DAFTAR ISI
Hal BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
PENDAHULUAN
I-1
1.1. Latar Belakang
I-1
1.2. Landasan Hukum
I-7
1.3. Maksud dan Tujuan
I-9
1.4. Sasaran
I-9
1.5. Hasil Yang Diharapkan
1-10
1.6. Ruang Lingkup
1-10
METODE PELAKSANAAN
2-1
2.1.
Konsepsi Dasar
2-1
2.2.
Metode Pendekatan
2-10
2.3.
Metode Pengumpulan Data dan Informasi
2-20
2.4.
Metode Analisis
2-21
GAMBARAN UMUM
3-1
3.1.
Perekonomian Provinsi DKI Jakarta
3-1
3.2.
Perkembangan Industri Kecil dan Menengah
3-7
3.3.
Perkembangan Industri Kreatif
3-10
3.4.
Kebutuhan Lahan Industri
3-20
HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-
4-1
UNDANGAN 4.1.
Maksud dan Tujuan Penyelenggaraan Perindustrian
4-1
4.2.
Jenis Kegiatan Industri
4-3
4.3.
Tugas dan Wewenang Pemerintah Daerah
4-12
4.4.
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
4-41
4.5.
Kawasan Industri dan Sentra Industri Kecil dan
4-45
Menengah
BAB 5
4.6.
Pengembangan Sumber Daya Manusia
4-64
4.7.
Pemberdayaan Industri Kecil, Menengah dan Kreatif
4-69
4.8.
Insentif dan Disinsentif
4-73
4.9.
Kemitraan
4-77
4.10. Perizinan
4-85
4.11. Sistem Informasi Industri Daerah
4-93
4.12. Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau CSR
4-96
4.13. Peran serta Masyarakat
4-100
4.14. Pembinaan
4-101
4.15. Pengawasan dan Pengendalian
4-104
4.16. Sanksi
4-109
4.17. Penyidikan
4-120
MATERI MUATAN RAPERDA
5-1
5.1. Judul Rancangan Peraturan Daerah
5-1
5.2. Landasan Filosofis, Sosiologis dan Yuridis
5-2
5.3. Dasar Hukum
5-4
5.4. Batang Tubuh Raperda BAB 6
PENUTUP DAFTAR PUSTAKA RAPERDA PERINDUSTRIAN
5-17 6-1
Bab 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kedudukan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, memiliki peran dan fungsi sebagai tempat penyelenggaraan pemerintahan dan tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional, sehingga peran dan fungsi Provinsi DKI Jakarta sangat luas dalam lingkup internasional, nasional, regional, dan lokal. Sebagai daerah otonom pada lingkup provinsi,1 berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta mempunyai tugas dan kewajiban menyelenggarakan pembangunan di berbagai bidang termasuk bidang industri untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Jakarta sekaligus mewujudkan citra bangsa Indonesia. Konsekuensi kedudukan, peran, dan fungsi Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, pembangunan di Provinsi DKI Jakarta terus mengalami perkembangan sangat dinamis dalam berbagai bidang, sehingga berpengaruh kepada sistem dan struktur ekonomi, sosial, dan politik lokal dan nasional yang berakibat pada perkembangan industri baik lingkup daerah maupun nasional. Di samping itu, masuknya globalisasi membawa dinamika perubahan sangat cepat dan berdampak luas bagi perekonomian daerah dan nasional. Pengaruh paling dirasakan, terjadi persaingan usaha yang semakin ketat, namun di sisi lain membuka peluang kolaborasi sehingga dalam penyelenggaraan perindustrian diperlukan berbagai dukungan dalam bentuk 1
Lihat Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab I - 1
perangkat kebijakan yang tepat, perencanaan yang terpadu, dan pengelolaan sumber daya yang efisien dengan memperhatikan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Oleh sebab itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bersama-sama Pemerintah Pusat dan pelaku usaha bidang industri berupaya untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan perindustrian sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian dengan menempatkan bidang industri menjadi salah satu pilar dan penggerak perekonomian daerah. Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki sumber daya alam seperti daerah lain di Indonesia, karena itu pembangunan industri dimasa mendatang sesuai ketentuan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c dan Pasal 7 ayat (3) huruf a Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi berbasis ekonomi pada industri kreatif dan industri yang menggunakan teknologi tinggi,2 dengan strategi meningkatkan kapasitas dan intensitas pusat kegiatan primer dan sekunder untuk mewadahi aktivitas industri kreatif berskala regional, nasional, dan internasional. Keterbatasan lahan dimiliki Provinsi DKI Jakarta menyebabkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memperketat penyelenggaraan perindustrian di DKI Jakarta. Kegiatan industri yang ada saat ini sesuai ketentuan Pasal 78 ayat (2) Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012, sebagai berikut: (a) industri di luar kawasan tidak berada pada kawasan rawan bencana; (b) tidak berada di kawasan cekungan air; (c) tersedia rencana pengelolaan air limbah dan air limbah tidak diperkenankan untuk dialirkan langsung ke drainase publik; (d) tidak menambah beban saat debit puncak saluran drainase publik; (e) tidak mengganggu fungsi lindung; (f) tidak mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam; (g) sesuai dengan daya dukung lahan setempat; (h) memiliki kelengkapan prasarana, sarana, dan utilitas. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan penataan dan pengembangan industri sesuai Pasal 89 Peraturan 2
Yang dimaksud dengan industri kreatif menurut penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, adalah industri yang mentransformasi dan memanfaatkan kreativitas, keterampilan, dan kekayaan intelektual untuk menghasilkan barang dan jasa. Sedangkan yang dimaksud industri teknologi tinggi menurut penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf c Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, adalah industri yang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab I - 2
Daerah Nomor 1 Tahun 2012, melalui: (a) penataan kawasan industri sebagai bagian integral dari penataan kawasan pelabuhan melalui koordinasi dan kerjasama dengan kawasan Bodetabekpunjur; (b) mengembangkan kawasan industri dibatasi untuk industri hemat penggunaan lahan, hemat air dan energi, tidak berpolusi, memperhatikan aspek lingkungan dan menggunakan teknologi tinggi; (c) pengembangan industri perakitan di kawasan sekitar Bandara Soekarno Hatta dan Pelabuhan Tanjung Priok; (d) mengembangkan Kawasan Ekonomi Strategis di Marunda sebagai bagian integral dari pengembangan pelabuhan Tanjung Priok; (e) penataan dan relokasi industri kecil dan menengah yang berada di kawasan permukiman ke kawasan industri di bagian barat dan timur Jakarta; (f) pengembangan kawasan industri dengan memperhatikan daya dukung transportasi dan infrastruktur lainnya. Kebijakan dan strategi penyelenggaraan industri tersebut di atas, merupakan bagian dari penyelenggaraan perindustrian yang secara nasional bertujuan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 UU No. 3 Tahun 2014, yaitu: (a) mewujudkan industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian nasional; (b) mewujudkan ke dalaman dan kekuatan struktur industri; (c) mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta industri hijau;3 (d) mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta mencegah pemusatan atau penguasaan industri satu kelompok atau perseorangan yang merugikan masyarakat; (e) membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja; (f) mewujudkan pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah Indonesia guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan nasional; (g) meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan. Untuk memberikan kepastian berusaha, persaingan usaha yang sehat, serta mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang dapat merugikan masyarakat serta membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja, maka diperlukan suatu produk hukum dalam bentuk Peraturan Daerah yang mengatur penyelenggaraan perindustrian di 3
Yang dimaksud dengan industri hijau menurut Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, adalah Industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan Industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab I - 3
Provinsi DKI Jakarta. Keberadaan Peraturan Daerah tersebut diharapkan mampu mewujudkan penyelenggaraan perindustrian dalam rangka memperkuat dan memperkukuh ketahanan industri daerah dan nasional,4 serta meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan.5 Selain itu, dapat menjawab berbagai kebutuhan dan perkembangan akibat perubahan lingkungan strategis dan sekaligus menjadi landasan hukum bagi tumbuh berkembang dan kemajuan industri di Provinsi DKI Jakarta baik saat ini maupun akan datang. Kewenangan Pemerintahan Daerah dalam penyelenggaraan perindustrian berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, termasuk urusan pilihan, yaitu urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan daerah sesuai potensi dimiliki daerah.6 Pemerintah Daerah bersama-sama Pemerintah Pusat diberi tugas dan wewenang oleh negara menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian melalui UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian,7 sebagai berikut: (a) percepatan penyebaran dan pemerataan pembangunan industri melalui kawasan industri;8 (b) pembangunan sumber daya manusia industri untuk menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten guna meningkatkan peran sumber daya manusia di bidang industri; 9 (c) memfasilitasi penyediaan pusat pendidikan dan pelatihan industri di pusat pertumbuhan industri;10 (d) mendorong pengembangan industri pengolahan berwawasan lingkungan; (e) menjamin ketersediaan, penyaluran, dan pemanfaatan sumber daya alam untuk industri dalam negeri melalui kerja sama antar daerah; 11 (f) pengembangan, peningkatan penguasaan, dan pengoptimalan pemanfaatan
4 5
6 7 8 9 10 11
Yang dimaksud dengan “ketahanan Industri” menurut penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, adalah industri yang berdaya saing, efisien, berkelanjutan, bersih, dan berwawasan lingkungan. Yang dimaksud dengan “kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan”, sesuai penjelasan Pasal 3 huruf g Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, adalah pembangunan di bidang industri sebagai penggerak ekonomi daerah harus dinikmati oleh seluruh rakyat Jakarta terutama golongan ekonomi lemah atau kelompok yang berpenghasilan di bawah tingkat rata-rata pendapatan per kapita. Tujuan utama pembangunan di bidang industri bermuara pada segala upaya untuk mewujudkan tatanan ekonomi yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan keadilan sosial, kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat, bukan kepentingan individu, golongan atau kelompok tertentu, dengan proses produksi yang melibatkan semua orang dan hasilnya bisa dinikmati oleh semua warga masyarakat. Lihat Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Lihat Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Lihat Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Lihat Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Lihat Pasal 20 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Lihat Pasal 33 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab I - 4
teknologi industri;12 (g) memfasilitasi kerja sama penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang industri antara perusahaan industri dan perguruan tinggi atau lembaga penelitian dan pengembangan industri dalam negeri dan luar negeri;13 (h) memfasilitasi promosi alih teknologi dari industri besar, lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, dan/atau lembaga lain ke industri kecil dan industri menengah;14 (i) memfasilitasi lembaga penelitian dan pengembangan dalam negeri dan/atau perusahaan industri dalam negeri yang mengembangkan teknologi di bidang industri; 15 (j) memfasilitasi pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat dalam pembangunan industri;16 (k) memfasilitasi ketersediaan pembiayaan yang kompetitif untuk pembangunan industri;17 (l) menjamin tersedia infrastruktur industri;18 (m) membangun sistem informasi industri dan menyampaikan data industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala melalui sistem informasi industri yang terintegrasi;19 (n) melakukan pembangunan dan pemberdayaan industri kecil dan industri menengah;20 (o) pemberian izin usaha industri;21 (p) mendorong penanaman modal di bidang industri untuk memperoleh nilai tambah yang sebesar-besarnya dalam pemanfaatan sumber daya daerah dan/atau nasional dalam rangka pendalaman struktur industri dan peningkatan daya saing industri;22 (q) memberikan fasilitas industri untuk mempercepat pembangunan industri;23 (r) mengawasi dan mengendalikan pembangunan industri;24 (s) memberikan sanksi kepada yang melakukan pelanggaran.25 Sehubungan tugas dan wewenang tersebut, bahwa keberadaan Peraturan
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Lihat Pasal 36 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Lihat Pasal 42 huruf a Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Lihat Pasal 42 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Lihat Pasal 42 huruf c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Lihat Pasal 43 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Lihat Pasal 44 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Lihat Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Lihat Pasal 64 ayat (3), Pasal 65 ayat (3), dan Pasal 68 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Lihat Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Lihat Pasal 101 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Lihat Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Lihat Pasal 110 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Lihat Pasal 117 ayat (5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Lihat Pasal 118 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab I - 5
Daerah tentang Perindustrian merupakan pelaksanaan tugas dan wewenang Pemerintah Daerah yang ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 2014.26 Sejalan dengan tugas dan wewenang Pemerintah Daerah tersebut di atas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Pemerintah Daerah memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan perindustrian. Dalam lingkup daerah tujuan penyelenggaraan perindustrian antara lain sebagai berikut: (a) mewujudkan industri sebagai pilar dan penggerak perekonomian daerah; (b) mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta industri hijau; (c) mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan masyarakat; (d) membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja; (e) mewujudkan pemerataan pembangunan industri guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan industri daerah; (f) meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, kebutuhan (urgensi) Peraturan Daerah tentang Perindustrian karena ada tugas, wewenang, dan tanggung jawab yang diberikan negara kepada Pemerintah Daerah melalui UU No. 3 Tahun 2014. Selain itu, keberadaan Peraturan Daerah tersebut memberikan kepastian hukum bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pelaku industri, dan masyarakat dalam penyelenggaraan industri di Provinsi DKI Jakarta, yang selama ini belum memiliki Peraturan Daerah. Atas dasar itu, Dinas Perindustrian dan Energi memprakarsai menyusun Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian. Untuk itu, harus dilengkapi dengan Naskah Akademik sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010 tentang Pembentukan Peraturan Daerah, yang menyatakan SKPD/UKPD pemrakarsa dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah menyiapkan terlebih dahulu Naskah Akademik mengenai materi yang diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah.27 Naskah akademik 26
27
Menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Yang dimaksud dengan Naskah Akademik menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab I - 6
tersebut paling sedikit memuat dasar filosofis, sosiologis, yuridis, pokok-pokok pikiran dan lingkup materi yang akan diatur.28
1.2. Landasan Hukum Peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan hukum dalam Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perindustrian ini, antara lain: a. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tidak hanya menjadi pedoman dalam penyusunan Raperda dan Naskah Akademik, melainkan juga sebagai dasar hukum bagi Pemerintahan Daerah, bahwa Peraturan Daerah bagian dari peraturan perundang-undangan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dan mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi setiap orang. Oleh sebab itu, UU tersebut menjadi dasar hukum kedudukan Peraturan Daerah. b. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, mengatur hak dan kewajiban serta wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah (dalam hal ini Gubernur dan Perangkat Daerah) sebagai eksekutif dan DPRD sebagai legislatif dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan.
28
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa Rancangan Peraturan Daerah Provinsi disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab I - 7
c. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4744); Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 menjadi dasar hukum dalam pembentukan Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta, karena
pelaksanaan
otonomi berada pada lingkup provinsi sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 9 ayat (1). Artinya, di Provinsi DKI Jakarta hanya ada satu jenis Peraturan Daerah, yaitu Peraturan Daerah Provinsi. d. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5492); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 merupakan dasar hukum utama dalam pelaksanaan penyusunan Naskah Akademik ini. Selain undang-undang tersebut, peraturan perundang-undangan terkait dengan perindustrian yang merupakan pelaksanaan dari UU No. 3 Tahun 2014, antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2015 tentang Pembangunan Sumber Daya Industri, Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015-2035. e. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pembentukan Peraturan Daerah; Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010 menjadi pedoman dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah. Selain itu, peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah tersebut adalah Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik, menjadi pedoman dalam penyusunan Naskah Akademik. f. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2014 Nomor 201, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2004).
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab I - 8
Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2014 menjadi dasar bagi Dinas Perindustrian dan Energi dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengembangan industri mulai perencanaan, pelaksanaan, sampai pembinaan dan pengawasan, yang secara operasional diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 231 Tahun 2014 tentang Organisasi Tata Kerja Dinas Perindustrian dan Energi.
1.3. Maksud dan Tujuan Maksud penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perindustrian adalah memberikan justifikasi ilmiah dan pemahaman diperlukan Peraturan Daerah mengenai perindustrian berdasarkan referensi yang ada saat ini dan kondisi yang berkembang dalam masyarakat dan/atau dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yang menjadi dasar pertimbangan dan/atau bahan masukan materi muatan Raperda tentang Perindustrian, sehingga materi muatan Raperda tersebut serasi dan selaras atau harmonis dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Tujuannya adalah sebagai bahan pertimbangan yang dapat dijadikan pokokpokok pemikiran atau gagasan dan aspirasi aktual yang berkembang, baik dalam kehidupan masyarakat termasuk pelaku usaha maupun dalam penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dalam rangka penyusunan atau perumusan dan pembahasan Raperda tentang Perindustrian.
1.4. Sasaran Tersusunnya dasar-dasar pemikiran dan prinsip-prinsip dasar terhadap materi muatan Raperda tentang Perindustrian berdasarkan naskah akademik yang dilandasi kajian ilmiah.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab I - 9
1.5. Hasil Yang Diharapkan Mencermati latar belakang disusunnya Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian dengan memperhatikan maksud dan tujuan dilaksanakan kegiatan ini, maka hasil yang diharapkan sebagai berikut: a. Tersedianya Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian yang memuat pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur serta jangkauan dan arah pengaturan sehingga materi muatan Rancangan Peraturan Daerah memenuhi rasa keadilan dan menjamin kepastian hukum, serta disusun secara sistematis sesuai kaidah-kaidah hukum dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan. b. Tersusunnya Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian sesuai kaidah-kaidah
hukum
dan/atau
prinsip-prinsip
pembentukan
peraturan
perundang-undangan, yang dirumuskan dalam pasal per pasal sesuai dengan teknis pembentukan peraturan perundang-undangan.
1.6. Ruang Lingkup Ruang lingkup kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian, sebagai berikut: a. Mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pelaku usaha, dan masyarakat dalam penyelenggaraan perindustrian ditinjau dari filosofis, yuridis, sosiologis, dan teknis operasional secara umum disertai dengan beberapa hal yang melatar-belakangi atau urgensi diperlukan kebijakan daerah dalam bentuk Peraturan Daerah. b. Memberikan justifikasi ilmiah dan pemahaman pengaturan berdasarkan referensi yang ada saat ini serta hasil-hasil penelitian mengenai dinamika yang berkembang dalam kehidupan masyarakat termasuk pelaku usaha dan penyelenggaraan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, guna membantu perumusan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab I - 10
c. Melakukan analisis aspek filosofis bahwa norma-norma penyelenggaraan perindustrian yang termuat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan ditinjau dari kondisi saat ini dan masa mendatang. d. Melakukan analisis aspek yuridis bahwa norma-norma penyelenggaraan perindustrian yang termuat dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan bentuk pelaksanaannya di daerah sebagai bahan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah, dengan cara menggali berbagai dinamika dan realita dari berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan terkait dengan aspek teori hukum antara lain: (1) prinsip-prinsip dalam pembentukan norma hukum termasuk perumusan sanksi administrasi dan pidana atau bentukbentuk pelanggaran; (2) konstruksi bentuk sanksi baik administrasi maupun pidana termasuk besarnya. Selain itu, aspek bahasa hukum, bahwa bahasa Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian disusun sesuai kaidah bahasa hukum, namun mudah dipahami setiap orang tanpa mengabaikan kaidah bahasa Indonesia. e. Melakukan analisis aspek sosiologis, yaitu norma-norma yang hidup dan berkembang di masyarakat dalam penyelenggaraan perindustrian saat ini dan akan datang. f. Melakukan
analisis
aspek
teknis
operasional,
yaitu
penyelenggaraan
perindustrian berdasarkan UU No. 3 Tahun 2014 dan peraturan perundangundangan lain yang terkait. g. Menyusun naskah akademik berdasarkan analisis yang dilakukan, yang mencerminkan sekurang-kurangnya pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur, serta jangkauan dan arah pengaturan sehingga materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian memenuhi rasa keadilan dan menjamin kepastian hukum, disusun secara sistematis sesuai kaidah-kaidah hukum dan asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab I - 11
Bab 2 METODE PELAKSANAAN
2.1. Konsepsi Dasar Untuk memberikan pemahaman yang sama dalam penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Peraturan Daerah, diberikut ini disampaikan konsepsi dasar mengenai Peraturan Daerah dan Naskah Akademik. 1.
Peraturan Daerah Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa Peraturan Daerah salah satu jenis peraturan perundang-undangan.27 Peraturan Daerah dimaksud selain melaksanakan ketentuan lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan lebih tinggi dalam hal ini UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian khususnya dan undang-undang lain pada umumnya, juga dapat mengatur aspek khusus yang terdapat atau dibutuhkan daerah dan/atau masyarakat. Sehubungan hal tersebut, secara umum materi muatan Peraturan Daerah sebagai berikut: a. pengaturan lebih lanjut dengan cara menjabarkan asas dan/atau prinsip dan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ke dalam ketentuan lebih operasional. Konsep penjabaran mengandung makna adanya upaya untuk merinci atau menguraikan norma-norma yang terkandung dalam setiap asas, prinsip, dan ketentuan mengenai struktur untuk dinormakan lebih lanjut atau distrukturkan kembali yang perlu dan/atau yang layak untuk dikembangkan sesuai kebutuhan daerah dan masyarakat.
27
Yang dimaksud dengan peraturan peraturan perundang-undangan sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 1
Materi muatan Peraturan Daerah bukan pengulangan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan lebih tinggi secara menyeluruh melainkan
penjabaran
atau
operasionalisasinya.
Tanpa
dilakukan
perumusan ulang menjadi materi muatan Peraturan Daerah, asas, prinsip-prinsip dan ketentuan atau norma yang termuat dalam peraturan perundang-undangan lebih tinggi secara otomatis tetap berlaku dan sifatnya mengikat bagi daerah. Walaupun demikian, kadangkala saat merumuskan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah lebih operasional seringkali mengalami kesulitan, antara lain disebabkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi telah mengatur rinci, sementara peraturan perundang-undangan tersebut memberikan mandat untuk diatur dengan Peraturan Daerah. b. peraturan bersifat teknis operasional namun masih bersifat regulatif umum. Bersifat teknis operasional dimaksud adalah materi muatan Rancangan Peraturan Daerah lebih mengkonkretkan, karena itu materi muatan
Rancangan
Peraturan
Daerah
dapat
dilaksanakan
baik
Pemerintah Daerah atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) selaku pelaksana pemerintahan di daerah maupun oleh masyarakat termasuk pelaku usaha. Sedangkan bersifat regulasi umum, mengandung makna materi muatan yang diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah memberikan kepastian mengenai hak dan kewajiban dari subjek hukum. Selain itu mengandung norma yang terkandung bersifat mengatur dengan konsekuensi mempunyai daya pemaksa/pengikat atau sanksi. c. sebagai media hukum bagi Gubernur dalam rangka mewujudkan komitmen atau aspirasi atau keinginan atau harapan yang disampaikan masyarakat, dalam rangka mewujudkan visi dan misi pembangunan daerah, dan melaksanakan kebijakan nasional. Hal tersebut tidak terlepas dari anggaran. Besar kecil anggaran pembangunan industri di DKI Jakarta sangat ditentukan oleh Dewan Perwakilan Rayat Daerah (DPRD) Provinsi DKI Jakarta, karena anggaran merupakan wewenang
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 2
DPRD berdasarkan UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Sehubungan itu, keberhasilan penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta selain ditentukan komitmen Gubernur sebagai Kepala Daerah, peran aktif masyarakat, dan juga ditentukan oleh DPRD berkaitan dengan anggaran. Berdasarkan uraian tersebut di atas, materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian diharapkan memuat ketentuan lebih kongkret, sehingga mudah dipahami dan dilaksanakan. Selain itu, tidak menimbulkan penafsiran ganda (multi-tafsir) yang dapat merugikan masyarakat. Jika memungkinkan bersifat teknis untuk menghindari penafsiran yang berbeda dan dapat dioperasionalkan, serta mudah dipahami, atau sekurangkurangnya diberikan dalam penjelasan. Prinsip utama yang dipegang teguh dalam merumuskan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian ini adalah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi.28 Artinya, materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tersebut lebih teknis dari UU, PP, dan/atau Peraturan Presiden yang mendelegasikan atau sekurangkurangnya sama dengan materi muatan Peraturan Menteri yang terkait bila ada. Mencermati ketentuan Pasal 236 ayat (3) huruf b UU No. 23 Tahun 2014, UU No. 12 Tahun 2011, dan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010 tentang Pembentukan Peraturan Daerah, bahwa Peraturan Daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama dengan Kepala Daerah (dalam hal ini Gubernur). Dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah menurut Pasal 22 Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010,
28
Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, bahwa yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundangundangan yang didasarkan pada asas bahwa Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 3
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam hal ini Dinas Perindustrian dan Energi sebagai pemrakarsa menyiapkan terlebih dahulu Naskah Akademik mengenai materi yang diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah. 2.
Naskah Akademik Naskah akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang dibentuknya suatu Peraturan Daerah, tujuan, sasaran yang ingin diwujudkan, dan lingkup pengaturan, jangkauan, objek, atau arah pengaturan dari suatu Rancangan Peraturan Daerah.29 Naskah akademik memuat hal-hal sebagai berikut: (a) latar belakang, tujuan penyusunan; (b) landasan filosofis, sosiologis, politis, dan yuridis;30 (c) sasaran ingin diwujudkan; (d) pokok-pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur; (e) jangkauan dan arah pengaturan. Berdasarkan uraian di atas, naskah akademik bagian tidak terpisahkan dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah, karena memuat gagasan pengaturan materi yang akan diatur dan telah ditinjau secara sistematik, holistik, dan futuristik dari berbagai aspek terkait, dilengkapi referensi yang memuat urgensi, konsepsi, landasan, alasan hukum, dan prinsip-prinsip yang digunakan serta pemikiran tentang norma-norma yang akan dituangkan ke dalam bentuk pasal-pasal dengan mengajukan beberapa alternatif bila ada, serta disajikan secara sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
29
30
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 170-172, landasan filosofis mencerminkan keinginan atau harapan yang hendak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui pelaksanaan undang-undang yang bersangkutan dalam kenyataan. Landasan sosiologis mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat. Sedangkan landasan politis mengambarkan adanya sumber hukum yang melandasi pembentukan undang-undang.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 4
Dalam lampiran UU No. 12 Tahun 2011 ditetapkan sistimatika Naskah Akademik, sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Pendahuluan memuat latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan, identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode penelitian. a. Latar Belakang Latar belakang memuat pemikiran dan alasan perlunya penyusunan Naskah Akademik sebagai acuan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah. Latar belakang tersebut menjelaskan mengapa pembentukan Rancangan Peraturan Daerah memerlukan suatu kajian mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran ilmiah yang berkaitan dengan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah tersebut mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis serta yuridis guna mendukung perlu atau tidak perlunya penyusunan Rancangan Peraturan Daerah. b. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah memuat rumusan mengenai masalah apa yang akan ditemukan dan diuraikan dalam Naskah Akademik tersebut. Pada dasarnya identifikasi masalah dalam suatu Naskah Akademik mencakup 4 (empat) pokok masalah, yaitu: (1) permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi; (2) mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan masalah tersebut, yang berarti membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian masalah tersebut; (3) apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah; (4) apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan. c. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut: (1) merumuskan permasalahan dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara mengatasi permasalahan; (2) merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat; (3) merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah; (4) merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah. Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah. d. Metode Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian sehingga digunakan metode penyusunan Naskah Akademik yang berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 5
Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder berupa peraturan perundangundangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap peraturan perundang-undangan (normatif) dilanjutkan observasi mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor nonhukum yang terkait dan berpengaruh terhadap peraturan perundang-undangan yang diteliti. BAB II
KAJIAN TEORETIS DAN PRAKTIK EMPIRIS Bab ini memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik, perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi, keuangan negara dari pengaturan dalam suatu Peraturan Daerah. Bab ini dapat diuraikan dalam beberapa sub bab berikut: a. Kajian teoritis. b. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma. Analisis terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan berbagai aspek bidang kehidupan terkait dengan Peraturan Daerah yang akan dibuat, yang berasal dari hasil penelitian. c. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat. d. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara.
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT Bab ini memuat hasil kajian terhadap peraturan perundang-undangan terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan Peraturan Daerah baru dengan peraturan perundang-undangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta status dari peraturan perundangundangan yang ada, termasuk peraturan perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta peraturan perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan UndangUndang atau Peraturan Daerah yang baru. Kajian terhadap peraturan perundang-undangan ini dimaksudkan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui posisi dari Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini dapat menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi peraturan perundang-undangan yang ada serta posisi dari Peraturan Daerah untuk menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari pembentukan Peraturan Daerah yang akan dibentuk.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 6
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS a. Landasan Filosofis Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Landasan Sosiologis Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. c. Landasan Yuridis Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Daerah yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturan sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup materi muatan Rancangan Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Dalam Bab ini, sebelum menguraikan ruang lingkup materi muatan, dirumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan. Materi didasarkan pada ulasan yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya. Selanjutnya mengenai ruang lingkup materi pada dasarnya mencakup: a. ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah, dan frasa; b. materi yang akan diatur; c. ketentuan sanksi; dan d. ketentuan peralihan.
BAB VI
PENUTUP Bab penutup terdiri atas sub bab kesimpulan dan saran. a. Kesimpulan Kesimpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan dengan praktik penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan asas yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 7
b. Saran Saran memuat antara lain: (1) perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu peraturan perundang-undangan atau peraturan perundang-undangan di bawahnya; (2) rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan rancangan peraturan daerah dalam program legislasi daerah; (3) kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut. DAFTAR PUSTAKA Daftar pustaka memuat buku, Peraturan Perundang-undangan, dan jurnal yang menjadi sumber bahan penyusunan Naskah Akademik. LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Berdasarkan uraian sistimatika Naskah Akademik tersebut di atas, secara umum memberikan pedoman dalam penyusunan Naskah Akademik ini, bahwa sekurang-kurangnya memuat hal-hal yang termuat dalam Lampiran UU No. 12 Tahun 2011. Untuk pembentukan UU, PP, dan Peraturan Presiden dapat mengikuti sistematika yang termuat dalam UU No. 12 Tahun 2011, namun untuk penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tidak tepat, karena Peraturan Daerah merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan lebih tinggi, yang materi muatannya disesuaikan kebutuhan daerah dan masyarakat. Artinya dalam penyusunan Naskah Akademik tidak melakukan evaluasi terhadap UU, PP, Perpres dan/atau Peraturan Menteri melainkan materi muatan UU, PP, Perpres dan/atau Peraturan Menteri menjadi bahan materi muatan Raperda. Oleh sebab itu, yang dilakukan kegiatan ini adalah harmonisasi peraturan perundangundangan yaitu menselaraskan dan menserasikan asas, prinsip, dan norma yang termuat dalam peraturan perundang-undangan baik secara vertikal maupun horizontal yang dilengkapi dengan berbagai teori dan referensi yang berhubungan dengan penyelenggaraan perindustrian, sehingga menghasilkan kesatuan sistem hukum yang harmonis menjadi bahan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 8
Walaupun demikian tetap merujuk pada pedoman yang ditetapkan dalam UU No. 12 Tahun 2011. Oleh sebab itu, Sistematika Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah ini, sebagai berikut: Bab 1
Pendahuluan, memuat latar belakang diperlukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian, maksud dan tujuan, sasaran yang ingin dicapai, hasil yang diharapkan, dan ruang lingkup kegiatan.
Bab 2
Metode Pelaksanaan, memuat metode pendekatan yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik dan penyusunan Raperda, metode pengumpulan data dan informasi, dan metode analisis.
Bab 3
Gambaran Umum, memuat kondisi empiris perkembangan industri dan permasalahan yang dihadapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai pertimbangan atau alasan dibentuknya Rancangan Peraturan Daerah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Bab 4
Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan, memuat mengenai tugas, wewenang, dan tanggung jawab Pemerintah Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan serta hak dan kewajiban masyarakat terkait dengan penyelenggaraan perindustrian. Memuat materi muatan lain menjadi sasaran untuk diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah sesuai wewenang yang diberikan oleh UU berdasarkan No. 3 Tahun 2014 kepada Pemerintah Daerah dan/atau Gubernur sebagai Kepala Daerah.
Bab 5
Meteri Muatan Rancangan Peraturan Daerah, muat landasan filosofis, sosialogis, dan yuridis termasuk dasar hukum disertai norma-norma yang akan diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 9
Bab 6
Penutup, memuat Kesimpulan dan Saran/rekomendasi
Daftar Bacaaan Lampiran Konsep Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian
2.2. Metode Pendekatan Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, salah satu proses yang dilakukan dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undang termasuk di dalamnya Peraturan Daerah adalah harmonisasi, yaitu upaya untuk menyelaraskan suatu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain baik peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maupun sederajat atau sama (Peraturan Daerah), sehingga Peraturan Daerah tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlaping). Hal tersebut merupakan konsekuensi kedudukan Peraturan Daerah dalam hierarki peraturan perundangundangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011. Pengharmonisasian terhadap materi muatan Konsep Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian agar tidak tumpang tindih dan saling bertentangan, sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan ambiguitas dalam penerapannya. Pelaksanaan harmonisasi secara horizonal, berbagai Peraturan Daerah yang berlaku di Provinsi DKI Jakarta terkait dengan perindustrian baik langsung maupun tidak langsung dipelajari secara cermat agar konsepsi materi muatan Konsep Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian satu sama lain selaras melalui koordinasi dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait yang secara substansial menguasai materi muatan peraturan perundangundangan dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lain. Di dalam pelaksanaan harmonisasi, ada 2 (dua) aspek dilakukan. Pertama, harmonisasi vertikal, yakni harmonisasi peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lain dalam hierarki berbeda atau lebih tinggi dari Peraturan Daerah. Kedua, hormonisasi horizontal, yaitu harmonisasi dengan Peraturan Daerah yang ada sehingga Konsep Rancangan Peraturan Daerah
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 10
yang disusun saling isi mengisi dan tidak tumpang tindih dengan peraturan daerah yang telah ada. Harmonisasi horizontal berangkat dari asas lex posterior delogat legi priori yang artinya peraturan perundang-undangan yang baru mengesampingkan atau mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lama dan asas lex specialist delogat legi generalis yang berarti suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengenyampingkan peraturan perundang-undangan bersifat umum. Harmonisasi horizontal dilandasi kedua asas tersebut dalam penyusunan Peraturan Daerah dikarenakan penyelenggaraan perindustrian pada hakikatnya lintas urusan pemerintahan dan tidak dapat berdiri sendiri atau dilaksanakan oleh Dinas Perindustrian dan Energi saja melainkan juga terkait dengan Perangkat Daerah lain, seperti: 1. Dinas Penataan Kota dalam merumuskan kebijakan pemanfaatan ruang untuk penyelenggaraan industri khususnya industri kecil dan menengah; 2. Bapeda dalam merumuskan dokumen perencanaan pembangunan baik RPJPD maupun RPJMD serta mengakomodir usulan kegiatan pembinaan yang disampaikan oleh Dinas Perindustrian dan Energi dan SKPD terkait; 3. Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) merumuskan kebijakan insentif berupa keringanan retribusi bagi pelaku usaha di bidang industri kecil dan menangah; 4. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) merumuskan berbagai kebijakan yang menjadi persyaratan dalam rangka mewujudkan industri yang berwawasan lingkungan. 5. Dinas Pelayanan Pajak merumuskan kebijakan insentif berupa keringanan pajak daerah bagi industri kecil dan menengah. Sehubungan itu, materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian terdapat tugas dan tanggung jawab Pemerintah Daerah yang di dalamnya sudah termasuk SKPD lain selain Dinas Perindustrian dan Energi, yang juga memiliki dasar hukum yang berbeda-beda namun saling mengkait dan/atau
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 11
terhubung satu sama lain sehingga dibutuhkan suatu pengaturan yang komprehensif. Berdasarkan uraian tersebut di atas, metode pendekatan yang digunakan dalam Penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian adalah harmonisasi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Melalui pendekatan tersebut diharapkan terwujud harmonis materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian baik secara vertikal maupun horizontal dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Demikian halnya pendekatan yang digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik adalah peraturan perundangundangan (statue approach).31 Hal tersebut didasarkan atas kedudukan Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, yang dibuat oleh DPRD bersama-sama Kepala Daerah dalam hal ini Gubernur, dan diakui keberadaannya serta mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Atas dasar ketentuan tersebut, Peraturan Daerah bagian sistem hukum nasional, maka ketentuan yang mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan nasional (UU, PP, Peraturan Presiden) berlaku juga dalam pembentukan Peraturan Daerah sepanjang belum diatur secara khusus. Peraturan Daerah sebagai sub sistem dalam kerangka sistem hukum nasional, maka dalam pembentukan harus memperhatikan asas dan/atau prinsipprinsip pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011 dan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010, yaitu: 1. kejelasan tujuan, bahwa dalam setiap pembentukan peraturan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Berdasarkan asas tersebut, pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Perindustrian dimaksudkan untuk mewujudkan struktur industri yang mandiri, sehat dan kukuh dengan menempatkan pembangunan industri menjadi salah satu pilar dan penggerak utama perekonomian berdasarkan peraturan perundang-undangan.
31 Valerine, J.L.K. Modul Metode Penelitian Hukum Edisi Revisi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, hal. 409.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 12
2. kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, bahwa dalam setiap jenis peraturan
perundang-undangan
harus
dibuat
lembaga
atau
pejabat
pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat lembaga/pejabat yang tidak berwenang. Atas dasar asas tersebut, Rancangan Peraturan Daerah Perindustrian disiapkan oleh Dinas Perindustrian dan Energi selaku Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang diberi tugas dan fungsi oleh Gubernur berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2014 tentang Organisasi Perangkat Daerah untuk merumuskan kebijakan di bidang perindustrian. Rancangan Peraturan Daerah tersebut disampaikan kepada Gubernur untuk selanjutnya dibahas dan ditetapkan bersama-sama dengan DPRD Provinsi DKI Jakarta. 3. kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangan. Asas tersebut menjadi perhatian dalam penyusunan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian sesuai kedudukan Peraturan Daerah, yaitu penjabaran lebih lanjut dari UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian sesuai wewenang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Pemerintahan Daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan perindustrian, seperti: UU No. 31 tahun 2000 tentang Desain Industri, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 4. dapat dilaksanakan, setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Asas tersebut menjadi perhatian pada saat penyusunan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian. Dengan disusunnya naskah akademik
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 13
memberikan landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis dibentuknya Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian. 5. kedayagunaan dan kehasilgunaan, setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Berdasarkan asas tersebut keberadaan Peraturan Daerah tentang Perindustrian menjadi dasar hukum bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Masyarakat termasuk pelaku usaha serta organisasi masyarakat di bidang industri dalam memenuhi tuntutan dan kebutuhan saat ini dan mendatang. 6. kejelasan rumusan, setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Asas tersebut menjadi perhatian pada saat penyusunan konsep Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana disampaikan sebelumnya. Oleh sebab itu, Konsep Rancangan Peraturan Daerah yang disusun dilakukan uji publik melalui kegiatan workshop untuk menghindari kata-kata atau terminologi serta bahasa hukumnya yang tidak jelas dan tidak dimengerti, serta tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi. 7. keterbukaan, dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Sejalan dengan asas tersebut, dalam proses pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian dilakukan secara transparan dan terbuka, antara lain pendekatan yang digunakan konsultasi publik dan/atau temu pakar dihadiri oleh komponen pelaku industri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 14
Asas lain yang juga diperhatikan dalam penyusunan materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 dan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2010 berikut penjelasannya, antara lain: 1. pengayoman, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat. Berdasarkan asas tersebut, kebedaraan Peraturan Daerah tentang Perindustrian diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi pelaku usaha di bidang industri dan bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam melakukan pembinaan dan pengawasan; 2. kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional; 3. kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan; 4. kenusantaraan,
setiap
materi
muatan
peraturan
perundang-undangan
senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila; 5. bhinneka tunggal ika, materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya menyangkut masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 6. keadilan,
setiap
materi
muatan
peraturan
perundang-undangan
harus
mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 15
7. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial; 8. ketertiban dan kepastian hukum, materi muatan peraturan perundangundangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum; 9. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara; 10. prinsip lainnya sesuai dengan bidang hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, antara lain dalam hukum pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; serta dalam hukum perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik. Berdasarkan uraian tersebut di atas, secara garis besar ada 2 (dua) asas yang harus diperhatikan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan (dalam hal ini Peraturan Daerah), yakni:32 1. asas material, meliputi: (a) dibentuk oleh pejabat atau lembaga pembentuk peraturan hukum yang berwenang untuk itu; (b) dibentuk melalui mekanisme, prosedur atau tata tertib yang berlaku untuk itu; (c) materi muatannya memiliki asas-asas hukum yang jelas, tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau dengan peraturan perundang-undangan lain yang sederajat/mengatur perihal yang sama; (d) isi peraturan harus jelas, mengandung kebenaran, keadilan dan kepastian hukum; (e) dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik, untuk
32
Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputuan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Fakultas Pascasarjana, 1990, hlm 336-343.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 16
menyelesaikan kasus pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan dimaksud. 2. asas formal, meliputi: (a) memiliki tujuan yang jelas, maksud yang ingin diwujudkan dengan dibentuk suatu peraturan perundang-undangan; (b) memiliki dasar-dasar pertimbangan yang pasti pada konsideran menimbang; (c) memiliki dasar-dasar peraturan hukum yang jelas pada konsideran mengingat; (d) memiliki sistematika yang logis dan tidak saling bertentangan antara bab, bagian, pasal, ayat, dan sub ayat; (e) dapat dikenali melalui pengundangan ke dalam lembaran negara serta disosialisasikan atau penyebarluasan. Di dalam sistem hukum nasional memiliki asas filosofis yang terdapat dalam Pancasila, dan asas konstitusional yang terdapat dalam UUD 1945. Di antara asas tersebut terdapat hubungan yang harmonis. Bila hubungan diantara asas tersebut tidak harmonis dapat dikatakan tidak ada suatu tatanan yang secara teoritis tidak dalam satu sistem hukum, yaitu dalam kesatuan sistem hukum nasional. Naskah Akademik salah satu upaya mewujudkan harmonisasi peraturan perundang-undangan baik secara vertikal atau peraturan perundang-undangan diatasnya (UU, PP, dan Peraturan Presiden) maupun secara horizontal atau Peraturan Daerah yang ada, seperti Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2014 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam penyusunan Naskah Akademik agar hasilnya dapat terpenuhi nilai-nilai dasar hukum sebagai materi muatan suatu Rancangan Peraturan Daerah, yaitu kepastian hukum, menjamin keadilan, dan kemanfaatan, serta tercapainya maksud dan tujuan dibentuknya Rancangan Peraturan Daerah itu sendiri. Secara teoritis, yang diperhatikan sebagai berikut: 1. ditinjau dari teori hukum, ada 2 (dua) fungsi hukum (dalam hal ini Peraturan Daerah) yang menuntut pengembangan substansi hukum atau peraturan perundang-undangan, yaitu sebagai alat kontrol sosial dan alat rekayasa sosial. Kedua fungsi tersebut memiliki karakteristik yang berbeda. Sebagai fungsi kontrol sosial, Peraturan Daerah bertujuan memelihara pola hubungan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 17
sosial dan mengembalikan hubungan sosial yang terganggu karena terjadi penyimpangan. Dalam hal ini hukum berfungsi menyelesaikan penyimpangan yang terjadi atau pelanggaran, dengan mekanisme penilaian perilaku menyimpang/melanggar dan pemberian sanksi berdasarkan norma yang ada, sehingga tercipta hubungan sosial yang tertib dan harmonis. Sedangkan fungsi kedua, bertujuan menciptakan kondisi sosial ekonomi, dan politik baru dengan meninggalkan pola yang lama, dengan cara mendorong terjadinya perubahan perilaku dari yang lama ke yang baru. Mekanisme yang digunakan penekanan pada pelayanan optimal atau prima, pemberian insentif/fasilitas, dan pengenaan sanksi dalam rangka menciptakan kondisi yang diinginkan. 2. Peraturan Daerah mengatur suatu bidang tertentu harus menetapkan objek yang diatur jelas. Hal tersebut dimaksudkan agar substansinya tidak saling tumpang-tindih dengan peraturan perundang-undangan lainnya yang saling berkaitan. Di samping itu, kejelasan objek akan memberikan kontribusi terhadap penetapan perilaku subjek yang diatur, sehingga lebih terarah pada efektivitas pencapaian maksud dan tujuan dibentuk Rancangan Peraturan Daerah. Berdasarkan uraian tersebut di atas, bahwa Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian memuat ketentuan yang lebih kongkret sehingga dapat memberikan dasar hukum dalam pembangunan industri di Provinsi DKI Jakarta dan mudah dipahami dan dilaksanakan baik oleh aparat Pemerintah Daerah maupun masyarakat termasuk pelaku usaha. Warga masyarakat Jakarta yang majemuk dengan kondisi sosial ekonomi yang beragam tidak mempunyai kemampuan yang sama untuk memahami atau menafsirkan norma atau aturan yang termuat dalam Peraturan Daerah, apalagi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Prindustrian tidak memberikan penafsiran berbeda yang dapat merugikan masyarakat, organisasi perindustrian, dan Pemerintah Daerah. Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian sedapat mungkin bersifat teknis operasional tapi regulatif dan tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda dan mudah dipahami.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 18
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, salah satu sasaran ingin dicapai dalam menyusunan Naskah Akademik ini adalah harmonisasi baik secara vertikal maupun horizontal dan sesuai kebutuhan. Prinsip harmonis tersebut merupakan salah satu prinsip utama yang diperhatikan dalam penyusunan materi muatan dari suatu peraturan perundang-undangan termasuk Peraturan Daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011. Mencermati uraian di atas, Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian ini sebagaimana telah diuraikan sebelumnya menggunakan metode pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach). Pendekatan tersebut dilakukan pengkajian berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan industri dengan cara penafsiran, yaitu mencari dan menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan sesuai yang dikehendaki dan yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. Di dalam teori hukum, ada beberapa penafsiran, yaitu: 1. penafsiran tata bahasa (gramatikal), yaitu cara penafsiran berdasarkan pada filosofis dan sosiologis peraturan perundang-undangan dengan berpedoman pada arti perkataan dalam hubungan satu sama lain dalam kalimat yang dipakai peraturan perundang-undangan; 2. penafsiran sahih (autentik/resmi), yaitu penafsiran terhadap arti kata-kata sebagaimana yang diberikan pembentuk peraturan perundang-undangan; 3. penafsiran historis, yaitu sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah terjadinya hukum tersebut, dan sejarah peraturan perundang-undangan, yang diselidiki atau diteliti maksud dari pembentuk peraturan perundang-undangan pada waktu membuat peraturan perundangundangan itu; 4. penafsiran sistematis (dogmatis), yaitu penafsiran susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan maupun dengan peraturan perundang-undangan lain; 5. penafsiran nasional, yaitu penafsiran memiliki sesuai tindakannya dengan sistem hukum yang berlaku;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 19
6. penafsiran teleologis (sosiologis), yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan peraturan perundang-undangan itu; 7. penafsiran ekstensif, yaitu penafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan perundang-undangan sehingga dapat dimaksudkan; 8. penafsiran restriktif, yaitu penafsiran dengan membatasi atau mem-persempit arti kata-kata yang terkadung dalam peraturan perundang-undangan; 9. penafsiran analogis, yaitu memberi tafsiran pada sesuatu peraturan perundang-undangan dengan memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai azas hukumnya, sehingga sesuatu yang sebenarnya tidak dimasukkan lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. Beberapa metode penafsiran tersebut di atas digunakan dalam penyusunan naskah akademik ini.
2.3. Metode Pengumpulan Data dan Informasi Kegiatan penyusunan naskah akademik termasuk penelitian hukum normatif, maka diperlukan data dan informasi dari bahan hukum primer, sekunder, dan tertier.33 1. bahan hukum primer, yakni peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kedudukan, peran, dan fungsi Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagaimana diatur dalam UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia beserta peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Daerah No. 12 Tahun 2014 tentang Organisasi Perangkat Daerah, dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan perindustrian, antara lain UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
33
Soekanto, Suryono, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, 2006, hlm 12
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 20
2. bahan hukum sekunder, yakni bahan bacaan atau literatur yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti: hasil-hasil penelitian dan literatur berkaitan dengan asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, perindustrian, penegakan pelanggaran atas Peraturan Daerah, penyidikan, dan sebagainya. 3. bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang berupa kamus hukum dan ensiklopedi ilmu hukum bila diperlukan. Untuk mendapatkan data dan informasi sebagaimana dimaksud di atas, metode yang digunakan, sebagai berikut: 1. Studi kepustakaan Melalui studi kepustakaan diharapkan dapat menggali data dan informasi yang diperlukan berhubungan dengan substansi naskah akademik ini dengan prinsip-prinsip rasional, kritis, objektif, dan impersonal dari berbagai sumber. 2. Pengumpulan data sekunder Data sekunder diperoleh selain melalui diskusi berkaitan aspek yang harus diperhatikan dalam penyusunan substansi atau materi muatan Rancangan Peraturan Daerah dan naskah akademik. Berdasarkan metode pengumpulan data dan informasi sebagaimana diuraian di atas, diharapkan maksud dan tujuan penyusunan naskah akademik ini tercapai sehingga alasan (urgensi) dibentuknya Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
2.4. Metode Analisis Memperhatikan kompleksitas permasalahan yang dihadapi dan prinsip yang perlu diperhatikan agar penyusunan naskah akademik dapat memberikan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis untuk materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian sejalan asas dan prinsip dalam
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 21
pembentukan peraturan perundang-udangan, maka analisis penyusunan naskah akademik ini menggunakan pendekatan sebagai berikut: 1. empiris, yaitu norma-norma yang harus diperhatikan dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan (dalam hal ini Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian). Di dalam analisis ini disampaikan hak, kewajiban, dan tanggung jawab pelaku usaha dan masyarakat serta tugas, wewenang, dan tanggung jawab Pemerintah Daerah termasuk pembinaan secara umum terkait dengan aspek kelembagaan; 2. yuridis, yaitu aspek yang perlu diperhatikan dalam perumusan muatan materi Peraturan Daerah berdasarkan analisis yang disampaikan dalam naskah akademik. Metode digunakan context of justification dengan cara menggali peraturan perundang-undangan terkait dan penyusunan naskah akademik ini. 3. teori hukum, dimasudkan agar naskah akademik memenuhi teori hukum, antara lain: (a) aspek yang perlu diperhatikan di dalam pembentukan norma termasuk perumusan sanksi administrasi dan pidana atau bentuk-bentuk pelanggaran; (b) konstruksi bentuk sanksi baik sanksi administrasi; (c) mekanisme pengendalian. 4 bahasa hukum, pendekatan ini dimaksudkan agar bahasa Rancangan Peraturan Daerah sesuai kaidah bahasa hukum namun mudah dipahami setiap orang tanpa mengabaikan kaidah Bahasa Indonesia. Salah satu muatan materi Rancangan Peraturan Daerah termasuk penyusunan naskah akademik ini, yang diperhatikan, meliputi: (a) kalimat merupakan suatu beban kewajiban substansial; (b) pemenuhan peran, hak dan kewajiban berdasarkan tatanan prosedur, mekanisme, dan kelembagaan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan; (c) penerapan aspek yuridis mengisyaratkan diberlakukan suatu kewajiban dan/atau wewenang beserta kewajiban hukum; (d) susunan kalimat mengancu berbagai gaya bahasa hukum, yaitu: gaya bahasa denotatif yang memberikan makna konseptual, gaya bahasa referensial yang memberikan makna petunjuk denotasional, dan gaya bahasa yang menunjukan adanya suatu ironi kritik yang bersifat etis terhadap keadaan dan/atau peristiwa hukum tertentu.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 22
Melalui pendekatan tersebut di atas, diharapkan naskah akademik ini dapat menjadi acuan dalam penyusunan dan/atau pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian, sehingga dapat memenuhi maksud dan tujuan yang diharapkan dari kegiatan penyusunan naskah akademik ini, dan sesuai diharapkan masyarakat, pelaku usaha di bidang industri, dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 2 - 23
Bab 3 GAMBARAN UMUM
3.1. Perekonomian Provinsi DKI Jakarta Kedudukan dan fungsi Provinsi DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan ekonomi, pemerintahan, dan sosial, sehingga Provinsi DKI Jakarta selama ini berperan sebagai indikator perekonomian nasional. Dalam RTRW 2030 dijelaskan bahwa struktur perekonomian DKI Jakarta dibentuk oleh sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan sebagai unggulan, kemudian diikuti oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran; dan industri pengolahan. Berdasarkan struktur perekonomian tersebut mempertegas peran DKI Jakarta sebagai pusat jasa, keuangan, dan perdagangan pada skala nasional. Kondisi tersebut tercermin dari laju pertumbuhan terbesar selama tahun 2013 adalah sektor angkutan dan telekomunikasi, sedangkan perdagangan pertumbuhan terbesar, sektor ekonomi lain tetap menjadi penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta meskipun pertumbuhan sektor bersangkutan relatif kecil, demikian pula sebaliknya. Tabel-3.1 Struktur PDRB menurut Lapangan Usaha, Tahun 2013 No.
Lapangan Usaha
1. Pertanian 2. Pertambangan Industri Pengolahan 3. 4. Listrik, Gas, Air Minum 5. Konstruksi 6. Perdagangan, Hotel & Restoran 7. Angkutan dan Telekomunikasi 8. Keuangan 9. Jasa Lainnya Sumber : BPS, 2013
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Distribusi (dalam %) PDRB PDRB 2000 0.08 0,07 0,44 0,20 15,23 13,65 0,88 0,60 11,16 10,44 21,11 22,08 10,49 13,82 27,75 27,21 12,85 11,94
Bab 3 - 1
Ditinjau dari penyerapan tenaga kerja, sektor yang menjadi penyerap tenaga kerja terbesar perdagangan (34,81 persen), industri pengolahan (14,65 persen), dan jasa-jasa (23,96 persen). Selama tahun 2010 sampai tahun 2014 sektor keuangan menyerap tenaga kerja lebih besar dibandingkan sektor lainnya. Perubahan jumlah tenaga kerja yang meningkat di sektor keuangan dikarenakan DKI Jakarta merupakan pusat kegiatan ekonomi di Indonesia. Selain itu kegiatan di sektor keuangan akan semakin meningkat seiring meningkatnya sektor ekonomi yang mendukung perdagangan dan bisnis. Tabel-3-2 Jumlah Orang yang Bekerja menurut Lapangan Usaha, Tahun 2014 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas, Air Minum Konstruksi Perdagangan, Hotel & Restoran Angkutan dan Telekomunikasi Keuangan Jasa Lainnya
2010
2014
Perubahan
17.643 603.903 14.407 165.481 1.458.969 399.272 296.373 1.229.166 4.208.905
10.707 685.494 15.551 199.594 1.628.861 420.223 495.850 1.120.981 4.679.838
-6.936 81.591 1.144 34.113 169.892 20.951 199.477 -108.185 643.574
Sumber : BPS, 2015
Berdasarkan jumlah perusahaan industri pengolahan di DKI Jakarta dalam beberapa tahun terakhir mengalami pengurangan. Tahun 2011 berkurang dari 8,6 persen (137 perusahaan) dibandingkan tahun 2010. Sementara tahun 2010 berkurang sebanyak 111 perusahaan. Berdasarkan jenis perusahaan, tahun 2011 industri yang bergerak di bidang pakaian jadi mendominasi sebesar 24 persen dari seluruh industri pengolahan yang ada, kemudian diikuti industri makanan sebesar 12 persen dan industri barang dari karet dan plastik sebesar 11,03 persen. Selama kurun waktu 2009-2011 berturut-turut jenis industri tersebut menunjukan posisi yang sama. Pengurangan industri pengolahan di Provinsi DKI Jakarta konsekuensi dari kebijakan kawasan industri sebagaimana ditetapkan dalam PP No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4987, yang menyatakan dalam Pasal 7 sebagai berikut:
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 3 - 2
Perusahaan industri yang akan menjalankan industri wajib berlokasi di Kawasan Industri, kecualikan bagi: (a) industri menggunakan bahan baku dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus; (b) industri mikro, kecil, dan menengah; (c) industri yang akan menjalankan industri dan berlokasi di daerah kabupaten/kota yang belum memiliki kawasan industri atau yang telah memiliki kawasan industri namun seluruh kaveling industri dalam kawasan industrinya telah habis.
Keterbatasan lahan dimiliki Provinsi DKI Jakarta menyebabkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak dapat memfasilitasi penyediaan lahan untuk kawasan industri dengan luas paling rendah 50 (lima puluh) hektar dalam satu hamparan dan luas lahan kawasan industri tertentu untuk usaha mikro, kecil, dan menengah paling rendah 5 (lima) hektar dalam satu hamparan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 10 PP No. 24 Tahun 2009. Sementara Pemerintah Daerah di sekitar DKI Jakarta (Bogor, Tanggerang, dan Bekasi) masih memiliki lahan yang luas, sehingga kawasan industri lebih banyak di daerah tersebut. Kondisi tersebut menyebabkan jumlah industri pengolahan di daerah sekitar Provinsi DKI Jakarta (Bogor, Tanggerang, dan Bekasi) terus mengalami peningkatan.
Tabel 3.3 Laju Pertumbuhan Tahunan Rata-rata Sektor di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2001 – 2011 (%) No.
Sektor
2001- 2007 (%/Tahun)
2007 - 2011 (%/Tahun)
1.
Pertanian
-1,08
14,45
2.
Pertambangan dan Penggalian
-3.90
19,30
3.
Industri Pengolahan
5,29
14,05
4.
Listrik dan Air Bersih
6,00
13,07
5.
Konstruksi
6,50
15,14
6.
Perdagangan, Hotel, dan Restoran
7,47
15,38
7.
Pengangkutan dan Komunikasi
16,16
18,22
4,26
13,06
5,61
14,54
8. 9.
Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
Sumber : Penghitungan data BPS DKI Jakarta
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 3 - 3
Dengan mempertimbangkan kontribusi sektor tersier secara keseluruhan signifikan dan relatif tidak mengalami fluktuasi yang besar, maka pada masa mendatang pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta tetap bertumpu pada sektor keuangan, perdagangan, dan jasa sebagai sektor basis. Oleh sebab itu, dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Tahun 2005-2025 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2012, Provinsi DKI Jakarta diarahkan sebagai kota jasa (service city). Sedangkan sektor lain yang memberikan kontribusi terhadap perekonomian DKI Jakarta adalah industri pengolahan, walaupun demikian tendensinya menurun secara signifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005 kontribusinya tercatat sekitar 27,88% dan menurun sekitar 15% pada periode 2007 - 2011. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan kebijakan pengembangan industri yang hemat energi, hemat air, ramah lingkungan, dan padat inovasi dan teknologi, masa mendatang kegiatan usaha industri diarahkan pengembangannya di Kawasan Ekonomi Strategis (KES) Marunda di bagian Utara Jakarta. Jumlah industri di Provinsi DKI Jakarta akan terus mengalami penurunan sebagai konseksuensi kebijakan penataan ruang yang ditetapkan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 dan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi. Arah pengembangan industri yang ditetapkan dalam produk hukum daerah tersebut, pada peningkatan pertumbuhan ekonomi berbasis ekonomi pada industri kreatif dan industri menggunakan teknologi tinggi,34 dengan strategi meningkatkan kapasitas dan intensitas pusat kegiatan primer dan sekunder untuk mewadahi aktivitas industri kreatif berskala regional, nasional, dan internasional.
34
Yang dimaksud dengan industri kreatif menurut penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, adalah industri yang mentransformasi dan memanfaatkan kreativitas, keterampilan, dan kekayaan intelektual untuk menghasilkan barang dan jasa. Sedangkan yang dimaksud industri teknologi tinggi menurut penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf c Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030, adalah industri yang tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 3 - 4
Sasaran yang hendak dicapai berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Tahun 2005-2025 sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2012, antara lain pengembangan industri kreatif serta industri kecil dan menengah yang mandiri dan berwawasan lingkungan. Jumlah perusahaan untuk industri besar dan sedang sebanyak 1.699 perusahaan, dengan tenaga kerja untuk produksi sebanyak 253.666 jiwa dan tenaga kerja untuk lainnya sebesar 63.784 jiwa. Jumlah perusahaan, tenaga kerja dan nilai produksi Industri Besar dan Sedang menurut Kota Administrasi di Provinsi DKI Jakarta tahun 2009 dilihat pada Tabel 4.7, dimana Kota Administrasi Jakarta Utara perusahaan terbanyak yaitu 686 perusahaan dengan menyerap tenaga kerja mencapai 156.789 jiwa dan nilai produksi Rp. 114.285.772.858.000,. Sedangkan untuk Provinsi DKI Jakarta sendiri pada tahun 2009 memiliki 1.699 perusahaan dengan jumlah tenaga kerja yang terserap sebanyak 317.450 jiwa dan nilai produksi sebesar Rp. 230.085.293.426.000,-
Tabel 3.4 Jumlah Perusahaan, Tenaga Kerja, dan Nilai Produksi Industri Besar dan Sedang Menurut Kota Administrasi, Tahun 2009 Kota Adm
Perusahaan
Tenaga Kerja
Nilai Produksi (000 Rp.)
Jakarta Pusat Jakarta Selatan Jakarta Barat Jakarta Utara Jakarta Timur Total 2008 2007 2006 2005 2004
64 92 537 686 320 1.699 1.866 2.566 2.955 1.955 1.842
5.594 8.152 51.581 156.749 95.374 317.450 351.084 378.668 407.859 371.573 360.816
1.348.077.371 2.250.491.297 15.024.895.037 114.285.772.858 97.176.056.863 230.085.293.426 215.648.073.413 177.831.755.291 167.187.683.108 138.651.230.808 127.374.241.943
Sumber : Jakarta Dalam Angka, 2012
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 3 - 5
Perkembangan industri besar dan sedang di Provinsi DKI Jakarta menurut klasifikasi industri dapat dilihat pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5. Jumlah Perusahaan dan Tenaga Kerja Industri Besar dan Sedang menurut Klasifikasi Industri, Tahun 2009 Tenaga Kerja Kode
Klasifikasi Industri
Perusahaan
Produksi
Jumlah
Lainnya
15
Makanan dan Minuman
208
18.548
7.873
26.421
17
Tekstil
137
16.584
2.067
18.651
18
Pakaian Jadi
382
67.072
7.711
74.783
19
Kulit dan Barang Dari Kulit
63
4.537
685
5.222
20
Kayu, Barang Dari Kayu (Tidak Termasuk Furnitur) dan BarangBarang Anyaman
23
1.495
360
1.855
21
Kertas dan Barang Dari Kertas
40
1.525
335
1.860
22
Penerbitan, Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman
163
11.980
3.240
15.220
23
Batubara, Pengilangan Minyak Bumi, Pengolahan Gas Bumi, Barang-Barang Dari Hasil Pengilangan Minyak Bumi dan Bahan Bakar Nuklir
2
182
52
234
24
Kimia dan Barang-Barang Dari Bahan Kimia
105
20.943
17.233
38.176
25
Barang Dari Karet dan Plastik
183
16.395
3.002
19.397
26
Barang Galian Bukan Logam
21
7.320
2.817
10.137
27
Logam Dasar
29
5.060
1.339
6.399
28
Barang-Barang Dari Logam Kecuali Mesin dan Peralatannya
96
10.849
2.966
13.815
29
Mesin dan Perlengkapannya
35
5.677
2.522
8.199
35
9.433
1.477
10.910
413
58
471
1.056
232
1.288
22.820
3.621
26.441
14.540
3.791
18.331
16.612
2.333
18.945
625
70
695
253.666
63.784
317.450
31 32 33
34 35 36 37
Mesin Listrik Lainnya dan Perlengkapannya Radio, Televisi dan Peralatan Komunikasi Serta Perlengkapannya Peralatan Kedokteran, Alat-Alat Ukur, Peralatan Navigasi, Peralatan Optik, Jam dan Lonceng Kendaraan Bermotor Roda 4 atau Lebih Alat Angkutan, Selain Kendaraan Bermotor Roda 4 atau Lebih Furnitur dan Industri Pengolahan Lainnya Daur Ulang Jumlah/Total
7 9
35 21 92 13 1.699
Sumber : Jakarta Dalam Angka, 2012
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 3 - 6
Menurut jenis industri, dari 1.699 unit industri besar dan sedang di DKI Jakarta pada tahun 2009 menunjukkan dominasi industri pakaian jadi dengan 382 unit dan industri makanan minuman dengan 208 unit. Sedangkan jumlah unit usaha pada jenis usaha industri lain sebagaimana disajikan tabel berikut ini. Tabel 3.6 Jumlah Industri Menurut Jenis di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2009
No.
Jenis Industri
Jumlah Industri (Unit)
Jumlah Tenaga Kerja (Orang)
1.
Makanan dan Minuman
208
26.421
2.
Tekstil
137
18.651
3.
Pakaian Jadi
382
74.783
4.
Kulit dan Alas Kaki
63
5.222
5.
Kayu, Rotan, dan Bambu
23
1.855
6.
Kertas dan Sejenisnya
40
1.860
7.
Penerbitan dan Percetakan
163
15.220
8.
Batubara dan Pengolahan Minyak Bumi
2
234
9.
Kimia dan Barang dari Bahan Kimia
105
38.176
10.
Karet, Barang dari Karet, dan Plastik`
183
19.397
11.
Barang Galian Bukan Logam
21
10.137
12.
Logam Dasar
29
6.399
13.
Barang dari Logam, kecuali Mesin dan Peralatannya
96
13.815
14.
Mesin dan Peralatannya
35
8.199
15.
Mesin Lainnya dan Perlengkapannya
35
10.910
16.
Radio, TV, dan Peralatan Komunikasi
7
471
17.
Peralatan Kedokteran
9
1.288
18.
Kendaraan Bermotor
35
26.441
19.
Alat Angkutan, selain Kendaraan Roda Empat
21
18.331
20.
Furniture dan Pengolahan Lainnya
92
18.945
21.
Daur Ulang Jumlah
13
695
1.699
317.450
Sumber : DKI Jakarta Dalam Angka, BPS DKI Jakarta, 2011
3.2. Perkembangan Industri Kecil dan Menengah (IKM) Tidak dapat dipungkiri sejak dicanangkan industrialisasi pada Pelita I hingga saat ini telah memberikan kontribusi dalam berbagai bidang pembangunan. Industri Kecil dan Menengah (IKM) terbukti bertahan dalam menghadapi berbagai krisis yang terjadi di Indonesia dan IKM merupakan lapangan pekerjaan yang penampung/penyerap tenaga kerja terbesar. Pada saat terjadi krisis moneter
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 3 - 7
tahun 1997-1998, IKM bertahan dan menjadi tulang punggung perekonomian Provinsi DKI Jakarta pada saat itu, sementara industri besar mengalami rasionalisasi karyawan bahkan menutup perusahaan. Berdasarkan hal tersebut sudah sewajarnya kalau pemerintah berpihak dalam membantu para pengusaha IKM agar dapat bersaing dan menjadi salah satu penggerak roda perekonomian Provinsi DKI Jakarta.
Tabel 3.7 Jumlah Industri Kecil dan Menengah di Provinsi DKI Jakarta, Tahun 2012 No
Wilayah
Jumlah Unit Usaha
Tenaga Kerja
Investasi (Milyar)
1
Jakarta Pusat
4.329
9.109
422,350
2
Jakarta Selatan
3.481
8.500
3.689,000
3
Jakarta Barat
7.200
197.898
1.046,400
4
Jakarta Utara
7.178
18.578
1.273,000
5
Jakarta Timur
6.989
103.897
4.265,000
6
Kepulauan Seribu
3
11
0,035
29.180
337.993
10.695,785
Jumlah
Sumber : Diolah Dinas Perindustrian dan Energi, 2012
Jumlah Industri Kecil dan Menengah (IKM) di Provinsi DKI Jakarta sebesar 29.180 unit usaha industri dengan jumlah seluruh tenaga kerja IKM sebanyak 337.993 jiwa dan nilai investasi sebesar Rp. 10. 695,785 Milyar. Berdasarkan Kota Administrasi, Jakarta Pusat terdapat 4.329 uni usaha IKM, dengan jumlah tenaga kerja 9.109 jiwa dan nilai investasi sebesar Rp. 422,350 Milyar. Jakarta Barat terdapat 7.200 unit usaha IKM dengan jumlah tenaga kerja 197.898 jiwa dan nilai investai Rp. 1.046,400 Milyar. Jakarta Selatan terdapat 3.481 unit usaha IKM, dengan jumlah tenaga kerja 8.500 jiwa dan nilai investai Rp. 3.689 Milyar. Jakarta Utara terdapat 7.178 unit usaha IKM, dengan jumlah tenaga kerja 18.578 jiwa dan nilai investai Rp. 1.273 Milyar. Kota Administrasi Jakarta Timur terdapat 6.989 unit usaha IKM, dengan jumlah tenaga kerja 103.897 jiwa dan nilai investai Rp. 4.265 Milyar. Kota Administratif Kepulauan Seribu terdapat 3 unit usaha IKM dengan jumlah tenaga kerja sebesar 11 orang dan nilai investasi Rp. 0,035 Milyar.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 3 - 8
Mencermati peranan IKM tersebut di atas, Pemerintah membuat kebijakan yang dapat mendukung pengembangan IKM pada masa akan datang seperti peningkatan mutu produksi, membantu dalam menembus pasar domestik dan global serta memfasilitasi dalam pengembangan jaringan diantara sesama pengusaha IKM. Sehubungan itu, perhatian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menumbuhkembangkan IKM tidak berlebihan, karena IKM menyerap banyak tenaga kerja, menggunakan sumberdaya lokal, dan hemat penggunaan lahan atau ruang, dan ramah lingkungan. Walaupun demikian masih ada kendala yang dapat menghambat tumbuh berkembangnya IKM. Kendala tersebut dapat dijadikan sebagai kebijakan dan strategi dalam pembinaan dan pengembangan IKM dimasa mendatang. Kendala yang dihadapi IKM antara lain belum mampu bersaing dengan kompetitor besar dan/atau asing, keterbatasan akses pasar, permodalan, dan manajemen. Di lain pihak sejak dilaksanakan otonomi daerah berasaskan desentralisasi, daerah diberikan wewenang menetapkan kebijakan berdasarkan urusan pemerintahan yang menjadi wewenangnya, sehingga berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah cenderung bersifat sektoral dan turut mewarnai perkembangan IKM. Hal tersebut menjadi tantangan bagi Dinas Perindustrian dan Energi Provinsi DKI Jakarta dalam memberdayakan IKM dalam rangka mendukung pertumbuhan perekonomian Provinsi DKI Jakarta sekaligus penciptaan lapangan kerja. Untuk itu, produk IKM selain mampu bersaing dengan produk dari luar negeri (globalisasi) dan Asean China Free Trade Agreement (ACFTA). Tantangan lain yang dihadapi Dinas Perindustrian dan Energi Provinsi DKI Jakarta dalam memberdayakan industri, menurut Pasal 26 ayat (4) huruf d UU No. 29 Tahun 2007, bahwa urusan pemerintahan di bidang industri menjadi kewenangan Gubernur untuk melakukan koordinasi dengan Pemerintah Pusat dan Daerah lain terutama dengan daerah sekitar Provinsi DKI Jakarta. Dari beberapa hasil pengamatan dan isu yang berkembang dalam berbagai perspektif yang perlu diperhatikan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta baik dalam pembinaan IKM yang sudah dilakukan maupun yang akan dilakukan, antara lain: (1) perlu dilakukan harmonisasi kebijakan yang menghambat pertumbuhan IKM.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 3 - 9
Dalam arti ketidaksesuaian antara komitmen politik untuk mengembangkan IKM secara nyata ditataran operasional, seperti dukungan sumber daya, prasarana dan sarana penunjang, bantuan teknik, insentif, dan sebagainya; (2) banyak pola bantuan teknis yang kurang efektif baik dari Pemerintah Pusat langsung maupun peran serta pelaku usaha dan pelaku indusri yang penerapannya belum mempertimbangkan aspek kelayakan, tidak didasarkan kondisi spesifik obyek binaan, serta kurang konsisten dukungan sumber daya yang diberikan; (3) pendekatan pembinaan dan pengembangan belum komprehensif atau terpadu dalam pelaksanaan atau masih rendahnya koordinasi antar sektor; (4) banyaknya program pemberdayaan IKM dalam bentuk program dan kegiatan penyuluhan dan pelatihan akan tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan nyata dari obyek binaan; (5) peranserta Pemerintah Pusat termasuk sistem insentif belum menyentuh kebutuhan sektor riil dari objek binaan. Pengembangan sistem insentif mengalami hambatan karena cara pandang berbeda dan untuk kepentingan jangka pendek, serta lemahnya pengawasan; (6) masih ada keenganan sebagian pelaku IKM untuk melakukan perubahan yang bersifat modernisasi dikarenakan faktor sosial dan budaya; (7) pola pikir konseptual belum komprehensif dalam penyusunan
strategi
dan
program
dengan
masalah
dihadapi,
sehingga
pembinaan kurang berdayaguna dan berhasilguna.
3.3. Perkembangan Industri Kreatif Definisi industri kreatif menurut Kementerian Perdagangan, adalah industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeskploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. Sementara ekonomi kreatif didefinisikan sebagai sistem kegiatan manusia berkaitan dengan produksi, distribusi, pertukaran serta konsumsi barang dan jasa yang bernilai kultural, artistik dan hiburan. Ekonomi kreatif bersumber pada kegiatan ekonomi dari industri kreatif. Dari definisi tersebut, nilai ekonomi dari suatu produk atau jasa dimasa mendatang (era kreatif) tidak lagi ditentukan oleh bahan baku atau sistem
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 3 - 10
produksi seperti pada era industri, tetapi pada pemanfaatan kreativitas dan inovasi. Industri tidak dapat lagi bersaing di pasar global hanya mengandalkan harga atau mutu produk saja melainkan bersaing berbasiskan inovasi, kreativitas, dan imajinasi. Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia tidak memiliki sumber daya alam seperti daerah lain, namun memiliki potensi dalam pengembangan industri kreatif, karena memiliki sumber daya manusia (SDM) yang memadai, dengan mobilitas yang tinggi, suasana kota Jakarta yang torelan dan multibudaya, serta atmosfer kerja yang kondusif oleh wirausaha muda dengan inovasi baru, menjadikan industri kreatif
dapat tumbuhberkembang dan
memberikan kontribusi berarti bagi pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta. Daya tarik kota Jakarta bagi pendatang muda dari luar daerah DKI Jakarta, keberadaan berbagai perguruan tinggi secara tidak langsung memberikan dukungan pengadaan calon pekerja berpengetahuan dan berketerampilan tinggi, sekaligus potensi bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menjadikan kota Jakarta sebagai salah satu kota kreatif di Indonesia. Kemitraan dengan perguruan tinggi untuk menyiapkan SDM yang kreatif dengan fokus pada penyiapan wirausaha muda yang inovatif dan profesional. Menurut Richard Florida dalam bukunya The Creative Class Theory, bahwa keberhasilan suatu kota menjadi kota kreatif ditentukan oleh 3 (tiga) faktor, yaitu talenta, toleransi, dan teknologi (3T). Faktor talenta meliputi aspek pekerja kreatif, aspek budaya meneliti, dan aspek modal, sumber daya manusia (SDM). Kreativitas merupakan jantungnya inovasi, maka pekerja kreatif menentukan kelangsungan industri kreatif. Pekerja dibagi ke dalam dua kategori, yaitu pekerja kreatif (creative class) dan pekerja biasa (working class) yaitu pekerja di bidang pelayanan dan pekerja di bidang pertanian. Semakin tinggi proporsi pekerja "inti superkreatif", semakin tinggi kinerja ekonomi industri kreatif dari kota kreatif. Akan tetapi, Richard mengingatkan, sekalipun pekerja kreatif pengendali pertumbuhan utama, kelas-kelas pekerja lain juga dibutuhkan. Faktor toleransi meliputi aspek sikap, aspek nilai, dan aspek ekspresi diri. Aspek sikap dinilai dari sikap terhadap minoritas, keterbukaan orang-orang asalnya berbeda, kesempatan pekerjaan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 3 - 11
yang tersedia bagi warga bukan putra daerah. Aspek nilai diukur dari sejauh mana nilai-nilai tradisional asli daerah bisa hidup berdampingan secara harmonis dengan nilai-nilai modern dan sekuler. Aspek ekspresi diri diukur dari sejauh mana suatu kota menghormati hak individu dan kebebasan mengekspresikan dirinya. Aspek tersebut dimiliki Provinsi DKI Jakarta. Industri kreatif cocok bagi wirausaha inovatif muda dari perguruan tinggi mengawali kariernya di dunia usaha, namun berdasarkan data Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional lebih dari 80% lulusan S-1 memilih bekerja dan hanya 4% memilih memulai usaha, bahkan cenderung dalam beberapa tahun terakhir lebih memilih menjadi pengawai negeri sipil (PNS). Kenyataan tersebut diperkuat hasil riset Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional salah satu kesimpulannya, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin rendah kemandiriannya. Hal tersebut dapat dipahami mengapa lulusan perguruan tinggi kurang tertarik berkarier menjadi wirausaha karena dituntut kemandirian yang tinggi. Di masa mendatang diperlukan pekerjaan yang memiliki keahlian atau keterampilan tertentu. Pekerja kontrak yang fleksibel dan mobile, self-employed, dan freelances, semakin meluas pada usaha mikro, kecil, dan menengah, serta usaha besar membutuhkan spesialisasi operasi/produksi untuk menghasilkan suatu jenis barang/jasa tertentu. Prospek industri kreatif menjanjikan kesempatan kerja, kesejahteraan, dan pertumbuhan ekonomi daerah. Dengan demikian, pembelajaran life skills seperti pendidikan kewirausahaan inovatif menjadi arah dan strategi dalam pengembangan sumber daya manusia di bidang industri dalam rangka menunjang terwujudnya tujuan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa setiap daerah perlu berkompetisi secara positif dengan daerah lain dalam meraih perhatian (attention), pengaruh (influence), pasar (market), tujuan bisnis dan investasi. Di beberapa negara saat ini sedang berkompetisi mengembangan industri kreatif dengan cara masing-masing sesuai kemampuan yang ada pada negara bersangkutan, seperti Singapura memasang iklan dalam surat kabar Indonesia edisi bahasa Inggris beberapa tahun lalu, mengundang generasi muda Indonesia
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 3 - 12
yang memiliki bakat menjadi warga negara Singapura asal memiliki konsep bisnis yang kuat dan dituangkan dalam rencana bisnis yang komprehensif. Contoh lain, iklan salah satu televisi di Australia mengundang orang muda dari negara manapun berimigrasi ke kota Adelaide Australia Selatan sebagai wirausaha inovatif dengan menjanjikan berbagai kemudahan dan dukungan menggiurkan. Ada yang menitikberatkan pada industri usaha kreatif dan budaya (creative cultural industry), ada yang menitikberatkan pada lapangan usaha kreatif (creative industry), dan juga hak kekayaan intelektual seperti hak cipta (copyright industry). Indonesia mengembangkan industri kreatif dengan pendekatan ekonomi kreatif sebagaimana termuat dalam buku ”Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025: Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009-2015”, antara lain menyatakan bahwa “industri kreatif merupakan bagian tak terpisahkan dari ekonomi kreatif”. Dengan kata lain ekonomi kreatif adalah ekonomi yang ditopang antara lain industri kreatif. Pengembangan ekonomi kreatif tidak hanya menekankan pada pengembangan industri yang termasuk dalam kelompok industri kreatif, melainkan juga pada pengembangan berbagai faktor yang signifikan dalam ekonomi kreatif, yaitu sumber daya manusia, bahan baku, teknologi, tatanan institusi, dan lembaga pembiayaan menjadi komponen pengembangan. Begitu besarnya dampak positif dari industri kreatif terhadap perekonomian, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan perhatian khusus dan memajukan industri kreatif di DKI Jakarta. Selain alasan tersebut potensi industri kreatif sangat besar dan membutuhkan sentuhan kreatif dari generasi muda agar dapat tereksploitasi dan terkelola dengan baik. Penduduk DKI Jakarta ± 9,5 juta jiwa (BPS, 2010) memiliki potensi industri kreatif yang sangat besar, karena sebagian besar penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja berpendidikan menengah ke atas. Pada Tahun 2007, nilai PDRB Industri Kreatif DKI Jakarta sebesar Rp 89,813 trilyun rupiah dan memberikan kontribusi kepada perekonomian sebesar 15,51% dari PDRB DKI Jakarta. Dengan membandingkan nilai industri kreatif DKI Jakarta tahun 2007 dengan industri kreatif nasional pada tahun 2002-2006,
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 3 - 13
nilainya mencapai Rp 104,637 trilyun, dan memberikan kontribusi kepada PDB sebesar 6,28%, maka nilai industri kreatif di DKI Jakarta adalah besar. Tabel 3.8 Kontribusi Industri Kreatif terhadap PDRB DKI Jakarta Tahun 2007 Menurut Sektor Primer, Sekunder dan Tersier No. 1. 2. 3.
Sektor Primer: Tidak ada industri kreatif yang masuk dalam golongan industri kreatif Sekunde: Industri pengolahan Tersier: Perdagangan produk industri Jasa Kreatif JUMLAH
PDRB (Jutaan Rp)
Rata-rata Kontribusi Thd PDRB
-
-
6.627.358
11,45
20.726.802 62.458.888
35,81 10,79
89.813.048
15,51
Sumber: Hasil Pengolahan
Struktur perekonomian DKI Jakarta mengarah pada jasa, maka industri kreatif di DKI Jakarta lebih dominan pada sektor yang bersifat tersier. Kontribusi tersebut juga terlihat dari nilai PDB yang dihasilkan oleh masing-masing sektor. Selain itu dengan membandingkan nilai tambah industri kreatif terhadap PDRB atau PDB suatu wilayahnya, maka perekonomian di DKI Jakarta terdapat industri kreatif yang besar pula. Namun, bila dibandingkan seluruh sektor di dalam perekonomian, nilai kontribusi industri kreatif di DKI Jakarta menempati peringkat kedua setelah sektor jasa keuangan seperti bank, non bank dan jasa penunjang keuangan lainnya sebesar 19,52% bagi PDRB DKI Jakarta. Pada peringkat ketiga, kontribusi terhadap perekonomian diberikan oleh sektor kontruksi yang memberikan kontribusi terhadap PDRB sebesar 11,88%
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 3 - 14
Tabel 3.9 Industri Kreatif Yang Penyerapan Tenaga Kerja dan Produktivitas Di Atas Rata-rata Perekonomian DKI Jakarta Sektor Perdagangan bersar, fesyen, kerajinan dan kreatif lain Perdagangan eceran fesyen, kerajinan dan kreatif lain
Tenaga Kerja (TK)
Kontribusi Penyerapan TK
Indeks Jml TK
243.426
6.871
3.916
103.738
2.928
1,669
Jenis Industri
Produktivitas
Indeks
Jasa riset dan pengembangan
534.049
2,877
Jasa multimedia dan komputer Jasa kegiatan radio dan televisi
455,252
2,452
447,169
2,509
Jasa kegiatan drama, musik, bioskop dan hiburan lainnya Jasa impresariat Jasa konsultan arsitek Jasa periklanan Jasa riset pemasaran Industri macammacam wadah dari logam Industri alat-alat musik Industri kemasan dari gelas
376,336
2,027
376,336 375,979
2,027 2,025
302,941 271,468 264,224
1,632 1,462 1,423
244,424
1,317
212,232
1,143
Sumber: BPS, Hasil Pengolahan
Dalam penyerapan tenaga kerja, jumlah seluruh tenaga kerja yang terserap dalam industri kreatif mencapai 616.605 orang, sedangkan jumlah tenaga kerja seluruh DKI Jakarta sebanyak 3.543.028 orang, penyerapan tenaga kerja pada indusri kreati di DKI Jakarta sebesar 17,40%. Penyerapan tenaga industri kreatif dan produktivitas yang dihasilkan industri kreatif terbesar atau di atas angka indeks satu. Jika diperhatikan perkembangan industri kreatif saat ini di Provinsi DKI Jakarta menjadi pilar utama dalam mengembangkan ekonomi kreatif daerah, karena memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat Jakarta dan pendapatan daerah. Oleh sebab itu, potensi industri kreatif memiliki peluang besar bagi Provinsi DKI Jakarta untuk dikembangkan baik di pasar domestik maupun internasional merupakan modal bagi eksistensi industri tersebut. Industri kreatif memberikan harapan baru akan muncul suatu usaha atau kegiatan ekonomi yang lebih banyak mengandalkan sentuhan kreatif individu yang akan membawa ke level kehidupan masyarakat Jakarta yang lebih baik. Produktivitas
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 3 - 15
sektor industri kreatif lebih tinggi dari keseluruhan produktivitas tenaga kerja, karena ekonomi kreatif membawa segenap talenta, bakat, dan hasrat individu menciptakan “nilai tambah” melalui hadirnya produk/jasa yang kreatif. Kemajuan industri kreatif dapat didorong antara lain dengan 5 (lima) cara. Pertama, promosi industri kreatif akan mendorong membesarnya pasar bagi pelaku industri kreatif. Konsumen semakin sadar akan kemampuan industri kreatif Jakarta untuk memenuhi kebutuhannya. Potensi pasar ekspor hasil industri kreatif masyarakat Jakarta di pasar internasional terbuka lebar. Mendayagunakan staf diplomatik negara sahabat yang ada di Jakarta atau pimpinan kantor perusahaan Indonesia yang ada di luar negeri sebagai pemasar, salah satu cara
untuk
memperbesar pasar bisnis kreatif Jakarta. Kedua, peningkatan daya saing. Pengembangan teknologi, ide kreatif, kebijakan dan lingkungan bisnis yang kondusif termasuk “perlindungan bagi personel kreatif” serta peningkatan kompetensi pelaku bisnis terus dilakukan untuk meningkatkan daya saing. Ketiga, penambahan pengalaman. Pengalaman merupakan sumber daya yang tidak bisa ditukar dengan pengetahuan yang didapat secara instan. Melalui proses pembelajaran dari hasil kreasi akan memberi modal bagi penambahan pengalaman berkreasi pelaku bisnis kreatif. Keempat, peningkatan nilai tambah. Kemajuan bisnis industri kreatif akan mendorong peningkatan nilai tambah perekonomian dan bisnis pada umumnya. Kelima, pengembangan kreativitas. Pelaku usaha industri kreatif membutuhkan kreativitas dan inovasi, maka dari itu harus dapat mengeksplorasi potensi kreatif yang dimilikinya untuk menghasilkan karya terbaik. Pemerintah Pusat telah mengembangkan 14 (empat belas) jenis industri kreatif yang menjadi prioritas untuk menjadi perhatian, yaitu: 1. Periklanan Industri periklanan didefinisikan sebagai industri jasa yang mengemas bentuk komunikasi tentang suatu produk, jasa, ide, bentuk promosi, informasi: layanan masyarakat, individu maupun organisasi yang diminta pemasang iklan (individu, organisasi swasta/pemerintah) melalui media tertentu (misal: televisi, radio, cetak, digital signage, internet) bertujuan untuk mempengaruhi,
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 3 - 16
membujuk target individu/masyarakat untuk membeli, mendukung atau sepakat atas hal yang ingin dikomunikasikan. Jenis pekerjaan periklanan merupakan jenis pekerjaan yang mem-butuhkan serta menuntut pengetahuan serta kreativitas yang tinggi. Secara umum klasifikasi pekerja subsektor ini dibedakan dalam 2 (dua) kelompok utama, yaitu: pekerja kreatif serta pekerja pendukung (services). Dalam sebuah biro iklan, umumnya akan memiliki departemen sebagai berikut: account services, creative & interactive, media & public relations dan traffic. Pada perusahaan besar, setiap fungsi dapat dilakukan individu berbeda, tetapi di perusahaan kecil tidak menutup karena beberapa fungsi dapat dilakukan oleh individu yang sama. Kegiatan kreatif yang berkaitan jasa periklanan (komunikasi satu arah dengan menggunakan medium tertentu), meliputi proses kreasi, produksi dan distribusi dari iklan yang dihasilkan, misalnya: riset pasar, perencanaan komunikasi iklan, iklan luar ruang, produksi material iklan, promosi, kampanye relasi publik, tampilan iklan di media cetak (surat kabar, majalah) dan elektronik (televisi dan radio), pemasangan berbagai poster dan gambar, penyebaran selebaran, pamflet, edaran, brosur dan reklame sejenis, distribusi dan delivery advertising materials atau samples, serta penyewaan kolom untuk iklan. 2. Film/Video dan Fotografi Industri kreatif film/video dan forografi merupakan kegiatan kreatif yang berkaitan dengan jasa fotografi, produksi film (termasuk penulisan skenario, sinematografi, dan lain-lain). 3. Musik Semua aktivitas yang menyangkut proses produksi album lagu, rekaman suara, komposisi musik termasuk pertunjukan musik. 4. Arsitektur Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan jasa desain bangunan, perencanaan biaya konstruksi, konservasi bangunan warisan, pengawasan konstruksi baik secara menyeluruh dari level makro (town planning, urban design, landscape
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 3 - 17
architecture) sampai pada level mikro (detail konstruksi, misalnya: arsitektur taman, desain interior). 5. Pasar Seni dan Barang Antik Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan perdagangan barang-barang asli, unik dan langka serta memiliki nilai estetika seni yang tinggi melalui lelang, galeri, toko, pasar swalayan, dan internet, misalnya: alat musik, percetakan, kerajinan, automobile, film, seni rupa dan lukisan. Industri kreatif pasar seni dan barang antik berkaitan dengan pengerjaan maupun perdagangan produkproduk antik termasuk di dalamnya hiasan. 6. Kerajinan Industri kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi produk yang dibuat dihasilkan oleh pengrajin yang berawal dari desain awal sampai dengan proses penyelesaian produknya, antara lain meliputi barang kerajinan yang terbuat dari batu berharga, serat alam maupun buatan, kulit, rotan, bambu, kayu, logam (emas, perak, tembaga, perunggu, besi) kayu, kaca, porselin, kain, marmer, tanah liat, dan kapur. Produk kerajinan pada umumnya diproduksi dalam jumlah yang relatif kecil (bukan produksi massal). 7. Desain Industri kreatif yang terkait dengan kreasi desain grafis, desain interior, desain produk, desain industri, konsultasi identitas perusahaan dan jasa riset pemasaran serta produksi kemasan dan jasa pengepakan. 8. Desain Fashion Kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain pakaian, desain alas kaki, dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan aksesorisnya, konsultansi lini produk fesyen, serta distribusi produk fesyen. 9. Permainan Interaktif Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi, dan distribusi permainan komputer dan video yang bersifat hiburan, ketangkasan, dan edukasi. Subsektor permainan interaktif bukan didominasi sebagai hiburan semata-mata tetapi juga sebagai alat bantu pembelajaran atau edukasi.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 3 - 18
10. Seni Pertunjukan Kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi produksi video, film, dan jasa fotografi, serta distribusi rekaman video dan film. Termasuk di dalamnya penulisan skrip, dubbing film, sinematografi, sinetron, dan eksibisi film, pertunjukan tarian tradisional, kontemporer, drama, musik tradisional, teater, opera, dan lain-lain. 11. Penerbitan dan Percetakan Kegiatan kreatif yang terkait dengan dengan penulisan konten dan penerbitan buku, jurnal, koran, majalah, tabloid, dan konten digital serta kegiatan kantor berita dan pencari berita. Subsektor ini juga mencakup penerbitan perangko, materai, uang kertas, blanko cek, giro, surat andil, obligasi surat saham, surat berharga lainnya, passport, tiket pesawat terbang, dan terbitan khusus lainnya. Juga mencakup penerbitan foto-foto, grafir (engraving) dan kartu pos, formulir, poster, reproduksi, percetakan lukisan, dan barang cetakan lainnya, termasuk rekaman mikro film. 12. Layanan Komputer dan Piranti Lunak Kegiatan kreatif yang terkait dengan pengembangan teknologi informasi termasuk jasa layanan komputer, pengolahan data, pengembangan database, pengembangan piranti lunak, integrasi sistem, desain dan analisis sistem, desain arsitektur piranti lunak, desain prasarana piranti lunak dan piranti keras, serta desain portal termasuk perawatannya. 13. Televisi dan Radio Kegiatan kreatif berkaitan dengan usaha kreasi, produksi dan pengemasan acara televisi (seperti games, kuis, reality show, infotainment, dan lainnya), penyiaran, dan transmisi konten acara televisi dan radio, termasuk kegiatan pemancar kembali (station relay) siaran radio dan televisi. 14. Riset dan Pengembangan Kegiatan kreatif terkait dengan usaha inovatif yang menawarkan penemuan ilmu dan teknologi dan penerapan ilmu dan pengetahuan tersebut untuk perbaikan produk dan kreasi produk baru, proses baru, material baru, alat baru, metode baru, dan teknologi baru yang dapat memenuhi kebutuhan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 3 - 19
pasar; termasuk dengan humaniora seperti penelitian dan pengembangan bahasa, sastra, dan seni; serta jasa konsultansi bisnis dan manajemen Ke-14 kelompok industri kreatif tersebut di atas, ada yang membutuhkan bahan baku (resources) yang secara langsung berasal dari atau menggunakan objek sumber daya alam, yakni industri kerajinan (crafts), barang seni (arts), serta riset dan pengembangan apabila diarahkan pengembangan dengan objek sumber daya
alam.
Industri
kreatif
memiliki
potensi
yang
cukup
besar
untuk
dikembangkan di DKI Jakarta, namun masih banyak kendala yang dihadapi oleh industri, antara lain regulasi belum ada aturan yang rinci guna mendorong pelaku industri kreatif menjual hasil karyanya. Minimnya infrastruktur dan kelembagaan seperti hak cipta intelektual berikut perangkat hukum dan penanganan pembajakan. Perlindungan Hak Cipta35 merupakan kunci peningkatan insentif untuk berkarya serta memberi hak kepada para pelaku industri kreatif untuk menciptakan nilai ekonomi dari karyanya. Masalah utama yang dihadapi pelaku usaha industri kreatif adalah modal, industri kreatif termasuk sektor yang kurang dilirik perbankan karena tidak ada jaminan. Hingga saat ini belum ada lembaga penjamin bagi industri tersebut untuk mendapat pembiayaan dari perbankan. Hal lain yang dihadapi pelaku usaha industri kreatif adalah harga dan kualitas. Kualitas industri kreatif seringkali tidak konsisten seperti pengemasan tidak sesuai dengan standar mutu. Ketidaktepatan dalam memenuhi order terutama dalam jumlah besar dan dalam waktu singkat juga menjadi kendala.
3.4. Kebutuhan Lahan Industri di DKI Jakarta Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik, lahan di DKI Jakarta pada tahun 2011 dengan luas 67,165 Ha, Kecamatan Kalideres mempunyai luas lahan untuk industri paling luas mencapai 392.22 ha dengan 35
Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 3 - 20
jumlah unit 182 unit industri, dan Kecamatan Menteng dengan luas lahan untuk industri terendah mencapai 0,22 ha dengan jumlah 32 unit usaha. Berikut merupakan tabel jumlah luas lahan dan jumlah unit per Kota administrasi di DKI Jakarta. Tabel 3-10 Jumlah Lahan Industri dan Pergudangan Tahun 2011 No
Kecamatan
Industri
Pergudangan
Jumlah
1
Cengkareng
2
Grogol Petamburan
3
Kalideres
4
Kebon Jeruk
0.39
6.1
6.49
5
Kembangan
3.47
0
3.47
6
Palmerah
7
Taman Sari
Tambora 8 Jakarta Barat
326.08
0
326.08
5.19
1.14
6.33
392.22
392.22
11.76
0
11.76
969.74
964.48
1934.22
1.15
0
1.15
1,710.00
971.72
2681.72
1
Cempaka Putih
0.42
0
0.42
2
Gambir
0.46
0
0.46
3
Johar Baru
0
0
0
4
Kemayoran
1.21
1.17
2.38
5
Menteng
6
Sawah Besar
7
Senen
Tanah Abang 8 Jakarta Pusat
0
0.22
0.22
0.25
15.87
16.12
0
0
0
0.67
0
0.67
3.01
17.26
20.27
0
0
0
4.85
0
4.85
0
0
0
1
Cilandak
2
Jagakarsa
3
Kebayoran Baru
4
Kebayoran Lama
3.45
0
3.45
5
Mampang
2.32
0
2.32
6
Pancoran
24.08
7
Pasar Minggu
0
0.66
0.66
8
Pesanggrahan
1.98
0
1.98
9
Setiabudi
0
0
0
10 Tebet Jakarta Selatan
41.81
0
41.81
78.49
0.66
79.15
969.74
964.48
1934.22
0.24
0
0.24
0
0
0
1
Cakung
2
Cipayung
3
Ciracas
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
24.08
Bab 3 - 21
No
Kecamatan
Industri
Pergudangan
4
Duren Sawit
5
Jatinegara
4.09
0.49
4.58
6
Kramat Jati
12.55
0.33
12.88
7
Makasar
12.81
7.34
20.15
8
Matraman
1.15
1.15
2.3
9
Pasar Rebo
969.74
964.48
1934.22
9.42
19.89
29.31
1,991.33
1,958.16
3949.49
10 Pulo Gadung Jakarta Timur
11.59
Jumlah 11.59
1
Cilincing
797.17
4.5
801.67
2
Kelapa Gading
206.24
57.22
263.46
3
Koja
129.08
174.41
303.49
4
Pademangan
147.56
12.56
160.12
5
Penjaringan
322.98
52.97
375.95
239.34
264.28
503.62
1,842.37
565.94
2408.31
Tanjung Priok 6 Jakarta Utara
Sumber : Kecamatan Dalam Angka DKI Jakarta 2011
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang RTRW 2030, lahan peruntukan industri diarahkan bagi pengembangan industri beserta fasiilitas penunjangnya dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) maksimal 50% dengan prosentase luas kawasan di setiap wilayah mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan dan kecenderungan pengembangan yang terjadi. Arah kebijakan sebagai berikut: (a) penataan kawasan industri dan pergudangan serta perniagaan sebagai bagian integral dari penataan kawasan pelabuhan; (b) pengembangan kawasan industri dibatasi untuk jenis industri hemat penggunaan lahan, air, dan energi, tidak berpolusi, memperhatikan aspek lingkungan dan industri yang menggunakan teknologi tinggi; (c) pengembangan kawasan industri memperhatikan daya dukung transportasi dan infrastruktur lain; (d) yang berada di luar kawasan bukan pada kawasan rawan bencana; (e) tidak menambah beban saat debit puncak saluran drainase publik; (f) tidak mengganggu fungsi lindung; (g) sesuai dengan daya dukung lahan setempat.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 3 - 22
Bab
4
HARMONISASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
4.1. Maksud dan Tujuan Penyelenggaraan Perindustrian Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian meletakkan industri sebagai salah satu pilar ekonomi dan memberikan peran yang cukup besar kepada pemerintah untuk mendorong kemajuan industri nasional secara terencana. Peran tersebut diperlukan dalam rangka mengarahkan perekonomian nasional untuk tumbuh lebih cepat dan mengejar ketertinggalan dari negara lain yang lebih dahulu maju. Maksud diselenggarakan pembangunan nasional35 di bidang industri termuat dalam Konsideran Menimbang huruf b dan huruf c dalam UU No. 3 Tahun 2014 berikut ini: b. bahwa pembangunan nasional di bidang ekonomi dilaksanakan dalam rangka menciptakan struktur ekonomi yang kukuh melalui pembangunan industri yang maju sebagai motor penggerak ekonomi yang didukung oleh kekuatan dan kemampuan sumber daya yang tangguh; c. bahwa pembangunan industri yang maju diwujudkan melalui penguatan struktur industri yang mandiri, sehat, dan berdaya saing, dengan mendayagunakan sumber daya secara optimal dan efisien, serta mendorong perkembangan industri ke seluruh wilayah Indonesia dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional yang berlandaskan pada kerakyatan, keadilan, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan mengutamakan kepentingan nasional.
Mencermati maksud pembangunan industri secara nasional tersebut di atas, memberikan pandangan kepada Pemerintah Daerah, bahwa penyelenggaraan perindustrian dalam satu kesatuan sistem yang terarah dan terpadu untuk mewujudkan struktur ekonomi yang kokoh melalui pembangunan industri yang maju sebagai motor penggerak ekonomi yang didukung dengan kekuatan dan 35
Yang dimaksud dengan pembangunan nasional menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 1
kemampuan sumber daya yang tangguh melalui penguatan struktur industri yang mandiri, sehat, dan berdaya saing, dengan mendayagunakan sumber daya secara optimal dan efisien dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional yang berlandaskan pada kerakyatan, keadilan, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa dengan mengutamakan kepentingan nasional. Tujuan penyelenggaraan perindustrian ditetapkan dalam Pasal 3 UU No. 3 Tahun 2014 sebagai berikut: a. mewujudkan industri nasional sebagai pilar dan penggerak perekonomian nasional; b. mewujudkan ke dalaman dan kekuatan struktur industri; c. mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta industri hijau; d. mewujudkan kepastian berusaha, persaingan yang sehat, serta mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan masyarakat; e. membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja; f. mewujudkan pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah indonesia guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan nasional; dan g. meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan.
Berdasarkan tujuan penyelenggaraan perindustrian tersebut di atas, bahwa penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta bertujuan untuk: (a) mewujudkan industri sebagai pilar dan penggerak perekonomian daerah; (b) mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju; (c) mewujudkan kepastian berusaha, persaingan usaha yang sehat,36 serta mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan masyarakat;37 (d) membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja; (e) mewujudkan industri guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan industri daerah dan nasional; (f) meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan. 36
37
Apabila pelaku usaha di bidang industri melakukan persaingan tidak sehat, maka tindakan tersebut termasuk dilarang menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang dimaksud dengan pemusatan kekuatan ekonomi adalah penguasaan yang nyata atas suatu pasar bersangkutan oleh satu atau lebih pelaku usaha sehingga dapat menentukan harga barang dan atau jasa.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 2
4.2. Jenis Kegiatan Industri Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian tidak menetapkan jenis industri secara tegas. Meskipun demikian, Pasal 101 ayat (2) menyatakan bahwa kegiatan usaha industri meliputi: (a) industri kecil; (b) industri menengah; (c) industri besar. Atas dasar itu, dapat ditafsirkan bahwa pembagian industri berdasarkan kegiatan yang dilakukan usaha industri. Selanjutnya dalam Pasal 102 menyatakan sebagai berikut: (1)
Industri kecil ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai investasi tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
(2)
Industri menengah ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi.
(3)
Industri besar ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi.
(4)
Besaran jumlah tenaga kerja dan nilai investasi untuk Industri kecil, Industri menengah, dan Industri besar ditetapkan oleh Menteri.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, UU No. 3 Tahun 2014 definisi industri kecil, industri menengah, dan industri besar didelegasikan kepada Menteri Perindustrian. Menurut Peraturan Menteri Perindustrian No 37/M-IND/PER/6/2006 tentang Pengembangan Jasa Konsultansi Industri Kecil dan Menengah (IKM), besaran jumlah tenaga kerja dan nilai investasi untuk Industri kecil, industri menengah, dan industri besar, sebagai berikut: 1. Industri kecil adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang industri dengan nilai investasi paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. 2. Industri menengah adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang industri dengan nilai investasi lebih besar dari Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. 3. Industri besar adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang industri dengan nilai investasi lebih besar dari
Rp. 10.000.000.000 (sepuluh
milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 3
Berdasarkan definisi tersebut di atas, dapat ditafsirkan bahwa Industri Kecil dan Menengah (IKM) berbentuk badan hukum (perusahaan).38 Untuk menghindari tumpang-tindih dalam pembinaan antara IKM dengan UKM, dalam Rancangan Peraturan Daerah seyogyanya menggunakan nomenklatur badan usaha industri, karena badan usaha merupakan kesatuan yuridis dan ekonomis dari faktor-faktor produksi yang dilakukan industri dengan tujuan mencari laba atau memberi layanan kepada masyarakat. Kesatuan yuridis dimaksud badan usaha industri pada umumnya berbadan hukum. Sedangkan yang dimaksud kesatuan ekonomis karena faktor produksi yang terdiri dari sumber daya alam, modal, dan tenaga kerja untuk mendapat barang dan/atau jasa yang diperlukan oleh masyarakat. Dengan demikian pengertian badan usaha industri adalah badan usaha yang kegiatannya mengolah dari bahan mentah menjadi barang jadi untuk siap digunakan. Contohnya: perusahaan tekstil, industri logam, kerajinan tangan, dan sebagainya. Ditinjau dari kepemilikan modal, badan usaha dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: (a) badan usaha milik swasta, yaitu badan usaha yang seluruh modalnya dimiliki swasta, dapat berbentuk perseorangan atau persekutuan. Contoh: firma, persekutuan komanditer, perseroan terbatas, koperasi, dan sebagainya; (b) Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D), yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya milik negara atau daerah, yang berasal dari kekayaan negara/daerah yang dipisahkan. BUMN atau BUMD bergerak di bidang yang menguasai hajat hidup orang banyak; (c) badan usaha campuran, yaitu badan usaha yang modalnya sebagian milik pemerintah dan sebagian milik swasta. Contohnya Persero dimana modal yang dimiliki oleh badan usaha ini adalah 51% atau lebih dimiliki pemerintah dan paling banyak 49% dimiliki oleh swasta atau investor.
38
Dalam berbagai literatur menyatakan bahwa dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia menggunakan barang dan jasa yang merupakan hasil kegiatan produksi. Kegiatan produksi tersebut yang dilakukan secara terorganisir dengan menggunakan faktor-faktor produksi umumnya dilakukan oleh perusahaan. Dengan demikian perusahaan diartikan sebagai bagian teknis dari kesatuan organisasi modal dan tenaga kerja yang bertujuan menghasilkan barang atau jasa. Sedangkan usaha adalah kegiatan yang dilakukan manusia untuk mendapatkan penghasilan baik berupa uang, barang mapun jasa yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup guna mencapai kemakmuran.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 4
Jenis badan usaha berdasarkan jumlah pekerjanya, abdan usaha dapat menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu: (a) badan usaha kecil, yaitu badan usaha yang mempekerjakan kurang dari 5 orang pekerja; (b) badan usaha sedang, yaitu badan usaha yang mempekerjakan lebih dari 5 orang pekerja dan kurang dari 51 orang pekerja; (c) badan usaha besar, yaitu badan usaha yang mempekerjan lebih dari 50 orang pekerja. Pengelompokan badan usaha menurut bentuk hukum atau yuridis berkaitan dengan tanggung jawab pemilik badan usaha tersebut terhadap kewajiban atau utang-utang badan usaha, dikelompok dalam 5 (lima) jenis, yaitu: (a) badan usaha perseorangan (Po), yaitu perusahaan yang didirikan, dimiliki, dipimpin, dan dipertanggungjawabkan oleh perseorangan; (b) firma (Fa), yaitu badan usaha yang didirikan dua orang atau lebih yang menjalankan kegiatan usaha dengan satu nama. Masing-masing sekutu (firmant) ikut memimpin perusahaan dan bertanggungjawab
penuh
terhadap
hutang
perusahaan;
(c)
persekutuan
komanditer (CV), yaitu badan usaha yang terdiri dari satu atau beberapa sekutu komanditer. Sekutu komanditer adalah sekutu yang hanya menyerahkan atau menyertakan modal, dan tidak turut campur dalam pengelolaan perusahaan. Pada CV dikenal dua macam sekutu yaitu: Sekutu aktif, yaitu sekutu yang ikut menyertakan modal sekaligus aktif mengelola jalannya usaha. Sekutu pasif atau sekutu komanditer, yaitu sekutu yang hanya menyertakan modal saja dan tidak terlibat dalam pengelolaan usaha; (d) perseroan terbatas (PT), yaitu badan usaha yang dari persekutuan antara dua orang atau lebih yang modalnya diperoleh dengan cara menjual saham. Pemilik saham disebut juga persero, yang memiliki tanggung jawab terbatas terhadap perusahaan. Tanggung jawab terbatas artinya bertanggungjawab sebatas modal yang disetor (saham yang dimiliki). Saham adalah surat berharga dengan nilai nominal tertentu sebagai bukti kepemilikan perusahaan. Saham dapat diperjualbelikan/dipindahtangankan melalui bursa/ pasar saham sesuai dengan besar kecilnya permintaan dan penawaran. Pemilik saham memperoleh pembagian keuntungan perusahaan yang disebut deviden; (e) koperasi.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 5
Dengan menggunakan badan usaha industri termasuk untuk kecil dan menengah membedakan dengan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dilakukan oleh orang perorang atau badan usaha dengan pendekatan koperasi.39 Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, pengertian UKM sebagai berikut: Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar,40 dengan kriteria sebagai berikut:41 a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan,42 dengan kriteria sebagai berikut:43 a. memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp. 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah).
Sesuai perkembangan industri kecil dan menengah, Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian melakukan retruknisasi sarana yang dimiliki industri kecil dan menengah sehingga berpengaruh terhadap nilai investasi pada industri tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/M-IND/PER/3/2014 tentang Program Retrukturisasi Mesin dan/atau Peralatan Industri Kecil dan Menengah, sebagai berikut:
39
40 41 42 43
Yang dimaksud dengan koperasi menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Koperasi, adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 6
Kriteria industri kecil dan industri menengah sebagai berikut: a. Industri kecil yaitu industri dengan nilai investasi paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan b. Industri menengah yaitu industri dengan nilai investasi paling besar dari Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Berdasarkan Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/M-IND/PER/3/2014 tersebut di atas, nilai investasi pada kecil dan menengah mengalami perubahan. Dengan demikian definisi industri kecil dan menengah sebagai berikut: a. Industri Kecil adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang industri dengan nilai investasi paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. b. Industri Menengah adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang industri dengan nilai investasi paling besar dari Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) atau paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Sedangkan industri besar tidak mengalami perubahan, yaitu perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang industri dengan nilai investasi lebih besar dari Rp. 10.000.000.000 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha. Tugas dan kewenangan Pemerintah Daerah dalam pembinaan industri sesuai Peraturan Menteri Perindustrian No. 64/M/IND/PER/7/2011 tentang JenisJenis Industri Dalam Pembinaan Direktorat Jenderal dan Badan Di Lingkungan Kementerian Perindustrian, tidak sepenuhnya jenis industri kecil dan industri menengah menjadi tugas dan wewenang Pemerintah Daerah. Jenis industri kecil dan menengah yang menjadi tugas dan wewenang Pemerintah Pusat melalui Kementerian Perindustrian sebagai berikut:
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 7
Tabel-4.1 Jenis Industri Kecil dan Menengah Pembinaannya Sepenuhnya Dilakukan oleh Direktorat Jenderal Industri Kecil dan Menengah dan Badan Pengkajian Kebijakan, Iklim, dan Mutu Industri KBLI44 10211 10214 10291 10294 10311 10391 10392 10615 10616 10722 13122 13133 13134 13911 13912 14111 16103 16292
16293 16294 16299
23932
44
Kelompok Industri Industri Penggaraman/Pengeringan Ikan Industri Pemindangan Ikan Industri Penggaraman/Pengeringan Biota Air Lainnya Industri Pemindangan Biota Air Lainnya Industri Pengasinan/Pemanisasi Buah-Buahan dan Sayuran Industri Tempe Kedelai Industri Tahu Kedelai Industri Pengupasan dan Pembersihan dan Kecang2-an Industri Pengupasan dan Pembersihan Umbi-Umbian termasuk Rizoma Industri Gula Merah Industri Kain Tenun Ikat Industri Pencetakan Kain terutama motif batik dan tradisional Industri Batik untuk batik tulis Industri Kain Rajutan Khususnya Renda Industri Kain Sulaman/Bordir Industri Pakian Jadi (Konveksi) dari Tekstil terutama mukena, selendang, kerudung, dan pakaian tradisional lainnya Industri Pengawetan Rotan, Bambu, dan Sejenisnya Industri Barang Anyaman Dari Tanaman Bukan Rotan dan Bambu, yang memiliki kekayaan khas khasana budaya daerah, nilai seni yang menggunakan bahan baku alamiah dan imitasi Industri Kerajinan Ukiran Dari Kayu Bukan Mebeller, yang memiliki kekayaan khas khasanah budaya daerah, nilai seni yang menggunakan bahan baku alamian dan imitasi Industri Alat Dapur Dari Kayu, Rotan dan Bambu, yang memiliki kekayaan khas khasanah budaya daerah, nilai seni yang menggunakan bahan baku alamian dan imitasi Industri Barang Dari Kayu, Rotan, Gabus Lainnya Yang Tidak Diklasifikasikan Di Tempat Lain, yang memiliki kekayaan khas khasanah budaya daerah, nilai seni yang menggunakan bahan baku alamian dan imitasi. Industri Perlengkapan Rumah Tangga Dari Tanah Liat/Kramik Untuk Gerabah
KBLI Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun 2009
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 8
KBLI44 25931
Kelompok Industri Industri Perkakas Tangan Untuk Pertanian, yang diperlukan untuk persiapan lahan, proses produksi, permanen, pasca panen, dan pengolahan kecuali cangkul dan sekop 25932 Industri Perkakas Tangan Pertukangan, Untuk yang diproses secara manual atau semi mekanik untuk pertukangan dan pemotongan 25933 Industri Perkakas Tangan Yang Digunakan Dalam Rmhan Tangga, yang diproses secara manual atau semi mekanik untuk pertukangan dan pemotongan 25934 Industri Peralatan Umum, Untuk industri perkakas tangan yang diproses secara manual atau semi mekanik untuk pertukangan dan pemotongan 32201 Industri Alat Musik Tradisional, yang memiliki kekayaan khas khasanah budaya daerah, nilai seni yang menggunakan bahan baku alamian dan imitasi. 33119 Jasa Reparasi Produk Logam Pabrikasi Lainnya 45407 Reparasi dan Perawatan Sepeda Motor, Khusus industri jasa pemeliharaan dan perbaikan sepeda moto kecuali yang terintegrasi dengan bidang usaha penjualan sepeda motor (agen/distributor) dan industri reparasi barang-barang keperlian pribadi dan rumah tangga 95220 Jasa Reparasi Peralatan Rumah Tangga dan Peralatan Rumah dan Kebun, khususnya industri jasa pemeliharaan dan perbaikan sepeda motor kecuali yang terintegrasi dengan bidang usaha penjualan sepeda motor (agen/distributor) dan industri reparasi barang-barang keperlian pribadi dan rumah tangga 95230 Jasa Reparasi Alas Kaki dan Barang Dari Kulit, khususnya industri jasa pemeliharaan dan perbaikan sepeda motor kecuali yang terintegrasi dengan bidang usaha penjualan sepeda motor (agen/distributor) dan industri reparasi barangbarang keperlian pribadi dan rumah tangga 95240 Jasa Reparasi Furnitur dan Perlengkapan Rumah Tangga 95290 Jasa Reparasi Barang Rumah Tangga dan Pribadi Lainnya. 71201 Jasa Sertifikasi 71202 Jasa Pengujian Laboratorium 71203 Jasa Inspeksi Sumber : Peraturan Menteri Perindustrian No. 64/M/IND/PER/7/2011 Jenis industri lain yang termuat dalam UU No. 3 Tahun 2014 adalah Industri Kreatif. Pengertian industri kreatif sebagaimana termuat dalam penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf b UU No. 3 Tahun 2014, adalah industri yang mentransformasi dan memanfaatkan kreativitas, keterampilan, dan kekayaan intelektual untuk
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 9
menghasilkan barang dan jasa. Pengembangan industri kreatif sangat dibutuhkan dalam persaingan global karena memberikan kontribusi terhadap ekonomi yang signifikan, menciptakan iklim bisnis yang positif, membangun citra dan identitas bangsa, berbasis pada sumber daya yang terbarukan, menciptakan inovasi dan kreativitas merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa, serta memberikan dampak sosial yang positif. Dalam rangka mendorong pengembangan industri kreatif Pemerintah Pusat melalui Kementerian Perindustrian telah mengembangan jenis industri kreatif di Provinsi Bali dengan membentuk Unit Pelaksana Teknis Industri Kreatif dibawah Kementerian Perindustrian sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 72/M-IND/PER/9/2015 tentang Peta Panduan Pengembangan Pusat Pengembangan Industri Kreatif (Bali Creative Industry Center) Tahun 20152019. Jenis industri kreatif dimaksud sebagaimana disajikan dalam Tabel berikut ini. Tabel-4.2. Jenis Industri Kreatif menjadi Bali Creative Industry Center (BCIC) Yang Dikembangkan oleh Kementerian Perindustrian Berdasarkan KBLI 2009 KODE 13121 13122 13123 13133 13134 13911 13912 13913 13922 13924 13930 14111 14112 14120 14131 14132 14200 14301 14302 14303
JENIS INDUSTRI Industri Pertenunan (Bukan Pertenunan Karung Goni dan Karung Lainnya) Industri Kain Tenunan Ikat Industri Bulu Tiruan Tenunan Industri Percetakan Kain Industri Batik Industri Kain Rajutan Industri Kain Sulaman/Bordir Industri Bulu Tiruan Rajutan Industri Barang Jadi Tekstil Sulaman Industri Barang Jadi Rajutan dan Sulaman Industri Karpen dan Permadani Industri Pakain Jadi (Konveksi) dari Tekstil Industri Pakaian Jadi (Konveksi) dari Kulit Penjahitan dan Pembuatan Pakaian sesuai Pesanan Industri Perlengkapan Pakian dari Tekstil Industri Perlengkapan Pakaian dari Kulit Industri Pakaian Jadi dan Barang dari Kulit Industri Pakaian Jadi Rajutan Industri Pakaian Jadi Sulaman/Bordir Industri Rajutan Kaos Kaki dan Sejenisnya
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
KOMODITI/CABANG INDUSTRI Kerajinan Kerajinan/Fesyen Kerajinan/Fesyen Kerajinan/Fesyen Fesyen Kerajinan/Fesyen Kerajinan/Fesyen Fesyen Fesyen Fesyen Kerajinan Fesyen Fesyen Fesyen Fesyen Fesyen Fesyen Kerajinan/Fesyen Kerajinan/Fesyen Fesyen
Bab 4 - 10
KODE
JENIS INDUSTRI
15121
Industri Barang dari Kulit dan Kulit Buatan untuk Keperluan Pribadi Industri Barang dari Kulit dan Kulit Buatan untuk Teknik/Industri Industri Barang dari Kulit dan Kulit Buatan untuk Keperluan Hewan Industri Barang dari Kulit dan Kulit Buatan untuk Keperluan Lainnya Industri Alas Kali untuk Keperluan sehari-hari Industri Sepatu Olahraga Industri Sepatu Teknik Lapangan/Keperluan Industri Industri Alas Kaki Lainnya Industri Barang Anyaman dari Rotan dan Bambu Industri Barang Anyaman dari Tanaman Bukan Rotan dan Bambu Industri Barang Anyaman dari Kayu Bukan Mebeller Industri Perlengkapan Rumah Tangga dari Tanah Liat/Keramik Industri Permata Industri Barang Perhiasan dari Logam Mulia untuk Keperluan Pribadi Industri Perhiasan Mutiara Industri Barang Lainnya dari Logam Mulia untuk Keperluan Pribadi Industri Kerajinan YTDL Produk Film, Video dan Program Televisi oleh Pemerintah Produksi Film, Video dan Program Televisi oleh Swasta
15123 15129
15201 15202 15203 15209 16291 16292 16293 23932 32111 32112 32115 32119 32903 59111 59112 59121 59122 62010
Pasca Produksi Film, Video dan Program Televisi oleh Pemerintah Pasca Produksi Film, Video dan Program Televisi oleh Swasta Kegiatan Pemrograman Komputer
74100 Jasa Perancangan Khusus Sumber : Peraturan Menteri Perindustrian No. 72/M-IND/PER/9/2015
KOMODITI/CABANG INDUSTRI Fesyen Fesyen Fesyen Kerajinan Fesyen Fesyen Fesyen Fesyen Kerajinan Kerajinan Kerajinan Kerajinan Kerajinan Kerajinan Kerajinan Kerajinan Kerajinan Animasi, Games, Perangkat Lunak Animasi, Games, Perangkat Lunak Animasi, Games, Perangkat Lunak Animasi, Games, Perangkat Lunak Animasi, Games, Perangkat Lunak Kerajinan
Industri kreatif di Indonesia terdiri dari 14 subsektor, yaitu periklanan; arsitektur; pasar barang seni; kerajinan; desain; fesyen; video, film, dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan perangkat lunak; televisi dan radio; riset dan pengembangan; serta kuliner. Dari 14 subsektor tersebut, terdapat 3 (tiga) subsektor yang memberikan kontribusi atau Nilai Tambah Bruto yang dominan, yaitu subsektor kuliner; fesyen; dan kerajinan. Oleh sebab itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Dinas
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 11
Perindustrian dan Energi Provinsi DKI Jakarta dapat mengembangkan industri kreatif sebagaimana dilakukan oleh Kementerian Perindustrian di Provinsi Bali. Berdasarkan Peraturan Gubernur No. 267 Tahun 2016 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perindustrian dan Energi, pengembangan industri kreatif menjadi tugas dan fungsi Seksi Industri Kecil, Menengah, dan Kreatif pada Bidang Industri. Pemerintah telah menetapkan berbagai program pengembangan industri kreatif dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 72/MIND/PER/9/2015. Program tersebut, dapat dijadikan rujukan atau pedoman oleh Dinas.
4.3. Tugas dan Wewenang Pemerintah Daerah Berdasarkan penyelenggaraan pemerintahan daerah menurut Pasal 12 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, urusan perindustrian termasuk urusan pemerintahan pilihan yang wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai potensi yang dimiliki Daerah.45 Meskipun Daerah memiliki kewenangan mengatur dan/atau mengurus urusan pemerintahan di bidang perindustrian yang menjadi wewenangnya, bukan berarti Pemerintah Pusat tidak memiliki wewenang dan
tanggung
jawab
dalam
penyelenggaraan
perindustrian.
Pembagian
kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah (provinsi dan kabupaten/kota) termuat dalam Lampiran UU No. 23 Tahun 2014 disesuaikan penyelenggaraan otonomi pada lingkup provinsi sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia,46 sebagai berikut: 1. Sub Urusan Perencanaan Pembangunan Industri a. Pemerintah Pusat dalam sub urusan perencanaan pembangunan industri kewenangannya
menetapkan
rencana induk pembangunan industri
nasional.
45 46
Lihat Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 12
b. Pemerintahan Daerah dalam sub urusan perencanaan pembangunan industri kewenangannya menetapkan rencana pembangunan industri daerah. Penetapan rencana induk pembangunan industri oleh Pemerintah Pusat menurut Pasal 8 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2014, untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan
perindustrian.
Rencana
induk
pembangunan
industri
nasional menurut Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 3 Tahun 2014, merupakan pedoman bagi Pemerintah dan pelaku Industri dalam perencanaan dan pembangunan industri, disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. Kewenangan Pemerintahan Daerah dalam perencanaan pembangunan industri adalah menetapkan rencana pembangunan industri daerah menurut Pasal 10 dan Pasal 11 UU No. 3 Tahun 2014 menjadi tugas dan wewenang Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota). Selengkapnya Pasal 10 dan Pasal 11 sebagai berikut: Pasal 10 (1) Setiap Gubernur menyusun rencana pembangunan industri provinsi. (2)
Rencana pembangunan industri provinsi mengacu kepada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional dan Kebijakan Industri Nasional.
(3)
Rencana pembangunan industri provinsi disusun paling sedikit memperhatikan: a. potensi sumber daya Industri daerah; b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan/atau Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; dan c. keserasian dan keseimbangan dengan kebijakan pembangunan Industri di kabupaten/kota serta kegiatan sosial ekonomi dan daya dukung lingkungan.
(4)
Rencana Pembangunan Industri Provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi setelah dievaluasi oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 13
Pasal 11 (1) Setiap bupati/walikota menyusun Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota. (2)
Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota disusun dengan mengacu pada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional dan Kebijakan Industri Nasional.
(3)
Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota disusun dengan paling sedikit memperhatikan: a. potensi sumber daya Industri daerah; b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; dan c. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan sosial ekonomi serta daya dukung lingkungan.
(4)
Rencana Pembangunan Industri Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota setelah dievaluasi oleh gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, negara melalui UU No. 3 Tahun 2014 memberikan perintah kepada Kepala Daerah (dalam hal ini Gubernur) untuk menyusun dan merumuskan Rencana Pembangunan Industri Daerah (Provinsi DKI Jakarta) dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Industri Daerah untuk selanjutnya dibahas dan ditetapkan bersama-sama dengan DPRD menjadi Peraturan Daerah setelah dilakukan evaluasi oleh Pemerintah. Dalam penyusunan rencana pembangunan industri provinsi mengacu kepada rencana induk pembangunan industri nasional dan kebijakan industri nasional. Rencana induk pembangunan industri nasional sebagaimana ditetapkan dalam PP No. 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional
Tahun
2015-2035.
Sedangkan
kebijakan
industri
nasional
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 12 UU No. 3 Tahun 2014 sebagai berikut:
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 14
Pasal 12 (1) Kebijakan Industri Nasional merupakan arah dan tindakan untuk melaksanakan Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional. (2)
Kebijakan Industri Nasional paling sedikit meliputi: a. sasaran pembangunan Industri; b. fokus pengembangan Industri; c. tahapan capaian pembangunan Industri; d. pengembangan sumber daya Industri; e. pengembangan sarana dan prasarana; f. pengembangan perwilayahan Industri; dan g. fasilitas fiskal dan nonfiskal.
(3)
Kebijakan Industri Nasional disusun untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
(4)
Kebijakan Industri Nasional disusun oleh Menteri berkoordinasi dengan instansi terkait dan mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan terkait.
(5)
Kebijakan Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Presiden.
Mencermati ketentuan di atas, bahwa rencana industri pembangunan industri nasional dan kebijakan industri nasional harus dipedomani oleh Pemerintahan Daerah dalam menyusun, merumuskan, dan menetapkan Peraturan Daerah tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Daerah. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dalam rencana induk pembangunan industri daerah menjadi satu kesatuan sistem dengan rencana pembangunan industri nasional. Demikian halnya dalam penyelenggaraan perindustrian baik nasional
maupun
daerah untuk mewujudkan
tujuan penyelenggaraan
perindustrian sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 UU No. 3 Tahun 2014.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 15
UU
PERDA
PERDA
RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG NASIONAL
RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH
RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH
PP
PERDA
PERDA
RENCANA TATA RUANG NASIONAL
RENCANAN TATA RUANG WILAYAH 2013-2030
PP
RAPERDA
RENCANA INDUK PEMBANGUNAN INDUSTRI DAERAH
RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN ZONASI
PER KADIS
PERDA
RENCANA INDUK PEMBANGUNAN INDUSTRI NASIONAL
RENCANA STRATEGIS DINAS PERINDUSTRIAN DAN ENERGI
RENCANA ANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH
PER KADIS
RENCANA KERJA TAHUNAN DINAS PERINDUSTRIAN DAN ENERGI
Gambar 4.1 Kedudukan Rencana Induk Pembangunan Industri Daerah dan Keterkaitan dengan Rencana Pembangunan Daerah serta Tata Ruang
2. Sub Urusan Perizinan Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penyelenggaraan sub urusan perizinan berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014, sebagai berikut: a. Pemerintah Pusat Dalam urusan perizinan yang menjadi tugas dan wewenang Pemerintah Pusat menurut Lampiran UU No. 23 Tahun 2014 meliputi: (a) penerbitan Izin Usaha Industri (IUI) Kecil, IUI Menengah dan IUI Besar untuk industri yang berdampak besar pada lingkungan, industri minuman beralkohol, dan industri strategis; (b) penerbitan izin perluasan usaha industri (IPUI) bagi industri berdampak besar pada lingkungan, industri minuman beralkohol, Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 16
indutri strategis; (c) penerbitan IUKI dan IPKI yang lokasinya lintas provinsi; (d) penerbitan IUI/IUKI dan IPUI/IPKI yang merupakan penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, didasarkan perjanjian yang dibuat Pemerintah Pusat dan pemerintah negara lain. b. Pemerintahan Daerah Tugas dan wewenang Pemerintahan Daerah dalam urusan perizinan, meliputi: (a) penerbitan IUI Besar, Menengah, dan Kecil; (b) penerbitan IPUI bagi industri besar, industri kecil dan menengah; (c) penerbitan IUKI dan IPKI yang lokasinya dalam 1 (satu) Daerah. Pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah dalam perizinan tersebut di atas, berdasarkan Pasal 101 dan Pasal 102 UU No 3 Tahun 2014 menyatakan, setiap kegiatan usaha industri wajib memiliki izin usaha industri. Kegiatan usaha Industri dimaksud meliputi: (a) industri kecil, ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan nilai investasi tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; (b) industri menengah, ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi; (c) industri besar, ditetapkan berdasarkan jumlah tenaga kerja dan/atau nilai investasi. Izin usaha industri diberikan oleh Menteri, dan dapat melimpahkan sebagian kewenangan pemberian izin usaha industri kepada Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota). Perlimpahan wewenang pemberian izin usaha industri kepada Gubernur sebagai Kepala Daerah diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 41/M-IND/PER/6/2008 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perindustrian No. 81/M-IND/PER/10/2014. Secara rinci mengenai perizinan dalam Bab tersendiri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 17
3. Sub Urusan Sistem Informasi Industri Nasional Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam penyelenggaraan sub urusan sistem informasi industri nasional berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014, Pemerintah Pusat membangun dan mengembangkan sistem informasi industri nasional. Kewenangan Pemerintahan Daerah penyampaian laporan informasi industri untuk Izin Usaha Industri (IUI) Besar dan Izin perluasannya; IUI Kecil dan Izin Perluasannya; IUI Menengah dan Izin Perluasannya; dan IUKI dan IPKI yang lokasinya Daerah. Tugas dan wewenang Daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang perindustrian menjadi tanggung jawab Kepala Daerah (dalam hal ini Gubernur, dan secara operasional berdasarkan Peraturan Daerah No. 18 Tahun 2016 tentang Organisasi Perangkat Daerah menjadi tugas dan fungsi Kepala Dinas Perindustrian dan Energi dalam perencanaan, pelaksanaan (pembangunan dan
pengelolaan),
serta
pembinaan,
pengembangan,
pengawasan,
dan
pengendalian. Sedangkan dalam pengendalian melalui perizinan menjadi tugas dan fungsi Kepala Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 267 Tahun 2016 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perindustrian dan Energi, bahwa Dinas Perindustrian dan Energi tugasnya melaksanakan perencanaan, pembangunan, pengelolaan, pembinaan, pengembangan, pengawasan, pengendalian, evaluasi perindustrian, energi dan sarana jaringan utilitas. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Dinas Perindustrian dan Energi menyelenggarakan fungsi sebagai berikut: a. penyusunan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran Dinas Perindustrian dan Energi; b. pelaksanaan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran Dinas Perindustrian dan Energi; c.
penyusunan kebijakan, pedoman dan standar teknis bidang perindustrian, energi dan energi;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 18
d. perencanaan, pembangunan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi perindustrian dan energi; e. pembinaan dan pengembangan perindustrian dan energi; f.
pengembangan,
pembinaan,
pengawasan
dan
pengendalian
mutu,
standardisasi hasil industri dan energi; g. fasilitasi prasarana, sarana, produksi, promosi, dan pemasaran hasil usaha industri dan energi; h. pembinaan tenaga fungsional di bidang industri dan energi; i.
fasilitasi pengembangan kerja sama antar usaha industri dan energi;
j.
penyuluhan, bimbingan, inovasi, dan kreativitas, teknis industri dan energi;
k.
pemasangan lampu penerangan pasokan bagi masyarakat dalam keadaan darurat, bencana alam dan/atau kekurangan pasokan;
l.
penyusunan kebijakan, pedoman dan standar teknis bidang pencahayaan kota;
m. perencanaan,
pembangunan/peningkatan
kualitas,
pemeliharaan
dan
pengembangan bidang pencahayaan kota; n. pengelolaan dan verifikasi penggunaan daya listrik penerangan jalan umum; o. penyusunan
kebijakan,
pembangunan,
pedoman,
pengelolaan,
dan
standar
pemeliharaan,
teknis
perencanaan,
perawatan,
pengawasan,
pengendalian, pemantauan, evaluasi, penelitian pengembangan di bidang geologi dan air tanah; p. perencanaan,
pembangunan,
pengendalian,
pemantauan,
pengelolaan,
pemeliharaan,
pengawasan,
evaluasi,
perawatan, penelitian,
pengembangan bidang geologi dan air tanah; q. pelaksanaan konservasi air tanah; r.
penyediaan, penatausahaan, penggunaan, pemeliharaan, dan perawatan prasarana dan sarana bidang geologi dan air tanah;
s.
pemberian dukungan teknis kepada masyarakat dan Perangkat Daerah untuk bidang geologi dan air tanah;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 19
t.
penyusunan
kebijakan,
pembangunan,
pedoman,
pengelolaan,
dan
standar
pemeliharaan,
teknis
perencanaan,
perawatan,
pengawasan,
pengendalian, pemantauan, evaluasi, penelitian pengembangan di bidang energi dan ketenagalistrikan; u. perencanaan, pembangunan, pengelolaan, pemeliharaan, dan perawatan prasarana dan sarana bidang energi dan ketenagalistrikan; v.
penyediaan, penatausahaan, penggunaan, pemeliharaan, dan perawatan prasarana dan sarana bidang energi dan ketenagalistrikan;
w. pemberian dukungan teknis kepada masyarakat dan perangkat daerah untuk bidang energi dan ketenagalistrikan; x.
pemungutan,
penatausahaan,
penyetoran,
pelaporan,
dan
pertanggungjawaban penerimaan retribusi di bidang perindustrian dan energi; y.
penegakan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian dan energi;
z.
pemberian dukungan teknis kepada masyarakat dan perangkat daerah di bidang perindustrian dan energi;
aa. pengawasan dan pengendalian izin di bidang perindustrian dan energi; bb. penyediaan, penatausahaan, penggunaan, pemeliharaan, dan perawatan prasarana dan sarana kerja di bidang perindustrian dan energi; cc. pengelolaan kepegawaian, keuangan dan barang Dinas Perindustrian dan Energi; dd. pengelolaan ketatausahaan dan kerumahtanggaan Dinas Perindustrian dan Energi; ee. pengelolaan kearsipan, data dan informasi Dinas Perindustrian dan Energi; dan ff. pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi Dinas Perindustrian dan Energi. Berdasarkan organisasi dan tata kerja Dinas Perindustrian dan Energi sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah No. 18 Tahun 2016 dan Peraturan Gubernur No. 267 Tahun 2016, bahwa urusan pemerintahan di bidang industri
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 20
dilaksanakan satu bidang, yaitu Bidang Industri. Bidang Industri terdiri dari 3 (tiga) Seksi, yaitu Seksi Pengembangan Industri, Seksi Industri Kecil, Menengah dan Kreatif , dan Seksi Kerjasama dan Kemitraan Industri. Bidang
Industri
mempunyai
tugas
melaksanakan
pembinaan
dan
pengembangan industri. Untuk melaksanakan tugas tersebut, Bidang Industri menyelenggarakan fungsi sebagai berikut: a. penyusunan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran Bidang Industri; b. pelaksanaan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran Bidang Industri; c.
penyusunan kebijakan, pedoman dan standar teknis pembinaan industri;
d. pelaksanaan bimbingan, konsultasi, fasilitasi, pendidikan dan pelatihan, pendampingan, pengembangan serta evaluasi kegiatan industri; e. pengelolaan data dan informasi industri; f.
pelaksanaan koordinasi, pengawasan dan pengendalian kegiatan industri;
g. pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat; h. penyusunan kebijakan teknis standar industri; i.
pelaksanaan koordinasi pembinaan dan pengembangan industri;
j.
penataan dan pengembangan kawasan sentra industri;
k.
pengembangan kerja sama dan hubungan kemitraan antar industri dengan sektor ekonomi dan non-ekonomi yang saling menguntungkan;
l.
pemberian fasilitas bantuan informasi pasar, promosi, dan pemasaran industri;
m. penelitian, pengembangan, dan pengoptimalan pemanfaatan teknologi tepat guna di bidang industri; n. penyusunan bahan rekomendasi kepada penyelenggara perizinan dan nonperizinan dalam penetapan dan pemberian perizinan dan non-perizinan industri sesuai kebutuhan; o. peningkatan penggunaan produk dalam negeri; p. pelaksanaan sosialisasi perundang-undangan di bidang industri;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 21
q. pelaksanaan penindakan atas pelanggaran kegiatan industri; dan r.
pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi bidang industri. Bidang Industri dalam melaksanakan tugas dan fungsi dibantu 3 (tiga)
Seksi, yaitu: 1. Seksi Pengembagan Industri Seksi Pengembangan Industri merupakan Satuan Kerja Bidang Industri dalam pelaksanaan mencakup
kegiatan
pembinaan
pengembangan
industri
dan di
pengembangan Provinsi
DKI
industri Jakarta.
yang Seksi
Pengembangan Industri mempunyai tugas sebagai berikut: a. menyusun bahan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran sesuai dengan Iingkup tugasnya; b. melaksanakan dokumen pelaksanaan anggaran sesuai dengan lingkup tugasnya; c. menyusun bahan kebijakan, pedoman dan standar teknis pelaksanaan pembangunan dan pengembangan sarana dan prasarana industri; d. melaksanakan penataan dan pengembangan kawasan sentra industri; e. melaksanakan koordinasi pembinaan dan pengembangan industri; f. memfasilitasi sarana produksi bagi para pelaku industri; g. melaksanakan pengelolaan data dan informasi industri; h. menyusun peraturan-peraturan yang berhubungan dengan industri; i.
melaksanakan penataan kawasan industri dan/atau sentra industri serta penyediaan ruang untuk masyarakat dalam berkreativitas;
j.
menyiapkan sarana promosi hasil proses produksi industri;
k. memberikan rekomendasi perizinan dan non-perizinan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; l. melakukan koordinasi terkait pengembangan industri; m. melakukan koordinasi penyusunan bahan rencana strategis dan rencana kerja sesuai dengan lingkup tugasnya;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 22
n. melakukan koordinasi penyusunan laporan keuangan, kinerja, kegiatan, dan akuntabilitas bidang industri; o. melakukan koordinasi, pengawasan, pengendalian kegiatan industri dan penindakan atas pelanggaran terhadap kegiatan industri; p. menyiapkan bahan laporan bidang industri terkait dengan tugas Seksi Pengembangan Industri yang telah dilaksanakan sebagai bahan evaluasi pimpinan; dan q. melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas Seksi Pengembangan Industri. 2. Seksi Industri Kecil, Menengah dan Kreatif Seksi Industri Kecil, Menengah dan Kreatif merupakan Satuan Kerja Bidang Industri dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan dan pengembangan industri kecil menengah dan kreatif. Tugas Seksi Industri Kecil, Menengah dan Kreatif sebagai berikut: a. menyusun bahan rencana kerja strategis dan rencana kerja dan anggaran sesuai dengan lingkup tugasnya; b. melaksanakan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran sesuai dengan lingkup tugasnya; c. menyusun bahan kebijakan, pedoman, dan standar teknis Industri Kecil Menengah dan Kreatif; d. mengumpulkan dan mengolah bahan penyusunan pedoman pembinaan, bimbingan teknis, dan manajemen bagi industri kecil menengah dan kreatif; e. melaksanakan pembinaan, pelatihan/bimbingan teknis, pengembangan industri dan manajemen bagi industri kecil menengah dan kreatif; f. memberikan konsultasi dan fasilitasi perlindungan hak kekayaan intelektual khususnya bagi industri kecil, menengah dan industri kreatif; g. melaksanakan bantuan sertifikasi produk-produk industri kecil, menengah, dan kreatif; h. melakukan analisis permasalahan industri kecil menengah dan kreatif guna peningkatan daya saing industri;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 23
i. melakukan analisis pengembangan sentra industri dan sentra industri kreatif j.
memberikan fasilitas bantuan informasi pasar, promosi dan pemasaran proses produk industri kecil, menengah dan industri kreatif di dalam dan luar negeri
k. meningkatkan pertumbuhan wirausaha baru; l. memfasilitasi pemberian penghargaan kepada pelaku industri kecil, menengah, dan kreatif; m. melaksanakan penyusunan bahan rencana strategis dan rencana kerja sesuai dengan lingkup tugasnya; n. melaksanakan penyusunan laporan keuangan, kinerja, kegiatan dan akuntabilitas bidang industri; o. melaksanakan evaluasi pengawasan dan pengendalian kegiatan Seksi Industri Kecil, Menengah, dan Kreatif; dan
p. melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas Seksi Industri Kecil, Menengah dan Kreatif
3. Seksi Kerjasama dan Kemitraan Industri Seksi Manufaktur dan Agro merupakan Satuan Kerja Bidang Industri dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan, kerjasama dan kemitraan industri. Tugas Seksi Kerjasama dan Kemitraan Industri sebagai berikut: a. menyusun bahan rencana kerja strategis dan rencana kerja dan anggaran sesuai dengan lingkup tugasnya; b. melaksanakan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran sesuai dengan lingkup tugasnya; c. menyusun bahan kebijakan, pedoman, dan standar teknis Kerjasama dan Kemitraan industri; d. melaksanakan kerja sama dan kemitraan antara industri kecil menengah dan kreatif dengan industri besar; e. melaksanakan kerja sama dan kemitraan antara industri kecil menengah dan kreatif dengan lembaga keuangan di bidang permodalan;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 24
f. melaksanakan kerja sama dan kemitraan antara industri kecil menengah dan kreatif dengan pasar modern di bidang pemasaran produk; g. melaksanakan kerja sama dan kemitraan antara industri kecil menengah dan
kreatif
dengan
perguruan
tinggi
dalam
hal
penelitian
dan
pengembangan teknologi tepat guna di bidang industri; h. melaksanakan kerja sama dan kemitraan antara industri kecil menengah dan kreatif dengan asosiasi industri dan lembaga lain dalam rangka pengembangan daya saing industri; i. memfasilitasi kemitraan antara industri kecil menengah dan kreatif dengan BUMN/D dan swasta dalam Pemanfaatan Program Kemitraan Bina Lingkungan dan CSR; j.
memfasilitasi pembentukan asosiasi industri;
k. memfasilitasi peningkatan penggunaan produk dalam negeri; l. melaksanakan analisis iklim usaha dan peningkatan kerjasama industri; m. melakukan kerjasama antara pemerintah daerah dengan pemerintah dan antar pemerintah daerah serta kerja sama luar negeri di bidang industri; n. mengkoordinasikan penyusunan bahan rencana strategis dan rencana kerja sesuai dengan lingkup tugasnya; o. mengkoordinasikan penyusunan laporan keuangan, kinerja, kegiatan dan akuntabilitas bidang industri; p. melaksanakan evaluasi pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan Seksi Kerjasama dan Kemitraan Industri; q. menyiapkan bahan laporan Bidang Industri yang terkait dengan tugas Seksi Kerjasama dan Kemitraan industri yang telah dilaksanakan sebagai bahan evaluasi pimpinan; dan r. melaporkan
dan
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas Seksi
Kerjasama dan Kemitraan Industri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 25
Pada lingkup Kota dan Kabupaten Administrasi urusan pemerintahan bidang perindustrian dilaksanakan oleh Suku Dinas Kota dan Suku Dinas Kabupaten yang secara operasional menjadi tugas Seksi Industri dan Energi Sumber Daya Mineral. Tugas Seksi Industri dan Energi Sumber Daya Mineral Suku Dinas Kota sebagai berikut:
a. menyusun bahan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran Suku Dinas Kota Administrasi sesuai dengan Iingkup tugasnya; b. melaksanakan
dokumen
pelaksanaan
anggaran
Suku
Dinas
Kota
Administrasi sesuai dengan Iingkup tugasnya; c.
melaksanaan bimbingan, konsultasi, fasilitasi, pendidikan dan pelatihan, pendampingan, serta pengembangan usaha industri kecil lingkup Kota Administrasi;
d. melaksanakan pembinaan dan penumbuhan wirausaha industri baru di wilayah Kota Administrasi; e. melaksanakan pendataan industri kecil, genset, agen dan pangkalan LPG bersubsidi, sumur resapan dangkal, sumur dalam, pendistribusian BBM, BBG dan LPG di wilayah Kota Administrasi; f.
melaksanakan
pembangunan,
pengawasan,
dan
pemeliharaan
sumur
resapan air tanah dangkal di wilayah Kota Administrasi; g. melaksanakan pencatatan, pengawasan dan pengendalian pemanfaatan air tanah; h. melaksanakan pengawasan, dan pengendalian pengambilan bahan galian pasir laut dan terumbu karang di wilayah Kota Administrasi; i.
melaksanakan
pembangunan,
pengawasan
dan
pengendalian
dan
pemeliharaan energi baru terbarukan dan konservasi energi di wilayah Kota Administrasi; j.
melaksanakan pembangunan, pengawasan, dan pemeliharaan pembangkit, jaringan transmisi dan distribusi listrik di wilayah Kota Administrasi;
k.
melaksanakan pembinaan dan pengembangan industri kecil di wilayah Kota Administrasi;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 26
l.
melaksanakan koordinasi, monitoring, evaluasi industri kecil, energi dan sumber daya mineral di wilayah Kota administrasi;
m. melaksanakan koordinasi dan kemitraan dengan instansi terkait dan pelaku usaha industri kecil di tingkat wilayah Kota administrasi; n. melaksanakanpemberian rekomendasi izin usaha industri kecil, agen LPG bersubsidi; dan o. melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan fungsi Seksi Industri dan Energi Sumber Daya Mineral. Sedangkan tugas Seksi Industri lingkup Suku Dinas Kabupaten sebagai berikut: a. menyusun bahan rencana strategis dan rencana kerja dan anggaran Suku Dinas Kabupaten sesuai dengan Iingkup tugasnya; b. melaksanakan dokumen pelaksanaan anggaran Suku Dinas Kabupaten Administrasi sesuai dengan Iingkup tugasnya; c.
melaksanaan bimbingan, konsultasi, fasilitasi, pendidikan dan pelatihan, pendampingan, serta pengembangan usaha industri kecil lingkup Kabupaten Administrasi;
d. melaksanakan penumbuhan wirausaha industri baru di wilayah Kabupaten Administrasi; e. melaksanakan pendataan industri kecil, genset, agen dan pangkalan LPGbersubsidi, sumur resapan dangkal, sumur dalam, pendistribusian BBM, BBG dan LPG di wilayah kabupaten administrasi; f.
melaksanakan pembangunan,pengawasan, dan pemeliharaan sumur resapan air tanah dangkal di wilayah kabupaten administrasi;
g. melaksanakan pencatatan, pengawasan dan pengendalian pemanfaatan air tanah; h. melaksanakan pengawasan, dan pengendalian pengambilan bahan galian pasir laut dan terumbu karang di wilayah kabupaten administrasi; i.
melaksanakan
pembangunan,
pengawasan
dan
pengendalian
dan
pemeliharaan energi baru terbarukan dan konservasi energi di wilayah kabupaten administrasi; Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 27
j.
melaksanakan pembangunan, pengawasan, dan pemeliharaan pembangkit, jaringan transmisi dan distribusi listrik di wilayah kabupaten administrasi;
k.
melaksanakan pembinaan dan pengembangan industri kecildi wilayah kabupaten administrasi;
l.
melaksanakan koordinasi, monitoring, evaluasi industri kecil, energi dan sumber daya mineral di wilayah kabupaten administrasi;
m. melaksanakan koordinasi dan kemitraan dengan instansi terkait dan pelaku usaha industri kecil di tingkat wilayah kabupaten administrasi; n. melaksanakanpemberian
rekomendasi
izin
industri
kecil,
agen
LPG
bersubsidi; dan o. melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas dan fungsi Seksi Industri dan Energi Sumber Daya Mineral; Mencermati tugas dan fungsi Dinas Perindustrian dan Energi di bidang perindustrian, secara umum wewenang yang diberikan negara kepada Gubernur melalui UU No. 3 Tahun 2014 dilaksanakan oleh Kepala Dinas Perindustrian dan Energi yang secara operasional menjadi tugas Kepala Bidang Industri, yaitu: (a) penyiapan konsep pengaturan dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah, Rancangan Peraturan/Keputusan Gubernur; (b) menyusun konsep rencana pembangnan industri; (c) pelakukan pengembangan industri; (d) membina; (e) mengawasi; (f) pengendalian sebagian dilaksanakan oleh Kepala Badan/Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTST) dalam bentuk perizinan dan non perizinan di bidang perindustrian sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Selain
Dinas
sebagai
pelaksana
urusan
pemerintahan
di
bidang
perindustrian, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki beberapa Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD), antara lain: Unit Industri Kerajinan dan Tekstil sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Gubernur Nomor 281 Tahun 2014. Tugas Unit Industri Kerajinan dan Tekstil adalah melaksanakan pengujian, pengelolaan laboratorium pengujian dan pengembangan desain produk kerajinan. Sedangkan fungsinya sebagai berikut: (a) penyusunan rencana strategis dan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 28
rencana kerja dan anggaran Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (b) pelaksanaan rencana strategis dan dokumen pelaksanaan anggaran Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (c) penyusunan pedoman, standar dan prosedur teknis pengujian hasil industri kerajinan dan tekstil; (d) penyusunan rencana kebutuhan penyediaan, pemeliharaan dan perawatan prasarana dan sarana teknis pengujian industri kerajinan dan tekstil; (e) pengujian mutu bahan baku dan produk industri kerajinan dan tekstil; (f) pelaksanaan bimbingan dan konsultasi teknis untuk peningkatan dan pengawasan mutu, bahan baku, proses, peralatan dan hasil produksi
industri
kerajinan
dan
tekstil;
(g)
penyelenggaraan
pelatihan
pengembangan industri kerajinan dan tekstil; (h) pelaksanaan peningkatan kompetensi
Sumber
Daya
Manusia
(SDM)
melalui
keikutsertaan
dalam
pendidikan dan pelatihan teknis dan non teknis Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (i) pelaksanaan fasilitasi pemasaran dan promosi; (j) pelaksanaan fasilitasi proses standardisasi; (k) pelaksanaan pengujian sertifikasi produk dan sertifikasi sistem mutu; (l) pelaksanaan jasa inspeksi teknis dan pengambilan contoh; (m) pelaksanaan kerja sama dengan instansi terkait dalam rangka pengembangan industri kerajinan dan tekstil dan produk kerajinan dan tekstil kreatif; (n) penyediaan, pemeliharaan dan perawatan prasarana dan sarana teknis Unit Industri dan Kerajinan Tekstil; (o) pengelolaan kepegawaian, keuangan dan barang Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (p) pelaksanaan kegiatan kerumah tanggaan dan ketatausahaan Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (q) pelaksanaan publikasi kegiatan dan pengaturan acara Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (r) pelaksanaan pengelolaan teknologi informasi Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (s) pengelolaan kearsipan Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (t) penyiapan bahan laporan Dinas Perindustrian dan Energi yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Unit Industri Kerajinan dan Tekstil; (u) pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi Unit Industri Kerajinan dan Tektil.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 29
Secara teori terdapat 3 (tiga) wewenang menurut cara memperoleh, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintah oleh pembuat undang-undang. Delegasi47 adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lain, sedangkan mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Ada dua cara organ pemerintahan memperoleh wewenang atribusi dan delegasi.48 Wewenang atribusi berkenaan penyerahan wewenang, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atribusi kepada organ lain), jadi delegasi secara logis selalui didahului oleh atribusi. Mandat tidak dibicarakan penyerahan wewenang, tidak ada pula pelimpahan wewenang. Dalam hal mandat tidak terjadi perubahan wewenang apapun (setidak-tidaknya dalam arti yuridis formal). Yang ada hanya hubungan internal, sebagai contoh Gubernur dengan Kepala Dinas, Kepala Dinas mengambil keputusan tertentu atas nama Gubernur, sementara secara yuridis wewenang dan tanggung jawab tetap berada pada Gubernur. Pegawai memutuskan secara faktual, Gubernur secara yuridis). Berdasarkan uraian tersebut di atas, wewenang Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan perindustrian diberikan oleh negara melalui UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, termasuk wewenang atribusi dan asas legalitas bagi Pemerintahan Daerah untuk mengatur penyelenggaraan perindustrian dengan Peraturan Daerah. Wewenang delegasi adalah wewenang Pemerintah Daerah yang diperoleh atas dasar pelimpahan wewenang dari badan/organ pemerintahan lain. Sifat wewenang delegasi, pelimpahan yang bersumber dari wewenang atribusi. Sebagai contoh, Menteri Perindustrian mendelegasikan kepada Gubernur dalam pemberian izin usaha industri. Akibat hukum ketika wewenang delegasi dijalankan menjadi tanggung jawab penerima delegasi (delegataris), wewenang tersebut tidak dapat digunakan lagi oleh pemberi wewenang kecuali pemberi wewenang (delegans) menilai terjadi penyimpangan atau pertentangan dalam 47 48
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbel, dalam Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 104-105. van Wijk F. A. M Stroink dan J.G. Steenbeek dalam Ridwan HR, Op. Cit., hlm. 105.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 30
menjalankan wewenang tersebut, sehingga wewenang dicabut kembali oleh pemberi delegasi. Sedangkan wewenang mandat adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara bawahan dengan atasan, kecuali dilarang secara tegas oleh peraturan perundang-undangan. Tanggung jawab dan tanggung gugat, wewenang mandat tanggung jawab dan tanggung gugat tetap berada pada pemberi mandat (mandans), sementara penerima mandat (mandataris) tidak dibebani tanggung jawab dan tanggung gugat atas wewenang yang dijalankan. Setiap saat wewenang mandat dapat digunakan atau ditarik kembali oleh pemberi mandat (mandans). Matrik-4.1 Perbedaan Cara Perolehan Wewenang dan Tanggung Jawab49 Cara perolehan Kekuatan mengikatnya
Atribusi Peraturan perundangundangan Tetap melekat sebelum ada perubahan peraturan perundang-undangan
Tanggung jawab dan tanggung gugat
Penerima wewenang bertanggungjawab mutlak akibat yang ditimbulkan dari wewenang
Hubungan wewenang
Hubungan hukum pembentuk undang-undang dengan organ pemerintahan
Delegasi Pelimpahan
Mandat Pelimpahan
Dapat dicabut atau ditarik kembali apabila ada pertentangan atau penyimpangan Pemberi wewenang melimpahkan tanggung jawab dan tanggung gugat kepada penerima wewenang Berdasarkan atas wewenang atribusi yang dilimpahkan
Dapat ditarik atau digunakan sewaktuwaktu oleh pemberi wewenang Berada pada pemberi mandat
Hubungan yang bersifat internal antara bahawan dengan atasan.
Matrik-4.1 menampilkan perbedaan mendasar wewenang (atribusi, delegasi, dan mandat) baik prosedur atau cara perolehan, kekuatan mengikat, tanggung jawab, dan tanggung gugat, maupun hubungan antara pemberi wewenang dengan penerima wewenang. Dalam wewenang baik diperoleh berdasarkan atribusi maupun pelimpahan, sama-sama harus terlebih dahulu dipastikan yang melimpahkan memiliki wewenang dan wewenang tersebut benar-benar ada berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pemberian wewenang delegasi dapat terjadi diantara organ pemerintah sederajat atau antar lembaga yang tidak sederajat atau dari pemerintah atasan kepada pemerintah bawahan. Delegasi juga dapat dilakukan dari Gubernur 49
Sadjijono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang Pressindo, Yogyakarta, 2008., hlm. 61
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 31
kepada Kepala Daerah Kabupaten/Kota daerah otonom atau Bupati/Walikota. Artinya, pendelegasian wewenang dapat dilakukan secara bertingkat atau bertahap dalam arti yang diberikan delegator atau pemberi delegasi kepada penerima delegasi untuk kemudian mendelegasikan lagi untuk diatur pada tahap berikutnya kepada lembaga lain atau lembaga yang lebih rendah. Prosedur pemberian wewenang dalam pengaturan harus memenuhi 3 (tiga) syarat dan salah satunya harus ada.50 Pertama, adanya perintah mengenai subjek lembaga pelaksana diberi delegasi, dan bentuk peraturan pelaksanaan untuk menuangkan ke dalam materi pengaturan didelegasikan. Kedua, ada perintah membentuk pengaturan yang dituangkan ke dalam materi pengaturan yang
didelegasikan.
Ketiga,
ada
perintah
pendelegasian
dari
peraturan
perundang-undangan membentuk peraturan perundang-undangan (dalam hal ini Peraturan Daerah) kepada lembaga penerima delegasi (Pemerintah Daerah) tanpa penyebutan bentuk peraturannya. Berdasarkan uraian tersebut di atas, ada perintah bersifat tegas dan ada perintah bersifat tidak tegas. Dalam hal ”perintah tidak tegas” dikarenakan ada 3 (tiga) kemungkinan.51 Pertama, perintah pengaturan memang ada tetapi tidak tegas menentukan bentuk pengaturan yang dipilih sebagai tempat penuangan materi ketentuan yang didelegasikan pengaturannya. Kedua, perintah pengaturan memang ada, tetapi tidak ditentukan secara jelas lembaga yang diberi delegasi kewenangan atau bentuk pengaturan yang harus ditetapkan untuk menuangkan materi yang didelegasikan. Ketiga, perintah pengaturan sama sekali tidak disebut atau tidak ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, tetapi dibutuhkan daerah dan/atau tidak terelakkan dalam rangka pelaksanaan undang-undang itu sendiri. Di dalam UU No. 3 Tahun 2014 ada perintah bersifat tegas dan ada perintah bersifat tidak tegas diberikan kepada Pemerintah Daerah dan/atau Kepala Daerah dalam hal ini Gubernur. Perintah tersebut, sebagai berikut: Pasal 7 50 51
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006. hal. 381 Ibid, hal. 385
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 32
(1)
Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota secara bersama-sama atau sesuai kewenangan masingmasing menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perindustrian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 10 (1) Setiap Gubernur menyusun Rencana Pembangunan Industri Provinsi. (2)
Rencana Pembangunan Industri Provinsi mengacu kepada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional dan Kebijakan Industri Nasional.
(3)
Rencana Pembangunan Industri Provinsi disusun dengan paling sedikit memperhatikan: a. potensi sumber daya Industri daerah; b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan/atau Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota; dan c. keserasian dan keseimbangan dengan kebijakan pembangunan Industri di kabupaten/kota serta kegiatan sosial ekonomi dan daya dukung lingkungan.
(4)
Rencana Pembangunan Industri Provinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi setelah dievaluasi oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 14 (1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan percepatan penyebaran dan pemerataan pembangunan Industri ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui perwilayahan Industri. (2)
Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan paling sedikit memperhatikan: a. rencana tata ruang wilayah; b. pendayagunaan potensi sumber daya wilayah secara nasional; c. peningkatan daya saing Industri berlandaskan keunggulan sumber daya yang dimiliki daerah; dan d. peningkatan nilai tambah sepanjang rantai nilai.
(3)
Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui: a. pengembangan wilayah pusat pertumbuhan Industri; b. pengembangan kawasan peruntukan Industri; c. pembangunan Kawasan Industri; dan d. pengembangan sentra Industri kecil dan Industri menengah.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 33
Pasal 16 (2) Pembangunan sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku Industri, dan masyarakat.52 (3)
Pembangunan sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan penyebaran dan pemerataan ketersediaan sumber daya manusia Industri yang kompeten untuk setiap wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
(4)
Sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. wirausaha Industri; b. tenaga kerja Industri; c. pembina Industri; dan d. konsultan Industri.
Pasal 20 Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah memfasilitasi pembangunan pusat pendidikan dan pelatihan Industri di wilayah pusat pertumbuhan Industri Pasal 33 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam untuk Industri dalam negeri. (2)
Guna menjamin ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam untuk Industri dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengatur pemanfaatan sumber daya alam bagi kepentingan Industri dalam negeri.
Pasal 36 (1) Pemerintah dan Pemerintah pengembangan, peningkatan pemanfaatan Teknologi Industri. (2)
Daerah bertanggung jawab dalam penguasaan, dan pengoptimalan
Pengembangan, peningkatan penguasaan, dan pengoptimalan pemanfaatan Teknologi Industri dilakukan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, nilai tambah, daya saing, dan kemandirian bidang Industri.
Pasal 42 Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi: a. kerja sama penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Industri antara Perusahaan Industri dan perguruan tinggi atau lembaga penelitian dan pengembangan Industri dalam negeri dan luar negeri; b. promosi alih teknologi dari Industri besar, lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, dan/atau lembaga lainnya ke Industri kecil dan Industri menengah; dan/atau 52
Pasal 16 ayat (1) menyatakan Pembangunan sumber daya manusia Industri dilakukan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten guna meningkatkan peran sumber daya manusia Indonesia di bidang Industri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 34
c. lembaga penelitian dan pengembangan dalam negeri dan/atau Perusahaan Industri dalam negeri yang mengembangkan teknologi di bidang Industri. Pasal 43 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat dalam pembangunan Industri. (2)
Pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memberdayakan budaya Industri dan/atau kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat.
(3)
Dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan: a. penyediaan ruang dan wilayah untuk masyarakat dalam berkreativitas dan berinovasi; b. pengembangan sentra Industri kreatif; c. pelatihan teknologi dan desain; d. konsultasi, bimbingan, advokasi, dan fasilitasi perlindungan Hak Kekayaan Intelektual khususnya bagi Industri kecil; dan e. fasilitasi promosi dan pemasaran produk Industri kreatif di dalam dan luar negeri
Pasal 44 (2) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan usaha, dan/atau orang perseorangan.53 (3)
Pembiayaan yang berasal dari Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diberikan kepada Perusahaan Industri yang berbentuk badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah.
(4)
Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan dalam bentuk: a. pemberian pinjaman; b. hibah; dan/atau c. penyertaan modal.
Pasal 62 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya infrastruktur Industri. (2)
Penyediaan infrastruktur Industri dilakukan di dalam dan/atau di luar kawasan peruntukan Industri.
53 Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, Pemerintah memfasilitasi ketersediaan pembiayaan yang kompetitif untuk pembangunan Industri. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 35
(3)
Infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi: a. lahan Industri berupa Kawasan Industri dan/atau kawasan peruntukan Industri; b. fasilitas jaringan energi dan kelistrikan; c. fasilitas jaringan telekomunikasi; d. fasilitas jaringan sumber daya air; e. fasilitas sanitasi; dan f. fasilitas jaringan transportasi.
(4)
Penyediaan infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui: a. pengadaan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang pembiayaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; b. pola kerja sama antara Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan swasta, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dan swasta; atau c. pengadaan yang dibiayai sepenuhnya oleh swasta.
Pasal 64 (1) Setiap Perusahaan Industri wajib menyampaikan Data Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota. (3)
(4)
Gubernur dan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara berkala harus menyampaikan hasil pengolahan Data Industri sebagai Informasi Industri kepada Menteri melalui Sistem Informasi Industri Nasional. Menteri, Gubernur, dan bupati/walikota memberikan kemudahan kepada Perusahaan Industri dalam menyampaikan Data Industri dan mengakses informasi.
Pasal 65 (1) Setiap Perusahaan Kawasan Industri wajib menyampaikan Data Kawasan Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, Gubernur, dan bupati/walikota. (2)
Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui Sistem Informasi Industri Nasional.
(3)
Gubernur dan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara berkala harus menyampaikan hasil pengolahan Data Kawasan Industri sebagai Informasi Industri kepada Menteri melalui Sistem Informasi Industri Nasional.
(4)
Menteri, Gubernur, dan bupati/walikota memberikan kemudahan kepada Perusahaan Kawasan Industri dalam menyampaikan Data Kawasan Industri dan mengakses informasi.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 36
Pasal 68 (3) Sistem Informasi Industri Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkoneksi dengan sistem informasi yang dikembangkan oleh kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota, serta dapat berinteraksi dengan sistem informasi di negara lain atau organisasi internasional.54 (4)
Untuk menjamin koneksi Sistem Informasi Industri Nasional dengan sistem informasi di daerah, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota membangun sistem Informasi Industri di provinsi dan kabupaten/kota.
Pasal 69 Pejabat dari instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dilarang menyampaikan dan/atau mengumumkan Data Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) yang dapat merugikan kepentingan perusahaan dalam hal perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan persaingan usaha tidak sehat. Pasal 70 (2) Pejabat dari instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang menyampaikan dan/atau mengumumkan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembebasan dari jabatan; c. penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun; d. penurunan pangkat pada pangkat setingkat lebih rendah untuk paling lama 1 (satu) tahun; e. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri; dan/atau f. pemberhentian dengan tidak hormat Pasal 72 (1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembangunan dan pemberdayaan Industri kecil dan Industri menengah untuk mewujudkan Industri kecil dan Industri menengah yang: a. berdaya saing; b. berperan signifikan dalam penguatan struktur Industri nasional; c. berperan dalam pengentasan kemiskinan melalui perluasan kesempatan kerja; dan d. menghasilkan barang dan/atau Jasa Industri untuk diekspor. (2)
54
Untuk mewujudkan Industri kecil dan Industri menengah sebagai-mana dimaksud pada ayat (1) dilakukan: a. perumusan kebijakan; b. penguatan kapasitas kelembagaan; dan c. pemberian fasilitas.
Pasal 68 ayat (1) Menteri membangun dan mengembangkan Sistem Informasi Industri Nasional.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 37
Pasal 74 (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakan penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).55
Pasal 75 (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melaksanakan pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 56 Pasal 78 (2) Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri berkoordinasi dengan menteri terkait, pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait, dan Pemerintah Daerah, serta mempertimbangkan masukan dari pemangku kepentingan terkait. Pasal 86 (1) Produk dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 wajib digunakan oleh: a. lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan satuan kerja perangkat daerah dalam pengadaan barang/jasa apabila sumber pembiayaannya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, termasuk pinjaman atau hibah dari dalam negeri atau luar negeri; dan b. badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha swasta dalam pengadaan barang/jasa yang pembiayaannya berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah dan/atau pekerjaannya dilakukan melalui pola kerja sama antara Pemerintah dengan badan usaha swasta dan/atau mengusahakan sumber daya yang dikuasai negara. Pasal 101 (4) Menteri dapat melimpahkan sebagian kewenangan pemberian izin usaha Industri kepada gubernur dan bupati/walikota. Pasal 105 (3) Menteri dapat melimpahkan sebagian kewenangan pemberian izin usaha Kawasan Industri kepada gubernur dan bupati/walikota.
55
56
Pasal 74 ayat (1), Penguatan kapasitas kelembagaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf b paling sedikit dilakukan melalui: a. peningkatan kemampuan sentra, unit pelayanan teknis, tenaga penyuluh lapangan, serta konsultan Industri kecil dan Industri menengah; dan b. kerja sama dengan lembaga pendidikan, lembaga penelitian dan pengembangan, serta asosiasi Industri dan asosiasi profesi terkait. Pasal 75 ayat (1) Pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) huruf c diberikan dalam bentuk: a. peningkatan kompetensi sumber daya manusia dan sertifikasi kompetensi; b. bantuan dan bimbingan teknis; c. bantuan bahan baku dan bahan penolong; d. bantuan mesin atau peralatan; e. pengembangan produk; f. bantuan pencegahan pencemaran lingkungan hidup untuk mewujudkan Industri Hijau; g. bantuan informasi pasar, promosi, dan pemasaran; h. akses pembiayaan, termasuk mengusahakan penyediaan modal awal bagi wirausaha baru; i. penyediaan Kawasan Industri untuk Industri kecil dan Industri menengah yang berpotensi mencemari lingkungan; dan/atau j. pengembangan, penguatan keterkaitan, dan hubungan kemitraan antara Industri kecil dengan Industri menengah, Industri kecil dengan Industri besar, dan Industri menengah dengan Industri besar, serta Industri kecil dan Industri menengah dengan sektor ekonomi lainnya dengan prinsip saling menguntungkan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 38
Pasal 109 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mendorong penanaman modal di bidang Industri untuk memperoleh nilai tambah sebesar-besarnya atas pemanfaatan sumber daya nasional dalam rangka pendalaman struktur Industri nasional dan peningkatan daya saing Industri.
Pasal 110 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan fasilitas untuk mempercepat pembangunan Industri. (2)
Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada: a. Perusahaan Industri yang melakukan penanaman modal untuk memperoleh dan meningkatkan nilai tambah sebesar-besarnya atas pemanfaatan sumber daya nasional dalam rangka pendalaman struktur Industri dan peningkatan daya saing Industri; b. Perusahaan Industri yang melakukan penelitian dan pengembangan Teknologi Industri dan produk; c. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang berada di wilayah perbatasan atau daerah tertinggal; d. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang mengoptimalkan penggunaan barang dan/atau jasa dalam negeri; e. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang mengembangkan sumber daya manusia di bidang Industri; f. Perusahaan Industri yang berorientasi ekspor; g. Perusahaan Industri kecil dan Industri menengah yang menerapkan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib; h. Perusahaan Industri kecil dan Industri menengah yang memanfaatkan sumber daya alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan; i. Perusahaan Industri yang melaksanakan upaya untuk mewujudkan Industri Hijau; dan j. Perusahaan Industri yang mengutamakan penggunaan produk Industri kecil sebagai komponen dalam proses produksi.
Pasal 117 (5) Pemerintah, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota secara bersama-sama atau sesuai dengan kewenangan masing-masing melaksanakan pengawasan dan pengendalian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 39
Tidak ada wewenang tanpa tanggung jawab,57 karena itu sudah menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah untuk melaksanakan perintah yang diberikan UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Wewenang tersebut diberikan kepada Pemerintah Daerah, yaitu Kepala Daerah dan Perangkat Daerah selaku unsur penyelenggara urusan pemerintahan. Di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan UU No. 29 Tahun 2007, yang diberi wewenang dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang industri adalah Gubernur dan secara operasional menurut Peraturan Daerah No. 18 Tahun 2016 tentang Organisasi Perangkat Daerah sebagaimana diuraikan sebelumnya menjadi tugas Kepala Dinas Perindustrian dan Energi. Kepala Dinas dalam melaksanakan tugas bertanggungjawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Gubernur Nomor 267 Tahun 2016 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Perindustrian dan Energi. Berdasarkan inventarisasi wewenang yang diberikan oleh negara melalui UU No. 3 Tahun 2014 kepada Pemerintah Daerah dan Gubernur penyelenggaraan perindustrian. dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Daerah berwenang menetapkan kebijakan daerah untuk kelancaran dalam pelaksanaan tugas sesuai urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab dan wewenang yang diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Kepala Daerah. Di Provinsi DKI Jakarta, Peraturan Kepala Daerah dalam bentuk Peraturan Gubernur
karena
pelaksanaan
otonomi
berada
pada
lingkup
provinsi
sebagaimana diatur dalam UU No. 29 Tahun 2007.58 Pelaksanaan otonomi tersebut berimplikasi pada pendelegasian atau pelimpahan wewenang. Gubernur tidak
dapat
melimpahkan
wewenang
kepada
Walikota/Bupati
melainkan
pendelegasian tugas, karena kedudukan Walikota/Bupati di Provinsi DKI Jakarta sebagai Kepala Perangkat Daerah bukan Kepala Daerah, kecuali Peraturan Daerah memberikan wewenang kepada Kepala Perangkat Daerah dalam hal 57 58
Philipus M. Hardjon, Wewenang, Makalah pada Penataran Hukum Administrasi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1998, hlm. 9-10. Menurut Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahwa otonomi Provinsi DKI Jakarta diletakkan pada tingkat provinsi.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 40
tertentu, maka urusan tersebut menjadi tanggung jawab Kepala Perangkat Daerah bersangkutan, bukan lagi menjadi tanggung jawab Gubernur. Jika dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian ditetapkan tugas dan wewenang Kepala Perangkat Daerah, maka Rancangan Peraturan Daerah tersebut tidak harmonis dengan Peraturan Daerah tentang Organisasi Perangkat Daerah. Di samping itu, secara politis Kepala Perangkat Daerah yang mendapatkan tugas dan wewenang melalui Peraturan Daerah mempunyai kewajiban menyampaikan laporan atas tugas yang dilaksanakan tidak hanya kepada Gubernur melainkan juga kepada DPRD. Untuk melaksanakan wewenang yang didelegasikan UU No. 3 Tahun 2014, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membutuhkan dana dan peran pelaku usaha di bidang industri dan masyarakat secara aktif. Oleh sebab itu, legalitas dari DPRD yang diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah sangat diperlukan.
4.4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Hak pelaku usaha di bidang industri dalam UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian tidak diatur secara tegas. Sementara salah satu tujuan dibentuknya Peraturan Daerah dalam rangka mewujudkan hak masyarakat melakukan usaha di bidang industri serta memfasilitasi kewajiban pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usaha di bidang industri. Meskipun demikian, berdasarkan definisi industri sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 3 Tahun 2014, dapat ditafsirkan bahwa kegiatan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha di bidang industri menghasilkan “barang” yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk “jasa” industri. Barang dan/atau jasa dimaksud dapat berupa benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Berdasarkan penafsiran tersebut di atas, pengertian pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 41
kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha bidang industri. Makna pelaku usaha berbentuk “badan hukum” maupun “bukan badan hukum” berupa korporasi, yaitu kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.59 Atas dasar uraian tersebut di atas, hak pelaku usaha industri dalam UU No. 3 Tahun 2013 tidak diatur secara tegas, namun dapat indentifikasi, antara lain: (a) mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum dalam melakukan usaha. Perlindungan hukum dimaksud antara lain pelaku usaha yang telah mendapat legalitas atau izin dari Pemerintah Daerah untuk melakukan usaha penyediaan kawasan industri, karena perkembangan perkotaan menyebabkan kawasan industri terkena pelebaran jalan. Kondisi tersebut, memberikan gambaran tidak ada kepastian hukum dalam melakukan usaha; (b) memperoleh data dan informasi yang benar dan akurat serta tepat waktu dalam melakukan kegiatan usaha; (c) mendapatkan lingkungan yang bersih, indah, nyaman dan sehat dari Pemerintah Daerah dan/atau pengelola kawasan; (d) mendapatkan pelayanan secara baik dan berwawasan lingkungan dari Pemerintah Daerah dan/atau pengelola kawasan industri; (e) berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan kegiatan usaha industri; (f) memperoleh pembinaan dalam penyelenggaraan kegiatan usaha industri dari Pemerintah Daerah dan/atau pengelola kawasan; (g) hak-hak lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan hak masyarakat antara lain mendapatkan perlindungan dari dampak negatif kegiatan usaha industri sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 116 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2014. Kewajiban pelaku usaha berdasarkan UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian antara lain: Pasal 64 (1) Setiap Perusahaan Industri wajib menyampaikan Data Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota
59
Lihat Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 42
Pasal 65 (1) Setiap Perusahaan Kawasan Industri wajib menyampaikan Data Kawasan Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota. (2)
Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada disampaikan melalui Sistem Informasi Industri Nasional.
ayat
(1)
Pasal 105 (1) Setiap kegiatan usaha Kawasan Industri wajib memiliki izin usaha Kawasan Industri. (5)
Setiap Perusahaan Kawasan Industri yang melakukan perluasan wajib memiliki izin perluasan Kawasan Industri
Pasal 106 (1) Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri wajib berlokasi di Kawasan Industri.
Berdasarkan kewajiban perusahaan industri tersebut di atas, secara umum kewajiban pelaku usaha di bidang industri sebagai berikut: (a) memberikan data dan informasi yang benar dan akurat serta tepat waktu mengenai kegiatan usaha yang dilakukan; (b) jaminan barang dan/atau jasa yang dihasilkan sesuai standar mutu barang dan/atau jasa dan memberikan penjelasan penggunaan barang dihasilkan; (c) memberikan kesempatan kepada pengguna barang dan/atau jasa untuk menguji barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang dan/atau jasa diproduksi dan/atau dihasilkan; (d) memberikan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang produksi dan/atau dihasilkan; (e) melakukan pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan melalui pilihan jenis proses, yang akrab lingkungan, minimisasi limbah, analisis daur hidup dan teknologi; (f) tidak melanggar ketentuan peraturan perundangundangan. Dalam hal kewajiban pelaku usaha pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan melalui pilihan jenis proses, yang akrab lingkungan, minimisasi limbah, analisis daur hidup dan teknologi bersih dilakukan melalui produksi bersih. Menurut Peraturan Menteri Perindustrian No. 75/M-IND/PER/7/2010 tentang
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 43
Pedoman Cara Produksi Pangan Olahan Yang Baik (Good Manufacturing Practices) atau disingkat dengan CPPOB, bahwa penerapan CPPOB bertujuan untuk: (a) mencegah tercemarnya pangan olahan dari cemaran biologi, kimia/fisik yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia; (b) membunuh
atau
mencegah
berkembangbiak jasad
renik patogen
serta
mengurangi jumlah jasad renik lain yang tidak dikehendaki; (c) mengendalikan produksi
melalui
pemilihan
bahan
baku,
penggunaan
bahan
penolong,
penggunaan bahan pangan lainnya, penggunaan bahan tambahan pangan (BTP), pengolahan, pengemasan, dan penyimpangan/pengangkutan. Selain itu, produksi bersih sebagai upaya mengurangi limbah baik limbah padat maupun limbah cair dari sumbernya, melalui eliminasi yang merupakan metode pengurangan limbah secara total, bila perlu tidak mengeluarkan limbah sama sekali (zero discharge). Di dalam konsep penerapan produksi bersih termasuk metode pencegahan pencemaran; (b) minimisasi limbah (mengurangi sumber limbah), strategi pengurangannya menjaga limbah tidak terbentuk pada tahap awal. Pencegahan limbah memerlukan beberapa perubahan penting terhadap proses; (c) daur ulang (recycle), apabila timbul limbah tidak dapat dihindarkan dalam suatu proses, maka strategi untuk meminimkan limbah sampai batas tertinggi yang mungkin dilakukan harus antara lain daur ulang dan/atau penggunaan kembali (re-use). Jika limbah tidak dapat dicegah, pengolahan limbah dapat dilakukan; (d) pengendalian pencemaran, jika terpaksa dilakukan karena dalam proses perancangan produksi belum dapat mengantisipasi adanya teknologi baru yang sudah bebas terjadinya limbah; (e) pengolahan dan pembuangan, merupakan suatu komponen penting dari keseluruhan program manajemen lingkungan; (f) remediasi, penggunaan kembali bahan yang terbuang bersama limbah dengan tujuan mengurangi kadar peracunan dan kuantitas limbah yang ada. Sesuai tujuan produksi bersih sebagaimana diuraikan di atas terkait juga dengan minimisasi limbah padat atau sampah sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Menurut Pasal 15 undang-undang tersebut, produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang diproduksinya
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 44
yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam.60
Atas dasar ketentuan
tersebut pelaku usaha di bidang industri yang menimbulkan sampah yang alami proses penguraian sampah sulit dilakukan menjadi tanggung jawab pelaku usaha untuk membiayai seluruh proses pengelolaan sampah. Oleh sebab itu, pelaku usaha di bidang industri harus berupaya menggunakan bahan produksi (bahan baku, bahan penolong, bahan tambahan, atau kemasan produk) menimbulkan sampah sesedikit mungkin, dapat diguna ulang, dapat didaur ulang, dan/atau mudah diurai oleh proses alam. 61 Demikian halnya dengan pengelola kawasan industri memiliki kewajiban antara lain menyediakan fasilitas pemilihan sampah, menyediakan tempat penampungan sampah sementara (TPS) terpilah atau disebut TPS-3R.62 Kewajiban lain pelaku usaha di bidang industri tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain: larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999. Praktek monopoli dimaksud adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sedangkan yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.
60 Yang dimaksud dengan produsen menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, adalah pelaku usaha yang memroduksi barang yang menggunakan kemasan, mendistribusikan barang yang menggunakan kemasan dan berasal dari impor, atau menjual barang dengan menggunakan wadah yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. 61 Lihat Pasal 20 ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. 62 Tempat pengolahan sampah dengan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) atau TPS 3R adalah tempat dilaksanakannya kegiatan pengumpulan, pemilahan, penggunaan ulang, dan pendauran ulang skala kawasan sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 188,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5347).
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 45
4.5. Kawasan Industri dan Sentra Industri Kecil dan Menengah (IKM) Pengertian kawasan industri menurut Pasal 1 angka 11 UU No. 3 Tahun 2014, adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri. Sedangkan pengertian sentra IKM UU No. 3 Tahun 2014 tidak mendefinisikan. Meskipun demikian, dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 78/M-IND/PER/9/2007 tentang Peningkatan Efektifitas Pengembangan Industri Kecil dan Menengah Melalui Pendekatan Satu Desa Produk (One Village One Product – OVOP) di Sentra, yang dimaksud dengan sentra adalah suatu wilayah atau kawasan tertentu tempat sekelompok perusahaan IKM yang menghasilkan produk sejenis, menggunakan bahan baku sejenis, atau melakukan proses pengerjaannya sama. Dengan demikian yang dimaksud dengan Sentra IKM adalah kawasan tempat sekelompok perusahaan IKM yang menghasilkan produk sejenis, menggunakan bahan baku sejenis, atau melakukan proses pengerjaannya sama. Dalam rangka peningkatan daya saing dan daya tarik investasi yakni terciptanya iklim usaha yang kondusif, efisiensi, kepastian hukum, dan pemberian fasilitas serta kemudahan lain dalam melakukan kegiatan usaha industri, antara lain tersedianya prasarana industri yang memadai berupa Kawasan Industri yang dikelola oleh Pengertian kawasan industri yaitu perusahaan yang mengusahakan pengembangan dan pengelolaan kawasan Industri.63 Berdasarkan PP No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4987), tujuan penyediaan kawasan industri untuk: (a) mengendalikan pemanfaatan ruang; (b) meningkatkan upaya pembangunan industri yang berwawasan lingkungan; (c) meningkatkan daya saing industri; (d) meningkatkan daya saing investasi; (e) memberikan kepastian lokasi dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur, yang terkoordinasi antar sektor terkait.
63
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 46
Menurut Pasal 7 PP No. 24 Tahun 2009 bahwa perusahaan industri yang akan menjalankan industri wajib berlokasi di Kawasan Industri, kecualikan bagi: (a) perusahaan industri menggunakan bahan baku dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus; (b) industri mikro, kecil, dan menengah; (c) perusahaan industri yang akan menjalankan industri dan berlokasi di daerah kabupaten/kota yang belum memiliki kawasan industri atau yang telah memiliki kawasan industri namun seluruh kaveling industri dalam kawasan industrinya telah habis. Kewajiban Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyediakan kawasan industri dan sentra industri kecil dan menengah sesuai dengan kondisi wilayah Provinsi DKI Jakarta sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU No. 3 Tahun 2014, memperhatikan sekurang-kurangnya rencana tata ruang wilayah (RTRW) sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2012 tentang RTRW 2030 serta Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2014 tentang RDTR dan Peraturan Zonasi. Kawasan industri yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tersebut, sebagai berikut: 1. Kota Administrasi Jakarta Utara Rencana pengembangan kawasan industri di Kota Administrasi Jakarta Utara dengan ketentuan: (a) pembatasan kegiatan industri di kawasan yang sudah ada di Penjaringan, Kelapa Gading, dan Cilincing; (b) pengembangan industri selektif di Marunda dan Cilincing. Pemanfaatan ruang kawasan industri dilaksanakan berdasarkan arahan sebagai berikut: (a) penataan industri kecil termasuk penyediaan pengelolaan limbah di Cilincing dan Kali Baru; (b) peningkatan teknologi guna mengurangi polusi pada kegiatan industri menengah dan besar di Ancol Barat, Marunda, dan Cilincing.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 47
2. Kota Administrasi Jakarta Barat Rencana pengembangan kawasan industri di Kota Administrasi Jakarta Barat dilaksanakan berdasarkan arahan sebagai berikut: (a) pembangunan kawasan industri di Cengkareng, Kalideres dan sepanjang koridor Sungai Mookervart; (b) pengembangan industri selektif dan ramah lingkungan di Cengkareng dan Kalideres; (c) pengembangan kawasan industri di Kapuk dan Kalideres untuk menampung kegiatan industri yang berkembang; (d) pengembangan pusat Pengembangan Industri Kecil dan Menengah di Semanan secara terbatas.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 48
3. Kota Administrasi Jakarta Selatan Rencana pengembangan kawasan industri di Kota Administrasi Jakarta Selatan dilaksanakan pada kawasan industri di sebelah selatan jalan lingkar luar (outer ring road) dengan pembatasan pengembangan industri baru, peningkatan daya resap air, dan mengembangkan pengelolaan limbah agar tidak mencemari sungai/kali/waduk/situ.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 49
4. Kota Administrasi Jakarta Timur Rencana pengembangan kawasan industri di Kota Administrasi Jakarta Timur dilaksanakan berdasarkan arahan sebagai berikut: (a) pengembangan industri besar di Kawasan Industri Pulo Gadung, Kecamatan Cakung, Kecamatan Ciracas dan Kecamatan Pasar Rebo; (b) pengembangan industri berteknologi tinggi yang tidak menggangu lingkungan dengan bangunan bertingkat tinggi di Kawasan Industri Pulo Gadung; (c) pengembangan kegiatan industri kecil yang tidak polutif terutama di Kelurahan Penggilingan dan Kramatjati; (d)
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 50
penataan kawasan industri sebagai kawasan industri selektif di Kawasan Industri Pulo Gadung, Kecamatan Cakung, Kecamatan Ciracas, dan Kecamatan Pasar Rebo; (e) penataan industri berlokasi dekat permukiman dengan penyediaan fasilitas pengolahan limbah terpadu di Kelurahan Penggilingan, Pondok Bambu, Duren Sawit, dan Kelurahan Kramatjati.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 51
Berdasarkan kebijakan tata ruang dalam penetapan lahan kawasan industri sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2012 dan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2014, memberikan makna perusahaan kawasan industri berbentuk badan hukum (Badan usaha milik negara atau badan usaha milik
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 52
daerah, Koperasi, atau Badan usaha swasta),64 dapat melakukan usaha penyediaan kawasan industri sesuai persyaratan yang ditetapkan dalam PP No. 24 Tahun 2009, antara lain harus mendapatkan izin Usaha Kawasan Industri. Untuk mendapatkan Izin Usaha Kawasan Industri tersebut, Perusahaan Kawasan Industri wajib memperoleh Persetujuan Prinsip sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perusahaan yang telah memperoleh Persetujuan Prinsip dalam batas waktu 2 (dua) tahun wajib melaksanakan: (a) penyediaan/penguasaan tanah; (b) penyusunan rencana tapak tanah; (c) pematangan tanah; (d) penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan mendapatkan pengesahan; (e) perencanaan dan pembangunan prasarana dan sarana penunjang termasuk pemasangan instalasi/peralatan yang diperlukan; (f) penyusunan Tata Tertib Kawasan Industri; (g) pemasaran kaveling industri; (h) penyediaan, pengoperasian, dan/atau pemeliharaan pelayanan jasa bagi Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri. Dalam batas waktu untuk mempersiapkan pembangunan Kawasan Industri hanya dapat diperpanjang untuk satu kali dengan batas waktu paling lama 2 (dua) tahun. Perusahaan kawasan industri yang telah memperoleh Persetujuan Prinsip wajib memperoleh Izin Lokasi Kawasan Industri dengan mengajukan permohonan kepada Gubernur. Pemberian Izin Lokasi Kawasan Industri kepada Perusahaan Kawasan Industri dilakukan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi DKI Jakarta, saat ini RTRW 2030 sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012. Perusahaan Kawasan Industri wajib memiliki tata tertib kawasan industri sebagaimana diatur dalam Pasal 21 PP No. 24 Tahun 2009. Tata Tertib Kawasan Industri dimaksud paling sedikit memuat informasi mengenai: (a) hak dan kewajiban masing-masing pihak; (b) ketentuan yang berkaitan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sesuai hasil studi Analisis Dampak Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan; (c) ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait; (d) ketentuan lain yang ditetapkan oleh pengelola Kawasan Industri. 64
Pasal 15 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 53
Selain itu, perusahaan kawasan industri wajib memfasilitasi perizinan dan hubungan industrial bagi perusahaan industri yang berada di kawasan industri dan wajib memenuhi pedoman teknis kawasan industri sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 35/V-IND/PER/3/2010 tentang Pedoman Teknis Kawasan Industri. Kawasan industri berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup sehingga kewajiban Perusahaan Kawasan Industri melakukan upaya pencegahan pencemaran air sesuai baku mutu air limbah sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2010 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Kawasan Industri. Yang dimaksud baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemar dan/atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam sumber air dari suatu usaha dan/atau kegiatan. Menurut Permen Lingkungan Hidup tersebut, bahwa setiap kawasan industri yang telah mempunyai IPAL terpusat wajib menaati baku mutu air limbah ditetapkan berdasarkan kadar dan kuantitas air limbah Maksimum. Sedangkan kawasan industri belum mempunyai IPAL terpusat, berlaku baku mutu air limbah bagi jenis usaha dan/atau kegiatan sesuai dengan peraturan menteri yang mengatur mengenai baku mutu air limbah. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas bahwa setiap kawasan industri wajib
memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah Terpusat (IPAL) terpusat, yaitu instalasi yang digunakan untuk mengolah air limbah yang berasal dari seluruh industri dan aktivitas pendukungnya yang ada dalam kawasan industri. Atas dasar itu, Penanggung jawab kawasan industri memiliki kewajiban sebagai berikut: (a) (b)
(c)
menaati baku mutu air limbah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; melakukan pengelolaan air limbah sehingga mutu air limbah yang dibuang ke sumber air tidak melampaui baku mutu air limbah yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; menggunakan saluran pembuangan air limbah yang kedap air sehingga tidak terjadi perembesan air limbah ke lingkungan;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 54
(d)
tidak melakukan pengenceran air limbah, termasuk mencampur buangan air bekas pendingin ke dalam aliran buangan air limbah yang berasal dari IPAL terpusat; (e) memisahkan saluran buangan air limbah dengan saluran limpasan air hujan; (f) menetapkan titik penaatan untuk pengambilan contoh uji; (g) memasang alat ukur debit atau laju alir air limbah dan melakukan pencatatan debit harian air limbah tersebut; (h) melakukan pemantauan harian kadar parameter baku mutu air limbah, untuk parameter pH dan COD; (i) memeriksakan kadar parameter baku mutu air limbah secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan ke laboratorium yang telah terakreditasi dan teregistrasi di Kementerian Lingkungan Hidup; (j) menyampaikan laporan debit harian air limbah, pemantauan harian kadar parameter air limbah, dan hasil analisa laboratorium terhadap baku mutu air limbah secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan kepada Gubernur dengan tembusan Meteri Lingkungan Hidup dan Badan Lingkungan Hidup Daerah sesuai dengan peraturan perundangan-undangan; (k) melaporkan kepada Gubernur dengan tembusan Menteri Lingkungan Hidup mengenai terjadinya keadaan darurat dan/atau kejadian tidak normal yang mengakibatkan baku mutu air limbah dilampaui serta upaya penanggulangannya paling lama 2 x 24 jam. Tabel-4.3 Baku Mutu Air Limbah Kawasan Industri No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Parameter pH TSS BOD COD Sulfida Amonia (NH3-N) Fenol Minyak dan Lemak MBAS Kadmium Krom Heksavalen (Cr6+) Krom total (Cr) Tembaga (Cu) Timbal (Pb)
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Satuan mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L
Kadar Max 6-9 150 50 100 1 20 1 15 10 0,1 0,5 1 2 1
Bab 4 - 55
No. 15. 16. 17.
Parameter Nikel (Ni) Seng (Zn) Kuantitas Air Limbah Maksimum
Satuan Kadar Max mg/L 0,5 mg/L 10 0,8 L perdetik per Ha Lahan Kawasan Terpakai
Sumber : Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 3 Tahun 2010
Perusahaan industri yang berada di dalam Kawasan industri wajib memiliki Upaya Pengelolaan Lingkungan, dan Upaya Pemantauan Lingkungan. Bagi perusahaan
industri
di
dalam
kawasan
industri
yang
mengelola
atau
memanfaatkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) wajib menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan mendapat pengesahan. Perusahaan industri di dalam Kawasan Industri dikecualikan dari perizinan yang menyangkut Gangguan, Lokasi, dan pengesahan rencana tapak tanah. Kewajiban Perusahaan Industri di kawasan Industri sebagai berikut: (a) memenuhi semua ketentuan perizinan dan tata tertib kawasan industri; (b) memelihara daya dukung lingkungan di sekitar kawasan termasuk tidak melakukan pengambilan air tanah; (c) melakukan pembangunan pabrik dalam batas waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak pembelian lahan; (d) mengembalikan kaveling Industri kepada Perusahaan Kawasan Industri apabila dalam batas waktu yang ditentukan sudah berakhir bagi tidak melakukan pembangunan pabrik. tata cara pengembalian kaveling industri diatur lebih lanjut dalam tata tertib kawasan industri masingmasing kawasan industri. Penyediaan kawasan industri dan sentra IKM dapat dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui kerjasama dengan pihak swasta sesuai ketentuan yang ditetapkan PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4761). Menurut PP tersebut, yang dimaksud kerjasama daerah adalah kesepakatan antara gubernur dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/walikota atau antara bupati/ walikota dengan bupati/walikota lain, dan/atau gubernur, bupati/walikota dengan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban. Pelaksanaan kerjasama berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 22 Tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Kerjasama Daerah. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 56
Bentuk kerjasama yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan swasta (badan hukum) dalam penyediaan kawasan industri dan sentra IKM berdasarkan peraturan perundang-undangan, sebagai berikut: 1. Kerja sama Pemanfaatan (KSP) Kerjasama pemanfaatan (KSP) berupa pendayagunaan barang milik daerah oleh “pihak lain” dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan daerah dan sumber pembiayaan lain.65 Beberapa ahli kontrak bahwa KSP disebut kerjasama operasi, yaitu perikatan antara pemerintah daerah dengan pihak ketiga dengan ketentuan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyediakan barang milik daerah (misalnya lahan) dan pihak ketiga menamankan modal yang dimilikinya dalam salah satu usaha, selanjutnya kedua belah pihak secara bersama-sama atau bergantian mengelola manajemen dan proses operasionalnya, keuntungan dibagi sesuai dengan besarnya sharing masing-masing.66 Barang milik daerah yang dapat dikerjasamakan menurut Pasal 25 PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, berupa tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada Gubernur dan dilaksanakan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan Gubernur, dan/atau sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh pengguna barang, atau kerjasama pemanfaatan atas barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan dan dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang (Sekretaris Daerah).
65 66
Pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah, dan Pasal 1 angka 21 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah. Sri Gambir Melati Hatta, Klausul-Klausul Dalam Perjanjian Kerjasama – MOU Pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta: Telahaan dari Segi Hukum. Makalah Dalam Bimbingan Teknis Perjanjian Kerjasama / MOU yang diselenggarakan oleh Biro Hukum Setda Provinsi DKI Jakarta, di Hotel Nikko, tanggal 26 s/d 29 November 2007.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 57
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas kerjasama pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah dan/atau bangunan dapat dilakukan dengan ketentuan, (a) tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh Pengguna Barang (Kepala SKPD) kepada Pengelola Barang (Sekretaris Daerah). Kerja sama tersebut dapat dilaksanakan Pengelola Barang (Sekretaris Daerah); (b) tanah dan/atau bangunan yang sudah diserahkan oleh Pengguna Barang (Kepala SKPD) kepada Gubernur dan dilaksanakan oleh Pengelola Barang (Sekretaris Daerah) setelah mendapat persetujuan dari Gubernur; (c) tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan Pengguna Barang (Kepala SKPD); (d) selain tanah dan/atau bangunan, kerjasama dapat dilaksanakan oleh Pengguna Barang (Kepala SKPD) setelah mendapat persetujuan Pengelola Barang (Sekretaris Daerah). Meskipun Sekretaris Daerah diberi wewenang untuk melaksanakan kerjasama pemanfaatan/penggunaan barang milik daerah (tanah dan/atau bangunan), namun tanggung jawab tetap berada pada Gubernur. Oleh sebab itu, setiap pelaksanaan kerjasama penggunaan barang milik daerah dengan pihak lain (swasta) harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu dari Gubernur sesuai persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 PP No. 6 Tahun 2006, meliputi : a) tidak tersedianya atau tidak cukup tersedianya dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi biaya operasional/pemeliharaan/perbaikan yang diperlukan terhadap barang milik daerah dimaksud; b) mitra
kerjasama
pemanfaatan
ditetapkan
melalui
tender
dengan
mengikutsertakan sekurang-kurangnya 5 (lima) peserta/peminat. Apabila setelah 2 kali berturut-turut diumumkan peminatnya kurang dari 5 (lima) dapat dilakukan proses pemilihan langsung atau penunjukan langsung melalui negosiasi baik teknis maupun harga, kecuali untuk barang milik daerah yang bersifat khusus dapat dilakukan penunjukan langsung seperti penggunaan tanah dan/atau bangunan antara lain pengelolaan limbah atau sampah;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 58
c) mitra kerjasama pemanfaatan harus membayar kontribusi tetap ke rekening
kas
pengoperasian
umum daerah yang
setiap
ditetapkan
dan
tahun
selama
pembagian
jangka
keuntungan
waktu hasil
kerjasama pemanfaatan.67 Penetapan besar kontribusi tetap dan pembagian keuntungan hasil kerjasama ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan Tim Penilai yang dibentuk dengan Keputusan Gubernur, dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut: (a) nilai tanah dan/atau bangunan sebagai objek kerjasama ditetapkan sesuai nilai jual objek pajak (NJOP) dan/atau harga pasaran umum. Apabila dalam satu lokasi terdapat nilai NJOP dan/atau pasaran umum yang berbeda dilakukan penjumlahan dan dibagi sesuai jumlah yang ada; (b) kegiatan kerjasama pemanfaatan untuk kepentingan umum dan/atau kegiatan perdagangan; (c) besaran investasi dari mitra kerja; (d) penyerapan tenaga kerja dan peningkatan PAD. 68 Jangka waktu kerjasama pemanfaatan barang milik daerah paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani dan dapat diperpanjang sesuai Pasal 26 huruf g PP No. 6 Tahun 2006 dan Pasal 38 ayat (5) Permendagri No. 17 Tahun 2007.69 Setelah berakhirnya jangka waktu kerja sama pemanfaatan menurut Pasal 39 Permendagri No. 17 Tahun 2007, Gubernur menetapkan status penggunaan atas tanah dan/atau bangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Surat perjanjian kerjasama pemanfatan barang milik daerah menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 17 Tahun 2007, sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut: (a) pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian; 67 68 69
Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Ibid Menurut Pasal 26 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah, jangka waktu kerjasama pemanfaatan infrastruktur paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak perjanjian ditandatangani. Infrastruktur dimaksud meliputi: (a) infrastruktur transportasi meliputi pelabuhan laut, sungai atau danau, bandar udara, jaringan rel dan stasiun kereta api; (b) infrastruktur jalan meliputi jalan tol dan jembatan; (c) infrastruktur sumber daya air meliputi saluran pembawa air baku dan waduk/bendungan; (d) infrastruktur air minum meliputi bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, dan instalasi pengolahan air minum; (e) infrastruktur air limbah meliputi instalasi pengolahan air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkutan dan tempat pembuangan; (f) infrastruktur telekomunikasi meliputi jaringan telekomunikasi; (g) infrastruktur ketenagalistrikan meliputi pembangkit, transmisi, atau distribusi tenaga listrik; (h) infrastruktur minyak dan gas bumi meliputi pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, transmisi, dan distribusi minyak dan gas bumi.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 59
(b) objek kerjasama pemanfaatan; (c) jangka waktu kerjasama pemanfaatan; (d) pokok-pokok mengenai kerjasama pemanfaatan; (e) data barang milik daerah menjadi objek kerjasama pemanfaatan; (f) hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian; (g) besarnya kontribusi tetap dan pembagian hasil keuntungan ditetapkan dengan Keputusan Gubernur dan dicantumkan dalam surat perjanjian kerjasama pemanfaatan; (h) sanksi; dan (i) persyaratan lain yang dianggap perlu. 70 2. Bangun Guna Serah (BGS) dan Bangun Serah Guna (BSG) BGS adalah pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, yang kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.71 Berdasarkan pengertian tersebut, Pemerintah Daerah memiliki tanah dan/atau bangunan siap pakai dan/atau menyediakan, menambah sarana lain berikut fasilitas di atas tanah dan/atau bangunan dan mendayagunakan selama kurun waktu tertentu untuk kemudian setelah jangka waktu berakhir menyerahkan kembali tanah dan/atau bangunan dan/atau sarana lain berikut fasilitasnya kepada Pemerintah Daerah. Pengertian BSG adalah pemanfaatan barang milik daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya dan setelah selesai pembangunan diserahkan untuk didayagunakan pihak lain dalam jangka waktu tertentu.72 Berdasarkan pengertian tersebut, BSG salah satu bentuk pemanfaatan tanah dan/atau bangunan milik Pemerintah Daerah oleh Pihak Ketiga. Pihak Ketiga membangun bangunan siap pakai dan/atau menyediakan/menambah sarana lain berikut fasilitas di atas tanah dan/atau bangunan tersebut dan setelah selesai pembangunannya diserahkan 70 71 72
Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah. Pasal 1 angka 12 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, dan Pasal 1 angka 22 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan B arang Milik Daerah. Pasal 1 angka 13 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah, dan Pasal 1 angka 24 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 60
kepada Pemerintah Daerah untuk kemudian oleh Pemerintah Daerah tanah dan/atau bangunan siap pakai dan/atau sarana lain berikut fasilitasnya diserahkan kembali kepada pihak lain untuk didayagunakan selama kurun waktu tertentu. Wewenang pelaksanaan BGS dan BSG menurut Pasal 27 ayat (3) PP No. 6 Tahun 2006, dilaksanakan Pengelola Barang (Sekretaris Daerah) setelah mendapat persetujuan dari Gubernur. Persyaratan pelaksanaan BGS sebagaimana termuat dalam lampiran Permendagri No. 17 Tahun 2007, sebagai berikut: (a) gedung yang dibangun berikut fasilitas harus sesuai kebutuhan Pemerintah Daerah dan sesuai dengan tugas dan fungsi; (b) Pemerintah Daerah memiliki tanah yang belum dimanfaatkan; (c) dana untuk pembangunan berikut penyelesaian fasilitasnya tidak membebani APBD; (d) bangunan hasil guna serah harus dapat dimanfaatkan secara langsung oleh Pihak Ketiga; (e) mitra BGS harus mempunyai kemampuan dan keahlian; (f) objek BGS berupa sertfikat tanah hak pengelolaan milik Pemerintah Daerah tidak boleh dijaminkan, digadaikan dan dipindah tangankan; (g) pihak ketiga akan memperoleh hak guna bangunan (HGB) di atas HPL milik Pemerintah Daerah; (h) HGB di atas HPL milik Pemerintah Daerah dapat dijadikan jaminan, diagunkan dengan dibebani hak tanggungan dan hak tanggungunan dimaksud akan hapus dengan habisnya HGB; (i) izin mendirikan bangunan (IMB) atas nama Pemerintah Daerah; (j) objek pemeliharaan meliputi tanah beserta bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya; (k) mitra kerja BGS membayar kontribusi ke kas daerah setiap tahun selama jangka waktu pengoperasian. Sedangkan persyaran pelaksanaan BSG sebagaimana diatur dalam Pasal 44 Permendagri No. 17 Tahun 2007, sebagai berikut: (a) mitra BSG harus menyerahkan hasil BSG kepada Gubernur setelah selesai pembangunan; (b) mitra BSG dapat mendayagunakan barang milik daerah tersebut sesuai jangka waktu yang ditetapkan dalam surat perjanjian; (c) setelah jangka waktu pendayagunaan berakhir, objek BSG terlebih dahulu diaudit oleh aparat
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 61
pengawasan
fungsional
pemerintah
daerah
sebelum
penggunaannya
ditetapkan oleh Gubernur. Besaran kontribusi ditetapkan berdasarkan hasil perhitungan oleh Tim yang dibentuk dengan Keputusan Gubernur. Kewajiban lain yang menjadi beban Pemerintah Daerah adalah biaya penelitian, pengkajian, penaksiran, dan pengumuman lelang, sedangkan kewajiban lain yang menjadi beban pihak ketiga adalah biaya persiapan dan pelaksanaan penyusunan surat perjanjian, konsultan pelaksanaan/pengawas. Prosedur pelaksanaan BSG, permohonan pengguna pusahaan ditujukan kepada Panitia tender/lelang yang dilengkapi dengan data perusahaan dan data teknis sebagai berikut: (a) akta pendirian; (b) memiliki SIUP sesuai bidangnya; (c) telah melakukan kegiatan usaha sesuai bidangnya; (d) mengajukan proposal; (e) memiliki keahlian di bidangnya; (f) memiliki modal kerja yang cukup. Data teknis yang diperlukan, meliputi : (a) tanah lokasi/alamat, luas, status, penggunaan saat ini; (b) bangunan : lokasi/alamat, luas, status kepemilikan; (c) rencana pembangunan gedung dengan memperhatikan KDB (koefisien dasar bangunan), KLB (koefisien luas bangunan), dan rencna pembangunan, dan sebagainya.73 Surat Perjanjian pelaksanaan BGS dan BGS atas barang milik daerah menurut Pasal 41 ayat (7) dan Pasal 43 ayat (7) Permendagri No. 17 Tahun 2007, bahwa surat perjanjian BGS sekurang-kurang-nya memuat: (a) pihakpihak terikat dalam perjanjian; (b) objek BGS; (c) jangka waktu BGS; (d) pokok-pokok mengenai BGS; (d) data barang milik daerah yang menjadi objek BGS; (e) hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian; (f) jumlah / besarannya kontribusi yang harus dibayar oleh Pihak Ketiga; (h) sanksi; (i) persyaratan lain yang dianggap perlu. Sedangkan surat perjanjian BSG sekurang-kurangnya memuat: pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian; objek bangun serah guna; jangka waktu bangun serah guna; hak dan kewajiban para pihak yang terikat dalam perjanjian; dan persyaratan lain yang dianggap perlu. Surat perjanjian tersebut ditandatangani 73
Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 62
oleh Pengelola Barang (Sekretaris Daerah) atas nama Gubernur dan mitra kerjasama. Kerjasama dapat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penyediaan infrastruktur industri di luar kawasan peruntukan industri sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 62 UU No. 3 Tahun 2014 berikut ini: (1)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya infrastruktur Industri.
(2)
Penyediaan infrastruktur Industri dilakukan di dalam dan/atau di luar kawasan peruntukan Industri.
(3)
Infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi: a. lahan Industri berupa Kawasan Industri dan/atau kawasan peruntukan Industri; b. fasilitas jaringan energi dan kelistrikan; c. fasilitas jaringan telekomunikasi; d. fasilitas jaringan sumber daya air; e. fasilitas sanitasi; dan f. fasilitas jaringan transportasi.
(4)
Penyediaan infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui: a. pengadaan oleh Pemerintah/Pemerintah Daerah yang pembiayaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; b. pola kerja sama antara Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dengan swasta, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dan swasta; atau c. pengadaan yang dibiayai sepenuhnya oleh swasta.
Demikian halnya dalam penyediaan infrastruktur industri, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam bekerjasama dengan badan usaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 63
4.6. Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri Sumber Daya Manusia (SDM) faktor penting untuk pendorong pertumbuhan ekonomi termasuk bidang industri. Oleh sebab itu, ketersediaan SDM yang bermutu merupakan salah satu syarat bagi peningkatan dan keberlanjutan pertumbuhan industri baik di daerah Provinsi DKI Jakarta maupun nasional di masa datang. Menurut hasil kajian yang dilakukan Kementerian Perindustrian, ada 4 (empat) permasalahan dihadapi pelaku usaha di bidang industri dalam pemenuhan kebutuhan SDM, yaitu: (1) persoalan hukum atau peraturan perundang-perundangan
terutama
berkaitan
dengan
upah
minimum dan
kewajiban pembayaran pesangon yang tidak sesuai dengan kemampuan perusahaan; (2) kualitas SDM lulusan sekolah menengah (umum maupun kejuruan) secara umum masih belum memenuhi atau tidak sesuai kebutuhan industri, terutama untuk mengisi posisi pekerja tingkat menengah; (3) kelangkaan pasokan SDM ahli (profesional di bidang manufacturing dan pendukung kegiatan industri lainnya); (4) tidak ada insentif bagi pelaku industri untuk melatih pekerja. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi peningkatan kualitas SDM di bidang industri melalui pendidikan formal diatur dalam peraturan perundangperundangan yang ada saat ini, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional sebagai aturan pelaksanaan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pada lingkup daerah Provinsi DKI Jakarta diatur 2 (dua) produk hukum daerah, yaitu Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2004 Nomor 60) dan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Sistem Pendidikan (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2006 Nomor 8). Pasokan SDM industri sebagian besar berasal dari lembaga pendidikan dan/atau pelatihan yang dikelola pemerintah (Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah) dan swasta yang pembinaan dan pengawasan pada lingkup daerah berada pada Dinas Pendidikan serta Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk pelatihan kerja yang secara operasional
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 64
dilakukan oleh Pusat Pelatihan Kerja Daerah yang dulu disebut dengan Balai Latihan Kerja Daerah. Berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan, secara umum pendidikan dibagi ke dalam tujuh jenis, yaitu pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus. Ketujuh jenis pendidikan tersebut memiliki peran masing-masing dalam membangun mutu SDM, termasuk SDM yang diperlukan oleh dunia industri. Dari ketujuh jenis tersebut, dua jenis diantaranya berkaitan erat dengan SDM industri, yaitu jenis pendidikan kejuruan dan vokasi. Pada dua jenis pendidikan tersebut terdapat jurusan yang terkait dengan industri atau yang biasa disebut dengan technical vocational education (TVE). Berkaitan peran lembaga pendidikan dalam memasok SDM berkualitas dalam jumlah yang cukup bagi kebutuhan sektor industri, pendidikan kejuruan dan vokasi menghadapi berbagai persoalan antara lain: (1) program pendidikan kejuruan dan vokasi dirasakan bersifat kaku dan tidak lentur terhadap perubahan kebutuhan lapangan kerja. Jenis program studi, materi pendidikan, cara mengajar, media belajar, evaluasi dan sertifikasi lebih banyak ditentukan oleh Pemerintah; (b) jumlah dan kapasitas pendidikan kejuruan dan vokasi bidang industri relatif kecil dibandingkan jumlah kapasitas total jenis pendidikan tersebut; (c) kualitas pendidikan kejuruan dan vokasi bidang industri masih perlu ditingkatkan terutama berkaitan dengan kualitas, kuantitas peralatan praktek, guru dan infrastruktur pendukung lainnya; (d) pendidikan kejuruan dan vokasi bidang industri perlu lebih disesuaikan dengan kebutuhan nyata dunia industri dan berorientasi kepada kebutuhan pasar kerja yang berubah (demand driven). Berdasarkan Sistem Pelatihan Kerja Nasional Pelatihan kerja sebagaimana diatur dalam PP No. 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional (SISLATKERNAS) bahwa pelatihan kerja harus berorientasi pada kebutuhan, berbasis pada kompetensi, merupakan tanggung jawab bersama dunia usaha, pemerintah dan masyarakat, dan bagian dari pengembangan profesionalisme sepanjang hayat.74 SISLATKERNAS mengatur berbagai hal mengenai pelatihan, 74 Lihat Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 65
diantaranya tentang standardisasi kegiatan pelatihan, kualifikasi pelatihan, akreditasi lembaga pelatihan, dan sertifikasi bagi peserta yang berhasil. SISLATKERNAS juga memungkinkan penyelenggaraan pelatihan dengan sistem magang. Berkaitan standardisasi penyelenggaraan pelatihan kerja, SISLATKERNAS mengamanatkan disusunnya standar kompetensi masing-masing bidang keahlian kerja. Program pelatihan dan materi uji kompetensi mengacu kepada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Adapun standar tersebut memiliki syarat berikut: (1) disusun berdasarkan kebutuhan lapangan usaha sekurangkurangnya memuat kompetensi teknis pengetahuan dan sikap kerja; (2) dikelompokkan berdasarkan jenjang kualifikasi dengan mengacu pada KKNI dan/atau jenjang jabatan; (3) pengelompokkan berdasarkan jenjang kualifikasi dilakukan berdasarkan tingkat kesulitan pelaksanaan pekerjaan sifat pekerjaan dan tanggung jawab pekerjaan; (4) rancangan dibakukan melalui forum konvensi antar asosiasi profesi pakar dan praktisi untuk sektor sub sektor dan bidang tertentu dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri. Peran Pusat Pelatihan Kerja Daerah atau Balai Latihan Kerja (BLK) yang dikelola Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi DKI Jakarta, menjadi ujung tombak pembangunan mutu SDM industri melalui jalur pelatihan. Akan tetapi Pusat Pelatihan Kerja Daerah yang ada di lima 5 (lima) wilayah Kota tidak memadai baik kualitas maupun kuantitasnya. Untuk meningkatkan kapasitas Pusat Pelatihan Kerja Daerah sesuai kebutuhan pelaku industri membutuhkan biaya besar terutama bagi penyediaan sarana kegiatan praktikum. Sementara peran masyarakat dalam penyelenggaraan pelatihan kerja rendah dalam penyelenggaraan pelatihan di bidang industri. Pelatihan kerja dapat dilaksanakan di tempat pelatihan atau di tempat kerja. Pelatihan di tempat kerja berbentuk pemagangan (apprenticeship). Pelatihan dengan sistem magang diatur cukup rinci dalam UU No. 3 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.75 Pemagangan dapat dilaksanakan di perusahaan sendiri atau
75
Pengertian pemagangan menurut UU No. 3 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan, sebagai sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 66
perusahaan lain, di dalam maupun di luar wilayah Indonesia selama jangka waktu 6 sampai 9 bulan.76 Peserta pemagangan minimal berusia 15 tahun, dilaksanakan berdasarkan perjanjian antara peserta magang dengan perusahaan pemerintah. Agar menjadi pelaksana program magang, perusahaan atau pusat pelatihan kerja harus terdaftar. Sesungguhnya magang memiliki beberapa keuntungan, namun sering menimbulkan kekhawatiran bahwa program tersebut disalahgunakan untuk mendapatkan tenaga kerja murah. Pembangunan SDM industri melalui jalur pelatihan menghadapi kendala dan persoalan diantaranya jumlah dan kapasitas lembaga pelatihan bidang industri relatif sedikit. Hal ini disebabkan karena keterbatasan anggaran pemerintahan rendahnya peran swasta dalam penyelenggaraan lembaga pelatihan di bidang industri. Selain itu, penyelenggaraan lembaga pelatihan kerja bidang industri memerlukan biaya besar sementara kemampuan pembiayaan pelatihan oleh individu relatif terbatas. Penyelenggaraan program pelatihan kerja bidang industri memerlukan subsidi lebih besar dibandingkan program pelatihan bidang lain. Berkaitan dengan standardisasi dan sertifikasi kompetensi, masih menjadi kendala antara lain penyusunan SKKNI terhambat karena tidak semua industri memiliki asosiasi pengusaha dan tidak semua profesi memiliki wadah (asosiasi profesi), sehingga sampai saat ini baru 16 bidang profesi yang memiliki Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), dan keterbatasan fasilitas dimana tidak semua Pusat Pelatihan Kerja Daerah memiliki fasilitas memadai sehingga dapat menjadi Tempat Uji Kompetensi (TUK) kecuali Pusat Pelatihan Kerja Las. Selain lembaga pendidikan dan pelatihan di atas sebelumnya, pembangunan SDM industri juga dilakukan oleh Pusat Pelatihan Kerja Pengembangan Industri sebagaimana diatur dengan Peraturan Gubernur No. 115 Tahun 2010 sebagai Unit Kerja Perangkat Daerah (UKPD) Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi. Pusat Pelatihan Kerja Pengembangan Industri tersebut menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan, antara lain: teknologi mekanik (konvensional), teknologi mekanik (CNC), teknik pendingin (tata udara), teknik pendingin (lemari pendingin),
76
bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu Dengan alasan tertentu jangka waktu pemagangan dapat diperpanjang menjadi selama setahun
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 67
las listrik, otomotif (mobil diesel), otomotif (mobil bensin), otomotif (sepeda motor), gambar konstruksi (autocad), tata busana, administrasi kantor, dan sekretaris kantor. Pengembangan SDM di bidang industri tersebut di atas dalam rangka melaksanakan kewajiban yang diberikan oleh negara kepada Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU No. 3 Tahun 2014 berikut ini: Pasal 16 (2) Pembangunan sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, pelaku Industri, dan masyarakat.77 (3)
Pembangunan sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan penyebaran dan pemerataan ketersediaan sumber daya manusia Industri yang kompeten untuk setiap wilayah provinsi dan kabupaten/kota.
(4)
Sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. wirausaha Industri; b. tenaga kerja Industri; c. pembina Industri; dan d. konsultan Industri. Dalam penjelasan: Yang dimaksud “wirausaha Industri” adalah pelaku usaha Industri. Yang dimaksud “tenaga kerja Industri” adalah tenaga kerja profesional di bidang Industri. Yang dimaksud “pembina Industri” adalah aparatur yang memiliki kompetensi di bidang Industri di pusat dan di daerah. Yang dimaksud “konsultan Industri” adalah orang atau perusahaan yang memberikan layanan konsultasi, advokasi, pemecahan masalah bagi Industri.
Peran Dinas Perindustrian dan Energi dalam pembangunan SDM di bidang industri sesuai tugas dan fungsi yang diberikan Gubernur sebagai “pengguna” atau “user”. Sebagai pembina di bidang industri, Dinas Perindustrian dan Energi lebih banyak berkoordinasi dengan pelaku industri, termasuk mengenai persoalan SDM. Meskipun wewenang dimiliki Dinas Perindustrian dan Energi terbatas,
77 Pasal 16 ayat (1) menyatakan Pembangunan sumber daya manusia Industri dilakukan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten guna meningkatkan peran sumber daya manusia Indonesia di bidang Industri. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 68
Dinas Perindustrian dan Energi berupaya untuk memenuhi kebutuhan SDM di bidang industri yang kebutuhannya belum terpenuhi oleh pihak lain. Oleh sebab itu, Dinas Perindustrian dan Energi melaksanakan berbagai program pelatihan untuk mengakomodasikan kebutuhan SDM industri yang ada di DKI Jakarta.
4.7. Pemberdayaan Industri Kecil, Menengah, dan Kreatif Pemberdayaan industri kecil dan menengah tidak hanya menjadi kewajiban Pemerintah Daerah melainkan juga Pemerintah Pusat sebagaimana diatur dalam Pasal 72 UU No. 3 Tahun 2014, bahwa Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembangunan dan pemberdayaan
industri kecil dan industri
menengah untuk mewujudkan industri kecil dan industri menengah yang berdaya saing, berperan signifikan dalam penguatan struktur industri, berperan dalam pengentasan kemiskinan melalui perluasan kesempatan kerja, dan menghasilkan barang dan/atau jasa industri untuk diekspor, maka dilakukan perumusan kebijakan, penguatan kapasitas kelembagaan, dan pemberian fasilitas. Penguatan kapasitas kelembagaan pada industri kecil dan industri menengah menurut Pasal 72 UU No. 3 Tahun 2014, dilakukan melalui: (a) peningkatan kemampuan sentra, unit pelayanan teknis, tenaga penyuluh lapangan, serta konsultan Industri kecil dan Industri menengah; (b) kerja sama dengan lembaga pendidikan, lembaga penelitian dan pengembangan, serta asosiasi Industri dan asosiasi profesi terkait. Pemberian fasilitas kepada industri kecil dan menengah menurut Pasal 75 UU No. 3 Tahun 2014, dalam bentuk: (a) peningkatan kompetensi sumber daya manusia dan sertifikasi kompetensi; (b) bantuan dan bimbingan teknis; (c) bantuan Bahan Baku dan bahan penolong; (d) bantuan mesin atau peralatan; (e) pengembangan produk; (f) bantuan pencegahan pencemaran lingkungan hidup untuk mewujudkan industri hijau; (g) bantuan informasi pasar, promosi, dan pemasaran; (h) akses pembiayaan, termasuk mengusahakan penyediaan modal awal bagi wirausaha baru; (i) penyediaan kawasan industri untuk Industri kecil dan Industri menengah yang berpotensi mencemari lingkungan; dan/atau (j)
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 69
pengembangan, penguatan keterkaitan, dan hubungan kemitraan antara Industri kecil dengan Industri menengah, Industri kecil dengan Industri besar, dan Industri menengah dengan Industri besar, serta Industri kecil dan Industri menengah dengan sektor ekonomi lainnya dengan prinsip saling menguntungkan. Dalam pengembangan industri kreatif menurut Pasal 43 UU No. 3 Tahun 2014, bahwa Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat sesuai kewenangannya memfasilitasi
pengembangan
dan
pemanfaatan
kreativitas
dan
inovasi
masyarakat dalam pembangunan industri dilakukan dengan memberdayakan budaya Industri dan/atau kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat. Sehubungan itu, dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat tersebut, Pemerintah Daerah melakukan: (a) penyediaan ruang dan wilayah bagi masyarakat dalam berkreativitas dan berinovasi; (b) pengembangan sentra Industri kreatif; (c) pelatihan teknologi dan desain; (d) konsultasi, bimbingan, advokasi, dan fasilitasi perlindungan Hak Kekayaan Intelektual khususnya bagi Industri kecil; (e) fasilitasi promosi dan pemasaran produk Industri kreatif di dalam dan luar negeri. Pembiayaan pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat tersebut di atas, menurut Pasal 44 UU No. 3 Tahun 2014 dari Pemerintah Daerah, badan usaha dan/atau masyarakat (orang perseorangan)78. Pembiayaan yang berasal dari Pemerintah Daerah hanya dapat diberikan kepada perusahaan industri yang berbentuk badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah dalam bentuk pemberian pinjaman, hibah dan/atau penyertaan modal. Pemberdayaan IKM sesuai anjuran Pemerintah Pusat melalui Menteri Perindustrian dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 142/M-IND/PER/10/2009 tentang Pedoman Pengelolaan Unit Pelaksana Teknis Industri Kecil dan Menengah. Pembentukan UPT IKM tersebut bertujuan sebagai berikut: (a) membangun, mengerakkan dan mengembangkan kelompok usaha dan/atau perusahaan IKM
78 Pasal 44 ayat (1) Pemerintah memfasilitasi ketersediaan pembiayaan yang kompetitif untuk pembangunan Industri. Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 70
serta calon usaha baru; (b) mengembangkan kemampuan daya saing dan produktivitas kelompok usaha dan/atau perusahaan IKM melalui layanan keteknikan dan inovasi teknologi atau peralatan; (c) mengembangan sarana produksi dalam rangka perkuatan usaha IKM. Peran UPT IKM menurut Peraturan Menteri 142/M-IND/PER/10/2009 sebagai berikut: (a) sebagai agen pembangunan sarana pembinaan dan pelatihan, pelayanan masyarakat IKM dalam mendukung produktivitas kerja IKM, serta menggali sumber dana pembiayaan operasional; (b) sebagai fasilitator, inovator, dinamisator, dan motivator pengembangan potensi produksi serta pemecahan masalah kewirausahaan bagi kelompok usaha dan/atau perusahaan IKM. Jenis layanan yang diberikan oleh UPT IKM meliputi: (a) pengembangan kopetensi sumber daya manusia, meliputi: pendidikan dan pelatihan industri dan kewirausahaan baik secara klasikal, praktek, magang maupun workshop; percontohan mesin/peralatan dan teknologi produksi; pengorganisasian, dan pengembangan wawasan; (b) dukungan produksi, meliputi: bantuan dan layanan produksi; jasa pemeliharaan dan reperasi kerusakan alat produksi; bimbingan teknis bidang permesinan/alat produksi; bimbingan teknis bidang proses produksi; (c) dukungan pemasaran dan layanan bisnis lainnya, berupa penyediaan show room atau fasilitas pameran produk; penerbitan brosur, leaflet dan sejenisnya; publikasi film dan media masa; fasilitasi temu bisnis; mediasi dengan sumber daya produktif lainnya; (d) jasa konsultasi pengembangan usaha, berupa: jasa pendampingan usaha atau manajemen; jasa konsultasi (diagnosa makro dan mikro); jasa studi kelayakan untuk investasi; bimbingan teknis dan menajemen; dan fasilitasi layanan hak kekayaan intelektual (HKI); (e) jasa penelitian dan pengembangan, berupa penelitian dan pengembangan untuk inovasi teknologi (produk, desain, dan teknis produksi); inkubator usaha untuk pengujian hasil penelitian dan pengambangan skala UPT IKM; pemberian layanan pengujian atau laboratorium uji sederhana bagi produk IKM.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 71
Kelembagaan UPT IKM minimal terdiri dari: (a) Kepala UPT dengan tugas mengoordinasikan seluruh operasionalisasi atau kegiatan pelayanan; (b) Kepala Bagian Tata Usaha, tugasnya melaksanakan urusan ketatausahaan guna menunjang kelancaran kegiatan pelayanan UPT IKM; (c) Sub Bidang Konsultasi dengan tugas memberikan layanan konsultasi, mediasi, atau fasilitasi yang diperlukan IKM bindaan dalam mengatasi permasalahan usahanya; (d) operator dengan tugas memberikan layanan teknis melalui pengoperasian mesin dan peralatan. Pembentukan UPT IKM sebagaimana dianjurkan Kementerian Perindustrian tersebut di atas, diharapkan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh IKM selama ini dapat diatasi, sehingga IKM memiliki berdaya saing, berperan signifikan dalam pembangunan daerah dan pengentasan kemiskinan melalui perluasan kesempatan kerja, serta mampu menghasilkan barang dan/atau jasa industri untuk diekspor yang berkualitas. Demikian halnya dengan Industri Kreatif, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat membentuk UPT Industri Kreatif dalam rangka memberikan pelayanan yang optimal dan pemberdayaan industri kreatif di Provinsi DKI Jakarta.
4.8. Insentif dan Disinsentif Pengertian insentif merujuk pada Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 64 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal Di Daerah, adalah dukungan dari Pemerintah Daerah kepada pelaku usaha dalam rangka mendorong peningkatan industri di daerah (dalam hal ini Provinsi DKI Jakarta). Bentuk insentif yang diberikan dapat berbentuk: (a) pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah; (b) pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi daerah; (c) pemberian dana stimulan; dan/atau (c) pemberian bantuan modal; dan/atau (d) pemberian kemudahan. Pemberian insentif berupa pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah dan/atau pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 72
daerah disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Pemberian insentif tersebut di Provinsi DKI Jakarta telah ditetapkan kebijakan Gubernur melalui Peraturan Gubernur. Pemberian dana stimulan ditujukan kepada pelaku industri kecil dan menengah untuk perkuatan modal dalam keberlangsungan dan pengembangan industri tersebut. Sedangkan pemberian insentif dalam bentuk pemberian bantuan modal dapat berupa penyertaan modal dan aset pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemberian insentif berupa pemberian kemudahan kepada pelaku usaha di bidang industri sebagai berikut: a. penyediaan data dan informasi peluang usaha Pemberian kemudahan dalam bentuk penyediaan data dan informasi peluang usaha, antara lain: (1) peta potensi ekonomi daerah; (2) rencana tata ruang wilayah; (c) rencana strategis dan skala prioritas daerah. Dalam memberikan kemudahan tersebut Pemerintah Daerah memberikan berbagai kemudahan akses dalam memperoleh data dan informasi melalui prasarana dan sarana yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sesuai kemampuan daerah. b. penyediaan prasarana dan sarana Pemberian kemudahan dalam bentuk penyediaan prasarana dan sarana, antara lain: jaringan listrik, jalan, transportasi, jaringan telekomunikasi dan jaringan air bersih. c. penyediaan lahan atau lokasi Pemberian kemudahan dalam bentuk penyediaan lahan atau lokasi diarahkan kepada kawasan yang menjadi prioritas pengembangan ekonomi daerah dan peeyediaan lahan atau lokasi industri sesuai peruntukannya. Pemberian Kemudahan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. d. pemberian bantuan teknis Pemberian kemudahan kepada industri kecil dan menengah dalam bentuk penyediaan bantuan teknis antara lain dapat berupa bimbingan teknis, pelatihan, tenaga ahli, kajian dan/atau studi kelayakan. Pemberian insentif berupa kemudahan diberikan kepada pelaku usaha industri yang memenuhi kriteria sekurang-kurangnya salah satu kriteria berikut ini:
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 73
a. memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan masyarakat bagi pelaku usaha industri yang menimbulkan dampak pengganda. b. menyerap banyak tenaga kerja lokal, dengan perbandingan antara jumlah tenaga kerja lokal dengan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan. c. menggunakan sebagian besar sumber daya lokal, dengan perbandingan antara bahan baku lokal dan bahan baku yang diambil dari luar daerah yang digunakan dalam kegiatan usaha. d. memberikan kontribusi bagi peningkatan pelayanan publik sebagai bentuk pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan dalam penyediaan pelayanan publik. e. memberikan kontribusi dalam peningkatan Produk Domestik Regional Bruto kepada pelaku usaha yang kegiatan usahanya mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumber daya alam lokal. f. berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, berlaku bagi pelaku usaha yang memiliki dokumen analisis dampak lingkungan dan menerapkan prinsip-prinsip keseimbangan dan keadilan dalam pemanfaatan sumber daya alam serta taat pada rencana tata ruang wilayah. g. termasuk skala prioritas tinggi, diberlakukan kepada pelaku usaha industri yang usahanya berada dan/atau sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah; dan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh. h. termasuk pembangunan infrastruktur bagi pelaku usaha industri yang kegiatan usahanya mendukung Pemerintah Daerah dalam penyediaan infrastruktur atau sarana dan prasarana yang dibutuhkan i. melakukan alih teknologi kepada pelaku usaha industri yang kegiatan usahanya
memberikan
kesempatan
kepada
Pemerintah
Daerah
dan
masyarakat dalam menerapkan teknologi j.
melakukan industri pionir bagi pelaku usaha yang membuka jenis usaha baru dengan keterkaitan kegiatan usaha yang luas, memberi nilai tambah dan memperhitungkan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 74
dan memiliki nilai strategis dalam mendukung pengembangan produk unggulan daerah. k. melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi bagi pelaku usaha industri yang kegiatan usahanya bergerak di bidang penelitian dan pengembangan, inovasi teknologi dalam mengelola potensi daerah l. bermitra dengan industri kecil dan menengah bagi pelaku usaha industri yang kegiatan usahanya melakukan kemitraan dengan pengusaha industri kecil dan menengah. m. industri yang menggunakan barang modal, mesin, atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri dengan kandungan lokal dan diproduksi di dalam negeri. Pemberian insentif diberikan kepada pelaku usaha industri sebagaimana diatur dalam Pasal 110 UU No. 3 Tahun 2014 berikut ini: Pasal 110 (1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah dapat memberikan fasilitas untuk mempercepat pembangunan Industri. (2)
Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada: a. Perusahaan Industri yang melakukan penanaman modal untuk memperoleh dan meningkatkan nilai tambah sebesar-besarnya atas pemanfaatan sumber daya nasional dalam rangka pendalaman struktur Industri dan peningkatan daya saing Industri; b. Perusahaan Industri yang melakukan penelitian dan pengembangan Teknologi Industri dan produk; c. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang berada di wilayah perbatasan atau daerah tertinggal; d. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang mengoptimalkan penggunaan barang dan/atau jasa dalam negeri; e. Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang mengembangkan sumber daya manusia di bidang Industri; f. Perusahaan Industri yang berorientasi ekspor; g. Perusahaan Industri kecil dan Industri menengah yang menerapkan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib; h. Perusahaan Industri kecil dan Industri menengah yang memanfaatkan sumber daya alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan; i. Perusahaan Industri yang melaksanakan upaya untuk mewujudkan Industri Hijau; dan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 75
j.
Perusahaan Industri yang mengutamakan penggunaan produk Industri kecil sebagai komponen dalam proses produksi.
Sedangkan disinsentif diberikan pada pelaku usaha yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud di atas. Pemberian disinsentif dapat juga dilakukan dalam bentuk pemberian pajak daerah dan restribusi daerah yang tinggi. Dengan demikian, pelaku usaha industri akan berupaya mendapatkan insentif sesuai persyaratan yang ditetapkan.
4.9. Kemitraan Terdapat perbedaan mengenai pengertian kemitraan. Untuk menambah dan memperkaya pemahaman mengenai kemitraan, beberapa pengertian kemitraan menurut berbagai literatur, diantaranya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata mitra adalah teman, kawan kerja, pasangan kerja, rekan. Kemitraan artinya perihal hubungan atau jalinan kerjasama sebagai mitra.79 Kemitraan adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling membesarkan. Karena merupakan strategi bisnis maka keberhasilan kemitraan sangat ditentukan oleh adanya kepatuhan diantara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnis.80 Kesemua definisi tersebut di atas, belum ada satu definisi yang memberikan definisi secara lengkap tentang kemitraan. Hal tersebut disebabkan karena mempunyai titik fokus yang berbeda dalam memberikan definisi tentang kemitraan dengan adanya perbedaan pendapat diantara para sarjana ini maka akan saling melengkapi diantara pendapat sarjana yang satu dengan yang lainnya, dan apabila dipadukan maka akan menghasilkan definisi yang lebih sempurna,
bahwa
kemitraan
merupakan jalinan
kerjasama
usaha
yang
merupakan strategi bisnis yang dilakukan antara dua pihak atau lebih dengan prinsip saling membutuhkan, saling memperbesar dan saling menguntungkan.
79 80
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1991, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta Muhammad Jafar Hafsah, 1999, Kemitraan Usaha, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal. 43.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 76
Dalam kerjasama tersebut tersirat adanya satu pembinaan dan pengembangan, hal ini dapat terlihat karena pada dasarnya masing-masing pihak pasti mempunyai kelemahan dan kelebihan, justru dengan kelemahan dan kelebihan masing-masing pihak akan saling melengkapi dalam arti pihak yang satu akan mengisi dengan cara melakukan pembinaan terhadap kelemahan yang lain dan sebaliknya. Definisi menurut UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Pasal 1 angka 8, kemitraan adalah kerja sama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Menurut PP No. 44 Tahun 1997 tentang kemitraan, Pasal 1 angka 1, Kemitraan adalah kerja sama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah dan atau usaha besar dengan memperlihatkan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Pada dasarnya kemitraan merupakan suatu kegiatan saling menguntungkan dengan pelbagai macam bentuk kerjasama dalam menghadapi dan memperkuat satu
sama
lainnya.
Tujuan
utama
kemitraan
untuk
mengembangkan
pembangunan yang mandiri dan berkelanjutan (Self-Propelling Growth Scheme) dengan landasan dan struktur perekonomian yang kukuh dan berkeadilan dengan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung utamanya. 81 Berkaitan dengan kemitraan seperti yang telah disebut di atas, maka kemitraan itu mengandung beberapa unsur pokok yang merupakan kerjasama usaha dengan prinsip saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling memerlukan yaitu : 1. Kerjasama Usaha Dalam konsep kerjasama usaha melalui kemitraan ini, jalinan kerjasama yang dilakukan antara usaha besar atau menengah dengan usaha kecil didasarkan pada kesejajaran kedudukan atau mempunyai derajat yang sama terhadap kedua belah pihak yang bermitra. Ini berarti bahwa hubungan kerjasama yang 81 Julius Bobo, 2003, Transformasi Ekonomi Rakyat, PT. Pustaka Cidesindo, Jakarta, hal. 182 Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 77
dilakukan antara pengusaha besar atau menengah dengan pengusaha kecil mempunyai kedudukan yang setara dengan hak dan kewajiban timbal balik sehingga tidak ada pihak dirugikan, tidak ada yang saling mengekspoitasi satu sama lain dan tumbuh berkembangnya rasa saling percaya diantara para pihak dalam mengembangkan usahanya. 2. Antara pengusaha besar atau menengah dengan pengusaha kecil Hubungan kerjasama melalui kemitraan ini diharapkan pengusaha besar atau menengah dapat menjalin hubungan kerjasama yang saling menguntungkan dengan pengusaha kecil atau pelaku ekonomi lainnya, sehingga pengusaha kecil akan lebih berdaya dan tangguh didalam berusaha demi tercapainya kesejahteraan. 3. Pembinaan dan pengembangan Pada dasarnya yang membedakan hubungan kemitraan dengan hubungan dagang biasa oleh pengusaha kecil dengan pengusaha besar adanya bentuk pembinaan dari pengusaha besar terhadap pengusaha kecil yang tidak ditemukan pada hubungan dagang biasa. Bentuk pembinaan dalam kemitraan antara lain pembinaan didalam mengakses modal, pembinaan manajemen usaha, pembinaan peningkatan sumber daya manusia (SDM), pembinaan manajemen produksi, pembinaan mutu produksi serta pembinaan di dalam pengembangan aspek institusi kelembagaan, fasilitas alokasi serta investasi. 4. Prinsip Kemitraan a. Prinsip saling memerlukan Kemitraan merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai mengenal calon mitranya, mengetahui posisi keunggulan dan kelemahan usahanya. 82 Pemahaman keunggulan yang ada menghasilkan sinergi yang berdampak pada efisiensi, turunnya biaya produksi dan sebagainya. Penerapannya dalam kemitraan, perusahaan besar dapat menghemat tenaga dalam mencapai target tertentu dengan menggunakan tenaga kerja dimiliki perusahaan kecil. Sebaliknya perusahaan kecil, umumnya relatif lemah dalam hal kemampuan teknologi, permodalan dan sarana produksi melalui 82
John L. Mariotti dalam Muhammad Jafar Hafsah, 1999, Kemitraan Usaha, Pustaka Sinar Harapan , Jakarta, hal. 51.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 78
teknologi dan sarana produksi yang dimiliki oleh perusahaan besar. Dengan demikian ada saling memerlukan atau ketergantungan diantara kedua belah pihak yang bermitra. b. Prinsip Saling Memperkuat Dalam kemitraan usaha, sebelum kedua belah pihak memulai bekerja sama, maka pasti ada sesuatu nilai tambah yang ingin diraih oleh masingmasing pihak yang bermitra. Nilai tambah ini selain diwujudkan dalam bentuk nilai ekonomi seperti peningkatan modal dan keuntungan, perluasan pangsa pasar, juga ada nilai tambah non ekonomi seperti peningkatan kemapuan manajemen, penguasaan teknologi dan kepuasan tertentu. Keinginan ini merupakan konsekwensi logis dan alamiah dari kemitraan. Keinginan tersebut didasari sampai sejauh mana kemampuan memanfaatkan
keinginan
dan
memperkuat
keunggulan
dimilikinya,
sehingga dengan bermitra terjadi suatu sinergi antara para pelaku yang bermitra, sehingga nilai tambah yang diterima akan lebih besar. Dengan demikian terjadi saling isi mengisi atau saling memperkuat dari kekurangan masing-masing pihak yang bermitra. Dengan motivasi ekonomi tersebut, prinsip kemitraan dapat didasarkan pada saling memperkuat. Kemitraan juga mengandung makna sebagai tanggung jawab moral, bagaimana pengusaha besar atau menengah mampu untuk membimbing dan membina pengusaha kecil mitranya mampu (berdaya) mengembangkan usahanya sehingga menjadi mitra yang handal dan tangguh didalam meraih keuntungan untuk kesejahteraan bersama. Hal ini harus disadari juga masing-masing pihak yang bermitra yaitu harus memahami bahwa mereka memiliki perbedaan, menyadari keterbatasan masing-masing, baik yang berkaitan dengan manajemen, penguasaan ilmu pengetahuan maupun penguasaan sumber daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia (SDM). Dengan demikian mereka harus mampu untuk saling isi mengisi serta melengkapi kekurangan yang ada.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 79
c. Prinsip Saling Menguntungkan Salah satu tujuan kemitraan usaha adalah “win-win solution partnership” kesadaran dan saling menguntungkan. Kemitraan tidak berarti para partisipan harus memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama, tetapi yang essensi dan lebih utama adalah adanya posisi tawar yang setara berdasarkan peran masing-masing. Pada kemitraan usaha terutama sekali tehadap hubungan timbal balik, bukan seperti kedudukan antara buruh dan majikan, atau terhadap atasan kepada bawahan sebagai adanya pembagian resiko dan keuntungan proporsional, disini letak kekhasan dan karakter dari kemitraan usaha tersebut. Berpedoman pada kesejajaran kedudukan atau memiliki derajat yang setara bagi masing-masing pihak bermitra, maka tidak ada pihak yang tereksploitasi dan dirugikan tetapi justru terciptanya rasa saling percaya diantara para pihak sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan keuntungan atau pendapatan melalui pengembangan usahanya. 5. Tujuan Kemitraan Kenyataan menunjukkan bahwa Industri Kecil masih belum dapat mewujudkan kemampuan dan peranannya secara optimal dalam perekonomian nasional. Hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa industri kecil masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala, baik yang bersifat eksternal maupun internal, dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi, serta iklim usaha yang belum mendukung bagi perkembangannya. Pemberdayaan industri kecil dilakukan antara lain melalui : penumbuhan iklim usaha yang mendukung bagi pengembangan industri kecil, pembinaan dan pengembangan industri kecil serta kemitraan usaha. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, untuk menghasilkan tingkat efisiensi83 dan produktivitas 84 83
Efisiensi menurut Gregory Grossman dalam bukunya Sistem-Sistem Ekonomi, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hal. 9-10, mengenal tiga jenis efisiensi diantaranya yaitu pertama, efisiensi teknis adalah cara yang paling efektif dalam menggunakan suatu sumber yang langka (tenaga kerja, bahan baku, mesin dan lain sebagainya) atau sejumlah sumber dalam suatu pekerjaan tertentu. Kedua, efisiensi statis meliputi efisiensi teknis yang mencerminkan alokasi sumber-sumber yang ada dalam rangkaian waktu tertentu, dengan kata lain, efisiensi ekonomi diperoleh bila tak ada kemungkinan realokasi sumber lain yang dapat meningkatkan output produk lainnya. Ketiga, efisiensi dinamis, pada pihak lain menghubungkan pertumbuhn ekonomi dengan kenaikan sumber yang seharusnya menyebabkan pertumbuhan ini. Jadi walaupun dua perekonomian mungkin telah meningkatkan persediaan modal
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 80
yang optimal diperlukan sinergi antara pihak yang memiliki modal kuat, teknologi maju, manajemen modern dengan pihak yang memiliki bahan baku, tenaga kerja dan lahan. Sinergi ini dikenal dengan kemitraan. Kemitraan yang dihasilkan merupakan suatu proses yang dibutuhkan bersama oleh pihak yang bermitra dengan tujuan memperoleh nilai tambah. Hanya dengan kemitraan yang saling menguntungkan, saling membutuhkan dan saling memperkuat, dunia usaha baik kecil maupun menengah akan mampu bersaing. Secara lebih rinci tujuan kemitraan meliputi beberapa aspek, antara lain: a. aspek ekonomi Dalam kondisi yang ideal, tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kemitraan secara lebih kongkrit meliputi: (1) meningkatkan pendapataan industri kecil dan masyarakat; (2) meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan; (3) meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan industri kecil; (4) meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional; (5) memperluas kesempatan kerja; (6) meningkatkan ketahanan ekonomi baik daerah maupun nasional;85 b. aspek sosial dan budaya Kemitraan usaha dirancang sebagai bagian dari upaya pemberdayaan industri kecil. Pengusaha besar berperan sebagaai faktor percepatan pemberdayaan industri kecil sesuai kemampuan dan kompetensinya dalam mendukung mitra usahanya menuju kemandirian usaha atau dengan perkataan lain kemitraan yang dilakukan oleh pengusaha besar yang telah mapan dengan pengusaha kecil sekaligus sebagai tanggung jawab sosial pengusaha besar untuk ikut memberdayakan usaha kecil agar tumbuh menjadi pengusaha yang tangguh dan mandiri. Adapun sebagai wujud tanggung jawab sosial itu dapat berupa pemberian pembinaan dan pembimbingan kepada pengusaha industri kecil, dengan
84
85
dan tenaga kerja mereka dengan persentase yang sama, tapi tingkat pertumbuhan nasional dalam kedua kasus ini mungkin sangat berlainan. Menurut Muhammad Jafar Hafsah, 1999, hal. 54, secara umum produktivitas didefinisikan dalam model ekonomi sebagai output dibagi dengan input. Dengan kata lain produktivitas akan meningkat apabila dengan output yang sama dapat diperoleh hasil yang lebih tinggi atau sebaliknya dengan tingkat hasil yang sama hanya membutuhkan input yang lebih rendah. Mohammad Jafar Hafsah, Op. Cit, hal. 63.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 81
pembinaan dan bimbingan yang terus menerus diharapkan pengusaha industri kecil dapat tumbuh berkembang sebagai komponen ekonomi yng tangguh dan mandiri sebagaimana tujuan penyelenggaraan perindustrian. Di pihak lain dengan tumbuh berkembang kemitraan usaha diharapkan disertai tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru sekaligus dapat upaya pemerataan pendapatan sehingga dapat mencegah kesenjangan sosial. Kesenjangan itu diakibatkan oleh pemilikan sumberdaya produksi dan produktivitas yang tidak sama di antara pelaku ekonomi. Oleh karena itu, kelompok masyarakat dengan kepemilikan faktor produksi terbatas dan produktivitas rendah biasanya akan menghasilkan tingkat kesejahteraan yang rendah pula. c. aspek teknologi Secara faktual, industri kecil biasanya mempunyai skala usaha yang kecil dari sisi modal, penggunaan tenaga kerja, maupun orientasi pasarnya. Demikian pula status usahanya yang bersifat pribadi atau keluarga; tenaga kerja berasal dari lingkungan keluarga atau setempat; kemampuan mengadopsi teknologi, manajemen, dan diministratif sangat sederhana; dan struktur permodalan sangat bergantung pada modal tetap. Keterbatasan
teknologi
pada
industri
kecil,
industri
besar
dalam
pembinaan dan pengembangan terhadap pengusaha kecil meliputi juga memberikan bimbingan teknologi. Teknologi86 dimaksud dalam arti kata adalah ilmu yang berkenaan dengan teknik. Oleh karena itu bimbingan teknologi yang dimaksud adalah berkenaan dengan teknik berproduksi untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi. d. aspek manajemen Manajemen merupakan proses yang dilakukan oleh satu atau lebih individu untuk mengkoordinasikan berbagai aktivitas lain untuk mencapai hasil yang tidak bisa dicapai apabila satu individu bertindak sendiri. Ada 2 (dua) hal yang menjadi pusat perhatian. Pertama, peningkatan produktivitas individu yang melaksnakan kerja. Kedua, peningkatan produktivitas organisasi di 86
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia, Op. Cit, hal. 524
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 82
dalam kerja yang dilaksanakan. Pengusaha industri kecil pada umumnya tingkat manajemen usaha rendah, dengan kemitraan usaha diharapkan ada pembenahan manajemen, peningkatan kualitas sumber daya manusia serta pemantapan organisasi.
4.10. Perizinan Perizinan merupakan kebijakan pemerintah yang dapat menjadi alat untuk menggerakkan perkembangan industri untuk mendukung pembangunan Industri dan sekaligus sebagai alat pengendali penyenggaraan kegiatan usaha di bidang perindustrian. Oleh karena itu, perizinan dapat dimanfaatkan antara lain untuk pemerataan persebaran industri, pendayagunaan potensi sumber daya industri secara efisien dan optimal, dan pendataan industri. Atas izin yang diberikan, pemerintah berkewajiban memberikan pembinaan dan pengembangan terhadap pertumbuhan industri serta menciptakan iklim usaha industri yang sehat bagi perkembangan pelaku usaha. Di sisi lain, pelaku usaha perlu memberikan respon positif dengan mengembangkan industri yang inovatif, efisien, ramah lingkungan dan berkelanjutan sehingga memiliki daya saing di tingkat global. Melalui pembinaan dan pengembangan industri yang dilakukan baik oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah, diharapkan penyelenggaraan usaha di bidang industri mengarahkan untuk penciptaan iklim usaha industri secara sehat dan mantap. Dengan iklim usaha industri yang demikian, diharapkan industri dapat memberikan umpan balik dalam menciptakan lapangan kerja yang luas, menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan dan kekuatan sendiri dalam membangun industri. Pencapaian pertumbuhan Industri membutuhkan kepastian berusaha melalui perizinan baik izin usaha industri maupun izin usaha kawasan industri. Menyadari akan peranan tersebut, perizinan harus mampu memberikan motivasi yang dapat mendorong dan menarik minat para investor untuk menanamkan modalnya di sektor Industri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 83
Perizinan adalah dokumen dan bukti legalitas yang membolehkan perbuatan hukum oleh seseorang atau sekelompok orang dalam ranah hukum administrasi negara atas sesuatu perbuatan yang dilarang berdasarkan peraturan perundangundangan. Sedangkan yang dimaksud dengan non perizinan adalah dokumen dan bukti legaltias atas sahnya sesuatu kepada seseorang atau sekelompok orang dalam ranah hukum administrasi negara. Perizinan dan non perizinan berfungsi untuk: (a) mengatur tindakan penerima perizinan dan non perizinan sesuai tujuan dan syarat-syarat pemberian perizinan dan non perizinan; (b) merekayasa pembangunan dalam rangka memberikan insentif dan efek berganda untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi; (c) membina dan memberdayakan masyarakat; (d) membina, mengawasi, memberikan perlindungan dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perindustrian. Berdasarkan fungsinya tersebut, penyelenggaraan perizinan dan non perizinan harus memperhatikan keseimbangan antara fungsi pengaturan, rekayasa pembangunan dan pembinaan, pengawasan, pengendalian serta kepastian hukum. Perizinan penyelenggaraan perindustrian berdasarkan UU No. 3 Tahun 2014 merupakan wewenang Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 101 ayat (3) UU No. 3 Tahun 2014, bahwa izin usaha industri diberikan oleh Menteri. Akan tetapi wewenang tersebut dilimpahkan kepada Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati/Walikota) sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 101 ayat (4) UU No. 3 Tahun 2014, Menteri dapat melimpahkan sebagian kewenangan pemberian izin usaha Industri kepada Gubernur dan Bupati/Walikota sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri No. 41/M-IND/PER/2008 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 13). Menurut Pasal 2 Peraturan Menteri tersebut menyatakan sebagai berikut: (1)
Setiap pendirian Perusahaan Industri wajib memiliki Izin Usaha Industri (IUI), kecuali bagi Industri Kecil.
(2)
Industri Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki Tanda Daftar Industri (TDI), yang diberlakukan sama dengan IUI.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 84
Pemberian IUI dilakukan melalui persetujuan prinsip atau tanpa persetujuan prinsip. IUI tanpa persetujuan prinsip diberikan kepada Perusahaan Industri berlokasi di Kawasan Industri/Kawasan Berikat atau jenis industrinya tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 148/M/SK/7/1995 dan/atau perubahannya. Sedangkan IUI melalui persetujuan prinsip diberikan kepada Perusahaan Industri sebagai berikut: (a) berlokasi di luar Kawasan Industri/ Kawasan Berikat; (b) jenis industri tidak tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 148/M/SK/7/1995 dan atau perubahannya; (c) jenis industri tercantum dalam Lampiran I huruf G Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 dan/atau perubahannya; (d) lokasi industrinya
berbatasan langsung
dengan kawasan
lindung
sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 11 Tahun 2006 dan/atau perubahannya. IUI melalui Persetujuan Prinsip diberikan kepada Perusahaan Industri yang telah memenuhi persyaratan sebagai berikut : (a) memiliki IMB; (b) memiliki Izin Lokasi; (c) Izin Undang-Undang Gangguan (Ho); (d) memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Lingkungan (UPL); (e) telah selesai membangun pabrik dan sarana produksi. Persetujuan Prinsip diberikan kepada Perusahaan Industri untuk melakukan persiapan dan usaha pembangunan, pengadaan, pemasangan/instalasi peralatan dan kesiapan lain yang diperlukan. Persetujuan Prinsip bukan merupakan izin untuk melakukan produksi komersial. Perusahaan Industri yang telah memiliki IUI atau TDI, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal diterbitkan IUI/TDI wajib mendaftarkan dalam Daftar Perusahaan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. Perusahaan Industri melakukan perluasan melebihi 30% (tiga puluh persen) dari kapasitas produksi yang telah diizinkan, wajib memiliki Izin Perluasan. a. Pemberian IUI Melalui Persetujuan Prinsip Permohonan Persetujuan Prinsip diajukan dengan menggunakan Formulir Model Pm-I (Lampiran Peraturan Menteri No. 41/M-IND/PER/2008) dan melampirkan dokumen sebagai berikut: (a) Copy Izin Undang-Undang
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 85
Gangguan; (b) Copy Akte Pendirian Perusahaan dan atau perubahannya khusus bagi Perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas akte tersebut telah disahkan Menteri Hukum dan HAM; (c) dokumen yang dipersyaratkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bagi industri tertentu. Terhadap permohonan Persetujuan Prinsip yang telah lengkap dan benar, selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima, Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya wajib mengeluarkan Persetujuan Prinsip dengan menggunakan Formulir Model Pi-I dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri dan Kepala Dinas Perindustrian dan Energi. Terhadap permohonan Persetujuan Prinsip yang persyaratannya belum lengkap dan benar atau jenis industri termasuk dalam bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal, selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima permohonan Persetujuan Prinsip, Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya mengeluarkan Surat Penolakan dengan menggunakan Formulir Model Pi-VI. Persetujuan Prinsip dapat diubah berdasarkan permintaan dari perusahaan yang bersangkutan. Dalam melaksanakan Persetujuan Prinsip, Perusahaan Industri bersangkutan wajib menyampaikan informasi mengenai kemajuan pembangunan pabrik dan sarana produksi kepada Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri/Kepala Dinas Perindustrian dan Energi sesuai Persetujuan Prinsip yang bersangkutan, setiap 1 (satu) tahun sekali paling lambat pada tanggal 31 Januari pada tahun berikutnya dengan menggunakan Formulir Model Pm-II. Pemegang Persetujuan Prinsip tidak dapat menyelesaikan pembangunan pabrik dan sarana produksinya dalam waktu 3 (tiga) tahun dapat mengajukan permintaan perpanjangan Persetujuan Prinsip untuk 1 (satu) kali selamaselamanya 1 (satu) tahun.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 86
Perusahaan industri telah menyelesaikan pembangunan pabrik dan sarana produksinya serta telah memenuhi semua ketentuan peraturan perundangundangan, wajib mengajukan permintaan IUI kepada Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya menggunakan Formulir Model Pm-III dengan dilengkapi dokumen sebagai berikut : (a) Copy Akte Pendirian Perusahaan dan atau perubahannya, khusus bagi Perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas akte yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM; (b) Copy Izin Mendirikan Bangunan (IMB); (c) Copy Surat Persetujuan Prinsip (Model Pi-I); (d) Copy Formulir Model Pm-II tentang Informasi Kemajuan Pembangunan Pabrik dan Sarana Produksi (Proyek); (e) Copy Izin Undang-Undang Gangguan (Ho); (f) Copy Izin Lokasi; (g) Copy dokumen penyajian informasi tentang Usaha Pelestarian Lingkungan yang meliputi: Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) serta dokumen dipersyaratkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bagi industri tertentu. Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima Formulir Model Pm-III, sudah mengadakan pemeriksaan ke lokasi pabrik guna memastikan bahwa pembangunan pabrik dan sarana produksi telah selesai. Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dengan menggunakan Formulir Model Pi-II yang ditandatangani oleh Petugas Pemeriksa yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang bersangkutan (dalam hal ini Dinas Perindustrian dan Energi). Kepala Dinas dalam waktu selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak penandatanganan BAP, menyampaikan BAP kepada Kepala Badan/ Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya. Apabila pemeriksaan tidak dilaksanakan, perusahaan yang bersangkutan dapat membuat Surat Pernyataan siap berproduksi komersial disampaikan kepada Guberur melalui Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya. Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima hasil BAP atau Surat Pernyataan, Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya harus
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 87
mengeluarkan IUI dengan menggunakan Formulir Model Pi-III atau menunda dengan keterangan tertulis berdasarkan pertimbangan pembangunan pabrik dan sarana produksi belum selesai dan/atau belum memenuhi persyaratan yang ditetapkan dengan menggunakan Formulir Model Pi-VI; b. Pemberian IUI Tanpa Persetujuan Prinsip Permohonan IUI dilakukan dengan menggunakan Formulir Model SP-I dan Formulir Model SP-II sebagaimana termuat dalam Lampiran Peraturan Menteri No. 41/M-IND/PER/2008. Permohonan Izin Perluasan dilakukan dengan menggunakan Formulir Model SP-III. Permohonan IUI bagi jenis industri pemberian IUI Tanpa Persetujuan Prinsip, dilakukan dengan membuat Surat Pernyataan sesuai Formulir Model SP-I, dan bagi perusahaan industri yang akan berlokasi di Kawasan Industri/Kawasan Berikat melampirkan Surat Keterangan dari Pengelola Kawasan Industri/ Kawasan Berikat tentang rencana lokasi perusahaan. Pemohon IUI mengisi Daftar Isian Permintaan IUI dengan menggunakan Formulir Model SP-II yang diserahkan bersama Formulir Model SP-I dengan dilengkapi dokumen sebagai berikut: (a) Copy Akte Pendirian Perusahaan dan atau perubahannya khusus perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas, akte tersebut telah disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM; (b) Copy Izin Undang-Undang Gangguan (Ho) bagi jenis industri yang tercantum pada Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 148/M/SK/7/1995 yang berlokasi di luar Kawasan Industri/Kawasan Berikat; (c) Copy Izin Lokasi bagi jenis industri yang tercantum pada Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 148/M/SK/7/1995 yang berlokasi di dalam Kawasan Industri/Kawasan Berikat; (d) Copy Izin Mendirikan Bangunan (IMB); (e) Surat Keterangan dari Pengelola Kawasan Industri/Kawasan Berikat bagi yang berlokasi di Kawasan Industri/Kawasan Berikat; (f) dokumen yang dipersyaratkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bagi industri tertentu. Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja terhitung sejak diterima Formulir Model SP-I dan SP-II yang lengkap dan benar, Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 88
lingkup tugasnya harus mengeluarkan IUI dengan menggunakan Formulir Model SP-VI dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri dan Kepala Dinas Perindustrian dan Energi. Bagi perusahaan industri telah memiliki IUI wajib menyampaikan informasi kemajuan pembangunan pabrik dan sarana produksi setiap tahun paling lambat pada tanggal 31 Januari pada tahun berikutnya dengan menggunakan Formulir Model Pm-II kepada Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri, Kepala Dinas Perindustrian dan Energi. IUI dinyatakan batal demi hukum apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan, pemegang IUI sebagai berikut: tidak menyelesaikan pembangunan pabrik dan sarana produksi; belum memenuhi ketentuan peraturan perundangundangan; dan/atau tidak melampirkan dokumen dipersyaratkan bagi industri tertentu sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundangundangan. c. Pemberian Izin Perluasan Industri Setiap Perusahaan Industri yang melakukan perluasan wajib memberitahukan secara tertulis kenaikan produksinya sebagai akibat dari kegiatan perluasan kepada Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai tercantum dalam IUI, selambatlambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal dimulai kegiatan perluasan. Permohonan Izin Perluasan bagi Perusahaan Industri yang telah memiliki IUI melalui Persetujuan Prinsip dilakukan dengan menggunakan Formulir Model Pm-IV dan melampirkan dokumen rencana perluasan industri serta dokumen penyajian informasi tentang usaha-usaha pelestarian lingkungan yang meliputi: Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL); atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Permohonan Izin Perluasan bagi Perusahaan Industri yang telah memiliki IUI Tanpa Persetujuan Prinsip dilakukan dengan menggunakan Formulir Model SP-III dan melampirkan dokumen rencana perluasan industri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 89
d. Pemberian Tanda Daftar Industri (TDI) Perusahaan Industri Kecil untuk memiliki TDI tidak perlu Persetujuan Prinsip dengan cara mengajukan Permohonan TDI kepada Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya dengan mengisi Formulir Model Pdf.I-IK dan melampirkan Copy Izin Undang-Undang Gangguan (Ho) dan Copy Izin Lokasi. Kepala Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya dalam waktu selambatlambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima permohonan TDI wajib mengeluarkan TDI dengan menggunakan Formulir Model Pdf.II-IK dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah serta Kepala Dinas Perindustrian dan Energi. Selain kewajiban memiliki izin, pelaku usaha industri wajib melakukan perubahan izin apabila pemindahan lokasi industri; perubahan nama, alamat dan atau penanggungjawab; serta IUI, Izin Perluasan, dan TDI hilang atau rusak. Kewajiban
industri
telah
memiliki
IUI
atau
Izin
Perluasan
wajib
menyampaikan Informasi Industri secara berkala kepada Menteri dan Gubernur, sesuai dengan Izin Usaha Industri yang diterbitkan mengenai kegiatan usahanya menurut jadwal. Pertama, 6 (enam) bulan pertama tahun yang bersangkutan selambat-lambatnya setiap tanggal 31 Juli dengan menggunakan Formulir Model Pm-V untuk Informasi Industri melalui Persetujuan Prinsip atau SP-IV untuk Informasi Industri Tanpa Persetujuan Prinsip dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri dan Kepala Dinas Perindustrian dan Energi. Kedua, 1 (satu) tahun selambat-lambatnya setiap tanggal 31 Januari pada tahun berikutnya dengan menggunakan Formulir Model Pm-VI untuk Industri Melalui Persetujuan Prinsip atau SP-V untuk Industri Tanpa Persetujuan Prinsip dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri, Kepala Dinas Perindustrian dan Energi. Sedangkan perusahaan Industri telah memiliki TDI wajib menyampaikan Informasi Industri kepada Gubernur setiap tahun selambat-lambatnya tanggal 31 Januari pada tahun berikutnya dengan menggunakan Formulir Model Pdf.III-IK
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 90
dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah dan Kepala Dinas Perindustrian dan Energi.
4.11. Sistem Informasi Industri Daerah Kewajiban membentuk sistem informasi industri tidak hanya Pemerintah Daerah, melainkan juga Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh Menteri Perindustrian sebagaimana diatur dalam UU No. 3 Tahun 2014. 87 Secara nasional, yang dimaksud Sistem Informasi Industri Nasional adalah tatanan prosedur dan mekanisme kerja yang terintegrasi meliputi unsur institusi, sumber daya manusia, basis data, perangkat keras dan lunak, serta jaringan komunikasi data yang terkait satu sama lain dengan tujuan untuk penyampaian, pengelolaan, penyajian, pelayanan serta penyebarluasan data dan/atau Informasi Industri. 88 Merujuk pada pengertian tersebut, yang dimaksud dengan Sistem Informasik Industri Daerah, sebagai berikut: tatanan prosedur dan mekanisme kerja yang terintegrasi meliputi institusi, sumber daya manusia, basis data, perangkat keras dan serta jaringan komunikasi data yang terkait satu sama lain dengan untuk penyampaian, pengelolaan, penyajian, pelayanan penyebarluasan data dan/atau informasi industri di daerah.
unsur lunak, tujuan serta
Secara nasional, tujuan sistem informasi industri sebagai berikut: (a) menjamin ketersediaan, kualitas, kerahasiaan dan akses terhadap data dan/atau informasi; (b) mempercepat pengumpulan, penyampaian/pengadaan, pengolahan/pemrosesan, analisis, penyimpanan, dan penyajian, termasuk penyebarluasan data dan/atau informasi yang akurat, lengkap, dan tepat waktu; (c) mewujudkan penyelenggaraan Sistem Informasi Industri Nasional yang meningkatkan efisiensi dan efektivitas, inovasi, dan pelayanan publik, dalam mendukung pembangunan Industri nasional.89
87 88 89
Pasal 68 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, menyatakan bahwa untuk menjamin koneksi Sistem Informasi Industri Nasional dengan sistem informasi di daerah, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota membangun sistem Informasi Industri di provinsi dan kabupaten/kota. Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Pasal 63 Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pembangunan Sarana Dan Prasarana Industri, versi bulan Agustus 2014.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 91
Sistem informasi industri daerah sekurang-kurangnya memuat data industri sebagai berikut:90 a. data industri terdiri dari: 1. data industri pada tahap pembangunan proyek, meliputi: identitas dan legalitas perusahaan, kelompok industri sesuai klasifikasi baku lapangan usaha indonesia, kapasitas produksi, nvestasi dan sumber pembiayaan, dan tenaga kerja; 2. data Industri pada tahap produksi komersial, meliputi: identitas dan legalitas perusahaan, kelompok Industri sesuai klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia, kapasitas produksi, investasi dan sumber pembiayaan, tenaga kerja, mesin dan peralatan, bahan baku dan bahan penolong, energi, air baku, produksi, pemasaran, dan pengelolaan lingkungan. b. data kawasan industri, terdiri dari: 1. Data kawasan industri pada tahap pembangunan, sekurang-kurangnya memuat: identitas dan legalitas perusahaan, investasi dan sumber pembiayaan, lahan/kaveling, dan sarana dan prasarana. 2. Data kawasan industri pada tahap komersial, sekurang-kurangnya memuat: identitas dan legalitas perusahaan, investasi dan sumber pembiayaan, lahan/kavling, sarana dan prasarana, dan perusahaan Industri dalam Kawasan Industri. c. data perkembangan dan peluang pasar, sekurang-kurangnya memuat data sebagai berikut: ekspor dan impor, konsumsi produk industri, permintaan (inquiry) dari pembeli (buyer), kebijakan industri dan perdagangan di negara mitra, dan agenda pameran internasional utama di negara mitra. d. data perkembangan teknologi industri, sekurang-kurangnya memuat data sebagai berikut: hasil riset terapan yang terkait bidang industri; Hak Kekayaan Intelektual; rancang bangun dan perekayasaan industri; usaha bersama (joint venture), pengalihan/pembelian hak melalui lisensi, akuisisi teknologi, atau putar kunci (turn key) project, dan kerjasama teknologi; hasil audit teknologi industri; jenis, negara asal, dan tahun pembuatan teknologi 90
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pembangunan Sarana Dan Prasarana Industri, versi bulan Agustus 2014
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 92
Data dan/atau informasi industri dalam Sistem Informasi Industri Daerah bersumber dari perusahaan industri dan perusahaan kawasan industri secara langsung, serta dapat bersumber dari perguruan tinggi, asosiasi atau KADINDA, masyarakat, dan sumber lain. Oleh sebab itu, UU No. 3 Tahun 2014 memberikan kewajiban kepada pelaku usaha industri untuk menyampaikan data industri sebagaimana diatur dalam pasal berikut ini: Pasal 64 (1) Setiap Perusahaan Industri wajib menyampaikan Data Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota.
Pasal 65 (1) Setiap Perusahaan Kawasan Industri wajib menyampaikan Data Kawasan Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota.
4.12. Tanggung jawab Sosial Perusahaan (TJSP) atau CSR Istilah tanggung jawab sosial perusahaan/Corporate Social Responsibility (CSR) masih menjadi pedebatan para pendukung dan para penentangnya. Kedua kutup berbeda pandangan, masing-masing mempunyai argumentasi yang bertentangan satu terhadap yang lain sesuai kedudukan dan kepentingannya. Salah satu perbedaan tajam antara lain bahwa tanggung jawab sosial perusahaan berada pada ranah etika (etika bisnis) atau harus berada pada ranah hukum, sehubungan itu apa perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan termasuk peraturan daerah disertai dengan sanksi. Pendukung dan penentang janggung jawab sosial perusahaan pada dasarnya mempunyai alasan masingmasing, karena latar belakang pencapaian tujuan dan sasaran yang berbeda dalam kepentingan yang berhadapan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 93
CSR pada dasarnya berawal dari rasa bertanggungjawab secara personal pada
lingkungan dunia usaha, yang muncul dari pribadi yang peka kepada
sesama. Rasa tersebut timbul dan berkembang sebagai suatu yang harus dilakukan mengingat adanya kesenjangan keadaan sosial ekonomi yang tajam, antara unsur tenaga kerja dengan unsur pemilik dan pengurus dalam dunia usaha tersebut. Berangkat dari keadaan tersebut, lahirnya konsep CSR yang berada pada sasaran kewajiban moral, yang bergerak antara kesejahteraan pada lingkungan tertentu, menimbulkan pula suatu konsep bahwa yang harus diwujudkan adalah kesejahteraan bersama pada lingkungan perusahaan. Kesejahteraan yang bersifat terbatas makin meluas yang diikuti gerakan yang sama sehingga menjadi suatu konsep positif yang menjadi tanggung jawab institusional. Konsep tersebut menjadi sangat manusiawi baik bagi tenaga kerja maupun masa depan perusahaan, kemudian berkembang atas kesadaran mengenai alam dan lingkungan. Konsep sebagaimana diuraikan di atas selanjutnya menjadi sesuatu hal yang berdasarkan kearifan manusia, tidak hanya menjadi kewajiban moral, tetapi menjadi kewajiban yang bertujuan menuju pencapaian kesejahteraan warga negaranya, secara sadar pasti mengatur hal-hal yang berkaitan dengan CSR. Sumber daya alam yang dieksploitasi perusahaan makin lama menjadi makin berkurang daya dukungnya, karena sifatnya yang terbatas dan tidak terbarukan. Hal ini mulai disadari sehingga konsep tanggung jawab terhadap lingkungan juga berkembang. Manusia secara pribadi dalam institusi dan negara secara serentak sadar bahwa lingkungan dan sumber daya alam perlu dilindungi untuk kepentingan manusia dan kemanusiaan dimasa yang akan datang. Sehubungan itu, CSR bila dilaksanakan dengan baik dan benar, akan memberikan dampak positif bagi perusahaan, lingkungan termasuk sampah. Perusahaan harus memiliki kepedulian tinggi terhadap lingkungan seperti pengelolaan limbah padat dan cair. Jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh sesuai ketentuan Pasal 15 UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, bahwa produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam, maka tidak terlalu sulit untuk
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 94
mengelola sampah. Demikian halnya dengan ketentuan Pasal 20 ayat (3) UU No. 18 Tahun 2008, bahwa pelaku usaha yang menggunakan bahan produksi yang menimbulkan sampah sesedikit mungkin, dapat diguna ulang, dapat didaur ulang, dan/atau mudah diurai oleh proses alam. Pada dasarnya kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan yang berhubungan dengan sumber daya alam, pasti mengandung nilai positif, baik bagi internal perusahaan maupun bagi eksternal perusahaan dan pemangku kepentingan lain. Meskipun demikian nilai positif dapat mendorong terjadinya tindakan dan perbuatan yang mempunyai nilai negatif, karena merugikan lingkungan dan masyarakat sekitar. Nilai negatif dimaksud seberapa jauh kegiatan perusahaan bersangkutan mempunyai potensi merugikan kesehatan dan lingkungan, dengan kata lain seberapa luas kerusakan lingkungan sebagai akibat langsung dari kegiatan perusahaan. Perusahaan yang pada satu sisi pada suatu waktu menjadi pusat kegiatan yang membawa kesejahteraan bahkan kemakmuran bagi masyarakat, pada satu saat yang sama dapat menjadi sumber petaka pada lingkungan yang sama pula. Misalnya terjadi pencemaran lingkungan atau kerusakan alam dan lingkungan yang lebih luas. Berdasarkan uraian tersebut di atas, perusahaan akan mempunyai dampak positif bagi kehidupan pada masa yang akan datang dengan terpeliharanya lingkungan dan semua kepentingan pada pemangku kepentingan sehingga akan menghasilkan tata kehidupan yang lebih baik. Akan tetapi juga mempunyai satu sisi negatif terhadap kesehatan dan lingkungan. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa secara formal CSR diatur dalam Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, menyatakan Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban TJSL dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 95
Di dalam penjelasan TJSL bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan Perseroan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Mencermati ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 40 Tahun 2007 istilah tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) terjemahan dari istilah Corporate Social Responsibility (CSR) untuk konteks perusahaan dalam masyarakat Indonesia, dan mengartikannya sebagai "komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan, komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya". Dalam berbagai literatur manajemen perusahaan banyak sekali ditemukan tulisan tentang CSR atau TJSL baik untuk konteks masyarakat Indonesia maupun asing. Pada tingkat paling dasar namun sekaligus sangat luas, CSR dapat dipahami sebagai sebuah relasi atau interkoneksi antara perusahaan dengan para
pemangku
kepentingan
perusahaan
tersebut,
termasuk
pelanggan,
pemasok, kreditur, karyawan, hingga masyarakat khususnya yang berdomisili di wilayah perusahaan tersebut dalam menjalankan aktivitasnya. Perusahaan bertanggungjawab menjamin kegiatan operasional mampu menghasilkan barang dan/atau jasa secara ekonomis, efisien, dan bermutu untuk kepuasan pelanggan di samping untuk memperoleh keuntungan. Perusahaan juga berkewajiban mematuhi hukum dan seluruh peraturan perundang-undangan nasional dan daerah di dalam wilayah negara seperti misalnya mematuhi aturan hukum perlindungan konsumen, kesehatan, lingkungan, pengelolaan sampah, dan sebagainya. Konsep CSR merupakan kewajiban perusahaan peduli terhadap lingkungan, kesejahteraan masyarakat di mana perusahaan berdomisili atau menjalankan aktivitas operasionalnya. Kewajiban terakhir dapat dilakukan perusahaan melalui berbagai bentuk kegiatan yang idealnya cocok dengan strategi dan business core dari perusahaan itu sendiri. Misalnya, pemberdayaan ekonomi rakyat berupa membina industri kecil dan menengah; penyediaan pelayanan kesehatan dan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 96
pendidikan masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana pengelolan sampah, dan sebagainya. Mencermati uraian tersebut di atas, pada prinsipnya CSR bertujuan agar perusahaan dapat memberi kontribusi untuk kemajuan atau peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Pada poin inilah tampak nyata bahwa pelaku usaha melalui berbagai badan usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum ‘diminta’ bersama-sama pemerintah mewujudkan lingkungan yang sehat dan/atau berwawasan lingkungan. Tanggung jawab perusahaan tersebut secara etis moral dinilai memiliki tanggung jawab sosial terhadap lingkungan. Di sisi lain, CSR juga memberi manfaat bagi perusahaan yang melaksanakan, seperti CSR mampu menciptakan brand image perusahaan di tengah pasar yang kompetitif pada gilirannya
akan mampu menciptakan
customer loyalty dan membangun/mempertahankan reputasi bisnis. CSR dapat membantu perusahaan untuk mendapatkan atau melanjutkan license to operate dari pemerintah maupun dari publik sebab perusahaan akan dinilai telah memenuhi standar tertentu dan memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Singkat kata, CSR dapat menjadi iklan bagi produk perusahaan yang bersangkutan.
4.13. Peran serta Masyarakat Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perindustrian diatur dalam Pasal 115 dan Pasal 116 UU No. 3 Tahun 2014. Secara lengkap Pasal 115 dan Pasal 116 sebagai berikut: Pasal 115 (1) Masyarakat dapat berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan Industri. (2)
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan dalam bentuk: a. pemberian saran, pendapat, dan usul; dan/atau b. penyampaian informasi dan/atau laporan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat dalam pembangunan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 97
Pasal 116 (1) Masyarakat berhak mendapatkan perlindungan dari dampak negatif kegiatan usaha Industri. (2)
Ketentuan mengenai perlindungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4.14. Pembinaan Untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan perindustrian perindustrian di Provinsi DKI Jakarta sebagaimana termuat dalam Pasal 3 UU No. 3 Tahun 2014, dilakukan pembinaan yang terarah dan terpadu mulai perencanaan, pelaksanaan atau penerapan sampai pengawasan. Berdasarkan PP No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, yang dimaksud pembinaan adalah upaya yang dilakukan Pemerintah dan/atau Gubernur selaku Wakil Pemerintah di daerah dalam rangka mewujudkan tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Lingkup pembinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 PP No. 79 Tahun 2005, meliputi: (a) koordinasi; (b) pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan; (c) pemberian bimbingan dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan; (d) pendidikan dan pelatihan; (e) perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan. Lingkup pembinaan tersebut secara rinci sebagai berikut: a. Koordinasi Dalam manajemen, koordinasi merupakan suatu usaha untuk mengharmonisasikan atau menserasikan seluruh kegiatan, sehingga dapat mencapai tujuan yang diharapkan.91 Keharmonisan dan keserasian dilakukan baik terhadap
tugas bersifat
teknis,
finansial,
kepegawaian
maupun
administrasi. Dengan terciptanya koordinasi, beban tugas antar satuan kerja menjadi seimbang, dan tercipta keseimbangan keadaan atau suasana kelembagaan secara keseluruhan menjadi harmonis dan selaras. Keselarasan
91
Gitosudarmo Indriyo dan Mulyon Agus, Prinsip Dasar Manajemen : Edisi 3, BPFE Jogyakarta, 1996.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 98
akan membawa akibat terjadinya kewajiban di dalam melaksanakan tugas dalam mencapai tujuannya. Oleh karena itu, koordinasi merupakan usaha menciptakan keadaan yang disebut “3S”, singkatan dari “serasi, selaras, dan seimbang”. Dalam penyelenggaraan perindustrian, yang dimaksud dengan “3S”, adalah : (1) serasi, adanya suatu perbandingan sesuai antara beban tugas dengan pelaksanaan tugas guna merealisasikan maksud tujuan penyelenggaraan pembangunan perindustrian, sehingga terwujud pemuda sebagai generasi penerus bangsa dan negara; (b) selaras, yaitu sinkronisasi antara kebijakan dengan operasional dalam melaksanakan program dan kegiatan dan/atau upaya yang dilakukan dalam memberikan pelayanan kepada pemuda sesuai tugas dan fungsi masing-masing SKPD terkait guna mewujudkan maksud dan tujuan pembangunan perindustrian; (c) seimbang, yaitu adanya pembebanan yang proporsional dalam pelaksanaan tugas baik di Dinas Perindustrian dan Energi maupun SKPD lain guna merealisasikan tujuan penyelenggaran pembangunan perindustrian. Dalam pelaksanaan teknis operasional, makna koordinasi dapat dikelengkapi dengan 2S sehingga menjadi 5S, yaitu “seragam dan serentak”. Seragam, adanya
kesamaan
pandang
atau
persepsi
atau
prinsip
di
dalam
penyelenggaraan pembangunan perindustrian. Keseragaman memberikan kemudahan dalam pelaksanaan tugas. Oleh sebab itu, koordinasi tingkat pimpinan dan staf diperlukan selain bertujuan memudahkan pelaksanaan operasional di lapangan juga untuk meningkatkan efisiensi. Serentak, yang dimaksud dengan serentak adalah dalam upaya memberikan perlindungan baik kepada remaja dan pemuda
secara bersama-sama dalam arti saling
menjaga dan menghormati. Hal ini membuat penyelenggaraan pembangunan perindustrian bergerak searah untuk mencapai tujuan yang sama, dan memudahkan untuk digerakkan searah dan sejalan dengan usaha yang dilakukan untuk merealisasikan tujuan yang ditetapkan dan/atau diinginkan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 99
Berdasarkan uraian di atas, secara garis besar memberikan gambaran bahwa tujuan koordinasi untuk mewujudkan satu visi, misi, dan tujuan melalui program dan kegiatan yang ditetapkan. Karena visi, misi dan tujuan merupakan salah satu komponen dari kebijakan, maka dengan koordinasi terwujud kesatuan tindakan untuk mencapai visi dan misi, serta maksud dan tujuan pembangunan perindustrian. Suatu program yang direncanakan secara terpusat dalam hal ini menjadi tugas dan fungsi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), sehingga ada unsur pengendalian untuk menjamin harmonisasi dalam pelaksanaan program dan kegiatan baik yang dilakukan Dinas maupun SKPD lain. Tanpa adanya pengendalian bisa berakibat Dinas (Dinas Perindustrian dan Energi) dan SKPD lain bergerak sendiri-sendiri, sehingga terjadi penyimpangan dari tujuan yang ingin dicapai. Keterpaduan menunjukkan adanya keadaan yang saling mengisi dalam melaksanakan tugas. Dengan prinsip saling isi-mengisi, saling memberi dan saling menerima, maka tugas menjadi semakin efektif dan efisien serta pencerminan dari keterpaduan. Sarana koordinasi antara lain komunikasi. Pendekatan komunikasi dilakukan untuk mengarahkan, menyatukan tindakan, mewujudkan, menciptakan disiplin untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan yang ditentukan. Keterpaduan antar SKPD/UKPD, instansi vertikal terkait (seperti Kepolisian), dan asosiasi dalam penyelenggaraan
pembangunan
perindustrian
menjadi
penting. Fungsi
koordinasi tersebut, menjadi tugas Biro Perekonomian Sekretariat Daerah Provinsi. Berdasarkan uraian tersebut di atas, untuk mewujudkan visi, misi, serta maksud dan tujuan pembangunan perindustrian, koordinasi menjadi salah satu tokok ukur keberhasilan, maka peran dan fungsi Gubernur dalam koordinasi yang secara teknis menjadi tugas Sekretaris Daerah menjadi penting dalam pembangunan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 100
b. Pemberian pedoman dan standar Dalam pemberian pedoman dan standar, mulai perencanaan, pelaksanaan, tata laksana, pendanaan, kualitas, pengendalian, dan pengawasan. Pedoman dan standar tersebut disusun dan ditetapkan Gubernur dengan Peraturan Gubernur sesuai pedoman atau aturan yang ditetapkan Pemerintah Pusat, menjadi acuan bagi Dinas dan SKPD lain di dalam penyelenggaraan pembangunan perindustrian, bagi masyarakat dan pelaku usaha. c. Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi Bimbingan, supervisi, dan konsultasi, mencakup perencanaan, pelaksanaan, tata
laksana,
pendanaan,
kualitas,
pengendalian,
dan
pengawasan
merupakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab Kepala Dinas sebagai SKPD pembina yang diberi tugas oleh Gubernur melalui Peraturan Gubernur No. 267 Tahun 2016 tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Perindustrian Dan Energi. Selain itu, Dinas Perindustrian dan Energi juga sebagai pelaksana teknis dapat melakukan pembinaan sesuai kebutuhan kepada pelaku usaha di bidang industri dan anggota masyarakat. Pembinaan yang dilakukan dalam rangka pemberdayaan pelaku usaha di bidang industri. d. Pemantauan dan evaluasi Pemantauan dan evaluasi dilaksanakan sesuai fungsi dan kewenangan Daerah. Pelaksanaan kegiatan pemantauan dan evaluasi dilakukan sesuai pedoman yang ditetapkan oleh Gubernur. Jika tidak ada Kepala Dinas dapat menyusun pedoman pemantauan dan evaluasi pembangunan perindustrian sebagai bahan perumusan kebijakan oleh Gubernur atau Kepala Dinas.
4.15. Pengawasan dan Pengendalian Kata "pengawasan" berasal dari kata "awas", berarti antara lain "penjagaan". Istilah pengawasan dikenal dalam ilmu manajemen dan ilmu administrasi sebagai salah satu unsur dalam kegiatan pengelolaan.92 Istilah pengawasan dalam bahasa Inggris disebut dengan controlling diterjemahkan dengan pengawasan 92
Anton M. Moeliono, dkk., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hlm. 68
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 101
dan pengendalian, sehingga istilah controlling lebih luas artinya daripada pengawasan. Beberapa ahli manajemen memberikan pemahaman yang sama terhadap pengertian controlling dengan pengawasan. Dengan demikian, dalam pengawasan termasuk pengendalian.93 Menurut George T. Terry dalam Winardi, “control is to determine what is accomplished, evaluate it, and apply corrective measures is needed to ensure result in keeping with the plan”.94 Lembaga Administrasi Negara (2003), menjelaskan bahwa pengawasan adalah suatu kegiatan untuk memperoleh kepastian apakah pelaksanaan pekerjaan/kegiatan telah dilakukan sesuai dengan rencana. Dalam pengawasan pada dasarnya membandingkan kondisi yang ada bila terjadi penyimpangan atau hambatan segara diambil tindakan koreksi. Menurut Sarundajang fungsi pengawasan untuk membantu manajemen dalam 3 (tiga) hal, yaitu: (a) meningkatkan kinerja organisasi; (b) memberikan opini atas kinerja organisasi; (c) mengarahkan manajemen untuk melakukan koreksi atas permasalahan dalam pencapaian kinerja yang ada. 95 Ketiga hal tersebut dilakukan dengan cara memberikan informasi yang dibutuhkan secara cepat dan memberikan tingkat kenyakinan akan pencapaian rencana yang telah ditetapkan. Sementara Sondang P. Siagian mendefinisikan pengawasan adalah proses pengamatan daripada pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar supaya semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. 96 Definisi tersebut di atas secara materiil sama, menitikberatkan pada tindakan pengawasan pada suatu proses yang sedang berjalan atau dilaksanakan. Pengawasan tidak ditempatkan pada akhir suatu kegiatan, justru pengawasan akan menilai dan memberi warna terhadap hasil yang akan dicapai oleh kegiatan yang sedang dilaksanakan tersebut.
93 94 95 96
Victor M. Situmarang dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat Dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 18. George R. Terry, Asas-asas Manajemen, diterjemahkan oleh Winardi, Alumni, Bandung, 1986. Sarundajang, Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah, Pustaka, Jakarta, 2005, hlm 240. S. P. Siagian, Filsafat Aministrasi, Gunung Agung, Jakarta, 1990, hlm. 107.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 102
Menurut Sujamto pengawasan adalah "segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas dan kegiatan, sudah sesuai dengan yang semestinya atau tidak". Adapun batasan pengendalian sebagai "segala usaha atau kegiatan untuk menjamin dan mengarahkan agar pekerjaan yang sedang dilaksanakan dapat berjalan dengan semestinya".97 Jadi, baik pengawasan maupun pengendalian, kedua-duanya adalah berupa usaha atau kegiatan. Sementara menurut Prayudi, pengawasan adalah proses kegiatan yang membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan. Hasil pengawasan harus dapat menunjukkan sampai di mana terdapat kecocokan atau ketidakcocokan, dan apa sebab-sebabnya.98 Berdasarkan pengertian tersebut di atas, pengawasan dapat bersifat (a) politik, bilamana menjadi ukuran atau sasaran adalah efektivitas dan/atau legitimasi; (b) yuridis (hukum), bilamana bertujuan menegakkan yuridiksitas dan atau legalitas, (c) ekonomis, bilamana yang menjadi sasaran adalah efisiensi dan teknologi, (d) moril dan susila, bilamana yang menjadi sasaran atau tujuan mengetahui keadaan moralitas. Mencermati batasan beberapa pengertian pengawasan tersebut di atas, pengawasan dapat diartikan secara luas sebagai salah satu aktivitas atau kegiatan fungsi manajemen untuk menentukan, menilai dan mengoreksi penyimpangan yang mungkin terjadi atau yang sudah terjadi berdasarkan standar yang tetapkan peraturan perundang-undangan. Dalam penyelenggaraan
pemerintahan, pengawasan
ditujukan
untuk
menciptakan pemerintahan yang efisien, efektif, berorientasi pada pencapaian visi dan misi institusi. Melalui pengawasan diperoleh: (a) menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, pemborosan, dan ketidakadilan; (b) mencegah terulang kembali kesalahan, penyimpangan, penyelewengan, pemborosan, hambatan, dan ketidak-adilan; (c) mendapatkan cara-cara yang lebih baik untuk
97 98
Sujamto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Gralia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 19. Lihat juga Sujamto, Aspek-aspek Pengawasan Di Indonesia, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hlm. 42. S. Prayudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, Cetakan Kesepuluh, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 84.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 103
mencapai tujuan dalm melaksanakan tugas dan fungsi dan dalam rangka pencapaian visi dan misi. Sehubungan itu, pengawasan merupakan salah satu aspek yang sangat vital dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan. Aspek pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah termasuk aspek hubungan pengawasan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan antara Pemerintah Provinsi dengan Kota/Kabupaten
Administrasi
terlebih
dahulu
diketahui
pengertian
dari
pengawasan. Pengawasan terhadap pemerintahan yang lebih rendah sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Dalam banyak hal, pengawasan merupakan syarat untuk dapat mengambil kebijakan dan sebagai cara pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi sesuai wewenang yang diberikan. Oleh sebab itu, pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah menjadi tanggung jawab Gubernur selaku Kepala Daerah atas penyelenggaraan urusan pemerintahan termasuk urusan pemerintahan di bidang perindustrian sesuai peraturan perundang-undangan termasuk Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur, dan Keputusan Gubernur. Tanggung jawab pengawasan ada bersifat keuangan dan administratif yang secara operasional diberikan mandat kepada Kepala SKPD/UKPD sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah No. 18 Tahun 2016 tentang Organisasi Perangkat Daerah berikut peraturan pelaksanaannya. Pengawasan erat kaitannya dengan perencanaan, oleh karena itu dapat dikatakan rencana menjadi tolok ukur atau alat di dalam melakukan pengawasan. Demikian pula dalam pemberian perintah atau amanat erat kaitannya dengan pengawasan. Oleh karenanya pengawasan merupakan “follow up” dari perintah atau amanat yang sudah dikeluarkan atau diatur dalam peraturan perundangundangan. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014, serta ketentuan peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan atau Keputusan Presiden, Peraturan Menteri/Keputusan Menteri, Peraturan Daerah, Peraturan/Keputusan Gubernur, dan Instruksi Gubernur.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 104
Berdasarkan uraian di atas, pengawasan salah satu fungsi manajemen pemerintahan yang merupakan proses kegiatan untuk memastikan dan menjamin tujuan dan sasaran pembangunan perindustrian tercapai. Hakikat pengawasan dalam penyelenggaraan perindustrian mencegah sedini mungkin penyimpangan, pemborosan, kesalahan dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta pelaksanaan program dan kegiatan dalam pembangunan perindustrian baik yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Energi maupun SKPD lain. Sasaran pengawasan
untuk
mewujudkan
dan
meningkatkan
efisiensi,
efektivitas,
rasionalitas, dan kelancaran dalam pencapaian maksud dan tujuan pembangunan perindustrian. Pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan perindustrian berdasarkan UU No. 3 Tahun 2014, ditujukan untuk mengetahui pemenuhan dan kepatuhan perusahaan industri dan perusahaan kawasan industri terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian tersebut diberikan kepada Menteri Perindustrian dan kepada Pemerintah Daerah. Pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan di bidang Perindustrian yang dilaksanakan oleh perusahaan industri dan perusahaan kawasan industri dimaksud menurut Pasal 117 ayat (3) UU No. 3 Tahun 2014, paling sedikit meliputi: (a) sumber daya manusia Industri; (b) pemanfaatan sumber daya alam; (c) manajemen energi; (d) manajemen air; (e) SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara; (f) data industri dan data kawasan industri; (g) standar industri hijau; (h) standar kawasan industri; (i) perizinan Industri dan perizinan Kawasan Industri; (j) keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan, dan pengangkutan. Dalam hal pelaksanaan pengawasan dan pengendalian ditemukan dugaan telah terjadi tindak pidana, maka pejabat yang diberi tugas melaksanakan pengawasan melapor kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil bidang Perindustrian. Sehubungan itu, Dinas Perindustrian dan Energi selain memiliki tugas dan fungsi pengawasan, juga harus tersedia Penyidik Pegawai Negeri Sipil bidang Perindustrian. Hasil pengawasan menjadi masukan dalam pengambilan kebijakan, untuk: (a) menghentikan atau meniadakan kesalahan, penyimpangan, dan hambatan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 105
yang terjadi dalam pembangunan perindustrian; (b) mencegah terulang kembali kesalahan dan/atau penyimpangan dari rencana yang ditetapkan; (c) mencari cara-cara yang lebih baik atau membina yang telah baik untuk mencapai maksud dan tujuan. Pengawasan akan bermakna, manakala diikuti dengan langkahlangkah atau upaya tindak lanjut yang nyata dan tepat, yaitu merevisi kebijakan yang tidak tepat dan/atau yang belum ada atau diperlukan segera ditetapkan. Pengawasan dapat dilakukan masyarakat sebagai kontrol sosial, dan dalam mewujudkan efisien dan efektif pembangunan perindustrian. Meningkatnya peran aktif masyarakat dalam pengawasan mencerminkan makin tumbuh dan meningkatnya tanggung jawab masyarakat dan/atau kepedulian masyarakat terhadap perindustrian. Oleh karena itu, baik Dinas Perindustrian dan Energi maupun SKPD lain yang terkait berkewajiban untuk membina masyarakat agar peran aktif masyarakat berjalan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Bagaimanapun kecilnya peran masyarakat harus diperhatikan dan dihargai. Beberapa hal pokok yang diperlukan terhadap peran masyarakat dalam pengawasan
penyelenggaraan
perindustrian,
antara lain: (a) secepatnya
memberikan tanggapan dengan menjelaskan tindakan yang telah diambil, atau menjelaskan duduk persoalan atau kebenarannya, apabila isi hasil pengawasain tidak atau kurang benar; (b) dalam hal tanggapan belum dapat dilakukan, karena masih memerlukan penelitian dan pengusutan, tanggapan dilakukan bertahap; (c) mengambil langkah tindak lanjut yang tepat dalam bentuk usaha penertiban, peningkatan, dan pembinaan untuk merehabilitasi, meningkatkan, dan membina citra.
4.16. Sanksi Peraturan perundang-undangan baik nasional maupun daerah merupakan peraturan tertulis yang mengikat subjek hukum dengan hak dan kewajiban hukum dalam bentuk kebolehan (permittere), perintah (obligattere), dan larangan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 106
(prohibere),99 yang disusun secara sistematis sesuai asas dan prinsip-prinsip, serta teknis pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 dan sesuai kewenangan sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Sanksi tidak hanya ditujukan kepada pelaku usaha di bidang industri atau masyarakat sebagai objek hukum melainkan juga kepada pejabat dan aparatur yang perbuatan atau tindakan bertentangan dengan norma hukum dalam menjalankan tugas atau diluar batas wewenangnya atau dil uar prosedur merupakan perbuatan melawan hukum, 100 baik dilakukan secara sengaja maupun akibat kelalaian, sehingga menimbulkan kewajiban secara hukum administrasi pemerintahan, hukum perdata, dan/atau hukum pidana. Seseorang dikatakan melakukan perbuatan melawan hukum, apabila perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan subjek hukum atau bertentangan dengan kewajibannya sendiri menurut undang-undang.101 Bentuk pelanggaran tersebut dalam peraturan perundang-undangan disebut sanksi merupakan bagian penutup yang penting dalam hukum. 102 Setiap aturan hukum di Indonesia pada umum selalu ada sanksi pada akhir aturan tersebut. Pembebanan sanksi tidak hanya terdapat dalam undangundang dan peraturan daerah,103 melainkan juga terdapat dalam peraturan perundang-undangan lain, seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri atau bentuk lain di bawah undang-undang dan peraturan daerah, namun jenisnya berbeda dengan undang-undang dan peraturan daerah yaitu sanksi administratif. Pencantuman sanksi dalam peraturan perundang-undangan merupakan kewajiban yang harus dicantumkan dalam setiap aturan hukum. Artinya kepada siapa saja yang melanggar aturan hukum tersebut akan dijatuhi sanksi administrasi, perdata, dan pidana, maka kepada pelanggar dapat dijatuhi sanksi secara kumulatif.104
99 Jimly Asshiddiqie, Op. cit, hlm. 1-2, dan hlm. 6. 100 Hartono Soenaryati, Panduan Investigasi untuk Ombudsmen Indonesia, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 2003, hlml. 6 101 Emong Komariah Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Material Dalam Hukum Pidana Indonesia, PT. Alumni, Bandung, Ed. 1, Cet. 1, 2003, hlm. 35. 102 Philipus M. Hardjon, dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to The Indonesia Administrative Law), Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2002, hlm. 245. 103 Dalam Lampiran No. 90 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndang, bahwa ketentuan pidana hanya dimuat dalam Undang-Undang dan Peraturan daerah. 104 Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris : sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 90.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 107
Aturan hukum tidak dapat ditegakkan atau tidak akan dipatuhi jika pada bagian akhir tidak mencantumkan sanksi. Tidak ada gunanya memberlakukan kaidah-kaidah hukum manakala kaidah-kaidah tersebut tidak dapat dipaksakan melalui sanksi dan menegakkan kaidah-kaidah dimaksud secara prosedural atau hukum acara.105 Oleh sebab itu, sanksi selalu ada pada aturan hukum yang dikualifikasikan sebagai aturan hukum memaksa. Ketidaktaatan atau pelanggaran terhadap suatu kewajiban yang tercantum dalam aturan hukum mengakibatkan terjadinya ketidak teraturan, yang sebenarnya tidak diinginkan oleh aturan hukum bersangkutan. Hal tersebut sesuai fungsi sanksi yang dipakai untuk penegakkan hukum terhadap ketentuan biasanya berisi suatu “perintah” dan “larangan” atau “mewajibkan”.106 Dengan demikian, sanksi pada hakikatnya merupakan instrumen yuridis yang biasanya diberikan apabila kewajiban atau larangan atau perintah yang ada dalam ketentuan hukum dilanggar,107 dan dibalik ketentuan perintah dan larangan tersedia sanksi untuk memaksa kepatuhan.108 Penerapan sanksi dalam Peraturan Daerah pada umumnya terdiri atas sanksi administratif, dan sanksi pidana. Dengan memahami teori sanksi akan memudahkan pengaturan sanksi dalam Rancangan Peraturan Daerah baik kepada pelaku maupun kepada pejabat yang diberi tugas dalam kaitannya dengan pengelolan sampah. Penjatuhan sanksi administratif, perdata, dan pidana mempunyai sasaran, sifat, dan prosedur berbeda.109 Sanksi administratif dan sanksi perdata dengan sasaran yaitu perbuatan yang dilakukan bersangkutan, sedangkan sanksi pidana dengan sasaran adalah pelaku (orang) yang melakukan tindakan hukum tersebut. Sifat sanksi administratif dan sanksi perdata reparatoir atau korektif, yaitu untuk memperbaiki suatu keadaan agar tidak dilakukan lagi yang bersangkutan. Regresif dimaksud adalah segala sesuatunya dikembalikan kepada suatu keadaan ketika sebelum terjadinya pelanggaran. Dalam aturan tertentu, di samping dijatuhi sanksi 105 Philipus M. Hardjon, dkk, op cit, hlm. 262. 106 Philipus M. Hardjon, Pemerintahan menurut Hukum, Yuridika, Surabaya, 1992 hlm. 6. 107 Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Industri di Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya, 2004, hlm. 82. 108 Philipus M. Hardjon, op cit, hlm. 5. 109 Philipus M. Hadjon, Penegakkan Hukum Administrasi Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (Paparan dan kajian Hukum Administrasi Positif), Makalah Lokakarya Penengakan Hukum Lingkungan, PPLH Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, Surabaya, Univivesitas Airlangga, Surabaya, 1996, hlm. 12.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 108
administratif juga dapat dijatuhi sanksi pidana secara kumulatif yang bersifat condermnator (punitif) atau menghukum.
Matrik-4.2 Perbandingan Sanksi Administratif, Perdata, dan Pidana110 Sasaran Sifat
Prosedur
Sanksi Administratif Perbuatan Reparator/Korektif Regresif Condemnatoir/Punit if (sebagai kumulasi sanksi jika diatur dalam aturan hukum yang bersangkutan). Langsung
Sanksi Perdata Perbuatan Reparatoir/Korektif (pemulihan/perbaikan) Regresif (pengembalian kepada keadaan semula)
Sanksi Pidana Pelaku Condemnatoir/ Punitif (penghukuman / pidana)
Gugatan perdata (pengadilan)
Pengadilan
Memahami sasaran, sifat, dan prosedur sanksi sebagaimana dikemukakan di atas, penerapan sanksi kepada pelaku usaha dalam perindustrian tidak sulit, karena UU No. 3 Tahun 2014 telah diatur secara tegas. Sanksi tidak saja ditujukan kepada masyarakat melainkan juga kepada pejabat yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab meskipun undang-undang tidak mengatur secara tegas. Penggunaan kata “setiap orang” dalam undang-undang dapat ditafsirkan termasuk pejabat diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab di bidangnya. 4.16.1. Sanksi Administratif Dalam beberapa kepustakaan hukum administrasi dikenal beberapa jenis sanksi administratif, meliputi: 111 a) Paksaan pemerintah Paksaan pemerintah sebagai tindakan nyata dari pemerintah guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum atau bila masih
110 Habib Adjie, op. cit. hlm. 123 111 Philipus M. Hadjon, dkk, op. cit., hlm. 245, dan Habib Adjie, op. cit. hlm. 108
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 109
melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh warga masyarakat karena bertentangan dengan undang-undang. b) Penarikan kembali keputusan Sanksi ini digunakan dengan mencabut atau menarik kembali suatu keputusan atau ketetapan dengan mengeluarkan ketetap-an baru. Sanksi ini diterapkan dalam hal terjadi pada penetapan tertulis yang telah diberikan, juga terjadi pada pelanggaran berkaitan dengan izin yang dipegang oleh si pelanggar. 112 Dalam keadaan tertentu sanksi ini tidak terlalu perlu didasarkan pada peraturan perundang-undangan, apabila keputusan atau ketetapan untuk waktu yang tidak tertentu dan menurut sifatnya dapat diakhiri atau ditarik kembali izin, dan penarikan kembali tidak dapat diadakan secara berlaku surut.113 Pencabutan atau penarikan kebijakan atau keputusan merupakan suatu sanksi situatif yaitu sanksi yang dikeluarkan bukan dimaksudkan sebagai reaksi terhadap perbuatan tercela dari segi moral, melainkan untuk mengakhiri keadaan yang secara objektif tidak dapat dibenarkan lagi. 114 c) Pengenaan denda administratif Sanksi pengenaan denda administratif ditujukan kepada yang melanggar peraturan perundang-undangan tertentu, dan kepada pelanggar dikenakan sejumlah uang tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan kepada pemerintah diberikan wewenang untuk menerapkan sanksi tersebut. d) Pengenaan uang paksa oleh pemerintah Sanksi pengenaan uang paksa oleh pemerintah ditujukan untuk menambah hukuman, di samping denda yang telah disebutkan dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan bersangkutan. Menurut Pasal 238 ayat (5) UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa Peraturan Daerah dapat memuat sanksi administratif, berupa: (a) teguran lisan; (b) teguran tertulis; (c) penghentian sementara kegiatan; (d) penghentian tetap kegiatan; (e) pencabutan sementara izin; (f) pencabutan tetap 112 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, 1996, hlm. 242. 113 Philipus M. Hadjon, dkk, op. cit., hlm. 247. 114 Indroharto, op. cit. hlm. 243.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 110
izin; (g) denda administratif; dan/atau (h) sanksi administratif lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Di dalam UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian terdapat beberapa pasal menerapkan sanksi administratif. Sanksi administratif dimaksud antara lain sebagai berikut: Pasal 25 (5) Untuk jenis pekerjaan tertentu di bidang Industri, Menteri menetapkan pemberlakuan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia secara wajib. (6)
Dalam hal Menteri menetapkan pemberlakuan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri wajib menggunakan tenaga kerja Industri yang memenuhi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia.
(7)
Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang tidak menggunakan tenaga kerja Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara; d. pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri; dan/atau e. pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri.
Pasal 30 (1) Sumber daya alam diolah dan dimanfaatkan secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. (2)
Pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh: a. Perusahaan Industri pada tahap perancangan produk, perancangan proses produksi, tahap produksi, optimalisasi sisa produk, dan pengelolaan limbah; dan b. Perusahaan Kawasan Industri pada tahap perancangan, pembangunan, dan pengelolaan Kawasan Industri, termasuk pengelolaan limbah.
(5)
Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 111
d. pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri; dan/atau e. pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri. Pasal 39 (1) Dalam keadaan tertentu, Pemerintah dapat melakukan pengadaan Teknologi Industri melalui proyek putar kunci. (2)
Penyedia teknologi dalam proyek putar kunci wajib melakukan alih teknologi kepada pihak domestik.
(4)
Penyedia teknologi dalam proyek putar kunci yang tidak melakukan alih teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; dan/atau c. penghentian sementara.
Pasal 60 (1) Setiap Orang yang membubuhkan tanda SNI atau tanda kesesuaian pada barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi ketentuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf a dikenai sanksi administratif. (2)
Pelaku usaha atau pemilik barang dan/atau Jasa Industri yang tidak menarik barang dan/atau menghentikan kegiatan Jasa Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dikenai sanksi administratif.
(3)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara; d. pembekuan izin usaha Industri; dan/atau e. pencabutan izin usaha Industri.
Pasal 70 (1) Setiap Perusahaan Industri yang tidak menyampaikan Data Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dan Perusahaan Kawasan Industri yang tidak menyampaikan Data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1), Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memberikan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 112
d. pembekuan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri; dan/atau e. pencabutan izin usaha Industri atau izin usaha Kawasan Industri. (2)
Pejabat dari instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang menyampaikan dan/atau mengumumkan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dikenai sanksi administratif berupa: a. teguran tertulis; b. pembebasan dari jabatan; c. penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 (satu) tahun; d. penurunan pangkat pada pangkat setingkat lebih rendah untuk paling lama 1 (satu) tahun; e. pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri; dan/atau f. pemberhentian dengan tidak hormat.
Pemberian sanksi administratif yang ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 2014 ada yang dilakukan oleh Menteri dan Kepala Daerah sesuai kewenangannya. Tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam PP No. 41 Tahun 2015 tentang Pembangunan Sumber Daya Industri sebagai berikut: Pasal 40 Setiap Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang menggunakan Tenaga Kerja Industri yang tidak memenuhi SKKNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa: a. peringatan tertulis; b. denda administratif; c. penutupan sementara; d. pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri; dan/atau e. pencabutan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri. Pasal 12 (1) Untuk jenis pekerjaan tertentu di bidang Industri, Menteri menetapkan pemberlakuan SKKNI secara wajib. (3)
Dalam hal Menteri menetapkan pemberlakuan SKKNI secara wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri wajib menggunakan Tenaga Kerja Industri yang memenuhi SKKNI.
Pasal 41 Setiap Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang tidak melaksanakan Pemanfaatan Sumber Daya Alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa: Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 113
a. b. c. d.
peringatan tertulis; denda administratif; penutupan sementara; pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri; dan/atau e. pencabutan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri. Pasal 19 ayat (1) dimaksud sebagai berikut: Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri wajib memanfaatkan Sumber Daya Alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Pasal 42 (1) Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 kepada Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri. (2)
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan atas laporan yang berasal dari: a. pengaduan; dan/atau b. tindak lanjut hasil pengawasan. Dalam penjelasan Laporan berdasarkan pengaduan dapat dilakukan oleh warga masyarakat, baik perorangan maupun kelompok, atau lembaga kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
Pasal 43 (1) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan ditemukan bahwa Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) atau Pasal 19 ayat (1), Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis. (2)
Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari.
Pasal 44 (1) Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang telah dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan tidak memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa denda administratif. (2)
Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan paling banyak:
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 114
a. 1% (satu persen) dari nilai investasi bagi Perusahaan Industri; dan b. 1 o/oo (satu per mil) dari nilai investasi bagi Perusahaan Kawasan Industri. (3)
Pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak surat pengenaan denda administratif diterima.
(4)
Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan negara bukan pajak atau penerimaan daerah.
Pasal 45 (1) Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memenuhi kewajibannya dan tidak membayar denda administratif dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara. (2)
Dalam hal Perusahaan Industri dan/atau Perusahan Kawasan Industri telah membayar denda administratif tetapi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal batas waktu pembayaran denda administratif tidak memenuhi kewajibannya, dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara.
(3)
Penutupan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal surat penutupan sementara diterima.
(4)
Perusahaan Industri yang berada dalam Kawasan Industri yang dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara, tetap dapat menjalankan kegiatan produksinya sesuai dengan izin yang dimilikinya.
Pasal 46 (1) Dalam hal Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri sejak tanggal berakhirnya sanksi administratif berupa penutupan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) tidak memenuhi kewajibannya dan/atau tidak membayar denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri. (2)
Pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterbitkan Surat Penetapan Pembekuan.
(3)
Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri yang telah memenuhi kewajiban membayar denda administratif dan memenuhi kewajibannya dapat mengajukan permohonan pemulihan status pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industrinya.
(4)
Ketentuan mengenai tata cara pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri diatur dengan Peraturan Menteri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 115
Pasal 47 (1) Dalam hal Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri sejak tanggal berakhirnya sanksi administratif berupa pembekuan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) tidak memenuhi kewajibannya dan/atau tidak membayar denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri. (2)
Ketentuan mengenai tata cara pencabutan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri diatur oleh Menteri.
Pasal 48 Dalam hal pelanggaran terhadap Pasal 12 ayat (3) atau Pasal 19 ayat (1) telah menimbulkan bahaya keamanan, keselamatan, kesehatan, dan/atau lingkungan terhadap Tenaga Kerja Industri dan/atau produk yang dihasilkan, Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri dikenai sanksi administratif tanpa melalui tahapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41. Pasal 49 Gubernur dan bupati/walikota wajib menyampaikan laporan pembekuan, pemulihan status pembekuan, dan pencabutan Izin Usaha Industri atau Izin Usaha Kawasan Industri kepada Menteri.
4.16.2. Sanksi Ketentuan Pidana Ketentuan pidana di dalam Peraturan Daerah sesuai Pasal 238 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, menyatakan bahwa Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan/pelaksanaan Perda seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sanksi pidana yang ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 2014 terhadap pelanggaran ketentuan Pasal 53 ayat (1) bahwa setiap Orang dilarang: (a) membubuhkan tanda SNI atau tanda kesesuaian pada barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi ketentuan SNI, spesifikasi teknis, dan/atau Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 116
pedoman tata cara; atau (b) memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib. Bentuk sanksi pidana atas pelanggaran tersebut dalam UU No. 3 Tahun 2014 sebagai berikut: Pasal 120 (1) Setiap Orang yang dengan sengaja memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 120 (2) Setiap Orang yang karena kelalaiannya memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib di bidang Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Meskipun Pemerintah Daerah diberikan wewenang oleh undang-undang memberikan sanksi pidana atas pelanggaran sebagian atau seluruh ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah, namun hal tersebut sulit dilakukan karena dalam pelaksanaannya Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bidang industri bertugas melakukan penyidikan atas pelanggaran Peraturan Daerah dan memiliki kurungan. Pada saat Hakim menetapkan keputusan kepada pelanggar berupa denda dalam jumlah tertentu, si penanggar tidak memiliki uang, maka Hakim memutuskan berupa kurungan dalam waktu tertentu, sementara Pemerintah Daerah tidak memiliki kuruangan. Oleh sebab itu, Ketentuan Pidana dalam Peraturan Daerah sesuai yang ditetapkan dalam undang-undang.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 117
4.17. Penyidikan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka. Penyidikan tersebut merupakan tugas dan wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang perindustrian. Tata cara penyidikan diatur dalam Pasal 106 sampai dengan Pasal 136 UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP). Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981, dan Pasal 4 ayat (1) Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 2003 tentang Pedoman Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah, bahwa penyidik (PPNS) dalam melaksanakan tugas penyidikan atas pelanggaran Peraturan Daerah mempunyai wewenang sebagai berikut: (a) menerima laporan atau pengaduan dari seseorang mengenai adanya tindak pidana atas pelanggaran Peraturan Daerah; (b) melakukan tindak pertama dan pemeriksaan di tempat kejadian; (c) menyuruh berhenti seseorang dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; (d) melakukan penyiataan benda atau surat; (e) mengambil sidik jari dan memotret seseorang; (f) memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (g) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; (i) mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umu, tersangka atau keluarganya; (i) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Lebih jauh menurut Pasal 4 ayat (2), bahwa PPNS tidak berwenang melakukan penangkapan atau penahanan. PPNS mempunyai kewajiban sesuai dengan bidang tugasnya, meliputi: (a) melakukan penyidikan, menerima laporan, dan pengaduan mengenai terjadinya pelanggaran atas Peraturan Daerah; (b) menyerahkan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik POLRI dalam wilayah hukum yang sama; (c) membuat Berita Acara setiap tindakan. Berita Acara yang dimaksud adalah
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 118
pemeriksaan tersangka, pemasukan rumah, penyitaan barang, pemeriksaan saksi, dan pemeriksaan tempat kejadian. Atas laporan dan/atau pengaduan menurut Pasal 108 UU No. 8 Tahun 1981, menentukan bahwa : (a) setiap orang yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana berhak untuk mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyidik baik lisan maupun tertulis; (b) setiap orang yang mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terhadap ketenteraman dan keamanan umum atau terhadap jiwa atau terhadap hak milik wajib seketika itu juga melaporkan hal tersebut kepada penyidik; (c) setiap pegawai negeri dalam rangka melaksanakan tugasnya yang mengetahui tentang terjadinya peristiwa yang merupakan tindak pidana wajib segera melaporkan hal itu kepada penyidik; (d) laporan/pengaduan yang diajukan secara tertulis harus ditandatangani oleh pelapor atau pengadu; (e) laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyidik dan ditandatangani oleh pelapor atau pengadu dan penyidik; (f) setelah menerima laporan atau pengaduan, penyelidik atau penyidik harus memberikan surat tanda penerimaan laporan atau pengaduan kepada yang bersangkutan. Sesuai ketentuan tersebut di atas, secara umum mengatur hak dan kewajiban setiap orang, kewajiban setiap pegawai negeri sipil, dan kewajiban PPNS. 1. setiap orang berhak mengajukan laporan atau pengaduan, dan berkewajiban untuk seketika itu melaporkan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana (dalam hal ini pelanggaran atas ketentuan Peraturan Daerah yang menjadi bidang tugas PPNS), yang diketahui, menandatangani laporan atau pengaduan; 2. PPNS wajib melaporkan terjadinya peristiwa pidana yang diketahui dalam rangka pelaksanaan tugasnya; 3. PPNS wajib menerima laporan atau pengaduan, wajib mencatat atau membuat berita acara laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan serta menanda tangani berita acara tersebut, dan wajib memberikan surat pemerimaan laporan atau pengaduan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 119
Selain menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diuraikan di atas, PPNS wajib melakukan tindakan apabila tindakan pidana tertangkap tangan oleh PPNS sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 111 UU No. 8 Tahun 1981, setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas di bidang kebersihan wajib menangkap tersangka guna diserahkan berserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik. Dari ketentuan tersebut, kata-kata berhak berarti orang yang melihat atau mempergokinya, boleh menggunakan haknya menangkap. Mengingat PPNS tidak berwenang menangkap, maka tersangka langsung diserahkan kepada Penyidik POLRI beserta barang buktinya atau tanpa barang bukti. Di samping itu, dari ketentuan tersebut bahwa setiap orang atau aparat yang bertugas di bidang perindustrian wajib menangkap tersangka dan segera menyerahkan kepada Penyidik POLRI beserta barang bukti atau tanpa barang bukti. Tata cara pemeriksaan dan proses penyidikan terhadap tindak pidana baik yang tertangkap tangan maupun tidak tertangkap tangan, diawali dengan pemanggilan saksi dan tersangka untuk tidak tertangkap tangan. Untuk kepentingan pemeriksaan, PPNS memiliki wewenang melakukan pemanggilan terhadap tersangka dan/atau saksi. Pengertian tersangka adalah orang yang berdasarkan bukti permulaan cukup patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Sedangkan pengertian saksi adalah mereka yang dianggap perlu diperiksa untuk membuktikan tindak pidana yang dipersangkaan kepada tersangka. Dalam melakukan pemanggilan saksi hendaknya diperhatikan kriteria sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 26 UU No. 8 Tahun 1981, yaitu mereka yang mendengar sendiri, mereka yang melihat sendiri, mereka yang mengalami sendiri peristiwa pidanaan, dan mereka yang dapat menjelaskan sumber pengetahuannya tentang apa yang di dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri. Bentuk pemanggilan tidak dapat dilakukan melalui telepon, melain secara tertulis memuat : (a) nama dan alamat yang jelas dari orang yang dipanggil; (b) nama PPNS yang harus ditemui; (c) tempat atau alamat kantor dimana panggilan harus memenuhi; (d) waktu (hari, tanggal, bulan, tahun, dan jam) panggilan harus
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 120
dihadiri; (e) status orang yang dipanggil, apakah sebagai tersangka atau sebagai saksi; (f) uraian singkat kasus tindak pidana yang terjadi dan pasal tindak pidananya sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah. Dalam menentukan waktu, yang harus diperhatikan tenggang waktu pemanggilan yang wajar dan layak dengan memperhatikan tempat tinggal yang dipanggil dengan alamat kantor PPNS sebagaimana diatur dalam Pasal 227 UU No. 8 Tahun 1981. Mekanisme pemanggilan dapat dilakukan PPNS, dengan ketentuan sebagai berikut: 1. surat panggilan disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan (Pasal 227 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981); 2. surat panggilan disampaikan langsung di tempat tinggal orang yang dipanggil, PPNS harus mendatangi sendiri, bertemu dan berbicara langsung dengan orang yang dipanggil (Pasal 227 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981); 3. apabila tempat tinggal tidak diketahui dengan pasti atau PPNS tidak menjumpai alamat tempat tinggal tersangkat, panggilan disampaikan di tempat kediaman mereka yang terakhir (Pasal 227 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981); 4. PPNS yang menjalankan panggilan diwajibkan membuat catatan yang menerangkan bahwa panggilan telah diterima oleh yang bersangkutan, dan kedua belah membubuhkan tanggal dan tanda tangannya. Apabila yang dipanggil tidak mau menanda tangani maka PPNS harus mencatat alasannya (Pasal 227 ayat (3) UU No. 8 tahun 1981); 5. Apabila yang dipanggil tidak dijumpai alamat atau salah alamat, maka surat panggilan dapat disampaikan melalui Lurah atau pejabat lain (misalnya Ketua RT atau Ketua RW) di tempat yang dipanggil beralamat, untuk selanjutnya PPNS menempelkan surat panggilan di papan pengumuman (Pasal 227 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981). Memenuhi panggilan merupakan kewajiban bagi setiap orang baik sebagai tersangka maupun saksi atau ahli. Hal tersebut diatur dalam Pasal 112 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981, bahwa orang yang dipanggil wajib datang kepada penyidik dan jika ia tidak datang, penyidik memanggil sekali lagi, dengan perintah kepada
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 121
petugas membawa kepadanya. Panggilan tidak dapat diwakilkan kepada orang lain karena asas atau prinsip pemeriksaan langsung kecuali tindak pidana pelanggaran lalu lintas tersangka dapat menunjuk orang lain dengan surat kuasa khusus untuk mewakilinya. Apabila yang dipanggil tidak datang tanpa alasan, PPNS memanggil sekali lagi (panggilan kedua kalinya). Bila panggilan kedua juga tidak dipatuhi tanpa alasan yang sah, PPNS memerintahkan kepada Petugas Polisi untuk membawa ke hadapan PPNS. (Pasal 112 UU No. 8 Tahun 1981). Dalam hal tersangka atau saksi yang dipanggil tidak dapat hadir dengan alasan yang patut dan wajar bahwa yang bersangkutan tidak dapat datang kepada PPNS, maka PPNS datang ke tempat kediamannya (Pasal 113 UU No. 8 Tahun 1981). Pada saat dilakukan pemeriksaan tersangka, PPNS wajib memberitahu-kan kepada tersangka tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau apabila dalam perkaranya wajib didampingi oleh penasihat hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 56 dan Pasal 114 UU No. 8 Tahun 1981, bahwa penyidik wajib menunjuk penasihat hukkum bagi tersangka. Kepada tersangka diberikan penjelasan singkat mengenai maksud dan tujuan dilakukan pemeriksaan dan tindak pidana yang dilakukan. Selain itu, kepada tersangka ditanyakan mengenai kesehatan dan kesiapannya untuk diperiksa. Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada tersangka mempersiapkan diri untuk pembelaan sejak dilakukan penyidikan sebagai penerapan prinsip praduga tak bersalah. Keterangan atau jawaban yang diberikan tersangka kepada penyidik (PPNS) harus disampaikan dalam keadaan bebas, tidak boleh ada tekanan dari siapapun juga dan dalam bentuk apapun juga (Pasal 117 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981). Dalam memberikan keterangan harus bebas berdasar kehendak dan kesadaran nuraninya, tidak boleh memungkiri perbuatan yang dipersangkaan. Tidak boleh ada paksaan dengan cara apapun baik penekanan fisik dengan kekerasan atau penganiayaan atau tekanan dan paksaan batin berupa ancaman intimidasi atau intrik-intrik yang berasal dari penyidik (PPNS) maupun dari luar. Dalam
pemeriksaan,
kepada
tersangka
ditanyakan
apakah
yang
bersangkutan menghendaki saksi, dicatat dalam berita acara pemeriksaan, untuk
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 122
selanjutnya PPNS wajib memanggil dan memeriksa saksi sebagaimana diatur dalam Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 8 Tahun 1981. Keterangan tersangka mengenai apa yang dilakukan sehubungan tindakan pidana yang dipersangkakan, dicatat oleh PPNS dalam berita acara sesuai apa yang disampaikan tersangka sebagaimana diatur dalam Pasal 117 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981. Setelah selesai, keterangan yang dicatat dalam berita acara dinyatakan dan dimintakan persetujuan tersangka mengenai kebenaran isi berita acara. Persetujuan dapat dilakukan PPNS dengan cara membaca kembali isi berita acara atau tersangka membaca sendiri. Apabila tersangka menyetujui dan tidak ada perubahan isi berita acara, selanjutnya tersangka dan PPNS masingmasing
membubuhkan
tanda
tangan
dalam
berita
acara
pemeriksaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 118 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981. Untuk menghindari dan kemungkinan dikemudian hari tersangka memungkiri isi berita acara, biasanya dalam pemeriksaan pihak tersangka dimina menulis sendiri jawaban-nya dengan tulisan tangan. Dalam hal tersangka tidak mau menandatangani berita acara pemeriksaan, PPNS mencatat dalam berita acara dengan menyebutkan alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 118 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981. Pemeriksaan saksi dengan “tidak disumpah” kecuali ada cukup alasan untuk diduga bahwa saksi tidak akan dapat hadir dalam pemeriksaan di pengadilan (Pasal 116 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981). Pemeriksaan saksi tanpa disumpah merupakan salah satu prinsip pemeriksaan dalam tahapan penyidikan. Berbeda halnya dengan pemeriksaan saksi di muka persidangan pengadilan, dimana saksi di sumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan kepada Hakim. Berdasarkan ketentuan Pasal 116 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 selain menegaskan prinsip tersebut di atas, juga mengatur pengecualian prinsip pemeriksaan saksi tanpa di sumpah. Apabila ada cukup alasan untuk menduga bahwa saksi tidak akan dapat hadir nantinya di persidangan pengadilan, maka saksi dapat disumpah untuk menguatkan keterangannya yang diberikan atau disampaikan dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan saksi yang diberikan dibawah sumpah menurut Pasal 162 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981, sama nilai
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 123
kekuatan buktinya dengan keterangan saksi yang diberikan di sidang pengadilan dengan di bawah sumpah. Alasan yang dimaksud misalnya seorang saksi warga negara asing, tidak lama tinggal di Indonesia atau segera pulang negaranya, dianggap cukup alasan bersangkutan tidak akan dapat hadir di persidangan, oleh karenanya dapat di sumpah atau mengucapkan janji dalam pemeriksaan penyidikan bahwa keterangan yang sebanar-benarnya. Penyumpahan harus dituangkan dalam berita acara sumpah. Keterangan saksi yang disumpah dalam tahap penyidikan ternyata di persidangan yang bersangkutan tidak dapat hadir, maka keterangan tersebut dapat dibacakan dan nilai pembuktian sama dengan keterangan saksi yang diberikan di bawah sumpah pemeriksaan di pengadilan (Pasal 162 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981). Dalam hal pemeriksaan terhadap seorang ahli tidaklah mutlak, tidak seperti pemeriksaan saksi. Apabila PPNS “menganggap perlu”, dapat diminta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 120 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981. Keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981. Pengertian keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 angka 28 UU No. 8 Tahun 1981). Pemeriksaan ahli berbeda dengan pemeriksaan saksi sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dimana dalam pemeriksaan ahli, PPNS terlebih dahulu mengambil sumpah atau janji kepada ahli tersebut bahwa ahli tersebut memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya (Pasal 120 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981). Ahli tersebut dapat menolak memberikan keterangan yang diminta apabila disebabkan karena harkat, serta martabat, pekerjaan atau jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia jabatannya. Keterangan ahli yang diberikan oleh ahli dalam dalam bentuk lisan dan bersifat langsung kepada penyidik (PPNS). Dalam pemeriksaan terhadap alat bukti surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oleh PPNS, untuk
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 124
kepentingan penyidikan, PPNS dapat meminta keterangan ahli mengenal hal tersebut dapat dalam bentuk tertulis. PPNS setelah melakukan tindakan penyidikan atau melakukan serangkaian tindakan mencari dan mengumpulkan bukti, antara lain melakukan pemeriksaan saksi, pemeriksaan tersangka, melakukan penggeledahan, penyitaan, serta tindakan lain
sebagaimana
diatur
dalam peraturan perundang-undangan
termasuk Peraturan Daerah, selanjutnya PPNS menganalisa dan mengambil kesimpulan serta pendapat atas hasil penyidikan yang dilakukan. Semua tindakan yang dilakukan dituangkan dalam Berita Acara untuk kemudian disusun dan dihimpun menjadi satu berkas hasil penyidikan. Pendapat PPNS atas hasil penyidikan pelanggaran atas ketentuan Peraturan Daerah, ada dua kemungkinan. Pertama, hasil penyidikan tidak layak menurut hukum untuk diteruskan kepada penuntut umum sehingga oleh karenanya penyidikan dihentikan sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981. Kedua, hasil penyidikan memenuhi syarat dan cukup bukti perbuatan tersangka melakukan tindakan pidana, sehingga layak menurut hukum untuk diserahkan kepada penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 110 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981. Dalam hal penghentian penyidikan, apabila hasil penyidikan tidak layak menurut hukum untuk diteruskan kepada penuntut umum, meliputi: (a) perbuatan tersangka tidak cukup bukti; (b) peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindakan pidana; (c) penyidikan dihentikan demi hukum. Berdasarkan alasanalasan tersebut, PPNS menghentikan penyidikannya sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981, yang dalam praktek dilakukan dengan membuat Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), untuk selanjutnya diberitahu kepada penuntut umum melalui Penyidik POLRI, dan tersangka, atau keluarganya. Berdasarkan Pasal 80 UU No. 8 Tahun 1981, SP3 disampaikan kepada saksi pelapor sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Dengan penyampaian SP3 kepada saksi pelapor, maka yang bersangkutan mengetahui penyelesaian dari perkara yang dilaporkan. Apabila tidak puas yang bersangkutan memiliki upaya hukum untuk mengajukan pra peradilan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 125
Penghentian penyidikan yang didasarkan pada alasan tidak cukup bukti misalnya tersangka memungkiri atas perbuatan pidana yang dipersangkakan dengan memberikan alibi, bukti bahwa tersangka berada di tempat lain ketika terjadinya tindak pidana. Kemungkinan lain juga karena alat bukti yang diungkapkan tidak memenuhi minimum pembuktian, yaitu kurang dari 2 (dua) alat bukti. Penghentian penyidikan yang didasarkan pada alasan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, adalah perbuatannya terbukti akan tetapi perbuatan tersebut termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata atau perbuatan tersebut bukan kejahatan maupun bukan pelanggaran. Sedangkan penghentian penyidikan yang didasarkan alasan demi hukum adalah karena berdasarkan hukum dalam hal ini peraturan perundang-undangan pidana, hasil penyidikan yang dilakukan tidak mengkin diteruskan kepada penuntut umum maupun dilimpahkan ke pengadilan negeri. Sesuai ketentuan Pasal 110 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981, bilamana penyidik (dalam hal ini PPNS) telah selesai melakukan penyidikan, penyidik (dalam hal ini PPNS) wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Mengingat PPNS dibawah koordinasi dan pengawasan Penyidik POLRI, maka penyampaikan berkas kepada penuntut umum melalui Penyidik POLRI. Apabila penuntut umum berpendapat hasil penyidikan yang dilakukan PPNS masih kurang lengkap, dalam waktu 7 (tujuh) hari memberitahukan kepada penyidik (Pasal 138 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981), dan dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal penerimaan berkas perkara, mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik (dalam hal ini PPNS) disertai petunjuk tentang hal yang dilakukan untuk dilengkapi (Pasal 110 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981). PPNS wajib melakukan penyidikan tambahan sesuai petunjuk penuntut umum dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal penerimaan berkas. PPNS harus sudah penyampaikan kembali berkas perkara kepada penuntut umum melalui Penyidik POLRI sebagaimana diatur dalam Pasal 110 ayat (3) dan Pasal 138 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1981.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 126
PPNS dianggap selesai melakukan tugasnya, apabila penuntut umum telah memberitahukan kepada PPNS bahwa hasil penyidikan sudah lengkap serta tersangka dan barang bukti diserahkan oleh PPNS kepada penuntut umum melalui Penyidik POLRI (Pasal 138 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1981. Selain itu, dalam waktu 14 (empat belas) hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberintahuan tentang lengkapnya hasil penyidikan dari penuntut umum kepada PPNS, diikuti dengan penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti dari PPNS kepada penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 110 ayat (4) dan Pasal 8 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1981. Dari uraian tersebut di atas, yang perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh PPNS dalam melakukan penyidikan di bidang industri, sebagai berikut: 1. Teliti identitas tersangka
agar
tidak terjadi
kekeliruan
dengan
cara
pengecekan/pemeriksaan kartu identitas yang dibawa (misalnya KTP, SIM, atau lainnya); 2. Tunjukan hak-hak tersangka untuk mendapatkan Bantuan Hukum (Penasehat Hukum/Pengacara) atas tuduhan pelanggaran yang dilakukan; 3. Setelah melakukan wawancara/interview, kemudian dilakukan interogasi dengan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tersangka seperti yang telah dipersiapkan sebelumnya; 4. Setelah selesai pembuatan BAP tersangka diperintahkan untuk meneliti dan membaca/dibacakan dengan bahasa yang mudah dimengerti, selanjutnya ditandatangani, serta membuat Surat Pernyataan yang dapat dipergunakan sebagai bukti/dasar untuk diajukan ke Pengadilan Negeri setempat; 5. Apabila dalam pelaksanaan operasional ada penyitaan barang, jika pemeriksa dianggap cukup selesai barang bukti harus segera dikembalikan lagi kepada tersangka dengan dibuatkan Berita Acara Pengembalian Barang Bukti. Berdasarkan uraian tersebut di atas, pelanggaran pidana yang ditetapkan di dalam Peraturan Daerah tidak dapat dilaksanakan oleh PPNS sendiri harus disertai aparat Kepolisian dan Hakim apabila Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 127
melakukan operasi yustisi penyelenggaraan perindustrian. Pada dasarnya operasi yustisi dilakukan dengan sistem peradilan di tempat dan pada saat itu pula kepada tersangka yang terbukti telah melakukan pelanggaran diputus/diadili Hakim yang mengadili perkara tersebut. Mencermati uraian tersebut di atas, sanksi pidana di dalam Peraturan Daerah sulit dilaksanakan oleh Dinas Perindustrian dan Energi, karena jumlah PPNS tidak memadai. Meskipun demikian, dapat dilakukan oleh PPNS yang berada di Satpol PP sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 bahwa untuk membantu kepala daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja. Anggota Satuan Polisi Pamong Praja dapat diangkat sebagai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Polisi Pamong Praja diberikan wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 6 PP No. 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja antara lain sebagai berikut: (a) melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Gubernur; (b) melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Gubernur; (c) melakukan tindakan administratif terhadap warga masyarakat, aparatur, atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan/atau Peraturan Gubernur.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 4 - 128
Bab 5 MATERI MUATAN RAPERDA
5.1. Judul Rancangan Peraturan Daerah Merujuk pada ketentuan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undang, bahwa judul suatu peraturan perundang-undangan mencerminkan materi muatan atau substansi yang diatur dengan ketentuan sebagai berikut: Nama peraturan perundang-undangan dibuat secara singkat dengan hanya menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya telah dan mencerminkan isi peraturan perundang-undangan.
Sehubungan ketentuan tersebut di atas, maka Judul Rancangan Peraturan Daerah sebagai berikut: RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA TENTANG PERINDUSTRIAN Makna “Perindustrian” pada judul sesuai dengan pengertian perindustrian sebagaimana termuat dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 3 Tahun 2014, adalah tatanan dan segala kegiatan yang bertalian dengan kegiatan industri. Makna kata “kegiatan” industri pada definisi tersebut, dapat ditafsirkan sebagai suatu proses. Kegiatan industri terjadi karena ada sumber produksi seperti bahan baku/ penolong, tenaga kerja, prasarana dan sarana (peralatan), serta teknik produksi untuk menghasilkan barang dan/atau jasa tertentu. Dengan demikian kegiatan industri ditandai dengan adanya suatu input, suatu proses produksi, dan suatu output.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 1
5.2. Landasan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis Menurut UU No. 12 Tahun 2011, landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan menggambarkan Peraturan Daerah dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sejalan pengertian tersebut, landasan filosofis Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian, sebagai berikut: bahwa perindustrian diselenggarakan berdasarkan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi daerah dan nasional, maka diperlukan industri yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Industri yang kokoh sebagai penggerak perekonomian daerah dengan ciri sebagai berikut: (a) mempunyai kaitan (linkage) yang kuat dan sinergis antar sub bidang industri dan dengan berbagai bidang ekonomi lainnya; (b) memiliki kandungan lokal yang tinggi; (c) menguasai pasar domestik; (d) memiliki produk unggulan industri masa depan; (e) dapat tumbuh secara berkelanjutan; (f) mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap berbagai gejolak perekonomian. Selain itu, sinergitas yang kuat antara industri kecil, menengah, dan besar yang menjalankan perannya sebagai sebuah rantai pasok (supply chain), dibangun melalui hubungan saling menguntungkan dan saling membutuhkan antar usaha bidang industri baik lingkup daerah maupun nasional. Landasan sosiologis menurut UU No. 12 Tahun 2011, merupakan pertimbangan atau alasan menggambarkan Peraturan Daerah dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan Pemerintah Daerah. Atas dasar pengertian tersebut, landasan sosiologis perlu diatur perindustrian dan/atau dibentuk Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian, sebagai berikut:
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 2
Alternatif 1 bahwa dalam rangka menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa mendatang, diperlukan Peraturan Daerah untuk memberikan kepastian hukum agar terselenggaranya iklim usaha yang kondusif, sehingga perindustrian dapat memperkuat dan memperkukuh ketahanan industri daerah dan nasional serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Alternatif 2 bahwa kedudukan dan peran Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, penyelenggaraan perindustrian diarahkan pada industri yang menggunakan teknologi tinggi dan industri kreatif, dengan strategi meningkatkan kapasitas dan intensitas pusat kegiatan primer dan sekunder untuk mewadahi industri berskala regional, nasional, dan internasional.
Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki sumber daya alam seperti daerah lain, karena itu modal dasar yang dimiliki untuk menghasilkan barang dan jasa melalui kegiatan industri dan dalam penciptaan nilai tambah atau manfaat yang tinggi, berupa: (a) sumber daya manusia yang memiliki kompetensi kerja (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) yang sesuai di bidang industri; (b) pengembangan, penguasaan, dan pemanfaatan teknologi industri, kreativitas serta inovasi untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, nilai tambah, daya saing, dan kemandirian. Landasan yuridis menurut UU No. 12 Tahun 2011 merupakan pertimbangan atau alasan menggambarkan bahwa Peraturan Daerah yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Daerah. Atas dasar pengertian tersebut, Provinsi DKI Jakarta belum memiliki Peraturan Daerah yang mengatur perindustrian, ada perintah yang diberikan negara melalui UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (wewenang atribusi) kepada Gubernur selaku Kepala Daerah, ada kewajiban pelaku usaha industri yang harus dipenuhi, maka dengan adanya Peraturan Daerah tentang Perindustrian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat mewujudkan hak pelaku usaha dan memfasilitasi kewajiban pelaku
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 3
usaha di bidang industri. Landasan yuridis dibentuknya Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian sebagai berikut: bahwa dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang Pemerintah Daerah yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian serta mewujudkan hak dan kewajiban masyarakat dalam penyelenggaraan industri, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Perindustrian.
Agar maksud penyelenggaraan perindustrian dapat tercapai sebagaimana tertuang dalam landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis tersebut di atas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan arah dan kebijakan dalam penyelenggaraan industri di Provinsi DKI Jakarta, antara lain penyediaan infrastruktur industri di dalam dan di luar kawasan industri dan/atau di dalam kawasan peruntukan industri, penyediaan alokasi dan kemudahan pembiayaan untuk pengembangan industri, serta penetapan kebijakan yang mendukung iklim usaha yang kondusif bagi industri.
5.3. Dasar Hukum Beberapa peraturan perundang-undangan baik nasional maupun daerah yang dapat dijadikan dasar hukum dibentuknya Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian dan sebagai dasar hukum atas materi muatan yang termuat dalam Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana telah diuraikan dalam bab sebelumnya, meliputi: 1.
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupakan dasar hukum konstitusional bagi Pemerintahan Daerah membentuk Peraturan Daerah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 18 ayat (6), menyatakan Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian dibentuk dalam rangka pelaksanaan otonomi
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 4
daerah, karena perindustrian termasuk urusan pemerintahan pilihan yang wajib diselenggarakan oleh Daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki Daerah menurut Pasal 12 ayat (3) huruf g UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Berdasarkan uraian di atas, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atas persetujuan DPRD Provinsi DKI Jakarta berhak dan berwewenang mengatur urusan pemerintahan bidang perindustrian sesuai tugas, wewenang, dan kewajiban yang ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian untuk kepentingan masyarakat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 2.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209). Pelanggaran atas ketentuan pindana yang termuat dalam Peraturan Daerah menjadi tugas dan wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang perindustrian. PPNS dalam melaksanakan tugas harus sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Jika dalam Peraturan Daerah tidak termuat ketentuan pidana, maka Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tidak diperlukan. Tugas dan wewenang PPNS bidang perindustrian melakukan penyidikan pelanggaran dalam penyelenggaraan perindustrian diatur dalam Pasal 119 ayat (1), selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Perindustrian diberi wewenang khusus sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan sesuai dengan Undang-Undang ini.
3.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817).
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 5
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengatur berbagai larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Dalam rangka mewujudkan tujuan penyelenggaraan perindustrian sebagaimana termuat dalam Pasal 3 huruf d UU No. 3 Tahun 2014, menyatakan mewujudkan kepastian berusaha, “persaingan yang sehat, serta mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan masyarakat”. Apabila pelaku usaha bidang industri melakukan persaingan yang tidak sehat dan melakukan praktek monopoli (pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan), berarti melanggar ketentuan yang termuat dalam UU No. 5 Tahun 1999. Yang dimaksud persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.1 Sedangkan yang dimaksud dengan praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.2 Berdasarkan uraian tersebut, UU No. 5 Tahun 1999 harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) atau menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta. 4.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279). Tenaga kerja faktor penting dalam penyelenggaraan perindustrian, Oleh sebab itu, ketersediaan tenaga kerja yang bermutu merupakan salah satu syarat bagi peningkatan dan keberlanjutan pertumbuhan industri di Provinsi DKI Jakarta di masa datang. Berbagai permasalahan dihadapi pelaku usaha bidang industri antara lain, berkaitan dengan upah minimum dan kewajiban
1 2
Lihat Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 6
pembayaran pesangon tidak sesuai kemampuan perusahaan. Ketentuan kewajiban pelaku usaha bidang industri kepada tenaga kerja tersebut sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam UU No. 13 Tahun 2003. Sehubungan itu, UU No. 13 Tahun 2003 harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) atau menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta 5.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301). Permasalahan yang dihadapi pelaku usaha di bidang industri antara lain: (a) kualitas sumber daya manusia (SDM) lulusan sekolah menengah baik umum maupun kejuruan secara umum masih belum memenuhi atau tidak sesuai kebutuhan industri, terutama untuk mengisi posisi pekerja tingkat menengah; (b) kelangkaan pasokan SDM ahli (profesional di bidang manufacturing dan pendukung kegiatan industri lainnya). Untuk mengatasi permasalahan tersebut pelaku usaha bidang industri menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas SDM baik melalui pendidikan formal maupun non formal harus sesuai ketentuan yang termuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Demikian halnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kerja harus sesuai kebutuhan pelaku usaha industri. Sehubungan itu, UU No. 20 Tahun 2003 harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) atau menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta.
6.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725). Dalam penyediaan prasarana industri termasuk infrastrukturnya harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi yang tertuang dalam Rencana Induk Penyelenggaraan Perindustrian Provinsi sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (3) huruf b UU No. 3 Tahun 2014. Permasalahan yang
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 7
terjadi di Provinsi DKI Jakarta, banyak industri khususnya industri kecil dan menengah berada di kawasan permukiman, yang menurut UU No. 26 Tahun 2007 termasuk pelanggaran karena tidak sesuai peruntukan. Sehubungan itu, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) atau menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta. 7.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4744). Kedudukan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota NKRI dan pelaksanaan otonomi pada lingkup provinsi ditetapkan dalam UU No. 29 Tahun 2007. Sehubungan itu, UU No. 29 Tahun 2007 harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda). Selain itu, implikasi kedudukan Provinsi DKI Jakarta, arah dan kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam penyelenggaraan perindustrian dimasa mendatang pada industri kreatif dan industri yang menggunakan teknologi tinggi, industri yang hemat lahan dan air serta industri yang berwawasan lingkungan atau industri hijau, yaitu industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. 3
8.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756). Di dalam UU No. 40 Tahun 2007 mengatur Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, yaitu komitmen Perseroan Terbatas (PT) untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri,
3
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 8
komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Sehubungan itu, UU No. 40 Tahun 2007 harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) atau menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta. 9.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851). Di dalam UU No. 18 Tahun 2008 ada kewajiban yang harus dilaksanakan Pengelola Kawasan Industri dan pelaku usaha industri sebagai produsen. Kewajiban Pengelola Kawasan Industri menurut Pasal 13 wajib menyediakan fasilitas pemilihan sampah, sedangkan kewajiban pelaku usaha industri sebagai produsen menurut Pasal 14 dan Pasal 15 berikut ini: Pasal 14 Setiap produsen harus mencantumkan label atau tanda yang berhubungan dengan pengurangan dan penanganan sampah pada kemasan dan/atau produknya. Pasal 15 Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta saat ini dalam menghadapi permasalahan sampah terutama sampah kemasan dan/atau barang yang dihasilkan industri yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. Penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta harus mampu meminimisasi timbulan sampah dari kegiatan industri sebagaimana diatur dalam UU No. 18 Tahun 2008. Sehubungan itu, UU Nol 18 Tahun 2008 menjadi dasar hukum dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian. 10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059). Penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta harus memenuhi aspek lingkungan hidup sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam UndangNaskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 9
Undang Nomor 32 Tahun 2009, seperti: dalam pengelolaan kawasan industri harus memenuhi ketentuan berkaitan dengan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sesuai hasil studi Analisis Dampak Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan, dan penyediaan fasilitas pengelolaan limbah yang dihasilkan. Oleh sebab itu, UU No. 32 Tahun 2009 menjadi dasar hukum dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian. 11. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak hanya menjadi pedoman dalam penyusunan Raperda melainkan juga sebagai dasar hukum bagi Pemerintahan Daerah bahwa Peraturan Daerah merupakan bagian dari peraturan perundangundangan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 dan mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi setiap orang. Oleh sebab itu, UU tersebut menjadi dasar hukum kedudukan Peraturan Daerah bagian dari peraturan perundang-undangan sifatnya mengikat dan harus dipatuhi. 12. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5492). Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 menjadi dasar hukum utama dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian, karena dalam Undang-Undang tersebut mengatur tugas, wewenang, dan tanggung jawab Pemerintah Daerah serta kewajiban pelaku usaha di bidang industri. 13. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 120,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5317) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679). Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 10
Undang-Undang No. 23 Tahun 2014, mengatur hak dan kewajiban serta wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Daerah (dalam hal ini Gubernur dan Perangkat Daerah) sebagai eksekutif dan DPRD sebagai legislatif dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Oleh sebab itu, UU tersebut harus termuat dalam Konsiderans Mengingat. 14. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 89,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5305). Peran serta Perseroan Terbatas dalam mengatasi berbagai persoalan sosial dan lingkungan di DKI Jakarta menjadi penting melalui program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan atau corporate social responsibility (CSR) sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012. Tidak hanya masalah sosial melalui program CSR, melainkan lingkungan seperti sampah yang dihasilkan atas produk yang dihasilkan industri menjadi tanggung jawab pelaku usaha industri atau disebut Extended Producer Responsibility (EPR). EPR salah satu strategi yang ditetapkan dalam UU No. 18 Tahun 2008 dalam mengurangi timbulan sampah. Strategi EPR dimaksud produsen bertanggungjawab terhadap seluruh life cycle produk dan/atau kemasan dari produk dihasilkan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU No. 18 Tahun 2008. Oleh sebab itu, PP tersebut menjadi dasar hukum terhadap materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian. Oleh sebab itu termuat dalam Konsiderans Mengingat. 15. Peraturan
Pemerintah
Nomor
50
Tahun
2007
tentang Tata
Cara
Pelaksanaan Kerja Sama Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4761). Dalam penyediaan prasarana dan sarana perindustrian Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat melakukan melalui kerjasama dengan pihak swasta dalam seperti penyediaan kawasan industri dan sentra industri kecil dan menengah dengan cara: (a) kerja sama pemanfaatan (KSP) barang milik daerah oleh
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 11
pihak swasta dalam jangka waktu tertentu; (b) Bangun Guna Serah (BGS) dan Bangun Serah Guna (BSG). Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat bekerjasama dengan Pemerintah Daerah lain yang memiliki potensi sumber daya alam untuk kebutuhan bahan baku atau bahan penolong industri kecil dan menengah. Mekanisme bentuk kerja sama diatur dalam PP No. 50 Tahun 2007. Oleh sebab itu, PP No. 50 Tahun 2007 menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan perindustrian di DKI Jakarta, maka PP tersebut harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah. 16. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4987). PP No. 24 Tahun 2009 memberikan tugas dan wewanang kepada Gubernur selaku Kepala Daerah dalam rangka optimalisasi pemanfaatan Kawasan Industri, antara lain memberikan: (a) insentif dan kemudahan lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan
perundang-undangan;
(b)
kemudahan
dalam
perolehan/pembebasan lahan pada wilayah yang diperuntukkan bagi Kawasan Industri; (c) pengarahan kegiatan Industri ke dalam Kawasan Industri. Oleh sebab itu, PP No. 24 Tahun 2009 menjadi dasar hukum dalam materi muatan Rancangan Peraturan Daerah, maka harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah. 17. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5285). Menurut Pasal 2 PP No. 27 Tahun 2012, menyatakan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL atau UKL-UPL wajib memiliki Izin Lingkungan yang diperoleh melalui tahapan kegiatan yang meliputi: (a) penyusunan AMDAL dan UKL-UPL; (b) penilaian AMDAL dan pemeriksaan UKL-UPL; (c) permohonan dan penerbitan Izin Lingkungan. Persyaratan tersebut, menjadi persyaratan dalam mendapatkan izin usaha industri di DKI Jakarta. Oleh sebab itu, PP No. 27 Tahun 2012 menjadi dasar hukum Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 12
terhadap materi muatan Rancangan Peraturan Daerah, maka Peraturan Pemerintah
tersebut
harus
termuat
dalam
Konsiderans
Mengingat
Rancangan Peraturan Daerah. 18. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 89,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5305). Berbagai kebijakan Daerah telah menetapkan tanggung jawab sosial dan lingkungan Perseroan Terbatas baik dalam bentuk Peraturan Daerah maupun Peraturan Gubernur, antara lain Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah, Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2013 tentang Kesejahteraan Sosial, dan Peraturan Gubernur Nomor 112 Tahun 2013 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Dunia Usaha. Agar Rancangan Peraturan Daerah selaras dengan kebijakan yang ada, maka tanggung jawab sosial dan lingkungan menjadi bagian yang harus dilakukan oleh pelaku usaha di bidang industri dan menjadi materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian. Sehubungan itu, PP No. 47 Tahun 2012 harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah. 19. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 333, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5617). Gubernur telah menetapkan Peraturan Gubernur No. 76 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, antara lain berasal dari kegiatan industri dan kegiatan industri yang memafaatkan Limbah B3, harus mendapatkan izin dari Gubernur. Sehubungan itu, pengelolaan limbah B3 menjadi bagian dari materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian. Oleh sebab itu, PP No. 101 Tahun 2014 harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 13
20. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015-2035 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5671). Berdasarkan ketentuan Pasal 10 UU No. 3 Tahun 2014, menyatakan Gubernur menyusun Rencana Pembangunan Industri Provinsi (dalam hal ini Rencana Induk Penyelenggaraan Perindustrian) mengacu kepada Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional dan Kebijakan Industri Nasional. Rencana Induk Penyelenggaraan Perindustrian merupakan bagian dari materi muatan Raperda Penyelenggaraan Perindustrian, maka PP No. 14 Tahun 2015 termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah. 21. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2015 tentang Pembangunan Sumber Daya Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5708). Sumber daya Industri menjadi materi muatan Raperda, maka PP No. 41 Tahun 2015 termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah. 22. Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 62). Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 mengatur kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur yang diperlukan dalam penyelenggaraan perindustrian. Dengan demikian, dapat mempercepat penyediaan infrastruktur yang dibutuhkan industri, guna menciptakan iklim investasi, untuk mendorong keikutsertaan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur industri dan layanan berdasarkan prinsip-prinsip usaha yang sehat. 23. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1986 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 1986 Nomor 86).
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 14
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menetapkan kebijakan mengenai PPNS Daerah diantaranya bidang industri, maka PPNS Daerah Provinsi DKI Jakarta dalam melakukan penyidikan sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah No. 3 Tahun 1986. Oleh sebab itu, Perda No. 3 Tahun 1986 termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah. 24. Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perizinan Tempat Usaha Berdasarkan Undang-Undang Gangguan (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2011 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 28); Persyaratan mendapatkan Persetujuan Prinsip Izin Usaha Industri (IUI) antara lain Izin Undang-Undang Gangguan (Ho) sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah No. 15 Tahun 2011, karena itu Perda tersebut harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah. 25. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2012 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 28). Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (3) UU No. 3 Tahun 2014 menyatakan bahwa rencana pembangunan industri (dalam hal ini penyelenggaraan perindustrian) paling sedikit memperhatikan: Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Sehubungan itu, Perda No. 1 Tahun 2013 menjadi dasar hukum materi muatan Raperda dan harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah. 26. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2013 Nomor 401, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 4001). Kewajiban Perusahaan Kawasan Industri dan pelaku industri mengurangi timbulan sampah yang dihasil dari hasil produksi industrinya. Hal tersebut diatur dalam Perda No. 3 Tahun 2013. Agar materi muatan Raperda tentang
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 15
Perindustrian harmonis dengan Peraturan Daerah yang ada, maka Perda tersebut harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah. 27. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2013 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2013 Nomor 203, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2003). Izin Usaha Industri (IUI) dan Tanda Daftar Industri (TDI) menjadi tugas dan fungsi Badan/Kantor PTSP sebagaimana diatur dalam Perda No. 12 Tahun 2013, karena itu Perda tersebut menjadi dasar hukum dalam pemberian Izin Usaha Industri. Agar materi muatan Raperda tentang Perindustrian harmonis dengan Peraturan Daerah yang ada, maka Perda No. 12 Tahun 2013 harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah. 28. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2014 Nomor 301, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3001). Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2014 merupakan operasionalisasi dari Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2012. Sehubungan itu, harus termuat dalam Konsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah. 29. Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Tahun 2016 Nomor 201, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2004). Penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta menjadi tugas dan fungsi Dinas Perindustrian dan Energi sebagai Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang perindustrian. Oleh sebab itu, Perda No. 18 Tahun 2016 harus termuat dalam onsiderans Mengingat Rancangan Peraturan Daerah.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 16
Peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dalam Konsiderans Mengingat menjadi dasar hukum materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian yang secara rinci telah diuraikan dalam Bab sebelumnya.
5.4. Batang Tubuh Raperda Batang tubuh Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perindustrian memuat materi muatan yang akan dirumuskan dalam pasal per pasal dalam Raperda. Batang tubuh Raperda dimaksud, sebagai berikut: a. Pengertian/Batasan Pengertian/batasan atau definisi dalam peraturan perundang-undangan termuat dalam Ketentuan Umum. Menurut UU No. 12 Tahun 2011 Ketentuan Umum berisi batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim yang dituangkan dalam batasan pengertian atau definisi dan/atau hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku. Kata atau istilah yang dimuat dalam Ketentuan Umum hanya kata atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal atau beberapa pasal selanjutnya. Apabila rumusan definisi dari peraturan perundang-undangan dirumuskan kembali dalam peraturan perundangundangan yang akan dibentuk, rumusan definisi tersebut harus sama dengan rumusan definisi dalam peraturan perundang-undangan yang telah berlaku tersebut. Berdasarkan pedoman tersebut di atas, definisi atau batasan yang lazim digunakan dalam Peraturan Daerah di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan peraturan perundang-undangan serta beberapa definisi yang ditetapkan dalam UU No. 3 Tahun 2014 dan peraturan perundang-undangan lain, antara lain sebagai berikut: 1.
Perindustrian adalah tatanan dan segala kegiatan yang bertalian dengan kegiatan industri. (Pasal 1 angka 1 UU No. 3 Tahun 2014).
2.
Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi,
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 17
termasuk jasa industri. (Pasal 1 angka 2 UU No. 3 Tahun 2014). 3.
Industri Kecil adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang industri dengan nilai investasi paling banyak Rp. 500.000.000,(lima ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. (Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/M-IND/PER/3/2014).
4.
Industri Menengah adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang industri dengan nilai investasi paling besar dari Rp. 500.000.000,-
(lima
ratus
juta
rupiah)
atau
paling
banyak
Rp.
10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. (Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/MIND/PER/3/2014). 5.
Industri besar adalah perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang industri dengan nilai investasi lebih besar dari Rp. 10.000.000.000
(sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. (Peraturan Menteri Perindustrian No. 11/M-IND/PER/3/2014). 6.
Industri
hijau
adalah
industri
yang
dalam
proses
produksinya
mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan sehingga mampu menyelaraskan pembangunan industri dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup serta dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. (Pasal 1 angka 3 UU No. 3 Tahun 2014). 7.
Industri kreatif adalah industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, ketrampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. (Penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf b UU No. 3 Tahun 2014).
8.
Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri. (Pasal 1 angka 9 UU No. 3 Tahun 2014).
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 18
9.
Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang mengusahakan pengembangan dan pengelolaan kawasan Industri. (Pasal 1 angka 8 UU No. 3 Tahun 2014).
10. Teknologi Industri adalah hasil pengembangan, perbaikan, invensi, dan/atau inovasi dalam bentuk teknologi proses dan teknologi produk termasuk rancang bangun dan perekayasaan, metode, dan/atau sistem yang diterapkan dalam kegiatan Industri. (Pasal 1 angka 10 UU No. 3 Tahun 2014) 11. Data Industri adalah fakta yang dicatat atau direkam dalam bentuk angka, huruf, gambar, peta, dan/atau sejenisnya yang menunjukkan keadaan sebenarnya untuk waktu tertentu, bersifat bebas nilai, dan belum diolah terkait dengan kegiatan Perusahaan Industri. (Pasal 1 angka 11 UU No. 3 Tahun 2014). 12. Data Kawasan Industri adalah fakta yang dicatat atau direkam dalam bentuk
angka,
huruf,
gambar,
peta,
dan/atau
sejenisnya
yang
menunjukkan keadaan sebenarnya untuk waktu tertentu, bersifat bebas nilai, dan belum diolah terkait dengan kegiatan Perusahaan Kawasan Industri. (Pasal 1 angka 14 UU No. 3 Tahun 2014). 13. Tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. (Pasal 1 angka 3 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas). 14. Badan usaha industri yang selanjutnya disebut pelaku usaha industri, adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan melakukan usaha industri meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, persekutuan, dan bentuk badan lain yang melakukan usaha industri secara tetap. (Analisis Bab 4).
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 19
15. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. (Pasal 1 angka 5 UU No. 3 Tahun 2014) 16. Masyarakat adalah perorangan atau kelompok orang atau badan usaha atau lembaga/organisasi kemasyarakatan yang mempunyai perhatian dan peranan dalam penyelenggaraan perindustrian. b. Asas Penyelenggaraan Perindustrian Asas penyelenggaraan perindustrian di Provinsi DKI Jakarta berdasarkan asas yang termuat dalam Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2014 disesuaikan dengan kepentingan daerah Provinsi DKI Jakarta. Dengan demikian, Perindustrian diselenggarakan berdasarkan asas: (1) kepentingan daerah dan nasional, bahwa perindustrian diselenggarakan untuk kepentingan daerah dan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan melalui kerja sama seluruh elemen bangsa; (2) demokrasi ekonomi, bahwa perindustrian diselenggarakan dengan
semangat
kebersamaan,
efisiensi
berkeadilan,
berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, dan kemandirian serta menjaga keseimbangan kemajuan dalam kesatuan ekonomi daerah dan nasional; (3) kepastian berusaha, bahwa perindustrian diselenggarakan agar terwujud iklim usaha kondusif yang dibentuk melalui sistem hukum yang menjamin konsistensi antara
peraturan
perundang-undangan
dengan
pelaksanaannya;
(4)
persaingan usaha yang sehat, bahwa perindustrian diselenggarakan dalam upaya untuk mewujudkan persaingan antarpelaku usaha dalam menjalankan produksi, distribusi, pemasaran barang, dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara yang jujur dan taat terhadap hukum; (5) keterkaitan industri, bahwa hubungan antar-industri dalam mata rantai pertambahan atau penciptaan nilai untuk mewujudkan industri daerah dan nasional yang sehat dan kokoh. Keterkaitan Industri dapat berupa keterkaitan yang dimulai dari penyediaan bahan baku, proses manufaktur, jasa pendukung industri, sampai distribusi ke pasar dan pelanggan, dan/atau keterkaitan yang melibatkan industri kecil, industri menengah, dan industri besar.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 20
c. Tujuan Penyelenggaraan Perindustrian Perindustrian diselenggarakan dengan tujuan: (1) mewujudkan industri sebagai pilar dan penggerak perekonomian daerah; (2) mewujudkan industri yang mandiri, berdaya saing, dan maju, serta industri hijau; (3) mewujudkan kepastian berusaha, persaingan usaha yang sehat, serta mencegah pemusatan atau penguasaan industri oleh satu kelompok atau perseorangan yang merugikan masyarakat; (4) membuka kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja; (5) mewujudkan pemerataan pembangunan industri guna memperkuat dan memperkukuh ketahanan industri daerah dan nasional. Yang dimaksud dengan “ketahanan industri daerah” adalah industri yang berdaya saing, efisien, berkelanjutan, bersih, dan berwawasan lingkungan; (6) meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan. Yang dimaksud dengan “kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan” adalah industri sebagai penggerak ekonomi daerah dan nasional harus dinikmati oleh seluruh masyarakat terutama golongan ekonomi lemah atau kelompok yang berpenghasilan di bawah tingkat rata-rata pendapatan per kapita. Tujuan utama penyelenggaraan perindustrian bermuara pada segala upaya untuk mewujudkan tatanan ekonomi yang berpihak kepada kepentingan rakyat dan keadilan sosial, kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat, bukan kepentingan individu, golongan atau kelompok tertentu, dengan proses produksi yang melibatkan semua orang dan hasilnya bisa dinikmati oleh semua warga masyarakat baik daerah maupun nasional. d. Tugas dan Wewenang Pemerintah Daerah 1. Tugas Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan perindustrian sebagai berikut: (a) menetapkan kebijakan penyelenggaraan perindustrian sesuai peraturan perundang-undangan; (b) penyediaan prasarana dan sarana industri; (c) pengembangan
sumber daya manusia industri untuk
menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten guna meningkatkan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 21
peran sumber daya manusia daerah di bidang industri; (d) mendorong pengembangan
industri
berwawasan
lingkungan;
(e)
memfasilitasi
ketersediaan, penyaluran, dan pemanfaatan sumber daya alam untuk industri melalui kerja sama antar daerah; (f) mengembangan, peningkatan penguasaan, dan pemanfaatan teknologi industri; (g) memfasilitasi kerja sama penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang industri; (h) memfasilitasi promosi produk hasil industri dan aralih teknologi dari industri besar, lembaga penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi, dan/atau lembaga lain ke industri kecil dan menengah; (i) memfasilitasi lembaga penelitian dan pengembangan dan/atau perusahaan industri dalam negeri yang mengembangkan teknologi bidang industri; (j) memfasilitasi pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat dalam pembangunan industri; (k) memfasilitasi ketersediaan pembiayaan untuk pemberdayaan industri kecil dan menengah; (l) penyediaan data industri yang akurat dan lengkap melalui sistem informasi industri daerah yang terintegrasi; (m) pemberdayaan industri kecil dan industri menengah serta industri kreatif; (n) pemberian izin usaha industri; (o) mendorong penanaman modal di bidang industri untuk memperoleh nilai tambah sebesar-besarnya dalam pemanfaatan sumber daya daerah dan/atau nasional dalam rangka peningkatan daya saing industri daerah; (p)
memberikan
insentif
dan
disinsentif
dalam
penyelenggaraan
perindustrian; (q) mengawasi dan mengendalikan
penyelenggaraan
industri; (r) memberikan sanksi kepada pelaku usaha industri yang melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan. 2. Wewenang Pemerintah Daerah Dalam menyelenggarakan perindustrian, Pemerintah Daerah mempunyai wewenang sebagai berikut: (a) merumuskan dan menetapkan arah, kebijakan
dan
strategi
penyelenggaraan
perindustrian
berdasarkan
kebijakan nasional; (b) menyelenggarakan perindustrian sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah; (c) melakukan
kerja
sama
antardaerah
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
dan
pelaku
industri
dalam
Bab 5 - 22
penyelenggaraan perindustrian; (d) melakukan membina dan mengawasi penyelenggaraan industri, kawasan industri dan sentra industri sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sesuai dengan kewenangannya. Tugas dan wewenang Pemerintah Daerah tersebut di atas menjadi tanggung jawab Gubernur yang secara operasional menjadi tugas Kepala Dinas dan Kepala SKPD sesuai lingkup tugas dan fungsinya dengan berkoordinasi dengan
instansi
terkait
berdasarkan
ketentuan
peraturan
perundang-
undangan. Untuk mencapai tujuan penyelenggaraan perindustrian sesuai tugas dan wewenang
Pemerintah
Daerah,
Gubernur
menyusun
rencana
induk
penyelenggaraan perindustrian daerah berpedoman pada rencana induk pembangunan industri nasional dan kebijakan industri nasional. Rencana pembangunan industri tersebut, disusun paling sedikit memperhatikan: (a) potensi sumber daya industri yang dimiliki daerah; (b) Rencana Tata Ruang Wilayah serta Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi; (c) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD); (d) keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan sosial ekonomi dan daya dukung lingkungan. Rencana induk penyelenggaraan perindustrian daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah setelah dievaluasi oleh Pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan. Rencana Induk Penyelenggaraan Perindustrian yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah tersebut dituangkan ke dalam : (a) Rencana Aksi Daerah (RAD) Penyelenggaraan Industri Kecil dan Menengah sebagai wujud koordinasi yang dilakukan oleh Dinas dan SKPD terkait untuk jangka waktu 5 (lima) tahun; (b) Rencana Strategis (Renstra) Dinas dan SKPD terkait. e. Hak dan Kewajiban 1. Hak dan Kewajiban Pelaku Industri Setiap pelaku industri berhak: (a) mendapatkan pelayanan yang baik dan lingkungan industri yang berwawasan lingkungan dari Pemerintah Daerah dan/atau pengelola kawasan dan sentra industri; (b) berpartisipasi dalam Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 23
proses pengambilan keputusan terkait penyelenggaraan perindustrian dan pengawasan perindustrian; (c) memperoleh informasi yang benar, akurat, dan tepat waktu mengenai penyelenggaraan perindustrian; (d) memperoleh pembinaan agar dapat melaksanakan usaha secara baik dan berwawasan lingkungan. Kewajiban pelaku industri meliputi: (a) menaati ketentuan peraturan perundang-undangan; (b) mengolah air limbah industri yang dihasilkan dan tidak diperkenankan untuk dialirkan langsung ke drainase publik; (c) tidak melanggar
larangan yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-
undangan. 2. Hak dan kewajiban Masyarakat Hak masyarakat dalam penyelenggaraan perindustrian sebagai berikut: (a) mendapatkan pelindungan dan kompensasi karena dampak negatif dari kegiatan industri; (b) berperan serta dalam penyelenggaraan perindustrian. Sedangkan kewajiban masyarakat, berperan serta dalam pengawasan penyelenggaraan perindustrian dengan cara melaporkan kegiatan usaha industri yang melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan. Bentuk pelaksanaan kewajiban pelaku industri dan masyarakat dilaksanakan dengan mematuhi dan menerapkan ketentuan, kaidah, baku mutu, dan aturan penyelenggaraan industri. f.
Prasarana dan Sarana Industri Pengertian prasarana adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang utama terselenggaranya suatu proses. Sedangkan sarana adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat dalam mencapai maksud atau tujuan. 1. Kawasan Industri Pelaku usaha dapat menyediakan dan mengelola kawasan industri dengan bertujuan untuk: (a) mengendalikan pemanfaatan ruang; (b) meningkatkan penyelenggaraan industri yang berwawasan lingkungan; (c) mempercepat pertumbuhan
industri;
(d)
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
meningkatkan
daya
saing
industri;
(e)
Bab 5 - 24
meningkatkan daya saing investasi; (f) memberikan kepastian lokasi dalam perencanaan dan penyediaan infrastruktur industri yang terkoordinasi antar sektor terkait. Penyediaan kawasan industri tersebut di atas, Pemerintah Daerah menyediakan ruang untuk Kawasan Industri sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Luas lahan Kawasan Industri paling rendah 50 (lima puluh) hektar dalam satu hamparan. Pengembangan dan pengelolaan kawasan industri dilakukan oleh perusahaan kawasan industri yang telah mendapatkan izin dari Gubernur. Perusahaan Kawasan Industri dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan pengelolaan Kawasan Industri dan wajib melaporkan kepada Gubernur. Penunjukkan pengelolaan Kawasan Industri kepada pihak lain tidak tidak mengurangi
tanggung
jawab
Perusahaan
Kawasan
Industri
yang
bersangkutan sesuai izin yang diberikan oleh Gubernur. Perusahaan industri yang akan menjalankan industri setelah Peraturan Daerah ini mulai berlakukan, wajib berlokasi di Kawasan Industri kecuali bagi: (a) industri yang menggunakan bahan baku khusus dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus; (b) industri kecil, industri menengah, dan industri kreatif yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas. Pembangunan Kawasan Industri merupakan bagian dari pengembangan infrastruktur industri. Oleh sebab itu, kawasan industri wajib dilengkapi dengan infrastruktur industri baik di dalam kawasan industri maupun di luar kawasan. Perusahaan Kawasan Industri wajib menyediakan lahan bagi kegiatan Industri Kecil dan industri menengah. Penanggung jawab kawasan industri wajib mentaati ketentuan sebagai berikut: (a) baku mutu air limbah sesuai ketentuan peraturan perundangundangan; (b) melakukan pengelolaan air limbah sehingga mutu air limbah yang dibuang ke sumber air tidak melampaui baku mutu air limbah yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan; (c) menggunakan saluran pembuangan air limbah yang kedap air sehingga tidak terjadi
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 25
perembesan air limbah ke lingkungan; (d) tidak melakukan pengenceran air limbah, termasuk mencampur buangan air bekas pendingin ke dalam aliran buangan air limbah yang berasal dari IPAL terpusat; (e) memisahkan saluran buangan air limbah dengan saluran limpasan air hujan; (f) menetapkan titik penaatan untuk pengambilan contoh uji; (g) memasang alat ukur debit atau laju alir air limbah dan melakukan pencatatan debit harian air limbah tersebut; (h) melakukan pemantauan harian kadar parameter baku mutu air limbah, untuk parameter pH dan COD; (i) memeriksakan kadar parameter baku mutu air limbah secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan ke laboratorium yang telah terakreditasi dan teregistrasi di Kementerian Lingkungan Hidup; (j) menyampaikan laporan debit harian air limbah, pemantauan harian kadar parameter air limbah, dan hasil analisa laboratorium terhadap baku mutu air limbah secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan kepada Gubernur dengan tembusan Meteri Lingkungan Hidup sesuai peraturan perundangan-undangan; (K) melaporkan kepada Gubernur dengan tembusan kepada Menteri Lingkungan Hidup mengenai terjadinya keadaan darurat dan/atau kejadian tidak normal mengakibatkan baku mutu air limbah dilampaui serta upaya penanggulangan paling lama 2 x 24 jam. Perusahaan Industri di dalam Kawasan industri wajib memiliki: (a) Upaya Pengelolaan Lingkungan; (b) Upaya Pemantauan Lingkungan. Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri yang mengelola atau memanfaatkan limbah bahan berbahaya dan beracun, wajib menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan mendapat pengesahan, kecuali AMDAL yang dimiliki oleh Kawasan Industri telah mencakup/memenuhi kebutuhan terhadap kegiatan B3. Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri dikecualikan dari perizinan yang menyangkut persetujuan prinsip, gangguan, lingkungan, lokasi, peruntukan penggunaan tanah, dan pengesahan rencana tapak tanah.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 26
2. Sentra Industri Kecil dan Menengah (IKM) Pengertian Sentra IKM adalah kawasan tempat sekelompok perusahaan IKM yang menghasilkan produk sejenis, menggunakan bahan baku sejenis, atau melakukan proses pengerjaannya sama. Pemerintah Daerah
dan/
atau badan usaha dapat menyediakan Sentra Industri Kecil dan Menengah sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Pemerintah Daerah dalam penyediaan Sentra IKM dapat dilakukan melalui kerjasama dengan pihak swasta yang pelaksanaannya sesuai peraturan perundang-undangan, antara lain PP No. 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah. g. Sumber Daya Manusia Industri/Tenaga Kerja Industri Pemerintah Daerah, pelaku industri, dan masyarakat mengembangkan sumber daya manusia industri dengan memperhatikan penyebaran dan pemerataan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) industri yang kompeten. SDM Industri dimaksud meliputi: (a) wirausaha Industri; (b) tenaga kerja industri; (c) pembina industri; (d) konsultan Industri. Yang dimaksud “pembina industri” adalah aparatur yang memiliki kompetensi di bidang industri di daerah. Yang dimaksud “konsultan industri” adalah orang atau perusahaan yang memberikan layanan konsultasi, advokasi, pemecahan masalah bagi Industri. Pengertian, tenaga kerja industri adalah tenaga teknis dan tenaga manajerial yang bekerja pada perusahaan industri dan/atau perusahaan kawasan industri. Tenaga kerja industri terdiri dari: 1) Tenaga teknis Tenaga teknis adalah tenaga kerja industri yang menangani pekerjaan di bidang teknis pada perusahaan industri dan/atau perusahaan kawasan industri. Tenaga teknis paling sedikit memiliki: (a) kompetensi teknis sesuai Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) di bidang industri. Yang dimaksud SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 27
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (b) pengetahuan manajerial. Kompetensi dan pengetahuan tenaga teknis melalui pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi; pelatihan industri berbasis kompetensi dan/atau pemagangan industri. Tenaga teknis tidak melalui pendidikan dan pelatihan dinyatakan kompeten setelah melalui Sertifikasi Kompetensi yang dilakukan oleh LSP. Yang dimaksud dengan Sertifikasi Kompetensi adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan objektif melalui uji kompetensi sesuai SKKNI, standar internasional, dan/atau standar khusus. Penyelenggaraan pendidikan vokasi industri dan pelatihan industri harus dilengkapi Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), pabrik pada tempat penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan pemagangan, serta Tempat Uji Kompetensi (TUK). Dalam hal belum dilengkapi LSP, penyelenggara bekerjasama dengan LSP yang bidangnya sejenis. Demikian halnya belum dilengkapi pabrik dalam sekolah dan/atau TUK, penyelenggara harus melakukan kerja sama dengan perusahaan industri dan/atau lembaga penelitian dan pengembangan. Penyelenggara pendidikan vokasi dan pelatihan industri dapat bekerja sama dengan perusahaan industri dan/atau perusahaan kawasan industri berupa pengembangan kurikulum, praktik kerja, dan/atau penempatan lulusan. Kamar dagang dan industri, asosiasi Industri, perusahaan industri, dan/atau perusahaan kawasan industri memfasilitasi penyelenggaraan pendidikan vokasi dan/atau pelatihan industri. (a)
Pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi Pemerintah Daerah, pelaku industri, dan/atau masyarakat dapat menyelenggarakan pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi yang diperuntukan bagi calon tenaga kerja industri dan tenaga kerja industri. Yang dimaksud dengan pendidikan vokasi industri adalah pendidikan tinggi dan pendidikan menengah kejuruan yang diarahkan pada penguasaan keahlian terapan tertentu di bidang Industri.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 28
Penyelenggaraan pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi harus mengacu pada SKKNI di bidang Industri dan memperhatikan kebutuhan perusahaan industri dan/atau perusahaan kawasan industri atas tenaga kerja industri. Pendidikan
vokasi
industri
berbasis
kompetensi
meliputi:
(a)
pendidikan menengah kejuruan; (b) program diploma satu; (c) program diploma dua; (d) program diploma tiga; (e) program diploma empat; (f) program magister terapan; (g) program doktor terapan. Persyaratan penyelenggaraan pendidikan vokasi industri berbasis kompetensi tersebut sesuai peraturan perundang-undangan. (b)
Pelatihan industri berbasis kompetensi Pelatihan Industri berbasis kompetensi adalah pelatihan kerja yang menitikberatkan pada penguasaan kemampuan kerja yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap sesuai dengan standar kompetensi bidang industri. Penyelenggaraan Pelatihan Industri dilaksanakan oleh Balai Pendidikan dan Pelatihan Industri, Balai Latihan Kerja (Pusat Pelatihan Kerja Daerah) serta lembaga pelatihan lain. Penyelenggara pelatihan tersebut harus mendapatkan akreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(c)
Pemagangan industri Pemagangan industri adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung dibawah bimbingan dan pengawasan pembimbing, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian di bidang Industri. Pemagangan industri dilaksanakan di perusahaan industri dan/atau perusahaan kawasan industri yang menyediakan fasilitas untuk pemagangan industri. Pemagangan industri dilaksanakan atas dasar perjanjian pemagangan antara peserta magang dengan perusahaan industri dan/atau perusahaan kawasan industri yang dibuat secara
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 29
tertulis. Perjanjian pemagangan tersebut paling sedikit memuat ketentuan hak dan kewajiban peserta, hak dan kewajiban perusahaan industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri, serta jangka waktu pemagangan. Kamar dagang dan industri dan asosiasi industri memfasilitasi pelaksanaan pemagangan di perusahaan industri dan/atau perusahaan kawasan industri bagi calon tenaga kerja industri dan tenaga kerja industri. Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif bagi perusahaan industri dan/atau perusahaan kawasan industri yang menerima pemagangan industri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Calon tenaga kerja industri dan tenaga kerja industri yang telah mengikuti pemagangan Industri dinyatakan memiliki kompetensi kerja setelah lulus Sertifikasi Kompetensi oleh LSP. 2) Tenaga manajerial Tenaga manajerial adalah tenaga industri yang menangani pekerjaan di bidang manajemen pada perusahaan industri dan/atau perusahaan kawasan industri. Tenaga manajerial paling sedikit memiliki: (a) kompetensi manajerial sesuai dengan SKKNI di bidang industri; (b) pengetahuan teknis.
Kompetensi
dan
pengetahuan
tenaga
manajerial
tersebut
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang pendidikan dan ketenagakerjaan. Sertifikasi Kompetensi dilaksanakan untuk : (a) memastikan kualitas Tenaga Kerja Industri sesuai kebutuhan dan persyaratan kerja; (b) mewujudkan kesesuaian antara sistem pengupahan dengan produktivitas kerja guna memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi Tenaga Kerja Industri. Sertifikasi Kompetensi dilaksanakan melalui uji kompetensi oleh LSP yang telah memperoleh lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Untuk mewujudkan tujuan sertifikasi kompetensi tenaga industri, Gubernur, kamar dagang dan industri, dan asosiasi industri memfasilitasi pelaksanaan Sertifikasi Kompetensi Tenaga Kerja Industri. LPS dilakukan oleh asosiasi
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 30
profesi, asosiasi Industri, pelaku usaha Industri, lembaga pendidikan, dan/atau lembaga pelatihan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Perusahaan
industri
dan/atau
perusahaan
kawasan
industri
yang
menggunakan tenaga kerja industri asing dan/atau konsultan industri asing harus melakukan alih pengetahuan dan keterampilan kepada tenaga kerja industri dan/atau konsultan industri. Pelaksanaan alih pengetahuan dan keterampilan tersebut dilakukan dengan cara: (a) menunjuk Tenaga kerja industri dan/atau konsultan industri nasional sebagai tenaga pendamping dari Tenaga Kerja Industri Asing dan/atau konsultan Industri asing; (b) pendidikan dan/atau pelatihan kepada tenaga kerja industri dan/atau konsultan industri nasional, baik di dalam maupun di luar negeri. Bagi perusahaan industri dan/atau perusahaan kawasan industri yang menggunakan tenaga kerja industri asing dan/atau konsultan industri asing tidak melakukan alih pengetahuan dan keterampilan dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. h. Pemberdayaan Industri Kecil, Menengah, dan Kreatif. 1) Pemberdayaan Industri Kecil dan Menengah Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan IKM untuk mewujudkan IKM yang berdaya saing, berperan signifikan dalam penguatan IKM, berperan dalam pengentasan kemiskinan melalui perluasan kesempatan kerja, dan menghasilkan barang dan/atau jasa industri untuk diekspor. Pemerintah
Daerah
merumuskan
kebijakan,
penguatan
kapasitas
kelembagaan, dan pemberian fasilitas dengan mengacu paling sedikit kepada sumber daya industri daerah, dan perkembangan ekonomi nasional dan global. Penguatan kapasitas kelembagaan IKM dilakukan melalui: (a) peningkatan kemampuan sentra, unit pelayanan teknis, tenaga penyuluh lapangan, serta konsultan industri kecil dan menengah; (b) kerja sama dengan lembaga pendidikan, lembaga penelitian dan pengembangan, serta asosiasi Industri dan asosiasi profesi terkait.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 31
Pemberian fasilitas kepada IKM dalam bentuk: (a) peningkatan kompetensi SDM dan sertifikasi kompetensi; (b) bantuan dan bimbingan teknis; (c) bantuan bahan baku dan bahan penolong melaku kerjasama antardaerah; (d) bantuan mesin atau peralatan; (e) pengembangan produk; (f) bantuan pencegahan pencemaran lingkungan hidup; (g) bantuan informasi pasar, promosi, dan pemasaran; (h) akses pembiayaan, termasuk mengusahakan penyediaan modal awal bagi wirausaha baru; (i) penyediaan sentra IKM yang berpotensi mencemari lingkungan; (j) pengembangan, penguatan keterkaitan, dan hubungan kemitraan antara Industri kecil dengan industri menengah, industri kecil dengan industri besar, dan industri menengah dengan industri besar, serta industri kecil dan industri menengah dengan sektor ekonomi lainnya dengan prinsip saling menguntungkan. 2) Industri Kreatif Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Pemerintah Pusat sesuai kewenangannya memfasilitasi pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat dalam pembangunan industri dilakukan dengan memberdayakan budaya industri dan/atau kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat. Dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan kreativitas dan inovasi masyarakat tersebut, Pemerintah Daerah melakukan: (a) penyediaan ruang dan wilayah bagi masyarakat dalam berkreativitas dan berinovasi; (b) pengembangan sentra industri kreatif; (c) pelatihan teknologi dan desain; (d) konsultasi, bimbingan, advokasi, dan fasilitasi perlindungan Hak Kekayaan Intelektual bagi industri kecil; (e) fasilitasi promosi dan pemasaran produk Industri kreatif di dalam dan luar negeri. Pemberdayaan IKM dan Industri Kreatif di Daerah, Gubernur pembentukan UPTD IKM dan Industri Kreatif dengan bertujuan sebagai berikut: (a) mengerakkan dan mengembangkan kelompok usaha dan/atau perusahaan IKM dan Industri Kreatif serta calon usaha baru; (b) mengembangkan kemampuan daya saing dan produktivitas kelompok usaha dan/atau perusahaan IKM dan Industri Kreatif melalui layanan keteknikan dan inovasi Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 32
teknologi atau peralatan; (c) mengembangan sarana produksi dalam rangka perkuatan usaha IKM dan Industri Kreatif. Peran UPT IKM dan Industri Kreatif sebagai berikut: (a) sebagai agen pembangunan sarana pembinaan dan pelatihan, pelayanan masyarakat IKM dan Industri Kreatif dalam mendukung produktivitas kerja IKM dan Industri Kreatif, serta menggali sumber dana pembiayaan operasional; (b) sebagai fasilitator, inovator, dinamisator, dan motivator pengembangan potensi produksi serta pemecahan masalah kewirausahaan bagi kelompok usaha dan/atau perusahaan IKM dan Industri Kreatif. Jenis layanan yang diberikan oleh UPT IKM dan Industri Kreatif meliputi: (a) pengembangan kopetensi sumber daya manusia, meliputi: pendidikan dan pelatihan industri dan kewirausahaan baik secara klasikal, praktek, magang maupun workshop; percontohan mesin/peralatan dan teknologi produksi; pengorganisasian, dan pengembangan wawasan; (b) dukungan produksi, meliputi: bantuan dan layanan produksi; jasa pemeliharaan dan reperasi kerusakan alat produksi; bimbingan teknis bidang permesinan/alat produksi; bimbingan teknis bidang proses produksi; (c) dukungan pemasaran dan layanan bisnis lainnya, berupa penyediaan show room atau fasilitas pameran produk; penerbitan brosur, leaflet dan sejenisnya; publikasi film dan media masa; fasilitasi temu bisnis; mediasi dengan sumber daya produktif lainnya; (d) jasa konsultasi pengembangan usaha, berupa: jasa pendampingan usaha atau manajemen; jasa konsultasi (diagnosa makro dan mikro); jasa studi kelayakan untuk investasi; bimbingan teknis dan menajemen; dan fasilitasi layanan hak kekayaan intelektual (HKI); (e) jasa penelitian dan pengembangan, berupa penelitian dan pengembangan untuk inovasi teknologi (produk, desain, dan teknis produksi); inkubator usaha untuk pengujian hasil penelitian dan pengambangan skala UPT IKM dan Industri Kreatif; pemberian layanan pengujian atau laboratorium uji sederhana bagi produk IKM dan Industri Kreatif. Kelembagaan UPT IKM dan Industri Kreatif minimal terdiri dari: (a) Kepala UPT dengan tugas mengoordinasikan seluruh operasionalisasi atau kegiatan
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 33
pelayanan; (b) Kepala Bagian Tata Usaha, tugasnya melaksanakan urusan ketatausahaan guna menunjang kelancaran kegiatan pelayanan UPT IKM dan Industri Kreatif; (c) Sub Bidang Konsultasi dengan tugas memberikan layanan konsultasi, mediasi, atau fasilitasi yang diperlukan IKM dan Industri Kreatif binaan dalam mengatasi permasalahan usahanya; (d) operator dengan tugas memberikan layanan teknis melalui pengoperasian mesin dan peralatan. Keberadaan UPT IKM dan Industri Kreatif, diharapkan berbagai permasalahan yang dihadapi IKM dan Industri Kreatif selama ini dapat diatasi, sehingga IKM dan Industri Kreatif memiliki berdaya saing, berperan signifikan dalam pembangunan daerah dan pengentasan kemiskinan melalui perluasan kesempatan kerja, serta mampu menghasilkan barang dan/atau jasa industri untuk diekspor yang berkualitas. i.
Perizinan Perizinan adalah dokumen dan bukti legalitas yang membolehkan perbuatan hukum oleh seseorang atau sekelompok orang dalam ranah hukum administrasi negara atas sesuatu perbuatan yang dilarang berdasarkan peraturan perundang-undangan. Setiap pendirian perusahaan industri wajib memiliki Izin Usaha Industri (IUI), kecuali bagi industri kecil wajib memiliki Tanda Daftar Industri (TDI), yang diberlakukan sama dengan IUI. IUI dan TDI diberikan oleh Gubernur yang secara operasional dilakukan oleh SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya dalam pelayanan perizinan. IUI diberikan melalui persetujuan prinsip atau tanpa persetujuan prinsip diberikan kepada perusahaan industri berlokasi di kawasan industri atau jenisnya. Persetujuan Prinsip diberikan kepada Perusahaan Industri untuk melakukan persiapan dan usaha pembangunan, pengadaan, pemasangan/instalasi peralatan dan kesiapan lain yang diperlukan. Persetujuan Prinsip bukan merupakan izin untuk melakukan produksi komersial. 1) Pemberian IUI Melalui Persetujuan Prinsip Permohonan Persetujuan Prinsip diajukan dengan menggunakan formulir yang disediakan oleh Gubernur dan melampirkan dokumen sebagai
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 34
berikut: (a) Copy Izin Undang-Undang Gangguan (Ho); (b) Copy Akte pendirian perusahaan dan atau perubahannya khusus bagi perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) akte tersebut telah disahkan Menteri Hukum dan HAM; (c) memiliki IMB; (d) memiliki Izin Lokasi; (e) memiliki Izin Lingkungan; (f) Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Lingkungan (UPL); (g) telah selesai membangun pabrik dan sarana produksi; (h) dokumen lain yang dipersyaratkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bagi industri tertentu. Terhadap permohonan Persetujuan Prinsip yang telah lengkap dan benar, selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima, Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya wajib mengeluarkan Persetujuan Prinsip dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri dan Kepala Dinas Perindustrian dan Energi. Permohonan Persetujuan Prinsip yang persyaratannya belum lengkap dan benar atau jenis industri termasuk dalam bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal, selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima permohonan Persetujuan Prinsip, Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya
perizinan
sesuai
lingkup
tugasnya
mengeluarkan
Surat
Penolakan. Persetujuan Prinsip dapat diubah berdasarkan permintaan dari perusahaan yang bersangkutan. Dalam melaksanakan Persetujuan Prinsip, Perusahaan Industri sebagai pemohon wajib menyampaikan data dan informasi mengenai kemajuan pembangunan pabrik dan sarana produksi kepada Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri dan Kepala Dinas Perindustrian dan Energi sesuai Persetujuan Prinsip yang bersangkutan, setiap 1 (satu) tahun sekali paling lambat pada tanggal 31 Januari pada tahun berikutnya.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 35
Pemegang Persetujuan Prinsip tidak dapat menyelesaikan pembangunan pabrik dan sarana produksinya dalam waktu 3 (tiga) tahun dapat mengajukan permintaan perpanjangan Persetujuan Prinsip untuk 1 (satu) kali selama-selamanya 1 (satu) tahun. Perusahaan industri telah menyelesaikan pembangunan pabrik dan sarana produksinya serta telah memenuhi semua ketentuan peraturan perundangundangan, wajib mengajukan permohonan IUI kepada Gubernur melalui Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya dengan dilengkapi dokumen sebagai berikut: (a) Copy Akte Pendirian Perusahaan dan atau perubahannya, khusus bagi Perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas akte yang telah disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM; (b) Copy Izin Mendirikan Bangunan (IMB); (c) Copy Surat Persetujuan Prinsip; (d) Informasi Kemajuan Pembangunan Pabrik dan Sarana Produksi (Proyek); (e) Copy Izin Undang-Undang Gangguan (Ho); (f) Copy Izin Lokasi; (g) Copy Izin Lingkungan termasuk dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) serta dokumen dipersyaratkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bagi industri tertentu. Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya
selambat-lambatnya
5
(lima)
hari
kerja
sejak
diterima
permohonan IUI, sudah mengadakan pemeriksaan ke lokasi pabrik guna memastikan pembangunan pabrik dan sarana produksi telah selesai. Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang ditandatangani oleh Petugas Pemeriksa yang ditunjuk oleh Kepala Dinas/Suku Dinas
Perindustrian dan Energi sesuai lingkup tugasnya.
Kepala Dinas/Suku Dinas dalam waktu selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak penandatanganan BAP, menyampaikan BAP kepada Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 36
Apabila pemeriksaan tidak dilaksanakan, perusahaan yang bersangkutan dapat membuat Surat Pernyataan siap berproduksi komersial disampaikan kepada Gubernur melalui Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya. Selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima hasil BAP atau Surat Pernyataan, Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya harus mengeluarkan IUI atau menunda dengan keterangan tertulis berdasarkan pertimbangan pembangunan pabrik dan sarana produksi belum selesai dan/atau belum memenuhi persyaratan yang ditetapkan. 2) Pemberian IUI Tanpa Persetujuan Prinsip Permohonan disampaikan kepada Gubernur melalui Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya. Permohonan disertai dengan Surat Pernyataan, dan bagi perusahaan industri yang akan berlokasi di Kawasan Industri melampirkan Surat Keterangan dari Pengelola Kawasan Industri tentang rencana lokasi perusahaan serta dengan dilengkapi dokumen sebagai berikut: (a) Copy Akte Pendirian Perusahaan dan atau perubahannya khusus perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas, akte tersebut telah disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM; (b) Copy Izin Undang-Undang Gangguan (Ho) bagi industri yang berlokasi di luar Kawasan Industri; (c) Copy Izin Lokasi bagi jenis industri yang berlokasi di dalam Kawasan Industri; (d) Copy Izin Mendirikan Bangunan (IMB); (e) Surat Keterangan dari Pengelola Kawasan Industri bagi yang berlokasi di Kawasan Industri; (f) dokumen yang dipersyaratkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bagi industri tertentu. Selambat-lambatnya
5
(lima)
hari
kerja
terhitung
sejak
diterima
permohonan IUI yang lengkap dan benar, Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya harus mengeluarkan IUI dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri dan Kepala Dinas Perindustrian dan Energi.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 37
3) Izin Perluasan Industri Setiap Perusahaan Industri yang akan melakukan perluasan wajib memberitahukan secara tertulis kenaikan produksinya sebagai akibat dari kegiatan perluasan kepada Gubernur melalui Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya sesuai tercantum dalam IUI, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal dimulai kegiatan perluasan. Permohonan Izin Perluasan bagi Perusahaan Industri yang telah memiliki IUI melalui Persetujuan Prinsip melampirkan dokumen rencana perluasan industri serta foto kopi Izin Lingkungan disertai dengan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL); atau Upaya Pengelolaan Lingkungan
(UKL)
dan
Upaya
Pemantauan
Lingkungan
(UPL).
Permohonan Izin Perluasan bagi Perusahaan Industri yang telah memiliki IUI Tanpa Persetujuan Prinsip melampirkan dokumen rencana perluasan industri. 4) Tanda Daftar Industri (TDI) Perusahaan industri kecil untuk memiliki TDI tidak perlu Persetujuan Prinsip dengan cara mengajukan Permohonan TDI kepada Gubernur melalui Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup
tugasnya
dengan melampirkan Copy Izin
Undang-Undang
Gangguan (Ho) dan Copy Izin Lokasi. Kepala SKPD/UKPD yang tugas dan fungsinya perizinan sesuai lingkup tugasnya dalam waktu selambatlambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterima permohonan TDI wajib mengeluar-kan TDI dengan tembusan disampaikan kepada Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah serta Kepala Dinas Perindustrian dan Energi. Bagi perusahaan industri telah memiliki IUI wajib menyampaikan informasi kemajuan pembangunan pabrik dan sarana produksi setiap tahun paling lambat pada tanggal 31 Januari pada tahun berikutnya kepada Kepala
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 38
Badan/Kantor PTSP sesuai lingkup tugasnya dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri, Kepala Dinas Perindustrian dan Energi. IUI dinyatakan batal demi hukum apabila dalam waktu 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan, pemegang IUI sebagai berikut: tidak menyelesaikan pembangunan pabrik dan sarana produksi; belum memenuhi ketentuan peraturan perundangundangan; dan/atau tidak melampirkan dokumen dipersyaratkan bagi industri tertentu sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundangundangan. Perusahaan Industri yang telah memiliki IUI atau TDI, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal diterbitkan IUI/TDI wajib mendaftarkan dalam Daftar Perusahaan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan. Perusahaan Industri melakukan perluasan melebihi 30% (tiga puluh persen) dari kapasitas produksi yang telah diizinkan, wajib memiliki Izin Perluasan. Selain kewajiban memiliki izin, pelaku usaha industri wajib melakukan perubahan izin apabila pemindahan lokasi industri; perubahan nama, alamat dan atau penanggungjawab; serta IUI, Izin Perluasan, dan TDI hilang atau rusak. Kewajiban industri telah memiliki IUI atau Izin Perluasan wajib menyampaikan Informasi Industri secara berkala kepada Menteri dan Gubernur, sesuai dengan IUI yang diterbitkan mengenai kegiatan usahanya menurut jadwal. Pertama, 6 (enam) bulan pertama tahun yang bersangkutan selambatlambatnya setiap tanggal 31 Juli dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri dan Kepala Dinas Perindustrian dan Energi. Kedua, 1 (satu) tahun selambat-lambatnya setiap tanggal 31 Januari pada tahun berikutnya dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri, Kepala Dinas Perindustrian dan Energi. Sedangkan perusahaan Industri telah memiliki TDI wajib menyampaikan Informasi Industri kepada Gubernur setiap tahun selambat-lambatnya tanggal 31 Januari pada tahun berikutnya dengan tembusan disampaikan kepada
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 39
Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah dan Kepala Dinas Perindustrian dan Energi. j.
Insentif dan Disinsentif Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif berupa pemberian kemudahan kepada pelaku usaha di bidang industri sebagai berikut: 1) Kemudahaan penyediaan data dan informasi peluang usaha Pemberian kemudahan dalam bentuk penyediaan data dan informasi peluang usaha, antara lain: (a) peta potensi ekonomi daerah; (b) rencana tata ruang wilayah; (c) rencana strategis dan skala prioritas daerah. Dalam memberikan
kemudahan
tersebut
Pemerintah
Daerah
memberikan
berbagai kemudahan akses dalam memperoleh data dan informasi melalui prasarana dan sarana yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sesuai kemampuan daerah. 2) Kemudahan penyediaan sarana Pemberian kemudahan dalam bentuk penyediaan sarana, antara lain: jaringan energi, jalan, transportasi, jaringan air bersih. 3) Kemudahan penyediaan lahan atau lokasi Pemberian kemudahan dalam bentuk penyediaan lahan atau lokasi diarahkan kepada kawasan yang menjadi prioritas pengembangan ekonomi daerah dan peeyediaan lahan atau lokasi industri sesuai peruntukannya. Pemberian Kemudahan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. 4) Kemudahaan pemberian bantuan teknis Pemberian kemudahan kepada IKM dalam bentuk penyediaan bantuan teknis antara lain dapat berupa bimbingan teknis, pelatihan, tenaga ahli, kajian dan/atau studi kelayakan. Pemberian insentif berupa kemudahan diberikan kepada pelaku usaha industri yang memenuhi kriteria sekurang-kurangnya salah satu kriteria berikut ini: (a) memberikan kontribusi peningkatan pendapatan masyarakat bagi pelaku
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 40
usaha industri yang menimbulkan dampak pengganda; (b) menyerap banyak tenaga kerja daerah atau lokal, dengan perbandingan antara jumlah tenaga kerja lokal dengan jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan; (c) menggunakan sebagian besar sumber daya lokal, dengan perbandingan antara bahan baku lokal dan bahan baku yang diambil dari luar daerah yang digunakan dalam kegiatan usaha; (d) memberikan kontribusi bagi peningkatan pelayanan publik sebagai bentuk pelaksanaan tanggung jawab
sosial
dan lingkungan
perusahaan; (e) berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, berlaku bagi pelaku usaha yang memiliki dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dan
menerapkan
prinsip-prinsip
keseimbangan
dan
keadilan
dalam
pemanfaatan sumber daya alam serta taat pada rencana tata ruang wilayah; (f) termasuk industri skala prioritas tinggi, diberlakukan kepada pelaku usaha industri yang usahanya berada dan/atau sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD); dan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (prioritas) sesuai Rencana Detail Tata Ruang (RDTR); (g) termasuk pembangunan infrastruktur bagi pelaku usaha industri yang kegiatan usahanya mendukung Pemerintah Daerah dalam penyediaan infrastruktur atau sarana dan prasarana yang dibutuhkan; (h) melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja lokal dan pelaku usaha industri yang kegiatan usahanya memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam menerapkan teknologi berwawasan lingkungan; (i) melakukan industri pionir bagi pelaku usaha yang membuka jenis usaha industri baru dengan keterkaitan kegiatan usaha yang luas, memberi nilai tambah dan memperhitungkan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru; dan memiliki nilai strategis dalam mendukung pengembangan
produk
unggulan
daerah;
(j)
melaksanakan
kegiatan
penelitian, pengembangan, dan inovasi bagi pelaku usaha industri yang kegiatan usahanya bergerak di bidang penelitian dan pengembangan, inovasi teknologi dalam mengelola potensi daerah; (k) bermitra dengan IKM bagi pelaku usaha industri yang kegiatan usahanya melakukan kemitraan dengan pengusaha IKM; (l) industri yang menggunakan barang modal, mesin, atau
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 41
peralatan yang diproduksi di dalam negeri dengan kandungan lokal dan diproduksi di dalam negeri. Disinsentif diberikan pada pelaku usaha industri yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud di atas. Pemberian disinsentif dapat juga dilakukan dalam bentuk pemberian pajak daerah dan restribusi daerah yang tinggi. k. Sistem Informasi Industri Daerah Sistem Informasi Industri Daerah adalah tatanan prosedur dan mekanisme kerja yang terintegrasi meliputi unsur institusi, sumber daya manusia, basis data, perangkat keras dan lunak, serta jaringan komunikasi data yang terkait satu sama lain dengan tujuan untuk penyampaian, pengelolaan, penyajian, pelayanan serta penyebarluasan data dan/atau informasi Industri. Tujuan diselenggarakan Sistem Informasi Industri Daerah untuk: (a) menjamin ketersediaan, kualitas, kerahasiaan dan akses terhadap data dan/atau informasi; (b) mempercepat pengumpulan, penyampaian atau pengadaan, pengolahan/pemrosesan, analisis, penyimpanan, dan penyajian, termasuk penyebarluasan data dan/atau informasi yang akurat, lengkap, dan tepat waktu; (c) mewujudkan penyelenggaraan Sistem Informasi Industri Daerah yang meningkatkan efisiensi dan efektivitas, inovasi, dan pelayanan publik, dalam mendukung penyelenggaraan industri di DKI Jakarta. Sistem Informasi Industri Daerah paling sedikit memuat: a. data Industri, paling sedikit memuat data sebagai berikut: identitas dan legalitas perusahaan; kelompok industri sesuai klasifikasi baku lapangan usaha indonesia (KBLI); kapasitas produksi; investasi dan sumber pembiayaan; tenaga kerja; mesin dan peralatan; bahan baku dan bahan penolong; energi; air baku; produksi; pemasaran; dan pengelolaan lingkungan. b. data Kawasan Industri, paling sedikit memuat data sebagai berikut: identitas dan legalitas perusahaan; investasi dan sumber pembiayaan;
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 42
lahan/kavling; prasarana dan sarana; dan Perusahaan Industri dalam Kawasan Industri. c. data perkembangan dan peluang pasar, paling sedikit memuat data sebagai berikut: ekspor dan impor; konsumsi produk industri; permintaan (inquiry) dari pembeli (buyer); kebijakan industri dan perdagangan di negara mitra; dan agenda pameran internasional utama di negara mitra. d. data perkembangan Teknologi Industri, paling sedikit memuat: Hasil riset terapan yang terkait bidang industri; Hak Kekayaan Intelektual; Rancang bangun dan perekayasaan industri; usaha bersama (joint venture), pengalihan/pembelian hak melalui lisensi, akuisisi teknologi, atau putar kunci (turn key) project, dan kerjasama teknologi; hasil audit Teknologi Industri; dan jenis, negara asal, dan tahun pembuatan teknologi. Sistem Informasi Industri Daerah paling sedikit memuat informasi: a. perkembangan Industri; b. perkembangan dan peluang pasar; c. perkembangan Teknologi Industri; d. perkembangan investasi dan sumber pembiayaan Industri; e. kawasan Industri; f. prasarana dan sarana Industri; g. sumber daya Industri; dan h. kebijakan Industri dan fasilitas Industri. Data dan/atau informasi industri dalam sistem informasi industri daerah bersumber dari perusahaan industri dan perusahaan kawasan industri secara langsung, dan dapat bersumber dari instansi pemerintah terkait, perguruan tinggi, asosiasi/KADINDA, masyarakat, dan sumber lain dari instansi dan/atau lembaga terkait di luar negeri. Perusahaan Industri yang telah memperoleh Izin Prinsip Industri atau Izin Usaha Industri (IUI) wajib menyampaikan Data Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu kepada Gubernur. Demikian halnya dengan perusahaan kawasan industri yang telah memperoleh Izin Prinsip Kawasan Industri atau Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 43
Izin Usaha Kawasan Industri (IUKI) wajib menyampaikan Data Kawasan Industri
yang
akurat,
lengkap,
dan
tepat
waktu
kepada
Gubernur.
Penyampaian data industri atau data kawasan industri dilakukan secara online melalui Sistem Informasi Industri Daerah. Asosiasi dan/atau Kadinda dapat membantu perusahaan industri atau perusahaan kawasan industri dalam menyampaikan Data Industri atau data Kawasan Industri. Berdasarkan permintaan Gubernur, perusahaan industri atau perusahaan kawasan industri wajib memberikan data yang terkait dengan data tambahan, klarifikasi data, kejadian luar biasa di Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri, selain data industri dan data kawasan industri. Sistem Informasi Industri Daerah diselenggarakan berdasarkan prinsip: (a) konektivitas; (b) kemudahan penyampaian dan akses pelayanan informasi; (c) perlindungan atas hak kekayaan intelektual; (d) menjaga kerahasiaan dan keamanan data dan informasi. Sistem Informasi Industri Daerah meliputi aspek: (a) pengelola sistem informasi; (b) perangkat keras dan perangkat lunak; (c) jaringan komunikasi data; (d) sumber daya manusia; (e) pengumpulan data dan/atau informasi; (f) pengolahan data dan/atau informasi; (g) penyebarluasan data dan/atau informasi. l.
Kerjasama dan Kemitraan Pemerintah Daerah dalam infrastruktur industri dapat dilakukan melalui kerjasama dengan pihak swasta. Yang dimaksud infrastruktur industri meliputi: (a) lahan Industri berupa Kawasan Industri dan/atau kawasan peruntukan industri dan/atau sentra IKM dan Industri Kreatif; (b) fasilitas jaringan energi dan kelistrikan; (c) fasilitas jaringan telekomunikasi; (d) fasilitas jaringan sumber daya air; (e) fasilitas sanitasi; (f) fasilitas jaringan transportasi. Bentuk kerjasama yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan swasta (badan hukum) berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 44
Pelaku usaha industri besar dapat melakukan kemitraan dengan pelaku usaha industri kecil dan menengah sesuai bidangnya dan dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan sesuai bidangnya, antara lain menyediaan bahan baku, manajemen, teknologi, sumbe daya manusia. m. Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian Gubernur melakukan pembinaan penyelenggaraan perindustrian melalui: (a) koordinasi; (b) sosialisasi; (c) pemberian pedoman dan standar; (d) bimbingan, supervisi, dan konsultasi; (e) penelitian dan pengembangan; (f) penyebaran informasi; (g) pengembangan kesadaran dan tanggung jawab Perusahaan Industri masyarakat. Gubernur melakukan pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan perindustrian
dengan tujuan
penyelenggaraan
untuk:
perindustrian;
(b)
(a) menjamin tercapainya menjamin
terlaksananya
tujuan
peraturan
perundang-undangan di bidang perindustrian; (c) meningkatkan kualitas penyelenggaraan perindustrian. Pengawasan dan pengendalian tersebut ditujukan pada kegiatan usaha industri dan kegiatan usaha industri di kawasan industri dengan maksud untuk mengetahui pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan oleh perusahaan industri dan perusahaan kawasan industri, antara lain: sumber daya manusia industri; pemanfaatan sumber daya alam; manajemen energi; manajemen air; SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara; data industri dan data kawasan industri; standar industri hijau; standar kawasan industri; perizinan industri dan perizinan kawasan industri; dan keamanan dan keselamatan alat, proses, hasil produksi, penyimpanan, dan pengangkutan. Pelaksanaan pengawasan dan pengendalian penyelenggaraan perindustrian menjadi tugas Kepala Dinas Perindustrian dan Energi, dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 5 - 45
Bab 6 PENUTUP
Berdasarkan hasil penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian, secara umum dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Kebutuhan (urgensi) diperlukan Peraturan Daerah tentang Perindustrian di Provinsi DKI Jakarta, sebagai berikut: 1. ada perintah (berupa tugas dan wewenang) yang diberikan oleh negara melalui UU No. 3 Tahun 2014 tengang Perindustrian kepada Gubernur selaku Kepala Daerah dalam penyelenggaraan perindustrian untuk mewujudkan tujuan penyelenggaraan perindustrian sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 UU No. 3 Tahun 2014; 2. urusan pemerintahan bidang perindustrian merupakan urusan pemerintahan pilihan, yaitu urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan daerah sesuai potensi yang dimiliki Daerah, dan Provinsi DKI Jakarta memiliki potensi dalam penyelenggaraan industri kecil, industri menengah, dan industri kreatif, karena itu diperlukan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mewujudkan hak pelaku usaha di bidang industri dan masyarakat serta memfasilitasi kewajiban pelaku usaha di bidang industri baik industri kecil, industri menengah, industri kreatif maupun industri besar. 3. Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki sumber daya alam seperti daerah lain di Indonesia, karena itu pembangunan industri dimasa mendatang diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi berbasis ekonomi pada industri kreatif dan industri baik industri kecil dan industri menengah maupun industri besar yang menggunakan teknologi tinggi, dengan strategi
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 6 - 1
meningkatkan kapasitas dan intensitas pusat kegiatan primer dan sekunder untuk mewadahi kegiatan industri berskala daerah, regional, nasional, dan internasional. 4. Keberadaan Peraturan Daerah tentang Perindustrian diharapkan mampu mewujudkan penyelenggaraan perindustrian dalam rangka memperkuat dan memperkukuh ketahanan industri daerah dan nasional, serta meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat secara berkeadilan. Selain itu, dapat menjawab berbagai kebutuhan dan perkembangan akibat perubahan lingkungan strategis dan sekaligus menjadi landasan hukum bagi tumbuh berkembang dan kemajuan industri di Provinsi DKI Jakarta baik saat ini maupun akan datang. 5. keberadaan Peraturan Daerah tentang Perindustrian akan memberikan kepastian hukum bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, pelaku industri, dan masyarakat dalam penyelenggaraan industri di Provinsi DKI Jakarta, yang selama ini belum memiliki Peraturan Daerah. b. Materi muatan Konsep Rancangan Peraturan Daerah tentang Perindustrian, meliputi: (a) tugas dan wewenang Pemerintah Daerah; (b) hak dan kewajiban pelaku usaha dan masyarakat; (c) penyelenggaraan perindustrian mengatur prasarana dan sarana industri serta sumber daya industri; (d) pemberdayaan industri pada industri kecil, industri menengah, industri kreatif, industri hijau daerah, serta penggunaan produk dalam negeri; (e) perizinan; (f) kerjasama dan kemitraan; (g) tanggung jawab sosial dan lingkungan; (h) penanaman modal bidang industri dan fasilitas; (i) pembinaan, pengawasan, dan pengendalian penyelenggaraan perindustrian; (j) sanksi.
Naskah Akademik Raperda tentang Perindustrian
Bab 6 - 2