KONFLIK SOSIAL DI PULAU PADANG KECAMATAN MERBAU KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI Abstract By :AmrinaRosyada and Yoskar Kadarisman Conflict is a social phenomenon that presents in human life, whether between two persons, two groups, two nations, or even more. Conflict will only disappear with the loss of the community itself. Each community must have ever experienced conflicts, whether in large or in small scope, as with the social conflict that occur between the people and PT. RAPP in Pulau Padang, Merbau District, KepulauanMeranti Regency which caused by the cultivation of forest by PT. RAPP with a concession from the Ministry of Forestry Decree No. 327/Menhut-II/2009. This research took place in Pulau Padang,Merbau District, Kepulauan Meranti Regency. The purpose of this study was to determine the forms of conflict, causes of conflict, and to know the solution used in resolving the conflict between the community and PT. RAPP. This research was conducted by using qualitative methods from in-depth interviews and observation. The research subjects were 8 persons of the local people of PulauPadang. The sampling technique used was Snowball. The conclusion of the study is that the form of conflict is both vertical and horizontal because the conflictthat occurs is not only between the community and the company but also there is a conflict between the people of PulauPadang. The cause of the conflict is related to several factors, including economic factors, with the reason that the land the company cultivate is a source of livelihood for most of the people of Pulau Padang, political factor, in which the decree issued contained only the approval of the government (Ministry of Forestry) and PT. RAPP without involving the participation of people in PulauPadang, and social factors, where there is no good relationship between the two sides engaged in the conflict. The solutions that had been made in solving this conflict were compromise, conciliation, and mediation. But until the time this thesis is written, the conflict is still ongoing and has not been solved yet.
Keyword: Social Conflict, PT.RAPP, Pulau Padang
0
A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki banyak hutan potensial. Bahkan, Indonesia disebut juga sebagai salah satu paru-paru dunia. Sebagian suplai oksigen keseluruh dunia bisa dihasilkan dari hutan Indonesia. Luas pulau dan daratan yang tropis menjadi salah satu alasan banyaknya hutan di Indonesia. Sebagai tempat bagi flora dan fauna, hutan memberi banyak manfaat bagi manusia. Karena pada dasarnya sejak manusia diciptakan sebagai salah satu makhluk hidup yang menghuni bumi, hutan merupakan sumber kehidupannya. Ada pun manfaat dari hutan yaitu bisa menahan terjadinya banjir, sebagai keindahan alam, menghambat kerusakan lapisan bumi, sebagai sumber kehidupan dari hasil hutan, pertanda lingkungan asri dan sehat. Selain itu juga hutan Indonesia menghasilkan banyak makan produk dan memiliki daya produksi yang cukup tinggi. Produk utama yang dihasilkan adalah kayu yang dapat dipergunakan untuk industri kertas, industri kapal, industri rumah, industri peralatan rumah, industri seni memahat dan sebagainya. Adapun ciri dari hutan Indonesia ditandai oleh banyaknya jenis kayu. Hutan-hutan yang ada di Indonesia yang sangat dibanggakan oleh mayarakatnya kini sebagian besar sudah mengalami penurunan jumlah hutan. Menurut WALHI (2007), Indonesia tercatat di Guiness Book of Records sebagai negara dengan laju kecepatan kerusakan hutan (deforestrasi) tertinggi, mencapai 2 juta hektar per tahun. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilanggan 72% hutan aslinya. WALHI mencatat, Indonesia memiliki 126,8 juta hektar hutan yang menjadi pendukung kehidupan 48 juta penduduk sekitarnya. Kini setiap tahun luas hutan setara dengan luas Pulau Jawa (sekitar 2,72 ha) musnah. Hilangnya hutan ini menyebabkan banjir dan langsor, menimbulkan kerugian negara dan menjadi salah satu faktor pemicu perubahan iklim global, serta konflik dengan masyarakat. Konflik dengan masyarakat yang terkait dengan masalah lahan hutan sudah sering terjadi. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar Kebijakan Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB menyatakan bahwa konflik kehutanan saat ini di Indonesia tidak terlepas dari sikap dan pola pandangan pengelolan kehutanan itu sendiri. Selain itu CIFOR dan FWI dalam penelitiannya menyebutkan terdapat lima faktor penyebab konflik kehutanan yaitu: 1) perambahan hutan, 2) kerusakan lingkungan, 3) alih fungsi, 4) pencurian kayu dan 5) tata batas dan pembatasan akses kepada masyarakat. Tahun 2011 saja LSM Hukum Lingkungan HuMA mencatat paling tidak terdapat 69 kasus sengketa kehutanan yang terjadi di 10 provinsi di Indonesia. Konflik semakin kerap terjadi akibat akses yang menyempit dan semakin terdesaknya kawasan hutan yang semula dikelola oleh masyarakat karena terdesak oleh izin konsesi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Beberapa waktu yang lalu Indonesai telah di kejutkan dengan adanya peristiwa Mesuji Lampung. Peristiwa ini merupakan salah satu contoh akibat dari konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan yang berujung tragis dan telah menjatuhkan korban jiwa. Aksi kekerasan tersebut ternyata dipicu oleh pelanggaran yang dilakukan perusahaan perkebunan PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) dan PT Silva Inhutani. Kedua perusahaan tersebut terletak di Ogan Komering Ilir (OKI), Mesuji, daerah perbatasan Lampung dan Sumsel. Hal ini menjadi cerminan terhadap pemerintah yang harus tanggap terhadap permasalahan konflik lahan yang semakin sering terjadi.
1
Berdasarkan pernyataan dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat mencatat terdapat dua wilayah di Indonesia yang mengalami konflik lahan dengan angka tertinggi pada periode Januari-April 2012 yaitu ada di Riau dan Sumatera Utara. Di Riau misalnya, tidak transparannya proses pemberian izin investasi penguasaan, pemilikan dan penggunaan kekayaan alam sebagai sumber-sumber agraria menjadi pemicu utama konflik lahan di Riau. Hal itu terbukti dari maraknya konflik lahan yang terjadi hampir di seluruh wilayah kantongkantong investasi itu berada. Berlanjut dari itu masih dari kawasan Riau, konflik hutan yang semakin hangat diperbincangkan hingga saat ini salah satunya terdapat di Pulau Padang Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti yaitu adanya konflik masyarakat dengan PT. RAPP (PT. Riau Andalan Pulp and Paper) yang mendapat izin Konsesi UPHHK-HTI (usaha pengolahan hasil hutan kayu) di Pulau Padang berdasar SK Menteri Kehutanan No. 327/Menhut-II/2009 Seluas 41.205 Ha di Pulau Padang. Konflik ini berawal dari bulan Desember tahun 2009 hingga saat ini. Dimana masyarakat mulai resah terhadap masuknya PT. RAPP yang melakukan penggarapan hutan di Pulau Padang, warga menganggap perusahaan menyerobot lahan warga akibat dari pembukaan konsesi Hutan Tanam Industri (HTI) perusahaan. Masyarakat hingga dengan saat ini secara terus menerus melakukan penolakan beroperasinya PT. RAPP di Pulau Padang. Berbagai macam bentuk aksi yang dilakukan oleh masyarakat Pulau Padang khususnya di Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti, mulai dari melakukan aksi demontrasi skala lokal di tingkat kabupaten (Bupati dan DPRD), Provinsi (Gubernur dan DPRD), aksi pembakaran alat berat PT. RAPP oleh masyarakat, sampai puncak eskalasinya dengan adanya aksi jahit mulut dan kemah massal masyarakat Pulau Padang di depan Gedung DPR RI serta adanya isu-isu aksi bakar diri yang akan dilakukan oleh masyarakat Pulau Padang jika permintaan mereka tidak dipenuhi oleh pemerintah terhadap penolakan masuknya PT.RAPP di Pulau Padang. Terkait berita aksi bakar diri ini sudah banyak beredar di media massa. Pro dan kontra antar sesama masyarakat pun sering terjadi dikarenakan banyaknya pemicu dari perkataan-perkataan terhadap masalah konflik Pulau Padang. Sampai saat ini konflik masyarakat dengan PT.RAPP masih berlanjut dan belum ada titik penyelesaian oleh pemerintah setempat. Belum lagi masyarakat semakin sensitif dengan berita-berita dan juga pernyataan-pernyataan oleh oknum-oknum tentang masyarakat Pulau Padang. Permasalahan ini apabila terus-menerus di biarkan tentunya akan memberi dampak yang besar bagi masyarakat dan juga berpengaruh terhadap perkembangan daerah yang baru melakukan pemekaran beberapa tahun yang lalu, serta berdampak juga terhadap perkembangan remaja Pulau Padang, khususnya yang ada di Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti. Berdasarkan latar belakang ini, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut permasalah ini dan merumuskan judul “Konflik Sosial di Pulau Padang Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti”. Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas maka terdapat permasalahan. Adapun rumusan masalah yang akan dipelajari dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, Bagaimana bentuk-bentuk konfik yang terjadi di Pulau Padang Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti? Kedua, Apa penyebab terjadinya Konfik di Pulau Padang Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti? Ketiga, Bagaimana cara menangani Konflik di Pulau Padang Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti tersebut?
2
B. TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan maka terdapat tujuan penelitian. Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui bentuk-bentuk Konflik di Pulau Padang Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti. b. Untuk mengetahui penyebab Konflik di Pulau Padang Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti. c. Untuk mengetahui cara menangani Konfik di Pulau Padang Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti. C. TINJAUAN TEORI Konfik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial, sehingga konfik bersifat inheren, artinya konfik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu, dimana saja dan kapan saja. Secara umum konflik merupakan wujud kegairahan sosial, dimana konflik biasanya menghasilkan keseimbangan dan penyesuaian menyusul suatu perubahan. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun Poerwadarminta (1976), konflik berarti pertentangan atau percekcokan. Pendapat lain mengenai konflik menurut Dahrendorf, dimana konflik sangat dipengaruhi oleh peran para aktor dalam organisasi yang didukung oleh ideologi dan kepentingan tertentu. Bahkan Talcott Parson menyebutkan bahwa konflik terjadi karena benturan-benturan kepentingan (perebutan status, kekuasaan dan materi) dari para aktor yang ada. Asumsi yang melindasi konflik tersebut, karena setiap aktor yang ada dalam organisasi saling merebut tujuan tertentu dan aktor-aktor itu memiliki cara untuk mencapai tujuan tersebut. Aktor-aktor dari kelompok yang berbeda tersebut dihadapkan dengan sejumlah kondisi situasional tertentu yang bisa menimbulkan ketegangan sosial dan konflik yang terbuka. Tadjuddin Noer Effendi (Agus, Surata,2001) mengatakan bahwa konflik sosial secara teoritis dapat terjadi dalam berbagai tipe atau bentuk yaitu konflik secara vertikal dan konflik secara horizontal. Konflik vertikal yang dimaksud adalah konflik antara elite dan massa, sementara konflik secara horizontal yaitu konflik yang terjadi dikalangan massa (rakyat) itu sendiri. Selain mengenal bentuk konflik terdapat pula tipe konflik menurut Fisher (2001) yaitu konflik yang berbentuk laten, terbuka dan konflik di permukaan. Konflik laten yang dimaksud yaitu suatu keadaan dimana didalamnya terdapat banyak persoalan, sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan. Konflik terbuka adalah situasi ketika konflik sosial telah muncul ke permukaan yang berakar dalam dan sangat nyata dan diperlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. Konflik di permukaan memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sasaran, yang dapat diatasi dengan meningkatkan komunikasi (dialog terbuka). Para Sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu adanya hubungan sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikan, status sosial dan kekuasaan (power) yang jumlah ketersediaannya sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata di masyarakat. Ketidakmerataan pembagian aset-aset sosial di 3
dalam masyarakat tersebut dianggap sebagai bentuk ketimpangan.Timbulnya konflik tersebut adalah : Pertama, Perbedaan antar individu yaitu perbedaan pendapat, tujuan, keinginan, pendirian tentang objek yang di pertentangkan. Kedua benturan antar kepentingan baik secara ekonomi maupun politik. Ketiga, benturan kepentingan ekonomi dipicu oleh makin bebasnya berusaha, sehingga banyak diantara kelompok pengusaha saling merebutkan wilayah dan perluasan wilayah untuk mengembangkan usahanya. Kempat, Perubahan sosial, yang terjadi secara mendadak biasanya menimbulkan kerawanan konflik. Kelima, Perbedaan kebudayaan. Mc Farland menyebutkan bahwa terdapat sejumlah faktor-faktor yang menyebabka terjadinya konflik, antaranya adalah: a) Ketidaktepatan komunikasi eselon b) Perbedaan minat antara anggota eselon c) Kurangnya komunikasi yang menyebabkan terbentuknya persepsi yang serasi diantara eselon-eselon yang ada. Membiarkan konflik berkembang akan mengakibatkan sifat konflik yang konstruktif (bersifat membangun) dan berubah menjadi destruktif (bersifat merusak), oleh karenanya untuk menyelesaikan konflik yang baik adalah mencari akar permasalahan dari konflik tersebut sehingga dapat dicari titik penyelesaiannya. Gejala dari konflik sosial akan selesai jika akar penyebab konflik dapat ditiadakan tanpa menyisakan kondisi yang memendam antagonisme sehingga setiap saat bisa menyulut konflik baru. Menurut istilah Kerr bahwa pengendalian konflik dilakukan dengan konsiliasi, mediasi dan arbitrasi. Kerr telah menunjukkan bahwa peraturan seperti itu pada umumnya menguntungkan bagi peraturan pertentangan maupun bagi kelompok-kelompok kepentingan yang terlibat. D.
MEDOTOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Padang Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti. Menurut data luas Kecamatan Merbau mencapai 968,91 km2. Penelitian dilakukan melalui pendekatan pengamatan, dengan mengandalkan data sekunder dan data primer dari responden terhadap objek-objek yang ditanyakan melalui pengisian kuesioner dan wawancara bebas. Sesuai dengan permasalahan dan tujuan yang ingin dijawab, maka dilakukan pengolahan data secara kualitatif, yaitu penggambaran, penjelasan dan penguraian secara mendalam dan sistematis dalam bentuk kalimat tentang keadaan yang sebenarnya. Adapun subyek penelitian sebanyak 8 orang masyarakat asli Pulau Padang. Karena tidak adanya data yang pasti mengenai jumlah orang yang berkonflik maka teknik yang digunakan adalah Non Probality. Teknik pengambilan sampel menggunakan Snowball, yakni peneliti menentukan satu atau beberapa orang responden untuk diwawancarai. Responden selanjutnya ditetapkan berdasarkan petunjuk dari responden sebelumnya. Kemudian peneliti mewawancarai responden tersebut Dan demikian selanjutnya sampai pada satu saat dimana peneliti memutuskan bahwa jumlah respondennya telah dicukupi. Adapun yang menjadi subyek penelitian yaitu : 1. PN (Laki-laki, 22 Thn) Fotografer Pulau Padang Kecamatan Merbau Desa Bagan Melibur. 2. AZ (Laki-laki, 22 Thn) Buruh Tani (Anggota SRMI) Pulau Padang Kecamatan Merbau Desa Mekar Sari. 3. MS (Laki-laki, 30 Thn) Wiraswasta (Ketua FKM PPP) Pulau Padang Kecamatan Merbau Desa Bagan Melibur. 4
4. MHD (Laki-laki, 26 Thn) Wiraswasta (Anggota FKM PPP) Pulau Padang Kecamatan Merbau Desa Mengkirau. 5. RDN (Laki-laki, 28 Thn) Buruh Tani (Ketua STR) Pulau Padang Kecamatan Merbau Desa Bagan Melibur. 6. AYD (Laki-laki, 22 Thn) Buruh Tani (Anggota STR) Pulau Padang Kecamatan Merbau Kelurahan Teluk Belitung. 7. AR (Laki-laki, 41 Thn) Buruh Tani (Anggota STR) Pulau Padang Kecamatan Merbau Kelurahan Teluk Belitung. 8. SZ (Perempuan, 37 Thn) IRT (Anggota SKLP) Pulau Padang Kecamatan Merbau Kelurahan Teluk Belitung. E.
HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah melakukan penelitian terhadap subyek penelitian, didapatkan hasil dari tujuan yang ingin dicapai. Hasil dan pembahasannya adalah sebagai berikut: a).
Gambaran Umum Lokasi Penelitian Berdasarkan letak geografis, Kecamatan Merbau terletak di Pulau Padang diantara Pulau Sumatera dengan Pulau Merbau dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah Utara dengan Kecamatan Tasik Putri Puyu Sebelah Selatan dengan Kecamatan Tebing Tinggi Barat Sebelah Timur dengan Kecamatan Pulau Merbau Sebelah Barat dengan Kecamatan Bukit Batu Kabupaten Bengkalis dan Kecamatan Sungai Apit Kabupaten Siak Panjang Pulau Padang dari utara ke selatan adalah 60 km, lebarnya 29 km dan sebagian besar merupakan areal dengan topografi datar/landai dengan ketinggian antara 0 – 6 m dpl. Berdasarkan wilayah administratif pemerintahan, Pulau Padang termasuk wilayah Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan kabupaten termuda di provinsi Riau yang baru berdiri tahun 2009 sebagai pemekaran wilayah Kabupaten Bengkalis. Wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti terdiri dari 13 Pulau-pulau kecil yaitu Pulau Tebingtinggi, Pulau Padang, Pulau Merbau, Pulau Ransang, Pulau Topang, Pulau Manggung, Pulau Panjang, Pulau Jadi, Pulau Setahun, Pulau Tiga, Pulau Baru, Pulau Paning, dan Pulau Dedap. Sebagai daerah Kepulauan, Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan daerah yang terdiri dari dataran-dataran rendah, dengan ketinggian rata-rata sekitar 1-6,4 meter di atas permukaan laut. Di daerah ini juga terdapat beberapa sungai dan tasik (danau) seperti Sungai Suir dan Tasik Nembus di Pulau Tebingtinggi, Sungai Merbau, Sungai Selat Akar dan Tasik Putri Puyu di Pulau Padang, Tasik Air Putih dan Tasik Penyagun di Pulau Rangsang. Gugusan daerah kepulauan ini terdapat beberapa pulau besar seperti Pulau Tebingtinggi (1.438,83 km²), Pulau Rangsang (922,10 km²), Pulau Padang (1.109 km2) Sebelum pemekaran, Kecamatan Merbau terdiri dari Pulau Padang, Pulau Merbau dan Pulau Dedap. Namun setelah pemekaran Kecamatan Merbau tinggal Pulau Padang dan Pulau Dedap. Pulau Padang terdiri dari 13 desa dan 1 kelurahan, dan semuanya termasuk wilayah Kecamatan Merbau. Sedangkan untuk wilayah Pulau Dedap (luas sekitar 2 ha) kondisinya tidak berpenghuni. Nama-nama desa yang terdapat di Pulau Padang Kecamatan Merbau dari sisi utara ke selatan adalah sebagai berikut: Tanjung Padang, Dedap, Kudap, Bandul, Selat 5
Akar, Mengkopot, Mengkirau, Bagan Melibur, Kelurahan Teluk Belitung, Mekarsari, Pelantai, Meranti Bunting, Tanjung Kulim dan Lukit. Pulau Padang sejak zaman Kolonial sudah dihuni oleh masyarakat. Hal ini terlihat pada Peta yang dibuat pada tahun 1933 oleh pemerintah Kolonial Belanda.Penduduk Pulau Padang mayoritasnya adalah suku Melayu dan disamping itu adalah suku Jawa dan suku-suku lainnya sebagian kecil saja termasuk juga keturunan Cina (Tiong Hua), dengan pertumbuhan penduduk pada umumnya lamban dan relatif rendah yaitu 1,26 % pertahun. Meskipun terdiri dari berbagai suku dan etnis antara lain; Melayu, Jawa, Akid/Sakai, Cina dan lain-lain namun masyarakat hidup dalam kerukunan antar sesama dan kedamaian meski berbeda suku dan agama. Pulau Padang termasuk dalam formasi hutan gambut, dengan jenis-jenis pohon penyusun tegakannya antara lain: meranti rawa (Pharashorea sp), ramin (Gonystilus bancanus), punak (Tetramerista glabra), meranti batu (Shorea uliginosa), bintangur (Callophyllum sp), meranti (Shorea sp), dan geronggang (Cratoxylon arborences).
b).
Bentuk-Bentuk Konflik Yang Terjadi di Pulau Padang
1.
Kronologis Perizinan HTI PT.RAPP di Pulau Padang PT.RAPP (PT.Riau Andalan Pulp And Paper) merupakan perusahaan swasta nasional yang tergabung dalam kelompok APRIL (Asia Pacific Resources International Ltd). Yang bergerak di bidang pengusahaan hutan serta industri pengelolaan hasil hutan, khususnya industri pulp dan kertas. Pada tahun 2009 PT.RAPP telah mendapatkan penambahan/perluasan areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) melalui Surat Keputusan SK.327/Menhut-II/2009 pada tanggal 12 Juni 2009 seluas 115.025 Ha. Sehingga saat ini luas areal PT.RAPP adalah 350.165 Ha, termasuk ereal seluas 41.205 Ha berada di Pulau Padang. luas lahan 41.205 Ha ini lah yang di permasalahkan oleh masyarakat Pulau Padang. 2.
Dinamika Konflik di Pulau Padang Konflik sosial yang terjadi di Pulau Padang yaitu antara masyarakat dengan pihak perusahaan PT.RAPP terjadi sejak lahirnya SK 327/Menhut-II/2009, masyarakat Pulau Padang mulai resah dikarenakan izin yang dikantongi oleh perusahaan tersebut telah ditemukan banyak permasalahan. Belum lagi terkait dengan persoalan lingkungan di Pulau Padang yang terletak di Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti. Beroprasinya perusahaan PT.RAPP di Pulau Padang mulai di ketahui oleh masyarakat, dimana secara diam-diam masyarakat mengintip kepastian dari proses kerja alat berat milik perusahaan PT.RAPP, dilapangan ternyata beberapa masyarakat menemukan dan melihat langsung bahwa memang benar PT.RAPP telah masuk ke kawasan Pulau Padang. Masyarakat menganggap perusahaan telah mengambil lahan milik mereka. Pada saat itu informasi mengenai beroprasinya alat berat milik perusahaan belum di ketahui oleh banyak pihak, karena dari pihak masyarakat yang berada di desa Lukit tepatnya di daerah garapan lahan oleh perusahaan, masih meminta agar perusahaan bisa memberi penjelasan mengenai masuknya perusahaan dan bisa menyelesaikannya permasalahan perizinan yang bermasalah tersebut secara baik-baik.Tetapi, kenyataan dilapangan keinginan sebagian masyarakat tidak sesuai dengan yang mereka inginkan. Dari pihak perusahaan tidak merespons permintaan dari 6
masyarakat. Malahan beberapa dari masyarakat perwakilan dari Pulau Padang harus berhadapan dengan penjaga (scurity) pintu masuk perusahaan PT.RAPP di Pulau Padang. Sehingga warga merasa kecewa dan marah terhadap sikap dari perusahaan. Mereka menyayangkan sikap perusahaan yang tidak transpran dan secara-diam-diam telah menggarap sebagian lahan hutan milik Pulau Padang. Dari kejadian inilah peristiwa konflik sosial di Pulau Padang tepatnya di Kecamatan Merbau terjadi. Dimana konflik ini terjadi antara masyarakat dengan perusahaan PT.Riau Andalan Pulp And Paper (RAPP). Adapun bentuk dari konflik yang terjadi di Pulau Padang ini berdasarkan wawancara beberapa responden bahwa masyarakat memprotes kepada pihak perusahaan untuk segera menghentikan oprasional dikawasan areal konsesi di Pulau Padang, dimana protes tersebut dilakukan dengan berbagai macam aksi. Adapun aksi-aksi yang dilakukan tersebut adalah : Aksi demo, aksi jahit mulut, aksi bakar diri, pendirian tugu dan adanya konflik antar sesama masyarakat. Aksi ini dilakukan dari perusahaan hinggan ke Kecamatan, Kabupaten, Provinsi sampai ke pemerintah pusat. Konflik antara masyarakat dengan PT.RAPP di Pulau Padang tersebut telah menimbulkan berbagai macam aksi oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena tidak adanya bentuk penyelesaian yang pasti dari perusahaan maupun pemerintah. Hal ini sejalan dengan salah satu pendapat Fisher bahwa konflik tersebut akan berubah menjadi kekerasan jika suara-suara ketidaksepakatan dan keluhan-keluhan yang terpendam tidak di dengar dan diatasi. Selain itu, konflik yang terjadi ini merupakan tipe konflik manifest (terbuka) dikarenakan sudah banyak di beritakan hingga ke media massa. c).
Penyebab Terjadinya Konflik Sosial Di Pulau Padang Konflik tidak akan terjadi jika tidak ada penyebab serta faktor-faktor pendorong lainnya. Kita ketahui bahwa konflik adalah fenomena sosial yang selalu ditemukan di dalam kehidupan setiap masyarakat. Ini lah ungkapan yang sering kita dengar jika ada permasalah konflik itu terjadi. Layaknya konflik yang terjadi di Pulau Padang Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau yang terjadi mulai Desember 2009 tahun silam, hingga saat ini masih menjadi sorotan hangat di berbagai media massa malah sudah memasuki pada tingkat internasional. Pemberitaan tersebut memunculkan berbagai macam fenomena dan fakta yang ditemukan pada peristiwa konflik Pulau Padang ini. 1.
Faktor Ekonomi Konflik masyarakat dengan perusahaan PT.RAPP (PT Riau Andalas Pulp and Paper) ini tidak akan terjadi jika tidak ada faktor penyebabnya. Para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu adanya hubungan ekonomi, politik, sosial yang akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikan, status sosial dan kekuasaan (power) yang jumlah ketersediaannya sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata di masyarakat. Berdasarkan wawancara dengan beberapa responden, salah satu penyebab terjadinya peristiwa konflik di Pulau Padang Kecamatan Merbau ini disebabkan karena faktor ekonomi. Dengan alasan bahwa lahan hutan yang digarap oleh pihak perusahaan PT.RAPP dalam pelaksanaan program HTI (hutan taman industri) di Pulau Padang tersebut merupakan salah satu mata pencaharian oleh sebagian masyarakat di Pulau Padang. Lahan hutan di Pulau Padang tersebut di manfaatkan oleh sebagian masyarakat sebagai kebutuhan hidup sehari-hari yang sudah dilakukan secara tutun temurun sejak zaman kolonialisme Belanda. Banyaknya masyarakat yang bergantung hidup dengan hasil hutan 7
seperti karet, sagu, kayu-kayu yang bisa dijadikan sumber kehidupan masyarakat Pulau Padang khususnya. Sampai saat ini sebagian masyarakat di Pulau Padang masih tetap bergantung hidup dengan hasil hutan dan lahan tersebut. Hal ini dapat dibuktikan dengan bahan dasar perumahan di Pulau Padang Kecamatan Merbau 95% berasal dari kayu yang diambil dari hutan. 2.
Faktor Politik Selain faktor ekonomi, faktor politik juga mempengaruhi terjadinya konflik antara masyarakat dengan perusahaan PT.RAPP di Pulau Padang. Dengan alasan bahwa penggarapan lahan yang dilakukan oleh pihak perusahaan di Pulau Padang tersebut berdasarkan pemberian izin oleh pemerintah kepada pihak perusahaan yang tidak melibatkan masyarakat khususnya masyarakat di Pulau Padang. Izin tersebut berupa Surat Keputusan Nomor SK.327/Menhut-II/2009 tanggal 12 juni 2009 dengan izin perluasan areal IUPHHKHT PT.RAPP seluas 115.025 Ha, seluas 41.205 Ha diantaranya terletak di Pulau Padang Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti. Mengenai Surat Keputusan yang dikantongi oleh pihak perusahaan PT.RAPP, dimana sudah dinyatakan tidak berlaku dengan dikeluarkannya keputusan Gubernur Riau Nomor Kpts.326/VII/2006 tanggal 6 Juli 2006 yang lalu dan perlu di tinjau ulang. SK ini menambah luasan wilayah konsesi RAPP yang sebelumnya sudah diperoleh di wilayah Riau yang diantara konsesi tambahannya terdapat di hutan gambut Pulau Padang dan Semenanjung Kampar. Penyimpangan hukum atas terbitnya SK 327 tersebut setidaknya terdapat pada proses kelengkapan administrasi, konfirmasi kawasan, penyusunan Amdal dan pelanggaran terhadap aturan hukum lainnya. Dari pelanggaran proses perizinan ini wajar saja protes dari masyarakat terus terjadi karena ini menyangkut pengambil-alihan hak penguasaan tanah dari generasi masyarakat Pulau Padang. Perusahaan tersebut beroprasi memang memiliki izin dari pemerintah untuk melaksanakan program HTI perusahaan, tetapi pengeluaran SK oleh pemerintah tersebut tidak ada komprominya dengan masyarakat, khususnya masyarakat yang ada di pulau padang. Karena itu lah masayarakat merasa seolah-olah tidak di anggap oleh pemerintah dan pengeluaran izin kepada perusahaan hanyalah kompromi antar pemerintah dengan perusahaan saja tidak ada sedikitpun melibatkan masyarakat, padahal lahan hutan yang di berikan pada perusahaan tersebut milik masyarakat Pulau Padang. Yang menjadi salah satu sumber mata pencaharian masyarakat Pulau Padang. Kekecewaan masyarakat Pulau Padang mengenai kasus ini sangat menguatkan semangat mereka untuk tetap mempertahankan lahan yang di garap oleh perusahaan yang sebelumnya juga telah beroprasi di Pulau Padang tepatnya terletak di Desa Lukit (Sinalit) Kecamatan Merbau. Berdasarkan wawancara dengan responden bahwa alasan pemberian izin oleh pemerintah kepada perusahaan semata-mata karena ingin mengejar pertumbuhan dan mengambil keuntungan yang lebih dari sumber daya alam yang ada dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam tersebut. Serta menjadikan lahan hutan sebagai landasan investasi bagi pembangunan negara dengan memberikan pengelolaan lahan hutan kepada pihak yang lebih menguntungkan ketimbang kepada masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat oleh beberapa sosiolog yang menjabarkan bahwa akar timbulnya konflik tersebut salah satunya adalah adanya benturan kepentingan baik itu secara 8
politik maupun ekonomi. Benturan tersebut di picu oleh makin banyaknya diantara kelompok pengusaha saling merebut wilayah dan perluasan wilayah untuk mengembangkan usahanya. 3.
Faktor Sosial Faktor sosial sangat mempengaruhi terjadinya konflik khususnya konflik yang terjadi di Pulau Padang Kecamatan Merbau yaitu dengan adanya konflik antara masyarakat dengan perusahaan PT.RAPP. Hal ini terjadi karena adanya hubungan yang tidak baik antara masyarakat dengan perusahaan maupun pemerintah yang talah mengeluarkan izin usaha. Penolakan masyarakat terhadap masuknya PT.RAPP di Pulau Padang semakin kuat terkait dengan temuan fakta dan data oleh masyarakat Pulau Padang sehingga dengan temuan fakta dan data tersebut masyarakat menilai bahwa ada ketimpangan serta penipuan oleh pihak perusahaan dengan merekayasa kondisi lingkungan serta lainya di kawasan HTI perusahaan tersebut. Serta tidak adanya tanggapan yang pasti dari pihak pemerintah terkait hal tesebut. Berdasarkan penelitian dengan beberapa responden tersebut dapat disimpulkan bahwa komunikasi sangat di perlukan dalam mengambil kebijakan apa lagi yang berhubungan dengan pengambil alihan lahan yang nyatanya milik masyarakat. Hal ini sejalan dengan Mc Farland yang menyebutkan bahwa terdapat sejumlah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya konflik, antaranya adalah kurangnya komunikasi yang menyebabkan terbentuknya persepsi yang tidak serasi diantara eselon-eselon yang ada. d).
Solusi Konflik Sosial di Pulau Padang Membiarkan konflik berkembang akan mengakibatkan konflik tersebut berkembang dan menimbulkan konflik baru. Oleh karenanya perlu adanya penyelesaian oleh kedua pihak yang berkonflik tersebut. Berbagai macam penjelasan telah disampaikan oleh delapan responden di atas mengenai bentuk-bentuk konflik serta penyebab konflik di Pulau Padang yang disebabkan oleh adanya penggarapan lahan oleh pihak perusahaan terkait dikeluarkannya SK dari Kemenhut Nomor 327 yang memberi perluasan areal HTI perusahaan PT.Riau Andalan Pulp And Paper di Pulau Padang seluas 41.205 Ha. Masyarakat hingga dengan saat ini meminta agar perusahaan segera keluar dari Pulau Padang dan SK tersebut segera di cabut oleh pemerintah. Berdasarkan wawancara dengan responden bahwa solusi dalam penyelesaiaan yang dilakukan terhadap konflik masyarakat dengan perusahaan PT.RAPP berupa : Kompromi antara kedua belah pihak yang berkonflik berupa pembuatan Berita Acara agar pihak perusahaan tidak melakukan penggarapan lahan hutan di kawasan Pulau Padang. Konsiliasi yaitu dengan melibatkan lembaga-lembaga tertentu seperti Pemda, Pemprov dan Watmpres dan Mediasi yaitu antara masyarakat dengan perusahaan memilih pihak ketiga sebagai mediator yaitu pemerintah Tetapi hingga saat ini mereka belum bisa menerima solusi dari pemerintah, dengan alasan bahwa pemerintah hingga dengan saat ini masih belum mampu menyelesaikan permasalahan ini, karena pemerintah lebih mengedepankan kepentingan investasi dari perusahaan PT.RAPP. dan hingga saat ini konflik masyarakat dengan perusahaan di Pulau Padang masih terus terjadi.
9
F.
KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai Konflik Pulau Padang yang dilakukan penulis pada Januari 2013 dengan melakukan observasi di lapangan, serta wawancara langsung dengan mengambil delapan responden dari masyarakat Pulau Padang Kecamatan Merbau yang terlibat langsung pada konflik sosial di Pulau Padang. Dan dapat di simpulkan bahwa bentuk-bentuk konflik di Pulau Padang sebagai berikut : masyarakat menolak beroprasinya PT.RAPP di kawasan Pulau Padang dengan melakukan berbagai macam aksi protes ke pihak perusahaan sampai ke Pemerintah pusat seperti aksi demo, aksi jahit mulut dan ancaman bakar diri kepada Presiden SBY dan terjadinya konflik antar masyarakat di Pulau Padang. selain itu penyebab dari konflik tersebut yaitu : 1) Adanya faktor ekonomi 2) Adanya faktor politik dan 3) Faktor sosial Solusi penyelesaian konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan PT.RAPP ini memang sudah di janji-janjikan oleh pihak pemerintah sepert melakuan kompromi, konsiliasi dan mediasi. Tetapi peristiwa yang telah terjadi sejak akhir tahun 2009 hingga tahun 2013 ini belum juga terselesaikan dan belum menemukan titik terangnya. G.
Saran Adapun saran yang dapat penulis kemukakan dari hasil penelitian dilapangan yaitu sebagai berikut : 1) Kepada perusahaan, hendaknya tidak menunda-nunda dan segera menyelesaikan permasalahan dan hendaknya bisa bersikap transpran kepada masyarakat. 2) Kepada pemerintah, hendaknya segera merevisi ulang SK 327 yang di keluarkan oleh Kemenhut secara arif dan bijaksana. 3) Kepada masyarakat, agar tetap mempertahankan keamanan di Pulau Padang dan memberi kesempatan kepada pemerintah dan instansi terkait dalam proses penyelesaian konflik yang terjadi di Pulau Padang.
Mudah-mudahan hasil dari penelitian ini bisa memberikan manfaat positif yang dapat menyumbang pemikiran bagi pengembangan Ilmu Sosiologi, khususnya dalam mengkaji masalah-masalah yang berkaitan dengan konflik sosial. Serta sebagai bahan masukan dan informasi bagi peneliti lainnya dalam penelitian lebih lanjut bagi perkembangan dunia akademis pada masa yang akan datang.
10
DAFTAR PUSTAKA Bagong Suyoto. 2008. Rumah Tangga Peduli Lingkungan. Jakarta: PT. Prima Infosarana Media. Dahrendrof, Ralf.1986.Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri Sebuah AnalisisKritik.Jakarta:CV Rajawali. Djatmiko,Yayat Hidayat. 2002. Prilaku Organisasi. Bandung: ALFABETA Kaslan. 1991. Butir-Butir Tata Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta. Riza Sihbudi, Nurhasim. 2001.Kerusakan Sosial di Indonesia. Jakarta : PT.Gradindo. Setiadi, Usman Kolip. 2010. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Susan,Nopri.2009. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-isu Konflik Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Syahrial Syarbaini, Rusdianta. 2009. Dasar-dasar Sosiologi. Jakarta: Graha Ilmu.
11