PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK TERNAK INDONESIA MELALUI APLIKASI BIOTEKNOLOGI REPRODUKSI DALAM RANGKA MENDORONG PERCEPATAN SWASEMBADA DAGING DAN SUSU NASIONAL SYAHRUDDIN SAID Pusat Penelitian Bioteknologi – LIPI Jalan Raya Bogor Km.46 Cibinong 16911 PENDAHULUAN Ketersediaan daging sapi, baik impor maupun lokal, sangat terkait dengan ketahanan pangan nasional. Ketersediaan daging sapi sama pentingnya dengan ketersediaan beras, gula, jagung, telur, unggas, kedelai dan sebagainya yang merupakan kebutuhan manusia yang paling asasi. Pada kondisi krisis dan kritis kebutuhan lain masih dapat ditunda, tetapi kebutuhan ini tidak bisa ditawar-tawar. Terpenuhinya kebutuhan daging dan susu sebagai bahan pangan bukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan biologis semata, tetapi terkait dengan harkat dan martabat kemanusiaan kita dalam perspektif sosial. Lebih dari itu kebutuhan daging dan susu untuk memenuhi konsumsi protein hewani sangat terkait dengan kesehatan dan kecerdasan bangsa. Sulit rasanya membayangkan suatu bangsa akan maju dan berdiri tangguh jika tidak memiliki pijakan yang kuat dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan. Peran pangan termasuk pangan asal ternak begitu besar sebagai bahan makanan, sumber mata pencaharian, berperan dalam perekonomian, perdagangan, bahan baku industri, sosial, budaya, termasuk politik. Karena vitalnya peran pangan dalam suatu negara sehingga pangan dikategorikan sebagai komoditi politik strategis. Dalam suatu negara yang merdeka dan berdaulat, salah satu persyaratan yang mutlak harus dipenuhi adalah berdaulat dibidang pangan. Kedaulatan merupakan substansi dari suatu kemerdekaan. Kedaulatan terkandung didalamnya kemandirian, harga diri, harkat dan martabat. Mengutip pernyataan founding father Muhammad Hatta “...hanya suatu bangsa yang telah menyingkirkan perasaan tergantung saja yang tidak takut akan hari depan. Hanya suatu bangsa yang faham akan harga dirinya maka cakrawalanya akan terang benderang...”. Terkait dengan pentingnya pangan terhadap kelangsungan suatu bangsa yang berdaulat, Presiden George W. Bush dalam Future Farmers of America, 27 Juli 2001 di Washington DC menegaskan, It’s important for our nation to build – to grow foodstuff, to feed our people. Can you imagine a country that was enable to grow enough food to feed the people? It would be a nation subject to international pressure. It would be a nation risk. So when we are talking about American Agriculture, we are really talking about a nation security issue (Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban, 2006). Protein hewani memiliki manfaat yang cukup besar dalam membangun ketahanan pangan maupun menciptakan SDM yang sehat dan 1
cerdas. UNICEF mengakui bahwa perbaikan gizi yang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan protein memiliki kontribusi sekitar 50% dalam pertumbuhan ekonomi negara-negara maju. Kandungan gizi yang dimiliki protein hewani, baik telur maupun daging lebih tinggi dibandingkan makanan yang paling digemari masyarakat Indonesia yaitu tempe dan susu. Protein telur sekitar 12,5%, daging ayam mencapai 18,5%, sedangkan protein nabati seperti tempe dan tahu masing-masing hanya 11% dan 7,5% (A. Daryanto, 2009). Dibandingkan negara ASEAN lainnya, konsumsi protein hewani penduduk Indonesia jauh diurutan bawah. Menurut data FAO tahun 2006 mencatat rata-rata konsumsi daging penduduk Indonesia sekitar 4,5 kg/kap/tahun, Malaysia (38,5), Thailand (14), Filipina (8,5), Singapura (28). Konsumsi telur tah jauh beda. Indonesia dengan tingkat konsumsi 67 butir/kap/tahun masih lebih rendah dibanding Thailand (93 butir) dan Cina (304 butir). Demikian juga konsumsi susu, Indonesia ada di 7 kg/kap/tahun, sementara Malaysia 20 kg/kap/tahun, apalagi masyarakat AS, sudah 100 kg/kap/tahun. Berdasarkan road map pencapaian swasembada daging sapi tahun 2014, ditargetkan penyediaan daging sapi produksi lokal sebesar 420,3 ribu ton (90%) dan dari impor sapi bakalan setara daging dan impor daging sebesasr 46,6 ribu ton (10%) (Blue Print P2SDS 2014). Sapai saat ini Indonesia masih mengimpor sapi bakalan dan daging sapi sekitar 30% dari kebutuhan. Dari data ini menunjukkan perlu usaha keras untuk meningkatkan produksi sapi dan daging dalam negeri. Peran IPTEK dalam peningkatan populasi dan mutu genetik ternak Indonesia untuk memenuhi kebutuhan daging nasional menjadi sangat strategis.
TUJUAN Pada tulisan ini merupakan review peran IPTEK Peternakan dalam mendorong percepatan program swasembada daging dan susu nasional. Juga akan membahas berbagai permasalahan seputar ketahanan pangan dan kondisi aktual pembangunan peternakan di Indonesia. Selanjutnya akan mengulas peran LIPI dalam pembangunan peternakan di Indonesia.
METODE Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan melaksanakan focus group discussion (FGD) di 3 lokasi : Jawa Barat, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan. Pemilihan lokasi tersebut untuk mewakili kondisi peternakan sapi perah dan sapi potong di Indonesia. Tahapan pelaksanaannya adalah sebagai berikut :
2
Persiapan Kegiatan persiapan meliputi studi pustaka, penyiapan bahan-bahan yang diperlukan. Penyiapan rancangan workshop kajian. termasuk organisasi pelaksanaan kajian/workshop di lokasi-lokasi tersebut.
Pelaksanaan FGD di Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat
Organisasi pelaksana adalah perwakilan dari tingkat pusat (Puslit Bioteknologi LIPI) dan dari tingkat daerah.
Penetapan peserta dan nara sumber FGD yaitu berasal dari, perguruan tinggi, Pemda setempat (provinsi/Kab.Kota), industry/swasta dan tokoh masyarakat peternak.
Sasaran pelaksanaan FGD adalah merumuskan kebijakan peran IPTEK dalam program pengembangan peternakan di daerah dalam rangka mendorong percepatan swasembada daging dan susu nasional.
Analisis Data dan Perumusan Hasil Kajian
Pembentukan organisasi/panitia pelaksana adalah Puslit Bioteknologi LIPI.
Penetapan peserta perumusan hasil kajian yaitu berasal dari perwakilan masing-masing daerah, narasumber dari komite teknis atas masukan dari komite pengarah, dan pelaksana kegiatan, yang dilakukan di tingkat pusat.
Sasaran Pelaksanaan perumusan workshop adalah membuat draft kebijakan program pengembangan peternakan nasional dan IPTEK di bidang Peternakan, sebagai bahan masukkan kepada pemerintah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Populasi Ternak Sapi dan Kerbau Vs Swasembada Daging Nasional Hasil sementara sensus ternak Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2011 memperlihatkan bahwa ternak sapi potong cukup melimpah dimana jumlah sapi potong mencapai 14,43 juta, kerbau 1,27 juta, dan sapi perah 574 ribu ekor. Sehingga jumlah keseluruhan sekitar 16,3 juta ekor. Dalam suatu seminar nasional Peran IPTEK Reproduksi dalam Mendukung Ketersediaan Daging dan Susu Nasional di Bogor 6 oktober 2011 terungkap bahwa sekitar 7,5 juta ekor atau 50,74% dari populasi sapi potong nasional. berada di pulau jawa padahal diketahui bahwa kantong-kantong ternak sapi potong lokal berada di kawasan timur indonesia. Terkonsentrasinya sapi 3
potong di Pulau Jawa karena sensus ternak juga mendata ternak yang ada di feedloter atau ternak impor juga didata. Anehnya populasi ini menjadi dasar untuk swasembada. Kalau ternak impor juga disensus maka tidak perlu menunggu 2014 untuk swasembada, tinggal mengimpor sapi sebanyak kebutuhan, maka akan swasembada. Data hasil sensus ternak terkesan sangat politis, ingin menunjukkan bahwa pemerintah telah berhasil membangun peternakan di Indonesia dengan menunjukkan data pertumbuhan yang secara signifikan meningkat. Berdasarkan data statistik populasi ternak tahun 2003 sebesar 10,2 juta ekor, tahun 2011 menjadi 15,4 juta ekor atau meningkat rata-rata 5,32 % per tahun (Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2011). Padahal peningkatan tersebut karena peningkatan impor sapi bakalan dan daging. Data tersebut sungguh menyesatkan. Boleh dibayangkan betapa data base peternakan kita sangat lemah, dan bisa dibayangkan pula ketika data tersebut dijadikan dasar dalam membuat program, yakin bahwa dilevel implementasi tidak dapat dilaksanakan. Dan kondisi itulah yang terjadi. Terkait swasembada daging yang harus dicermati bahwa jumlah ekor ternak dan daging yang diimpor setiap tahun telah menjadi acuan atau dasar jumlah kekurangan populasi ternak untuk swasembada. Maksudnya karena kita mengimpor sekitar 700 ribu ekor sapi hidup dan 119 ribu ton daging pada tahun 2010 kalau dikonversi ke sapi hidup sekitar 700 ribu ekor sehingga diasumsikan dengan sederhana bahwa jika populasi bertambah 1,4 juta ekor maka kita sudah swasembada. Program swasembada daging nasional ini yang harus dipahami bahwa sapi asli Indonesia (sapi bali, pesisir, PO, madura) mendominasi lebih dari 50 % populasi. Sapi-sapi tersebut postur tubuhnya relatif lebih kecil dari sapi jenis persilangan atau sapi yang diimpor. Sehingga prediksi terhadap produksi daging tentu lebih kecil, oleh karena itu perlu adanya perhitungan tentang prediksi produksi daging sapi lokal, agar terukur benar dan benar-benar swasembada sapi dan buka swasembada semu. Selanjutnya kantong-kantong ternak sapi potong adanya di kawasan timur Indonesia sedangkan konsumen daging terkonsentrasi di pulau jawa sehingga distribusi dan transportasi harus diperbaiki. Kenyataan menunjukkan bahwa mengangkut ternak dari Nusa Tenggara Timur itu lebih mahal dibanding dari Darwin Australia. Ditengah kabar gembira hasil sensus ternak 2011, rupanya hal yang sangat mengerikan ketika komoditas ternak dimasukkan atau dicampuraduk dengan kepentingan politik seperti diulas di majalah mingguan Tempo edisi 6 sampai dengan 12 Juni 2011. Memang disadari bahwa pemenuhan kebutuhan daging nasional menyangkut hayat hidup masyarakat Indonesia, harkat dan martabat bangsa sehingga sulit dipisahkan dengan politik. Tetapi jika urusan ketersediaan pangan ini para politisi ikut terlalu jauh dan bahkan bersaing dengan para pedagang maka urusannya akan menjadi lain. Kalau kondisi seperti ini tidak segera diperbaiki, maka populasi ternak tidak ada hubungannya dengan swasembada karena ternak sapi tidak menjadi komoditi yang harus dibudidayakan melainkan telah menjadi komoditi dagang. Hal ini diperkuat dengan keluarnya kebijakan impor daging menjadi kewenangan Kementerian Perdagangan, besarnya kuota impor menjadi 4
wewenang Menkoekonomi sedangkan bertindak sebagai “konsultan”.
Kementerian
Pertanian
hanya
Bisnis daging impor memang lumayan menggiurkan. Seorang importir membeli daging impor dengan harga rata-rata Rp 40 ribu per kilogram. Di supermarket, pasar tradisional, atau perhotelan Indonesia, daging impor ini dijual Rp 60-70 ribu per kg, tergantung jenis dan kualitasnya, terdapat margin sekitar Rp 30 ribu per kg. Berdasarkan cetak biru Kementerian Pertanian, pada 2011 impor daging sapi dipatok sebesar 72 ribu ton. Itu berarti margin keuntungan kotor Rp 2-3,6 triliun buat semua pemain daging, mulai importir sampai pedagang eceran. Tak mengherankan jika kuota impor daging sapi menjadi rebutan pengusaha. Segala cara dikerahkan, termasuk mendatangkan daging impor secara ilegal.
Tabel 1. Proyeksi Produksi dan Kebutuhan Impor Sapi Bakalan dan Daging Nasional Tahun 2010 - 2014
Sumber : P2SDSK 2014
Pemerintah Australia Vs Swasembada Daging Nasional Indonesia merupakan salah satu pangsa pasar terbesar produk peternakan dan keberhasilan dari program swasembada daging akan mengancam stabilitasi ekspor produk ternak Australia. Selanjutnya tiga negara produsen jeroan sapi, yakni Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat melakukan protes atas kebijakan Pemerintah Indonesia 5
yang akan mengurangi dan melarang impor jeroan dari negara tersebut. Kekhawatiran mereka terkait dengan bisnis dimana 70 persen produk peternakan baik daging maupun sapi hidup dari Australia dipasok ke Indonesia. Pada tahun 2009 realisasi ekspor sapi hidup dari Australia mencapai 700.000 ekor naik dari 2008 yang hanya 620.000 ekor. Perlu saya sampaikan bahwa jika jeroan berupa jantung diimpor dalam jumlah besar ribuan bahkan jutaan buah jantung, yakinkah kita bahwa seluruh jeroan itu diambil dari ternak yang dipotong berdasarkan standar kehalalan? Saya pikir bahwa ini juga menjadi kewenangan Majelis Ulama Indonesia dan Badan POM untuk memastikan bahwa jeroan-jeroan tersebut halal untuk dikomsumsi.
Kegiatan Litbang Peternakan dan Ketahanan Pangan Teknologi hanya akan memberikan kontribusi jika ia digunakan dalam proses produksi barang/jasa untuk meningkatkan kualitas hidup umat manusia, termasuk dalam upaya penyediaan pangan yang cukup, bergizi, aman, dan sesuai selera konsumen serta terjangkau secara fisik dan ekonomi bagi setiap individu sehingga ketahanan pangan dapat dicapai. Untuk dapat digunakan, teknologi harus dikembangkan dengan mengenali terlebih dahulu pengguna potensialnya. Dalam konteks upaya pencapaian ketahanan pangan, maka pengguna primer teknologi tersebut adalah peternak. Pengguna sekundernya adalah pengolah bahan pangan segar menjadi produk pangan olahan. Kebutuhan dan persoalan nyata yang dihadapi oleh para pengguna perlu dipahami secara komprehensif terlebih dahulu, agar solusi teknologi yang ditawarkan diminati oleh para pengguna. Kapasitas adopsi para pengguna teknologi peternakan harus setara dengan teknologi yang dikembangkan agar proses adopsi dapat berlangsung. Kapasitas adopsi pengguna tersebut perlu dilihat dari kemampuan teknis, manajerial, finansial, dan sosiokultural. Banyak teknologi peternakan di masa lalu yang diintroduksikan kepada para pengguna (terutama pengguna primer) tetapi tidak digunakan dalam proses produksi pangan sebagai akibat dari tidak padunya antara teknologi yang diintroduksikan dengan kebutuhan dan/atau kapasitas adopsi pihak pengguna. Faktor penyebab kondisi ketahanan pangan sulit dicapai salah satunya adalah karena teknologi belum berkontribusi secara efektif. Hal ini terutama disebabkan karena teknologi yang dikembangkan belum selaras dengan kebutuhan dan persoalan nyata yang dihadapi para penggunanya, atau karena tidak mempertimbangkan kapasitas adopsi para penggunanya. Ketahanan pangan berbasis peternakan tercapai jika seluruh individu rakyat Indonesia mempunyai akses (secara fisik dan finansial) untuk mendapatkan pangan asal hewan untuk memenuhi konsumsi protein hewani mereka agar dapat hidup sehat dan produktif. Jika konsisten dengan ini, maka pembangunan peternakan harus lebih berorientasi pada upaya pemenuhan 6
permintaan pasar domestik. Kemandirian dalam pemenuhan pangan domestic merupakan modal dasar dalam menangkal dampak krisis global. Aktor produsen pangan asal ternak sejati adalah peternak, pembudidaya ternak. Peningkatan produksi pangan nasional tidak pernah akan tercapai jika tanpa kontribusi nyata dari para pelaku ini. Demikian pula status swasembada dan ketahanan pangan tidak akan pernah dapat dicapai jika tanpa kontrbusi dari para pelaku nyata di lapangan ini. Oleh sebab itu, teknologi yang dikembangkan perlu ‘lebih bersahabat’ dan diarahkan untuk memudahkan para peternak atau pembudidaya ternak dalam memproduksi pangan. Teknologi yang lebih bersahabat dalam persepsi peternak dan pelaku produksi pangan lainnya adalah teknologi yang secara teknis mudah dioperasikan dan secara ekonomis lebih menguntungkan dibandingkan dengan cara tradisional. Faktor penyebab kegagalan dalam introduksi teknologi pertanian/pangan yang paling umum adalah bukan karena kendala teknis, tetapi sering disebabkan karena biaya operasionalnya yang tinggi sehingga tidak menguntungkan bagi petani. Harga komoditas pangan yang rendah menjadi tantangan berat bagi para pengembang teknologi untuk menghasilkan teknologi yang sesuai bagi petani atau pengguna primer teknologi pertanian/pangan lainnya. Tantangannya adalah menciptakan teknologi yang lebih efisien, tidak menyebabkan ongkos produksi lebih mahal dibandingkan dengan cara-cara tradisional yang telah diterapkan, dan menjamin peningkatan keuntungan bagi pengguna primer yang mengadopsinya.
Kontribusi Puslit Bioteknologi – LIPI dalam Pembangunan Peternakan Nasional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menyadari, bahwa praktek peternakan yang tidak dilandasi ilmu pengetahuan mendasar akan terus menurunkan populasi dan memperburuk kualitas genetika ternak di Indonesia yang pada akhirnya akan semakin tergantung kepada pihak asing dalam rangka memenuhi kebutuhan protein hewani bagi rakyat Indonesia. Keadaan ini jika dibiarkan terus menerus juga akan menurunkan konsumsi protein dan dapat berakibat pada penurunan kualitas dan kecerdasan rakyat Indonesia. Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI pada tahun 1993 telah mendapat kepercayaan oleh pemerintah dengan dikukukannya sebagai pusat unggulan bioteknologi pertanian II oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi. Dalam perkembangannya Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI telah turut aktif dan terlibat dalam pembangunan peternakan di Indonesia dengan membentuk Forum Komunikasi Industri Peternakan Modern dengan visi menjembatani berbagai kepentingan pengguna (stakeholders) bidang peternakan dalam upaya mendukung terwujudnya Industri Peternakan Modern Berbasis Sumberdaya Lokal. 7
Dengan SDM yang dimiliki ini, Puslit Bioteknologi LIPI telah mampu melakukan kegiatan riset peternakan yang strategis, riset yang dikerjakan adalah riset yang cukup mendasar namun dapat diaplikasikan di masyarakat yang didanai dari dana APBN dan dana kerjasama luar negeri. Dalam perkembangannya Puslit Bioteknologi LIPI telah melakukan kegiatan penelitian peternakan tersebar di 18 provinsi dan tidak kurang dari 35 Kabupaten di Indonesia. Sejak tahun 1992, Puslit Bioteknologi LIPI telah melakukan kerjasama riset dengan Peternakan Tri “S” Tapos untuk meningkatkan populasi dan mutu genetic ternak melalui aplikasi teknologi reproduksi inseminasi buatan (IB) dan transfer embrio (TE) di Indonesia. Kegiatan ini menjadi cikal bakal kegiatan transfer embrio di daerah dan telah tercatat berbagai keberhasilan kelahiran sapi unggul hasil embrio transfer. Puslit Bioteknologi LIPI juga turut berperan dalam pembentukan Balai Embrio Ternak Cipelang, balai dibawah koordinasi Direktorat Jenderal Peternakan. Setahun kemudian tepatnya tahun 1993, Puslit Bioteknologi LIPI dikukuhkan sebagai Pusat Unggulan Bioteknologi Pertanian II oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi. Kelompok peneliti hewan telah turut memberikan kontribusi nyata dalam pengukuhan ini. Sebagai salah satu tanggungjawab LIPI terhadap masyarakat, sejak tahun 2003 Puslit Bioteknologi LIPI telah melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui program IPTEKDA LIPI. Kegiatan IPTEKDA LIPI dalam bidang peternakan ini focus terhadap aplikasi hasil riset bioteknologi peternakan di masyarakat. Kegaiatan aplikasi IB sexing, teknologi transfer embrio, teknologi pakan, teknologi pengolahan susu adalah bagian kegiatan dari IPTEKDA LIPI di bidang peternakan. Selain itu, juga dikembangkan sistim produksi peternakan, pengembangan pertanian terpadu berbasis peternakan. Dalam kegiatan ini diperkenalkan suatu model peternakan dengan sistim zero waste. Berbekal dari kegiatan dan pengalaman Puslit Bioteknologi LIPI mengembangkan riset dan teknologi dibidang peternakan di Indonesia, masyarakat dan pemerintah Indonesia memberikan kepercayaan untuk mendapatkan bantuan soft loan dari Pemerintah Spanyol. Soft loan ini akan digunakan untuk mempercepat pembangunan peternakan di Indonesia. Dengan perbaikan dan peningkatan sarana laboratorium peternakan di LIPI di Universitas dan Balai IB Daerah di 3 Provinsi (Puslit Bioteknologi LIPI, Jawa Barat, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan) diharapkan mampu meningkatkan kapasitas peneliti Indonesia di bidang peternakan, meningkatkan kerjasama riset dan aplikasi teknologi peternakan baik nasional maupun internasional sehingga swasembada dan kecukupan pemenuhi konsumsi protein hewani dapat tercapai. Beberapa program strategis Puslit Bioteknologi – LIPI dalam bidang peternakan yang sedang dikembangkan, yaitu : 1. Mengembangkan kawasan IPTEK Peternakan di cibinong science centre. Kawasan IPTEK Peternakan terpadu antara kegiatan riset, pengembangan ternak dan unit processing pakan dan susu. 8
Diharapkan dari kawasan ini menjadi percontohan agribisnis berbasis riset. 2. Central Milk Testing Laboratory (CMT). Merupakan laboratorium independen yang memfasilitasi pengujian kualitas susu peternak sapi perah sebelum dikirim ke industri pengolahan susu (IPS). Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan fare payment dimana harga ditentukan oleh kualitas, menjamin susu yang diterima IPS memiliki kualitas yang diinginkan, menghindari monopoli IPS. Program CMT bukan hanya menguji kualitas susu tetapi juga akan memperbaiki kualitas ternak sapi perah. 3. Pengembangan Sapi Simental Indonesia. Di Sumatera Barat telah berkembang cukup lama sapi-sapi simental dan sudah beradaptasi dengan baik. Oleh karena perkembangan sapi simental di Sumbar, sudah terbentuk kelompok-kelompok pembibit sapi simental (Simental Breeders Club). Melalui program riset strategis, akan membentuk sapi simental indonesia. Hal ini sangat strategis untuk mengembangkan sapi-sapi simental Indonesia ke negara-negara yang memiliki iklim sama dengan iklim di Indonesia. 4. Pusat Pengolahan Pakan Ternak Ruminansia. Limbah pertanian, agro industri pertanian, perikanan, kehutanan, perkebunan di Indonesia sangat melimpah. Apabila limbah ini dapat dikonsentrasikan ke beberapa tempat selanjutnya diolah menjadi pakan ternak berkualitas, tentu akan sangat membantu pembangunan peternakan nasional yang diketahui bahwa komponen pakan sangat dominan berpengaruh terhadap pembangunan peternakan.
KESIMPULAN Beberapa hal yang dapat disimpulkan terkait peran IPTEK peternakan dalam mendorong [ercepatan swasembada daging dan susu nasional : 1. Teknologi hanya akan memberikan kontribusi jika ia digunakan dalam proses produksi barang/jasa untuk meningkatkan kualitas hidup umat manusia, termasuk dalam upaya penyediaan pangan yang cukup, bergizi, aman, dan sesuai selera konsumen serta terjangkau secara fisik dan ekonomi bagi setiap individu sehingga ketahanan pangan dapat dicapai. 2. Berdasarkan hasil sensus tidak dapat dikatakan kondisi sekarang sudah berada pada kondisi swasembada daging sapi. 3. Program swasembada daging nasional harus mempertimbangkan : a. Kondisi sapi asli Indonesia (sapi bali, pesisir, PO, madura) mendominasi lebih dari 50 % populasi dengan postur tubuh lebih kecil dari sapi impor sehingga perlu perhitungan lebih cermat. b. Kantong-kantong ternak sapi potong adanya di kawasan timur Indonesia sedangkan konsumen daging terkonsentrasi di pulau jawa sehingga distribusi dan transportasi harus diperbaiki.
9
Kenyataan menunjukkan bahwa mengangkut ternak dari Nusa Tenggara Timur itu lebih mahal dibanding dari Darwin Australia. 4. Program strategis yang perlu dilaksanakan dalam rangka mendorong program percepatan swasembada daging dan susu nasional pembuatan pusat pengolahan pakan ternak ruminansia (P3TR) dan Central Milk Testing Laboratory.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kami ucapkan kepada seluruh stake holder, narasumber dan tim pakar yang telah banyak berkontribusi dalam pelaksanaan FGD dan workshop peternakan LIPI. Kepada pimpinan LIPI yang telah mengarahkan pelaksanaan kegiatan ini. Juga tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada panitia yang telah bersusah payah melaksanakan acara ini dengan baik.
REFERENSI 1. Blue Print Program Percepatan Swasembada Daging Sapi 2014. Direktoraj Jenderal Petrnakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian RI. 2. Arief Daryanto. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. IPB Pres. Bogor 2009. 3. Mohammad Jafar Hafsah. 2011. Mewujudkan Indonesia Berdaulat Pangan. PT. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta 2011. 4. Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban. 2006. PT. Kompas Media Nusantara. Jakarta 5. Agus Pambagio. Politik Ketahanan Pangan Vs Sapi Australia. Jurnal Medan, 17 Juni 2011. 6. Sunudyantoro, Agoeng Wijaya, Retno Sulistyowati, Angga Sukma Wijaya. Partai Putih di Pusaran Impor Daging. Tempo edisi 6 Juni 2011.
10