar peringatan Hari Ibu. Mereka memaknai ibu sebagai para pejuang bagi masa depan anak-anaknya, untuk mempertahankan kelestarian alam dari ancaman industri tambang.35 E. Kesimpulan Sedulur Sikep melakukan penolakan atas upaya industrialisasi sebagai bagian dari skema land grabbing di Pegunungan Kendeng berdasarkan atas keyakinan mereka yang salah satunya adalah hubungan antara manusia dengan alam. Rencana industrialisasi di wilayah Pegunungan Kendeng tidak saja mengganggu pencarian nafkah, tapi juga mengganggu keyakinan yang telah dijalani oleh Sedulur Sikep. Skema ini dalam prakteknya tidak saja menggunakan narasi kekerasan, tapi juga akademik, kebudayaan dan keagamaan. Wujud dari perlawanan yang dilakukan oleh Sedulur Sikep tetap seperti ajaran leluhur mereka, yaitu nir-kekerasan. Mereka lebih memilih jalan kebudayaan bersama masyarakat akar rumput, dengan memberi pemahaman, termasuk pemahaman bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kegiatan upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI dan peringatan Hari Ibu yang baru lalu merupakan bagian dari upaya penyadaran tersebut.
34
Hasil diskusi dengan beberapa orang yang terlibat dalam upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-67, yang sedang berkunjung ke rumah Gunretno, tanggal 15 Desember 2012. 35 Lihat pada Kompas, 23 Desember 2012, hlm. 21.
167
Daftar Pustaka Al-Makassary, Ridwan, 2007. Multikulturalisme: Review Teoritis Dan Beberapa Catatan Awal, dalam Mashudi Noorsalim et.all (ed.), Hak Minoritas, Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa, Jakarta: Yayasan Interseksi. Benda, Harry J. dan Lance Castles, 1969. The Samin Movement, dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 125 (1969), no: 2, Leiden, hal 207-240. Bhabha, Homi K., 1994. Location On History, London: Routledge. Burke, Peter, 2001. Sejarah Dan Teori Sosial, Mestika Zed, Penterjemah, Jakarta: Yayasan Obor. Donham, Donald L., 1999. History, Power, Ideology: Central Issues in Marxism and Antropology, Berkeley and Los Angeles: University of California Press. Giddens, Antony, 1987. Social Theory and Modern Sociology, Stanford: Stanford University Press. Husaini, 2008. Fakta Empiris Atas Pro-Kontra Rencana Pembangunan Pabrik Semen: PT Semen Gresik Tbk di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Makalah Tidak Diterbitkan, Yayasan Sheep Indonesia. Hutomo, Suripan Sadi, 1985. Samin Surosentiko dan Ajaran-Ajarannya, Basis, Februari 1985. http://nasional.kompas.com/read/2012/04/16/ 02044683/Jujur.ala.Sedulur.Sikep Kartodirdjo, Sartono, 1984. Ratu adil, Jakarta: Sinar Harapan. Kabupaten Pati dalam angka, BPS, 2012. Kompas, 23 Desember 2012, hlm 21. Koran Tempo “Bibit Waluyo Geram, LSM Sontoloyo Bubarkan Proyek 5 Trilun,” edisi 25 Juli 2009. Kuntowijoyo, 2008. Penjelasan Sejarah (Historical Explanation), Yogyakarta: Tiara Wacana. Laporan Penelitian dari tim ASC (Acintyacunyata Speleological Club) tahun 2008. Lloyd, Christopher, 1993. The Structures of History, London: Basil Blacwell. Mardikantoro, Hari Bakti, Pilihan Bahasa Masyarakat Samin Dalam Ranah Keluarga, Jurnal
168
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Humanior, volume 24, No. 3 Oktober 2012, hlm 345 – 357. Nurkhoiron, Muhammad, 2007. Minoritisasi dan Agenda Multikulturalisme di Indonesia: Sebuah Catatan Awal, dalam Mashudi Noorsalim et.al (ed), Hak Minoritas Multikulturalisme dan Dilema Negara Bangsa, Jakarta: Yayasan Interseksi. Nurkhoiron, Muhammad, 2010. Sedulur Sikep, Sedulur (Saudara) Yang Sering Disalahtafsirkan, Jakarta: Desantara. Pujiriyani, Dwi Wulan Pujiriyani, Perampasan Tanah Global Pada Abad XXI, dalam Tim Peneliti STPN, 2012. Kebijakan, Konflik, dan Perjuangan Agraria Indonesia Awal Abad 21 (Hasil Penelitian Sistematis STPN, 2012), Yogyakarta: PPPM STPN-Press. Rosyid, Moh, 2008. Penulis buku Samin Kudus: Bersahaja di Tengah Asketisme Lokal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Samhadi, Sri Hartati dan Arif, Ahmad, 2008. Investasi Semen: Kami Juga Ingin Maju, dalam Kompas Edisi 1 Agustus 2008.
Touraine, A., 1984. The Return to The Actor, Minneapolis. Weiringa, Saskia Eleonora, 1999. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Jakarta: Kalyanamitra dan Garba Budaya. Widodo, Amrih, Samin In The New Order: The Politic of Encounter and Isolation, hlm 278. Wolf, Eric, 1983. Petani Suatu Tinjauan Antropologis, Jakarta: YIIS dan CV. Rajawali. Wawancara dengan Gunretno, tanggal 12, 13 dan 14 Desember 2012. Wawancara dengan Gunarti, tanggal 14 Desember 2012. Wawancara dengan Jumadi, tanggal 15 dan 16 Desember 2012. Diskusi dengan beberapa orang Sedulur Sikep di rumah Gunretno tanggal 14 Desember 2012. Diskusi dengan beberapa orang yang terlibat dalam upacara peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-67, yang sedang berkunjung ke rumah Gunretno, tanggal 15 Desember 2012.
KONTEKSTUALITAS AFFIRMATIVE ACTION DALAM KEBIJAKAN PERTANAHAN DI YOGYAKARTA Widhiana Hestining Puri*
Abstract: The land policy in Yogyakarta Special Province, especially the one related to land ownership by the IndonesianChinese blood, is different from that of another region. It is stated on the Governor’s Instruction No. K. 898/I/A/1975 about The Uniformity of Giving the Right on Land Policy to Non Indonesian citizens, Indonesian-Chinese blood which states that they are not allowed to own the land. The policy is called the affirmative action that is the positive discrimination having the ideological purpose of reaching the justice and similarity for The Indonesian origins in Yogyakarta. The affirmative action needs some requirements to get the effective implementation. Keywor ds eywords ds: Affirmative action, land policy, Yogyakarta. Intisari: Kebijakan pertanahan yang berlaku di DIY khususnya dalam pemilikan tanah oleh WNI keturunan Tionghoa berbeda dengan daerah lainnya. Berdasarkan Instruksi Kepala Daerah DIY Nomor K. 898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah kepada seorang WNI Non Pribumi, WNI keturunan Tionghoa tidak diijinkan untuk menguasai tanah dengan status Hak Milik. Kebijakan ini disebut sebagai affirmative action/diskriminasi positif yang memiliki tujuan ideologis untuk mencapai keadilan dan kesetaraan, khususnya bagi WNI asli/pribumi di DIY. Affirmative action mensyaratkan sejumlah hal dalam pelaksanaannya agar dapat berlaku secara benar dan efektif. Tulisan ini berusaha mengupas sejauhmana pelaksanaan kebijakan tersebut sekaligus kontekstualitasnya dalam kaitan dengan perkembangan peraturan perundang-undangan Indonesia dan globalisasi. unci Kata K Kunci unci: Affirmative action, pertanahan, Yogyakarta.
A. Pengantar “.. Hingar-bingar HUT Ke-64 Kemerdekaan RI tahun ini sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Di sela-sela rasa bangga, terselip kepedihan. Akhir Juli 2009, saat mengurus akta jual beli tanah seluas 126 meter persegi (kredit pula) pada seorang notaris di Sleman, Yogyakarta, keindonesiaan saya kembali dipertanyakan.”1 Negara Indonesia memiliki tujuan utama dalam bidang ekonomi untuk menciptakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengejawantahan tujuan ini salah satunya terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mengatur *
Staf pengajar Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, Yogyakarta. 1 Lihat Kompas 8 September 2009 pada bagian Surat untuk Redaksi dengan judul “Status Hak Milik Tanah Bagi WNI Pribumi dan Keturunan.”
bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Sangatlah jelas bahwa negara memiliki peran strategis sebagai pengemban amanat kedaulatan rakyat untuk menjalankan pemerintahan guna mencapai tujuan-tujuan negara yang telah ditetapkan salah satunya dengan mengatur peruntukan dan penggunaan bumi, air, dan kekayaan alamnya. Negara diberikan kewenangan besar melalui Hak Menguasai Negara (HMN) yang merupakan gempilan dari Hak Bangsa.2 Isi kewenangan HMN tersebut 2
Modul Perkuliahan Perbandingan Hukum Tanah. 2009. Istilah gempilan ini diperoleh karena HMN dianggap merupakan bagian kecil bagian dari Hak Bangsa yakni hak seluruh bangsa Indonesia atas tanah diseluruh bagian negara Indonesia.
170
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
secara resmi dijabarkan oleh Pasal 2 ayat (2) Undang-undang tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria (UUPA).3 Tahapan berikutnya sebagai perwujudan HMN ini tentunya dapat kita lihat bagaimana negara melakukan pengelolaan maupun institusionalisasi lembaga-lembaga negara yang diberi kewenangan dalam mengurusi bumi, air, dan kekayaan alam ini. Sebagai payung hukum dalam pengelolaan pertanahan di Indonesia ditetapkanlah UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada 24 September 1960 dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai otoritas yang mengurusi pertanahan. UUPA sebenarnya diharapkan dapat menjadi payung hukum bagi pengelolaan sumber-sumber agraria. Namun dalam kenyataannya, UUPA hanya dijadikan acuan oleh BPN atau bidang pertanahan saja. Sedangkan dimensi agraria yang lain seperti kehutanan, pertambangan, air, serta bidang pembangunan lain yang bersentuhan dengan tanah juga memiliki payung hukum sendiri yang bersifat sektoral. Hal ini tentunya mendorong munculnya banyak permasalahan dalam pengelolaan sumber agraria karena tumpangtindihnya peraturan hukum yang dijadikan acuan/the jungle regulation serta egoisme sektoral yang dikembangkan oleh masing-masing institusi.4 3
Pasal 2 ayat (2) UUPA mengatur HMN yang memberi wewenang untuk: (a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan, air, dan ruang angkasa; (b) menentukan dan mengatur hubunganhubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air, dan ruang angkasa; serta (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa. 4 Dalam beberapa kesempatan Mantan Kepala BPN Joyo Winoto menyampaikan betapa peliknya masalah agraria di Indonesia karena adanya “the jungle regulation.” Hal ini karena ada banyaknya peraturan perundang-undangan
Pluralisme hukum dalam bidang pertanahan tidak berhenti pada egoisme sektoral kelembagaan negara yang mengatur, namun juga masuk ke ranah sistem pemerintahan. Bentuk negara Indonesia yang republik tidak memungkinkan adanya negara di dalam negara. Yang ada adalah daerah di dalam negara dengan memberikan keleluasaan pengembangan potensi daerah melalui sistem pemerintahan desentralisasi serta pengakuan keistimewaan beberapa daerah/provinsi yang kesemuanya dikukuhkan melalui peraturan perundang-undangan. Sebut saja salah satu daerah yang sangat menonjol karena dianggap memiliki “kebijakan pertanahan tersendiri” adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah Istimewa mempunyai keistimewaan asal-usul dan di jaman Republik Indonesia mempunyai pemerintahan yang bersifat istimewa (zelfbesturende landschappen). Hal ini sangat berkaitan erat dengan sejarah perjuangan pada masa penjajahan Belanda. Fakta masa lalu memang menunjukkan adanya perhargaan pemerintah Indonesia kepada Kasultanan Yogyakarta yang menyatakan diri sebagai bagian dari wilayah Indonesia yang notabene pada saat itu diakui oleh pemerintah Hindia Belanda telah memiliki kedaulatan sendiri. Kita tentunya menyadari bahwa bidang pertanahan mendapatkan dampak juga berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ada urusan yang layak didesentralisasikan kepada derah dan ada yang menjadi wewenang pemerintah pusat. Masalah pertanahan sebagai masalah yang penting tentunya akan ada banyak problematika yang muncul ketika ada beberapa aturan hukum yang bertentangan. Apalagi praktek yang dilakukan terjadi dalam lingkup wilayah yang kecil, misalnya
dalam bidang agraria yang berlaku di Indonesia yang digunakan sebagai acuan/payung hukum bagi tiap-tiap sektor agraria yang sebagian besar saling bertentangan dan tumpang tindih.
Widhiana Hestining Puri: Kontekstualitas Aff irmative .....: 169-180
satu provinsi yang dinyatakan istimewa. Contoh nyatanya adalah sebagaimana latar belakang kasus yang diuraikan diatas. Perlakuan berbeda akan diterima bagi warga negara Indonesia khususnya keturunan Tionghoa dalam memiliki hak atas tanah di Yogyakarta dengan di wilayah lain di Indonesia. Kiranya kajian ini akan menjadi hal yang menarik serta memberikan pemahaman yang lebih luas bagi kita semua. Telah ada penelitian sejenis yang dilakukan oleh Hendras Budi Pamungkas di tahun 2006 yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah kepada Seorang WNI Non Pribumi”5. Dalam penelitiannya, Hendras menarik kesimpulan antara lain bahwa kebijakan pertanahan yang diambil oleh Pemerintah Kota Yogyakarta dan Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta setelah keluarnya UU Kewarganegaraan, mengenai pelayanan pertanahan masih mengacu pada Instruksi 898/1975. Artinya eksistensi kebijakan tersebut masih ada dan tetap berlaku. Namun penelitian ini tidak mengkaji kontekstualitas kebijakan dimaksud yang oleh banyak kalangan hukum disebut sebagai aff irmative action. Permasalahan yang menggelitik kita semua adalah bagaimanakah konsep aff irmative action yang disebut-sebut sebagai diskriminasi positif dalam kebijakan pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta? Bagaimana juga kontekstualitasnya terhadap kebijakan pertanahan Indonesia secara luas? Metode penelitian yang dipergunakan adalah penelitian hukum kualitatif dengan pendekatan
sosiologis/ empiris. Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini akan diperoleh melalui wawancara, observasi dan studi literatur yang terkait erat dengan praktek kebijakan pertanahan di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) wilayah Yogyakarta juga melalui bahan hukum lain baik primer maupun sekunder. B. Yogyakarta Sebagai Daerah “istimewa” Bagi Indonesia Berbicara soal Yogyakarta, maka kita tidak bisa lepas dari sejarah panjang terbentuknya negara Republik Indonesia pada masa lalu. Bagaimana sebuah kasultanan/ kerajaan/daerah swapraja yang memiliki kedaulatan sendiri secara “legowo” menundukkan diri dan menyatakan sebagai bagian dari negara Indonesia yang notabene saat itu baru saja berdiri. DIY memiliki luas 3.185,80 km2 dan berdasarkan sensus penduduk 2010 memiliki jumlah penduduk 3.452.390 jiwa dengan proporsi 1.705.404 laki-laki dan 1.746.986 perempuan, serta memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.084 jiwa per km2.6 Padahal apabila ditilik dari luas wilayah maupun kedaulatan pemerintahan pada saat itu, bahkan posisi Kasultanan Yogyakarta lebih luas dan mapan dari pada Indonesia yang baru berdiri. Maka tidak mengherankan apabila Yogyakarta menjadi pilihan pertama sebagai lokasi pemindahan ibukota negara Indonesia sebagaimana pernah terjadi saat Jakarta (Batavia) dalam keadaan genting akibat peperangan dengan Belanda di tahun 1946.7 Posisi Yogyakarta bagi negara Indonesia secara yuridis formil diakui oleh pemerintah melalui penetapan Daerah Istimewa Yogyakarta berda6
5
Hendras Budi Pamungkas. 2006. Tinjauan Yuridis Terhadap Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah Kepada Seorang WNI Non Pribumi. Pustaka Agraria.org. Diakses tanggal 20 Desember 2012.
171
http://yogyakarta.bps.go.id/. Diakses tanggal 20 Desember 2012. 7 Sejarah mencatat, Indonesia pernah memindahkan ibukota sebanyak 3 kali. Peristiwa ini terjadi setelah proklamasi kemerdakaan. Setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, situasi di negeri ini belum stabil. Ibukota pernah dipindahkan ke Yogyakarta, Bukittinggi, dan Jakarta.
172
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
sarkan Undang-Undang No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta yang mempunyai kewenangan mengatur rumah tangganya sendiri termasuk masalah keagrariaan. Keistimewaan Yogyakarta diperkuat dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pasal 225 yang menyatakan bahwa:
annya harus ada dalam konstitusi dan undangundang. Guna menjamin pemberlakuan hal tersebut, UUD 1945 dalam Pasal 23 mengisyaratkan pelaksanaan kebijakan tersebut di Indonesia. Andri Rusta menjelaskan bahwa aff irmative mempunyai tiga sasaran yaitu:9
“Daerah-daerah yang memiliki status istimewa dan diberikan otonomi khusus selain diatur dengan undang-undang diberlakukan pula ketentuan khusus yang diatur dengan undang-undang lain.”
1. memberikan dampak positif kepada suatu institusi agar lebih cakap memahami sekaligus mengeliminasi berbagai bentuk rasisme dan seksisme di tempat kerja 2. agar institusi tersebut mampu mencegah terjadinya bias gender maupun bias ras dalam segala kesempatan 3. sifatnya lebih sementara tapi konsisten, ketika sasaran untuk mencapai kegiatan telah tercapai, dan jika kelompok yang telah dilindungi terintegrasi, maka kebijakan tersebut bisa dicabut. Dapat dikatakan bahwa penekanan aff irmative action adalah adanya persamaan/equality dalam kesempatan dan persamaan terhadap hasil yang dicapai. Negara berkewajiban membuat peraturan khusus bagi mereka yang karena kondisi dan rintangannya tidak dapat menerima manfaat dari ketentuan yang bersifat netral tadi.
Begitu tingginya penghormatan dan penghargaan pemerintah bagi Yogyakarta pada masa itu, sehingga pemerintah menetapkan Yogyakarta sebagai salah satu provinsi dengan status daerah istimewa di samping Aceh. Banyak keistimewaan lain yang bisa ditonjolkan dari Provinsi Yogyakarta. Bahkan keistimewaan tersebut semakin menonjol setelah disahkannya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.8 C. Konsep Aff irmative Action di Indonesia Pengertian awal aff irmative action adalah hukum dan kebijakan yang mensyaratkan dikenakannya kepada kelompok tertentu pemberian kompensasi dan keistimewaan dalam kasuskasus tertentu guna mencapai representasi yang lebih proporsional dalam beragam institusi dan okupasi. Aff irmative action merupakan diskriminasi positif (positive discrimination) atau langkah-langkah khusus yang dilakukan untuk mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan. Salah satu sarana terpenting untuk menerapkannya adalah hukum. Karena jaminan pelaksana-
8
Berdasarkan UU No. 13 tahun 2012, keistimewaan DIY meliputi tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan pemerintah daerah DIY, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang.
9
Jurnal Perempuan #63 “Catatan Perjuangan Politik Perempuan: Afirmative Action”. Diakses tanggal 25 Desember 2012. Ketentuan tentang affirmative action diatur, yaitu dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia pasal 28 H ayat (2) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakukan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Pasal ini didasarkan atas kesadaran bahwa satu peraturan yang netral, yang diberlakukan sama kepada seluruh kelompok masyarakat yang berbeda keadaannya, akan menimbulkan kesempatan dan manfaat yang berbeda yang berdampak lahirnya ketidakadilan. Dukungan terhadap affirmative action juga terdapat dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusi yaitu “Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan”.
Widhiana Hestining Puri: Kontekstualitas Aff irmative .....: 169-180
Tindakan ini disandarkan pada fungsi hukum sebagaimana dinyatakan oleh Roscoe Pound yakni sebagai sarana untuk mencerminkan ketertiban dan keadilan (social control), serta melakukan rekayasa sosial (social engineering) untuk merubah perilaku masyarakat.10 Istilah aff irmative action memiliki makna ideologis. Sama sekali bukan berarti politik “belas kasihan”. Namun memiliki sebuah cita-cita luhur yang diharapkan di masa mendatang. Jika melihat tujuan penerapan kebijakan ini adalah untuk mencapai keadilan, maka Aristoteles membedakan keadilan dalam 2 jenis.11 1. Justisia distributive yang menghendaki setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya. 2. Justisia commutative yang menghendaki setiap orang mendapatkan hak yang sama banyaknya (keadilan menyamakan). Indonesia memang menerapkan kebijakan aff irmative dalam beberapa bidang kehidupan bernegara. Kesemuanya ditetapkan pemerintah sebagai upaya mewujudkan ciri/ prinsip negara hukum (rechtstaat) yang disebutkan dalam UUD 1945.12 Orientasi dan tujuan utama dari pelaksanaan aff irmative action oleh negara/ pemerintah semata-mata adalah untuk menciptakan kedudukan yang seimbang diantara kelompok masyarakat baik atas dasar gender, ras, faktor ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Ketentuan tentang aff irmative action diatur juga dalam Bab X A tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28 H ayat (2) yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan
10
Esmi Warassih, 2005. Sebagai sarana kontrol sosial hukum berfungsi mempengaruhi warga masyarakat agar bertingkah laku sejalan dengan apa yang telah digariskan sebagai aturan hukum, termasuk nilai-nilai yang hidup didalam masyarakat. hlm: 120. 11 Esmi Warassih., op.cit. hlm 24-25. 12 Lihat UUD 1945. Ditegaskan bahwa Negara Indonesia adalah berdasarkan hukum (rechtstaat) dan bukan berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat).
173
perlakukan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Pasal ini didasarkan atas kesadaran bahwa satu peraturan yang netral, yang diberlakukan sama kepada seluruh kelompok masyarakat yang berbeda keadaannya, akan menimbulkan kesempatan dan manfaat yang berbeda yang berdampak lahirnya ketidakadilan. Negara berkewajiban membuat peraturan khusus bagi mereka yang karena kondisi dan rintangannya tidak dapat menerima manfaat dari ketentuan yang bersifat netral tadi. Beberapa kebijakan yang secara terbuka diklaim pemerintah sebagai bentuk aff irmative action di Indonesia diantaranya adalah: 1. Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif) telah mengakomodasi tindakan af irmatif bagi perempuan. Ditentukan bahwa dalam daftar calon legislatif yang diajukan oleh partai politik, minimal harus terdiri dari 30% persen perempuan. Hal ini juga diperkuat dengan beberapa aturan hukum yang mengizinkan pelaksanaan kebijakan aff irmative tersebut dalam kaitannya dengan gender. Hal ini sebagaimana diatur dalam UU RI No. 7 Tahun 1984 serta Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita; 2. Kebijakan nasional untuk percepatan pembangunan sejumlah daerah tertinggal sebagai suatu tindakan afirmatif (aff irmative action) yang merupakan langkah strategis pemerintah dalam upaya pemerataan pembangunan. Berdasarkan sumber dari Kementerian Negara Percepatan Daerah Tertinggal, saat ini masih sebanyak 183 kabupaten di Indonesia masih berstatus daerah tertinggal, sebagian besar daerah tertinggal ini berada di kawasan Indonesia bagian timur. Sehingga atas daerah-daerah tersebut dilakukan kebijakan diskriminasi untuk mempercepat kemajuan
174
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
mereka menuju posisi setara dengan daerah lain diantaranya melalui pengalokasian dana pembangunan dari Kementerian Negara Percepatan Daerah Tertinggal.13 D. Kebijakan Pertanahan di Yogyakarta Kebijakan pertanahan yang berlaku di Yogyakarta dapat kita bedakan menjadi 2 periode: 1. Sebelum pemberlakuan UUPA Sebagai daerah istimewa, Yogyakarta telah mempunyai kebijakan pertanahan tersendiri. Kebijakan ini diatur dalam UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta. Lebih spesif ik lagi, kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1954 tentang Hak Atas Tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta, kemudian bagi Warga Negara Indonesia Keturunan Tionghoa diatur dalam Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/ I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi sebagaimana dinyatakan: “Guna penyeragaman policy pemberian hak atas tanah dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta kepada seorang Warga negara Indonesia non Pribumi, dengan ini diminta: Apabila ada seorang Warga Negara Indonesia non Pribumi membeli tanah hak milik rakyat, hendaknya diproseskan sebagaimana biasa, ialah dengan melalui pelepasan hak, sehingga tanahnya kembali menjadi tanah negara yang dikuasai langsung oleh Pemerintah Daerah DIY dan kemudian yang berkepentingan/melepaskan supaya mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah DIY untuk mendapatkan sesuatu hak”. 13
http://www.pkb-majalengka.or.id/indeks/kemenagpdt-kembangkan-pertanian-di-daerah-tertinggal. Diakses tanggal 2 Februari 2013.
2. Setelah lahirnya UUPA Namun dalam perjalanan politik dan ketatanegaraan Indonesia, terjadi perubahan atas konsep keistimewaan negara ini. Perubahan rejim dari pemerintahan orde lama ke orde baru menunjukkan juga konsep keagrariaan yang akan dikembangkan. Komitmen untuk mewujudkan negara kesatuan yang sentralistik dan utuh dengan prioritas penanganan urusan pemerintahan terpusat mengharuskan pemerintah untuk menyeragamkan kebijakan pemerintahan bagi semua daerah di Indonesia. Pada tahun 1984, pemerintah memiliki komitmen kuat untuk menerapkan UUPA sebagai payung hukum bagi pengelolaan dan pengaturan sumber agraria di seluruh wilayah Indonesia. Komitmen ini ditandai dengan upaya pemberlakuan UUPA secara penuh di wilayah Yogyakarta berdasarkan Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1984, dalam Pasal 1 disebutkan: “Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya, dinyatakan berlaku sepenuhnya untuk seluruh wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.” Dan sebagai wilayah yang telah menyatakan diri sebagai bagian dari Indonesia, aturan ini juga di terapkan di Yogyakarta. Untuk pelaksanaannya dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Pemberlakukan Sepenuhnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 di Propinsi DIY. Selain itu juga diterbitkan Peraturan Daerah Provinsi DIY Nomor 3 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 di Propinsi DIY. Namun, hal yang menarik di Yogyakarta aturan hukum pertanahan lama masih diberlakukan sampai saat ini. Dalam memberikan pelayanan pertanahan, dikenal adanya perbedaan antara WNI
Widhiana Hestining Puri: Kontekstualitas Aff irmative .....: 169-180
pribumi dan WNI keturunan. Hal ini diatur dalam Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah Kepada Seseorang Warga Negara Indonesia Non-Pribumi. Yang apabila dikaji secara substansial justru akan terlihat adanya pertentangan dengan kebijakan awal tentang pemberlakuan UUPA di Yogyakarta. Kebijakan pertanahan yang berlaku di Yogyakarta memiliki kekhususan dan berbeda dengan daerah lain yang lebih dikenal dengan istilah aff irmative action. Berdasarkan instruksi tersebut ditetapkan bahwa bagi warga negara Indonesia non-pribumi hanya diperkenankan untuk mempunyai hak atas tanah berupa Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai serta tidak diperkenankan menjadi pemegang Hak Milik atas tanah. Hal inipun dalam prakteknya mengerucut pada WNI keturunan Tionghoa. Ketentuan ini masih berlaku sampai sekarang dan secara konsisten diterapkan oleh BPN di wilayah Yogyakarta. Akibatnya sudah bisa ditebak bahwa muncul banyak keluhan dan pengaduan berkenaan dengan hal ini khususnya oleh para WNI keturunan yang mengalami kesulitan dalam memperoleh hak milik atas tanah. Warga negara Indonesia keturunan yang tinggal dan berdomisili di wilayah Yogyakarta mengalami kesulitan untuk memperoleh hak milik atas tanah. Padahal secara yuridis formal, mekanisme yang dilakukan untuk memperoleh hak milik atas tanah telah dilakukan secara benar. Sesuai dengan ketentuan UUPA, cara perolehan hak milik dapat melalui 2 (dua) cara, pertama melalui penetapan pemerintah. Dalam hal ini didahului dengan adanya permohonan untuk dapat memperoleh Hak Milik atas tanah untuk obyek berupa tanah negara. Permohonan ini akan ditindaklanjuti melalui keputusan penetapan pemerintah untuk menolak ataupun
175
mengabulkan permohonannya. Cara kedua adalah karena undang-undang. Terjadinya hak milik karena ketentuan undang-undang dalam hal ini adalah karena ketentuan konversi. Konversi adalah penyesuaian hak atas tanah yang lama baik yang berdasarkan Hukum Barat (Hak Barat) dan Hukum Adat (Hak Indonesia) ke dalam sistem hukum yang baru, yakni yang berdasarkan UUPA. Melalui UU ini akan dilihat kesesuaian jenis hak atas tanah lama yang ada dengan hak baru yang ditetapkan melalui UUPA. Namun tentunya juga dengan melihat karakteristik hak yang ada, misalnya syarat tentang subyek hak yang berkaitan erat dengan kewarganegaraannya. Perlu diperhatikan bahwa hak milik hanya dapat dimiliki oleh orang Indonesia dengan kewarganegaraan tunggal serta beberapa badan hukum tertentu yang ditentukan menurut peraturan undang-undang. Kesemua hak milik yang muncul pertama kali tersebut wajib didaftarkan untuk diterbitkan sertif ikat bukti kepemilikan yang memiliki kekuatan pembuktian kuat. Dari proses-proses awal terbitnya hak milik pertama kali tersebut, dalam perjalanannya akan terjadi peralihan baik melalui perbuatan hukum maupun karena peristiwa hukum. Peralihan hak milik melalui jual beli adalah hal yang paling jamak terjadi sebagai bentuk peralihan kepemilikan tanah. Melalui jual beli, akan terjadi peralihan subyek pemegang hak milik dari pemilik awal kepada pembeli tanah yang baru. Proses pendaftaran tanah yang dilakukan selanjutnya bertujuan untuk melakukan perubahan penyesuaian data terhadap sertif ikat bukti kepemilikan tanah dengan data pemilik yang baru. Pendaftaran tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Selanjutnya peraturan ini ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Perkaban No. 3 Tahun 1997 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah. Dalam
176
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
proses pendaftaran tanah/jual beli inilah umumnya mulai muncul permasalahan.14 Karakteristik hak milik sebagai hak yang terkuat dan terpenuh atas tanah membuatnya berada pada tingkat tertinggi sehingga secara otomatis ia tidak bisa lagi di tingkatkan menjadi bentuk hak atas tanah yang lain, namun justru bisa diturunkan kepada bentuk lain apabila persyaratan tentang subyek dan peruntukannya dinilai tidak sesuai oleh pemerintah dalam hal ini BPN. Hal ini diatur dalam Keputusan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No. 16 Tahun 1997 tentang Perubahan Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai dan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai. Kemungkinan hak milik menjadi HGU bisa terjadi setelah melalui beberapa tahapan. Karena seperti juga kita ketahui bahwa HGU hanya terjadi di atas tanah negara. Artinya ada proses pelepasan/penyerahan hak atas tanah kepada negara untuk kemudian tanah tersebut dimohonkan HGUnya oleh pengusaha perkebunan. Dan ketika HGU berakhirpun, tanah tersebut akan kembali menjadi tanah negara. Konsekuensi selanjutnya ketika terjadi peralihan kepemilikan kepada WNI keturunan di wilayah Yogyakarta, maka berdasarkan pada Instruksi Kepala Daerah tersebut diberlakukan ketentuan pertanahan yang secara tidak langsung mempersamakan WNI keturunan dengan WNA. Ketentuan tentang perolehan hak atas tanah bagi WNA di Indonesia juga diberlakukan kepada WNI keturunan.
14
Hambali Thalib, 2009. Sanksi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan, Kebijakan Alternatif Penyelesaian Konflik Pertanahan di Luar Kodifikasi Hukum Pidana. Jakarta: Prenada Media Group.
Bagan Proses Peralihan Hak Milik di Yogyakarta Tanah Hak Milik
Peralihan
BPN
Subyek Pemohon WNI Pribumi
Hak Milik
Subyek Pemohon WNI Keturunan
Hak Pakai
HGB
Sebagaimana disebutkan dibagian awal, BPN yang bertindak sebagai pengelola administrasi pertanahan dalam kegiatan pendaftaran tanah selanjutnya melakukan penilaian untuk memastikan bahwa persyaratan perolehan hak milik atas tanah terpenuhi. Secara substansial berdasarkan UUPA, maka dapat dikatakan tidak ada masalah. Namun ketika ketentuan lama berupa Instruksi Kepala Daerah tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah Kepada Seseorang Warga Negara Indonesia Non-Pribumi maka secara khusus mempersempit subyek hak milik menjadi hanya warga negara Indonesia pribumi. Dan kepada para pemohon hak milik yang merupakan WNI keturunan diberikan hak atas tanah dalam bentuk yang lain. Seperti halnya ketentuan UUPA yang diberlakukan bagi WNA untuk dapat memperoleh hak atas tanah. Hal ini masih diikuti syarat yang wajib dilaksanakan seperti:15 1. Pewarisan/hibah. Kepada mereka yang tidak memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak milik atas tanah (subyeknya), diberikan jangka waktu selama 1 (satu) tahun untuk mengalihkan hak milik tersebut kepada orang lain. 2. Ketentuan lain menerangkan bahwa terhadap WNA dimungkinkan menjadi pemegang hak atas tanah di Indonesia dengan status hak guna usaha atau hak pakai, sesuai peruntukan tanah tersebut. Seharusnya dengan pemberlakuan Undangundang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewargane15
Lihat Pasal 21 UUPA.
Widhiana Hestining Puri: Kontekstualitas Aff irmative .....: 169-180
garaan, kita sudah tidak mengenal istilah WNI keturunan. Karena berdasar UU ini, Indonesia hanya mengenal pembagian penduduk dalam WNI dan WNA. Penggolongan struktur masyarakat Indonesia pernah terjadi di Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, di Indonesia dikenal penggolongan masyarakat yang secara otomatis juga akan berkaitan dengan hukum mana yang akan berlaku atas golongan tersebut. Adalah Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS) yaitu sebuah pasal yang mengatur pembagian golongan dihadapan hukum pada jaman kolonial Belanda di Indonesia. Pasal ini baru berlaku sejak Indische Staatsregeling mulai berlaku pada tahun 1926. Golongan masyarakat Indonesia pada waktu itu, dibagi menjadi 3 golongan yaitu Golongan Eropa, Golongan Timur Asing, dan Golongan Indonesia (Bumiputera).16 Adapun alasan perlunya penggolongan masyarakat pada masa itu adalah: 1. Kebutuhan masyarakat menghendakinya, maka akan ditundukkan pada perundangundangan yang berlaku bagi Golongan Eropa. 2. Kebutuhan masyarakat menghendaki atau berdasarkan kepentingan umum, maka pembentuk ordonansi dapat mengadakan hukum yang berlaku bagi orang Indonesia dan Timur Asing atau bagian-bagian tersendiri dari golongan itu, yang bukan hukum adat bukan pula hukum Eropa melainkan hukum yang diciptakan oleh Pembentuk UU sendiri. Namun tentunya ketentuan ini sekarang tidak lagi berlaku. Hanya saja, seolah ada fenomena hal yang serupa terjadi saat ini. Jika di masa lalu pemerintah kolonial yang memberlakukan aturan yang merugikan golongan lain, pemerintah Yogyakarta juga membuat semacam penggolongan yang membawa konsekuensi serupa. 16
Boedi Harsono. 2003. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan. hlm 53.
177
Pro dan kontra atas pemberlakuan kebijakan pertanahan ini tentunya ada, bahkan kian menguat. Pihak yang mendukung kebijakan ini beralasan bahwa kebijakan yang ada merupakan bentuk aff irmative action bagi masyarakat pribumi Yogyakarta. Namun pihak yang menentang kebijakan ini memiliki lebih banyak alasan yang menguatkan. Pertimbangan yang dijadikan alas an diantaranya adanya pernyataan penggunaan UUPA untuk wilayah Yogyakarta, UU Kewarganegaraan, UU HAM, dan lain sebagainya. Bahkan penetapan UU keistimewaan Yogyakarta beberapa waktu yang lalu juga memberikan implikasi atas kebijakan ini di ranah implementasi. E. Kontekstualitas Affirmative Action Dalam Bidang Pertanahan Kita tentunya sudah tidak asing dengan istilah kontekstualitas yang seringkali muncul dalam berbagai perbincangan dewasa ini. Kontekstualitas berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia berarti mengembalikan/melakukan kajian dengan merujuk pada teks kalimat yang ada. Konstitusi Indonesia mengadopsi prinsip perbedaan (difference principle), pada Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Hal ini menjadi dasar penerapan aff irmative action atau positive discrimination secara konstitusional. Sebagaimana telah dikemukakan diawal bahwa aff irmative action ini bukan merupakan kebijakan “belas kasih” namun dilaksanakan untuk mencapai tujuan tertentu. Ada beberapa faktor yang bisa kita gunakan untuk menilai kebijakan pertanahan yang terkandung dalam Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas tanah kepada seorang WNI Non Pribumi: 1. Merupakan sebuah kebijakan yang memiliki
178
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
tujuan tertentu dalam rangka mencapai kesetaraan/kedudukan seimbang dari suatu kelompok tertentu; 2. Konsisten dan memiliki jangka waktu yang terbatas/bersifat sementara; 3. Adanya pengawasan. Kita perlu mengupas kebijakan ini secara lebih mendetail berdasarkan persyaratan sebuah kebijakan disebut sebagai aff irmative action. Hal pertama yang harus kita lihat adalah pada tujuan implisit dari kebijakan ini. Kebijakan ini berusaha melindungi tanah-tanah yang ada di Yogyakarta agar tidak sepenuhnya dikuasai/dimiliki oleh WNI non pribumi. Luas wilayah di Yogyakarta sendiri adalah sekitar 3.185,80 km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2010 sebanyak 3.452.390 jiwa. Dari data ini dapat kita rinci dengan suku bangsa yang mendiami wilayah Yogyakarta sebagaimana tercantum dalam tabel berikut ini: Tabel Komposisi Suku Bangsa di Wilayah Yogyakarta No
Suku Bangsa
Jumlah Populasi
Konsentrasi (%)
1
Jawa
3.020.157
96,82
2
Sunda
17.539
0,56
3
Melayu
10.706
0,34
4
Tionghoa
9.942
0,32
5
Batak
7.890
0,25
6
Minangkabau
3.504
0,11
7
Bali
3.076
0,10
8
Madura
2.739
0,09
9
Banjar
2.639
0,08
10 Bugis
2.208
0,07
11 Betawi
2.018
0,06
12 Banten
156
0,01
13 Lain-lain
36.769
1,18
Sumber: Data BPS tahun 2010. Dari data ini kita tentunya bisa melihat, bahwa alasan penerapan kebijakan tersebut tentunya
bukan pada tinjauan kuantitas/jumlah populasi antara warga pribumi dan non pribumi khususnya Tionghoa. Data yang hampir sama juga ditunjukkan pada periode tahun 1811-1816, jumlah etnis Tionghoa di Yogyakarta sebesar 2.202 jiwa dengan rincian sebanyak 1.201 laki-laki dan 1.001 perempuan.17 Namun kita tentunya paham, bahwa sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia khususnya masyarakat Yogyakarta melawan para penjajah, menempatkan masyarakat asli sebagai golongan dengan tingkat pendidikan, ekonomi, sosial, dan bahkan kesehatan yang rendah. Golongan seperti timur asing/Tionghoa terkenal memiliki kemampuan ekonomi, etos/budaya kerja, serta kemampuan komunikasi dan bisnis yang sangat tinggi. Hal ini tentunya membawa kekhawatiran tersendiri dari pemerintah Yogyakarta. Sebagai kelompok etnis terbesar ketiga di Yogyakarta, etnis Tionghoa memang terkenal memiliki jiwa bisnis dan perdagangan yang sangat kuat. Bahkan tidak jarang untuk memperkuat jaringan bisnisnya mereka tidak segan merantau atau membeli properti khususnya tanah guna kelancaran usahanya. Hal ini ditambah lagi dengan catatan sejarah yang menunjukkan bahwa pernah terjadi gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa pada masa pra kemerdekaan yang akhirnya menyebabkan pecahnya Kerajaan Mataram. Berbagai faktor tersebut tentunya menyumbang lahirnya pemikiran dan kekhawatiran di masa depan yang turut membawa dampak pada penguasaan tanah yang luasnya terbatas namun didesak dengan permintaan yang tinggi. Oleh karenanya tidak mengherankan apabila asumsi inilah yang mendasari keluarnya kebijakan pembatasan penguasaan tanah tersebut khususnya 17
Data diperoleh dari Catatan Raffles saat menjabat sebagai Gubernur Jenderal di Jawa. Di mana saat itu masyarakat Tionghoa terkonsentrasi di sekitar pasar, di antara benteng Belanda (Vredeburg) dan Kepatihan Danurejan.
Widhiana Hestining Puri: Kontekstualitas Aff irmative .....: 169-180
dikalangan pengambil kebijakan. Sedangkan ditataran implementasi, BPN maupun Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di wilayah Yogyakarta hanya sekedar melaksanakan ketentuan dan aturan yang telah ada tersebut sampai dengan sekarang. Faktor kedua adalah bahwa kebijakan ini telah berlangsung selama hampir 37 (tiga puluh tujuh) tahun secara konsisten. Bahkan ditengah perkembangan dan menjamurnya berbagai peraturan perundangan yang silih berganti hadir khususnya dalam bidang pertanahan, kebijakan ini tetap berjalan dan eksis. Namun sedikit ironis saat aff irmative action yang dinyatakan sebagai sebuah kebijakan yang sifatnya sementara ini tidak jelas kapan masa berlakunya. Hal ini tentunya mengundang tanya, karena kebijakan ini jika kita kaji dari sudut perundang-undangan lain bisa dikatakan merupakan kebijakan yang diskriminatif. Hal ini akan terdengar rancu juga saat secara suka rela Yogyakarta menyatakan diri menerima dan menyatakan berlaku sepenuhnya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Jika dengan dalih guna memberi keadilan bagi masyarakat pribumi, maka perlu penegasan mengenai jangka waktu maupun ukuran pencapaian kesetaraan yang dimaksud dan kiranya perlu menghilangkan stigma negatif. Kajian sejarah perlu juga dilakukan untuk melihat nuansa politik lahirnya kebijakan yang bersumber pada Instruksi Kepala Daerah DIY tentang Penyeragaman Policy Hak Atas Tanah Bagi Warga Negara Indonesia Non pribumi yang dikeluarkan pada tahun 1975. Pada periode tersebut (1954-1984) urusan agraria/pertanahan merupakan urusan rumah tangga DIY. Dimana Pemerintah DIY berhak memberikan hak milik turun temurun atas bidang tanah kepada WNI. Sehingga kebijakan yang ada tersebut tentunya tidak bermasalah karena memang didasarkan pada kewenangan yang dimiliki oleh Pemda.
179
Semangat mewujudkan prinsip “equality before the law” dan keadilan melalui pencapaian kondisi yang setara antar masyarakat pribumi yang serba terbatas kondisi perekonomiannya serta WNI keturunan yang memang sejak awal teristimewakan dengan kebijakan warisan Kolonial Belanda. Latar belakang ideologis inilah yang menggerakan Pemerintah Daerah dalam hal ini untuk menerapkan kebijakan pertanahan yang mampu mengayomi masyarakat dan agar tetap memberi ruang bagi mereka yang memiliki kemampuan ekonomi/modal yang terbatas. Namun memang seiring dengan perkembangan jaman serta perkembangan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, terdapat beberapa hal yang kiranya bertentangan dengan semangat keadilan dan prinsip hukum “equality before the law”. Hal ini sebagaimana ketentuan tentang subjek hak milik dan peristilahan WNI keturunan yang termuat dalam UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun juga PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dalam bidang pertanahan. F. Kesimpulan Konstitusi negara kita yaitu UUD 1945 telah secara tegas menyatakan bahwa negara Indonesia adalah berdasarkan atas hukum sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Konsekuensi logis yang tentunya harus kita terima adalah bahwa berbagai elemen/ciri negara hukum harus ada di Indonesia. Salah satu elemen negara hukum yang berusaha diwujudkan di Indonesia adalah prinsip equality before the law atau prinsip persamaan kedudukan di depan hukum. Pemaknaan prinsip ini harus kita lihat secara luas dalam koridor tujuan negara hukum
180
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
untuk mewujudkan welfare state. Prinsip ini berusaha memberikan penghormatan setinggitingginya terhadap harkat dan martabat manusia termasuk hak asasi manusia untuk dihormati secara seimbang di mata hukum. Prinsip ini tidak memperkenankan segala bentuk perilaku tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan aff irmative action guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju.18 Sasaran aff irmative action terhadap WNI Pribumi lebih didasarkan pada faktor ekonomi, kondisi wilayah/ geografis, serta tinjauan sejarah masa lalu. Namun dengan melihat perkembangan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia serta sebagai penghormatan atas hak asasi manusia di Indonesia, kebijakan pertanahan ini perlu mendapatkan penyempurnaan. Perlu pembatasan yang lebih tegas dan jelas mengenai jangka waktunya serta keserasian dengan peraturan perundangundangan lainnya.
18
Konsep affirmative action merupakan sebuah kebolehan yang diijinkan dan dibenarkan dalam rangka mencapai kesetaraan atas sebuah kondisi yang melibatkan kelompok tertentu yang memiliki kedudukan tidak seimbang.
Daftar Pustaka Ani Widyani Soetjipto. 2005. Politik Perempuan Bukan Gerhana, Jurnal Perempuan #63 “Catatan Perjuangan Politik Perempuan: Af irmative Action”. Diakses tanggal 25 Desember 2012. Boedi Harsono. 2003. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan. Esmi Warassih. 2005. Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis. Semarang: PT. Suryandaru Utama. Hambali Thalib. 2009. Sanksi Pemidanaan dalam Konflik Pertanahan, Kebijakan Alternatif Penyelesaian Konflik Pertanahan di Luar Kodif ikasi Hukum Pidana. Jakarta: Prenada Media Group Hendras Budi Pamungkas. 2006. Tinjauan Yuridis Terhadap Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/ A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak Atas Tanah Kepada Seorang WNI Non Pribumi. Pustaka agrarian.org. Diunduh tanggal 20 Desember 2012. Kompas. 8 September 2009. Surat untuk Redaksi: “Status Hak Milik Tanah Bagi WNI Pribumi dan Keturunan.” Oloan sitorus dan Rofiq Laksamana. 2009. Modul Perbandingan Hukum Tanah. Yogyakarta: STPN. Tidak diterbitkan. Supriadi. 2007. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Graf ika. http://yogyakarta.bps.go.id/. Diakses tanggal 20 Desember 2012. http://www.pkb-majalengka.or.id/indeks/ kemenag-pdt-kembangkan-pertanian-didaerah-tertinggal. Diakses tanggal 2 Februari 2013.
DILEMATIKA PELAKSANAAN OTONOMI DI BIDANG PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM/AGRARIA Sarjita*
Abstract Abstract: The management of natural/agrarian resources in the reformation era influence the governance of the government after Amendment of the 1945 Constitution. The article is aimed at analyzing the crusial problems related to the right of the central government on managing (the land, forestry, mining, and taxation) problems. Yet, at present, those duties are implemented by the provincial and regional governments. The result of the analysis showed that the implementation caused the decrease of the environmental quality, overlapping of services and so forth. Therefore, to make the regulations accord with the constitution, the break law by the judges of the constitutional court was badly required. Keywords Keywords: dilemma, implementation, management natural/agrarian resources. Intisari Intisari: Dilematika pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam pada era reformasi dengan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang menerapkan pembagian kewenangan pemerintahan oleh Pemerintah (pusat/sentralisasi), Pemerintahan Daerah (desentralisasi), telah mewarnai tata kelola pemerintahan paska amademen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tulisan ini berkehendak mengurai beberapa persoalan krusial terkait pelaksanaan kewenangan pemerintahan (pertanahan, kehutanan, pertambangan, dan perpajakan) yang semula merupakan kewenangan Pemerintah (Pusat), kemudian sebagian dilaksanakan, didesentralisasikan kepada pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, beserta permasalahan yang timbul sebagai ikutannya. Hasil analisis/kajian menunjukan, bahwa pelaksanaan kewenangan di bidang pengelolaan sumber daya agraria/alam terjadi “slenco” alias tidak sinkron, bahkan belum optimal dan menyeluruh, serta mengakibatkan degradasi/penurunan kualitas lingkungan, tumpang tindih (overlapping) penanganan pelayanan, dll. Oleh karena itu, untuk menjaga agar regulasi pengelolaan sumber daya Agraria/Alam senafas dengan konstitusi, diperlukan terobosan “break law” oleh hakim MK melalui sarana judicial review. Kata kunci kunci: Dilematika regulasi dan implementasi, tata kelola sumber daya agraria/alam, era reformasi.
A. Pengantar Mencermati secara seksama, problematika yang muncul dalam berbangsa dan bernegara Indonesia, mendorong kita untuk lebih mendalami dan mengkaji amanah para pendiri negara (the funding fathers) yang terkandung di dalam konstitusi negara Republik Indonesia (UUD 1945). Konstitusi tersebut merupakan hasil ke-
* Dosen/Ketua Jurusan Manajemen Pertanahan pada STPN dan Dosen Luar Biasa Mata Kuliah HTN, Hukum Kepartaian dan Pemilu serta Hukum Konstitusi pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
adaan materiil dan spiritual masa yang berlangsung saat dibentuk UUD 1945 sebagai dokumen formal, tertulis serta mengisyaratkan hal-hal sebagai berikut: 1) hasil perjuangan politik bangsa di waktu lampau; 2) tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa; 3) pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan baik untuk waktu sekarang maupun untuk masa yang akan datang; dan 4) suatu keinginan dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin. Dengan memperhatikan secara substantif UUD 1945, maka sangat benar dan tepat apa yang dikemukakn oleh N. Navi Pillay (Komisioner
182
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa) sebagaimana dilontarkan pada Bali Democracy Forum: 8-9 November 2012 di Nusa Dua Bali. Beliau menyatakan bahwa “Pemerintah harus melaksanakan konstitusi, termasuk menunjukan bahwa seluruh peraturan harus mematuhi konstitusi. Pemerintah juga harus memastikan bahwa setiap orang yang tinggal di Indonesia dilindungi hak azasinya.”1 Realitas sosial yang muncul, menunjukan telah terjadi kecenderungan dalam formulasi/ perumusan regulasi di bidang pengelolaan sumberdaya alam/agraria, yaitu mengalami krisis orientasi harmonisasi dan keberlanjutan yang bersifat krusial. Hal tersebut dibuktikan dengan telah dikabulkannya oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan pengujian/judicial review terhadap beberapa UU yang mengatur pengelolaan SDA dan secara substantif bertentangan dengan UUD 1945. Beberapa UU terkait dengan pengelolaan Sumberdaya Alam/Agraria tersebut, antara lain sederet Putusan MK, masing-masing Nomor 10/PUU-X/2012 tertanggal 20 November 2012 – UU Nomor 4 Tahun 2009 ttg Minerba, Putusan MK Nomor 45/PUU-IX/2011 tertanggal 9 Pebruari 2012 – UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Putusan MK Nomor 3/PUUVIII/2010 tertanggal 9 Juni 2012- UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Putusan MK Nomor 55/ PUU-VIII/2010 – UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, Putusan MK Nomor 21/PUUV/2008, PUU Nomor 22/PUU-V/2008 tertanggal 25 Maret 2008 – UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Putusan MK Nomor 02/PUU-I/2003 – UU Nomor 21 Tahun 2002 tentang Migas, Putusan MK Nomor 36/PUU-X/ 2012 tertanggal 13 November 2012–UU Nomor
22 Tahun 2001 tentang Migas, dan hanya satu UU yang lolos dari judicial review (ditolak/tidak dikabulkan) MK, yaitu Putusan MK Nomor 58/ PUU-II/2004, 59/PUU-II/2004, 60/PUU-II/2004, 63/PUU-II/2004 – UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Dengan mencermati secara substantif dalil dan alasan beberapa putusan MK tersebut, mengisyaratkan kepada Badan Legislatif (DPR) untuk secara jernih memikirkan ulang bagaimana menjalankan/mengemban amanah UUD 1945 agar keberadaan Konstitusi (UUD 1945) benar-benar menampung/mengejawantahkan suatu keinginan dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa yang hendak dipimpin. Sudahkan terwujud sendi-sendi kehidupan yang berkeadilan di dalam masyarakat sebagai tugas utama negara? Tugas negara yang utama2 yaitu, Pertama: memberikan perlindungan kepada penduduk dalam wilayah tertentu; Kedua: mendukung atas atau langsung menyediakan pelbagai pelayanan kehidupan masyarakat dalam bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan; Ketiga: menjadi wasit yang tidak memihak antara pihakpihak yang berkonflik dalam masyarakat serta menyediakan suatu sistem yudisial yang menjamin keadilan dasar dalam hubungan sosial masyarakat. Realitas lain yang ditemukan adalah, terjadinya berbagai tindak pidana, diberbagai lini, baik legilatif, eksekutif maupun yudikatif, di ranah pemerintah pusat, daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, bahkan telah merasuk ke pemerintah desa. Di Bidang eksekutif, dan legislatif, dan yudikatif ternyata apa yang dilaksanakan oleh para pemimpin, wakil kita di parlemen,
2
1
Koran Tempo, “Seluruh Peraturan Harus Patuhi Konstitusi”, 16 November 2012, hlm. A14.
Frans Magnis Suseno, 2001. Etika Politik PrinsipPrinsip Moral dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm. 316-317.
Sarjita: Dilematika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang.....: 181-195
bahkan yang seharusnya memberikan keadilan sebagai wakil Tuhan di bumi (hakim) banyak yang masih tidak nyambung alias “slenco”3 yang terjadi dalam hal korupsi, bahkan dalam tata politik. Kondisi yang demikian ini, besar kemungkinan terjadi pula di lingkungan sekitar kita, cuma mau melihat secara jernih atau tidak dengan hati nurani. Tidak jarang pula kemampuan melihat dengan mata hati atau “biso rumongso” dalam menyikapi persoalan telah tumpul, sebaliknya sikap “rumongso biso” yang akhirnya masuk ke ranah panca indra yang akhirnya tidak lagi mengilhami yang seharusnya untuk menangkap makna yang sejatinya, untuk apa mereka sebenarnya dipilih menjadi pemimpin, wakil rakyat dan Tuhan di bumi menjadi tergerus atau sirna? Jadi, “slenco” telah merambah hampir di setiap perilaku kehidupan manusia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, kuncinya satu yaitu masihkah mempunyai rasa “malu” dan mau hidup “sederhana”. Demikian pula, kita susah menemukan lagi sosok/f igur pimpinan atau wakil rakyat yang sepadan dengan tokoh “Sukrasana”4 dalam kehidupan saat ini. Sukrasana, adalah tokoh dalam pewayangan yang buruk muka tetapi sakti dan berwatak mulia, “mrantasi” alias memberi solusi. Berorientasi untuk mewujudkan nilainilai ideal kehidupan, pencapaian cita-cita yang membawa kemaslahatan bagi orang banyak. Yang terjadi sebaliknya muncul tokoh ala “Arjuna” baik di Pusat maupun di daerah yang dengan polesan gincunya, yang dibisiki oleh para raksekso–rakseksi untuk menggunakan kas kerajaan demi kepentingan diri sendiri dan keluarganya atau kroni-kroninya, mereka mengerogoti secara sistematis mulai dari saat penganggaran sampai eksekusinya.
Dampak dari semua itu adalah semakin melemahnya semangat untuk mencapai atau mewujudkan sendi-sendi berkehidupan yang berkeadilan bagi masyarakat. A. Zen Umar Purba, 5 menyatakan bahwa “Tidak mudah berusaha di Indonesia”, Hasil survei berbagai peraturan di 183 negara itu menempatkan Indonesia di posisi ke-129 pada tahun 2012, yang berarti mundur dari kursi 126 untuk tahun 2011. Selanjutnya diukur dari 10 pembukaan bidang usaha, pengurusan izin usaha kontruksi, pemprosesan listrik, pendaftaran properti, perolehan kredit, perlindungan investor, pembayaran pajak, perdagangan lintas negara, pelaksanaan kontrak dan penutupan usaha. Kemudian dikaji dari kemudahan berusaha secara keseluruhan, menempatkan Indonesia berada pada posisi paling buruk/urutan ke-155 terkait di bidang usaha dan pelaksanaan kontrak. Pendapat senada, dikemukakan oleh Nico Kanter6 (C.E.O PT. Vale Indonesia), perusahaann yang bergerak di bidang pertambangan Nikel dan Bijih Besi. Menyatakan bahwa masih peliknya Kepastian hukum. Belum lagi soal pinjam pakai kawasan hutan, merupakan urusan yang cukup pelik karena melibatkan dari pemerintah kabupatenPusat, dan harus dapat menjebatani antara kepentingan investasi perusahaan, pemerintah dan pemodal. Titik krusialnya terletak pada regulasi dan kebijakan serta implementasi di lapangan, dan bersentuhan dengan masyarakat hukum adat. Berangkat dari beberapa uraian/paparan tersebut di atas, dalam makalah ini akan disajikan problematika regulasi dan solusi otonomi/pelimpahan wewenang pengelolaan di bBidang Sumberdaya Alam/Agraria.
5
3
Sindhunata, “Slemco”, Kompas, 2013. 4 Indra Tranggono, Mencari “Sukrasana”, Kompas, 2013.
183
Zen Umar Purba, “Tidak Mudah berusaha di Indonesia”. Koran Tempo, 19 November 2012, hlm. A8. 6 Nico Kanter, “Peliknya Kepastian Hukum”, Kompas, 4 Februari 2013.
184
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
B. Menuju Kepastian dan Keadilan Tenurial Kita memerlukan sebuah arah perubahan kebijakan penguasaan kawasan hutan untuk mencapai kepastian dan keadilan tenurial. Ide pemikiran ini pernah di sampikan oleh berbagai kelompok Lembaga Swadaya Masyarat/LSM (HuMa, WG-Tenure, FKKM, KPSHK, AMAN, Karsa, dll.) pada tahun 2011. Kemudian pada awal tahun 2013 disuarakan dalam Petisi/Surat Terbuka kepada Presiden terkait dengan Forum Indonesia Untuk Keadilan Agraria yang diketuai oleh Dr. Soerjo Adiwibowo dengan dukungan para Akademisi Perguruan Tinggi yang konsen pada masalah/persoalan Agraria, Peneliti, TokohTokoh Masyarakat (terlampir). Para pegiat agraria itu menyampaikan gagasan berupa 3 (tiga) arah perubahan yaitu: 1. Perbaikan kebijakan dan percepatan proses pengukuhan kawasan hutan; a. Pengukuhan Kawasan Hutan Regulasi pengukuhan kawasan hutan, semua diatur dalam Permenhut No. P.50/ Menhut-II/2009 tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan, Permenhut Nomor P.50/Menhut-II/20011 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Kedua peraturan Menteri Kehutanan tersebut, telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 64 Permenhut Nomor P.44/Menhut-II/2012 tertanggal 11 Desember 2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan, dilakukan proses pengukuhan kawasan hutan. Tahapan atau proses pengukuhan kawasan hutan ini diawali dengan penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, penetapan kawasan hutan. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan kegiatan penunjukan dengan Keputusan Manteri, pelaksanaan tata batas; pembu-
atan Berita Acara Tata Batas Kawasan Hutan yang ditandatangani oleh Panitia Tata Batas atau Pejabat yang berwenang; dan penetapan dengan Keputusan Menteri. Penunjukan kawasan hutan untuk wilayah tertentu yang secara parsial dapat dilakukan pada areal bukan kawasan hutan yang berasal dari: 1) Lahan pengganti dari tukar-menukar kawasan hutan, dilakukan setelah Berita Acara Tukar menukar Kawasan Hutan ditandatangani oleh Dirjend atas nama Menteri bersama pemohon; 2) Lahan kompensasi dari izin pinjam pakai kawasan hutan dengan kompensasi lahan, dilakukan setelah Berita Acara Serah Terima Lahan Kompensasi ditandatangani oleh Dirjend atas nama Menteri bersama pemohon; 3) Tanah timbul; 4) Tanah milik yang diserahkan secara sukarela, maka menteri dapat langsung menunjuk sebagai kawasan hutan; atau 5) Tanah selain dimaksud pada angka 1 s/ d 3 sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun syarat-syarat untuk Penunjukan Kawasan Hutan ada usulan atau rekomendasi gubernur dan/atau bupati/walikota (dalam hal usulan dilakukan oleh gubernur, maka rekomendasi oleh bupati/walikota, sebaliknya jika usulan dari bupati/walikoat, maka rekomendasi oleh gubernur. Khusus untuk usulan yang tanahnya berasal dari lahan kkompensasi, maka rekomendasi diberikan oleh gubernur atau bupati/walikota); dan secara teknis dapat dijadikan hutan. Dalam rangka pengukuhan kawasan hutan di dalamnya terdapat hak-hak pihak ketiga, maka terlebih dahulu dilakukan tahapan berupa inventarisasi, identivikasi dan penyelesaian
Sarjita: Dilematika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang.....: 181-195
hak-hak Pihak ketiga. Hak-hak pihak ketiga dibuktikan dengan alat bukti tertulis atau tidak tertulis. Bukti tertulis (Sertipikat Hak Atas Tanah) meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, HakPakai, dan Hak Pengelolaan. Sedangkan alat bukti tidak tertulis lainnya (Selain Sertipikat Hak Atas Tanah), seperti hak eigendom, optal, erfpacht, petuk pajak bumi/landrente, girik, pilil, kekitir, Verponding Indonesia dan alas hak yang dipersamakan dengan itu; Surat Keterangan Riwayat Tanah yang dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; atau lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI, dan Pasal VII Ketentuan-Ketentuan Konversi UU Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. (Bandingkan dengan alat bukti tidak tertulis yang dimaksud dalam Pasal 24 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Jo. Pasal 60 (Sistematik) dan 76 (Sporadik) PMNA/Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997 Jis. Perkaban Nomor 3 Tahun 2012).7 Untuk memperkuat keabsahan alat bukti tersebut, maka harus disertai Klarifikasi dari instansi yang membidangi urusan pertanahan sesuai dengan kewenangannya. 7
Menurut penulis sudah merujuk pada ketentuan UUPA dan Peraturan pelaksanannya, namun masih terdapat alat-alat bukti tertulis yang belum diakomodasikan oleh Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/PermenhutII/2012, seperti halnya surat bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peratutran Daerah Swapradja; surat keputusan pemberian HM dari pejabat yang berwenang baik sbeleum atau sejak berlakunya IIPA yang tidak diserati kewajiban untuk mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi kewajiban yang disebutkan di dalamnya, akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang dibubhi tanda kesaksian oleh Kepala Adat/Desa/Kalurahan yang dibuat sebelum berlakunya PP Nomor 24 Tahun 1997 Jo. PMNA/ Ka. BPN Nomor 3 Tahun 1997 dengan disertai alas hak yang dialihkan, atau akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT yang tanahnya belum dibukukan dengan disertai alas hak yang dialihkan.
185
Permenhut Nomor P.44/Permenhut-II/2012 ini juga mengakomodasikan alat-alat bukti tidak tertulis yang idlakukan dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Permukiman, fasilitas umum, fasilitas sosial yang berdasarkan sejarah keberadaannya sudah ada sebelum penunjukan kawasan hutan; 2) Permukiman, fasilitas umum, fasilitas sosial dalam desa/kampung yang berdasarkan sejarah keberadaannya ada setelah penunjukan kawasan hutan dapat dikeluarkan dari kawasan hutan dengan kriteria: a) Telah ditetapkan dalam Perda, dan b) Tercatat pada statistik Desa/Kalurahan; dan c) Penduduk di atas 10 (sepuluh) KK dan terdiri dari minimal 10 (sepuluh) rumah. d) Ketentuan tersebut tidak berlaku pada provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30% (per seratus). Keberadaan permukiman fasilitas umum, fasilitas sosial tersebut di atas didukung dengan citra penginderaan jauh resolusi menengah sampai tinggi dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam Berita Acara Tata batas. Hal yang perlu mendapat, perhatian yaitu terkait dengan pendistribusian Dokumen Pengukuhan Kawasan Hutan. Mengingat bahwa areal batas kawasan hutan selalu bersinggungan/berbatasan dengan otoritas pertanahan, maka ada baiknya jika Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota (di tingkat Daerah) atau secara nasional di tingkat Pusat (BPN-RI) memperoleh salinan tentang penetapan Kawasan Hutan sebagai bahan pertimbangan bagi aparatur BPN untuk pengambilan kebijakan pengelolan pertanahan yang berbatasan dengan kawasan hutan. Dengan mekanisme ini, maka akan mereduksi timbulnya konf lik pertanahan dengan otoritas Kementerian Kehutanan. Pasal 57 Ketentuan peralihan Permenhut Nomor 44/Permenhut-II/2012 menyebutkan,
186
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
bahwa “Terhadap hak atas tanah yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sebelum diterbitkannya peta register hutan, penunjukan parsial, Rencana Pengukuhan dan Penggunaan Hutan (RPPH)/Tata Guna Hutan Kesepkatan (TGHK) yang merupakan lampiran dari Keputusan Menteri Pertanian/Kehutanantentang Penunjukan areal hutan di provinsi merupakan kawasan hutan, maka hak atas tanah diakui dan dikeluarkan keberadaannya dari kawasan hutan (enclave).” Hal-hal lain yang perlu mendapat pencermatan, yaitu: a) Mekanisme pengukuhan kawasan hutan selayaknya jika memberikan ruang partisipasi yang sangat optimal bagi masyarakat, khususnya masyarakat hukum adat. Pengaturan mengenai kelembagaan, prosedur/mekanisme partisipasi, dan kriterianya. b) Menerapkan UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP), untuk membuka ruang akses masyarakat luas pada dokumen-dokumen Berita Acara penataan batas Kawasan hutan. 2. Penyelesaian konflik kehutanan Konflik tenurial kehuatanan hampir merata terjadi di seluruh Indonesia. Konflik kehutanan jelas akan berdampak pada terganggungya kepastian hukum di bidang usaha/investasi khususnya bagi pemegang izin di bidang kehutanan dan/atau perizinan di bidang pertanahan yang arealnya berbatasan dengan Kawasan hutan. Konfli tersebut, disebabakan oleh berbagai hal, seperti pelanggaran terhadap prosedur penunjukan kawasan hutan era/rezim sebelum dikeluarkannya Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor 45/PUU-IX/2011 tertanggal 9 Pebruari 2012 – UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Klaim wilayah hutan sebagai hutan negara secara sepihak oleh Kementerian kehutanan maupun pemerintahan Kolonial Belanda. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan kebijakan Departemen/Kementerian Kehuatanan,
menerbitkan perizinan kepada Pihak ketiga (lain) dengan menaf ikan/menegasikan keberadaan masyarakat hukum adat. Terkait kriteria keberadaanya menurut ketentuan Penjelasan Pasal 67 UU Nomor 41 Tahun 1999, mustahil untuk terpenuhi, khsususnya terkait persyaratan keberadaan lembaga peradilan adat, sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa keberadaan lembaga peradilan adat telah digantikan oleh Peradilan Negara (UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Penghapusan Peradilan Adat). Penanganan dan penyelesaian konflik kehutanan yang berbenturan dengan eksistensi masyarakat hukum adat maupun pihak lainnya, akan berdampak positif, tidak hanya pada upaya membuka akses ksejahteraan bagi masyarakat, tetapi juga memberikan kepastian hukum berusaha bagi pemegang izin. Secara garis besar tipologi konflik tenurial kehutanan dapat dibedakan berdasarkan pihakpihak yang terlibat, yaitu: a) Konf lik antara masyarakat hukum adat dengan Kementerian Kehutanan, sehubungan dengan penunjukan dan/atau penetapan kawasan hutan adat sebagai kawasan hutan negara. Perlu kami tegaskan bahwa “lebensraum/wewengkon /wilayah” masayarakat hukum adat jangan hanya dipahami/ dimaknai objeknya sebagai tanah saja, melainkan juga hutan, perairan pedalaman (Sungai, danau) maupun perairan luar (Pantai/pesisir). b) Konf lik antara masyarakat hukum adat dengan Kementerian kehutanan dan/atau Badan Pertanahan Nasional. Misalnya konflik karena penerbitan bukti hak atas tanah pada areal wilayah masyarakat hukum adat, dan diklasif ikasikan sebagai kawasan hutan. c) Konf lik antara masyarakat Transmigran dengan masyarakat (adat/Lokal) dan/atau kementerian Kehutanan sebagai Kawasan Hutan.
Sarjita: Dilematika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang.....: 181-195
d) Konf lik antara masyarakat hukum adat dengan petani peladang berpindah-pindaha atau karena adanya mitigasi bencana; e) Konf lik antara Pemerintah Desa dengan Kementerian Kehutanan; f ) Konflik atara spekulan tanah dengan melibatkan elite politik melawan Kementerian kehutanan; g) Konf lik antara masyarakat lokal dengan insvestor pemegang izin kehutanan; h) Konflik antara investor pemegang izin Kementerian Kehutanan dengan Investor Pemegang Izin dari Otoritas BPN-RI. (Dahulu antara Pemegang HPH/Kementerian Kehutanan dengan Pemegang HGU/BPN-RI dan Kementerian Pertanian dan Perkebunan, dan kemungkinan juga dengan Pemegang izin di bidang Pertambangan/KP Kementerian ESDM) i) Konflik kehutanan terkait dengan pemberlakukan Perda Tata Ruang Wilayah Kab/Kota, Provinsi. Penanganan konf lik kehutanan tersebut dapat dilakukan dengan merujuk pada substansi Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Meskipun telah dibentuk Tim Mediasi Konflik Kehutanan dengan Keputusan Manteri kehutanan Nomor SK. 254/Menhut-II/ 2008, masih perlu dilakukan perbaikan dan pembenahan lebih lanjut, dengan mengadopsi prinsip-prinsip kearifan lokal dan substansi PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Mediasi di Pengadilan. Disamping itu koordinasi lintas sektor dalam perumusan kebijakan dan pemberian perizinan sangat membantu mereduksi terjadinya konflik di kemudian hari. Jika dimungkinkan dibentuk lembaga yang khusus menangani korban karena kebijakan sektor Kementerian Kehutanan yang tujuannya memberikan perlindungan korban kejahatan karena pola penunjukan kawasan hutan yang menga-
187
baikan hak-hak dasar warganegara, seperti hakhak masyarakat hukum adat dengan menerapkan dan mempertimbangkan akademisi perguruan tinggi yang memahami dan ahli di bidang victimologi. 3. Perluasan wilayah kelola rakyat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat adat dan masyarakat lokal lainnya. Memperhatikan hasil Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan pada Tahun 2008 dan Tahun 2009, keberadaan Desa/Kelurahan diperoleh kriteria 3 (tiga), yaitu: a) Desa/Kelurahan di dalam kawasan hutan, yaitu Desa/Kelurahan yang letaknya di tengah atau di kelilingi kawasan hutan baik desa yang sudah dienclave maupun yang belum; b) Desa/Kelurahan di tepi kawasan hutan a, yaitu desa/kelurahan yang letaknya di tepi, atau di pinggir kawasan hutan, atau berbatasan dengan kawasan hutan; c) Desa/Kelurahan di luar kawasan hutan, yaitu desa/kelurahan letaknya jauh dari kawasan hutan. Dari hasil identisikasi tersebut diketahui bahwa pada tahun 2007 terdapat 31.957 desa/ kelurahan di dalam kawasan hutan dari sekitar 15 Provinsi, dan terdapat 7.943 Desa/kelurahan yang lokasinya/letaknya di tepi kawasan hutan.8 Selanjutnya pada tahun 2009 terdapat Desa/ Kelurahan sebanyak 1.500 yang lokasi/letaknya di dalam kawasan hutan dan 8.602 desa/ kelurahan yang lokasi/letaknya di tepi kawasan hutan. 9 Beberapa Program Pemberdayaan 8
Pusat Rencana Statistik Kehutanan Departemen Kehutanan dengan Direktorat Statistik Pertanian BPS, 2007. Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan 2007, hlm. 14. 9 Pusat Rencana Statistik Kehutanan Departemen Kehutanan dengan Direktorat Statistik Pertanian BPS, 2009. Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan 2009. Jakarta, hlm. 18.
188
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
masyarakat yang dilakukan oleh Kementerian Kehutanan, seperti Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Kemitraan. Jika diperlukan melakukan koordinasi dengan lembaga keuangan/ perbankan atau Pemerintah Daerah, dll., maka untuk pendampingan sosial, ekonomi, modal, insfrastruktur pedesaan sebagai stimulan. Para pelaku usaha di bidang kehutanan sebagai bagian dari badan hukum (PT) agar menerapkan ketentuan PP Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Dalam PP tertsebut ditegaskan bahwa Perseroan terbatas sebagai badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dengan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas diwajibkan bagi Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam adalah perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatyanny usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumberdaya alam termasuk pelestarian lingkungan hidup. Sedangkan menjalankan perusahaan berdasarkan UndangUndang harus dimaknai dengan ruang lingkup kegiatan usaha di bidang perindustrian, kehutanan, miyak dan gas bumi, BUMN, Usaha Panas Bumi, Sumber Daya Air, pertambangan mineral dan batubara, ketenagalistrikan, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, larangan praktiik monopoli, dan persaingan usaha tidak sehat, HAM, Ketengakerjaan, serta perlindungan konsumen. Upaya lain yang masih dapat dilakukan dan ditingkatkan yaitu percepatan dan perluasan wilayah kelola masyarakat lokal di sekitar hutan dengan program atsu sekama HKm, Hutan Desa, HTR, dll.
C. Pelaksanaan Kewenangan Daerah di Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam Ritme penyelenggaraan kewenangan di bidang pemerintahan yang telah dan sedang diterapkan adalah sistem Sentralisasi/Kekuasaan pemerintahan terpusat di Jakarta (Orde LamaOrda Baru), Desentralisasi, Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan (Medebewind) berjalan setelah Era Reformasi dengan diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian terjadi gejolak dalam implementasinya, sehiongga dilakukan penyempurnaan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004. UU Nomor 32 Tahun 2004 ini kemudian ditindak lanjuti dengan PP Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Pusat, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. 1. Bidang Pertanahan Di bidang pertanahan, jauh sebelum keluar PP Nomor 38 Tahun 2007, Presiden sudah menerbitkan Keppres Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan.10 Kebijakan tersebut, selanjutnya dituangkan dalam PP Nomor 38 Tahun 2007, ada 8 (delapan) kewenangan di bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang dilaksanakan berdasarkan azas desentralisasi dan 1 (satu) kewenangan yang dilaksanakan berdasakan azas tugas perbantuan (medebewind). Selanjutnya dalam Lampiran I PP Nomor 38 Tahun 2007 dicantumkan kewenangan apa saja yang menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota di bidang pelayanan pertanahan, sebagai berikut: 10
Sarjita, 2005. Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan Dalam Era Otonomi Darerah. Yogyakarta: Tugujogja Pustaka.
Sarjita: Dilematika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang.....: 181-195
Tabel 1. Urusan wajib Pemerintahan Kabupaten/Kota di Bidang Pertanahan Berdasarkan\Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 No.
1.
2.
3.
Kewenangan/ Urusan Pemerin tahan Izin Lokasi
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum
Penyelesaian Sengketa tanah Garapan
Sistem Penyeleng garaan Urusan Pemerintahan Desentralisasi
Desentralisasi Catatan: Kewenangan ini dengan diberla kukannya UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sudah ditarik kembali menjadi kewenangan Pusat Cq. BPN RI. Desentralisasi
Penyelesaian Masalah ganti Kerugian dan Santunan Tanah Untuk pembangunan penetapan subjek dan objek redistribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee
Desentralisasi
6.
Penetapan Tanah Ulayat
Desentralisasi
7.
Penyelesaian Masalah Tanah Kosong
Desentralsiasi
8.
Izin Membuka Tanah
Tugas perbantuan (Medebewind)
4.
5.
Desentralisasi
3.
4. 9.
Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/ Kota
Desentralisasi
1. 2.
Jenis Kegiatan Urusan Pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota
1. penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan berkas persyaratan; 2. kompilasi bahan koordinasi; 3. pelaksanaan rapat koordinasi; 4. pelaksanaan peninjuan lokasi; 5. penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan teknis pertanahan dari kantor pertanahan kabupaten/kota dan pertimbangan teknis lainnya dari instansi teknis terkait; 6. pembuatan peta lokasi sebagai lampiran SK izin lokasi yang diterbitkan; 7. penerbitan SK Izin Lokasi; 8. pertimbangan dan usulanpencabutan izin dan pembatalan SK Izin Lokasi dengan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. 9. monitoring dan pembinaan perolehan tanah. 1. penetapan lokasi; 2. pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan; 3. pelaksanaan penyuluhan; 4. pelaksanaan inventarisasi; 5. pembentukan Tim Penilai Tanah; 6. Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari Lembaga/Tim Penilai tanah; 7. pelaksanaan musyawarah; 8. penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian; 9. pelaksanaan pemberian ganti kerugian; 10. Penyelesaian bentuk dan besarnya ganti kerugian; 11. pelaksanaan pelepasan hak dan penyerahan tanah di hadapan Kepala kantor Pertanahan kabupaten/Kota
1. penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah garapan; 2. penelitian terhadap subjek dan objek sengketa; 3. pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan; 4. koordinasi dengan kantor pertanahan untuk menetapkan langkah-langkah penanganannya; 5. fasilitasi musyawarah antar pihak yang bersengketa untuk mendapatkan kesepakatan para pihak; 1. pembentukan Tim Pengawasan Pengendalian; 2. penyelesaian masalah ganti kerugian dan dan santunan tanah untuk pembangunan;
1. Pembentukan Panitia Pertimbangan Landreform dan Sekretariat Panitia; 2. Pelaksanaan sidang yang membahas hasil inventarisasi untuk penetapan subjek dan objek redistribusi tanah serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; 3. Pembuatan hasil sidang dalam Berita Acara; 4. Penetapan tanah kebihan maksimum dan tanah absentee sebagai objek Landreform berdasarkan sidang hasil panitia; 5. Penetapan para penerima kelebihan tanah maksimum dan tanah absentee berdasarkan hasil sidang panitia; 6. Penerbitan SK Subjek dan Objek redistribusi tanah serta ganti kerugian; 1. Pembentukan Panitia Peneliti; 2. Penelitian dan kompilasi hasil penelitian; 3. pelaksanaan dengan pendapat umum dalam rangka penetapan tanah ulayat; 4. Pengusulan Rancangan Peraturan daerah tentang Penetapan tanah ulayat; 5. Pengusulan pemetaan dan pencatatan tanah ulayat dalam daftar tanah kepada kantor pertanahan Kabupaten/Kota; 6. Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah dan mufakat. 1. Inventarisasii dan identifikasi tanah kosong untuk pemanfaatan tanaman pangan semusim; 2. Penetapan bidang-bidang tanah sebagai tanah kosong yang dapat digunakan untuk tanaman pangan semusim bersama pihak lain berdasarkan perjanjian; 3. Penetapan pihak-pihak yang memerlukan tanah untuk tanaman pangan semusim dengan mengutamakan masyarakat setempat; 4. Fasilitasi perjanjian kerjasama antara pemegang hak atas tanah dengan pihak yang akan memanfaatkan tanah di hadapan/diketahui oleh Kepala Desa/Lurah dan Camat setempat dengan perjanjian untuk dua kali musim tanam; 5. Penaganan masalah yang timbul dalam pemanfaatan tanah kosong jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban dalam perjan jian 1. penerimaan dan pemeriksaan permohonan; 2. Pemeriksaan lapang dengan memperhatikan kemampuan tanah, status tanah dan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota;
3.
4. 5.
6. 7. 8.
9.
189
Penerbitan Izin Membuka tanah dengan memperhatikan pertimbangan teknis dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota; Pengawasan dan pengendalian penggunaan izin membuka tanah. Pembentukan Tim Koordinasi Tingkat Kabupaten/Kota; Kompilasi data dan informasi yang terdiri dari: a. Peta Pola Penatagunaan Tanah atau Peta Wilayah Tanah Usaha atau peta Persediaan Tanah dari kantor Pertanahan kabupaten/Kota; b. Rencana Tata Ruang Wilayah; c. Rencana pembangunan yang akan menggunakan tanah baik rencana Pemerintah, Pemerintah Kabupaten/ Kota, maupun instansi swasta. Analisis kelayakan letak lokasi sesuai dengan ketentuan dan kriteria teknis dari instansi terkait; Penyiapan draf Rencana Letak Kegiatan Penggunaan Tanah; Pelaksanaan rapat koordinasi terhadap draff rencana letak kegiatan penggunaan tanah dengan instansi terkait; Konsultasi publik untuk memperoleh draff rencana letak kegiatan penggunaan tanah; Penyusunan Draff final rencana letak kegiatan penggunaan tanah; Penetapan rencana letak kegiatan penggunaan tanah dalam bentuk peta dan penjelasannya dengan keputusan Bupatio/Walikota; Sosialisasi tentang rencana letak kegiatan penggunaan tanah kepada instansi terkait;
Sumber: Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Provinsi dan Pemeriuntahan Daerah Kabupaten/Kota, Yogyakarta, Fokus Media, 2007, hlm. 215-226. 2. Bidang Kehutanan Selanjutnya, di Bidang Kehutanan, dapat dipedomani pada lampiran: AA PP Nomor 38 Tahun 2007 beberapa kewenangan di bidang kehutanan yang menjadi wewenang Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota meliputi 59 (lima puluh) jenis antara lain: pengusulan, pertimbangan teknis, pemberian izin, pengelolaan, penetapan, perencanaan, pelaksanaan, pengusahaan, pengawetan, lembaga Konservasi, Perlindungan Penelitian dan pengembangan, penyuluhan, pembinaan dan pengendalian serta pengawasan. Secara rinci dapat disajikan diantaranya: a. Penyelenggaraan inventarisasi hutan produksi (HP) dan hutan lindung dan skala Daerah Aliran Sungai dalam wilayah Kabupaten/kota; b. Pengusulan penunjukan kawasan hutan Hutan Produksi Hutan Lindung, Kawasan Pelestarian Alam, Kawasan Suaka Alam dan Taman Buru; c. Pengusulan pengelolaan hutan dengan tujuan khusus untuk masyarakat hukum
190
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
adat, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan kehutanan, lembaga sosial dan keagamaan untuk skala kabupaten/ kota denganpertimbangan gubernur; d. Pengusulan perubahan status dan fungsi hutan dan perubahan status dari lahan milik menjadi kawasan hutan, dan penggunaan serta tukar-menukar kawasan hutan; e. Pertimbangan penyusunan rancang bangun dan pengusulan pembentukan wilayah pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi, serta institusi wilayah pengelolaan hutan; f. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek unit KPHP; g. Pertimbangan teknis pengesahan rencana kerja usaha 20, 5, 1 tahunan uni usaha pemanfaatan HP; h. Pertimbangan teknis untuk pengesahan, dan pengawasan pelaksanaan penataan batas luar areal kerja unit pemanfaatan HP dalam Kabupaten/Kota; i. Pertimbangan teknis pengesahan rencana pengelolaan 20, 5, 1 tahunan unit usaha pemanfaatan hutan Lindung (KPHL); j. Pertimbangan teknis pengesahan penataan areal kerja unti usaha pemanfataan hutan lindung kepada provinsi; k. Pertimbangan teknis rencana pengelolaan 20, 5, 1 tahunan unit KPHK; l. Pertimbangan teknis pensehan rencana pengelolaan 20, 5, 1 tahunan untuk cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman wisata alam dan taman buru skala kabupaten/kota; m. Pengelolaan Taman Hutan Raya, penyusunan rencana pengelolaan dan penataan blok (zonasi) serta pemberian perizinan usaha pariwisata alam dan jasa lingkungan serta rehabilitasi di taman hutan raya skala kabupaten/ kota; n. Penyusunan rencana-rencana kehutanan
tingkat kabupaten/kota; o. Penyusunan Sistem Informasi Kehutanan (numerik dan spasial) tingkat Kab/Kota; p. Pertimbangan teknis kapada Gubernur untuk pemberian perpanjangan IUP Hasil Hutan Kayu, serta pemberian perizinan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, pemberian perizinan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada HP kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja Perun Perhutani; q. Pemberian izin pemanfaatan kawasan hutan dan jasa lingkungan skala Kabupaten/Kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja Perum Perhutani; r. Pertimbangan teknis pemberian izin industri primer hasil hutan kayu, pengawasan dan pengendalian penatausahaan hasil hutan skala kabupaten/kota; s. Pemberian perizinan pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan kayu yang tidak dilindungi dan tidak termasuk ke dalam Lampiran CITES dan pemanfaatan jasa lingkungan skala kabupaten/kota kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja Perum Perhutani; t. Pelaksanaan pemungutan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) skala kabupaten/kota; u. Penetapan lahan kritis skala kabupaten/kota, pertimbangan teknis rencana rehabilitasi hutan dan lahan DAS/Sub DAS, penetapan rencana pengelolaan, rencana tahunan dan rancangan rehabilitasi hutan pada hutan taman hutan raya skala kabupaten/kota. Terkait dengan kewenangan di bidang kehutanan dalam rangka pelaksanaan ketentuan PP Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonstrasi dan Tugas Pembantuan, Kementerian Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.24/Menhut-II/2012 tertanggal 11 Juni 2012 tetang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Urusan (Dekonsentrasi) Bidang Kehutanan Tahun 2012
Sarjita: Dilematika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang.....: 181-195
Yang Dilimpahkan kepada Gubernur Selaku Wakil Pemerintah 3. Bidang Minerba dan Panas Bumi dan Air Tanah Kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota di bidang Mineral, Batubara, Panas Bumi dan Air Tanah, meliputi hal-hal sebagai berikut: a. Penyusunan peraturan perundang-undangan daerah kabupaten/kota di bidang mineral, batubara, panas bumi dan air tanah; b. Penyusunan data dan informasi wilayah kerja usaha pertambangan minerba serta panas bumi skala kabupaten/kota; c. Penyusunan data dan informasi cekungan air tanah skala kabupaten/kota; d. Pemberian rekomendasi teknis izin pengeboran, izin penggalian dan iizin penurapan air tanah pada cekungan air tanah pada wilayah kabupaten/kota; e. Pemberian izin usaha pertambangan minerba dan panas umi pada wilayah kabupaten/kota dan 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi; f. Pemberian izin usaha pertambangan minerba untuk operasi produksi yang berdampak lingkungan langsung pada wilayah kabupaten/ kota dan 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi; g. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan minerba dan panas bumi pada wilayah kabupaten/kota dari 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi; h. Pemberian izin badan usaha jasa pertambangan minerba dan panas bumi dalam rangka PMA dan PMDN di wilayah kabupaten/kota; i. Pengelolaan, pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha jasa pertambangan minerba dan panas bumi dalam rangka penanaman modal di wilayah kabupaten/kota; j. Pembinaan dan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang,
191
konservasi dan peningkatan nilai tambah terhadap usaha pertambangan minerba dan panas bumi pada wilayah kabupaten/kota; k. Penetapan wilayah konservasi air tanah dalam wilayah kabupaten/kota; l. Pembinaan dan pengawasan serta kesehatan kerja, lingkungan pertambangan termasuk reklamasi lahan pasca tambang, konservasi dan peningkatan nilai tambah Kuasa Pertambangan dalam wilayah Kabupaten/Kota; m. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan izin usaha pertambangan minerba untuk operasi produksi, serta panas bumi yang berdampak lingkungan langsung dalam wilayah kabupaten/kota; n. Penetapan nilai perolehan air tanah pada cekungan air tanah dalam wilayah kabupaten/ kota; o. Pengelolaan data informasi minerba, panas bumi dan air tanah serta pengusahaan dan Sistem Informasi Geografis wilayah kerja pertambangan di wilayah kabupaten/kota; p. Penetapan potenasi panas bumi dan air tanah serta neraca sumber daya dan cadangan minerba di wilayah kabupaten/kota; q. Pengangkatan dan pembinaan inspektur tambang serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota.11 4. Bidang Minyak dan Gas Bumi Kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota di bidang Minyak dan Gas Bumi, meliputi hal-hal sebagai berikut: a. Penghitungan produksi dan realisasi lifting minyak bumi dan gas bumi bersama pemerintah; b. Pemberian rekomendasi penggunaan wilayah kerja kontrak kerja sama untuk kegiatan lain 11
Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Yogyakarta, Fokus Media, 2007, hlm. 535-537
192
c. d.
e.
f. g. h.
i.
j.
k.
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
di luar kegiatan migas pada wilayah kabupetan/kota; Pemberian izin pembukaan kantor perwakilan perusahaan di sub sektor migas; Pengawasan pengendalian pendistribusian dan tata niaga bahan bakar minyak dari agen dan pangkalan dan sampai konsumen akhir di wilayah kabupaten/kota; Pemantauan dan inventarisasi penyediaaan, penyaluran dan kualitas harga BBM serta melakukan analisas dan evaluasi terhadap kebutuhan BBM di wilayah kabupaten/kota; Pemberian rekomendasi lokasi pendirian kilang dan tempat penyimpanan; Pemberian izin lokasi pendirian Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU); Pemberian rekomendasi pendirian gudang bahan peledak dalam rangka kegiatan usaha migas di daerah operasi daratan dan di daerah oeprasi wilayah kabupaten/kota dan 1/3 dari wilayah kewenangan provinsi; Pengangkatan dan pembinaan inspektur migas serta pembinaan jabatan fungsional kabupaten/kota; Penyertaan dan/atau menfasilitasi penyelenggaraan assessment bekerjasama dengan lembaga assessment Departemen ESDM; Penyusunan kebutuhan dan penyelenggaraan diklat teknis dan fungsional tertentu sektor energi dan sumberdaya mineral dalam skala kabupaten/kota.12
Untuk memantau perkembangan pelaksanaan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/kota, Kementerian ESDM menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 02 Tahun 2013 tertanggal 11 Januari 2013. Adapun pejabat yang ditnjuk untuk melakukan pengawasan dilakukan oleh Direktur Jenderal (Dirjend), sedangkan 12
Ibid., hlm. 535-537.
ruang lingkup pengawasan tersebut meliputi: a. penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR); b. penetapan dan pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral bukan logam dan WIUP batuan; c. pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan mineral logam dan WIUP batubara; d. penerbitan Izin Pertambangan Rakyat (IPR); e. penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP); f. penyelenggaraan pembinaan dan pengawasan kegiatan yang dilakukan oleh pemegang IPR dan IUP. Khusus pada huruf a di atas, maka penetapan WPR dilakukan setelah berkoordinasi dengan Pemprov dan berkonsultasi dengan DPRD Kabupaten/Kota. Kemudian sebelum melakukan koordinasi dengfan Pemprov dan berkonsultasi dengan DPRD, terlebih dahulu wajib memastikan lokasi WPR: a. Masuk dalam Kawasan Peruntukan pertambangan yang tercantum dalam RTRW Kabupaten/Kota yang ditetapkan dalam Perda; b. Telah mendapatkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah sesuai dengan ketentuan per UU; c. Telah menggunakan sistem koordinat pemetaaan dengan Datum Geodesi Nasional yang mempunyai parameter sama dengan parameter Ellipsoid World Geodetic System. d. Telah memenuhi kriteria penetapan WPR sesuai Pera UU; dan e. Telah dilaksanakan pengumuman rencana penetapan WPR kepada masyarakat secara terbuka paling sedikit pada kantor Kelurahan/desa di lokasi WPR sesuai dengan ketentuan PerUU. D. Pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 1. Pemaknaan Pajak dan Ruang Akses Masyarakat Sejalan dengan dinamika masyarakat dan timbulnya demokrasi dalam berbangsa dan berne-
Sarjita: Dilematika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang.....: 181-195
gara, maka pemaknaan hakekat pajak dipersepsikan sesuai kepentingan penguasa. Mengapa demikian, dikarenakan secara substantif dasar pemungutan dan mekanisme pemungutan pajak diwadahi dalam regulasi berupa UU yang juga merupakan produk politik dari penguasa untuk menjalankan strategi kekuasaanya. Pada masa kerajaan otoriter, pajak dimaknai sebagai penghisapan sekaligus wujud persembahan dari rakyat kepada raja yang bertahta. Kemudian pada masa kolonialisme, pajak difokuskan pada kepentingan penjajah (eksploitasi rakyat negara jajahan). Berikutnya pada awal kemerdekaan, di mana negara/pemerintah memerlukan anggaran untuk keberlangsungan eksistensi NKRI, maka meskipun rakyat dipungut pajak tanpa suatu kontraprestasi yang nyata mereka tetap mendukung dan menyadari sepenuhnya. Pada masa Orla, Orba dan Era Reformasi, masyarakat memaknai pajak diorientasikan untuk pembangunan berbagai insfrastruktur demi menunjang kesejahteraan rakyat. Pasal 1 angka 10 UU Nomor 28 Tahun 2009 menegaskan, bahwa “.... pemungutan pajak digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah”. Dalam perkembangan selanjutnya, terkait dengan perpajakan dilakukan regulasi agar terdapat kepastian hukum subjek, objek, perbuatan atau peristiwa hukum yang akan terkena ketentuan pajak. Secara filosfis, UU Perpajakan ditujukan untuk membangun sistem pemungutan pajak dengan memberi porsi kepercayaan yang lebih besar kepada anggota masyarakat sebagai wajib pajak untuk melaksanakan kewajibannya. Di Indonesia dasar pemungutan pajak dituangkan dalam Pasal 23A UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk negara diatur dengan undang-undang”. Dengan demikian, maka peraturan perundang-undangan pemungutan pajak dan pungutan lainya dapat di
193
lihat dalam 2 aspek, yaitu: Pertama, aspek yuridis perlunya keselarasan dalam regulasi antara peraturan perundang-undangan sebagai dasar pemungutan pajak dengan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam konstitusi UUD 1945. Kedua, aspek demokratis, pemungutan pajak diputuskan dalam suatupersetujuan rakyat melalui wakil-wakil mereka di DPR Pusat maupun DPRD. Dengan demikian, maka kedua ruang yaitu aspek hukum dan demokrasi akan memberikan ruang bagi rakyat untuk aktif dalam membangun sistem perpajakan. Bentuk partispasi sebagai ruang akses publik/masyarakat dalam pemungutan pajak tersbut, maka kepada masyarakat yang hak konstitusionalnya terabaikan/dirugikan dapat melakukan judicial review terhadap UU/Perpu Perpajakan ke MK, dan Peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang/Perpu ke MA. Kemudian jika terjadi sengketa pajak, juga sudah disediakan forum/lembaga peradilan pajak sebagai peradilan kekhususan di bawah lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. 2. Persoalan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU No. 28 Tahun 2009) Persoalan terkait pemberlakukan UU Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Derah dan Retribusi Daerah disebabkan kurangnya tingkat pemahaman baik oleh legislatif maupun eksekutif terhadap berbagai aspek hukum dan kebijakan publik. Disamping itu objek yang diatur cukup luas atau banyak ruang lingkupnya dari substansi pertambangan, air, tanah, hotel dan lain sebagainya. Mengingat Pemerintah Daerah melalui UU Nomor 28 Tahun 2009 telah mendapat dan memperoleh kewenangan yang luas dan nyata untuk menggali sumber-sumber PAD, maka dalam pembahasan substansi Perda terkait pajak daerah dan retribusi daerah jangan asal memenuhi azas formalitas sebuah Perda, melainkan
194
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
secara subtansial juga harus dilakukan secara optimal, jika hanya mengejar formalitas, maka akan berdampak pada wajib pajak dan pembangunan daerah secara keseluruhan. Jangan sampai setelah Perda disahkan, justru dalam pelaksanaanya menimbulkan beban bagi masyarakat, mengganggu iklim berinvestasi atau bahkan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Melalui UU Nomor 28 Tahun 2009, kewenangan pemungutan dan pengelolaan pajak yang semua ditangani Pemerintah Pusat, bergeser menjadi kewenangan Pemerintah Daerah (Desentralisasi Fiskal). Kondisi yang terjadi saat sebelum dikeluarkanya UU Nomor 28 Tahun 2009, melalui berbagai Perda Pajak dan Retribusi Daerah, ternyata telah melanggar Azas Ekonomi13 dan Azas Non Double Taxation.14 Pencabuatan dan pembatalan Perda terkait Pajak Daerah dan Retribusi Daerah oleh Menteri Dalam Negeri pada masa lalu, harus diambil hikmahnya, supaya tidak terjadi /terulang kembali pada era UU No. 28 Tahun 2009. Beberapa alasan atau pertimbangan dicabut dan dibatalkannya beberapa Perda di atas, antara lain: a. Merintangi arus sumber daya ekonomi antar daerah dan kegiatan ekspor impor serta menyebabkan ekonomi biaya tinggi; b. Retribus menyebabkan terjadinya pungutan ganda karena aitem pembayaran jalan yang 13
Pajak yang dipungut oleh Negara tidak boleh mengakibatkan terhambatnya kelancaran produksi dan perdagangan. Harus diusahakan supaya tujuan untuk mencapai kebahagiaan dan terselenggarannya kepentingan umum dapat dilaksanakan dengan tidak dihambat oleh adanya pemungutan pajak. 14 Pajak berganda adalah pemungutan 2 (dua) pajak atas satu kekayaan alam satu periode pemungutan yang sama dan dengan tujuan yang sama pula. Pemungutan 2 (dua) pajak pada satu keuntungan perusahaan. Keuntungan/penghasilan perusahaan dikenakan pajak 2 kali, satu kali pada tingkat perusahaan yaitu pada saat mendapatkan penghasilan, dan satu kali pada pemegang saham. Pada tingkat internasional, pemungutan pajak-pajak sejenis 2 atau lebih negara terhadap seorang wajib pajak atas satu tujuan yang sama.
diterapkan pemerintah sudah dilakukan pungutan kepada pengguna jalan melaui PKB dan PBBKB. c. Segala pemberian ijin usaha pada dasarnya untuk pendaftaran usaha merupakan urusan umum pemerintahan yang layak dibiayai dari penerimaan umum. 3. Terobosan Kepala BPN RI terkait Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah Pasal 91 UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menentukan bahwa : (1) PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak; (2)Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang Negara hanya dapat menandatangani risalah lelang Perolehan Hak atas tanah dan/ atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak; (3)Kepala Kantor di bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak atas Tanah dan/atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak. Kebijakan baru di bidang pertanahan dalam menyikapi ketentuan Pasal 91 UU Nomor 28 tahun 2009, khususnya terkait pelayanan pendaftaran hak atas tanah sering menjadi kendala, dan mengalami keterlambatan, dikarenakan menurut UU Nomor 20 Tahun 2000 Jo. UU Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB Jis. SE Kepala BPN Nomor 500-1757 tertanggal 9 Juli 2004, yang mewajibkan suatu persyaratan pada tahap pendaftaran hak atas tanah terlebih dahulu melakukan pengecekan tanda bukti setoran pembayaran BPHTB baik pada kegiatan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah. Persyaratan tersebut, dirasakan menambah simpul/persyaratan pelayanan dan berakibat
Sarjita: Dilematika Pelaksanaan Otonomi Daerah di Bidang.....: 181-195
terjadi keterlambatan pelayanan pendaftaran hak atas tanah. Demi kelancaran proses pelayanan pendaftaran hak atas tanah itu, maka Kepala BPN melakukan mencabut dan menyatakan tidak berlaku SE tersebut, dan selanjutnya menerbitkan SE Nomor 5/SE/IV/2013 tertanggal 10 April 2013 tentang Pendaftaran Hak Atas Tanah Atau Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah Terkait Dengan Pelaksanaan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Secara substansi SE tersebut, menyatakkan bahwa untuk peningkatan pelayanan di bidang pertanahan menyarankan agar Para Kakanwil BPN Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota tidak perlu terlebih dahulu melakukan pengecekan tanda bukti setoran pembayaran BPHTB pada instansi yang berwenang dan dapat langsung melakukan proses pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah.
Daftar Pustaka Anonimous, 2007. Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Yogyakarta: Fokus Media. Indra Tranggono, Mencari “Sukrasana”, Kompas, 2013. Nico Kanter, “Peliknya Kepastian Hukum”, Kompas, 4 Pebruari 2013. Purba, Zen Umar, 2012. “Tidak Mudah berusaha di Indonesia”. Koran Tempo, 19 November 2012. Pusat Rencana Statistik Kehutanan Departemen Kehutanan dengan Direktorat Statistik Pertanian BPS, 2007. Identif ikasi Desa Dalam Kawasan Hutan, 2007. ____, 2009. Identif ikasi Desa Dalam Kawasan Hutan, 2009. Jakarta. Sarjita, 2005. Masalah Pelaksanaan Urusan Pertanahan Dalam Era Otonomi Daerah. Yogyakarta: Tugujogja Pustaka.
195
____, Dkk., 2012. Strategi Dan Manajemen Resolusi Konflik, Sengketa dan Perkara Pertanahan Untuk Keamanan di Bidang Investasi. Yogyakarta: Mitra Amanah PublishingPUSPIN Jakarta. “Seluruh Peraturan Harus Patuhi Konstitusi”, Koran Tempo, 16 November 2012. Sindhunata, “Slenco”, Kompas, 2013. Suseno, Frans Magnis, 2001. Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Review Buku
EKSKLUSI DAN INKLUSI SEBAGAI DUA SISI MATA UANG Ahmad Nashih Luthf i Judul: Power of Exclusion, Land
menghasilkan ekstraksi surplus; dan koeksistensi
Dilemmas in Southeast Asia
di dalam stratif ikasi sosial pedesaan. Aktor-aktor
Penulis: Derek Hall, Philip
yang bekerja di dalam proses transisi agraria di
Hirsch, dan tania Murray Li
periode ini adalah kekuatan lokal desa (para tuan
Penerbit: National University
tanah, petani penyewa, money lenders, dan petu-
of Singapore
gas pajak), dan negara. (Gillian Hart, dkk., 1989).
Tahun terbit: 2011
Selain itu, Revolusi Hijau yang ditandai dengan
Halaman: 257 hlm
intensifnya penggunaan teknologi dan komer-
Transfromasi agraria Transformasi agraria Asia Tenggara mutakhir ditandai dengan konversi besar-besaran lahan pertanian untuk kepentingan komersial, industri, perumahan, pariwisata dan infastruktur, serta tujuan konservasi lingkungan. Di sisi lain posisi pertanian menurun secara progresif dalam ekonomi nasional maupun sebagai sumber penghidupan penduduk. Akibatnya penduduk pertanian menurun drastis. Proses ini mengarah pada apa yang disebut sebagai “deagrarianisasi”. Perjuangan atas tanah sebagai ruang hidup dan penghidupan terjadi secara kontestatif dan konfliktual melibatkan aktor penduduk, negara, dan swasta, yang ini merupakan gambaran kronis di kawasan Asia Tenggara. Transformasi agraria kontemporer ini berbeda dengan transisi agraria sebelumnya yang memiliki konteks pelaksanaan Revolusi Hijau pada tahun 1960-an hingga 1980-an. Di periode ini transisi agraria mengarah pada proses “diferensiasi sosial” pedesaan yang ditandai dengan proses perubahan dalam cara mengakses sumber-sumber produksi oleh berbagai kelompok sosial berbasis tanah yang seringkali berjalan secara tidak adil; perubahan hubungan produsen maupun non-produsen sehingga di dalamnya
sialisasi, membawa akibat pada marjinalisasi perempuan dan punahnya keragaman hayati. Dalam mengatasi problem agraria di era tersebut, ketimbang melakukan “optimalisasi kekuatan dalam” melalui penataan struktur agraria (landreform), beberapa negara memilih melakukan “optimalisasi kekuatan luar” melalui pemberian kredit dan bantuan teknologi pertanian yang dananya berasal dari hutang asing. Sementara penduduk pedesaan “dimobilisasi” untuk mendukung upaya peningkatan produksi pangan. Di dalam proses semacam inilah, tenaga kerja pedesaan sekaligus “dikontrol” oleh kekuatan negara. Realitas demikian dinyatakan dalam analisa Gillian Hart, dengan apa yang disebut sebagai exclusionary labor arrangement (Gillian Hart 1986). Akibat perubahan politik, ekonomi, dan penggunaan teknologi di desa tersebut, hubungan kerja dan sistem penyakapan yang semula terbuka menjadi tertutup. Banyak tenaga kerja kehilangan kesempatan kerja. Fenomena permanent-circulair migrant worker muncul akibat ini. Secara umum, strategi rekruitmen tenaga kerja, pengorganisasian, dan pengaturannya, dibentuk bukan hanya oleh pola “supply and demand”, namun oleh hubungan kekuasaan di level nasional maupun lokal. Otoritas nasional pun kemudian merasa bergantung pada keku-
Ahmad Nashih Luthf i: Eksklusi dan Inklusi sebagai Dua .....: 196-199
atan asing. Hal demikian merupakan gambaran nyata bagaimana saling terkaitnya antara kekuatan ekonomi-politik di level makro dengan modus pengerahan dan kontrol tenaga kerja di level lokal (mikro), sekaligus kekuatan nasional dan global. The powers of exclusion Derek Hall, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li (selanjutnya disebut “HHL”) dalam buku berjudul The powers of exclusion, Land Dilemmas in Southeast Asia ini menunjukkan bahwa globalisasi dan proses eksklusi bukanlah hal baru. Ditulis secara kombinatif oleh tiga sarjana terkemuka, Hall seorang ilmuwan politik Wilfrid Laurier University yang baru-baru ini juga menerbitkan buku berjudul Land (2013); Hirsch seorang ahli geografi di University of Sydney dan direktur Australian Mekong Resource Centre; sementara Tania Li adalah antropolog di University of Toronto sekaligus direktur pada Canada Research Chair in Political Economy and Culture in Asia-Pacif ic yang telah menerbitkan beberapa buku dan tulisan yang dihasilkannya dari penelitian di Indonesia, dengan bukunya ini mereka bertujuan menunjukkan powers yang bekerja di ruang geografis-sejarah dan konjunktur masyarakat Asia Tenggara yang berubah dari waktu ke waktu. Juga ditunjukkannya processes, actors yang terlibat dan dampak bagi mereka (baik yang kalah maupun yang menang), dan bentuk-bentuk counter atas eksklusi yang terjadi. Di sinilah mereka mengeksplorasi bagaimana dan mengapa berbagai kenyataan di atas muncul, apa kekuasaan (power) yang bekerja dalam transformasi itu, siapa aktor yang mendorong atau melawan perubahan yang terjadi pada relasi pertanahan itu, apa dilema dan debat yang ditimbulkan dari perubahan itu, siapa yang menang dan siapa yang kalah di berbagai arena dan waktu? Untuk mengarahkan pembacaan di atas, mereka memfokuskan pada berbagai cara yang
197
berubah yang mengakibatkan penduduk tereksklusi dari akses atas tanah. Mereka menggunakan terminologi “exclusion” yang dihubungkan dengan konsep akses. Akses diartikan sebagai kemampuan untuk memperoleh manfaat dari sesuatu (the ability to derive benef it from things). Def inisi ini lebih luas dari pengertian klasik tentang properti, yang didefinisikan sebagai hak untuk memperoleh dari sesuatu (the right to benef it from things). Akses dalam pengertian ini mengandung makna “sekumpulan kekuasaan” (a bundle of powers) berbeda dengan properti yang memandang akses sebagai “sekumpulan hak” (bundle of rights). Dalam pengertian akses semacam ini maka kekuasan diartikan sebagai sesuatu yang terdiri atas elemen-elemen material, budaya dan ekonomi-politik yang terhimpun sedemikian rupa membentuk “bundel kekuasaan” (bundle of powers) dan “jaringan kekuasaan” (web of powers) yang kemudian menjadi penentu akses ke sumber daya. (Ribot dan Peluso 2003). Cara melihat akses atas tanah yang beralih dari cara pandang hak (right) menuju kekuasaan (power) dapat menjelaskan proses perolehan tanah. Dalam pengertian inilah maka ketereksklusian, inklusi, atau security semestinya dibaca. HHL dalam bukunya tersebut melihat eksklusi dalam pengertian sebagai “kondisi”, dimana orang berada dalam situasi tuna akses pada tanah, atau situasi yang mana tanah dikuasai dalam bentuk kepemilikan pribadi (private property). Eksklusi juga bermakna “proses” yang mana aksi-aksi kekerasan intens dan berskala luas mengakibatkan orang miskin terusir dari tanahnya oleh atau atasnama orang yang berkuasa. Eksklusi bukanlah proses acak, ia distrukturasi oleh relasi kekuasaan. Di pedesaan Asia Tenggara, dari kajian empiris yang mereka lakukan, kondisi dan proses eksklusi tercipta dari interaksi empat kekuasaan (power) berikut: regulation (kebijakan); force (kekuatan); the market
198
Bhumi No. 37 Tahun 12, April 2013
(pasar); dan legitiTRANSFORMASI AGRARIA ASIA TENGGARA Konteks Revolusi Hijau: 1960 Konteks Globalisasi: Akhir Perang Dingin hingga Krisis Ekonomi 2007 mation (pengabsahan). Regulation, seringkali namun tidak eksklusif, diasosiasikan dengan instrumen legal-negara, yang menetapkan aturan akses atas tanah dan kondisi penggunaannya. Force adalah kekerasan atau ancaman kekerasan baik yang aktornya yang mendorong atau melawan perubahan yang terjadi pada relasi agraria itu; apa dilema dan debat yang ditimbulkannya; siapa yang menang dan siapa yang kalah di berbagai arena dan waktu dalam transformasi itu? state atau nonstate. The market adalah kekuatan eksklusi yang HHL menyusun bukunya kedalam delapan bekerja membatasi akses melalui bentuk “harga” bab. Bab pertama mendedahkan kerangka dan kreasi “insentif ” dengan semakin terinteoritik dan konsep-konsep utamanya; bab dua dividualisasikannya tanah. Legitimation menenberjudul “Licensed Exclusion: Land Titling, Retukan dasar moral atas klaim, dan tentu saja form, and Allocation”; bab tiga “Ambient Excludalam membuat regulasi, pasar, dan kekuatan, sion: Environtmentalism and Conservation”; bab sehingga dengan itu menjadi basis eksklusi yang empat “Volatile Exclusion: Crops Boom and Their secara politik dan sosial dapat diterima. Fallout”; bab lima Post Agrarian Exclusion: Land Bentuk-bentuk powers of exclusion yang berConversion”, bab enam “Intimate Exclusion: Evehasil ditunjukkan penulis menandai transforryday Accumulation and Dispossession”, bab masi agraria yang terjadi di Asia Tenggara adalah tujuh “Counter Exclusion: Collective Mobiliza6 ragam berikut: (1) regulerisasi akses atas tanah tions for Land and Territory”, dan bab delapan melalui program pemerintah, sertipikasi tanah, adalah kesimpulan. Bab-bab ini disusun mengiformalisasi, dan settlement; (2) ekspansi spasial kuti empat ragam kekuatan (power) yang berdan intensif nya upaya melakukan konservasi langsung dalam enam proses dan bentuk ekskluhutan dengan bentuk pelarangan pertanian; (3) si tersebut di tujuh negara di kawasan Asia hadirnya “boom crops” yang terlihat massif, cepat, Tenggara, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, keras, yang membalikkan tanah-tanah konversi Filipina, Thailand dan Vietnam. untuk produksi monocrops; (4) konversi lahan Land dilemmas pertanian untuk tujuan-tujuan “pasca-agraria”; Seorang petani tidak mungkin bisa mengolah (5) terbentuknya formasi kelas agraris secara “intanahnya yang subur (inklusi) tanpa ia membatasi timate” dan dalam skala desa; (6) mobilisasi koatau melarang orang lain (eksklusi) mengklaim lektifitas untuk mempertahankan atau menunatas tanah tersebut. Di sinilah inklusi dan eksklusi tut akses atas tanah mereka, dengan mengoritu berlangsung secara bersamaan, bagai dua sisi bankan pengguna atau penggunaan tanah lain.
Ahmad Nashih Luthf i: Eksklusi dan Inklusi sebagai Dua .....: 196-199
mata uang yang sama. Penulis menyebut ini sebagai “the double edges of exclusion”, dan di sinilah letak dilemanya, bahwa pada saat orang mengakses tanah secara bersamaan ia membatasi bahkan menutup akses orang lain atas tanah tersebut. Tepat pada poin inilah inti argumentasi penulis: “exclusion itself is an unavoidable fact of land access and use” (hlm. 198). Perhatiannya bukan pada apakah eksklusi itu “baik” ataukah “buruk”, namun yang ingin mereka tunjukkan adalah bahwa dalam setiap proses inklusi dan mengakses tanah, akan selalu ada yang tereksklusi, sehingga yang kemudian penting dilihat adalah, “who will win, and who will lose, from the ways in which boundaries are drawn” (p. 198). Pemerintah harus memperhatikan misalnya dalam program legalisasi tanah, berakibat pada siapa sajakah kegiatan ini di hutan alam dataran tinggi Kamboja, demikian pula saat dilaksanakannya program penetapan kawasan hutan (Land and Forest Allocation) dengan membuat batas yang tegas antara “hutan” dengan “pertanian”, antara “desa” dan “bukan desa” dan seterusnya di Laos. Di Myanmar justru banyak NGO internasional yang mendukung sistem administrasi pertanahan dalam menghadapi liberalisasi ekonomi dan peluang investasi asing. Pemerintah kerajaan Sarawak terlibat dalam mendef inisikan dan akhirnya mengakui (sekaligus tidak mengakui pada pihak yang lain) Hak Masyarakat Adat tatkala terjadi konflik antara komunitas dengan pelaku illegal logging yang didukung oleh pemerintah. Indonesia digambarkan dalam buku ini utamanya dalam bab 6, dimana masyarakat (dengan kasus Subang dan dataran tinggi Sulawesi) satu sama lain yang mereka ini saling mengenal, melakukan exclude akses atas tanah sebagai bagian dari akumulasi kapital. Masyarakat desa Jawa yang digambarkan secara idyllic sebagai komunitas yang homogen dan harmonis tidak menemukan pembenarannya sebab secara inter-
199
nal mereka terdiferensiasi dalam kelas penguasaan tanah, satu dengan lainnya terikat dalam hubungan penggarapan tanah, bagi hasil, sewa dan gadai tanah, kredit, hutang-piutang, yang tidak jarang berujung pada proses pelepasan tanah bagi kelas yang lemah, dan akumulasi pada pihak yang sebaliknya. Demikian pula yang terjadi di dataran tinggi Sulawesi dengan meluasnya penanaman kakao di wilayah ini yang membutuhkan lahan-lahan baru yang diperoleh dengan cara membeli tanah penduduk setempat oleh para pendatang yang kebanyakan dari Bugis. Saya setuju dengan Keith Barney (2012) yang membuat penilaian bahwa buku ini menyediakan kerangka analitis yang baru, diskusi komparatif yang detail mengenai transformasi agraria, dan merupakan sumbangan yang inspiratif bagi ekologi politik untuk kawasan Asia Tenggara, meski dilakukan atas data-data yang sebenarnya tidak lagi baru.
Pustaka Hart, Gillian, Andrew Turton, dan Benjamin White (ed.), 1989. Agrarian Transformation, Local Processes and the State in Southeast Asia, California: University California Press. Hart, Gillian, 1986. Power, Labor, and Livelihood, Processes of Change in Rural Java, (Berkeley dan Los Angeles: University of California Press. Hall, Derek, Philip Hirsch, dan Tania Murray Li, 2011. Power of Exclusion, Land Dilemmas in Southeast Asia, Singapore: National University of Singapore. Ribot, J.C. dan Nancy Peluso, 2003. “A Theory of Access”, Rural Sociology, 68 (2). Barney, Keith, 2012. “Review of Powers of Exclusion”, http://asiapacific.anu.edu.au, diakses pada tanggal 21 Mei 2012.
asdasdsdasdas